modul 04 - WordPress.com

advertisement
MINGGU KE 4
SARANA BERPIKIR ILMIAH
4.1 PENDAHULUAN
Ilmuwan yang kreatif mutlak didukung oleh sarana berpikir yang lengkap terpadu
secara utuh untuk melakukan penelaahan ilmiah secara teratur dan seksama. Dalam
setiap kegiatan ilmiah penelitian ilmiahnya itu diperlukan sarana tertentu pula. Adalah
wajar pula bahwa ilmuwan sebelum mempelajari berbagai sara berpikir ilmiah,
menguasai terlebih dahulu urutan langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah secara
mantap. Dengan demikian akhirnya ia akan sampai kepada penghayatan apa hakikat
sarana berpikir ilmiah yang sesungguhnya sebagai alat yang membantu pencapaian
tujuan tertentu.
Di antara sarana berpikir ilmiah yang utama adalah bahasa, logika, matematika dan
statistika. Bahasa adalah alat komunikasi verbal baik di dalam seluruh proses berpikir
ilmiah maupun dalam menyampaikan alur-alur jalan pikiran kepada pihak lain. Adapun
alur jalan pikiran ialah implikasi logika berpikir. Dalam hal ini prosesnya ada yang
menganut logika deduktif atau induktif. Dan penalaran ilmiah mencakup kedua-duanya,
yang dimanifestasikan berupa matematika sebagai proses berpikir deduktif dan statistika
sebagai proses berpikir induktif.
4.2 LOGIKA ATAU PENALARAN
Proses berpikir secara rasional lazim disebut penalaran. Dengan demikian, maka
berpikir secara rasional dapat disebut berpikir secara nalar atau berpikir secara logis.
Pengetahuan yang yang diperoleh tanpa proses berpikir aktif, yaitu pasif, adalah
pengetahuan intuitif. Penalaran hanya dikaitkan dengan kegiatan berpikir secara sadar
dan aktif, dan mempunyai karakteristik tertentu untuk menemukan kebenaran. Dengan
demikian, setiap bentuk penalaran menganut logika sendiri, dan dikatakan bahwa
penalaran adalah proses berpikir logis yang menganut logika tertentu. Selain itu, kriteria
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB
Dr. Ir. M. Syarif Hidayat M.Arch
SEMINAR ARSITEKTUR
kedua ialah proses berpikir bersifat analitik.
4.2.1
Kriteria kebenaran logika deduktif
Masing-masing logika tertentu mempunyai kriteria kebenaran tersendiri. Untuk
logika deduktif berlaku teori koherensi. Artinya bahwa menurut teori koherensi
pernyataan yang disimpulkan itu dianggap benar, bila pernyataan tersebut secara
koheren logis atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang
dianggap benar. Contoh lazim ditampilkan dalam bentuk silogismus. Silogismus
tersusun dari dua pernyataan yang mendukung, yaitu yang pertama disebut premis
mayor, dan yang kedua disebut premis minor. Sedang pernyataan ketiga merupakan
pengetahuan berupa kesimpulan khusus yang ditarik melalui penalaran deduktif dari
kedua penrnyataan sebelumnya. Yang bersifat umum.
Semua makhluk hidup akan mati (premis mayor)
Socrates adalah makhluk hidup (premis minor)
Jadi Socrates akan mati (kesimpulan)
Berdasarkan penalaran deduktif kesimpulan yang diambil di atas adalah sah, mengingat
bahwa kesimpulan tersebut ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya.
Contoh penalaran yang deduktif yang menonjol ialah matematika. Contohnya yang klsik
adalah:
a = b (premis –1)
b = c (premis –2 )
a= c (kesimpulan)
4.2.2
kriteria kebenaran logika induktif.
Seperti halnya dengan logika deduktif, bentuk penalaran induktif terdiri dari dua
atau lebih landasan pendukung yang diesebut evidensi atau premis, ditambah dengan
kesimpulan yang ditarik dari premis-premis tersebut. Dalam hal ini premis-premis
berfungsi sebagai fakta, sedang kesimpulan menjelaskannya. Perlu diingatkan bahwa
berbeda dengan penalaran deduksi, premis menopang kesimpulan, namun tidak perlu
ada hubungan logis di antara keduanya. Bila kesimpulan deduktif dapat dipastikan,
maka kesimpulan induktif bersifat tentatif atau sementara sebagai peluang sehingga
bersifat probabilistik.
