PERWUJUDAN DAN IMPLEMENTASI ETIKA DALAM PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH Oleh Samsul Hidayat, M.Ed (Widyaiswara Madya BKD & DIKLAT Provinsi NTB) ABSTRAKSI Pelayanan publik baik di pusat maupun di daerah masih belum menerapkan nilainilai etika disebabkan adanya pemahaman yang beragam, tidak didukung kebijakan yang memadai, bertentangan dengan nilai budaya lokal, dan bersifat tidak mengikat. Untuk itu pemerintah perlu menetapkan kebijakan mengenai etika pelayanan publik secara terintegrasi dan lebih operasional yang mampu menciptakan kesepahaman dari aparatur pemerintah pusat dan daerah mengenai bentuk kebijakan etika pelayanan publik serta berlaku bagi aparat yang langsung berhubungan dengan masyarakat dan tidak berlaku bagi aparat yang tidak langsung berhubungan dengan masyarakat. Pemerintah perlu menyusun dan mensosialisasikan strategi pengembangan etika pelayanan publik yang operasional dan terintegrasi yang mengakomodasi muatan budaya lokal dan melibatkan seluruh stakeholders pelayanan publik yang ada. KATA KUNCI : Etika, pemerintah, pelayanan, publik 1 LATAR BELAKANG Dewasa ini administrasi publik menghadapi tantangan yang cukup pelik sebagai akibat dari adanya tuntutan masyarakat yang semakin beragam, sementara itu sumber daya yang dimiliki sangat terbatas baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Oleh sebab itu administrasi publik dituntut untuk mampu menjawab berbagai tantangan dari persoalanpersoalan yang ada dengan menempuh beragam cara yang dapat dilakukannya. Salah satu cara yang dapat ditempuh guna menjawab tantangan itu adalah dengan melakukan reformasi administrasi publik. Reformasi administrasi publik dilakukan pada berbagai aspek yang melingkupinya. Salah satu aspek yang penting diperhatikan dalam proses reformasi administrasi publik adalah aspek etika dalam menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat atau yang lebih dikenal sebagai etika dalam pelayanan publik. Etika dalam pelayanan publik bagi aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah sering kurang tersentuh dalam kajian-kajian bidang administrasi publik yang dilakukan selama ini, padahal kinerja pelayanan publik sangat ditentukan oleh etika para aparatur yang melaksanakan pelayanan tersebut. Bila aparatur pemerintah memahami dan menerapkan etika dalam memberikan pelayanan secara benar maka kinerja pelayanan diharapkan akan meningkat dan memenuhi keinginan masyarakat yang dilayani. Sebaliknya, apabila etika tersebut tidak dipahami dan dilaksanakan . Secara benar maka kinerja pelayanan menjadi buruk dan akan timbul banyak komplain dari masyarakat yang dilayani. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa kinerja pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur pemerintah pusat dan daerah kepada masyarakat belum berakar pada norma-norma etika yang benar. Fenomena lain yang terlihat di lapangan menunjukkan bahwa pola pelayanan aparat pemerintah cenderung sentralistik dan didominasi pendekatan kekuasaan, sehingga kurang peka terhadap perkembangan ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat, yang seharusnya terbuka, profesional dan akuntabel. Implikasi dari ketidakhadiran (absence) etika dalam pelayanan publik yang paling dirasakan masyarakat adalah perilaku aparatur yang diskriminatif dan tidak efisien. Berdasarkan uraian pada latar belakang mengenai kondisi kinerja pelayanan publik di pusat dan daerah maka dapat dirumuskan permasalahan yang dibahas adalah: Bagaimanakah implementasi etika dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh aparatur pemerintah di pusat dan di daerah saat ini? 2 PENGERTIAN ETIKA Secara umum etika diartikan sebagai suatu susunan prinsip-prinsip moral dan nilai. Prinsip-prinsip tersebut kemudian diakui dan diterima oleh individu atau suatu kelompok sosial sebagai sesuatu yang mengatur dan mengendalikan tingkah laku serta menentukan hal yang baik dan hal yang buruk untuk dilakukan. Secara konkrit, prinsip-prinsip moral dan nilai tersebut biasanya diwujudkan dalam bentuk suatu kode etik (code of ethic), yaitu suatu aturan, sistem atau standar yang memuat prinsip-prinsip mengelola moralitas dan tingkah laku yang diterima (accepted conduct) dalam suatu lingkungan masyarakat (LAN, 2005). Menurut Keban (2005:2-3), Etika Pelayanan Publik memiliki dua arti yaitu: arti sempit dan arti luas. Dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu delivery system yang sehat. Pelayanan publik ini dapat dilihat seharihari di bidang administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi, bank, dan sebagainya. Tujuan pelayanan publik adalah menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik. Dalam arti yang luas, konsep pelayanan publik (public service) identik dengan public administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam mencapai kepentingan publik (lihat J.L. Perry, 1989: 625). Dalam konteks ini pelayanan publik lebih dititikberatkan kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti policy making, desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk menyukseskan pemberian pelayanan publik, pemerintah merupakan pihak provider yang seharusnya memberi tanggung jawab. Karya Denhardt yang berjudul The Ethic of Public Service (1988) merupakan contoh dari pandangan ini yang menyatakan bahwa pelayanan publik benar-benar identik dengan administrasi publik. Dalam dunia adiministrasi publik atau pelayanan publik, etika diartikan sebagai filsafat dan professional standard (kode etik), atau moral atau right rules of conduct (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau administrator publik (Denhardt, 1988). 