INTISARI Institusi sosial merupakan bagian reproduksi budaya, di dalamnya bersemai pengetahuan, norma, perilaku yang dapat memfasilitasi berbagai tindakan bersama di masyarakat. Dalam rangka pengembangan masyarakat berbasis dinamika internal, institusi sosial di lingkungan masyarakat penghuni rusunawa merupakan media partisipasi, perumusan perencanaan lokal, sarana identifikasi kebutuhan, serta peningkatan kesadaran dan komitmen masyarakat dalam mewujudkan visi bersama. Namun demikian, tidak mudah bagi masyarakat penghuni rusunawa memanfaatkan institusi sosial sebagai sarana pengembangan masyarakat. Hal ini dikarenakan keberadaan institusi sosial seringkali melakukan eksklusi terhadap inisiatif, pemikiran dan nilai-nilai yang membuka peluang untuk keluar dari keterbatasan. Penelitian ini untuk mengidentifikasi institusi sosial di lingkungan masyarakat penghuni Rusunawa Dabag, Desa Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta. Pemilihan lokasi dilakukan mengingat keberadaan Rusunawa Dabag yang merujuk pada pandangan modernisasi lingkungan fisik dianggap belum cukup responsif dan adaptif dalam memfasilitasi aspirasi dan kepentingan masyarakat penghuninya. Penelitian ini menekankan pada pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif analitis, dengan metode pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan observasi partisipan untuk mengidentifikasi aktivitas keseharian masyarakat penghuni rusunawa. Informan yang terlibat dalam penelitian ini adalah penghuni Rusunawa Dabag, Aparatur Desa Condongcatur dan Unit Pelaksana Teknis Rusunawa Sleman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pembentukan institusi sosial di lingkungan masyarakat penghuni rusunawa dapat dijelaskan menggunakan skema fungsi AGIL, yaitu: a) Adaptation (adaptasi), pola adaptasi dilakukan dengan mempelajari ekologi rusunawa, aturan-aturan dan membentuk kelompok teman sebaya untuk melakukan aktivitas bersama; b) Goal attainment (pencapaian tujuan), tujuan yang ingin dicapai penghuni rata-rata bersifat jangka pendek yakni pemenuhan kebutuhan primer keluarga, sedangkan pencapaian tujuan bersama di masyarakat masih jauh dari harapan; c) Integration (integrasi), tindakan integrasi dalam melakukan berbagai aktivitas bersama dibiarkan berada dalam kedangkalan, berhenti pada tingkat basa-basi dan tidak dibekali dengan ketulusan; d) Latency (latensi atau pemeliharaan pola), fungsi pemeliharaan yang kuat hanya bernilai positif untuk keluarga, sedangkan dalam melakukan aksi-aksi pemeliharaan kolektif kesadaran individu tergolong rendah. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan upaya agar keberadaan institusi sosial dapat terinternalisasi secara utuh dalam diri masyarakat penghuni rusunawa. Upaya yang dilakukan diarahkan pada pelaksanaan peran-peran penyeimbang melalui optimalisasi pengembangan inisiatif seluruh masyarakat penghuni Rusunawa Dabag. Kata kunci: Institusi Sosial, Masyarakat Berpenghasilan Rendah, Rusunawa Dabag, Fungsi AGIL. xv ABSTRACT Social institution as a part of cultural reproduction, in which it is found knowledge, norms, behaviors that can facilitate collective action in the community. In order to develop the internal dynamics-based society, social institution in the rusunawa is a media participation, local planning formulation, means of identification of needs, as well as increasing public awareness and commitment to realize a shared vision. However, it is not easy for rusunawa dwellers to utilize social institution as a means of community development. This is due to the existence of social institution often do exclusion of the initiatives, ideas and values the opportunity to get out of the limitations. This research is to identify the social institution in the Rusunawa Dabag, Condongcatur, Depok, Sleman, D.I.Yogyakarta. The choice of location is done considering the existence of Rusunawa Dabag which refers to the view of the modernization of the physical environment is considered not sufficiently responsive and adaptive in facilitating the aspirations and concerns of the dwellers. This study emphasizes the qualitative approach is descriptive analytical, with the method of collecting data through in-depth interviews and participant observation to identify people's daily activities of rusunawa dwellers. Informants in this study were Rusunawa Dabag dwellers, Condongcatur Village Officials and UPT Rusunawa Sleman. The results showed that the process of becoming social institution in the Rusunawa Dabag can be explained using the AGIL function, specifically: a) Adaptation, the pattern of adaptation is done by studying the ecology of rusunawa, rules and form peer groups to conduct joint activities; b) Goal Attainment, the objectives to be achieved on average dwellers are short term the fulfillment of the primary needs of the family, while the achievement of common goals in the community is still far from expectations; c) Integration, integration measures in a variety of activities together allowed to be in the shallowness, stopping at the level of politeness and not equipped with sincerity; d) Latency, the maintenance of a strong function is positive only for the family, while in performing maintenance actions collective consciousness of individuals is low. Based on this, it is necessary for the existence of social institution as a whole can be internalized within rusunawa dwellers. These efforts must be directed at the implementation of a balancing role through the optimization of the community development initiatives in Rusunawa Dabag. Keywords: Social Institutions, Low-Income People, Rusunawa Dabag, AGIL Function. xvi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Alasan Pemilihan Judul 1.1.1 Aktualitas Pembangunan rumah susun di Indonesia telah menjadi perhatian pemerintah sejak tahun 80-an. Hal ini dikarenakan pemerintah menganggap bahwa rumah susun merupakan jalan keluar dari permasalahan perumahan dan permukiman bagi masyarakat miskin di kota-kota besar di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka pada tahun 1985 pemerintah menerbitkan undang-undang yang memberikan landasan hukum tentang kepemilikan dan tanggung jawab serta kewajiban yang harus ditaati pada saat penghunian rumah susun. Undang-undang tersebut