Variasi Urutan nukleotida Daerah D-Loop DNA Mitokondria Manusia pada Dua Populasi Asli Indonesia Tenggara Heli Siti HM, M.Si., Gun Gun Gumilar, M.Si. 1) Dessy Natalia, Ph.D., Achmad Saifuddin Noer, Ph.D., 2) 1) Program Studi Kimia FPMIPA UPI 2) Program Studi FMIPA ITB Abstrak DNA mitokondria (mtDNA) manusia mudah mengalami mutasi sehingga memiliki laju polimorfisme yang tinggi. Daerah genom mtDNA yang memiliki laju polimorfisme tertinggi adalah D-Loop, yaitu daerah non penyandi. Penelitian ini merupakan bagian dari upaya untuk mendapatkan database varian normal mtDNA manusia Indonesia. Pada penelitian ini dilaporkan urutan nukleotida daerah D-Loop menggunakan metode direct sequencing untuk populasi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Beberapa tahapan yang dilakukan meliputi amplifikasi fragmen mtDNA dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dilanjutkan dengan sekuensing menggunakan metode dideoksi Sanger. Deteksi hasil PCR menggunakan elektroforesis untuk 9 sampel yang diamati memperlihatkan satu pita pada daerah 0,9 kb, dan hasil sekuensing seluruh sampel menghasilkan kurang lebih 7141 pb. Urutan nukleotida hasil sekuensing kemudian dibandingkan dengan urutan nukleotida daerah D-loop Cambridge (rCRS) sebagai standar. Hasil sekuensing menunjukkan adanya 53 variasi nukleotida pada daerah non penyandi dari 9 manusia Indonesia dengan jumlah mutasi yang terjadi berkisar antara 5 sampai 11 mutasi, namun tidak ditemukan mutasi spesifik untuk populasi tertentu. Meskipun demikian, hasil analisis homologi menunjukkan dua mutasi yang memiliki frekuensi tertinggi pada dua populasi manusia Indonesia, yakni mutasi insersi 310.1C dan mutasi transisi A263G. Munculnya kedua jenis mutasi tersebut pada kedua populasi mengindikasikan bahwa mutasi yang terjadi tidak bersifat spesifik terhadap populasi tertentu. Kata kunci : DNA mitokondria, direct sequencing, D-Loop, mutasi 1. Pendahuluan Salah satu organel yang ditemukan dalam sitoplasma dari setiap sel organisme eukariotik adalah mitokondria. Jumlah mitokondria dalam setiap sel berbeda tergantung pada sel dan fungsinya. Mitokondria mempunyai beberapa DNA tersendiri yang dikenal juga dengan DNA mitokondria (mtDNA) dan dapat membuat sejumlah proteinnya. mtDNA ini berbentuk sirkular dan berada dalam matriks, yang bisa mengandung 4-5 kopi DNA mitokondria. Berbeda dengan DNA inti, mtDNA tidak mengalami perubahan pada tiap generasi sehingga perubahan terjadi pada laju yang sangat lambat. Kenyataan ini kemudian digunakan untuk mempelajari evolusi manusia. Urutan lengkap genom mtDNA manusia mengandung 16.569 pb yang terdiri dari gen penyandi 12S dan 16S, 22 tRNA dan 13 protein sub unit kompleks enzim rantai respirasi [Anderson, 1981]. Dalam perkembangan studi genetika molekul selanjutnya, urutan nukleotida mtDNA yang ditemukan oleh Anderson ini dijadikan sebagai standar yang kemudian dikenal juga dengan urutan nukleotida Cambridge. 440 Penelitian terhadap mtDNA semakin berkembang karena beberapa kelebihan yang dimilikinya diantaranya : jumlah kopi sel yang banyak sehingga terdapat ratusan bahkan ribuan mtDNA dalam tiap sel manusia dan pola pewarisan yang bersifat maternal. DNA mitokondria hanya diturunkan dari garis keturunan ibu dan antara saudara kandung yang dihubungkan dengan garis keturunan ibu tanpa mengalami rekombinasi dengan mtDNA ayah [Holland, et al., 1993]. Berdasarkan kelebihan ini maka mtDNA juga dapat dijadikan sebagai referensi dengan menggunakan sampel dari garis keturunan ibu yang bersangkutan dalam kasus orang hilang atau korban