Vol.14.No.1.Th.2007 The way to increase of layer duck The Increasing Of Afkir Duck’s Egg Quality With Pregnant Mare’s Serum Gonadotropin (Pmsg) Hormones Roimil Latifa* Jurusan Biologi, FKIP, Universitas Muhammadiyah Malang Jl. Raya Tlogomas No.246 Malang, Telp. (0341) 464318 Email: [email protected] ABSTRACT Background: This research is conducted to know the influence of PMSG hormone injection in many dosage (10, 15, and 25 IU) to the layer duck in the last phase of production toward the eggs quality (weight and density of eggshell, protein and cholesterol content of yolk). Methods: The samples of the research were layer duck which entered the last phase of production (afkir) from Mojosari farmer. Forty layer ducks were divided into 4 treatments group and each group consist of 10 duck as repetition. The first group as control which is given physiologic NaCl as intramuscularly to the chest muscle; second group, third and fourth as treatment groups were given PMSG hormone injection with dossages 10 IU, 15 IU and 25 IU respectively. The hormones were given by intramuscular for 8 weeks with two weeks interval. The research was based on Completely Randomized Design. To test hypothesis, the data were analized with One-Way Anova and continued by Least Significant Different (LSD) 5 %. Result: The result of research shows that the injection of 15 IU PMSG hormone has highly significant (P 0,01) toward egg quality (weight of egg, yolk, and albumin, the weight and density of eggshell, and protein content). The 25 IU PMSG hormone has highly significant (P 0,01) influenced the decreasing of yolk cholesterol content. Key words : Layer duck, PMSG hormone, egg quality. Upaya Peningkatan Kualitas Telur Itik Afkir Dengan Hormon Pregnant Mare’s Serum Gonadotropin (Pmsg) ABSTRAK Latar Belakang: Dalam pengembangan Bibit Itik, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, selain selain melalui seleksi juga harus didukung oleh pengelolaan reproduksi yang baik. Tingkat produksi telur dan kualitas telur unggas berkaitan erat dengan umur. Semakin bertambah umur unggas, produksi dan kualitas telur akan menurun. Hormon sangat berperan dalam peningkatan produksi dan kualitas telur. PMSG (Pregnant Mare Serum Gonado trophin) sebesar 20 IU terbukti meningkatkan produksi ayam kampung (Sarinana, 1993). Diperlukan penelitian tentang peran PMSG terhadap peningkatan kualitas telur pada itik petelur afkir. Metoda: Empat puluh itik petelur afkir dari peternakan Mojosari digunakan dalam penelitian ini. Itik dibagi kedalam empat kelompok, kelompok pertama (kontrol) diberi pakan dengan penambahan NaCl fisiologis, kelompok dua, tiga, dan empat diberi pakan dengan hormon PMSG masing-masing 10 IU, 15 IU, dan 25 IU. Hoemon diberikan melalui suntikan intramuscular selama 8 minggu dengan interval setiap dua minggu. Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian hormone PMSG dengan dosis 15 IU memberikan pengaruh sangat nyata (P 0,01) terhadap kualitas telur ( berat telur, berat yolk dan albumin, berat dan kepadatan kerabang, serta kandungan protein) Pemberian PMSG 25 IU memberikan pengaruh sangat nyata (P 0,01) terutama terhadap penurunan kolesterol yolk. Kata kunci : Itik petelur, hormone PMSG, kualitas telur * Jurusan Biologi, FKIP, Universitas Muhammadiyah Malang 21 Latifa PENDAHULUAN Produksi dan reproduksi merupakan dua hal yang tidak dapat dapat dipisahkan dalam bidang peternakan. Kegagalan reproduksi baik karena faktor pengelolaan maupun faktor intern ternak itu sendiri merupakan hambatan dalam berproduksi. Fungsi reproduksi sangat tergantung pada suatu mekanisme hormonal yang kompleks. Oleh karena itu guna mengatasi problem-problem reproduksi perlu secara pasti diketahui faktor-faktor fisiologis yang mendasari. Ternak itik sangat populer dikalangan masyarakat pedesaan, karena mempunyai beberapa keuntungan antara lain: memerlukan modal yang relatif kecil sehingga dapat terjangkau oleh daya beli peternak, kemampuan berreproduksi lebih cepat dan dapat memanfaatkan limbah pertanian, sehingga dengan melihat potensi ternak itik tersebut perlu adanya pengkajian pengelolaan usaha peternakan itik sehingga membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Sampai saat ini usaha peternakan itik masih berpola tradisional dan sangat sederhana tanpa diimbangi ketrampilan beternak yang memadai bagi para peternak. Ternak itik merupakan sumber protein hewani dengan biaya produksi murah dan relatif tahan penyakit, relatif tahan terhadap penyakit. Itik