BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan Pada bagian ini dijelaskan tentang, (a) hakikat naskah drama, (b) analisis struktural pada drama, (c) kajian strukturalisme genetik, (d) hakikat nilai pendidikan, (e) relevansi naskah drama Langite Wis Padhang karya Budi Waluyo dalam pembelajaran apresiasi drama dan penelitian yang relevan adalah sebagai berikut: 1. Hakikat Naskah Drama Pada hakikat naskah drama akan dijelaskan tentang pengertian drama dan pengertian naskah drama sebagai berikut: a. Pengertian Drama Menurut Pratiwi dan Siswiyanti (2014: 14) drama merupakan cerita yang dikembangkan dengan berlandaskan pada konflik kehidupan manusia dan dituangkan dalam bentuk dialog untuk dipentaskan dihadapan penonton. Drama dapat disikapi dalam dua bentuk, yaitu dalam bentuk karya sastra (text play) dan drama teater (pementasan). Naskah drama (text play) dapat diapresiasi melalui kegiatan-kegiatan membaca naskah drama. Sebaliknya, drama dalam bentuk teater dapat diapresiasi melaui kegiatan menonton atau menyaksikan drama. Selanjutnya Waluyo (2002: 2) berpendapat drama berasal dari bahasa Yunani draomai, yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi. Terdapat istilah yang sangat terkait dengan drama, yaitu teater. Teater juga berasal dari bahasa Yunani theatron, yang berarti tempat atau gedung pertunjukan. Kata “teater” mempunyai makna yang lebih luas karena dapat berarti drama, gedung pertunjukan, panggung, grup pemain drama dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan di depan orang banyak. Istilah drama yang lain, yaitu sandiwara. Kata “sandiwara” berasal dari bahasa Jawa “sandi” yang berarti rahasia dan “warah” yang berarti ajaran. Sandiwara berarti ajaran yang disampaikan secara rahasia karena dalam sandiwara mengandung pesan atau ajaran bagi penontonnya. Jika menyebut istilah drama, maka terdapat dua 7 8 kemungkinan, yaitu drama naskah dan drama pentas. Namun, dalam penelitian ini drama naskahlah yang menjadi objek kajian, drama naskah merupakan dasar dari drama pentas, naskah drama dapat dijadikan bahan studi sastra, dapat dipentaskan, dan dapat dipagelarkan dalam media audio, berupa sandiwara radio atau kaset. Drama naskah merupakan salah satu genre sastra yang disejajarkan dengan puisi dan prosa, drama naskah dapat diberi batasan sebagai salah satu jenis karya sastra yang ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai kemungkinan dipentaskan. Senada dengan Wiyanto (2002: 2) bahwa kata teater berasal dari bahasa Inggris theatre yang berarti gedung pertunjukan. Dalam perkembangannya, dalam pengertian lebih luas kata teater diartikan sebagai segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Hubungan kata teater dan drama bersandingan sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yang mempergunakan drama lebih identik sebagai teks atau naskah atau lakon atau karya sastra. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah teater berkaitan langsung dengan pertunjukan, sedangkan drama berkaitan dengan lakon atau naskah cerita yang akan dipentaskan. Jadi, teater adalah visualisasi dari drama atau drama yang dipentaskan di atas panggung dan disaksikan oleh penonton. Drama adalah ragam sastra dalam bentuk dialog yang dimaksudkan untuk dipertunjukkan di atas pentas dengan naskah cerita pendek atau novel berisi cerita lengkap dan langsung tentang peristiwa yang terjadi. Sebaliknya, naskah drama tidak mengisahkan cerita secara langsung. Penuturan ceritanya diganti dengan dialog para tokoh. Bahasa yang digunakan dalam drama juga lebih cair daripada prosa dan puisi karena bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari. Jadi, dapat diketahui bahwa naskah drama mengutamakan ucapanucapan atau pembicaraan para tokoh sehingga dari pembicaraan tersebut penonton dapat menangkap dan mengerti seluruh ceritanya. Drama bisa diwujudkan dengan berbagai media: di atas panggung, film, dan atau televisi, drama sering dikombinasikan dengan musik dan tarian. Drama adalah hidup yang dilukiskan dengan sampai sekarang, paling tidak untuk orang Yunani, masih dianggap sebagai seni campuran karena drama yang bersifat sastra juga 9 terdiri atas tontonan yang harus memanfaatkan keahlian aktor, sutradara, penanggung jawab kostum, dan ahli listrik (Wellek dan Warren, 1995: 30). Jadi, drama merupakan suatu bentuk sastra yang dapat merangsang gairah dan memunculkan keasyikan bagi pemain dan penonton bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan dan dialog. Drama yang dikenal masyarakat memiliki variasi dalam jalan ceritanya. Seperti yang dikemukakan Suroto (1989: 76 – 78), sebagai pertunjukan drama dibedakan menjadi drama tradisional dan drama modern. Drama tradisional merupakan drama yang hidup dalam kehidupan masyarakat. Drama tersebut juga memiliki unsur-unsur pembangun cerita seperti drama-drama yang lain. Drama modern berbeda dengan drama tradisional. Jika drama tradisional berkembang secara alamiah dan berkaitan dengan adat, maka drama modern merupakan drama yang sengaja dibuat oleh pengarang dan sutradara, membedakan drama jika dilihat dari penyajiannya, yaitu: (1) drama biasa; (2) opera; (3) operet; (4) pantomim; dan (5) sendratari. Selain itu, ia juga membedakan drama berdasarkan isi dan sifatnya, yakni: (1) drama absurd; (2) drama ajaran; (3) drama duka; (4) drama dukaria; (5) drama lirik; (6) drama liturgi; (7) drama ria; (8) drama puisi; serta (9) drama sejarah. b. Pengertian Naskah Drama Menurut Waluyo (2002: 2) menambahkan bahwa naskah drama adalah salah satu genre karya sastra yang sejajar dengan prosa dan puisi. Berbeda dengan prosa maupun puisi, naskah drama memiliki bentuk sendiri yaitu ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai kemungkinan dipentaskan. Berdasarkan pengertian diatas naskah drama dapat diartikan suatu karangan atau cerita. Dan berupa tindakan atau perbuatan yang masih berbentuk teks atau tulisan yang belum diterbitkan (pentaskan) dan akan diteliti dalam penelitian ini adalah naskah drama. Naskah drama (lakon) pada umumnya disebut skenario, berupa susunan (komposisi) dari adegan-adegan dalam penuangan sebagai karya tulis, biasanya memiliki keterbatasan sesuai dengan fitrahnya. Hal ini senada dengan Kosasih (2003: 268) drama yang 10 disebut juga sandiwara. Kata tersebut berasal dari bahasa Jawa, sandi yang berarti tersembunyi, dan warah yang berarti ajaran. Dengan demikian, sandiwara adalah ajaran yang tersembunyi dalam tingkah laku dan percakapan. Naskah drama pada umumnya disebut skenario, berupa susunan atau komposisi dari adegan-adegan dalam penuangan sebagai karya tulis, biasanya memiliki keterbatasan sesuai dengan fitrahnya. Wirajaya dan Sudarmawarti (2008: 42–43), hal-hal yang harus diperhatikan dalam menulis naskah drama, yakni: (a) tema harus sesuai dengan tujuan pementasan; (b) konflik disusun dengan tajam menggunakan dialog yang mantap; (c) watak yang diciptakan harus memungkinkan terjadinya pertentangan antartokoh; (d) bahasa yang digunakan mudah dipahami dan komunikatif; serta (e) layak untuk dipentaskan. Wujud naskah drama yang berupa dialog-dialog, menuntut penggunaan ragam bahasa yang sesuai dengan konteks drama yang diangkat. Ada beberapa naskah drama yang menggunakan ragam bahasa seharihari, tetapi ada pula yang berbentuk puisi-puisi. Wujud naskah drama yang berupa dialog-dialog, menuntut penggunaan ragam bahasa yang sesuai dengan konteks drama yang diangkat. Ada beberapa naskah drama yang menggunakan ragam bahasa sehari-hari, tetapi ada pula yang berbentuk puisi-puisi. Namun, ragam bahasa yang digunakan tetap harus mengacu pada konvensi sastra. Seperti yang diungkapkan oleh Endraswara (2011: 13-14) muatan positif yang terdapat dalam drama, yaitu (a) drama agaknya merupakan sarana yang paling efektif dan langsung untuk melukiskan dan menggarap konflik-konflik sosial, dilema moral, dan problema personal tanpa menanggung konsekuensikonsekuensi khusus dari aksi-aksi kita, (b) aktor-aktor drama memaksa kita untuk memusatkan perhatian kita pada protagonis lakon, untuk merasakan emosi-emosinya, dan untuk menghayati konflik-konfliknya, justru untuk ikut sama-sama merasakan penderitaan yang mengurangi pembinaan dan ketidakadilan yang dialami pelaku-pelaku atau tokoh-tokoh drama, (c) melalui tragedi, misalnya, dengan sedikit terluka di hati, dapat belajar bagaimana hidup dengan penuh derita, dapat mengajarkan dan memberikan wawasan suatu ketabahan dan dengan kemuliaan dapat menandinginya, (d) melalui komedi, kita 11 dapat menikmati peluapan gelak tawa sebagai suatu pembukaan tabir rahasia mengenai untuk apa manusia menentang atau melawan dan untuk apa pula manusia mempertahankan atau membela sesuatu, (e) melodrama yang ditulis dengan baik, fantasi, atau farce, dapat mengusir keengganan (skepticism), memperluas imajinasi kita, dan untuk sebentar membawa diri keluar dari diri kita sendiri, sehingga tak mengherankan jika drama telah pula dikenal berfungsi terapis, (f) para psikiatris telah dikenal tahu menggunakan psikodrama sebagai suatu sarana yang efektif yang dapat membuat pasien dapat mengingat kembali pengalaman masa lalunya, (g) sosiodrama telah pula dikenal dapat menampilkan suatu fungsi yang sama bagi kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat, misalnya sebagai sarana yang membuat warga masyarakat itu menyimpulkan identitas fiksional yang sedang mengalami konflik yang tanpa serupa terjadi dalam keluarga dan kehidupan kelompok. 2. Struktur Naskah Drama Karya sastra merupakan sebuah struktur. Berstruktur yang dimaksud yaitu tersusun dari unsur-unsur yang bersistem, yang di antara unsur-unsurnya memiliki hubungan timbal balik dan saling menentukan. Pendapat dari Pradopo (1993: 118). Ada beberapa ciri struktur karya sastra. Pertama, struktur merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu unsur-unsur pembentuknya tidak dapat berdiri sendiri-sendiri di luar struktur. Kedua, struktur berisi gagasan transformasi yang bersifat dinamis. Ketiga, struktur tersebut mengatur diri sendiri, dalam arti struktur tersebut tidak membutuhkan bantuan dari luar dirinya untuk mensahkan prosedur transformasinya. Setiap unsur dalam struktur karya sastra memiliki fungsi masing-masing. Pendekatan didefinisikan sebagai cara menghampiri suatu objek. Siswantoro (2010: 47) menyebutkan bahwa pendekatan adalah alat untuk menangkap fenomena sebelum dilakukan kegiatan analisis atas sebuah karya, sedangkan cara mengumpulkan dan menganalisis data disebut dengan metode. Namun, secara lebih luas, pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat ilmu tertentu. Jika dihubungkan dengan penelitian karya sastra di 12 Indonesia, dengan adanya pendekatan, peneliti diharuskan memiliki bekal dalam mengkaji sastra. Bukan hanya kajian yang bersifat praktis, melainkan juga teoretis. Pendekatan juga mengarahkan penelusuran sumber-sumber sekunder sehingga peneliti dapat memprediksikan literatur yang harus dimiliki. Hal itu disebabkan karya sastra di Indonesia tidak pernah terlepas dari kebudayaan dan unsur-unsur lain di masyarakat. Nurgiyantoro (2007: 36) mengungkapkan bahwa pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha. Pendekatan struktural mendapat pengaruh langsung dari perubahan studi linguistik. Studi linguistik tidak hanya menekankan pada sejarah perkembangannya, tetapi juga berkaitan dengan hubungan antarunsurnya. Kaum srukturalisme menganggap karya sastra sebagai sebuah kesatuan yang dibangun oleh unsur-unsurnya. Hubungan antar unsur yang satu dengan lainnya bersifat timbal balik dan saling menentukan sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh. Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Strukturalis merupakan cara pandang mengenai tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Struktur-struktur tersebut memiliki bagian yang kompleks sehingga untuk memahami totalitas makna dari sebuah karya sastra harus mengkaji hubungan antarstruktur secara keseluruhan. Oleh karena itu, strukturalisme sering dianggap sebagai formalisme modern yang hanya mencari arti dari sebuah teks. Menurut Endraswara (2003: 49) bahwa pada dasarnya strukturalis merupakan cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Dalam hal ini karya sastra dipandang sebagai suatu fenomena yang memiliki struktur yang saling terkait satu sama lain. Selanjutnya Ratna (2011: 90) mengatakan tugas analisis struktur yaitu membongkar unsur-unsur yang tersembunyi yang berada di balik karya sastra. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan fungsi dan keterkaitan antarunsur dalam sebuah karya sastra secermat mungkin untuk menghasilkan suatu keseluruhan dalam memahami sebuah karya sastra. Hidayat (2010: 2) berpendapat bahwa drama 13 dalam pengertiannya membutuhkan persyaratan ketat untuk dapat dikatakan sebagai drama. Secara prinsip, drama memiliki struktur pembangun seperti penonton (audience), tempat (stage), naskah (dialogue), dan pemain (actor). Adapun ketegori lain untuk dapat dikatakan drama adalah adanya gambaran tentang kehidupan, dan di dalamnya terdapat alur dan konflik dalam dialog meskipun ada juga drama bisu, tetapi tetap menghadirkan konflik, hal ini senada dengan pendapat Waluyo (2011: 6 – 28) bahwa enam unsur dalam struktur naskah drama, yakni: (a) alur; (b) penokohan; (c) dialog; (d) setting; (e) tema; dan (f) amanat. Namun menurut Tarigan (1993: 74) menyebutkan unsur-unsur drama, antara lain: (a) alur; (b) penokohan; (c) dialog; (d) aneka sarana kesastraan dan kedramaan. Struktur intrinsik pembangun drama yang akan dikaji, antara lain: tema, penokohan dan perwatakan, plot/alur, latar/setting, dialog petunjuk teknis, serta amanat. a. Tema Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 3) mengungkapkan bahwa tema adalah gagasan utama atau gagasan sentral pada sebuah cerita atau karya sastra. Tema bisa dikatakan hampir sama dengan pondasi suatu bangunan. Apabila suatu karya sastra tidak mempunyai tema, itu berarti karya sastra tersebut akan mengambang karena tidak mempunyai dasar layaknya sebuah bangunan. Tema berhubungan dengan premis dan nada dasar yang dikemukakan pengarangnya. Premis dapat disebut sebagai landasan pokok yang menentukan arah tujuan lakon dan merupakan landasan bagi pola konstruksi lakon, sedangkan nada dasar dapat disamakan dengan jiwa atau suasana yang mendasari sebuah lakon. Interpretasi penonton terhadap nada dasar suatu naskah drama dapat bervariasi. Oleh karena itu, naskah drama bersifat multi interpretable. Hal itu dapat disebabkan oleh latar belakang pengetahuan yang berbeda-beda dari penonton. Drama yang besar adalah drama yang mengangkat tema abadi. Maksudnya, tema tersebut bersifat interpersonal dan dapat diterima di segala kurun waktu. Penentuan tema berdasar pada nurani pengarangnya. Banyak hal yang dapat memengaruhi pengarang dalam menentukan tema dari karya-karyanya. Latar 14 belakang budaya, pendidikan, maupun pengetahuan dapat menjadi dasar pembentukan tema. Pendapat dari Putra (2010 : 98) bahwa tema juga dapat diidentifikasi, dinyatakan secara jelas-tegas, terselubung dalam cerita, dan diidentifikasi sebagai pesan utama dalam karya sastra. Hal ini menunjukkan bahwa tema bisa ditemui secara tersirat dalam suatu karya sastra maupun secara tersurat. Selanjutnya Wardani (2009: 38) menyebutkan tema dibagi menjadi 5 jenis berdasarkan tingkatannya sebagai berikut: (1) tema divine artinya menampilkan problem manusia tingkat tinggi seperti masalah religiositas dan filosofis, (2) tema egoik yaitu menampilkan problem kemanusiaan sebagai individu atau problem humanisme, (3) tema sosial yaitu menampilkan problem hubungan antara manusia dalam kemasyarakatan, (4) tema organik yaitu tema yang memperbincangkan aspekaspek jasmaniah manusia seperti perbincangkan aspek-aspek jasmaniah manusia seperti kelahiran, balas dendam, seksualitas dan penghianatan, (5) tema fiksi yaitu tema yang hanya menampilkan aktivitas fisik manusia. Tema tertinggi adalah tema religius filosofis karena membawa para penikmat karya sastra atau pembaca merenungkan hakikat kehidupan dan ketuhanan. Stanton (2007: 36) juga mengemukakan bahwa tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan ‘makna’ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Dalam hal ini berarti begitu banyak cerita yang menggambarkan kejadian yang benar-benar dialami oleh manusia, seperti patah hati karena putus cinta, kekecewaan, putus sekolah, perceraian orang tua, dan sebagainya. Hal-hal yang seperti inilah yang disebut dengan tema Ada pula pendapat dari Wirajaya dan Sudarmawarti (2008: 15) yang mendefinisikan tema sebagai gagasan pokok yang mendasari terbentuknya cerita secara umum yang dapat terbangun dari subtema-subtema dalam sebuah cerita sehingga tema juga didefinisikan sebagai gagasan dasar sebuah karya sastra dan yang terkandung dalam teks sebagai struktur semantis serta yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan didalam suatu karya sastra. Hal ini sesuai dengan pendapat Pratiwi dan Siswiyanti (2014: 136-137) tema 15 merupakan ide yang mendasari suatu cerita sehingga dapat berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam menyampaikan pesan kepada pembaca lewat naskah drama yang ditulisnya atau dipentaskan. Pemahaman terhadap tema pementasan mutlak harus dilakukan karena tanpa memahami tema dalam suatu pementasan drama, baik sutradara, aktor, maupun penikmat pertunjukan drama. Tema sebuah pementasan bisa muncul lebih dari satu, tetapi pada hakikatnya hanya ada satu tema umum (mayor) yang diusung dalam suatu pertunjukan drama. Tema-tema lain yang muncul hanya menjadi pelengkap tema umum yaitu tema minor. Tema suatu pementasan dapat dipahami melalui kegiatan (1) interpretasi naskah sebelum kegiatan pementasan, (2) menghubungkan dialogdialog tematis yang tersebar pada dialog tokoh dan menyimpulkannya, (3) penadaan terhadap konflik dan perkembangan plot, (4) pemahaman terhadap setting pementasan (tempat, waktu, dan suasana). Waluyo (2002: 26-28) menyebutkan beberapa aliran filsafat yang mendasari penciptaan naskah drama, sebagai berikut. a) Aliran Klasik Naskah drama berwujud dialog yang panjang-panjang dan isi cerita yang bertema duka. Lakonnya bersifat statis dan diselingi dengan monolog. b) Aliran Romantik Naskah drama beraliran romantik ini seringkali berupa cerita-cerita yang tidak logis. Isi dramanya fantastis dan tokohnya bersifat sentimentil. c) Aliran Realisme Aliran ini menginspirasi terciptanya drama-drama realis yang isi ceritanya mirip dengan kehidupan sehari-hari. Ada dua macam aliran realisme, yaitu aliran realisme sosial dan aliran realisme psikologis. Realisme sosial menggambarkan problem sosial yang sangat berpengaruh terhadap kondisi psikis pelaku. Sedangkan realisme psikologis menekankan pada unsur kejiwaan secara apa adanya. Rasa senang, sedih, kecewa, bahagia, dilukiskan dengan apa adanya. 16 d) Aliran Ekspresionisme Aliran ekspresionisme didasarkan pada perubahan sosial, pergantian adegan dilakukan dengan cepat, serta fragmen cerita disajikan secara filmis dan ekstrim. e) Aliran Eksistensialisme Naskah yang dilatarbelakangi aliran ini mendapat pengaruh yang besar dari filsafat eksistensialisme negara-negara barat. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide pokok sebuah karya sastra yang bisa ditemukan baik secara tersirat maupun tersurat yang berupa pencerminan dari pengalaman yang dialami oleh manusia. Jadi, intisari dari uraian tersebut ialah memandang tema sebagai makna yang termuat secara implisit dalam sebuah karya sastra. b. Penokohan dan Perwatakan Menurut Wiyanto (2007: 27) perwatakan adalah keseluruhan ciri-ciri jiwa seorang tokoh dalam lakon drama. Seorang tokoh bisa mempunyai watak yang sabar, ramah, dan suka menolong, atau sebaliknya, seorang tokoh bisa saja mempunyai watak yang pemberang, pemarah, ataupun pendendam. Istilah penokohan merujuk pada pelaku cerita, sedangkan perwatakan menunjuk pada sifat tokoh-tokoh dalam suatu cerita. Tokoh-tokoh tersebut yang kemudian membawakan tema dalam keseluruhan latar dan alur cerita. Untuk membuat tokoh yang meyakinkan, pengarang harus mengerti dengan benar tabiat manusia, serta kebiasaan bertindak dan berujar di masyarakat. Nurgiyantoro (2007: 166) menjelaskan istilah penokohan mempunyai pengertian yang paling luas daripada tokoh dan perwatakan karena dalam penokohan telah tercakup siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dalam pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan mempunyai hubungan yang erat dengan perwatakan. Penokohan dan perwatakan adalah dua hal yang sangat penting dalam sebuah drama. Penokohan dan perwatakan mempunyai hubungan yang sangat erat karena kedua unsur tersebut berada pada objek yang sama, tokoh cerita ialah 17 orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki ciri khas dalam mengekspresikan wataknya dalam tindakan-tindakannya. Penggambaran watak pelaku melaui tiga dimensi yaitu (1) dimensi psikis, artinya watak secara batin atau kelakuan (misalnya, sombong, pendendam, romantis, penipu atau culas), (2) dimensi fisik yaitu ciri fisik misalnya usia, kecantikan, cacat tubuh, warna rambut, (3) dimensi sosiologis artinya status kedudukan pekerjaan atau peran dalam masyarakat seperti kaya, miskin, priyayi, rakyat jelata, konglomerat, pegawai bank, polisi atau gelandangan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Satoto (2012: 41-42) tokoh memiliki watak dan kepribadian, maka dia memiliki sifat-sifat karakteristik yang dapat dirumuskan ke dalam tiga dimensional, yaitu dimensi fisiologis, dimensi sosiologis, dan dimensi psikologis Pengertian tokoh juga diambil dari pendapat Kosasih (2003: 270) yang menyebutkan bahwa tokoh adalah orang-orang yang berperan dalam suatu drama. Kosasih juga membedakan tokoh menjadi tiga golongan berdasarkan perannya dalam jalan cerita. a) Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung jalannya cerita. b) Tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang cerita. c) Tokoh tritagonis, yaitu tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun untuk tokoh antagonis. Pratiwi dan Siswiyanti (2014: 36-40) mengemukakan berdasarkan ada tidaknya tokoh dalam hubungannya dengan tema, tokoh dapat diklasifikasikan, sebagai berikut. a) Tokoh Utama, yaitu tokoh yang diposisikan sebagai pusat dalam pengembangan cerita, sehingga ia dihadapkan pada permasalahan utama menentukan gerak dan alur cerita. Tokoh utama merupakan tokoh yang dimanfaatkan oleh pengarang untuk menyampaikan tema cerita b) Tokoh pembantu, yaitu pembaca mengidentifikasi tokoh utama dalam cerita. Cara menandai tokoh utama pada kutipan naskah dram tersebut mengamati tokoh yang selalu hadir pada setiap tahapan plot dan mampu bertahan hingga klimaks cerita 18 Klasifikasi tokoh juga dapat didasari dari sikap tokoh terhadap tema. Berdasarkan sikap tokoh terhadap tema tokoh dibedakan menjadi tokoh protagonis dan antagonis. a) Tokoh protagonis adalah diwujudkan dalam bentuk cita-cita dan prinsip hidup tokoh. Prisip tokoh akan menjadi obsesi yang ingin dipaparkan kepada pembaca. b) Tokoh antagonis adalah tokoh melawan cita-cita tokoh protagonis. Tokoh ini mengemban misi tidak baik dan menentang tokoh protagonis dan diproyeksikan dengan watak kurang baik (jahat) karena selalu menghalanghalangi. Berdasarkan perannya terhadap jalan cerita terdapat beberapa jenis tokoh, yaitu tokoh protagonis (tokoh yang mendukung cerita), tokoh antagonis (tokoh penentang cerita), dan tokoh tritagonis (tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun untuk tokoh antagonis). Pembagian yang kedua berdasarkan perannya dalam lakon serta fungsinya, terdapat jenis tokoh sebagai berikut. (a) tokoh sentral, yaitu tokoh yang paling menentukan gerak lakon; (b) tokoh utama, yaitu tokoh pendukung atau penentang tokoh sentral, dapat juga sebagai medium atau perantara tokoh sentral, dapat juga disebut tritagonis; (c) tokoh pembantu, yaitu tokoh tokoh yang memegang peran pelengkap atau tambahan dalam mata rantai cerita. Waluyo (2002: 16) membagi beberapa jenis tokoh dengan kriteria tertentu. Pertama, berdasarkan perannya terhadap jalan cerita terdapat beberapa jenis tokoh, yaitu tokoh protagonis (tokoh yang mendukung cerita), tokoh antagonis (tokoh penentang cerita), dan tokoh tritagonis (tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun untuk tokoh antagonis). Pembagian yang kedua berdasarkan perannya dalam lakon serta fungsinya, terdapat jenis tokoh sebagai berikut. (1) tokoh sentral, yaitu tokoh yang paling menentukan gerak lakon; (2) tokoh utama, yaitu tokoh pendukung atau penentang tokoh sentral, dapat juga sebagai medium atau perantara tokoh sentral, dapat juga disebut tritagonis; (3) tokoh pembantu, yaitu tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkap atau tambahan dalam mata rantai cerita. 