PERSEPSI PARA USTADZ PONDOK AL-MUHSIN TENTANG BUNGA UANG ERHADAP MODAL USAHA Tarmizi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro E-mail: [email protected] ABSTRACT Legal issues interest money is a long time until is still being debated and still warm (up to date) to be studied. Venture capital can be obtained through their own funds or from loans either flowering or without interest. Equity and interest-free loans hard to come by smaller and refund period is shorter than that of capital loans . This leads to people / companies prefer to raise capital through loans. Qur’an did not give an explanation interest money, but included in the study usury. The scholars of diverse opinions on the legal interest as working capital. This research is aimed at exploring the perceptions of the cleric AlMuhsin cottage on the interest money as venture capital. The results showed that the cleric Pondok Pesantren Al - Muhsin different opinions about the legal interest of money as capital. In this case can be classified in two kinds. First, unclean sponsored by teachers, teacher interpretation, hadith, and the opinions of teachers, teacher sayari’ah/fiqh and religious scholar, teacher of Islamic dates. Second, permissible, sponsored by the opinions of teachers, teacher syari’ah/ Date fiqh and Islamic cleric opinion, and the opinion of the chaplain/ language teach. Key words: Interest money, venture capital, haraam, revenue sharing system, the cleric PondokPesantren Al – Muhsin. 320 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 A.PENDAHULUAN Persoalan bunga uang (interest) riba-rente dan yang sejenisnya merupakan permasalahan lama yang sampai saat kini masih marak dan masih menjadi ajang perdebatan di masyarakat. Masalah bunga selalu dikaitkan dengan sosial-ethis, sehingga pemungutan rente tersebut dilarang. Larangan ini disebabkan pinjaman berbunga itu mengakibatkan harta habis tergadai untuk membayar hutang. Bahkan, jika harta habis sama sekali, hutang dibayar dengan badan dengan cara si peminjam bekerja menjadi budak kepada orang tempat ia berhutang, sehingga dapat dikatakan bahwa pada zaman dahulu hutang menjadi sebab perbudakan. Berbeda dengan masa lalu, kini praktik bunga uang itu digunakan orang untuk modal usaha yang mereka pinjam dari perbankan atau lembaga-lembaga keuangan lainnya. Kedudukan modal dalam usaha merupakan suatu kemestian. Sebab modal merupakan salah satu faktor produksi dan memberikan penghasilan kepada pemiliknya. Semakin besar modal suatu usaha maka semakin besar produksi yang dikelola dan semakin banyak hasil diperoleh oleh suatu perusahaan, sebaliknya semakin kecil modal maka semakin kecil produksi yang dikelola dan semakin kecil pula hasil diperoleh oleh perusahaan. Oleh karena itu, modal perlu diwujudkan baik melalui harta milik sendiri (perorangan) maupun dari pinjaman. Pada umumnya, modal suatu perusahaan jarang sekali dibiayai dari harta sendiri, melainkan dari pinjaman, karena di samping dana yang dibutuhkan sangat besar, juga mudah diperoleh selama si peminjam bersedia membayar bunga. Sebaliknya apabila tidak mau membayar bunga mustahil dapat diperoleh modal yang dibutuhkan itu, sebab orang tidak mau meminjamkan uangnya dengan cuma-cuma tanpa imbalannya. Al-Qur’an sebagai kitab suci dan petunjuk bagi manusia, tidak memberi penjelasan bunga uang, tetapi masuk dalam kajian riba. Para ulama telah menetapkan tiga kata kunci untuk memahami hukum bunga uang atau riba. Tiga kata kunci itu diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri, yaitu: a) adh’ȃfan mudhȃ’afah dalam surat Ali Imran ayat 130, b) Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 321 wa zarŭ mȃ baqiya min al-riba dalam surat al-Baqarah, 278; dan c) fa lakum ru’usu amwȃlikum,la tazhlimŭna wa la tuzhlamŭn, (QS. Al-Baqarah, 2: 279). Dari ketiga kata kunci tersebut, Para ulama berbeda dalam memahaminya, sehingga memunculkan tiga pandangan ulama tentang hukum bunga uang: (a) Ada yang menetapkan sama dengan riba yaitu haram. (b) Ada yang mengatakan mubah (dibolehkan) selama bunga tersebut mampu dibayarkannya. (c) Ada pula yang mengatakan bunga uang itu makruh, jika terpaksa melakukannya. Pandangan ulama di atas, dijadikan acuan untuk mengetahui persepsi para ustadz pondok pesantren Al-Muhsin tentang bunga uang sebagai modal. Dijadikan para ustadz pondok Al-Muhsin sebagai subjek penelitian ini karena tiga alasan, yaitu: Pertama, dilihat kuantitas dan kualitas para Ustadz semakin meningkat. Tahun 1995 hanya ada enam pengajar, kini tahun 2013-2014 menjadi 40 ustadz, terdiri S1 -21 orang-, S2 dua orang dan S3 satu orang dalam penyelesaian, Kedua, dilihat dari segi kurikulum, dulu hanya enam pelajaran meningkat di Tahun 2013-2014 meningkat menjadi 16 pelajaran agama, dan 12 pelajaran umum. Ketiga, sistem pembelajaran, selain jam pelajaran tetap setiap hari, ditambah Jam nol setiap hari kecuali jum’at jam 05.30 sampai 06.00, dan ekskul setiap hari kecuali jum’at jam 16.00. Berdasarkan data yang diperoleh, maka penelitian menjadi menarik untuk diteliti dan menginspirasi penulis untuk menuangkannya ke dalam sebuah tema “Persepsi Para Ustadz Pondok Pesantren tentang Bunga Uang Sebagai Modal Usaha.” B. KAJIAN TEORI 1. Tentang Bunga Uang Istilah Bunga uang disebut juga rente dan interest. Kata riba – bunga uang- secara bahasa “fadhal dan zaidah” berarti kelebihan dan tambahan. Menurut syara‘ bunga uang berarti kelebihan atau penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis.1Yang Badr Ad-Din Al-Ayni, Umdatul Qari: Syarah Bukhari (Constantinople: Mathba’ah 1 322 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 dimaksud dengan transaksi bisnis di sini adalah transaksi dilakukan suka sama suka. Menurut pengertian lain, disebutkan bahwa penambahan dari harta pokok dengan disyaratkan bagi si peminjam untuk membayarnya kepada orang yang meminjamkan atas nilai pokok pinjaman.2 Dalam ilmu ekonomi, riba atau bunga uang berarti kelebihan pendapatan yang diterima oleh si pemberi pinjaman dari peminjam, yaitu kelebihan dari jumlah uang pokok yang dipinjamkan, sebagai upah atau harga, dibayar sesuai waktu penggunaan modal uang.3 Ulama fikih mendefinisikan bunga uang dengan “kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan atau gantinya. Pengertian ini disimpulkan dari pendapat ulama berikut: Ibnu Hajar Al-Asqalani, Allama Mahmud Al-Hassan Tauki, dan Syekh waliyullah Dahlawi, mengatakan unsur riba terdapat pada utang yang diberikan dengan syarat si peminjam bersedia membayarnya lebih banyak dari apa yang telah diterimanya.4 Sebagian ulama memberi pengertian bunga uang adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.5 Menurut pakar ekonomi baik konvensional maupun oleh para ulama nampaknya ada sisi persamaan, yaitu munculnya bunga dari utang-piutang/pinjaman. Sisi perbedaan terlihat dalam menginterpretasikan kelebihan dari pinjaman. Pendapat ekonom konvensional - mengalihkan makna kelebihan itu pada upah atau harga dari pinjaman yang dibatasi oleh waktu atau lamanya pinjaman. Sementara pandangan ulama terbagi pada dua versi. Al-Amira, 1310 H), h. 436 2 Yusuf Al-Qardawi, Al-Fawaid al-Bunuk hiya al-riba al-muharram, (kairo: Dar alSalwah, 1994), h. 129-42 Yayasan Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Bank Syari’ah (YLPPBS), Perbankan Syari’ah, Perspektif Praktisi Sebuah Paparan Komprehensif Praktik Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Muamalat Institute, T.th), h. 8. 3 Ibid, h. 8-9. 4 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Wacana Ulama dan Cendikiawan, Cet.I, (Jakarta: Tazkia Institute, 1999), h. 171. 5 Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 323 Sebagian mereka, berpandangan bahwa pinjaman itu sifatnya murni tolong menolong sedangkan yang lain berpendapat bahwa kelebihan pinjaman pokok itu tidak bersifat batil. Praktek bunga uang sebagai praktik yang muncul dari pinjam meminjam sudah lama dikenal orang. Pada masa lalu, praktik pinjaman bunga uang berlaku secara perorangan karena ketika itu orang belum mengenal bank atau lembaga keuangan seperti sekarang ini. Sebelum Islam masuk ke jazirah Arab, sekitar di penghujung abad ke-6 kota Makkah -dikenal dengan kota dagang- di tengah -tengah masyarakat niaga ini, muncul praktik -praktik perekonomian yang tidak etis-riba- dan eksploitatif. Hal itu, semakin memperlebar jurang pemisah antara kaya dan miskin.6 Hal serupa juga terjadi di Tha’if terletak sekitar 75 mil sebelah tenggara Makkah- mereka yang telah mengenal praktik-praktik riba.7 Bahkan, suku Quraisy di Makkah dalam aktivitas perdagangan mereka telah mengenal praktik-praktik riba. Ini dapat dibuktikan bahwa sebagian dari sahabat Nabi, seperti ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib (paman Nabi saw.), Khalid bin Walid, dan lain-lain, masih mempraktikkannya sampai turun ayat larangan riba.8 Sedang masa kini, praktik pinjaman bunga uang itu digunakan orang untuk modal usaha yang mereka tidak dari dana perseorangan, melainkan dari lembaga, kini dikenal dengan bank. Dengan munculnya bank-bank itu, maka timbul pula berbagai gagasan perbaikan dan pengaturan kelebihan pinjaman -bunga uang- baik tentang besarnya, waktu pengembaliannya, syaratsyarat peminjam, bahkan besar pinjaman pun disesuaikan dengan penghasilan seseorang. Dengan adanya perbaikan dan penataan di sana sini, bagi orang yang memimjam dapat mengukur dan menyadari kemampuan dan tujuan penggunaan pinjamannya. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001), h. 12-13. 6 7 Ibid. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan, Cet XI, (Bandung: Mizan, 1995), h. 259. 8 324 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 Hal ini, memunculkan suatu pandangan dan paradigma orang bahwa tujuan si peminjam bunga uang sekarang ini bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mendesak seperti dilakukan orang miskin masa lalu, melainkan untuk memperbesar produksi seperti yang dilakukan oleh orang-orang kaya. Dari sini, dapat dipahami bahwa praktik bunga uang telah muncul dari masa lalu, yaitu sebelum Islam muncul di jazirah Arab, atau di dunia Barat sebelum berdiri bank pertama tahun 1157 di Itali, dikota Vinice. a. Bunga Konsumtif dan Produktif Muhammad Hatta mendefinisikan bunga konsumtif dan produktif. Bunga komsumtif ialah tambahan atau kelebihan dipungut dari orang tidak mampu atau miskin yang meminjam uang untuk keperluan hidupnya dengan tiada berfikir panjang tentang melaratnya dikemudian hari, 9 sedangkan bunga produktif ialah bunga yang dipunggut dari orang yang meminjam uang untuk membuka perusahaan, di mana bunga itu adalah sebagian dari keuntungan yang diperoleh dengan bantuan uang orang lain itu.10 Dari pengertian ini, tampaknya Hatta membedakan kedua macam bunga dari segi status sosial si pemimjam mampu atau tidak (miskin), dan dari segi penggunaan pinjamannya apakah untuk konsumtif atau produktif. Peminjam tidak mampu (miskin) secara sederhana, diartikan seorang yang kebutuhannya lebih besar ketimbang penghasilan sehingga pinjaman dipergunakan untuk konsumtif, sedangkan orang mampu atau kaya ialah orang yang penghasilannya melebih kebutuhannya sehingga penggunaaan pinjamannya digunakan untuk mengembangkan usahanya (produktif). Bunga konsumtif jika dihubungkan dengan aktifitas bunga sekarang ini mirip dengan jenis bunga uang (money interest) Muhammd Hatta, Beberapa Pasal, h. 215. 9 Ibid. 10 Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 325 yang dalam praktiknya banyak dipengaruhi oleh pengharapan dan pendugaan atas nilai uang di kemudian hari dan diukur dengan harga barang-barang. Sementara bunga produktif seperti diungkap Hatta di atas, dipandang sebagai solusi karena saling memberi keuntungan sebab kelebihan tidak diambil dari pinjaman melainkan dari keuntungan. Gambaran bunga produktif ini, punya persamaan dan perbedaan dengan transaksi Qardh. Persamaannya, kedua bentuk perikatan itu sama - sama tergolong kepada uqûdu tadhayun, yaitu akad-akad yang berasal dari utang-piutang yang berarti saling meminjamkan berupa hartabenda (real asset) atau uang (financial asset). Perbedaannya, bunga produktif diambil dari keuntungan sedangkan transaksi qardh tetap pada prinsip dasar akad tadhayun itu sendiri. Perbedaan lain, kelebihan atau tambahan pada bunga produktif lebih bertujuan agar si peminjam lebih giat bekerja karena tambahan diambil dari keuntungan yang