UJI SITOTOKSIK Enterobacter sakazakii ISOLAT ASAL

advertisement
i
UJI SITOTOKSIK Enterobacter sakazakii ISOLAT ASAL
MAKANAN DAN SUSU BAYI PADA SEL LESTARI VERO
GETRI GRECILIA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Uji Sitotoksik Enterobacter
sakazakii Isolat Asal Makanan dan Susu Bayi pada Sel Lestari Vero adalah hasil
karya saya dengan arahan pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, November 2008
Getri Grecilia
NIM: B04104017
iii
ABSTRAK
GETRI GRECILIA. Uji sitotoksik Enterobacter sakazakii isolat asal makanan
dan susu bayi pada sel lestari Vero. Dibimbing oleh Sri Estuningsih.
Enterobacter sakazakii merupakan bakteri yang hidup secara luas. Bakteri
ini ditemukan dalam usus manusia sehat sebagai intermittent guest, usus hewan,
dan di lingkungan. Lingkungan yang dimaksud meliputi lingkungan berair,
industri makanan, rumah tangga, rumah sakit hingga sedimen tanah yang lembab,
dan ditemukannya bakteri ini dalam susu formula dan makanan pengganti ASI
menyebabkan bakteri ini dikukuhkan sebagai emerging pathogen. Sifat virulen
bakteri ini menurut Pagotto (2003) berasal dari suatu senyawa toksin yang
menyerupai enterotoksin yang dapat mengakibatkan terjadinya necrotizing
enterocolitis (kerusakan berat saluran cerna), meningitis (infeksi selaput otak) dan
sepsis (infeksi sistemik) pada bayi, terutama bayi berumur 1 bulan, dengan berat
badan lahir rendah atau dengan sistem kekebalan yang rendah. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui apakah isolat E. sakazakii yang diujikan mempunyai
kemampuan melisiskan sel sebagai tanda patogenitas isolat tersebut. Sebanyak 12
isolat E. sakazakii asal makanan pengganti ASI (MP-ASI) ditumbuhkan dalam
media cair selama 18 jam kemudian dipisahkan dan dikoleksi supernatannya.
Diasumsikan supernatan ini mengandung enterotoksin yang dihasilkan oleh
bakteri E. sakazakii. Setelah dilakukan filtrasi (dengan filter 0,22 µm) kemudian
sebagian filtrat tersebut dididihkan selama 20 menit, filtrat diuji pada sumursumur kultur sel lestari Vero yang telah konfluen. Setelah inkubasi semalam
kemudian diamati filtrat yang mampu menyebabkan sitolisis sel lestari Vero.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 6 dari 12 filtrat mampu menyebabkan
sitolisis dan 5 dari 6 isolat tersebut masih menunjukkan kemampuan sitolisis
setelah filtrat dididihkan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa
6 dari 12 isolat E. sakazakii yang diujikan memiliki faktor virulen berupa
enterotoksin yang sebagian besar tahan panas.
Kata kunci : Enterobacter sakazakii, sel lestari Vero, sitotoksik.
.
iv
ABSTRACT
GETRI GRECILIA. Cytotoxic test of Enterobacter sakazakii enterotoxin isolated
from infant food and infant formula on Vero cell line. Under supervisor of Sri
Estuningsih.
Enterobacter sakazakii is a broad life bacteria. This bacteria could be
found in heald humans visceral as an intermitten guest, animal visceral and in
environment such as food industry, wet area, hospital and humid soil sediment.
This bacteria also found from food and powder infant formula, that makes them
dedicated into emerging pathogen. This bacteria has a virulance factor as toxic
substance that similiar with enterotoxin which known causing necrotizing
enterocolitis, meningitis, and sepsis in baby especially 1 month old baby, low
body weight or low immunity. This research was aimed to know cytolitic ability
of E. sakazakii toxin as it’s pathogenicity. Twelve isolates of E. sakazakii from
infant were grown in liquid media (Brain Heart Infusion/BHI) about 18 hours
than were separated and it’s supernatant were collected. After that, supernatants
were filtered with filter 0,22 µm then half of supernatants were boiling for 20
minutes. Filtrates were tested on confluent Vero cell line in culture cell well.
The result shown that six of twelve filtrates were causing cytolysis, and five of
them still had cytolitic ability after boiled. Based on these result, we conclude
that 6 from 12 isolate of E. sakazakii had virulence factor, it is enterotoxin which
most of them were heat tolerance.
Key words : Enterobacter sakazakii, Vero cell line, cytotoxic.
v
UJI SITOTOKSIK Enterobacter sakazakii ISOLAT ASAL
MAKANAN DAN SUSU BAYI PADA SEL LESTARI VERO
GETRI GRECILIA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
vi
Judul Skripsi
: Uji sitotoksik Enterobacter sakazakii isolat asal makanan
dan susu bayi pada Sel Lestari Vero
Nama
: Getri Grecilia
NIM
: B04104017
Disetujui
Dr.drh. Sri Estuningsih,M.Si
Pembimbing
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Tanggal lulus :
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “Uji Sitotoksik Enterobacter sakazakii Isolat Asal Makanan
Dan Susu Bayi Pada Sel Lestari Vero” sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan studi tingkat Sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.
Selama pelaksanan penelitian ini, penulis telah banyak mendapat
dukungan, semangat dan bantuan dari berbagai pihak. Pertama-tama penulis
ucapkan terimakasih untuk keluarga tercinta atas segala doa, dukungan dan
kepercayaan serta cinta yang tidak pernah lekang oleh waktu dan jarak, hingga
pada akhirnya penulis dapat tetap bersemangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si selaku dosen
pembimbing skripsi yang tidak kenal lelah meluangkan waktu untuk
membimbing, mendidik serta mendukung penuh penyusunan skripsi ini hingga
selesai. Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada Prof. Drh. Arief
Boediono, PhD selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak memberi
sumbangan positif sejak awal penulis di FKH IPB dan kepada Drh. Dewi Ratih
Agungpriyono, PhD selaku dosen penilai sekaligus penguji atas saran dan
masukan yang telah diberikan untuk kesempurnaan skripsi ini. Terimakasih tidak
lupa penulis ucapkan khususnya kepada teman-teman RC (uni, yussy, yue, ana,
puput, waQ, dan iya) yang cantik-cantik, nainonk, udin, serta miong atas
semangat dan kebersamaan keluarga yang penulis rasakan selama berada di
kampus ungu, kepada mas iqie, sugi, mas dho, rian dan dani atas semua dukungan
dan bantuannya, teman-teman Asteroidea yang terbaik dan teristimewa serta
semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, November 2008
Penulis
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Manna, Bengkulu Selatan pada tanggal 1 Januari 1987
sebagai anak ke-3 dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Ade Badarudin dan
Ibu Susilawati.
Penulis memulai pendidikan Sekolah Dasar tahun 1992 di Sekolah Dasar
Negeri 10 Manna dan lulus tahun 1998. Pada tahun yang sama melanjutkan
pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Manna dan lulus tahun 2001,
kemudian melanjutkan di Sekolah Menengah Umum Negeri 2 Manna dan lulus
pada tahun 2004.
Pada tahun 2004 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas
Kedokteran Hewan melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama
perkuliahan penulis aktif dalam Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia pada
periode 2005-2006, dan Himpunan Minat dan Profesi Ornithologi dan Unggas
pada periode 2006-2007.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .........................................................................................
iii
iv
DAFTAR TABEL .......................................................................................
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
v
PENDAHULUAN .................................................................................
1
Latar belakang ........................................................................................
1
Tujuan penelitian ...................................................................................
2
Hipotesa ................................................................................................2
Manfaat................................................................................................ 2
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................
3
Enterobacter sakazakii ...........................................................................
3
Taksonomi dan Klasifikasi ...............................................................
3
Karakteristik ..............................................................................
4
6
Sifat khas E. sakazakii ...............................................................
Sifat resistensi terhadap Antibiotik
6
6
Sifat resistensi terhadap perlakuan ......................................
Patogenitas ...........................................................................
6
Enterotoksin .........................................................................
8
Metode penghitungan dan isolasi ..............................................
8
Kejadian infeksius ............................................................................
10
Makanan pengganti ASI dan susu formula bayi ................................ 12
Defenisi Susu .............................................................................
12
Makanan Pengganti ASI ......................................................
12
Susu Formula Bayi ...............................................................
12
Kontaminasi susu formula dan makanan bayi ...........................
13
Biologi sel ..............................................................................................
15
Defenisi Sel ................................................................................
15
Kultur jaringan ...........................................................................
18
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kultur .......
20
Sel Vero ................................................................................................22
Defenisi ......................................................................................
22
Manfaat sel Vero ........................................................................
23
METODOLOGI .....................................................................................
25
Waktu dan tempat ..................................................................................
25
Materi penelitian ....................................................................................
25
Metode penelitian ...................................................................................
25
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 30
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 37
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
38
x
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Karakteristik tingkat adaptasi dan perkembangan E. sakazakii............. 5
2
Perbedaan bikomia spesies Enterobacter............................................. 5
3
Enterobacter sakazakii dan outbreak penyakit yang berhubungan
dengan susu infan formula yang terjadi dibeberapa Negara ............... 11
4
Laporan kejadian adanya E. sakazakii dalam makanan bayi dan
susu bayi.............................................................................................. 14
5
Hasil pemberian filtrat enterotoksin E. sakazakii (murni dan
dipanaskan) pada sel monolayer vero setelah inkubasi 24 jam........... 33
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Enterobacter sakazakii ......................................................................... 3
2
Isolasi dan identifikasi Enterobacter sakazakii....................................
3
Gambaran skematis anatomi sel hewan ............................................... 16
4
Gambaran skematis lapisan membran sel ............................................ 17
5
Gambaran Sel Vero .............................................................................. 22
6
Gambar format plat pengujian enterotoksin E. sakazakii pada TCP
24 well/sumur .......................................................................................
9
28
7
Grafik pertumbuhan sel ........................................................................ 30
8
Gambaran mikroskopis sel Vero ......................................................... 32
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam dunia kedokteran, Enterobakter sakazakii atau yellow pigmented
Enterobacter cloacae berkerabat dekat dengan Salmonella di dalam keluarga
Enterobacteriaceae. Keberadaan bakteri ini pada susu formula dan MP-ASI di
Indonesia telah menimbulkan keresahan yang besar bagi ibu-ibu di Indonesia
karena menurut Pagotto (2003), bakteri ini dapat menginfeksi dan bersifat patogen
karena menghasilkan suatu toksin yang menyerupai enterotoksin (racun).
Berdasarkan laporan dibeberapa negara sejak tahun 2002, E. sakazakii diketahui
dapat mengakibatkan enterokolitis nekrotikan et hemorrhagika, meningitis dan
sepsis pada bayi, terutama bayi berumur 1 bulan, dengan berat badan lahir rendah
atau dengan status kekebalan rendah (FDA/CFSAN 2002a). Infeksi yang
ditimbulkan dapat menyebabkan cacat otak hingga kematian. Sumber infeksi
diketahui berasal dari susu bubuk formula yang terkontaminasi bakteri tersebut,
oleh karena itu bakteri ini dikukuhkan sebagai emerging pathogen (Farber 2004).
Pengaruh keberadaan E. sakazakii di Indonesia sampai saat ini belum diketahui.
Hasil penelitian Estuningsih, 2006 menunjukkan bahwa E. sakazakii ditemukan
sebagai kontaminan sebesar 13,5% dalam makanan bayi dan 6,52% dalam susu
bubuk formula (Estuningsih 2004). Hasil penelitian Hibah Bersaing XIV tahun I
Estuningsih dkk (2006b) menunjukan bahwa sebanyak 22.73% susu formula dan
46.7% makanan bayi (MP-ASI) yang diteliti tercemar E. sakazakii dengan level
MPN (Most Probability Number) kontaminasi terendah 0,36 cfu/100 gram dan
tertinggi 15.0 cfu/ 100 gram. Telah diketahui bahwa bakteri E. sakazakii dengan
level kontaminasi 3 cfu/100 gram telah mampu menginfeksi bayi. Angka tersebut
jauh lebih rendah dari temuan kontaminasi di Indonesia. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa kondisi susu formula dan makanan bayi (MP-ASI) di
Indonesia sudah saatnya diperhatikan mengingat resiko yang fatal akibat
kemungkinan infeksi oleh E. sakazakii. Mengingat efek yang dapat ditimbulkan
cukup serius, maka penelitian lebih lanjut diperlukan.
Penelitian berikut ini akan difokuskan kepada E. sakazakii yang telah
berhasil diisolasi dari susu formula dan MP-ASI yang beredar di pasaran
2
Indonesia untuk melihat kemampuannya menghasilkan enterotoksin.
Efek
enterotoksin (jika dihasilkan) dilihat dengan melakukan uji sitotoksik terhadap sel
lestari Vero. Informasi yang didapat diharapkan bermanfaat untuk digunakan
dalam penelitian patogenitas dan patogenesis E. sakazakii. Selain itu diharapkan
pula dapat digunakan sebagai landasan kebijakan dalam menegakkan peraturan
keamanan pangan umumnya serta susu bayi dan makanan bayi khususnya.
Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1.
Mengetahui kemampuan isolat E. sakazakii yang diisolasi dari susu dan
makanan bayi dalam menghasilkan enterotokin.
2.
Mempelajari efek sitotoksik toksin E. sakazakii pada sel lestari Vero
setelah toksin dipanaskan.
Hipotesis
1.
Enterotoksin dapat diproduksi oleh E. sakazakii yang diisolasi dari susu
dan makanan bayi.
2.
Enterotoksin E. sakazakii dapat menyebabkan sitolisis sel lestari Vero.
