pembahasan - WordPress.com

advertisement
MAKALAH TUGAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Kesejahteraan Sosial dalam Islam
Disusun Oleh :
Disusun Oleh :
1. DHEA RIZKY MAHARANI
(13.04.108)
2. M. AULIA GIFFARI HASSAN
(13.04.353)
3. NUR OKEU RAHMANNISA
(13.04.096)
4. LISA UTAMI
(13.04.031)
5. INDRYATY PERMATASARI U.
(13.04.118)
Kelas 1 H
Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS)
Bandung
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, rasa syukur atas kehadirat Allah SWT dengan segala rahmat dan
nikmat-Nya disertai Shalawat dan salam yang tak hentinya dihanturkan kepada junjungan
besar Baginda Nabi Muhammad SAW, yang telah menuntun umat-Nya. Akhirnya penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Kesejahteraan Sosial dalam Islam”. Makalah
ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Dalam penyusunan makalah ini banyak sekali pihak-pihak yang ikut terlibat
membantu menyelesaikan penyusunan makalah ini. Pada kesempatan ini, izinkan penulis
untuk menyatakan rasa terima kasih yang terdalam atas segala bantuan yang telah
diberikan baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga makalah ini bisa
terselesaikan.
Penulis menyadari makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan
masukan dan saran-saran. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin Ya
Rabbal Alamin.
Bandung, Oktober 2013
Penulis
KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM ISLAM
I.
PENDAHULUAN
Islam adalah agama rahmatan lil alami. Rahmat bagi seluruh alam. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam Islam, kesejahteraan sosial suatu umat adalah hal yang penting.
Dalam Al Qur’an dijelaskan secara lengkap, maksud kesejahteraan sosial, definisinya, dan
cara melakukannya.
Manusia adalah hamba Allah SWT. Yang mempunyai dua sistem kehidupan. Yaitu
kehidupan rohani dan jasmani. Kedua-duanya bersifat simbosis atau organik. Satu sama lain
saling manyatu dan membutuhkan. Jika sistem rohani sakit maka jasmani maupun akan
mengalami sakit. Demikian juga sebaliknya, jika jasmani sakit, maka rohanipun ikut sakit.
Oleh karena itu, Islam sangat memperhatikan keseimbangan antara kedua sistem
tersebut. Untuk itu, maka akidah dan ibadah dalam Islampun bukan saja bersifat keimanan
dan ritual yang hanya melahirkan kesalihan individu, melainkan juga bersifat sosial, yang
dapat melahirkan keshalihan sosial (struktural).
Perhatian Islam dalam terhadap masalah sosial dapat dilihat, misalnya adzan, di
dalamnya terdapat dua seruan, yakni hayya ‘alash shalah dan hayya ‘alal falah (mari samasama melaksanakan dan menegakkan shalat, dan mari bersama-sama menuju kebahagiaan).
Seruan pertama bersifat ritual dan vertikal, sedang kedua bersifat sosial dan horisontal.
Contoh lain ialah pelaksanaan sholat. Ia diawali dengan takbirratul ihram, dan diakhiri
dengan salam. Takbiratul ihram berarti mengagungkan dzat Pencipta alam semesta
(vertikal), dan salam berarti mengajak kepada semua muslim untuk menyebarkan
kesejahteraan sosial (horisontal). Memang keimanan dan ibadah (individual) dalam Islam
itu mengarah pada terwujudnya masyarakat yang baok dan sejahtera.
Perhatian Islam terhadap masalah kesejahteraan sosial dapat dicermati pula dari dua
alasan. Pertama, ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah sosial jauh labih
banyak dibandingkan ayat yang berkenaan dengan masalah keimanan dan ibadah pribadi,
yaitu 100:1. Jika ada seratus ayat sosial, maka hanya ada satu ayat keimanan dan ibadah.
Kedua, ibadah khusus seperti puasa, dapat diganti dengan amal sosial, tetapi sebaliknya,
ibadah sosial tidak dapat digamti dengan ibadah khusus.
Berkaitan dengan upaya mewujudkan kesejahteraan sosial dalam kehidupan
kemasyarakatan, Islam bukan saja memiliki perangkat etik, tetapi juga dilengkapi dengan
sejumlah instrumen. Adapun instrumen itu antara lain ialah zakat, infak, dan shadaqah.
