Sel Punca, Obat Super?

advertisement
Kesehatan | 13
RABU, 3 NOVEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA
Teknik Lichtenstein
Redam Kekambuhan
Hernia
REUTERS/JUAN CARLOS ULATE
MASIH DIRAGUKAN: Teknisi laboratorium melakukan uji coba cairan di Institute of Cellular Medicine, San Jose, Costa Rica, Selasa (18/5). Pada April lalu Kementrian Kesehatan Costa
Rica meminta sebuah klinik sel punca terbesar di negara itu untuk berhenti memasarkan terapi sel punca karena keamanannya masih diragukan.
Sel Punca, Obat Super?
Sikap waspada perlu diterapkan dalam memilih terapi sel punca yang banyak
ditawarkan sejumlah pihak, mengingat terapi ini masih dalam tahap uji klinis.
Eni Kartinah
B
EBERAPA jenis penyakit timbul akibat
kecacatan atau kerusakan organ. Stroke,
misalnya, disebabkan rusaknya
sel-sel otak, gagal jantung karena kerusakan otot-otot jantung, talasemia akibat sel-sel
darah yang tidak sempurna,
diabetes tipe satu karena selsel beta pada organ pankreas
tidak berfungsi, down syndrome
karena materi genetik yang
tidak lengkap, osteoartritis
karena ausnya tulang rawan
(bantalan) sendi.
Lain dengan penyakit akibat infeksi kuman, penyakit
yang disebabkan kelainan atau
kerusakan organ itu cenderung
permanen. Sejak lama hal itu
menjadi tantangan bagi kalangan medis. Berbagai penelitian
pun dilakukan untuk mencari
solusinya. Salah satu hasil penelitian yang diyakini cukup
menjanjikan adalah terapi stem
cell atau sel punca.
Mengutip keterangan dalam buku Stem cell, Dasar
Teori & Aplikasi Klinis, sesuai
dengan kata yang menyusun-
nya (stem=batang, cell=sel), sel
punca adalah sel yang menjadi
awal mula dari pertumbuhan
sel lain yang menyusun keseluruhan tubuh organisme,
termasuk manusia.
Karakteristik sel punca adalah belum berdiferensiasi, mampu memperbanyak diri, dan
dapat berdiferensiasi menjadi
berbagai macam sel. Dengan
karakteristik itu, sel punca dimanfaatkan untuk pengobatan.
Prinsipnya, sel punca yang
mampu berubah menjadi selsel pembentuk berbagai organ
dimanfaatkan untuk memperbarui organ-organ yang cacat
maupun rusak.
Pada pengobatan kerusakan
otot jantung, misalnya, sel punca diberikan kepada penderita
agar sel-sel itu berubah menjadi
sel-sel otot jantung. Otot jantung yang rusak pun tergantikan dengan sel-sel baru itu. Pun
demikian dalam pengobatan
diabetes tipe satu. Sel punca
diberikan agar terbentuk sel-sel
beta baru yang bisa menghasilkan hormon insulin.
Sel punca dapat diperoleh
dari beberapa sumber. Antara
lain, dari embrio yang berusia
3-5 hari (sel punca embrionik)
dan dari organ manusia atau
hewan (sel punca dewasa).
Agar dapat digunakan, sel punca harus diisolasi dan dikembangkan di laboratorium untuk
kemudian diberikan kepada
pasien dengan teknik tertentu.
Besarnya potensi sel punca
sebagai obat super mendorong berbagai pihak untuk
meneliti dan mengembangkannya. Pusat-pusat riset sel punca
berdiri di berbagai negara.
‘’Pencarian pada pusat data
penelitian clinicaltrials.gov dengan kata kunci stem cell therapy
memunculkan 2.959 artikel
penelitian,’’ ujar salah satu
pendiri Stem Cell and Cancer
Institute, dr Boenjamin Setiawan PhD, pada seminar
tentang sel punca di Jakarta,
beberapa waktu lalu.
Belum diregulasi
Potensi sel punca tak hanya
mendorong lahirnya berbagai
penelitian. Harapan kesembuhan yang diberikannya juga
men dorong berbagai pihak
untuk menawarkan terapi ini
kepada masyarakat. Tawaran
kebanyakan datang dari luar
negeri, mengingat pengembangan sel punca di Indone-
sia masih terbatas. Tarif yang
dikenakan pun terbilang mahal. Berkisar puluhan hingga
ratusan juta.
