BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan
Pada bagian ini dijelaskan tentang, (a) hakikat naskah drama, (b) analisis
struktural pada drama, (c) kajian strukturalisme genetik, (d) hakikat nilai
pendidikan, (e) relevansi naskah drama Langite Wis Padhang karya Budi Waluyo
dalam pembelajaran apresiasi drama dan penelitian yang relevan adalah sebagai
berikut:
1. Hakikat Naskah Drama
Pada hakikat naskah drama akan dijelaskan tentang pengertian drama dan
pengertian naskah drama sebagai berikut:
a. Pengertian Drama
Menurut Pratiwi dan Siswiyanti (2014: 14) drama merupakan cerita yang
dikembangkan dengan berlandaskan pada konflik kehidupan manusia dan
dituangkan dalam bentuk dialog untuk dipentaskan dihadapan penonton. Drama
dapat disikapi dalam dua bentuk, yaitu dalam bentuk karya sastra (text play) dan
drama teater (pementasan). Naskah drama (text play) dapat diapresiasi melalui
kegiatan-kegiatan membaca naskah drama. Sebaliknya, drama dalam bentuk
teater dapat diapresiasi melaui kegiatan menonton atau menyaksikan drama.
Selanjutnya Waluyo (2002: 2) berpendapat drama berasal dari bahasa Yunani
draomai, yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi. Terdapat istilah
yang sangat terkait dengan drama, yaitu teater. Teater juga berasal dari bahasa
Yunani theatron, yang berarti tempat atau gedung pertunjukan. Kata “teater”
mempunyai makna yang lebih luas karena dapat berarti drama, gedung
pertunjukan, panggung, grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk
tontonan yang dipentaskan di depan orang banyak. Istilah drama yang lain, yaitu
sandiwara. Kata “sandiwara” berasal dari bahasa Jawa “sandi” yang berarti
rahasia dan “warah” yang berarti ajaran. Sandiwara berarti ajaran yang
disampaikan secara rahasia karena dalam sandiwara mengandung pesan atau
ajaran bagi penontonnya. Jika menyebut istilah drama, maka terdapat dua
7
8
kemungkinan, yaitu drama naskah dan drama pentas. Namun, dalam penelitian
ini drama naskahlah yang menjadi objek kajian, drama naskah merupakan dasar
dari drama pentas, naskah drama dapat dijadikan bahan studi sastra, dapat
dipentaskan, dan dapat dipagelarkan dalam media audio, berupa sandiwara radio
atau kaset. Drama naskah merupakan salah satu genre sastra yang disejajarkan
dengan puisi dan prosa, drama naskah dapat diberi batasan sebagai salah satu
jenis karya sastra yang ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik
batin dan mempunyai kemungkinan dipentaskan.
Senada dengan Wiyanto (2002: 2) bahwa kata teater berasal dari bahasa
Inggris theatre yang berarti gedung pertunjukan. Dalam perkembangannya,
dalam pengertian lebih luas kata teater diartikan sebagai segala hal yang
dipertunjukkan di depan orang banyak. Hubungan kata teater dan drama
bersandingan sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yang
mempergunakan drama lebih identik sebagai teks atau naskah atau lakon atau
karya sastra. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah teater
berkaitan langsung dengan pertunjukan, sedangkan drama berkaitan dengan
lakon atau naskah cerita yang akan dipentaskan. Jadi, teater adalah visualisasi
dari drama atau drama yang dipentaskan di atas panggung dan disaksikan oleh
penonton. Drama adalah ragam sastra dalam bentuk dialog yang dimaksudkan
untuk dipertunjukkan di atas pentas dengan naskah cerita pendek atau novel
berisi cerita lengkap dan langsung tentang peristiwa yang terjadi. Sebaliknya,
naskah drama tidak mengisahkan cerita secara langsung. Penuturan ceritanya
diganti dengan dialog para tokoh. Bahasa yang digunakan dalam drama juga
lebih cair daripada prosa dan puisi karena bahasa yang digunakan adalah bahasa
sehari-hari. Jadi, dapat diketahui bahwa naskah drama mengutamakan ucapanucapan atau pembicaraan para tokoh sehingga dari pembicaraan tersebut
penonton dapat menangkap dan mengerti seluruh ceritanya. Drama bisa
diwujudkan dengan berbagai media: di atas panggung, film, dan atau televisi,
drama sering dikombinasikan dengan musik dan tarian. Drama adalah hidup
yang dilukiskan dengan sampai sekarang, paling tidak untuk orang Yunani,
masih dianggap sebagai seni campuran karena drama yang bersifat sastra juga
9
terdiri atas tontonan yang harus memanfaatkan keahlian aktor, sutradara,
penanggung jawab kostum, dan ahli listrik (Wellek dan Warren, 1995: 30). Jadi,
drama merupakan suatu bentuk sastra yang dapat merangsang gairah dan
memunculkan keasyikan bagi pemain dan penonton bertujuan menggambarkan
kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan dan
dialog.
Drama yang dikenal masyarakat memiliki variasi dalam jalan ceritanya.
Seperti yang dikemukakan Suroto (1989: 76 – 78), sebagai pertunjukan drama
dibedakan menjadi drama tradisional dan drama modern. Drama tradisional
merupakan drama yang hidup dalam kehidupan masyarakat. Drama tersebut juga
memiliki unsur-unsur pembangun cerita seperti drama-drama yang lain. Drama
modern berbeda dengan drama tradisional. Jika drama tradisional berkembang
secara alamiah dan berkaitan dengan adat, maka drama modern merupakan
drama yang sengaja dibuat oleh pengarang dan sutradara, membedakan drama
jika dilihat dari penyajiannya, yaitu: (1) drama biasa; (2) opera; (3) operet; (4)
pantomim; dan (5) sendratari. Selain itu, ia juga membedakan drama
berdasarkan isi dan sifatnya, yakni: (1) drama absurd; (2) drama ajaran; (3)
drama duka; (4) drama dukaria; (5) drama lirik; (6) drama liturgi; (7) drama ria;
(8) drama puisi; serta (9) drama sejarah.
b. Pengertian Naskah Drama
Menurut Waluyo (2002: 2) menambahkan bahwa naskah drama adalah
salah satu genre karya sastra yang sejajar dengan prosa dan puisi. Berbeda
dengan prosa maupun puisi, naskah drama memiliki bentuk sendiri yaitu ditulis
dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai
kemungkinan dipentaskan. Berdasarkan pengertian diatas naskah drama dapat
diartikan suatu karangan atau cerita. Dan berupa tindakan atau perbuatan yang
masih berbentuk teks atau tulisan yang belum diterbitkan (pentaskan) dan akan
diteliti dalam penelitian ini adalah naskah drama. Naskah drama (lakon) pada
umumnya disebut skenario, berupa susunan (komposisi) dari adegan-adegan
dalam penuangan sebagai karya tulis, biasanya memiliki keterbatasan sesuai
dengan fitrahnya. Hal ini senada dengan Kosasih (2003: 268) drama yang
10
disebut juga sandiwara. Kata tersebut berasal dari bahasa Jawa, sandi yang
berarti tersembunyi, dan warah yang berarti ajaran. Dengan demikian, sandiwara
adalah ajaran yang tersembunyi dalam tingkah laku dan percakapan. Naskah
drama pada umumnya disebut skenario, berupa susunan atau komposisi dari
adegan-adegan dalam penuangan sebagai karya tulis, biasanya memiliki
keterbatasan sesuai dengan fitrahnya.
Wirajaya dan Sudarmawarti (2008: 42–43), hal-hal yang harus
diperhatikan dalam menulis naskah drama, yakni: (a) tema harus sesuai dengan
tujuan pementasan; (b) konflik disusun dengan tajam menggunakan dialog yang
mantap; (c) watak yang diciptakan harus memungkinkan terjadinya pertentangan
antartokoh; (d) bahasa yang digunakan mudah dipahami dan komunikatif; serta
(e) layak untuk dipentaskan. Wujud naskah drama yang berupa dialog-dialog,
menuntut penggunaan ragam bahasa yang sesuai dengan konteks drama yang
diangkat. Ada beberapa naskah drama yang menggunakan ragam bahasa seharihari, tetapi ada pula yang berbentuk puisi-puisi. Wujud naskah drama yang
berupa dialog-dialog, menuntut penggunaan ragam bahasa yang sesuai dengan
konteks drama yang diangkat. Ada beberapa naskah drama yang menggunakan
ragam bahasa sehari-hari, tetapi ada pula yang berbentuk puisi-puisi. Namun,
ragam bahasa yang digunakan tetap harus mengacu pada konvensi sastra.
Seperti yang diungkapkan oleh Endraswara (2011: 13-14) muatan positif
yang terdapat dalam drama, yaitu (a) drama agaknya merupakan sarana yang
paling efektif dan langsung untuk melukiskan dan menggarap konflik-konflik
sosial, dilema moral, dan problema personal tanpa menanggung konsekuensikonsekuensi khusus dari aksi-aksi kita, (b) aktor-aktor drama memaksa kita
untuk memusatkan perhatian kita pada protagonis lakon, untuk merasakan
emosi-emosinya, dan untuk menghayati konflik-konfliknya, justru untuk ikut
sama-sama merasakan penderitaan
yang mengurangi pembinaan dan
ketidakadilan yang dialami pelaku-pelaku atau tokoh-tokoh drama, (c) melalui
tragedi, misalnya, dengan sedikit terluka di hati, dapat belajar bagaimana hidup
dengan penuh derita, dapat mengajarkan dan memberikan wawasan suatu
ketabahan dan dengan kemuliaan dapat menandinginya, (d) melalui komedi, kita
11
dapat menikmati peluapan gelak tawa sebagai suatu pembukaan tabir rahasia
mengenai untuk apa manusia menentang atau melawan dan untuk apa pula
manusia mempertahankan atau membela sesuatu, (e) melodrama yang ditulis
dengan baik, fantasi, atau farce, dapat mengusir keengganan (skepticism),
memperluas imajinasi kita, dan untuk sebentar membawa diri keluar dari diri
kita sendiri, sehingga tak mengherankan jika drama telah pula dikenal berfungsi
terapis, (f) para psikiatris telah dikenal tahu menggunakan psikodrama sebagai
suatu sarana yang efektif yang dapat membuat pasien dapat mengingat kembali
pengalaman masa lalunya, (g) sosiodrama telah pula dikenal dapat menampilkan
suatu fungsi yang sama bagi kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat,
misalnya sebagai sarana yang membuat warga masyarakat itu menyimpulkan
identitas fiksional yang sedang mengalami konflik yang tanpa serupa terjadi
dalam keluarga dan kehidupan kelompok.
2. Struktur Naskah Drama
Karya sastra merupakan sebuah struktur. Berstruktur yang dimaksud yaitu
tersusun dari unsur-unsur yang bersistem, yang di antara unsur-unsurnya
memiliki hubungan timbal balik dan saling menentukan. Pendapat dari Pradopo
(1993: 118). Ada beberapa ciri struktur karya sastra. Pertama, struktur
merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu unsur-unsur pembentuknya tidak dapat
berdiri sendiri-sendiri di luar struktur. Kedua, struktur berisi gagasan
transformasi yang bersifat dinamis. Ketiga, struktur tersebut mengatur diri
sendiri, dalam arti struktur tersebut tidak membutuhkan bantuan dari luar dirinya
untuk mensahkan prosedur transformasinya. Setiap unsur dalam struktur karya
sastra memiliki fungsi masing-masing.
Pendekatan didefinisikan sebagai cara menghampiri suatu objek.
Siswantoro (2010: 47) menyebutkan bahwa pendekatan adalah alat untuk
menangkap fenomena sebelum dilakukan kegiatan analisis atas sebuah karya,
sedangkan cara mengumpulkan dan menganalisis data disebut dengan metode.
Namun, secara lebih luas, pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami
hakikat ilmu tertentu. Jika dihubungkan dengan penelitian karya sastra di
12
Indonesia, dengan adanya pendekatan, peneliti diharuskan memiliki bekal dalam
mengkaji sastra. Bukan hanya kajian yang bersifat praktis, melainkan juga
teoretis. Pendekatan juga mengarahkan penelusuran sumber-sumber sekunder
sehingga peneliti dapat memprediksikan literatur yang harus dimiliki. Hal itu
disebabkan karya sastra di Indonesia tidak pernah terlepas dari kebudayaan dan
unsur-unsur lain di masyarakat. Nurgiyantoro (2007: 36) mengungkapkan
bahwa pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan
Strukturalisme Praha. Pendekatan struktural mendapat pengaruh langsung dari
perubahan studi linguistik. Studi linguistik tidak hanya menekankan pada sejarah
perkembangannya, tetapi juga berkaitan dengan hubungan antarunsurnya. Kaum
srukturalisme menganggap karya sastra sebagai sebuah kesatuan yang dibangun
oleh unsur-unsurnya. Hubungan antar unsur yang satu dengan lainnya bersifat
timbal balik dan saling menentukan sehingga membentuk satu kesatuan yang
utuh. Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi,
mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik fiksi
yang bersangkutan. Strukturalis merupakan cara pandang mengenai tanggapan
dan deskripsi struktur-struktur. Struktur-struktur tersebut memiliki bagian yang
kompleks sehingga untuk memahami totalitas makna dari sebuah karya sastra
harus mengkaji hubungan antarstruktur secara keseluruhan. Oleh karena itu,
strukturalisme sering dianggap sebagai formalisme modern yang hanya mencari
arti dari sebuah teks. Menurut Endraswara (2003: 49) bahwa pada dasarnya
strukturalis merupakan cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan
dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Dalam hal ini karya sastra
dipandang sebagai suatu fenomena yang memiliki struktur yang saling terkait
satu sama lain.
