PERKEMBANGAN PERENCANAAN BANGUNAN TAHAN GEMPA Benjamin Lumantarna Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan teknik Sipil Universitas Kristen Petra, Surabaya Direktur Benjamin Gideon and Associates, Surabaya ABSTRAK Perencanaan bangunan terhadap gempa sudah disyaratkan sejak diterbitkannya Peraturan Muatan Indonesia 1970, NI-18. Meskipun demikian masih saja terjadi keruntuhan bangunan setiap terjadi gempa. Perencanaan bangunan secara lebih baik dan lebih efisien akan mengurangi kerusakan bangunan akibat bencana dan mengurangi penggunaan Semen Portland, sehingga secara tidak langsung mengurangi emisi gas CO2. Makalah ini membahas perkembangan peraturan pembebanan terhadap gempa serta arah perkembangan perencanaan gempa pada masa mendatang yaitu menuju Performance Based Design. Dibahas pula perlunya pendetilan yang baik agar tidak terjadi keruntuhan total. . PENDAHULUAN Proses produksi Semen Portland sebagai salah satu unsur utama pembangunan cukup banyak menghasilkan gas CO2, salah satu penyebab global warming. Penggunaan semen portland secara bijak dan perencanaan bangunan secara lebih baik dan lebih efisien secara tidak langsung mengurangi emisi gas CO2. Dilain pihak kenyataan menunjukkan, meskipun Teddy Boen dan Wiratman Wangsadinata sebagai pelopor perencanaan bangunan tahan gempa, sejak tahun 1969 berusaha memperkenalkan cara-cara perencanaan bangunan tahan gempa [1,2,3,4,5], gempa Aceh, 26 Desember 2004, Nias, 28 Maret 2005, Jogya, 27 Mei 2006, dan Bengkulu 12 September 2007 masih mengakibatkan kerusakan yang sangat parah pada bangunan beton bertulang (Gambar 1 dan 2), bahkan menurut Hoedajanto [6] kerusakan kecil yang terjadi pada Gedung Kantor Gubenur NAD (Gambar 3) bukan hasil perencanaan tetapi hanya suatu kebetulan, karena di halaman yang sama, terjadi kerusakan yang hebat (Gambar 1.a). Dimana letak kesalahan kita, kurang intens melakukan sosialisasi atau beban rencana yang diberikan oleh peraturan, salah? Timbul pertanyaan apakah ada bangunan yang tahan terhadap gempa? (a) Aceh, 26 Desember 2004 (b) Nias 28 Maret 2005 Gambar 1: Kerusakan Bangunan di Aceh dan Nias [6] (a) Jogya 27 Mei 2006 (b) Bengkulu 12 September 2007 Gambar 2: Kerusakan Bangunan di Jogya dan Bengkulu (koleksi pribadi) Gambar 3: Gedung Kantor Gubenur NAD, 26 Desember 2004 [6] PERKEMBANGAN PERATURAN GEMPA. Peraturan Muatan Indonesia 1970, NI-18 [7] Peraturan Muatan Indonesia, PMI 1970 [7], adalah peraturan pertama di Indonesia yang mengatur tentang beban gempa yang harus diperhitungkan dalam perencanaan struktur. Peraturan mengenai beban gempa terdapat dalam bab V. Percepatan gempa pada lantai gedung, ai, diatur sebagai: ai = kih kd kt (1) dimana, kih adalah koefisien gempa pada ketinggian i, kd adalah koefisien daerah yang tergantung di wilayah gempa mana struktur dibangun, dimana Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah gempa (Gambar 3). Koefisien tanah, kt tergantung kepada jenis tanah (keras, sedang, lunak, amat lunak) dan jenis konstruksi (baja, beton bertulang, kayu, pasangan) Gambar 3: Peta Gempa menurut PMI 1970 [7] Untuk bangunan dengan tinggi sampai dengan 10 m, koefisien gempa kih ditentukan sebesar 0.1x percepatan gravitasi, sedangkan untuk bangunan lebih tinggi dari 10 m diatur seperti terlihat dalam Gambar 4. knh 0.4 H koh = 1/ (10+0.1H) 10m<H<40 m (2) knh = (1+ 0.05H) koh (3) 0.6 H koh Gambar 4: Koefisien gempa kih, PMI 1970 [7] Perencanaan dilakukan dengan cara elastik. Karena kombinasi beban gempa dengan beban mati dan beban hidup yang direduksi dianggap sebagai beban sementara, maka tegangan yang diijinkan dapat dinaikkan. Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia Untuk Gedung (PPTGIUG), 1981 [8] Peraturan ini merupakan hasil kerja sama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Selandia Baru dan dengan sendirinya berkiblat kepada peraturan Selandia Baru. Peraturan ini menggunakan respons spektra percepatan untuk menentukan percepatan gempa yang harus diperhitungkan dalam perhitungan beban gempa. Dalam peraturan ini untuk pertama kali dikenalkan konsep perencanaan yang mengandalkan pemencaran energi melalui terjadinya sendi plastis. Banyak hal baru yang diperkenalkan dalam peraturan ini, seperti: (1) konsep daktilitas struktur; (2) konsep keruntuhan yang aman, yaitu mekanisme goyang dengan pembentukan sendi plastis dalam balok (beam side sway mechanism); dan (3) konsep perencanaan kapasitas (Capacity design). Peta gempa diubah menjadi enam wilayah gempa seperti ditunjukkan dalam Gambar 5. Gambar 6 menunjukkan respons spektra percepatan ditiap wilayah gempa. Gambar 5: Peta Gempa menurut PPTGIUG [8] Gambar 6: Koefisien Gempa Dasar C menurut PPTGIUG [8] Gaya geser dasar horizontal total, V, ditentukan sebagai: V = C I K Wt (4) dimana C adalah koefisien gempa dasar yang didapat dari respons spektra (Gambar 6) untuk waktu getar alami fundamental, T, sesuai dengan daerah gempa tempat bangunan itu didirikan. Faktor keutamaan (Importance factor), I, tergantung dari penggunaan gedung. Gedung yang merupakan fasilitas penting dan diharapkan tetap berfungsi setelah terjadinya gempa diberikan faktor keutamaan yang lebih besar (I=12). K adalah faktor jenis struktur yang tergantung dari daktilitas jenis struktur yang digunakan (K=1-4), untuk struktur yang kurang daktil diberikan faktor jenis struktur yang lebih besar, sedangkan Wt adalah berat total bangunan. Peraturan ini mendasarkan respons spektra yang digunakan kepada gempa dengan periode ulang 200 tahun, setelah dibagi dengan daktilitas struktur sebesar 4. Penjelasan ini hanya dapat dibaca dalam seri laporan yang disampaikan oleh Beca Carter Hollings and Farner [9] yang tidak tersedia untuk umum. Peraturan ini kemudian berubah nama menjadi Pedoman Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Rumah dan Gedung, SKBI-1.3.53.1987, UDC: 699.841 [10], lalu menjadi Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Gedung, SNI 03-1726-1989 [11] tanpa ada perubahan isi. Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Gedung, SNI 03- 1726-2002 [12] Peraturan ini memperbaruhi peta gempa menjadi seperti terlihat di Gambar 7, tetapi tetap menggunakan enam wilayah gempa. Respons spektra yang digunakan (Gambar 8) adalah respons spektra gempa yang kemungkinan terjadinya 10 % dalam kurun waktu 50 tahun, yaitu gempa dengan periode ulang 500 tahun (disebut gempa rencana), bukan respons spektra yang telah direduksi seperti digunakan dalam SNI 03-1726-1989 dan peraturan selanjutnya [8,10,11]. Sebagai konsekuensi rumus gaya geser dasar (nominal) juga berubah menjadi V = (C1I/R) Wt (5) dimana C1adalah koefisien respons percepatan pada waktu getar alami fundamental T1 yang didapatkan dari respons spektra gempa rencana (Gambar 8) sesuai dengan wilayah gempa tempat bangunan didirikan. I adalah faktor keutamaan yang besarnya antara 1 dan 1.6, sedangkan Wt adalah berat total bangunan. R adalah koefisien reduksi yang merupakan perkalian antara faktor kuat lebih, f1, dengan daktilitas struktur μ sebagai berikut R = f1 μ (6) Faktor kuat lebih f1 diambil sebesar 1.6, sedangkan daktilitas struktur μ bervariasi dari 1 untuk struktur yang elastik penuh sampai 5.3 untuk struktur yang daktil penuh. Gambar 7: Peta Gempa Indonesia SNI 03- 1726-2002 [12] Wilayah Gempa 1 Wilayah Gempa 2 0.50 0.50 C (Tanah lunak) T C C 0.15 (Tanah keras) T C 0.20 C C 0.30 0.08 (T anah sedang) T 0.13 0.10 0.08 0.05 0.04 0.23 (T anah sedang) T C 0.38 0.20 C (Tanah lunak) T 0.20 0.05 (Tanah keras) T 0.15 0.12 0 0.2 0.5 0.6 1.0 2.0 3.0 0 0.2 0.5 0.6 1.0 T Wilayah Gempa 3 0.75 C C 0.70 0.85 (Tanah lunak) T C 0.60 0.33 (T anah sedang) T C 0.45 3.0 Wilayah Gempa 4 0.85 0.75 (T anah lunak) T C 0.55 2.0 T 0.42 (T anah sedang) T C 0.23 (Tanah keras) T C C 0.30 0.30 (Tanah keras) T 0.34 0.28 0.23 0.24 0.18 0 0.2 0.5 0.6 1.0 2.0 3.0 0 0.2 0.5 0.6 1.0 T Wilayah Gempa 5 0.90 0.95 0.90 0.90 C (Tanah lun ak) T 0.83 0.70 C C 2.0 3.0 T Wilayah Gempa 6 0.83 C 