BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Arab

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa Arab merupakan bahasa al-Qur‟an. Al-Qur‟an diturunkan oleh Allah
di wilayah Arab dengan tujuan masyarakat Arab dahulu terbebas dari sikap
jahiliyah. Oleh karena itu, Allah menurunkan al-Qur‟an kepada utusannya,
Muhammad, agar mereka menjalankan ajaran Islam.
Ajaran Islam yang terkandung di dalam al-Qur‟an ialah ketauhidan, perilaku
kehidupan manusia, dan peribadatan manusia dengan Tuhan. Selain itu, al-Qur‟an
juga sebagai sumber ilmu, seperti sejarah, matematika, biologi, fisika, ataupun
struktur bahasa. Struktur bahasa yang digunakan oleh al-Qur‟an merupakan
struktur bahasa Arab yang sempurna, salah satunya mengenai ketakrifan.
Islam sangat dekat dengan al-Qur‟an karena merupakan kitab suci agama
Islam. Islam menyebar ke luar wilayah Arab dan salah satunya yaitu Indonesia.
Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah atau sekitar abad ke-7 M
dengan lima cara, yaitu dengan jalur perdagangan, pernikahan, pendidikan,
tasawuf, dan kesenian (Darsono dan Ibrahim, 2009:3). Terlepas dari sejarah
penyebaran Islam di Indonesia, pemerintah Indonesia pada 17 Agustus 1965 telah
melakukan program penerbitan al-Qur‟an dan Terjemahnya melalui Lembaga
Penyelenggara Penterjemah Kitab Suci al-Qur‟an di bawah naungan Departemen
Agama (KEMENAG, 2012:v).
1
2
Pemerintah Indonesia membuat program tersebut agar masyarakat Indonesia
lebih memahami isi al-Qur‟an. Dalam proses penerjemahan yang dilakukan oleh
tim penerjemah al-Qur‟an memakan waktu lama disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu perbedaan pendapat dari tim ahli dalam menentukan beberapa pendapat
ulama dan kesulitan mencari padanan kosa kata yang tepat ke dalam bahasa
Indonesia (KEMENAG, 2012:v).
Problematika yang dialami oleh tim penerjemah masih dapat dirasakan
sampai sekarang, yaitu kesulitan dalam mencari padanan kosa kata yang terdapat
dalam bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu masih sering terjadi di
dalam terjemahan al-Qur‟an dari Kementerian Agama pada tahun 2012,
khususnya pada pola ketakrifan.
Al-Qur‟an merupakan media pembelajaran yang di dalamnya terdapat kaidah
bahasa Arab dengan sempurna, salah satunya terdapat ketakrifan. Oleh karena itu,
penelitian ini akan menitikberatkan pada ketakrifan bahasa Arab dan
penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia pada studi kasus al-Qur‟an dan
terjemahnya dari Kementerian Agama RI pada tahun 2012, karena al-Qur‟an ialah
firman Tuhan (Allah) yang murni dan tanpa diragukan sedangkan terjemahan
dapat berbeda-beda. Selanjutnya penulisan al-Qur‟an dan terjemahan akan
disingkat QT.
Ketakrifan (definitenees) menurut al-Galāyainī (2005: 110) yaitu ma’rifah
(definite) berupa ism (noun) yang menunjukkan terhadap adanya suatu batasan,
sedangkan nakirah (indefinite) adalah ism (noun) yang menunjukkan tanpa adanya
3
batasan dan asli. Ketakrifan berkaitan dengan nomina dan hal ini juga
berhubungan dengan kajian sintaksis.
Kajian sintaksis merupakan kajian hubungan antar kata atau kelompok kata
dalam sebuah kalimat atau ujaran (Verhaar, 2008:9). Pada sebuah kalimat di
dalamnya terdapat kata-kata yang menunjukkan ketakrifan. Secara umum,
ketakrifan dikelompokkan menjadi dua, takrif (ism al-ma‘rifah) dan tak takrif (ism
an-nakirah) (Nahr, 2008:37).
Proses pembentukan nakirah menjadi ma’rifah seperti kata rajulun (‫)رجل‬
merupakan nakirah “anak laki-laki”, tetapi tidak tahu siapa orang laki-laki itu,
bisa jadi untuk menunjukkan secara umum bagi anak laki-laki. Apabila rajulun
akan menunjukkan suatu hal yang ingin dimengerti, maka perlu adanya batasan
pada kata itu dengan membatasi pemarkah al, kata rajulun (‫ )رجل‬menjadi ‫الرجل‬. Di
sinilah proses terjadinya ism nakirah menjadi ism al-ma’rifah. Dalam penulisan
ism ma’rifah akan ditulis dengan IM, sedangkan ism an-nakirah ditulis dengan
IN.
Laṭīf menambahkan (1994:337) pembentukan subyek bahasa Arab dapat
menggunakan ism ma‘rifah atau nakirah mufīdah. Nakirah mufīdah merupakan
bagian dari nomina pada umumnya, tetapi dalam hal ini memiliki batasan dan
pengkhususan (takhṣiṣ) sehingga membentuk makna yang berfaedah (Barakāt,
1982:40). Berikut contoh subyek bahasa Arab.
(1) ُ‫ْالبَيْتُُ َكبِيْر‬
/al-baitu kabīrun/
“Rumah itu besar” (Khaironi, 2007:4).
(2) ‫فيُالنحوُرياضةُعقلية‬
/fī an-naḥwi riyāḍatun ‘aqliyyatun/
4
“Dalam sintaksis itu ada olahraga mentalitas” (Barakāt, 1982:36).
Pada (1) merupakan kalimat nomina dan subyek nominanya adalah ُ ُ‫ ْالبَيْت‬albaitu “rumah itu” berbentuk IM, sedangkan (2) kalimat nominanya di awali oleh
preposisi fī (frasa preposisional). Subyek nomina (2) adalah ‫ رياضة ُعقلية‬riyāḍah
‘aqliyyah “olahraga mentalitas” berbentuk IN. Dapat diketahui subyek nomina
bahasa Arab bahwa bentuk ketakrifan dalam bahasa Arab dapat menentukan
subyek. Bukan hanya itu saja, ketakrifan juga dapat mengisi sebagai fungsi
predikat dan obyek.
