ANALISIS BEBAN PENCEMARAN DAN KAPASITAS ASIMILASI KAWASAN PERAIRAN PELABUHAN SUNDA KELAPA JAKARTA SUTISNA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 © Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Kawasan Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta adalah karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan oleh sumber manapun. Sumber informasi yang terdapat atau dikutip telah disebutkan dalam tesis dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2007 Sutisna NRP. P025014091 ABSTRAK SUTISNA. Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Kawasan Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta. Dibimbing oleh ETTY RIANI dan PURWOKO Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan pelabuhan perikanan yang ramai sepanjang tahun. Pencemaran yang terjadi di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa akan mempengaruhi kualitas air di sekitarnya. Pengaruh oseanografi seperti arus, pasang surut dan gelombang dapat menyebarkan bahan pencemar ke luar area pelabuhan. Sungai yang bermuara di Perairan Sunda Kelapa adalah Sungai Ciliwung, sungai tersebut merupakan salah satu tempat pembuangan sampah domestik masyarakat dan industri di DKI Jakarta, yang secara akumulatif menambah jumlah beban pencemar, baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beban pencemaran, kapasitas asimilasi dan komposisi fitoplanton dan makrozoobentos serta hubungannya dengan status kawasan perairan Pelabuhan Sunda Kelapa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis pencemar dan beban pencemar dari sungai didapatkan secara berturut-turut (masing-masing dalam ton/bulan): TSS (538,02), BOD5 (62,14), COD (2159,40), NO3 (2,34), NH3 (2,89), PO4 (1,32), Pb (1,45), dan Cd (0,40). Kapasitas asimilasi masing-masing parameter yang diamati, berturut-turut (masing-masing dalam ton/bulan): TSS (2104,16 dan 2513,60), BOD5 (247,77 dan 377,31), COD (512,73 dan 1361,36), NO3 (0,135 dan -0,068), NH3 (3,46 dan 3,82), PO4 (0,46 dan 0,68), Pb (0,496 dan 0,75), serta Cd (0,078 dan 0,027). Status lingkungan perairan Pelabuhan Sunda Kelapa berdasarkan analisis STORET menunjukkan telah tercemar berat. Hal tersebut juga ditunjukkan dengan nilai keanekaragaman fitoplankton dan makrozobentos yang kurang dari 1, yang menandakan bahwa di kawasan perairan Pelabuhan Sunda Kelapa tersebut komunitas biota tidak stabil dan perairan tercemat berat. Melihat keadaan demikian, diharapkan pengelolaan kawasan perairan Pelabuhan Sunda Kelapa tidak hanya dalam otoritas bagi pengelola Pelabuhan Sunda Kelapa dan Pemerintah DKI Jakarta saja tetapi juga harus melibatkan kesadaran dari masyarakat DKI Jakarta dengan pengubahan perilaku masyarakat sepanjang bantaran sungai serta pengawasan manajemen lingkungan yang ketat terhadap industri yang diduga menjadi salah satu penyumbang limbah ke perairan Teluk Jakarta. Kata kunci : Beban Pencemaran, kapasitas asimilasi, status lingkungan ABSTRACT SUTISNA. Analysis of The Pollution Load and The Assimilation Capacity of Sunda Kelapa Port of Jakarta. Supervised by ETTY RIANI and PURWOKO. Sunda Kelapa Port has been one of busy fisheries port in Indonesia for along year. Water pollution was happened in Sunda Kelapa Port areas caused water quality being bad. Some effects was distribuded into river, and any water areas around Sunda Kelapa Beach. A river inside Sunda Kelapa Port is Ciliwung river. That rives is where domestics and industrial waste from DKI Jakarta are being discharged, which accumulatively add the load of pollution in quantity and quality. The aim of this research is to estimate the pollution load, the assimilation capacity, structur community of phytoplanktons and macrozoobenthos and what is the relations betwen the pollutions status in the water ecosystem and thats struktur community. The results of a research showed that the types of pollutan and the load of pollution from the river is obtained as follows (ton/month) are TSS (538,02), BOD5 (62,14), COD (2159,40), NO3 (2,34), NH3 (2,89), PO4 (1,32), Pb (1,45), and Cd (0,40). The assimilation capacities of each parameters observed in order are as follows (ton/month) are TSS (2104,16 and 2513,60), BOD5 (247,77 and 377,31), COD (512,73 and 1361,36), NO3 (0,135 and -0,068), NH3 (3,46 and 3,82), PO4 (0,46 and 0,68), Pb (0,496 and 0,75), and Cd (0,078 and 0,027). By STORET methode, Water enviromentall status on Sunda Kelapa Port has been being heavy polluted. Biodiversity value of phytoplanktons and makrozoobenthos are under one, that is under stable conditions of bio community and water ecosystem in Sunda Kelapa Port was heavyly polluted. Local goverment (PEMDA DKI Jakarta) and multisystem stakeholders who had the autority of the Sunda Kelapa Port have a responsibility to make a better conditions. Advocacy and public compaign will be done by all the concerned parties soon, and how do all participants care to change their attitude about enviromentall conditions. Key words : pollution load, assimilation capacity, environmentall status. ANALISIS BEBAN PENCEMARAN DAN KAPASITAS ASIMILASI KAWASAN PERAIRAN PELABUHAN SUNDA KELAPA JAKARTA SUTISNA Tesis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 JUDUL : ANALISIS BEBAN PENCEMARAN DAN KAPASITAS ASIMILASI KAWASAN PERAIRAN PELABUHAN SUNDA KELAPA JAKARTA NAMA : SUTISNA, S.P NRP : P.025014091 PROGRAM STUDI : PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN (PSL) Menyetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Etty Riani, M.S Ketua Drs. Purwoko, M.Si Anggota Mengetahui, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S Tanggal Ujian : 29 JAN 2007 Tanggal Lulus : PRAKATA Puji syukur yang tak hingga penulis sampaikan Kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini, dengan judul “Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Kawasan Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta”. Tesis ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini, di antaranya: 1. Kepada segenap anggota keluarga, khususnya Bapak (almarhum) dan ibu tercinta (San Ahmad dan Idjah) yang telah mengasuh dan membesarkanku dengan seluruh kasih sayangnya. Juga yang tercinta Istriku (Salimar) dan Anakku (Rizki) yang telah memberikan dorongan semangat dalam penyelesaian studi. Kepada Kang Tatang dan Teteh-tetehku semua atas segala dukungan dalam penyelesaian studi. 2. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS sebagai Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah banyak memberikan arahan dan bantuan yang tak hingga dalam upaya penulis menyelesaikan studi. 3. Dr. Ir. Etty Riani, MS sebagai ketua komisi pembimbing dan Drs. Purwoko, MSi sebagai anggota komisi pembimbing yang tidak hanya memberikan bimbingan dan masukkan dalam penyempurnaan isi tesis ini, tetapi juga memberikan dorongan dan motivasi pada penulis untuk segera menyelesaikan studi. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil, yang telah berkenan menjadi penguji luar, dan juga berkenan memberikan masukan dan saran untuk perbaikan tesis ini. 4. Kepada rekan-rekan mahasiswa Program Studi PSL, angkatan 2001 genap yang walaupun sudah lebih dahulu lulus studi tetapi masih memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan studinya. Juga khususnya ‘Angkatan 2004’ yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuan yang sangat berarti dalam penyelesaian tulisan tesis ini. Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu namun tak dapat saya sebutkan satu persatu. Penulis berharap, semoga tesis ini dapat berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Januari 2007 Sutisna RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat pada tanggal 10 September 1970 sebagai anak terakhir dari tujuh bersaudara. Dari Ayahanda San Ahmad (Alm) dan ibunda Idjah. Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus tahun 1996. Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiwa magister pada perguruan tinggi yang sama dengan biaya sendiri. Saat ini penulis telah berkeluarga dan bertempat tinggal di Bogor. Penulis bekerja sebagai konsultan free lance pada beberapa perusahaan konsultan yang ada di Jakarta dan Bogor. DAFTAR ISI halaman DAFTAR ISI.................................................................................................... DAFTAR TABEL............................................................................................ DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... x xiii xiv xvi I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1.2. Perumusan Masalah.............................................................................. 1.3. Kerangka Pemikiran............................................................................. 1.4. Tujuan Penelitian.................................................................................. 1.5. Manfaat Penelitian................................................................................ 1 1 3 5 6 6 II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... .... 2.1. Pencemaran Perairan ........................................................................... 2.2. Parameter Kualitas Perairan ................................................................ 2.2.1. Suhu.......................................................................................... 2.2.2. Salinitas ................................................................................... 2.2.3. Kecerahan dan Kekeruhan ....................................................... 2.2.4. Oksigen Terlarut (DO) ............................................................. 2.2.5. Derajat Keasaman (pH) ........................................................... 2.2.6. Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (BOD5) ................................ 2.2.7. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) ....................................... 2.2.8. Padatan Tersuspensi Total (TSS) ............................................ 2.2.9. Sedimen (Substrat) .................................................................. 2.2.10. Bahan Organik Dalam Sedimen ............................................... 2.2.11. Logam Berat ............................................................................ 2.3. Beban Pencemaran Dan Kapasitas Asimilasi Perairan ....................... 2.4. Organisme Fitoplankton ...................................................................... 2.5. Organisme Makrozoobentos ............................................................... 2.5.1. Peranan Makrozoobentos di Perairan....................................... 2.5.2. Struktur Komunitas Makrozoobentos ...................................... 8 8 8 8 9 9 10 11 11 11 12 12 13 14 16 17 18 18 19 III. METODOLOGI PENELITIAN................................................................. 3.1. Lokasi dan Waktu................................................................................. 3.2. Metode Pengumpulan Data ................................................................ 3.3. Metode Sampling ............................................................................... 21 21 22 22 x 3.3.1. Pengambilan Sampel Air.......................................................... 3.3.2. Pengambilan Sampel Sedimen ................................................ Metode Pengukuran Kualitas Perairan ............................................... Analisis Data ...................................................................................... 3.5.1. Beban Pencemaran Dan Kapasitas Asimilasi........................... 3.5.2. Struktur Komunitas Fitoplankton Dan Makrozoobentos ......... 3.5.2.1. Kepadatan Jenis........................................................... 3.5.2.2. Indeks Keanekaragaman (H’)...................................... 3.5.2.3. Indeks Keseragaman (E’) ............................................ 3.5.3. Penentuan Status Perairan ........................................................ 22 23 23 23 24 26 26 27 27 28 IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN.................................. 4.1. Sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa......................................................... 4.2. Karakteristik Pelabuhan Sunda Kelapa .............................................. 4.2.1. Letak Geografis ........................................................................ 4.2.2. Kondisi Hidro-Oseanografi ..................................................... 4.2.3. Kondisi Fisiografi dan Geomorfologi ..................................... 4.3. Sosial Ekonomi Wilayah Penelitian ................................................... 4.3.1. Kependudukan.......................................................................... 4.3.2. Mata Pencaharian Penduduk ................................................... 4.3.3. Fasilitas Perekonomian ............................................................ 4.4. Aktivitas Pelabuhan Sunda Kelapa .................................................... 4.4.1. Arus Kunjungan Kapal ............................................................. 4.4.2. Arus Barang ............................................................................. 30 30 31 31 31 32 32 32 33 34 34 34 35 V. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................. 5.1. Parameter Kualitas Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa ........................ 5.1.1. Parameter Fisika Kualitas Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa . 5.1.2. Parameter Kimia Kualitas Perairan Sunda Kelapa .................. 38 38 38 40 5.1.3. Kandungan Logam Berat Pada Air Dan Sedimen Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa .......................................... 48 3.4. 3.5. 5.1.4. 5.1.5. 5.1.6. 5.1.7. 5.1.8 Status Lingkungan Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa............. Kualitas Sedimen ..................................................................... Struktur Komunitas Fitoplankton ............................................ Struktur Komunitas Makrozoobentos ...................................... Beban Pencemaran Dan Kapasitas Asimilasi .......................... 5.1.8.1. Beban Pencemaran Di Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa 5.1.8.2. Kapasitas Asimilasi Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa. 51 53 54 56 57 57 59 xi VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 6.1. Kesimpulan........................................................................................... 6.2. Saran .................................................................................................. 68 68 68 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 70 LAMPIRAN 73 ................................................................................... xii DAFTAR TABEL halaman Tabel 1. Klasifikasi sedimen dasar menurut ukuran diameter butiran (Hutabarat dan Evan, 1986) ................................................................ 13 Tabel 2. Parameter lingkungan yang diamati beserta metode/alat yang digunakan (APHA, 1989) ................................................................... 26 Tabel 3. Klasifikasi mutu air berdasarkan metode STORET............................ 28 Tabel 4. Penentuan sistem nilai untuk menentukan status mutu perairan......... 29 Tabel 5. Keadaan kependudukan di wilayah penelitian.................................... 33 Tabel 6. Struktur mata pencaharian penduduk Kelurahan Penjaringan dan Kelurahan Ancol tahun 2004........................................................ 33 Tabel 7. Hasil pengukuran parameter fisik kualitas perairan Pelabuhan Sunda Kelapa..................................................................... 38 Tabel 8. Hasil perhitungan analisis STORET peruntukkan biota laut pada setiap stasiun pengamatan .......................................................... 51 Tabel 9. Hasil perhitungan analisis STORET peruntukkan pelabuhan pada setiap stasiun pengamatan .......................................................... 53 Tabel 10. Persentase fraksi dan jenis sedimen .................................................. 54 Tabel 11. Hasil analisis struktur komunitas fitoplankton pada setiap stasiun pengamatan ............................................................................. 55 Tabel 12. Hasil analisis struktur komunitas makrozoobentos pada setiap stasiun pengamatan ............................................................................. 56 Tabel 13. Nilai rerata beban pencemaran yang masuk Perairan Sunda Kelapa ...................................................................................... 58 Tabel 14. Fungsi hubungan linier beban pencemaran di sungai dengan konsentrasi parameter di perairan pelabuhan dan kapasitas asimilasinya ......................................................................... 60 xiii DAFTAR GAMBAR halaman Gambar 1. Kerangka pemikiran studi kapasitas asimilasi dan beban pencemaran di perairan Pelabuhan Sunda Kelapa.......... 7 Gambar 2. Lokasi penelitian studi kapasitas asimilasi dan Beban pencemaran di Pelabuhan Sunda Kelapa ....................... 21 Gambar 3. Grafik hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi polutan....................................................................................... 25 Gambar 4. Arus kunjungan kapal di Pelabuhan berdasarkan jenis pelayaran dalam satuan unit di Pelabuhan Sunda Kelapa ......................... 34 Gambar 5. Arus kunjungan kapal berdasarkan jenis pelayaran di Pelabuhan Sunda Kelapa (dalam GT)......................................................... 35 Gambar 6. Arus barang di Pelabuhan Sunda Kelapa berdasarkan perdagangan .............................................................................. 36 Gambar 7. Arus barang berdasarkan distribusi di Pelabuhan Sunda Kelapa ............................................................................ 36 Gambar 8. Arus barang berdasarkan Kemasan di Pelabuhan Sunda Kelapa ............................................................................ 37 Gambar 9. Nilai pH yang diukur pada masing-masing lokasi pengamatan ............................................................................... 41 Gambar 10. Hasil pengukuran BOD5 pada masing-masing lokasi pengamatan .............................................................................. 42 Gambar 11. Hasil pengukuran COD pada masing-masing lokasi pengamatan ............................................................................... 43 Gambar 12. Hasil pengukuran DO pada masing-masing lokasi pengamatan ............................................................................... 44 Gambar 13. Hasil pengukuran NH3 pada masing-masing lokasi pengamatan ............................................................................... 44 Gambar 14. Hasil pengukuran NO2 pada masing-masing lokasi pengamatan ............................................................................... 45 Gambar 15. Hasil pengukuran NO3 pada masing-masing lokasi pengamatan ............................................................................... 46 xiv Gambar 16. Hasil pengukuran PO4-P pada masing-masing lokasi pengamatan ............................................................................... 47 Gambar 17. Hasil pengukuran kesadahan pada masing-masing stasiun pengamatan ............................................................................... 47 Gambar 18. Hasil pengukuran logam berat Pb pada air laut pada setiap stasiun pengamatan ................................................ 48 Gambar 19. Hasil pengukuran logam berat Pb pada sedimen laut pada setiap stasiun pengamatan ................................................ 49 Gambar 20. Hasil pengukuran logam berat Cd pada air laut pada setiap stasiun pengamatan ................................................ 