0.50 (Tanah sedang) T C 0.35 (Tanah keras) T 0.95 (Tanah lun ak) T C 0.54 (Tanah sedang) T C C 0.42 (Tanah keras) T 0.38 0.36 0.33 0.36 0.32 0.28 0 0.2 0.5 0.6 1.0 2.0 T 3.0 0 0.2 0.5 0.6 1.0 2.0 T Gambar 8: Respons Spektrum Gempa Rencana SNI 03-1726-2002 [12] 3.0 IMPLIKASI PERUBAHAN PERATURAN Perubahan peraturan gempa menyebabkan perubahan beban gempa yang harus digunakan. Gambar 9 menunjukkan perbandingan beban gempa pada bangunan enam lantai dengan struktur daktil, dengan tinggi lantai ke lantai 3.5m (tinggi total 21 m) dan waktu getar alami fundamental 1 detik yang dibangun diatas tanah lunak di Surabaya. Terlihat bahwa dari waktu ke waktu besar gaya lateral yang harus diperhitungkan berubah. Struktur yang telah direncanakan dengan “aman” sesuai dengan peraturan terdahulu bisa saja menjadi “tidak aman” dalam waktu yang lain. Perbandingan Gaya Lateral F1 7 Tingkat 6 5 4 3 PMI 70 PPTGI UG Wilayah 2 ki Varies kd 0.5 kt 1 Wilayah 4 C 0.05 I 1 K 1 SNI 0317262002 Wilayah 2 C 0.5 I 1 R 8.5 2 1 0 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 Gaya Lateral F1 PMI 70 PPTGIUG SNI 03-1726-2002 Gambar 9. Perbandingan Besar Gaya Lateral Mengingat telah disepakati secara umum bahwa secara ekonomis tidak layak untuk merencanakan bangunan agar dapat menahan gempa besar secara elastis, maka konsep perencanaan bangunan tahan gempa selayaknya adalah: 1. Pada pembebanan gempa kecil yang sering terjadi, tidak boleh terjadi kerusakan struktur dan non struktur (dapat segera dipakai, dalam keadaan serviceability limit state, immediate occupancy) 2. Pada pembebanan gempa sedang yang kadang-kadang terjadi, struktur masih dapat diperbaiki (damage control limit state, limited damage) 3. Pada pembebanan gempa besar yang jarang terjadi, struktur tidak boleh runtuh (life safety) Bila struktur telah direncanakan memiliki daktilitas yang cukup (dengan capacity design), perbedaan besar gaya lateral hanya akan mengakibatkan perubahan kinerja struktur dalam taraf serviceability limit state. ARAH PERKEMBANGAN PERENCANAAN STRUKTUR, PERFORMANCE BASED DESIGN Perencanaan kapasitas (capacity design) merupakan perencanaan berbasis kekuatan (Strength Based Design), karena kinerja (performance) struktur tidak menjadi sasaran perencanaan [12], kinerja struktur terhadap beban gempa dapat sangat bervariasi. Pengamatan terhadap gempa besar yang terjadi menunjukkan perencanaan berdasarkan kekuatan telah berhasil mengurangi korban manusia menjadi sangat kecil, karena struktur tidak runtuh. Tetapi keadaan kerusakan struktur dapat sedemikian rupa sehingga gedung tersebut tidak dapat diperbaiki, dengan demikian bisnis juga berhenti, paling tidak sampai didapatkan bangunan pengganti sementara dan pulihnya infrastruktur. Hal ini memakan biaya langsung maupun tak langsung yang sangat besar [13]. Perencanaan berbasis kinerja (Performance Based Design) [14,15,16] dilain pihak, menggunakan kinerja struktur sebagai sasaran perencanaan. Perencanaan berbasis kinerja mensyaratkan taraf kinerja (level of performance) yang diinginkan untuk suatu taraf beban gempa dengan periode ulang tertentu. Salah satu contoh matriks kinerja (performance matrix) yang paling sederhana dapat dilihat dalam Gambar 10. Dalam matriks kinerja ini hanya ditetapkan tiga tingkatan kinerja, yaitu kinerja batas layan (serviceablity limit state), kinerja kontrol kerusakan struktur (damage control limit state) dan kinerja keselamatan (safety limit state) Gambar 10. Tingkatan dan Sasaran Kinerja Berdasarkan ACMC [15] PERENCANAAN BERBASIS KINERJA, ANALISA BEBAN DORONG STATIK (STATIC PUSHOVER ANALYSIS) Dalam Gambar 10 ditunjukkan bahwa kinerja yang dikehendaki untuk bangunan dengan tujuan penggunaan biasa adalah; dalam keadaan langsung dapat digunakan (serviceability limit state) terhadap gempa kecil, dapat diperbaiki (damage control limit state) terhadap gempa sedang, dan tidak roboh (safety limit state) terhadap gempa besar. Kinerja yang berbeda dapat diterapkan atas bangunan