BAB 6 KEBIJAKSANAAN MONETER DAN LEMBAGA - LEMBAGA KEUANGAN BAB 6 KEBIJAKSANAAN MONETER DAN LEMBAGA - LEMBAGA KEUANGAN I. PENDAHULUAN Kebijaksanaan moneter yang berhati-hati dan ditunjang dengan pengembangan perangkat moneter dan pengawasan yang efektif, efisien, dan terpadu menciptakan keadaan moneter yang stabil dan mantap. Kemantapan tersebut diperlukan untuk mendorong kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja, memantapkan iklim investasi, mendorong gairah masyarakat dalam menabung, dan memberikan rasa tenteram dalam kehidupan masyarakat. Kebijaksanaan moneter yang adil akan menunjang pemerataan. Pembangunan nasional, menurut arahan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Kebijaksanaan moneter dan lembaga keuangan, sebagai perangkat kebijaksanaan ekonomi pemerintah, merupakan salah satu , perangkat kebijaksanaan pembangunan nasional. 321 GBHN 1993 juga menggariskan bahwa dalam perencanaan dan pembangunan nasional ada sembilan asas pembangunan nasional yang harus diterapkan dan dipegang teguh. Asas pembangunan nasional yang berkaitan langsung dengan kebijaksanaan moneter dan lembaga keuangan adalah asas manfaat, asas adil dan merata, asas keseimbangan, dan asas kemandirian. Berdasarkan asas manfaat maka segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat, dan pengembangan pribadi warga negara serta mengutamakan kelestarian nilai-nilai luhur budaya bangsa dan kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam rangka pembangunan yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Menurut asas adil dan merata, pembangunan nasional yang diselenggarakan sebagai usaha bersama harus merata di semua lapisan masyarakat dan di seluruh wilayah tanah air di mana setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan dan menikmati hasilnya secara adil sesuai dengan nilainilai kemanusiaan dan darma baktinya yang diberikan kepada bangsa dan negara. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam perikehidupan mengandung arti bahwa dalam pembangunan nasional harus ada keseimbangan antara berbagai kepentingan, yaitu keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan dunia dan akhirat, material dan spiritual, jiwa dan raga, individu, masyarakat dan negara, pusat dan daerah serta antar daerah, kepentingan perikehidupan darat, laut, dan dirgantara serta kepentingan nasional dan internasional. Selanjutnya, asas kemandirian memberikan arah bahwa pembangunan nasional berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, serta bersendikan kepada kepribadian bangsa. GBHN 1993 mengamanatkan pula bahwa penyelenggaraan pembangunan nasional mengacu pada kaidah penuntun, yang merupakan pedoman bagi penentuan kebijaksanaan pembangunan nasional. Salah satu kaidah penuntun yang penting bagi penentuan 322 arah kebijaksanaan moneter dan lembaga -lembaga keuangan ialah bahwa pembangunan ekonomi harus selalu mengarah kepa da mantapnya sistem ekonomi nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang disusun untuk mewujudkan demokrasi ekonomi yang harus dijadikan dasar pelaksanaan pembangunan. Kebijaksanaan moneter dan lembaga keuangan senantiasa diarahkan pada tercapainya sasaran pembangunan dalam Pembangunan Jangka Panjang II (PJP II) seperti yang digariskan dalam GBHN 1993. Dalam bidang ekonomi sasaran PJP II adalah terciptanya perekonomian yang mandiri dan andal sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan, berdasarkan demokrasi ekonomi yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan peningkatan kemakmuran rakyat yang makin merata, pertumbuhan yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang mantap. Perekonomian serupa itu bercirikan industri yang kuat dan maju, pertanian yang tangguh, koperasi yang sehat dan kuat, serta perdagangan yang maju dengan sistem distribusi yang mantap. Selanjutnya, pembangunan perekonomian didorong oleh kemitraan usaha yang kukuh antara badan usaha koperasi, negara, d an swasta. Pembangunan perekonomian dilaksanakan dengan pendayagunaan sumber daya alam yang optimal, yang didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas, iklim usaha yang sehat, serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dan terpeliharanya kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pembangunan moneter dan lembaga keuangan merupakan bagian dari pembangunan sektor keuangan. Pembangunan sektor keuangan diarahkan pada peningkatan kemampuan dan efisiensi keseluruhan sistem keuangan dalam menunjang kesinambu ngan pembangunan dan peningkatan kemandirian bangsa dalam pembiayaan pembangunan. Agar tercapai peningkatan efisiensi dari sistem keuangan, maka diperlukan empat komponen yang andal yaitu: 323 a. peranti penempatan dana dan ketentuan mengenai hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang terkait dengan penerbitan dan jual beli peranti tersebut; b. lembaga perantara yang menyimpan dan mengalokasikan dana, serta ketentuan mengenai rambu-rambu yang harus dipatuhi; c. mekanisme yang memungkinkan terselenggaranya penerbitan dan transaksi masing-masing jenis peranti; d. sistem pengawasan untuk mengurangi risiko kegagalan yang mungkin terjadi pada institusi jasa keuangan, serta mencegah transaksi yang merugikan kepentingan umum. Pengembangan sistem keuangan yang efisien mendapat prioritas dalam PJP II untuk menghimpun dana pembangunan dari sumber kemampuan sendiri. Sumber dana luar negeri yang masih diperlukan merupakan pelengkap, dengan senantiasa mempertimbangkan prinsip peningkatan kemandirian dalam pelaksanaan pembangunan dan mencegah keterikatan serta campur tangan asing. Oleh karena itu, peranan masyarakat dalam pembiayaan pembangunan harus terus ditumbuhkan dengan mendorong kesadaran, pemahaman, dan penghayatan bahwa pembangunan adalah hak, kewajiban, dan tanggung jawab seluruh rakyat. Tabungan nasional yang meliputi tabungan pemerintah dan tabungan masyarakat perlu ditingkatkan. Tabungan masyarakat ditingkatkan melalui kebijaksanaan moneter yang saling mendukung dengan kebijaksanaan pembangunan di bidangbidang lain, yang menjamin kestabilan nilai mata uang dan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi, pengembangan lembaga keuangan dan perbankan yang efisien dan makin meluas jangkauannya, serta partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang meningkat. 324 II. KEBIJAKSANAAN MONETER DAN LEMBAGA KEUANGAN DALAM PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG PERTAMA Selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I) kemampuan sektor keuangan sangat meningkat seperti tercermin dari naiknya pengerahan tabungan masyarakat melalui lembaga keuangan, antara lain melalui perbankan. Pada tahun 1968, jumlah dana yang berhasil dihimpun baru mencapai Rp76,6 miliar, dan pada tahun 1993 telah mencapai Rp141,9 triliun atau menjadi lebih dari 1.850 kali. Upaya penghimpunan dana masyarakat untuk pembangunan diawali dengan diperkenalkannya deposito berjangka pada tahun 1968 yang selanjutnya diikuti dengan Tabanas, Taska, dan sertifikat deposito pada tahun 1971. Penghimpunan dana ini makin berkembang setelah dilancarkannya kebijaksanaan deregulasi di bidang perbankan pada Juni 1983, yang telah memberi peluang lebih besar bagi bank untuk menentukan tingkat suku bunga deposito dan pinjaman, dan lebih berkembang lagi setelah deregulasi bulan Oktober 1988 yang mempermudah pendirian bank dan kantor-kantor cabangnya. Sejalan dengan dana yang berhasil dihimpun, kredit perbankan juga meningkat pesat. Jumlah kredit yang disalurkan hingga tahun 1993 mencapai Rp148,3 triliun, yang merupakan kelipatan 1.177 kali dari posisi tahun 1968 sebesar Rp126,0 miliar. Kebijaksanaan uang beredar senantiasa diupayakan sesuai kebutuhan pertumbuhan ekonomi dengan tetap memperhatikan kestabilan harga. Jumlah uang beredar selama PJP I telah meningkat dari Rp114 miliar pada tahun 1968 menjadi Rp37,0 triliun pada tahun 1993, yang berarti tumbuh rata-rata sebesar 26,0 persen per tahun. Laju inflasi, sebagai salah satu indikator stabilitas ekonomi, berhasil diupayakan pada tingkat yang rendah dan terkendali. Jika 325 pada tahun 1968 tingkat inflasi mencapai 85 persen, maka pada tahun 1992 berhasil dikendalikan dibawah 5 persen. Sejak Repelita IV tingkat inflasi tahunan berhasil ditekan di bawah 10 persen. Guna mendorong mobilisasi dana dari dalam negeri pada bulan Juni 1983 ditempuh langkah deregulasi yang mendasar di sektor perbankan. Bank diberi kebebasan untuk menetapkan suku bunga dan syarat-syarat pemberian kredit, kecuali untuk beberapa sektor yang berprioritas tinggi. Pagu atas kredit dan aktiva lainnya sebagai alat pengendalian moneter secara langsung dihapuskan. Kebijaksanaan tersebut selanjutnya diikuti dengan pengembangan alat