BAB I PENDAHULUAN Angka kejadian trauma skrotal kurang dari 1

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Angka kejadian trauma skrotal kurang dari 1 % dari seluruh cedera yang
berhubungan dengan trauma, karena lokasi anatomi dan mobilitas dari skrotum.
Puncak kejadian trauma skrotal biasanya terjadi pada rentang usia 16-20 tahun.
Mekanisme trauma dapat disebabkan oleh trauma tumpul, penetrasi, dan termal
(luka bakar)1. Trauma tumpul adalah yang paling umum yang terjadi, biasanya
akibat dari aktifitas olahraga atau kecelakaan kendaraan bermotor. Trauma
penetrasi biasanya karena luka tembak dan kurang umum karena luka tusuk ,
serangan hewan , atau berusaha melukai diri sendiri. Testis kanan lebih sering
terluka daripada yang kiri karena kecenderungannya lebih besar untuk terjebak
terhadap pubis atau paha bagian dalam . Pasien dengan trauma skrotum biasanya
digolongkan kegawatdaruratan , diagnosis yang cepat dan akurat sangat
diperlukan untuk memandu pengobatan dan mencegah hilangnya testis
2
.
Penundaan dalam menegakkan diagnosis yang akurat dapat mengakibatkan
infertilitas , orchiectomy , infeksi , iskemia atau infark , dan atrofi1,2,3.
Penegakan diagnosis ruptur testis harus dilakukan secara cepat dan tepat
demi mencegah terjadinya nekrosis testis. Diagnosis ruptur testis bisa ditegakkan
hanya berdasarkan pemeriksaan fisik dan riwayat penyakit, tetapi kadang
diperlukan
pemeriksaan
lain
sebagai
alat
konfirmasi
diagnosis
dan
mengidentifikasi kemungkinan penyebab lain dari gejala fisik yang ada, yaitu
melalui tes urin, tes darah, ultrasonografi (USG) skrotum, skintigrafi nuklida
testis, maupun dengan pembedahan4. Secara klinis, ruptur testis sulit dibedakan
dengan penyakit nyeri akut skrotum lain jika riwayat penyakit tidak bisa
1
diperoleh, seperti torsi testis, torsi apendiks testis maupun epididymo-orchitis
dimana penatalaksanaan penyakit tersebut berbeda dengan ruptur testis1.
USG umumnya dilakukan untuk penilaian kelainan skrotum. USG ideal
untuk penilaian trauma skrotum , karena dapat digunakan untuk evaluasi
noninvasif dari isi skrotum , integritas testis , vaskularisasi ,
baik
untuk
memvisualisasikan hematoma , pengumpulan jenis cairan lainnya , serta benda
asing2.
Alasan laporan kasus ini adalah meningkatkan pemahaman terhadap
anatomi skrotum dan manifestasi ultrasound pada
trauma testis , termasuk
hematoma maupun hematoma dengan ruptur testis . Dimana USG sebagai pilihan
pertama yang sangat bermamfaat untuk membantu menegakkan diagnosis dalam
kegawatdaruratan nyeri akut skrotum. Temuan USG sangat menentukan tindakan
maupun intervensi yang akan diambil oleh sejawat dokter bedah untuk segera
melakukan eksplorasi skrotal emergensi untuk menyelamatkan testis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi :
Ruptur testis ( juga disebut fraktur testis ) adalah terjadinya
diskontinuitas pada tunica albuginea yang mengakibatkan ekstrusi isi
testis5. Dimana ruptur testis yang terjadi dapat berbentuk transversal,
longitudinal, multipel ataupun berbentuk stellate. Ini merupakan
komplikasi yang jarang terjadi pada
trauma testis. Hal ini dapat
menyebabkan nyeri yang hebat , pembengkakan skrotum , mual dan
muntah . Pengobatan terdiri dari eksplorasi bedah untuk memperbaiki
defek yang terjadi.
2. Anatomi
Skrotum terdiri atas beberapa lapisan mulai dari yang terluar
hingga yang terdalam. Dari lapisan terluar berupa kulit,
superficialis, musculus dartos, fascia spermatica externa,
fascia
fascia dan
musculus cremaster, serta fascia spermatica interna. Rerata ketebalan
normal dari dinding skrotum adalah 2-8 mm, tergantung pada derajat
kontraksi dari musculus cremaster 1,2 .( Gambar 1)
Testis dipisahkan dari skrotum oleh lapisan visceralis dan
parietalis dari tunica vaginalis. Dimana dua lapisan ini bersatu pada suatu
tempat yg kecil di testis bagian posterior, dan berlanjut ke dinding
skrotum. Normalnya didapatkan sedikit cairan pada ruang antara tunica
vaginalis parietalis dan visceralis. Rerata ukuran normal testis dewasa
3
berkisar 5 x 3 x 2 cm, dengan berat berkisar 20 gram. Dimana secara
anatomis testis kiri sedikit lebih rendah dibandingkan testis kanan.
Parenkim testis terdiri dari multipel lobulus, banyak tubulus seminiferus
yang mengarah ke ruang lebar pada rete testis di mediastinum.
Mediastinum
testis tampak seperti pita echogenic horizontal pada
tampilan longitudinal USG gray-scale, dan jangan disalah artikan sebagai
lesi yang patologik1. (Gambar 2)
Epididymis terdiri dari caput, corpus dan cauda. Caput muncul
dari aspek superior dari testis, corpus dan cauda terletak ke inferolateral.
