5 Lahan dan Hutan 5.1. Status Uraian mengenai status lahan dan hutan terdiri atas 2 aspek, yaitu: Sumberdaya mineral Tutupan lahan Dalam konteks ini, kedua informasi ini perlu dikaji secara berimbang karena keduanya mempunyai kedudukan yang sama yaitu sebagai potensi alam yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk Jawa Barat. Bedanya adalah: Kegeologian, mengupas potensi alam yang berada di dalam perut bumi. Tutupan lahan khususnya hutan merupakan potensi alam yang berada di atas permukaan bumi dan bisa diperbaharui. Pemanfaatan yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan terhadap kedua potensi ini akan menimbulkan permasalahan lingkungan yang sulit ditanggulangi dan menimbulkan kerugian yang sangat besar. 5.1.1 Kegeologian Lingkungan geologi (geo-environment) dan bencana geologi (geo-hazards) adalah bagian tak terpisahkan dari sumber daya geologi (geo-resources). Ketiga aspek tersebut harus diperhatikan secara utuh, baik dalam eksplorasi, eksploitasi, hingga penanganan pasca tambang; maupun dalam rangka penataan ruang guna mencegah konflik ruang, penguatan potensi geologi, penanganan kendala geologi, dan penyediaan sumber air yang akan meningkatkan iklim investasi. Kehidupan masyarakat yang sudah tercapai selama ini dan ke 1 depan juga harus dilindungi dari kematian dan kerusakan akibat bencana geologi (mitigasi bencana). A. Potensi Sumber Daya Mineral Jawa Barat juga memiliki potensi pertambangan dan energi yang cukup potensial. sumber daya mineral industri dan mineral logam sangat bervariasi, baik dalam sebaran, kualitas, kuantitas, maupun dalam penggunaannya. Berdasarkan hasil inventarisasi dan eksplorasi, diketahui adanya potensi mineral logam Au, Ag, Cu, Pb, Zn dan Mn. Untuk bahan galian, industri sebarannya hampir merata di seluruh kabupaten di Jawa Barat. Beberapa jenis bahan galian bahkan dapat dikategorikan sebagai unggulan, misalnya zeolit. Sebaran mineral industri di Jawa Barat dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 5.1.A Peta Sebaran Mineral Industri Sumber: Pusat Lingkungan Geologi Potensi dan permasalahan masing-masing sumber daya mineral di Jawa Barat dijelaskan sebagai berikut. 2 Tabel 5.1 Sebaran Potensi Sumberdaya Mineral di Jawa Barat No 1. Bahan Tambang Bentonit Wilayah Kab. Bogor Kab. Cianjur 2. Batugamping Cadangan Kab. SuKab.umi Kab. Ciamis* Kab. Tasikmalaya* Kab. Majalengka 83,15 juta m3 dan 1,274 juta ton 229.649.350 ton 124.800.000 ton. 52.000.000 ton Kab. Sumedang Kab. Kuningan Kab. Cirebon 280.336.362 ton. Kab. Cianjur 142.668.000 ton Kab. Bekasi 78.780.000 ton Kab. Karawang 3. Kab. Bogor Batu Mulia / Kab. Garut Setengah Kab. SuKabumi Mulia 4. Pasir Kuarsa Kab. SuKab.umi 5. 7. Pasir Besi Dasit Kab. SuKab.umi Diusahakan masyarakat secara tambang rakyat dengan peralatan sederhana. (berupa: Krisopras, kalsedon, jasper, rijang, dan kayu terkersikkan) Belum diusahakan 21.562.500 ton Telah diusahakan untuk memenuhi kebutuhan pabrik semen 2.753.143 ton Telah dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan pabrik Semen Cibinong. 49.800.000 ton Kab. Cianjur 8.000.000 ton Kab. Tasikmalaya 6.600.000 ton Kab. Ciamis 113.064 ton. Kab. Cirebon 497.500 ton Kab. Bandung 8. Felspar Kab. Cianjur Umumnya illegal (yang berijin di Ds. Malasari) secara kecil-kecilan dgn peralatan sederhana (seperti: palu, cangkul) Oleh penduduk setempat secara illegal dengan peralatan semi mekanis dan sebagian manual. Dengan ijin secara mekanis penuh Sebagian oleh masyarakat secara tradisional, investor dengan peralatan semi mekanis hingga mekanis,. Pada umumnya penambangan secara kecil-kecilan ini dilakukan tanpa dilengkapi Izin Usaha Pertambangan dan belum mempertimbangkan aspek penambangannya dengan benar. 200.000.000 ton. Kab. Ciamis Kab. Bekasi Pelaku dan Cara Penambangan 660.000 ton Kab. Sukabumi Kab. Bogor Sumber: Pusat Lingkungan Geologi 3 B. Potensi Panas Bumi Sumberdaya lainnya yang dimiliki Provinsi Jawa Barat adalah panas bumi. Panas bumi merupakan salah satu potensi Jawa Barat yang belum teroptimalkan pemanfaatannya. Dengan terbitnya Undang-Undang No. 27 Tahun 2003 tentang panas bumi, peran dan keterlibatan pemerintah daerah sangat besar, baik dalam tingkat kebijakan maupun dalam tataran teknis. Energi panas bumi merupakan sumber energi alternatif utama dalam merespon kondisi real tersebut, dikarenakan : Energi panas bumi merupakan sumber energi yang bersifat renewable. Sifat renewable ini dikarenakan faktor geologi Indonesia yang unik, dimana terdapat jalur pegunungan vulkanik (gunung api) aktif, termasuk di Jawa Barat. Energi panas bumi merupakan energi ramah lingkungan. Dalam pengeksploitasiannya tidak menimbulkan emisi gas secara signifikan. Total potensi panas bumi Jawa Barat mencapai 5311 MWe (8% dari total potensi dunia) atau setara dengan 2,1 milyar barrel minyak. Namun pemanfaatannya masih terbatas, hanya terbatas untuk keperluan pembangkitan energi listrik yang baru mencapai 