pengendalian moneter secara tidak langsung, yaitu dengan dikeluarkannya Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan disediakan fasilitas diskonto bagi bank-bank sejak bulan Februari 1984, serta penerbitan dan perdagangan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) sejak bulan Februari 1985. Dengan kelengkapan peranti moneter tersebut pengendalian moneter tidak langsung mulai dikembangkan melalui sistem operasi pasar terbuka (OPT). Langkah penting selanjutnya ialah penurunan likuiditas wajib minimum dan penyempurnaan sistem operasi pasar terbuka yang diatur dalam paket kebijaksanaan Oktober 1988. Penurunan likuiditas wajib minimum dari 15 persen menjadi 2 persen telah menurunkan biaya dana serta makin memperluas ruang gerak perbankan untuk penyaluran dana. Penyempurnaan sistem OPT terus dilakukan dengan menambah jenis SBI dan SBPU berjangka waktu 30 hari, 90 hari, dan 180 hari serta pembentukan pasar sekunder bagi peranti moneter (SBI dan SBPU) sehingga pilihan menjadi makin beragam dan peranti likuiditas makin meningkat. Pada bulan Januari 1990 ditetapkan kebijaksanaan penyempurnaan sistem perkreditan. Melalui kebijaksanaan tersebut, bank dan lembaga keuangan didorong untuk lebih mandiri dan mampu melaksanakan pengerahan dana masyarakat serta menyalurkannya ke sektor produktif sambil secara bertahap 326 mengurangi ketergantungan pada kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Suku bunga kredit untuk beberapa kegiatan atau sektor yang sebelumnya diberi subsidi selanjutnya diserahkan kepada mekanisme pasar dan pemberian KLBI lebih dibatasi lagi. Kredit likuiditas dalam jumlah terbatas hanya diberikan untuk mendukung upaya swasembada pangan, pengembangan koperasi serta peningkatan investasi. Selain itu, untuk mendukung pengembangan usaha kecil dan dalam rangka upaya pemerataan pembangunan, perbankan diwajibkan menyediakan sekurang-kurangnya 20 persen dari dana kreditnya untuk membiayai sektor usaha kecil (kredit usaha kecil atau KUK). Dengan kebijaksanaan tersebut, sistem perkreditan perbankan terdiri atas kredit usaha tani (KUT) bagi petani yang memerlukan kredit guna membiayai usaha taninya, kredit kepada koperasi, yaitu KUD dan anggota koperasi primer, guna membiayai pengadaan pangan dan usaha yang produktif di luar sektor yang dibiayai KUT, kredit pengadaan pangan dan gula bagi Bulog, serta kredit investasi dan kredit umum. Sumber dana untuk pembiayaan investasi dan pembiayaan jangka panjang lainnya masih belum memadai dibanding dengan kebutuhan. Oleh sebab itu KLBI jangka panjang masih disediakan untuk memenuhi sebagian kebutuhan dana kredit investasi. Kredit investasi diberikan atas dasar suku bunga pasar yang ditetapkan oleh tiap-tiap bank atau lembaga pemberi kredit, sedangkan KLBI diberikan dengan suku bunga yang berlaku di pasar uang (suku bunga SBPU). Pada bulan Februari 1991 telah ditetapkan kebijaksanaan pembinaan dan pengawasan perbankan yang dimaksudkan agar perbankan dapat menyesuaikan manajemennya dengan perkembangan operasi perbankan di dalam negeri dan di luar negeri. Kebijaksanaan tersebut mencakup perizinan, kepemilikan dan kepengurusan bank, persyaratan permodalan serta pedoman operasional yang didasarkan pada prinsip kehati-hatian. Kebijaksanaan tersebut juga mengatur tentang sistem pelaporan serta tata cara penilaian tingkat kesehatan suatu bank dan faktor penunjang 327 yang diperlukan bagi pengembangan usaha bank. Ketentuan persyaratan permodalan bank disesuaikan dengan standar Bank for International Settlements (BIS). Modal bank minimum ditentukan sebesar 8 persen dari aktiva yang mengandung resiko. Pemenuhan persyaratan modal tersebut dilakukan secara bertahap mulai bulan Maret 1992 sebesar 5 persen, bulan Maret 1993 sebesar 7 persen, dan bulan Desember 1993 harus mencapai sebesar 8 persen. Kebijaksanaan pengendalian moneter secara tidak langsung juga disempurnakan melalui Paket Februari 1991, yang memuat ketentuan tentang prinsip kehati-hatian, seperti penentuan posisi devisa neto, swap dan swap ulang, serta margin trading. Paket kebijaksanaan ini juga mengatur izin pendirian beberapa perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing untuk meningkatkan kegiatan pasar uang. Dalam rangka mengatasi tekanan neraca pembayaran dan menghindari kesimpang-siuran dalam memasuki pasar modal internasional, pada bulan September 1991 dibentuk Tim Koordinasi Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN). Langkah ini selanjutnya diikuti dengan penyempurnaan ketentuan posisi devisa neto dan swap pada bulan November 1991. Melalui rangkaian kebijaksanaan tersebut di atas kemampuan pengendalian moneter secara tidak langsung menjadi makin mantap. Hal ini tercermin dari tingkat inflasi dalam tahun 1992 yang terkendali sebesar 4,9 persen, antara lain sebagai hasil kebijaksanaan uang ketat yang ditempuh melalui operasi pasar terbuka sejak pertengahan tahun 1990 hingga tahun 1991. Suku bunga yang tinggi dalam tahun 1991 dan 1992, sebagai akibat pengetatan jumlah uang beredar, di satu pihak telah meningkatkan penghimpunan dana masyarakat, tetapi di lain pihak merupakan salah satu faktor yang memperlambat pertumbuhan kredit perbankan. Pertumbuhan kredit yang melambat tersebut juga akibat tindakan konsolidasi perbankan untuk memenuhi beberapa ketentuan yang diatur dalam Paket Februari 1991, seperti pemenuhan modal minimum, rasio simpanan terhadap pinjaman serta pembentukan cadangan penghapusan aktiva produktif. Untuk 328 menggairahkan kembali kegiatan investasi, penurunan suku bunga kredit ke tingkat yang wajar telah diupayakan. Penurunan suku bunga dilakukan dengan berpegang pada prinsip kehati-hatian dan keluwesan dalam pelaksanaan kebijaksanaan moneter. Di samping melalui mekanisme operasi pasar terbuka, upaya penurunan suku bunga kredit dilakukan juga dengan penyempurnaan peraturan seperti antara lain diatur dalam Paket Deregulasi Mei 1993. Paket ini mencakup beberapa perubahan peraturan yang dirasakan menghambat pemberian kredit perbankan, seperti metoda perhitungan kesehatan bank dan permodalan bank. Perubahan ketentuan tersebut meringankan perbankan mendapatkan penilaian sehat, dan mendorong perbankan lebih leluasa menyalurkan kredit. Kelembagaan perbankan berubah setelah dikeluarkannya UU Perbankan No. 7 Tahun 1992. Menurut UU tersebut jenis bank hanya dibagi menjadi bank umum dan bank perkreditan rakyat. Beberapa Peraturan Pemerintah (PP) kemudian menyusul melengkapi UU No. 7 Tahun 1992, antara lain mengenai perubahan status bank pemerintah dari perusahaan negara menjadi persero. Selain itu, dengan PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum diatur pula ketentuan mengenai penyesuaian lembaga keuangan bukan bank menjadi bank, modal minimal bank, dan ketentuan mengenai merger, akuisisi, dan konsolidasi. Juga diatur adanya tugas khusus bagi bank umum untuk menyalurkan kredit kepada usaha kecil dan khusus bagi bank campuran untuk menyalurkan kredit yang menunjang ekspor nonmigas. Dengan PP No. 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat (BPR) diatur antara lain mengenai lokasi dan syarat-syarat pendirian BPR, dan status lembaga kredit perdesaan sebagai BPR. Selanjutnya dalam PP No. 72 Tahun 1992 diatur mengenai bank berdasarkan prinsip bagi basil. Sebagai hasil dari serangkaian paket kebijaksanaan di bidang keuangan dan perbankan, perbankan dan lembaga keuangan berkembang sangat cepat selama Repelita V. Pada bulan September 1993 jumlah bank menjadi 231 buah dengan kantor 329 sebanyak 4.538 buah, sedangkan jumlah BPR menjadi 8.654 buah, yang terdiri atas 1.371 BPR bukan perdesaan dan 7.283 BPR perdesaan. Dalam tahun 1992, telah berdiri satu bank umum dan beberapa BPR yang operasinya berdasar prinsip bagi hasil. Kegiatan bank tersebut merupakan perluasan pelayanan jasa perbankan bagi masyarakat, terutama anggota masyarakat yang menghendaki pembayaran imbalan yang tidak didasarkan pada sistem bunga melainkan atas dasar prinsip bagi hasil sebagaimana dikehendaki oleh hukum Islam. Lembaga keuangan lain, yang mencakup usaha perasuransian, lembaga pembiayaan, lembaga keuangan bukan bank (LKBB), dan dana pensiun, berkembang pesat dengan deregulasi di bidang keuangan dan perbankan tersebut. Khusus untuk LKBB, menurut UU No. 7 Tahun 1992, harus menyesuaikan diri menjadi bank umum paling lambat 25 Maret 1993. Sampai dengan akhir tahun 1991/92 terdapat 14 LKBB, yang terdiri atas 3 LKBB pembiayaan pembangunan, 9 LKBB pembiayaan investasi 1 LKBB pembiayaan perumahan, dan 1 LKBB lainnya. Dalam tahun 1992/93, 12 dari 13 LKBB yang ada telah menyesuaikan usahanya menjadi bank dan 1 LKBB menjadi perusahaan pembiayaan modal ventura. Melalui paket kebijaksanaan Desember 1988, usaha asuransi