BAB 1 Simpulan, Diskusi, dan Saran Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian ini, diskusi dan limitasi dari kesimpulan penelitian, serta saran bagi penelitian mendatang maupun saran praktis bagi pembaca, mahasiswa, dan penduduk Jakarta. 1.1 Simpulan Penelitian dari tanggal 18 Desember 2014 hingga 13 Januari 2015 dilakukan terhadap 132 penduduk DKI Jakarta yang sudah dan masih bekerja. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis regresi berganda serta analisis tambahan yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi berperan secara secara signifikan terhadap masalah kesehatan mental penduduk Jakarta sehingga Ho1 ditolak. Hal ini berarti bahwa adanya nilai materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi pada individu dapat meningkatkan masalah kesehatan mental. Materialisme berperan secara signifikan terhadap masalah kesehatan mental, sehingga Ho2 ditolak. Artinya adanya nilai materialisme pada individu dapat meningkatkan masalah kesehatan mental. Kesulitan dalam regulasi emosi berperan secara signifikan terhadap masalah kesehatan mental, sehingga Ho3 ditolak. Artinya adanya kesulitan dalam regulasi emosi pada individu dapat meningkatkan masalah kesehatan mental. 1.2 Diskusi Berdasarkan regresi linier berganda yang dilakukan peneliti untuk melihat peran materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi secara simultan terhadap kesehatan mental, hasilnya ditemukan bahwa peran materialisme dan kesulitan dalam meregulasi emosi terhadap kesehatan mental sebesar 33.9%. Kedua variabel prediktor ini dapat berperan terhadap kesehatan mental karena kedua variabel prediktor (materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi) memiliki korelasi yang signifikan, yaitu sebesar 0.266. Fakta ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat materialisme individu, semakin tinggi tingkat kesulitan dalam regulasi emosi. Korelasi yang positif antara materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi dapat dijelaskan melalui perilaku impulsive buying (Rose, 2007, dalam Robbins & Walker, 2008), dimana individu yang materialistis dan tidak mampu meregulasi emosi negatifnya rentan melakukan pembelanjaan impulsif. Individu yang memiliki kesulitan dalam mengelola emosinya cenderung akan melakukan tindakan-tindakan yang impulsif dan tidak sesuai dengan tujuan (goal). Kelak, individu tersebut akan menyesal karena melakukan tindakan impulsif (impulse) yang sebenarnya tidak sesuai dengan tujuan (goal). Kasser (2003) mengadakan riset tentang nilai materialistik pada individu dengan emosi yang dirasakan individu selama dua minggu. Hasilnya adalah, partisipan yang memiliki nilai tinggi dalam materialisme cenderung lebih sedikit mengalami emosi positif dan mengurangi kualitas dari pengalaman hidup individu dalam kesehariannya. Tidak hanya itu, individu yang memiliki orientasi kuat terhadap nilai materialistik juga cenderung mengisolasi dirinya secara sosial, bersikap curiga terhadap orang lain, juga mengalami kesulitan dalam pengekspresian emosi dan kontrol diri (Kasser, 2003). Individu yang materialistik menggunakan benda-benda materi sebagai pengganti dari hubungan sosial sehingga timbul perasaan self-sufficiency dan individu merasa tidak membutuhkan orang lain (Vohs, Mead, & Goode, 2006). Lebih lanjut lagi, individu menjadi tidak sensitif terhadap emosinya dan emosi orang lain. Sharpe dan Ramanaiah (1999, dalam Robbins & Walker, 2008) juga menyatakan bahwa individu yang materialistis memiliki skor tinggi dalam neuroticism (yang merefleksikan ketidakstabilan emosi) sehingga mempengaruhi tingkat anxiety (dimensi dalam kesehatan mental). Menurut WHO (2012), salah satu tingkatan faktor yang mempengaruhi kesehatan mental adalah faktor yang berasal dari dalam individu. Nilai materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi adalah salah dua faktor yang termasuk