persepsi para ustadz pondok al-muhsin tentang bunga uang

advertisement
PERSEPSI PARA USTADZ PONDOK AL-MUHSIN
TENTANG BUNGA UANG
ERHADAP MODAL USAHA
Tarmizi
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Legal issues interest money is a long time until is still being debated and
still warm (up to date) to be studied. Venture capital can be obtained through
their own funds or from loans either flowering or without interest. Equity and
interest-free loans hard to come by smaller and refund period is shorter than that
of capital loans . This leads to people / companies prefer to raise capital through
loans. Qur’an did not give an explanation interest money, but included in the
study usury. The scholars of diverse opinions on the legal interest as working
capital. This research is aimed at exploring the perceptions of the cleric AlMuhsin cottage on the interest money as venture capital. The results showed
that the cleric Pondok Pesantren Al - Muhsin different opinions about the legal
interest of money as capital. In this case can be classified in two kinds. First,
unclean sponsored by teachers, teacher interpretation, hadith, and the opinions
of teachers, teacher sayari’ah/fiqh and religious scholar, teacher of Islamic dates.
Second, permissible, sponsored by the opinions of teachers, teacher syari’ah/ Date
fiqh and Islamic cleric opinion, and the opinion of the chaplain/ language teach.
Key words: Interest money, venture capital, haraam, revenue sharing system,
the cleric PondokPesantren Al – Muhsin.
320 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015
A.PENDAHULUAN
Persoalan bunga uang (interest) riba-rente dan yang sejenisnya
merupakan permasalahan lama yang sampai saat kini masih marak dan
masih menjadi ajang perdebatan di masyarakat.
Masalah bunga selalu dikaitkan dengan sosial-ethis, sehingga
pemungutan rente tersebut dilarang. Larangan ini disebabkan pinjaman
berbunga itu mengakibatkan harta habis tergadai untuk membayar
hutang. Bahkan, jika harta habis sama sekali, hutang dibayar dengan
badan dengan cara si peminjam bekerja menjadi budak kepada orang
tempat ia berhutang, sehingga dapat dikatakan bahwa pada zaman
dahulu hutang menjadi sebab perbudakan. Berbeda dengan masa lalu, kini
praktik bunga uang itu digunakan orang untuk modal usaha yang mereka pinjam
dari perbankan atau lembaga-lembaga keuangan lainnya.
Kedudukan modal dalam usaha merupakan suatu kemestian.
Sebab modal merupakan salah satu faktor produksi dan memberikan
penghasilan kepada pemiliknya. Semakin besar modal suatu usaha
maka semakin besar produksi yang dikelola dan semakin banyak hasil
diperoleh oleh suatu perusahaan, sebaliknya semakin kecil modal maka
semakin kecil produksi yang dikelola dan semakin kecil pula hasil
diperoleh oleh perusahaan. Oleh karena itu, modal perlu diwujudkan
baik melalui harta milik sendiri (perorangan) maupun dari pinjaman.
Pada umumnya, modal suatu perusahaan jarang sekali dibiayai dari
harta sendiri, melainkan dari pinjaman, karena di samping dana yang
dibutuhkan sangat besar, juga mudah diperoleh selama si peminjam
bersedia membayar bunga. Sebaliknya apabila tidak mau membayar
bunga mustahil dapat diperoleh modal yang dibutuhkan itu, sebab
orang tidak mau meminjamkan uangnya dengan cuma-cuma tanpa
imbalannya.
Al-Qur’an sebagai kitab suci dan petunjuk bagi manusia, tidak
memberi penjelasan bunga uang, tetapi masuk dalam kajian riba. Para
ulama telah menetapkan tiga kata kunci untuk memahami hukum bunga
uang atau riba. Tiga kata kunci itu diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an itu
sendiri, yaitu: a) adh’ȃfan mudhȃ’afah dalam surat Ali Imran ayat 130, b)
Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 321
wa zarŭ mȃ baqiya min al-riba dalam surat al-Baqarah, 278; dan c) fa lakum
ru’usu amwȃlikum,la tazhlimŭna wa la tuzhlamŭn, (QS. Al-Baqarah, 2: 279).
Dari ketiga kata kunci tersebut, Para ulama berbeda dalam
memahaminya, sehingga memunculkan tiga pandangan ulama tentang
hukum bunga uang: (a) Ada yang menetapkan sama dengan riba yaitu
haram. (b) Ada yang mengatakan mubah (dibolehkan) selama bunga
tersebut mampu dibayarkannya. (c) Ada pula yang mengatakan bunga
uang itu makruh, jika terpaksa melakukannya.
Pandangan ulama di atas, dijadikan acuan untuk mengetahui
persepsi para ustadz pondok pesantren Al-Muhsin tentang bunga uang
sebagai modal. Dijadikan para ustadz pondok Al-Muhsin sebagai subjek
penelitian ini karena tiga alasan, yaitu: Pertama, dilihat kuantitas dan
kualitas para Ustadz semakin meningkat. Tahun 1995 hanya ada enam
pengajar, kini tahun 2013-2014 menjadi 40 ustadz, terdiri S1 -21 orang-, S2
dua orang dan S3 satu orang dalam penyelesaian, Kedua, dilihat dari segi
kurikulum, dulu hanya enam pelajaran meningkat di Tahun 2013-2014
meningkat menjadi 16 pelajaran agama, dan 12 pelajaran umum. Ketiga,
sistem pembelajaran, selain jam pelajaran tetap setiap hari, ditambah Jam
nol setiap hari kecuali jum’at jam 05.30 sampai 06.00, dan ekskul setiap
hari kecuali jum’at jam 16.00.
Berdasarkan data yang diperoleh, maka penelitian menjadi menarik
untuk diteliti dan menginspirasi penulis untuk menuangkannya ke
dalam sebuah tema “Persepsi Para Ustadz Pondok Pesantren tentang
Bunga Uang Sebagai Modal Usaha.”
B. KAJIAN TEORI
1. Tentang Bunga Uang
Istilah Bunga uang disebut juga rente dan interest. Kata riba –
bunga uang- secara bahasa “fadhal dan zaidah” berarti kelebihan
dan tambahan. Menurut syara‘ bunga uang berarti kelebihan atau
penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis.1Yang
Badr Ad-Din Al-Ayni, Umdatul Qari: Syarah Bukhari (Constantinople: Mathba’ah
1
322 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015
dimaksud dengan transaksi bisnis di sini adalah transaksi
dilakukan suka sama suka. Menurut pengertian lain, disebutkan
bahwa penambahan dari harta pokok dengan disyaratkan bagi si
peminjam untuk membayarnya kepada orang yang meminjamkan
atas nilai pokok pinjaman.2 Dalam ilmu ekonomi, riba atau bunga
uang berarti kelebihan pendapatan yang diterima oleh si pemberi
pinjaman dari peminjam, yaitu kelebihan dari jumlah uang pokok
yang dipinjamkan, sebagai upah atau harga, dibayar sesuai waktu
penggunaan modal uang.3
Ulama fikih mendefinisikan bunga uang dengan “kelebihan harta
dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan atau gantinya.