Penerjemahan ketakrifan yang dilakukan oleh tim KEMENAG dalam QT,
seperti:
    ...
) 4(
/wa mā hum bi-mu’minīn/
„Padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman‟
(Q.S. Al-Baqarah (2) : 8)
   )99(
/...wabusyrā lil-mu’minīna/
97. „... serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.‟
(Q.S. Al-Baqarah (2) : 97)
Contoh (4) dan (95) penerjemahan ketakrifan ada persamaan dalam
penerjemahannya. Kata ‫ المؤمنين‬/al-mu’minīna/ merupakan IM diterjemahkan
menjadi „orang-orang yang beriman‟, sedangkan pada kata ‫ مؤمنين‬/mu’minīna/
adalahُ IN diterjemahkan „orang-orang yang beriman‟. Pada kedua kata tersebut
dalam penerjemahan ketakrifan bahasa Indonesia sama-sama diterjemahkan
dengan „orang-orang yang beriman‟, namun dalam ketakrifan bahasa Arab kedua
nomina itu berbeda. Perbedaan penerjemahan (4) dan (95) yaitu
5
1. Kata ‫ المؤمنين‬/al-mu’minīna/ dalam bahasa Arab termasuk IM. Atribut
takrif bahasa Arab menggunakan alif-lam, sedangkan penerjemahan ke
dalam takrif bahasa Indonesia tidak teridentifikasi. Inilah yang menjadi
letak perbedaan ketakrifan bahasa Arab dengan bahasa Indonesia.
2. Lain halnya dengan kata ‫ مؤمنين‬/mu’minīna/ termasuk IN dan
penerjemahannya yaitu „orang-orang yang beriman‟. Kata ‫مؤمنين‬
/mu’minīna/ sama halnya dengan kata ‫ المؤمنين‬/al-mu’minīna/ yang
termasuk kelas kata ism al-fā‘il (partisipel aktif), tetapi ada perbedaan di
antara kedua kata tersebut. Jika kata ‫ مؤمنين‬/mu’minīna/ tidak terdapat
atribut takrif, sedangkan kata ‫ المؤمنين‬/al-mu’minīna/ memiliki atribut
takrif berupa alif-lam. Oleh karena itu, penerjemahan ke dalam bahasa
Indonesia tidak menggunakan atribut takrif.
Letak perbedaan penerjemahan (4) dan (95) yaitu pada tak takrif atau takrif pada
kata ‫ مؤمنين‬/mu’minīna/ dan kata ‫ المؤمنين‬/al-mu’minīna/ sehingga penerjemahan
tak takrif dan takrif dibedakan yaitu dengan atribut takrif pada ‫ المؤمنين‬/almu’minīna/ yaitu bisa dengan atribut itu.
Hal inilah yang menjadi pendorong bagi peneliti untuk membahas lebih lanjut
permasalahan ketakrifan bahasa Arab yang diterjemahkan ke Indonesia dengan
menggunakan analisis sintaksis-penerjemahan. Oleh karena itu, kedua bahasa
berbeda dari struktur bahasanya.
6
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan pada 1.1 dapat dirumuskan
permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah
1. Apa saja satuan kebahasaan yang menandai ketakrifan bahasa Arab yang
terdapat di dalam al-Qur‟an dan terjemahnya dari Kementerian Agama RI?
2. Bagaiamana ketakrifan bahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia?
3. Adakah perubahan kategori kata pada ketakrifan bahasa Arab pada
penerjemahan tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dalam penelitian ini dibagi dua
yaitu teoritis dan praktis. Tujuan teoritis penelitian ini adalah Pertama,
mengetahui satuan kebahasaan yang menandai ketakrifan bahasa Arab dalam QT
dari Kementerian Agama RI. Kedua, gambaran tentang wujud ketakrifan bahasa
Arab dalam penerjemahan ke bahasa Indonesia. Sementara itu, tujuan praktisnya
ialah untuk memberikan pemahaman tentang ketakrifan bahasa Arab ke pada
penutur bukan Arab (gairu nāṭiqīn).
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan faedah dan manfaat secara teoritis
dan praktis. Manfaat teoritis penelitian ini adalah dapat memberikan manfaat
terhadap perkembangan teori dan kajian linguistik Arab dan manfaat praktisnya
adalah dapat dimanfaatkan oleh pengkaji selanjutnya dan para akademisi
khususnya di bidang linguistik kajian sintaksis (ketakrifan).
7
1.5 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka penelitian ini berkaitan dengan nomina yang menduduki
fungsi tertentu dalam sebuah kalimat. Dalam bahasa Arab nomina yang hadir di
dalam sebuah kalimat harus memiliki penanda minimal yaitu pemarkah jenis,
bilangan/jumlah, ketakrifan, dan kasus (fungsi dalam kalimat). Berikut tinjauan
pustaka yang menjadi titikfokus peneliti dalam menopang penelitiannya.
Pembahasan tentang ketakrifan bahasa Arab telah dipaparkan oleh linguis
Arab antara lain al-Galāyainī. Menurutnya (2005: 110) ketakrifan itu berupa
ma’rifah dan nakirah. IM adalah ism yang menunjukkan terhadap adanya suatu
batasan, sedangkan IN adalah ism yang menunjukkan tanpa adanya batasan dan
asli. Oleh karena itu, nomina yang tidak tertentu dinamakan tak takrif (nakirah)
dan nomina yang dibatasi dinamakan takrif (ma’rifah).
al-Galāyainī lebih condong terhadap bentuk pemarkah al seperti ‘ahdiyah,
jinsi, zāidah, mauṣūliyyah, dan bilangan yang ber-al. Meskipun membahas
macam-macam bentuk pemarkah al, al-Galāyainī juga menyebutkan macammacam wujud ketakrifan secara sepintas tanpa penjabaran. Padahal wujud
ketakrifan bahasa Arab merupakan suatu hal yang harus diketahui karena dapat
menentukan apakah nomina itu takrif atau tidak pada sebuah kalimat.
Pembahas lain yang berkaitan dengan ketakrifan ialah ad-Daḥdāḥ.
