Islam, Perdagangan dan Politik Sepanjang Samudera Hindia Pameran foto dari British Library bekerjasama dengan British Academy, ASEASUK, BIAA, ICAIOS dan Bayt Al-Qur’an & Museum Istiqlal Islam, Perdagangan dan Politik Se Melalui perdagangan, agama dan politik Asia Tenggara telah lama terhubung dengan negeri-negeri lain yang berada di Samudera Hindia, dan hubungan dengan Timur Tengah secara khusus terjalin melalui agama Islam. Namun perhatian terhadap hubungan antara negeri-negeri Islam di Asia Tenggara – mencakup dewasa ini Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura dan wilayah Thailand Selatan dan Filipina Selatan – dengan kekuataan Timur Tengah terbesar, yaitu Kerajaan Usmani, saat ini masih kurang. Samudera Hindia, dari atlas maritim Italia abad ke-16. British Library, Harley 3450, no.6 2 Islam, Perdagangan dan Politik sepanjang Samudera Hindia merupakan proyek penelitian yang mengkaji segala bentuk interaksi antara kedua wilayah ini, mulai dari hubungan politik, agama, sastra dan niaga, hingga hubungan saling pengaruh dalam budaya material. Berkas-berkas yang belum lama ini ditemukan dalam arsip di Istanbul telah memberikan pemahaman baru atas keterkaitan antara negeri-negeri di Kerajaan Usmani dan Republik Turki masa awal dengan bangsabangsa Muslim di Asia Tenggara, dari abad ke-16 hingga abad ke-20. k Sepanjang Samudera Hindia Perairan Samudera Hindia Negeri-negeri Usmani dikenal di Asia Tenggara sebagai Rum, yaitu nama yang dipakai bangsa Arab untuk menyebut kekaisaran Romawi dan penerusnya di timur yang bernama Bizantium. Rum memainkan peranan penting dalam imajinasi Asia Tenggara, dan raja Rum menduduki posisi yang penting dalam kesusastraan Melayu, Aceh dan Jawa. Meskipun raja Rum mendapatkan penghormatan sedemikian rupa, para pendongeng Nusantara umumnya lebih mengunggulkan raja mereka sendiri. Diceritakan dalam Hikayat Aceh, sultan Rum jatuh sakit, dan para tabibnya mengatakan bahwa satusatunya obat adalah kamper dan minyak dari Aceh. Alkisah, para utusan Turki dikirim ke Sumatera untuk mendapatkan obat ini, dan ketika kembali ke Istanbul mereka membawa kisah-kisah kemegahan istana Sultan Perkasa Alam (Iskandar Muda) di Aceh sehingga Sultan Rum bersabda, ‘Ada jua dijadikan Allah ta‘ala dua orang raja yang amat besar dalam alam dunia ini. Maka yang daripada pihak maghrib kitalah raja yang besar dan daripada pihak masyrik itu Seri Sultan Perkasa Alam raja yang besar’. Di Kerajaan Usmani, bayangan eksotik serupa terus dikekalkan di samping pengetahuan ilmiah yang konkret. Pada abad ke-18, para seniman Usmani menghiasi teks-teks abad pertengahan dengan gambar peri bersayap yang dikatakan tinggal di Zabaj, nama yang digunakan dalam teks Arab masa awal untuk Nusantara. Pada abad ke-16 bangsa Portugis dan Kerajaan Usmani terlibat persaingan sengit di Samudera Hindia demi mendapatkan kendali atas perdagangan rempahrempah. Sejak lama sudah ada anggapan bahwa kedua belah pihak menggunakan kapal-kapal yang Stempel Sultan Alauddin Riayat Syah dari Aceh (bertakhta 1589 – 1604). Pengaruh Usmani tampak pada motif simpul serta penggunaan baik ukiran ‘timbul’ maupun ukiran ‘tembus’ pada