ke dalam tingkatan individu ini. Artinya, dapat disimpulkan bahwa kedua variabel prediktor yang digunakan dalam penelitian ini sejalan sehingga keduanya berperan secara signifikan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersamaan. Pada hasil penelitian, ditemukan bahwa materialisme dapat memprediksi masalah kesehatan mental. Hal ini dapat terjadi karena individu yang materialistis merasa tidak aman dan tidak kompeten sebagai akibat dari meningkatnya stressor pada kehidupan urban (Srivastava, 2009) sehingga mempengaruhi sikap individu terhadap dunia. Dampak materialisme akan membuat individu memiliki sikap yang negatif, dimana hal ini dapat berperan terhadap terjadinya masalah dalam kesehatan mental. Hal ini didukung oleh hasil analisa tambahan, dimana materialisme memiliki korelasi positif yang paling tinggi dengan dimensi positive affect dibandingkan dimensi lain pada masalah kesehatan mental. Adapun maksud positive affect pada alat ukur dalam penelitian ini mengacu telah negative affect, karena syarat dalam perhitungan skor masalah kesehatan mental (MHI-18) skor untuk dimensi positive affect harus di reverse. Oleh karena itu, korelasi yang positif ini menunjukkan bahwa individu yang materialistis memiliki sikap yang tidak positif terhadap dunia. Selain penjelasan di atas, individu yang materialistis juga rentan mengalami hubungan interpersonal yang relatif singkat dan penuh konflik (Kasser dkk., 2004), sehingga dapat mengalami masalah kesehatan mental karena hubungan yang buruk tersebut (WHO, 2012). Dampak dari materialisme yang terakhir adalah masalah autonomy, yaitu perasaan bahwa individu memiliki pilihan, kepemilikan, dan keterlibatan yang mendalam terhadap aktivitas individu (Kasser dkk., 2004). Individu yang materialistis akan mengalami masalah dalam autonomy, karena ia merasa harus mengejar benda-benda materi untuk mengatasi keraguan diri (contoh: saya bukan orang gagal karena saya memiliki banyak harta) dan untuk terlihat positif dalam lingkungan sosial (contoh: rumah dan mobil saya lebih bagus dari tetangga). Hal ini memperlihatkan bahwa individu menjadi tidak menyadari potensinya sendiri, padahal menurut WHO (2013) salah satu ciri individu yang sehat mental adalah individu yang menyadari potensinya. Peran materialisme terhadap masalah kesehatan mental tidak besar, karena kontribusi yang diberikan hanya 0.272 dari 1 (lebih mendekati 0). WHO (2013) menyatakan bahwa individu yang sehat mental mampu menyadari potensinya sendiri, mampu mengatasi tekanan hidup yang normal, mampu bekerja produktif, dan mampu berkontribusi bagi lingkungan. Kecilnya peran materialisme terhadap masalah kesehatan mental dapat terjadi karena individu yang materialistis, dapat bekerja secara produktif, namun karena fokusnya lebih pada kepemilikan, maka individu menjadi tidak menyadari potensinya sendiri. Hal ini didukung oleh hasil penelitian, dimana pada subjek dimensi materialisme yang berperan lebih besar dibandingkan dimensi yang lain terhadap masalah kesehatan mental adalah acquisition centrality (11.2%). Berdasarkan analisis tambahan, ditemukan bahwa success adalah dimensi dari materialisme yang memberi kontribusi paling kecil terhadap masalah kesehatan mental (7.9%). Success adalah pandangan individu bahwa kesuksesan dinilai dari materi atau harta benda yang dimiliki seseorang. Kontribusi yang rendah ini dapat terjadi karena saat seseorang merasa sukses, ia berhasil memenuhi rasa amannya dan self-esteem individu (Kasser & Ryan, 1993), dimana self-esteem dan rasa aman adalah faktor-faktor yang dapat meningkatkan kesehatan mental seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi success memiliki dampak positif dan juga negatif sehingga dimensi ini tidak terlalu berperan dalam memprediksi masalah kesehatan mental. Sebesar 0.728 faktor yang tidak berhasil diprediksi oleh materialisme dapat dipengaruhi oleh faktor