dengan tujuan penggunaan khusus (misalnya harus segera dapat digunakan dalam keadaan bencana) atau bangunan yang sangat berbahaya bila sampai gagal (misalnya stasiun tenaga nuklir). Dalam perencanaan berbasis kinerja pemilik bersama perencana dapat menentukan kinerja yang diinginkan. Kesulitan yang dihadapi adalah menentukan kriteria kinerja tersebut, misalnya kapan suatu bangunan dikatakan masih dapat diperbaiki, apakah bila kemiringannya (drift) masih kurang dari 1% atau kerusakannya dibawah suatu ukuran kriteria tertentu (damage index). Analisa linier elastik (riwayat waktu) tidak dapat digunakan untuk meramalkan kinerja bangunan terhadap gempa besar, karena pada dasarnya pada saat terjadi gempa besar pada struktur terjadi plastifikasi dibeberapa tempat. Karena deformasi plastis tergantung kepada sejarah pembebanan, maka analisa yang seharusnya digunakan untuk melakukan evaluasi kinerja bangunan adalah Analisa Nonlinier Riwayat Waktu (dynamic nonlinear time history analysis). Analisa nonlinier riwayat waktu tidak mudah digunakan dan membutuhkan waktu analisa yang cukup banyak. Beberapa peneliti mengusulkan penggunaan Analisa Beban Dorong Statik (static pushover analysis) [13,14,16,17,18] untuk menggantikan analisa nonlinear riwayat waktu. Analisa static pushover adalah analisa statik nonlinier yang relatif mudah. Beberapa program komputer seperti Ruaumoko [19] dan ETABS-Nonlinear [20] telah mempunyai kemampuan untuk melakukan analisa static pushover. Beberapa cara analisa pendekatan untuk meramalkan kinerja bangunan telah diusulkan [14,16]. Prosedur analisa kinerja di tunjukkan dalam Gambar 11. Pada dasarnya dalam analisa kinerja ini dilakukan perbandingan antara kapasitas (Capacity) dengan kebutuhan (Demand). Bila kapasitas struktur lebih besar dari kebutuhan, maka kinerja yang disyaratkan dapat dicapai. Kapasitas struktur didapatkan dengan menggunakan analisa beban dorong statik (static pushover). Prosedur analisa static pushover pada dasarnya adalah pemberian beban lateral dengan pola beban tertentu secara bertahap sampai dicapai kehancuran struktur (Gambar 11). Grafik yang menyatakan hubungan antara beban total (gaya geser dasar, base shear) dengan displacement pada puncak bangunan dinamakan kurva kapasitas (capacity curve). Dalam proses membandingkan kapasitas dan kebutuhan, ada beberapa cara yang dapat digunakan, tetapi saat ini yang banyak digunakan adalah cara yang dinamakan Capacity Spectrum Method (CSM). Dalam makalah ini hanya dijelaskan CSM. Capacity Spectrum Method (CSM) Dalam cara CSM capacity curve dengan modifikasi tertentu diubah menjadi spektrum kapasitas (capacity spectrum) (Gambar 12.a), sedangkan response spectrum diubah dalam format acceleration-displacement response spectrum, ADRS (SaSd). Format ADRS adalah gabungan antara acceleration dan displacement response spectra dimana absis merupakan acceleration (Sa) dan ordinat merupakan displacement (Sd) sedangkan Periode, T, adalah garis miring dari pusat sumbu (Gambar 12.b). Response spectrum dalam bentuk ADRS ini kemudian dimodifikasi dengan memasukkan pengaruh effective damping yang terjadi akibat terbentuknya sendi plastis. Spectrum ini dinamakan demand spectrum. Gambar 11: Prosedur Analisa Kinerja (a) Kurva kapasitas menjadi spectrum kapasitas (b) Format standar menjadi format ADRS Gambar 12: Pembuatan Spektrum Kapasitas dan Respons Spektrum dengan Format ADRS Capacity spectrum kemudian dibandingkan dengan demand spectrum. Perpotongan antara capacity spectrum dengan demand spectrum dinamakan performance point (Gambar 13). Dari performance point ini dapat diketahui pada langkah Pushover keberapa Performance Point dicapai (Gambar 14), kemudian dapat diperoleh deformasi dan letak sendi plastis (Gambar 15) dan Drift Ratio (Gambar 16). Seluruh proses ini dapat dilakukan dengan program ETABS-Nonlinear [20] Performance point Gambar 13: Performance Point Untuk Bangunan 10 Lantai, Gempa 850 tahun Gambar 14: Langkah Pushover