JURNAL AGROTEKNOS Juli 2013 Vol. 3 No. 2. Hal 101-108 ISSN: 2087-7706 PEMANFAATAN TEKNOLOGI MOLECULAR BREEDING DALAM PEMULIAAN KETAHANAN TANAMAN TERHADAP HAMA DAN PENYAKIT Technology Utilization in Molecular Breeding Crop Of Breeding Resistance to Mites and Disease RUDY LUKMAN, AHMAD AFIFUDDIN, HOERUSSALAM Departemen Bioteknologi PT. BISI International, Tbk, Kediri-Jawa Timur ABSTRACT Application of gene for gene hypothesis in breeding resistance to pests and disease should pay attention to genes and gene avirulen resistance of pathogens. The second aspect of this exploration can be facilitated by molecular breeding technology. In addition, molecular marking can also be used to incorporate some resistance genes in an individual plant (gene pyramiding), a markup to the needs of cross-back (Marker Assisted Backcrossing), as well as experimental support for the detection of seed borne diseases. Rapid progress in the field of genomics has revealed some interesting phenomena about the genetics of microbes such as pathogenic effector, studies the genetic identity of an equality and diversity of microbial isolates that have not been explored. Better understanding of the mechanisms of pathogenicity and pathogen interaction between plants and will speed up the process of breeding for resistant plants. Keywords: Molecular Breeding, variability of pathogens, gene resistance 1PENDAHULUAN Ketahanan terhadap hama dan penyakit merupakan salah satu target pemuliaan tanaman yang sangat penting. Sistim pertanaman monokultur dari varietas tahan dan munculnya strain dan biotipe baru dari patogen berpotensi untuk menurunkan status ketahanan yang tentunya akan berimplikasi terhadap penurunan produksi. Oleh karena itu, perakitan varietas yang memiliki ketahanan luas dan bersifat durable merupakan suatu tantangan bersama antara pemulia tanaman dan patologist. Pengujian status ketahanan biasanya dilakukan di green house atau lapangan. Pelaksanaan kegiatan ini sering kali membutuhkan fasilitas tempat yang memadai dan juga waktu yang tidak sebentar. Lebih lanjut, evaluasi status ketahanan harus memperhatikan apakah kondisi lingkungan Alamat Korespondensi: E-mail: [email protected] *) pada saat pengujian relevan untuk perkembangan patogen dan juga efisiensi dari inokulasi yang dilakukan. Sebagai contoh inokulasi untuk virus biasanya dilakukan oleh serangga sebagai vector. Gejala penyakit tidak akan teramati apabila jumlah serangga kurang banyak atau serangga tidak membawa jumlah virus yang cukup. Perkembangan biologi molekuler telah menghasilkan suatu alat bantu untuk keperluan pemuliaan yang disebut marka molekuler. Teknik ini memungkinkan pemulia tanaman untuk menseleksi gen ketahanan yang ada di tanaman berdasarkan konsep adanya perbedaan sekuens DNA antara individu yang bersifat rentan dan individu yang bersifat tahan. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah sekuens berulang (dikenal dengan nama microsatellite atau simple sequence repeat (SSR)), insersi atau delesi dari segmen DNA atau perbedaan satu nukleotida (single nucleotide polymorphism=SNP). Umumnya marka molekuler yang banyak digunakan saat ini adalah yang berbasis PCR. 102 LUKMAN ET AL. Seleksi yang dibantu oleh marka molekuler (MAS) tidak memerlukan fasilitas khusus untuk uji biologi dan juga tidak dipengaruhi oleh stadia pertumbuhan maupun kondisi tumbuh seperti temperatur, kelembaban, intensitas cahaya, panjang hari dan faktor lingkungan lainnya. MAS dapat mengidentifikasi genotipe tahan secara cepat dan terpercaya. Oleh