Khusus mengenai zakat, intrumen ini mendapat tempat khusus dalam al-Qur’an. Ia disebut
secara sendirian sebanyak 10 kali, dan disebut bersama-sama shalat sebanyak 82 kali,
sehingga secara keseluruhan zakat disebut sebanyak 112 kali. Ini menandakan bahwa Islam
sangat memperhatikan kesejahteraan sosial dalam kehidupan kemasyarakatan. Hal ini
tergambar dari antusiasme ajaran Islam yang mempunyai keberpihakan kepada kelompok
lemah (mustadh‘afîn) lewat program zakat. Program zakat merupakan program
yang bermuatan ritual dan sosial. Sebagai program ritual, zakat adalah implementasi dari
rasa syukur individu atas karunia (kekayaan) yang diberikan oleh Allah. Sedangkan sebagai
program sosial, zakat berfungsi sebagai program aksi pemerataan distribusi dalam rangka
mengurangi jumlah kemiskinan.
Kesadaran akan nilai membawa pengaruh kepada umat Islam bahwa mereka lebih
peka terhadap pelanggaran ninai dan norma daripada ketimpangan sosial. Misalnya, apabila
ada
pelanggaran
norma
moral,
secara
antusias
meraka
memperhatikan
dan
membicarakannya, namun apabila ada berita tentang kelaparan, bencana alam, dan
sebagainya, perhatian mereka kurang. Masalah ketimpangan sosial, dianggapnya suatu yang
biasa, dan telah menjadi suratan takdir Tuhan.
Melihat permasalahan tersebut, maka perlu dirumuskan paradigma baru, yang lebih
memberi perhatian kepada aspek sosial ekonomi masyarkat sebagai prasyarat tercapainya
kesejahteraan sosial daripada aspek moral. Dipihak lain, penerobosan terhadap batasan
kelompok, harus diartikan sebagai usaha untuk melakukan “penjembatan hubungan antar
segmen.
II.
PEMBAHASAN
a. Pengertian
1. Kesejahteraan
Kesejahteraan berasal dari kata dasar sejahtera: aman, sentosa, dan makmur;
selamat (terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya).
Kesejahteraan: hal atau keadaan sejahtera; keamanan, keselamatan, ketenteraman,
kesenangan hidup, dan sebagainya; kemakmuran. Dalam definisi lain dijelaskan,
Kesejahteraan (welfare) adalah kondisi yang menghendaki terpenuhimya kebutuhan
dasar bagi individu atau kelompok baik berupa kebutuhan makan, pendidikan,
kesehatan.
2. Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan sosial adalah
keadaan sejahtera masyarakat. Sedangkan
dalam Mu’jam Musthalahâtu al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah dijelaskan:
“Kesejahteraan sosial adalah sistem yang mengatur pelayanan sosial dan lembagalembaga untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok mencapai
tingkat kehidupan, kesehatan yang layak dengan tujuan menegakkan hubungan
kemasayarakatan
yang setara
antar
individu
sesuai
dengan kemampuan
pertumbuhan (development) mereka, memperbaiki kehidupan manusia sesuai
dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat”.
Dari berbagai definisi di atas, pada intinya, kesejahteraan sosial
menuntut terpenuhinya kebutuhan manusia yang meliputi kebutuhan primer
(primary needs), sekunder (secondary needs) dan kebutuhan tersier. Kebutuhan
primer meliputi: pangan (makanan) sandang (pakaian), papan (tempat tinggal),
kesehatan dan keamanan yang layak. Kebutuhan sekunder seperti: pengadaan
sarana transportasi (sepeda, sepeda motor, mobil, dsb.), informasi dan
telekomunikasi (radio, televisi, telepon, HP, internet, dsb.). kebutuhan tersier seperti
sarana rekereasi, entertaimen. Kebutuhan-kebutuhan ini berdasarkan tingkatan
(maqâm) individu. Artinya untuk tingkat masyarakat kelas menengah, kebutuhan
akan mobil pribadi untuk menunjang mobilitas aktivitas yang tinggi, masuk dalam
kategori kebutuhan primer. Sedangkan untuk kelompok ekonomi menengah ke
bawah, mobil pribadi merupakan barang lux dan masuk kategori kebutuhan
sekunder. Tiga kategori kebutuhan di atas bersifat materiil sehingga kesejahteraan
yang tercipta pun bersifat materiil.
Kesejahteraan sosial akan tercipta dalam sistem masyarakat yang
stabil, khususnya adanya stabilitas keamanan. Stabilitas sosial, ekonomi tidak
mungkin terjamin tanpa adanya stabilitas keamanan (termasuk di dalamnya
stabilitas politik). Hal ini sebagaimana do’a Nabi Ibrahim dalam surat al-Baqarah: 126.
Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri
yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya
yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman:
"Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, Kemudian Aku
paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali".
