PERGERAKAN AIR PADA BERBAGAI KARAKTERISTIK PORI TANAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN KADAR HARA N, P, K ENNI DWI WAHJUNIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN DISERTASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pergerakan Air pada Berbagai Karakteristik Pori Tanah dan Hubungannya dengan Kadar Hara N, P, K adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini Bogor, Juni 2009 Enni Dwi Wahjunie NIM A.261020011 ABSTRACT ENNI DWI WAHJUNIE. Water Movement in Various Soil Pore Characteristics and Their Relation with N, P, K Concentration. Under direction of OTENG HARIDJAJA, SOEDODO HARDJOAMIDJOJO, and SUDARSONO. In dryland, water movement plays an important role in crop water relation, air, and nutrient availability. In the soil, water movement is highly affected by soil pore characteristics, such as total porosity, pore size distribution, and pore stability. This research aimed to: (1) Determine the relationship between water movement and soil pore characteristics (2) Determine the relationship model between rainfall and water movement and soil moisture dynamic in dryland, (3) Assess the effect of water movement and soil moisture dynamic on soil moisture and nutrient distribution and (4) Determine soil pore characteristics that affect soil nutrient concentration. This research was conducted in the field and laboratory. The field experiment was conducted on Inceptisols (reddish brown Latosol) Bojong, Kemang, Bogor county. The measurements were focused on the water content, rainfall, and daily weather that used for assessing water fluxes, transient water movement, and water distribution. The measurements of soil nutrient concentration were taken every week. The results showed that the water fluxes increased with the increase in mobile water pores. The transient water movements increased with the increase in micro pores. The water fluxes increased with the increase in total rainfall, whereas the transient water movement increased to maximum, and then tended to reach a constant rate with total rainfall. The effect of water fluxes and transient water movement on water content depend on water holding capacity, while on nutrient concentration depend on soil adsorption and type of the soil nutrients. The nitrate and potassium concentrations decreased with the increase of water content. Besides affected by water content, nutrient concentration was affected by soil pore characteristics. The soil nutrient concentration increased if mobile water pores increased and it decreased if immobile water pores increased. This research implies that the pore characteristics play an important role in soil and water conservation and nutrient management in dry lands. The application of this research is suitable in other places which have different pore characteristics and rainfall. Key words: Nutrient concentration, Soil pore characteristics, Transient water movement, Water content, Water fluxes. RINGKASAN ENNI DWI WAHJUNIE. Pergerakan Air pada Berbagai Karakteristik Pori Tanah dan Hubungannya dengan Kadar Hara N, P, K. Di bawah bimbingan OTENG HARIDJAJA, SOEDODO HARDJOAMIDJOJO, dan SUDARSONO. Pergerakan air di lahan kering sangat penting perannya dalam ketersediaan air, udara, dan hara bagi tanaman; maupun konservasi air dan hara tanaman. Pergerakan air dalam tanah sangat dipengaruhi oleh karakteristik pori tanah, seperti jumlah, distribusi ukuran, dan stabilitas pori. Di lahan kering, karena sumber air hanya berasal dari hujan, maka pergerakan air juga sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Penelitian ini bertujuan: (1) menentukan keterkaitan antara pergerakan air (fluks aliran air dan laju pergerakan air transient) dengan karakteristik pori dalam tanah, (2) menentukan model keterkaitan antara curah hujan dengan pergerakan air (fluks aliran air dan pergerakan air transient) dalam tanah, (3) mengkaji pengaruh pergerakan air terhadap distribusi air dan hara dalam tanah, dan (4) menentukan karakteristik pori yang berpengaruh terhadap kadar hara dalam tanah. Serangkaian penelitian telah dilakukan di lapangan dan di laboratorium. Penelitian dimulai dengan pemilihan lokasi tanah yang memiliki karakter pori berbeda, dilanjutkan dengan percobaan lapangan, analisis tanah di laboratorium, dan pengolahan data. Percobaan lapangan dilakukan pada Inceptisols (Latosol coklat kemerahan) di Desa Bojong, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, yang memiliki karakteristik pori berbeda dalam hal jumlah, distribusi ukuran, dan stabilitas pori tanah. Pengamatan lapangan dilakukan terhadap kadar air tanah, hujan, dan iklim setiap hari, yang digunakan untuk mengkaji fluks aliran air, laju pergerakan air transient, dan distribusi air, serta kadar hara tiap minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fluks aliran air maupun laju pergerakan air transient pada lahan kering sangat dipengaruhi oleh karakteristik pori tanah. Pengaruh karakteristik pori tanah dalam menentukan fluks aliran air dalam tanah, sangat ditentukan oleh karakteristik pori yang paling menentukan terhadap konduktivitas hidrolik tanah, di mana konduktivitas hidrolik tersebut tergantung pada kondisi kadar air tanah. Dalam penelitian ini, fluks aliran air semakin cepat dengan besarnya ruang pori air mobil dalam tanah. Laju pergerakan air transient semakin besar dengan makin besarnya ruang pori mikro tanah, dan mencapai maksimum pada kapasitas retensi air maksimum tanah. Perbedaan karakteristik pori dalam setiap lapisan kedalaman tanah mempengaruhi fluks aliran air dan laju pergerakan air transient tiap lapisan kedalaman tanah, sehingga besarnya fluks aliran air dan laju pergerakan air transient tiap kedalaman tanah berfluktuasi. Semakin besar jumlah hujan, fluks aliran air makin besar sampai mencapai maksimum (negatif paling besar), kemudian besarnya konstan dengan model : q = - 2,12 + 2,36 e - 0,023 CH ; r = 0,73 ………………….(1) Pengaruh jumlah hujan terhadap fluks aliran air setiap kejadian hujan menentukan potensial air tanah, yang merupakan daya penggerak dalam pergerakan air. Laju pergerakan air transient meningkat sampai nilai maksimum, kemudian cenderung konstan dengan makin besarnya hujan dengan model: dθ/dt =- 0,24 + (CH/(2,92)0,46; CH < CH KL; r = 0,76 ……….(2) Laju pergerakan air transient mencapai maksimum pada curah hujan 44,65 mm dengan laju pergerakan air transient sebesar 2,92 cm/hari. Pengaruh fluks aliran air dan laju pergerakan air transient (dinamika kadar air) terhadap kadar air dalam tanah tergantung pada kapasitas retensi air maksimum tanah dan jumlah hujan. Pengaruh fluks aliran air dan laju pergerakan air transient terhadap kadar hara dalam tanah tergantung pada karakter tanah dan jenis hara. Fluks aliran air maupun laju pergerakan air transient tidak berpengaruh langsung terhadap kadar hara dalam tanah, tetapi melalui perubahan kadar air dalam tanah maupun laju pergerakan hara yang terbawa aliran air. Kadar nitrat dan kalium makin berkurang dengan meningkatnya kadar air tanah karena nitrat dan kalium dalam tanah mudah larut dan memiliki dispersivitas yang tinggi sehingga mudah terbawa aliran air. Semakin tinggi kadar air dalam tanah, maka ion kalium dan nitrat cepat hilang dari zona perakaran, sehingga kadarnya dalam larutan tanah menurun. Selain dipengaruhi oleh kadar air dan curah hujan, kadar hara dalam tanah juga dipengaruhi oleh karakteristik pori dalam tanah, karena hara di dalam tanah berada di dalam pori tanah. Pengaruh karakteristik pori terhadap kadar hara dapat terjadi secara langsung maupun tak langsung. Kadar ammonium secara tak langsung meningkat dengan peningkatan ruang pori drainase sangat cepat, karena ruang pori drainase sangat cepat mempengaruhi ketersediaan air dan udara dalam tanah yang menentukan keberadaan ion amonium. Kadar nitrat secara tak langsung menurun dengan peningkatan ruang pori air imobil dalam tanah. Kadar P dan K larutan tanah meningkat dengan makin besarnya ruang pori air mobil dalam tanah. Ruang pori air mobil merupakan ruang pori makro yang dapat mendesorpsi hara dengan mudah dan mengadsorpsinya secara lemah; sehingga makin besar ruang pori air mobil dalam tanah, kadar P dan K larutan tanah makin besar; sebaliknya, kadar K larutan tanah menurun dengan makin besarnya ruang pori air imobil. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, karakteristik pori tanah dari jenis tanah yang sama sangat bervariasi, sehingga mempengaruhi pergerakan dan distribusi air dan hara tanah. Perbedaan dalam karakter pori tanah juga berdampak pada jumlah hujan yang dapat dikonservasi maupun pola perubahan kadar air dan hara tanah. Oleh karena itu dalam rangka penyediaan air dan hara yang optimum bagi tanaman maupun konservasi tanah, air, dan hara di lahan kering, penelitian seperti ini sangat baik direplikasikan di tempat lain yang memiliki karakteristik pori dan sebaran curah hujan berbeda. Kata kunci: Aliran air transient, Fluks aliran air, Kadar air, Karakteristik pori tanah, Konsentrasi hara. @ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB PERGERAKAN AIR PADA BERBAGAI KARAKTERISTIK PORI TANAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN KADAR HARA N, P, K ENNI DWI WAHJUNIE Disertasi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Dwi Putro Tedjo Baskoro, MSc. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fateta, IPB 2. Dr. Ir. Undang Kurnia, MSc., APU Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Departemen Pertanian Judul : Pergerakan Air pada Berbagai Karakteristik Pori Tanah dan Hubungannya dengan Kadar Hara N, P, K Nama Mahasiswa : ENNI DWI WAHJUNIE Nomor Pokok A. 261020011 : Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc Ketua Prof. Dr. Ir. Soedodo H., MSc. Anggota Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc. Anggota Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Ilmu Tanah Dr. Ir. Atang Sutandi, MS. Tanggal ujian: 8 Juni 2009 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. Tanggal lulus:________________ PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia, rahmat, dan hidayahNya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Disertasi dengan judul Pergerakan Air pada Berbagai Karakteristik Pori Tanah dan Hubungannya dengan Kadar Hara N, P, K ini merupakan hasil penelitian lapang dan laboratorium yang dilaksanakan sejak April 2005 sampai dengan April 2007, dan merupakan prasyarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana IPB. Pergerakan air dalam tanah di lahan kering berperan sangat penting dalam ketersediaan air, udara, dan hara bagi tanaman, maupun konservasi air dan hara. Pergerakan air dan kadar hara dalam tanah di lahan kering sangat dipengaruhi oleh karakteristik pori tanah maupun curah hujan. Dengan adanya penelitian tentang Pergerakan Air pada Berbagai Karakteristik Pori Tanah dan Hubungannya dengan Kadar Hara N, P, K ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk pengelolaan air dan hara di lahan kering, terutama untuk prediksi ketersediaan air dan hara bagi tanaman maupun konservasi air untuk lahan-lahan lain yang memiliki karakteristik pori dan curah hujan berbeda. Model keterkaitan antara pergerakan air dan dinamika kadar air pada berbagai karakteristik pori tanah dengan curah hujan sangat cocok diaplikasikan pada tempat yang memiliki karakteristik pori maupun sebaran curah hujan berbeda. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Juni 2009 Enni Dwi Wahjunie UCAPAN TERIMAKASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia, rahmat, dan hidayahNya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Disertasi dengan judul Pergerakan Air pada Berbagai Karakteristik Pori Tanah dan Hubungannya dengan Kadar Hara N, P, K ini merupakan hasil penelitian lapang dan laboratorium yang dilaksanakan sejak April 2005 sampai dengan April 2007, dan merupakan prasyarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana IPB. Dengan rendah hati penulis menghaturkan terimakasih dan rasa hormat kepada Bapak Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc., sebagai Ketua Komisi Pembimbing, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Soedodo H., MSc., dan Bapak Prof.Dr.Ir. Sudarsono, MSc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan pengarahan sejak penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, dan penulisan disertasi. Kepada Dr. Ir. Dwi Putro Tedjo Baskoro, MSc, sebagai Penguji Luar Komisi dalam Ujian Tertutup, serta Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS, dan Dr. Ir. Undang Kurnia, APU sebagai Penguji Luar Komisi dalam Ujian Terbuka, diucapkan terimakasih Kepada Departemen Pendidikan Nasional RI, melalui Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, diucapkan terimakasih atas pemberian beasiswa BPPS untuk kelangsungan studi. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Rektor, Dekan SPS, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Pertanian, Ketua dan Sekretaris Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, serta Ketua Program Studi Ilmu Tanah atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk menempuh program Doktor di IPB. Tak lupa penulis sangat berterimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, MSc. yang terus memberi semangat, serta keluarga Bagian Konservasi Tanah dan Air atas segala pengertian, dukungan, dan kekeluargaan. Kepada Bayu Hartanta Ginting, Irma Primawati, Mariana, dan Hijriah, terimakasih bantuannya selama penelitian. Terimakasih juga disampaikan kepada Dr. K. Subagyono, Dr. U. Sudadi, Ir. B. Budijanto, Ir D. R Panuju, MSi, Dr. G. Djajakirana, Dr. S. Djuniwati, dan Dr Suwarno, atas segala saran, masukan, dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Kepada seluruh analis dan laboran laboratorium di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, terimakasih atas bantuannya. Kepada teman-teman seperjuangan selama menempuh pendidikan S3, terimakasih atas kebersamaannya. Kepada Ibu, mbak, dan adik-adik, terimakasih atas doa dan dukungannya. Terimakasih atas doa, dukungan dana penelitian maupun penyelesaian studi, serta dorongan mental dan motivasi, penulis ucapkan kepada suami (Mas Nurwadjedi). Ananda Fahmi Akbar, terimakasih atas dorongan motivasi, pengorbanan, dan pengertiannya. Bogor, Juni 2009 Enni Dwi Wahjunie RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 30 Maret 1960 sebagai anak kedua dari Bapak Joesoef Rahardjo (Alm) dan Ibu Hj. Tariatoen. Pada tahun 1989 penulis menikah dengan Nurwadjedi dan pada tahun 2003 mendapat seorang putra yang diberi nama Fahmi Akbar. Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Ilmu-Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor sejak tahun 1979 sampai dengan 1983. Pada tahun 1990 penulis mendapat kesempatan melanjutkan ke Pascasarjana IPB di Program Studi Ilmu Tanah dan lulus tahun 1994. Sejak tahun 2002 penulis kembali ke program studi yang sama di Sekolah Pascasarjana, IPB untuk melanjutkan program Doktor dengan beasiswa dari BPPS Departemen Pendidikan Nasional RI. Pada tahun 1986 penulis diangkat sebagai staf pengajar di Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang. Tahun 1997 penulis pindah ke Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor untuk mengikuti suami. Selama lima tahun terakhir sambil menyelesaikan studi penulis terlibat dalam pengajaran mata kuliah Pengelolaan Tanah, Fisika Tanah, dan Konservasi Tanah dan Air. Sebuah artikel berjudul Pergerakan Air pada Tanah dengan Karakteristik Pori Berbeda dan Pengaruhnya pada Ketersediaan Air bagi Tanaman telah terbit di Jurnal Tanah dan Iklim Nomor 28, Desember 2008. ISSN 1410-7244. 13/Akred-LIPI/P2MBI/9/2006. Artikel tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………….………....….……. vi …………………………….……………………. vii ………………………………………………... viii DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……………………..…………………………... 1 1.2. Kerangka Pemikiran ……………..……………………………… 4 1.3. Tujuan ………………………….……………………………… 6 1.4. Hipotesis ……………………..………………………………… 6 1.5. Manfaat Penelitian ……………………………………………... 7 1.6. Kebaruan Penelitian ................................................................... 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Pori Tanah ........................................................... 2.2. Konduktivitas Hidrolik Tanah 8 ................................................. 11 2.3. Pergerakan Air dalam Tanah ...................................................... 15 2.3.1. Pergerakan Air dalam Tanah Jenuh ………….….….. 2.3.2. Pergerakan Air dalam Tanah tak Jenuh 17 ……..……… 18 2.4. Pengaruh Pergerakan Air terhadap Kadar Hara dalam Tanah .... 20 2.4.1. Adsorpsi Tanah ………..……..…………....…..... 21 2.4.2. 2.4.3. 2.4.4. Pergerakan Air yang Membawa Hara …………… Curah Hujan dan Kadar Air ……………...……..…. Tanaman ………………………….……….......…...... 24 27 29 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu ………………………………..…………... 30 3.2. Bahan dan Alat …………………..………………...……..…… 30 3.3. Metode Penelitian ……………………..…………...………… 31 3.3.1. Pemilihan Lokasi Penelitian…………...……………… 31 3.3.2. 3.3.3. 3.3.4 3.3.5. Percobaan Lapangan… ……………………….……….. Pengambilan contoh tanah …………………………… Analisis Laboratorium ……………….……………… Analisis Data ……………………….……………..… 31 33 36 40 Halaman IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis ......................................................................... 4.2. Iklim .......................................................................................... 4.3. Tanah dan Topografi ................................................................. 4.4. Sistem Pengelolaan/Penggunaan Tanah .................................... 4.5. Karakteristik Pori Tanah Lokasi Penelitian 43 43 45 47 ....................... ..... 48 ................................................... 50 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Konduktivitas Hidrolik Tanah 5.1.1 Hubungan Karakteristik Pori dengan Konduktivitas Hidrolik Jenuh ............................................................. 5.1.2. Hubungan Karakteristik Pori dengan Konduktivitas Hidrolik tak Jenuh ....................................................... 5.2. Pergerakan Air Selama Masa Pertumbuhan Tanaman .............. 5.2.1. Fluks Aliran Air ............................................................ 5.2.2. Pergerakan Air Transient dalam Tanah .......... ............. 50 52 55 55 61 5.3. Distribusi Air Tanah Selama Masa Pertumbuhan Tanaman ....... 64 5.4. Kadar Hara Selama Masa Pertumbuhan Tanaman ..................... 69 5.4.1. 5.4.2. Kadar Nitrogen dalam Tanah ........................................ Kadar Amonium Selama Masa Pertumbuhan Tanaman 69 70 5.4.3. 5.4.4. 5.4.5. 5.4.6. Kadar Nitrat Selama Masa Pertumbuhan Tanaman Kadar Fosfor dalam Tanah ........................................... Kadar Fosfor Selama Masa Pertumbuhan Tanaman Kadar Kalium dalam Tanah .......................................... 74 79 80 83 5.5.7. Kadar Kalium Selama Masa Pertumbuhan Tanaman 84 5.5. Produksi Tanaman ……………………………………………... 89 5.6. Pembahasan Umum 91 5.6.1. Pergerakan Air dalam Tanah ....................................... 5.6.2.. Kadar Hara dalam Tanah ............................................. 92 94 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan .................................................................... 97 6.2.. Saran ............................................................................... 98 DAFTAR PUSTAKA ….…….………………………….….…………. 99 LAMPIRAN ……………………………….…………….………........... 108 DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Berbagai klasifikasi pori berdasar ukuran, fungsi, dan kesetaraan potensial ………………………………………... 10 2. Matrik antara tujuan, masukan data, proses/analisis data, dan keluaran pada setiap tahapan penelitian .................................... 34 3. Penetapan volume tiap kelas ukuran pori tanah ...................... 38 4. Jenis, metode, dan alat-alat yang digunakan dalam analisis di laboratorium ........................................................................... 39 5. Pengelolaan lahan yang dilakukan selama lima tahun sebelum percobaan ................................................................................ 47 6. Karakteristik pori tanah pada lahan di lokasi 1, 2, dan 3 ........ 48 7. Nilai rataan konduktivitas hidrolik jenuh ................................ 50 8. Regresi antara karakteristik pori dengan konduktivitas hidrolik jenuh ........................................................................................ 51 9. Kebutuhan irigasi minimum berdasar defisit air pada kedalaman akar 20 cm dan 50 cm ........................................... 69 10. Korelasi antara fluks aliran air, laju pergerakan air transient, dan kadar air terhadap kadar NH4+, NO3-, P, dan K larutan tanah ...................................………………………………… 72 11. Produksi tanaman dan tongkol jagung ... ................................. 89 12. Pengaruh sifat-sifat fisik tanah, kadar air, dan kadar hara tanah kedalaman 0-50 cm terhadap produksi tanaman …………..... 90 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Diagram alir peranan karakteristik pori tanah dalam penyusunan model pergerakan air dalam tanah ...................... 5 2. Diagram alir pelaksanaan penelitian ..................................... 32 3. Kurva karakteristik kelembaban tanah untuk penetapan distribusi pori tanah .............................................. 37 4. Neraca air lahan lokasi penelitian 44 5. Neraca air lahan mingguan lokasi penelitian ........................ 45 6. Kurva hubungan antara konduktivitas hidrolik tak jenuh dengan kadar air tanah .......................................................... 53 7. Hubungan curah hujan dengan fluks aliran air ....................... 56 8. Fluks aliran air pada tiap kedalaman tanah ........................... 59 9. Hubungan kadar air tanah dengan fluks aliran air selama masa pertumbuhan tanaman …………………………………….. 60 10. Hubungan curah hujan dengan laju pergerakan air transient 62 11. Hubungan curah hujan, laju perubahan cadangan air, fluks aliran air, dan kadar air tiap kedalaman tanah ............. 65 12. Perbandingan antara kadar air tanah dengan kadar air minimum tersedia bagi tanaman menurut Allen et al. (1998) dan USDA (1991) selama masa pertumbuhan tanaman ........................................................... 13. Kadar nitrogen sebelum tanam (No) dan pada waktu panen (N 10) .......................................................................................... 70 14. Kadar amonium selama masa pertumbuhan tanaman .............. 71 15. Kadar NH4+, curah hujan, dan fluks aliran air selama massa pertumbuhan tanaman ............................................................ 73 16. Kadar NO3- larutan tanah selama masa pertumbuhan tanaman 75 ......................................... 68 No. Halaman 17. Kadar NO3- larutan tanah tiap kedalaman tanah 18 Pengaruh kadar air terhadap kadar nitrat larutan tanah ......... 77 19. Pengaruh ruang pori air imobil terhadap kadar nitrat larutan tanah ...................................................................................... 78 20. Kadar fosfor sebelum tanam (Po) dan pada waktu panen (P10) 79 21. Kadar P larutan tanah selama masa pertumbuhan tanaman 80 22. Kadar P larutan tanah pada tiap kedalaman tanah 81 23. Pengaruh ruang pori air mobil terhadap kadar P larutan tanah 82 24. Kadar kalium sebelum tanam (K0) dan pada waktu panen (K 10) .......................................................................................... 83 25. Kadar K, fluks, dan curah hujan selama masa pertumbuhan 85 26. Kadar K larutan tanah pada tiap kedalaman tanah .............. 86 27. Hubungan kadar air dengan kadar K larutan tanah ........ 87 28. Hubungan ruang pori air mobil dengan kadar K larutan tanah 88 29. Hubungan ruang pori air imobil dengan kadar K larutan tanah 88 ................... ............... 76 DAFTAR LAMPIRAN No Halaman 1. Nilai rataan karakteristik pori tanah lahan lokasi penelitian 108 2. Uji beda nilai tengah karakteristik pori tanah lahan lokasi penelitian ................................................................................. 108 3. Penetapan Stabilitas Agregat Tanah ………………………... 109 4. Prosedur perhitungan Neraca Air Thornthwaite dan Mather (1957) ......................................................................................... 110 5. Pengaruh stres air terhadap evapotranspirasi (Allen et. al., 1998) ………………………………………………………... 116 6. Curah hujan, Suhu, Kelembaban, Tekanan Udara, Kecepatan Angin, dan Lama penginaran Rataan Bulanan Pada Tahun 1994-1995 ............................................................................. 117 7. Neraca air bulanan pada lokasi penelitian ............................... 118 8. Pengaruh kadar air terhadap laju pertumbuhan tanaman (USDA, 1991) ……................................................................. 119 9. Neraca air mingguan selama musim pertumbuhan tanaman di lokasi penelitian ...................................................................... 120 10. Sifat-sifat fisik dan morfologi tanah pada lahan 1 .................. 121 11. Sifat-sifat fisik dan morfologi tanah pada lahan 2 .................. 121 12. Sifat-sifat fisik dan morfologi tanah lahan 3 ........................... 122 13. Penampang melintang profil tanah lokasi penelitian 14. Sifat fisik dan kimia tanah lokasi penelitian 15. Sifat-sifat fisik tanah pada lahan lokasi penelitian 16. Sifat-sifat kimia tanah lokasi penelitian 17. Sidik ragam model hubungan konduktivitas hidrolik jenuh (Ks) .............. 123 ........................... 124 .................. 125 ................................. 126 dan tak jenuh (Kus) dengan karakteristik pori ....................... 127 18. Konduktivitas hidrolik tak jenuh kedalaman (0-50) cm pada lokasi penelitian ..................................................................... 127 19. Model karakteristik kelembaban tanah lahan penelitian 129 ......... No Halaman 20. Kurva karakteristik kelembaban tanah lokasi penelitian ........ 130 21. Korelasi antara karakteristik pori tanah dengan konduktivitas hidrolik jenuh, fluks aliran air dan laju aliran air transient .... 131 22. Sidik ragam regresi antara karakteristik pori terhadap fluks aliran air, laju pergerakan air transient, dan kapasitas retensi maksimum tanah ..................................................................... 131 Sidik ragam regresi antara jumlah hujan terhadap fluks aliran air, laju pergerakan air transient dalam tanah, dan kapasitas retensi maksimum tanah ........................................................ 132 24. Pengaruh curah hujan terhadap kadar air pada kapasitas lapang 132 25. Data hujan di lokasi penelitian selama masa pertumbuhan tanaman ................................................................................... 133 23. 26. Kadar air tanah tiap kedalaman selama masa pertumbuhan (ulangan = 30) ......................................................................... 134 27. Uji beda nilai tengah kadar air dan hara antar kedalaman tanah 134 28. Kadar air tanah tiap lokasi penelitian selama masa pertumbuhan (10 ulangan) ...................................................... 135 29. Kadar N, P, dan K sebelum tanam dan pada waktu panen 136 30. Kadar NH4 tiap kedalaman selama masa pertumbuhan (ulangan = 30) ….............................................................................…... 136 31. Kadar amonium tanah pada tiap lokasi penelitian selama masa pertumbuhan (ulangan = 10) ................................................... 137 32. Korelasi karakteristik pori tanah terhadap kadar NH4+, NO3- , P, dan K .................................................................................. 138 33. Uji beda nilai tengah kadar Amonium tiap kedalaman antar waktu pengukuran (minggu) ................................................... 139 34. Sidik ragam regresi antara karakteristik pori terhadap kadar NH4+, NO3-, P, dan K ................................................... 140 35. Kadar NO3- selama masa pertumbuhan tanaman (ulangan=30) 140 36. Kadar nitrat pada tiap lokasi penelitian selama masa pertumbuhan ........................................................................... 141 No 37. Halaman Uji beda nilai tengah kadar Nitrat tiap kedalaman antar waktu pengukuran (minggu) ................................................................. 142 38. Sidik ragam regresi antara kadar air terhadap kadar NO3- dan K larutan tanah ............................................................................ 143 39. Kadar Fosfor tiap kedalaman selama masa pertumbuhan (ulangan=30) ........................................................................... 143 40. Kadar fosfor pada tiap lokasi penelitian selama masa pertumbuhan tanaman ............................................................. 144 41. Uji beda nilai tengah kadar Fosfor tiap kedalaman antar waktu pengukuran (minggu) .............................................................. 145 42. Kadar Kalium tiap kedalaman selama masa pertumbuhan (ulangan=30) ........................................................................... 146 43. Kadar kalium pada tiap lokasi penelitian selama masa pertumbuhan tanaman ............................................................. 147 44. Uji beda nilai tengah kadar Kalium tiap kedalaman antar waktu pengukuran (minggu) ............................................................... 148 45. Bobot tanaman waktu panen (kg/ha) ...................................... 149 46. Bobot tongkol waktu panen (kg/ha) ........................................ 149 47. Sidik ragam pengaruh sifat-sifat fisik, kadar air, dan kadar hara tiap kedalaman tanah terhadap produksi tanaman 48. 49. ................. 150 Uji t dari parameter pengaruh sifat-sifat fisik, kadar air dan kadar hara tiap kedalaman tanah terhadap bobot tanaman jagung ...................................................................................... 150 Pengaruh sifat-sifat fisik, kadar air dan kadar hara tiap kedalaman tanah terhadap bobot tongkol jagung .................... 150 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Pergerakan air di lahan kering sangat penting perannya dalam pergerakan hara (nutrient transport) dan dapat digunakan untuk estimasi ketersediaan air dan udara bagi tanaman. Pergerakan air dalam tanah sangat dipengaruhi oleh karakteristik pori tanah, seperti distribusi ukuran pori, kontinuitas pori, stabilitas, dan resiliensi pori (Hillel, 1980 dan Kay, 1990). Ketersediaan air, udara, dan hara yang cukup dan seimbang dalam tanah di lahan kering dapat menentukan pertumbuhan dan produksi tanaman. Selain diperlukan untuk pertumbuhan tanaman, air yang masuk ke dalam tanah juga berfungsi sebagai penyangga suhu tanah, pelarut dan pembawa hara tanaman, reaksi-reaksi dalam tanah, dan merupakan sumber ground water recharge. Karakteristik pori mempengaruhi pergerakan air dalam tanah baik dalam keadaan jenuh maupun tak jenuh melalui proses interaksi antara air dengan padatan tanah. Apabila pori di dalam tanah didominasi oleh pori makro, maka pergerakan air secara jenuh lebih cepat. Pergerakan air secara jenuh tersebut juga dipengaruhi oleh kontinuitas dan stabilitas pori. Pori yang kontinu (pori dengan ukuran seragam dan saling bersambungan) lebih mudah menghantarkan air daripada pori yang tidak saling bersambungan dan berukuran tidak seragam. Adapun pori yang berada dalam agregat tanah yang stabil juga menentukan kecepatan aliran air, karena pori yang berada pada agregat yang tidak stabil mudah rusak dan aliran air menjadi terhambat. Apabila pori di dalam tanah didominasi oleh pori mikro, dapat mempercepat pergerakan air secara tak jenuh. Air yang berada di dalam pori tanah diikat secara kuat oleh matrik tanah melalui gaya adhesi, sedangkan di antara molekul air terjadi gaya kohesi. Apabila gaya adhesi oleh matrik tanah lebih kuat daripada gaya kohesi, maka air bertahan mengisi pori tanah. Keadaan ini yang menyebabkan air tetap bertahan di dalam ruang pori. Semakin besar ukuran pori tanah, kemampuan gaya adhesi makin lemah dan gaya kohesi lebih kuat sehingga terjadi aliran air menuju potensial yang lebih rendah. Oleh karena itu pergerakan air dalam kondisi jenuh lebih dipengaruhi oleh gaya kohesi; sedangkan dalam keadaan tak jenuh, pada kadar air rendah, lebih dipengaruhi oleh kapilaritas akibat gaya matrik tanah terhadap air lebih kuat. 2 Pergerakan air sangat menentukan terhadap distribusi air dalam tanah. Pergerakan air yang cepat lebih mudah mendistribusikan air; sehingga air merata di dalam solum tanah. Keadaan ini menunjang dalam proses/reaksi biokimia dalam tanah, sehingga mempengaruhi kadar hara dalam tanah. Selain dipengaruhi oleh kadar air, kadar hara di dalam zona perakaran juga dipengaruhi oleh pergerakan air yang dapat membawa hara. Pergerakan hara melalui pergerakan air dalam tanah dapat terjadi baik dalam bentuk hara terlarut, masih berupa pupuk, maupun yang terikat dalam koloid tanah. Karena karakteristik pori di dalam tanah sifatnya sangat dinamis, maka perlu adanya penelitian pengaruh karakteristik pori terhadap pergerakan air, selanjutnya pengaruh pergerakan air maupun karakteristik pori tersebut terhadap kadar hara tanah. Seperti telah disebutkan di atas, pergerakan air maupun laju perubahan kadar air tanah sangat ditentukan oleh karakteristik pori tanah (Hillel, 1980; Kay, 1990). Bagarello, Iovino, dan Elrick (2004) juga menyatakan bahwa kemampuan tanah meretensi air maupun pergerakan air baik jenuh dan tak jenuh dalam tanah dipengaruhi oleh karakteristik pori tanah. Karakteristik pori yang ada di dalam tanah sangat bervariasi, yang sangat dipengaruhi oleh stabilitas dan distribusi ukuran agregat, maupun tekstur tanah, sehingga berpengaruh terhadap pergerakan air dalam tanah. Bodhinayake, Cheng Si, dan Xiao (2004) menyatakan bahwa porositas tanah yang banyak berkaitan dengan pergerakan air dan solute secara cepat adalah pori makro dan pori meso. Adapun Perfect, Sukop, dan Haszler (2002) menyatakan bahwa laju pergerakan air dapat mempengaruhi distribusi air dan kelarutan hara dalam tanah, sehingga hara terdistribusi secara merata pada zona perakaran. Pergerakan dan distribusi air yang ada dalam tanah juga sangat tergantung pada sifat-sifat hujan yang jatuh (Edwards et al., 1992; Toor et al., 2004). Distribusi hara dalam tanah, selain dipengaruhi oleh pergerakan air (Hamlen dan Kachanoski, 2004; Nemati et al., 2003) yang sangat tergantung pada karakter pori tanah, juga sangat tergantung pada sifat-sifat tanah yang lain seperti kemampuan adsorpsi tanah dan sifat-sifat hara yang terlarut (Nemati et al., 2003), iklim (Gentry et al., 2000) dalam hal ini sifat-sifat hujan (Edwards dan Daniel, 1993; Sharpley, 1997), waktu dan metode pemberian (Gentry et al., 2000), serta tanaman yang tumbuh di atasnya (Timlin, Heathman, dan Ahuja, 1992). Kemampuan adsorpsi tanah juga 3 dipengaruhi oleh distribusi agregat tanah Hara yang berasal dari pupuk, dapat diadsorpsi lebih kuat apabila berada dalam agregat tanah yang berukuran kecil (Linguist et al., 1997). Namun belum ada penelitian tentang bagaimana adsorbsi hara pada berbagai ukuran pori, sehingga berpengaruh terhadap kadar hara dalam tanah. Keterkaitan antara distribusi ukuran pori yang lebih berperan dalam kelarutan hara di dalam tanah juga belum diketahui. Begitu juga penelitian tentang hubungan curah hujan dengan pergerakan air dan hara dalam tanah dan pengaruh karakteristik pori terhadap pergerakan air yang berpengaruh terhadap kadar hara dalam tanah selama ini masih banyak dilakukan pada skala laboratorium (Shipitalo et al., 1990; Edwards et al., 1992; Granovsky et al., 1993; dan Sugita et al., 2004). Namun penelitian tentang hubungan curah hujan dengan pergerakan air dan dinamika kadar air, selanjutnya pengaruh pergerakan dan dinamika kadar air terhadap kadar hara pada berbagai karakteristik pori tanah selama masa pertumbuhan tanaman di lahan kering pada skala lapangan belum pernah dilakukan. Selain itu, Bejat et al. (2000) menyatakan bahwa penelitian tentang hubungan empiris antara distribusi ukuran pori dengan dispersivitas solute relatif sedikit. Bagaimana pengaruh karakteristik pori terhadap dispersivitas solute, yang selanjutnya berpengaruh terhadap distribusi hara dalam tanah belum banyak diketahui. Adapun Aydin, Yano, dan Kilic (2004) menyatakan bahwa hubungan secara kuantitatif antara stabilitas pori tanah terhadap konduktivitas hidrolik, selanjutnya terhadap pergerakan air yang dapat membawa hara dalam tanah belum cukup diketahui. Dalam penelitian ini ingin dikaji tentang karakteristik pori yang paling berpengaruh terhadap pergerakan air maupun kadar hara sehingga mempengaruhi distribusi air dan hara pada tiap kedalaman tanah. Karena sumber air utama di lahan kering hanya berasal dari hujan dan adanya perubahan iklim yang telah mempengaruhi curah hujan (Climate Ark, 2008), serta karakter pori tanah di lapangan sangat bervariasi, maka penelitian tentang pergerakan dan dinamika kadar air di lahan kering dalam hubungannya dengan karakteristik pori maupun curah hujan perlu dilakukan. Selanjutnya pergerakan dan dinamika kadar air dapat mempengaruhi distribusi hara di zona perakaran. Dengan dilakukannya penelitian tersebut, hasilnya diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam 4 pengelolaan lahan kering guna mencapai ketersediaan air dan hara yang optimum bagi tanaman, maupun untuk konservasi air, tanah, dan hara. 1.2. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dari penelitian ini ditampilkan pada Gambar 1. Karakteristik pori tanah berperan sangat penting dalam proses pergerakan air dalam tanah baik jenuh maupun tak jenuh (Hillel, 1980 dan Kay, 1990). Makin baik kontinuitas dan stabilitas pori, dan makin banyak pori dengan ukuran besar menyebabkan pergerakan air secara jenuh makin cepat (Bodhinayake et al., 2004). Pergerakan air yang makin cepat dapat membawa hara terlarut maupun yang belum terlarut makin cepat dan kesempatan hara teradsorpsi tanah makin rendah (Bejat et al., 2000). Menurut Perfect et al. (2002), retensi maupun pergerakan air dan hara dalam tanah, serta dispersivitas hara juga ditentukan oleh geometri pori. Pergerakan air, terutama di lahan kering, secara jenuh maupun tak jenuh selalu terjadi secara simultan dalam tanah untuk mencapai keseimbangan (Jury, Gardner, dan Gardner, 1991). Apabila terjadi hujan dengan intensitas tinggi yang menciptakan tanah jenuh, maka terjadi aliran air jenuh dalam tanah. Air ini (mobile water)1 bergerak dalam tanah melalui pori-pori makro maupun proses preferential flow (aliran preferensial, aliran kontinu melalui pori-pori makro yang saling bersambungan), dengan membawa pupuk maupun hara terlarut. Begitu hujan berhenti, terjadi aliran tak jenuh sampai kondisi di mana aliran air (immobile water1, berada dalam pori mikro) yang membawa hara terjadi melalui proses difusi. Pergantian kondisi tanah dari jenuh menjadi tidak jenuh pada saat hujan dan tidak hujan sangat mempengaruhi distribusi air dan hara dalam tanah, walaupun distribusi hara tersebut juga tergantung pada sifat pupuk (tingkat kelarutan dan mobilitas) yang diberikan, sifat-sifat tanah (tingkat adsorpsi), maupun jenis tanaman yang ada. Oleh karena itu dalam penelitian ini dirancang suatu penelitian tentang hubungan antara karakteristik pori tanah terhadap pergerakan air; selanjutnya pergerakan air berpengaruh 1 Mobil water adalah air yang terikat pada potensial matrik > - 0,2 MPa dan imobil water adalah air yang terikat pada potensial matrik < - 0,2 MPa (Addiscott dan Whitmore, 1991). 5 Karakteristik (jumlah, distribusi, dan stabilitas) pori Model Pergerakan Air Curah Hujan Pergerakan Air Siklus hidrologi Perubahan iklim Analisis Deterministik Ketersediaan air di lahan kering Pupuk Tanaman Tanah Kadar Air Kadar Hara Produksi Tanaman Gambar 1. Kerangka pemikiran peranan karakteristik pori tanah terhadap model pergerakan air dan kadar hara dalam tanah 5 6 terhadap distribusi air dan hara dalam tanah. Pergerakan air yang dapat mempengaruhi distribusi air dan selanjutnya pada kadar hara tanah dengan berbagai karakteristik pori dapat dimodelkan dengan analisis korelasi dan regresi. Analisis korelasi dan regresi baik tunggal maupun berganda dilakukan terhadap karakteristik pori tanah yang mempengaruhi pergerakan air dan kadar hara sehingga dapat diketahui karakteristik pori tanah yang paling berpengaruh terhadap pergerakan air dan kadar hara tanah. Karena pergerakan air dan kadar hara tanaman di lahan kering juga sangat tergantung pada curah hujan yang ada, maka hubungan keterkaitan antara curah hujan dengan pergerakan air juga perlu dimodelkan. Pemodelan hubungan antara curah hujan terhadap pergerakan air dapat dilakukan dengan analisis deterministik. Selanjutnya dapat dikaji pengaruh pergerakan air terhadap kadar air dan hara dalam tanah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam pengelolaan lahan kering guna mencapai ketersediaan air dan hara yang optimum bagi tanaman, maupun untuk konservasi air, tanah dan hara. 1.3. Tujuan 1. Menentukan keterkaitan antara pergerakan air (fluks aliran air dan pergerakan air transient) dengan karakteristik pori dalam tanah 2. Menentukan model keterkaitan antara curah hujan dengan pergerakan air (fluks aliran air dan pergerakan air transient) dalam tanah 3. Mengkaji pengaruh pergerakan air terhadap distribusi air dan hara dalam tanah 4. Menentukan karakteristik pori yang lebih berpengaruh terhadap kadar hara dalam tanah. 1.4. Hipotesis 1. Fluks aliran air maupun pergerakan air transient dipengaruhi oleh karakteristik pori yang lebih menentukan konduktivitas hidrolik jenuh, tak jenuh, dan kapasitas retensi air maksimum tanah 7 2. Fluks aliran air maupun pergerakan air transient dalam tanah dipengaruhi oleh curah hujan sampai nilai curah hujan tertentu. 3. Semakin besar fluks aliran air dan pergerakan air transient mempercepat distribusi air dan hara dalam tanah 4. Karakteristik pori yang berpengaruh terhadap kadar hara dalam tanah adalah ruang pori tanah yang paling mudah mendesorpsi hara. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Model keterkaitan antara pergerakan air dan laju perubahan kadar air dengan curah hujan pada berbagai karakteristik pori tanah dapat memberikan informasi untuk pengelolaan air di lahan kering, terutama untuk prediksi ketersediaan air bagi tanaman maupun konservasi air. 2. Hubungan keterkaitan antara pergerakan air dengan karakteristik pori dan keterkaitan antara karakteristik pori dengan kadar hara dalam tanah dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam pengelolaan air dan hara tanaman di lahan kering. 1.6. Kebaruan Penelitian 1. Model keterkaitan antara pergerakan air dan laju perubahan kadar air dengan curah hujan pada berbagai karakteristik pori tanah dapat memberikan informasi untuk pengelolaan air di lahan kering, terutama untuk prediksi ketersediaan air bagi tanaman maupun konservasi air. 2. Model keterkaitan antara ruang pori air mobil dan ruang pori air imobil dengan kadar hara larutan tanah yang dapat digunakan sebagai masukan dalam pengelolaan hara tanah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Pori Tanah Porositas tanah merupakan ruang fungsional yang menjadi penghubung antara tubuh tanah dengan lingkungannya (atmosfer) maupun tempat aktivitas biologi dalam tanah yang mendukung kehidupan dan proses-proses biokimia dan fisik yang menentukan kualitas lingkungan (Lal dan Shukla, 2004). Banyaknya ruang pori dibandingkan dengan ruang padatan dalam tanah, yang biasa diistilahkan rasio ruang pori (void ratio atau pore space ratio), sangat menentukan dinamika air, udara, suhu, hara, dan ketersediaan ruang untuk pertumbuhan akar, serta memudahkan di dalam pengolahan tanah (Roy et al., 2006). Banyak istilah digunakan untuk mengekspresikan pori dalam tanah. Porositas tekstural dan struktural digunakan untuk membedakan antara pori yang tercipta oleh agregasi partikel primer (pori tekstural) dengan pori yang tercipta di antara agregat tanah (pori struktural) (Lal dan Shukla, 2004). Menurut Kay (1990), jumlah, ukuran, distribusi, kontinuitas, dan stabilitas pori disebut sebagai karakteristik pori tanah. Karakteristik pori tersebut sangat penting dalam proses pergerakan air dalam tanah seperti infiltrasi dan drainase (Kay, 1990). Di dalam sistem tanah, masing-masing karakter pori tanah tersebut tidak bekerja sendiri-sendiri dalam mempengaruhi pergerakan air, karena terjadinya perubahan dalam karakter yang satu akan berpengaruh terhadap karakter yang lain. Misalnya, pori yang jumlahnya banyak biasanya terdapat pada pori yang berukuran kecil, sebaliknya pori yang berukuran besar jumlahnya sedikit. Begitu juga pori yang kontinu dan stabil; stabilitas pori di dalam agregat tanah yang tinggi akan mempertahankan kekontinuitasan pori. Gangguan terhadap pori dapat mengurangi jumlah, ukuran, dan kontinuitas pori. Karakterisasi porositas tanah yang paling mudah dan sering dilakukan adalah distribusi ukuran pori, di mana dapat ditentukan dari kurva karakteristik air/kelembaban tanah. Durner (1994) menggunakan kurva karakteristik air tanah untuk menginterpretasikan kurva distribusi ukuran pori dalam menduga heterogenitas ukuran pori tanah. Telah banyak ahli mengklasifikasikan pori tanah 9 berdasarkan distribusi ukuran maupun fungsinya secara berbeda-beda. Semuanya sangat beralasan karena setiap tanah memiliki karakteristik pori yang berbedabeda dalam kaitannya dengan air tanah. Oleh karena itu, setiap tanah memiliki kurva karakteristik air tanah yang berbeda-beda. Distribusi ukuran pori berdasarkan fungsinya menurut Hamblin (1985), Oades (1986), Addiscott dan Whitmore (1991), dan Pearson, Norman, dan Dixon (1995) dapat dibedakan seperti pada Tabel 1. Perbedaan di dalam jumlah, ukuran, kontinuitas, dan stabilitas pori sangat menentukan terhadap pergerakan air (Beven dan German, 1982; Durner, 1994; Bouma, Brown, Rao, 2004; dan William et al., 2003), dan selanjutnya terhadap pergerakan dan distribusi solute dalam tanah (Cresswell et al., 1992; Cote et al., 1999; Edwards et al., 1992; Linguist et al., 1997; Sugita et al., 2004; dan Vanderborght et al., 2000). Karena pori di dalam tanah sangat berkaitan dengan agregasi tanah, maka setiap tindakan yang dapat mempengaruhi agregat/struktur tanah akan mempengaruhi karakteristik pori tanah. Oleh karena itu, karakteristik pori dalam tanah sangat dipengaruhi oleh pengolahan tanah, pemupukan, sistem penanaman, pengapuran , dan penambahan bahan organik. Dengan pengolahan tanah yang lebih intensif, penghancuran agregat tanah berlangsung lebih cepat akibat penghancuran secara mekanik, perubahan iklim mikro tanah (suhu, kelembaban, dan aerasi), dan percepatan proses dekomposisi bahan organik yang merupakan pengikat agregat (Balesdent, Chenu, and Balabane, 2000); maupun pengurangan bagian agregat stabil yang > 0,25 mm (Six, Elliott, dan Paustian, 1999). Pemberian sisa tanaman secara terus menerus pada lahan yang terus ditanami dapat meningkatkan stabilitas agregat yang lebih besar dibanding lahan yang dirotasikan dengan sistem bera (Unger et al., 1998). Namun kemampuan sisa tanaman dalam memperbaiki agregat bervariasi tergantung jenis tanamannya. Lahan di bawah jagung menunjukkan diameter massa rataan (DMR) yang lebih tinggi dibanding lahan yang ditanami kedelai (Martens, 2000). Pemupukan pada tanah dapat memperbaiki struktur tanah melalui dua cara. Pertama, pupuk dapat meningkatkan produksi tanaman 10 Tabel 1. Berbagai klasifikasi pori berdasar ukuran, fungsi, dan kesetaraan potensial No Ukuran pori (mm) 0,1-0,3 Sarang dan lubang semut, mempermudah air terdrainase dan udara masuk Lubang cacing, mempermudah air terdrainase dan udara masuk Mempermudah penetrasi akar > 0,05 0,0002-0,05 2 - 50 0,5 – 3,5 1. 1*) <0,0002 > 0,1 2. *2) 3. *3) 4. Setara Potensial Air Fungsi (kPa) bar 0,006– 0,15 (0.6-15)x10 -4 0,0086-0,06 (0.86-6)x10 -4 1-3 0.01-0.03 Aerasi, pergerakan air cepat <6 < 0,06 Air tersedia bagi tanaman Air sisa, tidak tersedia bagi tanaman Drainase sangat cepat, aerasi 6 -1500 0,06-15 >1500 >15 <1 < 0.01 1- 10 0.01–0.1 10 - 33 0.1-0.33 10 - 1500 0.1 – 15 Drainase cepat, aerasi Drainase lambat, tersedia bagi 0,025 – 0,1 tanaman 0,0002 – 0,025 Air tersedia bagi tanaman < 0,0002 Air sisa, teradsorbsi > 1500 > 15 > 0,0015 Pori air mobil < 200 <2 < 0,0015 Pori air imobil > 200 >2 Aerasi < 0.6 < 0.006 Infiltrasi dan permeabilitas 0,6 – 6,0 0,006– 0,6 Air tersedia Air sisa, tidak tersedia bagi tanaman 6,0 - 600 0,6 – 6 > 600 >6 *4) > 0,5 0,5 – 0,05 -4 0,05 – 5x10 < 5x10-4 Keterangan: 1*) Hamblin, 1985; al., 1995 2*) Oades, 1986; 3*) Addiscott dan Whitmore, 1991; *4) Pearson et sehingga menambahkan sisa tanaman yang lebih banyak dan meningkatkan agregasi yang lebih baik daripada tanpa pemupukan (Campbell et al., 2001). Kedua, tanah-tanah yang diberi pupuk organik berupa pupuk hijau ataupun pupuk kandang cenderung memiliki agregat stabil yang lebih banyak (Whalen, Hu, dan Liu, 2003). Tisdall dan Oades (1982) menyimpulkan bahwa mikroagregat 11 (< 250 μm) lebih kuat daripada makroagregat (> 250 μm) karena terbentuknya distabilisasi oleh bahan humik aromatik persisten yang berasosiasi dengan bahan Al dan Fe amorf, sedangkan makroagregat distabilisasi oleh transient atau temporary binding agent seperti akar tanaman, hifa, dan polisakarida. Distribusi ukuran agregat dalam tanah menentukan bobot isi tanah, volume, dan bentuk pori yang mempengaruhi konduktivitas hidrolik tanah. Lado et al. (2004) menemukan bahwa tanah berukuran agregat < 2 mm dan antara 2-4 mm dengan kadar bahan organik tinggi (3,5 %), memiliki konduktivitas hidrolik lebih tinggi daripada tanah dengan bahan organik rendah (2,3 %). Pengurangan konduktivitas hidrolik pada tanah dengan kadar bahan organik rendah terjadi pada agregat < 2 mm dan 2-4 mm, sedangkan pada tanah dengan kadar bahan organik tinggi hanya terjadi pada agregat < 2 mm. Pengurangan konduktivitas hidrolik yang disebabkan dispersi liat pada tanah dengan bahan organik rendah lebih tinggi daripada tanah dengan bahan organik tinggi. Metode yang digunakan untuk menentukan distribusi dan stabilitas agregat tanah adalah pengayakan basah dan kering (De Boodt, De Leenheer, dan Kirkham 1961; Kemper dan Rosenau, 1986). Kuantifikasi struktur tanah dapat dilakukan melalui pengukuran stabilitas agregat (biasanya pada lapisan tanah permukaan). Stabilitas agregat tanah sangat menentukan stabilitas saluran pori-pori tanah, sehingga setiap tindakan yang mempengaruhi struktur tanah (misalnya pengolahan tanah) dapat mempengaruhi proses-proses pergerakan air dan solute dalam tanah. 2.2. Konduktivitas Hidrolik Tanah Konduktivitas hidrolik tanah merupakan kemampuan tanah dalam menghantarkan air, dinyatakan dalam satuan jarak per satuan waktu, misalnya cm/jam atau cm/menit. Konduktivitas hidrolik tanah sangat menentukan pergerakan air dalam tanah. Pada saat jenuh, pergerakan air sangat ditentukan oleh konduktivitas hidrolik jenuh, dan pada saat kondisi tak jenuh sangat ditentukan oleh konduktivitas hidrolik tak jenuh yang besarnya tergantung pada kadar air tanah. Pada sistem lahan kering, kondisi jenuh dan tak jenuh dalam 12 tanah terus menerus terjadi secara simultan untuk mencapai keseimbangan (Jury et al., 1991). Kondisi jenuh di lahan kering dapat terjadi pada saat hujan yang sampai menjenuhi tanah. Pada keadaan demikian, seluruh pori dalam tanah berperan dalam proses pergerakan air, dan konduktivitas hidrolik jenuh nilainya konstan apabila struktur tanah stabil (Marshall dan Holmes, 1988). Apabila pori-pori dalam tanah didominasi oleh pori makro, maka konduktivitas hidrolik jenuh makin besar. Dengan makin berkurangnya proporsi pori makro dan makin bertambahnya proporsi pori mikro, maka konduktivitas hidrolik jenuh makin kecil. Adapun menurut Korevaar, Menelik, dan Dirksen (1983). konduktivitas hidrolik tanah merupakan fungsi dari banyaknya pori-pori yang terisi oleh air seperti persamaan berikut: K= 1 ∑ (Δθ ) 8ητ r ii i 2 .......................................(1) di mana: K = konduktivitas hidrolik (cm/jam); η = viskositas; τ = tegangan permukaan; θ = kadar air (% vol); dan r = jari-jari pori (cm) Berdasarkan persamaan tersebut, konduktivitas hidrolik tanah terutama ditentukan oleh jumlah dan ukuran pori terbesar yang terisi oleh air. Setelah hujan berhenti, terjadi pengurangan kadar air/pengosongan pori yang dimulai dari pori-pori yang berukuran besar, dan digantikan oleh udara. Seluruh air sisa yang mengisi pori-pori tanah bergerak mengikuti pola pergerakan air tak jenuh dengan kecepatan dikendalikan oleh konduktivitas hidrolik tak jenuh. Nilai konduktivitas hidrolik tak jenuh semakin menurun dengan makin berkurangnya kadar air dalam tanah dan pori-pori yang berperan adalah pori-pori terbesar yang masih terisi oleh air (Koorevaar et al., 1983). Pada saat kadar air tanah masih berada di atas kapasitas lapang, konduktivitas hidrolik tak jenuh ditentukan oleh kadar air pada ruang pori drainase dan pergerakan air dikendalikan oleh potensial gravitasi. Pada kadar air di bawah kapasitas lapang, pergerakan air mulai dikendalikan oleh potensial matrik tanah 13 Karakateristik pori yang sangat menentukan konduktivitas hidrolik baik jenuh maupun tak jenuh adalah jumlah maupun ukuran pori yang dapat mengkonduksikan air. Sebagai contoh, dalam pergerakan air jenuh tanah-tanah berpasir yang didominasi pori-pori berukuran besar dapat memiliki konduktivitas hidrolik yang lebih tinggi dibanding tanah-tanah liat dengan pori-pori sempit, walaupun total pori pada tanah liat lebih tinggi. Perekahan, lubang bekas cacing dan bekas akar merupakan saluran yang sangat baik untuk pergerakan air dalam tanah. Pada aliran jenuh, struktur tanah yang stabil dengan pori yang kaku seperti batu pasir memiliki konduktivitas hidrolik jenuh (Ks) relatif konstan, dan besarnya kira-kira 10-2 – 10-3 cm/detik pada pasir, dan 10-4 – 10-7 cm/detik pada tanah liat (Hillel, 1980). Perubahan di dalam ukuran, jumlah, dan kontinuitas pori dapat berpengaruh terhadap konduktivitas hidrolik dalam tanah (Aydin et al., 2004; Bodhinayake et al., 2004; Dunn dan Philips, 1992). Perubahan dalam jumlah, ukuran, dan kontinuitas pori dapat disebabkan oleh berbagai proses fisik, kimia, dan biologi yang ada dalam tanah. Konsentrasi dan kandungan ion pada air irigasi yang masuk pada tanah dapat merubah ukuran, jumlah dan kontinuitas pori sehingga berpengaruh terhadap konduktivitas hidrolik tanah. Konduktivitas hidrolik tanah dapat menurun apabila konsentrasi solute berkurang, misalnya setelah irigasi atau terjadi hujan, akibat terjadinya swelling (pembengkakan) dan dispersi. Swelling dan dispersi liat dalam matrik tanah merupakan fenomena yang saling berhubungan. Terjadinya swelling dan dispersi ini juga dipengaruhi oleh jenis kation yang ada dalam larutan tanah. Hancuran dan migrasi partikel liat selama terjadi aliran menyebabkan penyumbatan pori, sehingga mengurangi ukuran dan jumlah pori tanah (Aydin et al., 2004), selanjutnya mengurangi konduktivitas hidrolik tanah (Lado et al., 2004). Disintegrasi agregat yang disebabkan oleh proses slaking (perpecahan) selama pembasahan dapat terjadi jika agregat tidak cukup kuat/stabil bertahan terhadap tekanan-tekanan yang dihasilkan oleh swelling, udara terjerap, pelepasan panas secara cepat selama pembasahan, dan tindakan mekanik pergerakan air (Lado et al., 2004). Swelling dan dispersi liat merupakan dua mekanisme utama 14 penyebab pengurangan konduktivitas hidrolik apabila tanah-tanah tercuci dan terdeionisasi, melalui penutupan pori oleh partikel-partikel liat yang terdispersi. Kebalikannya pada konsentrasi elektrolit di atas 10 mmol/liter pembengkakan liat merupakan proses utama yang menyebabkan penurunan konduktivitas hidrolik di mana pada konsentrasi larutan di bawah nilai flokulasi, dispersi dan migrasi partikel-partikel liat yang terdispersi ke dalam pori-pori konduktif merupakan proses-proses dominan (Lado et al., 2004). Konduktivitas hidrolik (permeabilitas) tanah dapat bersifat sama atau bervariasi dari titik ke titik dalam tanah. Apabila permeabilitas tanah sangat heterogen, dikatakan memiliki permeabilitas yang inhomogenous. Inhomogenous bisa disebabkan oleh layering pada lapisan tanah. Tanah–tanah yang berlapis umumnya memilki konduktivitas hidrolik yang tidak homogen, disebabkan oleh perbedaan sifat-sifat fisik tanah. Iwata et al. (1995) membuat persamaan untuk menentukan konduktivitas hidrolik tanah-tanah yang berlapisan. K rataan = Σ Li Ki Σ (Li) ....................... (2) Di mana Li adalah ketebalan tiap lapisan (cm) dan Ki (cm/jam) adalah konduktivitas tiap lapisan tanah. Apabila tanah memiliki permeabilitas yang sama pada setiap arah, dikatakan tanah yang isotropic. Tanah yang memiliki hantaran berbeda pada tiap arah, dikatakan anisotropic, misalnya konduktivitas pada arah vertikal lebih tinggi atau lebih rendah dari pada arah horisontal. Anisotropic umumnya disebabkan oleh bentuk struktur tanah, yang bisa laminar, lempeng, kolumnar, atau bentuk yang lain. Sedangkan perbedaan nilai K yang tergantung pada arah aliran sepanjang garis aliran disebut dengan asymetris. Perubahan karakteristik pori tanah yang diakibatkan oleh pengelolaan tanah dapat mempengaruhi konduktivitas hidrolik tanah, sehingga berpengaruh pada pergerakan air dalam tanah. Pengelolaan tanah yang dapat memperbaiki pori dapat meningkatkan konduktivitas hidrolik tanah, sebaliknya pengelolaan tanah yang merusak pori tanah dapat menurunkan nilai konduktivitas hidrolik tanah. 15 Perbedaan konduktivitas hidrolik tanah baik jenuh maupun tak jenuh tiap lapisan kedalaman tanah dapat sebagai petunjuk cepat atau lambatnya aliran air pada tiap kedalaman, sehingga berpengaruh pada distribusi air tiap lapisan kedalaman tanah. Distribusi air tiap kedalaman tanah berpeluang pada kelarutan hara. Selain itu, pergerakan air yang cepat berpotensi membawa hara baik yang masih berupa pupuk, terlarut, maupun yang terikat oleh koloid tanah; sehingga menentukan kadar hara pada setiap lapisan profil tanah. 2.3. Pergerakan Air dalam Tanah Air dalam tanah berfungsi sebagai hara esensial bagi kehidupan tanaman dan organisme tanah, sebagai pelarut dan transport hara, dan sebagai pengatur suhu dalam tanah (Roy et al., 2006). Baik dalam keadaan jenuh maupun tidak jenuh air dalam tanah selalu bergerak untuk mencapai keseimbangan, karena keseimbangan tidak pernah tercapai akibat air di suatu tempat selalu digunakan dan kadangkadang mendapat tambahan dari tempat lain. Air dalam tanah, baik jenuh maupun tak jenuh selalu bergerak dari potensial tinggi ke potensial rendah (Hillel, 1980; Jury et al., 1991). Pergerakan air dalam tanah baik jenuh maupun tak jenuh selalu berperan dalam tanah. Dalam keadaan jenuh, terutama pada lahan kering, air harus segera dihilangkan/didrainase dari profil tanah agar segera tersedia aerasi yang baik. Segera setelah air drainase hilang oleh gaya gravitasi, tanah berada dalam keadaan tidak jenuh dan air bergerak ke segala arah mengikuti perbedaan potensial air tanah. Arah dan kecepatan aliran air tergantung pada perbedaan potensial hidrolik antara dua titik yang berbeda, dan jarak dua titik yang diperhitungkan. Agar terjadi aliran dalam tanah harus ada perbedaan tekanan/potensial hidrolik (ΔH) dan antara 2 (dua) titik tersebut harus cukup permeabel untuk menghantarkan air. Kemampuan tanah untuk dapat melalukan air disebut konduktivitas hidrolik (K). Makin besar nilai K tanah, berarti tanah tersebut makin mudah dilewati air. Arah pergerakan air dalam tanah (ke atas, ke bawah, atau ke samping) tergantung pada arah dan besarnya gradient potensial hidrolik dan derajat penjenuhan tanah. 16 Tanah yang memiliki nilai K besar akan lambat pergerakan airnya apabila gradient hidroliknya kecil, begitu juga sebaliknya walaupun gradient potensial hidroliknya besar tidak menyebabkan pergerakan air apabila nilai K sangat rendah akibat adanya lapisan impermeabel. Pergerakan air dalam solum tanah secara umum dinyatakan sebagai perubahan flux (fluks) air dalam arah satu dimensi vertikal seperti telah dikemukakan oleh Henry Darcy pada tahun 1856, yang selanjutnya dikenal sebagai hukum Darcy sebagai berikut: ΔH ⎤ ⎡ q = ⎢ K (θ ) Δz ⎥⎦ ⎣ ................................................(3) di mana q adalah fluks aliran air, yaitu banyaknya air yang melalui suatu luasan penampang tertentu dalam tanah per satuan waktu, yang dinyatakan dalam volume per waktu (liter per detik, liter per jam) atau satuan panjang per waktu (cm/jam atau cm/detik). K(θ) adalah konduktivitas hidrolik yang tergantung pada nilai kadar air (cm/jam atau cm/menit), dan ∆H/∆z adalah gradient hidrolik, perubahan potensial hidrolik per satuan jarak. Berdasarkan pada nilai fluks (q), konduktivitas hidrolik (K), dan kadar air (θ), maka aliran air dalam tanah dapat dibedakan dalam aliran dalam keadaan steady dan transient (Korevaar et al., 1983). Aliran air jenuh dalam keadaan steady apabila fluks, konduktivitas hidrolik, dan kadar air pada setiap titik sepanjang aliran dan setiap waktu besarnya konstan. Dalam keadaan transient terjadi apabila kadar air konstan, tetapi fluks aliran air bervariasi setiap saat sepanjang aliran air. Pada aliran air tak jenuh keadaan steady terjadi apabila fluks aliran air konstan setiap waktu dan setiap titik sepanjang aliran tetapi konduktivitas hidrolik dan kadar air konstan hanya setiap waktu. Keadaan transient pada aliran tak jenuh terjadi apabila fluks, konduktivitas hidrolik, dan kadar air pada setiap titik sepanjang aliran dan setiap waktu besarnya bervariasi. Menurut Hanks dan Ashcroft (1986), perubahan fluks sepanjang aliran air merupakan perubahan storage pada jangka waktu tertentu, sehingga persamaan (2) di atas dapat dituliskan sebagai berikut: 17 ∂θ ∂ ⎡ ∂H ⎤ ................................................... (4) = ⎢ K (θ ) ∂t ∂z ⎣ ∂z ⎥⎦ di mana θ adalah kadar air volumetrik (L3L-3, cm/cm). K(θ) menunjukkan konduktivitas hidrolik yang tergantung pada nilai kadar air (cm/jam atau cm/menit), dan t adalah waktu (jam atau menit). Perubahan kadar air dalam suatu solum tanah (Δθ) dapat ditentukan dari: Δθ = ∑ (θ j )Δz − ∑ (θ j +1 )Δz .............................................(5) L L z =0 z =0 di mana 0 < z < L ( z = kedalaman tanah, cm) dan (θj) dan (θj+1) adalah rata-rata kadar air pada interval kedalaman Δz (0< Δz < L) (% volume atau cm/cm) pada waktu j dan j+1 (manit atau jam). Apabila terdapat perakaran dalam suatu profil tanah, maka perubahan kadar air setiap saat dapat dituliskan sbb: ∂θ = −∇(θv ) − S w ∂t = −∇qw − Sw ...................................................(6) di mana θ = kadar air volumetrik (% volume), t = waktu (jam), ∇ = operator divergence, v = kecepatan air (cm/jam), q = θv (cm3/jam), merupakan kerapatan flux air volumetrik, dan Sw merupakan sink/source volumetrik (cm/jam, cm/hari), misalnya serapan akar. 2.3.1. Pergerakan Air dalam Tanah Jenuh Pergerakan air jenuh pada lahan kering dapat terjadi apabila terjadi hujan dengan intensitas tinggi sehingga dapat menjenuhi lapisan perakaran tanah. Air jenuh ini harus segera hilang dari zone perakaran melalui pergerakan gravitasi, agar segera tersedia udara untuk aerasi tanah. Pergerakan jenuh dapat juga terjadi pada waktu hujan dengan intensitas sedang sehingga dapat menjenuhi tempattempat tertentu pada pori-pori makro atau rekahan-rekahan tanah. Keadaan ini menyebabkan aliran preferential, walaupun tempat di dekatnya belum mencapai 18 jenuh. Pergerakan air dalam keadaan jenuh ditentukan oleh gaya penggerak (driving force) (ΔH ), yang merupakan perbedaan potensial, dan konduktivitas hidrolik tanah seperti pada persamaan (2) di atas. Perbedaan potensial hidrolik (ΔH) pada pergerakan jenuh merupakan jumlah dari potensial tekanan dan potensial gravitasi, sedangkan potensial matrik tidak bekerja. Potensial gravitasi ditentukan oleh jarak ketinggian dari titik reference yang telah ditetapkan, sedangkan potensial tekanan merupakan jarak dari permukaan air tanah (water table). Makin jauh jarak dari permukaan air tanah, potensial tekanan makin tinggi. Nilai konduktivitas hidrolik pada keadaan jenuh besarnya konstan, dan sangat ditentukan oleh sifat-sifat tanah, antara lain geometri ruang pori (distribusi ukuran pori, total pori, dan luas permukaan internal), tekstur, dan struktur tanah (Hillel, 1980). Laju aliran ditentukan oleh lebar, kontinuitas, bentuk, dan tortuositas (faktor kelok-kelok, merupakan ratio panjang rata-rata saluran pori terhadap panjang tanah) aliran dari saluran, sehingga media yang tersusun dari pori mikro dengan porositas total tinggi memiliki hantaran hidrolik yang lebih rendah dibanding media yang memiliki porositas lebih rendah tetapi lebih besar ukuran porinya. Karena porositas tanah bervariasi dalam bentuk, ukuran, dan arah, maka fluks aliran juga sangat bervariasi pada setiap titik. Fluks aliran ini berbeda dengan aliran air dalam tanah. Aliran air dalam tanah tidak dapat menembus penampang melintang apabila tersumbat oleh partikel. Hal ini disebabkan oleh tortuositas tanah. Tortuositas ini merupakan parameter geometri media berpori tanpa dimensi, sulit diukur secara tepat, dan selalu lebih besar satu atau bahkan lebih besar 2 (Hillel, 1980). 2.3.2. Pergerakan Air dalam Tanah Tak Jenuh Pergerakan air tak jenuh dalam tanah penting dalam pergerakan air menuju akar tanaman, evaporasi, dan redistribusi dalam tanah. Proses-proses pergerakan air ini umumnya sangat komplek dan sulit dijabarkan secara kuantitatif karena kadar air dan kondisinya selalu berubah setiap saat selama aliran. Perubahan- 19 perubahan tersebut merupakan hubungan yang komplek antara variabel-variabel tanah seperti pembasahan, hisapan, dan konduktivitas hidrolik tanah. Pada pergerakan tidak jenuh gaya penggerak merupakan hisapan yang sebanding dengan potensial tekanan negatif. Potensial matrik merupakan afinitas air terhadap permukaan partikel tanah dan pori-pori kapiler. Air cenderung bergerak dari potensial matrik rendah ke potensial matrik tinggi, yaitu dari mantel air yang tebal ke yang tipis dan dari meniskus kapiler yang kurang melengkung ke yang lebih melengkung. Persamaan umum yang digunakan dalam pergerakan tak jenuh dalam tanah adalah: q = - K(ψ) ∇H ..............................................( 7 ) yang mana q adalah fluks aliran (cm/jam), K(ψ) = Kus (cm/jam), adalah konduktivitas hidrolik tanah tak jenuh yang merupakan fungsi dari hisapan matriks, dan ∇H adalah gradient potensial hidrolik (cm) yang terdiri dari komponen hisapan dan potensial gravitasi. K(ψ) merupakan fungsi histeresis, dan hubungan K dengan kadar air volumetrik (K(θ)) atau derajat penjenuhan K(s) dipengaruhi oleh histeresis untuk beberapa derajat lebih rendah dari pada fungsi K(θ), sehingga hukum Darcy untuk tanah tidak jenuh dapat ditulis sebagai berikut: q = - K(θ) ∇H ...................................................(8) Perbedaan penting antara pergerakan jenuh dan tak jenuh dalam tanah adalah konduktivitas hidrolik tanah. Pada kondisi jenuh, seluruh pori terisi oleh air sehingga konduktivitasnya maksimal. Pada kondisi yang tidak jenuh, beberapa pori terisi oleh udara dan luas permukaan konduktifnya berkurang. Seiring meningkatnya hisapan, pori paling besar yang paling konduktif kosong lebih dulu; sehingga air mengalir hanya melalui pori-pori kecil. Pori-pori yang kosong harus sempurna sehingga dengan desaturasi, tortuositas meningkat. Pada tanah-tanah tekstur kasar dan tanah-tanah teragregasi, tingginya ruang antar partikel atau antar agregat menyebabkan tingginya nilai K pada saat jenuh. 20 Namun bila kosong menjadi hambatan aliran cairan dari satu agregat ke agregat yang lain. Dengan alasan tersebut, perubahan dari jenuh menjadi tidak jenuh umumnya menyebabkan pengurangan K secara bertahap yang mungkin berkurang beberapa tingkat (kadang-kadang turun hingga 1/100.000 dari nilai pada saat jenuh) seperti peningkatan hisapan dari 0 menjadi 1 bar. Pada keadaan kadar air yang lebih rendah, hisapan makin tinggi, dan Kus sangat rendah. Pada hisapan yang sangat tinggi, mungkin peningkatan dalam tortuositas dan penurunan dalam jumlah dan ukuran pori yang dikonduksikan, serta perubahan dalam viskositas air (terutama yang diadsorpsi), cenderung menurunkan konduktivitas hidrolik tanah. Perubahan hisapan sangat bertahan, dan memerlukan waktu yang sangat lama untuk dapat terjadi aliran. Pada keadaan jenuh, tanah-tanah yang paling konduktif adalah yang memiliki pori-pori besar dan kontinu, sementara yang paling kurang konduktif adalah tanah-tanah yang didominasi pori-pori mikro. Sehingga tanah pasir jenuh mengkonduksikan air lebih cepat dari pada tanah-tanah berliat. Namun kebalikannya pada kondisi tidak jenuh, pada tanah-tanah yang memiliki pori-pori besar, pori cepat kosong dan menjadi tidak konduktif seperti perubahan hisapan. Dengan demikian secara bertahap mengurangi konduktivitas hidrolik awal yang tinggi. Sebaliknya pada tanah-tanah dengan pori-pori kecil, banyaknya pori yang menahan dan menghantarkan air sesuai hisapan, menyebabkan nilai Kus tidak menurun secara bertahap dan mungkin lebih besar dari pada tanah dengan poripori besar pada nilai hisapan yang sama. Kenyataan di lapangan, pada tanah tidak jenuh sering terjadi bahwa aliran kelihatan lebih lama pada tanah berliat daripada tanah berpasir. Dengan alasan ini, lapisan pasir yang terdapat pada profil tanah bertekstur halus dapat menghambat aliran tak jenuh hingga air terkumpul di atas lapisan pasir dan hisapan menurun sampai cukup untuk menghantarkan air masuk ke pori-pori besar pada lapisan pasir (Hillel, 1980). 