EKO PRASETYO-FST - Institutional Repository UIN Syarif

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman
satwa liar yang tinggi, terutama primata. Sekitar 195 jenis primata yang terdapat
di dunia, 40 jenis diantaranya hidup di hutan-hutan Indonesia dan 24 jenis
diantaranya merupakan primata endemik yang hanya hidup di Indonesia yang
memiliki ciri dan ukuran yang bervariasi, mulai dari primata terkecil di dunia,
yaitu Tangkasi (Tarsius pumilus) yang hidup di Sulawesi, hingga yang terbesar
yaitu orangutan (Pongo pymaeus dan Pongo abelii) yang masih tersisa di
Kalimantan dan Sumatera (Supriyatna dan Wahyono, 2000).
Orangutan merupakan satu-satunya spesies kera Asia yang masih hidup
(Galdikas, 1986). Orangutan pada umumnya dapat hidup di berbagai tipe dan
kondisi habitat, mulai dari hutan tropis dataran rendah, rawa-rawa, hingga hutan
perbukitan (Supriyatna dan Wahyono, 2000). Namun, orangutan lebih menyukai
hutan-hutan tropis basah dataran rendah dibandingkan pegunungan yang berkabut
(van Schaik, 2006).
Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan (SPOT) memiliki hutan rawa gambut
yang menjadi salah satu habitat orangutan kalimantan, namun telah mengalami
tingkat degradasi yang tinggi akibat terjadi penebangan yang besar-besaran
dimasa lalu, sehingga areal hutan Tuanan sekarang menjadi hutan sekunder
2
dengan vegetasi yang sangat rapat dan sering terjadi kebakaran pada musim
kemarau (Meididit, 2006).
Kerusakan habitat dan perburuan orangutan secara liar menyebabkan
orangutan mengalami ancaman kepunahan (Murti, 2007). Oleh karena itu,
kelestarian orangutan perlu dijaga, salah satunya adalah dengan meningkatkan dan
menyebarkan informasinya. Hal ini berkaitan dengan fungsi orangutan di alam,
dimana orangutan dapat dijadikan spesies payung (umbrella species) untuk
meningkatkan kesadaran konservasi masyarakat. Kelestarian orangutan menjamin
kelestarian hutan yang menjadi habitatnya, sehingga diharapkan kelestarian
makhluk hidup lain ikut terjaga pula (MacKinnon, dkk., 1996; Soehartono, dkk.,
2007). Selain itu, sebagai pemakan buah (frugivorus) orangutan merupakan agen
penyebar atau distributor biji yang efektif untuk menjamin regenerasi hutan
(Supriyatna dan Wahyono, 2000; Soehartono, dkk., 2007), disamping orangutan
juga sangat menarik dari sisi ilmu pengetahuan karena kemiripan karakternya
dengan manusia (Soehartono, dkk., 2007).
Berdasarkan penurunan jumlah populasinya, status konservasi orangutan
kalimantan berdasarkan konferensi Asian Primate Classification dan IUCN
(International Union for Conservation of Nature and Natural Resources)
termasuk dalam kategori terancam punah (endangered) (Brandon-Jones, dkk.,
2004; Orangutan Foundation International, 2007). IUCN juga menyatakan bahwa
kera besar ini masuk kedalam satwa yang terancam punah, sehingga perlu
mendapatkan
perlindungan
secara
internasional
(Meijaard,
dkk.,
2001).
Sedangkan, di Indonesia perlindungan orangutan memiliki payung hukum
3
tersendiri, diantaranya Peraturan Perlindungan Binatang Liar No.233/1931, yang
diperkuat melalui SK Menhut tanggal 10 Juni 1991 No.301/Kpts-II/1991, UU
No.5 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.7 tahun 1999 (Meijaard, dkk.,
2001).
Pengelolaan orangutan di alam agar terhindar dari kepunahan, hal utama
yang penting diketahui, salah satunya adalah perilaku seksual, dimana merupakan
perilaku yang sangat berkaitan dalam peningkatan populasi orangutan, selain
habitat dan ketersedian pakan. Hal tersebut dikarenakan tingkat keberhasilan
dalam hubungan seksual sangat menentukan populasi orangutan (Galdikas, 1986).
Selain itu, orangutan yang hidup semi soliter, perilaku seksual merupakan
keadaan dimana orangutan dapat melakukan hubungan sosial dengan individu lain
(Susanto, 2005).
Orangutan jantan memperlihatkan tingkat perbedaan seksual yang paling
jelas diantara suku pongidae lainnya (Meijaard, dkk., 2001). Sementara, karakter
seks sekunder orangutan jantan seperti; bantalan pipi, kantong suara, dan rambut
panjang di punggung serta lengan, berkembang menjadi dua macam kedewasaan
(bimaturism) dimana keduanya matang secara seksual, yakni jantan berpipi
(flanged) dan jantan tidak berpipi (unflanged) (Utami, 2000; Delgado dan van
Schaik, 2000).
Kehadiran orangutan jantan dipengaruhi oleh ketanggapan betina dewasa
dalam melakukan hubungan reproduksi. Dalam hal ini, betina dewasa yang
menjadi pengambil keputusan (decision maker) dalam melakukan hubungan
reproduksi. Oleh karena itu, orangutan hidup berpasangan (consortship) dalam
4
periode tertentu, terutama pada individu muda atau pradewasa (Galdikas, 1986).
Dimana, betina lebih menyukai jantan dengan status yang tinggi atau jantan
dewasa berpipi (flanged) yang diperoleh melalui kompetisi dengan jantan lainnya
atau dewasa tidak berpipi (unflanged) (Meijaard, dkk., 2001). Sementara,
orangutan jantan dewasa berpipi akan sangat berperan dalam kesempurnaan
kopulasi yang menentukan keberhasilan dalam bereproduksi (Galdikas, 1986).
Selain itu, pilihan betina terhadap jantan berpipi (flanged) juga ditujukan untuk
mendapatkan akses makanan dan perlindungan bagi dirinya dan keturunannya dari
jantan tersebut (Schurmann & van Hooff, 1986).
Sedangkan, menurut Utami (2000) orangutan sumatera memiliki
perbedaan strategi dalam melakukan perilaku seksual diantara jantan berpipi
(flanged) dan jantan tidak berpipi (unflanged). Selain itu, daerah distribusi yang
berbeda dan kondisi hutan yang berubah dari hutan primer menjadi hutan
sekunder di Kalimantan juga sangat mempengaruhi perilaku orangutan, karena
orangutan akan beradaptasi dengan kuat untuk bertahan hidup (Meijaard, dkk.,
2001; Putra, 2008). Oleh karena itu, perilaku seksual orangutan jantan kalimantan
sangat menarik untuk diketahui.
1.2.
Pembatasan Masalah
Masalah pada penelitian ini dibatasi pada perilaku seksual orangutan
jantan di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan, Kalimantan Tengah.
1.3.
Perumusan Masalah
5
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah adalah apakah
terdapat perbedaan perilaku seksual antara orangutan jantan berpipi (flanged) dan
jantan tidak berpipi (unflanged)?
1.4.
Hipotesis
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, hipotesis yang akan diajukan
pada penelitian ini adalah terdapat perbedaan perilaku seksual antara jantan
berpipi (flanged) dan jantan tidak berpipi (unflanged).
1.5.Tujuan
Memperoleh informasi mengenai perilaku seksual jantan berpipi (flanged)
dan jantan tidak berpipi (unflanged).
1.6.Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi tentang perbedaan perilaku seksual jantan di
Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan, Kalimantan Tengah.
2. Sebagai bahan acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang
perilaku seksual pada primata, terutama orangutan.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Morfologi, Habitat dan Klasifikasi Orangutan
Orangutan merupakan anggota suku pongidae yang mencangkup tiga kera
besar lainnya, yakni; Bonobo (Pan paniscus), Simpanse (Pan troglodytes), dan
Gorila (Gorilla gorila). Orangutan merupakan salah satu mamalia atau kera besar
yang hidup arboreal yang memiliki pola hidup semi soliter (Delgado dan van
Schaik, 2000; van Schaik, 2006). Satwa arboreal artinya menghabiskan sebagian
besar waktunya dipepohonan dan jarang sekali turun ke tanah (Maple, 1980; van
Schaik, 2006).
Orangutan mempunyai ciri morfologi tubuh yang gemuk, perutnya besar
dengan lengan yang panjang dan kaki yang pendek, serta tidak mempunyai ekor
(Groves, 2005). Orangutan juga mampu mengendalikan otot-otot wajahnya,
sehingga dapat menimbulkan berbagai ekspresi wajah (Eimerl dan DeVore, 1978;
Casale, 1999), misalnya ketika merasakan sakit atau ketakutan (Rijksen, 1978;
Maple, 1980). Ekspresi wajah juga merupakan bentuk kecerdasan orangutan
(Maple, 1980).
7
Orangutan hidup secara arboreal, sehingga menyebabkan adanya adaptasi
morfologis yang menyebabkan lengan orangutan lebih panjang dan kuat
dibandingkan kakinya. Panjang lengannya bahkan dapat mencapai 2 m (Tjiu,
2006). Kelebihan ini digunakan orangutan untuk bergerak atau berlokomosi
dengan brachiasi. Sedangkan, struktur kakinya juga dapat berfungsi sebagai
tangan yang dapat memegang dan membantunya ketika berlokomosi. Hal ini
diakibatkan oleh struktur lengan dan kaki yang memiliki jari dan ibu jari yang
dapat bergerak seperti manusia (Napier, 1972). Berdasarkan penelitian Galdikas
(1986), orangutan mempunyai daya jelajah harian berkisar antara 850 m pada
individu jantan dan 710 m pada individu betina.
