BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Arab merupakan bahasa al-Qur‟an. Al-Qur‟an diturunkan oleh Allah di wilayah Arab dengan tujuan masyarakat Arab dahulu terbebas dari sikap jahiliyah. Oleh karena itu, Allah menurunkan al-Qur‟an kepada utusannya, Muhammad, agar mereka menjalankan ajaran Islam. Ajaran Islam yang terkandung di dalam al-Qur‟an ialah ketauhidan, perilaku kehidupan manusia, dan peribadatan manusia dengan Tuhan. Selain itu, al-Qur‟an juga sebagai sumber ilmu, seperti sejarah, matematika, biologi, fisika, ataupun struktur bahasa. Struktur bahasa yang digunakan oleh al-Qur‟an merupakan struktur bahasa Arab yang sempurna, salah satunya mengenai ketakrifan. Islam sangat dekat dengan al-Qur‟an karena merupakan kitab suci agama Islam. Islam menyebar ke luar wilayah Arab dan salah satunya yaitu Indonesia. Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah atau sekitar abad ke-7 M dengan lima cara, yaitu dengan jalur perdagangan, pernikahan, pendidikan, tasawuf, dan kesenian (Darsono dan Ibrahim, 2009:3). Terlepas dari sejarah penyebaran Islam di Indonesia, pemerintah Indonesia pada 17 Agustus 1965 telah melakukan program penerbitan al-Qur‟an dan Terjemahnya melalui Lembaga Penyelenggara Penterjemah Kitab Suci al-Qur‟an di bawah naungan Departemen Agama (KEMENAG, 2012:v). 1 2 Pemerintah Indonesia membuat program tersebut agar masyarakat Indonesia lebih memahami isi al-Qur‟an. Dalam proses penerjemahan yang dilakukan oleh tim penerjemah al-Qur‟an memakan waktu lama disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu perbedaan pendapat dari tim ahli dalam menentukan beberapa pendapat ulama dan kesulitan mencari padanan kosa kata yang tepat ke dalam bahasa Indonesia (KEMENAG, 2012:v). Problematika yang dialami oleh tim penerjemah masih dapat dirasakan sampai sekarang, yaitu kesulitan dalam mencari padanan kosa kata yang terdapat dalam bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu masih sering terjadi di dalam terjemahan al-Qur‟an dari Kementerian Agama pada tahun 2012, khususnya pada pola ketakrifan. Al-Qur‟an merupakan media pembelajaran yang di dalamnya terdapat kaidah bahasa Arab dengan sempurna, salah satunya terdapat ketakrifan. Oleh karena itu, penelitian ini akan menitikberatkan pada ketakrifan bahasa Arab dan penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia pada studi kasus al-Qur‟an dan terjemahnya dari Kementerian Agama RI pada tahun 2012, karena al-Qur‟an ialah firman Tuhan (Allah) yang murni dan tanpa diragukan sedangkan terjemahan dapat berbeda-beda. Selanjutnya penulisan al-Qur‟an dan terjemahan akan disingkat QT. Ketakrifan (definitenees) menurut al-Galāyainī (2005: 110) yaitu ma’rifah (definite) berupa ism (noun) yang menunjukkan terhadap adanya suatu batasan, sedangkan nakirah (indefinite) adalah ism (noun) yang menunjukkan tanpa adanya 3 batasan dan asli. Ketakrifan berkaitan dengan nomina dan hal ini juga berhubungan dengan kajian sintaksis. Kajian sintaksis merupakan kajian hubungan antar kata atau kelompok kata dalam sebuah kalimat atau ujaran (Verhaar, 2008:9). Pada sebuah kalimat di dalamnya terdapat kata-kata yang menunjukkan ketakrifan. Secara umum, ketakrifan dikelompokkan menjadi dua, takrif (ism al-ma‘rifah) dan tak takrif (ism an-nakirah) (Nahr, 2008:37). Proses pembentukan nakirah menjadi ma’rifah seperti kata rajulun ()رجل merupakan nakirah “anak laki-laki”, tetapi tidak tahu siapa orang laki-laki itu, bisa jadi untuk menunjukkan secara umum bagi anak laki-laki. Apabila rajulun akan menunjukkan suatu hal yang ingin dimengerti, maka perlu adanya batasan pada kata itu dengan membatasi pemarkah al, kata rajulun ( )رجلmenjadi الرجل. Di sinilah proses terjadinya ism nakirah menjadi ism al-ma’rifah. Dalam penulisan ism ma’rifah akan ditulis dengan IM, sedangkan ism an-nakirah ditulis dengan IN. Laṭīf menambahkan (1994:337) pembentukan subyek bahasa Arab dapat menggunakan ism ma‘rifah atau nakirah mufīdah. Nakirah mufīdah merupakan bagian dari nomina pada umumnya, tetapi dalam hal ini memiliki batasan dan pengkhususan (takhṣiṣ) sehingga membentuk makna yang berfaedah (Barakāt, 1982:40). Berikut contoh subyek bahasa Arab. (1) ُْالبَيْتُُ َكبِيْر /al-baitu kabīrun/ “Rumah itu besar” (Khaironi, 2007:4). (2) فيُالنحوُرياضةُعقلية /fī an-naḥwi riyāḍatun ‘aqliyyatun/ 4 “Dalam sintaksis itu ada olahraga mentalitas” (Barakāt, 1982:36). Pada (1) merupakan kalimat nomina dan subyek nominanya adalah ُ ُ ْالبَيْتalbaitu “rumah itu” berbentuk IM, sedangkan (2) kalimat nominanya di awali oleh preposisi fī (frasa preposisional). Subyek nomina (2) adalah رياضة ُعقليةriyāḍah ‘aqliyyah “olahraga mentalitas” berbentuk IN. Dapat diketahui subyek nomina bahasa Arab bahwa bentuk ketakrifan dalam bahasa Arab dapat menentukan subyek. Bukan hanya itu saja, ketakrifan juga dapat mengisi sebagai fungsi predikat dan obyek. Penerjemahan ketakrifan yang dilakukan oleh tim KEMENAG dalam QT, seperti: ... ) 4( /wa mā hum bi-mu’minīn/ „Padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman‟ (Q.S. Al-Baqarah (2) : 8) )99( /...wabusyrā lil-mu’minīna/ 97. „... serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.