Selanjutnya Ratna (2011: 90) mengatakan tugas analisis struktur yaitu
membongkar unsur-unsur yang tersembunyi yang berada di balik karya sastra.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pada dasarnya analisis struktural
bertujuan memaparkan fungsi dan keterkaitan antarunsur dalam sebuah karya
sastra secermat mungkin untuk menghasilkan suatu keseluruhan dalam
memahami sebuah karya sastra. Hidayat (2010: 2) berpendapat bahwa drama
13
dalam pengertiannya membutuhkan persyaratan ketat untuk dapat dikatakan
sebagai drama. Secara prinsip, drama memiliki struktur pembangun seperti
penonton (audience), tempat (stage), naskah (dialogue), dan pemain (actor).
Adapun ketegori lain untuk dapat dikatakan drama adalah adanya gambaran
tentang kehidupan, dan di dalamnya terdapat alur dan konflik dalam dialog
meskipun ada juga drama bisu, tetapi tetap menghadirkan konflik, hal ini senada
dengan pendapat Waluyo (2011: 6 – 28) bahwa enam unsur dalam struktur
naskah drama, yakni: (a) alur; (b) penokohan; (c) dialog; (d) setting; (e) tema;
dan (f) amanat. Namun menurut Tarigan (1993: 74) menyebutkan unsur-unsur
drama, antara lain: (a) alur; (b) penokohan; (c) dialog; (d) aneka sarana
kesastraan dan kedramaan. Struktur intrinsik pembangun drama yang akan
dikaji, antara lain: tema, penokohan dan perwatakan, plot/alur, latar/setting,
dialog petunjuk teknis, serta amanat.
a. Tema
Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 3) mengungkapkan bahwa tema
adalah gagasan utama atau gagasan sentral pada sebuah cerita atau karya sastra.
Tema bisa dikatakan hampir sama dengan pondasi suatu bangunan. Apabila
suatu karya sastra tidak mempunyai tema, itu berarti karya sastra tersebut akan
mengambang karena tidak mempunyai dasar layaknya sebuah bangunan. Tema
berhubungan dengan premis dan nada dasar yang dikemukakan pengarangnya.
Premis dapat disebut sebagai landasan pokok yang menentukan arah tujuan
lakon dan merupakan landasan bagi pola konstruksi lakon, sedangkan nada dasar
dapat disamakan dengan jiwa atau suasana yang mendasari sebuah lakon.
Interpretasi penonton terhadap nada dasar suatu naskah drama dapat bervariasi.
Oleh karena itu, naskah drama bersifat multi interpretable. Hal itu dapat
disebabkan oleh latar belakang pengetahuan yang berbeda-beda dari penonton.
Drama yang besar adalah drama yang mengangkat tema abadi. Maksudnya, tema
tersebut bersifat interpersonal dan dapat diterima di segala kurun waktu.
Penentuan tema berdasar pada nurani pengarangnya. Banyak hal yang dapat
memengaruhi pengarang dalam menentukan tema dari karya-karyanya. Latar
14
belakang budaya, pendidikan, maupun pengetahuan dapat menjadi dasar
pembentukan tema. Pendapat dari Putra (2010
: 98) bahwa tema juga dapat diidentifikasi, dinyatakan secara jelas-tegas,
terselubung dalam cerita, dan diidentifikasi sebagai pesan utama dalam karya
sastra. Hal ini menunjukkan bahwa tema bisa ditemui secara tersirat dalam suatu
karya sastra maupun secara tersurat. Selanjutnya Wardani (2009: 38)
menyebutkan tema dibagi menjadi 5 jenis berdasarkan tingkatannya sebagai
berikut: (1) tema divine artinya menampilkan problem manusia tingkat tinggi
seperti masalah religiositas dan filosofis, (2) tema egoik yaitu menampilkan
problem kemanusiaan sebagai individu atau problem humanisme, (3) tema
sosial yaitu menampilkan problem hubungan antara manusia dalam
kemasyarakatan, (4) tema organik yaitu tema yang memperbincangkan aspekaspek jasmaniah manusia seperti perbincangkan aspek-aspek jasmaniah manusia
seperti kelahiran, balas dendam, seksualitas dan penghianatan, (5) tema fiksi
yaitu tema yang hanya menampilkan aktivitas fisik manusia. Tema tertinggi
adalah tema religius filosofis karena membawa para penikmat karya sastra atau
pembaca merenungkan hakikat kehidupan dan ketuhanan.
Stanton (2007: 36) juga mengemukakan bahwa tema merupakan aspek
cerita yang sejajar dengan ‘makna’ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang
menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Dalam hal ini berarti begitu
banyak cerita yang menggambarkan kejadian yang benar-benar dialami oleh
manusia, seperti patah hati karena putus cinta, kekecewaan, putus sekolah,
perceraian orang tua, dan sebagainya. Hal-hal yang seperti inilah yang disebut
dengan tema
Ada pula pendapat dari Wirajaya dan Sudarmawarti (2008: 15) yang
mendefinisikan tema sebagai gagasan pokok yang mendasari terbentuknya cerita
secara umum yang dapat terbangun dari subtema-subtema dalam sebuah cerita
sehingga tema juga didefinisikan sebagai gagasan dasar sebuah karya sastra dan
yang terkandung dalam teks sebagai struktur semantis serta yang menyangkut
persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan didalam suatu karya sastra.
Hal ini sesuai dengan pendapat Pratiwi dan Siswiyanti (2014: 136-137) tema
15
merupakan ide yang mendasari suatu cerita sehingga dapat berperan sebagai
pangkal tolak pengarang dalam menyampaikan pesan kepada pembaca lewat
naskah drama yang ditulisnya atau dipentaskan. Pemahaman terhadap tema
pementasan mutlak harus dilakukan karena tanpa memahami tema dalam suatu
pementasan drama, baik sutradara, aktor, maupun penikmat pertunjukan drama.
Tema sebuah pementasan bisa muncul lebih dari satu, tetapi pada hakikatnya
hanya ada satu tema umum (mayor) yang diusung dalam suatu pertunjukan
drama. Tema-tema lain yang muncul hanya menjadi pelengkap tema umum yaitu
tema minor. Tema suatu pementasan dapat dipahami melalui kegiatan (1)
interpretasi naskah sebelum kegiatan pementasan, (2) menghubungkan dialogdialog tematis yang tersebar pada dialog tokoh dan menyimpulkannya, (3)
penadaan terhadap konflik dan perkembangan plot, (4) pemahaman terhadap
setting pementasan (tempat, waktu, dan suasana). Waluyo (2002: 26-28)
menyebutkan beberapa aliran filsafat yang mendasari penciptaan naskah drama,
sebagai berikut.
a) Aliran Klasik
Naskah drama berwujud dialog yang panjang-panjang dan isi cerita yang
bertema duka. Lakonnya bersifat statis dan diselingi dengan monolog.
b) Aliran Romantik
Naskah drama beraliran romantik ini seringkali berupa cerita-cerita yang
tidak logis. Isi dramanya fantastis dan tokohnya bersifat sentimentil.
c) Aliran Realisme
Aliran ini menginspirasi terciptanya drama-drama realis yang isi ceritanya
mirip dengan kehidupan sehari-hari. Ada dua macam aliran realisme, yaitu
aliran realisme sosial dan aliran realisme psikologis. Realisme sosial
menggambarkan problem sosial yang sangat berpengaruh terhadap kondisi
psikis pelaku. Sedangkan realisme psikologis menekankan pada unsur
kejiwaan secara apa adanya. Rasa senang, sedih, kecewa, bahagia, dilukiskan
dengan apa adanya.
16
d) Aliran Ekspresionisme
Aliran ekspresionisme didasarkan pada perubahan sosial, pergantian adegan
dilakukan dengan cepat, serta fragmen cerita disajikan secara filmis dan
ekstrim.
e) Aliran Eksistensialisme
Naskah yang dilatarbelakangi aliran ini mendapat pengaruh yang besar dari
filsafat eksistensialisme negara-negara barat.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tema
adalah ide pokok sebuah karya sastra yang bisa ditemukan baik secara tersirat
maupun tersurat yang berupa pencerminan dari pengalaman yang dialami oleh
manusia. Jadi, intisari dari uraian tersebut ialah memandang tema sebagai makna
yang termuat secara implisit dalam sebuah karya sastra.
b. Penokohan dan Perwatakan
Menurut Wiyanto (2007: 27) perwatakan adalah keseluruhan ciri-ciri jiwa
seorang tokoh dalam lakon drama. Seorang tokoh bisa mempunyai watak yang
sabar, ramah, dan suka menolong, atau sebaliknya, seorang tokoh bisa saja
mempunyai watak yang pemberang, pemarah, ataupun pendendam. Istilah
penokohan merujuk pada pelaku cerita, sedangkan perwatakan menunjuk pada
sifat tokoh-tokoh dalam suatu cerita. Tokoh-tokoh tersebut yang kemudian
membawakan tema dalam keseluruhan latar dan alur cerita. Untuk membuat
tokoh yang meyakinkan, pengarang harus mengerti dengan benar tabiat manusia,
serta kebiasaan bertindak dan berujar di masyarakat. Nurgiyantoro (2007: 166)
menjelaskan istilah penokohan mempunyai pengertian yang paling luas daripada
tokoh dan perwatakan karena dalam penokohan telah tercakup siapa tokoh
cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dalam pelukisannya
dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada
pembaca. Penokohan mempunyai hubungan yang erat dengan perwatakan.
Penokohan dan perwatakan adalah dua hal yang sangat penting dalam sebuah
drama. Penokohan dan perwatakan mempunyai hubungan yang sangat erat
karena kedua unsur tersebut berada pada objek yang sama, tokoh cerita ialah
17
orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh
pembaca ditafsirkan memiliki ciri khas dalam mengekspresikan wataknya dalam
tindakan-tindakannya. Penggambaran watak pelaku melaui tiga dimensi yaitu
(1) dimensi psikis, artinya watak secara batin atau kelakuan (misalnya, sombong,
pendendam, romantis, penipu atau culas), (2) dimensi fisik yaitu ciri fisik
misalnya usia, kecantikan, cacat tubuh, warna rambut, (3) dimensi sosiologis
artinya status kedudukan pekerjaan atau peran dalam masyarakat seperti kaya,
miskin, priyayi, rakyat jelata, konglomerat, pegawai bank, polisi atau
gelandangan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Satoto (2012: 41-42) tokoh
memiliki watak dan kepribadian, maka dia memiliki sifat-sifat karakteristik yang
dapat dirumuskan ke dalam tiga dimensional, yaitu dimensi fisiologis, dimensi
sosiologis, dan dimensi psikologis
Pengertian tokoh juga diambil dari pendapat Kosasih (2003: 270) yang
menyebutkan bahwa tokoh adalah orang-orang yang berperan dalam suatu
drama. Kosasih juga membedakan tokoh menjadi tiga golongan berdasarkan
perannya dalam jalan cerita.
a) Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung jalannya cerita.
b) Tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang cerita.
c) Tokoh tritagonis, yaitu tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun
untuk tokoh antagonis.
Pratiwi dan Siswiyanti (2014: 36-40) mengemukakan berdasarkan ada
tidaknya tokoh dalam hubungannya dengan tema, tokoh dapat diklasifikasikan,
sebagai berikut.
a) Tokoh Utama, yaitu tokoh yang diposisikan sebagai pusat dalam
pengembangan cerita, sehingga ia dihadapkan pada permasalahan utama
menentukan gerak dan alur cerita. Tokoh utama merupakan tokoh yang
dimanfaatkan oleh pengarang untuk menyampaikan tema cerita
b) Tokoh pembantu, yaitu pembaca mengidentifikasi tokoh utama dalam cerita.
Cara menandai tokoh utama pada kutipan naskah dram tersebut mengamati
tokoh yang selalu hadir pada setiap tahapan plot dan mampu bertahan hingga
klimaks cerita
18
Klasifikasi tokoh juga dapat didasari dari sikap tokoh terhadap tema.
Berdasarkan sikap tokoh terhadap tema tokoh dibedakan menjadi tokoh
protagonis dan antagonis.
a) Tokoh protagonis adalah diwujudkan dalam bentuk cita-cita dan prinsip
hidup tokoh. Prisip tokoh akan menjadi obsesi yang ingin dipaparkan kepada
pembaca.
b) Tokoh antagonis adalah tokoh melawan cita-cita tokoh protagonis. Tokoh ini
mengemban misi tidak baik dan menentang tokoh protagonis dan
diproyeksikan dengan watak kurang baik (jahat) karena selalu menghalanghalangi.
Berdasarkan perannya terhadap jalan cerita terdapat beberapa jenis tokoh,
yaitu tokoh protagonis (tokoh yang mendukung cerita), tokoh antagonis (tokoh
penentang cerita), dan tokoh tritagonis (tokoh pembantu, baik untuk tokoh
protagonis maupun untuk tokoh antagonis). Pembagian yang kedua berdasarkan
perannya dalam lakon serta fungsinya, terdapat jenis tokoh sebagai berikut. (a)
tokoh sentral, yaitu tokoh yang paling menentukan gerak lakon; (b) tokoh utama,
yaitu tokoh pendukung atau penentang tokoh sentral, dapat juga sebagai medium
atau perantara tokoh sentral, dapat juga disebut tritagonis; (c) tokoh pembantu,
yaitu tokoh tokoh yang memegang peran pelengkap atau tambahan dalam mata
rantai cerita. Waluyo (2002: 16) membagi beberapa jenis tokoh dengan kriteria
tertentu. Pertama, berdasarkan perannya terhadap jalan cerita terdapat beberapa
jenis tokoh, yaitu tokoh protagonis (tokoh yang mendukung cerita), tokoh
antagonis (tokoh penentang cerita), dan tokoh tritagonis (tokoh pembantu, baik
untuk tokoh protagonis maupun untuk tokoh antagonis). Pembagian yang kedua
berdasarkan perannya dalam lakon serta fungsinya, terdapat jenis tokoh sebagai
berikut. (1) tokoh sentral, yaitu tokoh yang paling menentukan gerak lakon; (2)
tokoh utama, yaitu tokoh pendukung atau penentang tokoh sentral, dapat juga
sebagai medium atau perantara tokoh sentral, dapat juga disebut tritagonis; (3)
tokoh pembantu, yaitu tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkap atau
tambahan dalam mata rantai cerita.
