12 Negara Bersatu Atasi Soal Hutan COP-13 Momentum Penting Perdanaan Kehutanan JAKARTA, KOMPAS – Dua belas Negara yang memiliki hutan hujan tropis sepakat bersatu mempromosikan pengelolaan hutan berkelanjutan, termasuk mengurangi emisi karbon karbon akibat rusaknya hutan dalam rangka mengurangi dampak perubahan dampak perubahan perubahan iklim global. Presiden Susilo Bambang Ydhoyono akan meminpin Pertemuan Khusus Tingkat Tinggi Negara-negara Pemilik Hutan Hujan Tropis di Gedung PBB di New York, Amerika Serikat, 24 September 2007 mendatang. “Pertemuan ini diantaranya meningkatkan posisi tawar dalam Konferensi para Pihak ke-13 (COP-13) di Bali, Desember mendatang,” kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar kepada wartawan seusai penutupan workshop Jurnalis Lingkungan “Perubahan Iklim dan Pemanasan Global” di Jakarta, Selasa (18/9). Dua belas Negara atau disebt Forest 12 (F12), yaitu Indonesia, Brasil, Kosta Rika, Kmaerun, Kolombia, Gabon, Malaysia, Kongo, Republik Demokratik Kongo, Meksiko, Papua Niugini, dan Peru. Sebelumnya hanya delapan Negara yang bergabung. Wetsland Internatioanal menobatkan Indonesia di peringkat ke tiga setelah AS dan China dalam jumlah emisi CO². Sumbangan terbesar emisi karbon oleh Indonesia,yaitu dari hutan. Selain itu, Greenpeace juga memosisikan Indonesia sebagai perusak hutan nomor satu di dunia. Skema yang ditawarkan adalah reforestasi-konversi lahan bukan hutan menjadi hutan kembali dengan penanaman dan sebagainya pada lahan bukan hutan yang sebelumnya adalah hutan, dan aforestasi-konversi lahan yang 50 tahun terakhir bukan hutan menjadi hutan. Neagara-negara F12 akan mengajukan skema mencegah dehutanisasi melalui langkah-langkah konservasi hutan seperti hutan lindung. Menurut rencana. Seusai pertemuan di sela-sela sidang Umum PBB itu F12 akan mengeluarkan beberapa pernyataan bersama. Pengelolaan Berkelanjutan Pernyataan itu bisa dibagi dua, komitmen para 12 negara sendiri dan ajakan kepada dunia untuk bersama-sama mempromosikan pengelolaan hutan berkelanjutan guna mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, pengentasan kaum miskin, dan memberikan kontribusi dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim. Untuk finalisasi draf pernyataan bersama, Duta Besar RI untuk PBB akan mengadakan berbagai pertemuan dengan utusan Negara-negara yang diundang. Komoitmen bersama yang dibangun adalah memperkuat ikatan persahabatan dan kerjasama antarpemerintah pemilik hutan hujan tropis, serta kesepakatan untuk memastikan bahwa persoalan hutan bisa masuk kedalam Kerangka Kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) pascatahun 2012-batas Protokol Kyoto. Ke-12 negara tersebut antara lain juga berencana membuat Plan Of Action yang sama. Mereka juga akan mengajak dunia untuk menyadari pentingnya keberadaan hutan hujan tropis. Hingga tahun 2012, skema pembiayaan terkait pengurangan dampak perubahan iklim disusun melalui mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM). Namun, skema itu dianggap rumit dan kurang mengadopsi fungsi penting dari hutan hujan tropis. Seperti diungkapkan Rachmat, berdasarkan perhitungan harga perhektar hutan dalam keadaan baik senilai 10 dollar AS, Indonesia berpeluang memperoleh dana kompensasi untuk upaya mencegah dehutanisasi senilai 370 juta dollar AS pertahun. Belum termasuk pembiayaan hutan dengan standar dibawah itu yang bisa mendapat lebih kecil dari 5 dollar AS,” katanya. Menrut Rachmat, dana tersebut baru bisa turun jika dana itu dimanfaatkan sebaik-baiknya.” Dengan komitmen seperti itu, maka akan muncul sikap efisien dalam menggunakan dana,” tambahnya. Menurut Rachmat, Brasil yang selama ini dipamdang sebagai “pesaing” Indonesia sudah merasa nyaman dengan langkah F12. Dikatakan Rachmat, pertemuan di Bali mendatang amat penting untuk memastikan langkah berikut, khususnya untuk skema pasca tahun 2012. Berhati-hati Dalam Workshop Jurnalis dengan narasumber Harry Suryadi dari Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) ditegaskan, pemberitaan atau penulisan soal pemanasan global dn perubahan iklim harus dilakukan secara berhati-hati. Fakta-fakta terkait dengan cuaca tidak bisa secara langsung dikaitkan dengan perubahan iklim mebutuhkan waktu puluhan tahun, lebih dari 30 tahun. Kalangan pers juga menyadari bahwa isu lingkungan selama ini secara umum selalu kalah populer oleh isu politik, ekonomi, hukum, dan pertahanan keamanan. Padahal, menurut seorang peserta, Budiyati Abiyoga, isu lingkungan ini sebenarnya strategis untuk mengubah perilaku orang perorang terkait dengan penyelamatan kondisi lingkungan secara keseluruhan, termasuk mengurangi emisi karbon, misalnya dengan tidak banyak menggunakan AC dan berperilaku hemat energi.