50 Gambar 21. Hasil pengukuran logam berat Cd pada sedimen laut pada setiap stasiun pengamatan ................................................ 50 Gambar 22. Grafik regresi antara beban limbah TSS di muara sungai dengan konsentrasi TSS pada jarak 500 dan 1000 m............... 61 Gambar 23. Grafik regresi antara beban limbah BOD5 di muara dengan konsentrasi BOD5 pada jarak 500 dan 1000 m............ 62 Gambar 24. Grafik regresi antara beban limbah COD di muara dengan konsentrasi COD pada jarak 500 dan 1000 m .............. 62 Gambar 25. Grafik regresi antara beban limbah NO3 di muara dengan konsentrasi NO3 pada jarak 500 dan 1000 m .............. 63 Gambar 26. Grafik regresi antara beban limbah NH4 di muara dengan konsentrasi NH4 pada jarak 500 dan 1000 m .............. 64 Gambar 27. Grafik regresi antara beban limbah PO4 di muara dengan konsentrasi PO4 pada jarak 500 dan 1000 m ............... 65 Gambar 28. Grafik regresi antara beban limbah Pb di muara dengan konsentrasi Pb pada jarak 500 dan 1000 m .................. 66 Gambar 29. Grafik regresi antara beban limbah Cd di muara dengan konsentrasi Cd pada jarak 500 dan 1000 m................. 67 xv DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Peta lokasi pengambilan sampel air dan sedimen .......................... 73 Lampiran 2. Rerata hasil pengukuran parameter kualitas lingkungan perairan di Pelabuhan Sunda Kelapa............................................... 74 Lampiran 3. Analisis regresi antara beban pencemar dan konsentrasi setiap parameter di perairan Pelabuhan Sunda Kelapa............................. 76 Lampiran 4. Prosedur analisis parameter kimia ................................................. 83 xvi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu permasalahan lingkungan yang sangat penting adalah pencemaran air. Pencemaran air merupakan satu masalah sangat penting karena air merupakan suatu zat yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya (PP No.82 tahun 2001). Keberadaan air yang tercemar akan sangat mengganggu sistem kehidupan, karena kebutuhan mahluk hidup akan air harus merupakan air yang memiliki kualitas yang baik dan kuantitas yang kontinyu. Penyebab terjadinya pencemaran air adalah masuknya limbah ke lingkungan perairan, baik air permukaan maupun air tanah. Limbah yang masuk ke lingkungan tersebut terdiri atas limbah padat dan limbar cair, limbah cair inilah yang biasanya disebut dengan air limbah yang merupakan sisa dari suatu hasil usaha dan atau kegiatan manusia yang berwujud cair. Air permukaan maupun air tanah yang tercemar sesuai dengan siklus hidrologi akan bermuara ke laut melewati sungai-sungai dan anak-anak sungai baik di permukaan maupun di dalam tanah. Air tercemar yang sampai di laut secara terus menerus, akan menjadi penyebab terjadinya pencemaran air laut. Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya (PP No.19 tahun 1999). Perairan Teluk Jakarta merupakan daerah pesisir yang sarat dengan permasalahan pencemaran laut, salah satu kasus akibat pencemaran yang terjadi di Teluk Jakarta diantaranya adalah kasus matinya ribuan ikan yang disebabkan oleh blooming algae atau fitoplankton. Blooming algae atau fitoplankton tersebut diduga akibat dari pencemaran limbah industri dan limbah rumah tangga yang masuk ke perairan teluk Jakarta (Fadli, 2004). Potensi pencemaran di Teluk Jakarta diperkirakan tinggi, tingginya tingkat pencemaran di Teluk Jakarta disebabkan oleh tingginya potensi limbah pencemar yang masuk dari daratan di sekitar teluk yang akan menambah beban pencemaran dari tahun ke tahun. Tingkat pencemaran laut akan terus meningkat karena masih dipercayainya pandangan bahwa fungsi perairan pesisir dan lautan sebagai tempat pembuangan limbah dari berbagai kegiatan manusia karena sekitar 60-85% sumber pencemar perairan pesisir dan laut berasal dari berbagai kegiatan di daratan sedangkan sisanya dari kegiatan di laut itu sendiri (Rajab, 2005). Penelitian terdahulu mengenai kondisi perairan Teluk Jakarta, (Anna, 1999) menunjukkan bahwa setiap parameter kualitas air yang diamati pada umumnya nilai konsentrasinya masih belum melampaui ambang batas baku mutu yang diperbolehkan untuk kegiatan perikanan dan kehidupan biota perairan kecuali untuk parameter BOD pada musim kemarau, nitrat dan fosfat pada musim hujan dan kemarau serta beberapa logam berat seperti tembaga , seng dan timah hitam pada musim penghujan dan kemarau. Sedangkan kapasitas asimilasi Teluk Jakarta, secara umum menunjukkan belum melampaui beban pencemar pada setiap parameter kualitas air yang diamati kecuali untuk parameter COD di musim kemarau. Data tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 1997 kondisi perairan Teluk Jakarta secara umum sesungguhnya tidak seburuk yang dipersepsikan pada saat itu yaitu mengalami pencemaran yang sangat berat dan kapasitas asimilasinya sudah melebihi beban pencemar, tetapi kondisi tersebut tentu akan berbeda dari tahun ke tahun. Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan bagian dari Teluk Jakarta dengan aktivitas yang bisa dikatakan cukup padat. Saat ini Pelabuhan Sunda Kelapa terkenal sebagai tempat kegiatan perikanan laut yang ramai sepanjang tahun, dan terkenal pula sebagai pelabuhan pendaratan ikan, pelabuhan penyeberangan atau transportasi antar pulau dan pelabuhan perdagangan terutama komoditas kayu. Belakangan ini arus kapal dan barang di Pelabuhan Sunda Kelapa telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan (Anonim, 2004). 2 Besarnya aktivitas di sekitar dan dari luar Pelabuhan Sunda Kelapa akan menghasilkan limbah yang akan masuk ke kawasan pelabuhan tersebut. Berdasarkan fenomena tersebut dapat dikatakan bahwa pelabuhan juga berperan sebagai penerima limbah. Limbah tersebut tidak saja berasal dari kegiatan manusia di kawasan pelabuhan seperti kegiatan bongkar muat barang, pengecatan kapal, pelayaran dan lain-lain, tetapi juga berasal dari sungai-sungai yang bermuara di Pelabuhan Sunda Kelapa. Pencemaran yang terjadi di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa akan mempengaruhi kualitas air di sekitarnya. Pengaruh oseanografi seperti arus, pasang surut dan gelombang dapat menyebarkan bahan pencemar ke luar area pelabuhan. Di wilayah sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa terdapat berbagai kegiatan seperti perikanan tangkap dan budidaya, kegiatan wisata laut di Kepulauan Seribu dan terdapat pula ekosistem terumbu karang yang merupakan ekosistem khas daerah tropis. Kejadian pencemaran di Pelabuhan Sunda Kelapa ini akan terasa pengaruhnya, tidak saja di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa, tetapi akan meluas ke daerah sekitarnya dan akan merugikan ekosistem perairan Teluk Jakarta. Mengingat besarnya aktivitas di Pelabuhan Sunda Kelapa dan adanya informasi bahwa sudah banyak parameter kualitas air sudah melewati kapasitas asimilasinya, maka perlu pula mengetahui berapa beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di kawasan perairan Pelabuhan Sunda Kelapa. 1.2. Perumusan Masalah Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan pelabuhan tertua di Indonesia, pelabuhan ini merupakan salah satu pelabuhan laut nasional untuk kegiatan arus distribusi barang maupun pelabuhan penumpang yang melayani pelayaran nasional antar pulau di Indonesia. Seiring dengan berjalannya waktu dan berbagai aktivitas manusia di dalam dan di sekitar pelabuhan, maka aktivitas-aktivitas sekitar dan dari luar pelabuhan Sunda Kelapa tersebut akan menghasilkan limbah yang akan masuk ke kawasan pelabuhan tersebut. Peningkatan aktivitas manusia di Pelabuhan Sunda Kelapa seperti perdagangan kayu, pendaratan ikan, dan transportasi antar pulau, akan menghasilkan limbah, baik limbah organik maupun limbah anorganik yang dibuang ke perairan, dan hal tersebut secara langsung 3 maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas dari perairan di sekitar pelabuhan. Berdasarkan fenomena tersebut maka dapat dikatakan bahwa pelabuhan juga berperan sebagai penerima limbah. Selain itu limbah tersebut tidak saja berasal dari kegiatan manusia di kawasan pelabuhan seperti kegiatan industri dan pelayaran, tetapi juga berasal dari aktivitas perkotaan yang ada di Jakarta yang akan mengalir melalui sungai yang bermuara di Pelabuhan Sunda Kelapa. Berdasarkan permasalahan pencemaran yang terjadi di Pelabuhan Sunda Kelapa tersebut, maka timbul pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan tersebut yaitu : 1. Bagaimana kondisi pencemaran perairan di wilayah Pelabuhan Sunda Kelapa pada saat, hal ini dapat diketahui dengan menganalisis kualitas air dan sedimen pada perairan tersebut ? 2. Bagaimana kondisi kapasitas asimilasi perairan di Pelabuhan Sunda Kelapa pada saat ini, apakah kapasitas asimilasi perairan tersebut sudah terlewati atau belum ? 3. Bagaimana komposisi fitoplankton dan makrozoobenthos yang ada di perairan dan sedimen di Pelabuhan Sunda Kelapa? Hal ini akan berkaitan dengan kondisi kapasitas asimilasi kawasan perairan tersebut. Berdasarkan permasalahan yang timbul di atas, maka untuk melihat kondisi perairan Pelabuhan Sunda Kelapa pada saat ini, perlu dilakukan analisis terhadap parameter kualitas air pada perairan tersebut, setelah itu perlu dihitung beban pencemar yang masuk ke perairan dan kapasitas beban perairan dalam menerima beban pencemar. Untuk mengetahui kapasitas asimilasi, dilakukan pengukuran terhadap nilai kapasitas beban perairan kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa dan beban pencemar yang masuk ke dalam perairan tersebut serta dengan menganalisis komposisi fitoplankton dan makrozoobenthos yang ada di perairan dan sedimen. 4 1.3. Kerangka Pemikiran Sumber bahan pencemar yang masuk ke perairan, pada umumnya berasal dari kegiatan manusia di berbagai sektor seperti industri, pertanian, pertambangan dan rumah tangga. Proses produksi yang dilaksanakan pada sektor-sektor tersebut akan menghasilkan limbah sebagai buangan sisa yang seharusnya dapat di daur ulang kembali atau diolah agar tidak berbahaya terhadap lingkungan sebelum dibuang, tetapi kecenderungan yang ada menunjukkan bahwa untuk menghemat biaya dan waktu, proses tersebut tidak dilakukan. Pembuangan limbah sisa proses produksi tersebut merupakan sumber bahan pencemar seperti TSS, BOD, NO3, NH3, PO4, Pb dan Cd. Sumber bahan pencemar limbah tersebut dapat menurunkan pH dan oksigen terlarut yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas perairan (air dan sedimen) yang pada jangka panjang akan berpengaruh terhadap kehidupan biota perairan. Proses pencampuran pada perairan dapat berpengaruh terhadap proses pengenceran bahan pencemar yang masuk ke perairan. Proses pencampuran dipengaruhi oleh kondisi pasang dan surut air laut. Kondisi pasang surut akan mempengaruhi proses pemindahan bahan pencemar ke luar perairan yang biasa disebut dengan waktu pembilasan. Waktu pembilasan ini penting untuk mengestimasi waktu tinggal bahan pencemar pada suatu perairan. Oleh sebab itu waktu pembilasan dan laju pengenceran akan berhubungan dengan kapasitas beban perairan dalam menerima bahan pencemar yang masuk. Berdasarkan hal tersebut maka dengan masuknya limbah ke suatu perairan dapat mempengaruhi kualitas air dan akan mempengaruhi kapasitas asimilasi perairan. Kapasitas asimilasi adalah kemampuan suatu perairan dalam menerima beban pencemar tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukkannya yaitu untuk kehidupan biota laut sesuai standar baku mutu kualitas air laut berdasarkan KepMen LH No. 2 tahun 1988 dan KepMen LH No.51 tahun 2004. Suatu perairan dikatakan tercemar apabila beban pencemar lebih besar dari kapasitas asimilasinya yang ditandai dengan tingginya konsentrasi bahan 5 pencemar dibandingkan dengan konsentrasi ambang batas baku mutu yang berlaku. Dalam studi ini nilai kapasitas asimilasi diasumsikan merupakan fungsi dari kualitas air dan beban limbah. Selanjutnya nilai kapaitas asimilasi dianalisis dengan melihat seberapa besar peran masing-masing parameter terhadap beban pencemarannya. Skema kerangka pemikiran studi ini dapat dilihat pada Gambar 1. 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di perairan Pelabuhan Sunda Kelapa. 2. Mengetahui struktur komunitas organisme fitoplankton dan makrozoobenthos berkaitan dengan kapasitas asimilasi perairan sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa. 3. Mengetahui status pencemaran di perairan Pelabuhan Sunda Kelapa. 1.5. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1) Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya di perairan Sunda Kelapa 2) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam pengelolaan perairan Sunda Kelapa, 3) Sebagai bahan informasi bagi masyarakat pengguna langsung Perairan Sunda Kelapa. 6 Sumber pencemar Jenis Bahan Pencemar Jumlah Bahan Pencemar Morfologi Perairan Beban Pemcemar Dinamika Perairan KBP>KBM/KBP<KBM Baku Mutu KepMen LH No.51/2004 dan KepMen LH No.2/1988 Kualitas Perairan (Konsentrasi Bahan Pencemar) Keterangan : KBP = Konsentrasi Bahan Pencemar KBM = Konsentrasi Baku Mutu Kapasitas Asimilasi Perairan Sunda Kelapa Laju Pengenceran & Waktu Pembilasan Status Pencemaran Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa Gambar 1. Kerangka pemikiran studi kapasitas asimilasi dan beban pencemaran di perairan Pelabuhan Sunda Kelapa. 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan Pencemaran adalah peristiwa perubahan yang terjadi terhadap sifat-sifat fisik-kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air (Odum, 1971), sedangkan definisi pencemaran menurut PP No.82 tahun 2001, pencemaran adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. Pencemaran perairan didefinisikan sebagai dampak negatif masuknya zat pencemar kedalam suatu perairan sehingga berpengaruh terhadap kehidupan biota, sumberdaya dan ekosistem perairan serta kesehatan manusia yang hidup disekitar perairan tersebut. Bahan pencemar atau zat pencemar menurut sumbernya terbagi menjadi dua yaitu yang berasal dari alam dan kegiatan manusia. Pencemaran yang yang diakibatkan oleh kegiatan manusia diantaranya adalah pemanfaatan sumberdaya alam pada proses pertambangan, perindustrian dan pertanian (Sutamiharja, 1978). 2.2. Parameter Kualitas Perairan 2.2.1. Suhu Menurut Dark (1974), suhu berpengaruh terhadap keberadaan suatu spesies maupun komunitas tertentu yang cenderung bervariasi dengan berubahnya suhu. Hal ini disebabkan, suhu dapat menjadi suatu faktor pembatas bagi beberapa fungsi biologis hewan air seperti migrasi, pemijahan, efisiensi makanan, kecepatan renang, perkembangan embrio, dan kecepatan metabolisme. Pengaruh suhu terhadap proses respirasi dan metabolisme berlanjut terhadap pertumbuhan dan proses fisiologis serta siklus reproduksinya (Hutabarat dan Evan, 1986). Setiap jenis biota akuatik mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap suatu rentang suhu tertentu. Di luar rentang suhu yang dapat ditoleransi akan menimbulkan kematian bagi biota tersebut. Keberadaan suhu di perairan estuaria selain dipengaruhi oleh sinar matahari juga dipengaruhi oleh resultan dari percampuran antara air tawar dengan air laut yang berbeda suhunya (Nybakken, 1988). Perairan estuari bersifat dinamik sehingga kemungkinan terjadinya stratifikasi suhu pun menjadi sangat kecil. 2.2.2. Salinitas Nontji (1987) mendefinisikan salinitas sebagai jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan per mil atau gram per liter. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Di Indonesia nilai salinitas rata-rata tahunan yang terendah sering dijumpai di perairan Indonesia bagian barat dan semakin ke timur nilai rata-rata tahunannya semakin meningkat. Hal ini disebabkan pengaruh massa air yang mempunyai salinitas lebih tinggi dari Samudra Pasifik sepanjang musim dan lebih sedikitnya pengaruh massa air dari daratan disebabkan oleh sedikitnya sungai-sungai besar di Indonesia bagian timur dibanding bagian barat. Kondisi salinitas yang rendah di daerah khatulistiwa disebabkan tingginya curah hujan. Ketika pergerakan pasang surut terjadi, seluruh massa air di estuari bergerak, sehingga terjadi pergeseran antara massa air dengan dasar estuari yang menghasilkan pergolakan. Pergolakan ini memiliki kecenderungan untuk mencampur kolom air dengan lebih baik. Meskipun tidak terdapat pergerakan vertikal air tetapi terdapat sebuah perubahan salinitas. Pergolakan di atas tidak hanya mencampurkan massa air garam ke permukaan lapisan yang lebih tawar, tetapi juga mencampur massa air sungai di bagian dasar. Keberadaan salinitas di estuari mencirikan adanya gradient salinitas, mulai dari dominasi air laut sampai ke dominasi air tawar di hulu estuari. Gradien salinitas tersebut berubah secara dinamik, sesuai dengan perubahan debit air sungai, pasang surut serta arus perairan pantai (Nybakken, 1988). 2.2.3. Kecerahan dan Kekeruhan Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang diamati secara visual dengan alat bantu yang disebut “secchi disc”. Keadaan cuaca dan waktu 9 pengukuran sangat berpengaruh terhadap hasil nilai kecerahannya. Pengaruh kandungan lumpur terutama di daerah muara dapat mengakibatkan tingkat kecerahan air menjadi rendah (Nybakken, 1988). Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air (APHA, 1989). Menurut Mason (1981), kekeruhan air biasanya disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi dan koloid yang terdapat di dalam air, misalnya partikel-partikel lumpur, bahan organik, plankton, dan mikroorganisme. Perairan yang keruh tidak disukai oleh organisme air karena mengganggu sistem pernafasan sehingga menghambat pertumbuhan dan perkembangan terutama untuk makrozoobenthos. 2.2.4. Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut merupakan salah satu elemen penting dalam kehidupan laut. Kadar oksigen di dalam air laut lebih kecil daripada di udara, dimana nilainya masing-masing 9 mg/l dan 200 mg/l (King, 1963). Sebaran kandungan oksigen terlarut di laut dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : 1) interaksi antara permukaan laut dengan atmosfer; 2) kegiatan biologi yang dapat mempengaruhi konsentrasi O2 dan CO2 dan; 3) arus dan proses percampuran yang mempunyai kecenderungan yang mengubah pengaruh-pengaruh kegiatan biologi lewat gerakan massa air (King, 1963). Penyebaran O2 di laut bervariasi menurut kedalaman, satu penampang tertentu dari O2 memperlihatkan jumlah O2 maksimum terdapat pada permukaan air sampai pada kedalaman 10-20 meter. Kegiatan fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan difusi O2 dari atmosfer sering mengakibatkan kejenuhan, kedalaman bertambah kandungan O2 berkurang (Nybakken, 1988). Hutabarat dan Evan (1986) menambahkan bahwa kadar oksigen terlarut akan meningkat pada lapisan permukaan di waktu siang hari. Kandungan oksigen terlarut di dalam air laut berbanding terbalik dengan suhu perairan. Suhu semakin rendah, maka semakin besar kelarutannya di dalam air laut. 10 2.2.5. Derajat keasaman (pH) Pescod (1973) menyatakan bahwa masing-masing organisme mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mentoleransi nilai pH perairan tergantung dari suhu, oksigen terlarut, adanya berbagai kation, dan anion serta aktivitas biologi. Hynes (1978) menyebutkan bahwa nilai pH di bawah atau di atas 9 sangat tidak menguntungkan bagi kehidupan makrozoobenthos. 2.2.6. Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (BOD5) BOD5 merupakan ukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik yang terdapat dalam air dalam waktu lima hari. Nilai BOD yang besar menunjukkan aktivitas mikroorganisme yang semakin tinggi dalam menguraikan bahan organik. Nilai BOD yang tinggi menunjukkan penurunan kualitas perairan (APHA, 1989). Kadar BOD perairan berpengaruh terhadap komposisi jenis makrozoobentos. (Setyobudiandi, 1996). Nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relative jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan (Fardiaz, 1992). 