Lahan dan Hutan - BPLHD Jawa Barat

advertisement
5
Lahan dan Hutan
5.1.
Status
Uraian mengenai status lahan dan hutan terdiri atas 2 aspek, yaitu:

Sumberdaya mineral

Tutupan lahan
Dalam konteks ini, kedua informasi ini perlu dikaji secara berimbang karena keduanya
mempunyai kedudukan yang sama yaitu sebagai potensi alam yang bisa dimanfaatkan untuk
meningkatkan kesejahteraan penduduk Jawa Barat. Bedanya adalah:
 Kegeologian, mengupas potensi alam yang berada di dalam perut bumi.
 Tutupan lahan khususnya hutan merupakan potensi alam yang berada di atas permukaan
bumi dan bisa diperbaharui.
Pemanfaatan yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan terhadap kedua potensi
ini akan menimbulkan permasalahan lingkungan yang sulit ditanggulangi dan menimbulkan
kerugian yang sangat besar.
5.1.1
Kegeologian
Lingkungan geologi (geo-environment) dan bencana geologi (geo-hazards) adalah bagian tak
terpisahkan dari sumber daya geologi (geo-resources). Ketiga aspek tersebut harus
diperhatikan secara utuh, baik dalam eksplorasi, eksploitasi, hingga penanganan pasca
tambang; maupun dalam rangka penataan ruang guna mencegah konflik ruang, penguatan
potensi geologi, penanganan kendala geologi, dan penyediaan sumber air yang akan
meningkatkan iklim investasi. Kehidupan masyarakat yang sudah tercapai selama ini dan ke
1
depan juga harus dilindungi dari kematian dan kerusakan akibat bencana geologi (mitigasi
bencana).
A. Potensi Sumber Daya Mineral
Jawa Barat juga memiliki potensi pertambangan dan energi yang cukup potensial. sumber
daya mineral industri dan mineral logam sangat bervariasi, baik dalam sebaran, kualitas,
kuantitas, maupun dalam penggunaannya. Berdasarkan hasil inventarisasi dan eksplorasi,
diketahui adanya potensi mineral logam Au, Ag, Cu, Pb, Zn dan Mn. Untuk bahan galian,
industri sebarannya hampir merata di seluruh kabupaten di Jawa Barat. Beberapa jenis
bahan galian bahkan dapat dikategorikan sebagai unggulan, misalnya zeolit. Sebaran
mineral industri di Jawa Barat dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 5.1.A Peta Sebaran Mineral Industri
Sumber: Pusat Lingkungan Geologi
Potensi dan permasalahan masing-masing sumber daya mineral di Jawa Barat dijelaskan
sebagai berikut.
2
Tabel 5.1
Sebaran Potensi Sumberdaya Mineral di Jawa Barat
No
1.
Bahan
Tambang
Bentonit
Wilayah
Kab. Bogor
Kab. Cianjur
2.
Batugamping
Cadangan
Kab. SuKab.umi
Kab. Ciamis*
Kab. Tasikmalaya*
Kab. Majalengka
83,15 juta m3 dan
1,274 juta ton
229.649.350 ton
124.800.000 ton.
52.000.000 ton
Kab. Sumedang
Kab. Kuningan
Kab. Cirebon
280.336.362 ton.
Kab. Cianjur
142.668.000 ton
Kab. Bekasi
78.780.000 ton
Kab. Karawang
3.
Kab. Bogor
Batu Mulia / Kab. Garut
Setengah
Kab. SuKabumi
Mulia
4.
Pasir Kuarsa
Kab. SuKab.umi
5.
7.
Pasir Besi
Dasit
Kab. SuKab.umi
Diusahakan masyarakat secara
tambang rakyat dengan peralatan
sederhana.
(berupa: Krisopras, kalsedon, jasper,
rijang, dan kayu terkersikkan)
Belum diusahakan
21.562.500 ton Telah diusahakan untuk memenuhi
kebutuhan pabrik semen
2.753.143 ton Telah dieksploitasi untuk memenuhi
kebutuhan pabrik Semen Cibinong.
49.800.000 ton
Kab. Cianjur
8.000.000 ton
Kab. Tasikmalaya
6.600.000 ton
Kab. Ciamis
113.064 ton.
Kab. Cirebon
497.500 ton
Kab. Bandung
8.
Felspar
Kab. Cianjur
Umumnya illegal (yang berijin di Ds.
Malasari) secara kecil-kecilan dgn
peralatan sederhana (seperti: palu,
cangkul)
Oleh penduduk setempat secara
illegal dengan peralatan semi
mekanis dan sebagian manual.
Dengan ijin secara mekanis penuh
Sebagian oleh masyarakat secara
tradisional, investor dengan
peralatan semi mekanis hingga
mekanis,. Pada umumnya
penambangan secara kecil-kecilan ini
dilakukan tanpa dilengkapi Izin Usaha
Pertambangan dan belum
mempertimbangkan aspek
penambangannya dengan benar.
200.000.000 ton.
Kab. Ciamis
Kab. Bekasi
Pelaku dan Cara Penambangan
660.000 ton
Kab. Sukabumi
Kab. Bogor
Sumber: Pusat Lingkungan Geologi
3
B. Potensi Panas Bumi
Sumberdaya lainnya yang dimiliki Provinsi Jawa Barat adalah panas bumi. Panas bumi
merupakan salah satu potensi Jawa Barat yang belum teroptimalkan pemanfaatannya.
Dengan terbitnya Undang-Undang No. 27 Tahun 2003 tentang panas bumi, peran dan
keterlibatan pemerintah daerah sangat besar, baik dalam tingkat kebijakan maupun dalam
tataran teknis.
Energi panas bumi merupakan sumber energi alternatif utama dalam merespon kondisi
real tersebut, dikarenakan :
 Energi panas bumi merupakan sumber energi yang bersifat renewable. Sifat renewable
ini dikarenakan faktor geologi Indonesia yang unik, dimana terdapat jalur pegunungan
vulkanik (gunung api) aktif, termasuk di Jawa Barat.
 Energi panas bumi merupakan energi ramah lingkungan. Dalam pengeksploitasiannya
tidak menimbulkan emisi gas secara signifikan.
 Total potensi panas bumi Jawa Barat mencapai 5311 MWe (8% dari total potensi
dunia) atau setara dengan 2,1 milyar barrel minyak. Namun pemanfaatannya masih
terbatas, hanya terbatas untuk keperluan pembangkitan energi listrik yang baru
mencapai 705 MW.
Gambar 5.1.B Peta Kawasan Panas Bumi
Sumber: Pusat Lingkungan Geologi
4
C. Kawasan Cagar Alam Geologi Jawa Barat
Tidak semua sumberdaya alam geologi harus di eksploitasi tetapi ada yang harus dilindungi
yaitu komponen geologi yang sifatnya khas, unik, indah, dan langka (tidak dapat ditemukan
di setiap tempat) yang dihasilkan melalui proses ruang dan waktu geologi yang panjang
sehingga bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan, sosial, ekonomi, budaya
dan pariwisata. Kawasan Cagar Alam Geologi (KCAG) di Jawa Barat antara lain:
 Kawasan Cagar Alam Geologi Gua Pawon
Pasir Pawon yang secara administratif termasuk ke dalam Desa Gunung Masigit
Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung. Pasir Pawon (731,99 m dpl) merupakan
bentang alam yang khas dengan geomorfologi Karst. Karakteristik Gua Pawon secara
geomorfologi dengan terdapatnya endokarst dan eksokarst yang dapat dikelompokkan
sebagai World Herritage (warisan dunia). Bentuk sinkhole dan dolina, stalaktit,
stalagmit, flow stone, stone garden, lapies.
Gambar 5.2 Peta Kawasan Karst Jawa Barat
Sumber: Pusat Lingkungan Geologi
5
Pasir Pawon dapat menjadi lokasi penelitian untuk pengembangan ilmu hidrogeologi (model
air tanah kawasan karst), karena secara umum hidrogeologi karst mempunyai perilaku air yang
begitu komplek dan rumit. Sebaran kawasan karst di wilayah Jawa Barat dapat dilihat pada
gambar berikut ini.
Gambar 5.3 Kawasan Cagar Alam Geologi Gua Pawon
Pintu masuk Ke Gua Pawon
Kamar Angin 1
Kamar Angin 7
Ruang Arkeologi
Taman Batu / Stone Garden
Kawasan penambangan Gunung Masigit
Sumber: Pusat Lingkungan Geologi
 Kawasan Cagar Alam Geologi Ciletuh
Kawasan Ciletuh, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat
dikenal dalam dunia ilmu geologi merupakan salah satu dari tiga tempat atau lokasi di
Pulau Jawa tempat ditemukannya singkapan batuan tertua yang berumur Pra-Tersier
yaitu Zaman Kapur sekitar 55 - 65 Juta tahun yang lalu. Dua lokasi lainnya adalah di
Karangsambung Kabupaten Kebumen dan di daerah Bayat Propinsi Jawa Tengah.
Kawasan Ciletuh dibagi menjadi tiga blok dari utara ke selatan, yakni Blok Gunung
Badak, Blok Citisuk-Cikepuh, dan Blok Citirem-Cibuaya.
6
Gambar 5.4 Kawasan Cagar Alam Geologi Ciletuh
Blok Gunung Badak
Blok Citisuk-Cikepuh
BlokCitirem-Cibuaya
Sumber: Pusat Lingkungan Geologi
5.1.2
Tutupan Lahan
Kajian mengenai tutupan lahan menyoroti 2 hal, yaitu:

Kajian tentang “penggunaan lahan” di Jawa Barat secara menyeluruh

Kajian tentang hutan
5.1.2.1 Penggunaan Lahan
Data mengenai penggunaan lahan diambil dari BPS dengan sumber data dari BPN. Pendataan
penggunaan lahan oleh BPN dilakukan 5 tahun sekali, dan data terakhir yang tersedia adalah
data tahun 2006.
7
Tabel 5.2
Penggunaan Lahan di Jawa Barat tahun 2001, 2005, 2006 (Ha)
Jenis Penggunaan Lahan
1
2
3
4
5
6
7
Permukiman, jasa, dan industri
Tegalan dan kebun campuran
Sawah
Perkebunan
Hutan
Perairan dan Tambak
Semak dan alang-alang
Jumlah
2001
2005
2006
314658
1105735
872043
250274
706344
78077
69736
3500323
307763
956741
969322
226807
604100
64637
85208
3377742
319862.54
1080283
969373.3
309188.31
674642.81
64677.12
85207.53
3631934.15
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat 2008
Secara garis besar komposisi penggunaan lahan sejak tahun 2001 sampai 2006 tidak
mengalami perubahan yang signifikan, dimana jenis penggunaan lahan yang dominan masih
tetap tegal dan kebun campuran dan sawah, disusul kemudian oleh hutan. Walaupun demikian
terjadi sedikit peningkatan sedikit pada proporsi permukiman, sawah, dan semak / alang-alang.
Yang mengalami penurunan walaupun sedikit adalah tegalan / kebun campuran, hutan, dan
perairan tambak.
Pertumbuhan penduduk rata-rata 2,1 % per tahun ternyata tidak sebanding dengan kenaikan
proporsi lahan untuk permukiman / jasa / industri.
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat 2008
8
Sejak tahun 2001 luas hutan tidak pernah lebih dari 10 % dari luas wilayah Jawa Barat. Padahal
UU no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mensyaratkan luas hutan dalam suatu wilayah
harus lebih dari 30%.
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat 2008
5.1.3
Hutan
Yang dimaksud dengan hutan pada uraian ini adalah hutan darat. Hutan merupakan tutupan
lahan yang paling penting dalam hal menjaga keseimbangan ekosistem dan hidrologi.
Informasi mengenai hutan meliputi dua hal, yaitu:

Luas hutan

Tutupan hutan
5.1.3.1. Luas Hutan
Informasi tentang hutan secara lebih detail diperoleh dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa
Barat. Namun demikian, data tentang luas hutan di Jawa Barat yang diinformasikan oleh BPS
berbeda dengan data dari Dinas Kehutanan.
Luas hutan dalam 5 tahun terakhir mengalami kenaikan, dari 784,397.09 Ha pada tahun 2003
menjadi 808,246.37 Ha pada tahun 2007, terdiri atas 46,37 % Hutan Produksi, 32,22 % Hutan
9
Lindung, dan 22,41 % Hutan Konservasi. Komposisi ini tidak berbeda jauh sejak tahun 2003,
2005, dan 2006.
Gambaran mengenai komposisi luas hutan menurut fungsinya dan
perkembangannya bisa dilihat pada tabel dan gambar pada halaman berikut.
Ditinjau dari sebarannya, area kawasan hutan lebih terkonsentrasi di wilayah Jawa Barat
bagian selatan yang membentang mulai dari Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur,
Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Tasikmalaya, juga di
Kabupaten Kuningan, serta tersebar sebagian kecil di Kabupaten Purwakarta, Kabupaten
Subang, Kabupaten Kuningan.
Sebaran kawasan hutan bisa dilihat pada gambar berikut.
Gambar 5.7 Sebaran Kawasan Hutan Di Jawa Barat 2007
Sumber: Perhutani Unit III Provinsi Jawa Barat
10
Gambar 5.8 Peta Lokasi Kawasan Konservasi di Jawa Barat
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat, 2007
Keterangan:
1
CA Arca Domas
11
TWA Situ Gunung
21
CA Gunung Malabar
32
CA/TWA Telaga Bodas
2
CA Yan Lanpa
12
CABojonglara Jayanti
22
CA Junghuhn
33
CA Gunung Jagat
3
CA/TWATelagaWrn
13
CA Cadas Malang
23
SM Gunung Masigit
34
TB Masigit Kareumbi
4
TWAGunung Pancar
14
CA Gunung Simpang
24
CA/TWATanPerahu
35
TWA Gunung Tampomas
5
CA Dungus Iwul
15
CA Takokak
25
CA/TWATelagPateng
36
SM Sindangkerta
6
CA Cibanteng
16
TNGnGede–Pangrngo
26
THR Ir. H. Djuanda)
37
CA Laut Pangandaran
7
CAT.Perahu-PelRatu
17
KR Cibodas
27
TWA Cimanggu
38
CA Panjalu / Koordes
8
CA/TWASukawaya
18
TWA Jember
28
CA Leuweng Sancang
39
CA/TWAPangandaran
9
SM Cikepuh
19
CA Burangrang
29
LautLeuweungSanca
40
SM Gunung Sawal
10
TNGnHalimun-Salak
20
CA Gunung Tilu
30
TA/TWA Papanday
41
CA/TWA Linggar Jati
31
CA/TWAKawah Kamo
42
TN Gunung Ceremay
11
Tabel 5.3
Perkembangan Luas Hutan Tahun 2003 - 2007
Jenis Hutan
menurut
Fungsi
Hutan
Konservasi
Luas Hutan (Ha)
Prosentase Luas Hutan
2003
2005
2006
2007
2003
2005
2006
2007
156,897.31
172,572.88
173,030.03
173,030.03
20.00%
22.58%
21.41%
21.41%
Hutan Lindung
238,244.51
228,727.11
260,441.37
260,441.37
30.37%
29.93%
32.22%
32.22%
Hutan Produksi
389,255.27
362,980.40
374,774.97
374,775.23
49.62%
47.49%
46.37%
46.37%
Luas Hutan
Jawa Barat
Luas Wilayah
Jawa Barat
784,397.09
764,280.39
808,232.27
808,246.37
100.00%
100.00%
100.00%
100.00%
3,631,934.15
3,631,934.15
3,631,934.15
3,631,934.15
-
-
-
-
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2008.
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2008
12
Sebagaimana sudah dijelaskan bahwa keberadaan hutan sangat menentukan kualitas dari
keseimbangan ekosistem dan keseimbangan hidrologi suatu wilayah. Untuk tujuan tersebut
maka luas minimal hutan pada suatu wilayah harus dijaga dan dipertahankan. Undang-undang
no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mensyaratkan bahwa luas hutan minimal dalam
suatu wilayah adalah 30 %.
Dalam arahan pola ruang yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi
Jawa Barat 2010, telah ditetapkan bahwa luas hutan darat harus mencapai 22 % dari luas
wilayah Provinsi Jawa Barat (RTRW ini disusun sebelum diterbitkannya UU no. 26 tahun 2007),
yang terdiri atas: kawasan hutan lindung 16 %, kawasan hutan konservasi 3 %, dan kawasan
hutan produksi 3 %. Sementara kondisi luas hutan Jawa Barat tahun 2007 mencapai 22,24 %,
terdiri atas kawasan hutan lindung 7,17%, kawasan hutan konservasi 4,76%, dan kawasan
hutan produksi 10,31%.
Tabel berikut menampilkan luas hutan di Jawa Barat tahun 2007 dan target yang harus dicapai
sebagaimana ditetapkan dalam RTRW Provinsi Jawa Barat 2010.
13
Tabel 5.4
Luas Kawasan Hutan Jawa Barat 2007 dan Luas Kawasan Hutan menurut RTRW
Provinsi Jawa Barat 2010.
No
Kawasan
Kondisi Tahun 2007
Luas
I
Kawasan Lindung
A
B
II
A
B
Kawasan Hutan
 Kaw. Hutan Lindung
 Kaw. Hutan
Konservasi
Kaw. Non Hutan
Kawasan Budidaya
Kaw. Hutan Produksi
Kaw. Non Hutan
 Sawah
 Budidaya Lainnya
Total**
%
RTRW Prov. Jawa Barat
2010
Luas
%
1.629.715,14
44.87 %
1.619.496,24
45 %
260,441.37
173,030.03
7.17 %
4.76 %
575.820,88
107.966,42
16 %
3%
1.196.243,74
2.002.219,01
374,775.23
32.94 %
55.13 %
10.31%
935.708,94
1.979.384,29
107.966,42
26 %
55 %
3%
969,373.3
1,558,070.40
3.631.934.15
26.69 %
42.89 %
100 %
755.764,91
1.115.652,96
3.598.880,53
21 %
31 %
100 %
Sumber : Hasil pengolahan dari DInas Kehutanan Provinsi Jawa Barat dan Dokumen RTRW
Provinsi Jawa Barat 2010.
Jika ditinjau dari luasannya, luas kawasan hutan di Jawa Barat pada tahun 2007 sudah
mencapai 22,24 % yang artinya sudah memenuhi kebutuhan luas hutan yang seharusnya ada
menurut RTRW Provinsi Jawa Barat 2010. Akan tetapi jika dilihat dari komposisinya, kawasan
hutan di Jawa Barat tahun 2007 lebih banyak didominasi oleh kawasan hutan produksi.
Padahal untuk tujuan konservasi, seharusnya kawasan hutan lindunglah yang seharusnya
menempati porsi terbesar. Porsi kawasan hutan produksi yang cukup luas tidak bisa menjadi
jaminan bisa berperan sebagai kawasan konservasi dengan sempurna karena selain akan
mengalami penebangan secara rutin pada masa-masa musim tebang, hutan produksi juga
relatif lebih homogen sehingga kurang optimal dalam menyerap air ataupun sebagai habitat
bagi hayati. Kawasan yang bisa diandalkan bisa berperan sebagai kawasan resapan air adalah
hutan lindung. Gambar berikut menampilkan proporsi kawasan hutan lindung di setiap wilayah
kabupaten / kota di Jawa Barat.
14
Gambar 5.11
Proporsi Kawasan Hutan Lindung terhadap Luas Daerah di Jawa Barat Tahun 2007
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Tahun 2008
5.1.3.2. Kondisi Tutupan Hutan
Kondisi tutupan hutan mencerminkan tingkat efektivitas peran hutan sebagai penyeimbang
ekosistem dan hidrologi. Informasi yang menggambarkan kondisi tutupan hutan adalah luasan
lahan kritis di kawasan hutan.
Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, dalam 5 tahun terakhir luas lahan
kritis di Jawa Barat pernah mengalami kondisi buruk, yaitu pada tahun 2003, dimana hampir
seperlima dari kawasan hutan berada dalam kondisi kritis. Kondisi ini membaik secara
signifikan selama 3 tahun kemudian, dimana pada tahun 2006 luas area yang kritis hanya
sebesar 11 % saja. Akan tetapi kondisi tutupan hutan kembali mengalami kemunduran pada
tahun 2007, dimana luas kawasan hutan yang kritis kembali tinggi, yaitu mencapai 18,77 %.
15
Tabel 5.5
Perkembangan Luas Lahan Kritis di Dalam Kawasan Hutan
di Jawa Barat 2003 - 2007 (HA)
Luas Lahan Kritis
Luas Hutan
Proporsi Lahan Kritis
dalam Hutan
2003
2004
2005
2006
2007
151,688
117,074
90,463
94297
151,689.25
784,397.09
783,507.48
764,387.59
808,246.37
808,246.37
19.34%
14.94%
11.83%
11.67%
18.77%
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat.
Baik pada tahun 2006 ataupun pada tahun 2007, kawasan yang proporsi lahan kritisnya paling
luas adalah kawasan hutan produksi. Tahun 2006 hampir 16 % kawasan hutan produksi berada
dalam kondisi kritis, sedangkan pada tahun 2007 area yang kritis meningkat menjadi 25 % dari
luas kawasan.
Jadi kawasan hutan produksi itu di satu sisi luasannya mengalami penurunan, tetapi proporsi
tutupannya yang kritis mengalami peningkatan.
16
Tabel 5.6
Prosentase Lahan Kritis di Kawasan Hutan menurut Fungsi Hutan 2006 - 2007
2006
Hutan
Hutan
Konservasi Dan
Produksi
2007
Jumlah
Hutan
Hutan
Hutan
Konservasi
Lindung
Produksi
Jumlah
Hutan Lindung
Luas Hutan
433471.4
374775.23
808246.63
173,030.03
260,441.37
374,775.23
808,246.37
Luas Lahan Kritis
34924
59373
94297
21,332.57
34,400.86
95,955.82
151,689.25
Prosentase Lahan Kritis
8.06%
15.84%
11.67%
12.33%
13.21%
25.60%
18.77%
Di Hutan
Sumber: Hasil perhitungan dari data Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2008
Ilustrasi Kondisi Lahan kritis di Jawa Barat
17
Gambar 5.14 Grafik Perubahan Luas Lahan Kritis di Dalam Kawaan Hutan
di Daerah yang Memiliki Hutan 2003 - 2007 (Ha)
Sumber: Hasil Pengolahan dari Data Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2008
18
5.2.
Tekanan
Ada beberapa faktor “gangguan” yang menyebabkan kondisi tutupan hutan di Jawa Barat
mengalami penurunan sehingga menjadi kritis. Gangguan ini antara lain berupa:

Perambahan hutan

Bencana alam

Penggembalaan liar

Kebakaran hutan

Pencurian pohon

Perusakan tanaman.

Kegiatan penambangan yang tidak memenuhi kaidah-kaidah kelestarian lingkungan.
Dari semua gangguan ini, yang paling dominan dan signifikan adalah perambahan hutan dan
pencurian pohon. Dilihat dari besarannya, kegiatan perambahan hutan mencapai angka ribuan
Ha yaitu tahun 2001, 2002, 2005. Demikian juga dengan pencurian pohon dimana angkanya
mencapai ribuan pohon. Melihat besaran dari gangguan tersebut, kegiatan perambahan hutan,
pencurian pohon, dan perusakan tanaman di hutan nampaknya dilakukan secara terangterangan tanpa ada halangan.
Tabel 5.7
Jenis Gangguan Terhadap Kawasan Hutan
di Jawa Barat Tahun 2001 - 2007
No
1
2
3
4
5
6
Jenis Gangguan
Terhadap Kawasan Hutan
Perambahan Hutan (Ha)
Bencana Alam (Ha)
Penggembalaan Liar (Ha)
Kebakaran Hutan (Ha)
Pencurian Pohon (Batang)
Perusakan Tanaman (Pohon)
2001
2,910.00
372
6
1224
112141
1352
2002
2003
8,381.00
622
38
8124
42752
11982
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2008
19
358
82
36
338
16555
151
2004
668
98
116
1419
16498
68
2005
1,324.00
24
124
592
8796
51
2006
2007
929
69
21
8237
7285
15471
201.05
76
21
588
4,887
150,690
Gambar 5.15 Grafik Jenis Gangguan Terhadap Kawasan Hutan
di Jawa Barat Tahun 2001 - 2007
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2008
Ilustrasi penyebab kejadian kerusakan hutan, yaitu kebakaran, penebangan pohon, konversi
fungsi lahan.
20
Box 5.1 Babakan Siliwangi di Kota Bandung
Hutan Kota yang Terancam Hilang
Tidak hanya di daerah rural, di daerah perkotaaan pun, keberadaan hutan yang berfungsi sebagai paru-paru kota dan
daerah resapan air, juga mengalami tekanan berupa perambahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi kawasan
terbangun, sebagaimana saat ini yang sedang marak menjadi sorotan, yaitu rencana pengalihan fungsi RTH Babakan
Siliwangi di Kota Bandung menjadi kawasan komersial.
Kondisi Babakan Siliwangi :
Babakan SIliwangi berdiri tahun 1960. Kondisi di dalam Kawasan Babakan SIliwangi adalah sebagai berikut :

Terdapat "Sanggar Mitra Wisata" : sanggar lukis berdiri tahun 1976.