‟ (Q.S. Al-Baqarah (2) : 97) Contoh (4) dan (95) penerjemahan ketakrifan ada persamaan dalam penerjemahannya. Kata المؤمنين/al-mu’minīna/ merupakan IM diterjemahkan menjadi „orang-orang yang beriman‟, sedangkan pada kata مؤمنين/mu’minīna/ adalahُ IN diterjemahkan „orang-orang yang beriman‟. Pada kedua kata tersebut dalam penerjemahan ketakrifan bahasa Indonesia sama-sama diterjemahkan dengan „orang-orang yang beriman‟, namun dalam ketakrifan bahasa Arab kedua nomina itu berbeda. Perbedaan penerjemahan (4) dan (95) yaitu 5 1. Kata المؤمنين/al-mu’minīna/ dalam bahasa Arab termasuk IM. Atribut takrif bahasa Arab menggunakan alif-lam, sedangkan penerjemahan ke dalam takrif bahasa Indonesia tidak teridentifikasi. Inilah yang menjadi letak perbedaan ketakrifan bahasa Arab dengan bahasa Indonesia. 2. Lain halnya dengan kata مؤمنين/mu’minīna/ termasuk IN dan penerjemahannya yaitu „orang-orang yang beriman‟. Kata مؤمنين /mu’minīna/ sama halnya dengan kata المؤمنين/al-mu’minīna/ yang termasuk kelas kata ism al-fā‘il (partisipel aktif), tetapi ada perbedaan di antara kedua kata tersebut. Jika kata مؤمنين/mu’minīna/ tidak terdapat atribut takrif, sedangkan kata المؤمنين/al-mu’minīna/ memiliki atribut takrif berupa alif-lam. Oleh karena itu, penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia tidak menggunakan atribut takrif. Letak perbedaan penerjemahan (4) dan (95) yaitu pada tak takrif atau takrif pada kata مؤمنين/mu’minīna/ dan kata المؤمنين/al-mu’minīna/ sehingga penerjemahan tak takrif dan takrif dibedakan yaitu dengan atribut takrif pada المؤمنين/almu’minīna/ yaitu bisa dengan atribut itu. Hal inilah yang menjadi pendorong bagi peneliti untuk membahas lebih lanjut permasalahan ketakrifan bahasa Arab yang diterjemahkan ke Indonesia dengan menggunakan analisis sintaksis-penerjemahan. Oleh karena itu, kedua bahasa berbeda dari struktur bahasanya. 6 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan pada 1.1 dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah 1. Apa saja satuan kebahasaan yang menandai ketakrifan bahasa Arab yang terdapat di dalam al-Qur‟an dan terjemahnya dari Kementerian Agama RI? 2. Bagaiamana ketakrifan bahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia? 3. Adakah perubahan kategori kata pada ketakrifan bahasa Arab pada penerjemahan tersebut? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dalam penelitian ini dibagi dua yaitu teoritis dan praktis. Tujuan teoritis penelitian ini adalah Pertama, mengetahui satuan kebahasaan yang menandai ketakrifan bahasa Arab dalam QT dari Kementerian Agama RI. Kedua, gambaran tentang wujud ketakrifan bahasa Arab dalam penerjemahan ke bahasa Indonesia. Sementara itu, tujuan praktisnya ialah untuk memberikan pemahaman tentang ketakrifan bahasa Arab ke pada penutur bukan Arab (gairu nāṭiqīn). 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan faedah dan manfaat secara teoritis dan praktis. Manfaat teoritis penelitian ini adalah dapat memberikan manfaat terhadap perkembangan teori dan kajian linguistik Arab dan manfaat praktisnya adalah dapat dimanfaatkan oleh pengkaji selanjutnya dan para akademisi khususnya di bidang linguistik kajian sintaksis (ketakrifan). 7 1.5 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka penelitian ini berkaitan dengan nomina yang menduduki fungsi tertentu dalam sebuah kalimat. Dalam bahasa Arab nomina yang hadir di dalam sebuah kalimat harus memiliki penanda minimal yaitu pemarkah jenis, bilangan/jumlah, ketakrifan, dan kasus (fungsi dalam kalimat). Berikut tinjauan pustaka yang menjadi titikfokus peneliti dalam menopang penelitiannya. Pembahasan tentang ketakrifan bahasa Arab telah dipaparkan oleh linguis Arab antara lain al-Galāyainī. Menurutnya (2005: 110) ketakrifan itu berupa ma’rifah dan nakirah. IM adalah ism yang menunjukkan terhadap adanya suatu batasan, sedangkan IN adalah ism yang menunjukkan tanpa adanya batasan dan asli. Oleh karena itu, nomina yang tidak tertentu dinamakan tak takrif (nakirah) dan nomina yang dibatasi dinamakan takrif (ma’rifah). al-Galāyainī lebih condong terhadap bentuk pemarkah al seperti ‘ahdiyah, jinsi, zāidah, mauṣūliyyah, dan bilangan yang ber-al. Meskipun membahas macam-macam bentuk pemarkah al, al-Galāyainī juga menyebutkan macammacam wujud ketakrifan secara sepintas tanpa penjabaran. Padahal wujud ketakrifan bahasa Arab merupakan suatu hal yang harus diketahui karena dapat menentukan apakah nomina itu takrif atau tidak pada sebuah kalimat. Pembahas lain yang berkaitan dengan ketakrifan ialah ad-Daḥdāḥ. Menurutnya (1992:90) ma‘rifah ialah nomina batasan dan nakirah ialah nomina tanpa batasan. Hal ini sesuai dengan penjelasan al-Galāyainī bahwa IM berupa nomina yang dibatasi oleh batasan tertentu, sedangkan IN berupa nomina asal dan asli. Pembahasan ad-Daḥdāḥ mengenai ketakrifan yaitu adanya pengelompokkan 8 antara nomina mu‘rab dan nomina mabnī. Nomina mu‘rab meliputi ism ‘alam, pemarkah al, dan frasa nominal (muḍāf), sedangkan nomina mabnī terdiri atas kata ganti nama (ḍamīr), kata tunjuk, kata sambung, dan partikel ya’ pada nida’. Pembahasan yang dilakukan oleh ad-Daḥdāḥ hanya bersifat pengelompokkan