Manfaat penelitian
Manfaat penelitian ini adalah mengetahui (menentukan) isolat E. sakazakii
yang menghasilkan enterotoksin yang akan digunakan untuk penelitian
selanjutnya, serta menambah informasi tentang hasil penelitian E. sakazakii.
3
TINJAUAN PUSTAKA
I. Enterobacter sakazakii
I. 1. Taksonomi dan Klasifikasi E. sakazakii
Enterobacter sakazakii merupakan anggota Famili Enterobacteriaceae,
dikenal sebagai Enterobacter cloacae berpigmen kuning sebelum akhirnya
diidentifikasi sebagai spesies baru pada tahun 1980 berdasarkan perbedaan
analisis hibridisasi DNA, reaksi biokimia dan uji kepekaan terhadap antibiotika
oleh Farmer et al. sebagai penghargaan untuk seorang ahli bakteriologi Jepang
(Riichi sakazakii). Hasil penelitian tahun 2007 oleh Iversen et al. kemudian
membawa genus baru bagi bakteri ini yaitu Cronobacter, sehingga spesies bagi
bakteri ini menjadi Cronobacter sakazakii.
Taksonomi dan klasifikasi E.
sakazakii adalah sebagai berikut:
kingdom
phylum
class
order
family
genus
spesies
genus
spesies
: Bacteria
: Proteobacteria
: Gamma Proteobacteria
: Enterobacteriales
: Enterobacteriaceae. Hormaeche & Edwards (1960)
: Enterobacter
: E. sakazakii. Farmer et al. (1980)
: Cronobacter
: Cronobacter sakazakii. Iversen et al. (2007)
Gambar 1 Enterobacter sakazakii dengan ukuran bar 1 µm (Sumber : Anonim
2004a)
Genus Cronobacter dibuat pada tahun 2007 dan termasuk dalam Famili
Enterobacteriaceae dengan karakteristik berupa gram negatif, anaerob fakultatif,
berbentuk batang, motil, menurunkan konsentrasi nitrat, menghidrolisis eskulin
dan arginin, dan positif terhadap L-ornithine decarboxylation. Bakteri pada genus
4
ini juga positif memproduksi asetoin (Voges-Proskauer test) dan negatif pada tes
methyl red sebagai indikasi 2,3-butanediol karena menghasilkan campuran
fermentasi asam. Spesies dari genus Cronobacter diambil berdasarkan kedekatan
biologis taksonomi dengan E. sakazakii dan terdiri atas Cronobacter sakazakii,
Cronobacter malonaticus, Cronobacter turicensis, Cronobacter muytjensii, dan
Cronobacter dublinensis (Iversen et al. 2007).
I. 2. Karakteristik E. sakazakii
Seperti halnya anggota Famili Enterobacteriaceae lainnya, E. sakazakii
merupakan bakteri gram negatif bersifat motil (memiliki peritrichous flagella),
berbentuk batang dengan ukuran panjang 3 µm dan lebar 1 µm, tidak membentuk
spora, dan anaerob fakultatif (Erickson et al. 2005). Bakteri ini memiliki habitat
normal yang tidak jelas (Lai 2001), namun hasil publikasi Hassel (2004)
mengatakan bahwa bakteri ini dapat ditemukan secara luas misalnya pada usus
manusia sehat sebagai intermittent guest, usus hewan, dan lingkungan.
Lingkungan yang dimaksud meliputi lingkungan industri makanan (pabrik susu,
cokelat, kentang, sereal, dan pasta), lingkungan berair, rumah sakit, rumah tangga,
hingga sedimen tanah yang lembab (Lehner & Stephan 2004). Lenati et al. (2008)
menambahkan bahwa bakteri ini tidak dapat tumbuh pada lingkungan ASI in vitro
pada suhu 10, 23 dan 37oC karena adanya suatu kandungan antimikrobial pada
ASI. Pada tahun 1998, bakteri ini berhasil diisolasi dari flora usus lalat buah
tanpa ada perbedaan jantan ataupun betina. Hal ini selaras dengan Kuzina et al.
(2001) yang menyatakan bahwa E. sakazakii tidak ditemukan dalam koloni lalat
lain dalam 30 tahun terakhir kecuali pada lalat buah, namun pada tahun 2003
bakteri ini berhasil diisolasi dari midgut Stomoxys calcitran (lalat penghisap
darah) oleh Joanne et al.
Menurut Iversen dan Forsythe (2003) E. sakazakii dapat tumbuh pada
kisaran suhu yang lebar (6 – 47oC). Kondisi optimum perkembangan bakteri ini
berada pada kisaran suhu 37 – 44oC (Anonim 2005), namun tidak termasuk dalam
golongan Heat Resistance karena pada temperatur 60oC dapat terbunuh (Edelson
et al. 2004; FDA & CFSAN 2002b). Karakteristik adaptasi dan berkembang
bakteri ini menurut Food Safety Athority of Ireland, dapat dilihat pada Tabel 1
(Anonim 2007a).
5
Tabel 1 Karakter tingkat adaptasi dan perkembangan Enterobacter sakazakii
Parameter
Temperatur untuk pertumbuhan
Waktu generasi º saat suhu 220C
Range
6 – 45 0C
Optimum
37 – 43 0C
37 – 44 menit
-
3.52- 3.58
-
0
D-Value ¹ saat suhu 60 C (isolat E. sakazakii
berasal dari PIF)
Keterangan : º waktu generasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk membuat populasi bakteri menjadi
duakali lipat. ¹D-Value adalah waktu (menit) dengan pemberian temperatur untuk mendapatkan pengurangan
masa hidup sel sebanyak 90%.
Berdasarkan penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh Iversen et al.
(2004b), diperoleh hasil bahwa E. sakazakii mempunyai 97.8% kemiripan dengan
Citrobacter koseri dan 97.0% dengan Enterobacter cloacae, sedangkan
berdasarkan uji DNA hibridisasi bakteri ini memiliki kesamaan DNA hingga 50%
dengan Citrobacter diversus (Farmer et al. 1980).
Muytjens et al. (1984)
menyatakan bahwa terdapat dua perbedaan besar yang membedakan E. sakazakii
dengan spesies Enterobacter lain, yaitu adanya aktivitas glukosida yang tidak
ditemukan pada Enterobacter lain dan tidak adanya enzim Phosphoamidase.
Iversen dan Forsythe (2003) menambahkan bahwa sebagian besar bakteri ini tidak
memfermentasikan
sorbitol.
Beberapa
perbedaan
biokimia
dari
spesies
Enterobacter menurut Nazarowec et al. (1997), dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Perbedaan biokimia spesies Enterobacter
Perbedaan biokimia spesies Enterobacter¹
reaksi²
Test
E.
E.
E.
E.
E.
sakazakii cloacae aerogenes agglomerans gergoviae
Lysine decarboxylase
+
+
Arginine dihydrolase
+
+
Ornithine decarboxylase
+
+
+
+
KCN, growth in
+
+
+
v
sucrose
+
+
+
(+)
+
dulcitol
(-)
(-)
adonitol
(-)
+
raffinose
+
+
+
v
+
Fermentasi
D-sorbitol
+
+
v
x-methyl-D+
(+)
glucoside
D-arabitol
(-)
+
+
Pigmen kuning
+
(+)
Keterangan: ¹Adaptasi dari Farmer and Kelly (1992), ²Bernilai + jika 90-100% positif; (+) : 75-89% positif;
v : 25-74% positif; (-): 10-24% positif; - : 0-9% positif.
6
I. 3. Sifat Khas E. sakazakii
I. 3. 1. Sifat resistensi terhadap Antibiotik
Farmer et al. (1980) menemukan bahwa seluruh galur E. sakazakii rentan
terhadap Gentamycin, Kanamycin, Chloramphenicol dan Amphicilin, lebih dari
87% bersifat rentan terhadap nalidixic acid, streptomycin, tetracycline, dan
carbenicilin; 67% rentan terhadap sulfadiazine dan colistin; dan 13% rentan
terhadap antibiotik ganda. Hal ini didukung oleh Weir (2002) yang menyebutkan
bahwa E. sakazakii bersifat resisten terhadap Ampisilin dan Gentamisin atau
Ampisilin dan Chloramphenicol. Menurut Lai (2001), Carbapenems atau
Cephalosporin terbaru yang dikombinasikan dengan agen kedua seperti
Aminoglycosida,
Trymetrophine,
Sulfametoxazole
dapat
digunakan
untuk
pengobatan infeksi akibat bakteri ini.
I. 3. 2. Sifat resistensi terhadap perlakuan
Enterobacter sakazakii bersifat lebih resisten terhadap pengeringan dan
stres osmotik dibandingkan spesies lain dari Enterobacteriaceae karena suatu
kapsul polisakarida dengan aktivitas antifagositik yang dapat mengurangi
kemampuan tubuh untuk mengeliminasinya (Iversen et al. 2004a). Keberadaan
kapsul ini juga memungkinkan E. sakazakii untuk melakukan perlekatan dan
membentuk biofilm (perlekatan yang erat pada permukaan) yang menyebabkan
resisten terhadap bahan pembersih dan desinfektan (Hassel 2004; Lehner et al.
2005). Meutia (2008) menambahkan bahwa beberapa isolat E. sakazakii asal susu
dan makanan bayi juga memiliki sifat tahan terhadap pemanasan, namun beberapa
penelitian menyatakan bahwa bakteri ini tidak lebih tahan panas dibandingkan
dengan L. Monocytogenes (Iversen & Forsythe 2003).
I. 3. 3. Patogenitas E. sakazakii
Faktor patogenitas suatu bakteri batang bergram negatif diketahui berasal
dari beberapa faktor yaitu endotoksin, enterotoksin, daya invasi, perlekatan ke
permukaan sel, hemolisin, dan enzim–enzim yang diproduksi.
Kemampuan
perlekatan bakteri gram negatif digunakan untuk membentuk koloni pada bagian
mukosa dengan menggunakan pili (fimbriae), sedangkan daya invasi yaitu
kemampuan bakteri untuk menyerang sel inang dengan menggunakan komponen
7
permukaan berupa kode pada plasmid ataupun kromosom. Struktur dinding sel
umumnya terdiri dari 20% total dinding sel dibentuk oleh lapisan murelinlipoprotein dan sisanya 80% dibentuk oleh lapisan fosfolipid, protein dan
lipopolisakarida.
Komponen
utama
dari
dinding
sel
adalah
lapisan
lipopolisakarida yang terdiri dari rantai polisakarida yang spesifik sebagai penentu
sifat antigenik dan aktivitas endotoksin (Karsinah 1994).
Endotoksin adalah
bagian dari dinding sel luar bakteria yang jauh kurang toksik dan kurang spesifik
dibandingkan dengan eksotoksin karena tidak bertindak sebagai enzim.
Informasi yang menjelaskan tentang sifat virulen dari E. sakazakii masih
sangat minim, namun diketahui memiliki kesamaan respon imunologi dengan
Eschericia coli dan coliform lain. Pagotto et al. (2003) melaporkan bahwa E.
sakazakii mampu menghasilkan suatu senyawa toksin menyerupai enterotoksin
dengan efek sitotoksik (melisiskan sel) pada uji in vitro terhadap sel lestari CHO,
Vero, dan Y-1 dan menyebabkan kematian pada bayi mencit lewat pemberian
peroral serta memiliki efek lethal saat di injeksi dengan konsentrasi 108 cfu pada
anak mencit yang berumur 3-4 hari.
Miyoshi dan Takai (2005) menyatakan
bahwa sifat penyerangan bakteri E. sakazakii secara in vitro memiliki kesamaan
dengan L. Monocytogenes, yaitu dengan melepaskan Ethylene Glycol Tetraacetic
Acid (EGTA) yang merupakan agen selektif untuk ion Ca2+. Habisnya Ca2+ pada
kultur sel dapat menyebabkan terbukanya tight junctions yang berperan dalam
ikatan antar sel dan barrier molekul antar sel epitel antara lapisan konfluen sel
eukariotik.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mange et al. (2006) dengan 50 stain
E. sakazakii yang diujikan pada sel lestari HEp-2 dan Caco-2 (epitel manusia),
serta sel lestari HBMEC (mikrovaskuler otak) menyimpulkan bahwa kemampuan
adhesi dari E. sakazaki tidak dipengaruhi oleh adanya enzim tripsin, hemaglutinin,
dan manosa yang diperantarai oleh suatu struktur fimbrie seperti yang ditemukan
pada sebagian besar strain enterobacteriaceae. Kemampuan bakteri ini berasosiasi
kuat dengan sel HEp-2 tanpa keterlibatan struktur fimbrial memiliki kesamaan
dengan sifat enterotoksigenik E. coli (ETEC) yang diujikan pada sel lestari Caco2 oleh Darfeuille et al. (1990). Untuk melepaskan toksinnya, bakteri ini berikatan
sangat dekat dengan mikrovili tanpa menyebabkan lesio pada mikrovili tersebut.
8
I. 3. 4. Enterotoksin
Enterotoksin termasuk dalam kelompok eksotoksin yang kebanyakan
menyebabkan kasus keracunan pada makanan. Enterotoksin merupakan protein
oligomerik yang terdiri dari satu rantai polipeptida A dan lima rantai polipeptida
B. Rantai polipeptida A bertugas dalam menghasilkan suatu perlukaan pada sel
sehingga dapat mengeluarkan efek toksin ke dalam sel, sedangkan rantai
polipeptida B bertugas untuk berikatan dengan permukaan reseptor dari sel inang.
Toksin
ini diproduksi di dalam
pori-pori dan
dilepaskan
pada
fase
pertumbuhannya di dalam usus kecil, ukurannya lebih besar dari endotoksin,
dengan berat molekul sekitar 50 – 1000 kDa dan berfungsi seperti enzim dengan
potensi toksik yang tinggi (konsentrasi 1 µg dapat menyebabkan keracunan).
