BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Suhu tubuh adalah perbedaan antara jumlah panas yang diproduksi oleh proses tubuh dan jumlah panas yang hilang ke lingkungan luar. Suhu yang dimaksud adalah “panas” atau “dingin”. Perubahan suhu tubuh di luar rentang normal mempengaruhi set point hipotalamus. Perubahan ini dapat berhubungan dengan produksi panas yang berlebihan, pengeluaran panas yang berlebihan, produksi panas minimal (Potter dan Perry, 2005). Demam yang tidak segera diatasi atau berkepanjangan akan berakibat fatal, seperti halnya bisa menyebabkan kejang pada anak, dehidrasi bahkan terjadi syok dan gangguan tumbuh kembang pada anak. Apabila temperatur tubuh meningkat melebihi temperatur kritis akan dapat mengalami serangan panas. Gejalanya meliputi pening, perut tidak enak kadang muntah, kadang delirium, dan akhirnya kehilangan kesadaran bila temperatur tubuh tidak segera turun. Gejala-gejala ini sering dihasilkan dari syok sirkulasi yang menyertai kehilangan banyak cairan dan elektrolit dalam keringat. Hiperpireksia itu sendiri juga sangat merusak jaringan tubuh, terutama otak, dan oleh karena itu bertanggung jawab terhadap banyak efek lain. Sekali sel neuron mengalami kerusakan, sel tersebut tidak dapat digantikan. Kerusakan pada hati, ginjal dan organ tubuh lainnya yang sering akan memperburuk lagi sehingga kegagalan satu atau lebih dari organ-organ ini akhirnya menyebabkan kematian (Guyton dan Hall, 2007). Angka kejadiannya tidak diketahui, meskipun demikian angka kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 0,8–1,2 setiap 1000 bayi per tahun sedangkan kepustakaan lain menyebutkan 1-5% bayi pada bulan pertama mengalami kejang. Insidensi meningkat pada bayi kurang bulan sebesar 57,5–132 dibanding bayi cukup bulan sebesar 0,7–2,7 setiap 1000 kelahiran hidup. Pada kepustakaan lain menyebutkan insidensi 20% pada bayi kurang bulan dan 1,4% pada bayi cukup bulan, Sekitar 70-80% bayi baru lahir secara klinis tidak tampak kejang, namun secara elektrografi masih mengalami kejang (Kosim et al, 2009). Peningkatan suhu tubuh dapat disebabkan salah satunya oleh efek dari imunisasi hal ini dikarenakan dari respon inflamatori dari komponen vaksin tersebut. Imunisasi penting untuk mencegah penyakit berbahaya, salah satunya adalah imunisasi DPT (Diphteria, Pertussis, Tetanus). Imunisasi DPT merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah penyakit Diphteria, Pertussis, Tetanus (Hidayat, 2008 dalam Susanti 2012). Imunisasi COMBO (DPT-Hep B) merupakan salah satu imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah. Imunisasi COMBO (DPT-Hep B) sangat efektif dalam mencegah batuk rejan pada bayi, namun punya beragam efek samping. Pemberian imunisasi DPT memberikan efek samping ringan dan berat, efek ringan seperti terjadi pembengkakan dan nyeri pada tempat penyuntikan dan demam, sedangkan efek berat bayi menangis hebat karena kesakitan selama kurang lebih empat jam, kesadaran menurun, terjadi kejang, ensefalopati, dan syok (Donnelly et al, 2001). Demam setelah pemberian imunisasi adalah peningkatan suhu tubuh melebihi normal, biasanya karena reaksi fisiologis kompleks karena adanya aktivitas sitokin endogen yang mempengaruhi aktivitas saraf hipothalamus, meningkatkan set point di hipotalamus. Dimana hal ini terjadi setelah pemberian imunisasi (Kohl, et al, 2004). Peningkatan panas setelah imunisasi DPT dikaitkan dengan peningkatan produksi dari IL-1β di otak. Fokus pada produksi sitokine dalam hipotalamus dan hipokampus, bagian dari otak yang mengontrol panas dan aktivitas kejang pada tubuh. Pada kedua area tersebut, konsentrasi dari protein IL-1β signifikan meningkat pada dua jam setelah imunisasi diberikan. IL-1β akan kembali ke konsentrasi basal setelah empat jam di hipokampus tapi akan lebih meningkat di hipotalamus, sesuai dengan peningkatan suhu tubuh (Donnelly et al, 2001). Pada penelitian yang telah dilakukan, Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) tersering adalah demam (59,2%) dan rewel (31,5%); berbeda dengan penelitian di Lithuania, Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) tersering adalah reaksi lokal berupa kemerahan pada tempat suntikan (66%) dan rewel (61%). Pada penelitian tersebut, demam hanya timbul pada 26,7% subjek penelitian. Hampir menyerupai hasil penelitian ini, penelitian di Spanyol menunjukkan KIPI tersering adalah demam (45,2%) dan rewel (39,5%). Pada penelitian lain di Yunani, KIPI tersering rewel (73,9%) dan nyeri pada tempat suntikan (59,2%). Sedangkan pada penelitian ini, bengkak pada tempat suntikan 9% populasi penelitian dan nyeri pada tempat suntikan hanya terjadi pada satu kasus (0,5%). Penelitian lain di Thailand menunjukkan KIPI tersering pada vaksinasi DPT-Hep B adalah demam (64%) dan berbeda bermakna dibandingkan dengan vaksinasi DPT saja (47,4%) (Jong, Tumbelake, Latief, 2004). Salah satu upaya untuk mencegah reaksi demam setelah imunisasi adalah dengan pemberian ASI. Efek proteksi ASI merupakan hasil interaksi dari berbagai elemen imun ASI, baik yang bersifat antigen spesifik maupun yang berperan dalam respon imun yang bersifat general. Kandungan protein ASI memiliki berbagai aktivitas biologis diantaranya