3 KERANGKA ANALISIS ETIKA DALAM PELAYANAN PUBLIK Berdasarkan konsep etika dan pelayanan publik di atas maka yang dimaksudkan dengan etika pelayanan publik (delivery system) yang didasarkan atas serangkaian tuntutan perilaku (rules of conduct) atau kode etik yang mengatur hal-hal yang “baik” yang harus dilakukan atau sebaliknya yang “tidak baik” agar dihindarkan. Isu tentang etika dalam pelayanan publik di Indonesia kurang dibahas secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di negara maju. Telah disadari oleh berbagai pihak bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di Indonesia adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai suatu elemen yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literature tentang pelayanan publik dan adminidtrasi publik, etika merupakan salah satu elemen yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan organisasi pelayanan publik itu sendiri. Elemen itu harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan publik mulai dari penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi pelayanan, sampai pada manajemen pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan tersebut. Dalam konteks ini, pusat perhatian ditujukan kepada aktor yang terlibat dalam setiap fase, termasuk kepentingan aktor-aktor tersebut – apakah para aktor telah benar-benar mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan-kepentingan yang lain. Misalnya, dengan menggunakan nilai-nilai moral yang berlaku umum (six great ideas) seperti nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), dan keadilan (justice), dapat dinilai apakah para actor tersebut jujur atau tidak dalam penyusunan kebijakan, adil atau tidak adil dalam menempatkan orang dalam unit dan jabatan yang tersedia, dan dusta atau tidak dalam melaporkan hasil manajemen pelayanan. Dalam pelayanan publik, perbuatan melanggar moral atau etika sulit ditelusuri dan dipersoalkan karena adanya kebiasaan masyarakat kita melarang orang “membuka rahasia” atau mengancam mereka yang mengadu. Sementara itu, kita juga menghadapi tantangan ke depan semakin berat karena standar penilaian etika pelayanan terus berubah sesuai dengan perkembangan paradigmanya. Secara substantive, tidak mudah pula mencapai kedewasaan dan otonomi beretika karena penuh dengan dilemma. Karena itu, dapat dipastikan bahwa pelanggaran moral atau etika dalam pelayanan publik di Indonesia akan terus meningkat. ETIKA DAN PELAYANAN PUBLIK Dalam rangka menjelaskan mengenai kaitan antara etika dengan pelayanan publik Keban (2005:3) menyatakan bahwa: saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan administrasi dari politik (dikotomi) menunjukan bahwa administrator sungguh4 sungguh netral, bebas dari pengaruh politik ketika melakukan pelayanan publik. Akan tetapi kritik bermunculan menetang ajaran dikotomi administrasi – politik pada tahun 1930-an, sehingga perhatian mulai ditujukan kepada keterlibatan para administrator dalam keputusankeputusan publik atau kebijakan publik. Sejak saat ini mata publik mulai memberikan perhatian khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukan oleh para birokrat pemerintahan. Penilaian keberhasilan seorang administrator atau aparat pemerintah tidak semata didasarkan pada pencapaian criteria efisiensi, ekonomi dan prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi juga criteria moralitas, khususnya terhadap kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum (Henry, 1995: 400). Berdasarkan pendapat tersebut di atas diketahui bahwa alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah adanya publik interest atas kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah kepada pemerintahlah yang memiliki “tanggung jawab” atau responsibility. Dalam memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb. Padahal, kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai bahkan sturktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki “independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”. Alasan lain lebih berkenaan dengan lingkungan di dalam birokrasi yang memberikan pelayanan itu sendiri. Desakan untuk memberi perhatian kepada aspek kemanusiaan dalam organisasi (organizational humanism) telah disampaikan oleh Denhardt. Dalam literature tentang aliran human relations dan human resources, telah dianjurkan agar manager harus bersikap etis, yaitu memperlakukan manusia atau organisasi secara manusiawi. Alasannya adalah bahwa perhatian terhadap manusia (concern for people) dan pengembangannya sangat relevan dengan upaya peningkatan produktivitas, kepuasan dan pengembangan kelembagaan. Alasan berikut berkenaan dengan karakteristik masyarakat publik yang terkadang begitu variatif sehingga membutuhkan perhatian khusus. Mempekerjakan pegawai negeri dengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara orang dengan pekerjaannya” merupakan prinsip yang perlu dipertanyakan secara etis, karena prinsip