Toksin ini juga bersifat sitotoksik (tidak menyebabkan kerusakan pada membran
sel tetapi menyebabkan peningkatan pembentukan messenger intraseluler (cAMP)
yang dapat meningkatkan sekresi dan menyebabkan diare), tahan panas (heat
stable) sehingga pemanasan terhadap makanan tidak akan merusak toksin, dan
dapat membunuh sel dengan mengubah permeabilitas dari epitel sel dinding usus.
Di samping itu, enterotoksin bersifat tahan asam dan tahan terhadap
pengaruh enzim proteolitik, seperti tripsin dan pepsin (Clements 1997 diacu
dalam Paryati 2006) sehingga proses pemusnahannya menjadi sulit. Enterotoksin
juga tidak merangsang terjadinya suatu tanggap perbarahan meskipun kuman yang
menghasilkannya bersifat flogistik atau menyebabkan perbarahan dan dihasilkan
oleh berbagai bakteri termasuk bakteri penyebab keracunan makanan seperti
Escherichia coli, Salmonella, Staphylococcus, Clostridium perfringens, dan
Yersinia enterocolitis (Gyles & Thoen 1993).
I. 4. Metode penghitungan dan isolasi E. sakazakii
Tahun 1988, Muytjens et al. menemukan metode penghitungan kwantitatif
E. sakazakii dalam makanan bubuk formula yang pertama dengan menggunakan
media Sheep Blood Agar dan Eosin-Methylene Blue Agar untuk pembiakkan dan
memakai sistem API 20E (Gambar 2D) untuk mengidentifikasi strain ini. Tahun
2002, FDA dan CFSAN mengeluarkan protokol tentang cara perhitungan
kwantitatif E. sakazakii dalam makanan bubuk formula dengan menggunakan
FDA/BAM (FDA’s Bacteriological Analytical Manual). Media yang digunakan
9
untuk mengisolasi E. sakazakii adalah MacConkey agar, MacConkey-sorbitol
Agar, Eosin Methylene Blue (EMB) Agar, Deoxycholate Agar, Tergitol 7 Agar,
Xylose-lysine-deoxycholate (XLD) Agar dan Violet Red Bile (VRB) Agar (Gambar
2A). Selain itu, API 20E juga dapat digunakan sebagai sistem konfirmasi akhir
untuk strain ini. (FDA & CFSAN 2002b). Beberapa contoh positif dari uji
identifikasi isolat E. sakazakii dapat dilihat pada Gambar 2.
A
E. sak
E.cloacae
C
Gambar 2
B
D
Isolasi dan identifikasi E. sakazakii; A: Media VRBG, B: Media
ESIA (hijau) dan DFI (kuning), C: Media Caso Agar, D: Sistem
API20E Biomereux’ (Sumber : Estuningsih et al. 2006b)
Berdasarkan data dari Oxoid ltd tahun 2004 (Anonim 2004a), terdapat
metode yang lebih cepat dari FDA yaitu Oxoid Chromogenic E. sakazakii Agar
(DFI formulation).
Media yang digunakan mengandung substrat 5-bromo-4-
chloro-3-indolyl-a dan D-glucopirosonide yang akan dipecah oleh enzim αglukosidase yang dimiliki bakteri ini dan membentuk suatu koloni berwarna hijau
kebiruan. DFI agar kemudian dipakai sebagai salah satu media dalam prosedur
isolasi dan identifikasi E. sakazakii dengan dasar metode yang diperkenalkan
sebagai FDA yang dimodifikasi (Iversen et al. 2004a). Koloni pada DFI dapat
dilihat pada Gambar 2B. Menurut Soe dan Brackett (2005), pengujian dengan
10
real-time PCR juga dapat digunakan untuk mengetahui dengan cepat keberadaan
E. sakazakii pada makanan bayi dan dapat digunakan dalam industri makanan dan
regulator agensi.
I. 5. Kejadian infeksi akibat Enterobakter sakazakii
Keberadaan E. sakazakii tercatat pada 31 literatur kasus di Inggris (19601999) dan terjadi pada kisaran umur penderita 3 hari hingga 4 tahun dengan
tingkat infeksi pada bayi umur ≤ 1 minggu mencapai 50%, bayi dengan umur < 1
bulan mencapai 75%, dan bayi dengan berat badan ≤ 2,5 kg juga teridentifikasi
sebagai ciri dari 75% pasien yang terinfeksi. Bayi prematur (<28 hari) dan bayi
dengan berat badan lahir rendah (<2500 g) adalah grup yang memiliki resiko
paling besar mengalami infeksi oleh E. sakazakii daripada bayi normal, anakanak, ataupun dewasa (Mullane et al. 2007; Himelright et al. 2002). Bowen dan
Braden (2006) menelaah 46 kasus pada bayi akibat infeksi E. sakazakii, 12 bayi
diketahui menderita bakteriemia, 33 menderita meningitis, dan 1 mengalami
infeksi pada traktus urinarius. Pada pasien yang menderita meningitis, 11 (33%)
mengalami seizures, 7 (21%) mengalami abses pada otak, dan 14 (42%)
meninggal dunia. Berdasarkan informasi hasil identifikasi kejadian wabah yang
diakibatkan oleh bakteri ini dari International Risk Assessment (IRA), FAO dan
WHO (2006) membagi dua grup beresiko besar terkena wabah E. sakazakii yaitu
grup yang mudah terserang yaitu semua bayi dibawah umur 12 bulan dan grup
yang paling mudah terserang yaitu semua bayi kurang dari 2 bulan dan bayi yang
mengalami gangguan kekebalan tubuh (immunocompromised).
Dari informasi yang tersedia diketahui kejadian infeksi ini telah terjadi
pada bayi di beberapa negara, sebagian besar kejadian infeksi tersebut dapat
dilacak dan dibuktikan karena bayi yang terkena infeksi dirawat di rumah sakit
anak pada instalasi Neonatal Intensive Care Unit (NICU) (FAO & WHO 2006).
Pada kasus tersebut diamati dan diteliti penyebabnya yang rata-rata dapat
dibuktikan disebabkan oleh infeksi E. sakazakii yang berasal dari susu formula
bayi. Kasus pertama akibat infeksi E. sakazaki muncul di Inggris pada tahun
1958 yang menyebabkan kejadian meningitis pada 2 bayi. Sejak itu lebih dari 70
kasus dilaporkan dan diantaranya yaitu ditemukan 2 kasus meningitis lethal pada
11
bayi prematur yang keadaannya cepat memburuk mengikuti kelahiran normal
pada tahun 1961 (Bar Oz et al. 2001). Di Amerika Serikat angka kejadian infeksi
E. sakazakii yang pernah dilaporkan adalah 1 per 100.000 bayi dan terjadi
peningkatan angka kejadian menjadi 9.4 per 100.000 pada bayi dengan berat lahir
sangat rendah (<1.5 kg) (Anonim 2002b). Beberapa kejadian outbreak meningitis
pada neonatal menurut Estuningsih et al. (2006a) dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Enterobacter sakazakii dan outbreak penyakit yang berhubungan dengan
susu formula bayi yang terjadi dibeberapa Negara
Jml
Jml
Neonatal/bayi
Gejala klinis
Referensi
Negara
kematian
terinfeksi
Muytjens et al..
Belanda
8
6
Meningitis
(1983)
Belgia
1
1
Meningitis
EFSA 2004
Sepsis/diare
Simmons et al..
Amerika
4
0
berdarah
(1989)
Biering et al..
Islandia
3
2
Meningitis
(1989)
Noriega et al..
Amerika
1
0
Bakteriemia
(1990)
Bar-Oz et al..
Bakteriemia,
(2001);
Israel
2
0
Meningitis
Block et al.. (2002)
van Acker et al..
Belgia
12
2
Enterokolitis
(2001)
Secara umum, tingkat kefatalan kasus (case-fatality rate) atau resiko untuk
dapat mengancam jiwa pada bayi baru lahir dengan diagnosis infeksi berat oleh
infeksi bakteri ini berkisar antara 40 - 80% (Anonim 2002a). Gejala yang umum
ditimbulkan memiliki kesamaan dengan gram negatif lain seperti menurunnya
nafsu makan, iritasi, jaundice, gangguan pernapasan, diare, kembung, muntah,
temperatur tubuh yang tidak stabil, sesak hingga kejang (Judarwanto 2008). Pada
beberapa kasus dilaporkan terjadi infeksi di saluran kencing (Erickson et al.
2005), bakteriemia dan osteomielitis pada penderita dewasa (Judarwanto 2008).
Mullane et al. (2007) menyatakan bahwa meski infeksi oleh E. sakazakii jarang
terjadi, namun bakteri ini dapat mengakibatkan penyakit yang sangat berbahaya
hingga dapat mengancam jiwa, diantaranya adalah meningitis neonatal (infeksi
selaput otak pada bayi), hidrosefalus (kepala besar karena cairan otak berlebihan),
sepsis (infeksi berat), dan necrotizing enterocolitis (kerusakan berat saluran
12
cerna). Menurut laporan Nazarowec dan Farber (1997) dari semua kasus infeksi
akibat bakteri ini, penyakit yang paling sering ditemukan adalah seizures, abses
otak, hydrocephalus, dan infeksi Sistem Saraf Pusat (SSP) yang akan
menyebabkan hambatan dalam perkembangan fisik dan mental (Lai 2001).
Infeksi otak yang disebabkan oleh bakteri ini dapat mengakibatkan infark atau
abses otak (kerusakan otak) dengan bentuk kista, gangguan saraf berat dan
gangguan perkembangan. Gram negatif lain yang diketahui dapat mengakibatkan
abses pada otak neonatus, yaitu Citrobacter dan E. coli (Lai 2001).
II. Makanan pengganti ASI dan susu formula bayi
II. 1. Definisi Susu
Susu adalah cairan yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar susu (mammae)
baik dari binatang maupun dari manusia (ibu). Air susu yang berasal dari manusia
lebih dikenal dengan sebutan Air Susu Ibu (ASI) dan yang berasal dari hewan
disebut Pengganti Air Susu Ibu (PASI) (Seodiaoetama 2004).
II. 1. a. Makanan Pengganti ASI
Makanan pengganti ASI (MP-ASI) merupakan suatu bahan makanan
dalam perbandingan tertentu dengan kadar gizi yang tinggi (Hermana et al. 1977)
dan diberikan sebagai pelengkap ASI.
ASI merupakan penyumbang terbesar
terhadap zat-zat gizi untuk pertumbuhan dan kesehatan hingga umur 6 bulan.
Setelah itu ASI tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan karena itu membutuhkan
MP-ASI. Menurut SNI 01-7111.4-2005, MP-ASI adalah makanan yang bergizi
yang diberikan disamping ASI kepada bayi usia 6 bulan keatas atau berdasarkan
indikasi medik, sampai anak berusia 24 bulan untuk mencapai kecukupan gizinya
(Badan Standar Nasional Indonesia 2005).
II. 1. b. Susu Formula Bayi
Susu formula merupakan produk yang termasuk dalam makanan pengganti
ASI, meliputi makanan dan minuman yang dipasarkan/dinyatakan sebagai
makanan bayi dan digunakan sebagai pengganti ASI baik seluruhnya ataupun
sebagian. Susu formula adalah susu yang terbuat dari susu sapi atau susu kedelai
atau protein hidrolisa, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral.
Formula ini
13
dibuat aman untuk dikonsumsi dan bebas dari mikrobakteri yang patogen serta
dipertahankan kestabilannya (Suhardjo 1995)
Muchtadi (2002) mendefenisikan susu formula adalah susu sapi yang
diformulasikan sedemikian rupa sehingga komposisinya mendekati ASI. Secara
umum susu formula dibagi menjadi 3 golongan :
1.
Susu formula adapted yaitu susu formula yang disesuaikan dengan
keadaan fisiologis bayi, komposisinya mendekati ASI sehingga cocok
digunakan bayi yang baru lahir hingga 4 bulan.
2.
Susu formula complete sharing yang memiliki susunan zat gizi lengkap
dan dapat diberikan sebagai formula permulaan
3.
Susu formula follow sharing yaitu lanjutan yang diperuntukkan bagi bayi
umur 36 bulan. Mengandung protein dan mineral yang lebih tinggi dari
susu formula. Dapat diberikan kepada anak yang sehat maupun yang
mengalami gangguan metabolisme namun menggunakan formula khusus
yang disebut formula diit.
Susu mengandung berbagai macam unsur dan sebagian besar terdiri dari
zat makanan yang diperlukan bagi pertumbuhan bakteri. Oleh karena itu,
pertumbuhan bakteri dalam susu terjadi sangat cepat pada susu yang sesuai. Susu
tidak boleh mengandung mikroba patogen dan benda asing yang dapat
mencemarinya. Berdasarkan SNI 01-6366.2000, jumlah mikroba maksimal dalam
makanan adalah 5x104 cfu/gram makanan dan apabila mengkonsumsi makanan
dengan tingkat kontaminasi mikroba melebihi batas yang telah ditentukan, maka
dapat menyebabkan gangguan kesehatan (Badan Standar Nasional Indonesia
2000).
II. 2. Kontaminasi susu formula dan makanan bayi
Hasil survey pada tahun 1988 menyebutkan bahwa sebesar 52.2% dari 141
makanan formula bayi dari 35 negara terkontaminasi Enterobacteriaceae dengan
25% terkontaminasi oleh Enterobacter agglomerans, 21% oleh Enterobacter
cloacae, dan 14% oleh E. sakazakii. Berdasarkan hasil penelusuran di Kanada,
bakteri ini diketahui mengkontaminasi makanan bayi sejumlah 1 cfu/100gr dan
spesies Enterobacter yang paling banyak didapatkan adalah Enterobacter
14
agglomerans, Enterobacter cloacae, E. sakazakii, dan Klebsiella pneumoniae
(Muytjens et al. 1988).