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB
Dr. Ir. M. Syarif Hidayat M.Arch
SEMINAR ARSITEKTUR
Ciri khas penalaran induktif adalah bahwa dari masing-masing premis yang
bersifat khusus, ditarik kesimpulan yang berupa generalisasi atau bersifat umum.
Berdasarkan contoh ini termasuk salah satu contoh klasik:
Premis – 1
: Besi bila dipanasi memuai
Premis – 2
: Tembaga panas memuai
Premis – 3
: Timah panas memuai
Premis – 4
: Perak panas memuai
Kesimpulan
: Semua logam, bila dipanasi memuai.
Generalisasi semua logam jelas tidak mewakili seluruh populasi sebab hanya
didasarkan atas empat observasi terhadap besi, tembaga, timah dan perak, jadi tidak
mencakup semua jenis logam. Oleh karena itu kesimpulan yang ditariknya hanya
bersifat peluang atau probabilistik sementara.
Sebagai penutup, perbedaan prinsipil antara penalaran deduktif dengan
penalaran induktif terletak pada kesimpulan yang ditariknya yaitu bersifat pasti pada
kesimpulan deduktif atau bersifat probabilistik pada kesimpulan induktif. Adapun
persamaannya terletak pada inferensi atau penarikan kesimpulan yang didasarkan atas
premis yang mendahuluinya.
4.3 BAHASA SEBAGAI SARANA BERPIKIR ILMIAH
Bahasa dapat berfungsi sebagai sarana berpikir ilmiah dalam kegiatan
memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Manusia yang diberi kemampuan oleh Allah
untuk
dapat
berbahasa
mampu
berpikir
kondusif
untuk
mengakumulasikan
pengetahuannya berupa ilmu pengetahuan sebagaimana yang dikomunikasikan oleh
manusia dari generasi ke generasi. Dengan kemampuan berbahasa nilai –nila budaya
berlangsung dari generasi ke generasi.
Dengan bahasa manusia dimungkinkan untuk berpikir secara abstrak dengan
mentransformasikan gejala alam atau gejala sosial sebagai objek faktual menjadi
lambang-lambang bahasa yang diabstraksi melalui lambang bahasa tersendiri berupa
kata tertentu yang setelah dikomunikasikan mendapat kesepakatan dan mempunyai
konotasi yang sama.
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB
Dr. Ir. M. Syarif Hidayat M.Arch
SEMINAR ARSITEKTUR
Selanjutnya bahasa mengkomunikasikan buah pikiran, perasaan, emosi, yang terutama
menonjol dalam interaksi kehidupan sosial budaya. Sedangkan dalam komunikasi ilmiah
dicanangkan terbatas dari unsur-unsur emotif dan estetik sehingga pesan-pesan yang
disampaika dapat diterima secara reproduktif (identik).
Salah satu cara dalam
komunikasi ilmiah agar bersifat jelas dan obyektif , bebas dari unsur emotif dan estetik
ialah dengan menggunakan kata-kata yang secara tersurat jelas artinya, yaitu berupa
definisi-definisi. Di samping itu
karya ilmiah pada dasarnya merupakan kumpulan
pernyataan yang menyampaikan informasi tentang pengetahuan dan alur-alur jalan
pikiran dalam memeperoleh pengetahuan tersebut. Agar komunikasi ilmiah itu bersifat
efektif harus dimiliki keterpaduan penguasaan materi ilmiah dengan penguasaan tata
bahasa serta gaya bahasa yang meluncur dan komunikatif. Ini berarti bahwa ilmuwan
juga berkewajiban mampu berkomunikasi dengan bahawa yang baik dan benar.
Bahasa juga memiliki kekurangan tertentu. Bahasa digunakan pada aspek simbolik,
unsur emotif tidak sepenuhnya dapat dihindarkan. Bila ingin kejelasn melalui definisi,
akibat terlalu panjang dan berbelit-belit malahan menjadi tidak komunikatif. Sebaliknya
hanya dengan istilah saja namun akibat makna yang pluralistik jadi kacau. Bagaimana
kalau digunakan bahasa matematika.
4.4 MATEMATIKA SEBAGAI SARANA BERPIKIR ILMIAH
Bila bahasa verbal adakalanya dapat mengacaukan akibat makna yang pluralistk,
sa;ah paham akibat salah tangkap makna atau menyesatkan karena salah interpretasi ,
maka kini kita dihadapkan kepada bahasa yang artifisial atau buatan yaitu matematika.