Menurutnya (1992:90) ma‘rifah ialah nomina batasan dan nakirah ialah nomina
tanpa batasan. Hal ini sesuai dengan penjelasan al-Galāyainī bahwa IM berupa
nomina yang dibatasi oleh batasan tertentu, sedangkan IN berupa nomina asal dan
asli. Pembahasan ad-Daḥdāḥ mengenai ketakrifan yaitu adanya pengelompokkan
8
antara nomina mu‘rab dan nomina mabnī. Nomina mu‘rab meliputi ism ‘alam,
pemarkah al, dan frasa nominal (muḍāf), sedangkan nomina mabnī terdiri atas
kata ganti nama (ḍamīr), kata tunjuk, kata sambung, dan partikel ya’ pada nida’.
Pembahasan yang dilakukan oleh ad-Daḥdāḥ hanya bersifat pengelompokkan
terhadap nomina takrif itu sendiri.
Linguis Arab yang membahas masalah ketakrifan selain mereka berdua ialah
„Adas. Menurutnya (1991:48) ketakrifan ialah nomina yang menunjukkan kepada
sesuatu tertentu yang dimengerti. „Adas menjelaskan proses terjadinya nomina tak
takrif (nakirah) menjadi nomina takrif (ma‘rifah) dan wujud ketakrifannya berupa
„alam, pemarkah al, kata tunjuk, kata sambung, dan kata ganti.
Selain dari linguis Arab (gairu nāṭiqīn), Khaironi (2007:44) membahas
adanya ketakrifan melalui skema dalam membagikan nomina yang takrif dan tak
takrif tersebut. Sementara itu, linguis Indonesia menawarkan perihal pembahasan
ketakrifan bahasa Indonesia. Kridalaksana (2008:120) membahas perihal
ketakrifan bahasa Indonesia. Menurutnya ketakrifan itu hanya bersangkutan pada
sifat nomina atau frasa nominal saja dan penandanya antara lain dengan kata sang
dan itu.
Ramlan (2005) membahas ketakrifan. Menurutnya ketakrifan harus ada di
dalam kalimat, klausa, dan frasa serta pada satuan sintaksis tersebut. Begitu juga
dengan Chaer (2008) membahas adanya ketakrifan di dalam bentuk fungsi dan
kategori sintaksis.
Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan ketakrifan, baik itu berbahasa
Arab maupun bahasa lain. Penelitian yang berkaitan dengan ketakrifan dalam
9
media tulis dan cetak, dilakukan oleh Asy‟ari (1993) berjudul “Partikel dan
Hubungan Fungsional dalam Bahasa Arab”. Penelitiannya menitikberatkan
kepada pembagian partikel. Di dalam penelitian ini hanya membahas tentang
takrif dan tambahan serta fungsinya dan tidak menunjukkan wujud ketakrifan
yang sesuai dengan konteksnya.
Penelitian lain yang berkaitan dengan ketakrifan dilakukan oleh „Afifi (2003)
dengan judul “al-Ismu al-Muḥāyid baina at-Ta’rīf wa tankīr fī an-Naḥwī al‘Arabī Khaṣāiṣuhu wa Isti’mālātihi”. Penelitian tersebut hanya membahas
karakteristik ism ma‘rifah dan ism nakirah belum membahas permasalahan wujud
dari ketakrifan bahasa Arab itu sendiri.
Kemudian, penelitian lain yang membahas tentang ketakrifan yaitu penelitian
dari Purwata. Penelitian Purwata (2011) dengan judul “Ketakrifan dalam Bahasa
Arab Analisis Morfosintaksis” dengan sumber data dari novel Ma Warā an-Nahr,
buku fil ma’nā an-naḥwī wa al-ma’nā ad-Dilālī, jurnal bahasa Arab Majallatu
Majma’il-Lugatil-‘Arabiyatī.
Dalam
penelitian
tersebut
peneliti
hanya
memfokuskan pada keanakeragaman bentuk partikel al dan pemarkah makna
ketakrifan nomina yang ber-al, padahal di dalam ketakrifan masih banyak wujud
ketakrifan dan Purwata hanya membahas satu wujud ketakrifan bahasa Arab di
dalam novel, buku, dan jurnal berbahasa Arab.
Lain halnya yang dilakukan oleh Yanti (2012) yang meneliti tentang
ketakrifan dengan judul “Penanda Definit The dan Penanda Tak Definit a/an
dalam Bahasa Inggris dan Padanannya dalam Bahasa Indonesia”. Penelitian
tersebut memfokuskan kajian semantik dan pragmatik. Dalam penelitian ini
10
menitikberatkan bagi pemarkah bahasa Inggris saja yaitu penanda tak definit
berfungsi sebagai penanda N jenerik dengan karekteristik akrab, tidak mengacu
terhadap referen singular, dan terpengaruh adanya verba.
Kajian-kajian di atas mengisyaratkan bahwa ketakrifan dapat dikenali melalui
penelusuran karakteristik pemunculan IM (DN) yang sesuai dengan teks dan
konteks tertentu. Peneliti condong terhadap pembahasan yang berkaitan tentang
wujud ketakrifan, sehingga dapat menjadi bahan rujukan dan eskplorasi dalam
penelitian ini.
1.6 Landasan Teori
Penelitian ini disusun berdasarkan kerangka teori untuk membantu langkahlangkah dalam proses penelitian. Keberadaan teori di dalam penelitian sangat
penting karena merupakan dasar berpikir peneliti dalam menyelesaikan
problematika penelitiannya. Dalam penilitian ini, pertama akan diuraikan tentang
ketakrifan dari sudut pandang umum dan tradisi Arab. Setelah itu, akan
dipaparkan tentang teori penerjemahan secara umum dan teori penerjemahan alQur‟an.
1.6.1 Ketakrifan
Setiap bahasa memiliki batas atau pembatas untuk menandai sesuatu yang
banyak menjadi suatu yang bermakna dan berkonsep. Ketakrifan merupakan
batasan dalam memahami dan mengenal sesuatu. Dalam batasan ini seperti contoh
perkenalan seseorang, gambarannya: apabila seseorang belum mengenal dan
memahami apa yang ada di dalam orang lain, maka dia belum saling mengenal
dan memahami satu sama lain. Dalam hal ini juga berdampak pada struktur
11
kebahasaan. Menurut Chafe (1970:188) konsep ketakrifan dalam struktur bahasa
sama halnya dengan pengenalan identitas dari individu atau kelompok kelas kata
tertentu supaya dapat mengetahui identitas dari sebuah individu atau kelompok
tertentu.
