analisis beban pencemaran dan kapasitas asimilasi kawasan

advertisement
ANALISIS BEBAN PENCEMARAN DAN KAPASITAS
ASIMILASI KAWASAN PERAIRAN
PELABUHAN SUNDA KELAPA JAKARTA
SUTISNA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Analisis Beban
Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Kawasan Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa
Jakarta adalah karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan oleh sumber
manapun. Sumber informasi yang terdapat atau dikutip telah disebutkan dalam
tesis dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2007
Sutisna
NRP. P025014091
ABSTRAK
SUTISNA. Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Kawasan
Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta. Dibimbing oleh ETTY RIANI dan
PURWOKO
Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan pelabuhan perikanan yang ramai
sepanjang tahun. Pencemaran yang terjadi di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa
akan mempengaruhi kualitas air di sekitarnya. Pengaruh oseanografi seperti arus,
pasang surut dan gelombang dapat menyebarkan bahan pencemar ke luar area
pelabuhan. Sungai yang bermuara di Perairan Sunda Kelapa adalah Sungai
Ciliwung, sungai tersebut merupakan salah satu tempat pembuangan sampah
domestik masyarakat dan industri di DKI Jakarta, yang secara akumulatif
menambah jumlah beban pencemar, baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beban pencemaran, kapasitas asimilasi
dan komposisi fitoplanton dan makrozoobentos serta hubungannya dengan status
kawasan perairan Pelabuhan Sunda Kelapa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
jenis pencemar dan beban pencemar dari sungai didapatkan secara berturut-turut
(masing-masing dalam ton/bulan): TSS (538,02), BOD5 (62,14), COD (2159,40),
NO3 (2,34), NH3 (2,89), PO4 (1,32), Pb (1,45), dan Cd (0,40). Kapasitas asimilasi
masing-masing parameter yang diamati, berturut-turut (masing-masing dalam
ton/bulan): TSS (2104,16 dan 2513,60), BOD5 (247,77 dan 377,31), COD (512,73
dan 1361,36), NO3 (0,135 dan -0,068), NH3 (3,46 dan 3,82), PO4 (0,46 dan 0,68),
Pb (0,496 dan 0,75), serta Cd (0,078 dan 0,027). Status lingkungan perairan
Pelabuhan Sunda Kelapa berdasarkan analisis STORET menunjukkan telah
tercemar berat. Hal tersebut juga ditunjukkan dengan nilai keanekaragaman
fitoplankton dan makrozobentos yang kurang dari 1, yang menandakan bahwa di
kawasan perairan Pelabuhan Sunda Kelapa tersebut komunitas biota tidak stabil
dan perairan tercemat berat. Melihat keadaan demikian, diharapkan pengelolaan
kawasan perairan Pelabuhan Sunda Kelapa tidak hanya dalam otoritas bagi
pengelola Pelabuhan Sunda Kelapa dan Pemerintah DKI Jakarta saja tetapi juga
harus melibatkan kesadaran dari masyarakat DKI Jakarta dengan pengubahan
perilaku masyarakat sepanjang bantaran sungai serta pengawasan manajemen
lingkungan yang ketat terhadap industri yang diduga menjadi salah satu
penyumbang limbah ke perairan Teluk Jakarta.
Kata kunci : Beban Pencemaran, kapasitas asimilasi, status lingkungan
ABSTRACT
SUTISNA. Analysis of The Pollution Load and The Assimilation Capacity of
Sunda Kelapa Port of Jakarta. Supervised by ETTY RIANI and PURWOKO.
Sunda Kelapa Port has been one of busy fisheries port in Indonesia for along
year. Water pollution was happened in Sunda Kelapa Port areas caused water
quality being bad. Some effects was distribuded into river, and any water areas
around Sunda Kelapa Beach. A river inside Sunda Kelapa Port is Ciliwung river.
That rives is where domestics and industrial waste from DKI Jakarta are being
discharged, which accumulatively add the load of pollution in quantity and
quality. The aim of this research is to estimate the pollution load, the assimilation
capacity, structur community of phytoplanktons and macrozoobenthos and what is
the relations betwen the pollutions status in the water ecosystem and thats struktur
community. The results of a research showed that the types of pollutan and the
load of pollution from the river is obtained as follows (ton/month) are TSS
(538,02), BOD5 (62,14), COD (2159,40), NO3 (2,34), NH3 (2,89), PO4 (1,32), Pb
(1,45), and Cd (0,40). The assimilation capacities of each parameters observed in
order are as follows (ton/month) are TSS (2104,16 and 2513,60), BOD5 (247,77
and 377,31), COD (512,73 and 1361,36), NO3 (0,135 and -0,068), NH3 (3,46 and
3,82), PO4 (0,46 and 0,68), Pb (0,496 and 0,75), and Cd (0,078 and 0,027). By
STORET methode, Water enviromentall status on Sunda Kelapa Port has been
being heavy polluted.
Biodiversity value of phytoplanktons and
makrozoobenthos are under one, that is under stable conditions of bio community
and water ecosystem in Sunda Kelapa Port was heavyly polluted. Local
goverment (PEMDA DKI Jakarta) and multisystem stakeholders who had the
autority of the Sunda Kelapa Port have a responsibility to make a better
conditions. Advocacy and public compaign will be done by all the concerned
parties soon, and how do all participants care to change their attitude about
enviromentall conditions.
Key words : pollution load, assimilation capacity, environmentall status.
ANALISIS BEBAN PENCEMARAN DAN KAPASITAS
ASIMILASI KAWASAN PERAIRAN
PELABUHAN SUNDA KELAPA JAKARTA
SUTISNA
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
JUDUL
: ANALISIS BEBAN PENCEMARAN DAN
KAPASITAS ASIMILASI KAWASAN
PERAIRAN PELABUHAN SUNDA KELAPA
JAKARTA
NAMA
: SUTISNA, S.P
NRP
: P.025014091
PROGRAM STUDI
: PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN
LINGKUNGAN (PSL)
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Etty Riani, M.S
Ketua
Drs. Purwoko, M.Si
Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian : 29 JAN 2007
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur yang tak hingga penulis sampaikan Kehadirat Allah Swt yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis ini, dengan judul “Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi
Kawasan Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta”. Tesis ini dibuat dalam
rangka memenuhi salah satu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah
banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini, di antaranya:
1. Kepada segenap anggota keluarga, khususnya Bapak (almarhum) dan ibu
tercinta (San Ahmad dan Idjah) yang telah mengasuh dan membesarkanku
dengan seluruh kasih sayangnya. Juga yang tercinta Istriku (Salimar) dan
Anakku (Rizki) yang telah memberikan dorongan semangat dalam
penyelesaian studi.
Kepada Kang Tatang dan Teteh-tetehku semua atas
segala dukungan dalam penyelesaian studi.
2. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS sebagai Ketua Program Studi Ilmu
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB,
yang telah banyak memberikan arahan dan bantuan yang tak hingga dalam
upaya penulis menyelesaikan studi.
3. Dr. Ir. Etty Riani, MS sebagai ketua komisi pembimbing dan Drs. Purwoko,
MSi sebagai anggota komisi pembimbing yang tidak hanya memberikan
bimbingan dan masukkan dalam penyempurnaan isi tesis ini, tetapi juga
memberikan dorongan dan motivasi pada penulis untuk segera menyelesaikan
studi. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Hefni Effendi,
M.Phil, yang telah berkenan menjadi penguji luar, dan juga berkenan
memberikan masukan dan saran untuk perbaikan tesis ini.
4. Kepada rekan-rekan mahasiswa Program Studi PSL, angkatan 2001 genap
yang walaupun sudah lebih dahulu lulus studi tetapi masih memberikan
dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan studinya. Juga
khususnya ‘Angkatan 2004’ yang telah banyak memberikan dukungan dan
bantuan yang sangat berarti dalam penyelesaian tulisan tesis ini.
Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu namun tak dapat saya
sebutkan satu persatu.
Penulis berharap, semoga tesis ini dapat berguna bagi kemajuan ilmu
pengetahuan dan bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Januari 2007
Sutisna
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat pada tanggal 10 September
1970 sebagai anak terakhir dari tujuh bersaudara. Dari Ayahanda San Ahmad
(Alm) dan ibunda Idjah.
Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, lulus tahun 1996. Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiwa
magister pada perguruan tinggi yang sama dengan biaya sendiri.
Saat ini penulis telah berkeluarga dan bertempat tinggal di Bogor. Penulis bekerja
sebagai konsultan free lance pada beberapa perusahaan konsultan yang ada di
Jakarta dan Bogor.
DAFTAR ISI
halaman
DAFTAR ISI....................................................................................................
DAFTAR TABEL............................................................................................
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
x
xiii
xiv
xvi
I. PENDAHULUAN ...................................................................................
1.1. Latar Belakang ...................................................................................
1.2. Perumusan Masalah..............................................................................
1.3. Kerangka Pemikiran.............................................................................
1.4. Tujuan Penelitian..................................................................................
1.5. Manfaat Penelitian................................................................................
1
1
3
5
6
6
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... ....
2.1. Pencemaran Perairan ...........................................................................
2.2. Parameter Kualitas Perairan ................................................................
2.2.1. Suhu..........................................................................................
2.2.2. Salinitas ...................................................................................
2.2.3. Kecerahan dan Kekeruhan .......................................................
2.2.4. Oksigen Terlarut (DO) .............................................................
2.2.5. Derajat Keasaman (pH) ...........................................................
2.2.6. Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (BOD5) ................................
2.2.7. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) .......................................
2.2.8. Padatan Tersuspensi Total (TSS) ............................................
2.2.9. Sedimen (Substrat) ..................................................................
2.2.10. Bahan Organik Dalam Sedimen ...............................................
2.2.11. Logam Berat ............................................................................
2.3. Beban Pencemaran Dan Kapasitas Asimilasi Perairan .......................
2.4. Organisme Fitoplankton ......................................................................
2.5. Organisme Makrozoobentos ...............................................................
2.5.1. Peranan Makrozoobentos di Perairan.......................................
2.5.2. Struktur Komunitas Makrozoobentos ......................................
8
8
8
8
9
9
10
11
11
11
12
12
13
14
16
17
18
18
19
III. METODOLOGI PENELITIAN.................................................................
3.1. Lokasi dan Waktu.................................................................................
3.2. Metode Pengumpulan Data ................................................................
3.3. Metode Sampling ...............................................................................
21
21
22
22
x
3.3.1. Pengambilan Sampel Air..........................................................
3.3.2. Pengambilan Sampel Sedimen ................................................
Metode Pengukuran Kualitas Perairan ...............................................
Analisis Data ......................................................................................
3.5.1. Beban Pencemaran Dan Kapasitas Asimilasi...........................
3.5.2. Struktur Komunitas Fitoplankton Dan Makrozoobentos .........
3.5.2.1. Kepadatan Jenis...........................................................
3.5.2.2. Indeks Keanekaragaman (H’)......................................
3.5.2.3. Indeks Keseragaman (E’) ............................................
3.5.3. Penentuan Status Perairan ........................................................
22
23
23
23
24
26
26
27
27
28
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN..................................
4.1. Sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa.........................................................
4.2. Karakteristik Pelabuhan Sunda Kelapa ..............................................
4.2.1. Letak Geografis ........................................................................
4.2.2. Kondisi Hidro-Oseanografi .....................................................
4.2.3. Kondisi Fisiografi dan Geomorfologi .....................................
4.3. Sosial Ekonomi Wilayah Penelitian ...................................................
4.3.1. Kependudukan..........................................................................
4.3.2. Mata Pencaharian Penduduk ...................................................
4.3.3. Fasilitas Perekonomian ............................................................
4.4. Aktivitas Pelabuhan Sunda Kelapa ....................................................
4.4.1. Arus Kunjungan Kapal .............................................................
4.4.2. Arus Barang .............................................................................
30
30
31
31
31
32
32
32
33
34
34
34
35
V. HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................
5.1. Parameter Kualitas Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa ........................
5.1.1. Parameter Fisika Kualitas Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa .
5.1.2. Parameter Kimia Kualitas Perairan Sunda Kelapa ..................
38
38
38
40
5.1.3. Kandungan Logam Berat Pada Air Dan Sedimen
Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa ..........................................
48
3.4.
3.5.
5.1.4.
5.1.5.
5.1.6.
5.1.7.
5.1.8
Status Lingkungan Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa.............
Kualitas Sedimen .....................................................................
Struktur Komunitas Fitoplankton ............................................
Struktur Komunitas Makrozoobentos ......................................
Beban Pencemaran Dan Kapasitas Asimilasi ..........................
5.1.8.1. Beban Pencemaran Di Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa
5.1.8.2. Kapasitas Asimilasi Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa.
51
53
54
56
57
57
59
xi
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................
6.1. Kesimpulan...........................................................................................
6.2. Saran ..................................................................................................
68
68
68
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
70
LAMPIRAN
73
...................................................................................
xii
DAFTAR TABEL
halaman
Tabel 1. Klasifikasi sedimen dasar menurut ukuran diameter butiran
(Hutabarat dan Evan, 1986) ................................................................ 13
Tabel 2. Parameter lingkungan yang diamati beserta metode/alat yang
digunakan (APHA, 1989) ................................................................... 26
Tabel 3. Klasifikasi mutu air berdasarkan metode STORET............................ 28
Tabel 4. Penentuan sistem nilai untuk menentukan status mutu perairan......... 29
Tabel 5. Keadaan kependudukan di wilayah penelitian.................................... 33
Tabel 6. Struktur mata pencaharian penduduk Kelurahan Penjaringan
dan Kelurahan Ancol tahun 2004........................................................ 33
Tabel 7. Hasil pengukuran parameter fisik kualitas perairan
Pelabuhan Sunda Kelapa..................................................................... 38
Tabel 8. Hasil perhitungan analisis STORET peruntukkan biota laut
pada setiap stasiun pengamatan .......................................................... 51
Tabel 9. Hasil perhitungan analisis STORET peruntukkan pelabuhan
pada setiap stasiun pengamatan .......................................................... 53
Tabel 10. Persentase fraksi dan jenis sedimen .................................................. 54
Tabel 11. Hasil analisis struktur komunitas fitoplankton pada setiap
stasiun pengamatan ............................................................................. 55
Tabel 12. Hasil analisis struktur komunitas makrozoobentos pada setiap
stasiun pengamatan ............................................................................. 56
Tabel 13. Nilai rerata beban pencemaran yang masuk Perairan
Sunda Kelapa ...................................................................................... 58
Tabel 14. Fungsi hubungan linier beban pencemaran di sungai dengan
konsentrasi parameter di perairan pelabuhan dan
kapasitas asimilasinya ......................................................................... 60
xiii
DAFTAR GAMBAR
halaman
Gambar 1. Kerangka pemikiran studi kapasitas asimilasi dan
beban pencemaran di perairan Pelabuhan Sunda Kelapa..........
7
Gambar 2. Lokasi penelitian studi kapasitas asimilasi dan
Beban pencemaran di Pelabuhan Sunda Kelapa .......................
21
Gambar 3. Grafik hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi
polutan.......................................................................................
25
Gambar 4. Arus kunjungan kapal di Pelabuhan berdasarkan jenis pelayaran
dalam satuan unit di Pelabuhan Sunda Kelapa .........................
34
Gambar 5. Arus kunjungan kapal berdasarkan jenis pelayaran di Pelabuhan
Sunda Kelapa (dalam GT).........................................................
35
Gambar 6. Arus barang di Pelabuhan Sunda Kelapa berdasarkan
perdagangan ..............................................................................
36
Gambar 7. Arus barang berdasarkan distribusi di Pelabuhan
Sunda Kelapa ............................................................................
36
Gambar 8. Arus barang berdasarkan Kemasan di Pelabuhan
Sunda Kelapa ............................................................................
37
Gambar 9. Nilai pH yang diukur pada masing-masing lokasi
pengamatan ...............................................................................
41
Gambar 10. Hasil pengukuran BOD5 pada masing-masing lokasi
pengamatan ..............................................................................
42
Gambar 11. Hasil pengukuran COD pada masing-masing lokasi
pengamatan ...............................................................................
43
Gambar 12. Hasil pengukuran DO pada masing-masing lokasi
pengamatan ...............................................................................
44
Gambar 13. Hasil pengukuran NH3 pada masing-masing lokasi
pengamatan ...............................................................................
44
Gambar 14. Hasil pengukuran NO2 pada masing-masing lokasi
pengamatan ...............................................................................
45
Gambar 15. Hasil pengukuran NO3 pada masing-masing lokasi
pengamatan ...............................................................................
46
xiv
Gambar 16. Hasil pengukuran PO4-P pada masing-masing lokasi
pengamatan ...............................................................................
47
Gambar 17. Hasil pengukuran kesadahan pada masing-masing stasiun
pengamatan ...............................................................................
47
Gambar 18. Hasil pengukuran logam berat Pb pada air laut
pada setiap stasiun pengamatan ................................................
48
Gambar 19. Hasil pengukuran logam berat Pb pada sedimen laut
pada setiap stasiun pengamatan ................................................
49
Gambar 20. Hasil pengukuran logam berat Cd pada air laut
pada setiap stasiun pengamatan ................................................
50
Gambar 21. Hasil pengukuran logam berat Cd pada sedimen laut
pada setiap stasiun pengamatan ................................................
50
Gambar 22. Grafik regresi antara beban limbah TSS di muara sungai
dengan konsentrasi TSS pada jarak 500 dan 1000 m...............
61
Gambar 23. Grafik regresi antara beban limbah BOD5 di muara
dengan konsentrasi BOD5 pada jarak 500 dan 1000 m............
62
Gambar 24. Grafik regresi antara beban limbah COD di muara
dengan konsentrasi COD pada jarak 500 dan 1000 m ..............
62
Gambar 25. Grafik regresi antara beban limbah NO3 di muara
dengan konsentrasi NO3 pada jarak 500 dan 1000 m ..............
63
Gambar 26. Grafik regresi antara beban limbah NH4 di muara
dengan konsentrasi NH4 pada jarak 500 dan 1000 m ..............
64
Gambar 27. Grafik regresi antara beban limbah PO4 di muara
dengan konsentrasi PO4 pada jarak 500 dan 1000 m ...............
65
Gambar 28. Grafik regresi antara beban limbah Pb di muara
dengan konsentrasi Pb pada jarak 500 dan 1000 m ..................
66
Gambar 29. Grafik regresi antara beban limbah Cd di muara
dengan konsentrasi Cd pada jarak 500 dan 1000 m.................
67
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Peta lokasi pengambilan sampel air dan sedimen .......................... 73
Lampiran 2. Rerata hasil pengukuran parameter kualitas lingkungan
perairan di Pelabuhan Sunda Kelapa............................................... 74
Lampiran 3. Analisis regresi antara beban pencemar dan konsentrasi setiap
parameter di perairan Pelabuhan Sunda Kelapa............................. 76
Lampiran 4. Prosedur analisis parameter kimia ................................................. 83
xvi
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu permasalahan lingkungan yang sangat
penting adalah
pencemaran air. Pencemaran air merupakan satu masalah sangat penting karena
air merupakan suatu zat yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Pencemaran
air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau
komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai
dengan peruntukkannya (PP No.82 tahun 2001). Keberadaan air yang tercemar
akan sangat mengganggu sistem kehidupan, karena kebutuhan mahluk hidup akan
air harus merupakan air yang memiliki kualitas yang baik dan kuantitas yang
kontinyu.
Penyebab terjadinya pencemaran air adalah masuknya limbah ke lingkungan
perairan, baik air permukaan maupun air tanah. Limbah yang masuk ke
lingkungan tersebut terdiri atas limbah padat dan limbar cair, limbah cair inilah
yang biasanya disebut dengan air limbah yang merupakan sisa dari suatu hasil
usaha dan atau kegiatan manusia yang berwujud cair. Air permukaan maupun air
tanah yang tercemar sesuai dengan siklus hidrologi akan bermuara ke laut
melewati sungai-sungai dan anak-anak sungai baik di permukaan maupun di
dalam tanah. Air tercemar yang sampai di laut secara terus menerus, akan
menjadi penyebab terjadinya pencemaran air laut.
Pencemaran laut adalah
masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen
lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun
sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi
dengan baku mutu dan/atau fungsinya (PP No.19 tahun 1999).
Perairan Teluk Jakarta merupakan daerah pesisir yang sarat dengan
permasalahan pencemaran laut, salah satu kasus akibat pencemaran yang terjadi
di Teluk Jakarta diantaranya adalah kasus matinya ribuan ikan yang disebabkan
oleh blooming algae atau fitoplankton. Blooming algae atau fitoplankton tersebut
diduga akibat dari pencemaran limbah industri dan limbah rumah tangga yang
masuk ke perairan teluk Jakarta (Fadli, 2004). Potensi pencemaran di Teluk
Jakarta diperkirakan tinggi, tingginya tingkat pencemaran di Teluk Jakarta
disebabkan oleh tingginya potensi limbah pencemar yang masuk dari daratan di
sekitar teluk yang akan menambah beban pencemaran dari tahun ke tahun.
Tingkat pencemaran laut akan terus meningkat karena masih dipercayainya
pandangan bahwa fungsi perairan pesisir dan lautan sebagai tempat pembuangan
limbah dari berbagai kegiatan manusia karena sekitar 60-85% sumber pencemar
perairan pesisir dan laut berasal dari berbagai kegiatan di daratan sedangkan
sisanya dari kegiatan di laut itu sendiri (Rajab, 2005).
Penelitian terdahulu mengenai kondisi perairan Teluk Jakarta, (Anna, 1999)
menunjukkan bahwa setiap parameter kualitas air yang diamati pada umumnya
nilai konsentrasinya masih belum melampaui ambang batas baku mutu yang
diperbolehkan untuk kegiatan perikanan dan kehidupan biota perairan kecuali
untuk parameter BOD pada musim kemarau, nitrat dan fosfat pada musim hujan
dan kemarau serta beberapa logam berat seperti tembaga , seng dan timah hitam
pada musim penghujan dan kemarau.
Sedangkan kapasitas asimilasi Teluk
Jakarta, secara umum menunjukkan belum melampaui beban pencemar pada
setiap parameter kualitas air yang diamati kecuali untuk parameter COD di musim
kemarau. Data tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 1997 kondisi perairan
Teluk Jakarta secara umum sesungguhnya tidak seburuk yang dipersepsikan pada
saat itu yaitu mengalami pencemaran yang sangat berat dan kapasitas asimilasinya
sudah melebihi beban pencemar, tetapi kondisi tersebut tentu akan berbeda dari
tahun ke tahun.
Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan bagian dari Teluk Jakarta dengan
aktivitas yang bisa dikatakan cukup padat. Saat ini Pelabuhan Sunda Kelapa
terkenal sebagai tempat kegiatan perikanan laut yang ramai sepanjang tahun, dan
terkenal pula sebagai pelabuhan pendaratan ikan, pelabuhan penyeberangan atau
transportasi antar pulau dan pelabuhan perdagangan terutama komoditas kayu.
Belakangan ini arus kapal dan barang di Pelabuhan Sunda Kelapa telah
mengalami peningkatan yang cukup signifikan (Anonim, 2004).
2
Besarnya aktivitas di sekitar dan dari luar Pelabuhan Sunda Kelapa akan
menghasilkan limbah yang akan masuk ke kawasan pelabuhan tersebut.
Berdasarkan fenomena tersebut dapat dikatakan bahwa pelabuhan juga berperan
sebagai penerima limbah. Limbah tersebut tidak saja berasal dari kegiatan
manusia di kawasan pelabuhan seperti kegiatan bongkar muat barang, pengecatan
kapal, pelayaran dan lain-lain, tetapi juga berasal dari sungai-sungai yang
bermuara di Pelabuhan Sunda Kelapa.