musibah massal. Daerah yang mempunyai tingkat polimorfisme yang tinggi dalam mtDNA dikenal juga dengan daerah kontrol atau D-loop. Pada D-loop terdapat dua daerah hipervariabel yaitu daerah hipervariabel 1 (HV1) pada posisi 15.971 – 16.414 dan daerah hipervariabel 2 (HV2) pada posisi 15 – 389. Penelitian tentang kedua daerah ini terus berkembang, namun informasi tentang daerah HV2 yang tersedia masih sedikit sehingga diperlukan informasi yang lebih banyak tentang daerah ini. Beberapa penelitian yang telah dilakukan pada daerah D-Loop adalah analisis urutan nukleotida manusia Indonesia yang memiliki hubungan keluarga menurut garis keturunan ibu pada tiga dan tujuh generasi serta analisis daerah HV2 mtDNA manusia dari tiga dan tujuh generasi seketurunan ibu serta empat individu korban musibah Bali 1 Oktober 2002 [Ngili, 2004]. Pada penelitian ini dilakukan penentuan urutan nukleotida daerah D-Loop untuk populasi Indonesia Tenggara yang meliputi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) serta mutasinya. Sampel berupa sel rambut yang di lisis dan kemudian diamplifikasi secara in vitro dengan teknik PCR menggunakan primer M1 dan HV2R. Fragmen hasil PCR kemudian disekuensing dengan metode Dideoksi Sanger menggunakan Automatic DNA Sequencer. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang jenis-posisi dan jumlah mutasi daerah D-Loop, sekaligus memberi kontribusi terhadap penyusunan database mtDNA populasi Indonesia yang berdasarkan pada pola keteraturan genetik. 2. Bahan dan Metode Penelitian Dalam penelitian ini strategi yang dikembangkan meliputi dua metode utama yakni PCR, dan sekuensing. 2.1. PCR 2.1. 1. Penyiapan Templat Templat mtDNA yang akan diamplifikasi diperoleh langsung dari hasil lisis sel rambut menggunakan 20 L bufer lisis 10X (500 mM Tris – HCl pH 8,5 (Pharmacia Biotech), 10mM EDTA pH 8 (J.T. Baker), dan 5% Tween–20 (Merck)), 10 L enzim proteinase K 10 mg/mL (USB Corporation) dan ditambahkan ddH2O steril hingga volume 200 l. Campuran reaksi selanjutnya diinkubasi pada suhu 55 C selama 1 jam dalam inkubator (Waterbath-Grant Instrument Ltd) dan dilanjutkan dengan inaktifasi enzim proteinase K pada suhu 95 C selama 5 menit. Setelah inkubasi campuran reaksi disentrifugasi menggunakan alat mikrosentrifuga tipe 5417C (Eppendorf) pada 14.000g selama 3 menit kemudian diambil supernatannya yang selanjutnya digunakan sebagai templat untuk reaksi PCR. 2.1.2. Amplifikasi in vitro mtDNA Manusia Proses amplifikasi fragmen D-Loop mtDNA manusia menggunakan primer M1 dan HV2R. Campuran reaksi PCR dilakukan di dalam tabung 0,15 mL (Eppendorf), yang terdiri atas 5 L templat mt DNA hasil lisis, 0,5 L primer M 1 (20 pmol/L), 0,5 L primer HV2R (20 pmol/L), 2,5 L bufer PCR 10 x (Amersham life science: 500 mM KCl, 100 mM Tris-HCl pH 9,0 pada suhu 25 C, 1,0 % Triton X-100, 15 mM MgCl2), 441 0,15 L enzim Taq DNA Polymerase (5 unit/L, Amersham life science), 0,5 L campuran dNTP (Amersham life science) dan ditambah ddH2O steril sehingga volumenya mencapai 25 L. Proses PCR dilakukan dengan mesin Automatic thermal cycler (Perkin Elmer) sebanyak 30 siklus. Tahap awal dari proses PCR adalah tahap denaturasi awal yang dilakukan pada suhu 94 C selama 4 menit, kemudian masuk ke program siklus PCR dengan masing-masing siklus terdiri 3 tahap yaitu tahap denaturasi yang dilakukan pada suhu 94 C selama 1 menit, tahap annealing yang dilakukan pada suhu 50 C selama 1 menit dan tahap extention atau polimerisasi pada suhu 72 C selama 1,5 menit. Akhir dari semua siklus dilakukan tambahan proses polimerisasi