diberikan kemudahan antara lain berupa penyederhanaan tata cara perizinan, ketentuan permodalan, bentuk perusahaan asuransi, serta ketentuan batas tingkat solvabilitas. Deregulasi ini telah mendorong meningkatnya kegiatan usaha asuransi, yang antara lain tercermin dari bertambahnya jumlah premi bruto industri asuransi sebesar Rp3,2 triliun pada tahun 1992 dibanding Rp 1,4 triliun pada tahun 1987. Jumlah perusahaan asuransi dan reasuransi pada tahun 1992 telah mencapai 145 buah, atau meningkat 25 persen terhadap tahun 1988, dengan perincian 46 perusahaan asuransi jiwa, 5 perusahaan asuransi sosial, 90 perusahaan asuransi kerugian, dan 4 perusahaan reasuransi. Dana pensiun juga menunjukkan perkembangan yang terus meningkat. Yayasan Dana Pensiun hingga September 1992 330 berjumlah 194 buah. Investasi yang disalurkan lembaga dana pensiun hampir mencapai Rp5,0 triliun dalam tahun 1992. Pada tahun 1992 telah diundangkan UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dan UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Kedua undang-undang tersebut telah memberikan landasan hukum yang lebih pasti bagi penyelenggaraan usaha di sektor keuangan. Selain itu, rangkaian undang-undang ini juga memberi kejelasan mengenai pembagian bidang usaha dari berbagai lembaga keuangan, seperti klasifikasi jenis bentuk usaha dan jenis kegiatan usaha. Dengan ditetapkannya undang-undang tersebut di atas, maka perlindungan hukum bagi lembaga keuangan dan masyarakat yang menggunakan jasanya menjadi makin jelas. Lembaga pembiayaan juga meningkat pesat setelah Paket Desember 1988. Pada tahun 1987 jumlah lembaga pembiayaan 83 buah, dan telah berkembang menjadi 145 buah pada tahun 1992. Volume dan jenis usaha lembaga pembiayaan juga meningkat pesat. Pada tahun 1992, nilai kontrak sewa guna usaha mencapai Rp3,7 triliun, atau meningkat tiga kali lipat dibandingkan tahun 1987. Selain itu, sejak tahun 1990 usaha anjak piutang, pembiayaan konsumen, modal ventura, dan kartu kredit juga meningkat. Investasi yang dilakukan Lembaga Pembiayaan mencapai Rp7,4 triliun pada tahun 1992, yang berarti meningkat lima kali dibandingkan tahun 1987. Dalam rangka mengembangkan usaha menengah, kecil, dan koperasi telah berdiri beberapa BUMN lembaga keuangan. Untuk membantu permodalan dan pengelolaan manajemen perusahaanperusahaan kecil dan menengah yang berbentuk perseroan terbatas telah didirikan PT Bahana, yang merupakan perusahaan modal ventura. Selain itu, untuk membantu meningkatkan kelancaran dan pengamanan pemberian kredit perbankan kepada pengusaha ekonomi kecil, dibentuk PT Askrindo, yang memberikan jaminan atas kredit perbankan kepada pengusaha kecil dan menengah. Adapun jaminan atas kredit perbankan kepada koperasi diberikan 331 oleh Perum Pengembangan Keuangan Koperasi. Untuk membantu masyarakat yang mengalami kesulitan keuangan, Perum Pegadaian yang telah lama berdiri makin dikembangkan. Di samping pasar uang, pasar modal juga terus didorong untuk menghimpun dana jangka panjang dari masyarakat. Langkahlangkah pengembangan pasar modal sudah mulai dirintis pada tahun 1972 dengan berdirinya Badan Pembina Pasar Uang dan Modal. Pasar modal Indonesia mulai diaktifkan tahun 1977 di Jakarta dengan dibentuknya Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) dan PT Danareksa. Bapepam bertugas mengendalikan dan melaksanakan pasar modal, sedangkan PT Danareksa bertugas membeli dan memecah saham-saham perusahaan yang dibelinya menjadi sertifikat saham yang bernilai nominal lebih kecil agar dapat dijangkau oleh penanam modal kecil. Kegiatan pasar modal mengalami peningkatan pesat setelah dikeluarkannya Paket Kebijaksanaan Desember 1987, yang mengizinkan berdirinya bursa paralel dan lebih berperannya lembaga penunjang pasar modal. Pada bulan November 1990 dibentuk Badan Pengawas Pasar Modal, yang merupakan pembina dan pengawas pasar modal. Pelaksana pasar modal di Jakarta dilakukan oleh PT Bursa Efek Jakarta mulai tahun 1992. Jumlah perusahaan yang go public sampai dengan tahun 1993 telah berkembang menjadi 242 perusahaan, dengan perincian perusahaan yang tercatat di bursa efek Jakarta 181 perusahaan menjual saham dan 43 perusahaan memasarkan obligasi, sedangkan di bursa paralel tercatat 5 perusahaan menjual saham dan 13 perusahaan memasarkan obligasi. Nilai kapitalisasi saham dan obligasi yang diterbitkan melalui pasar modal meningkat dari Rp5,8 triliun pada akhir tahun 1989 menjadi Rp74,9 triliun pada tahun 1993 atau lebih dari 12 kali lipat dalam waktu 4 tahun. 332 III. TANTANGAN, KENDALA, DAN PELUANG PEMBANGUNAN Peningkatan tabungan nasional merupakan masalah pokok pembangunan sektor keuangan dalam PJP II. Tabungan masyarakat, sebagai komponen terbesar dari tabungan nasional, ditingkatkan melalui kebijaksanaan moneter dan lembaga keuangan. Peningkatan tabungan masyarakat memerlukan iklim yang mendukung, seperti tingkat inflasi yang rendah, suku bunga yang menarik, instrumen penempatan dana yang makin berkembang, dan lembaga keuangan yang andal, serta pendapatan masyarakat yang makin meningkat. Di samping itu, dengan kondisi perekonomian Indonesia yang terbuka, tabungan masyarakat juga dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi internasional, khususnya pergerakan suku bunga dan nilai tukar. Dalam upaya menciptakan iklim tersebut, kebijaksanaan moneter dan lembaga keuangan menghadapi berbagai tantangan, kendala, dan peluang sebagai berikut. 1. Tantangan Stabilitas harga, yang tercermin dalam tingkat inflasi, telah mendukung kelancaran dan kemantapan pembangunan selama PJP I. Dengan tingkat inflasi yang rendah pembangunan ekonomi dapat berjalan mantap dan hasil-hasil pembangunan akan meningkatkan pendapatan masyarakat secara nyata. Selain itu, tingkat inflasi yang rendah juga ikut menjaga kestabilan nilai tukar rupiah yang penting artinya bagi peningkatan daya saing komoditas ekspor Indonesia di pasaran internasional. Kestabilan nilai rupiah mengurangi faktor ketidakpastian dalam perekonomian Indonesia. Tingkat inflasi yang rendah juga diperlukan bagi upaya meningkatkan pendapatan riil masyarakat berpendapatan rendah dan tetap. Tingkat inflasi dalam dua puluh lima tahun terakhir relatif telah terkendali dibanding masa sebelumnya, tetapi masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dengan demikian, tantangan dalam bidang moneter adalah 333 bagaimana mengendalikan tingkat inflasi sehingga tercipta dan terbina iklim usaha yang makin menarik. Dalam perekonomian terbuka seperti Indonesia, perubahanperubahan yang terjadi pada suku bunga luar negeri dan nilai mata uang negara lain, serta kegiatan ekspor dan impor memberikan pengaruh yang cukup besar. Perubahan tersebut dapat menyebabkan perpindahan arus dana ke luar negeri dalam jumlah besar, yang tidak mendukung bagi penghimpunan dana masyarakat. Di samping itu, perubahan yang cukup besar, seperti harga minyak yang menurun tajam, menimbulkan isu-isu devaluasi yang selanjutnya mempengaruhi kepercayaan masyarakat akan stabilitas nilai rupiah. Maka merupakan tantangan untuk mengurangi sekecil mungkin dampak dari perubahan-perubahan faktor eksternal terhadap upaya mobilisasi dana dalam negeri. Pengendalian jumlah uang beredar, selain sebagai alat pengendalian tingkat inflasi, juga berperan dalam menunjang pertumbuhan ekonomi. Pengelolaan likuiditas perekonomian yang sesuai dengan kebutuhan akan mendorong roda perekonomian berjalan lancar. Likuiditas perekonomian yang berlebihan atau terlampau ketat dapat menyebabkan perekonomian memanas atau melesu. Dengan perekonomian Indonesia yang makin terbuka, perubahan likuiditas perekonomian makin terkait dengan pergerakan arus dana antar negara. Hal ini menyebabkan pengendalian jumlah uang beredar menjadi lebih rumit. Dengan demikian, merupakan tantangan pula di bidang moneter agar pertumbuhan likuiditas perekonomian senantiasa sesuai dengan kebutuhan perekonomian. Sementara itu, kebutuhan investasi akan meningkat sejalan dengan peningkatan kegiatan ekonomi. Kebutuhan dana investasi sebagian besar diupayakan berasal dari sumber dana dalam negeri, yang berarti mobilisasi dana masyarakat makin perlu ditingkatkan melalui lembaga keuangan. Mobilisasi dana tersebut akan meningkat apabila masyarakat terutama kelas pendapatan 334 menengah dan atas tertarik untuk menabung. Masalah yang menghambat adalah bahwa kelas pendapatan ini mempunyai kecenderungan konsumtif yang tinggi. Untuk merangsang minat menabung harus dikembangkan pilihan-pilihan yang menarik. Dengan demikian, menjadi tantangan pula di bidang moneter untuk mendorong peningkatan mobilisasi dana masyarakat dengan memperluas pilihan-pilihan yang tersedia bagi masyarakat dalam menanamkan dana di lembaga keuangan dalam