BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Penataan Ruang 1. Tinjauan Umum Penataan Ruang Ruang dapat diartikan sebagai wadah kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya dan sebagai sumber daya alam. Ruang baik sebagai wadah maupun sebagai sumber daya alam terbatas. Sebagai wadah ia terbatas pada besaran wilayah, sedangkan sumber daya, ia terbatas daya dukungnya. Oleh karena itu menurut.pemanfaatan ruang perlu ditata agar tidak terjadi pemborosan dan penurunan kualitas ruang.1 Ruang (space) diartikan pula sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfera, tempat hidup tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Ruang dapat merupakan suatu wilayah yang mempunyai batas geografis yatu batas menurut keadaan fisik, sosial atau pemerintahan yang terjadi dari sebagian permukaan bumi dan lapisan tanah dibawahnya serta lapisan udara diatasnya. Kartasasmita mengemukakan bahwa Penataan Ruang secara umum mengandung pengertian sebagai suatu proses yang meliputi proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pelaksanaan atau pemanfaatan ruang yang harus berhubungan satu sama lain.2 1 Kantaatmadja, M.K. 1994. Hukum Angkasa dan Hukum Tata Ruang. Mandar Maju Bandung. hal. 115 2 Kartasasmita, G. 1997. Administrasi Pembangunan (Perkembangan Pemikiran dan Prakteknya di Indonesia). LP3ES. Jakarta). Hal. 51 Penataan ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya, hidup melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya 3. Ruang sendiri terbagi dalam beberapa kategori, yaitu: a. Ruang Daratan adalah ruang yang terletak diatas dan dibawah permukaan daratan, termasuk permukaan perairan darat dan sisi darat dari garis laut terendah. b. Ruang Lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut di mulai dari sisi laut dari sisi garis laut terendah termasuk dasar laut dan bagian bumi dibawahnya, dimanan negara Indonesia memiliki hak yuridiksinya. c. Ruang udara adalah ruang yang terletak di atas ruang daratan dan atau ruang lautan sekitar wilayah negara dan melekat pada bumi, dimanan negara Indonesia memiliki hak yuridiksinya. Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (disingkat UUPR), ruang terdiri dari ruang wilayah dan ruang kawasan. Pengertian wilayah dalam Pasal 1 butir 17 UUPR adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenapnya unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administartif dan/atau aspek fungsional. Sedangkan pengertian kawasan dalam Pasal 1 3 Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, selanjutnya disingkat UUPR. butir 20 UUPR adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya. Ruang dalam wilayah nasional adalah wadah bagi manusia untuk melakukan kegiatannya. Hal ini tidaklah berarti bahwa ruang wilayah Nasional akan dibagi habis oleh ruang-ruang yang diperuntukan bagi kegiatan manusia (fungsi budidaya) akan tetapi harus mempertimbangkan pula adanya ruang-ruang yang mempunyai fungsi lindung dalam kaitannya terhadap keseimbangan tata udara, tata air, konservasi flora dan fauna serta satu kesatuan ekologi. Pasal 1 butir 2 UUPR, menjelaskan yang dimaksud dengan tata ruang adalah wujud struktural dan pola ruang. Struktur ruang dalam Pasal 1 butir 3 UUPR adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Sedang pola ruang dalam Pasal 1 butir 4 adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang fungsi budi daya. Pengertian penataan ruang dalam Pasal 1 butir 5 UUPR adalah suatu sistem proses yang terdiri dari perencanan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Proses penataan ruang tersebut merupakan satu kesatuan sistem yang tidak dapat terpisahkan satu sama lainnya. Sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) yuridiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk di dalam bumi sebagai satu kesatuan. Hukum haruslah menjadi sarana pembangunan, artinya bahwa hukum haruslah mendorong proses modernisasi, sejalan dengan fungsi tersebut maka pembentuk Undang-Undang meletakkan berbagai dasar yuridis dalam melakukan berbagai kegiatan pembangunan, sebagai salah satunya yaitu dalam pembuatan undang-undang mengenai penataan ruang.4 Sebagai keberlanjutan dari pengaturan dalam kosnstitusi, berbagai undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya telah dibentuk oleh pemerintah, salah satunya adalah Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. UUPR merupakan Undang-Undang pokok yang mengatur tentang pelaksanaan penataan ruang. Keberadan undang-undang tersebut diharapkan selain sebagai konsep dasar hukum dalam melaksanakan perencanaan tata ruang juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan pemerintah dalam penataan dan pelestarian lingkungna hidup. Setiap pembangunan yang dilakukan dalam suatu negara harus terarah, supaya terjadi keseimbangan, keserasian (keselarasan), berdaya guna, berhasil guna, berbudaya dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Untuk perlu disusun suatu rencana yang disebut rencana tata ruang.rencana tata ruang ada yang bersifat Nasional, artinya meliputi bidang Nasional ada pula yang hanya berlaku untuk wilayah, atau regional tertentu seperti RUTR. 4 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni Bandung, 2002 hal 104. Tata ruang berarti susunan ruang yang teratur. Kata teratur mencakup pengertian serasi dan sederhana sehingga mudah dipahami dan dilaksanakan. Karena pada tata ruang, yang ditata adalah tempat berbagai kegiatan serta sarana dan prasarananya dilaksanakan. Suatu tata ruang yang baik dapat dilaksanakan dari segala kegiatan menata yang baik disebut penataan ruang. Dalam hal ini penataan ruang terdiri dari tiga kegiatan utama yakni perencanaan tata ruang, perwujudan tata ruang dan pengendalian tata ruang.5. Tata ruang merupakan instrument penting bagi pemerintah, penetapan rencana harus mendapat kesepakatan dan penetapan oleh legislative sebagai wakil rakyat dan dukungan masyarakat. Tata ruang secara legal mempunyai kekuatan mengikat untuk dipatuhi baik oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri, sehingga diharapkan proses pemanfatan ruang dapat dilakukan secara konsisten. Pemanfaatan ruang dalam kegiatan pemanfaatan ruang, acuan yang digunakan adalah rencana tata ruang yang diketahui mempunyai dimensi waktu tertentu, yang pada suatu waktu sudah tidak dengan dinamika yang ada. Secara geografis ruang wilayah Indonesia yang terdiri dari ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta seluruh sumber daya alam yang terkandung di dalamnya merupakan aset besar bangsa Indonesia yang harus dimanfaatkan secara terkoordinir, terpadu, dan seefektif 5 Silalahi, M. Daud. 2006. Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Alumni Bandung. hal 80. mungkin dengan memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, serta kelestarian, pertahanan kemamanan, serta kelestarian kemampuan lingkungan hidup.6 Semua pertimbangan- pertimbangan tersebut dimaksudkan agar sumber kekayaan bangsa Indonesia itu semaksimal mungkin dapat menopang terlaksananya pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, sebagai tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya, pada dasarnya ketersediaannya tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal tersebut, dan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, Undang-Undang ini mengamanatkan perlunya dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta yang dapat memberikan pelindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang. Kaidah 6 Ruang wilayah Indonesia berbentuk kepulauan dengan letak dan posisi yang sangat strategis, baik bagi kepentingan nasional maupun internasional. Secara ekosistem kondisi alamiahnya pun sangat khas karena menempati posisi silang di khatulistiwa antara dua benua dan dua samudera dengan cuaca, musim, dan iklim tropis (Penjelasan UndangUndang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dalam Marsono, Ibid., UndangUndang dan Peraturan-Peraturan di Bidang Perumahan dan Pemukiman. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1995, halaman 115-168. penataan ruang ini harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap proses perencanaan tata ruang wilayah7. Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal batas wilayah. Namun, untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, serta sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang nyata, luas, dan bertanggung jawab, penataan ruang menuntut kejelasan pendekatan dalam proses perencanaannya demi menjaga keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan keterpaduan antardaerah, antara pusat dan daerah, antarsektor, dan antarpemangku kepentingan. Dalam Undang-Undang ini, penataan ruang didasarkan pada pendekatan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan8. Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah tersebut, wewenang penyelenggaraan penataan ruang oleh Pemerintah dan pemerintah daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang, didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif. Dengan pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupaten, dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut merupakan 7 8 Angka 3 Penjelasan Umum UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Angka 4 Penjelasan Umum UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang subsistem ruang menurut batasan administratif. Di dalam subsistem tersebut terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan, dan dengan tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, yang apabila tidak ditata dengan baik dapat mendorong ke arah adanya ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah serta ketidaksinambungan pemanfaatan ruang9. Selanjutnya, Penataan ruang dengan pendekatan kegiatan utama kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan. Kawasan perkotaan, menurut besarannya, dapat berbentuk kawasan perkotaan kecil, kawasan perkotaan sedang, kawasan perkotaan besar, kawasan metropolitan, dan kawasan megapolitan. Penataan ruang kawasan metropolitan dan kawasan megapolitan, khususnya kawasan metropolitan yang berupa kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan prasarana wilayah fungsional yang dan terintegrasi, dihubungkan merupakan dengan pedoman jaringan untuk keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah administrasi di dalam kawasan, dan merupakan alat untuk mengoordinasikan pelaksanaan pembangunan lintas wilayah administratif yang bersangkutan. Penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan pada kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten atau pada kawasan yang secara fungsional berciri perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih 9 ibid, Hlm 2. wilayah kabupaten pada 1 (satu) atau lebih wilayah provinsi. Kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten dapat berupa kawasan agropolitan10. Penataan ruang dengan pendekatan nilai strategis kawasan dimaksudkan untuk mengembangkan, melestarikan, melindungi dan/atau mengoordinasikan keterpaduan pembangunan nilai strategis kawasan yang bersangkutan demi terwujudnya pemanfaatan yang berhasil guna, berdaya guna, dan berkelanjutan. Penetapan kawasan strategis pada setiap jenjang wilayah administratif didasarkan pada pengaruh yang sangat penting terhadap kedaulatan negara, pertahanan, keamanan, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk kawasan yang ditetapkan sebagai warisan dunia11. Pengaruh aspek kedaulatan negara, pertahanan, dan keamanan lebih ditujukan bagi penetapan kawasan strategis nasional, sedangkan yang berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan, yang dapat berlaku untuk penetapan kawasan strategis nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, diukur berdasarkan pendekatan ekternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi penanganan kawasan yang bersangkutan. Harus disadari bahwa setiap manusia dan makhluk hidup lainnya membutuhkan ruang sebagai wadah dan pusat kegiatannya, sementara ketersediaan wadah dan pusat kegiatan tersebut sangat terbatas dan bahkan tidak pernah bertambah luas, maka pemanfaatan ruang tersebut 10 11 ibid, hlm 3. ibid, hlm 3-4 perlu diatur dengan sebaik-baiknya agar tidak terjadi pemborosan dan penurunan kualitas ruang. Oleh karena itu, kehadiran berbagai kebijakan penataan ruang harus dimaknakan sebagai upaya untuk mengatur pemanfaatan ruang berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi lokasi, kualitas ruang, dan estetika lingkungan12. Lebih lanjut, Kebijakan penataan ruang tersebut meliputi ruang wilayah nasional, kabupaten/kota. ruang wilayah Masing-masing provinsi, ruang wilayah dan ruang tersebut wilayah merupakan subsistem ruang menurut batasan administrasi belaka, karena secara alamiah ketiga wilayah tersebut merupakan suatu kesatuan dan tidak dapat dipilah-pilah. Sebagai satu kesatuan wilayah ruang yang utuh maka dalam kadar-kadar tertentu pengelolaan salah satu bagian (subsistem) jelas akan berpengaruh pada subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi subsistem ruang secara keseluruhan. Oleh karena itu, pengaturan ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya. Ini berarti perlu adanya suatu kebijaksanaan nasional penataan ruang yang dapat memadukan dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam satu kesatuan sistem, maka diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat memberi dasar yang jelas, tegas, dan menyeluruh dalam upaya pemanfaatan ruang13. 12 Edy Lisdiono. 2008. Legislasi Penataan Ruang (Studi tentang Pergeseran Kebijakan Hukum Tata Ruang dalam Regulasi Daerah di Kota Semarang). Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro - Semarang. hal. 247. 13 Ibid, hlm. 247-248 Dalam sejarah penataan ruang, Indonesia pertama kali memiliki Undang-Undang penataan ruang yaitu Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang disahkan pada tanggal 13 Oktober 1992, kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Perubahan tersebut didasarkan pada pertimbangan, antara lain: (a) situasi nasional maupun internasional yang menuntut penegakan prinsip keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi dan keadilan dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang yang baik; (b) pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yang memberikan wewenang yang semakin besar kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang sehingga pelaksanaan kewenangan tersebut perlu diatur demi menjaga keserasian dan keterpaduan antardaerah demi menghindari kesenjangan antardaerah; dan (c) kesadaran dan pemahaman masyarakat yang semakin tinggi terhadap penataan ruang yang memerlukan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang agar sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat.14 Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, dalam mencapai tujuan penyelenggaraan penataan ruang nasional, Undang-undang yang baru ini memuat beberapa ketentuan pokok sebagai berikut: a. Pembagian wewenang antara pemerintah (pusat), pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemanfaatan ruang untuk memberikan kejelasan tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan; 14 Angka 8 Penjelasan Umum UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. b. Pengaturan penataan ruang yang dilakukan melalaui penetapan peraturan pewrundang-undangan termasuk pedoman bidang penataan ruang sebagai acuan penyelenggaraan penataan ruang; c. Pembinaan penataan ruang melalui berbagai kegiatan untuk meningkatkan kinerja penyelengagaraan penataan ruang; d. Pelaksanaan penataan ruang yang mencakup perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang pada semua tingkat pemerintahan; e. Pengawasan penataan ruang yang mencakup pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang termasuk pengawasan terhadap kinerja pemenuhan standar pelayanan minimal biodang penataan ruang melalui kegiatan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan; f. Hak, kewajiban, dan peraan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam setiap proses penyelenggaraan penataan ruang; g. Penyelesaian sengketa, baik sengketa anatar daerah maupun antar pemangku kepentingan lain secara bermartabat; h. Penyidikan, yang mengatur tentang penyidik pegawai negari sipil beserta wewenang dan mekanisme tindakan yang dilakukan; i. Ketentuan sanksi administratif dan sanksi pidana sebagai dasar untuk penegakan hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang; dan j. Ketentuan peralihan yang mengatur keharusan penyelesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang yang baru, dengan masa transisi selama 3 (tiga) tahun untuk penyesuaian.15 2. Prinsip-prinsip dasar dan Tujuan Penataan Ruang Penataan ruang wilayah Indonesia, baik untuk kepentingan pemerintah maupun kepentingan masyarakat, pada dasarnya diletakkan di atas beberapa prinsip dasar16, yakni: (a) Prinsip keterpaduan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan, antara lain, adalah Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. 