itu akan menghasilkan ketidakadilan, dimana calon yang dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu yang related lebih maju. Kebijakan affirmative action dalam hal ini merupakan 5 terobosan yang bernada etika karena akan memberi ruang yang lebih luas bagai kaum minoritas, miskin, tidak berdaya, dan sebagainya , untuk menjadi pegawai atau menduduki posisi tertentu. Ini merupakan suatu pilihan moral (moral choice) yang diambil oleh seorang birokrat pemerintah berdasarkan prinsip justice – as – fairness sesuai dengan pendapat John Rawls yaitu bahwa distribusi kekayaan, otoritas, dan kesempatan sosial akan terasa adil bila hasilnya memberikan kompensasi keuntungan kepada setiap orang, dan khususnya terhadap anggota masyarakat yang paling tidak beruntung. Kebijakan mengutamakan “putera daerah” merupakan salah satu contoh yang popular saat ini. Alasan penting lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan publik sangat besar. PERMASYALAHAN Etika dalam pelayanan publik tidak sesederhana sebagaimana dibayangkan, atau dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian pelayanan publik itu sendiri. Kompleksitas dan ketidakmenentuan ini mendorong pemberi pelayanan publik mengambil langkah-langkah professional yang didasarkan kepada “keleluasaan bertindak” (discretion). Dan keleluasaan inilah yang sering menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau aparat pemerintah untuk bertindak tidak sesuai dengan kode etik atau tuntunan perilaku yang ada. Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran moral dan etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur, formalisasi, diskresi otoritas) yang sangat bias terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, SDM, informasi, dan sebagainya), yang semuanya itu tidak dapat disangkal, semua pelanggaran moral dan etika ini telah diungkapkan sebagai salah satu penyebab melemahnya pemerintahan. Bagi Indonesia, pembenahan moralitas yang terjadi selama ini masih sebatas lips service tidak menyentuh sungguh-sungguh substansi pembenahan moral itu sendiri. Karena itu pembenahan moral merupakan “beban besar” di masa mendatang dan apabila tidak diperhatikan secara serius maka proses “pembusukan” terus terjadi dan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa. Banyak permasalahan dan persoalan yang timbul dalam implementasi etika dalam pelayanan publik. Begitu pula dampak, ekses-ekses dan hasil yang ditimbulkan terhadap publik dalam pelaksanaan Otonomi daerah untuk mencapai tujuan seperti 6 yang diamanatkan oleh Undang Undang Pemerintahan Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. IMPLEMENTASI ETIKA DALAM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK Faktor yang mempengaruhi Implementasi Etika dalam Pelayanan Publik di Indonesia Saat Ini pada instansi-instansi pemerintah di Indonesia menurut penulis dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1) dalam praktek penyelenggaraan pelayanan publik di instansiinstansi pemerintah khususnya yang menyelenggarakan pelayanan secara langsung kepada masyarakat baik individu maupun badan, petugas-petugas pemberi pelayanan memiliki dua sikap yang berbeda, yaitu sikap yang absolutis dan sikap yang realitis, 2) Sikap absolutis muncul berkaitan dengan keyakinan petugas yang ber sangkutan bahwa dalam pelayanan publik dikenal norma-norma yang bersifat absolute yang cenderung diterima semua tempat dan bersifat universal (universal rules). Petugas yang memiliki sikap seperti ini akan melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya berdasarkan nilai-nilai yang diyakininya baik dan bersifat umum. Petugas yang termasuk kelompok ini adalah petugas yang memiliki keyakinan profesi, keyakinan agama dan nilai-nilai kemanusiaan yang kuat. Petugas yang memiliki sikap absolutis ini akan bersikap tegas dan cenderung kaku (tidak memiliki toleransi terhadap penyimpangan terhadap prosedur yang berlaku dan menyalahi nilai-nilai universal yang diyakininya). Sikap realistis muncul pada petugas yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan keyakinan absolutis. Mereka beranggapan bahwa kebenaran itu bersifat relatif sesuai dengan kondisi yang ada. Dengan kata lain bahwa kebenaran itu memiliki konsekuensi yang baik berdasarkan kenyataan lapangan. Petugas yang memiliki keyakinan seperti ini beranggapan bahwa norma yang bersifat universal itu belum tentu baik apabila tidak sesuai dengan kondisi yang ada. Dengan demikian akan terjadi kecenderungan untuk mengambil keputusan yang dianggapnya benar pada saat melaksanakan tugasnya sesuai dengan kondisi yang ada akan lebih sering terjadi. Hal inilah yang membuka celah terjadinya ”kerjasama” yang menguntungkan dengan ”penerima layanan” apabila petugas tidak memperhatikan aturan main yang berlaku, 3) belum ada kebenaran yang hakiki terhadap etika dalam penyelenggaraan pelayanan publik baik bagi petugas pemberi layanan maupun masyarakat sebagai penerima layanan. Kebenaran dalam beretika dalam penyelenggaraan pelayanan publik masih dipengaruhi sikap yangdidasarkan pada keyakinan pemberi pelayanan terhadap etika pelayanan publik dan keyakinan masyarakat penerima layanan publik. Kondisi ini dapat diketahui dari kenyataan di lapangan bahwa ”kebenaran dalam beretika” tergantung dari kepentingan petugas dan