Pengertian ini disimpulkan dari pendapat ulama berikut: Ibnu
Hajar Al-Asqalani, Allama Mahmud Al-Hassan Tauki, dan Syekh
waliyullah Dahlawi, mengatakan unsur riba terdapat pada utang
yang diberikan dengan syarat si peminjam bersedia membayarnya
lebih banyak dari apa yang telah diterimanya.4 Sebagian ulama
memberi pengertian bunga uang adalah pengambilan tambahan dari
harta pokok atau modal secara batil.5
Menurut pakar ekonomi baik konvensional maupun oleh para
ulama nampaknya ada sisi persamaan, yaitu munculnya bunga
dari utang-piutang/pinjaman. Sisi perbedaan terlihat dalam
menginterpretasikan kelebihan dari pinjaman. Pendapat ekonom
konvensional - mengalihkan makna kelebihan itu pada upah
atau harga dari pinjaman yang dibatasi oleh waktu atau lamanya
pinjaman. Sementara pandangan ulama terbagi pada dua versi.
Al-Amira, 1310 H), h. 436
2
Yusuf Al-Qardawi, Al-Fawaid al-Bunuk hiya al-riba al-muharram, (kairo: Dar alSalwah, 1994), h. 129-42
Yayasan Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Bank Syari’ah (YLPPBS),
Perbankan Syari’ah, Perspektif Praktisi Sebuah Paparan Komprehensif Praktik Perbankan
di Indonesia, (Jakarta: Muamalat Institute, T.th), h. 8.
3
Ibid, h. 8-9.
4
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Wacana Ulama dan Cendikiawan, Cet.I,
(Jakarta: Tazkia Institute, 1999), h. 171.
5
Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 323
Sebagian mereka, berpandangan bahwa pinjaman itu sifatnya murni
tolong menolong sedangkan yang lain berpendapat bahwa kelebihan
pinjaman pokok itu tidak bersifat batil.
Praktek bunga uang sebagai praktik yang muncul dari pinjam
meminjam sudah lama dikenal orang. Pada masa lalu, praktik
pinjaman bunga uang berlaku secara perorangan karena ketika itu
orang belum mengenal bank atau lembaga keuangan seperti sekarang
ini. Sebelum Islam masuk ke jazirah Arab, sekitar di penghujung abad
ke-6 kota Makkah -dikenal dengan kota dagang- di tengah -tengah
masyarakat niaga ini, muncul praktik -praktik perekonomian yang
tidak etis-riba- dan eksploitatif. Hal itu, semakin memperlebar jurang
pemisah antara kaya dan miskin.6 Hal serupa juga terjadi di Tha’if terletak sekitar 75 mil sebelah tenggara Makkah- mereka yang telah
mengenal praktik-praktik riba.7 Bahkan, suku Quraisy di Makkah
dalam aktivitas perdagangan mereka telah mengenal praktik-praktik
riba. Ini dapat dibuktikan bahwa sebagian dari sahabat Nabi, seperti
‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib (paman Nabi saw.), Khalid bin Walid,
dan lain-lain, masih mempraktikkannya sampai turun ayat larangan
riba.8 Sedang masa kini, praktik pinjaman bunga uang itu digunakan orang
untuk modal usaha yang mereka tidak dari dana perseorangan, melainkan
dari lembaga, kini dikenal dengan bank.
Dengan munculnya bank-bank itu, maka timbul pula berbagai
gagasan perbaikan dan pengaturan kelebihan pinjaman -bunga
uang- baik tentang besarnya, waktu pengembaliannya, syaratsyarat peminjam, bahkan besar pinjaman pun disesuaikan dengan
penghasilan seseorang. Dengan adanya perbaikan dan penataan
di sana sini, bagi orang yang memimjam dapat mengukur dan
menyadari kemampuan dan tujuan penggunaan pinjamannya.
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta: Forum Kajian
Budaya dan Agama, 2001), h. 12-13.
6
7
Ibid.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan, Cet XI, (Bandung: Mizan, 1995), h. 259.
8
324 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015
Hal ini, memunculkan suatu pandangan dan paradigma orang
bahwa tujuan si peminjam bunga uang sekarang ini bukan lagi
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mendesak seperti
dilakukan orang miskin masa lalu, melainkan untuk memperbesar
produksi seperti yang dilakukan oleh orang-orang kaya. Dari sini,
dapat dipahami bahwa praktik bunga uang telah muncul dari masa
lalu, yaitu sebelum Islam muncul di jazirah Arab, atau di dunia Barat
sebelum berdiri bank pertama tahun 1157 di Itali, dikota Vinice.
a. Bunga Konsumtif dan Produktif
Muhammad Hatta mendefinisikan bunga konsumtif dan
produktif. Bunga komsumtif ialah tambahan atau kelebihan
dipungut dari orang tidak mampu atau miskin yang meminjam
uang untuk keperluan hidupnya dengan tiada berfikir
panjang tentang melaratnya dikemudian hari, 9 sedangkan
bunga produktif ialah bunga yang dipunggut dari orang yang
meminjam uang untuk membuka perusahaan, di mana bunga
itu adalah sebagian dari keuntungan yang diperoleh dengan
bantuan uang orang lain itu.10
Dari pengertian ini, tampaknya Hatta membedakan kedua
macam bunga dari segi status sosial si pemimjam mampu
atau tidak (miskin), dan dari segi penggunaan pinjamannya
apakah untuk konsumtif atau produktif. Peminjam tidak
mampu (miskin) secara sederhana, diartikan seorang yang
kebutuhannya lebih besar ketimbang penghasilan sehingga
pinjaman dipergunakan untuk konsumtif, sedangkan orang
mampu atau kaya ialah orang yang penghasilannya melebih
kebutuhannya sehingga penggunaaan pinjamannya digunakan
untuk mengembangkan usahanya (produktif).
Bunga konsumtif jika dihubungkan dengan aktifitas bunga
sekarang ini mirip dengan jenis bunga uang (money interest)
Muhammd Hatta, Beberapa Pasal, h. 215.
9
Ibid.
10
Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 325
yang dalam praktiknya banyak dipengaruhi oleh pengharapan
dan pendugaan atas nilai uang di kemudian hari dan diukur
dengan harga barang-barang. Sementara bunga produktif
seperti diungkap Hatta di atas, dipandang sebagai solusi karena
saling memberi keuntungan sebab kelebihan tidak diambil
dari pinjaman melainkan dari keuntungan. Gambaran bunga
produktif ini, punya persamaan dan perbedaan dengan transaksi
Qardh. Persamaannya, kedua bentuk perikatan itu sama - sama
tergolong kepada uqûdu tadhayun, yaitu akad-akad yang berasal
dari utang-piutang yang berarti saling meminjamkan berupa
hartabenda (real asset) atau uang (financial asset). Perbedaannya,
bunga produktif diambil dari keuntungan sedangkan transaksi
qardh tetap pada prinsip dasar akad tadhayun itu sendiri.
Perbedaan lain, kelebihan atau tambahan pada bunga produktif
lebih bertujuan agar si peminjam lebih giat bekerja karena
tambahan diambil dari keuntungan yang ia peroleh. Sedangkan
kelebihan dari transaksi Qardh tidak dibenarkan, dan si peminjam
wajib membayar dan mengembalikan utangnya secara utuh,
dan tidak boleh ada kelebihan karena semangat dalam akad ini
lebih memberikan stimulus kepada mereka yang lemah menjadi
kuat dan memiliki daya produktivitas yang tinggi. Aqad qardh
ini berbeda pula dengan infak yang masuk dalam akad tabarru’.