pada saat Performance Point dicapai, Gempa 850 tahun Gambar 15: Deformasi dan Letak Sendi Plastis, Gempa 850 tahun Gambar 16: Drift Ratio, Gempa 850 tahun Lumantarna et.al. membandingkan kurva kapasitas (capacity curve) yang didapatkan dari analisa static pushover dengan capacity curve yang didapatkan dari analisa nonlinear riwayat waktu dengan gempa dalam satu arah [21,22,23,24,25,26,27] serta dua arah [28]. Dalam penelitian ini rekaman gempa yang digunakan untuk analisa nonlinear riwayat waktu adalah gempa El Centro 1940 yang telah dimodifikasi sehingga menghasilkan respons spektrum yang sesuai dengan SNI 03-1726. Modifikasi percepatan gempa ini dilakukan dengan menggunakan program Resmat [29]. Lumantarna et.al. menyimpulkan bahwa analisa static pushover dapat meramalkan prilaku nonlinear struktur sepanjang dilakukan pada bangunan yang mempunyai ragam pertama yang dominan. Dipihak lain, Lumantarna et.al. [30,31] menunjukkan kesulitan yang didapat dalam memilih kriteria kinerja. Gambar 17 menunjukkan perbandingan kinerja menggunakan kriteria drift ratio hasil analisa pushover (P), dibandingkan dengan hasil analisa nonlinier riwayat waktu (TH) terhadap bangunan Struktur Rangka Pemikul Momen Khusus 10 lantai. Periode ulang gempa 20 50 100 200 400 500 Serviceability limit state Drift < 0.5 % P/TH P/TH Damage control limit state Drift < 1.0 % Safety limit state Drift <2.0 % P/TH TH P TH TH P P Gambar 17: Matriks Performance berdasarkan drift ratio lantai hasil analisa Pushover (P) vs Time Histoty (TH) [30] Gambar 18 menunjukkan kinerja menggunakan kriteria damage index yang terjadi. Dalam hal ini karena program ETABS [20] tidak menghasilkan damage index, maka hanya digunakan damage index yang didapat dari analisa nonlinier riwayat waktu menggunakan program Ruaomoko[19]. Ada dua damage index yang digunakan, yaitu damage index maksimum dan damage index rata-rata. Gambar 18 menunjukkan perbandingan kinerja berdasarkan damage index maksimum (M) dan damage index rata-rata (R). Terlihat kriteria kinerja dengan menggunakan damage index dapat memberikan hasil yang sangat berbeda dengan kriteria kinerja menggunakan drift ratio. Lumantarna et.al. mengusulkan agar digunakan kriteria drift ratio Periode ulang gempa 20 50 100 200 400 500 Serviceability limit state DI: 0.1 -0.25 R/M R M R R R Damage control limit state DI: 0.25 - 0.4 Safety limit state DI: 0.4 – 1.0 M M M Gambar 18: Matriks Performance hasil analisa Time History berdasarkan Damage index rata-rata (R) dan maksimum (M) [30] PERENCANAAN BERBASIS KINERJA, MODAL PUSHOVER ANALYSIS (MPA) Analisis static pushover didasarkan kepada anggapan bahwa respons struktur di dominasi oleh mode pertama dan tetap didominasi oleh mode pertama meskipun telah terjadi pelelehan sendi plastis. Untuk struktur yang lebih tinggi dimana mode yang lebih tinggi mulai berpengaruh, Chopra, A.K. dan Goel, R.K. [32,33] mengusulkan penggunaan Modal Pushover Analysis (MPA). Beberapa peneliti [34,35,36,37] telah menunjukkan keakuratan cara MPA dalam memprediksi perpindahan horizontal akibat beban lateral, tetapi keakuratan MPA untuk memprediksi gaya dalam tidak dilaporkan. Dalam cara MPA bila ditetapkan akan digunakan tiga ragam pertama maka diperlukan tiga kurva kapasitas struktur sesuai dengan ragam yang ditinjau. Gambar 19 menunjukkan tiga ragam pertama untuk struktur 12 lantai beserta pola pembebanan sesuai dengan ketiga ragam tersebut [38]. Gambar 20 menunjukkan kurva kapasitas sesuai pola pembebanan tiga ragam pertama, kalau perlu kurva kapasitas ini dapat disederhanakan misalnya menjadi bilinear. Kurva kapasitas kemudian diubah menjadi spectrum kapasitas untuk menentukan nonlinear stiffness dalam suatu mode tertentu (Gambar 21). Displacement maksimum dari masing-masing mode didapatkan dari analisa nonlinear riwayat waktu (Gambar 22) untuk kemudian digabungkan misalnya dengan cara square root of sum of squares (SRSS), dalam hal ini percepatan tanah yang digunakan adalah percepatan gempa sintesis yang telah disesuaikan dengan respons spektrum yang diberikan dalam SNI 03-1726-2002 [12]. Gempa sintesis didapatkan dengan melakukan modifikasi komponen Utara-Selatan (N-S) dari gempa El Centro 1940 menggunakan program Resmat [29]. 