Cauda dari epididymis berlanjut ke vas deferens dan menyatu dengan
spermatic cord. Rerata ukuran caput epididymis berkisar 10-12 mm dan
ketebalan corpus epididymis kurang dari 4 mm . Epididymis biasanya
memiliki gambaran isoechoic sampai hipoechoic dibandingkan dengan
parenkim testis1.(Gambar 3)
Testis diberi vaskularisasi oleh arteria testicularis dan arteria
cremaster. Pembuluh darah baliknya yaitu plexus pampiniformis yang
berjalan ke vena testicularis6. Pembuluh limfe dari testis melewati
pembuluh limfe lumbal dan kemudian bergabung dengan pembuluh limfe
mediastinum. Inervasi testis melalui serabut syarat simpatik nervus
splanchnikus melalui ganglia coeliaca, tidak ada inervasi serabut syaraf
parasimpatis4,6
3. Epidemiologi
Angka kejadian trauma skrotal berupa ruptur testis kurang dari 1 %
dari seluruh cedera yang berhubungan dengan trauma. Rentang usia pasien
4
yang menderita ruptur testis adalah 8 tahun sampai 71 tahun dengan
puncak insidensi pada usia 16 tahun – 20 tahun 2,7,8,.
4. Etiologi
Ruptur testis adalah sangat jarang terjadi. Penyebab tersering
adalah karena trauma benda tumpul yang dapat disebabkan oleh cedera
saat berolahraga ,kecelakaan, dan tendangan pada pangkal paha
3,8,9
.
Ruptur testis yang disebabkan cedera saat berolahraga lebih dari 50 %
kasus. Sedangkan karena kecelakaan kendaraan bermotor berkisar 9%17% kasus. Penyebab lainnya yang kurang umum seperti jatuh dengan
posisi mengangkang ,maupun yang disebabkan oleh trauma penetrasi
berupa luka akibat tembakan senapan,gigitan binatang atau usaha untuk
bunuh diri10.
5. Gambaran Klinis
Pasien biasanya datang dengan riwayat trauma, nyeri yang sangat
hebat, dan selalu berhubungan dengan rasa ingin mual hingga muntah6.
Tidak ada tanda spesifik pada pasien dengan ruptur testis, pada
pemeriksaan fisik daerah skrotum dapat saja ditemukan berupa hematoma,
pembengkakan, echymosis dan kemerahan pada scrotum10.
Pada
umumnya pembengkakan pada testis dan echymosis adalah tanda yang
paling umum terlihat, tergantung pada lokasi ruptur testis, hubungan
ruptur testis
dengan pembuluh darah intraskrotal atau arteriola
subalbuginea, dan kemampuan struktur testis yang saling berdekatan
untuk menampung perdarahan dan ekstrusi pada parenkim testis 1,5,6.
5
6. Klasifikasi
The American Association for the Surgery of Trauma (AAST) pada
tahun 2005 membagi derajat keparahan cedera pada testis menjadi lima
tipe yaitu (1) kontusio atau hematoma; (2) laserasi subklinik pada tunica
albuginea; (3) laserasi pada tunica albuginea dengan kehilangan parenkim
< 50 %; (4) Laserasi pada tunica albuginea dengan kehilangan parenkim >
50 %; (5) destruksi testikular total atau avulsi 11. (Tabel 1)
7. Teknik Sonografi
Evaluasi skrotum paling baik dilakukan pada pasien dengan posisi
supine, dengan skrotum terangkat dan ditopang dengan sebuah handuk
diantara paha12. Nyeri paska trauma dan testis yang membengkak akan
membuat pemeriksaan sulit untuk dilakukan. Sebuah transducer linear
dengan frekuensi tinggi berkisar 7-14 MHz adalah ideal untuk
menghasilkan gambaran yang baik. Akan tetapi, pembesaran skrotum dari
kasus yang beragam dapat mempertimbangkan pemakaian transducer
curve berfrekuensi rendah untuk penetrasi yang lebih baik. Jika mungkin,
evaluasi pada testis yang tanpa gejala diperiksa terlebih dahulu, sehingga
dapat menjadi parameter untuk evaluasi grayscale dan color flow doppler
pada kedua testis1,13,14. Potongan transversal menunjukkan bahwa
tampilan kedua testis adalah penting untuk menemukan perbedaan yang
mungkin sangat halus pada ekogenisitas dan aliran darah. Adanya aliran
darah arteri dan vena intratestikular harus didokumentasikan pada masingmasing testis menggunakan spektral color doppler. Masing-masing testis
seharusnya memiliki 3 tampilan spektral doppler yang direkam, yaitu pole
superior, media dan inferior. Gambaran gelombang spektral doppler pada
6
arteri testicular dan epididymis normalnya memiliki karakter dengan pola
low-resistance1,14.
8. Gambaran USG
Ketika ada seorang pasien dengan trauma pada skrotum, penilaian
klinis dibuat berdasarkan nyeri akut skrotum, pembengkakan, dan
hematoma. Kulit pada skrotum diamati dan dinilai integritas luka pada sisi
yang terkena. Testis dan epididymis juga harus dipalpasi, dan pemeriksaan
terhadap penis juga harus segera dilakukan. Kemudian setelah itu, lakukan
pembersihan luka dan urinalisis, dilanjutkan pemeriksaan
USG untuk
menyingkirkan kemungkinan sudah terjadinya avulsi testis1.