Perbedaan yang mendasar di antara kedua akad ini terletak pada
aspek giving and landing (meminjam dan memberi). Jika dalam
akad tadhayun qardh si pemimjam diwajibkan mengembalikan
harta atau utang yang dipinjam tetapi dalam akad tabarru’
infak tidak disyaratkan untuk mengembalikannya, karena
akad ini pure (murni) merupakan akad pemberian dan hanya
mengharapkan keridhaan Allah SWT,.
b. Bunga Nasi’ah atau Bunga Jahiliyah
Bunga Nasi’ah muncul dari sikap yang tidak Islami, disebut
juga bunga jahiliyah. Atau riba al-Qur’an (riba yang disebutkan
secara spesifik dalam al-Qur’an) atau dikenal juga dengan
326 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015
sebutan riba al-duyun (riba atas pinjaman). Kata nasi’ah berasal
dari kata dasar (fi’il madli) nasa’a yang bermakna menunda,
menunggu, menangguhkan, membayar dengan tambahan.11
Kata riba dengan makna ini terdapat dalam Al-Qur’an.
Menurut Adiwarman bahwa riba nasi’ah adalah tambahan
pada utang piutang berjangka waktu oleh si pemberi utang
sebagai imbalan jangka waktu tersebut.12 Mujahid meriwayatkan
bahwa riba masa jahiliyah yaitu bahwa seseorang mempunyai
utang kepada orang lain, kemudian peminjam berkata kepadanya
“untukmu tambahan sekian sebagai imbalan penundaan
pembayaran, maka ditunda pembayaran tersebut untuknya.”13
Sementara itu, Qatadah menyatakan bahwa riba masa jahiliyah
adalah penjualan seseorang kepada orang lain (dengan
pembayaran) sampai batas tertentu. Bila telah tiba masa tersebut,
sedang yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan untuk
membayar, ditambahlah jumlah utangnya dan ditangguhkan
masa pembayarannya.14 Dari sini, dapat dipahami bahwa riba
nasia’ah timbul karena penundaan pembayaran, dan penundaan
itu dilakukan dengan cara pelipatgandaan pembayaran dan
dapat pula dengan cara menambahkan jumlah utangnya dan
ditangguhkan masa pembayarannya.
c. Bunga Fadhl
Riba fadhl adalah tambahan yang diperoleh seseorang sebagai
hasil pertukaran dua barang yang sejenis, misalnya antara satu
gram emas dengan dua gram perak; satu kuintal padi basah
dengan setengah kuintal padi kering.15 Pemberlakuan riba fadhl
Ibid, h. 27
11
Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro, Cet I,
(Jakarta: IIT Indonesia, 2000), h. 19
12
Lihat. Muhammad Ibn Jarir Al-Thabariy, Jami’Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, Jilid. III,
(Mesir: Isa Al-Babi al-Halabi, 1954), h. 101
13
Ibid
14
Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam, h.19.
15
Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 327
dalam jual beli berlaku bagi harta sejenis yang diperjualbelikan
dengan ukuran syara’.16 Ibnu ‘Arabi memberikan definisi riba alfadl dengan semua tambahan yang melebihi nilai bagi pihak lain
tanpa adanya nilai pembenar atas tambahan tersebut.17
Menurut Umer Chapra bahwa munculnya riba fadl ini
setidaknya dapat disebabkan melalui empat cara, yaitu: (a)
Melalui eksploitasi perniagaan, (b) melalui penerimaan reward,
(c) melalui transaksi barter, (d) dan melalui pertukaran yang
tidak sama kualitas dan kuantitas dan dilakukan secara tidak
cash.18
Dari sini dapat dipahami bahwa secara umum terjadinya riba
fadl ini karena pinjaman dan kredit. Jika ketiga hal tersebut dapat
dijaga eksistensinya, maka seseorang telah berupaya menetapkan
konsepsi maqashid al-Syari’ah, artinya mengupayakan segala
sesuatu yang berpotensi untuk menimbulkan keharaman, maka
sesuatu itu menjadi haram.
2. Modal Usaha
Modal usaha terdiri dari dua kata, modal dan usaha. Kata modal
dalam bahasa Arab disebut al-mal (mufrad) dan al amwal (jamak)
yang berarti harta, termasuk dalam pengertian harta seperti barang,
uang, jasa dan segala sesuatu yang bermanfaat sedangkan kata
usaha berarti ikhtiyar. Jadi modal usaha secara istilah syar’i, ialah
segala upaya legal dilakukan untuk mencari harta sesuai dengan
hukum Islam. Di sini, harta termasuk uang, barang dan jasa dipakai
sebagai pokok (induk) dipergunakan untuk menghasilkan sesuatu
yang menambah kekayaan”. Modal dalam pengertian ini dapat
diinterpretasikan sebagai sejumlah uang yang digunakan dalam
menjalankan kegiatan-kegiatan bisnis. Suhrawardi dalam bukunya
Yayasan Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Bank Syari’ah (YLPPBS),
Perbankan Syari’ah, h. 11.
16
Ibnu ‘Arabi, Ahkam al-Qur’an, (Kairo: Al-Mathba’ah al-Bahiyyah al- Misriyyah,
1957), h. 242.
17
M. Umer Chapra, Haramkah Bunga, h. 31-33
18
328 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015
Hukum Ekonomi Islam menfinisikan modal usaha sebagai ikhtisar
neraca suatu perusahaan yang menggunakan modal konkrit dan
modal abstrak. Modal konkrit dimaksudkan sebagai modal aktif
sedangkan modal abstrak dimaksudkan sebagai modal pasif.19 Jadi
kriteria modal dalam ekonomi Islam harus terus aktif/ berkembang,
dalam arti tidak boleh stagnan, apalagi idle (menganggur).
Modal Usaha dilihat dari segi macam dapat diklasifikasi kepada
tiga macam, yaitu modal sendiri, modal asing berasal dari pinjaman
baik dari perbankan, lembaga keuangan, dan dari perusahaan non
keuangan, dan modal patungan sebagai gabungan antara modal
sendiri dengan modal satu atau beberapa orang (sebagai mitra
usaha). 20
3. Hukum Bunga Uang Sebagai Modal Usaha
Para ulama telah menetapkan tiga kata kunci dari Al-Qur’an
untuk memahami hukum bunga uang, yaitu: a) adh’ȃfan mudhȃ’afah;
b) wa zarŭ mȃ baqiya min al-riba; dan c) fa lakum ru’usu amwȃlikum,la
tazhlimŭna wa la tuzhlamŭn.21
1)Adh’ȃfan Mudhȃ’afah (berlipat ganda)
Kata ini merupakan kunci pertama untuk memahami hukum
bunga. Kata kunci ini terdapat dalam al-Qur’an surat Ali Imran,
(3): 130.
ُ َّ ً َ ٰ ً ۡ َ ّ ُ ُ ۡ َ َ‫ٰ َ ُّ َ ذَّ ۡ َ ٰ َ ُ ۡ ا‬
‫الربٰٓوا اض َعافا ُّمض َعفة َواتقوا‬
ِ ‫يۤـايها الِين امنوا ل تاكلوا‬
َ ۡ ُ ۡ ُ ۡ ُ َّ َ َ َ ّٰ‫ه‬
‫ن‬
ۚ ‫الل لعلكم تفل ِحو‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu
Suhrawardi, Hukum Ekonomi Islami, Cet. I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 14.
19
Jacky Ambadar, Ilmu Ekonomi,(Jakarta: Sinar Grafika,2001), h. 21.
20
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, h. 261.
21
Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 329
kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Ali Imran,
(3): 130
Istilah adh’ȃfan Mudhȃ’afah dalam ayat berarti berlipat ganda.
