2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Logam Berat Miller (2004) dalam Mukhtasor (2006) mendefinisikan bahwa pencemaran merupakan sebaran penambahan pada udara, air, dan tanah, atau makanan yang membahayakan kesehatan, ketahanan atau kegiatan manusia atau organisme hidup lainnya. Pencemaran lingkungan hidup menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. Pengertian dari logam berat itu sendiri merupakan logam yang mempunyai berat lima gram atau lebih untuk setiap cm3. Pencemaran logam berat terhadap alam lingkungan merupakan suatu proses yang erat hubungannya dengan penggunaan logam tersebut oleh manusia. Pencemaran logam berat dapat terjadi pada daerah lingkungan yang bermacam-macam seperti udara, tanah/daratan, maupun air/lautan (Darmono 1995). Logam berat merupakan salah satu bahan pencemar yang berbahaya karena bersifat toksik jika dalam jumlah yang besar dan dapat mempengaruhi berbagai aspek dalam perairan baik aspek ekologis maupun aspek biologis. Keberadaan logam-logam dalam badan perairan dapat berasal dari sumber alamiah dan dari aktifitas manusia. Sumber alamiah masuk ke dalam perairan bisa dari pengikisan batuan mineral. Di samping itu partikel logam yang ada di udara karena adanya hujan dapat menjadi sumber logam dalam perairan. Adapun logam yang berasal dari aktifitas manusia dapat berupa buangan industri ataupun buangan dari rumah tangga (Fardiaz 1995). Faktor lingkungan perairan seperti pH, kesadahan, temperatur dan salinitas juga mempengaruhi daya racun logam berat. Penurunan pH air akan menyebabkan daya racun logam berat semakin besar. Kesadahan yang tinggi dapat mempengaruhi daya racun logam berat, karena logam berat dalam air yang berkesadahan tinggi akan membentuk senyawa kompleks yang mengendap dalam dasar perairan (Rochyatun & Rozak 2007). 5 Logam berat seperti timbal (Pb), kadmium (Cd) dan tembaga (Cu) merupakan zat pencemar yang berbahaya. Afinitas yang tinggi terhadap unsur S menyebabkan logam ini menyerang ikatan belerang dalam enzim, sehingga enzim bersangkutan menjadi tak aktif. Gugus karboksilat (-COOH) dan amina (-NH2) dapat bereaksi dengan logam berat. Kadmium, timbal, dan tembaga terikat pada sel-sel membran yang menghambat proses transformasi melalui dinding sel. Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat atau daya racun logam berat terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai berikut merkuri (Hg), arsen (As), kadmium (Cd), timah hitam (Pb), tembaga (Cu), dan seng (Zn) (Siregar & Murtini 2008). 2.1.1 Kadmium (Cd) Limbah yang mengandung banyak unsur kadmium umumnya berasal dari limbah industri electro-platiing, kendaraan, pigmen, peleburan logam, baterai, dan pestisida (Mukhtasor 2006). Pada perairan tercemar mencapai 10 mg/L (Bishop 1983 dalam Mukhtasor 2006). Kadmium (Cd) adalah logam berwarna putih keperakan menyerupai alumunium dan memiliki berat atom 112,41 g/mol dengan titik cair 321 oC dan titik didih 765 oC. Kadmium merupakan hasil sampingan dari pengolahan bijih logam seng (Zn), yang digunakan sebagai pengganti seng. Unsur ini bersifat lentur, tahan terhadap tekanan, memiliki titik lebur rendah serta dapat dimanfaatkan untuk pencampur logam lain seperti nikel, perak, tembaga, dan besi. Senyawa kadmium juga digunakan bahan kimia, bahan fotografi, pembuatan tabung TV, cat, karet, sabun, kembang api, percetakan tekstil dan pigmen untuk