Sebuah
negara
yang
stabilitas
keamanannya
rawan
akan
berpengaruh terhadap berbagai sektor kehidupan lainnya. Kinerja sektor ekonomi
yang merupakan faktor penyangga kesejahteraan akan terganggu bahkan
terbengkelai sama sekali. Begitu pula stabilitas politik. Fakta menunjukkan bahwa
negara-negara dunia ketiga yang terus dilanda kemelut krisis dalam negeri
seperti membengkaknya hutang, angka pengangguran, dan berseminya kawasan
kumuh dan miskin (kumis) disebabkan karena stabilitas keamanan dan politik yang
labil. Ironisnya, justru tingkat korupsi merajalela di negara-negara dunia ketiga
ini.
Sebuah
ilustrasi,
dalam
catatan
sejarah
selama
lima
kali
suksesi
kepemimpinan nasional di Indonesia selalu didahului oleh peristiwa-peristiwa yang
mengundang kerawanan sosial, politik dan keamanan (sospolkam). Kerawanankerawanan ini mengakibatkan gejolak (rush) dalam bidang ekonomi, seperti
terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, menurunnya suku
bunga SBI, menurunnya indeks perdagangan di bursa saham yang berarti
melemahnya investasi.
b. Sasaran Kesejahteraan Sosial
Sasaran kesejahteraan sosial dalam Islam adalah sesuai dengan sistem kemanusiaan
Yaitu kehidupan rohani dan jasmani. Indikator kesejahteraan sosial dalam Islam tidak saja
tercermin dalam kesejahteraan lahiriah, melainkan juga tercermin dalam kehidupan rohani.
Sebab persoalan keterbalakangan, kebodohan dan kemiskinan bukan hanya dikarenakan
ada faktor-faktor rohani seperti mental, motivasi dan pemahaman terhadap suatu sistem
nilai yang dianut.
Dalam soal kesejahteraan rohani, sasaran yang harus dilakukan perbaikan adalah
bagaimana menjadikan sistem nilai yang dianutnya (tauhid) sebagai ruh, spirit dan etos
melakukan aktifitas kehidupan. Dengan kata lain, bagaimana mengfungsikan sistem aqidah
(keimanan) seseorang agar mampu berbuat lebih baik didunia ini.
Dalam soal kesejahteraan jasmani, kebutuhan yang diperlukan oleh fisik atau badan
manusia agar dapat hidup secara layak dan baik. Contoh: kebutuhan makanan dan minuman,
pakaian, alat-alat olah raga untuk menunjang kesehatan raga atau badan, dan sebagainya.
Sedangkan dalam kesejahteraan sosial, Islam menekankan pada upaya memberantas
kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Selain itu, juga mengutamakan penyantunan
terhadap fakir miskin, anak yatim dan orang tua. Penekanan terhadap obyek-obyek tersebut
dikarenakan, memang dalam kenyataannya masalah tersebutlah yang harus dibenahi.
Sebab masalah kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, persoalan anak yatim,
fakir miskin, dan orang tua adalah persoalan abadi, yang ada di setiap tempat dan kurun
waktu.
Al-Qur’an tak henti-hentinya menghimbau hal tersebut dengan menandaskan dalam
ayat-ayat sebagai berikut:
. ‫ فو يل للمصلين‬. ‫ وال يحض علي طعام المسكين‬. ‫ فذالك الذي يدع اليتيم‬. ‫اارأيت الذي يكذب بالدين‬
(7-0 7:1 ‫)الما عون‬
. ‫ ويمنعون المعون‬. ‫ والذين هم يراء ون‬. ‫الذين هم عن صال تهم سا هون‬
“Taukah engkau orang-orang yang mendustakan agama, yaitu orang-orang yang
meninggalkan anak yatim dan tidak menghiraukan kehidupan orang miskin. Maka celakalah
orang-orang yang melakukan sholat, yaitu orang-orang yang lalai dari sholatnya, dan
berbuat riya’, serta enggan menolong dengan barang yang berguna” (al-Ma’un/107: 1-7)
Ayat ini memberitahukan kepada umat Islam betapa pentingnya masalah sosial,
sehingga Tuhan menyatakan bahwa orang yang sholat, tetapi tidak mau menghiraukan
kesejahteraan sosial, shalatnya sia-sia dan berarti membohongi agamanya, karena shalatnya
terlalaikan, tidak bisa menggerakan ke arah perbaikan sosial.
Ada dua hal yang menyebabkan seseorang terlantarkan di akhirat kelak, yaitu karena
melalaikan shalat dan melalaikan kesejahteraan sosial (al-Mudatstsir/74: 42-44). Termasuk
salah satu diantara sekian banyak orang yang tidak termasuk umat Muhammad saw., yaitu
orang yang sehari selamanya selalu kenyang, sedang tetangganya kelaparan (al-Hadits).