terhadap nomina takrif itu sendiri. Linguis Arab yang membahas masalah ketakrifan selain mereka berdua ialah „Adas. Menurutnya (1991:48) ketakrifan ialah nomina yang menunjukkan kepada sesuatu tertentu yang dimengerti. „Adas menjelaskan proses terjadinya nomina tak takrif (nakirah) menjadi nomina takrif (ma‘rifah) dan wujud ketakrifannya berupa „alam, pemarkah al, kata tunjuk, kata sambung, dan kata ganti. Selain dari linguis Arab (gairu nāṭiqīn), Khaironi (2007:44) membahas adanya ketakrifan melalui skema dalam membagikan nomina yang takrif dan tak takrif tersebut. Sementara itu, linguis Indonesia menawarkan perihal pembahasan ketakrifan bahasa Indonesia. Kridalaksana (2008:120) membahas perihal ketakrifan bahasa Indonesia. Menurutnya ketakrifan itu hanya bersangkutan pada sifat nomina atau frasa nominal saja dan penandanya antara lain dengan kata sang dan itu. Ramlan (2005) membahas ketakrifan. Menurutnya ketakrifan harus ada di dalam kalimat, klausa, dan frasa serta pada satuan sintaksis tersebut. Begitu juga dengan Chaer (2008) membahas adanya ketakrifan di dalam bentuk fungsi dan kategori sintaksis. Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan ketakrifan, baik itu berbahasa Arab maupun bahasa lain. Penelitian yang berkaitan dengan ketakrifan dalam 9 media tulis dan cetak, dilakukan oleh Asy‟ari (1993) berjudul “Partikel dan Hubungan Fungsional dalam Bahasa Arab”. Penelitiannya menitikberatkan kepada pembagian partikel. Di dalam penelitian ini hanya membahas tentang takrif dan tambahan serta fungsinya dan tidak menunjukkan wujud ketakrifan yang sesuai dengan konteksnya. Penelitian lain yang berkaitan dengan ketakrifan dilakukan oleh „Afifi (2003) dengan judul “al-Ismu al-Muḥāyid baina at-Ta’rīf wa tankīr fī an-Naḥwī al‘Arabī Khaṣāiṣuhu wa Isti’mālātihi”. Penelitian tersebut hanya membahas karakteristik ism ma‘rifah dan ism nakirah belum membahas permasalahan wujud dari ketakrifan bahasa Arab itu sendiri. Kemudian, penelitian lain yang membahas tentang ketakrifan yaitu penelitian dari Purwata. Penelitian Purwata (2011) dengan judul “Ketakrifan dalam Bahasa Arab Analisis Morfosintaksis” dengan sumber data dari novel Ma Warā an-Nahr, buku fil ma’nā an-naḥwī wa al-ma’nā ad-Dilālī, jurnal bahasa Arab Majallatu Majma’il-Lugatil-‘Arabiyatī. Dalam penelitian tersebut peneliti hanya memfokuskan pada keanakeragaman bentuk partikel al dan pemarkah makna ketakrifan nomina yang ber-al, padahal di dalam ketakrifan masih banyak wujud ketakrifan dan Purwata hanya membahas satu wujud ketakrifan bahasa Arab di dalam novel, buku, dan jurnal berbahasa Arab. Lain halnya yang dilakukan oleh Yanti (2012) yang meneliti tentang ketakrifan dengan judul “Penanda Definit The dan Penanda Tak Definit a/an dalam Bahasa Inggris dan Padanannya dalam Bahasa Indonesia”. Penelitian tersebut memfokuskan kajian semantik dan pragmatik. Dalam penelitian ini 10 menitikberatkan bagi pemarkah bahasa Inggris saja yaitu penanda tak definit berfungsi sebagai penanda N jenerik dengan karekteristik akrab, tidak mengacu terhadap referen singular, dan terpengaruh adanya verba. Kajian-kajian di atas mengisyaratkan bahwa ketakrifan dapat dikenali melalui penelusuran karakteristik pemunculan IM (DN) yang sesuai dengan teks dan konteks tertentu. Peneliti condong terhadap pembahasan yang berkaitan tentang wujud ketakrifan, sehingga dapat menjadi bahan rujukan dan eskplorasi dalam penelitian ini. 1.6 Landasan Teori Penelitian ini disusun berdasarkan kerangka teori untuk membantu langkahlangkah dalam proses penelitian. Keberadaan teori di dalam penelitian sangat penting karena merupakan dasar berpikir peneliti dalam menyelesaikan problematika penelitiannya. Dalam penilitian ini, pertama akan diuraikan tentang ketakrifan dari sudut pandang umum dan tradisi Arab. Setelah itu, akan dipaparkan tentang teori penerjemahan secara umum dan teori penerjemahan alQur‟an. 1.6.1 Ketakrifan Setiap bahasa memiliki batas atau pembatas untuk menandai sesuatu yang banyak menjadi suatu yang bermakna dan berkonsep. Ketakrifan merupakan batasan dalam memahami dan mengenal sesuatu. Dalam batasan ini seperti contoh perkenalan seseorang, gambarannya: apabila seseorang belum mengenal dan memahami apa yang ada di dalam orang lain, maka dia belum saling mengenal dan memahami satu sama lain. Dalam hal ini juga berdampak pada struktur 11 kebahasaan. Menurut Chafe (1970:188) konsep ketakrifan dalam struktur bahasa sama halnya dengan pengenalan identitas dari individu atau kelompok kelas kata tertentu supaya dapat mengetahui identitas dari sebuah individu atau kelompok tertentu. Ketakrifan secara umum terdapat dua macam yakni takrif dan tak takrif. Dalam bahasa Indonesia dan bahasa Arab juga memiliki bentuk nomina takrif dan takrif karena ketakrifan pada struktur kalimat sangatlah penting untuk mengerti dan memahami apa yang ada didalam konteks kalimat atau ujaran (kalām). Oleh karena itu, teori ketakrifan bahasa Arab dan bahasa Indonesia dihadirkan dalam pembahasan penelitian ini karena menyangkut perihal pengujian penerjemahan al-Qur‟an. Berikut konsep takrif dan tak takrif bahasa Indonesia dan bahasa Arab. 1.6.1.1 Ketakrifan Tradisi Indonesia Konsep ketakrifan beranjak dari kata. Perihal kata inilah yang menunjukkan tertentu atau tidak tentu. Ketentuan dan ketidak tentuan kata memiliki tradisi masing-masing pada setiap bahasa, seperti halnya ketakrifan tradisi Indonesia. Ketakrifan dalam bahasa Indonesia dapat dilihat dari nomina karena nomina merupakan kata yang menunjukkan dan mengacu kepada perihal benda atau makhluk hidup. Dalam penunjukkan terhadap referen dengan tujuan agar info dari penutur dapat tersampaikan dengan baik oleh lawan tutur. Jika lawan tutur paham yang disampaikan oleh penutur maka itu dinamakan dengan takrif, sedangkan lawan tutur tidak paham apa yang disampaikan dengan penutur yang berkaitan dengan referensialnya disebut tak takrif (Givon, 1984:399). 