705 MW. Gambar 5.1.B Peta Kawasan Panas Bumi Sumber: Pusat Lingkungan Geologi 4 C. Kawasan Cagar Alam Geologi Jawa Barat Tidak semua sumberdaya alam geologi harus di eksploitasi tetapi ada yang harus dilindungi yaitu komponen geologi yang sifatnya khas, unik, indah, dan langka (tidak dapat ditemukan di setiap tempat) yang dihasilkan melalui proses ruang dan waktu geologi yang panjang sehingga bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan, sosial, ekonomi, budaya dan pariwisata. Kawasan Cagar Alam Geologi (KCAG) di Jawa Barat antara lain: Kawasan Cagar Alam Geologi Gua Pawon Pasir Pawon yang secara administratif termasuk ke dalam Desa Gunung Masigit Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung. Pasir Pawon (731,99 m dpl) merupakan bentang alam yang khas dengan geomorfologi Karst. Karakteristik Gua Pawon secara geomorfologi dengan terdapatnya endokarst dan eksokarst yang dapat dikelompokkan sebagai World Herritage (warisan dunia). Bentuk sinkhole dan dolina, stalaktit, stalagmit, flow stone, stone garden, lapies. Gambar 5.2 Peta Kawasan Karst Jawa Barat Sumber: Pusat Lingkungan Geologi 5 Pasir Pawon dapat menjadi lokasi penelitian untuk pengembangan ilmu hidrogeologi (model air tanah kawasan karst), karena secara umum hidrogeologi karst mempunyai perilaku air yang begitu komplek dan rumit. Sebaran kawasan karst di wilayah Jawa Barat dapat dilihat pada gambar berikut ini. Gambar 5.3 Kawasan Cagar Alam Geologi Gua Pawon Pintu masuk Ke Gua Pawon Kamar Angin 1 Kamar Angin 7 Ruang Arkeologi Taman Batu / Stone Garden Kawasan penambangan Gunung Masigit Sumber: Pusat Lingkungan Geologi Kawasan Cagar Alam Geologi Ciletuh Kawasan Ciletuh, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat dikenal dalam dunia ilmu geologi merupakan salah satu dari tiga tempat atau lokasi di Pulau Jawa tempat ditemukannya singkapan batuan tertua yang berumur Pra-Tersier yaitu Zaman Kapur sekitar 55 - 65 Juta tahun yang lalu. Dua lokasi lainnya adalah di Karangsambung Kabupaten Kebumen dan di daerah Bayat Propinsi Jawa Tengah. Kawasan Ciletuh dibagi menjadi tiga blok dari utara ke selatan, yakni Blok Gunung Badak, Blok Citisuk-Cikepuh, dan Blok Citirem-Cibuaya. 6 Gambar 5.4 Kawasan Cagar Alam Geologi Ciletuh Blok Gunung Badak Blok Citisuk-Cikepuh BlokCitirem-Cibuaya Sumber: Pusat Lingkungan Geologi 5.1.2 Tutupan Lahan Kajian mengenai tutupan lahan menyoroti 2 hal, yaitu: Kajian tentang “penggunaan lahan” di Jawa Barat secara menyeluruh Kajian tentang hutan 5.1.2.1 Penggunaan Lahan Data mengenai penggunaan lahan diambil dari BPS dengan sumber data dari BPN. Pendataan penggunaan lahan oleh BPN dilakukan 5 tahun sekali, dan data terakhir yang tersedia adalah data tahun 2006. 7 Tabel 5.2 Penggunaan Lahan di Jawa Barat tahun 2001, 2005, 2006 (Ha) Jenis Penggunaan Lahan 1 2 3 4 5 6 7 Permukiman, jasa, dan industri Tegalan dan kebun campuran Sawah Perkebunan Hutan Perairan dan Tambak Semak dan alang-alang Jumlah 2001 2005 2006 314658 1105735 872043 250274 706344 78077 69736 3500323 307763 956741 969322 226807 604100 64637 85208 3377742 319862.54 1080283 969373.3 309188.31 674642.81 64677.12 85207.53 3631934.15 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat 2008 Secara garis besar komposisi penggunaan lahan sejak tahun 2001 sampai 2006 tidak mengalami perubahan yang signifikan, dimana jenis penggunaan lahan yang dominan masih tetap tegal dan kebun campuran dan sawah, disusul kemudian oleh hutan. Walaupun demikian terjadi sedikit peningkatan sedikit pada proporsi permukiman, sawah, dan semak / alang-alang. Yang mengalami penurunan walaupun sedikit adalah tegalan / kebun campuran, hutan, dan perairan tambak. Pertumbuhan penduduk rata-rata 2,1 % per tahun ternyata tidak sebanding dengan kenaikan proporsi lahan untuk permukiman / jasa / industri. Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat 2008 8 Sejak tahun 2001 luas hutan tidak pernah lebih dari 10 % dari luas wilayah Jawa Barat. Padahal UU no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mensyaratkan luas hutan dalam suatu wilayah harus lebih dari 30%. Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat 2008 5.1.3 Hutan Yang dimaksud dengan hutan pada uraian ini adalah hutan darat. Hutan merupakan tutupan lahan yang paling penting dalam hal menjaga keseimbangan ekosistem dan hidrologi. Informasi mengenai hutan meliputi dua hal, yaitu: Luas hutan Tutupan hutan 5.1.3.1. Luas Hutan Informasi tentang hutan secara lebih detail diperoleh dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. Namun demikian, data tentang luas hutan di Jawa Barat yang diinformasikan oleh BPS berbeda dengan data dari Dinas Kehutanan. Luas hutan dalam 5 tahun terakhir mengalami kenaikan, dari 784,397.09 Ha pada tahun 2003 menjadi 808,246.37 Ha pada tahun 2007, terdiri atas 46,37 % Hutan Produksi, 32,22 % Hutan 9 Lindung, dan 22,41 % Hutan Konservasi. Komposisi ini tidak berbeda jauh sejak tahun 