ia peroleh. Sedangkan kelebihan dari transaksi Qardh tidak dibenarkan, dan si peminjam wajib membayar dan mengembalikan utangnya secara utuh, dan tidak boleh ada kelebihan karena semangat dalam akad ini lebih memberikan stimulus kepada mereka yang lemah menjadi kuat dan memiliki daya produktivitas yang tinggi. Aqad qardh ini berbeda pula dengan infak yang masuk dalam akad tabarru’. Perbedaan yang mendasar di antara kedua akad ini terletak pada aspek giving and landing (meminjam dan memberi). Jika dalam akad tadhayun qardh si pemimjam diwajibkan mengembalikan harta atau utang yang dipinjam tetapi dalam akad tabarru’ infak tidak disyaratkan untuk mengembalikannya, karena akad ini pure (murni) merupakan akad pemberian dan hanya mengharapkan keridhaan Allah SWT,. b. Bunga Nasi’ah atau Bunga Jahiliyah Bunga Nasi’ah muncul dari sikap yang tidak Islami, disebut juga bunga jahiliyah. Atau riba al-Qur’an (riba yang disebutkan secara spesifik dalam al-Qur’an) atau dikenal juga dengan 326 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 sebutan riba al-duyun (riba atas pinjaman). Kata nasi’ah berasal dari kata dasar (fi’il madli) nasa’a yang bermakna menunda, menunggu, menangguhkan, membayar dengan tambahan.11 Kata riba dengan makna ini terdapat dalam Al-Qur’an. Menurut Adiwarman bahwa riba nasi’ah adalah tambahan pada utang piutang berjangka waktu oleh si pemberi utang sebagai imbalan jangka waktu tersebut.12 Mujahid meriwayatkan bahwa riba masa jahiliyah yaitu bahwa seseorang mempunyai utang kepada orang lain, kemudian peminjam berkata kepadanya “untukmu tambahan sekian sebagai imbalan penundaan pembayaran, maka ditunda pembayaran tersebut untuknya.”13 Sementara itu, Qatadah menyatakan bahwa riba masa jahiliyah adalah penjualan seseorang kepada orang lain (dengan pembayaran) sampai batas tertentu. Bila telah tiba masa tersebut, sedang yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan untuk membayar, ditambahlah jumlah utangnya dan ditangguhkan masa pembayarannya.14 Dari sini, dapat dipahami bahwa riba nasia’ah timbul karena penundaan pembayaran, dan penundaan itu dilakukan dengan cara pelipatgandaan pembayaran dan dapat pula dengan cara menambahkan jumlah utangnya dan ditangguhkan masa pembayarannya. c. Bunga Fadhl Riba fadhl adalah tambahan yang diperoleh seseorang sebagai hasil pertukaran dua barang yang sejenis, misalnya antara satu gram emas dengan dua gram perak; satu kuintal padi basah dengan setengah kuintal padi kering.15 Pemberlakuan riba fadhl Ibid, h. 27 11 Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro, Cet I, (Jakarta: IIT Indonesia, 2000), h. 19 12 Lihat. Muhammad Ibn Jarir Al-Thabariy, Jami’Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, Jilid. III, (Mesir: Isa Al-Babi al-Halabi, 1954), h. 101 13 Ibid 14 Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam, h.19. 15 Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 327 dalam jual beli berlaku bagi harta sejenis yang diperjualbelikan dengan ukuran syara’.16 Ibnu ‘Arabi memberikan definisi riba alfadl dengan semua tambahan yang melebihi nilai bagi pihak lain tanpa adanya nilai pembenar atas tambahan tersebut.17 Menurut Umer Chapra bahwa munculnya riba fadl ini setidaknya dapat disebabkan melalui empat cara, yaitu: (a) Melalui eksploitasi perniagaan, (b) melalui penerimaan reward, (c) melalui transaksi barter, (d) dan melalui pertukaran yang tidak sama kualitas dan kuantitas dan dilakukan secara tidak cash.18 Dari sini dapat dipahami bahwa secara umum terjadinya riba fadl ini karena pinjaman dan kredit. Jika ketiga hal tersebut dapat dijaga eksistensinya, maka seseorang telah berupaya menetapkan konsepsi maqashid al-Syari’ah, artinya mengupayakan segala sesuatu yang berpotensi untuk menimbulkan keharaman, maka sesuatu itu menjadi haram. 2. Modal Usaha Modal usaha terdiri dari dua kata, modal dan usaha. Kata modal dalam bahasa Arab disebut al-mal (mufrad) dan al amwal (jamak) yang berarti harta, termasuk dalam pengertian harta seperti barang, uang, jasa dan segala sesuatu yang bermanfaat sedangkan kata usaha berarti ikhtiyar. Jadi modal usaha secara istilah syar’i, ialah segala upaya legal dilakukan untuk mencari harta sesuai dengan hukum Islam. Di sini, harta termasuk uang, barang dan jasa dipakai sebagai pokok (induk) dipergunakan untuk menghasilkan sesuatu yang menambah kekayaan”. Modal dalam pengertian ini dapat diinterpretasikan sebagai sejumlah uang yang digunakan dalam menjalankan kegiatan-kegiatan bisnis. Suhrawardi dalam bukunya Yayasan Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Bank Syari’ah (YLPPBS), Perbankan Syari’ah, h. 11. 16 Ibnu ‘Arabi, Ahkam al-Qur’an, (Kairo: Al-Mathba’ah al-Bahiyyah al- Misriyyah, 1957), h. 242. 17 M. Umer Chapra, Haramkah Bunga, h. 31-33 18 328 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 Hukum Ekonomi Islam menfinisikan modal usaha sebagai ikhtisar neraca suatu perusahaan yang menggunakan modal konkrit dan modal abstrak. Modal konkrit dimaksudkan sebagai modal aktif sedangkan modal abstrak dimaksudkan sebagai modal pasif.19 Jadi kriteria modal dalam ekonomi Islam harus terus aktif/ berkembang, dalam arti tidak boleh stagnan, apalagi idle (menganggur). Modal Usaha dilihat dari segi macam dapat diklasifikasi kepada tiga macam, yaitu modal sendiri, modal asing berasal dari pinjaman baik dari perbankan, lembaga keuangan, dan dari perusahaan non keuangan, dan modal patungan sebagai gabungan antara modal sendiri dengan modal satu atau beberapa orang (sebagai mitra usaha). 20 3. Hukum Bunga Uang Sebagai Modal Usaha Para ulama telah menetapkan tiga kata kunci dari Al-Qur’an untuk memahami hukum bunga uang, yaitu: a) adh’ȃfan mudhȃ’afah; b) wa zarŭ mȃ baqiya min al-riba; dan c) fa lakum ru’usu amwȃlikum,la tazhlimŭna wa la tuzhlamŭn.21 1)Adh’ȃfan Mudhȃ’afah (berlipat ganda) Kata ini merupakan kunci pertama untuk memahami hukum bunga. Kata kunci ini terdapat dalam al-Qur’an surat Ali Imran, (3): 130. ُ َّ ً َ ٰ ً ۡ َ ّ ُ ُ ۡ َ َٰ َ ُّ َ ذَّ ۡ َ ٰ َ ُ ۡ ا الربٰٓوا اض َعافا ُّمض َعفة َواتقوا ِ يۤـايها الِين امنوا ل تاكلوا َ ۡ ُ ۡ ُ ۡ ُ َّ َ َ َ ّٰه ن ۚ الل لعلكم تفل ِحو Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu Suhrawardi, Hukum Ekonomi Islami, Cet. I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 14. 