pergerakan air pada berbagai karakteristik pori tanah dan

advertisement
PERGERAKAN AIR PADA BERBAGAI
KARAKTERISTIK PORI TANAH DAN
HUBUNGANNYA DENGAN KADAR HARA N, P, K
ENNI DWI WAHJUNIE
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN DISERTASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pergerakan Air pada
Berbagai Karakteristik Pori Tanah dan Hubungannya dengan Kadar Hara N, P, K
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir disertasi ini
Bogor, Juni 2009
Enni Dwi Wahjunie
NIM A.261020011
ABSTRACT
ENNI DWI WAHJUNIE. Water Movement in Various Soil Pore Characteristics
and Their Relation with N, P, K Concentration. Under direction of OTENG
HARIDJAJA, SOEDODO HARDJOAMIDJOJO, and SUDARSONO.
In dryland, water movement plays an important role in crop water relation,
air, and nutrient availability. In the soil, water movement is highly affected by
soil pore characteristics, such as total porosity, pore size distribution, and pore
stability. This research aimed to: (1) Determine the relationship between water
movement and soil pore characteristics (2) Determine the relationship model
between rainfall and water movement and soil moisture dynamic in dryland, (3)
Assess the effect of water movement and soil moisture dynamic on soil moisture
and nutrient distribution and (4) Determine soil pore characteristics that affect soil
nutrient concentration. This research was conducted in the field and laboratory.
The field experiment was conducted on Inceptisols (reddish brown Latosol)
Bojong, Kemang, Bogor county. The measurements were focused on the water
content, rainfall, and daily weather that used for assessing water fluxes, transient
water movement, and water distribution. The measurements of soil nutrient
concentration were taken every week. The results showed that the water fluxes
increased with the increase in mobile water pores. The transient water movements
increased with the increase in micro pores. The water fluxes increased with the
increase in total rainfall, whereas the transient water movement increased to
maximum, and then tended to reach a constant rate with total rainfall. The effect
of water fluxes and transient water movement on water content depend on water
holding capacity, while on nutrient concentration depend on soil adsorption and
type of the soil nutrients. The nitrate and potassium concentrations decreased with
the increase of water content. Besides affected by water content, nutrient
concentration was affected by soil pore characteristics. The soil nutrient
concentration increased if mobile water pores increased and it decreased if
immobile water pores increased.
This research implies that the pore
characteristics play an important role in soil and water conservation and nutrient
management in dry lands. The application of this research is suitable in other
places which have different pore characteristics and rainfall.
Key words: Nutrient concentration, Soil pore characteristics, Transient water
movement, Water content, Water fluxes.
RINGKASAN
ENNI DWI WAHJUNIE. Pergerakan Air pada Berbagai Karakteristik Pori
Tanah dan Hubungannya dengan Kadar Hara N, P, K. Di bawah bimbingan
OTENG
HARIDJAJA,
SOEDODO
HARDJOAMIDJOJO,
dan
SUDARSONO.
Pergerakan air di lahan kering sangat penting perannya dalam ketersediaan
air, udara, dan hara bagi tanaman; maupun konservasi air dan hara tanaman.
Pergerakan air dalam tanah sangat dipengaruhi oleh karakteristik pori tanah,
seperti jumlah, distribusi ukuran, dan stabilitas pori. Di lahan kering, karena
sumber air hanya berasal dari hujan, maka pergerakan air juga sangat dipengaruhi
oleh curah hujan. Penelitian ini bertujuan: (1) menentukan keterkaitan antara
pergerakan air (fluks aliran air dan laju pergerakan air transient) dengan
karakteristik pori dalam tanah, (2) menentukan model keterkaitan antara curah
hujan dengan pergerakan air (fluks aliran air dan pergerakan air transient) dalam
tanah, (3) mengkaji pengaruh pergerakan air terhadap distribusi air dan hara
dalam tanah, dan (4) menentukan karakteristik pori yang berpengaruh terhadap
kadar hara dalam tanah.
Serangkaian penelitian telah dilakukan di lapangan dan di laboratorium.
Penelitian dimulai dengan pemilihan lokasi tanah yang memiliki karakter pori
berbeda, dilanjutkan dengan percobaan lapangan, analisis tanah di laboratorium,
dan pengolahan data. Percobaan lapangan dilakukan pada Inceptisols (Latosol
coklat kemerahan) di Desa Bojong, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, yang
memiliki karakteristik pori berbeda dalam hal jumlah, distribusi ukuran, dan
stabilitas pori tanah. Pengamatan lapangan dilakukan terhadap kadar air tanah,
hujan, dan iklim setiap hari, yang digunakan untuk mengkaji fluks aliran air, laju
pergerakan air transient, dan distribusi air, serta kadar hara tiap minggu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa fluks aliran air maupun laju
pergerakan air transient pada lahan kering sangat dipengaruhi oleh karakteristik
pori tanah. Pengaruh karakteristik pori tanah dalam menentukan fluks aliran air
dalam tanah, sangat ditentukan oleh karakteristik pori yang paling menentukan
terhadap konduktivitas hidrolik tanah, di mana konduktivitas hidrolik tersebut
tergantung pada kondisi kadar air tanah. Dalam penelitian ini, fluks aliran air
semakin cepat dengan besarnya ruang pori air mobil dalam tanah.
Laju
pergerakan air transient semakin besar dengan makin besarnya ruang pori mikro
tanah, dan mencapai maksimum pada kapasitas retensi air maksimum tanah.
Perbedaan karakteristik pori dalam setiap lapisan kedalaman tanah mempengaruhi
fluks aliran air dan laju pergerakan air transient tiap lapisan kedalaman tanah,
sehingga besarnya fluks aliran air dan laju pergerakan air transient tiap kedalaman
tanah berfluktuasi.
Semakin besar jumlah hujan, fluks aliran air makin besar sampai mencapai
maksimum (negatif paling besar), kemudian besarnya konstan dengan model :
q = - 2,12 + 2,36 e - 0,023 CH ; r = 0,73 ………………….(1)
Pengaruh jumlah hujan terhadap fluks aliran air setiap kejadian hujan menentukan
potensial air tanah, yang merupakan daya penggerak dalam pergerakan air. Laju
pergerakan air transient meningkat sampai nilai maksimum, kemudian cenderung
konstan dengan makin besarnya hujan dengan model:
dθ/dt =- 0,24 + (CH/(2,92)0,46; CH < CH KL; r = 0,76 ……….(2)
Laju pergerakan air transient mencapai maksimum pada curah hujan 44,65 mm
dengan laju pergerakan air transient sebesar 2,92 cm/hari. Pengaruh fluks aliran
air dan laju pergerakan air transient (dinamika kadar air) terhadap kadar air dalam
tanah tergantung pada kapasitas retensi air maksimum tanah dan jumlah hujan.
Pengaruh fluks aliran air dan laju pergerakan air transient terhadap kadar
hara dalam tanah tergantung pada karakter tanah dan jenis hara. Fluks aliran air
maupun laju pergerakan air transient tidak berpengaruh langsung terhadap kadar
hara dalam tanah, tetapi melalui perubahan kadar air dalam tanah maupun laju
pergerakan hara yang terbawa aliran air.
Kadar nitrat dan kalium makin
berkurang dengan meningkatnya kadar air tanah karena nitrat dan kalium dalam
tanah mudah larut dan memiliki dispersivitas yang tinggi sehingga mudah terbawa
aliran air. Semakin tinggi kadar air dalam tanah, maka ion kalium dan nitrat cepat
hilang dari zona perakaran, sehingga kadarnya dalam larutan tanah menurun.
Selain dipengaruhi oleh kadar air dan curah hujan, kadar hara dalam tanah
juga dipengaruhi oleh karakteristik pori dalam tanah, karena hara di dalam tanah
berada di dalam pori tanah. Pengaruh karakteristik pori terhadap kadar hara dapat
terjadi secara langsung maupun tak langsung.
Kadar ammonium secara tak
langsung meningkat dengan peningkatan ruang pori drainase sangat cepat, karena
ruang pori drainase sangat cepat mempengaruhi ketersediaan air dan udara dalam
tanah yang menentukan keberadaan ion amonium.
Kadar nitrat secara tak
langsung menurun dengan peningkatan ruang pori air imobil dalam tanah. Kadar
P dan K larutan tanah meningkat dengan makin besarnya ruang pori air mobil
dalam tanah. Ruang pori air mobil merupakan ruang pori makro yang dapat
mendesorpsi hara dengan mudah dan mengadsorpsinya secara lemah; sehingga
makin besar ruang pori air mobil dalam tanah, kadar P dan K larutan tanah makin
besar; sebaliknya, kadar K larutan tanah menurun dengan makin besarnya ruang
pori air imobil.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, karakteristik pori tanah
dari jenis tanah yang sama sangat bervariasi, sehingga mempengaruhi pergerakan
dan distribusi air dan hara tanah. Perbedaan dalam karakter pori tanah juga
berdampak pada jumlah hujan yang dapat dikonservasi maupun pola perubahan
kadar air dan hara tanah. Oleh karena itu dalam rangka penyediaan air dan hara
yang optimum bagi tanaman maupun konservasi tanah, air, dan hara di lahan
kering, penelitian seperti ini sangat baik direplikasikan di tempat lain yang
memiliki karakteristik pori dan sebaran curah hujan berbeda.
Kata kunci: Aliran air transient, Fluks aliran air, Kadar air, Karakteristik pori
tanah, Konsentrasi hara.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERGERAKAN AIR PADA BERBAGAI
KARAKTERISTIK PORI TANAH DAN
HUBUNGANNYA DENGAN KADAR HARA N, P, K
ENNI DWI WAHJUNIE
Disertasi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor
pada Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Penguji pada Ujian Tertutup:
Dr. Ir. Dwi Putro Tedjo Baskoro, MSc.
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Penguji pada Ujian Terbuka:
1. Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fateta, IPB
2. Dr. Ir. Undang Kurnia, MSc., APU
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian,
Departemen Pertanian
Judul
:
Pergerakan Air pada Berbagai Karakteristik
Pori Tanah dan Hubungannya dengan
Kadar Hara N, P, K
Nama Mahasiswa :
ENNI DWI WAHJUNIE
Nomor Pokok
A. 261020011
:
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc
Ketua
Prof. Dr. Ir. Soedodo H., MSc.
Anggota
Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc.
Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Tanah
Dr. Ir. Atang Sutandi, MS.
Tanggal ujian: 8 Juni 2009
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal lulus:________________
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia,
rahmat, dan hidayahNya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Disertasi
dengan judul Pergerakan Air pada Berbagai Karakteristik Pori Tanah dan
Hubungannya dengan Kadar Hara N, P, K ini merupakan hasil penelitian lapang
dan laboratorium yang dilaksanakan sejak April 2005 sampai dengan April 2007,
dan merupakan prasyarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah
Pascasarjana IPB.
Pergerakan air dalam tanah di lahan kering berperan sangat penting dalam
ketersediaan air, udara, dan hara bagi tanaman, maupun konservasi air dan hara.
Pergerakan air dan kadar hara dalam tanah di lahan kering sangat dipengaruhi
oleh karakteristik pori tanah maupun curah hujan. Dengan adanya penelitian
tentang Pergerakan Air pada Berbagai Karakteristik Pori Tanah dan Hubungannya
dengan Kadar Hara N, P, K ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk
pengelolaan air dan hara di lahan kering, terutama untuk prediksi ketersediaan air
dan hara bagi tanaman maupun konservasi air untuk lahan-lahan lain yang
memiliki karakteristik pori dan curah hujan berbeda.
Model keterkaitan antara pergerakan air dan dinamika kadar air pada
berbagai karakteristik pori tanah dengan curah hujan sangat cocok diaplikasikan
pada tempat yang memiliki karakteristik pori maupun sebaran curah hujan
berbeda. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukannya.
Bogor, Juni 2009
Enni Dwi Wahjunie
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia,
rahmat, dan hidayahNya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Disertasi
dengan judul Pergerakan Air pada Berbagai Karakteristik Pori Tanah dan
Hubungannya dengan Kadar Hara N, P, K ini merupakan hasil penelitian lapang
dan laboratorium yang dilaksanakan sejak April 2005 sampai dengan April 2007,
dan merupakan prasyarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah
Pascasarjana IPB.
Dengan rendah hati penulis menghaturkan terimakasih dan rasa hormat
kepada Bapak Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc., sebagai Ketua Komisi Pembimbing,
serta Bapak Prof. Dr. Ir. Soedodo H., MSc., dan Bapak Prof.Dr.Ir. Sudarsono,
MSc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan
pengarahan sejak penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, dan penulisan
disertasi.
Kepada Dr. Ir. Dwi Putro Tedjo Baskoro, MSc, sebagai Penguji Luar
Komisi dalam Ujian Tertutup, serta Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS, dan Dr. Ir.
Undang Kurnia, APU sebagai Penguji Luar Komisi dalam Ujian Terbuka,
diucapkan terimakasih
Kepada Departemen Pendidikan Nasional RI, melalui Rektor dan Dekan
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, diucapkan terimakasih atas
pemberian beasiswa BPPS untuk kelangsungan studi.
Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Rektor, Dekan SPS, Dekan
dan Wakil Dekan Fakultas Pertanian, Ketua dan Sekretaris Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan, serta Ketua Program Studi Ilmu Tanah atas ijin
yang diberikan kepada penulis untuk menempuh program Doktor di IPB. Tak
lupa penulis sangat berterimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, MSc.
yang terus memberi semangat, serta keluarga Bagian Konservasi Tanah dan Air
atas segala pengertian, dukungan, dan kekeluargaan.
Kepada Bayu Hartanta Ginting, Irma Primawati, Mariana, dan Hijriah,
terimakasih bantuannya selama penelitian. Terimakasih juga disampaikan kepada
Dr. K. Subagyono, Dr. U. Sudadi, Ir. B. Budijanto, Ir D. R Panuju, MSi, Dr. G.
Djajakirana, Dr. S. Djuniwati, dan Dr Suwarno, atas segala saran, masukan, dan
bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Kepada seluruh analis dan laboran
laboratorium di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, terimakasih atas
bantuannya. Kepada teman-teman seperjuangan selama menempuh pendidikan
S3, terimakasih atas kebersamaannya.
Kepada Ibu, mbak, dan adik-adik, terimakasih atas doa dan dukungannya.
Terimakasih atas doa, dukungan dana penelitian maupun penyelesaian studi, serta
dorongan mental dan motivasi, penulis ucapkan kepada suami (Mas Nurwadjedi).
Ananda Fahmi Akbar, terimakasih atas dorongan motivasi, pengorbanan, dan
pengertiannya.
Bogor, Juni 2009
Enni Dwi Wahjunie
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 30 Maret 1960 sebagai anak kedua
dari Bapak Joesoef Rahardjo (Alm) dan Ibu Hj. Tariatoen. Pada tahun 1989
penulis menikah dengan Nurwadjedi dan pada tahun 2003 mendapat seorang
putra yang diberi nama Fahmi Akbar.
Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Ilmu-Ilmu Tanah, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor sejak tahun 1979 sampai dengan 1983. Pada
tahun 1990 penulis mendapat kesempatan melanjutkan ke Pascasarjana IPB di
Program Studi Ilmu Tanah dan lulus tahun 1994. Sejak tahun 2002 penulis
kembali ke program studi yang sama di Sekolah Pascasarjana, IPB untuk
melanjutkan program Doktor dengan beasiswa dari BPPS Departemen Pendidikan
Nasional RI.
Pada tahun 1986 penulis diangkat sebagai staf pengajar di Jurusan Tanah,
Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang. Tahun 1997 penulis pindah
ke Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor untuk mengikuti suami.
Selama lima tahun terakhir sambil menyelesaikan studi penulis terlibat dalam
pengajaran mata kuliah Pengelolaan Tanah, Fisika Tanah, dan Konservasi Tanah
dan Air.
Sebuah artikel berjudul Pergerakan Air pada Tanah dengan Karakteristik
Pori Berbeda dan Pengaruhnya pada Ketersediaan Air bagi Tanaman telah terbit
di Jurnal Tanah dan Iklim Nomor 28, Desember 2008.
ISSN 1410-7244.
13/Akred-LIPI/P2MBI/9/2006. Artikel tersebut merupakan bagian dari program
S3 penulis.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
………………………………….………....….…….
vi
…………………………….…………………….
vii
………………………………………………...
viii
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ……………………..…………………………...
1
1.2. Kerangka Pemikiran ……………..………………………………
4
1.3. Tujuan ………………………….………………………………
6
1.4. Hipotesis ……………………..…………………………………
6
1.5. Manfaat Penelitian ……………………………………………...
7
1.6. Kebaruan Penelitian ...................................................................
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Pori Tanah
...........................................................
2.2. Konduktivitas Hidrolik Tanah
8
.................................................
11
2.3. Pergerakan Air dalam Tanah ......................................................
15
2.3.1.
Pergerakan Air dalam Tanah Jenuh
………….….…..
2.3.2.
Pergerakan Air dalam Tanah tak Jenuh
17
……..………
18
2.4. Pengaruh Pergerakan Air terhadap Kadar Hara dalam Tanah ....
20
2.4.1.
Adsorpsi Tanah
………..……..…………....….....
21
2.4.2.
2.4.3.
2.4.4.
Pergerakan Air yang Membawa Hara
……………
Curah Hujan dan Kadar Air
……………...……..….
Tanaman ………………………….……….......…......
24
27
29
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu ………………………………..…………...
30
3.2. Bahan dan Alat …………………..………………...……..……
30
3.3. Metode Penelitian
……………………..…………...…………
31
3.3.1.
Pemilihan Lokasi Penelitian…………...………………
31
3.3.2.
3.3.3.
3.3.4
3.3.5.
Percobaan Lapangan… ……………………….………..
Pengambilan contoh tanah ……………………………
Analisis Laboratorium ……………….………………
Analisis Data ……………………….……………..…
31
33
36
40
Halaman
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Letak Geografis .........................................................................
4.2. Iklim
..........................................................................................
4.3. Tanah dan Topografi
.................................................................
4.4. Sistem Pengelolaan/Penggunaan Tanah
....................................
4.5. Karakteristik Pori Tanah Lokasi Penelitian
43
43
45
47
....................... .....
48
...................................................
50
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Konduktivitas Hidrolik Tanah
5.1.1
Hubungan Karakteristik Pori dengan Konduktivitas
Hidrolik Jenuh .............................................................
5.1.2. Hubungan Karakteristik Pori dengan Konduktivitas
Hidrolik tak Jenuh .......................................................
5.2. Pergerakan Air Selama Masa Pertumbuhan Tanaman ..............
5.2.1. Fluks Aliran Air ............................................................
5.2.2. Pergerakan Air Transient dalam Tanah .......... .............
50
52
55
55
61
5.3. Distribusi Air Tanah Selama Masa Pertumbuhan Tanaman .......
64
5.4. Kadar Hara Selama Masa Pertumbuhan Tanaman
.....................
69
5.4.1.
5.4.2.
Kadar Nitrogen dalam Tanah ........................................
Kadar Amonium Selama Masa Pertumbuhan Tanaman
69
70
5.4.3.
5.4.4.
5.4.5.
5.4.6.
Kadar Nitrat Selama Masa Pertumbuhan Tanaman
Kadar Fosfor dalam Tanah ...........................................
Kadar Fosfor Selama Masa Pertumbuhan Tanaman
Kadar Kalium dalam Tanah ..........................................
74
79
80
83
5.5.7.
Kadar Kalium Selama Masa Pertumbuhan Tanaman
84
5.5. Produksi Tanaman ……………………………………………...
89
5.6. Pembahasan Umum
91
5.6.1. Pergerakan Air dalam Tanah .......................................
5.6.2.. Kadar Hara dalam Tanah .............................................
92
94
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan ....................................................................
97
6.2..
Saran ...............................................................................
98
DAFTAR PUSTAKA
….…….………………………….….………….
99
LAMPIRAN ……………………………….…………….………...........
108
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1.
Berbagai klasifikasi pori berdasar ukuran, fungsi, dan
kesetaraan potensial ………………………………………...
10
2.
Matrik antara tujuan, masukan data, proses/analisis data, dan
keluaran pada setiap tahapan penelitian ....................................
34
3.
Penetapan volume tiap kelas ukuran pori tanah
......................
38
4.
Jenis, metode, dan alat-alat yang digunakan dalam analisis di
laboratorium ...........................................................................
39
5.
Pengelolaan lahan yang dilakukan selama lima tahun sebelum
percobaan ................................................................................
47
6.
Karakteristik pori tanah pada lahan di lokasi 1, 2, dan 3
........
48
7.
Nilai rataan konduktivitas hidrolik jenuh
................................
50
8.
Regresi antara karakteristik pori dengan konduktivitas hidrolik
jenuh ........................................................................................
51
9.
Kebutuhan irigasi minimum berdasar defisit air pada
kedalaman akar 20 cm dan 50 cm ...........................................
69
10.
Korelasi antara fluks aliran air, laju pergerakan air transient,
dan kadar air terhadap kadar NH4+, NO3-, P, dan K larutan
tanah ...................................…………………………………
72
11.
Produksi tanaman dan tongkol jagung ... .................................
89
12.
Pengaruh sifat-sifat fisik tanah, kadar air, dan kadar hara tanah
kedalaman 0-50 cm terhadap produksi tanaman ………….....
90
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1.
Diagram alir peranan karakteristik pori tanah dalam
penyusunan model pergerakan air dalam tanah ......................
5
2.
Diagram alir pelaksanaan penelitian
.....................................
32
3.
Kurva karakteristik kelembaban tanah untuk
penetapan distribusi pori tanah ..............................................
37
4.
Neraca air lahan lokasi penelitian
44
5.
Neraca air lahan mingguan lokasi penelitian
........................
45
6.
Kurva hubungan antara konduktivitas hidrolik tak jenuh
dengan kadar air tanah ..........................................................
53
7.
Hubungan curah hujan dengan fluks aliran air .......................
56
8.
Fluks aliran air pada tiap kedalaman tanah
...........................
59
9.
Hubungan kadar air tanah dengan fluks aliran air selama masa
pertumbuhan tanaman ……………………………………..
60
10.
Hubungan curah hujan dengan laju pergerakan air transient
62
11.
Hubungan curah hujan, laju perubahan cadangan air,
fluks aliran air, dan kadar air tiap kedalaman tanah .............
65
12.
Perbandingan antara kadar air tanah dengan kadar air
minimum tersedia bagi tanaman menurut Allen et al.
(1998) dan USDA (1991) selama masa
pertumbuhan tanaman ...........................................................
13.
Kadar nitrogen sebelum tanam (No) dan pada waktu panen (N
10) ..........................................................................................
70
14.
Kadar amonium selama masa pertumbuhan tanaman ..............
71
15.
Kadar NH4+, curah hujan, dan fluks aliran air selama massa
pertumbuhan tanaman ............................................................
73
16.
Kadar NO3- larutan tanah selama masa pertumbuhan tanaman
75
.........................................
68
No.
Halaman
17.
Kadar NO3- larutan tanah tiap kedalaman tanah
18
Pengaruh kadar air terhadap kadar nitrat larutan tanah
.........
77
19.
Pengaruh ruang pori air imobil terhadap kadar nitrat larutan
tanah ......................................................................................
78
20.
Kadar fosfor sebelum tanam (Po) dan pada waktu panen (P10)
79
21.
Kadar P larutan tanah selama masa pertumbuhan tanaman
80
22.
Kadar P larutan tanah pada tiap kedalaman tanah
81
23.
Pengaruh ruang pori air mobil terhadap kadar P larutan tanah
82
24.
Kadar kalium sebelum tanam (K0) dan pada waktu panen (K
10) ..........................................................................................
83
25.
Kadar K, fluks, dan curah hujan selama masa pertumbuhan
85
26.
Kadar K larutan tanah pada tiap kedalaman tanah
..............
86
27.
Hubungan kadar air dengan kadar K larutan tanah
........
87
28.
Hubungan ruang pori air mobil dengan kadar K larutan tanah
88
29.
Hubungan ruang pori air imobil dengan kadar K larutan tanah
88
...................
...............
76
DAFTAR LAMPIRAN
No
Halaman
1.
Nilai rataan karakteristik pori tanah lahan lokasi penelitian
108
2.
Uji beda nilai tengah karakteristik pori tanah lahan lokasi
penelitian .................................................................................
108
3.
Penetapan Stabilitas Agregat Tanah
………………………...
109
4.
Prosedur perhitungan Neraca Air Thornthwaite dan Mather
(1957) .........................................................................................
110
5.
Pengaruh stres air terhadap evapotranspirasi (Allen et. al.,
1998) ………………………………………………………...
116
6.
Curah hujan, Suhu, Kelembaban, Tekanan Udara, Kecepatan
Angin, dan Lama penginaran Rataan Bulanan Pada Tahun
1994-1995
.............................................................................
117
7.
Neraca air bulanan pada lokasi penelitian
...............................
118
8.
Pengaruh kadar air terhadap laju pertumbuhan tanaman
(USDA, 1991) …….................................................................
119
9.
Neraca air mingguan selama musim pertumbuhan tanaman di
lokasi penelitian ......................................................................
120
10.
Sifat-sifat fisik dan morfologi tanah pada lahan 1
..................
121
11.
Sifat-sifat fisik dan morfologi tanah pada lahan 2
..................
121
12.
Sifat-sifat fisik dan morfologi tanah lahan 3
...........................
122
13.
Penampang melintang profil tanah lokasi penelitian
14.
Sifat fisik dan kimia tanah lokasi penelitian
15.
Sifat-sifat fisik tanah pada lahan lokasi penelitian
16.
Sifat-sifat kimia tanah lokasi penelitian
17.
Sidik ragam model hubungan konduktivitas hidrolik jenuh (Ks)
..............
123
...........................
124
..................
125
.................................
126
dan tak jenuh (Kus) dengan karakteristik pori
.......................
127
18.
Konduktivitas hidrolik tak jenuh kedalaman (0-50) cm pada
lokasi penelitian
.....................................................................
127
19.
Model karakteristik kelembaban tanah lahan penelitian
129
.........
No
Halaman
20.
Kurva karakteristik kelembaban tanah lokasi penelitian
........
130
21.
Korelasi antara karakteristik pori tanah dengan konduktivitas
hidrolik jenuh, fluks aliran air dan laju aliran air transient ....
131
22.
Sidik ragam regresi antara karakteristik pori terhadap fluks
aliran air, laju pergerakan air transient, dan kapasitas retensi
maksimum tanah .....................................................................
131
Sidik ragam regresi antara jumlah hujan terhadap fluks aliran
air, laju pergerakan air transient dalam tanah, dan kapasitas
retensi maksimum tanah ........................................................
132
24.
Pengaruh curah hujan terhadap kadar air pada kapasitas lapang
132
25.
Data hujan di lokasi penelitian selama masa pertumbuhan
tanaman ...................................................................................
133
23.
26.
Kadar air tanah tiap kedalaman selama masa pertumbuhan
(ulangan = 30)
.........................................................................
134
27.
Uji beda nilai tengah kadar air dan hara antar kedalaman tanah
134
28.
Kadar air tanah tiap lokasi penelitian selama masa
pertumbuhan (10 ulangan) ......................................................
135
29.
Kadar N, P, dan K sebelum tanam dan pada waktu panen
136
30.
Kadar NH4 tiap kedalaman selama masa pertumbuhan (ulangan
= 30) ….............................................................................…...
136
31.
Kadar amonium tanah pada tiap lokasi penelitian selama masa
pertumbuhan (ulangan = 10) ...................................................
137
32.
Korelasi karakteristik pori tanah terhadap kadar NH4+, NO3- ,
P, dan K ..................................................................................
138
33.
Uji beda nilai tengah kadar Amonium tiap kedalaman antar
waktu pengukuran (minggu) ...................................................
139
34.
Sidik ragam regresi antara karakteristik pori terhadap
kadar NH4+, NO3-, P, dan K ...................................................
140
35.
Kadar NO3- selama masa pertumbuhan tanaman (ulangan=30)
140
36.
Kadar nitrat pada tiap lokasi penelitian selama masa
pertumbuhan ...........................................................................
141
No
37.
Halaman
Uji beda nilai tengah kadar Nitrat tiap kedalaman antar waktu
pengukuran (minggu) .................................................................
142
38.
Sidik ragam regresi antara kadar air terhadap kadar NO3- dan K
larutan tanah ............................................................................
143
39.
Kadar Fosfor tiap kedalaman selama masa pertumbuhan
(ulangan=30) ...........................................................................
143
40.
Kadar fosfor pada tiap lokasi penelitian selama masa
pertumbuhan tanaman .............................................................
144
41.
Uji beda nilai tengah kadar Fosfor tiap kedalaman antar waktu
pengukuran (minggu) ..............................................................
145
42.
Kadar Kalium tiap kedalaman selama masa pertumbuhan
(ulangan=30) ...........................................................................
146
43.
Kadar kalium pada tiap lokasi penelitian selama masa
pertumbuhan tanaman .............................................................
147
44.
Uji beda nilai tengah kadar Kalium tiap kedalaman antar waktu
pengukuran (minggu) ...............................................................
148
45.
Bobot tanaman waktu panen (kg/ha)
......................................
149
46.
Bobot tongkol waktu panen (kg/ha)
........................................
149
47.
Sidik ragam pengaruh sifat-sifat fisik, kadar air, dan kadar hara
tiap kedalaman tanah terhadap produksi tanaman
48.
49.
.................
150
Uji t dari parameter pengaruh sifat-sifat fisik, kadar air dan
kadar hara tiap kedalaman tanah terhadap bobot tanaman
jagung ......................................................................................
150
Pengaruh sifat-sifat fisik, kadar air dan kadar hara tiap
kedalaman tanah terhadap bobot tongkol jagung ....................
150
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Pergerakan air di lahan kering sangat penting perannya dalam pergerakan hara
(nutrient transport) dan dapat digunakan untuk estimasi ketersediaan air dan udara bagi
tanaman. Pergerakan air dalam tanah sangat dipengaruhi oleh karakteristik pori tanah,
seperti distribusi ukuran pori, kontinuitas pori, stabilitas, dan resiliensi pori (Hillel, 1980
dan Kay, 1990). Ketersediaan air, udara, dan hara yang cukup dan seimbang dalam
tanah di lahan kering dapat menentukan pertumbuhan dan produksi tanaman. Selain
diperlukan untuk pertumbuhan tanaman, air yang masuk ke dalam tanah juga berfungsi
sebagai penyangga suhu tanah, pelarut dan pembawa hara tanaman, reaksi-reaksi dalam
tanah, dan merupakan sumber ground water recharge.
Karakteristik pori mempengaruhi pergerakan air dalam tanah baik dalam keadaan
jenuh maupun tak jenuh melalui proses interaksi antara air dengan padatan tanah.
Apabila pori di dalam tanah didominasi oleh pori makro, maka pergerakan air secara
jenuh lebih cepat. Pergerakan air secara jenuh tersebut juga dipengaruhi oleh kontinuitas
dan stabilitas pori. Pori yang kontinu (pori dengan ukuran seragam dan saling
bersambungan) lebih mudah menghantarkan air daripada pori yang tidak saling
bersambungan dan berukuran tidak seragam. Adapun pori yang berada dalam agregat
tanah yang stabil juga menentukan kecepatan aliran air, karena pori yang berada pada
agregat yang tidak stabil mudah rusak dan aliran air menjadi terhambat.
Apabila pori di dalam tanah didominasi oleh pori mikro, dapat mempercepat
pergerakan air secara tak jenuh. Air yang berada di dalam pori tanah diikat secara kuat
oleh matrik tanah melalui gaya adhesi, sedangkan di antara molekul air terjadi gaya
kohesi. Apabila gaya adhesi oleh matrik tanah lebih kuat daripada gaya kohesi, maka
air bertahan mengisi pori tanah. Keadaan ini yang menyebabkan air tetap bertahan di
dalam ruang pori. Semakin besar ukuran pori tanah, kemampuan gaya adhesi makin
lemah dan gaya kohesi lebih kuat sehingga terjadi aliran air menuju potensial yang lebih
rendah. Oleh karena itu pergerakan air dalam kondisi jenuh lebih dipengaruhi oleh gaya
kohesi; sedangkan dalam keadaan tak jenuh, pada kadar air rendah, lebih dipengaruhi
oleh kapilaritas akibat gaya matrik tanah terhadap air lebih kuat.
2
Pergerakan air sangat menentukan terhadap distribusi air dalam tanah. Pergerakan
air yang cepat lebih mudah mendistribusikan air; sehingga air merata di dalam solum
tanah. Keadaan ini menunjang dalam proses/reaksi biokimia dalam tanah, sehingga
mempengaruhi kadar hara dalam tanah. Selain dipengaruhi oleh kadar air, kadar hara
di dalam zona perakaran juga dipengaruhi oleh pergerakan air yang dapat membawa
hara. Pergerakan hara melalui pergerakan air dalam tanah dapat terjadi baik dalam
bentuk hara terlarut, masih berupa pupuk, maupun yang terikat dalam koloid tanah.
Karena karakteristik pori di dalam tanah sifatnya sangat dinamis, maka perlu adanya
penelitian pengaruh karakteristik pori terhadap pergerakan air, selanjutnya pengaruh
pergerakan air maupun karakteristik pori tersebut terhadap kadar hara tanah.
Seperti telah disebutkan di atas, pergerakan air maupun laju perubahan kadar air
tanah sangat ditentukan oleh karakteristik pori tanah (Hillel, 1980; Kay, 1990).
Bagarello, Iovino, dan Elrick (2004) juga menyatakan bahwa kemampuan tanah
meretensi air maupun pergerakan air baik jenuh dan tak jenuh dalam tanah dipengaruhi
oleh karakteristik pori tanah. Karakteristik pori yang ada di dalam tanah
sangat
bervariasi, yang sangat dipengaruhi oleh stabilitas dan distribusi ukuran agregat,
maupun tekstur tanah, sehingga berpengaruh terhadap pergerakan air dalam tanah.
Bodhinayake, Cheng Si, dan Xiao (2004) menyatakan bahwa porositas tanah yang
banyak berkaitan dengan pergerakan air dan solute secara cepat adalah pori makro dan
pori meso. Adapun Perfect, Sukop, dan Haszler (2002) menyatakan bahwa laju
pergerakan air dapat mempengaruhi distribusi air dan kelarutan hara dalam tanah,
sehingga hara terdistribusi secara merata pada zona perakaran.
Pergerakan dan
distribusi air yang ada dalam tanah juga sangat tergantung pada sifat-sifat hujan yang
jatuh (Edwards et al., 1992; Toor et al., 2004).
Distribusi hara dalam tanah, selain dipengaruhi oleh pergerakan air (Hamlen dan
Kachanoski, 2004; Nemati et al., 2003) yang sangat tergantung pada karakter pori
tanah, juga sangat tergantung pada sifat-sifat tanah yang lain seperti kemampuan
adsorpsi tanah dan sifat-sifat hara yang terlarut (Nemati et al., 2003), iklim (Gentry et
al., 2000) dalam hal ini sifat-sifat hujan (Edwards dan Daniel, 1993; Sharpley, 1997),
waktu dan metode pemberian (Gentry et al., 2000), serta tanaman yang tumbuh di
atasnya (Timlin, Heathman, dan Ahuja, 1992). Kemampuan adsorpsi tanah juga
3
dipengaruhi oleh distribusi agregat tanah
Hara yang berasal dari pupuk, dapat
diadsorpsi lebih kuat apabila berada dalam agregat tanah yang berukuran kecil (Linguist
et al., 1997). Namun belum ada penelitian tentang bagaimana adsorbsi hara pada
berbagai ukuran pori, sehingga berpengaruh terhadap kadar hara dalam tanah.
Keterkaitan antara distribusi ukuran pori yang lebih berperan dalam kelarutan hara di
dalam tanah juga belum diketahui.
Begitu juga penelitian tentang hubungan curah hujan dengan pergerakan air dan
hara dalam tanah dan pengaruh karakteristik pori terhadap pergerakan air yang
berpengaruh terhadap kadar hara dalam tanah selama ini masih banyak dilakukan pada
skala laboratorium (Shipitalo et al., 1990; Edwards et al., 1992; Granovsky et al., 1993;
dan
Sugita et al., 2004). Namun penelitian tentang hubungan curah hujan dengan
pergerakan air dan dinamika kadar air, selanjutnya pengaruh pergerakan dan dinamika
kadar air terhadap kadar hara pada berbagai karakteristik pori tanah selama masa
pertumbuhan tanaman di lahan kering pada skala lapangan belum pernah dilakukan.
Selain itu, Bejat et al. (2000) menyatakan bahwa penelitian tentang hubungan empiris
antara distribusi ukuran pori dengan dispersivitas solute relatif sedikit. Bagaimana
pengaruh karakteristik pori terhadap dispersivitas solute, yang selanjutnya berpengaruh
terhadap distribusi hara dalam tanah belum banyak diketahui. Adapun Aydin, Yano,
dan Kilic (2004) menyatakan bahwa hubungan secara kuantitatif antara stabilitas pori
tanah terhadap konduktivitas hidrolik, selanjutnya terhadap pergerakan air yang dapat
membawa hara dalam tanah belum cukup diketahui. Dalam penelitian ini ingin dikaji
tentang karakteristik pori yang paling berpengaruh terhadap pergerakan air maupun
kadar hara sehingga mempengaruhi distribusi air dan hara pada tiap kedalaman tanah.
Karena sumber air utama di lahan kering hanya berasal dari hujan dan adanya
perubahan iklim yang telah mempengaruhi curah hujan (Climate Ark, 2008), serta
karakter pori tanah di lapangan sangat bervariasi, maka penelitian tentang pergerakan
dan dinamika kadar air di lahan kering dalam hubungannya dengan karakteristik pori
maupun curah hujan perlu dilakukan. Selanjutnya pergerakan dan dinamika kadar air
dapat mempengaruhi distribusi hara di zona perakaran. Dengan dilakukannya penelitian
tersebut, hasilnya diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam
4
pengelolaan lahan kering guna mencapai ketersediaan air dan hara yang optimum bagi
tanaman, maupun untuk konservasi air, tanah, dan hara.
1.2. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dari penelitian ini ditampilkan pada Gambar 1. Karakteristik
pori tanah berperan sangat penting dalam proses pergerakan air dalam tanah baik jenuh
maupun tak jenuh (Hillel, 1980 dan Kay, 1990). Makin baik kontinuitas dan stabilitas
pori, dan makin banyak pori dengan ukuran besar menyebabkan pergerakan air secara
jenuh makin cepat (Bodhinayake et al., 2004). Pergerakan air yang makin cepat dapat
membawa hara terlarut maupun yang belum terlarut makin cepat dan kesempatan hara
teradsorpsi tanah makin rendah (Bejat et al., 2000). Menurut Perfect et al. (2002),
retensi maupun pergerakan air dan hara dalam tanah, serta dispersivitas hara juga
ditentukan oleh geometri pori.
Pergerakan air, terutama di lahan kering, secara jenuh maupun tak jenuh selalu
terjadi secara simultan dalam tanah untuk mencapai keseimbangan (Jury, Gardner, dan
Gardner, 1991). Apabila terjadi hujan dengan intensitas tinggi yang menciptakan tanah
jenuh, maka terjadi aliran air jenuh dalam tanah. Air ini (mobile water)1 bergerak
dalam
tanah
melalui pori-pori makro maupun proses preferential flow (aliran
preferensial, aliran kontinu melalui pori-pori makro yang saling bersambungan), dengan
membawa pupuk maupun hara terlarut. Begitu hujan berhenti, terjadi aliran tak jenuh
sampai kondisi di mana aliran air (immobile water1, berada dalam pori mikro) yang
membawa hara terjadi melalui proses difusi.
Pergantian kondisi tanah dari jenuh menjadi tidak jenuh pada saat hujan dan tidak
hujan sangat mempengaruhi distribusi air dan hara dalam tanah, walaupun distribusi
hara tersebut juga tergantung pada sifat pupuk (tingkat kelarutan dan mobilitas) yang
diberikan, sifat-sifat tanah (tingkat adsorpsi), maupun jenis tanaman yang ada. Oleh
karena itu dalam penelitian ini dirancang suatu penelitian tentang hubungan antara
karakteristik pori tanah terhadap pergerakan air; selanjutnya pergerakan air berpengaruh
1
Mobil water adalah air yang terikat pada potensial matrik > - 0,2 MPa dan imobil water adalah air yang
terikat pada potensial matrik < - 0,2 MPa (Addiscott dan Whitmore, 1991).
5
Karakteristik
(jumlah,
distribusi, dan
stabilitas) pori
Model
Pergerakan Air
Curah Hujan
Pergerakan Air
Siklus
hidrologi
Perubahan
iklim
Analisis
Deterministik
Ketersediaan
air di lahan
kering
Pupuk
Tanaman
Tanah
Kadar Air
Kadar Hara
Produksi
Tanaman
Gambar 1. Kerangka pemikiran peranan karakteristik pori tanah terhadap
model pergerakan air dan kadar hara dalam tanah
5
6
terhadap distribusi air dan hara dalam tanah. Pergerakan air yang dapat
mempengaruhi distribusi air dan selanjutnya pada kadar hara tanah dengan
berbagai karakteristik pori dapat dimodelkan dengan analisis korelasi dan regresi.
Analisis korelasi dan regresi baik tunggal maupun berganda dilakukan terhadap
karakteristik pori tanah yang mempengaruhi pergerakan air dan kadar hara
sehingga dapat diketahui karakteristik pori
tanah
yang
paling berpengaruh
terhadap pergerakan air dan kadar hara tanah.
Karena pergerakan air dan kadar hara tanaman di lahan kering juga sangat
tergantung pada curah hujan yang ada, maka hubungan keterkaitan antara curah
hujan dengan pergerakan air juga perlu dimodelkan. Pemodelan hubungan antara
curah hujan terhadap pergerakan air dapat dilakukan dengan analisis
deterministik. Selanjutnya dapat dikaji pengaruh pergerakan air terhadap kadar
air dan hara dalam tanah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan masukan dalam pengelolaan lahan kering guna mencapai ketersediaan air
dan hara yang optimum bagi tanaman, maupun untuk konservasi air, tanah dan
hara.
1.3. Tujuan
1. Menentukan keterkaitan antara pergerakan air (fluks aliran air dan pergerakan
air transient) dengan karakteristik pori dalam tanah
2. Menentukan model keterkaitan antara curah hujan dengan pergerakan air
(fluks aliran air dan pergerakan air transient) dalam tanah
3. Mengkaji pengaruh pergerakan air terhadap distribusi air dan hara dalam tanah
4. Menentukan karakteristik pori yang lebih berpengaruh terhadap kadar hara
dalam tanah.
1.4. Hipotesis
1.
Fluks aliran air maupun pergerakan air transient dipengaruhi oleh
karakteristik pori yang lebih menentukan konduktivitas hidrolik jenuh, tak
jenuh, dan kapasitas retensi air maksimum tanah
7
2.
Fluks aliran air maupun pergerakan air transient dalam tanah dipengaruhi
oleh curah hujan sampai nilai curah hujan tertentu.
3.
Semakin besar fluks aliran air dan pergerakan air transient mempercepat
distribusi air dan hara dalam tanah
4.
Karakteristik pori yang berpengaruh terhadap kadar hara dalam tanah adalah
ruang pori tanah yang paling mudah mendesorpsi hara.
1.5. Manfaat Penelitian
1.
Model keterkaitan antara pergerakan air dan laju perubahan kadar air dengan
curah hujan pada berbagai karakteristik pori tanah dapat memberikan
informasi untuk pengelolaan air di lahan kering, terutama untuk prediksi
ketersediaan air bagi tanaman maupun konservasi air.
2.
Hubungan keterkaitan antara pergerakan air dengan karakteristik pori dan
keterkaitan antara karakteristik pori dengan kadar hara dalam tanah dapat
digunakan sebagai bahan masukan dalam pengelolaan air dan hara tanaman
di lahan kering.
1.6. Kebaruan Penelitian
1.
Model keterkaitan antara pergerakan air dan laju perubahan kadar air dengan
curah hujan pada berbagai karakteristik pori tanah dapat memberikan
informasi untuk pengelolaan air di lahan kering, terutama untuk prediksi
ketersediaan air bagi tanaman maupun konservasi air.
2.
Model keterkaitan antara ruang pori air mobil dan ruang pori air imobil
dengan kadar hara larutan tanah yang dapat digunakan sebagai masukan
dalam pengelolaan hara tanah
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Pori Tanah
Porositas tanah merupakan ruang fungsional yang menjadi penghubung
antara tubuh tanah dengan lingkungannya (atmosfer) maupun tempat aktivitas
biologi dalam tanah yang mendukung kehidupan dan proses-proses biokimia dan
fisik yang menentukan kualitas lingkungan (Lal dan Shukla, 2004). Banyaknya
ruang pori dibandingkan dengan ruang padatan dalam tanah, yang biasa
diistilahkan rasio ruang pori (void ratio atau pore space ratio),
sangat
menentukan dinamika air, udara, suhu, hara, dan ketersediaan ruang untuk
pertumbuhan akar, serta memudahkan di dalam pengolahan tanah (Roy et al.,
2006). Banyak istilah digunakan untuk mengekspresikan pori dalam tanah.
Porositas tekstural dan struktural digunakan untuk membedakan antara pori yang
tercipta oleh agregasi partikel primer (pori tekstural) dengan pori yang tercipta di
antara agregat tanah (pori struktural) (Lal dan Shukla, 2004).
Menurut Kay (1990), jumlah, ukuran, distribusi, kontinuitas, dan stabilitas
pori disebut sebagai karakteristik pori tanah. Karakteristik pori tersebut sangat
penting dalam proses pergerakan air dalam tanah seperti infiltrasi dan drainase
(Kay, 1990). Di dalam sistem tanah, masing-masing karakter pori tanah tersebut
tidak bekerja sendiri-sendiri dalam mempengaruhi pergerakan air, karena
terjadinya perubahan dalam karakter yang satu akan berpengaruh terhadap
karakter yang lain. Misalnya, pori yang jumlahnya banyak biasanya terdapat pada
pori yang berukuran kecil, sebaliknya pori yang berukuran besar jumlahnya
sedikit. Begitu juga pori yang kontinu dan stabil; stabilitas pori di dalam agregat
tanah yang tinggi akan mempertahankan kekontinuitasan pori.
Gangguan
terhadap pori dapat mengurangi jumlah, ukuran, dan kontinuitas pori.
Karakterisasi porositas tanah yang paling mudah dan sering dilakukan
adalah distribusi ukuran pori, di mana dapat ditentukan dari kurva karakteristik
air/kelembaban tanah. Durner (1994) menggunakan kurva karakteristik air tanah
untuk menginterpretasikan kurva distribusi ukuran pori dalam menduga
heterogenitas ukuran pori tanah. Telah banyak ahli mengklasifikasikan pori tanah
9
berdasarkan distribusi ukuran maupun fungsinya secara berbeda-beda. Semuanya
sangat beralasan karena setiap tanah memiliki karakteristik pori yang berbedabeda dalam kaitannya dengan air tanah. Oleh karena itu, setiap tanah memiliki
kurva karakteristik air tanah yang berbeda-beda.
Distribusi ukuran pori
berdasarkan fungsinya menurut Hamblin (1985), Oades (1986), Addiscott dan
Whitmore (1991), dan Pearson, Norman, dan Dixon (1995) dapat dibedakan
seperti pada Tabel 1.
Perbedaan di dalam jumlah, ukuran, kontinuitas, dan stabilitas pori sangat
menentukan terhadap pergerakan air (Beven dan German, 1982; Durner, 1994;
Bouma, Brown, Rao, 2004; dan William et al., 2003), dan selanjutnya terhadap
pergerakan dan distribusi solute dalam tanah (Cresswell et al., 1992; Cote et al.,
1999; Edwards et al., 1992; Linguist et al., 1997; Sugita et al., 2004; dan
Vanderborght et al., 2000).
Karena pori di dalam tanah sangat berkaitan dengan agregasi tanah, maka
setiap tindakan yang dapat mempengaruhi agregat/struktur tanah akan
mempengaruhi karakteristik pori tanah. Oleh karena itu, karakteristik pori dalam
tanah sangat dipengaruhi oleh pengolahan tanah, pemupukan, sistem penanaman,
pengapuran , dan penambahan bahan organik.
Dengan pengolahan tanah yang lebih intensif, penghancuran agregat tanah
berlangsung lebih cepat akibat penghancuran secara mekanik, perubahan iklim
mikro tanah (suhu, kelembaban, dan aerasi), dan percepatan proses dekomposisi
bahan organik yang merupakan pengikat agregat (Balesdent, Chenu, and
Balabane, 2000); maupun pengurangan bagian agregat stabil yang > 0,25 mm
(Six, Elliott, dan Paustian, 1999). Pemberian sisa tanaman secara terus menerus
pada lahan yang terus ditanami dapat meningkatkan stabilitas agregat yang lebih
besar dibanding lahan yang dirotasikan dengan sistem bera (Unger et al., 1998).
Namun kemampuan sisa tanaman dalam memperbaiki agregat bervariasi
tergantung jenis tanamannya. Lahan di bawah jagung menunjukkan diameter
massa rataan (DMR) yang lebih tinggi dibanding lahan yang ditanami kedelai
(Martens, 2000). Pemupukan pada tanah dapat memperbaiki struktur tanah
melalui dua cara.
Pertama, pupuk dapat meningkatkan produksi tanaman
10
Tabel 1. Berbagai klasifikasi pori berdasar ukuran, fungsi, dan kesetaraan
potensial
No
Ukuran pori
(mm)
0,1-0,3
Sarang dan lubang semut,
mempermudah air terdrainase
dan udara masuk
Lubang cacing, mempermudah
air terdrainase dan udara masuk
Mempermudah penetrasi akar
> 0,05
0,0002-0,05
2 - 50
0,5 – 3,5
1. 1*)
<0,0002
> 0,1
2. *2)
3. *3)
4.
Setara Potensial Air
Fungsi
(kPa)
bar
0,006– 0,15
(0.6-15)x10
-4
0,0086-0,06
(0.86-6)x10
-4
1-3
0.01-0.03
Aerasi, pergerakan air cepat
<6
< 0,06
Air tersedia bagi tanaman
Air sisa, tidak tersedia bagi
tanaman
Drainase sangat cepat, aerasi
6 -1500
0,06-15
>1500
>15
<1
< 0.01
1- 10
0.01–0.1
10 - 33
0.1-0.33
10 - 1500
0.1 – 15
Drainase cepat, aerasi
Drainase lambat, tersedia bagi
0,025 – 0,1
tanaman
0,0002 – 0,025 Air tersedia bagi tanaman
< 0,0002
Air sisa, teradsorbsi
> 1500
> 15
> 0,0015
Pori air mobil
< 200
<2
< 0,0015
Pori air imobil
> 200
>2
Aerasi
< 0.6
< 0.006
Infiltrasi dan permeabilitas
0,6 – 6,0
0,006– 0,6
Air tersedia
Air sisa, tidak tersedia bagi
tanaman
6,0 - 600
0,6 – 6
> 600
>6
*4)
> 0,5
0,5 – 0,05
-4
0,05 – 5x10
< 5x10-4
Keterangan: 1*) Hamblin, 1985;
al., 1995
2*)
Oades, 1986;
3*)
Addiscott dan Whitmore, 1991;
*4)
Pearson et
sehingga menambahkan sisa tanaman yang lebih banyak dan meningkatkan
agregasi yang lebih baik daripada tanpa pemupukan (Campbell et al., 2001).
Kedua, tanah-tanah yang diberi pupuk organik berupa pupuk hijau ataupun pupuk
kandang cenderung memiliki agregat stabil yang lebih banyak (Whalen, Hu, dan
Liu, 2003).
Tisdall dan Oades (1982) menyimpulkan bahwa mikroagregat
11
(< 250 μm) lebih kuat daripada makroagregat (> 250 μm) karena terbentuknya
distabilisasi oleh bahan humik aromatik persisten yang berasosiasi dengan bahan
Al dan Fe amorf, sedangkan makroagregat distabilisasi oleh transient atau
temporary binding agent seperti akar tanaman, hifa, dan polisakarida.
Distribusi ukuran agregat dalam tanah menentukan bobot isi tanah, volume,
dan bentuk pori yang mempengaruhi konduktivitas hidrolik tanah. Lado et al.
(2004) menemukan bahwa tanah berukuran agregat < 2 mm dan antara 2-4 mm
dengan kadar bahan organik tinggi (3,5 %), memiliki konduktivitas hidrolik lebih
tinggi daripada tanah dengan bahan organik rendah (2,3 %).
Pengurangan
konduktivitas hidrolik pada tanah dengan kadar bahan organik rendah terjadi pada
agregat < 2 mm dan 2-4 mm, sedangkan pada tanah dengan kadar bahan organik
tinggi hanya terjadi pada agregat < 2 mm. Pengurangan konduktivitas hidrolik
yang disebabkan dispersi liat pada tanah dengan bahan organik rendah lebih tinggi
daripada tanah dengan bahan organik tinggi.
Metode yang digunakan untuk menentukan distribusi dan stabilitas agregat
tanah adalah pengayakan basah dan kering (De Boodt, De Leenheer, dan Kirkham
1961; Kemper dan Rosenau, 1986). Kuantifikasi struktur tanah dapat dilakukan
melalui pengukuran stabilitas agregat (biasanya pada lapisan tanah permukaan).
Stabilitas agregat tanah sangat menentukan stabilitas saluran pori-pori tanah,
sehingga setiap tindakan yang mempengaruhi struktur tanah (misalnya
pengolahan tanah) dapat mempengaruhi proses-proses pergerakan air dan solute
dalam tanah.
2.2. Konduktivitas Hidrolik Tanah
Konduktivitas hidrolik tanah merupakan kemampuan tanah dalam
menghantarkan air, dinyatakan dalam satuan jarak per satuan waktu, misalnya
cm/jam atau cm/menit.
Konduktivitas hidrolik tanah sangat menentukan
pergerakan air dalam tanah. Pada saat jenuh, pergerakan air sangat ditentukan
oleh konduktivitas hidrolik jenuh, dan pada saat kondisi tak jenuh sangat
ditentukan oleh konduktivitas hidrolik tak jenuh yang besarnya tergantung pada
kadar air tanah. Pada sistem lahan kering, kondisi jenuh dan tak jenuh dalam
12
tanah terus menerus terjadi secara simultan untuk mencapai keseimbangan (Jury
et al., 1991).
Kondisi jenuh di lahan kering dapat terjadi pada saat hujan yang sampai
menjenuhi tanah. Pada keadaan demikian, seluruh pori dalam tanah berperan
dalam proses pergerakan air, dan konduktivitas hidrolik jenuh nilainya konstan
apabila struktur tanah stabil (Marshall dan Holmes, 1988). Apabila pori-pori
dalam tanah didominasi oleh pori makro, maka konduktivitas hidrolik jenuh
makin besar.
Dengan makin berkurangnya proporsi pori makro dan makin
bertambahnya proporsi pori mikro, maka konduktivitas hidrolik jenuh makin
kecil. Adapun menurut Korevaar, Menelik, dan Dirksen (1983). konduktivitas
hidrolik tanah merupakan fungsi dari banyaknya pori-pori yang terisi oleh air
seperti persamaan berikut:
K=
1
∑ (Δθ )
8ητ
r
ii i
2
.......................................(1)
di mana: K = konduktivitas hidrolik (cm/jam); η = viskositas; τ = tegangan
permukaan; θ = kadar air (% vol); dan r = jari-jari pori (cm)
Berdasarkan persamaan tersebut, konduktivitas hidrolik tanah terutama ditentukan
oleh jumlah dan ukuran pori terbesar yang terisi oleh air.
Setelah hujan berhenti, terjadi pengurangan kadar air/pengosongan pori
yang dimulai dari pori-pori yang berukuran besar, dan digantikan oleh udara.
Seluruh air sisa yang mengisi pori-pori tanah bergerak mengikuti pola pergerakan
air tak jenuh dengan kecepatan dikendalikan oleh konduktivitas hidrolik tak
jenuh. Nilai konduktivitas hidrolik tak jenuh semakin menurun dengan makin
berkurangnya kadar air dalam tanah dan pori-pori yang berperan adalah pori-pori
terbesar yang masih terisi oleh air (Koorevaar et al., 1983). Pada saat kadar air
tanah masih berada di atas kapasitas lapang, konduktivitas hidrolik tak jenuh
ditentukan oleh kadar air pada ruang pori drainase dan pergerakan air
dikendalikan oleh potensial gravitasi. Pada kadar air di bawah kapasitas lapang,
pergerakan air mulai dikendalikan oleh potensial matrik tanah
13
Karakateristik pori yang sangat menentukan konduktivitas hidrolik baik
jenuh maupun tak jenuh adalah jumlah maupun ukuran pori yang dapat
mengkonduksikan air. Sebagai contoh, dalam pergerakan air jenuh tanah-tanah
berpasir yang didominasi pori-pori berukuran besar dapat memiliki konduktivitas
hidrolik yang lebih tinggi dibanding tanah-tanah liat dengan pori-pori sempit,
walaupun total pori pada tanah liat lebih tinggi. Perekahan, lubang bekas cacing
dan bekas akar merupakan saluran yang sangat baik untuk pergerakan air dalam
tanah. Pada aliran jenuh, struktur tanah yang stabil dengan pori yang kaku seperti
batu pasir memiliki konduktivitas hidrolik jenuh (Ks) relatif konstan, dan
besarnya kira-kira 10-2 – 10-3 cm/detik pada pasir, dan 10-4 – 10-7 cm/detik pada
tanah liat (Hillel, 1980).
Perubahan di dalam ukuran, jumlah, dan kontinuitas pori dapat berpengaruh
terhadap konduktivitas hidrolik dalam tanah (Aydin et al., 2004; Bodhinayake et
al., 2004; Dunn dan Philips, 1992).
Perubahan dalam jumlah, ukuran, dan
kontinuitas pori dapat disebabkan oleh berbagai proses fisik, kimia, dan biologi
yang ada dalam tanah. Konsentrasi dan kandungan ion pada air irigasi yang
masuk pada tanah dapat merubah ukuran, jumlah dan kontinuitas pori sehingga
berpengaruh terhadap konduktivitas hidrolik tanah. Konduktivitas hidrolik tanah
dapat menurun apabila konsentrasi solute berkurang, misalnya setelah irigasi atau
terjadi hujan, akibat terjadinya swelling (pembengkakan) dan dispersi.
Swelling dan dispersi liat dalam matrik tanah merupakan fenomena yang
saling berhubungan. Terjadinya swelling dan dispersi ini juga dipengaruhi oleh
jenis kation yang ada dalam larutan tanah. Hancuran dan migrasi partikel liat
selama terjadi aliran menyebabkan penyumbatan pori, sehingga mengurangi
ukuran dan jumlah pori tanah (Aydin et al., 2004), selanjutnya mengurangi
konduktivitas hidrolik tanah (Lado et al., 2004).
Disintegrasi agregat yang disebabkan oleh proses slaking (perpecahan)
selama pembasahan dapat terjadi jika agregat tidak cukup kuat/stabil bertahan
terhadap tekanan-tekanan yang dihasilkan oleh swelling, udara terjerap, pelepasan
panas secara cepat selama pembasahan, dan tindakan mekanik pergerakan air
(Lado et al., 2004). Swelling dan dispersi liat merupakan dua mekanisme utama
14
penyebab pengurangan konduktivitas hidrolik apabila tanah-tanah tercuci dan
terdeionisasi, melalui penutupan pori oleh partikel-partikel liat yang terdispersi.
Kebalikannya pada konsentrasi elektrolit di atas 10 mmol/liter pembengkakan liat
merupakan proses utama yang menyebabkan penurunan konduktivitas hidrolik di
mana pada konsentrasi larutan di bawah nilai flokulasi, dispersi dan migrasi
partikel-partikel liat yang terdispersi ke dalam pori-pori konduktif merupakan
proses-proses dominan (Lado et al., 2004).
Konduktivitas hidrolik (permeabilitas) tanah dapat bersifat sama atau
bervariasi dari titik ke titik dalam tanah. Apabila permeabilitas tanah sangat
heterogen, dikatakan memiliki permeabilitas yang inhomogenous. Inhomogenous
bisa disebabkan oleh layering pada lapisan tanah. Tanah–tanah yang berlapis
umumnya memilki konduktivitas hidrolik yang tidak homogen, disebabkan oleh
perbedaan sifat-sifat fisik tanah.
Iwata et al. (1995) membuat persamaan untuk
menentukan konduktivitas hidrolik tanah-tanah yang berlapisan.
K rataan
=
Σ Li Ki
Σ (Li)
....................... (2)
Di mana Li adalah ketebalan tiap lapisan (cm) dan Ki (cm/jam) adalah
konduktivitas tiap lapisan tanah. Apabila tanah memiliki permeabilitas yang sama
pada setiap arah, dikatakan tanah yang isotropic. Tanah yang memiliki hantaran
berbeda pada tiap arah, dikatakan anisotropic, misalnya konduktivitas pada arah
vertikal lebih tinggi atau lebih rendah dari pada arah horisontal. Anisotropic
umumnya disebabkan oleh bentuk struktur tanah, yang bisa laminar, lempeng,
kolumnar, atau bentuk yang lain. Sedangkan perbedaan nilai K yang tergantung
pada arah aliran sepanjang garis aliran disebut dengan asymetris.
Perubahan karakteristik pori tanah yang diakibatkan oleh pengelolaan tanah
dapat mempengaruhi konduktivitas hidrolik tanah, sehingga berpengaruh pada
pergerakan air dalam tanah. Pengelolaan tanah yang dapat memperbaiki pori
dapat meningkatkan konduktivitas hidrolik tanah, sebaliknya pengelolaan tanah
yang merusak pori tanah dapat menurunkan nilai konduktivitas hidrolik tanah.
15
Perbedaan konduktivitas hidrolik tanah baik jenuh maupun tak jenuh tiap
lapisan kedalaman tanah dapat sebagai petunjuk cepat atau lambatnya aliran air
pada tiap kedalaman, sehingga berpengaruh pada distribusi air tiap lapisan
kedalaman tanah. Distribusi air tiap kedalaman tanah berpeluang pada kelarutan
hara. Selain itu, pergerakan air yang cepat berpotensi membawa hara baik yang
masih berupa pupuk, terlarut, maupun yang terikat oleh koloid tanah; sehingga
menentukan kadar hara pada setiap lapisan profil tanah.
2.3. Pergerakan Air dalam Tanah
Air dalam tanah berfungsi sebagai hara esensial bagi kehidupan tanaman dan
organisme tanah, sebagai pelarut dan transport hara, dan sebagai pengatur suhu
dalam tanah (Roy et al., 2006). Baik dalam keadaan jenuh maupun tidak jenuh air
dalam tanah selalu bergerak untuk mencapai keseimbangan, karena keseimbangan
tidak pernah tercapai akibat air di suatu tempat selalu digunakan dan kadangkadang mendapat tambahan dari tempat lain. Air dalam tanah, baik jenuh maupun
tak jenuh selalu bergerak dari potensial tinggi ke potensial rendah (Hillel, 1980;
Jury et al., 1991).
Pergerakan air dalam tanah baik jenuh maupun tak jenuh selalu berperan
dalam tanah. Dalam keadaan jenuh, terutama pada lahan kering, air harus segera
dihilangkan/didrainase dari profil tanah agar segera tersedia aerasi yang baik.
Segera setelah air drainase hilang oleh gaya gravitasi, tanah berada dalam keadaan
tidak jenuh dan air bergerak ke segala arah mengikuti perbedaan potensial air
tanah.
Arah dan kecepatan aliran air tergantung pada perbedaan potensial hidrolik
antara dua titik yang berbeda, dan jarak dua titik yang diperhitungkan. Agar
terjadi aliran dalam tanah harus ada perbedaan tekanan/potensial hidrolik (ΔH)
dan antara 2 (dua) titik tersebut harus cukup permeabel untuk menghantarkan air.
Kemampuan tanah untuk dapat melalukan air disebut konduktivitas hidrolik (K).
Makin besar nilai K tanah, berarti tanah tersebut makin mudah dilewati air.
Arah pergerakan air dalam tanah (ke atas, ke bawah, atau ke samping) tergantung
pada arah dan besarnya gradient potensial hidrolik dan derajat penjenuhan tanah.
16
Tanah yang memiliki nilai K besar akan lambat pergerakan airnya apabila
gradient hidroliknya kecil, begitu juga sebaliknya walaupun gradient potensial
hidroliknya besar tidak menyebabkan pergerakan air apabila nilai K sangat rendah
akibat adanya lapisan impermeabel.
Pergerakan air dalam solum tanah secara umum dinyatakan sebagai
perubahan flux (fluks) air dalam arah satu dimensi vertikal seperti telah
dikemukakan oleh Henry Darcy pada tahun 1856, yang selanjutnya dikenal
sebagai hukum Darcy sebagai berikut:
ΔH ⎤
⎡
q = ⎢ K (θ )
Δz ⎥⎦
⎣
................................................(3)
di mana q adalah fluks aliran air, yaitu banyaknya air yang melalui suatu luasan
penampang tertentu dalam tanah per satuan waktu, yang dinyatakan dalam
volume per waktu (liter per detik, liter per jam) atau satuan panjang per waktu
(cm/jam atau cm/detik). K(θ) adalah konduktivitas hidrolik yang tergantung pada
nilai kadar air (cm/jam atau cm/menit), dan ∆H/∆z adalah gradient hidrolik,
perubahan potensial hidrolik per satuan jarak.
Berdasarkan pada nilai fluks (q), konduktivitas hidrolik (K), dan kadar air
(θ), maka aliran air dalam tanah dapat dibedakan dalam aliran dalam keadaan
steady dan transient (Korevaar et al., 1983). Aliran air jenuh dalam keadaan
steady apabila fluks, konduktivitas hidrolik, dan kadar air pada setiap titik
sepanjang aliran dan setiap waktu besarnya konstan. Dalam keadaan transient
terjadi apabila kadar air konstan, tetapi fluks aliran air bervariasi setiap saat
sepanjang aliran air. Pada aliran air tak jenuh keadaan steady terjadi apabila fluks
aliran air konstan setiap waktu dan setiap titik sepanjang aliran tetapi
konduktivitas hidrolik dan kadar air konstan hanya setiap waktu.
Keadaan
transient pada aliran tak jenuh terjadi apabila fluks, konduktivitas hidrolik, dan
kadar air pada setiap titik sepanjang aliran dan setiap waktu besarnya bervariasi.
Menurut Hanks dan Ashcroft (1986), perubahan fluks sepanjang aliran air
merupakan perubahan storage pada jangka waktu tertentu, sehingga persamaan
(2) di atas dapat dituliskan sebagai berikut:
17
∂θ
∂ ⎡
∂H ⎤
................................................... (4)
= ⎢ K (θ )
∂t ∂z ⎣
∂z ⎥⎦
di mana θ adalah kadar air volumetrik (L3L-3, cm/cm). K(θ) menunjukkan
konduktivitas hidrolik yang tergantung pada nilai kadar air (cm/jam atau
cm/menit), dan t adalah waktu (jam atau menit). Perubahan kadar air dalam suatu
solum tanah (Δθ) dapat ditentukan dari:
Δθ = ∑ (θ j )Δz − ∑ (θ j +1 )Δz .............................................(5)
L
L
z =0
z =0
di mana 0 < z < L ( z = kedalaman tanah, cm) dan (θj) dan (θj+1) adalah rata-rata
kadar air pada interval kedalaman Δz (0< Δz < L) (% volume atau cm/cm) pada
waktu j dan j+1 (manit atau jam). Apabila terdapat perakaran dalam suatu profil
tanah, maka perubahan kadar air setiap saat dapat dituliskan sbb:
∂θ
= −∇(θv ) − S w
∂t
= −∇qw − Sw ...................................................(6)
di mana θ = kadar air volumetrik (% volume), t = waktu (jam), ∇ = operator
divergence, v = kecepatan air (cm/jam), q = θv (cm3/jam), merupakan kerapatan
flux air volumetrik, dan Sw merupakan sink/source volumetrik (cm/jam, cm/hari),
misalnya serapan akar.
2.3.1. Pergerakan Air dalam Tanah Jenuh
Pergerakan air jenuh pada lahan kering dapat terjadi apabila terjadi hujan
dengan intensitas tinggi sehingga dapat menjenuhi lapisan perakaran tanah. Air
jenuh ini harus segera hilang dari zone perakaran melalui pergerakan gravitasi,
agar segera tersedia udara untuk aerasi tanah. Pergerakan jenuh dapat juga terjadi
pada waktu hujan dengan intensitas sedang sehingga dapat menjenuhi tempattempat tertentu pada pori-pori makro atau rekahan-rekahan tanah. Keadaan ini
menyebabkan aliran preferential, walaupun tempat di dekatnya belum mencapai
18
jenuh. Pergerakan air dalam keadaan jenuh ditentukan oleh gaya penggerak
(driving force) (ΔH ), yang merupakan perbedaan potensial, dan konduktivitas
hidrolik tanah seperti pada persamaan (2) di atas. Perbedaan potensial hidrolik
(ΔH) pada pergerakan jenuh merupakan jumlah dari potensial tekanan dan
potensial gravitasi, sedangkan potensial matrik tidak bekerja. Potensial gravitasi
ditentukan oleh jarak ketinggian dari titik reference yang telah ditetapkan,
sedangkan potensial tekanan merupakan jarak dari permukaan air tanah (water
table). Makin jauh jarak dari permukaan air tanah, potensial tekanan makin
tinggi.
Nilai konduktivitas hidrolik pada keadaan jenuh besarnya konstan, dan
sangat ditentukan oleh sifat-sifat tanah, antara lain geometri ruang pori (distribusi
ukuran pori, total pori, dan luas permukaan internal), tekstur, dan struktur tanah
(Hillel, 1980).
Laju aliran ditentukan oleh lebar, kontinuitas, bentuk, dan
tortuositas (faktor kelok-kelok, merupakan ratio panjang rata-rata saluran pori
terhadap panjang tanah) aliran dari saluran, sehingga media yang tersusun dari
pori mikro dengan porositas total tinggi memiliki hantaran hidrolik yang lebih
rendah dibanding media yang memiliki porositas lebih rendah tetapi lebih besar
ukuran porinya.
Karena porositas tanah bervariasi dalam bentuk, ukuran, dan arah, maka
fluks aliran juga sangat bervariasi pada setiap titik. Fluks aliran ini berbeda
dengan aliran air dalam tanah. Aliran air dalam tanah tidak dapat menembus
penampang melintang apabila tersumbat oleh partikel. Hal ini disebabkan oleh
tortuositas tanah. Tortuositas ini merupakan parameter geometri media berpori
tanpa dimensi, sulit diukur secara tepat, dan selalu lebih besar satu atau bahkan
lebih besar 2 (Hillel, 1980).
2.3.2. Pergerakan Air dalam Tanah Tak Jenuh
Pergerakan air tak jenuh dalam tanah penting dalam pergerakan air menuju
akar tanaman, evaporasi, dan redistribusi dalam tanah. Proses-proses pergerakan
air ini umumnya sangat komplek dan sulit dijabarkan secara kuantitatif karena
kadar air dan kondisinya selalu berubah setiap saat selama aliran. Perubahan-
19
perubahan tersebut merupakan hubungan yang komplek antara variabel-variabel
tanah seperti pembasahan, hisapan, dan konduktivitas hidrolik tanah.
Pada pergerakan tidak jenuh gaya penggerak merupakan hisapan yang
sebanding dengan potensial tekanan negatif. Potensial matrik merupakan afinitas
air terhadap permukaan partikel tanah dan pori-pori kapiler. Air cenderung
bergerak dari potensial matrik rendah ke potensial matrik tinggi, yaitu dari mantel
air yang tebal ke yang tipis dan dari meniskus kapiler yang kurang melengkung ke
yang lebih melengkung. Persamaan umum yang digunakan dalam pergerakan tak
jenuh dalam tanah adalah:
q = - K(ψ) ∇H
..............................................( 7 )
yang mana q adalah fluks aliran (cm/jam), K(ψ) = Kus (cm/jam), adalah
konduktivitas hidrolik tanah tak jenuh yang merupakan fungsi dari hisapan
matriks, dan ∇H adalah gradient potensial hidrolik (cm)
yang terdiri dari
komponen hisapan dan potensial gravitasi. K(ψ) merupakan fungsi histeresis, dan
hubungan K dengan kadar air volumetrik (K(θ)) atau derajat penjenuhan K(s)
dipengaruhi oleh histeresis untuk beberapa derajat lebih rendah dari pada fungsi
K(θ), sehingga hukum Darcy untuk tanah tidak jenuh dapat ditulis sebagai
berikut:
q = - K(θ) ∇H
...................................................(8)
Perbedaan penting antara pergerakan jenuh dan tak jenuh dalam tanah
adalah konduktivitas hidrolik tanah. Pada kondisi jenuh, seluruh pori terisi oleh
air sehingga konduktivitasnya maksimal. Pada kondisi yang tidak jenuh, beberapa
pori terisi oleh udara dan luas permukaan konduktifnya berkurang. Seiring
meningkatnya hisapan, pori paling besar yang paling konduktif kosong lebih dulu;
sehingga air mengalir hanya melalui pori-pori kecil. Pori-pori yang kosong harus
sempurna sehingga dengan desaturasi, tortuositas meningkat.
Pada tanah-tanah tekstur kasar dan tanah-tanah teragregasi, tingginya ruang
antar partikel atau antar agregat menyebabkan tingginya nilai K pada saat jenuh.
20
Namun bila kosong menjadi hambatan aliran cairan dari satu agregat ke agregat
yang lain. Dengan alasan tersebut, perubahan dari jenuh menjadi tidak jenuh
umumnya menyebabkan pengurangan K secara bertahap yang mungkin berkurang
beberapa tingkat (kadang-kadang turun hingga 1/100.000 dari nilai pada saat
jenuh) seperti peningkatan hisapan dari 0 menjadi 1 bar. Pada keadaan kadar air
yang lebih rendah, hisapan makin tinggi, dan Kus sangat rendah.
Pada hisapan yang sangat tinggi, mungkin peningkatan dalam tortuositas
dan penurunan dalam jumlah dan ukuran pori yang dikonduksikan, serta
perubahan dalam viskositas air (terutama yang diadsorpsi), cenderung
menurunkan konduktivitas hidrolik tanah. Perubahan hisapan sangat bertahan,
dan memerlukan waktu yang sangat lama untuk dapat terjadi aliran.
Pada keadaan jenuh, tanah-tanah yang paling konduktif adalah yang
memiliki pori-pori besar dan kontinu, sementara yang paling kurang konduktif
adalah tanah-tanah yang didominasi pori-pori mikro. Sehingga tanah pasir jenuh
mengkonduksikan air lebih cepat dari pada tanah-tanah berliat. Namun
kebalikannya pada kondisi tidak jenuh, pada tanah-tanah yang memiliki pori-pori
besar, pori cepat kosong dan menjadi tidak konduktif seperti perubahan hisapan.
Dengan demikian secara bertahap mengurangi konduktivitas hidrolik awal yang
tinggi. Sebaliknya pada tanah-tanah dengan pori-pori kecil, banyaknya pori yang
menahan dan menghantarkan air sesuai hisapan, menyebabkan nilai Kus tidak
menurun secara bertahap dan mungkin lebih besar dari pada tanah dengan poripori besar pada nilai hisapan yang sama. Kenyataan di lapangan, pada tanah tidak
jenuh sering terjadi bahwa aliran kelihatan lebih lama pada tanah berliat daripada
tanah berpasir. Dengan alasan ini, lapisan pasir yang terdapat pada profil tanah
bertekstur halus dapat menghambat aliran tak jenuh hingga air terkumpul di atas
lapisan pasir dan hisapan menurun sampai cukup untuk menghantarkan air masuk
ke pori-pori besar pada lapisan pasir (Hillel, 1980).
2.4. Pengaruh Pergerakan Air terhadap Kadar Hara dalam Tanah
Pengaruh pergerakan air terhadap kadar hara dalam tanah berkaitan dengan
distribusi air yang dapat melarutkan hara maupun pergerakan air yang dapat
21
membawa hara. Kadar hara tanah dalam kaitannya dengan pergerakan air tersebut
sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah dalam mengadsorpsi dan mendesorpsi
hara (Nemati et al., 2003), sifat-sifat hara yang terlarut (Nemati et al., 2003),
adanya pergerakan air dalam tanah yang dapat membawa hara (Hamlen, dan
Kachanoski, 2004; Nemati et al., 2003),
iklim (Gentry et al., 2000) dalam hal
ini sifat-sifat hujan (Edwards dan Daniel, 1993), waktu dan metode pemberian
(Gentry et al., 2000) serta tanaman yang tumbuh di atasnya (Timlin et al, 1992).
2.4.1. Adsorpsi Tanah
Sifat-sifat tanah yang dapat mempengaruhi adsorpsi hara adalah jenis dan
jumlah liat. Hara yang teradsorbsi oleh partikel-partikel tanah dapat bergerak ke
lapisan tanah yang lebih dalam apabila terjadi pergerakan partikel yang berukuran
koloid. Pergerakan hara dalam tanah juga dipengaruhi oleh mobilitas hara dan
tingkat kelarutannya.
Tingkat adsorpsi tanah merupakan retardasi tanah dalam pergerakan solute
dalam tanah.
Solute yang terikat kuat sulit bergerak dalam solum tanah.
Kekuatan adsorpsi solute oleh tanah sangat tergantung pada reaksi solute dengan
komponen tanah (Ben-Hur et al., 2003). Distribusi solute dalam fase larutan dan
fase padatan dalam tanah sering ditampilkan sebagai konstanta adsorpsi (Kd),
yaitu perbandingan antara solute yang teradsorpsi tanah dengan solute yang
terlarut. Pendugaan nilai Kd dari perubahan konsentrasi solute dalam larutan
tanah setelah terjadi keseimbangan (adsorption isoterm) dengan padatan tanah,
umumnya diukur dalam batch standart (Hayes dan Mingelgrin, 1990; Coquet
2003; dan Communar, Keren, dan Li, 2004). Secara umum, solute yang memiliki
nilai Kd < 0,5 relatif mobil, dan yang memiliki nilai >5, bila kurang mobil (Hayes
dan Mingelgrin, 1990).
Sorpsi isotherm dapat terjadi pada subsoil sampai
kedalaman 3 m, tetapi jarang terjadi pada kedalaman yang lebih tinggi (Coquet,
2003). Parameter isoterm tergantung pada komposisi mineral tanah, tekstur, dan
pH tanah (Communar et al., 2004).
Adsorpsi yang terjadi dalam tanah dapat disebabkan oleh dua komponen
pengadsorbsi, yaitu bahan organik dan mineral liat (Li et al., 2003; Ben-Hur et al.,
22
2003).
Komponen-komponen organik dan mineral tersebut dapat berfungsi
sebagai pengadsorpsi apabila berada dalam ukuran koloidal, yaitu partikel atau
bahan-bahan diskontinu yang porus, dengan dimensi 1 nm sampai 1 μm (Hayes
dan Mingelgrin, 1990). Koloid organik yang berfungsi sebagai adsorbent adalah
bahan-bahan humik dan polisakarida. Keduanya memiliki gugus-gugus hidroksil
dan karboksil yang dapat terdisosiasi pada pH tinggi (Newman dan Hayes, 1990),
sehingga
merupakan
tempat-tempat
adsorpsi
kation-kation.
Selain
itu,
polisakarida juga memiliki gugus acetilamino yang merupakan sumber muatan
positif (Hayes dan Mingelgrin, 1990), sehingga dapat mengikat anion-anion.
Proses-proses adsorpsi dalam tanah sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan seperti suhu dan kelembaban tanah. Kelembaban tanah merupakan
faktor yang sangat berpengaruh terhadap sorpsi dan interaksi molekul-molekul
organik dengan permukaan-permukaan sorpsi dalam tanah. Adsorpsi komponen
organik oleh fraksi mineral dibatasi oleh kelembaban karena molekul-molekul air
masuk kepermukaan adsorptif pada permukaan mineral. Hal ini berlaku untuk
bahan organik yang mengandung gugus fungsional nonpolar, seperti hidrokarbon
aromatik, dan bahan organik yang mengandung gugus fungsional sedikit, seperti
-Cl. Namun bahan organik yang memiliki gugus fungsional tinggi dan sedang
seperti kebanyakan pestisida, memiliki beragam mekanisme serapan yang
beroperasi (Li et al ., 2003).
Selain itu, perubahan pH dan kekuatan ion juga dapat mempengaruhi
adsorpsi dalam tanah. Solute yang bersifat asam akan terdisosiasi apabila pH
meningkat dan merupakan sumber muatan negatif apabila pH melebihi pKa.
Adsorpsi bahan-bahan yang mudah terionisasi oleh hydroksida sangat dipengaruhi
oleh point of zero charge (PZC) adsorbent. (Hayes dan Mingelgrin, 1990).
Wang et al. (2001) menyatakan bahwa ukuran agregat tanah mempengaruhi
sorpsi P dan bioavailability (Linquist et al., 1997). Uptake hara dari agregat kecil
sering lebih tinggi daripada dari agregat besar, tetapi penggunaan P yang baru
diberikan dapat hanya menetrasi pada lapisan tipis sekitar agregat (Linquist et al.,
1997).
Hal ini dapat dijelaskan bahwa agregat-agregat besar dengan luas
permukaan yang relatif kecil, dibanding agregat kecil, dapat mengurangi fiksasi P
23
sehingga mengakibatkan
peningkatan ketersediaan P yang baru diberikan.
Dengan P yang terekstrak sama, desorpsi dari agregat besar dapat lebih kecil jika
P terdifusi lebih dalam ke dalam agregat.
Linquist et al. (1997), mempelajari peranan ukuran agregat pada serapan dan
pelepasan P dan menemukan bahwa serapan P meningkat dengan berkurangnya
ukuran agregat, dan P yang dilepas dari agregat berkorelasi linier dengan massa
reaktif
agregat.
Mereka
menyimpulkan
bahwa
agregasi
mempengaruhi
ketersediaan P tanaman jangka panjang dan pendek. Dengan demikian, perbedaan
sifat-sifat struktur tanah di lapangan juga mempengaruhi ketersediaan P .
Fosfor memiliki afinitas yang tinggi terhadap tanah sehingga umumnya
bergerak ke bawah secara lambat menembus matrik tanah (Sims et al., 1998), atau
secara lateral melalui interflow.
Namun P dapat bergerak melalui aliran
preferential (Simard et al., 2000) dengan sedikit adsorpsi pada matrik tanah
karena waktu yang terlalu singkat dalam melewati dinding pori (Jensen et al.,
1998).
Sebaliknya apabila larutan netral seperti KCl ditambahkan ke dalam tanah,
keseimbangan Cl- dalam larutan tanah lebih tinggi daripada konsentrasi Cl- larutan
awal. Segera setelah ditambahkan KCl, ion K+ diadsorpsi oleh muatan negatif
tanah, sebaliknya ion Cl- ditolak yang menyebabkan adsorpsi negatif (Tan, 1982).
Proses ini menyebabkan ion Cl- bergerak lebih cepat dari konsentrasi tinggi ke
konsentrasi yang lebih rendah, dan berakibat lebih cepatnya distribusi ion Cldalam profil tanah.
Menurut Ross (1989), kebanyakan muatan negatif permukaan partikel tanah
menyebabkan anion dalam larutan ditolak dan segera dikeluarkan dari volume air
di dekat permukaan partikel. Apabila konsentrasi anion pada pusat pori di mana
air bergerak paling cepat sangat tinggi, fluks anion dapat melebihi fluks air neto,
sehingga terjadi perubahan arah displacement dari kurva breakthrough.
Akibatnya nilai koefisien dispersi efektif (De) dan kecepatan air pori efektif (ev)
meningkat.
24
2.4.2. Pergerakan Air yang Membawa Hara
Seperti telah disebutkan didepan, bahwa pergerakan air yang dapat
membawa hara sangat tergantung pada konduktivitas hidrolik tanah, dan
konduktivitas hidrolik tanah sangat dipengaruhi oleh karakteristik pori tanah.
Menurut Bagarello et al. (2004), dalam tanah yang tidak terganggu, pergerakan
solute sangat bervariasi dan dapat terjadi pada laju yang lebih rendah dari
konduktivitas hidrolik jenuh. Variasi laju pergerakan solute tersebut terjadi secara
spasial dan temporal, tergantung pada tingginya variasi kecepatan maupun
konsentrasi solute (Akhtar et al., 2003 b). Menurut Jury et al. (1991), koefisien
variasi konsentrasi solute dalam tanah dapat berkisar antara 13-260%. Adapun
menurut Bagarello et al. (2004), tingginya variasi konduktivitas hidrolik secara
spasial tergantung pada karakteristik pori tanah. Perubahan laju pergerakan air
akibat perubahan porositas tanah tersebut disebabkan oleh perubahan struktur
tanah selama terjadi aliran air. Selama ini belum cukup diketahui hubungan secara
kuantitatif dari perubahan karakteristik pori tanah terhadap pergerakan solute
tanah (Aydin et al., 2004).
Sedikit informasi tentang mekanisme fisik yang
menyebabkan pengurangan konduktivitas hidrolik selama pembasahan tanah dan
pencucian (Lebron, 2002).
Bodhinayake, Cheng Si, dan Xiao (2004) menyatakan bahwa porositas tanah
yang banyak berkaitan dengan pergerakan air secara cepat, solute, dan polutan
melalui solum tanah adalah pori makro dan pori meso. Pori makro dan meso
masing-masing merupakan fraksi volume tanah yang memiliki diameter > 10-3 m
dan antara 10–3 dan 10-5 m (Luxmoore, 1981).
Pori-pori makro yang berperan
dalam pergerakan air cepat dalam tanah hanya pori-pori kontinu dan pori-pori
yang bersambungan. Ukuran diameter yang menentukan pergerakan air cepat
adalah diameter terkecil seperti leher botol yang ada sepanjang saluran kontinu,
walaupun bagian leher botol ini kecil (Dunn dan Phillips, 1992). Fungsi pori yang
menghantarkan air juga dipengaruhi oleh tortuositas pori dan kekasaran
permukaan; sehingga besarnya pori makro dan pori mikro saja tidak cukup
berdampak pada tingginya konduktivitas hidrolik dan cepatnya transport solute.
25
Pergerakan air dan solute secara cepat di dalam solum tanah oleh Steenhuis
et al. (1994) disebut sebagai preferential flow, yaitu pergerakan air dan solute
tanah secara cepat dan nonuniform menembus pori-pori makro dan saluransaluran bawah permukaan tanah. Adapun menurut Beven dan Germann (1982),
preferential flow merupakan aliran solute melalui pori-pori makro, ruangan
kontinu yang besar, dengan diameter antara 0,03-30,00 mm. Ada tiga penyebab
utama aliran preferential, yaitu: 1) Pori makro yang terbentuk dari lubang cacing,
lubang bekas akar, rekahan, dan permukaan interpedal pada struktur tanah, 2)
Batas pembasahan (wetting front) yang tidak stabil atau aliran finger, dan 3)
Lapisan tanah yang miring akibat aliran yang terkonsentrasi (Akhtar et al.,
2003a).
Selanjutnya William et al. (2000), menyebutkan bahwa saluran
preferential dapat terjadi dalam medium tak berstruktur di mana mekanismenya
menunjukkan akibat cairan yang tidak stabil.
Lebih umum, sejumlah aliran
berkembang karena struktur inherent tanah dan asosiasinya dengan pori-pori
makro yang terbentuk oleh fauna tanah, saluran-saluran akar yang terlapuk, dan
pengkerutan mineral. Sifat saluran tergantung pada medium tanah, dalam hal ini
konduktivitas hidroliknya, kontinuitas pori, dan water repellency. Ada dua tipe
preferensial flow akibat perbedaan tekstur tanah, yaitu fingering (Baker dan
Hillel, 1990) dan funnel flow (Kung, 1990 a, b)
Preferential flow
tidak melibatkan seluruh pori-pori makro, tetapi
tergantung pada sifat-sifat fisik tanah, kadar air tanah, intensitas hujan, dan laju
infiltrasi (William et al., 2003). Preferential flow menyebabkan besarnya fluks
atau kecepatan aliran yang tinggi menembus saluran yang terbatas dan membawa
konsentrasi solute relatif tinggi, sehingga untuk menilai sifat aliran dan proses
transport dalam tanah digunakan kurva breakthrough (Southwick et al., 1995 dan
William et al., 2003), yaitu kurva hubungan antara perubahan konsentrasi solute
(ordinat) terhadap waktu (absis) pada berbagai lokasi kedalaman tanah untuk
menentukan pola aliran.
Aliran preferential air dan solute dalam tanah dipengaruhi oleh struktur
tanah, di mana aliran bypass menembus pori makro dapat cepat memindahkan
solute ke lapisan yang lebih dalam (Vervoort et al., 1999). Distribusi pori yang
26
ada dalam tanah sangat berkaitan dengan ukuran agregat/struktur tanah, bukan
dengan tekstur tanah (Bagarello et al., 2004). Namun tekstur tanah menentukan
ukuran struktur/agregat tanah yang terbentuk, sehingga keduanya menentukan
keadaan pori tanah.
Variasi struktur dan heterogenitas tekstur tanah sangat mempengaruhi
pergerakan solute melalui terciptanya perbedaan kecepatan aliran air sehingga
terjadi ketidakseimbangan konsentrasi solute dalam tanah.
Kejadian ini juga
menyebabkan aliran preferential. Dalam kaitannya dengan pergerakan solute,
apabila terjadi aliran preferential, sering digunakan wilayah/zone pendekatan.
Zone pertama berhubungan dengan bagian tanah yang sangat permeabel (misalnya
jaringan pori makro pada tanah-tanah yang berstruktur) disebut sebagai saluran
aliran preferential, dan zone lain merupakan sistem pori yang kurang permeabel
dalam matrik tanah sebagai agregat-agregat (Cote et al., 1999). Pergerakan solute
dalam saluran preferential biasanya ditentukan oleh gerakan adveksi, sementara
dalam agregat-agregat adalah pertukaran secara difusi. Transfer solute antar dua
wilayah dapat ditentukan melalui dua cara: 1) menggunakan koefisien transfer
massa, berhubungan dengan kecepatan pertukaran akibat perbedaan konsentrasi
dua tempat, dan 2) menggunakan hukum Fiks kedua tentang difusi. Metode ini
membutuhkan deskripsi dari geometri agregat. Aliran preferential akan berhenti
apabila pemberian air dihentikan, selanjutnya solute diredistribusikan, hingga
perbedaan konsentrasi dalam agregat tidak ada.
Air yang berada dalam kedua zone di atas dibedakan ke dalam air mobil dan
air imobil.
Pada zona mobil terjadi proses adveksi dan dispersi, sementara
adsorbsi-desorpsi dan degradasi terjadi pada zona imobil. Antara dua zone dapat
terjadi proses difusi. Besarnya kadar air imobil bervariasi dengan fluks kadar air,
kadar air, dan ukuran agregat.
Cara untuk mengukur imobil water menurut
Clothier, Kirkham, dan McLean (1992) adalah dengan infiltrometer tekan dengan
memberikan tracer. Setelah infiltrasi mencapai konstan, tracer ditambahkan.
Setelah diperkirakan tracer sudah masuk ke dalam tanah, contoh tanah di bawah
infiltrometer diambil dan dianalisis konsentrasi tracernya. Jika seluruh air tanah
mobil, konsentrasi tracer dalam air tanah sebanding dengan konsentrasi input.
27
Namun jika beberapa air tanah imobil, konsentrasi tracer dalam tanah lebih kecil
dari konsentrasi input, sehingga
θ im = θ (1 −
c
)
c0
..........................................(9)
di mana θ = kadar air (% volume atau cm/cm), C = konsentrasi tracer yang diukur
dalam tanah (ppm), dan Co = konsentrasi input dalam infiltrometer (ppm).
Penggunaan persamaan di atas untuk menentukan bagian pori imobil. Pada kasus
tersebut, Clothier et al. (1992) mengasumsikan bahwa koefisien transfer cukup
kecil di mana waktu untuk berdifusi ke zona imobil sangat pendek sebelum tanah
diambil sampelnya. Adapun menurut Addiscott dan Whitmore (1991), air mobil
adalah air yang terikat pada potensial matrik > -0,2 MPa dan air imobil yang
terikat pada potensial matrik < -0,2 MPa.
Hasil penelitian Bejat et al. (2000) menunjukkan bahwa karakter pori tanah
berhubungan erat dengan parameter pergerakan solut.
Peningkatan indeks
distribusi ukuran pori cenderung menurunkan kecepatan air pori maupun
koefisien dispersi tanah. Penurunan kecepatan air pori dan koefisien dispersi
tanah dapat memperlambat pergerakan solute dalam tanah.
2.4.3. Curah Hujan dan Kadar Air
Pergerakan air yang dapat membawa hara dan mendistribusikan air dalam
tanah sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Curah hujan menentukan distribusi air
dalam zona perakaran, sehingga dapat melarutkan dan membawa hara. Sifat-sifat
hujan yang dapat mempengaruhi pergerakan air yang dapat membawa hara dalam
tanah adalah jumlah dan intensitas hujan. Intensitas hujan mempengaruhi waktu
breakthrough (waktu yang dibutuhkan oleh solute untuk mencapai kedalaman
tertentu dalam solum tanah), dimana pada intensitas hujan yang paling tinggi,
waktu breakthrough tercepat dan makin banyak jumlah perkolat (Granovsky et
al., 1993). Namun menurut Scott et al. (1998), dengan makin tingginya intensitas
hujan dapat mengakibatkan air melalui matrik tanah dan aliran preferential
melalui sebagian kecil tanah.
28
Intensitas hujan juga mempengaruhi pergerakan bahan kimia. Makin tinggi
intensitas hujan, makin banyak bahan kimia yang dipindahkan (Granovsky et al.,
1993, Trojan dan Linden, 1992). Namun, intensitas hujan tidak mempengaruhi
rata-rata konsentrasi solute dalam perkolat, tetapi lebih mempengaruhi jumlah
volume perkolat. Konsentrasi solute lebih dipengaruhi oleh mobilitas solute,
dimana makin tinggi mobilitas solute, makin tinggi konsentrasinya dalam
perkolat.
Kondisi kadar air awal juga mempengaruhi waktu breakthrough (Edward et
al., 1992, Granovsky et al., 1993), volume perkolat, dan laju pergerakan air
maupun solute dalam tanah (Edward et al., 1992; Granovsky et al., 1993 ). Kadar
air awal yang rendah memudahkan aliran air dan solute melalui aliran preferensial
pori makro (Granovsky et al., 1993), sehingga waktu breakthrough lebih cepat.
Nampaknya kondisi kelembaban tanah yang rendah mengurangi kontribusi matrik
tanah terhadap infiltrasi air pada tahap awal. Shipitalo et al. (1990) menyatakan
bahwa, waktu untuk perkolasi berkurang pada kadar air awal rendah, dan infiltrasi
pada permukaan tanah yang kering lebih dihambat oleh bahan organik yang
bersifat hidrofobik.
Ada pendapat lain mengatakan bahwa hujan yang melalui pori makro relatif
tidak terkontaminasi solute karena tidak efektifnya pencucian solute yang
tertinggal pada pori-pori kapiler atau karena kurangnya interaksi antara air hujan
dengan matrik tanah. Namun hujan yang membawa bahan kimia dari permukaan
tanah dapat melewati zona perakaran (Shipitalo et al , 1990).
Menurut Shipitalo et al (1990), pengaruh hujan terhadap nasib bahan kimia
yang diberikan di permukaan tanah tidak terlepas dalam hubungannya dengan
sifat spesifik tanah dan sifat bahan kimia yang diberikan. Sebagai contoh, hujan
deras yang berlangsung singkat setelah pemberian bahan kimia dapat membawa
sejumlah bahan kimia yang teradsorpsi di luar zona perakaran, sebaliknya hujan
ringan setelah pemberian bahan kimia dapat menggerakkan solute ke dalam
matrik tanah di mana mereka dapat teradsorpsi. Solute tersebut dapat dilewati
aliran air dalam pori makro pada hujan-hujan berikutnya.
29
Distribusi air dalam tanah baik secara spatial dan temporal juga
berpengaruh terhadap lingkungan reaksi biokimia dalam tanah, sehingga
berpengaruh terhadap kelarutan hara dalam tanah.
2.4.4. Tanaman
Kuantifikasi kecepatan ekstraksi air oleh akar tanaman dapat berperan
dalam informasi fluks solute dalam zone perakaran. Serapan air oleh sistem
perakaran dapat mengendalikan waktu dan
jumlah polutan kimia yang akan
masuk ke ground water, melalui eliminasi pola aliran preferential air dan bahan
kimia, atau melalui pengaturan absorbsi hara atau trace mineral (Vrugt, Hopmans,
dan Simunek, 2001). Serapan air oleh akar secara aktual tidak hanya tergantung
pada distribusi akar dan fungsinya, tetapi juga pada ketersediaan air tanah.
Serapan air berkurang (stres air) terjadi apabila ketersediaan air dalam tanah
rendah dan konsentrasi garam terlarut melebihi batas ambang kebutuhan tanaman
(Vrugt et al., 2001).
Tanaman berperan penting dalam proses evapotranspirasi. Akar tanaman
menyerap air sehingga kadar air dan hara di bawah tanaman lebih rendah
dibanding di bawah antar tanaman. Keadaan tersebut dapat mengurangi
kehilangan air dan hara ke lapisan yang lebih dalam. (Timlin et al., 1992).
Perbedaan pencucian solute di bawah kedalaman tanah 0,5 m pada barisan dan
antar barisan tanaman tergantung pada tipe tanah dan tanaman, curah hujan,
irigasi, dan evapotranspirasi. Sistem diversifikasi pertanaman dapat mengurangi
kehilangan hara dari zona perakaran dan menurunkan kadar NO3-N pada subsoil.
dibanding monocultur (Varvel dan Peterson, 1990).
Peterson and Russelle (1991) melaporkan bahwa akar alfalfa dapat
mengabsorbsi hara dan air dari kedalaman tanah 11 m, tetapi Campbell et al.
(1994) menemukan bahwa kedalaman air dan hara yang dapat diekstraksi oleh
alfalfa adalah sekitar 2,5 m.
Kemampuan akar tanaman dalam menyerap hara
sangat tergantung pada ketersediaan air dalam tanah, dan kadar hara yang cukup
dapat menghemat penggunaan air (Roy et al., 2006)
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di lapangan
di Desa Bojong, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor mulai bulan April 2005
sampai dengan April 2007. Pemilihan lokasi penelitian dan analisis data di
laboratorium berlangsung sejak April 2005 sampai dengan Februari 2006.
Percobaan lapangan dilakukan bersamaan dengan analisis laboratorium sejak
Februari 2006 sampai dengan Juli 2006. Selanjutnya diikuti analisis laboratorium
sampai dengan April 2007.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah tanah dari jenis sama yang memiliki
perbedaan dalam karakteristik pori tanah (jumlah, distribusi, dan stabilitas pori)
tanah (Lampiran 1 dan 2), tanpa adanya lapisan kedap pada solum tanah. Jumlah
dan distribusi pori tanah dinyatakan dalam jumlah (% volume) dari pori dengan
ukuran berbeda dalam hal ruang pori drainase sangat cepat, ruang pori drainase
cepat, ruang pori drainase lambat, ruang pori air tersedia, ruang pori mikro, ruang
pori air mobil, dan ruang pori air imobil. Tanah tersebut bekas digunakan untuk
pertanian tanaman pangan intensif.
Bahan yang digunakan untuk percobaan
lapang meliputi benih jagung manis, pupuk urea, SP 36, KCl, kapur pertanian, dan
pestisida.
Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis tanah di
laboratorium mengikuti metode yang ditampilkan pada Tabel 4.
Alat yang digunakan selama penelitian di lapang meliputi permeameter,
penakar hujan, soil moisture meter, dan alat-alat untuk mengambil contoh tanah.
Alat yang digunakan untuk analisis tanah di laboratorium mengikuti metode yang
ditampilkan pada Tabel 4.
31
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini dimulai dengan pemilihan lokasi lahan, pengamatan profil
pengambilan contoh dan analisis sifat-sifat tanah awal, percobaan lapangan,
analisis laboratorium, dan analisis data.
Tahapan penelitian secara lengkap
ditampilkan pada Gambar 2. Adapun hubungan antara tujuan, masukan data,
proses / analisis data dan keluaran tiap tahapan penelitian ditampilkan pada
Tabel 2.
3.3.1. Pemilihan Lokasi Penelitian
Pemilihan lokasi penelitian merupakan tahap awal sebelum pelaksanaan
percobaan di lapangan. Berdasarkan peta tanah wilayah kabupaten Bogor, dipilih
lokasi yang memiliki jenis tanah yang sama yang digunakan untuk pertanian
tanaman pangan intensif. Selanjutnya pada tanah-tanah terpilih dilakukan
deskripsi profil tanah, pengukuran konduktivitas hidrolik jenuh tanah di lapangan,
pengambilan contoh tanah untuk dianalisis karakteristik pori dan sifat kimia
tanahnya.
Berdasarkan data profil tanah, karakteristik pori, sifat kimia, dan
konduktivitas hidrolik jenuh di lapang dari beberapa lokasi, dipilih lokasi yang
memiliki sifat-sifat kimia relatif sama dan karakteristik pori beragam..
Selanjutnya pada lokasi lahan yang terpilih tersebut dilakukan pengamatan lebih
detil tentang konduktivitas hidrolik jenuh di lapangan; pengambilan contoh tanah
untuk analisis karakteristik pori, konduktivitas hidrolik tak jenuh, dan sifat-sifat
fisik tanah lainnya di laboratorium.
3.3.2. Percobaan lapangan
Percobaan lapangan dilakukan pada lokasi lahan yang telah terpilih. Pada
lahan tersebut dibuat 30 petak pertanaman sebagai ulangan, dengan ukuran tiap
petak 5m x 5m. Pada seluruh petak ditanami jagung manis dengan pemupukan
urea, SP 36, dan KCl masing-masing dengan dosis 300 kg, 200 kg, dan 150 kg
per hektar.
32
Pemilihan jenis
tanah diatas peta
Orientasi lapangan
- jenis tanah
- penggunaan tanah
Pengambilan contoh tanah
Pengamatan lapang:
- konduktivitas hidrolik
- profil tanah
- Analisis karakteristik pori
- Analisis sifat fisik dan kimia tanah
Lokasi terpilih
Pengambilan contoh tanah
Analisis Tanah:
- Karakteristik pori dan
- sifat fisik tanah lainnya
Pengukuran
konduktivitas hidrolik
jenuh dan tak jenuh
Analisis Data:
Hubungan karakteristik pori tanah
dengan parameter pergerakan air
Percobaan lapang:
- Kadar air tanah tiap hari
- Kadar hara (N, P, dan K) (tiap minggu)
- Hujan harian
- Data iklim (harian)
- Produksi tanaman
Analisis Data
1. Hubungan karakteristik pori dengan pergerakan air
2. Hubungan jumlah hujan dengan pergerakan air
3. Hubungan curah hujan, pergerakan air, kadar air, dan kadar hara tanah
4. Hubungan karakteristik pori dengan kadar hara tanah
5. Hubungan karakteristik pori, kadar air, dan kadar hara dengan produksi tanaman.
Gambar 2. Diagram alir pelaksanaan penelitian
33
Pada lahan percobaan dipasang penakar hujan, sehingga dapat terekam hujan
harian dari lokasi percobaan. Selanjutnya selama masa pertumbuhan tanaman
dilakukan pengamatan terhadap tinggi tanaman tiap minggu, kadar air tanah tiap
hari dengan menggunakan soil moisture meter tiap jarak kedalaman 10 cm dari
permukaan tanah, yaitu pada kedalaman 0-10 cm, 10-20 cm, 20-30 cm, 30-40 cm,
40-50 cm, dan 50-60 cm dari permukaan tanah. Pengamatan serapan hara oleh
tanaman dilakukan pada masa vegetatif maksimum (umur lima minggu) dengan
cara analisis kadar hara dalam daun dan batang, dan produksi tanaman pada waktu
panen.
Tinggi tanaman, yang merupakan indikator pertumbuhan tanaman,
diamati dengan mengukur panjang tanaman dari permukaan tanah sampai puncak
tajuk.
Kadar hara N, P, dan K larutan tanah tiap jarak 10 cm dari permukaan tanah
ditetapkan dengan cara pengambilan contoh tanah komposit dari sekitar tanaman
menggunakan bor berdiameter 2 cm, kemudian dianalisis hara yang larut dalam
air. Kadar nitrogen ditetapkan dalam bentuk nitrat dan amonium larut air.
Pengukuran curah hujan dilakukan dengan menggunakan penakar hujan
otomatis, sehingga dapat diperoleh data jumlah hujan harian, periodik, dan
intensitas hujan periodik. Selain itu juga dikumpulkan data iklim lokasi penelitian
dari stasiun klimatologi Pangkalan TNI-AU Atang Senjaya Bogor. Data hujan
dan iklim (suhu) selanjutnya digunakan dalam perhitungan neraca air lahan baik
bulanan, maupun mingguan.
Perhitungan bobot tanaman dan bobot tongkol pada waktu panen
berdasarkan pada jumlah populasi per hektar lahan dikalikan dengan bobot
tanaman atau bobot tongkol dari tanaman contoh.
3.3.3. Pengambilan contoh tanah
Pengambilan contoh tanah di lokasi penelitian ditujukan untuk memperoleh
data karakteristik pori tanah secara lebih detil, didahului dengan deskripsi profil
tanah, sehingga dapat diketahui secara visual keadaan morfologi dan kondisi fisik
tanah di lapang. Selanjutnya dilakukan pengukuran konduktivitas hidrolik jenuh
34
Tabel 2. Matrik antara tujuan, masukan data, proses/analisis data, dan keluaran pada setiap tahapan penelitian
No
Tujuan
1.
Menentukan keterkaitan
antara pergerakan air (fluks
aliran air dan pergerakan air
transient) dengan
karakteristik pori (jumlah,
distribusi, dan stabilitas
pori) dalam tanah
2.
Menentukan model
keterkaitan antara
pergerakan air (fluks aliran
air dan pergerakan air
transient) dalam tanah
dengan curah hujan
Masukan
Data karakteristik pori
Proses
1c. Analisis regresi dan korelasi
Data konduktivitas hidrolik
antara karakteristik pori tanah
tanah
dengan parameter pergerakan air
Data kadar air tanah
Data potensial air tanah
Data hujan dan iklim yang lain
1b. Perhitungan fluks aliran air
Ks = f (karakter pori tanah)
Kus = f (karakter pori tanah)
Fluks aliran air pada zona 50 cm
dengan pendekatan perubahan
dan tiap selang kedalaman 10 cm
kadar air di lapangan
di lokasi percobaan
1c. Perhitungan pergerakan air
transient; dθ/dt = - dfluks/dx
dθ/dt tiap selang 50 cm dan pada
1d. Analisis regresi dan korelasi
antara karakteristik pori tanah
dengan fluks aliran air dan
aliran air transient
Fluks = f (karakter pori tanah)
dθ/dt = f (karakter pori tanah)
2a. Perhitungan sifat-sifat hujan
Sifat-sifat hujan harian di lokasi
Data kadar air tanah
Data potensial air tanah
Keluaran
10 cm zona perakaran
percobaan
2b. Penyusunan model hubungan
antara jumlah hujan terhadap
fluks aliran air dan laju aliran air
Fluks = f (jumlah hujan)
dθ/dt = f (jumlah hujan)
transient
3.
Mengkaji pengaruh
pergerakan air terhadap
distribusi air dan hara dalam
tanah
Data hujan
Data kadar air tanah
Data kadar hara
Data produksi tanaman
3a. Analisis deskriptif keterkaitan
jumlah hujan, fluks, dan kadar air
Distribusi kadar air tiap minggu
3b. Analisis kebutuhan irigasi
Kebutuhan irigasi minimum lahan
35
Tabel 2. Matrik antara tujuan, masukan data, proses/analisis data, dan keluaran pada setiap tahapan penelitian (lanjutan)
No
3.
4.
Tujuan
Masukan
Mengkaji pengaruh
Data hujan
pergerakan air terhadap
distribusi air dan hara dalam
Data kadar air tanah
Data kadar hara
tanah
Data produksi tanaman
Menentukan karakteristik
pori yang berpengaruh
terhadap kadar hara dalam
tanah
Data karakteristik pori
Data kadar air tanah
Data kadar hara
Data produksi tanaman
Proses
Keluaran
3c. Uji beda nilai tengah kadar hara
larutan tanah antar kedalaman
tanah dan antar waktu
Kadar hara larutan tanah antar
kedalaman dan antar waktu
4a. Analisis regresi dan korelasi
antara karakteristik pori tanah
dengan kadar hara larutan tanah
Kadar hara = f (karakter pori tanah)
4b. Analisis regresi berganda antara
sifat-sifat fisik tanah, kadar air,
dan kadar hara terhadap
produksi tanaman
Bobot tanaman = f (sifat-sifat fisik
tanah)
Bobot tongkol = f(sifat-sifat fisik
tanah)
36
dan tak jenuh, pengambilan contoh tanah utuh, contoh tanah agregat, dan contoh
tanah terganggu dari tiap jarak kedalaman 10 cm dari permukaan tanah.
Contoh tanah utuh digunakan untuk penetapan kurva karakteristik air tanah
(yang digunakan untuk penetapan distribusi pori tanah), dan bobot isi tanah.
Contoh tanah agregat digunakan untuk penetapan distribusi ukuran agregat (Mean
Weight Diameter, MWD), geometri agregat (GMD), dan stabilitas agregat (WSA).
Contoh tanah terganggu digunakan untuk analisis tekstur, kadar hara dalam tanah,
kadar bahan organik, KTK, dan pH tanah.
Pengambilan contoh tanah selama musim tanam dilakukan di setiap petak
lahan dari tiap kedalaman 10 cm dari permukaan tanah secara komposit untuk
analisis hara N, P, dan K yang larut air, dan untuk kalibrasi kadar air tanah
3.3.4. Analisis Laboratorium
Analisis di laboratorium meliputi penetapan karakteristik pori tanah sifatsifat kimia tanah (pH, kadar hara N, P, dan K, KTK, basa- basa, kadar C-organik
tanah), tekstur tanah sebelum percobaan lapangan, dan analisis hara tanah selama
percobaan lapangan. Penetapan karakteristik pori meliputi jumlah, distribusi, dan
stabilitas pori tanah. Jumlah pori ditetapkan berdasarkan nilai bobot isi dan bobot
jenis partikel dengan menggunakan metode gravimetrik sebagai berikut:
Jumlah pori (% volume) = (1- BI/BJP) X 100 %
........................ (10)
Di mana:
BI = bobot isi tanah (gram/cm3)
BJP = bobot jenis partikel tanah (gram/cm3)
Pengukuran distribusi ukuran pori dilakukan dengan menggunakan kurva
karakteristik air tanah. (Bouma, Rao, dan Brown, 2004). Kurva karakteristik air
tanah dibuat dengan
mengambil beberapa contoh tanah agregat kemudian
dijenuhi secara kapiler sampai tanah jenuh sempurna. Masing-masing contoh
tanah dikeringkan dengan tekanan matrik berbeda, yaitu Ψm: 1, 10, 33, 100, 300,
dan 1500 kPa), kemudian dikeringovenkan dan diukur kadar airnya. Selanjutnya
37
dibuat kurva, di mana kadar air sebagai absis, dan potensial matrik sebagai
ordinat, atau sebaliknya Berdasarkan kurva tersebut, pada suatu nilai potensial
matrik tanah tertentu hanya pori-pori dengan ukuran sama dengan atau lebih kecil
dari diameter tertentu yang terisi air (Gambar 3). Sehingga dengan persamaan
Wasburn (Ingaramo, Benito, Paz-Gonzalez, dan Miranda, 2004) diameter pori
dapat ditetapkan sebagai berikut:
Ψm =
− 4γ cos α
d
( 11 )
di mana : Ψm = potensial matrik (cm), γ = tegangan permukaan cairan dyne/cm,
α = sudut kontak antara air dengan padatan tanah, dan d = diameter pori (cm).
Jika cairan yang digunakan air (dengan nilai γ = 72,7 dyne/cm, dan α = 0), maka
Ψm = - 0,28/d
d = - 0,28/ Ψm
Misalnya apabila Ψm dan d dalam satuan cm, maka pada potensial matrik 100
cm, d = -0,28/ 100 = 0.0028 cm = 28 μm.
Kurva karakteristik kelembaban tanah
(-) Potensial air (atm)
11
9
7
5
3
1
-1
20
30
40
50
Kadar air (% vol)
60
Gambar 3. Kurva karakteristik kelembaban tanah untuk
penetapan distribusi pori tanah
70
38
Penetapan volume pori-pori tanah dengan ukuran tertentu ditampilkan pada Tabel
3 sebagai berikut:
Tabel 3. Penetapan volume tiap kelas ukuran pori tanah
No
Klas Pori
Jumlah (% volume)
1.
RPDSC
Selisih antara ruang pori total dengan kadar air
pada potensial air = - 0,01 atm)
2.
RPDC
Selisih antara kadar air pada ψ = - 0,01 atm dengan
kadar air pada ψ = - 0,1 atm
3.
RPDL
Selisih antara kadar air pada ψ = - 0,1 atm dengan
kadar air pada ψ = - 0,33 atm
4.
RPD/ RP Makro
Selisih antara ruang pori total dengan kadar air
pada ψ = - 0,33 atm
5.
RPAT/RP Meso
Selisih antara kadar air pada ψ = - 0,33 atm dengan
kadar air pada ψ = - 15 atm
6.
RP Mikro
Ruang pori pada ψ < - 15 atm
7.
RP air mobil
Ruang pori pada potensial air ( > - 2 atm)
8.
RP air imobil
Ruang pori pada potensial air ( < - 2 atm)
Keterangan: RPDSC: ruang pori drainase sangat cepat, RPDC: ruang pori drainase cepat, RPDL:
ruang pori drainase lambat, RPD: ruang pori drainase, RPAT: ruang pori air tersedia,
RP : ruang pori
Penetapan stabilitas pori berdasarkan pada nilai stabilitas agregat, karena
pori-pori berada pada agregat tanah. Penetapan stabilitas agregat dan distribusi
ukuran agregat mengikuti De Leenheer dan De Boodt (1959) dalam De Boodt, De
Leenheer, dan Kirkham (1961) seperti ditampilkan dalam Lampiran 3.
Pengukuran
konduktivitas
hidrolik
menggunakan Guelph permeameter
jenuh
dilakukan
di
lapangan
mengikuti metode Well pump-in shallow
(Ammozegar dan Warrick, 1986). Adapun pengukuran konduktivitas hidrolik tak
jenuh dilakukan di laboratorium menggunakan tabung kolom tanah dengan
metode distribusi kadar air (Klute dan Dirksen, 1986; Arya et al., 1999; dan
Saxton et al., 2004).
39
Penetapan sifat-sifat kimia tanah (kadar bahan organik, KTK, pH, kadar
nitrogen, fosfor, dan kalium) mengikuti metode analisis tanah dalam Agronomy 2
(Page, 1982). Jenis-jenis analisis, metode, dan alat-alat yang digunakan dalam
analisis sifat-sifat fisik dan kimia tanah ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Jenis, metode, dan alat-alat yang digunakan dalam analisis di
laboratorium.
No
Jenis analisis
Metode
Alat yang digunakan
1.
Tekstur tanah
Pipet
Tabung sedimentasi,
gelas piala, pipet, dll
2.
Stabilitas agregat, DMR,
dan GMD*)
Pengayakan basah dan
kering
Ayakan
3.
Distribusi pori
Kurva pF
Panci tekan
4.
Bobot Isi
Blake dan Hartge (1986)
Timbangan, oven, ring
sample
5.
Bobot jenis partikel
Blake dan Hartge (1986)
Labu ukur /piknometer,
timbangan, gelas ukur
6.
Jumlah pori
Perhitungan
menggunakan BI dan
BJP (Danielsen dan
Sutherland, 1986)
-
7.
Konduktivitas hidrolik
jenuh
Shallow well pump-in
Permeameter
8.
Konduktivitas hidrolik
tak jenuh
Distribusi kadar air
(Arya et al., 1999 dan
Saxton et al., 2004).
Tabung kolom tanah
9.
Kadar bahan organik
tanah
Walkleydan Black
Alat-alat gelas
10.
Kapasitas tukar kation
NH4OAc pH 7,0
Sentrifuge, buret, dll
11.
pH
Elektroda gelas
pH meter
12.
Nitrogen total
Kjeldahl
Tabung Kjeldahl
13
Fosfor tersedia
P-Bray 1
Spectrofotometer
14
Kalium tersedia
NH4OAc pH 7,0
Flamefotometer
15
Kadar air
Gravimetrik
Oven
16
N-NH4 dan N-NO3
Ekstraksi H2O
FIA Star Analyzer 5000
17
P larut air
Ekstraksi H2O, Murphy
dan Raleigh
Spectrofotometer
18.
K larut air
Ekstraksi H2O
Flamefotometer
Keterangan: DMR = diameter massa rataan; GMD= geometri mean diametre (diameter
rataan geometri), BI = bobot isi, BJP = bobot jenis partikel
40
3.3.5. Analisis Data
1. Hubungan keterkaitan antara karakteristik pori tanah yang meliputi
jumlah, distribusi, dan stabilitas pori dengan parameter pergerakan air
(konduktivitas hidrolik tanah), dianalisis dengan menggunakan korelasi dan
regresi baik tunggal maupun berganda. Karakteristik pori sebagai variabel bebas
dan konduktivitas hidrolik jenuh dan tak jenuh sebagai variabel respon.
2. Perhitungan neraca air lahan daerah penelitian baik bulanan maupun
mingguan dengan metode Thornthwaite dan Mather (1957). Neraca air bulanan
diperhitungkan dari curah hujan efektif yang ditetapkan dari curah hujan rataan
bulanan dalam tahun pengamatan 1994 sampai dengan 2005.
Neraca air
mingguan ditetapkan berdasarkan curah hujan selama masa pengamatan. Metode
pengukuran neraca air Thornthwaite dan Mather ditampilkan pada Lampiran 4.
3. Perhitungan fluks aliran air dilakukan untuk seluruh zona perakaran
(kedalaman 50 cm) maupun tiap zona 10 cm kedalaman tanah, dengan
menetapkan besarnya fluks pada suatu kedalaman tanah tertentu menurut Hanks
dan Ashcroft (1986) dan Koorevaar et al. (1983) sebagai berikut:
q = −K
Δψ h
Δz
.………………………….(12)
di mana q = fluks aliran air sepanjang jarak kedalaman ∆ z (antara z1 dan z2) yang
memiliki perbedaan potensial hidrolik sebesar ∆ψh. Apabila dalam kolom tanah
terjadi aliran transient, maka terjadi perubahan fluks aliran air antara ujung
pemasukan dan pengeluaran air selama jarak waktu tertentu. Dengan demikian
tiap jarak satu hari pengukuran terjadi perbedaan fluks aliran air, sehingga Hanks
dan Ashcroft (1986) dan Koorevaar et al. (1983) menetapkan
Δq
Δθ
= −
Δt
Δz
…..…………………………..(13)
di mana ∆q/∆z = perubahan fluks aliran air sepanjang kedalaman lapisan tanah z
cm, dapat diukur dari perubahan kadar air selama waktu tertentu (∆θ/∆t), yaitu
41
selisih antara kadar air tanah suatu hari
Menurut
dengan kadar air hari sebelumnya.
Hanks dan Ashcroft (1986), fluks aliran air ke bawah dinyatakan
sebagai fluks negatif, dan aliran ke atas sebagai fluks positif
4. Pergerakan air transient diperhitungkan dari perbedaan fluks antara dua
titik kedalaman tanah yang diperhitungkan Menurut Hanks dan Ashroft (1986),
pergerakan air transient merupakan perubahan kadar air setiap saat, dan dapat
menunjukkan perubahan storage selama selang waktu yang diperhitungkan.
dθ/dt = d fluks/dx (cm/cm.waktu) ...................... (14)
Di mana dθ/dt = laju pergerakan air transient (laju perubahan storage), dfluks/dx
= perubahan fluks per satuan jarak.
5. Untuk melihat pengaruh jumlah hujan terhadap fluks aliran air maupun
pergerakan air transient dilakukan analisis model deterministik yang merupakan
pendekatan terhadap proses pergerakan air dalam tanah
6.
Untuk melihat pengaruh karakteristik pori terhadap fluks aliran air
maupun pergerakan air transient dilakukan analisis korelasi dan regresi.
Karakteristik pori sebagai variabel bebas dan fluks aliran air maupun laju aliran
transient sebagai variabel respon.
7. Untuk melihat perbedaan kadar air dan kadar hara antar kedalaman tanah
dan antar waktu pengukuran (tiap minggu) digunakan uji beda nilai tengah (uji t).
8. Kebutuhan air irigasi ditetapkan berdasarkan defisit kadar air, merupakan
selisih antara kadar air lapangan terhadap kadar air minimum tersedia bagi
tanaman (MSD = Maximum soil moisture deficit, merupakan kadar air tersedia
terendah dari readily available water) (Lampiran 5). Menurut Allen et. al.
(1998), Shaxson dan Barber (2003), air tersedia yang cukup untuk pertumbuhan
dan produksi tanaman jagung manis adalah 50 % air tersedia (maximum soil
water deficit, kadar air tanah yang tersedia bagi tanaman)
42
Defisit air = KA lapang – MSD ...................................(15)
Di mana KA lapang = kadar air pada kondisi lapangan, MSD = Maximum soil
moisture deficit, kadar air minimum tersedia bagi tanaman. Apabila kadar air
lapangan lebih rendah dari MSD, maka tanah memerlukan irigasi (terjadi defisit).
Kebutuhan air irigasi juga diperhitungkan berdasarkan kadar air minimum
tersedia menurut USDA (1991) (Lampiran 8). Menurut USDA (1991) tersebut,
tanaman memerlukan irigasi apabila kadar air tanah telah berada di bawah kadar
air yang menyebabkan laju pertumbuhan tanaman kurang dari 80%.
9. Analisis secara deskriptif dilakukan terhadap pengaruh curah hujan, fluks
aliran air, dan laju perubahan storage terhadap kadar air maupun kadar hara dalam
tanah.
10. Hubungan keterkaitan antara fluks aliran air, pergerakan air transient,
dan kadar air dengan kadar hara larutan tanah dilakukan dengan uji korelasi.
Fluks aliran air, laju aliran air transient, dan kadar air sebagai variabel bebas dan
kadar hara lariutan tanah sebagai variabel respon
11. Untuk melihat pengaruh karakteristik pori terhadap kadar hara larutan
tanah dilakukan analisis korelasi dan regresi. Karakteristik pori sebagai variabel
bebas dn kadar hara larutan tanah sebagai variabel respon.
12. Pengaruh sifat-sifat fisik tanah, sifat-sifat pori, kadar air, dan kadar hara
tanah terhadap produksi tanaman pada lahan dianalisis dengan regresi dan
korelasi. Sifat-sifat fisik, karakteristik pori, kadar air, dan kadar hara larutan
tanah sebagai variabel bebas dan produksi tanaman sebagai variabel respon.
IV.
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Letak Geografis
Lokasi penelitian terletak di desa Bojong, Kecamatan Kemang, Kabupaten
Bogor. Secara geografis desa tersebut terletak antara 106o45’0” BT – 106o45’30”
BT dan antara 06o30’0” LS – 06o30’30” LS.
4.2. Iklim
Berdasarkan data dari stasiun klimatologi Pangkalan TNI-AU Atang Senjaya
Bogor tahun pengamatan 1994-2005 (Lampiran 6), daerah penelitian memiliki
curah hujan rata-rata tahunan sebesar 3470 mm/tahun. Suhu udara rata-rata
bulanan tidak menunjukkan variasi yang besar, yaitu antara 25,6oC sampai 26,8
o
C dengan suhu maksimum 31,4 oC dan suhu minimum 21,1oC.
Kelembaban
udara rata-rata bulanan antara 76,9 % sampai 84,3 %. Kecepatan angin rata-rata
antara 2,0 – 5,6 km/jam, dan lama penyinaran matahari antara 51,4% (minimum)
dan 69,7 % (maksimum).
Menurut klasifikasi iklim Schmith
dan
Ferguson, daerah penelitian
memiliki tipe iklim A (basah) dengan jumlah bulan basah (BB, bulan dengan
curah hujan > 100 mm) 11 bulan terjadi pada bulan September sampai Juli,
dengan satu bulan lembab (60 mm < curah hujan < 100 mm) terjadi pada bulan
Agustus. Menurut sistem klasifikasi Oldeman, daerah ini termasuk tipe iklim B1
dengan jumlah bulan basah (bulan dengan curah hujan > 200 mm) terjadi pada
bulan Oktober sampai dengan Mei, bulan lembab (100 mm < curah hujan < 200
mm) terjadi pada bulan Juni, Juli, dan September, serta bulan kering (curah hujan
< 100 mm) terjadi pada bulan Agustus. Neraca air bulanan menurut Thornthwaite
dan Mather (1957) di lokasi penelitian berdasar penyebaran curah hujan tahun
pengamatan 1994 - 2005 ditampilkan pada Gambar 4 dan Lampiran 7.
Neraca air bulanan pada lahan di lokasi penelitian menunjukkan terjadi
defisit sebesar 9 mm pada bulan Agustus, tidak terjadi surplus maupun defisit
pada bulan September, dan terjadi surplus pada bulan Oktober sampai Juli sebesar
44
1383 mm. Defisit terjadi karena kadar air tanah tidak cukup lagi untuk proses
evapotranspirasi potensial. Menurut Thornthwaite dan Mather (1957), apabila
evapotranspirasi yang terjadi lebih rendah dari evapotranspirasi potensial, maka
dalam tanah dianggap terjadi defisit air. Walaupun kadar air tanah selama bulan
Agustus masih jauh di atas titik layu permanen, menurut kriteria yang ditetapkan
oleh Allen et al. (1998) (Lampiran 5), kadar air minimum tersedia bagi tanaman
jagung manis di lokasi penelitian adalah sebesar 178,5 mm. Adapun menurut
USDA (1991) (Lampiran 8), kadar air pada bulan Agustus telah dapat
menurunkan produksi tanaman, karena kadar air tanah minimal untuk
pertumbuhan optimum tanaman menurut USDA (1991) adalah 80% air tersedia
(204 mm).
Neraca air bulanan di lokasi penelitian
CHef, ETP, ETA (mm)
400
CHef
ETP
ETA
300
200
100
0
Jan Feb Mrt Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Waktu (bulan)
Ket: Chef = curah hujan efektif, ETP = evapotranspirasi potensial,
ETA = evapotranspirasi actual
Gambar 4. Neraca air lahan bulanan di lokasi penelitian
Neraca air mingguan menurut Thornthwaite dan Mather (1957) selama
waktu penelitian ditampilkan pada Gambar 5 dan Lampiran 9. Karena lahan
penelitian merupakan lahan kering yang relatif datar, maka aliran permukaan
besarnya nol. Semua air hujan yang merupakan surplus dalam neraca air menjadi
air drainase dalam (D) yang bergerak ke bawah ke luar zona perakaran. Air hujan
yang jatuh di permukaan tanah langsung masuk ke dalam tanah sebagai infiltrasi,
45
sedangkan sisanya menjadi genangan sementara di atas permukaan tanah
menunggu sampai terinfiltrasi semua dan sebagian terevaporasi.
Air yang
terdrainase, keluar dari zona perakaran. Air dari zona di bawah perakaran tersebut
dapat bergerak kembali ke lapisan atas sebagai aliran tak jenuh apabila kadar air
di lapisan atas lebih rendah daripada lapisan bawah.
Pada lahan kering,
keadaan ini dapat terjadi hanya pada hari-hari tanpa hujan akibat evaporasi di
permukaan tanah. Air yang bergerak ke atas tersebut umumnya terjadi pada
potensial yang relatif rendah sehingga tidak tersedia bagi tanaman, tetapi hanya
Neraca air mingguan di lokasi penelitian
CHef, ETP, ETA (mm)
100
Chef
ETP
ETA
80
60
40
20
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Waktu (minggu)
Ket: Chef = curah hujan efektif, ETP = evapotranspirasi potensial,
ETA = evapotranspirasi actual
Gambar 5. Neraca air lahan mingguan di lokasi penelitian
cukup untuk pengisian pori bagi kebutuhan evaporasi. Air dari aliran kapiler yang
dapat tersedia bagi tanaman hanya apabila berasal dari zona jenuh yang relatif
dangkal (di bawah zona perakaran) atau lapisan bawah yang relatif mendekati
jenuh akibat pergerakan ke lapisan bawah sangat lambat dan pergerakan ke atas
lebih mungkin untuk terjadi.
4.3. Tanah dan Topografi
Jenis tanah pada lokasi penelitian termasuk Latosol menurut sistim
klasifikasi Dudal dan Soepraptohardjo (Atmosentono, 1968) dan termasuk jenis
46
Inceptisols menurut sistim Taxonomi Tanah. Pada tingkat yang lebih detil, tanah
di lokasi penelitian tergolong Latosol coklat kemerahan menurut sistem Dudal dan
Soepraptohardjo, dan Oxyaquic Eutrudept menurut sistem Taxonomi Tanah tahun
1998 (Bustarimuddin, 2002).
Kedalaman solum tanah termasuk dalam hingga
200 cm, dengan kondisi sifat fisik dan morfologi tanah pada lahan penelitian
ditampilkan pada Lampiran 10, 11, dan 12. Dari Lampiran 13 terlihat bahwa
pada profil tanah lokasi 1 menunjukkan kedalaman perakaran tanaman hanya
mencapai + 20 cm, pada lokasi 2 mencapai + 18 cm secara berangsur sampai
kedalaman
+ 35 cm,
dan pada lokasi 3 kedalaman perakaran mencapai
kedalaman + 50 cm.
Sifat-sifat fisik dan kimia tanah lokasi penelitian dari tiap kedalaman tanah
ditampilkan pada Lampiran 1, 14, 15, dan 16. Sifat-sifat kimia tanah lokasi
penelitian masih memiliki kisaran nilai yang relatif sama berdasarkan kriteria
CSR/FAO Staff (1983).
Kemasaman tanah tergolong masam (pH 4,62) di
permukaan tanah sampai agak masam (pH 6,22) dengan makin dalamnya tanah.
Kadar C-organik tanah pada seluruh kedalaman tanah tergolong sangat rendah (<
2%). Kadar nitrogen total lahan tergolong sangat rendah (0,08 %) di lapisan > 40
cm sampai rendah (0,15 %) di lapisan atasnya. Kadar P-tersedia pada seluruh
kedalaman tergolong sangat rendah (0,02-0,11 ppm P).
Kadar kalium pada
seluruh kedalaman tanah berkisar dari sedang sampai tinggi (0,27- 0,49 me/100 g
tanah). Kapasitas tukar kation pada seluruh kedalaman tergolong sedang (17,28 –
19,11 me/100 g tanah). Kejenuhan basa berkisar sedang (40,19 %) di kedalaman
0-10 cm sampai tinggi (62,86 %) pada kedalaman di bawahnya. Nilai sifat-sifat
kimia tanah tersebut tidak berbeda dalam kaitannya dengan retensi dan pergerakan
air dalam tanah.
Bobot isi tanah pada kedalaman tanah 0-20 cm (1,01 g/cm3) lebih rendah
dibanding lapisan di bawahnya (1,02 g/cm3). Diameter massa rataan agregat
makin menurun dengan makin dalamnya tanah, dan kapasitas retensi air
maksimum tanah makin besar dengan makin dalamnya tanah (Lampiran 14 dan
Lampiran 15).
47
Karakter pori yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah pori,
stabilitas pori dan distribusi ukuran pori (Lampiran 2). Stabilitas pori dalam
agregat tanah di lapisan atas lebih tinggi dan lebih bervariasi dibanding lapisan
bawah. Ruang pori drainase dan ruang pori air mobil di lapisan 0-20 cm lebih
tinggi dibanding lapisan di bawahnya, tetapi ruang pori air tersedia, ruang pori
mikro, dan ruang pori air imobil di lapisan 0-20 cm lebih rendah dibanding
lapisan > 20 cm.
Daerah penelitian berada pada ketinggian/altitute sekitar 150 m di atas
permukaan laut, dan berdasarkan pengamatan di lapang memiliki topografi yang
relatif datar, dengan kemiringan lereng 0-3 %.
4.4. Sistem Pengelolaan/Penggunaan Tanah.
Sistim pengelolaan/penggunaan tanah yang telah dilakukan pada lahan
penelitian mengikuti jenis tanaman yang diusahakan (Tabel 5). Tanah di daerah
penelitian umumnya ditanami dengan palawija seperti jagung, kacang tanah,
Tabel 5. Pengelolaan lahan yang dilakukan selama lima tahun sebelum percobaan
Lokasi
Pengelolaan lahan selama lima tahun sebelum percobaan
1.
Padi gogo, terung, kacang panjang, oyong, cabe, jagung, dua tahun
terakhir
kangkung
darat,
pengolahan
tanah
sedalam
cangkul,
pemupukan dengan pupuk kandang + 10 ton/ha.
2.
Padi sawah rotasi dengan kacang tanah dan oyong, terakhir padi sawah.
Pada musim kering dilakukan pengolahan tanah sedalam cangkul,
pemupukan dengan pupuk kandang + 10 ton/ha.
3.
Rotasi kacang tanah, singkong dan oyong, terakhir kacang tanah.
Pengolahan tanah sedalam cangkul, pemupukan dengan pupuk kandang
+ 10 ton/ha.
singkong, padi gogo yang dirotasikan dengan sayuran dataran rendah seperti
kangkung darat, bayam, terung, oyong, dan pada musim hujan ditanami padi
sawah. Pengelolaan lahan yang telah dilakukan selama penggunaan lahan selalu
48
hanya menggunakan pupuk kandang dengan dosis lebih kurang 10 ton/ha, dengan
pengolahan tanah hanya sampai sedalam mata cangkul ( + 20 cm).
4.5. Karakteristik Pori Tanah Lokasi Penelitian
Seperti telah disebutkan di dalam metode penelitian, karakteristik pori yang
diamati dalam penelitian ini adalah jumlah, stabilitas agregat yang mencerminkan
stabilitas pori, dan distribusi ukuran pori yang meliputi ruang pori drainase sangat
cepat, ruang pori drainase cepat, ruang pori drainase lambat, ruang pori
drainase/makro, ruang pori air tersedia, ruang pori mikro, ruang pori air mobil,
dan ruang pori air imobil (Tabel 6). Karakteristik pori tersebut sangat
bervariasi nilainya dan berbeda nyata antar lokasi, sehingga dapat digunakan
untuk mempelajari pengaruh karakteristik pori terhadap pergerakan air dan hara
dalam tanah.
Tabel 6. Karakteristik pori tanah pada lahan di lokasi 1, 2, dan 3 (ulangan 10
masing-masing lima kedalaman tanah
No
Peubah
1
Lokasi
2
3
1.
Ruang pori total (% vol)
59,48 c
63,95 b
66,06 a
2.
RPDSC (% vol)
4,15 c
7,26 b
12,78 a
3.
RPDC (% vol)
8,07 a
8,76 a
8,25 a
4.
RPDL (% vol)
3,78 a
2,43 b
1,91 b
5.
RPD (% vol)
16,01 b
18,45 b
22,94 a
6.
RPAT (% vol)
14,59 b
17,48 a
17,44 a
7.
RP Air mobil (% vol)
21,30 b
22,63 b
27,22 a
8.
RP Air imobil (% vol)
38,17 b
41,46 a
38,84 b
9.
RP mikro (% vol)
40,57 c
44,99 a
43,02 b
10.
Stabilitas agregat tanah
(indeks)
39,76 c
53,50 a
43,00 b
Keterangan: RPDSC: ruang pori drainase sangat cepat, RPDC: ruang pori drainase cepat, RPDL:
ruang pori drainase lambat, RPD: ruang pori drainase, RPAT: ruang pori air tersedia,
RP : ruang pori. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama
tidak berbeda nyata menurut uji beda nilai tengah (α = 5 %)
49
Apabila dihubungkan dengan kebutuhan bagi pertumbuhan tanaman, lahan
di lokasi 1, 2, dan 3 memiliki sifat fisik tanah yang baik, di mana menurut
Gregorich dan Carter (1997), sifat fisik tanah yang baik bagi tanaman memiliki
ruang pori aerasi > 15 % (vol) dari ruang pori total dan memiliki ruang pori air
tersedia > 20 % (vol) dari ruang pori total.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Konduktivitas Hidrolik Tanah
5.1.1. Hubungan Karakteristik Pori dengan Konduktivitas Hidrolik Jenuh
Konduktivitas hidrolik tanah dalam keadaan jenuh kedalaman 0-50 cm dari
lokasi penelitian ditampilkan pada Tabel 7. Nilai konduktivitas hidrolik jenuh
tersebut tergolong lambat dengan koefisien variasi sebesar 36 %. Apabila
Tabel 7. Nilai rataan konduktivitas hidrolik jenuh
Parameter
Ks (cm/jam)
Sd
CV (%)
n
Nilai
1,73
0,62
36,13
30
dikaitkan dengan karakteristik pori, maka konduktivitas hidrolik jenuh lebih
dipengaruhi oleh pori yang berukuran lebih besar bersama dengan stabilitas
agregat tanah, seperti ditampilkan pada Tabel 8 dan Lampiran 17.
Stabilitas
agregat tanah mencerminkan stabilitas pori yang ada di dalam dan di antara
agregat tanah. Semakin stabil agregat tanah, maka agregat tanah tidak mudah
pecah/hancur dan pori yang ada di dalam dan di antara agregat tanah tidak mudah
tertutup/tersumbat oleh partikel-partikel tanah hasil hancuran agregat sehingga
tetap bertahan untuk dilalui air.
Tabel 8 menunjukkan bahwa konduktivitas hidrolik jenuh meningkat dengan
makin besarnya ruang pori total dan stabilitas agregat tanah, dengan koefisien
korelasi sebesar 0,75. Begitu juga dengan makin besarnya ruang pori drainase
sangat cepat, ruang pori makro, dan ruang pori air mobil masing-masing bersama
dengan peningkatan stabilitas agregat tanah dapat meningkatkan konduktivitas
hidrolik jenuh. Namun pori yang berukuran lebih besar seperti
ruang pori
drainase sangat cepat, bersama stabilitas agregat tanah memberikan korelasi yang
lebih besar dibanding kelompok pori dengan selang ukuran lebih kecil seperti
51
ruang pori makro dan ruang pori air mobil bersama stabilitas pori dalam agregat
tanah.
Ruang pori drainase sangat cepat merupakan ruang pori dengan selang
ukuran diameter pori lebih besar daripada ruang pori drainase maupun ruang pori
air mobil. Seperti telah disebutkan oleh Korevaar et al. (1983), ruang pori yang
paling berpengaruh terhadap konduktivitas hidrolik adalah ruang pori terbesar
yang masih terisi air, sehingga ruang pori drainase sangat cepat bersama stabilitas
agregat berkorelasi/berpengaruh paling besar terhadap konduktivitas hidrolik
jenuh. Semakin banyak proporsi ruang pori dengan selang ukuran lebih besar dan
makin stabil pori di dalam agregat tanah, maka lebih banyak ruang pori yang
dapat menghantarkan air sehingga konduktivitas hidrolik jenuh makin besar.
Tabel 8. Regresi antara karakteristik pori dengan konduktivitas hidrolik jenuh
No
Peubah
Model
Korelasi
1.
RPT, ISA
Ks = - 7,06 + 0,12 RPT + 0,02 ISA
0,91
2.
RPDSC, ISA
Ks = -0,92 +0,07 RPDSC + 0,09 ISA
0,87
3.
RP makro, ISA
Ks = -2,09 + 0,09 RP makro + 0,04 ISA
0,86
4.
RP air mobil
Ks = -0,88 + 0,0023 RP air mobil x ISA
0,85
Keterangan: RPT : ruang pori total, RPDSC: ruang pori drainase sangat cepat, ISA = indeks
stabilitas agregat; RP : ruang pori
Lebih rendahnya pengaruh ruang pori air mobil dibanding ruang pori makro
maupun ruang pori drainase sangat cepat masing masing bersama stabilitas pori
dalam agregat; karena ruang pori air mobil terdiri dari ruang pori makro dan
sebagian ruang pori air tersedia yang dapat mengikat air secara kuat sehingga
dapat menghambat pergerakan air. Air dalam ruang pori kapiler (ruang pori air
tersedia) dapat bergerak apabila ada tekanan (potensial) hidrolik yang tinggi.
Keadaan ini dapat tercapai bila lapisan tanah di atas ruang pori air tersedia
tersebut mencapai jenuh dengan ketebalan tertentu.
Pengaruh ruang pori air mobil bersama stabilitas agregat terhadap
konduktivitas hidrolik jenuh menunjukkan adanya interaksi, di mana ruang pori
air mobil yang berada di tanah yang kurang stabil mempengaruhi konduktivitas
52
hidrolik yang berbeda dibandingkan ruang pori air mobil yang berada di tanah
yang lebih stabil.
Hal tersebut dapat dijelaskan oleh pendapat Marshall dan
Holmes (1988) yang menyatakan bahwa pada kondisi jenuh, seluruh pori yang
ada dalam tanah berperan dalam pergerakan air, karena seluruh pori terisi oleh air.
Pada keadaan demikian, besarnya konduktivitas hidrolik jenuh konstan apabila
pori di dalam agregat stabil. Namun selama terjadi aliran air variabilitas ukuran
pori dalam tanah dapat mempengaruhi
kecepatan aliran air di dalam pori,
sehingga
sepanjang
terjadi
pencampuran
solute
aliran
dan
cenderung
mendispersikannya secara nyata. Keadaan ini mempengaruhi stabilitas pori dalam
agregat selama terjadi aliran air, yang pada akhirnya mempengaruhi konduktivitas
hidrolik jenuh.
Oleh karena itu pengaruh ruang pori air mobil terhadap
konduktivitas hidrolik jenuh pada tanah yang stabil dan kurang stabil berbeda.
Konduktivitas hidrolik jenuh yang tinggi pada lahan kering dapat
memberikan peluang hilangnya hara bersama aliran air, tetapi proses kejadiannya
sangat langka karena hanya terjadi apabila tanah mencapai kondisi jenuh. Kondisi
jenuh pada lahan kering dapat tercapai hanya apabila terjadi hujan yang dapat
menjenuhi tanah. Menurut Hanks dan Ashcrof (1986), pada saat laju infiltrasi
telah mencapai minimum dan konstan, besarnya sama dengan konduktivitas
hidrolik jenuh lapisan permukaan tanah. Apabila intensitas hujan melebihi
konduktivitas hidrolik jenuh lapisan permukaan tanah, maka terjadi genangan.
Begitu hujan berhenti, aliran air dalam tanah terus terjadi; dan apabila mulai
terjadi pengosongan pori tanah maka mulai terjadi pergerakan air secara tak jenuh
yang dikendalikan oleh konduktivitas hidrolik tak jenuh yang besarnya berubah
mengikuti besarnya kadar air tanah.
5.1.2. Hubungan Karakteristik Pori dengan Konduktivitas Hidrolik tak
Jenuh
Pada lahan kering, aliran air secara tak jenuh terus-menerus terjadi untuk
mencapai keseimbangan. Kecepatan pergerakan air secara tak jenuh dalam tanah
dikendalikan oleh konduktivitas hidrolik tak jenuh (Kus) yang besarnya
dipengaruhi oleh kadar air (θ) dan potensial air tanah (ψ) (Hillel, 1980)
53
(Gambar 6, Lampiran 18). Pada setiap kadar air dan potensial air tanah yang
berbeda, tanah memiliki konduktivitas hidrolik tak jenuh yang berbeda.
Konduktivitas hidrolik tak jenuh mencapai maksimum pada keadaan jenuh, dan
hubungan antara kadar air dan konduktivitas hidrolik tak jenuh menurut Herudjito
(1977) dapat dituliskan dengan model:
K(θ) = K(θ)maks (θ/θmaks)b
...................................(16)
Di mana: K(θ)maks = konduktivitas hidrolik pada keadaan maksimum (jenuh)
(cm/jam)
θ
= kadar air (% volume)
θ maks = kadar air maksimum (kondisi jenuh) (% volume)
b
= konstanta
Konduktivitas
HidrolikHidrolik
tak jenuh tak jenuh
Konduktivitas
Kus(cm/jam)
(cm/jam)
Kus
22
1,5
1,5
11
Kus (0-10 cm) = 1,14)(θ/59)12,13
Kus (10-20 cm) = 0,86(θ/59)12,45
Kus (20-30 cm) = 1,55(θ/58)11,92
Kus (30-40 cm) = 0,66(θ/57)12,68
Kus (40-50 cm) = 0,76(θ/57)12,48
0,5
0,5
0
0
35
35
40
40
45
50
55
60
45
50
55
Kadar air (% vol)
Kadar air (% vol)
65
60
65
Keterangan: θ = kadar air ; Kus = konduktivitas hidrolik tak
Gambar 6. Kurva hubungan antara konduktivitas hidrolik
tak jenuh dengan kadar air
Hubungan antara kadar air dan potensial air tanah pada setiap tanah
dicerminkan oleh kurva karakteristik air tanah (kurva pF). Kurva karakteristik air
tanah dari lokasi penelitian dari tiap kedalaman tanah ditampilkan pada Lampiran
19 dan 20. Semakin tinggi kadar air tanah dan semakin rendah potensial air
tanah, maka konduktivitas hidrolik tak jenuh makin tinggi. Peningkatan nilai
konduktivitas hidrolik tak jenuh secara tajam terjadi setelah mencapai kadar air di
atas kapasitas lapang pada seluruh kedalaman tanah (Gambar 6). Keadaan ini
yang membedakan
besarnya nilai konduktivitas hidrolik tak jenuh antar
54
kedalaman tanah. Perbedaan konduktivitas hidrolik pada kadar air yang lebih
tinggi tersebut disebabkan oleh perbedaan karakteristik pori yang tercipta oleh
struktur/agregat tanah. Menurut Cresswell et al. (1992), perbedaan konduktivitas
hidrolik tanah pada potensial > -1 bar terjadi karena perbedaan pori di dalam
struktur tanah, di antara agregat tanah.
Apabila Kus dibandingkan antar kedalaman tanah (Gambar 6), terlihat
bahwa Kus pada kondisi di atas kapasitas lapang di kedalaman 20-30 cm nyata
paling tinggi, diikuti oleh Kus pada kedalaman 0-10 cm, Kus kedalaman 10-20
cm, Kus 40-50 cm, dan yang terendah Kus pada kedalaman 30-40 cm. Perbedaan
Kus antara tiap kedalaman lapisan tanah pada kondisi kadar air di atas kapasitas
lapang disebabkan oleh perbedaan jumlah dan stabilitas pori drainase yang
berukuran > 9x10-3 mm (ruang pori yang dapat dikosongkan oleh hisapan matrik
< 0,33 bar). Semakin banyak jumlah ruang pori drainase, konduktivitas hidrolik
tak jenuh makin besar.
Dengan makin banyaknya ruang pori drainase yang
berukuran besar (misalnya ruang pori drainase sangat cepat), maka konduktivitas
hidrolik tak jenuh makin besar. Oleh karena itu, apabila dihubungkan antara
Tabel 8, Gambar 6, dan Lampiran 1, terlihat bahwa volume ruang pori drainase
sangat cepat pada kedalaman 20-30 cm lebih tinggi dibandingkan dengan
kedalaman yang lain, sehingga konduktivitas hidrolik tak jenuh pada kedalaman
tersebut paling besar. Pergerakan air pada pori tersebut lebih dikendalikan oleh
ruang pori yang berukuran > 0.3 mm (ruang pori yang dapat dikosongkan oleh
hisapan matrik < 0,01 bar).
Pada pergerakan air tanah secara jenuh, adanya pori-pori makro yang
banyak dapat meningkatkan laju pergerakan air, tetapi sebaliknya pada pergerakan
air tak jenuh pada kondisi di bawah kapasitas lapang, banyaknya pori-pori makro
dalam tanah dapat menghambat pergerakan air. Konduktivitas hidrolik tak
jenuh pada kadar air di bawah kapasitas lapang lebih dipengaruhi oleh pori-pori
mikro tanah, di mana pori-pori tersebut lebih dipengaruhi oleh tekstur tanah
(Hillel, 1980).
Karena Kus sangat dipengaruhi oleh kadar air tanah, maka
pengaruh karakteristik pori terhadap Kus juga tergantung pada ruang pori terbesar
yang masih terisi oleh air.
55
Konduktivitas hidrolik tanah tak jenuh tiap lapisan kedalaman tanah dapat
digunakan sebagai petunjuk cepat atau lambatnya aliran air pada tiap lapisan
kedalaman tanah pada setiap nilai kadar air, sehingga berpengaruh pada distribusi
air tiap lapisan tanah.
Distribusi air tiap kedalaman tanah berpeluang
meningkatkan kelarutan hara pada tiap lapisan tanah. Selain itu, pergerakan air
yang cepat berpotensi membawa hara baik yang masih berupa pupuk maupun
yang terlarut; sehingga terjadi perbedaan kadar hara pada setiap lapisan tanah.
5. 2. Pergerakan Air Selama Masa Pertumbuhan Tanaman
5.2.1. Fluks Aliran Air
Besarnya fluks aliran air dalam tanah di lahan kering sangat dipengaruhi
oleh besarnya hujan, karena sumber air utama hanya berasal dari hujan. Fluks
aliran air dalam tanah selain dipengaruhi oleh besar hujan, juga dipengaruhi oleh
intensitas hujan, kadar air tanah sebelumnya, dan konduktivitas hidrolik tanah.
Namun pengaruh intensitas hujan dan kadar air tanah sebelumnya terhadap fluks
aliran air dalam penelitian ini secara statistik tidak nyata (korelasinya sangat
rendah).
Pengaruh jumlah hujan terhadap fluks aliran air sampai kedalaman 50 cm
menunjukkan peningkatan dengan makin besarnya jumlah hujan dengan koefisien
korelasi sebesar 0,73 (Gambar 7 dan Lampiran 23). Fluks aliran air makin besar
(makin negatif besar) dengan makin besarnya jumlah hujan. Namun pengaruh
besarnya hujan terhadap fluks aliran air dalam tanah dikendalikan oleh laju
infiltrasi tanah, di mana laju infiltrasi tanah dipengaruhi konduktivitas hidrolik
dari profil tanah. Pada saat tidak terjadi hujan kadar air dalam tanah rendah,
sehingga air diikat kuat oleh matrik tanah. Dengan demikian air sulit bergerak,
sehingga fluks aliran air sangat rendah (mendekati nol), atau dapat terjadi fluks
aliran air ke atas karena adanya perbedaan potensial matrik. Air dapat mengalir
dari kadar air yang lebih tinggi ke yang lebih rendah (dari basah ke kering). Fluks
aliran air dari lapisan bawah menuju ke permukaan tanah (fluks positif) dapat
terjadi akibat evaporasi karena pemanasan sinar matahari di permukaan tanah.
56
Pada waktu hujan dengan jumlah rendah, sebagian besar air membasahi
lapisan tanah dan terikat kuat dalam pori mikro tanah. Pada kondisi ini, apabila
tanah belum jenuh, terjadi aliran tak jenuh dalam tanah. Hujan-hujan rendah yang
terjadi secara berulang dapat menyebabkan aliran air melalui matrik tanah,
sehingga membasahi tanah secara berangsur.
Adanya tambahan air hujan
membuat kadar air di permukaan tanah meningkat, sehingga potensial air tanah
juga meningkat. Keadaan ini membuat perbedaan potensial air tanah yang besar
antara lapisan atas dengan lapisan tanah di bawahnya, sehingga daya penggerak
5
q = qmin + (q 0 -qmin )e-0,023CH
r = 0,73; n = 363
Fluks (cm/hari)
3
1
-1
-3
-5
0
10
20
30
40
50
60
Curah hujan (mm)
Gambar 7. Hubungan curah hujan dengan fluks aliran air
air juga makin besar. Makin besarnya daya penggerak akibat curah hujan yang
makin besar mengakibatkan fluks aliran air makin besar. Sugita et al. (2004)
menyatakan bahwa, hujan besar dapat menyebabkan pergerakan air hanya melalui
pori-pori makro tanpa menembus matrik tanah.
Melalui peristiwa ini,
memungkinkan apabila terjadi hujan besar dapat meningkatkan fluks aliran air
makin besar, terutama melalui pori-pori makro tanah. Namun pada hujan-hujan
kecil, aliran air hanya menembus matrik tanah (pori mikro).
Besarnya fluks aliran air meningkat terus dengan makin besarnya jumlah
hujan sampai menuju nilai yang konstan karena besarnya aliran air yang masuk ke
dalam tanah dikendalikan oleh laju infiltrasi tanah dan laju infiltrasi tanah
dipengaruhi
oleh
konduktivitas
hidrolik
pada
kedalaman
tanah
yang
diperhitungkan. Menurut Hanks dan Ascroft (1986), pada saat awal hujan kadar
57
air dalam tanah rendah, sehingga konduktivitas hidrolik di permukaan tanah
rendah dan gradient hidrolik tinggi. Dalam keadaan demikian laju infiltrasi tanah
tinggi karena sorpsitivitas tanah tinggi. Makin lama kejadian hujan, konduktivitas
hidrolik tanah meningkat seiring peningkatan kadar air tanah menuju nilai yang
konstan, tetapi gradient hidrolik menurun menuju nilai yang kontans sehingga laju
infiltrasi juga menurun menuju nilai yang konstan. Pada saat laju infiltrasi di
permukaan tanah telah mencapai minimum/konstan, besarnya sama dengan
konduktivitas hidrolik jenuh di permukaan tanah; dan pada saat demikian fluks
aliran air pada kedalaman tertentu (< kedalaman tanah yang mencapai jenuh) telah
mencapai maksimum konstan. Oleh karena itu pengaruh besarnya hujan terhadap
fluks aliran air dalam tanah secara umum dapat dimodelkan sebagai berikut:
q = q min + (q 0– q min) e-bCH
.........................(17)
di mana: q = fluks aliran air (cm/hari);
qmin = fluks aliran air pada nilai minimum (konstan);
q0 = fluks aliran air pada waktu tidak ada hujan, dan
b adalah suatu konstanta.
Besarnya fluks aliran air pada waktu tidak ada hujan (q0), tergantung pada
kondisi kadar air awal. Apabila kadar air awal rendah, maka fluks aliran air
rendah dan apabila kadar air awal tinggi maka fluks aliran air tinggi (makin
negatif).
Fluks aliran air pada nilai maksimum (negatif paling besar, qmaks),
ditentukan oleh laju infiltrasi tanah, di mana laju infiltrasi tanah tersebut
dipengaruhi oleh konduktivitas hidrolik, tekstur, struktur, dan heterogenitas profil
tanah. Dengan demikian karakteristik pori di dalam profil tanah sangat
menentukan dalam fluks aliran air dalam tanah.
Berdasarkan data hasil
pengamatan, besarnya q0, qmin, dan b masing-masing adalah 0.24 cm/hari, -2.12
cm/hari, dan 0,023; sehingga persamaan 17 di atas menjadi:
q = - 2,12 + 2,36 e - 0,023 CH
........................(18)
58
Pengaruh besarnya curah hujan terhadap fluks aliran air dalam penelitian ini
belum sampai menyebabkan besarnya fluks aliran air mencapai nilai maksimum
konstan. Keadaan seperti ini dapat tercapai apabila keadaan steady yang bisa
terjadi bila laju infiltrasi telah mencapai konstan dan kadar air pada kedalaman
tanah yang diperhitungkan (50 cm) telah mencapai konstan yaitu apabila tanah
telah mencapai kondisi jenuh.
Apabila intensitas hujan telah melebihi laju
infiltrasi minimum (konduktivitas hidrolik jenuh) permukaan tanah, maka dapat
menyebabkan terjadinya genangan di permukaan tanah. Berdasarkan Gambar 6
dan Lampiran 18, laju konduktivitas hidrolik jenuh lapisan permukaan yang
mencerminkan besarnya laju infiltrasi minimum besarnya 1,14 cm/jam dan rataan
konduktivitas hidrolik tak jenuh sampai kedalaman 50 cm adalah 0,99 cm/jam.
Berdasarkan data hujan lokasi penelitian selama percobaan (Lampiran 25),
intensitas hujan yang besar hanya terjadi dalam waktu yang relatif singkat dan
pada kondisi kadar air tanah sebelumnya rendah, sehingga belum menyebabkan
tercapainya kapasitas infiltrasi tanah.
Pada sistem lahan kering, pergerakan air sering terjadi pada keadaan tak
jenuh, sehingga fluks aliran air ditentukan oleh perbedaan potensial air maupun
konduktivitas hidrolik dalam kondisi tak jenuh.
Berdasarkan analisis regresi
berganda pengaruh karakteristik pori terhadap fluks aliran air menunjukkan
bahwa fluks aliran air selama waktu penelitian sangat nyata dipengaruhi oleh
ruang pori air mobil (Fluks = - 1,09 + 0,05 RP air mobil; r = 0,74) (Lampiran 21
dan 22). Semakin banyak proporsi ruang pori air mobil dalam tanah, fluks aliran
air makin besar. Sebaliknya apabila proporsi ruang pori air mobil makin sedikit
dan proporisi ruang pori air imobil makin banyak, maka fluks aliran air makin
rendah. Pada sistem lahan kering, aliran air selalu berada dalam kondisi tak
jenuh, yaitu pada kondisi di bawah kapasitas lapang. Kondisi kadar air selama
pengamatan sering berada pada hisapan matrik < 2 bar, terutama di lapisan bawah
(Lampiran 19, 20, 26, dan 28). Oleh karena itu air yang berada dalam ruang pori
air mobil (ruang pori dengan diameter > 15x10-4 mm) merupakan air yang diikat
lemah oleh matrik tanah dan ikatan kohesi antara molekul air lebih kuat dan
cenderung bergerak, sehingga fluks meningkat
Apabila proporsi ruang pori
59
ukuran besar, seperti ruang pori air mobil, makin sedikit maka proporsi ruang pori
ukuran kecil (ruang pori air imobil) makin besar. Ruang pori air imobil tersebut
cenderung mengikat air secara kuat, sehingga mengurangi fluks aliran air dalam
tanah. Pada sistem lahan kering, seperti pada penelitian ini, pergerakan air secara
cepat melalui pori-pori drainase hanya sering terjadi ketika ada hujan atau
beberapa saat setelah hujan. Setelah kadar air berada di bawah kapasitas lapang,
maka pergerakan air lebih dikendalikan oleh ruang pori air mobil pada ukuran
15x10-4 mm < φ < 0,01 mm, yaitu ruang pori yang dapat dikosongkan oleh
hisapan antara 0,33 bar sampai 2 bar.
Fluks (cm/hari)
0,00
0,01
0,01
0,02
0,02
Kedalaman tanah (cm)
0
0,017
-10
0,009
-20
0,009
-30
0,001
-40
0,004
-50
Gambar 8. Fluks aliran air rataan pada tiap kedalaman tanah
Fluks aliran air rataan tiap kedalaman tanah selama masa pengamatan
berbeda-beda nilainya (Gambar 8) dan menunjukkan fluks positif (pergerakan air
ke atas) akibat pengaruh evapotranspirasi. Hal ini menunjukkan bahwa potensial
air di lapisan bawah sering lebih tinggi (kondisi lebih basah, Lampiran 26 dan
28),
sehingga
air
bergerak
ke lapisan di atasnya.
Fluks aliran air pada
kedalaman 30-40 cm minimum, menunjukkan bahwa pada lapisan tersebut fluks
rataan hampir nol. Pada lapisan tersebut terjadi keseimbangan antara aliran ke
atas dan aliran ke bawah sehingga fluks secara total minimum. Di dalam lapisan
tanah lahan kering hal ini umum terjadi dan disebut zero flux plane. Hal tersebut
menunjukkan bahwa aliran ke bawah pada kedalaman 30-40 cm mulai terhambat
karena redistribusi pada kedalaman > 40 cm sangat lambat. Berdasarkan kadar air
60
harian menunjukkan bahwa pada kedalamn > 30 cm terjadi aliran air ke atas yang
dimulai pada kadar air di bawah kapasitas lapang, sedang pada kedalaman < 30
cm terjadi aliran ke bawah pada kadar air di atas kapasitas lapang. Hal ini
menunjukkan bahwa gradient hidrolik untuk pergerakan air ke atas (< 30cm) lebih
besar daripada ke bawah (>30 cm), dan konduktivitas hidrolik ke lapisan > 30 cm
lebih rendah.
Perbedaan besarnya fluks antara tiap lapisan kedalaman tanah
sangat dipengaruhi oleh potensial air tanah maupun karakteristik pori yang
menentukan kapasitas retensi air dan konduktivitas hidrolik tanah, sehingga secara
bersama-sama menentukan fluks aliran air.
0,15
0-10 cm
Fluks (cm/hari)
10-20 cm
20-30 cm
0,05
30-40 cm
40-50 cm
-0,05
-0,15
30
35
40
45
50
55
60
Kadar air (% vol)
Gambar 9. Hubungan kadar air tanah dengan fluks aliran air
selama masa pertumbuhan tanaman
Apabila fluks aliran air dikaitkan dengan konduktivitas hidrolik tak jenuh
(Lampiran 18 dan Gambar 6), maka fluks aliran air rataan (Gambar 8) terjadi pada
kadar air 33 %, 35 %, 33 %, 33 %, dan 34 % masing-masing untuk kedalaman
0-10 cm, 10-20 cm, 20-30 cm, 30-40 cm, dan 40-50 cm. Berdasarkan data
pengamatan lapang, fluks aliran air ke atas dapat terjadi mulai pada kadar air 38
%, 41 %, 43 %, 44%, dan 47% masing-masing untuk kedalaman 0-10 cm, 10-20
cm, 20-30 cm, 30-40 cm, dan 40-50 cm (Gambar 9). Besarnya kadar air untuk
terjadinya fluks aliran ke atas tersebut sedikit di bawah kadar air kapasitas lapang
masing-masing kedalaman tanah.
Fluks aliran air ke atas
tersebut dapat
menyumbangkan untuk proses evapotranspirasi. Besarnya kadar air untuk mulai
61
terjadinya fluks aliran air ke atas semakin besar dengan makin dalamnya tanah.
Hal ini dikarenakan semakin jauh dari permukaan tanah, makin kecil pengaruh
proses evapotranspirasi. Selain itu, kadar air pada kapasitas lapang di lapisan
bawah lebih besar dibanding lapisan atas (Lampiran 14). Adanya zero flux plane
pada kedalaman 30-40 cm, terlihat pada Gambar 9, bahwa semakin besar kadar air
menyebabkan fluks aliran air bergerak ke atas. Hal ini menunjukkan secara total
gradient potensial air ke atas lebih besar daripada ke bawah.
Fluks aliran air pada zona perakaran dapat menunjukkan laju distribusi air
hujan pada zona perakaran tersebut. Semakin besar fluks aliran air,
memungkinkan pergerakan dan distribusi air sepanjang zona perakaran makin
lancar.
5.2.2. Pergerakan Air Transient dalam Tanah
Pergerakan air transient merupakan pergerakan air dalam tanah yang
kecepatannya selalu berubah setiap saat. Karena terjadi perubahan kecepatan
setiap waktu, maka laju pergerakan air transient tersebut merupakan perubahan
kadar air per satuan waktu (Hanks dan Ascroft, 1986). Pada jarak kedalaman
perakaran tertentu, perubahan kadar air per satuan waktu dapat mencerminkan
perubahan storage (cadangan air) setiap saat.
Laju pergerakan air transient
tergantung pada perubahan fluks aliran air dan mencerminkan dinamika kadar air
dalam tanah. Pada saat terjadi hujan, laju pergerakan air transient dipengaruhi
oleh curah hujan, sedangkan pada saat tidak terjadi hujan tergantung pada
evapotranspirasi.
Pengaruh curah hujan terhadap laju pergerakan air transient pada lahan
penelitian ditunjukkan dalam Gambar 10 dan Lampiran 23. Laju pergerakan air
transient meningkat dengan makin besarnya curah hujan sampai nilai maksimum
dan setelah mencapai nilai maksimum cenderung konstan, dengan koefisien
korelasi 0,76. Pada hujan rendah terjadi perbedaan potensial air yang besar
antara permukaan tanah dengan lapisan di bawahnya yang relatif lebih kering.
Semakin besar jumlah hujan, perbedaan potensial air tanah antara lapisan
tanah atas dengan di bawahnya makin besar yang menyebabkan perbedaan fluks
62
antara kedua lapisan tanah tersebut makin besar, sehingga laju pergerakan air
transient juga makin besar. Dengan tambahan air hujan yang dapat meningkatkan
potensial air di permukaan tanah, maka hujan yang lebih besar lagi membuat
kadar air lapisan tanah sampai kedalaman tertentu makin besar.
Keadaan
demikian menyebabkan perbedaan potensial air lapisan permukaan dengan di
bawahnya makin kecil dan menyebabkan perubahan laju pergerakan air transient
per satuan penambahan jumlah hujan makin rendah (menurun). Apabila tanah
telah mencapai kapasitas retensi maksimum, peningkatan jumlah hujan tidak
menyebabkan perubahan laju pergerakan air transient lagi (penambahan kadar air
4,5
dθ/dt (cm/hari)
3
1,5
0
0,46
dθ/dt =(dθ/dt)0 +(CH/(dθ/dt)maks)
n = 320; r = 0,76
-1,5
;CH<CHKL
-3
0
10
20
30
40
50
60
70
Curah hujan (mm)
Gambar 10. Hubungan curah hujan dengan laju pergerakan air transient
per satuan waktu besarnya nol). Berdasarkan Lampiran 24, besarnya curah hujan
untuk mencapai kondisi kapasitas lapang tanah di lokasi penelitian sebesar 44,65
mm per hari.
Pada curah hujan > 44,65 mm di lokasi penelitian ini, laju
perubahan storage telah mencapai nilai yang konstan, yaitu 2,97 cm/hari.
Apabila kapasitas retensi maksimum tanah makin rendah akibat perubahan
distribusi pori dalam tanah, dengan hujan yang relatif rendah sudah tidak mampu
meningkatkan storage lagi. Namun sebaliknya pada tanah-tanah yang kapasitas
retensi maksimumnya tinggi, maka dengan hujan yang lebih besar baru tercapai
laju perubahan storage maksimum.
63
Pengaruh jumlah hujan terhadap laju pergerakaan air transient (laju
perubahan storage) dalam tanah dapat dimodelkan sebagai berikut:
dθ/dt =(dθ/dt)0+(CH/(dθ/dt) maks)b; CH < CH KL
.............(19)
di mana: dθ/dt = laju pergerakan air transient (cm/hari) berlaku sampai kondisi
kadar air kapasitas lapang;
(dθ/dt)0 = laju pergerakan air transient pada waktu tidak ada hujan;
(dθ/dt)maks=laju pergerakan air transient pada waktu maksimum/konstan;
b adalah suatu konstanta.
Besarnya dθ/dt pada waktu tidak ada hujan, (dθ/dt)0, tergantung pada
kondisi kadar air awal, sehingga berpengaruh pada konduktivitas hidrolik tak
jenuh. Apabila kadar air awal rendah, maka dθ/dt rendah dan apabila kadar air
awal tinggi maka dθ/dt tinggi. Laju perubahan storage pada nilai maksimum
ditentukan oleh kapasitas retensi maksimum tanah, yang dipengaruhi oleh
karakteristik pori tanah. Dengan demikian karakteristik pori di dalam profil tanah
sangat menentukan dalam laju perubahan storage.
Berdasarkan data hasil
pengamatan, besarnya (dθ/dt)0, (dθ/dt)maks, dan b masing-masing adalah -0.24
cm/hari, 2,92 cm/hari, dan 0,46; sehingga persamaan 19 di atas menjadi:
dθ/dt =- 0,24 + (CH/(2,92)0,46; CH < CH KL
...................(20)
Laju pergerakan air transient sangat dipengaruhi oleh karakteristik pori
tanah dalam mengikat air maupun dalam pergerakan air tiap lapisan kedalaman
tanah. Laju pergerakan air transient nyata meningkat oleh peningkatan ruang pori
mikro dengan koefisien korelasi 0,58 (dθ/dt = - 0,85 + 0,03 RP mikro; r = 0,58,
Lampiran 21 dan 22). Laju pergerakan air transient makin besar dengan makin
besarnya ruang pori mikro tanah. Ruang pori mikro merupakan pori yang dapat
menghantarkan air lebih cepat dalam pergerakan tak jenuh dan merupakan ruang
pori yang dapat meretensi air.
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa laju
pergerakan air transient sangat dipengaruhi oleh kapasitas retensi maksimum
64
tanah. Oleh karena itu, makin besarnya ruang pori mikro yang dapat meretensi air
akan meningkatkan laju pergerakan air transient.
Laju aliran air transient menunjukkan laju perubahan kadar air tanah, yang
pada zona kedalaman tertentu dapat menunjukkan perubahan storage. Semakin
lambat laju pergerakan air transient, tanah makin lambat perubahan kadar airnya,
sehingga apabila tanah dalam keadaan defisit air tidak cepat memenuhi kebutuhan
airnya dibandingkan dengan apabila memiliki laju perubahan storage yang lebih
besar.
5. 3. Distribusi Air Tanah Selama Masa Pertumbuhan Tanaman
Distribusi air tanah pada lokasi penelitian selama masa pertumbuhan
tanaman ditampilkan pada Gambar 11, Lampiran 26, dan 28.
Distribusi
air/kelembaban tanah sangat tergantung pada sifat-sifat tanah sebagai agen yang
meretensi/menahan air, pergerakan air dalam tanah yang dapat mendistribusikan
air, dan faktor-faktor yang dapat menambah dan mengurangi air seperti curah
hujan/irigasi dan evapotranspirasi (termasuk ekstraksi akar). Kemampuan tanah
dalam meretensi air, yang nilai maksimumnya dicerminkan oleh nilai kadar air
pada keadaan kapasitas lapang, sangat tergantung pada sifat pori, tekstur, dan
kadar bahan organik tanah (Lal dan Shukla, 2004). Kemampuan retensi air
maksimum tanah ditampilkan pada Lampiran 14. Pada potensial air tanah
tinggi (ψ > -1 bar), kadar air tanah sangat ditentukan oleh distribusi ukuran pori
dan kapilaritas tanah, dalam hal ini dikendalikan oleh struktur tanah.
Pada
potensial air yang lebih rendah, kadar air tanah lebih ditentukan oleh tekstur
tanah (Hillel, 1980; Lal dan Shukla, 2004). Hubungan antara kadar air tanah pada
setiap nilai potensial air tanah lahan penelitian dicerminkan oleh kurva
karakteristik kelembaban tanah/kurva retensi air tanah (Lampiran 19 dan 20).
Pengaruh curah hujan terhadap kapasitas retensi air tanah maksimum
ditunjukkan pada Lampiran 23 dan 24. Semakin besar curah hujan, kadar air
tanah meningkat secara logaritmik menuju nilai yang konstan (Lampiran 24).
Kadar air tanah pada sistem lahan kering mencapai nilai maksimum konstan pada
65
keadaan kapasitas lapang. Pada kadar air yang lebih tinggi dari nilai kapasitas
retensi maksimum, sebagian air terdrainase ke bawah oleh tarikan/gaya gravitasi.
Selain dipengaruhi oleh kemampuan tanah dalam meretensi air, kadar air
pada tiap lapisan kedalaman tanah juga dipengaruhi oleh pergerakan air dalam
tanah baik secara jenuh maupun tak jenuh. Pergerakan air dalam tanah sangat
ditentukan oleh konduktivitas hidrolik tanah dan perbedaan potensial air tanah
CH
15
11,48
Fluks
10
6,76
200
1,37
0,30
5
1,34
-0,08
Fluks(cm)
Curah Hujan (mm)
300
0
-0,73
-2,80
100
-5
-3,87
-5,78
-10
0
-15
1
2
3
4
5
6
7
Umur (minggu)
dθ/dt
20-30 cm
KL
55
0-10 cm
30-40 cm
TLP
8
9
10
10-20 cm
40-50 cm
15
5
45
0
-5
35
dθ/dt (cm)
Kadar air (% vol)
10
-10
25
-15
1
2
3
4
5
6
Umur (minggu)
7
8
9
10
100
Curah hujan (mm)
Curah Hujan
80
60
40
20
24
/0
6/
06
17
/0
6/
06
10
/0
6/
06
03
/0
6/
06
27
/0
5/
06
20
/5
/0
6
13
/0
5/
06
06
/0
5/
06
29
/0
4/
06
22
/0
4/
06
15
/0
4/
06
0
Tanggal
KL = kapasitas lapang, TLP = titik layu permanen
Gambar 11. Hubungan curah hujan, fluks aliran air, laju perubahan
cadangan air, dan kadar air tiap kedalaman tanah selama
masa pertumbuhan tanaman
66
yang merupakan daya penggerak. Seperti yang telah dikemukakan di depan,
konduktivitas hidrolik tanah sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat pori tanah.
Perbedaan potensial air tanah dalam sistem tanah lahan kering sangat tergantung
pada potensial matrik tanah, yang besarnya tergantung pada kadar air tanah.
Hubungan antara hujan, fluks aliran air, laju perubahan cadangan air, dan
kadar air tanah ditampilkan pada Gambar 11. Kadar air tanah selama periode
pertumbuhan tanaman dari lahan penelitian selalu berfluktuasi dengan pola yang
sama pada seluruh kedalaman tanah. Kadar air tanah pada lapisan bawah selama
masa penelitian selalu lebih tinggi daripada lapisan atas. Hal ini dikarenakan
terjadi pada musim hujan, di mana air telah terakumulasi di lapisan bawah. Pola
perubahan kadar air tiap kedalaman tanah menurut waktu mengikuti pola curah
hujan, fluks aliran air ke atas dan ke bawah (fluks positif dan negatif), dan laju
perubahan kadar air (dθ). Namun pengaruh curah hujan terhadap fluks aliran air
maupun laju perubahan storage dikendalikan oleh laju infiltrasi tanah, sehingga
curah hujan yang besar tidak selalu diikuti oleh fluks aliran air yang besar.
Apabila terjadi hujan maka diikuti oleh kenaikan kadar air pada hari berikutnya.
Pada hari-hari terjadi hujan, maka terjadi pergerakan air drainase ke bawah akibat
gaya gravitasi (apabila kadar air tanah melewati kapasitas lapang) atau terjadi
aliran preferential melalui pori-pori makro maupun saluran-saluran atau rekahanrekahan yang ada dalam tanah, diikuti oleh pergerakan tak jenuh melalui pori-pori
mikro tanah. Setelah hujan berhenti terjadi redistribusi air antar matrik tanah
yang merupakan pergerakan air tak jenuh. Oleh karena itu peningkatan kadar air
terlebih dulu terjadi pada tanah lapisan atas diikuti oleh lapisan di bawahnya.
Apabila air yang bergerak/redistribusi dari lapisan atas dapat mencapai kapasitas
lapang di lapisan ke dua (di bawahnya), maka kelebihan air di atas kapasitas
lapang akan mengisi pori di bawahnya lagi. Begitu seterusnya sampai terjadi
keseimbangan berdasarkan perbedaan potensial air.
Namun pada hari-hari tanpa hujan, aliran terjadi sebaliknya yaitu dari bawah
ke atas (fluks positif, Gambar 11) melalui pori-pori mikro secara tak jenuh akibat
proses evaporasi karena pemanasan permukaan tanah oleh radiasi matahari.
Dalam proses evaporasi, karena kadar air di lapisan bawah lebih besar dibanding
67
lapisan di atasnya (Gambar 11) menyebabkan potensial air di lapisan bawah lebih
besar yang merupakan daya penggerak air ke lapisan di atasnya. Air yang
bergerak ke atas tersebut terjadi pada kecepatan yang relatif rendah. Kecepatan
pergerakan air ke atas dapat diperhitungkan dari konduktivitas hidrolik tak jenuh
(Lampiran 18) dan perbedaan potensial air antara lapisan bawah dan atas.
Perbedaan potensial air antara lapisan bawah dengan di atasnya yang memiliki
kadar air berbeda dapat diperhitungkan dari kurva karakteristik kelembaban tanah
(Lampiran 19 dan 20). Di dalam proses evapotranspirasi, apabila kadar air di
permukaan tanah masih berada pada nilai yang cukup untuk proses
evapotranspirasi potensial (minimal pada kondisi kapasitas lapang), maka terjadi
evapotranspirasi yang besarnya konstan. Namun apabila kadar air tidak cukup
lagi
untuk
mencukupi
proses
evapotranspirasi
potensial,
maka
laju
evapotranspirasi besarnya menurun secara gradual mengikuti penurunan kadar air
tanah seperti ditampilkan pada Lampiran 5 (Allen et. al., 1998;
Hanks dan
Ascroft, 1986).
Kelembaban tanah pada seluruh lapisan kedalaman tanah masih berada pada
zona air tersedia/berada di antara kapasitas lapang dan titik layu permanen
(Gambar 11), kecuali pada kedalaman > 30 cm pada hari-hari hujan menunjukkan
lebih besar dari kapasitas lapang. Keadaan ini disebabkan oleh laju penambahan
air dari perkolasi lapisan di atasnya lebih besar daripada laju redistribusi pada
lapisan > 30 cm.
Berdasarkan data Lampiran 1, terlihat bahwa ruang pori
drainase pada lapisan kedalaman tanah > 30 menurun, dan nilai ruang pori mikro
yang dapat mengikat air secara kuat meningkat dibanding lapisan di atasnya.
Distribusi kadar air tiap kedalaman menunjukkan perbedaan yang nyata (Gambar
11, Lampiran 26). Pada lapisan bawah, 40-60 cm, kadar air tanah menunjukkan
lebih tinggi dibanding lapisan di atasnya, 20-40 cm, dan lapisan atas, 0-20 cm,
nyata lebih rendah. Lapisan permukaan merupakan lapisan yang paling tinggi
dalam fluktuasi kadar airnya akibat pengaruh hujan, serapan akar, dan evaporasi
(Hanks dan Ascroft, 1986), sehingga memiliki kadar air yang lebih rendah.
Apabila dikaitkan dengan kebutuhan air bagi tanaman, kadar air tanah
selama masa pertumbuhan jagung manis membutuhkan air irigasi sebesar
68
13,05 mm, yang terjadi antara hari ke 59 sampai 62 dan antara hari ke 67 sampai
68 (Gambar 12 dan Tabel 9). Kebutuhan air irigasi tersebut didasarkan pada zone
perakaran sedalam 20 cm (kedalaman perakaran jagung manis), yang diprediksi
dari kekurangan kadar air di lapangan terhadap kadar air minimum tersedia
(allowable soil moisture depression) yang diperhitungkan menurut Allen et al.
(1998).
Kadar air minimum tersedia merupakan kadar air di mana tanah mulai
perlu mendapatkan irigasi agar pertumbuhan tanaman tidak terganggu. Menurut
Allen et al. (1998), kadar air minimum tersedia bagi tanaman adalah kondisi
50 % air tersedia (Lampiran 5) bagi tanaman jagung manis. Pada kondisi di
bawah kadar air minimum tersedia, tanaman dapat menurun produksinya akibat
KL
TLP
Allen et al.(1998)
KA (0-50 cm)
KA (0-20 cm)
USDA (1991)
Kadar air (% vol)
50
40
30
20
0
20
40
60
80
Waktu (hari)
Gambar 12. Perbandingan antara kadar air tanah dengan kadar air
minimum tersedia bagi tanaman menurut Allen et al.,
(1998) dan USDA (1991) selama masa pertumbuhan
evapotranspirasi potensial tidak terjadi lagi dan kadar air yang ada hanya
memungkinkan untuk proses evapotranspirasi aktual yang besarnya di bawah
evapotranspirasi potensial. Pada kondisi demikian, sebagian stomata tanaman
menutup dan proses fotosintesis tidak berlangsung optimum.
Menurut USDA (1991), apabila laju pertumbuhan tanaman telah menurun
di bawah 80 %, maka tanah dianggap telah memerlukan irigasi karena kadar air
yang ada dalam tanah sudah tidak mencukupi untuk pertumbuhan optimum
tanaman (Lampiran 8). Berdasarkan hasil pengamatan, pertumbuhan tanaman
69
telah menurun di bawah 80% apabila kadar air tanah mencapai kurang dari 40,87
% (vol). Dengan demikian, kebutuhan air irigasi berdasar kriteria USDA (1991)
lebih besar dibanding kebutuhan air irigasi berdasar kriteria Allen et al. (1998)
(Tabel 9). Adapun menurut Mengel dan Kirkby (1982), kebanyakan tanaman
Tabel 9. Kebutuhan irigasi minimum berdasar defisit air pada kedalaman
akar 20 cm dan 50 cm
Defisit air (mm)
Minggu ke
Allen et al., (1998)
USDA (1991)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
50 cm
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
20 cm
0
0
0
0
0
0
0
0
9,11
3,94
50 cm
3,11
0,00
0,00
0,05
0,00
0,00
0,00
0,00
4,30
4,21
20 cm
5,62
1,53
0,66
0,57
14,07
7,88
0,35
3,02
34,26
30,26
Jumlah
0
13,05
11,68
105,71
dapat tumbuh optimum apabila kadar air tanah berada pada potensial air berkisar
antara -0,2 bar sampai -0,5 bar (sebanding pF 2,3 sampai 2,7). Walaupun nilai
kadar air pada titik layu permanen umumnya diukur pada potensial –15 bar,
tanaman dapat mulai mengalami stress air pada kadar air yang berbeda-beda,
antara potensial – 5 bar sampai -7 bar (Mengel dan Kirkby, 1982). Apabila
tanaman telah mengalami stress air; maka respirasi, fotosintesis, translokasi hasil
fotosintesis, dan kemampuan serapan akar terhadap air dan hara menurun.
5. 4. Kadar Hara Selama Masa Pertumbuhan Tanaman
5.4.1 Kadar Nitrogen dalam Tanah
Kadar nitrogen dalam tanah pada waktu panen meningkat dibanding
sebelum tanam (Gambar 13 dan Lampiran 29). Nampaknya penambahan nitrogen
70
berupa urea di permukaan tanah dapat meningkatkan kadar N pada seluruh
kedalaman tanah, kecuali pada kedalaman 20-30 cm. Peningkatan yang terjadi
sampai ke lapisan bawah menunjukkan adanya pergerakan N baik masih berupa
pupuk maupun sudah dalam bentuk N terlarut. Peningkatan N terjadi sampai
kedalaman 40-50 cm, menunjukkan bahwa pergerakan N terjadi akibat curah
hujan yang dapat membawa N maupun kadar air yang dapat melarutkannya.
Kedalaman tanah (cm)
0
-10
-20
-30
N0
-40
N 10
-50
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
Kadar N (%)
Gambar 13. Kadar nitrogen sebelum tanam (N 0)
dan pada waktu panen (N 10)
5.4.2. Kadar Amonium Selama Masa Pertumbuhan Tanaman
Kadar amonium larutan tanah di lahan percobaan selama periode
pertumbuhan tanaman berfluktuasi (Gambar 14, Lampiran 30, dan 31).
Kadar
amonium pada awal musim agak tinggi karena pemupukan pada saat tanam,
kemudian menurun; dan meningkat mencapai puncak pada minggu ke lima
setelah pemupukan susulan pada minggu keempat. Terjadinya puncak amonium
pada minggu ke lima menunjukkan bahwa urea cepat terurai menjadi amonium.
Pemberian pupuk urea yang segera diikuti oleh kejadian hujan lebih cepat terurai,
karena urease cepat terbentuk. Selain itu, urease mudah terbentuk di rhizosfer
yang dipupuk urea akibat aktivitas mikroba meningkat karena eksudat akar
(Mengel, 1985, Tisdale et al., 1993). Setelah minggu ke lima, kadar amonium
menurun kembali sampai akhir musim.
71
Fluktuasi kadar amonium larutan tanah terjadi pada seluruh kedalaman
tanah. Fluktuasi kadar amonium tanah dapat terjadi akibat adanya tambahan dari
pupuk, pengurangan akibat serapan akar, dan perubahan menjadi bentuk nitrat
yang tergantung pada kelembaban tanah. Pada keadaan reaksi tanah mendekati
netral, seperti pada percobaan ini, lebih banyak bentuk amonium diserap tanaman
daripada bentuk nitrat. Namun pada pH yang agak masam, bentuk nitrat lebih
20
15
+
Kadar NH4 (ppm)
banyak diserap tanaman (Tisdale et al., 1993). Perubahan amonium menjadi
10
5
0
0-10 cm
1
2
3
4
5
6
7
11,08 4,813 2,046 5,013 9,628 4,433 6,05
8
9
10
4,72 5,622 4,069
10--20 cm 7,457 2,483 2,104 4,012 17,37 4,519 5,652
5
5,727 4,78
20-30 cm
5,773 3,924 1,308 2,704 17,87 4,603 6,712 4,767 5,587 4,46
30-40 cm
6,525 3,203 1,357 2,674 8,459 5,338 7,053 4,923 5,959
40-50 cm
5,863 2,923 1,452 3,655 9,086 5,571 7,636 4,857 5,384 4,485
4,7
Waktu (minggu)
Gambar 14. Kadar amonium selama masa pertumbuhan tanaman
nitrat tergantung pada suhu dan kelembaban tanah. Pada suhu optimum, apabila
kadar air tanah berada pada potensial > -1/3 bar atau < - 15 bar, proses nitrifikasi
menurun drastis; tetapi pada potensial air -7 bar (pF 3,85) seluruh amonium
dapat dikonversi menjadi nitrat (Tisdale et al., 1993).
Berdasarkan kurva
karakteristik air tanah (Lampiran 20), kadar air tanah selama periode pertumbuhan
tanaman (Gambar 11, Lampiran 26 dan 28), tidak pernah mencapai pF 3,85
sehingga tidak memungkinkan terjadinya nitrifikasi sempurna. Dengan demikian
N dalam tanah bisa berada dalam bentuk amonium maupun nitrat.
Kadar amonium larutan tanah tidak nyata dipengaruhi oleh fluks aliran air,
pergerakan air transient, maupun kadar air tanah (Tabel 10). Amonium dalam
larutan tanah merupakan ion positif (kation) yang mudah diikat oleh koloid/liat
tanah (Mengel, 1985), diimobilisasi oleh mikroba tanah, diserap oleh akar
72
tanaman (Roy et al., 2006), dan segera ternitrifikasi (Tisdale et al., 1993). Oleh
karena itu ion amonium dalam tanah bersifat tidak mobil dan pada tanah lahan
kering kadarnya relatif rendah bila dibandingkan dengan ion nitrat. Walaupun
fluks aliran air tidak menunjukkan pengaruh terhadap kadar amonium tanah, tetapi
dari Gambar 14 terlihat bahwa penambahan pupuk susulan
kelima
pada minggu
secara berangsur meningkatkan kadar amonium di lapisan bawah.
Penurunan kadar amonium dari minggu pertama hingga minggu ke tiga dan
dari minggu ke lima hingga ke sepuluh pada seluruh kedalaman tanah dapat
Tabel 10. Korelasi antara fluks aliran air, laju pergerakan air transient, dan
kadar air terhadap kadar NH4+, NO3-, P, dan K larutan tanah
Peubah
NH4+
NO3-
P
K
Fluks
-0,01
0,08
0,17
0,15
dKA
0,01
-0,08
-0,17
-0,15
KA
-0,10
-0,75*
-0,12
-0,70*
disebabkan oleh serapan akar. Namun peningkatan kadar amonium larutan tanah
di lapisan bawah pada minggu ke sepuluh dibandingkan minggu ke tiga
menunjukkan adanya pergerakan N baik masih berupa pupuk atau sudah dalam
bentuk amonium.
Kadar amonium larutan tanah tidak nyata dipengaruhi oleh kadar air dalam
tanah (Tabel 10). Berdasarkan nilai kadar air pada seluruh kedalaman tanah
(Gambar 11, Lampiran 26 dan Lampiran 28), nilai kadar air tanah tidak memiliki
variasi yang cukup besar, sehingga kadar amonium antar kedalaman tanah juga
berada pada nilai yang relatif sama. Dengan demikian tidak terlihat pengaruh
kadar air tanah terhadap kadar amonium larutan tanah. Apabila kadar air tanah
selama masa pertumbuhan tanaman berfluktuasi pada selang nilai yang lebar (dari
kadar air rendah sampai mendekati jenuh), maka pengaruhnya terhadap kadar
amonium larutan tanah lebih nyata terlihat. Pada kondisi yang sangat kering, ion
amonium dapat terikat kuat oleh liat tanah atau mengalami nitrifikasi sempurna
73
(yang dapat terjadi pada potensial air – 7 bar). Pada kondisi kadar air yang sangat
tinggi, amonium yang terikat koloid/liat tanah dapat terlepas ke larutan tanah.
Mengingat kedalaman perakaran tanaman jagung manis hanya sampai
20 cm, tetapi terlihat bahwa kadar amonium larutan tanah pada kedalaman
> 20 cm menurun dari minggu ke lima sampai ke sepuluh (Gambar 14 dan 15).
Hal ini menunjukkan bahwa kadar amonium di kedalaman > 20 cm ikut
menyumbangkan untuk serapan akar.
Fluks
30-40
0-10
40-50
10-20
20
150
16
75
12
0
8
Curah hujan, Fluks
(mm)
Kadar NH4 (ppm)
CH
20-30
4
-75
0
-150
1
2
3
4 5 6 7 8
Waktu (minggu)
9
10
Gambar 15. Kadar NH4+, curah hujan, dan fluks aliran air
selama massa pertumbuhan tanaman
Hubungan kadar amonium dalam tanah dengan karakteristik pori
menunjukkan korelasi yang rendah (Lampiran 32). Amonium merupakan ion
yang tidak mobil (Mengel, 1985), sehingga tidak mudah bergerak bersama air.
Karena sifatnya yang tidak mobil, ion amonium dalam larutan tanah bergerak
melalui proses difusi, di mana daya penggeraknya adalah perbedaan konsentrasi
ion tersebut. Oleh karena itu pengaruh karakteristik pori terhadap kadar amonium
larutan tanah relatif rendah. Karena ion di dalam tanah berada di dalam ruang
pori, baik pori makro maupun pori mikro, maka ada kecenderungan bahwa
amonium larutan tanah dipengaruhi oleh karakteristik pori secara bersama.
Berdasarkan uji regresi berganda hubungan antara karakteristik pori dengan kadar
amonium larutan tanah menunjukkan bahwa kadar amonium larutan tanah
dipengaruhi oleh ruang pori drainase sangat cepat dengan koefisien korelasi
74
sebesar 0,31 (r = - 0,31) (Lampiran 34). Namun ruang pori drainase sangat cepat
di dalam sistem lahan kering kurang nyata pengaruhnya karena ruang pori tersebut
berfungsi apabila tanah berada dalam keadaan jenuh. Dalam sistem lahan kering,
kondisi jenuh hanya dapat terjadi apabila terjadi hujan yang sampai menjenuhi
tanah. Hal ini hanya dapat terjadi pada saat hujan dalam waktu yang relatif
singkat. Pada kondisi kering, ruang pori drainase berfungsi sebagai ruang pori
aerasi. Karena ion amonium dalam larutan tanah merupakan ion yang sangat
dipengaruhi oleh proses biokimia dalam tanah, maka karakteristik pori yang
sangat menentukan terhadap pergerakan dan distribusi air dan udara dalam tanah
sangat menentukan kelarutan amonium secara tidak langsung. Pengaruh tidak
langsung tersebut melalui kehidupan mikroba yang ada di dalam tanah, di mana
dapat mempercepat transformasi amonium di dalam tanah menjadi bentuk NH4+
yang terimobilisasi atau ternitrifikasi menjadi NO3- (Mengel, 1985).
5.4.3. Kadar Nitrat Selama Masa Pertumbuhan Tanaman
Kadar nitrat larutan tanah selama periode pertumbuhan tanaman ditampilkan
pada Gambar 16, Lampiran 35 dan Lampiran 36. Selama masa pertumbuhan
tanaman, kadar nitrat mengalami fluktuasi seperti halnya amonium. Seperti telah
disebutkan di atas, apabila kadar air tanah lebih tinggi, kadar amonium lebih
dominan tetapi apabila kadar air tanah menurun di bawah kapasitas lapang maka
kadar nitrat lebih dominan karena terjadi perubahan dari amonium menjadi nitrat.
Berbeda dengan amonium, nitrat larutan tanah diserap tanaman pada kondisi
pH tanah lebih rendah daripada amonium yang umumnya diserap pada pH sekitar
netral (Tisdale et al., 1993). Tanaman umumnya lebih banyak menyerap nitrogen
dalam bentuk nitrat daripada bentuk amonium, melalui proses difusi atau aliran
massa. Ion nitrat tanah lebih mudah bergerak bersama aliran air drainase karena
anion exclution. Akibat anion exclution, ion nitrat bergerak cepat ke pusat pori
untuk selanjutnya bergerak dengan kecepatan yang lebih tinggi daripada
kecepatan air pori. Berdasarkan hukum Poiseuille’s (Koorevaar et al., 1983),
kecepatan aliran air di pusat pori lebih besar daripada di dekat dinding pori; dan
akibat heterogenitas ukuran pori di dalam tanah, ion yang berada dalam larutan
75
tanah seperti ion nitrat, dapat mengalami dispersi mekanik (dispersi hidrodinamik)
(Toride, Inoue, dan Leij, 2003).
Pola perubahan kadar nitrat larutan tanah pada seluruh lapisan kedalaman
tanah hampir sama (Gambar 16), yang mana mencapai puncak pada minggu ke
lima (setelah pemupukan urea susulan pada minggu ke empat). Kadar nitrat
mengalami penurunan dari minggu pertama hingga minggu ketiga pada seluruh
kedalaman tanah, akibat serapan oleh akar tanaman. Pemupukan susulan pada
minggu ke empat dapat meningkatkan kadar nitrat di seluruh kedalaman tanah.
Dari minggu ke lima sampai ke sepuluh terjadi penurunan kadar nitrat di seluruh
kedalaman tanah akibat serapan akar tanaman.
-
Kadar NO3 (ppm)
180
150
120
90
60
30
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0-10 cm
52,17 30,07 32,19 53,12 155,7 83,87 61,62 57,25 67,49 49,37
10-20 cm
38,30 15,21 31,23 48,83 57,02 54,21 36,21 51,10 53,70 47,82
20-30 cm
35,36 10,15 22,31 36,42 52,54 49,05 27,88 41,06 42,26 35,40
30-40 cm
33,07 11,25 23,69 38,92 46,78 43,45 26,45 34,68 37,45 34,18
40-50 cm
26,64 10,62 20,26 36,70 40,04 45,42 27,80 31,78 32,90 32,34
Waktu (minggu)
Gambar 16. Kadar NO3- larutan tanah selama masa pertumbuhan tanaman
Kadar nitrat antar lapisan kedalaman tanah menunjukkan penurunan
dengan makin dalamnya tanah (Gambar 17 dan Lampiran 35), dan tidak terdapat
perbedaan pada kedalaman >10 cm. Hal ini umum terjadi pada lahan-lahan
pertanian karena kadar N lebih banyak dalam bentuk organik dan nitrogen tanah
sangat mudah diimobilisasi di lapisan atas/permukaan (Roy et al.,
2006),
sehingga kadarnya menurun dengan kedalaman tanah. Fluktuasi nitrat di lapisan
atas juga lebih besar daripada di lapisan bawah, karena lapisan permukaan tanah
lebih sering kena panas sinar matahari dan hujan yang menyebabkan fluktuasi
76
suhu dan kelembaban lebih besar dibanding lapisan tanah di bawahnya. Adanya
pengaruh kelembaban dan suhu menyebabkan proses perubahan amonium
menjadi nitrat lebih cepat. Menurut Tisdale et al. (1993), pada kadar air yang
sangat rendah (Ψ < - 15 bar) ketersediaan nitrat tanah rendah, kemudian dengan
naiknya kadar air meningkatkan kadar nitrat tanah. Pada kadar air lebih besar dari
kapasitas lapang kadar nitrat juga rendah atau hilang bersama air drainase. Oleh
karena itu, lapisan permukaan tanah yang lebih sering kena panas sinar matahari
dan hujan, kadar nitrat tanah sangat berfluktuasi.
Kadar NO3 - (ppm)
80
60
40
a
b
20
0
NO3-
0-10 cm 10-20
64,29
43,36
c
bc
c
20-30
30-40
40-50
35,24
32,99
30,45
Kedalaman tanah ( cm)
Gambar 17. Kadar NO3- larutan tanah tiap kedalaman tanah
Kadar nitrat dalam larutan tanah tidak nyata dipengaruhi oleh fluks aliran air
maupun laju perubahan storage, tetapi sangat nyata dipengaruhi oleh kadar air
dalam tanah (Tabel 10, Gambar 18, dan Lampiran 38). Walaupun fluks aliran air
tidak nyata pengaruhnya terhadap kadar nitrat larutan tanah, tetapi dari Gambar 16
terlihat bahwa terjadi peningkatan kadar nitrat tanah di lapisan bawah pada
minggu ke sepuluh. Hal ini menunjukkan adanya pergerakan nitrat dari lapisan
atas ke bawah.
Pengaruh pergerakan air terhadap kadar nitrat larutan tanah terjadi secara
tidak langsung, yaitu melalui perubahan kadar air dalam tanah, maupun pengaruh
pergerakan air terhadap pergerakan nitrat. Kadar nitrat dalam tanah menurun
77
secara linier dengan makin besarnya kadar air tanah, dengan koefisien korelasi
sebesar 0,75 (Gambar 18). Penurunan kadar nitrat pada kondisi kadar air tanah
yang makin tinggi disebabkan oleh: 1) terhambatnya proses nitrifikasi, 2) tercuci,
dan 3) terdenitrifikasi (Roy et al., 2006). Seperti telah disebutkan di atas, pada
kadar air yang lebih tinggi dapat menghambat perubahan amonium menjadi nitrat
(Tisdale et al., 1993) karena lebih tingginya kadar air dapat menurunkan laju
difusi oksigen (Letey, 1985).
Kadar NO3 (ppm)
100
-
NO3 = 171,41 - 3,05 KA; r = 0,75, n = 141
80
60
40
20
0
30
34
38
42
46
50
54
Kadar air (% vol)
.
Gambar 18. Pengaruh kadar air terhadap kadar nitrat
larutan tanah
Peningkatan kadar air, terutama di atas kapasitas lapang (kadar air > 44 %
volume, Lampiran 14), menyebabkan nitrat yang sangat mobil mudah terbawa
oleh aliran air drainase dalam (perkolasi). Berdasarkan Lampiran 26 dan 28,
kadar air tanah di lokasi penelitian pada masa pertumbuhan tanaman sering berada
dalam keadaan di atas kapasitas lapang (kadar air > 44 %). Nitrat yang bermuatan
negatif, ditolak oleh koloid tanah yang bermuatan negatif (anion exclution),
sehingga
menuju
ke
pusat
pori dan bergerak bersama aliran air dengan
kecepatan lebih besar daripada kecepatan air pori. Pergerakan nitrat bersama
aliran air di pusat pori melalui ruang-ruang pori yang beragam ukurannya,
menyebabkan ion nitrat terdispersi secara hidrodinamik (Ross, 1989; Tinker dan
Nye, 2000; Toride et al., 2003).
78
Pengurangan nitrat oleh proses denitrifikasi dapat terjadi karena pada kadar
air tanah yang tinggi, ruang pori tanah lebih banyak terisi oleh air sehingga laju
difusi oksigen terhambat (Letey, 1985). Pengurangan laju difusi oksigen juga
dapat terjadi apabila pada tempat-tempat tertentu di dalam solum tanah, ruang pori
yang ada didominasi oleh ruang pori air imobil. Kekurangan oksigen di dalam
tanah menyebabkan mikroba yang mendekomposisi bahan organik secara anaerob
lebih berperan. Mikroba anaerob tersebut mampu menggunakan NO3- sebagai
akseptor elektron yang berfungsi menggantikan O2 (dalam respirasi aerobik),
sehingga ion nitrat berubah menjadi N2O atau N2 dan hilang ke atmosfer
(Alexander, 1977; Tisdale et al., 1993) seperti reaksi berikut:
+ 4H
2 HNO3
-2 H2O
2 HNO2
-2 H2O
2 NO
+ 2H
N2 O
- H2O
- H2O
N2
NO3 = - 2,16 RP air imobil + 128,33;
n = 125; r = 0,51
100
Kadar NO3 (ppm)
+ 2H
+ 2H
80
60
40
20
0
25
30
35
40
45
50
RP air imobil (% vol)
Gambar 19. Pengaruh ruang pori air imobil terhadap
kadar NO3- larutan tanah
Pengaruh karakteristik pori terhadap kadar nitrat larutan tanah menunjukkan
bahwa kadar nitrat larutan tanah menurun dengan makin banyaknya ruang pori air
imobil dengan koefisien korelasi 0,51 (Gambar 19, Lampiran 32 dan 34).
Walaupun ion nitrat di dalam larutan tanah bersifat mobil, tetapi apabila berada di
dalam ruang pori air imobil tanah, maka pergerakan ion nitrat menjadi terbatas.
79
Seperti telah diuraikan di atas, bahwa pergerakan ion, seperti nitrat, melalui aliran
massa sangat ditentukan oleh diameter pori tanah. Kecepatan air pori pada ruang
pori mikro lebih lambat dibanding dalam pori makro (Koorevaar et al., 1983).
Ruang pori air imobil merupakan ruang pori mikro dengan ukuran < 15 x 10-4
mm, yang mana air yang ada di dalamnya dapat dikosongkan dengan tekanan > 2
bar. Seperti telah disebutkan di atas, apabila proporsi ruang pori air imobil di
dalam tanah lebih dominan, maka ruang pori tersebut lebih banyak mengikat air
dan laju difusi oksigen ke dalam tanah menurun drastis.
Keadaan demikian
mempengaruhi proses pembentukan nitrat (nitrifikasi) maupun meningkatkan
proses denitrifikasi, sehingga kadar nitrat di dalam larutan tanah menurun. Oleh
karena itu, makin banyaknya ruang pori air imobil dalam tanah menyebabkan
kadar nitrat tanah makin berkurang.
5.4.4. Kadar Fosfor dalam Tanah
Kadar fosfor dalam tanah lahan penelitian pada waktu panen meningkat
Kedalaman tanah (cm)
dibanding sebelum tanam (Gambar 20). Seperti halnya nitrogen, penambahan
0
-10
-20
-30
P0
-40
P10
-50
-1
0
1
2
3
4
5
Kadar P (ppm)
Gambar 20. Kadar fosfor sebelum tanam (Po)
dan pada waktu panen (P10)
fosfor di permukaan tanah dapat meningkatkan kadar P pada seluruh kedalaman
tanah. Peningkatan secara nyata terlihat di kedalaman 10-20 cm. Hal ini
menunjukkan bahwa terjadi pelarutan P yang besar pada kedalaman 10-20 cm,
80
karena penempatan pupuk di bawah permukaan tanah (0-10 cm). Peningkatan
kadar P pada waktu panen berangsur menurun dengan makin dalamnya lapisan
tanah (Gambar 20).
Peningkatan kadar P pada seluruh lapisan kedalaman tanah dapat terjadi
karena perubahan lingkungan kimia tanah akibat adanya pengapuran pada awal
tanam maupun adanya eksudat akar selama masa pertumbuhan tanaman (Mengel,
1985; Roy et al., 2006). Bahan kapur mudah larut dan terbawa ke lapisan bawah
bersama aliran air sehingga dapat meningkatkan pH dan memperbaiki lingkungan
biokimia tanah sampai ke lapisan bawah dan meningkatkan kelarutan P. Adapun
eksudat akar dapat meningkatkan asam-asam organik, sehingga terjadi pertukaran
anion di dalam komplek jerapan tanah.
5. 4. 5. Kadar Fosfor Selama Masa Pertumbuhan Tanaman
Kadar fosfor larutan tanah selama masa pertumbuhan tanaman tiap
kedalaman tanah ditampilkan pada Gambar 21, Lampiran 39, dan 40. Selama
Kadar P (ppm)
5
4
3
2
1
0
0-10 cm
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1,879 2,581 4,818 3,303 1,688 1,91 2,991 2,126 2,097 1,976
10-20 cm 0,982 2,048 3,937 2,935 2,067 2,366 2,452 1,858 1,866 1,366
20-30 cm 0,531 1,239 3,365 2,104 1,868 1,581 2,226 1,587 0,813 0,81
30-40 cm 0,512 1,065 3,477 1,988 1,525 1,445 2,13 1,027 0,64 0,742
40-50 cm 0,475 1,163 3,624 2,071 1,548 1,561 2,108 1,013 0,642 0,701
Waktu (minggu)
Gambar 21. Kadar P larutan tanah selama masa pertumbuhan tanaman
masa pertumbuhan tanaman, kadar P pada lahan percobaan berfluktuasi di mana
pada awalnya rendah, kemudian naik mencapai puncaknya pada umur tiga
minggu, dan pada umur tujuh minggu terjadi sedikit peningkatan kembali.
81
Setelah umur tanaman tujuh minggu, kadar P menurun. Kadar P pada umur
tanaman tiga minggu mencapai puncak pada seluruh kedalaman tanah (Gambar
21). Hal ini menunjukkan adanya pergerakan fosfor dari lapisan atas ke lapisan
bawah, atau terjadi peningkatan kelarutan P sampai ke lapisan yang paling bawah
zona perakaran (50 cm) akibat perubahan lingkungan kimia/reaksi tanah. Adanya
puncak kadar P pada umur tiga dan tujuh minggu, dapat terjadi akibat hujan yang
turun sebelumnya dengan jumlah cukup tinggi (Gambar 11). Jumlah hujan yang
tinggi dapat membawa solute lebih banyak ke lapisan yang lebih dalam
(Granovsky et al, 1993). Menurut Akhtar et al. (2003) dan Toor et al. (2004),
walaupun ion fosfat tidak mudah larut dan terbawa oleh aliran air, tetapi dapat
bergerak ke lapisan bawah melalui aliran preferential baik dalam bentuk terlarut,
masih berupa pupuk, maupun teradsorpsi oleh koloid tanah. Aliran preferential
tersebut dapat terjadi pada saat hujan besar yang hanya melewati pori-pori makro,
walaupun tidak sampai menjenuhi tanah. Dari Gambar 11 terlihat bahwa hujan
yang terjadi cukup besar, sehingga berpeluang menimbulkan aliran preferential
yang dapat membawa hara P.
Kadar P (ppm)
3
2
1
0
P
a
ab
ab
b
b
0-10 cm
10-20
20-30
30-40
40-50
2,54
2,19
1,61
1,45
1,49
Kedalaman tanah (cm)
Gambar 22. Kadar P larutan tanah pada tiap kedalaman tanah
Kadar P pada tiap lapisan kedalaman tanah besarnya menurun dengan makin
dalamnya tanah (Gambar 22). Perubahan kadar P tersebut terjadi secara gradual.
Tingginya
kadar P
di lapisan
permukaan
tanah dapat
disebabkan oleh
82
penambahan
dari
pupuk,
di
mana
pemupukan
dilakukan
di
lapisan
permukaan tanah (0-10 cm). Kadar P pada lapisan 0-30 cm tidak berbeda nyata
secara statistik antar jarak kedalaman tanah 10 cm (Gambar 22 dan Lampiran 39).
Hal ini menunjukkan bahwa P dalam tanah dapat bergerak sampai kedalaman
30 cm, akibat pemupukan yang dilakukan pada kedalaman 0-10 cm.
Berdasarkan analisis regresi dan korelasi, tidak ada pengaruh fluks aliran air,
laju pergerakan air transient, dan kadar air terhadap kadar P larutan tanah (Tabel
10). Fosfor dalam tanah cenderung diikat kuat oleh koloid tanah melalui jerapan
spesifik dan non spesifik (Nye dan Tinker, 2000). Jerapan spesifik terjadi akibat
pertukaran ligand antara gugus hidroksil dengan ion fosfat, sedangkan jerapan non
spesifik dapat terjadi oleh Al dan Fe hidrooksida yang terprotonisasi, terutama
pada pH rendah. Al dan Fe hidrooksida yang terprotonisasi pada pH rendah
tersebut menyebabkan muatan positif, sehingga meningkatkan adsorpsi terhadap
ion fosfat. Pada tanah Inceptisols, kedua proses adsorpsi tersebut sangat potensial
untuk terjadi.
P = 0,12 RP air mobil - 0,85; r = 0,60, n = 125
Kadar P (ppm)
6
4
2
0
0
10
20
30
40
Ruang pori air mobil (% vol)
Gambar 23. Pengaruh ruang pori air mobil terhadap kadar P
larutan tanah
Pengaruh karakteristik pori terhadap kadar P larutan tanah menunjukkan
bahwa ruang pori air mobil nyata meningkatkan kadar P larutan tanah dengan
koefisien korelasi 0,60 (Gambar 23, Lampiran 32 dan 34). Fosfor dalam larutan
83
tanah berada dalam ruang pori, baik ruang pori makro maupun mikro. Apabila di
dalam tanah lebih banyak didominasi oleh ruang pori air mobil, maka ion
P lebih banyak berada dalam ruang pori tersebut; dan apabila berada pada
permukaan matrik tanah maka diikat lebih lemah dibandingkan apabila berada
dalam ruang pori air imobil. Menurut Linguist et al. (1997) dan Wang (2001),
tanah-tanah yang didominasi oleh agregat-agregat besar lebih mudah mendesorpsi
P daripada yang didominasi oleh agregat-agregat yang berukuran kecil, karena
agregat yang berukuran lebih besar memiliki ruang pori makro lebih banyak.
Semakin lemah adsorpsi P oleh koloid tanah memungkinkan P lebih mudah larut
dalam tanah. Dengan demikian makin banyaknya ruang pori air mobil, makin
banyak P dalam larutan tanah.
Kadar P dari seluruh kedalaman tanah masih dalam kadar yang lebih besar
dari yang dibutuhkan oleh tanaman.
Kebutuhan P yang diperlukan tanaman
jagung untuk dapat berproduksi tinggi adalah > 0,05 ppm (Tisdale et al., 1993).
Ion fosfat yang larut air dapat diserap tanaman melalui proses difusi dan sebagian
kecil melalui aliran massa.
5. 4. 6. Kadar Kalium dalam Tanah
Berbeda dengan nitrogen dan fosfor, kadar kalium di seluruh kedalaman
tanah pada waktu panen menurun dibanding sebelum tanam (Gambar 24).
Kedalaman tanah (cm)
0
-10
-20
-30
-40
K0
K 10
-50
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
Kadar K (me/100 g)
Gambar 24. Kadar kalium sebelum tanam (K 0) dan
pada waktu panen (K 10)
84
Pengurangan kadar kalium tersedia sampai kedalaman 50 cm pada waktu panen
menunjukkan bahwa ion kalium banyak diserap tanaman. Ion kalium dapat
diserap tanaman dalam jumlah berlebih dari kebutuhan tanaman tanpa menambah
peningkatkan produksi tanaman (luxury consumption).
Menurut Tan (1994),
serapan akar tanaman terhadap ion kalium lebih tinggi dibanding serapan terhadap
Nitrogen atau Fosfor.
Mengingat kedalaman perakaran jagung manis hanya sampai 20 cm,
pengurangan kadar kalium sampai kedalaman 50 cm selama masa pertumbuhan
tanaman dapat terjadi apabila kalium bergerak dari lapisan bawah ke lapisan atas
bersama aliran air tak jenuh secara difusi untuk selanjutnya tersedia dan diserap
oleh tanaman. Pergerakan air tak jenuh dari bawah ke atas dapat terjadi bersama
fluks aliran positif tanah (aliran ke atas). Dari Gambar 25, terlihat bahwa fluks
positif yang terjadi pada minggu ke empat dapat meningkatkan kadar K pada
minggu ke lima, terutama pada lapisan 0-10 cm.
5.4.7. Kadar Kalium Selama Masa Pertumbuhan Tanaman
Kadar kalium larutan tanah selama musim pertumbuhan tanaman
ditampilkan pada Gambar 25, Lampiran 42, dan Lampiran 43. Kadar kalium pada
awal musim pertumbuhan tanaman tinggi (terutama pada kedalaman 0-20 cm),
kemudian turun dan meningkat kembali pada minggu ke lima. Setelah minggu ke
lima berangsur turun ke nilai yang relatif konstan. Penurunan ini terutama terjadi
di lapisan atas, sedangkan kadar K di lapisan bawah relatif konstan sejak
awal sampai akhir musim. Pengurangan kadar kalium larutan tanah di lapisan
atas lebih besar dibanding lapisan di bawahnya.
Hal ini dapat terjadi oleh
ekstraksi akar. Kalium merupakan unsur hara yang mudah larut dalam tanah dan
selalu berkeseimbangan dengan K terjerap dan K mineral tanah (Mengel dan
Kirkby, 1982). Kelarutan kalium yang tinggi terlihat dari kadar K larutan tanah
yang tinggi pada awal musim, terutama di kedalaman 0-10 cm akibat pemupukan
pada waktu tanam. Karena kalium mudah larut, maka kalium yang ada dalam
larutan tanah bersifat sangat mobil bersama aliran air dalam tanah. Apabila
terjadi hujan dan air bergerak ke lapisan tanah bawah maka ion kalium ikut
85
terbawa ke lapisan bawah. Begitu hujan berhenti, apabila terjadi evaporasi maka
ion kalium ikut bergerak bersama aliran air ke lapisan atas melalui proses difusi.
Hal seperti ini tampak pada minggu ke 5 dan ke 6, di mana pada minggu ke lima
tersebut hujan yang relatif kecil terjadi pada awal minggu ke lima (Gambar 25),
sehingga kadar air tanah berkurang akibat penguapan. Proses tersebut dapat
meningkatkan kadar kalium di lapisan atas dibanding minggu sebelumnya, akibat
fluks aliran air ke atas. Kenaikan kadar kalium terutama terjadi pada lapisan atas
dS
Fluks
0-10 cm
20-30 cm
30-40 cm
40-50 cm
10-20 cm
150
Kadar K (ppm)
20
75
15
0
10
-75
5
0
dS/dt, Fluks (mm)
25
-150
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Waktu (minggu)
Curah hujan (mm)
100
80
60
40
20
15
/0
4/
06
22
/0
4/
06
29
/0
4/
06
06
/0
5/
06
13
/0
5/
06
20
/5
/0
6
27
/0
5/
06
03
/0
6/
06
10
/0
6/
06
17
/0
6/
06
24
/0
6/
06
0
Tanggal
Gambar 25. Kadar K, fluks, dan curah hujan selama masa pertumbuhan
0-10 cm. Oleh karena ion K+ sangat mudah terbawa air, maka kadar K larutan
tanah di lapisan atas selama masa pertumbuhan tanaman selalu pada kadar lebih
tinggi dibanding lapisan di bawahnya (Gambar 25). Dalam keadaan demikian,
kalium terlarut mudah dibawa oleh aliran air dan menuju ke akar tanaman
(Tisdale et al., 1993).
86
Kadar kalium larutan tanah menurun secara nyata dengan makin dalamnya
lapisan tanah dan menunjukkan nilai yang konstan pada lapisan tanah yang lebih
dalam (> 20 cm) (Gambar 26 dan Lampiran 42). Hal ini disebabkan oleh adanya
tambahan pupuk di lapisan atas, sehingga kadar K di lapisan atas nyata lebih
tinggi daripada lapisan di bawahnya.
Dengan makin jauhnya jarak dari
permukaan tanah menyebabkan kadar kalium makin berkurang. Namun karena
ion kalium dapat terbawa aliran air ke lapisan atas bersama fluks positif, maka
kadar kalium di lapisan bawah (> 20 cm) pada waktu panen relatif konstan
dibanding awal tanam (Gambar 25).
Kadar K (ppm)
15
12
9
6
a
b
3
0
K
c
cd
d
0-10
10-20
20-30
30-40
40-50
13,23
7,77
5,05
4,11
3,60
Kedalaman tanah (cm)
Gambar 26. Kadar K larutan tanah pada tiap kedalaman tanah
Kadar kalium larutan tanah tidak nyata dipengaruhi oleh fluks aliran air
maupun laju pergerakan air transient (Tabel 10). Walaupun dari sebaran grafik
pada Gambar 25 menunjukkan bahwa kadar K larutan tanah mengikuti pola aliran
air dalam tanah, tetapi laju/kecepatan aliran tidak berpengaruh terhadap kadar K
larutan tanah. Kalium dalam larutan tanah dapat terbawa oleh aliran air. Jadi
kadar K larutan tanah pada kedalaman tertentu lebih disebabkan oleh air yang
dapat membawa K terlarut daripada kecepatan pergerakan air.
Kecepatan
pergerakan air lebih berpengaruh terhadap kecepatan perubahan kadar K larutan
tanah, bukan terhadap kadar K larutan tanah. Kadar K larutan tanah lebih nyata
dipengaruhi oleh kadar air tanah (Tabel 10, Gambar 27, dan Lampiran 38).
87
Semakin besar kadar air tanah, kadar kalium larutan tanah makin
menurun,
dengan koefisien korelasi sebesar 0.70. Kadar kalium larutan tanah sangat
tergantung pada kadar air tanah dan pergerakan air dalam tanah secara jenuh
maupun tak jenuh. Roy et al., (2006) menyatakan bahwa pada tanah yang lebih
kering, kalium diikat kuat oleh koloid tanah. Dengan makin besarnya kadar air
dalam tanah, kelarutan kalium meningkat dan cenderung bergerak bersama aliran
air keluar dari zona perakaran atau diserap tanaman. Oleh karena itu dengan
makin besarnya kadar air, yang mana dalam penelitian ini pengukuran hingga
15
Kadar K (ppm)
K = - 0,35 KA + 20,15; r = 0,70, n = 108
12
9
6
3
0
30
34
38
42
46
50
54
Kadar air (% vol)
Gambar 27. Hubungan kadar air dengan kadar K larutan tanah
mencapai kadar air di atas kapasitas lapang (Gambar 11, Lampiran 26, dan
Lampiran 28), kadar kalium dalam larutan tanah makin berkurang. Pada kondisi
di atas kapasitas lapang, kalium yang terlarut sangat mudah hilang bersama aliran
air drainase.
Seperti halnya ion-ion yang lain dalam tanah, ion kalium berada dalam pori
tanah, baik pori makro maupun pori mikro, dalam keadaan terlarut maupun
teradsorpsi pada matrik tanah.
Oleh karena itu, karakteristik pori dapat
mempengaruhi kadar kalium terlarut dalam tanah. Berdasarkan analisis regresi
dan korelasi, ruang pori air mobil dan ruang pori air imobil secara bersama
berpengaruh nyata terhadap kadar K larutan tanah.dengan koefisien korelasi 0,64
(Lampiran 34). Semakin besar ruang pori air mobil, kadar K larutan tanah makin
88
besar dengan koefisien korelasi sebesar 0,61 (Gambar 28, Lampiran 32, dan
Lampiran 34).
Ruang pori air mobil merupakan pori yang berukuran besar (dapat
dikosongkan oleh tekanan < 2 bar), sehingga ion kalium yang berada dalam pori
tersebut diadsorpsi kurang kuat dibanding dengan kalium yang berada pada pori
K = 0,34 RP air mobil - 2,00 ;
r = 0,61; n = 138
Kadar K (ppm)
20
15
10
5
0
0
7
14
21
28
35
Ruang pori air mobil (% vol )
Gambar 28. Hubungan ruang pori air mobil dengan
kadar K larutan tanah
yang lebih kecil. Dengan demikian apabila dalam tanah banyak didominasi oleh
ruang pori air mobil, kalium lebih mudah didesorpsi ke dalam larutan tanah
sehingga kalium yang terlarut dalam larutan tanah lebih besar.
Kadar K (ppm)
20
K = - 0,48 RP air imobil + 25,19;
n = 138; r = 0,54
16
12
8
4
0
20
30
40
50
60
Ruang pori air imobil (% vol)
Gambar 29. Hubungan ruang pori air imobil dengan
kadar K larutan tanah
89
Hal sebaliknya terjadi oleh pengaruh ruang pori air imobil terhadap kadar K
larutan tanah. Kadar K larutan tanah makin berkurang dengan makin besarnya
ruang pori air imobil dengan koefisien korelasi sebesar 0,54 (Gambar 29,
Lampiran 32, dan 34). Seperti halnya ion nitrat, apabila ion kalium berada di
dalam ruang pori yang kecil sulit bergerak karena dengan makin kecilnya ukuran
pori maupun makin meningkatnya tortuositas pori tanah dapat mengurangi laju
pergerakan ion K melalui proses difusi (Tisdale et al., 1993; Tinker dan Nye,
2000). Oleh karena itu, makin banyaknya ruang pori air imobil, kadar K larutan
tanah makin berkurang.
5. 5. Produksi Tanaman
Produksi tanaman berupa bobot tanaman maupun bobot tongkol jagung
manis ditampilkan pada Tabel 11 dan Lampiran 45 dan 46. Produksi tanaman
baik berupa bobot tanaman maupun bobot tongkol memiliki variasi yang cukup
besar (51 % untuk bobot tanaman, dan 42 % untuk bobot tongkol jagung). Variasi
produksi yang besar tersebut disebabkan oleh karakteristik pori yang dapat
Tabel 11. Produksi tanaman dan tongkol jagung
No
1
2
Parameter
Bobot tanaman (kg/ha)
Sdx
CV (%)
n
Bobot tongkol (kg/ha)
Sdx
CV (%)
n
Nilai
5 301,52
2 685,87
50,66
30
5 479,02
2 292,46
41,84
30
berpengaruh terhadap sifat-sifat tanah yang lain dan akhirnya berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman.
Menurut Roy et al. (2006),
karakteristik pori tanah berpengaruh terhadap rasio ruang pori (pore space ratio,
PSR atau void ratio), yaitu rasio antara ruang pori terhadap ruang padatan tanah.
Rasio ruang pori tersebut sangat menentukan dinamika air, udara, suhu, hara
90
tanaman, dan pori yang tersedia untuk pertumbuhan akar tanaman, serta
memudahkan di dalam pengolahan tanah.
Apabila dikaitkan dengan sifat-sifat fisik tanah, kadar air, dan hara tanah,
maka produksi tanaman lebih dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik tanah yang dapat
menyediakan air, oksigen, dan menstimulasi pertumbuhan akar tanaman, serta
ketersediaan hara fosfor dan kalium tanah (Tabel 12 dan Lampiran 47). Menurut
Letey (1985), sifat-sifat fisik tanah seperti distribusi pori, stabilitas agregat, bobot
isi, dan tekstur tanah mempengaruhi air, oksigen, suhu, dan ketahanan penetrasi
tanah yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Seperti telah
diuraikan di depan, bahwa beberapa sifat pori tanah sangat mempengaruhi
pergerakan air dalam tanah, sehingga dengan kondisi pori tanah yang lebih baik
Tabel 12. Pengaruh sifat-sifat fisik tanah, kadar air, dan kadar hara tanah
kedalaman 0-50 cm terhadap produksi tanaman
No
1
2
Variabel
respon
Bobot
tanaman
Bobot
tongkol
Model
Bobot tanaman = - 64441 - 195 KA + 150 K + 449 P + 53372 BI
+ 961 RPD + 218 RPAT
Bobot tongkol = - 53417 -157 KA + 113 K + 348 P + 47044 BI
+ 769 RPD
R
0,70
0,71
Keterangan: KA = Kadar air (% vol), , RPD = ruang pori drainase (% vol), K = kadar kalium tanah
(ppm), P = kadar fosfor tanah (ppm), BI = bobot isi (g/cm3), RPD = ruang pori drainase
(% vol), dan RPAT = ruang pori air tersedia (% vol).
dapat meningkatkan produksi tanaman. Pergerakan air dalam tanah lahan kering
dapat memperbaiki aerasi, mendistribusikan air sehingga air cukup bagi tanaman,
melarutkan hara sehingga tersedia bagi tanaman, dan mentransportasikan hara
menuju akar tanaman. Begitu juga dengan fosfor dan kalium tanah berperan
penting dalam pertumbuhan dan produksi tanaman (Tisdale et al., 1993).
Dari Tabel 12 terlihat bahwa sifat-sifat tanah yang berpengaruh terhadap
bobot tanaman adalah kadar air, kalium, fosfor, bobot isi, ruang pori aerasi
(ruang pori drainase), dan ruang pori air tersedia tanah. Adapun sifat-sifat
tanah yang berpengaruh terhadap bobot tongkol adalah kadar air, kalium, fosfor,
bobot isi, dan ruang pori aerasi (ruang pori drainase) tanah. Ruang pori air
91
tersedia berpengaruh terhadap bobot tanaman, tetapi tidak berpengaruh terhadap
bobot tongkol. Semakin tinggi kadar air tanah, bobot tanaman maupun bobot
tongkol tongkol makin berkurang. Berdasarkan data hasil pengamatan (Lampiran
28), kadar air tanah selama masa pertumbuhan tanaman sering berada di atas
kapasitas lapang, sehingga dapat mengurangi aerasi tanah, mengganggu
perkembangan akar, dan akhirnya menurunkan bobot tanaman maupun tongkol.
Seperti telah disebutkan di depan, bahwa kadar air dalam tanah yang makin besar
secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap kadar hara dalam tanah;
sehingga keadaan demikian berpengaruh juga terhadap pertumbuhan dan produksi
tanaman.
Bobot isi tanah sangat menentukan arah dan pertumbuhan akar tanaman
baik
secara langsung maupun tak langsung.
Pengaruh langsung bobot isi
terhadap pertumbuhan akar adalah kemampuan penetrasi akar; sedangkan
pengaruh tak langsung adalah terhadap ketersediaan air dan hara bagi tanaman.
Banyak hasil penelitian menyatakan bahwa perakaran tanaman mulai terhambat
pada ketahanan penetrasi yang berbeda-beda. Menurut Addae dan Pearson
(1992), dalam sistem yang terkontrol, kepadatan tanah dapat menghambat
perakaran tanaman bila mencapai 0,76 kPa. Adapun So dan Woodhead (1986)
menyatakan bahwa akar tanaman mulai terhambat bila tekanan penetrometer > 3
MPa (=300 kgf/cm2) atau bobot isi > 1,4 gram/cm3 untuk tanah tekstur liat atau
>1,8 gram/cm3 untuk tanah tekstur pasir (Pearson et al., 1995).
Perimbangan jumlah ruang pori drainase dan ruang pori air tersedia sangat
berpengaruh pada pergerakan air dan udara yang selanjutnya berpengaruh pada
ketersediaan air, udara, dan hara. Kramer (1977) menyatakan bahwa aerasi tanah
mempengaruhi serapan air dan hara tanaman, sehingga mempengaruhi produksi
tanaman.
5.6. Pembahasan Umum
Dari uraian yang telah dikemukakan di depan, terdapat beberapa masalah di
dalam pergerakan air dan kadar hara dalam tanah, yang berkaitan dengan
pengelolaan tanah dan konservasi tanah dan air
92
5.6.1. Pergerakan Air dalam Tanah
Pergerakan dan distribusi air dalam tanah di lahan kering merupakan
informasi penting untuk konservasi air maupun pengelolaan tanah. Pada sistem
lahan kering, pergerakan air dalam tanah penting untuk meresapkan air hujan
sebanyak-banyaknya dan mendistribusikannya.
Peresapan air sebanyak-
banyaknya penting untuk konservasi air agar tidak menimbulkan aliran
permukaan di lahan miring yang pada gilirannya mengakibatkan erosi, atau
menimbulkan genangan di lahan datar yang dapat menyebabkan surface sealing
dan surface crusting bila kering kembali. Namun konservasi air di lahan kering
juga perlu mempertimbangkan air untuk dapat tersimpan di zona perakaran agar
dapat dimanfaatkan tanaman. Berdasarkan data yang telah ditampilkan di depan,
maka untuk mencapai perimbangan antara air hujan yang masuk ke dalam tanah
dan kemudian keluar dari zona perakaran dengan air untuk ketersediaan bagi
tanaman, maka perlu pengelolaan tanah sehingga terjadi perimbangan antara fluks
aliran air, laju perubahan storage, dan kapasitas retensi air maksimum tanah.
Untuk memperoleh cara pengelolaan tanah yang tepat tersebut, perlu adanya
penelitian dengan menggunakan berbagai macam perlakuan pada suatu lahan yang
mendapatkan curah hujan tertentu.
Menurut Shipitalo et al., 1990; Edward et al., 1992; dan Sugita et al., 2004,
pergerakan air dalam tanah akibat hujan yang terjadi secara berulang, selain
dipengaruhi oleh sifat hujannya, juga dipengaruhi oleh karakter pori dalam tanah.
Seperti telah disebutkan di depan, karakter pori dalam tanah sangat menentukan
pergerakan air secara jenuh dan tak jenuh maupun dalam meretensi air.
Berdasarkan kurva pada Gambar 7, untuk konservasi dan ketersediaan air bagi
tanaman di lahan kering suatu wilayah, perlu dilakukan pengelolaan tanah agar
kurva lebih mendatar sampai curah hujan pada nilai yang mendekati peluang
kejadian < 20 %. Fluks aliran air mencapai maksimum (negatif besar) diharapkan
terjadi setelah hujan dengan peluang di bawah 20 %.
Dengan demikian dapat
diharapkan > 80 % hujan yang terjadi dapat masuk ke dalam tanah. Begitu juga
laju perubahan storage maksimum dapat tercapai pada curah hujan > 80 %
tersebut. Berdasarkan Gambar 7 dan Gambar 10, maka perlu adanya penelitian
93
tentang pengelolaan tanah agar tercapai perimbangan antara nilai fluks aliran air
dan laju pergerakan air transient dengan curah hujan hingga peluang kejadian
hujan < 20 %, agar tercapai ketersediaan dan konservasi air secara maksimum.
Hal tersebut dapat dilakukan misalnya dengan melalui penambahan bahan organik
ke dalam tanah, lubang resapan biopori, dan berbagai teknik konservasi tanah dan
air yang lain.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fluks aliran air meningkat
dengan makin besarnya ruang pori air mobil. Hubungan tersebut menunjukkan
bahwa ruang pori air mobil yang berperan adalah ruang pori air mobil yang berada
pada potensial air <- 0,33 bar. Ruang pori tersebut sangat baik untuk ketersediaan
air bagi tanaman. Untuk lebih meningkatkan air agar terkonservasi, maka perlu
adanya pengelolaan tanah agar ruang pori air mobil yang berada pada potensial >
- 0,33 bar (ruang pori drainase) dapat meningkat.
Untuk mendapatkan cara
pengelolaan yang tepat agar tercapai proporsi pori untuk konservasi maupun
untuk ketersediaan air bagi tanaman, perlu dilakukan penelitian dengan berbagai
macam perlakuan. Selain itu, penelitian seperti ini sangat baik dilakukan pada
daerah lain yang memiliki sebaran curah hujan berbeda agar dapat diketahui
karakter pori yang mempengaruhi fluks aliran air; sehingga dapat digunakan
sebagai saran untuk pengelolaan tanah selanjutnya dalam usaha konservasi dan
ketersediaan air bagi tanaman.
Dengan mengetahui laju aliran air transient (laju perubahan storage) suatu
tanah, maka dengan menggunakan pendekatan neraca air, maka dapat diprediksi
kebutuhan air irigasi tiap hari sebagai berikut:
dθ/dt = P – ET – D/I
di mana: dθ/dt
P
ET
D
I
........................................(21)
= laju perubahan storage (mm/hari)
= presipitasi (curah hujan) (mm)
= evapotranspirasi (mm)
= drainase/perkolasi (mm)
= Irigasi (mm)
Apabila curah hujan yang ada berlebih maka akan terdrainase, tetapi apabila curah
hujan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan evapotranspirasi dan laju
94
perubahan storage maka perlu ditambahkan irigasi.
Laju aliran transient dapat
ditingkatkan nilainya maupun ditingkatkan nilai maksimumnya sampai curah
hujan yang lebih tinggi (Gambar 10), melalui perbaikan karakteristik pori dalam
tanah, misalnya dengan penambahan bahan organik, sehingga kemampuan tanah
meretensi air meningkat.
Penambahan bahan organik ke dalam tanah telah banyak terbukti dapat
meningkatkan ketersediaan air dalam tanah melalui peningkatan kadar air pada
kondisi kapasitas lapang (Lal dan Shukla, 2004) maupun meningkatkan agregasi
tanah sehingga dapat meningkatkan jumlah pori struktural yang terdapat dalam
makroagregat. Oleh karena itu, penambahan bahan organik perlu dilakukan pada
lahan yang memiliki pori mikro lebih dominan, agar pergerakan air lebih cepat
dan aerasi tanah tercukupi. Karena sifat bahan organik yang multifungsi, maka
penambahan bahan organik juga sangat disarankan untuk lahan kering dalam
rangka adaptasi terhadap kekeringan di musim kemarau (Bot dan Benites, 2005).
5.6.2. Kadar Hara dalam Tanah
Pergerakan air dapat mempengaruhi kadar hara dalam tanah melalui
distribusi kadar air sehingga dapat melarutkan pupuk maupun pergerakan air yang
dapat membawa pupuk, hara terlarut, maupun hara yang terikat oleh koloid tanah.
Selain itu, hara yang terikat oleh koloid tanah juga sangat dipengaruhi oleh
karakteristik pori dalam tanah.
Pada tanah-tanah yang didominasi oleh pori
makro, hara yang teradsorpsi lebih mudah lepas ke larutan tanah dibanding hara
yang teradsorpsi dalam pori mikro. Berdasarkan data sebaran hara N, P, dan K
larutan tanah dari tiap selang 10 cm kedalaman tanah dan antara waktu
pengukuran menunjukkan jumlah yang bervariasi. Kelarutan hara dalam tanah,
selain dipengaruhi oleh kadar air juga dipengaruhi oleh reaksi kimia yang ada
dalam tanah. Namun berdasarkan data sifat-sifat kimia yang dapat mempengaruhi
kelarutan dan pergerakan hara dalam tanah seperti pH, kadar C-organik, kapasitas
tukar kation, dan jumlah liat dari seluruh petak percobaan tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata (Lampiran 14). Oleh karena itu perbedaan kadar hara tiap
kedalaman dapat disebabkan oleh perbedaan karakteristik pori tanah yang
95
mempengaruhi kadar air yang dapat melarutkan hara maupun pergerakan air yang
dapat membawa hara.
Kedalaman tanah yang dicapai oleh masing-masing hara terlarut (amonium,
nitrat, fosfat, dan kalium) berbeda-beda pada tiap umur tanaman.
Hal ini
berkaitan dengan tingkat kelarutan hara, mobilitas hara, dan pergerakan air yang
dapat membawa hara. Menurut Granovsky et al. (1993), pergerakan solute dalam
tanah sangat dipengaruhi oleh curah hujan, kadar air awal, maupun karakteristik
pori dalam tanah. Hujan ringan pada tanah yang relatif kering tidak mampu
menggerakkan hara lebih jauh. Hujan besar dalam waktu singkat cenderung
menggerakkan hara, yang hanya melewati pori-pori makro yang kontinu. Adapun
hujan ringan yang berlangsung cukup lama dapat menggerakkan hara melewati
pori-pori mikro maupun hara yang ada di dalamnya.
Apabila berbagai lahan memiliki karakter kimia yang sama dalam
menentukan kadar hara dalam tanah, perbedaan kadar hara tiap kedalaman tanah
dapat disebabkan oleh perbedaan karakteristik pori tanah melalui perbedaan
pergerakan dan retensi air dan hara yang mempengaruhi distribusi air dan
pergerakan hara, maupun perbedaan adsorpsi dan desorpsi hara akibat perbedaan
distribusi agregat dalam tanah.
Seperti telah dikemukakan di depan bahwa
semakin besar ukuran agregat tanah lebih mudah mendesorpsi hara (Linguist et
al., 1997). Namun semakin kecil ukuran agregat tanah, lebih banyak didominasi
oleh pori mikro yang lebih menahan air dan hara. Oleh karena itu pada tanahtanah yang didominasi oleh agregat-agregat makro, pupuk lebih tersedia, tetapi
peluang terjadinya pencucian juga lebih tinggi.
Untuk ini, maka pada suatu
wilayah yang memiliki penyebaran curah hujan tertentu, perlu adanya penelitian
tentang pengelolaan tanah untuk mencapai proporsi pori yang seimbang untuk
pergerakan dan ketersediaan hara, di mana disesuaikan dengan peluang kejadian
hujan; sehingga kehilangan hara melalui pori makro pada saat terjadi hujan besar
dapat diantisipasi.
Berdasarkan pada hasil penelitian ini, terlihat bahwa kadar hara dalam
larutan tanah meningkat dengan makin banyaknya ruang pori air mobil dan makin
rendahnya kadar air dalam tanah. Untuk itu, maka perlu adanya pengelolaan
96
tanah untuk mencapai proporsi pori yang seimbang antara pori mikro untuk
pemegang air, pori air mobil dengan diameter 15 x 10-4 mm < φ < 1x10-2 mm (15 bar < ψ < -0,3 bar) untuk ketersediaan air dan hara, serta ruang pori drainase
untuk aerasi tanah. Ketersediaan air perlu dijaga agar tidak sampai lebih rendah
dari potensial – 2 bar, agar hara masih berada dalam ruang pori air mobil,
sehingga tidak terdifusi ke dalam ruang pori air imobil. Hal ini dapat dilakukan
melalui pengelolaan tanah untuk mencapai laju perubahan storage dan kapasitas
retensi air maksimum yang tinggi.
Ada hal yang merupakan kontradiksi antara konservasi air dan konservasi
hara. Pergerakan air cepat sangat diharapkan untuk drainase air di lahan kering,
tetapi pergerakan air yang cepat dapat membawa hara ke luar dari zona perakaran.
Untuk mengatasi hal ini, selain dengan pengelolaan untuk mencapai proporsi pori
yang seimbang seperti yang telah diuraikan di atas, dapat dilakukan dengan rotasi
penanaman tanaman berakar dalam agar dapat mengektraksi hara di bawah zona
perakaran, atau melalui peningkatan retardasi pergerakan hara tanaman.
Peningkatan retardasi pergerakan pupuk atau hara dapat dilakukan melalui
pengelolaan tanah. Penambahan bahan organik ke dalam tanah di zone perakaran
dapat memperbaiki/meningkatkan retardasi pergerakan hara, sehingga hara lebih
terkonservasi di dalam zona perakaran.
Pengelolaan hara dan air secara terintegrasi dapat mengefisiensikan
penggunaan air maupun hara, sehingga dapat meningkatkan produksi tanaman.
Pemberian air di lahan kering, melalui konservasi air yang baik, dapat
memperbaiki status hara tanaman. Begitu juga kecukupan hara dapat menghemat
dalam penggunaan air. Pemberian air yang cukup diperlukan oleh tanaman untuk
pergerakan hara. Kekurangan air pada waktu kemarau di lahan kering dapat
menghambat aliran massa dalam pergerakan N dan difusi dalam pergerakan P
dan K untuk mencapai akar tanaman. Kekurangan air juga dapat menghambat
pergerakan hara dalam tanaman maupun metabolisma tanaman (Roy et al., 2006).
97
Oleh karena itu untuk mendukung pengelolaan air dan hara di lahan kering, model
pergerakan air dan dinamika kadar air pada berbagai karakteristik pori perlu
dikembangkan lebih lanjut.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Pergerakan air (fluks aliran air maupun laju pergerakan air transient) di
lahan kering berhubungan dengan karakteristik pori yang paling menentukan
konduktivitas hidrolik, sesuai pada kondisi kadar air tanah. Pada penelitian
ini, fluks aliran air lebih ditentukan oleh volume ruang pori air mobil;
sedangkan laju pergerakan air transient lebih ditentukan oleh ruang pori
mikro
2.
Semakin besar jumlah hujan, fluks aliran air makin besar sampai mencapai
maksimum (negatif paling besar) konstan dengan model:
q = - 2,12 + 2,36 e - 0,023 CH
Laju pergerakan air transient meningkat sampai maksimum, kemudian
cenderung konstan dengan makin besarnya jumlah hujan, dengan model:
dθ/dt =- 0,24 + (CH/(2,92)0,46; CH < CH KL
3a. Pengaruh fluks aliran air dan laju pergerakan air transient terhadap kadar air
tanah tergantung pada kapasitas retensi air maksimum tanah dan jumlah
hujan.
b. Pengaruh fluks aliran air dan laju pergerakan air transient terhadap kadar
hara tanah tergantung pada karakter tanah dan jenis hara. Fluks aliran air
maupun laju pergerakan air transient tidak berpengaruh langsung terhadap
kadar hara tanah, tetapi melalui perubahan kadar air tanah. Kadar nitrat dan
kalium makin berkurang dengan meningkatnya kadar air tanah
4.
Selain dipengaruhi oleh kadar air, kadar hara juga dipengaruhi oleh
karakteristik pori tanah, baik secara langsung maupun tak langsung Kadar
ammonium secara tak langsung meningkat dengan peningkatan ruang pori
drainase sangat cepat. Kadar nitrat secara tak langsung menurun dengan
peningkatan ruang pori air imobil. Kadar P dan K meningkat dengan makin
98
besarnya ruang pori air mobil, dan kadar K menurun dengan makin besarnya
ruang pori air imobil.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, untuk konservasi tanah dan air serta
ketersediaan air dan hara yang optimum di lahan kering, perlu diciptakan proporsi
ruang pori air mobil yang seimbang antara di atas dan di bawah kondisi kapasitas
lapang, maupun ruang pori mikro untuk pemegang air sesuai sebaran curah hujan
setempat. Penelitian seperti ini sangat baik direplikasikan di tempat lain yang
memiliki karakteristik pori dan sebaran curah hujan berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Addae, P.C. dan Pearso C.J. 1992. Variability and seedling elongation of wheat,
and some factors associated with it. Australian Journal of Experimental
Agriculture 32:377-382
Addiscott T.M. dan Whitmore A.P. 1991. Simulation of solute leaching in soils
of differing permeabilities. Soil Use Management. 7: 94-102.
Akhtar, M.S., B.K. Richard, P.A. Medrano, M. deGroot, dan T.S. Steenhuis.
2003a. Dissolved phosphorus from undisturbed soil cores: related to
adsorption strength, flow rate, or soil structure. Soil Sci.Soc. Am. J.
67:458-470.
Akhtar, M.S., T. S. Steenhuis, B.K. Richards, dan M. B. McBride. 2003b.
Chloride and lithium transport in large arrays of undisturbed silt loam and
sandy loam soil columns. Vadose Zone J. 2: 715-727.
Alexander, M. 1977. Soil Microbiology. John Wiley & Sons. New York.
Allen, R.G., L.S. Pereira, D. Raes, dan M. Smith. 1998. Crop evapotranspirationGuidelines for computing crop water requirement-FAO Irrigation and
drainage paper 56. FAO. Rome.
Amoozegar, A. dan A. W. Warrick. Hydraulic Conductivity of Saturated Soils:
Field Methods. In A. Klute (eds) Methods of Soil Analysis. Am. Soc.
Agron. Inc, Soil Sci. Soc. Am. Inc Madison, Wisconsin USA.
Arya, L.M., F.J. Leij, P.J. Shouse, dan M.T. Van Genuchten. 1999. Relationship
between the hydraulic conductivity function and the particle size
distribution. Soil Sci. Soc. Am.J. 63:1063-1070.
Atmosentono, H. 1968. Tanah sekitar Bogor. Laporan Pemetaan Tanah.
Lembaga Penelitian Tanah. Bogor.
Aydin, M., T. Yano, dan S. Kilic. 2004. Dependence of zeta potential and soil
hydraulic conductivity on adsorbed cation and aqueous phase properties.
Soil Sci.Soc. Am. J. 68:450-459.
Bagarello, V., M. Iovino, dan D. Elrick. 2004. A Simplified falling-head
technique for rapid determination of field - saturated hydraulic
conductivity. Soil Sci. Soc. Am. J. 68:66-73
Baker, R. S., dan D. Hillel. 1990. Laboratory test of a theory of fingering during
infiltration into layered soils. Soil Sci. Soc. Am. J. 54: 20-30.
100
Balesdent, J.,C. Chenu, dan M. Balabane. 2000. Relationship of soil organic
matter dynamics to physical protection and tillage. Soil Tillage Res.
53:215-230.
Baver, L. D., W. H. Gardner, dan W. R. Gardner. 1978. Soil Physics. Wiley
Eastern Limited. New Delhi.
Bejat, L., E. Perfect, V. L. Quisenberry, M. S. Coyne, dan G. R. Haszler. 2000.
Solute transport as related to soil structure in unsaturated intact soil blocks.
Soil Sci.Soc. Am. J. 64: 818-826
Blake, G.R. dan K.H. Hartge. 1986. Bulk Density. In A. Klute (eds) Methods of
Soil Analysis. Am. Soc. Agron. Inc, Soil Sci. Soc. Am. Inc Madison,
Wisconsin USA.
Ben-Hur, M., J. Letey, W.J. Farmer, C.F. Williams, dan S.D. Nelson. 2003.
Soluble and solid organic matter effects on atrazine adsorbtion in
cultivated soils. Soil Sci. Soc. Am. J. 67:1140-1146.
Beven, K. J. dan P. Germann. 1982. Macropores and water flow in soils. Water
Resour. Res. 18: 1311-1325.
Bodhinayake, W., B.Cheng Si, dan C. Xiao. 2004. New method for determining
water-conducting macro - and mesoporosity from tension infiltrometer.
Soil Sci. Soc. Am. J. 68:760-769
Bot, A. dan J. Benites. 2005. Drought-Resistant Soils. FAO. Rome
Bouma, J., R. B. Brown , dan P.S.C. Rao. 2004. Movement of water: Basics of
soil-water relationships-Part III. http://edis.ifas.ufl. edu/pdffiles/ SS/
SS11000.pdf.
Bouma, J., P.S.C. Rao, dan R. B. Brown. 2004. Soil as a porous medium: Basics
of soil-water relationships – Part I. http://edis.ifas.ufl.edu/BODY_SS108.
Bustarimuddin. 2002. Peta tanah tinjau mendalam dan peta kesesuaian lahan
kota Bogor dan sekitarnya. Skripsi Jurusan Tanah, Faperta, IPB. Bogor.
Campbell, C.A., G.P. Lafond, R.P. Zentner, dan Y.W. Jame. 1994. Nitrate
leaching in a Udic Haploboroll as influenced by fertilization and legumes.
J. Environ. Qual. 23:195–201.
Campbell, C.A., F. Selles, G. P. Lafond, V. O. Biederbeck, dan R. P. Zenter.
2001. Tillage-fertilizer changes: Effect on some soil quality attributes
under long-term crop rotation in a thin Black Chernozem. Can. J. Soil Sci.
81:157-165.
101
Climate Ark.
2008.
Climate change and global warming portal.
http://www.climate ark. org.
Clothier, B.E., M.B. Kirkham, dan J.E. McLean. 1992. In situ measurements of
the effective transport volume for solute moving through soil. Soil Sci.
Soc. Am. J. 56:733-736
Communar, G., R. Keren, dan F. H. Li . 2004. Deriving boron adsorption isoterm
from soil column displacements. Soil Sci. Soc. Am. J. 68: 481-488.
Coquet, Y. 2003. Sorption of pesticides atrazine, isoproturon, and metamitron in
the vadose zone. Vadose Zone J. 2:40-51.
Cote, Cm., K.L.Bristow, dan P.J. Ross. 1999. Quantifying the influence of intraaggregate concentration gradients on solute transport. Soil Sci. Soc. Am. J.
63:759-767.
Cresswell, H.P., D.E Smiles, dan J.Williams 1992. Soil structure, soil hydraulic
properties and the soil water balance. Australian Journal of Soil Research
30(3) 265 – 283.
CSR/FAO Staff. Reconnaissance Land Resource Surveys 1:250 000 scale Atlas
Format Procedures. 1983. Centre for Soil Research. Bogor.
De Boodt, M., De Leenheer, L., dan Kirkham, D. 1961. Soil aggregate stability
indexes and crop yield. Soil Sci. 91:138-146.
Dunn, G. H. dan R. E. Phillips. 1992. Equivalent diameter of simulated
macropore systems during saturated flow. Soil Sci. Soc. Am. J. 56: 52-58.
Durner, W. 1994. Hydraulic conductivity estimation for soils with heterogenous
pore structure. Water Resour. Res. 30:211-223.
Edwards, D.R. dan T. C. Daniel. 1993. Effect of litter application rate and rainfall
intensity on quality of runoff from fescue grass plots. J. Environ. Qual.
22:361-365.
Edwards, W.M., M.J. Shipitalo, W.A. Dick, dan L.B. Owens. 1992. Rainfall
intensity affects transport of water and chemicals through macropores in
no-till soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 56: 52-58.
Gentry, L. E., M.B. David, K.M. Smith-Straks, dan D.A Kovacic. 2000.
Nitrogen fertilizer and herbicide transport from tile drained fields. J.
Environ Qual. 29: 232-240.
102
Granovsky, A.V., E.L. McCoy, W.A. Dick, M.J. Shipitalo, dan W. M. Edwards.
1993. Water and chemical transport through long-term no-till and plowed
soils. Soil Sci. Soc. Am. J. 57:1560-1567.
Gregorich, E.G. dan M.R. Carter. 1997. Soil Quality: For Crop Production and
Ecosystem Health. Elsevier. Amsterdam.
Hamblin, A. P. 1985. The influence of soil structure on water movement, crop
root growth and water uptake. Advanves in agronomy. 38:95-158.
Hamlen, C.J. dan R.G. Kachanoski. 2004. Influence of initial and boundary
conditions on solute transport through undisturbed soil columns. Soil Sci.
Soc. Am. J. 68: 404-416 .
Hanks, R. J. dan G. L. Ashcroft. 1986. Applied Soil Physics. Springer-Verlag.
Heidelberg.
Hayes, M.H.B., dan U. Mingelgrin. 1990. Interactions between small organic
chemicals and soil colloidal constituents. In G.H.Bolt, M.F. De Boodt,
M.H.B.Hayes, dan M.B.McBride (eds) Interactions at the soil Colloids Soil Solution Interface. Dordrecht: Kluwer Acad. Publishers.
Herudjito, D. 1977. Contribution to The Study of Vertical Water Movement in
Natural and Conditioned Silty Loam Soil. Doctor Thesis. State University
of Ghent. Belgium
Hillel, D., 1980. Fundamentals of Soil Physics. Academic Press. New York.
Ingaramo. O.E., Benito R.E., Paz-Gonzalez A., dan Miranda J.G.V. 2004. Fractal
analysis of pore size distributions in tilled soil. http://www.sfst. org/
Proceedings/17WCSS.CD/papers/1169.pdf
Iwata, S., T. Tabuchi, dan B. P. Warkentin. 1995. Soil – Water Interactions.
Marcel Dekker, Inc. New York.
Jensen, M. B., H. C. B. Hansen, S. Hansen, P. R. Jorgensen, J. Magid, dan N.E.
Nielsen. 1998. Phosphate and tritium transport through undisturbed
subsoil as affected by ionic strength. J. Environ. Qual. 27: 139-145.
Jury, A.W., W.R. Gardner, dan W.H. Gardner. 1991. Soil Physics. John Wiley
& Sons. Inc. New York.
Kay, D. 1990. Rates of changes of soil structure under different cropping
systems. Adv. Soil Sci. 12:1-52.
103
Kemper, W. D. dan R. C. Rosenau. 1986. Aggregate stability and size
distribution In A.Klute (eds) Methods of Soil Analysis. Am. Soc. Agron.
Inc, Soil Sci. Soc. Am. Inc Madison, Wisconsin USA.
Klute, A. dan C. Dirksen. 1986. Hydraulic conductivity and diffusivity:
laboratory methods. In A. Klute (eds) Methods of Soil Analysis. Am. Soc.
Agron. Inc, Soil Sci. Soc. Am. Inc Madison, Wisconsin USA.
Koorevaar, P., G. Menelik, C. Dirksen. 1983. Elements of Soil Physics. Elsevier
Science Publishing Company INC. New York.
Kramer, P. J. 1977. Plant and Soil Water Relationships: A Modern Synthesis.
Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd.
Kung, K. J. S. 1990 a. Preferential flow in a sandy vadose zone, I, Field
observation. Geoderma: 46: 51-58.
Kung, K. J. S. 1990 b. Preferential flow in a sandy vadose zone: Mechanism and
implications. Goederma. 46: 59-71.
Lado, M., A. Paz, dan M. Ben-Hur. 2004. Organic matter and aggregate-size
interactions in saturated hydraulic conductivity. Soil Sci. Soc. Am. J.
68:234 - 242
Lal, R. dan M. K. Shukla. 2004. Principles of Soil Physics. Marcel Dekker, Inc.
New York.
Letey, J. 1985. Relationship between soil physical properties and crop
production. Adv. Soil Sci. 1:277-294.
Li, H., G. Sheng, B.J. Teppen, C.T. Johnston, dan S.A. Boyd. 2003. Sorption and
desorption of pesticides by clay minerals and humic acid-clay complexes.
Soil Sci. Soc. Am. J. 67:122-131.
Linquist, B. A., P.W. Singleton, R.S. Yost, dan K. G. Cassmen. 1997. Aggregate
size effects on the sorption and release of phosphorus in an Ultisol. Soil
Sci. Soc. Am. J. 61: 160-166.
Luxmoore, R.J. 1981. Micro-, meso, and macroporosity of soil. Soil Sci. Soc.
Am. J. 45:671-672
Marshall, T. J. dan J. W. Holmes. 1988. Soil Physics. Cambridge University
Press. New York.
Martens, D. A. 2000. Management and crop residue influence soil aggregate
stability. J. Environn. Qual. 29:723-727.
104
Mengel, K. dan E. A. Kirkby. 1982. Principles of Plant Nutrition. International
Potash Institute . Bern, Switzerland.
Mengel, K. 1985. Dynamics and availability of major nutrients in soils. In
Stewart, B.A. (ed) Adv. Soil Sci. 2:65-131
Nemati, M.R., O Banton, J. Caron, dan L. Delaporte. 2003. Contamination by
slaked fragments with sorbed compounds in a structured soil. Soil Sci.
Soc. Am. J. 67:694-702.
Newman, A.C.D. dan M.H.B. Hayes. 1990. Some properties of clay and of other
soil colloids and their influences on soils. In M.F. De Boodt, M.H.B.
Hayes, and A. Herbillon (eds) Soil Colloids and Their Associations in
Aggregates. Plenum Press. New York .
Oades, J. M. 1986. Aggregation in Soils. In Rengasamy, P. (Ed) Soil Structure
And Aggregate Stability. Proc. of A Seminar, Inst. For Irrigation and
Salinity Res. Tatura, 4 th August, 1986.
Page A.L. 1982. Methods of Soil Analysis. 2nd edition, Part 2. Chemical and
Microbiological Properties. Madison, Wisconsin. USA.
Pearson, C. J., D. W. Norman, dan J. Dixon. 1995. Sustainable Dryland Cropping
in Relation to Soil Productivity. FAO Soils Bulletin 72. FAO. Rome.
Perfect, E. M. C. Sukop, dan G. R. Haszler, 2002. Predictiopn of dispersivity for
undisturbed soil columns from water retention parameters. Soil Sci. Soc.
Am. J. : 696-701.
Peterson, T.A. dan M.P. Russelle. 1991. Alfalfa and the nitrogen cycle in the Corn
Belt. J. Soil Water Conserv. 44:229–235.
Ross, S. 1989. Soil Prosesses. A. Systematic Approach. Roudledge :London.
New York.
Roy, R. N., A. Finck, G. J. Blair, dan H.L.S. Tandon. 2006. Plant Nutrition for
Food Security. FAO, Rome.
Saxton, K. E., W. J. Rawls, J. S. Romberger, dan R. I. Papendick. 2004.
Estimating generalized soil-water characteristics from texture. http://
www.bsyse.wsu.edu/saxton/soilwater/Article.html.
Scott, C. A., L. D. Geohring, dan M. F. Water. 1998. Water quality impacts of
tile drains in shallow, sloping, structural soils as affected by manure
application. Appl. Eng. Agric. J. 14:599-603.
105
Sharpley, A. N. 1997. Rainfall frequency and nitrogen and phosphorous runoff
from soil amended with poultry litter. J. Environ. Qual. 26:1127-1132.
Shaxson, F. dan R. Barber. 2003. Optimizing Soil Moisture for Plant Production.
FAO Soils Bull. 79. http://www.fao.org/DOCREP/006/Y4690E00.HTM.
Shipitalo, M.J., W.M. Edwards, W.A. Dick, dan L.B. Owens. 1990. Initial storm
effects on macropore transport of surface-applied chemicals in no-till soil.
Soil Sci. Soc. Am. J. 54: 1530-1536.
Simard, R. R. , S. B. Beauchemin, dan P. M. Haygarth. 2000. Potential for
preferential pathways of phosphorus transport. J. Environ. Qual.29:97-105.
Sims, J. T., R. R. Simard, dan B.C. Joern. 1998. Phosphorus loss in agricultural
drainage: Historical perspective and current research. J. Environ. Qual. 27:
277-293
Six, J., E.T. Elliott, dan K. Paustian. 1999. Aggregate and soil organic matter
dynamics under conventional and no-tillage system. Soil Sci. Soc. Am.J.
63:1350-1358.
So, H. B. dan T. Woodhead. 1986. Alleviation of soil physical limits to
productivity of legumes in Asia. In Food legume improvement for Asian
Farming Systems. edited by E.S. Wallis and D.E. Byth. Proceedings of an
international workshop held in Khon Kaen, Thailand, 1-5 September 1986.
Southwick, L. M., G. H. Wills, D. C. Johnsons, dan H. M. Selim. 1995. Leaching
of nitrate, atrazine, and metribuzin from sugarcane in southern Louisiana.
J. Environ. Qual. 24: 684-690.
Steenhuis, T. S., J. Boll, G. Shalit, J. S. Selker, dan I. A. Merwin. 1994. A simple
equation for predicting preferential flow solute concentration. J. Environ.
Qual. 23: 1058-1064.
Sugita, F., T. Kishii, dan M. English. 2004. Effects of macropore flow on solute
transport in a vadose zone under repetitive rainfall events. Proceedings of
Groundwater Quality 2004, the 4th International Groundwater Quality
Conference, held at Waterloo, Canada, July 2004.
Tan, K.H. 1982. Principles of Soil Chemistry. Marcel Dekker, Inc. New York..
Tan, K. H. 1994. Environmental Soil Science. Marcel Dekker, Inc. New York.
106
Thornthwaite, C.W. dan J. R. Mather. 1957. Instruction and Tables for
Computing
Potential Evapotranspiration and The Water Balance.
Publications in Climatology. Centerton, New Jersey.
Timlin, D. J., G.C. Heathman, dan L. R. Ahuja. 1992. Solute leaching in crop
row vs. interrow zones. Soil Sci. Soc. Am. J. 56: 384-392.
Tisdale, S. L, W.L. Nelson, J.D. Beaton, dan J.L.Havlin. 1993. Soil Fertility and
Fertilizers (fifth ed.). Macmillan Publishing Company.. New York.
Tisdall, J. M. dan J. M. Oades. 1982. Organic matter and water-stable aggregates
in soils. J. Soil Sci. 33:141-163.
Toride, N., M. Inoue, dan F. J. Leij. 2003. Hydrodynamic dispersion in an
unsaturated Dune sand. Soil Sci. Soc. Am. J. 67:703–712 .
Torr, G.S., L.M. Condron, H.J.Di, dan K. C. Cameron. 2004. Seasonal
fluctuations in phosphorus loss by leaching from a grassland soil. Soil Sci.
Soc. Am. J. 68:1429-1436.
Trojan, M. D. dan D. R. Linden. 1992. Microrelief and rainfall effect on water
and solute movement in earthworm burrows. Soil Sci. Soc. Am. J. 56:
727-733
Unger, P. W., O.R. Jones, J. D. McClenagan, dan B.A. Stewart. 1998.
Aggregation of soil cropped to dryland wheat and grain sorghum. Soil Sci.
Soc. Am. J. 62:1659-1666.
USDA. 1991. Irrigation. National Engineering Handbook Section 15-1. 2nd
Edition. Soil Conservation Service.
Vanderborght, J., A. Timmerman, dan J. Feyen. 2000. Solute transport for
steady-state and transient flow in soils with and without macropores. Soil
Sci. Soc. Am. J. 64: 1305-1317.
Varvel, G.E. dan T.A. Peterson. 1990. Residual soil nitrogen as affected by
continuous, two-year, and four-year crop rotation systems. Agron. J.
82:958–962.
Vervoort, R.W., D.E. Radcliffe, dan L.T.West. 1999. Soil structure development
and preferential solute flow. Water Resource Research 35:913-928.
Vrugt, J. A., J. W. Hopmans, dan J. Simunek, 2001. Calibration of a twodimensional root water uptake model. Soil Sci. Soc. Am. J. 65: 1027-1037.
107
Wagenet, R. J. 1986. Water and Solute Flux. In A. Klute (eds) Methods of Soil
Analysis. Am. Soc. Agron. Inc, Soil Sci. Soc. Am. Inc Madison,
Wisconsin USA.
Wang, X., R.S. Yost, dan B.A. Linguist. 2001. Soil aggregate size affects
phosphorus desorption from highly weathered soils and plant growth. Soil
Sci. Soc. Am. J. 65:139-146.
Whalen, J.K., Q. Hu, dan A. Liu. 2003. Compost applications increase waterstable aggregates in conventional and no-tillage systems. Soil Sci. Soc.
Am. J. 67:1842-1847.
William, A. G., D. Schofield, J. F. Dowd, N. Holden, dan L. Deeks. 2000.
Investigating preferential flow in a large intake soil block under pasture.
Soil Use Manage. 16: 264-269
William, A. G., John F. D., D. Schofield, Nicholas M. H., dan Lynda K. D. 2003.
Preferential flow variability in a well-structured soil. Soil Sci. Soc. Am. J.
67:1272-1281
LAMPIRAN
108
Lampiran 1. Nilai rataan karakteristik pori tanah lahan lokasi penelitian
No
Kedalaman
Peubah
0-10 cm
10-20 cm
20-30 cm
30-40 cm
40-50 cm
1
RPT (%)
62,56+ 2.25
62,99+1.78
63,32+4.04
63,44+4.47
63,50+4.19
2
Stabilitas pori
57,62+ 19.42
58,96+20.25
36,76+3.78
36,92+4.41
36,83+3.85
3
RPDSC (%)
7,79 + 5.20
8,19+4.79
8,64+4.73
7,68+5.70
8,02+4.71
4
RPDC (%)
10,22+ 4.06
11,21+4.30
7,01+2.89
6,60+3.97
6,77+3.41
5
RPDL (%)
2,75+1.87
2,60+1.98
2,74+1.83
2,70+1.80
2,75+1.75
6
RPD (%)
20,76+4.80
22,01+4.08
18,39+4.68
16,97+6.42
17,54+5.28
7
RPAT (%)
15,20+4.01
14,29+3.67
17,37+5.06
17,91+4.30
17,77+3.76
8
RP mikro (%)
41,81+2.89
40,98+3.01
44,93+4.89
46,47+4.97
45,96+4.32
9
RP air mobil (%)
26,51+3.99
26,66+3.61
22,60+5.45
21,00+6.55
21,81+5.67
10
RP air imobil (%)
36,06+2.94
36,33+2.74
40,96+3.89
42,44+3.18
41,69+2.24
Lampiran 2. Uji beda nilai tengah karakteristik pori lahan lokasi penelitian
No
Peubah
t hitung antara lokasi
1 dan 2
1 dan 3
2 dan 3
1
RPT
9,69*
17,28*
4,60*
2
St.pori
3,67*
3,57*
2,77*
3
RPDSC
4,14*
12,50*
6,76*
4
RPDC
0,72
0,19
0,83
5
RPDL
3,53*
6,47*
1,66
6
RPD
2,29*
6,96*
7,02*
7
RPAT
5,14*
3,69*
0,08
8
RP mikro
1,08
4,95*
5,26*
9
RP air mobil
1,27
5,84*
6,69*
10
RP air imobil
4,15*
5,84*
6,69*
109
Lampiran 3.
Penetapan Stabilitas Agregat Tanah
Stabilitas agregat tanah ditentukan dengan metode pengayakan basah dan
pengayakan kering. Penetapan distribusi ukuran agregat menggunakan indeks distribusi
ukuran agregat yang disebut diameter massa rata-rata (DMR, MWD) dan diameter ratarata geometri (DRG, GMD). Pengayakan kering dilakukan pada agregat yang > 8 mm
dengan menggunakan susunan ayakan basah dengan ukuran 8 mm, 4,76 mm 2,83 mm, 2
mm, dan penampung. Pengayakan basah dilakukan terhadap proporsi/ persentase hasil
pengayakan basah, di mana antara susunan ayakan 8 mm dengan 4,76 mm, 4,76 mm
dengan 2,83 mm, dan antara 2 mm dengan 0,21 mm. Dari proporsi tersebut digunakan
untuk pengayakan basah berdasarkan persentase proporsi masing-masing ayakan, dengan
total contoh tanah sebanyak 100 gram. Di bawah susunan ayakan tersebut ditambaha
dengan ayakan berukuran 1 mm, 0,5 mm, dan 0,279 mm.
Bobot agregat dari masing-
masing ukuran ayakan baik hasil pengayakan kering maupun basah diperhitungkan
dengan rumus:
MWD =
n
∑x
i =1
i
wi
di mana MWD adalah diameter massa rata-rata, xi = ukuran ayakan yang ke i, dan wi =
massa agregat pada ukuran ke i.
Selanjutnya indeks stabilitas agregat (ISA) tanah
ditetapkan sebagai berikut:
⎡
ISA = ⎢
⎢⎣ DMR
ker ing
1
− DMR
basah
⎤
⎥ × 100 %
⎥⎦
Adapun diameter rata-rata geometri (GMD) ditentukan sebagai berikut:
⎡ n
⎤
⎢ ∑ wi log xi ⎥
⎥
GMD = exp ⎢ i = 1 n
⎢
⎥
wi
∑
⎢
⎥
i =1
⎣
⎦
110
Lampiran 4. Prosedur Penghitungan Neraca Air Thornthwaite and Mather (1957).
Penghitungan Evapotranspirasi potensial (ETp) menggunakan metoda pendugaan
evapotranspirasi potensial Thornthwaite dilakukan melalui persamaan 1, 2, dan 3.
1. Tentukan nilai indeks bahang i bulanan
i = (tn/5)1,514
................................................(1)
I = ∑ i ; i = 1, ...... 12
log 135 – log Ep*
log 26,5 – log tn
---------------------- = ----------------------log 135 – log 16
log 26,5 – log I/10
2. Tentukan/hitung EP*
EP* = 16 (10tn/i)a
............................................(2)
dimana a = a = 675 x 10-9 x I3 – 771 x 10-7 I2 + 0,01792 x i + 0,49239
3. Tentukan ETp
ETp = f x Ep*
...................................................( 3)
Di mana
Ep*,
adalah evapotranspirasi potensial baku untuk bulan 30 hari dan hari 12
jam, mm/bulan
ETp,
adalah evapotranspirasi potensial bulanan, mm/bulan
f,
adalah faktor koreksi untuk panjang hari dan bulan (Tabel A)
i,
adalah indeks bahang bulanan (Tabel B)
I,
adalah indeks bahang tahunan
tn,
adalah rerata suhu bulanan untuk masing-masing bulan dalam tahun,
n = 1, 2, ..., 12), oC.
Catatan: Metoda ini dapat disiapkan dalam bentuk nomogram. Untuk tn >
26,5 maka Ep* = F(t) karena I tidak nyata.
111
4. Penghitungan Evapotranspirasi Aktual
Penghitungan
evapotranspirasi aktual didasarkan pada konsep tatabuku kelengasan
lapisan pada zona perakaran tanaman.
Kadar lengas tanah (ST) akan bervariasi dari waktu ke waktu dan besarnya bergantung
pada kadar lengas tanah kondisi kapasitas lapang (STo) dan akumulasi defisit hujan
(APWL), yang dapat dihitung dengan persamaan berikut:
ST = STo x e (APWL/STo)
Dimana STo adalah kapasitas simpanan air yang nilainya dihitung dengan persamaan
STo = KaKL x Da ,
di mana KaKL adalah kadar air kapasitas lapang (dalam %-volume) dan Da adalah
kedalaman zona perakaran
Penetapan evapotranspirasi aktual (ETa) di dasarkan pada beberapa asumsi atau
ketentuan berikut :
a. Jika P = ETp, yaitu pada bulan basah maka ETa = ETp dan ∆ST = 0;
Artinya tidak ada perubahan air tanah
b. Jika P > ETp, yaitu pada bulan basah maka ETa = ETp, ∆ST > 0;
Artinya tidak ada perubahan air tanah, dan jika kapasitas simpanan air tanah (STo)
sudah terpenuhi maka kelebihan air akan menjadi surplus (S) sehingga
P = ETp + ∆ST + S (surplus)
c. Jika (P < ETp), yaitu pada bulan kering maka ∆ST < 0 ;
Artinya terjadi penurunan kadar lengas tanah karena air diguakan untuk memenuhi
kebutuhan evapotranspirasi sehingga ETa = P + ∆ST dan jika P + ∆ST < ETp maka
kondisi tersebut adalah defisit, besarnya defisit adalah :
D = ETp - ETa atau D = Etp – (P + ∆ST)
Prosedur perhitungan Neraca Air selanjutnya dilakukan dengan mengikuti langkah L1L18 untuk mengisi komponen neraca air pada Tabel Neraca air.
112
L1 : Masukkan nilai P bulanan (data suda tersedia sebelumnya) dan ETp bulanan
(hasil perhitungan Thornthwaite & Mather ) ke dalam tabel
Lalu hitung (P – ETp)
L2 : Hitung total tahunan: ∑P ; ∑ETp dan ∑(P – Etp)
jika ∑(P – ETp) > 0, maka terjadi surplus hujan, S
jika ∑(P – ETp) < 0, maka terjadi defisit hujan, D
L3
Surplus hujan pada akhir masa periode basah di mana (P – ETp) > 0, tanah akan
jenuh oleh air, ST = Sto
L4
Tentukan nilai akumulasi defisit hujan (APWL) dengan mengakumulasikan nilai
(P – ETp) negatif secara berturutan:
APWL = ∑(P – ETp)neg
Nilai APWL tidak ada pada saat (P – ETp) positif, sehingga begitu nilai (P –
ETp) positif terjadi, perhitungan APWL berhenti. Jika selanjutnya bulan kering
(P-ETp) negatif terjadi lagi, perhitungan APWL dimulai kembali, pada kasus ini
perhitungan neraca air mengikuti L16.
L5
Tentukan nilai kadar lengas tanah (ST ) dengan menggunakan rumus
ST = STo x e (APWL/STo)
Perhitungan ST dimulai dari bulan dimana kondisi kering (P-ETp adalah negatif)
pertama kali terjadi dan rumus tersebut hanya digunakan saat P-ETp negatif.
Bulan berikutnya setelah masa kering berakhir, ST = ST bulan sebelumnya di
tambah dengan nilai (P-ETp), demikian seterusnya hingga nilai ST + (PETp)positif ≥ STo. Pada saat tersebut nilai ST = STo dan kelebihan airnya menjadi
surplus (S)
L6
Tentukan ∆ST dengan cara mengurangkan ST bulan tertentu dengan ST bulan
sebelumnya
L7
Tentukan nilai evapotranspirasi dengan kaidah berikut:
Pada bulan basah di mana (P – ETp) positif atau sama dengan 0, ETa = ETp,
sedangkan pada bulan kering (P – ETp) negatif : ETa = P - ∆ST
Jika ETa < ETp maka defisit terjadi, D = ETp – ETa
L8
Tentukan nilai surplus S dengan kaidah berikut
Surplus hanya terjadi pada saat kadar lengas tanah maksimum tercapai, ST =
113
STo.
Pada saat ST < STo nilai (P-ETp) digunakan untuk mengisi ST terlebih
dahulu hingga mencapai STo, baru kemusian sisanya menjadi surplus (S) yang
merupakan sumber debit/limpasan. Jadi:
S = (P – ETp) - ∆ST
L9
(S > 0)
Untuk total tahunan berlaku:
∑∆ST = 0
∑ S = ∑P - ∑ETa
∑ D = ∑ETp - ∑Eta
L10 Defisit hujan
.
- akumulasikan semua nilai negatif dari (P – ETp):
∑(P – ETp)neg
- akumulasikan semua nilai positif dari (P – ETp):
∑(P – Etp)pos
L11
∑(P – ETp)pos < Sto
∑(P – ETp)pos > STo
∑(P – ETp)pos ~ Sto
L11 Jika ∑(P – ETp)pos < STo, tanah tidak akan pernah jenuh. pada akhir masa
basah, kadar lengas tanah meningkat dari ST’’ menjadi ST’. Kemudian, ambil
satu dari dua nilai APWL (APWL’ dan APWL ‘’) dengan nilai ST’ dan ST’’
bersangkutan, sehingga:
APWL’ – APWL’’ = ∑(P – ETp)neg
ST’ - ST’’ = ∑(P – ETp)pos
pada akhir masa basah dimulai dengan nilai APWL’ dan ST’, dan seterusnya.
Setelah bulan kering ke-n;
APWL = APWL’ - ∑(P – ETp)neg
Begitu nilai positif untuk (P – ETp) diperoleh, deret diputus. Jika kemudian
terjadi bulan kering kembali, deret baru dimulai
L13 Dari nilai APWL, dapatkan ST: selanjutnya ikuti menurut L6 dan nomer
berikutnya.
L14 (L11) Jika ∑(P – ETp)pos > STo, tanah mencapai kejenuhan sehingga pada akhir
114
masa basah STo dicapai. Selanjutnya ikuti L4 dan nomer berikutnya.
L15 (L11) Jika ∑(P – ETp)pos ~ STo kejenuhan dapat terjadi atau tidak, Dengan
beberapa upaya dapat diperoleh jawaban dari : ∑ ST = 0.
L16 (L4 atau L12) Kadang-kadang, masa kering terputus oleh masa hujan singkat
dari beberapa bulan basah. Jika kemudian STo tercapai, surplus terjadi
L17
Jika STo tidak tercapai, maka tidak terjadi surplus L18
L17 Jika STo tercapai pada masa hujan singkat, APWL pa masa kering berikutnya
dihitung menurut L4, perhitungan selanjutnya mengikuti L5 dan nomer
berikutnya
L18 (L16) Jika Sto tidak tercapai pada masa hujan singkat, tetapi hanya kadar lengas
ST* < STo, hitung menurut nilai APWL*, dan ambil sebagai nilai awal dari deret
baru. Setelah n bulan kering dari deret baru:
APWL = APWL* - ∑(P – ETp)neg
Tabel Neraca Air Bulanan Menurut Metode Thornthwaite & Mather (1957)
J
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
Tahun
P
ETp
P-ETp
APWL
ST
∆ST
ETa
D
S
Tabel A. Faktor Koreksi Panjang Hari dan Bulan untuk Bulan 30 Hari dan Hari 12 Jam.
Lat.O
J
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
20 N
.95
.90
1.03
1.05
1.13
1.11
1.14
1.11
1.02
1.00
.93
.94
15 N
.97
.91
1.03
1.04
1.11
1.08
1.12
1.08
1.02
1.01
.95
.97
10 N
1.00
.91
1.03
1.03
1.08
1.06
1.08
1.07
1.02
1.02
.98
.99
05 N
1.02
.93
1.03
1.02
1.06
1.03
1.06
1.05
1.01
1.03
.99
1.02
00
1.04
.94
1.04
1.01
1.04
1.01
1.04
1.04
1.01
1.04
1.01
1.04
05 S
1.06
.95
1.04
1.00
1.02
.99
1.02
1.03
1.00
1.05
1.03
1.06
10 S
1.08
.97
1.05
.99
1.01
.96
1.00
1.01
1.00
1.06
1.05
1.10
15 S
1.12
.98
1.05
.98
.98
.94
.97
1.00
1.00
1.07
1.07
1.12
20 S
1.14
1.00
1.05
.97
.96
.91
.95
.99
1.00
1.08
1.09
1.15
115
Tabel B. Nilai Indeks Bahang I Bulanan Menurut Rerata Suhu Bulanan
Suhu oC
,0
,1
0
,2
,3
,4
,5
,6
,7
,8
,9
0.01
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
5
1.00
1.03
1.06
1.09
1.12
1.16
1.19
1.22
1.25
1.29
10
2.86
2.90
2.94
2.99
3.03
3.08
3.12
3.16
3.21
3.25
11
3.50
3.34
3.39
3.44
3.48
3.53
3.58
3.62
3.67
3.72
12
3.76
3.81
3.86
3.91
3.96
4.00
4.05
4.10
4.15
4.20
13
4.25
4.30
4.35
4.40
4.45
4.50
4.55
4.60
4.65
4.70
14
4.75
4.81
4.86
4.91
4.96
5.01
5.07
5.12
5.17
5.22
15
5.28
5.33
5.38
5.44
5.49
5.55
5.60
5.65
5.71
5.76
16
5.82
5.87
5.93
5.98
6.04
6.10
6.15
6.21
6.26
6.32
17
6.38
6.44
6.49
6.55
6.61
6.66
6.72
6.78
6.84
6.90
18
6.95
7.01
7.07
7.13
7.19
7.25
7.31
7.37
7.43
7.49
19
7.55
7.61
7.67
7.73
7.79
7.85
7.91
7.97
8.03
8.10
20
8.16
8.22
8.28
8.34
8.41
8.47
8.53
8.59
8.66
8.72
21
8.78
8.85
8.91
8.97
9.04
8.10
9.17
9.23
9.29
9.36
22
9.42
9.49
9.55
9.62
9.68
9.75
9.82
9.88
9.95
10.01
23
10.08
10.51
10.21
10.28
10.35
10.41
10.48
10.55
10.62
10.68
24
10.75
10.82
10.89
10.95
11.02
11.09
11.16
11.23
11.30
11.37
25
11.44
11.50
11.57
11.64
11.71
11.78
11.85
11.92
11.99
12.06
26
12.13
12.21
12.28
12.35
12.42
12.49
12.56
12.63
12.70
12.78
27
12.85
12.92
12.99
13.07
13.14
13.21
13.28
13.36
13.43
13.50
28
13.58
13.65
13.72
13.80
13.87
13.94
14.02
14.09
14.17
14.24
29
14.32
14.39
13.47
14.54
14.62
14.69
14.77
14.84
14.92
14.99
30
15.07
15.15
15.22
15.30
15.38
15.45
15.53
15.61
15.68
15.76
31
15.84
15.92
15.99
16.07
16.15
16.23
16.30
16.38
16.46
16.54
32
16.62
16.70
16.78
16.85
16.93
17.01
17.09
17.17
17.25
17.33
33
17.41
17.49
17.57
17.65
17.73
17.81
17.89
17.79
18.05
18.13
34
18.22
18.30
18.38
18.46
18.54
18.62
18.70
18.79
18.87
18.95
35
19.03
19.11
19.20
19.28
19.36
19.45
19.53
19.61
19.69
19.78
36
19.86
19.95
20.03
20.11
20.20
20.28
20.36
20.45
20.53
20.62
37
20.70
20.79
20.87
20.96
21.04
21.13
21.21
21.30
21.38
21.47
38
21.56
21.64
21.73
21.81
21.90
21.99
22.07
22.16
22.25
22.33
39
22.42
22.51
22.59
22.68
22.77
22.86
22.95
23.03
23.12
23.21
40
23.30
Setelah ETp diperoleh, maka nilai ETa dapat dihitung dengan menggunakan nilai kc untuk
berbagai jenis tanaman/penggunaan lahan yang sesuai
116
Lampiran 5. Pengaruh stres air terhadap evapotranspirasi (Allen et. al., 1998)
ETP
1,2
ETA
Koefisien stres air (Ks)
1
0,8
0,6
RAW
0,4
TAW
0,2
0
KL
MSD
Kadar air
TLP
Keterangan :
ETP
: Evapotranspirasi Potensial
ETA
: Evapotranspirasi Aktual
KL
: Kapasitas Lapang
TLP
: Titik Layu Permanen
MSD
: Maximum soil moisture deficit, kadar air minimum tersedia bagi
tanaman
RAW
: Readily Available Water
TAW
: Total Available Water
117
Lampiran 6. Curah hujan, Suhu, Kelembaban, Tekanan Udara, Kecepatan Angin, dan
Lama penginaran Rataan Bulanan Pada Tahun 1994-1995
Tahun
Curah
Hujan
(mm/bulan)
Suhu
(oC)
Suhu
Maksimum
(oC)
Suhu
Minimum
(oC)
Kelembaban
Udara
(%)
Tekanan
Udara
(mb)
Kecepatan
Angin
(km/jam)
Lama
Penyinaran
Matahari
(%)
1994
281
26,5
31,3
21,5
81,0
1011,7
2,5
61,1
1995
259
25,7
31,2
22,4
83,0
1008,6
5,6
51,5
1996
279
25,6
30,8
21,7
83,3
1005,2
3,4
56,0
1997
204
26,0
32,0
21,1
77,8
1005,3
3,3
53,7
1998
265
26,2
31,7
21,1
83,3
1009,1
3,6
51,4
1999
194
26,7
30,8
22,5
84,3
1010,1
2,1
57,5
2000
185
26,8
30,9
22,7
84,1
1006,9
2,0
57,5
2001
265
26,8
31,0
22,6
85,1
1005,2
2,7
56,4
2002
301
26,3
31,5
22,3
82,3
1013,2
2,3
58,0
2003
347
26,3
31,4
22,1
80,5
1011,7
4,9
62,2
2004
324
25,6
31,4
22,5
76,9
1012,1
3,3
64,3
2005
333
26,7
31,0
21,8
83,0
1012,2
2,0
69,7
118
Lampiran 7. Neraca air bulanan pada lokasi penelitian.
Unsur
(mm)
Bulan
Jan
Feb
Mrt
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nop
Des
Total
Curah
hujan
369
339
371
324
277
175
144
85
182
290
332
280
3169
CHef
332
305
334
292
249
158
129
77
164
261
299
252
2852
ETP
106
96
120
129
129
112
125
144
147
136
117
117
1478
P-ETP
226
209
214
163
120
46
4
-67
17
125
182
135
1374
APWL
-67
-67
ST
221
221
221
221
221
221
221
163
180
221
221
221
2553
∆ST
0
0
0
0
0
0
0
-58
17
41
0
0
0
Eta
106
96
120
129
129
112
125
135
147
136
117
117
1469
Defisit
Surplus
9
226
209
214
163
120
46
Keterangan:
Kapasitas Lapang = Sto = 221 mm
Titik Layu Permanen = 136 mm
KA min tersedia untuk tanaman jagung mahis (Allen et. al., 1998) = 178,5 mm
CHef = curah hujan efektif
4
0
9
0
84
182
135
1383
119
Lampiran 8. Pengaruh kadar air terhadap laju
pertumbuhan tanaman (USDA, 1991)
Laju pertumbuhan tanaman
Laju pertumbuhan maksimum
80 %
TLP
Kadar air
Keterangan :
KL
: Kapasitas Lapang
TLP
: Titik Layu Permanen
KL
120
Lampiran 9. Neraca air mingguan selama musim pertumbuhan tanaman di lokasi penelitian
Minggu ke
Unsur
(mm)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
CH
32,23
48,48
79,12
70,03
6,46
56,58
46,21
8,86
4,10
35,54
ETP
30,10
30,01
29,22
29,13
29,13
29,13
27,42
26,13
26,13
26,13
P-ETP
2,13
18,47
49,90
40,90
-22,67
27,45
18,80
-17,27
-22,03
9,40
-17,27
-39,30
APWL
ST
-22,67
35,06
50,91
50,91
50,91
32,61
50,91
50,91
36,26
23,53
32,93
∆ST
15,85
0,00
0,00
-18,30
18,30
0,00
-14,65
-12,73
9,40
ETA
30,01
29,22
29,13
24,76
29,13
27,42
23,51
16,83
26,13
2,62
9,30
Defisit
Surplus
4,37
2,62
Keterangan:
Kapasitas Lapang = Sto = 50.91 mm
Titik Layu Permanen = 27.18 mm
49,90
40,90
9,16
18,80
121
Lampiran 10. Sifat-sifat fisik dan morfologi tanah pada lahan lokasi 1.
Kedalaman (cm)
Uraian
0 - 18
Coklat (7.5 YR 4/3); liat berdebu; remah, sedang, lemah;
sangat gembur, lekat, plastis; batas jelas, lurus; perakaran
halus, sedang; pori makro sedang, σ = 3,3 (kgf/cm2)
18 - 25
Coklat (7.5 YR 5/3); liat, gumpal bersudut, halus, sedang;
gembur, lekat; batas berangsur, berombak; terdapat karatan
Mn, jumlah biasa, kecil, jelas, batas jelas, bintik berganda, σ
= 6,0 (kgf/cm2)
25 - 50
Coklat kekuningan (7.5 YR 5/6); liat, gumpal bersudut,
sedang, kuat; gembur, agak lekat, agak plastis; batas jelas,
tidak teratur; perakaran sedang; jumlah pori sedikit; karat
Mn, jumlah biasa, kecil, jelas, batas jelas, bintik berganda, σ
= 9,3 (kgf/cm2)
50 - 75
Coklat gelap (5 YR 4/6); liat, gumpal bersudut, sedang,
kuat; teguh agak lekat, tidak plastis; perakaran sedikit; karat
Mn (7.5 YR 2.5/0 atau 10 YR 10/1), banyak, sedang, jelas,
jelas, bintik berganda, σ = 6,5 (kgf/cm2)
Lampiran 11. Sifat-sifat fisik dan morfologi tanah pada lahan lokasi 2.
Kedalaman (cm)
Uraian
0 - 17
Coklat kekuningan (5 YR 5/4); liat, gumpal bersudut, halussedang, kuat; gembur; batas lurus ; karat Mn, banyak,
sedang, nyata, jelas, bintik berganda; perakaran halus
banyak, σ = 2,4 (kgf/cm2)
17-35
Coklat kemerahan gelap (2,5 YR 5/6); liat, gumpal
bersudut, halus, lemah; sangat teguh; karat Mn, banyak,
sedang, nyata, jelas, bintik berganda; perakaran sedikit,
σ = 4,9 (kgf/cm2)
35 - 65
Coklat kemerahan terang(5 YR 5/6); liat, gumpal bersudut,
halus, lemah; sangat teguh; σ = 2,5 (kgf/cm2)
65 - 80
Coklat (5 YR 5/8); liat, gumpal bersudut; halus, lemah;
sangat teguh; σ = 1,6 (kgf/cm2)
122
Lampiran 12. Sifat-sifat fisik dan morfologi tanah lahan lokasi 3.
Kedalaman (cm)
Uraian
0 - 20
Coklat abu-abu terang (5 YR 4/2); lempung liat berpasir,
gumpal bersudut, halus, sedang; sangat gembur; karat Mn,
jumlah biasa, sedang, nyata, jelas, bintik berganda; perakaran
sedang, banyak; batas jelas, lurus, σ = 3,5 (kgf/cm2)
20 - 30
Coklat keabu-abuan (5 YR 4/3); liat berpasir, gumpal
bersudut, sedang; gembur; batas jelas, lurus; perakaran
sedang; bahan kasar Mn banyak, σ = 7,5 (kgf/cm2)
30 - 60
Coklat merah keabuan (5 YR 5/6); liat berpasir, gumpal
bersudut, sedang; gembur; batas jelas, lurus; perakaran
sedikit; bahan kasar Mn sedikit, σ = 5,0 (kgf/cm2)
60 - 80
Coklat merah keabuan gelap (7,5 YR 4/4); liat berpasir,
gumpal bersudut, sedang; gembur; batas jelas, lurus;
perakaran banyak; bahan kasar Mn, σ = 1,5 (kgf/cm2)
123
0 cm
7 cm
18 cm
Lokasi 1
Lokasi 2
0 cm
0 cm
17 cm
20 cm
25 cm
35 cm
cm
30 cm
50 cm
65 cm
60 cm
75 cm
80 cm
Lampiran 13. Penampang melintang profil tanah lokasi penelitian
80 cm
Lokasi 3
124
Lampiran 14. Sifat fisik dan kimia tanah lokasi penelitian
Kedalaman
0-10 cm
10-20 cm
20-30 cm
30-40 cm
40-50 cm
BI (g/cm3)
1,01
1,00
1,02
1,02
1,02
DMR
2,51
2,52
1,91
1,93
1,92
Ks (cm/jam)
1,73
1,73
1,73
1,73
1,73
Kap. ret. maks. (% vol)
41,81
40,98
45,33
46,47
46,04
H2O
4,62
5,62
5,39
6,05
6,22
KCl
4,04
4,53
4,67
4,68
5,03
C-org (%)
1,84
1,40
1,05
1,12
0,87
N-total (%)
0,15
0,11
0,18
0,13
0,08
P-tersedia (ppm)
0,11
0,03
0,02
0,02
0,02
Sifat fisik:
Sifat kimia:
pH (1:2.5):
Basa-basa dapat ditukar (me/100 g)
K
0,37
0,49
0,31
0,27
0,32
Na
0,36
0,51
0,40
0,29
0,45
Ca
5,41
7,09
7,14
7,13
7,51
Mg
1,42
1,65
1,70
1,81
2,47
KTK (me/100 g)
19,11
17,28
17,53
18,64
17,42
KB (%)
40,19
56,64
55,28
50,97
62,86
Al (me/100 g)
1,52
0,61
1,13
0,54
0,23
Pasir
4,99
4,76
4,59
3,85
3,11
Debu
21,14
31,05
4,39
22,38
24,97
Liat
73,87
64,19
91,02
73,77
71,93
Tekstur (%)
*)
BI = bobot isi, DMR= diameter massa rataan agregat, kap.ret.maks. = kapasitas retensi
maksimum
125
Lampiran 15. Sifat-sifat fisik tanah pada lahan lokasi penelitian
RPAT
RP
Mikro
RP Air
Mobil
(% vol)
RP Air
Imobil (%
vol)
Ks (0-50 )
(cm/jam)
22,75
13,13
38,54
27,19
34,11
0,92
3,20
23,27
12,70
38,67
26,63
35,31
0,92
4,46
4,43
13,40
14,48
44,95
20,23
38,12
0,92
3,16
2,98
3,38
9,52
16,71
48,23
14,88
42,87
0,92
1,88
3,41
3,57
4,13
11,11
15,95
46,94
17,58
40,47
0,92
83,10
3,26
7,19
6,40
2,13
15,72
17,39
45,92
23,11
38,53
2,38
62,52
85,68
3,27
9,15
7,69
1,81
18,64
16,81
43,88
23,98
38,54
2,38
0,99
64,86
33,41
1,76
7,90
9,45
2,22
19,57
18,12
45,30
22,58
42,99
2,38
30-40
0,98
65,29
32,42
1,71
5,41
10,35
3,27
19,02
17,37
46,27
21,45
43,84
2,38
2
40-50
0,97
65,43
32,88
1,73
6,65
9,91
2,74
19,30
17,74
46,13
22,01
43,42
2,38
3
0-10
0,96
64,76
46,85
2,34
11,38
10,06
2,35
23,80
15,08
40,96
29,23
35,53
1,87
3
10-20
0,96
64,50
47,78
2,33
10,53
10,80
2,80
24,12
13,34
40,38
29,36
35,13
1,87
3
20-30
0,96
66,75
39,45
2,12
13,53
7,10
1,58
22,21
19,49
44,54
24,99
41,76
1,87
3
30-40
0,95
67,29
40,78
2,18
14,47
6,48
1,43
22,38
19,64
44,91
26,67
40,62
1,87
3
40-50
0,95
67,02
40,12
2,15
14,01
6,83
1,38
22,22
19,62
44,80
25,84
41,18
1,87
Lokasi
DMR
RPDSC
RPDC
RPDL
Kedalaman
(cm)
BI
(g/cm3)
RPT
(%)
ISA
1
0-10
1,02
61,29
42,92
1,93
4,79
14,21
3,76
1
10-20
1,00
61,94
43,41
1,95
4,91
15,15
1
20-30
1,14
58,35
37,42
1,86
4,50
1
30-40
1,16
57,75
37,55
1,90
1
40-50
1,15
58,05
37,48
2
0-10
1,05
61,64
2
10-20
1,02
2
20-30
2
RPD
(% vol)
126
Lampiran 16. Sifat-sifat kimia tanah lokasi penelitian
Kedalaman
Lokasi
(cm)
H2O
KCl
Corg
(%)
pH (1:2.5)
Ntotal
(%)
Ptersedia
(ppm)
Basa-basa dapat ditukar
(me/100 g)
Na
0,30
Ca
6,58
Mg
1,54
KTK
(me/100
g)
KB
(%)
Al
(me/100
g)
Pasir
Debu
Liat
15,83
55,02
0,91
4,99
13,64
81,36
Tekstur (%)
1
0-10
4,86
3,91
1,84
0,16
0,09
K
0,29
1
10-20
5,07
4,19
1,84
0,14
0,03
0,47
0,40
7,09
1,74
15,51
62,55
0,91
5,70
41,11
53,19
1
20-30
5,07
4,21
1,38
0,10
0,03
0,17
0,19
6,73
1,71
17,18
51,22
0,67
5,01
3,26
91,74
1
30-40
5,56
4,64
1,29
0,23
0,01
0,12
0,15
6,85
1,94
17,80
50,95
0,00
4,51
23,26
72,24
1
40-50
5,76
4,89
1,23
0,09
0,02
0,18
0,20
7,13
2,06
13,73
69,71
0,00
2,87
4,05
93,08
2
0-10
5,1
3,9
1,68
0,15
0,10
0,23
0,29
3,06
1,05
18,35
25,19
1,33
5,16
4,80
90,04
2
10-20
5,8
4,6
0,98
0,09
0,02
0,52
0,58
6,72
1,40
17,85
51,64
0,67
4,66
9,69
85,65
2
20-30
4,9
4,8
0,86
0,35
0,01
0,34
0,48
6,90
1,46
19,77
46,42
2,71
4,39
4,00
91,60
2
30-40
6,2
4,2
1,09
0,07
0,01
0,30
0,40
6,91
1,61
19,33
47,66
1,39
2,88
37,92
59,20
2
40-50
6,4
5
0,67
0,05
0,01
0,41
0,68
8,13
3,48
18,18
69,87
0,69
2,97
36,96
60,07
3
0-10
3,9
4,3
1,98
0,15
0,14
0,60
0,50
6,58
1,66
23,15
40,35
2,33
4,83
44,97
50,20
3
10-20
6
4,8
1,36
0,11
0,04
0,48
0,56
7,44
1,81
18,47
55,73
0,24
3,91
42,36
53,73
3
20-30
6,2
5
0,90
0,08
0,03
0,44
0,53
7,78
1,93
15,66
68,21
0,00
4,37
5,91
89,72
3
30-40
6,4
5,2
0,97
0,08
0,02
0,38
0,32
7,62
1,89
18,78
54,31
0,24
4,16
5,96
89,89
3
40-50
6,5
5,2
0,71
0,09
0,02
0,38
0,48
7,25
1,87
20,36
49,01
0,00
3,47
33,89
62,63
127
Lampiran 17. Sidik ragam model hubungan konduktivitas hidrolik jenuh
dengan karakteristik pori tanah
Peubah bebas
RPT, ISA
RPDSC, ISA
RP makro, ISA
RP air mobil, ISA
SK
JK
db
KT
F
taraf p
Regresi
5,47
2
2,74
68,04*
0,00
Sisa
1,09
27
0,04
Regresi
4,95
2
2,47
41,50*
0,00
Sisa
1,61
27
0,06
Regresi
4,84
2
2,42
38,05*
0,00
Sisa
1,72
27
0,06
Regresi
4,78
1
4,78
75,10*
0,00
Sisa
1,78
28
0,06
Keterangan: RPT:ruang pori total, ISA: indeks stabilitas agregat, RPDSC: ruang pori drainase sangat
cepat, RP: ruang pori
Lampiran 18. Konduktivitas hidrolik tak jenuh kedalaman (0-50) cm
pada lokasi penelitian
0-10 cm
10-20 cm
20-30 cm
30-40 cm
40-50 cm
Kadar
Air
(% vol)
Kunsat
(cm/jam)
Kadar
Air
(% vol)
Kunsat
(cm/jam)
Kadar
Air
(% vol)
Kunsat
(cm/jam)
Kadar
Air
(% vol)
Kunsat
(cm/jam)
Kadar
Air
(% vol)
Kunsat
(cm/jam)
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
1,53E-24
5,93E-22
8,55E-20
5,76E-18
2,13E-16
4,9E-15
7,63E-14
8,63E-13
7,46E-12
5,16E-11
2,94E-10
1,42E-09
5,99E-09
2,22E-08
7,4E-08
2,24E-07
6,24E-07
1,61E-06
3,89E-06
8,85E-06
1,91E-05
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
2E-25
9,4E-23
1,6E-20
1,23E-18
5,15E-17
1,31E-15
2,24E-14
2,74E-13
2,54E-12
1,87E-11
1,13E-10
5,76E-10
2,54E-09
9,82E-09
3,4E-08
1,07E-07
3,07E-07
8,16E-07
2,03E-06
4,72E-06
1,04E-05
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
6,78E-24
2,48E-21
3,4E-19
2,18E-17
7,75E-16
1,71E-14
2,56E-13
2,79E-12
2,34E-11
1,56E-10
8,65E-10
4,07E-09
1,66E-08
6E-08
1,95E-07
5,76E-07
1,57E-06
3,96E-06
9,36E-06
2,09E-05
4,4E-05
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
1,03E-24
4,12E-22
6,07E-20
4,16E-18
1,56E-16
3,62E-15
5,68E-14
6,46E-13
5,62E-12
3,91E-11
2,24E-10
1,09E-09
4,59E-09
1,71E-08
5,73E-08
1,74E-07
4,87E-07
1,26E-06
3,06E-06
6,98E-06
1,51E-05
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
3,48E-24
1,25E-21
1,68E-19
1,07E-17
3,75E-16
8,2E-15
1,22E-13
1,32E-12
1,1E-11
7,37E-11
4,08E-10
1,92E-09
7,85E-09
2,85E-08
9,28E-08
2,75E-07
7,53E-07
1,91E-06
4,55E-06
1,02E-05
2,17E-05
128
Lampiran 18. Konduktivitas hidrolik tak jenuh kedalaman (0-50) cm
pada lokasi penelitian (lanjutan)
0-10 cm
10-20 cm
20-30 cm
30-40 cm
40-50 cm
Kadar
Air
(% vol)
Kunsat
(cm/jam)
Kadar
Air
(% vol)
Kunsat
(cm/jam)
Kadar
Air
(% vol)
Kunsat
(cm/jam)
Kadar
Air
(% vol)
Kunsat
(cm/jam)
Kadar
Air
(% vol)
Kunsat
(cm/jam)
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
3,91E-05
7,67E-05
0,00014
0,00026
0,00046
0,00078
0,00130
0,00209
0,00328
0,00504
0,00760
0,01122
0,01627
0,02321
0,03260
0,04511
0,06158
0,08298
0,11048
0,14542
0,18938
0,24416
0,31179
0,39459
0,49514
0,61634
0,76136
0,93372
1,13725
0,98848
1,18690
0,44051
0,52763
0,62842
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
2,18E-05
4,37E-05
8,4E-05
0,00016
0,00028
0,00048
0,00080
0,00132
0,00210
0,00326
0,00497
0,00743
0,01090
0,01571
0,02228
0,03112
0,04286
0,05825
0,07820
0,10374
0,13613
0,17677
0,22730
0,28959
0,36572
0,45805
0,56919
0,70204
0,85980
0,77606
0,93683
1,12408
0,48110
0,57446
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
8,86E-05
0,00017
0,00032
0,00056
0,00098
0,00163
0,00266
0,00423
0,00656
0,00996
0,01481
0,02162
0,03099
0,04371
0,06072
0,08315
0,11236
0,14992
0,19772
0,25787
0,33285
0,42542
0,53874
0,67630
0,84200
1,04013
1,27538
1,55289
1,21956
1,46678
1,75347
2,08415
2,46366
2,89709
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
3,11E-05
6,12E-05
0,00012
0,00021
0,00037
0,00064
0,00106
0,00171
0,00269
0,00416
0,00628
0,00931
0,01356
0,01941
0,02736
0,03799
0,05203
0,07035
0,09397
0,12409
0,16210
0,20963
0,26851
0,34082
0,42891
0,53541
0,66324
0,63621
0,77510
0,93819
1,12857
1,34960
1,60489
1,89826
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
4,4E-05
8,55E-05
0,00016
0,00029
0,00050
0,00085
0,00139
0,00223
0,00348
0,00533
0,00799
0,01176
0,01700
0,02417
0,03385
0,04673
0,06364
0,08559
0,11376
0,14951
0,19444
0,25037
0,31939
0,40384
0,50636
0,62989
0,77768
0,32250
0,39857
0,48912
0,59622
0,72215
0,86937
1,04055
129
Lampiran 19. Model karakteristik kelembaban tanah lahan penelitian
Blok
1 (0-10) cm
1 (10-20) cm
1 (20-30) cm
1 (30-40) cm
Model
Ψ = 2,86-2,86 e (14,49-23,75θ)
Ψ = 2,18-2,18 e
(15,24-24,60*θ)
Ψ = 11,47-11,47 e
(14,93 - 25,74θ)
Ψ = 24,95-243,95 e
(14,15-24,4 θ)
(10,69-18,43 θ)
1 (40-50) cm
Ψ = 108,72-108,72 e
2 (0-10) cm
Ψ = 37,12-37,12 e (11,17-18,12 θ)
Ψ = 24,31-24,31e
(11,42 -18,13 θ)
2 (20-30) cm
Ψ=10,84-10,84 e
(12,59 -19,20 θ)
2 (30-40) cm
Ψ = 13,97-13,97e (12,53 -19,19 θ)
2 (10-20) cm
(14,15 - 21,62 θ)
2 (40-50) cm
Ψ = 5,01- 5,01 e
3 (0-10) cm
Ψ = 0,59-0,59 e (16,96 -26,10 θ)
3 (10-20) cm
3 (20-30) cm
3 (30-40) cm
3 (40-50) cm
Ψ = 0,59-0,59 e
(17,32 -27,07 θ)
Ψ = 5,03 -5,03 e
(12,81 -19,20 θ)
Ψ = 4,72-4,72 e
(12,91-19,19 θ)
Ψ = 5,01-5,01 e
(12,87-19,20 θ)
Keterangan: Ψ = potensial matrik, θ = kadar air (% volume)
R2
0,62
0,61
0,73
0,86
0,80
0,75
0,75
0,79
0,78
0,79
0,65
0,60
0,79
0,78
0,79
130
Kurva karakteristik air tanah lahan 1
(-) Potensial air (atm)
19
0-10 cm
15
10-20 cm
11
20-30 cm
7
40-50 cm
30-40 cm
3
-1
20
30
40
50
60
70
Kadar air (% vol)
Kurva karakteristik air tanah lahan 2
(-) Potensial air (atm)
19
0-10 cm
10-20 cm
15
20-30 cm
11
30-40 cm
40-50 cm
7
3
-1
20
30
40
50
Kadar air (% vol)
60
70
(-) Potensial air(atm)
Kurva karakteristik air tanah lahan 3
19
0-10 cm
15
10-20 cm
11
30-40 cm
7
40-50 cm
20-30 cm
3
-1
20
30
40
50
Kadar air (% vol)
60
Lampiran 20. Kurva karakteristik kelembaban tanah
lokasi penelitian
70
131
Lampiran 21. Korelasi antara karakteristik pori tanah dengan
konduktivitas hidrolik jenuh, fluks aliran air
dan laju aliran air transient
No
Karakter Pori
Ks
Fluks
dθ/dt
1
RPT
0,77*
0.65*
-0,34
2
St. agregat
0,76*
0,21
-0,25
3
RPDSC
0,47*
0,74*
-0,72*
4
RPDC
0,23
0,00
0,54*
5
RPDL
-0,51*
-0,43*
0,02
6
RPD
0,47*
0,75*
-0,47
7
RPAT
0,57*
0,27
-0,07
8
RP mikro
-0,28
-0,56*
0,57*
9
RP air mobil
0,34
0,74*
-0,63*
10
RP air imobil
0,64*
-0,22
0,45
Keterangan: RPT: ruang pori total, RPDSC = ruang pori drainase sangat cepat,
RPDC = ruang pori drainase cepat, RPDL = ruang pori drainase lambat,
RPD = ruang pori drainase, RPAT = ruang pori air tersedia, RP = ruang pori
Lampiran 22. Sidik ragam regresi antara karakteristik pori terhadap
fluks aliran air dan laju pergerakan air transient
Peubah
Fluks
dθ/dt
SK
JK
db
KT
F
taraf p
Regresi
0,83
1
0,83
32,94*
0,00
Sisa
0,71
28
0,03
Regresi
0,053
1
0,053
6,47*
0,024
Sisa
0,107
13
0,008
132
Lampiran 23. Sidik ragam regresi antara jumlah hujan terhadap
fluks aliran air dan laju pergerakan air transient ,
dan kapasitas retensi air maksimum tanah
Peubah
SK
JK
db
KT
F
taraf p
Fluks
Regresi
924,591
2
462,30
422,52*
0,00000
Sisa
1279,044
1169
1,09
Regresi
1399,13
3
466,38
199,44*
0,00000
Sisa
1992,35
852
2,34
2488,05*
0,00000
θ(KL)
Regresi
45456,52
Sisa
200,97
2 22728,26
22
9,13
60
θKl (% vol)
dθ/dt
50
40
θKL = 2,29Ln(CH) + 36,57
r = 0,73
30
0
25
50
75
Curah hujan (mm)
100
Lampiran 24. Pengaruh curah hujan terhadap kadar air
pada kapasitas lapang
125
133
Lampiran 25. Data hujan di lokasi penelitian selama masa pertumbuhan tanaman
Hari
ke
Tanggal
Curah
Hujan
(mm)
Waktu
hujan
(jam)
Intensitas
hujan
(mm/jam)
Hari
ke
Tanggal
Curah
Hujan
(mm)
Waktu
hujan
(jam)
Intensitas
hujan
(mm/jam)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
15/4/06
16/4/06
17/4/06
18/04/06
19-04-06
20-4-06
21/4/06
22-04-06
23-4-06
24/4/06
25-04-06
26-04-06
27/4/06
28/4/06
29-04-06
30-04-06
01/05/06
02/05/06
03/05/06
04/05/06
05/05/06
06/05/06
07/05/06
08/05/06
09/05/06
10/05/06
11/05/06
12/05/06
13/01/00
14/5/06
15/5/06
16/5/06
17/5/06
18/5/06
19/5/06
20/5/06
21/5/06
1,61
22,55
0,18
26,90
0,22
2,57
0,41
0,64
2,06
3,39
0,00
0,84
0,39
0,06
11,09
52,95
0,21
3,84
0,00
18,25
0,00
0,23
11,94
85,69
0,45
0,27
2,15
5,64
0,46
0,00
0,00
0,55
0,09
0,00
0,00
0,00
7,49
0,98
14,79
0,07
0,43
4,73
4,66
0,14
0,07
10,78
11,79
0,00
0,09
1,06
0,11
2,25
4,58
0,01
0,28
0,00
7,94
0,00
0,23
5,63
5,97
0,08
0,88
4,11
16,24
0,05
0,00
0,00
17,71
0,29
0,00
0,00
0,00
9,07
1,64
1,52
2,73
62,98
0,05
0,55
2,83
9,15
0,19
0,29
0,00
9,02
0,37
0,52
4,93
11,57
21,32
13,71
0,00
2,30
0,00
0,97
2,12
14,35
5,64
0,30
0,52
0,35
9,09
0,00
0,00
0,03
0,31
0,00
0,00
0,00
0,83
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
22/5/06
23/5/06
24/5/06
25/5/06
26/5/06
27/05/06
28/5/06
29/5/06
30/5/06
31/5/06
01/06/06
02/06/06
03/06/06
04/06/06
05/06/06
06/06/06
07/06/06
08/06/06
09/06/06
10/06/06
11/06/06
12/06/06
13/06/06
14/06/06
15/06/06
16/06/06
17/06/06
18/06/06
19/06/06
20/06/06
21/06/06
22/06/06
23/06/06
24/06/06
25/06/06
26/06/06
27/06/06
0,20
2,39
0,00
0,00
37,33
22,55
0,00
0,00
0,00
0,00
24,96
0,00
0,00
20,49
0,00
0,21
1,89
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
4,04
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,19
0,00
29,37
0,09
8,70
0,00
0,26
0,19
0,14
0,38
0,00
0,00
13,57
3,06
0,00
0,00
0,00
0,00
1,33
0,00
0,00
0,90
0,00
0,11
2,17
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
1,36
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,01
0,00
1,47
0,47
4,47
0,00
0,10
0,10
1,43
6,25
0,00
0,00
2,75
7,37
0,00
0,00
0,00
0,00
18,76
0,00
0,00
22,77
0,00
1,99
0,87
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
2,98
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
12,55
0,00
20,04
0,18
1,95
0,00
2,67
1,91
134
Lampiran 26. Kadar air tanah tiap kedalaman selama masa pertumbuhan
(ulangan = 30)
Kedalaman
Umur
(minggu)
0-10 cm
10-20 cm
20-30 cm
30-40 cm
40-50 cm
1
40,35
43,07
45,53
49,60
50,27
2
40,49
42,10
43,96
46,74
48,40
3
41,19
42,28
43,59
46,12
48,37
4
36,78
39,88
41,20
44,24
45,76
5
38,20
39,72
42,10
44,72
46,70
6
40,77
41,14
44,19
45,92
47,12
7
41,37
42,63
43,30
45,36
46,47
8
32,58
36,62
38,21
40,73
42,73
9
32,57
35,54
37,94
40,01
41,36
10
38,08
39,46
41,01
42,58
44,30
Rataan
38,24 a
40,24 ab
42,10 bc
44,60 c
46,15 c
Keterangan: nilai kadar air rataan yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata menurut uji beda nilai tengah (α = 5%)
Lampiran 27. Uji beda nilai tengah kadar air dan hara antar
kedalaman tanah
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Perbandingan antar
kedalaman tanah
0-10 cm dan 10-20 cm
0-10 cm dan 20-30 cm
0-10 cm dan 30-40 cm
0-10 cm dan 40-50 cm
10-20 cm dan 20-30 cm
10-20 cm dan 30-40 cm
10-20 cm dan 30-40 cm
20-30 cm dan 30-40 cm
20-30 cm dan 40-50 cm
30-40 cm dan 40-50 cm
KA
NH4
NO3
P
K
1,51
2,91*
4,56*
5,80*
1,64
3,59*
5,01*
2,06
3,44*
1,23
0,61
1,37
0,40
0,90
0,85
0,24
0,41
1,11
0,30
-0,62
2,40*
3,70*
4,49*
5,01*
1,56
2,39*
3,01*
0,65
1,22
0,64
0,99
2,09
2,32*
2,42*
1,07
1,33
1,43
0,32
0,41
0,08
3,14*
4,82*
5,40*
5,74*
4,07*
5,60*
6,72*
1,79
3,00*
1,10
Keterangan: apabila t*> t (5%,db), maka kadar air dan kadar hara antar kedalaman berbeda
135
Lampiran 28. Kadar air tanah tiap lokasi penelitian selama masa pertumbuhan (10 ulangan)
Lokasi
Umur (minggu)
5
6
Kedalaman
(cm)
1
2
3
4
1
0-10
38,69
33,69
37,10
37,48
31,91
1
10-20
41,22
35,22
37,52
38,38
1
20-30
44,73
36,98
38,43
1
30-40
48,35
40,00
1
40-50
50,24
2
0-10
2
7
8
9
10
39,62
38,64
33,98
32,45
37,70
33,33
39,02
37,95
33,99
33,55
37,38
38,48
35,79
40,77
37,84
36,36
34,97
37,59
41,02
40,41
38,07
41,64
41,10
37,31
36,70
38,55
41,93
43,34
41,39
40,37
43,02
42,09
39,05
38,74
40,63
44,50
46,39
45,39
39,44
44,64
44,82
44,62
34,03
34,12
41,69
10-20
45,68
46,85
45,43
41,19
45,23
43,18
46,90
37,88
37,74
42,73
2
20-30
46,69
47,27
45,37
42,00
46,03
47,22
46,52
38,86
39,43
43,74
2
30-40
49,92
50,27
49,45
46,82
48,76
49,95
48,91
43,33
42,31
46,25
2
40-50
50,68
51,96
51,52
48,32
50,63
50,43
49,64
45,76
43,61
47,06
3
0-10
37,85
41,38
41,10
33,41
38,06
37,86
40,84
29,74
31,14
34,86
3
10-20
42,31
44,24
43,88
40,08
40,60
41,22
43,05
38,00
35,33
38,25
3
20-30
45,18
47,63
46,98
43,13
44,47
44,57
45,53
39,42
39,43
41,72
3
30-40
50,52
49,96
47,88
45,50
47,34
46,16
46,08
41,56
41,00
42,94
3
40-50
49,90
51,30
50,25
47,57
49,09
47,90
47,68
43,38
41,72
45,23
136
Lampiran 29. Kadar N, P, dan K sebelum tanam dan pada waktu panen
Kedalaman (cm)
Unsur
Waktu
0-10
10-20
20-30
30-40
40-50
N (%)
Sebelum
tanam
0,15
0,10
0,20
0,09
0,07
Panen
0,17
0,16
0,13
0,12
0,11
Sebelum
tanam
0,11
0,03
0,02
0,02
0,02
Panen
1,24
4,17
2,02
0,88
0,59
Sebelum
tanam
0,37
0,49
0,31
0,27
0,32
Panen
0,25
0,22
0,25
0,22
0,22
P (ppm)
K (me/100
g)
Lampiran 30. Kadar NH4 tiap kedalaman selama masa pertumbuhan (ulangan = 30)
Kedalaman
Umur
(minggu)
0-10 cm
10-20 cm
20-30 cm
30-40 cm
40-50 cm
1
11,08a
7,46l
5,77r
6,52v
5,86h
2
4,81f
2,48o
3,93t
3,20w
2,92l
3
2,04h
2,10o
1,31u
1,36y
1,45g
4
5,01d
4,01n
2,70f
2,67x
3,65e
5
9,63a
17,37k
17,87p
8,46t
9,08g
6
4,43f
4,52n
4,60t
5,34w
5,57hi
7
6,05b
5,65m
6,71q
7,05u
7,63g
8
4,72e
5,00mn
4,77s
4,92w
4,86ij
9
5,62c
5,73m
5,59r
5,96v
5,38 hi
10
4,07g
4,78n
4,46rs
4,70w
4,48 jk
Rataan
5,75 aa
5,91 aa
5,77 aa
5,01 aa
5,09 aa
Keterangan: kadar amonium tiap kedalaman tanah dan kadar amonium rataan yang diikuti oleh huruf
yang sama tidak berbeda nyata menurut uji beda nilai tengah (α = 5%)
137
Lampiran 31. Kadar amonium tanah pada tiap lokasi penelitian selama masa pertumbuhan (ulangan = 10)
1
1
1
1
1
Kedalaman
(cm)
0-10
10-20
20-30
30-40
40-50
1
16,49
10,22
5,53
7,75
5,75
2
3,79
2,84
3,12
3,73
3,25
3
3,55
3,67
1,80
1,34
1,66
4
3,32
3,63
2,77
2,85
2,62
Umur (minggu)
5
6
9,26
3,81
31,42
4,62
29,63
3,82
10,23
5,28
5,40
6,58
7
5,18
5,49
7,43
8,56
8,49
8
4,51
5,31
4,60
4,96
5,16
9
5,79
5,77
5,96
5,82
5,53
10
4,65
5,76
5,92
6,21
5,22
2
2
2
2
2
0-10
10-20
20-30
30-40
40-50
6,24
3,77
4,35
4,83
5,01
4,02
2,03
3,05
2,55
1,07
1,63
1,59
1,18
1,66
1,62
3,46
2,62
2,54
2,69
2,06
18,18
19,56
22,91
13,84
20,26
5,16
5,15
6,82
6,05
6,75
6,05
6,86
7,28
6,18
7,42
6,40
5,49
5,30
6,36
5,74
3,89
4,95
4,55
5,15
4,54
2,76
3,40
2,67
3,17
3,32
3
3
3
3
3
0-10
10-20
20-30
30-40
40-50
10,51
8,39
7,44
7,00
6,83
6,62
2,58
5,61
3,33
4,45
0,96
1,05
0,95
1,06
1,08
8,26
5,78
2,80
2,48
6,28
1,45
1,15
1,08
1,30
1,59
4,33
3,78
3,18
4,68
3,38
6,92
4,61
5,42
6,42
7,00
3,25
4,20
4,41
3,44
3,68
7,19
6,46
6,26
6,90
6,08
4,80
5,18
4,79
4,72
4,92
Lokasi
138
Lampiran 32. Korelasi karakteristik pori tanah terhadap
kadar NH4+, NO3-, P, dan K
NH4+
NO3-
P
K
RPT
-0,17*
-0,18*
0,19*
0,17*
RPDSC
-0,16*
0,01
0,15
0,24*
RPDC
0,09
0,19*
0,19*
0,31*
RPDL
0,10
-0,03
-0,16*
-0,02
RPD
-0,06
0,03
0,24*
0,43*
RPAT
-0,24*
-0,19*
0,13
-0,10
RP mikro
0,18*
0,01
-0,29*
-0,31*
RP mobil
-0,07
0,08
0.60*
0.61*
RP Imobil
-0,15
-0,51*
-0,21*
-0,54*
St Pori
0,03
0,28*
0,05
0,23*
Peubah
139
Lampiran 33. Uji beda nilai tengah kadar Amonium tiap kedalaman antar
waktu pengukuran (minggu)
Perbandingan
0-10 cm
10-20 cm
20-30 cm
30-40 cm
40-50 cm
1 dan 2 minggu
1 dan 3 minggu
1 dan 4 minggu
1 dan 5 minggu
1 dan 6 minggu
1 dan 7 minggu
1 dan 8 minggu
1 dan 9 minggu
1 dan 10 minggu
2 dan 3 minggu
2 dan 4 minggu
2 dan 5 minggu
2 dan 6 minggu
2 dan 7 minggu
2 dan 8 minggu
2 dan 9 minggu
2 dan 10 minggu
3 dan 4 minggu
3 dan 5 minggu
3 dan 6 minggu
3 dan 7 minggu
3 dan 8 minggu
3 dan 9 minggu
3 dan 10 minggu
4 dan 5 minggu
4 dan 6 minggu
4 dan 7 minggu
4 dan 8 minggu
4 dan 9 minggu
4 dan 10 minggu
5 dan 6 minggu
5 dan 7 minggu
5 dan 8 minggu
5 dan 9 minggu
5 dan 10 minggu
6 dan 7 minggu
6 dan 8 minggu
6 dan 9 minggu
6 dan 10 minggu
7 dan 8 minggu
7 dan 9 minggu
7 dan 10 minggu
8 dan 9 minggu
8 dan 10 minggu
9 dan 10 minggu
6,95*
10,38*
6,22*
0,90
7,58*
5,75*
7,09*
6,03*
8,02*
7,09*
-0,34
-3,40*
0,94
-3,10*
0,21*
-1,75*
1,87*
-5,50*
-5,43*
-7,18*
-12,38*
-6,99*
-8,98*
-6,26*
-3,15*
1,05*
-1,90*
0,50*
-1,03*
1,73*
3,71*
2,56*
3,47*
2,82*
3,97*
-4,73*
-0,72
-2,88*
1,06
3,41*
1,05
5,95*
-1,99
1,67
3,83*
6,88*
7,09*
4,47*
-3,90*
3,96*
2,35*
3,29*
2,29*
3,51*
1,33
-4,69*
-6,09*
-8,11*
-9,86*
-9,48*
-11,28*
-7,52*
-4,87*
-6,22*
-7,27*
-9,14*
-8,43*
-10,05*
-7,13*
-5,43*
-1,38
-3,91*
-2,61*
-4,36*
-1,89
5,25*
4,77*
5,05*
4,75*
5,13*
-3,11*
-1,52
-3,61*
-0,75
1,74
-0,19
2,16*
-2,11*
0,61
2,51*
4,38*
13,99*
9,55*
-5,00*
2,44*
-2,10*
2,73*
0,45
3,10*
8,19*
3,79*
-5,77*
-1,42
-6,24*
-2,29*
-4,07*
-1,27
-8,45*
-6,89*
-8,40*
-15,36*
-14,18*
-14,20*
-9,80*
-6,31*
-4,82*
-11,33*
-8,36*
-9,49*
-5,42*
5,46*
4,61*
5,44*
5,08*
5,54*
-4,20*
-0,38
-2,10*
0,30
4,90*
2,59*
5,02*
-2,33*
0,83
2,75*
4,38*
13,99*
9,55*
-5,00*
2,44*
-2,10*
2,73*
0,45
3,10*
8,19*
3,79*
-5,77*
-1,42
-6,24*
-2,29*
-4,07*
-1,27
-8,45*
-6,89*
-8,40*
-15,36*
-14,18*
-14,20*
-9,80*
-6,31*
-4,82*
-11,33*
-8,36*
-9,49*
-5,42*
5,46*
4,61*
5,44*
5,08*
5,54*
-4,20*
-0,38
-2,10*
0,30
4,90*
2,59*
5,02*
-2,33*
0,83
2,75*
7,11*
15,00*
4,56*
-1,99
0,65
-3,80*
2,59*
1,21
3,92*
4,64*
-1,47*
-3,80*
-5,72*
-9,77*
-4,77*
-5,95*
-4,21*
-5,44*
-4,78*
-11,44*
-16,08*
-12,05*
-13,39*
-13,17*
-3,31*
-3,64*
-7,32*
-2,52*
-3,57*
-1,85
2,15*
0,89
2,61*
2,29*
2,86*
-4,04*
1,62
0,42
2,66*
6,04*
4,82*
7,33*
-1,36
1,09
2,56*
140
Lampiran 34. Sidik ragam regresi antara karakteristik pori terhadap
kadar NH4+, NO3-, P, dan K
Peubah
bebas
Peubah
tak bebas
SK
JK
db
KT
F
taraf p
RPDSC
NH4
Regresi
Sisa
392
3677
4
145
98
25
3,86*
0,005
RP air imobil
NO3
Regresi
8239,30
22865,07
1
123
8239,30
185,89
44,32*
0,00
Sisa
RP air mobil
P
Regresi
Sisa
470
104
2
123
235
1
277*
0,000
RP air mobil,
RP air imobil
K
Regresi
Sisa
627,47
921,20
2
135
313,74
6,82
45,98*
0,00
Lampiran 35. Kadar NO3- tiap kedalaman selama masa pertumbuhan
(ulangan=30)
Kedalaman
Umur
(minggu)
0-10 cm
10-20 cm
20-30 cm
30-40 cm
40-50 cm
1
52,17 cdef
38,30hi
35,36no
33,07rs
26,64 xy
2
30,07 g
15,21k
10,15q
11,25u
10,62 z
3
32,19 g
31,23j
22,31p
23,69t
20,26 y
4
53,12 def
48,83g
36,42mn
38,92pqr
36,70 uv
5
155,71 a
57,02g
52,54k
46,77p
40,04 tu
6
83,87 b
54,21g
49,05kl
43,45pq
45,42 t
7
61,62 cd
36,21ij
27,88 o
26,45st
27,80 x
8
57,25 cde
51,10g
41,06 m
34,68r
31,78w
9
67,49 c
53,70g
42,26 lm
37,45 qr
32,89 vw
10
49,37 ef
47,82gh
35,40 n
34,18 r
32,34 vw
Rataan
64,29a
43,36b
35,24bc
32,99c
30,45c
Keterangan: kadar nitrat tiap kedalaman tanah dan kadar nitrat rataan yang diikuti oleh huruf yang
sama tidak berbeda nyata menurut uji beda nilai tengah (α = 5%)
141
Lampiran 36. Kadar nitrat pada tiap lokasi penelitian selama masa pertumbuhan
Lokasi
Umur (minggu)
5
6
1
2
3
4
1
1
1
1
1
Kedalaman
(cm)
0-10
10-20
20-30
30-40
40-50
8,28
4,72
3,49
3,09
2,97
80,15
38,92
24,66
24,55
23,98
42,30
37,25
26,56
27,11
27,90
94,62
83,80
49,19
50,70
48,12
71,45
65,51
65,17
63,30
50,52
100,40
65,28
44,27
42,40
46,10
7
78,98
60,85
36,87
32,36
35,70
8
75,29
58,42
47,05
37,71
33,31
9
92,41
75,30
57,41
53,11
44,81
10
81,03
70,60
40,46
46,01
40,03
2
2
2
2
2
0-10
10-20
20-30
30-40
40-50
54,23
30,69
18,31
15,41
14,36
62,67
35,06
22,20
14,54
12,13
46,03
29,90
17,03
22,63
16,23
106,60
112,23
121,84
75,82
57,78
83,09
48,22
36,98
29,83
26,28
99,12
59,74
34,84
32,66
34,09
66,25
47,39
30,23
28,86
29,27
75,42
55,65
50,96
42,24
31,03
63,19
55,74
48,05
32,89
29,53
98,84
59,79
39,79
38,10
37,13
3
3
3
3
3
0-10
10-20
20-30
30-40
40-50
76,35
53,80
51,30
48,07
37,68
5,26
3,37
4,07
4,22
3,64
25,45
28,46
19,31
21,85
18,52
31,68
30,40
30,03
33,03
30,99
177,88
43,06
39,17
37,55
34,81
68,88
48,67
46,42
43,97
45,07
52,42
26,58
23,29
23,49
23,85
48,94
45,16
38,07
33,17
31,02
53,52
42,89
34,68
30,19
26,94
33,54
36,43
32,88
28,27
28,49
142
Lampiran 37. Uji beda nilai tengah kadar Nitrat tiap kedalaman antar
waktu pengukuran (minggu)
Perbandingan
0-10 cm
10-20 cm
20-30 cm
30-40 cm
40-50 cm
1 dan 2 minggu
1 dan 3 minggu
1 dan 4 minggu
1 dan 5 minggu
1 dan 6 minggu
1 dan 7 minggu
1 dan 8 minggu
1 dan 9 minggu
1 dan 10 minggu
2 dan 3 minggu
2 dan 4 minggu
2 dan 5 minggu
2 dan 6 minggu
2 dan 7 minggu
2 dan 8 minggu
2 dan 9 minggu
2 dan 10 minggu
3 dan 4 minggu
3 dan 5 minggu
3 dan 6 minggu
3 dan 7 minggu
3 dan 8 minggu
3 dan 9 minggu
3 dan 10 minggu
4 dan 5 minggu
4 dan 6 minggu
4 dan 7 minggu
4 dan 8 minggu
4 dan 9 minggu
4 dan 10 minggu
5 dan 6 minggu
5 dan 7 minggu
5 dan 8 minggu
5 dan 9 minggu
5 dan 10 minggu
6 dan 7 minggu
6 dan 8 minggu
6 dan 9 minggu
6 dan 10 minggu
7 dan 8 minggu
7 dan 9 minggu
7 dan 10 minggu
8 dan 9 minggu
8 dan 10 minggu
9 dan 10 minggu
2,37*
3,00*
-0,11
-6,76*
-3,98*
-1,29
-0,70
-1,98
0,35
-0,30
-2,61*
-8,13*
-6,53*
-4,14*
-3,58*
-4,66*
-2,31*
-3,48*
-8,81*
-10,20*
-7,40*
-6,35*
-7,49*
-3,28*
-6,82*
-4,15*
-1,27
-0,62
-2,00*
0,50
4,89*
6,56*
6,87*
6,06*
7,21*
3,78*
4,53*
2,56*
5,07*
0,88
-1,05
2,03*
-1,84
1,31
2,77*
4,05*
1,38
-1,53
-3,40*
-2,99*
0,37
-2,27*
-2,67*
-1,61
-4,05*
-5,56*
-9,40*
-9,29*
-4,58*
-7,79*
-8,06*
-6,59*
-3,20*
-7,02*
-6,83*
-1,30
-5,14*
-5,54*
-3,89*
-1,39
-0,95
2,11*
-0,38
-0,80
0,16
0,71
4,79*
1,35
0,73
1,95
4,40*
0,76
0,12
1,42
-3,30*
-3,74*
-2,39*
-0,55
0,67
1,17
5,09*
2,73*
-0,21
-2,98*
-2,52*
1,55
-1,14
-1,29
-0,01
-5,51*
-9,15*
-10,80*
-11,42*
-7,54*
-11,51*
-9,85*
-10,76*
-5,53*
-8,18*
-8,51*
-2,86*
-8,02*
-6,70*
-6,75*
-3,91*
-3,47*
3,19*
-1,56
-1,67
0,38
0,77
6,52*
2,87*
2,34*
4,53*
6,53*
2,29*
1,72
4,21*
-5,33*
-4,66*
-3,58*
-0,36
2,29*
2,22*
4,58*
2,13*
-1,26
-2,63*
-2,21*
1,50
-0,36
-0,89
-0,24
-4,87*
-9,42*
-9,42*
-10,61*
-5,86*
-9,04*
-7,83*
-7,59*
-6,61*
-6,99*
-8,15*
-1,50
-5,97*
-4,91*
-4,36*
-2,18
-1,60
5,32*
1,80
0,46
1,68
0,90
6,10*
3,63*
2,36*
3,43*
6,89*
3,55*
1,85
3,18*
-4,35*
-3,88*
-3,16*
-0,98
0,20
1,01
4,15*
1,87
-2,71*
-3,54*
-5,10*
-0,33
-1,52
-1,69
-1,60
-3,66*
-8,67*
-9,52*
-11,71*
-6,31*
-8,20*
-7,43*
-7,74*
-6,83*
-7,89*
-10,67*
-3,70*
-6,25*
-5,28*
-5,63*
-1,15
-3,14*
3,55*
2,09*
1,36
1,68
-1,88
4,70*
3,36*
2,47*
2,86*
7,16*
5,92*
4,54*
5,12*
-2,02*
-2,05*
-2,01*
-0,48
-0,27
0,22
143
Lampiran 38. Sidik ragam regresi antara kadar air terhadap kadar NO3dan K larutan tanah
Peubah
bebas
Peubah
tak bebas
SK
JK
db
KT
F
taraf p
Kadar air
NO3-
Regresi
Sisa
90088,73
2
45044,36
371,06*
0,000
5462,76
45
121,39
Regresi
Sisa
1182,85
83,71
240,23*
0,000
Kadar air
K
2
34
591,43
2,46
Lampiran 39. Kadar Fosfor tiap kedalaman selama masa pertumbuhan
(ulangan = 30)
Kedalaman
Umur
(minggu)
0-10 cm
10-20 cm
20-30 cm
30-40 cm
40-50 cm
1
1,88 cd
0,98 k
0,53q
0,51 t
0,47 y
2
2,58 bc
2,05 hij
1,24 o
1,06 r
1,16 vw
3
4,82 a
3,94 g
3,36 m
3,48 p
3,62 t
4
3,30 b
2,93 h
2,10 n
1,99q
2,07 u
5
1,69 d
2,07 hij
1,87 no
1,52 qr
1,55 vw
6
1,91 cd
2,37 hi
1,58 o
1,44 r
1,56 v
7
2,99 b
2,45 hi
2,23 n
2,13 q
2,11 u
8
2,13 cd
1,86 ij
1,59 o
1,03 r
1,01 w
9
2,10 cd
1,86 ij
0,81 p
0,64 s
0,64 x
10
1,98 cd
2,54 a
1,37 jk
2,19ab
0,81 p
1,61ab
0,74 s
1,45b
0,70x
1,49b
Rataan
Keterangan: kadar fosfor tiap kedalaman tanah dan kadar fosfor rataan yang diikuti oleh huruf
yang sama tidak berbeda nyata menurut uji beda nilai tengah (α = 5%)
144
Lampiran 40. Kadar fosfor pada tiap lokasi penelitian selama masa pertumbuhan tanaman
Lokasi
Umur (minggu)
5
6
1
2
3
4
1
1
1
1
1
Kedalaman
(cm)
0-10
10-20
20-30
30-40
40-50
0,49
0,48
0,40
0,41
0,40
0,67
0,61
0,62
0,45
0,55
3,71
3,48
3,41
3,45
3,54
1,99
1,83
1,75
1,60
1,65
0,51
0,53
0,46
0,58
0,42
2
2
2
2
2
0-10
10-20
20-30
30-40
40-50
0,76
0,55
0,61
0,61
0,53
2,04
1,72
1,71
1,54
1,63
3,63
3,72
3,52
3,57
3,57
2,13
1,94
1,90
1,84
1,91
3
3
3
3
3
0-10
10-20
20-30
30-40
40-50
4,08
1,16
0,58
0,52
0,47
5,04
2,65
1,33
1,16
1,30
6,81
4,57
3,24
3,41
2,93
5,41
4,31
2,67
2,52
2,44
1,83
1,86
1,59
1,61
1,80
7
1,85
1,72
1,49
1,82
1,71
8
0,98
0,80
0,85
0,77
0,77
9
1,65
1,54
0,85
0,69
0,71
10
0,93
0,60
0,53
0,51
0,48
1,70
1,34
1,27
1,45
1,36
1,27
0,99
1,27
1,31
1,17
3,37
3,38
3,45
3,43
3,50
1,51
1,26
1,12
1,02
1,03
1,13
0,79
0,54
0,53
0,53
1,46
1,17
1,00
0,93
0,88
2,86
2,38
3,34
2,02
1,79
2,30
4,86
1,77
1,29
1,23
3,73
2,07
1,11
1,14
1,11
2,72
3,18
2,52
1,19
1,10
2,94
2,88
0,85
0,70
0,69
2,70
0,92
0,79
0,75
0,68
145
Lampiran 41. Uji beda nilai tengah kadar Fosfor tiap kedalaman antar
waktu pengukuran (minggu)
Perbandingan
1 dan 2 minggu
1 dan 3 minggu
1 dan 4 minggu
1 dan 5 minggu
1 dan 6 minggu
1 dan 7 minggu
1 dan 8 minggu
1 dan 9 minggu
1 dan 10 minggu
2 dan 3 minggu
2 dan 4 minggu
2 dan 5 minggu
2 dan 6 minggu
2 dan 7 minggu
2 dan 8 minggu
2 dan 9 minggu
2 dan 10 minggu
3 dan 4 minggu
3 dan 5 minggu
3 dan 6 minggu
3 dan 7 minggu
3 dan 8 minggu
3 dan 9 minggu
3 dan 10 minggu
4 dan 5 minggu
4 dan 6 minggu
4 dan 7 minggu
4 dan 8 minggu
4 dan 9 minggu
4 dan 10 minggu
5 dan 6 minggu
5 dan 7 minggu
5 dan 8 minggu
5 dan 9 minggu
5 dan 10 minggu
6 dan 7 minggu
6 dan 8 minggu
6 dan 9 minggu
6 dan 10 minggu
7 dan 8 minggu
7 dan 9 minggu
7 dan 10 minggu
8 dan 9 minggu
8 dan 10 minggu
9 dan 10 minggu
0-10 cm
10-20 cm
20-30 cm
30-40 cm
40-50 cm
-1,38
-5,17*
-2,76*
0,47
-0,08
-2,81*
-0,52
-0,50
-0,22
-3,87*
-1,37
2,15*
1,66
-1,00
0,93
1,09
1,32
2,59*
6,40*
6,08*
3,79*
4,89*
5,30*
5,42*
3,79*
3,36*
0,74
2,37*
2,65*
2,85*
-0,85
-4,85*
-1,16
-1,27
-0,85
-4,34*
-0,59
-0,61
-0,20
2,34*
2,87*
3,09*
0,07
0,36
0,32
-2,86*
-10,67*
-5,06*
-2,21*
-3,78*
-6,10*
-3,06*
-2,87*
-1,46
-4,62*
-1,81
-0,03
-0,67
-1,05
0,46
0,42
1,70
2,38*
3,59*
3,89*
5,03*
6,25*
5,88*
8,20*
1,48
1,17
1,21
2,52*
2,42*
3,80*
-0,52
-0,77
0,40
0,37
1,37
-0,23
1,24
1,18
2,53*
1,96
1,81
3,84*
-0,02
1,53
1,46
-7,29*
-25,48*
-15,18*
-3,53*
-6,01*
-8,72*
-4,63*
-3,69*
-3,68*
-14,83*
-6,29*
-1,62
-1,74
-4,61*
-1,42
3,60*
3,64*
8,52*
3,80*
8,74*
5,15*
7,07*
19,59*
19,67*
0,60
2,62*
-0,56
2,09*
10,43*
10,48*
0,69
-0,84
0,64
2,74*
2,75*
-2,49*
-0,02
4,10*
4,12*
2,15*
6,87*
6,89*
3,25*
3,27*
0,03
-6,14*
-23,69*
-14,80*
-3,48*
-12,25*
-8,45*
-6,83*
-3,15*
-4,23*
-16,17*
-7,18*
-1,52
-3,41*
-5,12*
0,35
4,70*
3,32*
9,60*
6,21*
14,41*
5,98*
17,42*
22,61*
20,95*
1,52
4,56*
-0,67
8,10*
13,46*
11,70*
0,27
-1,75
1,67
3,04*
2,67*
-3,39*
4,19*
10,49*
8,29*
5,47*
7,78*
7,12*
5,10*
3,39*
-1,86
-7,37*
-13,88*
-11,92*
-3,32*
-5,75*
-8,17*
-8,96*
-4,49*
-4,10*
-10,15*
-5,71*
-1,15
-1,92
-4,35*
1,43
5,56*
4,53*
5,95*
5,28*
7,04*
5,05*
11,27*
13,14*
12,68*
1,51
2,23*
-0,15
7,44*
10,65*
9,78*
-0,04
-1,48
1,64
2,80*
2,60*
-2,00*
2,81*
4,86*
4,45*
5,33*
7,33*
6,90*
6,12*
4,28*
-1,05
146
Lampiran 42. Kadar Kalium tiap kedalaman selama masa pertumbuhan
(ulangan=30)
Kedalaman
Umur
(minggu)
0-10 cm
10-20 cm
20-30 cm
30-40 cm
40-50 cm
1
23,45 a
10,96 g
6,02 kl
6,50 p
4,59 tu
2
16,28 b
9,98 h
6,30 kl
4,07 qrs
3,93 uv
3
9,18 d
5,78 m
3,31 o
3,11 st
2,70 xy
4
11,52 c
7,96 ijk
5,64 klm
4,44 qr
3,50 vw
5
19,18 ab
8,58 hi
5,55 klm
4,37 qr
3,70 v
6
16,20 b
8,27 hij
6,74 k
5,34 pq
5,59 t
7
9,25 d
5,84 lm
3,86 no
3,43 rs
3,43 vw
8
9,07 d
6,97 jk
4,91 lmn
3,53 rs
3,18 vwx
9
9,46 cd
6,85 jkl
4,82 mn
3,71 rs
2,97 wx
10
8,70 d
6,49 klm
3,39 o
2,62 t
2,42 y
Rataan
13,23 a
7,77 b
5,05 c
4,11 cd
3,60 d
Keterangan: kadar kalium tiap kedalaman tanah dan kadar kalium rataan yang diikuti oleh huruf
yang sama tidak berbeda nyata menurut uji beda nilai tengah (α = 5%)
147
Lampiran 43. Kadar kalium pada tiap lokasi penelitian selama masa pertumbuhan tanaman
Lokasi
Kedalaman
(cm)
2
17,45
8,33
3,00
1,93
2,26
3
11,57
5,13
1,91
2,13
1,86
4
7,70
4,38
1,77
1,28
1,15
Umur (minggu)
5
6
9,75
11,10
7,12
4,86
5,00
2,29
3,22
1,61
3,09
2,79
7
10,32
5,40
1,98
2,39
2,41
8
7,55
3,88
1,48
1,95
1,57
9
11,86
7,89
4,00
2,97
2,79
10
9,70
7,44
3,36
2,99
3,14
1
1
1
1
1
0-10
10-20
20-30
30-40
40-50
1
31,80
11,46
4,68
8,86
3,62
2
2
2
2
2
0-10
10-20
20-30
30-40
40-50
15,81
8,22
7,03
6,00
5,48
10,48
8,29
5,38
3,43
3,61
3,99
5,23
3,98
2,88
2,29
10,93
11,18
9,37
6,58
4,99
9,11
6,46
4,84
4,02
3,43
11,39
8,46
8,64
6,72
6,36
5,20
5,84
5,44
4,84
4,25
7,37
7,06
6,30
4,21
4,00
4,81
4,00
4,56
3,26
2,79
5,73
4,33
3,82
2,77
1,73
3
3
3
3
3
0-10
10-20
20-30
30-40
40-50
22,75
13,19
6,34
4,65
4,65
20,90
13,31
10,54
6,84
5,91
11,98
6,99
4,03
4,32
3,95
15,93
8,33
5,78
5,47
4,38
38,67
12,17
6,80
5,88
4,60
26,12
11,49
9,30
7,70
7,64
12,23
6,28
4,17
3,06
3,62
12,29
9,97
6,94
4,42
3,97
11,71
8,67
5,89
4,91
3,34
10,68
7,72
3,00
2,10
2,41
148
Lampiran 44. Uji beda nilai tengah kadar Kalium tiap kedalaman antar
waktu pengukuran (minggu)
Perbandingan
1 dan 2 minggu
1 dan 3 minggu
1 dan 4 minggu
1 dan 5 minggu
1 dan 6 minggu
1 dan 7 minggu
1 dan 8 minggu
1 dan 9 minggu
1 dan 10 minggu
2 dan 3 minggu
2 dan 4 minggu
2 dan 5 minggu
2 dan 6 minggu
2 dan 7 minggu
2 dan 8 minggu
2 dan 9 minggu
2 dan 10 minggu
3 dan 4 minggu
3 dan 5 minggu
3 dan 6 minggu
3 dan 7 minggu
3 dan 8 minggu
3 dan 9 minggu
3 dan 10 minggu
4 dan 5 minggu
4 dan 6 minggu
4 dan 7 minggu
4 dan 8 minggu
4 dan 9 minggu
4 dan 10 minggu
5 dan 6 minggu
5 dan 7 minggu
5 dan 8 minggu
5 dan 9 minggu
5 dan 10 minggu
6 dan 7 minggu
6 dan 8 minggu
6 dan 9 minggu
6 dan 10 minggu
7 dan 8 minggu
7 dan 9 minggu
7 dan 10 minggu
8 dan 9 minggu
8 dan 10 minggu
9 dan 10 minggu
0-10 cm
10-20 cm
20-30 cm
30-40 cm
40-50 cm
3,61*
7,91*
6,50*
1,33
3,33*
8,00*
8,28*
7,77*
8,58*
5,11*
3,33*
-0,96
0,04
5,20*
5,54*
4,92*
5,93*
-2,01*
-3,45*
-4,25*
-0,07
0,11
-0,25
0,49
-2,62*
-2,78*
2,03*
2,32*
1,78
2,74*
0,95
3,45*
3,54*
3,35*
3,68*
4,29*
4,52*
4,09*
4,81*
0,19
-0,20
0,60
-0,39
0,44
0,79
1,09
7,22*
3,37*
2,62*
2,96*
7,27*
4,59*
5,09*
5,76*
6,01*
2,31*
1,57
1,92
6,05*
3,52*
3,96*
4,60*
-3,17*
-3,97*
-3,52*
-0,13
-1,79
-1,86
-1,34
-0,71
-0,35
3,16*
1,18
1,42
1,97
0,35
3,96*
1,88
2,17*
2,74*
3,50*
1,51
1,78
2,32*
-1,75
-1,81
-1,28
0,15
0,66
0,56
-0,39
6,75*
0,54
1,03
-0,96
4,73*
1,82
2,84*
7,42*
4,17*
0,72
1,01
-0,46
3,25*
1,64
2,04*
4,20*
-3,44*
-5,42*
-4,71*
-1,35
-2,76*
-4,02*
-0,28
0,13
-1,18
2,49*
0,89
1,19
3,45*
-1,57
3,61*
1,03
1,68
5,86*
3,79*
2,13*
2,60*
4,76*
-1,69
-2,20*
1,29
0,15
2,77*
4,39*
3,82*
6,65*
3,18*
3,92*
1,58
5,91*
5,64*
5,45*
8,22*
1,90
-0,59
-0,56
-1,74
1,24
1,04
0,70
3,11*
-2,58*
-3,32*
-3,57*
-0,94
-1,17
-1,81
1,82
0,13
-1,21
1,92
1,72
1,41
3,80*
-1,49
2,39*
2,09*
1,72
5,35*
3,02*
2,84*
2,60*
4,58*
-0,26
-0,81
2,85*
-0,52
3,02*
4,04*
1,62
6,06*
2,58*
2,90*
-1,95
3,70*
3,97*
5,91*
7,56*
3,16*
0,88
0,59
-2,93*
1,29
1,77
2,66*
4,08*
-2,00*
-3,56*
-5,74*
-2,50*
-1,43
-1,11
1,04
-0,50
-3,62*
0,19
0,75
1,42
2,82*
-3,78*
0,98
1,60
3,05*
5,04*
4,29*
4,54*
5,44*
6,48*
0,74
1,81
3,80*
0,68
2,41*
2,56*
149
Lampiran 45. Bobot tanaman waktu panen (kg/ha)
Ulangan
Bobot (kg/ha)
Ulangan
Bobot (kg/ha) Ulangan
Bobot (kg/ha)
1
7800
11
2140
21
6653
2
8400
12
3292
22
5876
3
10800
13
1880
23
6266
4
7800
14
3080
24
5113
5
4800
15
1652
25
7671
6
5400
16
3080
26
5224
7
3600
17
1260
27
8433
8
4800
18
3296
28
7875
9
4200
19
1048
29
9025
10
8400
20
2248
30
7934
Lampiran 46. Bobot tongkol waktu panen (kg/ha)
Ulangan
Bobot (kg/ha)
Ulangan
Bobot (kg/ha)
Ulangan
Bobot (kg/ha)
1
7800
11
2400
21
7115
2
7200
12
4000
22
5669
3
9000
13
2400
23
6006
4
7200
14
3400
24
4709
5
6000
15
2400
25
6885
6
7200
16
3600
26
4612
7
4800
17
2000
27
7536
8
6000
18
3800
28
7210
9
4800
19
1600
29
8009
10
10800
20
3200
30
7020
150
Lampiran 47. Sidik ragam pengaruh sifat-sifat fisik, kadar air, dan kadar
hara tiap kedalaman tanah terhadap produksi tanaman
Peubah
Sumber
Keragaman
1.
Bobot
tanaman
Model
1033026287
6
172171048
Sisa
1059007556
293
3614360
2.
Bobot
tongkol
Model
Sisa
772154279
6
128692380
751903332
293
2566223
No
JK
db
KT
F
47,64*
0,000
50,15*
0,000
Lampiran 48. Uji t dari parameter pengaruh sifat-sifat fisik,
kadar air dan kadar hara tiap kedalaman tanah
terhadap bobot tanaman jagung
No
1
2
3
4
5
6
7
Peubah
Intercept
KA(0-50)
K(0-50)
P(0-50)
BI (0-50)
RPD(0-50)
RPAT(0-50)
Konstanta
peubah
-64441
-195
150
449
53372
961
218
t 0,05(293)
-7,57*
-5,83*
3,43*
3,72*
9,67*
9,84*
3,41*
Keterangan: t nyata bila > t0,05(293) = 1.96; BI = bobot isi g/cm3), KA = Kadar air (% vol),
RPD = ruang pori drainase (% vol), RPAT = ruang pori air tersedia (% vol),
(0-50): pada kedalaman 0-50 cm
Lampiran 49. Pengaruh sifat-sifat fisik, kadar air dan kadar hara tiap
kedalaman tanah terhadap bobot tongkol jagung
No
1
2
3
4
5
6
Peubah
Intercept
KA(0-50)
K(0-50)
P(0-50)
BI (0-50)
RPD(0-50)
Konstanta
peubah
-53417
-157
113
348
47074
769
taraf p
t 0,05(293)
-7,44*
-5,58*
3,06*
3,42*
10,12*
9,34*
Keterangan: t nyata bila > t0,05(293) = 1.96; BI = bobot isi g/cm3), KA = Kadar air (% vol),
RPD = ruang pori drainase (% vol), (0-50): pada kedalaman 0-50 cm
Download