Pengkhianatan Yudas Iskariot Terhadap Yesus Dalam Injil Yohanes

advertisement
BAB 4
RELEVANSI PEMAHAMAN MAKNA
TENTANG NARASI PENGKHIANATAN YUDAS ISKARIOT
YANG TERDAPAT DALAM INJIL YOHANES 13: 1-35 BAGI GEREJA KRISTEN
PROTESTAN DI INDONESIA
4.1
Pendahuluan
Pada bab ini penulis berupaya untuk mengkaitkan pemahaman makna dari narasi
pengkhianatan Yudas Iskariot yang diperoleh melalui proses penyelidikan terhadap teks Injil
Yohanes 13: 1-35 berdasarkan pendekatan hermeneutik dalam perspektif sosio-politik dengan
kehidupan gereja Kristen protestan di Indonesia. Upaya tersebut bertujuan untuk
mengkomunikasikan serta menarik pembelajaran dari makna narasi pengkhianatan Yudas
Iskariot bagi persoalan yang dihadapi oleh gereja Kristen protestan di Indonesia sebagai
pembaca Injil Yohanes. Ide utama tersebut akan dijabarkan kedalam dua bagian. Bagian
pertama berisi jawaban dari pertanyaan tentang bagaimana gereja Kristen protestan di
Indonesia harus memahami narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dalam Injil Yohanes 13: 135. Bagian kedua berisi jawaban dari pertanyaan tentang apa pembelajaran yang dapat dipetik
dari makna narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dalam Injil Yohanes 13: 1-35 bagi
kehidupan gereja Kristen protestan di Indonesia.
4.2
Memahami Narasi Pengkhianatan Yudas Iskariot dalam Konteks Sosio-Politik
Injil Yohanes
Mengetahui persoalan yang muncul pada pemahaman yang di miliki oleh gereja
Kristen Protestan di Indonesia mengenai narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dalam Injil
Yohanes 13: 1-35. Maka penulis merasa perlu untuk memberikan sumbangan bagaimana
seharusnya gereja Kristen Protestan di Indonesia memaknai teks di atas. Dalam kerangka
tersebut penulis memulai tulisan ini dengan mengemukakan apa persoalan pemahaman yang
72
dimiliki oleh masyarakat Kristen di Indonesia terhadap makna dari narasi pengkhianatan
Yudas Iskariot dalam Injil Yohanes 13: 1-35. Kemudian penulis mencoba menjelaskan apa
pokok permasalahan yang menimbulkan persoalan tersebut. Selanjutnya penulis mencoba
mengemukakan apa kerugian yang di alami oleh pembaca di Indonesia akibat persoalan di
atas. Terakhir adalah bagaimana cara memahami narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dari
sudut pandang konteks sosio-politik Injil Yohanes.
Persoalan yang muncul pada konteks masyarakat Kristen di Indonesia dalam
memahami makna dari narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dalam Injil Yohanes 13: 1-35
adalah mencuatnya kontroversi pendapat dari para ahli Perjanjian Baru tentang narasi
tersebut. Kontroversi di atas hidup dalam pemikiran sebagian orang-orang Kristen di
Indonesia, kemudian mempengaruhi pola pikir mereka dalam melakukan penafsiran terhadap
teks yang memuat narasi pengkhianatan Yudas Iskariot. Dewasa ini kontroversi tersebut
menjadi sebuah persoalan karena pada akhirnya pendapat
yang beredar justru
membingungkan sebagian orang-orang Kristen di Indonesia dalam memahami “makna
terdalam” dari narasi tersebut.
Pada bagian pendahuluan sudah dijelaskan bahwa pada dasarnya kontroversi tersebut
hadir dalam dua bentuk argumentasi bernada positif dan negatif. Pendapat positif ditemukan
dalam tulisan ahli-ahli masa kini seperti Ioanes Rakhmat dan Bart D. Erhman. Dalam
pemahaman kedua ahli tersebut narasi pengkhianatan Yudas Iskariot yang terdapat dalam
Injil Yohanes dimengerti sebagai sebuah bentuk perlawanan kekristenan awal penerus tradisi
Yohanes terhadap situasi zaman yang menjadi konteks penulisan Injilnya.130 Kedua ahli
tersebut sepakat mengatakan bahwa teks Yohanes 13: 1-35 dialamatkan kepada kaum Yahudi
yang dalam sejarahnya pernah melakukan penganiayaan dan menjadikan komunitas Yohanes
terasing. Dalam konteks tersebut, Yudas dipakai sebagai sosok yang mewakili golongan
130
Ioanes Rakhmat, Yudas, Maria Magdalena, dan Makan Keluarga (Banten: Sirao Credentia, 2006)
58. Lihat juga Bart D. Ehrman, The Lost Gospel: Upaya Pencarian Injil Yudas (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2006) 39.
73
Yahudi. Melalui narasi pengkhianatan, penginjil Yohanes ingin menunjukkan bahwa orang
Yahudi berdosa besar karena telah berkonspirasi untuk membunuh Yesus.
Pendapat nagatif tentang narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dapat ditemukan dalam
berbagai hal, pertama adalah teks kotbah yang disajikan oleh para pendeta gereja-gereja
Kristen Protestan di Indonesia. Kedua adalah pada sebagian besar buku tafsir para ahli
Perjanjian Baru tentang Injil Yohanes yang beredar di Indonesia. Dharmaputera misalnya,
dalam kumpulan kotbahnya ia mengatakan bahwa narasi pengkhianatan Yudas Iskariot
merupakan cerminan dari orang yang memperjual-belikan kebenaran, prinsip, agama,
kesetiaan, serta harga diri.131
Barclay, dalam buku tafsirannya mengatakan bahwa narasi pengkhianatan Yudas
Iskariot adalah wujud perlawanan dari seseorang yang telah makan roti bersama Yesus,
dengan jamuan yang baik sebagai tanda persahabatan kemudian berbalik menyerang dengan
menyerahkannya kepada Imam-imam Bait Allah dan prajurit Romawi untuk dihakimi dan
disalibkan.132 Brill juga mengatakan bahwa narasi pengkhianatan Yudas Iskariot adalah
simbol penghinaan, yaitu Yudas sebagai tamu kehormatan yang diberikan kesempatan untuk
mencicipi jamuan pertama dari Yesus yang bertindak sebagai tuan rumah, justru mengangkat
kakinya sebagai bentuk pelecehaan dan berbalik menyerahkannya untuk dihakimi.133Kysar
mengatakan bahwa pengkhianatan Yudas Iskariot mewakili kegagalan manusia dalam
menanggapi kasih ilahi.134
Dalam refleksi penulis akar permasalahan dari persoalan tersebut didorong oleh dua
hal. Pertama adalah sejarah panjang pengajaran yang hidup dalam lingkup kekristenan
Protestan di Indonesia. Sejarah panjang ajaran Kristen Protestan di Indonesia di mulai pada
131
Berbagai Renungan Eka Dharmaputera, 32 (Diunduh dari www.scribd.com tanggal 30 Oktober
2013, 22.30 WIB)
132
William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari : Injil Yohanes Pasal 8-21 (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2010) 219.