19 Jacky Ambadar, Ilmu Ekonomi,(Jakarta: Sinar Grafika,2001), h. 21. 20 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, h. 261. 21 Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 329 kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Ali Imran, (3): 130 Istilah adh’ȃfan Mudhȃ’afah dalam ayat berarti berlipat ganda. ف secara linguistik kata (��� ) ض���عartinya “kelipatan”. Sesuatu berlipat أ ف minimal 2 kali lebih besar dari semula. Sementara ( �� )� ض���ع�ا bentuk jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalah 3. Jadi أ ف kata (�� )� ض���ع�اberarti 3 x 2 = 6. Sementara ( )مضاعفاdalam ayat itu adalah ta’kid ( )تأكيدuntuk menguatkan. Dengan demikian, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat, maka secara kebahasaan, maka minimum harus 6 kali lipat atau bunga 600 %. Secara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan pinjam.22 أ ف Kata (�� )� ض���ع�اyang berarti berlipat ganda itu, jika dii’rab sebagai ( )ح�ا لhâl berarti menunjukkan sifat atau keadaan riba atau sebagai gambaran terhadap riba jahiliyah. Jika dipahami sebagai syarat tidak berarti ayat ini dipahami bahwa riba yang diharamkan hanyalah yang berlipat ganda, tetapi menegaskan karakteristik riba yang secara umum punya kecendrungan untuk berlipat ganda sesuai dengan berjalannya waktu. Al-Thabariy dalam Tafsirnya menggambarkan praktik adh’afan mudha’afah sebagai riba yang berlaku pada masa turunnya Al-Quran. 23 Dari praktik adh’afan mudha’afah seperti diungkap Al-Thabariy tampaknya sesuai dengan analisis kebahasaan sebagaimana diungkap di atas. Namun secara realitas, para ulama memahami kata kunci pertama ini kepada tiga fungsi: Pertama, sebagai syarat, artinya tambahan itu baru dikatakan riba bila berlipat ganda, kedua: ada yang memahaminya sebagai hal atau keadaan, artinya gambaran riba masa lalu, ketiga, ada yang menganngap sebagai ziyadah (penambahan). Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syari’ah, Cet. I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 22 108. 23 Muhammad Ibn Jarir Al-Thabariy, Jami’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an, j. IV, (Mesir: Isa Al-Halabiy, 1954), h. 90. 330 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 Kata kunci pertama –adh’ȃfan mudha’afan- bukan sebagai syarat pengharaman riba, tetapi hanya sebagai gambaran (hal) riba pada masa jahiliyah sementara kata kunci ketiga sebagai keterangan untuk memahami kata kunci kedua dan pertama. Jadi ketiga kata kunci itu merupakan sebuah rangkaian dan harus dipahami secara utuh, tidak secara sendiri-sendiri. 2) Pendapat Ulama Tentang Hukum Bunga Sebagai Modal Usaha Sayid Qutb dalam tafsirnya fi dhilal al-Qur;an mengemukakan pandangannya bahwa “Islam memuliakan pekerjaan dan menjadikannya sebagai pengerak dan sebab utama untuk memiliki dan mendapat keuntungan. Islam tidak memperbolehkan uang yang diam itu berbunga. Yang menganakkan uang itu adalah usaha dan kerja. Maka menganakkan uang tidak dengan kerja itu adalah haram. Sedangkan Uang itu sendiri tidak dapat berubah, tetapi usaha kerja itulah yang membuahkan uang, maka hasil kerja yaitu buah uang harus diberikan kepada orang yang bekerja, dan uang itu sendiri yaitu modal harus dikembalikan kepada orang yang mempunyainya dengan tanpa tambahan. Sementara riba itu adalah jalan ke arah melipatgandakan uang dengan tidak disertai usaha dan kerja. Maka terjadi di satu pihak orang yang duduk termenung mendapat keuntungan dan di lain pihak orang yang bekerja dengan susah payah mendapat kerugian. Akhirnya akan timbul dua kasta di dalam masyarakat ialah kasta orang-orang yang mewah berlimpah-limpah dan kasta orangorang yang melarat menderita dan tidak menghasilkan apa-apa.24 Dia juga menambahkan bahwa dalam Islam hutang itu sama saja yang konsumtif dan produktif. Hutang konsumtif itu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga tidak sepantasnya dilakukan pemungutan bunga, tetapi cukup kalau diwajibkan mengembalikan pokok uang saja. Dan hutang yang produktif itu sesungguhnya usaha dan kerja yang menghasilkan uang, Sayid Qutb, Fi Zhilal Al-Qur’an, (Beirut: Dar at-Turats Al-‘Arabi, 1971), h. 73. 24 Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 331 bukan uang itu sendiri. Uang tidak dapat menghasilkan untung kalau tidak di sertai usaha kerja. Maka usaha kerja itulah yang dimuliakan Islam.25 Penafsir ini lebih menekankan pada kerja yang dapat menghasilkan uang, atau keuntungan. sedangkan peminjaman tanpa kerja tidak dapat mendatangkan keuntungan -bunga konsumtif- maka wajib mengembalikan pinjaman dan haram hukumnya dipungut bunganya. Sebaliknya, pinjaman yang menghasilkan kerja dan mendatangkan keuntungan -bunga produktif-maka wajib mengembalikan pinjamannya dan boleh dipungut bunganya. Pandangan sayid Qutb tentang bunga uang di atas, tampaknya sejalan dengan pendapat sang proklamator Muhammad Hatta yang menyatakan bahwa “Kapital tidak pada bunga komsumtif karena ia merupakan tambahan atau kelebihan yang dipungut dari orang tidak mampu atau miskin yang meminjam uang untuk keperluan hidupnya, sedangkan Kapital sifatnya produktif, menambah penghasilan. Sebab itu orang mau membayar rente (bunga) untuk mempergunakan kapital (modal) itu. Jadi yang dikatakan rente itu sebenarnya adalah harga yang dibayar untuk kesempatan mempergunakan kapital orang lain. Jika keuntungan bertambah dengan mempergunakan kapital orang lain itu apakah tidak adil kalau yang empunya kapital itu mendapat sebagian dari pada keuntungannya?.26 Dari pandangan Hatta- ini dapat dipahami bahwa bunga konsumtif hukumnya haram sedang bunga produktif halal. M. Umer Chapra menyatakan tidak ada ruang untuk berargumen bahwa larangan riba tersebut hanya berlaku bagi pinjaman untuk kegiatan konsumtif, dan bukan untuk kegiatan produktif.27 Ulama saat ini telah ijmak tentang keharaman bunga bank. Pengharaman dimaksud, melalui keputusan yang sudah Ibid, h. 64. 25 Muhammd Hatta, Beberapa Pasal, h. 220. 26 M. Umer Chapra, Haramkah Bunga, h. 28. 