19
Harymawan (dalam Dewojati, 2010: 169) menyatakan bahwa karakter
mempunyai sifat multidimensional. Dimensi yang dimaksud meliputi dimensi
fisiologis, dimensi sosiologis, dan dimensi
psiologis. Wirajaya dan
Sudarmawarti (2008: 56–57) juga mengungkapkan tentang cara melukiskan
watak tokoh, yaitu dengan cara:
a) melukiskan bentuk fisik tokoh secara langsung,
b) melukiskan jalan pikiran tokoh,
c) melukiskan reaksi tokoh terhadap suatu peristiwa yang terjadi,
d) melukiskan keadaan di sekitar tokoh, dan
e) melukiskan anggapan tokoh tersebut terhadap tokoh lain.
Dari pendapat-pendapat tersebut, maka pengertian penokohan ialah
penggambaran tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita naskah drama.
Sedangkan perwatakan ialah penjelasan mengenai karakter tokoh-tokoh
tersebut. Yustinah dan Iskak (2008: 28) memiliki pandangan yang tak jauh
berbeda. Mereka menyebutkan bahwa tokoh dalam drama terdiri atas: (a)
protagonis, tokoh yang berperan utama sebagai tokoh idaman; (b) antagonis,
tokoh yang berperan menentang tokoh utama; dan (c) figuran/pemeran
pembantu, tokoh yang mendampingi tokoh utama dan dapat sebagai sumber
konflik dalam drama. Tarigan (1993: 76) membagi jenis tokoh dalam drama
menjadi empat, yakni: (a) the foil/tokoh pembantu; (b) the type character/tokoh
serba bisa; (c) the static character/tokoh statis; serta (d) the character who
develops in course of the play/tokoh berkembang. Sedangkan mengenai
perwatakan, tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita memiliki watak atau
karakter masing-masing. Watak para tokoh ini digambarkan dalam tiga dimensi,
yaitu keadaan fisik, psikis, dan sosial.
c. Plot atau Alur
Menurut Suroto (1989: 89–90) plot merupakan suatu jalan cerita yang
berupa peristiwa-peristiwa yang disusun menurut hukum sebab akibat dari awal
sampai akhir cerita. Suroto menyampaikan urutan pola plot secara tradisional,
yaitu: (a) perkenalan; (b) pertikaian; (c) perumitan; (d) klimaks; dan (e) pelarian.
Hal ini senada dengan pendapat Wirajaya dan Sudarmawarti (2008: 15) bahwa
20
alur adalah rangkaian cerita yang merupakan jalinan konflik antartokoh yang
berlawanan. Alur drama terdiri atas: (a) perkenalan; (b) pertikaian; (c) klimaks;
(d) peleraian; dan (e) penyelesaian. Semi (1993: 163) berpendapat bahwa
kekhususan tersebut, yaitu (a) alur drama mestilah merupakan alur cerita yang
dapat dilakukan oleh manusia biasa di muka publik penonton, (b) alur drama
mesti jelas, bila tidak, akan sukar sekali diikuti oleh penonton, (c) alur drama
mestilah sederhana dan singkat, dalam arti terpusat pada suatu peristiwa tertentu.
Terdapat tiga unsur yang dipentingkan dalam pengembangan sebuah plot cerita,
yaitu peristiwa, konflik, dan klimaks. Dalam berkreativitas, pengarang memiliki
kebebasan, namun juga mempunyai batasan-batasan. Batasan batasan inilah
yang biasa disebut dengan kaidah pemplotan. Seperti yang diungkapkan oleh
Wardani (2009:38) plot merupakan bagian penting dalam fiksi. Plot merupakan
rangkaian kejadian yang dihubungkan secara sebab akibat unsur sebab akibat
sangat penting dalam plot. Plot dimulai dari eksposisi (perkenalan), dilanjutkan
dengan konflik, komplikasi, puncak pada klimaks cerita. Setelah berpuncak pada
klimaks, maka ada falling action, yaitu penurunannya kadar cerita dan diakhiri
dengan denouement (penyelesaian) yang disebut pula catastrophe. jenis plot ada
tiga yaitu:
a) Plot garis lurus atau progresif
Plot garis lurus adalah cerita berjalan seperti lazimnya orang bercerita yaitu
mulai dari awal hingga akhir cerita.
b) Plot sorot balik atau flashback
Plot sorot balik atau flashback cerita diawali dengan dari bagian akhir cerita
dan kemudian baru mulai dari awal cerita, dilanjutkan menjelang akhir
(bagian dari cerita yang dikisahkan di depan). Dalam plot sorot balik
diceritakan seperti orang melamun atau menceritakan kembali sesuatu yang
terjadi.
c) Plot gabungan
Plot gabungan merupakan plot dalam cerita di mana pengarang
menggabungkan antara plot lurus cerita yang di dalamnya terdapat plot sorot
balik.
21
Yustinah dan Iskak (2008: 28) mengemukakan plot dalam sebuah drama
meliputi sebagai berikut: (a) pemaparan/eksposisi; (b) komplikasi; (c) klimaks;
(d) peleraian/antiklimaks; dan (e) penyelesaian. Waluyo (2002: 147-149)
berpendapat dalam menyampaikan plot sebagai kerangka dari awal hingga akhir
yang merupakan jalinan konflik antartokohnya. Ia membagi tahapan plot
menjadi tujuh, yaitu (1) eksposisi; (2) inciting moment (saat perkenalan); (3)
rising action; (4) complication; (5) climax; (6) falling action; dan (7)
denonement (penyelesaian).
Tahap situation, berarti tahap penyituasian menyebutnya sebagai
eksposisi, yang berarti paparan awal cerita. Tahap ini berisi pelukisan dan
pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan
cerita, pemberian informasi awal, pengenalan tokoh, watak, dan latar cerita. Di
tahap ini pembaca dapat mengetahui bentuk cerita tersebut termasuk novel,
cerpen, atau naskah drama. Tujuan dari adanya tahap ini adalah untuk
memberikan gambaran awal kepada pembaca sehingga pembaca tidak bingung
mengikuti cerita. Selain itu, juga menjadi landas tumpu cerita untuk memasuki
tahap selanjutnya.
Tahap generating circumstances, disebut juga inciting moment. Tahap ini
merupakan tahap pemunculan masalah atau peristiwa yang berpotensi
menimbulkan konflik. Pengarang mulai memunculkan peristiwa-peristiwa yang
mengandung masalah yang nantinya akan dikembangkan menjadi konflik.
Peristiwa-peristiwa tersebut dihadirkan berdasarkan kebutuhan konflik yang
akan ditimbulkan. Semakin banyak peristiwa atau masalah yang dihadirkan,
semakin rumit dan kompleks konflik yang akan timbul. Konflik-konflik yang
timbul tersebut akan semakin berkembang dan ruwet atau kompleks hingga
akhirnya mencapai puncak.
Tahap rising action atau disebut juga tahap peningkatan konflik. Pada
tahap ini, konflik yang mulai muncul pada tahap sebelumnya semakin
berkembang dan terus-menerus muncul. Konflik-konflik tersebut semakin tak
terkendali dan tak dapat dihindari. Peristiwa-peristiwa dalam cerita semakin
22
mencekam dan menegangkan, keadaan konflik yang semakin ruwet disebut
complication.
Tahap climax merupakan puncak penggawatan. Pada tahap ini semua
konflik mencapai puncaknya. Klimaks ini dilihat dari sudut tokoh utama yang
menjadi pelaku atau penderita konflik utama cerita. Apabila yang mengalami
puncak konflik adalah tokoh pembantu maka ini bukan disebut klimaks cerita.
Pada tahap klimaks, ketegangan cerita mencapai puncak. Puncak ketegangan
atau klimaks ini dapat saja terjadi lebih dari satu kali, namun klimaks utama
tetaplah satu. Jumlah klimaks tersebut tergantung dari cerita yang dihadirkan.
Tahap denoument (denonement) disebut juga tahap penyelesaian. Konflik
yang telah mencapai puncak tersebut menurun dan mengalami penyelesaian.
Termasuk dalam tahap ini adalah falling action atau penurunan ketegangan yang
dapat juga disebut antiklimaks. Ketegangan mengendor dan emosi yang telah
mencapai puncak berangsur-angsur turun untuk mencapai batas bawah.
Berdasarkan pendapat para tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa alur atau plot
dalam drama terdiri atas: (1) klasifikasi atau eksposisi; (2) komplikasi atau
pertikaian awal; (3) klimaks atau titik puncak cerita; (4) penyelesaian atau falling
action; dan (5) keputusan atau denoument. Namun, secara urutan tidak menutup
kemungkinan untuk berubah yang akan berimbas pada jenis pengaluran. Bahwa
plot/alur adalah kerangka jalannya cerita dari tahap permulaan hingga
penyelesaian yang disusun dengan hubungan sebab akibat.
d. Dialog
Dialog merupakan dominasi dari sebuah naskah drama. Suroto (1989: 94)
mengungkapkan bahwa dialog ialah ujaran yang diucapkan tokoh dalam cerita.
Dialog berperan penting dalam cerita karena dapat membantu pembaca maupun
penonton untuk mengetahui karakter tokoh dan tema cerita. Dialog juga dapat
membantu menggambarkan setting yang digunakan.
Tarigan (1993: 77) menyebutkan syarat dialog dalam lakon drama, yaitu
dialog harus dapat mempertinggi nilai gerak, baik, dan bernilai tinggi. Dialog
yang dilakukan para tokoh juga harus mendukung karakter tokoh dalam drama
23
sehingga penonton dapat menangkap hal-hal yang tersirat dalam dialog para
tokoh tersebut.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Wirajaya dan Sudarmawarti (2008: 15)
menyatakan bahwa dialog merupakan percakapan yang dilakukan para pelaku
dalam drama. Menurut Semi (1993: 165–166) ujaran mestilah menarik dan
ekonomis dibandingkan dengan kenyataan sehari-hari. Menurutnya, fungsi
dialog dalam drama antara lain: (a) merupakan wadah penyampaian informasi
kepada penonton; (b) menggambarkan watak dan perasaan tokoh; (c)
menunjukkan alur cerita; (d) menggambarkan tema atau gagasan pengarang; dan
(e) mengatur suasana dan tempo jalannya cerita. Putra (2012: 68) menjelaskan
bahwa melalui dialog, penonton dapat mengetahui isi cerita, mengetahui
hubungan antartokoh, dan memahami watak para tokoh. Oleh karena itu, dialog
juga harus ditunjang dengan penjiwaan emosional tokohnya. Selain itu,
kejelasan dari pelafalan dialog juga menjadi aspek penting karena akan
mendukung seberapa besar dialog dapat dicerna oleh penonton. Dialog yang
dilakukan para tokoh juga harus mendukung karakter tokoh dalam drama
sehingga penonton dapat menangkap hal-hal yang tersirat dalam dialog para
tokoh tersebut. Dialog merupakan hal yang sangat penting dalam pementasan
drama.
Berdasar pada uraian tersebut, dialog adalah percakapan antartokoh dalam
naskah drama yang memuat isi cerita. Dialog dalam naskah drama dapat
menggunakan bahasa sehari-hari maupun bahasa kiasan sesuai dengan keinginan
pengarang.
e. Petunjuk Teknis
Petunjuk teknis disebut juga teks samping. Teks samping ini memberikan
petunjuk teknis tentang tokoh, waktu, suasana pentas, suara, musik, keluar
masuknya aktor dan aktris, keras lemahnya dialog, warna suara, perasaan yang
mendasari dialog, dan sebagainya. Teks samping biasanya ditulis dengan huruf
yang berbeda dari teks dialog. Teks samping ini berfungsi sebagai petunjuk
kapan tokoh harus diam, berpindah tempat atau posisi, pembicaraan pribadi, dan
sebagainya. Selain itu, manfaat adanya teks samping yaitu untuk mempermudah
24
sutradara dalam menafsirkan naskah drama pendapat dari Waluyo (2002: 29).
Sebuah naskah drama juga memerlukan adanya petunjuk teknis, yang sering
pula disebut dengan teks samping. Petunjuk teknis ini berguna untuk
mempermudah pembaca ataupun sutradara dalam memahami naskah. Petunjuk
teknis yang semakin lengkap akan memudahkan sutradara dalam menafsirkan
naskah. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa petunjuk teknis merupakan
teks petunjuk bagi tokoh dalam drama untuk memainkan perannya, dapat berupa
posisi tubuh, ekspresi, maupun pekerjaan yang sedang dilakukan.
f. Amanat
Menurut Suroto (1989: 135) pengertian amanat sebagai sikap penulis
terhadap persoalan yang terdapat dalam naskah drama yang ingin
disampaikannya kepada penikmat. Amanat dari sebuah naskah drama akan lebih
mudah dipahami jika naskah tersebut dipentaskan. Amanat biasanya bertujuan
untuk memberikan manfaat bagi para penikmat karya sastra tersebut. Hal ini
sebagaimana yang dikatakan Kosasih (2012: 137) bahwa amanat tersimpan rapi
dan disembunyikan pengarangnya dalam keseluruhan cerita. Antara amanat dan
tema memiliki
hubungan
yang erat.