stempel yang sama, yang menghasilkan huruf berwarna hitam dengan latar belakang putih di tengahnya, dan kebalikannya di bagian tepi. Bodleian Library, MS Douce Or.e.4 (detail) sangat berbeda: bangsa Portugis menggunakan kapal layar berlambung tinggi dan Kerajaan Usmani lebih menyukai kapal dayung, yaitu kapal perang bersenjata ringan dan digerakkan dengan dayung. Namun penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa kedua armada sebenarnya memiliki lebih banyak ragam, karena Usmani pada awalnya juga mencoba kapal layar gaya Eropa, sementara bangsa Portugis pada akhirnya beralih menggunakan kapal dayung yang berukuran lebih kecil, tetapi lebih fleksibel. Arsip Usmani menegaskan bahwa selama pemerintahan Sultan Süleyman I and Selim II, meriam, ahli meriam, dan juru tembakdikirim ke Aceh. Semua orang Aceh mengetahui kisah meriam Turki yang disebut Lada Secupak. Asal usulnya, menurut cerita, Sultan Iskandar Muda mengirimkan duta dari Aceh ke Istanbul untuk membeli senjata sambil membawa bingkisan berupa lada dan rempah-rempah. Ketika utusan itu mendapat kesempatan menghadap sultan, setelah perjalanan yang panjang dan berat, yang tersisa dari barang bawaan mereka yang berlimpah hanyalah satu cupak lada. Sultan Usmani dengan besar hati menerima bingkisan ini dan menghadiahi utusan itu dengan sebuah meriam besar. Meriam yang dikenal sebagai Lada Secupak itu direbut oleh Belanda pada tahun 1874, dan kini disimpan di sebuah museum militer di Belanda. Penelitian atas motif-motif pada sejumlah meriam yang ditemukan di Aceh memberikan bukti adanya pengaruh Usmani pada hiasan tertentu, dan membuka kemungkinan bahwa sebagian meriam dibuat oleh ahli meriam Usmani di Gujarat. Jaringan pengetahuan dan kesenian Dari abad ke-16 hingga awal abad ke-20, kedua kota suci Islam, Mekkah dan Medinah, berada di bawah kendali Usmani. Ibadah haji yang berlangsung setiap tahun memperkuat hubungan Usmani dengan Asia Tenggara. Banyak Muslim dari kepulauan Melayu tinggal lama di Mekkah. Mereka dikenal sebagai masyarakat Jawi yang belajar dan menulis dalam bahasa Melayu dan Arab. Masyarakat Jawi terkadang meminta penulisan teksteks baru. Salah satu kitab berbahasa Arab yang ditulis di Mekkah pada abad ke-17 adalah Ithaf al-dhaki bi-sharh al-tuhfah al-mursalah ila al-Nabi s.a.w., ‘Sebuah persembahan kepada jiwa yang cerdas: penjelasan atas “Kitab yang dipersembahkan kepada Nabi s.a.w.”’. Karya itu ditulis oleh ulama Kurdi Ibrahim al-Kurani atas permintaan seorang ulama Aceh, ‘Abd al-Ra’uf bin ‘Ali. Dari 31 naskah yang diketahui, sembilan di antaranya disimpan di Istanbul, yang membuktikan bahwa karya yang ditulis oleh seorang ulama di Arabia untuk pembaca di Nusantara menjadi sangat populer di kalangan kaum agamawan Turki Usmani. Ulama Mekkah abad ke-17 Muhammad ibn ‘Alan juga menulis beberapa karya atas permintaan Sultan Banten, termasuk di antaranya al-Mawahib al-Rabbaniyya, ‘Bingkisan Ilahi’, adaptasi dari Nasihat al-Muluk, salah satu ‘cermin raja-raja’ yang terbilang populer, dianggap sebagai karya al-Ghazali. Ada bukti yang menunjukkan bahwa beberapa karya sastra nasihat berbahasa Melayu yang seringkali dianggap berasal dari Persia mungkin sebenarnya telah dibawa ke Nusantara dalam bahasa Arab melalui wilayah Usmani. 