133
John Wesley Brill, Tafsiran Injil Yohanes (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2007) 133,134.
134
Kysar, Injil Yohanes sebagai Cerita, 38.
74
masa kolonial Belanda, lebih tepatnya adalah zaman VOC, pada rentang waktu sekitar abad
19 ZB yaitu ketika Joseph Kam dengan semangat Pietisme di utus oleh Lembaga Pekabaran
Injil Belanda ke Indonesia untuk mengambil alih pelayanan kepada orang-orang Kristen
Protestan yang dihasilkan melalui misi badan Pekabaran Injil Eropa.135 Pada masa Kam,
Protestantisme di Indonesia mengemban misi untuk mewujudkan semangat pencerahan yaitu
dengan menyatakan keberpihakan pada kepentingan rakyat Indonesia dan membebaskan
gereja dari campur tangan pemerintah kolonial.
Dalam pelaksanaanya, misi tersebut di usahakan oleh dua wadah kekristenan
Protestan di Indonesia yaitu adalah gereja protestan di Indonesia serta Lembaga Pekabaran
Injil. Namun pada kenyataannya kedua wadah tersebut melenceng dari misinya semula.
Kedua badan kekristenan tersebut dipakai sebagai alat pemerintah kolonial untuk
memantapkan trias politika yaitu adalah Gold, Glory dan Gospel. Atas dasar monopoli
kekuasaan inilah kemudian gereja protestan di Indonesia di ikat dan diperalat oleh negara,
mereka tidak memiliki tata gereja dan pengakuan iman, tidak menyatakan keberpihakan
kepada orang-orang Indonesia yang berada didalamnya, tidak mewujudkan tanggung
jawabnya terhadap orang-orang yang berada diluar komunitas mereka.
Situasi tersebut membuat gereja protestan tidak menyatakan fungsinya di Indonesia.
Pada masa tersebut alasan orang-orang Indonesia untuk masuk Kristen diantaranya adalah
karena perhitungan politis, alasan psikologis, daya tarik pekabar injil serta penilaian terhadap
ajarannya.136 Pada masa ini dalam pengajarannya para pekabar Injil yang bekerja untuk
gereja protestan di Indonesia mempergunakan naskah-naskah Alkitab dalam bahasa asing.
Baru pada abad terkemudian tersedia Alkitab bahasa melayu. Keadaan tersebut berlanjut
sampai pada masa gereja mandiri. Masa ini di tandai dengan pemulangan para tenaga Eropa
ke negaranya yang di mulai pada tahun 1942. Masa ini mengawali pertumbuhan gereja
135
Van Den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja Di Indonesia 1500-1860 (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2007) 144.
136
Van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860, 211.
75
Protestan secara besar-besaran di Indonesia. Bagi gereja-gereja yang baru tumbuh tersebut
pokok perhatian utama mereka adalah pekabaran Injil dalam arti mencari pengikut sebanyakbanyaknya. Tata ibadah, pengakuan iman, kerohanian dan teologi mereka di warisi dari
Zending. Baru pada abad 20 gereja-gereja tersebut merumuskan ajarannya sendiri. 137
Terhadap situasi tersebut Van den End mengatakan bahwa dalam konteks Indonesia
kita harus menyadari bahwa Injil kita terima bukan dalam keadaan telanjang, melainkan
dalam dua pakaian yaitu pakaian kebudayaan barat dan pakaian denominasi, maka secara
tidak langsung pandangan ini membawa kita dalam pemikiran kritis mengenai konsep teologi
Kristen dalam masyarakat Indonesia.138 Namun jika dirasakan betul, dampak yang muncul
justru sebaliknya. Keadaan tersebut membentuk pola pikir orang-orang Kristen di Indonesia
untuk terbiasa menjadi penonton serta penikmat kolonialisme dan kekuasaan.
Situasi tersebut menurut argumentasi Pramoedya Ananta Toer yang dicatat oleh
Numahara, justru menjadikan masyarakat Indonesia termasuk orang-orang Kristen di
Indonesia buta akan identitasnya sebagai bangsa.139 Kompleksitas sejarah kekristenan
Protestan di Indonesia yang sarat dengan balutan kolonialisme tersebut memembentuk
budaya berpikir orang-orang Kristen untuk terbiasa menerima segala ajaran yang diberikan
dari orang yang memiliki strata sosial tinggi sebagai sebuah kebenaran tanpa harus
mempertanyakannya, hal ini menghilangkan cara berpikir kritis pada diri mereka. Pola pikir
tersebut mempengaruhi pola berteologi dan cara pandang terhadap ritual serta simbol
keagamaan termasuk Alkitab dan cara dalam menafsirkannya. Oleh karena itu kontroversi
yang seharusnya menjadi sebuah keindahan dan kesempurnaan, dalam konteks masyarakat
Indonesia justru mendatangkan persoalan.
137
Van den End, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860an sampai Sekarang (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2007) 357.
138
Van den End, Ragi Carita 2., 361.
139
Daniel Nuhamara, Hand Out Pemikiran Sosial di Indonesia (Salatiga: UKSW, 2011) 8.