gelas dan email gigi (Sarjono 2009). Kadmium tergolong logam berat dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap grup sulfhidrid daripada enzim dan meningkat kelarutannya dalam lemak. Pada perairan alami yang bersifat basa, kadmium mengalami hidrolisis, terabsorpsi oleh padatan tersuspensi dan membentuk ikatan kompleks dengan bahan organik. Kadmium pada perairan alami membentuk ikatan kompleks dengan ligan baik organik maupun inorganik, yaitu: Cd2+, Cd(OH)+, CdCl+, CdSO4, CdCO3 dan Cd-organik. Ikatan kompleks tersebut memiliki tingkat kelarutan yang berbeda: Cd2+ > CdSO4 > CdCl+ > CdCO3 > Cd(OH)+ (Sanusi 2006). 6 Keracunan kadmium dapat bersifat akut dan kronis. Efek keracunan yang dapat ditimbulkannya berupa penyakit paru-paru, hati, tekanan darah tinggi, gangguan pada sistem ginjal dan kelenjar pencernaan serta mengakibatkan kerapuhan pada tulang (Efendi 2003). Nielsen dkk. (1977) dalam Sarjono (2009) membuktikan bahwa Cd menghambat enzim Na, K-ATPase dan menurunkan transport ion Na lewat insang (gill ephithelium) pada ikan (Sanusi 1985). Laws (1981) dalam Sarjono (2009) mengatakan bahwa sifat racun Cd terhadap hewan air berhubungan dengan tingkat kesadahan air. Sifat racun Cd terhadap ikan yang hidup dalam air laut berkisar antara 10-100 kali lebih rendah dari pada dalam air tawar yang memiliki tingkat kesadahan lebih rendah (Sanusi 1985). Kadmium hingga saat ini belum diketahui peranannya bagi tumbuhan dan makhluk hidup lainnya (Effendi 2003). Menurut Mukhtasor (2007) kandungan kadmium di laut terbuka dilaporkan berkisar 10-50 µg/L sementara di pantai berkisar 5-1000 µg/L. Sedangkan menurut Waldichuk (1974) dalam Darmono (2001) menyatakan konsentrasi logam berat Cd di dalam air laut secara almiah sebesar 0,11 µg/L dan di tanah umumnya 0,001-7000 µg/L. Sedangkan menurut McNeely dkk. (1979) dalam Effendi (2003) kadar kadmium pada perairan tawar alami sekitar 0,1 – 10 µg/L. Menurut Heinrichs dkk.(1980) dalam Darmono (2001) konsentrasi logam di dalam kerak bumi secara alamiah ialah 98 µg/Kg. Toksisitas Cd meningkat dengan menurunnya kadar oksigen dan kesadahan, dan meningkatnya pH dan suhu. Sedangkan toksisitas Cd turun pada salinitas dengan kondisi isotonis dengan cairan tubuh hewan bersangkutan. Hasil penelitian Engel, Sunda dan Fowler (1981) dalam Sanusi (1985) menjelaskan bahwa peningkatan salinitas mengurangi sifat racun Cd terhadap kehidupan hewan air. 2.1.2 Timbal (Pb) Cemaran timbal ke laut berasal dari buangan di wilayah pesisir dari daratan dan atmosfer. Limbah yang mengandung unsur timbal umumnya berasal dari limbah industri cat, pengecatan kapal, baterai, bahan bakar mobil, dan pigmen. Unsur Pb bersifat kronis dan kumulatif. Selain itu, senyawa timbal dalam bentuk organik lebih beracun daripada dalam bentuk anorganik (Mukhtasor 2006). 7 Timbal akan mengendap di sedimen dan dapat mengalami bioakumulasi pada organisme laut maupun pesisir (Mukhtasor 2006). Timbal adalah sebuah unsur yang biasanya ditemukan di dalam batubatuan, tanah, tumbuhan, dan hewan. Timbal 95% bersifat anorganik dan pada umumnya dalam bentuk garam anorganik yang umumnya kurang larut dalam air. Selebihnya berbentuk timbal organik. Timbal organik ditemukan dalam bentuk senyawa Tetra Ethyl Lead (TEL) dan Tetra Methyl Lead (TML). Jenis senyawa ini hampir tidak larut dalam air, namun dapat dengan mudah larut dalam pelarut organik, misalnya