2.4. Pengaruh Pergerakan Air terhadap Kadar Hara dalam Tanah Pengaruh pergerakan air terhadap kadar hara dalam tanah berkaitan dengan distribusi air yang dapat melarutkan hara maupun pergerakan air yang dapat 21 membawa hara. Kadar hara tanah dalam kaitannya dengan pergerakan air tersebut sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah dalam mengadsorpsi dan mendesorpsi hara (Nemati et al., 2003), sifat-sifat hara yang terlarut (Nemati et al., 2003), adanya pergerakan air dalam tanah yang dapat membawa hara (Hamlen, dan Kachanoski, 2004; Nemati et al., 2003), iklim (Gentry et al., 2000) dalam hal ini sifat-sifat hujan (Edwards dan Daniel, 1993), waktu dan metode pemberian (Gentry et al., 2000) serta tanaman yang tumbuh di atasnya (Timlin et al, 1992). 2.4.1. Adsorpsi Tanah Sifat-sifat tanah yang dapat mempengaruhi adsorpsi hara adalah jenis dan jumlah liat. Hara yang teradsorbsi oleh partikel-partikel tanah dapat bergerak ke lapisan tanah yang lebih dalam apabila terjadi pergerakan partikel yang berukuran koloid. Pergerakan hara dalam tanah juga dipengaruhi oleh mobilitas hara dan tingkat kelarutannya. Tingkat adsorpsi tanah merupakan retardasi tanah dalam pergerakan solute dalam tanah. Solute yang terikat kuat sulit bergerak dalam solum tanah. Kekuatan adsorpsi solute oleh tanah sangat tergantung pada reaksi solute dengan komponen tanah (Ben-Hur et al., 2003). Distribusi solute dalam fase larutan dan fase padatan dalam tanah sering ditampilkan sebagai konstanta adsorpsi (Kd), yaitu perbandingan antara solute yang teradsorpsi tanah dengan solute yang terlarut. Pendugaan nilai Kd dari perubahan konsentrasi solute dalam larutan tanah setelah terjadi keseimbangan (adsorption isoterm) dengan padatan tanah, umumnya diukur dalam batch standart (Hayes dan Mingelgrin, 1990; Coquet 2003; dan Communar, Keren, dan Li, 2004). Secara umum, solute yang memiliki nilai Kd < 0,5 relatif mobil, dan yang memiliki nilai >5, bila kurang mobil (Hayes dan Mingelgrin, 1990). Sorpsi isotherm dapat terjadi pada subsoil sampai kedalaman 3 m, tetapi jarang terjadi pada kedalaman yang lebih tinggi (Coquet, 2003). Parameter isoterm tergantung pada komposisi mineral tanah, tekstur, dan pH tanah (Communar et al., 2004). Adsorpsi yang terjadi dalam tanah dapat disebabkan oleh dua komponen pengadsorbsi, yaitu bahan organik dan mineral liat (Li et al., 2003; Ben-Hur et al., 22 2003). Komponen-komponen organik dan mineral tersebut dapat berfungsi sebagai pengadsorpsi apabila berada dalam ukuran koloidal, yaitu partikel atau bahan-bahan diskontinu yang porus, dengan dimensi 1 nm sampai 1 μm (Hayes dan Mingelgrin, 1990). Koloid organik yang berfungsi sebagai adsorbent adalah bahan-bahan humik dan polisakarida. Keduanya memiliki gugus-gugus hidroksil dan karboksil yang dapat terdisosiasi pada pH tinggi (Newman dan Hayes, 1990), sehingga merupakan tempat-tempat adsorpsi kation-kation. Selain itu, polisakarida juga memiliki gugus acetilamino yang merupakan sumber muatan positif (Hayes dan Mingelgrin, 1990), sehingga dapat mengikat anion-anion. Proses-proses adsorpsi dalam tanah sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban tanah. Kelembaban tanah merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap sorpsi dan interaksi molekul-molekul organik dengan permukaan-permukaan sorpsi dalam tanah. Adsorpsi komponen organik oleh fraksi mineral dibatasi oleh kelembaban karena molekul-molekul air masuk kepermukaan adsorptif pada permukaan mineral. Hal ini berlaku untuk bahan organik yang mengandung gugus fungsional nonpolar, seperti hidrokarbon aromatik, dan bahan organik yang mengandung gugus fungsional sedikit, seperti -Cl. Namun bahan organik yang memiliki gugus fungsional tinggi dan sedang seperti kebanyakan pestisida, memiliki beragam mekanisme serapan yang beroperasi (Li et al ., 2003). Selain itu, perubahan pH dan kekuatan ion juga dapat mempengaruhi adsorpsi dalam tanah. Solute yang bersifat asam akan terdisosiasi apabila pH meningkat dan merupakan sumber muatan negatif apabila pH melebihi pKa. Adsorpsi bahan-bahan yang mudah terionisasi oleh hydroksida sangat dipengaruhi oleh point of zero charge (PZC) adsorbent. (Hayes dan Mingelgrin, 1990). Wang et al. (2001) menyatakan bahwa ukuran agregat tanah mempengaruhi sorpsi P dan bioavailability (Linquist et al., 1997). Uptake hara dari agregat kecil sering lebih tinggi daripada dari agregat besar, tetapi penggunaan P yang baru diberikan dapat hanya menetrasi pada lapisan tipis sekitar agregat (Linquist et al., 1997). Hal ini dapat dijelaskan bahwa agregat-agregat besar dengan luas permukaan yang relatif kecil, dibanding agregat kecil, dapat mengurangi fiksasi P 23 sehingga mengakibatkan peningkatan ketersediaan P yang baru diberikan. Dengan P yang terekstrak sama, desorpsi dari agregat besar dapat lebih kecil jika P terdifusi lebih dalam ke dalam agregat. Linquist et al. (1997), mempelajari peranan ukuran agregat pada serapan dan pelepasan P dan menemukan bahwa serapan P meningkat dengan berkurangnya ukuran agregat, dan P yang dilepas dari agregat berkorelasi linier dengan massa reaktif agregat. Mereka menyimpulkan bahwa agregasi mempengaruhi ketersediaan P tanaman jangka panjang dan pendek. Dengan demikian, perbedaan sifat-sifat struktur tanah di lapangan juga mempengaruhi ketersediaan P . Fosfor memiliki afinitas yang tinggi terhadap tanah sehingga umumnya bergerak ke bawah secara lambat menembus matrik tanah (Sims et al., 1998), atau secara lateral melalui interflow. Namun P dapat bergerak melalui aliran preferential (Simard et al., 2000) dengan sedikit adsorpsi pada matrik tanah karena waktu yang terlalu singkat dalam melewati dinding pori (Jensen et al., 1998). Sebaliknya apabila larutan netral seperti KCl ditambahkan ke dalam tanah, keseimbangan Cl- dalam larutan tanah lebih tinggi daripada konsentrasi Cl- larutan awal. Segera setelah ditambahkan KCl, ion K+ diadsorpsi oleh muatan negatif tanah, sebaliknya ion Cl- ditolak yang menyebabkan adsorpsi negatif (Tan, 1982). Proses ini menyebabkan ion Cl- bergerak lebih cepat dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah, dan berakibat lebih cepatnya distribusi ion Cldalam profil tanah. Menurut Ross (1989), kebanyakan muatan negatif permukaan partikel tanah menyebabkan anion dalam larutan ditolak dan segera dikeluarkan dari volume air di dekat permukaan partikel. Apabila konsentrasi anion pada pusat pori di mana air bergerak paling cepat sangat tinggi, fluks anion dapat melebihi fluks air neto, sehingga terjadi perubahan arah displacement dari kurva breakthrough. Akibatnya nilai koefisien dispersi efektif (De) dan kecepatan air pori efektif (ev) meningkat. 24 2.4.2. Pergerakan Air yang Membawa Hara Seperti telah disebutkan didepan, bahwa pergerakan air yang dapat membawa hara sangat tergantung pada konduktivitas hidrolik tanah, dan konduktivitas hidrolik tanah sangat dipengaruhi oleh karakteristik pori tanah. Menurut Bagarello et al. (2004), dalam tanah yang tidak terganggu, pergerakan solute sangat bervariasi dan dapat terjadi pada laju yang lebih rendah dari konduktivitas hidrolik jenuh. Variasi laju pergerakan solute tersebut terjadi secara spasial dan temporal, tergantung pada tingginya variasi kecepatan maupun konsentrasi solute (Akhtar et al., 2003 b). Menurut Jury et al. (1991), koefisien variasi konsentrasi solute dalam tanah dapat berkisar antara 13-260%. Adapun menurut Bagarello et al. (2004), tingginya variasi konduktivitas hidrolik secara spasial tergantung pada karakteristik pori tanah. Perubahan laju pergerakan air akibat perubahan porositas tanah tersebut disebabkan oleh perubahan struktur tanah selama terjadi aliran air. Selama ini belum cukup diketahui hubungan secara kuantitatif dari perubahan karakteristik pori tanah terhadap pergerakan solute tanah (Aydin et al., 2004). Sedikit informasi tentang mekanisme fisik yang menyebabkan pengurangan konduktivitas hidrolik selama pembasahan tanah dan pencucian (Lebron, 2002). Bodhinayake, Cheng Si, dan Xiao (2004) menyatakan bahwa porositas tanah yang banyak berkaitan dengan pergerakan air secara cepat, solute, dan polutan melalui solum tanah adalah pori makro dan pori meso. Pori makro dan meso masing-masing merupakan fraksi volume tanah yang memiliki diameter > 10-3 m dan antara 10–3 dan 10-5 m (Luxmoore, 1981). Pori-pori makro yang berperan dalam pergerakan air cepat dalam tanah hanya pori-pori kontinu dan pori-pori yang bersambungan. Ukuran diameter yang menentukan pergerakan air cepat adalah diameter terkecil seperti leher botol yang ada sepanjang saluran kontinu, walaupun bagian leher botol ini kecil (Dunn dan Phillips, 1992). Fungsi pori yang menghantarkan air juga dipengaruhi oleh tortuositas pori dan kekasaran permukaan; sehingga besarnya pori makro dan pori mikro saja tidak cukup berdampak pada tingginya konduktivitas hidrolik dan cepatnya transport solute. 25 Pergerakan air dan solute secara cepat di dalam solum tanah oleh Steenhuis et al. (1994) disebut sebagai preferential flow, yaitu pergerakan air dan solute tanah secara cepat dan nonuniform menembus pori-pori makro dan saluransaluran bawah permukaan tanah. Adapun menurut Beven dan Germann (1982), preferential flow merupakan aliran solute melalui pori-pori makro, ruangan kontinu yang besar, dengan diameter antara 0,03-30,00 mm. Ada tiga penyebab utama aliran preferential, yaitu: 1) Pori makro yang terbentuk dari lubang cacing, lubang bekas akar, rekahan, dan permukaan interpedal pada struktur tanah, 2) Batas pembasahan (wetting front) yang tidak stabil atau aliran finger, dan 3) Lapisan tanah yang miring akibat aliran yang terkonsentrasi (Akhtar et al., 2003a). Selanjutnya William et al. (2000), menyebutkan bahwa saluran preferential dapat terjadi dalam medium tak berstruktur di mana mekanismenya menunjukkan akibat cairan yang tidak stabil. Lebih umum, sejumlah aliran berkembang karena struktur inherent tanah dan asosiasinya dengan pori-pori makro yang terbentuk oleh fauna tanah, saluran-saluran akar yang terlapuk, dan pengkerutan mineral. Sifat saluran tergantung pada medium tanah, dalam hal ini konduktivitas hidroliknya, kontinuitas pori, dan water repellency. Ada dua tipe preferensial flow akibat perbedaan tekstur tanah, yaitu fingering (Baker dan Hillel, 1990) dan funnel flow (Kung, 1990 a, b) Preferential flow tidak melibatkan seluruh pori-pori makro, tetapi tergantung pada sifat-sifat fisik tanah, kadar air tanah, intensitas hujan, dan laju infiltrasi (William et al., 2003). Preferential flow menyebabkan besarnya fluks atau kecepatan aliran yang tinggi menembus saluran yang terbatas dan membawa konsentrasi solute relatif tinggi, sehingga untuk menilai sifat aliran dan proses transport dalam tanah digunakan kurva breakthrough (Southwick et al., 1995 dan William et al., 2003), yaitu kurva hubungan antara perubahan konsentrasi solute (ordinat) terhadap waktu (absis) pada berbagai lokasi kedalaman tanah untuk menentukan pola aliran. Aliran preferential air dan solute dalam tanah dipengaruhi oleh struktur tanah, di mana aliran bypass menembus pori makro dapat cepat memindahkan solute ke lapisan yang lebih dalam (Vervoort et al., 1999). Distribusi pori yang 26 ada dalam tanah sangat berkaitan dengan ukuran agregat/struktur tanah, bukan dengan tekstur tanah (Bagarello et al., 2004). Namun tekstur tanah menentukan ukuran struktur/agregat tanah yang terbentuk, sehingga keduanya menentukan keadaan pori tanah. Variasi struktur dan heterogenitas tekstur tanah sangat mempengaruhi pergerakan solute melalui terciptanya perbedaan kecepatan aliran air sehingga terjadi ketidakseimbangan konsentrasi solute dalam tanah. Kejadian ini juga menyebabkan aliran preferential. Dalam kaitannya dengan pergerakan solute, apabila terjadi aliran preferential, sering digunakan wilayah/zone pendekatan. Zone pertama berhubungan dengan bagian tanah yang sangat permeabel (misalnya jaringan pori makro pada tanah-tanah yang berstruktur) disebut sebagai saluran aliran preferential, dan zone lain merupakan sistem pori yang kurang permeabel dalam matrik tanah sebagai agregat-agregat (Cote et al., 1999). Pergerakan solute dalam saluran preferential biasanya ditentukan oleh gerakan adveksi, sementara dalam agregat-agregat adalah pertukaran secara difusi. Transfer solute antar dua wilayah dapat ditentukan melalui dua cara: 1) menggunakan koefisien transfer massa, berhubungan dengan kecepatan pertukaran akibat perbedaan konsentrasi dua tempat, dan 2) menggunakan hukum Fiks kedua tentang difusi. Metode ini membutuhkan deskripsi dari geometri agregat. Aliran preferential akan berhenti apabila pemberian air dihentikan, selanjutnya solute diredistribusikan, hingga perbedaan konsentrasi dalam agregat tidak ada. Air yang berada dalam kedua zone di atas dibedakan ke dalam air mobil dan air imobil. Pada zona mobil terjadi proses adveksi dan dispersi, sementara adsorbsi-desorpsi dan degradasi terjadi pada zona imobil. Antara dua zone dapat terjadi proses difusi. Besarnya kadar air imobil bervariasi dengan fluks kadar air, kadar air, dan ukuran agregat. Cara untuk mengukur imobil water menurut Clothier, Kirkham, dan McLean (1992) adalah dengan infiltrometer tekan dengan memberikan tracer. Setelah infiltrasi mencapai konstan, tracer ditambahkan. Setelah diperkirakan tracer sudah masuk ke dalam tanah, contoh tanah di bawah infiltrometer diambil dan dianalisis konsentrasi tracernya. Jika seluruh air tanah mobil, konsentrasi tracer dalam air tanah sebanding dengan konsentrasi input. 27 Namun jika beberapa air tanah imobil, konsentrasi tracer dalam tanah lebih kecil dari konsentrasi input, sehingga θ im = θ (1 − c ) c0 ..........................................(9) di mana θ = kadar air (% volume atau cm/cm), C = konsentrasi tracer yang diukur dalam tanah (ppm), dan Co = konsentrasi input dalam infiltrometer (ppm). Penggunaan persamaan di atas untuk menentukan bagian pori imobil. Pada kasus tersebut, Clothier et al. (1992) mengasumsikan bahwa koefisien transfer cukup kecil di mana waktu untuk berdifusi ke zona imobil sangat pendek sebelum tanah diambil sampelnya. Adapun menurut Addiscott dan Whitmore (1991), air mobil adalah air yang terikat pada potensial matrik > -0,2 MPa dan air imobil yang terikat pada potensial matrik < -0,2 MPa. Hasil penelitian Bejat et al. (2000) menunjukkan bahwa karakter pori tanah berhubungan erat dengan parameter pergerakan solut. Peningkatan indeks distribusi ukuran pori cenderung menurunkan kecepatan air pori maupun koefisien dispersi tanah. Penurunan kecepatan air pori dan koefisien dispersi tanah dapat memperlambat pergerakan solute dalam tanah. 2.4.3. Curah Hujan dan Kadar Air Pergerakan air yang dapat membawa hara dan mendistribusikan air dalam tanah sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Curah hujan menentukan distribusi air dalam zona perakaran, sehingga dapat melarutkan dan membawa hara. Sifat-sifat hujan yang dapat mempengaruhi pergerakan air yang dapat membawa hara dalam tanah adalah jumlah dan intensitas hujan. Intensitas hujan mempengaruhi waktu breakthrough (waktu yang dibutuhkan oleh solute untuk mencapai kedalaman tertentu dalam solum tanah), dimana pada intensitas hujan yang paling tinggi, waktu breakthrough tercepat dan makin banyak jumlah perkolat (Granovsky et al., 1993). Namun menurut Scott et al. (1998), dengan makin tingginya intensitas hujan dapat mengakibatkan air melalui matrik tanah dan aliran preferential melalui sebagian kecil tanah. 28 Intensitas hujan juga mempengaruhi pergerakan bahan kimia. Makin tinggi intensitas hujan, makin banyak bahan kimia yang dipindahkan (Granovsky et al., 1993, Trojan dan Linden, 1992). Namun, intensitas hujan tidak mempengaruhi rata-rata konsentrasi solute dalam perkolat, tetapi lebih mempengaruhi jumlah volume perkolat. Konsentrasi solute lebih dipengaruhi oleh mobilitas solute, dimana makin tinggi mobilitas solute, makin tinggi konsentrasinya dalam perkolat. Kondisi kadar air awal juga mempengaruhi waktu breakthrough (Edward et al., 1992, Granovsky et al., 1993), volume perkolat, dan laju pergerakan air maupun solute dalam tanah (Edward et al., 1992; Granovsky et al., 1993 ). Kadar air awal yang rendah memudahkan aliran air dan solute melalui aliran preferensial pori makro (Granovsky et al., 1993), sehingga waktu breakthrough lebih cepat. Nampaknya kondisi kelembaban tanah yang rendah mengurangi kontribusi matrik tanah terhadap infiltrasi air pada tahap awal. Shipitalo et al. (1990) menyatakan bahwa, waktu untuk perkolasi berkurang pada kadar air awal rendah, dan infiltrasi pada permukaan tanah yang kering lebih dihambat oleh bahan organik yang bersifat hidrofobik. Ada pendapat lain mengatakan bahwa hujan yang melalui pori makro relatif tidak terkontaminasi solute karena tidak efektifnya pencucian solute yang tertinggal pada pori-pori kapiler atau karena kurangnya interaksi antara air hujan dengan matrik tanah. Namun hujan yang membawa bahan kimia dari permukaan tanah dapat melewati zona perakaran (Shipitalo et al , 1990). Menurut Shipitalo et al (1990), pengaruh hujan terhadap nasib bahan kimia yang diberikan di permukaan tanah tidak terlepas dalam hubungannya dengan sifat spesifik tanah dan sifat bahan kimia yang diberikan. Sebagai contoh, hujan deras yang berlangsung singkat setelah pemberian bahan kimia dapat membawa sejumlah bahan kimia yang teradsorpsi di luar zona perakaran, sebaliknya hujan ringan setelah pemberian bahan kimia dapat menggerakkan solute ke dalam matrik tanah di mana mereka dapat teradsorpsi. Solute tersebut dapat dilewati aliran air dalam pori makro pada hujan-hujan berikutnya. 29 Distribusi air dalam tanah baik secara spatial dan temporal juga berpengaruh terhadap lingkungan reaksi biokimia dalam tanah, sehingga berpengaruh terhadap kelarutan hara dalam tanah. 2.4.4. Tanaman Kuantifikasi kecepatan ekstraksi air oleh akar tanaman dapat berperan dalam informasi fluks solute dalam zone perakaran. Serapan air oleh sistem perakaran dapat mengendalikan waktu dan jumlah polutan kimia yang akan masuk ke ground water, melalui eliminasi pola aliran preferential air dan bahan kimia, atau melalui pengaturan absorbsi hara atau trace mineral (Vrugt, Hopmans, dan Simunek, 2001). Serapan air oleh akar secara aktual tidak hanya tergantung pada distribusi akar dan fungsinya, tetapi juga pada ketersediaan air tanah. Serapan air berkurang (stres air) terjadi apabila ketersediaan air dalam tanah rendah dan konsentrasi garam terlarut melebihi batas ambang kebutuhan tanaman (Vrugt et al., 2001). Tanaman berperan penting dalam proses evapotranspirasi. Akar tanaman menyerap air sehingga kadar air dan hara di bawah tanaman lebih rendah dibanding di bawah antar tanaman. Keadaan tersebut dapat mengurangi kehilangan air dan hara ke lapisan yang lebih dalam. (Timlin et al., 1992). Perbedaan pencucian solute di bawah kedalaman tanah 0,5 m pada barisan dan antar barisan tanaman tergantung pada tipe tanah dan tanaman, curah hujan, irigasi, dan evapotranspirasi. Sistem diversifikasi pertanaman dapat mengurangi kehilangan hara dari zona perakaran dan menurunkan kadar NO3-N pada subsoil. dibanding monocultur (Varvel dan Peterson, 1990). Peterson and Russelle (1991) melaporkan bahwa akar alfalfa dapat mengabsorbsi hara dan air dari kedalaman tanah 11 m, tetapi Campbell et al. (1994) menemukan bahwa kedalaman air dan hara yang dapat diekstraksi oleh alfalfa adalah sekitar 2,5 m. Kemampuan akar tanaman dalam menyerap hara sangat tergantung pada ketersediaan air dalam tanah, dan kadar hara yang cukup dapat menghemat penggunaan air (Roy et al., 2006) III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di lapangan di Desa Bojong, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor mulai bulan April 2005 sampai dengan April 2007. Pemilihan lokasi penelitian dan analisis data di laboratorium berlangsung sejak April 2005 sampai dengan Februari 2006. Percobaan lapangan dilakukan bersamaan dengan analisis laboratorium sejak Februari 2006 sampai dengan Juli 2006. Selanjutnya diikuti analisis laboratorium sampai dengan April 2007. 3.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah tanah dari jenis sama yang memiliki perbedaan dalam karakteristik pori tanah (jumlah, distribusi, dan stabilitas pori) tanah (Lampiran 1 dan 2), tanpa adanya lapisan kedap pada solum tanah. Jumlah dan distribusi pori tanah dinyatakan dalam jumlah (% volume) dari pori dengan ukuran berbeda dalam hal ruang pori drainase sangat cepat, ruang pori drainase cepat, ruang pori drainase lambat, ruang pori air tersedia, ruang pori mikro, ruang pori air mobil, dan ruang pori air imobil. Tanah tersebut bekas digunakan untuk pertanian tanaman pangan intensif. Bahan yang digunakan untuk percobaan lapang meliputi benih jagung manis, pupuk urea, SP 36, KCl, kapur pertanian, dan pestisida. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis tanah di laboratorium mengikuti metode yang ditampilkan pada Tabel 4. Alat yang digunakan selama penelitian di lapang meliputi permeameter, penakar hujan, soil moisture meter, dan alat-alat untuk mengambil contoh tanah. Alat yang digunakan untuk analisis tanah di laboratorium mengikuti metode yang ditampilkan pada Tabel 4. 31 3.3. Metode Penelitian Penelitian ini dimulai dengan pemilihan lokasi lahan, pengamatan profil pengambilan contoh dan analisis sifat-sifat tanah awal, percobaan lapangan, analisis laboratorium, dan analisis data. Tahapan penelitian secara lengkap ditampilkan pada Gambar 2. Adapun hubungan antara tujuan, masukan data, proses / analisis data dan keluaran tiap tahapan penelitian ditampilkan pada Tabel 2. 3.3.1. Pemilihan Lokasi Penelitian Pemilihan lokasi penelitian merupakan tahap awal sebelum pelaksanaan percobaan di lapangan. Berdasarkan peta tanah wilayah kabupaten Bogor, dipilih lokasi yang memiliki jenis tanah yang sama yang digunakan untuk pertanian tanaman pangan intensif. Selanjutnya pada tanah-tanah terpilih dilakukan deskripsi profil tanah, pengukuran konduktivitas hidrolik jenuh tanah di lapangan, pengambilan contoh tanah untuk dianalisis karakteristik pori dan sifat kimia tanahnya. Berdasarkan data profil tanah, karakteristik pori, sifat kimia, dan konduktivitas hidrolik jenuh di lapang dari beberapa lokasi, dipilih lokasi yang memiliki sifat-sifat kimia relatif sama dan karakteristik pori beragam.. Selanjutnya pada lokasi lahan yang terpilih tersebut dilakukan pengamatan lebih detil tentang konduktivitas hidrolik jenuh di lapangan; pengambilan contoh tanah untuk analisis karakteristik pori, konduktivitas hidrolik tak jenuh, dan sifat-sifat fisik tanah lainnya di laboratorium. 3.3.2. Percobaan lapangan Percobaan lapangan dilakukan pada lokasi lahan yang telah terpilih. Pada lahan tersebut dibuat 30 petak pertanaman sebagai ulangan, dengan ukuran tiap petak 5m x 5m. Pada seluruh petak ditanami jagung manis dengan pemupukan urea, SP 36, dan KCl masing-masing dengan dosis 300 kg, 200 kg, dan 150 kg per hektar. 32 Pemilihan jenis tanah diatas peta Orientasi lapangan - jenis tanah - penggunaan tanah Pengambilan contoh tanah Pengamatan lapang: - konduktivitas hidrolik - profil tanah - Analisis karakteristik pori - Analisis sifat fisik dan kimia tanah Lokasi terpilih Pengambilan contoh tanah Analisis Tanah: - Karakteristik pori dan - sifat fisik tanah lainnya Pengukuran konduktivitas hidrolik jenuh dan tak jenuh Analisis Data: Hubungan karakteristik pori tanah dengan parameter pergerakan air Percobaan lapang: - Kadar air tanah tiap hari - Kadar hara (N, P, dan K) (tiap minggu) - Hujan harian - Data iklim (harian) - Produksi tanaman Analisis Data 1. Hubungan karakteristik pori dengan pergerakan air 2. Hubungan jumlah hujan dengan pergerakan air 3. Hubungan curah hujan, pergerakan air, kadar air, dan kadar hara tanah 4. Hubungan karakteristik pori dengan kadar hara tanah 5. Hubungan karakteristik pori, kadar air, dan kadar hara dengan produksi tanaman. Gambar 2. Diagram alir pelaksanaan penelitian 33 Pada lahan percobaan dipasang penakar hujan, sehingga dapat terekam hujan harian dari lokasi percobaan. Selanjutnya selama masa pertumbuhan tanaman dilakukan pengamatan terhadap tinggi tanaman tiap minggu, kadar air tanah tiap hari dengan menggunakan soil moisture meter tiap jarak kedalaman 10 cm dari permukaan tanah, yaitu pada kedalaman 0-10 cm, 10-20 cm, 20-30 cm, 30-40 cm, 40-50 cm, dan 50-60 cm dari permukaan tanah. Pengamatan serapan hara oleh tanaman dilakukan pada masa vegetatif maksimum (umur lima minggu) dengan cara analisis kadar hara dalam daun dan batang, dan produksi tanaman pada waktu panen. Tinggi tanaman, yang merupakan indikator pertumbuhan tanaman, diamati dengan mengukur panjang tanaman dari permukaan tanah sampai puncak tajuk. Kadar hara N, P, dan K larutan tanah tiap jarak 10 cm dari permukaan tanah ditetapkan dengan cara pengambilan contoh tanah komposit dari sekitar tanaman menggunakan bor berdiameter 2 cm, kemudian dianalisis hara yang larut dalam air. Kadar nitrogen ditetapkan dalam bentuk nitrat dan amonium larut air. Pengukuran curah hujan dilakukan dengan menggunakan penakar hujan otomatis, sehingga dapat diperoleh data jumlah hujan harian, periodik, dan intensitas hujan periodik. Selain itu juga dikumpulkan data iklim lokasi penelitian dari stasiun klimatologi Pangkalan TNI-AU Atang Senjaya Bogor. Data hujan dan iklim (suhu) selanjutnya digunakan dalam perhitungan neraca air lahan baik bulanan, maupun mingguan. Perhitungan bobot tanaman dan bobot tongkol pada waktu panen berdasarkan pada jumlah populasi per hektar lahan dikalikan dengan bobot tanaman atau bobot tongkol dari tanaman contoh. 3.3.3. Pengambilan contoh tanah Pengambilan contoh tanah di lokasi penelitian ditujukan untuk memperoleh data karakteristik pori tanah secara lebih detil, didahului dengan deskripsi profil tanah, sehingga dapat diketahui secara visual keadaan morfologi dan kondisi fisik tanah di lapang. Selanjutnya dilakukan pengukuran konduktivitas hidrolik jenuh 34 Tabel 2. Matrik antara tujuan, masukan data, proses/analisis data, dan keluaran pada setiap tahapan penelitian No Tujuan 1. Menentukan keterkaitan antara pergerakan air (fluks aliran air dan pergerakan air transient) dengan karakteristik pori (jumlah, distribusi, dan stabilitas pori) dalam tanah 2. Menentukan model keterkaitan antara pergerakan air (fluks aliran air dan pergerakan air transient) dalam tanah dengan curah hujan Masukan Data karakteristik pori Proses 1c. Analisis regresi dan korelasi Data konduktivitas hidrolik antara karakteristik pori tanah tanah dengan parameter pergerakan air Data kadar air tanah Data potensial air tanah Data hujan dan iklim yang lain 1b. Perhitungan fluks aliran air Ks = f (karakter pori tanah) Kus = f (karakter pori tanah) Fluks aliran air pada zona 50 cm dengan pendekatan perubahan dan tiap selang kedalaman 10 cm kadar air di lapangan di lokasi percobaan 1c. Perhitungan pergerakan air transient; dθ/dt = - dfluks/dx dθ/dt tiap selang 50 cm dan pada 1d. Analisis regresi dan korelasi antara karakteristik pori tanah dengan fluks aliran air dan aliran air transient Fluks = f (karakter pori tanah) dθ/dt = f (karakter pori tanah) 2a. Perhitungan sifat-sifat hujan Sifat-sifat hujan harian di lokasi Data kadar air tanah Data potensial air tanah Keluaran 10 cm zona perakaran percobaan 2b. Penyusunan model hubungan antara jumlah hujan terhadap fluks aliran air dan laju aliran air Fluks = f (jumlah hujan) dθ/dt = f (jumlah hujan) transient 3. Mengkaji pengaruh pergerakan air terhadap distribusi air dan hara dalam tanah Data hujan Data kadar air tanah Data kadar hara Data produksi tanaman 3a. Analisis deskriptif keterkaitan jumlah hujan, fluks, dan kadar air Distribusi kadar air tiap minggu 3b. Analisis kebutuhan irigasi Kebutuhan irigasi minimum lahan 35 Tabel 2. Matrik antara tujuan, masukan data, proses/analisis data, dan keluaran pada setiap tahapan penelitian (lanjutan) No 3. 4. Tujuan Masukan Mengkaji pengaruh Data hujan pergerakan air terhadap distribusi air dan hara dalam Data kadar air tanah Data kadar hara tanah Data produksi tanaman Menentukan karakteristik pori yang berpengaruh terhadap kadar hara dalam tanah Data karakteristik pori Data kadar air tanah Data kadar hara Data produksi tanaman Proses Keluaran 3c. Uji beda nilai tengah kadar hara larutan tanah antar kedalaman tanah dan antar waktu Kadar hara larutan tanah antar kedalaman dan antar waktu 4a. Analisis regresi dan korelasi antara karakteristik pori tanah dengan kadar hara larutan tanah Kadar hara = f (karakter pori tanah) 4b. Analisis regresi berganda antara sifat-sifat fisik tanah, kadar air, dan kadar hara terhadap produksi tanaman Bobot tanaman = f (sifat-sifat fisik tanah) Bobot tongkol = f(sifat-sifat fisik tanah) 36 dan tak jenuh, pengambilan contoh tanah utuh, contoh tanah agregat, dan contoh tanah terganggu dari tiap jarak kedalaman 10 cm dari permukaan tanah. Contoh tanah utuh digunakan untuk penetapan kurva karakteristik air tanah (yang digunakan untuk penetapan distribusi pori tanah), dan bobot isi tanah. Contoh tanah agregat digunakan untuk penetapan distribusi ukuran agregat (Mean Weight Diameter, MWD), geometri agregat (GMD), dan stabilitas agregat (WSA). Contoh tanah terganggu digunakan untuk analisis tekstur, kadar hara dalam tanah, kadar bahan organik, KTK, dan pH tanah. Pengambilan contoh tanah selama musim tanam dilakukan di setiap petak lahan dari tiap kedalaman 10 cm dari permukaan tanah secara komposit untuk analisis hara N, P, dan K yang larut air, dan untuk kalibrasi kadar air tanah 3.3.4. Analisis Laboratorium Analisis di laboratorium meliputi penetapan karakteristik pori tanah sifatsifat kimia tanah (pH, kadar hara N, P, dan K, KTK, basa- basa, kadar C-organik tanah), tekstur tanah sebelum percobaan lapangan, dan analisis hara tanah selama percobaan lapangan. Penetapan karakteristik pori meliputi jumlah, distribusi, dan stabilitas pori tanah. Jumlah pori ditetapkan berdasarkan nilai bobot isi dan bobot jenis partikel dengan menggunakan metode gravimetrik sebagai berikut: Jumlah pori (% volume) = (1- BI/BJP) X 100 % ........................ (10) Di mana: BI = bobot isi tanah (gram/cm3) BJP = bobot jenis partikel tanah (gram/cm3) Pengukuran distribusi ukuran pori dilakukan dengan menggunakan kurva karakteristik air tanah. (Bouma, Rao, dan Brown, 2004). Kurva karakteristik air tanah dibuat dengan mengambil beberapa contoh tanah agregat kemudian dijenuhi secara kapiler sampai tanah jenuh sempurna. Masing-masing contoh tanah dikeringkan dengan tekanan matrik berbeda, yaitu Ψm: 1, 10, 33, 100, 300, dan 1500 kPa), kemudian dikeringovenkan dan diukur kadar airnya. Selanjutnya 37 dibuat kurva, di mana kadar air sebagai absis, dan potensial matrik sebagai ordinat, atau sebaliknya Berdasarkan kurva tersebut, pada suatu nilai potensial matrik tanah tertentu hanya pori-pori dengan ukuran sama dengan atau lebih kecil dari diameter tertentu yang terisi air (Gambar 3). Sehingga dengan persamaan Wasburn (Ingaramo, Benito, Paz-Gonzalez, dan Miranda, 2004) diameter pori dapat ditetapkan sebagai berikut: Ψm = − 4γ cos α d ( 11 ) di mana : Ψm = potensial matrik (cm), γ = tegangan permukaan cairan dyne/cm, α = sudut kontak antara air dengan padatan tanah, dan d = diameter pori (cm). Jika cairan yang digunakan air (dengan nilai γ = 72,7 dyne/cm, dan α = 0), maka Ψm = - 0,28/d d = - 0,28/ Ψm Misalnya apabila Ψm dan d dalam satuan cm, maka pada potensial matrik 100 cm, d = -0,28/ 100 = 0.0028 cm = 28 μm. Kurva karakteristik kelembaban tanah (-) Potensial air (atm) 11 9 7 5 3 1 -1 20 30 40 50 Kadar air (% vol) 60 Gambar 3. Kurva karakteristik kelembaban tanah untuk penetapan distribusi pori tanah 70 38 Penetapan volume pori-pori tanah dengan ukuran tertentu ditampilkan pada Tabel 3 sebagai berikut: Tabel 3. Penetapan volume tiap kelas ukuran pori tanah No Klas Pori Jumlah (% volume) 1. RPDSC Selisih antara ruang pori total dengan kadar air pada potensial air = - 0,01 atm) 2. RPDC Selisih antara kadar air pada ψ = - 0,01 atm dengan kadar air pada ψ = - 0,1 atm 3. RPDL Selisih antara kadar air pada ψ = - 0,1 atm dengan kadar air pada ψ = - 0,33 atm 4. RPD/ RP Makro Selisih antara ruang pori total dengan kadar air pada ψ = - 0,33 atm 5. RPAT/RP Meso Selisih antara kadar air pada ψ = - 0,33 atm dengan kadar air pada ψ = - 15 atm 6. RP Mikro Ruang pori pada ψ < - 15 atm 7. RP air mobil Ruang pori pada potensial air ( > - 2 atm) 8. RP air imobil Ruang pori pada potensial air ( < - 2 atm) Keterangan: RPDSC: ruang pori drainase sangat cepat, RPDC: ruang pori drainase cepat, RPDL: ruang pori drainase lambat, RPD: ruang pori drainase, RPAT: ruang pori air tersedia, RP : ruang pori Penetapan stabilitas pori berdasarkan pada nilai stabilitas agregat, karena pori-pori berada pada agregat tanah. Penetapan stabilitas agregat dan distribusi ukuran agregat mengikuti De Leenheer dan De Boodt (1959) dalam De Boodt, De Leenheer, dan Kirkham (1961) seperti ditampilkan dalam Lampiran 3. Pengukuran konduktivitas hidrolik menggunakan Guelph permeameter jenuh dilakukan di lapangan mengikuti metode Well pump-in shallow (Ammozegar dan Warrick, 1986). Adapun pengukuran konduktivitas hidrolik tak jenuh dilakukan di laboratorium menggunakan tabung kolom tanah dengan metode distribusi kadar air (Klute dan Dirksen, 1986; Arya et al., 1999; dan Saxton et al., 2004). 39 Penetapan sifat-sifat kimia tanah (kadar bahan organik, KTK, pH, kadar nitrogen, fosfor, dan kalium) mengikuti metode analisis tanah dalam Agronomy 2 (Page, 1982). Jenis-jenis analisis, metode, dan alat-alat yang digunakan dalam analisis sifat-sifat fisik dan kimia tanah ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4. Jenis, metode, dan alat-alat yang digunakan dalam analisis di laboratorium. No Jenis analisis Metode Alat yang digunakan 1. Tekstur tanah Pipet Tabung sedimentasi, gelas piala, pipet, dll 2. Stabilitas agregat, DMR, dan GMD*) Pengayakan basah dan kering Ayakan 3. Distribusi pori Kurva pF Panci tekan 4. Bobot Isi Blake dan Hartge (1986) Timbangan, oven, ring sample 5. Bobot jenis partikel Blake dan Hartge (1986) Labu ukur /piknometer, timbangan, gelas ukur 6. Jumlah pori Perhitungan menggunakan BI dan BJP (Danielsen dan Sutherland, 1986) - 7. Konduktivitas hidrolik jenuh Shallow well pump-in Permeameter 8. Konduktivitas hidrolik tak jenuh Distribusi kadar air (Arya et al., 1999 dan Saxton et al., 2004). Tabung kolom tanah 9. Kadar bahan organik tanah Walkleydan Black Alat-alat gelas 10. Kapasitas tukar kation NH4OAc pH 7,0 Sentrifuge, buret, dll 11. pH Elektroda gelas pH meter 12. Nitrogen total Kjeldahl Tabung Kjeldahl 13 Fosfor tersedia P-Bray 1 Spectrofotometer 14 Kalium tersedia NH4OAc pH 7,0 Flamefotometer 15 Kadar air Gravimetrik Oven 16 N-NH4 dan N-NO3 Ekstraksi H2O FIA Star Analyzer 5000 17 P larut air Ekstraksi H2O, Murphy dan Raleigh Spectrofotometer 18. K larut air Ekstraksi H2O Flamefotometer Keterangan: DMR = diameter massa rataan; GMD= geometri mean diametre (diameter rataan geometri), BI = bobot isi, BJP = bobot jenis partikel 40 3.3.5. Analisis Data 1. Hubungan keterkaitan antara karakteristik pori tanah yang meliputi jumlah, distribusi, dan stabilitas pori dengan parameter pergerakan air (konduktivitas hidrolik tanah), dianalisis dengan menggunakan korelasi dan regresi baik tunggal maupun berganda. Karakteristik pori sebagai variabel bebas dan konduktivitas hidrolik jenuh dan tak jenuh sebagai variabel respon. 