78.8 7.88 98.2 Floor -1 -0.5 1.94 82.2 73.8 64.0 53.0 41.1 0 0.5 1 1.5 28.7 5.57 3.53 5.48 89.1 6 5 4 3 2 1 0 -1.5 8.26 94.5 12 11 10 9 8 7 7.88 1.88 5.88 8.78 5.38 7.88 7.98 3.56 9.29 2.31 9.08 7.20 7.44 9.04 Mode Shape Compone nt 16.4 5.56 S1* 4.72 7.18 2.94 1.71 S2 * S3* Gambar 19: Tiga ragam pertama, bangunan 12 lantai dan pola pembebananan sesuai dengan ketiga ragam pertama tersebut. Base Shear, Vbn (kg) Actual Idealized Actual Idealized Roof Displacement, ur1 (m) Actual Idealized Roof Displacement, ur2 (m) Roof Displacement, ur3 (m) Fsn/Ln (m/s2) Gambar 20: Kurva kapasitas untuk ketiga ragam pertama D1 (m) D2 (m) D3 (m) Roof Displacement, urn Gambar 21: Spektrum kapasitas untuk ketiga ragam pertama 57.87 mm 233.08 mm Time (sec) 32.91 mm Mode 1 Time (sec) Mode 2 Time (sec) Gambar 22: Respons riwayat waktu untuk tiga ragam pertama 12 12 10 10 8 8 Story Story Lumantarna [39] membandingkan performa MPA dan CSM dalam memprediksi gaya dalam dengan Analisa Nonlinier Riwayat Waktu (dynamic nonlinear time history analysis, NLTHA) dan melaporkan bahwa MPA memberikan hasil yang sangat baik dalam prediksi perpindahan lateral (Gambar 23.a) tetapi ternyata dalam hal prediksi gaya dalam, MPA tidak memberikan hasil yang konvergen dengan bertambahnya jumlah mode yang ditinjau (Gambar 23.b). 6 6 MPA1 4 MPA1 MPA2 4 MPA2 MPA3 MPA3 CSM 2 2 NLTHA CSM NLTHA 0 0 0.1 0.2 0.3 Lateral Displacement (a) displacement 0.4 0 0 20 40 60 She a r Force , Vi (b) gaya lintang kolom Gambar 23: Perbandingan hasil MPA1 (1 ragam), MPA2, MPA3, CSM dan NLTHA Mode 3 PENUTUP Perencanaan struktur terhadap beban gempa merupakan perencanaan yang penuh dengan ketidak pastian, bahkan penentuan daerah gempa dapat berbeda-beda, baik karena bertambahnya data yang dipakai (Gambar 3,5,7), maupun karena penggunaan anggapan-anggapan dan teori yang berbeda (Gambar 24,25,26) [7]. Gaya gempa yang terjadi sangat sulit untuk diramalkan, selain dari pada itu agar secara ekonomis suatu bangunan layak untuk dibangun, pada umumnya perencanaan terhadap gempa (dinegara manapun) selalu menggunakan gaya gempa yang jauh lebih kecil dari gaya gempa yang mungkin terjadi selama masa layan bangunan, maka dapat dikatakan tidak ada bangunan yang dapat dikatakan tahan gempa. Gambar 24: Peta Peraturan Jembatan Jalan Raya [7] Gambar 25: Peta Puslitbang Sumber Daya Air Konsep Fukushima dan Tanaka [7] Gambar 26: Peta Puslitbang Sumber Daya Air Konsep Yoyner dan Bore [7] Yang dapat dilakukan dan harus ditekankan adalah mengusahakan agar bila suatu bangunan runtuh akibat gempa, tidak terjadi keruntuhan total (collapse, Gambar 27). Gambar 27: Beam Side Sway Mechanism Untuk menghindari terjadinya keruntuhan total beberapa hal yang sebetulnya sudah diusahakan untuk disosialisasikan, terutama lewat perguruan tinggi-perguruan tinggi harus selalu ditekankan: 1. Merencanakan mekanisme keruntuhan yang aman, yaitu beam side sway mechanism (Gambar 27) 2. Beam Side Sway Mechanism hanya dapat dicapai bila kekuatan kolom lebih besar dari kekuatan balok, sehingga sendi plastis terjadi di balok (capacity design, strong column weak beam). Gambar 28 menunjukkan kerusakan yang terjadi pada hubungan balok kolom, tidak terlihat sengkang 3. Sendi plastis hanya dapat tebentuk bila penampang dimana diharapkan terjadi sendi plastis dapat berprilaku secara daktil tanpa terjadi kehilangan kekakuan (pinching) dan kegagalan geser, dengan demikian kapasitas geser balok harus lebih besar dari kapasitas lentur aktualnya. 