Mojosari adalah salah satu jenis itik yang potensial untuk dikembangkan. Itik ini dikenal sebagai itik lokal Indonesia yang berasal dari desa Tropodo, kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto. Dipelihara secara luas oleh masyarakat secara turun-temurun (Ciptaan, 2001). Dalam upaya pengembangan bibit itik, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, selain melalui seleksi juga harus didukung oleh pengelolaan reproduksi yang baik. Tingkat produksi dan kualitas telur berkaitan erat dengan umur. Dengan bertambahnya umur kualitas telur akan menurun, sehingga jumlah telur yang pecah bertambah (Appleby et al, 1992). Bila penurunan produksi telur ini terus berlanjut hingga dibawah 60% maka akan menyebabkan kerugian karena biaya pemeliharaan menjadi tidak seimbang dengan hasil yang diperoleh. 22 Jurnal Protein Penurunan produksi telur itik sehubungan dengan penambahan umur erat hubungannya dengan fungsi fisiologis organ-organ reproduksi. Fungsi organ-organ reproduksi sangat dipengaruhi oleh hormon gonadotropin yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa anterior (North , 1984 ). Hormon gonadotropin yang dihasilkan oleh hipofisa anterior terdiri dari folicle stimulating hormone (FSH) dan Luteinizing hormone (LH). Hormon FSH mempengaruhi pertumbuhan folikel muda menjadi folikel masak. Disamping oosit , di dalam folikel yang sedang berkembang, terdapat sel theca dan beberapa sel granulosa. Selanjutnya hormon FSH juga mempengaruhi sekresi steroid yaitu esterogen dan progesteron., yang dihasilkan oleh sel theca dan sel granulosa, yang penting untuk pembentukan kuning telur, albumin dan cangkang telur. Hormon LH dapat mendorong pertumbuhan folikel menjadi folikel praovulasi dan diikuti terjadinya ovulasi. Hormon progesteron juga berperan dalam pertumbuhan saluran reproduksi (oviduck) dan proses peletakan telur. Hanya 7 hingga 10 ovum yang memasuki perkembangan cepat. Selama kira-kira 10 hari ovum pertama masak diikuti dengan peletakan telur (Hafez, 2000 dan Parkhurst, 1988). Hasil penelitian Sarmanu (1993), pemberian hormon PMSG sebesar 20 IU pada ayam kampung dapat meningkatkan produksi telur. Dari latar belakang tersebut di atas maka perlu kiranya dilakukan suatu penelitian tentang peran PMSG terhadap kualitas telur itik petelur afkir. MATERI DAN METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Pengujian kualitas telur itik dilakukan di Laboratorium Kimia Universitas Muhammadiyah Malang. Populasi dalam penelitian ini adalah semua telur itik petelur fase akhir produksi (mengalami penurunan produksi sampai 50 – 60 %). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 40 biji telur yang diambil secara acak. Variabel Penelitian Variabel penelitian meliputi variabel bebas, variabel tergantung dan variabel kendali. Vol.14.No.1.Th.2007 1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pemberian perlakuan yang terdiri dari beberapa konsentrasi hormon PMSG (15 IU, 20 IU dan 25 IU) dengan interval penyuntikan hormon PMSG setiap 2 minggu sekali. Penyuntikan dilakukan secara intramuscular pada paha itik petelur fase akhir produksi. 2. Variabel tergantung berupa produksi dan kualitas telur, kualitas telur meliputi pengukuran berat cangkang telur, tebal cangkang telur, berat putih telur dan berat kuning telur, kadar protein kuning telur serta kadar kolesterol kuning telur. 3. Variabel kendali dalam penelitian ini adalah : umur, berat badan itik, ukuran kandang dan pakan yang diberikan dan perawatan. Rancangan Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap, dengan 4 kelompok perlakuan dan 10 ulangan Perlakuan yang diberikan adalah penyuntikan intramuskuler hormon PMSG dengan konsentrasi berbeda yaitu 15 IU, 20 IU dan 25 IU sebagai kelompok perlakuan dan kelompok kontrol disuntik dengan aquades. Analisis Data Data yang terkumpul disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis dengan Analisis Varian Satu Arah. Selanjutnya bila terdapat perbedaan yang bermakna dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) (Steel and Torrie, 1995 ; Sudjana, 1996). Tujuan Penelitian Untuk mengetahui peran hormon PMSG terhadap kualitas telur dinyatakan dengan berat telur, berat cangkang telur, tebal cangkang, berat putih telur dan berat kuning telur serta kadar protein, lemak dan kolesterol telur dari itik fase akhir produksi. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai peranan PMSG untuk meningkatkan kualitasi telur tik fase akhir produksi. HormonPregnant Mare`s Serum Gonadotropin (PMSG) 1. Biosintesis Hormon PMSG Menurut beberapa peneliti yang dikutip oleh Hardjopranjoto (2000), Pregnant Mare`s Serum Gonadotropin (PMSG) adalah hormon yang terdapat dalam serum darah kuda yang sedang bunting dan sebangsanya seperti zebra atau keledai. Dari sejarahnya, Cole dan Hart The way to increase of layer duck menemukan hormon ini untuk pertama kalinya pada tahun 1930 dalam serum darah kuda bunting. Menurut Hafez (2000), sintesis hormon PMSG terjadi dalam sel epitel berbentuk mangkuk dari jaringan endometrium uterus. Segera setelah disintesis hormon PMSG akan dibawa dalam sirkulasi darah untuk selanjutnya dibawah menuju organ sasaran yaitu kelenjar ovarium, dimana hormon ini bekerja sebagai pendorong pertumbuhan folikel baru yang ada di ovarium (Hardjopranjoto, 2000 dan Partodihardjo, 1982). sekresi hormon PMSG oleh sel endometrium pada kuda mulai meningkat pada hari ke 40 dan mencapai puncaknya pada hari ke 80 masa kebuntingan. Kemudian kadarnya akan menurun setelah hari ke 80 dari masa kebuntingan dan mencapai kadar terendah pada hari ke 180 dari masa kebuntingan (Mc Donald, 1975 dan Hardjopranjoto, 2000). 2. Metabolisme dan Ekskresi Hormon PMSG Segera setelah disuntikkan dalam tubuh hewan, hormon PMSG akan berada dalam sirkulasi darah selama beberapa jam. Hormon ini berbeda dengan gonadotropin lain dari kelenjar hipofisa anterior seperti FSH atau LH, karena hormon ini tidak cepat menghilang dari sirkulasi darah karena 50 % dari aktivitas PMSG akan tetap mempunyai efek biologis setelah 24 jam dan efek biologis itu menurun menjadi 12 % setelah 72 jam. Karena itu hormon PMSG dikatakan mempunyai paruh hidup (half life) yang panjang yaitu sekitar 26 jam. Karena alasan inilah maka suatu suntikan tunggal hormon PMSG sama efektifnya dengan suntikan ganda dengan dosis yang dibagi dalam beberapa kali. Hormon PMSG tidak dikeluarkan dalam urine atau feses dan juga tidak disimpan dalam uterus, hati, ginjal, gonad, paru-paru atau limpa sebagai residu. Menurut beberapa peneliti, aktivitas biologi hormon PMSG dapat menurun karena adanya reduksi ikatan disulfida, atau terlepasnya asam amino bebas oleh pengaruh panas atau oleh berbagai enzim tubuh yang bersifat proteolitik dan glikolitik seperti trypsin, pepsin, chymotrypsin, papain, carboxypeptidase, ptyalin dan taka-diastase. Enzim-enzim penginaktifasi hormon banyak terdapat di hati 23 Latifa dan ginjal). Pada hewan betina ovarium merupakan target organ dari hormon PMSG, setelah berikatan dengan target organ PMSG mengalami reduksi ikatan disulfida, akibatnya mengalami penurunan fungsi biologis (Hardjopranjoto, 2000; Turner, 1976; DiPalma, 1971)). 3. Pengaruh Biologi PMSG Eksogen Pada Hewan Betina PMSG eksogen mempunyai pengaruh biologis yang sama dengan FSH dan mengandung sedikit pengaruh LH. Baik pada hewan betina maupun hewan jantan. Pada hewan betina, PMSG mempunyai beberapa pengaruh seperti mendorong pertumbuhan folikel muda pada ovarium menjadi folikel yang lebih dewasa, meningkatkan sintesis hormon steroid oleh sel granulosa dari folikel, meningkatkan jumlah cairan folikel, dan meningkatkan jumlah sel granulosa dari folikel (Hardjopranjoto, 2000). Menurut Nalbandov (1998) pemberian hormon PMSG dapat menggertak pertumbuhan folikel apabila diberikan secara subkutan, tetapi bila diberikan secara subkutan diikuti dengan suntikan intravena dapat mendorong ovulasi pada hewan betina. Menurut Soehermin (1990), hormon PMSG dapat merangsang pembentukan telur pada ayam petelur yang menderita gangguan reproduksi pada umur 23 minggu. Dosis hormon PMSG yang paling baik pengaruhnya terhadap produksi telur pada ayam petelur menurut peneliti adalah 20 IU. Dan menurut Hu dan Liu (1995), dengan penyuntikan hormon PMSG dengan dosis 8 IU pada mencit yang belum dewasa merangsang pertumbuhan folikel baru. Sementara itu laporan Hubbard dan Rajas (1994), mengatakan bahwa ovulasi diikuti oleh proses luteinisasi pada ovarium hamster dapat dicapai dengan penyuntikan hormon PMSG. Younis dkk, (1994) menyatakan bahwa pertumbuhan beberapa folikel antral pada kera (Macaca fascicularis) dapat dirangsang dengan penyuntikan hormon PMSG pada dosis 1000 IU. Sementara itu Selvaraj dkk. (1994) menyatakan bahwa hormon PMSG dapat menggertak peningkatan kadar estrogen dalam serum dan cairan folikel pada tikus muda. 24 Jurnal Protein Penyuntikan hormon PMSG pada burung finch diluar musim kawin dapat mendorong terjadinya pertumbuhan folikel dan diikuti terjadinya ovulasi (Zuckerman, 1977). Sedangkan