Bahasa lambangnya terdiri dari huruf-huruf melulu, sehingga nyaris akan membisu dan
tidak bermakna sama sekali bila tidak disertai penjelasan artinya kesepakatan sekaligus.
Salah satu hal yang menguntungkan dari matematika dibandingkan dengan bahasa
verbal ialah ketersediaan bahasa numerik untuk menyatakan sifat kualitatif sesuatu
obyek berupa satuan berat, volume atau luas. Demikian pula halnya dengan ramalan
ilmiah yang kualitatif dapat dikonversikan ke dalam satuan-satuan tolok ukur seperti
tersebut di atas. Belakangan ini juga ilmu-ilmu sosial mulai ikut menerapkan pendekatan
kuantitatif sejalan dengan berkembangnya sosiometri dan ekonometri, terutama terkait
dengan kebutuhan untuk prediksi-prediksi. Matematika telah diperagakan pula sebagai
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB
Dr. Ir. M. Syarif Hidayat M.Arch
SEMINAR ARSITEKTUR
sarana penalaran deduktif. Sebagai salah satu contoh, bila a=b, dan b=c maka a=c. juga
dalam ilmu ukur untuk membuktikan bahwa jumlah sudut dalam suatu segitiga adalah
1800, setelah disusun premis-premis sebagai implikasi evidensi berkat penarikan garis
lurus melalui titik A yang sejajar dengan garis BC dalam segitiga ABC.
Matematika sebagai sarana penalaran deduktif menjadi sarana berpikir logis
yang makin lama makin memerlukan struktur analisis yang lebih sempurna. Jujun dan
Russell menyatakan bahwa “matematika adalah masa kedewasaan logika, sedang
logika adalah masa kecil matematika”. Jujun juga menyatakan bahwa “Ilmu kualititatif
adalah masa kecil ilmu kuantitatif, sedang ilmu kuantitatif merupakan masa dewasa ilmu
kualitatif.”
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa pernyataan verbal tetap perlu dalam dimensi
yang harus mampu mengkomunikasikan kerangka pemikiran seorang ilmuwan
betapapun rumit atau kompleksnya dengan kata-kata yang sederhana. Hal itu sangat
relevan, sebab angka-angka bukanlah pengganti angka-angka, dan hasil pengukuran
sekadar unur-unsur yang menjelaskan persoalan yang menjadi kajian sentral analisis
utama. Keterpaduan bahasa verbal dengan matematika makin meningkatkan ketajaman
dalam mencari kebenaran ilmiah secara deduktif dan akan menjadi mantap bila
digabung dengan statistika sebagai sarana penalaran induktif.
4.5 STATISTIKA SEBAGAI SARANA BERPIKIR ILMIAH
Disamping logika, bahasa, matematika, maka statistika tak kalah pentingnya
bahkan menentukan sebagai sarana berpikir untuk memproses pengetahuan secara
ilmiah. Dalam fungsinya sebagai alat metode ilmiah, maka statistika membantu
melakukan generalisasi atau menarik kesimpulan umum tentang sifat suatu peristiwa
secara lebih pasti, yaitu terhindar dari faktor kebetulan.
Dalam penelitian terdapat keadaan dimana kita harus menarik kesimpulan yang bersifat
umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Adalah tidak mungkin untuk meliput
kasus-kasus sebagai keseluruhan populasi. Di sinilah letak keunggulan statistika,
sehingga peneliti mersa beruntung karena terbuka jalan keluar. Dengan statistika dapat
ditarik kesimpulan yang bersifat umum dengan membatasi pengamatan hanya kepada
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB
Dr. Ir. M. Syarif Hidayat M.Arch
SEMINAR ARSITEKTUR
sebagian dari populasi yang bersangkutan. Untuk itu tersedia teknik pengambila sampel
sesuai dengan persyatan metode ilmiah. Adalah benar bahwa dengan pengamatan
seluruh populasi secara sensus akan diperoleh pengetahuan dengan kebenaran ilmiah
yang sangat teliti menuju kebenaran yang mutlak. Akan tetapi dengan adanya statistika,
penggunan sampelmenjadi efisien dan ekonomis, yang didukung pula oleh teori
keilmuan yang tidak menganut pencapaian pencapaian pengetahuan yang bersifat
absolut. Namun yang penting adalah bahwa dari sampel populasi yang terbatas,
diperoleh kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan berkat persyatan
metode ilmiahnya terpenuhi.