12 Bahasa Indonesia secara umum memiliki bentuk ketakrifan dalam nomina. Hal ini dapat dilihat ketika nomina itu mengacu kepada referen tertentu dan tidak mengacu kepada referen tertentu. Nomina yang menunjukkan dan membatasi kepada referen tertentu itu dinamakan dengan nomina referensial, sedangkan nomina yang tidak menunjukkan dan tidak membatasi referen tertentu dinamakan nomina nonrefensial (Baskoro, 1992:15). Jadi ketakrifan akan selalu berkaitan dengan kereferensialnya. Ketakrifan bahasa Indonesia seperti halnya dengan ketakrifan dengan bahasa lain yaitu memiliki artikel atau penanda takrif dan tak takrif. Namun dalam bahasa Indonesia ketakrifan dapat berwujud dan tak berwujud, tersirat dan tersurat. Hal ini dikarenakan pada bahasa Indonesia dipengaruhi oleh beberapa bahasa antara lain bahasa Inggris atau bahasa Arab. Adapun takrif bahasa Indonesia dapat dilihat dengan beberapa faktor yaitu dengan info baru dan lama, referen yang sudah banyak dimengerti oleh semua orang (langit, bumi, bintang, bulan), referen yang telah disepakati oleh semua orang seperti halnya penyebutan hewan: kambing, onta, sapi, kerbau, dan lain-lain, pemahaman tentang bagian-bagian dari referen (presuposisi), pelaku tindak tutur (dapat dengan kata ganti nama atau milik), dengan penggunaan penanda ini, itu, atau tersebut, ada penambahan pewatas (yang). Pemarkah takrif bahasa Indonesia dibagi menjadi dua yaitu wujud dan tanmaujud/ tak wujud. Baskoro (1992:28) menyebutkan bahwa penanda takrif bahasa Indonesia yang biasa dipakai dan nampak antara lain: -nya, itu, tersebut, tadi, sedangkan tanmaujud/ tak wujud ini merupakan artikel yang tidak nampak, 13 namun mengisi kekosongan pada nomina sehingga menimbulkan makna yang terbatas. Pemarkah bertujuan untuk menandai adanya konstituen yang berada setelah nomina agar diketahui referen nomina tersebut takrif atau tak takrif. Pemarkah takrif bahasa Indonesia dapat diketahui dengan artikel atau alat yang menandai. Artikel takrif bahasa Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu dilihat dari segi makna tunggal, makna kelompok, dan makna netral (Moeliono, 1988:245). Pada segi makna tunggal seperti kata sang, sri, hang, dang yang menunjukkan bahwa kata-kata tersebut memiliki makna tunggal dan fungsinya masing-masing. Fungsi pada artikel sang digunakan untuk memberikan makna kepada makhluk hidup atau benda yang memiliki martabat yang tinggi. Misal: Sang Merah Putih berkibar dengan anggunnya (Baskoro, 1992:31). Lain halnya dengan artikel sri. Penggunaan artikel tersebut menunjukkan kepada manusia yang memiliki jiwa dan kehormatan yang tinggi di dalam ruang lingkup keagamaan dan kerajaan, contoh: Sri Sultan Hamengkubuwono X memakai batik ketika bekerja. Selain itu artikel hang/dang digunakan untuk menunjukkan manusia yang pantas dihormati. Hal ini berkaitan dengan kesusasteraan lama sehingga pada masa lampau pujangga dan penulis selalu memakai istilah atau artikel hang/dang, contoh: Hang Tuah dan Dang Merdu (Baskoro, 1992:31). Artikel para menunjukkan makna kelompok atau jamak, namun dalam penggunannya banyak terjadi penyimpangan. Contoh: Para murid belajar di kelas dengan tenang. Bukan para murid-murid belajar di kelas dengan tenang. Pada 14 artikel para hanya digunakan yang berkedudukan sama baik itu dalam hal profesi atau sejenisnya bukan untuk menyatakan secara umum, seperti: para manusia, para masyarakat. Artikel si merupakan penanda untuk menunjukkan makna netral walaupun maknanya hampir sama dengan makna tunggal. Contoh: si kancil sedang mencuri wortel milik pak tani. Penggunaan artikel si dan sang ada sedikit perbedaan, jika si digunakan untuk peran objektif, sedangkan sang untuk menunjukkan makna posesif (Baskoro, 1992:32), seperti: sang suami sedang tidur. Pada kata sang suami menunjukkan makna kepemilikan –nya, yaitu suaminya. Hal ini berbeda ketika kata suamia didahului artikel si, “si suami sedang tidur”. Artikel tersebut akan menunjukkan makna objektif bukan makna posesif. Pemarkah takrif bahasa Indonesia yang lain yaitu dengan artikel ini dan itu. Penggunaan artikel ini dan itu untuk menunjukkan suatu hal kepada referen tertentu yang ditentukan oleh jarak referen tersebut. Apabila penutur ingin menunjukkan referen itu dekat maka menggunakan artikel ini, misal: ini buku Tono. Artikel ini menunjukkan kepada referen yang diinginkan oleh penutur dan dapat diisyaratkan