negeri. Jumlah lembaga keuangan telah makin bertambah dan bahkan telah menyebar hingga ke perdesaan. Namun, permasalahan lembaga keuangan dalam mengelola dana masyarakat juga cenderung meningkat. Permasalahan tersebut dapat disebabkan oleh penyelewengan dana oleh pengurus atau salah urus. Bertambahnya jumlah lembaga keuangan yang mempunyai permasalahan dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan. Di samping itu, juga dapat mengganggu iklim moneter yang sehat jika permasalahan menjadi serius dan berdampak luas. Dengan demikian, menjadi tantangan pula untuk memelihara tingkat kesehatan lembaga keuangan, sehingga terjamin keandalannya dan pelayanan jasa-jasa keuangan yang diberikan akan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Di samping itu, pasar modal yang sehat, efisien dan andal masih harus terus dikembangkan. Penghimpunan dana masyarakat oleh lembaga keuangan merupakan hal penting. Akan tetapi tidak kurang pentingnya adalah bagaimana menyalurkan dana-dana tersebut kembali ke masyarakat secara efektif. Dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, penyaluran kredit jangka menengah dan panjang pada sektor industri dan sektor produksi lainnya perlu ditingkatkan untuk mempercepat perputaran roda perekonomian. Kredit pada sektor-sektor tersebut memerlukan dana yang besar dan waktu pengembalian yang cukup panjang. Padahal sebagian besar kredit perbankan masih berupa kredit jangka pendek. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana lembaga keuangan mampu memenuhi 335 kebutuhan dana investasi di sektor produksi, baik dalam jumlah maupun jangka waktu tersedianya dana. Kemampuan lembaga keuangan untuk memenuhi kebutuhan dana secara kuantitatif ini hams pula diiringi dengan peningkatan kemampuan kualitatif untuk memilih dan menilai proyek yang akan dibiayai berdasarkan kriteria obyektif yang menyangkut kelayakan, efisiensi, dan produktivitas proyek. Pasok dana oleh lembaga keuangan dan permintaan dana dari masyarakat menentukan harga dana tersebut di pasar keuangan. Harga dana ini adalah tingkat bunga. Di samping faktor-faktor penting lainnya, maka tingkat suku bunga pinjaman menentukan kegairahan dunia usaha untuk melakukan investasi atau meningkatkan modal kerja. Tingkat suku bunga yang terlampau tinggi menghambat investasi pada sektor riil. Tingkat suku bunga tabungan yang terlampau rendah tidak mendorong tabungan dan atau menyebabkan lonjakan arus dana keluar negeri sehingga kemampuan investasi dalam negeri menurun. Di dalam mekanisme pasar, suku bunga pinjaman yang lebih rendah dapat dicapai hanya apabila lembaga keuangan beroperasi dengan efisien. Dengan demikian, menjadi tantangan pula untuk meningkatkan efisiensi lembaga keuangan sehingga suku bunga dapat bergerak pada tingkat yang mendorong gairah investasi di sektor riil dan sekaligus mampu mendorong gairah menabung dalam masyarakat. Di samping ikut menciptakan stabilitas harga dan mendorong pertumbuhan ekonomi, kebijaksanaan moneter dan lembaga keuangan juga bertujuan untuk mengurangi kesenjangan pendapatan di antara golongan-golongan di dalam masyarakat. Dalam rangka pemerataan pembangunan dan pengembangan dunia usaha yang kukuh, penyaluran kredit bagi usaha menengah, usaha kecil, dan koperasi perlu ditingkatkan, khususnya di wilayah yang tertinggal. Kredit bagi kelompok usaha ini umumnya kurang mendapatkan perhatian dari lembaga keuangan karena jumlah kreditnya kecil, kemampuan administrasinya lemah, dan kelangsungan usahanya belum mantap. Oleh karena itu, akses usaha 336 menengah, kecil, dan koperasi dalam memperoleh kredit lembaga keuangan lebih terbatas dibanding dengan akses usaha besar, sehingga akibatnya kesenjangan menjadi bertambah besar. Dengan demikian, merupakan tantangan pula di bidang moneter untuk meningkatkan akses terhadap penyaluran dana dan pelayanan keuangan bagi golongan usaha menengah, kecil, dan koperasi. Sejalan dengan upaya pemerataan pembangunan tersebut, pembangunan daerah dan kawasan yang kurang berkembang, seperti di kawasan timur Indonesia, daerah terpencil, dan daerah perbatasan ditingkatkan. Untuk itu, perlu dikembangkan iklim yang mendorong investasi dan pembangunan prasarana serta akses wilayah tertinggal dan terbelakang terhadap kredit perbankan dan pelayanan keuangan yang memadai. Maka merupakan tantangan pula agar perkreditan dapat menjadi pendorong pertumbuhan daerah tertinggal dan terbelakang perkembangannya. Golongan ekonomi lemah karena tidak mampu memenuhi ketentuan perbankan, seringkali terhambat kesempatannya untuk mengembangkan usaha. Selain itu, golongan ini seringkali terjerat oleh lintah darat atau rentenir yang mudah memberikan pinjaman namun dengan suku bunga tinggi. Masyarakat ekonomi lemah membutuhkan modal usaha yang murah dengan proses yang mudah. Di dalam masyarakat telah berkembang lembaga kredit seperti badan kredit desa, lumbung desa, lumbung pitih nagari, yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, namun jumlah dan kemampuannya masih terbatas. Bantuan modal kepada masyarakat golongan ekonomi lemah merupakan salah satu cara pengentasan kemiskinan. Maka menjadi tantangan pula untuk lebih mengefektifkan kegiatan lembaga keuangan rakyat sehingga akan meningkatkan akses golongan ekonomi lemah memperoleh dana yang murah dan mudah terjangkau. 2. Kendala Mobilisasi dana masyarakat juga terhambat oleh sikap masyarakat mengenai dana yang dimilikinya. Sebagian masyarakat 337 masih cenderung membelanjakan seluruh pendapatannya. Minat masyarakat untuk menabung melalui lembaga keuangan masih rendah terutama penduduk di daerah perdesaan. Masyarakat desa lebih suka menabung dalam bentuk natura, seperti emas, tanah, yang tidak dapat menjadi sumber pembiayaan bagi kegiatan produktif. Kendala selanjutnya adalah belum semua wilayah terlayani oleh lembaga keuangan. Sebagian besar lembaga keuangan, dan bahkan Bank Perkreditan Rakyat, berlokasi di wilayah perkotaan, khususnya di Jawa. Tabungan masyarakat dibatasi oleh kendala rendahnya pendapatan per kapita masyarakat. Pada tingkat pendapatan yang rendah, kecenderungan menabung masih rendah karena tambahan pendapatan digunakan untuk meningkatkan konsumsi. Kendala yang lain berasal dari masih terbatasnya tenaga profesional di bidang keuangan. Kemampuan para bankir di dalam melakukan evaluasi proyek yang akan didanainya masih rendah. Efisiensi lembaga keuangan yang masih rendah juga merupakan kendala. Selisih suku bunga pinjaman dengan suku bunga deposito masih relatif besar. Suku bunga pinjaman yang tinggi mengurangi hasrat investasi dari pengusaha. Kebijaksanaan moneter dilaksanakan melalui lembaga keuangan yang bersifat formal. Sebagian transaksi di pasar keuangan masih berlangsung di luar lembaga tersebut. Keberadaan pasar keuangan informal yang masih cukup besar merupakan kendala bagi pengendalian moneter. Pengendalian inflasi melalui kebijaksanaan moneter dewasa ini dilakukan dengan cara-cara tidak langsung. Pengendalian moneter tidak langsung yang efektif memerlukan adanya pasar uang dan pasar modal yang bekerja dengan baik dan relatif telah maju. Pasar uang dan pasar modal Indonesia masih pada tahap-tahap awal perkembangannya dan hal inilah merupakan kendala bagi efektivitas pelaksanaan kebijaksanaan moneter. 338 3. Peluang Keberhasilan pembangunan ekonomi dalam Pembangunan Jangka Panjang Pertama merupakan modal bagi Pembangunan Jangka Panjang Kedua. Laju inflasi telah berhasil dikendalikan pada tingkat yang relatif rendah. Kebijaksanaan nilai tukar rupiah yang dilaksanakan secara mengambang dan terkendali mampu mendukung stabilitas neraca pembayaran. Di samping itu, stabilitas ekonomi yang terjaga dan tingkat suku bunga yang diupayakan menarik telah mendorong peningkatan tabungan masyarakat. Distorsi dalam pemberian kredit juga sudah makin berkurang dengan diserahkan tingkat suku bunga pinjaman pada pasar dan makin terarahnya pemberian Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Perkembangan pasar uang dan pasar modal yang relatif cepat merupakan peluang bagi meningkatnya penghimpunan dana. Kompetisi antarlembaga keuangan akan meningkatkan jumlah dana masyarakat yang berhasil dihimpun, dan makin besar sejalan dengan berkembangnya berbagai instrumen penghimpun dana. Dana masyarakat yang makin besar terhimpun. di lembaga keuangan juga merupakan modal bagi pengendalian jumlah uang beredar yang makin efektif. Pasar modal Indonesia yang mulai berkembang merupakan potensi peningkatan penghimpunan dana jangka panjang yang sangat diperlukan pada masa PJP II, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Kegiatan ekonomi yang terus berkembang, akan meningkatkan jumlah perusahaan yang layak go public. Selain itu, dana jangka