karena itu penggunaan marka molekuler untuk keperluan pemuliaan, sering dikenal dengan nama teknologi molecular breeding, akan mempersingkat waktu dan meningkatkan efisiensi pemuliaan. Determinasi gen Avirulen. Pada awalnya gen avirulen didefinisikan sebagai dampak negatif pada kemampuan patogen untuk menginfeksi tanaman inang. Banyak gen avirulen sekarang dikenal untuk mewakili bagian dari faktor virulensi yang terlibat dalam interaksi inang-patogen. Karakterisasi gen avirulen telah menunjukkan bahwa gen-gen tersebut menyandi berbagai macam protein termasuk dari beberapa famili gen. Meskipun fungsi biokimia dari produk gen avirulen tidak diketahui, beberapa studi telah dimulai untuk mengungkapkan fitur dan hubungan menarik antara aktivitas avirulen dan virulensi dari protein. Identifikasi virulensi dan penjelasan fungsi keduanya menjanjikan untuk menyediakan wawasan tentang mekanisme pertahanan tanaman dan strategi baru yang lebih baik untuk mengendalikan penyakit tanaman. Pengenalan patogen oleh tanaman tahan dikontrol oleh gen ketahanan (R genes) yang terdapat pada tanaman dan gen avirulen (Avr) pada patogen melalui jalur signal tranduksi yang mengaktifkan sistem pertahanan tanaman (Baker et al., 1997). Pada tahapan ini terdiri dua bentuk interaksi, yaitu reaksi inkompatibel dan kompatibel. Interaksi inkompatibel adalah interaksi antara gen tahan pada tanaman inang dengan gen avirulen pada patogen yang selanjutnya menyebabkan terbentuknya reaksi hipersensitif (HR) pada tanaman inang. Sedangkan interaksi kompatibel adalah interaksi antara tanaman inang yang rentan dengan patogen yang virulen hingga menyebabkan timbulnya penyakit. Karakterisasi patogen secara umum dilakukan berdasarkan reaksi virulensi pada varietas diferensial atau dikenal dengan nama ras, sedangkan karakter gen avirulensi, tipe J. AGROTEKNOS persilangan (mating type) dan masih jarang dilakukan. Interaksi antara gen ketahanan tanaman dan patogen perlu diketahui lebih lanjut untuk dijadikan dasar dalam perakitan varietas baru, dan menentukan varietas tahan yang spesifik untuk lokasi dengan komposisi ras/patotipe patogen yang berkembang di tempat tersebut. Berbagai tahap interaksi inang- cendawan patogen disebabkan oleh beberapa enzim pengurai dinding sel (CWDEs) (Keen dan Tamaki 1986). Poligalakturonase adalah salah satu CWDEs utama yang disekresi oleh Fusarium oxysporum. Perbandingan urutan nukleotida dari gen poligalakturonase telah digunakan untuk studi karakterisasi patogen cendawan F. oxysporum f. sp. lycopersici (FOL) dengan Fusarium oxysporum f. sp. radicislycopersici (FORL). Empat primer spesifik di desain berdasarkan urutan DNA dari gen poligalakturonase sehingga dapat membedakan antara FOL ras 1, ras 2 dan ras 3 dengan FORL (Hirano et al., 2006). Penandaan Gen Ketahanan (Tagging of Resistance Genes). Marka molekuler merupakan alat untuk melokalisasi gen yang mengatur karakter agronomis penting melalui pemetaan urutan DNA. Evaluasi morfologi di tanaman atau tingkat sel menyediakan informasi yang dapat digunakan untuk menentukan lokasi kromosom dari gen target. Hal ini dilakukan dengan menganalisis hubungan antara marka molekuler dengan ekspresi fenotipe target. Keterpautan erat antara marka dengan gen yang diinginkan dinamakan penandaan gen (gene tagging). Analisa penandaan gen membutuhkan populasi segregasi tinggi sehingga dapat menghasilkan polimorfisme/variasi genetik dari pengaplikasian marka molekuler. Proses penandaan gen ketahanan pada tanaman dilakukan dengan mensurvei tetua