yakni Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3317). Beberapa tahun yang lalu pun telah dicetuskan program pengembangan sejuta rumah susun. Namun, semenjak Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah Susun (GNPSR) pada tahun 2003 dicanangkan, pencapaian pasokan rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan menengah kebawah masih berjalan lambat. Untuk itu 1 diperlukan upaya percepatan pembangunan rumah susun, baik rumah susun milik maupun sewa, yang lokasinya tidak jauh dari pusat aktivitas masyarakat yakni di kawasan perkotaan, salah satunya adalah di wilayah Kabupaten Sleman, Provinsi D.I. Yogyakarta. Keberadaan rusunawa di Kabupaten Sleman dianggap berhasil memberikan kontribusi secara langsung melalui 3 (tiga) aspek kontribusi utama, yakni: Pertama dari aspek psikologis, keberadaannya dianggap bisa mengangkat harkat dan martabat keluarga dalam berumahtangga, meningkatkan etos hidup penyewa dan menekan tindakan pengkavlingan tanah Negara yang pada akhirnya dijadikan tanah tidak berijin. Kedua dilihat dari aspek sosiologis, rusunawa diharapkan bisa menghilangkan daerah kumuh, mengubah perilaku masyarakat penghuni rusunawa dalam menjalani kehidupan rumah tangga yang lebih tertib dan teratur sehingga kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Ketiga dari aspek finansial, yakni bisa memberikan kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Sleman dan menekan Pos Anggaran Penataan Daerah Kumuh sepanjang bantaran sungai karena pembangunan rusunawa di Kabupaten Sleman dilaksanakan berkesinambungan (Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Kabupaten Sleman, 2010). Meski keberadaan rusunawa dianggap telah memberikan kontribusi secara langsung bagi Kabupaten Sleman, namun keberadaannya 2 dirasa masih jauh dari harapan masyarakat. Kelembagaan pengelola rusunawa yang bias akan kepentingan, tidak tegas dalam menerapkan aturan main dan cenderung mengabaikan pelayanan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, menjadikan pola aktivitas bersama yang melembaga dan di dalamnya mengandung pranata serta pengaturan bagi masyarakat penghuni rusunawa perlahan-lahan terdegradasi (Sarning, 2011: 98). Hal ini diperpanjang dengan minimnya kesadaran masyarakat berpenghasilan rendah untuk peduli, bersikap kritis dan berinisiatif membentuk wadah partisipasi menyebabkan mereka cenderung menerima dan mudah dieksploitasi. Bagi calon penghuni yang terpenting adalah mereka bisa mendapatkan hunian yang murah, atau bisa memperoleh hunian untuk disewakan kembali dengan harga yang lebih tinggi. Akibatnya, prosedur penghunian yang selama ini diterapkan menjadi sangat mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang ingin memperoleh keuntungan dari keberadaan hunian rusunawa. Akibatnya, keberadaan institusi sosial yang merupakan hasil dari proses tumbuh berkembang dan membentuk dirinya secara mandiri dengan cara spesifik sesuai dengan karakter masing-masing kelompok (Soetomo, 2012: 130-131), cenderung mengalami defisit makna karena para pelaku kebijakan seringkali mendominasi wacana dan pemaknaan, 3 serta merepresentasikan diri mereka tanpa menghadirkan suara dan aspirasi penghuni untuk mengembangkan karakteristiknya secara mandiri. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan bagi peneliti dalam menentukan fokus penelitian pada upaya melihat peran institusi sosial di lingkungan penghuni rusunawa sebagai suatu hal yang harus dihadirkan dalam proses pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak, sederhana, sehat, terjangkau dan bermartabat bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Ini menjadi isu yang sangat aktual, mengingat di beberapa kota besar, seperti: Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, Bantul), Semarang, Surabaya, Makassar, Banjarmasin, Medan, Batam, Palembang dan kota-kota lain, tengah dilakukan percepatan pembangunan rusunawa. 1.1.2 Orisinalitas Pasca dikeluarkannya kebijakan percepatan pembangunan rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan rendah di Indonesia, penelitian yang mengangkat tema rumah susun sederhana sewa mulai banyak ditemukan. Umumnya penelitian tersebut memaparkan tentang kebijakan rusunawa yang secara seragam digulirkan oleh pemerintah, sebagian lagi berkaitan erat dengan pemanfaatan fisik hunian rusunawa. Penelitian yang sudah ada secara garis besar masih berputar di sekitar evaluasi kebijakan pembangunan rusunawa, dampak dan pengaruh keberadaan rusunawa dan 4 juga seputar upaya peningkatan kualitas hunian. Baru sedikit di antara penelitian yang sudah dilaksanakan tersebut yang berfokus pada peran institusi sosial yang terbentuk di lingkungan permukiman bersusun yang diadopsi dari gaya hidup masyarakat modern. Peneliti menilai bahwa dibalik kebijakan pembangunan rusunawa yang merupakan upaya pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sejatinya masih terdapat hal yang lebih penting, yaitu terkait dengan upaya kedepan agar masyarakat penghuni rusunawa dapat menyatu dengan komunitas barunya secara normal dan tetap mampu untuk memanfaatkan peluang sosial di arena yang baru tanpa harus terekslusi dari lingkungannya. Pada titik inilah seharusnya penelitian difokuskan, agar kita dapat mengetahui bagaimana masyarakat peghuni rusunawa membentuk sebuah institusi sosial baru di lingkungan fisik yang modern tersebut. Namun, setelah dilakukan penelusuran, secara kuantitas, penelitian yang berfokus pada permasalahan tersebut masih sangat jarang dilaksanakan. Penelitian yang berokus pada peran institusi sosial dan partisipasi masyarakat sebagai sarana mencapai pembangunan berkelanjutan pernah dilakukan oleh Norman Uphoff pada tahun 1992, dengan judul Local Institutions and Participation for Sustainable Development. Di dalam penelitian ini, urgensi institusi sosial yang kuat di masyarakat diharapkan 5 bisa menjadi wadah sekaligus agen penggerak dalam memfasilitasi, memediasi, mengkomunikasikan, mengembangkan partisipasi, sekaligus sebagai mendayagunakan aktor keswadayaan dalam dan mengaktualisasikan nilai-nilai dalam masyarakat demi memperkuat jaringan hubungan antara penghuni dan kohesi sosial di masyarakat. Penelitian yang spesifik membahas tentang institusi sosial seperti yang dijelaskan tadi, pada umumnya menyinggung tentang peranan institusi