panjang akan makin banyak berasal dari dana pensiun dan asuransi, dengan , makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan perlindungan terhadap risiko, serta meningkatnya pendapatan masyarakat dan kegiatan dunia usaha. Beberapa ketentuan dan rambu-rambu untuk menjaga kesehatan lembaga keuangan Sudah mulai efektif dan jelas 339 landasannya. Hal tersebut merupakan modal bagi pengembangan lembaga keuangan yang andal. Perkembangan ekonomi Indonesia yang makin terkait dengan perekonomian dunia merupakan potensi bagi pengembangan lembaga keuangan. Salah satu potensi tersebut adalah makin banyak kerja sama lembaga keuangan Indonesia dengan lembaga keuangan asing. Kerja sama tersebut akan mendorong terjadinya alih teknologi yang selanjutnya meningkatkan jumlah tenaga profesional Indonesia. Di samping itu, dukungan dari teknologi informasi yang makin maju juga memberikan peluang usaha berbagai bentuk jasa pelayanan di bidang keuangan. IV. ARAHAN, SASARAN, DAN KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN 1. Arahan GBHN 1993 Pembangunan sektor keuangan dalam Repelita VI, diarahkan pada peningkatan kemampuan dan Jaya guna keseluruhan tatanan, perangkat, kelembagaan, dan kebijaksanaan keuangan dalam menunjang kesinambungan pembangunan dan peningkatan kemandirian bangsa melalui peningkatan kemampuan keuangan yang makin andal, efisien, dan mampu memenuhi tuntutan pembangunan, penciptaan suasana yang mendorong tumbuhnya inisiatif dan kreativitas masyarakat, serta meluasnya peran serta masyarakat dalam pembangunan dan melalui upaya untuk terus meningkatkan tabungan nasional sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan. Kebijaksanaan keuangan negara, moneter, dan neraca pembayaran dilaksanakan secara serasi dalam rangka mendukung pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang makin meluas dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis. 340 Kebijaksanaan moneter diarahkan untuk mendukung pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang makin luas, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas ekonomi yang mantap. Kebijaksanaan moneter yang meliputi kebijaksanaan pengendalian uang beredar, termasuk kebijaksanaan perkreditan dan kebijaksanaan nilai tukar uang, dilaksanakan secara terpadu untuk memantapkan kestabilan nilai uang, mendorong kegiatan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja dengan mengembangkan perangkat moneter dan devisa. Kemantapan nilai uang mendukung terciptanya iklim usaha dan investasi yang sehat, mendorong gairah masyarakat untuk menabung, dan menimbulkan rasa tenteram dalam kehidupan rakyat. Lembaga keuangan, baik bank maupun lembaga keuangan bukan bank seperti lembaga pembiayaan dan investasi, pasar modal, asuransi, dana pensiun, sewa guna usaha, modal ventura, giro pos, dan pasar uang, lebih ditingkatkan fungsi dan peranannya agar makin mampu menampung dan menyalurkan aspirasi dan minat masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan. Lembaga keuangan ini harus makin mampu berperan sebagai penggerak dan sarana mobilisasi dana masyarakat yang efektif dan sebagai penyalur yang cermat dari dana tersebut untuk pembiayaan kegiatan yang produktif. Lembaga keuangan yang andal dan dipercaya masyarakat dengan jaringan pelayanan dan jasa perantara ditumbuhkembangkan dan diperluas penyebarannya agar dapat menjangkau seluruh pelosok tanah air serta segenap lapisan masyarakat sehingga mampu mendorong dan menumbuhkan motivasi masyarakat berperan serta dalam pembangunan serta sekaligus meningkatkan efisiensi, produktivitas, serta keandalannya. Lembaga keuangan membuka kesempatan yang luas kepada masyarakat dan diberi kepercayaan untuk mengalokasikan dana masyarakat yang terhimpun secara efisien dan efektif dengan memberikan prioritas dalam penyediaan dan kemudahan kredit bagi pengusaha kecil, pengusaha menengah, dan koperasi dalam rangka memeratakan kesempatan usaha dan memperluas lapangan kerja. 341 2. Sasaran a. Sasaran PJP II Kebijaksanaan ,pembangunan dalam PJP II tetap bertumpu pada tercapainya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya kemakmuran yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Oleh karena itu, sebagai bagian dari pembangunan ekonomi, kebijaksanaan moneter dalam PJP II diarahkan pada tercapainya ketiga sasaran tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi diperlukan untuk menggerakkan dan memacu pembangunan di seluruh sektor perekonomian sehingga tercapai sasaran tingkat pendapatan per kapita rill di atas US$2.600 (harga konstan 1989) pada akhir PJP II. Tingkat pendapatan per kapita tersebut dicapai secara bertahap dan pada Repelita VI diperkirakan mencapai sekitar US$775 (harga konstan 1989). Untuk mencapai sasaran PJP II, pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 7 persen per tahun dan dimulai dengan rata-rata 6,2 persen dalam Repelita VI. Sasaran pertumbuhan ekonomi tersebut akan didukung dengan sasaran likuiditas perekonomian yang mendorong lancarnya kegiatan perekonomian. b. Sasaran Repelita VI Sasaran pertumbuhan ekonomi tersebut diupayakan dengan makin mengandalkan sumber dana pembiayaan pembangunan dari kemampuan sendiri. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi seperti tersebut, maka investasi yang dibutuhkan selama Repelita VI diperkirakan mencapai sekitar Rp660,1 triliun, dan sebagian besar (sekitar 73 persen) berasal dari masyarakat. 342 Agar dapat memenuhi kebutuhan investasi pembangunan yang meningkat itu maka tabungan nasional harus ditingkatkan. Tabungan dalam negeri diharapkan meningkat dari sekitar Rp341,5 triliun selama Repelita V menjadi sekitar Rp623,5 triliun selama Repelita VI. Dengan demikian peranan tabungan dalam negeri terhadap tabungan nasional, meningkat dari sekitar 92 persen menjadi sekitar 94 persen. Tabungan masyarakat menyumbang sebagian besar dari tabungan dalam negeri, yaitu sekitar Rp454,1 triliun selama Repelita VI. Sumber dana luar negeri yang dibutuhkan peranannya makin berkurang menjadi hanya sekitar 5,5 persen atau sekitar Rp36,6 triliun selama Repelita VI. Untuk mencapai sasaran tabungan masyarakat tersebut, kemampuan lembaga keuangan dalam menghimpun dana masyarakat diharapkan meningkat. Jumlah uang kuasi dan uang giral yang berhasil dihimpun lembaga keuangan makin bertambah. Peranan lembaga keuangan dalam kegiatan perekonomian pada Repelita VI akan meningkat dengan pesat. Lembaga keuangan tumbuh dan berkembang dengan kondisi yang sehat dan makin andal. 3. Kebijaksanaan a. Kebijaksanaan Umum Hakekat kebijaksanaan moneter adalah mengupayakan penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat melalui lembaga keuangan. Dalam Repelita VI, upaya tersebut dilaksanakan melalui kebijaksanaan meningkatkan tabungan masyarakat; menciptakan stabilitas harga; meningkatkan efisiensi lembaga keuangan; meningkatkan efektivitas penyaluran dana; mengembangkan lembaga keuangan; mengembangkan sumber daya manusia. 343 1) Meningkatkan tabungan masyarakat Tabungan nasional diharapkan makin meningkat dalam Repelita VI, agar mampu membiayai investasi yang diperlukan untuk mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi. Melalui kebijaksanaan moneter dan lembaga keuangan diupayakan peningkatan tabungan masyarakat, yang merupakan bagian terbesar dari tabungan nasional. Peran serta masyarakat dalam pembangunan akan tercermin dari peningkatan tabungan nasional sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan. 2) Menciptakan stabilitas harga Di samping mendukung pertumbuhan ekonomi dalam arti menyediakan likuiditas yang cukup bagi perekonomian sesuai dengan kebutuhannya, kebijaksanaan moneter juga bertujuan untuk mendukung terciptanya kestabilan harga dalam perekonomian. Melalui kebijaksanaan moneter, pengendalian jumlah uang beredar dilaksanakan agar sesuai dengan kebutuhan perekonomian. Stabilitas harga menjamin stabilnya nilai tukar mata uang rupiah dan sekaligus juga merupakan syarat bagi terlaksananya operasi lembaga keuangan dalam menghimpun maupun menyalurkan dana masyarakat. Stabilitas harga memberi keyakinan masyarakat bahwa dana yang ditanamkan pada lembaga keuangan memberikan hasil secara nyata. Selain menjaga kestabilan harga serta tingkat kegiatan ekonomi yang tinggi di dalam negeri, keseimbangan neraca pembayaran juga senantiasa dijaga. Untuk itu, kebijaksanaan moneter bersama-sama dengan kebijaksanaan keuangan negara dan neraca pembayaran diarahkan agar dua keseimbangan tersebut tercapai secara serasi. 