PEMANFAATAN TEKNOLOGI MOLECULAR BREEDING DALAM

advertisement
JURNAL AGROTEKNOS Juli 2013
Vol. 3 No. 2. Hal 101-108
ISSN: 2087-7706
PEMANFAATAN TEKNOLOGI MOLECULAR BREEDING DALAM
PEMULIAAN KETAHANAN TANAMAN TERHADAP HAMA DAN
PENYAKIT
Technology Utilization in Molecular Breeding Crop Of Breeding
Resistance to Mites and Disease
RUDY LUKMAN, AHMAD AFIFUDDIN, HOERUSSALAM
Departemen Bioteknologi PT. BISI International, Tbk, Kediri-Jawa Timur
ABSTRACT
Application of gene for gene hypothesis in breeding resistance to pests and disease
should pay attention to genes and gene avirulen resistance of pathogens. The second aspect
of this exploration can be facilitated by molecular breeding technology. In addition,
molecular marking can also be used to incorporate some resistance genes in an individual
plant (gene pyramiding), a markup to the needs of cross-back (Marker Assisted
Backcrossing), as well as experimental support for the detection of seed borne diseases.
Rapid progress in the field of genomics has revealed some interesting phenomena about the
genetics of microbes such as pathogenic effector, studies the genetic identity of an equality
and diversity of microbial isolates that have not been explored. Better understanding of the
mechanisms of pathogenicity and pathogen interaction between plants and will speed up the
process of breeding for resistant plants.
Keywords: Molecular Breeding, variability of pathogens, gene resistance
1PENDAHULUAN
Ketahanan terhadap hama dan penyakit
merupakan salah satu target pemuliaan
tanaman yang sangat penting. Sistim
pertanaman monokultur dari varietas tahan
dan munculnya strain dan biotipe baru dari
patogen berpotensi untuk menurunkan status
ketahanan yang tentunya akan berimplikasi
terhadap penurunan produksi. Oleh karena
itu, perakitan varietas yang memiliki
ketahanan luas dan bersifat durable
merupakan suatu tantangan bersama antara
pemulia tanaman dan patologist.
Pengujian status ketahanan biasanya
dilakukan di green house atau lapangan.
Pelaksanaan kegiatan ini sering kali
membutuhkan fasilitas tempat yang memadai
dan juga waktu yang tidak sebentar. Lebih
lanjut, evaluasi status ketahanan harus
memperhatikan apakah kondisi lingkungan
Alamat Korespondensi:
E-mail: [email protected]
*)
pada
saat
pengujian
relevan
untuk
perkembangan patogen dan juga efisiensi dari
inokulasi yang dilakukan. Sebagai contoh
inokulasi untuk virus biasanya dilakukan oleh
serangga sebagai vector. Gejala penyakit tidak
akan teramati apabila jumlah serangga kurang
banyak atau serangga tidak membawa jumlah
virus yang cukup.
Perkembangan biologi molekuler telah
menghasilkan suatu alat bantu untuk
keperluan pemuliaan yang disebut marka
molekuler. Teknik ini memungkinkan pemulia
tanaman untuk menseleksi gen ketahanan
yang ada di tanaman berdasarkan konsep
adanya perbedaan sekuens DNA antara
individu yang bersifat rentan dan individu
yang bersifat tahan. Perbedaan ini dapat
disebabkan oleh perbedaan jumlah sekuens
berulang (dikenal dengan nama microsatellite
atau simple sequence repeat (SSR)), insersi
atau delesi dari segmen DNA atau perbedaan
satu
nukleotida
(single
nucleotide
polymorphism=SNP).
Umumnya
marka
molekuler yang banyak digunakan saat ini
adalah yang berbasis PCR.
102
LUKMAN ET AL.
Seleksi yang dibantu oleh marka molekuler
(MAS) tidak memerlukan fasilitas khusus
untuk uji biologi dan juga tidak dipengaruhi
oleh stadia pertumbuhan maupun kondisi
tumbuh seperti temperatur, kelembaban,
intensitas cahaya, panjang hari dan faktor
lingkungan
lainnya.
MAS
dapat
mengidentifikasi genotipe tahan secara cepat
dan terpercaya. Oleh karena itu penggunaan
marka molekuler untuk keperluan pemuliaan,
sering dikenal dengan nama teknologi
molecular breeding, akan mempersingkat
waktu dan meningkatkan efisiensi pemuliaan.
Determinasi gen Avirulen.
Pada awalnya gen avirulen didefinisikan
sebagai dampak negatif pada kemampuan
patogen untuk menginfeksi tanaman inang.