19 Harymawan (dalam Dewojati, 2010: 169) menyatakan bahwa karakter mempunyai sifat multidimensional. Dimensi yang dimaksud meliputi dimensi fisiologis, dimensi sosiologis, dan dimensi psiologis. Wirajaya dan Sudarmawarti (2008: 56–57) juga mengungkapkan tentang cara melukiskan watak tokoh, yaitu dengan cara: a) melukiskan bentuk fisik tokoh secara langsung, b) melukiskan jalan pikiran tokoh, c) melukiskan reaksi tokoh terhadap suatu peristiwa yang terjadi, d) melukiskan keadaan di sekitar tokoh, dan e) melukiskan anggapan tokoh tersebut terhadap tokoh lain. Dari pendapat-pendapat tersebut, maka pengertian penokohan ialah penggambaran tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita naskah drama. Sedangkan perwatakan ialah penjelasan mengenai karakter tokoh-tokoh tersebut. Yustinah dan Iskak (2008: 28) memiliki pandangan yang tak jauh berbeda. Mereka menyebutkan bahwa tokoh dalam drama terdiri atas: (a) protagonis, tokoh yang berperan utama sebagai tokoh idaman; (b) antagonis, tokoh yang berperan menentang tokoh utama; dan (c) figuran/pemeran pembantu, tokoh yang mendampingi tokoh utama dan dapat sebagai sumber konflik dalam drama. Tarigan (1993: 76) membagi jenis tokoh dalam drama menjadi empat, yakni: (a) the foil/tokoh pembantu; (b) the type character/tokoh serba bisa; (c) the static character/tokoh statis; serta (d) the character who develops in course of the play/tokoh berkembang. Sedangkan mengenai perwatakan, tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita memiliki watak atau karakter masing-masing. Watak para tokoh ini digambarkan dalam tiga dimensi, yaitu keadaan fisik, psikis, dan sosial. c. Plot atau Alur Menurut Suroto (1989: 89–90) plot merupakan suatu jalan cerita yang berupa peristiwa-peristiwa yang disusun menurut hukum sebab akibat dari awal sampai akhir cerita. Suroto menyampaikan urutan pola plot secara tradisional, yaitu: (a) perkenalan; (b) pertikaian; (c) perumitan; (d) klimaks; dan (e) pelarian. Hal ini senada dengan pendapat Wirajaya dan Sudarmawarti (2008: 15) bahwa 20 alur adalah rangkaian cerita yang merupakan jalinan konflik antartokoh yang berlawanan. Alur drama terdiri atas: (a) perkenalan; (b) pertikaian; (c) klimaks; (d) peleraian; dan (e) penyelesaian. Semi (1993: 163) berpendapat bahwa kekhususan tersebut, yaitu (a) alur drama mestilah merupakan alur cerita yang dapat dilakukan oleh manusia biasa di muka publik penonton, (b) alur drama mesti jelas, bila tidak, akan sukar sekali diikuti oleh penonton, (c) alur drama mestilah sederhana dan singkat, dalam arti terpusat pada suatu peristiwa tertentu. Terdapat tiga unsur yang dipentingkan dalam pengembangan sebuah plot cerita, yaitu peristiwa, konflik, dan klimaks. Dalam berkreativitas, pengarang memiliki kebebasan, namun juga mempunyai batasan-batasan. Batasan batasan inilah yang biasa disebut dengan kaidah pemplotan. Seperti yang diungkapkan oleh Wardani (2009:38) plot merupakan bagian penting dalam fiksi. Plot merupakan rangkaian kejadian yang dihubungkan secara sebab akibat unsur sebab akibat sangat penting dalam plot. Plot dimulai dari eksposisi (perkenalan), dilanjutkan dengan konflik, komplikasi, puncak pada klimaks cerita. Setelah berpuncak pada klimaks, maka ada falling action, yaitu penurunannya kadar cerita dan diakhiri dengan denouement (penyelesaian) yang disebut pula catastrophe. jenis plot ada tiga yaitu: a) Plot garis lurus atau progresif Plot garis lurus adalah cerita berjalan seperti lazimnya orang bercerita yaitu mulai dari awal hingga akhir cerita. b) Plot sorot balik atau flashback Plot sorot balik atau flashback cerita diawali dengan dari bagian akhir cerita dan kemudian baru mulai dari awal cerita, dilanjutkan menjelang akhir (bagian dari cerita yang dikisahkan di depan). Dalam plot sorot balik diceritakan seperti orang melamun atau menceritakan kembali sesuatu yang terjadi. c) Plot gabungan Plot gabungan merupakan plot dalam cerita di mana pengarang menggabungkan antara plot lurus cerita yang di dalamnya terdapat plot sorot balik. 21 Yustinah dan Iskak (2008: 28) mengemukakan plot dalam sebuah drama meliputi sebagai berikut: (a) pemaparan/eksposisi; (b) komplikasi; (c) klimaks; (d) peleraian/antiklimaks; dan (e) penyelesaian. Waluyo (2002: 147-149) berpendapat dalam menyampaikan plot sebagai kerangka dari awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antartokohnya. Ia membagi tahapan plot menjadi tujuh, yaitu (1) eksposisi; (2) inciting moment (saat perkenalan); (3) rising action; (4) complication; (5) climax; (6) falling action; dan (7) denonement (penyelesaian). Tahap situation, berarti tahap penyituasian menyebutnya sebagai eksposisi, yang berarti paparan awal cerita. Tahap ini berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, pengenalan tokoh, watak, dan latar cerita. Di tahap ini pembaca dapat mengetahui bentuk cerita tersebut termasuk novel, cerpen, atau naskah drama. Tujuan dari adanya tahap ini adalah untuk memberikan gambaran awal kepada pembaca sehingga pembaca tidak bingung mengikuti cerita. Selain itu, juga menjadi landas tumpu cerita untuk memasuki tahap selanjutnya. Tahap generating circumstances, disebut juga inciting moment. Tahap ini merupakan tahap pemunculan masalah atau peristiwa yang berpotensi menimbulkan konflik. Pengarang mulai memunculkan peristiwa-peristiwa yang mengandung masalah yang nantinya akan dikembangkan menjadi konflik. Peristiwa-peristiwa tersebut dihadirkan berdasarkan kebutuhan konflik yang akan ditimbulkan. Semakin banyak peristiwa atau masalah yang dihadirkan, semakin rumit dan kompleks konflik yang akan timbul. Konflik-konflik yang timbul tersebut akan semakin berkembang dan ruwet atau kompleks hingga akhirnya mencapai puncak. Tahap rising action atau disebut juga tahap peningkatan konflik. Pada tahap ini, konflik yang mulai muncul pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan terus-menerus muncul. Konflik-konflik tersebut semakin tak terkendali dan tak dapat dihindari. Peristiwa-peristiwa dalam cerita semakin 22 mencekam dan menegangkan, keadaan konflik yang semakin ruwet disebut complication. Tahap climax merupakan puncak penggawatan. Pada tahap ini semua konflik mencapai puncaknya. Klimaks ini dilihat dari sudut tokoh utama yang menjadi pelaku atau penderita konflik utama cerita. Apabila yang mengalami puncak konflik adalah tokoh pembantu maka ini bukan disebut klimaks cerita. Pada tahap klimaks, ketegangan cerita mencapai puncak. Puncak ketegangan atau klimaks ini dapat saja terjadi lebih dari satu kali, namun klimaks utama tetaplah satu. Jumlah klimaks tersebut tergantung dari cerita yang dihadirkan. Tahap denoument (denonement) disebut juga tahap penyelesaian. Konflik yang telah mencapai puncak tersebut menurun dan mengalami penyelesaian. Termasuk dalam tahap ini adalah falling action atau penurunan ketegangan yang dapat juga disebut antiklimaks. Ketegangan mengendor dan emosi yang telah mencapai puncak berangsur-angsur turun untuk mencapai batas bawah. Berdasarkan pendapat para tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa alur atau plot dalam drama terdiri atas: (1) klasifikasi atau eksposisi; (2) komplikasi atau pertikaian awal; (3) klimaks atau titik puncak cerita; (4) penyelesaian atau falling action; dan (5) keputusan atau denoument. Namun, secara urutan tidak menutup kemungkinan untuk berubah yang akan berimbas pada jenis pengaluran. Bahwa plot/alur adalah kerangka jalannya cerita dari tahap permulaan hingga penyelesaian yang disusun dengan hubungan sebab akibat. d. Dialog Dialog merupakan dominasi dari sebuah naskah drama. Suroto (1989: 94) mengungkapkan bahwa dialog ialah ujaran yang diucapkan tokoh dalam cerita. Dialog berperan penting dalam cerita karena dapat membantu pembaca maupun penonton untuk mengetahui karakter tokoh dan tema cerita. Dialog juga dapat membantu menggambarkan setting yang digunakan. Tarigan (1993: 77) menyebutkan syarat dialog dalam lakon drama, yaitu dialog harus dapat mempertinggi nilai gerak, baik, dan bernilai tinggi. Dialog yang dilakukan para tokoh juga harus mendukung karakter tokoh dalam drama 23 sehingga penonton dapat menangkap hal-hal yang tersirat dalam dialog para tokoh tersebut. Sejalan dengan pendapat tersebut, Wirajaya dan Sudarmawarti (2008: 15) menyatakan bahwa dialog merupakan percakapan yang dilakukan para pelaku dalam drama. Menurut Semi (1993: 165–166) ujaran mestilah menarik dan ekonomis dibandingkan dengan kenyataan sehari-hari. Menurutnya, fungsi dialog dalam drama antara lain: (a) merupakan wadah penyampaian informasi kepada penonton; (b) menggambarkan watak dan perasaan tokoh; (c) menunjukkan alur cerita; (d) menggambarkan tema atau gagasan pengarang; dan (e) mengatur suasana dan tempo jalannya cerita. Putra (2012: 68) menjelaskan bahwa melalui dialog, penonton dapat mengetahui isi cerita, mengetahui hubungan antartokoh, dan memahami watak para tokoh. Oleh karena itu, dialog juga harus ditunjang dengan penjiwaan emosional tokohnya. Selain itu, kejelasan dari pelafalan dialog juga menjadi aspek penting karena akan mendukung seberapa besar dialog dapat dicerna oleh penonton. Dialog yang dilakukan para tokoh juga harus mendukung karakter tokoh dalam drama sehingga penonton dapat menangkap hal-hal yang tersirat dalam dialog para tokoh tersebut. Dialog merupakan hal yang sangat penting dalam pementasan drama. Berdasar pada uraian tersebut, dialog adalah percakapan antartokoh dalam naskah drama yang memuat isi cerita. Dialog dalam naskah drama dapat menggunakan bahasa sehari-hari maupun bahasa kiasan sesuai dengan keinginan pengarang. e. Petunjuk Teknis Petunjuk teknis disebut juga teks samping. Teks samping ini memberikan petunjuk teknis tentang tokoh, waktu, suasana pentas, suara, musik, keluar masuknya aktor dan aktris, keras lemahnya dialog, warna suara, perasaan yang mendasari dialog, dan sebagainya. Teks samping biasanya ditulis dengan huruf yang berbeda dari teks dialog. Teks samping ini berfungsi sebagai petunjuk kapan tokoh harus diam, berpindah tempat atau posisi, pembicaraan pribadi, dan sebagainya. Selain itu, manfaat adanya teks samping yaitu untuk mempermudah 24 sutradara dalam menafsirkan naskah drama pendapat dari Waluyo (2002: 29). Sebuah naskah drama juga memerlukan adanya petunjuk teknis, yang sering pula disebut dengan teks samping. Petunjuk teknis ini berguna untuk mempermudah pembaca ataupun sutradara dalam memahami naskah. Petunjuk teknis yang semakin lengkap akan memudahkan sutradara dalam menafsirkan naskah. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa petunjuk teknis merupakan teks petunjuk bagi tokoh dalam drama untuk memainkan perannya, dapat berupa posisi tubuh, ekspresi, maupun pekerjaan yang sedang dilakukan. f. Amanat Menurut Suroto (1989: 135) pengertian amanat sebagai sikap penulis terhadap persoalan yang terdapat dalam naskah drama yang ingin disampaikannya kepada penikmat. Amanat dari sebuah naskah drama akan lebih mudah dipahami jika naskah tersebut dipentaskan. Amanat biasanya bertujuan untuk memberikan manfaat bagi para penikmat karya sastra tersebut. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Kosasih (2012: 137) bahwa amanat tersimpan rapi dan disembunyikan pengarangnya dalam keseluruhan cerita. Antara amanat dan tema memiliki hubungan yang erat. Nurgiyantoro (2007: 335-336) mengungkapkan bahwa bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung, atau sebaliknya tak langsung, namun adanya pesan moral yang bersifat langsung dalam sebuah karya sebenarnya justru dapat membodohkan pembaca. Amanat dalam sebuah drama tidak dapat diketahui secara langsung. Pembaca atau penonton harus mencari sendiri amanat yang terdapat dalam drama tersebut. Wiyanto (2002: 23) mengemukakan amanat adalah pesan moral yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca naskah atau penonton drama. Amanat merupakan pesan atau pelajaran yang dapat diambil dari cerita. Amanat dalam sebuah drama akan lebih tersampaikan kepada penikmat karya sastra apabila drama tersebut dipentaskan. Pesan yang terdapat dalam drama tersebut secara praktis akan lebih mudah diterima oleh penikmat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca baik secara tersurat maupun tersirat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa amanat adalah 25 pesan dari pengarang yang tersirat dari jalannya cerita. Amanat tersebut memberikan manfaat bagi penikmat karya sastra dalam kehidupan nyata. g. Setting atau Latar Setting sering disebut juga dengan latar cerita. Menurut Pratiwi dan Siswiyanti (2014: 85) setting adalah suatu tempat, waktu dan suasana saat berlangsungnya suatu peristiwa dalam drama. Setting bersifat fisik dan psikologis. Latar tempat dan waktu merupakan setting bersifat fisik karena wujud yang pasti serta kasatmata. Sementara itu, setting yang bersifat psikologis berupa suasana atmosfer psikologis yang menuansakan makna tertentu serta mampu memengaruhi emosi atau kejiwaan pembaca. Latar memberikan informasi mengenai situasi ruang dan tempat serta berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh. Dalam mengkaji sebuah karya fiksi, latar pada hakikatnya memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Penggambaran setting seringkali juga berkaitan dengan alam pikiran penulis oleh karena itu, imajinasi dari seorang penulis karya sastra sangat menentukan bagaimana atau apa yang akan menjadi latar atau setting dari imajinasi yang dihasilkannya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Wardani (2009:42) setting atau latar dinyatakan sebagai tempat, waktu dan suasana terjadinya peristiwa dalam karya sastra. Setting meliputi penggambaran lokasi geografis, perlengkapan rumah, kesibukan sehari-hari, hari tertentu, bulan, tahun dan lingkungan. Fungsi dari latar dapat melukiskan setting secara realistis, ada setting yang benar-benar dialami oleh pengarang namun ada pula hasil dari imajinasi pengarang dan digambarkan setelah menghayatinya melalui film, dokumen, buku, foto atau dari internet. Nurgiyantoro (2007: 216) menyebutkan setting sebagai landasan tumpu, mengacu pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan. Setting atau latar adalah penggambaran situasi tempat dan waktu serta suasana terjadinya peristiwa. Mengenai pengertian latar, yaitu gambaran tempat, waktu, dan keadaan jalannya cerita, pengertian yang serupa disampaikan oleh Kosasih (2003: 273), yaitu latar merupakan keterangan mengenai tempat, ruang, dan waktu di dalam naskah 26 drama. Latar waktu biasanya berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa dalam karya fiksi. Latar waktu dalam fiksi bisa menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, apalagi jika latar waktu tersebut berhubungan dengan sejarah. Penggarapan unsur sejarah menjadi sebuah karya fiksi menyebabkan waktu yang diceritakan bersifat khas, tipikal, dan menjadi sangat fungsional. Nurgiyantoro (2007: 230-231) menyatakan unsur latar dibedakan menjadi tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu dan sosial. (1) latar tempat adalah latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra unsur ini digunakan sebagai tempattempat dengan nama tertentu, inisial tertentu dan lokasi tanpa penjelasan; (2) latar waktu adalah berhubungan dengan dengan “kapan” terjadinya peristiwaperistiwa penting yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dikaitkan dengan peristiwa sejarah; (3) latar sosial adalah latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat yang diceritakan dalam karya fiksi, latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, serta hal lain yang tergolong latar spiritual. Selain itu, latar sosial juga berhubungan dengan status tokoh yang bersangkutan. Penggarapan latar waktu haruslah sesuai dengan waktu nyata. Jika terjadi ketidaksesuaian waktu peristiwa antara yang terjadi di dunia nyata dengan yang terjadi di dalam karya fiksi maka akan menyebabkan cerita tak wajar, bahkan apabila cerita tersebut tidak masuk akal pembaca akan merasa dibohongi. Inilah yang dalam fiksi disebut anakronisme, yaitu waktu dalam fiksi tidak cocok dengan urutan waktu atau sejarah dalam dunia nyata. Satoto (2012: 55) membagi setting ke dalam tiga aspek, yaitu aspek ruang, aspek waktu, dan aspek suasana. Aspek suasana ini, misalnya suasana gembira, berkabung, hiruk-pikuk, sepi mencekam, dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa setting adalah suatu keadaan yang memberi gambaran peristiwa dalam cerita, termasuk di dalamnya, yaitu tempat atau ruang, waktu, dan sosial. Unsur-unsur dalam setting mempunyai keterkaitan satu sama lain dalam mendukung keterjalinan cerita secara keseluruhan dalam drama. 27 Dengan demikian, yang dimaksud dengan setting atau latar yaitu pelukisan keadaan tempat, ruang, dan waktu terjadinya peristiwa dalam cerita di naskah drama. 3. Kajian Strukturalisme Genetik Pada bagian kajian strukturalisme genetik di bawah ini dijelaskan tentang hakikat teori strukturalisme genetik adalah sebagai berikut: a. Hakikat Teori Strukturalisme Genetik Menurut Endaswara (2003: 55) strukturalisme genetik adalah penelitian sastra secara struktural yang tidak murni, maksud dari struktural yang tak murni adalah penelitian ini tetap menggunakan kajian struktural otonom sebagai dasar kemudian dilanjutkan dengan aspek-aspek di luar karya sastra yang meliputi keadaan sosial yang turut membangun lahirnya karya sastra tersebut. Munculnya strukturalisme genetik merupakan reaksi atas struktural otonom yang hanya memandang otonomi karya sastra dan mengabaikan latar belakang sejarah serta latar belakang yang lain. Seperti yang diungkapkan oleh Ratna (2006: 120) strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas strukturalisme genetik sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis instrinsik dan ekstrinsik. Secara definitif, menjelaskan lebih lanjut bahwa strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul teks sastra. Pencetus teori ini percaya bahwa sebuah karya adalah struktur yang hidup, merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal sebuah karya. Senada dengan pendapat dari Iswanto (2003: 60) strukturalisme genetik disebut dengan pendekatan obyektif, yakni pendekatan dalam penelitian sastra yang memusatkan perhatian pada otonomi sastra sebagai karya fiksi, artinya menyerahkan pemberian makna karya sastra pada eksistensi karya sastra itu sendiri tanpa menghubungkan dengan unsur yang ada diluar strukturnya. Strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan terhadap analisis strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur instrinsik. Ratna (2006: 121) 28 mengemukakan strukturalisme genetik ini merupakan gerakan penolakan strukturalisme murni, yang hanya menganalisis unsur-unsur intrinsik saja tanpa mengindahkan hal-hal di luar teks sastra itu sendiri. Gerakan ini juga menolak peranan bahasa sastra sebagai bahasa yang khas. Pendapat ini juga diperkuat oleh Wardani (2009:47) strukturalisme genetik memandang karya sastra karena memiliki kekzaini sechara sosiologis, dapat dianalisis berdasarkan struktur karya sastra dan pandangan dunia pengarang serta berdasarkan srtuktur eksternalnya contohnya sosial budaya, ekonomi atau politik yang menyebabkan hadirnya karya sastra tersebut. Strukturalisme genetik mencari perpaduan antara struktur teks dan struktur sosial karena pendekatan ini juga mempertimbangkan faktor sosial jadi bila perubahan struktur sosial dalam masyarakat akan mempengaruhi pula isi karya sastra. Pada prinsipnya strukturalisme genetik mamandang karya sastra tidak hanya dari strukturanya yang statis saja melainkan memiliki hubungan dengan makna struktur global atau sosial. Suyitno (2009:26) berpendapat bahwa pendekatan genetic strukturalism merupakan pendekatan yang paling kuat. Ini terbukti oleh suatu teori dan tidak ada pada pendekatan lain. Pendekatan ini akan berusaha mengungkapkan pendangan dunia dari pengarang yang mencerminkan pandangan duania kelompoknya. Pendapat dari Winarni (2013:111) strukturalisme genetik adalah pendekatan di dalam penelitian sastra yang lahir sebagai reaksi dari pendekatan strukturalisme murni yang antihistori dan kasual. Pendekatan ini juga disebut pendekatan objektif karena penelitian sastra yang memusatkan perhatiannya pada otonomi sastra sebagai karya fiksi, artinya makna karya sastra tersebut terhadap eksistensi karya sastra itu sendiri tanpa mengaitkan unsur yang ada diluar struktur signifikansinya. Genetik pada karya sastra artinya asal-usul karya sastra yaitu faktor yang terkait dengan asalusul karya sastra adalah pengarang dan kenyataan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan. Keberadaan pengarang dalam kehidupan masyarakat turut mempengaruhi karyanya. Seperti yang diungkapkan oleh Faruk (2010: 12) bahwa karya sastra merupakan sebuah karya yang terstruktur. Artinya, ia tidak berdiri sendiri, melainkan banyak hal yang menyokongnya sehingga ia menjadi satu bangunan 29 yang otonom. Akan tetapi, Goldmann tidak secara langsung menghubungkan antara teks sastra dengan struktur sosial yang menghasilkannya, melainkan mengaitkannya terlebih dahulu dengan kelas sosial dominan. Sebab, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari sejarah yang terus berlangsung, proses strukturisasi dan destrukturisasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal teks sastra yang bersangkutan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Darmono (2001: 39) karya sastra disebut karya yang lengkap jika memiliki makna totalitas yang memberikan lukisan yang lengkap dan padu mengenai keseluruhan makna karya sastra tersebut. Endaswara (2011:60) mengemukakan strukturalisme genetik merupakan embiro penelitian dari aspek sosial kelas disebut sosiologi sastra, namun strukturalisme genetik tetap mengedepankan juga aspek struktur. Baik struktur dalam maupun struktur luar, tetap dianggap penting bagi pemahaman karya sastra. Jadi sekurang-kurangnya penelitian strukturalisme genetik meliputi tiga hal: (1) aspek intrinsik karya sastra, (2) latar belakang pencipta dan (3) latar belakang sosial budaya serta sejarah masyarakat. Jadi strukturalisme genetik juga mengedepankan aspek kesejarahan lahirnya karya sastra. Penelitian strukturalisme genetik, memandang karya sastra dari dua sudut yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian intrinsik (kesatuan dan koherensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya penelitian, akan menghubungkan berbagai unsur dengan realistas masyarakat. Karya dipandang sebagai refleksi zaman, yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik, ekonomi dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra. Strukturalisme genetik mencoba mengkaitkan antara teks sastra, penulis, pembaca (dalam rangka komunikasi sastra), dan struktur sosial. Ratna (2006: 122) mengatakan bahwa strukturalisme genetik memiliki implikasi yang lebih dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaan pada umumnya. Sebuah struktur, bagi Goldmann, harus disempurnakan agar memiliki makna, di mana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas, demikian seterusnya hingga setiap unsur menopang totalitasnya. 30 b. Unsur Strukturalisme Genetik Goldmann (1978: 156-171) berpendapat bahwa strukturalisme genetik memiliki tiga unsur antara lain fakta kemanusiaan, subjek kolektif, dan pandangan dunia sebagai berikut. 1) Fakta Kemanusiaan Menurut Faruk (2010: 56) fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia, baik yang verbal maupun fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Aktivitas atau perilaku manusia harus menyesuaikan kehidupan dengan lingkungan sekitar. Individu-individu berkumpul membentuk suatu kelompok masyarakat. Dengan kelompok masyarakat, manusia dapat memenuhi kebutuhan untuk beradabtasi dengan lingkungan. Sejalan dengan Faruk, Ratna (2003:360) menyatakan dalam masyarakat terkandung fakta-fakta yang tak terhitung jumlah dan komposisinya. Fakta-fakta dalam pandangan sosiologi dengan sendirinya dipersiapkan dan dikondisikan oleh masyarakat. Eksistensinya selalu dipertimbangkan dalam antara hubungannya dengan fakta sosial yang lain, menganggap bahwa manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada dalam proses strukturasi timbal balik yang saling bertentangan tetapi yang sekaligus saling isi-mengisi. Oleh karena itu, fakta kemanusiaan merupakan struktur yang bermakna. Endraswara (2003: 55) mengemukakan semua aktivitas manusia merupakan respons dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasi, sehingga dalam hal ini manusia memiliki kecenderungan untuk berperilaku alami karena harus menyesuaikan dengan alam semesta dan lingkungannya. Oleh karenanya, fakta kemanusiaan dapat bersifat individu atau sosial. Hal ini sejalan dengan pandapat Damono (2001:43) bahwa untuk menelaah fakta-fakta kemanusiaan baik dalam strukturnya yang esensial maupun dalam kenyataannya yang konkret membutuhkan sutau metode yang serentak bersifat sosiologis dan historis. Dengan fakta kemanusiaan dapat 31 diketahui bahwa sastra merupakan cermin dari pelbagai segi struktur sosial maupun hubungan kekeluargaan. 