LAPORAN KEGIATAN SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MITIGASI KEBENCANAAN SEBAGAI BENTUK KEPEDULIAN BERSAMA TERHADAP PENGURANGAN RESIKO BENCANA DI PROVINSI JAWA BARAT Kegiatan Seminar dan Lokakarya dilaksanakan pada hari selasa, 11 Mei 2010 di Aula Gedung JICA FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia. Kegiatan tersebut dihadiri oleh 167 peserta dan 20 orang tamu undangan. Peserta terdiri atas guru dan mahasiswa, sedangkan undangan berasal dari Badan Geologi, Dinas Pendidikan Jawa Barat, BPLHD Jabar, LIPI, UNESCO Jakarta, IBU Foundation, UNMA Banten, Pikiran Rakyat, dan sejumlah pejabat di lingkungan kampus UPI Bandung. Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh pentingnya pendidikan mitigasi kebencanaan bagi masyarakat, khususnya dunia pendidikan pada berbagai jalur dan jenjang pendidikan. Selama ini peristiwa bencana alam telah menimbulkan banyak korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang cukup parah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat belum memiliki kesiapan menghadapi bencana alam yang seringkali datang secara tiba-tiba. Jawa Barat sebagai salah satu propinsi di Indonesia memiliki potensi bencana alam yang cukup besar . Secara geografis Indonesia terletak di daerah katulistiwa dengan morfologi yang beragam dari daratan sampai pegunungan tinggi. Keragaman morfologi ini banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas pergerakan lempeng tektonik aktif di sekitar perairan Indonesia diantaranya adalah Lempeng Eurasia, Australia dan Lempeng Dasar Samudera Pasifik. Pergerakan lempeng-lempeng tektonik tersebut menyebabkan terbentuknya jalur gempabumi, rangkaian gunung api aktif serta patahan –patahan yang dapat berpotensi menjadi sumber gempa. Jawa Barat termasuk salah satu wilayah yang memiliki kerawanan bencana tinggi. Kondisi ini dipengaruhi oleh tatanan geologi yang kompleks, sehingga rawan dengan bencana geologi gempa bumi. Berdasarkan catatan sejarah gempabumi merusak di Indonesia yang disusun oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) di wilayah Jawa Barat pernah terjadi sedikitnya 29 kali bencana gempabumi dengan kategori merusak terutama yang bersumber di 1 darat sejak tercatat tahun 1883 sampai sekarang. Sebagian dari daerah – daerah yang rawan mengalami bencana geologi gempabumi berada pada wilayah padat penduduk seperti Bogor, Cianjur, Pelabuhanratu-Sukabumi, Rajamandala-Padalarang, Ciamis-Kuningan SumedangMajalengka, Tasikmlaya, Bandung dan hampir seluruh wilayah pegunungan Jawa Barat Selatan. Selain gempa, Jawa Barat juga memiliki potensi bencana longsor, banjir, kekeringan, tsunami yang tergolong tinggi. Gerakan tanah berupa longsor, misalnya, dengan segenap risikonya mengancam Jawa Barat. Kondisi tersebut selain disebabkan oleh faktor geologi seperti banyaknya perbukitan yang terjal, endapan vulkanik muda yang belum terpadatkan dengan tingkat pelapukan tinggi, dan dinamika bumi yang aktif, juga disebabkan tingginya curah hujan, kepadatan penduduk, pemukiman, dan tata ruang yang kurang baik. Pada saatnya terjadi bencana berbagai risiko mengancam penduduk, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa seperti dialami oleh penduduk di Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung pada 23 Februari 2010. Upaya untuk mengurangi dampak bencana yaitu dengan melakukan kegiatan yang disebut Mitigasi Bencana sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 . Ditegaskan pula dalam undang-undang tersebut bahwa pendidikan menjadi salah satu faktor penentu dalam kegiatan pengurangan risiko bencana. Karena setiap orang harus mengambil peran dalam kegiatan pengurangan risiko bencana maka sekolah dan komunitas di dalamnya juga harus memulai mengenalkan materi-materi tentang kebencanaan sebagai bagian dari aktifitas pendidikan keseharian. Tujuan kegiatan seminar nasional tentang Pendidikan Mitigasi Kebencanaan Sebagai Bentuk Kepedulian Bersama