Banyak gen avirulen sekarang dikenal untuk
mewakili bagian dari faktor virulensi yang
terlibat dalam interaksi inang-patogen.
Karakterisasi gen avirulen telah menunjukkan
bahwa gen-gen tersebut menyandi berbagai
macam protein termasuk dari beberapa famili
gen. Meskipun fungsi biokimia dari produk
gen avirulen tidak diketahui, beberapa studi
telah dimulai untuk mengungkapkan fitur dan
hubungan menarik antara aktivitas avirulen
dan virulensi dari protein. Identifikasi
virulensi dan penjelasan fungsi keduanya
menjanjikan untuk menyediakan wawasan
tentang mekanisme pertahanan tanaman dan
strategi baru yang lebih baik untuk
mengendalikan penyakit tanaman.
Pengenalan patogen oleh tanaman tahan
dikontrol oleh gen ketahanan (R genes) yang
terdapat pada tanaman dan gen avirulen (Avr)
pada patogen melalui jalur signal tranduksi
yang mengaktifkan sistem pertahanan
tanaman (Baker et al., 1997). Pada tahapan ini
terdiri dua bentuk interaksi, yaitu reaksi
inkompatibel dan kompatibel. Interaksi
inkompatibel adalah interaksi antara gen
tahan pada tanaman inang dengan gen
avirulen pada patogen yang selanjutnya
menyebabkan
terbentuknya
reaksi
hipersensitif (HR) pada tanaman inang.
Sedangkan interaksi kompatibel adalah
interaksi antara tanaman inang yang rentan
dengan patogen yang virulen hingga
menyebabkan timbulnya penyakit.
Karakterisasi patogen secara umum
dilakukan berdasarkan reaksi virulensi pada
varietas diferensial atau dikenal dengan nama
ras, sedangkan karakter gen avirulensi, tipe
J. AGROTEKNOS
persilangan (mating type) dan masih jarang
dilakukan. Interaksi antara gen ketahanan
tanaman dan patogen perlu diketahui lebih
lanjut untuk dijadikan dasar dalam perakitan
varietas baru, dan menentukan varietas tahan
yang spesifik untuk lokasi dengan komposisi
ras/patotipe patogen yang berkembang di
tempat tersebut.
Berbagai tahap interaksi inang- cendawan
patogen disebabkan oleh beberapa enzim
pengurai dinding sel (CWDEs) (Keen dan
Tamaki 1986). Poligalakturonase adalah salah
satu CWDEs utama yang disekresi oleh
Fusarium oxysporum. Perbandingan urutan
nukleotida dari gen poligalakturonase telah
digunakan untuk studi karakterisasi patogen
cendawan F. oxysporum f. sp. lycopersici (FOL)
dengan Fusarium oxysporum f. sp. radicislycopersici (FORL). Empat primer spesifik di
desain berdasarkan urutan DNA dari gen
poligalakturonase
sehingga
dapat
membedakan antara FOL ras 1, ras 2 dan ras 3
dengan FORL (Hirano et al., 2006).
Penandaan Gen Ketahanan (Tagging of
Resistance
Genes).
Marka
molekuler
merupakan alat untuk melokalisasi gen yang
mengatur karakter agronomis penting melalui
pemetaan urutan DNA. Evaluasi morfologi di
tanaman atau tingkat sel menyediakan
informasi yang dapat digunakan untuk
menentukan lokasi kromosom dari gen target.
Hal ini dilakukan dengan menganalisis
hubungan antara marka molekuler dengan
ekspresi fenotipe target. Keterpautan erat
antara marka dengan gen yang diinginkan
dinamakan penandaan gen (gene tagging).
Analisa penandaan gen membutuhkan
populasi segregasi tinggi sehingga dapat
menghasilkan polimorfisme/variasi genetik
dari pengaplikasian marka molekuler. Proses
penandaan gen ketahanan pada tanaman
dilakukan dengan
mensurvei tetua yang
memiliki sifat ketahanan yang cukup kontras
dan sangat stabil dengan sifat sangat tahan
dan sangat rentan. Proses selanjutnya yaitu
menskrining marka-marka molekuler yang
menghasilkan polimorphism baik pada tetua
maupun populasi yang bersegregasi. Dengan
pendekatan analisis segregasi bulk (Bulk
Segregation Analysis) membuat identifikasi
menjadi lebih mudah, cepat, dan efisien.
Berikut ini merupakan contoh beberapa gen
ketahanan yang telah di tagging pada tanaman
Vol. 3 No.2, 2013
Pemanfaatan Teknologi Molecular Breeding 103
dengan penanda molekuler disajikan pada
Tabel 1
Tabel 1 Penandaan gen ketahanan dengan marka molekuler di beberapa tanaman.