Ketakrifan secara umum terdapat dua macam yakni takrif dan tak takrif.
Dalam bahasa Indonesia dan bahasa Arab juga memiliki bentuk nomina takrif dan
takrif karena ketakrifan pada struktur kalimat sangatlah penting untuk mengerti
dan memahami apa yang ada didalam konteks kalimat atau ujaran (kalām).
Oleh karena itu, teori ketakrifan bahasa Arab dan bahasa Indonesia
dihadirkan dalam pembahasan penelitian ini karena menyangkut perihal pengujian
penerjemahan al-Qur‟an. Berikut konsep takrif dan tak takrif bahasa Indonesia
dan bahasa Arab.
1.6.1.1 Ketakrifan Tradisi Indonesia
Konsep ketakrifan beranjak dari kata. Perihal kata inilah yang menunjukkan
tertentu atau tidak tentu. Ketentuan dan ketidak tentuan kata memiliki tradisi
masing-masing pada setiap bahasa, seperti halnya ketakrifan tradisi Indonesia.
Ketakrifan dalam bahasa Indonesia dapat dilihat dari nomina karena nomina
merupakan kata yang menunjukkan dan mengacu kepada perihal benda atau
makhluk hidup. Dalam penunjukkan terhadap referen dengan tujuan agar info dari
penutur dapat tersampaikan dengan baik oleh lawan tutur. Jika lawan tutur paham
yang disampaikan oleh penutur maka itu dinamakan dengan takrif, sedangkan
lawan tutur tidak paham apa yang disampaikan dengan penutur yang berkaitan
dengan referensialnya disebut tak takrif (Givon, 1984:399).
12
Bahasa Indonesia secara umum memiliki bentuk ketakrifan dalam nomina.
Hal ini dapat dilihat ketika nomina itu mengacu kepada referen tertentu dan tidak
mengacu kepada referen tertentu. Nomina yang menunjukkan dan membatasi
kepada referen tertentu itu dinamakan dengan nomina referensial, sedangkan
nomina yang tidak menunjukkan dan tidak membatasi referen tertentu dinamakan
nomina nonrefensial (Baskoro, 1992:15). Jadi ketakrifan akan selalu berkaitan
dengan kereferensialnya.
Ketakrifan bahasa Indonesia seperti halnya dengan ketakrifan dengan bahasa
lain yaitu memiliki artikel atau penanda takrif dan tak takrif. Namun dalam bahasa
Indonesia ketakrifan dapat berwujud dan tak berwujud, tersirat dan tersurat. Hal
ini dikarenakan pada bahasa Indonesia dipengaruhi oleh beberapa bahasa antara
lain bahasa Inggris atau bahasa Arab. Adapun takrif bahasa Indonesia dapat
dilihat dengan beberapa faktor yaitu dengan info baru dan lama, referen yang
sudah banyak dimengerti oleh semua orang (langit, bumi, bintang, bulan), referen
yang telah disepakati oleh semua orang seperti halnya penyebutan hewan:
kambing, onta, sapi, kerbau, dan lain-lain, pemahaman tentang bagian-bagian dari
referen (presuposisi), pelaku tindak tutur (dapat dengan kata ganti nama atau
milik), dengan penggunaan penanda ini, itu, atau tersebut, ada penambahan
pewatas (yang).
Pemarkah takrif bahasa Indonesia dibagi menjadi dua yaitu wujud dan
tanmaujud/ tak wujud. Baskoro (1992:28) menyebutkan bahwa penanda takrif
bahasa Indonesia yang biasa dipakai dan nampak antara lain: -nya, itu, tersebut,
tadi, sedangkan tanmaujud/ tak wujud ini merupakan artikel yang tidak nampak,
13
namun mengisi kekosongan pada nomina sehingga menimbulkan makna yang
terbatas.
Pemarkah bertujuan untuk menandai adanya konstituen yang berada setelah
nomina agar diketahui referen nomina tersebut takrif atau tak takrif. Pemarkah
takrif bahasa Indonesia dapat diketahui dengan artikel atau alat yang menandai.
Artikel takrif bahasa Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu
dilihat dari segi makna tunggal, makna kelompok, dan makna netral (Moeliono,
1988:245). Pada segi makna tunggal seperti kata sang, sri, hang, dang yang
menunjukkan bahwa kata-kata tersebut memiliki makna tunggal dan fungsinya
masing-masing.
Fungsi pada artikel sang digunakan untuk memberikan makna kepada
makhluk hidup atau benda yang memiliki martabat yang tinggi. Misal: Sang
Merah Putih berkibar dengan anggunnya (Baskoro, 1992:31). Lain halnya dengan
artikel sri. Penggunaan artikel tersebut menunjukkan kepada manusia yang
memiliki jiwa dan kehormatan yang tinggi di dalam ruang lingkup keagamaan dan
kerajaan, contoh: Sri Sultan Hamengkubuwono X memakai batik ketika bekerja.
Selain itu artikel hang/dang digunakan untuk menunjukkan manusia yang pantas
dihormati. Hal ini berkaitan dengan kesusasteraan lama sehingga pada masa
lampau pujangga dan penulis selalu memakai istilah atau artikel hang/dang,
contoh: Hang Tuah dan Dang Merdu (Baskoro, 1992:31).
Artikel para menunjukkan makna kelompok atau jamak, namun dalam
penggunannya banyak terjadi penyimpangan. Contoh: Para murid belajar di kelas
dengan tenang. Bukan para murid-murid belajar di kelas dengan tenang. Pada
14
artikel para hanya digunakan yang berkedudukan sama baik itu dalam hal profesi
atau sejenisnya bukan untuk menyatakan secara umum, seperti: para manusia,
para masyarakat.
Artikel si merupakan penanda untuk menunjukkan makna netral walaupun
maknanya hampir sama dengan makna tunggal. Contoh: si kancil sedang mencuri
wortel milik pak tani. Penggunaan artikel si dan sang ada sedikit perbedaan, jika
si digunakan untuk peran objektif, sedangkan sang untuk menunjukkan makna
posesif (Baskoro, 1992:32), seperti: sang suami sedang tidur. Pada kata sang
suami menunjukkan makna kepemilikan –nya, yaitu suaminya. Hal ini berbeda
ketika kata suamia didahului artikel si, “si suami sedang tidur”. Artikel tersebut
akan menunjukkan makna objektif bukan makna posesif.