Menurut taksonomi saat ini, berdasarkan van Bemmel (1968) dan Jones
(1969) dalam Meijaard dkk (2001) orangutan dibedakan menjadi orangutan
kalimantan dan sumatera. Morfologi orangutan sumatera dan kalimantan terlihat
serupa, sekalipun kedua subspesies ini kerap dapat dibedakan dengan dasar warna
rambutnya (Napier dan Napier, 1985; Napier dan Napier, 1967 dalam Galdikas,
1986, van Schaik, 2006). Menurut Mackinnon (1973) dalam Meijaard dkk (2001)
orangutan kalimantan mempunyai rambut coklat kegelapan, sedangkan orangutan
sumatera lebih terang dan hewan dewasanya mempunyai rambut yang putih agak
kekuningan disekitar mulut dan genitalnya. Melalui pengamatan mikroskopis,
jenis kalimantan mempunyai rambut pipih dengan pigmen berwarna hitam yang
tebal di tengah, sedangkan jenis sumatera berambut lebih tipis, membulat, dan
mempunyai pigmen gelap yang halus, serta sering patah pada bagian tengahnya
(Meijaard, dkk., 2001).
8
(a)
(b)
Gambar 1. (a). Orangutan Jantan Berpipi Kalimantan (b). Orangutan Jantan
Berpipi Sumatera (Orangutan Foundation International, 2007)
Jantan dewasa kalimantan mempunyai cheek pad atau penebalan lemak
dan otot dibagian pipi yang lebar, berkantung suara besar, serta wajah yang
berbentuk segi empat. Sedangkan, pada orangutan sumatera mempunyai cheek
pad dan kantung suara yang lebih kecil, warna janggut agak kekuningan, dan
wajah berbentuk berlian (Maple, 1980). Kantong suara yang besar pada orangutan
digunakan untuk berkomunikasi (Eimerl dan DeVore, 1978). Hewan jantan
mampu melakukan suara panjang (long call) yang cukup nyaring dan dapat
didengar sejauh 3 km. Perilaku ini bertujuan untuk mengundang betina yang
sedang dalam masa birahi atau menantang jantan lain yang berada disekitarnya
(Supriyatna dan Wahyono, 2000; Mitra Setia dan van Schaik, 2006). Namun, long
call dapat pula dilakukan karena suatu gangguan, seperti pohon tumbang (Rijksen,
1978). Orangutan jantan dewasa berpipi beratnya mencapai 50-130 kg dan berat
betina dewasa hanya sekitar 30-50 kg (Orangutan Foundation International, 2007).
Pakan orangutan sangat bervariasi, diantaranya buah-buahan berdaging
lembek dan berbiji. Selain itu, orangutan juga memakan daun-daunan, termasuk
tunas muda, terutama ketika buah-buahan menjadi jarang. Makanan lain yang juga
9
dikonsumsi orangutan adalah serangga, kulit pohon, beberapa hewan kecil, madu,
dan bahkan tanah (Russon, 2002; Putra, 2008). Orangutan digolongkan sebagai
hewan frugivorus atau pemakan buah-buahan, walaupun orangutan juga memiliki
sifat oportunistik. Orangutan memakan lebih dari 200 jenis buah di alam liar
(Galdikas dan Shapiro, 1994; Supriyatna dan Wahyono, 2000; Meijaard, dkk.,
2001; Soehartono, dkk., 2007; Putra, 2008).
Orangutan pada umumnya dapat hidup diberbagai tipe dan kondisi habitat,
dari hutan tropis dataran rendah, rawa-rawa, hingga hutan perbukitan (Supriyatna
dan Wahyono, 2000). Kondisi hutan yang berubah dari hutan primer menjadi
hutan sekunder akan berdampak buruk pada populasi orangutan. Namun, dalam
kondisi tersebut orangutan akan beradaptasi dengan kuat untuk bertahan hidup
(Meijaard, dkk., 2001; Putra, 2008).
Habitat optimal bagi orangutan sedikitnya mencangkup dua tipe lahan
utama, yakni tepi sungai dan dataran tinggi kering yang berdekatan. Tepi sungai
dapat berupa dataran banjir, rawa, atau lembah alluvial, dataran tinggi yang
biasanya adalah kaki bukit. Kedua habitat ini tentunya harus cukup luas dan dalam
jarak yang dapat dijangkau, yaitu kurang dari 5 km (Meijaard, dkk., 2001).
Pendistribusian habitat orangutan masih terlihat banyak pada Pulau Kalimantan
dan Sumatera. Orangutan di Pulau Sumatera mengalami penurunan populasi
akibat perubahan habitat, mereka hanya terdapat pada Provinsi Aceh dan
Sumatera Utara, sedangkan di Pulau Kalimantan masih terdapat di Kalimantan
Barat, Tengah, dan Kalimantan Timur (Meijaard, dkk., 2001).
10
Gambar 2. Distribusi Orangutan di Kalimantan (dalam warna hitam) (Soehartono,
dkk., 2007)
Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan (SPOT) Kalimantan Tengah
merupakan daerah yang memiliki hutan rawa gambut yang menjadi salah satu
habitat orangutan kalimantan, namun telah mengalami tingkat degradasi yang
tinggi akibat terjadi penebangan yang besar-besaran dimasa lalu, sehingga areal
hutan Tuanan sekarang menjadi hutan sekunder dengan vegetasi yang sangat rapat
dan sering terjadi kebakaran pada musim kemarau (Meididit, 2006). Areal
penelitian ini terletak pada titik ordinat 02009’06.1”LS dan 114026’26.6”BT
dengan luas 900 Ha. Stasiun ini merupakan satu ekosistem hutan rawa gambut
dengan kisaran kedalaman gambut 1,5-4 m dan keadaan pH rata-rata 3,5-4,0
(Departemen Kehutanan, 2002). Rata-rata curah hujan pada tahun 2008 mencapai
4,08 mm/det, serta rata-rata suhu tertinggi mencapai 27,720C dan suhu terendah
mencapai 22,960C.
Klasifikasi orangutan menurut Colin Groves (2001) disajikan sebagai
berikut;
11
Filum
: Chordata
Sub Filum
: Vertebrata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Primata
Sub Ordo
: Anthropoidea
Super Suku
: Homoinoidea
Famili
: Pongidae
Genus
: Pongo
Spesies
: Pongo abelli (Lesson, 1827)
Pongo pygmaeus (Hoppius, 1786)
Anak Jenis
: Pongo pygmaeus pygmaeus (Linnaeus, 1760)
Serawak (Malaysia), Danau Sentarum, dan Betung Kerihun
Pongo pygmaeus morio (Owen, 1837)
Kalimantan Timur dan Sabah
Pongo pygmaeus wurmbii (Tiedemann, 1808)
Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah
Orangutan juga memiliki beberapa nama lokal, diantaranya Kahiyu
(Kalimantan Tengah bagian Timur), Uyang Paya (Kalimantan Timur bagian
Utara), Mawas (Sumatera), Kahiu (Kalimantan Timur bagian Barat sampai
Serawak), Maweh (Aceh), Umang (Batak karo), dan lain-lain (Meijaard, dkk.,
2001).
2.3.Perilaku Seksual Orangutan
12
Perilaku seksual merupakan perilaku yang terpenting dalam menentukan
populasi orangutan di alam. Perilaku seksual merupakan perilaku yang banyak
dilakukan oleh orangutan, baik oleh individu muda maupun dewasa (Galdikas,
1986). Namun, perkembangan karakter seks sekunder (bantalan pipi, kantong
suara, dan rambut panjang di punggung serta lengan) orangutan jantan dewasa
berkembang menjadi dua bentuk yang berlainan, yaitu; dua macam kedewasaan
(bimaturism) dimana keduanya matang secara seksual, jantan berpipi (flanged)
dan jantan tidak berpipi (unflanged). Selain itu, jantan berpipi (flanged) memiliki
ukuran tubuh dua kali lebih besar dibandingkan betina dewasa, serta dapat
melakukan panggilan panjang (long call) (Utami, 2000; Delgado dan van Schaik,
2000).
Orangutan di penangkaran mencapai matang secara seksual pada usia
delapan hingga sepuluh tahun dan diperkirakan lebih lambat pada orangutan yang
hidup di alam liar. Jantan tidak berpipi (unflanged) tidak memiliki ukuran tubuh
yang besar dan karakter seks sekunder yang biasa terdapat pada jantan berpipi
(flanged). Disamping itu, jantan tidak berpipi (unflanged) dapat mempertahankan
ukuran tubuhnya (sekitar 35 hingga 50 kg) selama 10 sampai 20 tahun di alam liar
dan sampai 18 tahun di penangkaran hingga siap menjadi jantan berpipi (flanged)
(Delgado dan van Schaik, 2000).
Sedangkan, orangutan betina mencapai matang secara seksual kira-kira
pada usia tujuh tahun di penangkaran dan diperkirakan pada usia sebelas hingga
limabelas tahun di alam liar. Orangutan betina tidak mengalami pembengkakan
pada genitalnya yang dapat menunjukan bahwa sedang dalam keadaan subur,
13
tetapi labialnya dapat membengkak sekitar dua minggu hingga lebih dari satu
bulan setelah mengalami pembuahan (Delgado dan van Schaik, 2000).
Pembengkakan pada genital berhubungan dengan keberhasilan hubungan
reproduksi dan hasil dari kompetisi antar betina (Kappeler, 2002).
Masa kehamilan pada betina diperkirakan sekitar sembilan bulan (sekitar
260-270 hari) di alam liar, sedangkan pada penangkaran sekitar 244 hari. Betina
akan hidup bersama-sama dengan anaknya hingga dapat hidup secara mandiri
setidaknya selama enam tahun. Interval kelahiran pada orangutan kalimantan dan
sumatera sekitar delapan tahun atau yang terlama dibandingkan primata yang
lainnya. Pertumbuhan dan perkembangan yang lambat berakibat pada panjangnya
usia orangutan. Usia maksimum pada betina 57 tahun dan 58 tahun pada jantan di
penangkaran dan 45 tahun di alam liar (Delgado dan van Schaik, 2000).