Crop
Trait
Gen
Padi
Hawar daun bakteri
Xa-4
Jagung
Referensi
Xa-5
Xa-13
Xa-21
Marka
XNpb186,
RG 53
RG 556
RG 136
pTA248
Wereng coklat
Bph20
Bph25
Bph26
BYL6, BYL7
S00310
RM5479
Yang et al., 2012
Myint et al., 2010
Myint et al., 2010
Karat
rp3
rp4
mdm1 (t)
Rsun-1,
Rsun-2.
Sun et.al., 2009
Maize dwarf mosaic virus
McCouch et al. 1991)
Yoshimura et al., 1995
Zhang et al., 1996
Ronald et al.,1992
Kedelai
Soybean mosaic virus
Rsv1
Rsv3
Satt510
Satt063
Gore et al., 2002
Song et al., 2004
Cabai
Bercak daun
Bs2
SCD05
Kim et al., 2000
Piramidanisasi Gen (Gene Pyramiding).
Salah satu strategi untuk meningkatkan
ketahanan tanaman terhadap hama dan
penyakit yaitu melalui pendekatan gene
pyramiding. Dalam skemanya, penyatuan gengen dari beberapa galur pada satu individu
tanaman dapat menurunkan suatu genotipe
ideal yang homozigot untuk alel-alel
menguntungkan di semua lokus. Penggunaan
marka molekuler secara cepat dapat
mengidentifikasi gen dari keturunan di setiap
generasi sehingga meningkatkan kecepatan
proses piramidanisasi (Joshi et al., 2008).
Metode
ini
dimanfaatkan
untuk
mengkombinasikan banyak gen tahan yang
bersifat vertikal (bersifat spesifik untuk suatu
ras). Pada tanaman padi, piramidanisasi gen
telah diaplikasikan untuk meningkatkan status
ketahanan terhadap penyakit hawar daun
bakteri (Xanthomonas oryzae pv. Oryzae),
infeksi blast (Magnaporthe oryzae B. Couch)
dan serangan wereng coklat (Nilaparvata
lugens Stål). Ketiganya adalah patogen
berbahaya yang menimbulkan kerusakan
parah, penurunan produksi hingga 20-50 % di
beberapa negara.
Koide et al. (2010) menyatukan 2 NIL (Near
Isogenic Lines) yaitu IRBLsh-S[CO] yang
membawa gen ketahanan blast Pish dengan
IRBLb-W[CO] yang mengandung gen Pib. Gen
Pish dan Pib dilaporkan memiliki ketahanan
secara luas terhadap isolat-isolat di negara
Filipina dan Jepang (Kato et al., 2004;
Telebanco-Yanoria et al., 2008). Identifikasi
dan seleksi keterpautan 2 gen ini dibantu
dengan marka mikrosatelit RM6648 dan
RM5811 yang terletak pada kromosom 1 dan
RM208 dan Pibdom pada kromosom 2.
Sementara itu, integrasi 2 gen ketahanan,
Bph14 dan Bph15 dengan donor intogresi B5
dari Oryza officinalis, memiliki efek dosis yang
kuat terhadap resistensi wereng coklat pada
varietas Minghui 63 (Hu et al., 2010). Dari 21
gen ketahanan blast, Bph14 dan Bph15
bersifat dominan dan telah dipetakan dengan
baik sehingga mudah diseleksi dengan
penanda SSR yang ada di kromosom 3 dan 4.
Piramidanisasi gen galur-galur padi IRRI
bertujuan untuk mendapatkan galur tahan
terhadap BLB. Sebagai contoh IRBB60
memperlihatkan resistensi tinggi pada
pengujian seluruh ras Xanthomonas oryzae pv.
oryzae (Xoo) (Tabel 2). Dengan 4 gen
ketahanan Xa4, xa5, xa13 dan Xa21
menjadikan galur IRBB60 digunakan sebagai
donor intogresi dalam perakitan galur dan
varietas padi tahan BLB.
104
LUKMAN ET AL.