2) Subjek Kolektif Subjek kolektif merupakan bagian dari fakta kemanusiaan selain subjek individual. Fakta kemanusiaan muncul karena aktivitas manusia sebagai subjek. Pengarang adalah subjek yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya di dalam masyarakat terdapat fakta kemanusiaan. Karya sastra diciptakan oleh pengarang. Dengan demikian karya sastra lebih merupakan duplikasi fakta kemanusiaan yang telah diramu oleh pengarang. Semua gagasan pengarang dapat dikatakan sebagai perwakilan dari kelompok sosial. Oleh sebab itu pengkajian terhadap karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan pengarang untuk mendapat makna yang menyeluruh. Subjek kolektif dari pendapat Iswanto (2001:60) bahwa penafsiran terhadap karya sastra yang mengabaikan pengarang sebagai pemberi makna akan sangat berbahaya, karena penafsiran tersebut akan mengorbankan ciri khas, kepribadian, citacita, juga norma-norma yang dipegang teguh oleh pengarang tersebut dalam kultur sosial tertentu. Menurut Faruk (2010: 56) subjek kolektif adalah kumpulan individuindividu yang membentuk satu kesatuan beserta aktivitasnya. Transindividual menampilkan pikiran-pikiran individu, tetapi dengan struktur mental kelompok. Hal ini sejalan dengan Ratna (2011: 121) dikatakan bahwa subjek transindividual adalah kumpulan individu-individu yang tidak berdiri sendirisendiri, tetapi satu kesatuan dan satu kolektivitas. menspesifikasikannya sebagai kelas sosial dalam pengertian marxis, sebab baginya kelompok itulah yang terbukti dalam sejarah sebagai kelompok yang telah menciptakan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan dan yang telah mempengaruhi perkembangan sejarah umat manusia. Subjek kolektif merupakan subjek fakta sosial (historis), seperti revolusi sosial, politik, ekonomi dan karya-karya kultural yang yang merupakan fakta historis. 32 3) Konsep Pandangan Dunia Menurut Endraswara (2011:57) karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan mewakili pandangan dunia (Visium du monde) penulis, tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang dieskpresikannya. Senada dengan Endraswara, Faruk (2010: 57) menyatakan juga mengembangkan konsep mengenai pandangan dunia yang dapat terwujud dalam karya sastra dan filsafat. Menurutnya, struktur kategoris yang merupakan kompleks menyeluruh gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota kelompok sosial tertentu dan mempertentangkannya dengan kelompok sosial yang lain disebut pandangan dunia. Wardani (2009: 49) mengemukakan bahwa pandangan dunia merupakan kesadaran kolektif atau kesadaran kelompok muncul sebagai reaksi terhadap situasi ekonomi dan sosial tertentu yang menimbulkan serangkaian aktivitas penciptaan karya sastra oleh pengarang, pandangan dunia bersifat abstrak merupakan ekspresi teoretis kelompok sosial tertentu atas kondisi sosial masyarakat. Pandangan dunia merupakan kesadaran kelompok sosial yang sebagai perekat dan pengikat individu secara bersama dalam kelompok dan memberi mereka identitas kolektif. Pemahaman terhadap karya sastra adalah usaha memahami perpaduan unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik sehingga mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk atau totalitas kemaknaan. Setiap karya sastra yang penting mempunyai struktur kemaknaan Structure Significative, karena menurut Goldmann, struktur kemaknaan itu merupakan struktur global yang bermakna dan mewakili pandangan dunia (vision du monde, world vision). Seperti yang dikemukakan oleh Winarni (2013:114) pandangan dunia ditampilkan pengarang lewat problemic hero merupakan suatu struktur global yang bermakna. Pandangan dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi 33 merupakan suatu gagasan, aspirasi, perasaan yang mempersatukan suatu kelompok sosial masyarakat. Pandangan dunia memperoleh bentuk konkret di dalam karya sastra. Ratna (2011: 125) berpendapat bila pandangan dunia bukan fakta, pandangan dunia memiliki eksistensi objektif, tetapi merupakan ekspresi teoretis dan kondisi dan kepentingan suatu golongan masyarakat tertentu. Sesuai dengan pendapat Damono (2001: 44) pandangan dunia merupakan permasalahan yang pokok dalam strukturalisme genetik. Pandangan dunia ini diartikan suatu struktur global yang bermakna, suatu pemahaman total terhadap dunia yang mencoba menangkap maknanya dengan segala kerumitan dan keutuhannya. Pada gilirannya pandangan dunia itulah yang menghubungkan karya sastra dengan kehidupan masyarakat. Latar belakang sejarah, zaman dan sosial masyarakat turut mengkondisikan terciptanya karya sastra baik dari segi isi atau segi bentuk dan strukturnya. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa pandangan dunia itu sendiri oleh strukturalisme genetik dipandang sebagai produk dari hubungan antara kelompok sosial yang memilikinya dengan situasi sosial dan ekonomi pada saat tertentu Goldmann (dalam Faruk, 2010: 57). Oleh karena itu, sastra pada dasarnya juga merupakan kegiatan kebudayaan atau peradaban dari setiap situasi, masa atau zaman saat sastra itu dihasilkan. Dengan situasi inilah, tidak dapat dipungkiri bahwa sastra adalah pemapar unsur-unsur sosiokultural demi memberi pemahaman nilainilai budaya dari setiap zaman atau perkembangan zaman itu sendiri. Goldmann berpandangan bahwa kegiatan kultural tidak bisa dipahami di luar totalitas kehidupan dalam masyarakat yang telah melahirkan kegiatan itu; seperti halnya kata tidak bisa dipahami di luar ujaran Damono (2001:43). Jadi, pada dasarnya sastra juga mengandung nilai-nilai historis, sosiologis, dan kultural. Satoto (2012:176) menyatakan bahwa pandangan dunia ini disebut sebagai suatu bentuk kesadaran kelompok kolektif yang menyatukan individu-individu menjadi suatu kelompok yang memiliki identitas kolektif. Kesimpulan ini adalah pandangan dunia bukan merupakan fakta empiris yang 34 langsung, tetapi lebih merupakan struktur gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat menyatukan suatu kelompok sosial masyarakat. 4. Hakikat Nilai Pendidikan Berdasarkan pada hakikat nilai pendidikan di bawah ini dijelaskan tentang pengertian nilai pendidikan dan nilai pendidikan dalam karya sastra dalah sebagai berikut: a. Pengertian Nilai Pendidikan Menurut Sumantri (2007: 251) berpendapat bahwa nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia, nilai tampak pada ciri individu dan masyarakat yang relatif stabil karena itu berkaitan dengan sifat kepribadian dan pencirian budaya. Nilai bisa dipertimbangkan sebagai hal yang lebih umum dalam karakter (tabiat) ketimbang sikap, namun kurang umum jika dibandingkan dengan ideology. Nilai-nilai dalam diri manusia bersifat kompleks, maka nilai-nilai itu bersifat kait-mengait sehingga menjadi sistem nilai. Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mempunyai bermacam-macam wawasan dan nilai pendidikan. Nilai pendidikan tersebut dapat bermanfaat bagi kehidupan pembacanya, dengan memahami rangkaian cerita baik secara eksplisit maupun implisit. Nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan bermutu yang dapat menunjukkan suatu kualitas sehingga dapat berguna bagi kehidupan manusia. Artinya, jika nilai tersebut dihayati oleh seseorang, maka akan memengaruhi cara berpikir dan cara bersikap orang tersebut dalam mencapai tujuan hidupnya, nilai dapat diartikan sebagai hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Pendapat dari Soelaeman (1998: 19) nilai dapat dikembangkan melalui pendidikan. Pendidikan dialami seseorang sejak ia lahir hingga meninggal dunia. Pendidikan dapat berupa pendidikan formal dan informal. Pendidikan bertujuan untuk mencapai tujuan hidup manusia. Jadi, pendidikan merupakan suatu usaha bersama dalam proses terpadu dan terorganisir untuk membantu manusia dalam mengembangkan diri dan menyiapkan diri untuk mengambil peran dalam 35 kehidupan bermasyarakat. Melalui proses pendidikan pula manusia akan lebih mudah menyadari dan memahami berbagai nilai serta menempatkannya sebagai sesuatu yang penting dalam keseluruhan hidup mereka karena pendidikan dialami oleh seseorang sejak dia dilahirkan sampai meninggal dunia. Kata pendidikan berasal dari bahasa Yunani pedagogia yang berarti pergaulan dengan anak-anak hal ini seperti yang dikemukakan oleh Mahfud (2011: 32), dalam bahasa Romawi, pendidikan dikenal dengan istilah educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam, sedangkan dalam bahasa Inggris, pendidikan diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual. Suwarno (2006: 19) berpendapat bahwa tiga pengertian pendidikan, yaitu: (a) pendidikan merupakan upaya nyata untuk memfasilitasi individu lain, dalam mencapai kemandirian serta kematangan mentalnya, sehingga dapat survive di dalam kompetisi kehidupannya; (b) pendidikan adalah pengaruh bimbingan dan arahan dari orang dewasa kepada orang lain, untuk menuju kearah kedewasaan, kemandirian serta kematangan mentalnya; (c) pendidikan merupakan aktivitas untuk melayani orang lain dalam mengeksplorasi segenap potensi dirinya sehingga terjadi proses perkembangan kemanusiaannya agar mampu berkompetisi di dalam lingkup kehidupannya. Hasbullah (2005: 5-6) berpendapat ada beberapa pengertian dasar pendidikan yang perlu dipahami, yaitu: (a) pendidikan merupakan suatu proses terhadap anak didik berlangsung terus sampai anak didik mencapai pribadi dewasa susila; (b) pendidikan merupakan perbuatan manusiawi, pendidikan lahir dari pergaulan antarorang dewasa dan orang yang belum dewasa dalam suatu kesatuan hidup; (c) pendidikan merupakan hubungan antarpribadi pendidik dan anak didik; (d) tindakan atau perbuatan menddik menuntun anak didik mencapai tujuan-tujuan tertentu, dan hal ini tampak pada perubahan-perubahan dalam diri anak didik. Noor (2011: 63) menyatakan tujuan pendidikan yang diharapkan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yakni manusia yang taat kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. 36 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan merupakan segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan seseorang melalui proses perubahan pola pikir dan sikap untuk mencapai tujuan hidup yang lebih baik. Nilai pendidikan pula merupakan segala sesuatu yang baik maupun buruk yang berguna bagi kehidupan manusia yang diperoleh melalui proses pengubahan sikap dan tata laku dalam upaya mendewasakan diri. Nilai-nilai pendidikan yang tersirat dalam berbagai hal ini dapat mengembangkan masyarakat dalam membentuk pribadi manusia sebagai makhluk individu, sosial, religius, dan berbudaya. b. Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra Nilai-nilai pendidikan dapat ditangkap manusia melalui berbagai hal, di antaranya melalui pemahaman dan penikmatan sebuah karya sastra. Sastra sangat berperan penting sebagai media dalam pentransformasian sebuah nilai termasuk halnya nilai pendidikan. Dengan kreativitas dan kepekaan rasa, seorang dramawan tidak hanya mampu menyajikan keindahan rangkaian cerita, melainkan juga mampu memberikan pandangan yang berhubungan dengan renungan tentang agama, filsafat, serta beraneka ragam pengalaman tentang masalah hidup dan kehidupan. Melalui sastra, pembaca dapat memperoleh pengetahuan mengenai fenomena-fenomena kehidupan dari sudut pandang yang berbeda. Karya sastra yang diciptakan pengarang merupakan sarana penyampaian amanat kepada pembacanya. Melalui karyanya pengarang dapat memengaruhi pola pikir pembaca dan ikut mengkaji tentang baik dan buruk, benar dan salah yang merupakan tata nilai kehidupan manusia. Setiap karya sastra yang tercipta dengan kesungguhan akan mengandung relevansi yang kuat terhadap kehidupan. Semi (1993: 20) mengemukakan bahwa nilai didik dalam karya sastra memang banyak diharapkan dapat memberi solusi atas sebagian masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Sastra merupakan alat penting bagi pemikir-pemikir untuk menggerakkan pembaca pada kenyataan dan menolong mengambil suatu keputusan apabila menghadapi masalah. Dari aspek gubahan, sastra disusun dalam bentuk, yang apik dan menarik sehingga membuat orang senang membaca, mendengar, melihat, dan 37 menikmatinya. Sementari dari aspek isi, karya sastra kental dengan kandungan manfaat, dimana salah satunya terdapat nilai-nilai pendidikan moral yang berguna untuk menanamkan pendidikan karakter. Karya sastra memiliki nilainilai yang dapat bermanfaat bagi pembaca. Menurut Kosasih (2012: 3) bahwa karya-karya sastra, baik itu yang berbentuk puisi, prosa, maupun drama, tidak lepas dari nilai-nilai budaya, sosial, ataupun moral. Mardiatmaja (1986: 55) membagi nilai menjadi empat, yaitu nilai kultural, nilai kesosialan, nilai kesusilaan, dan nilai keagamaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Tarigan (1993: 195-196) yang menyatakan bahwa nilai-nilai dalam suatu karya dapat berupa: (1) nilai hedonik (bila nilai dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada kita; (2) nilai artistik (bila suatu karya dapat memanifestasikan suatu seni atau keterampilan seseorang dalam melakukan pekerjaannya; (3) nilai kultural (bila suatu karya mengandung suatu hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat atau suatu peradaban, kebudayaan; (4) nilai etis, moral, religius (bila dari suatu karya terpancar ajaran-ajaran yang ada sangkut-pautnya dengan etika, moral, agama; (5) nilai praktis (bila suatu karya sastra mengandung hal-hal praktis yang dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Karya sastra dapat memberikan manfaat bagi pembacanya. Naskah drama merupakan salah satu bentuk karya sastra yang banyak mengandung nilai-nilai kehidupan yang berisi amanat atau nasihat. Dalam naskah drama, berbagai nilai hidup dihadirkan karena hal ini merupakan hal positif yang mampu mendidik manusia, sampai manusia dapat mencapai hidup yang lebih baik. Adapun nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam naskah drama menurut pendapat tokoh-tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan dalam karya sastra (dalam hal ini drama) di antaranya berhubungan dengan moral, agama (religius), budaya, dan sosial dapat diuraikan sebagai berikut. 1) Nilai Pendidikan Agama Nurgiyantoro (2007: 326) menyatakan kehadiran unsur religi atau keagamaan dalam karya sastra adalah setara dengan keberadaan sastra itu sendiri, bahkan sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Hal ini 38 sependapat dengan Semi (1993: 22) bahwa agama merupakan dorongan penciptaan sebuah karya sastra. Sebagai sumber ilham dan sekaligus sering membuat sastra atau karya sastra bermuara kepada agama. Agama merupakan kunci sejarah, kita baru dapat memahami jiwa suatu masyarakat bila kita memahami agamanya. Nilai religius akan menanamkan sikap pada manusia untuk tunduk dan taat kepada Tuhan atau dalam keseharian kita kenal dengan takwa. Penanaman nilai religius yang tinggi mampu menumbuhkan sikap sabar, tidak sombong, dan tidak angkuh kepada sesama. Manusia menjadi saling mencintai dan menghormati sehingga mampu mewujudkan hidup yang harmonis dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, maupun makhluk lain. Nilai-nilai religius bertujuan untuk mendidik agar manusia lebih baik menurut tuntunan agama dan selalu ingat kepada Tuhan. Suwondo (1994: 63) berpendapat bahwa religius merupakan keterkaitan antara manusia dengan Tuhan sebagai sumber ketenteraman dan kebahagiaan. Manusia religius berarti memiliki keterikatan dengan Tuhan baik jasmani maupun rohani secara sadar. Hal ini berbeda dengan Koentjaraningrat (1992: 267) yang mengungkapkan bahwa karya sastra, khususnya drama seringkali disamakan dengan upacara keagamaan. Namun, cerita yang dimainkan yaitu cerita-cerita tentang dewa dari kitab-kitab maupun mitos-mitos. Dramadrama tersebut dianggap dapat menimbulkan suasana keramat. Namun, kepercayaan seperti itu hanya berkembang di daerah yang masih kental unsur mistisnya. Nilai-nilai religius yang terkandung dalam sebuah karya sastra dimaksudkan agar penikmat karya tersebut mendapatkan renungan-renungan batin dalam kehidupan yang bersumber pada nilai-nilai agama. Dari beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa nilai religius merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak yang bersumber kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seorang pengarang tidak dapat terlepas dari nilai-nilai dan normanorma yang bersumber dari ajaran agama yang ada dalam kehidupan. Setiap karya yang diciptakan akan memuat unsur religi yang tersurat maupun 39 tersirat. Nilai-nilai religi tersebut dapat dimanfaatkan oleh penikmat karya sastra untuk mempertebal keimanan. 2) Nilai Pendidikan Moral dan Karakter Menurut Hasbullah (2005: 194) nilai moral merupakan kemampuan seseorang membedakan antara yang baik dan yang buruk. Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra bertujuan mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika. Nilai moral merupakan nilai baik buruk suatu perbuatan, apa yang harus dihindari, dan apa yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan bermanfaat bagi orang itu, masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar. Seperti halnya dengan pendapat Zuriah (2007: 12) bahwa moral adalah sesuatu yang restrictive, artinya bukan sekadar sesuatu yang deskriptif tentang sesuatu yang baik, melainkan juga sesuatu yang mengarahkan kelakuan dan pikiran seseorang untuk berbuat baik. Moral mengimplikasikan adanya disiplin. Pelaksanaan moral yang tidak berdisiplin sama artinya dengan tidak bermoral. Secara umum, moral merujuk pada karakter, akhlak, budi pekerti, sikap, dan sebagainya. Nilai moral juga terkandung dalam karya sastra. Hal ini seperti yang diungk19apkan Natasa Pantic dalam penelitiannya yang berjudul Moral Education Through Literature. Ia mengatakan bahwa pendidikan moral dapat dilakukan melalui karya sastra. Dalam penelitiannya tersebut, ia juga mengungkapkan timbulnya perdebatan di era pascastrukturalis yang terjadi sampai abad ke-20 saat ini mengenai kelayakan sastra sebagai sumber pengajaran moral. Nurgiyantoro (2007: 321) mengungkapkan bahwa moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Moral dalam cerita, menurut Kenny biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Karya sastra dapat dipahami sebagai alat didik yang baik bagi masyarakat. Pengarang sebisa mungkin dapat menghadirkan nilai etika dalam karya 40 sastranya sampai menimbulkan efek yang positif bagi pembaca. Nilai etika atau moral dalam karya sastra bertujuan mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika dan budi pekerti. Mujianto (1988: 133) menyatakan bahwa sastra berangkat dari iktikad baik, tidak sunyi dari untaian hikmah di antara seru derunya konflik atau peristiwa cerita. Keberadaan nilai moral/etika dalam karya sastra adalah bentuk nasihat yang diberikan kepada pengarangnya secara tidak langsung. Pengarang mencoba memberikan bentuk tersendiri untuk membingkai segala sesuatu yang ingin disampaikan. Penyampaiannya dapat berupa kritikan yang ada dalam dialog tokoh-tokoh, kadang hanya sepintas lalu menyebutkan sepatah dua patah kata ditengah narasi tetapi tidak jarang nilai pendidikan etika terselubung di seluruh permukaan cerita. Dalam hal ini, pembaca harus memahami keseluruhan cerita untuk dapat menemukan hikmah dalam karya sastra. Noor (2011: 25) berpendapat bahwa sastra seharusnya menjadi alat untuk membantu mengarahkan manusia pada tataran yang bermakna sehingga mampu saling mengingatkan agar tidak masuk dalam jurang kebobrokan moral. Karya sastra fiksi biasanya menyuguhkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat kemanusiaan, serta memperjuangkan hak dan martabat manusia. Melalui sikap dan tingkah laku para tokoh, pembaca diharapkan mampu mengambil hikmah dan pesan-pesan moral yang diamanatkan. Pemahaman terhadap nilai moral yang berkandung dalam karya sastra bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika yang baik dan buruk. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa nilai moral merupakan nilai yang berhubungan dengan sopan santun dan tingkah laku individu di dalam suatu kelompok tertentu yang mencerminkan etika dan budi pekerti. 3) Nilai Sosial Nilai sosial berhubungan dengan masyarakat atau sistem sosial. Menurut Kosasih (2012: 3) nilai-nilai sosial berkaitan dengan tata laku hubungan antara sesama manusia (kemasyarakatan). Tata nilai sosial tertentu akan mengungkapkan sesuatu hal yang bisa direnungkan. Dari karya sastra 41 dengan ekspresi pengungkapan nilai sosial pada akhirnya dapat dijadikan cermin atau contoh bagi pembacanya. Nilai kesosialan merupakan nilai yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia. Nilai sosial merupakan sikapsikap dan perasaan yang diterima secara luas oleh masyarakat dan merupakan dasar untuk merumuskan apa yang benar dan apa yang penting. Nilai sosial mengacu pada pertimbangan terhadap suatu tindakan benda, cara untuk mengambil keputusan apakah sesuatu yang bernilai itu memiliki kebenaran, keindahan, dan nilai ketuhanan. Nilai sosial mencakup pengembangan manusia dalam hidup bersama agar kasih sayang, kepercayaan, pengakuan, perlindungan, maupun penghargaan dalam hidup terpenuhi. Salah satu tujuan pendidikan sosial adalah membentuk manusia yang mempunyai kesadaran sosial. Kesadaran terhadap nilai-nilai sosial akan membawa manusia pada kesadarannya bahwa dalam hidup manusia tidak dapat lepas dari bantuan manusia lain. Karya sastra berkaitan erat dengan nilai sosial. Semi (1993: 55) mengatakan bahwa kesusastraan mencerminkan sistem sosial yang ada dalam masyarakat, termasuk di dalamnya adalah sistem kekerabatan, ekonomi, politik, pendidikan, kepercayaan, dan hal-hal lain yang terdapat dalam masyarakat. Karya sastra merupakan karya imajinatif yang bersumber dari realitas sosial dalam masyarakat. Karya sastra juga merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Membaca karya sastra berarti membaca realitas sosial yang terjadi di dalamnya. Dengan demikian, nilai sosial dalam sastra menjadikan pembaca sadar akan pentingnya kehidupan kelompok dalam ikatan kekeluargaan antara individu satu dengan individu lain. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa nilai sosial merupakan hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan, dalam hubungannya antarindividu dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai tersebut biasanya dapat diterima secara luas oleh masyarakat dan ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan. Karya sastra juga mengungkapkan nilai sosial. Banyak membaca karya sastra dapat meningkatkan kepekaan perasaan pembaca 42 terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan serta pembaca lebih menghayati kehidupan sosialnya sehingga menciptakan kecintaanya terhadap keadilan dan kebenaran. Nilai sosial dalam naskah drama akan lebih dapat dirasakan setelah naskah tersebut dipentaskan, walaupun dengan membacanya pembaca telah dapat menangkap maknanya. 4) Nilai Budaya Nilai-nilai budaya berkaitan dengan pemikiran, kebiasaan, dan hasil karya cipta manusia, hal ini sesuai dengan pendapat Kosasih (2012: 3). Kata budaya berasal dari bahasa sansekerta buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa inggris kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa juga diartikan mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Nilai budaya (cultural velue) merupakan nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau kebudayaan. Sesuai dengan pendapat Sutardjo (2010: 12) dalam kebudayaan terdapat gagasan-gagasan, cara berpikir, ide-ide, yang menghasilkan norma-norma, adat-istiadat, hukum, dan kebiasaan yang merupakan pedoman bagi tingkah laku dalam masyarakat. Masyarakat dalam hidupnya memiliki peradaban sendiri-sendiri sesuai dengan lingkup daerah yang mereka tinggali. Nilai budaya dalam kehidupan manusia diperoleh karena manusia memaknai ruang dan waktu. Makna itu akan bersifat intersubjektif karena ditumbuhkembangkan secara individual, namun dihayati secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat sehingga menjadi latar budaya yang terpadu bagi fenomena yang digambarkan. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Dari budaya tersebut masyarakat terikat dengan aturan maupun tatanan yang telah dibuat oleh pendahulupendahulunya. Sistem nilai budaya merupakan konsep yang hidup dalam alam pikiran (sebagian) masyarakat. Sistem nilai budaya tidak hanya 43 berfungsi sebagai pedoman, tetapi sebagai pendorong tingkah laku manusia dalam hidup. 