psikologis lain seperti rendahnya self-esteem, kesulitan dalam berkomunikasi, rasa kesepian, tekanan dalam pekerjaan, economic insecurity, dan ketidakadilan dan diskriminasi (WHO, 2012). Individu yang memiliki self-esteem rendah dapat mengalami masalah kesehatan mental karena perasaan tidak berharga dan tidak kompeten dalam dirinya. Individu juga memerlukan dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya sehingga apabila individu mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, individu tidak dapat menjalin hubungan yang baik dan dapat menjadi kesepian. Economic insecurity dan tekanan dalam pekerjaan adalah faktor yang dapat meningkatkan anxiety dan depresi (Wilkinson & Marmot, 2003) dan lazim terjadi dalam kehidupan urban yang memiliki tingkat persaingan tinggi (Amalin, 2013) sehingga mempengaruhi kesehatan mental individu. Faktor ketidakadilan dan diskriminasi yang disebabkan karena kemiskinan dapat menimbulkan masalah kesehatan mental karena adanya perlakuan yang tidak sama sehingga individu yang terdiskriminasi dapat terhalang dari pelayanan sosial seperti rumah sakit, sekolah, dan lain sebagainya yang dibutuhkan individu. Berdasarkan hasil penelitian, kesulitan dalam regulasi emosi berperan dalam memprediksi masalah kesehatan mental. Kesulitan dalam regulasi emosi yang menjadi variabel prediktor dalam penelitian ini dapat memprediksi masalah kesehatan mental individu, karena individu yang tidak mampu meregulasi emosinya akan lebih sulit dalam menetapkan tujuan dan menangani tekanan atau perbedaan (WHO, 2012). Kesulitan dalam menetapkan tujuan dan menangani tekanan atau perbedaan akan membuat individu memiliki masalah dalam kesehatan mental, karena menurut WHO (2013) individu yang sehat mental adalah individu mampu menyadari potensinya sendiri, mampu mengatasi tekanan kehidupan normal, mampu bekerja secara produktif dan mampu berkontribusi bagi masyarakat. Oleh karena itu jika individu mampu meregulasi emosi, maka individu tersebut dapat berfungsi normal di masyarakat sehingga lebih sehat mental daripada individu yang kurang mampu meregulasi emosinya. Selain itu kesulitan dalam regulasi emosi berperan memprediksi masalah kesehatan mental pada subyek, karena sebagian besar subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat kesulitan dalam regulasi emosi yang tinggi (51.51%). Lebih banyak subjek dalam penelitian ini tidak dapat mengatur respon emosi yang sesuai dengan tujuan dan tuntutan situasi, sehingga tidak mampu mengatasi tekanan hidup yang normal. Kemampuan mengatasi tekanan hidup yang normal sendiri merupakan bagian dari karakteristik individu yang sehat mental menurut WHO (2013). Peran kesulitan dalam regulasi emosi terhadap masalah kesehatan mental tidak besar, kesulitan dalam regulasi emosi dapat memprediksi masalah kesehatan mental hanya sebesar 0.472 dari 1 (sehingga lebih mendekati 0). Hal ini dapat terjadi karena menurut WHO (2012), pada usia adulthood penentu kesehatan mental individu berkaitan dengan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan sosial. Sementara regulasi emosi sendiri lebih menjadi faktor kritis pada usia childhood dan adolescence. Hal ini dapat menjelaskan kecilnya peran kesulitan dalam regulasi emosi terhadap masalah kesehatan mental karena subjek penelitian ini adalah young adulthood sehingga pada subyek ada individu yang sudah berhasil mengelola emosinya dan ada yang belum. Selain itu, rendahnya peran kesulitan dalam regulasi emosi terhadap masalah kesehatan mental pada subyek dapat terjadi karena terdapat faktor lain yang lebih berperan, seperti keadaan sosial dan faktor lingkungan. Menurut WHO (2012), faktor penentu kesehatan mental individu terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu atribut individu (seperti self-esteem, kemampuan komunikasi, dll.), keadaan sosial (seperti rasa kesepian, konflik keluarga, kemiskinan, tekanan