2003, 2005, dan 2006. Gambaran mengenai komposisi luas hutan menurut fungsinya dan perkembangannya bisa dilihat pada tabel dan gambar pada halaman berikut. Ditinjau dari sebarannya, area kawasan hutan lebih terkonsentrasi di wilayah Jawa Barat bagian selatan yang membentang mulai dari Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Tasikmalaya, juga di Kabupaten Kuningan, serta tersebar sebagian kecil di Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, Kabupaten Kuningan. Sebaran kawasan hutan bisa dilihat pada gambar berikut. Gambar 5.7 Sebaran Kawasan Hutan Di Jawa Barat 2007 Sumber: Perhutani Unit III Provinsi Jawa Barat 10 Gambar 5.8 Peta Lokasi Kawasan Konservasi di Jawa Barat Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat, 2007 Keterangan: 1 CA Arca Domas 11 TWA Situ Gunung 21 CA Gunung Malabar 32 CA/TWA Telaga Bodas 2 CA Yan Lanpa 12 CABojonglara Jayanti 22 CA Junghuhn 33 CA Gunung Jagat 3 CA/TWATelagaWrn 13 CA Cadas Malang 23 SM Gunung Masigit 34 TB Masigit Kareumbi 4 TWAGunung Pancar 14 CA Gunung Simpang 24 CA/TWATanPerahu 35 TWA Gunung Tampomas 5 CA Dungus Iwul 15 CA Takokak 25 CA/TWATelagPateng 36 SM Sindangkerta 6 CA Cibanteng 16 TNGnGede–Pangrngo 26 THR Ir. H. Djuanda) 37 CA Laut Pangandaran 7 CAT.Perahu-PelRatu 17 KR Cibodas 27 TWA Cimanggu 38 CA Panjalu / Koordes 8 CA/TWASukawaya 18 TWA Jember 28 CA Leuweng Sancang 39 CA/TWAPangandaran 9 SM Cikepuh 19 CA Burangrang 29 LautLeuweungSanca 40 SM Gunung Sawal 10 TNGnHalimun-Salak 20 CA Gunung Tilu 30 TA/TWA Papanday 41 CA/TWA Linggar Jati 31 CA/TWAKawah Kamo 42 TN Gunung Ceremay 11 Tabel 5.3 Perkembangan Luas Hutan Tahun 2003 - 2007 Jenis Hutan menurut Fungsi Hutan Konservasi Luas Hutan (Ha) Prosentase Luas Hutan 2003 2005 2006 2007 2003 2005 2006 2007 156,897.31 172,572.88 173,030.03 173,030.03 20.00% 22.58% 21.41% 21.41% Hutan Lindung 238,244.51 228,727.11 260,441.37 260,441.37 30.37% 29.93% 32.22% 32.22% Hutan Produksi 389,255.27 362,980.40 374,774.97 374,775.23 49.62% 47.49% 46.37% 46.37% Luas Hutan Jawa Barat Luas Wilayah Jawa Barat 784,397.09 764,280.39 808,232.27 808,246.37 100.00% 100.00% 100.00% 100.00% 3,631,934.15 3,631,934.15 3,631,934.15 3,631,934.15 - - - - Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2008. Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2008 12 Sebagaimana sudah dijelaskan bahwa keberadaan hutan sangat menentukan kualitas dari keseimbangan ekosistem dan keseimbangan hidrologi suatu wilayah. Untuk tujuan tersebut maka luas minimal hutan pada suatu wilayah harus dijaga dan dipertahankan. Undang-undang no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mensyaratkan bahwa luas hutan minimal dalam suatu wilayah adalah 30 %. Dalam arahan pola ruang yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat 2010, telah ditetapkan bahwa luas hutan darat harus mencapai 22 % dari luas wilayah Provinsi Jawa Barat (RTRW ini disusun sebelum diterbitkannya UU no. 26 tahun 2007), yang terdiri atas: kawasan hutan lindung 16 %, kawasan hutan konservasi 3 %, dan kawasan hutan produksi 3 %. Sementara kondisi luas hutan Jawa Barat tahun 2007 mencapai 22,24 %, terdiri atas kawasan hutan lindung 7,17%, kawasan hutan konservasi 4,76%, dan kawasan hutan produksi 10,31%. Tabel berikut menampilkan luas hutan di Jawa Barat tahun 2007 dan target yang harus dicapai sebagaimana ditetapkan dalam RTRW Provinsi Jawa Barat 2010. 13 Tabel 5.4 Luas Kawasan Hutan Jawa Barat 2007 dan Luas Kawasan Hutan menurut RTRW Provinsi Jawa Barat 2010. No Kawasan Kondisi Tahun 2007 Luas I Kawasan Lindung A B II A B Kawasan Hutan Kaw. Hutan Lindung Kaw. Hutan Konservasi Kaw. Non Hutan Kawasan Budidaya Kaw. Hutan Produksi Kaw. Non Hutan Sawah Budidaya Lainnya Total** % RTRW Prov. Jawa Barat 2010 Luas % 1.629.715,14 44.87 % 1.619.496,24 45 % 260,441.37 173,030.03 7.17 % 4.76 % 575.820,88 107.966,42 16 % 3% 1.196.243,74 2.002.219,01 374,775.23 32.94 % 55.13 % 10.31% 935.708,94 1.979.384,29 107.966,42 26 % 55 % 3% 969,373.3 1,558,070.40 3.631.934.15 26.69 % 42.89 % 100 % 755.764,91 1.115.652,96 3.598.880,53 21 % 31 % 100 % Sumber : Hasil pengolahan dari DInas Kehutanan Provinsi Jawa Barat dan Dokumen RTRW Provinsi Jawa Barat 2010. Jika ditinjau dari luasannya, luas kawasan hutan di Jawa Barat pada tahun 2007 sudah mencapai 22,24 % yang artinya sudah memenuhi kebutuhan luas hutan yang seharusnya ada menurut RTRW Provinsi Jawa Barat 2010. Akan tetapi jika dilihat dari komposisinya, kawasan hutan di Jawa Barat tahun 2007 lebih banyak didominasi oleh kawasan hutan produksi. Padahal untuk tujuan konservasi, seharusnya kawasan hutan lindunglah yang seharusnya menempati porsi terbesar. Porsi kawasan hutan produksi yang cukup luas tidak bisa menjadi jaminan bisa berperan sebagai kawasan konservasi dengan sempurna karena selain akan mengalami penebangan secara rutin pada masa-masa musim tebang, hutan produksi juga relatif lebih homogen sehingga kurang optimal dalam menyerap air ataupun sebagai habitat bagi hayati. Kawasan yang bisa diandalkan bisa berperan sebagai kawasan resapan air adalah hutan lindung. Gambar berikut menampilkan proporsi kawasan hutan lindung di setiap wilayah kabupaten / kota di Jawa Barat. 