Estuningsih et al. (2006a) menemukan 47% (35 sampel) dari 74 sampel
makanan formula bayi asal Indonesia dan Malaysia terkontaminasi oleh
Enterobacteriaceae, dengan kontaminasi E. sakazakii sebanyak 13,5% (10
sampel) pada sampel dari Indonesia. Hasil penelitian Hibah Bersaing XIV tahun l
Estuningsih et al. (2006b) dengan menggunakan 22 sampel susu formula dan 15
sampel makanan bayi menunjukan bahwa sebanyak 22,73% susu formula dan
46,7% makanan bayi (MP-ASI) yang diteliti tercemar E. sakazakii dengan level
MPN (Most Probability Number) kontaminasi terendah 0,36 cfu/100 gram dan
tertinggi 15,0 cfu/100 gram, namun sampai saat ini pengaruh keberadaan E.
sakazakii di Indonesia sendiri belum diketahui. Berdasarkan fakta yang terjadi,
beberapa negara menyatakan bahwa susu bubuk formula bayi sebagai sumber
infeksi dari wabah yang menyerang neonatus (Taylor 2002) dan pencemaran oleh
lingkungan saat pembuatan susu konsumsi mungkin menjadi penyebab
pencemaran oleh bakteri ini (Van Acker 2001).
Beberapa laporan tentang
kejadian kontaminasi oleh E. sakazakii menurut Estuningsih et al. (2006a) dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Laporan kejadian adanya Enterobacter sakazakii dalam makanan bayi
dan susu bayi
Negara
Sumber kontaminasi
Referensi
Amerika
Susu bubuk
Susu bubuk rekonstitusi, susu bubuk
formula
susu bubuk formula
Muytjens et al. (1983)
susu bubuk pengganti ASI
Susu bubuk rekonstitusi, susu bubuk
formula
Muytjens et al.. (1988)
Nazarowec-White and
Farber (1997)
Amerika
susu bubuk formula
Simmons et al.. (2001)
Israel
susu bubuk formula, blender
Bar-Oz et al.. (2001) ;
Block et al.. (2002)
Jerman
susu bubuk formula
CVUA Karlsruhe (2002)
Belanda
Czesnia
35 negara
Kanada
Farmer et al. (1980)
Postupa and Aldova (1984)
15
Proses kejadian pencemaran pada susu formula dan MP-ASI belum
diketahui pasti, namun menurut WHO terdapat tiga jalan bagaimana bakteri ini
dapat mengontaminasi susu formula bayi dan makanan khusus bayi yaitu :
1.
Kontaminasi terjadi pada bahan mentah yang digunakan untuk
memproduksi produk.
2.
Kontaminasi terjadi pada produk yang dihasilkan atau pada bahan kering
lainnya setelah pasteurisasi.
3.
Kontaminasi terjadi pada saat produk disiapkan sebagai makanan yang
akan dikonsumsi bayi (WHO 2004)
Oleh karena itu Druddy et al. (2006) menegaskan bahwa makanan pengganti ASI
bukanlah suatu produk yang steril. Berdasarkan literatur dari FDA & CFSAN
(2002a) menyebutkan bahwa resiko dari pemakaian makanan pengganti ini dapat
dikurangi, yaitu dengan :
1.
Menyeduh air yang digunakan untuk susu bersuhu minimal 70oC.
2.
Menjaga kebersihan botol dan sendok penyeduh (sterilisasi).
3.
Good personal hygiene dari penyaji.
4.
Harus dikonsumsi segera, tidak boleh disimpan lebih dari 4 jam setelah
dicairkan.
5.
Jika tidak dikonsumsi, disimpan pada suhu dingin 10oC dengan jarak
antara pembuatan dan konsumsi susu harus seminimal mungkin.
Meutia (2008) menyatakan bahwa suhu rekonstruksi 4 dan 40oC tidak
memadai sebagai suhu rekonstruksi untuk susu formula dan makanan bayi dalam
mengurangi resiko E. sakazakii, sedangkan pemanasan dengan suhu 100oC tidak
direkomendasikan karena dapat merusak komponen gizi yang terdapat pada susu
formula dan makanan bayi. Selain itu untuk daerah tropis, hang time (jarak antara
penyajian hingga dikonsumsi) maksimum selama dua jam, rekonstitusi dengan
suhu 70oC dapat menjadi salah satu tindakan manajemen resiko infeksi E.
sakazakii dalam lingkungan rumah tangga.
III. Biologi Sel
III. 1. Definisi sel
Sel merupakan unit dasar suatu makhluk hidup baik secara struktural
maupun fungsional (Sugiri 1992). Ilmu yang mempelajari tentang sel disebut
16
Biologi sel (juga disebut sitologi, dari bahasa Yunani kytos, "wadah"). Hal yang
dipelajari dalam biologi sel mencakup sifat-sifat fisiologis sel seperti struktur dan
organel yang terdapat di dalam sel, lingkungan dan interaksi sel, daur hidup sel,
pembelahan sel dan fungsi sel (fisiologi), hingga kematian sel. Hal-hal tersebut
dipelajari baik pada skala mikroskopik maupun skala molekular, dan sel biologi
meneliti baik organisme bersel tunggal seperti bakteri maupun sel-sel
terspesialisasi di dalam organ multisel seperti manusia (Anonim 2008a).
Berdasarkan bentuknya, sel terlihat seperti sebuah kantong yang dipenuhi
oleh cairan yang disebut sebagai sitoplasma (sitosol) yang merupa cairan garam
dengan berbagai molekul organik di dalamnya (Gambar 3).
Sitoplasma
dilengkapi dengan membran sel (phospholypid bilayer) yang terdiri dari dua lapis
molekul lemak yang saling melekat kuat, bersifat selektif permeabel yang secara
fisik memisahkan komponen intraseluler dan lingkungan ekstraseluler. Membran
sel ini tersusun atas lapisan tipis amphipathic phospholipids yang terdiri atas
bagian hidrofobik (tail) untuk melindungi dari lingkungan sekitar yang berbeda
dan bagian hidrofilik (head) yang akan berhubungan dengan permukaan sitosol
dan ekstraseluler bilayer (Gambar 4).
Anatomi Sel Hewan
Mitokondria
Mikrofilamen
Sentriol
kromatin
Gambar 3 Gambaran skematis anatomi sel hewan (Sumber : Anonim 2008a)
Pada membran sel juga ditemukan banyak molekul biologik, protein
primer dan lemak (lipid) yang berperan dalam cell signaling (memungkinkan
17
adanya komunikasi antar sel), pengaturan ion channel, marker yang bertugas
mengidentifikasi sel-sel (sebagai sistem pertahanan) dan adhesi sel. Proses adhesi
sel dapat terjadi karena adanya suatu molekul sel adhesi (cell adhesion
molecules/CAMs) bersifat spesifik yang berinteraksi dengan molekul yang ada
pada permukaan sel lain atau pada suatu matriks ekstraseluler (extracellular
matrix/ECM) di suatu permukaan (Anonim 2008c).
Sel
Cairan ekstraseluler
Inti sel
sitoplasma
Membran sel
Karbohidrat
Globular protein
Glikoprotein
Transport protein
Kolesterol
Glikolipid
Protein perifer
Globolar Protein
(integral)
Fosfolipid bilayer
Filamen
sitoskeleton
Alfa-helix protein
(integral)
Protein perifer
Fosfolipid
phosphatidycholine
Kepala hidrofilik
Ekor hidrofobik
Gambar 4 Gambaran skematis lapisan membran sel (Sumber : Anonim 2008c)
Matriks ekstraseluler terdiri atas matriks interstitial dan membran basal.
Matriks interstitial terletak diantara sel-sel dan berperan sebagai compression
buffer melawan stres ligkungan pada ECM sedangkan membran basal terdiri atas
18
lembaran ECM yang merupakan tempat bagi sel-sel epitel bertengger (Anonim
2008c). Pada membran basal juga terdapat membran berelektron padat yang
disebut lamina densa dan pada bagian bawah terdapat kumpulan kolagen fibril
retikular (type III). Fungsi utama membran basal adalah sebagai jangkar bagi
epithelium agar tidak terlepas dari ikatan pada jaringan dibawahnya (Anonim
2008c).
Pada bagian luar membran sel biasanya dilengkapi sebuah struktur
tambahan, contohnya sebagian besar bakteri dan sel tumbuhan memiliki suatu
dinding sel sebagai fungsi pertahanan melawan faktor mekanik, kimia ataupun
biologis yang merugikan. Sebagian sel juga dilengkapi dengan bentukan rambut
silia pada permukaannya (contoh: pada Protista disebut silver slipper), atau
sebuah cambuk panjang (contoh: Sel sperma) yang digunakan untuk bergerak. Di
dalam setiap sel terdapat suatu material herediter yang disebut DNA yang
membawa semua keterangan tentang sifat bawaan suatu sel (kecuali sel darah
merah) (Zivkovic 2006).
Sugiri (1992) menerangkan beberapa fase dari pertumbuhan sel yang
terjadi jika sel dibiakkan dalam suatu medium nutrien yang menguntungkan
pertumbuhan dan multifikasinya, yaitu fase pertumbuhan lambat (lag phase) yang
terjadi pada awal daur pertumbuhan dimana sejumlah sel dibiakkan bersama
dalam suatu media biakan.
Pada fase ini tidak ada peningkatan ataupun
penurunan jumlah sel karena perbandingan sel yang ada sama dengan jumlah sel
yang ditanam. Pertumbuhan sel lalu memasuki fase pertumbuhan logaritmis (log
phase) dimana terjadi proses pembelahan sel secara cepat dan konstan hingga
akhirnya sampai pada fase dimana jumlah sel yang hidup sama dengan jumlah sel
yang mati akibat semakin menipisnya nutrien dan akumulasi limbah yang
diproduksi selama pertumbuhan (static phase). Keadaan tersebut semakin lama
akan membuat pertumbuhan sel lambat atau tidak ada sama sekali dan sel mati,
fase ini dinamakan fase kematian atau death phase ( Freshney 2005).
III. 2. Kultur jaringan
Kultur jaringan adalah proses pembiakan jaringan secara buatan dalam
lingkungan yang terkontrol dengan tujuan untuk mempelajari berbagai sifat
19
jaringan tubuh dalam kondisi yang lebih sederhana dan terkontrol diluar tubuh.
Cara ini juga sering disebut sebagai cara in vitro, karena istilah ini berkaitan
dengan tabung test atau tabung gelas ( Latin: Vitro = tabung gelas). Menurut
Malole (1990), dilihat dari komposisi selnya kultur jaringan terbagi menjadi tiga
yaitu kultur sel, kultur organ, dan kultur eksplan.
•
Kultur sel merupakan kultur sel-sel yang berasal dari jaringan atau organ
yang telah diuraikan secara mekanis ataupun enzimatis menjadi suspensi
sel, suspensi inilah yang akan dibiakkan menjadi satu lapis jaringan
(monolayer) diatas permukaan yang keras seperti botol, tabung, cawan
ataupun multiwell, atau menjadi suspensi sel dalam media pertumbuhan.
Monolayer ini dapat diperbanyak lagi melalui subkultur (passage),
sehingga diperoleh sel yang lestari (cell line).
•
Kultur organ adalah kultur dari sebagian atau seluruh organ secara in
vitro dengan sifat-sifat kultur jaringan dan fungsi organ tersebut masih
dapat dipertahankan seperti keadaan in vivo.
Kultur ini biasanya
digunakan untuk mengetahui pertumbuhan normal dan pengaruh-pengaruh
faktor luar terhadap sifat organ.
•
Kultur eksplan primer memiliki kesamaan dengan kultur organ, hanya
organ yang dikultur lebih kecil dari kultur organ yaitu antara 1-2 mm3.
Karena jika yang diambil kurang dari 1 mm3 maka sel yang tumbuh
jumlahnya sangat sedikit, sedang jika lebih dari 2 mm3 akan mudah mati
karena bagian tengahnya tidak mendapat makanan dari media.
Beberapa sel hidup normal dengan tidak menempel pada suatu permukaan,
contohnya sel-sel darah. Sel-sel ini dapat dibiakkan dengan menggunakan
suspensi kultur, sedangkan sel yang lain membutuhkan suatu permukaan untuk
perlekatan, seperti kebanyakan sel pada jaringan. Sel-sel ini dapat dibiakkan
dalam suatu tissue culture plastic yang harus dilapisi dengan komponen matriks
ekstraseluler untuk meningkatkan daya adhesi dan dilengkapi dengan komponen
lain untuk pertumbuhan hingga membentuk sel monolayer. Sel monolayer ini
dapat dilepaskan dari suatu jaringan atau permukaan dengan menggunakan enzimenzim pencernaan melalui proses enzimatis, contohnya oleh kolagenase, tripsin,
ataupun pronase, yang akan merusak matriks ekstraseluler (Anonim 2008b).
20
Sel kultur yang dapat tumbuh dan subkultur (passage) secara
berkelanjutan dapat menghasilkan continous cell line atau sel lestari.
Terbentuknya continous cell line biasanya ditandai dengan perubahan morfologi
sel (sel lebih mengecil, kurang erat melekat, lebih bulat, perbandingan inti dan
sitoplasmanya lebih besar), lebih cepat tumbuh, waktu yang dibutuhkan untuk
tumbuh menjadi dua kali populasi semula menjadi lebih pendek yaitu dari 36-48
jam menjadi 12-36 jam, ketergantungan pada serum berkurang (lebih mampu
berploriferasi dalam suspensi sebagai kultur cair atau koloni terpisah dalam agar),
dan derajat heteroploid-nya meningkat (peningkatan variasi kromosom diantara
sel) (Freshney et al. 2006) .