yang memiliki sifat ketahanan yang cukup kontras dan sangat stabil dengan sifat sangat tahan dan sangat rentan. Proses selanjutnya yaitu menskrining marka-marka molekuler yang menghasilkan polimorphism baik pada tetua maupun populasi yang bersegregasi. Dengan pendekatan analisis segregasi bulk (Bulk Segregation Analysis) membuat identifikasi menjadi lebih mudah, cepat, dan efisien. Berikut ini merupakan contoh beberapa gen ketahanan yang telah di tagging pada tanaman Vol. 3 No.2, 2013 Pemanfaatan Teknologi Molecular Breeding 103 dengan penanda molekuler disajikan pada Tabel 1 Tabel 1 Penandaan gen ketahanan dengan marka molekuler di beberapa tanaman. Crop Trait Gen Padi Hawar daun bakteri Xa-4 Jagung Referensi Xa-5 Xa-13 Xa-21 Marka XNpb186, RG 53 RG 556 RG 136 pTA248 Wereng coklat Bph20 Bph25 Bph26 BYL6, BYL7 S00310 RM5479 Yang et al., 2012 Myint et al., 2010 Myint et al., 2010 Karat rp3 rp4 mdm1 (t) Rsun-1, Rsun-2. Sun et.al., 2009 Maize dwarf mosaic virus McCouch et al. 1991) Yoshimura et al., 1995 Zhang et al., 1996 Ronald et al.,1992 Kedelai Soybean mosaic virus Rsv1 Rsv3 Satt510 Satt063 Gore et al., 2002 Song et al., 2004 Cabai Bercak daun Bs2 SCD05 Kim et al., 2000 Piramidanisasi Gen (Gene Pyramiding). Salah satu strategi untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit yaitu melalui pendekatan gene pyramiding. Dalam skemanya, penyatuan gengen dari beberapa galur pada satu individu tanaman dapat menurunkan suatu genotipe ideal yang homozigot untuk alel-alel menguntungkan di semua lokus. Penggunaan marka molekuler secara cepat dapat mengidentifikasi gen dari keturunan di setiap generasi sehingga meningkatkan kecepatan proses piramidanisasi (Joshi et al., 2008). Metode ini dimanfaatkan untuk mengkombinasikan banyak gen tahan yang bersifat vertikal (bersifat spesifik untuk suatu ras). Pada tanaman padi, piramidanisasi gen telah diaplikasikan untuk meningkatkan status ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri (Xanthomonas oryzae pv. Oryzae), infeksi blast (Magnaporthe oryzae B. Couch) dan serangan wereng coklat (Nilaparvata lugens Stål). Ketiganya adalah patogen berbahaya yang menimbulkan kerusakan parah, penurunan produksi hingga 20-50 % di beberapa negara. Koide et al. (2010) menyatukan 2 NIL (Near Isogenic Lines) yaitu IRBLsh-S[CO] yang membawa gen ketahanan blast Pish dengan IRBLb-W[CO] yang mengandung gen Pib. Gen Pish dan Pib dilaporkan memiliki ketahanan secara luas terhadap isolat-isolat di negara Filipina dan Jepang (Kato et al., 2004; Telebanco-Yanoria et al., 2008). Identifikasi dan seleksi keterpautan 2 gen ini dibantu dengan marka mikrosatelit RM6648 dan RM5811 yang terletak pada kromosom 1 dan RM208 dan Pibdom pada kromosom 2. Sementara itu, integrasi 2 gen ketahanan, Bph14 dan Bph15 dengan donor intogresi B5 dari Oryza officinalis, memiliki efek dosis yang kuat terhadap resistensi wereng coklat pada varietas Minghui 63 (Hu et al., 2010). Dari 21 gen ketahanan blast, Bph14 dan Bph15 bersifat dominan dan telah dipetakan dengan baik sehingga mudah diseleksi dengan penanda SSR yang ada di kromosom 3 dan 4. Piramidanisasi gen galur-galur padi IRRI bertujuan untuk mendapatkan galur tahan terhadap BLB. Sebagai contoh IRBB60 memperlihatkan resistensi tinggi pada pengujian seluruh ras Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) (Tabel 2). Dengan 4 gen ketahanan Xa4, xa5, xa13 dan Xa21 menjadikan galur IRBB60 digunakan sebagai donor intogresi dalam perakitan galur dan varietas padi tahan BLB. 104 LUKMAN ET AL. J. AGROTEKNOS