kepentingan individu masyarakat penerima layanan. Apabila kedua 7 kepentingan terakomodasi dalam proses pelayanan maka pelayanan tersebut dianggap telah memenuhi ”kebenaran etika”. Padahal dapat saja ”kebenaran dalam beretika” tersebut melanggar rasa keadilan terhadap anggota masyarakat yang lain atau bahkan masyarakat penerima layanan secara umum. Kondisi ini muncul karena pelanggaran ”etika” hanya memiliki sanksi sosial saja yang sering kali tidak efektif untuk mengubah tingkah laku melanggar dari petugas pemberi layanan ataupun masyarakat penerima layanan, 4) terjadi tumpang tindih terhadap implementasi keempat tingkatan etika dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik kepada masyarakat. Etika pelayanan publik terdiri atas empat tingkatan, yaitu: a) etika individu, b) etika profesi, c) etika organisasi, dan d) etika sosial. Etika individu atau moral pribadi yaitu etika yang memberikan tuntunan mengenai baik atau buruk yang dipengaru hi orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat, dan pengalaman masa lalu. Biasanya etika ini terbentuk sebelum menjadi pegawai negeri (petugas penyelenggara pelayanan publik). Etika profesi adalah serangkaian norma atau aturan yang menuntun perilaku kalangan profesi tertentu salah satunya adalah pegawai negeri yang menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Etika ini terbentuk pada saat menjalankan atau menduduki jabatan tertentu atau dengan kata lain terbentuk pada saat menjadi pegawai negeri. Etika organisasi adalah serangkaian aturan dan norma yang bersifat formal dan tidak formal yang menuntun perilaku dan tindakan anggota organisasi yang bersangkutan. Pegawai negeri sebagai penyelenggara pelayanan publik juga terikat dengan organisasi tempat bekerja. Etika organisasi akan mewarnai perilaku yang dimiliki pegawai negeri yang merupakan anggota organisasi temapat ia bekerja. Etika sosial adalah norma-norma yang menuntun perilaku dan tindakan anggota masyarakat agar keutuhan kelompok dan anggota masyarakat selalu terjaga atau terpelihara. Pegawai negeri sebagai petugas penyelenggara pelayanan publik juga merupakan anggota masyarakat yang tidak akan lepas dari pengaruh kehidupan masyarakat disekelilingnya yang dapat berupa budaya, tradisi, pola pikir. Etika sosial akan mempengaruhi petugas penyelenggara pelayanan publik baik disadari ataupun tidak. Faktor penerapan keempat tingkatan etika pelayanan publik tersebut seringkali menimbulkan kebingungan para petugas penyelenggara pelayanan publik. Kebingungan itu menyangkut penentuan prioritas keempat tingkatan etika tersebut dalam penyelenggaraan pelayanan disesuaikan dengan kondisi saat pelayanan tersebut berlangsung. Apabila kondisi berbeda maka penentuan prioritas keempat tingkatan etika pelayanan publik pun akan berbeda yang mengakibatkan keputusan yang diambil akan berbeda pula. Misalnya, petugas pelayanan publik menghadapi saudaranya yang menjadi penerima layanan tentu etika individu akan lebih dominan, sebaliknya bila yang dihadapi adalah atasannya yang menjadi penerima layanan tentu etika organisasi akan lebih 8 dominan. Kondisi seperti inilah yang selalu ”menghantui” petugas penyelenggara pelayanan publik pada saat bertugas, 5) Keputusan mengenai etika yang diberlakukan di dalam suatu institusi pelayanan publik tergantung pada atasan yang berwenang. Petugas penyeleng gara pelayanan publik tidak terlepas dari pengaruh etika organisasi tempat mereka bekerja. Padahal etika penyelenggaraan pelayanan merupakan manifestasi dari aturan organisasi yang berlaku. Dalam organisasi formal aturan yang berlaku adalah keputusan pejabat yang berwenang. Dengan demikian maka etika penyelenggaraan pelayanan publik merupakan perwujudan dari keputusan pejabat yang berwenang. Oleh sebab itu maka keputusan-keputusan yang diambil oleh petugas penyelenggara pelayanan identik dengan keputusan pejabat yang berwenang. Misalkan keputusan pelayanan kesehatan di suatu Puskesmas identik dengan keputusan Kepala Puskesmas yang bersangkutan. PEMBAHASAN IMPLEMENTASI ETIKA Kondisi Implementasi Etika dalam Pelayanan Publik , dengan bertitik tolak pada faktor yang mempengaruhi implementasi etika dalam penyelenggaraan pelayanan publik maka dapat dirumuskan analisis kondisi implementasi etika dalam pelayanan publik di pusat dan di daerah adalah sebagai berikut :1) dalam penyelenggaraan pelayanan publik masih belum didukung dengan kode etik profesi yang memadai. Penyelenggaraan pelayanan publik mencakup berbagai profesi sesuai dengan jenis pelayanan, misalnya pelayanan di bidang kesehatan menyangkut profesi dokter dan profesi perawat (tenaga medis), profesi apoteker, dan profesi lainnya. Berdasarkan pengamatan hasil telaah literatur dan pengamatan lapangan diketahui bahwa masih terbatasnya kode etik profesi yang dimiliki oleh petugas yang melaksanakan pelayanan publik atau dengan kata lain masih banyak profesi yang belum memiliki kode etik dan hanya beberapa profesi yang memiliki kode etik seperti dokter, akuntan, pengacara. Meskipun secara umum para petugas penyelenggara pelayanan publik sebagai pegawai negeri telah memiliki kode etik pegawai negeri. Kode etik pegawai negeri memiliki sifat yang umum (general) sehingga belum dapat dijadikan acuan bagi petugas penyelenggara pelayanan yang memiliki profesi yang khusus (khas) yang bersifat teknis. Oleh sebab itu kode etik pegawai negeri perlu didukung dengan kode etik profesi. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa narasumber di lokasi penelitian menekankan pentingnya kode etik profesi dalam rangka mendukung penyelenggaraan pelayanan publik. Misalnya nara sumber dari Sulawesi Tengah menyatakan bahwa perlu memberikan memberikan ”bekal etika” (etika profesi) bagi para petugas yang melaksanakan pelayanan publik disamping aturan teknis dalam penyelenggaraan tugas pelayanan yang menjadi tanggung jawabnya. Tak jauh berbeda 9 nara sumber dari Papua menyatakan bahwa kondisi yang ada saat ini adalah PNS belum memiliki code of conduct dan tak diikuti dengan glorifikasi (keakuan) atau sejenis dengan otoriter dalam demokrasi. Aparat terhanyut dalam ”the shadow of system” (kekuatan sistem bayangan) yang mengikis budaya positif yang dimiliki aparatur yang bersangkutan. Hal senada dikemukakan nara sumber dari Gorontalo yang menyatakan bahwa berkaitan dengan etika, di Indonesia, baik di pusat maupun di daerah tidak ada atau kurangnya kode etik yang menjadi dasar birokrasi/aparatur untuk bekerja dalam rangka pelayanan pada masyarakat....etika yang perlu diterapkan dalam berorganisasi adalah etika individu, etika organisasi dan etika profesi. Etika individu menentukan baik atau buruk perilaku orang perorangan dalam hubungannya dengan orang lain. Etika organisasi berfungsi menetapkan parameter dan merinci kewajibankewajiban organisasi itu sendiri serta menggariskan konteks tempat keputusan-keputusan etika perorangan itu dibentuk. Etika organisasi sebagai aturan yang dicerminkan dalam struktur organisasi dan fungsi-fungsi serta prosedur, termasuk di dalamnya sistem insentif , disinsentif dan sanksi-sanksi berdasarkan aturan. Etika profesional berlaku dalam suatu kerangka yang diterima oleh semua yang secara hukum atau secara moral mengikat mereka dalam kelompok profesi yang bersangkutan. Ketiga macam etika tersebut idealnya dapat diikuti, dipatuhi dan dijadikan pedoman, pegangan, referensi seseorang dalam melakukan hubungan dengan orang lain dalam organisasi, menjalankan tugas/profesinya. Sementara itu terkait dengan etika profesi, ada beberapa kalangan yang masih memiliki sikap yang menyakini bahwa meskipun belum ada kode etik petugas penyelenggara pelayanan publik (kode etik profesi) tetapi pelayanan publik masih dapat dilaksanakan dengan rambu-rambu nilai-nilai agama dan nilainilai Pancasila. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketidakadaan kode etik menciptakan peluang bagi petugas untuk mengabaikan etika pelayanan publik atau dengan kata lain tidak ada alat kontrol perilaku petugas penyelenggara pelayanan publik. Kisah yang menarik mengenai pentingnya kode etik profesi terjadi di Sulawesi Tengah tepatnya di Kabupaten Morowali dan Kabupaten Parigimoto. Kabupaten Morowali ini dipimpin oleh seorang Bupati yang (dianggap) tidak memiliki kemapuan. Waktunya sebagian besar dihabiskan di Jakarta, keberadaan di kantor hanya 3 hari dalam seminggu pada jam 6 subuh dan jam 6 sore. Dengan kondisi ini maka pelayanan publik menjadi “lumpuh”. Disamping itu Bupati tidak memiliki hubungan baik sebagai Wakil Bupati yang merupakan wakilnya bila dia berhalangan. Kondisi ini ditengarai merupakan hasil dari proses rekrutmen dari sistem yang tidak baik (garbage in garbage out). Kondisi yang terjadi di Morowali bertentangan dengan kondisi yang terjadi di Kabupaten Parigimoto. Di Kabupaten ini memiliki Bupati yang dianggap memiliki kemampuan. Sebagai ilustrasi Bupati memberikan kemudahan akses kepada nelayan 10 dalam berhubungan dengan Bank, karena apabila nelayan langsung berhubungan dengan pihak Perbankan akan mengalami kesulitan. Kisah di atas menunjukkan bahwa dengan ketidakadaan kode etik profesi sebagai seorang Bupati (penyelenggara pelayanan publik) maka Bupati bisa berperilaku semaunya sendiri tanpa mempedulikan tugasnya kepada masyarakat seperti yang terjadi di Kabupaten Morowali, ataupun sebaliknya Bupati dapat berbuat banyak untuk kepentingan masyarakatnya seperti yang terjadi di Kabupaten Parigimoto, 2) Belum terimplementasikan secara optimal kebijakan pelayanan publik yang memuat kode etik penyelenggaraan pelayanan publik. Meskipun kebijakan pelayanan publik telah diterbitkan seperti Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada Masyarakat dan KepmenPAN No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 Tanggal 10 Juli 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik namun belum terlaksana dengan baik di lapangan. Padahal yang terpenting adalah pengimplementasiannya di lapangan. Kendala yang ditemui adalah kebijakan tersebut belum sepenuhnya ditindaklanjuti dengan kebijakan yang bersifat operasional oleh aparat baik di tingkat pusat maupun di daerah. Bukti di lapangan menunjukkan bahwa terdapat variasi bentuk dan muatan kebijakan mengenai pelayanan publik. Lebih-lebih belum ada kesepahaman apakah kebijakan etika pelayanan publik dibuat dalam format hukum positif atau tidak. Nara sumber dari Sulawesi Tengah menyatakan bahwa Ada beberapa kalangan yang selalu mengkaitkan antara etika dengan hukum (etika diidentikkan dengan hukum). Tetapi ada kalangan yang membedakan antara etika dengan hukum. Kalangan yang