4 Kaligrafi gaya tulisan timbal-balik pada lemari di Mesjid Sultan, Pulau Penyengat, Riau. Foto Ali Akbar Batik dari Jambi dengan pola tughra Usmani dan pedang Zhu al-faqar, abad ke-19. Koleksi Rudolf Smend Guci Vietnam besar, kemungkinan dibuat di tungku Chu Dau, Muara Sungai Merah, 1440-1460. Guci ini konon ditemukan di Yaman. British Museum 2009,3014.3 Pengaruh seni tidak hanya mengalir dari barat ke timur. Pada awal abad ke-19, para juru tulis Usmani mendapati bahwa untuk menulis teks panjang seperti Qur’an, ujung pena yang paling bagus berasal dari Asia Tenggara, dan mereka menyebutnya Cava kalemliri, ‘pena Jawa’. Keramik Vietnam pernah ditemukan di kawasan dan situs arkeologi Usmani, dan senjata Melayu disimpan di sebuah museum di Istanbul. Pengaruh budaya Usmani tampak pula pada naskahnaskah dan karya seni Nusantara. Umat Islam yang kembali dari perjalanan haji membawa cinderamata berupa Qur’an dan buku-buku doa yang kadangkala mempengaruhi karya seni tempatan. Usmani telah menyempurnakan sistem tata letak teks mushaf Qur’an dengan membaginya ke dalam tiga puluh juz’ yang masing-masing terdiri dari 20 halaman, dan setiap halaman diakhiri dengan suatu ayat lengkap. Tata letak yang teratur ini membantu orang yang belajar menghafal Qur’an. Naskah Qur’an dari Terengganu, Kelantan dan Patani selalu mengikuti model ini, seperti halnya beberapa mushaf dari Jawa, dan Qur’an Standar Indonesia dewasa ini. Motif-motif hiasan Usmani yang ditemui di Asia Tenggara mencakup tughra atau monogram kerajaan Usmani, dan gaya kaligrafi berbentuk binatang dan müsenna, yaitu tulisan timbal-balik. Pedang bermata dua milik Nabi Muhammad s.a.w. bernama Zhu alfaqar, yang sering muncul pada bendera perang Usmani dan panji peziarah, juga ditemukan pada bendera dari Aceh, Siak, Riau dan bahkan Sulu di Filipina Selatan. Meriam yang dikenal dengan sebutan Lada Secupak. Museum Bronbeek, No.27. Foto Fiona Kerlogue 5 Aceh: ujung timur jagat Usmani Pada abad ke-16, Aceh menjalin hubungan langsung dengan Kerajaan Usmani. Ketika Belanda mulai secara agresif memperluas kekuatannya di Sumatera, Aceh sekali lagi meminta bantuan kepada Kerajaan Usmani. Pada tahun 1849 Sultan Mansur Syah dari Aceh (bertakhta 1838 – 1870) mengirimkan utusan ke Sultan Abdülmecid dengan membawa surat yang menegaskan kembali status Aceh sebagai negeri di bawah kedaulatan Usmani, dan meminta bantuan menghadapi Belanda. Setelah satu tahun tanpa berita, pada tahun 1850 Sultan Mansur Syah mengirimkan sepucuk surat lagi kepada Sultan Abdülmecid, kali ini dalam bahasa Arab. Arsip Usmani menunjukkan bahwa permintaan Aceh mendapat pertimbangan serius di majelis istana, tetapi kekhawatiran atas reaksi Belanda berbuntut keputusan untuk hanya mengirimkan utusan ke Aceh guna menelisik pengakuan kerajaan Aceh sebagai negeri bawahan Usmani. Makhluk bersayap yang tinggal di pepohonan di Zabaj, kemungkinan mengacu ke Sumatera atau Jawa, dari ‘Aja’ib al-makhluqat karya Qazvini, teks Persia dengan lukisan Usmani, 1654/5. British Library, Or.13935, f.76r 6 Surat berbahasa