2. Perhitungan neraca air lahan daerah penelitian baik bulanan maupun mingguan dengan metode Thornthwaite dan Mather (1957). Neraca air bulanan diperhitungkan dari curah hujan efektif yang ditetapkan dari curah hujan rataan bulanan dalam tahun pengamatan 1994 sampai dengan 2005. Neraca air mingguan ditetapkan berdasarkan curah hujan selama masa pengamatan. Metode pengukuran neraca air Thornthwaite dan Mather ditampilkan pada Lampiran 4. 3. Perhitungan fluks aliran air dilakukan untuk seluruh zona perakaran (kedalaman 50 cm) maupun tiap zona 10 cm kedalaman tanah, dengan menetapkan besarnya fluks pada suatu kedalaman tanah tertentu menurut Hanks dan Ashcroft (1986) dan Koorevaar et al. (1983) sebagai berikut: q = −K Δψ h Δz .………………………….(12) di mana q = fluks aliran air sepanjang jarak kedalaman ∆ z (antara z1 dan z2) yang memiliki perbedaan potensial hidrolik sebesar ∆ψh. Apabila dalam kolom tanah terjadi aliran transient, maka terjadi perubahan fluks aliran air antara ujung pemasukan dan pengeluaran air selama jarak waktu tertentu. Dengan demikian tiap jarak satu hari pengukuran terjadi perbedaan fluks aliran air, sehingga Hanks dan Ashcroft (1986) dan Koorevaar et al. (1983) menetapkan Δq Δθ = − Δt Δz …..…………………………..(13) di mana ∆q/∆z = perubahan fluks aliran air sepanjang kedalaman lapisan tanah z cm, dapat diukur dari perubahan kadar air selama waktu tertentu (∆θ/∆t), yaitu 41 selisih antara kadar air tanah suatu hari Menurut dengan kadar air hari sebelumnya. Hanks dan Ashcroft (1986), fluks aliran air ke bawah dinyatakan sebagai fluks negatif, dan aliran ke atas sebagai fluks positif 4. Pergerakan air transient diperhitungkan dari perbedaan fluks antara dua titik kedalaman tanah yang diperhitungkan Menurut Hanks dan Ashroft (1986), pergerakan air transient merupakan perubahan kadar air setiap saat, dan dapat menunjukkan perubahan storage selama selang waktu yang diperhitungkan. dθ/dt = d fluks/dx (cm/cm.waktu) ...................... (14) Di mana dθ/dt = laju pergerakan air transient (laju perubahan storage), dfluks/dx = perubahan fluks per satuan jarak. 5. Untuk melihat pengaruh jumlah hujan terhadap fluks aliran air maupun pergerakan air transient dilakukan analisis model deterministik yang merupakan pendekatan terhadap proses pergerakan air dalam tanah 6. Untuk melihat pengaruh karakteristik pori terhadap fluks aliran air maupun pergerakan air transient dilakukan analisis korelasi dan regresi. Karakteristik pori sebagai variabel bebas dan fluks aliran air maupun laju aliran transient sebagai variabel respon. 7. Untuk melihat perbedaan kadar air dan kadar hara antar kedalaman tanah dan antar waktu pengukuran (tiap minggu) digunakan uji beda nilai tengah (uji t). 8. Kebutuhan air irigasi ditetapkan berdasarkan defisit kadar air, merupakan selisih antara kadar air lapangan terhadap kadar air minimum tersedia bagi tanaman (MSD = Maximum soil moisture deficit, merupakan kadar air tersedia terendah dari readily available water) (Lampiran 5). Menurut Allen et. al. (1998), Shaxson dan Barber (2003), air tersedia yang cukup untuk pertumbuhan dan produksi tanaman jagung manis adalah 50 % air tersedia (maximum soil water deficit, kadar air tanah yang tersedia bagi tanaman) 42 Defisit air = KA lapang – MSD ...................................(15) Di mana KA lapang = kadar air pada kondisi lapangan, MSD = Maximum soil moisture deficit, kadar air minimum tersedia bagi tanaman. Apabila kadar air lapangan lebih rendah dari MSD, maka tanah memerlukan irigasi (terjadi defisit). Kebutuhan air irigasi juga diperhitungkan berdasarkan kadar air minimum tersedia menurut USDA (1991) (Lampiran 8). Menurut USDA (1991) tersebut, tanaman memerlukan irigasi apabila kadar air tanah telah berada di bawah kadar air yang menyebabkan laju pertumbuhan tanaman kurang dari 80%. 9. Analisis secara deskriptif dilakukan terhadap pengaruh curah hujan, fluks aliran air, dan laju perubahan storage terhadap kadar air maupun kadar hara dalam tanah. 10. Hubungan keterkaitan antara fluks aliran air, pergerakan air transient, dan kadar air dengan kadar hara larutan tanah dilakukan dengan uji korelasi. Fluks aliran air, laju aliran air transient, dan kadar air sebagai variabel bebas dan kadar hara lariutan tanah sebagai variabel respon 11. Untuk melihat pengaruh karakteristik pori terhadap kadar hara larutan tanah dilakukan analisis korelasi dan regresi. Karakteristik pori sebagai variabel bebas dn kadar hara larutan tanah sebagai variabel respon. 12. Pengaruh sifat-sifat fisik tanah, sifat-sifat pori, kadar air, dan kadar hara tanah terhadap produksi tanaman pada lahan dianalisis dengan regresi dan korelasi. Sifat-sifat fisik, karakteristik pori, kadar air, dan kadar hara larutan tanah sebagai variabel bebas dan produksi tanaman sebagai variabel respon. IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis Lokasi penelitian terletak di desa Bojong, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor. Secara geografis desa tersebut terletak antara 106o45’0” BT – 106o45’30” BT dan antara 06o30’0” LS – 06o30’30” LS. 4.2. Iklim Berdasarkan data dari stasiun klimatologi Pangkalan TNI-AU Atang Senjaya Bogor tahun pengamatan 1994-2005 (Lampiran 6), daerah penelitian memiliki curah hujan rata-rata tahunan sebesar 3470 mm/tahun. Suhu udara rata-rata bulanan tidak menunjukkan variasi yang besar, yaitu antara 25,6oC sampai 26,8 o C dengan suhu maksimum 31,4 oC dan suhu minimum 21,1oC. Kelembaban udara rata-rata bulanan antara 76,9 % sampai 84,3 %. Kecepatan angin rata-rata antara 2,0 – 5,6 km/jam, dan lama penyinaran matahari antara 51,4% (minimum) dan 69,7 % (maksimum). Menurut klasifikasi iklim Schmith dan Ferguson, daerah penelitian memiliki tipe iklim A (basah) dengan jumlah bulan basah (BB, bulan dengan curah hujan > 100 mm) 11 bulan terjadi pada bulan September sampai Juli, dengan satu bulan lembab (60 mm < curah hujan < 100 mm) terjadi pada bulan Agustus. Menurut sistem klasifikasi Oldeman, daerah ini termasuk tipe iklim B1 dengan jumlah bulan basah (bulan dengan curah hujan > 200 mm) terjadi pada bulan Oktober sampai dengan Mei, bulan lembab (100 mm < curah hujan < 200 mm) terjadi pada bulan Juni, Juli, dan September, serta bulan kering (curah hujan < 100 mm) terjadi pada bulan Agustus. Neraca air bulanan menurut Thornthwaite dan Mather (1957) di lokasi penelitian berdasar penyebaran curah hujan tahun pengamatan 1994 - 2005 ditampilkan pada Gambar 4 dan Lampiran 7. Neraca air bulanan pada lahan di lokasi penelitian menunjukkan terjadi defisit sebesar 9 mm pada bulan Agustus, tidak terjadi surplus maupun defisit pada bulan September, dan terjadi surplus pada bulan Oktober sampai Juli sebesar 44 1383 mm. Defisit terjadi karena kadar air tanah tidak cukup lagi untuk proses evapotranspirasi potensial. Menurut Thornthwaite dan Mather (1957), apabila evapotranspirasi yang terjadi lebih rendah dari evapotranspirasi potensial, maka dalam tanah dianggap terjadi defisit air. Walaupun kadar air tanah selama bulan Agustus masih jauh di atas titik layu permanen, menurut kriteria yang ditetapkan oleh Allen et al. (1998) (Lampiran 5), kadar air minimum tersedia bagi tanaman jagung manis di lokasi penelitian adalah sebesar 178,5 mm. Adapun menurut USDA (1991) (Lampiran 8), kadar air pada bulan Agustus telah dapat menurunkan produksi tanaman, karena kadar air tanah minimal untuk pertumbuhan optimum tanaman menurut USDA (1991) adalah 80% air tersedia (204 mm). Neraca air bulanan di lokasi penelitian CHef, ETP, ETA (mm) 400 CHef ETP ETA 300 200 100 0 Jan Feb Mrt Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Waktu (bulan) Ket: Chef = curah hujan efektif, ETP = evapotranspirasi potensial, ETA = evapotranspirasi actual Gambar 4. Neraca air lahan bulanan di lokasi penelitian Neraca air mingguan menurut Thornthwaite dan Mather (1957) selama waktu penelitian ditampilkan pada Gambar 5 dan Lampiran 9. Karena lahan penelitian merupakan lahan kering yang relatif datar, maka aliran permukaan besarnya nol. Semua air hujan yang merupakan surplus dalam neraca air menjadi air drainase dalam (D) yang bergerak ke bawah ke luar zona perakaran. Air hujan yang jatuh di permukaan tanah langsung masuk ke dalam tanah sebagai infiltrasi, 45 sedangkan sisanya menjadi genangan sementara di atas permukaan tanah menunggu sampai terinfiltrasi semua dan sebagian terevaporasi. Air yang terdrainase, keluar dari zona perakaran. Air dari zona di bawah perakaran tersebut dapat bergerak kembali ke lapisan atas sebagai aliran tak jenuh apabila kadar air di lapisan atas lebih rendah daripada lapisan bawah. Pada lahan kering, keadaan ini dapat terjadi hanya pada hari-hari tanpa hujan akibat evaporasi di permukaan tanah. Air yang bergerak ke atas tersebut umumnya terjadi pada potensial yang relatif rendah sehingga tidak tersedia bagi tanaman, tetapi hanya Neraca air mingguan di lokasi penelitian CHef, ETP, ETA (mm) 100 Chef ETP ETA 80 60 40 20 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Waktu (minggu) Ket: Chef = curah hujan efektif, ETP = evapotranspirasi potensial, ETA = evapotranspirasi actual Gambar 5. Neraca air lahan mingguan di lokasi penelitian cukup untuk pengisian pori bagi kebutuhan evaporasi. Air dari aliran kapiler yang dapat tersedia bagi tanaman hanya apabila berasal dari zona jenuh yang relatif dangkal (di bawah zona perakaran) atau lapisan bawah yang relatif mendekati jenuh akibat pergerakan ke lapisan bawah sangat lambat dan pergerakan ke atas lebih mungkin untuk terjadi. 4.3. Tanah dan Topografi Jenis tanah pada lokasi penelitian termasuk Latosol menurut sistim klasifikasi Dudal dan Soepraptohardjo (Atmosentono, 1968) dan termasuk jenis 46 Inceptisols menurut sistim Taxonomi Tanah. Pada tingkat yang lebih detil, tanah di lokasi penelitian tergolong Latosol coklat kemerahan menurut sistem Dudal dan Soepraptohardjo, dan Oxyaquic Eutrudept menurut sistem Taxonomi Tanah tahun 1998 (Bustarimuddin, 2002). Kedalaman solum tanah termasuk dalam hingga 200 cm, dengan kondisi sifat fisik dan morfologi tanah pada lahan penelitian ditampilkan pada Lampiran 10, 11, dan 12. Dari Lampiran 13 terlihat bahwa pada profil tanah lokasi 1 menunjukkan kedalaman perakaran tanaman hanya mencapai + 20 cm, pada lokasi 2 mencapai + 18 cm secara berangsur sampai kedalaman + 35 cm, dan pada lokasi 3 kedalaman perakaran mencapai kedalaman + 50 cm. Sifat-sifat fisik dan kimia tanah lokasi penelitian dari tiap kedalaman tanah ditampilkan pada Lampiran 1, 14, 15, dan 16. Sifat-sifat kimia tanah lokasi penelitian masih memiliki kisaran nilai yang relatif sama berdasarkan kriteria CSR/FAO Staff (1983). Kemasaman tanah tergolong masam (pH 4,62) di permukaan tanah sampai agak masam (pH 6,22) dengan makin dalamnya tanah. Kadar C-organik tanah pada seluruh kedalaman tanah tergolong sangat rendah (< 2%). Kadar nitrogen total lahan tergolong sangat rendah (0,08 %) di lapisan > 40 cm sampai rendah (0,15 %) di lapisan atasnya. Kadar P-tersedia pada seluruh kedalaman tergolong sangat rendah (0,02-0,11 ppm P). Kadar kalium pada seluruh kedalaman tanah berkisar dari sedang sampai tinggi (0,27- 0,49 me/100 g tanah). Kapasitas tukar kation pada seluruh kedalaman tergolong sedang (17,28 – 19,11 me/100 g tanah). Kejenuhan basa berkisar sedang (40,19 %) di kedalaman 0-10 cm sampai tinggi (62,86 %) pada kedalaman di bawahnya. Nilai sifat-sifat kimia tanah tersebut tidak berbeda dalam kaitannya dengan retensi dan pergerakan air dalam tanah. Bobot isi tanah pada kedalaman tanah 0-20 cm (1,01 g/cm3) lebih rendah dibanding lapisan di bawahnya (1,02 g/cm3). Diameter massa rataan agregat makin menurun dengan makin dalamnya tanah, dan kapasitas retensi air maksimum tanah makin besar dengan makin dalamnya tanah (Lampiran 14 dan Lampiran 15). 47 Karakter pori yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah pori, stabilitas pori dan distribusi ukuran pori (Lampiran 2). Stabilitas pori dalam agregat tanah di lapisan atas lebih tinggi dan lebih bervariasi dibanding lapisan bawah. Ruang pori drainase dan ruang pori air mobil di lapisan 0-20 cm lebih tinggi dibanding lapisan di bawahnya, tetapi ruang pori air tersedia, ruang pori mikro, dan ruang pori air imobil di lapisan 0-20 cm lebih rendah dibanding lapisan > 20 cm. Daerah penelitian berada pada ketinggian/altitute sekitar 150 m di atas permukaan laut, dan berdasarkan pengamatan di lapang memiliki topografi yang relatif datar, dengan kemiringan lereng 0-3 %. 4.4. Sistem Pengelolaan/Penggunaan Tanah. Sistim pengelolaan/penggunaan tanah yang telah dilakukan pada lahan penelitian mengikuti jenis tanaman yang diusahakan (Tabel 5). Tanah di daerah penelitian umumnya ditanami dengan palawija seperti jagung, kacang tanah, Tabel 5. Pengelolaan lahan yang dilakukan selama lima tahun sebelum percobaan Lokasi Pengelolaan lahan selama lima tahun sebelum percobaan 1. Padi gogo, terung, kacang panjang, oyong, cabe, jagung, dua tahun terakhir kangkung darat, pengolahan tanah sedalam cangkul, pemupukan dengan pupuk kandang + 10 ton/ha. 2. Padi sawah rotasi dengan kacang tanah dan oyong, terakhir padi sawah. Pada musim kering dilakukan pengolahan tanah sedalam cangkul, pemupukan dengan pupuk kandang + 10 ton/ha. 3. Rotasi kacang tanah, singkong dan oyong, terakhir kacang tanah. Pengolahan tanah sedalam cangkul, pemupukan dengan pupuk kandang + 10 ton/ha. singkong, padi gogo yang dirotasikan dengan sayuran dataran rendah seperti kangkung darat, bayam, terung, oyong, dan pada musim hujan ditanami padi sawah. Pengelolaan lahan yang telah dilakukan selama penggunaan lahan selalu 48 hanya menggunakan pupuk kandang dengan dosis lebih kurang 10 ton/ha, dengan pengolahan tanah hanya sampai sedalam mata cangkul ( + 20 cm). 4.5. Karakteristik Pori Tanah Lokasi Penelitian Seperti telah disebutkan di dalam metode penelitian, karakteristik pori yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah, stabilitas agregat yang mencerminkan stabilitas pori, dan distribusi ukuran pori yang meliputi ruang pori drainase sangat cepat, ruang pori drainase cepat, ruang pori drainase lambat, ruang pori drainase/makro, ruang pori air tersedia, ruang pori mikro, ruang pori air mobil, dan ruang pori air imobil (Tabel 6). Karakteristik pori tersebut sangat bervariasi nilainya dan berbeda nyata antar lokasi, sehingga dapat digunakan untuk mempelajari pengaruh karakteristik pori terhadap pergerakan air dan hara dalam tanah. Tabel 6. Karakteristik pori tanah pada lahan di lokasi 1, 2, dan 3 (ulangan 10 masing-masing lima kedalaman tanah No Peubah 1 Lokasi 2 3 1. Ruang pori total (% vol) 59,48 c 63,95 b 66,06 a 2. RPDSC (% vol) 4,15 c 7,26 b 12,78 a 3. RPDC (% vol) 8,07 a 8,76 a 8,25 a 4. RPDL (% vol) 3,78 a 2,43 b 1,91 b 5. RPD (% vol) 16,01 b 18,45 b 22,94 a 6. RPAT (% vol) 14,59 b 17,48 a 17,44 a 7. RP Air mobil (% vol) 21,30 b 22,63 b 27,22 a 8. RP Air imobil (% vol) 38,17 b 41,46 a 38,84 b 9. RP mikro (% vol) 40,57 c 44,99 a 43,02 b 10. Stabilitas agregat tanah (indeks) 39,76 c 53,50 a 43,00 b Keterangan: RPDSC: ruang pori drainase sangat cepat, RPDC: ruang pori drainase cepat, RPDL: ruang pori drainase lambat, RPD: ruang pori drainase, RPAT: ruang pori air tersedia, RP : ruang pori. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji beda nilai tengah (α = 5 %) 49 Apabila dihubungkan dengan kebutuhan bagi pertumbuhan tanaman, lahan di lokasi 1, 2, dan 3 memiliki sifat fisik tanah yang baik, di mana menurut Gregorich dan Carter (1997), sifat fisik tanah yang baik bagi tanaman memiliki ruang pori aerasi > 15 % (vol) dari ruang pori total dan memiliki ruang pori air tersedia > 20 % (vol) dari ruang pori total. V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Konduktivitas Hidrolik Tanah 5.1.1. Hubungan Karakteristik Pori dengan Konduktivitas Hidrolik Jenuh Konduktivitas hidrolik tanah dalam keadaan jenuh kedalaman 0-50 cm dari lokasi penelitian ditampilkan pada Tabel 7. Nilai konduktivitas hidrolik jenuh tersebut tergolong lambat dengan koefisien variasi sebesar 36 %. Apabila Tabel 7. Nilai rataan konduktivitas hidrolik jenuh Parameter Ks (cm/jam) Sd CV (%) n Nilai 1,73 0,62 36,13 30 dikaitkan dengan karakteristik pori, maka konduktivitas hidrolik jenuh lebih dipengaruhi oleh pori yang berukuran lebih besar bersama dengan stabilitas agregat tanah, seperti ditampilkan pada Tabel 8 dan Lampiran 17. Stabilitas agregat tanah mencerminkan stabilitas pori yang ada di dalam dan di antara agregat tanah. Semakin stabil agregat tanah, maka agregat tanah tidak mudah pecah/hancur dan pori yang ada di dalam dan di antara agregat tanah tidak mudah tertutup/tersumbat oleh partikel-partikel tanah hasil hancuran agregat sehingga tetap bertahan untuk dilalui air. Tabel 8 menunjukkan bahwa konduktivitas hidrolik jenuh meningkat dengan makin besarnya ruang pori total dan stabilitas agregat tanah, dengan koefisien korelasi sebesar 0,75. Begitu juga dengan makin besarnya ruang pori drainase sangat cepat, ruang pori makro, dan ruang pori air mobil masing-masing bersama dengan peningkatan stabilitas agregat tanah dapat meningkatkan konduktivitas hidrolik jenuh. Namun pori yang berukuran lebih besar seperti ruang pori drainase sangat cepat, bersama stabilitas agregat tanah memberikan korelasi yang lebih besar dibanding kelompok pori dengan selang ukuran lebih kecil seperti 51 ruang pori makro dan ruang pori air mobil bersama stabilitas pori dalam agregat tanah. Ruang pori drainase sangat cepat merupakan ruang pori dengan selang ukuran diameter pori lebih besar daripada ruang pori drainase maupun ruang pori air mobil. Seperti telah disebutkan oleh Korevaar et al. (1983), ruang pori yang paling berpengaruh terhadap konduktivitas hidrolik adalah ruang pori terbesar yang masih terisi air, sehingga ruang pori drainase sangat cepat bersama stabilitas agregat berkorelasi/berpengaruh paling besar terhadap konduktivitas hidrolik jenuh. Semakin banyak proporsi ruang pori dengan selang ukuran lebih besar dan makin stabil pori di dalam agregat tanah, maka lebih banyak ruang pori yang dapat menghantarkan air sehingga konduktivitas hidrolik jenuh makin besar. Tabel 8. Regresi antara karakteristik pori dengan konduktivitas hidrolik jenuh No Peubah Model Korelasi 1. RPT, ISA Ks = - 7,06 + 0,12 RPT + 0,02 ISA 0,91 2. RPDSC, ISA Ks = -0,92 +0,07 RPDSC + 0,09 ISA 0,87 3. RP makro, ISA Ks = -2,09 + 0,09 RP makro + 0,04 ISA 0,86 4. RP air mobil Ks = -0,88 + 0,0023 RP air mobil x ISA 0,85 Keterangan: RPT : ruang pori total, RPDSC: ruang pori drainase sangat cepat, ISA = indeks stabilitas agregat; RP : ruang pori Lebih rendahnya pengaruh ruang pori air mobil dibanding ruang pori makro maupun ruang pori drainase sangat cepat masing masing bersama stabilitas pori dalam agregat; karena ruang pori air mobil terdiri dari ruang pori makro dan sebagian ruang pori air tersedia yang dapat mengikat air secara kuat sehingga dapat menghambat pergerakan air. Air dalam ruang pori kapiler (ruang pori air tersedia) dapat bergerak apabila ada tekanan (potensial) hidrolik yang tinggi. Keadaan ini dapat tercapai bila lapisan tanah di atas ruang pori air tersedia tersebut mencapai jenuh dengan ketebalan tertentu. Pengaruh ruang pori air mobil bersama stabilitas agregat terhadap konduktivitas hidrolik jenuh menunjukkan adanya interaksi, di mana ruang pori air mobil yang berada di tanah yang kurang stabil mempengaruhi konduktivitas 52 hidrolik yang berbeda dibandingkan ruang pori air mobil yang berada di tanah yang lebih stabil. Hal tersebut dapat dijelaskan oleh pendapat Marshall dan Holmes (1988) yang menyatakan bahwa pada kondisi jenuh, seluruh pori yang ada dalam tanah berperan dalam pergerakan air, karena seluruh pori terisi oleh air. Pada keadaan demikian, besarnya konduktivitas hidrolik jenuh konstan apabila pori di dalam agregat stabil. Namun selama terjadi aliran air variabilitas ukuran pori dalam tanah dapat mempengaruhi kecepatan aliran air di dalam pori, sehingga sepanjang terjadi pencampuran solute aliran dan cenderung mendispersikannya secara nyata. Keadaan ini mempengaruhi stabilitas pori dalam agregat selama terjadi aliran air, yang pada akhirnya mempengaruhi konduktivitas hidrolik jenuh. Oleh karena itu pengaruh ruang pori air mobil terhadap konduktivitas hidrolik jenuh pada tanah yang stabil dan kurang stabil berbeda. Konduktivitas hidrolik jenuh yang tinggi pada lahan kering dapat memberikan peluang hilangnya hara bersama aliran air, tetapi proses kejadiannya sangat langka karena hanya terjadi apabila tanah mencapai kondisi jenuh. Kondisi jenuh pada lahan kering dapat tercapai hanya apabila terjadi hujan yang dapat menjenuhi tanah. Menurut Hanks dan Ashcrof (1986), pada saat laju infiltrasi telah mencapai minimum dan konstan, besarnya sama dengan konduktivitas hidrolik jenuh lapisan permukaan tanah. Apabila intensitas hujan melebihi konduktivitas hidrolik jenuh lapisan permukaan tanah, maka terjadi genangan. Begitu hujan berhenti, aliran air dalam tanah terus terjadi; dan apabila mulai terjadi pengosongan pori tanah maka mulai terjadi pergerakan air secara tak jenuh yang dikendalikan oleh konduktivitas hidrolik tak jenuh yang besarnya berubah mengikuti besarnya kadar air tanah. 5.1.2. Hubungan Karakteristik Pori dengan Konduktivitas Hidrolik tak Jenuh Pada lahan kering, aliran air secara tak jenuh terus-menerus terjadi untuk mencapai keseimbangan. Kecepatan pergerakan air secara tak jenuh dalam tanah dikendalikan oleh konduktivitas hidrolik tak jenuh (Kus) yang besarnya dipengaruhi oleh kadar air (θ) dan potensial air tanah (ψ) (Hillel, 1980) 53 (Gambar 6, Lampiran 18). Pada setiap kadar air dan potensial air tanah yang berbeda, tanah memiliki konduktivitas hidrolik tak jenuh yang berbeda. Konduktivitas hidrolik tak jenuh mencapai maksimum pada keadaan jenuh, dan hubungan antara kadar air dan konduktivitas hidrolik tak jenuh menurut Herudjito (1977) dapat dituliskan dengan model: K(θ) = K(θ)maks (θ/θmaks)b ...................................(16) Di mana: K(θ)maks = konduktivitas hidrolik pada keadaan maksimum (jenuh) (cm/jam) θ = kadar air (% volume) θ maks = kadar air maksimum (kondisi jenuh) (% volume) b = konstanta Konduktivitas HidrolikHidrolik tak jenuh tak jenuh Konduktivitas Kus(cm/jam) (cm/jam) Kus 22 1,5 1,5 11 Kus (0-10 cm) = 1,14)(θ/59)12,13 Kus (10-20 cm) = 0,86(θ/59)12,45 Kus (20-30 cm) = 1,55(θ/58)11,92 Kus (30-40 cm) = 0,66(θ/57)12,68 Kus (40-50 cm) = 0,76(θ/57)12,48 0,5 0,5 0 0 35 35 40 40 45 50 55 60 45 50 55 Kadar air (% vol) Kadar air (% vol) 65 60 65 Keterangan: θ = kadar air ; Kus = konduktivitas hidrolik tak Gambar 6. Kurva hubungan antara konduktivitas hidrolik tak jenuh dengan kadar air Hubungan antara kadar air dan potensial air tanah pada setiap tanah dicerminkan oleh kurva karakteristik air tanah (kurva pF). Kurva karakteristik air tanah dari lokasi penelitian dari tiap kedalaman tanah ditampilkan pada Lampiran 19 dan 20. Semakin tinggi kadar air tanah dan semakin rendah potensial air tanah, maka konduktivitas hidrolik tak jenuh makin tinggi. Peningkatan nilai konduktivitas hidrolik tak jenuh secara tajam terjadi setelah mencapai kadar air di atas kapasitas lapang pada seluruh kedalaman tanah (Gambar 6). Keadaan ini yang membedakan besarnya nilai konduktivitas hidrolik tak jenuh antar 54 kedalaman tanah. Perbedaan konduktivitas hidrolik pada kadar air yang lebih tinggi tersebut disebabkan oleh perbedaan karakteristik pori yang tercipta oleh struktur/agregat tanah. Menurut Cresswell et al. (1992), perbedaan konduktivitas hidrolik tanah pada potensial > -1 bar terjadi karena perbedaan pori di dalam struktur tanah, di antara agregat tanah. Apabila Kus dibandingkan antar kedalaman tanah (Gambar 6), terlihat bahwa Kus pada kondisi di atas kapasitas lapang di kedalaman 20-30 cm nyata paling tinggi, diikuti oleh Kus pada kedalaman 0-10 cm, Kus kedalaman 10-20 cm, Kus 40-50 cm, dan yang terendah Kus pada kedalaman 30-40 cm. Perbedaan Kus antara tiap kedalaman lapisan tanah pada kondisi kadar air di atas kapasitas lapang disebabkan oleh perbedaan jumlah dan stabilitas pori drainase yang berukuran > 9x10-3 mm (ruang pori yang dapat dikosongkan oleh hisapan matrik < 0,33 bar). Semakin banyak jumlah ruang pori drainase, konduktivitas hidrolik tak jenuh makin besar. Dengan makin banyaknya ruang pori drainase yang berukuran besar (misalnya ruang pori drainase sangat cepat), maka konduktivitas hidrolik tak jenuh makin besar. Oleh karena itu, apabila dihubungkan antara Tabel 8, Gambar 6, dan Lampiran 1, terlihat bahwa volume ruang pori drainase sangat cepat pada kedalaman 20-30 cm lebih tinggi dibandingkan dengan kedalaman yang lain, sehingga konduktivitas hidrolik tak jenuh pada kedalaman tersebut paling besar. Pergerakan air pada pori tersebut lebih dikendalikan oleh ruang pori yang berukuran > 0.3 mm (ruang pori yang dapat dikosongkan oleh hisapan matrik < 0,01 bar). Pada pergerakan air tanah secara jenuh, adanya pori-pori makro yang banyak dapat meningkatkan laju pergerakan air, tetapi sebaliknya pada pergerakan air tak jenuh pada kondisi di bawah kapasitas lapang, banyaknya pori-pori makro dalam tanah dapat menghambat pergerakan air. Konduktivitas hidrolik tak jenuh pada kadar air di bawah kapasitas lapang lebih dipengaruhi oleh pori-pori mikro tanah, di mana pori-pori tersebut lebih dipengaruhi oleh tekstur tanah (Hillel, 1980). Karena Kus sangat dipengaruhi oleh kadar air tanah, maka pengaruh karakteristik pori terhadap Kus juga tergantung pada ruang pori terbesar yang masih terisi oleh air. 55 Konduktivitas hidrolik tanah tak jenuh tiap lapisan kedalaman tanah dapat digunakan sebagai petunjuk cepat atau lambatnya aliran air pada tiap lapisan kedalaman tanah pada setiap nilai kadar air, sehingga berpengaruh pada distribusi air tiap lapisan tanah. Distribusi air tiap kedalaman tanah berpeluang meningkatkan kelarutan hara pada tiap lapisan tanah. Selain itu, pergerakan air yang cepat berpotensi membawa hara baik yang masih berupa pupuk maupun yang terlarut; sehingga terjadi perbedaan kadar hara pada setiap lapisan tanah. 5. 2. Pergerakan Air Selama Masa Pertumbuhan Tanaman 5.2.1. Fluks Aliran Air Besarnya fluks aliran air dalam tanah di lahan kering sangat dipengaruhi oleh besarnya hujan, karena sumber air utama hanya berasal dari hujan. Fluks aliran air dalam tanah selain dipengaruhi oleh besar hujan, juga dipengaruhi oleh intensitas hujan, kadar air tanah sebelumnya, dan konduktivitas hidrolik tanah. Namun pengaruh intensitas hujan dan kadar air tanah sebelumnya terhadap fluks aliran air dalam penelitian ini secara statistik tidak nyata (korelasinya sangat rendah). Pengaruh jumlah hujan terhadap fluks aliran air sampai kedalaman 50 cm menunjukkan peningkatan dengan makin besarnya jumlah hujan dengan koefisien korelasi sebesar 0,73 (Gambar 7 dan Lampiran 23). Fluks aliran air makin besar (makin negatif besar) dengan makin besarnya jumlah hujan. Namun pengaruh besarnya hujan terhadap fluks aliran air dalam tanah dikendalikan oleh laju infiltrasi tanah, di mana laju infiltrasi tanah dipengaruhi konduktivitas hidrolik dari profil tanah. Pada saat tidak terjadi hujan kadar air dalam tanah rendah, sehingga air diikat kuat oleh matrik tanah. Dengan demikian air sulit bergerak, sehingga fluks aliran air sangat rendah (mendekati nol), atau dapat terjadi fluks aliran air ke atas karena adanya perbedaan potensial matrik. Air dapat mengalir dari kadar air yang lebih tinggi ke yang lebih rendah (dari basah ke kering). Fluks aliran air dari lapisan bawah menuju ke permukaan tanah (fluks positif) dapat terjadi akibat evaporasi karena pemanasan sinar matahari di permukaan tanah. 56 Pada waktu hujan dengan jumlah rendah, sebagian besar air membasahi lapisan tanah dan terikat kuat dalam pori mikro tanah. Pada kondisi ini, apabila tanah belum jenuh, terjadi aliran tak jenuh dalam tanah. Hujan-hujan rendah yang terjadi secara berulang dapat menyebabkan aliran air melalui matrik tanah, sehingga membasahi tanah secara berangsur. Adanya tambahan air hujan membuat kadar air di permukaan tanah meningkat, sehingga potensial air tanah juga meningkat. Keadaan ini membuat perbedaan potensial air tanah yang besar antara lapisan atas dengan lapisan tanah di bawahnya, sehingga daya penggerak 5 q = qmin + (q 0 -qmin )e-0,023CH r = 0,73; n = 363 Fluks (cm/hari) 3 1 -1 -3 -5 0 10 20 30 40 50 60 Curah hujan (mm) Gambar 7. Hubungan curah hujan dengan fluks aliran air air juga makin besar. Makin besarnya daya penggerak akibat curah hujan yang makin besar mengakibatkan fluks aliran air makin besar. Sugita et al. (2004) menyatakan bahwa, hujan besar dapat menyebabkan pergerakan air hanya melalui pori-pori makro tanpa menembus matrik tanah. Melalui peristiwa ini, memungkinkan apabila terjadi hujan besar dapat meningkatkan fluks aliran air makin besar, terutama melalui pori-pori makro tanah. Namun pada hujan-hujan kecil, aliran air hanya menembus matrik tanah (pori mikro). Besarnya fluks aliran air meningkat terus dengan makin besarnya jumlah hujan sampai menuju nilai yang konstan karena besarnya aliran air yang masuk ke dalam tanah dikendalikan oleh laju infiltrasi tanah dan laju infiltrasi tanah dipengaruhi oleh konduktivitas hidrolik pada kedalaman tanah yang diperhitungkan. Menurut Hanks dan Ascroft (1986), pada saat awal hujan kadar 57 air dalam tanah rendah, sehingga konduktivitas hidrolik di permukaan tanah rendah dan gradient hidrolik tinggi. Dalam keadaan demikian laju infiltrasi tanah tinggi karena sorpsitivitas tanah tinggi. Makin lama kejadian hujan, konduktivitas hidrolik tanah meningkat seiring peningkatan kadar air tanah menuju nilai yang konstan, tetapi gradient hidrolik menurun menuju nilai yang kontans sehingga laju infiltrasi juga menurun menuju nilai yang konstan. Pada saat laju infiltrasi di permukaan tanah telah mencapai minimum/konstan, besarnya sama dengan konduktivitas hidrolik jenuh di permukaan tanah; dan pada saat demikian fluks aliran air pada kedalaman tertentu (< kedalaman tanah yang mencapai jenuh) telah mencapai maksimum konstan. Oleh karena itu pengaruh besarnya hujan terhadap fluks aliran air dalam tanah secara umum dapat dimodelkan sebagai berikut: q = q min + (q 0– q min) e-bCH .........................(17) di mana: q = fluks aliran air (cm/hari); qmin = fluks aliran air pada nilai minimum (konstan); q0 = fluks aliran air pada waktu tidak ada hujan, dan b adalah suatu konstanta. Besarnya fluks aliran air pada waktu tidak ada hujan (q0), tergantung pada kondisi kadar air awal. Apabila kadar air awal rendah, maka fluks aliran air rendah dan apabila kadar air awal tinggi maka fluks aliran air tinggi (makin negatif). Fluks aliran air pada nilai maksimum (negatif paling besar, qmaks), ditentukan oleh laju infiltrasi tanah, di mana laju infiltrasi tanah tersebut dipengaruhi oleh konduktivitas hidrolik, tekstur, struktur, dan heterogenitas profil tanah. Dengan demikian karakteristik pori di dalam profil tanah sangat menentukan dalam fluks aliran air dalam tanah. Berdasarkan data hasil pengamatan, besarnya q0, qmin, dan b masing-masing adalah 0.24 cm/hari, -2.12 cm/hari, dan 0,023; sehingga persamaan 17 di atas menjadi: q = - 2,12 + 2,36 e - 0,023 CH ........................