Pencemaran yang terjadi di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa akan
mempengaruhi kualitas air di sekitarnya. Pengaruh oseanografi seperti arus,
pasang surut dan gelombang dapat menyebarkan bahan pencemar ke luar area
pelabuhan.
Di wilayah sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa terdapat berbagai
kegiatan seperti perikanan tangkap dan budidaya, kegiatan wisata laut di
Kepulauan Seribu dan terdapat pula ekosistem terumbu karang yang merupakan
ekosistem khas daerah tropis. Kejadian pencemaran di Pelabuhan Sunda Kelapa
ini akan terasa pengaruhnya, tidak saja di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa,
tetapi akan meluas ke daerah sekitarnya dan akan merugikan ekosistem perairan
Teluk Jakarta. Mengingat besarnya aktivitas di Pelabuhan Sunda Kelapa dan
adanya informasi bahwa sudah banyak parameter kualitas air sudah melewati
kapasitas asimilasinya, maka perlu pula mengetahui berapa beban pencemaran
dan kapasitas asimilasi di kawasan perairan Pelabuhan Sunda Kelapa.
1.2. Perumusan Masalah
Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan pelabuhan tertua di Indonesia,
pelabuhan ini merupakan salah satu pelabuhan laut nasional untuk kegiatan arus
distribusi barang maupun pelabuhan penumpang yang melayani pelayaran
nasional antar pulau di Indonesia. Seiring dengan berjalannya waktu dan berbagai
aktivitas manusia di dalam dan di sekitar pelabuhan, maka aktivitas-aktivitas
sekitar dan dari luar pelabuhan Sunda Kelapa tersebut akan menghasilkan limbah
yang akan masuk ke kawasan pelabuhan tersebut. Peningkatan aktivitas manusia
di Pelabuhan Sunda Kelapa seperti perdagangan kayu, pendaratan ikan, dan
transportasi antar pulau, akan menghasilkan limbah, baik limbah organik maupun
limbah anorganik yang dibuang ke perairan, dan hal tersebut secara langsung
3
maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas dari perairan di sekitar
pelabuhan.
Berdasarkan fenomena tersebut maka dapat dikatakan bahwa
pelabuhan juga berperan sebagai penerima limbah.
Selain itu limbah tersebut
tidak saja berasal dari kegiatan manusia di kawasan pelabuhan seperti kegiatan
industri dan pelayaran, tetapi juga berasal dari aktivitas perkotaan yang ada di
Jakarta yang akan mengalir melalui sungai yang bermuara di Pelabuhan Sunda
Kelapa.
Berdasarkan permasalahan pencemaran yang terjadi di Pelabuhan Sunda
Kelapa tersebut, maka timbul pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan
permasalahan tersebut yaitu :
1. Bagaimana kondisi pencemaran perairan di wilayah Pelabuhan
Sunda Kelapa pada saat, hal ini dapat diketahui dengan
menganalisis kualitas air dan sedimen pada perairan tersebut ?
2. Bagaimana kondisi kapasitas asimilasi perairan di Pelabuhan
Sunda Kelapa pada saat ini, apakah kapasitas asimilasi perairan
tersebut sudah terlewati atau belum ?
3. Bagaimana komposisi fitoplankton dan makrozoobenthos yang ada
di perairan dan sedimen di Pelabuhan Sunda Kelapa? Hal ini akan
berkaitan dengan kondisi kapasitas asimilasi kawasan perairan
tersebut.
Berdasarkan permasalahan yang timbul di atas, maka untuk melihat kondisi
perairan Pelabuhan Sunda Kelapa pada saat ini, perlu dilakukan analisis terhadap
parameter kualitas air pada perairan tersebut, setelah itu perlu dihitung beban
pencemar yang masuk ke perairan dan kapasitas beban perairan dalam menerima
beban pencemar. Untuk mengetahui kapasitas asimilasi, dilakukan pengukuran
terhadap nilai kapasitas beban perairan kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa dan
beban pencemar yang masuk ke dalam perairan tersebut serta dengan
menganalisis komposisi fitoplankton dan makrozoobenthos yang ada di perairan
dan sedimen.
4
1.3. Kerangka Pemikiran
Sumber bahan pencemar yang masuk ke perairan, pada umumnya berasal
dari kegiatan manusia di berbagai sektor seperti industri, pertanian, pertambangan
dan rumah tangga. Proses produksi yang dilaksanakan pada sektor-sektor tersebut
akan menghasilkan limbah sebagai buangan sisa yang seharusnya dapat di daur
ulang kembali atau diolah agar tidak berbahaya terhadap lingkungan sebelum
dibuang, tetapi kecenderungan yang ada menunjukkan bahwa untuk menghemat
biaya dan waktu, proses tersebut tidak dilakukan. Pembuangan limbah sisa proses
produksi tersebut merupakan sumber bahan pencemar seperti TSS, BOD, NO3,
NH3, PO4, Pb dan Cd.
Sumber bahan pencemar limbah tersebut dapat
menurunkan pH dan oksigen terlarut yang pada akhirnya akan menurunkan
kualitas perairan (air dan sedimen) yang pada jangka panjang akan berpengaruh
terhadap kehidupan biota perairan.
Proses pencampuran pada perairan dapat berpengaruh terhadap proses
pengenceran bahan pencemar yang masuk ke perairan. Proses pencampuran
dipengaruhi oleh kondisi pasang dan surut air laut. Kondisi pasang surut akan
mempengaruhi proses pemindahan bahan pencemar ke luar perairan yang biasa
disebut dengan waktu pembilasan.
Waktu pembilasan ini penting untuk
mengestimasi waktu tinggal bahan pencemar pada suatu perairan. Oleh sebab itu
waktu pembilasan dan laju pengenceran akan berhubungan dengan kapasitas
beban perairan dalam menerima bahan pencemar yang masuk.
Berdasarkan hal tersebut maka dengan masuknya limbah ke suatu perairan
dapat mempengaruhi kualitas air dan akan mempengaruhi kapasitas asimilasi
perairan. Kapasitas asimilasi adalah kemampuan suatu perairan dalam menerima
beban pencemar tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang
ditetapkan sesuai peruntukkannya yaitu untuk kehidupan biota laut sesuai standar
baku mutu kualitas air laut berdasarkan KepMen LH No. 2 tahun 1988 dan
KepMen LH No.51 tahun 2004.
Suatu perairan dikatakan tercemar apabila beban pencemar lebih besar dari
kapasitas asimilasinya yang ditandai dengan tingginya konsentrasi bahan
5
pencemar dibandingkan dengan konsentrasi ambang batas baku mutu yang
berlaku. Dalam studi ini nilai kapasitas asimilasi diasumsikan merupakan fungsi
dari kualitas air dan beban limbah. Selanjutnya nilai kapaitas asimilasi dianalisis
dengan melihat seberapa besar peran masing-masing parameter terhadap beban
pencemarannya.
Skema kerangka pemikiran studi ini dapat dilihat pada
Gambar 1.
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di perairan
Pelabuhan Sunda Kelapa.
2. Mengetahui struktur komunitas organisme fitoplankton dan
makrozoobenthos berkaitan dengan kapasitas asimilasi perairan
sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa.
3. Mengetahui status
pencemaran di perairan Pelabuhan Sunda
Kelapa.
1.5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1) Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya di perairan
Sunda Kelapa
2) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam pengelolaan
perairan Sunda Kelapa,
3) Sebagai bahan informasi bagi masyarakat pengguna langsung
Perairan Sunda Kelapa.
6
Sumber
pencemar
Jenis Bahan
Pencemar
Jumlah Bahan
Pencemar
Morfologi Perairan
Beban
Pemcemar
Dinamika Perairan
KBP>KBM/KBP<KBM
Baku Mutu
KepMen LH No.51/2004 dan
KepMen LH No.2/1988
Kualitas Perairan
(Konsentrasi Bahan Pencemar)
Keterangan :
KBP = Konsentrasi Bahan Pencemar
KBM = Konsentrasi Baku Mutu
Kapasitas Asimilasi
Perairan Sunda Kelapa
Laju Pengenceran
&
Waktu Pembilasan
Status Pencemaran Perairan
Pelabuhan Sunda Kelapa
Gambar 1. Kerangka pemikiran studi kapasitas asimilasi dan beban pencemaran di perairan Pelabuhan Sunda Kelapa.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pencemaran Perairan
Pencemaran adalah peristiwa perubahan yang terjadi terhadap sifat-sifat
fisik-kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air (Odum,
1971), sedangkan definisi pencemaran menurut PP No.82 tahun 2001,
pencemaran adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air
turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai
dengan peruntukkannya.
Pencemaran perairan didefinisikan sebagai dampak negatif masuknya zat
pencemar kedalam suatu perairan sehingga berpengaruh terhadap kehidupan biota,
sumberdaya dan ekosistem perairan serta kesehatan manusia yang hidup disekitar
perairan tersebut. Bahan pencemar atau zat pencemar menurut sumbernya terbagi
menjadi dua yaitu yang berasal dari alam dan kegiatan manusia.
Pencemaran
yang yang diakibatkan oleh kegiatan manusia diantaranya adalah pemanfaatan
sumberdaya alam pada proses pertambangan, perindustrian dan pertanian
(Sutamiharja, 1978).
2.2.
Parameter Kualitas Perairan
2.2.1. Suhu
Menurut Dark (1974), suhu berpengaruh terhadap keberadaan suatu spesies
maupun komunitas tertentu yang cenderung bervariasi dengan berubahnya suhu.
Hal ini disebabkan, suhu dapat menjadi suatu faktor pembatas bagi beberapa
fungsi biologis hewan air seperti migrasi, pemijahan, efisiensi makanan,
kecepatan renang, perkembangan embrio, dan kecepatan metabolisme. Pengaruh
suhu terhadap proses respirasi dan metabolisme berlanjut terhadap pertumbuhan
dan proses fisiologis serta siklus reproduksinya (Hutabarat dan Evan, 1986).
Setiap jenis biota akuatik mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap suatu
rentang suhu tertentu. Di luar rentang suhu yang dapat ditoleransi akan
menimbulkan kematian bagi biota tersebut. Keberadaan suhu di perairan estuaria
selain dipengaruhi oleh sinar matahari juga dipengaruhi oleh resultan dari
percampuran antara air tawar dengan air laut yang berbeda suhunya (Nybakken,
1988). Perairan estuari bersifat dinamik sehingga kemungkinan terjadinya
stratifikasi suhu pun menjadi sangat kecil.
2.2.2. Salinitas
Nontji (1987) mendefinisikan salinitas sebagai jumlah berat semua garam
(dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan
per mil atau gram per liter. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Di Indonesia
nilai salinitas rata-rata tahunan yang terendah sering dijumpai di perairan
Indonesia bagian barat dan semakin ke timur nilai rata-rata tahunannya semakin
meningkat. Hal ini disebabkan pengaruh massa air yang mempunyai salinitas
lebih tinggi dari Samudra Pasifik sepanjang musim dan lebih sedikitnya pengaruh
massa air dari daratan disebabkan oleh sedikitnya sungai-sungai besar di
Indonesia bagian timur dibanding bagian barat. Kondisi salinitas yang rendah di
daerah khatulistiwa disebabkan tingginya curah hujan. Ketika pergerakan pasang
surut terjadi, seluruh massa air di estuari bergerak, sehingga terjadi pergeseran
antara massa air dengan dasar estuari yang menghasilkan pergolakan. Pergolakan
ini memiliki kecenderungan untuk mencampur kolom air dengan lebih baik.
Meskipun tidak terdapat pergerakan vertikal air tetapi terdapat sebuah perubahan
salinitas. Pergolakan di atas tidak hanya mencampurkan massa air garam ke
permukaan lapisan yang lebih tawar, tetapi juga mencampur massa air sungai di
bagian dasar.
Keberadaan salinitas di estuari mencirikan adanya gradient salinitas, mulai
dari dominasi air laut sampai ke dominasi air tawar di hulu estuari. Gradien
salinitas tersebut berubah secara dinamik, sesuai dengan perubahan debit air
sungai, pasang surut serta arus perairan pantai (Nybakken, 1988).
2.2.3. Kecerahan dan Kekeruhan
Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang diamati secara visual
dengan alat bantu yang disebut “secchi disc”. Keadaan cuaca dan waktu
9
pengukuran sangat berpengaruh terhadap hasil nilai kecerahannya. Pengaruh
kandungan lumpur terutama di daerah muara dapat mengakibatkan tingkat
kecerahan air menjadi rendah (Nybakken, 1988).
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat
dalam air (APHA, 1989). Menurut Mason (1981), kekeruhan air biasanya
disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi dan koloid yang terdapat di dalam air,
misalnya partikel-partikel lumpur, bahan organik, plankton, dan mikroorganisme.
Perairan yang keruh tidak disukai oleh organisme air karena mengganggu sistem
pernafasan sehingga menghambat pertumbuhan dan perkembangan terutama
untuk makrozoobenthos.
2.2.4. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan salah satu elemen penting dalam kehidupan
laut. Kadar oksigen di dalam air laut lebih kecil daripada di udara, dimana
nilainya masing-masing 9 mg/l dan 200 mg/l (King, 1963). Sebaran kandungan
oksigen terlarut di laut dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : 1) interaksi antara
permukaan laut dengan atmosfer; 2) kegiatan biologi yang dapat mempengaruhi
konsentrasi O2 dan CO2 dan; 3) arus dan proses percampuran yang mempunyai
kecenderungan yang mengubah pengaruh-pengaruh kegiatan biologi lewat
gerakan massa air (King, 1963).
Penyebaran O2 di laut bervariasi menurut kedalaman, satu penampang
tertentu dari O2 memperlihatkan jumlah O2 maksimum terdapat pada permukaan
air sampai pada kedalaman 10-20 meter. Kegiatan fotosintesis tumbuh-tumbuhan
dan difusi O2 dari atmosfer sering mengakibatkan kejenuhan, kedalaman
bertambah kandungan O2 berkurang (Nybakken, 1988).
Hutabarat dan Evan (1986) menambahkan bahwa kadar oksigen terlarut
akan meningkat pada lapisan permukaan di waktu siang hari. Kandungan oksigen
terlarut di dalam air laut berbanding terbalik dengan suhu perairan. Suhu semakin
rendah, maka semakin besar kelarutannya di dalam air laut.
10
2.2.5. Derajat keasaman (pH)
Pescod (1973) menyatakan bahwa masing-masing organisme mempunyai
kemampuan yang berbeda untuk mentoleransi nilai pH perairan tergantung dari
suhu, oksigen terlarut, adanya berbagai kation, dan anion serta aktivitas biologi.
Hynes (1978) menyebutkan bahwa nilai pH di bawah atau di atas 9 sangat tidak
menguntungkan bagi kehidupan makrozoobenthos.
2.2.6. Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (BOD5)
BOD5 merupakan ukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh
mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik yang terdapat dalam air
dalam waktu lima hari. Nilai BOD yang besar menunjukkan aktivitas
mikroorganisme yang semakin tinggi dalam menguraikan bahan organik. Nilai
BOD yang tinggi menunjukkan penurunan kualitas perairan (APHA, 1989).
Kadar BOD perairan berpengaruh terhadap komposisi jenis makrozoobentos.
(Setyobudiandi, 1996).
Nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya,
tetapi hanya mengukur secara relative jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi bahan-bahan buangan (Fardiaz, 1992).
2.2.7. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD)
Nilai COD dapat dijadikan sebagai ukuran tingkat pencemaran di perairan
oleh bahan organik yang secara alamiah dapat dioksidsasi dengan proses
mikrobiologi dan akan menyebabkan berkurangnya konsentrasi oksigen di
perairan (APHA, 1989). Menurut Fardiaz (1992), uji COD adalah suatu uji yang
menentukan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan, misalnya
kalium dikhromat, untuk mengoksidasi bahan-bahan organik yang terdapat di
dalam air. Uji COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan oksigen yang lebih
tinggi daripada uji BOD, karena bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi
dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD.
11
2.2.8. Padatan Tersuspensi Total (TSS)
Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak
terlarut, dan tidak dapat mengendap langsung. Padsatan tersuspensi terdiri dari
partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil daripada sedimen,
misalnya tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme, dan
sebagainya. Seperti halnya padatan terendap, padatan tersuspensi akan
mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air sehingga mempengaruhi regenerasi
oksigen secara fotosintesis (Fardiaz, 1992).
Padatan tersuspensi merupakan bahan-bahan tersuspensi dalam air yang
tertahan pada kertas saring 0,45 µm dan tidak terlarut. Padatan tersuspensi
mempengaruhi juga fotosintesis dalam air (APHA, 1989).
2.2.9. Sedimen (Substrat)
Brower dan Zar (1990) mengatakan bahwa jenis substrat perairan sangat
menentukan kepadatan dan komposisi hewan benthos. Substrat didefinisikan
sebagai campuran dari fraksi lumpur, pasir, dan liat dalam tanah. Substrat perairan
yang berlumpur mengandung bahan organik yang tinggi yang dapat menyebabkan
rendahnya oksigen terlarut dan tingginya kekeruhan, yang pada akhirnya akan
menimbulkan keadaan anoksik di dalam substrat sehingga kondisi perairan
tercemar dan organisme yang ada dalam substrat terganggu.
Nybakken (1988) menyebutkan bahwa tipe substrat berpasir dibagi menjadi
dua yaitu tipe substrat berpasir halus dan tipe substrat berpasir kasar. Pada tipe
substrat berpasir kasar memiliki laju pertukaran air yang cepat dan kandungan
bahan organik yang rendah, sehingga oksigen terlarut selalu tersedia, proses
dekomposisi di substrat dapat berlangsung secara aerob serta terhindar dari
kondisi toksik. Tipe substrat berpasir halus kurang baik untuk pertumbuhan
organisme perairan, karena memiliki pertukaran air yang lambat dan dapat
menyebabkan anoksik, sehingga proses dekomposisi yang berlangsung di substrat
pada keadaan anaerob, yang dapat mengganggu kehidupan benthos.
Odum (1971) menjelaskan bahwa pengendapan partikel lumpur di dasar
perairan tergantung pada arus.
Apabila arusnya kuat maka partikel yang
12
mengendap adalah partikel yang berukuran besar. Sebaliknya pada tempat yang
arusnya lemah maka yang akan mengendap adalah lumpur halus. Partikel yang
berukuran lebih halus biasanya akan terbawa jauh oleh arus. Tipe substrat suatu
perairan akan menentukan kehidupan dan komposisi makrozoobenthos.
Penyebaran dan kepadatan makrozoobenthos berhubungan dengan diameter ratarata butiran sedimen, kandungan debu dan liat serta adanya cangkang-cangkang
biota yang telah mati.
Pada daerah estuari yang memiliki arus yang kuat, umumnya memiliki
substrat berpasir. Hal ini terjadi akibat pengaruh arus sehingga partikel-partikel
yang berukuran besar akan mengendap lebih cepat. Sedangkan partikel yang
berukuran lebih kecil akan lama dipertahankan dalam suspensi dan terbawa ke
suatu tempat mengikuti arus dan gelombang. Endapan lumpur banyak mengendap
di pantai, terutama jika air laut terdorong ke luar estuari karena aliran air tawar
yang besar (Nybakken, 1988). Klasifikasi sedimen dasar menurut butiran dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi sedimen dasar menurut ukuran diameter butiran
(Hutabarat dan Evan, 1986)
Jenis
Diameter butiran (mm)
Batuan
>256
Kerikil
2-256
Pasir sangat kasar
1-2
Pasir kasar
0,5-1
Pasir
0,25-0,5
Pasir halus
0,125-0,25
Pasir sangat halus
0,0625-0,125
Lumpur
0,0020-0,0625
Liat
0,0005-0,0020
Bahan terlarut
<0,0005
2.2.10. Bahan Organik dalam Sedimen
Bahan organik dalam ekosistem dapat berasal dari perairan itu sendiri
(autocthonous) maupun berasal dari luar (allochthonous). Bahan organik yang
13
berasal dari luar didapat dari adanya proses alami yang terbawa oleh air tanah dan
air permukaan tanah serta berasal dari aktivitas manusia yang langsung
memasukkan bahan organik ke dalam air melalui kegiatan pertanian dan industri
(Hidayah, 2003).
Bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber
makanan bagi organisme benthik, sehingga laju penambahannya dalam sedimen
mempunyai pengaruh yang besar terhadap populasi dasar. Bahan organik dalam
sedimen berasal dari dekomposisi organisme, kotoran hewan, hasil sekresi dan
masukan dari darat (Hidayah, 2003).
2.2.11. Logam Berat
Logam berat adalah logam-logam yang memiliki spesifikasi gravity yang
sangat besar (>4), terletak pada nomor atom 22-34 dan 40-50 serta unsur-unsur
lantanida dan aktinida serta mempunyai respon biokimia khas (spesifik) pada
organisme hidup.
Berbeda dengan logam biasa, logam berat biasanya
menimbulkan efek-efek khusus pada makhluk hidup. Dapat dikatakan bahwa
semua logam berat dapat menjadi bahan racun yang akan meracuni tubuh
makhluk hidup.
Namun demikian, meski semua logam berat dapat
mengakibatkan keracunan atas makhluk hidup, sebagian dari logam-logam berat
tersebut tetap dibutuhkan oleh makhluk hidup. Kebutuhan tersebut berada dalam
jumlah yang sangat sedikit. Tetapi bila kebutuhan dalam jumlah yang sangat kecil
itu tidak terpenuhi, maka dapat berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup dari
setiap makhluk hidup.
Karena tingkat kebutuhan sangat dipentingkan maka
logam-logam tersebut dinamakan sebagai logam-logam atau mineral-mineral
esensial tubuh (Palar, 2004).
a. Timbal (Pb)
Timbal atau dalam kesehariannya lebih dikenal dengan nama ilmiah timah
hitam. Logam ini termasuk ke dalam kelompok logam-logam golongan IV-A
pada Tabel Periodik unsur kimia. Mempunyai nomor atom (NA) 82 dengan bobot
atau berat atom (BA) 207,2. Penyebaran logam timbal sangat sedikit. Jumlah
timbal yang terdapat di seluruh lapisan bumi hanyalah 0,0002% dari jumlah
14
seluruh kerak bumi. Jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah
kandungan logam berat lainnya yang ada di bumi. Logam Pb mempunyai sifatsifat yang yang khusus yaitu, merupakan logam lunak, sehingga dapat dipotong
dengan menggunakan pisau atau dengan tangan dan dapat dibentuk dengan
mudah, merupakan logam yang tahan terhadap peristiwa korosi atau karat,
mempunyai titik lebur rendah ( 327,5 °C), mempunyai kerapatan yang lebih besar
dibandingkan dengan logam-logam biasa (kecuali emas dan merkuri) dan
merupakan penghantar listrik yang buruk (Palar, 2004).