dengan tangan yang menunjuk ke arah referen yang ditentukan oleh penutur, yaitu buku. Lain halnya dengan artikel itu yang fungsinya untuk menunjukkan referen yang jaraknya jauh, misal: itu rumah Andi. Fungsi artikel itu juga memiliki makna kegenerikan. Berikut contohnya: Harimau binatang liar (Dardjowidjojo, 1983:226). Pada kata harimau yang berpengisi sebagai subyek memiliki makna generik, namun termasuk takrif karena konsep yang harus diperhatikan pada kata harimau, yang mana lawan tutur telah 15 paham apa yang dimaksudkan oleh penutur bahwa referennya telah dipahami yaitu harimau, sehingga tidak memerlukan artikel takrif. Menurut Moeliono (1988:183) bahwa penggunaan artikel itu bisa hadir untuk menunjukkan makna secara keseluruhan atau umum, berbeda dengan artikel ini yang tidak dapat menunjukkan makna secara umum. Kalimat yang terdapat adanya artikel itu dapat dilihat juga dari keterlibatan artikel itu tersebut. Apabila sebelum kata itu diisi oleh fungsi subyek maka subyek harus lebih sempit dari fungsi predikatnya, sehingga subyek dapat diikuti predikatnya yaitu artikel itu. Misal: Harimau itu binatang liar (Dardjowidjojo, 1983:226). Jadi yang perlu diperhatikan dalam penerapan artikel itu posisi dari subyek dan predikatnya, jika subyek itu lebih luas dari predikat maka subyeknya harus /+itu/ dan predikatnya /itu/ (Dardjowidjojo, 1983:228). Dalam artian ketika subyek telah menunjukkan makna tak jenerik tidak memerlukan artikel itu, namun jika subyek jenerik maka menggunakan artikel itu untuk menunjukkan keterbatasan dan artikel itu berpengisis sebagai fungsi predikat. Pemarkah takrif yang lain bisa menggunakan artikel tersebut dan tadi. Kaswanti Purwo (1984:119) artikel tersebut dalam bahasa Indonesia dipraktikan untuk menandai titik tolak yang telah dipaparkan atau dijelaskan pada sebelumnya. Hal ini sama dengan penggunaan artikel itu. Sedangkan penggunaan artikel tadi digunakan ketika kemasukan beberapa kalimatyang hubungannya tidak langsung namun dapat menandai adanya perpindahan topik (Purwo, 1984:120 dan Givon, 1978:316). 16 Perbedaan penggunaan artikel itu dan –nya sesuai dengan referennya, yaitu tersurat atau tersirat. Hal itu sangat mempengaruhi info yang akan disampaikan oleh penutur kepasa lawan tutur. Artikel itu lebih condong terhadap referen yang tersurat sedangkan artikel –nya lebih condong tersirat pada referennya. Kaswanti Purwo (1978:20) penanda takrif berupa artikel –nya posisinya mengacu kepada referen sebelumnya, sedangkan artikel itu menandai unsur yang sudah ditentukan. Misal: a. Saya membeli buku kemarin, tetapi saya tidak tahu di mana buku itu sekarang (Baskoro, 1992:35). b. Saya masuk ke sebuah restoran, pelayannya cantik-cantik (Baskoro, 1992:35). Pemarkah takrif bahasa Indonesia juga memiliki penanda takrif rangkap. Kaswanti Purwo (1984:36) dalam praktiknya pemarkah takrif bahasa Indonesia dapat digunakan rangkap sekaligus yaitu dengan menggabungkan antara pemarkah takrif yang satu dengan yang satunya. Pemarkah takrif rangkap yang biasa ditemui ialah pemarkah si dengan artikel ini atau itu, pemarkah sang bisa digabung dengan artikel –nya, dan pemarkah jamak yaitu para dapat dirangkap dengan artikel ini atau itu (Baskoro, 1992:38). Ada pemarkah yang sampai sekarang masih diperdebatkan yaitu artikel yang. Dalam hal ini Kawanti Purwo (1984) telah mencoba menganalisis penggunaan artikel yang sebagai takrif dan pembatas. Menurutnya dalam kasusu artikel yang harus sesuai konteks ujarannya agar tidak menjadi salah kaprah, karena fungsi dari artikel yang sangat banyak dapat berupa menjadi kata pemisah atau bahkan 17 kata ganti relatif. Apabila artikel yang ingin digunakan dalam pemarkah takrif maka yang perlu diperhatikan ialah artikel yang harus dipersempit sesuai dengan kebutuhan pada konstituen pembentuk takrif tersebut. Dengan demikian, ketakrifan bahasa Indonesia hanyalah sebagai bentuk penentuan pola ketakrifan bahasa Arab dan disepadankan dengan pola ketakrifan yang terdapat pada bahasa Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan kesinambungan dalam penyepadanan pola ketakrifan pada kedua bahasa tersebut. 1.6.1.2 Ketakrifan Tradisi Arab Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa ketakrifan seperti halnya identitas seseorang yang perlu dikenali. Untuk mengenali tersebut memiliki ciri dan tradisi masing-masing. Begitu juga ketakrifan dalam tradisi Arab. Ketakrifan tradisi Arab dijelaskan oleh al-Galāyainī (2010:110) bahwa takrif ialah nomina yang menunjukkan makna tertentu, sedangkan tak takrif ialah nomina yang menunjukkan makna secara umum dan tidak menunjukkan makna tertentu. Secara umum ketakrifan terdapat pada kategori kata yaitu nomina. Sesuai dengan al-Galāyainī bahwa ketakrifan dibedakan menjadi dua yakni takrif (ma‘rifah) dan tak takrif (nakirah). Ketakrifan secara umum digunakan untuk membatasi keadaan nomina, nomina akan dibatasi oleh pembatas atau dapat juga bebas. Bebas dalam hal ini berkaitan dengan nomina itu sendiri yang menunjukkan makan secara umum atau terbatas. Pembatas dalam nomina itu dinamakan dengan takrif, namun pembatas di sini menandakan bahwa nomina akan menunjukkan suatu yang terbatas oleh referen yang telah ditentukan. 