Ditumbuhi berbagai jenis pohon, seperti angsana, palem, duku, dan berbagai jenis pohon lain yang biasanya
tumbuh di hutan.

Puluhan titik mata air yang salah satunya memiliki debit 0,7 liter per detik.

Ketinggian hampir 800 meter di atas permukaan laut (dpl)

Menurut geologi: merupakan daerah inti resapan air, sebab tanahnya mengandung tufa berbatu apung dan
tufa pasiran
Peran Babakan Siliwangi bagi Kota Bandung:
Kota membutuhkan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Dari 16.726 hektar luas Kota Bandung dengan jumlah penduduk 2,5
juta, luas RTH-nya hanya sekitar 1,44 persen. Padahal seharusnya paling tidak mencapai 10%. Selain itu, jumlah pohon
yang ada di Bandung hanya sekitar 650.000, padahal idealnya 1.250.000 pohon. Dalam Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, Pasal 8 Ayat 3 disebutkan bahwa persentase luas hutan kotanya saja-tidak
termasuk taman kota dan pekarangan rumah-paling sedikit harus mencapai 10 persen dari luas seluruh wilayah kota.
Rencana Pemerintah Daerah Kota Bandung:
Babakan Siliwangi aKan diubah menjadi : kawasan terbangun berupa bangunan apartemen, hotel, mal, rumah makan,
serta pusat studi dan budaya Sunda.
5.3.
Respon
Menghadapi kenyataan akan kondisi hutan di Jawa Barat, berbagai upaya telah dilakukan
untuk mengambalikan peran hutan, yaitu melalui upaya reboisasi dan pengalihan status hutan.
5.3.1. Reboisasi
Upaya reboisasi di Jawa Barat dilakukan melalui 2 macam program, yaitu GRLK (Gerakan
Rehabilitasi Lahan Kritis) dan GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Lindung).
21
GRLK dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, termasuk
anggota TNI/POLRI, anggota KORPRI dan pegawai BUMN/BUMD serta pegawai perusahaan
swasta dan organisasi peduli lingkungan ataupun masyarakat pada umumnya.
Maksud dan tujuan kedua gerakan ini adalah :
1.
Merehabilitasi lahan kritis melalui gerakan penanaman tanaman tahunan produktif
jenis kayu dan atau buah-buahan pada lahan-lahan kritis, baik pada kehutanan, lahan
perkebunan besar, tanah Negara lainnya, lahan milik BUMN/BUMD dan perusahaan
Swasta maupun lahan milik masyarakat;
2.
Melaksanakan kegiatan pemeliharaan tanaman yang sudah ditanam agar tumbuh
dengan baik;
3.
Melaksanakan penyemaian/ pembibitan tanaman tahunan produktif meliputi tanaman
kehutanan, tanaman perkebunan dan tanaman buah-buahan;
4.
Melaksanakan kegiatan lainnya sebagai upaya pemulihan daya dukung dan daya
tampung lingkungan.
Tabel berikut menampilkan upaya reboisasi yang dilakukan di hutan konservasi, hutan lindung,
dan hutan produksi melalui GRLK dan GNRHL sejak tahun 2004 - 2007.
Tabel 5.8
Luas Area Reboisasi di Kawasan Hutan di Jawa Barat Tahun 2004 - 2007(Ha)
1
2
3
Kawasan Hutan
Hutan Konservasi
HUtan Lindung
Hutan Produksi
Jumlah
2004
4,954.00
8,869.60
23,335.99
37,159.59
2005
0
7,426.33
21,777.09
29,203.42
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2008
22
2006
4,004.00
6,447.89
23,720.42
34,172.31
2007
1,488
11,116.36
25,872.91
38,477.27
Kegiatan reboisasi dilakukan merata di seluruh kawasan hutan di Jawa Barat sebagaimana
ditampilkan pada gambar berikut.
Gambar 5.17 Lokasi Reboisasi Kawasan Hutan di Jawa Barat
Sumber: BPLHD Provinsi Jawa Barat
23
Dari data tersebut nampak bahwa dalam 4 tahun terakhir, luas area reboisasi di kawasan
hutan lindung dan hutan produksi relative stabil dari tahun ke tahun, sedangkan di kawasan
hutan konservasi berfluktuasi dari tahun ke tahun.
Ditinjau dari tingkat pencapaiannya, upaya pemulihan kondisi hutan melalui reboisasi nampak
masih jauh dari harapan. Pada tahun 2006 rata-rata pencapaian reboisasi berkisar antara 29 39%, sedangkan pada tahun tingkat pencapaiannya menurun menjadi antara 6 - 32 %. Tingkat
pencapaian reboisasi adalah kemampuan menanam di area lahan kritis.
Tabel 5.9
Tingkat Pencapaian Upaya Pemulihan Kondisi Tutupan Hutan.
2006
2007
Hutan
Konservasi
Hutan
Dan Hutan
Produksi
Jumlah
Hutan
Hutan
Hutan
Konservasi
Lindung
Produksi
Jumlah
Lindung
Luas Hutan
Luas Lahan Kritis di Dalam
433471.4
374775.23
808246.63
173,030.03
260,441.37
374,775.23
808,246.37
34924
59373
94297
21,332.57
34,400.86
95,955.82
151,689.25
10451.89
23,720.42
34,172.31
1,488
11,116.36
25,872.91
38,477.27
29.93%
39.95%
36.24%
6.98%
32.31%
26.96%
25.37%
Hutan
Reboisasi
Tingkat Pencapaian Pemulihan
Tutupan Hutan
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2008
Sedangkan jika ditinjau dari tingkat pencapaian pengembalian kondisi tutupan bisa dilihat dari
kecenderungan luasan area lahan kritis. Sebagaimana sudah diuraikan pada subbab 5.1.3.2
bahwa luasan lahan kritis sempat membaik antara tahun 2003 - 2006 tetapi kemudian
memburuk lagi pada tahun 2007. Sejauh ini tidak diperoleh keterangan terkait dengan “berapa
besar tanaman reboisasi yang berhasil tumbuh dengan baik dan kembali menutupi area hutan
yang kritis”.
Karena pada kenyataannya, kejadian bencana yang diakibatkan oleh menurunnya peran hutan
terus terjadi seperti banjir, longsor, dan kekeringan.
24
5.3.2. Pengalihan Status Hutan
Mengingat peran hutan lindung dan hutan konservasi lebih baik dibandingkan dengan hutan
produksi dalam hal menjaga keseimbangan ekosistem dan tata air, maka di Jawa Barat pernah
dilakukan upaya pengalihan status kawasan hutan dari hutan produksi menjadi hutan lindung
dan hutan konservasi. Upaya ini juga bertujuan untuk mencapai luasan kawasan lindung
sebagaimana yang ditargetkan dalam RTRW Provinsi Jawa Barat 2010.
Tabel 5.10
Upaya Peningkatan Peran Hutan melalui Pengalihan Status Hutan
Lokasi
Status/Fungsi
Luas (Ha)
Semula
Menjadi
Tahura Gunung Kunci, Sumedang
HPT
HL
3,30
Taman Nasional Halimun Salak
HL, HP & HPT
HK
113.357,00
Taman Nasional Gede Pangrango
HP & HPT
HK
21.975,00
Taman Nasional Ciremai
HP & HL
HK
15.500,00
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat.
Dampak Negatif Akibat Menurunnya Peran Hutan di Jawa Barat
5.4.
Dampak negatif yang paling nyata akibat menurunnya peran hutan adalah:
5.5.