14 Gambar 5.11 Proporsi Kawasan Hutan Lindung terhadap Luas Daerah di Jawa Barat Tahun 2007 Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Tahun 2008 5.1.3.2. Kondisi Tutupan Hutan Kondisi tutupan hutan mencerminkan tingkat efektivitas peran hutan sebagai penyeimbang ekosistem dan hidrologi. Informasi yang menggambarkan kondisi tutupan hutan adalah luasan lahan kritis di kawasan hutan. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, dalam 5 tahun terakhir luas lahan kritis di Jawa Barat pernah mengalami kondisi buruk, yaitu pada tahun 2003, dimana hampir seperlima dari kawasan hutan berada dalam kondisi kritis. Kondisi ini membaik secara signifikan selama 3 tahun kemudian, dimana pada tahun 2006 luas area yang kritis hanya sebesar 11 % saja. Akan tetapi kondisi tutupan hutan kembali mengalami kemunduran pada tahun 2007, dimana luas kawasan hutan yang kritis kembali tinggi, yaitu mencapai 18,77 %. 15 Tabel 5.5 Perkembangan Luas Lahan Kritis di Dalam Kawasan Hutan di Jawa Barat 2003 - 2007 (HA) Luas Lahan Kritis Luas Hutan Proporsi Lahan Kritis dalam Hutan 2003 2004 2005 2006 2007 151,688 117,074 90,463 94297 151,689.25 784,397.09 783,507.48 764,387.59 808,246.37 808,246.37 19.34% 14.94% 11.83% 11.67% 18.77% Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. Baik pada tahun 2006 ataupun pada tahun 2007, kawasan yang proporsi lahan kritisnya paling luas adalah kawasan hutan produksi. Tahun 2006 hampir 16 % kawasan hutan produksi berada dalam kondisi kritis, sedangkan pada tahun 2007 area yang kritis meningkat menjadi 25 % dari luas kawasan. Jadi kawasan hutan produksi itu di satu sisi luasannya mengalami penurunan, tetapi proporsi tutupannya yang kritis mengalami peningkatan. 16 Tabel 5.6 Prosentase Lahan Kritis di Kawasan Hutan menurut Fungsi Hutan 2006 - 2007 2006 Hutan Hutan Konservasi Dan Produksi 2007 Jumlah Hutan Hutan Hutan Konservasi Lindung Produksi Jumlah Hutan Lindung Luas Hutan 433471.4 374775.23 808246.63 173,030.03 260,441.37 374,775.23 808,246.37 Luas Lahan Kritis 34924 59373 94297 21,332.57 34,400.86 95,955.82 151,689.25 Prosentase Lahan Kritis 8.06% 15.84% 11.67% 12.33% 13.21% 25.60% 18.77% Di Hutan Sumber: Hasil perhitungan dari data Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2008 Ilustrasi Kondisi Lahan kritis di Jawa Barat 17 Gambar 5.14 Grafik Perubahan Luas Lahan Kritis di Dalam Kawaan Hutan di Daerah yang Memiliki Hutan 2003 - 2007 (Ha) Sumber: Hasil Pengolahan dari Data Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2008 18 5.2. Tekanan Ada beberapa faktor “gangguan” yang menyebabkan kondisi tutupan hutan di Jawa Barat mengalami penurunan sehingga menjadi kritis. Gangguan ini antara lain berupa: Perambahan hutan Bencana alam Penggembalaan liar Kebakaran hutan Pencurian pohon Perusakan tanaman. Kegiatan penambangan yang tidak memenuhi kaidah-kaidah kelestarian lingkungan. Dari semua gangguan ini, yang paling dominan dan signifikan adalah perambahan hutan dan pencurian pohon. Dilihat dari besarannya, kegiatan perambahan hutan mencapai angka ribuan Ha yaitu tahun 2001, 2002, 2005. Demikian juga dengan pencurian pohon dimana angkanya mencapai ribuan pohon. Melihat besaran dari gangguan tersebut, kegiatan perambahan hutan, pencurian pohon, dan perusakan tanaman di hutan nampaknya dilakukan secara terangterangan tanpa ada halangan. Tabel 5.7 Jenis Gangguan Terhadap Kawasan Hutan di Jawa Barat Tahun 2001 - 2007 No 1 2 3 4 5 6 Jenis Gangguan Terhadap Kawasan Hutan Perambahan Hutan (Ha) Bencana Alam (Ha) Penggembalaan Liar (Ha) Kebakaran Hutan (Ha) Pencurian Pohon (Batang) Perusakan Tanaman (Pohon) 2001 2,910.00 372 6 1224 112141 1352 2002 2003 8,381.00 622 38 8124 42752 11982 Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2008 19 358 82 36 338 16555 151 2004 668 98 116 1419 16498 68 2005 1,324.00 24 124 592 8796 51 2006 2007 929 69 21 8237 7285 15471 201.05 76 21 588 4,887 150,690 Gambar 5.15 Grafik Jenis Gangguan Terhadap Kawasan Hutan di Jawa Barat Tahun 2001 - 2007 Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2008 Ilustrasi penyebab kejadian kerusakan hutan, yaitu kebakaran, penebangan pohon, konversi fungsi lahan. 