Nurgiyantoro
(2007:
335-336)
mengungkapkan bahwa bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin
bersifat langsung, atau sebaliknya tak langsung, namun adanya pesan moral yang
bersifat langsung dalam sebuah karya sebenarnya justru dapat membodohkan
pembaca. Amanat dalam sebuah drama tidak dapat diketahui secara langsung.
Pembaca atau penonton harus mencari sendiri amanat yang terdapat dalam
drama tersebut.
Wiyanto (2002: 23) mengemukakan amanat adalah pesan moral yang ingin
disampaikan penulis kepada pembaca naskah atau penonton drama. Amanat
merupakan pesan atau pelajaran yang dapat diambil dari cerita. Amanat dalam
sebuah drama akan lebih tersampaikan kepada penikmat karya sastra apabila
drama tersebut dipentaskan. Pesan yang terdapat dalam drama tersebut secara
praktis akan lebih mudah diterima oleh penikmat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca baik
secara tersurat maupun tersirat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa amanat adalah
25
pesan dari pengarang yang tersirat dari jalannya cerita. Amanat tersebut
memberikan manfaat bagi penikmat karya sastra dalam kehidupan nyata.
g. Setting atau Latar
Setting sering disebut juga dengan latar cerita. Menurut Pratiwi dan
Siswiyanti (2014: 85) setting adalah suatu tempat, waktu dan suasana saat
berlangsungnya suatu peristiwa dalam drama. Setting bersifat fisik dan
psikologis. Latar tempat dan waktu merupakan setting bersifat fisik karena
wujud yang pasti serta kasatmata. Sementara itu, setting yang bersifat psikologis
berupa suasana atmosfer psikologis yang menuansakan makna tertentu serta
mampu memengaruhi emosi atau kejiwaan pembaca. Latar memberikan
informasi mengenai situasi ruang dan tempat serta berfungsi sebagai proyeksi
keadaan batin para tokoh. Dalam mengkaji sebuah karya fiksi, latar pada
hakikatnya memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Penggambaran
setting seringkali juga berkaitan dengan alam pikiran penulis oleh karena itu,
imajinasi dari seorang penulis karya sastra sangat menentukan bagaimana atau
apa yang akan menjadi latar atau setting dari imajinasi yang dihasilkannya. Hal
ini seperti yang diungkapkan oleh Wardani (2009:42) setting atau latar
dinyatakan sebagai tempat, waktu dan suasana terjadinya peristiwa dalam karya
sastra. Setting meliputi penggambaran lokasi geografis, perlengkapan rumah,
kesibukan sehari-hari, hari tertentu, bulan, tahun dan lingkungan. Fungsi dari
latar dapat melukiskan setting secara realistis, ada setting yang benar-benar
dialami oleh pengarang namun ada pula hasil dari imajinasi pengarang dan
digambarkan setelah menghayatinya melalui film, dokumen, buku, foto atau dari
internet.
Nurgiyantoro (2007: 216) menyebutkan setting sebagai landasan tumpu,
mengacu pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial
tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan. Setting atau latar adalah
penggambaran situasi tempat dan waktu serta suasana terjadinya peristiwa.
Mengenai pengertian latar, yaitu gambaran tempat, waktu, dan keadaan jalannya
cerita, pengertian yang serupa disampaikan oleh Kosasih (2003: 273), yaitu latar
merupakan keterangan mengenai tempat, ruang, dan waktu di dalam naskah
26
drama. Latar waktu biasanya berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa dalam karya fiksi. Latar waktu dalam fiksi bisa menjadi dominan dan
fungsional jika digarap secara teliti, apalagi jika latar waktu tersebut
berhubungan dengan sejarah. Penggarapan unsur sejarah menjadi sebuah karya
fiksi menyebabkan waktu yang diceritakan bersifat khas, tipikal, dan menjadi
sangat fungsional. Nurgiyantoro (2007: 230-231) menyatakan unsur latar
dibedakan menjadi tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu dan sosial. (1) latar
tempat adalah latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya sastra unsur ini digunakan sebagai tempattempat dengan nama tertentu, inisial tertentu dan lokasi tanpa penjelasan; (2)
latar waktu adalah berhubungan dengan dengan “kapan” terjadinya peristiwaperistiwa penting yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan”
tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya
atau dikaitkan dengan peristiwa sejarah; (3) latar sosial adalah latar sosial
berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat yang diceritakan
dalam karya fiksi, latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,
keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, serta hal lain yang
tergolong latar spiritual. Selain itu, latar sosial juga berhubungan dengan status
tokoh yang bersangkutan. Penggarapan latar waktu haruslah sesuai dengan
waktu nyata. Jika terjadi ketidaksesuaian waktu peristiwa antara yang terjadi di
dunia nyata dengan yang terjadi di dalam karya fiksi maka akan menyebabkan
cerita tak wajar, bahkan apabila cerita tersebut tidak masuk akal pembaca akan
merasa dibohongi. Inilah yang dalam fiksi disebut anakronisme, yaitu waktu
dalam fiksi tidak cocok dengan urutan waktu atau sejarah dalam dunia nyata.
Satoto (2012: 55) membagi setting ke dalam tiga aspek, yaitu aspek ruang, aspek
waktu, dan aspek suasana. Aspek suasana ini, misalnya suasana gembira,
berkabung, hiruk-pikuk, sepi mencekam, dan sebagainya. Berdasarkan uraian di
atas, dapat dikatakan bahwa setting adalah suatu keadaan yang memberi
gambaran peristiwa dalam cerita, termasuk di dalamnya, yaitu tempat atau
ruang, waktu, dan sosial. Unsur-unsur dalam setting mempunyai keterkaitan satu
sama lain dalam mendukung keterjalinan cerita secara keseluruhan dalam drama.
27
Dengan demikian, yang dimaksud dengan setting atau latar yaitu pelukisan
keadaan tempat, ruang, dan waktu terjadinya peristiwa dalam cerita di naskah
drama.
3. Kajian Strukturalisme Genetik
Pada bagian kajian strukturalisme genetik di bawah ini dijelaskan tentang
hakikat teori strukturalisme genetik adalah sebagai berikut:
a. Hakikat Teori Strukturalisme Genetik
Menurut Endaswara (2003: 55) strukturalisme genetik adalah penelitian
sastra secara struktural yang tidak murni, maksud dari struktural yang tak murni
adalah penelitian ini tetap menggunakan kajian struktural otonom sebagai dasar
kemudian dilanjutkan dengan aspek-aspek di luar karya sastra yang meliputi
keadaan sosial yang turut membangun lahirnya karya sastra tersebut. Munculnya
strukturalisme genetik merupakan reaksi atas struktural otonom yang hanya
memandang otonomi karya sastra dan mengabaikan latar belakang sejarah serta
latar belakang yang lain. Seperti yang diungkapkan oleh Ratna (2006: 120)
strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian
terhadap asal-usul karya. Secara ringkas strukturalisme genetik sekaligus
memberikan perhatian terhadap analisis instrinsik dan ekstrinsik. Secara
definitif, menjelaskan lebih lanjut bahwa strukturalisme genetik adalah analisis
struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul teks sastra. Pencetus
teori ini percaya bahwa sebuah karya adalah struktur yang hidup, merupakan
produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan
destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal sebuah karya.
Senada dengan pendapat dari Iswanto (2003: 60) strukturalisme genetik disebut
dengan pendekatan obyektif, yakni pendekatan dalam penelitian sastra yang
memusatkan perhatian pada otonomi sastra sebagai karya fiksi, artinya
menyerahkan pemberian makna karya sastra pada eksistensi karya sastra itu
sendiri tanpa menghubungkan dengan unsur yang ada diluar strukturnya.
Strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan terhadap analisis
strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur instrinsik. Ratna (2006: 121)
28
mengemukakan strukturalisme genetik ini merupakan gerakan penolakan
strukturalisme murni, yang hanya menganalisis unsur-unsur intrinsik saja tanpa
mengindahkan hal-hal di luar teks sastra itu sendiri. Gerakan ini juga menolak
peranan bahasa sastra sebagai bahasa yang khas. Pendapat ini juga diperkuat
oleh Wardani (2009:47) strukturalisme genetik memandang karya sastra karena
memiliki kekzaini sechara sosiologis, dapat dianalisis berdasarkan struktur karya
sastra dan pandangan dunia pengarang serta berdasarkan srtuktur eksternalnya
contohnya sosial budaya, ekonomi atau politik yang menyebabkan hadirnya
karya sastra tersebut. Strukturalisme genetik mencari perpaduan antara struktur
teks dan struktur sosial karena pendekatan ini juga mempertimbangkan faktor
sosial jadi bila perubahan struktur sosial dalam masyarakat akan mempengaruhi
pula isi karya sastra. Pada prinsipnya strukturalisme genetik mamandang karya
sastra tidak hanya dari strukturanya yang statis saja melainkan memiliki
hubungan dengan makna struktur global atau sosial. Suyitno (2009:26)
berpendapat bahwa pendekatan genetic strukturalism merupakan pendekatan
yang paling kuat. Ini terbukti oleh suatu teori dan tidak ada pada pendekatan lain.
Pendekatan ini akan berusaha mengungkapkan pendangan dunia dari pengarang
yang mencerminkan pandangan duania kelompoknya. Pendapat dari Winarni
(2013:111) strukturalisme genetik adalah pendekatan di dalam penelitian sastra
yang lahir sebagai reaksi dari pendekatan strukturalisme murni yang antihistori
dan kasual. Pendekatan ini juga disebut pendekatan objektif karena penelitian
sastra yang memusatkan perhatiannya pada otonomi sastra sebagai karya fiksi,
artinya makna karya sastra tersebut terhadap eksistensi karya sastra itu sendiri
tanpa mengaitkan unsur yang ada diluar struktur signifikansinya. Genetik pada
karya sastra artinya asal-usul karya sastra yaitu faktor yang terkait dengan asalusul karya sastra adalah pengarang dan kenyataan sejarah yang turut
mengkondisikan karya sastra saat diciptakan. Keberadaan pengarang dalam
kehidupan masyarakat turut mempengaruhi karyanya.
Seperti yang diungkapkan oleh Faruk (2010: 12) bahwa karya sastra
merupakan sebuah karya yang terstruktur. Artinya, ia tidak berdiri sendiri,
melainkan banyak hal yang menyokongnya sehingga ia menjadi satu bangunan
29
yang otonom. Akan tetapi, Goldmann tidak secara langsung menghubungkan
antara teks sastra dengan struktur sosial yang menghasilkannya, melainkan
mengaitkannya terlebih dahulu dengan kelas sosial dominan. Sebab, struktur itu
bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari sejarah yang
terus berlangsung, proses strukturisasi dan destrukturisasi yang hidup dan
dihayati oleh masyarakat asal teks sastra yang bersangkutan. Hal ini seperti yang
dikemukakan oleh Darmono (2001: 39) karya sastra disebut karya yang lengkap
jika memiliki makna totalitas yang memberikan lukisan yang lengkap dan padu
mengenai keseluruhan
makna karya sastra tersebut. Endaswara (2011:60)
mengemukakan strukturalisme genetik merupakan embiro penelitian dari aspek
sosial kelas disebut sosiologi sastra, namun strukturalisme genetik tetap
mengedepankan juga aspek struktur. Baik struktur dalam maupun struktur luar,
tetap dianggap penting bagi pemahaman karya sastra. Jadi sekurang-kurangnya
penelitian strukturalisme genetik meliputi tiga hal: (1) aspek intrinsik karya
sastra, (2) latar belakang pencipta dan (3) latar belakang sosial budaya serta
sejarah masyarakat. Jadi strukturalisme genetik juga mengedepankan aspek
kesejarahan lahirnya karya sastra. Penelitian strukturalisme genetik, memandang
karya sastra dari dua sudut yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian
intrinsik (kesatuan dan koherensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya
penelitian, akan menghubungkan berbagai unsur dengan realistas masyarakat.
Karya dipandang sebagai refleksi zaman, yang dapat mengungkapkan aspek
sosial, budaya, politik, ekonomi dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting
dari zamannya akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya
sastra.
Strukturalisme genetik mencoba mengkaitkan antara teks sastra, penulis,
pembaca (dalam rangka komunikasi sastra), dan struktur sosial. Ratna (2006:
122) mengatakan bahwa strukturalisme genetik memiliki implikasi yang lebih
dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaan pada umumnya.
Sebuah struktur, bagi Goldmann, harus disempurnakan agar memiliki makna, di
mana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih
luas, demikian seterusnya hingga setiap unsur menopang totalitasnya.
30
b. Unsur Strukturalisme Genetik
Goldmann (1978: 156-171) berpendapat bahwa strukturalisme genetik
memiliki tiga unsur antara lain fakta kemanusiaan, subjek kolektif, dan
pandangan dunia sebagai berikut.
1) Fakta Kemanusiaan
Menurut Faruk (2010: 56) fakta kemanusiaan adalah segala hasil
aktivitas atau perilaku manusia, baik yang verbal maupun fisik, yang berusaha
dipahami oleh ilmu pengetahuan. Aktivitas atau perilaku manusia harus
menyesuaikan kehidupan dengan lingkungan sekitar. Individu-individu
berkumpul membentuk suatu kelompok masyarakat. Dengan kelompok
masyarakat, manusia dapat memenuhi kebutuhan untuk beradabtasi dengan
lingkungan. Sejalan dengan Faruk, Ratna (2003:360) menyatakan dalam
masyarakat terkandung fakta-fakta yang tak terhitung jumlah dan
komposisinya. Fakta-fakta dalam pandangan sosiologi dengan sendirinya
dipersiapkan dan dikondisikan oleh masyarakat. Eksistensinya selalu
dipertimbangkan dalam antara hubungannya dengan fakta sosial yang lain,
menganggap bahwa manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada dalam
proses strukturasi timbal balik yang saling bertentangan tetapi yang sekaligus
saling isi-mengisi. Oleh karena itu, fakta kemanusiaan merupakan struktur
yang bermakna. Endraswara (2003: 55) mengemukakan semua aktivitas
manusia merupakan respons dari subjek kolektif atau individu dalam situasi
tertentu yang merupakan kreasi untuk memodifikasi situasi yang ada agar
cocok dengan aspirasi, sehingga dalam hal ini manusia memiliki
kecenderungan untuk berperilaku alami karena harus menyesuaikan dengan
alam semesta dan lingkungannya. Oleh karenanya, fakta kemanusiaan dapat
bersifat individu atau sosial.
