Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Seperti yang kita ketahui, novel merupakan salah satu karya sastra Jepang yang ditulis oleh sastrawan-sastrawan Jepang. Kesusasteraan Jepang hingga saat ini sangat beragam karena mendapat pengaruh atau banyak gagasan dari negara luar dan secara langsung memberikan banyak pengaruh. Kesusasteraan Jepang dibagi dalam beberapa zaman terutama novel Jepang yang mengalami beberapa perubahan dan aliran. Pertama, zaman Joudai atau disebut juga kesusasteraan zaman Yamato. Kedua kesusasteraan zaman Heian yang dibagi empat kelompok zaman, yaitu zaman syair kanbun, zaman pantun waka, zaman kesusasteraan cerita (monogatari), nikki dan esai. Terakhir zaman yang menceritakan cerita sejarah dan kesusasteraan setsuwa. Kesusasteraan zaman abad pertengahan terbagi menjadi dua tahap, yaitu zaman Kamakura dan zaman Muromachi. Karya sastra yang terkenal pada masa ini adalah Heike Monogatari yang merupakan cerita perang yang diceritakan oleh pendeta Budha. Tsurezuregusa merupakan sebuah esai yang ditulis oleh Yoshida Kenkou. Pada masa kesusasteraan zaman pramodern, percetakan mulai terbentuk dan pendidikan rakyat serta arus membaca semakin banyak dan para sastrawan dari Kyoto berpindah menuju Edo sehingga Edo menjadi pusat kegiatan sastra. Pada zaman ini, muncul novel yang disebut kanazoshi yang memperlihatkan semangat zaman baru.Novel yang berkembang pada zaman ini selain kanazoshi adalah Ukiyouzoushi adalah cerita tentang kehidupan para pedagang berekonomi menengah atas yang suka foya-foya. Kusazoushi yang merupakan buku bergambar yang berisi tulisan-tulisan untuk anak-anak. Yomihon yaitu buku cerita yang meniru cerita-cerita di China yang disesuaikan dengan masyarakat Jepang. Sharebon yaitu buku bacaan yang berlatar panggung tempat hiburan (prostitusi) dan menceritakan orang yang keluar masuk di tempat tersebut serta orang yang mengetahui kehidupan di sekitar prostitusi. Ninjoubon yang menceritakan kisah percintaan dan kehidupan sehari-hari masyarakat pedagang. Kokkeibon merupakan bacaan yang mengutamakan permainan kata yang bersifat lucu. 1 2 Pada zaman kesusasteraan zaman modern di periode awal tahun 18681918, novel memiliki banyak aliran. Aliran realisme dimana menolak cara berpikir yang menitikberatkan pada cerita yang bertemakan Kanzen Chouaku (yang benar berakhir dengan kemenangan dan yang salah berakhir dengan kekalahan). Karya sastra yang beraliran realisme salah satunya adalah Ukigumo karya Futabatei Shimai yang menceritakan seorang cendekiawan baru yang menyadari ego modern dan menentang unsur feodal. Aliran Pseudoklasik merupakan aliran yang mengkritik dan menentang westernisasi secara ekstrim sehingga sastrawan cenderung kembali ke sastra klasik. Pengarang yang terkenal pada aliran ini salah satunya adalah Kouda Rohan dengan karya Fuuryuu Butsu yang menggambarkan kisah cinta dengan latar belakang seni yang dijalin dengan cita-cita tinggi dan agama. Aliran Romantisme dipelopori oleh Mori Oogai. Tiga buah novel karyanya ditulis berdasarkan pengalamannya di Jerman yaitu Maihime. Utaka no Ki, dan Fumizukai dimana ketiganya menceritakan kisah percintaan anak muda. Aliran Naturalisme tumbuh akibat pengaruh pengarang Perancis yang bernama Emile Zola. Aliran ini melukiskan sesuatu berdasarkan pada kenyataan apa adanya dan perlahan sangat berpengaruh dalam penulisan karya Jepang. Salah satu pengarang yang mendapat pengaruh besar dari Zola adalah Tayama Katai dengan novel Futon, Inaka Kyoushi dengan novel Doko e (mau kemana?) dan Masamune Hakuchou dengan novel Dorou Ningyou (Manusia Kotor). Aliran Shikaraba adalah aliran yang menganut paham humanisme yang berdasar pada paham idealisme dan menentang pandangan naturalisme. Mereka menjunjung tinggi individu seseorang dan mencoba membentuk kembali keluhuran budi manusia. Salah satu pengarang yang menganut