Pemarkah takrif bahasa Indonesia yang lain yaitu dengan artikel ini dan itu.
Penggunaan artikel ini dan itu untuk menunjukkan suatu hal kepada referen
tertentu yang ditentukan oleh jarak referen tersebut. Apabila penutur ingin
menunjukkan referen itu dekat maka menggunakan artikel ini, misal: ini buku
Tono. Artikel ini menunjukkan kepada referen yang diinginkan oleh penutur dan
dapat diisyaratkan dengan tangan yang menunjuk ke arah referen yang ditentukan
oleh penutur, yaitu buku. Lain halnya dengan artikel itu yang fungsinya untuk
menunjukkan referen yang jaraknya jauh, misal: itu rumah Andi.
Fungsi artikel itu juga memiliki makna kegenerikan. Berikut contohnya:
Harimau binatang liar (Dardjowidjojo, 1983:226). Pada kata harimau yang
berpengisi sebagai subyek memiliki makna generik, namun termasuk takrif karena
konsep yang harus diperhatikan pada kata harimau, yang mana lawan tutur telah
15
paham apa yang dimaksudkan oleh penutur bahwa referennya telah dipahami
yaitu harimau, sehingga tidak memerlukan artikel takrif.
Menurut Moeliono (1988:183) bahwa penggunaan artikel itu bisa hadir untuk
menunjukkan makna secara keseluruhan atau umum, berbeda dengan artikel ini
yang tidak dapat menunjukkan makna secara umum. Kalimat yang terdapat
adanya artikel itu dapat dilihat juga dari keterlibatan artikel itu tersebut. Apabila
sebelum kata itu diisi oleh fungsi subyek maka subyek harus lebih sempit dari
fungsi predikatnya, sehingga subyek dapat diikuti predikatnya yaitu artikel itu.
Misal: Harimau itu binatang liar (Dardjowidjojo, 1983:226). Jadi yang perlu
diperhatikan dalam penerapan artikel itu posisi dari subyek dan predikatnya, jika
subyek itu lebih luas dari predikat maka subyeknya harus /+itu/ dan predikatnya /itu/ (Dardjowidjojo, 1983:228). Dalam artian ketika subyek telah menunjukkan
makna tak jenerik tidak memerlukan artikel itu, namun jika subyek jenerik maka
menggunakan artikel itu untuk menunjukkan keterbatasan dan artikel itu
berpengisis sebagai fungsi predikat.
Pemarkah takrif yang lain bisa menggunakan artikel tersebut dan tadi.
Kaswanti Purwo (1984:119) artikel tersebut dalam bahasa Indonesia dipraktikan
untuk menandai titik tolak yang telah dipaparkan atau dijelaskan pada sebelumnya.
Hal ini sama dengan penggunaan artikel itu. Sedangkan penggunaan artikel tadi
digunakan ketika kemasukan beberapa kalimatyang hubungannya tidak langsung
namun dapat menandai adanya perpindahan topik (Purwo, 1984:120 dan Givon,
1978:316).
16
Perbedaan penggunaan artikel itu dan –nya sesuai dengan referennya, yaitu
tersurat atau tersirat. Hal itu sangat mempengaruhi info yang akan disampaikan
oleh penutur kepasa lawan tutur. Artikel itu lebih condong terhadap referen yang
tersurat sedangkan artikel –nya lebih condong tersirat pada referennya. Kaswanti
Purwo (1978:20) penanda takrif berupa artikel –nya posisinya mengacu kepada
referen sebelumnya, sedangkan artikel itu menandai unsur yang sudah ditentukan.
Misal:
a. Saya membeli buku kemarin, tetapi saya tidak tahu di mana buku itu
sekarang (Baskoro, 1992:35).
b. Saya masuk ke sebuah restoran, pelayannya cantik-cantik (Baskoro,
1992:35).
Pemarkah takrif bahasa Indonesia juga memiliki penanda takrif rangkap.
Kaswanti Purwo (1984:36) dalam praktiknya pemarkah takrif bahasa Indonesia
dapat digunakan rangkap sekaligus yaitu dengan menggabungkan antara
pemarkah takrif yang satu dengan yang satunya. Pemarkah takrif rangkap yang
biasa ditemui ialah pemarkah si dengan artikel ini atau itu, pemarkah sang bisa
digabung dengan artikel –nya, dan pemarkah jamak yaitu para dapat dirangkap
dengan artikel ini atau itu (Baskoro, 1992:38).
Ada pemarkah yang sampai sekarang masih diperdebatkan yaitu artikel yang.
Dalam hal ini Kawanti Purwo (1984) telah mencoba menganalisis penggunaan
artikel yang sebagai takrif dan pembatas. Menurutnya dalam kasusu artikel yang
harus sesuai konteks ujarannya agar tidak menjadi salah kaprah, karena fungsi
dari artikel yang sangat banyak dapat berupa menjadi kata pemisah atau bahkan
17
kata ganti relatif. Apabila artikel yang ingin digunakan dalam pemarkah takrif
maka yang perlu diperhatikan ialah artikel yang harus dipersempit sesuai dengan
kebutuhan pada konstituen pembentuk takrif tersebut.
Dengan demikian, ketakrifan bahasa Indonesia hanyalah sebagai bentuk
penentuan pola ketakrifan bahasa Arab dan disepadankan dengan pola ketakrifan
yang terdapat pada bahasa Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan kesinambungan
dalam penyepadanan pola ketakrifan pada kedua bahasa tersebut.
1.6.1.2 Ketakrifan Tradisi Arab
Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa ketakrifan seperti halnya
identitas seseorang yang perlu dikenali. Untuk mengenali tersebut memiliki ciri
dan tradisi masing-masing. Begitu juga ketakrifan dalam tradisi Arab.
Ketakrifan tradisi Arab dijelaskan oleh al-Galāyainī (2010:110) bahwa takrif
ialah nomina yang menunjukkan makna tertentu, sedangkan tak takrif ialah
nomina yang menunjukkan makna secara umum dan tidak menunjukkan makna
tertentu. Secara umum ketakrifan terdapat pada kategori kata yaitu nomina. Sesuai
dengan al-Galāyainī bahwa ketakrifan dibedakan menjadi dua yakni takrif
(ma‘rifah) dan tak takrif (nakirah).
