MEREKA YANG AKAN MEWARISI SURGA FIRDAUS

advertisement
MEREKA YANG AKAN MEWARISI SURGA FIRDAUS
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang
yang khusuk dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari
(perbuatan) dan (perkataan) yang tiada berguna. Dan orang-orang yang
menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali
isteri-isteri mereka dan budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu
maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang
yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orangorang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang-orang yang akan
mewarisi. (yakni) yang akan mewarisi Surga Firdaus. Mereka kekal di
dalamnya” (Al-Mu’minun ayat 1-11).
Tujuh buah sifat yang menjadikan orang-orang yang melakukannya
beruntung:
Iman dan keimanan adalah buah hati yang baik yang tertanam kuat di
dalam jiwa seseorang. Ia berawal dari kebiasaan melakukan yang baik-baik,
lalu memahaminya dan terus melakukannya dengan ilmu. Semakin
bertambah ilmu yang dia miliki terhadap apa yang diimani dan diyakininya
itu, semakin dalam pula ia melakukan dan melaksanakan segala perbatannya
itu.
Keimanan seseorang dapat dipengaruhi oleh dunia luar atau
lingkungannya. Bila dalam lingkungan keluarganya baik, beriman, selalu
melakukan kegiatan-kegiatan yang baik-baik, maka situasi itu akan
mempengaruhi keadaan jiwa seseorang. Begitu pula sebaliknya, bila situasi
lingkungan keluarga seseorang itu selalu melakukan kegiatan-kegiatan yang
buruk, maka akan berpengaruh pula pada keadaan jiwa seseorang. Maka
tidak heran bila, lingkungan yang baik akan menghasilkan produk manusia
baik, begitu pula, lingkungan yang buruk akan menghasilkan produk manusia
yang buruk. Hal ini terjadi secara mayoritas, walaupun tidak selalu begitu
1
adanya. Sebagai contoh; Nabi Musa di pelihara oleh situasi dan lingkungan
Firaun yang buruk, namun lingkungan tersebut ternyata menghasilkan
produk manusia seperi Musa. Begitu pula, lingkungan Nabi Nuh yang baik
ternyata menghasilkan produk manusia seperti Kan’an yang tidak patuh
terhadap ajaran orang tuanya Musa. Dengan demikian, keimanan
terpengaruh dengan factor lingkungan, pemahaman dan ilmu serta factor
kebiasaan seseorang dalam melakukan suatu perbuatan.
Dalam surat Al-Mu’minun diatas, beruntunglah orang-orang yang
beriman (yaitu) orang-orang yang khusu’ dalam shalatnya. Kekhusu’-an shalat
seseorang berangkat dari keimanan, pengetahuan tentang shalat itu sendiri
dan kebiasaan ia melakukan shalat sejak usia dini. Kebiasaan melakukan
shalat sejak usia kanak-kanak ditambah dengan pengetahuan ia terhada
shalat yang semakin hari terus berkembang, akan memabawa ia kepada nilainilai kekhusukan. Dan orang-orang seperti nilah yang akan beruntung di
kemudian hari.
Begitu pula keberuntungan yang disebutkan oleh surat al-mu’minun
di atas ditujukan pula bagi mereka yang menjauhkan diri dari perbuatan dan
perkataan yang tidak berguna. Perbuatan dan perkataan yang tidak berguna
itu banyak sekali macamnya dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebagai
contoh perbuatan menipu, berbohong, mencela orang lain, membiarkan
anak-anak yatim, menghina orang, hasud, dan banyak lagi perbuatanperbuatan yang tidak berguna lainnya. Begitu pula contoh-contoh perkataan
yang tidak baik untuk dilakukan seperti, menyebut dengan kata-kata kotor,
memarahi orang yang tidak jelas kesalahannya, membicarakan aib orang lain,
berkata tidak sopan terhadap orang yang lebih tua usianya dan banyak lagi.
Orang-orang yang seperti ini, tidak akan beruntung di dunia juga di akhirat
kelak.