pada burung kenari, Steel (1972) melaporkan bahwa penyuntikan PMSG dapat mempercepat proses bertelur. Menurut Nalbandov (1998) hormon PMSG yang disuntikkan pada ayam yang tidak diberi tambahan pakan menyebabkan ayam tetap bertelur sampai 11 hari, sedangkan menurut Mustofa (1990), penyuntikan ayam petelur yang mengalami keterlambatan bertelur dengan dosis 20 IU dapat meningkatkan jumlah bertelur hingga 26 kali lipat dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat suntikan PMSG. Sementara iti penelitian Sarmanu (1993), dengan penyuntikan kombionasi antara PMSG dan HCG dapat meningkatkan produksi telur dan berat telur pada ayam kampung yang dipelihara secara intensif. 4. Folikel dan Kuning Telur Pada itik yang telah mencapai dewasa kelamin, diameter folikel mencapai 40 mm sebelum diovulasikan. Folikel yang masak terdiri dari oosit, selaput vitelin, zona radiata, lapisan perivetelin, lapisan sel granulosa, basal lamina, sel theka interna, theka eksterna, jaringan ikat longgar dan epithelium superfisial sebagai lapisan paling luar (Hafez, 1997). Folikel golongan unggas termasuk itik tidak mempunyai antrum dan cairan folikel (Turner, 1976). Ovum mengisi penuh kantong folikel (Nalbandov, 1998). Masing-masing folikel terletak di permukaan ovarium dengan perantaraan tangkai folikel, yang tertanam dalam jaringan ikat yang berpembuluh darah dalam ovarium. Masing-masing tangkai mengikat banyak folikel. Sesudah ovulasi, tangkai yang ditinggalkan akan digunakan lagi oleh folikel yang berikutnya (Turner, 1976). Pada itik, folikel merupakan jaringan pada ovarium yang paling cepat tumbuh, dimulai dengan garis tengah 1 mm dan berat 100 miligram, kemudian menjadi masak dengan berat 18 hingga 20 gram. Seluruh proses pembentukan telur pada unggas membutuhkan waktu sembilan hari (Nalbandov, 1998). Vol.14.No.1.Th.2007 Kuning telur pertama mulai masak karena bahan-bahan kuning telur yang dihasilkan oleh hati langsung ditransportasi melalui darah. Sehari atau dua hari kemudian, kuning telur kedua mulai berkembang dan selanjutnya kuning telur berikutnya. Pada waktu telur pertama dikeluarkan, maka dalam ovarium terdapat 5 hingga 10 kuning telur yang sedang tumbuh. Pembentukan kuning telur hingga menjadi kuning telur yang masak membutuhkan waktu kira-kira 10 hari. Mulamula deposisi bahan kuning telur sangat lambat dan berwarna terang. Akhirnya ketika ovum mencapai diameter 6 mm, kuning telur bertambah dengan cepat, diameter bertambah 4 mm setiap hari. Kuning telur tersusun atas lemak dan protein, mambentuk lipoprotein yang disintesa oleh hati dengan pengaruh estrogen (North, 1984). Setelah oosit mengandung kuning telur maksimal, maka folikel akan diovulasikan. Ovulasi adalah pelepasan oosit dari folikel di daerah yang disebut stigma. Stigma adalah bagian dari folikel yang mudah pecah karena tipis, yang terdiri dari otot polos, terletak pada sisi yang berlawanan dengan pedicle. Beberapa menit sebelum terjadi ovulasi, otot stigma berkontraksi dan menekan folikel. Tekanan yang keras ini menyebabkan pecahnya daerah stigma, diikuti oleh keluarnya ovum dari stigma dan ditangkap oleh infundibulum (Nasheim et al., 1997 ). 5. Cangkang Telur Cangkang telur merupakan pelindung telur. Cangkang telur dihasilkan oleh kelenjar uterus. Cangkang telur tersusun atas kalsium karbonat, dan sedikit natrium, kalium dan magnesium (North, 1984). Mineral-mineral itu tertimbun dalam matriks organik yang terdiri dari protein dan mucopolysacharida (Nesheim, 1979). Kalsifikasi atau pengapuran cangkang telur mulai terjadi sebelum telur memasuki uterus yaitu pada bagian isthmus. Sekumpulan kecil kalsium nampak pada bagian luar selaput cangkang sebelum telur meninggalkan isthmus. Dalam uterus pertumbuhan kristal kalsid terus berlangsung dengan kecepatan yang konstan (kira-kira 300 mg kalsium per jam). Saluran reproduksi tidak menyimpan kalsium dan kira-kira 20 % kalsium dalam darah dipindahkan menuju uterus (Hafez, The way to increase of layer duck 2000). Pembentukan cangkang telur membutuhkan suplai ion kalsium yang cukup ke kelenjar uterus dan adanya ion karbonat dalam kelenjar uterus dalam jumlah yang cukup untuk membentuk kalsium karbonat dalam cangkang telur. Sumber utama ion karbonat untuk pembentukan cangkang itu adalah CO2 yang berasal dari darah atau metabolisme kelenjar uterus (Nesheim et al., 1979). Kebanyakan kalsium diperoleh dari makanan melalui absorbsi usus halus, tetapi beberapa berasal dari kalsium cadangan yaitu tulang rawan dari tulang panjang