15 BAB II KAJIAN TEORITIS A. Definisi Dakwah Kata

advertisement
15
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Definisi Dakwah
Kata-kata dakwah sudah begitu populer. Sudah dikenal oleh banyak
orang. Bukan saja dikalangan para mubaligh dan mubalighah, akan tetapi
sudah sampai kepada karyawan, manager bahkan direktur diberbagai
perusahaan. Mereka tidak hanya ikut membicarakannya akan tetapi terlibat
langsung dalam kegiatan tersebut.
Kata dakwah berasal dari bahasa Arab, akan tetapi kini sudah menjadi
bahasa sehari-hari. Bahasa yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia,
khususnya bagi umat Islam. 22 Pada umumnya jika berbicara tentang dakwah,
asosiasi orang identik tertuju kepada khatib yang sedang berkhutbah atau
kepada mubaligh yang sedang berceramah, dan arti-arti sempit lainnya.
Padahal bukan itu saja yang dimaksud dengan dakwah.
Secara etimologis, kata dakwah merupakan bentuk masdar dari kata
yad’u (fiil mudhar’i) dan da’a (fiil madly) yang artinya adalah memanggil (to
call), mengundang (to invite ), mengajak ( to summer ), menyeru (to propo),
mendorong (to urge) dan memohon (to pray).23 Kata dakwah disebutkan
dalam Al-Quran dengan berbagai bentuk, seperti fiil madly (da’a), fiil
mudhari’ (yad’u), fiil ‘amar (ud’u), masdar (da’watan).
22
23
Ibid., h. 16.
Awaluddin Pimay, Metodologi Dakwah; Kajian Teoritis Dari Khazanah AlQuran, Semarang: RaSAIL, 2006, h. 2.
16
Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia mengartikan kata dakwah
yaitu, penyiaran dan pengembangan agama di kalangan umat (masyarakat),
propaganda, penyiaran, seruan untuk meningkatkan amal ibadah bagi pemeluk
agama. 24 Adapun dalam kamus bahasa arab kata ‫دﻋﺎء‬-‫ﻳﺪع‬-‫ دﻋﺎ‬berarti,
memanggil, mengundang.25
Pemakaian kata dakwah dalam masyarakat Islam, terutama di
Indonesia, adalah sesuatu yang tidak asing. Arti dari kata dakwah yang
dimaksudkan adalah “seruan dan ajakan”. Kalau kata dakwah diberri arti
“seruan”, maka yang dimaksudkan adalah seruan kepada Islam. Demikian
juga halnya jika diberi arti “ajakan”, maka yang dimaksudkan adalah ajakan
kepada Islam. 26
Adapun pengertian dakwah menurut terminologi atau istilah berikut
akan dikemukakan oleh beberapa ahli yaitu:
1) Ibnu Taimiyah
Menurut pandangan Ibnu Taimiyah, dakwah merupakan suatu
proses usaha untuk mengajak agar orang beriman kepada Allah, percaya
terhadap apa yang telah diberitakan oleh Rasulullah yang meliputi rukun
Islam dan rukun iman.27 Dalam pengertian ini Ibnu Taimiyah lebih
24
R. Suyoto Bakir dan Sigit Suryanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Ciputat:
KARISMA Publishing Group, 2009, h. 121.
25
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997, h. 406.
26
27
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana, 2004, h. 3.
Awaludin Pimay, Paradigma Dakwah Humanis Strategi dan Metode Dakwah
Prof. KH. Saifuddin Zuhri, Semarang: RaSAIL, 2005, h. 26.
17
mengarah kepada pemahaman dakwah sebagai proses yang berkelanjutan
dan ditunjukan kepada masyarakat yang sudah mengenal Islam dan ajaranajarannya dan mengajak untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlas.