dalam lipid. Waktu keberadaan timbal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti arus angin dan curah hujan. Timbal tidak mengalami penguapan namun dapat ditemukan di udara sebagai partikel. Timbal merupakan sebuah unsur maka tidak mengalami degradasi (penguraian) dan tidak dapat dihancurkan. Timbal banyak dimanfaatkan oleh kehidupan manusia seperti sebagai bahan pembuat baterai, amunisi, produk logam (logam lembaran, solder, dan pipa), perlengkapan medis (penangkal radiasi dan alat bedah), cat, keramik, peralatan kegiatan ilmiah/praktek (papan sirkuit/CB untuk komputer) untuk campuran minyak bahan-bahan untuk meningkatkan nilai oktan. Konsentrasi timbal di lingkungan tergantung pada tingkat aktivitas manusia, misalnya di daerah industri, di jalan raya, dan tempat pembuangan sampah. Timbal banyak ditemukan di berbagai lingkungan sehingga timbal dapat memasuki tubuh melalui udara, air minum, makanan yang dimakan dan tanah pertanian (Darmono 2001). Public Health Service di Amerika Serikat menetapkan bahwa sumber-sumber air alami untuk masyarakat tidak boleh mengandung Pb lebih dari 50 µg/L (0,05 mg/L), sedangkan WHO menetapkan batas Pb di dalam air sebesar 100 µg/L (Fardiaz 1992 ). Pb pada perairan ditemukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Konsentrasi Pb di dalam air laut alamiahnya adalah sebesar 30 µg/L dan di dalam air tawar alamiahnya sebesar 3.000 µg/L (Waldichuk 1974 dalam Darmono 2001). Kadar Pb alami dalam tanah berkisar 2.000-200.000 µg/Kg dengan kandungan rata-rata 16.000 µg/Kg (Astuti 1997 dalam Nugraha 2006) Kadar dan toksisitas timbal di perairan dipengaruhi oleh kesadahan, pH, alkalinitas, dan kadar oksigen. Toksisitas timbal terhadap organisme akuatik 8 berkurang dengan meningkatnya kesadahan dan kadar oksigen terlarut (Efendi 2003). 2.1.3 Tembaga (Cu) Tembaga sering disingkat dengan Cu (Copper). Tembaga merupakan logam berat yang esensial bagi tumbuhan dan hewan. Pada tumbuhan termasuk algae, tembaga berperan sebagai penyusun plastocyanin yang berfungsi dalam transfor elektron dalam proses fotosintesis (Boney 1989 dalam Efendi 2003). Sumber alami tembaga adalah chalcopyrite (CuFeS2), copper sulfida (CuS2), malchite [Cu2(CO3)(OH)2], dan azurite [Cu3(CO3)(OH)2] (Novotny dan Olem 1994 dalam Effendi 2003). Tembaga masuk ke dalam perairan melalui buangan limbah industri dan dari atmosfer yang tercemar oleh asap pabrik tembaga, pelapisan logam, tekstil, dan pengecatan anti fouling pada kapal (Mukhtasor 2006). Kandungan Cu di samudra sekitar 1000 µg/L, tetapi di perairan yang tercemar bisa mencapai 11000 µg/L (Mukhtasor 2006). Menurut Waldichuk (1974) dalam Darmono (2001) konsentrasi logam Cu yang berada di dalam air laut alamiahnya sebesar 2000 µg/L dan di dalam air sungai alamiahnya sebesar 7000 µg/L. Kisaran normal kadar logam berat Cu dalam tanah menurut Lacatusu (1998) dalam Rahmawati (2006) adalah sebesar 1000-20000 µg/Kg. Di perairan alami tembaga (Cu) terdapat dalam bentuk partikulat, koloid dan terlarut. Fase terlarut merupakan Cu2+ bebas dan ikatan kompleks, baik dengan ligan inorganik (CuOH+, Cu2(OH)22+) maupun organik. Selain dengan ligan OH-, Cu membentuk ikatan kompleks dengan ligan inorganik lainnya yaitu dengan: karbonat (CO32-), nitrat (NO3-), fosfat (HPO42-), sulfat (SO42-), sulfida (SH-), klorida(Cl-) dan ammonia (NH3) yang bersifat basa dengan stabilitas berbeda-beda. Ikatan