18 Sebelum membicarakan tentang takrif nomina dalam bahasa Arab, nomina merupakan salah satu kategori gramatikal. Kategori gramatikal secara umum terdiri atas verba, adjektiva, adverbial, partikel, dan nomia. Dalam bahasa Arab kategori gramatikal yang mendasar ialah verba, partikel, dan nomina. Alwi (2014:36) berpendapat bahwa dalam verba, adjektiva, dan nomina dapat dikembangkan dengan tambahan batasan tertentu. Dalam bahasa Arab nomina ditandai oleh pemarkah jenis, jumlah (bilangan), ketakrifan, dan kasus (fungsinya dalam kalimat) (Laṭif dkk., 1994:15). Berdasarkan pendapat oleh Laṭif tentang nomina bahasa Arab dapat ditandai dengan empat hal tersebut, namun takrif nomina dalam bahasa Arab memiliki batasan yang dapat dikembangkan dan sebelumnya melalui proses yang sangat panjang. Wujud ketakrifan bahasa Arab juga dikelompokkan menurut proses terjadinya pentakrifan tersebut, yaitu secara takrif dan tak takrif. Berikut penjelasan wujud pentakrifan bahasa Arab. Bahasa Arab juga memiliki kaidah dalam penentuan takrif pada nomina. Nomina yang dilihat berdasarkan takrif itu terdiri atas ḍamīr, ‘alam, kata tunjuk, takrif dengan alif lam, kata sambung, penyandaran (muḍaf) dengan salah satu apa yang ada sebelumnya atau frasa nomina, dan al-munādā (Khaironi, 2008:44). Takrif dalam bahasa Arab merupakan bagian dari perkembangan nomina asal. Asal mula nomina dalam bahasa Arab tidak ada batasan dalam hal makna. Oleh karena itu, takrif terhadap nomina bertujuan untuk membatasi sebuah makna sehingga maknanya akan terbatasi. 19 Pemarkah nomina berdasarkan takrif dengan alif lam sebelum nomina mulanya, namun selain dengan pemarkah alif lam takrif dalam bahasa Arab dapat dilihat dari segi wujudnya, yaitu dengan kata ganti nama (ḍamāir), ism al-‘alam, kata tunjuk (ism al-isyārah), partisipel passif (ism al-mauṣūl), artikel alif lam, muḍāf pada frasa nomina takrif, dan kata panggil/generic noun (ism al-jinsi almunādā) (Nahar, 2008:37). Maka dari itu, pola ketakrifan bahasa Arab di sini bermaksud sebagai titik acuan dalam penelitian ini karena sebagai poros dan acuan. Bukan hanya itu saja, ketakrifan bahasa Arab juga akan disepadankan dengan pola-pola ketakrifan bahasa Indonesia dalam konteks terjemahan al-Qur‟an. 1.6.2 Penerjemahan Penelitian ini juga memerlukan teori terjemahan atau penerjemahan karena pembahasan dalam penelitian ini merupakan studi kasus penerjemahan ketakrifan pada surah al-Baqarah dalam QT milik KEMENAG tahun 2012. Dengan demikian, peneliti menganggap perlu menghadirkan teori penerjemahan baik secara umum dan khusus yaitu teori penerjemahan al-Qur‟an dan syaratnya. Berikut uraian teori penerjemahannya. Bahasa sebagai sistem terstruktur dan bersifat statis (Machali, 2000:18). Selain itu bahasa juga memiliki sistem bunyi yang bersifat arbitrar/manasuka. Oleh karena itu bahasa satu dengan bahasa yang lain terdapat perbedaan dan persamaan dalam bentuk dan maknanya. Makna dari setiap bahasa akan terasa jika terjadi kegiatan penerjemahan, namun dalam penerjemahan akan melibatkan 20 dua budaya yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa setiap bahasa memiliki kekhasan dan keunikan masing-masing. Perbedaan budaya antar bahasa satu dengan bahasa yang lainnya akan terasa pada kosakata dari setiap bahasa tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Simatupang. Menurutnya (2000:56) dalam bahasa tidak pernah luput dari budaya penuturnya dan kosakata yang dipakai dalam kesehariannya. Kosakata merupakan bagian dari konsep yang ada dalam suatu budaya (Pelawi, 2014:33). Penerjemahan dapat dilakukan jika si penerjemah mengerti akan konsep struktur yang ada dalam bahasa yang akan diterjemahkan. Dalam penerjemhan yang harus diperhatikan ialah adanya sebuah struktur. Nida (1974:21) mengelompokkan struktur dalam penerjemahan ada dua, yaitu struktur lahir dan batin. Menurutnya penerjemahan akan dapat dilaksanakan jika si penerjemah memperhatikan adanya persepsi dalam bentuk atau ukuran dalam bahasa itu (struktur lahir) dan lainnya yang harus diperhatikan ialah konsepsi yang berupa makna (struktur batin). Menurut Toury (1995) terjemahan merupakan kegiatan bahasa yang melibatkan seseorang harus berpikir tentang dua bahasa dan dua budaya yang berbeda dan kemudian disepadankan antar konsep dan persepsi yang ada. Penerjemahan bukanlah kegiatan yang main-main karena dalam penerjemahan banyak yang akan dibawa dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Oleh karena itu seorang penerjemah yang baik akan memperhatikan budaya karena didalamnya terdapat hasil komunikasi yang membentuk sebuah norma (Machali, 2000:45). Berdasarkan penjelasan sebelumnya, bahwa kegiatan penerjemahan itu harus mengerti dan memahami bahasa ibu (sumber) baik dalam mengungkapkan makna 21 yang terkadung didalamnya kemudian dialihkan ke dalam bahasa sasaran (bahasa ke dua). Begitu juga pendapat dari Fahrurrozi (2003:1) mengenai penerjemahan. Penerjemahan menurutnya pengalihbahasaan makna atau pesan dari bahasa asal (sumber) ke bahasa sasaran. Dan dia mengaitkan penerjemahan berdasarkan tiga unsur, yaitu adanya bahasa sumber, makna