pada suhu 72 C selama 4 menit. DNA hasil PCR disimpan pada suhu –20 C. 2.1.3. Analisis Hasil PCR Hasil amplifikasi dari proses PCR dianalisis dengan elektroforesis gel agarosa 1 % (b/v) menggunakan alat Mini sub TM DNA electrophoresis cell (Biorad). Komposisi gel agarosa dapat dibuat dengan melarutkan agarosa (Boehringer-Manheim) dalam bufer TAE 1 x (Merck : tris-asetat 0,04 M, EDTA 0,001 M pH 8,0). Larutan tersebut dipanaskan hingga agarosanya larut semua, lalu didinginkan hingga suhu larutan mencapai 50 – 60 C. Sebelum dituangkan ke dalam cetakan gel yang memiliki sisir sebagai pembentuk sumur gel, ditambahkan 3 L larutan EtBr 10 g/mL (Merck). Pada masing-masing sumur gel dimasukkan 25 L sampel hasil PCR yang telah dicampur dengan 3 L loading bufer (Merck : sukrosa 50 %, EDTA 0,1 M pH 8,0, bromfenol biru 0,1 % pH 8,0 ) [Sambrook et al., 1989]. Proses elektroforesis ini dilakukan dalam bufer TAE 1 x sebagai media penghantar arus pada tegangan 75 volt selama 25 menit. Marker atau penanda kontrol yang digunakan adalah pUC19/HinfI (Amersham Life Science) yang memiliki 5 pita (masing-masing berukuran 1419 pb, 517 pb, 396 pb, 214 pb, dan 75 pb). Hasil elektroforesis divisualisasi dengan lampu UV seri 9814-312 nm (Cole Parmer). Prediksi konsentrasi DNA dapat dilakukan dengan membandingkan ketebalan pita yang dianalisis terhadap pita-pita dari marker yang konsentrasinya telah ditentukan sebelumnya. 2.2. Sekuensing Sekuensing DNA merupakan tahapan akhir dalam menentukan urutan nukleotida fragmen hasil amplifikasi dengan PCR. Sekuensing dilakukan dengan metode Dideoksi Sanger menggunakan Automatic DNA Sequencer yang berdasarkan pada metode dye terminator labeling. Tahapan sekuensing DNA yang dilakukan pada penelitian ini meliputi : (1) penyiapan DNA templat, (2) proses amplifikasi melalui PCR dengan menggunakan primer universal, (3) pemurnian DNA, (4) elektroforesis, dan (5) pembacaan elektroforegram hasil sekuensing. 2.3. Pembacaan Elektroforegram Pembacaan hasil sekuensing dapat dilihat dari data elektroforegram yang menunjukkan masing-masing basa memperlihatkan warna dan tinggi puncak yang berbeda. Untuk basa A berwarna hijau, basa G berwarna hitam, basa C berwarna biru, dan basa T berwarna merah [Perkin Elmer, 1995]. 2.4. Analisis Urutan Nukleotida mtDNA Hasil Sekuensing Analisis data urutan fragmen D-Loop mtDNA manusia hasil sekuensing dilakukan dengan menggunakan program komputer DNAstar-versi 4. Setiap sampel mutasi dianalisis homologi terhadap urutan nukleotida yang sudah ada yaitu urutan Cambridge yang telah direvisi Andrew et al (rCRS) dan data mitomap. Hasil analisis ini diharapkan dapat melengkapi urutan mtDNA dan memberikan kontribusi tambahan terhadap data base mtDNA manusia. 442 3. Hasil dan Pembahasan 3.1.Penyiapan Templat Penyiapan templat DNA untuk PCR diawali dengan pengambilan sampel berupa sel rambut untuk sampel NTT dan NTB yang selanjutnya dilakukan lisis sel untuk mendapatkan DNA mitokondria. Penyiapan templat mtDNA dari sel rambut diperoleh langsung dari hasil lisis sel menggunakan prosedur standar (Sambrook, et al., 1989) tanpa melalui pemurnian terlebih dahulu. Supernatan hasil lisis pertama-tama di amplifikasi dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan menggunakan sepasang primer, M1 dan HV2R yang dapat mengamplifikasi fragmen dengan ukuran 0,9 kb. Tabel 3.1 Urutan nukleotida primer M 1 dan HV2R. 3.2. Hasil Amplifikasi Fragmen 0,9 kb mtDNA manusia dengan Teknik PCR Hasil PCR dilihat menggunakan elektroforesis gel agarosa 1% (b/v) dengan menggunakan pUC19/HinfI sebagai