terakhir berpendapat bahwa etika merupakan sesuatu yang melekat dari diri seseorang bukan sesuatu yang dipaksakan dari luar (norma). Kalangan ini berpendapat bahwa norma bukan hukum dan norma tidak memiliki sanksi hukum...Etika tata pemerintahan yang baik (termasuk di dalamnya etika pelayanan publik) tidak selalu di”positifkan” (dijadikan aturan hukum yang memuat sanksi bagi yang melanggar). Nara sumber dari Papua menyatakan bahwa etika memiliki batas berupa ruang dan waktu. Etika sebagai norma hukum tidak mengedepan unsur sanksi hukum yang bersifat nasional. Sanksi yang diberlakukan bersifat sanksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat. Memang pada kenyataannya sanksi sosial yang diberikan pada pelanggaran etika belum tersosialisasikan dengan baik dan tak mampu memberikan dampak menghukum yang efektif. Nara sumber dari Gorontalo menyatakan bahwa etika adalah seperangkat nilai yang dapat dijadikan pedoman, referensi, acuan, dan penuntun apa yang harus dilakukan dalam menjalankan tugas. Dengan demikian etika merupakan standar yang berfungsi untuk menilai apakah sifat, perilaku, tindakan atau sepak terjangnya dalam menjalankan tugas dinilai baik atau buruk. Dengan belum adanya kesepahaman mengenai etika pelayanan publik ini 11 mengakibatkan kesulitan dalam pengimplementasiannya di lapangan. Padahal dengan belum adanya implementasi di lapangan berarti kegiatan penilaian akan sulit dilakukan yang akhirnya pengembangan dan penyesuaian kode etik pelayanan publik terhadap keadaan dan perubahan zaman akan sulit dilaksanakan, 3) berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa kesadaran untuk beretika dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh petugas penyelenggara dan oleh masyarakat penerima pelayanan publik masih rendah. Mereka masih cenderung berorientasi pada kepentingan pribadi (kepentingan sendiri). Disamping masih kurangnya pemahaman mereka terhadap etika pelayanan publik. Bukti di lapangan menunjukkan di tiga lokasi penelitian menunjukkan kecenderungan yang sama meskipun dengan alasan yang berbeda-beda. Nara sumber dari Sulawesi Tengah menyatakan bahwa terdapatnya pemahaman yang kurang dari aparat pemerintah daerah terhadap etika pelayanan publik. Sementara ini pemahaman etika pelayanan publik selalu dikaitkan dengan kegiatan yang bersifat protokoler sehingga sering kali dipahami sebagai nilai-nilai yang bersifat simbolik. Dengan pemahaman seperti ini maka etika pelayanan publik merupakan kebijakan yang bersifat tidak menyeluruh. Etika pelayanan publik hanya dilaksanakan oleh aparat yang langsung melaksanakan kegiatan pelayanan terhadap masyarakat dan bukan oleh aparat daerah yang tidak langsung berhubungan dengan masyarakat... aparat pemerintah daerah “melayani masyarakat tidak dengan sepenuh hati” artinya bahwa dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat tidak secara totalitas tetapi hanya sekedarnya saja. Fenomena ini semakin kuat pada era otonomi dan bahkan ada yang beranggapan “telah hilangnya profesionalisme” aparat dalam melayani masyarakat. Nara sumber dari Papua menyatakan bahwa perilaku aparat terbentuk dari budaya orang miskin yang dapat peluang pekerjaan sehingga yang bersangkutan memanfaatkan jabatan demi mendapatkan uang. Kondisi inilah yang menimbulkan kondisi yang menyimpang (deviation of behavior). Pendapatan yang kurang dan kesejahteraan yang tidak mendukung menyebabkan kinerja yang tidak optimal. Pada umumnya pada hari keduapuluh (tanggal 20 setiap bulan) beras yang dimiliki telah habis dengan demikian pegawai yang bersangkutan akan berusaha untuk mencari tambahan guna menutup kekurangan tersebut dengan cara mencari pekerjaan sambilan ataupun berupaya untuk mendapatkan tambahan penghasilan di kantor (cikal bakal perilaku menyimpang). Nara sumber dari Gorontalo menyatakan bahwa permasalahan yang muncul dalam proses etika, diantaranya adalah belum adanya kesadaran beretika dalam pelayanan publik baik di pusat maupun di daerah dan kurangnya sosialisasi pada masyarakat. Aparat/pegawai atau staf yang berada pada front office tidak mengerti akan tupoksinya sehingga mereka bekerja dengan kemauannya sendiri. Adanya sikap tidak perduli dari aparat dan masyarakat terhadap 12 pentingnya etika dalam pelayanan publik. Berdasarkan pendapat narasumber di lokasi penelitian bahwa kesadaran beretika dalam penyelenggaraan pelayanan publik dipengaruhi oleh kemampuan aparat (petugas penyelenggara pelayanan publik) dan tingkat kesejahteraan yang dimilikinya. Terkait dengan pemahaman terhadap etika pelayanan publik khususnya yang menyangkut penentuan prioritas dalam penggunaan tingkatan etika di lokasi kajian dapat digambarkan menurut pendapat narasumber berikut ini. Nara sumber dari Sulawesi Tengah menyatakan bahwa Pelayanan publik memiliki dua sisi, yaitu: aturan dan etika. Aturan dalam pelayanan publik membawa konsekuensi pada kontraprestasi, artinya apabila aturan dilaksanakan secara baik maka akan diberikan penghargaan terhadap aparat yang bersangkutan, sedangkan etika merupakan norma dalam memberikan pelayanaan (norma melayani). Etika dalam penyelenggaraan pelayanan publik di tingkat nasional (bersifat universal) sedangkan perbedaan yang muncul merupakan dimensi kultural yang ada pada lokasi penyelenggaraan pelayanan. Nara sumber dari