BAB 4 RELEVANSI PEMAHAMAN MAKNA TENTANG NARASI PENGKHIANATAN YUDAS ISKARIOT YANG TERDAPAT DALAM INJIL YOHANES 13: 1-35 BAGI GEREJA KRISTEN PROTESTAN DI INDONESIA 4.1 Pendahuluan Pada bab ini penulis berupaya untuk mengkaitkan pemahaman makna dari narasi pengkhianatan Yudas Iskariot yang diperoleh melalui proses penyelidikan terhadap teks Injil Yohanes 13: 1-35 berdasarkan pendekatan hermeneutik dalam perspektif sosio-politik dengan kehidupan gereja Kristen protestan di Indonesia. Upaya tersebut bertujuan untuk mengkomunikasikan serta menarik pembelajaran dari makna narasi pengkhianatan Yudas Iskariot bagi persoalan yang dihadapi oleh gereja Kristen protestan di Indonesia sebagai pembaca Injil Yohanes. Ide utama tersebut akan dijabarkan kedalam dua bagian. Bagian pertama berisi jawaban dari pertanyaan tentang bagaimana gereja Kristen protestan di Indonesia harus memahami narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dalam Injil Yohanes 13: 135. Bagian kedua berisi jawaban dari pertanyaan tentang apa pembelajaran yang dapat dipetik dari makna narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dalam Injil Yohanes 13: 1-35 bagi kehidupan gereja Kristen protestan di Indonesia. 4.2 Memahami Narasi Pengkhianatan Yudas Iskariot dalam Konteks Sosio-Politik Injil Yohanes Mengetahui persoalan yang muncul pada pemahaman yang di miliki oleh gereja Kristen Protestan di Indonesia mengenai narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dalam Injil Yohanes 13: 1-35. Maka penulis merasa perlu untuk memberikan sumbangan bagaimana seharusnya gereja Kristen Protestan di Indonesia memaknai teks di atas. Dalam kerangka tersebut penulis memulai tulisan ini dengan mengemukakan apa persoalan pemahaman yang 72 dimiliki oleh masyarakat Kristen di Indonesia terhadap makna dari narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dalam Injil Yohanes 13: 1-35. Kemudian penulis mencoba menjelaskan apa pokok permasalahan yang menimbulkan persoalan tersebut. Selanjutnya penulis mencoba mengemukakan apa kerugian yang di alami oleh pembaca di Indonesia akibat persoalan di atas. Terakhir adalah bagaimana cara memahami narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dari sudut pandang konteks sosio-politik Injil Yohanes. Persoalan yang muncul pada konteks masyarakat Kristen di Indonesia dalam memahami makna dari narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dalam Injil Yohanes 13: 1-35 adalah mencuatnya kontroversi pendapat dari para ahli Perjanjian Baru tentang narasi tersebut. Kontroversi di atas hidup dalam pemikiran sebagian orang-orang Kristen di Indonesia, kemudian mempengaruhi pola pikir mereka dalam melakukan penafsiran terhadap teks yang memuat narasi pengkhianatan Yudas Iskariot. Dewasa ini kontroversi tersebut menjadi sebuah persoalan karena pada akhirnya pendapat yang beredar justru membingungkan sebagian orang-orang Kristen di Indonesia dalam memahami “makna terdalam” dari narasi tersebut. Pada bagian pendahuluan sudah dijelaskan bahwa pada dasarnya kontroversi tersebut hadir dalam dua bentuk argumentasi bernada positif dan negatif. Pendapat positif ditemukan dalam tulisan ahli-ahli masa kini seperti Ioanes Rakhmat dan Bart D. Erhman. Dalam pemahaman kedua ahli tersebut narasi pengkhianatan Yudas Iskariot yang terdapat dalam Injil Yohanes dimengerti sebagai sebuah bentuk perlawanan kekristenan awal penerus tradisi Yohanes terhadap situasi zaman yang menjadi konteks penulisan Injilnya.130 Kedua ahli tersebut sepakat mengatakan bahwa teks Yohanes 13: 1-35 dialamatkan kepada kaum Yahudi yang dalam sejarahnya pernah melakukan penganiayaan dan menjadikan komunitas Yohanes terasing. Dalam konteks tersebut, Yudas dipakai sebagai sosok yang mewakili golongan 130 Ioanes Rakhmat, Yudas, Maria Magdalena, dan Makan Keluarga (Banten: Sirao Credentia, 2006) 58. Lihat juga Bart D. Ehrman, The Lost Gospel: Upaya Pencarian Injil Yudas (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006) 39. 73 Yahudi. Melalui narasi pengkhianatan, penginjil Yohanes ingin menunjukkan bahwa orang Yahudi berdosa besar karena telah berkonspirasi untuk membunuh Yesus. Pendapat nagatif tentang narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dapat ditemukan dalam berbagai hal, pertama adalah teks kotbah yang disajikan oleh para pendeta gereja-gereja Kristen Protestan di Indonesia. Kedua adalah pada sebagian besar buku tafsir para ahli Perjanjian Baru tentang Injil Yohanes yang beredar di Indonesia. Dharmaputera misalnya, dalam kumpulan kotbahnya ia mengatakan bahwa narasi pengkhianatan Yudas Iskariot merupakan cerminan dari orang yang memperjual-belikan kebenaran, prinsip, agama, kesetiaan, serta harga diri.131 Barclay, dalam buku tafsirannya mengatakan bahwa narasi pengkhianatan Yudas Iskariot adalah wujud perlawanan dari seseorang yang telah makan roti bersama Yesus, dengan jamuan yang baik sebagai tanda persahabatan kemudian berbalik menyerang dengan menyerahkannya kepada Imam-imam Bait Allah dan prajurit Romawi untuk dihakimi dan disalibkan.132 Brill juga mengatakan bahwa narasi pengkhianatan Yudas Iskariot adalah simbol penghinaan, yaitu Yudas sebagai tamu kehormatan yang diberikan kesempatan untuk mencicipi jamuan pertama dari Yesus yang bertindak sebagai tuan rumah, justru mengangkat kakinya sebagai bentuk pelecehaan dan berbalik menyerahkannya untuk dihakimi.133Kysar mengatakan bahwa pengkhianatan Yudas Iskariot mewakili kegagalan manusia dalam menanggapi kasih ilahi.134 Dalam refleksi penulis akar permasalahan dari persoalan tersebut didorong oleh dua hal. Pertama adalah sejarah panjang pengajaran yang hidup dalam lingkup kekristenan Protestan di Indonesia. Sejarah panjang ajaran Kristen Protestan di Indonesia di mulai pada 131 Berbagai Renungan Eka Dharmaputera, 32 (Diunduh dari www.scribd.com tanggal 30 Oktober 2013, 22.30 WIB) 132 William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari : Injil Yohanes Pasal 8-21 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010) 219. 