Terhadap Pengurangan Resiko Bencana di Provinsi Jawa Barat adalah: 1. Meningkatkan pengetahuan dan wawasan peserta seminar, khususnya kalangan pendidik tentang pendidikan mitigasi bencana alam. 2 2. Meningkatkan peran dan perhatian berbagai lembaga terkait, khususnya UPI, dalam hal kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana alam. 3. Memperoleh berbagai ide atau gagasan dari berbagai lembaga terkait dengan pendidikan mitigasi bencana alam. 4. Meningkatkan kesadaran dan kepedulian bersama tentang pentingnya pendidikan mitigasi bencana alam bagi masyarakat di daerah rawan bencana alam. 5. Mensosialisasikan pendidikan mitigasi bencana alam pada masyarakat, khususnya dunia pendidikan/persekolahan. 6. Merancang konsep pendidikan mitigasi bencana alam dan sekaligus rencana aksinya. 7. Menggalang kerjasama antar lembaga dalam kerangka peningkatan kesiapsiagaan menghadapi bencana alam melalui pendidikan mitigasi bencana alam. Kegiatan Semiloka dibuka oleh Dekan FPIPS, Prof. Dr. Idrus Affandi. Beliau menjelaskan bahwa Indonesia, khususnya Jawa Barat, rawan terhadap bencana alam. Beliau memberikan apresiasi terhadap Jurusan Pendidikan Geografi dan berbagai pihak lainnya yang telah mendukung kegiatan semiloka pendidikan kebencanaan. Sementara itu, Keynote speaker Dr. Achmad Djumarna Wirakusumah (Kepala Survei Geologi Kementrian Energi Sumberdaya dan Mineral) mengatakan bahwa pendidikan mitigasi penting untuk disampaikan mengingat besarnya dampak geologi, bencana tidak bisa diramal, bencana bersifat mendadak, serta dalam waktu yang relative singkat dapat merenggut keselamatan manusia. Pembicara Pertama: Ardito Kodijat, M. Arch (UNESCO Jakarta) Beliau memberikan gambaran tentang institusi UNESCO Jakarta dan berbagai program yang telah dan akan dilakukan. Pengurangan Resiko Bencana (PRB)/Dissaster Risk Reduction (DRR) UNESCO Jakarta focus pada kegiatan yang berkaitan dengan aksi utama HFA, mengembangkan dan mendukung ketahanan masyarakat melalui pendidikan ilmu pengetahuan, budaya, informasi, bekerjasama dengan semua pihak seperti UN agencies, NGO dan INGO, pemerintah, 3 IFRC, Palang Merah dan lain-lain melalui platform yang berbeda, bermitra dengan pemerintah pusat dan daerah, fokus pada pengembangan model. Komponen utama yang terkait kesiapan menghadapi bencana alam dan perubahan iklim terdiri atas beberapa komponen. Komponen 1: pengembangan konsep Komponen 2: Pengembangan kapasitas pada tingkat local, regional dan nasional. Komponen 3: Pengembangan model, implementasi dan demonstrasi program percontohan Komponen 4: Informasi, diseminasi dan kesadaran. Program utama terkait dengan kesiapan menghadapi bencana adalah: a. Penguatan Ketahanan Masyarakat /Enpowering Community Resilience (EcoRes) b. Pusat Informasi Tsunami Jakarta/Jakarta Tsunami Information Centre (JTIC) c. Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Sekolah/School –Based Disaster Preparadness Pak Ardito memaparkan kegiatan yang tekah dilakukan oleh UNESCO Jakarta, yaitu: a. Dalam bidang pendidikan: - Pendirian Pusat Pelatihan Sukarelawan - Sistem Penilaian Pasca Bencana untuk sektor pendidikan b. Dalam bidang sains: - Mengembangkan dan memperkuat stasiun gempa untuk Sistem Peringatan Dini Tsunami/Tsunami Early Warning System (TEWS) - Koordinasi internasional untuk TEWS - Pendirian Jakarta Tsunami Information Centre Beliau juga menyebutkan produk atau output yang telah dihasilkan oleh UNESCO Jakarta, termasuk yang terkait dengan pendidikan: - Pengembangan Jakarta Tsunami Information Centre - Alat penilaian kebencanaan - Bahan-bahan pelajaran terkait dengan bencana alam - Video untuk pelatihan singkat mengenai kesiapan menghadapi bencana alam - Bahan-bahan untuk menumbuhkan kesadaran bencana seperti leaflet, foster, stiker dan lain-lain - Capacity Building 4 Pembicara kedua: Eko Yulianto, PhD Indonesia, menurut beliau memiliki dua sisi mata uang, yaitu satu sisi dianugrahi keindahan alam dengan kekayaan sumberdaya alam di dalamnya dan di sisi lain kaya akan potensi bencana alam. Sayangnya, pendidikan di kita selama ini lebih banyak membahas tentang keindahan dan kekayaan alam Indonesia. Beliau menjelaskan penyebab dan proses terjadinya bencana alam di Indonesia, khususnya gempa bumi, tsunami, longsor, dan letusan gunungapi. Patahnya kerak bumi menimbulkan gempabumi. Jika kerak yang patah itu mencapai permukaannya yang berada di bawah laut maka akan memicu gelombang tsunami. Saat ini, gempabumi terjadi rata-rata 2 hingga 15 kali sehari di seluruh wilayah Indonesia. Seringnya terjadi gempabumi menyebabkan tsunami juga sering melanda wilayah Indonesia. Beliau juga menjelaskan tentang terumbu karang yang dapat menyimpan data tentang peristiwa gempa bumi di suatu wilayah. Terumbu karang, terutama genus Porites punya kemampuan mencatat kejadian gempabumi di masa lalu karena gempabumi itu kadang mengangkatnya ke atas permukaan, tapi kadang menenggelamkannya lebih jauh ke dalam air laut. Beliau menjelaskan pula tips untuk terhindar dari gempa bumi. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menemukenali sumber-sumber ancaman bencana di sekitar rumah kita atau di sekitar tempat kita berada yang dapat muncul akibat guncangan gempabumi. Mengidentifikasi kelemahan-kelemahan dan sumber bencana potensial di dalam rumah adalah langkah kedua yang harus dilakukan. Menyiapkan rencana kesiapsiagaan adalah langkah ketiga yang harus dilakukan. Kesiapsiagaan adalah tindakan-tindakan tepat yang harus dilakukan ketika guncangan gempabumi terasa. Beliau juga menekankan bahwa standar untuk menyelamatkan diri dari bencana belum dikembangkan secara spesifik di Indonesia mengingat standar yang ada sekarang mengacu pada negara lain, khususnya jepang yang memiliki kualitas bangunan yang berbeda dengan Indonesia. Pendeknya, belum ada tindakan yang dapat digunakan sebagai rekomendasi standar dalam penyelamatan diri terhadap gempabumi di Indonesia. Dengan demikian sangat baik jika kita berhati-hati dan waspada terhadap bangunan dimana kita berada. Jika kita tahu bangunan itu ramah atau tahan gempa, berlindung di bawah meja adalah tindakan yang sangat baik. Jika kita tidak tahu, kita harus mencari tahu 5 sebelumnya. Jika tetap tidak tahu, semuanya terserah kita karena berada di bawah meja dan secepatnya berusaha keluar bangunan bisa jadi memiliki risiko yang sama: kematian. Pembicara ketiga: Dr. Setiawan Wangsaatmadja (Kepala BPLHD Jawa Barat) Kepala BPLHD Jawa Barat membahas konsep penanganan bencana secara holistik. Beliau memaparkan berbagai ancaman bencana yang ada di Jawa Barat yaitu ancaman geologi, ancaman lingkungan, ancaman iklim dan ancaman sosial. Beliau menjelaskan tahapan penanggulangan bencana yang terdiri atas tiga tahapan yaitu pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana. Pada tahap pra bencana dilakukan sejumlah kegiatan diantaranya pembuatan peta rawan dan resiko bencana serta evakuasi, penyuluhan, penyiapan anggaran dan lain-lain. Pada tahapan tanggap darurat dilakukan tinjauan lokasi secara cepat, penentuan status keadaan darurat, dan lain-lain. Pada tahap pasca bencana dilakukan rehabilitasi dan rekronstruksi fisik, pemulihan kondisi mental dan spiritual korban dan lain-lain. Kepala BPLHD menjelaskan lingkup data base dalam hal kebencanaan, yaitu alam/geologi, iklim, biologi, teknologi, lingkungan buatan. Database tersebut menjadi bahan dalam menganalisis kerentanan bencana. Jika data tersebut dikaitkan dengan sosial, ekonomi , sarana prasarana, lingkungan dan aparat, maka dapat ditentukan resiko bencana. Kepala BPLHD juga menekankan perlu adanya perubahan paradigma dalam penanggulangan bencana yaitu dari respon darurat ke manajemen resiko, kewajiban pemerintah menjadi hak azasi masyarakat dan tanggung jawab pemerintah menjadi urusan bersama. Perubahan paradigm ini merupakan konsep manajemen bencana berbasis komunitas yang mengarah pada kemandirian penanggulangan bencana. Dalam hal ini, BPLHD menyusun rencana aksi kemandirian penanggulangan bencana yaitu: 1. Gerakan budaya sadar bencana dan hidup harmoni dengan bencana 2. Peningkatan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang potensi, resiko, dan langkah mitigasi bencana sampai tingkat lokal 3. Implementasi pembangunan yang berbasis kearifan lokal, konservasi dan mitigasi bencana 4. Penataan kembali tata letak permukiman dan struktur bangunan agar ramah bencana 6 5. Penataan dan penggalangan dana berbasis komunitas dan pembiayaan kebencanaan yang berkesinambungan dan mandiri 6. Pengembangan jejaring komunitas dan pranata sosial peduli bencana dan konservasi lingkungan di tingkat lokal 7. Pengembangan sistem peringatan dini berbasis masyarakat 8. Pengembangan prosedur tetap tanggap darurat berbasis masyarakat 9. Pengembangan asuransi kebencanaan 10. Pengembangan program pemulihan psiko sosial ekonomi masyarakat Pembicara ke empat: Prof. Dr. Nursid Sumaatmadja (Guru Besar Geografi UPI) Beliau menekankan pentingnya peran guru, khususnya guru geografi dan IPA, sebagai sumber informasi dan penggerak masyarakat untuk mengurangi resiko bencana. Karena itu, guru harus memiliki pengetahuan, ilmu dan informasi dari berbagai sumber yang berkaitan dengan pengurangan resiko bencana. Bencana memiliki berbagai jenis dan factor penyebab. Bagi petani, kegagalan panen, merupakan sebuah bencana. Begitu pula dengan bencana lingkungan akibat membuang sampah sembarangan, sehingga menimbulkan penyakit pada manusia. Pada jaman dulu, orang tua menggunakan instrument tabu, pantangan atau angker yang cukup efektif mencegah terjadinya kerusakan hutan. Saat ini diperlukan pendekatan yang agak lain dan menjadi tantangan bagi guru untuk menjelaskan pada siswa agar mereka tidak merusak lingkungan secara rasional. Guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan pada siswa tetapi juga melakukan kegiatan nyata bersama siswa, misalnya menanam tanaman di lingkungan sekolah. Pak Nursid juga mengkaitkan kebencanaan dengan aspek kependudukan. Jumlah dan pertumbuhan penduduk yang tinggi menjadi salah satu factor yang memicu terjadinya kerusakan lingkungan, sehingga menimbulkan bencana. Karena itu, para guru juga memiliki peran untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya keluarga berencana. Hal lain yang disinggung adalah tentang pemanfaatan teknologi informasi untuk menambah dan memperluas wawasan guru tentang pengurangan resiko bencana. Informasi tersebut sebaiknya disebarluaskan oleh guru tidak hanya ke siswa tetapi juga ke masyarakat. Pembicara kelima : Dr. Syarif Hidayat, M.Pd. (Pemerintah Jawa Barat) 7 1. Beliau memaparkan kebijakan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) di Jawa Barat. Kebijakan pemerintah jawa barat tentang pendidikan lingkungan hidup tertuang dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 25 Tahun 2007 Tanggal 27 April 2007 Tentang Pedoman Pelaksanaan Muatan Lokal Pendidkikan Lingkungan Hidup Ruang lingkup meliputi : 1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar TK/RA; 2. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SD/MI; 3. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMP/MTs; 4. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMA.MA/SMK 2. Materi pengetahuan yang dikembangkan dlm mulok PLH di Jawa Barat adalah: a. Konsep Dasar Lingkungan Hidup; b. Pelestarian dan Pengembangan Sumberdaya Alam; c. Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan ; d. Pengelolaan, Pemanfaatan, Penataan, Pengembangan, Pemeliharaan dan Pemulihan Lingkungan Hidup (Pembibitan, Penanaman, Pemeliharaan dan Pengawasan LH, Ketertiban, Kebrsihan dan Keindahan dan Sanitasi Lingkungan (Endemi, Flu burung, Cikungunyah, DBD dll); e. Peranan / Pemanfaatan Teknologi ramah lingkungan dalam kehidupan; f. Bencana Alam dan Penanggulangannya; g. Pengelolaan Lingkungan Sosial Budaya; h. Pemanfaatan Terknilogi Informasi dalam manajemen pengelolaan lingkungan hidup. 3. Beliau menjelaskan tantangan PLH di Jawa Barat yaitu: Guru yang kompeten, Bahan Ajar/Buku sumber, Media Pembelajaran , Penambahan jam pelajaran, Komitmen, Sikap mental, Penegakan hukum . Alternatif solusi yang disampaikan adalah a. Dibuka Program Studi atau Mata kuliah PLH di LPTK b. Diklat PLH bagi Guru Mata Pelajaran yang relevan c. Seminar, Workshop, Simposium d. Penyediaan Sarana Pendukung Pembelajaran PLH pada jalur Pendidikan Formal dan Nonformal e. Sosialisasi, Kampanye dan Lomba, 8 f. Penanaman budaya hidup serasi dengan lingkungan g. Pemberian Hukuman bagi yang melanggar dan Penghargaan bagi yang berjasa di bidang LH Pembicara keenam: Dr. Asep Hilman, M.Pd. (Kepala Bidang Dikmenti Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat) Beliau memaparkan kondisi geografis Jawa Barat yang rentan terhadap bencana alam sebagai latar belakang pembahasannya. Berbagai peristiwa bencana alam di Jawa Barat membuktikan hal tersebut. Biasanya bencana alam memakan korban terutama anak-anak, baik pada saat di rumah maupun di sekolah. Beliau menjelaskan bahwa di Jawa Barat materi tentang bencana alam telah masuk pada kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) sebagai muatan lokal untuk Jawa Barat. Materi tersebut masuk pada berbagai jenjang dari SD sampai SMA. Dalam pemaparannya beliau menjelaskan tentang kronologis dan dasar hukum pengembangan PLH yang dimulai sejak tahun 1986 melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah memasukkan pendidikan kependudukandan lingkungan hidup (PKLH) ke dalam pendidikan formal. Sejak tahun 1989/1990 hingga saat ini berbagai pelatihan tentang lingkungan hidup telah diperkenalkan oleh Departemen Pendidikan Nasional bagi guruguru SD, SMP dan SMA termasuk Sekolah Kejuruan. Di tahun 1996 terbentuk Jaringan Pendidikan Lingkungan (JPL) antara LSM-LSM yang berminat dan menaruh perhatian terhadap pendidikan lingkungan. Hingga tahun 2004 tercatat 192 anggota JPL yang bergerak dalam pengembangan dan pelaksanaan pendidikan lingkungan. Sejalan dengan itu, telah terbit Memorandum Bersama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 0142/U/1996 dan No Kep: 89/MENLH/5/1996 tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup, tanggal 21 Mei 1996. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Depdikbud juga terus mendorong pengembangan dan pemantapan pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup di sekolah-sekolah antara lain melalui penataran guru, penggalakkan bulan bakti lingkungan, penyiapan Buku Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) untuk Guru SD, 9 SLTP, SMU dan SMK, program sekolah asri, dan lain-lain. Pada tanggal 5 Juli 2005, Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan SK Bersama nomor: Kep No 07/MenLH/06/2005 dan No. 05/VI/KB/2005 untuk pembinaan dan pengembangan pendidikan lingkungan hidup. Pembicara ketujuh: Hidayat Suryadilaga Beliau melihat bencana dari sisi seni budaya. Kearifan local tergambar dari hasil karya seni budaya dalam berbagai bentuk. Beberapa karya seni budaya yang ada kaitannya dengan bencana dikutip oleh beliau seperti seni jemblungan , pupuh, rampak sekar. Tindak lanjut acara Semiloka Pendidikan Kebencanaan adalah: 1. Perlunya pelatihan bagi para guru tentang mitigasi kebencanaan, mengingat masih terbatasnya kemampuan mereka. 2. Diperlukan modul atau bahan ajar yang mudah untuk digunakan oleh para guru. lampiran: Gambar Ketua panitia (Ir. Yakub Malik, M.Pd.) sedang menyampaikan laporan 10 Gambar Penyerahan plakat dari Dekan FPIPS, Prof. Dr. Idrus Affandi, S.H. kepada Keynote speaker, Bapak Dr. Achmad Djumarna Wirakusumah Gambar Keynote speaker Bapak Dr. Achmad Djumarna Wirakusumah mewakili Badan Geologi 11 Gambar Suasana seminar dan lokakarya pendidikan mitigasi kebencanaan Gambar Pemateri pada diskusi panel sesi pertama 12 Gambar Pemateri pada diskusi panel sesi pertama 13 14 15 16 17 18