pekerjaan, dll.), dan faktor lingkungan (mencakup diskriminasi, peperangan, dan bencana alam). Regulasi emosi sendiri termasuk dalam tingkatan atribut individu (cognitive/emotional immaturity), sedangkan variabel-variabel dari dua tingkatan lainnya tidak diteliti dalam penelitian ini. Penjelasan lain yang diduga peneliti adalah adanya faktor self-efficacy yang turut berkontribusi dalam regulasi emosi. Menurut Tamir dan Mauss (2011), regulasi emosi dipengaruhi tiga faktor, yaitu strategi dan kompetensi, keyakinan dalam pengontrolan diri, serta nilai dan tujuan. Strategi dan kompetensi telah dirumuskan dalam alat ukur regulasi emosi, yaitu nonacceptance, impulse, awareness, strategies, dan clarity; sedangkan faktor nilai dan tujuan dirumuskan dalam dimensi goals. Namun, keyakinan dalam pengontrolan diri belum dapat diukur melalui alat ukur DERS ini. Keyakinan atas kontrol diri ini disebut sebagai self-efficacy (Bandura, 1977, dalam Tamir & Mauss, 2011). Tamir dan Mauss (2011) juga menyatakan bahwa individu yang percaya bahwa emosi dapat dikontrol dan bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengontrol emosi, lebih sehat secara mental dan memiliki kesejahteraan yang lebih tinggi. Faktor self-efficacy ini belum dapat diukur dalam penelitian ini sehingga faktor ini dapat menjadi salah satu variabel yang turut berkontribusi dalam 0.528 yang tidak berhasil diprediksi oleh kesulitan dalam regulasi emosi. Diantara dimensi yang lain, dimensi strategies dari kesulitan dalam regulasi emosi memiliki peran yang lebih besar terhadap masalah kesehatan mental. Dimensi strategies memiliki hubungan yang paling erat dengan dimensi anxiety dari masalah kesehatan mental (0.526). Strategies sendiri adalah kepercayaan bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengelola emosi saat sedang tidak bahagia. Hal ini menunjukkan bahwa semakin individu merasa tidak bisa mengelola emosinya, semakin tinggi juga kecemasan yang dialami. Sementara, dimensi yang memiliki peran paling kecil dalam memprediksi masalah kesehatan mental adalah impulse (8%). Peran impulse tidak besar karena subjek pada penelitian ini adalah young adulthood yang memiliki kontrol diri yang lebih baik (Roberts & Mroczek, 2008), dimana mereka lebih hati-hati dalam bertindak, sehingga impulse ini tidak memberikan banyak kontribusi dalam memprediksi masalah kesehatan mental. Selain menggambarkan ketidakmampuan dalam regulasi emosi, impulsivitas juga dipengaruhi oleh emosi yang positif. Shahjehan, Qureshi, Zeb, dan Saifullah (2011) juga menemukan bahwa individu yang impulsif didorong oleh emosi yang positif dan anggapan bahwa mereka melakukan hal yang tepat. Adanya emosi yang positif membuat individu dapat terhindar dari masalah kesehatan mental, karena negative affect merupakan salah satu indikator terjadinya masalah dalam kesehatan mental, sehingga impulsivitas hanya berperan kecil dalam memprediksi masalah kesehatan mental. Mayoritas subjek yang menjadi sampel pada penelitian ini memiliki skor yang tinggi pada materialisme yaitu sebesar 54.54%. Hal ini dapat terjadi karena meningkatnya kebutuhan pada kehidupan urban (Simmel, 2004) sehingga orang berlomba-lomba untuk mengumpulkan benda-benda materi sebanyak mungkin (Okezone, 2014). Kehidupan urban memiliki tingkat persaingan yang tinggi (Amalin, 2013), kriminalitas, dan meningkatnya stressor (Srivastava, 2009). Hal-hal tersebut menimbulkan insecurity sehingga orang-orang berusaha mencari bendabenda materi untuk mengatasi perasaan tidak aman tersebut (Kasser dkk., 2004). Individu yang memiliki anggota keluarga/teman yang materialistis juga cenderung mengikuti gaya hidup yang sama sehingga dapat menimbulkan nilai materialisme pada individu (Kasser dkk., 2004). Selain itu, tingginya tingkat materialisme juga dapat dipengaruhi oleh pengiklanan kapitalisme (Kasser dkk., 2004). Hal ini menimbulkan perasaan