133 John Wesley Brill, Tafsiran Injil Yohanes (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2007) 133,134. 134 Kysar, Injil Yohanes sebagai Cerita, 38. 74 masa kolonial Belanda, lebih tepatnya adalah zaman VOC, pada rentang waktu sekitar abad 19 ZB yaitu ketika Joseph Kam dengan semangat Pietisme di utus oleh Lembaga Pekabaran Injil Belanda ke Indonesia untuk mengambil alih pelayanan kepada orang-orang Kristen Protestan yang dihasilkan melalui misi badan Pekabaran Injil Eropa.135 Pada masa Kam, Protestantisme di Indonesia mengemban misi untuk mewujudkan semangat pencerahan yaitu dengan menyatakan keberpihakan pada kepentingan rakyat Indonesia dan membebaskan gereja dari campur tangan pemerintah kolonial. Dalam pelaksanaanya, misi tersebut di usahakan oleh dua wadah kekristenan Protestan di Indonesia yaitu adalah gereja protestan di Indonesia serta Lembaga Pekabaran Injil. Namun pada kenyataannya kedua wadah tersebut melenceng dari misinya semula. Kedua badan kekristenan tersebut dipakai sebagai alat pemerintah kolonial untuk memantapkan trias politika yaitu adalah Gold, Glory dan Gospel. Atas dasar monopoli kekuasaan inilah kemudian gereja protestan di Indonesia di ikat dan diperalat oleh negara, mereka tidak memiliki tata gereja dan pengakuan iman, tidak menyatakan keberpihakan kepada orang-orang Indonesia yang berada didalamnya, tidak mewujudkan tanggung jawabnya terhadap orang-orang yang berada diluar komunitas mereka. Situasi tersebut membuat gereja protestan tidak menyatakan fungsinya di Indonesia. Pada masa tersebut alasan orang-orang Indonesia untuk masuk Kristen diantaranya adalah karena perhitungan politis, alasan psikologis, daya tarik pekabar injil serta penilaian terhadap ajarannya.136 Pada masa ini dalam pengajarannya para pekabar Injil yang bekerja untuk gereja protestan di Indonesia mempergunakan naskah-naskah Alkitab dalam bahasa asing. Baru pada abad terkemudian tersedia Alkitab bahasa melayu. Keadaan tersebut berlanjut sampai pada masa gereja mandiri. Masa ini di tandai dengan pemulangan para tenaga Eropa ke negaranya yang di mulai pada tahun 1942. Masa ini mengawali pertumbuhan gereja 135 Van Den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja Di Indonesia 1500-1860 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007) 144. 136 Van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860, 211. 75 Protestan secara besar-besaran di Indonesia. Bagi gereja-gereja yang baru tumbuh tersebut pokok perhatian utama mereka adalah pekabaran Injil dalam arti mencari pengikut sebanyakbanyaknya. Tata ibadah, pengakuan iman, kerohanian dan teologi mereka di warisi dari Zending. Baru pada abad 20 gereja-gereja tersebut merumuskan ajarannya sendiri. 137 Terhadap situasi tersebut Van den End mengatakan bahwa dalam konteks Indonesia kita harus menyadari bahwa Injil kita terima bukan dalam keadaan telanjang, melainkan dalam dua pakaian yaitu pakaian kebudayaan barat dan pakaian denominasi, maka secara tidak langsung pandangan ini membawa kita dalam pemikiran kritis mengenai konsep teologi Kristen dalam masyarakat Indonesia.138 Namun jika dirasakan betul, dampak yang muncul justru sebaliknya. Keadaan tersebut membentuk pola pikir orang-orang Kristen di Indonesia untuk terbiasa menjadi penonton serta penikmat kolonialisme dan kekuasaan. Situasi tersebut menurut argumentasi Pramoedya Ananta Toer yang dicatat oleh Numahara, justru menjadikan masyarakat Indonesia termasuk orang-orang Kristen di Indonesia buta akan identitasnya sebagai bangsa.139 Kompleksitas sejarah kekristenan Protestan di Indonesia yang sarat dengan balutan kolonialisme tersebut memembentuk budaya berpikir orang-orang Kristen untuk terbiasa menerima segala ajaran yang diberikan dari orang yang memiliki strata sosial tinggi sebagai sebuah kebenaran tanpa harus mempertanyakannya, hal ini menghilangkan cara berpikir kritis pada diri mereka. Pola pikir tersebut mempengaruhi pola berteologi dan cara pandang terhadap ritual serta simbol keagamaan termasuk Alkitab dan cara dalam menafsirkannya. Oleh karena itu kontroversi yang seharusnya menjadi sebuah keindahan dan kesempurnaan, dalam konteks masyarakat Indonesia justru mendatangkan persoalan. 137 Van den End, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860an sampai Sekarang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007) 357. 138 Van den End, Ragi Carita 2., 361. 139 Daniel Nuhamara, Hand Out Pemikiran Sosial di Indonesia (Salatiga: UKSW, 2011) 8. 76 Disamping komplesitas sejarah pengajaran Kristen, akar permasalahan kedua yang menimbulkan persoalan terhadap kontroversi pendapat seputar narasi pengkhinatan Yudas Iskariot adalah riwayat penafsiran terhadap teks-teks Alkitab termasuk narasi pengkhianatan Yudas dalam Injil Yohanes 13:1-35. Menurut Hunter riwayat penafsiran dapat di bagi kedalam tiga bentangan sejarah, pertama adalah zaman apostolik sampai abad pertengahan. Pada zaman ini Alkitab dianggap sebagai sebuah teks yang suci. Penafsiran dilakukan secara alegoris dengan mengkorelasikan dan meyakini arti rohani dari teks-teks Alkitab. Penanafsiran teks-teks Alkitab terbelenggu pada tradisi gereja.140 Kedua adalah zaman pencerahan sampai reformasi, pada masa ini Alkitab masih dianggap sebagai sebuah pewahyuan verbal. Namun penafsiran yang dilakukan mulai lepas dari belenggu tradisi gereja. Penafsiran yang dilakukan mulai memanfaatkan Ilmu Pengetahuan, tata bahasa asli dan kamus. Penafsiran dilakukan untuk mencari arti yang jelas dan mudah untuk dimengerti. Pada bentang waktu ini mulai muncul pemikiran yang membedakan antara kata-kata Alkitab dan Firman Allah. Pada masa reformasi figur penafsir sangat berpengaruh terhadap tindakan penafsrian. Oleh karena itu sejak menghilangnya para reformator seperti Calvin dan Luther, penafsiran seperti ini tidak dapat bertahan, dan kembali pada model yang lama. Ketiga adalah zaman modern, Grant menyebut masa ini dengan leberalisme.141Pada masa ini muncul aliran kritik Alkitab, dengan kemunculan berbagai macam kritik modern maka ahli-ahli mulai menafsirakan Alkitab dari berbagai konteks. Namun pada masa ini juga muncul orang-orang yang masih bersikukuh dengan pemahaman lama, dengan setia pada tradisi yang mengatakan bahwa Allah telah membentuk Alkitab bagi gerejanya.142 140 A.M Hunter, Menafsirkan Perumpamaan-Perumpaan Yesus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001) 141 Robert M. Grant & David Tracy, Sejarah Singkat Penafsiran Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 24. 2000) 140. 142 Hunter, Menafsirkan Perumpamaan-Perumpamaan Yesus, 26. 77 Riwayat penafsiran tersebut memunculkan dua paradigma berpikir dalam menginterpretasi teks-teks Alkitab yaitu paradigma lama dan paradigma modern. Paradigma lama mencoba setia pada tradisi gereja, menempatkan Alkitab sebagai dokumen yang diwahyukan secara verbal, cenderung menghindari pendekatan kritis terhadap teks-teks Alkitab. Paradigma modern mencoba keluar dari kungkungan tradisi gereja dan mulai memahami teks-teks Alkitab secara kritis. Dalam perjalananya dua paradigma tersebut berkembang di kalangan para ahli Perjanjian Baru dan orang-orang Kristen di Indonesia. Dua Paradigma inilah yang kemudian mempengaruhi penafsiran terhadap berbagai macam narasinarasi yang terdapat dalam Alkitab. Termasuk narasi teks Yohanes 13: 1-35 yang didalamnya memuat kisah pengkhianatan Yudas Iskariot. Pihak yang setia dengan paradigma lama cenderung menafsirkan narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dalam Injil Yohanes 13: 1-35 sebagai sebuah wujud ketidaksetiaan seorang murid terhadap gurunya. Pihak yang berpegang pada paradigma modern cenderung menafsirkan narasi tersebut sebagai sebuah bentuk perlawanan kekristenan awal terhadap konteks penganiayaan dan penjajahan yang dialaminya. Dua macam interpretasi yang lahir dari dua pemahaman berbeda inilah yang kemudian berkembang dan menarik perhatian sebagian besar pembaca Injil Yohanes di Indonesia sehingga kemudian berkambang menjadi sebuah kontroversi. Kontroversi tersebut pada kenyataannya mendatangkan kerugian bagi pembaca Injil Yohanes di Indonesia. Karena pada dasarnya dua pemahaman tersebut sama-sama mengarahkan pola pikir pembaca kedalam sudut pandang yang sempit tentang narasi pengkhianatan Yudas Iskariot yang terdapat dalam Injil Yohanes 13: 1-35. Sedangkan “makna terdalam” dari narasi pengkhianatan Yudas Iskariot tersebut ternyata tidak sama seperti yang dipikirkan dan diungkapkan oleh kebanyakan buku tafsir dan ahli-ahli Perjanjian Baru diatas. 78 Ditengah kontroversi pendapat seputar narasi pengkhianatan Yudas Iskariot yang terdapat dalam Injil Yohanes tersebut, penulis melalui penyelidikan terhadap narasi pengkhianatan Yudas Iskariot yang terdapat dalam Injil Yohanes 13: 1-35 berdasarkan pendekatan hermeneutik sosio-politik menemukan beberapa makna teologis di antaranya pertama, narasi pengkhianatan Yudas Iskariot merupakan pernyataan bahwa Yesus adalah Dia yang menggenapi Perjanjian Lama. Kedua, narasi pengkhianatan Yudas Iskariot merupakan pengakuan bahwa Yesus merupakan Roh yang dikaruniakan melalui penyaliban politik. Ketiga, narasi pengkhianatan Yudas Iskariot merupakan pernyataan bahwa Yesus mati sebagai martir pertama. Keempat, narasi pengkhianatan Yudas Iskariot merupakan pernyataan bahwa Yesus adalah anak manusia yang mewariskan pola hukum baru bagi Umat Allah yang baru. Dalam rangka menghindari kebingungan dan kerugian, maka penulis menyarankan akan lebih baik jika pembaca Indonesia memahami narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dalam konteks sosio-politik Injil Yohanes. Karena sudut pandang tersebut akan membuka paradigma berpikir orang-orang Kristen di Indonesia menjadi jauh lebih luas, sehingga mereka dapat membaca Injil Yohanes secara utuh sesuai dengan apa yang dinarasikan oleh penginjil. Melalui sudut pandang tersebut pembaca juga dapat menemukan informasiinformasi baru yang belum dipaparkan oleh kebanyakan pihak. Cara membaca Perjanjian Baru dalam bentuk tersebut adalah dengan, memahami persoalan-persoalan teks, melihat latar belakang sosio-politik, sosio-budaya, sosio-ekonomi, sosio-keagamaan dari masyarakat yang menjadi konteks penulisan Injil Yohanes. Kemudian menerapkan berbagai kritik yang berkembang pada zaman modern, diantaranya adalah kritik teks, kritik bentuk, kritik sastra, kritik kesejarahan serta kritik kebahasaan. Terakhir adalah memulai interpretasi terhadap teks yang ingin ditafsirkan. 79 4.3 Memperjuangkan Identitas dan Eksistensi Kekristenan dalam Gereja Kristen Protestan di Indonesia di Tengah Kemajemukan Denominasi serta Krisis Global kehidupan Berbangsa dan Bernegara Mengetahui pergumulan yang dialami oleh gereja Kristen Protestan di Indonesia maka dengan bercermin pada komunitas Yohanes, penulis memulai tulisan ini dengan mengemukakan persoalan yang dihadapi oleh gereja Kristen Protestan di Indonesia dewasa ini. Kemudian berdasarkan pada pokok-pokok pemikiran teologis yang di temukan dalam penyelidikan terhadap narasi pengkhianatan Yudas dalam Injil Yohanes, penulis mengungkapkan bagaimana gereja Kristen Protestan di Indonesia harus menuntaskan persoalannya dan memahami ulang identitasnya demi menjaga eksistensinya di tengah krisis global yang dihadapi oleh Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam refleksi penulis berdasarkan makna dari narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dalam Injil Yohanes 13: 1-35 gereja Protestan di Indonesia pada dasarnya menghadapi dua persoalan dalam lingkup internal dan eksternal. Dalam lingkup internal gereja Protestan di Indonesia menghadapi persoalan kemajemukan denominasi serta kemajemukan ajaran kekristenan. Aritonang dalam tulisannya mencatat bahwa berdasarkan buku data statistik keagamaan Kristen Protestan tahun 1993 yang diterbitakan oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Protestan Departemen Agama Republik Indonesia, setidaknya terdapat 275 organisasi gereja Kristen protestan di Indonesia. Berdasarkan aliran yang di anutnya organisasi-organisasi gereja tersebut dapat di kelompokkan kedalam dua golongan yaitu adalah golongan arus utama dan golongan diluar arus utama. Organisasiorganisasi gereja yang termasuk dalam kategori arus utama adalah gereja-gereja yang beraliran Lutheran, Calvinis, Anabaptis, Baptis. Sedangkan organisasi gereja yang termasuk 80 dalam kategori di luar arus utama adalah gereja-gereja yang beraliran Methodis, Kharismatik, Pentakostal, Evangelikal, Saksi Yehova serta Bala Keselamatan.143 Setiap denominasi gereja tersebut memiliki pokok-pokok ajaran dan praktiknya masing-masing sesuai dengan aliran yang dianutnya. Pokok-pokok ajaran serta praktik dalam gereja tersebut menurut Aritonang diantaranya adalah pemahaman tentang Allah, Alkitab, hakikat gereja, tata ibadah yang didalamnya mencakup kotbah dan sakramen baik perjamuan maupun baptis.144 Pokok-pokok ajaran tersebut tentunya berbeda antara satu aliran dengan aliran yang lain, perbedaan tersebut pada akhirnya menimbulkan keberagaman ajaran. Keberagaman tersebut di sebabkan oleh perbedaan cara pandang dan pemaknaan masingmasing aliran terhadap kekristenan. Pertama adalah perbedaan pemahaman mengenai Allah. Menurut Aritonang, dalam pengakuan imannya gereja arus utama yang beraliran Lutheran dan Calvinis menyebut Allah dengan Allah atau Bapa, dua organisasi tersebut mengimani bahwa Allah adalah sumber keselamatan, Ia adalah sosok yang berdaulat dimana-mana. Ia tercermin dalam wujud Bapa, Putra dan Roh Kudus. Organisasi gereja diluar arus utama tetap mengimani hal yang sama, namun yang membedakan adalah sebutan untuk Allah, ada yang menyebut Allah dengan YHWH, kemudian ada pula yang menyebut Allah dengan JEHOVA. Kedua, perbedan pemahaman tentang Alkitab, menurut Aritonang, organisasi gereja arus utama yang beraliran Lutheran dan Calvinis meyakini bahwa Alkitab merupakan salah satu sumber pengetahuan tentang Allah, dan pengetahuan itu hanya dapat ditemukan dalam Yesus Kristus. Sedangkan gereja diluar arus utama menyatakan bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang sejati.145 143 Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007) 11. 144 145 Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, 15. Aritonang, Bebagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, 52. 81 Ketiga, perbedaan pemahaman tentang hakikat gereja, menurut Aritonang, organisasi gereja arus utama meyakini bahwa gereja adalah persekutuan orang-orang yang telah di selamatkan berkat kasih karunia Allah di dalam Yesus Kristus, yang telah dibenarkan kendati tetap merupakan manusia berdosa, yang kesemuanya disambut dan diterima manusia melalui iman. Gereja diluar arus utama memahami gereja dalam banyak hal, ada yang memahami gereja sebagai institusi sosial, ada pula yang memahami gereja sebagai tubuh Kristus.146 Keempat adalah perbedaan tata ibadah, baik dalam kotbah, kebaktian maupun sakramen perjamuan serta baptis. Bagi gereja arus utama, kotbah merupakan bagian yang sentral dalam ibadah dan untuk penyampainnya sering menggunakan model ekspositori. Sedangkan dalam gereja diluar arus utama kotbah hanya dipandang sebagai salah satu unsur dalam ibadah saja, penyampaiannya cenderung menggunakan model topikal ataupun naratif. Dalam hal kebaktian gereja arus utama melakukannya pada hari minggu menggunakan model liturgis. Sedangkan dalam lingkungan gereja di luar arus utama, ibadah dilaksanakan bukan hanya pada hari minggu. Liturgi ibadah yang dipakai juga sudah di modifikasi. 