sosial untuk meningkatkan kesejahteraan, seperti yang telah dilaksanakan oleh Institute for Research and Empowerment (IRE) pada tahun 2012. Penelitian tersebut mengangkat tema Institusi Lokal untuk Kesejahteraan Bersama (Anwar, 2012). Hal utama yang menjadi hasil penelitian ini terletak pada kesimpulan hadirnya sebuah institusi di masyarakat menjadi energi positif dalam membangun masyarakat terutama menjadi mitra strategis dalam upaya memerangi kemiskinan dengan cara menyediakan alternatif bagi warganya untuk mencari sumber penghidupan. Penelitian-penelitian tersebut sebetulnya sama sekali tidak menjelaskan tentang kehidupan masyarakat di lingkungan fisik modern, seperti halnya masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan yang menghuni rusunawa. Namun, hasil dari penelitian tersebut dapat dijadikan dasar pijakan awal bagi peneliti untuk memandang pola-pola keberadaan 6 institusi sosial di masyarakat Indonesia secara umum. Peneliti menilai bahwa secara spesifik penelitian tentang peran institusi sosial di lingkungan masyarakat penghuni rusunawa hingga saat ini masih jarang ditemukan. Temuan secara garis besar hanya terletak dalam tataran keberadaan institusi sosial secara umum, yang menunjukkan betapa banyaknya institusi asli yang terbentuk karena pranata dan pola aktivitas di masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, penelitian yang yang berjudul Peran Institusi Sosial di Lingkungan Masyarakat Penghuni Rumah Susun Sederhana Sewa (Studi tentang Peran Institusi Sosial di Lingkungan Masyarakat Penghuni Rusunawa Dabag, Desa Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman) ini pada prinsipnya telah memenuhi syarat orisinilitas karena belum ada penelitian sebelumnya yang mengangkat fokus yang sama. Lokasi penelitian ini dipilih karena merupakan salah satu rusunawa yang dijadikan sebagai percontohan dalam pengembangan model rusunawa yang indah dan tidak kumuh bagi masyarakat berpenghasilan rendah. 1.1.3 Relevansi dengan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) merupakan cabang dari ilmu sosial asli Indonesia yang mempelajari tentang berbagai aspek kehidupan sosial di dalam masyarakat yang begitu kompleks 7 dengan berbagai permasalahan serta cara memecahkan segala permasalahan tersebut melalui pendekatan multi stakeholders. Eksistensi keilmuan dari Program Studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan terlihat dengan dikembangkannya tiga konsentrasi utama, yakni: pemberdayaan masyarakat (community empowerment), kebijakan sosial (social policy) dan tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Ketiga fokus utama dalam membedah Ilmu PSdK sebagai suatu ilmu sosial telah memberikan kepastian mengenai hakikat penelitian yang dikembangkan dari ilmu ini. Jika dispesifikkan berdasar konsentrasi, penelitian kali ini merupakan bagian dari peran institusi sosial di masyarakat yang berkorelasi dengan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat berarti menumbuh kembangkan unsur-unsur yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, persoalan utama dalam pemberdayaan masyarakat sejatinya tidak keluar dari lingkar proses yang dibuat sedemikian rupa untuk memberikan toleransi adanya pengembangan variasi lokal dan pemahaman terhadap faktor-faktor pembentuk institusi sosial yang sangat berpengaruh dalam menentukan model dan proses pengembangan masyarakat yang akan dihadirkan. Dalam penelitian yang berjudul Peran Institusi Sosial di Lingkungan Masyarakat Penghuni Rumah Susun Sederhana Sewa (Studi 8 tentang Peran Institusi Sosial di Lingkungan Masyarakat Penghuni Rusunawa Dabag, Desa Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman) ini, yang menjadi titik fokus utamanya adalah keberadaan institusi sosial di lingkungan masyarakat penghuni rusunawa yang secara lebih spesifik dapat terlihat dari adanya proses adaptation (adaptasi), goal attainment (pencapaian tujuan), integration (integrasi) dan latency (latensi atau pemeliharaan pola) yang dilakukan oleh masyarakat berpenghasilan rendah selama menghuni Rusunawa Dabag. Berdasarkan judul penelitian ini, pokok pembahasan utama yang akan dianalisis dari temuan-temuan lapangan pada dasarnya tidak terlepas sama sekali dari batasan objek materiil Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. 1.2 Latar Belakang Masalah Kebutuhan akan hunian layak merupakan sebuah mimpi sederhana yang seharusnya bisa diwujudkan ketika Negara secara serius menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar bagi warganya. Mimpi yang sama seperti mimpi jutaan manusia lain di berbagai belahan dunia manapun, yang hingga saat ini belum mampu diwujudkan oleh Negara sebagai pemegang tanggung jawab tersebut. Menurut Otto von Bismarck (1950) inti dari proses ini adalah negara berupaya mengunakan kebijakan sosial sebagai alat untuk melakukan redefinisi pola relasinya terhadap warga negara, serta untuk menata ulang relasi kelas dalam masyarakat serta menghapuskan kesenjangan kelas yang terjadi (Triwibowo dan 9 Bahagijo, 2006: 14-15). Oleh karena itu, peran aktif negara dalam pengurangan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, sistem kesehatan dan pendidikan yang terjangkau, sistem jaminan sosial yang universal, serta penyediaan perumahan dan permukiman yang layak huni menjadi hal mendesak yang harus segera dituntaskan oleh pemerintah. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Direktorat Pengembangan Permukiman, Ditjen Cipta Karya tahun 2008 diketahui bahwa kebutuhan rumah saat ini mencapai 800 ribu unit per tahun. Sedangkan kemampuan penyediaan rumah hanya mencapai dua puluh persen (20%) dari total kebutuhan rumah, bahkan sampai tahun 2000 masih terdapat 4.338.862 jiwa rumah tangga yang belum memiliki rumah dan tujuh puluh persen (70%) diantaranya adalah golongan masyarakat yang memiliki penghasilan rendah. Untuk menjamin penyediaan perumahan dan permukiman untuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah, sudah menjadi kewajiban Pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk menghormati, melindungi sekaligus memenuhinya dengan segera. Sejalan dengan apa yang telah diamanatkan undang-undang, maka evaluasi pembangunan bidang perumahan dan kawasan permukiman berdasarkan hasil Kongres Nasional Perumahan dan Permukiman (Kongnas PP) tahun 2009 telah menghasilkan deklarasi dari semua pemangku kepentingan untuk menjamin keadilan dan kesetaraan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman, memberdayakan masyarakat tidak mampu melalui peningkatan akses ke 10 sumberdaya kunci perumahan dan kawasan permukiman (tanah, infrastruktur dan pembiayaan), serta mengembangkan sistem kelembagaan dan tata kelola yang baik dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman. Prakarsa untuk mengatasi kesulitan pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dimulai dengan membuat perencanaan dan pola pembiayaan perumahan rakyat, serta dengan kebijakan pembangunan rumah susun sederhana bagi masyarakat berpenghasilan rendah di wilayah yang memiliki kepadatan tinggi. Pembangunan rumah susun sederhana ini dibedakan menjadi 2 fungsi, yaitu rumah susun sederhana yang bisa dimiliki penghuni (rusunami) dan rumah susun sederhana yang hanya disewakan kepada penghuni yang memenuhi persyaratan penghunian (rusunawa). Rumah susun sederhana sewa atau biasa disebut rusunawa dibangun sebagai implementasi dari Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009 yakni pembangunan hunian rusunawa sebanyak 60.000 unit yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2006 tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan, pembangunann rumah susun sederhana merupakan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan tempat tinggal yang sehat untuk masyarakat berpenghasilan rendah, penataan permukiman kumuh dan daerah bantaran sungai, serta untuk merelokasi 11 bangunan-bangunan tak berijin/liar di bantaran sungai, tanah kas desa dan tempat terlarang lainnya. Peningkatan jumlah rusunawa yang dibangun di daerah perkotaan seperti di Jakarta, Surabaya, Semarang, Palembang, Medan, Yogyakarta maupun di kotakota besar lain di Indonesia, semakin menampakkan keberadaannya. Menurut data Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Kabupaten Sleman tahun 2012, Provinsi D.I. Yogyakarta memiliki 33 rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat yang tersebar di 4 kabupaten/kota. 18 diantaranya berada di Kabupaten Sleman, yakni sebanyak 2 twin blok beserta prasarana dasarnya di Dusun Gemawang, 1 twin blok beserta prasarana dasarnya di Dusun Mranggen, 4 twin blok beserta prasarana dasarnya di Dusun Dabag, 4 twin blok beserta prasarana dasarnya di Dusun Jongkang dan 7 twin blok lainnya difungsikan sebagai rusunawa bagi mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Kabupaten Sleman. Banyak hal yang menjadi faktor didirikannya rumah susun di Kabupaten Sleman, salah satunya adalah karena menurut Data Sensus Penduduk BPS tahun 2013 jumlah penduduk di Kabupaten Sleman menempati posisi paling tinggi yaitu dengan angka 1.090.567 jiwa dibanding masyarakat di Kabupaten/Kota lainnya di Provinsi D.I.Yogyakarta. Semakin padatnya Sleman menjadikan kebutuhan hunian sangat diperlukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, adanya tanah kas desa di sekitaran permukiman perkotaan yang belum 12 dimanfaatkan secara maksimal juga menjadi alasan dibangunnya rusunawa di Kabupaten Sleman. Rusunawa Sleman dibangun bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal tetapi diharapkan bisa menjadi wadah untuk menampung berbagai kegiatan bersama masyarakat, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya penghuninya (Darmiwati, 2000: 144-122). Tinggal di rumah susun merupakan cara hidup yang unik karena tinggal bersama banyak keluarga dalam satu bangunan besar (multi family housing). Hal ini memberikan nuansa berbeda dengan rumah yang selama ini dihuni oleh masyarakat Indonesia yang rata-rata memiliki rumah sendiri dengan batas-batas kepemilikan tanah maupun bangunan yang jelas. Keberadaan rusunawa yang dihuni oleh banyak keluarga dalam satu bangunan susun menimbulkan perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat. Secara sosial, terjadi perubahan struktur baik pada keluarga maupun komunitas sosialnya. Keluarga-keluarga yang semula tinggal dibawah satu atap (extended family atau multi family) berubah dan memecah menjadi keluarga keluarga inti (nucleus family). Perubahan kondisi tersebut juga berpengaruh pada hubungan komunikasi, contohnya penghuni cenderung membatasi komunikasi vertikal dan menutup diri dari pergaulan sosial. Kebiasan-kebiasan lama seperti memelihara ternak dan hewan peliharaan, bercocok tanam maupun berkebun, duduk-duduk di halaman bersama keluarga dan tetangga, ronda malam secara 13 bergilir, keleluasaan anak-anak dalam bermain, serta acara-acara keagamaan yang sewajarnya dilakukan secara bersama-sama menjadi terbatas, bahkan dengan peraturan yang ditetapkan selama proses penghunian rusunawa, kebiasankebiasan tersebut terpaksa dilarang (Luthfiah, 2010: 34). Kondisi penghuni yang belum dibekali oleh sikap dan kesiapan mental maupun perilaku yang sesuai untuk hidup di rumah susun seringkali menyebabkan terjadinya kesenjangan kultural antara kehidupan di permukiman tidak susun dengan kehidupan di rumah susun. Menurut psikolog John S. Nimpuno, kesenjangan kultural yang terjadi pada masyarakat penghuni rusunawa dimungkinkan karena tingkah laku manusia tidak bisa dilepaskan dari ketergantungannya pada tiga sistem, yaitu sistem lingkungan hidup fisik, sistem sosial dan sistem budaya (Darmiwati, 2000: 114-122). Penghuni menjumpai suatu kondisi yang berbeda dengan apa yang dialami di hunian tidak bertingkat atau susun, mereka mengalami kejutan yang dapat berpengaruh terhadap kemampuan beradaptasi dan perilaku sosialnya. Ketidakmampuan beradaptasi dapat menimbulkan tekanan, perasaan tidak nyaman dan tidak menyenangkan, serta gangguan kesehatan pada penghuninya (Sarwono, 1992: 110). Hal ini tentu bisa menimbulkan perilaku negatif penghuni terhadap lingkungan permukiman susun, sikap tersebut dapat mendorong pada kondisi permukiman yang tidak berkelanjutan atau fungsi lingkungan permukiman tidak lestari. Tidak terpenuhinya kondisi lingkungan yang berkelanjutan tidak akan 14 memberikan peluang terhadap lingkungan permukiman untuk menyejahterakan penghuni-penghuninya. Kondisi ini tentu tidak diharapkan karena dapat menjadikan rusunawa semakin jauh dari pilihan masyarakat berpenghasilan rendah. Untuk merubah kondisi tersebut tentu menuntut kesiapan sikap, perilaku