Hal ini sejalan dengan pandapat Damono (2001:43) bahwa untuk
menelaah fakta-fakta kemanusiaan baik dalam strukturnya yang esensial
maupun dalam kenyataannya yang konkret membutuhkan sutau metode yang
serentak bersifat sosiologis dan historis. Dengan fakta kemanusiaan dapat
31
diketahui bahwa sastra merupakan cermin dari pelbagai segi struktur sosial
maupun hubungan kekeluargaan.
2) Subjek Kolektif
Subjek kolektif merupakan bagian dari fakta kemanusiaan selain subjek
individual. Fakta kemanusiaan muncul karena aktivitas manusia sebagai
subjek. Pengarang adalah subjek yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karenanya di dalam masyarakat terdapat fakta kemanusiaan. Karya
sastra diciptakan oleh pengarang. Dengan demikian karya sastra lebih
merupakan duplikasi fakta kemanusiaan yang telah diramu oleh pengarang.
Semua gagasan pengarang dapat dikatakan sebagai perwakilan dari kelompok
sosial. Oleh sebab itu pengkajian terhadap karya sastra tidak dapat dipisahkan
dengan pengarang untuk mendapat makna yang menyeluruh. Subjek kolektif
dari pendapat Iswanto (2001:60) bahwa penafsiran terhadap karya sastra yang
mengabaikan pengarang sebagai pemberi makna akan sangat berbahaya,
karena penafsiran tersebut akan mengorbankan ciri khas, kepribadian, citacita, juga norma-norma yang dipegang teguh oleh pengarang tersebut dalam
kultur sosial tertentu.
Menurut Faruk (2010: 56) subjek kolektif adalah kumpulan individuindividu yang membentuk satu kesatuan beserta aktivitasnya. Transindividual
menampilkan pikiran-pikiran individu, tetapi dengan struktur mental
kelompok. Hal ini sejalan dengan Ratna (2011: 121) dikatakan bahwa subjek
transindividual adalah kumpulan individu-individu yang tidak berdiri sendirisendiri, tetapi satu kesatuan dan satu kolektivitas. menspesifikasikannya
sebagai kelas sosial dalam pengertian marxis, sebab baginya kelompok itulah
yang terbukti dalam sejarah sebagai kelompok yang telah menciptakan suatu
pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan dan yang
telah mempengaruhi perkembangan sejarah umat manusia. Subjek kolektif
merupakan subjek fakta sosial (historis), seperti revolusi sosial, politik,
ekonomi dan karya-karya kultural yang yang merupakan fakta historis.
32
3) Konsep Pandangan Dunia
Menurut Endraswara (2011:57) karya sastra sebagai struktur bermakna
itu akan mewakili pandangan dunia (Visium du monde) penulis, tidak sebagai
individu melainkan sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian, dapat
dinyatakan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang
menghubungkan antara struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui
pandangan dunia atau ideologi yang dieskpresikannya. Senada dengan
Endraswara, Faruk (2010: 57) menyatakan juga mengembangkan konsep
mengenai pandangan dunia yang dapat terwujud dalam karya sastra dan
filsafat. Menurutnya, struktur kategoris yang merupakan kompleks
menyeluruh gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang
menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota kelompok sosial
tertentu dan mempertentangkannya dengan kelompok sosial yang lain disebut
pandangan dunia. Wardani (2009: 49) mengemukakan bahwa pandangan
dunia merupakan kesadaran kolektif atau kesadaran kelompok muncul
sebagai reaksi terhadap situasi ekonomi dan sosial tertentu yang
menimbulkan serangkaian aktivitas penciptaan karya sastra oleh pengarang,
pandangan dunia bersifat abstrak merupakan ekspresi teoretis kelompok
sosial tertentu atas kondisi sosial masyarakat. Pandangan dunia merupakan
kesadaran kelompok sosial yang sebagai perekat dan pengikat individu
secara bersama dalam kelompok dan memberi mereka identitas kolektif.
Pemahaman terhadap karya sastra adalah usaha memahami perpaduan unsur
intrinsik dan unsur ekstrinsik sehingga mampu membangun adanya
keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk atau
totalitas kemaknaan. Setiap karya sastra yang penting mempunyai struktur
kemaknaan Structure Significative, karena menurut Goldmann, struktur
kemaknaan itu merupakan struktur global yang bermakna dan mewakili
pandangan dunia (vision du monde, world vision). Seperti yang dikemukakan
oleh Winarni (2013:114) pandangan dunia ditampilkan pengarang lewat
problemic hero merupakan suatu struktur global yang bermakna. Pandangan
dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi
33
merupakan suatu gagasan, aspirasi, perasaan yang mempersatukan suatu
kelompok sosial masyarakat. Pandangan dunia memperoleh bentuk konkret
di dalam karya sastra. Ratna (2011: 125) berpendapat bila pandangan dunia
bukan fakta, pandangan dunia memiliki eksistensi objektif, tetapi merupakan
ekspresi teoretis dan kondisi dan kepentingan suatu golongan masyarakat
tertentu. Sesuai dengan pendapat Damono (2001: 44) pandangan dunia
merupakan
permasalahan yang pokok dalam strukturalisme genetik.
Pandangan dunia ini diartikan suatu struktur global yang bermakna, suatu
pemahaman total terhadap dunia yang mencoba menangkap maknanya
dengan segala kerumitan dan keutuhannya.
Pada gilirannya pandangan dunia itulah yang menghubungkan karya
sastra dengan kehidupan masyarakat. Latar belakang sejarah, zaman dan
sosial masyarakat turut mengkondisikan terciptanya karya sastra baik dari
segi isi atau segi bentuk dan strukturnya. Hal ini disebabkan oleh kenyataan
bahwa pandangan dunia itu sendiri oleh strukturalisme genetik dipandang
sebagai produk dari hubungan antara kelompok sosial yang memilikinya
dengan situasi sosial dan ekonomi pada saat tertentu Goldmann (dalam Faruk,
2010: 57). Oleh karena itu, sastra pada dasarnya juga merupakan kegiatan
kebudayaan atau peradaban dari setiap situasi, masa atau zaman saat sastra
itu dihasilkan. Dengan situasi inilah, tidak dapat dipungkiri bahwa sastra
adalah pemapar unsur-unsur sosiokultural demi memberi pemahaman nilainilai budaya dari setiap zaman atau perkembangan zaman itu sendiri.
Goldmann berpandangan bahwa kegiatan kultural tidak bisa dipahami di luar
totalitas kehidupan dalam masyarakat yang telah melahirkan kegiatan itu;
seperti halnya kata tidak bisa dipahami di luar ujaran Damono (2001:43).
Jadi, pada dasarnya sastra juga mengandung nilai-nilai historis, sosiologis,
dan kultural.
Satoto (2012:176) menyatakan bahwa pandangan dunia ini disebut
sebagai suatu bentuk kesadaran kelompok kolektif yang menyatukan
individu-individu menjadi suatu kelompok yang memiliki identitas kolektif.
Kesimpulan ini adalah pandangan dunia bukan merupakan fakta empiris yang
34
langsung, tetapi lebih merupakan struktur gagasan, aspirasi dan perasaan
yang dapat menyatukan suatu kelompok sosial masyarakat.
4. Hakikat Nilai Pendidikan
Berdasarkan pada hakikat nilai pendidikan di bawah ini dijelaskan tentang
pengertian nilai pendidikan dan nilai pendidikan dalam karya sastra dalah
sebagai berikut:
a. Pengertian Nilai Pendidikan
Menurut Sumantri (2007: 251) berpendapat bahwa nilai adalah sesuatu
yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia.
Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan
manusia, nilai tampak pada ciri individu dan masyarakat yang relatif stabil
karena itu berkaitan dengan sifat kepribadian dan pencirian budaya. Nilai bisa
dipertimbangkan sebagai hal yang lebih umum dalam karakter (tabiat)
ketimbang sikap, namun kurang umum jika dibandingkan dengan ideology.
Nilai-nilai dalam diri manusia bersifat kompleks, maka nilai-nilai itu bersifat
kait-mengait sehingga menjadi sistem nilai. Karya sastra yang baik adalah karya
sastra yang mempunyai bermacam-macam wawasan dan nilai pendidikan. Nilai
pendidikan tersebut dapat bermanfaat bagi kehidupan pembacanya, dengan
memahami rangkaian cerita baik secara eksplisit maupun implisit. Nilai dapat
diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan bermutu yang dapat menunjukkan
suatu kualitas sehingga dapat berguna bagi kehidupan manusia. Artinya, jika
nilai tersebut dihayati oleh seseorang, maka akan memengaruhi cara berpikir dan
cara bersikap orang tersebut dalam mencapai tujuan hidupnya, nilai dapat
diartikan sebagai hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Pendapat
dari Soelaeman (1998: 19) nilai dapat dikembangkan melalui pendidikan.
Pendidikan dialami seseorang sejak ia lahir hingga meninggal dunia. Pendidikan
dapat berupa pendidikan formal dan informal. Pendidikan bertujuan untuk
mencapai tujuan hidup manusia. Jadi, pendidikan merupakan suatu usaha
bersama dalam proses terpadu dan terorganisir untuk membantu manusia dalam
mengembangkan diri dan menyiapkan diri untuk mengambil peran dalam
35
kehidupan bermasyarakat. Melalui proses pendidikan pula manusia akan lebih
mudah menyadari dan memahami berbagai nilai serta menempatkannya sebagai
sesuatu yang penting dalam keseluruhan hidup mereka karena pendidikan
dialami oleh seseorang sejak dia dilahirkan sampai meninggal dunia.
Kata pendidikan berasal dari bahasa Yunani pedagogia yang berarti
pergaulan dengan anak-anak hal ini seperti yang dikemukakan oleh Mahfud
(2011: 32), dalam bahasa Romawi, pendidikan dikenal dengan istilah educate
yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam, sedangkan dalam
bahasa Inggris, pendidikan diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki
moral dan melatih intelektual. Suwarno (2006: 19) berpendapat bahwa tiga
pengertian pendidikan, yaitu: (a) pendidikan merupakan upaya nyata untuk
memfasilitasi individu lain, dalam mencapai kemandirian serta kematangan
mentalnya, sehingga dapat survive di dalam kompetisi kehidupannya; (b)
pendidikan adalah pengaruh bimbingan dan arahan dari orang dewasa kepada
orang lain, untuk menuju kearah kedewasaan, kemandirian serta kematangan
mentalnya; (c) pendidikan merupakan aktivitas untuk melayani orang lain dalam
mengeksplorasi segenap potensi dirinya sehingga terjadi proses perkembangan
kemanusiaannya agar mampu berkompetisi di dalam lingkup kehidupannya.
Hasbullah (2005: 5-6) berpendapat ada beberapa pengertian dasar pendidikan
yang perlu dipahami, yaitu: (a) pendidikan merupakan suatu proses terhadap
anak didik berlangsung terus sampai anak didik mencapai pribadi dewasa susila;
(b) pendidikan merupakan perbuatan manusiawi, pendidikan lahir dari pergaulan
antarorang dewasa dan orang yang belum dewasa dalam suatu kesatuan hidup;
(c) pendidikan merupakan hubungan antarpribadi pendidik dan anak didik; (d)
tindakan atau perbuatan menddik menuntun anak didik mencapai tujuan-tujuan
tertentu, dan hal ini tampak pada perubahan-perubahan dalam diri anak didik.
Noor (2011: 63) menyatakan tujuan pendidikan yang diharapkan yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya, yakni manusia yang taat kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
pekerti luhur.
36
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan merupakan
segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan seseorang melalui proses perubahan
pola pikir dan sikap untuk mencapai tujuan hidup yang lebih baik. Nilai
pendidikan pula merupakan segala sesuatu yang baik maupun buruk yang
berguna bagi kehidupan manusia yang diperoleh melalui proses pengubahan
sikap dan tata laku dalam upaya mendewasakan diri. Nilai-nilai pendidikan yang
tersirat dalam berbagai hal ini dapat mengembangkan masyarakat dalam
membentuk pribadi manusia sebagai makhluk individu, sosial, religius, dan
berbudaya.
b. Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra
Nilai-nilai pendidikan dapat ditangkap manusia melalui berbagai hal, di
antaranya melalui pemahaman dan penikmatan sebuah karya sastra. Sastra
sangat berperan penting sebagai media dalam pentransformasian sebuah nilai
termasuk halnya nilai pendidikan. Dengan kreativitas dan kepekaan rasa,
seorang dramawan tidak hanya mampu menyajikan keindahan rangkaian cerita,
melainkan juga mampu memberikan pandangan yang berhubungan dengan
renungan tentang agama, filsafat, serta beraneka ragam pengalaman tentang
masalah hidup dan kehidupan. Melalui sastra, pembaca dapat memperoleh
pengetahuan mengenai fenomena-fenomena kehidupan dari sudut pandang yang
berbeda. Karya sastra yang diciptakan pengarang merupakan sarana
penyampaian amanat kepada pembacanya. Melalui karyanya pengarang dapat
memengaruhi pola pikir pembaca dan ikut mengkaji tentang baik dan buruk,
benar dan salah yang merupakan tata nilai kehidupan manusia. Setiap karya
sastra yang tercipta dengan kesungguhan akan mengandung relevansi yang kuat
terhadap kehidupan. Semi (1993: 20) mengemukakan bahwa nilai didik dalam
karya sastra memang banyak diharapkan dapat memberi solusi atas sebagian
masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Sastra merupakan alat penting bagi
pemikir-pemikir untuk menggerakkan pembaca pada kenyataan dan menolong
mengambil suatu keputusan apabila menghadapi masalah.