Oleh karena itu Nabi saw manganjurkan, barang siapa mempunyai makanan cukup untuk
seorang, maka carilah seorang teman, jika cukup dua orang, maka carilah dua orang teman
lagi dan seterusnya.
c.
Islam dan Masalah Kesejahteraan Sosial
Idealisasi “kesejahteraan hidup” dalam Islam khususnya, dan agama samawi pada
umumnya, adalah “kehidupan surgawi” yaitu kehidupan di surga nanti, yang selalu
digambarkan sebagai :
a. Serba kecukupan pangan yang berkalori dan bergizi
b. Kecukupan sandang yang bagus-bagus
c. Tempat tinggal yang indah dan nyaman
d. Lingkungan hidup yang sehat dan segar
e. Hubungan sosial yang tentram dan damai
f. Dikeilingi pelayan-pelayan yang trampil dan menggairahkan
g. Hubungan yang selalu dekat dengan Allah, Tuhan Maha Pemurah
Kunci keberhasilan untuk mencapai kehidupan sejahtera yang ideal itu, ditegaskan
bahwasannya harus melalui yang panjang, yakni :
Pertama
: Keimanan yang mantap kepada Allah, kepada Rasul-Nya, dan rukun
iman lainnya.
Kedua
: Ketekunan melakukan amal-amal saleh, baik amalan yang bersifat
ritual, seperti shalat, zakat, puasa dan lain-lain; dan amalan yang bersifat sosial,
seprti pendidikan, ksehatan, dan masalah-masalahkesejahteraan lainnya, maupun
amalan yang bersifat kultural, yang lebih luas lagi seperti pendayagunaan dan
pelestarian sumber daya alam, penanggulangan bencana, penelitian dan sebagainya.
Ketiga :Kemampuan menangkal diri dari kemaksiatan dan perbuatan yang merusak
kehidupan (almuhlikat).
Gambaran kesejahteran “kehidupan surgawi” itu tadi yang diidentifikasikan sebagai
kebahagiaan akhirat (fil akhirati hasanah). Tapi disamping kesejahteraan kehidupan surgawi
tersebut, Islam juga memberikan perintah agar terwujudnya kesejahteraan kehidupan
duniawi (fiddunya hasah), dengan kunci keberhasilan yang tidak berbeda dengan kunci
keberhasilan untuk kesejahteraan kehidupan surgawi.
Jika orang memperhatikan ajaran-ajaran Islam dengan cermat, akan mendapatkannya
selalu mengacu kepada perwujudan kemaslahatan manusia dan pencapaian-pencapaian
kebutuhan dasarnya maupun kesejahteraannya, baik kesejahteraan duniawi maupun
ukhrawi.
Semua ulama dan cendikiawan muslim sepenapat tentang masalah ini, hanya dalam
aktualisasinya kadangkala terdapat perbedaan yang tidak prinsipil diantara mereka. Dari
wawasan demikian itu lahirlh konsep al-Mashalih al-Mursalah (kemashlahatan umum) yang
dijadikan salah satu acuan dalam sistematika hukum fiqih Islam.
A-Syathiby mengatakan, bahwa penetapan hukum-hukum syara’ selalu berorientasi
kepada kepentingan hidup manusia. Kepentingan atau kebutuhan hudup manusia itu dibagi
menjadi tiga kategori :
Prioritas pertama : “ad-Dhoruriyat” ialah kebutuhan pokok, yakni kebutuhan pangan,
kebutuhan sandang, kebutuhan perumahan atau papan dan semua kebutuhan pokok yang
tidak dapat dihindari bagi minimum.
Prioritas kedua: “Al-Hajiyat” ialah kebutuhan-kebutuhan yang wajar, sperti kebutuhan
penerangan, kebutuhan pendidikan dan lain sebagaianya.
Prioritas ketiga : “Al-Tahsinat” atau dapat disebut juga sebagai kesempurnaan yang lebih
berfungsi sebagai kesenangan daripada kebutuhan hidup.
Imam Al-Ghozali seperti halnya juga As-Yathiby, berpendapat bahwa yang jelas
masuk dalam kategoi ad-Dhoruriyat yang menjadi prioritas garapan Islam adalah yang
menjalin kemaslahatan :
-
Ad-Dienu
(agama)
-
An-Nafsu
(jiwa)
-
An-Naslu
(keturunan)
-
Al-Malu
(harta benda)
-
Al-Aqlu
(akal atau fikiran)
Lima masalah tersebut dikenal dengan istilah lima kebutuhan dasar (ad-dhoruriyat al-homs).