4. Semua perencanaan tidak ada artinya bila pendetilan tidak digambar dan dilaksanakan dengan baik. Pelaksanaan yang baik jauh lebih penting dari perhitungan yang baik. Gambar 29 menunjukkan sengkang sprral yang meskipun berjarak sangat jauh, karena dipasang dengan baik masih dapat mengekang tulangan longitudinal dan tidak runtuh. Bandingkan dengan Gambar 30, sengkang lepas, karena tidak terdapat penjangkaran yang baik. Gambar 28: Pendetilan yang tidak baik Gambar 29: Tidak Roboh Gambar 30: Sengkang Terlepas DAFTAR PUSTAKA 1. Boen, T., Dasar-Dasar Perencanaan Bangunan Tahan Gempa, Lembaga Penjelidikan Masalah Bangunan, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Dept. Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, terbitan keempat, 1976 (pertama terbit 1969) 2. Wangsadinata, W., Perentjanaan Bangunan Tahan Gempa (study case; High Rise Building Wisma Nusantara), Ceramah di Building Information Center, Djakarta, 26 Djuli 1971 3. Boen, T., dan Wangsadinata, W., A Brief utline of Seismicity and Earthquake Engineering Problems in Indonesia, Lembaga Penjelidikan Masalah Bangunan, Direktorat Djenderal Tjiptakarya, Dept. Pekerdjaan Umum dan Tenaga Listrik, 1971 4. Wangsadinata, W., dan Hermaini, H., Dynamic Analysis of Multi Story Buildings Subjected to Strong Motion Earthquakes With Particular Application to the 30-storied Wisama Nusantara Building, Lembaga Penjelidikan Masalah Bangunan, Direktorat Djenderal Tjiptakarya, Dept. Pekerdjaan Umum dan Tenaga Listrik, 1972 5. Boen, T., dan Wendy, T., Dasar-Dasar Perhtungan Bangunan Tahan Gempa, Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan, 1977 6. Hoedajanto, D., Makna Profesionalisme dalam Penerapan State of The Arts Teknik Struktur Tahan Gempa di Indonesia, Lokakarya Pengajaran Konstruksi Beton dan Mekanika Teknik, Jurusan teknik Sipil, FTSP, ITS, 13-14 Juli 2005 7. Lembaga Penjelidikan Masalah Bangunan, Direktorat Djenderal Tjiptakarya, Dept. Pekerdjaan Umum dan Tenaga Listrik, Peraturan Muatan Indonesia, PMI 1970 NI-18, 1970 8. Lembaga Penjelidikan Masalah Bangunan, Direktorat Djenderal Tjiptakarya, Dept. Pekerdjaan Umum dan Tenaga Listrik, Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia Untuk Gedung, 1981 9. Beca Carter Hollings and Farner, Indonesian Earthquake Stud, Vol 1-5, June1979 10. Yayasan Badan Penerbitan, Departemen Pekerjaan Umum, Pedoman Perencnaan Ketahanan Gempa untuk Rumah dan Gedung, SKBI-1.3.53.1987, UDC: 699.841, 1987 11. Yayasan Badan Penerbitan, Departemen Pekerjaan Umum, Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Gedung, SNI 03-1726-1989 , 1989 12. Badan Standardisasi Nasional, Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Bangunan Gedung, SNI 03-1726-2002, 2002. 13. Boen, T., Dasar-dasar Analisa Pushover, Makalah Seminar Nasional Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 5-6 Maret 1999. 14. ATC 40, Seismic Evaluation and Retrofit of Concerete Buildings, Aplied Technology Council, Redwood City, CA, 1997. 15. ACMC, 1999, Asian Concrete Model Code, Level 1 & 2 Documents, Second Draft. International Committee on Concrete Model Code : Japan, March 1999. 16. SEAOC’s Vision 2000 Report, Conceptual Framework for Performance Based Seismic Design. 17. Krawinkler, H., Static Pushover Analysis, SEAONC 1994 Fall Seminar on The Developing Art of Seismic Engineering: 1-24, California, USA, 1994. 18. Krawinkler, H., Pushover Analysis: Why, How, When and Where Not to Use It, Proc. 65th Annual Convention SEAOC, 1-6 October 1996: 17-36, Maui, Hawaii, USA, 1996. 19. Carr, A. J., RUAUMOKO, Inelastic Dynamic Analysis, University of Canterbury, New Zealand, 1998. 20. Habibullah, A., ETABS-Nonlinear, Three Dimensional Analysis and Design of Building Systems, Computer and Structures, Inc., Berkeley, California, USA, 1998. 21. Lumantarna, B., Wijoyo, H., Harianto, D., Seismic Performance Evaluation Using Pushover and Dynamic Nonlinear Time History Analysis, Proc. ICCMC/IBST 2001 Int. Conf. On Advanced Technologies in Design, Construction and Maintenance of Concrete Structures, 28-29 March 2001: 133-139 Hanoi, Vietnam, 2001. 