Arab yang dikirimkan Sultan Mansur Syah dari Aceh kepada Sultan Usmani Abdülmecid, 1850. BOA I.HR 73/3511 Ketakutan terbesar Aceh menjadi kenyataan pada tahun 1873, ketika kekuatan Belanda menyerang Aceh. Meskipun pada awalnya Belanda dipukul mundur, pada tahun berikutnya mereka kembali dan berhasil merebut istana Aceh. Selama beberapa dasawarsa berikutnya pertempuran sengit berlanjut, dan bangsa Aceh mengirimkan permohonan kembali kepada konsulat Usmani di Batavia. Kedatangan kapal perang Usmani Ertuğrul di Singapura pada tahun 1889 dalam perjalanan ke Jepang membangkitkan harapan bangsa Aceh, tetapi pada saat rombongan Aceh tiba di Singapura, kapal itu telah melanjutkan pelayaran. Perang panjang melawan Belanda di Aceh baru mulai mereda setelah 1903 dengan menyerahnya penerus Sultan Mansur Syah, yaitu Sultan Muhammad Daud Syah. KANAN Peta Nusantara yang dipersembahkan utusan Aceh ke Istanbul, 1849, yang mencerminkan upaya meningkatkan status Aceh serta menekankan besarnya ancaman Belanda. BOA I.HR 73/3511 7 Petisi berbahasa Tausug yang ditujukan kepada duta besar Usmani di Washington, meminta guru Islam, ditandatangani oleh Haji Nuño dan 57 pemuka Muslim lain di Zamboanga, April 1912. Rajah pada petisi itu dimaksudkan sebagai jimat untuk menjamin tersampainya surat dengan selamat. BOA İ.MBH 12/1331/C-011 Meskipun pemerintah Usmani tidak mengabulkan permintaan para sultan Nusantara seperti Aceh untuk diakui sebagai bawahan Usmani, ia memelihara hubungan yang erat dengan kawasan itu dan membangun konsulat di Jakarta (Batavia), Rangoon, Manila dan Singapura. Perselisihan atas status hukum warga Usmani di sana berbuntut negosiasi panjang dengan pemerintah kolonial Eropa. Yang menimbulkan masalah adalah kedudukan orang Hadrami yang berasal dari Yaman Selatan, yang mengaku berkebangsaan Usmani, meskipun pada kenyataannya Kerajaan Usmani tidak pernah menguasai Hadramaut. Banyak orang Arab Hadrami memiliki gelar sayyid, yang mencerminkan bahwa mereka adalah keturunan Rasulullah s.a.w., dan dengan itu mereka sangat dihormati di seluruh penjuru dunia Islam. Para sayyid Hadrami tampaknya telah memainkan peran yang penting dalam menyampaikan pesan-pesan Asia Tenggara ke istana Usmani melalui ikatan keluarga dengan para sayyid yang tinggal di semenanjung Arabia dan Istanbul. Di antara yang paling menonjol adalah Sayyid Abdul Rahman al-Zahir, utusan Aceh ke Istanbul sebelum serangan Belanda 1873. 8 Pada tahun 1898, Amerika memenangi kendali atas Filipina, dan seperti halnya bangsa Spanyol, mereka menghadapi perlawanan bersenjata di kawasan selatan yang mayoritas Muslim. Seorang pejabat Amerika, John Park Finley, yakin bahwa cara terbaik untuk mengakhiri kekerasan di Mindanao dan Sulu adalah dengan mentransformasi Islam di kawasan tersebut. Dia bergabung dengan Haji Abdulgani Nuño, seorang pemuka Muslim pembaharu SamalBalangingi yang telah membangun sebuah masjid di Taluksangay dekat Zamboanga. Pada tahun 1912 Haji Nuño dan para pemuka lokal lainnya membuat petisi yang ditujukan kepada penguasa Usmani untuk meminta guru. Petisi ini diantarkan langsung ke Istanbul oleh Finley. Hasilnya adalah penugasan Sayyid