dengan cara mobilisasi kalsium terutama pada malam hari ketika itik tidak makan, dan cangkang telur sedang dalam proses pembentukan. Kalsium karbonat dari cangkang dibentuk dari ion kalsium dan ion karbonat yang berasal dari suplai darah dan ion karbonat yang berasal dari darah dan kelenjar cangkang., kebutuhan akan kalsium menjadi tinggi selama periode produksi. Kalsium dalam sirkulasi darah bersirkulasi dalam dua bentuk yaitu sebagai kalsium yang tak terdifusi (terikat dengan protein) dan sebagai kalsium terdifusi (dalam bentuk ion). Kalsium yang tak terdifusi terikat pada vitelogenin dan albumin. Perlakuan dengan estrogen meningkatkan kalsium plasma terutama dengan merangsang produksi protein pengikat kalsium. Kalsium plasma bertambah beberapa minggu sebelum bertelur. Selama siklus ovulasi dan oviposisi, konsentrasi kalsium ion mencapai puncak (2,83 meq/liter atau 5,67 %) 4 jam setelah oviposisi, kemudian menurun secara nyata selama periode kalsifikasi cangkang (minimum 2,42 meq atau 4,85 %) (Sturkie, 1986). 6. Pengaturan Hormonal Pada Ovarium dan Oviduk Pertumbuhan folikel didorong oleh pengaruh hormon FSH dari hipofisa anterior. Folikel selanjutnya akan mensintesis estrogen, progesteron dan testoteron (Nalbandov, 1998). Bagian dari folikel yang menghasilkan steroid adalah sel theca dan sel granulosa. Sel theka eksterna menghasilkan estrogen (Hafez, 2000). Ada tiga macam estrogen yang dihasilkan oleh sel theca yaitu estradiol, estrone dan estriol. Tetapi hanya dua senyawa 25 Latifa pertama yang dapat ditemukan dalam plasma darah ayam petelur (Cole dan Cupps, 1969). Estradiol dihasilkan oleh folikel yang berukuran kecil dengan diameter 1 hingga 10 mm. Hormon ini dapat mendorong sintesis protein dalam kuning telur (Hafez, 2000). Di bawah pengaruh estradiol, hati mampu menghasilkan berbagai lemak netral, phospholipid dan kolesterol, yang penting untuk pembentukan kuning telur atau yolk (Cole and Cupps, 1969). Pada waktu folikel praovulasi tumbuh, mulai terjadi peningkatan sekresi hormon progesteron oleh lapisan sel theka. Peningkatan progesteron ini menyebabkan lapisan granulosa menjadi lebih responsif terhadap hormon LH pada saat folikel mendekati ovulasi. Progesteron selanjutnya menggertak peningkatan kadar LH yang menyebabkan terjadinya ovulasi (Hafez, 2000). Sementara itu hormon estrogen merangsang terjadinya hipertropi dari dinding oviduk dan diferensiasi dari daerah sekretoris (Norris, 1980). Sisa estrogen akan bekerja sama dengan progesteron untuk menggertak sekresi putih telur, dan memobilisasi kalsium dari ujung tulang panjang (epifisa) untuk meningkatkan pengeluaran kalsium dalam membentuk cangkan telur (Hafez , 2000). Untuk proses peletakan telur dibutuhkan hormon prostagla ndin dan arginin fasotocin. Hormon prostaglandin dihasilkan oleh sel granulosa dari folikel terbesar (folikel praovulasi dan folikel pasca ovulasi). Arginin fasotocin dihasilkan oleh hipofisa posterior. Hormon prostaglandin dan arginin fasotocin meningkatkan kontraksi dari otot polos pada kelenjar cangkang dan menyebabkan peletakan telur (Hafez, 2000). Pengambilan folikel pasca ovulasi pada 24 jam setelah ovulasi berakibat tertundanya waktu peletakan dari telur berikutnya. Hal ini berarti bahwa folikel yang pecah setelah ovulasi mempunyai peranan penting dan menentukan waktu bertelur (Zuckerman, 1977). 7. Kualitas Telur 26 Jurnal Protein Jumlah telur dan kualitas telur sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Suhu udara di atas 26,7 0 C akan menurunkan jumlah telur yang dihasilkan (Rasyaf, 1995). Suhu lingkungan yang tinggi pada akhir periode bertelur merupakan kondisi yang lebih berat daripada ketika periode awal bertelur (North, 1984). Menurut Sudariyani (1996) kualitas telur dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti perbedaan kelas, strain, famili, individu, kandungan gizi dalam makanan, penyakit, umur itik dan suhu lingkungan. Beberapa zat gizi seperti kalsium, fosfor, mangan dan vitamin D3 (Cholecalsiferol) penting bagi unggas karena membantu absorbsi kalsium dan fosfor dari saluran pencernaan. Sehingga akan meningkatkan jumlah kedua mineral ini dalam darah, dan selanjutnya digunakan untuk pertumbuhan tulang dan pembentukan cangkang telur. Ukuran telur bertambah dengan bertambahnya usia itik. Telur pertama yang dihasilkan selama periode produksi lebih kecil dari telur berikutnya. Tetapi dengan bertambahnya umur kualitas cangkang telur semakin kurang karena semakin tipis. Ukuran telur mempengaruhi bentuk