5. Pengajaran Apresiasi Drama di Sekolah Semakin memprihatikannya dunia pendidikan karena kemunduran mental dan moral para generasi muda. Hal ini menjadi perhatian khalayak cendekiawan dan para pemerhati dunia pendidikan. Wibowo (2013: 10) menyatakan mengatasi degradasi moral anak bangsa, saat ini pemerintah dan rakyat Indonesia tengah gencar mengimplementasikan pendidikan karakter di institusi pendidikan, mulai dari tingkat dini (PAUD), sekolah dasar (SD/MI), sekolah menengah (SMA/MA), hingga perguruan tinggi. Melalui pendidikan karakter yang diimplementasikan dalam institusi pendidikan, diharapkan krisis degradasi moral karakter atau moralitas anak bangsa ini bisa segera diatasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Pratiwi dan Siswiyanti (2014: 27) apresiasi naskah drama merupakan suatu kegiatan atau proses yang melibatkan tiga unsur inti, yaitu (1) aspek kognitif, (2) aspek emotif, (3) aspek evaluatif. Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan penalaran (logika) pembaca dalam memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif. Unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif tersebut berhubungan dengan unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik naskah drama. Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan yang terdapat dalam naskah drama. Unsur emosi berperan penting dalam memahami unsur subjektif dalam naskah drama. Unsur subjektif tersebut misalnya bahasa yang digunakan dalam dialog antar tokoh yang mengandung makna konotatif dan multiinterpretatif. Hidayatullah (2009: 59) menyatakan semua komponen pendidikan terutama pendidik harus memiliki komitmen tinggi dalam melaksanakan tugasnya. Tanpa komitmen yang kuat, suatu tujuan tidak akan tercapai secara optimal, bahkan dapat menuai kegagalan. Semua pihak dan komponen bangsa harus ikut terlibat menyingsingkan lengan baju membangun karakter bangsa yang kuat dan khas. Semua potensi bangsa haruslah bersatu padu untuk 44 melakukan sebuah gerakan dan tindakan dalam upaya membangun karakter bangsa. Kesimpulan dari solusi yang diuraikan atas tidak serta merta secara instan mengatasi masalah yang ada. Pada kenyataannya walaupun pengajaran sastra telah diimplementasikan di sekolah tetapi degradasi moral justru terus memburuk. Para ahli mengemukakan masalah utama pada kasus ini bukan pada pembelajaran sastra yang telah ada dan diimplementasikan di sekolah, melainkan proses pembelajaran sastra yang telah dilaksanakan tidak berjalan dengan baik dan tidak dilaksanakan dengan baik oleh guru. Banyak faktor yang mengikuti permasalahan tersebut antara lain karena kurangnya penguasaan pengajaran sastra oleh guru, guru tidak kreatif, guru tidak mempunyai pengalaman dalam pembelajaran sastra. 6. Kesesuaian Naskah Drama Langite Wis Padhang karya Budi Waluyo sebagai Alternatif Materi Pembelajaran Apresiasi Drama pada Siswa SMP Kelas IX Naskah Sandiwara Langite Wis Padhang digunakan sebagai alternatif bahan pembelajaran bahasa Jawa khususnya ilmu sastra, agar peserta didik dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam naskah tersebut dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penelitian ini relevansi atau hubungan adalah hubungan antara kemanfaatan penggunaan. Moedjiono dan Dimyati (1992: 1) mengemukakan tujuh komponen dalam pembelajaran. Adapun yang disebut sebagai komponen tersebut antara lain: a. Guru, adalah pihak yang bertindak sebagai pengelola kegiatan belajar-mengajar, sebagai mediator antara siswa dan materi, dan peranan lain yang memungkinkan terjadinya suatu kegiatan belajar-mengajar yang efektif. b. Siswa adalah pihak yang bertindak sebagai penerima, pencari, dan penyimpan materi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. c. Tujuan, adalah pernyataan tentang perubahan tingkah laku yang diinginkan terjadi pada siswa setelah mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Perubahan tingkah laku ini mencakup perubahan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. 45 d. Materi pelajaran, merupakan segala bentuk informasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan. e. Metode, yakni cara yang digunakan untuk memberi kesempatan pada siswa untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan untuk mencapai tujuan. f. Media, yakni alat atau bahan yang digunakan untuk menyampaikan materi atau informasi pada siswa. g. Evaluasi, adalah suatu cara yang digunakan untuk menilai proses dan hasil belajar siswa. Menurut Zuchdi dan Budiasih (2001: 88–92) nilai-nilai yang terkandung dalam pembelajaran sastra bagi anak antara lain: 1) Memahami dunia lewat sastra Lewat karya sastra anak-anak dapat mempelajari dan memaknai dunia mereka. Misalnya, dengan membaca karya sastra yang melukiskan seorang anak yang sering menolong sehingga disayangi oleh gurunya dan juga teman-temannya. Anak-anak akan mengerti bahwa mereka pun harus bersifat seperti tokoh cerita tersebut. Karya sastra juga dapat membangkitkan keingintahuan anak-anak. Setelah membaca, anak-anak sering ingin belajar lebih banyak, sehingga mereka akan mencari bahan-bahan yang serupa. Mereka mungkin mencoba menulis cerita berdasarkan cerita yang telah mereka baca. 2) Membentuk sikap positif Di samping mempelajari dunia mereka, sangatlah penting bagi anak-anak mengembangkan berbagai sikap-sikap positif. Mereka perlu mengembangkan kesadaran akan harga diri dan melihat dirinya sebagai pribadi yang memiliki kemampuan, berhak memperoleh perhatian dan kasih sayang. Syafi’i (1993: 68–69) mengutarakan konsep-konsep dalam pembelajaran apresiasi drama, sebagai berikut. a) Pembelajaran drama bukan merupakan pembentukan penguasaan pengetahuan mengenai drama, melainkan pembinaan peningkatan apresiasi drama. b) Pembelajaran mengapresiasi dilakukan dengan memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya kepada siswa untuk terlibat secara langsung dalam kegiatan mengapresiasi dan mengaktualisasikan drama. 46 c) Guru hanya berperan sebagai motivator agar siswa dapat menemukan sendiri manfaat dan keasyikan membaca teks drama. d) Pembelajaran apresiasi drama harus terhindar dari proses yang bersifat mekanis, melainkan harus menekankan pada pemerolehan pengalaman batin dalam diri siswa yang dapat diperoleh dari kegiatan membaca teks drama dan menyaksikan pertunjukkan drama sehingga proses tersebut dapat meningkatkan kualitas batin siswa. Dengan mengetahui manfaat penggunaan teks sastra dalam pembelajaran sastra bagi anak, maka seorang guru harus secara sadar menggunakan teks sastra dalam materi pembelajarannya. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan, bahwa pembelajaran apresiasi sastra merupakan sebuah usaha sadar yang dilakukan oleh guru kepada siswa yang menggunakan teks sastra sebagai salah satu materi pembelajarannya. Pembelajaran apresiasi sastra merupakan bagian dari pembelajaran bahasa. Pada hakikatnya, pembelajaran sastra adalah membawa siswa ke arah pengalaman sastra. Moedjiono dan Dimyati (1992: 8) menjelaskan ranah tujuan pendidikan berdasarkan hasil belajar secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: (1) kawasan kemampuan kognitif yang mencakup: pengetahuan, pemahaman, analisis, sintesis, dan evaluasi; (2) kawasan kemampuan afektif yang terdiri dari: menerima, responding, menaruh penghargaan, mengorganisasikan sistem nilai, dan mengadakan karakterisasi nilai; (3) kawasan kemampuan psikomotorik yang mencakup: persepsi, kesiapan, respons terpimpin, mekanisme (penggunaan kemampuan), dan respons yang kompleks (penggunaan kemampuan berdasarkan pengalaman). Agar para remaja dapat mengambil palajaran yang terkandung dari sebuah teks sastra dan tidak menutup kemungkinan mereka dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-harinya, hendaknya para remaja khususnya remaja usia sekolah mendapat suatu pembelajaran mengenai apresiasi sastra dari bangku sekolah. Akan tetapi, pembelajaran sastra pada saat ini telah menjadi sebuah pembelajaran yang bermasalah. Masalah tersebut tidak lain pada hasil pembelajaran yang telah dilaksanakan masih bersifat teoretis dan verbalitas. Masih banyak guru yang hanya memberikan para siswanya dengan berbagai macam teori sastra semata. Akibatnya, pengajaran sastra menjadi suatu kegiatan belajar- 47 mengajar yang membosankan. Apalagi genre sastra drama dinilai memiliki pemahaman yang sulit, sehingga minat siswa dalam mempelajarinya sangat rendah. Pembelajaran apresiasi sastra di sekolah bertujuan agar siswa menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Selain itu juga agar siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Termasuk juga agar siswa memperoleh pengetahuan tentang sastra dengan berbagai teori dan nama pengarang, judul, dan angkatan-angkatannya. Guru sastra hendaknya mampu untuk memilih bahan ajar atau meteri yang diminati oleh anak didiknya dan juga sesuai dengan usianya sehingga guru dapat menyajikan sebuah teks sastra yang sesuai dengan perkembangan pemikiran anak didik sehingga dalam proses pembelajaran anak didik tidak terlalu dipaksa untuk berpikir jauh lebih dari jangkauan pemikirannya. Salah satu prinsip penting dalam pengajaran sastra adalah pemilihan bahan ajar yang disesuaikan dengan kemampuan siswanya pada suatu tahapan pengajaran sesuai dengan pendapat (Rahmanto, 1988: 26–27). Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan seorang guru dalam memilih bahan ajar yang tepat, yaitu: pertama, dari sudut bahasa; kedua, dari segi kematangan jiwa (psikologi); ketiga, dari segi latar kebudayaan anak didik. Pengajaran drama juga meliputi apresiasi terhadap naskah drama maupun pementasan drama. Di tingkat sekolah menengah, guru harus mampu memilihkan materi serta contoh-contoh yang sesuai. Misalnya, berkaitan dengan durasi drama serta konten drama tersebut. Penyesuaian tersebut dilakukan agar dapat membantu perkembangan psikologis siswa kearah yang lebih baik. Selama ini banyak guru yang hanya mementingkan aspek kognitif sehingga terlalu banyak mengajarkan teori daripada praktik, seperti apresiasi dan pementasan drama. Kesulitan dalam pembelajaran drama yang ditulis oleh dramawan-dramawan popular biasanya sukar dimengerti siswa tingkat sekolah menengah. Oleh karena itu dalam buku-buku pegangan siswa, drama-drama hanya disajikan berupa cuplikan pendek. Hal ini seperti yang diungkapan oleh Pratiwi dan Siswiyanti (2014: 14-15) bahwa pembelajaran apresiasi drama diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu: (1) 48 gaya penyajian dalam naskah drama, dan (2) unsur inti dalam apresiasi naskah drama. Mempelajari naskah drama dan pentas drama merupakan dua hal yang berbeda. Dalam mempelajari naskah drama, struktur naskah lebih ditekankan, sedangkan dalam pentas drama pemain harus benar-benar menguasai karakter tokoh dan dapat berekspresi secara tepat. Melalui pementasan yang dilihat maupun diperankan sendiri oleh siswa, dapat memberikan manfaat berupa pengembangan kepribadian serta peningkatan pengetahuan mengenai keterampilan berbahasa. Penelitian dengan objek naskah drama ini dilakukan agar dapat memberikan kontribusi positif terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Naskah Langite Wis Padhang merupakan salah satu naskah yang diduga sangat relevan terhadap siswa SMP. Oleh karena itu, dengan pendekatan strukturalisme genetik dan nilai pendidikan, diharapkan dapat mengupas secara utuh struktur serta nilai edukatif yang terdapat di dalamnya. Isi cerita yang kental dengan nilai moral dianggap sesuai dengan kurikulum pembelajaran bahasa Jawa di SMP. 7. Penelitian yang Relevan Suatu penelitian pada dasarnya beranjak dari awal tetapi pada umumnya telah ada penelitian yang mendasari dari segi titik tolak untuk mengadakan penelitian lebih lanjut. Hal ini dilakukan dengan maksud menghindari duplikasi, disamping itu menunjukan bahwa topik yang telah diteliti oleh peneliti lain dalam konteks yang sama. Penelitian yang relevan tentang analisis strukturalisme genetik dan nilai pendidikan tentang analisis strukturalisme genetik dan nilai pendidikan pada novel Tesis dari Giyanto pada tahun 2010, mahasiswa Pascasarsajana Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret (2010) dengan Judul, “Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Penjinak Ular, dan Wasripin dan Satinah (Sebuah Tinjauan Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)”. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil yang menunjukan adanya analisis strukturalisme genetik yang meliputi pandangan dunia pengarang , struktur teks novel, struktur budaya masyarakat dalam Novel Pasar, Mantra Penjinak Ular, dan Wasripin dan Satinah. Hal ini sejalan dengan penelitian ini karena sama-sama menggunakan metode strukturalisme genetik namun yang 49 membedakan adalah mengkaji novel dan naskah drama. Penelitian yang lain yaitu Tesis dari Herlan Kurniawan pada tahun 2011 dari Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (2011) dengan judul “Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan yang didasarkan pada Budaya Jawa dalam Novel Senopati Pamungkas Karya Arswendo Atmowiloto”. Dari penelitian ini diperoleh hasil yang menunjukkan analisis strukturalisme genetik antara lain struktur novel, pandangan pengarang terhadap terciptanya novel ini, dan struktur sosial yang ada dalam novel tersebut dan dalam analisis nilai pendidikan antara lain nilai budaya, nilai religius, nilai sosial dalam novel namun yang membedakan dalam penelitian ini adalah kajiannya menggunakan novel dan tidak adanya relevansinya terhadap pembelajaran di sekolah. Kedua adalah Disertasi dari Sutardi pada tahun 2014 dari Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret (2014) dengan judul “Kajian Strukturalisme Genetik, Gender dan Nilai Pendidikan Trilogi Novel Gadis Tangsi Karya Suparta Brata”. Dari penelitian tersebut adanya analisis strukturalisme genetik yang meliputi pandangan dunia, struktur teks, struktur sosial, kesetaraan gender dan nilai pendidikan. Hal ini sejalan dengan dengan penelitian ini karena menggunakan metode strukturalisme genetik serta diperkuat dengan analisis nilai pendidikan namun yang membedakan dari penelitian ini adalah kajiannya karena dalam Desertasi tersebut mengkaji novel dan dalam penelitian ini mengkaji naskah drama. Pada penelitian yang lain ada pada Tesis dari Suliyanto pada tahun 2009 dari Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia (2009) dengan judul “Cerita Rakyat di Kabupaten Wonogiri (Kajian Struktural dan Nilai Pendidikan)”. Dari penelitian tersebut mendeskripsikan cerita rakyat yang ada di kabupaten Wonogiri dan menganalisis struktur dari cerita rakyat tersebut antara lain tema, alur, penokohan, setting, amanat dll. Serta menganalisis nilai pendidikan terdapat nilai religius, nilai sosial, nilai pendidikan karakter dalam cerita rakyat tersebut hal ini sejalan dengan penelitian yang saya lakukan karena karena menganalisis struktural dalam cerita dan nilai pendidikan namun yang 50 membedakan dalam penelitian ini adalah obyek kajiannya yaitu tentang cerita rakyat dan tidak menganalisis dengan strukturalisme genetik. Selanjutnya adalah penelitian oleh Budi Waluyo dari Pascasarjana Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret (2010) dengan judul “Strukturalisme Genetik Drama Panembahan Reso Karya W.S Rendra”. Dari penelitian strukturalisme genetik tersebut diperoleh pandangan dunia Rendra pada naskah drama Panembahan Reso, struktur dramatik dan konflik naskah drama Panembahan Reso, latar belakang sosial budaya yang melandasi drama Panembahan Reso, kemudian keterkaitan anatara drama Panembahan Reso karya Rendra dengan drama Langite Wis Padhang karya Budi Waluyo. Hal ini sejalan dengan penelitian karena sama-sama menggunakan metode strukturalisme genetik namun objek kajiannya berbeda dan tidak ada nilai pendidikannya. Penelitian yang relevan selanjutnya dari skripsi dari Niken Yunindar Kuncoroningrum dari Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret (2012) dengan Judul “Naskah Drama Kapai-Kapai Karya Arifin C. Noer (Tinjauan Struktural, Nilai Edukatif, dan Relevansinya terhadap Pembelajaran Apresiasi Drama di SMA)”. Dari penelitian ini adanya nilai edukatif pada naskah drama Kapai-Kapai, nilai edukatif meliputi nilai religius, nilai moral, nilai budaya dan nilai sosial keterkaitan penelitian ini adalah sama-sama mengkaji nilai pendidikan yang terdapat pada naskah drama serta adanya relevansinya terhadap pembelajaran di sekolah namun yang membedakan dari penelitian ini adalah hanya menggunakan tinjauan struktural. Penelitian yang lainnya dari jurnal internasional oleh Nugraheni Eko Wardani, Herman J Waluyo dan Sutardi tahun 2013 dari Pascasarjana Universitas Negeri Sebelas Maret, jurnal dari International Interdisciplinary Research Journal Volume3 issue 5 halaman 482-498, dengan judul “The Study of Genetic Structuralism, Gender, and Values of Education in Trilogy Novel Gadis Tangsi by Suparto Brata”. Dari jurnal tersebut menganalisis trilogi novel Suparta Brata dari penelitian pandangan dunia pengarang Suparto Brata merupakan humanisme sosial, struktur teks untuk mencerminkan masalah berkurang dari pemahaman masyarakat 51 Jawa terhadap budaya Jawa, struktur sosial yang ada di trilogi Novel Gadis Tangsi adalah struktur sosial dari masyarakat priyayi dari istana dan wong cilik (rakyat biasa) yang tinggal di barak Belanda dan masyarakat pedesaan, kesetaraan gender ditandai dengan tidak adanya keadilan gender, yaitu, marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja yang berlebihan antara pria dan wanita, dan nilai-nilai pendidikan yang ditandai oleh bentuk, pada nilai-nilai pendidikan dalam keutamaan pendidikan perempuan, etos kerja, pendidikan moral dan, karakter luhur masyarakat Jawa. Sehingga terdapat persamaan yaitu strukturalisme genetik dan nilai pendidikan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, hanya yang membedakan adalah dalam jurnal internasional tersebut adalah mengkaji novel dan penelitian yang dikaji oleh penulis adalah naskah drama. Jurnal yang meneliti tentang novel dengan strukturalisme genetik adalah jurnal dari Yuliana Puspitasari, Hat Pujiati, Irana Astutiningsih pada tahun 2012 dari English Departement Faculty of Letters, Jember University dengan judul “Negotiating Modernity, Resisting Tradition: Genetic Structuralism Analysis On Buchi Emecheta's The Bride Price” jurnal ini menganalisis tentang sebuah novel yang ditulis oleh Buchi Emecheta dari Nigeria pada tahun 1976. Novel ini berfokus pada persepsi oposisi biner antara yang modern dan tradisional atau cara berpikir yang modern dan yang tradisional dari suatu suku di dalam masyarakat. Dan digambarkan novel berjudul hearts the bride harga. Pikiran yang modern karakter utama perempuan dan laki laki pada dibahas penelitian inisial. Pertama, pemikiran-pemikiran yang modern dan tradisional, kedua adalah struktur novel dan pandangan pengarang dan yang ketiga adalah struktur sosial yang seperti apa yang muncul pada kelas sosial masyarakat Nigeria. artikel ini dimulai dengan novel analisis dan menggunakan teori strukturalisme genetik menganalisis pandangan pengarang dan struktur sosial masyarakat Nigeria. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis karena menggunakan analisis strukturalisme genetik dengan teori Goldman Lucien. Jurnal internasional yang lain adalah Sanusi Ibrahim dari Department of English College of Education tahun 2012 dengan judul Structuralism as a Literary Theory: An Overviewvolume 1 nomer 1 halaman 124-131, pada jurnal ini berisi tentang teori-teori strukturalisme dan cara menganalisis karya sastra dengan strukturalisme jurnal ini ada 52 persamaannya dengan penelitian saya yaitu cara menganalisis dengan teori strukturalisme genetik yaitu dengan teori dari Ratna yang di dalamnya ada konsep pandangan dunia, struktur sosial, subjek kolektif hal ini terdapat persamaan karena dalam penelitian yang dilakukan juga mengacu pada teori-teori strukturalisme genetik. Jurnal internasional yang memuat tentang nilai-nilai pendidikan dari Laurie Brady dari University of Technology, Sydney dengan judul Teacher Values and Relationship: Factors in Values Education pada tahun 2011. Jurnal volume 2 nomer 36 halaman 56-66 ini berisi tentang nilai-nilai pendidikan sebagai pembentuk karakter siswa yaitu nilai sosial, nilai religius, nilai moral dan nilai budaya. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam membentuk karakter siswa. Contohnya adalah dengan nilai sosial siswa dapat mengerti akan pentingnya tolong menolong terhadap sesama teman. Nilai religius yaitu siswa dapat lebih mendekatkan diri dengan Tuhan-nya dan menjadikan siswa jauh dari perbuatan yang tercela. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Dalam penelitian ini juga menganalisis nilai pendidikan dalam naskah drama. Selanjutnya Jurnal internasional yang hubungannya dengan nilai pendidikan moral dengan drama adalah karangan Marie Gervais dari University of Alberta, Canada dengan judul “Exploring Moral Values with Young Adolescents Through Process Drama” pada tahun 2006 volume 7 nomer 2 halaman 1-34 jurnal ini berisi nilai-nilai moral dalam bermain drama pada anak SMP dengan bermain drama moral anak akan tercipta yaitu rasa hormat, rasa kepedulian terhadap sesama manusia dan rasa tolong menolong antar manusia hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan karena penelitian ini menggunakan nilai moral dalam naskah drama dan mengkaji nilai moral yang terdapat dalam naskah drama Langite Wis Padhang karya Budi Waluyo. Berdasarkan pada penelitian yang relevan di atas, perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang telah dikaji. Serta mengacu pada jurnal internasional yang sebelumnya terlihat pada aspek yang dikaji dan yang ditekankan. Penelitian ini mengkaji strukturalisme genetik dan nilai pendidikan dalam naskah drama Langite Wis Padang karya Budi Waluyo dalam penelitian ini penulis menggunakan tinjauan strukturalisme genetik melalui pendeskripsian unsur-unsur yang terkandung dalam naskah drama serta menganalisis nilai pendidikan yang dapat diterapkan dalam 53 kehidupan masyarakat, serta relevansinya terhadap pembelajaran apresiasi drama di SMP kelas IX. Selain itu, hal ini juga dapat memberikan inovasi baru kepada guru saat memberikan materi tentang drama, sehingga siswa dapat mengerti dan tertarik mempelajari sebuah karya sastra. B. Kerangka Berpikir Karya sastra adalah suatu cara mengungkapkan gagasan, ide, dan pemikiran dengan gambaran-gambaran pengalaman. Karya sastra merupakan hasil kegiatan kreatif, imajinatif, dan artistik. Sebagai kegiatan yang imajinatif, sastra menyuguhkan pengalaman batin yang pernah dialami pengarang kepada penikmat karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra merupakan suatu sarana untuk mengungkapkan nilai-nilai yang dianggap lebih tinggi serta menafsirkan makna dan hakikat hidup. Telah diketahui bahwa kehidupan masyarakat sesuatu yang sangat kompleks. Kekompleksan tersebut diakibatkan oleh hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam sekitarnya, dan manusia dengan Tuhan-nya. Hubungan-hubungan tersebut menimbulkan konflik yang menyebabkan kepincangan dan penyelewengan dalam kehidupan. Drama sebagai salah satu genre sastra adalah tiruan dari kehidupan manusia yang ditulis dengan tujuan untuk dipentaskan. Karya sastra memberi kesenangan dan faedah bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat penikmatnya. Nilai-nilai yang terdapat di dalamnya sangat bermanfaat untuk diteladani. Pengarang menciptakan karya sastra agar dapat memberikan manfaat kepada penikmatnya. Dalam penelitian ini, naskah drama Langite Wis Padhang merupakan objek yang dipilih sebagai bahan kajian. Selain menelaah strukturalisme genetik dan nilai-nilai yang terkandung dalam naskah drama tersebut, penelitian ini juga bertujuan untuk menunjukkan penggunaan naskah drama sebagai bahan ajar dalam kurikulum mata pelajaran Bahasa Jawa. Jika digambarkan, maka kerangka berpikir dalam penelitian ini ialah sebagai berikut. 54 Naskah Drama “Langite Wis Padhang Karya Budi Waluyo” Analisis Struktural 1. 2. 3. 4. 5. 6. Tema Penokohan Alur Setting Dialog Petunjuk Teknis 7. Amanat Strukturalisme Genetik 1. fakta kemanusiaan, 2. subjek kolektif, 3. pandangan dunia, Nilai-Nilai Pendidikan 1. Nilai Moral dan Karakter 2. Nilai Religi 3. Nilai Sosial 4. Nilai Estetika Relevansinya dengan Pelajaran Bahasa Jawa di SMP Kelas IX Semester Genap Simpulan Gambar 1. Model Analisis Struktural, Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan dalam Naskah Drama Langite Wis Padhang