147 Begitu juga dengan sakramen perjamuan, gereja arus utama melakukan sakramen perjamuan dalam kurun waktu tertentu dengan anggur dan roti yang di potong-potong dalam ukuran kecil, namun dewasa ini ada pula gereja arus utama yang mewacanakan mengganti roti dan anggur dengan bentuk makanan dan minuman lain yang dinilai “halal”. Dalam sakramen tersebut muncul aturan bahwa bagi jemaat yang melanggar ketetapan gereja tidak diperbolehkan untuk berpartisipasi. Sedangkan dalam gereja-gereja diluar arus utama ada banyak cara untuk melakukan perjamuan, ada yang melakukan perjamuan secara periodik, ada pula yang melakukan perjamuan pada setiap kali kesempatan peribadatan. Media yang di pergunakan dalam perjamuan tidak terbatas pada roti dan anggur. Perbedaan juga di temukan dalam sakramen baptis, dalam tata cara pembaptisan ada gereja yang membaptis dengan di 146 147 Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, 52. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, 52. 82 mandikan dan ada pula yang membaptis dengan dipercik air. Dalam formulasi kata baptisan ada yang membaptis dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus, kemudian ada pula yang membaptis dalam nama Yesus.148 Pada dasarnya kompleksitas berbagai aliran kekristenan yang berada di Indonesia di sebabkan oleh ketidakpuasan dari masing-masing kelompok yang berkepentingan dalam melihat realita kehidupan bergereja di Indonesia. Kenyataan keberagaman tersebut sering menimbulkan konflik superioritas antara gereja-gereja diatas, yang dimaksud dengan konflik superioritas adalah munculnya beberapa gereja yang mengklaim bahwa ajarannya yang paling benar diantara ajaran gereja-geraja lain. Konflik tersebut terutama terjadi antara gereja-gereja yang berada dalam arus utama dengan gereja-gereja yang berada diluar arus utama. Wujud dari konflik tersebut dapat kita lihat dalam berbagai bentuk salah satunya adalah kasus klasik yang terjadi di Papua antara jemaat GKI Jayapura yang menutup gereja Pantekosta di Indonesia pada beberapa tahun lalu.149 Disamping konflik, dampak lain yang ditimbulkan dari adanya berbagai macam pengajaran kekristenan tersebut adalah degradasi makna dari berbagai macam ritus-ritus kekristenan, mulai dari sakramen, tata peribadatan, dan pengajaran. Dewasa ini kehidupan ritus-ritus dalam gereja dilakukan hanya untuk tujuan formalitas, dalam kondisi tersebut nilainilai kekristenan seperti kasih, damai sejahtera dan keadilan mulai luntur. Akibatnya fungsi moral dari kekristenan mulai tidak berjalan, sehingga nilai-nilai mulia tentang moralitas dalam kekristenan tidak dapat berperan. Dampak dari lunturnya moralitas tersebut adalah banyak jemaat-jemaat gereja yang mulai mundur dan menganggap dirinya sebagai nonpartisipan karena mereka menilai bahwa gereja dengan berbagai macam ritusnya sudah tidak lagi menjangkau pemenuhan kebutuhan diri yang mereka perlukan. Selain itu akibat lain yang ditimbulkan dari lunturnya nilai tersebut adalah adanya orang Kristen yang tidak 148 149 Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, 426. Koran Elektronik Tempo, www.tempo.co diakses tanggal 17 Nopember 2013, 20.30 WIB. 83 berperilaku Kristiani. Tidak berlebihan jika menyebut fenomena tersebut dengan hilangnya peradaban Kristen dari sejarah kehidupan orang-orang Kristen di Indonesia. Dalam menghadapi dampak dari persoalan yang ditimbulkan akibat kenyataan keberagaman pemikiran tersebut gereja Kristen Protestan di Indonesia dapat bercermin dari jemaat Kristen pembaca Injil Yohanes yang merupakan bagian dari komunitas Kristen mulamula yang pada konteksnya juga berhadapan dengan situasi yang sama. Berdasarkan pengalaman komunitas Yohanes yang termuat dalam teks Injil Yohanes 13: 1-35, salah satu cara yang dapat dipergunakan dalam menanggulangi persolan di atas adalah dengan mengembalikan segala sesuatu sesuai dengan hakikat dan fungsinya semula. Upaya tersebut dapat di lihat dalam keempat pokok pemikiran teologis yang ditemukan melalui penyelidikan terhadap teks Yohanes 13: 1-35 pada bagian sebelumnya. Melalui pernyataan bahwa Yesus adalah Dia yang menggenapi Perjanjian Lama (Yoh 13: 19), penginjil Yohanes meletakkan titik tolak dari iman Kristen pada pengakuan bahwa Kristus adalah Tuhan Allah Penyelamat. Melalui ide tentang pernyataan iman dan pribadi yang menghamba penginjil Yohanes berusaha menjaga hakikat dari nilai-nilai kekristenan yang dianut dengan mendasarkan praktik kehidupannya pada tradisi yang di mulai oleh Yesus dan komunitasnya. Hal ini dilakukan untuk mengatasi perdebatan tentang tata cara peribadatan dan pengajaran serta mengembalikan makna dari ritus-ritus penting dalam kehidupan komunitas pada fungsi awal yaitu sebagai simbol sukacita eskatologis yang berlaku secara universal kepada setiap umat manusia. Melalui pengakuan bahwa Yesus adalah Roh yang dikaruniakan melalui penyaliban politik (Yoh 13: 21) penginjil Yohanes menekankan kepada komunitasnya akan pentingnya pernyataan eksistensi keselamatan yang diusahakan melalui kasih persaudaraan tanpa syarat dan berlaku secara universal. Serta menekankan penerapan model dialog dan penerimaan terhadap keberagaman yang ada di dalam maupun di luar kelompoknya. 84 Melalui pernyataan bahwa Yesus mati sebagai martir pertama (Yoh 13: 21) penginjil Yohanes menularkan semangat pembebasan kepada jemaat Kristen yang menjadi tujuan Injilnya untuk memiliki keteguhan dalam memelihara eksistensi kepercayaannya, yaitu dengan menekankan pentingnya menjaga tingkah laku sebagai anak Allah. Dengan mempelopori sikap yang meneladani Kristus, mencerminkan nilai-nilai kerendahan hati, pengorbanan serta dedikasi dalam melayani sesamanya tanpa memandang strata sosial. Berjuang untuk menciptakan masyarakat yang egaliter, berperikemanusiaan, yang oleh karenanya konsep tentang surga diwujudkan di dunia yang menjadi tempat tinggal manusia. Melalui pernyataan bahwa Yesus adalah anak manusia yang mewariskan pola hukum baru bagi umat Allah yang Baru (Yoh 13: 21) penginjil Yohanes menekankan pentingnya kehidupan komunal yang diikat oleh kasih yang memberi dan semangat persaudaraan karena persamaan kepercayaan kepada Kristus untuk mewujudkan nilai-nilai keselamatan didunia. Berdasarkan pokok pemikiran teologis pertama, maka dalam menghadapi persolaan yang terjadi di dalam lingkup komunitasnya, gereja Kristen Protestan di Indonesia di harapkan dapat mengakhiri perdebatan dan persoalan yang timbul di dalam kelompoknya. Kemudian berpijak kepada hakikat dan fungsinya semula sebagai gereja Protestan dengan melaksanakan esensi dan semangat dari Protestantisme untuk kembali kepada perjanjian yaitu Kristus dan menyatakan praksis iman mereka kepada orang banyak. Berdasarkan pokok pemikiran teologis ke dua maka dalam menghadapi persoalan dalam lingkup komunitasnya gereja Kristen Protestan di Indonesia di harapkan dapat menghargai aspek-aspek keselamatan yang di perjuangkan oleh masing-masing denominasi dengan menerapkan dialog dan penerimaan terhadap setiap ajaran yang ada dalam gereja-gereja tersebut tanpa harus menimbulkan konflik yang tidak penting. Berdasarkan pokok pemikiran teologis ke tiga maka dalam menghadapi persoalan kemajemukan, gereja Kristen Protestan di Indonesia di harapkan dapat menjadi pelopor 85 penerapan semangat pembebasan dengan meneladani sikap dan pemikiran yang dimiliki Yesus ketika ia melayani orang-orang Yahudi yang menjadi pusat misinya pada waktu ia hidup, serta menerapkan tindakan pelayanannya seperti yang di jelaskan oleh penginjil Yohanes dalam pokok pemikiran teologis ketiga diatas. Berdasarkan pokok pemikiran teologis ke empat maka dalam meghadapi persoalan didalam lingkup komunitasnya, gereja Kristen Protestan di Indonesia di harapkan memiliki kesadaran bahwa pada dasarnya semua dinominasi tersebut secara mistik dipersatukan dalam Iman akan Kristus untuk kemudian masuk kedalam ranah misi yang lebih besar yaitu adalah bangsa dan negara Indonesia. Kesadaran misi yang terkandung dalam ide tentang pernyataan iman dan kasih yang memberi, pada pokok pemikiran teologis pertama dan keempat tersebut membawa gereja Kristen Protestan di Indonesia untuk bersentuhan dengan persoalan eksternal yang di hadapinya sebagai panggilan iman di tengah masyarakat Indonesia. Persolan tersebut adalah krisis global yang dialami oleh bangsa dan negara Indonesia. Krisis tersebut hadir dalam berbagai bentuk dan aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam bidang ekonomi, krisis tersebut menjadi dampak bagi munculnya kebijakan ekonomi yang semakin mengarah pada sistem neo-liberalisme. Sistem tersebut menimbulkan kesenjangan ekonomi, kemiskinan yang masif, banyak orang-orang yang tidak bisa menikmati hasil dari pembangunan, banyak orang yang tidak bisa makan, tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, muncul berbagai macam praktik pasar bebas, perdagangan ilegal, perdagangan manusia serta obat-obatan terlarang. Dalam bidang politik, krisis tersebut mendorong munculnya kebijakan politik yang mengakibatkan kelompok kecil semakin tertindas dan terpinggirkan sehingga sisi kemanusiaan mereka terabaikan, kebijakan tersebut memunculkan maraknya penyalahgunaan kekuasaan seperti praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang menyengsarakan rakyat. Dalam bidang pendidikan, krisis tersebut mendorong penerapan sistem yang 86 mengarah pada model kapitalisme pendidikan, hal ini menimbulkan sulitnya akses terhadap pendidikan murah dan berkualitas bagi masyarakat miskin, sehingga mereka semakin terpinggirkan. Dalam bidang sosial, krisis tersebut mendorong munculnya kebijakan sosial yang menimbulkan stratifikasi dan menebalnya benteng-benteng pembatas yang bersifat primordial seperti status ekonomi, pendidikan, kesukuan dan agama. Dalam bidang kebudayaan, krisis tersebut medorong munculnya kebijakan yang menghilangkan penghargaan pada pluralitas yang menjadi kenyataan hidup bangsa Indonesia, khususnya dalam hal kepercayaan. Berbeda dengan kekristenan mula-mula di Efesus yang keberadaannya tidak diakui secara hukum. Di Indonesia keberadaan kekristenan diakui secara hukum, kelangsungan hidup beragama secara tertulis dijamin dalam pancasila dan undang-undang dasar 1945 pasal 28e, ayat 1-2. Hal ini menunjukkan bahwa gereja Kristen Protestan menggenggam suatu keadaan yang oleh kelompok Yohanes disebut dengan “berbahagia” yaitu keadaan di mana seseorang memiliki kehendak bebas atas dirinya untuk mengaktualisasikan diri. Hal ini seharusnya menjadi momentum bagi gereja Kristen Protestan di Indonesia untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan negara Indonesia, baik sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Partisipasi tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan mengenai sikap gereja dalam menghadapi situasi yang timbul dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah krisis global yang sedang di hadapi oleh bangsa Indonesia seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Partisipasi tersebut sekaligus menjadi bukti dari rumusan hakikat gereja yang di cetuskan oleh PGI pada konferensi Mei 1950 yang menyatakan bahwa gereja Protestan di Indonesia adalah bagian dari suatu persekutuan universal gereja yang esa, kudus, am dan 87 rasuli. Sadar dengan lingkungan hidupnya yaitu di Indonesia yang berazaskan Pancasila. Sadar akan tanggung jawab terhadap masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia.150 Selain menjadi bukti, partisipasi tersebut juga dapat diartikan sebagai jalan salib untuk mengimplementasikan perjuangan para teolog protestan sepeti Dietrich Bonhoeffer yang diungkapkan oleh Setyawan. Bonhoeffer memandang gereja sebagai persekutuan antarpribadi serta sebagai persekutuan yang dibangun oleh kasih Agape. Gereja adalah wujud relasi aku-engkau, di dalamnya mencerminkan hubungan yang bukan lagi bersifat menuntut tetapi memberi.151 Serta Yvis Conger yang mengatakan bahwa gereja memiliki dua aspek yang tidak dapat dipisahkan, yaitu: persahabatan antara manusia dengan Allah dan antar sesama manusia dalam Kristus. Perkataan ini dapat dimengerti bahwa gereja dalam dunia memiliki dua aspek kehidupan yaitu gereja sebagai persekutuan dan institusi keselamatan, realitas yang terdalam dari gereja adalah persahabatan antar-pribadi.152 Bercermin dari komunitas Yohanes, dalam situasi krisis global inilah iman yang di miliki oleh orang-orang yang membentuk gereja Kristen Protestan di Indonesia harus dipahami ulang. Berdasarkan semangat yang termuat dalam pokok teologis pertama yang mengungkapkan bahwa Yesus adalah Dia yang menggenapi Perjanjian Lama maka dalam menghadapi krisis global tersebut gereja Protestan di Indonesia diharapkan dapat menyatakan imannya sebagai komunitas yang menghamba dalam menjaga hakikat dari nilai-nilai yang mendasari munculnya kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang dicetuskan oleh para pendiri bangsa dalam pancasila dan undang-undang dasar 1945. Berdasarkan pokok pemikiran teologis kedua yang mengungkapkan pengakuan bahwa Yesus adalah Roh yang dikaruniakan melalui penyaliban politik maka gereja Kristen protestan di Indonesia diharapkan dapat menjadi pengajar, pemberi arah, dan penuntun kehidupan bersama. Dengan 150 Gerakan Oikumene: Tegar Mekar di Bumi Pancasila: Buku Peringatan 40 Tahun PGI (Jakarta: Yayasan Oikumene, 1990) 23, 24 151 Yusak B. Setyawan, Hand-oust Eklesiologi (Salatiga: F.Teologi UKSW, 2011) 27. 152 Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi, 27 88 mencurahkan perhatian kepada suatu masyarakat yang ditebus di mana ciri-cirinya tampak ideal bagi orang-orang yang berada diluar kekristenan yaitu dengan menyatakan kasih kepada sesama secara universal untuk mewujudkan “kerajaan sorga” di dunia serta mempelopori dialog atas segala kesenjangan yang muncul dalam krisis global kehidupan berbangsa. Berdasarkan semangat yang tercermin dalam pokok pemikiran teologis ketiga yang mengungkapkan pernyataan bahwa Yesus mati sebagai martir pertama maka dalam menghadapi krisis global tersebut gereja Kristen Protestan di Indonesia diharapkan dapat mempelopori dan meneladankan sebuah kebebasan, kemerdekaaan yang mengakar dari segala macam bentuk penjajahan yang dialami oleh bangsa Indonesia. Berdasarkan semangat yang tercermin dalam pokok teologis keempat yang mengungkapkan bahwa Yesus adalah anak manusia yang mewariskan pola hukum baru bagi umat Allah yang baru maka gereja Kristen Protestan di Indonesia diharapkan dapat menyatakan semangat memberi yaitu dengan menyatakan praksis dari pola hukum baru yang berlaku dalam konteks Indonesia. Hukum tersebut adalah pancasila dan undang-undang dasar 1945 sebagai Injil Kristus bagi bangsa dan negara Indonesia. Penerapan pola hukum tersebut bukan untuk melawan kebijakan, namun menciptakan tatanan moral dalam masyarakat yang menggantikan pola moral yang didasarkan atas perencanaan kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat kecil. Melalui keempat pokok pemikiran teologis tersebut gereja Kristen Protestan di Indonesia diharapkan dapat mempelopori praksis dari tatanan moral yang oleh Hans Kung disebut dengan etika global ditengah situasi krisis yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia. Etika tersebut mencerminkan penghargaan terhadap nilai-nilai seperti kasih, keadilan, kemanusiaan, kedamaian serta kebersamaan. Implementasi dari nilai-nilai tersebut diantaranya adalah menempatkan pancasila dan undang-undang dasar 1945 pada kedudukannya semula sebagai Injil Kristus di Indonesia. Menciptakan lapangan kerja, memberikan akses pendidikan, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat luas, 89 mempelopori dialog atas segala macam perbedaan, menyatakan nilai-nilai kemanusiaan, memberikan penghargaan terhadap kehidupan. Membangun sebuah pola persaudaraan universal dengan menjunjung tinggi nilai-nilai dasar yang bersifat universal di tengah-tengah umat