telur dan bentuk telur terutama ditentukan oleh jumlah albumin yang disekresi oleh bagian magnum dari oviduk. Suhu yang tinggi akan mempengaruhi kualitas putih telur dan mengurangi kekuatan dan ketebalan cangkang telur. Selain itu suhu juga mempengaruhi ukuran telur, terutama suhu di atas 29 0 C (Sudaryani, 1996). HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil penelitian pada itik petelur fase akhir produksi yang telah menurun produksi telurnya sampai menjadi 50 - 60 % dari produksi normal setelah diberikan hormon PMSG secara intramuscular selama 8 minggu, dengan interval penyuntikan 2 minggu sekali. Data setiap variabel penelitian yang diamati dapat dilihat pada beberapa tabel di bawah ini. Vol.14.No.1.Th.2007 The way to increase of layer duck Tabel 1. Rerata dan simpangan baku berat telur , berat kuning telur dan berat putih telur itik fase akhir produksi setelah mendapatkan suntikan PMSG selama 8 minggu dengan interval 2 minggu sekali Variabel yang diamati Kelompok Berat telur utuh Berat kuning telur Berat putih telur Perlakuan (gram)(X S D) (gram) (X S D) (gram)(X S D) Kontrol 63,24 a 1,7784 22,56 a 0,7888 31,76 a 1,2586 PMSG 10 IU 66,18 b 0,6349 23,65 b 1,1170 32,86 ab 1,6584 PMSG 15 IU 68,06 c 0,8687 24,52 b 1,2880 34,14 b 1,6866 PMSG 25 IU 66,86 b 1,7784 23,84 b 1,3039 31,94 a 1,7283 Keterangan : Tanda huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna. Dari Tabel 1. dapat dilihat rata-rata berat utuh telur itik setelah memperoleh suntikan hormon PMSG selama 8 minggu dengan interval 2 minggu sekali. Hasil analisis statistik dengan anava satu arah (lampiran) menunjukkan bahwa penyuntikan PMSG pada itik petelur fase akhir produksi berpengaruh sangat nyata (P< 0,01) meningkatkan berat telur itik. Hasil uji statistik selanjutnya dengan uji Beda Nyata Terkecil menunjukkan bahwa berat telur itik tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan P2 (dosis PMSG 15 IU) yaitu sebesar 68,06 0,8687 gram dan berat telur itik terendah terdapat pada kelompok kontrol yaitu sebesar 63,24 1,7784 gram. Namun berat telur itik antara kelompok P1 (suntikan PMSG 10 IU) dan kelompok perlakuan P3 (suntikan PMSG 25 IU) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Tabel 2. Rerata dan simpangan baku berat cangkang telur dan tebal cangkang telur itik fase akhir produksi setelah mendapatkan suntikan PMSG selama 8 minggu dengan interval 2 minggu sekali Variabel yang diamati Kelompok Berat cangkang telur Tebal cangkang telur Perlakuan (mg) SD (mm) SD Kontrol 8,93 a 0,6390 0,374 a 0,0013 10 IU 9,97 b 0,9390 0,416 b 0,0033 15 IU 10,73 c 0,7856 0,484 c 0,0022 25 IU 10,28 bc 0,6410 0,430 b 0,0048 Keterangan : Tanda huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna. Berdasarkan analisis varian satu arah (lampiran) menunjukkan bahwa penyuntikan PMSG pada itik petelur fase akhir produksi berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) meningkatkan berat cangkang telur. Hasil uji statistik selanjutnya dengan uji Beda Nyata Terkecil menunjukkan berat cangkang telur tertinggi pada kelompok perlakuan P2 (suntikan PMSG 15 IU) yaitu sebesar 10,73 0,7856 mg dan berat cangkang telur terendah pada kelompok kontrol yaitu sebesar 8,93 0,6390 mg. 27 Latifa Jurnal Protein Tabel 3. Rerata dan simpangan baku kadar protein kuning telur dan kadar kolesterol kuning telur itik fase akhir produksi setelah mendapatkan suntikan PMSG selama 8 minggu dengan interval 2 minggu sekali Variabel yang diamati Kadar protein kuning telur Kadar Kolesterol kuning telur Kelompok Perlakuan (%) SD (mg) SD Kontrol 17,23 a 1,2436 250,87 d 17,27 PMSG10 IU 17,56 a 1,3146 229,76 c 26,05 PMSG15 IU 20,69 b 1,9832 208,52 b 57,91 PMSG25 IU 18,06 a 1,8214 189,67 a 15,51 Keterangan : Tanda huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna. Berdasarkan analisis varian satu arah (lampiran) terhadap kadar protein kuning telur menunjukkan bahwa penyuntikan PMSG pada itik petelur fase akhir produksi berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) meningkatkan kadar protein kuning telur. Hasil uji statistik selanjutnya dengan uji Beda Nyata Terkecil menunjukkan bahwa kadar protein tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan P2 (suntikan PMSG 15 IU) yaitu sebesar 20,69 1,9832 % dan kadar protein terendah terdapat pada kelompok kontrol yaitu sebesar 17,23 1,2436 %. PEMBAHASAN 1. Berat Utuh Telur Itik Hasil analisis statistik varians satu arah dan uji statistik berikutnya dengan uji Becla Nyata Terkecil, menunjukkan bahwa pemberian hormon PMSG pada itik fase akhir produksi bersifat signifikan. Hal ini berarti bahwa berat utuh telur itik mengalarm peningkatan akibat penyuntikan PMSG. Terutama pada dosis 15 IU. Penyuntikan PMSG memacu terbentuknya estrogen dan progesteron (Johnson et al., 1985). Estrogen dan progesteron merangsang sintesa protein, baik protein putih telur maupun protein kuning telur. Sehingga secara keseluruhan berat telur secara utuh meningkat. Sedangkan Hafez (2000) menyatakan bahwa besar kecilnya ukuran telur unggas sangat dipengaruhi oleh kandungan protein dan asam-asam amino dalam pakan. Hal ini mengingat lebib dari 50% berat kering telur adalah protein (Anggorodi, 1985). 28 2. Berat Kuning Telur Itik Rata-rata berat kuning telur itik tertinggi dicapai pada kelompok perlakuan P2 (pemberian PMSG 15 IU) yaitu sebesar 24,522 ± 1,282 grain dan rata-rata berat kuning telur itik terendah dicapai pada kelompok kontrol yaitu sebesar 22,563 ±0,789 grarn. Hal tersebut membuktikan bahwa PMSG memacu folikel-folikel untuk mensekresi estrogen. Estrogen mempengaruhi hati untuk mernbentuk protein kuning telur (Norris, 1980). Pengambilan protein kuning telur oleh folikel diatur oleh hormon gonadotropin (Hafez, 2000). Peningkatan berat kuning telur itik pada kelompok perlakuan lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. Ini sejalan dengan hasil penelitian Imal el al., 1972 dan Sturkie, 1986) yang menyatakan bahwa penyuntikan PMSG dapat memgkatkan vitelin serum yang penting untuk pembentukan kuning telur dalarn folikel. 3. Berat Putih Telur Itik Rata-rata berat putih telur itik pada penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan yang sangat nyata (P < 0,01). Rataan tertinggi dicapai pada kelompok periakuan P2 (pemberian PMSG 15 IU) yaitu sebesar 34, 135 gram ± 1,687 dan rataan terendah terletak pada kelompok kontrol yaitu sebesar 31,757 gram ± 1,258. Berat putih telur pada kelompok perlakuan menunjukkan peningkatan yang nyata dibandingkan dengan kelompok kontrol. PMSG memacu terbehtuknya estrogen dan progesteron (Johson et al., 1985). Estrogen merangsang sintesa protein ovalbumin conalbumin Vol.14.No.1.Th.2007 (ovotransferrin) dan lysosyme yang dihasilkan oleh kelenjar tubular dari magnum. Sedang progesteron merangsang sintesa protein putih telur yang lain yaitu avidin yang dihasilkan oleh sel goblet dalam magnum (Norris, 1980 dan Sturkie, 1986). 4. Berat dan Tebal Cangkang Telur Peningkatan berat dan tebal cangkang telur itik setelah penyuntikan hornon PMSG selama 8 minggu dengan interval 2 minggu sekali mempunyai pengaruh yang sangat bermakna (P < 0,01) sehingga dapat meningkatkan berat dan tebal cangkang telur. Diketahui PMSG dapat meningkatkan kadar estrogen progesteron dalarn serurn darah. Estrogen yang dihasilkan oleh sel theca dari folikel yang sedang tumbuh dan progesteron dihasilkan oleh sel granulosa dari folikel yang besar yang tumbuh dibawah pengaruh PMSG (Johnson et al., 1985). Estrogen dan progesteron yang meningkat akan mendorong hormon paratiroid untuk pelepasan kalsium dari tulang rawan (epifise) tulang panjang dan memperbaiki penyerapan kalsiurn oleh dinding usus dari makanan dalam usus, dengan demikian penyediaan kalsium untuk kulit telur menjadi lancar (Hardjopranjoto, 1998). Dalam memproduksi telur, unggas membutuhkan sejumlah besar kalsium (North, 1984). Estrogen bekerja secara sinergis dengan progesteron dalam darah yang selanjutnya dapat digunakan untuk membentuk cangkang telur (Hafez, 2000). Hormon estrogen juga mendorong fungsi kelenjar paratiroid. Kelenjar paratiroid mensekresi parathormon yang bekerja pada usus halus sehingga dapat meningkatkan absorbsi kalsium yang berasal dari pakan dalam usus kemudian masuk ke dalam darah. Disamping itu parathormon juga dapat meningkatkan kerja dari sel osteoklas yang ada dalam tulang untuk melarutkan kalsium dari ujung tulang rawan atau epifise dari tulang panjang selanjutaya kalsium masuk ke dalam darah (Hardjopranjoto, 2000). Kalsiun dalam darah digunakan oleh kelenjar cangkang untuk mernbentuk cangkang telur (Nesheim et al., 1979). 