76
Disamping komplesitas sejarah pengajaran Kristen, akar permasalahan kedua yang
menimbulkan persoalan terhadap kontroversi pendapat seputar narasi pengkhinatan Yudas
Iskariot adalah riwayat penafsiran terhadap teks-teks Alkitab termasuk narasi pengkhianatan
Yudas dalam Injil Yohanes 13:1-35. Menurut Hunter riwayat penafsiran dapat di bagi
kedalam tiga bentangan sejarah, pertama adalah zaman apostolik sampai abad pertengahan.
Pada zaman ini Alkitab dianggap sebagai sebuah teks yang suci. Penafsiran dilakukan secara
alegoris dengan mengkorelasikan dan meyakini arti rohani dari teks-teks Alkitab.
Penanafsiran teks-teks Alkitab terbelenggu pada tradisi gereja.140
Kedua adalah zaman pencerahan sampai reformasi, pada masa ini Alkitab masih
dianggap sebagai sebuah pewahyuan verbal. Namun penafsiran yang dilakukan mulai lepas
dari belenggu tradisi gereja. Penafsiran yang dilakukan mulai memanfaatkan Ilmu
Pengetahuan, tata bahasa asli dan kamus. Penafsiran dilakukan untuk mencari arti yang jelas
dan mudah untuk dimengerti. Pada bentang waktu ini mulai muncul pemikiran yang
membedakan antara kata-kata Alkitab dan Firman Allah. Pada masa reformasi figur penafsir
sangat berpengaruh terhadap tindakan penafsrian. Oleh karena itu sejak menghilangnya para
reformator seperti Calvin dan Luther, penafsiran seperti ini tidak dapat bertahan, dan kembali
pada model yang lama. Ketiga adalah zaman modern, Grant menyebut masa ini dengan
leberalisme.141Pada masa ini muncul aliran kritik Alkitab, dengan kemunculan berbagai
macam kritik modern maka ahli-ahli mulai menafsirakan Alkitab dari berbagai konteks.
Namun pada masa ini juga muncul orang-orang yang masih bersikukuh dengan pemahaman
lama, dengan setia pada tradisi yang mengatakan bahwa Allah telah membentuk Alkitab bagi
gerejanya.142
140
A.M Hunter, Menafsirkan Perumpamaan-Perumpaan Yesus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001)
141
Robert M. Grant & David Tracy, Sejarah Singkat Penafsiran Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
24.
2000) 140.
142
Hunter, Menafsirkan Perumpamaan-Perumpamaan Yesus, 26.
77
Riwayat
penafsiran tersebut
memunculkan
dua paradigma
berpikir dalam
menginterpretasi teks-teks Alkitab yaitu paradigma lama dan paradigma modern. Paradigma
lama mencoba setia pada tradisi gereja, menempatkan Alkitab sebagai dokumen yang
diwahyukan secara verbal, cenderung menghindari pendekatan kritis terhadap teks-teks
Alkitab. Paradigma modern mencoba keluar dari kungkungan tradisi gereja dan mulai
memahami teks-teks Alkitab secara kritis. Dalam perjalananya dua paradigma tersebut
berkembang di kalangan para ahli Perjanjian Baru dan orang-orang Kristen di Indonesia. Dua
Paradigma inilah yang kemudian mempengaruhi penafsiran terhadap berbagai macam narasinarasi yang terdapat dalam Alkitab. Termasuk narasi teks Yohanes 13: 1-35 yang didalamnya
memuat kisah pengkhianatan Yudas Iskariot.
Pihak
yang setia dengan
paradigma lama
cenderung menafsirkan narasi
pengkhianatan Yudas Iskariot dalam Injil Yohanes 13: 1-35 sebagai sebuah wujud
ketidaksetiaan seorang murid terhadap gurunya. Pihak yang berpegang pada paradigma
modern cenderung menafsirkan narasi tersebut sebagai sebuah bentuk perlawanan
kekristenan awal terhadap konteks penganiayaan dan penjajahan yang dialaminya. Dua
macam interpretasi yang lahir dari dua pemahaman berbeda inilah yang kemudian
berkembang dan menarik perhatian sebagian besar pembaca Injil Yohanes di Indonesia
sehingga kemudian berkambang menjadi sebuah kontroversi.
Kontroversi tersebut pada kenyataannya mendatangkan kerugian bagi pembaca Injil
Yohanes di Indonesia. Karena pada dasarnya dua pemahaman tersebut sama-sama
mengarahkan pola pikir pembaca kedalam sudut pandang yang sempit tentang narasi
pengkhianatan Yudas Iskariot yang terdapat dalam Injil Yohanes 13: 1-35. Sedangkan
“makna terdalam” dari narasi pengkhianatan Yudas Iskariot tersebut ternyata tidak sama
seperti yang dipikirkan dan diungkapkan oleh kebanyakan buku tafsir dan ahli-ahli Perjanjian
Baru diatas.
78
Ditengah kontroversi pendapat seputar narasi pengkhianatan Yudas Iskariot yang
terdapat dalam Injil Yohanes tersebut, penulis melalui penyelidikan terhadap narasi
pengkhianatan Yudas Iskariot yang terdapat dalam Injil Yohanes 13: 1-35 berdasarkan
pendekatan hermeneutik sosio-politik menemukan beberapa makna teologis di antaranya
pertama, narasi pengkhianatan Yudas Iskariot merupakan pernyataan bahwa Yesus adalah
Dia yang menggenapi Perjanjian Lama. Kedua, narasi pengkhianatan Yudas Iskariot
merupakan pengakuan bahwa Yesus merupakan Roh yang dikaruniakan melalui penyaliban
politik. Ketiga, narasi pengkhianatan Yudas Iskariot merupakan pernyataan bahwa Yesus
mati sebagai martir pertama. Keempat, narasi pengkhianatan Yudas Iskariot merupakan
pernyataan bahwa Yesus adalah anak manusia yang mewariskan pola hukum baru bagi Umat
Allah yang baru.