Cu–kompleks dengan ammonia dan sulfida tergolong stabil (Sanusi 2006). Bewer dan Yeats (1978) dalam Sanusi (2006) melaporkan bahwa sebesar 24% Cu yang terbawa oleh aliran sungai akan teradsorpsi oleh padatan tersuspensi dan mengendap di perairan estuari. Efektifitas adsorpsi oleh sedimen bergantung pada ukuran partikel, pH, salinitas dan kehadiran ligan organik maupun unsur Fe 9 dan Mn–oksida. Proses adsorpsi akan diikuti oleh proses desorpsi, dimana Cu akan kembali larut dalam badan air. 2.2 Parameter Lingkungan 2.2.1 Suhu Suhu merupakan salah satu faktor penting bagi kelangsungan hidup organisme dalam suatu ekosistem darat maupun perairan (Khazali 1998). Masingmasing organisme memiliki batas toleransi temperatur yang berbeda baik batas minimum maupun maksimum dalam siklus hidupnya. Suhu merupakan faktor pembatas penyebaran suatu spesies dalam hal mempertahankan kelangsungan hidup reproduksi, perkembangan dan kompetisi. Secara ekologi perubahan suhu menyebabkan perbedaan komposisi dan kelimpahan fitoplankton. Suhu di perairan dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu air berpengaruh terhadap sifat fisika, kimia, dan biologi perairan (Effendi 2003). Peningkatan suhu akan meningkatkan reaksi kimia, evaporasi dan votilisasi (Effendi 2003). Suhu merupakan salah satu parameter untuk mempelajari transportasi dan penyebaran polutan yang masuk ke lingkungan laut maupun sungai (Mukhtasor 2007). Kenaikan suhu tidak hanya akan meningkatkan metabolisme biota perairan, namun juga dapat meningkatkan toksisitas logam berat di perairan (Hutagalung 1984 dalam Sarjono 2009). 2.2.2 pH Derajat keasaman perairan payau relatif stabil antara 7–8,5 dan perubahan (fluktuasi) pH pun relatif kecil (Odum 1971). Ini menandakan bahwa perairan tersebut bersifat buffer (penyangga). Kadar CO2 akan berkurang oleh kegiatan fotosintesis dan akan bertambah karena respirasi, pH merupakan tingkat keasaman dari suatu perairan. Organisme perairan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam bertoleransi pH perairan. Kematian lebih sering diakibatkan karena pH yang rendah daripada pH yang tinggi. Batas toleransi organisme perairan terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi banyak faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan kation, jenis dan stadia organisme (Odum 1971). 10 Derajat keasaman (pH) merupakan fungsi dari kandungan CO2 yang terlarut dalam air. Derajat keasaman juga berpengaruh terhadap toksisitas suatu senyawa kimia (Effendi 2003). Nilai pH memiliki hubungan yang erat dengan sifat kelarutan logam berat. Pada pH alami laut logam berat sukar terurai dan dalam bentuk partikel atau padatan tersuspensi. Pada pH rendah, ion bebas logam berat dilepaskan ke dalam kolom air. Selain hal tersebut, pH juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Secara umum logam berat akan meningkat toksisitasnya pada pH rendah, sedangkan pada pH tinggi logam berat akan mengalami pengendapan (Kadang 2005). 