Adapun kunci keunggulan statistika sebagai sarana berpikir ilmiah berupa alat metode
ilmiah terletak pada konsep peluang yang mendasari teori statistika. Dengan semikian,
penarikan kesimpulan yang bersifat umum mempunyai peluang untuk benar dan tingkat
peluang kebenaranya itu dapat dihitung secara pasti. Statistika juga memberi
kemampuan untuk menguji peluang kebenaran kausal di mana terlibat dua atau lebih
variabel.
Teori peluang sebenarnya merupakan cabang dari matematika, sedangkan statistika
sendiri adalah merupakan disiplin ilmu yang mandiri. Statistika terapan meliputi teknik
penarikan kesimpulan, mengambil sampel dari populasi, menghitung peluang dan
sebagainya.
Dengan demikian, maka sklus empiris metode ilmiah tercapai secara lengkap dengan
dikuasainya statistika untuk menarik kesimpulan ilmiah yang sah. Hal ini berati pula
bahwa matematika sebagai sarana penalaran deduktif pada tempatnya diimbangi
secara sepadan dengan statistika sebagai sarana penalaran induktif, sehingga terjadi
proses berpikir ilmiah yang utuh dan tangguh, sebagai alat metode ilmiah yang ampuh
untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum secara sah.
Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari 2 cabang utamaa, yakni
filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan
filsafat moral yang kemudian berkembang kedalam cabang ilmu-ilmu sosial (social
sciences). Selanjutnya ilmu-ilmu alam membagi diri menjadi 2 kelompok lagi, yakni ilmu
alam (physical sciences) dan ilmu hayat (biological sciences).
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB
Dr. Ir. M. Syarif Hidayat M.Arch
SEMINAR ARSITEKTUR
Ilmu-ilmu sosial berkembang agak lambat dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam. Yang
mula-mula berkembang adalah antropologi, psikologi, ekonomi, sosiologi, dan ilmu
politik. Selanjutnya, baik cabang-cabang ilmu alam maupun ilmu-ilmu politik bercabangcabang lagi sehingga sampai pada saat ini terdapat sekitar 650 cabang keilmuan.
Meskipun filsafat telah berkembang menjadi bemacam-macam ilmu namun filsafat
sendiri tidak tenggelam bahkan ikut berkembang pula seirama dengan perkembangan
ilmu. Dalam arti yang operasional filsafat adalah suatu pemikiran yang mendalam
sampai ke akar-akarnya terhadap suatu masalah atau objek.
Sesuai dengan perkembangan filsafat dan pengertiannya maka muncul berbagai
macam filsafat, antara lain filsafat alam (metafisika), filsafat ketuhanan (theologia),
filsafat manusia, filsafat ilmu, dan sebagainya. Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang
sempurna dalam memahami alam sekitarnya terjadi proses yang bertingkat dari
pengetahuan (sebagai hasil tahu manusia), ilmu dan filsafat. Pengetahuan (knowledge)
adalah hasil tahu dari manusia yang sekedar menjawab pertanyaan "what", misalnya
apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya.
Sedangkan ilmu (science) bukan sekedar menjawab "what" melainkan akan menjawab
pertanyaan "why" dan "how", misalnya mengapa air mendidih bila dipanaskan, mengapa
bumi berputar, mengapa manusia bernapas, dan sebagainya. Pengetahuan hanya
dapat menjawab pertanyaan apa sesuatu itu. Tetapi ilmu dapat menjawab mengapa dan
bagaimana sesuatu tersebut terjadi.
Apabila pengetahuan itu mempunyai sasaran tertentu, mempunyai metode atau
pendekatan untuk mengkaji objek tersebut sehingga memperoleh hasil yang dapat
disusun secara sistematis dan diakui secara universal maka terbentuklah disiplin ilmu.
Dengan perkataan lain, pengetahuan itu dapat berkembang menjadi ilmu apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Mempunyai objek kajian
b. Mempunyai metode pendekatan
c. Bersifat universal (mendapat pengakuan secara umum)
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB
Dr. Ir. M. Syarif Hidayat M.Arch
SEMINAR ARSITEKTUR
Sedangkan filsafat adalah suatu ilmu yang kajiannya tidak hanya terbatas pada faktafakta saja melainkan sampai jauh diluar fakta sampai batas kemampuan logika manusia.
Ilmu mengkaji kebenaran dengan bukti logika atau jalan pikiran manusia.