Tabel 2. Reaksi galur-galur IRRI terhadap ras-ras Xanthomonas oryzae pv. Oryzae NIL IRBB1 IRBB2 IRBB3 IRBB4 IRBB5 IRBB7 IRBB8 IRBB10 IRBB11 IRBB13 IRBB14 IRBB21 IRBB50 IRBB51 IRBB52 IRBB55 IRBB56 IRBB60 IRBB61 IRBB62 Gen Xa Race 1 Race 2 Race 3B Race 3C Race 4 Race 5 Race 6 Race 7 Race 8 Race 9 Race 10 Xa 1 S S S S S S S S S S S Xa 2 S S S S S S S S S S S Xa 3 S S S S S S S S S S S Xa 4 R S S S MR R S R R S R Xa 5 R R R R S R S R R R R Xa 7 MS R R R S R S R R S R Xa 8 S S S S S MR S S S S S Xa 10 S R S S S R S R S S S Xa 11 S S S S S S S S S S S Xa 13 S S S S S S R S S S S Xa 14 S S S S S R S S R S S Xa 21 R R R MR R R MR MR MR MR S Xa 4+ Xa 5 R R R R R R S R R R R Xa 4+ Xa 13 R S S S MS R R R MR S R Xa 4+ Xa 21 R R R MR MR R MR R R MR R Xa 13+ Xa 21 R R R MR R R R MR MR MR S Xa 4+ Xa 5+ Xa 13 R R R R R R MR R R R R Xa 4+ Xa 5+ Xa 13 + Xa21 R R R R R R R R R R R Xa 4+ Xa 5+ Xa 7 R R R R MR R S R R R R Xa 4+ Xa 7+ Xa 21 R R R R R R MR R R MS R Marka keperluan silang balik (Marker Assisted Backcrossing). MAB secara rutin diterapkan dalam program pemuliaan tanaman untuk keperluan introgresi gen. Efisiensi dari proses ini tergantung dari desain eksperimen, terutama pada kepadatan dan posisi penanda dengan gen target, jumlah populasi, serta strategi seleksi (Frisch et al., 2005). Termasuk diantaranya jenis penanda molekuler yang digunakan, jumlah gen yang akan ditransfer, basis genetik dari trait target dan latar belakang genetik gen yang diintrogresi (Francia et al., 2005). Penanda molekuler efektif membantu untuk keperluan seleksi silang balik dengan cara menseleksi alel-alel target yang efeknya sulit untuk pengamatan secara fenotipik. Contohnya gen-gen target dengan sifat epistatis pada proses intogresi multiple genes. Sangat sulit untuk membedakan individu tanaman padi yang memiliki Xa21 sendiri dengan yang memiliki Xa21 dan tambahan gen-gen yang lain karena sifat gen ini menutupi keberadaan gen Xa yang lain (Sanchez et al., 2000). Selain sifat epistatis, penanda dapat mengidentifikasi alel yang tidak diekspresikan akibat kondisi lingkungan tertentu yang dapat menyebabkan kesalahan pengamatan secara visual. Terdapat 2 tipe seleksi yang dikenal pada tahapan silang balik yaitu seleksi foreground dan background (Hospital, 2003). Seleksi foreground untuk menseleksi individu tanaman yang mengandung alel donor pada lokus target. Tujuannya menjaga lokus target dalam keadaan heterozigot (gabungan alel dari donor dan recurrent parent). Sampai dengan tahap akhir backcrossing, tanaman kemudian diselfing pada kondisi homozigot dari donor. Sedangkan seleksi background yaitu mendeteksi alel-alel dari recurrent parent di seluruh genom. Seleksi ini sangat penting untuk mengeliminasi gen-gen yang berpotensi merusak dari donor. Dengan kata lain, diharapkan tidak terjadi proses linkage drag atau pewarisan alel donor yang tidak diinginkan di daerah genom yang sama sebagai lokus target. Untuk menghindari linkage drag pada seleksi secara konvensional, dibutuhkan 100 generasi silang balik, sedangkan dengan menggunakan marka sebagai alat bantu seleksi hanya dibutuhkan beberapa generasi (Young dan Tanskley, 1989). Berdasarkan hal tersebut, seleksi secara konvensional sangat sulit untuk dilakukan. Pemuliaan silang balik dengan memanfaatkan marka DNA dapat memfasilitasi introgresi gen pengendali karakter kualitatif secara efektif dan efisien. Sebagai contoh, tiga penanda STS (Sequence Tagged Sites), RG556, RG136 dan pTA248 masing-masing dapat dipakai untuk proses seleksi foreground guna mengkonfirmasi keterpautan gen xa5, xa13 dan Xa21 pada setiap generasi backcross padi (Huang et al., 1997; Sundaram et al., 2007). Tiap-tiap individu yang positif mengandung triple heterozygous R genes selanjutnya Vol. 3 No.2, 2013 diskrining dengan marka-marka SSR untuk mengetahui komposisi genom individu backcross yang terseleksi dengan recurrent parent Pemanfaatan Teknologi Molecular Breeding 105 sequencing the whole genome diselesaikan hanya dalam waktu kurang lebih seminggu. Selain untuk keperluan sekuensing genom, NGS juga dapat diaplikasikan untuk transcriptomics, epigenetics, dan M D RP 1 2 3 4 5 mempelajari 6 juga untuk menemukan protein-binding sites antara tanaman dan mikroba. Alat ini juga dapat digunakan untuk keperluan diagnostik dan functional genomic untuk mempelajari fungsi dari seluruh gen yang ada di genome mikroba. Beberapa aplikasi utama dari NGS pTA 248 untuk bidang genetika mikroba adalah sebagai berikut: Genom Patogen. Sejauh ini M D RP 1 2 3 4 5 Pendalaman 6 para peneliti hanya memperhatikan keragaman genetik yang ada dalam satu populasi tetapi tidak pernah memikirkan keragaman antara isolat yang satu dan isolat lainnya yang berasal dari strain laboratorium yang sama. Umumnya peneliti tidak pernah RG136 direstriksi dengan Hinf1 mempermasalahkan isogenisitas strain bakteri. Suatu studi yang mempelajari M D RP 1 2 3 4 5 polymorphisme 6 antara berbagai isolat yang berasal dari strain Bacillus subtilis yang sama menemukan bahwa ada perbedaan sampai dengan 31 nukleotida per genome (Srivatsan et al., 2008). Pendekatan yang sama juga digunakan untuk mempelajari mekanisme resistensi secara genetik dari mycobacterium tuberculosis terhadap berbagai obat-obatan. RG556 direstriksi dengan enzim Dra1 Pendalaman genome patogen sangat bermanfaat untuk menentukan gejala penyakit Gambar 1. Profile STS dari representatif sampel BC2F1. Sampel no 4 positif serta teknik pengendalian sedini mungkin. mengandung triple heterozygous R Sebagai contoh, kasus outbreak penyakit yang genes. (D: Donor; RP: Recurrent disebabkan oleh E.coli tahun lalu di Eropa. Parent). Hanya dalam waktu 62 jam, para peneliti Aplikasi Genomik dalam bidang sudah bisa mengidentifikasi mutasi apa yang Genetika Mikroba. Genomik dapat diartikan menyebabkan strain E coli menjadi highly sebagai cabang ilmu yang mempelajari virulent dengan menggunakan NGS (Mellmann keseluruhan informasi genetik (genome) dari et al., 2011). Di masa yang akan datang para suatu organisme. Ilustrasi terbaik mengenai peneliti juga akan banyak melakukan kemajuan di bidang genomik adalah sekuensing dari expressed sequence tags keberhasilan untuk mensekuens genom (EST) untuk menemukan gen-gen baru dan manusia. Pencapaian ini diakui sebagai juga mengidentifikasi transkrip yang terlibat prestasi terbesar yang pernah ada di bidang dalam proses-proses biologi penting. Ketahanan yang bersifat durable dan biologi. Project sebesar 3 milliar USD akhirnya berspektrum luas. Pathogen umumnya bisa diselesaikan dalam waktu 13 tahun. hanya dapat menginfeksi species tanaman Banyak informasi menarik yang dihasilkan dari mega project ini diantaranya tertentu. Tanaman ini disebut inang (host) diperkirakan manusia memiliki 20.000-25.000 bagi pathogen yang bersangkutan. Untuk gen dan 99.99 % dari genom setiap orang memanfaatkan tanaman sebagai inang, bersifat identik. Seiiring dengan waktu, keluar pathogen harus mengatasi mekanisme teknologi baru yang disebut next generation ketahanan tanaman mulai dari barrier fisik sequencing (NGS) yang memungkinkan 106 LUKMAN ET AL. seperti kutikula daun maupun reaksi induksi ketahanan (Niks & Marcel, 2009). Barisan terdepan dari induksi ketahanan ditriger oleh pathogen assosiated molecular patterns (PAMPs), dan sering dikenal dengan nama PAMP-triggered immunity (PTI) sehingga menyebabkan tanaman menjadi resisten terhadap pathogen. PAMPs biasanya merupakan bagian lestari dari epitope patogen seperti flagella pada bakteri atau chitin pada cendawan dikenali oleh reseptor tanaman yang ada di membran tanaman (pattern recognition receptors; PRRs). Namun, patogen yang virulen akan melepaskan efektor untuk mematahkan ketahanan PTI. Selain itu, efektor juga mempermudah terjadinya penyakit dengan mengaktifkan target efektor yang berfungsi sebagai faktor kerentanan sekaligus mendukung pertumbuhan dan perkembangan pathogen sendiri dan menghasilkan effector-triggered susceptibility (ETS). Tanaman memberikan respon dengan menghasilkan R protein yang mengenali effektor untuk menghasilkan respon ketahanan yang dikarakterisasi sebagai hypersensitive response (HR). Sistim ketahanan seperti ini disebut effectortriggered immunity (ETI) (Pieterse et al., 2009). Hal yang cukup menarik untuk diketahui adalah apakah ketahanan alami yang bersifat resesif merupakan hasil dari hilangnya fungsi dari gen S yang menyandikan target efektor. Bukti-bukti yang ada saat ini memperlihatkan bahwa protein yang dihasilkan oleh gen S diaktifkan oleh efektor untuk ETS. Karakterisasi fungsional memperlihatkan bahwa gen S menghasilkan protein yang dibutuhkan oleh patogen baik untuk proses pertumbuhan pada inang atau mekanisme pengaturan ketahanan yang bersifat negative sehingga menyebabkan tanaman menjadi rentan. Oleh karena itu hilangnya fungsi gen S akan menghasilkan ketahanan terhadap patogen. Ketahanan yang dihasilkan akan efektif dalam mengatasi berbagai pathogen berbeda dan bersifat ras non-spesifik (Pavan et al., 2010). Tantangan saat ini bagaimana memanfaatkan gen S sebagai pelengkap dari gen R untuk menghasilkan ketahanan yang bersifat durable dan berspektrum luas. Metagenomics. Pengetahuan dan pemahaman mengenai keragaman mikroorganisme yang ada di alam masih J. AGROTEKNOS sangat terbatas apabila dibandingkan dengan keragaman pada tanaman tingkat tinggi dan hewan dimana mungkin 90-99 % species yang ada telah diketahui (Snyder et al., 2009). Para ahli memperkirakan sekitar 99 % mikroorganisme yang ada di alam tidak bisa dikulturkan dengan teknik standard. Oleh karena itu diperlukan metode yang tidak menggunakan sistim pengkulturan untuk mempelajari keragaman genetik, struktur populasi dan peranan ekologi dari organisme ini. Sekuensing ribosomal RNAs (rRNA) dan gen yang menyandikannya membuka era baru bagi microbial ecology untuk mempelajari mikroorganisme yang tidak bisa dikulturkan yang ada di alam. Dari hasil penelitian mengenai 16S rRNA saja telah diketahui lebih dari 13000 prokariot baru (Singh et al., 2009). Tapi sayangnya informasi yang diperoleh dari 16S ribosomal RNA tidak banyak memberikan informasi mengenai aktivitas metabolisme dari komunitas mikroba. Permasalahan ini baru-baru ini dijawab oleh metagenomik, suatu bidang ilmu baru yang memungkinkan isolasi DNA secara langsung dari habitat tertentu dan dilanjutkan dengan cloning dari keseluruhan genom mikroorganisme yang berasal dari habitat yang dipelajari (MacLean et al., 2009). Informasi yang diperoleh dari metagenomik memungkinkan kita mendalami lebih lanjut simbiosis mikroba dan tanaman dalam menghasilkan metabolit, studi paleogenomics untuk mempelajari DNA dari hewan-hewan purba, sumber biokatalis dan antibotik, dan juga mempelajari siklus biogeochemical (Singh et al, 2009). KESIMPULAN Pemanfaatan marka molekuler dalam kegiatan pemuliaan ketahanan terhadap hama dan penyakit akan mempermudah proses seleksi dan mempercepat diperolehnya tanaman yang tahan Revolusi di bidang sekuensing telah menfasilitasi pendalaman studi mengenai genom patogen, penemuan gen-gen baru yang berasal dari mikroorganisme maupun keragaman mikroorganisme yang ada di alam. Hilangnya fungsi gen kerentanan (S gene) akan menghasilkan ketahanan yang bersifat durable dan berspektrum luas. Oleh karena itu eksplorasi dan pemanfaatan S gene perlu Vol. 3 No.2, 2013 dilakukan untuk menghasilkan alternatif pemuliaan ketahanan terhadap hama dan penyakit yang selama ini hanya memanfaatkan gen ketahanan (R gene). DAFTAR PUSTAKA MacLean, D., J. D. G. Jones, and D. J. Studholme. 2009. Application of ‘next-generation’ sequencing technologies to microbial genetics. Nat. Rev. Microb 7: 287-296. Mellmann, A. et al. 2011. Prospective Genomic Characterization of the German Enterohemorrhagic Escherichia coli 0104:H4 Oubreak by Rapid Next Generation Sequencing Technology. PloS one 6(7): e22751 Niks, R. E. , T.C. Marcel. 2009. Non host resistance and basal resistance: how to explain specificity? New Phytol 182: 817– 828 Pavan, S., E. Jacobsen, R.G.F. Visser, Y Bai. 2010. Loss of susceptibility as a novel breeding strategy for durable and broadspectrum resistance. Mol Breed 25(1): 112. Pieterse, CMJ, A. Leon-Reyes, S. Van der Ent, SCM. Van Wees. 2009. Networking by small-molecule hormones in plant immunity. Nat Chem. Biol 5(5): 308-316. Singh, J. et al. 2009. Metagenomics: Concept, methodology, ecological inference and recent advances. Biotechnol. J.(4): 480-494. Srivatsan, A. et al. 2008. High-precision, whole-genome sequencing of laboratory strains facilitates genetic studies. PLoS Genet. 4 (8): e1000139 Snyder, L. A., Loman, N., Pallen, M. J. & Penn, C. W. 2009. Next-generation sequencing — the promise and perils of charting the great microbial unknown. Microb. Ecol.57: 1–3. Baker, B., P. Zambryski, B. Staskawics, and S.P. Dinesh-Kumar. 1997. Signaling in plantmicrobe interactions. Science 276: 726733. Berruyer, R., H. Adreit, J. Milazzo, S. Gaillard, A. Berger, W. Dioh, M.H. Lebrun, and D. Tharreau. 2003. Identification and fine mapping of Pi33, the rice resistance gene corresponding to the Magnoporthe grisea avirulence gene ACE1. Theorical and Applied Genetic 107:1139-1147. Francia, E., G. Tacconi, C. Crosatti , D. Barabaschi , D. Bulgarelli , E. Dall’Aglio, G. Pemanfaatan Teknologi Molecular Breeding 107 Vale. 2005. Marker assisted selection in crop plants. Plant Cell. Tissue Organ Cult. 82: 317-342. Frisch, M., and A.E. Melchinger. 2005. Selection theory for marker assisted backcrossing. Genetics 170: 909–917. Gore, M.A., A.J. Hayes, S.C. Jeong, Y.G. Yu, G.R. Buss, M.A. Saghai Maroof. 2002. Mapping tightly linked genes controlling potyvirus infection at the Rsv1 and Rpv1 region in soybean. Genome 45:592–599. DOI:10.1139/G02-009. Hirano, Y., T. Arie. 2006. PCR-based differentiation of Fusarium oxysporum ff. sp. lycopersici and radicis-lycopersici and races of F. oxysporum f. sp. lycopersici. Gen. Plant Pathol. 72:273–283 Hospital F.,. 2003. Marker-assisted breeding. Plant Molecular Breeding. H.J. Newbury (ed) Blackwell Publishing, Carlton: 33-56. Hu, J., X. Li , C. Wu , C. Yang, H. Hua, G. Gao, J. Xiao and Y. He. 2010. Pyramiding and evaluation of the brown planthopper resistance genes Bph14 and Bph15 in hybrid rice. Mol Breeding DOI 10.1007/s11032-010-9526-x. Huang, N., E. R. Angeles, J. Domingo, G. Magpantay, S. Singh, G. Zhang, N. Kumaravadivel, J. Bennett, G. S. Khush. 