Dalam hubungan konsep tersebut diatas, dapat dipahamai lebih lanjut, mengapa
Islam melarang perbuatan-perbuatan kufur, kemaksiatan, pembunuhan, zina, pencurian dan
mabuk-mabukan. Karena perbuatan semacam itu mengancam kemaslahatan dan
keslestarian lima kebutuhan dasar tersebut. Demikian pula Islam memerintahkan usahausaha yang dapat menanggulangi kemiskinan, melalui kerja keras, pemerataan kemakmuran
dengan cara menunaikan zakat, waqaf, sodaqah, hibah, wari, wasiyat dan lain sebagainya,
agar tidak terjadi akumulasi kekayaan hanya kepada beberapa orang kaya saja. [3]). Masalah
kesehatan, diperlihatkan mulai dari makanan yang bergizi, kebersihan tubuh, pakaian dan
lingkungan, sampai pengobatan dan olah raga.
Dalam hal pencerdasan masyarkat, Islam memandang usaha pecerdasan itu sebagai
kewajiban, dalam waktu seumur hidup. Membaca dan menulis menjadi perintah skriptural
(dicantumkan langsung dalam kitab suci), disamping itu Islam memandang penyebaran ilmu
sebagai amal jariyah. Kecerdasan (al-fathonah) dalam teologi Islam dipandang sebagai sifat
wajib bagi para Rasul, dan keillmuan dipandang sebagai salah satu indikator kualitas umat.
Seperti yang tercantum dalam surat al-Mujadillah ayat 11 :
. ‫خبير‬
‫يرفع هللا الذين أمنوا منكم والذين أثوا العلم درجت وهللا يما تعلمون‬
“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantarau dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan”.
Menolong fakir miskin dan menyantuni anak yatim menjadi ukuran pembuktian
kualitas agama seseorang, dan mengusahakan kebutuhan hidup mayarakat dinilai sebagai
ibadah amal jariyah.
Pada waktu nabi Muhammad s.a.w pertama kali datang di madinah dalam rangka
hijrah beliau, maka ceramh perdana beliu lakukan waktu itu antara lain adalah sebagai
berikut :
‫أفيسوا السالم وأطعمـوا الـطعام وصلوا االرحـام وصـــلوا با الليــل و النــاس نــيام تــدخلـوا الـجنة‬
.‫بــسالم‬
"Wahai manusia, sebarluaskanlah salam atau ucapan damai, cukupilah kebutuhan
makanan, lakukanlah hubungan kekeluargaan, dan shalatlah pada waktu malam pada saat
orang lain sedang tidur. Kalian akan masuk surga dengan penuh kedamaian.
Butir-butir sabda Nabi terebut mengandung nilai agung secara mendasar
berhubungan dengan kesejahteraan sosial.
Terdapat sejumlah argumentasi baik yang bersifat teologis-normatif maupun rasionalfilosofis yang menegaskan tentang betapa ajaran Islam amat peduli untuk mewujudkan
kesejahteraan sosial.
Pertama, dilihat dari pengertiannya, sejahtera sebagaimana dikemukakan dalam
Kamus Besar Indonesia adalah aman, sentosa, damai, makmur, dan selamat (terlepas)
dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya. Pengertian ini sejalan
dengan pengertian “Islam” yang berarti selamat, sentosa, aman, dan damai. Dari
pengertiannya ini dapat dipahami bahwa masalah kesejahteraan sosial sejalan
dengan misi Islam itu sendiri. Misi inilah yang sekaligus menjadi misi kerasulan Nabi
Muhammad Saw, sebagaimana dinyatakan dalam ayat yang berbunyi :
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh
alam.” (Q.S. al-anbiyâ’ [21]: 107).
Kedua, dilihat dari segi kandungannya, terlihat bahwa seluruh aspek ajaran Islam
ternyata selalu terkait dengan masalah kesejahteraan sosial. Hubungan dengan Allah
misalnya, harus dibarengi dengan hubungan dengan sesama manusia (habl min Allâh
wa habl min an-nâs). Demikian pula anjuran beriman selalu diiringi dengan anjuran
melakukan amal saleh, yang di dalamnya termasuk mewujudkan kesejahteraan sosial.