atau pesan, dan bahasa sasaran (2003:1). Kegiatan penerjemahan sama halnya dengan pemadanan dan pemindahan budaya berbahasa dari bahasa ibu (sumber) ke bahasa sasaran (Pelawai, 2014:36). Maka dari itu kegiatan penerjemahan pasti akan melibatkan dua bahasa berbeda baik dalam hal tipologinya. Akan tetapi Foley (1997:172) menilai bahwa pada perbedaan dua bahasa pasti memiliki persamaan antara keyakinan dari penutur yang memahami tentang dunia sehingga dapat dijadikan dasar sebagai penerjemahan. Perhatikan berikut contoh ujaran dalam pengucapan terimakasih. Bahasa Arab شكرا Bahasa Indonesia terimakasih Contoh di atas jika diperhatikan berbeda dalam bentuk tulisan namun sama dalam hal makna yaitu ungkapan dalam pengucapan terimakasih kepada seseorang. Dalam bahasa Arab menggunakan ungkapan شكرا/syukran/ sedangkan dalam bahasa Indonesia menggunakan terimakasih. 22 Seorang penerjemah juga wajib mengetahui tentang teknik penerjemahan. Teknik penerjemahan merupakan cara kerja penerjemah dalam hal menganalisis dan mengelompokkan beberapa hal yaitu kesepadanan dalam terjemahan yang dapat diterapkan pada berbagai satuan lingual (Molina dan Albir, 2002:509). Menurut Molina dan Albir teknik penerjemahan ada beberapa langkah yaitu adaptasi, amplifikasi, peminjaman, calque, kompensasi, deskripsi, kreasi diskursif, kesepadanan lazim, umum/generik, amplifikasi linguistik, kompresi linguistik, penerjemahan harfiah, modulasi, partikularisasi, reduksi, substitusi, variasi, transposisi, penambahan, dan penghilangan. Kemudian penerjemah juga harus memperhatikan beberapa hal yang lain, salah satunya yaitu metode penerjemahan. Dalam metode penerjemahan ada tiga tahap yang harus diperhatikan oleh penerjemah yaitu analisis, pengalihan, dan penyerasian (Pelawi, 2014:47). Metode penerjemahan ini harus dilakukan oleh penerjemah karena merupakan sebuah proses penerjemahan demi mendapatkan tujuan dari penerjemah (Molina dan Albir, 2002:507-508). Pelawi (2014:49) juga menambahkan bahwa dalam metode penerjemahan ada empat metode, yaitu metode penerjemahan secara kata demi kata, metode secara harfiah, metode penerjemahan secara setia, dan metode penerjemahan secara semantik. 1.6.2.1 Penerjemahan Al-Qur’an dan Syaratnya Penelitian ini berkaitan dengan teks kitab suci agama Islam yaitu al-Qur‟an. Al-Qur‟an merupakan firman Tuhan yang diyakini kebenarannya tanpa diragukan lagi. Oleh karena itu dalam menerjemahkannya juga tidak sembarangan. Menurut al-Qaṭṭan yang diterjemahkan oleh Mudzakir (2011:16) bahwa al-Qur‟an ini 23 sebagai penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya sehingga al-Qur‟an menjadi tempat kumpul ilmu dari segala ilmu. Al-Qur‟an merupakan wahyu Islam yang diturunkan di wilayah jazirah Arab. Berdasarkan itu bahasa yang digunakan di dalam al-Qur‟an merupakan bahasa Arab baku (fuṣḥā). Ajaran-ajaran yang didalamnya merupakan ajaran dasar Islam. Perluasan Islam yang telah menyebar ke seluruh dunia sehingga Islam berada di Negara nonArab yang tidak menggunakan bahasa Arab. Maka dari itu, diperlukanlah penerjemahan al-Qur‟an agar masyarakat nonArab dapat memahami dasar-dasar Islam. Penerjemahan al-Qur‟an tidak sembarangan karena al-Qur‟an sebagai tingkatan yang lebih tinggi dan sakral sehingga dalam penerjemahan ada beberapa syarat yang harus diperhatikan. Dalam bahasa Arab pengertian kata terjemah dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan harfiyah dan tafsiriyah. Menurut Mudzakir (2011:443) harfiyah itu penerjemahan dengan pengalihan kosakata dari satu bahasa ke kosakata yang serupa dari bahasa lain, sehingga dapat diketahui susunan dari kedua bahasa itu secara tertib, sedangkan secara tafsiriyah ialah penerjemahan dengan beberapa penjelasan terhadap makna dari bahasa lain atau bahasa sasaran tanpa adanya ikatan dengan bahasa sumber namun harus diperhatikan susunan kalimat atau kaidahnya. Selain itu, terjemahan al-Qur‟an dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu harfiyah, maknawiyah (secara makna yang dipahami oleh setiap orang dalam hal lafaz dan susunan), dan tafsiriyah (menjelaskan dari isi makna dengan beberapa pendapat dengan bahasa sasaran) (Mudzakir, 2011: 444-446). Penerjemahan al- 24 Qur‟an hukumnya tidak haram apabila dalam penerjemahan al-Qur‟an tersebut mengganggap sebagai nilai ibadah (Mudzakir, 2011:444), namun yang perlu diperhatikan dalam penerjemahan al-Qur‟an yaitu seorang penerjemah harus paham struktur dan kaidah dalam bahasa Arab. Penerjemah merupakan pelaku yang melakukan kegiatan menerjemahkan dan menafsirkan bahasa sumber ke bahasa sasaran. Adapaun syarat bagi penerjemah al-Qur‟an (Mudzakir, 2011:462) sebagai berikut. 1. Penerjemah al-Qur‟an harus memiliki akidah dan kepercayaan yang lurus. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan penerjemahan al-Qur‟an harus memiliki niat yang bagus dan lurus karena bersifat sakral dan ibadah. 2. Penerjemah harus menguasai bahasa Arab dan kaidah bahasa Arab. Karena bahasa Arab memiliki kaidah dan struktur sendiri sehingga penerjemah harus menguasai seluk beluk bahasa Arab. Penerjemah juga harus menguasai pokok-pokok ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan al-Qur‟an. Hal ini untuk memperkuat dalam penerjemahan ke bahasa sasaran dan ilmu yang dimiliki oleh penerjemah. 