Menurut Malole (1990) sel yang berasal dari mesoderm (fibroblast,
endotel, dan myoblast) lebih mudah dikultur dari pada epitel, neuron, dan jaringan
endokrin karena sel-sel mesoderm lebih peka terhadap faktor mitogenik yang ada
pada serum dan mampu berdeferensiasi dan bereplikasi di dalam kultur. Faktor
sitotoksik dari suatu meterial dapat diketahui dengan menggunakan teknik in vitro
pada kultur sel. Dengan metode ini, ada atau tidaknya zat toksin kimia suatu
material dapat dilihat dari kemampuannya membunuh sel (sitolisis) dengan segera
atau bertahap melalui penghambatan oleh alur metabolik sel. Sitolisis terjadi saat
sel pecah karena ketidakseimbangan tekanan osmotik akibat banyaknya air yang
masuk kedalam sel yang mengakibatkan volume dalam sel meningkat (hypotonik).
Jika volume ini melebihi kemampuan dari membaran sel untuk menahan, maka
sel ini akan pecah.
III. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kultur
Malole (1990) menyatakan, pH, tekanan osmotik, temperatur, gas dan
substrat merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kultur.
Untuk mempertahankan spesifitasnya maka kondisi kultur harus disesuaikan
dengan keadaan lingkungan awal di dalam tubuh. Freshney dan Gordana (2006)
menerangkan bahwa pertumbuhan sel memerlukan pH 7.4 dan jika dalam proses
pembiakan sel pH media lebih rendah dari 7, pertumbuhan sel dapat terhambat.
Pengaturan pH dapat dilakukan dengan penambahan 5% CO2 pada ruangan diatas
media, sedangkan keseimbangannya dapat dijaga dengan menambahkan NaHCO3.
21
Tekanan osmotik medium terjadi karena adanya mineral-mineral dan glukosa
yang terlarut dalam medium.
Temperatur optimal untuk pertumbuhan sel
tergantung pada temperatur hewan asalnya. Macam gas yang dibutuhkan oleh
setiap sel berbeda-beda tergantung medium kultur dan system buffer yang
digunakan serta susbtrat sebagai tempat tumbuhnya biakan sel atau kultur
jaringan. Substrat yang baik adalah substrat yang tidak toksik, tidak mengganggu
pertumbuhan sel dan tembus pandang agar mempermudah pengamatan
perkembangan kultur (Malole 1990). Pada pelaksanaan kultur in vitro, tekanan
osmotik, derajat keasaman (pH), ion organik dan gas harus selalu diperhatikan.
Secara alami NaCl, ion organik dan glukosa dapat mempengaruhi dan menjaga
tekanan osmotik medium kultur, oleh karena itu konsentrasi ketiganya perlu
dijaga agar tekanan osmotik berada pada kisaran normal. Ion organik diperlukan
dalam menjaga tekanan osmotik dan pH, metabolisme sel dan aktivitas enzimatik,
serta perlekatan dan penyebaran sel pada media kultur (Bird & Forrester 1981).
Sel kultur membutuhkan lingkungan yang steril dan suplai nutrisi untuk
tumbuh. Pemilihan growth medium merupakan langkah yang penting di dalam
teknik kultur sel. Fungsi utama growth medium adalah untuk mempertahankan
pH, menyediakan lingkungan yang baik dimana sel dapat bertahan hidup dan juga
menyediakan substansi-substansi yang tidak dapat disintesa oleh sel itu sendiri.
Pemilihan substansi didasarkan pada jenis sel yang akan ditumbuhkan (Davis
1994). Cairan sel yang terbukti dapat menunjang pertumbuhan sel di luar tubuh
adalah serum. Serum berasal dari campuran kompleks berbagai biomolekul yang
kecil maupun besar yang memiliki berbagai aktivitas pendorong dan penghambat
pertumbuhan yang berada dalam keseimbangan fisiologis. Serum yang biasa
digunakan adalah fetal calf serum (FCS) dan fetal bovine serum (FBS) (Freshney
& Gordana 2006). Fungsi utama serum yaitu sebagai media suplemen yang
biasanya banyak didapatkan dari darah, faktor hormonal yang menstimulasi
pertumbuhan dan aktivitas sel (Growth factor), faktor pembantu terjadinya
perlekatan sel dan penyebarannya (Fibronectin yaitu protein penyusun serum dan
fetuin dalam serum fetus), serta sebagai protein pembawa seperti hormon, mineral,
lemak dan lainnya (Malole 1990).
22
Subkultur
(passage)
dilakukan
untuk
membantu
mempercepat
pertumbuhan sebagian kecil sel menjadi kultur sel baru. Sel dapat dikultur dalam
waktu yang lama jika passage dilakukan secara teratur agar terhindar dari
kepadatan sel oleh sel-sel lama. Suspensi kultur dapat dengan mudah dipassage
dalam jumlah sel sedikit dengan perbandingan jumlah volume media baru yang
lebih besar. Untuk perlekatan, sel kultur membutuhkan suatu tempat untuk
melekat dan penambahan campuran dari tripsin-EDTA dapat membantu
penempelan sel, kemudian sel dapat digunakan sebagai bibit pada kultur yang
baru.
Penggunaan
antibiotik
dapat
mencegah
adanya
pertumbuhan
mikroorganisme penghambat pertumbuhan sel kultur. Antibiotik berbeda
mempunyai spektrum antimikroba yang berbeda pula.
Penicillin merupakan
antimikroba untuk bakteri gram positif, streptomycin untuk bakteri gram positif
dan negatif, sedangkan gentamycin dapat digunakan untuk bakteri gram positif,
negatif dan mikoplasma (Freshney & Gordana 2006).
IV. Sel Vero
IV. 1. Definisi
Sel vero merupakan sel yang berasal dari sel epitel ginjal dari Monyet
Hijau Afrika (Cercopithecus aethiops).
Sel ini pertama kali ditemukan pada
tanggal 27 Maret 1962, oleh Yasumura dan Kawakita dari Universitas Chiba di
Chiba, Jepang (Anonim 2007b).
Gambar 5 Gambaran Sel Vero dengan ukuran bar 1 ηm (Sumber : Anonim
2007c)
Dalam sebuah artikel tentang penyimpanan dan karakteristik sel vero yang
dipublikasikan oleh seorang ilmuwan dari Institut Merieux, tercantum bahwa ciri-
23
ciri sel vero berdasarkan uji karyologi aneuploid dengan analisis isoenzim,
termasuk laktat dehydrogenase, phospho-glukonat dehydrogenase, dan glukos
phosphat isomerase, menunjukkan bahwa sel ini berasal dari Cercopithecus dan
berbeda dengan sel Hep-2, WI-38, dan MRC-5 (human cell strains or lines).
Secara rasional penggunaan sel vero lebih sering dari pada sel primer ginjal kera
karena selain dapat disimpan, sel ini memiliki karaktristik yang bagus, dan
terhindar dari persoalan variasi lot-by-Iot serta kedatangan agen kontaminan dari
kultur primer segar yang baru untuk setiap diproduksi dari ginjal kera yang
digunakan. Selain itu dalam segi jumlah, pelestariannya juga menjadi masalah
terutama dalam segi etika dan ekonomi (Rebecca 2000).
IV. 2. Manfaat Sel Vero
Sel vero lebih sering digunakan dibandingkan sel diploid karena sel vero
bisa lebih diadaptasikan untuk pertumbuhan dalam bioreactors on microcamiers
dan penyediaan sel dalam jumlah besar untuk propagasi virus. Sel ini digunakan
untuk pembuatan vaksin murni (less contaminating cell debris), vaksin dalam
jumlah banyak (i.e., greater vaccine availability), dan berbagai nilai ekonomik
lain dalam pembuatan vaksin (Rebecca 2000). Selain itu, sel ini juga sudah
digunakan secara luas seperti untuk studi replikasi virus dan juga plaque assays.
Sel vero sangat sensitif terhadap inveksi dari SV-40, SV-5, campak,
arboviruses, reoviruses, rubella, simian adenoviruses, virus polio, virus influenza,
parainfluenza viruses, respiratory syncytial viruses,vaccinia, dan sebagainya
(Rebecca 2000). Sel ini juga dapat digunakan untuk menjelaskan mekanisme
rusaknya sel akibat toksin. Sebagai contoh adalah enterotoksin yang di produksi
oleh Clostridium perfringen yang dapat menyebabkan kerusakan parah pada
membran sitoplasma, dengan menggunakan sel vero maka mekanisme kerjanya
dapat dipelajari. Sama halnya seperti Clostridium perfringen, Shigella dysenteriae
memiliki shiga toksin yang dapat menghasilkan toksin sebesar 10 pg, dengan
LD50 ( dosis yang dibutuhkan untuk membunuh 50% sel) yang dimiliki sel vero
sebesar 1 pg ini berarti keberadaan toksin ini akan menyebabkan kematian semua
sel vero (Simizu & Toyozo 1987 ).
Pada tahun 1978 ditemukan sebuah toksin yang diproduksi oleh Famili
enterobacteriaceae (E. coli 0157:H7) yang memiliki efek fatal bagi sel vero.
24
Namun hasil ini tidak begitu diperhatikan hingga pada tahun 1982, terjadi
beberapa kasus keracunan makanan di Amerika yang disebabkan oleh E.coli
(0157:H7) yang menghasilkan Verotoksin. Secara imunologi, verotoksin ternyata
memiliki protein identik dan karakteristik yang sama dengan toksin yang di
produksi oleh Shigella dysenteriae. Penelitian lebih lanjut dengan menggunakan
sel vero menemukan bahwa E. coli (0157:H7) memiliki dua jenis toksin. Toksin
pertama diberi nama Shiga-like toksin I dan satunya diberi nama Shiga-like toksin
II karena memiliki kesamaan dengan shigela toksin. Kedua toksin ini ditemukan
menghambat terjadinya sintesis protein dalam sel eukariotik (Simizu & Toyozo
1987 ).
25
METODOLOGI
I. Waktu dan tempat penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium kultur jaringan, Bagian
Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung pada bulan Februari
hingga Maret 2007.
II. Materi penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 isolat bakteri E.
sakazakii, 1 isolat referensi internasional E. sakazakii American Type Culture
Collection (ATCC) nomor 35217 sebagai standar, 1 isolat E. coli non pathogenic
(ECNP) yang tidak menghasilkan enterotoksin (kontrol negatif), 1 isolat E. coli
enteropathogenic (EPEC) yang menghasilkan enterotoksin (kontrol positif), Brain
Heart Infusion (BHI) sebagai media pertumbuhan bakteri, dan sel lestari Vero
sebagai media uji enterotoksin. Kedua isolat E. coli adalah koleksi dari
Laboratorium Bakteriologi, FKH-IPB. Selain itu juga digunakan alkohol 70%,
Newborn Bovine Serum, Feotal calf Serum, sodium azide, ether, 0,05% PTE
(PBS-Tripsin 0,05%-EDTA 0,025%) steril, Dubbeccos Modified Eagle Medium
(DMEM), NaHCO3, Streptomisin, Penisilin, Gentamisin sulfat, Fungizone®, dan
Phospat Buffer Saline (PBS).
Alat–alat yang digunakan pada penelitian ini adalah botol plastik
disposible, tissue culture flask/TCF (25 cm2, 75 cm2, 175 cm2), tissue culture
plate 24 well/sumur (TPC 24), mikropipet, pipet pengukur steril 2,5 - 10 ml, pipet
Pasteur steril, botol media, pipet tip, syringe, erlenmeyer, syringe filter, sentrifuse,
tabung sentrifuse 15 dan 50 ml, inkubator dan shaker inkubator, lemari pendingin,
tabung gas CO2, oven, waterbath, laminar air flow, inverted mikroskop, dan
kamera digital.
III. Metode penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap yaitu 1. Persiapan isolasi
enterotoksin yang akan diujikan aktivitasnya, 2. Pembuatan media kultur untuk sel
26
Vero, 3. Subkultur (passage) sel kultur asal sel Vero untuk dikembangkan sebagai
perangkat pengujian dan 4. Uji sitotoksik enterotoksin E. sakazakii.
III. 1. Persiapan isolasi enterotoksin
Isolat E. sakazakii pada penelitian ini didapatkan dari hasil penelitian
Hibah pada tahun 2006 yang dilaksanakan oleh Estuningsih et al. dengan cara
mengisolasi E. sakazakii dari susu dan makanan bayi.
Metode yang dilakukan untuk mendapatkan enterotoksin mengikuti
penelitian yang dilakukan oleh Pagotto et al. (2003). Isolat E. sakazakii yang
digunakan berbentuk liofilisat (bentuk bekuan/bakteri kering), oleh karena itu
isolat bakteri tersebut harus ditumbuhkan dahulu (propagasi). Kedalam tabung
liofilisat ditambahkan 5 ml media Brain Heart Infusion (sebagai media
perkembangan) dan dihomogenkan, kemudian disimpan selama 6 jam dalam
inkubator 37 oC. Sebanyak 1 ml suspensi bakteri kemudian ditanamkan kedalam
200 ml media yang sama dan diinkubasi selama 18 - 24 jam dalam suhu 37 oC di
dalam shaker inkubator dengan kecepatan 48 goyangan per menit. Keesokan
harinya hasil kultur tersebut dipisahkan antara sedimen bakteri dan supernatan
dengan cara disentrifuse pada kecepatan 4500 rpm, selama 30 menit pada suhu 4
o
C.
Supernatan yang telah dipisahkan diambil dan ditempatkan pada tabung
sentrifus 50 ml kemudian difiltrasi menggunakan Filter 0,22 µm untuk
mendapatkan supernatan murni. Sebagian dari supernatan tersebut dipanaskan
hingga mendidih selama 20 menit lalu dialikuot dalam tabung berukuran 4 ml dan
disimpan dalam freezer -20oC hingga akan digunakan, demikian pula dengan
filtrat murni E. sakazakii.
