BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker serviks adalah penyakit kanker yang terjadi pada daerah serviks, antara uterus dengan vagina (Yip, 2013). Kanker serviks adalah pertumbuhan sel yang tidak normal karena gangguan atau kegagalan pengaturan multiplikasi dan fungsi homeostatis serviks (Shanta et al., 2000; Nafrialdi dan Ganiswara, 2003). Kanker serviks bersifat ganas yang menyerang dengan cepat dan menyebabkan kematian, disebabkan oleh ketidakteraturan kerja hormon dan lain-lain (Castro et al., 2013 ; Chen et al., 2013). Pada kanker serviks, fungsi sel menjadi abnormal melebihi fungsi fisiologisnya. Sel kanker serviks dapat menginvasi sel ataupun jaringan lain di sekitarnya dan dapat menjalar ke organ lain (metastasis). Metastasis dapat menyebabkan kematian pada penderita kanker serviks (Machii dan Saika, 2013). Angka kejadian kanker serviks sekitar 74% dibandingkan kanker ginekologi lainnya. Data WHO tahun 2003 menyebutkan sekitar 500.000 wanita di dunia setiap tahunnya didiagnosis menderita kanker serviks, dan hampir 60% di antaranya meninggal dunia. Di Indonesia, setiap tahun terdeteksi lebih dari 15.000 kasus kanker serviks, sekitar 8000 kasus di antaranya berakhir dengan kematian (40 kasus baru per hari, 50% di antaranya meninggal). Menurut WHO, Indonesia merupakan negara dengan 1 2 jumlah penderita kanker serviks yang tertinggi di dunia. Secara epidemiologi, kanker serviks cenderung timbul pada kelompok usia 33-55 tahun, tetapi dapat juga timbul pada usia yang lebih muda (Eros, 2010). Angka kejadian kanker serviks berhubungan dengan beberapa faktor risiko penyebab timbulnya kanker. Faktor risiko terjadinya kanker serviks antara lain: paparan zat kimia, paparan radiasi, zat karsinogenik, infeksi virus, berhubungan seks pada usia dini, memiliki banyak pasangan seksual, memiliki pasangan yang aktif dalam kegiatan berisiko tinggi, kehamilan dengan konsumsi obat DES (dietilstilbestrol), dan penurunan sistem imun. Namun, faktor risiko tertinggi penyebab kanker serviks adalah infeksi virus human papilloma virus (HPV) sebesar 99,7% (Petric et al., 2013). Penularan virus HPV terutama terjadi melalui hubungan seksual (Chen et al., 2013). Pada kanker serviks, sel-sel neoplastik terdapat pada seluruh lapisan epitel (Chowdhury, 2013). Perubahan pra-kanker yang tidak melibatkan seluruh lapisan epitel serviks disebut displasia. Displasia adalah neoplasia servikal interaepitelial (CIN). Displasia dibagi menjadi ringan (CIN 1), sedang (CIN 2), dan berat (CIN 3) (Wardhani, 2010). Terapi standar pengobatan dan pencegahan progresivitas kanker sudah cukup beragam, seperti radiasi dengan sinar X dan Gamma, terapi hormon, imunologik hingga kemoterapi (Einhorn et al., 2003 ; Chen et al., 2013). Akan tetapi, terapi tersebut masih memiliki banyak kekurangan antara lain: membutuhkan biaya sangat tinggi dan sering membawa efek samping pada pasien, seperti mual, muntah, diare, rasa terbakar, dan kebotakan (Arai M et 3 al., 2012; Dugue et al., 2013). Selain itu, terapi kanker serviks saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan efektivitas dan spesifitas terapi yang belum maksimal. Sementara itu, semakin dini kanker serviks terdeteksi, maka semakin mudah penanganan pasien dan semakin besar harapan hidup yang dimiliki pasien (Wardhani, 2010). Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa telah banyak ditemukan terapi kanker serviks, namun masih memiliki banyak kekurangan dan belum memuaskan. Untuk itu diperlukan inovasi terapi tindakan pencegahan dan penghambatan progresivitas kanker serviks. Saat ini telah banyak negara berkembang mengembangkan obat yang berasal dari ekstrak suatu tumbuhan sehingga lebih aman dan sedikit menimbulkan efek samping (Aggarwal et al., 2006; Singhal, 2004). Salah satu tanaman yang banyak diteliti manfaatnya adalah tanaman dalam famili rustacea. Tanaman kemuning (Murraya paniculata) dalam famili rustacea mengandung sejumlah flavonoid, alkaloid, steroid, dan tanin yang memiliki efek antioksidan, antiinflamasi, antimutagenik, dan antitumor (Saied et al., 2008; Negi et al., 2005 ; Zhang et al., 2012; Titseesang et al., 2008 ). Selain itu, Murraya paniculata memiliki senyawa dari golongan coumarin yaitu murrmeranzin, isopropylidene murrangatin, murralonginal, pranferin, murrangatin, minumicrolin, murpanicin, meranzin hydrate, hainanmurpanin, dan lainnya (Negi et al., 2005 ; Saied et al., 2008; Saeed et al., 2011). Coumarin adalah zat alami yang telah menunjukkan aktivitas antitumor in vivo (Zhang et al., 2013; Guasch et al., 2013; Charles, 2013; Rashid et al., 2013). Namun sampai saat ini belum jelas secara ilmiah 4 mekanisme molekuler antioksidan, antiinflamasi, antimutagenik, dan antitumor ekstrak daun kemuning sebagai antikanker serviks, maka masih perlu diteliti. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung Group Research Cancer FK UNS (Brian Wasita, dr., Ph.D; Nanang Wiyono, dr., M.Kes; Ratih Puspita, dr., M.Sc) yang melakukan skrining bahan tanaman obat berkhasiat anti kanker serviks. Selain itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk mengembangkan antikanker serviks dengan menggunakan ekstrak daun kemuning (Murraya paniculata) terhadap kultur sel Hela secara in vitro yang dilihat dari efek antiproliferasi sel kanker. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah pada penelitian ini, yaitu apakah ekstrak daun kemuning (Murraya paniculata) mempunyai efek antiproliferasi terhadap kultur sel Hela secara in vitro? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa ekstrak daun kemuning (Murraya paniculata) mempunyai efek antiproliferasi terhadap kultur sel Hela secara in vitro. 5 D. Manfaat Penelitian 1. Aspek teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi ilmiah dalam pengembangan ilmu pengetahuan mengenai efek antiproliferasi ekstrak daun kemuning (Murraya paniculata) terhadap kultur sel Hela secara in vitro. 2. Aspek aplikatif Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data awal sebagai pengembangan potensi daun kemuning (Murraya paniculata).