15Angka 16 9 Penjelasan Umum UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Penjelasan Pasal 2 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. (b) Prinsip keserasian, keselarasan, dan keseimbangan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antardaerah serta antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. (c) Prinsip keberlanjutan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang. (d) Prinsip keberdayagunaan dan keberhasilgunaan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang terkandung di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas. (e) Asas keterbukaan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang. (f) Prinsip kebersamaan dan kemitraan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. (g) Prinsip pelindungan kepentingan umum adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. (h) Prinsip kepastian hukum dan keadilan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan berlandaskan hukum/ketentuan peraturan perundangundangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum. (i) Prinsip akuntabilitas adalah bahwa penyelenggaraan penataan ruang dapat dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya, maupun hasilnya. Selain prinsip-prinsip dasar penataan ruang sebagaimana dimaksud di atas, penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah berkelanjutan nasional yang berlandaskan aman, Wawasan nyaman, Nusantara produktif, dan dan Ketahanan Nasional dengan: (a) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; (b) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan (c) terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang17. Makna aman dalam tujuan penyelenggaraan tata ruang tersebut adalah situasi masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan terlindungi dari berbagai ancaman. Nyaman adalah keadaan masyarakat dapat mengartikulasikan nilai sosial budaya dan fungsinya dalam suasana yang tenang dan damai. Produktif dimaksudkan sebagai proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat, sekaligus meningkatkan daya saing. Sedangkan berkelanjutan adalah kondisi kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya sumber daya alam tak terbarukan 18. Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang daratan, ruang laut, ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan. Dalam Pasal 6 Ayat (5) UUPR, bahwa ruang laut dan ruang udara pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri. Penataan ruang untuk wilayah Laut, diatur lebih lanjut dalam UUPWP3K, khususnya berkaitan dengan Rencana Zonasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Pasal 1 Angka 14, Pasal 7 Ayat (1) b, Pasal 9, 10 dan 11) dan UU Kelautan (Pengelolaan Ruang Laut, Pasal 42 s.d. 49). Lebih lanjut mengenai penataan ruang laut 17 18 Pasal 3 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Penjelasan Pasal 3 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil) diuraikan pada bagian lain naskah ini. B. Penataan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 1. Pengertian Pesisir dan Wilayah Pesisir Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)19, pesisir diartikan sebagai tanah datar berpasir di pantai (di tepi laut); sedangkan pesisir basah diartikan daerah antara garis pantai waktu (air) laut surut dan pantai waktu (air) laut pasang; pasir kering diartikan daerah antara garis pantai waktu (air) laut pasang dan garis pantai tertinggi yang dapat dicapai oleh (air) laut pada waktu topan melanda. Wilayah pesisir menurut Kay dan Alder20 “The band of dry land adjancent ocean space (water and submerged land) in wich terrestrial processes and land uses directly affect oceanic processes and uses, and vice versa”. Diartikan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah yang merupakan tanda atau batasan wilayah daratan dan wilayah perairan yang mana proses kegiatan atau aktivitas bumi dan penggunaan lahan masih mempengaruhi proses dan fungsi kelautan. Sedangkan pengertian wilayah pesisir dikemukakan oleh Suprihayono21, bahwa wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut 19 Tim Pembuat Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. hal. 762. 20 Kay R and Alder J, 1999. Coastal Planning and Management, E & FN Spon, an imprint of Routledge, London. hal. 5 21 Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal. 7. seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Pengertian wilayah pesisir menurut kesepakatan terakhir internasional menurut Beatley et al., 1994, sebagaimana dikutip oleh Dahuri dkk.22, merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf). Dari pengertian-pengertian di atas dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik karena merupakan tempat percampuran antara daratan dan lautan, hal ini berpengaruh terhadap kondisi fisik dimana pada umumnya daerah yang berada di sekitar laut memiliki kontur yang relatif datar. Adanya kondisi seperti ini sangat mendukung bagi wilayah pesisir dijadikan daerah yang potensial dalam pengembangan wilayah keseluruhan. Hal ini menunjukan garis batas nyata wilayah pesisir tidak ada. Batas wilayah pesisir hanyalah garis khayalan yang letaknya ditentukan oleh kondisi dan situasi setempat. Di daerah pesisir yang landai dengan sungai besar, garis batas ini dapat berada jauh dari garis pantai. Sebaliknya di tempat yang berpantai curam 22 Dahuri, Rokhmin, dkk. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta. Cetakan keempat. hal. 9 dan langsung berbatasan dengan laut dalam, wilayah pesisirnya akan sempit. Berikut perbandingan batas wilayah pesisir menurut beberapa Negara atau Negara Bagian di Amerika Serikat . Tabel 1 Batas ke arah darat dan ke arah laut wilayah pesisir yang telah dipraktekkan di beberapa Negara atau Negara Bagian No. 1 2 3 Negara/Negara Bagian Brazilia California - 1972 -1976 - 1977 - sekarang Washington State - Batas Perencanaan - batas Pengaturan 4 5 Costa Rica Cina 6 Ekuador 7 Israel 8 9 10 11 Afrika Selatan Australia Selatan Queensland Spanyol Batas ke arah Darat Batas ke arah Laut 2 km dari garis PTR 12 km dari garis PTR - 1.000 m dari garis PTR - Batas Arbitrer tergantung isu pengelolaan - 3 mil laut dari garis GD - 3 mil laut dari garis GD - Batas darat dari negara pantai - 61 meter dari garis PTR 200 meter dari garis PTR 10 km dari PTR - 3 mil laut dari GD - 3 mil laut dari PTR Batas arbitrer tergantung isu pengelolaan 1 - 2 km tergantung jenis sumberdaya dan lingkungan 1 km dari garis PTR 100 km dari garis PTR 400 meter dari PTR 500 m dari garis PTR Garis pantai saat PRR Sampai kedalaman laut/isobath 15 meter Belum ditetapkan (BL) 500 m dari garis pantai saat PRR BL 3 mil laut dari GD 3 mil laut daro PTR 12 mil laut/batas teritorial perairan Sumber: Sorensen dan Mc. Creary (1990) dikutip dari Dahuri, dkk.23 Keterangan: PTR : Pasang surut Tinggi Rata-rata (mean high tide) PRR : Pasang surut Rendah Rata-rata (mean low tide) GD : Garis Dasar BL : Belum ditetapkan Secara yuridis, wilayah pesisir diartikan Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut24. Dalam Pasal 2 UUPWP3K, disebutkan bahwa ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 23 Dahuri, Rokhmin, dkk. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta. Cetakan keempat. hal. 9 24 Pasal 1 Angka 2 UUPWP3K. meliputi daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai. Gambaran wilayah pesisir sebagai berikut. Bagan - 1 Gambaran Wilayah Pesisir menurut UUPWP3K25 Minimal 100 meter Keterangan: HWL= High Water Level LWL = Low Water Level Selain pengertian wilayah pesisir sebagaimana dimaksud di atas, secara teoritis, batasan pengertian wilayah pesisir dapat dijelaskan dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu pendekatan ekologis, pendekatan perencanaan dan pendekatan administratif. Pendekatan ekologis yaitu wilayah pesisir merupakan kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan seperti pasang surut dan intrusi air laut dan kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses daratan, seperti 25 Yudha Arie Wibowo. 2012. Teknik Pantai (Coastal Engineering). https://oseanografi hanhtuah.wordpress.com. sedimentasi dan pencemaran26. Berdasarkan pendekatan secara administrasi, wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten atau kota yang mempunyai wilayah laut dan ke arah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk propinsi atau sepertiganya untuk kabupaten atau kota. Pendekatan dari segi perencanaan, wilayah pesisir merupakan wilayah perencanaan pengelolaan sumber daya yang difokuskan pada penanganan suatu masalah yang akan dikelola secara bertanggung jawab27. 2. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu Pembangunan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang sangat kompleks, dilakukan dengan menerapkan prinsip keterpaduan (integrated coastal management/ICM). Sesuai dengan prinsip-prinsip ICM, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UUPWP3K, pengelolaan wilayah pesisir melibatkan banyak sektor dan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati, sehingga pelaksanaannya dilakukan dengan cara menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, mengikutsertakan peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah. 26 Lazarus Tri Setyawanto, 2005. Masalah-Masalah Hukum di Wilayah Pesisir dan Laut, Syclosundip Semarang. hal. 84 27 Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2001, Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir, hal. 1-5 Pengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil secara terpadu28 mengacu pada Chapter 17 Agenda 21, Deklarasi Johannesburg 2002, Plan of Implementation of the World Summit on Sustainable Development, 2002, dan Bali Plan of Action 2005. ICM merupakan pedoman dalam pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut dengan memperhatikan lingkungan. Implementasi ICM dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi konflik dalam pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir dan laut, dan tumpang tindih kewenangan serta benturan kepentingan antar sektor29. ICM merupakan suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan. Dalam konteks demikian, ICM mengandung tiga dimensi yaitu sektoral, bidang ilmu dan ekologis30. Pengelolaan terpadu secara sektoral, berarti adanya koordinasi antara tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration), dan 28 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. 29 Dina Sunyowati, 2008. Kerangka Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Berdasarkan Konsep Integrated Coastal Management dalam Rangka Pembangunan Kelautan Berkelanjutan. Ringkasan Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya. hal. 16. 30 Rohmin Dahuri dkk. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta. Cetakan Keempat. hal. 12 antar tingkat pemerintahan (vertikal integration). Selanjutnya pengelolaan terpadu secara keilmuan, berarti bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut dalam rangka penataan ruang menggunakan interdisiplin ilmu (interdiclipinary approaches) yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum dan lainnya yang relevan. Pengelolaan terpadu secara ekologis, yaitu keterpaduan antara ekosistem darat dan ekosistem pesisir dan laut.31 Pembangunan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang sangat kompleks, dilakukan dengan menerapkan prinsip keterpaduan (integrated coastal management/ICM). Sesuai dengan prinsip-prinsip ICM, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UUPWP3K, pengelolaan wilayah pesisir melibatkan banyak sektor dan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati, sehingga pelaksanaannya dilakukan dengan cara menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, mengikutsertakan peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah. Pengelolaan sumber daya kelautan (termasuk pesisir dan pulaupulau kecil) secara terpadu, menurut Arifin Rudyanto32 difokuskan pada empat aspek, yaitu 1). Keterpaduan antara berbagai sektor dan swasta yang berasosiasi; 2). Keterpaduan antara berbagai level pemerintahan, mulai dari pusat sampai dengan kabupaten/kota, kecamatan dan desa; 3). 31 Ibid. hal 12. Arifin Rudyanto. 2004. Kerangka Kerjasama dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut. Makalah disampaikan pada Sosialisasi Nasional Program MFDCP, 22 September 2004. Hal. 3 32 integrasi antara pemanfaatan ekosistem darat dan laut; dan 4). Integrasi antara sains/teknologi dan manejemen. Selanjutnya diatur dalam Pasal 6 UUPWP3K, bahwa keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil wajib dilakukan dengan cara mengintegrasikan kegiatan: a. antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah; b. antar-Pemerintah Daerah; c. antarsektor; d. antara Pemerintah, dunia usaha, dan Masyarakat; e. antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan f. antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen. Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive kemudian assessment), merencanakan pemanfaatannya guna merencanakan serta mencapai tujuan mengelola pembangunan dan segenap yang sasaran, kegiatan optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomisbudaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada. Keterpaduan perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu ini sebagaimana dikemukakan oleh Wahyu Hartomo33, mencakup 4 (empat) aspek, yaitu: (1) keterpaduan wilayah/ekologis; (2) keterpaduan 33 Wahyu Hartomo. 2004. Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir terpadu dalam Menunjang Pembangunan Daerah. Makalah disampaikan pada Matakuliah Pengantar ke Falsafah Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (Program Doktor). hal. 6-7 sektor; (3) keterpaduan disiplin ilmu; dan (4) keterpaduan stakeholder. Uraiannya sebagai berikut. a. Keterpaduan Wilayah/Ekologis Secara keruangan dan ekologis wilayah pesisir memiliki keterkaitan antara lahan atas (daratan) dan laut lepas, disebabkan karena wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara daratan dan laut. Dengan keterkaitan kawasan tersebut, maka pengelolaan kawasan pesisir dan laut tidak terlepas dari pengelolaanlingkungan yang dilakukan di kedua kawasan tersebut. Berbagai dampak lingkungan yang mengenai kawasan pesisir dan laut adalah akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan atas, seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, pemukiman dan sebagainya, demikian juga dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan perhubungan laut. Penanggulangan pencemaran yang diakibatkan oleh industri dan limbah rumah tangga, sedimentasi akibat erosi dari kegiatan perkebunan dan kehutanan, dan limbah pertanian tidak dapat hanya dilakukan di kawasan pesisir saja, melainkan harus dilakukan mulai dari sumber dampaknya. Oleh karena itu, pengelolaan di wilayah ini harus diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta Daerah Aliran Sungai (DAS). b. Keterpaduan Sektor Sebagai konsekuensi dari besar dan beragamnya sumberdaya alam di kawasan pesisir dan laut adalah banyaknya instansi atau sektor-sektor pelaku pembangunan yang bergerak dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut antar satu sektor dengan sektor lainnya. Agar pengelolaan sumberdaya alam di kawasan pesisir dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan, maka dalam perencanaan pengelolaan harus mengintegrasikan semua kepentingan sektoral. Kegiatan suatu sektor tidak dibenarkan mengganggu, apalagi sampai mematikan kegiatan sektor lain. Keterpaduan sektoral ini, meliputi keterpaduan secara horisontal (antar sektor) dan keterpaduan secara vertikal (dalam satu sektor). Oleh pembangunan karena di itu, kawasan penyusunan pesisir tata sangat ruang perlu dan panduan dilakukan untuk menghindari benturan antara satu kegiatan dengan kegiatan pembangunan lainnya. c. Keterpaduan Disiplin llmu Wilayah pesisir dan laut memiliki sifat dan karakteristik yang unik, baik sifat dan karakteristik ekosistem pesisir maupun sifat dan karakteristik sosial budaya masyarakat pesisir. Sehingga dalam mengkaji wilayah pesisir dan laut tidak hanya diperlukan satu disiplin ilmu saja, tetapi dibutuhkan berbagai disiplin ilmu yang menunjang sesuai dengan karakteristik pesisir dan lautan tersebut. Dengan sistem dinamika perairan pesisir yang khas, dibutuhkan disiplin ilmu khusus pula seperti hidrooseanografi, dinamika oseanografi dan sebagainya. Selain itu, kebutuhan akan disiplin ilmu lainnya juga sangat penting. Secara umum, keterpaduan disiplin ilmu dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut adalah ilmu-ilmu ekologi, oseanografi, keteknikan, ekonomi, hukum dan sosiologi. d. Keterpaduan Stakeholder Segenap keterpaduan di atas, akan berhasil diterapkan apabila ditunjang oleh keterpaduan dari pelaku dan pengelola pembangunan di kawasan pesisir dan laut. Seperti diketahui bahwa pelaku pembangunan dan pengelola sumberdaya alam wilayah pesisir antara lain terdiri dari pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat pesisir, swasta/investor dan juga lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang masing-masing memiliki kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir. Penyusunan perencanaan pengelolaan terpadu harus mampu mengakomodir segenap kepentingan pelaku pembangunan sumberdaya pesisir dan laut. Oleh karena itu, perencanaan pengelolaan pembangunan harus menggunakan pendekatan dua arah, yaitu pendekatan top down dan pendekatan bottom up. 3. Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan hukum laut Internasional, diantaranya adalah Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nations Convention on the Law of the Sea /UNCLOS), 1982. Berikut beberapa pengaturan hukum pengelolaan wilayah pesisir dan laut menurut hukum nasional Indonesia34. 34 Dina Sunyowati. Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia. https://www.scribd.com/doc/174723592/574-1661-1-PB.pdt.; Journal.lib.unair.ac.id/index. php/YRD/ articel.../573. Diakses tanggal 5 Januari 2015. a. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982 Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982, disahkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982. UNCLOS 1982 tidak mengatur secara khusus dalam pasal-pasalnya tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Tetapi tersirat bahwa sumber kekayaan yang ada di laut memerlukan pengelolaan yang baik sesuai dengan prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan, tanpa merusak lingkungan laut, sehingga dapat digunakan untuk kemakmuran umat manusia. b. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982, membawa konsekuensi kepada NKRI untuk memperbarui ketentuan tentang Perairan Indonesia seperti diatur dalam Undang-undang Nomor 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan disesuaikan dengan perkembangan rezim baru negara kepulauan sebagaimana di muat dalam Bab IV UNCLOS 1982. Pengaturan khusus tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut tidak dijelaskan secara terinci, tetapi hanya di atur tersirat dalam Bab IV tentang Pemanfaatan, Pengelolaan, Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Perairan Indonesia. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip sustainable development dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dan laut. Dalam Pasal 23 ayat (1) disebutkan bahwa: “Pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku dan hukum internasional”. Sebagai upaya untuk meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam di perairan Indonesia, dijelaskan dalam Pasal 23 ayat (3), bahwa apabila diperlukan untuk meningkatkan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025 Pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan merupakan bagian dari rencana pembangunan yang akan dilakukan oleh pemerintah sesuai RPJP Nasional Tahun 2005-2025, tertuang dalam Bab II – huruf I yang mengatur mengenai Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Dalam Bab II-huruf I dinyatakan bahwa sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pembangunan dan sekaligus lingkungan sebagai meliputi penopang sistem keanekaragaman kehidupan. hayati, Adapun penyerapan jasa-jasa karbon, pengaturan secara alamiah, keindahan alam, dan udara bersih merupakan penopang kehidupan manusia. Arah pembangunan untuk mengembangkan potensi sumber daya kelautan menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP Nasional adalah pendayagunaan dan pengawasan wilayah laut yang sangat luas. Arah pemanfaatannya harus dilakukan melalui pendekatan multisektor, integratif, dan komprehensif agar dapat meminimalkan konflik dan tetap menjaga kelestariannya. Mengingat kompleksnya permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil, pendekatan keterpaduan dalam kebijakan dan perencanaan menjadi prasyarat utama dalam menjamin keberlanjutan proses ekonomi, sosial, dan lingkungan sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam integrated coastal management. d. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Hal ini dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan tentang pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut selama ini lebih berorientasi kepada eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut tanpa memperhatikan kelestarian sumberdayanya, dan belum mampu untuk mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan lingkungan. Seperti disebutkan dalam Penjelasan UUPWP3K, bahwa norma-norma pengelolaan wilayah pesisir disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagai negara hukum, pelaksanaan pengembangan sistem pengelolaan wilayah pesisir dan laut sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan harus sesuai dengan norma diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan wilayah pesisir. Asas-asas yang terdapat dalam UUPWP3K, merupakan implementasi dari prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam integrated coastal management. Implementasi dari prinsip-prinsip tersebut disesuaikan dengan kondisi geografis dan masyarakat di Indonesia. Konsistensi dan keterpaduan dalam melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir sesuai dengan asas-asas tersebut memerlukan pengawasan dan evaluasi, baik oleh Pemerintah atau stakeholders. Perencanaan wilayah pesisir terbagi dalam 4 (empat tahapan) yang secara rinci akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri, yaitu (1) rencana strategis; (2) rencana zonasi; (3) rencana pengelolaan; dan (4) rencana aksi (Pasal 7). Keberadaan masyarakat adat yang telah memanfaatkan pesisir secara turun temurun, seperti sasi, hak ulayat laut, terhadap mereka sesuai Undang-undang harus dihormati dan dilindungi seperti diatur dalam Pasal 61 ayat (1) UUPWP3K. pembagian dan Untuk menghindari perbedaan penafsiran, penentuan batas wilayah pesisir terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir diperlukan upaya integrasi dan koordinasi dengan sektor lain yang terkait, terutama dalam konservasi sumberdaya alam milik bersama (common property resources) sehingga tidak menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya. Ruang lingkup wilayah pesisir sesuai dengan Pasal 2 UUPWP3K sangat terkait dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu membagi wilayah laut untuk keperluan administrasi dan batas kewenangan di daerah. Selanjutnya, untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di darat dan dasar laut, maka Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyesuaikan dengan UUPWP3K. Penyelesaian sengketa dalam pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir menurut UUPWP3K ditempuh melalui pengadilan dan/atau di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa pengelolaan wilayah pesisir melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti kerugian, atau tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh para pihak yang kalah dalam sengketa. Sedangkan penyelesaian di luar pengadilan dilakukan dengan cara konsultasi, penilaian ahli, negosiasi, mediasi, konsultasi, arbitrasi atau melalui adat istiadat/kebiasaan/kearifan lokal. Salah satu instrumen penting dalam pengendalian pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah dengan diberikannya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) kepada pengguna, namun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010 terhadap yudicial review UU No. 27 tahun 2007, maka HP3 dianggap bertentangan dengan konstitusi dan semua pasal-pasal terkait dinyatakan dihapus35. Untuk itu berdasarkan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007, instrumen HP3 sebagaimana diatur dalam UU No. 27 Tahun 2007 diganti menjadi instrumen perizinan, yaitu Izin Lokasi 35 Pasal 1 Angka 18; Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23 ayat 3 dan 5; Pasal 50, 51, 60 (1), 71 dan 75)) UU No. 27 Tahun 2007. dan Izin Pengelolaan36 yang diatur dalam pasal Pasal 1 Angka 18 dan 18A; Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 22A, 22B, 22C, 23, 26A, Pasal 50, 51, 60, 71, 75, dan Pasal 75A UU No. 1 Tahun 2014. e. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Undang-undang ini adalah undang-undang pertama yang mengatur mengenai kelautan secara komprehensif, meliputi pengaturan penyelenggaraan kelautan Indonesia secara terpadu dan berkelanjutan untuk mengembangkan kemakmuran negara. Dasar pertimbangannya adalah a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki sumber daya alam yang melimpah yang merupakan rahmat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh bangsa dan negara Indonesia yang harus dikelola secara berkelanjutan untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa wilayah laut sebagai bagian terbesar dari wilayah Indonesia yang memiliki posisi dan nilai strategis dari berbagai aspek kehidupan yang mencakup politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan merupakan modal dasar pembangunan nasional; dan bahwa pengelolaan sumber daya kelautan dilakukan melalui sebuah kerangka hukum untuk memberikan 36 Izin Lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulaupulau kecil. Izin Pengelolaan adalah izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil. (Pasal 1 Angka 8 dan 8A UU No. 1 tahun 2014). kepastian hukum dan manfaat bagi seluruh masyarakat sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara37. Dalam ketentuan umum undang-undang ini, yang dimaksud dengan laut adalah ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan dengan daratan dan bentuk-bentuk alamiah lainnya, yang merupakan kesatuan geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait, dan yang batas dan sistemnya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan hukum internasional. Sedangkan Kelautan adalah hal yang berhubungan dengan laut dan/atau kegiatan di wilayah laut yang meliputi dasar aut dan tanah di bawahnya, kolom air dan permukaan laut, termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Sedangkan Pembangunan Kelautan adalah pembangunan yang memberi arahan dalam pendayagunaan sumber daya Kelautan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, dan keterpeliharaan daya dukung ekosistem pesisir dan laut38. Penyelenggaraan kelautan meliputi: a wilayah laut; b. pembangunan kelautan; c. pengelolaan kelautan; d. pengembangan kelautan; e. pengelolaan ruang laut dan pelindungan lingkungan laut; f. pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut; dan g. tata kelola dan kelembagaan. Penyelenggaraan Kelautan bertujuan untuk: a. menegaskan Indonesia sebagai negara kepulauan berciri nusantara dan maritim; b. mendayagunakan sumber daya kelautan dan/atau kegiatan di wilayah 37 38 Konsiderans Menimbang UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Pasal 1 Angka (1), (2) dan (6) UU Kelautan laut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum laut internasional demi tercapainya kemakmuran bangsa dan negara; c. mewujudkan laut yang lestari serta aman sebagai ruang hidup dan ruang juang bangsa Indonesia; d. memanfaatkan sumber daya kelautan secara berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang; e. memajukan budaya dan pengetahuan Kelautan bagi masyarakat; f. mengembangkan sumber daya manusia di bidang kelautan yang profesional, beretika, berdedikasi, dan mampu mengedepankan kepentingan nasional dalam mendukung pembangunan kelautan secara optimal dan terpadu; g. memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi seluruh masyarakat sebagai negara kepulauan; dan h. mengembangkan peran Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam percaturan kelautan global sesuai dengan hukum laut internasional untuk kepentingan bangsa dan negara39. Wilayah laut terdiri atas wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi serta laut lepas dan kawasan dasar laut internasional. Wilayah perairan meliputi: a. perairan pedalaman; b. perairan kepulauan; dan c. laut teritorial. Sedangkan Wilayah yurisdiksi meliputi: a. Zona Tambahan; b. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; dan c. Landas Kontinen. Negara Indonesia memiliki: a. kedaulatan pada perairan pedalaman, perairan Kepulauan, dan laut teritorial; b. yurisdiksi tertentu pada Zona Tambahan; dan c. hak berdaulat pada Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen. Kedaulatan, 39 Pasal 3 UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan yurisdiksi tertentu, dan hak berdaulat di dalam wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dan hukum internasional40. Pengelolaan kelautan sesuai dengan kewenangannya, Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pengelolaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya kelautan dengan menggunakan prinsip ekonomi biru. Yang dimaksud dengan ekonomi biru adalah sebuah pendekatan untuk meningkatkan Pengelolaan Kelautan berkelanjutan serta konservasi Laut dan sumber daya pesisir beserta ekosistemnya dalam rangka mewujudkan pertumbuhan ekonomi dengan prinsip-prinsip antara lain keterlibatan masyarakat, efisiensi sumber daya, meminimalkan limbah, dan nilai tambah ganda (multiple revenue)41. Pengelolaan ruang laut meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian. Perencanaan ruang laut, meliputi: a. perencanaan tata ruang laut nasional; b. perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan c. perencanaan zonasi kawasan laut. Dalam penjelasan Pasal 43 disebutkan bahwa Perencanaan ruang laut merupakan suatu proses untuk menghasilkan rencana tata ruang laut dan/atau rencana zonasi untuk menentukan struktur ruang laut dan pola ruang laut. Struktur ruang laut merupakan susunan pusat pertumbuhan Kelautan dan sistem jaringan prasarana dan sarana Laut yang berfungsi 40 41 Pasal 6 Ayat (1), Pasal 7 Ayat (1) dan (2) UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Pasal 14 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2014, dan Penjelasannya sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang laut meliputi kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, alur laut, dan kawasan strategis nasional tertentu. Perencanaan ruang laut dipergunakan untuk menentukan kawasan yang dipergunakan untuk kepentingan ekonomi, sosial budaya, misalnya, kegiatan perikanan, prasarana perhubungan laut, industri maritim, pariwisata, permukiman, dan pertambangan; untuk melindungi kelestarian sumber daya kelautan; serta untuk menentukan perairan yang dimanfaatkan untuk alur pelayaran, pipa/kabel bawah laut, dan migrasi biota Laut. Perencanaan tata ruang laut nasional mencakup wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi42. f. Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Dalam kerangka otonomi daerah, Pemerintah Daerah Provinsi yang memiliki wilayah laut diberi kewenangan untuk mengelola sumberdaya laut di wilayahnya. Ketentuan ini tidak lagi memberikan kewenangan daerah kabupaten/Kota untuk mengelola wilayah laut sebagaimana undangundang terdahulu. Namun, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat menikmati bagi hasil dari sumberdaya laut dalam batas 4 mil laut. Dalam undang-undang ini, urusan Kelautan dan Perikanan termasuk dalam urusan pemerintahan pilihan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Ayat (3) UU Pemerintahan Daerah. 42 Pasal 42 dan 43 UU No. 32 Tahu 2014 tentang Kelautan Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut meliputi: a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi; b. pengaturan administratif; c. pengaturan tata ruang; d. ikut serta dalam memelihara keamanan di laut; dan e. ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara43. Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Bagi daerah provinsi yang berciri kepulauan, selain mempunyai kewenangan mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, juga mendapat penugasan dari Pemerintah Pusat untuk melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat di bidang kelautan berdasarkan asas Tugas Pembantuan. 4. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Tata Ruang Laut Kewenangan pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam pengaturan tata ruang di wilayah pesisir adalah didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 18 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya diubah terakhir dengan Pasal 27 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, dalam Pasal 6 Ayat 5 UU Penataan Ruang, mengatur bahwa ruang laut dan udara pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri. 43 Pasal 27 UU Pemerintahan Daerah Berdasarkan kewenangan yang diatur dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah tersebut dan UU Penataan Ruang, maka dalam Pasal 7, 9 dan 11 UUPWP3K mengatur mengenai perencanaan pengelolaan ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan nomenklatur Rencana Zonasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang wajib disusun oleh Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Rencana Zonasi adalah salah satu dokumen perencanaan selain Rencana Strategis, Rencana Pengelolaan dan Rencana Aksi. Lingkup kewenangan pengelolaan meliputi kearah darat samapai batas administrasi kecamatan, sedangkan ke arah laut sampai pada batas 12 mil laut. Dalam UUPWP3K belum mengatur kewenangan Pemerintah Pusat dalam Penataan Ruang di wilayah diluar batas 12 mil, termasuk Zona Tambahan, ZEE, ataupun Landas Kontinen. Olehnya itu, dengan diterbitkannya UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, kewenangan tersebut telah diatur dengan komprehensif termasuk perencanaan tata ruang kawasan Selat dan Teluk. Untuk terselenggaranya perencanaan di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri No. PER. 16/ MEN/2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 34/PERMENKP/2014 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil. Rencana Zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin 44. Wilayah pesisir dan laut merupakan suatu sumberdaya alam yang krusial bagi negara berkembang seperti Indonesia, dimana pihak pemerintah memiliki hak dan menguasai lahan di bawah teritorial laut dan sumberdayanya. Pemerintah, baik pusat maupun daerah memiliki tanggung jawab untuk membuat peraturan, atau keputusan-keputusan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya untuk kepentingan umum. Dalam hal ini, salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah adalah mengatur pengalokasian ruang atau zona wilayah pesisir untuk dapat digunakan dalam memaksimalkan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. Zonasi wilayah pesisir pada hakekatnya merupakan suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir. Sebagai suatu upaya untuk menciptakan keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan pembangunan dan konservasi, maka Rencana Zonasi merupakan implikasi spasial (keruangan) untuk pelaksanaan kebijakan-kebijakan dari Rencana Strategis. Sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3) UU No. 27 Tahun 2007, mengamanatkan Pemerintah Daerah wajib menyusun semua dokumen rencana (Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau 44 Pasal 1 Angka 11 UUPWP3K Kecil, Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil). Tujuan penyusunan rencana zonasi adalah untuk membagi wilayah pesisir dalam zona-zona yang sesuai dengan peruntukan dan kegiatan yang saling mendukung (compatible) serta memisahkannya dari kegiatan yang saling bertentangan (incompatible). Penentuan zona difokuskan berdasarkan kegiatan utama dan prioritas pemanfaatan sumberdaya pesisir guna mempermudahkan pengendalian dan pemanfaatan. Rencana zonasi menjelaskan fokus kegiatan dan nama zona yang dipilih berdasarkan kondisi dan kegiatan yang diizinkan atau dapat dilakukan dengan persyaratan tertentu. Penetapan rencana zonasi dimaksudkan untuk memelihara keberlanjutan sumberdaya pesisir dalam jangka panjang serta mengeliminir berbagai faktor tekanan terhadap ekosistem pesisir akibat kegiatan yang tidak sesuai (incompatible)45. Pasal 9 UUPWP3K mengatur bahwa Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), merupakan arahan pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota; diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Perencanaan RZWP3K dilakukan dengan mempertimbangkan: a. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan 45 Ihsan. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. http://ptmadanimulti kreasi.com/berita-4-rencana-zonasi-wilayah-pesisir- dan- pulaupulau-kecil.html. Diakses, 16 Agustus 2015. fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan; b. keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas lahan pesisir; dan c. kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses Masyarakat dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. RZWP3K Provinsi berisi arahan pemanfaatan ruang yang terdiri atas46: a. mengalokasikan ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan alur laut; b. keterkaitan antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut dalam suatu Bioekoregion; c. penetapan pemanfaatan ruang laut; dan d. penetapan prioritas Kawasan laut untuk tujuan konservasi, sosial budaya, ekonomi, transportasi laut, industri strategis, serta pertahanan dan keamanan. Sedangkan untuk RZWP3K Kabupaten berisikan arahan tentang47: a. alokasi ruang dalam Rencana Kawasan Pemanfaatan Umum, rencana Kawasan Konservasi, rencana Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan rencana alur; b. keterkaitan antarekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam suatu Bioekoregion. Selain itu, penyusunan RZWP3K diwajibkan mengikuti dan memadukan rencana Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan Kawasan, Zona, dan/atau Alur Laut yang telah ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 46 47 Pasal 10 UU No. 27 Tahun 2007 Pasal 11 UU No. 27 Tahun 2007 Pengalokasian ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan Alur Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan 11 UU No. 27 Tahun 2007, uraiannya sebagai berikut. a. Kawasan Pemanfaatan Umum (multiple/general use zone). Didefinisikan sebagai kawasan dimana aktivitas yang dilakukan manusia ditekankan pada yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Oleh karena itu, pemanfaatannya tidak terbatas hanya pada satu aktivitas saja. Menurut Permen-KP No. 34/Permen-KP/2014 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kawasan Pemanfaatan Umum dijabarkan dalam zona Pariwisata, Pemukiman, Pelabuhan, Pertanian, Hutan, Pertambangan, Perikanan Budidaya, Perikanan Tangkap, Industri, Fasilitas umum; dan/atau Pemanfaatan air laut selain energi, serta pemanfaatan lainnya sesuai dengan karakteristik biogeofisik lingkungannya. b. Kawasan Konservasi (concervation zone). merupakan wilayah yang memiliki atribut ekologi yang langka atau unik, karena memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tinggi, dan biasanya memiliki species-species endemik, langka maupun yang terancam punah. Wilayah tersebut terdiri dari habitat yang belum terjamah atau masih asli yang luas yang memiliki posisi yang penting baik dalam skala lokal, regional, nasional maupun internasional. Selanjutnya menurut Permen-KP No. 34/Permen-KP/2014 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kawasan Konservasi dibagi atas atas Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K), Konservasi Maritim (KKM), Konservasi Perairan (KKP), dan Sempadan Pantai. c. Kawasan Strategis Nasional Tertentu. Kawasan ini dimanfaatkan untuk pengelolaan batas-batas maritim kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, pengelolaan situs warisan dunia, kesejahteraan masyarakat, dan/atau pelestarian lingkungan. Kawasan ini dijabarkan ke dalam zona dan sub zona atau pemanfaatan sesuai dengan ketentuan pengalokasian ruang dalam kawasan pemanfaatan umum. kawasan konservasi dan alur laut. d. Kawasan Alur Laut. Kawasan ini khususnya diperuntukkan sebagai alur pelayaran, pemasangan pipa/kabel bawah laut, dan migrasi biota laut. C. Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah di Wilayah Pesisir dan Lautan 1. Kewenangan dalam Pemerintahan Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda bevoegdheid (yang berarti wewenang atau berkuasa). Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan/Hukum Administrasi, oleh karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya48. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum49. Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar kenegaraan dalam disetiap setiap negara penyelenggaraan hukum. Dengan pemerintahan kata lain, dan setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu suatu kemampuan untuk melakukan suatu tindakan-tindakan hukum tertentu. Dalam ilmu Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, istilah kekuasaan dan wewenang terkait erat dengan pelaksanaan fungsi pemerintahan. Sehingga berbicara tentang wewenang tentu juga akan berbicara terkait dengan organ pemerintahan selaku pelaksana fungsi pemerintahan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)50, kata “wewenang” memiliki arti: 1. Hak dan kekuasaan bertindak; kewenangan; 2. Kekuasaan 48 Helmy Boemiya. Teori Kewenangan dan Sumber-Sumber Kewenangan (Atribusi, Delegasi dan Mandat). https://boeyberusahasabar.wordpress.com/2013/12/10/sumberkewenangan-atribusi-delegasi-dan-mandat/. akses 10 April 2015. 49 SF. Marbun. 1997. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia. Liberty. Yogyakarta. Hal 154. 50 Tim Penyusun Kamus. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Hal. 1128 membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain; dan 3. Fungsi yang boleh tidak dilaksanakan. Sedangkan “kewenangan” memiliki arti: 1. Hal berwenang; dan Hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu. Jika dilihat pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa antara kekuasaan dan kewenangan hampir memiliki pengertian yang sama. Setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan sebagai kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau kelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat. Secara yuridis, pengertian wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan51. Sedangkan Kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik52. Bagir Manan, mengemukakan bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Di dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban, dalam kaitannya dengan otonomi 51 Pasal 1 Angka (5) Undang-undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan 52 Pasal 1 Angka (6) Undang-undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri dan mengelola sendiri, sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaiman mestinya. Secara vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.53 Sifat wewenang pemerintahan adalah jenis maksud dan tujuannya serta terikat pada waktu tertentu dan tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis maupun pada hukum yang tidak tertulis. Sedangkan isinya dapat bersifat umum (abstrak) misalnya membuat suatu peraturan dan dapat pula bersifat konkrit dalam bentuk suatu keputusan atau suatu rencana, misalnya membuat rencana tata ruang serta memberikan nasihat.54 Selain itu, Wewenang pemerintahan yang bersifat fakultatif yaitu apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan bagaimana wewenang tersebut dapat dipergunakan. Jadi, badan/pejabat tata usaha negara tidak wajib menggunakan wewenangnya karena masih ada pilihan (alternatif) dan pilihan itu hanya dapat dilakukan setelah keadaan atau hal-hal yang ditentukan dalam peraturan dasarnya terpenuhi. Untuk mengetahui apakah wewenang itu bersifat fakultatif atau tidak tergantung pada peraturan dasarnya. Sedangkan, wewenang pemerintahan yang bersifat terikat (gebonden bestuur) yaitu, apabila peraturan dasarnya menentukan isi suatu keputusan yang harus diambil secara terperinci, sehingga pejabat tata usaha tersebut tidak dapat berbuat 53 Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Hal. 73. 54 Ibid. lain. Kecuali melaksanakan ketentuan secara harfiah seperti dalam rumusan dasarnya, misalnya suatu ketentuan yang berbunyi pejabat yang berwenang wajib memberikan cuti kepada bawahannya. Jadi, pejabat tersebut harus memberikan cuti dan tidak ada alternatif lainnya. Berbeda halnya dengan wewenang yang bersifat bebas (discretioner), di mana peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup yang longgar atau bebas kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk menolak atau mengabulkan, dengan mengaitkannya atau meletakkannya pada syaratsyarat tertentu yang harus dipenuhi, misalnya ketentuan UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (sekarang Undang-undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara), mengatur bahwa pejabat yang berwenang memiliki wewenang untuk memberikan cuti kepada bawahannya. Rumusan seperti ini pada akhirnya meletakkan pemberian wewenang cuti kepada pejabat tata usaha negara dan pemberian cuti itu diberikan atau tidak sepenuhnya menjadi wewenang pejabat tata usaha negara tersebut.55 Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kewenangan adalah hak dan kekuasaan yang dimiliki oleh badan dan perorangan untuk mengatur, bertindak, dan memutuskan sesuatu hal terkait pelaksanaan fungsinya berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. 2. Sumber dan Cara Memperoleh Kewenangan 55Ibid., Hal 156. ketentuan peraturan Seiring dengan bergemanya pilar utama negara hukum yakni asas legalitas, maka wewenang pemerintahan haruslah bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan adalah sangat penting oleh karena, berkenaan dengan pertanggung jawaban hukum (rechterlijke verantwoording) dalam penggunaan wewenang tersebut seiring dengan salah satu prinsip dalam negara hukum yaitu tidak ada kewenangan tanpa pertanggung jawaban. Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut diperoleh melalui 3 (tiga) cara yaitu, atribusi, delegasi, dan mandat, yang defenisinya adalah sebagai berikut :56 a) Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh pembuat Undang-Undang dalam suatu ketentuan peraturan perundang-undangan kepada organ pemerintah. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintahan yang baru. b) Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya, atau terjadi pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. c) Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Jadi, tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari suatu badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain. Sejalan dengan pendapat di atas, di dalam Undang-Undang No. 30 Tahun tentang Administrasi Pemerintahan diatur bahwa kewenangan pemerintahan (kewenangan) diperoleh dari Atribusi, Delegasi dan/atau 56 Op. Cit., Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Hal 75. dan Prajudi Atmosudirdjo.1981. Hukum Administasi Negara. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hal. 29. Mandat57. Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang. Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi. Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat. Setiap pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahan tertentu, akan tersirat di dalamnya pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan. Wewenang yang diperoleh secara atribusi merupakan perolehan kewenangan secara langsung dari redaksi Pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada dimana tangung jawab intern pelaksanaan wewenang tersebut diatribusikan sepenuhnya kepada penerima wewenang (atributaris)58. Terkait dengan sumber kewenangan ini, Ridwan dalam bukunya Hukum Administrasi Negara, menjelaskan sebagai berikut:59 57 Pasal 11 Undang-undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pendapat Ridwan dikutip oleh Kahar dkk. 2013. Laporan Kajian Rencana Revitalisasi Teluk Benoa-Bali. PT. TWBI. Hlm. 12. 59Ibid., Hal 77. 58 “bahwa pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, melainkan hanya pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu ke pejabat yang lain. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans). Sementara pada mandate, penerima mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada mandans, karena pada dasarnya penerima mandat tersebut bukan pihak lain dari pemberi mandat”. Berdasarkan keterangan tersebut diatas, tampak bahwa wewenang yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi Pasal tertentu dari suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima kewenangan dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang. Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, namun hanya ada pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya. Tanggungjawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi, tetapi beralih kepada penerima delegasi. Sementara itu pada mandat, penerima mandat hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat, tanggungjawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada pemberi mandat. Hal ini karena pada dasarnya, penerima mandat ini bukan pihak lain dari pemberi mandat60. Dalam Undang-undang Adminsitrasi Pemerintahan, diatur bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Wewenang melalui 60 Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Hal. 108. Atribusi, apabila: a. diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undangundang; b. merupakan wewenang baru atau sebelumnya tidak ada; dan c. Atribusi diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Atribusi, tanggung jawab Kewenangan berada pada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan. Kewenangan Atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang61. Selanjutnya pendelegasian kewenangan ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh wewenang melalui delegasi apabila: a. diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya; b. ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau Peraturan Daerah; dan c. merupakan Wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah ada. Kewenangan yang didelegasikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak dapat didelegasikan lebih lanjut, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ketentuan peraturan perundang- undangan menentukan lain, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Delegasi dapat mensubdelegasikan Tindakan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain dengan 61 Pasal 12 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan ketentuan: a. dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum Wewenang dilaksanakan; b. dilakukan dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri; dan c. paling banyak diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan 1 (satu) tingkat di bawahnya. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Delegasi dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui Delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal pelaksanaan wewenang berdasarkan Delegasi menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan pendelegasian kewenangan dapat menarik kembali wewenang yang telah didelegasikan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Delegasi, tanggung jawab Kewenangan berada pada penerima Delegasi.62 Sumber kewenangan berikutnya Administrasi Pemerintahan diatur adalah mandat. Dalam UU bahwa badan dan/atau pejabat pemerintahan memperoleh mandat, apabila: a. ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan di atasnya; dan b. merupakan pelaksanaan tugas rutin. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat memberikan Mandat kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain yang menjadi bawahannya, kecuali perundang-undangan. ditentukan Badan lain dan/atau dalam Pejabat ketentuan peraturan Pemerintahan yang menerima Mandat harus menyebutkan atas nama Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Mandat. 62 Badan dan/atau Pejabat Pasal 13 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pemerintahan yang memberikan Mandat dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui Mandat, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundangundangan. Mandat dapat ditarik kembali, bilamana pelaksanaan wewenang berdasarkan mandat menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat tidak berwenang mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat tanggung jawab kewenangan tetap pada pemberi mandat. Kewenangan Mandat diperoleh dari sumber kewenangan atributif dan delegatif. 3. Kewenangan Pengelolaan di Wilayah Pesisir dan Laut Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia didalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah didalam pelaksanaannya tidak dapat dilepaskan dari penggunaan asas penyelenggaraan pemerintah di daerah, yaitu meliputi asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan (medebewind). Dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, ketiga asas tersebut, yaitu: a. Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. b. Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. c. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi. Kewenangan daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil dalam kerangka otonomi dibidang kelautan, diatur bahwa daerah (provinsi/kabupaten/kota) yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Selain itu, daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundangundangan. Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. (Pasal 3 dan 10 UU No. 22 Tahun 1999, diubah menjadi pasal 18 UU No. 32 tahun 2004, diubah terakhir dengan Pasal 27 UU No. 23 Tahun 2014). Menurut ketentuan Pasal 27 UU Pemerintahan Daerah, bahwa kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut 63, meliputi: a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi; b. pengaturan administratif; c. pengaturan tata ruang; d. ikut serta dalam memelihara keamanan di laut; dan e. ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara. Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil. (Pasal 27 UU No. 23 Tahun 2014). Selanjutnya bagi daerah Provinsi yang berciri Kepulauan, mendapat penugasan dari Pemerintah Pusat untuk melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat di bidang kelautan berdasarkan asas Tugas Pembantuan. Penugasan tersebut dapat dilaksanakan setelah Pemerintah Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat (Pasal 28 UU No. 23 Tahun 2014). Dalam UU Kelautan, pada Pasal 22 disebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung 63 Bandingkan dengan Kewenangan Daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam di wilayah laut menurut Pasal 18 UU No. 32 tahun 2004, yaitu meliputi: a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; b. pengaturan administratif; c. pengaturan tata ruang; d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara (Pasal 18 UU No. 32 Tahun 2004). jawab mengelola dan memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengelolaan dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud bertujuan: a. melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan; b. menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil; c. memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan berkelanjutan; dan d. meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang meliputi sumber daya hayati, sumber daya nonhayati, sumber daya buatan, dan jasa lingkungan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan penjelasan Pasal 22, yang dimaksud dengan sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan biota Laut lain. Sumber daya nonhayati meliputi pasir, air Laut, dan mineral dasar Laut. Sumber daya buatan meliputi infrastruktur Laut yang terkait dengan Kelautan dan perikanan. Selanjutnya yang dimaksud dengan jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar Laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan Kelautan dan perikanan, serta energi gelombang Laut. Selanjutnya dalam Pasal 42 UU Kelautan mengatur bahwa Pengelolaan Ruang Laut dilakukan untuk: a. melindungi sumber daya dan lingkungan dengan berdasar pada daya dukung lingkungan dan kearifan lokal; b. memanfaatkan potensi sumber daya dan/atau kegiatan di wilayah Laut yang berskala nasional dan internasional; dan c. mengembangkan kawasan potensial menjadi pusat kegiatan produksi, distribusi, dan jasa. Pengelolaan ruang laut meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian yang dilaksanakan dengan berdasarkan karakteristik Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan dan mempertimbangkan potensi sumber daya dan lingkungan Kelautan. Perencanaan ruang laut, meliputi: a. perencanaan tata ruang laut nasional; b. perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan c. perencanaan zonasi kawasan laut. Perencanaan tata ruang Laut nasional merupakan proses perencanaan untuk menghasilkan rencana tata ruang Laut nasional. Perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Perencanaan zonasi kawasan Laut merupakan perencanaan untuk menghasilkan rencana zonasi kawasan strategis nasional, rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu, dan rencana zonasi kawasan antarwilayah64. Pemanfaatan ruang laut dilakukan melalui: a. perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang laut nasional dan rencana zonasi kawasan laut; b. perumusan program sektoral dalam rangka 64 Pasal 43 UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan perwujudan rencana tata ruang laut nasional dan rencana zonasi kawasan laut; dan c. pelaksanaan program strategis dan sektoral dalam rangka mewujudkan rencana tata ruang laut nasional dan zonasi kawasan laut. Pemanfaatan ruang laut di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan65. Pengawasan dilakukan melalui tindakan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Sedangkan Pengendalian pemanfaatan ruang Laut dilakukan melalui perizinan, pemberian insentif, dan pengenaan sanksi. Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut secara menetap di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi wajib memiliki izin lokasi. Izin lokasi yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang laut secara menetap di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan dikenai sanksi administratif. Selanjutnya Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang laut secara menetap yang tidak memiliki izin lokasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun66. Dalam pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir, laut dan pulaupulau kecil, Pemerintah Daerah diwajibkan menyusun dokumen perencanaan yang disesuaikan dengan rencana pembangunan di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang bersangkutan berupa Rencana 65 Pasal 44 UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan 66 Pasal 45, 46, dan 47 UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), maupun Rencana Pembangunan Jangka Pendek. Pasal 7 UUPWP3K, menyebutkan bahwa Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, meliputi: a. Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RSWP-3K; b. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RZWP-3-K; c. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RPWP-3-K; dan d. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RAPWP-3-K. Khusus kewenangan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota menyusun dokumen Rencana Zonasi dituangkan dalam Peraturan Daerah untuk menjadi rujukan bagi pemerintah daerah dalam memberikan izin memanfaatkan sumberdaya di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil. Untuk itu, dihapusnya kewenangan daerah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan wilayah laut berdasarkan Pasal 27 UU Pemerintahan Daerah dapat berdampak pada tidak efektifnya upaya untuk menyerasikan, menyelaraskan dan menyeimbangkan Rencana Zonasi dengan RTRW. Namun demikian, jika ditelusuri alasan hilangnya kewenangan tersebut dapat disimak pada alasan Naskah Akademik Perubahan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan Naskah Akademik RUU Pemerintahan Daerah, pertimbangan perubahan tersebut didasarkan pada faktor ekologis dengan alasan efektifitas dan efisiensi. Oleh karena selama satu dekade pelaksanaan otonomi daerah, ternyata pembagian urusan pemerintahan yang berdampak ekologis sulit untuk dibagi khususnya antara daerah provinsi dengan daerah kabupaten/kota. Demikian halnya dalam pengelolaan laut 4 mil untuk kabupaten/kota dan 4 mil sampai 12 mil untuk provinsi, dalam realitas sering banyak menimbulkan permasalahan sehingga mengganggu efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang kelautan. 67 D. Wilayah Laut dalam Kerangka Penataan Ruang Pesisir dan Laut Setelah runtuhnya rezim Orde baru dengan sistem pemerintahan yang sentralistis dan absolut-otoriter pada tahun 1998 dan digantikan oleh Orde Reformasi yang lebih demokratis dan menghormati serta melindungi hak asasi manusia, sistem pemerintahan pun juga dirombak menjadi pemerintahan yang lebih desentralistis. Untuk itu, hak, kekuasaan, dan kewenangan dalam bidang pemerintahan tidak lagi sepenuhnya di tangan pemerintah pusat, tetapi sebagian sudah diserahkan kepada pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota). Salah satu dari hak, kekuasaan dan kewenangan tersebut adalah dalam pengelolaan atas wilayah laut 68. Wilayah laut Indonesia terdiri atas perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters) dan laut teritorial (territorial sea). Sedangkan zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen Indonesia bukanlah wilayah laut Indonesia, melainkan dua zona maritim atau dua 67 Kementerian Dalam Negeri. 2011. Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. hal 81-82 68 I Wayan Parthiana. 2014. Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia. Penerbit Yrama Widya. Bandung. Hal. 347. pranata hukum laut dimana Indonesia memiliki hak-hak berdaulat yang sifatnya eksklusif, bukan memiliki kedaulatan. Berdasarkan Pasal 2 UUPWP3K, bahwa lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai. Pemerintah Daerah Provinsi, dan Kabupaten/Kota (telah dihapus setelah berlakunya UU No. 23 Tahun 2014) memiliki kewenangan untuk mengelola, diantaranya menyusun Rencana Zonasi di wilayah laut sejauh 12 mil laut. Kewenangan tersebut meliputi Perairan pedalaman, Perairan Kepulauan dan Laut Teritorial. Sedangkan untuk wilayah laut di luar batas 12 mil laut, Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan Landas Kontinen, termasuk Kawasan Strategis Nasional adalah menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Uraian tentang Wilayah Perairan Indonesia, Zona Tambahan, ZEE dan Landas Kontinen, sebagai berikut. 1. Perairan Pedalaman. Berdasarkan Pasal 3 UU No. 6 Tahun 1996 jo Pasal 7 UU No. 32 Tahun 2014, yang dimaksud dengan Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang ter-letak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indo-nesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup. Pasal 50 UNCLOS 1982, mengatur tentang penetapan batas perairan pedalaman (internal waters). Perairan laut pada sisi dalam garis penutup (closing waters) inilah yang dinamakan perairan pedalaman. Seperti perairan laut pada mulut sungai, teluk, dan pelabuhan. Garis penutup merupakan garis yang membatasi atau membedakan antara perairan kepulauan dan perairan pedalaman. 2. Perairan Kepulauan. Berdasarkan Pasal 3 UU No. 6 Tahun 1996 jo Pasal 7 UU No. 32 Tahun 2014, bahwa Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. 3. Laut Teritorial. Dalam pasal 3 ayat 2 undang-undang perairan Indonesia disebutkan bahwa, “Laut Teritorial adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 5. Pasal 5 yang dimaksud adalah tentang ketentuan dan tata cara penarikan garis pangkal kepulauan Indonesia. Definisi laut teritorial yang terdapat dalam UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia jo UU No. 32 Tahun 2014 ini adalah mengikuti ketentuan yang tercantum dalam UNCLOS 1982. Dalam ketentuan ini (UNCLOS III), batas laut teritorial tidak melebihi batas 12 mil laut diukur dari garis pangkal normal. Untuk negara-negara kepulauan yang mempunyai karang-karang di sekitarnya, garis pangkalnya adalah garis pasang surut dari sisi karang ke arah laut. 4. Zona Tambahan. Berdasarkan Penjelasan Pasal 7 Ayat (2a) UU No. 32 Tahun 2014, bahwa yang dimaksud dengan Zona Tambahan adalah zona yang lebarnya tidak melebihi 24 (dua puluh empat) mil laut yang diukur dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur. Didalam Pasal 24 Ayat (1) UNCLOS 1982, dinyatakan bahwa suatu zona dalam laut lepas yang bersambungan dengan laut teritorial negara pantai tersebut dapat melaksanakan pengawasannya yang dibutuhkan untuk: (1) Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang berkenaan dengan masalah bea cukai (customs), perpajakan (fiskal), keimigrasiandan kesehatan atau saniter; (2) Menghukum pelanggaranpelanggaran atau peraturan-peraturan perundang-undangannya tersebut di atas. 5. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Berdasarkan Penjelasan Pasal 7 Ayat (2b) UU No. 32 Tahun 2014, bahwa yang dimaksud dengan ZEEI adalah adalah suatu area di luar dan berdampingan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undangundang yang mengatur mengenai perairan Indonesia dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur. Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam hayati dengan mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi. 6. Landas Kontinen. Berdasarkan Penjelasan Pasal 7 Ayat (2c) UU No. 32 Tahun 2014, bahwa Landas Kontinen meliputi dasar Laut dan tanah dibawahnya dari area di bawah permukaan Laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen atau hingga suatu jarak 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur; dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut hingga paling jauh 350 (tiga ratus lima puluh) mil laut atau sampai dengan jarak 100 (seratus) mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2.500 (dua ribu lima ratus) meter. E. Harmonisasi dan Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan Penataaan Ruang Pesisir Dan Laut 1. Harmonisasi Hukum Implementasi berbagai peraturan perundang-undangan memerlukan harmonisasi guna menghindarkan saling tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan, baik antar instansi pemerintah Pusat maupun antara Pusat dan Daerah. Upaya harmonisasi diperlukan mengingat peraturan perundang-undangan yang berlaku harus disesuaikan dengan berbagai perubahan yang telah terjadi dalam sistem hukum Indonesia, terutama setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 yang sangat menentukan arah kebijakan hukum nasional, karena merupakan peraturan perundangundangan tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia69. L.M. Lapian Gandhi70, yang mengutip buku Tussen Eenheid en Verscheidenheid: Opstellen over Harmonisatie In Staats-En Bestuursrech, 69 Bambang Irina Djajaatmadja. 2005. Harmonisasi Hukum Pengelolaan Sumberdya Kelautan dalam Kerangka Desentralisasi (Laporan Akhir Penyusunan Kerangka Ilmiah Perencanaan Pembangunan Hukum ). Badan Pembinaan Hukum Nasional. Departemen Hukum dan HAM. Jakarta. Hal. 89 70 L.M. Gandhi. 