‫ف‬
secara linguistik kata (���‫ ) ض���ع‬artinya “kelipatan”. Sesuatu berlipat
‫أ‬
‫ف‬
minimal 2 kali lebih besar dari semula. Sementara ( �� ‫)� ض���ع�ا‬
bentuk jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalah 3. Jadi
‫أ‬
‫ف‬
kata (�� ‫ )� ض���ع�ا‬berarti 3 x 2 = 6. Sementara (‫ )مضاعفا‬dalam ayat itu
adalah ta’kid (‫ )تأكيد‬untuk menguatkan. Dengan demikian, kalau
berlipat ganda itu dijadikan syarat, maka secara kebahasaan,
maka minimum harus 6 kali lipat atau bunga 600 %. Secara
operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam
proses perbankan maupun simpan pinjam.22
‫أ‬
‫ف‬
Kata (�� ‫ )� ض���ع�ا‬yang berarti berlipat ganda itu, jika dii’rab
sebagai (‫ )ح�ا ل‬hâl berarti menunjukkan sifat atau keadaan riba
atau sebagai gambaran terhadap riba jahiliyah. Jika dipahami
sebagai syarat tidak berarti ayat ini dipahami bahwa riba yang
diharamkan hanyalah yang berlipat ganda, tetapi menegaskan
karakteristik riba yang secara umum punya kecendrungan untuk
berlipat ganda sesuai dengan berjalannya waktu. Al-Thabariy
dalam Tafsirnya menggambarkan praktik adh’afan mudha’afah
sebagai riba yang berlaku pada masa turunnya Al-Quran. 23
Dari praktik adh’afan mudha’afah seperti diungkap Al-Thabariy
tampaknya sesuai dengan analisis kebahasaan sebagaimana
diungkap di atas. Namun secara realitas, para ulama memahami
kata kunci pertama ini kepada tiga fungsi: Pertama, sebagai
syarat, artinya tambahan itu baru dikatakan riba bila berlipat
ganda, kedua: ada yang memahaminya sebagai hal atau keadaan,
artinya gambaran riba masa lalu, ketiga, ada yang menganngap
sebagai ziyadah (penambahan).
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syari’ah, Cet. I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.
22
108.
23
Muhammad Ibn Jarir Al-Thabariy, Jami’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an, j. IV, (Mesir:
Isa Al-Halabiy, 1954), h. 90.
330 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015
Kata kunci pertama –adh’ȃfan mudha’afan- bukan sebagai
syarat pengharaman riba, tetapi hanya sebagai gambaran (hal)
riba pada masa jahiliyah sementara kata kunci ketiga sebagai
keterangan untuk memahami kata kunci kedua dan pertama.
Jadi ketiga kata kunci itu merupakan sebuah rangkaian dan
harus dipahami secara utuh, tidak secara sendiri-sendiri.
2) Pendapat Ulama Tentang Hukum Bunga Sebagai Modal Usaha
Sayid Qutb dalam tafsirnya fi dhilal al-Qur;an
mengemukakan pandangannya bahwa “Islam memuliakan
pekerjaan dan menjadikannya sebagai pengerak dan sebab
utama untuk memiliki dan mendapat keuntungan. Islam
tidak memperbolehkan uang yang diam itu berbunga.
Yang menganakkan uang itu adalah usaha dan kerja. Maka
menganakkan uang tidak dengan kerja itu adalah haram.
Sedangkan Uang itu sendiri tidak dapat berubah, tetapi usaha
kerja itulah yang membuahkan uang, maka hasil kerja yaitu
buah uang harus diberikan kepada orang yang bekerja, dan
uang itu sendiri yaitu modal harus dikembalikan kepada orang
yang mempunyainya dengan tanpa tambahan. Sementara riba
itu adalah jalan ke arah melipatgandakan uang dengan tidak
disertai usaha dan kerja. Maka terjadi di satu pihak orang yang
duduk termenung mendapat keuntungan dan di lain pihak
orang yang bekerja dengan susah payah mendapat kerugian.
Akhirnya akan timbul dua kasta di dalam masyarakat ialah kasta
orang-orang yang mewah berlimpah-limpah dan kasta orangorang yang melarat menderita dan tidak menghasilkan apa-apa.24
Dia juga menambahkan bahwa dalam Islam hutang itu sama
saja yang konsumtif dan produktif. Hutang konsumtif itu untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga tidak sepantasnya
dilakukan pemungutan bunga, tetapi cukup kalau diwajibkan
mengembalikan pokok uang saja. Dan hutang yang produktif
itu sesungguhnya usaha dan kerja yang menghasilkan uang,
Sayid Qutb, Fi Zhilal Al-Qur’an, (Beirut: Dar at-Turats Al-‘Arabi, 1971), h. 73.
24
Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 331
bukan uang itu sendiri. Uang tidak dapat menghasilkan untung
kalau tidak di sertai usaha kerja. Maka usaha kerja itulah yang
dimuliakan Islam.25
Penafsir ini lebih menekankan pada kerja yang dapat
menghasilkan uang, atau keuntungan. sedangkan peminjaman
tanpa kerja tidak dapat mendatangkan keuntungan -bunga
konsumtif- maka wajib mengembalikan pinjaman dan haram
hukumnya dipungut bunganya. Sebaliknya, pinjaman yang
menghasilkan kerja dan mendatangkan keuntungan -bunga
produktif-maka wajib mengembalikan pinjamannya dan boleh
dipungut bunganya. Pandangan sayid Qutb tentang bunga uang
di atas, tampaknya sejalan dengan pendapat sang proklamator
Muhammad Hatta yang menyatakan bahwa “Kapital tidak pada
bunga komsumtif karena ia merupakan tambahan atau kelebihan
yang dipungut dari orang tidak mampu atau miskin yang
meminjam uang untuk keperluan hidupnya, sedangkan Kapital
sifatnya produktif, menambah penghasilan. Sebab itu orang
mau membayar rente (bunga) untuk mempergunakan kapital
(modal) itu. Jadi yang dikatakan rente itu sebenarnya adalah
harga yang dibayar untuk kesempatan mempergunakan kapital
orang lain. Jika keuntungan bertambah dengan mempergunakan
kapital orang lain itu apakah tidak adil kalau yang empunya
kapital itu mendapat sebagian dari pada keuntungannya?.26 Dari
pandangan Hatta- ini dapat dipahami bahwa bunga konsumtif
hukumnya haram sedang bunga produktif halal.
M. Umer Chapra menyatakan tidak ada ruang untuk
berargumen bahwa larangan riba tersebut hanya berlaku bagi
pinjaman untuk kegiatan konsumtif, dan bukan untuk kegiatan
produktif.27 Ulama saat ini telah ijmak tentang keharaman bunga
bank. Pengharaman dimaksud, melalui keputusan yang sudah
Ibid, h. 64.
25
Muhammd Hatta, Beberapa Pasal, h. 220.
26
M. Umer Chapra, Haramkah Bunga, h. 28.
27
332 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015
puluhan kali konferensi, muktamar, simposium dan seminar,
sehingga para ahli ekonomi dunia menemukan terwujudnya
kesepakatan para ulama tentang bunga bank.28 Keharaman bunga
uang ini, juga dikemukakan oleh Abu A’la Al Maududi sebagai
berikut: “Dalam hukum Islam dilarang keras meminjamkan
dengan memungut bunga.” Apabila kita meminjamkan uang
kepada seseorang, tidak peduli apakah ia meminjam untuk
kepentingan pribadinya atau tujuan-tujuan dagang. Kita wajib
mengembalikannya dan kita tidak berhak mengambilnya
(kelebihan) atau tambahan pinjaman itu sedikit atau banyak.
