AIDS

advertisement
BAB VI
OBAT LAIN - LAIN
A. HIV dan Anti AIDS
1. Pendahuluan
Acquired Immune Deficiency Syndrome atau AIDS merupakan masalah global
yang mulai melanda dunia sejak awal tahun 80-an. AIDS dapat diartikan sebagai sindroma
(kumpulan gejala) penyakit yang disebabkan oleh rusak atau menurunnya sistem kekebalan
tubuh. Rusak atau menurunnya sistem kekebalan tubuh disebabkan oleh infeksi virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus). AIDS bukan merupakan penyakit keturunan.
Dengan melemahnya sistem kekebalan, penderita sangat mudah terkena serangan
penyakit yang ringan sekalipun. Hingga kini belum ada obat yang ditemukan untuk
melawan secara efektif penyakit ini. Ada beberapa jenis obat yang sudah digunakan untuk
melawan penyakit ini, diantaranya yaitu AZT, DDI, DDC. Namun efeknya hanya untuk
menahan laju HIV menghancurkan sistem kekebalan tubuh penderita dan belum mampu
mematikan secara total virus ini.
Di Indonesia menurut data Direktorat Jenderal Peyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan, Depkes RI, hingga akhir Desember 2001 tercatat 2.575 kasus HIV-AIDS,
ditambah 213 kasus baru pada bulan yang sama, sehingga total kasus HIV-AIDS sampai
31 Desember 2001 sebanyak 2.788 kasus.
2. Cara Kerja Virus HIV
Human Immunodeficiency Virus termasuk golongan retro virus. Retro virus
adalah virus yang dapat berkembang biak dalam darah manusia dan memiliki kemampuan
mengcopy cetak biru materi genetik (DNA-RNA) mereka di dalam materi genetik sel-sel
manusia yang ditumpangi. Dengan proses ini HIV dapat mematikan sel-sel darah putih
(khususnya limfosit atau sel T-4 atau sel CD-4). HIV sangat kecil ukurannya, lebih kecil
daripada seperseribu tampang sehelai rambut. Virus ini bentuknya seperti binatang bulu
babi (yaitu binatang laut) yang berbulu tegak dan tajam.
Gambar Virus HIV.
Bagaimana tepatnya proses HIV melemahkan sistem kekebalan (imunitas) masih
diselidiki. Menurut teori yang paling banyak diterima, HIV langsung menyerang sel darah
putih. Enzim yang ada pada tonjolan bagian luar HIV menempel dan merusak dinding sel
darah putih dan akhirnya, virus tersebut masuk ke dalamnya. RNA (Ribo Nucleic Acid)
virus akan menempel pada DNA (Deoksiribo Nucleic Acid) sel darah putih, lalu sel darah
58
putih akan pecah, dan virusnya pun akan memecah diri lalu mencari sel darah putih
lainnya.
Karena serangan virus HIV, lambat laun jumlah sel darah putih yang sehat
semakin berkurang dan akhirnya sistem kekebalan menjadi lumpuh. Orang yang sel darah
putihnya sudah terinveksi HIV, dapat dipastikan yang bersangkutan sudah memiliki
antibodi spesifik terhadap HIV dan ia sudah digolongkan mengidap HIV.
3. Tahap dan Gejala AIDS
Gejala-gejala AIDS baru bisa dilihat pada seseorang yang tertular HIV sesudah
masa inkubasi. Masa inkubasi adalah satu periode waktu antara masuknya virus HIV ke
dalam darah (awal infeksi) sampai dengan timbulnya gejala-gejala penyakit AIDS. Masa
inkubasi berkisar 5 sampai 10 tahun setelah terinfeksi.
Selama masa inkubasi jumlah HIV dalam darah terus bertambah sedangkan
jumlah sel darah putih semakin berkurang. Kekebalan tubuhpun semakin rusak jika
jumlah sel darah putih kian sedikit.
Masa inkubasi terdiri dari beberapa tahap, yaitu :
Tahap Pertama
Disebut masa jendela atau window period yaitu tenggang waktu pertama setelah HIV
masuk ke dalam aliran darah. Berlangsung hingga 6 bulan. Pada tahap ini test HIV
menunjukkan hasil negatif. Hal ini karena tes yang mendeteksi antibodi HIV belum
dapat menemukannya, sehingga hasilnya negatif. Biasa disebut negatif palsu karena
orang yang bersangkutan sebenarnya sudah terinfeksi. Pada kondisi ini penderita sudah
dapat menularkan HIV kepada orang lain.