manusia, tanpa menonjolkan dimensi primordial yang dapat memecah-belah dan menghancurkan. Menyadari bahwa setiap manusia memiliki latar belakang yang berbeda, seperti asal-usul, etnis, budaya, agama, tingkat sosial dan ekonomi yang sepantasnya dihargai dan dihormati tanpa harus menimbulkan konflik dan perselisihan sosial di didalamnya. Dengan kata lain dalam situasi krisis global tersebut gereja Kristen Protestan di Indonesia diharapkan dapat menjadi sakramen keselamatan dari sejarah dunia. Melalui tuntunan keempat pokok pemikiran teologis dari narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dalam Injil Yohanes 13: 1-35 inilah gereja Kristen protestan di Indonesia di harapkan dapat memahami ulang identitas dirinya untuk memelihara eksistensinya di tengah bangsa dan negara Indonesia yang sedang berkembang kearah kemajuan. Semua itu dilakukan agar pengharapan Antoncich bahwa dunia mendapatkan makna terakhirnya hanya di dalam gereja tidak menguap sia-sia.153 4.4 Penutup Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan oleh pembaca Injil Yohanes di Indonesia dalam membaca narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dalam Injil Yohanes 13: 1-35 adalah dengan memahaminya dari kaca mata konteks sosio-politik Injil Yohanes. Cara membaca Injil Yohanes dengan model semacam ini adalah melalui memahami persoalan-persoalan teks, melihat latar belakang soio-politik, sosio-budaya, sosio-ekonomi, sosio-agama, dari masyarakat yang menjadi konteks penulisan 153 Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan: Ajaran Sosial Gereja dan Praksis Sosial Iman, (Yogyakarta: Kanisius, 1990) 77. 90 Injil Yohanes. Kemudian menerapkan berbagai kritik yang berkembang pada zaman modern, diantaranya adalah kritik teks, kritik bentuk, kritik sastra, kritik kesejarahan serta kritik kebahasaan. Terakhir adalah memulai interpretasi terhadap teks yang ingin ditafsirkan. Pokok–pokok pemikiran teologis dari narasi pengkhianatan tersebut diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada gereja Kristen Protestan di Indonesia untuk menyelesaikan konflik internal yang ada didalam kelompoknya yaitu dengan kembali kepada esensi dan semangat dasar protestantisme dan menyadari akan persatuan mereka yang terjalin secara mistik dalam iman akan Kristus. Untuk kemudian masuk kedalam persoalan yang lebih besar yaitu memahami ulang imannya di tengah krisis global yang dialami oleh bangsa dan negara Indonesia. Terilhami oleh semangat yang tercermin dalam pokok-pokok pemikiran teologis Injil Yohanes, partisipasi dalam menyelesaikan persoalan tersebut adalah untuk menyatakan identitas dan eksistensi dari gereja protestan, caranya adalah dengan menciptakan nilai moral baru sebagai pengganti nilai-nilai moral yang dihasilkan oleh kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat kecil. Nilai-nilai tersebut mencerminkan pernyataan kasih dan persaudaraan secara universal. Pernyataan tersebut selaras dengan nilainilai yang tercermin dalam pancasila dan undang-undang dasar 1945 yang menjadi azas hidup bagi bangsa dan negara Indonesia. Pemahaman mengenai apa dan bagaimana itu gereja sangat dipengaruhi oleh konteks kehidupan yang menginterpretasikannya. Oleh karena itu bagi kita yang hidup di abad 21, untuk memahami pertanyaan tersebut, kita tidak bisa beriman dengan ragam abad pertengahan serta berilmu dengan karakteristik abad pencerahan. Menurut Gie, kepercayaan yang baik timbul dari pergumulan secara terus menerus antara yakin dan kesangsian, orang yang mengetahui arti ragu-ragu akan memperoleh kepercayaan lebih besar.154 154 Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan, Soe Hok Gie Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009) 490. 91 Ajaran calvin tentang ortopraksi dan bukan hanya ortodoksi, pandangan Gandhi lebih baik satu tangan memberi daripada seribu kepala tertunduk dan berdoa, membawa gereja Kristen Protestan di Indonesia kedalam satu pemahaman yang menyeimbangkan antara halhal yang teoritik dan praktik. Kasih, keadilan, keselamatan, sorga, kebebasan, kebersamaan, kemanusiaan, kehidupan adalah kehendak Allah yang tertanam dalam pokok-pokok pemikiran teologis dari narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dalam Injil Yohanes untuk diwujud-nyatakan oleh gerejanya. Keadaan berbahagia yang dimiliki oleh gereja kristen Protestan di Indonesia hendaknya dipergunakan untuk saling membebaskan dan melakukan kehendak Allah serta pekerjaan Allah yang tercermin dalam narasi tersebut. Seperti yang telah dilakukan oleh penginjil Yohanes dan komunitasnya. Karena menurut Nolan kebebasan radikal adalah kebebasan dari ego kita dan bukan kebebasan ego kita.155 Yesus tidak bermaksud mendirikan gereja, lalu untuk apa bergereja?. Banyak pendapat menyebutkan bahwa orang Kristen bergereja sebagai respon atas karya keselamatan Allah dalam rangka mengisi waktu penantian kedatangan kerajaan Allah, benarkah? Dimana dan apa itu gereja? Bagi Hans Kung “…sesungguhnya gereja yang sejati adalah gereja yang ada dalam persekutuan iman, gereja dari orang-orang percaya dan untuk orang-orang percaya, yang didalamnya terus dipergumulkan untuk apa iman percaya tersebut diakui...”156 155 156 Albert Nolan, Jesus Today: Spiritualitas Kebebasan Radikal (Yogyakarta: Kanisius, 2009) 265. Hans Kung, The Church (London: Burns & Oates, 1968) 98. 92