marker. Gambar elektroforesis sampel seperti terlihat pada gambar 3.1. Gambar tersebut memperlihatkan adanya fragmen DNA pada posisi 0,9 kb untuk 2 sampel yang menunjukan bahwa amplifikasi terjadi pada templat mtDNA dengan primer M1 dan HV2R. Begitu juga dengan 7 sampel lainnya yang juga menunjukan hasil yang sama. Fungsi kontrol positif dalam proses PCR ini adalah untuk mengetahui jalannya proses PCR. Munculnya pita pada kontrol positif membuktikan bahwa proses PCR berjalan dengan benar serta pita yang muncul pada sampel adalah pita dari fragmen D-loop. Hal ini diperkuat dengan diikutsertakannya kontrol negatif dalam proses PCR. Kontrol negatif dalam proses PCR bertujuan untuk mengetahui kemungkinan adanya kontaminan dalam campuran reaksi PCR. Tidak munculnya pita pada kontrol negatif membuktikan bahwa dalam campuran reaksi tidak terdapat kontaminan yang dapat mengganggu proses PCR. 1419 pb 517 pb Gambar 3.1. Fragmen hasil PCR. Lajur 3 dan 4 menunjukkan fragmen 0,9 kb sampel NT20 dan NB21. Lajur 1, marker DNA pUC19/HinfI. Kontrol negatif dan positif masing-masing ditunjukkan pada lajur 4 dan 5. Munculnya pita DNA pada sampel NT 20 dan NB 21 menunjukkan bahwa sel rambut dapat digunakan sebagai sumber mtDNA. Untuk sel rambut diambil bagian akar karena pada bagian akar ini terjadi pertumbuhan setiap saat sehingga diperkirakan pada bagian ini akan terdapat mtDNA yang lebih banyak dibanding pada bagian pangkal rambut. Deteksi yang sama untuk tujuh sampel yang lain menghasilkan hasil yang serupa yakni terdapat satu pita fragmen berukuran 0,9 kb standar pUC19/HinfI (gambar tidak ditampilkan). 3.2 Hasil Direct Sequencing DNA hasil PCR yang sudah dimurnikan dan ditentukan konsentrasinya di sekuensing menggunakan primer yang sama untuk proses PCR yaitu M1 dan HV2R. Gambar 3.2 memperlihatkan salah satu bentuk elektroforegram dari sampel yang disekuensing yang berasal dari sampel NT 20, sedangkan hasil sekuensing lengkap dari 8 sampel lainnya tidak ditampilkan. Jumlah nukleotida hasil sekuensing yang diperoleh bervariasi untuk tiap sampel mulai dari 800 pb sampai 876 pb. 443 Analisis terhadap daerah 0.9 D-Loop mtDNA dilakukan pada daerah 16024372 dan sebagai standar digunakan urutan nukleotida CRS (Cambridge Reference Sequence) Anderson yang telah di revisi oleh Andrew [Mitomap, 2005]. Untuk mengetahui urutan nukleotida yang mengalami mutasi dilakukan analisis menggunakan program seqman DNA star dengan menempatkan posisi nukleotida sampel sejajar dengan urutan nukleotida CRS. Pada program ini juga dapat dilihat bentuk tampilan elektroforegram urutan nukleotida sampel. Gambar elektroforegram yang diberi kotak menunjukan urutan nukleotida sampel yang berbeda dengan urutan nukleotida Cambridge (Gambar 3.2). Berdasarkan gambar 3.2 ditunjukkan bahwa pada posisi 73 terjadi mutasi transisi basa A menjadi sedangkan pada posisi 150 terjadi mutasi basa C menjadi T. keseluruhan adalah 53 jenis yang tersebar di daerah 16024-372. Secara lengkap mutasi pada setiap sampel ditunjukkan pada tabel 3.1. Analisis homologi sampel menunjukkan adanya mutasi insersi pada urutan basa nukleotida posisi 303-315 pada daerah D-loop yang menyebabkan ketidakstabilan poli-C. Jumlah rangkaian poli-C berbeda karena bervariasinya jumlah insersi yang terjadi sebelum dan setelah nukleotida T. Adanya rangkaian ini menyebabkan kesulitan pada saat pembacaan urutan nukleotida secara direct sequencing. Hal ini didasarkan pada prinsip kerja sekuensing yang hanya dapat membaca fragmen dominan saja (Gambar 3.3). Pada gambar tersebut diperlihatkan