Terdapat dua jenis kontak seksual yang terjadi orangutan. Pertama, adanya
pasangan-pasangan yang melakukan hubungan berpasangan di waktu yang lama
(consortship) segera setelah mereka bertemu (Galdikas, 1986). Berpasangan
(consortship) adalah ketika individu jantan dan betina menjelajah (ranging) secara
bersama-sama selama beberapa hari, minggu, bahkan bulan (Rijksen, 1978).
Pasangan tersebut dapat tersusun oleh empat kombinasi individu yang berbedabeda diantaranya; jantan dewasa dengan betina dewasa, jantan dewasa dengan
betina remaja, dan jantan pradewasa dengan betina dewasa, serta jantan
pradewasa dengan betina remaja (Schurmann & van Hooff, 1986).
Kontak seks yang lain terjadi antara jantan dan betina yang ada dalam
kebersamaan selama kurang dari satu hari. Kejadian tersebut menyangkut jantan
14
dewasa dengan betina dewasa, jantan pradewasa dengan betina dewasa, serta
jantan pradewasa dengan betina remaja (Galdikas, 1986). Sedangkan, individuindividu yang sudah mandiri bertemu selama kurang dari satu hari disebut party
(Fox, 2001). Umumnya mereka hanya bertemu ketika sedang mencari makan atau
menjelah.
Kebersamaan sosial orangutan jantan dewasa dengan individu lain, 90%
terdiri dari tingkah laku berpasangan seksual dengan betina tanggap seks atau
betina remaja. Namun, orangutan jantan dewasa tidak dapat menerima keberadaan
jantan dewasa lain (Galdikas, 1986). Sehingga, orangutan jantan memerlukan
sikap yang tegas dan berani untuk mendapatkan statusnya. Walaupun status jantan
dewasa umumnya telah mantap melalui kompetisi yang terus berlangsung, status
ini juga harus dijaga dengan melakukan hubungan individual dengan betina.
Sedangkan, apabila minat seksual jantan tidak terpuaskan, maka jantan ini
terpaksa akan melanjutkan hidup sebagai penglaju (Meijaard, dkk., 2001).
Interaksi sosial antar jantan berpipi (flanged) untuk status dominan umumnya
dilakukan apabila ingin berkopulasi dengan betina dengan mengusir jantan lain,
seperti jantan tidak berpipi (unflanged) (Galdikas, 1986; Susanto, 2005).
Orangutan jantan pradewasa memiliki keinginan seksual yang lebih tinggi
dibandingkan jantan dewasa. Oleh karena itu, jantan pradewasa yang tidak dapat
melakukan kopulasi seperti yang diinginkan, maka jantan pradewasa akan
melakukan pemerkosaan (Rijksen, 1978; Galdikas, 1986). Pradewasa yang kalah
bersaing dengan dewasa dominan dalam melakukan hubungan seksual, umumnya
akan memperluas daerah jelajahnya untuk mencari betina dewasa dan melakukan
15
kopulasi tanpa gangguan dari jantan dominan (Susanto, 2005). Jantan pradewasa
juga akan melakukan perilaku cek vegina (genital inspection) ketika bertemu
betina, dimana dilakukan dengan cara menyentuh vulva dengan jari atau bibir dan
merupakan perilaku yang umum terjadi pada kehidupan orangutan liar (Shofiana,
2007).
Sementara, betina dewasa yang siap kawin akan bersifat pasif dan
mengharapkan pelayanan seksual dari hewan jantan, dimana orangutan jantan
akan bersaing ketat untuk melakukan kepentingan reproduksinya yang harus
didapatkan melalui persaingan yang ketat (Meijaard, dkk., 2001). Betina dewasa
yang sedang aktif seksual akan mendekati jantan dominan dan umumnya akan
menolak kawin dengan jantan lokal yang tidak dominan. Setelah melahirkan
anaknya, betina dewasa akan berubah menjadi lebih soliter (Galdikas, 1986).
Namun, hal yang membahayakan pada masa ini adalah kehadiran jantan-jantan
pendatang dan jantan lokal muda yang dapat membunuh bayi yang dimiliki betina
tersebut untuk mendapatkan akses seksual yang khusus dan disinilah peranan
jantan dewasa dominan lokal (van Schaik, 2006).
Sedangkan, betina remaja lebih banyak melewatkan waktu bersama
dengan individu lain. Dimana, kontak dengan jantan dominan memiliki frekuensi
tertinggi, yang sebagian besar waktu tersebut dilakukan untuk berpasangan.
Betina remaja merupakan individu yang paling sering menjadi korban
“pemerkosaan” yang dilakukan oleh jantan remaja atau pradewasa yang ingin
melakukan kopulasi (Galdikas, 1986).
16
Orangutan jantan dewasa mencoba mendapatkan seks dengan betina yang
siap kawin dengan cara bergaya dan memamerkan penisnya (Schurmann (1982)
dalam Meijaard, dkk., 2001). Sedangkan, betina dewasa menurut Schurmann dan
van Hooff (1986) dan Galdikas (1986) juga mempunyai cara indikasi tersendiri
dalam
kesedian
seksnya.
Umumnya
dengan
cara
memamerkan
atau
memperlihatkan daerah genitalnya kepada jantan yang diharapkannya.
Puncak perilaku seksual pada orangutan adalah dengan melakukan
kopulasi. Kopulasi dapat dinyatakan sebagai kopulasi sempurna apabila terjadi
ejakulasi. Misalnya, apabila sesudah dilakukan gerakan menusuk-nusuk
(intromisi) yang berkepanjangan dan intensif, kemudian jantan berhenti dan tidak
lagi menunjukan tanda-tanda untuk melanjutkan gerakan tersebut, sedang betina
tetap tinggal pada tempat yang sama atau pindah dari tempat tersebut dengan
gerakan yang lambat, maka hal tersebut dianggap telah terjadi kopulasi dengan
ejakulasi. Kopulasi sempurna jantan dominan lebih tinggi dibandingkan dengan
jantan pradewasa, walaupun frekuensi kopulasinya lebih rendah dibandingkan
jantan pradewasa. Kopulasi umumnya dilakukan diatas pohon dan umum
dilakukan pada pagi dan sore hari (Galdikas, 1986).
Fenomena lain yang juga menarik dalam perilaku seksual pada orangutan
adalah adanya kopulasi paksaan atau pemerkosaan, yang terjadi apabila jantan
berusaha melakukan kopulasi dengan betina, tetapi betina menolak usahanya
untuk ditempatkan pada posisi tertentu yang memungkinkan si jantan melakukan
intromisi (memasukan penis jantan ke dalam vulva betina) (Galdikas, 1986).
17
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian
Data dikoleksi selama lebih kurang 7 (tujuh) bulan, dimulai dari bulan
Agustus 2008 hingga Maret 2009. Penelitian dimulai pada musim kemarau dan
diakhiri pada akhir musim penghujan dengan tingkat kelimpahan buah yang
beragam sepanjang penelitian.
Lokasi penelitian di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan (SPOT) berada
pada titik ordinat 02009’06.1”LS dan 114026’26.6”BT dengan luas 900 Ha.
Dimana secara administratif berada pada kawasan Pasir Putih Tuanan, Dusun
Mangkutup, Desa Katunjung, Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kuala Kapuas,
Kalimantan Tengah. Daerah ini merupakan kawasan areal hutan Blok E BOSFKonservasi Mawas yang terletak di sebelah utara eks PLG (Proyek Lahan
Gambut).
3.2.Peralatan Penelitian
Peralatan penelitian yang digunakan dalam pengambilan data adalah;
teropong (binocular) Nikon sprint IV, jam tangan digital Casio, compass map,
kamera digital Sony Steadyshot, focal data (data sheet), counter (alat hitung), peta
areal, alat tulis dan papan jalan, parang, rain coat Dyna, ponco, pita tagging, paku
dan nomor pohon.
18
3.3.Cara Kerja
3.3.1.Objek Penelitian
Pada penelitian ini teramati 11 individu jantan yang telah terhabituasi dan
diamati sejak tahun 2003 (7 jantan berpipi dan 4 jantan tidak berpipi) dengan 11
individu jantan tambahan yang belum pernah teramati sebelumnya dan belum
terhabituasi dengan baik (5 jantan berpipi dan 6 jantan tidak berpipi). Adapun
individu jantan berpipi (flanged) yang menjadi objek penelitian adalah Preman
dan Kentung, sedangkan jantan tidak berpipi (unflanged) adalah Gismo dan
Wodan (gambar 3).
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3. Jantan flanged (a) Preman (Foto : Prasetyo) (b) Kentung (Foto : Prasetyo)
Jantan unflanged (c) Gismo (Foto : Prasetyo) (d) Wodan (Foto : Sofi)
19
Preman merupakan jantan yang baru menjadi jantan flanged pada saat
penelitian ini berlangsung. Sedangkan, Kentung adalah jantan flanged yang pada
penelitian ini baru saja kalah dari Preman hingga beberapa jari tangannya patah,
sehingga membatasi pergerakannya dan Wodan adalah unflanged yang sedang
dalam masa perkembangan (developing) menjadi jantan flanged.
Sedangkan, individu-individu betina dan anak, baik betina lokal maupun
betina pendatang yang berada dalam area penelitian selama pengamatan disajikan
pada tabel dibawah ini (Tabel 1);
Tabel 1. Orangutan betina dan anak di area penelitian, serta estimasi umur anak
Induk
Mindy
Juni
Jinak
Kerry
Desy
Pinky
Talia
Sidony
Mother1
Mother2
Anak
Milo
Mawas
Jip
Jerry
Kondor
Kino
Derry
Pumuckl
Petzy
Straisel
Infant 1
Infant 2
Estimasi
Kelahiran
2001
2008
Feb 2006
Mar 2003
1999
Jan 2007
?