Dahulu ultrasound tidak dapat diandalkan untuk menilai cedera
pada skrotum ,akan tetapi sekarang perkembangan teknologi USG dengan
kemampuan transducer berfrekuensi tinggi membuat modalitas ini dapat
menilai perfusi pembuluh darah dan derajat cedera pada isi yang ada di
dalam skrotum termasuk testis sehingga saat ini USG merupakan
pemeriksaan imejing lini pertama pada trauma skrotum, dan temuan pada
USG adalah sangat penting untuk menentukan tindakan intervensi
berikutnya15,16.
USG membantu untuk mengklasifikasikan pasien apakah akan
ditindaklanjuti dengan terapi bedah atau non bedah. USG memiliki
sensitifitas dan spesifitas yang sangat baik untuk mengevaluasi testis,
biasanya sangat berguna sebagai konfirmasi dari kecurigaan klinis
terhadap ruptur testis
Tampilan sonografi pada trauma skrotum dapat diklasifikasikan
menjadi temuan di intratestikular dan ekstratestikular1,17.
7
A. Intratestikular
i.
Abnormalitas kontur1,2,3,17
Testis adalah jaringan ikat dengan bagian terluar
adalah tunica albuginea, yang memberikan integritas dan
bentuk testis. Tunica albuginea didominasi oleh jaringan
ikat sehingga sangat sulit untuk terjadi ruptur. Tunica
albuginea memerlukan kekuatan yang besar, lebih kurang
50 kilogram untuk dapat membuatnya ruptur.
Tunica
albuginea tampak sebagai dua garis echogenik yang jelas
pada sonografi dengan transducer berfrekuensi tinggi.
Gangguan terhadap kesinambungan garis ini yang dapat
diidentifikasi sebagai ruptur tunica albuginea (ruptur
testikular) .Gangguan pada tunica albuginea ini yang
membuat keluarnya isi testis, sehingga tampak sebagai
abnormalitas dari kontur testis (Gambar 4) . Gangguan pada
tunica vasculosa merupakan tanda tidak langsung dari
ruptur tunica albuginea. Keluarnya isi testis melalui ruptur
tunika ini kadang-kadang dapat terlihat sebagai tonjolan
fokal pada sisi tunika yang ruptur. Trauma yang
mengakibatkan
rupturnya
tunica
albuginea
juga
menyebabkan cedera pada intratestikular, dapat dilihat
sebagai ekostruktur testis yang berubah. Adanya gambaran
abnormalitas kontur dengan ekostruktur testis yang
heterogen dapat dipertimbangkan sangat spesifik sebagai
8
ruptur testis (Gambar 5), dan pasien seharusnya segera
dilakukan eksplorasi bedah. Terdapat kemungkinan 50 %
terjadinya ruptur testis pada trauma tumpul pada skrotum
(pada kebanyakan kasus adalah unilateral; bilateral hanya
berkisar 1,5 % kasus).
Ruptur testis sangat jarang berhubungan dengan
ruptur pada epididymis, yang mana hal ini terkadang sangat
sulit dideteksi dengan USG.
ii.
Garis fraktur testikular2,17
Garis fraktur
yang dapat diidentifikasi pada
pemeriksaan USG adalah berupa daerah hipoechoic linier
yang
melalui
parenkim
testis
dengan
ketiadaan
vaskularisasi. Garis fraktur yang terlihat nyata melalui testis
kurang dari 20 % kasus. Hal ini boleh berhubungan atau
tidak berhubungan dengan ruptur testis, dan tunica
albuginea dapat intak di sekitar testis. (Gambar 6)
iii.
Hematoma intratestikular1,2,3,12,13,17
Hematoma intratestikular adalah sangat umum
ditemukan pada trauma tumpul testis. Hematoma ini dapat
tunggal maupun multipel, tergantung dari cara terjadinya
cedera. Hematoma yang luas biasanya berhubungan dengan
ruptur testis dan kadang-kadang merupakan temuan satusatunya pada tunica albuginea yang tidak intak. USG
kadang dapat membantu menyingkirkan temuan lainnya
9
seperti ruptur tunica dan mencegah eksplorasi yang tidak
diperlukan karena kebanyakan pasien dengan hematoma
intratesticular kecil biasanya dikelola secara konservatif
dengan kompres es, obat anti inflamasi non steroid, disertai
follow-up urologi dan USG. Follow up pada pasien ini
adalah wajib, karena 40 % kasus pada hematoma testikular
akan menyebabkan infeksi testis atau nekrosis, yang mana
sering membutuhkan orchiectomy.
Tampilan USG pada hematoma intratestikular
bervariasi tergantung ukuran dan durasi dari hematoma
tersebut. Hematoma akut pada USG dapat muncul sebagai
daerah echogenic fokal dengan ketiadaan vaskularisasi,
yang mana kemudian menjadi bergabung dan tampak
sebagai septasi atau kumpulan daerah anechoic didalam
testis. Hematoma yang luas yang melibatkan seluruh testis
biasanya
memberikan
tampilan
echostruktur
yang
heterogen pada seluruh testis. Evaluasi dengan USG color
flow doppler pada pasien ini membantu menilai potensi
viabilitas dari testis. Hematoma testis dapat dihubungkan
dengan hematocele ekstratestikular dan cedera pada dinding
skrotum. (Gambar 7)
Sekitar 10-15 % pada tumor testis muncul pertama
kali setelah adanya riwayat trauma pada skrotum. Oleh
karena itu, sangat penting
10
untuk mengikuti kelaianan
intratestikular yang terlihat
lengkap
paska
trauma,
pada USG setelah resolusi
terutama
jika
testis
tidak
dieksplorasi, sehingga tumor ini tidak akan terlewatkan.
iv.