insersi pada urutan basa 303 dengan jumlah yang berbeda posisi menyebabkan perbedaan rangkaian C sebelum basa timin. Beberapa penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan fenomena ketidakterbacaan sampel yang mengadung poli-C di antaranya dilakukan oleh Levin. Melalui penelitiannya disimpulkan bahwa ketidakterbacaan sampel tersebut dengan direct sequencing disebabkan karena terdapatnya campuran heteroplasmi rangkaian poli-C dalam satu individu. Berdasarkan analisis mutasi daerah D-Loop mtDNA terhadap 9 sampel yang dianalisis, ditemukan beberapa jenis, posisi dan jumlah mutasi pada daerah ini. Jumlah mutasi terbanyak dari empat populasi sampel yang dianalisis adalah 11 mutasi sedangkan jumlah terkecil adalah 5 dengan jenis mutasi secara A73G Mutasi transisi C150T Mutasi transisi Gambar 3.2. Contoh tampilan elektroforegam mutasi daerah D-Loop mtDNA manusia dengan menggunakan Program Seqman 444 Tabel 3.1 menunjukkan bahwa mutasi yang terjadi pada sampel populasi Indonesia Tenggara bervariasi baik jenis maupun jumlahnya. Jenis mutasi yang terjadi diantaranya mutasi transversi, insersi dan delesi. Hasil analisis homologi menunjukkan dua mutasi yang memiliki frekuensi tertinggi pada dua populasi manusia Indonesia, yakni mutasi insersi 310.1C dan mutasi transisi A263G. Tabel 3.1. Jumlah Dan Jenis Mutasi Pada Empat Populasi Populasi Kode No Jenis Mutasi Sampel Sampel 1 NT10 T16314C; T16237C; A73G; A266G; 312.1C 2 NT16 T16102C; T16298C; T16314C; T16321C; T16369C; T16305C; 304.1C; 312.1C 3 NT20 T16086C; G16129A; T16239C; C16278T; C16294T; NTT A73G; C150T; A263G; 310.1C 4 NT21 T16249C; T16288C; T16035C; G16390A; A73G; T153C; A263G; 310.1C; G239A 5 NT22 T16086C; G16129A; C16192T; C16223T; T16239C, T16297C; A73G; C150T; T199C; A263G, 310.1C 6 NB18 C16186T; C16276T; C16301T; C16302T; T16367C; 304.2C; 312.1C 7 NB19 T16140C; 16183.D; T16189C; T16223C; A213G; A266G; 311.1C; 312.1C NTB 8 NB20 G16139A; T16154C; C16158T; T16182C; C16223T; T16321C; A16353G; 304.2C; 312.1C 9 NB21 C16223T; C16305T; T146C; T199C; A263G; 309.1C; 310.1C Jumlah Mutasi 5 8 9 9 11 7 8 9 7 Mutasi insersi Mutasi insersi Gambar 3.3. Perbedaan rangkaian poli-C yang disebabkan adanya mutasi insersi basa sitosin yang berbeda. 445 4. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh urutan nukleotida DNA mitokondria manusia daerah D-Loop melalui direct sequencing untuk sampel-sampel dua populasi Indonesia Tenggara. Analisis polimorfisme urutan nukleotida sampel memberikan informasi variasi mutasi dengan jenis dan posisi mutasi yang beragam dengan jumlah mutasi secara keseluruhan sebanyak 53 mutasi. Mutasi yang ada meliputi mutasi insersi, transversi dan delesi. Berdasarkan informasi muutasi-mutasi yang diperoleh tersebut diharapkan dapat melengkapi database varian normal mtDNA manusia Indonesia. Ucapan Terima Kasih Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas yang telah mendanai penelitian pekerti ini. Giles, R.E., Blane, H., Cann, H.M., and Wallace, D.C., (1980). Maternal inherintance of human mitochondrial DNA. Proc.Nat.Acad.Sci.USA. 77:6715-6719 Fengzhu Sun, (1997). Biological and Statistical studies for diseases involving mtDNA mutation. Department of Genetics, Emory University School of Medicine. Kirches, et.al., (2001). Heterogenous tissue distribution of a mitochondrial DNA polimorphism in heteroplasmic subject without mitochodrial disorders. jmed. Genet. 