Selanjutnya, ajaran Islam yang pokok (Rukun Islam), seperti mengucapkan dua
kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji, sangat berkaitan dengan
kesejahteraan sosial. Orang yang mengucapkan dua kalimah syahadat adalah orang
yang menegaskan komitmen bahwa hidupnya hanya akan berpegang pada
pentunjuk Allah dan Rasul-Nya. Karena, tidak mungkin orang mau menciptakan
ketenangan jika tidak ada komitmen iman dalam hatinya. Demikian pula ibadah
shalat (khususnya yang dilakukan secara berjama’ah), juga mengandung maksud
agar mau memperhatikan nasib orang lain. Ucapan salam pada urutan terakhir
rangkain shalat berupaya mewujudkan kedamaian. Selanjutnya, dalam ibadah puasa
seseorang diharapkan dapat merasakan lapar sebagaimana yang biasa dirasakan
oleh orang lain yang berada dalam kekurangan. Kemudian, dalam zakat juga tampak
jelas unsur kesejahteraan sosialnya lebih kuat lagi. Demikian pula dengan ibadah haji,
yang mengajarkan seseorang agar memiliki sikap merasa sederajat dengan manusia
lainnya.
Ketiga, upaya mewujudkan kesejahteraan sosial merupakan misi kekhalifahan yang
dilakukan sejak Nabi Adam As. Sebagian pakar, sebegaimana dikemukakan H.M.
Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Quran (hal. 127), menyatakan bahwa
kesejahteraan sosial yang didambakan al-Quran tercermin di Surga yang dihuni oleh
Adam dan isterinya sesaat sebelum mereka turun melaksanakan tugas kekhalifahan
di bumi. Seperti diketahui, sebelum Adam dan isterinya diperintahkan turun ke bumi,
mereka terlebih dahulu ditempatkan di Surga. Surga diharapkan menjadi arah
pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang surga itu bisa diwujudkan di
bumi dan kelak dihuni secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang mewujudkan
bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang berkesejahteraan. Kesjaterjaan
surgawi ini dilukiskan antara lain dalam firman-Nya yang berbunyi :
“Hai adam, sesungguhnya ini (Iblis ) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka
sekali-kali jangan sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari Surga, yang akibatnya
engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di sini
(surga), tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasakan
dahaga maupun kepanasan. (Q.S. Thâhâ, 20: 117-119).
Dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, dan papan yang diistilahkan dengan tidak
lapar dan dahaga, tidak telanjang, dan tidak kepanasan semuanya telah terpenuhi di
sana. Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama
kesejahteraan sosial.
Keempat, di dalam ajaran Islam terdapat pranata dan lembaga yang secara langsung
berhubungan dengan upaya penciptaan kesejahteraan sosial, seperti wakaf dan
sebagainya. Semua bentuk pranata dan lembaga sosial berupaya mencari berbagai
alternatif untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Namun, suatu hal yang perlu
dicatat, berbagai bentuk pranat ini belum merata dilakukan oleh umat Islam dan
belum pula efektif dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Hal ini mungkin
disebabkan belum munculnya kesadaran yang merata serta pengelolaannya yang
baik. Untuk itulah, saat ini pemerintah melalui Departemen Agama membentuk
semacam Lembaga Amil Zakat (LAZ) tingkat nasional. Berhasilkah konsep ini dalam
mewujudkan kesejahteraan sosial, amat bergantung pada partisipasi kita.
Kelima, ajaran Islam mengenai perlunya mewujudkan kesejahteraan sosial ini selain
dengan cara memberikan motivasi sebagaimana tersebut di atas, juga disertai
dengan petunjuk bagaimana mewujudkannya. Ajaran Islam menyatakan bahwa
kesejahteraan sosial dimulai dari perjuangan untuk mewujudkan dan
menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika pada diri pribadi, karena dari diri
pribadi yang seimbang akan lahir masyarakat yang seimbang. Masyarakat Islam
pertama lahir dari Nabi Muhammad Saw. melalui kepribadian beliau yang sangat
mengagumkan. Pribadi ini melahirkan keluarga yang seimbang seperti Khadijah, Ali
bin Abi Thalib, Fatimah Az-Zahra, dan lain-lain.
Selain itu, ajaran Islam menganjurkan agar tidak memanjakan orang lain atau
membatasi kreativitas orang lain, sehingga orang tersebut tidak dapat menolong
dirinya sendiri. Bantuan keuangan baru boleh diberikan apabila seseorang ternyata
tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Ketika seseorang datang kepada Nabi Saw.
mengadukan kemiskinannya, Nabi Saw. tidak memberinya uang, tetapi kapak agar
digunakan untuk mengambil dan mengumpulkan kayu. Dengan demikian, ajaran
Islam tentang kesejahteraan sosial ini termasuk di dalamnya ajaran yang mendorong
orang untuk kreatif dan bersikap mandiri, tidak banyak bergantung pada orang lain.
d. Subyek dan Obyek Kesejahteraan Sosial
Penanggulangan masalah kesejahteraan sosial menurut Islam, menjadi tanggung
jawab bersama antara :
1. Individu Muslim. Hal ini dapat dilihat dari konsep zakat.
(19 : ‫ )الذارياتــــ‬. ‫وفي أمـوالــهم حــق للســاءـــل والــمحروم‬
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang-orang miskin yang meminta atau yang
tidak meminta”.