Torsi testis12,13,16,17
Trauma dapat menyebabkan torsi testis oleh karena
stimulasi kontraksi musculus cremaster yang terlalu kuat.
Evaluasi USG gray-scale dan doppler sangat membantu
dalam menunjukkan perubahan morfologi testis yang
disebabkan oleh trauma . Tampilan USG torsi testis paska
trauma sama dengan torsi testis yang terjadi secara spontan.
Eksplorasi secepatnya pada pasien ini dapat sangat
menolong.
v.
Dislokasi1,17
Dislokasi testis sangat jarang terjadi dan diagnosis
yang ditegakkan dengan USG juga sangat jarang dilakukan.
Mungkin dislokasi testis mudah terlewatkan kecuali
sonografer menyadari keberadaannya. Hal ini sering
terlambat didiagnosis karena dislokasi testis sering tidak
diduga oleh para klinisi. Dislokasi testis biasanya unilateral
dan sangat jarang bilateral. Mekanisme yang sering menjadi
penyebab biasanya dihubungkan dengan tubrukan kuat
yang tiba-tiba dan biasanya terjadi pada kecelakaan
kendaraan bermotor. Dislokasi testis dapat ditemukan pada
semua bagian testis. Daerah inguinal superficial adalah
11
bagian paling sering terjadinya dislokasi, dan yang paling
jarng adalah di perineum, retrovesika, maupun acetabular.
Dislokasi testis ini dapat didiagnosis secara klinis
dengan palpasi berupa kekosongan dan ecchymotik
hemiskrotum dan dihubungkan dengan massa inguinal
ipsilateral. USG dengan transducer frekuensi tinggi dapat
membantu untuk menyingkirkan dari cedera intratestikular
lainnya, dan pemeriksaan color flow doppler dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi viabilitas dari testis. Jika
testis masih baik, dapat dilakukan reduksi manual untuk
menangani dislokasi testis, jika hal ini tidak berhasil,
kemudian dapat dilakukan reduksi dan difiksasi dengan
pembedahan.
B. Ekstratestikular
i.
Trauma epididymitis1,6,7,9,17
Insidensi pasti cedera epididymis pada trauma skrotum
belum diketahui, tetapi berdasarkan beberapa data yang tidak
dipublikasikan oleh para peneliti, angka kejadian berkisar 18
dari 63 pasien yang mengalami trauma skrotum sebelumnya.
Pembesaran
dan
hiperemia
pada
epididymis
telah
menggambarkan kejadian lain dari trauma skrotum. Hal ini
sering disebut dengan trauma epididymis. Setelah trauma,
cedera pada epididymis terjadi oleh karena kontusio kecil atau
12
hematoma didalamnya, yang menghasilkan pembengkakan dan
respon
peradangan.
Evaluasi
color
flow
doppler
menggambarkan ketiadaan aliran darah didalam hematoma atau
kontusio
ini,
dengan
daerah
hiperemia
disekitarnya.
Keberadaan perubahan ini seharusnya tidak tampak pada
infeksi epididymis; korelasi dengan riwayat sebelumnya yang
relevan sangat penting. Trauma epididymis dapat dihubungkan
dengan hematocele.
ii.
Fraktur epididymis1,7,17
Fraktur atau ruptur epididymis biasanya sulit dideteksi
pada USG. Biasanya didiagnosis saat eksplorasi skrotum dan
sangat berhubungan dengan cedera testis. Jarang cedera pada
epididymis berdiri sendiri. Ruptur epididymis seharusnya
dipertimbangkan ketika epididymis tidak dapat diidentifikasi
dan didapatkan batas yang tak tegas pada tampilan trauma
skrotum yang berhubungan dengan cedera testis.
iii.
Hematocele1,6,8,17
Hematocele didifinisikan sebagai terkumpulnya darah
didalam tunica vaginalis. Tampilan USG pada hematocele
sangat beragam tergantung lamanya waktu sejak trauma terjadi.
Hematocele akut biasanya echogenik, dan hematocele subakut
maupun kronik tampak berupa kumpulan cairan kompleks
dengan septasi dan dapat berupa fluid-fluid level atau low-level
13
dengan internal echo. Hematocele dapat berupa lanjutan dari
cedera testis atau ekstratestikular, meskipun kurangnya bukti
sonografi yang pasti pada ruptur testis. Hal ini merupakan
temuan yang paling utama
pada trauma tumpul skrotum.
Hematocele yang sangat luas merupakan indikasi untuk
dilakukannya eksplorasi bedah.(Gambar 8)
iv.
Hematoma spermatic cord1,17
Cedera spermatic cord oleh karena trauma tumpul pada
skrotum sangat jarang, dengan karakteristik nyeri yang sangat
hebat, bengkak, ataupun hematoma di daerah pangkal pada.
Hal ini disebabkan oleh karena cedera langsung ke daerah
pangkal paha yang menyebabkan perdarahan pada pembuluh
darah spermatika. Hematoma biasanya berada di fascia
spermatika dan tepatnya berada di superior testis18. Penyebab
lain
dari
hematoma
spermatic
cord
adalah
idiopatik,
disebabkan oleh terapi antikoagulan, atau perluasan dari
perdarahan retroperitoneal. Penyebab lainnya yang sangat
jarang tetapi pernah terjadi adalah rupturnya varicocele oleh
karena trauma tumpul abdomen. Karena sangat jarang
terjadinya hematoma spermatic cord akibat trauma, presentasi
klinis biasanya sering salah diagnosis sebagai hematoma
subkutaneus sekunder dari perdarahan pembuluh darah
subkutaneus. Hampir semua kasus selama ini dilaporkan
diagnosisnya intraoperatif.
14
v.
Hematoma dinding skrotum1,17,19
Hematoma dinding skrotum umumnya dihubungkan
dengan
temuan trauma tumpul pada testis. Hal ini dapat
terlihat di ultrasound sebagai penebalan dan echogenik dinding
skrotum, dengan ketiadaan vaskularisasi atau minimal.
Hematoma dinding skrotum ini jarang berdiri sendiri dan
biasanya
berhubungan
dengan
hematoma
intra
atau
ekstratestikular. (Gambar 9)
9. Diagnosis Banding
a. Torsi testis1,12,13,16,17
Torsi testis terjadi karena testis terputar di dalam skrotum sehingga terjadi
obstruksi aliran darah arteri dan vena testis. Pada masa pubertas resiko
meningkat karena mereka mempunyai deformitas yang disebut dengan “bellclapper”. Bentuk deformitas ini berupa perlekatan testis pada tunica vaginalis
yang tidak kuat sehingga testis menggantung bebas dalam skrotum. Perlekatan
yang tidak kuat ini menyebabkan testis mudah bergerak dan terputar. Gejala
utama dari torsio testis adalah nyeri testis yang hebat dan biasanya mendadak
diikuti pembengkakan pada testis. Testis yang membengkak letaknya lebih
tinggi dan horisontal dengan funikulus spermatikus yang menebal, kadangkadang bisa diraba adanya lilitan funiculus spermaticus
Temuan USG gray-scale pada torsi testis bervariasi tergantung dari derajat
torsi dan durasi terjadinya torsi. Pada fase awal torsi (1-3 jam) akan
ditemukan ekogenisitas testis yang masih terlihat normal atau dapat
ditemukan gambaran testis yang bengkak dengan hipoekogenositas yang
15
difus. Semakin lama torsi terjadi, ukuran testis pun akan membesar dan
menjadi semakin heterogen baik ekogenisitas dan ekostrukturnya.Jika
berlanjut akan terjadi infark dengan ekogenisitas testis meningkat dengan
ukuran yang mengecil. (Gambar 10)
b. Torsi apendiks testis1,16,17
Apendiks testis merupakan sisa dari ductus mesonephric dan
paramesonephric saat embrional dan terdiri dari jaringan ikat yang
tervaskularisasi. Apendiks testis merupakan struktur yang bertangkai
sehingga mudah terjadi torsio. Torsio apendiks testis umumnya terjadi
pada masa prepubertas (usia 7-14 tahun) dan lebih sering terjadi di sisi
sebelah kiri. Pada pemeriksaan fisik dengan palpasi akan teraba nodul
keras di pole atas testis sebesar 2 sampai 3 mm, dengan inspeksi terlihat
gambaran blue dot sign yang merupakan tanda patognomonik torsio
apendiks testis.
Pada USG, apendiks yang terpelintir terlihat sebagai massa
membulat ekstratestikularis dengan ekogenitas tinggi atau campuran
tergantung pada waktu evolusinya. Temuan lainnya termasuk pembesaran
caput epididymis, adanya hidrokel reaktif, dan penebalan kulit skrotum.
Pada USG Color Doppler tidak ditemukan aliran darah pada apendiks
yang terpelintir,
tetapi
epididymis
dan
tunica
scrotalis
tampak
hipervaskularisasi (gambar 11).
c. Epididymo-orchitis 1,3,17
Epididymo-orchitis merupakan suatu proses infeksi pada epididymis dan
testis yang dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi lebih sering pada
16
usia setelah pubertas. Infeksi biasanya berasal dari kandung kemih atau
kelenjar prostat yang menyebar ke vas deferens dan saluran limfatik di
funiculus spermaticus ke arah epididymis, terakhir dapat mencapai testis,
sehingga disebut epididymo-orchitis.
Temuan
USG
gray-scale
pada
epididymo-orchitis
akut,
tampak
pembesaran epididymis dengan gambaran hipoekhoik atau hiperekhoik,
ukuran testis dapat membesar dengan area yang terkena menjadi hipoekhoik.
Pada USG color doppler, tanda utama epididymo-orchitis yaitu ditemukan
peningkatan aliran darah di epididymis dan testis (Gambar 12). Sensitifitas
USG color doppler dalam mendeteksi inflamasi skrotum hampir mendekati
100 %.
10. Prognosis
Ruptur
testis
harus
didiagnosis
secara
cepat
dan
tepat20.
Keterlambatan penegakan diagnosis dan dengan demikian juga keterlambatan
dalam penatalaksanaan bedah, berisiko terhadap viabilitas testis. Komplikasi
yang paling signifikan dari ruptur testis adalah kehilangan testis sehingga
terjadi gangguan infertilitas14,16,17
17
BAB III
LAPORAN KASUS
Seorang anak laki-laki umur 18 tahun dibawa ke IGD RSUP dr.Sardjito
karena kecelakaan lalu lintas pada tanggal 9 november 2014. Keluhan utama saat
masuk di IGD adalah nyeri dan bengkak skrotum bagian kiri setelah kecelakaan
lalu lintas. Dimana 3 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami
kecelakaan lalu lintas. Pasien mengendarai sepeda motor dan menabrak mobil dari
arah berlawanan, pasien terjatuh dan motor pasien menimpa badan pasien. Pasien
mengeluh mual tetapi tidak sampai muntah. Kemudian dibawa ke RS Rajawali
Citra lalu dirujuk ke RSS
Pada pemeriksaan fisik , keadaan umum pasien sedang dengan kesadaran
compos mentis, didapatkan keadaan vital sign, tekanan darah : 120/70 mmHg,
nadi : 92 kali/menit, Frekuensi pernafasan : 18 kali/menit, suhu : 36,7 C, dengan
GCS E4V5M6 dengan pupil isokor 3 mm/ 3 mm. Pada pemeriksaan urologi, regio
flank tidak didapatkan bulging, tidak ada nyeri tekan, tidak terdapat jejas. Pada
regio genitalia eksterna, tampak orificium urethra eksternum normal, tak tampak
perdarahan dari meatal. Pada regio skrotum, tampak edema dan hematoma di
skrotum sinistra, didapatkan refleks kremaster , tidak didapatkan phren sign. Pada
pemeriksaan colok dubur, didapatkan tonus musculus sphinkter ani dalam batas
normal, ampula tidak kolaps, prostat teraba kenyal, simetris.
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 9 november 2014 didapatkan
hasil, Hb : 13,2 g/dL (N :12,5 - 17 ), AL : 8,6 K/uL (N : 4,5 – 10,5 ), AT : 192 (N
: 150 - 450 ), GDS : 115 (N : 90 – 180 ), SGOT : 27 U/L(N : 15 -37 ), SGPT : 24
U/L (N :12 – 42 ), BUN : 9 (N : 8 - 36 ), Creat : 0,7 (N : 0,6 – 1,2 ), PPT : 13,9
18
(kontrol 13,9), APTT : 26,6 (kontrol : 31,6). Pada pemeriksaan urine rutin,
didapatkan pH 7,0 (N : 6,6 – 7,2), berat jenis : 1,010 (1,002 – 1,015), lekosit : 0-1
(N : 0 – 1), eritrosit : 0 ( 0 ). Oleh sejawat bedah urologi, pasien didiagnosa
dengan susp.ruptur testis sinistra dd.torsi testis. Kemudian pasien direncanakan
USG di bagian radiologi RSUP dr.Sardjito.
Pada pemeriksaan USG doppler Testis tanggal 9 November 2014,
didapatkan bahwa skrotum dekstra dalam batas normal dengan testis dekstra
ukuran 2,33 cm x 1,95 cm x 3,01 cm, echostruktur normal, vaskularisasi baik.
Pada pemeriksaan skrotum sinistra, tampak dinding skrotum menebal, tampak
echostruktur inhomogen dengan permukaan
testis irreguler, tampak lesi
hipoechoic di aspek inferolateral disertai tunica albuginea yang tidak intak, juga
tampak lesi anechoic di peritestis dengan internal echo didalamnya, vaskularisasi
pada daerah lesi hipoechoic di aspek inferolateral menurun. Dari hasil USG
doppler testis ini dikesankan sebagai ruptur testis sinistra disertai dengan cairan
bebas
sangat
mungkin
perdarahan,
tak
tampak
kelainan
pada
testis
dekstra.(Gambar 13)
Berdasarkan hasil USG doppler testis ini , klinisi dari bedah urologi segera
melakukan eksplorasi testis sinistra . Dimana ditemukan ruptur tunica albuginea
dan hematoma parenkim testis bagian inferior (lebih kurang 20 persen dari
seluruh parenkim testis sinistra), tampak epididymis intak dan tidak terdapat
hematoma. Kemudian dilakukan perbaikan tunica albuginea yang ruptur dan
debridement sebagian parenkim testis sinistra yang sudah tidak viable dan
mengontrol perdarahan. Post eksplorasi, klinisi dari bedah urologi menyimpulkan
terjadinya ruptur testis sinistra grade III.
19
BAB IV
PEMBAHASAN
Ruptur testis sangat jarang terjadi. Banyak kasus biasanya terjadi karena
aktifitas olahraga yang mengakibatkan tertendangnya daerah pangkal paha.
Kecelakaan kendaraan bermotor memberikan kontribusi berkisar 9 % sampai 17
% kasus. Distribusi umur terjadinya ruptur testis berkisar 8 tahun sampai 71
tahun dengan puncak insidensi antara 16 tahun sampai 20 tahun. Dimana ruptur
tersebut dapat berupa transversal, longitudinal, multipel ataupun berbentuk
stellat1,3,17.
Pasien biasanya datang dengan riwayat trauma, nyeri hebat dan
berhubungan dengan mual dan muntah. Tidak didapatkan temuan yang spesifik,
sering ditemukan hematoma, pembengkakan, ecchymosis dan kemerahan pada
skrotum. Luasnya pembengkakan dan ecchymosis yang terjadi bisa sangat
bervariasi, tergantung lokasi terjadinya ruptur testis, dihubungkan dengan
rupturnya pembuluh darah intraskrotal atau arteriola subalbuginea,
dan
kemampuan dari struktur jaringan yang berdekatan untuk menahan perdarahan
dan ekstrusi dari parenkim testis.
Pada kasus ini pasien datang dengan riwayat trauma pada skrotum kiri,
dengan
pemeriksaan
klinis
didapatkan
pembengkakan,
kemerahan,
dan
ecchymosis pada skrotum. Insidensi ruptur testis yang cukup tinggi pada trauma
skrotum, dibutuhkan diagnosis yang cepat dan akurat sehingga intervensi secepat
mungkin dapat dilakukan. Kecepatan dan ketepatan dalam mendiagnosis ruptur
testis akan dapat menyelamatkan testis dan mengurangi nekrosis akibat iskemia
20
yang terjadi serta kemungkinan akan terbentuknya abses1,18,19,20,21,22. Karena
sangat tidak mungkin dapat membedakan hematoma dengan hematoma yang
disertai komplikasi pada ruptur testis dari pemeriksaan klinis saja. USG
merupakan pilihan pertama yang dapat dikerjakan dengan cepat dan non invasif,
untuk dapat menilai integritas testis sehingga dapat membantu klinisi untuk segera
membuat keputusan intervensi apa yang akan dilakukan pada kasus tersebut.
Pada beberapa kasus dengan pemeriksaan USG tampak garis dari ruptur
testis yang berupa lesi hipoechoic, yang kadang tidak jelas terlihat oleh karena
hematoma yang cukup luas. Menurut Kim et al, perubahan echogenisitas dari
testis normal merupakan kriteria diagnostik yang sangat berguna, tetapi hal itu
juga tidak dapat menjamin keberadaan ruptur testis atau indikasi untuk
dilakukannnya eksplorasi bedah. Walaupun berdasarkan penelitian yang pernah
dilakukan oleh Jeffrey et al yang menunjukkan bahwa perubahan echogenisitas
memiliki sensitifitas 100 %. Echogenisitas yang heterogen dari testis dapat juga
disebabkan oleh perdarahan maupun infark7. Bengkaknya skrotum selain karena
perdarahan yang dapat terjadi di intratestikular maupun ekstratestikular paska
cedera di bagian skrotum biasanya dihubungkan dengan tertekannya vena
spermatika sehingga menyebabkan gangguan drainase dari vena spermatika
tersebut dan terjadinya dilatasi pada spermatic cord.
Pada kasus ini didapatkan gambaran USG testis dengan dinding skrotum
menebal, echostruktur inhomogen dengan permukaan testis irreguler, tampak lesi
hipoechoic di aspek inferolateral disertai tunica albuginea yang tidak intak.
Dimana echostruktur testis yang inhomogen ini bisa terjadi juga pada torsio testis
21
tahap lanjut (lebih dari 24 jam) maupun epididymo-orchitis. Tunica albuginea
yang tidak intak biasanya sangat khas pada ruptur testis.
Pada USG gray-scale torsio apendiks testis, apendiks yang terpelintir
terlihat sebagai massa hiperekhoik membulat ekstratestikularis dengan area sentral
yang hipoekhoik dan massa tersebut berada di pole atas testis, ekhogenitas testis
tidak mengalami perubahan. Hal ini berbeda dengan torsio testis dimana
perubahan ekhogenitas justru lebih banyak di testis.
Epididymis pada torsio
apendiks testis tetap berada di bagian posterior, sedangkan pada torsio testis
posisi epididymis kemungkinan pindah ke arah lateral, medial, atau anterior
tergantung derajat torsio
Pemeriksaan color doppler sangat penting dan berharga untuk menilai
cedera akibat trauma pada testis. Rupturnya tunica albuginea hampir selalu
berhubungan dengan gangguan vaskularisasi di parenkim testis diakibatkan
terputusnya hubungan antara tunica vasculosa dan tunica albuginea. Hal ini
mengakibatkan vaskularisasi menurun pada seluruh bagian testis, tergantung dari
derajat cedera nya. Pada USG color dan power color doppler, tanda utama
epidydimo-orchitis yaitu ditemukan peningkatan aliran darah di epidydimis dan
testis, sangat bertolak belakang dengan ruptur testis dan torsio testis dimana tidak
ditemukan adanya aliran darah intratestikular. Sensitifitas USG color doppler
dalam mendeteksi inflamasi skrotum hampir mendekati 100%13. Sedangkan pada
torsi appendiks testis tidak ditemukan aliran darah pada apendiks yang terpelintir,
tetapi epididymis dan tunica scrotalis tampak hipervaskularisasi, dimana hal ini
tidak ditemukan pada torsio testis. Bagian ruptur testis yang mengalami laserasi
dan avaskular biasanya dilakukan debridement sedangkan bagian testis yang
22
masih baik akan dipertahankan. Hilangnya aliran darah pada pemeriksaan USG
color flow doppler dapat juga terlihat pada hematoma dan infark. Hal ini juga
dapat terlihat pada kasus ruptur testis yang disebabkan oleh karena adanya
gangguan aliran darah kapsular normal pada tunica vasculosa. Orchiectomy
dilakukan jika tidak adanya atau avaskular dari bagian testis yang mengalami
ruptur.
Menurut Kim et al20, kriteria sonografi terbaik untuk mendiagnosa ruptur
testis adalah ketidakteraturan atau sampai hilangnya permukaan testis, robeknya
tunica albuginea , lesi hipoechoic (transversal, longitudinal, multipel ataupun
berbentuk stellat) yang tampak pada parenkim testis , dan pola echogenisitas
intratestikular yang heterogen. Saat ini, kriteria-kriteria tersebut bisa dilengkapi
dengan pemeriksaan ultrasound doppler yang akan memberikan kontribusi cukup
besar untuk menilai viabilitas dari testis dengan mengetahui perfusi dari testis
tersebut. Dimana kriteria ini bisa membantu untuk membedakan dengan diagnosa
banding yang kadang sulit dibedakan dengan pemeriksaan klinis saja.