(18) 58 Pengaruh besarnya curah hujan terhadap fluks aliran air dalam penelitian ini belum sampai menyebabkan besarnya fluks aliran air mencapai nilai maksimum konstan. Keadaan seperti ini dapat tercapai apabila keadaan steady yang bisa terjadi bila laju infiltrasi telah mencapai konstan dan kadar air pada kedalaman tanah yang diperhitungkan (50 cm) telah mencapai konstan yaitu apabila tanah telah mencapai kondisi jenuh. Apabila intensitas hujan telah melebihi laju infiltrasi minimum (konduktivitas hidrolik jenuh) permukaan tanah, maka dapat menyebabkan terjadinya genangan di permukaan tanah. Berdasarkan Gambar 6 dan Lampiran 18, laju konduktivitas hidrolik jenuh lapisan permukaan yang mencerminkan besarnya laju infiltrasi minimum besarnya 1,14 cm/jam dan rataan konduktivitas hidrolik tak jenuh sampai kedalaman 50 cm adalah 0,99 cm/jam. Berdasarkan data hujan lokasi penelitian selama percobaan (Lampiran 25), intensitas hujan yang besar hanya terjadi dalam waktu yang relatif singkat dan pada kondisi kadar air tanah sebelumnya rendah, sehingga belum menyebabkan tercapainya kapasitas infiltrasi tanah. Pada sistem lahan kering, pergerakan air sering terjadi pada keadaan tak jenuh, sehingga fluks aliran air ditentukan oleh perbedaan potensial air maupun konduktivitas hidrolik dalam kondisi tak jenuh. Berdasarkan analisis regresi berganda pengaruh karakteristik pori terhadap fluks aliran air menunjukkan bahwa fluks aliran air selama waktu penelitian sangat nyata dipengaruhi oleh ruang pori air mobil (Fluks = - 1,09 + 0,05 RP air mobil; r = 0,74) (Lampiran 21 dan 22). Semakin banyak proporsi ruang pori air mobil dalam tanah, fluks aliran air makin besar. Sebaliknya apabila proporsi ruang pori air mobil makin sedikit dan proporisi ruang pori air imobil makin banyak, maka fluks aliran air makin rendah. Pada sistem lahan kering, aliran air selalu berada dalam kondisi tak jenuh, yaitu pada kondisi di bawah kapasitas lapang. Kondisi kadar air selama pengamatan sering berada pada hisapan matrik < 2 bar, terutama di lapisan bawah (Lampiran 19, 20, 26, dan 28). Oleh karena itu air yang berada dalam ruang pori air mobil (ruang pori dengan diameter > 15x10-4 mm) merupakan air yang diikat lemah oleh matrik tanah dan ikatan kohesi antara molekul air lebih kuat dan cenderung bergerak, sehingga fluks meningkat Apabila proporsi ruang pori 59 ukuran besar, seperti ruang pori air mobil, makin sedikit maka proporsi ruang pori ukuran kecil (ruang pori air imobil) makin besar. Ruang pori air imobil tersebut cenderung mengikat air secara kuat, sehingga mengurangi fluks aliran air dalam tanah. Pada sistem lahan kering, seperti pada penelitian ini, pergerakan air secara cepat melalui pori-pori drainase hanya sering terjadi ketika ada hujan atau beberapa saat setelah hujan. Setelah kadar air berada di bawah kapasitas lapang, maka pergerakan air lebih dikendalikan oleh ruang pori air mobil pada ukuran 15x10-4 mm < φ < 0,01 mm, yaitu ruang pori yang dapat dikosongkan oleh hisapan antara 0,33 bar sampai 2 bar. Fluks (cm/hari) 0,00 0,01 0,01 0,02 0,02 Kedalaman tanah (cm) 0 0,017 -10 0,009 -20 0,009 -30 0,001 -40 0,004 -50 Gambar 8. Fluks aliran air rataan pada tiap kedalaman tanah Fluks aliran air rataan tiap kedalaman tanah selama masa pengamatan berbeda-beda nilainya (Gambar 8) dan menunjukkan fluks positif (pergerakan air ke atas) akibat pengaruh evapotranspirasi. Hal ini menunjukkan bahwa potensial air di lapisan bawah sering lebih tinggi (kondisi lebih basah, Lampiran 26 dan 28), sehingga air bergerak ke lapisan di atasnya. Fluks aliran air pada kedalaman 30-40 cm minimum, menunjukkan bahwa pada lapisan tersebut fluks rataan hampir nol. Pada lapisan tersebut terjadi keseimbangan antara aliran ke atas dan aliran ke bawah sehingga fluks secara total minimum. Di dalam lapisan tanah lahan kering hal ini umum terjadi dan disebut zero flux plane. Hal tersebut menunjukkan bahwa aliran ke bawah pada kedalaman 30-40 cm mulai terhambat karena redistribusi pada kedalaman > 40 cm sangat lambat. Berdasarkan kadar air 60 harian menunjukkan bahwa pada kedalamn > 30 cm terjadi aliran air ke atas yang dimulai pada kadar air di bawah kapasitas lapang, sedang pada kedalaman < 30 cm terjadi aliran ke bawah pada kadar air di atas kapasitas lapang. Hal ini menunjukkan bahwa gradient hidrolik untuk pergerakan air ke atas (< 30cm) lebih besar daripada ke bawah (>30 cm), dan konduktivitas hidrolik ke lapisan > 30 cm lebih rendah. Perbedaan besarnya fluks antara tiap lapisan kedalaman tanah sangat dipengaruhi oleh potensial air tanah maupun karakteristik pori yang menentukan kapasitas retensi air dan konduktivitas hidrolik tanah, sehingga secara bersama-sama menentukan fluks aliran air. 0,15 0-10 cm Fluks (cm/hari) 10-20 cm 20-30 cm 0,05 30-40 cm 40-50 cm -0,05 -0,15 30 35 40 45 50 55 60 Kadar air (% vol) Gambar 9. Hubungan kadar air tanah dengan fluks aliran air selama masa pertumbuhan tanaman Apabila fluks aliran air dikaitkan dengan konduktivitas hidrolik tak jenuh (Lampiran 18 dan Gambar 6), maka fluks aliran air rataan (Gambar 8) terjadi pada kadar air 33 %, 35 %, 33 %, 33 %, dan 34 % masing-masing untuk kedalaman 0-10 cm, 10-20 cm, 20-30 cm, 30-40 cm, dan 40-50 cm. Berdasarkan data pengamatan lapang, fluks aliran air ke atas dapat terjadi mulai pada kadar air 38 %, 41 %, 43 %, 44%, dan 47% masing-masing untuk kedalaman 0-10 cm, 10-20 cm, 20-30 cm, 30-40 cm, dan 40-50 cm (Gambar 9). Besarnya kadar air untuk terjadinya fluks aliran ke atas tersebut sedikit di bawah kadar air kapasitas lapang masing-masing kedalaman tanah. Fluks aliran air ke atas tersebut dapat menyumbangkan untuk proses evapotranspirasi. Besarnya kadar air untuk mulai 61 terjadinya fluks aliran air ke atas semakin besar dengan makin dalamnya tanah. Hal ini dikarenakan semakin jauh dari permukaan tanah, makin kecil pengaruh proses evapotranspirasi. Selain itu, kadar air pada kapasitas lapang di lapisan bawah lebih besar dibanding lapisan atas (Lampiran 14). Adanya zero flux plane pada kedalaman 30-40 cm, terlihat pada Gambar 9, bahwa semakin besar kadar air menyebabkan fluks aliran air bergerak ke atas. Hal ini menunjukkan secara total gradient potensial air ke atas lebih besar daripada ke bawah. Fluks aliran air pada zona perakaran dapat menunjukkan laju distribusi air hujan pada zona perakaran tersebut. Semakin besar fluks aliran air, memungkinkan pergerakan dan distribusi air sepanjang zona perakaran makin lancar. 5.2.2. Pergerakan Air Transient dalam Tanah Pergerakan air transient merupakan pergerakan air dalam tanah yang kecepatannya selalu berubah setiap saat. Karena terjadi perubahan kecepatan setiap waktu, maka laju pergerakan air transient tersebut merupakan perubahan kadar air per satuan waktu (Hanks dan Ascroft, 1986). Pada jarak kedalaman perakaran tertentu, perubahan kadar air per satuan waktu dapat mencerminkan perubahan storage (cadangan air) setiap saat. Laju pergerakan air transient tergantung pada perubahan fluks aliran air dan mencerminkan dinamika kadar air dalam tanah. Pada saat terjadi hujan, laju pergerakan air transient dipengaruhi oleh curah hujan, sedangkan pada saat tidak terjadi hujan tergantung pada evapotranspirasi. Pengaruh curah hujan terhadap laju pergerakan air transient pada lahan penelitian ditunjukkan dalam Gambar 10 dan Lampiran 23. Laju pergerakan air transient meningkat dengan makin besarnya curah hujan sampai nilai maksimum dan setelah mencapai nilai maksimum cenderung konstan, dengan koefisien korelasi 0,76. Pada hujan rendah terjadi perbedaan potensial air yang besar antara permukaan tanah dengan lapisan di bawahnya yang relatif lebih kering. Semakin besar jumlah hujan, perbedaan potensial air tanah antara lapisan tanah atas dengan di bawahnya makin besar yang menyebabkan perbedaan fluks 62 antara kedua lapisan tanah tersebut makin besar, sehingga laju pergerakan air transient juga makin besar. Dengan tambahan air hujan yang dapat meningkatkan potensial air di permukaan tanah, maka hujan yang lebih besar lagi membuat kadar air lapisan tanah sampai kedalaman tertentu makin besar. Keadaan demikian menyebabkan perbedaan potensial air lapisan permukaan dengan di bawahnya makin kecil dan menyebabkan perubahan laju pergerakan air transient per satuan penambahan jumlah hujan makin rendah (menurun). Apabila tanah telah mencapai kapasitas retensi maksimum, peningkatan jumlah hujan tidak menyebabkan perubahan laju pergerakan air transient lagi (penambahan kadar air 4,5 dθ/dt (cm/hari) 3 1,5 0 0,46 dθ/dt =(dθ/dt)0 +(CH/(dθ/dt)maks) n = 320; r = 0,76 -1,5 ;CH<CHKL -3 0 10 20 30 40 50 60 70 Curah hujan (mm) Gambar 10. Hubungan curah hujan dengan laju pergerakan air transient per satuan waktu besarnya nol). Berdasarkan Lampiran 24, besarnya curah hujan untuk mencapai kondisi kapasitas lapang tanah di lokasi penelitian sebesar 44,65 mm per hari. Pada curah hujan > 44,65 mm di lokasi penelitian ini, laju perubahan storage telah mencapai nilai yang konstan, yaitu 2,97 cm/hari. Apabila kapasitas retensi maksimum tanah makin rendah akibat perubahan distribusi pori dalam tanah, dengan hujan yang relatif rendah sudah tidak mampu meningkatkan storage lagi. Namun sebaliknya pada tanah-tanah yang kapasitas retensi maksimumnya tinggi, maka dengan hujan yang lebih besar baru tercapai laju perubahan storage maksimum. 63 Pengaruh jumlah hujan terhadap laju pergerakaan air transient (laju perubahan storage) dalam tanah dapat dimodelkan sebagai berikut: dθ/dt =(dθ/dt)0+(CH/(dθ/dt) maks)b; CH < CH KL .............(19) di mana: dθ/dt = laju pergerakan air transient (cm/hari) berlaku sampai kondisi kadar air kapasitas lapang; (dθ/dt)0 = laju pergerakan air transient pada waktu tidak ada hujan; (dθ/dt)maks=laju pergerakan air transient pada waktu maksimum/konstan; b adalah suatu konstanta. Besarnya dθ/dt pada waktu tidak ada hujan, (dθ/dt)0, tergantung pada kondisi kadar air awal, sehingga berpengaruh pada konduktivitas hidrolik tak jenuh. Apabila kadar air awal rendah, maka dθ/dt rendah dan apabila kadar air awal tinggi maka dθ/dt tinggi. Laju perubahan storage pada nilai maksimum ditentukan oleh kapasitas retensi maksimum tanah, yang dipengaruhi oleh karakteristik pori tanah. Dengan demikian karakteristik pori di dalam profil tanah sangat menentukan dalam laju perubahan storage. Berdasarkan data hasil pengamatan, besarnya (dθ/dt)0, (dθ/dt)maks, dan b masing-masing adalah -0.24 cm/hari, 2,92 cm/hari, dan 0,46; sehingga persamaan 19 di atas menjadi: dθ/dt =- 0,24 + (CH/(2,92)0,46; CH < CH KL ...................(20) Laju pergerakan air transient sangat dipengaruhi oleh karakteristik pori tanah dalam mengikat air maupun dalam pergerakan air tiap lapisan kedalaman tanah. Laju pergerakan air transient nyata meningkat oleh peningkatan ruang pori mikro dengan koefisien korelasi 0,58 (dθ/dt = - 0,85 + 0,03 RP mikro; r = 0,58, Lampiran 21 dan 22). Laju pergerakan air transient makin besar dengan makin besarnya ruang pori mikro tanah. Ruang pori mikro merupakan pori yang dapat menghantarkan air lebih cepat dalam pergerakan tak jenuh dan merupakan ruang pori yang dapat meretensi air. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa laju pergerakan air transient sangat dipengaruhi oleh kapasitas retensi maksimum 64 tanah. Oleh karena itu, makin besarnya ruang pori mikro yang dapat meretensi air akan meningkatkan laju pergerakan air transient. Laju aliran air transient menunjukkan laju perubahan kadar air tanah, yang pada zona kedalaman tertentu dapat menunjukkan perubahan storage. Semakin lambat laju pergerakan air transient, tanah makin lambat perubahan kadar airnya, sehingga apabila tanah dalam keadaan defisit air tidak cepat memenuhi kebutuhan airnya dibandingkan dengan apabila memiliki laju perubahan storage yang lebih besar. 5. 3. Distribusi Air Tanah Selama Masa Pertumbuhan Tanaman Distribusi air tanah pada lokasi penelitian selama masa pertumbuhan tanaman ditampilkan pada Gambar 11, Lampiran 26, dan 28. Distribusi air/kelembaban tanah sangat tergantung pada sifat-sifat tanah sebagai agen yang meretensi/menahan air, pergerakan air dalam tanah yang dapat mendistribusikan air, dan faktor-faktor yang dapat menambah dan mengurangi air seperti curah hujan/irigasi dan evapotranspirasi (termasuk ekstraksi akar). Kemampuan tanah dalam meretensi air, yang nilai maksimumnya dicerminkan oleh nilai kadar air pada keadaan kapasitas lapang, sangat tergantung pada sifat pori, tekstur, dan kadar bahan organik tanah (Lal dan Shukla, 2004). Kemampuan retensi air maksimum tanah ditampilkan pada Lampiran 14. Pada potensial air tanah tinggi (ψ > -1 bar), kadar air tanah sangat ditentukan oleh distribusi ukuran pori dan kapilaritas tanah, dalam hal ini dikendalikan oleh struktur tanah. Pada potensial air yang lebih rendah, kadar air tanah lebih ditentukan oleh tekstur tanah (Hillel, 1980; Lal dan Shukla, 2004). Hubungan antara kadar air tanah pada setiap nilai potensial air tanah lahan penelitian dicerminkan oleh kurva karakteristik kelembaban tanah/kurva retensi air tanah (Lampiran 19 dan 20). Pengaruh curah hujan terhadap kapasitas retensi air tanah maksimum ditunjukkan pada Lampiran 23 dan 24. Semakin besar curah hujan, kadar air tanah meningkat secara logaritmik menuju nilai yang konstan (Lampiran 24). Kadar air tanah pada sistem lahan kering mencapai nilai maksimum konstan pada 65 keadaan kapasitas lapang. Pada kadar air yang lebih tinggi dari nilai kapasitas retensi maksimum, sebagian air terdrainase ke bawah oleh tarikan/gaya gravitasi. Selain dipengaruhi oleh kemampuan tanah dalam meretensi air, kadar air pada tiap lapisan kedalaman tanah juga dipengaruhi oleh pergerakan air dalam tanah baik secara jenuh maupun tak jenuh. Pergerakan air dalam tanah sangat ditentukan oleh konduktivitas hidrolik tanah dan perbedaan potensial air tanah CH 15 11,48 Fluks 10 6,76 200 1,37 0,30 5 1,34 -0,08 Fluks(cm) Curah Hujan (mm) 300 0 -0,73 -2,80 100 -5 -3,87 -5,78 -10 0 -15 1 2 3 4 5 6 7 Umur (minggu) dθ/dt 20-30 cm KL 55 0-10 cm 30-40 cm TLP 8 9 10 10-20 cm 40-50 cm 15 5 45 0 -5 35 dθ/dt (cm) Kadar air (% vol) 10 -10 25 -15 1 2 3 4 5 6 Umur (minggu) 7 8 9 10 100 Curah hujan (mm) Curah Hujan 80 60 40 20 24 /0 6/ 06 17 /0 6/ 06 10 /0 6/ 06 03 /0 6/ 06 27 /0 5/ 06 20 /5 /0 6 13 /0 5/ 06 06 /0 5/ 06 29 /0 4/ 06 22 /0 4/ 06 15 /0 4/ 06 0 Tanggal KL = kapasitas lapang, TLP = titik layu permanen Gambar 11. Hubungan curah hujan, fluks aliran air, laju perubahan cadangan air, dan kadar air tiap kedalaman tanah selama masa pertumbuhan tanaman 66 yang merupakan daya penggerak. Seperti yang telah dikemukakan di depan, konduktivitas hidrolik tanah sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat pori tanah. Perbedaan potensial air tanah dalam sistem tanah lahan kering sangat tergantung pada potensial matrik tanah, yang besarnya tergantung pada kadar air tanah. Hubungan antara hujan, fluks aliran air, laju perubahan cadangan air, dan kadar air tanah ditampilkan pada Gambar 11. Kadar air tanah selama periode pertumbuhan tanaman dari lahan penelitian selalu berfluktuasi dengan pola yang sama pada seluruh kedalaman tanah. Kadar air tanah pada lapisan bawah selama masa penelitian selalu lebih tinggi daripada lapisan atas. Hal ini dikarenakan terjadi pada musim hujan, di mana air telah terakumulasi di lapisan bawah. Pola perubahan kadar air tiap kedalaman tanah menurut waktu mengikuti pola curah hujan, fluks aliran air ke atas dan ke bawah (fluks positif dan negatif), dan laju perubahan kadar air (dθ). Namun pengaruh curah hujan terhadap fluks aliran air maupun laju perubahan storage dikendalikan oleh laju infiltrasi tanah, sehingga curah hujan yang besar tidak selalu diikuti oleh fluks aliran air yang besar. Apabila terjadi hujan maka diikuti oleh kenaikan kadar air pada hari berikutnya. Pada hari-hari terjadi hujan, maka terjadi pergerakan air drainase ke bawah akibat gaya gravitasi (apabila kadar air tanah melewati kapasitas lapang) atau terjadi aliran preferential melalui pori-pori makro maupun saluran-saluran atau rekahanrekahan yang ada dalam tanah, diikuti oleh pergerakan tak jenuh melalui pori-pori mikro tanah. Setelah hujan berhenti terjadi redistribusi air antar matrik tanah yang merupakan pergerakan air tak jenuh. Oleh karena itu peningkatan kadar air terlebih dulu terjadi pada tanah lapisan atas diikuti oleh lapisan di bawahnya. Apabila air yang bergerak/redistribusi dari lapisan atas dapat mencapai kapasitas lapang di lapisan ke dua (di bawahnya), maka kelebihan air di atas kapasitas lapang akan mengisi pori di bawahnya lagi. Begitu seterusnya sampai terjadi keseimbangan berdasarkan perbedaan potensial air. Namun pada hari-hari tanpa hujan, aliran terjadi sebaliknya yaitu dari bawah ke atas (fluks positif, Gambar 11) melalui pori-pori mikro secara tak jenuh akibat proses evaporasi karena pemanasan permukaan tanah oleh radiasi matahari. Dalam proses evaporasi, karena kadar air di lapisan bawah lebih besar dibanding 67 lapisan di atasnya (Gambar 11) menyebabkan potensial air di lapisan bawah lebih besar yang merupakan daya penggerak air ke lapisan di atasnya. Air yang bergerak ke atas tersebut terjadi pada kecepatan yang relatif rendah. Kecepatan pergerakan air ke atas dapat diperhitungkan dari konduktivitas hidrolik tak jenuh (Lampiran 18) dan perbedaan potensial air antara lapisan bawah dan atas. Perbedaan potensial air antara lapisan bawah dengan di atasnya yang memiliki kadar air berbeda dapat diperhitungkan dari kurva karakteristik kelembaban tanah (Lampiran 19 dan 20). Di dalam proses evapotranspirasi, apabila kadar air di permukaan tanah masih berada pada nilai yang cukup untuk proses evapotranspirasi potensial (minimal pada kondisi kapasitas lapang), maka terjadi evapotranspirasi yang besarnya konstan. Namun apabila kadar air tidak cukup lagi untuk mencukupi proses evapotranspirasi potensial, maka laju evapotranspirasi besarnya menurun secara gradual mengikuti penurunan kadar air tanah seperti ditampilkan pada Lampiran 5 (Allen et. al., 1998; Hanks dan Ascroft, 1986). Kelembaban tanah pada seluruh lapisan kedalaman tanah masih berada pada zona air tersedia/berada di antara kapasitas lapang dan titik layu permanen (Gambar 11), kecuali pada kedalaman > 30 cm pada hari-hari hujan menunjukkan lebih besar dari kapasitas lapang. Keadaan ini disebabkan oleh laju penambahan air dari perkolasi lapisan di atasnya lebih besar daripada laju redistribusi pada lapisan > 30 cm. Berdasarkan data Lampiran 1, terlihat bahwa ruang pori drainase pada lapisan kedalaman tanah > 30 menurun, dan nilai ruang pori mikro yang dapat mengikat air secara kuat meningkat dibanding lapisan di atasnya. Distribusi kadar air tiap kedalaman menunjukkan perbedaan yang nyata (Gambar 11, Lampiran 26). Pada lapisan bawah, 40-60 cm, kadar air tanah menunjukkan lebih tinggi dibanding lapisan di atasnya, 20-40 cm, dan lapisan atas, 0-20 cm, nyata lebih rendah. Lapisan permukaan merupakan lapisan yang paling tinggi dalam fluktuasi kadar airnya akibat pengaruh hujan, serapan akar, dan evaporasi (Hanks dan Ascroft, 1986), sehingga memiliki kadar air yang lebih rendah. Apabila dikaitkan dengan kebutuhan air bagi tanaman, kadar air tanah selama masa pertumbuhan jagung manis membutuhkan air irigasi sebesar 68 13,05 mm, yang terjadi antara hari ke 59 sampai 62 dan antara hari ke 67 sampai 68 (Gambar 12 dan Tabel 9). Kebutuhan air irigasi tersebut didasarkan pada zone perakaran sedalam 20 cm (kedalaman perakaran jagung manis), yang diprediksi dari kekurangan kadar air di lapangan terhadap kadar air minimum tersedia (allowable soil moisture depression) yang diperhitungkan menurut Allen et al. (1998). Kadar air minimum tersedia merupakan kadar air di mana tanah mulai perlu mendapatkan irigasi agar pertumbuhan tanaman tidak terganggu. Menurut Allen et al. (1998), kadar air minimum tersedia bagi tanaman adalah kondisi 50 % air tersedia (Lampiran 5) bagi tanaman jagung manis. Pada kondisi di bawah kadar air minimum tersedia, tanaman dapat menurun produksinya akibat KL TLP Allen et al.(1998) KA (0-50 cm) KA (0-20 cm) USDA (1991) Kadar air (% vol) 50 40 30 20 0 20 40 60 80 Waktu (hari) Gambar 12. Perbandingan antara kadar air tanah dengan kadar air minimum tersedia bagi tanaman menurut Allen et al., (1998) dan USDA (1991) selama masa pertumbuhan evapotranspirasi potensial tidak terjadi lagi dan kadar air yang ada hanya memungkinkan untuk proses evapotranspirasi aktual yang besarnya di bawah evapotranspirasi potensial. Pada kondisi demikian, sebagian stomata tanaman menutup dan proses fotosintesis tidak berlangsung optimum. Menurut USDA (1991), apabila laju pertumbuhan tanaman telah menurun di bawah 80 %, maka tanah dianggap telah memerlukan irigasi karena kadar air yang ada dalam tanah sudah tidak mencukupi untuk pertumbuhan optimum tanaman (Lampiran 8). Berdasarkan hasil pengamatan, pertumbuhan tanaman 69 telah menurun di bawah 80% apabila kadar air tanah mencapai kurang dari 40,87 % (vol). Dengan demikian, kebutuhan air irigasi berdasar kriteria USDA (1991) lebih besar dibanding kebutuhan air irigasi berdasar kriteria Allen et al. (1998) (Tabel 9). Adapun menurut Mengel dan Kirkby (1982), kebanyakan tanaman Tabel 9. Kebutuhan irigasi minimum berdasar defisit air pada kedalaman akar 20 cm dan 50 cm Defisit air (mm) Minggu ke Allen et al., (1998) USDA (1991) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 50 cm 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 20 cm 0 0 0 0 0 0 0 0 9,11 3,94 50 cm 3,11 0,00 0,00 0,05 0,00 0,00 0,00 0,00 4,30 4,21 20 cm 5,62 1,53 0,66 0,57 14,07 7,88 0,35 3,02 34,26 30,26 Jumlah 0 13,05 11,68 105,71 dapat tumbuh optimum apabila kadar air tanah berada pada potensial air berkisar antara -0,2 bar sampai -0,5 bar (sebanding pF 2,3 sampai 2,7). Walaupun nilai kadar air pada titik layu permanen umumnya diukur pada potensial –15 bar, tanaman dapat mulai mengalami stress air pada kadar air yang berbeda-beda, antara potensial – 5 bar sampai -7 bar (Mengel dan Kirkby, 1982). Apabila tanaman telah mengalami stress air; maka respirasi, fotosintesis, translokasi hasil fotosintesis, dan kemampuan serapan akar terhadap air dan hara menurun. 5. 4. Kadar Hara Selama Masa Pertumbuhan Tanaman 5.4.1 Kadar Nitrogen dalam Tanah Kadar nitrogen dalam tanah pada waktu panen meningkat dibanding sebelum tanam (Gambar 13 dan Lampiran 29). Nampaknya penambahan nitrogen 70 berupa urea di permukaan tanah dapat meningkatkan kadar N pada seluruh kedalaman tanah, kecuali pada kedalaman 20-30 cm. Peningkatan yang terjadi sampai ke lapisan bawah menunjukkan adanya pergerakan N baik masih berupa pupuk maupun sudah dalam bentuk N terlarut. Peningkatan N terjadi sampai kedalaman 40-50 cm, menunjukkan bahwa pergerakan N terjadi akibat curah hujan yang dapat membawa N maupun kadar air yang dapat melarutkannya. Kedalaman tanah (cm) 0 -10 -20 -30 N0 -40 N 10 -50 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 Kadar N (%) Gambar 13. Kadar nitrogen sebelum tanam (N 0) dan pada waktu panen (N 10) 5.4.2. Kadar Amonium Selama Masa Pertumbuhan Tanaman Kadar amonium larutan tanah di lahan percobaan selama periode pertumbuhan tanaman berfluktuasi (Gambar 14, Lampiran 30, dan 31). Kadar amonium pada awal musim agak tinggi karena pemupukan pada saat tanam, kemudian menurun; dan meningkat mencapai puncak pada minggu ke lima setelah pemupukan susulan pada minggu keempat. Terjadinya puncak amonium pada minggu ke lima menunjukkan bahwa urea cepat terurai menjadi amonium. Pemberian pupuk urea yang segera diikuti oleh kejadian hujan lebih cepat terurai, karena urease cepat terbentuk. Selain itu, urease mudah terbentuk di rhizosfer yang dipupuk urea akibat aktivitas mikroba meningkat karena eksudat akar (Mengel, 1985, Tisdale et al., 1993). Setelah minggu ke lima, kadar amonium menurun kembali sampai akhir musim. 71 Fluktuasi kadar amonium larutan tanah terjadi pada seluruh kedalaman tanah. Fluktuasi kadar amonium tanah dapat terjadi akibat adanya tambahan dari pupuk, pengurangan akibat serapan akar, dan perubahan menjadi bentuk nitrat yang tergantung pada kelembaban tanah. Pada keadaan reaksi tanah mendekati netral, seperti pada percobaan ini, lebih banyak bentuk amonium diserap tanaman daripada bentuk nitrat. Namun pada pH yang agak masam, bentuk nitrat lebih 20 15 + Kadar NH4 (ppm) banyak diserap tanaman (Tisdale et al., 1993). Perubahan amonium menjadi 10 5 0 0-10 cm 1 2 3 4 5 6 7 11,08 4,813 2,046 5,013 9,628 4,433 6,05 8 9 10 4,72 5,622 4,069 10--20 cm 7,457 2,483 2,104 4,012 17,37 4,519 5,652 5 5,727 4,78 20-30 cm 5,773 3,924 1,308 2,704 17,87 4,603 6,712 4,767 5,587 4,46 30-40 cm 6,525 3,203 1,357 2,674 8,459 5,338 7,053 4,923 5,959 40-50 cm 5,863 2,923 1,452 3,655 9,086 5,571 7,636 4,857 5,384 4,485 4,7 Waktu (minggu) Gambar 14. Kadar amonium selama masa pertumbuhan tanaman nitrat tergantung pada suhu dan kelembaban tanah. Pada suhu optimum, apabila kadar air tanah berada pada potensial > -1/3 bar atau < - 15 bar, proses nitrifikasi menurun drastis; tetapi pada potensial air -7 bar (pF 3,85) seluruh amonium dapat dikonversi menjadi nitrat (Tisdale et al., 1993). Berdasarkan kurva karakteristik air tanah (Lampiran 20), kadar air tanah selama periode pertumbuhan tanaman (Gambar 11, Lampiran 26 dan 28), tidak pernah mencapai pF 3,85 sehingga tidak memungkinkan terjadinya nitrifikasi sempurna. Dengan demikian N dalam tanah bisa berada dalam bentuk amonium maupun nitrat. Kadar amonium larutan tanah tidak nyata dipengaruhi oleh fluks aliran air, pergerakan air transient, maupun kadar air tanah (Tabel 10). Amonium dalam larutan tanah merupakan ion positif (kation) yang mudah diikat oleh koloid/liat tanah (Mengel, 1985), diimobilisasi oleh mikroba tanah, diserap oleh akar 72 tanaman (Roy et al., 2006), dan segera ternitrifikasi (Tisdale et al., 1993). Oleh karena itu ion amonium dalam tanah bersifat tidak mobil dan pada tanah lahan kering kadarnya relatif rendah bila dibandingkan dengan ion nitrat. Walaupun fluks aliran air tidak menunjukkan pengaruh terhadap kadar amonium tanah, tetapi dari Gambar 14 terlihat bahwa penambahan pupuk susulan kelima pada minggu secara berangsur meningkatkan kadar amonium di lapisan bawah. Penurunan kadar amonium dari minggu pertama hingga minggu ke tiga dan dari minggu ke lima hingga ke sepuluh pada seluruh kedalaman tanah dapat Tabel 10. Korelasi antara fluks aliran air, laju pergerakan air transient, dan kadar air terhadap kadar NH4+, NO3-, P, dan K larutan tanah Peubah NH4+ NO3- P K Fluks -0,01 0,08 0,17 0,15 dKA 0,01 -0,08 -0,17 -0,15 KA -0,10 -0,75* -0,12 -0,70* disebabkan oleh serapan akar. Namun peningkatan kadar amonium larutan tanah di lapisan bawah pada minggu ke sepuluh dibandingkan minggu ke tiga menunjukkan adanya pergerakan N baik masih berupa pupuk atau sudah dalam bentuk amonium. Kadar amonium larutan tanah tidak nyata dipengaruhi oleh kadar air dalam tanah (Tabel 10). Berdasarkan nilai kadar air pada seluruh kedalaman tanah (Gambar 11, Lampiran 26 dan Lampiran 28), nilai kadar air tanah tidak memiliki variasi yang cukup besar, sehingga kadar amonium antar kedalaman tanah juga berada pada nilai yang relatif sama. Dengan demikian tidak terlihat pengaruh kadar air tanah terhadap kadar amonium larutan tanah. Apabila kadar air tanah selama masa pertumbuhan tanaman berfluktuasi pada selang nilai yang lebar (dari kadar air rendah sampai mendekati jenuh), maka pengaruhnya terhadap kadar amonium larutan tanah lebih nyata terlihat. Pada kondisi yang sangat kering, ion amonium dapat terikat kuat oleh liat tanah atau mengalami nitrifikasi sempurna 73 (yang dapat terjadi pada potensial air – 7 bar). Pada kondisi kadar air yang sangat tinggi, amonium yang terikat koloid/liat tanah dapat terlepas ke larutan tanah. Mengingat kedalaman perakaran tanaman jagung manis hanya sampai 20 cm, tetapi terlihat bahwa kadar amonium larutan tanah pada kedalaman > 20 cm menurun dari minggu ke lima sampai ke sepuluh (Gambar 14 dan 15). Hal ini menunjukkan bahwa kadar amonium di kedalaman > 20 cm ikut menyumbangkan untuk serapan akar. Fluks 30-40 0-10 40-50 10-20 20 150 16 75 12 0 8 Curah hujan, Fluks (mm) Kadar NH4 (ppm) CH 20-30 4 -75 0 -150 1 2 3 4 5 6 7 8 Waktu (minggu) 9 10 Gambar 15. Kadar NH4+, curah hujan, dan fluks aliran air selama massa pertumbuhan tanaman Hubungan kadar amonium dalam tanah dengan karakteristik pori menunjukkan korelasi yang rendah (Lampiran 32). Amonium merupakan ion yang tidak mobil (Mengel, 1985), sehingga tidak mudah bergerak bersama air. Karena sifatnya yang tidak mobil, ion amonium dalam larutan tanah bergerak melalui proses difusi, di mana daya penggeraknya adalah perbedaan konsentrasi ion tersebut. Oleh karena itu pengaruh karakteristik pori terhadap kadar amonium larutan tanah relatif rendah. Karena ion di dalam tanah berada di dalam ruang pori, baik pori makro maupun pori mikro, maka ada kecenderungan bahwa amonium larutan tanah dipengaruhi oleh karakteristik pori secara bersama. Berdasarkan uji regresi berganda hubungan antara karakteristik pori dengan kadar amonium larutan tanah menunjukkan bahwa kadar amonium larutan tanah dipengaruhi oleh ruang pori drainase sangat cepat dengan koefisien korelasi 74 sebesar 0,31 (r = - 0,31) (Lampiran 34). Namun ruang pori drainase sangat cepat di dalam sistem lahan kering kurang nyata pengaruhnya karena ruang pori tersebut berfungsi apabila tanah berada dalam keadaan jenuh. Dalam sistem lahan kering, kondisi jenuh hanya dapat terjadi apabila terjadi hujan yang sampai menjenuhi tanah. Hal ini hanya dapat terjadi pada saat hujan dalam waktu yang relatif singkat. Pada kondisi kering, ruang pori drainase berfungsi sebagai ruang pori aerasi. Karena ion amonium dalam larutan tanah merupakan ion yang sangat dipengaruhi oleh proses biokimia dalam tanah, maka karakteristik pori yang sangat menentukan terhadap pergerakan dan distribusi air dan udara dalam tanah sangat menentukan kelarutan amonium secara tidak langsung. Pengaruh tidak langsung tersebut melalui kehidupan mikroba yang ada di dalam tanah, di mana dapat mempercepat transformasi amonium di dalam tanah menjadi bentuk NH4+ yang terimobilisasi atau ternitrifikasi menjadi NO3- (Mengel, 1985). 5.4.3. Kadar Nitrat Selama Masa Pertumbuhan Tanaman Kadar nitrat larutan tanah selama periode pertumbuhan tanaman ditampilkan pada Gambar 16, Lampiran 35 dan Lampiran 36. Selama masa pertumbuhan tanaman, kadar nitrat mengalami fluktuasi seperti halnya amonium. Seperti telah disebutkan di atas, apabila kadar air tanah lebih tinggi, kadar amonium lebih dominan tetapi apabila kadar air tanah menurun di bawah kapasitas lapang maka kadar nitrat lebih dominan karena terjadi perubahan dari amonium menjadi nitrat. Berbeda dengan amonium, nitrat larutan tanah diserap tanaman pada kondisi pH tanah lebih rendah daripada amonium yang umumnya diserap pada pH sekitar netral (Tisdale et al., 1993). Tanaman umumnya lebih banyak menyerap nitrogen dalam bentuk nitrat daripada bentuk amonium, melalui proses difusi atau aliran massa. Ion nitrat tanah lebih mudah bergerak bersama aliran air drainase karena anion exclution. Akibat anion exclution, ion nitrat bergerak cepat ke pusat pori untuk selanjutnya bergerak dengan kecepatan yang lebih tinggi daripada kecepatan air pori. Berdasarkan hukum Poiseuille’s (Koorevaar et al., 1983), kecepatan aliran air di pusat pori lebih besar daripada di dekat dinding pori; dan akibat heterogenitas ukuran pori di dalam tanah, ion yang berada dalam larutan 75 tanah seperti ion nitrat, dapat mengalami dispersi mekanik (dispersi hidrodinamik) (Toride, Inoue, dan Leij, 2003). Pola perubahan kadar nitrat larutan tanah pada seluruh lapisan kedalaman tanah hampir sama (Gambar 16), yang mana mencapai puncak pada minggu ke lima (setelah pemupukan urea susulan pada minggu ke empat). Kadar nitrat mengalami penurunan dari minggu pertama hingga minggu ketiga pada seluruh kedalaman tanah, akibat serapan oleh akar tanaman. Pemupukan susulan pada minggu ke empat dapat meningkatkan kadar nitrat di seluruh kedalaman tanah. Dari minggu ke lima sampai ke sepuluh terjadi penurunan kadar nitrat di seluruh kedalaman tanah akibat serapan akar tanaman. - Kadar NO3 (ppm) 180 150 120 90 60 30 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0-10 cm 52,17 30,07 32,19 53,12 155,7 83,87 61,62 57,25 67,49 49,37 10-20 cm 38,30 15,21 31,23 48,83 57,02 54,21 36,21 51,10 53,70 47,82 20-30 cm 35,36 10,15 22,31 36,42 52,54 49,05 27,88 41,06 42,26 35,40 30-40 cm 33,07 11,25 23,69 38,92 46,78 43,45 26,45 34,68 37,45 34,18 40-50 cm 26,64 10,62 20,26 36,70 40,04 45,42 27,80 31,78 32,90 32,34 Waktu (minggu) Gambar 16. Kadar NO3- larutan tanah selama masa pertumbuhan tanaman Kadar nitrat antar lapisan kedalaman tanah menunjukkan penurunan dengan makin dalamnya tanah (Gambar 17 dan Lampiran 35), dan tidak terdapat perbedaan pada kedalaman >10 cm. Hal ini umum terjadi pada lahan-lahan pertanian karena kadar N lebih banyak dalam bentuk organik dan nitrogen tanah sangat mudah diimobilisasi di lapisan atas/permukaan (Roy et al., 2006), sehingga kadarnya menurun dengan kedalaman tanah. Fluktuasi nitrat di lapisan atas juga lebih besar daripada di lapisan bawah, karena lapisan permukaan tanah lebih sering kena panas sinar matahari dan hujan yang menyebabkan fluktuasi 76 suhu dan kelembaban lebih besar dibanding lapisan tanah di bawahnya. Adanya pengaruh kelembaban dan suhu menyebabkan proses perubahan amonium menjadi nitrat lebih cepat. Menurut Tisdale et al. (1993), pada kadar air yang sangat rendah (Ψ < - 15 bar) ketersediaan nitrat tanah rendah, kemudian dengan naiknya kadar air meningkatkan kadar nitrat tanah. Pada kadar air lebih besar dari kapasitas lapang kadar nitrat juga rendah atau hilang bersama air drainase. Oleh karena itu, lapisan permukaan tanah yang lebih sering kena panas sinar matahari dan hujan, kadar nitrat tanah sangat berfluktuasi. Kadar NO3 - (ppm) 80 60 40 a b 20 0 NO3- 0-10 cm 10-20 64,29 43,36 c bc c 20-30 30-40 40-50 35,24 32,99 30,45 Kedalaman tanah ( cm) Gambar 17. Kadar NO3- larutan tanah tiap kedalaman tanah Kadar nitrat dalam larutan tanah tidak nyata dipengaruhi oleh fluks aliran air maupun laju perubahan storage, tetapi sangat nyata dipengaruhi oleh kadar air dalam tanah (Tabel 10, Gambar 18, dan Lampiran 38). Walaupun fluks aliran air tidak nyata pengaruhnya terhadap kadar nitrat larutan tanah, tetapi dari Gambar 16 terlihat bahwa terjadi peningkatan kadar nitrat tanah di lapisan bawah pada minggu ke sepuluh. Hal ini menunjukkan adanya pergerakan nitrat dari lapisan atas ke bawah. Pengaruh pergerakan air terhadap kadar nitrat larutan tanah terjadi secara tidak langsung, yaitu melalui perubahan kadar air dalam tanah, maupun pengaruh pergerakan air terhadap pergerakan nitrat. Kadar nitrat dalam tanah menurun 77 secara linier dengan makin besarnya kadar air tanah, dengan koefisien korelasi sebesar 0,75 (Gambar 18). Penurunan kadar nitrat pada kondisi kadar air tanah yang makin tinggi disebabkan oleh: 1) terhambatnya proses nitrifikasi, 2) tercuci, dan 3) terdenitrifikasi (Roy et al., 2006). Seperti telah disebutkan di atas, pada kadar air yang lebih tinggi dapat menghambat perubahan amonium menjadi nitrat (Tisdale et al., 1993) karena lebih tingginya kadar air dapat menurunkan laju difusi oksigen (Letey, 1985). Kadar NO3 (ppm) 100 - NO3 = 171,41 - 3,05 KA; r = 0,75, n = 141 80 60 40 20 0 30 34 38 42 46 50 54 Kadar air (% vol) . Gambar 18. Pengaruh kadar air terhadap kadar nitrat larutan tanah Peningkatan kadar air, terutama di atas kapasitas lapang (kadar air > 44 % volume, Lampiran 14), menyebabkan nitrat yang sangat mobil mudah terbawa oleh aliran air drainase dalam (perkolasi). Berdasarkan Lampiran 26 dan 28, kadar air tanah di lokasi penelitian pada masa pertumbuhan tanaman sering berada dalam keadaan di atas kapasitas lapang (kadar air > 44 %). Nitrat yang bermuatan negatif, ditolak oleh koloid tanah yang bermuatan negatif (anion exclution), sehingga menuju ke pusat pori dan bergerak bersama aliran air dengan kecepatan lebih besar daripada kecepatan air pori. Pergerakan nitrat bersama aliran air di pusat pori melalui ruang-ruang pori yang beragam ukurannya, menyebabkan ion nitrat terdispersi secara hidrodinamik (Ross, 1989; Tinker dan Nye, 2000; Toride et al., 2003). 78 Pengurangan nitrat oleh proses denitrifikasi dapat terjadi karena pada kadar air tanah yang tinggi, ruang pori tanah lebih banyak terisi oleh air sehingga laju difusi oksigen terhambat (Letey, 1985). Pengurangan laju difusi oksigen juga dapat terjadi apabila pada tempat-tempat tertentu di dalam solum tanah, ruang pori yang ada didominasi oleh ruang pori air imobil. Kekurangan oksigen di dalam tanah menyebabkan mikroba yang mendekomposisi bahan organik secara anaerob lebih berperan. Mikroba anaerob tersebut mampu menggunakan NO3- sebagai akseptor elektron yang berfungsi menggantikan O2 (dalam respirasi aerobik), sehingga ion nitrat berubah menjadi N2O atau N2 dan hilang ke atmosfer (Alexander, 1977; Tisdale et al., 1993) seperti reaksi berikut: + 4H 2 HNO3 -2 H2O 2 HNO2 -2 H2O 2 NO + 2H N2 O - H2O - H2O N2 NO3 = - 2,16 RP air imobil + 128,33; n = 125; r = 0,51 100 Kadar NO3 (ppm) + 2H + 2H 80 60 40 20 0 25 30 35 40 45 50 RP air imobil (% vol) Gambar 19. Pengaruh ruang pori air imobil terhadap kadar NO3- larutan tanah Pengaruh karakteristik pori terhadap kadar nitrat larutan tanah menunjukkan bahwa kadar nitrat larutan tanah menurun dengan makin banyaknya ruang pori air imobil dengan koefisien korelasi 0,51 (Gambar 19, Lampiran 32 dan 34). Walaupun ion nitrat di dalam larutan tanah bersifat mobil, tetapi apabila berada di dalam ruang pori air imobil tanah, maka pergerakan ion nitrat menjadi terbatas. 