dan pola hidup tertentu, sehingga proses pengubahan sistem nilai tersebut memerlukan waktu dan proses belajar yang cukup lama serta cakupan kelembagaan di masyarakat yang bisa menjadi wadah dalam pelaksanaan usahausaha peningkatan kesejahteraan sosial (Nurdin, 1990: 41). Dengan pemahaman bahwa, fungsi lingkungan permukiman akan terlaksana dengan optimal apabila didukung oleh sikap positif penghuni terhadap lingkungan, baik secara kognisi, afeksi, maupun konasi, juga didukung adanya peningkatan motivasi hidup sehat, serta peningkatan status sosial ekonomi. Optimalisasi pengembangan inisiatif masyarakat penghuni rusunawa dalam rangka peningkatan motivasi hidup sehat serta status sosial ekonomi yang mencakup pendidikan, pendapatan, kualitas rumah dan kualitas hidup akan mudah dicapai apabila dikembangkan kerja sama kewilayahan antar kelembagaan rusunawa yang mengikutsertakan masyarakat sebagai agensi pembangunan dan pemerintah sebagai pengelola kebijakan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa di masyarakat manapun pasti terdapat nilai-nilai sosial yang mampu dikembangkan untuk menggerakkan kelembagaan yang bisa mengakomodasi 15 usaha-usaha pengembangan kapasitas, produktivitas dan kemandirian kelompok masyarakat, termasuk mengembangkan kesadaran masyarakat untuk membangun keswadayaan dan partisipasi. Sejarah juga telah meriwayatkan kemampuan masyarakat dalam menciptakan sebuah institusi sosial yang bisa menjadi skema untuk melindungi mereka dari kerentanan yang dihadapi di tengah perubahan yang terjadi. Jika kerentanan sosial di masyarakat ingin dikurangi, maka perlu dilakukan suatu upaya yang melampaui kondisi kekinian guna menjamin masa depan yang lebih baik (Cutter dan Emrich, 2006: 102-112). Pada titik ini, institusi sosial yang ada di lingkungan masyarakat penghuni rusunawa menjadi pilihan yang dapat dikaji sejauhmana perannya dalam melindungi masyarakat penghuni rusunawa di tengah perubahan yang terjadi. Institusi sosial sebagai bagian dari reproduksi budaya, di dalamnya bersemai pengetahuan, norma, perilaku yang menjelaskan pola interaksi antar aktor dan lingkungannya. Sejauh ini, institusi sosial memiliki peran dan fungsi sebagai penyangga sosial, disaat individu dalam komunitas mengalami ketidakberuntungan (Uphoff, 1986: 8-9). Institusi sosial dapat pula menjadi penyeimbang antar individu yang mengalami perbedaan kondisi dan posisi sosial dalam ikatan sosial penuh keselarasan. Namun demikian, tidak mudah bagi masyarakat penghuni Rusunawa Dabag untuk bisa memanfaatkan institusi sosial di lingkungan mereka sebagai 16 sarana memperoleh kesejahteraan. Pada satu sisi, institusi sosial bisa memberikan banyak peluang bagi mereka untuk terlibat secara langsung dalam berbagai kegiatan peningkatan kesejahteraan. Tetapi tidak jarang institusi sosial yang ada di lingkungan mereka justru melakukan eksklusi terhadap inisiatif, pemikiran dan nilai-nilai yang bisa membuka peluang untuk keluar dari keterbatasan karena keberadaannya cenderung mengalami defisit makna. Hal ini terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa, di mana pelaku kebijakan seringkali mendominasi wacana dan pemaknaan, serta merepresentasikan diri mereka tanpa menghadirkan suara dan aspirasi penghuni untuk mengembangkan karakteristiknya secara mandiri yang pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan selama proses penghunian Rusunawa Dabag. Permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakat penghuni Rusunawa Dabag umumnya bersumber dari perbedaan dalam memahami peraturan, pemakaian barang dan benda bersama, serta perbedaan identitas maupun status sosial. Perbedaan ini biasanya akan memicu kesenjangan dan prasangka sosial yang rawan bagi keselarasan sosial di lingkungan masyarakat rusunawa. Kesenjangan dan prasangka sosial yang terjadi di masyarakat penghuni Rusunawa Dabag tersebut dimungkinkan karena tingkah laku manusia tidak bisa dilepaskan dari ketergantungannya pada tiga sistem, yaitu sistem lingkungan hidup fisik, sistem sosial dan sistem konsep/orientasi budaya. Kesenjangan antar penghuni ini memang belum menimbulkan konflik yang signifikan karena interaksi di antara 17 lapisan masyarakat masih dapat berlangsung dengan lancar, meski terkadang menimbulkan prasangka-prasangka yang kurang baik di antara mereka. Permasalahan lain yang juga sering terjadi adalah adanya isu tentang pelanggaran dan penyimpangan hak sewa-menyewa karena banyaknya makelar dan penghuni gelap, persoalan tentang pembiayaan sosial yang seringkali tidak tepat guna, penataan unit hunian dan blok lingkungan yang kurang memungkinkan terjalinnya hubungan sosial antar penghuni, ketidaktepatan sasaran penghuni, serta persoalan kelembagaan yang masih tumpang tindih dan tidak jelas menjadikan penerapan tata aturan dan penerapan sanksi tidak bisa berjalan secara optimal. Banyaknya permasalahan yang terjadi selama proses penghunian tersebut secara tidak langsung telah menghambat proses tumbuh berkembang dan terbentuknya institusi sosial secara mandiri dengan cara spesifik sesuai dengan karakter masyarakat penghuni rusunawa (Soetomo, 2012: 130-131). Kondisi ini tentu berimplikasi pada eksistensi pilar-pilar partisipasi masyarakat berpenghasilan rendah yang menghuni Rusunawa Dabag. Imbasnya, institusi sosial yang merujuk pada pandangan modernisasi lingkungan fisik di Rusunawa Dabag dianggap belum cukup responsif dan adaptif dalam memfasilitasi arus dua arah yaitu, informasi dan pelayanan eksternal dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat penghuninya. 