aliran ini adalah Mushanokouji Saneatsu dimana mendobrak dan mencoba memasukkan suatu kesegaran pada kesusasteraan Jepang yang berlainan dengan pandangan hidup aliran naturalisme. Pada periode akhir (1919- ), novel Jepang kembali mengalami perubahan beberapa aliran akibat perang dunia pertama. Pada masa ini, Jepang mengalami 3 banyak perubahan baik dalam susunan masyarakat maupun ekonomi hingga dunia kesusasteraan. Aliran Protelar lahir akibat perubahan tersebut. Pada masa ini, lapisan masyarakat seperti kaum buruh turut mengambil bagian dalam kesusasteraan dimana dibuat sebuah majalah khusus Tanemakuhito yang isinya lebih ditekankan pada cara berpikir masyarakat buruh. Karya awal kesusasteraan protelar salah satunya adalah Uzumakeru Karasu no Mure oleh Kuroshime Denji yang umumnya berisi kebaikan-kebaikan politik penguasa dan ideologi kelas masyarakat yang ditulis secara terang-terangan.Organisasi sastra protelar musnah pada tahun 1934 dan sebagai gantinya muncul sastra Tenko. Aliran Neosensualis mengutamakan perubahan dalam teknik sastra dan penyampaiannya, berbedan dengan aliran protelar yang mengutamakan perubahan dalam masyarakat. Pelopor aliran Neosensualis adalah Yokomitsu Toshikazu dan penulis yang menggunakan aliran ini adalah Kawabata Yasunari dengan karya Yukiguni, Asakusa, dan Izu no Odoriko. Aliran Neopsikologis dipelopori oleh Hori Tatsuo dan Ito Hitoshi yang muncul karena pengaruh sastra barat bersamaan dengan masuknya pemikiran JamesJoyce dan Marcel Prost. Karya Hori Tatsuo yang terkenal adalah Kaze Tachinu (Angin Datang). Populernya kesusasteraan protelar dan aliran sastra modern lainnya menyebabkan pengarang-pengarang lama terhenti namun setelah perang dunia berakhir bersamaan dengan mundurnya kekuatan baru dalam sastra karya-karya pengarang lama muncul kembali. Salah satunya Yokomitsu Toshikazu yang memperkenalkan cara penyusunan novel secara murni. Karya besarnya berjudul Monshou dan Ryoushu. Pada zaman ini, selain pengarangpengarang lama, pengarang muda mulai bermunculan terutama setelah adanya penghargaan Akutagawa sejak tahun 1935. Aliran Demokrasi lahir karena kaum protelar lama bersama orang baru mencetuskan ide untuk melahirkan kesusasteraan demokrasi menyadari kegagalan kesusasteraan protelar. Aliran demokrasi berpangkal pada majalah Shin Nihon Bungaku. Sastrawan yang menganut aliran demokrasi antara lain Miyamoto Yuriko dengan karyanya Banshuu Heino dan Futatsu no Niwadan Doukyou. Ibuse Masuji dengan karyanya Kuroi Ame. 4 Ibuse Masuji merupakan salah satu penulis muda yang muncul pada masa periode akhir dimana pada masa itu juga banyak bermunculnya pengarangpengarang muda. Ibuse Masuji merupakan penulis Jepang yang menulis novel Kuroi Ame dengan menceritakan tentang kehidupan seorang hibakusha. Ibuse Masuji merupakan salah satu novelis terkenal di Jepang. Beliau lahir dari keluarga pentani tua independen pada tanggal 15 Febuari 1898 di desa Kamo yang sekarang sudah menjadi wilayah Fukushima, Jepang. Beliau adalah anak kedua dari dua bersaudara dimana ayah beliau adalah tuan tanah Hiroshima. Pada tahun 1913, ayah beliau meninggal dunia dan pada tahun yang sama ia mulai menyukai dunia sastra dengan menulis puisi berbahasa China menggunakan nama pena. Ketika menduduki pendidikan sekolah dasar, Ibuse Masuji pernah menulis surat kepada sastrawan Jepang terkenal, Mori Oogai, penulis yang beraliran romantisme pada zaman kesusasteraan zaman modern. Mori Oogai mengatakan tulisan atau tarikan garis kanji Ibuse Masuji dalam surat yang ditulis kepadanya seperti tulisan orang tua meski usianya masih muda. Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah menengah Fukuyama dekat Hiroshima, Ibuse pindah ke Tokyo pada tahun 1917 dimana ia mulai belajar di Universitas Waseda, Tokyo dan mengambil jurusan literatur Perancis meski ia lebih tertarik untuk mempelajari lukisan dan puisi Jepang. Selama dia bersekolah di Waseda, dia mengadopsi ide-ide baru dari surealisme ke Marxisme yang sedang melanda Jepang. Meski beliau di jurusan literatur Perancis, Ibuse tertarik pada penulis Rusia, terutama di Tolstoy dan Chekhov, generasi favorit Ibuse. Pada tahun 1918, Ibuse bertemu dengan penulis bernama Iwano Homei dan beberapa karya sastra Ibuse mendapat pengaruh dari Iwano sebab Ibuse mengaggumi buku-buku karya Iwano. Selain dari Iwano, Ibuse mempunyai mentor yang merupakan teman dia sendiri, yaitu Aoki Nampachi, teman dekat Ibuse. Dia meninggal mendadak pada tahun 1922 yang mengakibatkan Ibuse menderita depresi berat. Cerita pertama Ibuse, ‘Koi’ (Ikan Emas) menceritakan bagaimana Ibuse menghargai dan menjaga persahabatannya dengan Aoki dan merepresentasikannya melalui cerita tersebut. Koi (Ikan Emas) merupakan cerita pendek dengan teknik tradisional. Beliau menggunakan sudut orang pertama, 5 dimana narator dan penulis menjadi satu. Dalam cerita ini, tulisan Ibuse mendapat banyak pengaruh besar dari Aoki Nanpachi. Pada tahun 1920, Ibuse keluar dari universitas karena mendapat pelecehan seksual dari profesor gay bernama Katagami Noboru. Setelah keluar dari Universitas, Ibuse masuk sekolah seni Jepang namun tak menyelesaikannya. Pada awal 1920 di cerita awalnya, terlihat dalam tulisannya ia mendapat pengaruh tulisan barat selama ia belajar di Universitas Waseda. Ibuse mulai menulis untuk majalah-majalah kecil. Konstribusi pertama Ibuse adalah ketika ia menulis cerita untuk majalah Seiki, yang awalnya ditulis untuk Aoki setelah dia wafat, berjudul The Salamender pada tahun 1919 namun pada tahun 1923, ia mengubah judulnya menjadi Yu Hei (Confinement). Yu Hei (Confinement) tak mendapat hasil memuaskan, namun pada akhir 1920 Kobayashi Hideo, seorang kritikus modern Jepang yang paling berpengaruh mremuji Ibuse dan mengatakan karya tulis dia kompleks tersusun secara detail. Setelah itu, Ibuse mulai mendapat perhatian. Karya-karya Ibuse mulai diakui dan difavoritkan oleh beberapa kritikus terkenal Jepang. Puncaknya yaitu, novel Sanshouo (Salamander and Other Stories) yang terbit pada tahun 1929. Ibuse menulis novel Salamender dengan perpaduan unik, yaitu dengan unsur humor dan serius. Pada tahun 1931, Ibuse menulis cerita berjudul Tangeshitei dimana dia mendapat inspirasinya dari pendesaan-pendesaan Jepang bagian selatan. Novel ini menceritakan tentang tuan dan budaknya di lembah pengunungan terpencil. Pada novel ini, unsur humor Unsur humor yang hambar dan karakteristik psikologi tajam namun terdapat karakteristik simpatik pada orang-orang desa, petani, dokter, nelayan, dan “orang yang apa adanya atau tak berubah” menjadi ciri khas yang berbeda dari Ibuse. Novel Ibuse sebelum perang adalah novel sejarah dengan judul Sazanami Gunki (1930-1938) yang menceritakan tentang kekalahan klan Heike di abad dua belas. Pada tahun 1937, Ibuse dianugerahi Penghargaan Naoki untuk novel Jon Manjiro Hyoryuki (John Manjiro, the Cast-Away: His Life and Adventures). Tanjijo Mura (1939) menggambarkan kehidupan desa. Novel ‘The River’ yang selesai pada tahun 1932 merupakan karya fiksi pertama Ibuse. 6 Karya-karya Ibuse mulai dikenal dan dihargai oleh beberapa penulis Jepang meski pada saat itu, Ibuse belum disebut sebagai pebulis terkenal. Ibuse mendapat inspirasi untuk menulis ketika ia dalam kesendirian dan mengobrol bersama para geisha. Ciri khas penulisan Ibuse adalah karya-karya dia yang penuh dengan kehangatan dan kebaikan, sementara pada saat yang sama menunjukkan kekuatan observasi yang tajam. Tema yang ia digunakan biasanya berupa fantasi intelektual yang digunakan untuk alegori hewan, fiksi sejarah, dan kehidupan negara. Ketika Jepang memasuki perang dunia kedua, Ibuse bertugas di unit propaganda dan bersama tentara Jepang, ia melakukan perjalanan sebagai koresponden perang