Tahap Kedua
Disebut kondisi asimptomatik, yaitu suatu keadaan yang tidak menunjukkan gejalagejala walaupun sudah terinfeksi HIV. Kondisi ini dapat berlangsung 5-10 tahun
tergantung sistem kekebalan tubuh penderita. Pada tahap ini penderita bisa menularkan
kepada orang lain.
Tahap Ketiga
Disebut dengan penyakit yang terkait dengan HIV (HIV related illness), ditandai
dengan gejala-gejala awal penyakit. Gejala-gejalanya antara lain :

pembesaran kelenjar limfe / kelenjar getah bening

hilang selera makan

berkeringat berlebihan pada malam hari

timbul bercak-bercak di kulit

diare terus menerus

flu tidak sembuh-sembuh
Tahap ini dapat berlangsung sekitar 6 bulan sampai 2 tahun.
Tahap Keempat
Disebut masa AIDS. Ditandai dengan jumlah sel darah putih (limfosit / sel T-4) kurang
dari 200 / mikroliter. Kondisi ini ditandai dengan munculnya berbagai penyakit,
terutama penyakit yang disebabkan oleh infeksi oportunistik (TBC, Pneumonia,
Gangguan syaraf, Herpes, dll).
4. Penularan HIV
Kondisi yang diperlukan untuk terjadi penularan virus HIV adalah bahwa virus
HIV harus masuk ke aliran darah. HIV sangat rapuh dan cepat mati di luar tubuh. Virus ini
juga sensitif terhadap panas dan tidak tahan hidup pada suhu di atas 60 0C.
59
Untuk tertular harus ada konsentrasi HIV yang cukup tinggi. Di bawah
konsentrasi tertentu, tubuh manusia cukup kebal HIV sehingga tidak terjadi infeksi.
HIV ada di hampir semua cairan tubuh manusia seperti keringat, air ludah, air
mata, darah, cairan sperma, cairan vagina. HIV dalam air ludah, air mata dan keringat
konsentrasinya tidak cukup tinggi untuk dapat menularkan HIV. Cairan yang dapat
menularkan hanyalah darah, cairan sperma dan cairan vagina yang mengandung HIV.
Penularan dapat terjadi jika salah satu dari ketiga cairan tersebut masuk ke dalam
aliran darah seseorang. Penularan HIV melalui :
(a) cara seksual.
hubungan seksual (homoseks atau heteroseks) yang tidak aman dengan orang yang
terinveksi HIV.
(b) cara parenteral
 transfusi darah yang tercemar HIV
 menggunakan jarum suntik, tindik, tato atau alat lain yang dapat menimbulkan
luka yang telah tercemar HIV secara bersama-sama dan tidak di sterilkan.
(c) cara perinatal
dari ibu hamil yang terinfeksi HIV kepada anak yang dikandungnya.
5. Mengurangi Risiko Penularan
Cara mengurangi risiko penularan infeksi HIV adalah dengan tidak melakukan
kegiatan berisiko, yaitu menjaga agar jangan sampai cairan tubuh yang sudah tercemar
HIV masuk ke dalam tubuh. Cara-cara tersebut adalah antara lain :
(a) Bagi yang belum aktif melakukan kegiatan seksual (belum menikah):
Tidak melakukan hubungan seks sama sekali.
(b) Bagi yang sudah aktif melakukan kegiatan seksual (sudah menikah)
 hubungan dengan mitra tunggal
 menggunakan alat kontrasepsi (misal kondom)
 jika memiliki Penyakit Menular Seksual (PMS), segera diobati.
(c) Hanya melakukan transfusi darah yeng bebas HIV
(d) Mensterilkan alat-alat yang dapat menularkan
 jarum suntik
 tindik
 pisau cukur
 tatto, dll
(e) Ibu pengidap HIV agar mempertimbangkan kembali jika ingin hamil
6. Sterilisasi Alat
Penularan HIV dapat melalui alat kesehatan yang tercemar virus ini. Agar
menghindari risiko penularan maka perlu dilakukan sterilisasi terhadap alat-alat tersebut.