Orang-orang yang beruntung selanjutnya adalah orang-orang yang
menunaikan zakat. Zakat adalah suatu bentuk toleransi harta miliki seseorang
kepada orang lain yang diasumsikan berhak untuk mendapatkan bagian dari
harta tersebut. Dan dalam Islam, bentuk ketoleranan seseorang terhadap
harta milik yang telah didapat dari usaha yang halalnya itu, memiliki nilai
2
wajib yang perlu untuk dikeluarkan pada waktu-waktu tertentu. Jadi ada
saatnya, ada waktunya, berbeda dengan shadaqah dan pemberianpemberian yang lainnya.
Zakat, adalah upaya agama dalam memaksa umat-umatnya untuk
mampu merasakan sesamanya yang tidak mampu yang hidup disekeliling
kehidupannya. Upaya pemaksaan agama terhadap harta yang didapat
seseorang dari usahanya ini memiliki indikasi pendidikan, artinya memaksa
seseorang untuk selalu berempati terhadap sesamanya. Dan mekanisme
pemaksaan ini ditujukan agar kemudian seseorang menjadi kebiasaan
melakukan zakat. Sebab apabila seseorang sudah terbiasa melakukan zakat
tersebut, perasaan keterpaksaan yang dianjurkan oleh agama itu, tidak akan
lagi menjadi “pemaksaan ataupun keterpaksaan”, akan tetapi akan menjadi
suatu kewajiban yang disadari oleh hati dan jiwa yang bersih, hati dan jiwa
yang baik yang malah kemudian ia akan melakukan infaq dan shadaqah
sebagai bentuk kesadaran penuh dan keikhlasan sebagai manusia yang wajib
dan layak untuk saling membagi, wajib dan layak untuk saling mengasihi dan
menyayangi antar sesama. Inilah yang dimaksudkan dengan zakat sebagai
rukun agama yang ketiga. Yang demikian itulah yang disebutkan beruntung
oleh surat al-Mu’minun di atas.
Selanjutnya, yang disebutkan beruntung itu adalah orang yang
menjaga kemaluannya kecuali terhadap isteri-isteri dan budak-budak
mereka. Pada prinsifnya larangan terhadap seseorang untuk menjaga
kemaluannya itu termasuk pada pola dan mekanisme pengaturan keturunan
dalam sebuah keluarga dan rumah tangga. Bila setiap orang dibebaskan
begitu saja untuk bisa berhubungan dengan siapa saja yang ia sukai dan ia
senangi, maka bagaimana jadinya struktur keturunan yang akan terjadi.
Mungkin akan muncul kemudian pertanyaan, anak siapa ini? Bapaknya yang
mana? Ibunya yang mana? Adik kakaknya sekarang dimana? Dan siapa
selanjutnya yang menanggungi biaya dan beban mereka? Keadaannya akan
menjadi kacau. System waris-mewarisi akan pudar dan mungkin tidak akan
pernah ada sebab setiap orang tidak akan jelas bapak dan ibunya yang mana
bila semuanya bebas berhubungan. System pernikahan sebagai mekanisme
3
hubungan dan pergaulan dalam rumah tanggapun akan hilang. Semua orang
akan melakukan suatu hubungan pasti diluar system dan mekanisme
pernikahan. Mereka akan melakukan hubungan kapan dan dimana mereka
mau saja. Kacau, kacau jadinya.
Menyangkut persoalan diatas, agama memberikan toleransi kepada
umatnya yaitu membolehkan atau mengizinkan melakukan hubungan suamiisteri terhadap budak-budak yang mereka miliki. Budak-budak yang dimiliki
ini adalah bentuk harta yang hak dan kewajibannya dijamin dan ditanggung
oleh orang yang memilikinya itu. Dengan demikian, ia berhak atas budakbudak itu.
Namun di zaman sekarang, dimana system perbudakan sudah tidak
ada dan tidak terjadi lagi di negeri ini. Apalagi di Indonesia, maka klausul
tentang bolehnya melakukan hubungan terhadap budak itu dengan
sendirinya sudah tidak ada lagi, tidak berlaku lagi.
Ada beberapa tanggapan bahwa budak itu identic dengan pembantu.
Bahkan ada yang mencoba untuk memahaminya seperti itu. Artinya bahwa
para pembantu yang kita bayar untuk suatu tugas pekerjaan dan para
pembantu tersebut dibayar, digaji, merekapun boleh dan diijinkan untuk
diperlakukan seperti para budak-budak dalam surat al-Mu’minun diatas.