79 Seperti telah diuraikan di atas, bahwa pergerakan ion, seperti nitrat, melalui aliran massa sangat ditentukan oleh diameter pori tanah. Kecepatan air pori pada ruang pori mikro lebih lambat dibanding dalam pori makro (Koorevaar et al., 1983). Ruang pori air imobil merupakan ruang pori mikro dengan ukuran < 15 x 10-4 mm, yang mana air yang ada di dalamnya dapat dikosongkan dengan tekanan > 2 bar. Seperti telah disebutkan di atas, apabila proporsi ruang pori air imobil di dalam tanah lebih dominan, maka ruang pori tersebut lebih banyak mengikat air dan laju difusi oksigen ke dalam tanah menurun drastis. Keadaan demikian mempengaruhi proses pembentukan nitrat (nitrifikasi) maupun meningkatkan proses denitrifikasi, sehingga kadar nitrat di dalam larutan tanah menurun. Oleh karena itu, makin banyaknya ruang pori air imobil dalam tanah menyebabkan kadar nitrat tanah makin berkurang. 5.4.4. Kadar Fosfor dalam Tanah Kadar fosfor dalam tanah lahan penelitian pada waktu panen meningkat Kedalaman tanah (cm) dibanding sebelum tanam (Gambar 20). Seperti halnya nitrogen, penambahan 0 -10 -20 -30 P0 -40 P10 -50 -1 0 1 2 3 4 5 Kadar P (ppm) Gambar 20. Kadar fosfor sebelum tanam (Po) dan pada waktu panen (P10) fosfor di permukaan tanah dapat meningkatkan kadar P pada seluruh kedalaman tanah. Peningkatan secara nyata terlihat di kedalaman 10-20 cm. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pelarutan P yang besar pada kedalaman 10-20 cm, 80 karena penempatan pupuk di bawah permukaan tanah (0-10 cm). Peningkatan kadar P pada waktu panen berangsur menurun dengan makin dalamnya lapisan tanah (Gambar 20). Peningkatan kadar P pada seluruh lapisan kedalaman tanah dapat terjadi karena perubahan lingkungan kimia tanah akibat adanya pengapuran pada awal tanam maupun adanya eksudat akar selama masa pertumbuhan tanaman (Mengel, 1985; Roy et al., 2006). Bahan kapur mudah larut dan terbawa ke lapisan bawah bersama aliran air sehingga dapat meningkatkan pH dan memperbaiki lingkungan biokimia tanah sampai ke lapisan bawah dan meningkatkan kelarutan P. Adapun eksudat akar dapat meningkatkan asam-asam organik, sehingga terjadi pertukaran anion di dalam komplek jerapan tanah. 5. 4. 5. Kadar Fosfor Selama Masa Pertumbuhan Tanaman Kadar fosfor larutan tanah selama masa pertumbuhan tanaman tiap kedalaman tanah ditampilkan pada Gambar 21, Lampiran 39, dan 40. Selama Kadar P (ppm) 5 4 3 2 1 0 0-10 cm 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1,879 2,581 4,818 3,303 1,688 1,91 2,991 2,126 2,097 1,976 10-20 cm 0,982 2,048 3,937 2,935 2,067 2,366 2,452 1,858 1,866 1,366 20-30 cm 0,531 1,239 3,365 2,104 1,868 1,581 2,226 1,587 0,813 0,81 30-40 cm 0,512 1,065 3,477 1,988 1,525 1,445 2,13 1,027 0,64 0,742 40-50 cm 0,475 1,163 3,624 2,071 1,548 1,561 2,108 1,013 0,642 0,701 Waktu (minggu) Gambar 21. Kadar P larutan tanah selama masa pertumbuhan tanaman masa pertumbuhan tanaman, kadar P pada lahan percobaan berfluktuasi di mana pada awalnya rendah, kemudian naik mencapai puncaknya pada umur tiga minggu, dan pada umur tujuh minggu terjadi sedikit peningkatan kembali. 81 Setelah umur tanaman tujuh minggu, kadar P menurun. Kadar P pada umur tanaman tiga minggu mencapai puncak pada seluruh kedalaman tanah (Gambar 21). Hal ini menunjukkan adanya pergerakan fosfor dari lapisan atas ke lapisan bawah, atau terjadi peningkatan kelarutan P sampai ke lapisan yang paling bawah zona perakaran (50 cm) akibat perubahan lingkungan kimia/reaksi tanah. Adanya puncak kadar P pada umur tiga dan tujuh minggu, dapat terjadi akibat hujan yang turun sebelumnya dengan jumlah cukup tinggi (Gambar 11). Jumlah hujan yang tinggi dapat membawa solute lebih banyak ke lapisan yang lebih dalam (Granovsky et al, 1993). Menurut Akhtar et al. (2003) dan Toor et al. (2004), walaupun ion fosfat tidak mudah larut dan terbawa oleh aliran air, tetapi dapat bergerak ke lapisan bawah melalui aliran preferential baik dalam bentuk terlarut, masih berupa pupuk, maupun teradsorpsi oleh koloid tanah. Aliran preferential tersebut dapat terjadi pada saat hujan besar yang hanya melewati pori-pori makro, walaupun tidak sampai menjenuhi tanah. Dari Gambar 11 terlihat bahwa hujan yang terjadi cukup besar, sehingga berpeluang menimbulkan aliran preferential yang dapat membawa hara P. Kadar P (ppm) 3 2 1 0 P a ab ab b b 0-10 cm 10-20 20-30 30-40 40-50 2,54 2,19 1,61 1,45 1,49 Kedalaman tanah (cm) Gambar 22. Kadar P larutan tanah pada tiap kedalaman tanah Kadar P pada tiap lapisan kedalaman tanah besarnya menurun dengan makin dalamnya tanah (Gambar 22). Perubahan kadar P tersebut terjadi secara gradual. Tingginya kadar P di lapisan permukaan tanah dapat disebabkan oleh 82 penambahan dari pupuk, di mana pemupukan dilakukan di lapisan permukaan tanah (0-10 cm). Kadar P pada lapisan 0-30 cm tidak berbeda nyata secara statistik antar jarak kedalaman tanah 10 cm (Gambar 22 dan Lampiran 39). Hal ini menunjukkan bahwa P dalam tanah dapat bergerak sampai kedalaman 30 cm, akibat pemupukan yang dilakukan pada kedalaman 0-10 cm. Berdasarkan analisis regresi dan korelasi, tidak ada pengaruh fluks aliran air, laju pergerakan air transient, dan kadar air terhadap kadar P larutan tanah (Tabel 10). Fosfor dalam tanah cenderung diikat kuat oleh koloid tanah melalui jerapan spesifik dan non spesifik (Nye dan Tinker, 2000). Jerapan spesifik terjadi akibat pertukaran ligand antara gugus hidroksil dengan ion fosfat, sedangkan jerapan non spesifik dapat terjadi oleh Al dan Fe hidrooksida yang terprotonisasi, terutama pada pH rendah. Al dan Fe hidrooksida yang terprotonisasi pada pH rendah tersebut menyebabkan muatan positif, sehingga meningkatkan adsorpsi terhadap ion fosfat. Pada tanah Inceptisols, kedua proses adsorpsi tersebut sangat potensial untuk terjadi. P = 0,12 RP air mobil - 0,85; r = 0,60, n = 125 Kadar P (ppm) 6 4 2 0 0 10 20 30 40 Ruang pori air mobil (% vol) Gambar 23. Pengaruh ruang pori air mobil terhadap kadar P larutan tanah Pengaruh karakteristik pori terhadap kadar P larutan tanah menunjukkan bahwa ruang pori air mobil nyata meningkatkan kadar P larutan tanah dengan koefisien korelasi 0,60 (Gambar 23, Lampiran 32 dan 34). Fosfor dalam larutan 83 tanah berada dalam ruang pori, baik ruang pori makro maupun mikro. Apabila di dalam tanah lebih banyak didominasi oleh ruang pori air mobil, maka ion P lebih banyak berada dalam ruang pori tersebut; dan apabila berada pada permukaan matrik tanah maka diikat lebih lemah dibandingkan apabila berada dalam ruang pori air imobil. Menurut Linguist et al. (1997) dan Wang (2001), tanah-tanah yang didominasi oleh agregat-agregat besar lebih mudah mendesorpsi P daripada yang didominasi oleh agregat-agregat yang berukuran kecil, karena agregat yang berukuran lebih besar memiliki ruang pori makro lebih banyak. Semakin lemah adsorpsi P oleh koloid tanah memungkinkan P lebih mudah larut dalam tanah. Dengan demikian makin banyaknya ruang pori air mobil, makin banyak P dalam larutan tanah. Kadar P dari seluruh kedalaman tanah masih dalam kadar yang lebih besar dari yang dibutuhkan oleh tanaman. Kebutuhan P yang diperlukan tanaman jagung untuk dapat berproduksi tinggi adalah > 0,05 ppm (Tisdale et al., 1993). Ion fosfat yang larut air dapat diserap tanaman melalui proses difusi dan sebagian kecil melalui aliran massa. 5. 4. 6. Kadar Kalium dalam Tanah Berbeda dengan nitrogen dan fosfor, kadar kalium di seluruh kedalaman tanah pada waktu panen menurun dibanding sebelum tanam (Gambar 24). Kedalaman tanah (cm) 0 -10 -20 -30 -40 K0 K 10 -50 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 Kadar K (me/100 g) Gambar 24. Kadar kalium sebelum tanam (K 0) dan pada waktu panen (K 10) 84 Pengurangan kadar kalium tersedia sampai kedalaman 50 cm pada waktu panen menunjukkan bahwa ion kalium banyak diserap tanaman. Ion kalium dapat diserap tanaman dalam jumlah berlebih dari kebutuhan tanaman tanpa menambah peningkatkan produksi tanaman (luxury consumption). Menurut Tan (1994), serapan akar tanaman terhadap ion kalium lebih tinggi dibanding serapan terhadap Nitrogen atau Fosfor. Mengingat kedalaman perakaran jagung manis hanya sampai 20 cm, pengurangan kadar kalium sampai kedalaman 50 cm selama masa pertumbuhan tanaman dapat terjadi apabila kalium bergerak dari lapisan bawah ke lapisan atas bersama aliran air tak jenuh secara difusi untuk selanjutnya tersedia dan diserap oleh tanaman. Pergerakan air tak jenuh dari bawah ke atas dapat terjadi bersama fluks aliran positif tanah (aliran ke atas). Dari Gambar 25, terlihat bahwa fluks positif yang terjadi pada minggu ke empat dapat meningkatkan kadar K pada minggu ke lima, terutama pada lapisan 0-10 cm. 5.4.7. Kadar Kalium Selama Masa Pertumbuhan Tanaman Kadar kalium larutan tanah selama musim pertumbuhan tanaman ditampilkan pada Gambar 25, Lampiran 42, dan Lampiran 43. Kadar kalium pada awal musim pertumbuhan tanaman tinggi (terutama pada kedalaman 0-20 cm), kemudian turun dan meningkat kembali pada minggu ke lima. Setelah minggu ke lima berangsur turun ke nilai yang relatif konstan. Penurunan ini terutama terjadi di lapisan atas, sedangkan kadar K di lapisan bawah relatif konstan sejak awal sampai akhir musim. Pengurangan kadar kalium larutan tanah di lapisan atas lebih besar dibanding lapisan di bawahnya. Hal ini dapat terjadi oleh ekstraksi akar. Kalium merupakan unsur hara yang mudah larut dalam tanah dan selalu berkeseimbangan dengan K terjerap dan K mineral tanah (Mengel dan Kirkby, 1982). Kelarutan kalium yang tinggi terlihat dari kadar K larutan tanah yang tinggi pada awal musim, terutama di kedalaman 0-10 cm akibat pemupukan pada waktu tanam. Karena kalium mudah larut, maka kalium yang ada dalam larutan tanah bersifat sangat mobil bersama aliran air dalam tanah. Apabila terjadi hujan dan air bergerak ke lapisan tanah bawah maka ion kalium ikut 85 terbawa ke lapisan bawah. Begitu hujan berhenti, apabila terjadi evaporasi maka ion kalium ikut bergerak bersama aliran air ke lapisan atas melalui proses difusi. Hal seperti ini tampak pada minggu ke 5 dan ke 6, di mana pada minggu ke lima tersebut hujan yang relatif kecil terjadi pada awal minggu ke lima (Gambar 25), sehingga kadar air tanah berkurang akibat penguapan. Proses tersebut dapat meningkatkan kadar kalium di lapisan atas dibanding minggu sebelumnya, akibat fluks aliran air ke atas. Kenaikan kadar kalium terutama terjadi pada lapisan atas dS Fluks 0-10 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-50 cm 10-20 cm 150 Kadar K (ppm) 20 75 15 0 10 -75 5 0 dS/dt, Fluks (mm) 25 -150 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Waktu (minggu) Curah hujan (mm) 100 80 60 40 20 15 /0 4/ 06 22 /0 4/ 06 29 /0 4/ 06 06 /0 5/ 06 13 /0 5/ 06 20 /5 /0 6 27 /0 5/ 06 03 /0 6/ 06 10 /0 6/ 06 17 /0 6/ 06 24 /0 6/ 06 0 Tanggal Gambar 25. Kadar K, fluks, dan curah hujan selama masa pertumbuhan 0-10 cm. Oleh karena ion K+ sangat mudah terbawa air, maka kadar K larutan tanah di lapisan atas selama masa pertumbuhan tanaman selalu pada kadar lebih tinggi dibanding lapisan di bawahnya (Gambar 25). Dalam keadaan demikian, kalium terlarut mudah dibawa oleh aliran air dan menuju ke akar tanaman (Tisdale et al., 1993). 86 Kadar kalium larutan tanah menurun secara nyata dengan makin dalamnya lapisan tanah dan menunjukkan nilai yang konstan pada lapisan tanah yang lebih dalam (> 20 cm) (Gambar 26 dan Lampiran 42). Hal ini disebabkan oleh adanya tambahan pupuk di lapisan atas, sehingga kadar K di lapisan atas nyata lebih tinggi daripada lapisan di bawahnya. Dengan makin jauhnya jarak dari permukaan tanah menyebabkan kadar kalium makin berkurang. Namun karena ion kalium dapat terbawa aliran air ke lapisan atas bersama fluks positif, maka kadar kalium di lapisan bawah (> 20 cm) pada waktu panen relatif konstan dibanding awal tanam (Gambar 25). Kadar K (ppm) 15 12 9 6 a b 3 0 K c cd d 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 13,23 7,77 5,05 4,11 3,60 Kedalaman tanah (cm) Gambar 26. Kadar K larutan tanah pada tiap kedalaman tanah Kadar kalium larutan tanah tidak nyata dipengaruhi oleh fluks aliran air maupun laju pergerakan air transient (Tabel 10). Walaupun dari sebaran grafik pada Gambar 25 menunjukkan bahwa kadar K larutan tanah mengikuti pola aliran air dalam tanah, tetapi laju/kecepatan aliran tidak berpengaruh terhadap kadar K larutan tanah. Kalium dalam larutan tanah dapat terbawa oleh aliran air. Jadi kadar K larutan tanah pada kedalaman tertentu lebih disebabkan oleh air yang dapat membawa K terlarut daripada kecepatan pergerakan air. Kecepatan pergerakan air lebih berpengaruh terhadap kecepatan perubahan kadar K larutan tanah, bukan terhadap kadar K larutan tanah. Kadar K larutan tanah lebih nyata dipengaruhi oleh kadar air tanah (Tabel 10, Gambar 27, dan Lampiran 38). 87 Semakin besar kadar air tanah, kadar kalium larutan tanah makin menurun, dengan koefisien korelasi sebesar 0.70. Kadar kalium larutan tanah sangat tergantung pada kadar air tanah dan pergerakan air dalam tanah secara jenuh maupun tak jenuh. Roy et al., (2006) menyatakan bahwa pada tanah yang lebih kering, kalium diikat kuat oleh koloid tanah. Dengan makin besarnya kadar air dalam tanah, kelarutan kalium meningkat dan cenderung bergerak bersama aliran air keluar dari zona perakaran atau diserap tanaman. Oleh karena itu dengan makin besarnya kadar air, yang mana dalam penelitian ini pengukuran hingga 15 Kadar K (ppm) K = - 0,35 KA + 20,15; r = 0,70, n = 108 12 9 6 3 0 30 34 38 42 46 50 54 Kadar air (% vol) Gambar 27. Hubungan kadar air dengan kadar K larutan tanah mencapai kadar air di atas kapasitas lapang (Gambar 11, Lampiran 26, dan Lampiran 28), kadar kalium dalam larutan tanah makin berkurang. Pada kondisi di atas kapasitas lapang, kalium yang terlarut sangat mudah hilang bersama aliran air drainase. Seperti halnya ion-ion yang lain dalam tanah, ion kalium berada dalam pori tanah, baik pori makro maupun pori mikro, dalam keadaan terlarut maupun teradsorpsi pada matrik tanah. Oleh karena itu, karakteristik pori dapat mempengaruhi kadar kalium terlarut dalam tanah. Berdasarkan analisis regresi dan korelasi, ruang pori air mobil dan ruang pori air imobil secara bersama berpengaruh nyata terhadap kadar K larutan tanah.dengan koefisien korelasi 0,64 (Lampiran 34). Semakin besar ruang pori air mobil, kadar K larutan tanah makin 88 besar dengan koefisien korelasi sebesar 0,61 (Gambar 28, Lampiran 32, dan Lampiran 34). Ruang pori air mobil merupakan pori yang berukuran besar (dapat dikosongkan oleh tekanan < 2 bar), sehingga ion kalium yang berada dalam pori tersebut diadsorpsi kurang kuat dibanding dengan kalium yang berada pada pori K = 0,34 RP air mobil - 2,00 ; r = 0,61; n = 138 Kadar K (ppm) 20 15 10 5 0 0 7 14 21 28 35 Ruang pori air mobil (% vol ) Gambar 28. Hubungan ruang pori air mobil dengan kadar K larutan tanah yang lebih kecil. Dengan demikian apabila dalam tanah banyak didominasi oleh ruang pori air mobil, kalium lebih mudah didesorpsi ke dalam larutan tanah sehingga kalium yang terlarut dalam larutan tanah lebih besar. Kadar K (ppm) 20 K = - 0,48 RP air imobil + 25,19; n = 138; r = 0,54 16 12 8 4 0 20 30 40 50 60 Ruang pori air imobil (% vol) Gambar 29. Hubungan ruang pori air imobil dengan kadar K larutan tanah 89 Hal sebaliknya terjadi oleh pengaruh ruang pori air imobil terhadap kadar K larutan tanah. Kadar K larutan tanah makin berkurang dengan makin besarnya ruang pori air imobil dengan koefisien korelasi sebesar 0,54 (Gambar 29, Lampiran 32, dan 34). Seperti halnya ion nitrat, apabila ion kalium berada di dalam ruang pori yang kecil sulit bergerak karena dengan makin kecilnya ukuran pori maupun makin meningkatnya tortuositas pori tanah dapat mengurangi laju pergerakan ion K melalui proses difusi (Tisdale et al., 1993; Tinker dan Nye, 2000). Oleh karena itu, makin banyaknya ruang pori air imobil, kadar K larutan tanah makin berkurang. 5. 5. Produksi Tanaman Produksi tanaman berupa bobot tanaman maupun bobot tongkol jagung manis ditampilkan pada Tabel 11 dan Lampiran 45 dan 46. Produksi tanaman baik berupa bobot tanaman maupun bobot tongkol memiliki variasi yang cukup besar (51 % untuk bobot tanaman, dan 42 % untuk bobot tongkol jagung). Variasi produksi yang besar tersebut disebabkan oleh karakteristik pori yang dapat Tabel 11. Produksi tanaman dan tongkol jagung No 1 2 Parameter Bobot tanaman (kg/ha) Sdx CV (%) n Bobot tongkol (kg/ha) Sdx CV (%) n Nilai 5 301,52 2 685,87 50,66 30 5 479,02 2 292,46 41,84 30 berpengaruh terhadap sifat-sifat tanah yang lain dan akhirnya berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Menurut Roy et al. (2006), karakteristik pori tanah berpengaruh terhadap rasio ruang pori (pore space ratio, PSR atau void ratio), yaitu rasio antara ruang pori terhadap ruang padatan tanah. Rasio ruang pori tersebut sangat menentukan dinamika air, udara, suhu, hara 90 tanaman, dan pori yang tersedia untuk pertumbuhan akar tanaman, serta memudahkan di dalam pengolahan tanah. Apabila dikaitkan dengan sifat-sifat fisik tanah, kadar air, dan hara tanah, maka produksi tanaman lebih dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik tanah yang dapat menyediakan air, oksigen, dan menstimulasi pertumbuhan akar tanaman, serta ketersediaan hara fosfor dan kalium tanah (Tabel 12 dan Lampiran 47). Menurut Letey (1985), sifat-sifat fisik tanah seperti distribusi pori, stabilitas agregat, bobot isi, dan tekstur tanah mempengaruhi air, oksigen, suhu, dan ketahanan penetrasi tanah yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Seperti telah diuraikan di depan, bahwa beberapa sifat pori tanah sangat mempengaruhi pergerakan air dalam tanah, sehingga dengan kondisi pori tanah yang lebih baik Tabel 12. Pengaruh sifat-sifat fisik tanah, kadar air, dan kadar hara tanah kedalaman 0-50 cm terhadap produksi tanaman No 1 2 Variabel respon Bobot tanaman Bobot tongkol Model Bobot tanaman = - 64441 - 195 KA + 150 K + 449 P + 53372 BI + 961 RPD + 218 RPAT Bobot tongkol = - 53417 -157 KA + 113 K + 348 P + 47044 BI + 769 RPD R 0,70 0,71 Keterangan: KA = Kadar air (% vol), , RPD = ruang pori drainase (% vol), K = kadar kalium tanah (ppm), P = kadar fosfor tanah (ppm), BI = bobot isi (g/cm3), RPD = ruang pori drainase (% vol), dan RPAT = ruang pori air tersedia (% vol). dapat meningkatkan produksi tanaman. Pergerakan air dalam tanah lahan kering dapat memperbaiki aerasi, mendistribusikan air sehingga air cukup bagi tanaman, melarutkan hara sehingga tersedia bagi tanaman, dan mentransportasikan hara menuju akar tanaman. Begitu juga dengan fosfor dan kalium tanah berperan penting dalam pertumbuhan dan produksi tanaman (Tisdale et al., 1993). Dari Tabel 12 terlihat bahwa sifat-sifat tanah yang berpengaruh terhadap bobot tanaman adalah kadar air, kalium, fosfor, bobot isi, ruang pori aerasi (ruang pori drainase), dan ruang pori air tersedia tanah. Adapun sifat-sifat tanah yang berpengaruh terhadap bobot tongkol adalah kadar air, kalium, fosfor, bobot isi, dan ruang pori aerasi (ruang pori drainase) tanah. Ruang pori air 91 tersedia berpengaruh terhadap bobot tanaman, tetapi tidak berpengaruh terhadap bobot tongkol. Semakin tinggi kadar air tanah, bobot tanaman maupun bobot tongkol tongkol makin berkurang. Berdasarkan data hasil pengamatan (Lampiran 28), kadar air tanah selama masa pertumbuhan tanaman sering berada di atas kapasitas lapang, sehingga dapat mengurangi aerasi tanah, mengganggu perkembangan akar, dan akhirnya menurunkan bobot tanaman maupun tongkol. Seperti telah disebutkan di depan, bahwa kadar air dalam tanah yang makin besar secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap kadar hara dalam tanah; sehingga keadaan demikian berpengaruh juga terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Bobot isi tanah sangat menentukan arah dan pertumbuhan akar tanaman baik secara langsung maupun tak langsung. Pengaruh langsung bobot isi terhadap pertumbuhan akar adalah kemampuan penetrasi akar; sedangkan pengaruh tak langsung adalah terhadap ketersediaan air dan hara bagi tanaman. Banyak hasil penelitian menyatakan bahwa perakaran tanaman mulai terhambat pada ketahanan penetrasi yang berbeda-beda. Menurut Addae dan Pearson (1992), dalam sistem yang terkontrol, kepadatan tanah dapat menghambat perakaran tanaman bila mencapai 0,76 kPa. Adapun So dan Woodhead (1986) menyatakan bahwa akar tanaman mulai terhambat bila tekanan penetrometer > 3 MPa (=300 kgf/cm2) atau bobot isi > 1,4 gram/cm3 untuk tanah tekstur liat atau >1,8 gram/cm3 untuk tanah tekstur pasir (Pearson et al., 1995). Perimbangan jumlah ruang pori drainase dan ruang pori air tersedia sangat berpengaruh pada pergerakan air dan udara yang selanjutnya berpengaruh pada ketersediaan air, udara, dan hara. Kramer (1977) menyatakan bahwa aerasi tanah mempengaruhi serapan air dan hara tanaman, sehingga mempengaruhi produksi tanaman. 5.6. Pembahasan Umum Dari uraian yang telah dikemukakan di depan, terdapat beberapa masalah di dalam pergerakan air dan kadar hara dalam tanah, yang berkaitan dengan pengelolaan tanah dan konservasi tanah dan air 92 5.6.1. Pergerakan Air dalam Tanah Pergerakan dan distribusi air dalam tanah di lahan kering merupakan informasi penting untuk konservasi air maupun pengelolaan tanah. Pada sistem lahan kering, pergerakan air dalam tanah penting untuk meresapkan air hujan sebanyak-banyaknya dan mendistribusikannya. Peresapan air sebanyak- banyaknya penting untuk konservasi air agar tidak menimbulkan aliran permukaan di lahan miring yang pada gilirannya mengakibatkan erosi, atau menimbulkan genangan di lahan datar yang dapat menyebabkan surface sealing dan surface crusting bila kering kembali. Namun konservasi air di lahan kering juga perlu mempertimbangkan air untuk dapat tersimpan di zona perakaran agar dapat dimanfaatkan tanaman. Berdasarkan data yang telah ditampilkan di depan, maka untuk mencapai perimbangan antara air hujan yang masuk ke dalam tanah dan kemudian keluar dari zona perakaran dengan air untuk ketersediaan bagi tanaman, maka perlu pengelolaan tanah sehingga terjadi perimbangan antara fluks aliran air, laju perubahan storage, dan kapasitas retensi air maksimum tanah. Untuk memperoleh cara pengelolaan tanah yang tepat tersebut, perlu adanya penelitian dengan menggunakan berbagai macam perlakuan pada suatu lahan yang mendapatkan curah hujan tertentu. Menurut Shipitalo et al., 1990; Edward et al., 1992; dan Sugita et al., 2004, pergerakan air dalam tanah akibat hujan yang terjadi secara berulang, selain dipengaruhi oleh sifat hujannya, juga dipengaruhi oleh karakter pori dalam tanah. Seperti telah disebutkan di depan, karakter pori dalam tanah sangat menentukan pergerakan air secara jenuh dan tak jenuh maupun dalam meretensi air. Berdasarkan kurva pada Gambar 7, untuk konservasi dan ketersediaan air bagi tanaman di lahan kering suatu wilayah, perlu dilakukan pengelolaan tanah agar kurva lebih mendatar sampai curah hujan pada nilai yang mendekati peluang kejadian < 20 %. Fluks aliran air mencapai maksimum (negatif besar) diharapkan terjadi setelah hujan dengan peluang di bawah 20 %. Dengan demikian dapat diharapkan > 80 % hujan yang terjadi dapat masuk ke dalam tanah. Begitu juga laju perubahan storage maksimum dapat tercapai pada curah hujan > 80 % tersebut. Berdasarkan Gambar 7 dan Gambar 10, maka perlu adanya penelitian 93 tentang pengelolaan tanah agar tercapai perimbangan antara nilai fluks aliran air dan laju pergerakan air transient dengan curah hujan hingga peluang kejadian hujan < 20 %, agar tercapai ketersediaan dan konservasi air secara maksimum. Hal tersebut dapat dilakukan misalnya dengan melalui penambahan bahan organik ke dalam tanah, lubang resapan biopori, dan berbagai teknik konservasi tanah dan air yang lain. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fluks aliran air meningkat dengan makin besarnya ruang pori air mobil. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa ruang pori air mobil yang berperan adalah ruang pori air mobil yang berada pada potensial air <- 0,33 bar. Ruang pori tersebut sangat baik untuk ketersediaan air bagi tanaman. Untuk lebih meningkatkan air agar terkonservasi, maka perlu adanya pengelolaan tanah agar ruang pori air mobil yang berada pada potensial > - 0,33 bar (ruang pori drainase) dapat meningkat. Untuk mendapatkan cara pengelolaan yang tepat agar tercapai proporsi pori untuk konservasi maupun untuk ketersediaan air bagi tanaman, perlu dilakukan penelitian dengan berbagai macam perlakuan. Selain itu, penelitian seperti ini sangat baik dilakukan pada daerah lain yang memiliki sebaran curah hujan berbeda agar dapat diketahui karakter pori yang mempengaruhi fluks aliran air; sehingga dapat digunakan sebagai saran untuk pengelolaan tanah selanjutnya dalam usaha konservasi dan ketersediaan air bagi tanaman. Dengan mengetahui laju aliran air transient (laju perubahan storage) suatu tanah, maka dengan menggunakan pendekatan neraca air, maka dapat diprediksi kebutuhan air irigasi tiap hari sebagai berikut: dθ/dt = P – ET – D/I di mana: dθ/dt P ET D I ........................................(21) = laju perubahan storage (mm/hari) = presipitasi (curah hujan) (mm) = evapotranspirasi (mm) = drainase/perkolasi (mm) = Irigasi (mm) Apabila curah hujan yang ada berlebih maka akan terdrainase, tetapi apabila curah hujan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan evapotranspirasi dan laju 94 perubahan storage maka perlu ditambahkan irigasi. Laju aliran transient dapat ditingkatkan nilainya maupun ditingkatkan nilai maksimumnya sampai curah hujan yang lebih tinggi (Gambar 10), melalui perbaikan karakteristik pori dalam tanah, misalnya dengan penambahan bahan organik, sehingga kemampuan tanah meretensi air meningkat. Penambahan bahan organik ke dalam tanah telah banyak terbukti dapat meningkatkan ketersediaan air dalam tanah melalui peningkatan kadar air pada kondisi kapasitas lapang (Lal dan Shukla, 2004) maupun meningkatkan agregasi tanah sehingga dapat meningkatkan jumlah pori struktural yang terdapat dalam makroagregat. Oleh karena itu, penambahan bahan organik perlu dilakukan pada lahan yang memiliki pori mikro lebih dominan, agar pergerakan air lebih cepat dan aerasi tanah tercukupi. Karena sifat bahan organik yang multifungsi, maka penambahan bahan organik juga sangat disarankan untuk lahan kering dalam rangka adaptasi terhadap kekeringan di musim kemarau (Bot dan Benites, 2005). 5.6.2. Kadar Hara dalam Tanah Pergerakan air dapat mempengaruhi kadar hara dalam tanah melalui distribusi kadar air sehingga dapat melarutkan pupuk maupun pergerakan air yang dapat membawa pupuk, hara terlarut, maupun hara yang terikat oleh koloid tanah. Selain itu, hara yang terikat oleh koloid tanah juga sangat dipengaruhi oleh karakteristik pori dalam tanah. Pada tanah-tanah yang didominasi oleh pori makro, hara yang teradsorpsi lebih mudah lepas ke larutan tanah dibanding hara yang teradsorpsi dalam pori mikro. Berdasarkan data sebaran hara N, P, dan K larutan tanah dari tiap selang 10 cm kedalaman tanah dan antara waktu pengukuran menunjukkan jumlah yang bervariasi. Kelarutan hara dalam tanah, selain dipengaruhi oleh kadar air juga dipengaruhi oleh reaksi kimia yang ada dalam tanah. Namun berdasarkan data sifat-sifat kimia yang dapat mempengaruhi kelarutan dan pergerakan hara dalam tanah seperti pH, kadar C-organik, kapasitas tukar kation, dan jumlah liat dari seluruh petak percobaan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Lampiran 14). Oleh karena itu perbedaan kadar hara tiap kedalaman dapat disebabkan oleh perbedaan karakteristik pori tanah yang 95 mempengaruhi kadar air yang dapat melarutkan hara maupun pergerakan air yang dapat membawa hara. Kedalaman tanah yang dicapai oleh masing-masing hara terlarut (amonium, nitrat, fosfat, dan kalium) berbeda-beda pada tiap umur tanaman. Hal ini berkaitan dengan tingkat kelarutan hara, mobilitas hara, dan pergerakan air yang dapat membawa hara. Menurut Granovsky et al. (1993), pergerakan solute dalam tanah sangat dipengaruhi oleh curah hujan, kadar air awal, maupun karakteristik pori dalam tanah. Hujan ringan pada tanah yang relatif kering tidak mampu menggerakkan hara lebih jauh. Hujan besar dalam waktu singkat cenderung menggerakkan hara, yang hanya melewati pori-pori makro yang kontinu. Adapun hujan ringan yang berlangsung cukup lama dapat menggerakkan hara melewati pori-pori mikro maupun hara yang ada di dalamnya. Apabila berbagai lahan memiliki karakter kimia yang sama dalam menentukan kadar hara dalam tanah, perbedaan kadar hara tiap kedalaman tanah dapat disebabkan oleh perbedaan karakteristik pori tanah melalui perbedaan pergerakan dan retensi air dan hara yang mempengaruhi distribusi air dan pergerakan hara, maupun perbedaan adsorpsi dan desorpsi hara akibat perbedaan distribusi agregat dalam tanah. Seperti telah dikemukakan di depan bahwa semakin besar ukuran agregat tanah lebih mudah mendesorpsi hara (Linguist et al., 1997). Namun semakin kecil ukuran agregat tanah, lebih banyak didominasi oleh pori mikro yang lebih menahan air dan hara. Oleh karena itu pada tanahtanah yang didominasi oleh agregat-agregat makro, pupuk lebih tersedia, tetapi peluang terjadinya pencucian juga lebih tinggi. Untuk ini, maka pada suatu wilayah yang memiliki penyebaran curah hujan tertentu, perlu adanya penelitian tentang pengelolaan tanah untuk mencapai proporsi pori yang seimbang untuk pergerakan dan ketersediaan hara, di mana disesuaikan dengan peluang kejadian hujan; sehingga kehilangan hara melalui pori makro pada saat terjadi hujan besar dapat diantisipasi. Berdasarkan pada hasil penelitian ini, terlihat bahwa kadar hara dalam larutan tanah meningkat dengan makin banyaknya ruang pori air mobil dan makin rendahnya kadar air dalam tanah. Untuk itu, maka perlu adanya pengelolaan 96 tanah untuk mencapai proporsi pori yang seimbang antara pori mikro untuk pemegang air, pori air mobil dengan diameter 15 x 10-4 mm < φ < 1x10-2 mm (15 bar < ψ < -0,3 bar) untuk ketersediaan air dan hara, serta ruang pori drainase untuk aerasi tanah. Ketersediaan air perlu dijaga agar tidak sampai lebih rendah dari potensial – 2 bar, agar hara masih berada dalam ruang pori air mobil, sehingga tidak terdifusi ke dalam ruang pori air imobil. Hal ini dapat dilakukan melalui pengelolaan tanah untuk mencapai laju perubahan storage dan kapasitas retensi air maksimum yang tinggi. Ada hal yang merupakan kontradiksi antara konservasi air dan konservasi hara. Pergerakan air cepat sangat diharapkan untuk drainase air di lahan kering, tetapi pergerakan air yang cepat dapat membawa hara ke luar dari zona perakaran. Untuk mengatasi hal ini, selain dengan pengelolaan untuk mencapai proporsi pori yang seimbang seperti yang telah diuraikan di atas, dapat dilakukan dengan rotasi penanaman tanaman berakar dalam agar dapat mengektraksi hara di bawah zona perakaran, atau melalui peningkatan retardasi pergerakan hara tanaman. Peningkatan retardasi pergerakan pupuk atau hara dapat dilakukan melalui pengelolaan tanah. Penambahan bahan organik ke dalam tanah di zone perakaran dapat memperbaiki/meningkatkan retardasi pergerakan hara, sehingga hara lebih terkonservasi di dalam zona perakaran. Pengelolaan hara dan air secara terintegrasi dapat mengefisiensikan penggunaan air maupun hara, sehingga dapat meningkatkan produksi tanaman. Pemberian air di lahan kering, melalui konservasi air yang baik, dapat memperbaiki status hara tanaman. Begitu juga kecukupan hara dapat menghemat dalam penggunaan air. Pemberian air yang cukup diperlukan oleh tanaman untuk pergerakan hara. Kekurangan air pada waktu kemarau di lahan kering dapat menghambat aliran massa dalam pergerakan N dan difusi dalam pergerakan P dan K untuk mencapai akar tanaman. Kekurangan air juga dapat menghambat pergerakan hara dalam tanaman maupun metabolisma tanaman (Roy et al., 2006). 97 Oleh karena itu untuk mendukung pengelolaan air dan hara di lahan kering, model pergerakan air dan dinamika kadar air pada berbagai karakteristik pori perlu dikembangkan lebih lanjut. VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pergerakan air (fluks aliran air maupun laju pergerakan air transient) di lahan kering berhubungan dengan karakteristik pori yang paling menentukan konduktivitas hidrolik, sesuai pada kondisi kadar air tanah. Pada penelitian ini, fluks aliran air lebih ditentukan oleh volume ruang pori air mobil; sedangkan laju pergerakan air transient lebih ditentukan oleh ruang pori mikro 2. Semakin besar jumlah hujan, fluks aliran air makin besar sampai mencapai maksimum (negatif paling besar) konstan dengan model: q = - 2,12 + 2,36 e - 0,023 CH Laju pergerakan air transient meningkat sampai maksimum, kemudian cenderung konstan dengan makin besarnya jumlah hujan, dengan model: dθ/dt =- 0,24 + (CH/(2,92)0,46; CH < CH KL 3a. Pengaruh fluks aliran air dan laju pergerakan air transient terhadap kadar air tanah tergantung pada kapasitas retensi air maksimum tanah dan jumlah hujan. b. Pengaruh fluks aliran air dan laju pergerakan air transient terhadap kadar hara tanah tergantung pada karakter tanah dan jenis hara. Fluks aliran air maupun laju pergerakan air transient tidak berpengaruh langsung terhadap kadar hara tanah, tetapi melalui perubahan kadar air tanah. Kadar nitrat dan kalium makin berkurang dengan meningkatnya kadar air tanah 4. Selain dipengaruhi oleh kadar air, kadar hara juga dipengaruhi oleh karakteristik pori tanah, baik secara langsung maupun tak langsung Kadar ammonium secara tak langsung meningkat dengan peningkatan ruang pori drainase sangat cepat. Kadar nitrat secara tak langsung menurun dengan peningkatan ruang pori air imobil. Kadar P dan K meningkat dengan makin 98 besarnya ruang pori air mobil, dan kadar K menurun dengan makin besarnya ruang pori air imobil. 6.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, untuk konservasi tanah dan air serta ketersediaan air dan hara yang optimum di lahan kering, perlu diciptakan proporsi ruang pori air mobil yang seimbang antara di atas dan di bawah kondisi kapasitas lapang, maupun ruang pori mikro untuk pemegang air sesuai sebaran curah hujan setempat. Penelitian seperti ini sangat baik direplikasikan di tempat lain yang memiliki karakteristik pori dan sebaran curah hujan berbeda. DAFTAR PUSTAKA Addae, P.C. dan Pearso C.J. 1992. Variability and seedling elongation of wheat, and some factors associated with it. Australian Journal of Experimental Agriculture 32:377-382 Addiscott T.M. dan Whitmore A.P. 1991. Simulation of solute leaching in soils of differing permeabilities. Soil Use Management. 7: 94-102. Akhtar, M.S., B.K. Richard, P.A. Medrano, M. deGroot, dan T.S. Steenhuis. 2003a. Dissolved phosphorus from undisturbed soil cores: related to adsorption strength, flow rate, or soil structure. Soil Sci.Soc. Am. J. 67:458-470. Akhtar, M.S., T. S. Steenhuis, B.K. Richards, dan M. B. McBride. 2003b. Chloride and lithium transport in large arrays of undisturbed silt loam and sandy loam soil columns. Vadose Zone J. 2: 715-727. Alexander, M. 1977. Soil Microbiology. John Wiley & Sons. New York. Allen, R.G., L.S. Pereira, D. Raes, dan M. Smith. 