III. 2. Pembuatan media kultur sel Vero
Media kultur untuk pertumbuhan sel Vero terdiri atas Growth medium
(GM) yang dibuat dengan mencampurkan beberapa komponen yaitu 89 ml
DMEM dengan NaHCO3, 7,5 ml Feotal calf Serum (7%), 1 ml Streptomisin (104
µg/ml), 1 ml Penisilin (104 IU/ml), 0,5 ml Gentamisin sulfat (10 mg/ml), dan 1 ml
Fungizone® (250 µg/ml), dan Maintenance Medium (MM) yang terdiri atas 94 ml
DMEM dengan NaHCO3, 2,5 ml Newborn Bovine Serum (2,5%), 1 ml
Streptomisin (104 µg/ml), 1 ml Penisilin (104 IU/ml), 0,5 ml Gentamisin sulfat (10
27
mg/ml), dan 1 ml Fungizone® (250 µg/ml). GM digunakan untuk propagasi sel
Vero hingga konfluen didalam TCF dan didistribusikan pada TCP 24 hingga sel
Vero konfluen sedangkan MM digunakan menjelang uji sitotoksik pada TCP 24.
III. 3. Subkultur (passage) sel lestari Vero
Subkultur (passage) sel Vero dilakukan dalam rangka pengujian aktivitas
enterotoksin E. sakazakii yang diisolasi dari makanan dan susu bayi. Sub kultur
dilakukan untuk memperbanyak sel lestari Vero yang telah konfluen.
Sel Vero didapatkan dari hasil passage ke-55 dari Balai Besar Penelitian
Veteriner (Bbalitvet) Bogor. Metode yang dilakukan yaitu, sel Vero ditanam pada
GM dalam TCF dan diamati dibawah inverted mikroskop. Pada hari berikutnya
jika sel telah konfluen medium yang lama dibuang, kemudian dicuci dengan PBS
yang mengandung antibiotik sebanyak 3 kali lalu ditambahkan 1ml tripsin 0,05%
pada sel selapis (monolayer) yang disebarkan secara merata, dan disimpan di
dalam inkubator 37°C hingga sel monolayer lepas dari permukaan flask (± 5-10
menit). Dengan menggunakan pipet steril 5 ml, ditambahkan GM sebanyak 5 ml
pada sel yang telah lepas, kemudian dipindahkan pada tabung sentrifuse.
Sentrifugasi dilakukan dengan kecepatan 1000 rpm (300 x g) selama 5 menit,
setelah itu supernatan dibuang pada erlenmeyer steril. Pelet yang berada dalam
tabung sentrifuse kemudian ditambahkan 5 ml GM, dan dilakukan pipetting secara
perlahan-lahan (untuk memecahkan sel menjadi sel tunggal) kemudian sel
dihitung dengan mengambil suspensi sel 0,1 ml yang ditambah dengan 0,9 ml
Trypan Blue (10 kali pengenceran).
5
diencerkan menjadi 1x10
Setelah diketahui jumlah sel, maka sel
sel/ml dengan menambahkan GM, kemudian
dimasukkan 10 ml suspensi sel ke dalam TCF 25 cm2 dan diberi nama sel,
passage ke-, dan tanggal passage. Setelah itu, TCF tersebut ditutup rapat dan
simpan di inkubator 37°C. Pertumbuhan sel di amati setiap hari.
Pada hari ke-3, medium yang lama dibuang dan diganti dengan GM baru.
Pengamatan dilakukan hingga 4-6 hari (sel akan monolayer setelah 2-3 hari). Sel
monolayer yang telah konfluen, dengan metode yang sama (passage ke-2)
dikembangkan dalam TCF dengan luas 75 cm2 dengan tujuan memperbanyak sel
yang dipanen. Sel hasil panen kemudian ditanam atau ditumbuhkan sebanyak 1
28
ml pada setiap well dari Tissue Culture Plate 24 (TCP 24) dengan kepadatan sel
105 sel/ml sebagai sumber sel yang akan di uji sitotoksik.
III. 4. Uji Sitotoksik
Metode uji sitotoksik yang dilakukan untuk melihat adanya enterotoksin E.
sakazakii mengacu pada Pagotto et al. (2003). Sel lestari Vero yang telah
ditumbuhkan pada TCP 24 dan sudah dalam keadaan konfluen yang disiapkan
selama 4-5 hari.
GM dalam TCP 24 lalu dihisap dan diganti dengan MM
sebanyak 400 µl/well.
Kemudian diberi filtrat enterotoksin yang diujikan
sebanyak 100 µl pada tiap sumur dengan format pengujian sebagai berikut:
Sampel 1
1
2
3
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
Enterotoksin murni
Enterotoksin dipanaskan
Gambar 6 Format plat pengujian enterotoksin Enterobacter sakazakii pada TCP
24 sumur. Angka menunjukkan banyaknya ulangan (triplo). Satu buah
TCP 24 sumur memuat 4 buah sampel yang diujikan terdiri dari
enterotoksin murni dan yang dipanaskan.
Plate 1 diisi dengan sampel nomor 1 sampai 4 yang merupakan filtrat E.
sakazakii dengan kode 7a/2, 8c/4, 10a/6, dan 17a/2. Plate 2 diisi dengan sampel
nomor 5 – 8 yang berisikan filtrat E. sakazakii dengan kode 19b/2, 23c/4, 24a/3,
dan 27a/2. Plate 3 diisi dengan sampel nomor 9 - 12 berisikan filtrat E. sakazakii
dengan kode 29a/8, 30c/2, 31b/4, dan 33a/7. Plate 4 diisi dengan sampel nomor
13- 16 yang secara berurutan merupakan ATCC 35217 sebagai kontrol positif,
29
Enterophatogenic
E.
coli/EPEC
sebagai
kontrol
positif,
E.
coli
non
phatogenic/ECNP sebagai kontrol negatif dan Brain Heart Infusion/BHI sebagai
kontrol negatif media. Semua plate kemudian diinkubasi pada inkubator CO2,
suhu 37oC dan CO2 5%. Pengamatan dilakukan 24 jam pasca inkubasi.
Parameter pengamatan yaitu jika sel monolayer tetap utuh setelah diberi
enterotoksin baik murni maupun dipanaskan maka diberi nilai negatif (-), dan jika
terjadi sitolisis (pelepasan sel) maka diberi nilai positif (+). Setiap nomor sampel
dihitung jumlah sumur yang mengalami sitolisis dan dikelompokkan. Reaksi
diindikasikan ringan jika sumur yang bernilai (+) hanya 1 dan dinyatakan dengan
(1/3) yang artinya hanya 1 dari 3 sumur yang positif mengalami sitolisis. Reaksi
sedang dinyatakan dengan (2/3) dan reaksi berat dinyatakan dengan (3/3),
sedangkan reaksi negatif dinyatakan dengan 0 yang berarti tidak mengalami
sitolisis dan dinyatakan dengan (0/3). Bila terjadi kontaminasi pada sumur maka
tidak dilakukan penghitungan terhadap sumur tersebut.
30
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan kultur sel lestari Vero menunjukkan bahwa sel
berkembang dari hari pertama hingga konfluen pada hari ke-5
ke 5 membentuk
lapisan monolayer yang memungkinkan dilakukan pengujian efek enterotoksin.
Menurut Freshney (2005), kurva pertumbuhan sel-sel
sel sel yang ditanam mula
mula-mula
akan memasuki periode pertumbuhan lambat (lag
(
phase) selama 2-24
24 jam, lalu
diikuti oleh periode pertumbuhan cepat yang disebut fase pertumbuhan
logaritmis (log phase)) dan akhirnya sampai pada periode pertumbuhan lambat
(stationary phase) hingga tidak ada pertumbuhan samaa sekali yang disebut death
phase.
Gambar 7 Grafik pertumbuhan sel, dimana (L)
( = jumlah koloni dalam unit per
ml, (T)=waktu,
T)=waktu, (A)= lag phase, (B)= log phase,, (C)= stationary
phase,, dan (D)= death phase (Sumber : Freshney 2005)
Sel secara normal terbagi atas sel yang hidup bebas dan sel yang hidupnya
membutuhkan
suatu
permukaan
untuk
perlekatan.
Sel-sel
Sel sel
yang
tidak
membutuhkan support atau faktor pembantu untuk menempel (contoh
(contohnya sel-sel
darah) dapat dibiakkan dalam suatu kultur suspensi, sedangkan sel
sel-sel yang
membutuhkan media perlekatan (contohnya sel-sel
sel sel jaringan) dapat dibiakkan
dalam suatu tissue culture plastic yang dilapisi suatu komponen matriks
ekstraseluler sebagai peningkat daya adhesi dan komponen lain untuk
pertumbuhan hingga membentuk sel monolayer (Anonim 2008c)..
Freshney
(2005) menyatakan bahwa sel dapat melekat dan menyebar pada permukaan kaca
ataupun plastik (contohnya polystryrene)) karena muatan negatif akibat perlakuan
ion elektrik dengan energi radiasi ionik yang tinggi saat pembuatannya.
Perlekatan sel ini diperantarai oleh reseptor permukaan spesifik molekuler yang
berada pada protein matriks ekstraseluler dan proteoglikan sel. Berdasarkan data
31
dari anonim 2008e, pada lapisan matriks ekstraseluler terdapat suatu membran
berelektron padat yang disebut lamina densa yang berfungsi sebagai jangkar bagi
epithelium agar tidak terlepas dari ikatan pada jaringan dibawahnya (Anonim
2008e).
Menurut Butler (2004) terdapat tiga tipe protein yang dibutuhkan agar sel
dapat melakukan perlekatan dan penyebaran, yaitu serum (derivat glikoprotein),
faktor kondisi sekreta dari sel dan permukaan glikoprotein sel. Malole (1990)
menambahkan bahwa fungsi utama serum adalah sebagai media suplemen yang
biasanya didapatkan dari darah, faktor hormonal yang menstimulasi pertumbuhan
dan aktivitas sel (Growth factor), faktor pembantu terjadinya perlekatan dan
penyebaran sel, serta sebagai protein pembawa seperti hormon, mineral, lemak
dan lainnya. Hal ini selaras dengan pernyataan Bird dan Forrester (1981) bahwa
adanya serum pada media kultur dapat membantu proses perlekatan kebanyakan
sel yang memerlukan permukaan sebagai tempat perlekatan agar sel dapat
bertahan hidup dan tumbuh dalam suatu sistem kultur in vitro.
Subkultur atau passage merupakan tahap pengenceran dan pemindahan
kultur monolayer dengan tujuan untuk mendapatkan sel lestari. Sel yang telah
mengalami konfluensi kemudian dipassage agar sel-sel yang tidak berbiak atau
tumbuh lambat akan terus terencerkan dan hilang. Tahap selanjutnya yaitu
membuang media kultur lama dan mencuci permukaan monolayer pada tissue
culture flask (TCF) dengan PBS atau PBS mengandung 1 mm EDTA dan
ditambah 1 ml tripsin 0,05% kemudian diinkubasi selama 15 menit untuk
melepaskan ikatan antar sel ataupun pada permukaan flask sekaligus sebagai
buffer untuk membantu mempertahankan pH agar tetap konstan. Sel yang
diperoleh lalu disuspensikan dalam medium yang baru untuk dihitung dan
ditanam dalam media kultur baru pada Tissue Culture Plate 24 sumur (TCP 24)
kemudian diamati perkembangannya.
Morfologi sel pada hari pertama terlihat berbentuk bulat dan tersebar
melayang dalam medium penumbuh pada TCF (Gambar 2A). Pada hari
berikutnya tampak sel tumbuh melekat pada permukaan TCF. Perlekatan ini
menandakan bahwa sel yang telah dikultur dapat bertahan hidup dan tumbuh
dalam medium kultur. Setelah melekat pada permukaan TCF, sel tersebut terus
32
tumbuh dan meluas. Morfologi sel terlihat berbentuk spindel akibat tekanan sel
tetangga yang terus bermitosis (Gambar 2B).
Setelah sel Vero membentuk
lapisan monolayer, sel kemudian dipassage dan ditumbuhkan pada TCP 24 untuk
dilakukan test enterotoksin. Setelah sel yang ditumbuhkan pada dasar sumur TCP
24 tersebut konfluen, lalu diberi enterotoksin masing-masing sebanyak 100µl dan
kemudian diinkubasi selama 24 jam. Keesokan harinya dilakukan pengamatsn
pada setiap sumur sel yang mengalami lisis.
Jika sel mengalami lisis maka
dinyatakan positif seperti pada Gambar 2D dan pada kontrol yang tidak terjadi
lisis, sel terlihat masih melekat pada dasar TCP 24 seperti pada Gambar 2C.
A
B
C
D
Gambar 8. Gambaran mikroskopis sel Vero dengan ukuran bar 20 µm pada
pembesaran 40 x. (A) : Suspensi sel Vero- P55 berbentuk bulat pada
awal pertumbuhan (tanda panah), (B) : Sel Vero P-55 monolayer
umur 5 hari berbentuk spindel (tanda panah), (C) : Kontrol negatif
sel lestari Vero setelah diberi enterotoksin negatif (tanda panah), dan
(D) : Kontrol positif sel lestari Vero yang terlepas dari adhesinya
(tanda panah) akibat aktifitas enterotoksin E. sakazakii.
Dalam uji sitotoksik dilakukan pengulangan 3 sumur untuk setiap isolat
enterotoksin. Hasil pengujian setiap isolat menunjukkan reaksi yang beragam.