22. Lumantarna, B., Widjaja, S., and Santoso, B., Seismic Performance Evaluation Of Regular Buildings Using Pushover And Dynamic Nonlinear Time History Analysis, 17th Australasian Conference on the Mechanics of Structures and Materials, ACMSM 17, 1214 June 2002, Gold Coast, Australia, 2002. 23. Lumantarna B., Keandalan Analisa Pushover untuk Meramal Prilaku Seismik Nonlinier Struktur Portal Terbuka Teratur, Profesionalisme dalam Dunia Konstruksi Indonesia, Prosiding Seminar dan Pameran HAKI 2002, 20-21 Agustus, Jakarta, pp v01-09, 2002. 24. Lumantarna, B., Seismic Performance Evaluation of Irregular Buildings, Static Pushover vs. Dynamic Nonlinear Time History Analysis, Proceedings of The Ninth East AsiaPacific Conference on Structural Engineering and Construction, EASEC-9, Bali, 16-18 December 2003. Bandung, Indonesia, 2003 25. Lumantarna, B., Kumalasari C., dan Wijaya V., Keandalan Analisa Pushover untuk Meramal Prilaku Seismik Nonlinier Struktur Portal Terbuka dengan Setback, Perkembangan Teknologi dan Aplikasinya dalam Dunia Konstruksi Indonesia, Prosiding Seminar HAKI 2003, 20-21 Agustus 2003, pp V01-09, Jakarta, Indonesia, 2003. 26. Lumantarna, B., Gunawan, R., Cicilia, I.K.S.. Prediction of Damages on Regular Building Using Static Nonlinear Pushover Analysis, Prosiding Konferensi Nasional Rekayasa Kegempaan II, AARGI II,Gedung PascasarUniversitas Gadjah MadaYogyakarta, 20 Januari 2004. Yogyakarta, Indonesia, 2004. 27. Lumantarna, B., Gunawan, I.,Wijaya E., Keandalan Analisa Pushover Untuk Meramal Prilaku Seismik Nonlinier Struktur Portal Terbuka dengan Reentrant Corner, Dimensi Teknik Sipil, Vol 6, No. 1, Maret 2004. 28. Andriono, T., Lumantarna, B., Tandian, C.H., Gunawan, A., Performance Of Pushover Analysis In Predicting Real Seismic Performance Of A Building, 18th Australasian Conference on the Mechanics of Structures and Materials, ACMSM 18, Perth, Australia, 2004. 29. Lumantarna, B., Lukito, M., Resmat, Sebuah Program Interaktif Untuk Menghasilkan Riwayat Waktu Gempa Dengan Spektrum Tertentu, Proc. Haki Conference 1997, Jakarta, Indonesia, 1997, pp. 128-135. 30. Lumantarna, B., Andriono, T., Kwary, A.B., Lokosasmito, F.. Kinerja Struktur Rangka Pemikul Momen Khusus. Exelence in Construction, Proceeding HAKI 2004, 24-25 Agustus 2004 31. Andriono,T., Lumantarna,B., Proboyo,A., Suryanto,B.. Kinerja Struktur Shear WallFrame Pemikul Momen Khusus. Exelence in Construction, Proceeding HAKI 2004, 24-25 Agustus 2004 32. Chopra, A.K., dan Goel, R.K., A Modal Pushover Analysis Procedure to Estimate Seismic Demands for Buildings: Theory and Preliminary Evaluation, Pacific Earthquake Engineering Research Center, Peer Report 2001/03, January 2001 33. Chopra,A.K., dan Goel, R.K., A Modal Pushover Analysis Procedure for Estimating Seismic Demands for Buildings, Earthquake Engineering and Structural Dynamics, Vol.31, 2002, pp. 561-582. 34. Goel, R.K., dan Chopra, A.K., Evaluation of Modal And FEMA Pushover Analyses: SAC Buildings, Earthquake Spectra, 20 (1), 2004, pp. 225-254. 35. Kalkan, E., dan Kunnath, S.K., Method Of Modal Combination For Pushover Analysis Of Buildings, 13th World Conference On Earthquake Engineering, Paper No. 2713, Vancouver, Canada, 2004. 36. Attard, T., dan Fafitis, A., Modeling Of Higher-Mode Effects Using an Optimal MultiModal Pushover Analysis, Earthquake Resistant Engineering Structures V, Southhampton, WIT Press, 2005, pp. 405-414. 37. Thjin, T., Ascheim, A., dan Hernandez-Montes, E., Observations on The Reliability of Alternative Multiple-Mode Pushover Analysis Methods, ASCE Journal Of Structural Engineering, 132 (3), 2006, pp. 471-477. 38. Hadiwijaya, I.J., and Wibowo, H., Evaluasi Modal Pushover Analysis pada Sistem Rangka Penahan Momen Beton Bertulang First Mode Dominant, Skripsi no No. 11131501/SIP/2007 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Kristen Petra, Surabaya, 2007 39. Lumantarna, B, Performance Based Design, Sebaiknya Menggunakan Modal Pushover Analysis atau Capacity Spectrum Method?, Proceedings SeminarHAKI 2008, Jakarta, Agustus 2008