Dari aspek gubahan, sastra disusun dalam bentuk, yang apik dan menarik
sehingga membuat orang senang membaca, mendengar, melihat, dan
37
menikmatinya. Sementari dari aspek isi, karya sastra kental dengan kandungan
manfaat, dimana salah satunya terdapat nilai-nilai pendidikan moral yang
berguna untuk menanamkan pendidikan karakter. Karya sastra memiliki nilainilai yang dapat bermanfaat bagi pembaca. Menurut Kosasih (2012: 3) bahwa
karya-karya sastra, baik itu yang berbentuk puisi, prosa, maupun drama, tidak
lepas dari nilai-nilai budaya, sosial, ataupun moral. Mardiatmaja (1986: 55)
membagi nilai menjadi empat, yaitu nilai kultural, nilai kesosialan, nilai
kesusilaan, dan nilai keagamaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Tarigan
(1993: 195-196) yang menyatakan bahwa nilai-nilai dalam suatu karya dapat
berupa: (1) nilai hedonik (bila nilai dapat memberikan kesenangan secara
langsung kepada kita; (2) nilai artistik (bila suatu karya dapat memanifestasikan
suatu seni atau keterampilan seseorang dalam melakukan pekerjaannya; (3) nilai
kultural (bila suatu karya mengandung suatu hubungan yang mendalam dengan
suatu masyarakat atau suatu peradaban, kebudayaan; (4) nilai etis, moral,
religius (bila dari suatu karya terpancar ajaran-ajaran yang ada sangkut-pautnya
dengan etika, moral, agama; (5) nilai praktis (bila suatu karya sastra mengandung
hal-hal praktis yang dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Karya
sastra dapat memberikan manfaat bagi pembacanya.
Naskah drama merupakan salah satu bentuk karya sastra yang banyak
mengandung nilai-nilai kehidupan yang berisi amanat atau nasihat. Dalam
naskah drama, berbagai nilai hidup dihadirkan karena hal ini merupakan hal
positif yang mampu mendidik manusia, sampai manusia dapat mencapai hidup
yang lebih baik. Adapun nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam naskah
drama menurut pendapat tokoh-tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai
pendidikan dalam karya sastra (dalam hal ini drama) di antaranya berhubungan
dengan moral, agama (religius), budaya, dan sosial dapat diuraikan sebagai
berikut.
1) Nilai Pendidikan Agama
Nurgiyantoro (2007: 326) menyatakan kehadiran unsur religi atau
keagamaan dalam karya sastra adalah setara dengan keberadaan sastra itu
sendiri, bahkan sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Hal ini
38
sependapat dengan Semi (1993: 22) bahwa agama merupakan dorongan
penciptaan sebuah karya sastra. Sebagai sumber ilham dan sekaligus sering
membuat sastra atau karya sastra bermuara kepada agama. Agama merupakan
kunci sejarah, kita baru dapat memahami jiwa suatu masyarakat bila kita
memahami agamanya. Nilai religius akan menanamkan sikap pada manusia
untuk tunduk dan taat kepada Tuhan atau dalam keseharian kita kenal dengan
takwa. Penanaman nilai religius yang tinggi mampu menumbuhkan sikap
sabar, tidak sombong, dan tidak angkuh kepada sesama. Manusia menjadi
saling mencintai dan menghormati sehingga mampu mewujudkan hidup yang
harmonis dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, maupun
makhluk lain. Nilai-nilai religius bertujuan untuk mendidik agar manusia
lebih baik menurut tuntunan agama dan selalu ingat kepada Tuhan. Suwondo
(1994: 63) berpendapat bahwa religius merupakan keterkaitan antara manusia
dengan Tuhan sebagai sumber ketenteraman dan kebahagiaan. Manusia
religius berarti memiliki keterikatan dengan Tuhan baik jasmani maupun
rohani secara sadar. Hal ini berbeda dengan Koentjaraningrat (1992: 267)
yang mengungkapkan bahwa karya sastra, khususnya drama seringkali
disamakan dengan upacara keagamaan. Namun, cerita yang dimainkan yaitu
cerita-cerita tentang dewa dari kitab-kitab maupun mitos-mitos. Dramadrama tersebut dianggap dapat menimbulkan suasana keramat. Namun,
kepercayaan seperti itu hanya berkembang di daerah yang masih kental unsur
mistisnya.
Nilai-nilai religius yang terkandung dalam sebuah karya sastra
dimaksudkan agar penikmat karya tersebut mendapatkan renungan-renungan
batin dalam kehidupan yang bersumber pada nilai-nilai agama. Dari beberapa
pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa nilai religius merupakan
nilai kerohanian tertinggi dan mutlak yang bersumber kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Seorang pengarang tidak dapat terlepas dari nilai-nilai dan normanorma yang bersumber dari ajaran agama yang ada dalam kehidupan. Setiap
karya yang diciptakan akan memuat unsur religi yang tersurat maupun
39
tersirat. Nilai-nilai religi tersebut dapat dimanfaatkan oleh penikmat karya
sastra untuk mempertebal keimanan.
2) Nilai Pendidikan Moral dan Karakter
Menurut Hasbullah (2005: 194) nilai moral merupakan kemampuan
seseorang membedakan antara yang baik dan yang buruk. Nilai moral yang
terkandung dalam karya sastra bertujuan mendidik manusia agar mengenal
nilai-nilai etika. Nilai moral merupakan nilai baik buruk suatu perbuatan, apa
yang harus dihindari, dan apa yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu
tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan
bermanfaat bagi orang itu, masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar. Seperti
halnya dengan pendapat Zuriah (2007: 12) bahwa moral adalah sesuatu yang
restrictive, artinya bukan sekadar sesuatu yang deskriptif tentang sesuatu
yang baik, melainkan juga sesuatu yang mengarahkan kelakuan dan pikiran
seseorang untuk berbuat baik. Moral mengimplikasikan adanya disiplin.
Pelaksanaan moral yang tidak berdisiplin sama artinya dengan tidak
bermoral. Secara umum, moral merujuk pada karakter, akhlak, budi pekerti,
sikap, dan sebagainya. Nilai moral juga terkandung dalam karya sastra. Hal
ini seperti yang diungk19apkan Natasa Pantic dalam penelitiannya yang
berjudul Moral Education Through Literature. Ia mengatakan bahwa
pendidikan moral dapat dilakukan melalui karya sastra. Dalam penelitiannya
tersebut, ia juga mengungkapkan timbulnya perdebatan di era pascastrukturalis yang terjadi sampai abad ke-20 saat ini mengenai kelayakan sastra
sebagai sumber pengajaran moral. Nurgiyantoro (2007: 321) mengungkapkan
bahwa moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup
pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran,
dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Moral dalam
cerita, menurut Kenny biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang
berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat
diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca.
Karya sastra dapat dipahami sebagai alat didik yang baik bagi masyarakat.
Pengarang sebisa mungkin dapat menghadirkan nilai etika dalam karya
40
sastranya sampai menimbulkan efek yang positif bagi pembaca. Nilai etika
atau moral dalam karya sastra bertujuan mendidik manusia agar mengenal
nilai-nilai etika dan budi pekerti. Mujianto (1988: 133) menyatakan bahwa
sastra berangkat dari iktikad baik, tidak sunyi dari untaian hikmah di antara
seru derunya konflik atau peristiwa cerita. Keberadaan nilai moral/etika
dalam karya sastra adalah bentuk nasihat yang diberikan kepada
pengarangnya secara tidak langsung. Pengarang mencoba memberikan
bentuk tersendiri untuk membingkai segala sesuatu yang ingin disampaikan.
Penyampaiannya dapat berupa kritikan yang ada dalam dialog tokoh-tokoh,
kadang hanya sepintas lalu menyebutkan sepatah dua patah kata ditengah
narasi tetapi tidak jarang nilai pendidikan etika terselubung di seluruh
permukaan cerita. Dalam hal ini, pembaca harus memahami keseluruhan
cerita untuk dapat menemukan hikmah dalam karya sastra. Noor (2011: 25)
berpendapat bahwa sastra seharusnya menjadi alat untuk membantu
mengarahkan manusia pada tataran yang bermakna sehingga mampu saling
mengingatkan agar tidak masuk dalam jurang kebobrokan moral.
Karya sastra fiksi biasanya menyuguhkan pesan moral yang
berhubungan dengan sifat kemanusiaan, serta memperjuangkan hak dan
martabat manusia. Melalui sikap dan tingkah laku para tokoh, pembaca
diharapkan mampu mengambil hikmah dan pesan-pesan moral yang
diamanatkan. Pemahaman terhadap nilai moral yang berkandung dalam karya
sastra bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika yang
baik dan buruk. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa nilai moral
merupakan nilai yang berhubungan dengan sopan santun dan tingkah laku
individu di dalam suatu kelompok tertentu yang mencerminkan etika dan budi
pekerti.
3) Nilai Sosial
Nilai sosial berhubungan dengan masyarakat atau sistem sosial.
Menurut Kosasih (2012: 3) nilai-nilai sosial berkaitan dengan tata laku
hubungan antara sesama manusia (kemasyarakatan). Tata nilai sosial tertentu
akan mengungkapkan sesuatu hal yang bisa direnungkan. Dari karya sastra
41
dengan ekspresi pengungkapan nilai sosial pada akhirnya dapat dijadikan
cermin atau contoh bagi pembacanya. Nilai kesosialan merupakan nilai yang
berkaitan dengan hubungan antarmanusia. Nilai sosial merupakan sikapsikap dan perasaan yang diterima secara luas oleh masyarakat dan merupakan
dasar untuk merumuskan apa yang benar dan apa yang penting. Nilai sosial
mengacu pada pertimbangan terhadap suatu tindakan benda, cara untuk
mengambil keputusan apakah sesuatu yang bernilai itu memiliki kebenaran,
keindahan, dan nilai ketuhanan. Nilai sosial mencakup pengembangan
manusia dalam hidup bersama agar kasih sayang, kepercayaan, pengakuan,
perlindungan, maupun penghargaan dalam hidup terpenuhi. Salah satu tujuan
pendidikan sosial adalah membentuk manusia yang mempunyai kesadaran
sosial. Kesadaran terhadap nilai-nilai sosial akan membawa manusia pada
kesadarannya bahwa dalam hidup manusia tidak dapat lepas dari bantuan
manusia lain.
Karya sastra berkaitan erat dengan nilai sosial. Semi (1993: 55)
mengatakan bahwa kesusastraan mencerminkan sistem sosial yang ada dalam
masyarakat, termasuk di dalamnya adalah sistem kekerabatan, ekonomi,
politik, pendidikan, kepercayaan, dan hal-hal lain yang terdapat dalam
masyarakat. Karya sastra merupakan karya imajinatif yang bersumber dari
realitas sosial dalam masyarakat. Karya sastra juga merupakan hasil cipta,
rasa, dan karsa manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Membaca
karya sastra berarti membaca realitas sosial yang terjadi di dalamnya. Dengan
demikian, nilai sosial dalam sastra menjadikan pembaca sadar akan
pentingnya kehidupan kelompok dalam ikatan kekeluargaan antara individu
satu dengan individu lain.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa nilai sosial
merupakan hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan, dalam hubungannya
antarindividu dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai tersebut biasanya
dapat diterima secara luas oleh masyarakat dan ditujukan untuk kepentingan
kemanusiaan. Karya sastra juga mengungkapkan nilai sosial. Banyak
membaca karya sastra dapat meningkatkan kepekaan perasaan pembaca
42
terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan serta pembaca lebih menghayati
kehidupan sosialnya sehingga menciptakan kecintaanya terhadap keadilan
dan kebenaran. Nilai sosial dalam naskah drama akan lebih dapat dirasakan
setelah naskah tersebut dipentaskan, walaupun dengan membacanya pembaca
telah dapat menangkap maknanya.
4) Nilai Budaya
Nilai-nilai budaya berkaitan dengan pemikiran, kebiasaan, dan hasil
karya cipta manusia, hal ini sesuai dengan pendapat Kosasih (2012: 3). Kata
budaya berasal dari bahasa sansekerta buddhayah, yang merupakan bentuk
jamak dari buddhi (budi atau akal) yang diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa inggris kebudayaan
disebut culture, yang berasal dari kata latin colere, yaitu mengolah atau
mengerjakan. Bisa juga diartikan mengolah tanah atau bertani. Kata culture
juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Nilai
budaya (cultural velue) merupakan nilai yang dapat memberikan atau
mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban,
atau kebudayaan. Sesuai dengan pendapat Sutardjo (2010: 12) dalam
kebudayaan terdapat gagasan-gagasan, cara berpikir, ide-ide, yang
menghasilkan norma-norma, adat-istiadat, hukum, dan kebiasaan yang
merupakan pedoman bagi tingkah laku dalam masyarakat. Masyarakat dalam
hidupnya memiliki peradaban sendiri-sendiri sesuai dengan lingkup daerah
yang mereka tinggali. Nilai budaya dalam kehidupan manusia diperoleh
karena manusia memaknai ruang dan waktu. Makna itu akan bersifat
intersubjektif karena ditumbuhkembangkan secara individual, namun
dihayati secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat sehingga
menjadi latar budaya yang terpadu bagi fenomena yang digambarkan. Oleh
karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman
tertinggi bagi kelakuan manusia. Dari budaya tersebut masyarakat terikat
dengan aturan maupun tatanan yang telah dibuat oleh pendahulupendahulunya. Sistem nilai budaya merupakan konsep yang hidup dalam
alam pikiran (sebagian) masyarakat. Sistem nilai budaya tidak hanya
43
berfungsi sebagai pedoman, tetapi sebagai pendorong tingkah laku manusia
dalam hidup.