2.2.7. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) Nilai COD dapat dijadikan sebagai ukuran tingkat pencemaran di perairan oleh bahan organik yang secara alamiah dapat dioksidsasi dengan proses mikrobiologi dan akan menyebabkan berkurangnya konsentrasi oksigen di perairan (APHA, 1989). Menurut Fardiaz (1992), uji COD adalah suatu uji yang menentukan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan, misalnya kalium dikhromat, untuk mengoksidasi bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air. Uji COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan oksigen yang lebih tinggi daripada uji BOD, karena bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD. 11 2.2.8. Padatan Tersuspensi Total (TSS) Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut, dan tidak dapat mengendap langsung. Padsatan tersuspensi terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil daripada sedimen, misalnya tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme, dan sebagainya. Seperti halnya padatan terendap, padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosintesis (Fardiaz, 1992). Padatan tersuspensi merupakan bahan-bahan tersuspensi dalam air yang tertahan pada kertas saring 0,45 µm dan tidak terlarut. Padatan tersuspensi mempengaruhi juga fotosintesis dalam air (APHA, 1989). 2.2.9. Sedimen (Substrat) Brower dan Zar (1990) mengatakan bahwa jenis substrat perairan sangat menentukan kepadatan dan komposisi hewan benthos. Substrat didefinisikan sebagai campuran dari fraksi lumpur, pasir, dan liat dalam tanah. Substrat perairan yang berlumpur mengandung bahan organik yang tinggi yang dapat menyebabkan rendahnya oksigen terlarut dan tingginya kekeruhan, yang pada akhirnya akan menimbulkan keadaan anoksik di dalam substrat sehingga kondisi perairan tercemar dan organisme yang ada dalam substrat terganggu. Nybakken (1988) menyebutkan bahwa tipe substrat berpasir dibagi menjadi dua yaitu tipe substrat berpasir halus dan tipe substrat berpasir kasar. Pada tipe substrat berpasir kasar memiliki laju pertukaran air yang cepat dan kandungan bahan organik yang rendah, sehingga oksigen terlarut selalu tersedia, proses dekomposisi di substrat dapat berlangsung secara aerob serta terhindar dari kondisi toksik. Tipe substrat berpasir halus kurang baik untuk pertumbuhan organisme perairan, karena memiliki pertukaran air yang lambat dan dapat menyebabkan anoksik, sehingga proses dekomposisi yang berlangsung di substrat pada keadaan anaerob, yang dapat mengganggu kehidupan benthos. Odum (1971) menjelaskan bahwa pengendapan partikel lumpur di dasar perairan tergantung pada arus. Apabila arusnya kuat maka partikel yang 12 mengendap adalah partikel yang berukuran besar. Sebaliknya pada tempat yang arusnya lemah maka yang akan mengendap adalah lumpur halus. Partikel yang berukuran lebih halus biasanya akan terbawa jauh oleh arus. Tipe substrat suatu perairan akan menentukan kehidupan dan komposisi makrozoobenthos. Penyebaran dan kepadatan makrozoobenthos berhubungan dengan diameter ratarata butiran sedimen, kandungan debu dan liat serta adanya cangkang-cangkang biota yang telah mati. Pada daerah estuari yang memiliki arus yang kuat, umumnya memiliki substrat berpasir. Hal ini terjadi akibat pengaruh arus sehingga partikel-partikel yang berukuran besar akan mengendap lebih cepat. Sedangkan partikel yang berukuran lebih kecil akan lama dipertahankan dalam suspensi dan terbawa ke suatu tempat mengikuti arus dan gelombang. Endapan lumpur banyak mengendap di pantai, terutama jika air laut terdorong ke luar estuari karena aliran air tawar yang besar (Nybakken, 1988). Klasifikasi sedimen dasar menurut butiran dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi sedimen dasar menurut ukuran diameter butiran (Hutabarat dan Evan, 1986) Jenis Diameter butiran (mm) Batuan >256 Kerikil 2-256 Pasir sangat kasar 1-2 Pasir kasar 0,5-1 Pasir 0,25-0,5 Pasir halus 0,125-0,25 Pasir sangat halus 0,0625-0,125 Lumpur 0,0020-0,0625 Liat 0,0005-0,0020 Bahan terlarut <0,0005 2.2.10. Bahan Organik dalam Sedimen Bahan organik dalam ekosistem dapat berasal dari perairan itu sendiri (autocthonous) maupun berasal dari luar (allochthonous). Bahan organik yang 13 berasal dari luar didapat dari adanya proses alami yang terbawa oleh air tanah dan air permukaan tanah serta berasal dari aktivitas manusia yang langsung memasukkan bahan organik ke dalam air melalui kegiatan pertanian dan industri (Hidayah, 2003). Bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber makanan bagi organisme benthik, sehingga laju penambahannya dalam sedimen mempunyai pengaruh yang besar terhadap populasi dasar. Bahan organik dalam sedimen berasal dari dekomposisi organisme, kotoran hewan, hasil sekresi dan masukan dari darat (Hidayah, 2003). 2.2.11. Logam Berat Logam berat adalah logam-logam yang memiliki spesifikasi gravity yang sangat besar (>4), terletak pada nomor atom 22-34 dan 40-50 serta unsur-unsur lantanida dan aktinida serta mempunyai respon biokimia khas (spesifik) pada organisme hidup. Berbeda dengan logam biasa, logam berat biasanya menimbulkan efek-efek khusus pada makhluk hidup. Dapat dikatakan bahwa semua logam berat dapat menjadi bahan racun yang akan meracuni tubuh makhluk hidup. Namun demikian, meski semua logam berat dapat mengakibatkan keracunan atas makhluk hidup, sebagian dari logam-logam berat tersebut tetap dibutuhkan oleh makhluk hidup. Kebutuhan tersebut berada dalam jumlah yang sangat sedikit. Tetapi bila kebutuhan dalam jumlah yang sangat kecil itu tidak terpenuhi, maka dapat berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup dari setiap makhluk hidup. Karena tingkat kebutuhan sangat dipentingkan maka logam-logam tersebut dinamakan sebagai logam-logam atau mineral-mineral esensial tubuh (Palar, 2004). a. Timbal (Pb) Timbal atau dalam kesehariannya lebih dikenal dengan nama ilmiah timah hitam. Logam ini termasuk ke dalam kelompok logam-logam golongan IV-A pada Tabel Periodik unsur kimia. Mempunyai nomor atom (NA) 82 dengan bobot atau berat atom (BA) 207,2. Penyebaran logam timbal sangat sedikit. Jumlah timbal yang terdapat di seluruh lapisan bumi hanyalah 0,0002% dari jumlah 14 seluruh kerak bumi. Jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah kandungan logam berat lainnya yang ada di bumi. Logam Pb mempunyai sifatsifat yang yang khusus yaitu, merupakan logam lunak, sehingga dapat dipotong dengan menggunakan pisau atau dengan tangan dan dapat dibentuk dengan mudah, merupakan logam yang tahan terhadap peristiwa korosi atau karat, mempunyai titik lebur rendah ( 327,5 °C), mempunyai kerapatan yang lebih besar dibandingkan dengan logam-logam biasa (kecuali emas dan merkuri) dan merupakan penghantar listrik yang buruk (Palar, 2004). Timbal dan persenyawaannya dapat berada di dalam badan perairan secara alamiah dan sebagai dampak dari aktivitas manusia. Secara alamiah, Pb dapat masuk ke badan perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Disamping itu proses korosifikasi dari batuan mineral akibat hempasan gelombang dan angin, juga merupakan salah satu jalur sumber Pb yang akan masuk ke dalam badan air. Badan perairan yang telah kemasukan logam Pb dengan jumlah konsentrasi melebihi yang semestinya dapat menyebabkan kematian pada biota. Konsentrasi Pb yang mencapai 188 mg/l dapat membunuh ikan-ikan, konsentrasi Pb 2.75-49 mg/l dapat membunuh crustacea sedangkan konsentrasi Pb 3.5-64 mg/l akan membunuh biota golongan insecta (Palar, 2004). b. Kadmium (Cd) Logam Cd atau kadmium mempunyai penyebaran yang luas di alam. Hanya ada satu jenis mineral kadmium di alam, yaitu greennockite (CdS) yang selalu ditemukan bersamaan dengan mineral spalerite (ZnS). Mineral greennockite ini sangat jarang ditemukan di alam, sehingga dalam eksploitasi logam Cd, biasanya merupakan produksi sampingan dari kegiatan peleburan logam Zn (seng). Seperti halnya unsur-unsur kimia lainnya terutama golongan logam, logam Cd mempunyai sifat fisika dan kimia tersendiri. Berdasarkan pada sifat fisikanya, Cd merupakan logam yang lunak, ductile, berwarna putih seperti putih perak. Logam ini akan kehilangan kilapnya bila berada dalam udara yang basah atau lembab serta akan cepat mengalami kerusakan bila dikenai oleh uap ammonia (NH3) dan sulfur hidroksida (SO2). Sedangkan berdasarkan sifat kimianya, logam Cd 15 didalam persenyawaan yang dibentuknya pada umumnya mempunyai bilangan valensi 2+, sangat sedikit yang mempunyai bilangan valensi 1+ (Palar, 2004). Logam kadmium sangat banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari manusia, terutama merupakan hasil efek samping dari aktivitas yang dilakukan manusia. Dalam strata lingkungan, logam Cd dan persenyawaanya ditemukan dalam banyak lapisan. Secara sederhana dapat diketahui bahwa kandungan logam Cd akan dapat dijumpai di daerah-daerah penimbunan sampah dan aliran air hujan, selain dalam air buangan. Seperti halnya merkuri dan logam berat lainnya, logam Cd membawa sifat racun yang sangat merugikan bagi semua organisme hidup, bahkan juga sangat berbahaya untuk manusia. Dalam badan perairan, kelarutan Cd dalam konsentrasi tertentu dapat membunuh biota perairan. Biotabiota yang tergolong bangsa udang-udangan (crustacea) akan mengalami kematian dalam selang waktu 24-504 jam bila dalam badan perairan dimana biota ini hidup terlarut logam atau persenyawaan Cd pada rentang konsentrasi 0.0050.15 ppm. Untuk biota yang tergolong dalam bangsa serangga (insecta) akan mengalami kematian dalam selang waktu 24-672 jam dengan rentang konsentrasi 0.003-18 ppm dan untuk golongan biota oligichaeta akan mengalami kematian dalam selang waktu 24-96 jam dengan rentang konsentrasi 0.0028-4.6 ppm (Palar, 2004 ). 2.3. Beban Pencemar dan Kapasitas Asimilasi Perairan Kapasitas asimilasi perairan adalah kemampuan perairan dalam memulihkan diri akibat masuknya limbah tanpa menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang ditetapkan sesuai dengan peruntukkannya (Quano, 1993). Kemampuan asimilasi sangat dipengaruhi oleh adanya proses pengenceran maupun perombakan bahan pencemar yang masuk ke perairan. Metode untuk melihat kapasitas asimilasi dapat dilakukan dengan pendekatan hubungan antara kualitas air dengan beban limbahnya (Dahuri, 1998). Metode ini memiliki kelemahan karena tidak memperhatikan berbagai dinamika diperairan tersebut yang sangat mempengaruhi kapasitas asimilasi suatu perairan. Perhitungan kapasitas asimilasi spesifik untuk setiap lokasi, evaluasi kapasitas 16 asimilasi memerlukan model matematika yang sesuai untuk mendeterminasi konsentrasi parameter kunci yang merupakan hasil dari tingkat beban limbah (Ward, 1999). Beban pencemar adalah istilah yang dikaitkan dengan jumlah total bahan pencemar yang masuk kedalam lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada areal tertentu dalam kurun waktu tertentu. Besarnya beban pencemar yang masuk ke perairan tergantung aktivitas manusia di sekitar daerah aliran sungai yang masuk perairan tersebut. Besarnya beban pencemar perairan sangat dipengaruhi pula oleh keadaan pasang surut air laut. Pada saat pasang umumnya beban masukan limbah sangat kecil karena aliran sungai akan tertahan oleh peningkatan massa air laut, sedangkan pada saat surut berlaku sebaliknya (Rafni, 2004). Beban masukan limbah dari sungai ke suatu perairan dapat dihitung dengan mengalikan konsentrasi dengan debit air sungai per satuan waktu. Debit air sungai diperoleh dengan mengalikan luas penampang sungai dengan kecepatan aliran sungai (Jorgensen, 1988). Kapasitas beban pencemar merupakan kemampuan suatu perairan dalam menerima beban pencemar yang masuk. Kapasitas beban pencemar biasa disebut juga dengan kapasitas beban perairan yang merupakan fungsi dari konsentrasi bahan pencemar dan volume perairan (Rafni, 2004). 2.4. Organisme Fitoplankton Fitoplankton adalah suatu mikroorganisme yang melayang-layang di air yang memenuhi hampir setiap ruang massa dalam air yang masih dapat dicapai sinar matahari. Fitoplankton merupakan komponen tumbuhan yang berperan sebagai produsen primer dalam air. Fitoplankton secara umum merupakan sumber makanan alami zooplankton, fitoplankton ini apabila mati akan tenggelam ke dasar laut dan diurai oleh bakteri menjadi bahan. 17 Keragaman fitoplankton merupakan jumlah individu per spesies fitoplankton dan merupakan ciri khas struktur komunitas spesies tersebut yang berkaitan erat dengan kondisi lingkungan dimana biota tersebut hidup. Menurut Basmi (1998), kelimpahan fitoplankton di suatu perairan dipengaruhi oleh angin, arus, kandungan hara, cahaya, suhu, kecerahan, kekeruhan, pH, air masukan dan kedalaman perairan. Kelimpahan fitoplankton pada suatu perairan dapat memberikan informasi tentang produktivitas perairan. 2.5. Organisme Makrozoobenthos Menurut Odum (1971), benthos adalah organisme yang hidup di permukaan atau di dalam dasar perairan, baik yang hidup pada lumpur, pasir, batu, kerikil ataupun sampah di dasar kolam, sungai dan danau atau waduk atau situ. Benthos yang hidup di atas permukaan dasar perairan disebut sebagai organisme epifauna sedangkan benthos yang hidup di dalam dasar perairan disebut sebagai organisme infauna. Benthos dapat dibedakan atas organisme nabati yang disebut fitobenthos dan organisme hewani yang disebut zoobenthos. Menurut ukurannya, organisme benthos dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: makrobenthos (berukuran > 1 mm), meiobenthos (berukuran 0,1-1 mm), dan mikrobenthos (berukuran <0,1 mm). Benthos yang hidup di dasar perairan berdasarkan cara makannya dibagi dua, yaitu filter feeder yang mengambil makanan dengan menyaring air dan deposit feeder yang mengambil makanan dalam substrat dasar (Odum, 1971). Kemudian oleh Lin (1979) dijelaskan bahwa substrat untuk habitat benthos ada yang berupa lumpur, pasir dan batuan. Nybakken (1988) menyatakan bahwa kelompok pemakan bahan tersuspensi (filter feeder) dominan di substrat pasir seperti moluska bivalvia, beberapa echinodermata dan krustasea. Sedangkan pemakan deposit (deposit feeder) banyak terdapat pada substrat lumpur, seperti jenis-jenis polychaeta. 2.5.1. Peranan Makrozoobenthos di Perairan Dalam ekosistem perairan, makrozoobenthos memegang beberapa peran penting seperti dalam proses dekomposisi bahan-bahan organik dan posisinya dalam rantai makanan terutama rantai makanan detritus. Selain itu 18 makrozoobenthos juga dapat digunakan sebagai indikator biologi tingkat pencemaran perairan. Perubahan-perubahan kualitas air sangat mempengaruhi kehidupan makrozoobenthos, baik komposisi maupun ukuran populasinya. Disamping itu kemampuan mobilitasnya yang rendah serta adanya beberapa jenis organisme makrozoobenthos yang mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap kondisi kualitas air yang buruk menjadikan makrozoobenthos sebagai salah satu indikator biologi yang baik (Hawkes, 1979). 2.5.2. Struktur Komunitas Makrozoobenthos Menurut Odum (1971) komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang hidup di daerah tertentu atau habitat fisik tertentu dan merupakan satu satuan yang terorganisir dan mempunyai hubungan timbal balik. Lebih lanjut disebutkan bahwa konsep komunitas ini dapat digunakan dalam menganalisa lingkungan perairan karena komposisi dan karakter organisme di dalam suatu komunitas merupakan indikator yang cukup baik untuk melihat keadaan lingkungan dimana komunitas tersebut berada. Krebs (1989) menambahkan bahwa untuk mengetahui kondisi suatu struktur komunitas terdapat lima karakteristik komunitas yang dapat diukur yaitu : (1) keanekaragaman; (2) dominansi; (3) bentuk dan struktur pertumbuhan; (4) kelimpahan relatif dan (5) struktur trofik. Diversitas adalah suatu keragaman atau perbedaan diantara anggota-anggota suatu kelompok. Dalam ekologi, umumnya diversitas mengarah ke diversitas spesies, melalui pengukuran jumlah spesies dalam komunitas dan kelimpahan relatifnya. Ide diversitas spesies berdasarkan asumsi bahwa populasi dari spesiesspesies yang secara bersama-sama terbentuk, berinteraksi satu dengan yang lainnya dan adanya interaksi dengan lingkungan (Bakus, 1990). Diversitas dari Shannon-Wiener merupakan indeks yang paling umum digunakan bagi manajemen lingkungan dan berfungsi sebagai alat bantu dalam menggambarkan struktur komunitas dan mendeteksi besarnya degradasi pada ekosistem. Indeks diversitas menggabungkan tiga komponen utama dari struktur komunitas yaitu : kelimpahan, jumlah taksa, dan kemerataan distribusi organisme diantara spesies atau evenness (Krebs, 1989). Lebih lanjut Krebs (1989) 19 memberikan alasan tentang fleksibilitas penggunaan indeks diversitas yang dapat diterima secara luas bagi pengambil keputusan yang berlatar belakang non biologi, karena kemampuannya dalam menurunkan kompleksitas pengukuran struktur komunitas ke dalam sebuah nilai tunggal. Kelimpahan makrozoobenthos di suatu perairan dipengaruhi oleh faktorfaktor lingkungan baik fisika, kimia maupun faktor biologi. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah suhu, pH, kekeruhan, kecerahan, gas-gas terlarut dan interaksi dengan organisme lain. Secara umum perairan yang belum tercemar dicirikan dengan keanekaragaman yang tinggi, tidak ada dominasi suatu spesies tertentu dan jumlah individu masing-masing spesies cenderung merata sehingga nilai diversitas yang didapatkan akan maksimum. Rendahnya indeks tersebut biasanya mencirikan adanya stress dari komunitas yang cenderung tidak stabil (Krebs, 1989). 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2005 - Agustus 2006 dengan lokasi penelitian di Pelabuhan Sunda Kelapa, DKI Jakarta. Pengambilan contoh air dan sedimen untuk pengukuran kualitas perairan, fitoplankton dan makrozoobenthos dilakukan pada tiga stasiun yaitu stasiun I berjarak 50 m (muara sungai), stasiun II berjarak 500 m dan stasiun III berjarak 1000 m. Pengamatan dan analisa dilakukan secara in situ dan ex situ. Analisa ex situ untuk contoh air dilakukan di Laboratorium Lingkungan Teknologi dan Manajemen Akuakultur, FPIK-IPB dan identifikasi sampel makrozoobenthos dilaksanakan Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan MSP, FPIK-IPB. lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Lokasi Penelitian Gambar 2. Lokasi penelitian studi kapasitas asimilasi dan beban pencemaran di Pelabuhan Sunda Kelapa, DKI Jakarta. di Peta 3.2. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah pengamatan (pengukuran parameter fisika, kimia dan biologi) secara langsung di lapang dan analisis laboratorium Data yang diambil pada penelitian ini antara lain: 1) Data primer berupa data fisik (suhu, salinitas, kekeruhan, kecerahan, TSS), kimia (pH, BOD5, COD, BOD, NH3, NO2, NO3, PO4) dan biologi air (fitoplankton dan makrozoobenthos). 2) Data sekunder (data aktivitas pelabuhan, data kependudukan) yang berasal dari Dinas/Instansi/Lembaga yang terkait dengan pengelolaan dan penelitian sungai dan perairan teluk Jakarta serta pengelola Pelabuhan Sunda Kelapa. 3.3. Metode Sampling 3.3.1. Pengambilan sampel air Pengambilan sampel air dilakukan dengan menggunakan Van Dorn Water Sampler sedangkan contoh sedimen menggunakan Petersen grab (40 x 32 cm). Pengambilan sampel air dan sedimen diambil pada tiga stasiun yang masingmasing stasiun berjarak 50 m, 500 m dan 1000 m dari Pelabuhan Sunda Kalapa. Pada setiap satu stasiun dilakukan pengambilan contoh air dan sedimen dengan pengulangan sebanyak 3 kali. Pengambilan sampel air dan sedimen akan dilakukan sebanyak 3 kali selama penelitian berlangsung. Lokasi stasiun pengambilan sampel air dan sedimen dapat dilihat pada Lampiran 1. Sampel air diambil dari setiap stasiun pengamatan menggunakan Van Dorn sampler. Untuk pengukuran BOD5, sampel air dimasukkan dalam botol BOD, sedangkan untuk pengukuran parameter kimia air diambil sebanyak tiga botol contoh polyethilen ukuran 500 ml,dimana botol pertama tanpa diberi bahan pengawet, botol kedua diberi H2SO4 dan botol ketiga diberi HNO3, masingmasing 3 tetes. Sampel air untuk analisis fitoplankton diambil dengan menggunakan Van Dorn water sampler kemudian ditampung dalam ember, selanjutnya disaring 22 dengan menggunakan plankton net mesh ukuran 25 um. Contoh fitoplankton tersebut disimpan dalam botol film dan diawetkan dengan larutan lugol, kemudian diidentifikasi di Laboratorium. 