Timbal dan persenyawaannya dapat berada di dalam badan perairan secara
alamiah dan sebagai dampak dari aktivitas manusia. Secara alamiah, Pb dapat
masuk ke badan perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air
hujan. Disamping itu proses korosifikasi dari batuan mineral akibat hempasan
gelombang dan angin, juga merupakan salah satu jalur sumber Pb yang akan
masuk ke dalam badan air. Badan perairan yang telah kemasukan logam Pb
dengan jumlah konsentrasi melebihi yang semestinya dapat menyebabkan
kematian pada biota. Konsentrasi Pb yang mencapai 188 mg/l dapat membunuh
ikan-ikan, konsentrasi Pb 2.75-49 mg/l dapat membunuh crustacea sedangkan
konsentrasi Pb 3.5-64 mg/l akan membunuh biota golongan insecta (Palar, 2004).
b. Kadmium (Cd)
Logam Cd atau kadmium mempunyai penyebaran yang luas di alam. Hanya
ada satu jenis mineral kadmium di alam, yaitu greennockite (CdS) yang selalu
ditemukan bersamaan dengan mineral spalerite (ZnS). Mineral greennockite ini
sangat jarang ditemukan di alam, sehingga dalam eksploitasi logam Cd, biasanya
merupakan produksi sampingan dari kegiatan peleburan logam Zn (seng).
Seperti halnya unsur-unsur kimia lainnya terutama golongan logam, logam Cd
mempunyai sifat fisika dan kimia tersendiri. Berdasarkan pada sifat fisikanya, Cd
merupakan logam yang lunak, ductile, berwarna putih seperti putih perak. Logam
ini akan kehilangan kilapnya bila berada dalam udara yang basah atau lembab
serta akan cepat mengalami kerusakan bila dikenai oleh uap ammonia (NH3) dan
sulfur hidroksida (SO2).
Sedangkan berdasarkan sifat kimianya, logam Cd
15
didalam persenyawaan yang dibentuknya pada umumnya mempunyai bilangan
valensi 2+, sangat sedikit yang mempunyai bilangan valensi 1+ (Palar, 2004).
Logam kadmium sangat banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari
manusia, terutama merupakan hasil efek samping dari aktivitas yang dilakukan
manusia. Dalam strata lingkungan, logam Cd dan persenyawaanya ditemukan
dalam banyak lapisan. Secara sederhana dapat diketahui bahwa kandungan logam
Cd akan dapat dijumpai di daerah-daerah penimbunan sampah dan aliran air
hujan, selain dalam air buangan. Seperti halnya merkuri dan logam berat lainnya,
logam Cd membawa sifat racun yang sangat merugikan bagi semua organisme
hidup, bahkan juga sangat berbahaya untuk manusia. Dalam badan perairan,
kelarutan Cd dalam konsentrasi tertentu dapat membunuh biota perairan. Biotabiota yang tergolong bangsa udang-udangan (crustacea) akan mengalami
kematian dalam selang waktu 24-504 jam bila dalam badan perairan dimana biota
ini hidup terlarut logam atau persenyawaan Cd pada rentang konsentrasi 0.0050.15 ppm. Untuk biota yang tergolong dalam bangsa serangga (insecta) akan
mengalami kematian dalam selang waktu 24-672 jam dengan rentang konsentrasi
0.003-18 ppm dan untuk golongan biota oligichaeta akan mengalami kematian
dalam selang waktu 24-96 jam dengan rentang konsentrasi 0.0028-4.6 ppm
(Palar, 2004 ).
2.3. Beban Pencemar dan Kapasitas Asimilasi Perairan
Kapasitas asimilasi perairan adalah kemampuan perairan dalam memulihkan
diri akibat masuknya limbah tanpa menyebabkan penurunan kualitas lingkungan
yang ditetapkan sesuai dengan peruntukkannya (Quano, 1993). Kemampuan
asimilasi sangat dipengaruhi oleh adanya proses pengenceran maupun
perombakan bahan pencemar yang masuk ke perairan.
Metode untuk melihat kapasitas asimilasi dapat dilakukan dengan
pendekatan hubungan antara kualitas air dengan beban limbahnya (Dahuri, 1998).
Metode ini memiliki kelemahan karena tidak memperhatikan berbagai dinamika
diperairan tersebut yang sangat mempengaruhi kapasitas asimilasi suatu perairan.
Perhitungan kapasitas asimilasi spesifik untuk setiap lokasi, evaluasi kapasitas
16
asimilasi memerlukan model matematika yang sesuai untuk mendeterminasi
konsentrasi parameter kunci yang merupakan hasil dari tingkat beban limbah
(Ward, 1999).
Beban pencemar adalah istilah yang dikaitkan dengan jumlah total bahan
pencemar yang masuk kedalam lingkungan baik secara langsung maupun tidak
langsung yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya pada areal tertentu dalam kurun waktu tertentu.
Besarnya beban
pencemar yang masuk ke perairan tergantung aktivitas manusia di sekitar daerah
aliran sungai yang masuk perairan tersebut.
Besarnya beban pencemar perairan sangat dipengaruhi pula oleh keadaan
pasang surut air laut. Pada saat pasang umumnya beban masukan limbah sangat
kecil karena aliran sungai akan tertahan oleh peningkatan massa air laut,
sedangkan pada saat surut berlaku sebaliknya (Rafni, 2004). Beban masukan
limbah dari sungai ke suatu perairan dapat dihitung dengan mengalikan
konsentrasi dengan debit air sungai per satuan waktu. Debit air sungai diperoleh
dengan mengalikan luas penampang sungai dengan kecepatan aliran sungai
(Jorgensen, 1988).
Kapasitas beban pencemar merupakan kemampuan suatu perairan dalam
menerima beban pencemar yang masuk. Kapasitas beban pencemar biasa disebut
juga dengan kapasitas beban perairan yang merupakan fungsi dari konsentrasi
bahan pencemar dan volume perairan (Rafni, 2004).
2.4. Organisme Fitoplankton
Fitoplankton adalah suatu mikroorganisme yang melayang-layang di air
yang memenuhi hampir setiap ruang massa dalam air yang masih dapat dicapai
sinar matahari.
Fitoplankton merupakan komponen tumbuhan yang berperan
sebagai produsen primer dalam air.
Fitoplankton secara umum
merupakan
sumber makanan alami zooplankton, fitoplankton ini apabila mati akan tenggelam
ke dasar laut dan diurai oleh bakteri menjadi bahan.
17
Keragaman
fitoplankton
merupakan
jumlah
individu
per
spesies
fitoplankton dan merupakan ciri khas struktur komunitas spesies tersebut yang
berkaitan erat dengan kondisi lingkungan dimana biota tersebut hidup. Menurut
Basmi (1998), kelimpahan fitoplankton di suatu perairan dipengaruhi oleh angin,
arus, kandungan hara, cahaya, suhu, kecerahan, kekeruhan, pH, air masukan dan
kedalaman perairan.
Kelimpahan fitoplankton pada suatu perairan dapat
memberikan informasi tentang produktivitas perairan.
2.5. Organisme Makrozoobenthos
Menurut Odum (1971), benthos adalah organisme yang hidup di permukaan
atau di dalam dasar perairan, baik yang hidup pada lumpur, pasir, batu, kerikil
ataupun sampah di dasar kolam, sungai dan danau atau waduk atau situ. Benthos
yang hidup di atas permukaan dasar perairan disebut sebagai organisme epifauna
sedangkan benthos yang hidup di dalam dasar perairan disebut sebagai organisme
infauna. Benthos dapat dibedakan atas organisme nabati yang disebut fitobenthos
dan organisme hewani yang disebut zoobenthos. Menurut ukurannya, organisme
benthos dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: makrobenthos (berukuran > 1 mm),
meiobenthos (berukuran 0,1-1 mm), dan mikrobenthos (berukuran <0,1 mm).
Benthos yang hidup di dasar perairan berdasarkan cara makannya dibagi
dua, yaitu filter feeder yang mengambil makanan dengan menyaring air dan
deposit feeder yang mengambil makanan dalam substrat dasar (Odum, 1971).
Kemudian oleh Lin (1979) dijelaskan bahwa substrat untuk habitat benthos ada
yang berupa lumpur, pasir dan batuan. Nybakken (1988) menyatakan bahwa
kelompok pemakan bahan tersuspensi (filter feeder) dominan di substrat pasir
seperti moluska bivalvia, beberapa echinodermata dan krustasea. Sedangkan
pemakan deposit (deposit feeder) banyak terdapat pada substrat lumpur, seperti
jenis-jenis polychaeta.
2.5.1. Peranan Makrozoobenthos di Perairan
Dalam ekosistem perairan, makrozoobenthos memegang beberapa peran
penting seperti dalam proses dekomposisi bahan-bahan organik dan posisinya
dalam rantai makanan terutama rantai makanan detritus.
Selain itu
18
makrozoobenthos juga dapat digunakan sebagai indikator biologi tingkat
pencemaran perairan. Perubahan-perubahan kualitas air sangat mempengaruhi
kehidupan makrozoobenthos, baik komposisi maupun ukuran populasinya.
Disamping itu kemampuan mobilitasnya yang rendah serta adanya beberapa jenis
organisme makrozoobenthos yang mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap
kondisi kualitas air yang buruk menjadikan makrozoobenthos sebagai salah satu
indikator biologi yang baik (Hawkes, 1979).
2.5.2. Struktur Komunitas Makrozoobenthos
Menurut Odum (1971) komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang
hidup di daerah tertentu atau habitat fisik tertentu dan merupakan satu satuan yang
terorganisir dan mempunyai hubungan timbal balik.
Lebih lanjut disebutkan
bahwa konsep komunitas ini dapat digunakan dalam menganalisa lingkungan
perairan karena komposisi dan karakter organisme di dalam suatu komunitas
merupakan indikator yang cukup baik untuk melihat keadaan lingkungan dimana
komunitas tersebut berada. Krebs (1989) menambahkan bahwa untuk mengetahui
kondisi suatu struktur komunitas terdapat lima karakteristik komunitas yang dapat
diukur yaitu : (1) keanekaragaman; (2) dominansi; (3) bentuk dan struktur
pertumbuhan; (4) kelimpahan relatif dan (5) struktur trofik.
Diversitas adalah suatu keragaman atau perbedaan diantara anggota-anggota
suatu kelompok. Dalam ekologi, umumnya diversitas mengarah ke diversitas
spesies, melalui pengukuran jumlah spesies dalam komunitas dan kelimpahan
relatifnya. Ide diversitas spesies berdasarkan asumsi bahwa populasi dari spesiesspesies yang secara bersama-sama terbentuk, berinteraksi satu dengan yang
lainnya dan adanya interaksi dengan lingkungan (Bakus, 1990).
Diversitas dari Shannon-Wiener merupakan indeks yang paling umum
digunakan bagi manajemen lingkungan dan berfungsi sebagai alat bantu dalam
menggambarkan struktur komunitas dan mendeteksi besarnya degradasi pada
ekosistem. Indeks diversitas menggabungkan tiga komponen utama dari struktur
komunitas yaitu : kelimpahan, jumlah taksa, dan kemerataan distribusi organisme
diantara spesies atau evenness (Krebs, 1989).
Lebih lanjut Krebs (1989)
19
memberikan alasan tentang fleksibilitas penggunaan indeks diversitas yang dapat
diterima secara luas bagi pengambil keputusan yang berlatar belakang non
biologi, karena kemampuannya dalam menurunkan kompleksitas pengukuran
struktur komunitas ke dalam sebuah nilai tunggal.
Kelimpahan makrozoobenthos di suatu perairan dipengaruhi oleh faktorfaktor lingkungan baik fisika, kimia maupun faktor biologi. Faktor-faktor tersebut
antara lain adalah suhu, pH, kekeruhan, kecerahan, gas-gas terlarut dan interaksi
dengan organisme lain. Secara umum perairan yang belum tercemar dicirikan
dengan keanekaragaman yang tinggi, tidak ada dominasi suatu spesies tertentu
dan jumlah individu masing-masing spesies cenderung merata sehingga nilai
diversitas yang didapatkan akan maksimum. Rendahnya indeks tersebut biasanya
mencirikan adanya stress dari komunitas yang cenderung tidak stabil (Krebs,
1989).
20
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Dan Waktu
Penelitian
ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2005 - Agustus 2006
dengan lokasi penelitian di Pelabuhan Sunda Kelapa, DKI Jakarta. Pengambilan
contoh air dan sedimen untuk pengukuran kualitas perairan, fitoplankton dan
makrozoobenthos dilakukan pada tiga stasiun yaitu stasiun I berjarak 50 m (muara
sungai), stasiun II berjarak 500 m dan stasiun III berjarak 1000 m. Pengamatan
dan analisa dilakukan secara in situ dan ex situ. Analisa ex situ untuk contoh air
dilakukan di Laboratorium Lingkungan Teknologi dan Manajemen Akuakultur,
FPIK-IPB
dan
identifikasi
sampel
makrozoobenthos
dilaksanakan
Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan MSP, FPIK-IPB.
lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Lokasi Penelitian
Gambar 2. Lokasi penelitian studi kapasitas asimilasi dan beban
pencemaran di Pelabuhan Sunda Kelapa, DKI Jakarta.
di
Peta
3.2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah
pengamatan (pengukuran parameter fisika, kimia dan biologi) secara langsung di
lapang dan analisis laboratorium
Data yang diambil pada penelitian ini antara
lain:
1) Data primer berupa data fisik (suhu, salinitas, kekeruhan,
kecerahan, TSS), kimia (pH, BOD5, COD, BOD, NH3, NO2, NO3,
PO4) dan biologi air (fitoplankton dan makrozoobenthos).
2) Data sekunder (data aktivitas pelabuhan, data kependudukan) yang
berasal
dari
Dinas/Instansi/Lembaga
yang
terkait
dengan
pengelolaan dan penelitian sungai dan perairan teluk Jakarta serta
pengelola Pelabuhan Sunda Kelapa.
3.3. Metode Sampling
3.3.1. Pengambilan sampel air
Pengambilan sampel air dilakukan dengan menggunakan Van Dorn Water
Sampler sedangkan contoh sedimen menggunakan Petersen grab (40 x 32 cm).
Pengambilan sampel air dan sedimen diambil pada tiga stasiun yang masingmasing stasiun berjarak 50 m, 500 m dan 1000 m dari Pelabuhan Sunda Kalapa.
Pada setiap satu stasiun dilakukan pengambilan contoh air dan sedimen dengan
pengulangan sebanyak 3 kali.
Pengambilan sampel air dan sedimen akan
dilakukan sebanyak 3 kali selama penelitian berlangsung.
Lokasi stasiun
pengambilan sampel air dan sedimen dapat dilihat pada Lampiran 1.
Sampel air diambil dari setiap stasiun pengamatan menggunakan Van Dorn
sampler. Untuk pengukuran BOD5, sampel air dimasukkan dalam botol BOD,
sedangkan untuk pengukuran parameter kimia air diambil sebanyak tiga botol
contoh polyethilen ukuran 500 ml,dimana botol pertama tanpa diberi bahan
pengawet, botol kedua diberi H2SO4 dan botol ketiga diberi HNO3, masingmasing 3 tetes.
Sampel air untuk analisis fitoplankton diambil dengan menggunakan Van
Dorn water sampler kemudian ditampung dalam ember, selanjutnya disaring
22
dengan menggunakan plankton net mesh ukuran 25 um. Contoh fitoplankton
tersebut disimpan dalam botol film dan diawetkan dengan larutan lugol, kemudian
diidentifikasi di Laboratorium.
3.3.2. Pengambilan sampel sedimen
Contoh sedimen untuk pengukuran kualitas sedimen diambil dari setiap
stasiun pengamatan dengan menggunakan Petersen Grab sampai kedalaman
10 cm. Contoh sedimen diambil sebanyak + 500 gram, dan analisis sedimen
dilakukan untuk melihat fraksi sedimen. Pengukuran fraksi sedimen dilakukan
dengan mengambil contoh sedimen sebanyak 100 gram dan dimasukkan ke dalam
botol contoh polyethilen kemudian dihitung fraksinya berdasarkan ukuran butiran
sedimen.
Pengambilan makrozoobentos dilakukan pada sedimen contoh dengan
menggunakan
Petersen
Grab
sebanyak
lima
kali
ulangan.
Kemudian
makrozoobentos tersebut dipisahkan dari sedimen dengan menggunakan saringan
bertingkat ukuran 1 mm2, selanjutnya dimasukkan ke dalam botol contoh dan
diberi larutan lugol serta rose bengal kemudian diidentifikasi di laboratorium.
3.4. Metode Pengukuran Kualitas Perairan.
Parameter kualitas air yang dianalisis langsung di lapangan adalah suhu, pH,
oksigen terlarut (DO) dan salinitas. Selanjutnya contoh air akan dianalisis di
laboratorium untuk BOD5, TSS, COD, NH3, NO2, NO3, PO4, kekeruhan, dan
kandungan logam berat Pb dan Cd dalam sedimen diawetkan dengan
menggunakan bahan-bahan kimia yang mengacu pada Standard Methods for the
Examination of Water and Wastewater (APHA, 1989).
Metode pengukuran
kualitas perairan dapat dilihat pada Tabel 2.
3.5. Analisis Data.
Data dianalisis dengan metode deskiptif terhadap parameter-parameter yang
diamati. Parameter-parameter yang dideskripsikan adalah parameter-parameter
kimia perairan, beban pencemaran, kapasitas asimilasi dan analisis-analisis
terhadap komunitas fitoplankton dan makrozoobentos.
23
3.5.1. Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi.
Analisis beban pencemaran dilakukan dengan perhitungan secara langsung
dari kualitas air Sungai Ciliwung yang bermuara di Pelabuhan Sunda Kelapa
maupun kualitas perairan Pelabuhan Sunda Kelapa sendiri. Cara penghitungan
beban pencemaran ini didasarkan atas pengukuran langsung debit sungai dan
konsentrasi limbah di muara sungai-sungai yang menuju Pelabuhan Sunda
Kelapa, berdasarkan model berikut:
BP = Q x Ci x (1 x 10-6 x 30 x 24 x 3600)..............................................(1)
Keterangan :
BP= Beban pencemar yang berasal dari suatu sumber (ton/bulan)
Q = Debit sungai yang masuk perairan Pelabuhan Sunda Kelapa
(m3/detik)
Ci = Konsentrasi parameter ke-i(mg/l)
Total beban pencemar dari suatu sumber yang bermuara ke Pelabuhan
Sunda Kelapa, sebagai berikut:
n
TBP = ∑ BP .........................................................................................(2)
i =1
Keterangan :
TBP = Total Beban Pencemar yang masuk ke perairan
n
= Jumlah sungai
i
= Beban limbah dari sungai ke-i
Nilai kapasitas asimilasi didapatkan dengan cara membuat grafik hubungan
antara konsentrasi masing-masing parameter limbah di perairan dengan total
beban limbah pencemaran parameter tersebut di muara sungai dan selanjutnya
dianalisa dengan cara memotongkannya dengan garis baku mutu air yang
diperuntukkan bagi biota dan budidaya. Pola hubungan antara konsentrasi limbah
dengan beban pencemaran direferensikan terhadap standar baku mutu. Nilai
kapasitas asimilasi didapat dari titik perpotongan antara garis hubungan beban
pencemar dengan konsentrasi polutan dengan nilai baku mutu untuk parameter
yang diuji (Gambar 3).
24
Konsentrasi Polutan
Pelabuhan (mg/l)
Baku Mutu
Beban Pencemaran (ton/bln)
Gambar 3. Grafik hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi
polutan
Selanjutnya nilai kapaitas asimilasi dianalisis dengan melihat seberapa besar
peran masing-masing parameter terhadap beban pencemarannya. Dengan asumsi
dasar yakni:
1) Nilai kapasitas asimilasi hanya berlaku di wilayah pesisir pada batas
yang telah ditetapkan dalam penelitian
2) Nilai hasil pengamatan baik di perairan pesisir maupun di muara
sungai diasumsikan telah mencerminkan dinamika yang ada di
perairan tersebut
3) Perhitungan beban pencemaran dilakukan baik berasal dari land based,
pencemaran dari kegiatan di perairan pelabuhan maupun dari lautnya
sendiri.
Data yang diamati merupakan data pencemaran yang mempengaruhi kualitas
air muara sungai dan perairan. Hubungan yang ingin dilihat adalah nilai parameter
tersebut yang ada di pelabuhan dan analisis yang digunakan adalah regresi linear.
Y = a + bx .............................................................................................(3)
Keterangan :
x = nilai parameter di muara sungai (jarak 50 m)
y = nilai parameter di perairan (jarak 500 dan 1000 m)
a = interseps
b = koefisien regresi untuk parameter di sungai.
Peubah x merupakan nilai parameter tertentu hasil pengamatan di muara
sungai dan y merupakan nilai parameter pelabuhan dianggap tepat untuk mewakili
seluruh nilai parameter yang ada di Pelabuhan Sunda Kelapa.
25
Tabel 2. Parameter lingkungan yang diamati beserta metode/alat yang
digunakan (APHA, 1989)
Parameter
Unit
Metode/Alat
Fisika air laut
a. Suhu
b. Kekeruhan
c. Kedalaman
d. Tekstur Sedimen
e. Kecerahan
f. TSS
ºC
NTU
m
%
cm
mg/l
Thermometer
Turbidimeter
Tali berpemberat
Analisa segitiga Miller/Pipet
Secchi disk/visual
Filter/Gravimetrik
Kimia air laut
a. pH
b. Salinitas
c. Oksigen terlarut (DO)
d. BOD5
e. COD
f. Logam berat Pb dan Cd
PSU
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
Kertas lakmus
Refraktometer
Metode Winkler
Metode Winkler dan inkubasi
Metode Reflux
AAS (Atomic Absorption
Spectrophotometric)
Fisika sedimen laut
- Tekstur/fraksi sedimen
%
Saringan bertingkat
Biologi perairan
- Plankton
- Makrozoobentos
ind/l
ind/m2
Mikroskopis
Identifikasi secara visual
m
Skala metrik
Skala metrik
Pengukuran dan penghitungan
Skala metrik
Hidrodinamika
- Kedalaman muara
sungai
- Penampang sungai
- Debit sungai
- Arus
m2
m3/dt
m/dt
3.5.2. Struktur Komunitas Phytoplankton dan Makrozoobenthos.
Atribut biologi atau metrik yang digunakan dalam menentukan tingkat
gangguan pada struktur komunitas fitoplankton dan makrozoobenthos adalah
Indeks Diversitas dan Indeks Keseragaman.
3.5.2.1. Kepadatan Jenis.
Kepadatan jenis baik fitoplankton dan makrozoobenthos didefinisikan
sebagai jumlah individu satu jenis per stasiun, biasanya dalam satuan meter
persegi (Odum, 1971) dan dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut :
26
K=
10000 × a
………………….....……………………………........(4)
b
Dimana :
K = Kepadatan jenis suatu spesies (ind/m2)
a = Jumlah spesies yang dihitung (ind)
b = Luas permukaan Petersen grab (cm2)
(Nilai 10000 adalah konversi dari cm2 ke m2)
3.5.2.2. Indeks Keanekaragaman (H’).
Indeks
Shannon-Wiener digunakan untuk menentukan keanekaragaman
fitoplankton maupun makrozoobenthos yang ada dalam suatu komunitas. Rumus
Indeks Diversitas Shannon-Wiener yang digunakan sebagai berikut (Krebs, 1989).
n
H' ' = − ∑ pi log2 pi
i =1
.........................................................................................(5)
Dimana:
H’ = indeks diversitas (bits per individual)
pi = ni/N (proporsi spesies ke-i)
ni = jumlah individu dalam satu spesies
N = jumlah total individu spesies yang ditemukan
N = jumlah jenis
Kriteria indek keanekaragam jenis (H’) adalah sebagai berikut :
H’<1 menandakan komunitas tidak stabil atau kualitas air tercemar berat,
1<H’<3 menandakan stabilitas komunitas sedang atau kualitas air tercemar
sedang, H>3 menandakan stabilitas komunitas biota dalam kondisi prima (stabil
atau kualitas air bersih .