Sterilisasi alat dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut :
(a) Natriumhipochlorit (0,5%), Ethanol (70%), dan NPO4 (0,5%) dapat membantu
menahan perkembangan HIV dalam waktu satu menit.
(b) H2O2 (0,3%), Lisol (0,5%), Isopropilalkohol (70%), efektif menahan
perkembangan HIV dalam waktu 2-10 menit.
(c) Amonium chlorida kuartener (0,08%) efektif menahan HIV dalam waktu
10 menit.
(d) Nonoksinol-9 (surfaktan yang bersifat spermicid) dapat memperkuat fungsi
kondom mencegah penularan HIV.
(e) Paraformaldehid (0,5%), efektif menahan HIV dalam waktu 25 menit; formalin
(1:4), dan Glutaraldehid (0,1%) efektif dalam waktu 1 jam.
60
(f) HIV tidak sensitif terhadap sinar gamma (diperlukan dosis 10 kali lipat dibanding
untuk sterilisasi makanan), dosis sinar UV jauh lebih tinggi dibutuhkan untuk
membuat HIV inaktif di dalam ruang operasi dan laboratorium.
(g) Merebus alat dengan temperatur 100 0C juga akan dapat membunuh virus HIV.
7. Pengobatan
Hingga saat ini masih belum ditemukan obat –obat yang dapat melawan virus
HIV secara efektif. Beberapa obat mulai dikembangkan, cukup membantu meskipun tidak
dapat mengatasi secara total. Farmakoterapi diberikan masih sebatas membantu
memperlambat rusaknya daya tahan tubuh seseoarang dan memperlambat perkembangan
virus.
Obat-obat golongan retro virus ini sayangnya hingga saat ini masih belum
diproduksi di dalam negeri. Obat-obat tersebut adalah :
Nama Generik
Nama Dagang
Zidovudin (AZT) Retrovir
Didanosin (ddl)
Videx
Zalsitabin (ddC)
Stavudin (d4T)
Zerit
Lamivudin (3TC) Epivir
Inhibitor HIV Protease :
Saquinavir
Invirase
Ritonavir
Norvir
Indinavir
Crixivan
Sediaan
Kapsul 100 mg
Tablet 50mg, 100mg
Produsen
Fahrenheit
Bristol Myers
Kapsul 30mg, 40mg
Bristol Myers
B. Kortikosteroida
1. Pendahuluan
Terdapat dua sistem pengaturan fungsi tubuh untuk menyesuaikan dan
mempertahankan diri terhadap perubahan pengaruh lingkungan agar keadaannya selalu
konstan dan seimbang (homeostasis), yakni melalui pengaturan oleh Sistem Saraf Vegetatif
(Otonom) dan Sistem Kelenjar Endokrin.
Kelenjar endokrin adalah kelenjar yang mengeluarkan hasil sekresinya (berupa
hormon) langsung ke dalam sistem pembuluh darah, karena tidak mempunyai saluran atau
kelenjar buntu. Ada tiga bentuk struktur kimia hormon yaitu Hormon Peptida/protein
(kelenjar pankreas, hipotalamus), Hormon Asam Amino (Tirosin, Adrenalin / Noradrenalin)
dan Hormon Steroid (Estrogen, Progesteron dan Kortikosteroid).
Kortikosteroid dan hormon
kelamin
(androgen
dan
estrogen) dihasilkan oleh
kelenjar anak ginjal (adrenal)
bagian korteks
(kulit).
Sedangkan kelenjar adrenal
bagian medulla (sumsum)
menghasilkan adrenalin dan
noradrenalin.
Kelenjar adrenal mensekresi 2 hormon kortikosteroid yaitu Glukokortikoid dan
Mineralokortikoid. Kedua kortikosteroid ini lazim disebut adrenokortikoid. Glukokortikoid
utama pada manusia adalah kortisol dan mineralokortikoid utama adalah aldosteron.
Kedua kortikosteroid ini disintesis dari kholesterol.
61
Perbedaaan kedua kortikosteroid ini disajikan pada tabel berikut :
Glukokortikoid
Kortisol
Metabolisme :
Karbohidrat, Protein dan Lemak
Mineral dengan mengatur
retensi Na dan K
ACTH (Adreno
Hormon)
Corticotropin
Perbedaan
Senyawa Utama
Efek utama
Sekresi dipengaruhi oleh
Mineralokortikoid
Aldosteron
Metabolisme :
Mineral
dengan
mengatur
retensi Na dan Sekresi K, H
Kadar Mineral (Na dan K) dan
Volume Plasma.