di Thailand, Singapura, dan Malaysia. Novel Hana to Machi (City of Flower) yang terbit pada tahun 1942 berbentuk buku harian yang menceritakan tentang propaganda Jepang yang menduduki Singapura dimana beliau selama satu tahun bekerja di kantor harian berbahasa Inggris Strait Times yang diubah namanya menjadi Shonan Times dibawah administrasi Jepang. Beliau juga memberi kuliah tentang sejarah pada bahasa dan budaya Jepang. Novel Hana to Machi (City of Flower) menceritakan tentang hubungan penjajah dan Singapura secara riang namun Ibuse mengatakan ia berhenti menulis buku hariannya karena menurutnya buku harian disimpan dengan sensor militer dan terlihat konyol. Ia mengatakan meski Singapura telah jatuh, perang tidak akan berakhir. Ibuse menyaksikan berakhirnya perang dan penghancuran Hiroshima di Kamo. Selama periode ini, Ibuse tak banyak menulis namun rasa ketidakinginan melayani militer serta ketatnya latihan militer kemungkinan membuat dia terinspirasi menulis novel yang berjudul Yohai Taicho(Lieteunant, Look East) yang terbit pada tahun 1950. Pada tahun 1966, Ibuse menerbitkan novel dan novel tersebut mendapatkan pengakuan internasional dan beberapa penghargaan termasuk Noma Prize dan Order of Cultural Merit, suatu penghormatan atau penghargaan tertinggi yang diberikan untuk penulis Jepang. Novel tersebut berjudul Kuroi Ame. Novel Kuroi Ame menceritakan tentang keponakan Shigematsu Shizuma, Yasuko, yang akan segera menikah namun pernikahan dia terancam gagal untuk 7 ketiga kalinya karena dirumorkan Yasuko terkena Kuroi Ame atau hujan hitam lengket yang bercampur dengan asap ledakan bom, dan terkena penyakit radiasi. Shigematsu yang menderita bentuk ringan dari penyakit radiasi tak diizinkan bekerja hingga sore hari karena dapat membahayakan tubuhnya bila terlalu banyak bergerak. Shigematsu dan Shokichi, teman Shigematsu yang terkena penyakit radiasi ringan, mendapat diskriminasi dari seorang wanita ketika mereka memancing di pantai melalui kata-kata yang diucapkan wanita tersebut. Wanita itu menyindir mereka berdua yang tak begitu sibuk seperti orang Jepang umumnya yang bekerja hingga sore atau malam hari. Alur cerita novel adalah maju mundur yang berkisar dengan sistem penulisan jurnal harian. Latar belakang novel tersebut adalah di Hiroshima dan Nagasaki, wilayah Jepang yang terkena bom atom. Di dalam novel Kuroi Ame, terlihat ada tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh orang-orang sekitar kepada hibakusha. Saat mendengar kata diskriminasi, yang pertama kali mencuat dalam kepala adalah perlakuan tak adil kepada seseorang atau suatu kelompok karena berbeda. Di dalam kehidupan masyarakat, baik kehidupan sosial di masa lalu atau pun masa depan, diskriminasi hingga sekarang belum hilang dan masih terjadi meski hukum sudah dibuat agar diskriminasi mulai berkurang dan perlahan menghilang mengingat diskriminasi adalah salah satu perbuatan buruk. Diskriminasi merupakan bentuk ketidakadilan. Diskriminasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu discrimination yang artinya ‘Perbedaan Perlakuan.’ Diskriminasi adalah perlakuan tidak adil terhadap suatu individu atau kelompok, dimana memiliki karakteristik yang berbeda dengan yang lain. Diskriminasi sering dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat dan hal ini sering terjadi sebab manusia cenderung membeda-bedakan perbedaan yang satu dengan yang lainnya. Menurut Purdiwantoro (1994:237), diskriminasi adalah perbedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dan sebagainya). Diskriminasi dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Terjadi di tengah keluarga, masyarakat, sekolah, tempat peribadatan, tempat kerja, juga tempat layanan umum dan layana kesehatan. Pada zaman modern seperti sekarang, 8 dengan hukum yang adil atau diskriminasi masih banyak terjadi bahkan di negara maju. BBC