Menurunnya debit mata air

Sedimentasi di kawasan hilir (atau muara sungai yang melintasinya)

Meningkatnya peluang terjadinya banjir, kekeringan, dan tanah longsor

Bencana tanah longsor longsor
Kendala Geologi
Kendala geologi adalah kondisi lingkungan pada suatu wilayah yang dapat menghambat
optimalisasi kemampuan dan daya dukung wilayah tersebut untuk dilaksanakannya
pembangunan. Berbagai kendala geologi berupa kebencanaan geologi seperti gempa bumi,
letusan gunungapi, gerakan tanah.
25
Berbagai peristiwa kebencanaan di wilayah Jawa Barat berdasarkan pemantauan yang
dilakukan Dinas Pertambangan Jawa Barat, Badan Geologi dan instansi terkait lainnya adalah
sebagai berikut.
A.
Kerawanan Gempabumi
Gempa bumi disebabkan oleh adanya pelepasan energi regangan elastis batuan pada
litosfir. Semakin besar energi yang dilepas semakin kuat gempa yang terjadi. Terdapat dua
teori yang menyatakan proses terjadinya atau asal mula gempa yaitu pergeseran sesar
dan teori kekenyalan elastis.
B.
Kejadian Gempabumi
Jawa Barat merupakan salah satu bagian wilayah di Indonesia yang mempunyai sistem
seismotektonik yang kompleks dengan frekuensi kejadian gempabumi cukup tinggi.
Fenomena tersebut disebabkan posisi Jawa Barat terletak pada wilayah pertemuan dua
lempeng besar (benua) yang secara terus-menerus bergerak yaitu lempeng aktif HindiaAustralia dan Eurasia. Menurut Beca Carter Holling,1979, berdasarkan karakteristik
seismotektoniknya, wilayah Jawa Barat terdiri dari busur sangat aktif dengan tepi benua
aktif dan busur aktif dengan punggungan aktif. Wilayah Jawa Barat bagian selatan dapat
terlanda gempabumi berkekuatan ≥ 6 Ms (peta frekuensi kejadian gempabumi dangkal
dan bersifat merusak, dari Beca Carter Holling,1979).
Dalam lima tahun terakhir sejak 2003 di Jawa Barat telah terjadi beberapa kejadian
gempabumi merusak diantaranya:

Gempabumi Kuningan tanggal 21 Maret 2003, Pusat gempabumi terletak pada
koordinat 6,520 Lintang Selatan - 108029’23” Bujur Timur, kedalaman kurang dari 10
meter dengan magnitute 4,8 pada skala Richter. Intensitas gempabumi maksimum
tercatat IV-V pada skala MMI. Kejadian gempabumi ini menimbulkan kerusakan
bangunan di Desa Cilimus, Caracas, Sampora, Kaliaren dan Cibeureum Kecamatan
Cilimus, Kabupaten Kuningan. Kerusakan bangunan terjadi juga di Desa
Pangembangan, Trijaya dan Randubawagirang di Kecamatan Mandirancan,
Kuningan.

Gempabumi Lembang-Bandung tanggal 11 Juli 2003, pusat gempabumi terletak
pada koordinat 6,730 Lintang selatan - 107081’ Bujur Timur, kedalaman pusat
26
gempabumi 10 kilometer dengan kekuatan gempa 4,2 pada skala Richter. Intensitas
maximum tercatat III pada skala MMI. Gempabumi ini menimbulkan satu benteng
roboh di Desa Cihideung, Lembang. Selain itu dirasakan juga oleh masyarakat Kota
Bandung.

Gempabumi Pasirwangi Kabupaten Garut tanggal 2 Februari 2005, pusat gempa
terletak pada koordinat 702’ Lintang Selatan - 10807’ Bujur Timur, kedalaman 10
kilometer, kekuatan gempa 4,2 pada skala Richter. Intensitas maksimum tercatat V
pada skala MMI. Terjadi kerusakan bangunan di Kecamatan Pasirwangi, Cisurupan,
Sukaresmi dan Samarang Kabupaten Garut serta di Kecamatan Kertasari Kabupaten
Bandung.

Gempabumi Gunung halu kabupaten Bandung, tanggal 15 April 2005, pusat gempa
terletak pada koordinat 7019’ Lintang Selatan - 107045’ Bujur Timur, kedalaman 5
kilometer, kekuatan gempa 5 pada skala Richter. Intensitas maksimum tercatat V
pada skala MMI. Terjadi kerusakan bangunan pada 139 rumah penduduk, sekolah
dan prasarana ibadah di Desa Gunung Halu, catat dan Sirnajaya.