Dalam menjaga keseimbangan kesejahteraan duniawi dengan ukhrawi, Nabi
Muhammad S.A.W pernah menegur sahabat Abu Darda’ r.a yang hanya sibuk puasa dan
shalat saja, tapi mengabaikan kesehatan diri dan kebutuhan keluarganya. Nabi s.a.w
bertanya : Aku dengar engkau selalu shalat malam hari dan puasa siang harinya, dan tidak
kumpul dengan keluargamu ?. Dijawab oleh Abu Darda’: Benar ya Rasulallah. Beliau berseru :
jangan demikian……
. ّ‫ و إنّ ألهلك عـليـك حقـا‬, ‫ وإنّ لنفـسـك علـيك حقـا‬, ّ‫لجسد علــيك حق‬
ّ‫إن‬
“Fisikmu mempunyai hak yang harus kamu penuhi, jiwamu mempunyai hak yang yang harus
engkau urusi, dan keluarga mempunyai hak yang harus kamu perhatikan”. (HR. Bukhari).
2. Masyarakat Muslim. Hal ini dikembangkan melalui solidaritas umat, disamping
kesadaran hidup yang saling membutuhkan.
‫و تـعـاونـوا علـي البـرّ والــتقـو ي وال تــعاونـــوا علي إلثــم و الـعدوان و اتــقـوا هللا إنّ هللا‬
(‫ )المـا ءــدة‬. ‫شـديـد الــعقــــــاب‬
“…dan tolong-menolonglah kamu untuk kebijakan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong
untuk perbuatan dosa dan permusuhan”.
. ‫أيّ رجـلّ مـات ضيـاعـاّ بـيـن أغنـياء فـقد بـ َ ِرءت منهم ذمة هللا ور سله‬
“Siapapun orang yang mati terlantar, ditengah-tengah orang kaya, maka Allah tidak lagi
memperdulikan orang-orang kaya itu, demikian pula Rasul-Nya”.
Artinya Allah tidak lagi memberi syafa’at kepada mereka, demikian juga Rasulnya.
3. Pemerintah. Kasus Khalifah Umar bin Khattab r.a. dalam menaggulangi kesulitan
makanan rakyatnya, sehingga secara pribadi mengadakan pemantauan, dan
menemukan seorang janda yang miskin dengan anak-anaknya, sehingga Umar bin
Khatab r.a mengangkat sendiri karung yang berisi bahan makanan untuk mereka,
adalah suatu cerita populer yang mengandung makna tanggung jawab pemeritah
terhadap masalah kesejahteraan sosial.
Adapun yang menjadi obyek usaha kesejahteraan sosial adalah semua warga negara
yang membutuhkan. Sikap adil semua warga negara yang membutuhkan. Sikap adil dalam
melayani dan memberikan perhatian kepada semua warga merupakan bagian integral dari
konsep kesejahteraan sosial dalam Islam.
‫يـأيها الذيـن أمـنوا كـونـوا قـومـيـن هللا شهــداءبـاالقـــسط وال يـجرمـنكــم شـنـان قــوم عــلي‬
‫ )الـــما‬.
‫أالتعـــدلـوا‘ إعــدلوا هــو أقـرب للتقوا ي واتــقوهلل انّ هللا خبـــير بــماتعملـــون‬
(8 : ‫ءـــــدة‬
“ Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillh,
karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesunguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Dr. Ali Abdul Wahid wafy memberikan penjelasan makna ayat tersebut dengan : “Islam
menegaskan, bahwa hubungan atau interaksi sosial dalam Islam dilakukan atas dasar
kesamaan, baik dalam tanggung jawab, hukuman dalam hak-hak perdata seprti pemilikan,
jual-beli dan lain sebagainya, tanpa membedakan antara sigembel dan penguasa, antara
kalangan atas dan rakyat jelata, antara sikaya dan simiskin, maupun antara orang yang
disayangi dan yang dibenci, antara kerabat dengan orang lain “. Keadilan hanya mengenal
stu matra semua.