23
BAB V
KESIMPULAN
Dilaporkan pasien usia 18 tahun masuk ke IGD RSUP dr.Sardjito dengan
keluhan utama nyeri dan bengkak skrotum bagian kiri setelah kecelakaan lalu
lintas 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Pemeriksaan klinis didapatkan
hematoma skrotum sinistra. Hasil laboratorium dalam batas normal. Klinisi dari
bedah urologi membuat diagnosa kerja suspek ruptur testis sinistra dengan
diagnosa banding torsi testis, kemudian dilakukan pemeriksaan USG doppler di
bagian radiologi RSUP dr.Sardjito dikesankan sebagai ruptur testis sinistra
disertai dengan cairan bebas sangat mungkin perdarahan, tak tampak kelainan
pada testis dekstra. Kemudian dilakukan eksplorasi dan repair testis sinistra,
diagnosa paska operasi adalah ruptur testis sinistra grade III
Diagnosis banding ruptur testis berdasarkan gejala klinis, riwayat penyakit
dan gambaran USG gray-scale adalah torsi testis, torsi apendiks testis maupun
epididymo-orchitis. Dimana semua diagnosa banding memiliki gambaran USG
gray-scale yang kadang sulit dibedakan, tetapi riwayat penyakit dan ketelitian
menggunakan color doppler sangat membantu untuk dapat menyimpulkan
diagnosa yang tepat.
24
DAFTAR PUSTAKA
1.
Deurdulian C, Mittelstaedt CA, Chong WK, Fielding JR. US of acute scrotal
trauma:
optimal
technique,
imaging
findings,
and
management.
RadioGraphics. 2007;27:357-69.
2.
Dalton DM, Davis NF, Ooneill DC, Brady CM, Kiely EA, Obrien MF.
Aetiology, epidemiology and management strategies for blunt scrotal trauma.
The Surg J. 2014;30:1-4.
3.
Rao MS, Arjun K. Sonography of scrotal trauma. Indian Journal of Radiology
and Imaging. 2012;22:293-7.
4.
Chang AJ, Brandes SB. Advances in diagnosis and management of genital
injuries. Urol Clin N Am. 2013;40:427-38.
5.
Nicola R, Carson N, Dogra V. Testicular trauma:Role of sonography.
Ultrasound Clin. 2013;8:525-30.
6.
Hendry WF. Testicular, epididymal and vasal injuries. BJU international.
2000;86:344-48.
7.
Guichard G, Ammari JE, Coro CD, Cellarier D, Loock PY, Chabannes E, et
al. Accuracy of ultrasonography in diagnosis of testicular rupture after blunt
scrotal trauma. Imaging in Clin Uro. 2008;71:52-6.
8.
Jaison A, Mitra B, Cameron P, Sengupta S. Use of ultrasound and surgery in
adults with acute scrotal pain. ANZ J Surg. 2011;81:366-70.
9.
Coleman S, Goel R, Park E, Rhee A. Acute testicular fracture. Radiologi page
J Uro. 2014;192:1525-26.
25
10. Tang SH, Cha TL, Sun GH. Clinical perspective of scrotal ultrasound in
urology,Sonography,Dr.Kerry Thoirs, ISBN:978-953-307-947-9. Available
from :http://www.intechopen.com/books/sonography/clinical-perspectives-ofscrotal-ultrasound-in-urology/.
11. Lynch TH, Piniero LM, Plas E, Serafetinides E, Turkeri L, Santucci RA, et al.
EAU guidelines on urological trauma. European Urology. 2005;47:1-15.
12. Thinyu S, Muttarak M. Role of ultrasonography in diagnosis of scrotal
disorders: a review of 110 cases. Biomed Imaging Interv J. 2009;5(1):e2.
13. Dudea SM, Ciurea A, Chiorean A, Botar C. Doppler applications in testicular
and scrotal disease. Med Ultrason. 2010;12(1):43-51.
14. Jeffrey BR, Laing FC, Hricak H, Mcanich JW. Sonography of testicular
trauma. AJR. 1983;141:993-5.
15. Lobianco R, Regine R, Siero MD, Catalano O, Caiazzo C, Ragozzino A.
Contrast-enhanced sonography in blunt scrotal trauma. J of Ultrasound.
2011;14:188-95.
16. Carkaci S, Ozkan E, Lane D, Yang WT. Pictorial essay: Scrotal sonography
revisited. J of Clin Ultrason. 2009;38:21-37.
17. Bhatt S, Ghazale H, Dogra VS. Sonographic evaluation of scrotal and penile
trauma. Ultrasound Clin. 2007;2:45-56.
18. Wani I, Wani S, Altaf M, Irfan B, Banday V, Thoker M. Fracture of testicle.
Case report : J Nepal Paediatr Soc. 2012;32(3):259-60.
19. Cubillos J, Reda EF, Gitlin J, Zelkovic P, Palmer LS. A conservative
approach to testicular rupture in adolescent boys. The J Uro. 2010;184:173338.
26
20. Kim SH, Park S, Choi SH, Jeong WK, Choi JH. Significant predictors for
determination of testicular rupture on sonography : A prospective study. J
Ultrasound Med. 2007;26:1649-55.
21. Boudissa M, Ruatti S, Maisse N, Berod AA, Trilling B, Long JA, et al.
Bilateral testicular dislocation with pelvic ring fracture: A case report and
literature review. Ort & Trauma: Surg Research. 2013;99:485-87.
22. Avery LL, Scheinfeld MH. Imaging of male pelvic trauma. Radiol Clin N
Am. 2012;50:1201-17.
27
Download