3) Meningkatkan efisiensi lembaga keuangan Dana masyarakat yang terhimpun di lembaga keuangan kemudian disalurkan kembali ke masyarakat yang membutuhkan harga yang wajar dan terjangkau. Agar harga dana ini dirasakan 344 tidak memberatkan bagi masyarakat yang membutuhkannya, biaya intermediasi (biaya perantara) keuangan ditekan serendah mungkin. Hal ini bisa dicapai apabila lembaga keuangan yang ada dapat bekerja seefisien mungkin. Lembaga keuangan yang efisien akan mampu mengurangi perbedaan suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman menjadi makin kecil. 4) Meningkatkan efektivitas penyaluran dana Selain masalah efisiensi, maka efektivitas penyaluran dana juga merupakan masalah penting bagi kebijaksanaan moneter. penyaluran dana diupayakan tersalur kepada sektor-sektor yang produktif agar ikut mendorong pemerataan dan laju pertumbuhan ekonomi. Kebijaksanaan moneter diarahkan pada upaya membangun lapisan usaha menengah yang saling menunjang dengan usaha kecil sebagai tulang punggung perekonomian dan mengembangkan laju pembangunan daerah secara lebih merata, serta menunjang usaha-usaha dan kegiatan yang banyak menyerap tenaga kerja, termasuk usaha di wilayah perdesaan. 5) Mengembangkan lembaga keuangan Kebijaksanaan moneter dilaksanakan melalui lembaga keuangan. Lembaga keuangan, yang meliputi perbankan, lembaga keuangan lainnya termasuk asuransi, lembaga pembiayaan dan pasar modal ditingkatkan fungsi dan efektivitasnya dalam menghimpun dana masyarakat maupun menyalurkannya, dalam rangka membiayai kegiatan pembangunan. Dalam hal ini, sangat penting untuk mengembangkan lembaga keuangan yang sehat dan memperoleh kepercayaan masyarakat. Jenis, mutu, serta jangkauan pelayanan lembaga tersebut makin ditingkatkan. Lembaga keuangan diharapkan mampu menciptakan jenis produk-produk baru, seperti jenis tabungan, kredit, surat-surat berharga dan jasajasa pelayanan baru yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, baik penabung maupun peminjam dana. Dengan peningkatan efisiensi lembaga keuangan serta penambahan produk tersebut 345 ditingkatkan pula efisiensi pengendalian moneter. dan efektivitas kebijaksanaan 6) Mengembangkan sumber daya manusia Untuk mewujudkan sektor keuangan yang tangguh, andal, dan efisien diperlukan dukungan sumber daya manusia yang berkualitas dan profesional. Oleh karena itu, pengembangan sumber daya manusia di sektor keuangan mendapat prioritas dalam Repelita VI. Peran serta masyarakat dalam pengembangan sumber daya manusia ditingkatkan antara lain dengan mendorong lembaga keuangan menyediakan dana bagi kegiatan tersebut. Lembaga keuangan asing didorong untuk meningkatkan proses alih teknologi yang menunjang pembentukan tenaga profesional. b. Kebijaksanaan Penghimpunan Dana Dalam Repelita VI, pembangunan sektor keuangan diperluas dan diarahkan untuk memperbesar kemampuan mobilisasi sumber dana dalam negeri. Sehubungan dengan itu akan diciptakan iklim yang mendukung pengerahan dana masyarakat melalui kebijaksanaan meningkatkan perlindungan dana masyarakat; mengembangkan pilihan simpanan; meningkatkan penghimpunan dana melalui pasar modal; meningkatkan penghimpunan dana melalui asuransi dan dana pensiun; mengerahkan dana luar negeri; mengembangkan pasar surat berharga. 1) Meningkatkan perlindungan dana masyarakat Dalam rangka menciptakan iklim menabung yang menarik, perlindungan bagi keamanan dana masyarakat terus ditingkatkan. Penyempurnaan peraturan instrumen penghimpun dana dilakukan guna mendukung terciptanya sistem keuangan yang efisien. Informasi tentang kondisi keuangan lembaga keuangan dikembangkan sehingga makin terbuka dan mudah diikuti. Dengan demikian lembaga keuangan senantiasa berusaha menjaga kinerja usahanya, 346 melaksanakan praktek usaha yang sehat sehingga menciptakan rasa aman pada masyarakat. 2) Mengembangkan pilihan instrumen simpanan Penanaman kebiasaan menabung sejak awal pada generasi muda dikembangkan melalui berbagai program penyuluhan. Pemberian insentif bagi penabung akan diberikan dan diarahkan pada penghargaan yang tidak bersifat konsumtif, tetapi pada hal-hal yang produktif, misalnya perlindungan asuransi, pelayanan jasa pembayaran dan lain-lain. Bentuk-bentuk tabungan dan deposito yang menarik bagi masyarakat akan didorong untuk berkembang. 3) Meningkatkan penghimpunan dana melalui pasar modal Penghimpunan dana melalui pasar modal didorong perkembangannya. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi diharapkan makin banyak perusahaan yang go public. Pengembangan pasar obligasi juga dilanjutkan karena merupakan sarana untuk memperoleh dana jangka panjang yang relatif murah. Keikut-sertaan investor asing dalam pasar modal diupayakan meningkat dengan didukung perangkat hukum dan perundangundangan pasar modal yang makin jelas dan memberi rasa kepastian. 4) Meningkatkan penghimpunan dana melalui asuransi dan dana pensiun Sumber penghimpunan dana lain yang akan didorong adalah asuransi dan Dana Pensiun. Dengan makin berkembangnya sektor swasta, serta meningkatnya kesadaran untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai di kalangan usaha swasta maka asuransi dan dana pensiun akan makin berkembang. Dana yang terhimpun melalui kedua lembaga keuangan ini merupakan dana jangka panjang yang penting artinya bagi pembiayaan penanaman 347 modal yang berjangka panjang. Dana-dana tersebut harus dikelola secara profesional. 5) Mengerahkan dana luar negeri Diversifikasi instrumen pengerahan dana luar negeri akan terus diupayakan. Sumber dana luar negeri dimanfaatkan sepanjang tidak memberatkan perekonomian dan tanpa ikatan politik, serta untuk melengkapi sumber pembiayaan dalam negeri. Dana luar negeri digunakan untuk pembiayaan kegiatan pembangunan yang produktif dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Pinjaman lunak dari luar negeri diperkirakan akan makin sulit, sehingga perlu dikembangkan cara-cara lain untuk mendapatkan dana luar negeri yang tidak memberatkan perekonomian nasional. Pemanfaatan dana luar negeri dapat dilakukan dalam bentuk partisipasi asing di pasar modal dan pinjaman luar negeri oleh perusahaan-perusahaan. 6) Mengembangkan pasar surat berharga Pengembangan pasar sekunder bagi surat-surat berharga, guna meningkatkan likuiditas dari surat-surat berharga tersebut, akan didorong dengan membina lembaga surat berharga (securities house). Surat berharga, seperti saham, obligasi, sekuritas kredit berpotensi dalam menghimpun dana jangka panjang, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, dan sangat dibutuhkan dunia usaha. Pengembangan pasar surat berharga akan terus didorong agar dapat memanfaatkan peluang-peluang di pasar uang internasional. c. Kebijaksanaan Penyaluran Dana Kebijaksanaan penyaluran dana bertujuan agar tercipta iklim perkreditan yang mendukung bagi pengembangan dunia usaha dan ditempuh dengan kebijaksanaan mendorong suku bunga pinjaman pada tingkat yang wajar; mendorong pemanfaatan kredit sesuai 348 dengan prioritas pembangunan; meningkatkan penyaluran kredit; meningkatkan penyaluran kredit pada usaha kecil dan menengah; mengembangkan kredit kecil bagi sektor informal; menyelesaikan masalah kredit macet; mengelola kredit luar negeri. 1) Mendorong suku bunga pinjaman pada tingkat yang wajar Dalam Repelita VI akan terus diusahakan untuk mendorong perkembangan dan memantapkan suku bunga pinjaman pada tingkat yang wajar. Usaha itu dilaksanakan dengan menyempurnakan peraturan perbankan agar dapat lebih mendorong perluasan kredit dengan tetap berpedoman pada asas-asas perkreditan yang sehat; mendorong perbankan untuk menangani masalah kredit macet yang dihadapi secara konsepsional; mendorong perluasan pembiayaan perbankan bagi usaha menengah dan kecil; mendorong investasi masyarakat dan penyebarannya secara lebih merata; tetap mengendalikan pertumbuhan uang beredar dan kredit perbankan dalam batas-batas yang aman bagi stabilitas ekonomi. 2) Mendorong pemanfaatan kredit sesuai dengan prioritas pembangunan Dana yang terhimpun melalui lembaga keuangan dimanfaatkan dengan cermat. Perkreditan dan penyaluran dana akan diarahkan sesuai dengan prinsip Trilogi Pembangunan. Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, kebijaksanaan perkreditan diarahkan untuk mendukung ekspor nonmigas, pembangunan sektor industri, peningkatan diversifikasi usaha dan hasil sektor pertanian, khususnya hasil agroindustri, dan industri jasa transportasi, serta pariwisata. Pemberian kredit kepada sektor pertanian, khususnya pangan dan palawija, akan terus dilanjutkan untuk menunjang upaya meningkatkan penghasilan petani dan terpeliharanya stabilitas ekonomi. Dukungan bagi pemerataan pembangunan diupayakan melalui peningkatan pemberian kredit 349 kepada koperasi dan usaha menengah, usaha kecil dan pengembangan lembaga keuangan di perdesaan. Semua itu dilaksanakan seiring dengan kebijaksanaan untuk mengembangkan lembaga keuangan agar berkembang menjadi lembaga yang efisien, sehat, dan mandiri. 