sebagai antimikrobial, imunomodulator dan terdapat asam amino esensial dalam jumlah yang adekuat untuk pertumbuhan bayi (Lonnerdal, 2003). Air susu ibu (ASI) memproduksi komponen seperti sitokin proinflamasi yang berfungsi sebagai respon terhadap vaksin sebagai pirogen dan antimikrobal dan antiinflamasi yang membantu mengurangi risiko demam yang menyebabkan penurunan produksi interlukin atau reseptor Toll-like, dimana akan mempengaruhi termoregulasi di hipotalamus. Bayi yang disusui juga memiliki asupan kalori yang lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang tidak disusui. Kekurangan asupan yang terjadi pada bayi yang tidak disusui akan dapat meningkatkan serum leptin dan proinflamasi IL-1β yang dapat menyebabkan demam (Pisacane et al, 2010) Penelitian kohort prospektif yang dilakukan oleh Pisacane et al. (2010) dengan jumlah subyek penelitian sebanyak 460 bayi, membuktikan bahwa kejadian demam setelah imunisasi hexavalent (diphtheria, tetanus, acelular pertussis, hepatitis B, inactivated polio virus, Haemophilus influenza type b), pada bayi yang mendapat ASI eksklusif sebesar 25%, sedangkan yang mendapat ASI parsial, kejadian demamnya 31% dan pada bayi yang tidak mendapatkan ASI 53%. Risiko relatif (RR) pada bayi yang mendapat ASI eksklusif, partial breastfeeding, dan yang tidak mendapat ASI masing-masing adalah 0,46, 0,58, dan 1. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 di Indonesia pemberian ASI baru mencapai 15,3% dan pemberian susu formula meningkat tiga kali lipat dari 10,3% menjadi 32,5%. Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu Anak Kementerian Kesehatan, Budiharja, menyatakan bahwa angka ini cukup memprihatinkan. Ia menilai rendahnya kesadaran masyarakat dalam mendorong peningkatan pemberian ASI masih rendah, termasuk didalamnya kurangnya pengetahuan Ibu hamil, keluarga dan masyarakat akan pentingnya ASI (Dwiharso, 2010). Wawancara yang dilakukan kepada 10 orang tua yang membawa bayinya imunisasi di Puskesmas III Denpasar Utara mengatakan cemas saat bayinya mendapatkan imunisasi karena efek panas yang akan timbul dimana lebih dari 50% memberikan susu formula kepada bayinya. Menurut tenaga medis, untuk mengatasi efek panas yang ditimbulkan, orang tua bayi hanya diberikan obat panas yang dapat diberikan sewaktu-waktu tanpa ada pengukuran panas sebelumnya. DiPuskesmas III Denpasar Utara juga tidak memiliki data mengenai kejadian demam pasca imunisasi COMBO (DPT-Hep B), hal ini disebabkan para orang tua beranggapan bahwa panas pasca imunisasi COMBO (DPT-Hep B) adalah wajar sehingga para orang tua tidak melaporkan panas yang terjadi setelah imunisasi COMBO (DPT-Hep B) tersebut.. Selain itu, di Puskesmas III Denpasar Utara memiliki catatan medis bayi-bayi yang mendapatkan ASI Eksklusif dan Susu Formula sehingga memudahkan bagi peneliti untuk mendapatkan responden. Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti ingin meneliti Perbedaan Kejadian Demam Pasca Pemberian Imunisasi COMBO (DPT-Hep B) Pada Bayi 2-4 Bulan Yang Diberikan ASI Eksklusif Dan Susu Formula di Puskesmas III Denpasar Utara Tahun 2014. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut: “Apakah ada perbedaan kejadian demam pasca pemberian imunisasi COMBO (DPT-Hep B) antara bayi 2-4 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif dengan susu formula di Puskesmas III Denpasar Utara 2014?” 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui perbedaan kejadian demam pasca pemberian imunisasi COMBO (DPT-Hep B) pada bayi 2-4 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif dengan yang hanya Susu Formula di Puskesmas III Denpasar Utara Tahun 2014. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi karakteristik subyek penelitian perbedaan kejadian demam pasca pemberian imunisasi COMBO (DPT-Hep B) antara bayi 2-4 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif dengan susu formula di Puskesmas III Denpasar Utara 2014 b. Mengidentifikasi kejadian demam pasca pemberian imunisasi COMBO (DPTHep B) pada bayi 2-4 bulan yang diberikan ASI eksklusif c. Mengidentifikasi kejadian demam pasca pemberian imunisasi COMBO (DPTHep B) pada bayi 2-4 bulan yang diberikan susu formula d. Menganalisis perbedaan kejadian demam pada bayi 2-4 bulan yang mendapat ASI eksklusif dengan yang hanya susu formula pasca pemberian imunisasi COMBO (DPT-Hep B) 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Praktis a. Bagi Masyarakat Dapat dijadikan sebagai bahan penyuluhan mengenai manfaat ASI dan pentingnya pemberian ASI eksklusif kepada masyarakat secara umum dan orang tua secara khusus. b. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan Dalam hal ini, bagi puskesmas secara khusus untuk lebih menekankan pentingnya ASI eksklusif sebab ASI memiliki banyak keuntungan. Selain itu, pentingnya penjelasan mengenai pencegahan demam setelah imunisasi. c. Bagi Keperawatan Bagi pengembangan ilmu keperawatan anak dapat dijadikan sebagai sumber informasi tentang ASI dan efek ASI terhadap imunisasi. 1.4.2 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber ide dalam pengembangan penelitian mengenai manfaat kandungan imunologik dalam ASI dalam mengatasi reaksi KIPI pasca pemberian imunisasi.