Reissner dan membrana basilaris bergoyang dari satu sisi ke sisi yang lain atau menuju skala timpani dan skala vestibuli secara bergantian. Goyangan tersebut juga menyebabkan perubahan posisi membrana tektorial dan mempengaruhi membran basilaris yang merupakan tempat melekatnya reseptor alat pendengaran, yakni sel rambut. Masing-masing sel rambut memiliki kira-kira 100 stereosilia yang berhubungan erat dengan membrana tektorial. Sekitar 1800 serabut saraf eferen (kolinergik) berakhir pada sel rambut dan dapat menghambat penerimaan frekuensi tertentu. Mekanisme tersebut dapat digunakan untuk ‘penyaring’ suarasuara yang mengganggu dari sekelilingnya. Gambar II.2. Jaras pendengaran aferen Selanjutnya jaras pendengaran aferen dijelaskan sebagai berikut. Sesuai gambar II.2., cabang serabut saraf pendengaran yang berjalan dari organ Corti [1] ke anteroventral [2], posteroventral dan nukleus koklearis dorsal [3]. Serabut aferen tersusun dalam tiga nukleus sesuai dengan frekuensinya dan kerumitan yang berbeda-beda. Penghambatan lateral di titik ini berguna untuk meningkatkan kontras, yaitu penekanan bising. Pada oliva superior [4] dan nukleus aksesorius [5] yang juga menerima impuls kontralateral, intensitas dan waktu perjalanan suara dibandingkan. Titik selanjutnya adalah lemniskus lateral [6] dan kolikulus 14 inferior [7] yang juga menerima impuls dari serabut yang bersilangan. Melalui nukleus genikulatum medial talamus [8] serabut aferen akhirnya mencapai korteks pendengaran yang dikelilingi oleh daerah pendengaran sekunder. Pusat-pusat ini bertanggung jawab untuk analisis suara yang kompleks, ingatan jangka pendek untuk perbandingan nada, menghambat respons motorik yang tidak diinginkan dan pendengaran yang serius (Despopoulos dan Sibernagl, 2000; Hendelman, 2006). II.1.2 Integrasi Sentral Tempat terakhir jaras pendengaran adalah di girus transversal Heschl, yang terletak pada permukaan superior dari lobus temporal di dalam fisura lateral. Girus ini berperan untuk lokalisasi tonotopik; sedangkan untuk penerjemahan bahasa terletak pada area Wernicke, yang terletak berdekatan dengan girus tersebut. Keduanya adalah bagian dari lobus temporal yang berfungsi utama sebagai korteks asosiasi. Gambar II.3. Sistem limbik dan interkoneksi antara komponen yang menyusunnya 15 Hubungan antara memori, emosi dan fungsi otonom tergabung dalam sistem limbik. Sistem limbik adalah gabungan struktur kortikal dan subkortikal yang saling terkait dan memiliki peran utama dalam pengaturan kondisi emosional yang menyertai respons fisiologis, perilaku dan psikologis. Sistem limbik memiliki bagian kortikal (hipokampus, girus parahipokampus, girus cingula, bagian korteks olfaktorius) dan subkortikal (badan amigdala, area septa, nukleus talamik anterior). Pada gambar II.3. dapat dilihat bahwa sistem limbik memiliki sirkuit internal yang menghubungkan komponen-komponen penting di dalamnya. Koneksi terebut berjalan secara dua arah. Badan amigdala mengubungkan talamus dan hipotalamus, sedangkan komisura anterior menghubungkan kedua badan amigdala. Amigdala diketahui adalah struktur primitif yang dimiliki oleh hampir semua hewan, namun pada manusia berdasarkan hasil pemeriksaan MRI fungsional didapatkan keterkaitan dengan reaksi emosi. Selanjutnya hubungan antara hipotalamus dengan otak tengah dan medula melalui serabut penghubungnya menjadi kunci terjadinya respons otonomik (Despopoulos dan Sibernagl, 2000; Hendelman, 2006). II.1.3 Sistem Otonom dan Kontrol Ritmik Jantung II.1.3.1 Sistem Otonom SSO melayani pengaturan fungsi organ dalam, mengadaptasikan organ-organ tersebut pada kebutuhan suatu saat dan mengatur lingkungan dalam tubuh. Aktivitas tersebut sebagian besar tidak berada di bawah pengendalian sadar. Pada bagian perifer penyusunan sistem saraf otonom dan somatik secara fungsional maupun anatomis hampir seluruhnya terpisah, sedangkan sistem saraf pusat terjalin hubungan yang sangat erat antara keduanya. SSO perifer terdiri dari dua divisi, yakni divisi simpatis dan parasimpatis. Sebagian besar organ diinervasi oleh serabut-serabut dari kedua divisi SSO. Respons dari kedua jenis serabut tersebut dapat bersifat antagonis (misalnya pada jantung) atau hampir paralel (misalnya kelenjar liur). Medula adrenal merupakan 16 Dapat dilihat pada gambar II.4., pusat divisi simpatis terletak di sumsum tulang belakang daerah torakal dan lumbal, sedangkan parasimpatis di daerah sakral dari sumsum tulang belakang (untuk kandung kemih, sebagian usus besar, alat kelamin) dan pada batang otak (untuk mata, kelenjar-kelenjar dan organ-organ yang dipersarafi nervus vagus). Kedua divisi tersebut terdiri dari serat preganglion yang dialihkan ke serat pascaganglion di ganglion. Di dalam ganglion, transmisi rangsang ke serat pascaganglion secara kolinergik, yakni melalui perantaraan neurotransmiter asetilkolin. Pada sistem parasimpatis, neurotransmiter baik di ganglion maupun di organ efektor adalah asetilkolin; sedangkan pada sistem simpatis, neurotransmiter pada organ efektor adalah norepinefrin kecuali kelenjar keringat. Gambar II.5. Penghantaran neurotransmiter pada ganglion otonom (kiri: parasimpatik, kanan: simpatik) 18 Penghantaran impuls antar serabut saraf dilakukan oleh neurotransmiter. Asetilkolin (ACh) adalah neurotransmiter di semua ujung saraf preganglion otonom, semua parasimpatis, beberapa ujung saraf pascaganglion simpatis, sambungan neuromuskular dan beberapa sinaps di SSP. Datangnya potensial aksi presinaps menyebabkan influks Ca2+ yang mengakibatkan pelepasan ratusan kuantum ACh yang cukup untuk menghasilkan EPSP. Hal ini disebabkan ACh meningkatkan konduktansi untuk Na+, K+ dan Ca2+, namun untuk jantung ACh hanya meningkatkan konduktansi K+. Norepinefrin (NE) merupakan zat transmiter sebagian besar ujung saraf pascaganglion simpatis serta beberapa sinaps pada SSP, khususnya di hipotalamus. Reseptor yang bekerja pada sinaps masing-masing divisi tersebut adalah spesifik. Terdapat dua golongan reseptor untuk ACh, yakni reseptor nikotinik dan muskarinik; sedangkan untuk NE memiliki reseptor α1, α2, β1 dan β2. Berbagai macam obat yang bekerja pada SSO didasarkan pada modulasi reseptor-reseptor tersebut (Arslan, 2001; Despopoulos dan Sibernagl, 2000). II.1.3.2 Kontrol Ritmik Jantung Jantung diinervasi oleh sistem saraf otonom, yaitu saraf simpatis dan parasimpatis. Serabut-serabut saraf simpatis menginervasi daerah atrium dan ventrikel termasuk pembuluh darah koroner. Saraf parasimpatis terutama memberikan persarafan pada nodus sinoatrial (SA), atrioventrikular (AV), serabut-serabut otot atrium dan dapat pula menyebar ke dalam ventrikel kiri. Persarafan simpatis eferen preganglionik berasal dari medula spinalis torakal atas, yaitu T3 – T6, lalu sebelum mencapai jantung melalui pleksus kardialis dan berakhir pada ganglion servikalis superior, medikal dan inferior. Serabut pascaganglionik menjadi saraf kardialis untuk masuk ke dalam jantung. Persarafan parasimpatis berasal dari pusat n. vagus di medula oblongata dan serabut-serabutnya bergabung dengan serabut simpatis di dalam pleksus kardialis (Oemar H, 2004). Secara skematik dapat dilihat pada gambar II.5. 19 Gambar II.6. Skema sistem persarafan jantung Laju jantung pada manusia normal dalam kondisi istirahat adalah 60 – 100 denyut per menit, sedangkan pada mammalia kecil justru lebih cepat yakni 600 denyut per menit. Peningkatan aktivitas n. simpatik yang menginervasi nodus SA akan meningkatkan laju jantung (takikardia) dan sebaliknya peningkatan aktivitas n. parasimpatik akan menurunkan laju jantung (bradikardia). Hal tersebut terjadi pula pada nodus AV. Kedua divisi tersebut bekerja secara aktif dan kontinu pada kondisi istirahat namun inhibisi parasimpatik lebih dominan. Stimulasi vagal mengakibatkan bradikardia melalui dua mekanisme, yakni laju potensial nodus diperlambat dan potensial awal segera menjadi lebih negatif (hiperpolarisasi). Bradikardia vagal tersebut cepat berkurang saat stimulasi dihentikan sebab neurotransmiter ACh cepat dihilangkan dari sinaps oleh banyaknya kolinesterase. Secara normal, hal tersebut terjadi selama proses ekspirasi pernapasan yang disebabkan refleks peregangan paru-paru dan pengaruh sentral (lihat gambar II.6.) (Levick, 2000; Berne dan Levy, 2001). 