2. Mekanisme Kerja
Seperti hormon steroid lain,
adrenokortikoid
mengikat
reseptor sitoplasmik intraseluler
pada jaringan target. Ikatan
kompleks antara kortikosteroid
dengan reseptor protein akan
masuk ke dalam inti sel dan
diikat oleh kromatin. Ikatan
reseptor protein-kortikosteroidkromatin mengadakan transkripsi
DNA, membentuk mRNA dan
mRNA merangsang sintesis
protein spesifik.
Seperti telihat pada gambar di
samping.
3. Efek-efek Kortikosteroid
(a) Glukokortikoid
 Merangsang glikogenolisis (katalisa glikogen menjadi glukosa) dan
glikoneogenolisis (katalisa lemak / protein menjadi glukosa) sehingga kadar gula
darah meningkat dan pembentukan glikogen di dalam hati dan jaringan menurun.
Kadar kortikosteroid yang meningkat akan menyebabkan gangguan distribusi
lemak, sebagian lemak di bagian tubuh berkurang dan sebagian akan menumpuk
pada bagian muka (moonface), tengkuk (buffalo hump), perut dan lengan.
62
Glikogen
Siklus Krebs
(Siklus As. Sitrat)
Glikogenesis
Glikogenolisis
Glikolisis
As. Piruvat/
As. Laktat
Glukosa
Glikoneogenolisis
CO2+H2O+Tenaga
Glikoneogenesis
As. Lemak
+ Protein







Skema metabolisme glukosa, asam lemak
dan protein
Meningkatkan resistensi terhadap stress. Dengan meningkatkan kadar glukosa
plasma, glukokortikoid memberikan energi yang diperlukan tubuh untuk
melawan stress yang disebabkan, misalnya oleh trauma, ketakutan, infeksi,
perdarahan atau infeksi yang melemahkan. Glukokortikoid dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah dengan jalan meningkatkan efek vasokontriktor
rangsangan adrenergik pada pembuluh darah.
Merubah kadar sel darah dalam plasma. Glukokortikoid menyebabkan
menurunnya komponen sel-sel darah putih / leukosit (eosinofil, basofil, monosit
dan limfosit). Sebaliknya glukokortikoid meningkatkan kadar hemoglobin,
trombosit dan eritrosit.
Efek anti inflamasi. Glukokortikoid dapat mengurangi respons peradangan
secara drastis dan dapat menekan sistem imunitas (kekebalan).
Mempengaruhi komponen lain sistem endokrin. Penghambatan umpan balik
produksi kortikotropin oleh peningkatan glukokortikoid menyebabkan
penghambatan sintesis glukokortikoid lebih lanjut.
Efek anti alergi. Glukokortikoid dapat mencegah pelepasan histamin.
Efek pada pertumbuhan. Glukokortikoid yang diberikan jangka lama dapat
menghambat proses pertumbuhan karena menghambat sintesis protein,
meningkatkan katabolisme protein dan menghambat sekresi hormon
pertumbuhan.
Efek pada sistem lain. Hal ini sangat berkaitan dengan efek samping hormon.
Dosis tinggi glukokortikoid merangsang asam lambung dan produksi pepsin dan
dapat menyebabkan kambuh berulangnya (eksaserbasi) borok lambung (ulkus).
Juga telah ditemui efek pada SSP yang mempengaruhi status mental. Terapi
glukokortikoid kronik dapat menyebabkan kehilangan massa tulang yang berat
(osteoporosis). Juga menimbulkan gangguan pada otot (miopati) dengan gejala
keluhan lemah otot.
(b) Mineralokortikoid
Efek mineralokortikoid mengatur metabolisme mineral dan air. Mineralokortikoid
membantu kontrol volume cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit (terutama Na dan
K), dengan jalan meningkatkan reabsorbsi Na+, meningkatkan eksresi K+ dan H+.
Efek ini diatur oleh aldosteron (pada kelenjar adenal) yang bekerja pada tubulus
ginjal, menyebabkan reabsorbsi natrium, bikarbonat dan air. Sebaliknya, aldosteron
menurunkan reabsorsi kalium, yang kemudian hilang melalui urine. Peningkatan
63
kadar aldosteron karena pemberian dosis tinggi mineralokortikoid dapat
menyebabkan alkalosis (pH darah alkalis) dan hipokalemia, sedangkan retensi
natrium dan air menyebabkan peningkatan volume darah dan tekanan darah.