?
?
?
?
?
Estimasi
Umur
± 7-8 thn
± 5-8 bln
± 2-3 thn
± 5-6 thn
± 9-10 thn
± 1-2 thn
± 5-6 thn
± 8 thn
± 10 bln
± 6-7 thn
± 5-6 thn
± 6-7 thn
Sex Anak
♀ Remaja
♂ Bayi
♂ Bayi
♂ Anak
♀ Remaja
♂ Bayi
♂ Anak
♂ Remaja
♂ Bayi
♀ Infant
? infant
? infant
♀ NonReproduktif
Periode
Pengamatan
Ags 08-Mar 09
♀ NonReproduktif
♀NonReproduktif
♀NonReproduktif
Ags 08-Mar 09
Ags 08-Mar 09
Ags 08-Mar 09
♀NonReproduktif
♀NonReproduktif
Nov 08
Nov 08
♀Reproduktif
♀Reproduktif
♀NonReproduktif
♀Reproduktif
Sept08&Feb09
Sept - Okt 08
Nov 08
Des 08
Status Induk
3.3.2.Pencarian (searching)
Pencarian orangutan dilakukan pada saat mulai dan berakhirnya target
waktu pengambilan data satu individu atau saat individu orangutan hilang.
Pencarian orangutan dilakukan dengan menelusuri transek-transek yang ada
dengan bantuan peta areal, karena vegetasi yang sangat rapat, maka pencarian
harus dilakukan dengan konsentrasi tinggi dan teliti pada pendengaran dan
pengelihatan. Tanda-tanda yang dapat menandakan kehadiran orangutan antara
20
lain; suara (gerakan berpindah dan makan), bau (urine dan feses), dan vokalisasi
(long call dan kiss squeak).
Keberadaan orangutan yang ditandai dengan suara pergerakan (movement)
dapat terlihat dan terdengar dengan kisaran 10-50 m, yakni akan terlihat
bengkokan dahan ataupun batang pohon yang mengarah pada suatu arah
(keberadaan orangutan tersebut diprediksikan dengan melihat arah bengkokan
dahan atau mengamati daerah sekitar apabila terdapat pohon pakan). Sedangkan,
suara makan pada pohon buah dapat didengar dengan kisaran 100-200 m, yakni
dengan memperhatikan jatuhan buah dari pohon buah ataupun saat orangutan
memakan buah tersebut. Buah yang jatuh dari pohon buah juga dapat diperhatikan
apakah buah tersebut baru atau sudah lama, yakni dengan mengamati adanya
bentuk gigitan orangutan.
Sementara, bau orangutan yang khas juga dapat digunakan sebagai
pendeteksi, selain bau yang disebabkan oleh adanya bekas feses dan urine. Selain
itu, hal terakhir yang dapat digunakan sebagai pendeteksi keberadaan orangutan
adalah vokalisasi, yakni long call dan kiss squeak. Long call atau seruan panjang
dapat terdengar hingga 1 km. Setelah terdengar suara long call lalu dilakukan
pengukuran sudut datangnya suara dengan kompas dan diprediksi jaraknya,
kemudian dilakukan penelusuran. Sedangkan, kiss squeak umumnya dilakukan
orangutan sebagai tanda saat orangutan merasa terancam ataupun mengetahui
keberadaan orangutan lain.
Selanjutnya, apabila individu orangutan ditemukan, maka dilakukan
pengambilan data dengan mencatat perilaku dan aktivitas harian yakni perilaku
21
sosial, serta menggambar peta jelajah orangutan hingga sarang sore dan
menandainya dengan pita tagging. Selanjutnya individu yang berhasil diikuti
sampai sarang sore, maka pengambilan data keesokan harinya cukup dengan
mengunjungi sarang terakhir yang dibuat sebelumnya dengan melihat peta jelajah
harian individu tersebut. Proses mengikuti ini dilakukan selama mungkin atau
sampai individu tersebut hilang. Apabila individu hilang, maka dilakukan
pencarian kembali dengan cara yang sama.
3.3.3.Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Focal animal
sampling, yaitu dengan mengikuti individu target mulai dari bangun tidur hingga
individu tersebut kembali ke sarang tidurnya. Orangutan di area penelitian telah
terhabituasi dan diikuti sejak pertengahan 2003. Sehingga, individu target dipilih
dan dikenali berdasarkan foto-foto atau dokumentasi. Dimana, orangutan dikenali
berdasarkan ciri-ciri khusus yang terdapat pada orangutan tersebut, misalnya cacat
fisik, bentuk cheek pad pada flanged, dan bekas luka.
Pencatatan data dilakukan dengan Instaneous, yaitu dengan mencatat
setiap perilaku sosial dengan interval waktu 2 menit sebagai point sample.
Apabila didapat pengambilan dan pencatatan data focal tidak satu hari penuh
(sarang pagi hingga sarang sore), maka data tersebut tidak dimasukkan dalam
analisis. Selain metode Focal Animal Sampling, pendataan juga dilengkapi
dengan metode Ad libitum Sampling, yaitu mencatat kejadian yang tidak
sistematis terdapat pada interval waktu pengamatan.
22
Pengamatan ini dilakukan pada masing-masing individu dengan waktu
pengamatan selama 10-15 hari dan waktu lapangan 12-15 jam per hari, sehingga
untuk masing-masing individu mendapatkan waktu pengamatan 120-225 jam (dari
sarang pagi ke sarang sore/tidur). Menurut panduan lapangan Proyek Orangutan
Tuanan dan Sungai Lading, perilaku seksual dibagi dalam beberapa aktivitas,
diantaranya; masturbate (merangsang genital sendiri), sex investigate (cek
genital), copulation attempt (mencoba kopulasi), copulation intromission
(masuknya penis ke dalam vagina), dan forced copulation (pemerkosaan)
(www.aim.uzh.ch).
Beberapa istilah perilaku seksual yang digunakan pada penelitian ini
didefinisikan sebagai berikut; Sex investigate (genital inspection) merupakan
perilaku menyentuh vulva/genital dengan jari atau bibir (Galdikas, 1986;
Shofiana, 2007). Forced copulation atau pemerkosaan merupakan kopulasi yang
dilakukan dengan pemaksaan dan dengan perlawanan dari betina (Galdikas, 1986;
Fox, 2002) baik secara langsung ataupun tidak langsung (Fox, 2002). Copulation
attempt atau mencoba kawin adalah keadaan ketika jantan dengan penis yang
ereksi mencoba menempatkan betina pada posisi kawin, tetapi tidak terjadi
intromisi (Fox, 2002). Masturbate merupakan perilaku merangsang genitalnya
sendiri dengan cara memainkanya (www.aim.uzh.ch). Sedangkan, copulation
intromission merupakan kopulasi yang disertai masuknya penis ke dalam vagina
dan memungkinkan terjadinya ejakulasi, walaupun tidak selalu terjadi ejakulasi
(Fox, 2002).
23
Selain itu, beberapa istilah lain juga digunakan pada penelitian ini, seperti;
party, consortship, approach, dan leave. Party adalah keadaan dimana beberapa
individu yang sudah mandiri berada pada jarak kurang dari 50 m satu dengan yang
lain (Fox, 2001; Fox, 2002). Consortship atau hubungan berpasangan adalah
keadaan dimana jantan dan betina dewasa melakukan party secara berkelanjutan
selama beberapa jam/hari (Fox, 2002), bahkan dapat bertahan hingga beberapa
minggu/bulan (Rijksen, 1978). Approach atau mendekati didefinisikan sebagai
satu individu bergerak mendekati individu lain dalam radius 10 m dan leave atau
menjahui didefinisikan sebagai bergerak menjauh dari individu lain yangmencoba
mendekati (Fox, 2001).
3.4.Analisis Data
Pengujian hipotesis yang diajukan pada penelitian ini dengan teknik
statistik non-parametrik, karena data-data yang digunakan terdistribusi secara
bebas dengan anggapan bahwa data yang digunakan merupakan data yang tidak
mendapatkan perlakuan. Analisis chi-square digunakan untuk menganalisis
apakah terdapat perbedaan yang signifikan atau tidak antara frekuensi yang
diperoleh dengan frekuensi yang diharapkan dalam populasi atau sample (Siegel,
1988; Supangat, 2007).
Frekuensi aktivitas seksual yang didapatkan akan diujikan dengan tingkat
signifikasi 5%. Dimana, akan diperoleh output data asimp. Sig yang digunakan
untuk menganalisis hipotesis apakah H0 diterima atau ditolak. Semua perhitungan
analisis ini dilakukan menggunakan perangkat lunak ”Statistic Programme for
24
Scientific and Sosial Science” (SPSS) 15.0 untuk Windows. Sedangkan, analisis
bentuk-bentuk perilaku seksual dan strategi jantan dilakukan dengan deskriptif
berdasarkan pengamatan dilapangan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Orangutan jantan memiliki perkembangan karakter seks sekunder seperti;
bantalan pipi, rambut panjang di punggung dan lengan, serta kantong suara yang
berkembang menjadi dua macam kedewasaan dimana keduanya matang secara
seksual, yaitu jantan dewasa berpipi (flanged) dan jantan dewasa tidak berpipi
(unflanged) (Rijksen, 1978; Utami, 2000; Delgado dan van Schaik, 2000).
Sementara menurut Galdikas (1986), 90% kebersamaan sosial orangutan jantan
dewasa terdiri dari tingkah laku berpasangan seksual dengan betina tanggap seks
25
atau dengan betina remaja dan tidak dapat menerima keberadaan jantan dewasa
lain.
Menurut Utami (2000) orangutan sumatera memiliki strategi yang berbeda
diantara jantan flanged dan jantan unflanged dalam melakukan perilaku seksual.
Namun, perbedaan jenis antara orangutan sumatera dan kalimantan, serta kondisi
alam yang berbeda menyebabkan orangutan kalimantan mempunyai bentuk
perilaku seksual yang berbeda dan menarik untuk diketahui.
4.1 Inisiatif Orangutan dalam Perilaku Seksual
Hubungan seksual umumnya diawali dengan inisiatif oleh jantan, betina,
atau keduanya. Berdasarkan hasil uji Chi-Square terhadap inisiatif antara jantan
dan betina dalam memulai perilaku seksual terdapat perbedaan yang signifikan
dengan nilai signifikansi 0,019 (lampiran 1). Nilai pengujian tersebut menunjukan
bahwa jantan lebih banyak melakukan inisiatif untuk memulai perilaku seksual
dibandingkan sebaliknya. Jantan-jantan yang berinisiatif mendekati betina adalah
jantan-jantan unflanged yang ingin mendapatkan akses seksual dari betina. Hal
tersebut sesuai dengan hasil penelitian Fox (2002) pada orangutan sumatera,
dimana dari 141 kopulasi yang terjadi 99% merupakan inisiatif jantan unflanged.
Selain itu, jantan unflanged mempunyai kesempatan yang kecil untuk
melakukan hubungan berpasangan atau reproduksi dengan betina, sehingga jantan
unflanged memiliki inisiatif yang hampir sama besarnya dengan betina-betina
reproduktif maupun yang tidak reproduktif (Utami, 2000). Hal itu dikarenakan
betina dewasa cenderung berinisiatif dan menjaga hubungan yang bersifat
26
sementara dengan jantan flanged untuk mendapatkan perlindungan, serta sebagai
respon atas gangguan seksual yang disebabkan oleh jantan-jantan unflanged (Fox,
2002).
Sedangkan, betina melakukan inisiatif mendekati jantan dapat dijelaskan
dalam 2 alasan. Pertama, betina-betina dewasa yang berinisiatif untuk mendekati
jantan-jantan flanged atau jantan dominan, terutama dalam kondisi reproduktif
(Rijksen, 1978; Utami, 2000) dengan harapan mendapatkan akses perlindungan
dan makanan dari jantan terhadap keturunan yang mungkin akan dilahirkannya
(Schurmann dan van Hoof, 1986) serta gangguan seksual dari jantan-jantan
unflanged (Fox, 2002). Kedua, betina-betina remaja berinisiatif mendekati jantan
karena betina remaja cenderung menyukai hubungan sosial dengan para jantan,
baik jantan flanged maupun jantan unflanged dan memiliki frekuensi lebih tinggi
dibandingkan dengan betina dewasa (Galdikas, 1986). Namun, pengamatan di
lapangan menunjukan bahwa inisiatif betina hanya dilakukan oleh betina remaja.
Tabel 2. Inisiatif Jantan dan Betina dalam Melakukan Perilaku Seksual
Status Betina
♀ Reproduktif
♀ Non Reproduktif
Total
♂
15
4
19
♀
0
2
2
Rata-rata kopulasi yang dilakukan dengan inisiatif jantan unflanged akan
meningkat pada bulan-bulan dengan kelimpahan buah yang tinggi dan hampir
semua percobaan kawin dilakukan terhadap betina dengan anak yang masih
menyapih. Hubungan antara pilihan percobaan kawin terhadap betina yang masih
menyapih diperkirakan pada saat itu betina dalam keadaan subur. Sedangkan,
tingginya percobaan kawin pada saat kelimpahan buah tinggi karena adanya
27
hubungan antara jumlah ketersediaan makanan dengan permulaan siklus ovarium
(Fox, 2002).
4.2 Perilaku Seksual Orangutan
4.1.1 Jenis Perilaku Orangutan
4.2.1 Perilaku Seksual Antara Jantan dan Betina
Berdasarkan data yang diperoleh, sebagian besar perilaku seksual yang
terjadi selama pengamatan dilakukan oleh jantan unflanged. Sedangkan,
berdasarkan perilaku seksual yang dilakukan orangutan, perilaku sex investigate
merupakan perilaku seksual yang paling sering dilakukan dengan 41,94 % (lihat
tabel 2). Sex investigate (genital inspection) merupakan perilaku menyentuh
vulva/genital dengan jari atau bibir yang biasa terjadi pada kehidupan orangutan
liar yang biasa dilakukan jantan unflanged saat bertemu dengan betina (Galdikas,
1986; Shofiana, 2007). Namun, pengamatan dilapangan menunjukan bahwa
perilaku ini juga dilakukan oleh jantan flanged.
Umumnya, pada kehidupan orangutan liar perilaku ini dilakukan segera
setelah jantan bertemu dengan betina serta sebelum dan sesudah melakukan
kopulasi (Maple, 1980). Sex investigate dilakukan segera setelah bertemu betina
bertujuan untuk memeriksa apakah betina sedang dalam masa reproduktif atau
seksual aktif, sehingga memungkinkan untuk dilakukan kopulasi. Hal tersebut
dikarenakan betina merupakan pengambil keputusan (decision maker) dalam
melakukan hubungan reproduksi dengan jantan (Galdikas, 1986). Namun, tidak
28
semua sex investigate dapat berakhir dengan kopulasi (MacKinnon (1974) dalam
Maple, 1980).
Tabel 3. Frekuensi dan durasi dari masing-masing tipe perilaku seksual
Tipe Perilaku Seksual
Frekuensi Presentase Perilaku
Rata-rata Durasi
Seksual
(dalam menit)
Sex investigate
13
41,94 %
0,02
Forced copulation
12
38,70 %
11,11
Copulation attempt
4
12,90 %
22,5
Copulation intromission
1
3,23 %
0,02
Masturbate
1
3,23 %
0,01
Total
31
100 %
33.66
Selain itu, terdapat perilaku yang mirip dengan perilaku sex investigate,
yakni perilaku menyingkirkan rambut disekitar genital betina yang dilakukan
hewan jantan ketika akan melakukan kopulasi dengan menggunakan tangan atau
kakinya. Perilaku sex investigate tidak hanya dilakukan oleh orangutan liar tetapi
juga dilakukan oleh orangutan yang berada dalam penangkaran dan kebun
binatang (Maple, 1980).
Tabel 4. Hubungan Perilaku Seksual dengan Status Betina
Tipe Perilaku Seksual yang Dilakukan
Status Betina
Sex
Investiga
te
Forced
Copulation
Copulation
Attempt
Copulation
Intromission
Betina Reproduktif
Betina non reproduktif
8
12
2
1
5
0
2
0
Total
13
12
4
1
Fenomena yang menarik dalam perilaku seksual orangutan liar adalah
adanya kopulasi paksaan atau pemerkosaan (forced copulation) (Galdikas, 1986).
Perilaku pemerkosaan ini cukup banyak ditemukan dalam pengamatan dilapangan
sebesar 38,70% dan umumnya dilakukan oleh jantan unflanged. Perilaku
pemerkosaan juga terjadi pada orangutan sumatera (Rijksen , 1978; Fox, 2002).
29
Berdasarkan pengamatan dilapangan teramati kopulasi dilakukan sebanyak
13 kali dan 12 kali diantaranya merupakan perilaku pemerkosaan yang semuanya
dilakukan jantan unflanged terhadap betina dewasa. Betina dewasa cenderung
menjadi target utama pemerkosaan oleh jantan unflanged dan merupakan suatu
strategi yang sempurna dan efektif bagi jantan unflanged untuk berkontribusi
dalam proses reproduksi (Rijksen, 1978; Utami, 2000). Oleh karena itu, betina
cenderung menghindari pertemuan dengan jantan unflanged untuk menghindari
pemerkosaan kecuali betina dengan anak yang masih belum mandiri (Rijksen,
1978; Fox, 2002).
Pemerkosaan terjadi apabila jantan berusaha melakukan kopulasi dengan
betina, tetapi betina menolak usahanya untuk ditempatkan pada posisi tertentu
yang memungkinkan jantan dapat melakukan intromisi (masuknya penis ke dalam
vulva) (Galdikas, 1986). Walaupun tidak ditemukan dalam pengamatan di
lapangan, orangutan jantan flanged kalimantan juga melakukan forced copulation
atau pemerkosaan terhadap betina, walaupun frekuensinya tidak sebanyak yang
dilakukan oleh jantan unflanged. Berbeda dengan jantan flanged sumatera yang
tidak melakukan pemerkosaan (Delgado dan van Schaik, 2000). Sementara, pada
saat mengalami pemerkosaan betina menunjukan tingkat stres yang sangat tinggi
dan tanpa kerja sama dalam melakukan kopulasi, serta umumnya betina
melakukan perlawanan yang sangat sengit seperti; memberontak, berteriak,
mendorong, memukul, dan menggigit jantan.
Copulation attempt atau percobaan kopulasi umumnya dilakukan individu
muda yang cenderung masih mencoba-coba melakukan kopulasi dengan
30
persentase sebesar 12,90 %. Dimana, jantan unflanged mencoba melakukan
kopulasi dengan frekuensi yang lebih tinggi dari jantan flanged dan betina remaja
yang lebih sering dibandingkan betina dewasa (Galdikas, 1986). Hal tersebut
sesuai dengan pengamatan dilapangan, yakni hanya teramati dilakukan oleh jantan
unflanged sebanyak 4 kali, dimana 2 kali dilakukan terhadap betina dewasa dan 2
kali dilakukan terhadap betina remaja. Sementara, jantan flanged tidak pernah
teramati melakukan percobaan kopulasi.
Menurut Alcock (1989) setiap satwa yang sedang berkembang akan
beradaptasi dengan merubah fisiknya dan menyesuaikan perilaku dengan
lingkungan atau bentuk yang baru, termasuk perilaku seksual. Dimana, pola
perilaku umumnya ditentukan oleh pewarisan genetik dan melalui proses belajar.
Menurut Galdikas (1986) dan Fox (2002), percobaan kopulasi umumnya terjadi
apabila jantan melakukan tindakan-tindakan pendahuluan seperti sex investigate
dan mulai merangsang betina hingga penisnya ereksi dan mencoba menempatkan
betina pada posisi kawin, namun dihalang-halangi oleh betina sebelum jantan
dapat melakukan intromisi ataupun ejakulasi.
Tabel 5. Hubungan Perilaku Seksual dengan Status Jantan
Tipe Perilaku Seksual yang Dilakukan
Status Betina
Jantan flanged
Jantan unflanged
Sex
Investiga
te
Forced
Copulation
Copulation
Attempt
1
0
12
12
Total
13
12
Berdasarkan pengamatan dilapangan, percobaan
Copulation
Intromission
0
0
4
1
4
1
kopulasi dengan betina
dewasa biasanya jantan unflanged lebih aktif dibandingkan betina. Sedangkan,
percobaan kopulasi dengan betina remaja umumnya keduanya sama-sama aktif.
31
Di Sumatera, jantan unflanged melakukan percobaan kawin dengan frekuensi
yang lebih tinggi ketika betina sedang melakukan hubungan berpasangan dengan
jantan flanged dibandingkan ketika betina tidak sedang berpasangan. Walaupun,
tingkat keberhasilan percobaan kopulasi tersebut berbanding terbalik (Fox, 2002).
Sebelum melakukan hubungan seksual, orangutan umumnya melakukan
perilaku berpasangan. Hubungan berpasangan (consortship) antara jantan dan
betina dapat berlangsung di waktu yang lama dan segera setelah mereka bertemu
(Galdikas, 1986). Berpasangan (consortship) diartikan ketika individu jantan dan
betina menjelajah (ranging) secara bersama-sama selama beberapa hari, minggu,
bahkan bulan (Rijksen, 1978). Namun, tidak setiap consortship dapat berakhir
dengan kopulasi.
Consortship umumnya dilakukan betina dewasa dengan jantan flanged.
Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan akses perlindungan dan makanan dari
jantan terhadap keturunan yang akan dilahirkan (Schurmann dan van Hoof, 1986)
dan gangguan yang dilakukan oleh jantan unflanged (Fox, 2002). Namun, pada
pengamatan hanya teramati satu kali consortship yang berakhir dengan kopulasi
kooperatif. Kopulasi tersebut dilakukan jantan unflanged, Gismo dengan Sidony.
Hal tersebut masih dapat dimungkinkan karena betina juga memilih melakukan
hubungan seksual atau reproduksi dengan para jantan unflanged yang berpotensi
menjadi jantan flanged (Utami, 2000).
Puncak perilaku seksual pada orangutan adalah melakukan kopulasi.
Dimana, kopulasi dikatakan sempurna apabila terjadi ejakulasi (Galdikas, 1986)
32
atau yang disebut dengan copulation intromission. Berdasarkan pengamatan,
copulation intromission hanya teramati satu kali antara Gismo dengan Sidony
dalam hubungan berpasangan (consort). Kebersamaan (consort) merupakan salah
satu strategi kopulasi, dimana jantan unflanged akan mengurangi penjelajahannya
apabila sedang dalam hubungan berpasangan dengan betina. Dalam hal ini,
jantanlah yang menyesuaikan dirinya dengan betina (Utami, 2000).
Sidony merupakan betina reproduktif dengan anak betina yang sudah
mandiri namun masih hidup berdekatan. Sebab, orangutan anak betina cenderung
membutuhkan waktu lebih lama untuk bisa hidup terpisah dengan induknya
(Galdikas, 1986; Fox, 2001; van Schaik, 2006). Selain itu, Sidony bukan
merupakan betina lokal dan teramati terdapat pada areal penelitian hanya pada
bulan September hingga Oktober 2008 (lihat tabel 1).
Jantan unflanged hampir tidak pernah melakukan seruan panjang (long
call) yang digunakan untuk menarik perhatian betina seperti yang dilakukan oleh
jantan flanged (Utami, 2000; Mitra Setia dan van Schaik, 2007). Oleh karena itu,
untuk dapat melakukan kopulasi jantan unflanged memiliki strategi alternatif
“pergi, cari, dan, dapatkan”. Dimana, jantan unflanged menjelajah lebih jauh
untuk mendapatkan akses reproduksi dari betina dan menghindari jantan flanged
(Utami, 2000). Strategi tersebut yang dilakukan Gismo hingga dapat melakukan
hubungan reproduksi dengan Sidony.
Kematangan seksual jantan unflanged di sumatera dapat ditahan hingga 20
tahun (Utami, 2000; Delgado dan van Schaik, 2000). Hal tersebut dapat dijelaskan
melalui strategi “ruang tunggu” dimana jantan unflanged menunggu sampai saat
33
dimana mereka dapat mengambil kesempatan tanpa beresiko tinggi, posisi yang
penuh persaingan dari jantan flanged (Schurmann dan van Hoof, 1986; Utami,
2000). Kemudian, jantan unflanged melakukan strategi alternatif dengan menarik
perhatian betina disetiap interaksi seksual (Utami, 2000). Namun, ada indikasi
strategi “ruang tunggu” tidak terjadi di Tuanan karena jumlah jantan flanged lebih
banyak dibandingkan jumlah jantan unflanged.
Sebelum melakukan kopulasi, hubungan reproduksi biasanya diawali
dengan tindakan pendahuluan, yakni dengan merangsang pasangannya (Maple,
1980). Orangutan betina di Tanjung Puting yang sedang seksual aktif merangsang
jantan dengan mendekati jantan, merawatnya, memegang atau memasukkan penis
jantan kedalam mulutnya, lalu menyodorkan genitalnya ke arah muka jantan
(Galdikas, 1986). Selain itu, betina umumnya memamerkan genitalnya apabila
dalam keadaan siap kawin (Schurmann dan van Hoof, 1986; Galdikas, 1986).
Pengamatan dilapangan, sebelum melakukan kopulasi Gismo melakukan
tindakan pendahuluan dengan mendekati Sidony, memegang dada dan bagian
tubuh yang lain, lalu menciumi wajahnya beberapa kali. Kopulasi yang dilakukan
Gismo dapat dinyatakan sebagai kopulasi sempurna karena teramati terjadinya
intromisi atau gerakan menusuk-nusuk yang berkepanjangan dan intensif,
kemudian jantan berhenti dan tidak menunjukan tanda-tanda untuk melanjutkan
gerakan tersebut, sedangkan betina tetap tinggal ditempat yang sama, maka hal
tersebut dianggap telah terjadi kopulasi dengan ejakulasi (Galdikas, 1986). Setelah
itu, Gismo hanya diam ditempat sambil membelai-belai rambut Sidony.
34
Berdasarkan hubungan seksual yang teramati, hanya satu kali kopulasi
yang diawali dengan hubungan berpasangan (consortship), sedangkan kopulasi
lainnya dilakukan tanpa didahului oleh adanya consort. Kopulasi bukan dalam
hubungan berpasangan mempunyai dua sifat khas. Pertama, kopulasi seperti itu
dilakukan oleh jantan-jantan unflanged. Kedua, sebagian besar kopulasi dilakukan
secara paksaan (Galdikas, 1986). Kedua hal tersebut dilakukan oleh Dayak,
Gismo, dan Klaus yang merupakan jantan unflanged terhadap Desy yang bukan
betina reproduktif dan Talia yang merupakan betina reproduktif.
Kopulasi-kopulasi bukan dalam hubungan berpasangan juga menyangkut
betina dengan bayi atau anak yang belum mandiri dan betina remaja (Galdikas,
1986). Hal ini teramati dilakukan oleh Wodan yang merupakan jantan unflanged
dengan Desy yang masih memiliki anak yang belum mandiri. Menurut Galdikas
(1986) kopulasi yang dilakukan bukan dalam hubungan berpasangan sebenarnya
bersifat insidental.
Fenomena menarik lain yang teramati dalam perilaku seksual orangutan,
yakni individu jantan berusaha atau memaksa individu betina untuk melakukan
hubungan berpasangan yang mungkin bertujuan mendapatkan akses seksual dari
betina. Hal ini dilakukan dengan membatasi gerak betina dalam beraktivitas,
seperti; individu jantan selalu memotong jalan dan menahan agar betina tidak
pergi menjauh yang kemudian diakhiri dengan kopulasi paksaan. Dimana,
perilaku tersebut digolongkan oleh Fox (2002) ke dalam kekerasan seksual.
Kekerasan seksual merupakan kopulasi yang terjadi dalam hubungan
berpasangan dan disertai dengan perlawanan oleh betina. Hal tersebut
35
memungkinkan terjadinya pemerkosaan terhadap betina walaupun sedang dalam
masa berpasangan (Fox, 2002). Perilaku ini teramati sebanyak 3 kali, yakni antara
Ekko dan Desy, Dayak dan Desy, serta Wodan dan Desy. Hal ini berlangsung
selama beberapa hari, bahkan minggu. Namun, menurut Timbergen (1953) dalam
Galdikas (1986) hal tersebut merupakan bentuk keengganan betina dalam
melakukan hubungan berpasangan yang umum dijumpai pada satwa liar.
4.2.2 Perilaku Seksual Antara Jantan dan Jantan
Selain pemerkosaan, juga teramati penyimpangan perilaku seksual yang
terindikasi sebagai perilaku homoseksual. Namun, masih terlalu bias untuk
menyimpulkan sebagai perilaku homoseksual, walaupun perilaku homoseksual
juga terdapat pada orangutan liar meskipun jarang terjadi. Homoseksual diartikan
sebagai hubungan atau kontak genital yang dilakukan oleh dua seks yang sama
(sesama jantan) (Fox, 2001).
Homoseksual dilaporkan hanya terjadi pada orangutan di penangkaran
pada kondisi buatan (Mapple, 1980) atau terjadi di alam liar oleh orangutan hasil
rehabilitasi (Rijksen, 1978). Namun, berdasarkan Fox (2001) homoseksual pernah
teramati pada orangutan sumatera sebanyak dua kali. Orangutan diperkirakan
menunjukan rata-rata yang paling rendah dalam melakukan perilaku homoseksual
dibandingkan kera besar lainnya (van Schaik, 1999).
Perilaku yang terindikasi sebagai homoseksual tersebut teramati satu kali
antara Gismo dan Dayak yang keduanya merupakan jantan unflanged. Perilaku
tersebut dimulai pada saat Gismo party dengan Dayak. Mereka kemudian bermain
36
dan membuat sarang bersama lalu bergumul di atas sarang. Gismo kemudian
menaiki (mounted) Dayak dengan posisi ventro-ventral.
Indikasi perilaku homoseksual di Tuanan mempunyai kesamaan dengan
homoseksual yang pernah dilaporkan di Sumatera. Dimana, kedua homoseksual
yang teramati dilakukan oleh jantan unflanged dan jantan yang memiliki tubuh
lebih besar menaiki (mounted) jantan yang tubuhnya lebih kecil (Fox, 2001).
Selain menaiki Dayak, Gismo juga teramati melakukan gerakan maju mundur
seperti sedang melakukan kopulasi. Namun, keterbatasan pengamatan tidak
memungkinkan menjawab apakah terjadi intromisi atau hanya perilaku bermain.
Perilaku tersebut selesai setelah Gismo keluar dari sarang dan diikuti oleh
Dayak, hingga akhirnya mereka membuat sarang yang jaraknya cukup dekat.
Proses yang sama juga teramati pada perilaku homoseksual yang terjadi di
Sumatera (Fox, 2001). Sedangkan, perilaku homoseksual yang terindikasi terjadi
di Tuanan dapat digolongkan sebagai homoseksual yang disertai perilaku affiliatif
karena tidak ada perlawanan dari Dayak terhadap usaha yang dilakukan oleh
Gismo. Selain disertai dengan perilaku affiliatif, perilaku homoseksual juga ada
yang disertai dengan perilaku agonistik seperti yang teramati pada homoseksual di
Sumatera (Fox, 2001). Namun, sejauh ini belum pernah dilaporkan homoseksual
dilakukan oleh orangutan kalimantan yang tingkat sosialnya lebih rendah
dibandingkan orangutan sumatera (van Schaik, 1999).
4.2 Posisi dan Substrat
37
Menurut Maple (1980) kopulasi umumnya dilakukan dalam tiga macam
posisi, yakni: ventro-ventral, dorso-ventral, dan latero-ventral. Posisi ventroventral merupakan posisi dimana kedua individu saling berhadapan. Biasanya
betina berbaring dan jantan duduk atau berbaring tepat di atas tubuh betina.
Sedangkan, dorso-ventral merupakan posisi dimana satu individu membelakangi
individu yang lain. Latero-ventral merupakan posisi dimana jantan bebas
mengganti posisi selama melakukan kopulasi dengan betina.
Tabel 6. Hubungan Posisi Kopulasi dengan Substrat yang Digunakan
Posisi Kopulasi
Ventro-Ventral
Dorso-Ventral
Total
Substrat yang Digunakan
Pohon
Tanah
Sarang
6 (37,5%)
3 (18,75%)
0 (0%)
5 (31,25%)
1 (6,25%)
1 (6,25%)
11 (68,75%)
4 (25%)
1 (6,25%)
Berdasarkan pengamatan di lapangan hanya posisi ventro-ventral dan
dorso-ventral digunakan dalam melakukan kopulasi dan memiliki frekuensi yang
tidak jauh berbeda. Sedangkan, orangutan di kebun binatang, cenderung sering
menggunakan posisi ventro-ventral dibandingkan dorso-ventral (Maple, 1980).
Sementara, tempat atau substrat yang digunakan oleh orangutan ketika
melakukan kopulasi diantaranya adalah pohon, tanah, dan sarang. Berdasarkan uji
Chi-Square terhadap korelasi antara posisi saat kopulasi dengan substrat yang
digunakan ketika melakukan kopulasi memiliki nilai signifikansi 0,393 atau tidak
didapatkan perbedaan yang signifikan. Hal tersebut dapat dikarenakan hampir
seluruh kopulasi adalah pemerkosaan atau kopulasi paksaan, sehingga jantan tidak
memperhatikan posisi kopulasi dan hanya memaksimalkan kesempatan yang ada.
38
Sementara itu, satu-satunya kopulasi kooperatif yang terjadi dilakukan
dengan dua posisi, yakni posisi dorso-ventral dan ventro-ventral. Hal tersebut
dimungkinkan karena jantan bebas melakukan kopulasi tanpa ada perlawanan dari
betina. Sedangkan, korelasinya dengan substrat yang digunakan juga hampir tidak
ada perbedaan, walaupun orangutan liar cenderung melakukan kopulasi di atas
pohon yang dilakukan pada pagi dan siang hari (Maple, 1980; Galdikas, 1986).
Orangutan di kalimantan juga melakukan kopulasi di atas tanah. Hal
tersebut dapat dimungkinkan karena tidak adanya hewan predator bagi orangutan
sehingga orangutan kalimantan dapat bebas bergerak di tanah (Galdikas, 1986).
Dimana hanya orangutan di kebun binatang yang cenderung melakukan kopulasi
di tanah (Maple, 1980). Berdasarkan data pengamatan, kopulasi yang dilakukan di
sarang semuanya adalah kopulasi paksaan atau pemerkosaan. Sedangkan, menurut
van Schaik (2006) sarang dapat digunakan sebagai tempat perlindungan dari
jantan-jantan unflanged yang agresif yang dapat melakukan pemerkosaan.
4.3 Peluang Pertemuan Antar Jantan Dewasa
Daerah jelajah yang luas dan saling tumpang tindih sangat memungkinkan
individu jantan bertemu dengan individu jantan-jantan yang lain (Utami, 2000).
Berdasarkan uji Chi-Square terhadap frekuensi bertemunya antar sesama jantan
dengan status betina (reprodukstif atau non reprodukstif) terdapat perbedaan yang
nyata dengan nilai signifikansi 0,035. Hal tersebut menunjukan bahwa pertemuan
antar sesama jantan cenderung terjadi saat adanya betina reproduktif yang dapat
39
dimungkinkan karena kehadiran jantan sangat dipengaruhi oleh kehadiran betina
yang tanggap seks (Galdikas, 1986).
Tabel 7. Peluang Pertemuan Antar Jantan dengan Status Reproduktif Betina
Jantan
Fla-Fla
Fla-Unfla
Unfla-Unfla
Kehadiran ♀
♀Reproduktif ♀NonReproduktif
0
2
2
2
5
0
Sedangkan, frekuensi pertemuan yang terjadi pada masing-masing kelas
jantan cukup terdapat perbedaan. Menurut Utami (2000) kehadiran jantan flanged
di area penelitian berkolerasi positif dengan kehadiran betina reproduktif dan
tidak berpengaruh pada jantan unflanged. Namun, data lapangan berbanding
terbalik dengan pendapat tersebut. Dimana, frekuensi tertinggi adalah pertemuan
antara sesama jantan unflanged. Hal tersebut dikarenakan keberhasilan hubungan
reproduksi jantan unflanged tergantung dari aktifnya mencari dan mendekati
betina, terutama yang berpotensi reproduktif (Utami, 2000).
Selain itu, frekuensi pertemuan yang rendah antara sesama jantan flanged
dapat dipengaruhi oleh fungsi panggilan panjang (long call) sebagai penanda
daerah teritorial. Sehingga, pertemuan secara langsung antara sesama jantan
flanged yang biasanya disertai dengan agresi dapat terhindarkan (Mitra Setia dan
van Schaik, 2000; Fox, 2002).
Sedangkan, berdasarkan uji Chi-Square terhadap frekuensi bertemunya
antar jantan dengan kehadiran betina memiliki nilai signifikansi 0,254 yang
artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Hal tersebut menunjukan bahwa
pertemuan antar sesama jantan di area penelitian tidak dipengaruhi oleh kehadiran
betina karena daerah jelajah yang saling tumpang tindih, individu yang saling
40
bermigrasi, dan lebatnya vegetasi hutan menyulitkan kontrol visual jantan-jantan
flanged terhadap betina, selain juga faktor makanan dan daerah territorial (Utami,
2000) (lihat tabel 5).
Tabel 8. Peluang Pertemuan Antar Jantan dengan Kehadiran Betina
Jantan
Ada ♀
Fla-Fla
Fla-Unfla
2
4
Tidak Ada
♀
6
2
Unfla-Unfla
5
4
Total
8
6
9
Berdasarkan penelitian-penelitian mengenai perilaku seksual yang pernah
dilakukan menunjukan bahwa betina dewasa lebih menyukai kawin dengan jantan
flanged local dominan dan menghindari jantan lain, jantan flanged yang bukan
jantan local atau jantan unflanged yang cenderung melakukan pemerkosaan
(Schurmann dan van Hooff, 1986; Utami, 2000; Fox, 2002). Jantan flanged dapat
melakukan panggilan panjang (long call) sebagai daya tarik untuk menarik betina,
terutama yang sedang masa subur (Utami, 2000; Mitra Setia dan van Schaik,
2007). Oleh karena kedua alasan tersebut, jantan flanged mempunyai strategi
“duduk, panggil, dan tunggu” (Utami, 2000).
Kecenderungan betina dewasa memilih jantan flanged dalam melakukan
hubungan seksual disebabkan oleh beberapa alasan, diantaranya; perlindungan
bagi anak/keturunan yang akan dilahirkan (Galdikas, 1986), akses makanan
(Schurmann dan van Hooff, 1986), dan pewarisan genetik yang berkualitas,
perlindungan dari kekerasan seksual yang disebabkan oleh jantan unflanged (Fox,
2002). Selain itu, keberasilan kopulasi yang dilakukan jantan flanged lebih tinggi
dibandingkan dengan jantan unflanged (Galdikas, 1986; Utami, 2000).
41
Oleh karena itu, betina menjaga hubungan asosiasi dengan jantan flanged,
baik melalui hubungan berpasangan ataupun party yang bersifat sementara. Betina
dengan anak yang masih menyapih menjaga hubungan berpasangan secara
eksklusif dengan jantan flanged lokal maupun tidak lokal untuk mengurangi
kekerasan seksual. Sedangkan, party dalam waktu yang sementara tanpa
hubungan reproduksi dapat terjadi karena; kebersamaan tersebut terbentuk dan
berakhir karena kehadiran jantan unflanged, serta tidak adanya ketertarikan
diantara keduanya (Fox, 2002).
Berdasarkan hasil pengamatan, perilaku seksual lebih banyak dilakukan
oleh jantan unflanged dibandingkan oleh jantan flanged yang dapat dimungkinkan
oleh beberapa faktor. Pertama, karena ketidakstabilan hirarki jantan flanged di
Kalimantan, sebab ketidakstabilan hirarki akan mempengaruhi hubungan antara
jantan dan betina (Utami, 2000). Hal tersebut terlihat dari banyaknya jantan
flanged di areal penelitian dibandingkan jantan unflanged. Kedua, betina di areal
penelitian adalah betina-betina dengan anak yang belum mandiri. Dimana, betina
dengan anak yang belum mandiri cenderung menolak melakukan hubungan
seksual (Galdikas, 1986; Utami, 2000; van Schaik, 2006).
42
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan, diantaranya;
1. Terdapat perbedaan perilaku seksual antara jantan berpipi (flanged) dan jantan
tidak berpipi (unflanged), dimana jantan tidak berpipi (unflanged) memiliki
frekuensi lebih tinggi dibandingkan jantan berpipi (flanged).
2. Adanya indikasi perilaku homoseksual pada orangutan jantan Kalimantan.
43
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang perilaku seksual orangutan
jantan liar dengan waktu pengamatan yang lebih panjang guna memperoleh hasil
dan kesimpulan yang lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Alcock, J. 1989. Animal Behavior : An Evolutionary Approach, forth edition.
Sinauer Associates Inc. USA.
Brandon-Jones, D., A. A. Eudey., T. Geissman., C. P. Groves., D. J. Melnick., J.
C. Morales., M. Shekelle dan C. B. Steward. 2004. Asian Primate
Classification. International Journal of Primatology vol 25.
Casale, P. 1999. Animal Behavior : Insting, Learning, and Cooperation. Barron’s
Educational Series. Italy.
44
Delgado, R. A dan C. P. van Schaik. 2000. The Behavioral Ecology and
Conservation of the Orangutan (Pongo pygmaeus) : A Tale of Two
Islands. Artikel Evolutionary Anthropology : 201-218.
Departeman Kehutanan. 2002. Data dan Informasi Kehutanan Provinsi
Kalimantan Tengah. Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan,
Departemen Kehutanan.
Eimerl,S dan I. DeVore. 1978. Primata. Pustaka Time Life. Jakarta.
Fox, E. A. 2001. Homosexual Behavior in Wild Sumatran Orangutan (Pongo
abelii). American Journal Primatology 55 : 177-181.
Fox, E. A. 2002. Female Tactics to Reduce Sexual Harassment In The Sumatran
Orangutan (Pongo pygmaeus abelii). Artikel Behai Ecol Sociobiol 52: 93101.
Galdikas, B. M. J. 1986. Adaptasi Orangutan : Di Suaka Tanjung Putting
Kalimantan Tengah, cetakan 2. UI Press. Jakarta.
Galdikas, B. M. J dan G. L. Shapiro. 1994. A Guidebook to Tanjung Putting
National Park, Kalimantan Tengah (Central Borneo) Indonesia. Gramedia
Pustaka Utama dan OFI. Jakarta.
Groves, C. 2001. Primate Taxonomy. Smithsonian Institution Press. Washimgton
and London.
Groves, C., D. E. Wilson dan D. M. Reeder. 2005. Mammal Spesies of the World,
edisi ketiga. Johns Hopkins University Press.
Kappeler, P.M. 2002. Sexual Selection In Primate : New and Comparative
Perspectives. Evolutionary Anthropology : 173-175.
MacKinnon, K., G. Hatta., H. Halim dan A. Mangalik. 1996. The Ecology of
Kalimantan volume 3. Dalhousie University. Canada.
Maple, T. L. 1980. Orang-utan Behavior. Van Nostrand Reinhold Co. New York.
Meididit, A. 2006. Macam Pakan, Aktivitas Harian Orangutan (Pongo pygmaeus
wurmbii, Tiedemann 1808) dan Ketersediaan Buah Di Stasiun Penelitian
Orangutan Tuanan, Kalimantan Tengah. Skripsi Sarjana. Fakultas Biologi
Universitas Nasional. Jakarta.
45
Meijaard, E., H. D. Rijksen dan S. N. Kartikasari. 2001. Di Ambang Kepunahan!
Kondisi Orangutan Liar di Awal Abad 21. The Gibbon Foundation :
Jakarta.
Mitra Setia, T dan C. P. van Schaik. 2006. The Response of Adult Orang-Utans to
Flanged Male Longg Call : Inferences about Their Function. Artikel Folia
Primatol 78 : 215-226.
Murti, D. B. 2007. Adaptasi Orangutan : Studi Primatologi Mengenai Adaptasi
Orangutan Menyangkut Masalah Perilaku Lokomosi dan Perilaku Sosial
Di Kebun Binatang Surabaya. Skripsi Sarjana. Universitas Airlangga.
http://adln.lib.unair.ac.id/go. (akses 26 Mei 2007).
Napier, P. 1972. A Crosset All-Color Guide Monkeys and Apes. Grosset & Dunlap
Inc. new York.
Napier, P. H dan J. R. Napier. 1985. The Natural History of the Primates. The
Mitt Press. Cambrige University.
Orangutan Foundation International. 2007. www.orangutanrepublik.org. (akses 19
Juli 2007).
Putra, A. P. 2008. Perbandingan Pola Pakan Pada Tingkatan Umur Anak Dan
Induk Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) Di Stasiun Penelitian
Tuanan, Kalimantan Tengah. Skripsi Sarjana. Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah. Jakarta.
Rijksen, H. D. 1978. A Field Study On Sumatran Orang Utans (Pongo pygmaeus
abelii, Lesson 1827) : Ecology, Behaviour, and Conservation. H.
Veenman & Zonen, Wageningen.
Russon, A. E. 2002. Return of the Native: Cognition and Site-Specific Expertise
in Orangutan Rehabilitation. International Journal of Primatology, vol 23,
no 3, June 2002.
Schurmann, C. L. dan J. A. R. A. M. van Hooff. 1986. Reproductive Strategies of
the Orang-utan : New Data and A Reconsideration of Existing Sosiosexual
Models. International Journal of Primatology.
Scott, J. P. 1972. Animal Behavior. Second edition. The University of Chicago
Press. USA.
Shofiana, R. 2007. Adaptasi Perilaku Harian Orangutan Sumatera (Pongo abelii,
Leson 1827) Reintroduksi Pada Dua Tipe Hutan Yang Berbeda Di Taman
46
Nasional Bukit Tigapuluh, Jambi. Skripsi Sarjana. Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Jakarta. Jakarta.
Siegel, S. 1988. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Cet 3. Gramedia:
Jakarta.
Soehartono, T., H. D. Susilo., N. Andayani., S. S. Utami., J. Sihite., C. Saleh dan
A. Sutrisno. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan
Indonesia 2007-2017. DirJen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Departemen Kehutanan.
Supangat, A. 2007. Statistika : Dalam Kajian Deskriptif, Inferensi, dan
Nonparametrik. Cet 1. Kencana : Jakarta.
Supriyatna, J dan E. H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia.
Yayasan Obor : Jakarta.
Susanto, T. W. 2005. Pemanfaatan Ruang Aktivitas Harian Antara Individu
Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedemann 1808) Jantan Di
Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan, Kalimantan Tengah. Skripsi
Sarjana. Fakultas Biologi Universitas Nasional. Jakarta.
Tjiu, A. 2006. Mencari Jejak “Sepupu” Di Jantung Borneo (Menghitung orangutan yang tersisa). http://wwf.or.id. (akses 25 Januari 2008).
.
Proyek
Orangutan
Tuanan
dan
Sungai
Lading.
www.aim.uzh.ch/orangutan network/fieldguidelines/metodeobservasiou.
Utami, S. S., B. Goossens., M. W. Bruford., J. R. de Ruiter dan J. A. R. A. M. van
Hooff. 2002. Male Bimatursm and Reproductive Success in Sumatran
Orang-utans. Behavior Ecology vol 13 No. : 643-652.
Utami, S. S. 2000. Bimaturism In Orangutan Males : Reproductive and Ecological
Strategies. Phd thesis. Fakultas Biologi Utrecht University. The
Netherlands.
van Schaik. C. P. 1999. The Socioecology of Fission-fusion Socialty In
Orangutans. Primate 40 : 69-86.
van Schaik. C. P. 2006. Di Antara Orangutan, Kera Merah dan Bangkitnya
Kebudayaan Manusia. Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo. Jakarta.
Wich, S. A, S. S. Utami., T. Mitra Seti., H. D. Rijksen., C. Schurmann., J. A. R.
A. M. Van Hooff dan C. P. van Schaik. 2004. Life History of Wid
47
Sumatran Orangutans (Pongo abelii). Journal of Human Evoution 47 :
385-389.
Download