inferioritas pada individu karena adanya social comparison sehingga individu mengumpulkan benda-benda materi untuk mengatasi perasaan inferioritasnya. Mayoritas subjek yang menjadi sampel pada penelitian ini memiliki skor yang tinggi pada kesulitan dalam regulasi emosi yaitu sebesar 51.51%. Tingginya tingkat kesulitan regulasi emosi terjadi karena kebanyakan subjek dalam penelitian ini berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan hasil uji beda perempuan memiliki mean skor kesulitan dalam regulasi emosi di atas rata-rata (73.32 > 70.6) dan memiliki perbedaan yang signifikan dalam kesulitan regulasi emosi dengan sampel laki-laki. Hal ini dapat terjadi karena perempuan lebih responsif secara emosional daripada laki-laki (McRae, Ochsner, Mauss, Gabrieli, Gross, 2008). Selain itu, laki-laki dapat meregulasi emosi negatifnya dengan lebih efisien daripada perempuan (McRae dkk., 2008). Mayoritas subjek yang menjadi sampel pada penelitian ini memiliki skor yang tinggi pada masalah kesehatan mental yaitu sebesar 53.03%. Sampel perempuan (mencakup 54.54% dari total sampel) memiliki mean skor kesehatan mental di atas rata-rata (47.82 > 44.7) dan memiliki perbedaan masalah kesehatan mental yang signifikan dengan sampel laki-laki. Hal ini salah satunya dapat terjadi karena perempuan lebih sulit meregulasi emosinya daripada laki-laki sehingga mempengaruhi masalah kesehatan mentalnya. Menurut Maciejewski, Prigerson, dan Mazure (2001, dalam McRae dkk., 2008), perempuan lebih rentan untuk mengalami major depressive disorder sebesar tiga kali dibanding laki-laki. McRae dkk. (2008) juga menyebutkan bahwa perempuan lebih rentan mengalami gangguan kecemasan, phobia, dan lebih lama dalam memendam suasana hati yang negatif. Selain aspek tersebut, tingginya masalah kesehatan mental juga dapat disebabkan oleh aspek-aspek lain seperti rasa kesepian karena menurunnya dukungan sosial, tingginya tingkat kriminalitas, tekanan pekerjaan, kemiskinan, dan lain-lain (WHO, 2012) yang semuanya merupakan ciri dari kehidupan perkotaan (Amalin, 2013; Srivastava, 2009). Berdasarkan regresi linier berganda yang dilakukan, diperoleh nilai konstanta yang arahnya negatif terhadap masalah kesehatan mental (-0.385). Hal ini terjadi karena adanya variabel-variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini dan arahnya negatif terhadap masalah kesehatan mental seperti self-esteem, kemampuan berkomunikasi, pencapaian dalam sekolah/tempat kerja, dukungan sosial, dan lain-lain. 1.3 Saran Subbab ini akan menjelaskan saran yang dapat diambil dari penelitian ini, baik yang teoritis maupun praktis, yang diperoleh dari hasil penelitian ini. Melalui subbab ini, diharapkan penelitian ini dapat membantu dalam pengembangan ilmu psikologi dan bagi praktisi. 1.3.1 Saran Teoritis Alat ukur Difficulties in Emotion Regulation (DERS) yang digunakan dalam penelitian ini memiliki satu dimensi yang dihilangkan seluruh butirnya karena validitasnya yang buruk. Dimensi yang dimaksud adalah Awareness. Hal ini didukung penelitian Bardeen, Fergus, dan Orcutt (2012) yang melakukan pemeriksaan terhadap struktur laten alat ukur DERS dan dengan pengukuran Confirmatory Factor Analysis, ditemukan bahwa dimensi nonacceptance, strategies, goals, impulse, dan clarity memiliki kovariasi unik yang sama, sedangkan dimensi awareness tidak memiliki hubungan dengan dengan dimensi lainnya. Oleh karena itu, perlu diuji apakah penghilangan dimensi awareness ini mempengaruhi definisi kesulitan dalam regulasi emosi. Apabila tidak ada, maka sebaiknya dimensi ini dihilangkan secara permanen dari alat ukur DERS. Alat ukur Mental Health Inventory 18-items version (MHI-18) yang digunakan dalam penelitian ini mencakup kesehatan mental yang terlalu global sementara berbagai penelitian menguji peran materialisme dan regulasi emosi langsung kepada gejala atau gangguan psikopatologis spesifik. Oleh