18 Oleh sebab itu, wadah dan pranata yang selama ini sudah terlembaga dan merupakan bagian dari sistem aktivitas keseharian masyarakat penghuni Rusunawa Dabag harus bisa lebih dikenali, dikembangkan dan digunakan untuk mendukung proses pembangunan dengan melakukan berbagai penyesuaian fungsi (Colletta dan Khayam, 1987 diacu oleh Soetomo, 2012: 131-132). Penyesuaian fungsi tersebut harus sejalan dengan dinamika masyarakat yang menghuni rusunawa dan tuntutan perubahan fisik baru yang lebih modern. Untuk mengawal penyesuian fungsi lingkungan fisik yang baru diperlukan institusi sosial yang memiliki karakter inklusif sehingga memberi nilai kemanfaatan tidak hanya terbatas pada penghuni berdasarkan ikatan kekerabatan atau kesamaan asal daerah tetapi berbasis pada usaha-usaha dinamis dalam berbagai kegiatan bersama. Pemberdayaan institusi sosial yang berbasis pada komunitas lokal sebagai faktor penentu peningkatan kesejahteraan masyarakat berpenghasilan rendah hendaknya dipikirkan atas dasar konseptualisasi masyarakat setempat yang memiliki hak menghuni rusunawa. Institusi sosial harus mampu menghubungkan energi dan potensi dari dalam dengan energi dan peluang dari luar sehingga bisa menggalakkan terjadinya pemberdayaan masyarakat penghuni Rusunawa Dabag melalui tindakan yang terkoordinasi secara baik, guna mengatasi praktek involusi yang tengah berlangsung. Dalam konteks ini diperlukan adanya penyegaran peran dan fungsi institusi sosial sebagai penyangga sosial, ekonomi dan politik yang membuka 19 terjadinya hubungan simbiosis mutualisme antar berbagai pelayanan, sehingga bisa saling bersinergi dalam mendorong pembangunan perumahan dan permukiman yang berkelanjutan, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Institusi sosial yang berfungsi secara optimal dalam suatu masyarakat akan cenderung lebih efisien dan efektif menjalankan berbagai kebijakan untuk menyejahterakan dan menanggulangi permasalahan sosial warganya. 1.3 Rumusan Masalah Setiap masyarakat berbeda-beda, mereka memiliki karakteristik sosial, budaya, politik dan demografi yang unik sehingga pengalaman pengembangan institusi sosial di suatu masyarakat belum tentu dapat berjalan di masyarakat yang lain, bahkan sangat beresiko mengalami kegagalan dan melemahkan institusi sosial yang sudah terbangun di lingkungan masyarakat tersebut karena hal itu bukan proses yang cocok untuk mereka (Ife dan Tesoriero, 2008: 342). Berdasarkan hal tersebut, perlu disusun rencana pembangunan perumahan dan permukiman yang melibatkan masyarakat yang bersangkutan dan sesuai dengan kondisi mereka, termasuk nilai-nilai dan paradigmanya. Studi yang dilakukan dalam rangka menyusun tulisan ini diarahkan untuk menjawab permasalahan sebagai berikut: - Bagaimana keberadaan dan fungsi institusi sosial di lingkungan masyarakat penghuni Rusunawa Dabag Kabupaten Sleman? 20 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1.4.1 Tujuan Operasional Sesuai dengan visi Program Studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas melakukan studi yaitu, Gadjah Mada menjadi dimana lembaga penulis pendidikan tengah yang mengembangkan ilmu pengetahuan sosial yang mengkaji tentang fenomena pembangunan masyarakat yang berbasis pada penelitian sosial dan berorientasi pada pemecahan masalah-masalah sosial, maka berdasarkan uraian tersebut diatas penulis merasa tertarik melakukan penelitian sebagai: a) Salah satu upaya pensinergian, peningkatan dan pengelolaan sumberdaya baik internal maupun eksternal dalam memberikan solusi dan pemahaman atas berbagai masalah sosial yang menghambat proses pembangunan sosial dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. b) Sebagai sumbangan pemikiran dan referensi yang konstruktif kepada para pengambil kebijakan, pembuat peraturan, pembuat rencana dan pelaksana program terkait, agar bisa saling bersinergi 21 demi kemajuan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman di tanah air. c) Mampu memberikan Pembangunan Sosial kontribusi dan bagi perkembangan Kesejahteraan dalam Ilmu upaya mengembangkan pelayanan sosial yang berkeadilan bagi seluruh rakyat. 1.4.2 Tujuan Substansial a) Mengetahui keberadaan institusi sosial yang ada di lingkungan masyarakat penghuni Rusunawa Sleman. b) Mengidentifikasi fungsi AGIL yang berelasi dengan keberadaan institusi sosial di lingkungan masyarakat penghuni Rusunawa Sleman. c) Mengetahui model pengembangan kelembagaan yang sesuai di lingkungan masyarakat penghuni Rusunawa Sleman. 1.5 Manfaat Penelitian 1. Memberikan gambaran tentang pentingnya institusi sosial bagi masyarakat penghuni rusunawa. 2. Memberikan gambaran kepada pemerintah daerah dan masyarakat penghuni rusunawa mengenai pola relasi kelembagaan guna peningkatan kesejahteraan sosial. 22 3. Mendorong berkembangnya strategi untuk meningkatkan peran institusi sosial di lingkungan masyarakat penghuni Rusunawa Sleman, sehingga bisa menghasilkan kapasitas terpasang untuk mendukung kebijakan perumahan rakyat dan kawasan permukiman yang tepat sasaran, khususnya dalam mengelola kualitas lingkungan rumah susun secara berkelanjutan. 1.6 Studi Pustaka 1.6.1 Pemenuhan Kebutuhan Perumahan Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah: Pembangunan Rusunawa Sleman Keterbatasan lahan/tanah sudah semestinya dilihat sebagai tantangan untuk menghasilkan bentuk perumahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan kota sehingga lahan yang tersisa tidak hanya dipandang sebagai panjang kali lebar saja melainkan juga tingginya (Laporan Lanjutan Hasil Rakornas Pembangunan Perumahan Rakyat, 2007). Oleh karena itu, sejalan dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang rumah susun, maka gagasan membangun kawasan perumahan dan permukiman yang bersusun secara vertikal merupakan solusi yang tepat untuk mengatasi persoalan keterbatasan lahan pubik, meningkatkan efisiensi biaya, serta memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, khususnya di Kabupaten Sleman. 23 Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horisontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk hunian, yang dilengkapi dengan bagian-bersama, benda bersama dan tanah bersama (Sarning, 2011: 27). Sedangkan rumah susun sederhana sewa atau biasa disebut rusunawa adalah program pemerintah dalam upaya menyediakan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2006 tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rusun di Kawasan Perkotaan yang menegaskan bahwa pembangunan rusunawa harus memenuhi standar kelayakan, murah dan terjangkau, serta harus berada di lokasi yang strategis dan memiliki aksesibilitas yang bernilai ekonomi tinggi. Oleh karena itu, aspek yang perlu diperhatikan dalam membangun rusunawa antara lain: aspek ekonomi, aspek lingkungan, aspek tanah perkotaan, aspek investasi, aspek keterjangkauan. Aspek ekonomi berkaitan dengan lokasi yang dekat dengan tempat kerja atau aktivitas sehari-hari sehingga menghemat pengeluaran rumah tangga, sedangkan aspek keterjangkauan berkaitan dengan penetapan tarif sewa yang