5. Pengajaran Apresiasi Drama di Sekolah
Semakin memprihatikannya dunia pendidikan karena kemunduran mental
dan moral para generasi muda. Hal ini menjadi perhatian khalayak cendekiawan
dan para pemerhati dunia pendidikan. Wibowo (2013: 10) menyatakan
mengatasi degradasi moral anak bangsa, saat ini pemerintah dan rakyat
Indonesia tengah gencar mengimplementasikan pendidikan karakter di institusi
pendidikan, mulai dari tingkat dini (PAUD), sekolah dasar (SD/MI), sekolah
menengah (SMA/MA), hingga perguruan tinggi. Melalui pendidikan karakter
yang diimplementasikan dalam institusi pendidikan, diharapkan krisis degradasi
moral karakter atau moralitas anak bangsa ini bisa segera diatasi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Pratiwi dan Siswiyanti (2014: 27) apresiasi naskah drama
merupakan suatu kegiatan atau proses yang melibatkan tiga unsur inti, yaitu (1)
aspek kognitif, (2) aspek emotif, (3) aspek evaluatif. Aspek kognitif berkaitan
dengan keterlibatan penalaran (logika) pembaca dalam memahami unsur-unsur
kesastraan yang bersifat objektif. Unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif
tersebut berhubungan dengan unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik naskah
drama. Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam
upaya menghayati unsur-unsur keindahan yang terdapat dalam naskah drama.
Unsur emosi berperan penting dalam memahami unsur subjektif dalam naskah
drama. Unsur subjektif tersebut misalnya bahasa yang digunakan dalam dialog
antar tokoh yang mengandung makna konotatif dan multiinterpretatif.
Hidayatullah (2009: 59) menyatakan semua komponen pendidikan
terutama pendidik harus memiliki komitmen tinggi dalam melaksanakan
tugasnya. Tanpa komitmen yang kuat, suatu tujuan tidak akan tercapai secara
optimal, bahkan dapat menuai kegagalan. Semua pihak dan komponen bangsa
harus ikut terlibat menyingsingkan lengan baju membangun karakter bangsa
yang kuat dan khas. Semua potensi bangsa haruslah bersatu padu untuk
44
melakukan sebuah gerakan dan tindakan dalam upaya membangun karakter
bangsa.
Kesimpulan dari solusi yang diuraikan atas tidak serta merta secara instan
mengatasi masalah yang ada. Pada kenyataannya walaupun pengajaran sastra
telah diimplementasikan di sekolah tetapi degradasi moral justru terus
memburuk. Para ahli mengemukakan masalah utama pada kasus ini bukan pada
pembelajaran sastra yang telah ada dan diimplementasikan di sekolah,
melainkan proses pembelajaran sastra yang telah dilaksanakan tidak berjalan
dengan baik dan tidak dilaksanakan dengan baik oleh guru. Banyak faktor yang
mengikuti permasalahan tersebut antara lain karena kurangnya penguasaan
pengajaran sastra oleh guru, guru tidak kreatif, guru tidak mempunyai
pengalaman dalam pembelajaran sastra.
6. Kesesuaian Naskah Drama Langite Wis Padhang karya Budi Waluyo
sebagai Alternatif Materi Pembelajaran Apresiasi Drama pada Siswa SMP
Kelas IX
Naskah Sandiwara Langite Wis Padhang digunakan sebagai alternatif bahan
pembelajaran bahasa Jawa khususnya ilmu sastra, agar peserta didik dapat
mengambil
nilai-nilai
yang
terkandung
dalam
naskah
tersebut
dan
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penelitian ini relevansi
atau hubungan adalah hubungan antara kemanfaatan penggunaan. Moedjiono dan
Dimyati (1992: 1) mengemukakan tujuh komponen dalam pembelajaran. Adapun
yang disebut sebagai komponen tersebut antara lain:
a. Guru, adalah pihak yang bertindak sebagai pengelola kegiatan belajar-mengajar,
sebagai mediator antara siswa dan materi, dan peranan lain yang memungkinkan
terjadinya suatu kegiatan belajar-mengajar yang efektif.
b. Siswa adalah pihak yang bertindak sebagai penerima, pencari, dan penyimpan
materi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.
c. Tujuan, adalah pernyataan tentang perubahan tingkah laku yang diinginkan
terjadi pada siswa setelah mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Perubahan
tingkah laku ini mencakup perubahan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
45
d. Materi pelajaran, merupakan segala bentuk informasi yang diperlukan untuk
mencapai tujuan.
e. Metode, yakni cara yang digunakan untuk memberi kesempatan pada siswa
untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan untuk mencapai tujuan.
f. Media, yakni alat atau bahan yang digunakan untuk menyampaikan materi atau
informasi pada siswa.
g. Evaluasi, adalah suatu cara yang digunakan untuk menilai proses dan hasil
belajar siswa.
Menurut Zuchdi dan Budiasih (2001: 88–92) nilai-nilai yang terkandung
dalam pembelajaran sastra bagi anak antara lain:
1) Memahami dunia lewat sastra
Lewat karya sastra anak-anak dapat mempelajari dan memaknai dunia mereka.
Misalnya, dengan membaca karya sastra yang melukiskan seorang anak yang
sering menolong sehingga disayangi oleh gurunya dan juga teman-temannya.
Anak-anak akan mengerti bahwa mereka pun harus bersifat seperti tokoh cerita
tersebut. Karya sastra juga dapat membangkitkan keingintahuan anak-anak.
Setelah membaca, anak-anak sering ingin belajar lebih banyak, sehingga mereka
akan mencari bahan-bahan yang serupa. Mereka mungkin mencoba menulis
cerita berdasarkan cerita yang telah mereka baca.
2) Membentuk sikap positif
Di samping mempelajari dunia mereka, sangatlah penting bagi anak-anak
mengembangkan berbagai sikap-sikap positif. Mereka perlu mengembangkan
kesadaran akan harga diri dan melihat dirinya sebagai pribadi yang memiliki
kemampuan, berhak memperoleh perhatian dan kasih sayang.
Syafi’i (1993: 68–69) mengutarakan konsep-konsep dalam pembelajaran
apresiasi drama, sebagai berikut.
a) Pembelajaran drama bukan merupakan pembentukan penguasaan pengetahuan
mengenai drama, melainkan pembinaan peningkatan apresiasi drama.
b) Pembelajaran mengapresiasi dilakukan dengan memberikan kesempatan
sebanyak-banyaknya kepada siswa untuk terlibat secara langsung dalam
kegiatan mengapresiasi dan mengaktualisasikan drama.
46
c) Guru hanya berperan sebagai motivator agar siswa dapat menemukan sendiri
manfaat dan keasyikan membaca teks drama.
d) Pembelajaran apresiasi drama harus terhindar dari proses yang bersifat mekanis,
melainkan harus menekankan pada pemerolehan pengalaman batin dalam diri
siswa yang dapat diperoleh dari kegiatan membaca teks drama dan menyaksikan
pertunjukkan drama sehingga proses tersebut dapat meningkatkan kualitas batin
siswa.
Dengan mengetahui manfaat penggunaan teks sastra dalam pembelajaran
sastra bagi anak, maka seorang guru harus secara sadar menggunakan teks sastra
dalam materi pembelajarannya. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan, bahwa
pembelajaran apresiasi sastra merupakan sebuah usaha sadar yang dilakukan oleh
guru kepada siswa yang menggunakan teks sastra sebagai salah satu materi
pembelajarannya.
Pembelajaran
apresiasi
sastra
merupakan
bagian
dari
pembelajaran bahasa. Pada hakikatnya, pembelajaran sastra adalah membawa siswa
ke arah pengalaman sastra. Moedjiono dan Dimyati (1992: 8) menjelaskan ranah
tujuan pendidikan berdasarkan hasil belajar secara umum dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu: (1) kawasan kemampuan kognitif yang mencakup:
pengetahuan, pemahaman, analisis, sintesis, dan evaluasi; (2) kawasan kemampuan
afektif yang terdiri dari: menerima, responding, menaruh penghargaan,
mengorganisasikan sistem nilai, dan mengadakan karakterisasi nilai; (3) kawasan
kemampuan psikomotorik yang mencakup: persepsi, kesiapan, respons terpimpin,
mekanisme (penggunaan kemampuan), dan respons yang kompleks (penggunaan
kemampuan berdasarkan pengalaman). Agar para remaja dapat mengambil
palajaran yang terkandung dari sebuah teks sastra dan tidak menutup kemungkinan
mereka dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-harinya, hendaknya para remaja
khususnya remaja usia sekolah mendapat suatu pembelajaran mengenai apresiasi
sastra dari bangku sekolah. Akan tetapi, pembelajaran sastra pada saat ini telah
menjadi sebuah pembelajaran yang bermasalah. Masalah tersebut tidak lain pada
hasil pembelajaran yang telah dilaksanakan masih bersifat teoretis dan verbalitas.
Masih banyak guru yang hanya memberikan para siswanya dengan berbagai macam
teori sastra semata. Akibatnya, pengajaran sastra menjadi suatu kegiatan belajar-
47
mengajar yang membosankan. Apalagi genre sastra drama dinilai memiliki
pemahaman yang sulit, sehingga minat siswa dalam mempelajarinya sangat rendah.
Pembelajaran apresiasi sastra di sekolah bertujuan agar siswa menikmati dan
memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi
pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Selain itu
juga agar siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia. Termasuk juga agar siswa memperoleh
pengetahuan tentang sastra dengan berbagai teori dan nama pengarang, judul, dan
angkatan-angkatannya.
Guru sastra hendaknya mampu untuk memilih bahan ajar atau meteri yang
diminati oleh anak didiknya dan juga sesuai dengan usianya sehingga guru dapat
menyajikan sebuah teks sastra yang sesuai dengan perkembangan pemikiran anak
didik sehingga dalam proses pembelajaran anak didik tidak terlalu dipaksa untuk
berpikir jauh lebih dari jangkauan pemikirannya. Salah satu prinsip penting dalam
pengajaran sastra adalah pemilihan bahan ajar yang disesuaikan dengan
kemampuan siswanya pada suatu tahapan pengajaran sesuai dengan pendapat
(Rahmanto, 1988: 26–27). Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan seorang
guru dalam memilih bahan ajar yang tepat, yaitu: pertama, dari sudut bahasa; kedua,
dari segi kematangan jiwa (psikologi); ketiga, dari segi latar kebudayaan anak didik.
Pengajaran drama juga meliputi apresiasi terhadap naskah drama maupun
pementasan drama. Di tingkat sekolah menengah, guru harus mampu memilihkan
materi serta contoh-contoh yang sesuai. Misalnya, berkaitan dengan durasi drama
serta konten drama tersebut. Penyesuaian tersebut dilakukan agar dapat membantu
perkembangan psikologis siswa kearah yang lebih baik. Selama ini banyak guru
yang hanya mementingkan aspek kognitif sehingga terlalu banyak mengajarkan
teori daripada praktik, seperti apresiasi dan pementasan drama. Kesulitan dalam
pembelajaran drama yang ditulis oleh dramawan-dramawan popular biasanya sukar
dimengerti siswa tingkat sekolah menengah. Oleh karena itu dalam buku-buku
pegangan siswa, drama-drama hanya disajikan berupa cuplikan pendek. Hal ini
seperti yang diungkapan oleh Pratiwi dan Siswiyanti (2014: 14-15) bahwa
pembelajaran apresiasi drama diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu: (1)
48
gaya penyajian dalam naskah drama, dan (2) unsur inti dalam apresiasi naskah
drama. Mempelajari naskah drama dan pentas drama merupakan dua hal yang
berbeda. Dalam mempelajari naskah drama, struktur naskah lebih ditekankan,
sedangkan dalam pentas drama pemain harus benar-benar menguasai karakter
tokoh dan dapat berekspresi secara tepat. Melalui pementasan yang dilihat maupun
diperankan sendiri oleh siswa, dapat memberikan manfaat berupa pengembangan
kepribadian serta peningkatan pengetahuan mengenai keterampilan berbahasa.
Penelitian dengan objek naskah drama ini dilakukan agar dapat memberikan
kontribusi positif terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Naskah Langite Wis
Padhang merupakan salah satu naskah yang diduga sangat relevan terhadap siswa
SMP. Oleh karena itu, dengan pendekatan strukturalisme genetik dan nilai
pendidikan, diharapkan dapat mengupas secara utuh struktur serta nilai edukatif
yang terdapat di dalamnya. Isi cerita yang kental dengan nilai moral dianggap sesuai
dengan kurikulum pembelajaran bahasa Jawa di SMP.