1.7 Metode Penelitian Sebuah penelitian mempunyai metode yang harus diterapkan. Dalam penelitian ini tahap-tahapnya adalah tahap penyediaan data, mengedit data (memilah dan memilih), korpus data yang menjadi tititk tolak dalam menganalisis data, tahap analisis data, dan tahap penyajian analisis data, dan laporan penelitian. 25 1.7. 1 Penyediaan Data Penyediaan data merupakan suatu tahap penelitian yang menggambarkan suatu permasalahan yang terjadi sehingga dapat memperoleh data penelitian yang akan dicapai (Sudaryanto, 1993:5). Di bawah ini akan dijelaskan proses dan tahapan dalam menyediakan data penelitian. Penyediaan data penelitian ini yaitu dengan membaca dan mengamati teks Arab berupa al-Qur‟an dan teks Indonesia berupa terjemahan al-Qur‟an milik KEMENAG RI tahun 2012. Pembacaan dan pengamatan teks Arab serta teks terjemahan hanya pada surah al-Baqarah karena surah tersebut memiliki 286 ayat dan ada beberapa ayatnya diulang pada surah lain. Setelah membaca dan mengamati kemudian melakukan pengkategorian kata. Pada bagian ini peneliti mengelompokan kata berbahasa Arab yang berupa takrif dan tak takrif pada setiap ayat di surah al-Baqarah. Selain itu, peneliti juga mengklasifikasikan penerjemahan kata takrif dan kata tak takrif. Proses kegiatan membaca, mengamati, dan mengkategorikan inilah termasuk metode simak. Menurut Sudaryanto (1988:2), metode simak merupakan metode penyediaan data dengan cara menyimak penggunaan bahasa. Setelah melalui proses membaca, mengamati, dan mengelompokan kata takrif dan tak takrif bahasa Arab pada surah al-Baqarah, kemudian peneliti menggunakan teknik catat. Teknik catat di sini yaitu peniliti mencatat data yang berupa nomina takrif dan tak takrif dalam bahasa Arab serta penerjemahan bahasa Indonesia pada surah al-Baqarah ke dalam kartu data dan komputer. 26 1.7. 2 Analisis Data Setelah melakukan penyediaan data, kemudian dilanjutkan pada tahap analisis data. Pada tahap ini data yang sudah dibaca, diamati, dan diklasifikasikan kemudian dianalisis. Metode analisis data merupakan sebuah tahapan yang mengupayakan peneliti menangani langsung masalah yang terkandung pada data (Sudaryanto, 1993:6). Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode agih, yaitu metode analisis yang alat penentunya berada di dalam dan merupakan bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:15). Dalam hal ini alat penentunya yaitu nomina takrif dan tak takrif berbahasa Arab dan teks terjemahannya pada setiap ayat dalam surah al-Baqarah karena penelitian ini difokuskan dalam studi kasus penerjemahan ketakrifan bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Maka dari itu, digunakanlah teknik dasarnya adalah teknik bagi unsur langsung (BUL) dengan membagi satuan lingual data yaitu nomina takrif dan tak takrif bahasa Arab pada setiap ayat di dalam surah al-Baqarah, dan teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik ganti, yaitu dengan menggantikan unsur-unsur tertentu satuan lingual yang bersangkutan dengan unsur yang lain di luar satuan yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:37). Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diberikan tahapan analisis datanya. Tahapan pertama yaitu menentukan nomina takrif dan tak takrif bahasa Arab di setiap ayat pada surah al-Baqarah. Penentuannya hanya bersifat sementara, namun tetap di catat pada kartu data. 27 Tahapan kedua yaitu mengkaji ulang data sambil mengklasifikasikan nomina takrif secara rinci dengan kaidah yang sudah ditentukan. Nomina takrif dalam bahasa Arab ditemukan tujuh kategori penanda takrif sehingga perlu dikelompokkan lagi secara khusus. Begitu juga dengan nomina tak takrif dengan memperhatikan ciri-ciri penanda tak takrif bahasa Arab. Tahapan ketiga yaitu menguji penerjemahan nomina takrif dan tak takrif bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Pengujian penerjemahannya dengan kaidah bahasa Arab dan pola ketakrifan dalam bahasa Indonesia. Dalam penguraian tersebut penerjemahan nomina takrif dan tak takrif bahasa Arab akan disepedankan dengan pola ketakrifan bahasa Indonesia sehingga diperlukan teknik ganti untuk mengganti kata-kata bahasa Indonesia yang sepadan dengan pola ketakrifan bahasa Arab. 1.7. 3 Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode informal, yaitu penyajian laporan penelitian yang berwujud perumusan dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:45). Dalam penyajian hasil analisis data ini ditampilkan dalam bentuk laporan karya ilmiah atau penelitian sehingga dapat dibaca dan dimanfaatkan oleh akademisi dan khalayak ramai. 1.8 Sistematika Penulisan Penelitian ini akan disusun dan dibagi menjadi lima bab. Bab 1 pendahuluan yang menguraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, teori dan metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II penanda ketakrifan bahasa Arab. Bab III penerjemahan 28 ketakrifan bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Bab VI penutup yang berisi kesimpulan dan saran yang merupakan hasil dari penelitian ini.