5. Kadar Protein Kuning Telur Protein yang terkandung di dalam telur merupakan salah satu indikator penting yang The way to increase of layer duck menentukan kualitas telur. Hasil analisis statistik varians satu arah dan uji statistik Beda Nyata Terkecil 5 % (Jainpiran 1.2) menunjukkan bahwa ratarata kadar protein teritnggi pada kelompok P2 (pemberian PMSG 15 IU) yaltu sebesar 20,684 ± 1,983 % sedangkan rata-rata kadar protein terendah terfetak pada kelompok kontrol yaitu sebesar 17,228 ± 1,244 %. Protein kuning telur disintesis di dalam hati atas pengaruh honnon estrogen. Estrogen dibasilkan oleh folikel yang sedang berkembang selanjutnya dibawa oleh darah menuju hati. Protein yang terkandung dalam kuning telur terdiri dari 2 macam yaitu ovovitelin dan ovolivetin. Ovovitelin adalah protein yang banyak mengandung unsure fosfor, sedangkan ovolivetin adalah protein yang mengandung sedikit fosfor tetapi banyak mengandung unsur sulfur (Riis, 1983; Hafez, 2000). Selain itu. asam-asarn amino yang diserap dari pakan di dalam hati itik akan dibentuk menjadi protein yang selanjutnya ditransportasi menuju ovariurn dalam. proses pernbentukan telur (Riis, 1983; Lehninger, 1990). 6. Kadar Kolestelor Kuning Telur Kolesterol merupakan salah satu zat gizi, namun manusia cenderung mengurangi konsurnsi kolesterol karena membawa berbagai gangguan terhadap kesehatan manusia diantaranya adalah penyakit arterosklerosis dan jantung koroner. Kolesterol merupakan produk khas dari metabolisme hewan (Murray, 1997). Mengingat telur merupakan salah satu sumber kolesterol terbesar dibanding bahan pangan lain, maka perlu. upaya untuk menurunkan kadar kolesterol melalui pembenian hormon PMSG. Dari hasil analisis statistik Anava satu. arah menunjukkan bahwa pemberian hormon PMSG bersifat signifikan. Hal ini membuktikan PMSG dapat menurunkan kadar kolesterol kuning telur. Hal ini sejalan dengan pendapat Guyton (1994), bahwa penurunan kadar kolesterol telur bisa diakibatkan oleh hormon estrogen. Hormon estrogen yang dihasilkan oleh folikel yang sedang berkernbang akan menekan aktivitas enzirn HMG - Ko A Reduktase sehingga aktivitas biosintesis kolesterol terhambat. Dengan demikian maka kolesterol endogen dalam tubuh itik tidak sampai 29 Latifa diangkut ke dalam ovarium, tetapi lebih banyak yang dibuang ke luar tubuh melalui feces dan urine (Riis, 1983; Hafez, 2000). Estrogen dapat juga mempengaruhi aktivitas enzim lipase hepatik dengan jalan meningkatkan metabolisme HDL yang tugasnya mengangkut kolesterol jaringan dalam hati. Kerja HDL yang meningkat akan diikuti oleh banyaknya kolesterol yang diangkut ke hati, sehingga kadar kolesterol dalam darah akan berkurang dan sebaliknya akan terjadl peningkatan kadar kolesterol dalam hati yang selanjutnya akan disekresikan ke dalam empedu menjadi asam empedu atau dikeluarkan bersama feses (Murray, 1997). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari analisis data yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : a. Penyuntikan hormon PMSG dapat meningkatkan kualitas telur itik afkir (masa akhir produksi) yang dilihat dari berat dan tebal cangkang, berat utuh telur, berat kuning telur, berat putih telur dan kadar protein kuning telur. (Penyuntikan hormon PMSG dapat menurunkan kadar kolesterol kuning telur itik masa akhir produksi) b. Dosis PMSG sebesar 15 IU meningkatkan kadar protein kuning telur itik afkir dan pada dosis PMSG sebesar 20 IU menurunkan kadar kolesterol kuning telur. DAFTAR PUSTAKA 1. Anonimous. 2002. Beternak Itik Tanpa Air. Agromedia Pustaka. Jakarta. Hal 4-9. 2. Anggorodi, R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Unggas. UI Press. Jakarta. Hal 53-55. . 30 Jurnal Protein 3. Appleby, M.C., Hughes, B.O., Elson, A. 1992. Poultry Production System. Behaviour. Management and Welfare. CAB International. Walling Ford. P: 30-31. 4. Blakely, J. and Bade, D.H. 1991. Ilmu Peternakan. Terjemahan; Srigandono, B. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal. 76. 5. Callesen, H.A. and T. Greve. 1992. Use of PMSG Antiserum in Superovulated Cattle. Theriogenology. 38 : 959-968. 6. Dieleman, S. J., Bavers, M.M. and De Loos, F.A.M. 1993. PMSG/Anti PMSG in Cattle. A Simple and Efficiency Superovulatory Treatment. Theriogenology. 39 : 25-41. 7. Griffin, H.D. 1992. Manipulation of Egg Yolk Cholesterol. A Physiology View. World Poul. Sci. J. 48: 101-112. 8. Guyton, A.C. 1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Terjemah. A. Darma dan E. Lukmanto. P.T. E.G.C. Penerbit. Buku Kedokteran. Jakarta. 9. Hafez, E. S. E. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7 th Ed. Lea & Febiger. Philadelphia. P: 385-393. 394-398. 10. Hardjopranjoto, S. 2000. Diktat Endokrinologi Umum. Pragram Pascasarjana. Universitas Airlangga. Surabaya. Hal. 209223. 11. Hardjopranjoto, S. 1988. Fisiologi Reproduksi. Edisi ke 2. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya. . Hal. 149 –151.