J. AGROTEKNOS
Tabel 2. Reaksi galur-galur IRRI terhadap ras-ras Xanthomonas oryzae pv. Oryzae
NIL
IRBB1
IRBB2
IRBB3
IRBB4
IRBB5
IRBB7
IRBB8
IRBB10
IRBB11
IRBB13
IRBB14
IRBB21
IRBB50
IRBB51
IRBB52
IRBB55
IRBB56
IRBB60
IRBB61
IRBB62
Gen Xa
Race 1 Race 2 Race 3B Race 3C Race 4 Race 5 Race 6 Race 7 Race 8 Race 9 Race 10
Xa 1
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
Xa 2
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
Xa 3
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
Xa 4
R
S
S
S
MR
R
S
R
R
S
R
Xa 5
R
R
R
R
S
R
S
R
R
R
R
Xa 7
MS
R
R
R
S
R
S
R
R
S
R
Xa 8
S
S
S
S
S
MR
S
S
S
S
S
Xa 10
S
R
S
S
S
R
S
R
S
S
S
Xa 11
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
Xa 13
S
S
S
S
S
S
R
S
S
S
S
Xa 14
S
S
S
S
S
R
S
S
R
S
S
Xa 21
R
R
R
MR
R
R
MR
MR
MR
MR
S
Xa 4+ Xa 5
R
R
R
R
R
R
S
R
R
R
R
Xa 4+ Xa 13
R
S
S
S
MS
R
R
R
MR
S
R
Xa 4+ Xa 21
R
R
R
MR
MR
R
MR
R
R
MR
R
Xa 13+ Xa 21
R
R
R
MR
R
R
R
MR
MR
MR
S
Xa 4+ Xa 5+ Xa 13
R
R
R
R
R
R
MR
R
R
R
R
Xa 4+ Xa 5+ Xa 13 + Xa21
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
Xa 4+ Xa 5+ Xa 7
R
R
R
R
MR
R
S
R
R
R
R
Xa 4+ Xa 7+ Xa 21
R
R
R
R
R
R
MR
R
R
MS
R
Marka keperluan silang balik (Marker
Assisted Backcrossing). MAB secara rutin
diterapkan dalam program pemuliaan
tanaman untuk keperluan introgresi gen.
Efisiensi dari proses ini tergantung dari desain
eksperimen, terutama pada kepadatan dan
posisi penanda dengan gen target, jumlah
populasi, serta strategi seleksi (Frisch et al.,
2005). Termasuk diantaranya jenis penanda
molekuler yang digunakan, jumlah gen yang
akan ditransfer, basis genetik dari trait target
dan latar belakang genetik gen yang
diintrogresi (Francia et al., 2005).
Penanda molekuler efektif membantu
untuk keperluan seleksi silang balik dengan
cara menseleksi alel-alel target yang efeknya
sulit untuk pengamatan secara fenotipik.
Contohnya gen-gen target dengan sifat
epistatis pada proses intogresi multiple genes.
Sangat sulit untuk membedakan individu
tanaman padi yang memiliki Xa21 sendiri
dengan yang memiliki Xa21 dan tambahan
gen-gen yang lain karena sifat gen ini
menutupi keberadaan gen Xa yang lain
(Sanchez et al., 2000). Selain sifat epistatis,
penanda dapat mengidentifikasi alel yang
tidak diekspresikan akibat kondisi lingkungan
tertentu yang dapat menyebabkan kesalahan
pengamatan secara visual.
Terdapat 2 tipe seleksi yang dikenal pada
tahapan silang balik yaitu seleksi foreground
dan background (Hospital, 2003). Seleksi
foreground untuk menseleksi individu
tanaman yang mengandung alel donor pada
lokus target. Tujuannya menjaga lokus target
dalam keadaan heterozigot (gabungan alel
dari donor dan recurrent parent). Sampai
dengan tahap akhir backcrossing, tanaman
kemudian diselfing pada kondisi homozigot
dari donor. Sedangkan seleksi background
yaitu mendeteksi alel-alel dari recurrent
parent di seluruh genom. Seleksi ini sangat
penting untuk mengeliminasi gen-gen yang
berpotensi merusak dari donor. Dengan kata
lain, diharapkan tidak terjadi proses linkage
drag atau pewarisan alel donor yang tidak
diinginkan di daerah genom yang sama
sebagai lokus target. Untuk menghindari
linkage drag pada seleksi secara konvensional,
dibutuhkan 100 generasi silang balik,
sedangkan dengan menggunakan marka
sebagai alat bantu seleksi hanya dibutuhkan
beberapa generasi (Young dan Tanskley,
1989).
Berdasarkan hal tersebut, seleksi secara
konvensional sangat sulit untuk dilakukan.
Pemuliaan silang balik dengan memanfaatkan
marka DNA dapat memfasilitasi introgresi gen
pengendali karakter kualitatif secara efektif
dan efisien. Sebagai contoh, tiga penanda STS
(Sequence Tagged Sites), RG556, RG136 dan
pTA248 masing-masing dapat dipakai untuk
proses
seleksi
foreground
guna
mengkonfirmasi keterpautan gen xa5, xa13
dan Xa21 pada setiap generasi backcross padi
(Huang et al., 1997; Sundaram et al., 2007).
Tiap-tiap individu yang positif mengandung
triple heterozygous R genes selanjutnya
Vol. 3 No.2, 2013
diskrining dengan marka-marka SSR untuk
mengetahui komposisi genom individu
backcross yang terseleksi dengan recurrent
parent
Pemanfaatan Teknologi Molecular Breeding 105
sequencing the whole genome diselesaikan
hanya dalam waktu kurang lebih seminggu.
Selain untuk keperluan sekuensing genom,
NGS juga dapat diaplikasikan untuk
transcriptomics, epigenetics, dan
M
D RP 1 2
3
4 5 mempelajari
6
juga untuk menemukan protein-binding sites
antara tanaman dan mikroba. Alat ini juga
dapat digunakan untuk keperluan diagnostik
dan functional genomic untuk mempelajari
fungsi dari seluruh gen yang ada di genome
mikroba. Beberapa aplikasi utama dari NGS
pTA 248
untuk bidang genetika mikroba adalah sebagai
berikut:
Genom Patogen. Sejauh ini
M
D RP 1 2
3
4 5 Pendalaman
6
para
peneliti
hanya
memperhatikan
keragaman genetik yang ada dalam satu
populasi tetapi tidak pernah memikirkan
keragaman antara isolat yang satu dan isolat
lainnya yang berasal dari strain laboratorium
yang sama. Umumnya peneliti tidak pernah
RG136 direstriksi dengan Hinf1
mempermasalahkan
isogenisitas
strain
bakteri. Suatu studi yang mempelajari
M
D RP 1 2
3
4 5 polymorphisme
6
antara berbagai isolat yang
berasal dari strain Bacillus subtilis yang sama
menemukan bahwa ada perbedaan sampai
dengan 31 nukleotida per genome (Srivatsan
et al., 2008). Pendekatan yang sama juga
digunakan untuk mempelajari mekanisme
resistensi secara genetik dari mycobacterium
tuberculosis terhadap berbagai obat-obatan.
RG556 direstriksi dengan enzim Dra1
Pendalaman genome patogen sangat
bermanfaat untuk menentukan gejala penyakit
Gambar 1.
Profile STS dari representatif sampel
BC2F1. Sampel no 4 positif
serta teknik pengendalian sedini mungkin.
mengandung triple heterozygous R
Sebagai contoh, kasus outbreak penyakit yang
genes. (D: Donor; RP: Recurrent
disebabkan oleh E.coli tahun lalu di Eropa.
Parent).
Hanya dalam waktu 62 jam, para peneliti
Aplikasi
Genomik
dalam
bidang sudah bisa mengidentifikasi mutasi apa yang
Genetika Mikroba. Genomik dapat diartikan menyebabkan strain E coli menjadi highly
sebagai cabang ilmu yang mempelajari virulent dengan menggunakan NGS (Mellmann
keseluruhan informasi genetik (genome) dari et al., 2011). Di masa yang akan datang para
suatu organisme. Ilustrasi terbaik mengenai peneliti juga akan banyak melakukan
kemajuan di bidang genomik adalah sekuensing dari expressed sequence tags
keberhasilan untuk mensekuens genom (EST) untuk menemukan gen-gen baru dan
manusia. Pencapaian ini diakui sebagai juga mengidentifikasi transkrip yang terlibat
prestasi terbesar yang pernah ada di bidang dalam proses-proses biologi penting.
Ketahanan yang bersifat durable dan
biologi. Project sebesar 3 milliar USD akhirnya
berspektrum
luas. Pathogen umumnya
bisa diselesaikan dalam waktu 13 tahun.
hanya
dapat
menginfeksi
species tanaman
Banyak informasi menarik yang dihasilkan
dari
mega
project
ini
diantaranya tertentu. Tanaman ini disebut inang (host)
diperkirakan manusia memiliki 20.000-25.000 bagi pathogen yang bersangkutan. Untuk
gen dan 99.99 % dari genom setiap orang memanfaatkan tanaman sebagai inang,
bersifat identik. Seiiring dengan waktu, keluar pathogen harus mengatasi mekanisme
teknologi baru yang disebut next generation ketahanan tanaman mulai dari barrier fisik
sequencing (NGS) yang memungkinkan
106
LUKMAN ET AL.
seperti kutikula daun maupun reaksi induksi
ketahanan (Niks & Marcel, 2009).
Barisan terdepan dari induksi ketahanan
ditriger oleh pathogen assosiated molecular
patterns (PAMPs), dan sering dikenal dengan
nama PAMP-triggered immunity (PTI)
sehingga menyebabkan tanaman menjadi
resisten terhadap pathogen. PAMPs biasanya
merupakan bagian lestari dari epitope
patogen seperti flagella pada bakteri atau
chitin pada cendawan dikenali oleh reseptor
tanaman yang ada di membran tanaman
(pattern recognition receptors; PRRs). Namun,
patogen yang virulen akan melepaskan efektor
untuk mematahkan ketahanan PTI. Selain itu,
efektor juga mempermudah terjadinya
penyakit dengan mengaktifkan target efektor
yang berfungsi sebagai faktor kerentanan
sekaligus mendukung pertumbuhan dan
perkembangan
pathogen
sendiri
dan
menghasilkan effector-triggered susceptibility
(ETS). Tanaman memberikan respon dengan
menghasilkan R protein yang mengenali
effektor
untuk
menghasilkan
respon
ketahanan yang dikarakterisasi sebagai
hypersensitive
response
(HR).
Sistim
ketahanan seperti ini disebut effectortriggered immunity (ETI) (Pieterse et al.,
2009).
Hal yang cukup menarik untuk diketahui
adalah apakah ketahanan alami yang bersifat
resesif merupakan hasil dari hilangnya fungsi
dari gen S yang menyandikan target efektor.
Bukti-bukti yang ada saat ini memperlihatkan
bahwa protein yang dihasilkan oleh gen S
diaktifkan
oleh
efektor
untuk
ETS.
Karakterisasi fungsional memperlihatkan
bahwa gen S menghasilkan protein yang
dibutuhkan oleh patogen baik untuk proses
pertumbuhan pada inang atau mekanisme
pengaturan ketahanan yang bersifat negative
sehingga menyebabkan tanaman menjadi
rentan. Oleh karena itu hilangnya fungsi gen S
akan menghasilkan ketahanan terhadap
patogen. Ketahanan yang dihasilkan akan
efektif dalam mengatasi berbagai pathogen
berbeda dan bersifat ras non-spesifik (Pavan
et al., 2010). Tantangan saat ini bagaimana
memanfaatkan gen S sebagai pelengkap dari
gen R untuk menghasilkan ketahanan yang
bersifat durable dan berspektrum luas.
Metagenomics.
Pengetahuan
dan
pemahaman
mengenai
keragaman
mikroorganisme yang ada di alam masih
J. AGROTEKNOS
sangat terbatas apabila dibandingkan dengan
keragaman pada tanaman tingkat tinggi dan
hewan dimana mungkin 90-99 % species yang
ada telah diketahui (Snyder et al., 2009). Para
ahli
memperkirakan
sekitar
99
%
mikroorganisme yang ada di alam tidak bisa
dikulturkan dengan teknik standard. Oleh
karena itu diperlukan metode yang tidak
menggunakan sistim pengkulturan untuk
mempelajari keragaman genetik, struktur
populasi dan peranan ekologi dari organisme
ini.
Sekuensing ribosomal RNAs (rRNA) dan
gen yang menyandikannya membuka era baru
bagi microbial ecology untuk mempelajari
mikroorganisme yang tidak bisa dikulturkan
yang ada di alam. Dari hasil penelitian
mengenai 16S rRNA saja telah diketahui lebih
dari 13000 prokariot baru (Singh et al., 2009).
Tapi sayangnya informasi yang diperoleh dari
16S ribosomal RNA tidak banyak memberikan
informasi mengenai aktivitas metabolisme
dari komunitas mikroba. Permasalahan ini
baru-baru ini dijawab oleh metagenomik,
suatu bidang ilmu baru yang memungkinkan
isolasi DNA secara langsung dari habitat
tertentu dan dilanjutkan dengan cloning dari
keseluruhan genom mikroorganisme yang
berasal dari habitat yang dipelajari (MacLean
et al., 2009). Informasi yang diperoleh dari
metagenomik memungkinkan kita mendalami
lebih lanjut simbiosis mikroba dan tanaman
dalam
menghasilkan
metabolit,
studi
paleogenomics untuk mempelajari DNA dari
hewan-hewan purba, sumber biokatalis dan
antibotik, dan juga mempelajari siklus
biogeochemical (Singh et al, 2009).
KESIMPULAN
Pemanfaatan marka molekuler dalam
kegiatan pemuliaan ketahanan terhadap hama
dan penyakit akan mempermudah proses
seleksi dan mempercepat diperolehnya
tanaman yang tahan
Revolusi di bidang sekuensing telah
menfasilitasi pendalaman studi mengenai
genom patogen, penemuan gen-gen baru yang
berasal dari mikroorganisme maupun
keragaman mikroorganisme yang ada di alam.
Hilangnya fungsi gen kerentanan (S gene)
akan menghasilkan ketahanan yang bersifat
durable dan berspektrum luas. Oleh karena itu
eksplorasi dan pemanfaatan S gene perlu
Vol. 3 No.2, 2013
dilakukan untuk menghasilkan alternatif
pemuliaan ketahanan terhadap hama dan
penyakit
yang
selama
ini
hanya
memanfaatkan gen ketahanan (R gene).
DAFTAR PUSTAKA
MacLean, D., J. D. G. Jones, and D. J. Studholme.
2009. Application of ‘next-generation’
sequencing technologies to microbial
genetics. Nat. Rev. Microb 7: 287-296.
Mellmann, A. et al. 2011. Prospective Genomic
Characterization
of
the
German
Enterohemorrhagic
Escherichia
coli
0104:H4 Oubreak by Rapid Next
Generation Sequencing Technology. PloS
one 6(7): e22751
Niks, R. E. , T.C. Marcel. 2009. Non host
resistance and basal resistance: how to
explain specificity? New Phytol 182: 817–
828
Pavan, S., E. Jacobsen, R.G.F. Visser, Y Bai.
2010. Loss of susceptibility as a novel
breeding strategy for durable and broadspectrum resistance. Mol Breed 25(1): 112.
Pieterse, CMJ, A. Leon-Reyes, S. Van der Ent,
SCM. Van Wees. 2009. Networking by
small-molecule
hormones
in
plant
immunity. Nat Chem. Biol 5(5): 308-316.
Singh, J. et al. 2009. Metagenomics: Concept,
methodology, ecological inference and
recent advances. Biotechnol. J.(4): 480-494.
Srivatsan, A. et al. 2008. High-precision,
whole-genome sequencing of laboratory
strains facilitates genetic studies. PLoS
Genet. 4 (8): e1000139
Snyder, L. A., Loman, N., Pallen, M. J. & Penn, C.
W. 2009. Next-generation sequencing —
the promise and perils of charting the great
microbial unknown. Microb. Ecol.57: 1–3.
Baker, B., P. Zambryski, B. Staskawics, and S.P.
Dinesh-Kumar. 1997. Signaling in plantmicrobe interactions. Science 276: 726733.
Berruyer, R., H. Adreit, J. Milazzo, S. Gaillard, A.
Berger, W. Dioh, M.H. Lebrun, and D.
Tharreau. 2003. Identification and fine
mapping of Pi33, the rice resistance gene
corresponding to the Magnoporthe grisea
avirulence gene ACE1. Theorical and
Applied Genetic 107:1139-1147.
Francia, E., G. Tacconi, C. Crosatti , D.
Barabaschi , D. Bulgarelli , E. Dall’Aglio, G.
Pemanfaatan Teknologi Molecular Breeding 107
Vale. 2005. Marker assisted selection in
crop plants. Plant Cell. Tissue Organ Cult.
82: 317-342.
Frisch, M., and A.E. Melchinger. 2005. Selection
theory for marker assisted backcrossing.
Genetics 170: 909–917.
Gore, M.A., A.J. Hayes, S.C. Jeong, Y.G. Yu, G.R.
Buss, M.A. Saghai Maroof. 2002. Mapping
tightly linked genes controlling potyvirus
infection at the Rsv1 and Rpv1 region in
soybean.
Genome
45:592–599.
DOI:10.1139/G02-009.
Hirano, Y.,
T. Arie. 2006. PCR-based
differentiation of Fusarium oxysporum ff.
sp. lycopersici and radicis-lycopersici and
races of F. oxysporum f. sp. lycopersici. Gen.
Plant Pathol. 72:273–283
Hospital F.,. 2003. Marker-assisted breeding.
Plant Molecular Breeding. H.J. Newbury
(ed) Blackwell Publishing, Carlton: 33-56.
Hu, J., X. Li , C. Wu , C. Yang, H. Hua, G. Gao, J.
Xiao and Y. He. 2010. Pyramiding and
evaluation of the brown planthopper
resistance genes Bph14 and Bph15 in
hybrid
rice.
Mol
Breeding
DOI
10.1007/s11032-010-9526-x.
Huang, N., E. R. Angeles, J. Domingo, G.
Magpantay, S. Singh,
G. Zhang, N.
Kumaravadivel, J. Bennett, G. S. Khush.
1997. Pyramiding of bacterial blight
resistance genes in rice: marker-assisted
selection using RFLP and PCR. Theor Appl
Genet. 95 : 313-320.
Joshi, R.J.,
and S. Nayak. 2008. Gene
pyramiding-A broad spectrum technique
for developing durable stress resistance in
crops. Biotechnology and Molecular
Biology Review Vol. 5(3): 51-60.
Kim, K.T., H.S. Choi, H.J. Kim, D.H. Pae, J.Y.
Yoon. 2000. Development of DNA markers
linked to bacterial leaf spot resistance of
chilli. ISHS Acta Horticulturae 546:
International Symposium on Molecular
Markers for Characterizing Genotypes and
Identifying Cultivars in Horticulture.
Koide, Y., A. Kawasaki, M. J. TelebancoYanoria, A. Hairmansis, N. T. M. Nguyet, J.
Bigirimana, D. Fujita, N. Kobayashi, and Y.
Fukuta. 2010. Development of pyramided
lines with two resistance genes, Pish and
Pib, for blast disease (Magnaporthe oryzae
B. Couch) in rice (Oryza sativa L.). Plant
Breeding 129: 670-675.
108
LUKMAN ET AL.
Myint, K.K.M., D. Fujita, M. Matsumura, T.
Sonoda, A. Yoshimura, H. Yasui. 2011.
Mapping and pyramiding of two major
genes for resistance to the brown plant
hopper (Nilaparvata lugens [Sta°l]) in the
rice cultivar ADR52. Theor Appl Genet. DOI:
10.1007/s00122-011-1723-4.
Sanchez, A.C., D. S. Brar, N. Huang, Z. Li, and G.
S. Khush. 2000. Sequence tagged site
marker-assisted selection for three
bacterial blight resistance genes in rice.
Crop Sci. 40:792–797.
Song QJ., L.F. Marek, R.C. Shoemaker, K.G Lark,
V.C Concibido, X. Delannay et al. 2004. A
new integrated genetic linkage map of the
soybean. Theor Appl Genet. 109:122–128.
DOI:10.1007/s00122-004-1602-3.
Sun, C., G. Zhang, M. Li, X. Wang, G. Zhang, Y.
Tian and Z. Wang. 2010. Sequence
characterized amplified region markers
tightly linked to the dwarf mosaic
resistance gene mdm1(t) in maize (Zea
mays L.) Euphhytica: 174: 219-229.
Sundaram, R.M.,
M.R Vishnupriya, S.K.
Biradaret, G.S. Laha, G.A. Readdy, N.
Shobha, Rani, N.P. Sarma and R.V. Sonthi.
2007. Marker assisted introgression of
bacterial blight resistance in Samba
Mahsuri, an elite indica rice variety.
Euphytica DOI: 10.1007/s10681-0079564-6.
J. AGROTEKNOS
Telebanco-Yanoria, M. J., T. Imbe, H. Kato, H.
Tsunematsu, L. A. Ebron, C. M. Vera Cruz, N.
Kobayashi, and Y. Fukuta, 2008: A set of
standard
differential
blast
isolates
(Pyricularia grisea (Cooke) Sacc.) from the
Philippines for rice (Oryza sativa L.)
resistance. Jpn. Agric. Res. Q. 42, 23—34.
Yang L., R. B. Li , Y. R. Li , F. K. Huang, Y. Z.
Chen, S. Sh. Huang, L. F. Huang, Ch. Liu, Z.
F. Ma, D. H. Huang, and J. J. Jiang. 2012.
Genetic mapping of bph20(t) and bph21(t)
loci
conferring
brown
planthopper
resistance to Nilaparvata lugens Sta°l in
rice (Oryza sativa L.). Euphytica 183:161–
171.
Young, N.D. and S.D. Tanskley. 1989. RFLP
analysis of the size of the chromosomal
segments retained around the tm-2 locus of
tomato during backcross breeding. Theor.
Appl. Genet. 77: 353−359.
Yoshimura S., A. Yoshimura , N. Iwata, S.R.
McCouch, M.L. Abenes, M.R Baraoidan, T.W.
Mew, R.J. Nelson. 1995. Tagging and
combining bacterial blight resistance genes
in rice using RAPD and RFLP markers. Mol
Breed 1:375–387.
Zhang G., E.R. Angeles, M.L.P. Abenes, G.S
Khush, N. Huang. 1996. RAPD and RFLP
mapping for the bacterial blight resistance
gene xa-13 in rice. Theor Appl Genet
93:65–70.
Download