27 332 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 puluhan kali konferensi, muktamar, simposium dan seminar, sehingga para ahli ekonomi dunia menemukan terwujudnya kesepakatan para ulama tentang bunga bank.28 Keharaman bunga uang ini, juga dikemukakan oleh Abu A’la Al Maududi sebagai berikut: “Dalam hukum Islam dilarang keras meminjamkan dengan memungut bunga.” Apabila kita meminjamkan uang kepada seseorang, tidak peduli apakah ia meminjam untuk kepentingan pribadinya atau tujuan-tujuan dagang. Kita wajib mengembalikannya dan kita tidak berhak mengambilnya (kelebihan) atau tambahan pinjaman itu sedikit atau banyak. Dengan cara ini, Islam ingin memperlihatkan ekonomi Islam yang bersih dari bunga, sekaligus ingin menghancurkan sistem rente atau bunga yang menjadi alat dan andalan bagi kapitalisme untuk berusaha memusatkan sumber-sumber ekonomi dari masyarakat dengan bersandar pada kekuatan uang pada tangantangan tertentu saja.”29 Hal ini pula yang membuat Al-Maududi secara tegas menekankan metode penggunaan surplus kekayaan pada perdagangan, atau perusahaan sendiri dengan mempersiapkan modal bagi orang-orang lain dan turut memperoleh bagian dalam keuntungan dan kerugian dalam suatu usaha bersama. Islam memandangnya hal ini sangat pantas untuk dilaksanakan, namun di sisi lain Islam memandang perlu dicari suatu solusi agar tidak terjadi penumpukan harta kekayaan berada pada tangan beberapa orang saja. Islam tidak membenarkan penimbunan kekayaan yang tertumpuk ini. Islam menuntut agar kekayaan apapun yang dimiliki harus dipergunakan untuk memperoleh kebutuhan sendiri atau disalurkan kepada orang Ibid, h. 26. 28 Abu A’la al-Maududi, Solusi Islam Dalam Mengatasi Permasalahan Ekonomi, Diter��jemahkan oleh M. Hashem dari judul asli Economic Problem of Men and Its Islamic Solution, (Surabaya: Al-Ma’arif, T.th), h.34. 29 Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 333 lain sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhannya, sehingga seluruh kekayaan umum itu dapat senantiasa terus beredar”.30 Menurut Mustofa Ahmad Zurqa’, Islam telah mengharam riba dengan pasti, sedang perhubungan dagang sekarang ini semuanya berdasarkan atas bunga yang termasuk riba. Agar keadaan ini dapat disesuaikan dengan Islam, maka caranya harus dengan menghapuskan bunga itu sendiri.”31 Sebagai solusi dalam menyelesaikan penghapusan bunga uang tersebut dapat diajukan langkah-langkah berikut: a. Sementara waktu memelihara keadaan semacam ini sehingga berdiri masyarakat Islam yang mengatur hubungan dagang yang tidak berdasarkan bunga, b. Membatasi sistem riba yang dilakukan oleh orang Arab yang dilarang oleh Islam, c. Mendirikan bank negara yang tidak memungut bunga untuk kepentingan umum yang berarti menghapuskan bunga untuk kepentingan perseorangan. 32 Jadi, dengan cara ini berarti menghapuskan bertumpuk-tumpuknya modal pada renteniers. Pendapat Zarqa’ jika dihubungkan dengan pendapat AlMaududi, tampaknya kedua ulama ini sama-sama berupaya mencari solusi bagaimana ekonomi Islam tersebut terbebas dari unsur riba, jika Al-Maududi dalam pendapatnya berupaya memberi solusi usaha bersama dengan sistem bagi hasil sedang pendapat Zarqa’ berupaya memberi solusi dengan langkahlangkah di atas. Dari berbagai pandangan dan pendapat para ulama di atas, maka dapat dipahami bahwa hukum haram dan mubah bagi bunga uang dapat diterima berdasarkan pendapat ulama di atas. Hukum haram sebagai hukum asal, sedang mubah karena alasan Ibid 30 Mustafa Ahmad Zarqa, Nadzariyat Al-Iltizam Al-‘Ammah Al-Islam, Cet. II, J. III, (Kairo: Dar Al-Ihsan, 1998), h. 48. 31 Ibid 32 334 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 manfaat sebagai kebutuhan. Adapun Argumentasi oleh masingmasing pendapat dapat dikemukakan sebagai berikut. Pendapat pertama, Mereka beralasan dengan fakta sejarah bahwa transaksi pinjam meminjam pada zaman Rasulullah saw, tidak dilakukan untuk kebutuhan konsumsi, namun digunakan untuk membiayai perniagaan yang dilakukan di berbagai penjuru kota. Abu Zahrah menegaskan bahwa “Secara obsolut, tidak ditemukan bukti sejarah apapun yang mendukung pernyataan bahwa riba jahiliyah (riba telah dipraktikkan sebelum kedatangan Islam) terjadi atas pinjaman untuk kegiatan konsumsi dan bukan untuk kegiatan produktif dalam perniagaan.33 Hasil penelitian ini, telah membuktikan bahwa transaksi pinjam-meminjam saat itu telah digunakan untuk kegiatan produktif (bisnis atau perniagaan). Kondisi lingkungan masyarakat Arab, letak geografis Makkah dan perdagangan yang dilakukan oleh suku Quraisy, semuanya mendukung pernyataan bahwa pinjaman yang dilakukan saat itu digunakan untuk tujuan produktif, bukan untuk tujuan komsumtif. Hal ini, juga diperkuat dengan fakta sejarah, bahwa transaksi dengan cara pinjam meminjam pada zaman Rasulullah, SAW., tidaklah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, namun digunakan untuk membiayai perniagaan yang dilakukan di berbagai penjuru kota. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Istilah Bunga Uang; Sebuah Keragaman Berdasarkan wawancara penulis dengan para ustadz Pondok Al Muhsin tentang definisi bunga uang, ditemukan data yang sangat beragam di antara satu ustadz, dengan lainnya, hal ini, di karena setiap ustadz berbeda mata pelajaran yang diajarkanya sehingga Abu Zahrah, M, Buhuth fi al-riba, (kuwait Daar al-Buhuts al-Islamiyah, 1970), h. 33 53-54. Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 335 berbeda pula pemahaman dan definisi yang diberikannya. Untuk lebih jelas perbedaan tersebut dapat diperhatikan tabel berikut. Tabel 3 : Istilah Bunga Uang; Sebuah Keragaman USTADZ/PENGAJAR Tafsir Ali Murtadlo, Taufiq Hidayat dan Syamsul Rizal Yatno KERAGAMAN DEFINISI 1. Kelebihan dari muamalah secara batil 2. Kelebihan yang merugikan 3. Kelebihan tidak ada keredhaan Syari’ah/Fiqh 1. Tambahan dari harta pokok tanpa Sudarman, Bakhtiar. B, kesepakatan Ahmad K.H, dan Karimatal 2. Kelebihan dari penggunaan modal 3. Tambahan dari harta pokok 4. Nilai yang dibayar dari pinjaman pokok Akhlak/Hadis Fathurrahman, Nurrahman 1. Tambahan dari pinjaman secara haram Tarikh Islam A. Nurwahid, M. Ghazali, Doni Anto. F dan Umar A. Aziz Bahasa/Ilmu Alat Eko Yulianto, Abu Qa’qo’, Abdullah Zuhri, Zuhdi Rahmat, Abdul Shahib, Ryan Ibrahim, Wiradi dan Fuad Hasan 1. Tambahan dari harga pokok secara zalim 2. Tambahan sebagai ganti pinjaman 1. Kelihan pembayaran secara zalim 2. Kelebihan tanpa ada transaksi Dari tabel di atas, tampaknya definisi bunga uang yang dikemukakan para ustadz Pondok Pesantren Al Muhsin terjadi perbedaan baik di antara ustadz/pengajar mata pelajaran yang sama maupun pengajar mata pelajaran yang berbeda. 