mampu dibayar oleh masyarakat penghuni rusunawa 24 (Yudohusodo, 1991: 347-348). Lokasi rusunawa dipersyaratkan berada pada pusat kegiatan kota dan kawasan-kawasan khusus yang memerlukan rumah susun seperti kawasan industri, pendidikan dan campuran. Untuk lokasi pembangunannya ditetapkan oleh masing-masing pemerintah daerah sesuai dengan kebijakan lokal yang berdasar pada kriteria dan peraturan nasional/regional yang berlaku. Bagi kota-kota yang memiliki penduduk lebih dari 1,5 juta jiwa dan kepadatan penduduk di atas 200 jiwa/ha serta bagi kota metropolitan, kota besar dan kota sedang yang memiliki permasalahan khusus sudah seharusnya mempertimbangkan pengembangan hunian vertikal ini (Dirjen Cipta Karya, DPU: 2007). Kebutuhan pengadaan rumah susun berdasarkan kepadatan penduduk dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1.1 Kebutuhan Rumah Susun Berdasarkan Kepadatan Penduduk Klasifikasi Kawasan Kepadatan Rendah Kepadatan Sedang Kepadatan Tinggi Sangat Padat Kepadatan < 150 jiwa/ha 151 - 200 jiwa/ha 201 - 400 jiwa/ha > 400 jiwa/ha Kebutuhan Sebagai Disarankan untuk Disyaratkan Disyaratkan Rusun alternatif untuk pusat-pusat kawasan tertentu kegiatan kota dan penduduk kawasan tertentu Sumber: Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, 2007. 25 1.6.2 Landasan Penguatan Peran Institusi Sosial dalam Konteks Kesejahteraan Sosial: Penekanan Fungsionalisme Terciptanya kesejahteraan di masyarakat menjadi bagian integral dari pembangunan sosial dan merupakan upaya peningkatan kualitas kesejahteraan sosial perorangan, kelompok dan masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, di mana setiap orang mampu mengambil peran dan menjalankan fungsinya dalam kehidupan (Balatbangsos, 2003). Hal tersebut paralel dengan apa yang dikatakan oleh Susetiawan (2009: 26-27) bahwa: “Kesejahteraan sosial menunjuk kondisi kehidupan yang baik, terpenuhinya kebutuhan materi untuk hidup, kebutuhan spiritual (tidak cukup mengaku beragama tetapi wujud nyata dari beragama seperti menghargai sesama), kebutuhan sosial seperti ada tatanan (order) yang teratur, konflik dalam kehidupan dapat dikelola, keamanan dapat dijamin, keadilan dapat ditegakkan dimana setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum, tereduksinya kesenjangan sosial ekonomi.” Pada intinya pembangunan kesejahteraan sosial diarahkan pada tercapainya kondisi keberfungsian sosial yaitu kemampuan seseorang untuk melaksanakan peran, fungsi dan tugas sebagaimana yang diharapkan, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya serta kemampuan untuk memecahkan persoalan hidup dan bertahan dalam menghadapi segala bentuk perubahan sosial politik dan ekonomi. Melalui konsepsi pembangunan sosial, istilah kesejahteraan sosial ini 26 dikembangkan melalui sistem yang terorganisasi dari usaha-usaha sosial dan institusi-institusi sosial yang ditujukan untuk membantu individu maupun kelompok. Artinya, masyarakat sebagai suatu sistem yang terorganisasi memiliki peran penting dalam meningkatkan kesejahteraan seseorang, karena kesejahteraan seseorang sangat ditentukan oleh bagaimana masyarakat mengelola institusi kesejahteraan yang bisa menjamin para anggotanya dalam mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan, mencapai relasi perseorangan dan sosial yang memungkinkan mereka mengembangkan kemampuan secara penuh, serta untuk mempertinggi kesejahteraan mereka agar selaras dengan kebutuhan hidup keluarga dan kebutuhan sosial di masyarakat (Susetiawan, 2009: 46). Terjadinya intitusi sosial bermula dari tumbuhnya suatu kekuatan ikatan hubungan antar manusia yang erat kaitannya dengan berlakunya suatu norma sebagai patokan dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti kebutuhan akan rasa keindahan, keadilan, pendidikan, ketentraman keluarga dan lain sebagainya. Menurut Soekanto (1982: 199) dan Soetomo (2012: 129), institusi sosial dapat tumbuh dan berkembang di masyarakat karena manusia dalam 27 hidupnya memerlukan keteraturan yang terbentuk dari norma-norma, pranata dan pola aktivitas yang terlembaga di dalam masyarakat. Institusi sosial yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia harus mampu berperan sebagai kunci pembuka bagi keberhasilan pengelolaan rusunawa di Kabupaten Sleman. Apabila wadah partisipasi ini bisa melekat dalam sistem aktivitas keseharian penghuni, maka institusi sosial yang terbentuk diharapkan bisa memberikan pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana seharusnya mereka bertingkah-laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakatnya, terutama yang menyangkut berbagai kebutuhan, sehingga bisa menjadi kekuatan pengimbang untuk memperbaiki dan menjaga keutuhan di masyarakat. Dilihat dari upaya untuk memelihara dan meningkatkan kesejahteraan berbasis dinamika dalam masyarakat sendiri, institusi sosial memberi manfaat dalam banyak hal, baik berupa jaminan sosial untuk memelihara kesejahteraan maupun dalam usaha-usaha memperbaiki kondisi kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan. Selain itu institusi sosial juga bisa berperan sangat strategis dalam membangun jaringan dengan berbagai pihak dari luar komunitas (Soetomo, 2012:133-134). Peranan ini dapat tercermin dari upaya masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial, yakni 28 dalam mengawasi, mencegah, serta membendung dominasi dan manipulasi yang dilakukan oleh pengelola terhadap para penghuni maupun calon penghuni atas penggunaan bagian bersama, benda bersama, tanah bersama dan pemeliharaan serta perbaikannya. Hal tersebut berkaitan erat dengan analisa fungsionalisme yang memberikan prioritas utama pada masyarakat dan berbagai struktur sosial yang ada di dalamnya. Dalam perspektif ini, masyarakat dianggap sebagai sebuah jaringan teroganisir yang masing-masing mempunyai fungsi. Masyarakat mendahului individu, sedangkan individu dicetak, ditekan dan dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Artinya, kepentingan individu mencerminkan “kesadaran kolektif” atau sistem nilai yang selama ini berkembang di masyarakat. Dalam menganalisa suatu masyarakat, maka tekanan ini disalurkan melalui mekanisme dimana institusi-institusi sosial diintegrasikan satu sama lain untuk mempertahankan keteraturan sosial yang sudah ada (Johnson, 1990: 102). Sehingga menurut Ritzer (2010: 21), keberadaan institusi sosial di dalam masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang memiliki fungsi dan peran masing-masing yang saling mendukung karena masyarakat dianggap sebagai sebuah sistem stabil yang cenderung menjaga keseimbangan dan keharmonisan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan 29 menyebabkan perubahan terhadap bagian yang lain. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur sosial dan sistem sosial terdapat bagian atau elemen bersifat fungsional terhadap bagian atau elemen yang lain. Sebaliknya jika tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya. Teori fungsionalisme menjelaskan bahwa struktur sosial dan institusi sosial berhubungan dengan fungsi dari fakta-fakta sosial yang meneliti tentang hal-hal yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Fungsi dalam teori ini berkaitan dengan akibat-akibat yang dapat diamati dalam proses adaptasi atau penyesuaian suatu sistem (Ritzer, 2010: 22). Sejalan dengan hal tersebut, Talcott Parsons menjelaskan tentang pentingnya memahami keseluruhan budaya dalam suatu masyarakat seperti: ide-ide, norma, nilai-nilai dan semangat. Hal tersebut merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh pemahaman tentang masyarakat karena dapat mengungkapkan pandangan hidup yang umum. Menurut Parsons, tradisi idealistik ini menekankan pentingnya hubungan antara tindakan individu dengan pola-pola institusional. Dengan kata lain keberadaan institusi sosial merupakan pola atau sistem aktivitas bersama yang dapat memberikan daya dukung dalam pelaksanaan pembangunan yang di dalamnya terkandung perubahan 30 dan pembaharuan yang memiliki kemampuan adaptif (Soetomo, 2012: 136-137). Analisa Parsons memperlihatkan bahwa individu dalam masyarakat menuju posisi voluntaristik (bebas), sehingga orientasi normatif dan ide-ide yang dianut bersama menjadi suatu hal penting ketika bisa diterima dan diakui. Analisa tersebut berkaitan erat dengan proses pembentukan institusi sosial yang dianggap mendukung peningkatan kesejahteraan sosial di masyarakat. Dimana proses ini hanya akan dicapai jika setiap bagian dari individu dalam masyarakat dapat memainkan perannya masing-masing, sehingga sistem di dalam masyarakat secara keseluruhan bisa seimbang dan dapat bekerja dengan baik. Jika dikaitkan dengan kesejahteraan sosial, maka dapat diartikan bahwa setiap bagian dari sistem kemasyarakatan atau subsistem kemasyarakatan merupakan media pembentuk kesejahteraan sosial, selama mereka mampu menjalankan fungsi sesuai dengan kedudukan yang dimilikinya. Berdasarkan konsep Parsons, berlangsungnya subsistemsubsistem dalam suatu sistem kemasyarakatan dapat dijelaskan dengan skema fungsi AGIL, yaitu Adaptation, Goal Attainment, Integration dan Latency (Poloma, 1994: 181-182; Megawangi, 1999: 62-64). 31 a) Adaptation (adaptasi), yaitu sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan ini dengan kebutuhannya. b) Goal Attainment (pencapaian tujuan), yaitu sebuah sistem yang harus mendefinisikan dan mencapi tujuan utamanya. c) Integration (integrasi), yaitu sebuah sistem harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi penting lainnya (A, G, L). d) Latent Pattern-maintenance (latensi atau pemeliharaan pola), yaitu sistem harus memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki baik motivasi, individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi. Mampu menjamin adanya kesinambungan tindakan dalam sistem sesuai dengan beberapa aturan atau norma-norma. 32 Gambar 1.1 Skema Fungsi AGIL Sumber: Diolah dari Poloma, 1994 dan Megawangi 1999. Agar suatu sistem dapat bertahan maka harus memiliki keempat fungsi analisa yang memberikan penekanan pada hubungan antar individu yang saling berinteraksi secara seimbang sehingga hubungan sosial yang terbentuk bisa bertahan lama. Berdasarkan hasilhasil pengembangan skema AGIL tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa empat masalah fungsional utama dalam keberlangsungan sistem yaitu adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan pemeliharaan sistem yang berada pada tingkatan sistem kepribadian, sosial dan budaya. Penyeimbang kepuasan dalam hubungan sosial diatur oleh standar normatif dan orientasi nilai kebudayaan tertentu. Merujuk 33 pandangan Parsons di atas, maka pengembangan institusi sosial di lingkungan masyarakat penghuni rusunawa harus bisa bergerak pada keempat fungsi tersebut. Artinya, institusi sosial akan tercipta jika dalam masyarakat memiliki fungsi adaptasi, tujuan, integrasi dan pemeliharan sosial. Kerangka tersebut menjelaskan bahwa masyarakat harus menyesuaikan diri terhadap kenyataan dan tindakan mereka harus diarahkan pada tujan demi kepentingan bersama. Jika fungsi tersebut tidak dipelihara dengan baik, maka perubahan sosial yang terjadi karena tidak berfungsinya institusiinstitusi sosial yang ada dapat mempengaruhi pembangunan kesejahteraan sosial. Imbasnya, banyak komunitas di masyarakat menjadi rentan karena mengalami social disorder atau social harmony. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran untuk hidup dan terikat secara bersama-sama dalam sebuah institusi sosial dimana individu yang menjadi anggotanya bisa melindungi masyarakat dari kerentanan akibat perubahan dalam aspek kehidupan mereka (Muttaqin, 2003: 1). Pemberdayaan institusi sosial yang berbasis pada komunitas lokal sebagai faktor penentu peningkatan kesejahteraan masyarakat hendaknya dipikirkan atas dasar konseptualisasi masyarakat setempat dengan memelihara keempat fungsi sub-sistem Parsonian tesebut. 34 Penekanan fungsionalisme sebagai landasan dalam membangun institusi sosial yang dianggap dapat mendukung pencapaian kesejahteraan bagi masyarakat berpenghasilan renadh menjadi hal yang tidak bisa diabaikan karena di dalamnya terkandung peran individu yang merupakan hasil dari orientasi pranata dan nilai yang dianut secara bersama-sama untuk bisa saling melengkapi. Hal ini juga tidak terlepas dari kenyataan bahwa menyesuaikan diri dengan harapan-harapan orang banyak dapat digunakan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan masing-masing pihak, meningkatkan taraf hidup, serta sebagai resolusi untuk mengatasi permasalah sosial yang terjadi di masyarakat itu sendiri (Midgley, 2005: 21). 35