1995. Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Responsif. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. dalam Moh. Hasan Wargakusumah, dkk. 1996/1997. Hal 28-29. sebagaimana dikutip oleh Moh. Hasan Wargakusumah, mengatakan bahwa: ”...harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum dan asas-asas hukum dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan (justice, gerechtigheid), dan kesebandingan (equity, billijkheid), kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme hukum kalau memang dibutuhkan”. Harmonisasi peraturan perundang-undangan dilakukan karena terdapat indikasi adanya konflik norma, seperti tumpang tindihnya kewenangan dan benturan kepentingan diantara stakeholders, sehingga akan memunculkan penafsiran yang berbeda-beda. Berdasarkan data pada Bappenas, bahwa terjadi disharmonisasi dalam kerangka hukum peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia dimana begitu banyaknya perangkat hukum yang mengatur hal tersebut. Database peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut berisi sekitar tiga ribuan peraturan perundang-undangan baik tingkat pusat maupun tingkat daerah serta contoh-contoh hukum adat yang berhasil dikumpulkan selama setahun (November 2004 - November 2005). Penerapan peraturan perundang-undangan dalam jumlah banyak secara bersamaan dalam waktu yang sama dan dalam ruang yang sama pula sudah barang tentu membawa konsekuensi terjadinya disharmoni hukum yang ditunjukkan misalnya dengan adanya tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan71. Adapun faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya disharmonisasi hukum,72 adalah karena: 1. Jumlah peraturan perundang-undangan yang begitu banyak yang berlaku dalam pengelolaan wilayah pesisir; 2. Keberadaan hukum adat yang semakin termarjinalkan dalam pengelolaan wilayah pesisir; 3. Pluralisme dalam penegakan hukum di bidang pengelolaan wilayah pesisir; 4. Perbedaan kepentingan dan perbedaan penafsiran dari para stakeholder sumberdaya alam wilayah pesisir; 5. Kesenjangan dalam pemahaman teknis dan pemahaman hukum dalam pengelolaan pesisir; 6. Kendala hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan perundang-undangan yang terdiri atas mekanisme pengaturan, administrasi pengaturan, antisipasi terhadap perubahan dan penegakan hukum; 7. Hambatan hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan perundang-undangan yaitu yang berupa tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan73. Selanjutnya L.M. Gandhi74 mengidentifikasi 8 (delapan) faktor penyebab timbulnya keadaan disharmoni dalam praktek hukum di Indonesia, yakni: 71 Patlis, Jason M. dkk. (Penyunting). 2005. Menuju Harmonisasi Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia bekerjsama dengan Cosatal Resources Management Project/Mitra Pesisir. hal xvi. 72 Patlis, Jason M. dkk. (Penyunting). 2005. ibid hal xxi -xvii. 73 Patlis, Jason M. dkk. (Penyunting). 2005. op cit hal xxi -xxii 74 L.M. Gandhi dalam Bambang Irina Djajaatmadja. 2005. Harmonisasi Hukum Pengelolaan Sumberdya Kelautan dalam Kerangka Desentralisasi (Laporan Akhir 1. Perbedaan antara berbagai undang-undang atau peraturan perundangundangan. Selain itu, jumlah peraturan yang makin besar menyebabkan kesulitan untuk mengetahui atau mengenai semua peraturan tersebut. Dengan demikian pula, ketentuan yang mengatakan bahwa semua orang dianggap mengetahui semua undang-undang yang berlaku niscaya tidak efektif; 2. Pertentangan antara undang-undang dengan peraturan pelaksanaan; 3. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan kebijakan instansi pemerintah. Kita kenal berbagai juklak, yaitu petunjuk pelaksanaan yang malahan bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang akan dilaksanakan; 4. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan yurisprudensi dan surat Edaran Mahkamah Agung; 5. Kebijakan-kebijakan instansi Pusat yang saling bertentangan; 6. Perbedaan antara kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah; 7. Perbedaan antara ketentuan hukum dengan perumusan pengertian tertentu; 8. Benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena pembagian wewenang yang tidak sistematis dan jelas. Harmonisasi memiliki fungsi pencegahan dan fungsi penanggulangan terjadinya disharmoni hukum. Harmonisasi hukum untuk mencegah terjadinya disharmoni hukum dilakukan melalui penemuan hukum (penafsiran dan konstruksi hukum), penalaran hukum, dan pemberian argumentasi yang rasional. Upaya ini dilakukan dengan arahan untuk menegaskan kehendak hukum atau cita hukum (kepastian hukum), kehendak masyarakat (keadilan), dan kehendak moral (kebenaran). Upaya harmonisasi yang bersifat pencegahan dilakukan dalam rangka mengantisipasi kenyataan tentang adanya faktor-faktor potensial yang dapat menyebabkan terjadinya disharmoni hukum. Penyusunan Kerangka Ilmiah Perencanaan Pembangunan Hukum ). Badan Pembinaan Hukum Nasional. Departemen Hukum dan HAM. Jakarta. Hal. 89-90. Harmonisasi hukum untuk menanggulangi disharmoni hukum yang telah terjadi dilakukan melalui75: (a) Proses non-litigasi dengan mempergunakan perangkat alternative dispute resolution (ADR) untuk menyelesaikan sengketa perdata di luar pengadilan; (b) Proses litigasi dengan mempergunakan perangkat court-connected dispute resolution (CCDR) untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa di bidang perdata sebelum dimulai pemeriksaan di pengadilan; (c) Proses litigasi sebagai pemeriksaan perkara perdata di pengadilan; (d) Proses negosiasi atau musyawarah, baik dengan maupun tanpa juru penengah, untuk menyelesaikan disharmoni hukum publik yang tidak bersifat pidana, seperti tumpang-tindih kewenangan dan benturan kepentingan antarinstansi pemerintah; (e) Proses pemeriksaan perkara pidana untuk mengadili pelanggaran atau tindak-kejahatan. Dalam pengelolaan pesisir terpadu, harmonisasi harus dapat mencerminkan adanya keterpaduan dalam pengelolaan wilayah pesisir, dan sebaliknya di dalam keterpaduan pengelolaan tersebut juga tercermin harmonisasi hukum. 2. Sinkronisasi Hukum Sinkronisasi adalah penyelarasan dan penyelerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundangundangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Proses sinkronisasi peraturan bertujuan untuk melihat 75 Op Cit. hal XX adanya keselarasan antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya. Sinkronisasi dilakukan baik secara vertikal dengan peraturan di atasnya maupun secara horizontal dengan peraturan yang setara76. Sedangkan maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait, dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya. Sedangkan pendapat lainnya bahwa tujuan kegiatan sinkronisasi adalah adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efektif. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dengan dua cara77, yaitu: a. Sinkronisasi Vertikal, dilakukan dengan melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu bidang tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Di samping harus memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan, sinkronisasi vertikal harus juga diperhatikan kronologis tahun dan nomor penetapan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. b. Sinkronisasi Horizontal, dilakukan dengan melihat pada berbagai peraturan perundang-undangan yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi horizontal juga harus dilakukan secara kronologis, 76 sesuai dengan urutan waktu ditetapkannya peraturan http://www.penataanruang.net/ta/Lapan04/P2/SinkronisasiUU/Bab4.pdf diakses pada tanggal 8 Desember 2012. 77 ibid. perundangan-undangan yang bersangkutan. Secara umum, prosedur sinkronisasi diawali dengan inventarisasi, yaitu suatu kegiatan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang peraturan perundang-undangan terkait. Selanjutnya dilakukan analisa terhadap substansi. 3. Substansi/Norma Perundang-undangan a. Norma dan Norma Hukum Norma atau kaidah (kaedah) merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk aturan yang berisi kebolehan, anjuran, atau perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yang bersifat positif atau negatif sehingga mencakup norma anjuran untuk mengerjakan atau anjuran untuk tidak mengerjakan sesuatu, dan norma perintah untuk melakukan atau perintah untuk tidak melakukan sesuatu. Dari segi etimologinya, kata norma berasal dari bahasa Latin, sedangkan kaidah atau kaedah berasal dari bahasa Arab. Norma berasal dari kata Nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempit maknanya menjadi norma hukum. Karya Plato yang berjudul Nomoi biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan istilah The Law. Sedangkan kaidah dalam bahasa Arab, qo'idah berarti ukuran atau nilai pengukur78. Sedangkan dalam bahasa Indonesia sering juga disebut dengan pedoman, patokan atau aturan. Norma mula-mula diartikan dengan 78 Jimly Asshiddiqie. 2014. Perihal Undang-Undang. Cetakan ke-3. Rajawali Pers. Jakarta. Hal. 1. siku-siku, yaitu garis tegak lurus yang menjadi ukuran atau patokan untuk membentuk suatu sudut atau garis yang dikehendaki. Dalam perkembangannya, norma itu diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat. Jadi inti suatu norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi. Apabila ditinjau bentuk hakikatnya, maka kaedah merupakan perumusan suatu pandangan (oordeel) mengenai perikelakuan atau pun sikap tindak. Norma baru bisa dilakukan apabila terdapat lebih dari satu orang, karena norma mengatur tata cara berhubungan dengan orang lain, atau terhadap lingkugannya, atau juga dengan kata lain norma dijumpai dalam suatu pergaulan hidup manusia79. Selanjutnya jika pengertian norma atau kaidah sebagai pelembagaan nilai itu dirinci, kaidah atau norma yang dimaksud dapat berisi: (1) kebolehan atau yang dalam bahasa Arab disebut ibahah, mubah (permittere); (2) anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut sunnah; (3) anjuran negatif untuk tidak mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut makruh; (4) perintah positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban (obligattere); dan (5) perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu atau yang dalam bahasa Arab disebut haram atau larangan (prohibere).80 79 TN. Norma Hukum dan Sumber Hukum Pembentukan Undang-Undang. http://aligeno.blogspot.co.id/2012/07/norma-hukum-sumber-hukum-pembentukan.html. diakses, 16 Oktober, 2015. 80 op cit hal. 1-2 Selanjutnya Hans Kelsen, menyatakan bahwa norma hukum adalah aturan, pola, atau standar yang perlu diikuti81. Lebih lanjut dijelaskan bahwa fungsi norma hukum adalah: a. memerintahkan (Gebeiten); b. melarang (Verbeiten); c. mengusahakan (Ermachtigen); d. membolehkan (Erlauben); dan menyimpang dari ketentuan (Derogoereen). Norma hukum pada hakekatnya juga merupakan unsur pokok dalam peraturan perundang-undangan. Sifat norma hukum dalam perundang-undangan dapat berupa: perintah (gebod), larangan (verbod), pengizinan (toestemming), dan pembebasan (vrijstelling). Dari segi tujuannya, kaidah hukum atau norma hukum itu tertuju kepada cita kedamain hidup antar pribadi (het recht wil de vrede). Tujuan kedamaian hidup bersama tersebut biasanya dikaitkan pula dengan perumusan tugas kaidah hukum, yaitu untuk mewujudkan kepastian, keadilan, dan kebergunaan. Artinya, setiap norma hukum itu haruslah menghasilkan keseimbangan antara nilai kepastian (certainty, zekerheid), keadilan (equity, billijkheid, evenredigheid), dan kebergunaan (utility)82. b. Hukum Sebagai Sistem Norma yang Dinamik Menurut Hans Kalsen sebagaimana dikutip oleh A. Hamid S. Attamimi83, hukum adalah termasuk dalam sistem norma yang dinamik 81 A. Hamid S. Attamimi dalam Yuliandri.2009. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik. Rajawali Pers. Jakarta. Hal. 21. 82 Jimly Asshiddiqie. 2014. Perihal Undang-Undang. Rajawali Pers. Edisi-1, Cetakan ke-3. Jakarta , hal. 3. 83 A. Hamid S. Attamimi dalam Yuliandri. 2009. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik. Rajawali Pers. Jakarta. Hal. 21. Baca juga 83 TN. Norma (nomodynamics) oleh karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang membentuk dan menghapusnya, sehingga dalam hal ini tidak dilihat dari segi berlakunya atau pembentuknya. Hukum itu adalah sah (valid) apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya serta bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior), dan hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu hierarkhi. Dinamika norma hukum yang vertikal adalah dinamika yang berjenjang dari atas ke bawah, atau dari bawah ke atas. Dalam dinamika yang vertikal ini suatu norma hukum itu berlaku, bersumber dan berdasar pada hukum norma hukum diatasnya, norma hukum yang berada diatasnya berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma hukum di atasnya, demikian seterusnya samapai pada suatu norma hukum yang menjadi dasar dari semua norma hukum dibawahnya. Begitu pula dinamika norma hukum dari atas ke bawah. Dinamika yang vertikal ini dapat dilihat dalam tata susunan norma hukum yang ada di Negara Republik Indonesia, secara berurutan mulai dari Pancasila sebagai Norma Dasar Negara yang merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya norma-norma dalam Batang Tubuh UUD 1945; demikian Hukum dan Sumber Hukum Pembentukan Undang-Undang. http://aligeno.blogspot.co.id/2012/07/norma-hukum-sumber-hukum-pembentukan.html. diakses, 16 Oktober, 2015. juga norma-norma hukum yang berada dalam Batang Tubuh UUD 1945 menjadi sumber dan dasar bagi terbentuknya norma-norma hukum dalam Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat (Ketetapan MPR), dan norma-norma yang berada dalam Ketetapan MPR ini menjadi Sumber dan dasar bagi pembentukan Norma-Norma dalam Undang-Undang, demikian seterusnya kebawah. Dinamika norma hukum yang horizontal adalah dinamika yang bergerak ke samping. Dikatakan ke samping dikarenakan adanya suatu analogi yaitu penarikan suatu norma hukum untuk kejadian-kejadian lainnya yang dianggap serupa. Contohnya, dalam kasus tentang perkosaan, seorang hakim telah mengadakan suatu penarikan secara analogi dari ketentuan tentang perusakan barang, sehingga terhadap suatu perkosaan, selain dikenakan sanksi pidana dapat juga diberikan pembayaran ganti rugi. c. Norma Hukum dalam Peraturan Perundang-Undangan Menurut D.W.P Ruiter84, dalam keputusan di Eropa Kontinental, yang dimaksud peraturan perundang-undangan atau wet in matereielezin mengandung tiga unsur, yaitu: a) Norma Hukum, sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa (1) perintah, (2) larangan, (3) pengizinan, (4) pembebasan; b) Norma berlaku ke luar. Ruiter berpendapat bahwa, di dalam peraturan perundangan-undangan 84 ibid terdapat tradisi yang hendak membatasi berlakunya norma hanya bagi mereka yang tidak termasuk dalam organisasi pemerintah. Norma hanya ditunjukan kepada rakyat dan pemerintah, hubungan antar sesamanya, maupun antar rakyat dan pemerintah. Norma yang mengatur bagian-bagian organisasi pemerintah dianggap bukan norma yang sebenarnya, dan hanya dianggap norma organisasi. Oleh karena itu, norma hukum dalam peraturan perundangundangan selalu disebut berlaku ke luar. c) Dalam hal ini terdapat pembedaan antara norma yang umum (algemeen) dan yang individual (individueel), hal ini dilihat dari adressat (alamat) yang dituju, yaitu ditunjukan kepada “setiap orang” atau kepada “orang tertentu”, serta antara norma yang abstrak dan yang konkrit jika dilihat dari hal yang diaturnya, apakah mengatur peristiwa-peristiwa yang tertentu atau mengatur peristiwa-peristiwa yang tidak tertentu. Menurut Ruiter, sebuah norma mengandung beberapa unsur, diantaranya : cara keharusan berperilaku (operator norma), seseorang atau sekolompok orang adresat (subyek norma), perilaku yang dirumuskan (obyek norma), dan syaratsyaratnya (kondisi norma). 