38: 312-317 Wallace, D.C., (1981). Mitochondrial DNA Mutations and Neuromuscular Disease, Hum.Genet.Disease, 5:9-13. Daftar Pustaka Anderson, S. Bankier, A.T. Barrrel, B.G. de Bruijn, M.H. Coulson, A.R. Drouin,J. Eperon, I.C. Nierlich, D.P. Roe, B.A. Sanger,F. Schreier, P.H. Smith, A.J. Staden, R andYoung, I.G. (1981). Sequence and organization of the Human Mithocondrial Genome, Nature. 290. (5806). 446 Pembuatan dan Pemanfaatan Membran Chitosan Dari Limbah Cangkang Kepiting Untuk Pemisahan Deterjen Nita Kusumawati ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kemampuan membran chitosan untuk memisahkan deterjen. Membran chitosan ini dibuat dengan memanfaatkan limbah industri pengepakan kepiting, yaitu berupa kulit dan cangkangnya yang diekstrak terlebih dahulu menjadi chitin. Chitin selanjutnya mengalami transformasi menjadi chitosan. Setelah menjadi chitosan, untuk membuat membran harus dicampurkan dengan asam asetat terlebih dahulu dan diaduk menggunakan magnetic stirrer. Membran chitosan diuji untuk pemisahan limbah deterjen menggunakan reaktor “dead-end”. Kualitas membran chitosan adalah nilai fluks dan efisiensi rejeksi yang diperoleh melalui variasi terhadap tekanan operasi, dan komposisi penyusun membran. Dari penelitian ini diketahui bahwa membran mempunyai ketebalan 0,044 – 0,064 mm dengan komposisi optimum untuk pemisahan deterjen sebesar 3 gram. Pada tekanan operasi sebesar 3 atm, didapatkan penyisihan deterjen optimum. Untuk deterjen anionik yang digunakan sebagai umpan 2 dihasilkan nilai fluks sebesar 30,91 L/m .hr dan rejeksi sebesar 98,50%. Kata kunci : Membran chitosan, deterjen, fluks, rejeksi nutrient dari bahan aditif deterjen terutama fosfat organik. Peristiwa itu dapat mengurangi kandungan oksigen dalam air, akibatnya dapat membunuh hewan air dengan kebutuhan oksigen yang tinggi. Matinya hewan air dapat menimbulkan bau busuk dan mengganggu keseimbangan alam. Selain itu limbah deterjen juga menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia yaitu iritasi kulit dan mata, kerusakan pada ginjal dan empedu (Sugai dkk, 1990) dan pada hewan (Ritz dkk, 1993). Pengolahan limbah deterjen secara konvensional yang selama ini dilakukan antara lain dengan cara (a) aerasi yaitu memompa limbah deterjen yang menghasilkan gelembung udara, sehingga deterjen terkonsentrasi di Pendahuluan Meningkatnya kepadatan penduduk dan kegiatan industri pada suatu daerah, terutama daerah yang maju, mengakibatkan penggunaan deterjen sebagai bahan pencuci atau pembersih semakin meningkat. Hal tersebut dapat menyebabkan masalah pencemaran lingkungan yang serius karena limbah deterjen dapat menyebabkan turunnya kualitas perairan yang ditandai dengan timbulnya buih dan peristiwa eutrofikasi. Peristiwa eutrofikasi adalah tumbuhnya tumbuhan air (misalnya enceng gondok dan algae) dengan cepat karena pertumbuhannya dirangsang oleh 447 permukaan bersama gelembung udara yang dipompakan tersebut. Tetapi hasilnya kurang memuaskan, karena daya reduksinya kecil dan membutuhkan bahan bakar yang cukup besar untuk energi pemompaan; (b) adsorpsi oleh arang atau bentonit atau campuran keduanya. Walaupun hasilnya cukup efektif, namun arang aktif relatif mahal; (c) koagulasi dengan garam-garam karbonat atau sulfat, sehingga sebagian dapat terendapkan. Meskipun daya reduksi mencapai 75 %, namun diperlukan koagulan dalam jumlah yang banyak, sehingga biaya operasionalnya relatif mahal; (d) metode lumpur aktif yaitu digunakan mikroorganisme pemakaian deterjen. Metode ini memerlukan upaya pengkayaan mikroorganisme yang tidak mudah dan kontrol pertumbuhan serta pengendalian mikroorganisme (Prasetyo, 2002). Usaha mengurangi pencemaran limbah deterjen ini perlu diupayakan, karena