3.5.2.3. Indeks Keseragaman (E’).
Keseragaman menggambarkan komposisi individu tiap spesies yang
terdapat dalam suatu komunitas.
Indeks Keseragaman dihitung dengan
menggunakan rumus dari Pielou (1966) dalam Fachrul et al. (2005) sebagai
berikut:
27
E=
H'
Hmaks
………………………………………………………..(6)
Dimana :
Hmaks = Keragaman jenis maksimum = Ln S
S
= jumlah jenis dalam sampel yang ditemukan
Untuk tingkat keseragaman benthos memiliki nilai kriteria sebagai berikut :
E mendekati 0 berarti keseragaman antar spesies rendah, artinya kekayaan
individu yang dimiliki masing-masing spesies sangat jauh berbeda. Sedangkan E
mendekati 1 berarti
keragaman antar individu relatif seragam atau jumlah
individu masing-masing spesies relatif sama.
3.5.3. Penetuan Status Perairan
Status mutu air/perairan adalah tingkat kondisi mutu air/perairan yang
menunjukkan kondisi tercemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam
waktu tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air yang ditetapkan
(KepMen LH No.115 tahun 2003).
Penentuan status suatu perairan dapat
memakai metoda Store et Retrieval (STORET) atau metoda indeks pencemaran.
Metoda STORET merupakan salah satu metoda untuk menentukan status mutu air
yang umum digunakan, karena penghitungan dengan metoda ini sangat mudah
dilakukan, penentuan status mutu air menggunakan sistem nilai dari “US-EPA
(Environmental Protection Agency)” dan dengan metoda ini, dapat diketahui
parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air.
Klasifikasi mutu air dengan metode STORET berdasarkan ”US EPA” dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Klasifikasi mutu air berdasarkan metode STORET
Kelas
A
B
C
D
Kriteria
baik sekali
baik
sedang
buruk
Skor
0
-1 s/d -10
-11 s/d -30
> -30
Status
memenuhi baku mutu
tercemar ringan
tercemar sedang
tercemar berat
Sumber : Center, 1977 dalam KepMen LH No.115 tahun 2003
Secara prinsip metoda STORET adalah membandingkan antara data kualitas
air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna
28
menentukan status mutu air. Penentuan status mutu air dengan menggunakan
metoda STORET dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1) Dari data hasil pengukuran untuk setiap parameter dibuatkan
tabulasi nilai kadar mimimum, maksimum dan rerata, kemudian
dibandingkan dengan nilai baku mutu
2) Jika hasil pengukuran memenuhi baku mutu sesuai peruntukkannya
(hasil pengukuran < baku mutu), diberi skor 0
3) Jika hasil pengukuran tidak memenuhi baku mutu sesuai
peruntukkannya, diberi nilai sesuai dengan Tabel 4.
4) Jumlah negatif dari jumlah skor yang diperoleh dipergunakan
untuk menentukan status air/perairan sesuai dengan kriteria sistem
nilai dari “US-EPA (Environmental Protection Agency)”.
Tabel 4. Penentuan sistem nilai untuk menentukan status mutu perairan
Jumlah Parameter
< 10
> 10
Nilai
maksimum
minimum
rata-rata
maksimum
minimum
rata-rata
Fisika
-1
-1
-3
-2
-2
-6
Parameter
Kimia
-2
-2
-6
-4
-4
-12
Biologi
-3
-3
-9
-6
-6
-18
Sumber : Center, 1977 dalam KepMen LH No.115 tahun 2003.
29
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1. Sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa
Pelabuhan Sunda Kelapa berlokasi di Kelurahan Penjaringan Jakarta Utara,
pelabuhan secara geografis terletak pada 06 06' 30" LS, 106 07' 50" BT,
pelabuhan ini menempati lahan seluas 50,8 Ha.
Kawasan Pelabuhan Sunda
Kelapa merupakan cikal bakal kota Jakarta, kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa
tersebut pada zaman dahulu merupakan kawasan pelabuhan dari Kerajaan Sunda
Pajajaran pada abad 14.
Pelabuhan Sunda Kelapa itu sendiri merupakan
pelabuhan tertua di Jakarta yang didirikan oleh Fatahillah sekitar abad 18.
Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan salah satu dari pelabuhan yang terletak di
Teluk Jakarta. Pelabuhan ini merupakan Pelabuhan yang disinggahi kapal-kapal
antar pulau dan pelayaran rakyat dengan komoditas utama kayu, bahan kebutuhan
pokok, barang kelontong, dan bahan bangunan.
Saat ini lokasi Pelabuhan Sunda Kelapa telah berkembang pesat menjadi
pusat perkantoran, perdagangan, perindustrian, dan perhotelan.
Sebagai
pelabuhan tertua di wilayah DKI Jakarta yang masih mempertahankan ciri khas
tradisional, menjadikan Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi suatu obyek wisata
terkemuka. Fasilitas utama yang tersedia di Pelabuhan Sunda Kelapa saat ini
terdiri dari fasilitas pelayanan kapal dan fasilitas pelayanan barang.
Untuk
fasilitas pelayanan kapal, pelabuhan ini memiliki panjang dermaga 3.005,5 m
dengan kedalaman alur dan kedalaman kolam masing-masing 4 m lower meter
surface (LWS). Untuk pelayanan barang, pelabuhan sunda kelapa menyediakan
lokasi lapangan penumpukan barang seluas 37.512 m2 serta gudang penyimpanan
barang berkapasitas 8.305,75 ton.
Pelabuhan Sunda Kelapa sampai saat ini dikelola oleh PT. Pelabuhan
Indonesia II (PT. Pelindo II). Saat ini wilayah di sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa
telah berkembang pesat menjadi pusat perkantoran, perdagangan, perindustrian,
dan perhotelan.
4.2. Karakteristik Pelabuhan Sunda Kelapa
4.2.1. Letak Geografis
Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan salah satu pelabuhan yang berada di
kawasan Teluk Jakarta. Pelabuhan Sunda Kelapa secara georgafis terletak pada
posisi 06 06' 30" LS, 106 07' 50" BT dan menempati lahan seluas 50,8 ha.
Secara administratif Pelabuhan Sunda Kelapa terletak di dua kelurahan
yaitu di Kelurahan Penjaringan dan Kelurahan Ancol.
Batas-batas wilayah
Pelabuhan Sunda Kelapa adalah:
•
Sebelah utara berbatasan dengan Pantai Laut Jawa
•
Sebelah selatan berbatasan dengan Pasar Ikan dan Jalan Lodan, Kelurahan
Penjaringan
•
Sebelah barat berbatasan dengan Perkantoran Muara Baru, Kelurahan
Penjaringan
•
Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Ancol
4.2.2. Kondisi Hidro-Oseanografi
Keadaan pantai sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa landai dasar lumpur dan
memiliki panjang alur 2000 m dan lebar alur 40 m dengan kedalaman alur 4
mLWS serta kedalaman kolam 4 mLWS. Pasang surut di Pelabuhan Sunda
Kelapa bersifat diurnal yaitu mengalami satu kali pasang dan satu kali surut dalam
satu hari. Rata-rata permukaan air pada pasang purnama adalah 86 cm sedangkan
pada saat pasang bulan mati sebesar 26 cm. Waktu tolak pasang pada GMT + 7
jam, dengan muka surutan 60 cm di bawah duduk tengah.
Posisi stasiun arus tower di Pelabuhan Sunda Kelapa berada pada 05º - 45’
– 34-45” LS dan 107º - 00’ – 4,11” BT dengan kecepatan maximum arus rata-rata
mencapai 1 knot arah sekitar 050º terjadi pada waktu air surut. Arus pada saat
bukan pasang surut mempunyai kecepatan sekitar 0.3 knot dengan arah 45º
dengan kecepatan arus pasang surut mencapai 1,1 knot pada waktu spring tides
pada arah sekitar 050º saat waktu air surut dan sekitar 230º saat waktu air pasang.
31
4.2.3. Kondisi Fisiografi dan Geomorfologi
Secara fisiografi daerah Jakarta terdiri dari 3 jalur fisiografi yaitu jalur
daratan pantai, jalur Bogor dan Bandung.
Jalur pantai Jakarta dibentuk dari
endapan aluvium sungai, rawa, pantai dan aliran lahar dari gunung api di selatan.
Jalur pantai Jakarta ini terletak di daerah pesisir utara jawa mulai dari Cirebon
sampai Serang. Jalur Bogor terletak di sebelah selatan yang berupa perbukitan
yang terdiri atas lapisan batuan sedimen tersier terlipat. Pada jalur Bogor ini
terbentuk dari aktivitas vulkanis yang berupa terobosan batuan beku.
Jalur
Bandung terletak di sebelah jalur Bogor yang merupakan daerah perbukitan yang
diselingi oleh cekungan-cekungan di antara deretan Gunung Api Poros Jawa (Van
Bemmelen, 1945 dalam Wirdha, 2006).
Secara morfologi, lokasi penelitian merupakan perairan di sekitar bagian
utara kipas aluvium sampai perairan Laut Jawa sekitar jarak kurang lebih 6 km.
Perairan ini merupakan lanjutan dari daerah sekitar garis pantai yang berada di
wilayah Teluk Jakarta ke arah Laut Jawa yang merupakan hasil pengendapan
material dari muara-muara sungai seperti Sungai Cisadane, Sungai Ciliwung dan
Sungai Bekasi (Wirdha, 2006).
Karakteristik geologi wilayah penelitian terbentuk sebagian besar dari
sedimentasi sungai yang merupakan kombinasi antara pasir dan lempung sedikit
berkerikil. Kedua tipe sedimen tersebut terhampar memanjang dari barat ke timur
pesisir utara Jakarta (Wirdha, 2006).
4.3. Sosial Ekonomi Wilayah Penelitian
Wilayah penelitian secara administrasi masuk dalam 2 kelurahan yaitu
Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan dan Kelurahan Ancol, Kecamatan
Pademangan. Kondisi sosial ekonomi kedua kelurahan tersebut dipaparkan di
bawah ini.
4.3.1. Kependudukan
Jumlah penduduk di Kelurahan Penjaringan dan Kelurahan Ancol dapat
dilihat pada Tabel 5.
Pada Tabel 5 terlihat bahwa jumlah penduduk dan
32
Kepadatan Penduduk di Kelurahan Penjaringan lebih tinggi daripada di Kelurahan
Ancol.
Jumlah penduduk di Kelurahan Penjaringan pada tahun 2004 adalah
sebanyak 55.668 jiwa
dengan kepadatan 14.056 jiwa/km2, sedangkan di
Kelurahan Ancol jumlah penduduk pada tahun 2004 sebanyak 17.449 jiwa dengan
kepadatan 4.625 jiwa/km2. Ratio jenis kelamin di Kelurahan Penjaringan dan
Kelurahan Ancol masing-masing sebesar 92 dan 123.
Tabel 5. Keadaan kependudukan di wilayah penelitian
Wilayah
Luas
(km2)
Jumlah
Penduduk
(Orang)
Kepadatan
Jiwa/km2
Ratio Jenis
Kelamin
Kelurahan Penjaringan
3,97
55.668
14.056
92
Kelurahan Ancol
3,77
17.449
4.625
123
Sumber: Kecamatan Penjaringan dan Kecamatan Pademangan Dalam Angka, 2004.
4.3.2. Mata Pencaharian Penduduk
Mata pencaharian penduduk di kedua kelurahan sebagian besar sebagai
pedagang/wiraswasta dan karyawan. Penduduk dengan mata pencaharian
pedagang/wiraswasta pada umumnya berdagang di pusat-pusat perdagangan yang
ada di Jakarta Utara, sedangkan yang berprofesi sebagai karyawan umumnya
bekerja pada perusahaan-perusahaan swasta maupun sektor industri yang ada di
Jakarta Utara dan sekitarnya.
Jenis mata pencaharian penduduk di kedua
kelurahan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 . Struktur mata pencaharian penduduk Kelurahan Penjaringan
dan Kelurahan Ancol tahun 2004
Pekerjaan
Pegawai Swasta
Pedagang/Wiraswasta
Buruh
Nelayan
PNS
TNI/POLRI
Pensiunan
Swasta lainnya
Lain-lain
Total
Kelurahan Penjaringan
Orang
%
4.110
24,57
4.199
25,11
3.970
23,77
269
1,61
174
1,04
61
0,36
452
2,70
390
2,33
3.100
18,54
12.945
100
Kelurahan Ancol
Orang
%
6.500
36.02
1.400
7.76
734
4.07
543
3.01
1.500
8.31
997
5.53
1.211
6,71
1.000
5,54
4.159
23,05
18.044
100
Sumber : Kecamatan Penjaringan dan Kecamatan Pademangan Dalam Angka, 2004.
33
4.3.3. Fasilitas Perekonomian
Fasilitas perekonomian di kedua kelurahan adalah sebagai berikut; di
Kelurahan Penjaringan terdapat 3 pasar tradisional, 1 pasar swalayan, 2 warung
serba ada (waserda), 3 lokasi pedagang kaki lima, 93 warung makan, 6 restoran, 2
losmen, 3 bank, 4 koperasi simpan pinjam dan 69 perusahaan industri, sedangkan
di Kelurahan Ancol terdapat 1 pasar inpres, 1 pasar tradisional, 1 waserda, 4
lokasi pedagang kaki lima, 24 warung makan, 3 restoran, 2 losmen, 6 hotel, 27
bank, 6 koperasi simpan pinjam dan 53 perusahaan industri.
Dalam uraian
fasilitas perekonomian di kedua kelurahan terlihat bahwa sebagian besar mata
pencaharian penduduk adalah sektor swasta dan karyawan industri dan kegiatan
perekonomian juga didukung oleh keberadaan jasa-jasa keuangan yaitu dengan
adanya bank yang beroperasi di kedua kelurahan tersebut.
4.4. Aktivitas Pelabuhan Sunda Kelapa
4.4.1. Arus Kunjungan Kapal
Pelabuhan Sunda Kelapa banyak dikunjungi oleh kapal-kapal pelayaran
rakyat, pelayaran dalam negeri, pelayaran penumpang domestik dan kapal-kapal
tongkang. Perkembangan arus kunjungan kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa
berdasarkan jenis pelayaran dalam kurun waktu tahun 1999 sampai 2004 dapat
dilihat pada Gambar 4 .
2000
1500
Jumlah Kapal (unit) 1000
500
0
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Pelayaran Rakyat
1394
1359
1127
1059
997
1173
Pelayaran Dalam Negeri
1408
1429
1509
1608
1601
1922
Pelayaran Penumpang
239
596
559
449
286
140
0
0
40
45
50
38
Kapal tongkang
Sumber : PT. Pelindo II Cabang Sunda Kelapa, 2004
Gambar 4. Arus kunjungan kapal berdasarkan jenis pelayaran dalam
satuan unit di Pelabuhan Sunda Kelapa.
34
Arus kunjungan kapal pelayaran rakyat dalam satuan unit selama kurun
waktu 5 (lima) tahun rata-rata mencapai 1.185 unit pertahun dengan tonase ratarata 281.209 Gross Tonase (GT), untuk jenis pelayaran dalam negeri, rata-rata
kunjungan kapal selama kurun waktu 5 tahun (1999-2004) adalah 1.579 unit
pertahun dengan tonase rata-rata 549.081 GT. Rata-rata kunjungan kapal untuk
jenis pelayaran kapal penumpang dan kapal tongkang jumlahnya sangat kecil
dibandingkan dengan kapal-kapal untuk jenis pelayaran lainnya yaitu masingmasing untuk jenis kapal penumpang sebesar 378 unit pertahun dengan tonase
rata-rata 287.733 GT, sedangkan untuk kapal tongkang rata-rata sebesar 43 unit
per tahun dengan tonase kapal rata-rata 16.585 GT. Data jumlah arus kunjungan
kapal berdasarkan tonase kapalnya dapat dilihat pada Gambar 5.
800,000
700,000
600,000
500,000
Jum lah Tonase (GT) 400,000
300,000
200,000
100,000
-
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Pelayaran Rakyat
332,765
342,727
278,091
347,532
227,585
258,553
Pelayaran Dalam Negeri
449,719
451,479
485,915
533,364
612,274
761,738
Pelayaran Penumpang
143,782
480,231
449,831
341,888
79,963
80,727
10,539
14,663
23,547
18,771
Kapal tongkang
Sumber : PT. Pelindo II Cabang Sunda Kelapa, 2004
Gambar 5 . Arus kunjungan kapal berdasarkan jenis pelayaran di
Pelabuhan Sunda Kelapa (dalam GT)
4.4.2. Arus Barang
Data arus barang berdasarkan perdagangan melalui Pelabuhan Sunda kelapa
dalam kurun waktu 6 tahun terakhir (1999-2004) berdasarkan bongkar dan muat
dapat dilihat pada Gambar 6.
Arus barang yang dibongkar dan dimuat di
pelabuhan dalam 6 tahun terakhir rata-rata mencapai 1.029.479 ton/m3 untuk
bongkar dan 1.230.885 ton/m3 untuk muat barang.
35
1,800,000
1,600,000
1,400,000
1,200,000
Jumlah
1,000,000
800,000
600,000
400,000
200,000
-
Bongkar (ton/m3)
Muat (ton/m3)
1999
2000
2001
2002
1,233,605
1,201,659
989,220
959,762
1,036,357
1,160,446
2003
2004
876,600
855,719
1,020,074
1,290,472
1,311,815
1,626,454
Sumber : PT. Pelindo II Cabang Sunda Kelapa, 2004
Gambar 6. Arus barang di Pelabuhan Sunda kelapa berdasarkan
perdagangan
Perkembangan arus barang berdasarkan distribusi melalui Pelabuhan
Sunda kelapa dalam kurun waktu 6 tahun terakhir (1999-2004) menunjukkan
bahwa distribusi barang melalui gudang rata-rata sebesar 212.832 ton/m3, melalui
angkutan langsung rata-rata sebesar 1.675.934 ton/m3, sedangkan arus barang
melalui lapangan rata-rata sebesar 371.596 ton/m3. Perkembangan arus distribusi
barang selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 7.
2,000,000
1,500,000
Jumlah
1,000,000
500,000
-
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Angkut langsung (ton/m3) 1,618,941
1,656,891
1,638,670
1,612,474
1,568,899
1,960,734
Melalui gudang (ton/m3)
193,428
172,461
189,181
219,601
235,479
266,844
Melalui lapangan (ton/m3)
380,998
409,664
321,815
334,997
363,156
418,950
Sumber : PT. Pelindo II Cabang Sunda Kelapa, 2004
Gambar 7.
Arus barang berdasarkan distribusi di Pelabuhan Sunda
kelapa
36
Perkembangan arus barang berdasarkan kemasan melalui Pelabuhan Sunda
kelapa dalam kurun waktu 6 tahun terakhir (1999 - 2004) menunjukkan bahwa
rata-rata setiap tahun arus barang kemasan berupa general cargo mempunyai
jumlah tertinggi yaitu rata-rata sebesar 878.119 ton/m3, sedangkan rata-rata
jumlah barang untuk kemasan lainnya/kayu menduduki peringkat terkecil yaitu
sebesar 651.727 ton/m3. Data arus barang berdasarkan kemasan secara rinci dapat
dilihat pada Gambar 8.
1,200,000
1,000,000
800,000
Jumlah
600,000
400,000
200,000
-
1999
2000
2001
2002
2003
2004
General Cargo (ton/m3)
693,457
740,042
745,988
932,424
966,866 1,189,937
Bag Cargo (ton/m3)
535,156
593,715
683,911
739,371
752,832
Curah Cair (ton/m3)
15,463
27,564
36,620
38,094
27,662
43,488
Barang lain/kayu (ton/m3) 948,291
876,695
683,147
457,183
420,174
524,877
888,226
Sumber : PT. Pelindo II Cabang Sunda Kelapa, 2004
Gambar 8. Arus barang berdasarkan kemasan di Pelabuhan Sunda
Kelapa.
37
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Parameter Kualitas Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa
Hasil pengukuran parameter-parameter kualitas lingkungan perairan sekitar
Pelabuhan Sunda Kelapa pada setiap stasiun pengamatan selama penelitian
berlangsung meliputi parameter fisika dan kimia dapat di lihat pada Lampiran 2.
5.1.1. Parameter Fisika Kualitas Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa
Pengukuran parameter fisika kualitas perairan diambil untuk digunakan
sebagai data penunjang penelitian. Parameter-parameter fisika kualitas perairan
yang diukur meliputi suhu udara, suhu air, kecerahan, kekeruhan, salinitas dan
total padatan tersuspensi (TSS). Data rerata pengukuran parameter fisika kualitas
lingkungan pada setiap lokasi pengukuran dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil pengukuran parameter fisika kualitas perairan Pelabuhan
Sunda Kelapa
Parameter
0
Suhu udara ( C)
Suhu air (0C)
Kecerahan (m)
Kekeruhan (NTU)
Salinitas (PSU)
TSS (mg/l)
Muara sungai (50 m)
30,2
31,3
0,74
13,84
30,0
45,2
Jarak
500 m
30,0
32,0
1,18
6,93
30,4
20,7
1000 m
30,0
31,0
1,93
2,94
30,3
14,8
Nilai parameter suhu udara dan suhu air berkisar antara 30 – 320C. Nilai
suhu udara di muara sungai menunjukkan nilai tertinggi dibandingkan dengan
pengukuran pada jarak 500 m dan 1000 m, sedangkan untuk suhu air, pada jarak
500 m menunjukkan angka tertinggi yaitu 320C (Tabel 7). Tingginya suhu air
maupun udara di muara sungai diduga karena adanya aktivitas kimia maupun
biologis seperti degradasi bahan-bahan organik dari sampah yang terbawa melalui
sungai ke muara dan kegiatan pelabuhan lainnya. Walaupun demikian, perbedaan
suhu antar jarak pengamatan pada suhu air maupun udara tidak terlalu tinggi
bahkan cenderung sama, hal ini diduga karena perairan bersifat dinamik sehingga
kemungkinan terjadinya stratifikasi suhu pun menjadi sangat kecil.
Tingkat kecerahan pada masing-masing lokasi pengamatan masih berada
pada ambang batas baku mutu sesuai dengan KepMen LH No 51 tahun 2004 yaitu
sebesar 3 m. Nilai tingkat kecerahan tertinggi terdapat di lokasi pengamatan pada
jarak 1000 m dari pelabuhan Sunda Kelapa. Pada Tabel 7 terlihat bahwa semakin
jauh jarak dari muara sungai, maka tingkat kecerahannya semakin tinggi, nilai
tingkat kecerahan hasil pengukuran pada setiap lokasi pengamatan dari muara
sungai (50 m), jarak 500 m dan jarak 1000 m berturut-turut adalah 0,74 m, 1,18
m, dan 1,93 m. Nilai kecerahan semakin jauh dari muara semakin tinggi, hal ini
disebabkan oleh semakin berkurangnya zat-zat tersuspensi pada jarak amatan
yang menjauhi muara sungai.