33
Parameter pengamatan yang dilakukan yaitu jika sel monolayer tetap utuh setelah
diberi enterotoksin, maka diberi nilai negatif (-), dan jika terjadi sitolisasi
(pelepasan sel) maka diberi nilai positif (+).
Setiap nomor sampel dihitung
jumlah sumur yang mengalami sitolisis dan dikelompokkan. Reaksi diindikasikan
sebagai reaksi ringan jika hanya terdapat satu sumur yang bernilai positif (+) dan
dinyatakan dengan 1/3 yang artinya hanya terdapat 1 sumur dari 3 sumur yang
positif mengalami lisis. Reaksi sedang dinyatakan dengan 2/3 dan reaksi berat
dinyatakan dengan 3/3, sedangkan reaksi negatif atau tidak terjadi lisis pada
sumur maka dinyatakan dengan nilai 0 dan di tulis 0/3. Akibat pengaruh
lingkungan dan penanganan dalam penelitian ini terdapat beberapa sumur yang
diduga terkena kontaminasi bakteri atau jamur yang berasal dari lingkungan
laboratorium atau operator (tanda huruf C pada tabel 5), sehingga untuk
menghindari kesalahan interprestasi ditentukan bahwa sumur demikian tidak
dinilai. Hasil pembacaan uji sitotoksik dapat dilihat dalam Tabel 5.
Tabel 5 Hasil pemberian filtrat enterotoksin E. sakazakii (murni dan dipanaskan)
pada sel monolayer Vero setelah inkubasi 24 jam.
Hasil dan frekwensi lisis
No
plate
I
II
III
IV
No
isolat
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Kode
isolat
7a/2
8c/4
10a/6
17a/2
19b/2
23c/4
24a/3
27a/2
29a/8
30c/2
31b/4
33a/7
ATCC
EPEC
ECNP
BHI
Asal isolat
MP ASI
MP ASI
MP ASI
MP ASI
MP ASI
MP ASI
MP ASI
MP ASI
MP ASI
MP ASI
MP ASI
MP ASI
ATCC 35217
Patogenik E. coli
Non patogenik E. coli
Media bakteri BHI
Enterotoksin murni
1
+
C
+
C
+
+
+
C
+
-
Hasil
2
C
+
C
+
C
+
-
3
+
+
C
C
+
+
-
∑
2/3
0/2
0/2
2/3
0/3
1/2
1/1
0/2
3/3
0/3
1/2
0/2
0/3
3/3
0/3
0/3
Enterotoksin yang
dipanaskan
Hasil
∑
1
2
3
+
+
2/3
C
0/2
0/3
+
C
+
2/2
0/3
C
0/2
C
+
1/2
0/3
+
+
+
3/3
C
C
0/1
+
1/3
C
0/2
C
C
0/1
+
+
+
3/3
0/3
0/3
Keterangan : (C); diduga terkontaminasi mikroorganisme lain, (+) ; terjadi kerusakan sel monolayer Vero,
(-); tidak terjadi kerusakan sel monolayer Vero. ATCC : American Type Culture Collection,
EPEC : enteropathogenic E. coli, ECNP : E. coli non pathogenic, BHI : Brain Heart Infusion
34
Hasil uji sitotoksik menunjukkan bahwa 6 dari 12 isolat (50%) mampu
menyebabkan sitolisis pada sel lestari Vero. Dari 6 isolat tersebut setelah
supernatannya dididihkan selama 20 menit menunjukkan 5 isolat (83,3%) masih
mampu menyebabkan sitolisis. Satu isolat memiliki intensitas kuat melisis sel
Vero, 2 isolat melisis dengan kekuatan sedang dan 3 isolat memiliki intensitas
lemah serta 6 isolat tidak menunjukan kemampuan sitolisis terhadap sel lestari
Vero. Kontrol positif ATCC 35217 tidak bersifat toksigenik selaras dengan
penelitian Pagotto et al. (2003) yang menggunakan ATCC dengan nomor berbeda.
Kontrol negatif E. coli/ECNP serta TSB bereaksi negatif terhadap keberadaan
toksin, dan pada kontrol positif E. coli/EPEC memperlihatkan adanya aktivitas
sitolisis pada sel lestari Vero.
Mange et al. (2006) menyatakan bahwa sifat enterotoksin E. sakazakii
memiliki kesamaan dengan sifat enterotoxigenic E. coli (ETEC). Enterotoksin
merangsang peningkatan konsentrasi messenger intraseluler (cAMP) di dalam sel
sehingga terjadi inhibisi absorbsi Na serta peningkatan sekresi klorida dan HCO3
yang berdampak pada peningkatan invasi air kedalam sel sehingga terjadi
ketidakseimbangan tekanan osmotik didalam sel.
Membran sel yang tidak
mampu menahan tekanan osmotik dari air di dalam sel akan menyebabkan sel
menjadi lisis. Miyoshi dan Takai (2005) menambahkan bahwa sifat penyerangan
E. sakazakii memiliki kesamaan dengan L. Monocytogenes, yaitu dengan
melepaskan Ethylene Glycol Tetraacetic Acid (EGTA) yang merupakan agen
selektif yang mengikat ion Ca2+. Habisnya Ca2+ pada kultur sel akan
menyebabkan terbukanya tight junctions yang berperan dalam ikatan antar sel dan
molekul barrier antar sel epitel pada lapisan konfluen sel eukariotik sehingga
mengakibatkan sel-sel menjadi terpisah dan terlepas dari ikatannya pada
permukaan media kultur.
Pada uji sitolisis dengan menggunakan enterotoksin yang dipanaskan
menunjukkan sebagian besar isolat (5 dari 6) reaksi positif, sehingga diduga
bahwa enterotoksin yang diujikan bersifat heat stabile. Hal ini selaras dengan
penemuan senyawa enterotoksin yang diproduksi E. sakazakii oleh Pagoto et al.
(2003) yang memiliki efek sitotoksik pada percobaan in vitro dengan sel lestari
Vero dan masih memiliki efek sitotoksik meski telah mengalami pemanasan
35
selama 20 menit. Clements (1997) diacu dalam Paryati (2006) menyatakan bahwa
enterotoksin dapat membunuh sel dengan mengubah permeabilitas dari sel epitel
dan bersifat tahan terhadap panas (heat stabile) sehingga proses pemanasan tidak
akan merusak toksin. Enterotoksin juga bersifat tahan asam dan tahan terhadap
pengaruh enzim proteolitik, seperti tripsin dan pepsin sehingga proses
pemusnahannya menjadi sulit.
Mange et al. (2006) menyatakan bahwa dalam melakukan adhesi pada
suatu permukaan atau matriks ekstraseluler, E. sakazakii tidak diperantarai oleh
suatu struktur fimbrial. Bakteri ini berikatan sangat dekat tanpa menyebabkan
lesio pada mukosa membran sel. Keberadaan suatu reseptor pada permukaan
bakteri yang tersusun atas protein atau glikoprotein memungkinkan bakteri ini
untuk melakukan suatu perlekatan spesifik dengan matriks ekstraseluler dari
membran sel, melakukan kolonisasi dan invasi kedalam mukosa dan melepaskan
enterotoksin ke dalam sel (Darfeuille-Michaud et al. 1990). Kwang-Pyo dan
Martin (2008) menambahkan bahwa kemampuan bakteri menginfeksi tergantung
pada waktu terpapar dan banyaknya infeksi yang terjadi. Semakin banyak jumlah
koloni bakteri, maka jumlah toksin yang dilepas kedalam sel akan semakin
banyak dan proses pembentukan cAMP intraseluler akan semakin tinggi sehingga
mengakibatkan ketidakseimbangan tekanan osmotik dalam sel dan akhirnya
menyebabkan terjadinya kematian sel (lisis).
Menurut Hurrell et al. (2006) aktivitas enzim protease, phosphatase dan
lipase yang dilepaskan oleh E. sakazakii saat melakukan infeksi dapat menjadi
salah satu penyebab terjadinya kematian sel. E. sakazakii juga memiliki kapsul
polisakarida sebagai salah satu faktor virulen, mengandung 29-32% glucuronic
acid, 3-30% D-glukosa, 19-24% D-galaktosa, 13-22% D-fruktosa dan 0-85
mannosa yang berfungsi juga untuk memperkuat ikatan antar bakteri ataupun
antara bakteri dan sel sehingga bakteri dapat terus menempel dan membentuk
koloni (Harris dan Oriel (1989) diacu dalam Iversen dan Forsythe (2003)).
Bakteri ini juga memproduksi selulosa pada matriks ekstraseluler dan membentuk
formasi biofilm (perlekatan yang erat pada permukaan) yang menyebabkan
resisten terhadap bahan pembersih dan desinfektan (Lehner et al. 2005).
36
Dalam lingkungan in vivo, tubuh akan melepaskan suatu sistem pertahanan
(contohnya immunoglobulin/IgA) untuk melepas ikatan antara bakteri dan sel
sehingga dapat mengurangi kerusakan sel akibat toksin yang dilepaskan saat
berikatan. Efek yang berbeda terlihat saat toksin diujikan pada sel dalam
lingkungan in vitro, tidak adanya suatu sistem pertahanan dalam sel yang dikultur
mengakibatkan tingginya tingkat keparahan lisis yang dialami oleh sel lestari
Vero.
37
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Tidak semua strain E. sakazakii yang diisolasi dari susu dan makanan bayi
menghasilkan toksin.
2. Toksin yang diproduksi E. sakazakii memiliki kemampuan untuk
melisiskan sel lestari Vero.
3. Sebagian besar toksin E. sakazakii bersifat tahan terhadap pemanasan.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengukur konsentrasi
entrotoksin yang dihasilkan.
2. Perlu dilakukannya penelitian dengan menghitung jumlah sel Vero dalam
well/sumur yang diberi enterotoksin untuk melihat pengaruh kerusakan sel
dan membuktikan penurunan jumlah sel akibat sitolisis.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melakukan penelitian in
vivo untuk mempelajari respon hewan neonatus terhadap enterotoksin E.
sakazakii.
38
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2002a. Case studies of Enterobacter sakazakii infection and powdered
infant formulas. Newsletters Contents. http://www.infantcanada.ca/case
_studies_of_e.htm [16 Agustus 2008].
[Anonim]. 2002b. Health Professionals Letter on Enterobacter sakazakii Infections Associated With
use of Powdered (Dry) Infant Formulas in Neonatal Intensive Care Units, US.
http://www.foodnet.com [21 November 2007].
[Anonim]. 2004a. Enterobacter sakazakii.
index.html [16 Agustus 2008].
http://www.magma.ca/-~scimat/
[Anonim]. 2004b. Faster Detection of Enterobacter sakazakii in infant Formula.
Oxoid Ltd. http://www.rapidmicrobiology.com/news/603h93.php. [21
November 2007]
[Anonim]. 2005. Background Information on Enterobacter sakazakii (E.
sakazakii). http://www.babymilk.com/safety/esakazakii_background.htm.
[21 November 2007]
[Anonim]. 2007a. Enterobacter sakazakii. Food
http://www.bms.ed.ac.uk [16 Agustus 2008].
Safety
Athority
of
Ireland.
[Anonim]. 2007b. Vero Cell. http://en.wikipedia.org/wiki/Vero_cell [16 Agustus
2008].
[Anonim]. 2007c. Vero
November 2007]
Cell.
http://www.scienceimage.au/index.cfm
[21
[Anonim]. 2008a. Biologi Sel. http://en.wikipedia.org/wiki/Biologi_sel [16
Agustus 2008].
[Anonim]. 2008b. Cell Culture. http://www.itrectu.blogspot.com/2008/01/cellculture.htm [16 Agustus 2008].
[Anonim]. 2008c. Cell Membrane, Basement Membrane, and Extracellular
Matrix. http://en.wikipedia.org/wiki/cell_membrane [16 Agustus 2008].
Badan Standar Nasional Indonesia. 2000. Standar Nasional Indonesia untuk
Batasan Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Bahan Makanan Asal
Hewan. Jakarta: BSN. (SNI 01-6366-2000)
Badan Standar Nasional Indonesia. 2005. Makanan Pendamping Air Susu Ibu
(MP-ASI). Bagian I : bubuk instan. Jakarta: BSN. (SNI 01-7111. 4-2005)
Bar-Oz B, Preninger A, Peleg O, Block C, and Arad I. 2001. Enterobacter
sakazakii Infection In The Newborn. Acta Pdiart. 90 : 356-358.
39
Biering G, Karlsson S, Clark NC, Jonsdottir KE, Ludvigsson P, and Stingrimsson
O. 1989. Three Cases of Neonatal Meningitis Caused by Enterobacter
sakazakii in Powdered Milk. J Clin Microbial. 27: 2054-2056.
Block C, Peleg O, Minster N, Bar-Oz B, Simhon A, Arad I, and Shapiro M. 2002.
Cluster of Neonatal Infection in Jerusalem Due to Unusual Biochemical
Variant of Enterobacter sakazakii.Eur Clin Microbial Infect Dis. 21: 613616.
Bird BR and Forrester FT. 1981. Basic Laboratory Technique In Cell Culture.
US: Departement of Health and human Service Georgia. hlm 23-59.
Bowen A, and Braden CR. 2006. Invasive Enterobacter sakazakii Disease in
Infants [Abstract]. Emerg Infect Dis. 12(8). http;//www.medscape.com
/viewpublication/80_index [16 Agustus 2008].
Butler M. 2004. The Basics: Animal Cell Culture and Technology. Ed ke-2.
London: BIOS scientific Publisher. hlm 11-23.
Darfeuille-Michaud A, Aubel D, Chauviere G, Rich C, Bourges M, Servin A, and
Joly B. 1990. Adhesion of enterotoxigenic Escherichia coli to the human
colon carcinoma cell line Caco-2 in culture. Infect Immun. 58:893-902.