karena itu, sebaiknya digunakan alat ukur yang langsung secara spefisik mengukur gejala atau gangguan psikopatologis. Untuk pertimbangan lain, dapat juga digunakan General Health Questionnaire (GHQ) yang juga mengukur kesehatan mental, namun tentunya ada kelebihan dan kekurangannya dibandingkan MHI-18. Terkait dengan topik penelitian, untuk penelitian mendatang, diperlukan variabel lain yang memiliki keterkaitan dengan kesehatan mental. Sebagai saran, gunakan variabel selfefficacy sebagai variabel lain yang mempengaruhi peran antara regulasi emosi dengan kesehatan mental. Penelitian ini juga kurang mempertimbangkan faktor di luar atribut pribadi yang juga penting dalam menentukan kesehatan mental seseorang. Oleh karena itu, variabel lain juga perlu dipertimbangkan, seperti self-esteem, kemampuan komunikasi, hubungan interpersonal, kemiskinan, tekanan sosial, diskriminasi, dan lain sebagainya. Rentang usia sampel yang diambil dalam penelitian ini juga kurang tepat sehingga peran regulasi emosi kurang dapat tergambarkan dengan baik sehingga untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya menggunakan sampel dari rentang usia childhood sampai adolescence. Disarankan juga untuk merancang penelitian yang berbeda antara perempuan dan laki-laki karena terdapat perbedaan yang signifikan antara dua kelompok gender tersebut dalam hal regulasi emosi dan kesehatan mental. Terakhir, disarankan untuk menggunakan sampel yang lebih banyak karena sampel yang digunakan dalam penelitian ini tidak cukup merepresentasikan populasi penduduk Jakarta. 1.3.2 Saran Praktis Bagi penduduk Jakarta yang mementingkan kepemilikan, sebaiknya kenali dulu potensi diri dan pahami bahwa kepemilikan uang dan barang adalah sesuatu yang dapat digunakan dalam mengembangkan potensi tersebut. Bagi individu yang memiliki nilai materialisme tinggi juga disarankan untuk lebih mensyukuri hal-hal yang sudah dimiliki saat ini dan untuk lebih mengutamakan hal-hal seperti kelekatan keluarga, hubungan interpersonal, dan lain-lain. Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa sampel perempuan lebih sulit dalam meregulasi emosi dan lebih cenderung mengalami masalah kesehatan mental daripada sampel laki-laki. Hal ini dapat terjadi perempuan lebih responsif secara emosional daripada laki-laki (McRae dkk., 2008) dan karenanya lebih rentan mengalami mood disorder. Bagi perempuan, pahami berbagai strategi untuk meregulasi emosi. Dalam meregulasi emosi, diperlukan juga pemahaman yang baik terhadap emosi diri. Oleh karena itu, individu juga harus belajar untuk tanggap memahami emosi dan tidak mengabaikannya. Bagi psikolog, pekerja sosial, dan pemerhati kesehatan mental, juga disarankan untuk memberikan perhatian untuk masalah kesehatan mental di kehidupan perkotaan, terutama materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi yang berdasarkan penelitian ini memberi kontribusi terhadap masalah kesehatan mental. Untuk itu, dapat dilakukan tindak-tindak pencegahan berupa edukasi untuk lebih menghargai hal-hal selain kepemilikan seperti kelekatan keluarga dan pengembangan potensi diri, serta program edukasi untuk mengelola emosi agar dapat berfungsi secara normal, kepada berbagai pihak seperti sekolah-sekolah, keluarga, atau pun secara individual. Sebagai saran, program edukasi mengenai dampak materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi terhadap masalah kesehatan mental dapat diberikan kepada penduduk Jakarta sebagai kota urban yang memberikan banyak tantangan terhadap nilai materialisme pada individu. Edukasi mengenai regulasi emosi lebih penting daripada materialisme karena, selain dari koefisien yang lebih tinggi, kesulitan dalam regulasi emosi dapat menimbulkan materialisme (seperti impulsive buying) yang terjadi sebagai akibat dari emosi yang tidak teregulasi dengan baik sehingga masalah kesehatan mental akan lebih meningkat.