Indonesia (2012) mengatakan perempuan Muslim Eropa, baik imigran ataupun non imigran, mereka tidak mendapat pekerjaan dan anak-anak perempuan tak boleh hadir ke sekolah karena memakai jilbab. Voice of America (2014) mengatakan, sekitar tahun 1880 hingga 1960, ribuan warga kulit hitam Amerika tewas akibat lynching. Lynching adalah penganiyaan, penggantungan, penembakan, atau penembakan oleh massa. Pada tahun 1865, praktik perbudakkan dihapuskan dan perang saudara Amerika berakhir yang dimenangkan Uni, dikomando oleh Abraham Lincoln. Meski praktik perbudakkan berakhir, selama seratus tahun orang kulit hitam masih mendapatkan diskriminasi atau perlakuan yang berbeda. Beberapa negara bagian tak memberikan akses ke tempat umum, kurang dari tujuh persen, mereka sulit untuk memberikan suara dalam pemilihan, dan mendapatkan pendidikan yang kurang baik. Diskriminasi terjadi ketika pandangan negatif mendorong seseorang atau lembaga untuk memperlakukan seseorang secara tak adil yang didasarkan pada prasangka mereka akan status seseorang. Ada berbagai macam jenis diskriminasi, yaitu diskriminasi kelamin atau gender, diskriminasi ras, diskriminasi warna kulit, diskriminasi sosial, dan lain-lain. Salah satu contoh bentuk diskriminasi adalah diskriminasi hibakusha di Jepang setelah perang dunia kedua berakhir dimana Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu. Setelah Jepang terkena bom atom di wilayah Hiroshima dan Nagasaki, masyarakat Jepang yang selamat dari bom atom atau biasa disebut korban bom atom mendapat julukan hibakusha. Hibakusha berasal dari gabungan kanji 被爆 dan 者. Kanji 被爆 atau hibaku yang memiliki arti dibom, sedangkan kanji 者 atau sha memiliki arti seseorang atau orang. Hibakusha adalah korban bom atom yang selamat dari peristiwa bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Bila diterjemahkan secara harfiah, hibakusha adalah ‘Orang yang terkena dampak ledakan‘ yang merujuk kepada korban bom atom yang terkena dampak radiasi. Masyarakat hibakusha mendapat bantuan dari pemerintah, yaitu berupa tunjangan per-bulan sekitar 1% dan tunjangan medis bagi yang menderita penyakit radiasi. Meskipun mendapat bantuan tunjangan dari pemerintah, 9 masyarakat hibakusha mendapat diskriminasi parah dari masyarakat Jepang karena ketidaktahuan publik tentang penyakit radiasi dan kepercayaan penyakit radiasi bisa menular dan mempengaruhi keturunan dimana akan lahir menjadi cacat. Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis ingin meneliti diskriminasi hibakusha dalam novel Kuroi Ame yang ditulis oleh Ibuse Masuji. Alasan penulis tertarik ingin melakukan penelitian ini adalah ingin menjelaskan pengertian hibakusha dan asal-usul istilah hibakusha muncul. Hingga sekarang, masih banyak orang belum memahami dan mengetahui pengertian hibakusha meskipun sudah sering dibahas oleh media barat bahkan media jepang sekalipun, namun mayoritas lebih membahas sisi penyakit radiasi, sejarah peledakkan bom atom Hiroshima-Nagasaki, dan dampak psikologi yang diderita oleh hibakusha. Selain menjelaskan pengertian hibakusha, penulis juga ingin menjabarkan diskriminasi sosial yang dialami hibakusha oleh masyarakat Jepang yang tak terkena dampak penyakit radiasi dan masyarakat yang menetap di luar wilayah Hiroshima-Nagasaki selama pasca perang dunia kedua dimana Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, karena itulah penulis tertarik menjadikan novel Kuroi Ame sebagai obyek penelitian. Penulis ingin tahu lebih dalam tentang hibakusha dan ciri-ciri atau golongan yang termasuk salah satu hibakusha dan meneliti diskriminasi hibakusha yang dialaminya dalam novel Kuroi Ame karya Ibuse Masuji. 