Ketakrifan secara umum digunakan untuk membatasi keadaan nomina,
nomina akan dibatasi oleh pembatas atau dapat juga bebas. Bebas dalam hal ini
berkaitan dengan nomina itu sendiri yang menunjukkan makan secara umum atau
terbatas. Pembatas dalam nomina itu dinamakan dengan takrif, namun pembatas
di sini menandakan bahwa nomina akan menunjukkan suatu yang terbatas oleh
referen yang telah ditentukan.
18
Sebelum membicarakan tentang takrif nomina dalam bahasa Arab, nomina
merupakan salah satu kategori gramatikal. Kategori gramatikal secara umum
terdiri atas verba, adjektiva, adverbial, partikel, dan nomia. Dalam bahasa Arab
kategori gramatikal yang mendasar ialah verba, partikel, dan nomina. Alwi
(2014:36) berpendapat bahwa dalam verba, adjektiva, dan nomina dapat
dikembangkan dengan tambahan batasan tertentu. Dalam bahasa Arab nomina
ditandai oleh pemarkah jenis, jumlah (bilangan), ketakrifan, dan kasus (fungsinya
dalam kalimat) (Laṭif dkk., 1994:15).
Berdasarkan pendapat oleh Laṭif tentang nomina bahasa Arab dapat ditandai
dengan empat hal tersebut, namun takrif nomina dalam bahasa Arab memiliki
batasan yang dapat dikembangkan dan sebelumnya melalui proses yang sangat
panjang. Wujud ketakrifan bahasa Arab juga dikelompokkan menurut proses
terjadinya pentakrifan tersebut, yaitu secara takrif dan tak takrif. Berikut
penjelasan wujud pentakrifan bahasa Arab.
Bahasa Arab juga memiliki kaidah dalam penentuan takrif pada nomina.
Nomina yang dilihat berdasarkan takrif itu terdiri atas ḍamīr, ‘alam, kata tunjuk,
takrif dengan alif lam, kata sambung, penyandaran (muḍaf) dengan salah satu apa
yang ada sebelumnya atau frasa nomina, dan al-munādā (Khaironi, 2008:44).
Takrif dalam bahasa Arab merupakan bagian dari perkembangan nomina asal.
Asal mula nomina dalam bahasa Arab tidak ada batasan dalam hal makna. Oleh
karena itu, takrif terhadap nomina bertujuan untuk membatasi sebuah makna
sehingga maknanya akan terbatasi.
19
Pemarkah nomina berdasarkan takrif dengan alif lam sebelum nomina
mulanya, namun selain dengan pemarkah alif lam takrif dalam bahasa Arab dapat
dilihat dari segi wujudnya, yaitu dengan kata ganti nama (ḍamāir), ism al-‘alam,
kata tunjuk (ism al-isyārah), partisipel passif (ism al-mauṣūl), artikel alif lam,
muḍāf pada frasa nomina takrif, dan kata panggil/generic noun (ism al-jinsi almunādā) (Nahar, 2008:37).
Maka dari itu, pola ketakrifan bahasa Arab di sini bermaksud sebagai titik
acuan dalam penelitian ini karena sebagai poros dan acuan. Bukan hanya itu saja,
ketakrifan bahasa Arab juga akan disepadankan dengan pola-pola ketakrifan
bahasa Indonesia dalam konteks terjemahan al-Qur‟an.
1.6.2 Penerjemahan
Penelitian ini juga memerlukan teori terjemahan atau penerjemahan karena
pembahasan dalam penelitian ini merupakan studi kasus penerjemahan ketakrifan
pada surah al-Baqarah dalam QT milik KEMENAG tahun 2012. Dengan
demikian, peneliti menganggap perlu menghadirkan teori penerjemahan baik
secara umum dan khusus yaitu teori penerjemahan al-Qur‟an dan syaratnya.
Berikut uraian teori penerjemahannya.
Bahasa sebagai sistem terstruktur dan bersifat statis (Machali, 2000:18).
Selain itu bahasa juga memiliki sistem bunyi yang bersifat arbitrar/manasuka.
Oleh karena itu bahasa satu dengan bahasa yang lain terdapat perbedaan dan
persamaan dalam bentuk dan maknanya. Makna dari setiap bahasa akan terasa
jika terjadi kegiatan penerjemahan, namun dalam penerjemahan akan melibatkan
20
dua budaya yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa setiap bahasa memiliki
kekhasan dan keunikan masing-masing.
Perbedaan budaya antar bahasa satu dengan bahasa yang lainnya akan terasa
pada kosakata dari setiap bahasa tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat
Simatupang. Menurutnya (2000:56) dalam bahasa tidak pernah luput dari budaya
penuturnya dan kosakata yang dipakai dalam kesehariannya. Kosakata merupakan
bagian dari konsep yang ada dalam suatu budaya (Pelawi, 2014:33).
Penerjemahan dapat dilakukan jika si penerjemah mengerti akan konsep struktur
yang ada dalam bahasa yang akan diterjemahkan. Dalam penerjemhan yang harus
diperhatikan ialah adanya sebuah struktur. Nida (1974:21) mengelompokkan
struktur dalam penerjemahan ada dua, yaitu struktur lahir dan batin. Menurutnya
penerjemahan akan dapat dilaksanakan jika si penerjemah memperhatikan adanya
persepsi dalam bentuk atau ukuran dalam bahasa itu (struktur lahir) dan lainnya
yang harus diperhatikan ialah konsepsi yang berupa makna (struktur batin).
Menurut Toury (1995) terjemahan merupakan kegiatan bahasa yang
melibatkan seseorang harus berpikir tentang dua bahasa dan dua budaya yang
berbeda dan kemudian disepadankan antar konsep dan persepsi yang ada.
Penerjemahan bukanlah kegiatan yang main-main karena dalam penerjemahan
banyak yang akan dibawa dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Oleh karena itu
seorang penerjemah yang baik akan memperhatikan budaya karena didalamnya
terdapat hasil komunikasi yang membentuk sebuah norma (Machali, 2000:45).