Papua menyatakan bahwa etika dalam pelayanan publik menyangkut dua aspek utama, yaitu: aspek internal dan aspek eksternal. Aspek internal menyangkut kondisi individual aparat yang bersangkutan. Aspek eksternal menyangkut kondisi lingkungan aparat yang terdiri dari: a) tradisi dan budaya, b) pendapatan, dan c) kualitas pegawai yang bersangkutan. Tradisi dan budaya aparat dipengaruhi oleh kondisi tempat bekerja. Tradisi dan budaya ini tumbuh dalam birokrasi tempat aparat itu bekerja sejak rekruitmen awal. Pada saat rekruitmen pegawai biasanya didasarkan pada upaya untuk mengisi pekerjaan yang lowong dalam rangka mengurangi pengangguran. Tradisi inilah yang menyebabkan pegawai tidak dapat berkinerja dengan baik dan bahkan menimbulkan prilaku yang menyimpang atau sering disebut sebagai pathologi birokrasi... Etika dalam penyelenggaraan pelayanan publik terdiri dari dua kelompok, yaitu: etika birokrasi dan etika individu. Etika birokrasi terbentuk karena adanya proses interaksi organisasi sedangkan etika individu terbentuk karena pengaruh keluarga dan dogma yang dimiliki oleh pegawai yang bersangkutan. Etika dalam penyelenggaraan pelayanan publik akan dipatuhi oleh aparat yang memiliki kesempatan untuk mempraktekkannya dalam kesehariannya sebagai seorang aparatur yang menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Kesempatan yang dimiliki adalah kondisi yang mendukung bagi aparat yang bersangkutan menerapkan etika yaitu: a)memiliki kinerja yang memadai, b) daya tanggap yang dimiliki pegawai, dan c) iklim yang mendukung akuntabilitas. Sistem kehidupan bermasyarakat menciptakan budaya, daerah sebagai sistem nilai yang terbentuk dari keterpaduan antara norma-norma yang telah ada dalam masyarakat dan norma baru yang mempengaruhinya seperti norma-norma agama yang berkembang di daerah tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya etnis-etnis tertentu 13 mengagungkan suatu sistem nilai tertentu yang mempengaruhi proses penyelenggaraan pemerintahan yang adakalanya tidak bersifat “fair”. Nara sumber dari Gorontalo menyatakan bahwa Kentalnya pengaruh budaya feodalistik yang masih ada pada sebagaian masyarakat. Hal tersebut banyak berpengaruh pada pelayanan kepada masyarakat, sebagai contoh, di wilayah-wilayah tertentu di Gorontalo ada pelayanan khusus kepada marga-marga tertentu. Selanjutnya dalam rangka peningkatan kesadaran aparatur daerah dalam penyelenggaraan etika dalam pelayanan publik dapat ditempuh dengan meningkatkan kedewasaan aparatur daerah dalam beretika. Untuk itu diperlukan nilai-nilai bersifat universal yang mengakomodasi nilai-nilai budaya lokal yang positif agar mampu mendekatkan aparatur daerah terhadap perilaku positif yang sehari-hari mereka hadapi dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang akhirnya akan membangkitkan kesadaran beretika. Secara umum nilai-nilai universal yang dapat dikembangkan adalah: integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, menaruh perhatian, keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan lain, bekerja profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan transparansi, kreativitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentingan publik, beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya dirahasiakan. Sedangkan nilainilai lokal yang dapat diakomodasi adalah: senang melihat orang lain senang untuk budaya Sulawesi Tengah), solidaritas sosial, transparansi, kejujuran, teguh prinsip, keterusterangan, pengambilan keputusan (kein-kein karkara), menghargai tuan rumah, untuk budaya Papua, memberi kepuasan kepada tamu untuk budaya Gorontalo, 4) Belum ada ukuran yang jelas dan pasti dalam menilai etika pelayanan publik. Dari masing-masing daerah kajian belum ditemukan ukuran yang jelas dan pasti terhadap etika pelayanan publik. Hal ini disebabkan oleh ketidakadaan/keterbatasan nilai etika yang dimiliki, contoh konkritnya adalah nilai moralitas terhadap uang. Disamping itu adanya kecenderungan mengutamakan kepentingan tertentu tanpa memperhatikan konteks (kondisi yang ada) pelayanan publik yang diberikan. Pegawai negeri sebagai salah satu penyelenggara pelayanan publik dan sekaligus anggota organisasi pemerintah (birokrasi) tidak dapat lepas dari kepentingan organisasi yang merupakan manifestasi dari keputusan pimpinan yang berwenang dari organisasi yang bersangkutan. Karena tidak adanya ukutan yang jelas dan pasti dari etika pelayanan publik yang diberikan maka petugas akan cenderung mengutamakan (mengamankan) keputusan pimpinan organisasi. Nara sumber dari Sulawesi Tengah menyatakan bahwa kuatnya “imperatif” terhadap kekuasaan yang berarti bahwa etika pelayanan publik merupakan manifestasi dari perintah atasan kepada bawahan bukan merupakan kesadaran dari aparat yang bersangkutan. Disamping itu adanya ego sektoral dari institusi tertentu yang menganggap 14 bahwa satu institusi lebih baik dari institusi yang lain dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. Fenomena yang lain adalah adanya ikatan etnis lokal yang kuat menyebabkan penyelenggaraan pelayanan publik lebih mengutamakan etnis tertentu, nara sumber dari Gorontalo menyatakan bahwa kentalnya pengaruh budaya feodalistik yang masih ada pada sebagian masyarakat. Hal tersebut banyak berpengaruh pada pelayanan kepada masyarakat, sebagai contoh, di wilayah-wilayah tertentu di Gorontalo ada pelayanan khusus kepada marga-marga tertentu. Ketidakadaan ukuran yang jelas dan pasti terhadap etika mengakibatkan mekanisme kontrol yang lemah, sehingga ”tidak ada” perlindungan terhadap pengadu terhadap pelanggaran kode etik penyelenggaraan pelayanan. Yang lebih parah lagi pengadu jangankan mendapatkan ”imbalan” justru dianggap tidak terpuji, terkutuk dan dalam posisi yang terancam. Kondisi ini menyebabkan birokrasi sebagai penyelenggara pelayanan publik menjadi ”bisu dan tuli” seperti ungkapan nara sumber dari Sulawesi Tengah yang menyatakan bahwa birokrasi “buta dan tuli” yang berarti bahwa birokrasi sebagai unsur penyelenggara pelayanan publik dari pemerintah tidak tanggap terhadap kebutuhan masyarakat yang dilayani dan tidak mendengar keluhan-keluhan ketidakpuasan dari masyarakat terhadap pelayanan yang diberikannya... aparat pemerintah daerah “melayani masyarakat tidak dengan sepenuh hati” artinya bahwa dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat tidak secara totalitas tetapi hanya sekedarnya saja. Fenomena ini semakin kuat pada era otonomi dan bahkan ada yang beranggapan “telah hilangnya profesionalisme” aparat dalam melayani masyarakat. Ketiadaan dialog antar stakeholer pelayanan publik makin memperparah kondisi pelayanan publik saat ini, karena masing-masing aktor pelayanan publik bergerak dengan aturan main yang berbeda-beda dan dengan kepentingan sendiri-sendiri dalam kondisi ketidakjelasan dan ketidak pastian ukuran etika pelayanan publik. KESIMPULAN Dari uraian pembahasan mengenai Implementasi Etika dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Indonesia dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik baik di pusat maupun di daerah masih belum menerapkan nilai-nilai etika disebabkan adanya pemahaman yang beragam, tidak didukung kebijakan yang memadai, bertentangan dengan nilai budaya lokal, dan bersifat tidak mengikat. Belum ada strategi implementasi yang baku dan memadai dalam pengembangan etika pelayanan publik sehingga etika pelayanan publik yang ada belum mendukung peningkatan kinerja aparatur di pusat dan di daerah. Berdasarkan pembahasan mengenai Implementasi Etika dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Indonesia dapat dirumuskan 15 rerkomendasi yang sekiranya dapat dijadikan bahan masukan dan pertimbangan bagi pengambil kebijakan khususnya dalam menentukan kebijakan implementasi etika dalam pelayanan publik. REKOMENDASI REKOMENDASI Pertama, pemerintah perlu menetapkan kebijakan mengenai etika pelayanan publik secara terintegrasi dan lebih operasional yang mampu menciptakan kesepahaman dari aparatur pemerintah pusat dan daerah mengenai bentuk kebijakan etika pelayanan publik serta berlaku bagi aparat yang langsung berhubungan dengan masyarakat dan tidak berlaku bagi aparat yang tidak langsung berhubungan dengan masyarakat; Kedua, Pemerintah perlu menyusun dan mensosialisasikan strategi pengembangan etika pelayanan publik yang dapat mengakomodasi muatan budaya lokal dan melibatkan seluruh stakeholders pelayanan publik yang ada; Ketiga, Penyusun kebijakan perlu mengakomodasi nilai-nilai etika pelayanan publik dalam setiap produk kebijakan penyelenggaraan negara yang ditetapkan khususnya yang menyangkut sumber daya aparatur. 16 DAFTAR PUSTAKA 1. Abdussamad, Zamroni, (2005), Pokok – Pokok Pikiran Pengembangan Etika Dalam Pelayanan Publik, Universitas Gorontalo; Albow, Martin, (1989), Birokrasi, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta; 2. Arief, Himawan, (2003), Sukses Bukan Luck Tetapi Direncanakan, Jakarta: PT Pustaka Binaman, Pressindo; Bartens, K. (2000), Etika. Seri Filsafat Atma Jaya; 15, Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Bauw, Lily dan Yusak E. Reba, (2005), Etika dalam Pelayanan Publik, Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih; Denhardt, Kathryn G., (1988), 3. Gafar, Afan, (1999), Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Belajar; Grindle, Merite S ed, (1980), 4. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perbaikan Dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat tertanggal 6 Maret 1995; Keban, Yeremias T., (2005), 5. Etika Pelayanan Publik: Pergeseran Paradigma, Dilema dan Impilaksinya bagi Pelayanan Publik di Indonesia, FISIPOL Universitas Gadjah Mada; 6. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/Kep/M.Pan/7/2003 Tahun 2003 Tanggal 10 Juli 2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Komisi Ombudsman, (2005), 7. Pedoman Dasar Dan Etika Komisi Ombudsman Nasional; Lembaga Administrasi Negara, (2004), Etika dalam Penyelenggaraan Negara-Tinjauan atas strategi pengembangannya dalam penyelenggaraan pemerintahan; Samudra (1994), Kebijakan Publik: Proses dan Analisa Intermedia, Jakarta; Simmon, (1978), 8. Public dministration and Implementation, Prentice Hall International Inc, London. 9. Sudana, I Wayan, (2005), Lemahnya Etika Pelayanan Publik, Fisipol Universitas Warmadewa Denpasar; Sugiyanto, (2004), 10. Manajemen Pelayanan Publik, dalam proses penerbitan; Sutopo, (2000), 11. Kebijakan Publik dan Implementasi, Lembaga Administrasi Negara; 12. Kebijaksanaan Publik, Pengambilan Keputusan dan Sistem Informasi, Yogyakarta: Gajah Mada Press. Van Matter, 2008 17 18