2) Prof. Thoha Yahya Umar, MA
Prof. Thoha Yahya Umar, MA membagi pengertian dakwah
menjadi dua bagian yaitu secara umum dan secara khusus. Pertama,
pengertian dakwah secara umum ialah ilmu pengetahuan yang berisi caracara dan tuntutan bagaimana seharusnya menarik perhatian manusia
menganut, menyetujui malaksanakan suatu ideology pendapat pekerjaan
yang tertentu. Kedua, pengertian dakwah secara khusus yaitu mengajak
manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan
perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagian di dunia dan akhirat.28
3) Nasarudin Latif
Dakwah adalah setiap usaha atau aktivitas dengan lisan atau tulisan
dan lainnya, yang bersifat
menyeru, mengajak, memanggil manusia
lainnya untuk beriman kepada Allah sesuai dengan apa yang telah
disyariatkan oleh agama yang tidak terlepas dari garis-garis aqidah dan
akhlak Islamiyah.29 Dalam definisi ini Nasaruddin Latif lebih mengarah
pada cara atau metode untuk berdakwah, yaitu dengan lisan atau tulisan,
28
Alwisral Imam Zaidallah, Strategi Dakwah Dalam Membentuk Da’i dan Khatib
Profesional, Jakarta: Kalam Mulia, 2002, h. 3-4.
29
Muhammad Sulthon, Menjawab Tantangan Zaman Desai Ilmu Dakwah Kajian
Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2003, h. 9.
18
yang tujuannya adalah membawa manusia kearah yang telah digariskan
Allah.
Beberapa definisi dakwah di atas, meskipun dipaparkan dan
dituangkan dengan bahasa dan bentuk kalimat yang berbeda, akan tetapi
kandungan isinya tetap sama bahwa dakwah dipahami sebagi seruan, ajakan
dan panggilan dalam rangka membangun masyarakat yang islami.
Oleh sebab itu, dari beberapa definisi tentang dakwah tersebut dapat
ditarik kesimpulan, yaitu: pertama, dakwah merupakan sebuah proses usaha
yang dilakukan secara sadar dan sengaja, sehingga diperlukan organisasi,
manajemen, sistem, metode dan media yang tepat. Kedua, usaha yang
diselenggarakan tersebut merupakan ajakan manusia untuk beriman dan
bertakwa serta mematuhi ketentuan-ketentuan Allah. Ketiga, merupakan
proses usaha yang dilaksanakan tersebut berdasarkan suatu tujuan tertentu,
yaitu kebahagian dan kesejahteraan hidup yang diridha’i oleh Allah SWT.
Dakwah adalah suatu proses upaya mengubah sesuatu situasi kepada
situasi lain yang lebih baik sesuai dengan ajaran Islam, atau proses mengajak
manusia ke jalan Allah yaitu al-Islam.30 Pada hakikatnya dakwah adalah suatu
upaya untuk mengangkat harkat dan martabat manusia agar memperoleh dunia
yang hasanah dan akhirat yang hasanah.31
Dalam pengertian yang integralistik, dakwah merupakan suatu proses
yang berkesinambungan ditangani oleh para pengemban dakwah untuk
90.
30
Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Dakwah, Jakarta: Logos, 1997, h. 31.
31
A. M. Romly, Medan dan Bahan Dakwah, Jakarta: CV. Multi Yasa & Co, 1997, h.
19
mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan secara
bertahap menuju kehidupan yang islami.32 Suatu proses berkesinambungan
adalah suatu proses yang bukan insidentil atau kebetulan, melainkan benarbenar telah direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi secara terus menerus
oleh pengemban dakwah dalam rangka mengubah perilaku sasaran dakwah
sesuai dengan syariat agama yang telah ditentukan.
Adapun yang menjadi tujuan dakwah dapat diklasifikasikan menjadi
tiga bentuk, yaitu tujuan praktis, tujuan realistis, dan tujuan idealistis.33
1. Tujuan praktis
Tujuan praktis dalam berdakwah merupakan tujuan tahap awal untuk
menyelamatkan umat manusia dari lembah kesesatan dan kegelapan untuk
membawanya ke tempat yang terang benderang, dari jalan yang sesat kepada
jalan yang lurus. Hal tersebut tercermin dalam (QS.surah Al-Thalaq [65]:11).












   



  
   






   
Artinya: “(dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayatayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya
32
Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani Press, 1998, h. 77.
33
Awaludin Pimay, Paradigma Dakwah Humanis,…h. 35.
20
dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh
dari kegelapan kepada cahaya. dan barangsiapa beriman kepada
Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan
memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya”.
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT mengutus para Rasul untuk
menyelamatkan umatnya yang tersesat di jalan kegelapan menuju jalan yang
lurus yang disinari cahaya Ilahi.