336 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 Kelompok ustadz, pengajar tafsir tampaknya memberikan definisi berbeda di antara satu dan lainnya, namun jika di cermati perbedaan itu hanya dari segi ungkapannya –redaksional- saja, tidak dari segi substansinya sehingga tiga definisi yang diutarakan dapat disederhanakan bahwa bunga uang adalah kelebihan dari muamalah yang tidak sesuai dengan agama Islam. Kelompok ustadz, pengajar pelajaran Syari’ah/fiqh menawarkan empat definisi. Definisi pertama mirip dengan yang diberikan ustadz, pengajar tafsir di atas, karena kata “tanpa kesepakatan” dalam definisinya sudah tercakup ke dalam definisi yang diberikan oleh ustadz, pengajar tafsir. Sementara tiga definisi lainnya, jika dipahami secara cermat tidak bertentangan antara satu dan lainnya, sehingga jika dirumuskan dapat dikatakan bahwa bunga uang adalah kelebihan atau tambahan dari harta pokok (modal), atau nilai (harga) yang dibayar dari pinjaman pokok. Dari sini, dapat dipahami bahwa definisi yang diberikan ustadz, pengajar tafsir mengandung makna bahwa bunga uang sama dengan riba. Sebaliknya, definisi yang dikemukakan ustadz, pengajar syari’ah/fiqh dapat dipahami bahwa bunga uang tidak sama persis dengan riba. Kelompok ustadz, pengajar Akhlak dan hadits sama dengan ustadz, pengajar tafsir dan mirip juga dengan satu definisi ustadz, pengajar tarikh Islam, serta sama pula dengan dua definisi yang dikemukakan ustadz, pengajar bahasa. Sedangkan definisi kedua dari ustadz, pengajar tarikh Islam sama dengan definisi kedua, ketiga dan keempat dari definisi yang dikemukakan ustadz, pengajar sari’ah/ fiqh. Dari pengertian yang berbeda ini berbeda pula pandangannya terhadap praktek bunga dulu dan sekarang. 2. Praktek Bunga Uang; Dulu dan Sekarang Praktek bunga uang dulu dan kini, menurut para ustadz Pondok Pesantren Al Muhsin berbeda dulu dan sekarang, perbedaan tersebut dipengaruhi dan ditentukan keadaannya oleh pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan zaman itu sendiri. Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 337 Pada masa jahiliyah praktek bunga uang berlangsung secara perorangan dan kolektif. Secara perorangan bunga uang berlaku, di mana orang kaya -mampu- mendatangi orang tidak mampu -miskin- menawarkan pinjaman sejumlah uang sesuai kebutuhan mereka, setelah tiba masa pelunasan, si peminjam tidak mampu membayar pinjamannya sehingga si pemilik harta menyetujuinya dengan syarat bunga dilipatgandakan, terkadang menurut Umar Abdul Aziz -pengajar Tarikh tasyri’- ide pinjaman itu datang dari orang miskin yang membutuhkan. Sekarang praktek bunga seperti itu juga terjadi pada reintenir. Sementara praktek bunga uang secara kolektif adalah untuk menghasilkan dan meningkatkan pendapatan mereka. Pada masa lalu didominsi oleh orang kaya yang berguna untuk meningkatkan dagangan mereka, kini praktek bunga uang secara kolektif dilakukan melalui bank-bank.34 Berkaitan pengaturan bunga uang dan pinjaman. Dulu, pengaturan bunga uang diatur kemudian ditentukan oleh si pemilik harta, yaitu ketika para peminjam melunasi pinjamannya. Berbeda keadaannya sekarang, di mana bank-bank telah mengatur tentang pinjaman dan bunga uang. Seperti: pengaturan bunga uang dilakukan di muka, yakni sebelum dilakukan transaksi, syaratsyarat peminjam, besar bunga perbulan dan pertahun, jumlah pengembalian perbulan. Dengan pengaturan itu si peminjam dapat menentukan sikapnya, dan mengukur diriya, apakah dirinya mampu memenuhi syarat-syarat sebagai peminjam. Berdasarkan data yang terhimpun tentang praktek bunga uang dulu dan kini, tampaknya para ustadz pondok pesantren Al Muhsin sepakat menyatakan bahwa praktek bunga dulu dan sekarang terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan terlihat dari jenis bunga pinjaman perseorangan dan kolektif, dari segi penggunaan pinjaman. Sedangkan perbedaan lebih disebabkan dari 34 Wawancara dengan para ustadz Pondok Pesantren Al Muhsin, Muhammad Rudi, Doni Anton Firdaus –keduanya pengajar Tarikh Tasyri’. Senin/14 Juli 2014. 338 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 segi pengaturan dan persyaratannya, besar bunga dan pinjaman, prosedur dan prosesnya, dan dari segi lainnya. 3. Hukum Bunga Uang Sebagai Modal Usaha Hukum bunga uang sebagai modal usaha di kalangan ulama selalu diperdebatkan, ada yang menyatakan haram, mubah (diperbolehkan), bahkan ada yang mengatakan makruh. Perbedaan ini di sebabkan bunga uang pada satu sisi tidak disebutkan hukumnya dalam al-Qur’an, sementara modal usaha merupakan sesuatu yang harus diwujudkan. Keragaman hukum tersebut terdapat juga di Pondok Pesantren Al Muhsin. Perbedaan itu tidak saja terjadi di antara ustadz, pengajar pelajaran yang sama, tetapi juga terjadi perbedan di antara ustadz, pengajar pelajaran yang berbeda. Untuk lebih jelasnya hukum bunga uang sebagai modal usaha dapat diperhatikan tabel berikut. Tabel 4 : Hukum Bunga Uang Sebagai Modal Usaha USTADZ, PENGAJAR TAFSIR • Ali Murtadlo • Taufiq Hidayat • Syamsul Rizal • Yatno BERAGAM HUKUM DAN ALASANNYA v Hukum bunga adalah haram secara mutlak. • Argumentasi:Dalam surat Al-Baqarah: 278279, di mana ayat tersebut memerintahkan manusia meninggalkan sisa-sisa riba dan ayat sesudahnya -279- Allah mengancam perang bagi para pelaku riba. Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 339 USTADZ, PENGAJAR BERAGAM HUKUM DAN ALASANNYA Syari’ah/Fiqh • Sudarman • Bakhtiar. B • Ahmad K.H • Karimatal v Hukum asalnya bunga uang haram, tetapi bila digunakan sebagai modal usaha mubah / perbolehkan, • Alasan Haram Berdasarkan Q.S, 3:130; QS. 2: 278 dan 279 • Alasan Mubah diperbolehkan: karena manusia wajib berusaha –termasuk mendapatkan modal melalui pinjaman. Padahal Al-Baqarah ayat 282 dan 283 Allah mempermudah manusia untuk mendapatkan pinjaman. Hal ini, terkait juga dengan sebab timbul bunga uang karena adanya pinjam meminjam atau utang piutang. Akhlak/Hadis • Fathurrahman • Nurrahman v Hukum bunga uang adalah haram. Alasan karena secara jelas rasulullah saw telah melarang riba. Larangan itu berupa laknat Allah SWT kepada orang yang memberikan tambahan (riba), pencatatan transaksi ribawi, serta saksi dalam transaksi tersebut. Tarikh Islam • A. Nurwahid • M. Ghazali • Doni Anto. F • Umar Abdul. A v Hukum asal bunga uang haram, tetapi mubah bila digunakan sebagai modal usaha . Alasan haram: Berdasarkan Q.S, 3:130; QS. 2: 278 dan 279 Alasan Mubah: karena bunga uang tidak membebani kepada kedua belah pihak, melainkan kebalikannya sama-sama memberi keuntungan kepada peminjam dan si pinjaman. 340 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 USTADZ, PENGAJAR Bahasa/Ilmu Alat • Eko Yulianto • Abu Qa’qo’ • Abdullah Zuhri • Zuhdi Rahmat • Abdul Shahib • Ryan Ibrahim • Wiradi • Fuad Hasan BERAGAM HUKUM DAN ALASANNYA vHukum bunga uang -bank- adalah mubah (diperbolehkan). Alasan: Bank banyak memberi kemudahan dan kemaslahatan bagi orang banyak, bukan untuk kepentingan pribadi saja. Hal ini, jika dilihat dari penggunanya dalam transaksi cukup banyak orang terbantu menggunakan jasa bunga uang tersebut. Dari tabel di atas, terlihat perbedaan hukum bunga uang sebagai modal usaha. Perbedaan tersebut, tidak saja terjadi di antara ustadz, pengajar yang sama, tetapi perbedaan juga terjadi pada Ustadz, pengajar mata pelajaran berbeda. Kelompok ustadz, pengajar tafsir terlihat sangat tegas dalam mengemukakan hukum bunga uang, yaitu haram secara mutlak. Artinya, bunga uang dikaitkan dengan muamalah apa saja, sekalipun dengan bank, dan modal usaha, maka hukumnya sama dengan riba yaitu haram. Pendapat mereka ini didasarkan kepada nash, surat Al-Baqarah: 278-279. Dalam ayat ini, Allah memerintahkan meninggalkan sisa-sisa riba, dan ayat sesudahnya -279- Allah mengancam dengan mengumandangkan perang bagi para pelaku riba. Pendapat ini, sama dengan pendapat pertama pengajar pelajaran Syari’ah/fiqh tetapi berbeda dengan pendapat keduanya, yang menyatakan bahwa bunga uang tidak sama dengan riba, oleh karena itu kedudukan bunga uang sebagai modal usaha hukumnya mubah diperbolehkan. Mereka beralasan bahwa manusia diwajibkan berusaha di samping untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, juga untuk meningkatkan pendapatan. Apalagi jika Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 341 diteliti sebab timbulnya bunga uang itu sendiri karena adanya pinjam-meminjam atau utang piutang. Padahal, dalam Al-Baqarah ayat 282 dan 283, Allah memberi solusi bagi seseorang yang memerlukan pinjaman agar dipermudah yaitu dengan cara, apabila kamu dalam perjalanan sedangkan juru tulis tidak ada, maka maka hendaklah ada borog (barang jaminan) diserahkan kepada yang berpiutang, Jika tidak ada barang jaminan maka dianjurkan supaya kamu saling mempercayai agar muamalah di antara manusia tetap dapat berjalan sehingga si peminjam dapat memenuhi kebutuhan diri, keluarganya dan penghasilnya menajdi meningkat. Kelompok ustadz, pengajar Akhlak dan hadits tampaknya sama dengan ustadz, pengajar tafsir yang menyatakan bahwa hukum bunga uang sebagai modal usaha adalah haram. Pendapat mereka berbeda dengan pandangan ustadz, pengajar syaria’ah/fiqh. Mereka beralasan dengan hadist Rasulullah: هم سواء:لعن رسول اهلل آلك الربا ومولكه واكتبه و شاهديه وقال Artinya : Rasulullah saw melaknat pemakan riba, yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda mereka semua sama .(HR. Muslim). Dari hadist ini, secara tegas Rasulullah saw melarang riba, bahkan Ia tidak saja memberi larangan kepada orang yang mengambil riba, tetapi juga laknat Allah SWT kepada orang yang memberikan tambahan (riba), pencatatan transaksi ribawi, serta saksi dalam transaksi tersebut. Hukum haram yang dikemukakan ustadz, pengajar akhlak dan hadits di atas, sama dengan pendapat pertama ustadz, pengajar tarikh Islam, tetapi berbeda dengan pendapat keduanya yang menyatakan bahwa hukum bunga uang sebagai modal kerja diperbolehkan, asal tidak si peminjam. Pendapat terakhir sama pula dengan hukum yang dikemukakan ustadz, pengajar bahasa. 342 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa hukum bunga uang dapat diklasifikasi kepada dua macam. Pertama, haram yang disponsori oleh ustadz, pengajar tafsir, hadist, dan satu pendapat dari ustadz, pengajar sayari’ah/fiqh dan ustadz, pengajar tarikh Islam. Kedua, mubah (diperbolehkan) yang disponsori oleh satu pendapat dari ustadz, pengajar syari’ah/fiqh dan tarikh Islam, dan pendapat dari ustadz, pengajar bahasa. 4. Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin Tentang Bunga Uang terhadap Modal Usaha Pendapat para ustadz pondok pesantren Al Muhsin dalam memberikan persepsi tentang bunga uang sebagai modal usaha dapat diklasifikasi kepada dua macam, yaitu: Pertama, haram, dan kedua mubah (diperbolehkan). Hukum haram yang ditetapkan itu juga terbagi kepada dua, ada yang menyatakan haram secara mutlak, dan ada yang mengatakan haram. Yang dimaksud dengan haram secara secara mutlak ialah bunga uang itu haram bagi setiap muamalah, termasuk bunga bank dan bunga uang sebagai modal usaha, sedangkan yang dimaksud haram di sini ialah haram menurut hukum asalnya, bukan menurut aplikasinya. Hukum haram secara mutlak dikemukakan oleh ustadz, pengajar tafsir dan hadits. Hukum haram yang mereka tetapkan merujuk kepada tiga kata kunci yang telah ditetapkan sebelumnya dan metode yang mereka terapkan dalam menggali hukum bunga uang itu gunakan adalah dengan pemahaman secara tekstual terhadap ayat-ayat riba, sehingga mereka berkesimpulan bahwa hukum riba itu haram secara mutlak. Sedangkan hukum haram dikemukakan oleh sebagian ustadz pengajar syari’ah/fiqh dan sebagian pengajar tarikh Islam. Mereka juga menggali hukum bunga uang dari tiga kata kunci yang telah ditetapkan tetapi dengan metode mafhum mukhalafah, sehingga mulai dari definisi, pandangannya terhadap praktek bunga uang, dan pendapat mereka tentang hukum bunga uang sebagai modal usaha berbeda dengan pendapat pertama. Mereka menetapkan hukum bunga uang haram, tetapi tidak sebagai modal