Nilai kecerahan berbanding terbalik dengan nilai kekeruhan, nilai kekeruhan
akan semakin semakin tinggi dengan arah ke muara sungai, sedangkan nilai
kecerahan akan semakin rendah dengan arah ke muara sungai. Nilai kekeruhan
menunjukkan bahwa pada lokasi pengamatan di muara sungai (50 m) memiliki
nilai kekeruhan tertinggi dibandingkan dengan nilai kekeruhan pada jarak 500 m
dan 1000 m (Tabel 7). Tingkat kekeruhan pada pengamatan di muara sungai dan
di lokasi jarak 500 m, keduanya berada diatas ambang batas baku mutu sesuai
dengan Kep Men LH No 51 Tahun 2004 untuk baku mutu pelabuhan yaitu
sebesar 5,0 NTU, sedangkan tingkat kekeruhan pada jarak 1000 m belum
melewati ambang batas baku mutu. Nilai Kekeruhan di muara sungai dan jarak
500 m yang melebihi nilai ambang baku mutu diduga disebabkan oleh substansi
lumpur dan sampah yang dibawa sungai yang ada di perairan tersebut. Hal ini
juga didukung oleh pendapat Mason (1981) bahwa kekeruhan air biasanya
disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi dan koloid yang terdapat di dalam air,
misalnya partikel-partikel lumpur, bahan organik, plankton, dan mikroorganisme.
Tingkat salinitas yang terukur pada setiap lokasi pengambilan sampel air di
ketiga lokasi menunjukkan bahwa nilai tingkat salinitas di muara sungai
merupakan nilai terendah yaitu 30 (PSU) dan berturut-turut pada jarak 500 m dan
1000 m masing-masing bernilai 30,44 (PSU) dan 30,33 (PSU) (Tabel 7). Nilai
salinitas menunjukkan peningkatan dengan jarak semakin jauh dari muara, hal ini
diduga pada muara dan jarak 500 m dari muara sungai masih ada pengaruh
daratan melalui sungai yang memiliki salinitas yang rendah, sehingga semakin
39
jauh dari muara, pengaruh daratan semakin kecil. Tingkat salinitas pada masingmasing lokasi pengukuran sudah berada di atas ambang baku mutu yang
ditetapkan untuk pelabuhan yaitu 30 (PSU).
Salinitas merupakan ukuran untuk
melihat kadar garam yang terkandung dalam air laut. Menurut Nontji (1987)
salinitas didefinisikan sebagai jumlah berat semua garam (dalam gram) yang
terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan gram per liter.
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sirkulasi air,
penguapan, curah hujan dan aliran sungai.
Pada Tabel 7 terlihat bahwa total padatan tersuspensi (TSS) hasil
pengukuran pada masing-masing stasiun masih berada di bawah ambang batas
baku mutu berdasarkan KepMen LH No.51 tahun 2004 yaitu sebesar < 80 mg/l.
Pengukuran TSS pada muara Sungai Ciliwung menunjukkan hasil yang terbesar
dibandingkan pada pengukuran jarak 500 m dan 1000 m yaitu sebesar 45,22 mg/l,
sedangkan pada jarak 500 m dan 1000 m masing-masing sebesar 20,72 mg/l dan
14,80 mg/l. TSS yang lebih tinggi di muara sungai diduga disebabkan oleh
sedimentasi dan sampah-sampah organik yang terbawa arus sungai yang
mengandung padatan yang menyebabkan kekeruhan air.
Padatan tersuspensi adalah padatan yang terdiri dari partikel-partikel yang
ukuran maupun beratnya lebih kecil daripada sedimen, misalnya tanah liat, bahanbahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme dan sebagainya.
Padatan
tersuspensi merupakan bahan-bahan tersuspensi dalam air yang tertahan pada
kertas saring 0,45 µm dan tidak terlarut. Padatan tersuspensi juga mempengaruhi
fotosintesis dalam air (APHA, 1989).
Padatan tersuspensi akan mengurangi
penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara
fotosintesis (Fardiaz, 1992).
5.1.2. Parameter Kimia Kualitas Perairan Sunda Kelapa
Nilai pH yang diukur pada setiap lokasi pengamatan memiliki nilai berkisar
antara 7,65 -7,69, nilai tersebut masih berada pada ambang batas baku mutu nilai
pH untuk pelabuhan yaitu berkisar antara 6,50-8,50 (Gambar 9).
40
9
8,5
8,5
8,5
8
pH
7
6
7,65
7,65
7,69
6,5
6,5
6,5
Muara Sungai ( 50 m)
500 m
1000 m
5
4
3
2
1
0
pH
Baku mutu bawah
Baku Mutu atas
Gambar 9. Nilai pH pada masing-masing lokasi pengamatan.
Pada Gambar 10 terlihat bahwa
hasil pengukuran biological oxygen
demand (BOD5) pada semua lokasi pengamatan masih berada di bawah ambang
baku mutu berdasarkan KepMen LH No.51 tahun 2004 yaitu sebesar 20 mg/l.
Nilai pengukuran BOD5 terendah berada pada lokasi pengamatan pada jarak 1000
m dari pelabuhan sedangkan nilai pengukuran tertinggi berada pada pengamatan
di muara sungai (jarak 50 m).
Nilai BOD adalah jumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan (mengoksidasi) zat-zat
organik yang terlarut dan tersuspensi dalam air.
Menurut Effendi (2003), BOD menggambarkan bahan organik yang dapat
diuraikan secara biologis oleh mikroorganisme.
Bahan organik tersebut
merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil
buangan limbah domestik dan industri. Nilai BOD yang tinggi akan menurunkan
ketersediaan oksigen terlarut dalam air karena terpakai dalam proses oksidasi
bahan organik yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme.
Nilai BOD5 hasil pengamatan yang berada jauh di bawah nilai baku mutu
menunjukkan bahwa secara umum aktivitas penguraian bahan organik oleh
mikroorganisme pada masing-masing lokasi pengamatan sangat rendah.
Hal
tersebut diduga karena jumlah bahan organik yang dapat diuraikan oleh
mikroorganisme pada saat pengamatan sangat rendah.
Nilai BOD di muara
41
sungai lebih tinggi daripada di jarak 500 dan 1000 m, hal tersebut diduga karena
bahan organik yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme masih terdapat banyak
di muara sungai.
25
20
BOD5
(mg/l)
20
20
20
4
4
15
10
5
5
0
Muara Sungai ( 50 m)
500 m
BOD5 (mg/l)
1000 m
Baku Mutu
Gambar 10. Hasil pengukuran BOD5 pada masing-masing lokasi
pengamatan.
Nilai
chemical oxygen demand (COD) pada masing-masing lokasi
pengamatan menunjukkan bahwa kadar COD pada semua lokasi pengamatan
berada di atas ambang baku mutu untuk biota laut berdasarkan KepMen LH No.2
tahun 1988 yaitu sebesar 80 mg/l. Nilai COD masing-masing pada setiap lokasi
pengamatan berturut-turut yaitu; pada muara sebesar 137,9 mg/l, pada jarak 500
m sebesar 181.1mg/l dan pada jarak 1000 m dari pelabuhan sebesar 181,4 mg/l
(Gambar 11).
Nilai COD yang berada di atas nilai ambang baku mutu diduga disebabkan
basarnya kandungan bahan organik yang berasal dari buangan limbah industri
yang masuk ke perairan Pelabuhan Sunda Kelapa. Nilai COD menggambarkan
total jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara
kimiawi, baik yang dapat diuraikan secara biologis maupun yang tidak dapat
diuraikan secara biologis menjadi CO2 dan H2O (Effendi, 2003).
COD dapat dijadikan sebagai ukuran tingkat pencemaran di perairan oleh
bahan organik yang secara alamiah dapat dioksidasi dengan proses mikrobiologi
42
dan akan menyebabkan berkurangnya konsentrasi oksigen di perairan (APHA,
1989).
Nilai COD hasil pengamatan pada setiap stasiun yang di atas
nilai
ambang baku mutu diduga karena banyaknya kandungan bahan organik yang
tidak dapat diuraikan secara biologis di perairan Pelabuhan Sunda Kelapa yang
berasal dari buangan limbah domestik dan limbah industri.
200
181,1
180
181,4
160
140
COD
(mg/l)
137,9
120
100
80
80
80
80
Muara Sungai ( 50 m)
500 m
1000 m
60
40
20
0
COD
Baku Mutu
Gambar 11. Hasil pengukuran COD pada masing-masing lokasi
pengamatan.
Ketersedian oksigen terlarut atau disolve oxygen (DO) pada masing-masing
lokasi pengamatan menunjukkan bahwa hasil pengukuran DO tertinggi didapat
pada lokasi dengan jarak 1000 m yaitu sebesar 5,7 mg/l, sedangkan terendah pada
jarak 500 m dari muara sungai yaitu sebesar 4,95 mg/l (Gambar 12).
Nilai DO
hasil penelitian ini termasuk sangat kecil. Aktivitas mikroorganisme dalam
menguraikan bahan organik di perairan, arus dan proses percampuran serta
interaksi antara permukaan laut dengan atmosfer akan dapat mempengaruhi
konsentrasi O2 terlarut, hal ini diduga penyebab DO hasil pengukuran di setiap
stasiun pengamatan sangat kecil.
43
DO
(mg/l)
5,8
5,7
5,6
5,4
5,2
5,1
5,0
4,95
4,8
4,6
4,4
Muara Sungai ( 50 m)
500 m
1000 m
DO
Gambar 12. Hasil pengukuran DO pada masing-masing lokasi
pengamatan.
Nilai Amonia (NH3) yang diukur pada setiap stasiun pengamatan
menujukkan hampir mendekati nilai ambang batas kepelabuhanan yang sebesar
0,3 mg/l, walaupun masih berada di bawah nilai tersebut dan nilai NH3 tersebut
mengalami kenaikan seiring jarak pengamatan dari muara sungai (Gambar 13).
0,35
NH3
(mg/l)
0,30
0,3
0,3
0,24
0,25
0,25
0,3
0,26
0,20
0,15
0,10
0,05
Muara Sungai ( 50 m)
500 m
NH3 (mg/l)
1000 m
Baku Mutu
Gambar 13. Hasil pengukuran NH3 pada masing-masing lokasi
pengamatan
Amonia (NH3), nitrit (NO2) dan nitrat (NO3) merupakan bentuk-bentuk
senyawa nitrogen yang terlarut atau tersuspensi dalam air.
Semua senyawa
tersebut sangat penting keberadaannya dalam air karena memegang peranan
44
dalam reaksi-reaksi biologi perairan (Rafni, 2004).
Nilai Amonia yang tinggi
mendekati nilai ambang batas berkaitan dengan proses dekomposisi bahan organik
di perairan, selain itu amonia juga merupakan hasil reduksi nitrat pada kondisi
anaerob.
Kenaikan nilai amonia yang sejalan dengan bertambahnya jarak
pengamatan menunjukkan bahwa proses dekomposisi bahan organik tersebut
semakin meningkat dengan jarak menjauhi muara serta tingginya proses reduksi
nitrat menjadi amonia pada kondisi anaerob di tempat tersebut.
Nitrit merupakan senyawa peralihan dari hasil reduksi nitrat (NO3)
(denitrifikasi) maupun oksidasi amonia (NH3), sehingga dapat dikatakan nitrit
senyawa yang tidak stabil.
Ketidaksetabilan sifat senyawa nitrit biasanya
menyebabkan kandungan senyawa tersebut di perairan sangat rendah.
Hal ini
ditunjukkan pada hasil pengukuran di semua stasiun pengamatan pada penelitian
ini. Nilai pengukuran NO2 pada setiap stasiun pengamatan masih menunjukkan
nilai
jauh di bawah nilai ambang batas kepelabuhanan sebesar 0,008 mg/l.
Ketidakstabilan tersebut juga diduga menyebabkan nilai NO2 hasil pengukuran
pada setiap stasiun pengamatan menunjukkan nilai yang sangat kecil yaitu sebesar
0,001 mg/l (Gambar 14).
0,009
0,008
NO2
(mg/l)
0,008
0,008
0,008
0,007
0,006
0,005
0,004
0,003
0,002
0,001
0,001
0,001
0,001
Muara Sungai ( 50 m)
500 m
NO2 (mg/l)
1000 m
Baku Mutu
Gambar 14. Hasil pengukuran NO2 pada masing-masing lokasi
pengamatan.
Nilai NO3 hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai NO3 di muara sungai
lebih rendah dari pada di kedua stasiun lainnya walaupun perbedaannya sangat
45
kecil (Gambar 15). Nilai NO3 pada setiap stasiun pengamatan sudah berada jauh
di atas nilai ambang batas baku mutu kepelabuhanan yakni sebesar 0,008 mg/l.
Tingginya nilai NO3 pada setiap pengamatan diduga adanya masukan NO3 dari
daratan berupa limbah domestik dari aktivitas penduduk yang bermukim di sekitar
pelabuhan.
0,25
0,22
0,22
0,20
0,20
NO3
(mg/l)
0,15
0,10
0,05
-
0,008
0,008
Muara Sungai ( 50 m)
500 m
NO3 (mg/l)
0,008
1000 m
Baku Mutu
Gambar 15. Hasil pengukuran NO3 pada masing-masing lokasi
pengamatan.
Ortofosfat (PO4-P) merupakan senyawa yang diperlukan oleh organisme
autotrofik sebagai sumber hara dalam metabolisme kehidupannya.
Nilai
ortofosfat (PO4-P) hasil pengukuran pada setiap stasiun pengamatan menunjukkan
sudah berada di atas nilai ambang batas untuk kepelabuhanan yakni sebesar 0,015
mg/l. Nilai PO4- P di muara sungai lebih tinggi dibanding nilai pada jarak 500
dan 1000 m. Nilai PO4-P hasil pengukuran akan berkurang seiring jarak stasiun
pengamatan. Nilai PO4-P tertinggi di muara sungai sebesar 0,11 mg/l sedangkan
terendah pada jarak 1000 m yaitu sebesar 0,007 mg/l (Gambar 16).
Kandungan
PO4-P yang semakin berkurang seiring jarak pengamatan dari pelabuhan diduga
disebabkan oleh semakin besarnya aktivitas organisme autotrofik dalam
memanfaatkan senyawa tersebut.
46
0,12
0,11
PO4
(mg/l)
0,10
0,09
0,08
0,07
0,06
0,04
0,015
0,02
0,015
0,015
0
Muara Sungai ( 50 m)
500 m
1000 m
PO4 (mg/l)
Baku Mutu
Gambar 16. Hasil pengukuran PO4-P pada masing-masing lokasi
pengamatan.
Nilai
kesadahan berhubungan dengan kandungan ion-ion kalsium dan
magnesium dalam air dalam bentuk sulfat. Nilai kesadahan hasil pengukuran
pada setiap stasiun pengamatan menunjukkan semakin tinggi seiring dengan
bertambahnya jarak. Pada Gambar 17 terlihat bahwa nilai kesadahan di muara
sungai sebesar 5.490 mg/l yang merupakan nilai terendah, sedangkan pada jarak
1000 m menunjukkan nilai kesadahan tertinggi yaitu sebesar 5.704 mg/l.
5.750
5.704,6
5.700
Kesadahan
(mg/l)
5.650
5.600
5.578,9
5.550
5.500
5.498,3
5.450
5.400
5.350
Muara Sungai ( 50 m)
500 m
1000 m
Kesadahan (mg/l)
Gambar 17. Hasil pengukuran kesadahan pada masing-masing stasiun
pengamatan.
47
Nilai kesadahan tinggi menunjukkan bahwa di muara sungai kandungan ionion magnesium dan kalsium lebih tinggi diduga berasal dari proses geologi tanah
disekitar pelabuhan, limbah domestik dan industri dari aktivitas perkotaan di
sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa.
5.1.3. Kandungan Logam Berat Pada Air Dan Sedimen Perairan Pelabuhan
Sunda Kelapa
Hasil pengukuran timbal (Pb) pada air laut di setiap stasiun pengamatan
menunjukkan bahwa pada setiap stasiun pengamatan, nilai Pb sudah melebihi
batas nilai ambang yang diperkenankan untuk kepelabuhanan (KepMen LH No.
51 tahun 2004). Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Pb adalah 0,005 mg/l. Nilainilai Pb hasil pengukuran sangat jauh di atas NAB tersebut terutama pada jarak
500 m yaitu sebesar 0,16 mg/l (Gambar 18). Nilai Pb pada air yang tinggi di
perairan Pelabuhan Sunda Kelapa diduga berasal dari ceceran bahan bakar perahu
atau kapal dan buangan limbah industri.
0,18
0,16
Pb air
(mg/l)
0,16
0,14
0,12
0,12
0,10
0,10
0,08
0,06
0,04
0,05
0,05
0,05
0,02
Muara Sungai ( 50 m)
500 m
Pb (air)
1000 m
Baku Mutu
Gambar 18. Hasil pengukuran Pb pada air laut pada setiap stasiun
pengamatan.
Nilai Pb pada sedimen tertinggi yang terukur pada jarak 1000 m dari
pelabuhan sebesar 12,76 mg/kg, sedangkan nilai Pb terendah berada di muara
sungai (jarak 50 m dari Pelabuhan Sunda Kelapa) yaitu sebesar 10,62 mg/kg
(Gambar 19). Nilai Pb pada sedimen yang tinggi diduga disebabkan karena
akumulasi Pb pada sedimen yang berasal dari limbah industri dan sedimentasi
48
batuan kapur yang berada di daerah hulu (Bogor). Sumber-sumber timbal (Pb)
pada perairan alami menurut Saeni (1989) diantaranya adalah limbah industri,
limbah pertambangan, batuan kapur dan galena (PbS).
14
12
Pb sedimen
(mg/kg)
12,76
11,34
10,62
10
8
6
4
2
0
Muara Sungai ( 50 m)
500 m
1000 m
Pb (sedimen)
Gambar 19. Hasil pengukuran Pb pada sedimen laut pada
setiap stasiun pengamatan.
Logam cadmium (Cd) pada air laut yang terukur dapat dilihat pada Gambar
20. Nilai Cd hasil pengukuran pada setiap stasiun sudah berada jauh di atas nilai
ambang batas yang diperkenankan untuk kegiatan kepelabuhanan berdasarkan
KepMen LH No.51 tahun 2004 yakni sebesar 0,01 g/l. Cd dalam air berasal dari
buangan limbah industri dan limbah pertambangan.
Tingginya Cd hasil
pengamatan diduga disebabkan oleh buangan limbah industri dan aktivitas
pelabuhan seperti kegiatan pengelasan logam pada perbaikan kapal.
Nilai Cd pada air laut tertinggi terukur pada jarak 1000 m dari pelabuhan
yaitu sebesar 0,04 mg/l, sedangkan nilai terendah terukur di muara sungai sebesar
0,03 mg/l. Nilai Cd yang tinggi seiring dengan jarak dari muara sungai diduga
disebabkan oleh proses pencampuran air dari teluk dan muara sungai atau
pelabuhan oleh angin, sehingga kadmiun tersebut terlarut dalam air dan terbawa
ke arah yang lebih jauh dari muara sungai atau pelabuhan (Saeni, 1989).
49
0,04
0,04
0,04
0,03
0,03
0,03
Cd air
(mg/l)
0,03
0,02
0,02
0,01
0,01
0,01
500 m
1000 m
0,01
0,01
0
Muara Sungai ( 50 m)
Cd (air)
Baku Mutu
Gambar 20. Hasil pengukuran Cd pada air laut pada setiap stasiun
pengamatan.
Kandungan Cd pada sedimen menunjukkan hasil yang lebih tinggi dari
kandungan Cd air laut, kecuali untuk pengukuran pada jarak 500 m (Gambar 21).
Pada pengukuran Cd di jarak 500 m besar nilainya sama dengan hasil pengukuran
Cd air laut pada jarak tersebut yaitu sebesar 0,03 mg/kg. Tingginya kandungan
Cd pada sedimen disebabkan proses akumulasi logam tersebut secara terusmenerus melalui proses desorpsi dan reaksi dengan padatan tersuspensi sehingga
bersatu dengan sedimen (Saeni, 1989).
0,35
0,33
0,30
Cd sedimen 0,25
(mg/kg) 0,20
0,23
0,15
0,10
0,05
0,03
Muara Sungai ( 50 m)
500 m
1000 m
Cd (sedimen)
Gambar 21. Hasil pengukuran Cd pada sedimen pada setiap stasiun
pengamatan.
50
5.1.4. Status Lingkungan Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa.
Status lingkungan perairan Pelabuhan Sunda Kelapa ditentukan dengan
analisis Store et Retrieval (STORET). Perhitungan analisis STORET dilakukan
berdasarkan 2 peruntukkan yaitu peruntukkan biota laut dan peruntukkan
pelabuhan berdasarkan KepMen LH No.51 tahun 2004 dan KepMen No.02 tahun
1988. Perhitungan analisis STORET untuk peruntukkan biota laut berdasarkan
perhitungan terhadap 3 parameter fisika dan 9 parameter kimia yang diamati,
sedangkan untuk kegiatan pelabuhan berdasarkan 3 parameter fisika dan 5
parameter kimia.
Penentuan parameter yang dihitung dalam analisis STORET
peruntukkan pelabuhan berdasarkan pertimbangan pengaruh negatif parameterparameter tersebut terhadap aktivitas pelabuhan.
Berdasarkan penghitungan dan analisis STORET peruntukkan biota laut,
diperoleh indeks STORET pada stasiun 1 ( muara sungai) sebesar -45, stasiun 2 (
500 m) sebesar -32 dan pada stasiun 3 (1000 m) sebesar -40. Nilai indeks
STORET pada setiap stasiun menurut analisis STORET menunjukkan status
kondisi kualitas perairan di sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa untuk peruntukkan
biota laut sudah tercemar berat ( nilai indeks >-30 ).
Nilai hasil perhitungan
indeks STORET pada setiap stasiun pengamatan dapat dilihat Tabel 8.
Tabel 8. Hasil perhitungan analisis STORET peruntukkan biota laut
pada setiap stasiun pengamatan
Parameter
Fisika
1.
2.
3.
Kimia
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9
Unit
Hasil Pengukuran
Min
Maks
Rerata
Stasiun 1 (muara sungai)
Baku Mutu
Skor
Kecerahan
Kekeruhan
TSS
m
NTU
mg/l
<3,00
<5,00
<80,00
0,23
6,83
20,70
1,25
18,52
58,53
0,74
13,84
45,22
0
-5
0
pH
DO
BOD5
NO2
NH3
COD
NO3
PO4
Pb
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
ppm
6,50-8,50
>4,00
<20,00
<0,08
<0,30
<80,00
<0,08
<0,015
<0,03
7,00
3,72
4,33
0,01
0,04
173,94
0,01
0,08
0.004
8,45
7,65
5,95
5,14
6,16
5,22
0,02
0,01
0,51
0,24
206,48
181,5
0,35
0,20
0,17
0,11
0,352
0,12
Total skor
0
-2
0
0
-2
-10
-8
-10
-8
-45
51
Tabel 8. lanjutan.
Parameter
Fisika
1.
2.
3.
Kimia
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9
Unit
Baku Mutu
Min
Stasiun 2 (jarak 500 m)
Hasil Pengukuran
Maks
Rerata
Kecerahan
Kekeruhan
TSS
m
NTU
mg/l
<3,00
<5,00
<80,00
0,50
3,27
9,60
pH
DO
BOD5
NO2
NH3
COD
NO3
PO4
Pb
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
ppm
6,50-8,50
>4,00
<20,00
<0,08
<0,30
<80,00
<0,08
<0,015
<0,03
7,00
4,02
2,96
0,01
0,06
142,76
0,02
0,06
0,001
1,80
9,26
2,77
Skor
1,18
6,93
20,72
0
-4
0
8,46
7,65
5,55
4,95
4,86
4,05
0,03
0,01
0,52
0,25
220,73
181,1
0,41
0,22
0,15
0,09
0,46
0,16
Total Skor
0
0
0
0
-2
-10
-8
-10
-8
-32
Stasiun 3 (jarak 1000 m )
Fisika
1.
2.
3.
Kimia
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9
Kecerahan
Kekeruhan
TSS
m
NTU
mg/l
<3,00
<5,00
<80,00
0,80
0,06
5,25
pH
DO
BOD5
NO2
NH3
COD
NO3
PO4
Pb
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
ppm
6,50-8,50
>4,00
<20,00
<0,08
<0,30
<80,00
<0,08
<0,015
<0,03
7,00
5,90
3,67
0,005
0,05
126,72
0,04
0,01
0,001
3,25
7,12
21,35
8,56
6,64
4,75
0,02
0,56
220,73
0,40
0,14
0,298
Total Skor
1,93
2,93
14,80
-1
-1
0
7,69
5,73
3,94
0,01
0,26
181.36
0,22
0,07
0,100
-2
0
0
0
-2
-10
-8
-8
-8
-40
Hasil perhitungan analisis STORET peruntukkan pelabuhan, diperoleh
indeks STORET pada stasiun 1 ( muara sungai) sebesar -25, stasiun 2 ( 500 m)
sebesar -24 dan pada stasiun 3 (1000 m) sebesar -20. Nilai indeks STORET pada
setiap stasiun menurut analisis STORET peruntukkan pelabuhan menunjukkan
status kondisi kualitas perairan di sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa untuk
peruntukkan kegiatan pelabuhan tercemar sedang ( nilai indeks antara -11 sampai
-30). Nilai hasil perhitungan indeks STORET peruntukkan pelabuhan pada setiap
stasiun pengamatan dapat dilihat Tabel 9.
52
Tabel 9. Hasil perhitungan analisis STORET peruntukkan pelabuhan
pada setiap stasiun pengamatan
No.
Fisika
1.
2.
3.
Kimia
1.
2.
3.
4.
5
Baku Mutu
Hasil Pengukuran
Min
Maks
Rerata
Stasiun 1 (muara sungai)
Parameter
Unit
Kecerahan
Kekeruhan
TSS
m
NTU
mg/l
<3,00
<5,00
<80,00
0,23
6,83
20,70
pH
NO2
NH3
PO4
Pb
mg/l
mg/l
mg/l
ppm
6,50-8,50
<0,08
<0,30
<0,015
<0,03
7,00
0,01
0,04
0,08
0.004
1,25
18,52
58,53
8,45
0,02
0,51
0,17
0,352
Total skor
Skor
0,74
13,84
45,22
0
-5
0
7,65
0,01
0,24
0,11
0,12
0
0
-2
-10
-8
-25
1,18
6,93
20,72
0
-4
0
Stasiun 2 (jarak 500 m)
Fisika
1.
2.
3.
Kimia
1.
2.
3.
4.
5.
Kecerahan
Kekeruhan
TSS
m
NTU
mg/l
<3,00
<5,00
<80,00
0,50
3,27
9,60
1,80
9,26
2,77
pH
NO2
NH3
PO4
Pb
mg/l
mg/l
mg/l
ppm
6,50-8,50
<0,08
<0,30
<0,015
<0,03
7,00
0,01
0,06
0,06
0,001
8,46
7,65
0,03
0,01
0,52
0,25
0,15
0,09
0,46
0,156
Total Skor
0
0
-2
-10
-8
-24
3,25
7,12
21,35
1,93
2,93
14,80
-1
-1
0
7,69
0,01
0,26
0,07
0,100
-2
0
-2
-8
-8
-20
Stasiun 3 (jarak 1000 m )
Fisika
1.
2.
3.
Kimia
1.
2.
3.
4.
5
Kecerahan
Kekeruhan
TSS
m
NTU
mg/l
<3,00
<5,00
<80,00
0,80
0,06
5,25
pH
NO2
NH3
PO4
Pb
mg/l
mg/l
mg/l
ppm
6,50-8,50
<0,08
<0,30
<0,015
<0,03
7,00
0,005
0,05
0,01
0,001
8,56
0,02
0,56
0,14
0,298
Total Skor
5.1.5. Kualitas Sedimen
Kualitas sedimen yang diukur dalam penelitian ini adalah tekstur sedimen
yang terdiri dari fraksi-fraksi sedimen. Fraksi sedimen terdiri dari fraksi pasir,
lumpur dan liat untuk menentukan jenis sedimen. Tekstur sedimen dapat
ditentukan dengan mengukur kandungan ketiga fraksi tersebut pada sedimen yang
diamati. Hasil pengukuran fraksi sedimen dan jenis sedimen pada setiap stasiun
pengamatan dapat dilihat pada Tabel 10.
53
Tabel 10. Persentase fraksi dan jenis sedimen
Muara sungai (50m)
Fraksi sedimen (%)
Pasir
Debu/lumpur
Liat
86,16
7,15
6,67
Pasir berlempung
Jarak 500 m
56,62
29,59
13,78
Lempung berpasir
Jarak 1000 m
74,91
17,07
8,02
Lempung berpasir
Stasiun
Jenis Sedimen 1)
Keterangan : 1)Berdasarkan segitiga Wenworth
Jenis sedimen di perairan Pelabuhan Sunda Kelapa pada ketiga stasiun
pengamatan adalah pasir berlempung dan lempung berpasir. Jenis sedimen pasir
berlempung terdapat pada sampel sedimen di muara sungai, sedangkan jenis
sedimen lempung berpasir terdapat pada sampel sedimen pada jarak 500 m dan
1000 m. Fraksi pasir yang tinggi pada setiap stasiun pengamatan diduga berkaitan
dengan kondisi ombak dan arus yang dinamis pada perairan (Rafni, 2004).
Menurut Nybakken (1998), ombak yang dinamis akan membawa, mengaduk dan
mendepositkan kembali partikel-partikel pasir pada daerah yang tenang.
5.1.6. Struktur Komunitas Fitoplankton
Hasil penghitungan fitoplankton yang dilakukan pada setiap stasiun
pengamatan menujukkan bahwa jumlah total taksa yang terjaring pada semua
stasiun sebanyak 14 spesies yang terbagi dalam dua famili yaitu
famili
Bacillariophycea dan Dinophycea. Jenis-jenis taksa fitoplankton selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 11.
Pada Tabel 11 terlihat bahwa kelimpahan fitoplankton pada setiap stasiun
pengamatan menujukkan bahwa pada stasiun 3 yang berjarak 1000 m mempunyai
kelimpahan tertinggi yaitu sebesar 385.331 ind/l. Stasiun 1 (muara sungai) dan
stasiun 2 (jarak 500 m dari pelabuhan mempunyai kelimpahan lebih kecil dari
pada di stasiun 3, yaitu masing-masing sebesar 53.232 dan 34.376, 9 ind/l. Pada
stasiun 1 (di muara sungai), komposisi tertinggi yang ditemukan adalah jenis
Chaetacheros sp. dan Skeletonema sp. dengan kepadatan masing-masing sebesar
41.652,8 ind/l dan 1.281,8 ind/l.
Famili Bacillariophycea masih memiliki
komposisi tertinggi pada stasiun 2 dan 3. Jenis Chaetacheros sp. pada stasiun 2
54
dan 3 memiliki kepadatan tertinggi, masing-masing sebesar 30.270,2 mg/l dan
244.766,4 mg/l. Besarnya komposisi untuk famili Bacillariophycea untuk jenis
Chaetacheros sp. dan Skeletonema sp. pada setiap stasiun pengamatan diduga
kedua jenis tersebut merupakan jenis yang mampu beradaptasi pada perairan yang
tercemar.
Pada Tabel 11 terlihat bahwa kepadatan dan Indeks keanekaragaman (H’)
fitoplankton tertinggi berada pada stasiun 3, sedangkan pada stasiun 1 (muara
sungai) memiliki keseragaman jenis (E) tertinggi.
Pada setiap stasiun
pengamatan, Indeks keanekaragaman jenis (H’) berkisar antara 0,23-0,37, nilai
tersebut masih di bawah 1 yang menunjukkan bahwa kondisi fitoplankton tidak
stabil yang diduga karena kondisi perairan yang tercemar berat. Indeks
keseragaman jenis (E) pada setiap stasiun pengamatan sangat rendah mendekati 1
yaitu berkisar antara 0,09-0,13, hal tersebut menandakan bahwa kekayaan
individu pada masing-masing spesies sangat jauh berbeda dan diduga karena
kondisi komunitas tidak stabil karena kondisi pencemaran yang terjadi pada
perairan tersebut.
Tabel 11. Hasil analisis struktur komunitas fitoplankton pada setiap stasiun
pengamatan
Nama Spesies
Coscinodiscus sp.
Peridinium sp.
Thallassiosira sp.
Ceratium sp.
Pseudonitzchia sp.
Skeletonema sp.
Chaetacheros sp.
Thallasoitrix sp.
Simbella sp.
Pleurosigma sp.
Rhizosolenia sp.
Bidulpia sp.
Bacteriastrum sp.
Navicula sp.
Total
Jumlah taksa
Kepadatan (ind/m2)
Keanekaragaman (H')
Keseragaman (E)
Dominansi (D)
1 (muara sungai)
30
695
748
173
8.561
1.281
41.653
6
2
28
40
8
6
0
53.232
13
133,1
0,33
0,13
0,01
Kelimpahan (ind/l)
2 (500 m)
41
296
285
141
568
2.657
30.270
11
0
15
67
13
8
5
34.377
13
85.942,3
0,23
0,09
0,004
3 (1000 m)
54
354
288
17
639
139.064
244.766
7
0
50
75
13
4
0
385.331
13
963.327,5
0,73
0,29
0,35
55
5.1.7. Struktur Komunitas Makrozoobentos
Hasil penghitungan makrozoobentos pada setiap stasiun pengamatan
menujukkan bahwa jumlah spesies yang terjaring sebanyak 6 spesies (Tabel 12).
Dari hasil perhitungan tersebut, kelimpahan makrozoobentos pada setiap stasiun
pengamatan menujukkan penyebaran yang merata. Kelimpahan makrozoobentos
di muara sungai tertinggi dibandingkan dengan di stasiun 2 dan 3. Di muara
sungai (stasiun 1), kelimpahan makrozoobentos yang terjaring sebanyak 200
ind/m3, sedangkan pada jarak 500 m dan 1000 m masing-masing sebesar 163 dan
132 ind/m3
Tabel 12. Hasil analisis struktur komunitas makrozoobentos pada setiap
stasiun pengamatan
Nama Spesies
1. Barbatia sp.
2. Chione undotella
3. Mactra sp.
4. Triptip sp.
5. Turitella bacillum
6. Tellina sp.
Total
Jumlah taksa
Kepadatan (ind/m2)
Keanekaragaman (H')
Keseragaman (E)
Dominansi (D)
Kelimpahan (ind/m3)
1 (muara sungai)
2 (500 m)
3 (1000 m)
7
15
175
3
0
0
200
4
500
0,37
0,09
0,77
3
32
122
0
3
3
163
5
408
0,76
0,47
0,60
0
28
101
0
0
3
132
3
330
0,62
0,56
0,63
Pada stasiun 1 (di muara sungai), komposisi tertinggi yang ditemukan adalah
jenis Mactra sp. yaitu sebesar 87,5%, disusul oleh jenis Chione undotella sebesar
7,5% dan jenis Barbatia sp. sebesar 3,5%, serta jenis lainnya dengan komposisi 0
sampai 2 %. Makrozoobentos jenis Mactra sp. dan Chione undotella masih
memiliki komposisi tinggi pada stasiun 2 dan 3. Jenis Mactra sp. pada stasiun 2
memiliki komposisi tertinggi sebesar 74,8% disusul oleh jenis Chione undotella
sebesar 19,6% dan untuk jenis lainnya memiliki komposisi berkisar antara 0
sampai 2% . Komposisi jenis Mactra sp. pada stasiun 3 sebesar 75,5% disusul
oleh jenis Chione undotella sebesar 36,09% dan jenis lainnya memiliki komposisi
dibawah 1%.
56
Struktur makrozoobentos yang ditemukan pada setiap stasiun pengamatan.
Kepadatan dan Indeks keanekaragaman (H’) dapat menunjukkan status suatu
perairan. Pada stasiun 1 (muara sungai) kepadatan makrozoobentos menunjukkan
nilai tertinggi, dengan indeks keragaman dan indeks keseragaman yang terendah.
Indeks keanekaragaman (H’) dan keseragaman jenis (E) tertinggi terdapat pada
stasiun 2, walaupun memiliki kepadatan yang hampir sama dengan stasiun 1
(muara sungai), hal tersebut menandakan bahwa pada stasiun 2 jenis spesies yang
ditemukan lebih banyak dari pada stasiun 1 (muara sungai) dan keragaman antar
spesies pada lebih tinggi pada stasiun 2 yang berjarak 500 m dari pelabuhan.
Pada setiap stasiun pengamatan, indeks keanekaragaman jenis (H’) masih di
bawah 1 yang menunjukkan bahwa kondisi komunitas makrozoobentos tersebut
tidak stabil yang diduga karena kondisi perairan yang tercemar berat. Sedangkan
indeks keseragaman jenis (E) pada setiap stasiun pengamatan mendekati 1 yang
menandakan bahwa kekayaan individu pada masing-masing spesies sangat jauh
berbeda dan diduga karena kondisi komunitas tidak stabil karena kondisi
pencemaran yang terjadi pada perairan tersebut.
5.1.8. Beban Pencemaran Dan Kapasitas Asimilasi
5.1.8.1. Beban Pencemaran Di Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa
Beban pencemaran merupakan besarnya bahan pencemar yang masuk ke
suatu perairan.
Bahan-bahan pencemar tersebut masuk ke perairan melalui
sungai, oleh karena itu penghitungan nilai beban pencemar dilakukan terhadap
parameter-parameter kualitas perairan di sekitar muara sungai. Beban pencemaran
perairan dari limbah berbagai kegiatan di luar kawasan pelabuhan yang masuk ke
badan perairan pelabuhan melalui sungai-sungai yang bermuara ke perairan
pelabuhan,
didekati
berdasarkan
nilai
beberapa
parameter
indikator
limbah/pencemaran dan debit sungai. Beberapa parameter indikator pencemaran
yang ditinjau untuk dilihat beban pencemarnya adalah BOD, COD, TSS, nitrat,
amonia, fosfat, logam Pb dan Cd.
57
Pada penelitian ini, beban pencemar diprediksi masuk ke perairan sekitar
Pelabuhan Sunda Kelapa melalui Sungai Ciliwung. Debit air Sungai Ciliwung
pada saat pengambilan sampel sebesar 4,59 m3/dtk. Hasil analisis parameterparameter penentu pencemaran secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2.
Perhitungan beban pencemaran (BP) perairan Pelabuhan Sunda Kelapa yang
berasal dari Sungai Ciliwung hanya dilakukan terhadap parameter-parameter yang
penting yang diprediksi dapat menyebabkan gangguan ekologis terhadap perairan.
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, parameter-parameter tersebut terdiri
dari BOD5, COD, TSS, nitrat, ammonia, fosfat, logam berat Pb dan Cd Hasil
Penghitungan beban pencemaran parameter-parameter tersebut dapat dilihat pada
Tabel 13.
Tabel 13. Hasil perhitungan beban pencemaran yang masuk Perairan
Sunda Kelapa
Parameter
TSS
BOD5
COD
NO3
NH3
PO4
Pb
Cd
Beban Pencemar (ton/bulan)
538,02
62,14
2.159,40
2,34
2,89
1,32
1,45
0,40
Berdasarkan Tabel 13, beban pencemaran sungai tertinggi untuk masingmasing parameter adalah parameter COD sebesar 2.159,4 ton/bulan, sedangkan
beban pencemar terendah adalah untuk parameter logam berat Cd sebesar 0,4
ton/bulan. Beban limbah yang masuk sangat dipengaruhi juga oleh kegiatan
masyarakat dan industri di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung yang masuk ke
badan perairan Pelabuhan Sunda Kelapa. Beban pencemar untuk parameter COD,
TSS dan BOD diduga berasal dari industri pengolahan dan limbah domestik yang
banyak mengandung bahan-bahan organik.
Kondisi status Kota Jakarta yang multifungsi, sebagai pusat pemerintahan,
jasa, perdagangan, industri selektif, ekonomi, dan aktivitas perdagangan lainnya,
membuat beban kerawanan Jakarta dalam pencemaran meningkat, tetapi
58
walaupun demikian sumber bahan pencemar di perairan pelabuhan juga
dimungkinkan bersumber dari aktivitas pelabuhan itu sendiri.
Tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa
yang rendah akan memicu kondisi kehidupan sosial yang tidak mengindahkan
kebersihan lingkungan, berdasarkan pemantauan peneliti pada saat pengambilan
sampel terlihat adanya sampah dan limbah domestik yang terakumulasi di sekitar
pemukiman warga di sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa (pemukiman luar batang).
Hal tersebut menyebabkan permukaan air di sekitar pemukiman tersebut sebagian
besar tertutup oleh sampah yang menyebabkan warna air laut berubah menjadi
hitam dan berbau, yang berasal dari tumpukan sampah tebal yang sudah
membusuk.
5.1.8.2. Kapasitas Asimilasi Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa.
Penghitungan kapasitas asimilasi pada penelitian ini dilakukan secara tidak
langsung yaitu dengan metode hubungan antara kualitas air dengan beban
limbahnya.
Nilai kapasitas asimilasi ditentukan dari grafik hubungan antara
konsentrasi masing-masing parameter pencemar di perairan dengan beban
pencemar di muara sungai, kemudian dianalisa dengan membandingkan dengan
garis baku mutu air laut yang diperuntukkan untuk biota laut berdasarkan KepMen
LH No.02 tahun 1988 dan KepMen LH No.51 tahun 2004.
Nilai titik perpotongan antara grafik hubungan konsentrasi parameter
kualitas air di perairan dan beban limbahnya di muara sungai dengan baku mutu
merupakan nilai kapasitas asimilasi perairan dari parameter tersebut. Nilai
kapasitas asimilasi dan fungsi hubungan antara parameter pencemar dengan beban
pencemaran di muara dapat dilihat pada Tabel 14.
Fungsi y1 menunjukkan
kualitas perairan pada jarak 500 m dari muara sungai, sementara fungsi y2
menunjukkan kualitas perairan pada jarak 1000 m dari muara sungai, masingmasing fungsi dihitung kapasitas asimilasinya.
Sudah atau belum terlampauinya kapasitas asimilasi menunjukkan tinggirendahnya beban pencemar yang masuk ke perairan, serta lebih tinggi atau
rendahnya konsentrasi pada saat ini dibandingkan dengan baku mutunya. Belum
terlampauinya kapasitas asimilasi menunjukkan bahwa beban yang masuk masih
59
rendah, kemudian nilai ambang batas baku mutunya pun lebih tinggi dari kondisi
konsentrasi saat ini. Berarti bahan-bahan yang masuk dapat mengalami prosesproses difusi dan proses lainnya di dalam lingkungan perairan yang lebih baik dari
parameter yang lainnya (yang kapasitas asimilasinya sudah terlampaui).
Tabel 14. Fungsi hubungan beban pencemaran di sungai dengan konsentrasi
parameter
pencemar di perairan pelabuhan, dan kapasitas
asimilasinya
Perairan
Parameter
R12
R22
Beban
Pencemaran
(ton/bulan)
Baku
Mutu
(BM)
Fungsi y1
Fungsi y2
TSS
y1 = 0,038x
+ 0,421
y2 = 0,033x
– 2,952
0,959
0,974
538,02
BOD5
y1 = 0,086x
– 1,308
y2 = 0,051x
+ 0,757
0,918
0,618
COD
y1 = 0,0696x y2 = 0,102x
+ 30,778
– 39,80
0,646
NO3
y1 = 0,096x
– 0,005
y2 = 0,088x
+ 0,014
NH3
y1 = 0,082x
+ 0,016
PO4
Kapasitas
Asimilasi
(ton/bulan)
80
x1
2104,16
x2
2513,6
62,14
20
247,77
377,31
0,893
2,159,40
80
0,985
0,973
2,34
0.008
0,135
-0,068
y2 = 0,092x
- 0,005
0,998
0,995
2,89
0,3
3,46
3,82
y1 = 0,087x
- 0,025
y2 = 0,097x
- 0,051
0.991
0,791
1,32
0,0015
0,46
0,68
Pb
y1 = 0.111x
– 0,005
y2 = 0,072x
– 0,004
0,9995
0,9998
1,45
0,05
0,496
0,75
Cd
y1 = 0,077x
+ 0,004
y2 = 0,073x
+ 0,008
0,982
0,932
0,40
0,01
0,078
0,027
Hasil analisis kapasitas asimilasi parameter TSS
512,73 1361,36
di perairan pelabuhan
Sunda Kelapa menunjukkan bahwa nilai kapasitas asimilasi pada jarak 500 m,
sebesar 2104,16 ton/bulan, sedangkan nilai kapasitas asimilasi pada jarak 1000 m
sebesar 2513,6 ton/bulan (Gambar 22). Kedua nilai kapasitas asimilasi tersebut
masing-masing ditentukan dari persamaan y1 = 0,038x + 0,421 dengan R2 = 0,96,
dan y2 = 0,033x – 2,95 dengan R2 = 0,97. Dilihat dari gambar tersebut, nilai
parameter TSS pada semua titik pengamatan pada jarak 500 m dan 1000 m masih
belum melewati nilai kapasitas asimilasinya. Hal tersebut diduga karena beban
pencemar TSS yang masuk ke Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa (PPSK) masih
rendah dan masih dapat ternetralisir oleh aktivitas dinamika perairan.
60
120
500 m
U1
100
U2
Baku Mutu = 80 mg/l
U3
80
BM
Konsentrasi TSS
di PPSK (mg/l) 60
y1 = 0,038x – 0,421
R2 = 0,96
y2 = 0,033x – 2,95
1000 m
2
R = 0,97
40
20
0
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
Load TSS di muara (ton/bulan))
Gambar 22. Grafik regresi antara beban limbah TSS di muara dengan
konsentrasi TSS pada jarak 500 dan 1000 m.
Gambar 23 memperlihatkan bahwa hubungan antara beban limbah BOD di
muara sungai dengan konsentrasi BOD pada jarak 500 dan 1000 m dari Pelabuhan
Sunda Kelapa merupakan model linier dengan persamaan masing-masing
y1 = 0,086x – 1,31 dengan R2 = 0,92, dan y2 = 0,051x + 0,757 dengan R2 =
0,62. Garis perpotongan hubungan linier dengan baku mutunya diperoleh nilai
kapasitas pada masing-masing jarak 500 dan 1000 m sebesar 247,77 dan 231,31
ton/bulan. Dilihat dari gambar tersebut, titik-titik pengamatan pada kedua jarak
di atas belum melewati nilai kapasitas asimilasinya, demikian juga nilai
konsentrasi pada kedua jarak diatas belum melebihi ambang batas baku mutunya.
Dengan demikian dapat dikatakan perairan sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa pada
jarak 500 m dan 1000 m dari pelabuhan masih di bawah kapasitas asimilasinya.
Nilai BOD5 berhubungan dengan kebutuhan oksigen yang diperlukan oleh
mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik yang berasal dari
limbah domestik masyarakat dan industri pengolahan yang ada di sekitar bantaran
Sungai Ciliwung yang mengalir ke perairan Pelabuhan Sunda Kelapa.
Nilai
beban pencemar BOD5 yang belum melewati kapasitas asimilasinya diduga
karena jumlah sampah organik yang masuk ke perairan sudah mulai berkurang
karena terbawa arus laut keperairan yang lebih jauh atau karena sampah-sampah
tersebut sudah banyak terurai oleh mikroorganisme di muara sungai.
61
25
500 m
1000 m
Baku Mutu = 20 mg/l
20
BM
U1
y1 = 0,086x – 1,308
15
Konsentrasi BOD5
di PPSK (mg/l)
10
2
U2
R = 0,92
U3
y2 = 0,051x + 0,757
2
R = 0,62
5
0
0
50
100
150
200
250
300
-5
Load BOD5 di muara (ton/bulan))
Gambar 23. Grafik regresi antara beban limbah BOD5 di muara dengan
konsentrasi BOD5 pada jarak 500 dan 1000 m.
Pada Gambar 24, parameter COD pada jarak 500 dan 1000 m, regresi yang
diperoleh masing-masing adalah y1 = 0,069x + 30,778; R2 = 0,65, dan
y2 = 0,102x - 39,8; R2 = 0,89.
Hasil perpotongan antara masing-masing
persamaan tersebut dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas asimilasi
untuk jarak 500 m dari Pelabuhan Sunda Kelapa sebesar
512,73 ton/bulan,
sedangkan pada jarak 1000 m dari pelabuhan sebesar 1361,36 ton/bulan, sehingga
perairan Pelabuhan Sunda Kelapa dalam kondisi berada di atas kapasitas
asimilasinya.
500 m
1200
1000 m
1000
y1 = 0,0696x + 30,78
R2 = 0,65
Konsentrasi COD 800
di PPSK (mg/l)
BM
u1
u2
600
u3
400
y2 =0,102x – 39,8
R2 = 0,89
200
0
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
-200
Load COD di muara (ton/bulan)
Gambar 24. Grafik regresi antara beban limbah COD di muara dengan
konsentrasi COD pada jarak 500 dan 1000 m.
62
Kondisi parameter pencemar COD yang sudah berada di atas kapasitas
asimilasinya menandakan bahwa perairan Pelabuhan Sunda Kelapa sudah tidak
dapat menetralisir bahan pencemar COD melalui mekanisme hidrodinamika
(proses pencampuran dan pembilasan) perairan, karena banyaknya bahan
pencemar berupa bahan organik non biodegradable yang masuk ke perairan.
Hasil regresi untuk parameter nitrat (NO3) pada jarak 500 dan 1000 m dari
Pelabuhan Sunda Kelapa menghasilkan persamaan regresi masing-masing y1=
0,096x – 0,005; R2 = 0,985, dan y2 = 0,088x + 0,014; R2 = 0,97. Nilai kapasitas
asimilasi pada jarak 500 m dari pelabuhan sebesar 0,135 ton/bulan, sedangkan
untuk jarak 1000 m dari pelabuhan sebesar -0,068 ton/bulan, baik pada jarak 500
m maupun pada jarak 1000 m terlihat bahwa hasil penelitian sudah melampaui
nilai kapasitas asimilasinya berarti perairan sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa sudah
tercemar nitrat (NO3)(Gambar 25). Hal tersebut diduga karena besarnya beban
bahan pencemar nitrat yang masuk ke perairan yang berasal dari limbah
antropogenik, dan sudah tidak dapat ternetralisir oleh aktivitas hidrodinamika
perairan.
Menurut Effendi (2003), kadar nitrat yang melebihi 5 mg/l
menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas
manusia dan tinja hewan.
0,6
500 m
0,5
y1 = 0,096x – 0,005
1000 m
R2 = 0,985
BM
Konsentrasi NO3 0,4
di PPSK (mg/l)
u1
y2 = 0,088x + 0,014
0,3
2
R
u2
= 0,98
u3
0,2
0,1
Baku Mutu = 0,008 mg/l
0
0
-0,1
2
4
6
8
Load NO3 di muara (ton/bulan)
Gambar 25. Grafik regresi antara beban limbah NO3 di muara dengan
konsentrasi NO3 pada jarak 500 dan 1000 m.
Pada Gambar 26 terlihat bahwa parameter amonia (NH3) pada jarak 500 dan
1000 m dari Pelabuhan Sunda Kelapa menghasilkan persamaan regresi masing-
63
masing adalah y1= 0,082x + 0,015; R2 = 0,998, dan y2 = 0,092x - 0,005; R2 =
0,995.
Nilai kapasitas asimilasi pada jarak 500 m dari pelabuhan sebesar 3,46
ton/bulan, sedangkan untuk jarak 1000 m dari pelabuhan sebesar 3,82 ton/bulan,
hal tersebut menandakan bahwa pada jarak 500 m maupun pada jarak 1000 m
terlihat bahwa hasil penelitian belum melampaui nilai kapasitas asimilasinya,
berarti beban sumber pencemar amonia yang masuk ke perairan Pelabuhan Sunda
Kelapa besar dan sudah tidak dapat ternetralisir oleh aktivitas hidrodinamika
perairan.
Amonia merupakan komponen dari pupuk urea yang banyak dipakai sebagai
sarana produksi pertanian di daerah pertanian sekitar pinggiran Jakarta dan Bogor,
limbah pupuk urea tersebut merupakan salah satu sumber limbah amonia yang
terbawa sungai ke perairan Pelabuhan Sunda Kelapa.
Sumber limbah amonia
lainnya adalah produksi bahan kimia (asam nitrat, amonium fosfat, amonium
nitrat, dan amoniun sulfat), industri bubur kertas dan kertas (pulp dan paper).
Selain itu tinja dari mahluk hidup yang hidup di air maupun dari masyarakat yang
hidup di bantaran Sungai Ciliwung merupakan sumber limbah yang banyak
mengeluarkan amonia. Amonia di perairan dapat juga berasal dari proses reduksi
gas nitrogen yang berasal dari proses udara atmosfer, limbah industri dan
domestik.
0,6
0,5
y2 = 0,092x – 0,005
500 m
R2 = 0,995
1000 m
BM
Konsentrasi NH3
di PPSK (mg/l)
0,4
U1
y1 = 0,0826x + 0,016
Baku Mutu = 0,3 mg/l
0,3
U2
R2 = 0,998
U3
0,2
0,1
0
0
-0,1
2
4
6
8
Load NH3 di muara (ton/bulan)
Gambar 26. Grafik regresi antara beban limbah NH3 di muara dengan
konsentrasi NH3 pada jarak 500 dan 1000 m.
64
Gambar 27 memperlihatkan grafik regresi parameter PO4 hasil penelitian
pada jarak 500 dan 1000 m. pada gambar tersebut terlihat bahwa model analisis
regresi untuk jarak 500 m adalah y1 = 0,087x – 0,025 dengan R2 = 0,991,
sedangkan untuk jarak 1000 m adalah y2 = 0,09x – 0,051; R2 = 0,79. Nilai
kapasitas asimilasi pada kedua jarak tersebut adalah 0,46 dan 0,68 ton/bulan.
Nilai parameter PO4 pada jarak 500 dan 1000 m, keduanya berada di atas nilai
kapasitas asimilasinya sehingga dapat dikatakan bahwa perairan sekitar Pelabuhan
Sunda Kelapa sudah tercemar parameter fosfat (PO4), karena sumber pencemar
fosfat yang masuk ke perairan besar dan sudah tidak ternetralisir oleh aktivitas
hidrodinamika perairan.
Tingginya parameter fosfat tersebut diduga disebabkan oleh tingginya beban
limbah pertanian di daerah pinggiran kota Jakarta dan Bogor. Selain itu limbah
penghasil fosfat juga dimungkinkan kegiatan industri yang ada di Kota Jakarta.
Fosfor banyak digunakan sebagai pupuk, sabun atau detergen, industri keramik,
minyak pelumas, produk minuman dan makanan, katalis dan sebagainya.
industri,
polifosfat
ditambahkan
langsung
untuk
mencegah
Pada
terjadinya
pembentukan karat dan korosi pada peralatan logam. Kadar fosfor pada perairan
alami berkisar antara 0.005 – 0.02 mg/l P-PO4 (Effendi, 2003).
0,2
500 m
1000 m
0,15
BM
y1 = 0,087x – 0,025
Konsentrasi PO4 0,1
di PPSK (mg/l)
y2 = 0,097x – 0,051
2
R = 0,99
2
R = 0,79
0,05
u1
u2
u3
Baku Mutu = 0,015 mg/l
0
0
0,5
1
1,5
2
2,5
-0,05
-0,1
Gambar 27.
Load PO4 di muara (ton/bulan)
Grafik regresi antara beban limbah PO4 di muara dengan
konsentrasi PO4 pada jarak 500 dan 1000 m.
65
Hasil analisis regresi parameter kandungan Pb pada jarak 500 dan 1000 m
terlihat bahwa model analisis regresi untuk jarak 500 m adalah y1 = 0,111x –
0,005 dengan R2 = 0,9995, sedangkan untuk jarak 1000 m adalah y2 = 0,072x –
0,004; R2 = 0,9998. Nilai kapasitas asimilasi pada kedua jarak tersebut adalah
0,496 dan 0,75 ton/bulan (Gambar 28). Nilai parameter Pb pada jarak 500 dan
1000 m, keduanya rata-rata berada di atas nilai kapasitas asimilasinya sehingga
dapat dikatakan bahwa perairan sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa sudah tercemar
Pb.
500 m
0,5
1000 m
Konsentrasi Pb
di PPSK (mg/l)
BM
0,4
u1
0,3
u2
u3
y1 = 0,111x – 0,005
0,2
2
R = 0,9995
y2 = 0,072x – 0,004
2
0,1
R = 0,9998
0
0
0,5
1
1,5
2
2,5
-0,1
Load Pb di muara (ton/bulan)
Gambar 28.
Grafik regresi antara beban limbah Pb di muara dengan
konsentrasi Pb pada jarak 500 dan 1000 m.
Pada Gambar 29 terlihat bahwa grafik regresi parameter cadmium (Cd)
pada jarak 500 dan 1000 m dari Pelabuhan Sunda Kelapa menghasilkan
persamaan regresi masing-masing adalah y1= 0,077x + 0,004; R2 = 0,98, dan y2
= 0,037x - 0,008; R2 = 0,932. Nilai kapasitas asimilasi untuk Cd pada jarak 500
m dari pelabuhan sebesar 0,078 ton/bulan, sedangkan untuk jarak 1000 m dari
pelabuhan sebesar 0,027 ton/bulan, hal tersebut menandakan bahwa pada jarak
500 m beban pencemar Cd belum melebihi kapasitas asimilasinya sedangkan
pada jarak 1000 m beban pencemar Cd sudah melebihi kapasitas asimilasinya,
sehingga dapat dikatakan pada jarak 1000 m perairan sudah tercemar Cd.
Sedangkan pada jarak 500 m perairan belum tercemar Cd.
66
0,18
500 m
0,16
1000 m
y2 = 0,073x + 0,008
0,14
BM
R2 = 0,932
Konsentrasi Cd
di PPSK (mg/l) 0,12
u1
0,1
0,08
y1 = 0,077x + 0,004
u2
R2 = 0,982
u3
0,06
0,04
Baku Mutu = 0,01 mg/l
0,02
0
-0,02
0
0,5
1
1,5
2
2.5
Load Cd di muara (ton/bulan)
Gambar 29.
Grafik regresi antara beban limbah Cd di muara dengan
konsentrasi Cd pada jarak 500 dan 1000 m.
Kandungan logam Pb dan Cd yang tinggi di perairan sekitar Pelabuhan
Sunda Kelapa disebabkan oleh limbah industri yang terbawa oleh Sungai
Ciliwung. Kandungan beberapa logam seperti Pb, Cd, dan Hg di beberapa lokasi
di Perairan Teluk Jakarta cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan
industri di Jakarta (Hutagalung, 1994).
Logam berat dalam perairan akan
terakumulasi dalam organisme pada tingkatan tropik yang tertinggi. Pada
tingkatan tropik yang rendah ataupun pada tingkat produsen sekalipun banyak
ditemukan kandungan logam berat. Sebagai contoh kandungan logam Pb banyak
ditemukan pada jenis kerang hijau di Teluk Jakarta (Hutagalung, 1994).
67
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Beberapa parameter kualitas air perairan sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa
sudah berada di atas ambang batas baku mutu sesuai dengan KepMen LH
No. 51 tahun 2004 dan KepMen LH No.02 tahun 1988, dengan beban
pencemar di muara sungai secara berturut-turut untuk TSS, BOD5, COD,
NO3, NH3, PO4, Pb dan Cd (ton/bulan): (538,02), (62,14), (2159,40),
(2,34), (2,89), (1,32), (1,45), dan (0,40), sedangkan kapasitas asimilasi
pada jarak 500 dan 1000 m, berturut-turut sebesar: TSS (2104,16 dan
2513,60), BOD5 (247,77 dan 377,31), COD (512,73 dan 1361,36), NO3
(0,135 dan -0,068), NH3 (3,46 dan 3,82), PO4 (0,46 dan 0,68), Pb (0,496
dan 0,75), serta Cd (0,078 dan 0,027).
2. Struktur komunitas fitoplankton ditinjau dari indeks keseragaman jenis (E)
pada setiap stasiun pengamatan sangat rendah (0,09-0,13) komunitasnya,
dan indeks keanekaragaman jenisnya (0,23-0,370) yang menunjukkan
kondisi fitoplankton tidak stabil. Struktur komunitas makrozobentos pada
setiap stasiun pengamatan, memiliki indeks keanekaragaman jenis (H’) di
bawah 1 dan indeks keseragaman jenis mendekati 1 yang menunjukkan
bahwa komunitas tidak stabil.
3. Berdasarkan analisis STORET peruntukkan kehidupan biota laut
memperlihatkan status perairan Pelabuhan Sunda Kelapa sudah tercemar
berat, sedangkan hasil analisis STORET peruntukkan kegiatan pelabuhan,
memperlihatkan status mutu perairan tercemar sedang.
6.2. Saran
Saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan upaya pengelolaan dari instansi terkait terhadap limbahlimbah organik yang sudah melebihi kapasitas asimilasinya yakni COD,
NO3 dan PO4, dengan cara pemantauan secara intensif terhadap parameterparameter tersebut dan upaya menekan sumber limbah pencemar
parameter tersebut.
2. Perlu dilakukan penelitian yang sama pada jarak yang lebih jauh, sehingga
dapat melakukan pengelolaan lingkungan yang lebih baik dan lebih
sempurna.
69
DAFTAR PUSTAKA
Anna, S. 1999. Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Teluk
Jakarta. Thesis (tidak dipublikasikan ). Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Anonim. 2004. Arus Kapal Dan Barang Di Cabang Pelabuhan Sunda Kelapa
Terjadi
Peningkatan
Yang
Signifikan.
http://members.bumnri.com/pelindo2/news.html.[27 April 2004].
American Public Health Association (APHA). 1989. Standard Methods for The
Examination of Water and Wastewater. American Public Health Association
(APHA). American Water Works Association (AWWA) and Water
Pollution Control Federation (WPCF) 17 ed. Washington. 1193 hal.
Bakus, G.J. (1990). Quantitative Ecology and Marine Biology, Oxford & IBH
Publishing, New Delhi, 168pp.
Basmi, J. 1998. Planktonologi. Fakultas Perikanan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
Biro Pusat Statistik. 2004. Kecamatan Pademangan dalam Angka 2004.
Biro Pusat Statistik. 2004. Kecamatan Penjaringan dalam Angka 2004.
Brower, J. E and J. H. Zar. 1990. Field and Laboratory Method for General
Ecology. Academic Press, London.
Dahuri, R. 1998. The Application of Carrying Capacity Concept for Sustainable
Coastal Resources Development in Indonesia. Indonesia Journal of Coastal
and Marine Resources Management I: 13-20.
Effendi, H. 2003. Telaahan Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Fachrul, M.F., H. Haeruman dan L.C. Sitepu. 2005. Komunitas Fitoplankton
Sebagai Bio-Indikator Kualitas Perairan Teluk Jakarta. Makalah Seminar
Nasional MIFA 2005. FMIPA UI-Depok. Jawa Barat..
Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.
Hawkes, H. A. 1979. Invertebrates as indicators of river water quality. Pages 2-1
to 2-45 in: A. James and L. Evison (eds.), Biological Indicators of Water
Quality. John Wiley and Sons, New York.
Hidayah, Z. 2003. Pengaruh Kondisi Sedimen terhadap Struktur Komunitas
Makrozoobenthos Di Muara Sungai Donan, Cilacap, Jawa Tengah. Skripsi.
Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor (tidak dipublikasikan).
Hynes, H.B.N. 1978. The Biology of Polluted Water. Liverpool University Press.
Hutabarat, S. dan S. M. Evan. 1986. Pengantar Oceanografi. Universitas Indonesia
Press. Jakarta
Hutagalung, H.P.1994. Kandungan Logam Berat Dalam Sedimen di Perairan
Teluk Jakarta. Prosiding Seminar Pemantauan Pencemaran Laut Jakarta 0709 Pebruari 1994. Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta.
Syamsudin, F., 2004. ”Fenomena “Red Tide” di Teluk Jakarta. Inovasi OnlineVol.1/XVI/Agustus2004–Nasional. http://io.ppi Jepang.org/article.php. [27
April 2004].
Jorgensen, S.E. 1988. Fundamental Of Ecological Modelling. Jhon Willey and
Sons. New York.
Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02 Tahun
1988 Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Sekretariat
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta.
Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 115 Tahun
2003 Tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Lampiran I, Tanggal
10 Juli 2003 Tentang Penentuan Status Mutu Air Dengan Metode STORET.
Sekretariat Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta.
Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 51 Tahun
2004 Tentang Baku Mutu Air Laut. Sekretariat Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta.
King, A.H. 1963. An Introduction To Oceanography. Hills Books Company. Inc.
San Fransisco.
Krebs, C. J. 1989. Ecologycal Methodology. University of British Columbia.
New York. 470 p
Lin, O. T. 1979. Handbook Of Common Method In Lymnology. The C.V. Musby
Company. St. Louis. Missouri. 199p.
Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologi. Terjemahan
Eidman, M., Koesoebiono, dan D. G. Bengen. PT Gramedia.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djembatan Jakarta.
Mason, C. F. 1981. Biology of Freshwater Pollution. Longmans. New York. 250p.
Odum, E. P. 1971. Dasar–dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh T. Samingan. Gajah
Mada University Press, Yogyakarta.
Palar, H. 2004. Pencemaran dan Toksikoogi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta.
152 p.
71
Pescod, M.D. 1973. Investigation Of Rational Effluens And Streams Standar For
Tropical Countries. Air Bangkok. 59p.
Quano. 1993. Training Manual on Assessment of the Quantity and Type of Land
Based Pollutant Discharge Into the Marine and Coastal Environment.
UNEP. Bangkok.
Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 1990. Tentang Pengendalian Pencemaran Air.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999. Tentang Pengendalian Pencemaran
dan/atau Perusakan Laut.
Rafni, R. 2004. Kapasitas Asimilasi Beban Pencemar Di Perairan Teluk Jobokuto
Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Thesis ( tidak dipublikasikan). Sekolah
Pasca Sarjana IPB. Bogor.
La Ode, A. R. 2005. Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi serta
Penyusunan Strategi Pengelolaan Perairan Teluk Kendari. Tesis. Program
Pascasarjana. IPB. Bogor.
Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Direktorat Pendidikan Tinggi. PAU-IPB. Bogor.
Setyobudiandi, I. 1996. Makrozoobenthos. Definisi, Pengambilan Contoh dan
Penanganannya. Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perikanan. Jurusan
Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan. IPB.
Sutamiharja, R.T.M. 1978. Kualitas dan Pencemaran Lingkungan. Sekolah Pasca
Sarjana. Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. IPB.
Bogor.
Ward, G.H. 1999. Analysis Of Honduran Shrimp Farm Imfacts On Channel
Estuaries Of The Gulf On Forseca. Center For Research In Water Resources.
University Of Texas. Austin.
Wirdha S., 2006. Analisis Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pelabuhan Sunda
Kelapa DKI Jakarta. Tesis (tidak dipublikasikan). Sekolah Pasca Sarjana
IPB. Bogor.
72
Lampiran 1. Peta lokasi pengambilan sample air dan sedimen
3
Pelabuhan Sunda Kelapa
2
1
Kali Ciliwung
Keterangan :
: titik pengambilan sample air dan
sedimen
73
Lampiran 2. Hasil pengukuran parameter kualitas lingkungan perairan di Pelabuhan Sunda Kelapa
a. Rerata hasil pengukuran kualitas lingkungan pada setiap stasiun pengamatan pada setiap ulangan pengamatan.
Parameter
Ulangan
1
Stasiun 1/Muara Sungai ( 50 m)
Ulangan
Ulangan
2
3
Rerata
Ulangan
1
Stasiun 2 (500 m)
Ulangan
Ulangan
2
3
Rerata
Ulangan
1
Stasiun 3 (1000 m)
Ulangan
Ulangan
2
3
Rerata
Kedalaman (m)
4
2
3
3
6
3
3
4
7,5
6
6
4
Suhu Udara (°C)
30
30
31
30.2
30
31
30
30
30
30
30
30
Suhu Air (°C)
Kecerahan (m)
32
32
30
31.3
32
32
30
31
32
30
30
31
0.23
0.75
1.25
0.743
0.50
1.25
1.80
1.18
0.80
1.75
3.25
1.93
Kekeruhan (NTU)
16.18
18.52
6.83
13.84
8.26
9.26
3.27
6.93
7.12
0.06
1.63
2.94
Salinitas (‰)
30.00
31.33
30.33
30.55
30.00
30.33
31.00
30.44
30.00
30.00
31.00
30.33
TSS (mg/L)
58.53
56.44
20.70
45.22
24.78
27.77
9.60
20.72
21.35
17.79
5.25
14.80
7.0
7.5
8.5
7.7
7.0
7.5
8.5
7.7
7.0
7.5
8.6
8
5.75
5.95
3.72
5.14
5.55
5.28
4.02
4.95
5.65
6.64
4.90
5.73
pH
DO (mg/L)
BOD (mg/L)
4.33
5.18
6.16
5.22
2.96
4.33
4.86
4.05
3.67
3.41
4.75
3.94
TOM (mg/L)
37.29
75.21
423.44
178.65
33.18
73.94
486.64
197.92
49.93
72.68
567.68
230.10
COD
137.94
200.09
206.48
181.50
142.76
220.73
179.80
181.10
126.72
220.73
196.62
181.36
NO3 (mg/L)
0.01
0.23
0.35
0.20
0.02
0.23
0.41
0.22
0.04
0.22
0.40
0.22
NH3 (mg/L)
0.18
0.51
0.04
0.24
0.18
0.52
0.06
0.25
0.17
0.56
0.05
0.26
NO2 (mg/L)
0.01
0.02
0.01
0.01
(0.03)
0.02
0.01
0.00
0.00
0.02
0.01
0.01
PO4 (mg/L)
0.09
0.17
0.08
0.11
0.06
0.15
0.06
0.09
0.08
0.14
0.01
0.07
121.02
6,018.01
108.99
6,141.41
118.00
4,335.58
116.00
5,498.33
119.07
5,918.91
108.12
6,294.62
122.00
4,523.27
116.40
5,578.93
132.73
5,972.97
111.61
6,486.14
122.00
4,654.65
122.11
5,704.59
Pb (air)
0.352
0.010
0.004
0.122
0.460
0.001
0.006
0.156
0.298
0.001
0.002
0.100
Cd (air)
0.017
0.082
0.001
0.033
0.025
0.078
0.000
0.034
0.034
0.078
0.000
0.037
Pb (sedimen)
1.73
0.63
29.50
10.62
1.03
0.70
32.30
11.34
1.08
0.70
36.50
12.76
Cd (sedimen)
0.17
0.33
0.20
0.23
0.17
0.33
0.40
0.30
0.16
0.33
0.50
0.33
Alkalinitas
Kesadahan (mg/l)
74
b. Hasil pengukuran parameter kimia kualitas air dan beban pencemaran pada setiap stasiun pengamatan.
Parameter
Stasiun 1/Muara Sungai ( 50 m)
Ulangan
Ulangan
Ulangan 3
Rerata
1
2
Beban Pencemaran (BP)(ton/bln)
BP1
BP2
BP3
Rerata BP
(ton/bln)
Salinitas (‰)
30.00
31.33
30.33
30.55
356.92
372.74
360.84
363.50
TSS (mg/L)
58.53
56.44
20.70
45.22
696.30
671.48
246.27
538.02
pH
7.00
7.50
8.45
7.65
83.28
89.23
100.53
91.01
DO (mg/L)
5.75
5.95
3.72
5.14
68.41
70.79
44.26
61.15
BOD (mg/L)
4.33
5.18
6.16
5.22
51.52
61.63
73.29
62.14
COD
137.94
206.48
181.50
1,641.16
2,380.50
2,456.55
2,159.40
178.65
443.65
894.77
5,037.78
2,125.40
200.09
TOM (mg/L)
37.29
75.21
NO2 (mg/L)
0.01
0.02
0.01
0.01
0.09
0.27
0.12
0.16
N-NO3 (mg/L)
0.01
0.23
0.35
0.20
0.16
2.72
4.13
2.34
NH3 (mg/L)
0.18
0.51
0.04
0.24
2.15
6.09
0.43
2.89
121.02
108.99
6,018.01
6,141.41
Pb (air)
0.352
Cd (air)
0.017
Alkalinitas
Kesadahan
(mg/l)
COD
137.94
423.44
118.00
116.00
1,439.82
1,296.68
1,403.88
1,380.13
4,335.58
5,498.33
71,597.97
73,066.07
51,581.62
65,415.22
0.010
0.004
0.122
4.19
0.11
0.05
1.45
0.082
0.001
0.033
0.20
0.98
0.01
0.40
200.09
206.48
181.50
1,641.16
2,380.50
2,456.55
2,159.40
75
Lampiran 3. Analisis regresi antara beban pencemar dan konsentrasi setiap
parameter di perairan Pelabuhan Sunda Kelapa.
a. Analisis Regresi Antara Beban TSS (ton/bln) dan Konsentrasi TSS pada Stasiun 2
(jarak 500 m)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Model
1
182.11409
Error
1
7.72637
C Total
2
189.84047
Root MSE
Dep Mean
C.V.
2.77964
20.71667
13.41739
R-square
Adj R-sq
Mean Square
182.11409
7.72637
F Value
23.570
Prob>F
0.1293
0.9593
0.9186
Parameter Estimates
Variable
INTERCEP
Load TSS_2
DF
1
1
Parameter
Estimate
0.421495
0.037722
Standard
T for H0:
Error
Parameter=0 Prob > |T|
4.47777568
0.094
0.9403
0.00776986
4.855
0.1293
b. Analisis Regresi Antara Beban TSS (ton/bln) dan Konsentrasi TSS pada Stasiun 3
(jarak 1000 m)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Model
1 139.27887
Error
1
3.76620
C Total
2 143.04507
Root MSE
Dep Mean
C.V.
1.94067
14.79667
13.11558
R-square
Adj R-sq
Mean Square
F Value
Prob>F
139.27887
36.981
0.1038
3.76620
0.9737
0.9473
Parameter Estimates
Variable
INTERCEP
Load TSS_3
DF
1
1
Parameter
Standard
Estimate
Error
-2.951912 3.12626582
0.032989 0.00542471
T for H0:
Parameter=0 Prob > |T|
-0.944
0.5183
6.081
0.1038
76
c. Analisis Regresi Antara Beban BOD5 (ton/bln) dan Konsentrasi BOD5 pada Stasiun 2
(jarak 500 m)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Model
1
1.76434
Error
1
0.15826
C Total
2
1.92260
Root MSE
Dep Mean
C.V.
0.39782
4.05000
9.82271
R-square
Adj R-sq
Mean Square
1.76434
0.15826
F Value
11.148
Prob>F
0.1853
0.9177
0.8354
Parameter Estimates
Variable
INTERCEP
Load BOD5_2
DF
1
1
Parameter
Estimate
-1.307953
0.086215
Standard
Error
1.62105414
0.02582118
T for H0:
Parameter=0 Prob > |T|
-0.807
0.5678
3.339
0.1853
d. Analisis Regresi Antara Beban BOD5 (ton/bln) dan Konsentrasi BOD5 pada Stasiun 3
(jarak 1000 m)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Model
1
0.62388
Error
1
0.38599
C Total
2
1.00987
Root MSE
Dep Mean
C.V.
0.62128
3.94333
15.75521
R-square
Adj R-sq
Mean Square
F Value
Prob>F
0.62388
1.616
0.4243
0.38599
0.6178
0.2356
Parameter Estimates
Variable
INTERCEP
Load BOD5_3
DF
1
1
Parameter
Estimate
0.757248
0.051267
Standard
Error
2.53162300
0.04032530
T for H0:
Parameter=0 Prob > |T|
0.299
0.8150
1.271
0.4243
e. Analisis Regresi Antara Beban COD (ton/bln) dan Konsentrasi COD pada Stasiun 2
(jarak 500 m)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Model
1
1966.18749
Error
1
1075.99497
C Total
2
3042.18247
Root MSE
Dep Mean
C.V.
32.80236
181.09667
18.11318
R-square
Adj R-sq
Mean Square
1966.18749
1075.99497
F Value
1.827
Prob>F
0.4055
0.6463
0.2926
77
Parameter Estimates
Parameter
Estimate
30.777714
0.069611
Variable
DF
INTERCEP
1
Load COD_2
1
Standard
Error
112.80158094
0.05149590
T for H0:
Parameter=0 Prob > |T|
0.273
0.8304
1.352
0.4055
f. Analisis Regresi Antara Beban COD (ton/bln) dan Konsentrasi COD pada Stasiun 3
(jarak 1000 m)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Model
1 4255.97776
Error
1
512.41631
Total
2 4768.39407
Root MSE
Dep Mean
C.V.
22.63661
181.35667
12.48182
R-square
Adj R-sq
Mean Square
4255.97776
512.41631
F Value
8.306
Prob>F
0.2126
0.8925
0.7851
Parameter Estimates
Variable
INTERCEP
Load COD_3
Parameter
Estimate
-39.800466
0.102416
DF
1
1
Standard
Error
77.84335359
0.03553685
T for H0:
Parameter=0 Prob > |T|
-0.511
0.6991
2.882
0.2126
g. Analisis Regresi Antara Beban NO3 (ton/bln) dan Konsentrasi NO3 pada Stasiun 2
(jarak 500 m)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Model
1
0.07508
Error
1
0.00112
C Total
2
0.07620
Root MSE
Dep Mean
C.V.
0.03341
0.22000
15.18604
R-square
Adj R-sq
Mean Square
0.07508
0.00112
F Value
67.269
Prob>F
0.0772
0.9854
0.9707
Parameter Estimates
Variable
DF
INTERCEP
1
Load NO3_2 1
Parameter
Standard
Estimate
Error
-0.004959
0.03353162
0.096274
0.01173820
T for H0:
Parameter=0 Prob > |T|
-0.148
0.9065
8.202
0.0772
78
h. Analisis Regresi Antara Beban NO3 (ton/bln) dan Konsentrasi NO3 pada Stasiun 3
(jarak 1000 m)
Analysis of Variance
Source
DF Sum of Squares
Model
1
0.06304
Error
1
0.00176
C Total
2
0.06480
Root MSE
Dep Mean
C.V.
0.04199
0.22000
19.08628
R-square
Adj R-sq
Mean Square
0.06304
0.00176
F Value
35.753
Prob>F
0.1055
0.9728
0.9456
Parameter Estimates
Variable
DF
INTERCEP 1
Load NO3_3 1
Parameter
Estimate
0.013876
0.088213
Standard
Error
0.04214357
0.01475293
T for H0:
Parameter=0 Prob > |T|
0.329
0.7975
5.979
0.1055
i. Analisis Regresi Antara Beban NH3 (ton/bln) dan Konsentrasi NH3 pada Stasiun 2
(jarak 500 m)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Model
1
0.11362
Error
1
0.00025
C Total
2
0.11387
Root MSE
Dep Mean
C.V.
0.01576
0.25333
6.22020
R-square
Adj R-sq
Mean Square
0.11362
0.00025
F Value
457.567
Prob>F
0.0297
0.9978
0.9956
Parameter Estimates
Variable
DF
INTERCEP
1
Load NH3_2
1
Parameter
Estimate
0.015944
0.082142
Standard
Error
0.01435023
0.00384004
T for H0:
Parameter=0 Prob > |T|
1.111
0.4665
21.391
0.0297
j. Analisis Regresi Antara Beban NH3 (ton/bln) dan Konsentrasi NH3 pada Stasiun 3
(jarak 1000 m)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Model
1
0.14142
Error
1
0.00078
C Total
2
0.14220
Root MSE
Dep Mean
C.V.
0.02786
0.26000
10.71446
R-square
Adj R-sq
Mean Square
0.14142
0.00078
F Value
182.236
Prob>F
0.0471
0.9945
0.9891
79
Parameter Estimates
Variable
DF
INTERCEP
1
Load NH3_3 1
Parameter
Estimate
-0.004849
0.091643
Standard
Error
0.02536916
0.00678865
T for H0:
Parameter=0 Prob > |T|
-0.191
0.8798
13.499
0.0471
k. Analisis Regresi Antara Beban PO4 (ton/bln) dan Konsentrasi PO4 pada Stasiun 2
(jarak 500 m)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Model
1
0.00535
Error
1
0.00005
C Total
2
0.00540
Root MSE
Dep Mean
C.V.
0.00680
0.09000
7.55590
R-square
Adj R-sq
Mean Square
0.00535
0.00005
F Value
115.771
Prob>F
0.0590
0.9914
0.9829
Parameter Estimates
Variable
INTERCEP
Load PO4_2
DF
1
1
Parameter
Estimate
-0.024620
0.087053
Standard
Error
0.01135316
0.00809064
T for H0:
Parameter=0 Prob > |T|
-2.169
0.2751
10.760
0.0590
l. Analisis Regresi Antara Beban PO4 (ton/bln) dan Konsentrasi PO4 pada Stasiun 3
(jarak 1000 m)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Model
1
0.00669
Error
1
0.00177
C Total
2
0.00847
Root MSE
Dep Mean
C.V.
0.04211
0.07667
54.92214
R-square
Adj R-sq
Mean Square
0.00669
0.00177
F Value
3.775
Prob>F
0.3026
0.7906
0.5812
Parameter Estimates
Variable
INTERCEP
Load PO4_3
DF
1
1
Parameter
Estimate
-0.051496
0.097339
Standard
Error
0.07029785
0.05009659
T for H0:
Parameter=0 Prob > |T|
-0.733
0.5975
1.943
0.3026
80
m. Analisis Regresi Antara Beban Pb (ton/bln) dan Konsentrasi Pb pada Stasiun 2
(jarak 500 m)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Model
1
0.13887
Error
1
0.00007
C Total
2
0.13894
Root MSE
Dep Mean
C.V.
0.00825
0.15567
5.29799
R-square
Adj R-sq
Mean Square
0.13887
0.00007
F Value
2041.755
Prob>F
0.0141
0.9995
0.9990
Parameter Estimates
Variable
INTERCEP
Load Pb_2
DF
1
1
Parameter
Estimate
-0.005341
0.111039
Standard
Error
0.00594716
0.00245740
T for H0:
Parameter=0 Prob > |T|
-0.898
0.5342
45.186
0.0141
n. Analisis Regresi Antara Beban Pb (ton/bln) dan Konsentrasi Pb pada Stasiun 3 (jarak
1000 m)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Model
1
0.05859
Error
1
0.00001
C Total
2
0.05861
Root MSE
Dep Mean
C.V.
0.00377
0.10033
3.75498
R-square
Adj R-sq
Mean Square
0.05859
0.00001
F Value
4128.112
Prob>F
0.0099
0.9998
0.9995
Parameter Estimates
Variable
INTERCEP
Load Pb_3
DF
1
1
Parameter
Estimate
-0.004251
0.072127
Standard
Error
0.00271679
0.00112259
T for H0:
Parameter=0 Prob > |T|
-1.565
0.3620
64.250
0.0099
o. Analisis Regresi Antara Beban Cd (ton/bln) dan Konsentrasi Pb pada Stasiun 2 (jarak
500 m)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Model
1
0.00312
Error
1
0.00006
C Total
2
0.00317
Root MSE
Dep Mean
C.V.
0.00749
0.03433
21.81355
R-square
Adj R-sq
Mean Square
0.00312
0.00006
F Value
55.564
Prob>F
0.0849
0.9823
0.9646
81
Parameter Estimates
Variable
INTERCEP
Load Cd_3
DF
1
1
Parameter
Estimate
0.003872
0.076794
Standard
Error
0.00594951
0.01030228
T for H0:
Parameter=0 Prob > |T|
0.651
0.6327
7.454
0.0849
p. Analisis Regresi Antara Beban Cd (ton/bln) dan Konsentrasi Pb pada Stasiun 3 (jarak
1000 m)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Model
1
0.00285
Error
1
0.00021
C Total
2
0.00306
Root MSE
Dep Mean
C.V.
0.01442
0.03733
38.63222
R-square
Adj R-sq
Mean Square
0.00285
0.00021
F Value
13.704
Prob>F
0.1680
0.9320
0.8640
Parameter Estimates
Variable
INTERCEP
Load Cd_3
DF
1
1
Parameter
Estimate
0.008200
0.073445
Standard
Error
0.01145739
0.01983981
T for H0:
Parameter=0 Prob > |T|
0.716
0.6045
3.702
0.1680
82
Lampiran 4. Prosedur pengukuran parameter kimia
a. Prosedur pengukuran oksigen terlarut (DO) dengan metode titrasi
Winkler
Tahapan analisis
1. Masukkan air laut contoh ke dalam botol BOD, tambahkan dengan 0,5 ml
MnSO4 dan 0,5 ml NaOH-KI. Kemudian botol diputarbalikkan sempurna.
2. Larutan didiamkan agar semua endapan turun ke dasar botol.
3. Setelah mengendap tambahkan 1 ml H2SO4, tutup dan kemudian kocok
dengan sempurna sampai endapan larut.
4. Ambil 50 ml air laut contoh ke Erlenmeyer dan titrasi dengan Na2S2O3 0,025
N.
5. Setelah warna berubah menjadi kuning muda, titrasi dihentikan dan catat
volume Na2S2O3 yang terpakai (A).
6. Tambahkan 3 tetes amilum hingga berwarna ungu kehitaman.
7. Titrasi dilanjutkan sampai warna ungu kehitaman hilang dan larutan menjadi
tidak berwarna. Catat volume Na2S2O3 yang terpakai (B).
8. Nilai DO dihitung dengan rumus sebagai berikut :
C x N x 8000
DO
=
ml sampel x
ml botol BOD-ml reagent
ml botol BOD
Keterangan :
V = volume botol BOD
N = Normalitas Na2S2O3
C = Volume Na2S2O3 yang terpakai dalam titrasi (A+B)
b. Prosedur pengukuran oksigen terlarut (BOD5)
Tahapan analisis
1. Ambil air laut sampel sampai 1-2 liter. Apabila air terlalu keruh (terutama
karena plankton), lanjutkan ke prosedur 2, bila tampak jernih lanjutkan ke
prosedur 3
83
2. Encerkan 400 – 500 ml sampel sampai 5 kali, tergantung pada tingkat
kepekatan sampel, dengan menggunakan akuades bebas biota.
3. Tingkatkan kadar oksigen air tersebut dengan aerasi menggunakan aerator
baterai selama kurang lebih 5 menit.
4. Pindahkan air sampel tersebut ke dalam botol BOD gelap dan BOD terang
sampai penuh.
Air dalam BOD terang segera dianalisa kadar oksigen
terlarutnya (DO1). Air sampel pada BOD gelap segera diinkubasi dengan
BOD inkubator pada suhu 200C. Setelah 5 hari, tentukan kadar oksigen
terlarut dalam botol BOD gelap (DO5). Penentuan kadar oksigen terlarut ini
bisa dilakukan secara titrimetrik atau dengan menggunakan DO meter.
5. Setelah mengendap tambahkan 1 ml H2SO4, tutup dan kemudian kocok
dengan sempurna sampai endapan larut.
6. Nilai BOD5 dihitung dengan rumus sebagai berikut :
BOD 5 = (DO1 – DO5) x faktor pengenceran
c. Prosedur pengukuran ammonium-nitrogen total metode
Phenate/Indophenol
Tahapan analisis
1. Saring 25-50 ml air laut sampel dengan kertas saring Whatman no. 42.
2. Pipet 10 ml sampel air yang telah disaring ke dalam breaker glass.
3. Sambil diaduk, tambahkan 1 tetes MnSO4, 0,5 ml chlorox (oxydizing
solution) dan 0,6 ml phenate.
Phenate ditambahkan segera dengan
menggunakan pipet tetes yang sudah dikalibrasi. Diamkan selama kurang
lebih 15 menit, sampai pembentukan warna stabil (warna akan tetap stabil
sampai beberapa jam).
4. Buat larutan blanko dari 10 ml aquades. Lakukan prosedur 3.
5. Buat larutan standar dari 10 ml larutan standar amonia (0,3 ppm). Lakukan
prosedur 3.
6. Dengan
larutan
blanko
pada
panjang
gelombang
630
nm,
set
spectrophotometer pada ”absorbance” 0,000 (atau ”transmittance” 100%),
kemudian lakukan pengukuran sampel dengan larutan standar.
7. Hitung konsentrasi amonia-N total (TAN) dengan persamaan :
84
Cst x As
TAN mg/l sebagai N
= ppm NH3-N x
Ast
Keterangan :
Cst
= Konsentrasi larutan standar (0,3 mg/l)
Ast
= Nilai absorbance larutan sampel
As
= Nilai absorbance air sampel
8. Konsentrasi amonia yang terukur pada tahap 7 dalam kadar nitrogen (N)
yang terdapat dalam amonia (NH3). Untuk mengetahui konsentrasi amonia
yang dinyatakan dalam mg /l (= ppm NH3), nilai TAN di atas dikalikan
dengan faktor seperti persamaan berikut :
BM NH3
NH3 (mg/l) = ppm NH3-N x
= ppm NH3-N x 1,216
BA N
Keterangan :
BM = Berat molekul
BA = Berat atom
d. Prosedur pengukuran NO3-N Metode Brucine
Tahapan analisis
1. Saring 25-50 ml air laut sampel dengan kertas saring Whatman no. 42.
2. Pipet 5 ml sampel air yang telah disaring ke dalam gelas piala. Untuk
perairan bersalinitas tinggi (air laut) tambahkan 1 tetes sodium arsenit.
3. Tambahkan larutan Brucine dan aduk.
4. Tambahkan 5 tetes asam sulfat pekat (dalam ruang asam) dan aduk.
5. Buat larutan blanko dari 5 ml akuades. Lakukan prosedur 3 dan 4.
6. Buat larutan standar NO3-N dengan konsentrasi seperti tabel berikut.
85
ppm NO3-N yang ingin dibuat
ml standar NO3-N (5 ppm) yang
diperlukan untuk diencerkan menjadi
100 ml
0,50
0,025
1,00
0,05
2,00
0,10
5,00
0,25
10,00
0,50
15,00
0,75
20,00
1,00
7. Sebelum pengenceran sampai 100 ml, tambahkan terlebih dahulu 20-30 ml
aquades dan 8 ml NH4OH pekat, kemudian baru tambahkan lagi aquades
sampai tanda tera. Selanjutnya lakukan prosedur 2,3, dan 4.
8. Dengan larutan blanko dan pada panjang gelombang 410 nm, set
spectrophotometer pada absorbansi 0,000 Absorbance, kemudian ukur
sampel dan larutan standar.
9. Buat persamaan regresi (y = A + Bx) dari larutan standar untuk menentukan
kandungan NO3-N contoh air.
10. Rumus perhitungan sebagai berikut :
BM NO3mg NO3-/l = ppm NO3-N x
BA N
= ppm NO3-N x 4,43
e. Prosedur pengukuran NO2-N Metode Sulfanilamid
Tahapan analisis
1. Saring 25-50 ml air laut sampel dengan kertas saring Whatman no. 42.
2. Pipet 10 ml sampel air yang telah disaring ke dalam breaker glass.
3. Tambahkan dengan 4 tetes (0,2 ml) larutan sulfanilamid dan campurkan
dengan sempurna.
4. Tambahkan 4 tetes NED ( N-1-naphtyl-ethyline-diamine-dihydrocloride),
aduk. Biarkan 10 menit agar terbentuk warna merah (pink) dengan
sempurna.
5. Tutup dengan alumunium foil dan biarkan 20-30 menit agar terbentuk
komplek.
86
6. Buat larutan blanko dari 10 ml aquades. Lakukan prosedur 3 dan 4.
7. Buat larutan standar NO2-N dengan konsentrasi seperti berikut: 0,025, 0,05,
0,01, 0,02, 0,06, dan 0,08 dari larutan satndar 1 ppm, dengan pengenceran
yang tepat (gunakan pipet dan labu takar yang sesuai). Lakukan prosedur
2,3 dan 4.
8. Dengan
larutan
blanko
dan
panjang
gelombang
543
nm,
set
spectrophotometer pada absorbance 0,000, kemudian ukur sampel dan
larutan standar.
9. Untuk menentukan NO2-N, Buat persamaan regresi (y = A + Bx) dari
larutan standar.
Perhitungan :
BM NO2
mg NO3-/l = ppm NO2-N x
BA N
= ppm NO2-N x 3,28
f. Prosedur prosedur PO4-P
Tahapan analisis
1. Pipet 50 ml sampel air ke dalam tabung reaksi atau erlenmeyer. Bila kadar P
sampel melampaui skala kepekatan, sampel harus diencerkan menjadi 50 ml.
Kemudian tambahkan 1 tetes indikator fenolftalein.
Jika terjadi warna
merah, hilangkan dengan H2SO4 N tetes demi tetes sampai warna merah
hilang.
2. Tambahkan 8 ml larutan reagen campuran dan aduk hingga merata, biarkan
selama 10 menit.
3. Buat larutan blanko dari 50 ml aquades. Lakukan prosedur 1 dan 2.
4. Buat larutan standar PO4-P dengan konsentrasi seperti berikut: 0,01, 0,15,
0,13, 0,20, 0,25, dan 0,30 dari larutan standar 1 ppm, dengan pengenceran
yang tepat (gunakan pipet dan labu takar yang sesuai). Lakukan prosedur
1,2 dan 3.
5. Dengan
larutan
blanko
dan
panjang
gelombang
880
nm,
set
spectrophotometer pada absorbance 0,000, kemudian ukur sampel dan
larutan standar.
87
6. Untuk menentukan PO4-P, Buat persamaan regresi (y = A + Bx) dari larutan
standar.
Perhitungan :
BM PO4mg PO4-/l = ppm PO4-P x
BA P
88
Download