20 Gambar II.7. Perbedaan fase inpirasi dan ekspirasi pada gambaran EKG Stimulasi simpatik mengakibatkan takikardi namun bila dihentikan seketika maka penurunan tidak terjadi cepat melainkan secara bertahap. Hal tersebut disebabkan dua faktor, yakni pertama, respons simpatik hanya bergantung pada pembawa pesan kedua (second messenger) cAMP, dan kedua, pelepasan NE yang tidak secepat ACh. Oleh karena itu, stimulasi vagal dapat mempengaruhi laju jantung secara denyut per denyut namun tidak demikian dengan stimulasi simpatik. Hal-hal lain yang dapat mempengaruhi laju jantung adalah refleks-refleks, yang terdiri dari refleks baroreseptor, refleks Bainbridge, reflek regang paru, refleks kemoreseptor dan refleks ventrikular; serta temperatur, pH dan komposisi gas darah. Kesemua hal tersebut adalah mekanisme homestasis tubuh untuk tetap menjaga ritme jantung dalam rentang normal (Munawar dan Sutandar, 2004). II.1.4 Elektrokardiografi EKG adalah suatu grafik yang mencatat perubahan yang terjadi pada potensial listrik (dalam mV) antara tempat yang berbeda di kulit (sandapan) sebagai akibat aktivitas elektrik jantung. EKG sangat efektif untuk menggambarkan kondisi statis jantung dan oleh karena itu EKG tidak memberi informasi langsung mengenai kontraksi dan efisiensi pemompaan jantung. Secara konvensional, EKG direkam pada suatu kertas khusus yang memiliki tampilan kisi. Kecepatan baku yang biasa digunakan adalah 25 mm/sekon sehingga tiap mm kertas menunjukkan 0,04 sekon. Tiap kotak besar (5 mm) menunjukan 0,2 sekon. Standarisasi amplitudo baku yang biasa dipakai adalah 1, artinya tiap 1 cm defleksi vertikal menunjukkan 1 mV. Bilamana gambaran EKG terlalu besar sehingga seluruh defleksi gelombang QRS tidak tertangkap, maka 21 standarisasi dapat diturunkan menjadi ½, sebaliknya bila terlalu kecil, maka dapat dinaikkan menjadi 2. Seiring dengan kemajuan teknologi, kini kertas mulai digantikan dengan layar monitor, namun sebagian besar alat yang tersedia tetap menggunakan standar tersebut (Munawar dan Sutandar, 2004; Abedin-Conner, 1991). II.1.4.1 Sandapan EKG Secara umum, standar jumlah sandapan EKG maksimal adalah 12, yang terbagi dua bagian, yakni enam sandapan ekstremitas dan enam sandapan prekordial. Sandapan ekstremitas atau frontal dibagi lagi menjadi sandapan bipolar dan unipolar. Sandapan bipolar disebut demikian oleh karena sandapan tersebut hanya merekam perbedaan tegangan dua elektroda, sedangkan sandapan unipolar mengukur potensial terhadap acuani nol. Sandapan bipolar dinamakan dengan sandapan I, II dan III. Sandapan I merekam perbedaan tegangan antara lengan kiri dan lengan kanan. Sandapan II merekam perbedaan tegangan antara kaki kiri (LL = left leg) dengan lengan kanan (RA = right arm) dan sandapan III merekam perbedaan tegangan antara kaki kiri (LL) dengan lengan kiri (LA = left arm). Secara skematis, ketiga sandapan tersebut dinamakan sebagai segitiga Einthoven (gambar II.7.) Sandapan unipolar atau diperkuat (augmented) terdiri atas sandapan aVL, aVR dan aVF. Sandapan prekordial adalah sandapan unipolar yang diletakkan pada dada secara transversal mengikuti proyeksi jantung dan dinamakan dengan sandapan V1 hingga V6 (Despopoulos dan Sibernagl, 2000; Munawar dan Sutandar, 2004; Abedin-Conner, 1991; Carr dan Brown, 2001). Gambar II.8. Sandapan EKG menurut Einthoven 22 II.1.4.2 Kompleks dan Interval EKG Hasil rekaman EKG terdiri atas dua unsur, yakni kompleks dan interval. Kompleks yang normal adalah gelombang P, kompleks QRS, gelombang T dan gelombang U yang merefleksikan setiap aktivitas elektrik jantung dan kondisi jantung sesaat. Interval adalah nilai yang diukur antara suatu kompleks dengan dengan kompleks yang lain. Pada orang dewasa normal, terdapat kisaran dalam domain waktu dan ampiltudo yang menjadi salah satu acuan untuk menilai apakah suatu rekaman EKG disebut normal atau tidak. Secara lebih lengkap dijelaskan pada tabel II.1. dan gambar II.8. berikut (Munawar dan Sutandar, 2004; AbedinConner, 1991). Gambar II.9. Penamaan kompleks dan interval gambaran EKG Tabel II.1. Kompleks dan Interval EKG normal Nama Istilah Kompleks Gelombang P Kompleks QRS Gelombang T Gelombang U Interval Interval PR Interval QRS Interval QT Interval RR Definisi Nilai Normal Durasi (s) Amplitudo (mV) Depolarisasi atrial Depolarisasi miokardium ventrikel Repolarisasi miokardium ventrikel Penanda gangguan elektrolit, pengaruh obat dan iskemia miokardium 0,11 0,05 – 0,1 Diukur dari awal P ke awal QRS Diukur dari awal ke akhir QRS Diukur dari awal QRS ke akhir T Diukur antara puncak QRS 0,12 – 0,2 0,05 – 0,1 Bervariasi 0,6 – 1 23 0,25 ≤ 1,1 di aVL, ≤ 2 di aVF, ≤ 3 di V1-V6 ≤ 0,5 di frontal, ≤ 1 di prekordial terhadap laju jantung II.2 Aspek Teknis II.2.1 Standar Analisis Variabilitas Laju Jantung Heart Rate Variability atau Variabilitas Laju Jantung (VLJ) adalah suatu istilah yang disepakati sejak tahun 1996 untuk mendeskripsikan variabilitas laju jantung melalui fluktuasi interval RR. Metode tersebut pertama kali digagas oleh Hon dan Lee (1965) yang menyatakan bahwa distres janin didahului oleh perubahan interval antar denyut sebelum perubahan laju jantung itu sendiri. Selanjutnya metode tersebut diterapkan sebagai prediktor yang kuat untuk mortalitas pasca serangan infark miokard akut sejak akhir tahun 1980. Variasi laju jantung dapat dievaluasi dengan berbagai metode analisis. Secara umum, metode analisis terbagi dua, yakni berdasarkan domain waktu dan domain frekuensi. Pada perekaman EKG secara kontinu, interval RR didapatkan sebagai parameter dasar analisis dalam domain waktu. Dalam VLJ, istilah RR dapat digantikan dengan NN (normal to normal) yang bermakna interval antar kompleks EKG yang terdeteksi. Analisis tersebut kemudian dapat dibagi secara statistik atau geometrik. Secara perhitungan, analisis terbagi dua kelas, yakni pengukuran interval NN saja atau perbedaan antara interval NN. Durasi pengukuran secara konvensi terbagi dua yakni jangka pendek, yaitu 5 menit, dan jangka panjang, yakni 24 jam. Berdasarkan hal-hal tersebut maka didapatkan sejumlah variabel statistik yang secara lengkap dapat dilihat pada tabel II.2. berikut. Pengukuran secara geometrik memiliki keterbatasan sebab membutuhkan data interval NN yang cukup banyak untuk mendapatkan hasil yang optimal. Umumnya perekaman dilakukan minimal 20 menit namun lebih disukai selama 24 jam. Pengukuran secara geometrik lebih sering digunakan untuk perekaman jangka panjang atau menengah. 24 Tabel II.2. Pengukuran VLJ dalam domain waktu Variabel Secara statistik SDNN SDNN index Unit Deskripsi ms ms SDANN ms RMSSD ms SDSD ms % Standar deviasi dari semua interval NN Rerata SDNN dari semua segmen 5 menit dalam total rekaman Standar deviasi dari semua rerata interval NN pada segmen 5 menit dari total rekaman Akar kuadrat dari rerata jumlah kuadrat dari perbedaan antara interval NN berdekatan Standar deviasi dari perbedaan antara interval NN berdekatan Banyaknya perbedaan antara interval NN berdekatan yang lebih dari 50 ms dalam total rekaman NN50 dibagi dengan total banyaknya interval NN ms Total banyaknya interval NN dibagi dengan tinggi maksimal histogram dari semua interval NN yang diukur pada skala diskrit Lebar garis dasar HRV triangular index NN50 count pNN50 Secara geometrik HRV triangular index TINN Pengukuran dalam domain frekuensi menggunakan analisis kerapatan spektral daya atau power spectral density, yakni bagaimana daya (varians) didistribusikan sebagai fungsi frekuensi. Metode untuk kalkulasi PSD dapat dibagi atas parametrik dan non parametrik. Kelebihan metode non parametrik adalah (a) kelugasan algoritma dan (b) kecepatan pemrosesan yang tinggi; sedangkan kelebihan metode parametrik adalah (a) komponen spektral lebih halus, (b) pemrosesan lanjutan dari spektrum lebih mudah dan (c) estimasi PSD akurat walau sampel sedikit. Komponen spektral yang digunakan dalam domain frekuensi diambil dari perekaman selama 2 – 5 menit dan terbagi atas very low frequency (VLF), low frequency (LF) dan high frequency (HF). Distribusi daya dan frekuensi sentral LF dan HF tidak tetap melainkan dapat berubah-ubah tergantung modulasi otonomik terhadap periode jantung. Komponen tambahan berupa ultra low frequency (ULF) didapat dari perekaman selama 24 jam. Permasalahan yang timbul pada perekaman jangka panjang tersebut adalah modulasi dapat tidak stabil sehingga 25 stasioneritas tidak terwujud dan oleh karena itu interpretasi menjadi kurang bermakna. Hal yang patut diingat adalah keempat komponen HRV tersebut adalah mencerminkan derajat modulasi otonomik dan bukan tingkatan tonus otonom. Secara lebih lengkap pembagian komponen tersebut diterangkan dalam tabel II.3. Standar pengukuran non parametrik (berdasarkan algoritma FFT) adalah nilainilai dalam tabel II.3., formula interpolasi NN, frekuensi sampling interpolasi NN, banyaknya sampel yang digunakan untuk kalkulasi spektrum, dan jendela (windowing) spektral. Sedangkan standar pengukuran parametrik adalah nilai-nilai dalam tabel II.3., tipe model yang digunakan, banyaknya sampel, frekuensi sentral dari setiap komponen spektral dan nilai susunan model (jumlah parameter). Standar tersebut mengacu pada Task Force of the European Society of Cardiology and the North American Society of Pacing and Electrophysiology (1996). Tabel II.3. Pengukuran VLJ dalam domain frekuensi Variabel Jangka pendek (5 menit) Total daya 5 menit VLF Unit Deskripsi Rentang Frekuensi ms2 ms2 Kira-kira ≤ 0,4 Hz ≤ 0,04 Hz LF LF norm ms2 n.u. HF HF norm ms2 n.u. Varians interval NN Daya dalam rentang frekuensi sangat rendah Daya dalam rentang frekuensi rendah Daya LF dalam unit ternormalisasi, LF/(total daya – VLF) x 100 Daya dalam rentang frekuensi tinggi Daya HF dalam unit ternormalisasi, HF/(total daya – VLF) x 100 Rasio LF dengan HF LF / HF Jangka panjang (24 jam) ULF a ms2 VLF, LF, HF ditambah dengan ULF dan a Daya dalam rentang frekuensi ultra rendah Kemiringan interpolasi linear spektrum dalam skala log-log 0,04 – 0,15 Hz 0,15 – 0,4 Hz ≤ 0,003 Hz Kira-kira ≤ 0,04 Hz Makna komponen spektral tersebut pada klinis dikaitkan dengan modulasi otonomik dan kondisi patologis spesifik (Huikuri, 1999). Aktivitas vagal adalah kontributor utama untuk komponen HF, sedangkan aktivitas simpatik dicerminkan 26 oleh komponen LF. Rasio LF/HF diyakini sebagai refleksi keseimbangan simpatovagal (Tikkanen, 1999; Grasso dkk., 1997; Schelven dkk., 2000). Penelitian-penelitian selanjutnya yang sedang dan akan dikembangkan terkait dengan analisis VLJ terbagi menjadi lima topik, yakni (1) pemrosesan sinyal VLJ dan interpretasinya, (2) VLJ dan pemodelan kardiovaskular, (3) VLJ multiskala dan fraktal, (4) VLJ janin dan neonatus dan (5) klasifikasi (Cerutti dkk, 2006). II.2.2 Interpolasi dan Regresi Para rekayasawan dan ahli ilmu alam sering bekerja dengan sejumlah data diskrit yang umumnya disajikan dalam bentuk tabel. Data di dalam tabel mungkin diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan, hasil pengukuran di laboratorium atau tabel yang diambil dari buku-buku acuan. Masalah yang cukup sering muncul dengan data tersebut adalah menentukan nilai di antara titik-titik diskrit tersebut tanpa harus melakukan pengukuran lagi. Salah satu solusinya adalah mencari fungsi yang mencocokkan (fit) titik-titik data. Pendekatan seperti ini di dalam metode numerik dinamakan pencocokan kurva (curve fitting). Fungsi yang diperoleh dengan pendekatan ini merupakan fungsi hampiran, karena itu nilai fungsinya tidak setepat nilai sejatinya. Gambar II.10. Pencocokan kurva dengan metode (a) regresi dan (b) interpolasi 27 Pencocokan kurva dibedakan atas dua metode: 1. Regresi Data hasil pengukuran umumnya mengandung derau (noise) atau galat yang cukup berarti. Disebabkan data ini tidak teliti, maka kurva yang mencocokkan titik data itu tidak perlu melalui semua titik. Tata-ancang yang dipakai adalah menentukan kurva yang mewakili kecenderungan (trend) titik data, yakni kurva mengikuti pola titik suatu kelompok (Gambar II.9.a). Kurva tersebut dibuat sedemikian sehingga selisih antara titik data dengan titik hampirannya di kurva sekecil mungkin. Metode pencocokan kurva seperti ini dinamakan regresi kuadrat terkecil (least square regression). Derau pada data mungkin disebabkan oleh kesalahan mengukur, ketidaktelitian pada alat ukur atau kelakuan sistem yang diukur (Munir, 2006). 2. Interpolasi Interpolasi adalah proses pencarian dan perhitungan nilai suatu fungsi yang grafiknya melewati sekumpulan titik yang diberikan. Titik-titik tersebut mungkin merupakan hasil eksperimen dalam sebuah percobaan atau diperoleh dari suatu fungsi yang diketahui. Fungsi interpolasi biasanya dipilih dari sekelompok fungsi tertentu, salah satunya adalah fungi polinomial yang paling banyak digunakan. Terdapat dua alasan penting pemakaian polinomial interpolasi. Pertama, polinomial interpolasi digunakan untuk menghitung hampiran (estimation) nilai suatu fungsi f(x), sebab nilai polinomial dapat dihitung, diturunkan atau diintegrasikan. Kedua, polinomial digunakan dalam penentuan kurva mulus yang melalui sekumpulan data titik. Dalam hal ini biasanya diinginkan sebuah kurva yang tidak osilatif. Penyelesaiannya mengarah ke fungsi-fungsi spline (Sahid, 2005). II.2.2.1 Interpolasi Spline Kubik Suatu fungsi spline adalah suatu fungsi yang terdiri atas beberapa potong fungsi polinomial yang dirangkaikan bersama dengan beberapa syarat kemulusan. Misalkan disajikan tabel data sebagai berikut, yang akan diinterpolasikan dengan fungsi spline, 28 x x1 x2 x3 ... xn f(x) f1 f2 f3 ... fn dengan x1 < x2 < x3 < ... < xn. Lebar interval antar xk tidak harus sama. Titik-titik tersebut dinamakan simpul. Sebuah fungsi spline S(x) dikatakan spline kubik (berderajat tiga), jika S(x) memliki sifat-sifat berikut: 1. S(x) sepotong-sepotong merupakan polinomial kubik pada interval [a,b]. 2. S(x) kontinu pada [a,b]. 3. S’(x) kontinu pada [a,b]. 4. S’’(x) kontinu pada [a,b]. Oleh karena S(x) sepotong-sepotong merupakan polinomial kubik pada interval [a,b], maka turunan keduanya, S’’(x), sepotong-sepotong merupakan polinomial linier pada interval [a,b]. Dengan menggunakan rumus interpolasi Langrange linier, maka pada akhirnya didapatkan rumus-rumus berikut sebagai konstantakonstanta yang diperlukan untuk membentuk sebuah spline kubik. hk = xk+1 – xk dk = (yk+1 – yk) / hk , k = 1,2,3,4; uk = 2(hk-1 + hk) vk = 6(dk – dk-1) , k = 2,3,4,5, Selanjutnya memasukkan nilai-nilai tersebut pada matrik Am = v berikut: Sistem persamaan linier (SPL) tersebut dapat diselesaikan dengan menggunakan dekomposisi LU maupun eliminasi Gauss guna memperoleh nilai-nilai m2, m3, ..., mn-1. Setelah mendapatkan nilai-nilai m tersebut, selanjutnya dihitung nilai-nilai Ck dan Dk dengan menggunakan rumus berikut: 29 Akhirnya diperoleh polinomial-polinomial Sk(x) pada interval [xk, xk+1] dengan menggunakan rumus berikut, untuk 1 ≤ k ≤ n – 1. Spline kubik sangat cocok digunakan sebagai fungsi interpolasi sebab memiliki lebih sedikit gerakan osilatif (Sahid, 2005). II.2.3 Analisis Spektral Suatu sinyal dapat dilihat dalam dua domain utama, yakni domain waktu dan domain frekuensi. Transformasi sinyal tersebut dalam domain frekuensi menghasilkan suatu spektrum amplitudo nilai data terhadap frekuensi. Hal ini dinamakan spektrum frekuensi. Algoritma umum yang dibutuhkan adalah melakukan windowing pada sinyal yang tersedia, lalu mentransformasikannya dengan Discrete Fourier Transform (DFT) yang dipermudah dengan algoritma Fast Fourier Transform (FFT) (Smith, 1999). Analisis spektral secara mendasar tersebut dapat digunakan hanya bila sinyal yang didapatkan adalah tidak acak. Proses acak didefinisikan sebagai kumpulan variabel acak yang diindeks berdasarkan waktu. Set indeks tersebut dapat berupa tak tertentu atau diskrit. Pada keadaan ditemukan sinyal seperti ini, maka metode yang ditempuh disebut dengan estimasi spektrum (Djuric dan Kay, 1999). Tujuan estimasi spektrum adalah mendeskripsikan distribusi daya (power) terhadap frekuensi suatu sinyal, sehingga menghasilkan suatu nilai yang disebut spektrum densitas daya atau Power Spectral Density (PSD) (Allen dan Mills, 2004). 30 Metode estimasi spektrum secara umum terbagi dua, yakni non parametrik dan parametrik. Metode pertama dinamakan non parametrik oleh karena estimasi dilakukan secara langsung dari sinyal yang diolah. Metode yang paling sederhana adalah periodogram. Perbaikan atas metode tersebut dilakukan oleh Welch, oleh karena itu disebut metode Welch. Metode lainnya yang lebih baru adalah metode multitaper. Metode kedua disebut parametrik oleh karena PSD diestimasi dari sinyal yang diasumsikan sebagai keluaran dari sebuah sistem linier disertai white noise. Artinya langkah pertama yang dilakukan adalah mencari parameter (koefisien) sistem linier terlebih dahulu untuk dapat membentuk sinyal yang ada. Metode kedua ini cenderung menghasilkan keluaran lebih baik apabila panjang data yang diolah relatif pendek (MathWorks, 2008). II.2.3.1 Periodogram Welch Suatu cara untuk mengestimasi PSD dari sebuah proses adalah dengan melakukan DFT dan kemudian mengambil kuadrat besaran dari hasil. Hal tersebut disebut dengan periodogram. Estimasi periodogram dari sebuah sinyal sepanjang L, XL[n] adalah, k = 0, 1, ..., N – 1 dimana, Secara aktual, perhitungan XL(f) diperoleh hanya dengan jumlah titik frekuensi tertentu, N, menurut algoritma FFT. Performansi periodogram ditentukan oleh beberapa faktor berikut, yakni kebocoran (leakage), resolusi, bias dan varians. Kelemahan-kelemahan tersebut diperbaiki oleh Welch. Algoritma yang digunakan oleh Welch adalah sebagai berikut (MathWorks, 2008): 31 1. Sinyal masukan berupa vektor x dibagi menjadi sejumlah segmen k yang saling tumpang tindih, sesuai dengan besarnya tingkap (window) dan overlap. Standar jumlah segmen adalah delapan dan overlap adalah 50%. 2. Tingkap yang telah ditentukan diaplikasikan pada setiap segmen tersebut. Standar tingkap yang digunakan adalah Hamming. 3. FFT dengan jumlah titik tertentu diaplikasikan pada data yang telah ditingkap. 4. Periodogram termodifikasi dari setiap segmen yang telah ditingkap lalu dihitung. 5. Kumpulan periodogram tersebut lalu direrata untuk menghasilkan estimasi spektrum, S(ejω). 6. Estimasi tersebut lalu dibandingkan untuk menghasilkan densitas spektrum daya sebagai S(ejω)/F, dimana F adalah 2π bila tidak mengambil acuan adalah frekuensi sampling, atau fs bila acuan adalah frekuensi sampling. II.2.3.2 Metode AutoRegresi (AR) Metode parametrik dapat menghasilkan resolusi yang lebih baik dari metode non parametrik jika panjang sinyal pendek. Pada hakikatnya performa spektrum dari suatu sinyal biomedik sering diturunkan oleh adanya derau (derau latar). Metode analisis tradisional, seperti FFT, memiliki keterbatasan apabila sinyal memiliki signal-to-noise ratio (SNR) yang rendah dan panjang sinyal pendek. FFT tidak mampu memberikan resolusi frekuensi yang baik dan cenderung terjadi kebocoran spektrum. Oleh karena itu metode parametrik sebenarnya adalah membuat model yang sedapat mungkin identik dengan sinyal dengan cara mengestimasi parameter model tersebut. Jumlah parameter haruslah lebih kecil dari jumlah sampel untuk mendapatkan pemodelan yang tepat. Metode parametrik yang terpopuler adalah metode autoregresi. Estimasi yang tepat diperoleh dengan pemecahan sekelompok persamaan linier. Metode pemecahan tersebut dapat bervariasi, misalnya autokorelasi, kovarians, kovarians termodifikasi, Burg dan rekursif kuadrat terkecil. Secara umum, model AR diacu sebagai metode all-pole. Setiap sampel sinyal dapat diekspresikan sebagai 32 kombinasi linier dari sampel sebelumnya dan sebuah sinyal galat e(n). Sinyal galat diasumsikan tidak bergantung pada sampel sebelumya. Sinyal masukan y(n) dapat diperkirakan dari kombinasi linier dari sampel masukan sebelumnya, dimana, y(n) merupakan sinyal yang akan dimodelkan, am merupakan koefisien AR pada orde ke –m, dan M merupakan orde model AR yang diinginkan (Akay, 1994). II.2.3 Detrending Estimasi spektral dilakukan pada data dengan asumsi stasioner, namun sinyal VLJ secara aktual adalah nonstasioner. Nonstasioner yang disebabkan trend dapat menyebabkan distorsi pada analisis domain waktu dan frekuensi. Terdapat dua macam metode yang selama ini digunakan untuk mengatasi masalah tersebut, yakni pertama, data VLJ harus diseleksi terlebih dahulu sehingga hanya data stasioner yang boleh digunakan, dan kedua, melepaskan trend pada data sebelum dilakukan analisis. Proses tersebut dinamakan detrending, yang umumnya menggunakan pemodelan polinomial dimulai dengan orde satu hingga lebih tinggi. Salah satu metode detrending yang mampu menghasilkan performa terbaik adalah metode smoothness priors (Tarvainen, dkk., 2002). II.3 Stimulus Mental Auditorik II.3.1 Musik dan Mood Musik dapat memengaruhi hidup seseorang dengan menghadirkan suasana yang memengaruhi batinnya walau secara tidak disadari. Apakah itu suasana bahagia ataupun sedih, bergantung pada pendengar itu sendiri. Musik mampu memberikan semangat pada jiwa yang lelah. Terlebih bagi yang sedang dilanda asmara, seakan musik menjadi bahan bakar yang mampu menyemangati untuk terus dekat dengan sang kekasih hati. 33 Musik juga dapat difungsikan sebagai sarana terapi kesehatan. Ketika mendengarkan musik, gelombang listrik yang ada di otak pendengar dapat diperlambat dan dipercepat. Alhasil, kinerja sistem tubuh mengalami perubahan. Bahkan musik juga mampu mengatur hormon-hormon yang mempengaruhi stres seseorang dan mampu meningkatkan daya ingat pada otak. Selain itu, musik juga memiliki kekuatan untuk memengaruhi denyut jantung dan tekanan darah sesuai dengan frekuensi, tempo, dan volumenya. Makin lambat tempo musik, denyut jantung semakin lambat dan tekanan darah menurun. Akhirnya, pendengar pun terbawa dalam suasana rileks, baik itu pada pikiran maupun pada tubuh. Oleh karena itu, sejumlah rumah sakit dan sarana kesehatan mulai menerapkan terapi musik pada pasiennya yang mengalami rawat inap. Secara neurofungsional, pengaruh musik terhadap sistem limbik dapat dibuktikan berdasarkan pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging fungsional. Bahwa paparan musik secara pasif pada seseorang normal memberikan aktivasi yang bermakna pada jaringan struktur subkortikal yang melibatkan nukleus accumbens, area tegmentum ventral talamus, hipotalamus dan korteks orbitofrontal (Thaut dkk., 2008). Perbedaan ritmik dalam alunan musik diproses dalam