Dalam rangka menghindari kebingungan dan kerugian, maka penulis menyarankan
akan lebih baik jika pembaca Indonesia memahami narasi pengkhianatan Yudas Iskariot
dalam konteks sosio-politik Injil Yohanes. Karena sudut pandang tersebut akan membuka
paradigma berpikir orang-orang Kristen di Indonesia menjadi jauh lebih luas, sehingga
mereka dapat membaca Injil Yohanes secara utuh sesuai dengan apa yang dinarasikan oleh
penginjil. Melalui sudut pandang tersebut pembaca juga dapat menemukan informasiinformasi baru yang belum dipaparkan oleh kebanyakan pihak. Cara membaca Perjanjian
Baru dalam bentuk tersebut adalah dengan, memahami persoalan-persoalan teks, melihat latar
belakang sosio-politik, sosio-budaya, sosio-ekonomi, sosio-keagamaan dari masyarakat yang
menjadi konteks penulisan Injil Yohanes. Kemudian menerapkan berbagai kritik yang
berkembang pada zaman modern, diantaranya adalah kritik teks, kritik bentuk, kritik sastra,
kritik kesejarahan serta kritik kebahasaan. Terakhir adalah memulai interpretasi terhadap teks
yang ingin ditafsirkan.
79
4.3
Memperjuangkan Identitas dan Eksistensi Kekristenan dalam Gereja Kristen
Protestan di Indonesia di Tengah Kemajemukan Denominasi serta Krisis Global
kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Mengetahui pergumulan yang dialami oleh gereja Kristen Protestan di Indonesia
maka dengan bercermin pada komunitas Yohanes, penulis memulai tulisan ini dengan
mengemukakan persoalan yang dihadapi oleh gereja Kristen Protestan di Indonesia dewasa
ini. Kemudian berdasarkan pada pokok-pokok pemikiran teologis yang di temukan dalam
penyelidikan terhadap narasi pengkhianatan Yudas dalam Injil Yohanes, penulis
mengungkapkan bagaimana gereja Kristen Protestan di Indonesia harus menuntaskan
persoalannya dan memahami ulang identitasnya demi menjaga eksistensinya di tengah krisis
global yang dihadapi oleh Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam refleksi penulis berdasarkan makna dari narasi pengkhianatan Yudas Iskariot
dalam Injil Yohanes 13: 1-35 gereja Protestan di Indonesia pada dasarnya menghadapi dua
persoalan dalam lingkup internal dan eksternal. Dalam lingkup internal gereja Protestan di
Indonesia menghadapi persoalan kemajemukan denominasi serta kemajemukan ajaran
kekristenan. Aritonang dalam tulisannya mencatat bahwa berdasarkan buku data statistik
keagamaan Kristen Protestan tahun 1993 yang diterbitakan oleh Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Kristen Protestan Departemen Agama Republik Indonesia,
setidaknya terdapat 275 organisasi gereja Kristen protestan di Indonesia. Berdasarkan aliran
yang di anutnya organisasi-organisasi gereja tersebut dapat di kelompokkan kedalam dua
golongan yaitu adalah golongan arus utama dan golongan diluar arus utama. Organisasiorganisasi gereja yang termasuk dalam kategori arus utama adalah gereja-gereja yang
beraliran Lutheran, Calvinis, Anabaptis, Baptis. Sedangkan organisasi gereja yang termasuk
80
dalam kategori di luar arus utama adalah gereja-gereja yang beraliran Methodis, Kharismatik,
Pentakostal, Evangelikal, Saksi Yehova serta Bala Keselamatan.143
Setiap denominasi gereja tersebut memiliki pokok-pokok ajaran dan praktiknya
masing-masing sesuai dengan aliran yang dianutnya. Pokok-pokok ajaran serta praktik dalam
gereja tersebut menurut Aritonang diantaranya adalah pemahaman tentang Allah, Alkitab,
hakikat gereja, tata ibadah yang didalamnya mencakup kotbah dan sakramen baik perjamuan
maupun baptis.144 Pokok-pokok ajaran tersebut tentunya berbeda antara satu aliran dengan
aliran yang lain, perbedaan tersebut pada akhirnya menimbulkan keberagaman ajaran.
Keberagaman tersebut di sebabkan oleh perbedaan cara pandang dan pemaknaan masingmasing aliran terhadap kekristenan.
Pertama adalah perbedaan pemahaman mengenai Allah. Menurut Aritonang, dalam
pengakuan imannya gereja arus utama yang beraliran Lutheran dan Calvinis menyebut Allah
dengan Allah atau Bapa, dua organisasi tersebut mengimani bahwa Allah adalah sumber
keselamatan, Ia adalah sosok yang berdaulat dimana-mana. Ia tercermin dalam wujud Bapa,
Putra dan Roh Kudus. Organisasi gereja diluar arus utama tetap mengimani hal yang sama,
namun yang membedakan adalah sebutan untuk Allah, ada yang menyebut Allah dengan
YHWH, kemudian ada pula yang menyebut Allah dengan JEHOVA. Kedua, perbedan
pemahaman tentang Alkitab, menurut Aritonang, organisasi gereja arus utama yang beraliran
Lutheran dan Calvinis meyakini bahwa Alkitab merupakan salah satu sumber pengetahuan
tentang Allah, dan pengetahuan itu hanya dapat ditemukan dalam Yesus Kristus. Sedangkan
gereja diluar arus utama menyatakan bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang sejati.145
143
Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2007) 11.
144
145
Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, 15.
Aritonang, Bebagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, 52.
81
Ketiga, perbedaan pemahaman tentang hakikat gereja, menurut Aritonang, organisasi
gereja arus utama meyakini bahwa gereja adalah persekutuan orang-orang yang telah di
selamatkan berkat kasih karunia Allah di dalam Yesus Kristus, yang telah dibenarkan kendati
tetap merupakan manusia berdosa, yang kesemuanya disambut dan diterima manusia melalui
iman. Gereja diluar arus utama memahami gereja dalam banyak hal, ada yang memahami
gereja sebagai institusi sosial, ada pula yang memahami gereja sebagai tubuh Kristus.146
Keempat adalah perbedaan tata ibadah, baik dalam kotbah, kebaktian maupun
sakramen perjamuan serta baptis. Bagi gereja arus utama, kotbah merupakan bagian yang
sentral dalam ibadah dan untuk penyampainnya sering menggunakan model ekspositori.
Sedangkan dalam gereja diluar arus utama kotbah hanya dipandang sebagai salah satu unsur
dalam ibadah saja, penyampaiannya cenderung menggunakan model topikal ataupun naratif.
Dalam hal kebaktian gereja arus utama melakukannya pada hari minggu menggunakan model
liturgis. Sedangkan dalam lingkungan gereja di luar arus utama, ibadah dilaksanakan bukan
hanya pada hari minggu. Liturgi ibadah yang dipakai juga sudah di modifikasi. 147
Begitu juga dengan sakramen perjamuan, gereja arus utama melakukan sakramen
perjamuan dalam kurun waktu tertentu dengan anggur dan roti yang di potong-potong dalam
ukuran kecil, namun dewasa ini ada pula gereja arus utama yang mewacanakan mengganti
roti dan anggur dengan bentuk makanan dan minuman lain yang dinilai “halal”. Dalam
sakramen tersebut muncul aturan bahwa bagi jemaat yang melanggar ketetapan gereja tidak
diperbolehkan untuk berpartisipasi. Sedangkan dalam gereja-gereja diluar arus utama ada
banyak cara untuk melakukan perjamuan, ada yang melakukan perjamuan secara periodik,
ada pula yang melakukan perjamuan pada setiap kali kesempatan peribadatan. Media yang di
pergunakan dalam perjamuan tidak terbatas pada roti dan anggur. Perbedaan juga di temukan
dalam sakramen baptis, dalam tata cara pembaptisan ada gereja yang membaptis dengan di
146
147
Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, 52.
Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, 52.
82
mandikan dan ada pula yang membaptis dengan dipercik air. Dalam formulasi kata baptisan
ada yang membaptis dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus, kemudian ada pula yang
membaptis dalam nama Yesus.148
Pada dasarnya kompleksitas berbagai aliran kekristenan yang berada di Indonesia di
sebabkan oleh ketidakpuasan dari masing-masing kelompok yang berkepentingan dalam
melihat realita kehidupan bergereja di Indonesia. Kenyataan keberagaman tersebut sering
menimbulkan konflik superioritas antara gereja-gereja diatas, yang dimaksud dengan konflik
superioritas adalah munculnya beberapa gereja yang mengklaim bahwa ajarannya yang
paling benar diantara ajaran gereja-geraja lain. Konflik tersebut terutama terjadi antara
gereja-gereja yang berada dalam arus utama dengan gereja-gereja yang berada diluar arus
utama. Wujud dari konflik tersebut dapat kita lihat dalam berbagai bentuk salah satunya
adalah kasus klasik yang terjadi di Papua antara jemaat GKI Jayapura yang menutup gereja
Pantekosta di Indonesia pada beberapa tahun lalu.149
Disamping konflik, dampak lain yang ditimbulkan dari adanya berbagai macam
pengajaran kekristenan tersebut adalah degradasi makna dari berbagai macam ritus-ritus
kekristenan, mulai dari sakramen, tata peribadatan, dan pengajaran. Dewasa ini kehidupan
ritus-ritus dalam gereja dilakukan hanya untuk tujuan formalitas, dalam kondisi tersebut nilainilai kekristenan seperti kasih, damai sejahtera dan keadilan mulai luntur. Akibatnya fungsi
moral dari kekristenan mulai tidak berjalan, sehingga nilai-nilai mulia tentang moralitas
dalam kekristenan tidak dapat berperan. Dampak dari lunturnya moralitas tersebut adalah
banyak jemaat-jemaat gereja yang mulai mundur dan menganggap dirinya sebagai nonpartisipan karena mereka menilai bahwa gereja dengan berbagai macam ritusnya sudah tidak
lagi menjangkau pemenuhan kebutuhan diri yang mereka perlukan. Selain itu akibat lain
yang ditimbulkan dari lunturnya nilai tersebut adalah adanya orang Kristen yang tidak
148
149
Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, 426.
Koran Elektronik Tempo, www.tempo.co diakses tanggal 17 Nopember 2013, 20.30 WIB.
83
berperilaku Kristiani. Tidak berlebihan jika menyebut fenomena tersebut dengan hilangnya
peradaban Kristen dari sejarah kehidupan orang-orang Kristen di Indonesia.
Dalam menghadapi dampak dari persoalan yang ditimbulkan akibat kenyataan
keberagaman pemikiran tersebut gereja Kristen Protestan di Indonesia dapat bercermin dari
jemaat Kristen pembaca Injil Yohanes yang merupakan bagian dari komunitas Kristen mulamula yang pada konteksnya juga berhadapan dengan situasi yang sama. Berdasarkan
pengalaman komunitas Yohanes yang termuat dalam teks Injil Yohanes 13: 1-35, salah satu
cara yang dapat dipergunakan dalam menanggulangi persolan di atas adalah dengan
mengembalikan segala sesuatu sesuai dengan hakikat dan fungsinya semula.
Upaya tersebut dapat di lihat dalam keempat pokok pemikiran teologis yang
ditemukan melalui penyelidikan terhadap teks Yohanes 13: 1-35 pada bagian sebelumnya.
Melalui pernyataan bahwa Yesus adalah Dia yang menggenapi Perjanjian Lama (Yoh 13:
19), penginjil Yohanes meletakkan titik tolak dari iman Kristen pada pengakuan bahwa
Kristus adalah Tuhan Allah Penyelamat. Melalui ide tentang pernyataan iman dan pribadi
yang menghamba penginjil Yohanes berusaha menjaga hakikat dari nilai-nilai kekristenan
yang dianut dengan mendasarkan praktik kehidupannya pada tradisi yang di mulai oleh Yesus
dan komunitasnya. Hal ini dilakukan untuk mengatasi perdebatan tentang tata cara
peribadatan dan pengajaran serta mengembalikan makna dari ritus-ritus penting dalam
kehidupan komunitas pada fungsi awal yaitu sebagai simbol sukacita eskatologis yang
berlaku secara universal kepada setiap umat manusia. Melalui pengakuan bahwa Yesus
adalah Roh yang dikaruniakan melalui penyaliban politik (Yoh 13: 21) penginjil Yohanes
menekankan kepada komunitasnya akan pentingnya pernyataan eksistensi keselamatan yang
diusahakan melalui kasih persaudaraan tanpa syarat dan berlaku secara universal. Serta
menekankan penerapan model dialog dan penerimaan terhadap keberagaman yang ada di
dalam maupun di luar kelompoknya.
84
Melalui pernyataan bahwa Yesus mati sebagai martir pertama (Yoh 13: 21) penginjil
Yohanes menularkan semangat pembebasan kepada jemaat Kristen yang menjadi tujuan
Injilnya untuk memiliki keteguhan dalam memelihara eksistensi kepercayaannya, yaitu
dengan menekankan pentingnya menjaga tingkah laku sebagai anak Allah. Dengan
mempelopori sikap yang meneladani Kristus, mencerminkan nilai-nilai kerendahan hati,
pengorbanan serta dedikasi dalam melayani sesamanya tanpa memandang strata sosial.
Berjuang untuk menciptakan masyarakat yang egaliter, berperikemanusiaan, yang oleh
karenanya konsep tentang surga diwujudkan di dunia yang menjadi tempat tinggal manusia.
Melalui pernyataan bahwa Yesus adalah anak manusia yang mewariskan pola hukum baru
bagi umat Allah yang Baru (Yoh 13: 21) penginjil Yohanes menekankan pentingnya
kehidupan komunal yang diikat oleh kasih yang memberi dan semangat persaudaraan karena
persamaan kepercayaan kepada Kristus untuk mewujudkan nilai-nilai keselamatan didunia.
Berdasarkan pokok pemikiran teologis pertama, maka dalam menghadapi persolaan
yang terjadi di dalam lingkup komunitasnya, gereja Kristen Protestan di Indonesia di
harapkan dapat mengakhiri perdebatan dan persoalan yang timbul di dalam kelompoknya.
Kemudian berpijak kepada hakikat dan fungsinya semula sebagai gereja Protestan dengan
melaksanakan esensi dan semangat dari Protestantisme untuk kembali kepada perjanjian yaitu
Kristus dan menyatakan praksis iman mereka kepada orang banyak. Berdasarkan pokok
pemikiran teologis ke dua maka dalam menghadapi persoalan dalam lingkup komunitasnya
gereja Kristen Protestan di Indonesia di harapkan dapat menghargai aspek-aspek keselamatan
yang di perjuangkan oleh masing-masing denominasi dengan menerapkan dialog dan
penerimaan terhadap setiap ajaran yang ada dalam gereja-gereja tersebut tanpa harus
menimbulkan konflik yang tidak penting.
Berdasarkan pokok pemikiran teologis ke tiga maka dalam menghadapi persoalan
kemajemukan, gereja Kristen Protestan di Indonesia di harapkan dapat menjadi pelopor
85
penerapan semangat pembebasan dengan meneladani sikap dan pemikiran yang dimiliki
Yesus ketika ia melayani orang-orang Yahudi yang menjadi pusat misinya pada waktu ia
hidup, serta menerapkan tindakan pelayanannya seperti yang di jelaskan oleh penginjil
Yohanes dalam pokok pemikiran teologis ketiga diatas. Berdasarkan pokok pemikiran
teologis ke empat maka dalam meghadapi persoalan didalam lingkup komunitasnya, gereja
Kristen Protestan di Indonesia di harapkan memiliki kesadaran bahwa pada dasarnya semua
dinominasi tersebut secara mistik dipersatukan dalam Iman akan Kristus untuk kemudian
masuk kedalam ranah misi yang lebih besar yaitu adalah bangsa dan negara Indonesia.
Kesadaran misi yang terkandung dalam ide tentang pernyataan iman dan kasih yang
memberi, pada pokok pemikiran teologis pertama dan keempat tersebut membawa gereja
Kristen Protestan di Indonesia untuk bersentuhan dengan persoalan eksternal yang di
hadapinya sebagai panggilan iman di tengah masyarakat Indonesia. Persolan tersebut adalah
krisis global yang dialami oleh bangsa dan negara Indonesia. Krisis tersebut hadir dalam
berbagai bentuk dan aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam bidang ekonomi,
krisis tersebut menjadi dampak bagi munculnya kebijakan ekonomi yang semakin mengarah
pada sistem neo-liberalisme. Sistem tersebut menimbulkan kesenjangan ekonomi, kemiskinan
yang masif, banyak orang-orang yang tidak bisa menikmati hasil dari pembangunan, banyak
orang yang tidak bisa makan, tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, muncul berbagai
macam praktik pasar bebas, perdagangan ilegal, perdagangan manusia serta obat-obatan
terlarang.
Dalam bidang politik, krisis tersebut mendorong munculnya kebijakan politik yang
mengakibatkan kelompok kecil semakin tertindas dan terpinggirkan sehingga sisi
kemanusiaan mereka terabaikan, kebijakan tersebut memunculkan maraknya penyalahgunaan kekuasaan seperti praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang menyengsarakan
rakyat. Dalam bidang pendidikan, krisis tersebut mendorong penerapan sistem yang
86
mengarah pada model kapitalisme pendidikan, hal ini menimbulkan sulitnya akses terhadap
pendidikan murah dan berkualitas bagi masyarakat miskin, sehingga mereka semakin
terpinggirkan. Dalam bidang sosial, krisis tersebut mendorong munculnya kebijakan sosial
yang menimbulkan stratifikasi dan menebalnya benteng-benteng pembatas yang bersifat
primordial seperti status ekonomi, pendidikan, kesukuan dan agama. Dalam bidang
kebudayaan, krisis tersebut medorong munculnya kebijakan yang menghilangkan
penghargaan pada pluralitas yang menjadi kenyataan hidup bangsa Indonesia, khususnya
dalam hal kepercayaan.
Berbeda dengan kekristenan mula-mula di Efesus yang keberadaannya tidak diakui
secara hukum. Di Indonesia keberadaan kekristenan diakui secara hukum, kelangsungan
hidup beragama secara tertulis dijamin dalam pancasila dan undang-undang dasar 1945 pasal
28e, ayat 1-2. Hal ini menunjukkan bahwa gereja Kristen Protestan menggenggam suatu
keadaan yang oleh kelompok Yohanes disebut dengan “berbahagia” yaitu keadaan di mana
seseorang memiliki kehendak bebas atas dirinya untuk mengaktualisasikan diri. Hal ini
seharusnya menjadi momentum bagi gereja Kristen Protestan di Indonesia untuk
berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan negara Indonesia, baik sosial,
budaya, ekonomi, maupun politik. Partisipasi tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan
mengenai sikap gereja dalam menghadapi situasi yang timbul dalam berbagai aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah krisis global yang sedang di hadapi oleh
bangsa Indonesia seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Partisipasi tersebut sekaligus menjadi bukti dari rumusan hakikat gereja yang di
cetuskan oleh PGI pada konferensi Mei 1950 yang menyatakan bahwa gereja Protestan di
Indonesia adalah bagian dari suatu persekutuan universal gereja yang esa, kudus, am dan
87
rasuli. Sadar dengan lingkungan hidupnya yaitu di Indonesia yang berazaskan Pancasila.
Sadar akan tanggung jawab terhadap masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia.150
Selain menjadi bukti, partisipasi tersebut juga dapat diartikan sebagai jalan salib untuk
mengimplementasikan perjuangan para teolog protestan sepeti Dietrich Bonhoeffer yang
diungkapkan oleh Setyawan. Bonhoeffer memandang gereja sebagai persekutuan antarpribadi serta sebagai persekutuan yang dibangun oleh kasih Agape. Gereja adalah wujud
relasi aku-engkau, di dalamnya mencerminkan hubungan yang bukan lagi bersifat menuntut
tetapi memberi.151 Serta Yvis Conger yang mengatakan bahwa gereja memiliki dua aspek
yang tidak dapat dipisahkan, yaitu: persahabatan antara manusia dengan Allah dan antar
sesama manusia dalam Kristus. Perkataan ini dapat dimengerti bahwa gereja dalam dunia
memiliki dua aspek kehidupan yaitu gereja sebagai persekutuan dan institusi keselamatan,
realitas yang terdalam dari gereja adalah persahabatan antar-pribadi.152
Bercermin dari komunitas Yohanes, dalam situasi krisis global inilah iman yang di
miliki oleh orang-orang yang membentuk gereja Kristen Protestan di Indonesia harus
dipahami ulang. Berdasarkan semangat yang termuat dalam pokok teologis pertama yang
mengungkapkan bahwa Yesus adalah Dia yang menggenapi Perjanjian Lama maka dalam
menghadapi krisis global tersebut gereja Protestan di Indonesia diharapkan dapat menyatakan
imannya sebagai komunitas yang menghamba dalam menjaga hakikat dari nilai-nilai yang
mendasari munculnya kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang dicetuskan oleh
para pendiri bangsa dalam pancasila dan undang-undang dasar 1945. Berdasarkan pokok
pemikiran teologis kedua yang mengungkapkan pengakuan bahwa Yesus adalah Roh yang
dikaruniakan melalui penyaliban politik maka gereja Kristen protestan di Indonesia
diharapkan dapat menjadi pengajar, pemberi arah, dan penuntun kehidupan bersama. Dengan
150
Gerakan Oikumene: Tegar Mekar di Bumi Pancasila: Buku Peringatan 40 Tahun PGI (Jakarta:
Yayasan Oikumene, 1990) 23, 24
151
Yusak B. Setyawan, Hand-oust Eklesiologi (Salatiga: F.Teologi UKSW, 2011) 27.
152
Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi, 27
88
mencurahkan perhatian kepada suatu masyarakat yang ditebus di mana ciri-cirinya tampak
ideal bagi orang-orang yang berada diluar kekristenan yaitu dengan menyatakan kasih kepada
sesama secara universal untuk mewujudkan “kerajaan sorga” di dunia serta mempelopori
dialog atas segala kesenjangan yang muncul dalam krisis global kehidupan berbangsa.
Berdasarkan semangat yang tercermin dalam pokok pemikiran teologis ketiga yang
mengungkapkan pernyataan bahwa Yesus mati sebagai martir pertama maka dalam
menghadapi krisis global tersebut gereja Kristen Protestan di Indonesia diharapkan dapat
mempelopori dan meneladankan sebuah kebebasan, kemerdekaaan yang mengakar dari
segala macam bentuk penjajahan yang dialami oleh bangsa Indonesia. Berdasarkan semangat
yang tercermin dalam pokok teologis keempat yang mengungkapkan bahwa Yesus adalah
anak manusia yang mewariskan pola hukum baru bagi umat Allah yang baru maka gereja
Kristen Protestan di Indonesia diharapkan dapat menyatakan semangat memberi yaitu dengan
menyatakan praksis dari pola hukum baru yang berlaku dalam konteks Indonesia. Hukum
tersebut adalah pancasila dan undang-undang dasar 1945 sebagai Injil Kristus bagi bangsa
dan negara Indonesia. Penerapan pola hukum tersebut bukan untuk melawan kebijakan,
namun menciptakan tatanan moral dalam masyarakat yang menggantikan pola moral yang
didasarkan atas perencanaan kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat kecil.
Melalui keempat pokok pemikiran teologis tersebut gereja Kristen Protestan di
Indonesia diharapkan dapat mempelopori praksis dari tatanan moral yang oleh Hans Kung
disebut dengan etika global ditengah situasi krisis yang dihadapi bangsa dan negara
Indonesia. Etika tersebut mencerminkan penghargaan terhadap nilai-nilai seperti kasih,
keadilan, kemanusiaan, kedamaian serta kebersamaan. Implementasi dari nilai-nilai tersebut
diantaranya adalah menempatkan pancasila dan undang-undang dasar 1945 pada
kedudukannya semula sebagai Injil Kristus di Indonesia. Menciptakan lapangan kerja,
memberikan akses pendidikan, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat luas,
89
mempelopori dialog atas segala macam perbedaan, menyatakan nilai-nilai kemanusiaan,
memberikan penghargaan terhadap kehidupan.
Membangun sebuah pola persaudaraan universal dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
dasar yang bersifat universal di tengah-tengah umat manusia, tanpa menonjolkan dimensi
primordial yang dapat memecah-belah dan menghancurkan. Menyadari bahwa setiap manusia
memiliki latar belakang yang berbeda, seperti asal-usul, etnis, budaya, agama, tingkat sosial
dan ekonomi yang sepantasnya dihargai dan dihormati tanpa harus menimbulkan konflik dan
perselisihan sosial di didalamnya.
Dengan kata lain dalam situasi krisis global tersebut gereja Kristen Protestan di
Indonesia diharapkan dapat menjadi sakramen keselamatan dari sejarah dunia. Melalui
tuntunan keempat pokok pemikiran teologis dari narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dalam
Injil Yohanes 13: 1-35 inilah gereja Kristen protestan di Indonesia di harapkan dapat
memahami ulang identitas dirinya untuk memelihara eksistensinya di tengah bangsa dan
negara Indonesia yang sedang berkembang kearah kemajuan. Semua itu dilakukan agar
pengharapan Antoncich bahwa dunia mendapatkan makna terakhirnya hanya di dalam gereja
tidak menguap sia-sia.153
4.4
Penutup
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa langkah pertama yang harus
dilakukan oleh pembaca Injil Yohanes di Indonesia dalam membaca narasi pengkhianatan
Yudas Iskariot dalam Injil Yohanes 13: 1-35 adalah dengan memahaminya dari kaca mata
konteks sosio-politik Injil Yohanes. Cara membaca Injil Yohanes dengan model semacam ini
adalah melalui memahami persoalan-persoalan teks, melihat latar belakang soio-politik,
sosio-budaya, sosio-ekonomi, sosio-agama, dari masyarakat yang menjadi konteks penulisan
153
Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan: Ajaran Sosial Gereja dan Praksis Sosial Iman,
(Yogyakarta: Kanisius, 1990) 77.
90
Injil Yohanes. Kemudian menerapkan berbagai kritik yang berkembang pada zaman modern,
diantaranya adalah kritik teks, kritik bentuk, kritik sastra, kritik kesejarahan serta kritik
kebahasaan. Terakhir adalah memulai interpretasi terhadap teks yang ingin ditafsirkan.
Pokok–pokok pemikiran teologis dari narasi pengkhianatan tersebut diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran kepada gereja Kristen Protestan di Indonesia untuk
menyelesaikan konflik internal yang ada didalam kelompoknya yaitu dengan kembali kepada
esensi dan semangat dasar protestantisme dan menyadari akan persatuan mereka yang terjalin
secara mistik dalam iman akan Kristus. Untuk kemudian masuk kedalam persoalan yang
lebih besar yaitu memahami ulang imannya di tengah krisis global yang dialami oleh bangsa
dan negara Indonesia. Terilhami oleh semangat yang tercermin dalam pokok-pokok
pemikiran teologis Injil Yohanes, partisipasi dalam menyelesaikan persoalan tersebut adalah
untuk menyatakan identitas dan eksistensi dari gereja protestan, caranya adalah dengan
menciptakan nilai moral baru sebagai pengganti nilai-nilai moral yang dihasilkan oleh
kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat kecil. Nilai-nilai tersebut mencerminkan
pernyataan kasih dan persaudaraan secara universal. Pernyataan tersebut selaras dengan nilainilai yang tercermin dalam pancasila dan undang-undang dasar 1945 yang menjadi azas
hidup bagi bangsa dan negara Indonesia.
Pemahaman mengenai apa dan bagaimana itu gereja sangat dipengaruhi oleh konteks
kehidupan yang menginterpretasikannya. Oleh karena itu bagi kita yang hidup di abad 21,
untuk memahami pertanyaan tersebut, kita tidak bisa beriman dengan ragam abad
pertengahan serta berilmu dengan karakteristik abad pencerahan. Menurut Gie, kepercayaan
yang baik timbul dari pergumulan secara terus menerus antara yakin dan kesangsian, orang
yang mengetahui arti ragu-ragu akan memperoleh kepercayaan lebih besar.154
154
Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan, Soe Hok Gie Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta
di Alam Bangsanya (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009) 490.
91
Ajaran calvin tentang ortopraksi dan bukan hanya ortodoksi, pandangan Gandhi lebih
baik satu tangan memberi daripada seribu kepala tertunduk dan berdoa, membawa gereja
Kristen Protestan di Indonesia kedalam satu pemahaman yang menyeimbangkan antara halhal yang teoritik dan praktik. Kasih, keadilan, keselamatan, sorga, kebebasan, kebersamaan,
kemanusiaan, kehidupan adalah kehendak Allah yang tertanam dalam pokok-pokok
pemikiran teologis dari narasi pengkhianatan Yudas Iskariot dalam Injil Yohanes untuk
diwujud-nyatakan oleh gerejanya. Keadaan berbahagia yang dimiliki oleh gereja kristen
Protestan di Indonesia hendaknya dipergunakan untuk saling membebaskan dan melakukan
kehendak Allah serta pekerjaan Allah yang tercermin dalam narasi tersebut. Seperti yang
telah dilakukan oleh penginjil Yohanes dan komunitasnya. Karena menurut Nolan kebebasan
radikal adalah kebebasan dari ego kita dan bukan kebebasan ego kita.155
Yesus tidak bermaksud mendirikan gereja, lalu untuk apa bergereja?. Banyak
pendapat menyebutkan bahwa orang Kristen bergereja sebagai respon atas karya keselamatan
Allah dalam rangka mengisi waktu penantian kedatangan kerajaan Allah, benarkah? Dimana
dan apa itu gereja? Bagi Hans Kung “…sesungguhnya gereja yang sejati adalah gereja yang
ada dalam persekutuan iman, gereja dari orang-orang percaya dan untuk orang-orang
percaya, yang didalamnya terus dipergumulkan untuk apa iman percaya tersebut diakui...”156
155
156
Albert Nolan, Jesus Today: Spiritualitas Kebebasan Radikal (Yogyakarta: Kanisius, 2009) 265.
Hans Kung, The Church (London: Burns & Oates, 1968) 98.
92
Download