Dengan cara ini, Islam ingin memperlihatkan ekonomi Islam
yang bersih dari bunga, sekaligus ingin menghancurkan sistem
rente atau bunga yang menjadi alat dan andalan bagi kapitalisme
untuk berusaha memusatkan sumber-sumber ekonomi dari
masyarakat dengan bersandar pada kekuatan uang pada tangantangan tertentu saja.”29
Hal ini pula yang membuat Al-Maududi secara tegas
menekankan metode penggunaan surplus kekayaan pada
perdagangan, atau perusahaan sendiri dengan mempersiapkan
modal bagi orang-orang lain dan turut memperoleh bagian
dalam keuntungan dan kerugian dalam suatu usaha bersama.
Islam memandangnya hal ini sangat pantas untuk dilaksanakan,
namun di sisi lain Islam memandang perlu dicari suatu
solusi agar tidak terjadi penumpukan harta kekayaan berada
pada tangan beberapa orang saja. Islam tidak membenarkan
penimbunan kekayaan yang tertumpuk ini. Islam menuntut
agar kekayaan apapun yang dimiliki harus dipergunakan untuk
memperoleh kebutuhan sendiri atau disalurkan kepada orang
Ibid, h. 26.
28
Abu A’la al-Maududi, Solusi Islam Dalam Mengatasi Permasalahan Ekonomi, Diter��jemahkan oleh M. Hashem dari judul asli Economic Problem of Men and Its Islamic Solution,
(Surabaya: Al-Ma’arif, T.th), h.34.
29
Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 333
lain sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhannya, sehingga
seluruh kekayaan umum itu dapat senantiasa terus beredar”.30
Menurut Mustofa Ahmad Zurqa’, Islam telah mengharam
riba dengan pasti, sedang perhubungan dagang sekarang ini
semuanya berdasarkan atas bunga yang termasuk riba. Agar
keadaan ini dapat disesuaikan dengan Islam, maka caranya
harus dengan menghapuskan bunga itu sendiri.”31 Sebagai
solusi dalam menyelesaikan penghapusan bunga uang tersebut
dapat diajukan langkah-langkah berikut: a. Sementara waktu
memelihara keadaan semacam ini sehingga berdiri masyarakat
Islam yang mengatur hubungan dagang yang tidak berdasarkan
bunga, b. Membatasi sistem riba yang dilakukan oleh orang
Arab yang dilarang oleh Islam, c. Mendirikan bank negara yang
tidak memungut bunga untuk kepentingan umum yang berarti
menghapuskan bunga untuk kepentingan perseorangan. 32 Jadi,
dengan cara ini berarti menghapuskan bertumpuk-tumpuknya
modal pada renteniers.
Pendapat Zarqa’ jika dihubungkan dengan pendapat AlMaududi, tampaknya kedua ulama ini sama-sama berupaya
mencari solusi bagaimana ekonomi Islam tersebut terbebas
dari unsur riba, jika Al-Maududi dalam pendapatnya berupaya
memberi solusi usaha bersama dengan sistem bagi hasil sedang
pendapat Zarqa’ berupaya memberi solusi dengan langkahlangkah di atas.
Dari berbagai pandangan dan pendapat para ulama di atas,
maka dapat dipahami bahwa hukum haram dan mubah bagi
bunga uang dapat diterima berdasarkan pendapat ulama di atas.
Hukum haram sebagai hukum asal, sedang mubah karena alasan
Ibid
30
Mustafa Ahmad Zarqa, Nadzariyat Al-Iltizam Al-‘Ammah Al-Islam, Cet. II, J. III,
(Kairo: Dar Al-Ihsan, 1998), h. 48.
31
Ibid
32
334 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015
manfaat sebagai kebutuhan. Adapun Argumentasi oleh masingmasing pendapat dapat dikemukakan sebagai berikut.
Pendapat pertama, Mereka beralasan dengan fakta sejarah
bahwa transaksi pinjam meminjam pada zaman Rasulullah saw,
tidak dilakukan untuk kebutuhan konsumsi, namun digunakan
untuk membiayai perniagaan yang dilakukan di berbagai
penjuru kota. Abu Zahrah menegaskan bahwa “Secara obsolut,
tidak ditemukan bukti sejarah apapun yang mendukung
pernyataan bahwa riba jahiliyah (riba telah dipraktikkan
sebelum kedatangan Islam) terjadi atas pinjaman untuk
kegiatan konsumsi dan bukan untuk kegiatan produktif dalam
perniagaan.33 Hasil penelitian ini, telah membuktikan bahwa
transaksi pinjam-meminjam saat itu telah digunakan untuk
kegiatan produktif (bisnis atau perniagaan). Kondisi lingkungan
masyarakat Arab, letak geografis Makkah dan perdagangan
yang dilakukan oleh suku Quraisy, semuanya mendukung
pernyataan bahwa pinjaman yang dilakukan saat itu digunakan
untuk tujuan produktif, bukan untuk tujuan komsumtif. Hal ini,
juga diperkuat dengan fakta sejarah, bahwa transaksi dengan
cara pinjam meminjam pada zaman Rasulullah, SAW., tidaklah
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, namun
digunakan untuk membiayai perniagaan yang dilakukan di
berbagai penjuru kota.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Istilah Bunga Uang; Sebuah Keragaman
Berdasarkan wawancara penulis dengan para ustadz Pondok Al
Muhsin tentang definisi bunga uang, ditemukan data yang sangat
beragam di antara satu ustadz, dengan lainnya, hal ini, di karena
setiap ustadz berbeda mata pelajaran yang diajarkanya sehingga
Abu Zahrah, M, Buhuth fi al-riba, (kuwait Daar al-Buhuts al-Islamiyah, 1970), h.
33
53-54.
Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 335
berbeda pula pemahaman dan definisi yang diberikannya. Untuk
lebih jelas perbedaan tersebut dapat diperhatikan tabel berikut.
Tabel 3 : Istilah Bunga Uang; Sebuah Keragaman
USTADZ/PENGAJAR
Tafsir
Ali Murtadlo, Taufiq
Hidayat
dan Syamsul Rizal Yatno
KERAGAMAN DEFINISI
1. Kelebihan dari muamalah secara
batil
2. Kelebihan yang merugikan
3. Kelebihan tidak ada keredhaan
Syari’ah/Fiqh
1. Tambahan dari harta pokok tanpa
Sudarman, Bakhtiar. B,
kesepakatan
Ahmad K.H, dan Karimatal 2. Kelebihan dari penggunaan modal
3. Tambahan dari harta pokok
4. Nilai yang dibayar dari pinjaman
pokok
Akhlak/Hadis
Fathurrahman, Nurrahman 1. Tambahan dari pinjaman secara
haram
Tarikh Islam
A. Nurwahid, M. Ghazali,
Doni Anto. F dan Umar A.
Aziz
Bahasa/Ilmu Alat
Eko Yulianto, Abu Qa’qo’,
Abdullah Zuhri, Zuhdi
Rahmat,
Abdul Shahib, Ryan
Ibrahim,
Wiradi dan Fuad Hasan
1. Tambahan dari harga pokok secara
zalim
2. Tambahan sebagai ganti pinjaman
1. Kelihan pembayaran secara zalim
2. Kelebihan tanpa ada transaksi
Dari tabel di atas, tampaknya definisi bunga uang yang
dikemukakan para ustadz Pondok Pesantren Al Muhsin terjadi
perbedaan baik di antara ustadz/pengajar mata pelajaran yang sama
maupun pengajar mata pelajaran yang berbeda.