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, bahwa kegiatan penerjemahan itu harus
mengerti dan memahami bahasa ibu (sumber) baik dalam mengungkapkan makna
21
yang terkadung didalamnya kemudian dialihkan ke dalam bahasa sasaran (bahasa
ke dua). Begitu juga pendapat dari Fahrurrozi (2003:1) mengenai penerjemahan.
Penerjemahan menurutnya pengalihbahasaan makna atau pesan dari bahasa asal
(sumber) ke bahasa sasaran. Dan dia mengaitkan penerjemahan berdasarkan tiga
unsur, yaitu adanya bahasa sumber, makna atau pesan, dan bahasa sasaran
(2003:1).
Kegiatan penerjemahan sama halnya dengan pemadanan dan pemindahan
budaya berbahasa dari bahasa ibu (sumber) ke bahasa sasaran (Pelawai, 2014:36).
Maka dari itu kegiatan penerjemahan pasti akan melibatkan dua bahasa berbeda
baik dalam hal tipologinya. Akan tetapi Foley (1997:172) menilai bahwa pada
perbedaan dua bahasa pasti memiliki persamaan antara keyakinan dari penutur
yang memahami tentang dunia sehingga dapat dijadikan dasar sebagai
penerjemahan. Perhatikan berikut contoh ujaran dalam pengucapan terimakasih.
Bahasa Arab
‫شكرا‬
Bahasa Indonesia
terimakasih
Contoh di atas jika diperhatikan berbeda dalam bentuk tulisan namun sama dalam
hal makna yaitu ungkapan dalam pengucapan terimakasih kepada seseorang.
Dalam bahasa Arab menggunakan ungkapan ‫ شكرا‬/syukran/ sedangkan dalam
bahasa Indonesia menggunakan terimakasih.
22
Seorang penerjemah juga wajib mengetahui tentang teknik penerjemahan.
Teknik penerjemahan merupakan cara kerja penerjemah dalam hal menganalisis
dan mengelompokkan beberapa hal yaitu kesepadanan dalam terjemahan yang
dapat diterapkan pada berbagai satuan lingual (Molina dan Albir, 2002:509).
Menurut Molina dan Albir teknik penerjemahan ada beberapa langkah yaitu
adaptasi, amplifikasi, peminjaman, calque, kompensasi, deskripsi, kreasi diskursif,
kesepadanan lazim, umum/generik, amplifikasi linguistik, kompresi linguistik,
penerjemahan harfiah, modulasi, partikularisasi, reduksi, substitusi, variasi,
transposisi, penambahan, dan penghilangan.
Kemudian penerjemah juga harus memperhatikan beberapa hal yang lain,
salah satunya yaitu metode penerjemahan. Dalam metode penerjemahan ada tiga
tahap yang harus diperhatikan oleh penerjemah yaitu analisis, pengalihan, dan
penyerasian (Pelawi, 2014:47). Metode penerjemahan ini harus dilakukan oleh
penerjemah karena merupakan sebuah proses penerjemahan demi mendapatkan
tujuan dari penerjemah (Molina dan Albir, 2002:507-508). Pelawi (2014:49) juga
menambahkan bahwa dalam metode penerjemahan ada empat metode, yaitu
metode penerjemahan secara kata demi kata, metode secara harfiah, metode
penerjemahan secara setia, dan metode penerjemahan secara semantik.
1.6.2.1 Penerjemahan Al-Qur’an dan Syaratnya
Penelitian ini berkaitan dengan teks kitab suci agama Islam yaitu al-Qur‟an.
Al-Qur‟an merupakan firman Tuhan yang diyakini kebenarannya tanpa diragukan
lagi. Oleh karena itu dalam menerjemahkannya juga tidak sembarangan. Menurut
al-Qaṭṭan yang diterjemahkan oleh Mudzakir (2011:16) bahwa al-Qur‟an ini
23
sebagai penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya sehingga al-Qur‟an menjadi
tempat kumpul ilmu dari segala ilmu.
Al-Qur‟an merupakan wahyu Islam yang diturunkan di wilayah jazirah Arab.
Berdasarkan itu bahasa yang digunakan di dalam al-Qur‟an merupakan bahasa
Arab baku (fuṣḥā). Ajaran-ajaran yang didalamnya merupakan ajaran dasar Islam.
Perluasan Islam yang telah menyebar ke seluruh dunia sehingga Islam berada di
Negara nonArab yang tidak menggunakan bahasa Arab. Maka dari itu,
diperlukanlah
penerjemahan
al-Qur‟an
agar
masyarakat
nonArab
dapat
memahami dasar-dasar Islam.
Penerjemahan al-Qur‟an tidak sembarangan karena al-Qur‟an sebagai
tingkatan yang lebih tinggi dan sakral sehingga dalam penerjemahan ada beberapa
syarat yang harus diperhatikan. Dalam bahasa Arab pengertian kata terjemah
dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan harfiyah dan tafsiriyah. Menurut Mudzakir
(2011:443) harfiyah itu penerjemahan dengan pengalihan kosakata dari satu
bahasa ke kosakata yang serupa dari bahasa lain, sehingga dapat diketahui
susunan dari kedua bahasa itu secara tertib, sedangkan secara tafsiriyah ialah
penerjemahan dengan beberapa penjelasan terhadap makna dari bahasa lain atau
bahasa sasaran tanpa adanya ikatan dengan bahasa sumber namun harus
diperhatikan susunan kalimat atau kaidahnya.
Selain itu, terjemahan al-Qur‟an dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu
harfiyah, maknawiyah (secara makna yang dipahami oleh setiap orang dalam hal
lafaz dan susunan), dan tafsiriyah (menjelaskan dari isi makna dengan beberapa
pendapat dengan bahasa sasaran) (Mudzakir, 2011: 444-446). Penerjemahan al-
24
Qur‟an hukumnya tidak haram apabila dalam penerjemahan al-Qur‟an tersebut
mengganggap sebagai nilai ibadah (Mudzakir, 2011:444), namun yang perlu
diperhatikan dalam penerjemahan al-Qur‟an yaitu seorang penerjemah harus
paham struktur dan kaidah dalam bahasa Arab.
Penerjemah merupakan pelaku yang melakukan kegiatan menerjemahkan dan
menafsirkan bahasa sumber ke bahasa sasaran. Adapaun syarat bagi penerjemah
al-Qur‟an (Mudzakir, 2011:462) sebagai berikut.