20 Box 5.1 Babakan Siliwangi di Kota Bandung Hutan Kota yang Terancam Hilang Tidak hanya di daerah rural, di daerah perkotaaan pun, keberadaan hutan yang berfungsi sebagai paru-paru kota dan daerah resapan air, juga mengalami tekanan berupa perambahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi kawasan terbangun, sebagaimana saat ini yang sedang marak menjadi sorotan, yaitu rencana pengalihan fungsi RTH Babakan Siliwangi di Kota Bandung menjadi kawasan komersial. Kondisi Babakan Siliwangi : Babakan SIliwangi berdiri tahun 1960. Kondisi di dalam Kawasan Babakan SIliwangi adalah sebagai berikut : Terdapat "Sanggar Mitra Wisata" : sanggar lukis berdiri tahun 1976. Ditumbuhi berbagai jenis pohon, seperti angsana, palem, duku, dan berbagai jenis pohon lain yang biasanya tumbuh di hutan. Puluhan titik mata air yang salah satunya memiliki debit 0,7 liter per detik. Ketinggian hampir 800 meter di atas permukaan laut (dpl) Menurut geologi: merupakan daerah inti resapan air, sebab tanahnya mengandung tufa berbatu apung dan tufa pasiran Peran Babakan Siliwangi bagi Kota Bandung: Kota membutuhkan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Dari 16.726 hektar luas Kota Bandung dengan jumlah penduduk 2,5 juta, luas RTH-nya hanya sekitar 1,44 persen. Padahal seharusnya paling tidak mencapai 10%. Selain itu, jumlah pohon yang ada di Bandung hanya sekitar 650.000, padahal idealnya 1.250.000 pohon. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, Pasal 8 Ayat 3 disebutkan bahwa persentase luas hutan kotanya saja-tidak termasuk taman kota dan pekarangan rumah-paling sedikit harus mencapai 10 persen dari luas seluruh wilayah kota. Rencana Pemerintah Daerah Kota Bandung: Babakan Siliwangi aKan diubah menjadi : kawasan terbangun berupa bangunan apartemen, hotel, mal, rumah makan, serta pusat studi dan budaya Sunda. 5.3. Respon Menghadapi kenyataan akan kondisi hutan di Jawa Barat, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengambalikan peran hutan, yaitu melalui upaya reboisasi dan pengalihan status hutan. 5.3.1. Reboisasi Upaya reboisasi di Jawa Barat dilakukan melalui 2 macam program, yaitu GRLK (Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis) dan GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Lindung). 21 GRLK dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, termasuk anggota TNI/POLRI, anggota KORPRI dan pegawai BUMN/BUMD serta pegawai perusahaan swasta dan organisasi peduli lingkungan ataupun masyarakat pada umumnya. Maksud dan tujuan kedua gerakan ini adalah : 1. Merehabilitasi lahan kritis melalui gerakan penanaman tanaman tahunan produktif jenis kayu dan atau buah-buahan pada lahan-lahan kritis, baik pada kehutanan, lahan perkebunan besar, tanah Negara lainnya, lahan milik BUMN/BUMD dan perusahaan Swasta maupun lahan milik masyarakat; 2. Melaksanakan kegiatan pemeliharaan tanaman yang sudah ditanam agar tumbuh dengan baik; 3. Melaksanakan penyemaian/ pembibitan tanaman tahunan produktif meliputi tanaman kehutanan, tanaman perkebunan dan tanaman buah-buahan; 4. Melaksanakan kegiatan lainnya sebagai upaya pemulihan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Tabel berikut menampilkan upaya reboisasi yang dilakukan di hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi melalui GRLK dan GNRHL sejak tahun 2004 - 2007. Tabel 5.8 Luas Area Reboisasi di Kawasan Hutan di Jawa Barat Tahun 2004 - 2007(Ha) 1 2 3 Kawasan Hutan Hutan Konservasi HUtan Lindung Hutan Produksi Jumlah 2004 4,954.00 8,869.60 23,335.99 37,159.59 2005 0 7,426.33 21,777.09 29,203.42 Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2008 22 2006 4,004.00 6,447.89 23,720.42 34,172.31 2007 1,488 11,116.36 25,872.91 38,477.27 Kegiatan reboisasi dilakukan merata di seluruh kawasan hutan di Jawa Barat sebagaimana ditampilkan pada gambar berikut. Gambar 5.17 Lokasi Reboisasi Kawasan Hutan di Jawa Barat Sumber: BPLHD Provinsi Jawa Barat 23 Dari data tersebut nampak bahwa dalam 4 tahun terakhir, luas area reboisasi di kawasan hutan lindung dan hutan produksi relative stabil dari tahun ke tahun, sedangkan di kawasan hutan konservasi berfluktuasi dari tahun ke tahun. Ditinjau dari tingkat pencapaiannya, upaya pemulihan kondisi hutan melalui reboisasi nampak masih jauh dari harapan. Pada tahun 2006 rata-rata pencapaian reboisasi berkisar antara 29 39%, sedangkan pada tahun tingkat pencapaiannya menurun menjadi antara 6 - 32 %. Tingkat pencapaian reboisasi adalah kemampuan menanam di area lahan kritis. Tabel 5.9 Tingkat Pencapaian Upaya Pemulihan Kondisi Tutupan Hutan. 2006 2007 Hutan Konservasi Hutan Dan Hutan Produksi Jumlah Hutan Hutan Hutan Konservasi Lindung Produksi Jumlah Lindung Luas Hutan Luas Lahan Kritis di Dalam 433471.4 374775.23 808246.63 173,030.03 260,441.37 374,775.23 808,246.37 34924 59373 94297 21,332.57 34,400.86 95,955.82 151,689.25 10451.89 23,720.42 34,172.31 1,488 11,116.36 25,872.91 38,477.27 29.93% 39.95% 36.24% 6.98% 32.31% 26.96% 25.37% Hutan Reboisasi Tingkat Pencapaian Pemulihan Tutupan Hutan Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2008 Sedangkan jika ditinjau dari tingkat pencapaian pengembalian kondisi tutupan bisa dilihat dari kecenderungan luasan area lahan kritis. Sebagaimana sudah diuraikan pada subbab 5.1.3.2 bahwa luasan lahan kritis sempat membaik antara tahun 2003 - 2006 tetapi kemudian memburuk lagi pada tahun 2007. Sejauh ini tidak diperoleh keterangan terkait dengan “berapa besar tanaman reboisasi yang berhasil tumbuh dengan baik dan kembali menutupi area hutan yang kritis”. Karena pada kenyataannya, kejadian bencana yang diakibatkan oleh menurunnya peran hutan terus terjadi seperti banjir, longsor, dan kekeringan. 