Ada beberapa masalah sosial yang oleh Islam dipandang sebagai gangguan terwujudnya
kesejahteraan sosial, atau paling tidak mempersulit realisasi kesejahteraan :
1. Kebodohan (al-Jahilia)
Jika Al-Qur’an menyatakan, bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang
berilmu, melebihi yang lainnya, berarti kebodohanlah yang menjadi salah satu penyebab
kemerosotan dan keterbelakangan martabat manusia. Oleh karena itu Islam memandang
penanggulangan kebodohan itu sebagai ibadah, sebaliknya membiarkan kebodohan
dipandang sebagai tindak kemungkaran. Ada sebuah hadis yang menegaskan masalah ini,
yakni tentang komunitas muslim yang disebut “Asy ‘ariyin, suatu kelompok terpelajar yang
membiarka lingkungannya tetap dalam kebodohan
2. Wawasan (al-Fakru/ al-Maskanah)
Wawasan ekonomi Islam lebih banyak memandang potensi alam yang dianugerahkan
oleh Allah dari segi kecukupannya (adequacy) dari pada segi kekurangan atau
kelangkaannya (scarcity). Hal ini bermula dari premis, bahw sumber daya alam itu
berkecukupan untuk memberi kesejahteraan. Oleh karena itu jika kelangkaan itu muncul,
maka akibat kealahan orang dalam memanfaatkannya, melestarikannya atau karena
kebodohan dan kemalasannya. Kemiskinan dipandang ole Islam sebagai patalogi sosial yang
harus ditanggulangi. Nabi Muhammad s.a.w selalu berdo’a :
. ‫وأعـوذبـك مـن الـــفكر والكــفر و الفــســوق‬
“Aku berlindung kepada-Mu dari bahaya kefakiran, kekufuan dan kefasikan”. (HR. Al-Hakim
dan Al-Baihaqi).
3. Kemaksiatan (al-Maksiyah)
Kekacauan jiwa, kegoncangan hati, ketidak tentraman batin, sentimen, dendam dan
macam-macam penyakit batin lainnya; adalah dampak langsung dari kemaksiatan. Berapa
banyak kehancuran sosial akibat dari tindak maksiat seperti pembuuhan, perjudian, atau
lain-lainnya lagi; malah juga kehancuran rumah tangga, lingkungan dan martabat seseorang
sebagai individu. Dalam menceritakan Bani Israil, Al-Qur’an menghubungkan antara
kemerosotan dan kenistaan hidup dengan perbuatan maksiat dan pelanggaran.
‫و ضربت عــليهم الذلـة ولــمسكــنة وباءوا بــغب مــن هللا ذا لك بــأنهــم كانـوا يكفـر‬
ّ‫ون بــأنــهـم كانـوا يكفرون بـأيات هللا ويقتلـــون النبيين بغير الحق ذالك بــما عـصـوا‬
.(61 : ‫)الـــبــــقرة‬
‫وكـانــــوا يعتدون‬
“…lalu ditimpakanlah kepda mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat
kemurkaan dari Allah. Hal itu terjadi karena mereka karena mereka selalu mengingkari
ayat-ayat Allah. Hal itu terjadi karena mereka karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat
Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Demikian itu terjadi karena
mereka selalu berbuat durhaka dan melampui batas”.
Banyak anjuran-anjuran Al-Qur’an maupun Sunnah dan fatwa-fatwa Ulama agar
ketiga penyakit sosial tersebut ditanggulangi, agar dapat mewujudkan kesejahteraan yang
sebenarnya.
III.
PENUTUP
Meningkatkan kepekaan sosial yang diterjemahkan dalam upaya memecahkan
problem ummat, terutama penyantunan terhadap fakir miskin, anak yatim piatu dan orangorang yang membutuhkan uluran tangan. Dari semua yang dibahas di atas, membuktikan
bahwa Islam menginginkan sekali terciptanya kesejahteraan sosial di dunia ini (dan juga di
akhirat tentunya). Bukan hanya kesejahteraan jasmani, namun juga rohani. Karena itu,
untuk mencapai kehidupan yang sejahtera, hal yang paling dekat yang bisa dilakukan adalah
beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta berusaha untuk mencapai kesejahteraan diri
sendiri. Setelah itu adalah bersikap adil orang lain. Maka kesejahteraan sosial akan tercipta
dengan sendirinya.
DAFTAR PUSTAKA
www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/IslamNegaraKesejahteraan.pdf
http://www.unjabisnis.net/kesejahteraan-sosial-menurut-islam.html
de-donuts.blogspot.com/2010/11/kesejahteraan-sosial-menurut-islam.html
http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/makna-kesejahteraan-sosial-dalam-islam.html
http://hizbut-tahrir.or.id/2011/07/14/kesejahteraan-dalam-islam/
hippoprayogo.blogspot.com/2011/11/kesejahteraan-sosial.html
makassar.tribunnews.com/2012/12/14/konsep-kesejahteraan-dalam-islam
wwwgats.blogspot.com/2009/07/negara-kesejahteraan-dalam-pandangan.html
Download