2.2.3 Salinitas Salinitas merupakan jumlah garam zat-zat terlarut dalam 1 Kg air laut, dianggap semua karbonat (CO32-) telah diubah menjadi oksida, bromide, dan iodide diganti oleh klorida dan semua bahan organik telah teroksidasi secara sempurna. Menurut konsep Knudsen (1992) dalam Sanusi (2006) terdapat istilah lain yaitu klorinitas yang merupakan jumlah anion klor dalam garam yang terdapat dalam 1 Kg air laut, dianggap semua bromide dan ionida diganti klorida. Antara pH dan bikarbonat juga terdapat korelasi karena CO2 hasil respirasi bila bereaksi dengan air akan membentuk asam bikarbonat yang sifatnya asam. pH pada perairan estuaria juga dipengaruhi oleh salinitas (kandungan garam) (Effendi 2003). Sebaran vertikal salinitas terdiri dari beberapa lapisan, yaitu lapisan tercampur, lapisan haloklin, dan lapisan dalam. Lapisan tercampur adalah lapisan dengan perubahan nilai salinitas terhadap kedalaman yang tidak begitu besar. Lapisan ini ditandai dengan sebaran nilai salinitas yang cenderung homogen dengan ketebalan dapat mencapai antara 50-100 m. Lapisan haloklin mengalami perubahan nilai salinitas yang sangat cepat seiring bertambahnya kedalaman. Lapisan ini terletak mulai batas bawah lapisan homogen sampai kedalaman sekitar 600-1000 m. Lapisan dalam tersebar mulai batas bawah lapisan haloklin sampai ke dasar perairan dengan nilai salinitas yang relatif sama sampai dasar perairan (Effendi 2003). Sebaran horizontal salinitas, semakin menuju laut lepas maka salinitas semakin tinggi (Effendi 2003). Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan (evaporasi), curah hujan (presipitasi), 11 dan aliran sungai yang ada di sekitarnya (Effendi 2003). Sebaran salinitas di perairan Indonesia sangat dipengaruhi angin muson, baik secara vertikal maupun horizontal. Secara horizontal sebaran nilai salinitas berhubungan dengan arus yang membawa massa air, sedangkan secara vertikal berhubungan dengan tiupan angin yang menyebabkan gerakan vertikal. Sistem angin muson menyebabkan terjadinya musim hujan dan panas yang akhirnya berdampak pada variasi tahunan salinitas perairan. Perubahan musim selanjutnya mengakibatkan terjadinya perubahan sirkulasi massa air yang bersalinitas tinggi dengan massa air bersalinitas rendah. Salinitas dapat mempengaruhi keberadaan logam berat di perairan. Jika terjadi penurunan salinitas maka akan menyebabkan peningkatan daya toksik logam berat dan tingkat bioakumulasi logam berat semakin besar (Khazali 1998). 2.2.4 Oksigen terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu parameter penting dalam analisis kualitas air. Selain itu kemampuan air untuk membersihkan pencemaran juga ditentukan oleh banyaknya oksigen dalam air. Oksigen terlarut dibutuhkan oleh seluruh jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Selain itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin 2005). Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian serta semakin kecil tekanan atmosfer, maka kadar oksigen terlarut semakin kecil (Jeffries dan Mills 1996 dalam Effendi 2003). Peningkatan suhu sebesar 1°C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10% (Effendi 2003). Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (Effendi 2003). Di perairan tawar, kadar oksigen terlarut berkisar antara 15 mg/liter pada suhu 0 °C dan 8 mg/liter pada suhu 25 °C, sedangkan di perairan laut berkisar antara 11 mg/liter pada suhu 0 °C dan 7 mg/liter pada suhu 25 °C (McNeely dkk. 12 1979 dalam Effendi 2003). Kadar oksigen terlarut pada perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/liter. Oksigen terlarut dapat mempengaruhi keberadaan logam berat di perairan. Jika terjadi penurunan oksigen terlarut, maka akan menyebabkan peningkatan daya toksik logam berat dan tingkat bioakumulasi logam berat semakin besar (Effendi 2003).