1997. Pyramiding of bacterial blight resistance genes in rice: marker-assisted selection using RFLP and PCR. Theor Appl Genet. 95 : 313-320. Joshi, R.J., and S. Nayak. 2008. Gene pyramiding-A broad spectrum technique for developing durable stress resistance in crops. Biotechnology and Molecular Biology Review Vol. 5(3): 51-60. Kim, K.T., H.S. Choi, H.J. Kim, D.H. Pae, J.Y. Yoon. 2000. Development of DNA markers linked to bacterial leaf spot resistance of chilli. ISHS Acta Horticulturae 546: International Symposium on Molecular Markers for Characterizing Genotypes and Identifying Cultivars in Horticulture. Koide, Y., A. Kawasaki, M. J. TelebancoYanoria, A. Hairmansis, N. T. M. Nguyet, J. Bigirimana, D. Fujita, N. Kobayashi, and Y. Fukuta. 2010. Development of pyramided lines with two resistance genes, Pish and Pib, for blast disease (Magnaporthe oryzae B. Couch) in rice (Oryza sativa L.). Plant Breeding 129: 670-675. 108 LUKMAN ET AL. Myint, K.K.M., D. Fujita, M. Matsumura, T. Sonoda, A. Yoshimura, H. Yasui. 2011. Mapping and pyramiding of two major genes for resistance to the brown plant hopper (Nilaparvata lugens [Sta°l]) in the rice cultivar ADR52. Theor Appl Genet. DOI: 10.1007/s00122-011-1723-4. Sanchez, A.C., D. S. Brar, N. Huang, Z. Li, and G. S. Khush. 2000. Sequence tagged site marker-assisted selection for three bacterial blight resistance genes in rice. Crop Sci. 40:792–797. Song QJ., L.F. Marek, R.C. Shoemaker, K.G Lark, V.C Concibido, X. Delannay et al. 2004. A new integrated genetic linkage map of the soybean. Theor Appl Genet. 109:122–128. DOI:10.1007/s00122-004-1602-3. Sun, C., G. Zhang, M. Li, X. Wang, G. Zhang, Y. Tian and Z. Wang. 2010. Sequence characterized amplified region markers tightly linked to the dwarf mosaic resistance gene mdm1(t) in maize (Zea mays L.) Euphhytica: 174: 219-229. Sundaram, R.M., M.R Vishnupriya, S.K. Biradaret, G.S. Laha, G.A. Readdy, N. Shobha, Rani, N.P. Sarma and R.V. Sonthi. 2007. Marker assisted introgression of bacterial blight resistance in Samba Mahsuri, an elite indica rice variety. Euphytica DOI: 10.1007/s10681-0079564-6. J. AGROTEKNOS Telebanco-Yanoria, M. J., T. Imbe, H. Kato, H. Tsunematsu, L. A. Ebron, C. M. Vera Cruz, N. Kobayashi, and Y. Fukuta, 2008: A set of standard differential blast isolates (Pyricularia grisea (Cooke) Sacc.) from the Philippines for rice (Oryza sativa L.) resistance. Jpn. Agric. Res. Q. 42, 23—34. Yang L., R. B. Li , Y. R. Li , F. K. Huang, Y. Z. Chen, S. Sh. Huang, L. F. Huang, Ch. Liu, Z. F. Ma, D. H. Huang, and J. J. Jiang. 2012. Genetic mapping of bph20(t) and bph21(t) loci conferring brown planthopper resistance to Nilaparvata lugens Sta°l in rice (Oryza sativa L.). Euphytica 183:161– 171. Young, N.D. and S.D. Tanskley. 1989. RFLP analysis of the size of the chromosomal segments retained around the tm-2 locus of tomato during backcross breeding. Theor. Appl. Genet. 77: 353−359. Yoshimura S., A. Yoshimura , N. Iwata, S.R. McCouch, M.L. Abenes, M.R Baraoidan, T.W. Mew, R.J. Nelson. 1995. Tagging and combining bacterial blight resistance genes in rice using RAPD and RFLP markers. Mol Breed 1:375–387. Zhang G., E.R. Angeles, M.L.P. Abenes, G.S Khush, N. Huang. 1996. RAPD and RFLP mapping for the bacterial blight resistance gene xa-13 in rice. Theor Appl Genet 93:65–70.