Wajih pada tahun 1913 dari kantor Shaykh al-Islam di Istanbul sebagai guru bagi Muslim di Filipina. Sayyid Wajih tiba di Mindanao pada bulan Januari 1914 dengan sambutan hangat dari kaum Muslim setempat. Namun, baru satu bulan dia di sana para pejabat Amerika yang resah memaksa Wajih pergi, dan dia meninggal di Amerika Serikat pada tahun 1916 saat mencoba menggalang dukungan untuk usahanya. Asal-usul Pan-Islamisme Usmani di Asia Tenggara? Selama pemerintahan Sultan Abdülhamid II (1871 – 1909), Kerajaan Usmani merumuskan kebijakan Pan-Islamisme, yang memposisikan Sultan Usmani sebagai khalifah dan pemimpin dunia Islam, serta menggalakkan solidaritas Muslim. Selama ini, sebagian besar penelitian atas fenomena ini terfokus pada perkembangan politik internal Usmani. Sekarang, tampaknya salah satu pencetus kebijakan itu ialah permintaan dari bangsa-bangsa Asia Tenggara agar Kerajaan Usmani melakukan intervensi terhadap kehadiran dan ekspansi penjajah Eropa di Nusantara. KANAN Surat berbahasa Arab dari Sultan Ahmad Tajuddin Halim Syah dari Kedah kepada Sultan Usmani, meminta bantuan menghadapi bangsa Siam yang menyerang Kedah, 1824. BOA HAT 785/36657 Temuan baru dari arsip di Istanbul menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-19 permintaan perlindungan dari para raja Melayu kepada Kerajaan Usmani menggunakan semua unsur retorika yang kemudian dipakai dalam kebijakan Pan-Islamisme Usmani. Dalam surat-surat dari Kedah (1824), Aceh (1849, 1850), Riau (1857) dan Jambi (1858), sultan Usmani disebut sebagai sultan al-Islam wa-l-muslimin, ra’is al-ghuzat wa-l-mujahidin (pemimpin dari mereka yang melancarkan perang suci), mu’ayyid shari‘at sayyid al-kawnayn (penjunjung syariah), dan khadim al-haramayn al-sharifayn (pengabdi dua tempat suci, Mekkah dan Medinah). Hal ini memunculkan pertanyaan, apakah permohonan ini memiliki dampak terhadap terbentuknya kebijakan Pan-Islamisme. BAWAH Bendera-bendera Aceh, dan bendera Usmani yang digunakan Sultan Aceh (kiri atas). Sketsa Belanda, akhir abad ke-19. Museum voor Volkenkunde Leiden, 193-19a 9 Turki modern dan Asia Tenggara Dengan berkembangnya pers berbahasa lokal, pada awal abad ke-20 profil Turki menjulang di Nusantara. Di Turki, minat keilmuan atas Asia Tenggara dibangkitkan oleh para sejarawan nasionalis yang menulis tentang hubungan Turki dengan Aceh pada abad ke-16. Bangkitnya kaum Turki Muda mengilhami perdebatan intelektual di kalangan pemikir dan pemimpin Indonesia seperti Soekarno dan Mohammad Natsir. Tetapi yang paling mendapat sorotan adalah reformisme Mustafa Kemal Ataturk. Majalah-majalah modernis menyanjung Turki atas kemajuan perempuan dan masyarakat, dan Soekarno menegaskah bahwa ‘Kemalisme’ dimaksudkan untuk mengembalikan Islam kepada kedudukan aslinya sebagai ‘api’ setelah menjadi ‘abu’ yang telah ditinggalkan kekhalifahan Usmani. Sementara itu, para Islamis menyebut Kemalisme sebagai ‘agama setan.’ Mustafa Kemal digambarkan sebagai ‘Macan Islam’, dengan petikan ‘Seperti macan yang siap menerkam, kartun ini menggambarkan Mustafa Kemal Attaturk siap menerjang demi mempertahankan setiap jengkal kemerdekaan bangsanya’. Maisir Thaib, Sedjarah perdjoeangan Kemal Attatürk (Fort de Kock [Bukittinggi], 1940), hal. 83. KITLV M hh 5422 N Aceh, beberapa lembaga dari Turki tampak menonjol dalam upaya rehabilitasi. Dewasa ini, baik di Ankara maupun Jakarta para politisi menunjukkan wawasan serupa ketika mereka mencoba menyeimbangkan pragmatisme politik, konservatisme sosial, dan manifestasi Islam kultural dalam upaya-upaya mereka menghadapi persoalan etnis, pluralisme keagamaan serta tekanan eksternal dari globalisasi. Sejak tahun 2000 beberapa kalangan di Turki semakin banyak menjalin hubungan baru di Asia Tenggara, khususnya dalam lingkup intelektual, kemanusiaan dan pendidikan. Setelah tsunami tahun 2004 di KIRI Surat bahasa Arab dari para ulama Nusantara di Mekkah kepada Hasib Pasha, gubernur Usmani di Hijaz, yang berisi ucapan terima kasih kepada Hasib Pasha dan Sultan Usmani karena telah membantu ibadah haji, 1849/50. BOA İ.DH 211/12286 10 KANAN Mushaf Qur’an di Masjid Sultan di Pulau Penyengat, Riau, ditulis oleh seorang juru tulis dari Lingga bernama Abdurrahman Stambul, yang pergi ke Mesir untuk belajar kaligrafi Usmani. Foto Ali Akbar Dua paspor yang diberikan oleh para konsul Usmani di Singapura pada tahun 1902 dan Batavia pada tahun 1911 kepada Abdul Rahman bin Abdul Majid, seorang saudagar yang lahir di Konstantinopel dan tinggal di Mekkah dan Batavia. BOA HR.SYS 563/1 and BOA HR.SYS 562/2 Islam, Perdagangan dan Politik sepanjang Samudera Hindia (Islam, Trade and Politics across the Indian Ocean) adalah proyek penelitian yang didanai oleh British Academy selama tahun 2009 – 2012, dan dikelola oleh British Institute at Ankara (BIAA) dan Association of South-East Asian Studies in the UK (ASEASUK), bekerjasama dengan International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS). Pameran dan catatan ini diselenggarakan berdasarkan penelitian oleh Ali Akbar, Azyumardi Azra, Vladimir Braginsky, Giancarlo Casale, William Clarence-Smith, Oman Fathurahman, Chiara Formichi, Annabel Teh Gallop, İsmail Hakkı Göksoy, Michael Hitchcock, İsmail Hakkı Kadı, Jeyamalar Kathirithamby-Wells, Fiona Kerlogue, Carool Kersten, Midori Kawashima, Mohd. Zahamri Nizar, Andrew Peacock dan Anthony Reid. Gambar-gambar yang digunakan dalam pameran ini direproduksi dengan izin dari lembaga yang disebutkan. Kami mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Başbakanlık Osmanlı Arşivi (BOA), Prime Ministry Ottoman Archives, Istanbul, dan fotografer Burak Bulut Yıldırım. www.ottomansoutheastasia.org Editor teks Annabel Teh Gallop Penerjemah Wawan Eko Yulianto Desain oleh Hannah Yates – www.hanbag-design.co.uk Diterbitkan di Jakarta oleh Bayt Al-Qur’an & Museum Istiqlal, 2014 Sampul depan: Stempel al-Sayyid al-Syarif al-Safi ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad al-Habasyi al-‘Alawi, dari surat tertanggal 3 Desember 1865 mengabarkan penunjukannya sebagai konsul Turki di Singapura. Arsip Nasional Republik Indonesia, Riouw 119 Sampul belakang: Hikayat Si Miskin, yang menceritakan kisah Raja Rum. Cetakan batu (litograf) di Singapura, 1857. British Library, 14625.e.3 11 ASEASUK ASSOCIATION OF SOUTHEAST ASIAN STUDIES IN THE UNITED KINGDOM