24 5.3.2. Pengalihan Status Hutan Mengingat peran hutan lindung dan hutan konservasi lebih baik dibandingkan dengan hutan produksi dalam hal menjaga keseimbangan ekosistem dan tata air, maka di Jawa Barat pernah dilakukan upaya pengalihan status kawasan hutan dari hutan produksi menjadi hutan lindung dan hutan konservasi. Upaya ini juga bertujuan untuk mencapai luasan kawasan lindung sebagaimana yang ditargetkan dalam RTRW Provinsi Jawa Barat 2010. Tabel 5.10 Upaya Peningkatan Peran Hutan melalui Pengalihan Status Hutan Lokasi Status/Fungsi Luas (Ha) Semula Menjadi Tahura Gunung Kunci, Sumedang HPT HL 3,30 Taman Nasional Halimun Salak HL, HP & HPT HK 113.357,00 Taman Nasional Gede Pangrango HP & HPT HK 21.975,00 Taman Nasional Ciremai HP & HL HK 15.500,00 Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. Dampak Negatif Akibat Menurunnya Peran Hutan di Jawa Barat 5.4. Dampak negatif yang paling nyata akibat menurunnya peran hutan adalah: 5.5. Menurunnya debit mata air Sedimentasi di kawasan hilir (atau muara sungai yang melintasinya) Meningkatnya peluang terjadinya banjir, kekeringan, dan tanah longsor Bencana tanah longsor longsor Kendala Geologi Kendala geologi adalah kondisi lingkungan pada suatu wilayah yang dapat menghambat optimalisasi kemampuan dan daya dukung wilayah tersebut untuk dilaksanakannya pembangunan. Berbagai kendala geologi berupa kebencanaan geologi seperti gempa bumi, letusan gunungapi, gerakan tanah. 25 Berbagai peristiwa kebencanaan di wilayah Jawa Barat berdasarkan pemantauan yang dilakukan Dinas Pertambangan Jawa Barat, Badan Geologi dan instansi terkait lainnya adalah sebagai berikut. A. Kerawanan Gempabumi Gempa bumi disebabkan oleh adanya pelepasan energi regangan elastis batuan pada litosfir. Semakin besar energi yang dilepas semakin kuat gempa yang terjadi. Terdapat dua teori yang menyatakan proses terjadinya atau asal mula gempa yaitu pergeseran sesar dan teori kekenyalan elastis. B. Kejadian Gempabumi Jawa Barat merupakan salah satu bagian wilayah di Indonesia yang mempunyai sistem seismotektonik yang kompleks dengan frekuensi kejadian gempabumi cukup tinggi. Fenomena tersebut disebabkan posisi Jawa Barat terletak pada wilayah pertemuan dua lempeng besar (benua) yang secara terus-menerus bergerak yaitu lempeng aktif HindiaAustralia dan Eurasia. Menurut Beca Carter Holling,1979, berdasarkan karakteristik seismotektoniknya, wilayah Jawa Barat terdiri dari busur sangat aktif dengan tepi benua aktif dan busur aktif dengan punggungan aktif. Wilayah Jawa Barat bagian selatan dapat terlanda gempabumi berkekuatan ≥ 6 Ms (peta frekuensi kejadian gempabumi dangkal dan bersifat merusak, dari Beca Carter Holling,1979). Dalam lima tahun terakhir sejak 2003 di Jawa Barat telah terjadi beberapa kejadian gempabumi merusak diantaranya: Gempabumi Kuningan tanggal 21 Maret 2003, Pusat gempabumi terletak pada koordinat 6,520 Lintang Selatan - 108029’23” Bujur Timur, kedalaman kurang dari 10 meter dengan magnitute 4,8 pada skala Richter. Intensitas gempabumi maksimum tercatat IV-V pada skala MMI. Kejadian gempabumi ini menimbulkan kerusakan bangunan di Desa Cilimus, Caracas, Sampora, Kaliaren dan Cibeureum Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan. Kerusakan bangunan terjadi juga di Desa Pangembangan, Trijaya dan Randubawagirang di Kecamatan Mandirancan, Kuningan. Gempabumi Lembang-Bandung tanggal 11 Juli 2003, pusat gempabumi terletak pada koordinat 6,730 Lintang selatan - 107081’ Bujur Timur, kedalaman pusat 26 gempabumi 10 kilometer dengan kekuatan gempa 4,2 pada skala Richter. Intensitas maximum tercatat III pada skala MMI. Gempabumi ini menimbulkan satu benteng roboh di Desa Cihideung, Lembang. Selain itu dirasakan juga oleh masyarakat Kota Bandung. Gempabumi Pasirwangi Kabupaten Garut tanggal 2 Februari 2005, pusat gempa terletak pada koordinat 702’ Lintang Selatan - 10807’ Bujur Timur, kedalaman 10 kilometer, kekuatan gempa 4,2 pada skala Richter. Intensitas maksimum tercatat V pada skala MMI. Terjadi kerusakan bangunan di Kecamatan Pasirwangi, Cisurupan, Sukaresmi dan Samarang Kabupaten Garut serta di Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. Gempabumi Gunung halu kabupaten Bandung, tanggal 15 April 2005, pusat gempa terletak pada koordinat 7019’ Lintang Selatan - 107045’ Bujur Timur, kedalaman 5 kilometer, kekuatan gempa 5 pada skala Richter. Intensitas maksimum tercatat V pada skala MMI. Terjadi kerusakan bangunan pada 139 rumah penduduk, sekolah dan prasarana ibadah di Desa Gunung Halu, catat dan Sirnajaya. Gempabumi Pangandaran tanggal 17 Juli 2006, ialah gempa bumi berkekuatan 7,2 pada skala Richter di lepas pantai Jawa Barat, Indonesia. Gempa bumi ini menyebabkan tsunami setinggi 