Davis JM. 1994. Basic Cell Culture. A Practical Approech. New York: Oxford
University Press. hlm 65-73
Drudy D, Mullane NR, Quinn T, Wall PG, and Fanning S. 2006. Enterobacter
sakazakii: an Emerging Phatogen In Powder Infant Formula [Abstract].
Clin Infect Dis. Apr; 42(7):996-1002. http;//www.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed/16511766 [21 November 2007]
Edelson MG and Buchanan RL. 2004. Thermal inactivation of Enterobacter
sakazakii in rehydrated infant formula [Abstract]. Journal of Food
Protection. 67(1):60-63. http://www.obygyn.net/newsheadlines [20 juli
2008]
Erickson, Marilyn C and Jeffrey LK. 2005. Enterobacter sakazakii: an emerging
food pathogen. PediartMed Chir. 27(1-2): 98-100.
Estuningsih S. 2004. Kontaminasi Enterobacter sakazakii dalam susu formula di
Indonesia. Bagian Patologi Veteriner , Departemen Klinik, Reproduksi
dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. [Data tidak
dipublikasikan]
Estuningsih S, Kress C, Hassan AA, Akineden O, Schneider E, and Usleber E.
2006a. Enterobacteriaceae in dehydrated powdered infant formula
manufactured in Indonesia and Malaysia. J Food Prot. 69(12):3013-3017.
40
Estuningsih S, Rochman N, dan Wibawan IWT. 2006b. Potensi kejadian
meningitis pada neonates akibat infeksi Enterobacter sakazakii yang
siisolasi dari makanan dan susu bayi. Penelitian Hibah Bersaing XIV
Perguruan Tinggi. Bogor: Lembaga Penelitian Dan Pemberdayaan
Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.
[EFSA] European Food Safety Authority. 2004. Compilation of Official Action:
Risk of Contamination of Powdered Infant Formula with Enterobacter
sakazakii. http://www.obgyn.net/newsheadlines. [21 November 2007].
[FAO & WHO] Food and Agricultural Organisation, World Health Organisation.
2006. Enterobacter sakazakii and Salmonela in Powdered Infant Formula.
Microbiological Risk Assessment Series No 6. ISBN 92-5-105572-2.
ftp://ftp.fao.org/ag/agn/jemra/e_sakazakii_salmonella.pdf [21 November
2007].
Farber JM. 2004. Enterobacter sakazakii_new foods for Thought?. The Lancet.
363:5-6. http://www.thelancet.com [21 November 2007].
Farmer JJ III, Asbury MA, Hickman FW and Brenner DJ and The
Enterobacteriaceae Study Group (USA) . 1980. Enterobacter sakazakii: a
new species of Enterobacteriaceae isolated from clinical specimens". Int J
Syst Bacteriol. 30: 569–84.
[FDA & CFSAN]. 2002a. Healt Profesional Letter on Enterobacter sakazakii
infection Assosiated With Use of Powdered (Dry) Infant Formulas in
Neonatal Intensive care Units. Department of Health and Human Services.
US. http://www.cfsan.fda.goy/∼dms/inf-ltr3.html [21 November 2007].
[FDA & CFSAN]. 2002b. Isolation and Enumeration of Enterobacter sakazakii
from Dehydrated Powdered Infant Formula. US : Department of Health
and Human Services. http://www.cfsan.fda.goy/∼dms/inf-ltr3.html [21
November 2007].
Freshney RI. 2005. Culture of Animal cells. Ed ke-5. New Jersey: Wiley. hlm 3142 & 359-373.
Freshney RI, and Gordana VN. 2006. Culture of Cells fom Tissue Engineering.
New Jersey: Wiley. hlm 3-22.
Gyles CL and Thoen CO. 1993. Pathogenesis of Bacterial Infections in Animals.
2nd ed. USA : Iowa State University Press. hlm 114-125
Hassel S. 2004. Enterobacter sakazakii in Powder Infant Formula. FAO/WHO
Regional Conferenc on Food Safety for Asia and the Pasific. May 26,
Seremban, Malaysia.
41
Hermana WS, Arizal dan Reynowati 1977. Pemberian Makanan Tambahan.
Proyek Usaha Perbaikan Gizi Keluarga Intensif. Jakarta: DEPKES RI.
hlm 51-63
Himelright I, Harris E, Lorch V, Anderson M et al.. 2002. Enterobacter sakazakii
Infections Associated with the Use of Powdered Infant Formula—
Tennessee, 2001. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 51:297–300.
Hurrel E, Toownsend S and Forsythe S. 2006. Comparative virulence of
Enterobacter sakazakii with other Enterobacteriaceae. Poster
presentation, 106th Gen. Meet. Am. Soc. Microbial, 21 - 25 May, Orlando.
Iversen C and Forsythe S. 2003. Risk profile of Enterobacter sakazakii, an
emergent pathogen associayed whith infant milk formula. Food
Microbiology. Trends in Food Science & Technology. 14: 443-454.
Iversen C, Druggan P, and Forsythe S. 2004a. A selective differential medium for
Enterobacter sakazakii, a preliminary study. Int J Food Microbiol.
96(2):133-9.
Iversen C, Waddington M, Stephen LWO, and Forsythe S. 2004b. Identification
and Phylogeny of Enterobacter sakazakii Relative to Enterobacter and
Citrobacter Species. Journal of clinical Microbiology 42(11): 5368-5370.
Iversen C, Lehner A, Mullane N, et al. (2007). "The taxonomy of Enterobacter
sakazakii: proposal of a new genus Cronobacter gen. nov. and descriptions
of Cronobacter sakazakii comb. nov. Cronobacter sakazakii subsp.
sakazakii, comb. nov., Cronobacter sakazakii subsp. malonaticus subsp.
nov., Cronobacter turicensis sp. nov., Cronobacter muytjensii sp. nov.,
Cronobacter dublinensis sp. nov. and Cronobacter genomospecies 1"
[Abstract]. BMC Evol Biol. 7: 64. http://www. biomedcentral.com [20 juli
2008]
Joanne VH, Michael JL, and Henk RB. 2003. Isolation of Enterobacter sakazaii
From Midgut of Stomoxys calcitrans. Emerging Infectious disease online.
http:// www.cdc.gow/eid [20 juli 2008]
Judarwanto W. 2008. Enterobacter sakazakii, Bakteri Pencemar Susu. Augusta
Racing world press. http://augustaracing.WordPress.com [20 juli 2008]
Karsinah. 1994. Batang Negatif Gram: Entrerobacteriaceae. Di dalam: Staf
Pengajar FK UI. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Binarupa
Aksara. hlm 150
Kuzina LV, Peloquin JJ, Vacek DC, and Miller TA. 2001. Isolation and
identification of bacteria associated with adult laboratory Mexican fruit
flies, Anastrepha ludens. Curr Microbiol. 42:290–4.
42
Kwang-Pyo K and Martin JL. 2008. Enterobacter sakazakii Invasion in Human
Intestinal Caco-2 Cells Requires the Host Cell Cytoskeleton and Is
Enhanced by Disruption of Tight Junction. Infection and Immunity,
February. 76(2): 562-570.
Lai KK. 2001. Enterobacter sakazakii Infections Among Neonates, infants,
children and Adult. Medicine 80(2) : 113-122.
Lehner A, and Stephan R. 2004. Microbiological, epidemiological, and food
safety aspects of Enterobacter sakazakii [Abstract]. J Food Prot.
Dec;67(12):2850-7. http;//www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15633700 [16
Agustus 2008].
Lehner A, Riedel K, Eberl L, Breeuwer P, Diep B, and Stephan R. 2005. Biofilm
formation, extracellular polysaccharide production, and cell-to-cell
signaling in various Enterobacter sakazakii strains: aspects promoting
environmental persistence [Abstract]. J Food Prot. Nov;68(11):2287-94.
http;//www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16300064.
Lenati RF, O'Connor DL, Hébert KC, Farber JM, and Pagotto FJ. 2008. Growth
and survival of Enterobacter sakazakii in human breast milk with and
without fortifiers as compared to powdered infant formula [Abstract]. Int
J Food Microbiol.122(1-2):171-9. http;//www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
1820760 0. [16 Agustus 2008].
Mullane NR, Iversen C, Healy B, Walsh C, Whyte P, Wall PG, Quinn T, and
Fanning S. 2007. Enterobacter sakazakii an emerging bacterial pathogen
with implications for infant health. Minerva Pediatr [Abstract]. 59(2):13748. http;//www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 17404564 [16 Agustus 2008].
Malole MBM. 1990. Kultur sel dan jaringan hewan. Bogor: Departemen
pendidikan dan kebudayaan Institut Pertanian Bogor. hlm 74-77.
Mange JP, Roger S, Nicole B, Peter W, Kwang SK, Andreas P and Angelika L.
2006. Adhesive properties of Enterobacter sakazakii to human epithelial
and brain microvascular endothelial cells. BMC Microbiology,
6:(58):10.1186/1471-2180-6-58. http://www.biomedcentral. com/ 14712180/6/58. [16 Agustus 2008]
Meutia YR. 2008. Enterobacter sakazakii Isolat Asal Susu Formula dan Makanan
Bayi; Karakterisasi Gen 16S rRNA dan Perlakuan Bakteri Pasca
Rekonstitusi [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB),
Bogor.
Miyoshi J and Takai Y. 2005. Molecular perspective on tight-junction assembly
and epithelial polarity. Adv. Drug Deliv. Rev. 57:815-855.
43
Muchtadi D. 2002. Gizi Untuk Bayi : Air Susu Ibu, Susu Formula dan Makanan
Tambahan. Jakatra: Pustaka Sinar Harapan. hlm 15-23
Muytjens HL, Zanen H, Sonderkamp H, Kollee L, Wachsmuth I, and Farmer J.
1983. Analysis of eight cases of neonatal meningitis and sepsis due to
Enterobacter sakazakii. J Clin Microbiol. 18:115–20.
Muytjens HL, van der Ros-van de Repe J, and van Druten HA. 1984. Enzymatic
profiles of Enterobacter sakazakii and related species with special
reference to the alpha-glucosidase reaction and reproducibility of the test
system. J Clin Microbiol. 20(4): 684–686. http://www.pubmedcentral
.nih.gov [21 November 2007]
Muytjens HL, Roelofs-Willemse H, and Jaspar GH. 1988. Quality of powdered
substitutes for breast milk with regard to members of the family
Enterobacteriaceae [Abstract]. J Clin Microbiol. 26(4):743-6.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites [21 November 2007]
Nazarowec-WM and Farber JM. 1997. Enterobacter sakazakii: a review
[Abstract]. Int J Food Microbiol. 34:103-13.
Noriega FR, Kotloff KL, Martin M, and Schwalbe RS. 1990. Nosocomial
bacteremia caused by Enterobacter sakazakii and Leuconostoc
mesenteroides resulting from extrinsic contamination of infant formula.
Pediatr Infect Dis J. 9:447–9.
Pagotto FJ, Maria NW, Sabah B, and Jeffrey MF. 2003. Enterobacter sakazakii:
Infectifity and Enterotoxin Production In vitro and In Vivo. Journal of
food protection vol. 66(3): 370-375
Paryati SPY. 2006. Keracunan Makanan oleh Bakteri BACTERIAL FOOD
POISONING. Bandung : Akademi Medis Veteriner Puragabaya.
http://wwww.Jvetunud.com/archives [16 Agustus 2008]
Postupa R, and Aldova E. 1984. Enterobacter sakazakii: a Tween 80 Esterase
Positive Representative of The Genus Enterobacter Isolated From Powder
Milk Specimens. J Hyp Epidemiol Mocrobial Immunol. 28(4): 435-440.
Rebecca S. 2000. History and Characterization of the Vero Cell Line. The
vaccines ad relited biological productsaditorycommitte. http://www.fda.
gou/ohins /dockets /ac /oo /acgod /3616bla.pdf [21 November 2007].
Sediaoetama AD. 2004. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi (jilid I). Jakarta:
Dian Rakyat. hlm 229-238.
Soe KH and Brackett RE. 2005. Rapid, specific detection of Enterobacter
sakazakii in infant formula using a real time PCR assay. J Food Prot.
68(1): 59-63. http://www.ncbi.nlm.nig.gov/entrez. [21 November 2007]
44
Simizu B and Toyozo T. 1987. Vero Sel. Jepang: Departement of Microbiology
School Of Medicine Chiba University. hlm 175-180
Simmon BP, Gelfand MS, Haas M, Mett L and Ferguson J. 1989. Enterobacter
sakazakii Infections in Neonates Associated With Intrinsic Contamination
of a Powdered Infant Formula. Infect Control Hosp Epidemiol. 10(9): 398401.
Sugiri N. 1992. Biologi Sel. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Institut Pertanian Bogor. hlm 78-89
Suhardjo. 1995. Pemberian Makanan Pada Bayi dan Anak. Jakarta: Kanisius. hlm
229-238
Taylor CJ. 2002. Health Professionals Letter on Enterobacter sakazakii
Infections. U.S: Department Of Health and Human Servies.
Van Acker J, de Smet F, Muyldermans G, Bougatef A, Naessens A, and Lauwers
S. 2001. Outbreak of necrotizing enterocolitis associated with
Enterobacter sakazakii in powdered milk formula. J Clin Microbiol.
39:293–7 [16 Agustus 2008].
Weir E. 2002. Powdered Infant Formula and Fatal Infection With Enterobacter
sakazakii. Cana dian Medical Association. 166(12) : 1570.
WHO (World Health Organization). 2004. The question of Enterobacter
sakazakii. http://www.who.int/foodsafety/publications/micro/en/qa2.pdf.
[21 November 2007]
Zivkovic B. 2006. Cell Structure. ScienceBlogs LLC http;//scienseblogs/
clock/2006/11/cell_structure.php. [16 Agustus 2008]
Download