Masalahnya, meski telah
diteliti oleh berbagai pihak sejak 1980-an, kedudukan terapi
ini masih dalam tahap uji klinis.
Artinya, masih dibutuhkan
tahap-tahap pengujian lebih
lanjut agar bisa diterapkan
sebagai metode pe ngobatan
secara luas.
Tak hanya itu, terapi sel punca juga belum diatur dalam
sistem regulasi. Saat ini, Komite
Nasional Sel Punca masih
menggodok standar-standar
terapi sel punca. Antara lain
standar etika, pelayanan, biaya,
dan sumber daya manusia.
‘’Ditargetkan, penyusunan
standar ini akan selesai awal
tahun depan untuk kemudian
dipresentasikan pada Kementerian Kesehatan agar bisa
di-follow up dengan peraturan
yang konkret,’’ jelas Ketua
Komite Nasional Sel Punca,
Prof dr Farid Anfasa Moeloek.
Peraturan itu penting untuk
melindungi masyarakat dari
praktik-praktik layanan kesehatan yang berpotensi merugikan. Moeloek mencontohkan
layanan jasa penyimpanan sel
punca dari darah tali pusat.
Layanan itu memiliki teknologi
yang bisa mengambil dan menyimpan sel punca dari darah
tali pusat bayi baru lahir. Tujuannya, bila kelak bayi itu
sakit dan memerlukan terapi
sel punca, simpanan sel punca
itu bisa diambil untuk keperluan terapi.
‘’Pertanyaannya, bagaimana
bila sepanjang hidupnya si
bayi tidak membutuhkan sel
punca, sementara orang tuanya harus membayar biaya
penyimpanan terus-menerus
sepanjang tahun. Hal-hal seperti inilah yang perlu diatur
agar masyarakat tidak merugi,’’
terang Moeloek.
Dalam menyikapi tawaran
terapi sel punca, Presiden Ikatan Dokter Indonesia dr Zaenal
Abidin MHKes juga menganjurkan masyarakat untuk
berhati-hati.
‘’Sebaiknya, pastikan bahwa
fasilitas pelayan kesehatan
yang menawarkan terapi sel
punca itu sudah mendapat izin
dari Kementerian Kesehatan,’’
ujarnya. (S-2)
[email protected]
Screening ROP Cegah Kebutaan Bayi Prematur
KEMAJUAN teknologi dalam
bidang neonatalogi (perawatan
bayi baru lahir) berdampak
positif dengan menurunnya
angka kematian bayi prematur
maupun bayi dengan berat
badan lahir rendah (BBLR).
Sayangnya, seiring dengan
itu, masalah baru berpotensi
muncul. Yakni, meningkatnya
angka kebutaan bayi akibat
retinopati prematuritas (ROP).
ROP merupakan salah satu
jenis kebutaan yang kerap terjadi pada bayi prematur atau
BBLR (kurang dari 2.500 gram).
Kejadian ROP berhubungan
dengan belum sempurnanya
mata bayi prematur/ BBLR.
Menurut guru besar bidang
ilmu kesehatan mata Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof dr Rita Sita
Sitorus SpM, saat ini diperkirakan ada 80.000 anak buta di
Indonesia. Hasil studi berbasis
sekolah untuk anak-anak buta
di Jawa menunjukkan prevalensi ROP adalah 1,1% dari
seluruh penyebab kebutaan.
“Dikhawatirkan, angka itu
akan meningkat seiring dengan
keberhasilan bidang neonatalogi dalam menekan angka kematian bayi prematur,” ujar Rita
ANTARA/ASEP URBAN
BERISIKO BUTA: Bayi yang lahir prematur berisiko buta akibat organ matanya belum terbentuk sempurna.
pada acara pengukuhannya
sebagai guru besar FKUI di
Jakarta, beberapa waktu lalu.
Mengapa demikian?
Rita menjelaskan, kematian
bayi pada bulan pertama kehidupan (neonatus) menyumbang 2/3 dari kematian bayi.