1.2 Masalah Pokok Pada penelitian ini, penulis akan menganalis masalah diskriminasi pada hibakusha yang terdapat dalam novel Kuroi Ame karya Ibuse Masuji 1.3 Formulasi Masalah Formulasi masalah dalam penelitian ini adalah penulis akan menganalisa karakteristik hibakusha pada Shizuma Shigematsu dan Takamura Yasuko kemudia menganalisa diskriminasi pada tokoh Shizuma Shigematsu dan Takamura Yasuko dengan melalui kutipan-kutipan kalimat dalam novel Kuroi Ame. 10 1.4 Ruang Lingkup Permasalahan Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti diskriminasi yang dialami Yasuko dan Shigematsu dalam novel Kuroi Ame yang ditulis oleh Ibuse Masuji. Korpus data untuk penelitian ini adalah novel Kuroi Ame yang berbahasa Jepang dan novel yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul Black Rain yang diterjemahkan oleh John Bester. 1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah penulis ingin menjelaskan dan mendeskripsikan diskriminasi yang dialami Yasuko dan Shigematsu oleh orang sekitar mereka yang tidak terkena penyakit radiasi di lingkungan sekitar. Tak hanya itu, penulis ingin menjelaskan bagaimana pandangan masyarakat kepada hibakusha atau korban bom atom yang selamat dalam kehidupan sehari-hari agar kita mengetahui dan memahami bagaimana diskriminasi yang dialami hibakusha yang selama ini masih belum begitu banyak dibahas atau dibicarakan meskipun sudah pernah dikutip dalam film barat tentang masyakarakat hibakusha namun media barat lebih menitikberatkan atau lebih banyak meneliti dari sisi sejarah dan penyakit radiasi yang diderita. 1.6 Tinjauan Pustaka Tinjauan Pustaka dilakukan melalui buku-buku dari perpustakaan umum baik dari Perpustakaan Japan Foundation, Perpustakaan Bina Nusantara, dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia baik buku berbahasa Indonesia maupun buku berbahasa Jepang. Tidak hanya itu, skripsi ini didukung juga dengan artikel-artikel atau jurnal-jurnal penelitian yang didapatkan oleh penulis. Dalam penelitian ini penulis akan membahas tentang diskriminasi Hibakusha yang dialami Yasuko dan Shigematsu dalam novel Kuroi Ame karya Ibuse Masuji. Penelitian tentang diskriminiasi hibakusha dan hal yang berkaitan dengan hibakusha sudah pernah dilakukan oleh pembelajar baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Jepang. 11 Pertama, ditulis oleh Yoshihiro Yagi dari Universitas Musashi, Tokyo dengan mengangkat judul Garis Perbedaan Hibakusha dan non-Hibakusha. Artikel tersebut menceritakan tentang isu-isu bom dan kehidupan sosial yang dialami hibakusha dengan melakukan dialog wawancara kepada salah satu hibakusha yang masih hidup dan membandingkannya dengan Yoshihiro yang sebagai non-hibakusha. Selain itu, diceritakan pula bagaimana kehidupan yang dialami hibakusha, penyakit, dan kehidupan sehari-hari mereka selama mereka masih hidup. Kedua ditulis oleh Kusano Yusuke dari Universitas Pendidikan Nagasaki, jurusan Ilmu Politik dengan mengangkat judul Belajar dari Hibakusha, [Sebuah Kata itu Cukup]. Artikel tersebut menceritakan tentang Komine-san, seorang hibakusha yang mengalami kesulitan selama ia hidup. Dia mengalami tekanan yaitu berupa intimidasi dari orang-orang sekitar bahkan berpikir untuk melakukan bunuh diri. Tidak hanya itu, putri Komine-san juga mendapat perlakuan serupa sebab sang ibu yang merupakan hibakusha, maka putrinya juga dicurigai sebagai hibakusha. Selain itu, diceritakan pula bagaimana istilah hibakusha yang merujuk pada korban bom atom, menyebar luas di masyarakat Jepang, yaitu orang-orang yang mendapat perawatan medis dari pemerintah pada tahun 1956. Ketiga, ditulis oleh Yasui Sachiko dari Universitas Pendidikan Nagasaki. jurusan Ilmu Politik, dengan mengangkat judul Keputusasaan yang Mendalam : Kehidupanku Sebagai Hibakusha dan Setelah Perang. Artikel tersebut menceritakan tentang seorang hibakusha yang selamat dari ledakan bom atom dan suasana kota setelah dibom atom. Selain itu, diceritakan pula kehidupan dia sehari-hari dan bagaimana dia mengalami depresi akibat perlakuan orang-orang sekelilingnya. 12