Gempabumi Pangandaran tanggal 17 Juli 2006, ialah gempa bumi berkekuatan 7,2
pada skala Richter di lepas pantai Jawa Barat, Indonesia. Gempa bumi ini
menyebabkan tsunami setinggi 2 - 7 meter yang menghancurkan rumah di pesisir
selatan Jawa, membunuh setidaknya 659 jiwa. Tsunami itu menghantam desa-desa
di pesisir selatan Jawa di Cipatujah, Tasikmalaya dan Pangandaran, Ciamis.

Gempabumi Indramayu tanggal 9 Agustus 2007, adalah gempa bumi dengan
kekuatan 7,5 pada Skala Richter. Hampir sebagian besar pulau Jawa, sebagian kecil
pulau Sumatera dan Bali. Gempa bumi ini juga dapat dirasakan di beberapa wilayah
di Malaysia. Pusat gempa terletak pada kedalaman 290 km di bawah permukaan laut
75 km barat kota Indramayu, Jawa Barat.

Gempa Bumi Sukabumi tanggal 2 Desember 2007, berdasarkan data dari Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMG), gempa yang terjadi sekitar pukul 06.01 WIB
dengan kekuatan 6 SR berada di lokasi 7047’ lintang selatan (LS), 105072’ bujur timur
(BT) atau 146 Km Barat Daya Sukabumi, Jawa Barat. Sangat dirasakan oleh sebagian
masyarakat Sukabumi, baik Kota Sukabumi maupun Kabupaten Sukabumi, seperti
Pelabuhanratu. Meski demikian gempat tersebut tidak membuat warga panik,
27
pasalnya gempa yang dirasakan tidak begitu besar dan hanya berlangsung sekitar
lima detik.
Gempa Bumi dapat terjadi dimana saja dan terhadap siapa saja tanpa pandang bulu,
dengan demikian kita perlu mengetahui bagaimana menghadapinya sesuai dengan
situasional saat kita berada.
C.
Kerawanan Gerakan Tanah (Longsor)
Wilayah Jawa Barat Selatan sebagian besar merupakan wilayah yang rawan untuk
terjadinya gerakan tanah, secara umum merupakan daerah perbukitan dan pegunungan
yang terjal dan dibentuk oleh batuan gunungapi, sedimen vulkanik dan sedimen marin,
yang keadaannya telah melapuk tinggi, terlipat dan tersesarkan. Sebagai pemicu
terjadinya gerakan tanah, disamping faktor-faktor geologi tersebut, sebagian wilayah ini
tidak bervegetasi penutup (hampir gundul), sehingga tidak mempunyai akar tanaman
sebagai penguat lapisan tanah. Kondisi lereng tersebut dapat menjadi lebih stabil, pada
saat lahan yang ada diolah menjadi areal pesawahan basah, yang mengakibatkan tanah
menjadi selalu jenuh air, gembur dan mudah runtuh.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung baru saja merilis data
dan peta wilayah yang memiliki potensi gerakan tanah/longsor di Indonesia untuk periode
Desember 2007. Wilayah Jawa Barat terdapat 12 Kabupaten/Kota yang berpotensi dan
rawan gerakan tanah. Tercatat 231 Kecamatan dari 12 Kabupaten/Kota tersebut dimana
16 Kecamatan memiliki potensi gerakan tanah tinggi, 84 Kecamatan potensi Menengah Tinggi dan 131 Kecamatan dengan potensi gerakan tanah Menengah.
28
Gambar 5.18 Peta Kerentanan Gerakan Tanah
Sumber: Pusat Lingkungan Geologi
D.
Kerawanan Tsunami
Tsunami dapat dideskripsikan sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang
ditimbulkan oleh suatu gangguan impulsif yang terjadi pada medium laut, akibatnya
timbul gaya impulsif yang bersifat sementara (transien). Selain bersifat transien, tsunami
juga bersifat nondispersive, artinya kecepatan fasa gelombang tidak bergantung pada
panjang gelombang. Tsunami mempunyai panjang gelombang yang besar sampai 100 km,
lintasan partikel berbentuk elips dengan amplitudo lebih kurang 5 m. kecepatan rambat
gelombang tsunami di laut dalam mencapai antara 500 m sampai 1000 km/jam.
Bila melihat sejarah, zona subduksi Jawa memiliki potensi magnitude lebih rendah
dibandingkan dengan zona subduksi Sumatera yang rata-rata di atas 8 skala Richter (SR).
Sedangkan waktu terjadinya gempa pun di Jawa lebih kecil dibandingkan Sumatera. Selain
itu lempeng Jawa pun sudah tua, berusia di atas 150 juta tahun. Gerakan tektoniknya pun
berat sehingga tidak terlalu menekan ke arah Pulau Jawa. (Danny Hilman Natawijaya,
Pakar geoteknologi dari PuslitGeotek - LIPI). Dari data seismik yang dikeluarkan oleh
29
USGS, menunjukkan kejadian gempa di Jawa Barat Selatan dari tahun 1900 - 2002 ratarata terjadi dengan magnitudo diatas 6 SR dan kedalaman kurang dari 70 km atau
termasuk kategori gempa bumi dangkal.
Gambar 5.19 Wilayah yang Terkena Dampak Tsunami Jawa Selatan
Sumber: Pusat Lingkungan Geologi
Selain saran pengembangan tata ruang pada wilayah resiko bencana, juga perlu dilakukan
mitigasi bencana tsunami nonfisik, antara lain menyusun pedoman mitigasi bencana alam
di wilayah pantai, pendidikan, pelatihan, dan simulasi mitigasi bencana tsunami kepada
masyarakat pesisir, penyebaran informasi berupa buklet dan brosur, penyuluhan dan
sosialisasi upaya mitigasi bencana tsunami, serta pengembangan sistem peringatan dini
adanya bahaya tsunami.
E.
Kerawanan Letusan Gunung Berapi
Kawasan rawan bencana gunung berapi adalah kawasan dengan jarak atau radius
tertentu dari pusat letusan yang terpengaruh langsung dan tidak langsung dengan tingkat
kerawanan tinggi, dan kawasan berupa lembah yang sering menjadi daerah aliran lahar
dan atau lava.
30
Kawasan rawan bencana gunung berapi di Jawa Barat yaitu:

Kawasan Gunung Salak, terletak di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi

Kawasan Gunung Gede Pangrango, terletak di Kabupaten Bogor, Kabupaten
Cianjur dan Kabupaten Sukabumi

Kawasan Gunung Halimun, terletak di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi

Kawasan Gunung Tangkubanparahu, terletak di Kabupaten Bandung dan
Kabupaten Subang