4. Asas-asas Peraturan Perundang-undangan Secara normatif berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan85. Bagir Manan mengindikasikan banyak kalangan yang menganggap hukum, peraturan perundang-undangan dan undangundang adalah hal yang sama. Menurut Bagir Manan, undang-undang adalah bagian dari peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan terdiri dari undang-undang dan berbagai peraturan perundang-undangan lain, sedangkan hukum bukan hanya undangundang, melainkan termasuk juga beberapa kaidah hukum lain seperti Hukum Adat, Kebiasaan, dan Hukum Yurisprudensi86. Ketika terdapat dua atau lebih peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hal yang sama, akan berlaku asas atau prinsip peraturan perundang-undangan. Setidaknya terdapat 3 (tiga) asas hukum terkait dengan peraturan perundang-undangan, yaitu87: a. Lex superior derogat legi inferiori. Peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundangundangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah. 85 Bagir Manan dalam Novianto M. Hantoro. tt. Sinkronisasi dan Harmonisasi Pengaturan Mengenai Peraturan Daerah, Serta Uji Materi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029. Peneliti Madya bidang Hukum Tata Negara pada Pusat Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR-RI. Jakarta. Hal. 7 86 ibid 87 ibid hal. 11-12. b. Lex specialis derogat legi generalis. Asas ini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas Lex specialis derogat legi generalis: 1) Ketentuanketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut; 2) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undangundang); 3) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. c. Asas lex posterior derogat legi priori. Aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Asas lex posterior derogat legi priori mewajibkan menggunakan hukum yang baru. Asas ini pun memuat prinsip-prinsip: 1. Aturan hukum yang baru harus sederajat atau lebih tinggi dari aturan hukum yang lama; 2. Aturan hukum baru dan lama mengatur aspek yang sama. Asas ini antara lain bermaksud mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Dengan adanya Asas Lex posterior derogat legi priori, ketentuan yang mengatur pencabutan suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak begitu penting. Secara hukum, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada saat aturan hukum baru mulai berlaku. d. Asas Legalitas. Peraturan perundang-undangan tidak dapat berlaku surut (Nullum delictum noella poena cine previa lege poenali). Dalam prinsip perundang-undangan, menurut Jimly Ashsiddiqie88 kesatuan tata hukum tidak pernah bisa terancam oleh suatu pertentangan antar norma yang lebih tinggi dengan norma yang lebih rendah di dalam hirarkhi hukum (The unity of the legal order can never be endangered by any contradiction between a higher and a lower norm in the hierarchy of law). F. Reklamasi dalam Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut pengertiannya secara bahasa, reklamasi berasal dari kosa kata Bahasa Inggris, to reclaim yang berarti memperbaiki sesuatu yang rusak. Secara spesifik arti kata reclaim sebagai menjadikan tanah, atau kata reclamation diterjemahkan sebagai perkejaan memperoleh tanah.89 Secara yuridis, reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase90. Hingga saat ini wilayah pesisir memiliki sumberdaya dan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Seiring dengan perkembangan peradaban dan kegiatan sosial ekonominya, manusia memanfatkan wilayah pesisir untuk berbagai kepentingan. Konsekuensi 88 Jimly Asshiddiqie.2006. Teori Hans Kelsen tentang Hukum. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI. Jakarta. Hal.163 89 John M. Echols dan Hassan Shadily. 1992. Kamus Inggris-Indonesia. PT. Gramedia. Jakarta. 90 Pasal 1 angka (1) Peraturan Presiden No. 122 tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. yang muncul adalah masalah penyediaan lahan bagi aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat91. Agar mendapatkan lahan, maka kota-kota besar menengok daerah yang selama ini terlupakan, yaitu pantai (coastal zone) yang umumnya memiliki kualitas lingkungan hidup rendah. Fenomena ini bukan saja dialami di Indonesia, tapi juga dialami negara-negara maju, misalnya Belanda, Jepang, Hongkong, Singapura, dan Uni Emirat Arab, sehingga daerah pantai menjadi perhatian dan tumpuan harapan dalam menyelesaikan penyediaan hunian penduduk perkotaan. Penyediaan lahan di wilayah pesisir dilakukan dengan memanfaatkan lahan atau habitat yang sudah ada, seperti perairan pantai, lahan basah, pantai berlumpur dan lain sebagainya yang dianggap kurang bernilai secara ekonomi dan lingkungan sehingga dibentuk menjadi lahan lain yang dapat memberikan keuntungan secara ekonomi dan lingkungan atau dikenal dengan reklamasi. Dalam teori perencanaan kota, reklamasi pantai merupakan salah satu langkah pemekaran kota. Biasanya reklamasi dilakukan oleh negara atau kota besar dengan laju pertumbuhan dan kebutuhan lahannya meningkat pesat, tetapi mengalami kendala keterbatasan lahan. Kondisi ini tidak lagi memungkinkan untuk melakukan pemekaran ke daratan, sehingga diperlukan daratan baru. 91 Ruchyat Deni Djakapermana . Reklamasi Pantai Sebagai Alternatif Pengembangan Kawasan. (Pengamat Penataan Ruang dan Pengembangan) www://ps/documents/ perencanaan-reklamasi-pantai-sebagai-alternatifpengembangan-kawasan-55cb7d726341. html diakses 12 Desember 2015. Hal. Secara umum bentuk reklamasi ada dua, yaitu reklamasi menempel pantai dan reklamasi lahan terpisah dari pantai daratan induk. Cara pelaksanaan reklamasi sangat tergantung dari sistem yang digunakan. Menurut Buku Pedoman Reklamasi di Wilayah Pesisir (2005) dibedakan atas 4 sistem, yaitu: Sistem Timbunan, reklamasi dilakukan dengan cara menimbun perairan pantai sampai muka lahan berada di atas muka air laut tinggi (high water level); Sistem Polder, reklamasi dilakukan dengan cara mengeringkan perairan yang akan direklamasi dengan memompa air yang berada didalam tanggul kedap air untuk dibuang keluar dari daerah lahan reklamasi; Sistem Kombinasi antara Polder dan Timbunan, reklamasi ini merupakan gabungan sistem polder dan sistem timbunan, yaitu setelah lahan diperoleh dengan metode pemompaan, lalu lahan tersebut ditimbun sampai ketinggian tertentu sehingga perbedaan elevasi antara lahan reklamasi dan muka air laut tidak besar; dan Sistem Drainase, reklamasi sistem ini dipakai untuk wilayah pesisir yang datar dan relatif rendah dari wilayah di sekitarnya tetapi elevasi muka tanahnya masih lebih tinggi dari elevasi muka air laut92. Kegiatan reklamasi dilakukan oleh beberapa institusi, misalnya reklamasi pasca tambang, yaitu dengan melakukan pengurugan terhadap bekas galian tambang agar kondisinya dapat kembali seperti semula, sebelum kegiatan pertambangan dilakukan93. Di pelabuhan, kegiatan reklamasi dilakukan 92 93 untuk membangun pelabuhan laut dan terminal Ibid hal. 3. Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang. khusus yang berada di perairan.94 Selanjutnya reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dilakukan dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi. Pelaksanaan reklamasi wajib menjaga dan memperhatikan: a. keberlanjutan kehidupan dan penghidupan Masyarakat; b. keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; serta c. persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material95. Perencanaan dan pelaksanaan reklamasi diatur dalam Peraturan Presiden No. 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam Perpres tersebut diatur bahwa kegiatan reklamasi dikecualikan dilakukan pada: a. Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul serta di wilayah perairan terminal khusus; b. lokasi pertambangan, minyak, gas bumi, dan panas bumi; dan c. kawasan hutan dalam rangka pemulihan dan/atau perbaikan hutan, dan reklamasi tidak dapat dilakukan pada kawasan konservasi dan alur laut96. Khusus kawasan konservasi, kegiatan reklamasi boleh dilakukan kecuali pada zona inti 97. Ketentuan ini mengubah ketentuan Perpres No. 122 Tahun 2012. 94 Pasal 15 Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 52/2011 tentang Pengerukan dan Reklamasi 95 Pasal 34 UU NO. 27 Tahun 2007. 96 Pasal 3 Peraturan Presiden No. 122 Tahun 2012. 97 Pasal 3 Permen Kp No. 17/Permen KP/2013. Pemerintah, pemerintah daerah, dan setiap orang yang akan melaksanakan reklamasi wajib memiliki izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi. Izin lokasi terdiri atas Izin Lokasi Reklamasi dan Izin Lokasi Material Reklamasi. Pemberian izin lokasi harus sesuai dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi, Kabupaten/Kota98. Untuk memperoleh izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan setiap orang wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Menteri. Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai batas kewenangannya 99. Perizinan reklamasi diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17/Permen-KP/2013 tentang Perizinan Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, selanjutnya diubah dengan Permen KP No. 28/2014. Berdasarkan ketentuan pembagian kewenangan 100, Menteri berwenang menerbitkan Izin Lokasi Reklamasi dan Izin Pelaksanaan Reklamasi pada. a. Kawasan Strategis Nasional Tertentu; b. perairan pesisir di dalam Kawasan Strategis Nasional; c. kegiatan reklamasi lintas provinsi; d. kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh Kementerian; dan e. kegiatan reklamasi untuk Obyek Vital Nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Gubernur menerbitkan izin pada perairan laut di luar kewenangan kebupaten/kota sampai dengan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas 98 Pasal 15 dan 17 ayat (1) Perpres No. 122 Tahun 2012. UU No. 23 Tahun 2014, Bupati/Walikota tidak memiliki hak untuk mengeluatkan izin reklamasi, sehubungan dengan pengeloaan wilayah laut (0-4 mil) ditarik menjadi kewenangan Gubernur. 100 Pasal 5 dan 6 Permen KP No. 17/Permen-KP/2013. 99Berdasarkan dan/atau ke arah perairan kepulauan; dan b. kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah provinsi. Pelaksana reklamasi memiliki kewajiban untuk menjaga dan memperhatikan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf (a) Perpres No. 122 Tahun 2012, dengan melakukan: a. memberikan akses kepada masyarakat menuju pantai; b. mempertahankan mata pencaharian penduduk sebagai nelayan, pembudidaya ikan, dan usaha kelautan dan perikanan lainnya; c. memberikan kompensasi/ganti kerugian kepada masyarakat sekitar yang terkena dampak reklamasi; d. merelokasi permukiman bagi masyarakat yang berada pada lokasi reklamasi; dan e. memberdayakan masyarakat sekitar yang terkena dampak reklamasi. G. Landasan Teori Dalam membangun konsep penataan ruang pesisir dan laut, yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian dan pengawasan yang dapat memberikan nilai-nilai keseimbangan sehingga terwujud keadilan dan kepastian hukum baik terhadap masyarakat, dunia usaha maupun sektoral, maka dalam penelitian ini digunakan teori sebagai berikut. 1. Stufenbau Theory (Teori Piramida) Hans Kelsen dalam bukunya, General Theory of Law and State (Teori Umum tentang Hukum dan Negara)101, menyatakan hukum bersifat 101 Hans Kelsen dalam bukunya berjudul General Theory of Law and State (Teori umum tentang Hukum dan Negara (Penerjemah: Raisul Muttaqien), Cetakan I, September 2006. Penerbit Nusa Media dan Penerbit Nuansa. Bandung. hirarkis, tersusun yang menunjukkan adanya hukum yang kedudukannya berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berada di atasnya atau derajatnya yang lebih tinggi. Teori ini kemudian digambarkan dalam bentuk piramida, dimana yang paling tinggi berada pada puncak piramida tersebut yang disebut ground norm yang ditafsirkan untuk susunan hukum di negara kita ada norma dasar. Setiap kaedah hukum dari suatu negara merupakan susunan (hierarki) kaedah-kaedah (stufenbau). Dipuncak stufenbau tersebut terdapat Groundnorm (kaedah dasar). Kaedah dasar inilah yang menjadi dasar dari pandangan yuridis yang bersifat hipotetis, yang aktualitasnya dalam kerangka tata kaedah hukum suatu negara tertentu. Ajaran Hans Kelsen tersebut mengandung beberapa pengertian sebagai berikut: 1). Peraturan hukum itu disusun sedemikian rupa dengan tata urutan (hierarki) yang cermat, mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah derajatnya; 2). Peraturan hukum yang tertinggi menjadi dasar bagi semua peraturan hukum yang ada di bawahnya sehingga peraturan ini dipastikan merupakan pengejawantahan dari suatu norma dasar (Grundnorm); 3). Peraturan hukum yang tertinggi yang menjadi norma dasar ini jumlahnya tunggal di negara manapun. Wujudnya adalah serupa dengan UUD atau konstitusi. 4). Di bawah peraturan hukum yang tertinggi ini tersusun berbagai peraturan yang berasal dari norma-norma yang lebih rendah derajatnya, yakni berturutturut, masing-masing sebagai norma umum (generalnorms) dan norma- norma khusus (spezialnorm); 5). Peraturan hukum yang lebih rendah: (a) tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi; (b) merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan yang lebih tinggi; (c) jumlahnya lebih banyak dari peraturan yang lebih tinggi; 6) Susunan peraturan hukum dalam hierarkinya akan nampak seperti bangunan piramida/limas, mulai dari yang tetinggi yang menjadi norma puncak yang tunggal, disertai peraturan-peraturan hukum di bawahnya yang semakin ke bawah semakin banyak jumlahnya. Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen mengembangkan teori gurunya tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky mengatakan suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang tertinggi yang disebut Norma Dasar. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjangjenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompokkelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar, yaitu: - Staatsfundamental norm (norma fundamental Negara); - Staatgrundgezetz (aturan dasar/aturan pokok negara); - Formeell gesetz (undang-undang Formal); - Verordnung & Autonome satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom)102 Selanjutnya, menurut Hans Nawiasky, isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu Staats-fundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undangundang dasar. Selanjutnya Hans Nawiasky mengatakan norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara103. Grundnorm mempunyai kecenderungan untuk tidak berubah atau bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu negara, norma fundamental negara itu dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya pemberontakan, kudeta dan sebagainya.104 Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, oleh A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur dan tata hukum di Indonesia. Untuk menjelaskan hal tersebut, A. Hamid S. Attamimi menggambarkan perbandingan antara Hans Kelsen dan Hans Nawiasky tersebut dalam bentuk piramida. 102 Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2010, halaman 44-45. 103 Ibid Hlm. 46 104 Ibid Hlm. 48. Selanjutnya A. Hamid S. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah: 1. Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945); 2. Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan; 3. Formell Gesetz : Undang-Undang; 4. Verordnung & Autonome Satzung, secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.105 Selanjutnya, teori perjenjangan hukum (hierarki) dari Hans Kelsen tersebut dipergunakan dalam Pasal 7 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Adapun jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan dimaksud, adalah: a. b. c. d. e. f. g. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Kesimpulannya, hukum positif harus merupakan mata rantai yang tersusun secara piramida mulai dari suprastrukturnya (nilai dasar), adanya infrastruktur (UU, PP, Perda), dan ada instrumennya (pengaturan pelaksanaannya). 2. Teori Kebijakan a. Pengertian Kebijakan dan Kebijakan Publik Secara umum istilah kebijakan atau policy digunakan untuk 105 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, halaman 74. menunjuk seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Robert Eyestone mengemukakan bahwa secara luas kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Selanjutnya Thomas R. Dye, mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Richard Rose, menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagi arah atau pola kegiatan yang sedikit banyak konsekuensi-konsekuensinya bagi berhubungan mereka yang beserta bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan-keputusan tersendiri. Carl Friedrich, memandang bahwa kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatanhambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan sutu sasaran atau suatu maksud tertentu106. Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan mengartikan kebijaksanaan sebagai a projecterd program of goals, values and practice yang artinya adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan 106 Budi Winarno. 2008. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Media Pressindo. Jakarta. Cetakan kedua. hal. 17-18. praktek-praktek yang terarah107. Pengertian lainnya, James Anderson mengemukakan bahwa kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Sementara itu, Amir Santoso mengemukakan bahwa pada dasarnya pandangan mengenai kebijakan publik (public policy) di bagi kedalam dua kategori. Pertama, pendapat publik yang menyamakan dengan tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli dalam kelompok ini cenderung menganggap bahwa semua tindakan pemerintah disebut sebagai kebijakan publik. Kedua, berangkat pada para ahli yang memberikan perhatian khusus pada pelaksanaan kebijakan. Para ahli dalam kategiri ini terbagi dua kubu, yaitu mereka yang memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu, dan mereka yang menganggap kebijakan publik sebagai memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan. Para ahli yang termasuk kubu pertama melihat kebijakan publik dalam tiga lingkungan, yaitu perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian. Hal ini berarti bahwa kebijakan publik adalah serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan Islamy, Irfan. Prinsip – Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. (Jakarta: Bumi Aksara, 2000). Hal.15 107 tersebut. Sedangkan kubu kedua lebih melihat kebijakan publik terdiri dari rangkaian keputusan dan tindakan108. Menurut Anderson109, konsep kebijakan publik ini mempunyai implikasi, yaitu: pertama, titik perhatian kebijkan publik berorientasi pada maksud dan tujuan dan bukan perilaku secara serampangan. Jadi kebijakan publik bukan sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan direncanakan oleh aktor-aktor yang terlibat di dalam sistem politik. Kedua, kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputuan tersendiri. Suatu kebijakan tidak hanya keputusan untuk menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanaannya. Ketiga, kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif atau negatif. Secara negatif, kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan pemerintah. Dalam bentuknya yang positif, keterlibatan kebijakan publik di dasarkan pada undang-undang dan bersifat otoritatif. Jadi kebijakan publik bersifat paksaan yang secara potensial sah dilakukan. Sifat terakhir inilah yang membedakan kebijakan pulik dengan kebijakan lainnya. 108 109 ibid hal. 19. ibid hal 21. b. Kategori Kebijakan Publik Anderson110 dalam bukunya Publik Policy Making, mengemukakan bahwa sifat kebijakan publik sebagai arah tindakan dapat dirinci menjadi beberapa kategori, yaitu tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands), yaitu tuntutan yang dibuat oleh para aktor-aktor swasta atau pemerintah, ditujukan kepada pejabat pemerintah dalam suatu sistem epolitik, berupa desakan agar pejabat pemerintah mengambil tindakan atau tidak mengambil tindakan mengenai suatu masalah tertentu; keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions), yaitu keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah yang mengesahkan atau memberi arah dan substansi kepada tindakantindakan kebijakan publik, misalnya dalam menetapkan undangundang, memberikan perintah-perintah eksekutif atau pernyatanpernyataan resmi, mengumumkan peraturan-peraturan administratif atau membuat interpretasi pernyatan-pernyataan yuridis kebijakan terhadap (policy undang-undang; statements), yaitu pernyatan-pernyatan resmi atau artikulasi-artikulasi kebijakan publik, misalnya undang-undang legislatif, perintah-perintah dan dekrit presiden, peraturan-peraturan administratif dan pengadilan, maupun pernyataan atau pidato pejabat pemerintah yang menunjukkan maksud dan tujuan pemerintah dan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut; hasil-hasil kebijakan (policy outputs), yaitu lebih merujuk kepada manifestasi nyata dari 110 ibid hal 22 - 23. kebijakan-kebijakan publik, hal-hal yang sebenarnya dillakukan menurut keputusan-keputusan dan pernyatan-pernyataan kebijakan. hasil-hasil kebijakan lebih lebih berpijak pada manifestasi nyata kebijakan publik; dampak-dampak kebijakan (policy outcomes), yaitu jika dibandingkan dengan hasil-hasil kebijakan, maka dampakdampak kebijakan lebih merujuk pada akibat-akibatnya bagi masyarakat baik yang diinginkan atau tidak diinginkan yang berasal dari tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah. c. Tahap-Tahap Kebijakan Publik Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses atau variabel yang harus dikaji. Menurut William Dunn111 membagi proses penyusunan kebijakan publik ke dalam 5 tahap, sebagai berikut. (1) Penyusunan Agenda (agenda setting) Sebelum kebijakan ditetapkan dan dilaksanakan, pembuat kebijakan perlu menyusun agenda dengan memasukkan dan memilih masalah-masalah mana saja yang akan dijadikan prioritas untuk dibahas. Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Penyusunan agenda kebijakan seharusnya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi 111 William Dunn. 1999. Analisa Kebijakan Publik. sebagaimana dikutip oleh Budi Winarno. 2008. Kebijakan Publik (Teori dan Proses). Media Pressindo. Jakarta. hal 32-35. dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholders. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholders. (2) Formulasi Kebijakan (policy formulating) Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives/policy option) yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. (3) Adopsi/Legitimasi Kebijakan (Policy Adoption) Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi. Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu, dimana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah. (4) Implementasi Kebijakan (Policy Implementation) Pada tahap inilah alternatif pemecahan yang telah disepakati tersebut kemudian dilaksanakan. Pada tahap ini, suatu kebijakan seringkali menemukan berbagai kendala. Rumusan-rumusan yang telah ditetapkan secara terencana dapat saja berbeda di lapangan. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang sering mempengaruhi pelaksanaan kebijakan. Kebijakan yang telah melewati tahap-tahap pemilihan masalah tidak serta merta berhasil dalam implementasi. Dalam rangka mengupayakan keberhasilan dalam implementasi kebijakan, maka kendala-kendala yang dapat menjadi penghambat harus dapat diatasi sedini mungkin. (5) Penilaian/ Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation) Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan. 3. Teori Utilitarianisme dari Jeremy Bentham, yang memandang bahwa kepentingan masyarakat dan juga kepentingan individu harus diperhatikan oleh Negara/pemerintah dalam segala langkah. Adanya Negara dan Hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat112. Pemerintah melalui hukum harus dapat memenuhi kebutuhan manusia seutuhnya dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan bathin. Untuk itu, hukum penataan ruang di wilayah pesisir dan laut mampu mewujudkan kesejahteraan bagi semua rakyat Indonesia. Berdasarkan Teori Utility, akan dikaji sejauhmana peran Negara dalam menyediakan sumberdaya pesisir dan laut baik untuk perorangan, kelompok, masyarakat, pemerintah dan dunia usaha yang memiliki kepentingan masing-masing yang pada akhirnya mampu memberikan kesejahteraan. Utilitarianisme memahami keadilan sebagai “kebahagiaan terbesar bagi semua atau setidaknya bagi sebanyak mungkin orang” (the greatest happiness of the greatest number). Berdasarkan Teori Utility, akan dikaji sejauhmana peran Negara dalam mengatur penataan ruang pesisir dan laut baik untuk perorangan, kelompok, masyarakat, pemerintah dan dunia usaha yang memiliki kepentingan masing-masing yang pada akhirnya mampu memberikan kesejahteraan. Pemerintah melalui hukum harus dapat memenuhi kebutuhan manusia seutuhnya dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan bathin. Untuk itu, hukum 112 Achmad Ali, 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Keadilan (Judicialprudence) termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Cetakan II, Kencana. Jakarta, hal 273. penataan ruang di wilayah pesisir dan laut mampu mewujudkan kesejahteraan bagi semua rakyat Indonesia113. 4. Selanjutnya digunakan Teori Keseimbangan Kepentingan dari Roscoe Pound, yaitu Law As a Tool of Social Engineering (Keseimbangan Kepentingan). Menurut teori ini, bahwa kondisi awal struktur suatu masyarakat selalu berada dalam kondisi yang kurang berimbang. Ada yang terlalu dominan, dan ada pula yang terpinggirkan. Untuk menciptakan dunia yang beradab, ketimpangan struktural perlu ditata ulang dalam pola keseimbangan yang proporsional114. Menurut teori ini, fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan umum, kepentingan sosial dan kepentingan individu. Berdasarkan fungsi hukum tersebut, ada 3 kategori kepentingan, yaitu kepentingan individual, kepentingan publik, dan kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat. Perlindungan terhadap ketiga kepentingan ini harus dilakukan secara seimbang. Keseimbangan yang harmonis inilah yang merupakan hakikat keadilan. Kepentingan umum oleh Roscoe Pound disamakan dengan Hukum Publik, adalah tuntutan, permintaan, kehendak, dan harapan individu yang terkait dengan kehidupan politik. 5. Teori Keadilan Aritoteles 113 Achmad Ali, 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Keadilan (Judicialprudence) termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Cetakan II, Kencana. Jakarta, hal 273. 114 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Waktu). (Kata Pengantar Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.).Cetakan Kedua. CV. KITA. Surabaya. 2007. hal 180-192. dan Atip Latipulhayat, 2014. Roscoe Pound. Jurnal Ilmu Hukum Volume 1 No. 2 Tahun 2014. Universitas Padjadjaran. Bandung. Hal. 416. Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karyanya Nichomachean Ethics, Politics, dan Rethoric. Spesifik dilihat dalam buku Nicomachean Ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”. 115 Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum sama. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya. Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam keadilan, keadilan distributief dan keadilan commutatief. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut prestasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa.116 115 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nuansa dan Nusamedia, 2004, hal 24. 116 L..J. Van Apeldoorn. 1996. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Pradnya Paramita. Cetakan kedua puluh enam. hal. 11-12. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.117 6. Teori Keadilan dari John Rawls, Teori ini mengemukakan bahwa prinsip-prinsip dasar keadilan bagi struktur dasar masyarakat merupakan tujuan dari kesepakatan. Prinsip yang akan diterima orangorang yang bebas dan rasional untuk mengejar kepentingan mereka. John Rawls menyebut prinsip keadilan ini keadilan sebagai fairness118. Menurut John Rawls119 terdapat dua prinsip keadilan yang akan dipilih pada posisi awal. Pertama, setiap orang mempunyai hak yang sama terhadap kebebasan dasar yang paling luas sesuai dengan dengan kebebasan sejenis yang dimiliki orang lain. Kedua, perbedaan sosioreligius dan ekonomi harus diatur agar perbedaan-perbedaan tersebut menjadi keuntungan bagi setiap orang dan posisi, kedudukan, status, ruang yang terbuka bagi setiap orang dapat diwujudkan. 117 Carl Joachim Friedrich. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung. Nuansa dan Nusamedia. hal 25. 118 John Rawls. 2006. (A Theory of Justice, 1995. Penerjemah:Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo). Teori Keadilan (Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara). Cetakan Pertama. Pustaka Pelajar. Hal. 13. 119 Muhammad Taufik. 2013. Filsafat John Rawls tentang Teori Keadilan, Mukaddimah, Vol. 19, No. 1, 2013 hlm. 16-17. Prinsip-prinsip itu terutama diterapkan pada struktur dasar masyarakat. Prinsip-prinsip tersebut untuk mengatur ketentuan hak-hak dan tugastugas dan untuk mengatur distribusi keuntungan sosial dan ekonomi seperti yang disarankan formulasinya, prinsip-prindsip ini berasumsi bahwa struktur sosial bisa dibagi ke dalam, kurang lebih dua bagian, prinsip pertama diterapkan pada satu bagian, sedangkan prinsip kedua diterapkan pada bagian lainnya. Prinsip-prinsip itu membedakan antara aspek-aspek sistim sosial yang menetapkan dan menjaga kebebasan yang sama dari warga negara dengan aspek-aspek yang menentukan dan membangun perbedaan sosial dan ekonomi. Kebebasan dasar warga negara adalah kebebasan politik hak memilih dan diterima dalam posisi umum bersama-sama dengan kebebasan berpendapat, berbicara, dan berserikat; kebebasan menyuarakan hati nurani dan kebebasan berpikir; kebebasan memegang harta pribadi; dan kebebasan dari penangkapan secara sewenang-wenang seperti yang ditetapkan oleh konsep aturan hukum (rule of law). Kebebasankebebasan tersebut semuanya diharuskan sama oleh prinsip pertama, sebab warga negara dari suatu masyarakat yang adil harus mempunyai hak-hak dasar yang sama. Prinsip kedua diterapkan pada distribusi pendapatan, kejayaan, dan pada desain organisasi yang menggunakan perbedaan-perbedaan dalam otoritas dan pertanggungjawaban atau rantai komando. Sementara itu, distribusi kekayaan dan pendapatan tidak perlu sama, maka distribusi tersebut adalah keuntungan setiap orang, dan pada saat yang sama, posisi otoritas serta kedudukan komando harus bisa diakses oleh semua pihak. Orang yang menerapkan prinsip kedua dengan memegang posisi terbuka, dengan keterbatasan ini bisa mengatur perbedaan sosial dan ekonomi agar setiap orang merasa beruntung. Prinsip-prinsip ini harus diatur secara berurutan (a serial order) dengan prinsip pertama mendahului yang kedua. Pengaturan ini berarti bahwa suatu perjalanan dari institusi kebebasan yang sama yang disyaratkan oleh prinsip pertama tidak bisa ditetapkan atau dikonpensasi untuk keuntungan sosial dan ekonomi yang lebih besar. Distribusi kekayaan dan pendapatan, serta hirarki otoritas, harus konsisten dengan kebebasan kesempatan. warga negara Sesuatu yang yang sama, digagas serta Rawls persamaan dalam dan pandangan- pandangannya mengenai keadilan sebagai fairness adalah satu upaya mewujudkan semangat egalitarian pada struktur masyarakat. Tentu egalitarianisme itu tidak boleh dimengerti dalam arti secara radikal. Rawls berpendapat soal sikap adil, yaitu bahwa pembagian nilai-nilai sosial yang primer (primary social good) disebut adil jika pembagiannya dilakukan secara merata, kecuali jika pembagian yang tidak merata merupakan keuntungan bagi setiap orang. Nilai-nilai sosial yang primer yang dimaksud adalah kebutuhan dasar yang sangat kita butuhkan untuk bisa hidup pantas sebagai manusia dan warga masyarakat. Kebutuhan dasar itu antara lain kesejahteraan, dan kesempurnaan. hak-hak dasar, kebebasan, H. Kerangka Pikir (Conceptual Frame Work) UUD 1945 PENATAAN RUANG PESISIR DAN LAUT DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEADILAN SUBSTANSI PENGATURAN TATA RUANG PESISIR DAN LAUT SERTA SUMBERDAYA ALAM Substansi Pengaturan SDA Substansi Pengaturan Tata Ruang Pesisir dan Laut KEBIJAKAN PEMERINTAH/ PEMERINTAH DAERAH Perencanaan Ruang Pesisir dan Laut Pemanfaatan Ruang Pesisir dan laut Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pesisir dan laut TERWUJUDNYA KESEIMBANGAN PROPORSIONAL DALAM PENATAAN RUANG DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT PENGATURAN IDEAL Keterpaduan Kepastian Hukum Keadilan H. Defenisi Operasional Variabel 1. Harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan (justice, gerechtigheid), dan kesebandingan (equity, billijkheid), kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme hukum kalau memang dibutuhkan”. 2. Sinkronisasi adalah penyelarasan dan penyerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Proses sinkronisasi peraturan bertujuan untuk melihat adanya keselarasan antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya. Sinkronisasi dilakukan baik secara vertikal dengan peraturan di atasnya maupun secara horizontal dengan peraturan yang setara. 3. Keseimbangan adalah nilai-nilai yang mencerminkan proporsional, keselarasan dan keadilan dalam pemanfaatan ruang pesisir dan laut untuk kepentingan masyarakat, dunia usaha maupun sektoral dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir dan laut antara ekosistem darat dan ekosistem laut, antara eksploitasi dan eksplorasi dengan pelestarian, dan antara pemanfaatan dan konservasi. 4. Harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan (justice, gerechtigheid), dan kesebandingan (equity, billijkheid), kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme hukum kalau memang dibutuhkan”. 5. Kebijakan pemerintah adalah cara bertindak pemerintah dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut. 6. Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang laut/rencana zonasi wilayah pesisir dan laut. 7. Pemanfaatan Ruang adalah adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang laut/ rencana zonasi wilayah pesisir dan laut melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. 8. Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang laut/ rencana zonasi wilayah pesisir dan laut. 9. Keadilan adalah berpegang pada kebenaran, tidak berat sebelah, tidak memihak dan tidak sewenang-wenang dalam perencanaan, pemanfaataatan, dan pengendalian ruang pesisir dan laut. 10. Kepastian hukum adalah bahwa penataan ruang pesisir dan laut diselenggarakan dengan berlandaskan hukum/ketentuan peraturan perundang-undangan serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil. 11. Keterpaduan adalah mengintegrasikan kepentingan stakeholders, ekosistem darat dan ekosistem laut dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang pesisir dan laut baik secara horizontal maupun vertikal berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan.