perwujudan dan implementasi etika dalam pelayanan publik di era

advertisement
PERWUJUDAN DAN IMPLEMENTASI ETIKA DALAM
PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH
Oleh
Samsul Hidayat, M.Ed
(Widyaiswara Madya BKD & DIKLAT Provinsi NTB)
ABSTRAKSI
Pelayanan publik baik di pusat maupun di daerah masih belum menerapkan nilainilai etika disebabkan adanya pemahaman yang beragam, tidak didukung kebijakan yang
memadai, bertentangan dengan nilai budaya lokal, dan bersifat tidak mengikat. Untuk itu
pemerintah perlu menetapkan kebijakan mengenai etika pelayanan publik secara terintegrasi
dan lebih operasional yang mampu menciptakan kesepahaman dari aparatur pemerintah pusat
dan daerah mengenai bentuk kebijakan etika pelayanan publik serta berlaku bagi aparat yang
langsung berhubungan dengan masyarakat dan tidak berlaku bagi aparat yang tidak langsung
berhubungan dengan masyarakat.
Pemerintah perlu menyusun dan mensosialisasikan strategi pengembangan etika
pelayanan publik yang operasional dan terintegrasi yang mengakomodasi muatan budaya lokal
dan melibatkan seluruh stakeholders pelayanan publik yang ada.
KATA KUNCI : Etika, pemerintah, pelayanan, publik
1
LATAR BELAKANG
Dewasa ini administrasi publik menghadapi tantangan yang cukup pelik sebagai
akibat dari adanya tuntutan masyarakat yang semakin beragam, sementara itu sumber daya
yang dimiliki sangat terbatas baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Oleh sebab itu
administrasi publik dituntut untuk mampu menjawab berbagai tantangan dari persoalanpersoalan yang ada dengan menempuh beragam cara yang dapat dilakukannya. Salah satu
cara yang dapat ditempuh guna menjawab tantangan itu adalah dengan melakukan reformasi
administrasi publik. Reformasi administrasi publik dilakukan pada berbagai aspek yang
melingkupinya. Salah satu aspek yang penting diperhatikan dalam proses reformasi
administrasi publik adalah aspek etika dalam menjalankan tugas pelayanan kepada
masyarakat atau yang lebih dikenal sebagai etika dalam pelayanan publik. Etika dalam
pelayanan publik bagi aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah sering kurang
tersentuh dalam kajian-kajian bidang administrasi publik yang dilakukan selama ini, padahal
kinerja pelayanan publik sangat ditentukan oleh etika para aparatur yang melaksanakan
pelayanan tersebut. Bila aparatur pemerintah memahami dan menerapkan etika dalam
memberikan pelayanan secara benar maka kinerja pelayanan diharapkan akan meningkat dan
memenuhi keinginan masyarakat yang dilayani. Sebaliknya, apabila etika tersebut tidak
dipahami dan dilaksanakan .
Secara benar maka kinerja pelayanan menjadi buruk dan akan timbul banyak
komplain dari masyarakat yang dilayani. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa kinerja
pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur pemerintah pusat dan daerah kepada
masyarakat belum berakar pada norma-norma etika yang benar. Fenomena lain yang terlihat
di lapangan menunjukkan bahwa pola pelayanan aparat pemerintah cenderung sentralistik dan
didominasi pendekatan kekuasaan, sehingga kurang peka terhadap perkembangan ekonomi,
sosial, budaya dan politik masyarakat, yang seharusnya terbuka, profesional dan akuntabel.
Implikasi dari ketidakhadiran (absence) etika dalam pelayanan publik yang paling dirasakan
masyarakat adalah perilaku aparatur yang diskriminatif dan tidak efisien. Berdasarkan uraian
pada latar belakang mengenai kondisi kinerja pelayanan publik di pusat dan daerah maka
dapat dirumuskan permasalahan yang dibahas adalah: Bagaimanakah implementasi etika
dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh aparatur pemerintah di pusat dan di daerah
saat ini?
2
PENGERTIAN ETIKA
Secara umum etika diartikan sebagai suatu susunan prinsip-prinsip moral dan
nilai. Prinsip-prinsip tersebut kemudian diakui dan diterima oleh individu atau suatu kelompok
sosial sebagai sesuatu yang mengatur dan mengendalikan tingkah laku serta menentukan hal
yang baik dan hal yang buruk untuk dilakukan. Secara konkrit, prinsip-prinsip moral dan nilai
tersebut biasanya diwujudkan dalam bentuk suatu kode etik (code of ethic), yaitu suatu aturan,
sistem atau standar yang memuat prinsip-prinsip mengelola moralitas dan tingkah laku yang
diterima (accepted conduct) dalam suatu lingkungan masyarakat (LAN, 2005).
Menurut Keban (2005:2-3), Etika Pelayanan Publik memiliki dua arti yaitu: arti
sempit dan arti luas. Dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu tindakan
pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung
jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan
swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan
masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil
diberikan melalui suatu delivery system yang sehat. Pelayanan publik ini dapat dilihat seharihari di bidang administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih,
telekomunikasi, transportasi, bank, dan sebagainya. Tujuan pelayanan publik adalah
menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik
adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap
publik, kalau perlu melebihi harapan publik. Dalam arti yang luas, konsep pelayanan publik
(public service) identik dengan public administration yaitu berkorban atas nama orang lain
dalam mencapai kepentingan publik (lihat J.L. Perry, 1989: 625). Dalam konteks ini pelayanan
publik lebih dititikberatkan kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti policy
making, desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk menyukseskan
pemberian pelayanan publik, pemerintah merupakan pihak provider yang seharusnya memberi
tanggung jawab.
Karya Denhardt yang berjudul The Ethic of Public Service (1988) merupakan
contoh dari pandangan ini yang menyatakan bahwa pelayanan publik benar-benar identik
dengan administrasi publik. Dalam dunia adiministrasi publik atau pelayanan publik, etika
diartikan sebagai filsafat dan professional standard (kode etik), atau moral atau right rules of
conduct (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan
publik atau administrator publik (Denhardt, 1988).
3
KERANGKA ANALISIS ETIKA DALAM PELAYANAN PUBLIK
Berdasarkan konsep etika dan pelayanan publik di atas maka yang dimaksudkan
dengan etika pelayanan publik (delivery system) yang didasarkan atas serangkaian tuntutan
perilaku (rules of conduct) atau kode etik yang mengatur hal-hal yang “baik” yang harus
dilakukan atau sebaliknya yang “tidak baik” agar dihindarkan. Isu tentang etika dalam
pelayanan publik di Indonesia kurang dibahas secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di
negara maju. Telah disadari oleh berbagai pihak bahwa salah satu kelemahan dasar dalam
pelayanan publik di Indonesia adalah masalah moralitas.
Etika sering dilihat sebagai suatu elemen yang kurang berkaitan dengan dunia
pelayanan publik. Padahal, dalam literature tentang pelayanan publik dan adminidtrasi publik,
etika merupakan salah satu elemen yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani
sekaligus keberhasilan organisasi pelayanan publik itu sendiri. Elemen itu harus diperhatikan
dalam setiap fase pelayanan publik mulai dari penyusunan kebijakan pelayanan, desain
struktur organisasi pelayanan, sampai pada manajemen pelayanan untuk mencapai tujuan
akhir dari pelayanan tersebut. Dalam konteks ini, pusat perhatian ditujukan kepada aktor yang
terlibat dalam setiap fase, termasuk kepentingan aktor-aktor tersebut – apakah para aktor telah
benar-benar mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan-kepentingan yang lain.
Misalnya, dengan menggunakan nilai-nilai moral yang berlaku umum (six great ideas) seperti
nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), dan
keadilan (justice), dapat dinilai apakah para actor tersebut jujur atau tidak dalam penyusunan
kebijakan, adil atau tidak adil dalam menempatkan orang dalam unit dan jabatan yang tersedia,
dan dusta atau tidak dalam melaporkan hasil manajemen pelayanan.
Dalam pelayanan publik, perbuatan melanggar moral atau etika sulit ditelusuri dan
dipersoalkan karena adanya kebiasaan masyarakat kita melarang orang “membuka rahasia”
atau mengancam mereka yang mengadu. Sementara itu, kita juga menghadapi tantangan ke
depan semakin berat karena standar penilaian etika pelayanan terus berubah sesuai dengan
perkembangan paradigmanya. Secara substantive, tidak mudah pula mencapai kedewasaan
dan otonomi beretika karena penuh dengan dilemma. Karena itu, dapat dipastikan bahwa
pelanggaran moral atau etika dalam pelayanan publik di Indonesia akan terus meningkat.
ETIKA DAN PELAYANAN PUBLIK
Dalam rangka menjelaskan mengenai kaitan antara etika dengan pelayanan
publik Keban (2005:3) menyatakan bahwa: saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk
memisahkan administrasi dari politik (dikotomi) menunjukan bahwa administrator sungguh4
sungguh netral, bebas dari pengaruh politik ketika melakukan pelayanan publik. Akan tetapi
kritik bermunculan menetang ajaran dikotomi administrasi – politik pada tahun 1930-an,
sehingga perhatian mulai ditujukan kepada keterlibatan para administrator dalam keputusankeputusan publik atau kebijakan publik. Sejak saat ini mata publik mulai memberikan perhatian
khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukan oleh para birokrat pemerintahan. Penilaian
keberhasilan seorang administrator atau aparat pemerintah tidak semata didasarkan pada
pencapaian criteria efisiensi, ekonomi dan prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi juga
criteria moralitas, khususnya terhadap kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan
umum (Henry, 1995: 400).
Berdasarkan pendapat tersebut di atas diketahui bahwa alasan mendasar
mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah adanya publik interest atas kepentingan
publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah kepada pemerintahlah yang memiliki “tanggung
jawab” atau responsibility. Dalam memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara
profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai
siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb. Padahal, kenyataan menunjukan
bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan kode etik atau moral secara
memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti selalu
membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus
membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai bahkan sturktur yang
lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam
hal ini tidak memiliki “independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada
“otonomi dalam beretika”. Alasan lain lebih berkenaan dengan lingkungan di dalam birokrasi
yang memberikan pelayanan itu sendiri. Desakan untuk memberi perhatian kepada aspek
kemanusiaan dalam organisasi (organizational humanism) telah disampaikan oleh Denhardt.
Dalam literature tentang aliran human relations dan human resources, telah dianjurkan agar
manager harus
bersikap etis, yaitu memperlakukan manusia atau organisasi secara
manusiawi. Alasannya adalah bahwa perhatian terhadap manusia (concern for people) dan
pengembangannya sangat relevan dengan upaya peningkatan produktivitas, kepuasan dan
pengembangan kelembagaan. Alasan berikut berkenaan dengan karakteristik masyarakat
publik yang terkadang begitu variatif sehingga membutuhkan perhatian khusus.
Mempekerjakan pegawai negeri dengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara orang
dengan pekerjaannya” merupakan prinsip yang perlu dipertanyakan secara etis, karena prinsip
itu akan menghasilkan ketidakadilan, dimana calon yang dipekerjakan hanya berasal dari
daerah tertentu yang related lebih maju. Kebijakan affirmative action dalam hal ini merupakan
5
terobosan yang bernada etika karena akan memberi ruang yang lebih luas bagai kaum
minoritas, miskin, tidak berdaya, dan sebagainya , untuk menjadi pegawai atau menduduki
posisi tertentu. Ini merupakan suatu pilihan moral (moral choice) yang diambil oleh seorang
birokrat pemerintah berdasarkan prinsip justice – as – fairness sesuai dengan pendapat John
Rawls yaitu bahwa distribusi kekayaan, otoritas, dan kesempatan sosial akan terasa adil bila
hasilnya memberikan kompensasi keuntungan kepada setiap orang, dan khususnya terhadap
anggota masyarakat yang paling tidak beruntung. Kebijakan mengutamakan “putera daerah”
merupakan salah satu contoh yang popular saat ini. Alasan penting lainnya adalah peluang
untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika yang berlaku dalam pemberian
pelayanan publik sangat besar.
PERMASYALAHAN
Etika dalam pelayanan publik tidak sesederhana sebagaimana dibayangkan, atau
dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian
pelayanan publik itu sendiri. Kompleksitas dan ketidakmenentuan ini mendorong pemberi
pelayanan publik mengambil langkah-langkah professional yang didasarkan kepada
“keleluasaan bertindak” (discretion). Dan keleluasaan inilah yang sering menjerumuskan
pemberi pelayanan publik atau aparat pemerintah untuk bertindak tidak sesuai dengan kode
etik atau tuntunan perilaku yang ada. Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di
Indonesia, pelanggaran moral dan etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik
(pengusulan program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain
organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur, formalisasi, diskresi otoritas) yang sangat
bias
terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan publik yang penuh
rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, SDM,
informasi, dan sebagainya), yang semuanya itu tidak dapat disangkal, semua pelanggaran
moral dan etika ini telah diungkapkan sebagai salah satu penyebab melemahnya
pemerintahan. Bagi Indonesia, pembenahan moralitas yang terjadi selama ini masih sebatas
lips service tidak menyentuh sungguh-sungguh substansi pembenahan moral itu sendiri.
Karena itu pembenahan moral merupakan “beban besar” di masa mendatang dan apabila tidak
diperhatikan secara serius maka proses “pembusukan” terus terjadi dan dapat berdampak
pada disintegrasi bangsa. Banyak permasalahan dan persoalan yang timbul dalam
implementasi etika dalam pelayanan publik. Begitu pula dampak, ekses-ekses dan hasil yang
ditimbulkan terhadap publik dalam pelaksanaan Otonomi daerah untuk mencapai tujuan seperti
6
yang diamanatkan oleh Undang Undang Pemerintahan Daerah dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
IMPLEMENTASI ETIKA DALAM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK
Faktor yang mempengaruhi
Implementasi Etika dalam Pelayanan Publik di
Indonesia Saat Ini pada instansi-instansi pemerintah di Indonesia menurut penulis dapat
diidentifikasi sebagai berikut: 1) dalam praktek penyelenggaraan pelayanan publik di instansiinstansi pemerintah khususnya yang menyelenggarakan pelayanan secara langsung kepada
masyarakat baik individu maupun badan, petugas-petugas pemberi pelayanan memiliki dua
sikap yang berbeda, yaitu sikap yang absolutis dan sikap yang realitis, 2) Sikap absolutis
muncul berkaitan dengan keyakinan petugas yang ber sangkutan bahwa dalam pelayanan
publik dikenal norma-norma yang bersifat absolute yang cenderung diterima semua tempat
dan bersifat universal (universal rules). Petugas yang memiliki sikap seperti ini akan
melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya berdasarkan nilai-nilai yang diyakininya baik
dan bersifat umum. Petugas yang termasuk kelompok ini adalah petugas yang memiliki
keyakinan profesi, keyakinan agama dan nilai-nilai kemanusiaan yang kuat. Petugas yang
memiliki sikap absolutis ini akan bersikap tegas dan cenderung kaku (tidak memiliki toleransi
terhadap penyimpangan terhadap prosedur yang berlaku dan menyalahi nilai-nilai universal
yang diyakininya). Sikap realistis muncul pada petugas yang memiliki keyakinan yang berbeda
dengan keyakinan absolutis. Mereka beranggapan bahwa kebenaran itu bersifat relatif sesuai
dengan kondisi yang ada. Dengan kata lain bahwa kebenaran itu memiliki konsekuensi yang
baik berdasarkan kenyataan lapangan.
Petugas yang memiliki keyakinan seperti ini
beranggapan bahwa norma yang bersifat universal itu belum tentu baik apabila tidak sesuai
dengan kondisi yang ada. Dengan demikian akan terjadi kecenderungan untuk mengambil
keputusan yang dianggapnya benar pada saat melaksanakan tugasnya sesuai dengan kondisi
yang ada akan lebih sering terjadi. Hal inilah yang membuka celah terjadinya ”kerjasama” yang
menguntungkan dengan ”penerima layanan” apabila petugas tidak memperhatikan aturan main
yang berlaku, 3) belum ada kebenaran yang hakiki terhadap etika dalam penyelenggaraan
pelayanan publik baik bagi petugas pemberi layanan maupun masyarakat sebagai penerima
layanan. Kebenaran dalam beretika dalam penyelenggaraan pelayanan publik masih
dipengaruhi sikap yangdidasarkan pada keyakinan pemberi pelayanan terhadap etika
pelayanan publik dan keyakinan masyarakat penerima layanan publik. Kondisi ini dapat
diketahui dari kenyataan di lapangan bahwa ”kebenaran dalam beretika” tergantung dari
kepentingan petugas dan kepentingan individu masyarakat penerima layanan. Apabila kedua
7
kepentingan terakomodasi dalam proses pelayanan maka pelayanan tersebut dianggap telah
memenuhi ”kebenaran etika”. Padahal dapat saja ”kebenaran dalam beretika” tersebut
melanggar rasa keadilan terhadap anggota masyarakat yang lain atau bahkan masyarakat
penerima layanan secara umum. Kondisi ini muncul karena pelanggaran ”etika” hanya memiliki
sanksi sosial saja yang sering kali tidak efektif untuk mengubah tingkah laku melanggar dari
petugas pemberi layanan ataupun masyarakat penerima layanan, 4) terjadi tumpang tindih
terhadap implementasi keempat tingkatan etika dalam proses penyelenggaraan pelayanan
publik kepada masyarakat. Etika pelayanan publik terdiri atas empat tingkatan, yaitu: a) etika
individu, b) etika profesi, c) etika organisasi, dan d) etika sosial. Etika individu atau moral
pribadi yaitu etika yang memberikan tuntunan mengenai baik atau buruk yang dipengaru hi
orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat, dan pengalaman masa lalu. Biasanya etika
ini terbentuk sebelum menjadi pegawai negeri (petugas penyelenggara pelayanan publik).
Etika profesi adalah serangkaian norma atau aturan yang menuntun perilaku kalangan profesi
tertentu salah satunya adalah pegawai negeri yang menyelenggarakan pelayanan kepada
masyarakat. Etika ini terbentuk pada saat menjalankan atau menduduki jabatan tertentu atau
dengan kata lain terbentuk pada saat menjadi pegawai negeri.
Etika organisasi adalah
serangkaian aturan dan norma yang bersifat formal dan tidak formal yang menuntun perilaku
dan tindakan anggota organisasi yang bersangkutan. Pegawai negeri sebagai penyelenggara
pelayanan publik juga terikat dengan organisasi tempat bekerja. Etika organisasi
akan
mewarnai perilaku yang dimiliki pegawai negeri yang merupakan anggota organisasi temapat
ia bekerja. Etika sosial adalah norma-norma yang menuntun perilaku dan tindakan anggota
masyarakat agar keutuhan kelompok dan anggota masyarakat selalu terjaga atau terpelihara.
Pegawai negeri sebagai petugas penyelenggara pelayanan publik juga merupakan anggota
masyarakat yang tidak akan lepas dari pengaruh kehidupan masyarakat disekelilingnya yang
dapat berupa budaya, tradisi, pola pikir. Etika sosial akan mempengaruhi petugas
penyelenggara pelayanan publik baik disadari ataupun tidak. Faktor penerapan keempat
tingkatan etika pelayanan publik tersebut seringkali menimbulkan kebingungan para petugas
penyelenggara pelayanan publik. Kebingungan itu menyangkut penentuan prioritas keempat
tingkatan etika tersebut dalam penyelenggaraan pelayanan disesuaikan dengan kondisi saat
pelayanan tersebut berlangsung. Apabila kondisi berbeda maka penentuan prioritas keempat
tingkatan etika pelayanan publik pun akan berbeda yang mengakibatkan keputusan yang
diambil akan berbeda pula. Misalnya, petugas pelayanan publik menghadapi saudaranya yang
menjadi penerima layanan tentu etika individu akan lebih dominan, sebaliknya bila yang
dihadapi adalah atasannya yang menjadi penerima layanan tentu etika organisasi akan lebih
8
dominan. Kondisi seperti inilah yang selalu ”menghantui” petugas penyelenggara pelayanan
publik pada saat bertugas, 5) Keputusan mengenai etika yang diberlakukan di dalam suatu
institusi pelayanan publik tergantung pada atasan yang berwenang. Petugas penyeleng gara
pelayanan publik tidak terlepas dari pengaruh etika organisasi tempat mereka bekerja. Padahal
etika penyelenggaraan pelayanan merupakan manifestasi dari aturan organisasi yang berlaku.
Dalam organisasi formal aturan yang berlaku adalah keputusan pejabat yang berwenang.
Dengan demikian maka etika penyelenggaraan pelayanan publik merupakan perwujudan dari
keputusan pejabat yang berwenang. Oleh sebab itu maka keputusan-keputusan yang diambil
oleh petugas penyelenggara pelayanan identik dengan keputusan pejabat yang berwenang.
Misalkan keputusan pelayanan kesehatan di suatu Puskesmas identik dengan keputusan
Kepala Puskesmas yang bersangkutan.
PEMBAHASAN IMPLEMENTASI ETIKA
Kondisi Implementasi Etika dalam Pelayanan Publik , dengan bertitik tolak pada
faktor yang mempengaruhi implementasi etika dalam penyelenggaraan pelayanan publik maka
dapat dirumuskan analisis kondisi implementasi etika dalam pelayanan publik di pusat dan di
daerah adalah sebagai berikut :1) dalam penyelenggaraan pelayanan publik masih belum
didukung dengan kode etik profesi yang memadai. Penyelenggaraan pelayanan publik
mencakup berbagai profesi sesuai dengan jenis pelayanan, misalnya pelayanan di bidang
kesehatan menyangkut profesi dokter dan profesi perawat (tenaga medis), profesi apoteker,
dan profesi lainnya. Berdasarkan pengamatan hasil telaah literatur dan pengamatan lapangan
diketahui bahwa masih terbatasnya kode etik profesi yang dimiliki oleh petugas yang
melaksanakan pelayanan publik atau dengan kata lain masih banyak profesi yang belum
memiliki kode etik dan hanya beberapa profesi yang memiliki kode etik seperti dokter,
akuntan, pengacara. Meskipun secara umum para petugas penyelenggara pelayanan publik
sebagai pegawai negeri telah memiliki kode etik pegawai negeri. Kode etik pegawai negeri
memiliki sifat yang umum (general) sehingga belum dapat dijadikan acuan bagi petugas
penyelenggara pelayanan yang memiliki profesi yang khusus (khas) yang bersifat teknis. Oleh
sebab itu kode etik pegawai negeri perlu didukung dengan kode etik profesi. Kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa narasumber di lokasi penelitian menekankan pentingnya kode
etik profesi dalam rangka mendukung penyelenggaraan pelayanan publik. Misalnya nara
sumber dari Sulawesi Tengah menyatakan bahwa perlu memberikan memberikan ”bekal etika”
(etika profesi) bagi para petugas yang melaksanakan pelayanan publik disamping aturan teknis
dalam penyelenggaraan tugas pelayanan yang menjadi tanggung jawabnya. Tak jauh berbeda
9
nara sumber dari Papua menyatakan bahwa kondisi yang ada saat ini adalah PNS belum
memiliki code of conduct dan tak diikuti dengan glorifikasi (keakuan) atau sejenis dengan
otoriter dalam demokrasi. Aparat terhanyut dalam ”the shadow of system” (kekuatan sistem
bayangan) yang mengikis budaya positif yang dimiliki aparatur yang bersangkutan. Hal senada
dikemukakan nara sumber dari Gorontalo yang menyatakan bahwa berkaitan dengan etika, di
Indonesia, baik di pusat maupun di daerah tidak ada atau kurangnya kode etik yang menjadi
dasar birokrasi/aparatur untuk bekerja dalam rangka pelayanan pada masyarakat....etika yang
perlu diterapkan dalam berorganisasi adalah etika individu, etika organisasi dan etika profesi.
Etika individu menentukan baik atau buruk perilaku orang perorangan dalam hubungannya
dengan orang lain. Etika organisasi berfungsi menetapkan parameter dan merinci kewajibankewajiban organisasi itu sendiri serta menggariskan konteks tempat keputusan-keputusan etika
perorangan itu dibentuk. Etika organisasi sebagai aturan yang dicerminkan dalam struktur
organisasi dan fungsi-fungsi serta prosedur, termasuk di dalamnya sistem insentif , disinsentif
dan sanksi-sanksi berdasarkan aturan. Etika profesional berlaku dalam suatu kerangka yang
diterima oleh semua yang secara hukum atau secara moral mengikat mereka dalam kelompok
profesi yang bersangkutan. Ketiga macam etika tersebut idealnya dapat diikuti, dipatuhi dan
dijadikan pedoman, pegangan, referensi seseorang dalam melakukan hubungan dengan orang
lain dalam organisasi, menjalankan tugas/profesinya. Sementara itu terkait dengan etika
profesi, ada beberapa kalangan yang masih memiliki sikap yang menyakini bahwa meskipun
belum ada kode etik petugas penyelenggara pelayanan publik (kode etik profesi) tetapi
pelayanan publik masih dapat dilaksanakan dengan rambu-rambu nilai-nilai agama dan nilainilai Pancasila. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketidakadaan kode etik
menciptakan peluang bagi petugas untuk mengabaikan etika pelayanan publik atau dengan
kata lain tidak ada alat kontrol perilaku petugas penyelenggara pelayanan publik. Kisah yang
menarik mengenai pentingnya kode etik profesi terjadi di Sulawesi Tengah tepatnya di
Kabupaten Morowali dan Kabupaten Parigimoto. Kabupaten Morowali ini dipimpin oleh
seorang Bupati yang (dianggap) tidak memiliki kemapuan. Waktunya sebagian besar
dihabiskan di Jakarta, keberadaan di kantor hanya 3 hari dalam seminggu pada jam 6 subuh
dan jam 6 sore. Dengan kondisi ini maka pelayanan publik menjadi “lumpuh”. Disamping itu
Bupati tidak memiliki hubungan baik sebagai Wakil Bupati yang merupakan wakilnya bila dia
berhalangan. Kondisi ini ditengarai merupakan hasil dari proses rekrutmen dari sistem yang
tidak baik (garbage in garbage out). Kondisi yang terjadi di Morowali bertentangan dengan
kondisi yang terjadi di Kabupaten Parigimoto. Di Kabupaten ini memiliki Bupati yang dianggap
memiliki kemampuan. Sebagai ilustrasi Bupati memberikan kemudahan akses kepada nelayan
10
dalam berhubungan dengan Bank, karena apabila nelayan langsung berhubungan dengan
pihak Perbankan akan mengalami kesulitan. Kisah di atas menunjukkan bahwa dengan
ketidakadaan kode etik profesi sebagai seorang Bupati (penyelenggara pelayanan publik)
maka Bupati bisa berperilaku semaunya sendiri tanpa mempedulikan tugasnya kepada
masyarakat seperti yang terjadi di Kabupaten Morowali, ataupun sebaliknya Bupati dapat
berbuat banyak untuk kepentingan masyarakatnya seperti yang terjadi di Kabupaten
Parigimoto, 2) Belum terimplementasikan secara optimal kebijakan pelayanan publik yang
memuat kode etik penyelenggaraan pelayanan publik. Meskipun kebijakan pelayanan publik
telah diterbitkan seperti Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu
Pelayanan
Aparatur
Pemerintah
kepada
Masyarakat
dan
KepmenPAN
No.
63/KEP/M.PAN/7/2003 Tanggal 10 Juli 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik namun belum terlaksana dengan baik di lapangan. Padahal yang terpenting
adalah pengimplementasiannya di lapangan. Kendala yang ditemui adalah kebijakan tersebut
belum sepenuhnya ditindaklanjuti dengan kebijakan yang bersifat operasional oleh aparat baik
di tingkat pusat maupun di daerah. Bukti di lapangan menunjukkan bahwa terdapat variasi
bentuk dan muatan kebijakan mengenai pelayanan publik. Lebih-lebih belum ada
kesepahaman apakah kebijakan etika pelayanan publik dibuat dalam format hukum positif atau
tidak. Nara sumber dari Sulawesi Tengah menyatakan bahwa Ada beberapa kalangan yang
selalu mengkaitkan antara etika dengan hukum (etika diidentikkan dengan hukum). Tetapi ada
kalangan yang membedakan antara etika dengan hukum. Kalangan yang terakhir berpendapat
bahwa etika merupakan sesuatu yang melekat dari diri seseorang bukan sesuatu yang
dipaksakan dari luar (norma). Kalangan ini berpendapat bahwa norma bukan hukum dan
norma tidak memiliki sanksi hukum...Etika tata pemerintahan yang baik (termasuk di dalamnya
etika pelayanan publik) tidak selalu di”positifkan” (dijadikan aturan hukum yang memuat sanksi
bagi yang melanggar). Nara sumber dari Papua menyatakan bahwa etika memiliki batas
berupa ruang dan waktu. Etika sebagai norma hukum tidak mengedepan unsur sanksi hukum
yang bersifat nasional. Sanksi yang diberlakukan bersifat sanksi sosial yang dilakukan oleh
masyarakat. Memang pada kenyataannya sanksi sosial yang diberikan pada pelanggaran etika
belum tersosialisasikan dengan baik dan tak mampu memberikan dampak menghukum yang
efektif. Nara sumber dari Gorontalo menyatakan bahwa etika adalah seperangkat nilai yang
dapat dijadikan pedoman, referensi, acuan, dan penuntun apa yang harus dilakukan dalam
menjalankan tugas. Dengan demikian etika merupakan standar yang berfungsi untuk menilai
apakah sifat, perilaku, tindakan atau sepak terjangnya dalam menjalankan tugas dinilai baik
atau buruk.
Dengan belum adanya kesepahaman mengenai etika pelayanan publik ini
11
mengakibatkan kesulitan dalam pengimplementasiannya di lapangan. Padahal dengan belum
adanya implementasi di lapangan berarti kegiatan penilaian akan sulit dilakukan yang akhirnya
pengembangan dan penyesuaian kode etik pelayanan publik terhadap keadaan dan
perubahan zaman akan sulit dilaksanakan, 3) berdasarkan hasil pengamatan di lapangan
diketahui bahwa kesadaran untuk beretika dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh
petugas penyelenggara dan oleh masyarakat penerima pelayanan publik masih rendah.
Mereka masih cenderung berorientasi pada kepentingan pribadi (kepentingan sendiri).
Disamping masih kurangnya pemahaman mereka terhadap etika pelayanan publik. Bukti di
lapangan menunjukkan di tiga lokasi penelitian menunjukkan kecenderungan yang sama
meskipun dengan alasan yang berbeda-beda. Nara sumber dari Sulawesi Tengah menyatakan
bahwa terdapatnya pemahaman yang kurang dari aparat pemerintah daerah terhadap etika
pelayanan publik. Sementara ini pemahaman etika pelayanan publik selalu dikaitkan dengan
kegiatan yang bersifat protokoler sehingga sering kali dipahami sebagai nilai-nilai yang bersifat
simbolik. Dengan pemahaman seperti ini maka etika pelayanan publik merupakan kebijakan
yang bersifat tidak menyeluruh. Etika pelayanan publik hanya dilaksanakan oleh aparat yang
langsung melaksanakan kegiatan pelayanan terhadap masyarakat dan bukan oleh aparat
daerah yang tidak langsung berhubungan dengan masyarakat... aparat pemerintah daerah
“melayani masyarakat tidak dengan sepenuh hati” artinya bahwa dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat tidak secara totalitas tetapi hanya sekedarnya saja. Fenomena
ini semakin kuat pada era otonomi dan bahkan ada yang beranggapan “telah hilangnya
profesionalisme” aparat dalam melayani masyarakat. Nara sumber dari Papua menyatakan
bahwa perilaku aparat terbentuk dari budaya orang miskin yang dapat peluang pekerjaan
sehingga yang bersangkutan memanfaatkan jabatan demi mendapatkan uang. Kondisi inilah
yang menimbulkan kondisi yang menyimpang (deviation of behavior). Pendapatan yang
kurang dan kesejahteraan yang tidak mendukung menyebabkan kinerja yang tidak optimal.
Pada umumnya pada hari keduapuluh (tanggal 20 setiap bulan) beras yang dimiliki telah habis
dengan demikian pegawai yang bersangkutan akan berusaha untuk mencari tambahan guna
menutup kekurangan tersebut dengan cara mencari pekerjaan sambilan ataupun berupaya
untuk mendapatkan tambahan penghasilan di kantor (cikal bakal perilaku menyimpang). Nara
sumber dari Gorontalo menyatakan bahwa permasalahan yang muncul dalam proses etika,
diantaranya adalah belum adanya kesadaran beretika dalam pelayanan publik baik di pusat
maupun di daerah dan kurangnya sosialisasi pada masyarakat. Aparat/pegawai atau staf yang
berada pada front office tidak mengerti akan tupoksinya sehingga mereka bekerja dengan
kemauannya sendiri. Adanya sikap tidak perduli dari aparat dan masyarakat terhadap
12
pentingnya etika dalam pelayanan publik. Berdasarkan pendapat narasumber di lokasi
penelitian bahwa kesadaran beretika dalam penyelenggaraan pelayanan publik dipengaruhi
oleh kemampuan aparat (petugas penyelenggara pelayanan publik) dan tingkat kesejahteraan
yang dimilikinya. Terkait dengan pemahaman terhadap etika pelayanan publik khususnya yang
menyangkut penentuan prioritas dalam penggunaan tingkatan etika di lokasi kajian dapat
digambarkan menurut pendapat narasumber berikut ini. Nara sumber dari Sulawesi Tengah
menyatakan bahwa Pelayanan publik memiliki dua sisi, yaitu: aturan dan etika. Aturan dalam
pelayanan publik membawa konsekuensi pada kontraprestasi, artinya apabila aturan
dilaksanakan secara baik maka akan diberikan penghargaan terhadap aparat yang
bersangkutan, sedangkan etika merupakan norma dalam memberikan pelayanaan (norma
melayani). Etika dalam penyelenggaraan pelayanan publik di tingkat nasional (bersifat
universal) sedangkan perbedaan yang muncul merupakan dimensi kultural yang ada pada
lokasi penyelenggaraan pelayanan. Nara sumber dari Papua menyatakan bahwa etika dalam
pelayanan publik menyangkut dua aspek utama, yaitu: aspek internal dan aspek eksternal.
Aspek internal menyangkut kondisi individual aparat yang bersangkutan. Aspek eksternal
menyangkut kondisi lingkungan aparat yang terdiri dari: a) tradisi dan budaya, b) pendapatan,
dan c) kualitas pegawai yang bersangkutan. Tradisi dan budaya aparat dipengaruhi oleh
kondisi tempat bekerja. Tradisi dan budaya ini tumbuh dalam birokrasi tempat aparat itu
bekerja sejak rekruitmen awal. Pada saat rekruitmen pegawai biasanya didasarkan pada
upaya untuk mengisi pekerjaan yang lowong dalam rangka mengurangi pengangguran. Tradisi
inilah yang menyebabkan pegawai tidak dapat berkinerja dengan baik dan bahkan
menimbulkan prilaku yang menyimpang atau sering disebut sebagai pathologi birokrasi... Etika
dalam penyelenggaraan pelayanan publik terdiri dari dua kelompok, yaitu: etika birokrasi dan
etika individu. Etika birokrasi terbentuk karena adanya proses interaksi organisasi sedangkan
etika individu terbentuk karena pengaruh keluarga dan dogma yang dimiliki oleh pegawai yang
bersangkutan. Etika dalam penyelenggaraan pelayanan publik akan dipatuhi oleh aparat yang
memiliki kesempatan untuk mempraktekkannya dalam kesehariannya sebagai seorang
aparatur yang menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Kesempatan yang dimiliki
adalah kondisi yang mendukung bagi aparat yang bersangkutan menerapkan etika yaitu:
a)memiliki kinerja yang memadai, b) daya tanggap yang dimiliki pegawai, dan c) iklim yang
mendukung akuntabilitas. Sistem kehidupan bermasyarakat menciptakan budaya, daerah
sebagai sistem nilai yang terbentuk dari keterpaduan antara norma-norma yang telah ada
dalam masyarakat dan norma baru yang mempengaruhinya seperti norma-norma agama yang
berkembang di daerah tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya etnis-etnis tertentu
13
mengagungkan suatu sistem nilai tertentu yang mempengaruhi proses penyelenggaraan
pemerintahan yang adakalanya tidak bersifat “fair”. Nara sumber dari Gorontalo menyatakan
bahwa Kentalnya pengaruh budaya feodalistik yang masih ada pada sebagaian masyarakat.
Hal tersebut banyak berpengaruh pada pelayanan kepada masyarakat, sebagai contoh, di
wilayah-wilayah tertentu di Gorontalo ada pelayanan khusus kepada marga-marga tertentu.
Selanjutnya dalam rangka peningkatan kesadaran aparatur daerah dalam penyelenggaraan
etika dalam pelayanan publik dapat ditempuh dengan meningkatkan kedewasaan aparatur
daerah dalam beretika. Untuk itu diperlukan nilai-nilai bersifat universal yang mengakomodasi
nilai-nilai budaya lokal yang positif agar mampu mendekatkan aparatur daerah terhadap
perilaku positif yang sehari-hari mereka hadapi dalam penyelenggaraan pelayanan publik
yang akhirnya akan membangkitkan kesadaran beretika. Secara umum nilai-nilai universal
yang dapat dikembangkan adalah: integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek,
menaruh perhatian, keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik di atas
kepentingan lain, bekerja profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan
transparansi, kreativitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentingan
publik, beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya dirahasiakan. Sedangkan nilainilai lokal yang dapat diakomodasi adalah: senang melihat orang lain senang untuk budaya
Sulawesi Tengah), solidaritas sosial, transparansi, kejujuran, teguh prinsip, keterusterangan,
pengambilan keputusan (kein-kein karkara), menghargai tuan rumah, untuk budaya Papua,
memberi kepuasan kepada tamu untuk budaya Gorontalo, 4) Belum ada ukuran yang jelas dan
pasti dalam menilai etika pelayanan publik. Dari masing-masing daerah kajian belum
ditemukan ukuran yang jelas dan pasti terhadap etika pelayanan publik. Hal ini disebabkan
oleh ketidakadaan/keterbatasan nilai etika yang dimiliki, contoh konkritnya adalah nilai
moralitas terhadap uang. Disamping itu adanya kecenderungan mengutamakan kepentingan
tertentu tanpa memperhatikan konteks (kondisi yang ada) pelayanan publik yang diberikan.
Pegawai negeri sebagai salah satu penyelenggara pelayanan publik dan sekaligus anggota
organisasi pemerintah (birokrasi) tidak dapat lepas dari kepentingan organisasi yang
merupakan manifestasi dari keputusan pimpinan yang berwenang dari organisasi yang
bersangkutan. Karena tidak adanya ukutan yang jelas dan pasti dari etika pelayanan publik
yang diberikan maka petugas akan cenderung mengutamakan (mengamankan) keputusan
pimpinan organisasi. Nara sumber dari Sulawesi Tengah menyatakan bahwa kuatnya
“imperatif” terhadap kekuasaan yang berarti bahwa etika pelayanan publik merupakan
manifestasi dari perintah atasan kepada bawahan bukan merupakan kesadaran dari aparat
yang bersangkutan. Disamping itu adanya ego sektoral dari institusi tertentu yang menganggap
14
bahwa satu institusi lebih baik dari institusi yang lain dalam proses penyelenggaraan
pelayanan publik.
Fenomena yang lain adalah adanya ikatan etnis lokal yang kuat
menyebabkan penyelenggaraan pelayanan publik lebih mengutamakan etnis tertentu, nara
sumber dari Gorontalo menyatakan bahwa kentalnya pengaruh budaya feodalistik yang masih
ada pada sebagian masyarakat. Hal tersebut banyak berpengaruh pada pelayanan kepada
masyarakat, sebagai contoh, di wilayah-wilayah tertentu di Gorontalo ada pelayanan khusus
kepada marga-marga tertentu. Ketidakadaan ukuran yang jelas dan pasti terhadap etika
mengakibatkan mekanisme kontrol yang lemah, sehingga ”tidak ada” perlindungan terhadap
pengadu terhadap pelanggaran kode etik penyelenggaraan pelayanan. Yang lebih parah lagi
pengadu jangankan mendapatkan ”imbalan” justru dianggap tidak terpuji, terkutuk dan dalam
posisi yang terancam. Kondisi ini menyebabkan birokrasi sebagai penyelenggara pelayanan
publik menjadi ”bisu dan tuli” seperti ungkapan nara sumber dari Sulawesi Tengah yang
menyatakan bahwa birokrasi “buta dan tuli” yang berarti bahwa birokrasi sebagai unsur
penyelenggara pelayanan publik dari pemerintah tidak tanggap terhadap kebutuhan
masyarakat yang dilayani dan tidak mendengar keluhan-keluhan ketidakpuasan dari
masyarakat terhadap pelayanan yang diberikannya... aparat pemerintah daerah “melayani
masyarakat tidak dengan sepenuh hati” artinya bahwa dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat tidak secara totalitas tetapi hanya sekedarnya saja. Fenomena ini semakin kuat
pada era otonomi dan bahkan ada yang beranggapan “telah hilangnya profesionalisme” aparat
dalam melayani masyarakat. Ketiadaan dialog antar stakeholer pelayanan publik makin
memperparah kondisi pelayanan publik saat ini, karena masing-masing aktor pelayanan publik
bergerak dengan aturan main yang berbeda-beda dan dengan kepentingan sendiri-sendiri
dalam kondisi ketidakjelasan dan ketidak pastian ukuran etika pelayanan publik.
KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan mengenai Implementasi Etika dalam Penyelenggaraan
Pelayanan Publik di Indonesia dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik
baik di pusat maupun di daerah masih belum menerapkan nilai-nilai etika disebabkan adanya
pemahaman yang beragam, tidak didukung kebijakan yang memadai, bertentangan dengan
nilai budaya lokal, dan bersifat tidak mengikat.
Belum ada strategi implementasi yang baku dan memadai dalam pengembangan
etika pelayanan publik sehingga etika pelayanan publik yang ada belum mendukung
peningkatan kinerja aparatur di pusat dan di daerah. Berdasarkan pembahasan mengenai
Implementasi Etika dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Indonesia dapat dirumuskan
15
rerkomendasi yang sekiranya dapat dijadikan bahan masukan dan pertimbangan bagi
pengambil kebijakan khususnya dalam menentukan kebijakan implementasi etika dalam
pelayanan publik.
REKOMENDASI REKOMENDASI
Pertama, pemerintah perlu menetapkan kebijakan mengenai etika pelayanan
publik secara terintegrasi dan lebih operasional yang mampu menciptakan kesepahaman dari
aparatur pemerintah pusat dan daerah mengenai bentuk kebijakan etika pelayanan publik serta
berlaku bagi aparat yang langsung berhubungan dengan masyarakat dan tidak berlaku bagi
aparat yang tidak langsung berhubungan dengan masyarakat;
Kedua,
Pemerintah
perlu
menyusun
dan
mensosialisasikan
strategi
pengembangan etika pelayanan publik yang dapat mengakomodasi muatan budaya lokal dan
melibatkan seluruh stakeholders pelayanan publik yang ada;
Ketiga, Penyusun kebijakan perlu mengakomodasi nilai-nilai etika pelayanan
publik dalam setiap produk kebijakan penyelenggaraan negara yang ditetapkan khususnya
yang menyangkut sumber daya aparatur.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdussamad, Zamroni, (2005), Pokok – Pokok Pikiran Pengembangan Etika Dalam Pelayanan
Publik, Universitas Gorontalo; Albow, Martin, (1989),
Birokrasi, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta;
2. Arief, Himawan, (2003), Sukses Bukan Luck Tetapi Direncanakan, Jakarta: PT Pustaka
Binaman, Pressindo; Bartens, K. (2000), Etika. Seri Filsafat Atma Jaya; 15, Jakarta: Penerbit
PT. Gramedia Pustaka Utama Bauw, Lily dan Yusak E. Reba, (2005), Etika dalam Pelayanan
Publik, Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih; Denhardt, Kathryn G., (1988),
3. Gafar, Afan, (1999), Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka
Belajar; Grindle, Merite S ed, (1980),
4. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perbaikan Dan
Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat tertanggal 6 Maret
1995; Keban, Yeremias T., (2005),
5. Etika Pelayanan Publik: Pergeseran Paradigma, Dilema dan Impilaksinya bagi Pelayanan
Publik di Indonesia, FISIPOL Universitas Gadjah Mada;
6. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/Kep/M.Pan/7/2003 Tahun
2003 Tanggal 10 Juli 2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Komisi Ombudsman, (2005),
7. Pedoman Dasar Dan Etika Komisi Ombudsman Nasional; Lembaga Administrasi Negara,
(2004), Etika dalam Penyelenggaraan Negara-Tinjauan atas strategi pengembangannya
dalam penyelenggaraan pemerintahan; Samudra (1994), Kebijakan Publik: Proses dan
Analisa Intermedia, Jakarta; Simmon, (1978),
8. Public dministration and Implementation, Prentice Hall International Inc, London.
9. Sudana, I Wayan, (2005), Lemahnya Etika Pelayanan Publik, Fisipol Universitas Warmadewa
Denpasar; Sugiyanto, (2004),
10. Manajemen Pelayanan Publik, dalam proses penerbitan; Sutopo, (2000),
11. Kebijakan Publik dan Implementasi, Lembaga Administrasi Negara;
12. Kebijaksanaan Publik, Pengambilan Keputusan dan Sistem Informasi, Yogyakarta: Gajah
Mada Press. Van Matter, 2008
17
18
Download