lokasi yang berbeda dalam otak (Limb, 2006). Musik diproses dalam otak dalam hubungan yang erat dan timbal balik antara emosi, persepsi dan memori. Seseorang yang mendengarkan suatu musik tertentu, secara tidak sadar akan mencari kecocokan musik tersebut dengan sesuatu obyek yang pernah dialaminya (Boso dkk., 2006). Oleh karena itu, musik dapat menjadi suatu bahasa komunikasi emosi yang bervariasi menurut tingkat kesadaran dan persepsi pendengar (Niskanen dkk., 2006). Penangkapan emosi dalam musik bersifat subyektif. Satu individu dapat menangkap pesan emosi yang berbeda dari individu lain dari musik yang sama. Pada bidang musik sendiri belum dirumuskan formulasi sebagai dasar penentuan klasifikasi emosi. Sehingga, pendekatan 34 yang dapat dilakukan untuk mengklasifikasikan musik ke dalam kategori emosi adalah pembelajaran terhadap penilaian subyektif oleh manusia. Berbagai kategori telah dikemukakan oleh beberapa peneliti, di antaranya adalah Hevner, Farnsworth, Skowronek, Thayer dan Yang. Masing-masing memiliki pendekatan yang berbeda dalam melakukan klasifikasi. Banyak peneliti yang akhirnya mengikuti saran Skowronek dan menyederhanakan pelabelan emosinya menjadi hanya beberapa cluster. Misalnya, dalam MIREX 2007 bagian Automatic Mood Detection, label emosi yang digunakan hanya dibagi lima cluster, atau MoodLogic yang hanya membaginya menjadi enam: aggresive, upbeat, happy, romantic, mellow dan sad (Meyers, 2004). Situs otentik dan populer yang dapat dijadikan rujukan untuk penggolongan mood adalah www.allmusic.com. Dalam situs ini tersedia secara lengkap berbagai musik yang terdaftar dan telah dikategorikan berdasarkan mood yang terkait. Untuk kebutuhan praktis, situs tersebut dapat dijadikan acuan bagi peneliti tentang musik di berbagai belahan dunia. II.3.2 Lantunan Quran Tidak tersembunyi lagi, bahwa materi bunyi adalah manifestasi dari reaksi psikologis yang secara alami menjadi sebab timbulnya peragaman bunyi, dengan dikeluarkannya dalam bentuk madd (panjang), ghummah (dengung), lîn (diftong), atau syiddah (konsonan ganda); dan disediakannya berbagai macam harakat (diakritik) baik dalam kondisi kacau maupun runtut, dalam kadar yang sesuai dengan sumbernya yang ada dalam jiwa. Selain itu, reaksi tersebut juga menjadikan bunyi dalam bentuk îjâz (ringkas), ijtimâ’ (berkumpul), ithnâb (panjang), basth (panjang lebar) dalam kadar yang bisa menimbulkan ketajaman, ketinggian, getaran, tingkat nada dan lain-lain yang termasuk retorika bunyi dalam bahasa musikal. Jika semua itu dipertimbangkan saat membaca Al-Quran dengan cara yang benar, maka seseorang akan mendapatkannya berada pada puncak pencapaian seluruh 35 bahasa dalam menggetarkan perasaan dan membangkitkannya dari dalam relung hati yang paling dalam. Dari sisi ini, Al-Quran, dengan strukturnya, telah menaklukkan orang Arab dan non-Arab. Kaum penyimpang dan ateis yang berhati keras, serta orang yang tidak mengenal ayat-ayat Allah dalam cakrawala semesta dan diri mereka akan luluh dan gemetar saat mendengarnya. Selain masih adanya tabiat kemanusiaan dalam diri mereka, runtutnya bebunyian dengan kadar tertentu antara berbagai macam makhraj huruf merupakan bentuk retorika bahasa alamiah yang tercipta di dalam jiwa setiap insan. Setiap kali mendengarnya, dia tidak akan terhalangi oleh perbedaan cara berpikir dan perbedaan bahasa. Atas dasar inilah, seharusnya hadits yang menyatakan bahwa suara yang indah akan menambah keindahan Al-Quran dipahami. Suara yang indah akan menjauhkan bahasa yang sempurna ini dari apa yang bisa dianggap sebagai kekurangan karena tidak terpenuhinya syarat-syarat pengucapan huruf dan artikulasinya. Di antara keunikan Al-Quran yang membuatnya berbeda dengan yang lain adalah bahwa ia tidak pernah usang meski sering diulang-ulang dan tidak membosankan meski sering dibaca. Jika diperlakukan dengan benar, tidak keliru dalam pengucapannya, maka akan Al-Quran akan didapatkan dalam keadaan lembut, empuk, segar, dan anggun, sementara dari dalam diri seseorang muncul antusiasme baru dan perasaan yang melimpah. Hal ini tidak hanya bisa dirasakan oleh orang pandai yang mampu merasakan huruf, menghayati susunan dan tenggelam dalam kenikmatan itu, tetapi juga bisa dirasakan oleh orang dungu yang membaca dan tidak ada yang bisa ditangkap kecuali bunyi huruf dan warna nada yang membuatnya berbeda dengan yang lain (Boullata, 2008). 36