3) Meningkatkan penyaluran kredit Untuk mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang diharapkan selama Repelita VI, diperlukan laju pertumbuhan kredit yang mencukupi. Untuk itu diupayakan tumbuhnya iklim yang mendukung antara lain dengan mengembangkan dan mempertahankan tingkat bunga yang wajar, yaitu tingkat bunga yang dapat mendorong mobilisasi dana masyarakat dan meningkatkan pula pertumbuhan kredit secara memadai. Pemberian kredit diarahkan agar tetap dalam batas yang aman, baik dilihat dari permodalan dan likuiditas serta persyaratan administratif bank yang memberikan kredit. Di samping itu, kualitas kredit yang disalurkan ditingkatkan melalui peningkatan kemampuan bank untuk memilih dan mengevaluasi proyek. Bank didorong untuk berkembang ke arah yang lebih sehat dengan peningkatan efisiensi dalam intermediasi dan operasi bank pada umumnya serta mengurangi risiko kredit bermasalah. 4) Meningkatkan kredit bagi usaha kecil dan usaha menengah Dalam rangka mendorong tercapainya sasaran pemerataan, perbankan tetap diwajibkan untuk memenuhi sekurang-kurangnya 20 persen dari dana kreditnya untuk membiayai sektor usaha kecil (kredit usaha kecil). Penyaluran kredit usaha kecil terus didorong dan ditingkatkan efektivitasnya, antara lain melalui kerja sama yang makin baik antara bank umum dengan bank perkreditan rakyat. Di samping itu, keterkaitan berbagai program pengembangan usaha ekonomi kecil dan koperasi dengan perbankan terus ditingkatkan. Dalam rangka membangun 350 lapisan usaha menengah sebagai penyangga perekonomian nasional yang kukuh, perbankan diharapkan memberikan akses kredit yang lebih besar bagi golongan usaha ini. 5) Mengembangkan kredit kecil bagi sektor informal Penyaluran kredit kecil yang terpadu mendapatkan perhatian khusus dalam Repelita VI, sebagai bagian dari upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan pemerataan pembangunan. Kredit kecil terutama dibutuhkan oleh sektor informal, baik di perkotaan dan terutama perdesaan, yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi persyaratan perbankan. Pengembangan usaha sektor informal membutuhkan pula bimbingan teknis dan pemasaran disamping kredit bersuku bunga rendah. Oleh karena itu, akan dikembangkan suatu sistem kredit kecil yang terpadu, dengan melibatkan perbankan, lembaga swadaya masyarakat, koperasi, dan dunia usaha pada umumnya. 6) Menyelesaikan masalah kredit macet Kredit macet yang jumlahnya cukup besar mendapatkan prioritas pemecahan dalam Repelita VI. Persoalan kredit macet diselesaikan melalui upaya mengefektifkan lembaga yang berwenang menangani masalah ini seperti Panitia Urusan Piutang Negara, Peradilan Umum/Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara, serta Badan Arbitrase Nasional Indonesia, menyempurnakan perangkat dan mekanisme hukum yang berkaitan dengan penyelesaian kredit macet. 7) Pengelolaan kredit luar negeri Pembiayaan pembangunan melalui kredit luar negeri akan berperan penting dalam Repelita VI. Aliran keluar masuk yang bebas merupakan ciri pola devisa bebas, Oleh karena itu, iklim usaha yang menarik akan terus dikembangkan untuk menarik modal asing masuk ke Indonesia dan bukan sebaliknya. Untuk 351 tetap menjaga stabilitas ekonomi, khususnya keamanan cadangan devisa, maka upaya pengelolaan pinjaman luar negeri secara berhati-hati akan terus dilanjutkan. d. Kebijaksanaan Pembinaan Lembaga-Lembaga Keuangan Lembaga keuangan, baik bank maupun lembaga keuangan lainnya seperti lembaga pembiayaan dan investasi, pasar modal, asuransi, dana pensiun, sewa guna usaha, modal ventura, giro pos, dan pasar uang akan ditingkatkan fungsinya dalam Repelita VI. Upaya tersebut dilakukan dengan meningkatkan pembinaan dan pengembangan lembaga keuangan tersebut sebagai berikut. 1) Meningkatkan pembinaan dan pengawasan perbankan Peranan bank akan makin penting dalam menggerakkan roda perekonomian pada Repelita VI. Sehubungan dengan itu, upaya pembinaan dan pengawasan perbankan akan terus dilanjutkan. Kemampuan aparat departemen keuangan dan bank sentral makin ditingkatkan. Pembaharuan sistem pengawasan dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah dan penyebaran bank yang makin luas. Kewajiban pembuatan laporan secara berkala di dalam media massa terus dilanjutkan dan penyuluhan pada masyarakat lebih diaktifkan dengan tujuan antara lain memudahkan masyarakat menentukan bank pilihannya. Peningkatan perlindungan dana masyarakat yang dipercayakan pada lembaga perbankan akan diupayakan melalui penerapan prinsip kehati-hatian dan pemenuhan ketentuan persyaratan kesehatan bank. 2) Mengembangkan Bank Perkreditan Rakyat Pengembangan bank perkreditan rakyat (BPR) terus didorong agar pelayanan perbankan dapat mencapai masyarakat di seluruh pelosok tanah air. Pengembangan BPR diikuti dengan pembinaan dan pengawasan, agar kepercayaan masyarakat terhadap perbankan 352 tetap terjaga. Khusus bagi BPR yang semula merupakan bank desa, lumbung desa, lumbung pitih nagari, lembaga perkreditan desa, badan kredit desa, badan kredit kecamatan, kredit usaha rakyat kecil, dan lembaga lainnya yang dipersamakan, mendapatkan prioritas pembinaan untuk berkembang menjadi BPR yang sehat. Pembinaan BPR Baru tersebut tetap diarahkan pada fungsinya semula, khususnya dalam pengembangan usaha masyarakat setempat. Selain itu, pengembangan bank dan BPR berdasarkan prinsip bagi hasil akan terus didukung sesuai dengan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. 3) Mengembangkan pasar uang Dengan terpenuhinya syarat permodalan bank pada akhir 1993, seperti persyaratan oleh Bank for International Settlements, berarti perbankan Indonesia telah memenuhi syarat minimal untuk dapat masuk dalam lingkungan perbankan internasional. Sehubungan, dengan itu, diupayakan peningkatan kegiatan pasar uang melalui penyempurnaan mekanisme dan kelembagaan pasar uang, misalnya pengaturan sertifikat deposito, commercial paper, surat-surat berharga jangka pendek maupun jangka panjang lainnya yang akan meningkatkan efisiensi perbankan. Selain itu, untuk memperkenalkan Jakarta sebagai referensi pasar uang antar bank internasional dikembangkan fasilitas data pasar uang antar bank, khususnya untuk pemantauan kliring dan saldo bank, yang dilaksanakan melalui media elektronik. Diharapkan dalam Repelita VI, pasar uang lebih dapat berperan sebagai pedoman penentuan harga bagi perbankan di dalam penyesuaian tingkat suku bunga. Untuk makin mengefektifkan kebijaksanaan moneter, dan mengefisienkan pelaksanaan transaksi pasar uang rupiah dan valuta asing, pembinaan perusahaan pialang pasar uang akan terus dikembangkan, agar pemantauan pasar uang makin cermat. Pemantauan pasar uang juga akan ditingkatkan dengan menyempurnakan sistem informasi antarbank. 353 4) Mengembangkan dana pensiun Dana pensiun merupakan sarana penghimpun dana guna meningkatkan kesejahteraan pesertanya serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan nasional. Di samping itu, adanya tunjangan hari tua bagi para pekerja dapat pula meningkatkan motivasi dan ketenangan kerja sehingga meningkatkan produktivitas. Potensi dana pensiun dalam menghimpun dana jangka panjang akan terus dibina dan dikembangkan, khususnya dalam bidang sumber daya manusia. Selain itu, akan dikembangkan sistem pengawasan dan pemantauan investasi dana pensiun agar dana tersebut aman, likuid, dan memberikan manfaat yang optimal bagi pembangunan. 5) Mengembangkan usaha perasuransian Usaha perasuransian akan makin penting peranannya karena melalui usaha perasuransian dapat ditampung kerugian dari berbagai jenis risiko. Selain itu, dari kegiatan usaha ini diharapkan makin meningkat pengerahan dana masyarakat untuk pembiayaan pembangunan. Kreativitas usaha perasuransian dalam mengelola risiko finansial dari rumah tangga maupun dunia usaha terus didorong. Peningkatan kemampuan dan keterampilan teknis, serta efisiensi usaha perasuransian, sesuai dengan asas spesialisasi usaha, akan terus dibina sehingga mampu menampung beban risiko yang makin besar dan bersaing dengan usaha perasuransian luar negeri. Berbagai ketentuan seperti persyaratan permodalan, penyediaan tenaga ahli, dan perlindungan atas hak tertanggung dan pemakai jasa, diterapkan secara bertahap dalam Repelita VI. Di samping itu, kerja sama antarusaha perasuransian akan terus dibina untuk mendorong iklim usaha yang sehat. Sejalan dengan meningkatnya kehidupan ekonomi masyarakat, peranan asuransi sosial dan kesehatan makin dikembangkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat. 354 6) Mengembangkan lembaga pembiayaan dan investasi Pembinaan dan pengembangan perusahaan pembiayaan dan investasi seperti sewa guna usaha dan modal ventura ditingkatkan. Iklim berusaha bagi berkembangnya lembaga ini diciptakan melalui kemudahan dalam perpajakan dan perizinan, serta pembinaan sumber daya manusia dan kelembagaan. Pengembangan modal ventura, yang selain memberikan bantuan dana juga membina manajemen dan produksi mitra kerjanya, didorong untuk lebih berperan serta dalam pengembangan usaha menengah dan usaha kecil dan lebih menyebar ke seluruh wilayah, khususnya kawasan timur Indonesia. Sehubungan dengan itu, keterkaitan kegiatan perusahaan pembiayaan dan investasi dengan perbankan ditingkatkan dalam rangka memperluas kesempatan berusaha, seperti halnya pola bapak angkat guna membantu pengembangan usaha ekonomi kecil oleh perusahaan besar dan BUMN. 7) Mengembangkan usaha pegadaian Pengembangan perusahaan pegadaian, sebagai lembaga keuangan yang memberikan kemudahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk memperoleh pinjaman dengan jaminan, ditingkatkan dan diarahkan untuk mengoptimalkan pengaturan pagu dan jangka waktu pinjaman sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta memperluas jangkauan pelayanannya. Dalam Repelita VI akan dijajaki pengaturan peran serta masyarakat di dalam usaha pegadaian. 