Pemahaman seperti ini jelas-jelas salah dan menyimpang. Seringkali kita
mendengar para TKI dan TKW yang bekerja ke timur tengah dan Arab Saudi
yang diperlakukan layaknya isteri-isteri mereka dan pada akhirnya pulang ke
tanah air membawa anak dari hasil hubungan dengan majikannya.
Pemahaman seperti ini masih terjadi di wilayah timur tengah dan khususnya
Saudi Arabia dimana Islam berawal turun diwilayah ini. Dimana sejarah
perbudakan pernah terjadi di daerah Arab ini, berbeda dengan dinegerinegeri lain dimana tidak pernah mengalami system perbudakan di wilayah
dan negerinya. Pemahaman ini akan sering terjadi bahkan mungkin masih
melekat diantara masyarakatnya. Maka memahami pembatu sama dengan
budak yang ia miliki dan bebas ia pergauli.
Beruntunglah orang-orang yang memelihara amanat dan janji-janji
yang dipikulnya itu dilaksanakan dan ditunaikan dengan seyogyanya.
4
Seseorang yang diberikan amanat lalu ia menunaikan amanat itu dengan baik
dan jujur, maka ia akan beruntung dimata Allah dan surga imbalannya. Begitu
pula orang yang telah memiliki janji dan lantas ia mengerjakannya sesuai
dengan janjinya itu, ia pun termasuk orang yang akan beruntung. Orangorang seperti ini sangat sulit sekali kita temukan di zaman sekarang. Terlalu
sering kita diperlihatkan di media televisi dimana hampir setiap saat kita
ditontonkan kepada kasus-kasus penipuan, kasus manipulasi, kasus korupsi
dan banyak lagi perbuatan-perbuatan hiyanat (tidak amanat) ini kita saksikan
di media. Perbuatan tidak amanah ini sebagian besarnya dilakukan oleh
orang-orang yang pintar kemampuan akademisnya. Sebagiannya lagi
dilakukan oleh orang-orang kaya yang hartanya melimpah dimana-mana.
Bahkan perbuatan tidak amanah ini tidak sedikit dilakukan oleh para pejabat
dan orang-orang yang memiliki strata social yang tinggi bahkan popular di
tengah-tengah masyarakat. Amanat yang dipikulnya ternyata dilaksanakan
secara hiyanat. Janji-janji yang dilontarkan, ternyata inkar mereka lakukan.
Amanah dan janji setia ternyata menjadi barang langka di negeri ini. Dan
inilah tanda-tanda ketidakberuntungan kelak dikemudian hari.
Semua tindakan dan perbuatan baik yang telah dikemukakan diatas,
dapat terus terlestarikan sampai akhir ajal bila terus dipelihara dan
dibentengi dengan shalat. Begitu pula tindakan dan perbuatan buruk yang
telah diungkapkan pula diatas, akan lambat bertahap hilang bahkan tidak
akan dilakukan kembali dikemudian hari bila terus dikikis oleh niat dan shalat.
Shalat adalah bentuk komunikasi kita dengan Yang Maha Tunggal, Yang Maha
Kuasa dan Maha Kasih kepada umat-Nya. Komunikasi yang dibangun dalam
shalat tersebut dilakukan dengan sepenuh hati, ikhlas menghamba dan
pasrah terhadap apapun yang terjadi demi sebuah hikmah dan perbaikan diri
kelak dalam kehidupannya. Semuanya mungkin terjadi dan bisa terjadi bila
Allah menghendakinya. Allah Maha Kuasa terhadap segalanya di muka bumi
ini. Kepasrahan diri (shalat) ini betul-betul dilakukan dan dihayati menjadi
suatu perbuatan sehari-hari pada setiap waktu dan tempat serta keadaan.
Shalat adalah pilar, shalat adalah benteng, shalat adalah tunduk dan patuh
pada realitas. Bila seseorang sudah mampu menghayati shalatnya, maka ia
5
akan mampu mengamalkan kehidupannya. Dan orang-orang seperti inilah
yang akan mewarisi surga firdaus dan kekal di dalamnya. Insya Allah, wallahu
‘alam bisshawab…
6
Download