1. Penerjemah al-Qur‟an harus memiliki akidah dan kepercayaan yang lurus.
Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan penerjemahan al-Qur‟an harus
memiliki niat yang bagus dan lurus karena bersifat sakral dan ibadah.
2. Penerjemah harus menguasai bahasa Arab dan kaidah bahasa Arab.
Karena bahasa Arab memiliki kaidah dan struktur sendiri sehingga
penerjemah harus menguasai seluk beluk bahasa Arab.
Penerjemah juga harus menguasai pokok-pokok ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan al-Qur‟an. Hal ini untuk memperkuat dalam penerjemahan ke bahasa
sasaran dan ilmu yang dimiliki oleh penerjemah.
1.7 Metode Penelitian
Sebuah penelitian mempunyai metode yang harus diterapkan. Dalam
penelitian ini tahap-tahapnya adalah tahap penyediaan data, mengedit data
(memilah dan memilih), korpus data yang menjadi tititk tolak dalam menganalisis
data, tahap analisis data, dan tahap penyajian analisis data, dan laporan penelitian.
25
1.7. 1 Penyediaan Data
Penyediaan data merupakan suatu tahap penelitian yang menggambarkan
suatu permasalahan yang terjadi sehingga dapat memperoleh data penelitian yang
akan dicapai (Sudaryanto, 1993:5). Di bawah ini akan dijelaskan proses dan
tahapan dalam menyediakan data penelitian.
Penyediaan data penelitian ini yaitu dengan membaca dan mengamati teks
Arab berupa al-Qur‟an dan teks Indonesia berupa terjemahan al-Qur‟an milik
KEMENAG RI tahun 2012. Pembacaan dan pengamatan teks Arab serta teks
terjemahan hanya pada surah al-Baqarah karena surah tersebut memiliki 286 ayat
dan ada beberapa ayatnya diulang pada surah lain. Setelah membaca dan
mengamati kemudian melakukan pengkategorian kata. Pada bagian ini peneliti
mengelompokan kata berbahasa Arab yang berupa takrif dan tak takrif pada setiap
ayat di surah al-Baqarah. Selain itu, peneliti juga mengklasifikasikan
penerjemahan kata takrif dan kata tak takrif. Proses kegiatan membaca,
mengamati, dan mengkategorikan inilah termasuk metode simak.
Menurut Sudaryanto (1988:2), metode simak merupakan metode penyediaan
data dengan cara menyimak penggunaan bahasa. Setelah melalui proses membaca,
mengamati, dan mengelompokan kata takrif dan tak takrif bahasa Arab pada surah
al-Baqarah, kemudian peneliti menggunakan teknik catat. Teknik catat di sini
yaitu peniliti mencatat data yang berupa nomina takrif dan tak takrif dalam bahasa
Arab serta penerjemahan bahasa Indonesia pada surah al-Baqarah ke dalam kartu
data dan komputer.
26
1.7. 2 Analisis Data
Setelah melakukan penyediaan data, kemudian dilanjutkan pada tahap analisis
data. Pada tahap ini data yang sudah dibaca, diamati, dan diklasifikasikan
kemudian dianalisis. Metode analisis data merupakan sebuah tahapan yang
mengupayakan peneliti menangani langsung masalah yang terkandung pada data
(Sudaryanto, 1993:6).
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode agih,
yaitu metode analisis yang alat penentunya berada di dalam dan merupakan
bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:15). Dalam hal ini alat
penentunya yaitu nomina takrif dan tak takrif berbahasa Arab dan teks
terjemahannya pada setiap ayat dalam surah al-Baqarah karena penelitian ini
difokuskan dalam studi kasus penerjemahan ketakrifan bahasa Arab ke dalam
bahasa Indonesia.
Maka dari itu, digunakanlah teknik dasarnya adalah teknik bagi unsur
langsung (BUL) dengan membagi satuan lingual data yaitu nomina takrif dan tak
takrif bahasa Arab pada setiap ayat di dalam surah al-Baqarah, dan teknik lanjutan
yang digunakan adalah teknik ganti, yaitu dengan menggantikan unsur-unsur
tertentu satuan lingual yang bersangkutan dengan unsur yang lain di luar satuan
yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:37). Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan
diberikan tahapan analisis datanya.
Tahapan pertama yaitu menentukan nomina takrif dan tak takrif bahasa Arab
di setiap ayat pada surah al-Baqarah. Penentuannya hanya bersifat sementara,
namun tetap di catat pada kartu data.
27
Tahapan kedua yaitu mengkaji ulang data sambil mengklasifikasikan nomina
takrif secara rinci dengan kaidah yang sudah ditentukan. Nomina takrif dalam
bahasa Arab ditemukan tujuh kategori penanda takrif sehingga perlu
dikelompokkan lagi secara khusus. Begitu juga dengan nomina tak takrif dengan
memperhatikan ciri-ciri penanda tak takrif bahasa Arab.
Tahapan ketiga yaitu menguji penerjemahan nomina takrif dan tak takrif
bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Pengujian penerjemahannya dengan
kaidah bahasa Arab dan pola ketakrifan dalam bahasa Indonesia. Dalam
penguraian tersebut penerjemahan nomina takrif dan tak takrif bahasa Arab akan
disepedankan dengan pola ketakrifan bahasa Indonesia sehingga diperlukan teknik
ganti untuk mengganti kata-kata bahasa Indonesia yang sepadan dengan pola
ketakrifan bahasa Arab.
1.7. 3 Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode
informal, yaitu penyajian laporan penelitian yang berwujud perumusan dengan
kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:45). Dalam penyajian hasil analisis data ini
ditampilkan dalam bentuk laporan karya ilmiah atau penelitian sehingga dapat
dibaca dan dimanfaatkan oleh akademisi dan khalayak ramai.
1.8 Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan disusun dan dibagi menjadi lima bab. Bab 1 pendahuluan
yang menguraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, teori dan metode penelitian, dan sistematika
penulisan. Bab II penanda ketakrifan bahasa Arab. Bab III penerjemahan
28
ketakrifan bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Bab VI penutup yang berisi
kesimpulan dan saran yang merupakan hasil dari penelitian ini.
Download