336 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015
Kelompok ustadz, pengajar tafsir tampaknya memberikan
definisi berbeda di antara satu dan lainnya, namun jika di cermati
perbedaan itu hanya dari segi ungkapannya –redaksional- saja, tidak
dari segi substansinya sehingga tiga definisi yang diutarakan dapat
disederhanakan bahwa bunga uang adalah kelebihan dari muamalah
yang tidak sesuai dengan agama Islam.
Kelompok ustadz, pengajar pelajaran Syari’ah/fiqh menawarkan
empat definisi. Definisi pertama mirip dengan yang diberikan
ustadz, pengajar tafsir di atas, karena kata “tanpa kesepakatan”
dalam definisinya sudah tercakup ke dalam definisi yang diberikan
oleh ustadz, pengajar tafsir. Sementara tiga definisi lainnya, jika
dipahami secara cermat tidak bertentangan antara satu dan lainnya,
sehingga jika dirumuskan dapat dikatakan bahwa bunga uang
adalah kelebihan atau tambahan dari harta pokok (modal), atau nilai
(harga) yang dibayar dari pinjaman pokok. Dari sini, dapat dipahami
bahwa definisi yang diberikan ustadz, pengajar tafsir mengandung
makna bahwa bunga uang sama dengan riba. Sebaliknya, definisi
yang dikemukakan ustadz, pengajar syari’ah/fiqh dapat dipahami
bahwa bunga uang tidak sama persis dengan riba.
Kelompok ustadz, pengajar Akhlak dan hadits sama dengan
ustadz, pengajar tafsir dan mirip juga dengan satu definisi ustadz,
pengajar tarikh Islam, serta sama pula dengan dua definisi yang
dikemukakan ustadz, pengajar bahasa. Sedangkan definisi kedua dari
ustadz, pengajar tarikh Islam sama dengan definisi kedua, ketiga dan
keempat dari definisi yang dikemukakan ustadz, pengajar sari’ah/
fiqh. Dari pengertian yang berbeda ini berbeda pula pandangannya
terhadap praktek bunga dulu dan sekarang.
2. Praktek Bunga Uang; Dulu dan Sekarang
Praktek bunga uang dulu dan kini, menurut para ustadz Pondok
Pesantren Al Muhsin berbeda dulu dan sekarang, perbedaan tersebut
dipengaruhi dan ditentukan keadaannya oleh pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat dan zaman itu sendiri.
Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 337
Pada masa jahiliyah praktek bunga uang berlangsung secara
perorangan dan kolektif. Secara perorangan bunga uang berlaku,
di mana orang kaya -mampu- mendatangi orang tidak mampu
-miskin- menawarkan pinjaman sejumlah uang sesuai kebutuhan
mereka, setelah tiba masa pelunasan, si peminjam tidak mampu
membayar pinjamannya sehingga si pemilik harta menyetujuinya
dengan syarat bunga dilipatgandakan, terkadang menurut Umar
Abdul Aziz -pengajar Tarikh tasyri’- ide pinjaman itu datang dari
orang miskin yang membutuhkan. Sekarang praktek bunga seperti
itu juga terjadi pada reintenir. Sementara praktek bunga uang secara
kolektif adalah untuk menghasilkan dan meningkatkan pendapatan
mereka. Pada masa lalu didominsi oleh orang kaya yang berguna
untuk meningkatkan dagangan mereka, kini praktek bunga uang
secara kolektif dilakukan melalui bank-bank.34
Berkaitan pengaturan bunga uang dan pinjaman. Dulu,
pengaturan bunga uang diatur kemudian ditentukan oleh si
pemilik harta, yaitu ketika para peminjam melunasi pinjamannya.
Berbeda keadaannya sekarang, di mana bank-bank telah mengatur
tentang pinjaman dan bunga uang. Seperti: pengaturan bunga uang
dilakukan di muka, yakni sebelum dilakukan transaksi, syaratsyarat peminjam, besar bunga perbulan dan pertahun, jumlah
pengembalian perbulan. Dengan pengaturan itu si peminjam dapat
menentukan sikapnya, dan mengukur diriya, apakah dirinya mampu
memenuhi syarat-syarat sebagai peminjam.
Berdasarkan data yang terhimpun tentang praktek bunga
uang dulu dan kini, tampaknya para ustadz pondok pesantren
Al Muhsin sepakat menyatakan bahwa praktek bunga dulu dan
sekarang terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan terlihat
dari jenis bunga pinjaman perseorangan dan kolektif, dari segi
penggunaan pinjaman. Sedangkan perbedaan lebih disebabkan dari
34
Wawancara dengan para ustadz Pondok Pesantren Al Muhsin, Muhammad Rudi,
Doni Anton Firdaus –keduanya pengajar Tarikh Tasyri’. Senin/14 Juli 2014.
338 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015
segi pengaturan dan persyaratannya, besar bunga dan pinjaman,
prosedur dan prosesnya, dan dari segi lainnya.
3. Hukum Bunga Uang Sebagai Modal Usaha
Hukum bunga uang sebagai modal usaha di kalangan ulama
selalu diperdebatkan, ada yang menyatakan haram, mubah
(diperbolehkan), bahkan ada yang mengatakan makruh. Perbedaan
ini di sebabkan bunga uang pada satu sisi tidak disebutkan
hukumnya dalam al-Qur’an, sementara modal usaha merupakan
sesuatu yang harus diwujudkan. Keragaman hukum tersebut
terdapat juga di Pondok Pesantren Al Muhsin. Perbedaan itu tidak
saja terjadi di antara ustadz, pengajar pelajaran yang sama, tetapi juga
terjadi perbedan di antara ustadz, pengajar pelajaran yang berbeda.
Untuk lebih jelasnya hukum bunga uang sebagai modal usaha dapat
diperhatikan tabel berikut.
Tabel 4 : Hukum Bunga Uang Sebagai Modal Usaha
USTADZ,
PENGAJAR
TAFSIR
• Ali Murtadlo
• Taufiq Hidayat
• Syamsul Rizal
• Yatno
BERAGAM HUKUM
DAN ALASANNYA
v
Hukum bunga adalah haram secara mutlak.
• Argumentasi:Dalam surat Al-Baqarah: 278279, di mana ayat tersebut memerintahkan
manusia meninggalkan sisa-sisa riba dan
ayat sesudahnya -279- Allah mengancam
perang bagi para pelaku riba.
Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 339
USTADZ,
PENGAJAR
BERAGAM HUKUM
DAN ALASANNYA
Syari’ah/Fiqh
• Sudarman
• Bakhtiar. B
• Ahmad K.H
• Karimatal
v
Hukum asalnya bunga uang haram, tetapi
bila digunakan sebagai modal usaha mubah /
perbolehkan,
• Alasan Haram Berdasarkan Q.S, 3:130; QS.
2: 278 dan 279
• Alasan Mubah diperbolehkan:
karena
manusia
wajib
berusaha
–termasuk
mendapatkan modal melalui pinjaman.
Padahal Al-Baqarah ayat 282 dan 283
Allah mempermudah manusia untuk
mendapatkan pinjaman. Hal ini, terkait juga
dengan sebab timbul bunga uang karena
adanya pinjam meminjam atau utang piutang.