4. Indikasi Pemberian Kortikosteroid
(a) Terapi pengganti (substitusi) pada insufisiensi adrenal primer akut dan kronis
(disebut Addison’s disease), insufisiensi adrenal sekunder dan tersier.
(b) Diagnosis hipersekresi glukokortikoid (sindroma Cushing).
(c) Menghilangkan gejala peradangan : peradangan rematoid, peradangan tulang sendi
(osteoartritis) dan peradangan kulit, termasuk kemerahan, bengkak, panas dan
nyeri yang biasanya menyertai peradangan.
(d) Terapi alergi. Digunakan pada pengobatan reaksi alergi obat, serum dan transfusi,
asma bronkhiale dan rinitis alergi
5. Efek Samping dan Komplikasi
Efek samping terjadi umumnya pada terapi dosis tinggi atau penggunaan jangka
panjang kortikosteroida. Adapun efek samping dan komplikasi yang dapat terjadi meliputi
:
(a) Metabolisme glukosa, protein dan lemak; Atropi otot, osteoporosis dan penipisan
kulit.
(b) Elektrolit ; Hipokalemia, alkalosis dan gangguan jantung hingga terjadi gagal
jantung (cardiac failure).
(c) Kardiovaskular; Aterosklerosis dan gagal jantung
(d) Tulang; Osteoporosis dan patah tulang yang spontan
(e) Otot; Kelamahan otot dan atropi otot.
(f) SSP dan Psikis; Gangguan emosi, euforia, halusinasi, hingga psikosis.
(g) Elemen pembuluh darah; Gangguan koagulasi dan menurunkan daya kekebalan
tubuh (immunosupresi)
(h) Penyembuhan luka dan infeksi; Hambatan penyembuhan luka dan meningkatkan
risiko infeksi
(i) Pertumbuhan; Mengganggu pertumbuhan anak, kemunduran dan menghambat
perkembangan otak
(j) Ginjal; Nokturia (ngompol), hiperkalsiuria, peningkatan kadar ureum darah hingga
gagal ginjal.
(k) Pencernaan; Tukak lambung (ulcus pepticum).
(l) Pankreas; Peradangan pankreas akut (pankreatitis akut).
(m) Gigi; Gangguan email dan pertumbuhan gigi.
Timbulnya efek samping dan komplikasi terkait dengan beberapa faktor, yaitu :
(a) Cara pemberian
(b) Jumlah pemberian
(c) Lama pemberian
(d) Dosis pemberian
(e) Cairan yang diberikan
(f) Kadar albumin dalam darah
(g) Penyakit bawaan.
64
7. Obat-obat Kortikosteroid
Beberapa obat kortikosteroid disajikan pada tabel berikut :
Aktivitas 1)
Obat (Generik)
Contoh (Patent)
Glukokortikoid kerja
singkat (8-12 jam)
Hidrokortison
Kortison
Cortef
Cortone
1
0,8
1
0
1
0,8
Oral, suntikan, topikal
Oral, suntikan, topikal
Glukokortikoid kerja
sedang (18-36 jam)
Prednison
Prednisolon
Metilprednisolon
Triamsinolon
Fluprednisolon
Hostacortin
Delta-Cortef, Prelone
Medrol, Medixon
Kenacort, Azmacort
Cendoderm
4
5
5
5
15
0
4
5
5
7
0,3
0,3
0
0
0
Oral
Oral, suntikan, topikal
Oral, suntikan, topikal
Oral, suntikan, topikal
Oral, topikal
Celestone
Oradexon, Decadron
Dillar, Monocortin
25-40
30
10
10
10
0
0
0
Oral, suntikan, topikal
Oral, suntikan, topikal
Oral, suntikan
Florinef, Astonin
10
0
10
0
250
20
Oral, suntikan, topikal
Suntikan, pelet
Glukokortikoid kerja
lama (1-3 hari)
Betametason
Deksametason
Parametason
Mineralokortikoid
Fludrokortison
Desoksikortikosteron
AntiTopikal Retensi Na
Inflamasi
Bentuk Sediaan
Keterangan : Aktivitas 1) menggambarkan potensi relatif terhadap Hidrokortison.
65
Download