Dengan perkataan lain, batas kajian ilmu adalah fakta sedangkan batas kajian filsafat
adalah logika atau daya pikir manusia. Ilmu menjawab pertanyaan "why" dan "how"
sedangkan filsafat menjawab pertanyaan "why, why, dan why" dan seterusnya sampai
jawaban paling akhir yang dapat diberikan oleh pikiran atau budi manusia.
Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu terdapat taraf peralihan. Dalam taraf
peralihan ini maka bidang pengkajian filsafat menjadi lebih sempit, tidak lagi menyeluruh
melainkan sektoral. Disini orang tidak lagi mempermasalahkan moral secara
keseluruhan melainkan mengaitkannya dengan kegiatan manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya yang kemudian berkembang menjadi ilmu ekonomi.
Namun demikian dengan taraf ini secara konseptual ilmu masih mendasarkan diri pada
norma-norma filsafat. Misalnya ekonomi masih merupakan penerapan etika (appliet
ethics) dalam kegiatan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Metode yang dipakai
adalah normatif dan deduktif (berpikir dari hal-hal yang umum kepada yang bersifat
khusus) berdasarkan asas-asas moral yang filsafat.
Pada tahap selanjutnya ilmu menyatakan dirinya otonom dari konsep-konsep filsafat dan
bertumpu sepenuhnya pada hakekat alam sebagaimana adanya. Pada tahap peralihan,
ilmu masih mendasari diri pada norma yang seharusnya sedangkan dalam tahap
terakhir ilmu didasarkan atas penemuan-penemuan.
Sehingga dalam menyusun teori-teori ilmu pengetahuan tentang alam dan isinya ini
maka manusia tidak lagi mempergunakan metode yang bersifat normatif dan deduktif
melainkan kombinasi antara deduktif dan induktif (berpikir dari hal-hal yang bersifat
khusus kepada hal-hal yang bersifat umum) dengan jembatan yang berupa pengujian
hipotesis.
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB
Dr. Ir. M. Syarif Hidayat M.Arch
SEMINAR ARSITEKTUR
Selanjutnya proses ini dikenal sebagai metoda deducto hipotetico-verivikatif dan metode
ini dipakai sebagai dasar pengembangan metode ilmiah yang lebih dikenal dengan
metode penelitian. Selanjutnya melalui atau menggunakan metode ilmiah ini akan
menghasilkan ilmu.
August Comte (1798-1857) membagi 3 tingkat perkembangan ilmu pengetahuan
tersebut diatas kedalam tahap religius, metafisik, dan positif. Hal ini dimaksudkan dalam
tahap pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat atau dalil ilmiah sehingga
ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi (deducto).
Dalam tahap kedua, orang mulai berspekulasi, berasumsi, atau membuat hipotesishipotesis tentang metafisika (keberadaan) ujud yang menjadi objek penelaahaan yang
terbatas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan berdasarkan
postulat metafisika tersebut (hipotetico).
Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah dimana asas-asas yang
dipergunakan diuji secara positif dalam proses verivikasi yang objektif (verivikatif).
Secara visual proses perkembangan ilmu pengetahuan tersebut yang selanjutnya
merupakan kerangka-kerangka metode ilmiah dapat digambarkan seperti terlihat dalam
skema (lihat Skema Metode Deducto-Hipotetico-Verivikatif dibawah !).
Filsafat ilmu merupakan kajian atau telaah secara mendalam terhadap hakekat ilmu.
Oleh sebab itu, filsafat ilmu ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakekat
ilmu tersebut, seperti :
a. Objek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud hakiki objek tersebut ? Bagaimana
hubungan objek dengan daya tangkap manusia (misalnya berpikir, merasa, mengindera)
?
b. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ?
Bagaimana prosedurnya ? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan yang benar ? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri ? Apa kriterianya ?
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB
Dr. Ir. M. Syarif Hidayat M.Arch
SEMINAR ARSITEKTUR
Cara, teknik, atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan
yang berupa ilmu ?
c. Untuk apa ilmu itu dipergunakan ? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan
tersebut dan kaidah-kaidah moral ? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah
berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana hubungan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dan norma-norma moral / profesional ?
Ketiga kelompok pertanyaan tersebut merupakan landasan-landasan ilmu, yakni
kelompok pertama merupakan landasan ontologi, kelompok kedua merupakan landasan
epistemologi, dan kelompok yang terakhir merupakan landasan aksiologis.