1998. Crop evapotranspirationGuidelines for computing crop water requirement-FAO Irrigation and drainage paper 56. FAO. Rome. Amoozegar, A. dan A. W. Warrick. Hydraulic Conductivity of Saturated Soils: Field Methods. In A. Klute (eds) Methods of Soil Analysis. Am. Soc. Agron. Inc, Soil Sci. Soc. Am. Inc Madison, Wisconsin USA. Arya, L.M., F.J. Leij, P.J. Shouse, dan M.T. Van Genuchten. 1999. Relationship between the hydraulic conductivity function and the particle size distribution. Soil Sci. Soc. Am.J. 63:1063-1070. Atmosentono, H. 1968. Tanah sekitar Bogor. Laporan Pemetaan Tanah. Lembaga Penelitian Tanah. Bogor. Aydin, M., T. Yano, dan S. Kilic. 2004. Dependence of zeta potential and soil hydraulic conductivity on adsorbed cation and aqueous phase properties. Soil Sci.Soc. Am. J. 68:450-459. Bagarello, V., M. Iovino, dan D. Elrick. 2004. A Simplified falling-head technique for rapid determination of field - saturated hydraulic conductivity. Soil Sci. Soc. Am. J. 68:66-73 Baker, R. S., dan D. Hillel. 1990. Laboratory test of a theory of fingering during infiltration into layered soils. Soil Sci. Soc. Am. J. 54: 20-30. 100 Balesdent, J.,C. Chenu, dan M. Balabane. 2000. Relationship of soil organic matter dynamics to physical protection and tillage. Soil Tillage Res. 53:215-230. Baver, L. D., W. H. Gardner, dan W. R. Gardner. 1978. Soil Physics. Wiley Eastern Limited. New Delhi. Bejat, L., E. Perfect, V. L. Quisenberry, M. S. Coyne, dan G. R. Haszler. 2000. Solute transport as related to soil structure in unsaturated intact soil blocks. Soil Sci.Soc. Am. J. 64: 818-826 Blake, G.R. dan K.H. Hartge. 1986. Bulk Density. In A. Klute (eds) Methods of Soil Analysis. Am. Soc. Agron. Inc, Soil Sci. Soc. Am. Inc Madison, Wisconsin USA. Ben-Hur, M., J. Letey, W.J. Farmer, C.F. Williams, dan S.D. Nelson. 2003. Soluble and solid organic matter effects on atrazine adsorbtion in cultivated soils. Soil Sci. Soc. Am. J. 67:1140-1146. Beven, K. J. dan P. Germann. 1982. Macropores and water flow in soils. Water Resour. Res. 18: 1311-1325. Bodhinayake, W., B.Cheng Si, dan C. Xiao. 2004. New method for determining water-conducting macro - and mesoporosity from tension infiltrometer. Soil Sci. Soc. Am. J. 68:760-769 Bot, A. dan J. Benites. 2005. Drought-Resistant Soils. FAO. Rome Bouma, J., R. B. Brown , dan P.S.C. Rao. 2004. Movement of water: Basics of soil-water relationships-Part III. http://edis.ifas.ufl. edu/pdffiles/ SS/ SS11000.pdf. Bouma, J., P.S.C. Rao, dan R. B. Brown. 2004. Soil as a porous medium: Basics of soil-water relationships – Part I. http://edis.ifas.ufl.edu/BODY_SS108. Bustarimuddin. 2002. Peta tanah tinjau mendalam dan peta kesesuaian lahan kota Bogor dan sekitarnya. Skripsi Jurusan Tanah, Faperta, IPB. Bogor. Campbell, C.A., G.P. Lafond, R.P. Zentner, dan Y.W. Jame. 1994. Nitrate leaching in a Udic Haploboroll as influenced by fertilization and legumes. J. Environ. Qual. 23:195–201. Campbell, C.A., F. Selles, G. P. Lafond, V. O. Biederbeck, dan R. P. Zenter. 2001. Tillage-fertilizer changes: Effect on some soil quality attributes under long-term crop rotation in a thin Black Chernozem. Can. J. Soil Sci. 81:157-165. 101 Climate Ark. 2008. Climate change and global warming portal. http://www.climate ark. org. Clothier, B.E., M.B. Kirkham, dan J.E. McLean. 1992. In situ measurements of the effective transport volume for solute moving through soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 56:733-736 Communar, G., R. Keren, dan F. H. Li . 2004. Deriving boron adsorption isoterm from soil column displacements. Soil Sci. Soc. Am. J. 68: 481-488. Coquet, Y. 2003. Sorption of pesticides atrazine, isoproturon, and metamitron in the vadose zone. Vadose Zone J. 2:40-51. Cote, Cm., K.L.Bristow, dan P.J. Ross. 1999. Quantifying the influence of intraaggregate concentration gradients on solute transport. Soil Sci. Soc. Am. J. 63:759-767. Cresswell, H.P., D.E Smiles, dan J.Williams 1992. Soil structure, soil hydraulic properties and the soil water balance. Australian Journal of Soil Research 30(3) 265 – 283. CSR/FAO Staff. Reconnaissance Land Resource Surveys 1:250 000 scale Atlas Format Procedures. 1983. Centre for Soil Research. Bogor. De Boodt, M., De Leenheer, L., dan Kirkham, D. 1961. Soil aggregate stability indexes and crop yield. Soil Sci. 91:138-146. Dunn, G. H. dan R. E. Phillips. 1992. Equivalent diameter of simulated macropore systems during saturated flow. Soil Sci. Soc. Am. J. 56: 52-58. Durner, W. 1994. Hydraulic conductivity estimation for soils with heterogenous pore structure. Water Resour. Res. 30:211-223. Edwards, D.R. dan T. C. Daniel. 1993. Effect of litter application rate and rainfall intensity on quality of runoff from fescue grass plots. J. Environ. Qual. 22:361-365. Edwards, W.M., M.J. Shipitalo, W.A. Dick, dan L.B. Owens. 1992. Rainfall intensity affects transport of water and chemicals through macropores in no-till soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 56: 52-58. Gentry, L. E., M.B. David, K.M. Smith-Straks, dan D.A Kovacic. 2000. Nitrogen fertilizer and herbicide transport from tile drained fields. J. Environ Qual. 29: 232-240. 102 Granovsky, A.V., E.L. McCoy, W.A. Dick, M.J. Shipitalo, dan W. M. Edwards. 1993. Water and chemical transport through long-term no-till and plowed soils. Soil Sci. Soc. Am. J. 57:1560-1567. Gregorich, E.G. dan M.R. Carter. 1997. Soil Quality: For Crop Production and Ecosystem Health. Elsevier. Amsterdam. Hamblin, A. P. 1985. The influence of soil structure on water movement, crop root growth and water uptake. Advanves in agronomy. 38:95-158. Hamlen, C.J. dan R.G. Kachanoski. 2004. Influence of initial and boundary conditions on solute transport through undisturbed soil columns. Soil Sci. Soc. Am. J. 68: 404-416 . Hanks, R. J. dan G. L. Ashcroft. 1986. Applied Soil Physics. Springer-Verlag. Heidelberg. Hayes, M.H.B., dan U. Mingelgrin. 1990. Interactions between small organic chemicals and soil colloidal constituents. In G.H.Bolt, M.F. De Boodt, M.H.B.Hayes, dan M.B.McBride (eds) Interactions at the soil Colloids Soil Solution Interface. Dordrecht: Kluwer Acad. Publishers. Herudjito, D. 1977. Contribution to The Study of Vertical Water Movement in Natural and Conditioned Silty Loam Soil. Doctor Thesis. State University of Ghent. Belgium Hillel, D., 1980. Fundamentals of Soil Physics. Academic Press. New York. Ingaramo. O.E., Benito R.E., Paz-Gonzalez A., dan Miranda J.G.V. 2004. Fractal analysis of pore size distributions in tilled soil. http://www.sfst. org/ Proceedings/17WCSS.CD/papers/1169.pdf Iwata, S., T. Tabuchi, dan B. P. Warkentin. 1995. Soil – Water Interactions. Marcel Dekker, Inc. New York. Jensen, M. B., H. C. B. Hansen, S. Hansen, P. R. Jorgensen, J. Magid, dan N.E. Nielsen. 1998. Phosphate and tritium transport through undisturbed subsoil as affected by ionic strength. J. Environ. Qual. 27: 139-145. Jury, A.W., W.R. Gardner, dan W.H. Gardner. 1991. Soil Physics. John Wiley & Sons. Inc. New York. Kay, D. 1990. Rates of changes of soil structure under different cropping systems. Adv. Soil Sci. 12:1-52. 103 Kemper, W. D. dan R. C. Rosenau. 1986. Aggregate stability and size distribution In A.Klute (eds) Methods of Soil Analysis. Am. Soc. Agron. Inc, Soil Sci. Soc. Am. Inc Madison, Wisconsin USA. Klute, A. dan C. Dirksen. 1986. Hydraulic conductivity and diffusivity: laboratory methods. In A. Klute (eds) Methods of Soil Analysis. Am. Soc. Agron. Inc, Soil Sci. Soc. Am. Inc Madison, Wisconsin USA. Koorevaar, P., G. Menelik, C. Dirksen. 1983. Elements of Soil Physics. Elsevier Science Publishing Company INC. New York. Kramer, P. J. 1977. Plant and Soil Water Relationships: A Modern Synthesis. Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd. Kung, K. J. S. 1990 a. Preferential flow in a sandy vadose zone, I, Field observation. Geoderma: 46: 51-58. Kung, K. J. S. 1990 b. Preferential flow in a sandy vadose zone: Mechanism and implications. Goederma. 46: 59-71. Lado, M., A. Paz, dan M. Ben-Hur. 2004. Organic matter and aggregate-size interactions in saturated hydraulic conductivity. Soil Sci. Soc. Am. J. 68:234 - 242 Lal, R. dan M. K. Shukla. 2004. Principles of Soil Physics. Marcel Dekker, Inc. New York. Letey, J. 1985. Relationship between soil physical properties and crop production. Adv. Soil Sci. 1:277-294. Li, H., G. Sheng, B.J. Teppen, C.T. Johnston, dan S.A. Boyd. 2003. Sorption and desorption of pesticides by clay minerals and humic acid-clay complexes. Soil Sci. Soc. Am. J. 67:122-131. Linquist, B. A., P.W. Singleton, R.S. Yost, dan K. G. Cassmen. 1997. Aggregate size effects on the sorption and release of phosphorus in an Ultisol. Soil Sci. Soc. Am. J. 61: 160-166. Luxmoore, R.J. 1981. Micro-, meso, and macroporosity of soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 45:671-672 Marshall, T. J. dan J. W. Holmes. 1988. Soil Physics. Cambridge University Press. New York. Martens, D. A. 2000. Management and crop residue influence soil aggregate stability. J. Environn. Qual. 29:723-727. 104 Mengel, K. dan E. A. Kirkby. 1982. Principles of Plant Nutrition. International Potash Institute . Bern, Switzerland. Mengel, K. 1985. Dynamics and availability of major nutrients in soils. In Stewart, B.A. (ed) Adv. Soil Sci. 2:65-131 Nemati, M.R., O Banton, J. Caron, dan L. Delaporte. 2003. Contamination by slaked fragments with sorbed compounds in a structured soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 67:694-702. Newman, A.C.D. dan M.H.B. Hayes. 1990. Some properties of clay and of other soil colloids and their influences on soils. In M.F. De Boodt, M.H.B. Hayes, and A. Herbillon (eds) Soil Colloids and Their Associations in Aggregates. Plenum Press. New York . Oades, J. M. 1986. Aggregation in Soils. In Rengasamy, P. (Ed) Soil Structure And Aggregate Stability. Proc. of A Seminar, Inst. For Irrigation and Salinity Res. Tatura, 4 th August, 1986. Page A.L. 1982. Methods of Soil Analysis. 2nd edition, Part 2. Chemical and Microbiological Properties. Madison, Wisconsin. USA. Pearson, C. J., D. W. Norman, dan J. Dixon. 1995. Sustainable Dryland Cropping in Relation to Soil Productivity. FAO Soils Bulletin 72. FAO. Rome. Perfect, E. M. C. Sukop, dan G. R. Haszler, 2002. Predictiopn of dispersivity for undisturbed soil columns from water retention parameters. Soil Sci. Soc. Am. J. : 696-701. Peterson, T.A. dan M.P. Russelle. 1991. Alfalfa and the nitrogen cycle in the Corn Belt. J. Soil Water Conserv. 44:229–235. Ross, S. 1989. Soil Prosesses. A. Systematic Approach. Roudledge :London. New York. Roy, R. N., A. Finck, G. J. Blair, dan H.L.S. Tandon. 2006. Plant Nutrition for Food Security. FAO, Rome. Saxton, K. E., W. J. Rawls, J. S. Romberger, dan R. I. Papendick. 2004. Estimating generalized soil-water characteristics from texture. http:// www.bsyse.wsu.edu/saxton/soilwater/Article.html. Scott, C. A., L. D. Geohring, dan M. F. Water. 1998. Water quality impacts of tile drains in shallow, sloping, structural soils as affected by manure application. Appl. Eng. Agric. J. 14:599-603. 105 Sharpley, A. N. 1997. Rainfall frequency and nitrogen and phosphorous runoff from soil amended with poultry litter. J. Environ. Qual. 26:1127-1132. Shaxson, F. dan R. Barber. 2003. Optimizing Soil Moisture for Plant Production. FAO Soils Bull. 79. http://www.fao.org/DOCREP/006/Y4690E00.HTM. Shipitalo, M.J., W.M. Edwards, W.A. Dick, dan L.B. Owens. 1990. Initial storm effects on macropore transport of surface-applied chemicals in no-till soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 54: 1530-1536. Simard, R. R. , S. B. Beauchemin, dan P. M. Haygarth. 2000. Potential for preferential pathways of phosphorus transport. J. Environ. Qual.29:97-105. Sims, J. T., R. R. Simard, dan B.C. Joern. 1998. Phosphorus loss in agricultural drainage: Historical perspective and current research. J. Environ. Qual. 27: 277-293 Six, J., E.T. Elliott, dan K. Paustian. 1999. Aggregate and soil organic matter dynamics under conventional and no-tillage system. Soil Sci. Soc. Am.J. 63:1350-1358. So, H. B. dan T. Woodhead. 1986. Alleviation of soil physical limits to productivity of legumes in Asia. In Food legume improvement for Asian Farming Systems. edited by E.S. Wallis and D.E. Byth. Proceedings of an international workshop held in Khon Kaen, Thailand, 1-5 September 1986. Southwick, L. M., G. H. Wills, D. C. Johnsons, dan H. M. Selim. 1995. Leaching of nitrate, atrazine, and metribuzin from sugarcane in southern Louisiana. J. Environ. Qual. 24: 684-690. Steenhuis, T. S., J. Boll, G. Shalit, J. S. Selker, dan I. A. Merwin. 1994. A simple equation for predicting preferential flow solute concentration. J. Environ. Qual. 23: 1058-1064. Sugita, F., T. Kishii, dan M. English. 2004. Effects of macropore flow on solute transport in a vadose zone under repetitive rainfall events. Proceedings of Groundwater Quality 2004, the 4th International Groundwater Quality Conference, held at Waterloo, Canada, July 2004. Tan, K.H. 1982. Principles of Soil Chemistry. Marcel Dekker, Inc. New York.. Tan, K. H. 1994. Environmental Soil Science. Marcel Dekker, Inc. New York. 106 Thornthwaite, C.W. dan J. R. Mather. 1957. Instruction and Tables for Computing Potential Evapotranspiration and The Water Balance. Publications in Climatology. Centerton, New Jersey. Timlin, D. J., G.C. Heathman, dan L. R. Ahuja. 1992. Solute leaching in crop row vs. interrow zones. Soil Sci. Soc. Am. J. 56: 384-392. Tisdale, S. L, W.L. Nelson, J.D. Beaton, dan J.L.Havlin. 1993. Soil Fertility and Fertilizers (fifth ed.). Macmillan Publishing Company.. New York. Tisdall, J. M. dan J. M. Oades. 1982. Organic matter and water-stable aggregates in soils. J. Soil Sci. 33:141-163. Toride, N., M. Inoue, dan F. J. Leij. 2003. Hydrodynamic dispersion in an unsaturated Dune sand. Soil Sci. Soc. Am. J. 67:703–712 . Torr, G.S., L.M. Condron, H.J.Di, dan K. C. Cameron. 2004. Seasonal fluctuations in phosphorus loss by leaching from a grassland soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 68:1429-1436. Trojan, M. D. dan D. R. Linden. 1992. Microrelief and rainfall effect on water and solute movement in earthworm burrows. Soil Sci. Soc. Am. J. 56: 727-733 Unger, P. W., O.R. Jones, J. D. McClenagan, dan B.A. Stewart. 1998. Aggregation of soil cropped to dryland wheat and grain sorghum. Soil Sci. Soc. Am. J. 62:1659-1666. USDA. 1991. Irrigation. National Engineering Handbook Section 15-1. 2nd Edition. Soil Conservation Service. Vanderborght, J., A. Timmerman, dan J. Feyen. 2000. Solute transport for steady-state and transient flow in soils with and without macropores. Soil Sci. Soc. Am. J. 64: 1305-1317. Varvel, G.E. dan T.A. Peterson. 1990. Residual soil nitrogen as affected by continuous, two-year, and four-year crop rotation systems. Agron. J. 82:958–962. Vervoort, R.W., D.E. Radcliffe, dan L.T.West. 1999. Soil structure development and preferential solute flow. Water Resource Research 35:913-928. Vrugt, J. A., J. W. Hopmans, dan J. Simunek, 2001. Calibration of a twodimensional root water uptake model. Soil Sci. Soc. Am. J. 65: 1027-1037. 107 Wagenet, R. J. 1986. Water and Solute Flux. In A. Klute (eds) Methods of Soil Analysis. Am. Soc. Agron. Inc, Soil Sci. Soc. Am. Inc Madison, Wisconsin USA. Wang, X., R.S. Yost, dan B.A. Linguist. 2001. Soil aggregate size affects phosphorus desorption from highly weathered soils and plant growth. Soil Sci. Soc. Am. J. 65:139-146. Whalen, J.K., Q. Hu, dan A. Liu. 2003. Compost applications increase waterstable aggregates in conventional and no-tillage systems. Soil Sci. Soc. Am. J. 67:1842-1847. William, A. G., D. Schofield, J. F. Dowd, N. Holden, dan L. Deeks. 2000. Investigating preferential flow in a large intake soil block under pasture. Soil Use Manage. 16: 264-269 William, A. G., John F. D., D. Schofield, Nicholas M. H., dan Lynda K. D. 2003. Preferential flow variability in a well-structured soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 67:1272-1281 LAMPIRAN 108 Lampiran 1. Nilai rataan karakteristik pori tanah lahan lokasi penelitian No Kedalaman Peubah 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-50 cm 1 RPT (%) 62,56+ 2.25 62,99+1.78 63,32+4.04 63,44+4.47 63,50+4.19 2 Stabilitas pori 57,62+ 19.42 58,96+20.25 36,76+3.78 36,92+4.41 36,83+3.85 3 RPDSC (%) 7,79 + 5.20 8,19+4.79 8,64+4.73 7,68+5.70 8,02+4.71 4 RPDC (%) 10,22+ 4.06 11,21+4.30 7,01+2.89 6,60+3.97 6,77+3.41 5 RPDL (%) 2,75+1.87 2,60+1.98 2,74+1.83 2,70+1.80 2,75+1.75 6 RPD (%) 20,76+4.80 22,01+4.08 18,39+4.68 16,97+6.42 17,54+5.28 7 RPAT (%) 15,20+4.01 14,29+3.67 17,37+5.06 17,91+4.30 17,77+3.76 8 RP mikro (%) 41,81+2.89 40,98+3.01 44,93+4.89 46,47+4.97 45,96+4.32 9 RP air mobil (%) 26,51+3.99 26,66+3.61 22,60+5.45 21,00+6.55 21,81+5.67 10 RP air imobil (%) 36,06+2.94 36,33+2.74 40,96+3.89 42,44+3.18 41,69+2.24 Lampiran 2. Uji beda nilai tengah karakteristik pori lahan lokasi penelitian No Peubah t hitung antara lokasi 1 dan 2 1 dan 3 2 dan 3 1 RPT 9,69* 17,28* 4,60* 2 St.pori 3,67* 3,57* 2,77* 3 RPDSC 4,14* 12,50* 6,76* 4 RPDC 0,72 0,19 0,83 5 RPDL 3,53* 6,47* 1,66 6 RPD 2,29* 6,96* 7,02* 7 RPAT 5,14* 3,69* 0,08 8 RP mikro 1,08 4,95* 5,26* 9 RP air mobil 1,27 5,84* 6,69* 10 RP air imobil 4,15* 5,84* 6,69* 109 Lampiran 3. Penetapan Stabilitas Agregat Tanah Stabilitas agregat tanah ditentukan dengan metode pengayakan basah dan pengayakan kering. Penetapan distribusi ukuran agregat menggunakan indeks distribusi ukuran agregat yang disebut diameter massa rata-rata (DMR, MWD) dan diameter ratarata geometri (DRG, GMD). Pengayakan kering dilakukan pada agregat yang > 8 mm dengan menggunakan susunan ayakan basah dengan ukuran 8 mm, 4,76 mm 2,83 mm, 2 mm, dan penampung. Pengayakan basah dilakukan terhadap proporsi/ persentase hasil pengayakan basah, di mana antara susunan ayakan 8 mm dengan 4,76 mm, 4,76 mm dengan 2,83 mm, dan antara 2 mm dengan 0,21 mm. Dari proporsi tersebut digunakan untuk pengayakan basah berdasarkan persentase proporsi masing-masing ayakan, dengan total contoh tanah sebanyak 100 gram. Di bawah susunan ayakan tersebut ditambaha dengan ayakan berukuran 1 mm, 0,5 mm, dan 0,279 mm. Bobot agregat dari masing- masing ukuran ayakan baik hasil pengayakan kering maupun basah diperhitungkan dengan rumus: MWD = n ∑x i =1 i wi di mana MWD adalah diameter massa rata-rata, xi = ukuran ayakan yang ke i, dan wi = massa agregat pada ukuran ke i. Selanjutnya indeks stabilitas agregat (ISA) tanah ditetapkan sebagai berikut: ⎡ ISA = ⎢ ⎢⎣ DMR ker ing 1 − DMR basah ⎤ ⎥ × 100 % ⎥⎦ Adapun diameter rata-rata geometri (GMD) ditentukan sebagai berikut: ⎡ n ⎤ ⎢ ∑ wi log xi ⎥ ⎥ GMD = exp ⎢ i = 1 n ⎢ ⎥ wi ∑ ⎢ ⎥ i =1 ⎣ ⎦ 110 Lampiran 4. Prosedur Penghitungan Neraca Air Thornthwaite and Mather (1957). Penghitungan Evapotranspirasi potensial (ETp) menggunakan metoda pendugaan evapotranspirasi potensial Thornthwaite dilakukan melalui persamaan 1, 2, dan 3. 1. Tentukan nilai indeks bahang i bulanan i = (tn/5)1,514 ................................................(1) I = ∑ i ; i = 1, ...... 12 log 135 – log Ep* log 26,5 – log tn ---------------------- = ----------------------log 135 – log 16 log 26,5 – log I/10 2. Tentukan/hitung EP* EP* = 16 (10tn/i)a ............................................(2) dimana a = a = 675 x 10-9 x I3 – 771 x 10-7 I2 + 0,01792 x i + 0,49239 3. Tentukan ETp ETp = f x Ep* ...................................................( 3) Di mana Ep*, adalah evapotranspirasi potensial baku untuk bulan 30 hari dan hari 12 jam, mm/bulan ETp, adalah evapotranspirasi potensial bulanan, mm/bulan f, adalah faktor koreksi untuk panjang hari dan bulan (Tabel A) i, adalah indeks bahang bulanan (Tabel B) I, adalah indeks bahang tahunan tn, adalah rerata suhu bulanan untuk masing-masing bulan dalam tahun, n = 1, 2, ..., 12), oC. Catatan: Metoda ini dapat disiapkan dalam bentuk nomogram. Untuk tn > 26,5 maka Ep* = F(t) karena I tidak nyata. 111 4. Penghitungan Evapotranspirasi Aktual Penghitungan evapotranspirasi aktual didasarkan pada konsep tatabuku kelengasan lapisan pada zona perakaran tanaman. Kadar lengas tanah (ST) akan bervariasi dari waktu ke waktu dan besarnya bergantung pada kadar lengas tanah kondisi kapasitas lapang (STo) dan akumulasi defisit hujan (APWL), yang dapat dihitung dengan persamaan berikut: ST = STo x e (APWL/STo) Dimana STo adalah kapasitas simpanan air yang nilainya dihitung dengan persamaan STo = KaKL x Da , di mana KaKL adalah kadar air kapasitas lapang (dalam %-volume) dan Da adalah kedalaman zona perakaran Penetapan evapotranspirasi aktual (ETa) di dasarkan pada beberapa asumsi atau ketentuan berikut : a. Jika P = ETp, yaitu pada bulan basah maka ETa = ETp dan ∆ST = 0; Artinya tidak ada perubahan air tanah b. Jika P > ETp, yaitu pada bulan basah maka ETa = ETp, ∆ST > 0; Artinya tidak ada perubahan air tanah, dan jika kapasitas simpanan air tanah (STo) sudah terpenuhi maka kelebihan air akan menjadi surplus (S) sehingga P = ETp + ∆ST + S (surplus) c. Jika (P < ETp), yaitu pada bulan kering maka ∆ST < 0 ; Artinya terjadi penurunan kadar lengas tanah karena air diguakan untuk memenuhi kebutuhan evapotranspirasi sehingga ETa = P + ∆ST dan jika P + ∆ST < ETp maka kondisi tersebut adalah defisit, besarnya defisit adalah : D = ETp - ETa atau D = Etp – (P + ∆ST) Prosedur perhitungan Neraca Air selanjutnya dilakukan dengan mengikuti langkah L1L18 untuk mengisi komponen neraca air pada Tabel Neraca air. 112 L1 : Masukkan nilai P bulanan (data suda tersedia sebelumnya) dan ETp bulanan (hasil perhitungan Thornthwaite & Mather ) ke dalam tabel Lalu hitung (P – ETp) L2 : Hitung total tahunan: ∑P ; ∑ETp dan ∑(P – Etp) jika ∑(P – ETp) > 0, maka terjadi surplus hujan, S jika ∑(P – ETp) < 0, maka terjadi defisit hujan, D L3 Surplus hujan pada akhir masa periode basah di mana (P – ETp) > 0, tanah akan jenuh oleh air, ST = Sto L4 Tentukan nilai akumulasi defisit hujan (APWL) dengan mengakumulasikan nilai (P – ETp) negatif secara berturutan: APWL = ∑(P – ETp)neg Nilai APWL tidak ada pada saat (P – ETp) positif, sehingga begitu nilai (P – ETp) positif terjadi, perhitungan APWL berhenti. Jika selanjutnya bulan kering (P-ETp) negatif terjadi lagi, perhitungan APWL dimulai kembali, pada kasus ini perhitungan neraca air mengikuti L16. L5 Tentukan nilai kadar lengas tanah (ST ) dengan menggunakan rumus ST = STo x e (APWL/STo) Perhitungan ST dimulai dari bulan dimana kondisi kering (P-ETp adalah negatif) pertama kali terjadi dan rumus tersebut hanya digunakan saat P-ETp negatif. Bulan berikutnya setelah masa kering berakhir, ST = ST bulan sebelumnya di tambah dengan nilai (P-ETp), demikian seterusnya hingga nilai ST + (PETp)positif ≥ STo. Pada saat tersebut nilai ST = STo dan kelebihan airnya menjadi surplus (S) L6 Tentukan ∆ST dengan cara mengurangkan ST bulan tertentu dengan ST bulan sebelumnya L7 Tentukan nilai evapotranspirasi dengan kaidah berikut: Pada bulan basah di mana (P – ETp) positif atau sama dengan 0, ETa = ETp, sedangkan pada bulan kering (P – ETp) negatif : ETa = P - ∆ST Jika ETa < ETp maka defisit terjadi, D = ETp – ETa L8 Tentukan nilai surplus S dengan kaidah berikut Surplus hanya terjadi pada saat kadar lengas tanah maksimum tercapai, ST = 113 STo. Pada saat ST < STo nilai (P-ETp) digunakan untuk mengisi ST terlebih dahulu hingga mencapai STo, baru kemusian sisanya menjadi surplus (S) yang merupakan sumber debit/limpasan. Jadi: S = (P – ETp) - ∆ST L9 (S > 0) Untuk total tahunan berlaku: ∑∆ST = 0 ∑ S = ∑P - ∑ETa ∑ D = ∑ETp - ∑Eta L10 Defisit hujan . - akumulasikan semua nilai negatif dari (P – ETp): ∑(P – ETp)neg - akumulasikan semua nilai positif dari (P – ETp): ∑(P – Etp)pos L11 ∑(P – ETp)pos < Sto ∑(P – ETp)pos > STo ∑(P – ETp)pos ~ Sto L11 Jika ∑(P – ETp)pos < STo, tanah tidak akan pernah jenuh. pada akhir masa basah, kadar lengas tanah meningkat dari ST’’ menjadi ST’. Kemudian, ambil satu dari dua nilai APWL (APWL’ dan APWL ‘’) dengan nilai ST’ dan ST’’ bersangkutan, sehingga: APWL’ – APWL’’ = ∑(P – ETp)neg ST’ - ST’’ = ∑(P – ETp)pos pada akhir masa basah dimulai dengan nilai APWL’ dan ST’, dan seterusnya. Setelah bulan kering ke-n; APWL = APWL’ - ∑(P – ETp)neg Begitu nilai positif untuk (P – ETp) diperoleh, deret diputus. Jika kemudian terjadi bulan kering kembali, deret baru dimulai L13 Dari nilai APWL, dapatkan ST: selanjutnya ikuti menurut L6 dan nomer berikutnya. L14 (L11) Jika ∑(P – ETp)pos > STo, tanah mencapai kejenuhan sehingga pada akhir 114 masa basah STo dicapai. Selanjutnya ikuti L4 dan nomer berikutnya. L15 (L11) Jika ∑(P – ETp)pos ~ STo kejenuhan dapat terjadi atau tidak, Dengan beberapa upaya dapat diperoleh jawaban dari : ∑ ST = 0. L16 (L4 atau L12) Kadang-kadang, masa kering terputus oleh masa hujan singkat dari beberapa bulan basah. Jika kemudian STo tercapai, surplus terjadi L17 Jika STo tidak tercapai, maka tidak terjadi surplus L18 L17 Jika STo tercapai pada masa hujan singkat, APWL pa masa kering berikutnya dihitung menurut L4, perhitungan selanjutnya mengikuti L5 dan nomer berikutnya L18 (L16) Jika Sto tidak tercapai pada masa hujan singkat, tetapi hanya kadar lengas ST* < STo, hitung menurut nilai APWL*, dan ambil sebagai nilai awal dari deret baru. Setelah n bulan kering dari deret baru: APWL = APWL* - ∑(P – ETp)neg Tabel Neraca Air Bulanan Menurut Metode Thornthwaite & Mather (1957) J F M A M J J A S O N D Tahun P ETp P-ETp APWL ST ∆ST ETa D S Tabel A. Faktor Koreksi Panjang Hari dan Bulan untuk Bulan 30 Hari dan Hari 12 Jam. Lat.O J F M A M J J A S O N D 20 N .95 .90 1.03 1.05 1.13 1.11 1.14 1.11 1.02 1.00 .93 .94 15 N .97 .91 1.03 1.04 1.11 1.08 1.12 1.08 1.02 1.01 .95 .97 10 N 1.00 .91 1.03 1.03 1.08 1.06 1.08 1.07 1.02 1.02 .98 .99 05 N 1.02 .93 1.03 1.02 1.06 1.03 1.06 1.05 1.01 1.03 .99 1.02 00 1.04 .94 1.04 1.01 1.04 1.01 1.04 1.04 1.01 1.04 1.01 1.04 05 S 1.06 .95 1.04 1.00 1.02 .99 1.02 1.03 1.00 1.05 1.03 1.06 10 S 1.08 .97 1.05 .99 1.01 .96 1.00 1.01 1.00 1.06 1.05 1.10 15 S 1.12 .98 1.05 .98 .98 .94 .97 1.00 1.00 1.07 1.07 1.12 20 S 1.14 1.00 1.05 .97 .96 .91 .95 .99 1.00 1.08 1.09 1.15 115 Tabel B. Nilai Indeks Bahang I Bulanan Menurut Rerata Suhu Bulanan Suhu oC ,0 ,1 0 ,2 ,3 ,4 ,5 ,6 ,7 ,8 ,9 0.01 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 5 1.00 1.03 1.06 1.09 1.12 1.16 1.19 1.22 1.25 1.29 10 2.86 2.90 2.94 2.99 3.03 3.08 3.12 3.16 3.21 3.25 11 3.50 3.34 3.39 3.44 3.48 3.53 3.58 3.62 3.67 3.72 12 3.76 3.81 3.86 3.91 3.96 4.00 4.05 4.10 4.15 4.20 13 4.25 4.30 4.35 4.40 4.45 4.50 4.55 4.60 4.65 4.70 14 4.75 4.81 4.86 4.91 4.96 5.01 5.07 5.12 5.17 5.22 15 5.28 5.33 5.38 5.44 5.49 5.55 5.60 5.65 5.71 5.76 16 5.82 5.87 5.93 5.98 6.04 6.10 6.15 6.21 6.26 6.32 17 6.38 6.44 6.49 6.55 6.61 6.66 6.72 6.78 6.84 6.90 18 6.95 7.01 7.07 7.13 7.19 7.25 7.31 7.37 7.43 7.49 19 7.55 7.61 7.67 7.73 7.79 7.85 7.91 7.97 8.03 8.10 20 8.16 8.22 8.28 8.34 8.41 8.47 8.53 8.59 8.66 8.72 21 8.78 8.85 8.91 8.97 9.04 8.10 9.17 9.23 9.29 9.36 22 9.42 9.49 9.55 9.62 9.68 9.75 9.82 9.88 9.95 10.01 23 10.08 10.51 10.21 10.28 10.35 10.41 10.48 10.55 10.62 10.68 24 10.75 10.82 10.89 10.95 11.02 11.09 11.16 11.23 11.30 11.37 25 11.44 11.50 11.57 11.64 11.71 11.78 11.85 11.92 11.99 12.06 26 12.13 12.21 12.28 12.35 12.42 12.49 12.56 12.63 12.70 12.78 27 12.85 12.92 12.99 13.07 13.14 13.21 13.28 13.36 13.43 13.50 28 13.58 13.65 13.72 13.80 13.87 13.94 14.02 14.09 14.17 14.24 29 14.32 14.39 13.47 14.54 14.62 14.69 14.77 14.84 14.92 14.99 30 15.07 15.15 15.22 15.30 15.38 15.45 15.53 15.61 15.68 15.76 31 15.84 15.92 15.99 16.07 16.15 16.23 16.30 16.38 16.46 16.54 32 16.62 16.70 16.78 16.85 16.93 17.01 17.09 17.17 17.25 17.33 33 17.41 17.49 17.57 17.65 17.73 17.81 17.89 17.79 18.05 18.13 34 18.22 18.30 18.38 18.46 18.54 18.62 18.70 18.79 18.87 18.95 35 19.03 19.11 19.20 19.28 19.36 19.45 19.53 19.61 19.69 19.78 36 19.86 19.95 20.03 20.11 20.20 20.28 20.36 20.45 20.53 20.62 37 20.70 20.79 20.87 20.96 21.04 21.13 21.21 21.30 21.38 21.47 38 21.56 21.64 21.73 21.81 21.90 21.99 22.07 22.16 22.25 22.33 39 22.42 22.51 22.59 22.68 22.77 22.86 22.95 23.03 23.12 23.21 40 23.30 Setelah ETp diperoleh, maka nilai ETa dapat dihitung dengan menggunakan nilai kc untuk berbagai jenis tanaman/penggunaan lahan yang sesuai 116 Lampiran 5. Pengaruh stres air terhadap evapotranspirasi (Allen et. al., 1998) ETP 1,2 ETA Koefisien stres air (Ks) 1 0,8 0,6 RAW 0,4 TAW 0,2 0 KL MSD Kadar air TLP Keterangan : ETP : Evapotranspirasi Potensial ETA : Evapotranspirasi Aktual KL : Kapasitas Lapang TLP : Titik Layu Permanen MSD : Maximum soil moisture deficit, kadar air minimum tersedia bagi tanaman RAW : Readily Available Water TAW : Total Available Water 117 Lampiran 6. Curah hujan, Suhu, Kelembaban, Tekanan Udara, Kecepatan Angin, dan Lama penginaran Rataan Bulanan Pada Tahun 1994-1995 Tahun Curah Hujan (mm/bulan) Suhu (oC) Suhu Maksimum (oC) Suhu Minimum (oC) Kelembaban Udara (%) Tekanan Udara (mb) Kecepatan Angin (km/jam) Lama Penyinaran Matahari (%) 1994 281 26,5 31,3 21,5 81,0 1011,7 2,5 61,1 1995 259 25,7 31,2 22,4 83,0 1008,6 5,6 51,5 1996 279 25,6 30,8 21,7 83,3 1005,2 3,4 56,0 1997 204 26,0 32,0 21,1 77,8 1005,3 3,3 53,7 1998 265 26,2 31,7 21,1 83,3 1009,1 3,6 51,4 1999 194 26,7 30,8 22,5 84,3 1010,1 2,1 57,5 2000 185 26,8 30,9 22,7 84,1 1006,9 2,0 57,5 2001 265 26,8 31,0 22,6 85,1 1005,2 2,7 56,4 2002 301 26,3 31,5 22,3 82,3 1013,2 2,3 58,0 2003 347 26,3 31,4 22,1 80,5 1011,7 4,9 62,2 2004 324 25,6 31,4 22,5 76,9 1012,1 3,3 64,3 2005 333 26,7 31,0 21,8 83,0 1012,2 2,0 69,7 118 Lampiran 7. Neraca air bulanan pada lokasi penelitian. Unsur (mm) Bulan Jan Feb Mrt Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Total Curah hujan 369 339 371 324 277 175 144 85 182 290 332 280 3169 CHef 332 305 334 292 249 158 129 77 164 261 299 252 2852 ETP 106 96 120 129 129 112 125 144 147 136 117 117 1478 P-ETP 226 209 214 163 120 46 4 -67 17 125 182 135 1374 APWL -67 -67 ST 221 221 221 221 221 221 221 163 180 221 221 221 2553 ∆ST 0 0 0 0 0 0 0 -58 17 41 0 0 0 Eta 106 96 120 129 129 112 125 135 147 136 117 117 1469 Defisit Surplus 9 226 209 214 163 120 46 Keterangan: Kapasitas Lapang = Sto = 221 mm Titik Layu Permanen = 136 mm KA min tersedia untuk tanaman jagung mahis (Allen et. al., 1998) = 178,5 mm CHef = curah hujan efektif 4 0 9 0 84 182 135 1383 119 Lampiran 8. Pengaruh kadar air terhadap laju pertumbuhan tanaman (USDA, 1991) Laju pertumbuhan tanaman Laju pertumbuhan maksimum 80 % TLP Kadar air Keterangan : KL : Kapasitas Lapang TLP : Titik Layu Permanen KL 120 Lampiran 9. Neraca air mingguan selama musim pertumbuhan tanaman di lokasi penelitian Minggu ke Unsur (mm) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 CH 32,23 48,48 79,12 70,03 6,46 56,58 46,21 8,86 4,10 35,54 ETP 30,10 30,01 29,22 29,13 29,13 29,13 27,42 26,13 26,13 26,13 P-ETP 2,13 18,47 49,90 40,90 -22,67 27,45 18,80 -17,27 -22,03 9,40 -17,27 -39,30 APWL ST -22,67 35,06 50,91 50,91 50,91 32,61 50,91 50,91 36,26 23,53 32,93 ∆ST 15,85 0,00 0,00 -18,30 18,30 0,00 -14,65 -12,73 9,40 ETA 30,01 29,22 29,13 24,76 29,13 27,42 23,51 16,83 26,13 2,62 9,30 Defisit Surplus 4,37 2,62 Keterangan: Kapasitas Lapang = Sto = 50.91 mm Titik Layu Permanen = 27.18 mm 49,90 40,90 9,16 18,80 121 Lampiran 10. Sifat-sifat fisik dan morfologi tanah pada lahan lokasi 1. Kedalaman (cm) Uraian 0 - 18 Coklat (7.5 YR 4/3); liat berdebu; remah, sedang, lemah; sangat gembur, lekat, plastis; batas jelas, lurus; perakaran halus, sedang; pori makro sedang, σ = 3,3 (kgf/cm2) 18 - 25 Coklat (7.5 YR 5/3); liat, gumpal bersudut, halus, sedang; gembur, lekat; batas berangsur, berombak; terdapat karatan Mn, jumlah biasa, kecil, jelas, batas jelas, bintik berganda, σ = 6,0 (kgf/cm2) 25 - 50 Coklat kekuningan (7.5 YR 5/6); liat, gumpal bersudut, sedang, kuat; gembur, agak lekat, agak plastis; batas jelas, tidak teratur; perakaran sedang; jumlah pori sedikit; karat Mn, jumlah biasa, kecil, jelas, batas jelas, bintik berganda, σ = 9,3 (kgf/cm2) 50 - 75 Coklat gelap (5 YR 4/6); liat, gumpal bersudut, sedang, kuat; teguh agak lekat, tidak plastis; perakaran sedikit; karat Mn (7.5 YR 2.5/0 atau 10 YR 10/1), banyak, sedang, jelas, jelas, bintik berganda, σ = 6,5 (kgf/cm2) Lampiran 11. Sifat-sifat fisik dan morfologi tanah pada lahan lokasi 2. Kedalaman (cm) Uraian 0 - 17 Coklat kekuningan (5 YR 5/4); liat, gumpal bersudut, halussedang, kuat; gembur; batas lurus ; karat Mn, banyak, sedang, nyata, jelas, bintik berganda; perakaran halus banyak, σ = 2,4 (kgf/cm2) 17-35 Coklat kemerahan gelap (2,5 YR 5/6); liat, gumpal bersudut, halus, lemah; sangat teguh; karat Mn, banyak, sedang, nyata, jelas, bintik berganda; perakaran sedikit, σ = 4,9 (kgf/cm2) 35 - 65 Coklat kemerahan terang(5 YR 5/6); liat, gumpal bersudut, halus, lemah; sangat teguh; σ = 2,5 (kgf/cm2) 65 - 80 Coklat (5 YR 5/8); liat, gumpal bersudut; halus, lemah; sangat teguh; σ = 1,6 (kgf/cm2) 122 Lampiran 12. Sifat-sifat fisik dan morfologi tanah lahan lokasi 3. Kedalaman (cm) Uraian 0 - 20 Coklat abu-abu terang (5 YR 4/2); lempung liat berpasir, gumpal bersudut, halus, sedang; sangat gembur; karat Mn, jumlah biasa, sedang, nyata, jelas, bintik berganda; perakaran sedang, banyak; batas jelas, lurus, σ = 3,5 (kgf/cm2) 20 - 30 Coklat keabu-abuan (5 YR 4/3); liat berpasir, gumpal bersudut, sedang; gembur; batas jelas, lurus; perakaran sedang; bahan kasar Mn banyak, σ = 7,5 (kgf/cm2) 30 - 60 Coklat merah keabuan (5 YR 5/6); liat berpasir, gumpal bersudut, sedang; gembur; batas jelas, lurus; perakaran sedikit; bahan kasar Mn sedikit, σ = 5,0 (kgf/cm2) 60 - 80 Coklat merah keabuan gelap (7,5 YR 4/4); liat berpasir, gumpal bersudut, sedang; gembur; batas jelas, lurus; perakaran banyak; bahan kasar Mn, σ = 1,5 (kgf/cm2) 123 0 cm 7 cm 18 cm Lokasi 1 Lokasi 2 0 cm 0 cm 17 cm 20 cm 25 cm 35 cm cm 30 cm 50 cm 65 cm 60 cm 75 cm 80 cm Lampiran 13. Penampang melintang profil tanah lokasi penelitian 80 cm Lokasi 3 124 Lampiran 14. Sifat fisik dan kimia tanah lokasi penelitian Kedalaman 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-50 cm BI (g/cm3) 1,01 1,00 1,02 1,02 1,02 DMR 2,51 2,52 1,91 1,93 1,92 Ks (cm/jam) 1,73 1,73 1,73 1,73 1,73 Kap. ret. maks. (% vol) 41,81 40,98 45,33 46,47 46,04 H2O 4,62 5,62 5,39 6,05 6,22 KCl 4,04 4,53 4,67 4,68 5,03 C-org (%) 1,84 1,40 1,05 1,12 0,87 N-total (%) 0,15 0,11 0,18 0,13 0,08 P-tersedia (ppm) 0,11 0,03 0,02 0,02 0,02 Sifat fisik: Sifat kimia: pH (1:2.5): Basa-basa dapat ditukar (me/100 g) K 0,37 0,49 0,31 0,27 0,32 Na 0,36 0,51 0,40 0,29 0,45 Ca 5,41 7,09 7,14 7,13 7,51 Mg 1,42 1,65 1,70 1,81 2,47 KTK (me/100 g) 19,11 17,28 17,53 18,64 17,42 KB (%) 40,19 56,64 55,28 50,97 62,86 Al (me/100 g) 1,52 0,61 1,13 0,54 0,23 Pasir 4,99 4,76 4,59 3,85 3,11 Debu 21,14 31,05 4,39 22,38 24,97 Liat 73,87 64,19 91,02 73,77 71,93 Tekstur (%) *) BI = bobot isi, DMR= diameter massa rataan agregat, kap.ret.maks. = kapasitas retensi maksimum 125 Lampiran 15. Sifat-sifat fisik tanah pada lahan lokasi