3.3.2. Pengambilan sampel sedimen Contoh sedimen untuk pengukuran kualitas sedimen diambil dari setiap stasiun pengamatan dengan menggunakan Petersen Grab sampai kedalaman 10 cm. Contoh sedimen diambil sebanyak + 500 gram, dan analisis sedimen dilakukan untuk melihat fraksi sedimen. Pengukuran fraksi sedimen dilakukan dengan mengambil contoh sedimen sebanyak 100 gram dan dimasukkan ke dalam botol contoh polyethilen kemudian dihitung fraksinya berdasarkan ukuran butiran sedimen. Pengambilan makrozoobentos dilakukan pada sedimen contoh dengan menggunakan Petersen Grab sebanyak lima kali ulangan. Kemudian makrozoobentos tersebut dipisahkan dari sedimen dengan menggunakan saringan bertingkat ukuran 1 mm2, selanjutnya dimasukkan ke dalam botol contoh dan diberi larutan lugol serta rose bengal kemudian diidentifikasi di laboratorium. 3.4. Metode Pengukuran Kualitas Perairan. Parameter kualitas air yang dianalisis langsung di lapangan adalah suhu, pH, oksigen terlarut (DO) dan salinitas. Selanjutnya contoh air akan dianalisis di laboratorium untuk BOD5, TSS, COD, NH3, NO2, NO3, PO4, kekeruhan, dan kandungan logam berat Pb dan Cd dalam sedimen diawetkan dengan menggunakan bahan-bahan kimia yang mengacu pada Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater (APHA, 1989). Metode pengukuran kualitas perairan dapat dilihat pada Tabel 2. 3.5. Analisis Data. Data dianalisis dengan metode deskiptif terhadap parameter-parameter yang diamati. Parameter-parameter yang dideskripsikan adalah parameter-parameter kimia perairan, beban pencemaran, kapasitas asimilasi dan analisis-analisis terhadap komunitas fitoplankton dan makrozoobentos. 23 3.5.1. Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi. Analisis beban pencemaran dilakukan dengan perhitungan secara langsung dari kualitas air Sungai Ciliwung yang bermuara di Pelabuhan Sunda Kelapa maupun kualitas perairan Pelabuhan Sunda Kelapa sendiri. Cara penghitungan beban pencemaran ini didasarkan atas pengukuran langsung debit sungai dan konsentrasi limbah di muara sungai-sungai yang menuju Pelabuhan Sunda Kelapa, berdasarkan model berikut: BP = Q x Ci x (1 x 10-6 x 30 x 24 x 3600)..............................................(1) Keterangan : BP= Beban pencemar yang berasal dari suatu sumber (ton/bulan) Q = Debit sungai yang masuk perairan Pelabuhan Sunda Kelapa (m3/detik) Ci = Konsentrasi parameter ke-i(mg/l) Total beban pencemar dari suatu sumber yang bermuara ke Pelabuhan Sunda Kelapa, sebagai berikut: n TBP = ∑ BP .........................................................................................(2) i =1 Keterangan : TBP = Total Beban Pencemar yang masuk ke perairan n = Jumlah sungai i = Beban limbah dari sungai ke-i Nilai kapasitas asimilasi didapatkan dengan cara membuat grafik hubungan antara konsentrasi masing-masing parameter limbah di perairan dengan total beban limbah pencemaran parameter tersebut di muara sungai dan selanjutnya dianalisa dengan cara memotongkannya dengan garis baku mutu air yang diperuntukkan bagi biota dan budidaya. Pola hubungan antara konsentrasi limbah dengan beban pencemaran direferensikan terhadap standar baku mutu. Nilai kapasitas asimilasi didapat dari titik perpotongan antara garis hubungan beban pencemar dengan konsentrasi polutan dengan nilai baku mutu untuk parameter yang diuji (Gambar 3). 24 Konsentrasi Polutan Pelabuhan (mg/l) Baku Mutu Beban Pencemaran (ton/bln) Gambar 3. Grafik hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi polutan Selanjutnya nilai kapaitas asimilasi dianalisis dengan melihat seberapa besar peran masing-masing parameter terhadap beban pencemarannya. Dengan asumsi dasar yakni: 1) Nilai kapasitas asimilasi hanya berlaku di wilayah pesisir pada batas yang telah ditetapkan dalam penelitian 2) Nilai hasil pengamatan baik di perairan pesisir maupun di muara sungai diasumsikan telah mencerminkan dinamika yang ada di perairan tersebut 3) Perhitungan beban pencemaran dilakukan baik berasal dari land based, pencemaran dari kegiatan di perairan pelabuhan maupun dari lautnya sendiri. Data yang diamati merupakan data pencemaran yang mempengaruhi kualitas air muara sungai dan perairan. Hubungan yang ingin dilihat adalah nilai parameter tersebut yang ada di pelabuhan dan analisis yang digunakan adalah regresi linear. Y = a + bx .............................................................................................(3) Keterangan : x = nilai parameter di muara sungai (jarak 50 m) y = nilai parameter di perairan (jarak 500 dan 1000 m) a = interseps b = koefisien regresi untuk parameter di sungai. Peubah x merupakan nilai parameter tertentu hasil pengamatan di muara sungai dan y merupakan nilai parameter pelabuhan dianggap tepat untuk mewakili seluruh nilai parameter yang ada di Pelabuhan Sunda Kelapa. 25 Tabel 2. Parameter lingkungan yang diamati beserta metode/alat yang digunakan (APHA, 1989) Parameter Unit Metode/Alat Fisika air laut a. Suhu b. Kekeruhan c. Kedalaman d. Tekstur Sedimen e. Kecerahan f. TSS ºC NTU m % cm mg/l Thermometer Turbidimeter Tali berpemberat Analisa segitiga Miller/Pipet Secchi disk/visual Filter/Gravimetrik Kimia air laut a. pH b. Salinitas c. Oksigen terlarut (DO) d. BOD5 e. COD f. Logam berat Pb dan Cd PSU mg/l mg/l mg/l mg/l Kertas lakmus Refraktometer Metode Winkler Metode Winkler dan inkubasi Metode Reflux AAS (Atomic Absorption Spectrophotometric) Fisika sedimen laut - Tekstur/fraksi sedimen % Saringan bertingkat Biologi perairan - Plankton - Makrozoobentos ind/l ind/m2 Mikroskopis Identifikasi secara visual m Skala metrik Skala metrik Pengukuran dan penghitungan Skala metrik Hidrodinamika - Kedalaman muara sungai - Penampang sungai - Debit sungai - Arus m2 m3/dt m/dt 3.5.2. Struktur Komunitas Phytoplankton dan Makrozoobenthos. Atribut biologi atau metrik yang digunakan dalam menentukan tingkat gangguan pada struktur komunitas fitoplankton dan makrozoobenthos adalah Indeks Diversitas dan Indeks Keseragaman. 3.5.2.1. Kepadatan Jenis. Kepadatan jenis baik fitoplankton dan makrozoobenthos didefinisikan sebagai jumlah individu satu jenis per stasiun, biasanya dalam satuan meter persegi (Odum, 1971) dan dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : 26 K= 10000 × a ………………….....……………………………........(4) b Dimana : K = Kepadatan jenis suatu spesies (ind/m2) a = Jumlah spesies yang dihitung (ind) b = Luas permukaan Petersen grab (cm2) (Nilai 10000 adalah konversi dari cm2 ke m2) 3.5.2.2. Indeks Keanekaragaman (H’). Indeks Shannon-Wiener digunakan untuk menentukan keanekaragaman fitoplankton maupun makrozoobenthos yang ada dalam suatu komunitas. Rumus Indeks Diversitas Shannon-Wiener yang digunakan sebagai berikut (Krebs, 1989). n H' ' = − ∑ pi log2 pi i =1 .........................................................................................(5) Dimana: H’ = indeks diversitas (bits per individual) pi = ni/N (proporsi spesies ke-i) ni = jumlah individu dalam satu spesies N = jumlah total individu spesies yang ditemukan N = jumlah jenis Kriteria indek keanekaragam jenis (H’) adalah sebagai berikut : H’<1 menandakan komunitas tidak stabil atau kualitas air tercemar berat, 1<H’<3 menandakan stabilitas komunitas sedang atau kualitas air tercemar sedang, H>3 menandakan stabilitas komunitas biota dalam kondisi prima (stabil atau kualitas air bersih . 3.5.2.3. Indeks Keseragaman (E’). Keseragaman menggambarkan komposisi individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas. Indeks Keseragaman dihitung dengan menggunakan rumus dari Pielou (1966) dalam Fachrul et al. (2005) sebagai berikut: 27 E= H' Hmaks ………………………………………………………..(6) Dimana : Hmaks = Keragaman jenis maksimum = Ln S S = jumlah jenis dalam sampel yang ditemukan Untuk tingkat keseragaman benthos memiliki nilai kriteria sebagai berikut : E mendekati 0 berarti keseragaman antar spesies rendah, artinya kekayaan individu yang dimiliki masing-masing spesies sangat jauh berbeda. Sedangkan E mendekati 1 berarti keragaman antar individu relatif seragam atau jumlah individu masing-masing spesies relatif sama. 3.5.3. Penetuan Status Perairan Status mutu air/perairan adalah tingkat kondisi mutu air/perairan yang menunjukkan kondisi tercemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air yang ditetapkan (KepMen LH No.115 tahun 2003). Penentuan status suatu perairan dapat memakai metoda Store et Retrieval (STORET) atau metoda indeks pencemaran. Metoda STORET merupakan salah satu metoda untuk menentukan status mutu air yang umum digunakan, karena penghitungan dengan metoda ini sangat mudah dilakukan, penentuan status mutu air menggunakan sistem nilai dari “US-EPA (Environmental Protection Agency)” dan dengan metoda ini, dapat diketahui parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air. Klasifikasi mutu air dengan metode STORET berdasarkan ”US EPA” dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Klasifikasi mutu air berdasarkan metode STORET Kelas A B C D Kriteria baik sekali baik sedang buruk Skor 0 -1 s/d -10 -11 s/d -30 > -30 Status memenuhi baku mutu tercemar ringan tercemar sedang tercemar berat Sumber : Center, 1977 dalam KepMen LH No.115 tahun 2003 Secara prinsip metoda STORET adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna 28 menentukan status mutu air. Penentuan status mutu air dengan menggunakan metoda STORET dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1) Dari data hasil pengukuran untuk setiap parameter dibuatkan tabulasi nilai kadar mimimum, maksimum dan rerata, kemudian dibandingkan dengan nilai baku mutu 2) Jika hasil pengukuran memenuhi baku mutu sesuai peruntukkannya (hasil pengukuran < baku mutu), diberi skor 0 3) Jika hasil pengukuran tidak memenuhi baku mutu sesuai peruntukkannya, diberi nilai sesuai dengan Tabel 4. 4) Jumlah negatif dari jumlah skor yang diperoleh dipergunakan untuk menentukan status air/perairan sesuai dengan kriteria sistem nilai dari “US-EPA (Environmental Protection Agency)”. Tabel 4. Penentuan sistem nilai untuk menentukan status mutu perairan Jumlah Parameter < 10 > 10 Nilai maksimum minimum rata-rata maksimum minimum rata-rata Fisika -1 -1 -3 -2 -2 -6 Parameter Kimia -2 -2 -6 -4 -4 -12 Biologi -3 -3 -9 -6 -6 -18 Sumber : Center, 1977 dalam KepMen LH No.115 tahun 2003. 29 IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa Pelabuhan Sunda Kelapa berlokasi di Kelurahan Penjaringan Jakarta Utara, pelabuhan secara geografis terletak pada 06 06' 30" LS, 106 07' 50" BT, pelabuhan ini menempati lahan seluas 50,8 Ha. Kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan cikal bakal kota Jakarta, kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa tersebut pada zaman dahulu merupakan kawasan pelabuhan dari Kerajaan Sunda Pajajaran pada abad 14. Pelabuhan Sunda Kelapa itu sendiri merupakan pelabuhan tertua di Jakarta yang didirikan oleh Fatahillah sekitar abad 18. Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan salah satu dari pelabuhan yang terletak di Teluk Jakarta. Pelabuhan ini merupakan Pelabuhan yang disinggahi kapal-kapal antar pulau dan pelayaran rakyat dengan komoditas utama kayu, bahan kebutuhan pokok, barang kelontong, dan bahan bangunan. Saat ini lokasi Pelabuhan Sunda Kelapa telah berkembang pesat menjadi pusat perkantoran, perdagangan, perindustrian, dan perhotelan. Sebagai pelabuhan tertua di wilayah DKI Jakarta yang masih mempertahankan ciri khas tradisional, menjadikan Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi suatu obyek wisata terkemuka. Fasilitas utama yang tersedia di Pelabuhan Sunda Kelapa saat ini terdiri dari fasilitas pelayanan kapal dan fasilitas pelayanan barang. Untuk fasilitas pelayanan kapal, pelabuhan ini memiliki panjang dermaga 3.005,5 m dengan kedalaman alur dan kedalaman kolam masing-masing 4 m lower meter surface (LWS). Untuk pelayanan barang, pelabuhan sunda kelapa menyediakan lokasi lapangan penumpukan barang seluas 37.512 m2 serta gudang penyimpanan barang berkapasitas 8.305,75 ton. Pelabuhan Sunda Kelapa sampai saat ini dikelola oleh PT. Pelabuhan Indonesia II (PT. Pelindo II). Saat ini wilayah di sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa telah berkembang pesat menjadi pusat perkantoran, perdagangan, perindustrian, dan perhotelan. 4.2. Karakteristik Pelabuhan Sunda Kelapa 4.2.1. Letak Geografis Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan salah satu pelabuhan yang berada di kawasan Teluk Jakarta. Pelabuhan Sunda Kelapa secara georgafis terletak pada posisi 06 06' 30" LS, 106 07' 50" BT dan menempati lahan seluas 50,8 ha. Secara administratif Pelabuhan Sunda Kelapa terletak di dua kelurahan yaitu di Kelurahan Penjaringan dan Kelurahan Ancol. Batas-batas wilayah Pelabuhan Sunda Kelapa adalah: • Sebelah utara berbatasan dengan Pantai Laut Jawa • Sebelah selatan berbatasan dengan Pasar Ikan dan Jalan Lodan, Kelurahan Penjaringan • Sebelah barat berbatasan dengan Perkantoran Muara Baru, Kelurahan Penjaringan • Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Ancol 4.2.2. Kondisi Hidro-Oseanografi Keadaan pantai sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa landai dasar lumpur dan memiliki panjang alur 2000 m dan lebar alur 40 m dengan kedalaman alur 4 mLWS serta kedalaman kolam 4 mLWS. Pasang surut di Pelabuhan Sunda Kelapa bersifat diurnal yaitu mengalami satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari. Rata-rata permukaan air pada pasang purnama adalah 86 cm sedangkan pada saat pasang bulan mati sebesar 26 cm. Waktu tolak pasang pada GMT + 7 jam, dengan muka surutan 60 cm di bawah duduk tengah. Posisi stasiun arus tower di Pelabuhan Sunda Kelapa berada pada 05º - 45’ – 34-45” LS dan 107º - 00’ – 4,11” BT dengan kecepatan maximum arus rata-rata mencapai 1 knot arah sekitar 050º terjadi pada waktu air surut. Arus pada saat bukan pasang surut mempunyai kecepatan sekitar 0.3 knot dengan arah 45º dengan kecepatan arus pasang surut mencapai 1,1 knot pada waktu spring tides pada arah sekitar 050º saat waktu air surut dan sekitar 230º saat waktu air pasang. 31 4.2.3. Kondisi Fisiografi dan Geomorfologi Secara fisiografi daerah Jakarta terdiri dari 3 jalur fisiografi yaitu jalur daratan pantai, jalur Bogor dan Bandung. Jalur pantai Jakarta dibentuk dari endapan aluvium sungai, rawa, pantai dan aliran lahar dari gunung api di selatan. Jalur pantai Jakarta ini terletak di daerah pesisir utara jawa mulai dari Cirebon sampai Serang. Jalur Bogor terletak di sebelah selatan yang berupa perbukitan yang terdiri atas lapisan batuan sedimen tersier terlipat. Pada jalur Bogor ini terbentuk dari aktivitas vulkanis yang berupa terobosan batuan beku. Jalur Bandung terletak di sebelah jalur Bogor yang merupakan daerah perbukitan yang diselingi oleh cekungan-cekungan di antara deretan Gunung Api Poros Jawa (Van Bemmelen, 1945 dalam Wirdha, 2006). Secara morfologi, lokasi penelitian merupakan perairan di sekitar bagian utara kipas aluvium sampai perairan Laut Jawa sekitar jarak kurang lebih 6 km. Perairan ini merupakan lanjutan dari daerah sekitar garis pantai yang berada di wilayah Teluk Jakarta ke arah Laut Jawa yang merupakan hasil pengendapan material dari muara-muara sungai seperti Sungai Cisadane, Sungai Ciliwung dan Sungai Bekasi (Wirdha, 2006). Karakteristik geologi wilayah penelitian terbentuk sebagian besar dari sedimentasi sungai yang merupakan kombinasi antara pasir dan lempung sedikit berkerikil. Kedua tipe sedimen tersebut terhampar memanjang dari barat ke timur pesisir utara Jakarta (Wirdha, 2006). 4.3. Sosial Ekonomi Wilayah Penelitian Wilayah penelitian secara administrasi masuk dalam 2 kelurahan yaitu Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan dan Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan. Kondisi sosial ekonomi kedua kelurahan tersebut dipaparkan di bawah ini. 4.3.1. Kependudukan Jumlah penduduk di Kelurahan Penjaringan dan Kelurahan Ancol dapat dilihat pada Tabel 5. Pada Tabel 5 terlihat bahwa jumlah penduduk dan 32 Kepadatan Penduduk di Kelurahan Penjaringan lebih tinggi daripada di Kelurahan Ancol. Jumlah penduduk di Kelurahan Penjaringan pada tahun 2004 adalah sebanyak 55.668 jiwa dengan kepadatan 14.056 jiwa/km2, sedangkan di Kelurahan Ancol jumlah penduduk pada tahun 2004 sebanyak 17.449 jiwa dengan kepadatan 4.625 jiwa/km2. Ratio jenis kelamin di Kelurahan Penjaringan dan Kelurahan Ancol masing-masing sebesar 92 dan 123. Tabel 5. Keadaan kependudukan di wilayah penelitian Wilayah Luas (km2) Jumlah Penduduk (Orang) Kepadatan Jiwa/km2 Ratio Jenis Kelamin Kelurahan Penjaringan 3,97 55.668 14.056 92 Kelurahan Ancol 3,77 17.449 4.625 123 Sumber: Kecamatan Penjaringan dan Kecamatan Pademangan Dalam Angka, 2004. 4.3.2. Mata Pencaharian Penduduk Mata pencaharian penduduk di kedua kelurahan sebagian besar sebagai pedagang/wiraswasta dan karyawan. Penduduk dengan mata pencaharian pedagang/wiraswasta pada umumnya berdagang di pusat-pusat perdagangan yang ada di Jakarta Utara, sedangkan yang berprofesi sebagai karyawan umumnya bekerja pada perusahaan-perusahaan swasta maupun sektor industri yang ada di Jakarta Utara dan sekitarnya. Jenis mata pencaharian penduduk di kedua kelurahan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 . Struktur mata pencaharian penduduk Kelurahan Penjaringan dan Kelurahan Ancol tahun 2004 Pekerjaan Pegawai Swasta Pedagang/Wiraswasta Buruh Nelayan PNS TNI/POLRI Pensiunan Swasta lainnya Lain-lain Total Kelurahan Penjaringan Orang % 4.110 24,57 4.199 25,11 3.970 23,77 269 1,61 174 1,04 61 0,36 452 2,70 390 2,33 3.100 18,54 12.945 100 Kelurahan Ancol Orang % 6.500 36.02 1.400 7.76 734 4.07 543 3.01 1.500 8.31 997 5.53 1.211 6,71 1.000 5,54 4.159 23,05 18.044 100 Sumber : Kecamatan Penjaringan dan Kecamatan Pademangan Dalam Angka, 2004. 33 4.3.3. Fasilitas Perekonomian Fasilitas perekonomian di kedua kelurahan adalah sebagai berikut; di Kelurahan Penjaringan terdapat 3 pasar tradisional, 1 pasar swalayan, 2 warung serba ada (waserda), 3 lokasi pedagang kaki lima, 93 warung makan, 6 restoran, 2 losmen, 3 bank, 4 koperasi simpan pinjam dan 69 perusahaan industri, sedangkan di Kelurahan Ancol terdapat 1 pasar inpres, 1 pasar tradisional, 1 waserda, 4 lokasi pedagang kaki lima, 24 warung makan, 3 restoran, 2 losmen, 6 hotel, 27 bank, 6 koperasi simpan pinjam dan 53 perusahaan industri. Dalam uraian fasilitas perekonomian di kedua kelurahan terlihat bahwa sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah sektor swasta dan karyawan industri dan kegiatan perekonomian juga didukung oleh keberadaan jasa-jasa keuangan yaitu dengan adanya bank yang beroperasi di kedua kelurahan tersebut. 4.4. Aktivitas Pelabuhan Sunda Kelapa 4.4.1. Arus Kunjungan Kapal Pelabuhan Sunda Kelapa banyak dikunjungi oleh kapal-kapal pelayaran rakyat, pelayaran dalam negeri, pelayaran penumpang domestik dan kapal-kapal tongkang. Perkembangan arus kunjungan kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa berdasarkan jenis pelayaran dalam kurun waktu tahun 1999 sampai 2004 dapat dilihat pada Gambar 4 . 2000 1500 Jumlah Kapal (unit) 1000 500 0 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Pelayaran Rakyat 1394 1359 1127 1059 997 1173 Pelayaran Dalam Negeri 1408 1429 1509 1608 1601 1922 Pelayaran Penumpang 239 596 559 449 286 140 0 0 40 45 50 38 Kapal tongkang Sumber : PT. Pelindo II Cabang Sunda Kelapa, 2004 Gambar 4. Arus kunjungan kapal berdasarkan jenis pelayaran dalam satuan unit di Pelabuhan Sunda Kelapa. 34 Arus kunjungan kapal pelayaran rakyat dalam satuan unit selama kurun waktu 5 (lima) tahun rata-rata mencapai 1.185 unit pertahun dengan tonase ratarata 281.209 Gross Tonase (GT), untuk jenis pelayaran dalam negeri, rata-rata kunjungan kapal selama kurun waktu 5 tahun (1999-2004) adalah 1.579 unit pertahun dengan tonase rata-rata 549.081 GT. Rata-rata kunjungan kapal untuk jenis pelayaran kapal penumpang dan kapal tongkang jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan kapal-kapal untuk jenis pelayaran lainnya yaitu masingmasing untuk jenis kapal penumpang sebesar 378 unit pertahun dengan tonase rata-rata 287.733 GT, sedangkan untuk kapal tongkang rata-rata sebesar 43 unit per tahun dengan tonase kapal rata-rata 16.585 GT. Data jumlah arus kunjungan kapal berdasarkan tonase kapalnya dapat dilihat pada Gambar 5. 800,000 700,000 600,000 500,000 Jum lah Tonase (GT) 400,000 300,000 200,000 100,000 - 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Pelayaran Rakyat 332,765 342,727 278,091 347,532 227,585 258,553 Pelayaran Dalam Negeri 449,719 451,479 485,915 533,364 612,274 761,738 Pelayaran Penumpang 143,782 480,231 449,831 341,888 79,963 80,727 10,539 14,663 23,547 18,771 Kapal tongkang Sumber : PT. Pelindo II Cabang Sunda Kelapa, 2004 Gambar 5 . Arus kunjungan kapal berdasarkan jenis pelayaran di Pelabuhan Sunda Kelapa (dalam GT) 4.4.2. Arus Barang Data arus barang berdasarkan perdagangan melalui Pelabuhan Sunda kelapa dalam kurun waktu 6 tahun terakhir (1999-2004) berdasarkan bongkar dan muat dapat dilihat pada Gambar 6. Arus barang yang dibongkar dan dimuat di pelabuhan dalam 6 tahun terakhir rata-rata mencapai 1.029.479 ton/m3 untuk bongkar dan 1.230.885 ton/m3 untuk muat barang. 35 1,800,000 1,600,000 1,400,000 1,200,000 Jumlah 1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 - Bongkar (ton/m3) Muat (ton/m3) 1999 2000 2001 2002 1,233,605 1,201,659 989,220 959,762 1,036,357 1,160,446 2003 2004 876,600 855,719 1,020,074 1,290,472 1,311,815 1,626,454 Sumber : PT. Pelindo II Cabang Sunda Kelapa, 2004 Gambar 6. Arus barang di Pelabuhan Sunda kelapa berdasarkan perdagangan Perkembangan arus barang berdasarkan distribusi melalui Pelabuhan Sunda kelapa dalam kurun waktu 6 tahun terakhir (1999-2004) menunjukkan bahwa distribusi barang melalui gudang rata-rata sebesar 212.832 ton/m3, melalui angkutan langsung rata-rata sebesar 1.675.934 ton/m3, sedangkan arus barang melalui lapangan rata-rata sebesar 371.596 ton/m3. Perkembangan arus distribusi barang selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 7. 2,000,000 1,500,000 Jumlah 1,000,000 500,000 - 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Angkut langsung (ton/m3) 1,618,941 1,656,891 1,638,670 1,612,474 1,568,899 1,960,734 Melalui gudang (ton/m3) 193,428 172,461 189,181 219,601 235,479 266,844 Melalui lapangan (ton/m3) 380,998 409,664 321,815 334,997 363,156 418,950 Sumber : PT. Pelindo II Cabang Sunda Kelapa, 2004 Gambar 7. Arus barang berdasarkan distribusi di Pelabuhan Sunda kelapa 36 Perkembangan arus barang berdasarkan kemasan melalui Pelabuhan Sunda kelapa dalam kurun waktu 6 tahun terakhir (1999 - 2004) menunjukkan bahwa rata-rata setiap tahun arus barang kemasan berupa general cargo mempunyai jumlah tertinggi yaitu rata-rata sebesar 878.119 ton/m3, sedangkan rata-rata jumlah barang untuk kemasan lainnya/kayu menduduki peringkat terkecil yaitu sebesar 651.727 ton/m3. Data arus barang berdasarkan kemasan secara rinci dapat dilihat pada Gambar 8. 1,200,000 1,000,000 800,000 Jumlah 600,000 400,000 200,000 - 1999 2000 2001 2002 2003 2004 General Cargo (ton/m3) 693,457 740,042 745,988 932,424 966,866 1,189,937 Bag Cargo (ton/m3) 535,156 593,715 683,911 739,371 752,832 Curah Cair (ton/m3) 15,463 27,564 36,620 38,094 27,662 43,488 Barang lain/kayu (ton/m3) 948,291 876,695 683,147 457,183 420,174 524,877 888,226 Sumber : PT. Pelindo II Cabang Sunda Kelapa, 2004 Gambar 8. Arus barang berdasarkan kemasan di Pelabuhan Sunda Kelapa. 37 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Parameter Kualitas Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa Hasil pengukuran parameter-parameter kualitas lingkungan perairan sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa pada setiap stasiun pengamatan selama penelitian berlangsung meliputi parameter fisika dan kimia dapat di lihat pada Lampiran 2. 5.1.1. Parameter Fisika Kualitas Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa Pengukuran parameter fisika kualitas perairan diambil untuk digunakan sebagai data penunjang penelitian. Parameter-parameter fisika kualitas perairan yang diukur meliputi suhu udara, suhu air, kecerahan, kekeruhan, salinitas dan total padatan tersuspensi (TSS). Data rerata pengukuran parameter fisika kualitas lingkungan pada setiap lokasi pengukuran dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil pengukuran parameter fisika kualitas perairan Pelabuhan Sunda Kelapa Parameter 0 Suhu udara ( C) Suhu air (0C) Kecerahan (m) Kekeruhan (NTU) Salinitas (PSU) TSS (mg/l) Muara sungai (50 m) 30,2 31,3 0,74 13,84 30,0 45,2 Jarak 500 m 30,0 32,0 1,18 6,93 30,4 20,7 1000 m 30,0 31,0 1,93 2,94 30,3 14,8 Nilai parameter suhu udara dan suhu air berkisar antara 30 – 320C. Nilai suhu udara di muara sungai menunjukkan nilai tertinggi dibandingkan dengan pengukuran pada jarak 500 m dan 1000 m, sedangkan untuk suhu air, pada jarak 500 m menunjukkan angka tertinggi yaitu 320C (Tabel 7). Tingginya suhu air maupun udara di muara sungai diduga karena adanya aktivitas kimia maupun biologis seperti degradasi bahan-bahan organik dari sampah yang terbawa melalui sungai ke muara dan kegiatan pelabuhan lainnya. Walaupun demikian, perbedaan suhu antar jarak pengamatan pada suhu air maupun udara tidak terlalu tinggi bahkan cenderung sama, hal ini diduga karena perairan bersifat dinamik sehingga kemungkinan terjadinya stratifikasi suhu pun menjadi sangat kecil. Tingkat kecerahan pada masing-masing lokasi pengamatan masih berada pada ambang batas baku mutu sesuai dengan KepMen LH No 51 tahun 2004 yaitu sebesar 3 m. Nilai tingkat kecerahan tertinggi terdapat di lokasi pengamatan pada jarak 1000 m dari pelabuhan Sunda Kelapa. Pada Tabel 7 terlihat bahwa semakin jauh jarak dari muara sungai, maka tingkat kecerahannya semakin tinggi, nilai tingkat kecerahan hasil pengukuran pada setiap lokasi pengamatan dari muara sungai (50 m), jarak 500 m dan jarak 1000 m berturut-turut adalah 0,74 m, 1,18 m, dan 1,93 m. Nilai kecerahan semakin jauh dari muara semakin tinggi, hal ini disebabkan oleh semakin berkurangnya zat-zat tersuspensi pada jarak amatan yang menjauhi muara sungai. Nilai kecerahan berbanding terbalik dengan nilai kekeruhan, nilai kekeruhan akan semakin semakin tinggi dengan arah ke muara sungai, sedangkan nilai kecerahan akan semakin rendah dengan arah ke muara sungai. Nilai kekeruhan menunjukkan bahwa pada lokasi pengamatan di muara sungai (50 m) memiliki nilai kekeruhan tertinggi dibandingkan dengan nilai kekeruhan pada jarak 500 m dan 1000 m (Tabel 7). Tingkat kekeruhan pada pengamatan di muara sungai dan di lokasi jarak 500 m, keduanya berada diatas ambang batas baku mutu sesuai dengan Kep Men LH No 51 Tahun 2004 untuk baku mutu pelabuhan yaitu sebesar 5,0 NTU, sedangkan tingkat kekeruhan pada jarak 1000 m belum melewati ambang batas baku mutu. Nilai Kekeruhan di muara sungai dan jarak 500 m yang melebihi nilai ambang baku mutu diduga disebabkan oleh substansi lumpur dan sampah yang dibawa sungai yang ada di perairan tersebut. Hal ini juga didukung oleh pendapat Mason (1981) bahwa kekeruhan air biasanya disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi dan koloid yang terdapat di dalam air, misalnya partikel-partikel lumpur, bahan organik, plankton, dan mikroorganisme. Tingkat salinitas yang terukur pada setiap lokasi pengambilan sampel air di ketiga lokasi menunjukkan bahwa nilai tingkat salinitas di muara sungai merupakan nilai terendah yaitu 30 (PSU) dan berturut-turut pada jarak 500 m dan 1000 m masing-masing bernilai 30,44 (PSU) dan 30,33 (PSU) (Tabel 7). Nilai salinitas menunjukkan peningkatan dengan jarak semakin jauh dari muara, hal ini diduga pada muara dan jarak 500 m dari muara sungai masih ada pengaruh daratan melalui sungai yang memiliki salinitas yang rendah, sehingga semakin 39 jauh dari muara, pengaruh daratan semakin kecil. Tingkat salinitas pada masingmasing lokasi pengukuran sudah berada di atas ambang baku mutu yang ditetapkan untuk pelabuhan yaitu 30 (PSU). Salinitas merupakan ukuran untuk melihat kadar garam yang terkandung dalam air laut. Menurut Nontji (1987) salinitas didefinisikan sebagai jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan gram per liter. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Pada Tabel 7 terlihat bahwa total padatan tersuspensi (TSS) hasil pengukuran pada masing-masing stasiun masih berada di bawah ambang batas baku mutu berdasarkan KepMen LH No.51 tahun 2004 yaitu sebesar < 80 mg/l. Pengukuran TSS pada muara Sungai Ciliwung menunjukkan hasil yang terbesar dibandingkan pada pengukuran jarak 500 m dan 1000 m yaitu sebesar 45,22 mg/l, sedangkan pada jarak 500 m dan 1000 m masing-masing sebesar 20,72 mg/l dan 14,80 mg/l. TSS yang lebih tinggi di muara sungai diduga disebabkan oleh sedimentasi dan sampah-sampah organik yang terbawa arus sungai yang mengandung padatan yang menyebabkan kekeruhan air. Padatan tersuspensi adalah padatan yang terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil daripada sedimen, misalnya tanah liat, bahanbahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme dan sebagainya. Padatan tersuspensi merupakan bahan-bahan tersuspensi dalam air yang tertahan pada kertas saring 0,45 µm dan tidak terlarut. Padatan tersuspensi juga mempengaruhi fotosintesis dalam air (APHA, 1989). Padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosintesis (Fardiaz, 1992). 5.1.2. Parameter Kimia Kualitas Perairan Sunda Kelapa Nilai pH yang diukur pada setiap lokasi pengamatan memiliki nilai berkisar antara 7,65 -7,69, nilai tersebut masih berada pada ambang batas baku mutu nilai pH untuk pelabuhan yaitu berkisar antara 6,50-8,50 (Gambar 9). 40 9 8,5 8,5 8,5 8 pH 7 6 7,65 7,65 7,69 6,5 6,5 6,5 Muara Sungai ( 50 m) 500 m 1000 m 5 4 3 2 1 0 pH Baku mutu bawah Baku Mutu atas Gambar 9. Nilai pH pada masing-masing lokasi pengamatan. Pada Gambar 10 terlihat bahwa hasil pengukuran biological oxygen demand (BOD5) pada semua lokasi pengamatan masih berada di bawah ambang baku mutu berdasarkan KepMen LH No.51 tahun 2004 yaitu sebesar 20 mg/l. Nilai pengukuran BOD5 terendah berada pada lokasi pengamatan pada jarak 1000 m dari pelabuhan sedangkan nilai pengukuran tertinggi berada pada pengamatan di muara sungai (jarak 50 m). Nilai BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan (mengoksidasi) zat-zat organik yang terlarut dan tersuspensi dalam air. Menurut Effendi (2003), BOD menggambarkan bahan organik yang dapat diuraikan secara biologis oleh mikroorganisme. Bahan organik tersebut merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil buangan limbah domestik dan industri. Nilai BOD yang tinggi akan menurunkan ketersediaan oksigen terlarut dalam air karena terpakai dalam proses oksidasi bahan organik yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Nilai BOD5 hasil pengamatan yang berada jauh di bawah nilai baku mutu menunjukkan bahwa secara umum aktivitas penguraian bahan organik oleh mikroorganisme pada masing-masing lokasi pengamatan sangat rendah. Hal tersebut diduga karena jumlah bahan organik yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme pada saat pengamatan sangat rendah. Nilai BOD di muara 41 sungai lebih tinggi daripada di jarak 500 dan 1000 m, hal tersebut diduga karena bahan organik yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme masih terdapat banyak di muara sungai. 25 20 BOD5 (mg/l) 20 20 20 4 4 15 10 5 5 0 Muara Sungai ( 50 m) 500 m BOD5 (mg/l) 1000 m Baku Mutu Gambar 10. Hasil pengukuran BOD5 pada masing-masing lokasi pengamatan. Nilai chemical oxygen demand (COD) pada masing-masing lokasi pengamatan menunjukkan bahwa kadar COD pada semua lokasi pengamatan berada di atas ambang baku mutu untuk biota laut berdasarkan KepMen LH No.2 tahun 1988 yaitu sebesar 80 mg/l. Nilai COD masing-masing pada setiap lokasi pengamatan berturut-turut yaitu; pada muara sebesar 137,9 mg/l, pada jarak 500 m sebesar 181.1mg/l dan pada jarak 1000 m dari pelabuhan sebesar 181,4 mg/l (Gambar 11). Nilai COD yang berada di atas nilai ambang baku mutu diduga disebabkan basarnya kandungan bahan organik yang berasal dari buangan limbah industri yang masuk ke perairan Pelabuhan Sunda Kelapa. Nilai COD menggambarkan total jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat diuraikan secara biologis maupun yang tidak dapat diuraikan secara biologis menjadi CO2 dan H2O (Effendi, 2003). COD dapat dijadikan sebagai ukuran tingkat pencemaran di perairan oleh bahan organik yang secara alamiah dapat dioksidasi dengan proses mikrobiologi 42 dan akan menyebabkan berkurangnya konsentrasi oksigen di perairan (APHA, 1989). Nilai COD hasil pengamatan pada setiap stasiun yang di atas nilai ambang baku mutu diduga karena banyaknya kandungan bahan organik yang tidak dapat diuraikan secara biologis di perairan Pelabuhan Sunda Kelapa yang berasal dari buangan limbah domestik dan limbah industri. 200 181,1 180 181,4 160 140 COD (mg/l) 137,9 120 100 80 80 80 80 Muara Sungai ( 50 m) 500 m 1000 m 60 40 20 0 COD Baku Mutu Gambar 11. Hasil pengukuran COD pada masing-masing lokasi pengamatan. Ketersedian oksigen terlarut atau disolve oxygen (DO) pada masing-masing lokasi pengamatan menunjukkan bahwa hasil pengukuran DO tertinggi didapat pada lokasi dengan jarak 1000 m yaitu sebesar 5,7 mg/l, sedangkan terendah pada jarak 500 m dari muara sungai yaitu sebesar 4,95 mg/l (Gambar 12). Nilai DO hasil penelitian ini termasuk sangat kecil. Aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan bahan organik di perairan, arus dan proses percampuran serta interaksi antara permukaan laut dengan atmosfer akan dapat mempengaruhi konsentrasi O2 terlarut, hal ini diduga penyebab DO hasil pengukuran di setiap stasiun pengamatan sangat kecil. 43 DO (mg/l) 5,8 5,7 5,6 5,4 5,2 5,1 5,0 4,95 4,8 4,6 4,4 Muara Sungai ( 50 m) 500 m 1000 m DO Gambar 12. Hasil pengukuran DO pada masing-masing lokasi pengamatan. Nilai Amonia (NH3) yang diukur pada setiap stasiun pengamatan menujukkan hampir mendekati nilai ambang batas kepelabuhanan yang sebesar 0,3 mg/l, walaupun masih berada di bawah nilai tersebut dan nilai NH3 tersebut mengalami kenaikan seiring jarak pengamatan dari muara sungai (Gambar 13). 0,35 NH3 (mg/l) 0,30 0,3 0,3 0,24 0,25 0,25 0,3 0,26 0,20 0,15 0,10 0,05 Muara Sungai ( 50 m) 500 m NH3 (mg/l) 1000 m Baku Mutu Gambar 13. Hasil pengukuran NH3 pada masing-masing lokasi pengamatan Amonia (NH3), nitrit (NO2) dan nitrat (NO3) merupakan bentuk-bentuk senyawa nitrogen yang terlarut atau tersuspensi dalam air. Semua senyawa tersebut sangat penting keberadaannya dalam air karena memegang peranan 44 dalam reaksi-reaksi biologi perairan (Rafni, 2004). Nilai Amonia yang tinggi mendekati nilai ambang batas berkaitan dengan proses dekomposisi bahan organik di perairan, selain itu amonia juga merupakan hasil reduksi nitrat pada kondisi anaerob. Kenaikan nilai amonia yang sejalan dengan bertambahnya jarak pengamatan menunjukkan bahwa proses dekomposisi bahan organik tersebut semakin meningkat dengan jarak menjauhi muara serta tingginya proses reduksi nitrat menjadi amonia pada kondisi anaerob di tempat tersebut. Nitrit merupakan senyawa peralihan dari hasil reduksi nitrat (NO3) (denitrifikasi) maupun oksidasi amonia (NH3), sehingga dapat dikatakan nitrit senyawa yang tidak stabil. Ketidaksetabilan sifat senyawa nitrit biasanya menyebabkan kandungan senyawa tersebut di perairan sangat rendah. Hal ini ditunjukkan pada hasil pengukuran di semua stasiun pengamatan pada penelitian ini. Nilai pengukuran NO2 pada setiap stasiun pengamatan masih menunjukkan nilai jauh di bawah nilai ambang batas kepelabuhanan sebesar 0,008 mg/l. Ketidakstabilan tersebut juga diduga menyebabkan nilai NO2 hasil pengukuran pada setiap stasiun pengamatan menunjukkan nilai yang sangat kecil yaitu sebesar 0,001 mg/l (Gambar 14). 0,009 0,008 NO2 (mg/l) 0,008 0,008 0,008 0,007 0,006 0,005 0,004 0,003 0,002 0,001 0,001 0,001 0,001 Muara Sungai ( 50 m) 500 m NO2 (mg/l) 1000 m Baku Mutu Gambar 14. Hasil pengukuran NO2 pada masing-masing lokasi pengamatan. Nilai NO3 hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai NO3 di muara sungai lebih rendah dari pada di kedua stasiun lainnya walaupun perbedaannya sangat 45 kecil (Gambar 15). Nilai NO3 pada setiap stasiun pengamatan sudah berada jauh di atas nilai ambang batas baku mutu kepelabuhanan yakni sebesar 0,008 mg/l. Tingginya nilai NO3 pada setiap pengamatan diduga adanya masukan NO3 dari daratan berupa limbah domestik dari aktivitas penduduk yang bermukim di sekitar pelabuhan. 0,25 0,22 0,22 0,20 0,20 NO3 (mg/l) 0,15 0,10 0,05 - 0,008 0,008 Muara Sungai ( 50 m) 500 m NO3 (mg/l) 0,008 1000 m Baku Mutu Gambar 15. Hasil pengukuran NO3 pada masing-masing lokasi pengamatan. Ortofosfat (PO4-P) merupakan senyawa yang diperlukan oleh organisme autotrofik sebagai sumber hara dalam metabolisme kehidupannya. Nilai ortofosfat (PO4-P) hasil pengukuran pada setiap stasiun pengamatan menunjukkan sudah berada di atas nilai ambang batas untuk kepelabuhanan yakni sebesar 0,015 mg/l. Nilai PO4- P di muara sungai lebih tinggi dibanding nilai pada jarak 500 dan 1000 m. Nilai PO4-P hasil pengukuran akan berkurang seiring jarak stasiun pengamatan. Nilai PO4-P tertinggi di muara sungai sebesar 0,11 mg/l sedangkan terendah pada jarak 1000 m yaitu sebesar 0,007 mg/l (Gambar 16). Kandungan PO4-P yang semakin berkurang seiring jarak pengamatan dari pelabuhan diduga disebabkan oleh semakin besarnya aktivitas organisme autotrofik dalam memanfaatkan senyawa tersebut. 46 0,12 0,11 PO4 (mg/l) 0,10 0,09 0,08 0,07 0,06 0,04 0,015 0,02 0,015 0,015 0 Muara Sungai ( 50 m) 500 m 1000 m PO4 (mg/l) Baku Mutu Gambar 16. Hasil pengukuran PO4-P pada masing-masing lokasi pengamatan. Nilai kesadahan berhubungan dengan kandungan ion-ion kalsium dan magnesium dalam air dalam bentuk sulfat. Nilai kesadahan hasil pengukuran pada setiap stasiun pengamatan menunjukkan semakin tinggi seiring dengan bertambahnya jarak. Pada Gambar 17 terlihat bahwa nilai kesadahan di muara sungai sebesar 5.490 mg/l yang merupakan nilai terendah, sedangkan pada jarak 1000 m menunjukkan nilai kesadahan tertinggi yaitu sebesar 5.704 mg/l. 5.750 5.704,6 5.700 Kesadahan (mg/l) 5.650 5.600 5.578,9 5.550 5.500 5.498,3 5.450 5.400 5.350 Muara Sungai ( 50 m) 500 m 1000 m Kesadahan (mg/l) Gambar 17. Hasil pengukuran kesadahan pada masing-masing stasiun pengamatan. 47 Nilai kesadahan tinggi menunjukkan bahwa di muara sungai kandungan ionion magnesium dan kalsium lebih tinggi diduga berasal dari proses geologi tanah disekitar pelabuhan, limbah domestik dan industri dari aktivitas perkotaan di sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa. 5.1.3. Kandungan Logam Berat Pada Air Dan Sedimen Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa Hasil pengukuran timbal (Pb) pada air laut di setiap stasiun pengamatan menunjukkan bahwa pada setiap stasiun pengamatan, nilai Pb sudah melebihi batas nilai ambang yang diperkenankan untuk kepelabuhanan (KepMen LH No. 51 tahun 2004). Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Pb adalah 0,005 mg/l. Nilainilai Pb hasil pengukuran sangat jauh di atas NAB tersebut terutama pada jarak 500 m yaitu sebesar 0,16 mg/l (Gambar 18). Nilai Pb pada air yang tinggi di perairan Pelabuhan Sunda Kelapa diduga berasal dari ceceran bahan bakar perahu atau kapal dan buangan limbah industri. 0,18 0,16 Pb air (mg/l) 0,16 0,14 0,12 0,12 0,10 0,10 0,08 0,06 0,04 0,05 0,05 0,05 0,02 Muara Sungai ( 50 m) 500 m Pb (air) 1000 m Baku Mutu Gambar 18. Hasil pengukuran Pb pada air laut pada setiap stasiun pengamatan. Nilai Pb pada sedimen tertinggi yang terukur pada jarak 1000 m dari pelabuhan sebesar 12,76 mg/kg, sedangkan nilai Pb terendah berada di muara sungai (jarak 50 m dari Pelabuhan Sunda Kelapa) yaitu sebesar 10,62 mg/kg (Gambar 19). Nilai Pb pada sedimen yang tinggi diduga disebabkan karena akumulasi Pb pada sedimen yang berasal dari limbah industri dan sedimentasi 48 batuan kapur yang berada di daerah hulu (Bogor). Sumber-sumber timbal (Pb) pada perairan alami menurut Saeni (1989) diantaranya adalah limbah industri, limbah pertambangan, batuan kapur dan galena (PbS). 14 12 Pb sedimen (mg/kg) 12,76 11,34 10,62 10 8 6 4 2 0 Muara Sungai ( 50 m) 500 m 1000 m Pb (sedimen) Gambar 19. Hasil pengukuran Pb pada sedimen laut pada setiap stasiun pengamatan. Logam cadmium (Cd) pada air laut yang terukur dapat dilihat pada Gambar 20. Nilai Cd hasil pengukuran pada setiap stasiun sudah berada jauh di atas nilai ambang batas yang diperkenankan untuk kegiatan kepelabuhanan berdasarkan KepMen LH No.51 tahun 2004 yakni sebesar 0,01 g/l. Cd dalam air berasal dari buangan limbah industri dan limbah pertambangan. Tingginya Cd hasil pengamatan diduga disebabkan oleh buangan limbah industri dan aktivitas pelabuhan seperti kegiatan pengelasan logam pada perbaikan kapal. Nilai Cd pada air laut tertinggi terukur pada jarak 1000 m dari pelabuhan yaitu sebesar 0,04 mg/l, sedangkan nilai terendah terukur di muara sungai sebesar 0,03 mg/l. Nilai Cd yang tinggi seiring dengan jarak dari muara sungai diduga disebabkan oleh proses pencampuran air dari teluk dan muara sungai atau pelabuhan oleh angin, sehingga kadmiun tersebut terlarut dalam air dan terbawa ke arah yang lebih jauh dari muara sungai atau pelabuhan (Saeni, 1989). 49 0,04 0,04 0,04 0,03 0,03 0,03 Cd air (mg/l) 0,03 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 500 m 1000 m 0,01 0,01 0 Muara Sungai ( 50 m) Cd (air) Baku Mutu Gambar 20. Hasil pengukuran Cd pada air laut pada setiap stasiun pengamatan. Kandungan Cd pada sedimen menunjukkan hasil yang lebih tinggi dari kandungan Cd air laut, kecuali untuk pengukuran pada jarak 500 m (Gambar 21). Pada pengukuran Cd di jarak 500 m besar nilainya sama dengan hasil pengukuran Cd air laut pada jarak tersebut yaitu sebesar 0,03 mg/kg. Tingginya kandungan Cd pada sedimen disebabkan proses akumulasi logam tersebut secara terusmenerus melalui proses desorpsi dan reaksi dengan padatan tersuspensi sehingga bersatu dengan sedimen (Saeni, 1989). 0,35 0,33 0,30 Cd sedimen 0,25 (mg/kg) 0,20 0,23 0,15 0,10 0,05 0,03 Muara Sungai ( 50 m) 500 m 1000 m Cd (sedimen) Gambar 21. Hasil pengukuran Cd pada sedimen pada setiap stasiun pengamatan. 50 5.1.4. Status Lingkungan Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa. Status lingkungan perairan Pelabuhan Sunda Kelapa ditentukan dengan analisis Store et Retrieval (STORET). Perhitungan analisis STORET dilakukan berdasarkan 2 peruntukkan yaitu peruntukkan biota laut dan peruntukkan pelabuhan berdasarkan KepMen LH No.51 tahun 2004 dan KepMen No.02 tahun 1988. Perhitungan analisis STORET untuk peruntukkan biota laut berdasarkan perhitungan terhadap 3 parameter fisika dan 9 parameter kimia yang diamati, sedangkan untuk kegiatan pelabuhan berdasarkan 3 parameter fisika dan 5 parameter kimia. Penentuan parameter yang dihitung dalam analisis STORET peruntukkan pelabuhan berdasarkan pertimbangan pengaruh negatif parameterparameter tersebut terhadap aktivitas pelabuhan. Berdasarkan penghitungan dan analisis STORET peruntukkan biota laut, diperoleh indeks STORET pada stasiun 1 ( muara sungai) sebesar -45, stasiun 2 ( 500 m) sebesar -32 dan pada stasiun 3 (1000 m) sebesar -40. Nilai indeks STORET pada setiap stasiun menurut analisis STORET menunjukkan status kondisi kualitas perairan di sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa untuk peruntukkan biota laut sudah tercemar berat ( nilai indeks >-30 ). Nilai hasil perhitungan indeks STORET pada setiap stasiun pengamatan dapat dilihat Tabel 8. Tabel 8. Hasil perhitungan analisis STORET peruntukkan biota laut pada setiap stasiun pengamatan Parameter Fisika 1. 2. 3. Kimia 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9 Unit Hasil Pengukuran Min Maks Rerata Stasiun 1 (muara sungai) Baku Mutu Skor Kecerahan Kekeruhan TSS m NTU mg/l <3,00 <5,00 <80,00 0,23 6,83 20,70 1,25 18,52 58,53 0,74 13,84 45,22 0 -5 0 pH DO BOD5 NO2 NH3 COD NO3 PO4 Pb mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l ppm 6,50-8,50 >4,00 <20,00 <0,08 <0,30 <80,00 <0,08 <0,015 <0,03 7,00 3,72 4,33 0,01 0,04 173,94 0,01 0,08 0.004 8,45 7,65 5,95 5,14 6,16 5,22 0,02 0,01 0,51 0,24 206,48 181,5 0,35 0,20 0,17 0,11 0,352 0,12 Total skor 0 -2 0 0 -2 -10 -8 -10 -8 -45 51 Tabel 8. lanjutan. Parameter Fisika 1. 2. 3. Kimia 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9 Unit Baku Mutu Min Stasiun 2 (jarak 500 m) Hasil Pengukuran Maks Rerata Kecerahan Kekeruhan TSS m NTU mg/l <3,00 <5,00 <80,00 0,50 3,27 9,60 pH DO BOD5 NO2 NH3 COD NO3 PO4 Pb mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l ppm 6,50-8,50 >4,00 <20,00 <0,08 <0,30 <80,00 <0,08 <0,015 <0,03 7,00 4,02 2,96 0,01 0,06 142,76 0,02 0,06 0,001 1,80 9,26 2,77 Skor 1,18 6,93 20,72 0 -4 0 8,46 7,65 5,55 4,95 4,86 4,05 0,03 0,01 0,52 0,25 220,73 181,1 0,41 0,22 0,15 0,09 0,46 0,16 Total Skor 0 0 0 0 -2 -10 -8 -10 -8 -32 Stasiun 3 (jarak 1000 m ) Fisika 1. 2. 3. Kimia 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9 Kecerahan Kekeruhan TSS m NTU mg/l <3,00 <5,00 <80,00 0,80 0,06 5,25 pH DO BOD5 NO2 NH3 COD NO3 PO4 Pb mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l ppm 6,50-8,50 >4,00 <20,00 <0,08 <0,30 <80,00 <0,08 <0,015 <0,03 7,00 5,90 3,67 0,005 0,05 126,72 0,04 0,01 0,001 3,25 7,12 21,35 8,56 6,64 4,75 0,02 0,56 220,73 0,40 0,14 0,298 Total Skor 1,93 2,93 14,80 -1 -1 0 7,69 5,73 3,94 0,01 0,26 181.36 0,22 0,07 0,100 -2 0 0 0 -2 -10 -8 -8 -8 -40 Hasil perhitungan analisis STORET peruntukkan pelabuhan, diperoleh indeks STORET pada stasiun 1 ( muara sungai) sebesar -25, stasiun 2 ( 500 m) sebesar -24 dan pada stasiun 3 (1000 m) sebesar -20. Nilai indeks STORET pada setiap stasiun menurut analisis STORET peruntukkan pelabuhan menunjukkan status kondisi kualitas perairan di sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa untuk peruntukkan kegiatan pelabuhan tercemar sedang ( nilai indeks antara -11 sampai -30). Nilai hasil perhitungan indeks STORET peruntukkan pelabuhan pada setiap stasiun pengamatan dapat dilihat Tabel 9. 52 Tabel 9. Hasil perhitungan analisis STORET peruntukkan pelabuhan pada setiap stasiun pengamatan No. Fisika 1. 2. 3. Kimia 1. 2. 3. 4. 5 Baku Mutu Hasil Pengukuran Min Maks Rerata Stasiun 1 (muara sungai) Parameter Unit Kecerahan Kekeruhan TSS m NTU mg/l <3,00 <5,00 <80,00 0,23 6,83 20,70 pH NO2 NH3 PO4 Pb mg/l mg/l mg/l ppm 6,50-8,50 <0,08 <0,30 <0,015 <0,03 7,00 0,01 0,04 0,08 0.004 1,25 18,52 58,53 8,45 0,02 0,51 0,17 0,352 Total skor Skor 0,74 13,84 45,22 0 -5 0 7,65 0,01 0,24 0,11 0,12 0 0 -2 -10 -8 -25 1,18 6,93 20,72 0 -4 0 Stasiun 2 (jarak 500 m) Fisika 1. 2. 3. Kimia 1. 2. 3. 4. 5. Kecerahan Kekeruhan TSS m NTU mg/l <3,00 <5,00 <80,00 0,50 3,27 9,60 1,80 9,26 2,77 pH NO2 NH3 PO4 Pb mg/l mg/l mg/l ppm 6,50-8,50 <0,08 <0,30 <0,015 <0,03 7,00 0,01 0,06 0,06 0,001 8,46 7,65 0,03 0,01 0,52 0,25 0,15 0,09 0,46 0,156 Total Skor 0 0 -2 -10 -8 -24 3,25 7,12 21,35 1,93 2,93 14,80 -1 -1 0 7,69 0,01 0,26 0,07 0,100 -2 0 -2 -8 -8 -20 Stasiun 3 (jarak 1000 m ) Fisika 1. 2. 3. Kimia 1. 2. 3. 4. 5 Kecerahan Kekeruhan TSS m NTU mg/l <3,00 <5,00 <80,00 0,80 0,06 5,25 pH NO2 NH3 PO4 Pb mg/l mg/l mg/l ppm 6,50-8,50 <0,08 <0,30 <0,015 <0,03 7,00 0,005 0,05 0,01 0,001 8,56 0,02 0,56 0,14 0,298 Total Skor 5.1.5. Kualitas Sedimen Kualitas sedimen yang diukur dalam penelitian ini adalah tekstur sedimen yang terdiri dari fraksi-fraksi sedimen. Fraksi sedimen terdiri dari fraksi pasir, lumpur dan liat untuk menentukan jenis sedimen. Tekstur sedimen dapat ditentukan dengan mengukur kandungan ketiga fraksi tersebut pada sedimen yang diamati. Hasil pengukuran fraksi sedimen dan jenis sedimen pada setiap stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 10. 53 Tabel 10. Persentase fraksi dan jenis sedimen Muara sungai (50m) Fraksi sedimen (%) Pasir Debu/lumpur Liat 86,16 7,15 6,67 Pasir berlempung Jarak 500 m 56,62 29,59 13,78 Lempung berpasir Jarak 1000 m 74,91 17,07 8,02 Lempung berpasir Stasiun Jenis Sedimen 1) Keterangan : 1)Berdasarkan segitiga Wenworth Jenis sedimen di perairan Pelabuhan Sunda Kelapa pada ketiga stasiun pengamatan adalah pasir berlempung dan lempung berpasir. Jenis sedimen pasir berlempung terdapat pada sampel sedimen di muara sungai, sedangkan jenis sedimen lempung berpasir terdapat pada sampel sedimen pada jarak 500 m dan 1000 m. Fraksi pasir yang tinggi pada setiap stasiun pengamatan diduga berkaitan dengan kondisi ombak dan arus yang dinamis pada perairan (Rafni, 2004). Menurut Nybakken (1998), ombak yang dinamis akan membawa, mengaduk dan mendepositkan kembali partikel-partikel pasir pada daerah yang tenang. 5.1.6. Struktur Komunitas Fitoplankton Hasil penghitungan fitoplankton yang dilakukan pada setiap stasiun pengamatan menujukkan bahwa jumlah total taksa yang terjaring pada semua stasiun sebanyak 14 spesies yang terbagi dalam dua famili yaitu famili Bacillariophycea dan Dinophycea. Jenis-jenis taksa fitoplankton selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 11. Pada Tabel 11 terlihat bahwa kelimpahan fitoplankton pada setiap stasiun pengamatan menujukkan bahwa pada stasiun 3 yang berjarak 1000 m mempunyai kelimpahan tertinggi yaitu sebesar 385.331 ind/l. Stasiun 1 (muara sungai) dan stasiun 2 (jarak 500 m dari pelabuhan mempunyai kelimpahan lebih kecil dari pada di stasiun 3, yaitu masing-masing sebesar 53.232 dan 34.376, 9 ind/l. Pada stasiun 1 (di muara sungai), komposisi tertinggi yang ditemukan adalah jenis Chaetacheros sp. dan Skeletonema sp. dengan kepadatan masing-masing sebesar 41.652,8 ind/l dan 1.281,8 ind/l. Famili Bacillariophycea masih memiliki komposisi tertinggi pada stasiun 2 dan 3. Jenis Chaetacheros sp. pada stasiun 2 54 dan 3 memiliki kepadatan tertinggi, masing-masing sebesar 30.270,2 mg/l dan 244.766,4 mg/l. Besarnya komposisi untuk famili Bacillariophycea untuk jenis Chaetacheros sp. dan Skeletonema sp. pada setiap stasiun pengamatan diduga kedua jenis tersebut merupakan jenis yang mampu beradaptasi pada perairan yang tercemar. Pada Tabel 11 terlihat bahwa kepadatan dan Indeks keanekaragaman (H’) fitoplankton tertinggi berada pada stasiun 3, sedangkan pada stasiun 1 (muara sungai) memiliki keseragaman jenis (E) tertinggi. Pada setiap stasiun pengamatan, Indeks keanekaragaman jenis (H’) berkisar antara 0,23-0,37, nilai tersebut masih di bawah 1 yang menunjukkan bahwa kondisi fitoplankton tidak stabil yang diduga karena kondisi perairan yang tercemar berat. Indeks keseragaman jenis (E) pada setiap stasiun pengamatan sangat rendah mendekati 1 yaitu berkisar antara 0,09-0,13, hal tersebut menandakan bahwa kekayaan individu pada masing-masing spesies sangat jauh berbeda dan diduga karena kondisi komunitas tidak stabil karena kondisi pencemaran yang terjadi pada perairan tersebut. Tabel 11. Hasil analisis struktur komunitas fitoplankton pada setiap stasiun pengamatan Nama Spesies Coscinodiscus sp. Peridinium sp. Thallassiosira sp. Ceratium sp. Pseudonitzchia sp. Skeletonema sp. Chaetacheros sp. Thallasoitrix sp. Simbella sp. Pleurosigma sp. Rhizosolenia sp. Bidulpia sp. Bacteriastrum sp. Navicula sp. Total Jumlah taksa Kepadatan (ind/m2) Keanekaragaman (H') Keseragaman (E) Dominansi (D) 1 (muara sungai) 30 695 748 173 8.561 1.281 41.653 6 2 28 40 8 6 0 53.232 13 133,1 0,33 0,13 0,01 Kelimpahan (ind/l) 2 (500 m) 41 296 285 141 568 2.657 30.270 11 0 15 67 13 8 5 34.377 13 85.942,3 0,23 0,09 0,004 3 (1000 m) 54 354 288 17 639 139.064 244.766 7 0 50 75 13 4 0 385.331 13 963.327,5 0,73 0,29 0,35 55 5.1.7. Struktur Komunitas Makrozoobentos Hasil penghitungan makrozoobentos pada setiap stasiun pengamatan menujukkan bahwa jumlah spesies yang terjaring sebanyak 6 spesies (Tabel 12). Dari hasil perhitungan tersebut, kelimpahan makrozoobentos pada setiap stasiun pengamatan menujukkan penyebaran yang merata. Kelimpahan makrozoobentos di muara sungai tertinggi dibandingkan dengan di stasiun 2 dan 3. Di muara sungai (stasiun 1), kelimpahan makrozoobentos yang terjaring sebanyak 200 ind/m3, sedangkan pada jarak 500 m dan 1000 m masing-masing sebesar 163 dan 132 ind/m3 Tabel 12. Hasil analisis struktur komunitas makrozoobentos pada setiap stasiun pengamatan Nama Spesies 1. Barbatia sp. 2. Chione undotella 3. Mactra sp. 4. Triptip sp. 5. Turitella bacillum 6. Tellina sp. Total Jumlah taksa Kepadatan (ind/m2) Keanekaragaman (H') Keseragaman (E) Dominansi (D) Kelimpahan (ind/m3) 1 (muara sungai) 2 (500 m) 3 (1000 m) 7 15 175 3 0 0 200 4 500 0,37 0,09 0,77 3 32 122 0 3 3 163 5 408 0,76 0,47 0,60 0 28 101 0 0 3 132 3 330 0,62 0,56 0,63 Pada stasiun 1 (di muara sungai), komposisi tertinggi yang ditemukan adalah jenis Mactra sp. yaitu sebesar 87,5%, disusul oleh jenis Chione undotella sebesar 7,5% dan jenis Barbatia sp. sebesar 3,5%, serta jenis lainnya dengan komposisi 0 sampai 2 %. Makrozoobentos jenis Mactra sp. dan Chione undotella masih memiliki komposisi tinggi pada stasiun 2 dan 3. Jenis Mactra sp. pada stasiun 2 memiliki komposisi tertinggi sebesar 74,8% disusul oleh jenis Chione undotella sebesar 19,6% dan untuk jenis lainnya memiliki komposisi berkisar antara 0 sampai 2% . Komposisi jenis Mactra sp. pada stasiun 3 sebesar 75,5% disusul oleh jenis Chione undotella sebesar 36,09% dan jenis lainnya memiliki komposisi dibawah 1%. 56 Struktur makrozoobentos yang ditemukan pada setiap stasiun pengamatan. Kepadatan dan Indeks keanekaragaman (H’) dapat menunjukkan status suatu perairan. Pada stasiun 1 (muara sungai) kepadatan makrozoobentos menunjukkan nilai tertinggi, dengan indeks keragaman dan indeks keseragaman yang terendah. Indeks keanekaragaman (H’) dan keseragaman jenis (E) tertinggi terdapat pada stasiun 2, walaupun memiliki kepadatan yang hampir sama dengan stasiun 1 (muara sungai), hal tersebut menandakan bahwa pada stasiun 2 jenis spesies yang ditemukan lebih banyak dari pada stasiun 1 (muara sungai) dan keragaman antar spesies pada lebih tinggi pada stasiun 2 yang berjarak 500 m dari pelabuhan. Pada setiap stasiun pengamatan, indeks keanekaragaman jenis (H’) masih di bawah 1 yang menunjukkan bahwa kondisi komunitas makrozoobentos tersebut tidak stabil yang diduga karena kondisi perairan yang tercemar berat. Sedangkan indeks keseragaman jenis (E) pada setiap stasiun pengamatan mendekati 1 yang menandakan bahwa kekayaan individu pada masing-masing spesies sangat jauh berbeda dan diduga karena kondisi komunitas tidak stabil karena kondisi pencemaran yang terjadi pada perairan tersebut. 5.1.8. Beban Pencemaran Dan Kapasitas Asimilasi 5.1.8.1. Beban Pencemaran Di Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa Beban pencemaran merupakan besarnya bahan pencemar yang masuk ke suatu perairan. Bahan-bahan pencemar tersebut masuk ke perairan melalui sungai, oleh karena itu penghitungan nilai beban pencemar dilakukan terhadap parameter-parameter kualitas perairan di sekitar muara sungai. Beban pencemaran perairan dari limbah berbagai kegiatan di luar kawasan pelabuhan yang masuk ke badan perairan pelabuhan melalui sungai-sungai yang bermuara ke perairan pelabuhan, didekati berdasarkan nilai beberapa parameter indikator limbah/pencemaran dan debit sungai. Beberapa parameter indikator pencemaran yang ditinjau untuk dilihat beban pencemarnya adalah BOD, COD, TSS, nitrat, amonia, fosfat, logam Pb dan Cd. 57 Pada penelitian ini, beban pencemar diprediksi masuk ke perairan sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa melalui Sungai Ciliwung. Debit air Sungai Ciliwung pada saat pengambilan sampel sebesar 4,59 m3/dtk. Hasil analisis parameterparameter penentu pencemaran secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2. Perhitungan beban pencemaran (BP) perairan Pelabuhan Sunda Kelapa yang berasal dari Sungai Ciliwung hanya dilakukan terhadap parameter-parameter yang penting yang diprediksi dapat menyebabkan gangguan ekologis terhadap perairan. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, parameter-parameter tersebut terdiri dari BOD5, COD, TSS, nitrat, ammonia, fosfat, logam berat Pb dan Cd Hasil Penghitungan beban pencemaran parameter-parameter tersebut dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil perhitungan beban pencemaran yang masuk Perairan Sunda Kelapa Parameter TSS BOD5 COD NO3 NH3 PO4 Pb Cd Beban Pencemar (ton/bulan) 538,02 62,14 2.159,40 2,34 2,89 1,32 1,45 0,40 Berdasarkan Tabel 13, beban pencemaran sungai tertinggi untuk masingmasing parameter adalah parameter COD sebesar 2.159,4 ton/bulan, sedangkan beban pencemar terendah adalah untuk parameter logam berat Cd sebesar 0,4 ton/bulan. Beban limbah yang masuk sangat dipengaruhi juga oleh kegiatan masyarakat dan industri di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung yang masuk ke badan perairan Pelabuhan Sunda Kelapa. Beban pencemar untuk parameter COD, TSS dan BOD diduga berasal dari industri pengolahan dan limbah domestik yang banyak mengandung bahan-bahan organik. Kondisi status Kota Jakarta yang multifungsi, sebagai pusat pemerintahan, jasa, perdagangan, industri selektif, ekonomi, dan aktivitas perdagangan lainnya, membuat beban kerawanan Jakarta dalam pencemaran meningkat, tetapi 58 walaupun demikian sumber bahan pencemar di perairan pelabuhan juga dimungkinkan bersumber dari aktivitas pelabuhan itu sendiri. Tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa yang rendah akan memicu kondisi kehidupan sosial yang tidak mengindahkan kebersihan lingkungan, berdasarkan pemantauan peneliti pada saat pengambilan sampel terlihat adanya sampah dan limbah domestik yang terakumulasi di sekitar pemukiman warga di sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa (pemukiman luar batang). Hal tersebut menyebabkan permukaan air di sekitar pemukiman tersebut sebagian besar tertutup oleh sampah yang menyebabkan warna air laut berubah menjadi hitam dan berbau, yang berasal dari tumpukan sampah tebal yang sudah membusuk. 5.1.8.2. Kapasitas Asimilasi Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa. Penghitungan kapasitas asimilasi pada penelitian ini dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan metode hubungan antara kualitas air dengan beban limbahnya. Nilai kapasitas asimilasi ditentukan dari grafik hubungan antara konsentrasi masing-masing parameter pencemar di perairan dengan beban pencemar di muara sungai, kemudian dianalisa dengan membandingkan dengan garis baku mutu air laut yang diperuntukkan untuk biota laut berdasarkan KepMen LH No.02 tahun 1988 dan KepMen LH No.51 tahun 2004. Nilai titik perpotongan antara grafik hubungan konsentrasi parameter kualitas air di perairan dan beban limbahnya di muara sungai dengan baku mutu merupakan nilai kapasitas asimilasi perairan dari parameter tersebut. Nilai kapasitas asimilasi dan fungsi hubungan antara parameter pencemar dengan beban pencemaran di muara dapat dilihat pada Tabel 14. Fungsi y1 menunjukkan kualitas perairan pada jarak 500 m dari muara sungai, sementara fungsi y2 menunjukkan kualitas perairan pada jarak 1000 m dari muara sungai, masingmasing fungsi dihitung kapasitas asimilasinya. Sudah atau belum terlampauinya kapasitas asimilasi menunjukkan tinggirendahnya beban pencemar yang masuk ke perairan, serta lebih tinggi atau rendahnya konsentrasi pada saat ini dibandingkan dengan baku mutunya. Belum terlampauinya kapasitas asimilasi menunjukkan bahwa beban yang masuk masih 59 rendah, kemudian nilai ambang batas baku mutunya pun lebih tinggi dari kondisi konsentrasi saat ini. Berarti bahan-bahan yang masuk dapat mengalami prosesproses difusi dan proses lainnya di dalam lingkungan perairan yang lebih baik dari parameter yang lainnya (yang kapasitas asimilasinya sudah terlampaui). Tabel 14. Fungsi hubungan beban pencemaran di sungai dengan konsentrasi parameter pencemar di perairan pelabuhan, dan kapasitas asimilasinya Perairan Parameter R12 R22 Beban Pencemaran (ton/bulan) Baku Mutu (BM) Fungsi y1 Fungsi y2 TSS y1 = 0,038x + 0,421 y2 = 0,033x – 2,952 0,959 0,974 538,02 BOD5 y1 = 0,086x – 1,308 y2 = 0,051x + 0,757 0,918 0,618 COD y1 = 0,0696x y2 = 0,102x + 30,778 – 39,80 0,646 NO3 y1 = 0,096x – 0,005 y2 = 0,088x + 0,014 NH3 y1 = 0,082x + 0,016 PO4 Kapasitas Asimilasi (ton/bulan) 80 x1 2104,16 x2 2513,6 62,14 20 247,77 377,31 0,893 2,159,40 80 0,985 0,973 2,34 0.008 0,135 -0,068 y2 = 0,092x - 0,005 0,998 0,995 2,89 0,3 3,46 3,82 y1 = 0,087x - 0,025 y2 = 0,097x - 0,051 0.991 0,791 1,32 0,0015 0,46 0,68 Pb y1 = 0.111x – 0,005 y2 = 0,072x – 0,004 0,9995 0,9998 1,45 0,05 0,496 0,75 Cd y1 = 0,077x + 0,004 y2 = 0,073x + 0,008 0,982 0,932 0,40 0,01 0,078 0,027 Hasil analisis kapasitas asimilasi parameter TSS 512,73 1361,36 di perairan pelabuhan Sunda Kelapa menunjukkan bahwa nilai kapasitas asimilasi pada jarak 500 m, sebesar 2104,16 ton/bulan, sedangkan nilai kapasitas asimilasi pada jarak 1000 m sebesar 2513,6 ton/bulan (Gambar 22). Kedua nilai kapasitas asimilasi tersebut masing-masing ditentukan dari persamaan y1 = 0,038x + 0,421 dengan R2 = 0,96, dan y2 = 0,033x – 2,95 dengan R2 = 0,97. Dilihat dari gambar tersebut, nilai parameter TSS pada semua titik pengamatan pada jarak 500 m dan 1000 m masih belum melewati nilai kapasitas asimilasinya. Hal tersebut diduga karena beban pencemar TSS yang masuk ke Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa (PPSK) masih rendah dan masih dapat ternetralisir oleh aktivitas dinamika perairan. 60 120 500 m U1 100 U2 Baku Mutu = 80 mg/l U3 80 BM Konsentrasi TSS di PPSK (mg/l) 60 y1 = 0,038x – 0,421 R2 = 0,96 y2 = 0,033x – 2,95 1000 m 2 R = 0,97 40 20 0 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 Load TSS di muara (ton/bulan)) Gambar 22. Grafik regresi antara beban limbah TSS di muara dengan konsentrasi TSS pada jarak 500 dan 1000 m. Gambar 23 memperlihatkan bahwa hubungan antara beban limbah BOD di muara sungai dengan konsentrasi BOD pada jarak 500 dan 1000 m dari Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan model linier dengan persamaan masing-masing y1 = 0,086x – 1,31 dengan R2 = 0,92, dan y2 = 0,051x + 0,757 dengan R2 = 0,62. Garis perpotongan hubungan linier dengan baku mutunya diperoleh nilai kapasitas pada masing-masing jarak 500 dan 1000 m sebesar 247,77 dan 231,31 ton/bulan. Dilihat dari gambar tersebut, titik-titik pengamatan pada kedua jarak di atas belum melewati nilai kapasitas asimilasinya, demikian juga nilai konsentrasi pada kedua jarak diatas belum melebihi ambang batas baku mutunya. Dengan demikian dapat dikatakan perairan sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa pada jarak 500 m dan 1000 m dari pelabuhan masih di bawah kapasitas asimilasinya. Nilai BOD5 berhubungan dengan kebutuhan oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik yang berasal dari limbah domestik masyarakat dan industri pengolahan yang ada di sekitar bantaran Sungai Ciliwung yang mengalir ke perairan Pelabuhan Sunda Kelapa. Nilai beban pencemar BOD5 yang belum melewati kapasitas asimilasinya diduga karena jumlah sampah organik yang masuk ke perairan sudah mulai berkurang karena terbawa arus laut keperairan yang lebih jauh atau karena sampah-sampah tersebut sudah banyak terurai oleh mikroorganisme di muara sungai. 61 25 500 m 1000 m Baku Mutu = 20 mg/l 20 BM U1 y1 = 0,086x – 1,308 15 Konsentrasi BOD5 di PPSK (mg/l) 10 2 U2 R = 0,92 U3 y2 = 0,051x + 0,757 2 R = 0,62 5 0 0 50 100 150 200 250 300 -5 Load BOD5 di muara (ton/bulan)) Gambar 23. Grafik regresi antara beban limbah BOD5 di muara dengan konsentrasi BOD5 pada jarak 500 dan 1000 m. Pada Gambar 24, parameter COD pada jarak 500 dan 1000 m, regresi yang diperoleh masing-masing adalah y1 = 0,069x + 30,778; R2 = 0,65, dan y2 = 0,102x - 39,8; R2 = 0,89. Hasil perpotongan antara masing-masing persamaan tersebut dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas asimilasi untuk jarak 500 m dari Pelabuhan Sunda Kelapa sebesar 512,73 ton/bulan, sedangkan pada jarak 1000 m dari pelabuhan sebesar 1361,36 ton/bulan, sehingga perairan Pelabuhan Sunda Kelapa dalam kondisi berada di atas kapasitas asimilasinya. 500 m 1200 1000 m 1000 y1 = 0,0696x + 30,78 R2 = 0,65 Konsentrasi COD 800 di PPSK (mg/l) BM u1 u2 600 u3 400 y2 =0,102x – 39,8 R2 = 0,89 200 0 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 -200 Load COD di muara (ton/bulan) Gambar 24. Grafik regresi antara beban limbah COD di muara dengan konsentrasi COD pada jarak 500 dan 1000 m. 62 Kondisi parameter pencemar COD yang sudah berada di atas kapasitas asimilasinya menandakan bahwa perairan Pelabuhan Sunda Kelapa sudah tidak dapat menetralisir bahan pencemar COD melalui mekanisme hidrodinamika (proses pencampuran dan pembilasan) perairan, karena banyaknya bahan pencemar berupa bahan organik non biodegradable yang masuk ke perairan. Hasil regresi untuk parameter nitrat (NO3) pada jarak 500 dan 1000 m dari Pelabuhan Sunda Kelapa menghasilkan persamaan regresi masing-masing y1= 0,096x – 0,005; R2 = 0,985, dan y2 = 0,088x + 0,014; R2 = 0,97. Nilai kapasitas asimilasi pada jarak 500 m dari pelabuhan sebesar 0,135 ton/bulan, sedangkan untuk jarak 1000 m dari pelabuhan sebesar -0,068 ton/bulan, baik pada jarak 500 m maupun pada jarak 1000 m terlihat bahwa hasil penelitian sudah melampaui nilai kapasitas asimilasinya berarti perairan sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa sudah tercemar nitrat (NO3)(Gambar 25). Hal tersebut diduga karena besarnya beban bahan pencemar nitrat yang masuk ke perairan yang berasal dari limbah antropogenik, dan sudah tidak dapat ternetralisir oleh aktivitas hidrodinamika perairan. Menurut Effendi (2003), kadar nitrat yang melebihi 5 mg/l menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan tinja hewan. 0,6 500 m 0,5 y1 = 0,096x – 0,005 1000 m R2 = 0,985 BM Konsentrasi NO3 0,4 di PPSK (mg/l) u1 y2 = 0,088x + 0,014 0,3 2 R u2 = 0,98 u3 0,2 0,1 Baku Mutu = 0,008 mg/l 0 0 -0,1 2 4 6 8 Load NO3 di muara (ton/bulan) Gambar 25. Grafik regresi antara beban limbah NO3 di muara dengan konsentrasi NO3 pada jarak 500 dan 1000 m. Pada Gambar 26 terlihat bahwa parameter amonia (NH3) pada jarak 500 dan 1000 m dari Pelabuhan Sunda Kelapa menghasilkan persamaan regresi masing- 63 masing adalah y1= 0,082x + 0,015; R2 = 0,998, dan y2 = 0,092x - 0,005; R2 = 0,995. Nilai kapasitas asimilasi pada jarak 500 m dari pelabuhan sebesar 3,46 ton/bulan, sedangkan untuk jarak 1000 m dari pelabuhan sebesar 3,82 ton/bulan, hal tersebut menandakan bahwa pada jarak 500 m maupun pada jarak 1000 m terlihat bahwa hasil penelitian belum melampaui nilai kapasitas asimilasinya, berarti beban sumber pencemar amonia yang masuk ke perairan Pelabuhan Sunda Kelapa besar dan sudah tidak dapat ternetralisir oleh aktivitas hidrodinamika perairan. Amonia merupakan komponen dari pupuk urea yang banyak dipakai sebagai sarana produksi pertanian di daerah pertanian sekitar pinggiran Jakarta dan Bogor, limbah pupuk urea tersebut merupakan salah satu sumber limbah amonia yang terbawa sungai ke perairan Pelabuhan Sunda Kelapa. Sumber limbah amonia lainnya adalah produksi bahan kimia (asam nitrat, amonium fosfat, amonium nitrat, dan amoniun sulfat), industri bubur kertas dan kertas (pulp dan paper). Selain itu tinja dari mahluk hidup yang hidup di air maupun dari masyarakat yang hidup di bantaran Sungai Ciliwung merupakan sumber limbah yang banyak mengeluarkan amonia. Amonia di perairan dapat juga berasal dari proses reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses udara atmosfer, limbah industri dan domestik. 0,6 0,5 y2 = 0,092x – 0,005 500 m R2 = 0,995 1000 m BM Konsentrasi NH3 di PPSK (mg/l) 0,4 U1 y1 = 0,0826x + 0,016 Baku Mutu = 0,3 mg/l 0,3 U2 R2 = 0,998 U3 0,2 0,1 0 0 -0,1 2 4 6 8 Load NH3 di muara (ton/bulan) Gambar 26. Grafik regresi antara beban limbah NH3 di muara dengan konsentrasi NH3 pada jarak 500 dan 1000 m. 64 Gambar 27 memperlihatkan grafik regresi parameter PO4 hasil penelitian pada jarak 500 dan 1000 m. pada gambar tersebut terlihat bahwa model analisis regresi untuk jarak 500 m adalah y1 = 0,087x – 0,025 dengan R2 = 0,991, sedangkan untuk jarak 1000 m adalah y2 = 0,09x – 0,051; R2 = 0,79. Nilai kapasitas asimilasi pada kedua jarak tersebut adalah 0,46 dan 0,68 ton/bulan. Nilai parameter PO4 pada jarak 500 dan 1000 m, keduanya berada di atas nilai kapasitas asimilasinya sehingga dapat dikatakan bahwa perairan sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa sudah tercemar parameter fosfat (PO4), karena sumber pencemar fosfat yang masuk ke perairan besar dan sudah tidak ternetralisir oleh aktivitas hidrodinamika perairan. Tingginya parameter fosfat tersebut diduga disebabkan oleh tingginya beban limbah pertanian di daerah pinggiran kota Jakarta dan Bogor. Selain itu limbah penghasil fosfat juga dimungkinkan kegiatan industri yang ada di Kota Jakarta. Fosfor banyak digunakan sebagai pupuk, sabun atau detergen, industri keramik, minyak pelumas, produk minuman dan makanan, katalis dan sebagainya. industri, polifosfat ditambahkan langsung untuk mencegah Pada terjadinya pembentukan karat dan korosi pada peralatan logam. Kadar fosfor pada perairan alami berkisar antara 0.005 – 0.02 mg/l P-PO4 (Effendi, 2003). 0,2 500 m 1000 m 0,15 BM y1 = 0,087x – 0,025 Konsentrasi PO4 0,1 di PPSK (mg/l) y2 = 0,097x – 0,051 2 R = 0,99 2 R = 0,79 0,05 u1 u2 u3 Baku Mutu = 0,015 mg/l 0 0 0,5 1 1,5 2 2,5 -0,05 -0,1 Gambar 27. Load PO4 di muara (ton/bulan) Grafik regresi antara beban limbah PO4 di muara dengan konsentrasi PO4 pada jarak 500 dan 1000 m. 65 Hasil analisis regresi parameter kandungan Pb pada jarak 500 dan 1000 m terlihat bahwa model analisis regresi untuk jarak 500 m adalah y1 = 0,111x – 0,005 dengan R2 = 0,9995, sedangkan untuk jarak 1000 m adalah y2 = 0,072x – 0,004; R2 = 0,9998. Nilai kapasitas asimilasi pada kedua jarak tersebut adalah 0,496 dan 0,75 ton/bulan (Gambar 28). Nilai parameter Pb pada jarak 500 dan 1000 m, keduanya rata-rata berada di atas nilai kapasitas asimilasinya sehingga dapat dikatakan bahwa perairan sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa sudah tercemar Pb. 500 m 0,5 1000 m Konsentrasi Pb di PPSK (mg/l) BM 0,4 u1 0,3 u2 u3 y1 = 0,111x – 0,005 0,2 2 R = 0,9995 y2 = 0,072x – 0,004 2 0,1 R = 0,9998 0 0 0,5 1 1,5 2 2,5 -0,1 Load Pb di muara (ton/bulan) Gambar 28. Grafik regresi antara beban limbah Pb di muara dengan konsentrasi Pb pada jarak 500 dan 1000 m. Pada Gambar 29 terlihat bahwa grafik regresi parameter cadmium (Cd) pada jarak 500 dan 1000 m dari Pelabuhan Sunda Kelapa menghasilkan persamaan regresi masing-masing adalah y1= 0,077x + 0,004; R2 = 0,98, dan y2 = 0,037x - 0,008; R2 = 0,932. Nilai kapasitas asimilasi untuk Cd pada jarak 500 m dari pelabuhan sebesar 0,078 ton/bulan, sedangkan untuk jarak 1000 m dari pelabuhan sebesar 0,027 ton/bulan, hal tersebut menandakan bahwa pada jarak 500 m beban pencemar Cd belum melebihi kapasitas asimilasinya sedangkan pada jarak 1000 m beban pencemar Cd sudah melebihi kapasitas asimilasinya, sehingga dapat dikatakan pada jarak 1000 m perairan sudah tercemar Cd. Sedangkan pada jarak 500 m perairan belum tercemar Cd. 66 0,18 500 m 0,16 1000 m y2 = 0,073x + 0,008 0,14 BM R2 = 0,932 Konsentrasi Cd di PPSK (mg/l) 0,12 u1 0,1 0,08 y1 = 0,077x + 0,004 u2 R2 = 0,982 u3 0,06 0,04 Baku Mutu = 0,01 mg/l 0,02 0 -0,02 0 0,5 1 1,5 2 2.5 Load Cd di muara (ton/bulan) Gambar 29. Grafik regresi antara beban limbah Cd di muara dengan konsentrasi Cd pada jarak 500 dan 1000 m. Kandungan logam Pb dan Cd yang tinggi di perairan sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa disebabkan oleh limbah industri yang terbawa oleh Sungai Ciliwung. Kandungan beberapa logam seperti Pb, Cd, dan Hg di beberapa lokasi di Perairan Teluk Jakarta cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan industri di Jakarta (Hutagalung, 1994). Logam berat dalam perairan akan terakumulasi dalam organisme pada tingkatan tropik yang tertinggi. Pada tingkatan tropik yang rendah ataupun pada tingkat produsen sekalipun banyak ditemukan kandungan logam berat. Sebagai contoh kandungan logam Pb banyak ditemukan pada jenis kerang hijau di Teluk Jakarta (Hutagalung, 1994). 67 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Beberapa parameter kualitas air perairan sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa sudah berada di atas ambang batas baku mutu sesuai dengan KepMen LH No. 51 tahun 2004 dan KepMen LH No.02 tahun 1988, dengan beban pencemar di muara sungai secara berturut-turut untuk TSS, BOD5, COD, NO3, NH3, PO4, Pb dan Cd (ton/bulan): (538,02), (62,14), (2159,40), (2,34), (2,89), (1,32), (1,45), dan (0,40), sedangkan kapasitas asimilasi pada jarak 500 dan 1000 m, berturut-turut sebesar: TSS (2104,16 dan 2513,60), BOD5 (247,77 dan 377,31), COD (512,73 dan 1361,36), NO3 (0,135 dan -0,068), NH3 (3,46 dan 3,82), PO4 (0,46 dan 0,68), Pb (0,496 dan 0,75), serta Cd (0,078 dan 0,027). 2. Struktur komunitas fitoplankton ditinjau dari indeks keseragaman jenis (E) pada setiap stasiun pengamatan sangat rendah (0,09-0,13) komunitasnya, dan indeks keanekaragaman jenisnya (0,23-0,370) yang menunjukkan kondisi fitoplankton tidak stabil. Struktur komunitas makrozobentos pada setiap stasiun pengamatan, memiliki indeks keanekaragaman jenis (H’) di bawah 1 dan indeks keseragaman jenis mendekati 1 yang menunjukkan bahwa komunitas tidak stabil. 3. Berdasarkan analisis STORET peruntukkan kehidupan biota laut memperlihatkan status perairan Pelabuhan Sunda Kelapa sudah tercemar berat, sedangkan hasil analisis STORET peruntukkan kegiatan pelabuhan, memperlihatkan status mutu perairan tercemar sedang. 6.2. Saran Saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan upaya pengelolaan dari instansi terkait terhadap limbahlimbah organik yang sudah melebihi kapasitas asimilasinya yakni COD, NO3 dan PO4, dengan cara pemantauan secara intensif terhadap parameterparameter tersebut dan upaya menekan sumber limbah pencemar parameter tersebut. 2. Perlu dilakukan penelitian yang sama pada jarak yang lebih jauh, sehingga dapat melakukan pengelolaan lingkungan yang lebih baik dan lebih sempurna. 69 DAFTAR PUSTAKA Anna, S. 1999. Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Teluk Jakarta. Thesis (tidak dipublikasikan ). Program Pascasarjana IPB. Bogor. Anonim. 2004. Arus Kapal Dan Barang Di Cabang Pelabuhan Sunda Kelapa Terjadi Peningkatan Yang Signifikan. http://members.bumnri.com/pelindo2/news.html.[27 April 2004]. American Public Health Association (APHA). 1989. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater. American Public Health Association (APHA). American Water Works Association (AWWA) and Water Pollution Control Federation (WPCF) 17 ed. Washington. 1193 hal. Bakus, G.J. (1990). Quantitative Ecology and Marine Biology, Oxford & IBH Publishing, New Delhi, 168pp. Basmi, J. 1998. Planktonologi. Fakultas Perikanan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Biro Pusat Statistik. 2004. Kecamatan Pademangan dalam Angka 2004. Biro Pusat Statistik. 2004. Kecamatan Penjaringan dalam Angka 2004. Brower, J. E and J. H. Zar. 1990. Field and Laboratory Method for General Ecology. Academic Press, London. Dahuri, R. 1998. The Application of Carrying Capacity Concept for Sustainable Coastal Resources Development in Indonesia. Indonesia Journal of Coastal and Marine Resources Management I: 13-20. Effendi, H. 2003. Telaahan Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Fachrul, M.F., H. Haeruman dan L.C. Sitepu. 2005. Komunitas Fitoplankton Sebagai Bio-Indikator Kualitas Perairan Teluk Jakarta. Makalah Seminar Nasional MIFA 2005. FMIPA UI-Depok. Jawa Barat.. Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta. Hawkes, H. A. 1979. Invertebrates as indicators of river water quality. Pages 2-1 to 2-45 in: A. James and L. Evison (eds.), Biological Indicators of Water Quality. John Wiley and Sons, New York. Hidayah, Z. 2003. Pengaruh Kondisi Sedimen terhadap Struktur Komunitas Makrozoobenthos Di Muara Sungai Donan, Cilacap, Jawa Tengah. Skripsi. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor (tidak dipublikasikan). Hynes, H.B.N. 1978. The Biology of Polluted Water. Liverpool University Press. Hutabarat, S. dan S. M. Evan. 1986. Pengantar Oceanografi. Universitas Indonesia Press. Jakarta Hutagalung, H.P.1994. Kandungan Logam Berat Dalam Sedimen di Perairan Teluk Jakarta. Prosiding Seminar Pemantauan Pencemaran Laut Jakarta 0709 Pebruari 1994. Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta. Syamsudin, F., 2004. ”Fenomena “Red Tide” di Teluk Jakarta. Inovasi OnlineVol.1/XVI/Agustus2004–Nasional. http://io.ppi Jepang.org/article.php. [27 April 2004]. Jorgensen, S.E. 1988. Fundamental Of Ecological Modelling. Jhon Willey and Sons. New York. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02 Tahun 1988 Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Sekretariat Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 115 Tahun 2003 Tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Lampiran I, Tanggal 10 Juli 2003 Tentang Penentuan Status Mutu Air Dengan Metode STORET. Sekretariat Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut. Sekretariat Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta. King, A.H. 1963. An Introduction To Oceanography. Hills Books Company. Inc. San Fransisco. Krebs, C. J. 1989. Ecologycal Methodology. University of British Columbia. New York. 470 p Lin, O. T. 1979. Handbook Of Common Method In Lymnology. The C.V. Musby Company. St. Louis. Missouri. 199p. Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologi. Terjemahan Eidman, M., Koesoebiono, dan D. G. Bengen. PT Gramedia. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djembatan Jakarta. Mason, C. F. 1981. Biology of Freshwater Pollution. Longmans. New York. 250p. Odum, E. P. 1971. Dasar–dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh T. Samingan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Palar, H. 2004. Pencemaran dan Toksikoogi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta. 152 p. 71 Pescod, M.D. 1973. Investigation Of Rational Effluens And Streams Standar For Tropical Countries. Air Bangkok. 59p. Quano. 1993. Training Manual on Assessment of the Quantity and Type of Land Based Pollutant Discharge Into the Marine and Coastal Environment. UNEP. Bangkok. Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 1990. Tentang Pengendalian Pencemaran Air. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999. Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. Rafni, R. 2004. Kapasitas Asimilasi Beban Pencemar Di Perairan Teluk Jobokuto Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Thesis ( tidak dipublikasikan). Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. La Ode, A. R. 2005. Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi serta Penyusunan Strategi Pengelolaan Perairan Teluk Kendari. Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Pendidikan Tinggi. PAU-IPB. Bogor. Setyobudiandi, I. 1996. Makrozoobenthos. Definisi, Pengambilan Contoh dan Penanganannya. Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perikanan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan. IPB. Sutamiharja, R.T.M. 1978. Kualitas dan Pencemaran Lingkungan. Sekolah Pasca Sarjana. Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. IPB. Bogor. Ward, G.H. 1999. Analysis Of Honduran Shrimp Farm Imfacts On Channel Estuaries Of The Gulf On Forseca. Center For Research In Water Resources. University Of Texas. Austin. Wirdha S., 2006. Analisis Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pelabuhan Sunda Kelapa DKI Jakarta. Tesis (tidak dipublikasikan). Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. 72 Lampiran 1. Peta lokasi pengambilan sample air dan sedimen 3 Pelabuhan Sunda Kelapa 2 1 Kali Ciliwung Keterangan : : titik pengambilan sample air dan sedimen 73 Lampiran 2. Hasil pengukuran parameter kualitas lingkungan perairan di Pelabuhan Sunda Kelapa a. Rerata hasil pengukuran kualitas lingkungan pada setiap stasiun pengamatan pada setiap ulangan pengamatan. Parameter Ulangan 1 Stasiun 1/Muara Sungai ( 50 m) Ulangan Ulangan 2 3 Rerata Ulangan 1 Stasiun 2 (500 m) Ulangan Ulangan 2 3 Rerata Ulangan 1 Stasiun 3 (1000 m) Ulangan Ulangan 2 3 Rerata Kedalaman (m) 4 2 3 3 6 3 3 4 7,5 6 6 4 Suhu Udara (°C) 30 30 31 30.2 30 31 30 30 30 30 30 30 Suhu Air (°C) Kecerahan (m) 32 32 30 31.3 32 32 30 31 32 30 30 31 0.23 0.75 1.25 0.743 0.50 1.25 1.80 1.18 0.80 1.75 3.25 1.93 Kekeruhan (NTU) 16.18 18.52 6.83 13.84 8.26 9.26 3.27 6.93 7.12 0.06 1.63 2.94 Salinitas (‰) 30.00 31.33 30.33 30.55 30.00 30.33 31.00 30.44 30.00 30.00 31.00 30.33 TSS (mg/L) 58.53 56.44 20.70 45.22 24.78 27.77 9.60 20.72 21.35 17.79 5.25 14.80 7.0 7.5 8.5 7.7 7.0 7.5 8.5 7.7 7.0 7.5 8.6 8 5.75 5.95 3.72 5.14 5.55 5.28 4.02 4.95 5.65 6.64 4.90 5.73 pH DO (mg/L) BOD (mg/L) 4.33 5.18 6.16 5.22 2.96 4.33 4.86 4.05 3.67 3.41 4.75 3.94 TOM (mg/L) 37.29 75.21 423.44 178.65 33.18 73.94 486.64 197.92 49.93 72.68 567.68 230.10 COD 137.94 200.09 206.48 181.50 142.76 220.73 179.80 181.10 126.72 220.73 196.62 181.36 NO3 (mg/L) 0.01 0.23 0.35 0.20 0.02 0.23 0.41 0.22 0.04 0.22 0.40 0.22 NH3 (mg/L) 0.18 0.51 0.04 0.24 0.18 0.52 0.06 0.25 0.17 0.56 0.05 0.26 NO2 (mg/L) 0.01 0.02 0.01 0.01 (0.03) 0.02 0.01 0.00 0.00 0.02 0.01 0.01 PO4 (mg/L) 0.09 0.17 0.08 0.11 0.06 0.15 0.06 0.09 0.08 0.14 0.01 0.07 121.02 6,018.01 108.99 6,141.41 118.00 4,335.58 116.00 5,498.33 119.07 5,918.91 108.12 6,294.62 122.00 4,523.27 116.40 5,578.93 132.73 5,972.97 111.61 6,486.14 122.00 4,654.65 122.11 5,704.59 Pb (air) 0.352 0.010 0.004 0.122 0.460 0.001 0.006 0.156 0.298 0.001 0.002 0.100 Cd (air) 0.017 0.082 0.001 0.033 0.025 0.078 0.000 0.034 0.034 0.078 0.000 0.037 Pb (sedimen) 1.73 0.63 29.50 10.62 1.03 0.70 32.30 11.34 1.08 0.70 36.50 12.76 Cd (sedimen) 0.17 0.33 0.20 0.23 0.17 0.33 0.40 0.30 0.16 0.33 0.50 0.33 Alkalinitas Kesadahan (mg/l) 74 b. Hasil pengukuran parameter kimia kualitas air dan beban pencemaran pada setiap stasiun pengamatan. Parameter Stasiun 1/Muara Sungai ( 50 m) Ulangan Ulangan Ulangan 3 Rerata 1 2 Beban Pencemaran (BP)(ton/bln) BP1 BP2 BP3 Rerata BP (ton/bln) Salinitas (‰) 30.00 31.33 30.33 30.55 356.92 372.74 360.84 363.50 TSS (mg/L) 58.53 56.44 20.70 45.22 696.30 671.48 246.27 538.02 pH 7.00 7.50 8.45 7.65 83.28 89.23 100.53 91.01 DO (mg/L) 5.75 5.95 3.72 5.14 68.41 70.79 44.26 61.15 BOD (mg/L) 4.33 5.18 6.16 5.22 51.52 61.63 73.29 62.14 COD 137.94 206.48 181.50 1,641.16 2,380.50 2,456.55 2,159.40 178.65 443.65 894.77 5,037.78 2,125.40 200.09 TOM (mg/L) 37.29 75.21 NO2 (mg/L) 0.01 0.02 0.01 0.01 0.09 0.27 0.12 0.16 N-NO3 (mg/L) 0.01 0.23 0.35 0.20 0.16 2.72 4.13 2.34 NH3 (mg/L) 0.18 0.51 0.04 0.24 2.15 6.09 0.43 2.89 121.02 108.99 6,018.01 6,141.41 Pb (air) 0.352 Cd (air) 0.017 Alkalinitas Kesadahan (mg/l) COD 137.94 423.44 118.00 116.00 1,439.82 1,296.68 1,403.88 1,380.13 4,335.58 5,498.33 71,597.97 73,066.07 51,581.62 65,415.22 0.010 0.004 0.122 4.19 0.11 0.05 1.45 0.082 0.001 0.033 0.20 0.98 0.01 0.40 200.09 206.48 181.50 1,641.16 2,380.50 2,456.55 2,159.40 75 Lampiran 3. Analisis regresi antara beban pencemar dan konsentrasi setiap parameter di perairan Pelabuhan Sunda Kelapa. a. Analisis Regresi Antara Beban TSS (ton/bln) dan Konsentrasi TSS pada Stasiun 2 (jarak 500 m) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Model 1 182.11409 Error 1 7.72637 C Total 2 189.84047 Root MSE Dep Mean C.V. 2.77964 20.71667 13.41739 R-square Adj R-sq Mean Square 182.11409 7.72637 F Value 23.570 Prob>F 0.1293 0.9593 0.9186 Parameter Estimates Variable INTERCEP Load TSS_2 DF 1 1 Parameter Estimate 0.421495 0.037722 Standard T for H0: Error Parameter=0 Prob > |T| 4.47777568 0.094 0.9403 0.00776986 4.855 0.1293 b. Analisis Regresi Antara Beban TSS (ton/bln) dan Konsentrasi TSS pada Stasiun 3 (jarak 1000 m) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Model 1 139.27887 Error 1 3.76620 C Total 2 143.04507 Root MSE Dep Mean C.V. 1.94067 14.79667 13.11558 R-square Adj R-sq Mean Square F Value Prob>F 139.27887 36.981 0.1038 3.76620 0.9737 0.9473 Parameter Estimates Variable INTERCEP Load TSS_3 DF 1 1 Parameter Standard Estimate Error -2.951912 3.12626582 0.032989 0.00542471 T for H0: Parameter=0 Prob > |T| -0.944 0.5183 6.081 0.1038 76 c. Analisis Regresi Antara Beban BOD5 (ton/bln) dan Konsentrasi BOD5 pada Stasiun 2 (jarak 500 m) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Model 1 1.76434 Error 1 0.15826 C Total 2 1.92260 Root MSE Dep Mean C.V. 0.39782 4.05000 9.82271 R-square Adj R-sq Mean Square 1.76434 0.15826 F Value 11.148 Prob>F 0.1853 0.9177 0.8354 Parameter Estimates Variable INTERCEP Load BOD5_2 DF 1 1 Parameter Estimate -1.307953 0.086215 Standard Error 1.62105414 0.02582118 T for H0: Parameter=0 Prob > |T| -0.807 0.5678 3.339 0.1853 d. Analisis Regresi Antara Beban BOD5 (ton/bln) dan Konsentrasi BOD5 pada Stasiun 3 (jarak 1000 m) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Model 1 0.62388 Error 1 0.38599 C Total 2 1.00987 Root MSE Dep Mean C.V. 0.62128 3.94333 15.75521 R-square Adj R-sq Mean Square F Value Prob>F 0.62388 1.616 0.4243 0.38599 0.6178 0.2356 Parameter Estimates Variable INTERCEP Load BOD5_3 DF 1 1 Parameter Estimate 0.757248 0.051267 Standard Error 2.53162300 0.04032530 T for H0: Parameter=0 Prob > |T| 0.299 0.8150 1.271 0.4243 e. Analisis Regresi Antara Beban COD (ton/bln) dan Konsentrasi COD pada Stasiun 2 (jarak 500 m) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Model 1 1966.18749 Error 1 1075.99497 C Total 2 3042.18247 Root MSE Dep Mean C.V. 32.80236 181.09667 18.11318 R-square Adj R-sq Mean Square 1966.18749 1075.99497 F Value 1.827 Prob>F 0.4055 0.6463 0.2926 77 Parameter Estimates Parameter Estimate 30.777714 0.069611 Variable DF INTERCEP 1 Load COD_2 1 Standard Error 112.80158094 0.05149590 T for H0: Parameter=0 Prob > |T| 0.273 0.8304 1.352 0.4055 f. Analisis Regresi Antara Beban COD (ton/bln) dan Konsentrasi COD pada Stasiun 3 (jarak 1000 m) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Model 1 4255.97776 Error 1 512.41631 Total 2 4768.39407 Root MSE Dep Mean C.V. 22.63661 181.35667 12.48182 R-square Adj R-sq Mean Square 4255.97776 512.41631 F Value 8.306 Prob>F 0.2126 0.8925 0.7851 Parameter Estimates Variable INTERCEP Load COD_3 Parameter Estimate -39.800466 0.102416 DF 1 1 Standard Error 77.84335359 0.03553685 T for H0: Parameter=0 Prob > |T| -0.511 0.6991 2.882 0.2126 g. Analisis Regresi Antara Beban NO3 (ton/bln) dan Konsentrasi NO3 pada Stasiun 2 (jarak 500 m) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Model 1 0.07508 Error 1 0.00112 C Total 2 0.07620 Root MSE Dep Mean C.V. 0.03341 0.22000 15.18604 R-square Adj R-sq Mean Square 0.07508 0.00112 F Value 67.269 Prob>F 0.0772 0.9854 0.9707 Parameter Estimates Variable DF INTERCEP 1 Load NO3_2 1 Parameter Standard Estimate Error -0.004959 0.03353162 0.096274 0.01173820 T for H0: Parameter=0 Prob > |T| -0.148 0.9065 8.202 0.0772 78 h. Analisis Regresi Antara Beban NO3 (ton/bln) dan Konsentrasi NO3 pada Stasiun 3 (jarak 1000 m) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Model 1 0.06304 Error 1 0.00176 C Total 2 0.06480 Root MSE Dep Mean C.V. 0.04199 0.22000 19.08628 R-square Adj R-sq Mean Square 0.06304 0.00176 F Value 35.753 Prob>F 0.1055 0.9728 0.9456 Parameter Estimates Variable DF INTERCEP 1 Load NO3_3 1 Parameter Estimate 0.013876 0.088213 Standard Error 0.04214357 0.01475293 T for H0: Parameter=0 Prob > |T| 0.329 0.7975 5.979 0.1055 i. Analisis Regresi Antara Beban NH3 (ton/bln) dan Konsentrasi NH3 pada Stasiun 2 (jarak 500 m) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Model 1 0.11362 Error 1 0.00025 C Total 2 0.11387 Root MSE Dep Mean C.V. 0.01576 0.25333 6.22020 R-square Adj R-sq Mean Square 0.11362 0.00025 F Value 457.567 Prob>F 0.0297 0.9978 0.9956 Parameter Estimates Variable DF INTERCEP 1 Load NH3_2 1 Parameter Estimate 0.015944 0.082142 Standard Error 0.01435023 0.00384004 T for H0: Parameter=0 Prob > |T| 1.111 0.4665 21.391 0.0297 j. Analisis Regresi Antara Beban NH3 (ton/bln) dan Konsentrasi NH3 pada Stasiun 3 (jarak 1000 m) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Model 1 0.14142 Error 1 0.00078 C Total 2 0.14220 Root MSE Dep Mean C.V. 0.02786 0.26000 10.71446 R-square Adj R-sq Mean Square 0.14142 0.00078 F Value 182.236 Prob>F 0.0471 0.9945 0.9891 79 Parameter Estimates Variable DF INTERCEP 1 Load NH3_3 1 Parameter Estimate -0.004849 0.091643 Standard Error 0.02536916 0.00678865 T for H0: Parameter=0 Prob > |T| -0.191 0.8798 13.499 0.0471 k. Analisis Regresi Antara Beban PO4 (ton/bln) dan Konsentrasi PO4 pada Stasiun 2 (jarak 500 m) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Model 1 0.00535 Error 1 0.00005 C Total 2 0.00540 Root MSE Dep Mean C.V. 0.00680 0.09000 7.55590 R-square Adj R-sq Mean Square 0.00535 0.00005 F Value 115.771 Prob>F 0.0590 0.9914 0.9829 Parameter Estimates Variable INTERCEP Load PO4_2 DF 1 1 Parameter Estimate -0.024620 0.087053 Standard Error 0.01135316 0.00809064 T for H0: Parameter=0 Prob > |T| -2.169 0.2751 10.760 0.0590 l. Analisis Regresi Antara Beban PO4 (ton/bln) dan Konsentrasi PO4 pada Stasiun 3 (jarak 1000 m) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Model 1 0.00669 Error 1 0.00177 C Total 2 0.00847 Root MSE Dep Mean C.V. 0.04211 0.07667 54.92214 R-square Adj R-sq Mean Square 0.00669 0.00177 F Value 3.775 Prob>F 0.3026 0.7906 0.5812 Parameter Estimates Variable INTERCEP Load PO4_3 DF 1 1 Parameter Estimate -0.051496 0.097339 Standard Error 0.07029785 0.05009659 T for H0: Parameter=0 Prob > |T| -0.733 0.5975 1.943 0.3026 80 m. Analisis Regresi Antara Beban Pb (ton/bln) dan Konsentrasi Pb pada Stasiun 2 (jarak 500 m) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Model 1 0.13887 Error 1 0.00007 C Total 2 0.13894 Root MSE Dep Mean C.V. 0.00825 0.15567 5.29799 R-square Adj R-sq Mean Square 0.13887 0.00007 F Value 2041.755 Prob>F 0.0141 0.9995 0.9990 Parameter Estimates Variable INTERCEP Load Pb_2 DF 1 1 Parameter Estimate -0.005341 0.111039 Standard Error 0.00594716 0.00245740 T for H0: Parameter=0 Prob > |T| -0.898 0.5342 45.186 0.0141 n. Analisis Regresi Antara Beban Pb (ton/bln) dan Konsentrasi Pb pada Stasiun 3 (jarak 1000 m) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Model 1 0.05859 Error 1 0.00001 C Total 2 0.05861 Root MSE Dep Mean C.V. 0.00377 0.10033 3.75498 R-square Adj R-sq Mean Square 0.05859 0.00001 F Value 4128.112 Prob>F 0.0099 0.9998 0.9995 Parameter Estimates Variable INTERCEP Load Pb_3 DF 1 1 Parameter Estimate -0.004251 0.072127 Standard Error 0.00271679 0.00112259 T for H0: Parameter=0 Prob > |T| -1.565 0.3620 64.250 0.0099 o. Analisis Regresi Antara Beban Cd (ton/bln) dan Konsentrasi Pb pada Stasiun 2 (jarak 500 m) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Model 1 0.00312 Error 1 0.00006 C Total 2 0.00317 Root MSE Dep Mean C.V. 0.00749 0.03433 21.81355 R-square Adj R-sq Mean Square 0.00312 0.00006 F Value 55.564 Prob>F 0.0849 0.9823 0.9646 81 Parameter Estimates Variable INTERCEP Load Cd_3 DF 1 1 Parameter Estimate 0.003872 0.076794 Standard Error 0.00594951 0.01030228 T for H0: Parameter=0 Prob > |T| 0.651 0.6327 7.454 0.0849 p. Analisis Regresi Antara Beban Cd (ton/bln) dan Konsentrasi Pb pada Stasiun 3 (jarak 1000 m) Analysis of Variance Source DF Sum of Squares Model 1 0.00285 Error 1 0.00021 C Total 2 0.00306 Root MSE Dep Mean C.V. 0.01442 0.03733 38.63222 R-square Adj R-sq Mean Square 0.00285 0.00021 F Value 13.704 Prob>F 0.1680 0.9320 0.8640 Parameter Estimates Variable INTERCEP Load Cd_3 DF 1 1 Parameter Estimate 0.008200 0.073445 Standard Error 0.01145739 0.01983981 T for H0: Parameter=0 Prob > |T| 0.716 0.6045 3.702 0.1680 82 Lampiran 4. Prosedur pengukuran parameter kimia a. Prosedur pengukuran oksigen terlarut (DO) dengan metode titrasi Winkler Tahapan analisis 1. Masukkan air laut contoh ke dalam botol BOD, tambahkan dengan 0,5 ml MnSO4 dan 0,5 ml NaOH-KI. Kemudian botol diputarbalikkan sempurna. 2. Larutan didiamkan agar semua endapan turun ke dasar botol. 3. Setelah mengendap tambahkan 1 ml H2SO4, tutup dan kemudian kocok dengan sempurna sampai endapan larut. 4. Ambil 50 ml air laut contoh ke Erlenmeyer dan titrasi dengan Na2S2O3 0,025 N. 5. Setelah warna berubah menjadi kuning muda, titrasi dihentikan dan catat volume Na2S2O3 yang terpakai (A). 6. Tambahkan 3 tetes amilum hingga berwarna ungu kehitaman. 7. Titrasi dilanjutkan sampai warna ungu kehitaman hilang dan larutan menjadi tidak berwarna. Catat volume Na2S2O3 yang terpakai (B). 8. Nilai DO dihitung dengan rumus sebagai berikut : C x N x 8000 DO = ml sampel x ml botol BOD-ml reagent ml botol BOD Keterangan : V = volume botol BOD N = Normalitas Na2S2O3 C = Volume Na2S2O3 yang terpakai dalam titrasi (A+B) b. Prosedur pengukuran oksigen terlarut (BOD5) Tahapan analisis 1. Ambil air laut sampel sampai 1-2 liter. Apabila air terlalu keruh (terutama karena plankton), lanjutkan ke prosedur 2, bila tampak jernih lanjutkan ke prosedur 3 83 2. Encerkan 400 – 500 ml sampel sampai 5 kali, tergantung pada tingkat kepekatan sampel, dengan menggunakan akuades bebas biota. 3. Tingkatkan kadar oksigen air tersebut dengan aerasi menggunakan aerator baterai selama kurang lebih 5 menit. 4. Pindahkan air sampel tersebut ke dalam botol BOD gelap dan BOD terang sampai penuh. Air dalam BOD terang segera dianalisa kadar oksigen terlarutnya (DO1). Air sampel pada BOD gelap segera diinkubasi dengan BOD inkubator pada suhu 200C. Setelah 5 hari, tentukan kadar oksigen terlarut dalam botol BOD gelap (DO5). Penentuan kadar oksigen terlarut ini bisa dilakukan secara titrimetrik atau dengan menggunakan DO meter. 5. Setelah mengendap tambahkan 1 ml H2SO4, tutup dan kemudian kocok dengan sempurna sampai endapan larut. 6. Nilai BOD5 dihitung dengan rumus sebagai berikut : BOD 5 = (DO1 – DO5) x faktor pengenceran c. Prosedur pengukuran ammonium-nitrogen total metode Phenate/Indophenol Tahapan analisis 1. Saring 25-50 ml air laut sampel dengan kertas saring Whatman no. 42. 2. Pipet 10 ml sampel air yang telah disaring ke dalam breaker glass. 3. Sambil diaduk, tambahkan 1 tetes MnSO4, 0,5 ml chlorox (oxydizing solution) dan 0,6 ml phenate. Phenate ditambahkan segera dengan menggunakan pipet tetes yang sudah dikalibrasi. Diamkan selama kurang lebih 15 menit, sampai pembentukan warna stabil (warna akan tetap stabil sampai beberapa jam). 4. Buat larutan blanko dari 10 ml aquades. Lakukan prosedur 3. 5. Buat larutan standar dari 10 ml larutan standar amonia (0,3 ppm). Lakukan prosedur 3. 6. Dengan larutan blanko pada panjang gelombang 630 nm, set spectrophotometer pada ”absorbance” 0,000 (atau ”transmittance” 100%), kemudian lakukan pengukuran sampel dengan larutan standar. 7. Hitung konsentrasi amonia-N total (TAN) dengan persamaan : 84 Cst x As TAN mg/l sebagai N = ppm NH3-N x Ast Keterangan : Cst = Konsentrasi larutan standar (0,3 mg/l) Ast = Nilai absorbance larutan sampel As = Nilai absorbance air sampel 8. Konsentrasi amonia yang terukur pada tahap 7 dalam kadar nitrogen (N) yang terdapat dalam amonia (NH3). Untuk mengetahui konsentrasi amonia yang dinyatakan dalam mg /l (= ppm NH3), nilai TAN di atas dikalikan dengan faktor seperti persamaan berikut : BM NH3 NH3 (mg/l) = ppm NH3-N x = ppm NH3-N x 1,216 BA N Keterangan : BM = Berat molekul BA = Berat atom d. Prosedur pengukuran NO3-N Metode Brucine Tahapan analisis 1. Saring 25-50 ml air laut sampel dengan kertas saring Whatman no. 42. 2. Pipet 5 ml sampel air yang telah disaring ke dalam gelas piala. Untuk perairan bersalinitas tinggi (air laut) tambahkan 1 tetes sodium arsenit. 3. Tambahkan larutan Brucine dan aduk. 4. Tambahkan 5 tetes asam sulfat pekat (dalam ruang asam) dan aduk. 5. Buat larutan blanko dari 5 ml akuades. Lakukan prosedur 3 dan 4. 6. Buat larutan standar NO3-N dengan konsentrasi seperti tabel berikut. 85 ppm NO3-N yang ingin dibuat ml standar NO3-N (5 ppm) yang diperlukan untuk diencerkan menjadi 100 ml 0,50 0,025 1,00 0,05 2,00 0,10 5,00 0,25 10,00 0,50 15,00 0,75 20,00 1,00 7. Sebelum pengenceran sampai 100 ml, tambahkan terlebih dahulu 20-30 ml aquades dan 8 ml NH4OH pekat, kemudian baru tambahkan lagi aquades sampai tanda tera. Selanjutnya lakukan prosedur 2,3, dan 4. 8. Dengan larutan blanko dan pada panjang gelombang 410 nm, set spectrophotometer pada absorbansi 0,000 Absorbance, kemudian ukur sampel dan larutan standar. 9. Buat persamaan regresi (y = A + Bx) dari larutan standar untuk menentukan kandungan NO3-N contoh air. 10. Rumus perhitungan sebagai berikut : BM NO3mg NO3-/l = ppm NO3-N x BA N = ppm NO3-N x 4,43 e. Prosedur pengukuran NO2-N Metode Sulfanilamid Tahapan analisis 1. Saring 25-50 ml air laut sampel dengan kertas saring Whatman no. 42. 2. Pipet 10 ml sampel air yang telah disaring ke dalam breaker glass. 3. Tambahkan dengan 4 tetes (0,2 ml) larutan sulfanilamid dan campurkan dengan sempurna. 4. Tambahkan 4 tetes NED ( N-1-naphtyl-ethyline-diamine-dihydrocloride), aduk. Biarkan 10 menit agar terbentuk warna merah (pink) dengan sempurna. 5. Tutup dengan alumunium foil dan biarkan 20-30 menit agar terbentuk komplek. 86 6. Buat larutan blanko dari 10 ml aquades. Lakukan prosedur 3 dan 4. 7. Buat larutan standar NO2-N dengan konsentrasi seperti berikut: 0,025, 0,05, 0,01, 0,02, 0,06, dan 0,08 dari larutan satndar 1 ppm, dengan pengenceran yang tepat (gunakan pipet dan labu takar yang sesuai). Lakukan prosedur 2,3 dan 4. 8. Dengan larutan blanko dan panjang gelombang 543 nm, set spectrophotometer pada absorbance 0,000, kemudian ukur sampel dan larutan standar. 9. Untuk menentukan NO2-N, Buat persamaan regresi (y = A + Bx) dari larutan standar. Perhitungan : BM NO2 mg NO3-/l = ppm NO2-N x BA N = ppm NO2-N x 3,28 f. Prosedur prosedur PO4-P Tahapan analisis 1. Pipet 50 ml sampel air ke dalam tabung reaksi atau erlenmeyer. Bila kadar P sampel melampaui skala kepekatan, sampel harus diencerkan menjadi 50 ml. Kemudian tambahkan 1 tetes indikator fenolftalein. Jika terjadi warna merah, hilangkan dengan H2SO4 N tetes demi tetes sampai warna merah hilang. 2. Tambahkan 8 ml larutan reagen campuran dan aduk hingga merata, biarkan selama 10 menit. 3. Buat larutan blanko dari 50 ml aquades. Lakukan prosedur 1 dan 2. 4. Buat larutan standar PO4-P dengan konsentrasi seperti berikut: 0,01, 0,15, 0,13, 0,20, 0,25, dan 0,30 dari larutan standar 1 ppm, dengan pengenceran yang tepat (gunakan pipet dan labu takar yang sesuai). Lakukan prosedur 1,2 dan 3. 5. Dengan larutan blanko dan panjang gelombang 880 nm, set spectrophotometer pada absorbance 0,000, kemudian ukur sampel dan larutan standar. 87 6. Untuk menentukan PO4-P, Buat persamaan regresi (y = A + Bx) dari larutan standar. Perhitungan : BM PO4mg PO4-/l = ppm PO4-P x BA P 88