Secara singkat uraian landasan ilmu itu adalah sebagai berikut :
a. Landasan ontologis adalah tentang objek yang ditelaah ilmu. Hal ini berarti tiap ilmu
harus mempunyai objek penelaahan yang jelas. Karena diversivikasi ilmu terjadi atas
dasar spesifikasi objek telaahannya maka tiap disiplin ilmu mempunyai landasan
ontologi yang berbeda.
b. Landasan epistemologi adalah cara yang digunakan untuk mengkaji atau menelaah
sehingga diperolehnya ilmu tersebut. Secara umum, metode ilmiah pada dasarnya untuk
semua disiplin ilmu yaitu berupa proses kegiatan induksi-deduksi-verivikasi seperti telah
diuraikan diatas.
c. Landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam
rangka memenuhi kebutuhan manusia. Dengan perkataan lain, apa yang dapat
disumbangkan ilmu terhadap pengembangan ilmu itu serta membagi peningkatan
kualitas hidup manusia.
Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan sarana berpikir. Tersedianya
sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan
cermat. Penguasaan sarana berpikir ilmiah ini merupakan suatu hal yang bersifat
imperatif bagi seorang ilmuwan. Tanpa menguasai hal ini maka kegiatan ilmiah yang
baik tak dapat dilakukan.
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB
Dr. Ir. M. Syarif Hidayat M.Arch
SEMINAR ARSITEKTUR
Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam
berbagai langkah yang harus ditempuhnya. Pada langkah tertentu biasanya diperlukan
sarana yang tertentu pula. Oleh sebab itulah maka sebelum kita mempelajari saranasarana berpikir ilmiah ini seyogyanya kita telah menguasai langkah-langkah dalam
kegiatan langkah tersebut.
Dengan jalan ini maka kita akan sampai pada hakekat sarana yang sebenarnya sebab
sarana merupakan alat yang membantu dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Dengan
kata lain, sarana ilmiah mempunyai fungsi-fungsi yang khas dalam kaitan kegiatan
ilmiah secara menyeluruh.
Dalam proses pendidikan, sarana berpikir ilmiah ini merupakan bidang studi tersendiri.
Dalam hal ini kita harus memperhatikan 2 hal, yaitu :
a. Sarana ilmiah bukan merupakan kumpulan ilmu, dalam pengertian bahwa sarana
ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode
ilmiah. Seperti diketahui, salah satu diantara ciri-ciri ilmu umpamanya adalah
penggunaan induksi dan deduksi dalam mendapatkan pengetahuan. Sarana berpikir
ilmiah tidak mempergunakan cara ini dalam mendapatkan pengetahuannya.
Secara lebih jelas dapat dikatakan bahwa ilmu mempunyai metode tersendiri dalam
mendapatkan pengetahuaannya yang berbeda dengan sarana berpikir ilmiah.
b. Tujuan mempelajari sarana berpikir ilmiah adalah untuk memungkinkan kita untuk
menelaah ilmu secara baik. Sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk
mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk dapat memecahkan
masalah kita sehari-hari. Dalam hal ini maka sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi
cabang-cabang ilmu untuk mengembangkan materi pengetahuaannya berdasarkan
metode ilmiah.
Jelaslah bahwa mengapa sarana berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri yang
berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuaannya sebab fungsi
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB
Dr. Ir. M. Syarif Hidayat M.Arch
SEMINAR ARSITEKTUR
sarana berpikir ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah dan bahkan merupakan
ilmu tersendiri.
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana
yang berupa bahasa, logika, matematika, dan statistika. Bahasa merupakan alat
komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dan untuk
menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain.
Dilihat dari pola berpikirnya maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif
dan induktif. Untuk itu maka penalaran ilmiah menyandarkan diri pada proses logika
deduktif dan induktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir
deduktif ini sedangkan statistik mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif.
Proses pengujian dalam kegiatan ilmiah mengharuskan kita menguasai metode
penelitian ilmiah yang pada hakekatnya merupakan pengumpulan fakta untuk menolak
atau menerima hipotesis yang diajukan. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus
didukung oleh penguasaan sarana berpikir ini dengan baik pula.
Salah satu langkah ke arah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peranan
masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah.
Sebagai resume dari pengkajian mengenai hakekat sarana berpikir ilmiah, peranan
masing-masing sarana berpikir tersebut disajikan dalam bagan (lihat Skema Ilmu dan
Sarana Berpikir Ilmiah dibawah !).
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB
Dr. Ir. M. Syarif Hidayat M.Arch
SEMINAR ARSITEKTUR
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB
Dr. Ir. M. Syarif Hidayat M.Arch
SEMINAR ARSITEKTUR
Download