Akhlak/Hadis
• Fathurrahman
• Nurrahman
v
Hukum bunga uang adalah haram. Alasan
karena secara jelas rasulullah saw telah
melarang riba. Larangan itu berupa laknat
Allah SWT kepada orang yang memberikan
tambahan (riba), pencatatan transaksi ribawi,
serta saksi dalam transaksi tersebut.
Tarikh Islam
• A. Nurwahid
• M. Ghazali
• Doni Anto. F
• Umar Abdul. A
v
Hukum asal bunga uang haram, tetapi mubah
bila digunakan sebagai modal usaha .
Alasan haram: Berdasarkan Q.S, 3:130; QS. 2:
278 dan 279
Alasan Mubah: karena bunga uang tidak
membebani kepada kedua belah pihak,
melainkan kebalikannya sama-sama memberi
keuntungan kepada peminjam dan si pinjaman.
340 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015
USTADZ,
PENGAJAR
Bahasa/Ilmu Alat
• Eko Yulianto
• Abu Qa’qo’
• Abdullah Zuhri
• Zuhdi Rahmat
• Abdul Shahib
• Ryan Ibrahim
• Wiradi
• Fuad Hasan
BERAGAM HUKUM
DAN ALASANNYA
vHukum bunga uang -bank- adalah mubah
(diperbolehkan).
Alasan: Bank banyak memberi kemudahan
dan kemaslahatan bagi orang banyak, bukan
untuk kepentingan pribadi saja. Hal ini, jika
dilihat dari penggunanya dalam transaksi
cukup banyak orang terbantu menggunakan
jasa bunga uang tersebut.
Dari tabel di atas, terlihat perbedaan hukum bunga uang sebagai
modal usaha. Perbedaan tersebut, tidak saja terjadi di antara ustadz,
pengajar yang sama, tetapi perbedaan juga terjadi pada Ustadz,
pengajar mata pelajaran berbeda.
Kelompok ustadz, pengajar tafsir terlihat sangat tegas dalam
mengemukakan hukum bunga uang, yaitu haram secara mutlak.
Artinya, bunga uang dikaitkan dengan muamalah apa saja, sekalipun
dengan bank, dan modal usaha, maka hukumnya sama dengan
riba yaitu haram. Pendapat mereka ini didasarkan kepada nash,
surat Al-Baqarah: 278-279. Dalam ayat ini, Allah memerintahkan
meninggalkan sisa-sisa riba, dan ayat sesudahnya -279- Allah
mengancam dengan mengumandangkan perang bagi para pelaku
riba.
Pendapat ini, sama dengan pendapat pertama pengajar pelajaran
Syari’ah/fiqh tetapi berbeda dengan pendapat keduanya, yang
menyatakan bahwa bunga uang tidak sama dengan riba, oleh
karena itu kedudukan bunga uang sebagai modal usaha hukumnya
mubah diperbolehkan. Mereka beralasan bahwa manusia diwajibkan
berusaha di samping untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan
keluarganya, juga untuk meningkatkan pendapatan. Apalagi jika
Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 341
diteliti sebab timbulnya bunga uang itu sendiri karena adanya
pinjam-meminjam atau utang piutang. Padahal, dalam Al-Baqarah
ayat 282 dan 283, Allah memberi solusi bagi seseorang yang
memerlukan pinjaman agar dipermudah yaitu dengan cara, apabila
kamu dalam perjalanan sedangkan juru tulis tidak ada, maka maka
hendaklah ada borog (barang jaminan) diserahkan kepada yang
berpiutang, Jika tidak ada barang jaminan maka dianjurkan supaya
kamu saling mempercayai agar muamalah di antara manusia tetap
dapat berjalan sehingga si peminjam dapat memenuhi kebutuhan
diri, keluarganya dan penghasilnya menajdi meningkat.
Kelompok ustadz, pengajar Akhlak dan hadits tampaknya sama
dengan ustadz, pengajar tafsir yang menyatakan bahwa hukum
bunga uang sebagai modal usaha adalah haram. Pendapat mereka
berbeda dengan pandangan ustadz, pengajar syaria’ah/fiqh. Mereka
beralasan dengan hadist Rasulullah:
‫هم سواء‬:‫لعن رسول اهلل آلك الربا ومولكه واكتبه و شاهديه وقال‬
Artinya : Rasulullah saw melaknat pemakan riba, yang memberi, yang
mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda mereka semua sama .(HR.
Muslim).
Dari hadist ini, secara tegas Rasulullah saw melarang riba,
bahkan Ia tidak saja memberi larangan kepada orang yang
mengambil riba, tetapi juga laknat Allah SWT kepada orang yang
memberikan tambahan (riba), pencatatan transaksi ribawi, serta
saksi dalam transaksi tersebut.
Hukum haram yang dikemukakan ustadz, pengajar akhlak dan
hadits di atas, sama dengan pendapat pertama ustadz, pengajar tarikh
Islam, tetapi berbeda dengan pendapat keduanya yang menyatakan
bahwa hukum bunga uang sebagai modal kerja diperbolehkan, asal
tidak si peminjam. Pendapat terakhir sama pula dengan hukum yang
dikemukakan ustadz, pengajar bahasa.
342 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa hukum bunga
uang dapat diklasifikasi kepada dua macam. Pertama, haram yang
disponsori oleh ustadz, pengajar tafsir, hadist, dan satu pendapat
dari ustadz, pengajar sayari’ah/fiqh dan ustadz, pengajar tarikh
Islam. Kedua, mubah (diperbolehkan) yang disponsori oleh satu
pendapat dari ustadz, pengajar syari’ah/fiqh dan tarikh Islam, dan
pendapat dari ustadz, pengajar bahasa.
4. Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin Tentang Bunga Uang
terhadap Modal Usaha
Pendapat para ustadz pondok pesantren Al Muhsin dalam
memberikan persepsi tentang bunga uang sebagai modal usaha
dapat diklasifikasi kepada dua macam, yaitu: Pertama, haram, dan
kedua mubah (diperbolehkan). Hukum haram yang ditetapkan
itu juga terbagi kepada dua, ada yang menyatakan haram secara
mutlak, dan ada yang mengatakan haram. Yang dimaksud dengan
haram secara secara mutlak ialah bunga uang itu haram bagi setiap
muamalah, termasuk bunga bank dan bunga uang sebagai modal
usaha, sedangkan yang dimaksud haram di sini ialah haram menurut
hukum asalnya, bukan menurut aplikasinya. Hukum haram secara
mutlak dikemukakan oleh ustadz, pengajar tafsir dan hadits. Hukum
haram yang mereka tetapkan merujuk kepada tiga kata kunci yang
telah ditetapkan sebelumnya dan metode yang mereka terapkan
dalam menggali hukum bunga uang itu gunakan adalah dengan
pemahaman secara tekstual terhadap ayat-ayat riba, sehingga
mereka berkesimpulan bahwa hukum riba itu haram secara mutlak.