Prematuritas/BBLR menjadi
satu dari tiga penyebab kematian pada kelompok neonatus
selain gagal nafas dan infeksi.
Saat ini penurunan angka
kematian bayi menjadi target
keempat tujuan pembangunan
milenium (MDGs). Dengan
tercapainya target itu pada
2015, berarti semakin banyak
bayi lahir prematur yang bisa
diselamatkan dari kematian.
“Bila hal itu tidak diiringi antisipasi, keberhasilan menekan
angka kematian bayi lahir prematur itu akan diikuti dengan
peningkatan jumlah anak yang
buta karena ROP,” jelas Rita.
Antisipasi apa yang perlu
dilakukan? Menurut Rita, kebutaan karena ROP bisa dicegah dengan melakukan deteksi
dini dan terapi yang tepat pada
rentang waktu tertentu.
Melalui kegiatan National
ROP Workshop pada 2009
yang diikuti 20 RSUD dan
beberapa RS swasta dari 17
provinsi, diketahui hanya 20%
institusi kesehatan yang telah
melakukan program screening
ROP. Sisanya belum melakukan
karena terkendala sumber daya
manusia, sarana prasarana, dan
ketidaktahuan.
Padahal, biaya pembentukan
satu program standar screening
ROP dalam satu institusi relatif
tidak mahal. Untuk membeli instrumen pemeriksaan screening
dibutuhkan sekitar Rp50 juta.
Sementara itu, biaya sarana
penanganan ROP, yaitu pembelian laser dan instrumen lain,
sekitar Rp500 juta.
“Para pemegang kebijakan
kesehatan tingkat nasional
sudah sepatutnya menaruh
perhatian besar terhadap hal
ini sehingga pada pencapaian
MDG-4 nantinya akan diperoleh anak Indonesia dengan
fungsi penglihatan yang baik,”
pungkas Rita. (*/S-3)
HERNIA adalah penonjolan
isi rongga perut akibat melemahnya otot dinding perut.
Dinding perut yang tidak kuat
menahan beban membuat
usus melorot dan mendesak ke
bawah, menimbulkan tonjolan
di perut bagian bawah maupun
di lipat paha.
Tingginya angka penderita
hernia di dunia mendorong
para pakar untuk menemukan teknik-teknik penanganan
yang lebih efektif. Salah satu
hasilnya adalah operasi hernia
dengan teknik Lichtenstein.
Teknik ini menjadi baku emas
(golden standard) penanganan
hernia. Apa istimewanya?
Spesialis bedah RS Gading
Pluit Jakarta dr Barlian Sutedja
SpB menjelaskan keistimewaan
teknik Lichtenstein terletak
pada bahan dan proses penambalan lokasi hernia yang berfungsi memperkuat jaringan.
‘’Metode Lichtenstein menggunakan penambal berupa jala
plastik dari bahan polipropilena,’’ ujar Barlian dalam acara
live surgery bertajuk Learn from
the Expert, di RS Gading Pluit,
Jakarta (30/10). Acara yang
diselenggarakan Perhimpunan
Hernia Indonesia dan Perhimpunan Ahli Bedah Indonesia itu
menghadirkan Prof Parviz K
Amid dari Lichtenstein Hernia
Insitute AS, yang merupakan
pionir teknik Lichtenstein.
Prosedurnya, tambalan jala
polipropilena itu diletakkan di
bawah kulit di lokasi hernia.
Dalam beberapa hari, tambalan itu akan menyatu dengan jaringan sekitar dan tidak
menyebabkan rasa sakit. Bahan
polipropilena jarang ditolak
oleh tubuh.
Barlian menerangkan, metode Lichtenstein yang telah
dipraktikkan di berbagai negara selama 18 tahun terakhir
memiliki sejumlah keuntungan.
Antara lain, teknik ini tergolong sebagai operasi tanpa
tegangan (tension-free). Artinya,
penambalan tidak menimbulkan regangan kulit seperti
pada teknik jahitan. Dengan
demikian, nyeri pascaoperasi
dapat diminimalisasi. Selain
itu, prosedurnya yang hanya
memerlukan anestesi lokal
membuat biaya operasi lebih
terjangkau. Kisarannya, Rp200
ribu hingga Rp800 ribu, bergantung pada kondisi hernia.