2 - 7 meter yang menghancurkan rumah di pesisir selatan Jawa, membunuh setidaknya 659 jiwa. Tsunami itu menghantam desa-desa di pesisir selatan Jawa di Cipatujah, Tasikmalaya dan Pangandaran, Ciamis. Gempabumi Indramayu tanggal 9 Agustus 2007, adalah gempa bumi dengan kekuatan 7,5 pada Skala Richter. Hampir sebagian besar pulau Jawa, sebagian kecil pulau Sumatera dan Bali. Gempa bumi ini juga dapat dirasakan di beberapa wilayah di Malaysia. Pusat gempa terletak pada kedalaman 290 km di bawah permukaan laut 75 km barat kota Indramayu, Jawa Barat. Gempa Bumi Sukabumi tanggal 2 Desember 2007, berdasarkan data dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), gempa yang terjadi sekitar pukul 06.01 WIB dengan kekuatan 6 SR berada di lokasi 7047’ lintang selatan (LS), 105072’ bujur timur (BT) atau 146 Km Barat Daya Sukabumi, Jawa Barat. Sangat dirasakan oleh sebagian masyarakat Sukabumi, baik Kota Sukabumi maupun Kabupaten Sukabumi, seperti Pelabuhanratu. Meski demikian gempat tersebut tidak membuat warga panik, 27 pasalnya gempa yang dirasakan tidak begitu besar dan hanya berlangsung sekitar lima detik. Gempa Bumi dapat terjadi dimana saja dan terhadap siapa saja tanpa pandang bulu, dengan demikian kita perlu mengetahui bagaimana menghadapinya sesuai dengan situasional saat kita berada. C. Kerawanan Gerakan Tanah (Longsor) Wilayah Jawa Barat Selatan sebagian besar merupakan wilayah yang rawan untuk terjadinya gerakan tanah, secara umum merupakan daerah perbukitan dan pegunungan yang terjal dan dibentuk oleh batuan gunungapi, sedimen vulkanik dan sedimen marin, yang keadaannya telah melapuk tinggi, terlipat dan tersesarkan. Sebagai pemicu terjadinya gerakan tanah, disamping faktor-faktor geologi tersebut, sebagian wilayah ini tidak bervegetasi penutup (hampir gundul), sehingga tidak mempunyai akar tanaman sebagai penguat lapisan tanah. Kondisi lereng tersebut dapat menjadi lebih stabil, pada saat lahan yang ada diolah menjadi areal pesawahan basah, yang mengakibatkan tanah menjadi selalu jenuh air, gembur dan mudah runtuh. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung baru saja merilis data dan peta wilayah yang memiliki potensi gerakan tanah/longsor di Indonesia untuk periode Desember 2007. Wilayah Jawa Barat terdapat 12 Kabupaten/Kota yang berpotensi dan rawan gerakan tanah. Tercatat 231 Kecamatan dari 12 Kabupaten/Kota tersebut dimana 16 Kecamatan memiliki potensi gerakan tanah tinggi, 84 Kecamatan potensi Menengah Tinggi dan 131 Kecamatan dengan potensi gerakan tanah Menengah. 28 Gambar 5.18 Peta Kerentanan Gerakan Tanah Sumber: Pusat Lingkungan Geologi D. Kerawanan Tsunami Tsunami dapat dideskripsikan sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh suatu gangguan impulsif yang terjadi pada medium laut, akibatnya timbul gaya impulsif yang bersifat sementara (transien). Selain bersifat transien, tsunami juga bersifat nondispersive, artinya kecepatan fasa gelombang tidak bergantung pada panjang gelombang. Tsunami mempunyai panjang gelombang yang besar sampai 100 km, lintasan partikel berbentuk elips dengan amplitudo lebih kurang 5 m. kecepatan rambat gelombang tsunami di laut dalam mencapai antara 500 m sampai 1000 km/jam. Bila melihat sejarah, zona subduksi Jawa memiliki potensi magnitude lebih rendah dibandingkan dengan zona subduksi Sumatera yang rata-rata di atas 8 skala Richter (SR). Sedangkan waktu terjadinya gempa pun di Jawa lebih kecil dibandingkan Sumatera. Selain itu lempeng Jawa pun sudah tua, berusia di atas 150 juta tahun. Gerakan tektoniknya pun berat sehingga tidak terlalu menekan ke arah Pulau Jawa. (Danny Hilman Natawijaya, Pakar geoteknologi dari PuslitGeotek - LIPI). Dari data seismik yang dikeluarkan oleh 29 USGS, menunjukkan kejadian gempa di Jawa Barat Selatan dari tahun 1900 - 2002 ratarata terjadi dengan magnitudo diatas 6 SR dan kedalaman kurang dari 70 km atau termasuk kategori gempa bumi dangkal. Gambar 5.19 Wilayah yang Terkena Dampak Tsunami Jawa Selatan Sumber: Pusat Lingkungan Geologi Selain saran pengembangan tata ruang pada wilayah resiko bencana, juga perlu dilakukan mitigasi bencana tsunami nonfisik, antara lain menyusun pedoman mitigasi bencana alam di wilayah pantai, pendidikan, pelatihan, dan simulasi mitigasi bencana tsunami kepada masyarakat pesisir, penyebaran informasi berupa buklet dan brosur, penyuluhan dan sosialisasi upaya mitigasi bencana tsunami, serta pengembangan sistem peringatan dini adanya bahaya tsunami. E. Kerawanan Letusan Gunung Berapi Kawasan rawan bencana gunung berapi adalah kawasan dengan jarak atau radius tertentu dari pusat letusan yang terpengaruh langsung dan tidak langsung dengan tingkat kerawanan tinggi, dan kawasan berupa lembah yang sering menjadi daerah aliran lahar dan atau lava. 30 Kawasan rawan bencana gunung berapi di Jawa Barat yaitu: Kawasan Gunung Salak, terletak di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi Kawasan Gunung Gede