usaha. Kedua, Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 343 mubah (diperbolehkan). Hukum mubah di sini sebagai pengecualian dari hukum asal yang tidak bisa diterapkan, karena tidak ditetapkan secara tegas di dalam nash -Al-Qur’an dan sunnah-. Hukum mubah ini, dikemukakan oleh sebagian ustadz syari’ah/fiqh, sebagian pengajar tarikh dan ustadz, pengajar bahasa. Berkaitan dengan argumentasi yang mereka pakai untuk menetapkan keharaman bunga uang adalah ayat 278, 279 surat AlBaqarah dan hadits riwayat Muslim. Pemahaman mereka terhadap ayat dan hadits tersebut tampaknya lebih kepada teks ketimbang konteksnya. Sehingga definisi, praktek bunga uang, dan pendapatnya tentang bunga uang berbeda dengan pendapat sebagian ustadz, pengajar syari’ah dan tarikh. Surat Ali Imran, (3): 130, sebagai argumentasi mereka, lebih kepada tahapan pengharaman riba, namun mereka merujukkan ayat ini kepada ayat 278, 279 Al-Baqarah, dan berkesimpulan bahwa bunga uang baik berlipatganda atau tidak maka hukum haram. Berkaitan dengan argumentasi mubah untuk menghalalkan bunga uang sebagai modal usaha, lebih kepada penggunaan logika ketimbang nash. Logika yang mereka bangun adalah: Pertama, mereka menetapkan bunga uang berbeda dengan riba. Kedua, tidak ada nash tegas mengharamkan bunga uang. Ketiga, perintah wajib berusaha bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarganya, bahkan untuk peningkatan penghasilannya. Keempat, Allah sendiri telah memberi solusi dengan mempermudah pinjam meminjam di antara manusia, melalui ayat 283 surat al-Baqarah. Kelima, selama bunga uang itu memberi kemudahan dan kemanfaatan bagi kedua belah pihak, dan tidak memberi beban dan kesulitan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa persepsi para ustadz Pondok Pesantren Al Muhsin tentang bunga uang sebagai modal usaha, terklasifikasi kepada dua macam, yaitu: Pertama, haram dengan argumentasi ayat 278 dan 279 surat al-Baqarah, dan ayat 130 surat Ali Imran, dan hadits riwayat Muslim. Pendapat ini disponsori oleh ustadz, pengajar tafsir, hadits, dan satu pendapat dari ustadz pengajar Syari’ah/ fiqh, satu pendapat dari ustadz pengajar tarikh Islam. Kedua, mubah 344 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 (diperbolehkan) dengan argumentasi yang mereka bangun dari logika, dan sebagai pertimbangan argumentasi mereka merujuk pada ayat 282 dan 283 dalam surat Al-Baqarah. D.SIMPULAN Berdasarkan hasil temuan penelitian dan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa para ustadz pondok pesantren Al Muhsin dalam memberikan persepsi tentang bunga uang sebagai modal usaha dapat diklasifikasi kepada dua macam, yaitu: Pertama, haram, dan kedua mubah (diperbolehkan). Hukum haram yang ditetapkan itu juga terbagi kepada dua, ada yang menyatakan haram secara mutlak, dan ada yang mengatakan haram. Yang dimaksud dengan haram secara secara mutlak ialah bunga uang itu haram bagi setiap muamalah, termasuk bunga bank dan bunga uang sebagai modal usaha, sedangkan yang dimaksud haram di sini ialah haram menurut hukum asalnya, bukan menurut aplikasinya. Hukum haram secara mutlak dikemukakan oleh ustadz, pengajar tafsir dan hadits. Hukum haram yang mereka tetapkan merujuk kepada tiga kata kunci yang telah ditetapkan sebelumnya dan metode yang mereka terapkan dalam menggali hukum bunga uang itu gunakan adalah dengan pemahaman secara tekstual terhadap ayat-ayat riba, sehingga mereka berkesimpulan bahwa hukum riba itu haram secara mutlak. Sedangkan hukum haram dikemukakan oleh sebagian ustadz pengajar syari’ah/fiqh dan sebagian pengajar tarikh Islam. Mereka juga menggali hukum bunga uang dari tiga kata kunci yang telah ditetapkan tetapi dengan metode mafhum mukhalafah, sehingga mulai dari definisi, pandangannya terhadap praktek bunga uang, dan pendapat mereka tentang hukum bunga uang sebagai modal usaha berbeda dengan pendapat pertama. Mereka menetapkan hukum bunga uang haram, tetapi tidak sebagai modal usaha. Kedua, mubah (diperbolehkan). Hukum mubah di sini sebagai pengecualian dari hukum asal yang tidak bisa diterapkan, karena tidak ditetapkan secara tegas di dalam nash -Al-Qur’an dan sunnah-. Hukum mubah ini, dikemukakan Persepsi Para Ustadz Pondok Al-Muhsin..... | 345 oleh sebagian ustadz syari’ah/fiqh, sebagian pengajar tarikh dan ustadz, pengajar bahasa. DAFTAR PUSTAKA Abu Zahrah, M, Buhuth fi al-riba, kuwait Daar al-Buhuts al-Islamiyah, 1970. Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro, Cet I, Jakarta: IIT Indonesia, 2000. Badr Ad-Din Al-Ayni, Umdatul Qari: Syarah Bukhari, Constantinople: Mathba’ah Al-Amira, 1310 H. Depag, R.I, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, AlQur’an Dan Terjemahnya, Edisi Revisi, Jakarta: Tanjung Mas Inti, 1992. Ibnu ‘Arabi, Ahkam al-Qur’an, Kairo: Al-Mathba’ah al-Bahiyyah alMisriyyah, 1957 Jacky Ambadar, Ilmu Ekonomi,Jakarta: Sinar Grafika,2001. Muhammad Ibn Jarir Al-Thabariy, Jami’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an, j. IV, Mesir: Isa Al-Halabiy, 1954. Muhammad Ibn Jarir Al-Thabariy, Jami’Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, Jilid. III, Mesir: Isa Al-Babi al-Halabi, 1954. Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Wacana Ulama dan Cendikiawan, Cet.I, Jakarta: Tazkia Institute, 1999. Mustafa Ahmad Zarqa, Nadzariyat Al-Iltizam Al-‘Ammah Al-Islam, Cet. II, J. III, Kairo: Dar Al-Ihsan, 1998. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan, Cet XI, Bandung: Mizan, 1995. Sayid Qutb, Fi Zhilal Al-Qur’an, Beirut: Dar at-Turats Al-‘Arabi, 1971. 346 | TAPiS Vol. 15, No. 02 Juli – Desember 2015 Suhrawardi, Hukum Ekonomi Islami, Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2002. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Yokyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001. Yayasan Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Bank Syari’ah (YLPPBS), Perbankan Syari’ah, Perspektif Praktisi – Sebuah Paparan Komprehensif Praktik Perbankan di Indonesia, Jakarta: Muamalat Institute, T.th. Yusuf Al-Qardawi, Al-Fawaid al-Bunuk hiya al-riba al-muharram, kairo: Dar al-Salwah, 1994. Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syari’ah, Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.