‘’Teknik ini juga dinilai lebih
aman. Dan yang terpenting, bahan tambalan yang digunakan
cukup kuat untuk menahan
kambuhnya kembali hernia.
Riset menunjukkan, risiko
kekambuhan pada teknik ini
hanya 0,1-1%,’’ terang Barlian.
Proses pemulihan pascaoperasi, lanjut Barlian, membutuhkan waktu beberapa
pekan. Pada 2-3 minggu awal
pascaope rasi, pasien tidak
diperkenankan mengangkat
beban berat. Selanjutnya, pasien
bisa beraktivitas biasa. (*/S-3)
INFO
DOK PMI
ANTRE AIR BERSIH: Korban letusan Gunung Merapi mengantre
mengambil air bersih yang didistribusikan Palang Merah Indonesia (PMI)
di Dusun Kepuh, Desa Kepuharjo, Kec Cangkringan, Kabupaten Sleman,
Minggu (30/10). Air bersih diperlukan warga untuk keperluan memasak
dan sanitasi.
Waspadai Komplikasi Diabetes
DIABETES merupakan penyakit yang menimbulkan banyak
komplikasi. Pada sistem pembuluh darah kecil (mikrovaskular)
diabetes menyebabkan gangguan ginjal dan mata. Adapun pada
sistem pembuluh darah besar (makrovaskular), komplikasi yang
timbul antara lain sakit jantung, stroke, dan gangren.
“Untuk mencegah dan mengobati masalah mikrovaskular
diperlukan pengendalian kadar gula darah sampai mendekati
normal, sedangkan untuk makrovascular perlu dilakukan pengendalian kolesterol, trigliserida, tensi darah, dan berat badan,” kata
spesialis penyakit dalam dr Slamet Suyono SpPD pada seminar
bertajuk Diabetes Update The Past, The Present and The Future,
di RS PGI Cikini, Jakarta (30/10).
Pada kesempatan sama, spesialis mata dr Gilbert Simanjuntak
SpM mengungkapkan, umumnya terdapat jeda 3-5 tahun semenjak diabetes diderita hingga timbul komplikasi diabetic retinopathy
(DR). Yaitu pembengkakan pusat penglihatan karena timbunan
cairan, perdarahan, dan timbulnya pembuluh darah baru. “Untuk
pengobatan awal, biasanya dilakukan laser pada DR. Langkah itu
bisa mencegah perburukan hingga 60%,’’ ujar Gilbert.
Sementara itu pencegahan komplikasi stroke dapat dilakukan
dengan penerapan gaya hidup sehat. (Sus/S-3)
RS Mata Aini Peringati Hari Mata
RUMAH Sakit Mata Aini Jakarta bekerja sama dengan Persatuan
Dokter Ahli Mata Indonesia dan Keluarga Besar Alm Ali Sadikin
turut merayakan Hari Mata Sedunia yang jatuh pada minggu
kedua tiap Oktober. Perayaan diisi dengan seminar kesehatan dan
pemeriksaan mata gratis bagi pelajar SD dan SMA di lingkungan
Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan.
Acara bertema Penglihatan untuk semua itu diadakan pada 28-29
Oktober 2010 di auditorium RS Mata Aini Jakarta. Selain seminar,
acara itu juga diisi dengan kegiatan pemeriksaan mata secara
cuma-cuma untuk para pelajar SD dan SMA yang hadir. Hal
tersebut bertujuan agar para anak-anak mengenali mata mereka
sebagai organ yang penting dan juga mau memeriksakan matanya
sejak dini secara rutin.
Selain itu, selama Oktober RS Aini juga melakukan program
katarak sosial, berupa operasi katarak gratis bagi warga kurang
mampu yang mengalami gangguan penglihatan akibat katarak.
‘’Kami juga mengatakan bahwa akan ada juga pemberian kacamata secara cuma-cuma di sejumlah apotek di Jakarta. Kacamata
tersebut ditujukan untuk mereka yang kurang mampu dan bermasalah dengan matanya,” ujar spesialis mata RS Mata Aini, dr
Nila F Moeloek SpM(K). (*/S-3)
Download