7. Penelitian yang Relevan
Suatu penelitian pada dasarnya beranjak dari awal tetapi pada umumnya telah
ada penelitian yang mendasari dari segi titik tolak untuk mengadakan penelitian
lebih lanjut. Hal ini dilakukan dengan maksud menghindari duplikasi, disamping
itu menunjukan bahwa topik yang telah diteliti oleh peneliti lain dalam konteks
yang sama. Penelitian yang relevan tentang analisis strukturalisme genetik dan nilai
pendidikan tentang analisis strukturalisme genetik dan nilai pendidikan pada novel
Tesis dari Giyanto pada tahun 2010, mahasiswa Pascasarsajana Jurusan Pendidikan
Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas
Maret (2010) dengan Judul, “Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar,
Mantra Penjinak Ular, dan Wasripin dan Satinah (Sebuah Tinjauan Strukturalisme
Genetik dan Nilai Pendidikan)”. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil yang
menunjukan adanya analisis strukturalisme genetik yang meliputi pandangan dunia
pengarang , struktur teks novel, struktur budaya masyarakat dalam Novel Pasar,
Mantra Penjinak Ular, dan Wasripin dan Satinah. Hal ini sejalan dengan penelitian
ini karena sama-sama menggunakan metode strukturalisme genetik namun yang
49
membedakan adalah mengkaji novel dan naskah drama. Penelitian yang lain yaitu
Tesis dari Herlan Kurniawan pada tahun 2011 dari Program Studi Pendidikan
Bahasa Indonesia, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (2011) dengan judul
“Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan yang didasarkan pada
Budaya Jawa dalam Novel Senopati Pamungkas Karya Arswendo Atmowiloto”.
Dari penelitian ini diperoleh hasil yang menunjukkan analisis strukturalisme
genetik antara lain struktur novel, pandangan pengarang terhadap terciptanya novel
ini, dan struktur sosial yang ada dalam novel tersebut dan dalam analisis nilai
pendidikan antara lain nilai budaya, nilai religius, nilai sosial dalam novel namun
yang membedakan dalam penelitian ini adalah kajiannya menggunakan novel dan
tidak adanya relevansinya terhadap pembelajaran di sekolah.
Kedua adalah Disertasi dari Sutardi pada tahun 2014 dari Program Studi
Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret
(2014) dengan judul “Kajian Strukturalisme Genetik, Gender dan Nilai Pendidikan
Trilogi Novel Gadis Tangsi Karya Suparta Brata”. Dari penelitian tersebut adanya
analisis strukturalisme genetik yang meliputi pandangan dunia, struktur teks,
struktur sosial, kesetaraan gender dan nilai pendidikan. Hal ini sejalan dengan
dengan penelitian ini karena menggunakan metode strukturalisme genetik serta
diperkuat dengan analisis nilai pendidikan namun yang membedakan dari penelitian
ini adalah kajiannya karena dalam Desertasi tersebut mengkaji novel dan dalam
penelitian ini mengkaji naskah drama.
Pada penelitian yang lain ada pada Tesis dari Suliyanto pada tahun 2009 dari
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Program Studi Pendidikan Bahasa
Indonesia (2009) dengan judul “Cerita Rakyat di Kabupaten Wonogiri (Kajian
Struktural dan Nilai Pendidikan)”. Dari penelitian tersebut mendeskripsikan cerita
rakyat yang ada di kabupaten Wonogiri dan menganalisis struktur dari cerita rakyat
tersebut antara lain tema, alur, penokohan, setting, amanat dll. Serta menganalisis
nilai pendidikan terdapat nilai religius, nilai sosial, nilai pendidikan karakter dalam
cerita rakyat tersebut hal ini sejalan dengan penelitian yang saya lakukan karena
karena menganalisis struktural dalam cerita dan nilai pendidikan namun yang
50
membedakan dalam penelitian ini adalah obyek kajiannya yaitu tentang cerita
rakyat dan tidak menganalisis dengan strukturalisme genetik.
Selanjutnya adalah penelitian oleh Budi Waluyo dari Pascasarjana Jurusan
Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Sebelas Maret (2010) dengan judul “Strukturalisme Genetik Drama Panembahan
Reso Karya W.S Rendra”. Dari penelitian strukturalisme genetik tersebut diperoleh
pandangan dunia Rendra pada naskah drama Panembahan Reso, struktur dramatik
dan konflik naskah drama Panembahan Reso, latar belakang sosial budaya yang
melandasi drama Panembahan Reso, kemudian keterkaitan anatara drama
Panembahan Reso karya Rendra dengan drama Langite Wis Padhang karya Budi
Waluyo. Hal ini sejalan dengan penelitian karena sama-sama menggunakan metode
strukturalisme genetik namun objek kajiannya berbeda dan tidak ada nilai
pendidikannya.
Penelitian yang relevan selanjutnya dari skripsi dari Niken Yunindar
Kuncoroningrum dari Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret (2012) dengan Judul “Naskah
Drama Kapai-Kapai Karya Arifin C. Noer (Tinjauan Struktural, Nilai Edukatif, dan
Relevansinya terhadap Pembelajaran Apresiasi Drama di SMA)”. Dari penelitian
ini adanya nilai edukatif pada naskah drama Kapai-Kapai, nilai edukatif meliputi
nilai religius, nilai moral, nilai budaya dan nilai sosial keterkaitan penelitian ini
adalah sama-sama mengkaji nilai pendidikan yang terdapat pada naskah drama
serta adanya relevansinya terhadap pembelajaran di sekolah namun yang
membedakan dari penelitian ini adalah hanya menggunakan tinjauan struktural.
Penelitian yang lainnya dari jurnal internasional oleh Nugraheni Eko
Wardani, Herman J Waluyo dan Sutardi tahun 2013 dari Pascasarjana Universitas
Negeri Sebelas Maret, jurnal dari International Interdisciplinary Research Journal
Volume3 issue 5 halaman 482-498, dengan judul “The Study of Genetic
Structuralism, Gender, and Values of Education in Trilogy Novel Gadis Tangsi by
Suparto Brata”. Dari jurnal tersebut menganalisis trilogi novel Suparta Brata dari
penelitian pandangan dunia pengarang Suparto Brata merupakan humanisme sosial,
struktur teks untuk mencerminkan masalah berkurang dari pemahaman masyarakat
51
Jawa terhadap budaya Jawa, struktur sosial yang ada di trilogi Novel Gadis Tangsi
adalah struktur sosial dari masyarakat priyayi dari istana dan wong cilik (rakyat
biasa) yang tinggal di barak Belanda dan masyarakat pedesaan, kesetaraan gender
ditandai dengan tidak adanya keadilan gender, yaitu, marginalisasi, subordinasi,
stereotipe, kekerasan, dan beban kerja yang berlebihan antara pria dan wanita, dan
nilai-nilai pendidikan yang ditandai oleh bentuk, pada nilai-nilai pendidikan dalam
keutamaan pendidikan perempuan, etos kerja, pendidikan moral dan, karakter luhur
masyarakat Jawa. Sehingga terdapat persamaan yaitu strukturalisme genetik dan
nilai pendidikan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, hanya yang
membedakan adalah dalam jurnal internasional tersebut adalah mengkaji novel dan
penelitian yang dikaji oleh penulis adalah naskah drama. Jurnal yang meneliti
tentang novel dengan strukturalisme genetik adalah jurnal dari Yuliana Puspitasari,
Hat Pujiati, Irana Astutiningsih pada tahun 2012 dari English Departement Faculty
of Letters, Jember University dengan judul “Negotiating Modernity, Resisting
Tradition: Genetic Structuralism Analysis On Buchi Emecheta's The Bride Price”
jurnal ini menganalisis tentang sebuah novel yang ditulis oleh Buchi Emecheta dari
Nigeria pada tahun 1976. Novel ini berfokus pada persepsi oposisi biner antara yang
modern dan tradisional atau cara berpikir yang modern dan yang tradisional dari
suatu suku di dalam masyarakat. Dan digambarkan novel berjudul hearts the bride
harga. Pikiran yang modern karakter utama perempuan dan laki laki pada dibahas
penelitian inisial. Pertama, pemikiran-pemikiran yang modern dan tradisional,
kedua adalah struktur novel dan pandangan pengarang dan yang ketiga adalah
struktur sosial yang seperti apa yang muncul pada kelas sosial masyarakat Nigeria.
artikel ini dimulai dengan novel analisis dan menggunakan teori strukturalisme
genetik menganalisis pandangan pengarang dan struktur sosial masyarakat Nigeria.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis karena menggunakan
analisis strukturalisme genetik dengan teori Goldman Lucien. Jurnal internasional
yang lain adalah Sanusi Ibrahim dari Department of English College of Education
tahun 2012 dengan judul Structuralism as a Literary Theory: An Overviewvolume
1 nomer 1 halaman 124-131, pada jurnal ini berisi tentang teori-teori strukturalisme
dan cara menganalisis karya sastra dengan strukturalisme jurnal ini ada
52
persamaannya dengan penelitian saya yaitu cara menganalisis dengan teori
strukturalisme genetik yaitu dengan teori dari Ratna yang di dalamnya ada konsep
pandangan dunia, struktur sosial, subjek kolektif hal ini terdapat persamaan karena
dalam penelitian yang dilakukan juga mengacu pada teori-teori strukturalisme
genetik. Jurnal internasional yang memuat tentang nilai-nilai pendidikan dari
Laurie Brady dari University of Technology, Sydney dengan judul Teacher Values
and Relationship: Factors in Values Education pada tahun 2011. Jurnal volume 2
nomer 36 halaman 56-66 ini berisi tentang nilai-nilai pendidikan sebagai
pembentuk karakter siswa yaitu nilai sosial, nilai religius, nilai moral dan nilai
budaya. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam membentuk karakter siswa.
Contohnya adalah dengan nilai sosial siswa dapat mengerti akan pentingnya tolong
menolong terhadap sesama teman. Nilai religius yaitu siswa dapat lebih
mendekatkan diri dengan Tuhan-nya dan menjadikan siswa jauh dari perbuatan
yang tercela. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Dalam
penelitian ini juga menganalisis nilai pendidikan dalam naskah drama. Selanjutnya
Jurnal internasional yang hubungannya dengan nilai pendidikan moral dengan
drama adalah karangan Marie Gervais dari University of Alberta, Canada dengan
judul “Exploring Moral Values with Young Adolescents Through Process Drama”
pada tahun 2006 volume 7 nomer 2 halaman 1-34 jurnal ini berisi nilai-nilai moral
dalam bermain drama pada anak SMP dengan bermain drama moral anak akan
tercipta yaitu rasa hormat, rasa kepedulian terhadap sesama manusia dan rasa tolong
menolong antar manusia hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan karena
penelitian ini menggunakan nilai moral dalam naskah drama dan mengkaji nilai
moral yang terdapat dalam naskah drama Langite Wis Padhang karya Budi Waluyo.
Berdasarkan pada penelitian yang relevan di atas, perbedaan penelitian ini
dengan penelitian yang telah dikaji. Serta mengacu pada jurnal internasional yang
sebelumnya terlihat pada aspek yang dikaji dan yang ditekankan. Penelitian ini
mengkaji strukturalisme genetik dan nilai pendidikan dalam naskah drama Langite
Wis Padang karya Budi Waluyo dalam penelitian ini penulis menggunakan tinjauan
strukturalisme genetik melalui pendeskripsian unsur-unsur yang terkandung dalam
naskah drama serta menganalisis nilai pendidikan yang dapat diterapkan dalam
53
kehidupan masyarakat, serta relevansinya terhadap pembelajaran apresiasi drama
di SMP kelas IX. Selain itu, hal ini juga dapat memberikan inovasi baru kepada
guru saat memberikan materi tentang drama, sehingga siswa dapat mengerti dan
tertarik mempelajari sebuah karya sastra.
B. Kerangka Berpikir
Karya sastra adalah suatu cara mengungkapkan gagasan, ide, dan pemikiran
dengan gambaran-gambaran pengalaman. Karya sastra merupakan hasil kegiatan
kreatif, imajinatif, dan artistik. Sebagai kegiatan yang imajinatif, sastra
menyuguhkan pengalaman batin yang pernah dialami pengarang kepada penikmat
karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra merupakan suatu sarana untuk
mengungkapkan nilai-nilai yang dianggap lebih tinggi serta menafsirkan makna dan
hakikat hidup. Telah diketahui bahwa kehidupan masyarakat sesuatu yang sangat
kompleks. Kekompleksan tersebut diakibatkan oleh hubungan antara manusia
dengan manusia, manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam sekitarnya,
dan manusia dengan Tuhan-nya. Hubungan-hubungan tersebut menimbulkan
konflik yang menyebabkan kepincangan dan penyelewengan dalam kehidupan.
Drama sebagai salah satu genre sastra adalah tiruan dari kehidupan manusia yang
ditulis dengan tujuan untuk dipentaskan.
Karya sastra memberi kesenangan dan faedah bagi masyarakat, khususnya
bagi masyarakat penikmatnya. Nilai-nilai yang terdapat di dalamnya sangat
bermanfaat untuk diteladani. Pengarang menciptakan karya sastra agar dapat
memberikan manfaat kepada penikmatnya. Dalam penelitian ini, naskah drama
Langite Wis Padhang merupakan objek yang dipilih sebagai bahan kajian. Selain
menelaah strukturalisme genetik dan nilai-nilai yang terkandung dalam naskah
drama tersebut, penelitian ini juga bertujuan untuk menunjukkan penggunaan
naskah drama sebagai bahan ajar dalam kurikulum mata pelajaran Bahasa Jawa.
Jika digambarkan, maka kerangka berpikir dalam penelitian ini ialah sebagai
berikut.
54
Naskah Drama “Langite Wis Padhang Karya Budi Waluyo”
Analisis Struktural
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Tema
Penokohan
Alur
Setting
Dialog
Petunjuk
Teknis
7. Amanat
Strukturalisme Genetik
1. fakta
kemanusiaan,
2. subjek kolektif,
3. pandangan dunia,
Nilai-Nilai
Pendidikan
1. Nilai Moral
dan Karakter
2. Nilai Religi
3. Nilai Sosial
4. Nilai Estetika
Relevansinya dengan Pelajaran
Bahasa Jawa di SMP Kelas IX
Semester Genap
Simpulan
Gambar 1. Model Analisis Struktural, Strukturalisme Genetik dan Nilai
Pendidikan dalam Naskah Drama Langite Wis Padhang
Download