Pangrango, terletak di Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi Kawasan Gunung Halimun, terletak di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi Kawasan Gunung Tangkubanparahu, terletak di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang Kawasan Gunung Papandayan, terletak di Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung Kawasan Gunung Galunggung, terletak di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut Kawasan Gunung Guntur, terletak di Kabupaten Garut; Kawasan Gunung Ciremai, terletak di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka. Tabel 5.11 Analisis State, Pressure dan Response untuk Aspek Lahan dan Hutan No. 1. a. State Kebencanaan Gerakan / longsor Dalam kurun waktu tahun 2001 - 2005 terjadi bencana longsor di beberapa daerah di Jawa Barat. Pressure Penyebab alami: Bentuk bentang alam (lereng, dll) Kestabilan tanah Jenis batuan / tanah Penyebab akibat perilaku manusia: Pembukaan lahan tertutup vegetasi Pertanian tanpa terassering Pemotongan lereng, penggalian tebing curam, penimbunan, dll. b. Penurunan Tanah Cekungan Bandung telah mengalami penurunan muka tanah. Penyebab alami: Sifat geologi teknik (jenis batuan, jenis tanah,dll). Beban tanah sendiri. Penyebab non alami: Beban bangunan di atas tanah Pengambilan air bawah 31 Response Response (Sudah dilakukan): Dalam proses perencanaan tata ruang skala besar (> 1:100.00), selalu mempertimbangkan daya dukung lahan dan memberi arahan pemanfaatan ruang dengan mendeliniasi kawasan lindung, dawasan budidaya, dan kawasan rawan bencana. Usulan: Proses pemanfaatan ruang / pembangunan hendaknya selalu mempetimbangkan daya dukung lahan setempat. Response: - No. c. State BanjirdanKekeringan Banjir: Daerah Panturan merupakan daerah yang dataran banjir (flood plain) yang rawan terhadap banjir. Daerah cekungan di pegunungan bagian tengah Jawa Barat juga merupakan daerah yang berpotensi mengalami banjir. Kekeringan: Kekeringan paling parah terjadi di Kabupaten Indramayu. Pressure tanah yang berlebihan. Penyebab alami: Curah hujan tinggi Pasang surut air laut (untuk daerah pantai) Bentuk bentang alam Response Usulan: Fenomena ini hendaknya dimasukkan sebagai bahan pertimbangan dalam proses perencanaan tata ruang. Response (sudah dilakukan): Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Lindung (GNRHL) Pengalihan status hutan Penyebab akibat perilaku manusia: Sedimentasi sungai. Pemanfaatan sempadan sungai untuk kegiatan lain. Konversi lahan konversi menjadi lahan yang tidak bisa menyerap air dan bahkan menjadi lahan kritis. Kapasitas badan air yang tidak dipelihara. Penurunan muka tanah (land subsidence). Usulan: 1. Harus dicari formulasi yang tepat untuk penanganan hutan secara terpadu: • Hulu – hilir dalam satu management pengelolaan sungai. • Terpadunya kegiatan / program antar sektor yang terkait dengan masalah banjir / kekeringan seperti: Lembaga pemerintah: Dinas kehutanan (BPDAS, BKSDA), Dinas PU Pengairan, Dinas Pertanian, Bappeda, dll. Pelaku usaha / swasta Masyarakat 2. Penanganan banjir dan kekeringan harus disertai dengan penyediaan SDM, pendanaan, dan management yang memadai dengan disertai good will. 32 No. 2. Hutan dan Lahan Kritis State Kondisi Lahan dan Huta n 2007: Luasan Hutan: Luas hutan lindung dan hutan konservasi maih jauh dari target yang ditetapkan dalam RTRW Prov. Jawa Barat 2010. Luas kawaan hutan produksi melebihi ketentuan yang ditargetkan dalam RTRW Prov. Jawa Barat 2010. Ketentuan UU no. 26/2007 tentang Penataan Ruang: Luas hutan di Jabar minimal seharusnya 1.199.626,843 Ha Lahan Kritis Luas lahan kritis di wilayah hutan sempat mengalami penurunan antara tahun 2003 - 2006, tetaapi tahun 2007kembali meningkat. Pressure Luas kawasan hutan lindung dan konservasi yang berada jauh di bawah target RTRW disebabkan oleh pembukaan hutan yang terjadi jauh sebelum tahun 2000. Sejak tahun 2000 sampai tahun 2007, luas kawasan hutan terus bertambah walaupun peningkatannya sedikit. Response Response: Lahan kritis ditangani melalui gerakan rahabilitasi lahan berupa: Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Lindung (GNRHL), dilakukan di hutan lindung. Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK), dilakukan di luar kaw. Hutan lindung. Lahan kritis juga terjadi jauh sebelum tahun 2000. Penyebabnya adalah : Konversi lahan dari lahan tertutup vegetasi menjadi lahan terbangun, tetapi tidak dilakukan langsung, melainkan lahan dibiarkan terbengkalai dalam waktu yang lama. Gangguan terhadap tegakan tanaman hutan berupa: • Pencurian kayu • Kebakaran • Perambahan hutan Dampak : Kurangnya proporsi luas hutan dan lahan kritis menyebabkan dampak-dampak sebagai berikut: Lahan menjadi kurang subur Berpotensi longsor di daerah perbukitan Berpotensi menimbulkan banjir di bagian hilir. 33 Usulan: Mengembalikan fungsi RTRW (termasuk rencana ruang berskala besar) sebagai satu-satunya alat pengendali pemanfaatan ruang.