BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Penataan Ruang 1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Penataan Ruang
1. Tinjauan Umum Penataan Ruang
Ruang dapat diartikan sebagai wadah kehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya dan sebagai sumber daya alam. Ruang baik sebagai
wadah maupun sebagai sumber daya alam terbatas. Sebagai wadah ia
terbatas pada besaran wilayah, sedangkan sumber daya, ia terbatas daya
dukungnya. Oleh karena itu menurut.pemanfaatan ruang perlu ditata agar
tidak terjadi pemborosan dan penurunan kualitas ruang.1 Ruang (space)
diartikan pula sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan
biosfera, tempat hidup tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Ruang
dapat merupakan suatu wilayah yang mempunyai batas geografis yatu
batas menurut keadaan fisik, sosial atau pemerintahan yang terjadi dari
sebagian permukaan bumi dan lapisan tanah dibawahnya serta lapisan
udara diatasnya.
Kartasasmita mengemukakan bahwa Penataan Ruang secara
umum mengandung pengertian sebagai suatu proses yang meliputi proses
perencanaan,
pemanfaatan,
dan
pengendalian
pelaksanaan
atau
pemanfaatan ruang yang harus berhubungan satu sama lain.2
1
Kantaatmadja, M.K. 1994. Hukum Angkasa dan Hukum Tata Ruang. Mandar Maju
Bandung. hal. 115
2 Kartasasmita, G. 1997. Administrasi Pembangunan (Perkembangan Pemikiran dan
Prakteknya di Indonesia). LP3ES. Jakarta). Hal. 51
Penataan ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut
dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan
wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya, hidup melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya 3. Ruang sendiri terbagi
dalam beberapa kategori, yaitu:
a. Ruang Daratan adalah ruang yang terletak diatas dan dibawah
permukaan daratan, termasuk permukaan perairan darat dan sisi darat
dari garis laut terendah.
b. Ruang Lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah
permukaan laut di mulai dari sisi laut dari sisi garis laut terendah
termasuk dasar laut dan bagian bumi dibawahnya, dimanan negara
Indonesia memiliki hak yuridiksinya.
c. Ruang udara adalah ruang yang terletak di atas ruang daratan dan atau
ruang lautan sekitar wilayah negara dan melekat pada bumi, dimanan
negara Indonesia memiliki hak yuridiksinya.
Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (disingkat UUPR), ruang terdiri dari ruang wilayah dan ruang
kawasan. Pengertian wilayah dalam Pasal 1 butir 17 UUPR adalah ruang
yang merupakan kesatuan geografis beserta segenapnya unsur terkait
yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administartif
dan/atau aspek fungsional. Sedangkan pengertian kawasan dalam Pasal 1
3
Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
selanjutnya disingkat UUPR.
butir 20 UUPR adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau
budi daya.
Ruang dalam wilayah nasional adalah wadah bagi manusia untuk
melakukan kegiatannya. Hal ini tidaklah berarti bahwa ruang wilayah
Nasional akan dibagi habis oleh ruang-ruang yang diperuntukan bagi
kegiatan manusia (fungsi budidaya) akan tetapi harus mempertimbangkan
pula adanya ruang-ruang yang mempunyai fungsi lindung dalam kaitannya
terhadap keseimbangan tata udara, tata air, konservasi flora dan fauna
serta satu kesatuan ekologi.
Pasal 1 butir 2 UUPR, menjelaskan yang dimaksud dengan tata
ruang adalah wujud struktural dan pola ruang. Struktur ruang dalam Pasal
1 butir 3 UUPR adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem
jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan
sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan
fungsional. Sedang pola ruang dalam Pasal 1 butir 4 adalah distribusi
peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang
untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang fungsi budi daya.
Pengertian penataan ruang dalam Pasal 1 butir 5 UUPR adalah
suatu sistem proses yang terdiri dari perencanan tata ruang, pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Proses penataan ruang
tersebut merupakan satu kesatuan sistem yang tidak dapat terpisahkan
satu sama lainnya. Sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) yuridiksi dan wilayah
kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut dan ruang
udara, termasuk di dalam bumi sebagai satu kesatuan.
Hukum haruslah menjadi sarana pembangunan, artinya bahwa
hukum haruslah mendorong proses modernisasi, sejalan dengan fungsi
tersebut maka pembentuk Undang-Undang meletakkan berbagai dasar
yuridis dalam melakukan berbagai kegiatan pembangunan, sebagai salah
satunya yaitu dalam pembuatan undang-undang mengenai penataan
ruang.4 Sebagai keberlanjutan dari pengaturan dalam kosnstitusi, berbagai
undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya telah dibentuk oleh
pemerintah, salah satunya adalah Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang.
UUPR merupakan Undang-Undang pokok yang mengatur tentang
pelaksanaan
penataan
ruang.
Keberadan
undang-undang
tersebut
diharapkan selain sebagai konsep dasar hukum dalam melaksanakan
perencanaan tata ruang juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
acuan pemerintah dalam penataan dan pelestarian lingkungna hidup.
Setiap pembangunan yang dilakukan dalam suatu negara harus terarah,
supaya terjadi keseimbangan, keserasian (keselarasan), berdaya guna,
berhasil guna, berbudaya dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Untuk perlu disusun suatu rencana
yang disebut rencana tata ruang.rencana tata ruang
ada yang bersifat
Nasional, artinya meliputi bidang Nasional ada pula yang hanya berlaku
untuk wilayah, atau regional tertentu seperti RUTR.
4
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni
Bandung, 2002 hal 104.
Tata ruang berarti susunan ruang yang teratur. Kata teratur
mencakup pengertian serasi dan sederhana sehingga mudah dipahami dan
dilaksanakan. Karena pada tata ruang, yang ditata adalah tempat berbagai
kegiatan serta sarana dan prasarananya dilaksanakan. Suatu tata ruang
yang baik dapat dilaksanakan dari segala kegiatan menata yang baik
disebut penataan ruang. Dalam hal ini penataan ruang terdiri dari tiga
kegiatan utama yakni perencanaan tata ruang, perwujudan tata ruang dan
pengendalian tata ruang.5.
Tata ruang merupakan instrument penting bagi pemerintah,
penetapan rencana harus mendapat kesepakatan dan penetapan oleh
legislative sebagai wakil rakyat dan dukungan masyarakat. Tata ruang
secara legal mempunyai kekuatan mengikat untuk dipatuhi baik oleh
masyarakat maupun pemerintah sendiri, sehingga diharapkan proses
pemanfatan ruang dapat dilakukan secara konsisten. Pemanfaatan ruang
dalam kegiatan pemanfaatan ruang, acuan yang digunakan adalah rencana
tata ruang yang diketahui mempunyai dimensi waktu tertentu, yang pada
suatu waktu sudah tidak dengan dinamika yang ada.
Secara geografis ruang wilayah Indonesia yang terdiri dari ruang
daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta seluruh sumber daya alam
yang terkandung di dalamnya merupakan aset besar bangsa Indonesia
yang harus dimanfaatkan secara terkoordinir, terpadu, dan seefektif
5
Silalahi, M. Daud. 2006. Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum
Lingkungan Indonesia. Alumni Bandung. hal 80.
mungkin dengan memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan keamanan, serta kelestarian, pertahanan kemamanan, serta
kelestarian
kemampuan
lingkungan
hidup.6
Semua
pertimbangan-
pertimbangan tersebut dimaksudkan agar sumber kekayaan bangsa
Indonesia itu semaksimal mungkin dapat menopang terlaksananya
pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi, sebagai tempat manusia dan makhluk lain
hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya, pada
dasarnya ketersediaannya tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal
tersebut, dan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara
dan Ketahanan Nasional, Undang-Undang ini mengamanatkan perlunya
dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam
dan
lingkungan
buatan,
yang
mampu
mewujudkan
keterpaduan
penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta yang dapat
memberikan pelindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak
negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang. Kaidah
6
Ruang wilayah Indonesia berbentuk kepulauan dengan letak dan posisi yang sangat
strategis, baik bagi kepentingan nasional maupun internasional. Secara ekosistem kondisi
alamiahnya pun sangat khas karena menempati posisi silang di khatulistiwa antara dua
benua dan dua samudera dengan cuaca, musim, dan iklim tropis (Penjelasan UndangUndang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dalam Marsono, Ibid., UndangUndang dan Peraturan-Peraturan di Bidang Perumahan dan Pemukiman. Jakarta:
Penerbit Djambatan, 1995, halaman 115-168.
penataan ruang ini harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap
proses perencanaan tata ruang wilayah7.
Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal batas
wilayah. Namun, untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara
dan Ketahanan Nasional, serta sejalan dengan kebijakan otonomi daerah
yang nyata, luas, dan bertanggung jawab, penataan ruang menuntut
kejelasan pendekatan dalam proses perencanaannya demi menjaga
keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan keterpaduan antardaerah,
antara pusat dan daerah, antarsektor, dan antarpemangku kepentingan.
Dalam Undang-Undang ini, penataan ruang didasarkan pada pendekatan
sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan,
dan nilai strategis kawasan8.
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah tersebut, wewenang
penyelenggaraan penataan ruang oleh Pemerintah dan pemerintah daerah,
yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan
pengawasan penataan ruang, didasarkan pada pendekatan wilayah
dengan batasan wilayah administratif. Dengan pendekatan wilayah
administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah
kabupaten, dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut merupakan
7
8
Angka 3 Penjelasan Umum UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Angka 4 Penjelasan Umum UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
subsistem ruang menurut batasan administratif. Di dalam subsistem
tersebut terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan, dan dengan
tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, yang apabila tidak ditata
dengan baik dapat mendorong ke arah adanya ketidakseimbangan
pembangunan
antarwilayah
serta
ketidaksinambungan
pemanfaatan
ruang9.
Selanjutnya, Penataan ruang dengan pendekatan kegiatan utama
kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan
ruang kawasan perdesaan. Kawasan perkotaan, menurut besarannya,
dapat berbentuk kawasan perkotaan kecil, kawasan perkotaan sedang,
kawasan
perkotaan
besar,
kawasan
metropolitan,
dan
kawasan
megapolitan. Penataan ruang kawasan metropolitan dan kawasan
megapolitan, khususnya kawasan metropolitan yang berupa kawasan
perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling
memiliki
keterkaitan
prasarana
wilayah
fungsional
yang
dan
terintegrasi,
dihubungkan
merupakan
dengan
pedoman
jaringan
untuk
keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah administrasi di dalam
kawasan, dan merupakan alat untuk mengoordinasikan pelaksanaan
pembangunan lintas wilayah administratif yang bersangkutan. Penataan
ruang kawasan perdesaan diselenggarakan pada kawasan perdesaan
yang merupakan bagian wilayah kabupaten atau pada kawasan yang
secara fungsional berciri perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih
9
ibid, Hlm 2.
wilayah kabupaten pada 1 (satu) atau lebih wilayah provinsi. Kawasan
perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten dapat berupa
kawasan agropolitan10.
Penataan ruang dengan pendekatan nilai strategis kawasan
dimaksudkan untuk mengembangkan, melestarikan, melindungi dan/atau
mengoordinasikan keterpaduan pembangunan nilai strategis kawasan yang
bersangkutan demi terwujudnya pemanfaatan yang berhasil guna, berdaya
guna, dan berkelanjutan. Penetapan kawasan strategis pada
setiap
jenjang wilayah administratif didasarkan pada pengaruh yang sangat
penting terhadap kedaulatan negara, pertahanan, keamanan, ekonomi,
sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk kawasan yang ditetapkan
sebagai warisan dunia11.
Pengaruh aspek kedaulatan negara, pertahanan, dan keamanan
lebih ditujukan bagi penetapan kawasan strategis nasional, sedangkan
yang berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan,
yang dapat berlaku untuk penetapan kawasan strategis nasional, provinsi,
dan
kabupaten/kota,
diukur
berdasarkan
pendekatan
ekternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi penanganan kawasan yang bersangkutan.
Harus disadari bahwa setiap manusia dan makhluk hidup lainnya
membutuhkan ruang sebagai wadah dan pusat kegiatannya, sementara
ketersediaan wadah dan pusat kegiatan tersebut sangat terbatas dan
bahkan tidak pernah bertambah luas, maka pemanfaatan ruang tersebut
10
11
ibid, hlm 3.
ibid, hlm 3-4
perlu diatur dengan sebaik-baiknya agar tidak terjadi pemborosan dan
penurunan kualitas ruang. Oleh karena itu, kehadiran berbagai kebijakan
penataan ruang harus dimaknakan sebagai upaya untuk mengatur
pemanfaatan ruang berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi
lokasi, kualitas ruang, dan estetika lingkungan12.
Lebih lanjut, Kebijakan penataan ruang tersebut meliputi ruang
wilayah
nasional,
kabupaten/kota.
ruang
wilayah
Masing-masing
provinsi,
ruang
wilayah
dan
ruang
tersebut
wilayah
merupakan
subsistem ruang menurut batasan administrasi belaka, karena secara
alamiah ketiga wilayah tersebut merupakan suatu kesatuan dan tidak dapat
dipilah-pilah. Sebagai satu kesatuan wilayah ruang yang utuh maka dalam
kadar-kadar tertentu pengelolaan salah satu bagian (subsistem) jelas akan
berpengaruh pada subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan
mempengaruhi subsistem ruang secara keseluruhan. Oleh karena itu,
pengaturan ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan
sebagai ciri utamanya. Ini berarti perlu adanya suatu kebijaksanaan
nasional penataan ruang yang dapat memadukan dan pengendalian
pemanfaatan ruang dalam satu kesatuan sistem, maka diperlukan
perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat memberi dasar yang
jelas, tegas, dan menyeluruh dalam upaya pemanfaatan ruang13.
12
Edy Lisdiono. 2008. Legislasi Penataan Ruang (Studi tentang Pergeseran Kebijakan
Hukum Tata Ruang dalam Regulasi Daerah di Kota Semarang). Disertasi Program Doktor
Ilmu Hukum Universitas Diponegoro - Semarang. hal. 247.
13 Ibid, hlm. 247-248
Dalam sejarah penataan ruang, Indonesia pertama kali memiliki
Undang-Undang penataan ruang yaitu Undang-undang No. 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang, yang disahkan pada tanggal 13 Oktober 1992,
kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang. Perubahan tersebut didasarkan pada pertimbangan,
antara lain: (a) situasi nasional maupun internasional yang menuntut
penegakan prinsip keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi dan keadilan
dalam
rangka
penyelenggaraan
penataan
ruang
yang
baik;
(b)
pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yang memberikan wewenang yang
semakin besar kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
penataan ruang sehingga pelaksanaan kewenangan tersebut perlu diatur
demi menjaga keserasian dan keterpaduan antardaerah demi menghindari
kesenjangan antardaerah; dan (c) kesadaran dan pemahaman masyarakat
yang semakin tinggi terhadap penataan ruang yang memerlukan
pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang
agar sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat.14
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, dalam mencapai
tujuan penyelenggaraan penataan ruang nasional, Undang-undang yang
baru ini memuat beberapa ketentuan pokok sebagai berikut:
a. Pembagian wewenang antara pemerintah (pusat), pemerintah provinsi,
dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan
pemanfaatan ruang untuk memberikan kejelasan tugas dan tanggung
jawab masing-masing dalam mewujudkan ruang wilayah nasional yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan;
14
Angka 8 Penjelasan Umum UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
b. Pengaturan penataan ruang yang dilakukan melalaui penetapan
peraturan pewrundang-undangan termasuk pedoman bidang penataan
ruang sebagai acuan penyelenggaraan penataan ruang;
c. Pembinaan penataan ruang melalui berbagai kegiatan untuk
meningkatkan kinerja penyelengagaraan penataan ruang;
d. Pelaksanaan penataan ruang yang mencakup perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang pada semua
tingkat pemerintahan;
e. Pengawasan penataan ruang yang mencakup pengawasan terhadap
kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang
termasuk pengawasan terhadap kinerja pemenuhan standar pelayanan
minimal biodang penataan ruang melalui kegiatan pemantauan,
evaluasi, dan pelaporan;
f. Hak, kewajiban, dan peraan masyarakat dalam penyelenggaraan
penataan ruang untuk menjamin keterlibatan masyarakat, termasuk
masyarakat adat dalam setiap proses penyelenggaraan penataan
ruang;
g. Penyelesaian sengketa, baik sengketa anatar daerah maupun antar
pemangku kepentingan lain secara bermartabat;
h. Penyidikan, yang mengatur tentang penyidik pegawai negari sipil
beserta wewenang dan mekanisme tindakan yang dilakukan;
i. Ketentuan sanksi administratif dan sanksi pidana sebagai dasar untuk
penegakan hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang; dan
j. Ketentuan peralihan yang mengatur keharusan penyelesuaian
pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang yang baru, dengan
masa transisi selama 3 (tiga) tahun untuk penyesuaian.15
2. Prinsip-prinsip dasar dan Tujuan Penataan Ruang
Penataan
ruang wilayah
Indonesia,
baik untuk kepentingan
pemerintah maupun kepentingan masyarakat, pada dasarnya diletakkan di
atas beberapa prinsip dasar16, yakni:
(a) Prinsip keterpaduan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan
dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas
sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Pemangku
kepentingan, antara lain, adalah Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat.
15Angka
16
9 Penjelasan Umum UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Penjelasan Pasal 2 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
(b) Prinsip keserasian, keselarasan, dan keseimbangan” adalah bahwa
penataan ruang diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian
antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan
manusia dengan lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan
perkembangan antardaerah serta antara kawasan perkotaan dan
kawasan perdesaan.
(c) Prinsip keberlanjutan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan
dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya
tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi
mendatang.
(d) Prinsip keberdayagunaan dan keberhasilgunaan adalah bahwa
penataan ruang diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat
ruang dan sumber daya yang terkandung di dalamnya serta menjamin
terwujudnya tata ruang yang berkualitas.
(e) Asas keterbukaan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan
dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat
untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang.
(f) Prinsip kebersamaan dan kemitraan adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
(g) Prinsip pelindungan kepentingan umum adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.
(h) Prinsip kepastian hukum dan keadilan adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan berlandaskan hukum/ketentuan peraturan
perundangundangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan
mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan
kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum.
(i) Prinsip akuntabilitas adalah bahwa penyelenggaraan penataan ruang
dapat dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya,
maupun hasilnya.
Selain prinsip-prinsip dasar penataan ruang sebagaimana dimaksud
di atas, penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan
ruang
wilayah
berkelanjutan
nasional
yang
berlandaskan
aman,
Wawasan
nyaman,
Nusantara
produktif,
dan
dan
Ketahanan
Nasional dengan: (a) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam
dan lingkungan buatan; (b) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan
sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan
sumber daya manusia; dan (c) terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan
pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan
ruang17.
Makna aman dalam tujuan penyelenggaraan tata ruang tersebut
adalah situasi masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya
dengan terlindungi dari berbagai ancaman. Nyaman adalah keadaan
masyarakat dapat mengartikulasikan nilai sosial budaya dan fungsinya
dalam suasana yang tenang dan damai. Produktif dimaksudkan sebagai
proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu
memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat,
sekaligus meningkatkan daya saing. Sedangkan berkelanjutan
adalah
kondisi kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat
ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi
ekonomi kawasan setelah habisnya sumber daya alam tak terbarukan 18.
Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang daratan, ruang laut,
ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan. Dalam
Pasal 6 Ayat (5) UUPR, bahwa ruang laut dan ruang udara pengelolaannya
diatur dengan undang-undang tersendiri. Penataan ruang untuk wilayah
Laut, diatur lebih lanjut dalam UUPWP3K, khususnya berkaitan dengan
Rencana Zonasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Pasal 1 Angka
14, Pasal 7 Ayat (1) b, Pasal 9, 10 dan 11) dan UU Kelautan (Pengelolaan
Ruang Laut, Pasal 42 s.d. 49). Lebih lanjut mengenai penataan ruang laut
17
18
Pasal 3 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Penjelasan Pasal 3 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil) diuraikan pada bagian lain
naskah ini.
B. Penataan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut
1. Pengertian Pesisir dan Wilayah Pesisir
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)19, pesisir diartikan
sebagai tanah datar berpasir di pantai (di tepi laut); sedangkan pesisir
basah diartikan daerah antara garis pantai waktu (air) laut surut dan pantai
waktu (air) laut pasang; pasir kering diartikan daerah antara garis pantai
waktu (air) laut pasang dan garis pantai tertinggi yang dapat dicapai oleh
(air) laut pada waktu topan melanda.
Wilayah pesisir menurut Kay dan Alder20 “The band of dry land
adjancent ocean space (water and submerged land) in wich terrestrial
processes and land uses directly affect oceanic processes and uses, and
vice versa”. Diartikan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah yang
merupakan tanda atau batasan wilayah daratan dan wilayah perairan yang
mana proses kegiatan atau aktivitas bumi dan penggunaan lahan masih
mempengaruhi proses dan fungsi kelautan.
Sedangkan
pengertian
wilayah
pesisir
dikemukakan
oleh
Suprihayono21, bahwa wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara
daratan dan laut ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik
kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut
19
Tim Pembuat Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1999. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. hal. 762.
20 Kay R and Alder J, 1999. Coastal Planning and Management, E & FN Spon, an imprint
of Routledge, London. hal. 5
21 Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta. Hal. 7.
seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke
arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi
oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air
tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti
penggundulan hutan dan pencemaran.
Pengertian
wilayah
pesisir
menurut
kesepakatan
terakhir
internasional menurut Beatley et al., 1994, sebagaimana dikutip oleh
Dahuri dkk.22, merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke
arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air
laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua
(continental shelf).
Dari pengertian-pengertian di atas dapat di tarik suatu kesimpulan
bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik karena merupakan
tempat percampuran antara daratan dan lautan, hal ini berpengaruh
terhadap kondisi fisik dimana pada umumnya daerah yang berada di
sekitar laut memiliki kontur yang relatif datar. Adanya kondisi seperti ini
sangat mendukung bagi wilayah pesisir dijadikan daerah yang potensial
dalam pengembangan wilayah keseluruhan. Hal ini menunjukan garis batas
nyata wilayah pesisir tidak ada. Batas wilayah pesisir hanyalah garis
khayalan yang letaknya ditentukan oleh kondisi dan situasi setempat. Di
daerah pesisir yang landai dengan sungai besar, garis batas ini dapat
berada jauh dari garis pantai. Sebaliknya di tempat yang berpantai curam
22 Dahuri,
Rokhmin, dkk. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu,
Pradnya Paramita, Jakarta. Cetakan keempat. hal. 9
dan langsung berbatasan dengan laut dalam, wilayah pesisirnya akan
sempit. Berikut perbandingan batas wilayah pesisir menurut beberapa
Negara atau Negara Bagian di Amerika Serikat .
Tabel 1 Batas ke arah darat dan ke arah laut wilayah pesisir yang telah
dipraktekkan di beberapa Negara atau Negara Bagian
No.
1
2
3
Negara/Negara
Bagian
Brazilia
California
- 1972 -1976
- 1977 - sekarang
Washington State
- Batas Perencanaan
- batas Pengaturan
4
5
Costa Rica
Cina
6
Ekuador
7
Israel
8
9
10
11
Afrika Selatan
Australia Selatan
Queensland
Spanyol
Batas ke arah Darat
Batas ke arah Laut
2 km dari garis PTR
12 km dari garis PTR
- 1.000 m dari garis PTR
- Batas Arbitrer tergantung
isu pengelolaan
- 3 mil laut dari garis GD
- 3 mil laut dari garis GD
- Batas darat dari negara
pantai
- 61 meter dari garis PTR
200 meter dari garis PTR
10 km dari PTR
- 3 mil laut dari GD
- 3 mil laut dari PTR
Batas arbitrer tergantung isu
pengelolaan
1 - 2 km tergantung jenis
sumberdaya dan lingkungan
1 km dari garis PTR
100 km dari garis PTR
400 meter dari PTR
500 m dari garis PTR
Garis pantai saat PRR
Sampai kedalaman laut/isobath
15 meter
Belum ditetapkan (BL)
500 m dari garis pantai saat PRR
BL
3 mil laut dari GD
3 mil laut daro PTR
12
mil
laut/batas
teritorial
perairan
Sumber: Sorensen dan Mc. Creary (1990) dikutip dari Dahuri, dkk.23
Keterangan:
PTR
: Pasang surut Tinggi Rata-rata (mean high tide)
PRR
: Pasang surut Rendah Rata-rata (mean low tide)
GD
: Garis Dasar
BL
: Belum ditetapkan
Secara yuridis, wilayah pesisir diartikan Wilayah Pesisir adalah
daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan laut24. Dalam Pasal 2 UUPWP3K, disebutkan
bahwa ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
23
Dahuri, Rokhmin, dkk. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu,
Pradnya Paramita, Jakarta. Cetakan keempat. hal. 9
24 Pasal 1 Angka 2 UUPWP3K.
meliputi daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup
wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil
laut diukur dari garis pantai. Gambaran wilayah pesisir sebagai berikut.
Bagan - 1 Gambaran Wilayah Pesisir menurut UUPWP3K25
Minimal
100 meter
Keterangan: HWL= High Water Level
LWL = Low Water Level
Selain pengertian wilayah pesisir sebagaimana dimaksud di atas,
secara teoritis, batasan pengertian wilayah pesisir dapat dijelaskan dengan
menggunakan tiga pendekatan yaitu pendekatan ekologis, pendekatan
perencanaan dan pendekatan administratif. Pendekatan ekologis yaitu
wilayah pesisir merupakan kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh
proses-proses kelautan seperti pasang surut dan intrusi air laut dan
kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses daratan, seperti
25
Yudha Arie Wibowo. 2012. Teknik Pantai (Coastal Engineering). https://oseanografi
hanhtuah.wordpress.com.
sedimentasi
dan
pencemaran26.
Berdasarkan
pendekatan
secara
administrasi, wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi
pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau
kabupaten atau kota yang mempunyai wilayah laut dan ke arah laut sejauh
12 mil dari garis pantai untuk propinsi atau sepertiganya untuk kabupaten
atau kota. Pendekatan dari segi perencanaan, wilayah pesisir merupakan
wilayah perencanaan pengelolaan sumber daya yang difokuskan pada
penanganan suatu masalah yang akan dikelola secara bertanggung
jawab27.
2. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu
Pembangunan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang
sangat kompleks, dilakukan dengan menerapkan prinsip keterpaduan
(integrated coastal management/ICM). Sesuai dengan prinsip-prinsip ICM,
sebagaimana diatur dalam Pasal 4
UUPWP3K, pengelolaan wilayah
pesisir melibatkan banyak sektor dan sumberdaya alam baik hayati
maupun non hayati, sehingga pelaksanaannya dilakukan dengan cara
menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah,
mengikutsertakan
peran
serta
masyarakat
dan
lembaga
pemerintah.
26
Lazarus Tri Setyawanto, 2005. Masalah-Masalah Hukum di Wilayah Pesisir dan Laut,
Syclosundip Semarang. hal. 84
27 Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan
Tahun 2001, Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir, hal. 1-5
Pengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil secara
terpadu28 mengacu pada Chapter 17 Agenda 21, Deklarasi Johannesburg
2002, Plan of Implementation of the World Summit on Sustainable
Development, 2002, dan Bali Plan of Action 2005. ICM merupakan
pedoman dalam pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya
alam di wilayah pesisir dan laut dengan memperhatikan lingkungan.
Implementasi ICM dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi konflik dalam
pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir dan laut, dan tumpang tindih
kewenangan serta benturan kepentingan antar sektor29.
ICM merupakan suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan
laut yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan
pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai
pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan. Dalam
konteks demikian, ICM mengandung tiga dimensi yaitu sektoral, bidang
ilmu dan ekologis30.
Pengelolaan terpadu secara sektoral, berarti adanya koordinasi
antara tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi
pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration), dan
28
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan
pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor,
antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
29 Dina Sunyowati, 2008. Kerangka Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Berdasarkan
Konsep Integrated Coastal Management dalam Rangka Pembangunan Kelautan
Berkelanjutan. Ringkasan Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Airlangga.
Surabaya. hal. 16.
30 Rohmin Dahuri dkk. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu,
Pradnya Paramita, Jakarta. Cetakan Keempat. hal. 12
antar tingkat pemerintahan (vertikal integration). Selanjutnya pengelolaan
terpadu secara keilmuan, berarti bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir
dan laut dalam rangka penataan ruang menggunakan interdisiplin ilmu
(interdiclipinary approaches) yang melibatkan bidang ilmu ekonomi,
ekologi, teknik, sosiologi, hukum dan lainnya yang relevan. Pengelolaan
terpadu secara ekologis, yaitu keterpaduan antara ekosistem darat dan
ekosistem pesisir dan laut.31
Pembangunan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang
sangat kompleks, dilakukan dengan menerapkan prinsip keterpaduan
(integrated coastal management/ICM). Sesuai dengan prinsip-prinsip ICM,
sebagaimana diatur dalam Pasal 4
UUPWP3K, pengelolaan wilayah
pesisir melibatkan banyak sektor dan sumberdaya alam baik hayati
maupun non hayati, sehingga pelaksanaannya dilakukan dengan cara
menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah,
mengikutsertakan
peran
serta
masyarakat
dan
lembaga
pemerintah.
Pengelolaan sumber daya kelautan (termasuk pesisir dan pulaupulau kecil) secara terpadu, menurut Arifin Rudyanto32 difokuskan pada
empat aspek, yaitu 1). Keterpaduan antara berbagai sektor dan swasta
yang berasosiasi; 2). Keterpaduan antara berbagai level pemerintahan,
mulai dari pusat sampai dengan kabupaten/kota, kecamatan dan desa; 3).
31
Ibid. hal 12.
Arifin Rudyanto. 2004. Kerangka Kerjasama dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dan Laut. Makalah disampaikan pada Sosialisasi Nasional Program MFDCP, 22
September 2004. Hal. 3
32
integrasi antara pemanfaatan ekosistem darat dan laut; dan 4). Integrasi
antara sains/teknologi dan manejemen. Selanjutnya diatur dalam Pasal 6
UUPWP3K, bahwa keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil wajib dilakukan dengan cara mengintegrasikan kegiatan: a.
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah; b. antar-Pemerintah Daerah; c.
antarsektor; d. antara Pemerintah, dunia usaha, dan Masyarakat; e. antara
Ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan f. antara ilmu pengetahuan dan
prinsip-prinsip manajemen.
Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan pesisir dan laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh
(comprehensive
kemudian
assessment),
merencanakan
pemanfaatannya
guna
merencanakan
serta
mencapai
tujuan
mengelola
pembangunan
dan
segenap
yang
sasaran,
kegiatan
optimal
dan
berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara
kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomisbudaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir (stakeholders)
serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada.
Keterpaduan perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara
terpadu ini sebagaimana dikemukakan oleh Wahyu Hartomo33, mencakup 4
(empat) aspek, yaitu: (1) keterpaduan wilayah/ekologis; (2) keterpaduan
33
Wahyu Hartomo. 2004. Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir terpadu dalam
Menunjang Pembangunan Daerah. Makalah disampaikan pada Matakuliah Pengantar ke
Falsafah Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (Program Doktor). hal. 6-7
sektor; (3) keterpaduan disiplin ilmu; dan (4) keterpaduan stakeholder.
Uraiannya sebagai berikut.
a. Keterpaduan Wilayah/Ekologis
Secara keruangan dan ekologis wilayah pesisir memiliki keterkaitan
antara lahan atas (daratan) dan laut lepas, disebabkan karena wilayah
pesisir merupakan daerah pertemuan antara daratan dan laut. Dengan
keterkaitan kawasan tersebut, maka pengelolaan kawasan pesisir dan laut
tidak terlepas dari pengelolaanlingkungan yang dilakukan di kedua
kawasan tersebut. Berbagai dampak lingkungan yang mengenai kawasan
pesisir dan laut adalah akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan
pembangunan yang dilakukan di lahan atas, seperti pertanian, perkebunan,
kehutanan, industri, pemukiman dan sebagainya, demikian juga dengan
kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengeboran minyak
lepas pantai dan perhubungan laut.
Penanggulangan pencemaran yang diakibatkan oleh industri dan
limbah rumah tangga, sedimentasi akibat erosi dari kegiatan perkebunan
dan kehutanan, dan limbah pertanian tidak dapat hanya dilakukan di
kawasan pesisir saja, melainkan harus dilakukan mulai dari sumber
dampaknya.
Oleh
karena
itu,
pengelolaan
di
wilayah
ini
harus
diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta Daerah Aliran Sungai
(DAS).
b. Keterpaduan Sektor
Sebagai konsekuensi dari besar dan beragamnya sumberdaya alam
di kawasan pesisir dan laut adalah banyaknya instansi atau sektor-sektor
pelaku pembangunan yang bergerak dalam pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan laut. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan laut antar satu sektor dengan sektor lainnya. Agar
pengelolaan sumberdaya alam di kawasan pesisir dapat dilakukan secara
optimal dan berkesinambungan, maka dalam perencanaan pengelolaan
harus mengintegrasikan semua kepentingan sektoral. Kegiatan suatu
sektor tidak dibenarkan mengganggu, apalagi sampai mematikan kegiatan
sektor lain. Keterpaduan sektoral ini, meliputi keterpaduan secara
horisontal (antar sektor) dan keterpaduan secara vertikal (dalam satu
sektor).
Oleh
pembangunan
karena
di
itu,
kawasan
penyusunan
pesisir
tata
sangat
ruang
perlu
dan
panduan
dilakukan
untuk
menghindari benturan antara satu kegiatan dengan kegiatan pembangunan
lainnya.
c. Keterpaduan Disiplin llmu
Wilayah pesisir dan laut memiliki sifat dan karakteristik yang unik,
baik sifat dan karakteristik ekosistem pesisir maupun sifat dan karakteristik
sosial budaya masyarakat pesisir. Sehingga dalam mengkaji wilayah
pesisir dan laut tidak hanya diperlukan satu disiplin ilmu saja, tetapi
dibutuhkan berbagai disiplin ilmu yang menunjang sesuai dengan
karakteristik pesisir dan lautan tersebut. Dengan sistem dinamika perairan
pesisir
yang
khas,
dibutuhkan
disiplin
ilmu
khusus
pula
seperti
hidrooseanografi, dinamika oseanografi dan sebagainya. Selain itu,
kebutuhan akan disiplin ilmu lainnya juga sangat penting. Secara umum,
keterpaduan disiplin ilmu dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut
adalah ilmu-ilmu ekologi, oseanografi, keteknikan, ekonomi, hukum dan
sosiologi.
d. Keterpaduan Stakeholder
Segenap keterpaduan di atas, akan berhasil diterapkan apabila
ditunjang oleh keterpaduan dari pelaku dan pengelola pembangunan di
kawasan pesisir dan laut. Seperti diketahui bahwa pelaku pembangunan
dan pengelola sumberdaya alam wilayah pesisir antara lain terdiri dari
pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat pesisir, swasta/investor dan
juga lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang masing-masing memiliki
kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir.
Penyusunan
perencanaan
pengelolaan
terpadu
harus
mampu
mengakomodir segenap kepentingan pelaku pembangunan sumberdaya
pesisir dan laut. Oleh karena itu, perencanaan pengelolaan pembangunan
harus menggunakan pendekatan dua arah, yaitu pendekatan top down dan
pendekatan bottom up.
3. Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut
Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Indonesia
dipengaruhi oleh perkembangan hukum laut Internasional, diantaranya
adalah Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nations Convention on
the Law of the Sea /UNCLOS), 1982. Berikut beberapa pengaturan hukum
pengelolaan wilayah pesisir dan laut menurut hukum nasional Indonesia34.
34
Dina Sunyowati. Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia.
https://www.scribd.com/doc/174723592/574-1661-1-PB.pdt.; Journal.lib.unair.ac.id/index.
php/YRD/ articel.../573. Diakses tanggal 5 Januari 2015.
a. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on
the Law of the Sea) 1982, disahkan dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982. UNCLOS 1982 tidak
mengatur secara khusus dalam pasal-pasalnya tentang pengelolaan
wilayah pesisir dan laut. Tetapi tersirat bahwa sumber kekayaan yang ada
di laut memerlukan pengelolaan yang baik sesuai dengan prinsipprinsip
pembangunan berkelanjutan, tanpa merusak lingkungan laut, sehingga
dapat digunakan untuk kemakmuran umat manusia.
b. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982, membawa
konsekuensi kepada NKRI untuk memperbarui ketentuan tentang Perairan
Indonesia seperti diatur dalam Undang-undang Nomor 4/Prp/1960 tentang
Perairan Indonesia dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia dan disesuaikan dengan perkembangan rezim baru
negara kepulauan sebagaimana di muat dalam Bab IV UNCLOS 1982.
Pengaturan khusus tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut
tidak dijelaskan secara terinci, tetapi hanya di atur tersirat dalam Bab IV
tentang
Pemanfaatan,
Pengelolaan,
Perlindungan
dan
Pelestarian
Lingkungan Perairan Indonesia. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip
sustainable development dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir
dan laut. Dalam Pasal 23 ayat (1) disebutkan bahwa: “Pemanfaatan,
pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia
dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yang
berlaku dan hukum internasional”.
Sebagai upaya untuk meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam
di perairan Indonesia, dijelaskan dalam Pasal 23 ayat (3), bahwa apabila
diperlukan untuk meningkatkan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan,
dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam ayat (10) dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan
dengan Keputusan Presiden.
c. Undang-Undang
Nomor
17
Tahun
2007
tentang
Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025
Pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan merupakan
bagian dari rencana pembangunan yang akan dilakukan oleh pemerintah
sesuai RPJP Nasional Tahun 2005-2025, tertuang dalam Bab II – huruf I
yang mengatur mengenai Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup.
Dalam Bab II-huruf I dinyatakan bahwa sumber daya alam dan lingkungan
hidup memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pembangunan dan
sekaligus
lingkungan
sebagai
meliputi
penopang
sistem
keanekaragaman
kehidupan.
hayati,
Adapun
penyerapan
jasa-jasa
karbon,
pengaturan secara alamiah, keindahan alam, dan udara bersih merupakan
penopang kehidupan manusia.
Arah pembangunan untuk mengembangkan potensi sumber daya
kelautan menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP
Nasional adalah pendayagunaan dan pengawasan wilayah laut yang
sangat luas. Arah pemanfaatannya harus dilakukan melalui pendekatan
multisektor, integratif, dan komprehensif agar dapat meminimalkan konflik
dan tetap menjaga kelestariannya. Mengingat kompleksnya permasalahan
dalam pengelolaan sumberdaya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil,
pendekatan keterpaduan dalam kebijakan dan perencanaan menjadi
prasyarat utama dalam menjamin keberlanjutan proses ekonomi, sosial,
dan lingkungan sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam
integrated coastal management.
d. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014.
Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut belum terintegrasi
dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Hal ini
dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan tentang pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan laut selama ini lebih berorientasi kepada
eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut tanpa memperhatikan kelestarian
sumberdayanya, dan belum mampu untuk mengeliminasi faktor-faktor
penyebab kerusakan lingkungan. Seperti disebutkan dalam Penjelasan
UUPWP3K, bahwa norma-norma pengelolaan wilayah pesisir disusun
dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan
pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan lainnya.
Sebagai negara hukum, pelaksanaan pengembangan sistem
pengelolaan wilayah pesisir dan laut sebagai bagian dari pembangunan
berkelanjutan harus sesuai dengan norma diberi dasar hukum yang jelas,
tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya
pengelolaan wilayah pesisir.
Asas-asas
yang
terdapat
dalam
UUPWP3K,
merupakan
implementasi dari prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam integrated
coastal
management.
Implementasi
dari
prinsip-prinsip
tersebut
disesuaikan dengan kondisi geografis dan masyarakat di Indonesia.
Konsistensi dan keterpaduan dalam melaksanakan pengelolaan wilayah
pesisir sesuai dengan asas-asas tersebut memerlukan pengawasan dan
evaluasi, baik oleh Pemerintah atau stakeholders. Perencanaan wilayah
pesisir terbagi dalam 4 (empat tahapan) yang secara rinci akan diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Menteri, yaitu (1) rencana strategis; (2) rencana
zonasi; (3) rencana pengelolaan; dan (4) rencana aksi (Pasal 7).
Keberadaan masyarakat adat yang telah memanfaatkan pesisir
secara turun temurun, seperti sasi, hak ulayat laut, terhadap mereka sesuai
Undang-undang harus dihormati dan dilindungi seperti diatur dalam Pasal
61 ayat (1) UUPWP3K.
pembagian
dan
Untuk menghindari perbedaan penafsiran,
penentuan
batas
wilayah
pesisir
terkait
dengan
pengelolaan wilayah pesisir diperlukan upaya integrasi dan koordinasi
dengan sektor lain yang terkait, terutama dalam konservasi sumberdaya
alam milik bersama (common property resources) sehingga tidak
menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya.
Ruang lingkup wilayah pesisir sesuai dengan Pasal 2 UUPWP3K
sangat terkait dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu
membagi wilayah laut untuk keperluan administrasi dan batas kewenangan
di daerah. Selanjutnya, untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di darat
dan dasar laut, maka Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara menyesuaikan dengan UUPWP3K.
Penyelesaian sengketa dalam pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir
menurut UUPWP3K ditempuh melalui pengadilan dan/atau di luar
pengadilan. Penyelesaian sengketa pengelolaan wilayah pesisir melalui
pengadilan
dimaksudkan
untuk
memperoleh
putusan
mengenai
pengembalian suatu hak, besarnya ganti kerugian, atau tindakan tertentu
yang harus dilakukan oleh para pihak yang kalah dalam sengketa.
Sedangkan penyelesaian di luar pengadilan dilakukan dengan cara
konsultasi, penilaian ahli, negosiasi, mediasi, konsultasi, arbitrasi atau
melalui adat istiadat/kebiasaan/kearifan lokal.
Salah satu instrumen penting dalam pengendalian pemanfaatan
sumberdaya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah dengan
diberikannya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) kepada pengguna,
namun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010
terhadap yudicial review UU No. 27 tahun 2007, maka HP3 dianggap
bertentangan dengan konstitusi dan semua pasal-pasal terkait dinyatakan
dihapus35. Untuk itu berdasarkan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas UU No. 27 Tahun 2007, instrumen HP3 sebagaimana diatur dalam UU
No. 27 Tahun 2007 diganti menjadi instrumen perizinan, yaitu Izin Lokasi
35
Pasal 1 Angka 18; Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23 ayat 3 dan 5; Pasal 50, 51, 60
(1), 71 dan 75)) UU No. 27 Tahun 2007.
dan Izin Pengelolaan36 yang diatur dalam pasal Pasal 1 Angka 18 dan 18A;
Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 22A, 22B, 22C, 23, 26A, Pasal 50, 51, 60,
71, 75, dan Pasal 75A UU No. 1 Tahun 2014.
e. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
Undang-undang ini adalah undang-undang pertama yang mengatur
mengenai
kelautan
secara
komprehensif,
meliputi
pengaturan
penyelenggaraan kelautan Indonesia secara terpadu dan berkelanjutan
untuk mengembangkan kemakmuran negara. Dasar pertimbangannya
adalah a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara
kepulauan memiliki sumber daya alam yang melimpah yang merupakan
rahmat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh bangsa dan
negara Indonesia yang harus dikelola secara berkelanjutan untuk
memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa
wilayah laut sebagai bagian terbesar dari wilayah Indonesia yang memiliki
posisi dan nilai strategis dari berbagai aspek kehidupan yang mencakup
politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan merupakan
modal dasar pembangunan nasional; dan bahwa pengelolaan sumber daya
kelautan dilakukan melalui sebuah kerangka hukum untuk memberikan
36
Izin Lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian
Perairan Pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan
dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulaupulau kecil. Izin Pengelolaan adalah izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan
pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil. (Pasal 1 Angka
8 dan 8A UU No. 1 tahun 2014).
kepastian hukum dan manfaat bagi seluruh masyarakat sebagai negara
kepulauan yang berciri nusantara37.
Dalam ketentuan umum undang-undang ini, yang dimaksud dengan
laut adalah ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan
dengan daratan dan bentuk-bentuk alamiah lainnya, yang merupakan
kesatuan geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait, dan yang
batas dan sistemnya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan
hukum internasional. Sedangkan Kelautan adalah hal yang berhubungan
dengan laut dan/atau kegiatan di wilayah laut yang meliputi dasar aut dan
tanah di bawahnya, kolom air dan permukaan laut, termasuk wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil Sedangkan Pembangunan Kelautan adalah
pembangunan yang memberi arahan dalam pendayagunaan sumber daya
Kelautan
untuk
mewujudkan
pertumbuhan
ekonomi,
pemerataan
kesejahteraan, dan keterpeliharaan daya dukung ekosistem pesisir dan
laut38. Penyelenggaraan kelautan meliputi: a wilayah laut; b. pembangunan
kelautan; c. pengelolaan kelautan; d. pengembangan kelautan; e.
pengelolaan ruang laut dan pelindungan lingkungan laut; f. pertahanan,
keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut; dan g. tata kelola
dan kelembagaan.
Penyelenggaraan
Kelautan
bertujuan
untuk:
a.
menegaskan
Indonesia sebagai negara kepulauan berciri nusantara dan maritim;
b. mendayagunakan sumber daya kelautan dan/atau kegiatan di wilayah
37
38
Konsiderans Menimbang UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
Pasal 1 Angka (1), (2) dan (6) UU Kelautan
laut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum
laut internasional demi tercapainya kemakmuran bangsa dan negara; c.
mewujudkan laut yang lestari serta aman sebagai ruang hidup dan ruang
juang bangsa Indonesia; d. memanfaatkan sumber daya kelautan secara
berkelanjutan
untuk
sebesar-besarnya
kesejahteraan
bagi
generasi
sekarang tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang; e.
memajukan budaya dan pengetahuan Kelautan bagi masyarakat; f.
mengembangkan sumber daya manusia di bidang kelautan yang
profesional,
beretika,
berdedikasi,
dan
mampu
mengedepankan
kepentingan nasional dalam mendukung pembangunan kelautan secara
optimal dan terpadu; g. memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi
seluruh masyarakat sebagai negara kepulauan; dan h. mengembangkan
peran Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam percaturan kelautan
global sesuai dengan hukum laut internasional untuk kepentingan bangsa
dan negara39.
Wilayah laut terdiri atas wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi serta
laut lepas dan kawasan dasar laut internasional. Wilayah perairan meliputi:
a. perairan pedalaman; b. perairan kepulauan; dan c. laut teritorial.
Sedangkan Wilayah yurisdiksi meliputi: a. Zona Tambahan; b. Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia; dan c. Landas Kontinen. Negara Indonesia
memiliki: a. kedaulatan pada perairan pedalaman, perairan Kepulauan, dan
laut teritorial; b. yurisdiksi tertentu pada Zona Tambahan; dan c. hak
berdaulat pada Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen. Kedaulatan,
39
Pasal 3 UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
yurisdiksi tertentu, dan hak berdaulat di dalam wilayah perairan dan wilayah
yurisdiksi dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dan hukum internasional40.
Pengelolaan kelautan sesuai dengan kewenangannya, Pemerintah
dan Pemerintah Daerah melakukan pengelolaan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat melalui pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya
kelautan dengan menggunakan prinsip ekonomi biru. Yang dimaksud
dengan ekonomi biru adalah sebuah pendekatan untuk meningkatkan
Pengelolaan Kelautan berkelanjutan serta konservasi Laut dan sumber
daya
pesisir
beserta
ekosistemnya
dalam
rangka
mewujudkan
pertumbuhan ekonomi dengan prinsip-prinsip antara lain keterlibatan
masyarakat, efisiensi sumber daya, meminimalkan limbah, dan nilai tambah
ganda (multiple revenue)41.
Pengelolaan
ruang
laut
meliputi
perencanaan,
pemanfaatan,
pengawasan dan pengendalian. Perencanaan ruang laut, meliputi:
a. perencanaan tata ruang laut nasional; b. perencanaan zonasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil; dan c. perencanaan zonasi kawasan laut.
Dalam penjelasan Pasal 43 disebutkan bahwa Perencanaan ruang laut
merupakan suatu proses untuk menghasilkan rencana tata ruang laut
dan/atau rencana zonasi untuk menentukan struktur ruang laut dan pola
ruang laut. Struktur ruang laut merupakan susunan pusat pertumbuhan
Kelautan dan sistem jaringan prasarana dan sarana Laut yang berfungsi
40
41
Pasal 6 Ayat (1), Pasal 7 Ayat (1) dan (2) UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
Pasal 14 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2014, dan Penjelasannya
sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara
hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang laut meliputi kawasan
pemanfaatan umum, kawasan konservasi, alur laut, dan kawasan strategis
nasional tertentu. Perencanaan ruang laut dipergunakan untuk menentukan
kawasan yang dipergunakan untuk kepentingan ekonomi, sosial budaya,
misalnya, kegiatan perikanan, prasarana perhubungan laut, industri
maritim, pariwisata, permukiman, dan pertambangan; untuk melindungi
kelestarian sumber daya kelautan; serta untuk menentukan perairan yang
dimanfaatkan untuk alur pelayaran, pipa/kabel bawah laut, dan migrasi
biota Laut. Perencanaan tata ruang laut nasional mencakup wilayah
perairan dan wilayah yurisdiksi42.
f. Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Dalam kerangka otonomi daerah, Pemerintah Daerah Provinsi yang
memiliki wilayah laut diberi kewenangan untuk mengelola sumberdaya laut
di wilayahnya. Ketentuan ini tidak lagi memberikan kewenangan daerah
kabupaten/Kota untuk mengelola wilayah laut sebagaimana undangundang terdahulu. Namun, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat
menikmati bagi hasil dari sumberdaya laut dalam batas 4 mil laut. Dalam
undang-undang ini, urusan Kelautan dan Perikanan termasuk dalam
urusan pemerintahan pilihan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Ayat (3)
UU Pemerintahan Daerah.
42
Pasal 42 dan 43 UU No. 32 Tahu 2014 tentang Kelautan
Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di
laut meliputi: a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan
kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi; b. pengaturan administratif; c.
pengaturan tata ruang; d. ikut serta dalam memelihara keamanan di laut;
dan
e.
ikut
serta
dalam
mempertahankan
kedaulatan
negara43.
Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut
paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas
dan/atau ke arah perairan kepulauan. Bagi daerah provinsi yang berciri
kepulauan, selain mempunyai kewenangan mengelola sumber daya alam
di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, juga mendapat penugasan
dari Pemerintah Pusat untuk melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat
di bidang kelautan berdasarkan asas Tugas Pembantuan.
4. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Tata
Ruang Laut
Kewenangan pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
dalam pengaturan tata ruang di wilayah pesisir adalah didasarkan pada
ketentuan dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Pasal 18 UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya diubah terakhir dengan Pasal
27 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, dalam
Pasal 6 Ayat 5 UU Penataan Ruang, mengatur bahwa ruang laut dan udara
pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri.
43
Pasal 27 UU Pemerintahan Daerah
Berdasarkan kewenangan yang diatur dalam Undang-undang
Pemerintahan Daerah tersebut dan UU Penataan Ruang, maka dalam
Pasal 7, 9 dan 11 UUPWP3K mengatur mengenai perencanaan
pengelolaan ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan
nomenklatur Rencana Zonasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
yang wajib disusun oleh Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Rencana
Zonasi adalah salah satu dokumen perencanaan selain Rencana Strategis,
Rencana
Pengelolaan
dan
Rencana
Aksi.
Lingkup
kewenangan
pengelolaan meliputi kearah darat samapai batas administrasi kecamatan,
sedangkan ke arah laut sampai pada batas 12 mil laut. Dalam UUPWP3K
belum mengatur kewenangan Pemerintah Pusat dalam Penataan Ruang di
wilayah diluar batas 12 mil, termasuk Zona Tambahan, ZEE, ataupun
Landas Kontinen. Olehnya itu, dengan diterbitkannya UU No. 32 Tahun
2014 tentang Kelautan, kewenangan tersebut telah diatur dengan
komprehensif termasuk perencanaan tata ruang kawasan Selat dan Teluk.
Untuk terselenggaranya perencanaan di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan mengeluarkan
Peraturan Menteri No. PER. 16/ MEN/2008 tentang Perencanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang telah diubah
dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 34/PERMENKP/2014 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil.
Rencana
Zonasi
adalah
rencana
yang
menentukan
arah
penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan
penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang
memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta
kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin 44.
Wilayah pesisir dan laut merupakan suatu sumberdaya alam yang
krusial bagi negara berkembang seperti Indonesia, dimana pihak
pemerintah memiliki hak dan menguasai lahan di bawah teritorial laut dan
sumberdayanya. Pemerintah, baik pusat maupun daerah memiliki tanggung
jawab untuk membuat peraturan, atau keputusan-keputusan pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya untuk kepentingan umum. Dalam hal ini,
salah
satu
bentuk
tanggung
jawab
pemerintah
adalah
mengatur
pengalokasian ruang atau zona wilayah pesisir untuk dapat digunakan
dalam memaksimalkan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir.
Zonasi wilayah pesisir pada hakekatnya merupakan suatu bentuk rekayasa
teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai
dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses
ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir.
Sebagai suatu upaya untuk menciptakan keseimbangan antara
kebutuhan-kebutuhan pembangunan dan konservasi, maka Rencana
Zonasi merupakan implikasi spasial (keruangan) untuk pelaksanaan
kebijakan-kebijakan dari Rencana Strategis. Sesuai dengan Pasal 7 Ayat
(3) UU No. 27 Tahun 2007, mengamanatkan Pemerintah Daerah wajib
menyusun semua dokumen rencana (Rencana Strategis Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
44
Pasal 1 Angka 11 UUPWP3K
Kecil, Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan
Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil).
Tujuan penyusunan rencana zonasi adalah untuk membagi wilayah
pesisir dalam zona-zona yang sesuai dengan peruntukan dan kegiatan
yang saling mendukung (compatible) serta memisahkannya dari kegiatan
yang saling bertentangan (incompatible). Penentuan zona difokuskan
berdasarkan kegiatan utama dan prioritas pemanfaatan sumberdaya pesisir
guna mempermudahkan pengendalian dan pemanfaatan. Rencana zonasi
menjelaskan fokus
kegiatan dan nama zona yang dipilih berdasarkan
kondisi dan kegiatan yang diizinkan atau dapat dilakukan dengan
persyaratan tertentu. Penetapan rencana zonasi dimaksudkan untuk
memelihara keberlanjutan sumberdaya pesisir dalam jangka panjang serta
mengeliminir berbagai faktor tekanan terhadap ekosistem pesisir akibat
kegiatan yang tidak sesuai (incompatible)45.
Pasal 9 UUPWP3K mengatur bahwa Rencana Zonasi Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), merupakan arahan pemanfaatan
sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pemerintah provinsi
dan/atau pemerintah kabupaten/kota; diserasikan, diselaraskan, dan
diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah
provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Perencanaan RZWP3K dilakukan
dengan
mempertimbangkan:
a.
keserasian,
keselarasan,
dan
keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan
45
Ihsan. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. http://ptmadanimulti
kreasi.com/berita-4-rencana-zonasi-wilayah-pesisir- dan- pulaupulau-kecil.html. Diakses,
16 Agustus 2015.
fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial
budaya,
serta
fungsi pertahanan
dan keamanan;
b.
keterpaduan
pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika lingkungan, dan
kualitas lahan pesisir; dan c. kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan
akses Masyarakat dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi.
RZWP3K Provinsi berisi arahan pemanfaatan ruang yang terdiri
atas46: a. mengalokasikan ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum,
Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan alur laut;
b. keterkaitan antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut dalam suatu
Bioekoregion; c. penetapan pemanfaatan ruang laut; dan d. penetapan
prioritas Kawasan laut untuk tujuan konservasi, sosial budaya, ekonomi,
transportasi laut, industri strategis, serta pertahanan dan keamanan.
Sedangkan untuk RZWP3K Kabupaten berisikan arahan tentang47:
a. alokasi ruang dalam Rencana Kawasan Pemanfaatan Umum, rencana
Kawasan Konservasi, rencana Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan
rencana alur; b. keterkaitan antarekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dalam suatu Bioekoregion. Selain itu, penyusunan RZWP3K diwajibkan
mengikuti dan memadukan rencana Pemerintah dan Pemerintah Daerah
dengan memperhatikan Kawasan, Zona, dan/atau Alur Laut yang telah
ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
46
47
Pasal 10 UU No. 27 Tahun 2007
Pasal 11 UU No. 27 Tahun 2007
Pengalokasian
ruang
dalam
Kawasan
Pemanfaatan
Umum,
Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan Alur Laut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan 11 UU No. 27 Tahun 2007,
uraiannya sebagai berikut.
a. Kawasan
Pemanfaatan
Umum
(multiple/general
use
zone).
Didefinisikan sebagai kawasan dimana aktivitas yang dilakukan
manusia ditekankan pada yang berhubungan dengan pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan laut. Oleh karena itu, pemanfaatannya tidak
terbatas hanya pada satu aktivitas saja. Menurut Permen-KP No.
34/Permen-KP/2014 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, Kawasan Pemanfaatan Umum dijabarkan dalam
zona
Pariwisata,
Pemukiman,
Pelabuhan,
Pertanian,
Hutan,
Pertambangan, Perikanan Budidaya, Perikanan Tangkap, Industri,
Fasilitas umum; dan/atau Pemanfaatan air laut selain energi, serta
pemanfaatan
lainnya
sesuai
dengan
karakteristik
biogeofisik
lingkungannya.
b. Kawasan Konservasi (concervation zone). merupakan wilayah yang
memiliki atribut ekologi yang langka atau unik, karena memiliki
keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tinggi, dan biasanya
memiliki species-species endemik, langka maupun yang terancam
punah. Wilayah tersebut terdiri dari habitat yang belum terjamah atau
masih asli yang luas yang memiliki posisi yang penting baik dalam skala
lokal, regional, nasional maupun internasional.
Selanjutnya menurut
Permen-KP No. 34/Permen-KP/2014 tentang Perencanaan Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kawasan Konservasi dibagi atas
atas Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K), Konservasi
Maritim (KKM), Konservasi Perairan (KKP), dan Sempadan Pantai.
c. Kawasan Strategis Nasional Tertentu. Kawasan ini dimanfaatkan untuk
pengelolaan batas-batas maritim kedaulatan negara, pertahanan dan
keamanan negara, pengelolaan situs warisan dunia, kesejahteraan
masyarakat, dan/atau pelestarian lingkungan. Kawasan ini dijabarkan
ke dalam zona dan sub zona atau pemanfaatan sesuai dengan
ketentuan pengalokasian ruang dalam kawasan pemanfaatan umum.
kawasan konservasi dan alur laut.
d. Kawasan Alur Laut. Kawasan ini khususnya diperuntukkan sebagai alur
pelayaran, pemasangan pipa/kabel bawah laut, dan migrasi biota laut.
C. Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah di Wilayah
Pesisir dan Lautan
1. Kewenangan dalam Pemerintahan
Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering
disejajarkan dengan istilah Belanda bevoegdheid (yang berarti wewenang
atau berkuasa). Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam
Hukum Tata Pemerintahan/Hukum Administrasi, oleh karena pemerintahan
baru
dapat
menjalankan
fungsinya
atas
dasar
wewenang
yang
diperolehnya48. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan
wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perihal
kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan
legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara dalam menjalankan
fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh
undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan
hukum49. Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan
sebagai
dasar
kenegaraan
dalam
disetiap
setiap
negara
penyelenggaraan
hukum.
Dengan
pemerintahan
kata
lain,
dan
setiap
penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan harus memiliki legitimasi,
yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian,
substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu suatu kemampuan untuk
melakukan suatu tindakan-tindakan hukum tertentu.
Dalam ilmu Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara,
istilah kekuasaan dan wewenang terkait erat dengan pelaksanaan fungsi
pemerintahan. Sehingga berbicara tentang wewenang tentu juga akan
berbicara terkait dengan organ pemerintahan selaku pelaksana fungsi
pemerintahan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)50, kata “wewenang”
memiliki arti: 1. Hak dan kekuasaan bertindak; kewenangan; 2. Kekuasaan
48
Helmy Boemiya. Teori Kewenangan dan Sumber-Sumber Kewenangan (Atribusi,
Delegasi dan Mandat). https://boeyberusahasabar.wordpress.com/2013/12/10/sumberkewenangan-atribusi-delegasi-dan-mandat/. akses 10 April 2015.
49 SF. Marbun. 1997. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia.
Liberty. Yogyakarta. Hal 154.
50 Tim Penyusun Kamus. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.
Hal. 1128
membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab
kepada orang lain; dan 3. Fungsi yang boleh tidak dilaksanakan.
Sedangkan “kewenangan” memiliki arti: 1. Hal berwenang; dan Hak dan
kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.
Jika dilihat pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
antara kekuasaan dan kewenangan hampir memiliki pengertian yang sama.
Setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan
sebagai kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada
pada seseorang atau kelompok orang yang mempunyai dukungan atau
mendapat pengakuan dari masyarakat.
Secara yuridis, pengertian wewenang adalah hak yang dimiliki oleh
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya
untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan51. Sedangkan Kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya
disebut
Kewenangan
adalah
kekuasaan
Badan
dan/atau
Pejabat
Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam
ranah hukum publik52.
Bagir Manan, mengemukakan bahwa wewenang dalam bahasa
hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan
hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Di dalam hukum, wewenang
sekaligus berarti hak dan kewajiban, dalam kaitannya dengan otonomi
51
Pasal 1 Angka (5) Undang-undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan
52 Pasal 1 Angka (6) Undang-undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan
daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri
dan mengelola sendiri, sedangkan kewajiban secara horizontal berarti
kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaiman mestinya.
Secara vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam
satu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.53
Sifat wewenang pemerintahan adalah jenis maksud dan tujuannya
serta terikat pada waktu tertentu dan tunduk pada batasan-batasan hukum
tertulis maupun pada hukum yang tidak tertulis. Sedangkan isinya dapat
bersifat umum (abstrak) misalnya membuat suatu peraturan dan dapat pula
bersifat konkrit dalam bentuk suatu keputusan atau suatu rencana,
misalnya membuat rencana tata ruang serta memberikan nasihat.54
Selain itu, Wewenang pemerintahan yang bersifat fakultatif yaitu
apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan
bagaimana wewenang tersebut dapat dipergunakan. Jadi, badan/pejabat
tata usaha negara tidak wajib menggunakan wewenangnya karena masih
ada pilihan (alternatif) dan pilihan itu hanya dapat dilakukan setelah
keadaan atau hal-hal yang ditentukan dalam peraturan dasarnya terpenuhi.
Untuk mengetahui apakah wewenang itu bersifat fakultatif atau tidak
tergantung
pada
peraturan
dasarnya.
Sedangkan,
wewenang
pemerintahan yang bersifat terikat (gebonden bestuur) yaitu, apabila
peraturan dasarnya menentukan isi suatu keputusan yang harus diambil
secara terperinci, sehingga pejabat tata usaha tersebut tidak dapat berbuat
53
Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Hal. 73.
54 Ibid.
lain. Kecuali melaksanakan ketentuan secara harfiah seperti dalam
rumusan dasarnya, misalnya suatu ketentuan yang berbunyi pejabat yang
berwenang wajib memberikan cuti kepada bawahannya. Jadi, pejabat
tersebut harus memberikan cuti dan tidak ada alternatif lainnya. Berbeda
halnya dengan wewenang yang bersifat bebas (discretioner), di mana
peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup yang longgar atau bebas
kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk menolak atau
mengabulkan, dengan mengaitkannya atau meletakkannya pada syaratsyarat tertentu yang harus dipenuhi, misalnya ketentuan UU Nomor 8
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (sekarang Undang-undang
No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara), mengatur bahwa pejabat
yang berwenang memiliki wewenang untuk memberikan cuti kepada
bawahannya. Rumusan seperti ini pada akhirnya meletakkan pemberian
wewenang cuti kepada pejabat tata usaha negara dan pemberian cuti itu
diberikan atau tidak sepenuhnya menjadi wewenang pejabat tata usaha
negara tersebut.55
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
kewenangan adalah hak dan kekuasaan yang dimiliki oleh badan dan
perorangan untuk mengatur, bertindak, dan memutuskan sesuatu hal
terkait
pelaksanaan
fungsinya
berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Sumber dan Cara Memperoleh Kewenangan
55Ibid.,
Hal 156.
ketentuan
peraturan
Seiring dengan bergemanya pilar utama negara hukum yakni asas
legalitas, maka wewenang pemerintahan haruslah bersumber dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengetahui sumber dan
cara memperoleh wewenang organ pemerintahan adalah sangat penting
oleh karena, berkenaan dengan pertanggung jawaban hukum (rechterlijke
verantwoording) dalam penggunaan wewenang tersebut seiring dengan
salah satu prinsip dalam negara hukum yaitu tidak ada kewenangan tanpa
pertanggung jawaban. Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut diperoleh melalui 3
(tiga) cara yaitu, atribusi, delegasi, dan mandat, yang defenisinya adalah
sebagai berikut :56
a) Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh
pembuat Undang-Undang dalam suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan kepada organ pemerintah. Jadi, disini
dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintahan yang baru.
b) Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu
organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya, atau terjadi
pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau jabatan
TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara
atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi
selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang.
c) Mandat
terjadi
ketika
organ
pemerintahan
mengizinkan
kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Jadi, tidak
terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan
wewenang dari suatu badan atau Jabatan TUN yang satu kepada
yang lain.
Sejalan dengan pendapat di atas, di dalam Undang-Undang No. 30
Tahun tentang Administrasi Pemerintahan diatur bahwa kewenangan
pemerintahan (kewenangan) diperoleh dari Atribusi, Delegasi dan/atau
56
Op. Cit., Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Hal 75. dan Prajudi
Atmosudirdjo.1981. Hukum Administasi Negara. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hal. 29.
Mandat57. Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang. Delegasi adalah
pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih
rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya
kepada penerima delegasi. Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung
jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.
Setiap pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahan
tertentu, akan tersirat di dalamnya pertanggungjawaban dari pejabat yang
bersangkutan. Wewenang yang diperoleh secara atribusi merupakan
perolehan kewenangan secara langsung dari redaksi Pasal tertentu dalam
suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima
wewenang dapat menciptakan wewenang baru
atau memperluas
wewenang yang sudah ada dimana tangung jawab intern pelaksanaan
wewenang
tersebut
diatribusikan
sepenuhnya
kepada
penerima
wewenang (atributaris)58.
Terkait dengan sumber kewenangan ini, Ridwan dalam bukunya
Hukum Administrasi Negara, menjelaskan sebagai berikut:59
57
Pasal 11 Undang-undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Pendapat Ridwan dikutip oleh Kahar dkk. 2013. Laporan Kajian Rencana Revitalisasi
Teluk Benoa-Bali. PT. TWBI. Hlm. 12.
59Ibid., Hal 77.
58
“bahwa pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, melainkan
hanya pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu ke pejabat
yang lain. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi
delegasi (delegans). Sementara pada mandate, penerima mandat
(mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat
(mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil
mandataris tetap berada pada mandans, karena pada dasarnya
penerima mandat tersebut bukan pihak lain dari pemberi mandat”.
Berdasarkan keterangan tersebut diatas, tampak bahwa wewenang
yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan
perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh
kewenangan secara langsung dari redaksi Pasal tertentu dari suatu
peraturan
perundang-undangan.
Dalam
hal
atribusi,
penerima
kewenangan dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas
wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern
pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada
penerima wewenang. Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang,
namun hanya ada pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada
pejabat lainnya. Tanggungjawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi
delegasi, tetapi beralih kepada penerima delegasi. Sementara itu pada
mandat, penerima mandat hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi
mandat, tanggungjawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap
berada pada pemberi mandat. Hal ini karena pada dasarnya, penerima
mandat ini bukan pihak lain dari pemberi mandat60.
Dalam Undang-undang Adminsitrasi Pemerintahan, diatur bahwa
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Wewenang melalui
60
Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Hal. 108.
Atribusi, apabila: a. diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan/atau undangundang; b. merupakan wewenang
baru atau sebelumnya tidak ada; dan c. Atribusi diberikan kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang
memperoleh
Wewenang
melalui
Atribusi,
tanggung
jawab
Kewenangan berada pada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
bersangkutan. Kewenangan Atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali
diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan/atau undang-undang61.
Selanjutnya pendelegasian kewenangan ditetapkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan memperoleh wewenang melalui delegasi apabila: a.
diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan kepada Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan lainnya; b. ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan/atau Peraturan Daerah; dan c. merupakan
Wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah ada. Kewenangan yang
didelegasikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak dapat
didelegasikan lebih lanjut, kecuali ditentukan lain dalam peraturan
perundang-undangan.
Dalam
hal
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan menentukan lain, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
memperoleh Wewenang melalui Delegasi dapat mensubdelegasikan
Tindakan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain dengan
61
Pasal 12 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
ketentuan: a. dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum Wewenang
dilaksanakan; b. dilakukan dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri; dan
c. paling banyak diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan 1
(satu) tingkat di bawahnya. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
memberikan Delegasi dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah
diberikan melalui Delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan. Dalam hal pelaksanaan wewenang
berdasarkan Delegasi menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan
pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan
pendelegasian kewenangan dapat menarik kembali wewenang yang telah
didelegasikan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh
Wewenang melalui Delegasi, tanggung jawab Kewenangan berada pada
penerima Delegasi.62
Sumber kewenangan berikutnya
Administrasi
Pemerintahan
diatur
adalah mandat. Dalam UU
bahwa
badan
dan/atau
pejabat
pemerintahan memperoleh mandat, apabila: a. ditugaskan oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan di atasnya; dan b. merupakan pelaksanaan
tugas rutin.
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat memberikan
Mandat kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain yang menjadi
bawahannya,
kecuali
perundang-undangan.
ditentukan
Badan
lain
dan/atau
dalam
Pejabat
ketentuan
peraturan
Pemerintahan
yang
menerima Mandat harus menyebutkan atas nama Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang memberikan Mandat.
62
Badan dan/atau Pejabat
Pasal 13 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Pemerintahan yang memberikan Mandat dapat menggunakan sendiri
Wewenang yang telah diberikan melalui Mandat, kecuali ditentukan lain
dalam ketentuan peraturan perundangundangan. Mandat dapat ditarik
kembali,
bilamana
pelaksanaan
wewenang
berdasarkan
mandat
menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan. Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui
Mandat tidak berwenang mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang
bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada
aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran. Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat
tanggung jawab kewenangan tetap pada pemberi mandat. Kewenangan
Mandat diperoleh dari sumber kewenangan atributif dan delegatif.
3. Kewenangan Pengelolaan di Wilayah Pesisir dan Laut
Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia didalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia, antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah didalam pelaksanaannya tidak dapat dilepaskan dari
penggunaan asas penyelenggaraan pemerintah di daerah, yaitu meliputi
asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan
(medebewind). Dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, ketiga asas tersebut, yaitu: a. Desentralisasi adalah penyerahan
Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom
berdasarkan Asas Otonomi. b. Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal
di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai
penanggung jawab urusan pemerintahan umum. c. Tugas Pembantuan
adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk
melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah
kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah provinsi.
Kewenangan daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil dalam kerangka otonomi dibidang kelautan, diatur bahwa
daerah (provinsi/kabupaten/kota) yang memiliki wilayah laut diberikan
kewenangan untuk mengelola sumber daya di
wilayah laut. Selain itu,
daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di
bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundangundangan. Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut
paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas
dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari
wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. (Pasal 3 dan 10 UU
No. 22 Tahun 1999, diubah menjadi pasal 18 UU No. 32 tahun 2004,
diubah terakhir dengan Pasal 27 UU No. 23 Tahun 2014).
Menurut ketentuan Pasal 27 UU Pemerintahan Daerah, bahwa
kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut 63,
meliputi: a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan
laut di luar minyak dan gas bumi; b. pengaturan administratif; c.
pengaturan tata ruang; d. ikut serta dalam memelihara keamanan di laut;
dan e. ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara. Kewenangan
Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis
pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Ketentuan
tersebut tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil.
(Pasal 27 UU No. 23 Tahun 2014).
Selanjutnya bagi daerah Provinsi yang berciri Kepulauan, mendapat
penugasan dari Pemerintah Pusat untuk melaksanakan kewenangan
Pemerintah
Pusat
di
bidang
kelautan
berdasarkan
asas
Tugas
Pembantuan. Penugasan tersebut dapat dilaksanakan setelah Pemerintah
Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan memenuhi norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat (Pasal 28 UU
No. 23 Tahun 2014).
Dalam UU Kelautan, pada Pasal 22 disebutkan bahwa Pemerintah
dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung
63
Bandingkan dengan Kewenangan Daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam di
wilayah laut menurut Pasal 18 UU No. 32 tahun 2004, yaitu meliputi: a. eksplorasi,
eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; b. pengaturan administratif; c.
pengaturan tata ruang; d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh
daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; e. ikut serta dalam
pemeliharaan keamanan; dan f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara (Pasal 18
UU No. 32 Tahun 2004).
jawab mengelola dan memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau
kecil. Pengelolaan dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud bertujuan: a.
melindungi,
mengonservasi,
merehabilitasi,
memanfaatkan,
dan
memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem
ekologisnya secara berkelanjutan; b. menciptakan keharmonisan dan
sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan
sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil; c. memperkuat peran serta
masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat
dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai
keadilan, keseimbangan, dan berkelanjutan; dan d. meningkatkan nilai
sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat
dalam
pemanfaatan
sumber
daya
pesisir
dan
pulau-pulau
kecil.
Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil
yang meliputi sumber daya hayati, sumber daya nonhayati, sumber daya
buatan, dan jasa lingkungan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Berdasarkan penjelasan Pasal 22, yang
dimaksud dengan sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang,
padang lamun, mangrove, dan biota Laut lain. Sumber daya nonhayati
meliputi pasir, air Laut, dan mineral dasar Laut. Sumber daya buatan
meliputi infrastruktur Laut yang terkait dengan Kelautan dan perikanan.
Selanjutnya yang dimaksud dengan jasa lingkungan berupa keindahan
alam, permukaan dasar Laut tempat instalasi bawah air yang terkait
dengan Kelautan dan perikanan, serta energi gelombang Laut.
Selanjutnya dalam Pasal 42 UU Kelautan mengatur bahwa
Pengelolaan Ruang Laut dilakukan untuk: a. melindungi sumber daya dan
lingkungan dengan berdasar pada daya dukung lingkungan dan kearifan
lokal; b. memanfaatkan potensi sumber daya dan/atau kegiatan di wilayah
Laut yang berskala nasional dan internasional; dan c. mengembangkan
kawasan potensial menjadi pusat kegiatan produksi, distribusi, dan jasa.
Pengelolaan ruang laut meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengawasan,
dan pengendalian yang dilaksanakan dengan berdasarkan karakteristik
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan dan
mempertimbangkan potensi sumber daya dan lingkungan Kelautan.
Perencanaan ruang laut, meliputi: a. perencanaan tata ruang laut
nasional; b. perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan
c. perencanaan zonasi kawasan laut. Perencanaan tata ruang Laut
nasional merupakan proses perencanaan untuk menghasilkan rencana tata
ruang Laut nasional. Perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Perencanaan zonasi kawasan Laut merupakan perencanaan
untuk menghasilkan rencana zonasi kawasan strategis nasional, rencana
zonasi kawasan strategis nasional tertentu, dan rencana zonasi kawasan
antarwilayah64.
Pemanfaatan ruang laut dilakukan melalui: a. perumusan kebijakan
strategis operasionalisasi rencana tata ruang laut nasional dan rencana
zonasi kawasan laut; b. perumusan program sektoral dalam rangka
64
Pasal 43 UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
perwujudan rencana tata ruang laut nasional dan rencana zonasi kawasan
laut; dan c. pelaksanaan program strategis dan sektoral dalam rangka
mewujudkan rencana tata ruang laut nasional dan zonasi kawasan laut.
Pemanfaatan ruang laut di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan65.
Pengawasan dilakukan melalui tindakan pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Sedangkan Pengendalian pemanfaatan ruang Laut dilakukan
melalui perizinan, pemberian insentif, dan pengenaan sanksi. Setiap orang
yang melakukan pemanfaatan ruang Laut secara menetap di wilayah
perairan dan wilayah yurisdiksi wajib memiliki izin lokasi. Izin lokasi yang
berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap orang yang melakukan
pemanfaatan ruang laut secara menetap di wilayah perairan dan wilayah
yurisdiksi yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan dikenai sanksi
administratif. Selanjutnya Setiap orang yang melakukan pemanfaatan
ruang laut secara menetap yang tidak memiliki izin lokasi, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun66.
Dalam pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir, laut dan pulaupulau
kecil,
Pemerintah
Daerah
diwajibkan
menyusun
dokumen
perencanaan yang disesuaikan dengan rencana pembangunan di daerah
Provinsi dan Kabupaten/Kota yang bersangkutan berupa Rencana
65
Pasal 44 UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
66
Pasal 45, 46, dan 47 UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM), maupun Rencana Pembangunan Jangka Pendek.
Pasal 7 UUPWP3K, menyebutkan bahwa Perencanaan Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, meliputi: a. Rencana Strategis
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RSWP-3K; b. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
selanjutnya disebut RZWP-3-K; c. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RPWP-3-K; dan d.
Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
selanjutnya disebut RAPWP-3-K.
Khusus
kewenangan
pemerintah
daerah
provinsi
dan
kabupaten/kota menyusun dokumen Rencana Zonasi dituangkan dalam
Peraturan Daerah untuk menjadi rujukan bagi pemerintah daerah dalam
memberikan izin memanfaatkan sumberdaya di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil. Untuk itu, dihapusnya kewenangan daerah Kabupaten/Kota
dalam pengelolaan wilayah laut berdasarkan Pasal 27 UU Pemerintahan
Daerah dapat berdampak pada tidak efektifnya upaya untuk menyerasikan,
menyelaraskan dan menyeimbangkan Rencana Zonasi dengan RTRW.
Namun demikian, jika ditelusuri alasan hilangnya kewenangan tersebut
dapat disimak pada alasan Naskah Akademik Perubahan UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan
Naskah
Akademik
RUU
Pemerintahan
Daerah,
pertimbangan perubahan tersebut didasarkan pada faktor ekologis dengan
alasan efektifitas dan efisiensi. Oleh karena selama satu dekade
pelaksanaan otonomi daerah, ternyata pembagian urusan pemerintahan
yang berdampak ekologis sulit untuk dibagi khususnya antara daerah
provinsi dengan daerah kabupaten/kota. Demikian
halnya dalam
pengelolaan laut 4 mil untuk kabupaten/kota dan 4 mil sampai 12 mil untuk
provinsi, dalam realitas sering banyak menimbulkan permasalahan
sehingga mengganggu efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah di
bidang kelautan. 67
D. Wilayah Laut dalam Kerangka Penataan Ruang Pesisir dan Laut
Setelah runtuhnya rezim Orde baru dengan sistem pemerintahan
yang sentralistis dan absolut-otoriter pada tahun 1998 dan digantikan oleh
Orde Reformasi yang lebih demokratis dan menghormati serta melindungi
hak asasi manusia, sistem pemerintahan pun juga dirombak menjadi
pemerintahan yang lebih desentralistis. Untuk itu, hak, kekuasaan, dan
kewenangan dalam bidang pemerintahan tidak lagi sepenuhnya di tangan
pemerintah pusat, tetapi sebagian sudah diserahkan kepada pemerintah
daerah (provinsi, kabupaten/kota). Salah satu dari hak, kekuasaan dan
kewenangan tersebut adalah dalam pengelolaan atas wilayah laut 68.
Wilayah laut Indonesia terdiri atas perairan pedalaman (internal waters),
perairan kepulauan (archipelagic waters) dan laut teritorial (territorial sea).
Sedangkan zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen Indonesia
bukanlah wilayah laut Indonesia, melainkan dua zona maritim atau dua
67
Kementerian Dalam Negeri. 2011. Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang
tentang Pemerintahan Daerah. hal 81-82
68 I Wayan Parthiana. 2014. Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia.
Penerbit Yrama Widya. Bandung. Hal. 347.
pranata hukum laut dimana Indonesia memiliki hak-hak berdaulat yang
sifatnya eksklusif, bukan memiliki kedaulatan.
Berdasarkan Pasal 2 UUPWP3K, bahwa lingkup pengaturan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah peralihan antara
Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan
laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah
laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai. Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Kabupaten/Kota (telah dihapus setelah berlakunya
UU No. 23 Tahun 2014) memiliki kewenangan untuk mengelola,
diantaranya menyusun Rencana Zonasi di wilayah laut sejauh 12 mil laut.
Kewenangan tersebut meliputi Perairan pedalaman, Perairan Kepulauan
dan Laut Teritorial. Sedangkan untuk wilayah laut di luar batas 12 mil laut,
Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan Landas Kontinen,
termasuk Kawasan Strategis Nasional adalah menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat. Uraian tentang Wilayah Perairan Indonesia, Zona
Tambahan, ZEE dan Landas Kontinen, sebagai berikut.
1. Perairan Pedalaman. Berdasarkan Pasal 3 UU No. 6 Tahun 1996 jo
Pasal 7 UU No. 32 Tahun 2014, yang dimaksud dengan Perairan
Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang ter-letak pada sisi
darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indo-nesia, termasuk ke
dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari
suatu garis penutup. Pasal 50 UNCLOS 1982, mengatur tentang
penetapan batas perairan pedalaman (internal waters). Perairan laut
pada sisi dalam garis penutup (closing waters) inilah yang dinamakan
perairan pedalaman. Seperti perairan laut pada mulut sungai, teluk, dan
pelabuhan. Garis penutup merupakan garis yang membatasi atau
membedakan antara perairan kepulauan dan perairan pedalaman.
2. Perairan Kepulauan. Berdasarkan Pasal 3 UU No. 6 Tahun 1996 jo
Pasal 7 UU No. 32 Tahun 2014, bahwa Perairan Kepulauan Indonesia
adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal
lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari
pantai.
3. Laut Teritorial. Dalam pasal 3 ayat 2 undang-undang perairan Indonesia
disebutkan bahwa, “Laut Teritorial adalah jalur laut selebar 12 (dua
belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia
sebagaimana dimaksud Pasal 5. Pasal 5 yang dimaksud adalah tentang
ketentuan dan tata cara penarikan garis pangkal kepulauan Indonesia.
Definisi laut teritorial yang terdapat dalam UU No. 6 Tahun 1996
tentang Perairan Indonesia jo UU No. 32 Tahun 2014 ini adalah
mengikuti ketentuan yang tercantum dalam UNCLOS 1982. Dalam
ketentuan ini (UNCLOS III), batas laut teritorial tidak melebihi batas 12
mil laut diukur dari garis
pangkal normal. Untuk negara-negara
kepulauan yang mempunyai karang-karang di sekitarnya, garis
pangkalnya adalah garis pasang surut dari sisi karang ke arah laut.
4. Zona Tambahan. Berdasarkan Penjelasan Pasal 7 Ayat (2a) UU No. 32
Tahun 2014, bahwa yang dimaksud dengan Zona Tambahan adalah
zona yang lebarnya tidak melebihi 24 (dua puluh empat) mil laut yang
diukur dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur. Didalam
Pasal 24 Ayat (1) UNCLOS 1982, dinyatakan bahwa suatu zona dalam
laut lepas yang bersambungan dengan laut teritorial negara pantai
tersebut dapat melaksanakan pengawasannya yang dibutuhkan untuk:
(1) Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang
berkenaan dengan masalah bea cukai (customs), perpajakan (fiskal),
keimigrasiandan kesehatan atau saniter; (2) Menghukum pelanggaranpelanggaran
atau
peraturan-peraturan
perundang-undangannya
tersebut di atas.
5. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Berdasarkan Penjelasan
Pasal 7 Ayat (2b) UU No. 32 Tahun 2014, bahwa yang dimaksud
dengan ZEEI adalah adalah suatu area di luar dan berdampingan
dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undangundang yang mengatur mengenai perairan Indonesia dengan batas
terluar 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut
teritorial diukur. Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Indonesia mempunyai hak-hak
berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya
alam hayati dengan mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan
konservasi.
6. Landas Kontinen. Berdasarkan Penjelasan Pasal 7 Ayat (2c) UU No. 32
Tahun 2014, bahwa Landas Kontinen meliputi dasar Laut dan tanah
dibawahnya dari area di bawah permukaan Laut yang terletak di luar
laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga
pinggiran luar tepi kontinen atau hingga suatu jarak 200 (dua ratus) mil
laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur; dalam hal
pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut hingga paling
jauh 350 (tiga ratus lima puluh) mil laut atau sampai dengan jarak 100
(seratus) mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2.500 (dua ribu lima
ratus) meter.
E. Harmonisasi dan Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan
Penataaan Ruang Pesisir Dan Laut
1. Harmonisasi Hukum
Implementasi berbagai peraturan perundang-undangan memerlukan
harmonisasi guna menghindarkan saling tumpang tindih kewenangan dan
benturan kepentingan, baik antar instansi pemerintah Pusat maupun antara
Pusat dan Daerah. Upaya harmonisasi diperlukan mengingat peraturan
perundang-undangan yang berlaku harus disesuaikan dengan berbagai
perubahan yang telah terjadi dalam sistem hukum Indonesia, terutama
setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 yang sangat menentukan
arah kebijakan hukum nasional, karena merupakan peraturan perundangundangan
tertinggi
dalam
hierarki
peraturan
perundang-undangan
Indonesia69.
L.M. Lapian Gandhi70, yang mengutip buku Tussen Eenheid en
Verscheidenheid: Opstellen over Harmonisatie In Staats-En Bestuursrech,
69
Bambang Irina Djajaatmadja. 2005. Harmonisasi Hukum Pengelolaan Sumberdya
Kelautan dalam Kerangka Desentralisasi (Laporan Akhir Penyusunan Kerangka Ilmiah
Perencanaan Pembangunan Hukum ). Badan Pembinaan Hukum Nasional. Departemen
Hukum dan HAM. Jakarta. Hal. 89
70 L.M. Gandhi. 1995. Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Responsif. Pidato Pengukuhan
Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. dalam Moh. Hasan
Wargakusumah, dkk. 1996/1997. Hal 28-29.
sebagaimana dikutip oleh Moh. Hasan Wargakusumah,
mengatakan
bahwa:
”...harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian
peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan
hakim, sistem hukum dan asas-asas hukum dengan tujuan
peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan (justice,
gerechtigheid), dan kesebandingan (equity, billijkheid), kegunaan
dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan
pluralisme hukum kalau memang dibutuhkan”.
Harmonisasi peraturan perundang-undangan dilakukan karena
terdapat indikasi adanya konflik norma, seperti tumpang tindihnya
kewenangan dan benturan kepentingan diantara stakeholders, sehingga
akan memunculkan penafsiran yang berbeda-beda.
Berdasarkan data pada Bappenas, bahwa terjadi disharmonisasi
dalam kerangka hukum peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia dimana begitu banyaknya
perangkat hukum yang mengatur hal tersebut. Database peraturan
perundang-undangan tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut berisi
sekitar tiga ribuan peraturan perundang-undangan baik tingkat pusat
maupun tingkat daerah serta contoh-contoh hukum adat yang berhasil
dikumpulkan selama setahun (November 2004 - November 2005).
Penerapan peraturan perundang-undangan dalam jumlah banyak secara
bersamaan dalam waktu yang sama dan dalam ruang yang sama pula
sudah barang tentu membawa konsekuensi terjadinya disharmoni hukum
yang ditunjukkan misalnya dengan adanya tumpang tindih kewenangan
dan benturan kepentingan71.
Adapun faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya disharmonisasi
hukum,72 adalah karena: 1. Jumlah peraturan perundang-undangan yang
begitu banyak yang berlaku dalam pengelolaan wilayah pesisir; 2.
Keberadaan hukum adat yang semakin termarjinalkan dalam pengelolaan
wilayah pesisir; 3. Pluralisme dalam penegakan hukum di bidang
pengelolaan wilayah pesisir; 4. Perbedaan kepentingan dan perbedaan
penafsiran dari para stakeholder sumberdaya alam wilayah pesisir; 5.
Kesenjangan dalam pemahaman teknis dan pemahaman hukum dalam
pengelolaan pesisir; 6. Kendala hukum yang dihadapi dalam penerapan
peraturan perundang-undangan yang terdiri atas mekanisme pengaturan,
administrasi pengaturan, antisipasi terhadap perubahan dan penegakan
hukum; 7. Hambatan hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan
perundang-undangan yaitu yang berupa tumpang tindih kewenangan dan
benturan kepentingan73.
Selanjutnya L.M. Gandhi74 mengidentifikasi 8 (delapan) faktor
penyebab timbulnya keadaan disharmoni dalam praktek hukum di
Indonesia, yakni:
71
Patlis, Jason M. dkk. (Penyunting). 2005. Menuju Harmonisasi Sistem Hukum sebagai
Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia bekerjsama dengan Cosatal Resources Management Project/Mitra Pesisir.
hal xvi.
72
Patlis, Jason M. dkk. (Penyunting). 2005. ibid hal xxi -xvii.
73 Patlis, Jason M. dkk. (Penyunting). 2005. op cit hal xxi -xxii
74
L.M. Gandhi dalam Bambang Irina Djajaatmadja. 2005. Harmonisasi Hukum
Pengelolaan Sumberdya Kelautan dalam Kerangka Desentralisasi (Laporan Akhir
1. Perbedaan antara berbagai undang-undang atau peraturan perundangundangan. Selain itu, jumlah peraturan yang makin besar menyebabkan
kesulitan untuk mengetahui atau mengenai semua peraturan tersebut.
Dengan demikian pula, ketentuan yang mengatakan bahwa semua
orang dianggap mengetahui semua undang-undang yang berlaku
niscaya tidak efektif;
2. Pertentangan antara undang-undang dengan peraturan pelaksanaan;
3. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan kebijakan
instansi pemerintah. Kita kenal berbagai juklak, yaitu petunjuk
pelaksanaan yang malahan bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang akan dilaksanakan;
4. Perbedaan
antara
peraturan
perundang-undangan
dengan
yurisprudensi dan surat Edaran Mahkamah Agung;
5. Kebijakan-kebijakan instansi Pusat yang saling bertentangan;
6. Perbedaan antara kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah;
7. Perbedaan antara ketentuan hukum dengan perumusan pengertian
tertentu;
8. Benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena
pembagian wewenang yang tidak sistematis dan jelas.
Harmonisasi
memiliki
fungsi
pencegahan
dan
fungsi
penanggulangan terjadinya disharmoni hukum. Harmonisasi hukum untuk
mencegah
terjadinya disharmoni hukum dilakukan melalui penemuan
hukum (penafsiran dan konstruksi hukum), penalaran hukum, dan
pemberian argumentasi yang rasional. Upaya ini dilakukan dengan arahan
untuk menegaskan kehendak hukum atau cita hukum (kepastian hukum),
kehendak masyarakat (keadilan), dan kehendak moral (kebenaran). Upaya
harmonisasi
yang
bersifat
pencegahan
dilakukan
dalam
rangka
mengantisipasi kenyataan tentang adanya faktor-faktor potensial yang
dapat menyebabkan terjadinya disharmoni hukum.
Penyusunan Kerangka Ilmiah Perencanaan Pembangunan Hukum ). Badan Pembinaan
Hukum Nasional. Departemen Hukum dan HAM. Jakarta. Hal. 89-90.
Harmonisasi hukum untuk menanggulangi disharmoni hukum yang
telah
terjadi
dilakukan
melalui75:
(a)
Proses
non-litigasi
dengan
mempergunakan perangkat alternative dispute resolution (ADR) untuk
menyelesaikan sengketa perdata di luar pengadilan; (b) Proses litigasi
dengan mempergunakan perangkat court-connected dispute resolution
(CCDR) untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa di bidang
perdata sebelum dimulai pemeriksaan di pengadilan; (c) Proses litigasi
sebagai pemeriksaan perkara perdata di pengadilan; (d) Proses negosiasi
atau musyawarah, baik dengan maupun tanpa juru penengah, untuk
menyelesaikan disharmoni hukum publik yang tidak bersifat pidana, seperti
tumpang-tindih kewenangan dan benturan kepentingan antarinstansi
pemerintah; (e) Proses pemeriksaan perkara pidana untuk mengadili
pelanggaran atau tindak-kejahatan.
Dalam pengelolaan pesisir terpadu, harmonisasi harus dapat
mencerminkan adanya keterpaduan dalam pengelolaan wilayah pesisir,
dan sebaliknya di dalam keterpaduan pengelolaan tersebut juga tercermin
harmonisasi hukum.
2. Sinkronisasi Hukum
Sinkronisasi adalah penyelarasan dan penyelerasian berbagai
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundangundangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu
bidang tertentu. Proses sinkronisasi peraturan bertujuan untuk melihat
75
Op Cit. hal XX
adanya keselarasan antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya.
Sinkronisasi dilakukan baik secara vertikal dengan peraturan di atasnya
maupun secara horizontal dengan peraturan yang setara76. Sedangkan
maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur dalam
produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi
(suplementer), saling terkait, dan semakin rendah jenis pengaturannya
maka semakin detail dan operasional materi muatannya. Sedangkan
pendapat lainnya bahwa tujuan kegiatan sinkronisasi adalah adalah untuk
mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat
memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan
bidang tersebut secara efisien dan efektif.
Sinkronisasi
peraturan
perundang-undangan
dapat
dilakukan
dengan dua cara77, yaitu: a. Sinkronisasi Vertikal, dilakukan dengan melihat
apakah suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu
bidang tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Di
samping harus memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan,
sinkronisasi vertikal harus juga diperhatikan kronologis tahun dan nomor
penetapan
peraturan
perundang-undangan
yang
bersangkutan.
b. Sinkronisasi Horizontal, dilakukan dengan melihat pada berbagai
peraturan perundang-undangan yang sederajat dan mengatur bidang yang
sama atau terkait. Sinkronisasi horizontal juga harus dilakukan secara
kronologis,
76
sesuai
dengan
urutan
waktu
ditetapkannya
peraturan
http://www.penataanruang.net/ta/Lapan04/P2/SinkronisasiUU/Bab4.pdf diakses pada
tanggal 8 Desember 2012.
77 ibid.
perundangan-undangan yang bersangkutan. Secara umum, prosedur
sinkronisasi diawali dengan inventarisasi, yaitu suatu kegiatan untuk
mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang peraturan
perundang-undangan terkait. Selanjutnya dilakukan analisa terhadap
substansi.
3. Substansi/Norma Perundang-undangan
a. Norma dan Norma Hukum
Norma atau kaidah (kaedah) merupakan pelembagaan nilai-nilai
baik dan buruk dalam bentuk aturan yang berisi kebolehan, anjuran,
atau perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yang
bersifat positif atau negatif sehingga mencakup norma anjuran untuk
mengerjakan atau anjuran untuk tidak mengerjakan sesuatu, dan norma
perintah untuk melakukan atau perintah untuk tidak melakukan sesuatu.
Dari segi etimologinya, kata norma berasal dari bahasa Latin,
sedangkan kaidah atau kaedah berasal dari bahasa Arab. Norma
berasal dari kata Nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempit
maknanya menjadi norma hukum. Karya Plato yang berjudul Nomoi
biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan istilah The Law.
Sedangkan kaidah dalam bahasa Arab, qo'idah berarti ukuran atau nilai
pengukur78.
Sedangkan dalam bahasa Indonesia sering juga disebut dengan
pedoman, patokan atau aturan. Norma mula-mula diartikan dengan
78
Jimly Asshiddiqie. 2014. Perihal Undang-Undang. Cetakan ke-3. Rajawali Pers. Jakarta.
Hal. 1.
siku-siku, yaitu garis tegak lurus yang menjadi ukuran atau patokan
untuk membentuk suatu sudut atau garis yang dikehendaki. Dalam
perkembangannya, norma itu diartikan sebagai suatu ukuran atau
patokan bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam
masyarakat. Jadi inti suatu norma adalah segala aturan yang harus
dipatuhi. Apabila ditinjau bentuk hakikatnya, maka kaedah merupakan
perumusan suatu pandangan (oordeel) mengenai perikelakuan atau
pun sikap tindak. Norma baru bisa dilakukan apabila terdapat lebih dari
satu orang, karena norma mengatur tata cara berhubungan dengan
orang lain, atau terhadap lingkugannya, atau juga dengan kata lain
norma dijumpai dalam suatu pergaulan hidup manusia79.
Selanjutnya
jika
pengertian
norma
atau
kaidah
sebagai
pelembagaan nilai itu dirinci, kaidah atau norma yang dimaksud dapat
berisi: (1) kebolehan atau yang dalam bahasa Arab disebut ibahah,
mubah (permittere); (2) anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu atau
dalam bahasa Arab disebut sunnah; (3) anjuran negatif untuk tidak
mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut makruh; (4)
perintah positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban (obligattere);
dan (5) perintah negatif untuk tidak
melakukan sesuatu atau yang
dalam bahasa Arab disebut haram atau larangan (prohibere).80
79
TN. Norma Hukum dan Sumber Hukum Pembentukan Undang-Undang.
http://aligeno.blogspot.co.id/2012/07/norma-hukum-sumber-hukum-pembentukan.html.
diakses, 16 Oktober, 2015.
80
op cit hal. 1-2
Selanjutnya Hans Kelsen, menyatakan bahwa norma hukum
adalah aturan, pola, atau standar yang perlu diikuti81. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa fungsi norma hukum adalah: a. memerintahkan
(Gebeiten); b. melarang (Verbeiten); c. mengusahakan (Ermachtigen);
d.
membolehkan
(Erlauben);
dan
menyimpang
dari
ketentuan
(Derogoereen). Norma hukum pada hakekatnya juga merupakan unsur
pokok dalam peraturan perundang-undangan. Sifat norma hukum dalam
perundang-undangan
dapat
berupa:
perintah
(gebod),
larangan
(verbod), pengizinan (toestemming), dan pembebasan (vrijstelling).
Dari segi tujuannya, kaidah hukum atau norma hukum itu tertuju
kepada cita kedamain hidup antar pribadi (het recht wil de vrede).
Tujuan kedamaian hidup bersama tersebut biasanya dikaitkan pula
dengan perumusan tugas kaidah hukum, yaitu untuk mewujudkan
kepastian, keadilan, dan kebergunaan. Artinya, setiap norma hukum itu
haruslah menghasilkan keseimbangan antara nilai kepastian (certainty,
zekerheid),
keadilan
(equity,
billijkheid,
evenredigheid),
dan
kebergunaan (utility)82.
b. Hukum Sebagai Sistem Norma yang Dinamik
Menurut Hans Kalsen sebagaimana dikutip oleh A. Hamid S.
Attamimi83, hukum adalah termasuk dalam sistem norma yang dinamik
81
A. Hamid S. Attamimi dalam Yuliandri.2009. Asas-asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang Baik. Rajawali Pers. Jakarta. Hal. 21.
82
Jimly Asshiddiqie. 2014. Perihal Undang-Undang. Rajawali Pers. Edisi-1, Cetakan ke-3.
Jakarta , hal. 3.
83 A. Hamid S. Attamimi dalam Yuliandri. 2009. Asas-asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang Baik. Rajawali Pers. Jakarta. Hal. 21. Baca juga 83 TN. Norma
(nomodynamics) oleh karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus
oleh
lembaga-lembaga
atau
otoritas-otoritas
yang
berwenang
membentuk dan menghapusnya, sehingga dalam hal ini tidak dilihat
dari segi berlakunya atau pembentuknya. Hukum itu adalah sah (valid)
apabila
dibuat
oleh
lembaga
atau
otoritas
yang
berwenang
membentuknya serta bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi, sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior), dan
hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu
hierarkhi.
Dinamika norma hukum yang vertikal adalah dinamika yang
berjenjang dari atas ke bawah, atau dari bawah ke atas. Dalam
dinamika yang vertikal ini suatu norma hukum itu berlaku, bersumber
dan berdasar pada hukum norma hukum diatasnya, norma hukum yang
berada diatasnya berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma
hukum di atasnya, demikian seterusnya samapai pada suatu norma
hukum yang menjadi dasar dari semua norma hukum dibawahnya.
Begitu pula dinamika norma hukum dari atas ke bawah. Dinamika yang
vertikal ini dapat dilihat dalam tata susunan norma hukum yang ada di
Negara Republik Indonesia, secara berurutan mulai dari Pancasila
sebagai Norma Dasar Negara yang merupakan sumber dan dasar bagi
terbentuknya norma-norma dalam Batang Tubuh UUD 1945; demikian
Hukum
dan
Sumber
Hukum
Pembentukan
Undang-Undang.
http://aligeno.blogspot.co.id/2012/07/norma-hukum-sumber-hukum-pembentukan.html.
diakses, 16 Oktober, 2015.
juga norma-norma hukum yang berada dalam Batang Tubuh UUD
1945 menjadi sumber dan dasar bagi terbentuknya norma-norma
hukum dalam Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat (Ketetapan
MPR), dan norma-norma yang berada dalam Ketetapan MPR ini
menjadi Sumber dan dasar bagi pembentukan Norma-Norma dalam
Undang-Undang, demikian seterusnya kebawah.
Dinamika norma hukum yang horizontal adalah dinamika yang
bergerak ke samping. Dikatakan ke samping dikarenakan adanya suatu
analogi yaitu penarikan suatu norma hukum untuk kejadian-kejadian
lainnya yang dianggap serupa. Contohnya, dalam kasus tentang
perkosaan, seorang hakim telah mengadakan suatu penarikan secara
analogi dari ketentuan tentang perusakan barang, sehingga terhadap
suatu perkosaan, selain dikenakan sanksi pidana dapat juga diberikan
pembayaran ganti rugi.
c. Norma Hukum dalam Peraturan Perundang-Undangan
Menurut D.W.P Ruiter84, dalam keputusan di Eropa Kontinental,
yang
dimaksud
peraturan
perundang-undangan
atau wet
in
matereielezin mengandung tiga unsur, yaitu: a) Norma Hukum, sifat
norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa (1)
perintah, (2) larangan, (3) pengizinan, (4) pembebasan; b) Norma
berlaku ke luar. Ruiter berpendapat bahwa, di dalam peraturan
perundangan-undangan
84
ibid
terdapat
tradisi yang hendak membatasi
berlakunya norma hanya bagi mereka yang tidak termasuk dalam
organisasi pemerintah. Norma hanya ditunjukan kepada rakyat dan
pemerintah, hubungan antar sesamanya, maupun antar rakyat dan
pemerintah. Norma yang mengatur bagian-bagian organisasi pemerintah
dianggap bukan norma yang sebenarnya, dan hanya dianggap norma
organisasi. Oleh karena itu, norma hukum dalam peraturan perundangundangan selalu disebut berlaku ke luar. c) Dalam hal ini terdapat
pembedaan antara norma yang umum (algemeen) dan yang individual
(individueel), hal ini dilihat dari adressat (alamat) yang dituju, yaitu
ditunjukan kepada “setiap orang” atau kepada “orang tertentu”, serta
antara norma yang abstrak dan yang konkrit jika dilihat dari hal yang
diaturnya, apakah mengatur peristiwa-peristiwa yang tertentu atau
mengatur peristiwa-peristiwa yang tidak tertentu. Menurut Ruiter, sebuah
norma mengandung beberapa unsur, diantaranya : cara keharusan
berperilaku (operator norma), seseorang atau sekolompok orang adresat
(subyek norma), perilaku yang dirumuskan (obyek norma), dan syaratsyaratnya (kondisi norma).
4. Asas-asas Peraturan Perundang-undangan
Secara normatif berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
yang
dimaksud
dengan
peraturan
perundang-undangan
adalah
peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara
umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat
yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan85.
Bagir
Manan
mengindikasikan
banyak
kalangan
yang
menganggap hukum, peraturan perundang-undangan dan undangundang adalah hal yang sama. Menurut Bagir Manan, undang-undang
adalah
bagian
dari
peraturan
perundang-undangan.
Peraturan
perundang-undangan terdiri dari undang-undang dan berbagai peraturan
perundang-undangan lain, sedangkan hukum bukan hanya undangundang, melainkan termasuk juga beberapa kaidah hukum lain seperti
Hukum Adat, Kebiasaan, dan Hukum Yurisprudensi86.
Ketika terdapat dua atau lebih peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai hal yang sama, akan berlaku asas atau prinsip
peraturan perundang-undangan. Setidaknya terdapat 3 (tiga) asas
hukum terkait dengan peraturan perundang-undangan, yaitu87:
a.
Lex superior derogat legi inferiori. Peraturan perundang-undangan
bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundangundangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan
perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh
undang-undang
ditetapkan
menjadi
wewenang
peraturan
perundang-undangan tingkat lebih rendah.
85
Bagir Manan dalam Novianto M. Hantoro. tt. Sinkronisasi dan Harmonisasi Pengaturan
Mengenai Peraturan Daerah, Serta Uji Materi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16
Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029.
Peneliti Madya bidang Hukum Tata Negara pada Pusat Pengolahan Data dan Informasi
(P3DI) Setjen DPR-RI. Jakarta. Hal. 7
86
ibid
87
ibid hal. 11-12.
b. Lex specialis derogat legi generalis. Asas ini mengandung makna,
bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan
hukum yang umum. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan
dalam asas Lex specialis derogat legi generalis: 1) Ketentuanketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku,
kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut; 2)
Ketentuan-ketentuan
lex
specialis
harus
sederajat
dengan
ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undangundang); 3) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam
lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis.
c. Asas lex posterior derogat legi priori. Aturan hukum yang lebih baru
mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Asas
lex posterior derogat legi priori mewajibkan menggunakan hukum
yang baru. Asas ini pun memuat prinsip-prinsip: 1. Aturan hukum
yang baru harus sederajat atau lebih tinggi dari aturan hukum yang
lama; 2. Aturan hukum baru dan lama mengatur aspek yang sama.
Asas ini antara lain bermaksud mencegah dualisme yang dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum. Dengan adanya Asas Lex
posterior derogat legi priori, ketentuan yang mengatur pencabutan
suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak begitu
penting. Secara hukum, ketentuan lama yang serupa tidak akan
berlaku lagi pada saat aturan hukum baru mulai berlaku.
d.
Asas Legalitas. Peraturan perundang-undangan tidak dapat berlaku
surut (Nullum delictum noella poena cine previa lege poenali).
Dalam
prinsip
perundang-undangan,
menurut
Jimly
Ashsiddiqie88 kesatuan tata hukum tidak pernah bisa terancam oleh
suatu pertentangan antar norma yang lebih tinggi dengan norma
yang lebih rendah di dalam hirarkhi hukum (The unity of the legal
order can never be endangered by any contradiction between
a higher and a lower norm in the hierarchy of law).
F. Reklamasi dalam Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut
Menurut pengertiannya secara bahasa, reklamasi berasal dari kosa
kata Bahasa Inggris, to reclaim yang berarti memperbaiki sesuatu yang
rusak. Secara spesifik arti kata reclaim sebagai menjadikan tanah, atau
kata reclamation diterjemahkan sebagai perkejaan memperoleh tanah.89
Secara yuridis,
reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh
orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari
sudut
lingkungan
dan
sosial
ekonomi
dengan
cara
pengurugan,
pengeringan lahan atau drainase90.
Hingga saat ini wilayah pesisir memiliki sumberdaya dan manfaat
yang
sangat
besar
bagi
kehidupan
manusia.
Seiring
dengan
perkembangan peradaban dan kegiatan sosial ekonominya, manusia
memanfatkan wilayah pesisir untuk berbagai kepentingan. Konsekuensi
88
Jimly Asshiddiqie.2006. Teori Hans Kelsen tentang Hukum. Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MKRI. Jakarta. Hal.163
89
John M. Echols dan Hassan Shadily. 1992. Kamus Inggris-Indonesia. PT. Gramedia.
Jakarta.
90
Pasal 1 angka (1) Peraturan Presiden No. 122 tahun 2012 tentang Reklamasi di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
yang muncul adalah masalah penyediaan lahan bagi aktivitas sosial dan
ekonomi masyarakat91.
Agar mendapatkan lahan, maka kota-kota besar menengok daerah
yang selama ini terlupakan, yaitu pantai (coastal zone) yang umumnya
memiliki kualitas lingkungan hidup rendah. Fenomena ini bukan saja
dialami di Indonesia, tapi juga dialami negara-negara maju, misalnya
Belanda, Jepang, Hongkong, Singapura, dan Uni Emirat Arab, sehingga
daerah
pantai
menjadi
perhatian
dan
tumpuan
harapan
dalam
menyelesaikan penyediaan hunian penduduk perkotaan. Penyediaan lahan
di wilayah pesisir dilakukan dengan memanfaatkan lahan atau habitat yang
sudah ada, seperti perairan pantai, lahan basah, pantai berlumpur dan lain
sebagainya yang dianggap kurang bernilai secara ekonomi dan lingkungan
sehingga dibentuk menjadi lahan lain yang dapat memberikan keuntungan
secara ekonomi dan lingkungan atau dikenal dengan reklamasi.
Dalam teori perencanaan kota, reklamasi pantai merupakan salah
satu langkah pemekaran kota. Biasanya reklamasi dilakukan oleh negara
atau kota besar dengan laju pertumbuhan dan kebutuhan lahannya
meningkat pesat, tetapi mengalami kendala keterbatasan lahan. Kondisi ini
tidak lagi memungkinkan untuk melakukan pemekaran ke daratan,
sehingga diperlukan daratan baru.
91
Ruchyat Deni Djakapermana . Reklamasi Pantai Sebagai Alternatif Pengembangan
Kawasan. (Pengamat Penataan Ruang dan Pengembangan) www://ps/documents/
perencanaan-reklamasi-pantai-sebagai-alternatifpengembangan-kawasan-55cb7d726341.
html diakses 12 Desember 2015. Hal.
Secara umum bentuk reklamasi ada dua, yaitu reklamasi menempel
pantai dan reklamasi lahan terpisah dari pantai daratan induk. Cara
pelaksanaan reklamasi sangat tergantung dari sistem yang digunakan.
Menurut Buku Pedoman Reklamasi di Wilayah Pesisir (2005) dibedakan
atas 4 sistem, yaitu: Sistem Timbunan, reklamasi dilakukan dengan cara
menimbun perairan pantai sampai muka lahan berada di atas muka air laut
tinggi (high water level); Sistem Polder, reklamasi dilakukan dengan cara
mengeringkan perairan yang akan direklamasi dengan memompa air yang
berada didalam tanggul kedap air untuk dibuang keluar dari daerah lahan
reklamasi; Sistem Kombinasi antara Polder dan Timbunan, reklamasi ini
merupakan gabungan sistem polder dan sistem timbunan, yaitu setelah
lahan diperoleh dengan metode pemompaan, lalu lahan tersebut ditimbun
sampai ketinggian tertentu sehingga perbedaan elevasi antara lahan
reklamasi dan muka air laut tidak besar; dan Sistem Drainase, reklamasi
sistem ini dipakai untuk wilayah pesisir yang datar dan relatif rendah dari
wilayah di sekitarnya tetapi elevasi muka tanahnya masih lebih tinggi dari
elevasi muka air laut92.
Kegiatan reklamasi dilakukan oleh beberapa institusi, misalnya
reklamasi pasca tambang, yaitu dengan melakukan pengurugan terhadap
bekas galian tambang agar kondisinya dapat kembali seperti semula,
sebelum kegiatan pertambangan dilakukan93. Di pelabuhan, kegiatan
reklamasi dilakukan
92
93
untuk membangun pelabuhan laut dan terminal
Ibid hal. 3.
Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang.
khusus yang berada di perairan.94 Selanjutnya reklamasi wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil, dilakukan dilakukan dalam rangka meningkatkan
manfaat dan/atau nilai tambah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi. Pelaksanaan
reklamasi wajib menjaga dan memperhatikan: a. keberlanjutan kehidupan
dan penghidupan Masyarakat; b. keseimbangan antara kepentingan
pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil; serta c. persyaratan teknis pengambilan, pengerukan,
dan penimbunan material95.
Perencanaan dan pelaksanaan reklamasi diatur dalam Peraturan
Presiden No. 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil. Dalam Perpres tersebut diatur bahwa kegiatan
reklamasi dikecualikan dilakukan pada: a. Daerah Lingkungan Kerja (DLKr)
dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) pelabuhan utama dan
pelabuhan pengumpul serta di wilayah perairan terminal khusus; b. lokasi
pertambangan, minyak, gas bumi, dan panas bumi; dan c. kawasan hutan
dalam rangka pemulihan dan/atau perbaikan hutan, dan reklamasi tidak
dapat dilakukan pada kawasan konservasi dan alur laut96. Khusus kawasan
konservasi, kegiatan reklamasi boleh dilakukan kecuali pada zona inti 97.
Ketentuan ini mengubah ketentuan Perpres No. 122 Tahun 2012.
94
Pasal 15 Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 52/2011 tentang Pengerukan dan
Reklamasi
95 Pasal 34 UU NO. 27 Tahun 2007.
96 Pasal 3 Peraturan Presiden No. 122 Tahun 2012.
97 Pasal 3 Permen Kp No. 17/Permen KP/2013.
Pemerintah, pemerintah daerah, dan setiap orang yang akan
melaksanakan reklamasi wajib memiliki izin lokasi dan izin pelaksanaan
reklamasi. Izin lokasi terdiri atas Izin Lokasi Reklamasi dan Izin Lokasi
Material Reklamasi. Pemberian izin lokasi harus sesuai dengan Rencana
Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi,
Kabupaten/Kota98. Untuk memperoleh izin lokasi dan izin pelaksanaan
reklamasi, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan setiap orang wajib terlebih
dahulu
mengajukan
permohonan
kepada
Menteri.
Gubernur,
atau
Bupati/Walikota sesuai batas kewenangannya 99. Perizinan reklamasi diatur
lebih
lanjut
dalam
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
No. 17/Permen-KP/2013 tentang Perizinan Reklamasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil, selanjutnya diubah dengan Permen KP No. 28/2014.
Berdasarkan
ketentuan
pembagian
kewenangan 100,
Menteri
berwenang menerbitkan Izin Lokasi Reklamasi dan Izin Pelaksanaan
Reklamasi pada. a. Kawasan Strategis Nasional Tertentu; b. perairan
pesisir di dalam Kawasan Strategis Nasional; c. kegiatan reklamasi lintas
provinsi; d. kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh
Kementerian; dan e. kegiatan reklamasi untuk Obyek Vital Nasional sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Gubernur menerbitkan izin pada
perairan laut di luar kewenangan kebupaten/kota sampai dengan paling
jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas
98
Pasal 15 dan 17 ayat (1) Perpres No. 122 Tahun 2012.
UU No. 23 Tahun 2014, Bupati/Walikota tidak memiliki hak untuk
mengeluatkan izin reklamasi, sehubungan dengan pengeloaan wilayah laut (0-4 mil) ditarik
menjadi kewenangan Gubernur.
100
Pasal 5 dan 6 Permen KP No. 17/Permen-KP/2013.
99Berdasarkan
dan/atau ke arah perairan kepulauan; dan b. kegiatan reklamasi di
pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah provinsi.
Pelaksana reklamasi memiliki kewajiban untuk menjaga dan
memperhatikan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf (a) Perpres No. 122 Tahun
2012,
dengan melakukan:
a. memberikan akses kepada masyarakat
menuju pantai; b. mempertahankan mata pencaharian penduduk sebagai
nelayan, pembudidaya ikan, dan usaha kelautan dan perikanan lainnya;
c. memberikan kompensasi/ganti kerugian kepada masyarakat sekitar yang
terkena dampak reklamasi; d. merelokasi permukiman bagi masyarakat
yang berada pada lokasi reklamasi; dan e. memberdayakan masyarakat
sekitar yang terkena dampak reklamasi.
G. Landasan Teori
Dalam membangun konsep penataan ruang pesisir dan laut, yang
meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian dan pengawasan yang
dapat memberikan nilai-nilai keseimbangan sehingga terwujud keadilan
dan kepastian hukum baik terhadap masyarakat, dunia usaha maupun
sektoral, maka dalam penelitian ini digunakan teori sebagai berikut.
1. Stufenbau Theory (Teori Piramida)
Hans Kelsen dalam bukunya, General Theory of Law and State (Teori
Umum tentang Hukum dan Negara)101, menyatakan hukum bersifat
101
Hans Kelsen dalam bukunya berjudul General Theory of Law and State (Teori umum
tentang Hukum dan Negara (Penerjemah: Raisul Muttaqien), Cetakan I, September 2006.
Penerbit Nusa Media dan Penerbit Nuansa. Bandung.
hirarkis,
tersusun
yang
menunjukkan
adanya
hukum
yang
kedudukannya berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan
hukum yang berada di atasnya atau derajatnya yang lebih tinggi. Teori
ini kemudian digambarkan dalam bentuk piramida, dimana yang paling
tinggi berada pada puncak piramida tersebut yang disebut ground norm
yang ditafsirkan untuk susunan hukum di negara kita ada norma dasar.
Setiap kaedah hukum dari suatu negara merupakan susunan (hierarki)
kaedah-kaedah (stufenbau). Dipuncak stufenbau tersebut terdapat
Groundnorm (kaedah dasar). Kaedah dasar inilah yang menjadi dasar
dari pandangan yuridis yang bersifat hipotetis, yang aktualitasnya dalam
kerangka tata kaedah hukum suatu negara tertentu.
Ajaran Hans Kelsen
tersebut mengandung beberapa pengertian
sebagai berikut: 1). Peraturan hukum itu disusun sedemikian rupa
dengan tata urutan (hierarki) yang cermat, mulai dari yang tertinggi
sampai yang terendah derajatnya; 2). Peraturan hukum yang tertinggi
menjadi dasar bagi semua peraturan hukum yang ada di bawahnya
sehingga peraturan ini dipastikan merupakan pengejawantahan dari
suatu norma dasar (Grundnorm); 3). Peraturan hukum yang tertinggi
yang menjadi norma dasar ini jumlahnya tunggal di negara manapun.
Wujudnya adalah serupa dengan UUD atau konstitusi. 4). Di bawah
peraturan hukum yang tertinggi ini tersusun berbagai peraturan yang
berasal dari norma-norma yang lebih rendah derajatnya, yakni berturutturut, masing-masing sebagai norma umum (generalnorms) dan norma-
norma khusus (spezialnorm); 5). Peraturan hukum yang lebih rendah:
(a) tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi;
(b) merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan yang lebih tinggi;
(c) jumlahnya lebih banyak dari peraturan yang lebih tinggi; 6) Susunan
peraturan hukum dalam hierarkinya akan nampak seperti bangunan
piramida/limas, mulai dari yang tetinggi yang menjadi norma puncak
yang tunggal, disertai peraturan-peraturan hukum di bawahnya yang
semakin ke bawah semakin banyak jumlahnya.
Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen mengembangkan
teori gurunya tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu
negara. Hans Nawiasky mengatakan suatu norma hukum dari negara
manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang di
bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi,
norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu
norma yang tertinggi yang disebut Norma Dasar. Hans Nawiasky juga
berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjangjenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompokkelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu
terdiri atas empat kelompok besar, yaitu:
-
Staatsfundamental norm (norma fundamental Negara);
-
Staatgrundgezetz (aturan dasar/aturan pokok negara);
-
Formeell gesetz (undang-undang Formal);
-
Verordnung & Autonome satzung (aturan pelaksana dan aturan
otonom)102
Selanjutnya, menurut Hans Nawiasky, isi staatsfundamentalnorm ialah
norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau
undang-undang dasar dari suatu negara (Staatsverfassung), termasuk
norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu Staats-fundamentalnorm
ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang
dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undangundang dasar. Selanjutnya Hans Nawiasky mengatakan norma tertinggi
yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam
suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai
staatsgrundnorm
melainkan staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara103.
Grundnorm mempunyai kecenderungan untuk tidak berubah atau
bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu negara, norma fundamental
negara
itu
dapat
berubah
sewaktu-waktu
karena
adanya
pemberontakan, kudeta dan sebagainya.104
Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, oleh A. Hamid S. Attamimi
membandingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya
pada struktur dan tata hukum di Indonesia. Untuk menjelaskan hal
tersebut, A. Hamid S. Attamimi menggambarkan perbandingan antara
Hans Kelsen dan Hans Nawiasky tersebut dalam bentuk piramida.
102
Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2010, halaman 44-45.
103 Ibid Hlm. 46
104 Ibid Hlm. 48.
Selanjutnya A. Hamid S. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata
hukum
Indonesia
dengan
menggunakan
teori
Hans
Nawiasky.
Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1. Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945);
2. Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan
Konvensi Ketatanegaraan;
3. Formell Gesetz : Undang-Undang;
4. Verordnung & Autonome Satzung, secara hierarkis mulai dari
Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.105
Selanjutnya, teori perjenjangan hukum (hierarki) dari Hans Kelsen
tersebut dipergunakan dalam Pasal 7 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Adapun jenis
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan dimaksud, adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kesimpulannya, hukum positif harus merupakan mata rantai yang
tersusun secara piramida mulai dari suprastrukturnya (nilai dasar),
adanya
infrastruktur
(UU,
PP,
Perda),
dan
ada
instrumennya
(pengaturan pelaksanaannya).
2. Teori Kebijakan
a. Pengertian Kebijakan dan Kebijakan Publik
Secara umum istilah kebijakan atau policy digunakan untuk
105
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, halaman 74.
menunjuk
seorang
aktor
(misalnya
seorang
pejabat,
suatu
kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor
dalam suatu bidang kegiatan tertentu.
Robert Eyestone mengemukakan bahwa secara luas kebijakan
publik dapat didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah
dengan
lingkungannya.
Selanjutnya
Thomas
R.
Dye,
mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih
oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Richard Rose,
menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagi arah
atau pola kegiatan yang sedikit banyak
konsekuensi-konsekuensinya
bagi
berhubungan
mereka
yang
beserta
bersangkutan
daripada sebagai suatu keputusan-keputusan tersendiri. Carl
Friedrich, memandang bahwa kebijakan sebagai suatu arah
tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah
dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatanhambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan
untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu
tujuan atau merealisasikan sutu sasaran atau suatu maksud
tertentu106.
Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan mengartikan kebijaksanaan
sebagai a projecterd program of goals, values and practice yang
artinya adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan
106
Budi Winarno. 2008. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Media Pressindo. Jakarta.
Cetakan kedua. hal. 17-18.
praktek-praktek
yang
terarah107.
Pengertian
lainnya,
James
Anderson mengemukakan bahwa kebijakan merupakan arah
tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang
aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi
suatu masalah atau
suatu persoalan.
Sementara itu, Amir Santoso mengemukakan bahwa pada dasarnya
pandangan mengenai kebijakan publik (public policy) di bagi
kedalam dua kategori. Pertama, pendapat publik yang menyamakan
dengan tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli dalam kelompok ini
cenderung menganggap bahwa semua tindakan pemerintah disebut
sebagai kebijakan publik. Kedua, berangkat pada para ahli yang
memberikan perhatian khusus pada pelaksanaan kebijakan. Para
ahli dalam kategiri ini terbagi dua kubu, yaitu mereka yang
memandang
kebijakan
publik
sebagai
keputusan-keputusan
pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu,
dan mereka yang menganggap kebijakan publik sebagai memiliki
akibat-akibat yang bisa diramalkan. Para ahli yang termasuk kubu
pertama melihat kebijakan publik dalam tiga lingkungan, yaitu
perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian. Hal ini
berarti bahwa kebijakan publik adalah serangkaian instruksi dari
para pembuat keputusan
kepada pelaksana kebijakan yang
menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan
Islamy, Irfan. Prinsip – Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. (Jakarta: Bumi
Aksara, 2000). Hal.15
107
tersebut. Sedangkan kubu kedua lebih melihat kebijakan publik
terdiri dari rangkaian keputusan dan tindakan108.
Menurut Anderson109, konsep kebijakan publik ini mempunyai
implikasi, yaitu: pertama, titik perhatian kebijkan publik berorientasi
pada maksud dan tujuan dan bukan perilaku secara serampangan.
Jadi kebijakan publik bukan sesuatu yang terjadi begitu saja
melainkan direncanakan oleh aktor-aktor yang terlibat di dalam
sistem politik. Kedua, kebijakan merupakan arah atau pola tindakan
yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan
merupakan keputusan-keputuan tersendiri. Suatu kebijakan tidak
hanya keputusan untuk menetapkan undang-undang mengenai
suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan beserta dengan
pelaksanaannya. Ketiga, kebijakan publik mungkin dalam bentuknya
bersifat positif atau negatif. Secara negatif, kebijakan mungkin
mencakup suatu keputusan oleh pejabat pemerintah, tetapi tidak
untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu
mengenai
suatu
persoalan
yang
memerlukan
pemerintah. Dalam bentuknya yang positif,
keterlibatan
kebijakan publik di
dasarkan pada undang-undang dan bersifat otoritatif. Jadi kebijakan
publik bersifat paksaan yang secara potensial sah dilakukan. Sifat
terakhir inilah yang membedakan kebijakan pulik dengan kebijakan
lainnya.
108
109
ibid hal. 19.
ibid hal 21.
b. Kategori Kebijakan Publik
Anderson110 dalam bukunya Publik Policy Making, mengemukakan
bahwa sifat kebijakan publik sebagai arah tindakan dapat dirinci
menjadi beberapa kategori, yaitu tuntutan-tuntutan kebijakan (policy
demands), yaitu tuntutan yang dibuat oleh para aktor-aktor swasta
atau pemerintah, ditujukan kepada pejabat pemerintah dalam suatu
sistem epolitik, berupa desakan agar pejabat pemerintah mengambil
tindakan atau tidak mengambil tindakan mengenai suatu masalah
tertentu;
keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions), yaitu
keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah yang
mengesahkan atau memberi arah dan substansi kepada tindakantindakan kebijakan publik, misalnya dalam menetapkan undangundang, memberikan perintah-perintah eksekutif atau pernyatanpernyataan resmi, mengumumkan peraturan-peraturan administratif
atau
membuat
interpretasi
pernyatan-pernyataan
yuridis
kebijakan
terhadap
(policy
undang-undang;
statements),
yaitu
pernyatan-pernyatan resmi atau artikulasi-artikulasi kebijakan publik,
misalnya undang-undang legislatif, perintah-perintah dan dekrit
presiden, peraturan-peraturan administratif dan pengadilan, maupun
pernyataan atau pidato pejabat pemerintah yang menunjukkan
maksud dan tujuan pemerintah dan apa yang akan dilakukan untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut; hasil-hasil kebijakan (policy
outputs), yaitu lebih merujuk kepada manifestasi nyata dari
110
ibid hal 22 - 23.
kebijakan-kebijakan publik, hal-hal yang sebenarnya dillakukan
menurut keputusan-keputusan dan pernyatan-pernyataan kebijakan.
hasil-hasil kebijakan lebih lebih berpijak pada
manifestasi nyata
kebijakan publik; dampak-dampak kebijakan (policy outcomes), yaitu
jika dibandingkan dengan hasil-hasil kebijakan, maka dampakdampak kebijakan lebih merujuk pada akibat-akibatnya bagi
masyarakat baik yang diinginkan atau tidak diinginkan yang berasal
dari tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah.
c. Tahap-Tahap Kebijakan Publik
Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang
kompleks karena melibatkan banyak proses atau variabel yang
harus dikaji. Menurut William Dunn111 membagi proses penyusunan
kebijakan publik ke dalam 5 tahap, sebagai berikut.
(1) Penyusunan Agenda (agenda setting)
Sebelum kebijakan ditetapkan dan dilaksanakan, pembuat kebijakan
perlu menyusun
agenda
dengan memasukkan
dan memilih
masalah-masalah mana saja yang akan dijadikan prioritas untuk
dibahas.
Dalam
agenda
setting juga sangat penting untuk
menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu
agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut
juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Penyusunan
agenda kebijakan seharusnya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi
111
William Dunn. 1999. Analisa Kebijakan Publik. sebagaimana dikutip oleh Budi Winarno.
2008. Kebijakan Publik (Teori dan Proses). Media Pressindo. Jakarta. hal 32-35.
dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholders. Sebuah
kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan
keterlibatan stakeholders.
(2) Formulasi Kebijakan (policy formulating)
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian
dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi
didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang
terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai
alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives/policy option)
yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk
masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan
masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai
kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
(3) Adopsi/Legitimasi Kebijakan (Policy Adoption)
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses
dasar
pemerintahan.
Jika
tindakan
legitimasi
dalam
suatu
masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan
mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya
bahwa tindakan pemerintah yang sah. Dukungan untuk rezim
cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik
terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir
pemerintahan
disonansi.
Legitimasi
dapat
dikelola
melalui
manipulasi simbol-simbol tertentu, dimana melalui proses ini orang
belajar untuk mendukung pemerintah.
(4) Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)
Pada tahap inilah alternatif pemecahan yang telah disepakati
tersebut kemudian dilaksanakan. Pada tahap ini, suatu kebijakan
seringkali menemukan berbagai kendala. Rumusan-rumusan yang
telah ditetapkan secara terencana dapat saja berbeda di lapangan.
Hal ini disebabkan berbagai faktor yang sering mempengaruhi
pelaksanaan kebijakan. Kebijakan yang telah melewati tahap-tahap
pemilihan masalah tidak serta merta berhasil dalam implementasi.
Dalam rangka mengupayakan keberhasilan dalam implementasi
kebijakan, maka kendala-kendala yang dapat menjadi penghambat
harus dapat diatasi sedini mungkin.
(5) Penilaian/ Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation)
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan
yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup
substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini , evaluasi
dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi
kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan
dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian,
evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah
kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan
masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
3. Teori Utilitarianisme dari Jeremy Bentham, yang memandang
bahwa kepentingan masyarakat dan juga kepentingan individu harus
diperhatikan oleh Negara/pemerintah dalam segala langkah. Adanya
Negara dan Hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, yaitu
kebahagiaan mayoritas rakyat112.
Pemerintah melalui hukum harus
dapat memenuhi kebutuhan manusia seutuhnya dalam mewujudkan
kesejahteraan lahir dan bathin. Untuk itu, hukum penataan ruang di
wilayah pesisir dan laut mampu mewujudkan kesejahteraan bagi
semua rakyat Indonesia. Berdasarkan Teori Utility, akan dikaji
sejauhmana peran Negara dalam menyediakan sumberdaya pesisir
dan laut baik untuk perorangan, kelompok, masyarakat, pemerintah
dan dunia usaha yang memiliki kepentingan masing-masing yang pada
akhirnya
mampu
memberikan
kesejahteraan.
Utilitarianisme
memahami keadilan sebagai “kebahagiaan terbesar bagi semua atau
setidaknya bagi sebanyak mungkin orang” (the greatest happiness of
the greatest number).
Berdasarkan Teori Utility, akan dikaji
sejauhmana peran Negara dalam mengatur penataan ruang pesisir dan
laut baik untuk perorangan, kelompok, masyarakat, pemerintah dan
dunia usaha yang memiliki kepentingan masing-masing yang pada
akhirnya mampu memberikan kesejahteraan. Pemerintah melalui
hukum harus dapat memenuhi kebutuhan manusia seutuhnya dalam
mewujudkan kesejahteraan lahir dan bathin. Untuk itu, hukum
112
Achmad Ali, 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Keadilan
(Judicialprudence) termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Cetakan II,
Kencana. Jakarta, hal 273.
penataan ruang di wilayah pesisir dan laut mampu mewujudkan
kesejahteraan bagi semua rakyat Indonesia113.
4. Selanjutnya digunakan Teori Keseimbangan Kepentingan dari
Roscoe Pound, yaitu Law As a Tool of Social Engineering
(Keseimbangan Kepentingan). Menurut teori ini, bahwa kondisi awal
struktur suatu masyarakat selalu berada dalam kondisi yang kurang
berimbang. Ada yang terlalu dominan, dan ada pula yang terpinggirkan.
Untuk menciptakan dunia yang beradab, ketimpangan struktural perlu
ditata ulang dalam pola keseimbangan yang proporsional114. Menurut
teori ini, fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan umum,
kepentingan sosial dan kepentingan individu. Berdasarkan fungsi
hukum tersebut, ada 3 kategori kepentingan, yaitu kepentingan
individual, kepentingan publik, dan kepentingan negara sebagai
penjaga kepentingan masyarakat. Perlindungan terhadap ketiga
kepentingan ini harus dilakukan secara seimbang. Keseimbangan yang
harmonis inilah yang merupakan hakikat keadilan. Kepentingan umum
oleh Roscoe Pound disamakan dengan Hukum Publik, adalah tuntutan,
permintaan, kehendak, dan harapan individu yang terkait dengan
kehidupan politik.
5. Teori Keadilan Aritoteles
113
Achmad Ali, 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Keadilan
(Judicialprudence) termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Cetakan II,
Kencana. Jakarta, hal 273.
114 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Waktu). (Kata Pengantar Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,
S.H.).Cetakan Kedua. CV. KITA. Surabaya. 2007. hal 180-192. dan Atip Latipulhayat,
2014. Roscoe Pound. Jurnal Ilmu Hukum Volume 1 No. 2 Tahun 2014. Universitas
Padjadjaran. Bandung. Hal. 416.
Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam
karyanya Nichomachean Ethics, Politics, dan Rethoric. Spesifik dilihat
dalam buku Nicomachean Ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi
keadilan, yang, berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti dianggap
sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa
ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”.
115
Pada pokoknya
pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi
bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaanya
sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan manusia
sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami
bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum sama.
Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya
sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.
Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam
dua macam keadilan, keadilan distributief dan keadilan commutatief.
Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang
porsi menurut prestasinya. Keadilan commutatief memberikan sama
banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya
dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan
jasa.116
115
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nuansa
dan Nusamedia, 2004, hal 24.
116
L..J. Van Apeldoorn. 1996. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Pradnya Paramita. Cetakan
kedua puluh enam. hal. 11-12.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,
kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan
dalam
masyarakat.
Dengan
mengesampingkan
“pembuktian”
matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah
distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang
berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan
distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi
masyarakat.117
6. Teori Keadilan dari John Rawls, Teori ini mengemukakan bahwa
prinsip-prinsip
dasar
keadilan
bagi
struktur
dasar
masyarakat
merupakan tujuan dari kesepakatan. Prinsip yang akan diterima orangorang yang bebas dan rasional untuk mengejar kepentingan mereka.
John Rawls menyebut prinsip keadilan ini keadilan sebagai fairness118.
Menurut John Rawls119 terdapat dua prinsip keadilan yang akan dipilih
pada posisi awal. Pertama, setiap orang mempunyai hak yang sama
terhadap kebebasan dasar yang paling luas sesuai dengan dengan
kebebasan sejenis yang dimiliki orang lain. Kedua, perbedaan
sosioreligius dan ekonomi harus diatur agar perbedaan-perbedaan
tersebut menjadi keuntungan bagi setiap orang dan posisi, kedudukan,
status, ruang yang terbuka bagi setiap orang dapat diwujudkan.
117
Carl Joachim Friedrich. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung. Nuansa
dan Nusamedia. hal 25.
118 John Rawls. 2006. (A Theory of Justice, 1995. Penerjemah:Uzair Fauzan dan Heru
Prasetyo). Teori Keadilan (Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan
Sosial dalam Negara). Cetakan Pertama. Pustaka Pelajar. Hal. 13.
119 Muhammad Taufik. 2013. Filsafat John Rawls tentang Teori Keadilan, Mukaddimah,
Vol. 19, No. 1, 2013 hlm. 16-17.
Prinsip-prinsip itu terutama diterapkan pada struktur dasar masyarakat.
Prinsip-prinsip tersebut untuk mengatur ketentuan hak-hak dan tugastugas dan untuk mengatur distribusi keuntungan sosial dan ekonomi
seperti yang disarankan formulasinya, prinsip-prindsip ini berasumsi
bahwa struktur sosial bisa dibagi ke dalam, kurang lebih dua bagian,
prinsip pertama diterapkan pada satu bagian, sedangkan prinsip kedua
diterapkan pada bagian lainnya. Prinsip-prinsip itu membedakan antara
aspek-aspek sistim sosial yang menetapkan dan menjaga kebebasan
yang sama dari warga negara dengan aspek-aspek yang menentukan
dan membangun perbedaan sosial dan ekonomi. Kebebasan dasar
warga negara adalah kebebasan politik hak memilih dan diterima
dalam posisi umum bersama-sama dengan kebebasan berpendapat,
berbicara, dan berserikat; kebebasan menyuarakan hati nurani dan
kebebasan
berpikir;
kebebasan
memegang
harta
pribadi;
dan
kebebasan dari penangkapan secara sewenang-wenang seperti yang
ditetapkan oleh konsep aturan hukum (rule of law). Kebebasankebebasan tersebut semuanya diharuskan sama oleh prinsip pertama,
sebab warga negara dari suatu masyarakat yang adil harus mempunyai
hak-hak dasar yang sama.
Prinsip kedua diterapkan pada distribusi pendapatan, kejayaan, dan
pada desain organisasi yang menggunakan perbedaan-perbedaan
dalam
otoritas
dan
pertanggungjawaban
atau
rantai
komando.
Sementara itu, distribusi kekayaan dan pendapatan tidak perlu sama,
maka distribusi tersebut adalah keuntungan setiap orang, dan pada saat
yang sama, posisi otoritas serta kedudukan komando harus bisa
diakses oleh semua pihak. Orang yang menerapkan prinsip kedua
dengan memegang posisi terbuka, dengan keterbatasan ini bisa
mengatur perbedaan sosial dan ekonomi agar setiap orang merasa
beruntung.
Prinsip-prinsip ini harus diatur secara berurutan (a serial order) dengan
prinsip pertama mendahului yang kedua. Pengaturan ini berarti bahwa
suatu perjalanan dari institusi kebebasan yang sama yang disyaratkan
oleh prinsip pertama tidak bisa ditetapkan atau dikonpensasi untuk
keuntungan sosial dan ekonomi yang lebih besar. Distribusi kekayaan
dan pendapatan, serta hirarki otoritas, harus konsisten dengan
kebebasan
kesempatan.
warga
negara
Sesuatu
yang
yang
sama,
digagas
serta
Rawls
persamaan
dalam
dan
pandangan-
pandangannya mengenai keadilan sebagai fairness adalah satu upaya
mewujudkan semangat egalitarian pada struktur masyarakat. Tentu
egalitarianisme itu tidak boleh dimengerti dalam arti secara radikal.
Rawls berpendapat soal sikap adil, yaitu bahwa pembagian nilai-nilai
sosial yang primer (primary social good) disebut adil jika pembagiannya
dilakukan secara merata, kecuali jika pembagian yang tidak merata
merupakan keuntungan bagi setiap orang. Nilai-nilai sosial yang primer
yang dimaksud adalah kebutuhan dasar yang sangat kita butuhkan
untuk bisa hidup pantas sebagai manusia dan warga masyarakat.
Kebutuhan
dasar
itu
antara
lain
kesejahteraan, dan kesempurnaan.
hak-hak
dasar,
kebebasan,
H. Kerangka Pikir (Conceptual Frame Work)
UUD 1945
PENATAAN RUANG PESISIR DAN LAUT DALAM PERSPEKTIF HUKUM
DAN KEADILAN
SUBSTANSI
PENGATURAN TATA
RUANG PESISIR DAN
LAUT SERTA
SUMBERDAYA ALAM
 Substansi Pengaturan
SDA
 Substansi Pengaturan
Tata Ruang Pesisir dan
Laut
KEBIJAKAN
PEMERINTAH/
PEMERINTAH DAERAH
 Perencanaan Ruang
Pesisir dan Laut
 Pemanfaatan Ruang
Pesisir dan laut
 Pengendalian
Pemanfaatan Ruang
Pesisir dan laut
TERWUJUDNYA
KESEIMBANGAN PROPORSIONAL
DALAM PENATAAN RUANG DI WILAYAH
PESISIR DAN LAUT
PENGATURAN IDEAL
 Keterpaduan
 Kepastian
Hukum
 Keadilan
H. Defenisi Operasional Variabel
1. Harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan
perundang-undangan,
keputusan
pemerintah,
keputusan
peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan (justice,
gerechtigheid), dan kesebandingan (equity, billijkheid), kegunaan
dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan
pluralisme hukum kalau memang dibutuhkan”.
2. Sinkronisasi
adalah
penyelarasan
dan
penyerasian
berbagai
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan
perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang
mengatur suatu bidang tertentu. Proses sinkronisasi peraturan
bertujuan untuk melihat adanya keselarasan antara peraturan yang
satu dengan peraturan lainnya. Sinkronisasi dilakukan baik secara
vertikal dengan peraturan di atasnya maupun secara horizontal
dengan peraturan yang setara.
3. Keseimbangan adalah nilai-nilai yang mencerminkan proporsional,
keselarasan dan keadilan dalam pemanfaatan ruang pesisir dan laut
untuk kepentingan masyarakat, dunia usaha maupun sektoral
dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir
dan laut antara ekosistem darat dan ekosistem laut, antara
eksploitasi
dan
eksplorasi
dengan
pelestarian,
dan
antara
pemanfaatan dan konservasi.
4. Harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan
perundang-undangan,
keputusan
pemerintah,
keputusan
peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan (justice,
gerechtigheid), dan kesebandingan (equity, billijkheid), kegunaan
dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan
pluralisme hukum kalau memang dibutuhkan”.
5. Kebijakan pemerintah adalah cara bertindak pemerintah dalam
perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang
wilayah pesisir dan laut.
6. Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuk menentukan
struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan
penetapan rencana tata ruang laut/rencana zonasi wilayah pesisir
dan laut.
7. Pemanfaatan Ruang adalah adalah upaya untuk mewujudkan
struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang
laut/ rencana zonasi wilayah pesisir dan laut melalui penyusunan
dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
8. Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan
tertib tata ruang laut/ rencana zonasi wilayah pesisir dan laut.
9. Keadilan adalah berpegang pada kebenaran, tidak berat sebelah,
tidak memihak dan tidak sewenang-wenang dalam perencanaan,
pemanfaataatan, dan pengendalian ruang pesisir dan laut.
10. Kepastian hukum adalah bahwa penataan ruang pesisir dan laut
diselenggarakan dengan berlandaskan hukum/ketentuan peraturan
perundang-undangan serta melindungi hak dan kewajiban semua
pihak secara adil.
11. Keterpaduan adalah mengintegrasikan kepentingan stakeholders,
ekosistem
darat
dan
ekosistem
laut
dalam
perencanaan,
pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang pesisir dan laut
baik secara horizontal maupun vertikal berdasarkan perkembangan
ilmu pengetahuan.
Download