penelitian RPAT RP Mikro RP Air Mobil (% vol) RP Air Imobil (% vol) Ks (0-50 ) (cm/jam) 22,75 13,13 38,54 27,19 34,11 0,92 3,20 23,27 12,70 38,67 26,63 35,31 0,92 4,46 4,43 13,40 14,48 44,95 20,23 38,12 0,92 3,16 2,98 3,38 9,52 16,71 48,23 14,88 42,87 0,92 1,88 3,41 3,57 4,13 11,11 15,95 46,94 17,58 40,47 0,92 83,10 3,26 7,19 6,40 2,13 15,72 17,39 45,92 23,11 38,53 2,38 62,52 85,68 3,27 9,15 7,69 1,81 18,64 16,81 43,88 23,98 38,54 2,38 0,99 64,86 33,41 1,76 7,90 9,45 2,22 19,57 18,12 45,30 22,58 42,99 2,38 30-40 0,98 65,29 32,42 1,71 5,41 10,35 3,27 19,02 17,37 46,27 21,45 43,84 2,38 2 40-50 0,97 65,43 32,88 1,73 6,65 9,91 2,74 19,30 17,74 46,13 22,01 43,42 2,38 3 0-10 0,96 64,76 46,85 2,34 11,38 10,06 2,35 23,80 15,08 40,96 29,23 35,53 1,87 3 10-20 0,96 64,50 47,78 2,33 10,53 10,80 2,80 24,12 13,34 40,38 29,36 35,13 1,87 3 20-30 0,96 66,75 39,45 2,12 13,53 7,10 1,58 22,21 19,49 44,54 24,99 41,76 1,87 3 30-40 0,95 67,29 40,78 2,18 14,47 6,48 1,43 22,38 19,64 44,91 26,67 40,62 1,87 3 40-50 0,95 67,02 40,12 2,15 14,01 6,83 1,38 22,22 19,62 44,80 25,84 41,18 1,87 Lokasi DMR RPDSC RPDC RPDL Kedalaman (cm) BI (g/cm3) RPT (%) ISA 1 0-10 1,02 61,29 42,92 1,93 4,79 14,21 3,76 1 10-20 1,00 61,94 43,41 1,95 4,91 15,15 1 20-30 1,14 58,35 37,42 1,86 4,50 1 30-40 1,16 57,75 37,55 1,90 1 40-50 1,15 58,05 37,48 2 0-10 1,05 61,64 2 10-20 1,02 2 20-30 2 RPD (% vol) 126 Lampiran 16. Sifat-sifat kimia tanah lokasi penelitian Kedalaman Lokasi (cm) H2O KCl Corg (%) pH (1:2.5) Ntotal (%) Ptersedia (ppm) Basa-basa dapat ditukar (me/100 g) Na 0,30 Ca 6,58 Mg 1,54 KTK (me/100 g) KB (%) Al (me/100 g) Pasir Debu Liat 15,83 55,02 0,91 4,99 13,64 81,36 Tekstur (%) 1 0-10 4,86 3,91 1,84 0,16 0,09 K 0,29 1 10-20 5,07 4,19 1,84 0,14 0,03 0,47 0,40 7,09 1,74 15,51 62,55 0,91 5,70 41,11 53,19 1 20-30 5,07 4,21 1,38 0,10 0,03 0,17 0,19 6,73 1,71 17,18 51,22 0,67 5,01 3,26 91,74 1 30-40 5,56 4,64 1,29 0,23 0,01 0,12 0,15 6,85 1,94 17,80 50,95 0,00 4,51 23,26 72,24 1 40-50 5,76 4,89 1,23 0,09 0,02 0,18 0,20 7,13 2,06 13,73 69,71 0,00 2,87 4,05 93,08 2 0-10 5,1 3,9 1,68 0,15 0,10 0,23 0,29 3,06 1,05 18,35 25,19 1,33 5,16 4,80 90,04 2 10-20 5,8 4,6 0,98 0,09 0,02 0,52 0,58 6,72 1,40 17,85 51,64 0,67 4,66 9,69 85,65 2 20-30 4,9 4,8 0,86 0,35 0,01 0,34 0,48 6,90 1,46 19,77 46,42 2,71 4,39 4,00 91,60 2 30-40 6,2 4,2 1,09 0,07 0,01 0,30 0,40 6,91 1,61 19,33 47,66 1,39 2,88 37,92 59,20 2 40-50 6,4 5 0,67 0,05 0,01 0,41 0,68 8,13 3,48 18,18 69,87 0,69 2,97 36,96 60,07 3 0-10 3,9 4,3 1,98 0,15 0,14 0,60 0,50 6,58 1,66 23,15 40,35 2,33 4,83 44,97 50,20 3 10-20 6 4,8 1,36 0,11 0,04 0,48 0,56 7,44 1,81 18,47 55,73 0,24 3,91 42,36 53,73 3 20-30 6,2 5 0,90 0,08 0,03 0,44 0,53 7,78 1,93 15,66 68,21 0,00 4,37 5,91 89,72 3 30-40 6,4 5,2 0,97 0,08 0,02 0,38 0,32 7,62 1,89 18,78 54,31 0,24 4,16 5,96 89,89 3 40-50 6,5 5,2 0,71 0,09 0,02 0,38 0,48 7,25 1,87 20,36 49,01 0,00 3,47 33,89 62,63 127 Lampiran 17. Sidik ragam model hubungan konduktivitas hidrolik jenuh dengan karakteristik pori tanah Peubah bebas RPT, ISA RPDSC, ISA RP makro, ISA RP air mobil, ISA SK JK db KT F taraf p Regresi 5,47 2 2,74 68,04* 0,00 Sisa 1,09 27 0,04 Regresi 4,95 2 2,47 41,50* 0,00 Sisa 1,61 27 0,06 Regresi 4,84 2 2,42 38,05* 0,00 Sisa 1,72 27 0,06 Regresi 4,78 1 4,78 75,10* 0,00 Sisa 1,78 28 0,06 Keterangan: RPT:ruang pori total, ISA: indeks stabilitas agregat, RPDSC: ruang pori drainase sangat cepat, RP: ruang pori Lampiran 18. Konduktivitas hidrolik tak jenuh kedalaman (0-50) cm pada lokasi penelitian 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-50 cm Kadar Air (% vol) Kunsat (cm/jam) Kadar Air (% vol) Kunsat (cm/jam) Kadar Air (% vol) Kunsat (cm/jam) Kadar Air (% vol) Kunsat (cm/jam) Kadar Air (% vol) Kunsat (cm/jam) 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 1,53E-24 5,93E-22 8,55E-20 5,76E-18 2,13E-16 4,9E-15 7,63E-14 8,63E-13 7,46E-12 5,16E-11 2,94E-10 1,42E-09 5,99E-09 2,22E-08 7,4E-08 2,24E-07 6,24E-07 1,61E-06 3,89E-06 8,85E-06 1,91E-05 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 2E-25 9,4E-23 1,6E-20 1,23E-18 5,15E-17 1,31E-15 2,24E-14 2,74E-13 2,54E-12 1,87E-11 1,13E-10 5,76E-10 2,54E-09 9,82E-09 3,4E-08 1,07E-07 3,07E-07 8,16E-07 2,03E-06 4,72E-06 1,04E-05 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 6,78E-24 2,48E-21 3,4E-19 2,18E-17 7,75E-16 1,71E-14 2,56E-13 2,79E-12 2,34E-11 1,56E-10 8,65E-10 4,07E-09 1,66E-08 6E-08 1,95E-07 5,76E-07 1,57E-06 3,96E-06 9,36E-06 2,09E-05 4,4E-05 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 1,03E-24 4,12E-22 6,07E-20 4,16E-18 1,56E-16 3,62E-15 5,68E-14 6,46E-13 5,62E-12 3,91E-11 2,24E-10 1,09E-09 4,59E-09 1,71E-08 5,73E-08 1,74E-07 4,87E-07 1,26E-06 3,06E-06 6,98E-06 1,51E-05 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 3,48E-24 1,25E-21 1,68E-19 1,07E-17 3,75E-16 8,2E-15 1,22E-13 1,32E-12 1,1E-11 7,37E-11 4,08E-10 1,92E-09 7,85E-09 2,85E-08 9,28E-08 2,75E-07 7,53E-07 1,91E-06 4,55E-06 1,02E-05 2,17E-05 128 Lampiran 18. Konduktivitas hidrolik tak jenuh kedalaman (0-50) cm pada lokasi penelitian (lanjutan) 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-50 cm Kadar Air (% vol) Kunsat (cm/jam) Kadar Air (% vol) Kunsat (cm/jam) Kadar Air (% vol) Kunsat (cm/jam) Kadar Air (% vol) Kunsat (cm/jam) Kadar Air (% vol) Kunsat (cm/jam) 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 3,91E-05 7,67E-05 0,00014 0,00026 0,00046 0,00078 0,00130 0,00209 0,00328 0,00504 0,00760 0,01122 0,01627 0,02321 0,03260 0,04511 0,06158 0,08298 0,11048 0,14542 0,18938 0,24416 0,31179 0,39459 0,49514 0,61634 0,76136 0,93372 1,13725 0,98848 1,18690 0,44051 0,52763 0,62842 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 2,18E-05 4,37E-05 8,4E-05 0,00016 0,00028 0,00048 0,00080 0,00132 0,00210 0,00326 0,00497 0,00743 0,01090 0,01571 0,02228 0,03112 0,04286 0,05825 0,07820 0,10374 0,13613 0,17677 0,22730 0,28959 0,36572 0,45805 0,56919 0,70204 0,85980 0,77606 0,93683 1,12408 0,48110 0,57446 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 8,86E-05 0,00017 0,00032 0,00056 0,00098 0,00163 0,00266 0,00423 0,00656 0,00996 0,01481 0,02162 0,03099 0,04371 0,06072 0,08315 0,11236 0,14992 0,19772 0,25787 0,33285 0,42542 0,53874 0,67630 0,84200 1,04013 1,27538 1,55289 1,21956 1,46678 1,75347 2,08415 2,46366 2,89709 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 3,11E-05 6,12E-05 0,00012 0,00021 0,00037 0,00064 0,00106 0,00171 0,00269 0,00416 0,00628 0,00931 0,01356 0,01941 0,02736 0,03799 0,05203 0,07035 0,09397 0,12409 0,16210 0,20963 0,26851 0,34082 0,42891 0,53541 0,66324 0,63621 0,77510 0,93819 1,12857 1,34960 1,60489 1,89826 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 4,4E-05 8,55E-05 0,00016 0,00029 0,00050 0,00085 0,00139 0,00223 0,00348 0,00533 0,00799 0,01176 0,01700 0,02417 0,03385 0,04673 0,06364 0,08559 0,11376 0,14951 0,19444 0,25037 0,31939 0,40384 0,50636 0,62989 0,77768 0,32250 0,39857 0,48912 0,59622 0,72215 0,86937 1,04055 129 Lampiran 19. Model karakteristik kelembaban tanah lahan penelitian Blok 1 (0-10) cm 1 (10-20) cm 1 (20-30) cm 1 (30-40) cm Model Ψ = 2,86-2,86 e (14,49-23,75θ) Ψ = 2,18-2,18 e (15,24-24,60*θ) Ψ = 11,47-11,47 e (14,93 - 25,74θ) Ψ = 24,95-243,95 e (14,15-24,4 θ) (10,69-18,43 θ) 1 (40-50) cm Ψ = 108,72-108,72 e 2 (0-10) cm Ψ = 37,12-37,12 e (11,17-18,12 θ) Ψ = 24,31-24,31e (11,42 -18,13 θ) 2 (20-30) cm Ψ=10,84-10,84 e (12,59 -19,20 θ) 2 (30-40) cm Ψ = 13,97-13,97e (12,53 -19,19 θ) 2 (10-20) cm (14,15 - 21,62 θ) 2 (40-50) cm Ψ = 5,01- 5,01 e 3 (0-10) cm Ψ = 0,59-0,59 e (16,96 -26,10 θ) 3 (10-20) cm 3 (20-30) cm 3 (30-40) cm 3 (40-50) cm Ψ = 0,59-0,59 e (17,32 -27,07 θ) Ψ = 5,03 -5,03 e (12,81 -19,20 θ) Ψ = 4,72-4,72 e (12,91-19,19 θ) Ψ = 5,01-5,01 e (12,87-19,20 θ) Keterangan: Ψ = potensial matrik, θ = kadar air (% volume) R2 0,62 0,61 0,73 0,86 0,80 0,75 0,75 0,79 0,78 0,79 0,65 0,60 0,79 0,78 0,79 130 Kurva karakteristik air tanah lahan 1 (-) Potensial air (atm) 19 0-10 cm 15 10-20 cm 11 20-30 cm 7 40-50 cm 30-40 cm 3 -1 20 30 40 50 60 70 Kadar air (% vol) Kurva karakteristik air tanah lahan 2 (-) Potensial air (atm) 19 0-10 cm 10-20 cm 15 20-30 cm 11 30-40 cm 40-50 cm 7 3 -1 20 30 40 50 Kadar air (% vol) 60 70 (-) Potensial air(atm) Kurva karakteristik air tanah lahan 3 19 0-10 cm 15 10-20 cm 11 30-40 cm 7 40-50 cm 20-30 cm 3 -1 20 30 40 50 Kadar air (% vol) 60 Lampiran 20. Kurva karakteristik kelembaban tanah lokasi penelitian 70 131 Lampiran 21. Korelasi antara karakteristik pori tanah dengan konduktivitas hidrolik jenuh, fluks aliran air dan laju aliran air transient No Karakter Pori Ks Fluks dθ/dt 1 RPT 0,77* 0.65* -0,34 2 St. agregat 0,76* 0,21 -0,25 3 RPDSC 0,47* 0,74* -0,72* 4 RPDC 0,23 0,00 0,54* 5 RPDL -0,51* -0,43* 0,02 6 RPD 0,47* 0,75* -0,47 7 RPAT 0,57* 0,27 -0,07 8 RP mikro -0,28 -0,56* 0,57* 9 RP air mobil 0,34 0,74* -0,63* 10 RP air imobil 0,64* -0,22 0,45 Keterangan: RPT: ruang pori total, RPDSC = ruang pori drainase sangat cepat, RPDC = ruang pori drainase cepat, RPDL = ruang pori drainase lambat, RPD = ruang pori drainase, RPAT = ruang pori air tersedia, RP = ruang pori Lampiran 22. Sidik ragam regresi antara karakteristik pori terhadap fluks aliran air dan laju pergerakan air transient Peubah Fluks dθ/dt SK JK db KT F taraf p Regresi 0,83 1 0,83 32,94* 0,00 Sisa 0,71 28 0,03 Regresi 0,053 1 0,053 6,47* 0,024 Sisa 0,107 13 0,008 132 Lampiran 23. Sidik ragam regresi antara jumlah hujan terhadap fluks aliran air dan laju pergerakan air transient , dan kapasitas retensi air maksimum tanah Peubah SK JK db KT F taraf p Fluks Regresi 924,591 2 462,30 422,52* 0,00000 Sisa 1279,044 1169 1,09 Regresi 1399,13 3 466,38 199,44* 0,00000 Sisa 1992,35 852 2,34 2488,05* 0,00000 θ(KL) Regresi 45456,52 Sisa 200,97 2 22728,26 22 9,13 60 θKl (% vol) dθ/dt 50 40 θKL = 2,29Ln(CH) + 36,57 r = 0,73 30 0 25 50 75 Curah hujan (mm) 100 Lampiran 24. Pengaruh curah hujan terhadap kadar air pada kapasitas lapang 125 133 Lampiran 25. Data hujan di lokasi penelitian selama masa pertumbuhan tanaman Hari ke Tanggal Curah Hujan (mm) Waktu hujan (jam) Intensitas hujan (mm/jam) Hari ke Tanggal Curah Hujan (mm) Waktu hujan (jam) Intensitas hujan (mm/jam) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 15/4/06 16/4/06 17/4/06 18/04/06 19-04-06 20-4-06 21/4/06 22-04-06 23-4-06 24/4/06 25-04-06 26-04-06 27/4/06 28/4/06 29-04-06 30-04-06 01/05/06 02/05/06 03/05/06 04/05/06 05/05/06 06/05/06 07/05/06 08/05/06 09/05/06 10/05/06 11/05/06 12/05/06 13/01/00 14/5/06 15/5/06 16/5/06 17/5/06 18/5/06 19/5/06 20/5/06 21/5/06 1,61 22,55 0,18 26,90 0,22 2,57 0,41 0,64 2,06 3,39 0,00 0,84 0,39 0,06 11,09 52,95 0,21 3,84 0,00 18,25 0,00 0,23 11,94 85,69 0,45 0,27 2,15 5,64 0,46 0,00 0,00 0,55 0,09 0,00 0,00 0,00 7,49 0,98 14,79 0,07 0,43 4,73 4,66 0,14 0,07 10,78 11,79 0,00 0,09 1,06 0,11 2,25 4,58 0,01 0,28 0,00 7,94 0,00 0,23 5,63 5,97 0,08 0,88 4,11 16,24 0,05 0,00 0,00 17,71 0,29 0,00 0,00 0,00 9,07 1,64 1,52 2,73 62,98 0,05 0,55 2,83 9,15 0,19 0,29 0,00 9,02 0,37 0,52 4,93 11,57 21,32 13,71 0,00 2,30 0,00 0,97 2,12 14,35 5,64 0,30 0,52 0,35 9,09 0,00 0,00 0,03 0,31 0,00 0,00 0,00 0,83 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 22/5/06 23/5/06 24/5/06 25/5/06 26/5/06 27/05/06 28/5/06 29/5/06 30/5/06 31/5/06 01/06/06 02/06/06 03/06/06 04/06/06 05/06/06 06/06/06 07/06/06 08/06/06 09/06/06 10/06/06 11/06/06 12/06/06 13/06/06 14/06/06 15/06/06 16/06/06 17/06/06 18/06/06 19/06/06 20/06/06 21/06/06 22/06/06 23/06/06 24/06/06 25/06/06 26/06/06 27/06/06 0,20 2,39 0,00 0,00 37,33 22,55 0,00 0,00 0,00 0,00 24,96 0,00 0,00 20,49 0,00 0,21 1,89 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4,04 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,19 0,00 29,37 0,09 8,70 0,00 0,26 0,19 0,14 0,38 0,00 0,00 13,57 3,06 0,00 0,00 0,00 0,00 1,33 0,00 0,00 0,90 0,00 0,11 2,17 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,36 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 0,00 1,47 0,47 4,47 0,00 0,10 0,10 1,43 6,25 0,00 0,00 2,75 7,37 0,00 0,00 0,00 0,00 18,76 0,00 0,00 22,77 0,00 1,99 0,87 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,98 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 12,55 0,00 20,04 0,18 1,95 0,00 2,67 1,91 134 Lampiran 26. Kadar air tanah tiap kedalaman selama masa pertumbuhan (ulangan = 30) Kedalaman Umur (minggu) 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-50 cm 1 40,35 43,07 45,53 49,60 50,27 2 40,49 42,10 43,96 46,74 48,40 3 41,19 42,28 43,59 46,12 48,37 4 36,78 39,88 41,20 44,24 45,76 5 38,20 39,72 42,10 44,72 46,70 6 40,77 41,14 44,19 45,92 47,12 7 41,37 42,63 43,30 45,36 46,47 8 32,58 36,62 38,21 40,73 42,73 9 32,57 35,54 37,94 40,01 41,36 10 38,08 39,46 41,01 42,58 44,30 Rataan 38,24 a 40,24 ab 42,10 bc 44,60 c 46,15 c Keterangan: nilai kadar air rataan yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji beda nilai tengah (α = 5%) Lampiran 27. Uji beda nilai tengah kadar air dan hara antar kedalaman tanah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Perbandingan antar kedalaman tanah 0-10 cm dan 10-20 cm 0-10 cm dan 20-30 cm 0-10 cm dan 30-40 cm 0-10 cm dan 40-50 cm 10-20 cm dan 20-30 cm 10-20 cm dan 30-40 cm 10-20 cm dan 30-40 cm 20-30 cm dan 30-40 cm 20-30 cm dan 40-50 cm 30-40 cm dan 40-50 cm KA NH4 NO3 P K 1,51 2,91* 4,56* 5,80* 1,64 3,59* 5,01* 2,06 3,44* 1,23 0,61 1,37 0,40 0,90 0,85 0,24 0,41 1,11 0,30 -0,62 2,40* 3,70* 4,49* 5,01* 1,56 2,39* 3,01* 0,65 1,22 0,64 0,99 2,09 2,32* 2,42* 1,07 1,33 1,43 0,32 0,41 0,08 3,14* 4,82* 5,40* 5,74* 4,07* 5,60* 6,72* 1,79 3,00* 1,10 Keterangan: apabila t*> t (5%,db), maka kadar air dan kadar hara antar kedalaman berbeda 135 Lampiran 28. Kadar air tanah tiap lokasi penelitian selama masa pertumbuhan (10 ulangan) Lokasi Umur (minggu) 5 6 Kedalaman (cm) 1 2 3 4 1 0-10 38,69 33,69 37,10 37,48 31,91 1 10-20 41,22 35,22 37,52 38,38 1 20-30 44,73 36,98 38,43 1 30-40 48,35 40,00 1 40-50 50,24 2 0-10 2 7 8 9 10 39,62 38,64 33,98 32,45 37,70 33,33 39,02 37,95 33,99 33,55 37,38 38,48 35,79 40,77 37,84 36,36 34,97 37,59 41,02 40,41 38,07 41,64 41,10 37,31 36,70 38,55 41,93 43,34 41,39 40,37 43,02 42,09 39,05 38,74 40,63 44,50 46,39 45,39 39,44 44,64 44,82 44,62 34,03 34,12 41,69 10-20 45,68 46,85 45,43 41,19 45,23 43,18 46,90 37,88 37,74 42,73 2 20-30 46,69 47,27 45,37 42,00 46,03 47,22 46,52 38,86 39,43 43,74 2 30-40 49,92 50,27 49,45 46,82 48,76 49,95 48,91 43,33 42,31 46,25 2 40-50 50,68 51,96 51,52 48,32 50,63 50,43 49,64 45,76 43,61 47,06 3 0-10 37,85 41,38 41,10 33,41 38,06 37,86 40,84 29,74 31,14 34,86 3 10-20 42,31 44,24 43,88 40,08 40,60 41,22 43,05 38,00 35,33 38,25 3 20-30 45,18 47,63 46,98 43,13 44,47 44,57 45,53 39,42 39,43 41,72 3 30-40 50,52 49,96 47,88 45,50 47,34 46,16 46,08 41,56 41,00 42,94 3 40-50 49,90 51,30 50,25 47,57 49,09 47,90 47,68 43,38 41,72 45,23 136 Lampiran 29. Kadar N, P, dan K sebelum tanam dan pada waktu panen Kedalaman (cm) Unsur Waktu 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 N (%) Sebelum tanam 0,15 0,10 0,20 0,09 0,07 Panen 0,17 0,16 0,13 0,12 0,11 Sebelum tanam 0,11 0,03 0,02 0,02 0,02 Panen 1,24 4,17 2,02 0,88 0,59 Sebelum tanam 0,37 0,49 0,31 0,27 0,32 Panen 0,25 0,22 0,25 0,22 0,22 P (ppm) K (me/100 g) Lampiran 30. Kadar NH4 tiap kedalaman selama masa pertumbuhan (ulangan = 30) Kedalaman Umur (minggu) 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-50 cm 1 11,08a 7,46l 5,77r 6,52v 5,86h 2 4,81f 2,48o 3,93t 3,20w 2,92l 3 2,04h 2,10o 1,31u 1,36y 1,45g 4 5,01d 4,01n 2,70f 2,67x 3,65e 5 9,63a 17,37k 17,87p 8,46t 9,08g 6 4,43f 4,52n 4,60t 5,34w 5,57hi 7 6,05b 5,65m 6,71q 7,05u 7,63g 8 4,72e 5,00mn 4,77s 4,92w 4,86ij 9 5,62c 5,73m 5,59r 5,96v 5,38 hi 10 4,07g 4,78n 4,46rs 4,70w 4,48 jk Rataan 5,75 aa 5,91 aa 5,77 aa 5,01 aa 5,09 aa Keterangan: kadar amonium tiap kedalaman tanah dan kadar amonium rataan yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji beda nilai tengah (α = 5%) 137 Lampiran 31. Kadar amonium tanah pada tiap lokasi penelitian selama masa pertumbuhan (ulangan = 10) 1 1 1 1 1 Kedalaman (cm) 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 1 16,49 10,22 5,53 7,75 5,75 2 3,79 2,84 3,12 3,73 3,25 3 3,55 3,67 1,80 1,34 1,66 4 3,32 3,63 2,77 2,85 2,62 Umur (minggu) 5 6 9,26 3,81 31,42 4,62 29,63 3,82 10,23 5,28 5,40 6,58 7 5,18 5,49 7,43 8,56 8,49 8 4,51 5,31 4,60 4,96 5,16 9 5,79 5,77 5,96 5,82 5,53 10 4,65 5,76 5,92 6,21 5,22 2 2 2 2 2 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 6,24 3,77 4,35 4,83 5,01 4,02 2,03 3,05 2,55 1,07 1,63 1,59 1,18 1,66 1,62 3,46 2,62 2,54 2,69 2,06 18,18 19,56 22,91 13,84 20,26 5,16 5,15 6,82 6,05 6,75 6,05 6,86 7,28 6,18 7,42 6,40 5,49 5,30 6,36 5,74 3,89 4,95 4,55 5,15 4,54 2,76 3,40 2,67 3,17 3,32 3 3 3 3 3 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 10,51 8,39 7,44 7,00 6,83 6,62 2,58 5,61 3,33 4,45 0,96 1,05 0,95 1,06 1,08 8,26 5,78 2,80 2,48 6,28 1,45 1,15 1,08 1,30 1,59 4,33 3,78 3,18 4,68 3,38 6,92 4,61 5,42 6,42 7,00 3,25 4,20 4,41 3,44 3,68 7,19 6,46 6,26 6,90 6,08 4,80 5,18 4,79 4,72 4,92 Lokasi 138 Lampiran 32. Korelasi karakteristik pori tanah terhadap kadar NH4+, NO3-, P, dan K NH4+ NO3- P K RPT -0,17* -0,18* 0,19* 0,17* RPDSC -0,16* 0,01 0,15 0,24* RPDC 0,09 0,19* 0,19* 0,31* RPDL 0,10 -0,03 -0,16* -0,02 RPD -0,06 0,03 0,24* 0,43* RPAT -0,24* -0,19* 0,13 -0,10 RP mikro 0,18* 0,01 -0,29* -0,31* RP mobil -0,07 0,08 0.60* 0.61* RP Imobil -0,15 -0,51* -0,21* -0,54* St Pori 0,03 0,28* 0,05 0,23* Peubah 139 Lampiran 33. Uji beda nilai tengah kadar Amonium tiap kedalaman antar waktu pengukuran (minggu) Perbandingan 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-50 cm 1 dan 2 minggu 1 dan 3 minggu 1 dan 4 minggu 1 dan 5 minggu 1 dan 6 minggu 1 dan 7 minggu 1 dan 8 minggu 1 dan 9 minggu 1 dan 10 minggu 2 dan 3 minggu 2 dan 4 minggu 2 dan 5 minggu 2 dan 6 minggu 2 dan 7 minggu 2 dan 8 minggu 2 dan 9 minggu 2 dan 10 minggu 3 dan 4 minggu 3 dan 5 minggu 3 dan 6 minggu 3 dan 7 minggu 3 dan 8 minggu 3 dan 9 minggu 3 dan 10 minggu 4 dan 5 minggu 4 dan 6 minggu 4 dan 7 minggu 4 dan 8 minggu 4 dan 9 minggu 4 dan 10 minggu 5 dan 6 minggu 5 dan 7 minggu 5 dan 8 minggu 5 dan 9 minggu 5 dan 10 minggu 6 dan 7 minggu 6 dan 8 minggu 6 dan 9 minggu 6 dan 10 minggu 7 dan 8 minggu 7 dan 9 minggu 7 dan 10 minggu 8 dan 9 minggu 8 dan 10 minggu 9 dan 10 minggu 6,95* 10,38* 6,22* 0,90 7,58* 5,75* 7,09* 6,03* 8,02* 7,09* -0,34 -3,40* 0,94 -3,10* 0,21* -1,75* 1,87* -5,50* -5,43* -7,18* -12,38* -6,99* -8,98* -6,26* -3,15* 1,05* -1,90* 0,50* -1,03* 1,73* 3,71* 2,56* 3,47* 2,82* 3,97* -4,73* -0,72 -2,88* 1,06 3,41* 1,05 5,95* -1,99 1,67 3,83* 6,88* 7,09* 4,47* -3,90* 3,96* 2,35* 3,29* 2,29* 3,51* 1,33 -4,69* -6,09* -8,11* -9,86* -9,48* -11,28* -7,52* -4,87* -6,22* -7,27* -9,14* -8,43* -10,05* -7,13* -5,43* -1,38 -3,91* -2,61* -4,36* -1,89 5,25* 4,77* 5,05* 4,75* 5,13* -3,11* -1,52 -3,61* -0,75 1,74 -0,19 2,16* -2,11* 0,61 2,51* 4,38* 13,99* 9,55* -5,00* 2,44* -2,10* 2,73* 0,45 3,10* 8,19* 3,79* -5,77* -1,42 -6,24* -2,29* -4,07* -1,27 -8,45* -6,89* -8,40* -15,36* -14,18* -14,20* -9,80* -6,31* -4,82* -11,33* -8,36* -9,49* -5,42* 5,46* 4,61* 5,44* 5,08* 5,54* -4,20* -0,38 -2,10* 0,30 4,90* 2,59* 5,02* -2,33* 0,83 2,75* 4,38* 13,99* 9,55* -5,00* 2,44* -2,10* 2,73* 0,45 3,10* 8,19* 3,79* -5,77* -1,42 -6,24* -2,29* -4,07* -1,27 -8,45* -6,89* -8,40* -15,36* -14,18* -14,20* -9,80* -6,31* -4,82* -11,33* -8,36* -9,49* -5,42* 5,46* 4,61* 5,44* 5,08* 5,54* -4,20* -0,38 -2,10* 0,30 4,90* 2,59* 5,02* -2,33* 0,83 2,75* 7,11* 15,00* 4,56* -1,99 0,65 -3,80* 2,59* 1,21 3,92* 4,64* -1,47* -3,80* -5,72* -9,77* -4,77* -5,95* -4,21* -5,44* -4,78* -11,44* -16,08* -12,05* -13,39* -13,17* -3,31* -3,64* -7,32* -2,52* -3,57* -1,85 2,15* 0,89 2,61* 2,29* 2,86* -4,04* 1,62 0,42 2,66* 6,04* 4,82* 7,33* -1,36 1,09 2,56* 140 Lampiran 34. Sidik ragam regresi antara karakteristik pori terhadap kadar NH4+, NO3-, P, dan K Peubah bebas Peubah tak bebas SK JK db KT F taraf p RPDSC NH4 Regresi Sisa 392 3677 4 145 98 25 3,86* 0,005 RP air imobil NO3 Regresi 8239,30 22865,07 1 123 8239,30 185,89 44,32* 0,00 Sisa RP air mobil P Regresi Sisa 470 104 2 123 235 1 277* 0,000 RP air mobil, RP air imobil K Regresi Sisa 627,47 921,20 2 135 313,74 6,82 45,98* 0,00 Lampiran 35. Kadar NO3- tiap kedalaman selama masa pertumbuhan (ulangan=30) Kedalaman Umur (minggu) 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-50 cm 1 52,17 cdef 38,30hi 35,36no 33,07rs 26,64 xy 2 30,07 g 15,21k 10,15q 11,25u 10,62 z 3 32,19 g 31,23j 22,31p 23,69t 20,26 y 4 53,12 def 48,83g 36,42mn 38,92pqr 36,70 uv 5 155,71 a 57,02g 52,54k 46,77p 40,04 tu 6 83,87 b 54,21g 49,05kl 43,45pq 45,42 t 7 61,62 cd 36,21ij 27,88 o 26,45st 27,80 x 8 57,25 cde 51,10g 41,06 m 34,68r 31,78w 9 67,49 c 53,70g 42,26 lm 37,45 qr 32,89 vw 10 49,37 ef 47,82gh 35,40 n 34,18 r 32,34 vw Rataan 64,29a 43,36b 35,24bc 32,99c 30,45c Keterangan: kadar nitrat tiap kedalaman tanah dan kadar nitrat rataan yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji beda nilai tengah (α = 5%) 141 Lampiran 36. Kadar nitrat pada tiap lokasi penelitian selama masa pertumbuhan Lokasi Umur (minggu) 5 6 1 2 3 4 1 1 1 1 1 Kedalaman (cm) 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 8,28 4,72 3,49 3,09 2,97 80,15 38,92 24,66 24,55 23,98 42,30 37,25 26,56 27,11 27,90 94,62 83,80 49,19 50,70 48,12 71,45 65,51 65,17 63,30 50,52 100,40 65,28 44,27 42,40 46,10 7 78,98 60,85 36,87 32,36 35,70 8 75,29 58,42 47,05 37,71 33,31 9 92,41 75,30 57,41 53,11 44,81 10 81,03 70,60 40,46 46,01 40,03 2 2 2 2 2 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 54,23 30,69 18,31 15,41 14,36 62,67 35,06 22,20 14,54 12,13 46,03 29,90 17,03 22,63 16,23 106,60 112,23 121,84 75,82 57,78 83,09 48,22 36,98 29,83 26,28 99,12 59,74 34,84 32,66 34,09 66,25 47,39 30,23 28,86 29,27 75,42 55,65 50,96 42,24 31,03 63,19 55,74 48,05 32,89 29,53 98,84 59,79 39,79 38,10 37,13 3 3 3 3 3 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 76,35 53,80 51,30 48,07 37,68 5,26 3,37 4,07 4,22 3,64 25,45 28,46 19,31 21,85 18,52 31,68 30,40 30,03 33,03 30,99 177,88 43,06 39,17 37,55 34,81 68,88 48,67 46,42 43,97 45,07 52,42 26,58 23,29 23,49 23,85 48,94 45,16 38,07 33,17 31,02 53,52 42,89 34,68 30,19 26,94 33,54 36,43 32,88 28,27 28,49 142 Lampiran 37. Uji beda nilai tengah kadar Nitrat tiap kedalaman antar waktu pengukuran (minggu) Perbandingan 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-50 cm 1 dan 2 minggu 1 dan 3 minggu 1 dan 4 minggu 1 dan 5 minggu 1 dan 6 minggu 1 dan 7 minggu 1 dan 8 minggu 1 dan 9 minggu 1 dan 10 minggu 2 dan 3 minggu 2 dan 4 minggu 2 dan 5 minggu 2 dan 6 minggu 2 dan 7 minggu 2 dan 8 minggu 2 dan 9 minggu 2 dan 10 minggu 3 dan 4 minggu 3 dan 5 minggu 3 dan 6 minggu 3 dan 7 minggu 3 dan 8 minggu 3 dan 9 minggu 3 dan 10 minggu 4 dan 5 minggu 4 dan 6 minggu 4 dan 7 minggu 4 dan 8 minggu 4 dan 9 minggu 4 dan 10 minggu 5 dan 6 minggu 5 dan 7 minggu 5 dan 8 minggu 5 dan 9 minggu 5 dan 10 minggu 6 dan 7 minggu 6 dan 8 minggu 6 dan 9 minggu 6 dan 10 minggu 7 dan 8 minggu 7 dan 9 minggu 7 dan 10 minggu 8 dan 9 minggu 8 dan 10 minggu 9 dan 10 minggu 2,37* 3,00* -0,11 -6,76* -3,98* -1,29 -0,70 -1,98 0,35 -0,30 -2,61* -8,13* -6,53* -4,14* -3,58* -4,66* -2,31* -3,48* -8,81* -10,20* -7,40* -6,35* -7,49* -3,28* -6,82* -4,15* -1,27 -0,62 -2,00* 0,50 4,89* 6,56* 6,87* 6,06* 7,21* 3,78* 4,53* 2,56* 5,07* 0,88 -1,05 2,03* -1,84 1,31 2,77* 4,05* 1,38 -1,53 -3,40* -2,99* 0,37 -2,27* -2,67* -1,61 -4,05* -5,56* -9,40* -9,29* -4,58* -7,79* -8,06* -6,59* -3,20* -7,02* -6,83* -1,30 -5,14* -5,54* -3,89* -1,39 -0,95 2,11* -0,38 -0,80 0,16 0,71 4,79* 1,35 0,73 1,95 4,40* 0,76 0,12 1,42 -3,30* -3,74* -2,39* -0,55 0,67 1,17 5,09* 2,73* -0,21 -2,98* -2,52* 1,55 -1,14 -1,29 -0,01 -5,51* -9,15* -10,80* -11,42* -7,54* -11,51* -9,85* -10,76* -5,53* -8,18* -8,51* -2,86* -8,02* -6,70* -6,75* -3,91* -3,47* 3,19* -1,56 -1,67 0,38 0,77 6,52* 2,87* 2,34* 4,53* 6,53* 2,29* 1,72 4,21* -5,33* -4,66* -3,58* -0,36 2,29* 2,22* 4,58* 2,13* -1,26 -2,63* -2,21* 1,50 -0,36 -0,89 -0,24 -4,87* -9,42* -9,42* -10,61* -5,86* -9,04* -7,83* -7,59* -6,61* -6,99* -8,15* -1,50 -5,97* -4,91* -4,36* -2,18 -1,60 5,32* 1,80 0,46 1,68 0,90 6,10* 3,63* 2,36* 3,43* 6,89* 3,55* 1,85 3,18* -4,35* -3,88* -3,16* -0,98 0,20 1,01 4,15* 1,87 -2,71* -3,54* -5,10* -0,33 -1,52 -1,69 -1,60 -3,66* -8,67* -9,52* -11,71* -6,31* -8,20* -7,43* -7,74* -6,83* -7,89* -10,67* -3,70* -6,25* -5,28* -5,63* -1,15 -3,14* 3,55* 2,09* 1,36 1,68 -1,88 4,70* 3,36* 2,47* 2,86* 7,16* 5,92* 4,54* 5,12* -2,02* -2,05* -2,01* -0,48 -0,27 0,22 143 Lampiran 38. Sidik ragam regresi antara kadar air terhadap kadar NO3dan K larutan tanah Peubah bebas Peubah tak bebas SK JK db KT F taraf p Kadar air NO3- Regresi Sisa 90088,73 2 45044,36 371,06* 0,000 5462,76 45 121,39 Regresi Sisa 1182,85 83,71 240,23* 0,000 Kadar air K 2 34 591,43 2,46 Lampiran 39. Kadar Fosfor tiap kedalaman selama masa pertumbuhan (ulangan = 30) Kedalaman Umur (minggu) 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-50 cm 1 1,88 cd 0,98 k 0,53q 0,51 t 0,47 y 2 2,58 bc 2,05 hij 1,24 o 1,06 r 1,16 vw 3 4,82 a 3,94 g 3,36 m 3,48 p 3,62 t 4 3,30 b 2,93 h 2,10 n 1,99q 2,07 u 5 1,69 d 2,07 hij 1,87 no 1,52 qr 1,55 vw 6 1,91 cd 2,37 hi 1,58 o 1,44 r 1,56 v 7 2,99 b 2,45 hi 2,23 n 2,13 q 2,11 u 8 2,13 cd 1,86 ij 1,59 o 1,03 r 1,01 w 9 2,10 cd 1,86 ij 0,81 p 0,64 s 0,64 x 10 1,98 cd 2,54 a 1,37 jk 2,19ab 0,81 p 1,61ab 0,74 s 1,45b 0,70x 1,49b Rataan Keterangan: kadar fosfor tiap kedalaman tanah dan kadar fosfor rataan yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji beda nilai tengah (α = 5%) 144 Lampiran 40. Kadar fosfor pada tiap lokasi penelitian selama masa pertumbuhan tanaman Lokasi Umur (minggu) 5 6 1 2 3 4 1 1 1 1 1 Kedalaman (cm) 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 0,49 0,48 0,40 0,41 0,40 0,67 0,61 0,62 0,45 0,55 3,71 3,48 3,41 3,45 3,54 1,99 1,83 1,75 1,60 1,65 0,51 0,53 0,46 0,58 0,42 2 2 2 2 2 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 0,76 0,55 0,61 0,61 0,53 2,04 1,72 1,71 1,54 1,63 3,63 3,72 3,52 3,57 3,57 2,13 1,94 1,90 1,84 1,91 3 3 3 3 3 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 4,08 1,16 0,58 0,52 0,47 5,04 2,65 1,33 1,16 1,30 6,81 4,57 3,24 3,41 2,93 5,41 4,31 2,67 2,52 2,44 1,83 1,86 1,59 1,61 1,80 7 1,85 1,72 1,49 1,82 1,71 8 0,98 0,80 0,85 0,77 0,77 9 1,65 1,54 0,85 0,69 0,71 10 0,93 0,60 0,53 0,51 0,48 1,70 1,34 1,27 1,45 1,36 1,27 0,99 1,27 1,31 1,17 3,37 3,38 3,45 3,43 3,50 1,51 1,26 1,12 1,02 1,03 1,13 0,79 0,54 0,53 0,53 1,46 1,17 1,00 0,93 0,88 2,86 2,38 3,34 2,02 1,79 2,30 4,86 1,77 1,29 1,23 3,73 2,07 1,11 1,14 1,11 2,72 3,18 2,52 1,19 1,10 2,94 2,88 0,85 0,70 0,69 2,70 0,92 0,79 0,75 0,68 145 Lampiran 41. Uji beda nilai tengah kadar Fosfor tiap kedalaman antar waktu pengukuran (minggu) Perbandingan 1 dan 2 minggu 1 dan 3 minggu 1 dan 4 minggu 1 dan 5 minggu 1 dan 6 minggu 1 dan 7 minggu 1 dan 8 minggu 1 dan 9 minggu 1 dan 10 minggu 2 dan 3 minggu 2 dan 4 minggu 2 dan 5 minggu 2 dan 6 minggu 2 dan 7 minggu 2 dan 8 minggu 2 dan 9 minggu 2 dan 10 minggu 3 dan 4 minggu 3 dan 5 minggu 3 dan 6 minggu 3 dan 7 minggu 3 dan 8 minggu 3 dan 9 minggu 3 dan 10 minggu 4 dan 5 minggu 4 dan 6 minggu 4 dan 7 minggu 4 dan 8 minggu 4 dan 9 minggu 4 dan 10 minggu 5 dan 6 minggu 5 dan 7 minggu 5 dan 8 minggu 5 dan 9 minggu 5 dan 10 minggu 6 dan 7 minggu 6 dan 8 minggu 6 dan 9 minggu 6 dan 10 minggu 7 dan 8 minggu 7 dan 9 minggu 7 dan 10 minggu 8 dan 9 minggu 8 dan 10 minggu 9 dan 10 minggu 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-50 cm -1,38 -5,17* -2,76* 0,47 -0,08 -2,81* -0,52 -0,50 -0,22 -3,87* -1,37 2,15* 1,66 -1,00 0,93 1,09 1,32 2,59* 6,40* 6,08* 3,79* 4,89* 5,30* 5,42* 3,79* 3,36* 0,74 2,37* 2,65* 2,85* -0,85 -4,85* -1,16 -1,27 -0,85 -4,34* -0,59 -0,61 -0,20 2,34* 2,87* 3,09* 0,07 0,36 0,32 -2,86* -10,67* -5,06* -2,21* -3,78* -6,10* -3,06* -2,87* -1,46 -4,62* -1,81 -0,03 -0,67 -1,05 0,46 0,42 1,70 2,38* 3,59* 3,89* 5,03* 6,25* 5,88* 8,20* 1,48 1,17 1,21 2,52* 2,42* 3,80* -0,52 -0,77 0,40 0,37 1,37 -0,23 1,24 1,18 2,53* 1,96 1,81 3,84* -0,02 1,53 1,46 -7,29* -25,48* -15,18* -3,53* -6,01* -8,72* -4,63* -3,69* -3,68* -14,83* -6,29* -1,62 -1,74 -4,61* -1,42 3,60* 3,64* 8,52* 3,80* 8,74* 5,15* 7,07* 19,59* 19,67* 0,60 2,62* -0,56 2,09* 10,43* 10,48* 0,69 -0,84 0,64 2,74* 2,75* -2,49* -0,02 4,10* 4,12* 2,15* 6,87* 6,89* 3,25* 3,27* 0,03 -6,14* -23,69* -14,80* -3,48* -12,25* -8,45* -6,83* -3,15* -4,23* -16,17* -7,18* -1,52 -3,41* -5,12* 0,35 4,70* 3,32* 9,60* 6,21* 14,41* 5,98* 17,42* 22,61* 20,95* 1,52 4,56* -0,67 8,10* 13,46* 11,70* 0,27 -1,75 1,67 3,04* 2,67* -3,39* 4,19* 10,49* 8,29* 5,47* 7,78* 7,12* 5,10* 3,39* -1,86 -7,37* -13,88* -11,92* -3,32* -5,75* -8,17* -8,96* -4,49* -4,10* -10,15* -5,71* -1,15 -1,92 -4,35* 1,43 5,56* 4,53* 5,95* 5,28* 7,04* 5,05* 11,27* 13,14* 12,68* 1,51 2,23* -0,15 7,44* 10,65* 9,78* -0,04 -1,48 1,64 2,80* 2,60* -2,00* 2,81* 4,86* 4,45* 5,33* 7,33* 6,90* 6,12* 4,28* -1,05 146 Lampiran 42. Kadar Kalium tiap kedalaman selama masa pertumbuhan (ulangan=30) Kedalaman Umur (minggu) 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-50 cm 1 23,45 a 10,96 g 6,02 kl 6,50 p 4,59 tu 2 16,28 b 9,98 h 6,30 kl 4,07 qrs 3,93 uv 3 9,18 d 5,78 m 3,31 o 3,11 st 2,70 xy 4 11,52 c 7,96 ijk 5,64 klm 4,44 qr 3,50 vw 5 19,18 ab 8,58 hi 5,55 klm 4,37 qr 3,70 v 6 16,20 b 8,27 hij 6,74 k 5,34 pq 5,59 t 7 9,25 d 5,84 lm 3,86 no 3,43 rs 3,43 vw 8 9,07 d 6,97 jk 4,91 lmn 3,53 rs 3,18 vwx 9 9,46 cd 6,85 jkl 4,82 mn 3,71 rs 2,97 wx 10 8,70 d 6,49 klm 3,39 o 2,62 t 2,42 y Rataan 13,23 a 7,77 b 5,05 c 4,11 cd 3,60 d Keterangan: kadar kalium tiap kedalaman tanah dan kadar kalium rataan yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji beda nilai tengah (α = 5%) 147 Lampiran 43. Kadar kalium pada tiap lokasi penelitian selama masa pertumbuhan tanaman Lokasi Kedalaman (cm) 2 17,45 8,33 3,00 1,93 2,26 3 11,57 5,13 1,91 2,13 1,86 4 7,70 4,38 1,77 1,28 1,15 Umur (minggu) 5 6 9,75 11,10 7,12 4,86 5,00 2,29 3,22 1,61 3,09 2,79 7 10,32 5,40 1,98 2,39 2,41 8 7,55 3,88 1,48 1,95 1,57 9 11,86 7,89 4,00 2,97 2,79 10 9,70 7,44 3,36 2,99 3,14 1 1 1 1 1 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 1 31,80 11,46 4,68 8,86 3,62 2 2 2 2 2 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 15,81 8,22 7,03 6,00 5,48 10,48 8,29 5,38 3,43 3,61 3,99 5,23 3,98 2,88 2,29 10,93 11,18 9,37 6,58 4,99 9,11 6,46 4,84 4,02 3,43 11,39 8,46 8,64 6,72 6,36 5,20 5,84 5,44 4,84 4,25 7,37 7,06 6,30 4,21 4,00 4,81 4,00 4,56 3,26 2,79 5,73 4,33 3,82 2,77 1,73 3 3 3 3 3 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 22,75 13,19 6,34 4,65 4,65 20,90 13,31 10,54 6,84 5,91 11,98 6,99 4,03 4,32 3,95 15,93 8,33 5,78 5,47 4,38 38,67 12,17 6,80 5,88 4,60 26,12 11,49 9,30 7,70 7,64 12,23 6,28 4,17 3,06 3,62 12,29 9,97 6,94 4,42 3,97 11,71 8,67 5,89 4,91 3,34 10,68 7,72 3,00 2,10 2,41 148 Lampiran 44. Uji beda nilai tengah kadar Kalium tiap kedalaman antar waktu pengukuran (minggu) Perbandingan 1 dan 2 minggu 1 dan 3 minggu 1 dan 4 minggu 1 dan 5 minggu 1 dan 6 minggu 1 dan 7 minggu 1 dan 8 minggu 1 dan 9 minggu 1 dan 10 minggu 2 dan 3 minggu 2 dan 4 minggu 2 dan 5 minggu 2 dan 6 minggu 2 dan 7 minggu 2 dan 8 minggu 2 dan 9 minggu 2 dan 10 minggu 3 dan 4 minggu 3 dan 5 minggu 3 dan 6 minggu 3 dan 7 minggu 3 dan 8 minggu 3 dan 9 minggu 3 dan 10 minggu 4 dan 5 minggu 4 dan 6 minggu 4 dan 7 minggu 4 dan 8 minggu 4 dan 9 minggu 4 dan 10 minggu 5 dan 6 minggu 5 dan 7 minggu 5 dan 8 minggu 5 dan 9 minggu 5 dan 10 minggu 6 dan 7 minggu 6 dan 8 minggu 6 dan 9 minggu 6 dan 10 minggu 7 dan 8 minggu 7 dan 9 minggu 7 dan 10 minggu 8 dan 9 minggu 8 dan 10 minggu 9 dan 10 minggu 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-50 cm 3,61* 7,91* 6,50* 1,33 3,33* 8,00* 8,28* 7,77* 8,58* 5,11* 3,33* -0,96 0,04 5,20* 5,54* 4,92* 5,93* -2,01* -3,45* -4,25* -0,07 0,11 -0,25 0,49 -2,62* -2,78* 2,03* 2,32* 1,78 2,74* 0,95 3,45* 3,54* 3,35* 3,68* 4,29* 4,52* 4,09* 4,81* 0,19 -0,20 0,60 -0,39 0,44 0,79 1,09 7,22* 3,37* 2,62* 2,96* 7,27* 4,59* 5,09* 5,76* 6,01* 2,31* 1,57 1,92 6,05* 3,52* 3,96* 4,60* -3,17* -3,97* -3,52* -0,13 -1,79 -1,86 -1,34 -0,71 -0,35 3,16* 1,18 1,42 1,97 0,35 3,96* 1,88 2,17* 2,74* 3,50* 1,51 1,78 2,32* -1,75 -1,81 -1,28 0,15 0,66 0,56 -0,39 6,75* 0,54 1,03 -0,96 4,73* 1,82 2,84* 7,42* 4,17* 0,72 1,01 -0,46 3,25* 1,64 2,04* 4,20* -3,44* -5,42* -4,71* -1,35 -2,76* -4,02* -0,28 0,13 -1,18 2,49* 0,89 1,19 3,45* -1,57 3,61* 1,03 1,68 5,86* 3,79* 2,13* 2,60* 4,76* -1,69 -2,20* 1,29 0,15 2,77* 4,39* 3,82* 6,65* 3,18* 3,92* 1,58 5,91* 5,64* 5,45* 8,22* 1,90 -0,59 -0,56 -1,74 1,24 1,04 0,70 3,11* -2,58* -3,32* -3,57* -0,94 -1,17 -1,81 1,82 0,13 -1,21 1,92 1,72 1,41 3,80* -1,49 2,39* 2,09* 1,72 5,35* 3,02* 2,84* 2,60* 4,58* -0,26 -0,81 2,85* -0,52 3,02* 4,04* 1,62 6,06* 2,58* 2,90* -1,95 3,70* 3,97* 5,91* 7,56* 3,16* 0,88 0,59 -2,93* 1,29 1,77 2,66* 4,08* -2,00* -3,56* -5,74* -2,50* -1,43 -1,11 1,04 -0,50 -3,62* 0,19 0,75 1,42 2,82* -3,78* 0,98 1,60 3,05* 5,04* 4,29* 4,54* 5,44* 6,48* 0,74 1,81 3,80* 0,68 2,41* 2,56* 149 Lampiran 45. Bobot tanaman waktu panen (kg/ha) Ulangan Bobot (kg/ha) Ulangan Bobot (kg/ha) Ulangan Bobot (kg/ha) 1 7800 11 2140 21 6653 2 8400 12 3292 22 5876 3 10800 13 1880 23 6266 4 7800 14 3080 24 5113 5 4800 15 1652 25 7671 6 5400 16 3080 26 5224 7 3600 17 1260 27 8433 8 4800 18 3296 28 7875 9 4200 19 1048 29 9025 10 8400 20 2248 30 7934 Lampiran 46. Bobot tongkol waktu panen (kg/ha) Ulangan Bobot (kg/ha) Ulangan Bobot (kg/ha) Ulangan Bobot (kg/ha) 1 7800 11 2400 21 7115 2 7200 12 4000 22 5669 3 9000 13 2400 23 6006 4 7200 14 3400 24 4709 5 6000 15 2400 25 6885 6 7200 16 3600 26 4612 7 4800 17 2000 27 7536 8 6000 18 3800 28 7210 9 4800 19 1600 29 8009 10 10800 20 3200 30 7020 150 Lampiran 47. Sidik ragam pengaruh sifat-sifat fisik, kadar air, dan kadar hara tiap kedalaman tanah terhadap produksi tanaman Peubah Sumber Keragaman 1. Bobot tanaman Model 1033026287 6 172171048 Sisa 1059007556 293 3614360 2. Bobot tongkol Model Sisa 772154279 6 128692380 751903332 293 2566223 No JK db KT F 47,64* 0,000 50,15* 0,000 Lampiran 48. Uji t dari parameter pengaruh sifat-sifat fisik, kadar air dan kadar hara tiap kedalaman tanah terhadap bobot tanaman jagung No 1 2 3 4 5 6 7 Peubah Intercept KA(0-50) K(0-50) P(0-50) BI (0-50) RPD(0-50) RPAT(0-50) Konstanta peubah -64441 -195 150 449 53372 961 218 t 0,05(293) -7,57* -5,83* 3,43* 3,72* 9,67* 9,84* 3,41* Keterangan: t nyata bila > t0,05(293) = 1.96; BI = bobot isi g/cm3), KA = Kadar air (% vol), RPD = ruang pori drainase (% vol), RPAT = ruang pori air tersedia (% vol), (0-50): pada kedalaman 0-50 cm Lampiran 49. Pengaruh sifat-sifat fisik, kadar air dan kadar hara tiap kedalaman tanah terhadap bobot tongkol jagung No 1 2 3 4 5 6 Peubah Intercept KA(0-50) K(0-50) P(0-50) BI (0-50) RPD(0-50) Konstanta peubah -53417 -157 113 348 47074 769 taraf p t 0,05(293) -7,44* -5,58* 3,06* 3,42* 10,12* 9,34* Keterangan: t nyata bila > t0,05(293) = 1.96; BI = bobot isi g/cm3), KA = Kadar air (% vol), RPD = ruang pori drainase (% vol), (0-50): pada kedalaman 0-50 cm