2. Tujuan realistis
Tujuan realistis adalah tujuan antara, yakni berupa terlaksananya
ajaran Islam secara keseluruhan dengan cara yang benar dan berdasarkan
keimanan, sehingga terwujud masyarakat yang menjunjung tinggi kehidupan
beragama dengan merealisasikan ajaran Islam secara penuh dan menyeluruh.34
Tujuan dakwah semacam ini dapat dikaji dari Al-Quran surah AlBaqarah [2]:208 sebagai berikut:










   
 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.
Berdasarkan
ayat
tersebut
dapat
dipahami
bahwa
Al-Quran
menghendaki terwujudnya masyarakat beriman secara utuh dan sempurna
34
Ibid., h. 36.
21
bukan masyarakat mukmin yang setengah-setengah atau masyarakat munafiq.
Dengan demikian, tujuan realistis dakwah adalah merealisasikan terwujudnya
masyarakat mukmin yang benar-benar menjalankan syariat Islam secara
menyeluruh.
Ahmad Mustafa Al- Maragi dalam tafsirnya Al-Maragi mengatakan
bahwa: kaaffatan dalam ayat tersebut bermakna menuruti hukum-hukum
Allah secara keseluruhan, yang dilandasi dengan berserah diri, tunduk dan
ikhlas hanya mengharapkan ridha dari Allah SWT.35
3. Tujuan idealistis
Tujuan idealistis merupakan tujuan akhir dalam pelaksanaan dakwah,
yaitu agar terwujudnya masyarakat muslim yang diidam-idamkan dalam suatu
tatanan hidup berbangsa dan bernegara, adil, makmur, damai dan sejahtera di
bawah limpahan rahmat, karunia dan ampunan Allah SWT.36
Tujuan seperti itu dapat dipahami dengan mengkaji Q.S.Saba[34] ayat
15 sebagai berikut:




   
    



   
   
Artinya: “Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di
tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan
di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari
rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
35
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, terj. K. Anshori Rasyidi dkk.
Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1992, h. 198.
36
Awaludin Pimay, Paradigma Dakwah Humanis,…h. 38.
22
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu)
adalah Tuhan yang Maha Pengampun".
Jadi
tujuan dakwah
yang dimaksud dalam
ayat
ini dapat
diklasifikasikan lagi berdasarkan kriteria berupa aspek obyek dakwah dan
aspek materi dakwah. Aspek obyek dakwah terdiri dari tujuan perorangan,
keluarga, masyarakat, dan untuk seluruh umat manusia.37
Adapun tujuan dakwah dari segi materinya terdiri dari
pertama,
tujuan aqidah, yakni tauhid yang mantap di dalam hati setiap manusia,
sehingga keyakinannya terhadap ajaran-ajaran Islam tidak ada keragu-raguan.
Kedua Tujuan hukum, yakni kepatuhan setiap manusia terhadap hukumhukum yang telah ditetapkan Allah SWT. Ketiga, tujuan akhlaq, yakni
terbentuknya pribadi muslim yang berbudi luhur dan dihiasi dengan sifat-sifat
terpuji serta bersih dari sifat-sifat yang tercela.
B. Definisi Upah
Idris Ahmad mengemukakan pengertian upah artinya mengambil
manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat
tertentu.38 Upah merupakan imbalan yang diterima seseorangan atas
pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (adil dan layak) dan
dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).
37
38
h.115.
Ibid., h. 39.
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008,
23
Dalam Al-Quran, penyebutan upah tidak tercantum secara jelas,namun
pemahaman upah dicantumkan dalam bentuk pemaknaan tersirat, seperti
firman Allah SWT surat An Nahl [16]: 97.
    
   


  



  
Artinya: …”barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri
balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan…” ( Q. S An Nah[16]: 97)39
Quraish Shihab dalam bukunya Tafsir Al Misbah menjelaskan bahwa
dalam Al-Quran surah An Nahl [16]: 97, maksud dari kata balasan dalam ayat
tersebut adalah upah atau kompensasi. Jadi dalam Islam, jika seseorang
mengerjakan pekerjaan dengan niat karena Allah (amal shaleh) maka ia akan
mendapatkan balasan di dunia (berupa upah) maupun di akhirat (berupa
pahala), yang berlipat ganda. Dari ayat di atas dapat kita simpulkan bahwa
upah dalam konsep Islam memiliki dua aspek, yaitu dunia dan akhirat. 40
Menurut hemat penulis jika suatu amal tidak disertakan dengan iman,
maka dampaknya hanya bersifat sementara saja. Dalam kehidupan di dunia
ini, terdapat hal-hal yang terlihat kecil namun besar pengaruhnya terhadap
kehidupan, bahkan boleh jadi tidak terlihat dalam pandangan mata, akan tetapi
39
Depag RI, Al-Quran Dan Tafsirnya, Jakarta: Proyek Pembina Kerukunan Hidup
Beragama, 1985, h. 378-379.
40
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan Kesan dan Keserasian Al-Quran,
Vol. 7, Ciputat: Lentera hati, 2000, h. 339.
24
hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat urgen. Dengan demikian dalam
beramal sangat penting iman menyertai amal sebab tanpa iman kepada Allah
SWT. amal-amal akan menjadi sia-sia.
Hal tersebut senada dengan apa yang telah dipaparkan oleh Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy dalam kitab tafsirnya An-Nuur:
“Siapa yang mengerjakan amal saleh dan menunaikan ibadat fardhu
yang telah diwajibkan oleh Allah, beriman kepada-Nya, beriman
kepada hari akhir dan membenarkan semua apa yang diterangkan oleh
Rasul, baik yang berupa pahala ataupun yang berupa siksa, maka
Kami akan memberikan kepadanya hidup yang baik, hidup yang
penuh kebahagiaan, yaitu hidup yang diselubungi oleh rasa qana’ah
(ketenangan) dan penuh taufik. Di akhirat nanti mereka akan diberi
pembalasan yang paling baik.”41
C. Definisi Tafsir
Pengertian tafsir secara etimologi berasal dari kata ”Al-Fasr” yang
berarti: penjelasan atau keterangan yaitu menjelaskan sesuatu yang tidak jelas
pengertiannya. Dengan demikian dapat dikatakan member penjelasan tentang
sesuatu atau memberi pengertian tentang sesuatu disebut tafsir.42
Istilah ‘tafsir’ merujuk kepada Al-Quran sebagaimana tercantum di
dalam Al-Quran suah Al-Furqan [25]:33, yaitu:






 
41
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul majid An-Nuur,….
h. 2273.
42
Ahmad Syurbasyi, Study Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran Al
Karim, terj. Zufran Rahman, judul asli, Qishshatul Tafsir. Jakarta: 1999, h. 7.
25
Artinya: Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu
(membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan
kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik.
Tafsir ialah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu
lafal.43 Dengan demikian menafsirkan Al-Quran ialah menjelaskan atau
menerangkan makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat yang susah
untuk dipahami.
Adapun menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam
mengemukakan definisinya diantaranya yaitu:
1) Tafsir ialah ilmu yang menerangkan tentang turunnya ayat-ayat, halihwalnya, kisah-kisah, sebab-sebab yang terjadi dalam nuzulnya, tertib
Makkiyah dan Madaniyahnya, muhkam dan mutasyabihnya, khas dan
‘ammnya, perintah dan larangannya, ungkapan dan tamtsilnya.44
2) Tafsir merupakan bagian dari ilmu badi’ yaitu salah satu cabang Ilmu
Sastra Arab yang mengutamakan keindahan makna dalam penyusunan
kalimat. Seseorang mengemukakan pikiran dengan cara menyampaikan
serangkaian kata-kata, kalimat yang kadangkala tidak dapat dimengerti
maksud dan tujuannya dengan jelas tanpa disusul kata-kata lain, atau
kalimat lain yang menjelaskannya.45
43
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Quran Kajian Kritis terhadap ayatayat yang beredaksi mirip,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, h. 39.
44
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir Al-Quran Perkenalan Dengan
Metodologi Tafsir, terj. Mochtar Zoerni, Abdul Qodir Hamid, judul asli, At-Tafsir wa
Manahijuh, Bandung: Pustaka, 1987, h. 2.
45
Ahmad Syurbasyi, Study Tentang Sejarah Perkembangan,…h. 7.
26
3) Tafsir ialah ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan lafadh-lafadh
Al-Quran, makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya,
baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang
dimungkinkannya ketika dalam keadaan tesusun.46
Umar Shihab dalam bukunya ‘kontekstualitas Al-Quran’ mengatakan
bahwa tanpa tafsir tidak akan dapat dipahami ayat Al-Quran dengan tepat.47
Jadi tafsir merupakan sebuah disiplin ilmu yang bertujuan untuk mengetahui
kandungan Al-Quran, baik penjelasan tentang maknanya, pengambilan
hukum-hukumnya, maupun pengambilan hikmah-hikmahnya.
D. Periodesasi Tafsir di Indonesia
Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Fakta ini sebenarnya
sangat terkait dengan kegigihan para penyebar Islam, baik dari Gujarat, Persia,
maupun Arab,48di Indonesia. Bersamaan dengan proses masuknya Islam di
Nusantara, Kitab Suci Al-Quran diperkenalkan para juru dakwah kepada
penduduk pribumi di Nusantara.
Perkembangan penafsiran Al-Quran di Indonesia berbeda dengan
perkembangan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan tempat turunnya
Al-Quran dan sekaligus tempat kelahiran tafsir Al-Quran. Perbedaan tersebut
terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Sebab
46
Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1994, h. 3.
47
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Quran Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum
dalam Al-Quran, Jakarta: Permadani, 2008, h. 256.
48
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika Hingga Ideologi,
Jakarta: Teraju, 2002, h. 41.
27
bahasa Arab adalah bahasa mereka, maka mereka tidak mengalami banyak
kesulitan untuk memahami bahasa Al-Quran sehingga proses penafsiran juga
lumayan cepat dan pesat.
Hal tersebut berbeda dengan bangsa Indonesia yang bahasa ibunya
bukan bahasa Arab. Sebab itu proses pemahaman Al-Quran terlebih dahulu
dimulai dengan penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Indonesia baru
kemudian dilanjutkan dengan pemberian penafsiran yang lebih luas dan rinci.
Dengan demikian, maka dapat dipahami jika penafsiran Al-Quran di Indonesia
melalui proses yang lebih lama jika dibandingkan dengan yang berlaku di
tempat asalnya.
Berikut akan dipaparkan tentang kategori tafsir Quran di Indonesia
dengan mengacu kepada periodesasi tahun dengan menampilkan bentukbentuk teknis penulisannya.49
1. Periode I Klasik
Sebelum abad 20, tepatnya pada abad 17–18 M. merupakan abad yang
paling dinamis dalam sejarah intelektualisme muslim Indonesia. Pada periode
ini ditandai dengan adanya penerjemahan dan penafsiran yang masih terpisahpisah.50
Pada periode ini model dan teknis penulisan yang digunakan masih
sangat sederhana. Dari segi material teks Al-Quran yang menjadi objek tafsir,
49
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia,…h. 66.
50
Howard M. Federspiel, Kajian Al-Quran di Indonesia dari Mahmud Yunus
hingga Quraish Shihab, terjemahan dari Popular Indonesia Literature of the Quran,
penerjemah Tajul Arifin, Bandung: Mizan, 1996, h. 129.
28
literature tafsir pada periode ini sangat beragam. Pertama, ada literatur yang
berkonsentrasi pada surah-surah tertentu sebagai objek penafsiran, seperti
Tafsir Al-Qur’anul Karim dan Yaasin. Kedua, karya tafsir yang berkonsentrasi
pada juz-juz tertentu, misalnya tafsir juz 30 atau juz ‘Amma yang menjadi
objek tafsir. Ketiga, sudah ada yang menafsirkan Al-Quran 30 juz, seperti
karya Mahmud Yunus Tafsir Quran Karim.51
Ada dua karya yang cukup representatif dalam mewakili tafsir pada
periode ini yaitu karya Ahmad Hassan yang berjudul Al-Furqan, karya
Hamidy yang berjudul Tafsir Al-Quran, dan karya Mahmud Yunus yang
berjudul Tafsir al-Qur’anul Karim. 52
2. Periode II Modern
Dalam periode ini, merupakan penyempurna atas upaya-upaya pada
periode pertama, karya karya tafsir di nusantara bermunculan dan berkembang
pesat, hal ini bisa dibuktikan dengan melihat karya karya tafsir yang telah
mereka wariskan. tradisi tafsir di Indonesia bergerak dalam model dan teknis
penulisan yang masih sederhana. 53
Pada periode kedua ini terdapat perkembangan baru dimana muncul
karya tafsir yang berkonsentrasi pada ayat-ayat hukum. Model tersebut dapat
dilihat pada buku Ayat-ayat Hukum yang ditulis oleh Q.A. Dahlan Saleh dan
51
52
53
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia,…h. 66-67.
Howard M. Federspiel, Kajian Al-Quran di Indonesia,…h. 129.
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia,…h. 66-67.
29
M.D. Dahlan, dan juga buku yang berjudul Tafsir Ayat Ahkam, yang ditulis
oleh Nasikun. 54
Sementara di dunia Arab, karya tafsir modern pertama adalah karya
Muhammad Abduh berjudul Tafsir al-Quran al-Hakim atau yang terkenal
dengan nama tafsir al-Manar. Dalam tafsirnya ini Abduh menekankan bahwa
Al-Quran terutama harus dibaca sebagai petunjuk moral yang dapat diterapkan
dalam kondisi modern.55
Tafsir-tafsir pada periode ini menekankan ajaran-ajaran Al-Quran dan
konteksnya dalam bidang keislaman dan juga memperlihatkan bahwa
terjadinya peningkatan dari tafsir-tafsir sebelumnya, khususnya terhadap
penafsiran itu sendiri, yang menyajikan pengungkapan kembali teks dan
penjelasan dalam istilah agama mengenai maksud bagian-bagian tertentu dari
teks. 56
3. Periode III Kontemporer
Pada periode ini muncul beberapa karya tafsir tepatnya pada tahun
1971, “Tafsir al-Bayan”. Tafsir al-Bayan adalah kitab tafsir dan terjemahan
Al-Quran dalam bahasa Indonesia yang di hasilkan pengarang seawal tahun
60-an. Cetakan pertamanya ialah pada tahun 1971 yang diterbitkan PT.
Almaarif, Bandung. dan pada tahun 1973 muncul pula “Tafsir Al-Quran alMadjied an-Nur, dicetak juz per juz yang keduanya disusun oleh Hasbi al-
54
Ibid,. h. 69.
55
Izzah Faizah, Quran dan Tafsir dalam Sejarah Sejak Klasik Hingga Modern dan
Kontemporer, Jurnal teks, No. 1 Maret 2002, h. 173.
56
Howard M. Federspiel, Kajian Al-Quran di Indonesia,…h. 143.
30
Shiddiqy, disamping menterjemahkan secara harfiah dengan mengelompokkan
ayat-ayatnya juga menjelaskan fungsi surah atau ayat, menulis munasabah dan
diakhiri dengan kesimpulan. Dan pada tahun 1977, seorang kritikus sastra
H.B. Jassin menulis Al-Quran al-Karim Bacaan Mulia tanpa disertai catatan
kaki.57
Kemudian ada Al-Quran dan Terjemahnya (Indonesia) Penterjemahan
dilakukan dibawah Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al-Quran,
Jakarta. Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al-Quran merupakan
satu badan yang dipertanggungjawabkan oleh Menteri Agama untuk
menterjemah, menerbit dan mengedarkan Kitab Tafsir Al-Quran dan
Terjemahnya kepada masyarakat Islam. Terjemahan ini mengambil masa
delapan tahun (1964-1971).
E. Penelitian Sebelumnya
Penelitian terdahulu yang berjudul Etika Berdakwah dalam Surah alMuddatsir (Studi Analisis Surah al-Muddatsir menurut Tafsir Fi Dzilal alQuran dan al-Misbah), oleh Imam Alfi al-Anshar, STAIN Purwekerto. Dalam
penelitiannya penulis tersebut menggunakan metode (content analysis) dan
telaah historis. Hasil dari penelitian tersebut yaitu etika dakwah surat almudatstsir terdiri dari mengagungkan Allah, berpenampilan bersih dan
menarik serta berakhlakul karimah, meninggalkan perbuatan dosa, berdakwah
57
Ibid,. h. 152-153.
31
dengan ikhlas, dan bersabar tugas dakwah adalah panggilan dari Allah,
persiapan mental, intelektual dan spiritual.58
Penelitian yang kedua yaitu Sahidul Muslipin STAIN Palangka Raya,
jurusan dakwah prosi komunikasi dan penyaiaran Islam,tahun 2012, dengan
judul “Akhlak da’i menurut Al-Quran,(studi atas surah as-Shaf ayat 2-3
menurut perspektif mufassir)”. Pada penelitian tersebut menggunakan metode
tahlili dan ditambah dengan tafsir bil ma’tsur serta tafsir sufi. Hasil dari
penelitian tersebut adalah selalu konsisten terhadap apa yang telah
didakwahkannya dan ancaman Allah kepada orang yang tidak mengamalkan
apa yang telah disampaikannya. 59
Penelitian yang ketiga yaitu Siti Masitoh dengan judul “Bekal Da’i
dalam Tafsir Al-Misbah Karya Muhammad Quraish Shihab (Analisis AlQuran Surah Al-Muddatsir ayat 1-7). Metode yang digunakan yaitu metode
tahlili dengan menggunakan pendekatan tafsir adapun hasil penelitian
menerangkan bagaimana proses pembentukan kepribadian yang harus dimiliki
oleh seorang da’i, sebab seorang da,i merupakan suritauladan bagi para
mad’unya. Seorang da’i harus berakhlak yang baik, baik dari segi perkataan,
perbuatannya.60
58
Imam Alfi al-Anshar, Etika Berdakwah dalam Surah al-Muddatsir (Studi Analisis
Surah al-Muddatsir menurut Tafsir Fi Dzilal al-Quran dan al-Misbah), Skripsi, STAIN
Purwokerto, 2009.
59
Sahidul Muslipin, Akhlak Da’i Menurut Al-Quran (Studi atas Surah As-Shaf Ayat
2-3 Menurut Perspektif Mufassir), Skripsi, STAIN Palangka Raya, 2012.
60
Siti Masitoh, Bekal Da’i dalam Tafsir AL-Misbah karya Muhammad Quraish
Shihab (analisis Al-Quran Surah Al-Muddatsir ayat 1-7), Skripsi, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010.
32
Penelitian Imam Alfi al-Anshar, Sahidul Muslipin dan Siti Masitoh
di atas hampir sama dengan penelitian penulis yaitu mengkaji tafsir Al-Quran,
namun yang membedakannya yaitu Imam Alfi al-Anshar menggunakan
metode conten analisis dan telaah historis, Sahidul Muslipin menggunakan
metode tahlili dan ditambah dengan tafsir bil ma’tsur serta tafsir sufi.
Sedangkan Siti Masitoh menggunakan metode tahlili dengan pendekatan tafsir
mengkaji bekal seorang da’i dalam surah Al-Muddatsir. Sedangkan metode
yang penulis gunakan pada penelitian ini yaitu dengan menggunakan metode
tahlili dan menggunakan bentuk tafsir bil ma’tsur dengan mengkaji secara
fokus pada Al-Quran surah Al-Furqan ayat 57 menurut Quraish Shihab.
Ketiga peneliti sebelumnya menjelaskan secara umum tentang etika
berdakwah terfokus kepada sifat-sifat da’i, bekal-bekal da’i dalam
melaksanakan aktivitas sebelum dan setelah berdakwah dalam segi corak tafsir
dan akhlak da’i, yang membahas tentang pelanggaran-pelanggaran kode etik
berdakwah dalam sudut pandang Al-Quran, melalui pendekatan tafsir.
Sedangkan dalam penelitian yang penulis teliti ini mencoba
mengkaji dan mentelaah secara khusus tentang etika berdakwah maupun
akhlak da’i dalam kehidupannya sebelum dan sesudah pelaksanaan dakwah,
da’i merupakan manusia biasa yang terkadang dalam pelaksanaan dakwahnya
terkontaminasi dengan pamrih duniawi. Kebutuhan individu maupun keluarga
menuntut para da’i harus menghasilkan uang dengan mengharapkan upah dari
dakwahnya. Fenomena yang seperti inilah yang penulis kaji secara khusus
33
mengenai upah dalam berdakwah, melalui kajian tafsir surah Al-Furqan ayat
57 menurut Quraish Shihab.
Download