Kawasan Gunung Papandayan, terletak di Kabupaten Garut dan Kabupaten
Bandung

Kawasan Gunung Galunggung, terletak di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten
Garut

Kawasan Gunung Guntur, terletak di Kabupaten Garut;

Kawasan Gunung Ciremai, terletak di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten
Majalengka.
Tabel 5.11
Analisis State, Pressure dan Response untuk Aspek Lahan dan Hutan
No.
1.
a.
State
Kebencanaan
Gerakan / longsor
Dalam kurun waktu
tahun 2001 - 2005
terjadi
bencana
longsor
di
beberapa daerah di
Jawa Barat.
Pressure
Penyebab alami:
 Bentuk bentang alam
(lereng, dll)
 Kestabilan tanah
 Jenis batuan / tanah
Penyebab akibat perilaku
manusia:
 Pembukaan lahan tertutup
vegetasi
 Pertanian tanpa
terassering
 Pemotongan lereng,
penggalian tebing curam,
penimbunan, dll.
b.
Penurunan Tanah
Cekungan Bandung
telah mengalami
penurunan muka
tanah.
Penyebab alami:
 Sifat geologi teknik (jenis
batuan, jenis tanah,dll).
 Beban tanah sendiri.
Penyebab non alami:
 Beban bangunan di atas
tanah
 Pengambilan air bawah
31
Response
Response (Sudah dilakukan):
Dalam proses perencanaan tata
ruang skala besar (> 1:100.00),
selalu mempertimbangkan daya
dukung lahan dan memberi arahan
pemanfaatan
ruang
dengan
mendeliniasi kawasan lindung,
dawasan budidaya, dan kawasan
rawan bencana.
Usulan:
Proses pemanfaatan ruang /
pembangunan hendaknya selalu
mempetimbangkan daya dukung
lahan setempat.
Response:
-
No.
c.
State
BanjirdanKekeringan
Banjir:
 Daerah
Panturan
merupakan
daerah yang
dataran banjir
(flood plain)
yang rawan
terhadap
banjir.
 Daerah
cekungan di
pegunungan
bagian tengah
Jawa Barat juga
merupakan
daerah yang
berpotensi
mengalami
banjir.
Kekeringan:
 Kekeringan
paling parah
terjadi di
Kabupaten
Indramayu.
Pressure
tanah yang berlebihan.
Penyebab alami:
 Curah hujan tinggi
 Pasang surut air laut
(untuk daerah pantai)
 Bentuk bentang alam
Response
Usulan:
Fenomena
ini
hendaknya
dimasukkan
sebagai
bahan
pertimbangan
dalam
proses
perencanaan tata ruang.
Response (sudah dilakukan):
 Gerakan Rehabilitasi Lahan
Kritis (GRLK)
 Gerakan Nasional Rehabilitasi
Hutan Lindung (GNRHL)
 Pengalihan status hutan
Penyebab akibat perilaku
manusia:
 Sedimentasi sungai.
 Pemanfaatan sempadan
sungai untuk kegiatan lain.
 Konversi lahan konversi
menjadi lahan yang tidak
bisa menyerap air dan
bahkan menjadi lahan
kritis.
 Kapasitas badan air yang
tidak dipelihara.
 Penurunan muka tanah
(land subsidence).
Usulan:
1. Harus dicari formulasi yang
tepat untuk penanganan hutan
secara terpadu:
• Hulu – hilir dalam satu
management pengelolaan
sungai.
• Terpadunya kegiatan /
program antar sektor yang
terkait dengan masalah
banjir / kekeringan
seperti:
 Lembaga pemerintah:
Dinas kehutanan
(BPDAS, BKSDA), Dinas
PU Pengairan, Dinas
Pertanian, Bappeda, dll.
 Pelaku usaha / swasta
 Masyarakat
2. Penanganan banjir dan
kekeringan harus disertai
dengan penyediaan SDM,
pendanaan, dan management
yang memadai dengan disertai
good will.
32
No.
2.
Hutan dan Lahan
Kritis
State
Kondisi Lahan dan
Huta
n
2007:
Luasan Hutan:
Luas hutan lindung
dan
hutan
konservasi
maih
jauh dari target
yang
ditetapkan
dalam RTRW Prov.
Jawa Barat 2010.
Luas kawaan hutan
produksi melebihi
ketentuan
yang
ditargetkan dalam
RTRW Prov. Jawa
Barat 2010.
Ketentuan UU no.
26/2007 tentang
Penataan Ruang:
Luas hutan di Jabar
minimal
seharusnya
1.199.626,843 Ha
Lahan Kritis
Luas lahan kritis di
wilayah
hutan
sempat mengalami
penurunan antara
tahun 2003 - 2006,
tetaapi
tahun
2007kembali
meningkat.
Pressure
Luas kawasan hutan lindung
dan konservasi yang berada
jauh di bawah target RTRW
disebabkan oleh pembukaan
hutan yang terjadi jauh
sebelum tahun 2000. Sejak
tahun 2000 sampai tahun
2007, luas kawasan hutan
terus bertambah walaupun
peningkatannya sedikit.
Response
Response:
Lahan kritis ditangani melalui
gerakan rahabilitasi lahan berupa:
 Gerakan Nasional Rehabilitasi
Hutan Lindung (GNRHL),
dilakukan di hutan lindung.
 Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis
(GRLK), dilakukan di luar kaw.
Hutan lindung.
Lahan kritis juga terjadi jauh
sebelum tahun 2000.
Penyebabnya adalah :
 Konversi lahan dari lahan
tertutup vegetasi menjadi
lahan terbangun, tetapi
tidak dilakukan langsung,
melainkan lahan dibiarkan
terbengkalai dalam waktu
yang lama.
 Gangguan terhadap
tegakan tanaman hutan
berupa:
• Pencurian kayu
• Kebakaran
• Perambahan hutan
Dampak :
Kurangnya proporsi
luas hutan dan
lahan
kritis
menyebabkan
dampak-dampak
sebagai berikut:
 Lahan menjadi
kurang subur
 Berpotensi
longsor di
daerah
perbukitan
 Berpotensi
menimbulkan
banjir di bagian
hilir.
33
Usulan:
Mengembalikan
fungsi
RTRW
(termasuk rencana ruang berskala
besar) sebagai satu-satunya alat
pengendali pemanfaatan ruang.
Download