BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Bantarkawung merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Brebes bagian selatan. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Cilacap di sebelah selatannya. Sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bumiayu dan Paguyangan. Secara umum, morfologi daerah Bantarkawung berupa punggungan bukit yang memanjang baratlaut-tenggara, yang merupakan bagian paling timur dari Zona Bogor (Van Bemmelen, 1949). Zona Bogor sendiri merupakan antiklinorium yang bekerja pada batuan tersier serta terdapat berbagai intrusi seperti hypabyssal volcanic neck dan dike. Terdapat beberapa manifestasi panas bumi di Bantarkawung berupa mata air panas dengan suhu sekitar 40˚ hingga 45˚C (Oktoberiman dkk., 2014; Oktoberiman dkk., 2015). Daerah manifestasi berada pada jarak ±30 km di sebelah barat Gunung api Slamet yang merupakan gunung api aktif terdekat dari daerah tersebut (Gambar 1.1). Secara fisiografi, daerah ini berada pada Zona Bogor, sedangkan Gunung Slamet merupakan gunung api Kuarter yang berada di ujung barat dari Zona Serayu Utara (Van Bemmelen, 1994). Oktoberiman dkk. (2015) menyebutkan bahwa mata air tersebut merupakan outflow dari sistem panas bumi Gunung Slamet berdasarkan data geokimia yang diambil dari mata air panas Karangpari dan Cilimus, Kecamatan Bantarkawung. 1 2 Gambar 1.1. Posisi mata air panas di daerah Bantarkawung terhadap G. Slamet (kotak hitam adalah lokasi penelitian, yaitu Kecamatan Bantarkawung) Penulis ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan sistem panas bumi antara daerah Bantarkawung dengan sistem panas bumi Gunung Slamet dengan mengetahui genesa mata air panas di daerah tersebut berdasarkan analisis geokimia dan ditambah dengan analisis isotop stabil 18 O dan 2H yang diharapkan dapat menjawab asal usul fluida manifestasi di daerah tersebut dengan lebih akurat. I.2. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah dipaparkan, penulis menemukan beberapa permasalahan yang bisa diangkat dari daerah penelitian tersebut, diantaranya: 3 1. Bagaimana karakteristik isotop stabil fluida panas maupun fluida meteorik di daerah tersebut? 2. Dari manakah asal fluida mata air panas di Bantarkawung tersebut? 3. Dengan jarak yang cukup jauh, apakah mata air panas di Bantarkawung masih termasuk sistem panas bumi Gunung Slamet? I.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian “Genesa Mata Air Panas Daerah Bantarkawung, Kabupaten Brebes” ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui karakteristik geokimia dan isotop stabil fluida manifestasi dan fluida meteorik di daerah penelitian 2. Mengetahui asal fluida di manifestasi 3. Mengetahui sistem panas bumi yang menghasilkan manifestasi di daerah penelitian I.4. Batasan Masalah Fokus tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan sistem yang berperan membentuk mata air panas di Bantarkawung, dengan analisis meliputi aspek geokimia air panas yaitu kation mayor dan minor (Na+, K+, Mg2+, Ca2+, Rb+ dan Li+), anion (SO42-, HCO3-, Cl-, F-), senyawa netral (SiO2 dan B), serta analisis isotop stabil 18O dan deuterium; dan aspek geologi yaitu struktur geologi, stratigrafi, dan litologi yang diambil dari data sekunder, di mana analisis petrografi dilakukan untuk memferivikasi data litologi. Sampel yang akan diambil berupa sampel air 4 panas dari mata air panas, sampel air dingin dari mata air dingin, sungai, serta sumur; dan sampel batuan. I.5. Lokasi Daerah Penelitian Secara administratif daerah penelitian berada di Desa Karangpari, Desa Cilimus, dan Desa Pangebatan, Kecamatan Bantarkawung, Kabupaten Brebes. Atau tepatnya pada koordinat UTM 272800-267800 E dan 9195500-9198500 N zona 49 S. Gambar 1.2. Peta lokasi penelitian (ditunjukkan oleh kotak hitam) Daerah ini berjarak sekitar 48 km dari Purwokerto yang dapat ditempuh selama 1,5 jam perjalanan menggunakan kendaraan bermotor. Sedangkan jarak dari 5 pusat Kota Brebes sekitar 72 km yang dapat ditempuh selama 2 jam perjalanan menggunakan kendaraan bermotor melalui Jatibarang-Songgom-Bumiayu. I.6. Manfaat Penelitian Dengan adanya pengetahuan serta studi mengenai sistem panas bumi di daerah tersebut, diharapkan pemerintah dapat mengelola sumberdaya tersebut sesuai dengan potensinya. Sehingga masyarakat dapat menerima manfaat yang sebesar-besarnya dari pengelolaan sumberdaya panas bumi tersebut. I.7. Peneliti Terdahulu 1. Kastowo (1975) Kastowo (1975) telah membuat peta geologi regional lembar Majenang, termasuk daerah penelitian, dengan skala 1:100.000. Peta tersebut menunjukkan hubungan startigrafi untuk tiap formasi batuan, anggota-anggota formasi yang ada, susunan litologi tiap formasi serta urutan formasi berdasarkan umurnya. 2. Oktoberiman dkk. (2014) Oktoberiman dkk. (2014) meneliti mengenai penerapan FFD (Fault Fracture Density) yang dipadu dengan analisis geologi serta geokimia fluida panas bumi yang digunakan untuk studi panas bumi. Studi dilakukan di daerah yang sama dengan lokasi penelitian. Hasil dari studi tersebut menyatakan bahwa daerah tersebut terdiri dari 2 (dua) satuan batuan yaitu satuan mudstone dan satuan batupasir. Munculnya manifestasi panas bumi berupa mata air panas yang bersesuaian dengan FFD, dimana manifestasi muncul pada zona FFD tinggi. Pada analisis fluida panas bumi, menunjukkan bahwa tipe fluida 6 di daerah pemetaan berupa air bikarbonat yang menurut peneliti menunjukkan zona outflow dari sistem panas bumi yang sudah berinteraksi dengan air tanah sehingga reservoar air panas sulit untuk dianalisa. Dari data yang dipaparkan, menunjukkan bahwa konsentrasi bikarbonat berkisar antara 423,5 mg/L hingga 352,63 mg/L) sedangkan konsentrasi klorida antara 163,59 mg/L hingga 202,54 mg/L). Perbedaan yang tidak signifikan antara klorida dan bikarbonat menunjukkan bahwa fluida di daerah penelitian dapat diklasifikasikan sebagai fluida klorida encer, sedangkan Oktoberiman (2014) mengklasifikasikannya sebagai fluida bikarbonat yang umumnya memiliki komposisi bikarbonat yang jauh lebih besar dibanding klorida dan sulfat. Pada penelitian ini, Oktoberiman dkk. (2014) juga belum memasukkan aspek analisis isotop stabil serta analisis ion lain yang dapat dijadikan sebagai kation jejak yang bisa menunjukkan asal fluida yang keluar dari mata air panas di daerah penelitian sehingga dapat membantu memberikan gambaran sistem panas bumi yang bekerja di daerah tersebut. 3. Oktoberiman dkk. (2015) Pada publikasi selanjutnya, Oktoberiman dkk. (2015) menunjukkan data geologi dan geokimia air yang lebih lengkap. Analisis yang dilakukan tetap sama. Namun, pada publikasi ini, Oktoberiman dkk. (2015) menambahkan pada kesimpulan bahwa manifestasi di daerah penelitian merupakan bagian tepi (outflow zone) dari sistem panas bumi Gunung Slamet yang dipengaruhi oleh aktivitas vulkanomagmatik dan telah mengalami interaksi yang intensif dengan air tanah sehingga sulit untuk dianalisis. 7 4. Surmayadi (2014) Penelitian yang dilakukan Surmayadi (2014) berfokus pada manifestasi mata air panas yang berada di lereng Gunung Slamet, yaitu di kompleks Guci, Baturraden, Sigedog dan Saketi. Sampel yang digunakan adalah sampel air panas dan air dingin. Dari penelitian ini, Surmayadi (2014) menyimpulkan bahwa air manifestasi yang ada di sekitar Gunung Slamet tidak berada pada kondisi kesetimbangan akibat proses pencampuran dan pelarutan sebagai hasil interaksi antara fluida dan mineral alterasi. Pada penelitian ini, Surmayadi (2014) juga menganalisis data isotop stabil air manifestasi di Guci (Pancuran 13 dan Cahaya), Baturraden (Pancuran 7 dan Pancuran 3), dan Sigedog. Dari hasil plotting isotop 18 O dan 2H menunjukkan adanya pergeseran posisi isotop 18 O ke kanan yang disimpulkan oleh Surmayadi (2014) sebagai hasil interaksi yang intensif yang menunjukkan bahwa sistem panas bumi Gunung Slamet relatif tua. 5. Sondakh (2015) Sondakh (2015) telah melakukan penelitian terhadap air meteorik pada permukaan dan reservoar dangkal di Cekungan Air Tanah (CAT) Bumiayu, di mana cekungan ini mencakup lereng timur laut, lereng utara, hingga lereng barat Gunung Slamet, termasuk daerah penelitian yang ada di bagian barat Gunung Slamet. Pada penelitian ini, Sondakh (2015) membagi sistem aliran air tanah dangkal berdasarkan geokimianya, menjadi 4 sistem aliran, sistem I dengan tipe air tanah Kalsium Magnesium - Alkali - Bikarbonat dengan ciri HCO3->Cl->SO42-; sistem II dengan tipe air tanah Kalsium - Magnesium - Alkali - Bikarbonat dengan ciri HCO3->Cl<SO42-; sistem aliran III dengan tipe air tanah Kalsium - Magnesium - Alkali - 8 Bikarbonat dengan ciri HCO3->Cl->>SO42-; dan sistem aliran IV dengan tipe air tanah Alkali - Kalsium - Klorida - Bikarbonat (mata air) dan Kalsium - Alkali Magnesium - Bikarbonat - Klorida pada sumur gali dengan ciri HCO3-<Cl->SO42-. Adapun penampang sistem aliran untuk lereng bagian barat dapat dilihat pada Gambar 1.2. Gambar 1.3. Penampang sistem hidrogeologi lereng barat Gunung Slamet menurut Sondakh (2015) dengan modifikasi I.8. Keaslian Penelitian Penelitian kali ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari aspek fokus studi yang mana penelitian ini fokus pada pembahasan geokimia air panas dibandingkan dengan Sondakh (2015) yang fokus pada air permukaan, kemudian analisis geokimia yang lebih komprehensif dibanding penelitian Oktoberiman dkk. (2014) dan Oktoberiman dkk. (2015) dengan menggunakan analisis isotop stabil serta beberapa kation jejak, serta perbedaan lokasi dengan penelitian Surmayadi (2014) di mana penelitian ini berfokus di Bantarkawung dengan Paguyangan, Guci dan Baturraden sebagai komparasi sedangkan Surmayadi (2014) fokus di lereng Gunung Slamet.