meskipun secara alamiah limbah tersebut di perairan dapat mengalami proses dekomposisi senyawa organik secara mikrobiologis, yang dikenal dengan istilah biodegradasi, namun tidak semua bahan deterjen dapat terbiodegradasi oleh bakteri pengurai sehingga prosesnya sangat lambat atau bahkan tidak terjadi sama sekali. Di sisi lain di Indonesia masakan laut dan pengolahan hasil laut dari Crustaceae belum dapat dioptimalkan, sebab pada umumnya baru digunakan sebagai bahan campuran pembuatan kerupuk, terasi atau makanan ternak, dimana harga ketiga bahan hasil olahan tersebut tidak setinggi harga chitosan. Salah satu iklan di internet menyebutkan bahwa harga 50 gram chitosan ± $ 23 US. Belum dimanfaatkannya limbah pengolahan udang, cumi, dan kepiting sebagai sumber chitosan boleh jadi dikarenakan belum dikenalnya industri chitosan secara umum atau karena tidak ada publikasi yang memuat proses yang dikerjakan secara sederhana di Indonesia. Chitin pertama kali ditemukan lebih dari 180 tahun yang lalu, tetapi manfaatnya baru diperhatikan 20 tahun belakangan ini. Chitin dapat dibuat bahan lain yang disebut chitosan. Chitin tersebut merupakan polisakarida utama dari cangkang udang-udangan dan kepiting, selain itu juga terdapat pada fungi, kulit spora, lumut, dan kerangka luar serangga. Sumber utama chitin yang dapat digunakan untuk diperoleh chitosannya adalah chitin dari jenis udang-udangan (Crustaceae) seperti kepiting, lobster, dan udang. Hal tersebut disebabkan jenis udang-udangan itu dipanen secara komersial, sehingga menghasilkan limbah yang tidak sedikit jumlahnya. Oleh karena itu salah satu keunggulan dari membran chitosan terletak pada bahan dasarnya yang ramah lingkungan karena dibuat dari limbah udang-udangan. Teknologi membran merupakan teknologi pemisahan yang berkembang dengan pesat dan relatif baru bila dibandingkan dengan teknologi pemisahan yang sudah berkembang sebelumnya seperti absorbsi, ekstraksi, dan destilasi. Teknologi membran mempunyai beberapa keunggulan, yaitu proses pemisahan berlangsung pada suhu kamar dan sebagian besar membran yang diproduksi dapat digunakan kembali, membran yang telah rusak dapat didaur ulang sehingga relatif tidak menghasilkan limbah, sifatnya bervariasi, dan dapat diatur sesuai kebutuhan (Mulder, 1991). TINJAUAN PUSTAKA 448 Kata membran berasal dari bahasa latin “membrana” yang berarti potongan kain. Membran didefinisikan sebagai lapisan tipis (film) yang fleksibel yang merupakan pembatas antara dua fasa yang bersifat semipermeabel. Membran berfungsi sebagai media pemisahan yang selektif berdasarkan perbedaan koefisien difusi, muatan listrik, atau perbedaan kelarutan. Membran dapat berupa cairan maupun padatan. Untuk pengolahan limbah cair, umumnya digunakan membran mikrofiltrasi. Membran tersebut digunakan untuk memisahkan partikel, termasuk bakteri dan ragi, dari larutan. Tekanan yang diperlukan selama operasi tidak terlalu besar yaitu kurang dari 2 bar. Aplikasi proses ini juga dapat diterapkan pada sterilisasi minuman, penjernihan jus, ataupun pemisahan emulsi minyak-air. Struktur membran mikrofiltrasi umumnya simetrik (Wenten, 1995). sebagai indikator warna. Kloroform untuk mengikat kandungan deterjen. Alat Alat-alat yang perlu disiapkan dalam penelitian ini adalah : alat uji “dead-end” dan alat laboratorium yang menunjang penelitian ini, seperti peralatan kaca laboratorium, neraca analitik, magnetic stirrer, spektrofotometer Beckman, cetakan membran acrylic berukuran 10 x 10 cm dan kompresor. Prosedur Kerja Pembuatan Cangkang Kepiting Menjadi Serbuk Chitin