Sedangkan hukum haram dikemukakan oleh sebagian ustadz
pengajar syari’ah/fiqh dan sebagian pengajar tarikh Islam. Mereka
juga menggali hukum bunga uang dari tiga kata kunci yang telah
ditetapkan tetapi dengan metode mafhum mukhalafah, sehingga
mulai dari definisi, pandangannya terhadap praktek bunga uang,
dan pendapat mereka tentang hukum bunga uang sebagai modal
usaha berbeda dengan pendapat pertama. Mereka menetapkan
hukum bunga uang haram, tetapi tidak sebagai modal usaha. Kedua,
Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 343
mubah (diperbolehkan). Hukum mubah di sini sebagai pengecualian
dari hukum asal yang tidak bisa diterapkan, karena tidak ditetapkan
secara tegas di dalam nash -Al-Qur’an dan sunnah-. Hukum mubah
ini, dikemukakan oleh sebagian ustadz syari’ah/fiqh, sebagian
pengajar tarikh dan ustadz, pengajar bahasa.
Berkaitan dengan argumentasi yang mereka pakai untuk
menetapkan keharaman bunga uang adalah ayat 278, 279 surat AlBaqarah dan hadits riwayat Muslim. Pemahaman mereka terhadap
ayat dan hadits tersebut tampaknya lebih kepada teks ketimbang
konteksnya. Sehingga definisi, praktek bunga uang, dan pendapatnya
tentang bunga uang berbeda dengan pendapat sebagian ustadz,
pengajar syari’ah dan tarikh. Surat Ali Imran, (3): 130, sebagai
argumentasi mereka, lebih kepada tahapan pengharaman riba,
namun mereka merujukkan ayat ini kepada ayat 278, 279 Al-Baqarah,
dan berkesimpulan bahwa bunga uang baik berlipatganda atau tidak
maka hukum haram.
Berkaitan dengan argumentasi mubah untuk menghalalkan
bunga uang sebagai modal usaha, lebih kepada penggunaan logika
ketimbang nash. Logika yang mereka bangun adalah: Pertama, mereka
menetapkan bunga uang berbeda dengan riba. Kedua, tidak ada nash
tegas mengharamkan bunga uang. Ketiga, perintah wajib berusaha
bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarganya, bahkan
untuk peningkatan penghasilannya. Keempat, Allah sendiri telah
memberi solusi dengan mempermudah pinjam meminjam di antara
manusia, melalui ayat 283 surat al-Baqarah. Kelima, selama bunga
uang itu memberi kemudahan dan kemanfaatan bagi kedua belah
pihak, dan tidak memberi beban dan kesulitan. Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa persepsi para ustadz Pondok Pesantren Al
Muhsin tentang bunga uang sebagai modal usaha, terklasifikasi
kepada dua macam, yaitu: Pertama, haram dengan argumentasi ayat
278 dan 279 surat al-Baqarah, dan ayat 130 surat Ali Imran, dan hadits
riwayat Muslim. Pendapat ini disponsori oleh ustadz, pengajar
tafsir, hadits, dan satu pendapat dari ustadz pengajar Syari’ah/
fiqh, satu pendapat dari ustadz pengajar tarikh Islam. Kedua, mubah
344 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015
(diperbolehkan) dengan argumentasi yang mereka bangun dari
logika, dan sebagai pertimbangan argumentasi mereka merujuk
pada ayat 282 dan 283 dalam surat Al-Baqarah.
D.SIMPULAN
Berdasarkan hasil temuan penelitian dan analisis yang telah
dilakukan, dapat disimpulkan bahwa para ustadz pondok pesantren Al
Muhsin dalam memberikan persepsi tentang bunga uang sebagai modal
usaha dapat diklasifikasi kepada dua macam, yaitu: Pertama, haram, dan
kedua mubah (diperbolehkan). Hukum haram yang ditetapkan itu juga
terbagi kepada dua, ada yang menyatakan haram secara mutlak, dan ada
yang mengatakan haram. Yang dimaksud dengan haram secara secara
mutlak ialah bunga uang itu haram bagi setiap muamalah, termasuk
bunga bank dan bunga uang sebagai modal usaha, sedangkan yang
dimaksud haram di sini ialah haram menurut hukum asalnya, bukan
menurut aplikasinya. Hukum haram secara mutlak dikemukakan oleh
ustadz, pengajar tafsir dan hadits. Hukum haram yang mereka tetapkan
merujuk kepada tiga kata kunci yang telah ditetapkan sebelumnya
dan metode yang mereka terapkan dalam menggali hukum bunga
uang itu gunakan adalah dengan pemahaman secara tekstual terhadap
ayat-ayat riba, sehingga mereka berkesimpulan bahwa hukum riba itu
haram secara mutlak. Sedangkan hukum haram dikemukakan oleh
sebagian ustadz pengajar syari’ah/fiqh dan sebagian pengajar tarikh
Islam. Mereka juga menggali hukum bunga uang dari tiga kata kunci
yang telah ditetapkan tetapi dengan metode mafhum mukhalafah,
sehingga mulai dari definisi, pandangannya terhadap praktek bunga
uang, dan pendapat mereka tentang hukum bunga uang sebagai modal
usaha berbeda dengan pendapat pertama. Mereka menetapkan hukum
bunga uang haram, tetapi tidak sebagai modal usaha. Kedua, mubah
(diperbolehkan). Hukum mubah di sini sebagai pengecualian dari hukum
asal yang tidak bisa diterapkan, karena tidak ditetapkan secara tegas di
dalam nash -Al-Qur’an dan sunnah-. Hukum mubah ini, dikemukakan
Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 345
oleh sebagian ustadz syari’ah/fiqh, sebagian pengajar tarikh dan ustadz,
pengajar bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, M, Buhuth fi al-riba, kuwait Daar al-Buhuts al-Islamiyah,
1970.
Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro,
Cet I, Jakarta: IIT Indonesia, 2000.
Badr Ad-Din Al-Ayni, Umdatul Qari: Syarah Bukhari, Constantinople:
Mathba’ah Al-Amira, 1310 H.
Depag, R.I, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, AlQur’an
Dan Terjemahnya, Edisi Revisi, Jakarta: Tanjung Mas Inti, 1992.
Ibnu ‘Arabi, Ahkam al-Qur’an, Kairo: Al-Mathba’ah al-Bahiyyah alMisriyyah, 1957
Jacky Ambadar, Ilmu Ekonomi,Jakarta: Sinar Grafika,2001.
Muhammad Ibn Jarir Al-Thabariy, Jami’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an, j. IV,
Mesir: Isa Al-Halabiy, 1954.
Muhammad Ibn Jarir Al-Thabariy, Jami’Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, Jilid.
III, Mesir: Isa Al-Babi al-Halabi, 1954.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Wacana Ulama dan
Cendikiawan, Cet.I, Jakarta: Tazkia Institute, 1999.
Mustafa Ahmad Zarqa, Nadzariyat Al-Iltizam Al-‘Ammah Al-Islam, Cet. II,
J. III, Kairo: Dar Al-Ihsan, 1998.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu
dalam kehidupan, Cet XI, Bandung: Mizan, 1995.
Sayid Qutb, Fi Zhilal Al-Qur’an, Beirut: Dar at-Turats Al-‘Arabi, 1971.
346 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015
Suhrawardi, Hukum Ekonomi Islami, Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Yokyakarta: Forum
Kajian Budaya dan Agama, 2001.
Yayasan Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Bank Syari’ah
(YLPPBS), Perbankan Syari’ah, Perspektif Praktisi – Sebuah Paparan
Komprehensif Praktik Perbankan di Indonesia, Jakarta: Muamalat
Institute, T.th.
Yusuf Al-Qardawi, Al-Fawaid al-Bunuk hiya al-riba al-muharram, kairo:
Dar al-Salwah, 1994.
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syari’ah, Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika,
2008.
Download