8) Meningkatkan pelayanan jasa keuangan Sementara itu, peran giro pos sebagai produk dan jasa layanan keuangan kepada masyarakat akan ditingkatkan. Demikian juga, kartu kredit dan pembiayaan konsumen. Usaha-usaha pelayanan kepada masyarakat dalam bidang keuangan tersebut akan diarahkan untuk meningkatkan kelancaran arus dana masyarakat. 355 9) Mengembangkan pasar modal Peranan pasar modal dalam Repelita VI akan makin besar dalam pengerahan dana masyarakat, sesuai dengan asas kemandirian dalam pembiayaan pembangunan. Dana jangka panjang yang terkumpul melalui pasar modal sangat membantu perbaikan struktur keuangan perusahaan maupun pengembangan usaha agar produktivitasnya makin meningkat. Pengembangan pasar modal terus dilanjutkan melalui penyempurnaan peraturan dan kelembagaan agar pasar modal menjadi alternatif penting bagi pengerahan dana dan perluasan peran serta masyarakat dalam pemilikan efek perusahaan menuju pemerataan pendapatan. Undang-undang pasar modal akan diupayakan untuk diperbarui mengingat undang-undang yang sekarang berlaku, yaitu UU Pasar Modal Tabun 1952, sudah dianggap tidak memadai lagi dan tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan pasar modal internasional. Penyusunan peraturan yang mencakup aturan penegakkan hukum di lantai bursa, perbaikan sistem jual beli saham yang mengarah kepada perdagangan saham tanpa penyerahan fisik, dan peraturan tentang credit rating bagi para emiten akan diselesaikan dalam Repelita VI. Untuk mengantisipasi perkembangan arus globalisasi dalam industri sekuritas, dan adanya peningkatan volume efek yang tercatat maupun peningkatan transaksi perdagangan saham maka bursa akan didukung dengan pelayanan kliring dan settlement yang lebih profesional, didasarkan pada tolok ukur yang selaras dengan standar internasional. Perbaikan administrasi bursa diarahkan pada sistem kontrol yang melekat dengan dukungan teknologi yang serasi. Oleh karena itu, pembinaan cumber daya manusia pada aparat pasar modal diberikan prioritas. Lembaga penunjang pasar modal, seperti pialang, penjamin emisi, custodian, dan emiten, akuntan publik terus dibina untuk meningkatkan profesionalisme, transparansi, dan integritas. 356 Perdagangan pasar sekunder obligasi ditingkatkan efektivitasnya sebagai salah satu alternatif bagi calon emiten ataupun investor; demikian juga dengan peran bursa paralel sebagai pasar over the counter akan makin dikembangkan agar dapat menarik perusahaan kecil untuk go public. Pengembangan pasar modal dalam jangka panjang juga ditujukan untuk pemerataan pendapatan melalui pemerataan pemilikan usaha. Oleh karena itu, selama Repelita VI peranan masyarakat (pemodal lokal) akan terus didorong dalam pemilikan saham, antara lain melalui penyempurnaan mekanisme penentuan harga saham perdana dan peraturan pembagian dividen dan peningkatan peranan PT Danareksa. 10) Mengembangkan lembaga keuangan lainnya Pengembangan perbankan akan diselaraskan dengan pengembangan lembaga pembiayaan lainnya, terutama lembaga pembiayaan jangka panjang, seperti sewa guna usaha, modal ventura, dan pasar modal. Pengembangan lembaga keuangan dan bank diupayakan berjalan seiring dan saling mendukung dengan kebijaksanaan keuangan. Perangkat pendukung lembaga perbankan, seperti asuransi kredit dan anjak piutang terus ditingkatkan kemampuannya. Pengembangan lembaga rating yang sudah dimulai dalam Repelita V akan diupayakan segera berfungsi dalam Repelita VI. Selain itu, kemungkinan adanya lembaga perlindungan simpanan nasabah akan dijajagi dan dikembangkan pada Repelita VI . V. PROGRAM PEMBANGUNAN 1. Program Pembinaan Lembaga Keuangan a. Sub Program Pembinaan Lembaga Pasar Uang Program ini ditujukan untuk meningkatkan fungsi dan peranan bank ataupun lembaga keuangan lainnya seperti lembaga 357 pembiayaan dan investasi, asuransi, dana pensiun, sewa guna usaha, modal ventura, giro pos, dan pasar uang, agar mampu menampung dan menyalurkan aspirasi dan minat masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan. Lembaga keuangan harus makin mampu berperan sebagai penggerak dan sarana mobilisasi dana masyarakat yang efektif dan sebagai penyalur yang cermat. Kegiatan yang akan dilaksanakan terutama berupa pembinaan dan pengembangan lembaga keuangan. Untuk mendorong pengelolaan perbankan yang makin efisien dikembangkan sistem informasi antar bank. Bantuan teknis bagi bank perkreditan rakyat (BPR) juga diprioritaskan agar jangkauan pelayanan perbankan makin luas dan dapat diandalkan. Untuk membentuk industri asuransi dan dana pensiun yang andal dan sehat, maka akan ditingkatkan kegiatan pembinaan dan pengawasan, misalnya melalui pengembangan sistem informasi manajemen dan penerapan prinsip underwriting yang benar. Di samping itu, pengembangan tenaga profesional di bidang asuransi dan dana pensiun akan ditingkatkan jumlah maupun kualitasnya. Kegiatan yang mendukung pemberian kredit bagi pengusaha kecil, pengusaha menengah, dan koperasi juga diprioritaskan dalam rangka memeratakan kesempatan usaha dan memperluas lapangan kerja. Beberapa proyek yang telah dilaksanakan, seperti proyek pengembangan usaha kecil (PPUK), proyek pengembangan hubungan bank dan kelompok swadaya masyarakat (PHBK), akan dilanjutkan. Pemberian konsultasi kepada bank dalam rangka memelihara, menyempurnakan, serta mempromosikan proyek usaha kecil yang profesional makin dikembangkan. b. Subprogram Pembinaan Lembaga Pasar Modal Program ini ditujukan untuk lebih meningkatkan fungsi dan peranan pasar modal, yang ditopang peraturan perundangundangan. Pasar modal harus mampu berperan sebagai penggerak 358 dan sarana mobilisasi dana masyarakat yang efektif melalui pemilikan saham perusahaan yang go public. Dengan memiliki saham, masyarakat telah menyalurkan dananya dengan cermat untuk pembiayaan kegiatan yang produktif. Kegiatan dalam program ini terutama mendorong tercapainya transparansi, profesionalisme, dan tertib di lantai bursa. Perbaikan sistem jual beli saham yang mengarah kepada perdagangan saham tanpa penyerahan fisik akan terus dilanjutkan. Demikian juga, pelaksanaan credit rating bagi para emiten akan segera dilaksanakan. Peningkatan kemampuan aparat pasar modal juga akan diperhatikan agar mampu melayani transaksi saham yang makin meningkat. Bentuk kegiatan yang akan dilaksanakan antara lain penyempurnaan sistem kelembagaan pasar modal, peningkatan efisiensi pasar modal. VI. RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN DALAM REPELITA VI Program-program pembangunan tersebut di atas dilaksanakan baik oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat. Dalam programprogram tersebut, yang merupakan program dalam bidang kebijaksanaan moneter dan lembaga-lembaga keuangan, yang akan dibiayai dengan anggaran pembangunan selama Repelita VI (1994/95 - 1998/99) adalah sebesar Rp830.680,0 juta. Rencana anggaran pembangunan kebijaksanaan moneter dan lembagalembaga keuangan untuk tahun pertama dan selama Repelita VI menurut sektor, subsektor, dan program dalam sistem APBN dapat dilihat dalam Tabel 6 - 1. 359 360 Tabel 6—1 RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN KEBIJAKSANAAN MONETER DAN LEMBAGA—LEMBAGA KEUANGAN Tabun Anggaran 1994/95 dan Repelita VI (1994/95 — 1998/99) (dalam juta rupiah) No. Kode Sektor/Sub Sektor/Program 05 SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN USAHA NASIONAL, KEUANGAN DAN KOPERASI 05.4 Sub Sektor Keuangan 05.4.02 Program Pengembangan Lembaga Keuangan dan Pembinaan Kekayaan Negara 1994/95 112.550,0 1994/95 — 1998/99 830.680,0