dan Chitosan Tahap ini diawali dengan pencucian cangkang kepiting dicuci sampai bersih dari kotoran yang menempel kemudian direbus dalam air mendidih ( 80 C) selama 15 menit. Setelah itu dikeringkan dibawah sinar matahari dan diblender. Untuk menjadi serbuk chitin, cangkang kepiting akan mengalami proses isolasi chitin meliputi tiga tahap yaitu tahap deproteinasi didapat crude chitin, demineralisasi dan depigmentasi didapatkan serbuk chitin. Setelah itu chitin melalui suatu proses dan mengalami transformasi menjadi chitosan.Serbuk chitosan inilah yang merupakan bahan dasar pembuat membran chitosan. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan untuk mencari alternatif baru dalam proses pengolahan limbah deterjen dengan memanfaatkan limbah industri pengepakan udang kepiting sebagai membrannya. Bahan Persiapan bahan disini kebanyakan diperlukan untuk persiapan pembuatan larutan sampel, antara lain H 2SO4, NaH 2PO4, serbuk methylene blue dan aquades untuk membuat larutan methylene blue. Untuk membuat larutan pencuci diperlukan H2SO4, Aquades dan NaH2PO4. Bubuk NALS (Natrium Lauril Sulfat) dan Aquades untuk membuat larutan induk NALS. PP (Phenolftalein) Pembuatan Membran Chitosan Setelah menjadi serbuk chitosan dapat langsung dibuat membran dengan melarutkannya dalam Asam Asetat sebagai pelarut. Sebelumnya harus dipastikan bahwa cetakan yang akan 449 digunakan harus dibersihkan dahulu dengan menggunakan aceton. Setelah terbentuk suatu lapisan film basah cetakan dioven sampai film menjadi kering dimana diperlukan larutan NaOH 4% untuk merendam membran kering agar terlepas dari cetakannya. Selanjutnya agar membran bersih dari alkali diperlukan aquabidestilata untuk pembilas. Penentuan Fluks dan Rejeksi Setelah diperoleh panjang gelombang maksimum, maka selanjutnya adalah membuat kurva kalibrasi yang nantinya digunakan untuk menemukan persamaan regresi. Dari data yang diperoleh, dapat dibuat kurva kalibrasi sebagai berikut (Gambar 1). Absorbansi Kurva Kalibrasi Volume permeat yang dihasilkan ditimbang dengan neraca analitik untuk mengetahui berat. Selanjutnya untuk mengetahui konsentrasi deterjen setelah dilewatkan membran dilakukan penentuan kadar deterjen melalui proses ekstraksi. Setelah itu baru diukur nilai absorbansi dengan spektrofotometer dan hasil yang diperoleh dimasukkan pada persamaan regeresi pada kurva kalibrasi, untuk selanjutnya bisa dihitung nilai fluks dan rejeksinya. HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN 0.4 0.3 0.2 0.1 0 y = 0.1749x + 0.005 2 R = 0.9992 0 0.5 1 1.5 2 2.5 Konsentrasi NALS (ppm) Gambar 1. Kurva kalibrasi Dari gambar 1 didapat persamaan regresi adalah y = 0,1749 x + 0,005 dengan nilai R2 = 0,9992. Pembuatan Membran Penelitian ini dimulai dengan kegiatan membuat larutan chitosan terlebih dahulu. Bubuk chitosan ditimbang dengan menggunakan neraca analitik sesuai dengan berat yang diinginkan untuk selanjutnya ditambah dengan larutan asam asetat 0,75%. Setelah dilakukan penimbangan dilanjutkan dengan pengadukan awal yaitu dengan spatula kaca agar bubuk chitosan benar-benar terendam dalam larutan asam asetat, kemudian dilakukan pengadukan menggunakan magnetic stirrer untuk memastikan serbuk chitosan larut sempurna sehingga didapatkan larutan yang homogen. Pengadukan dilakukan selama 24 jam untuk mempercepat proses pelarutan. Sebelum dicetak di atas pelat kaca, larutan harus didiamkan selama 24 jam DAN Penentuan λmaks Kompleks Methylen Blue Dengan NALS Tujuan dari tahap ini adalah menentukan panjang gelombang yang memberikan nilai absorbansi yang maksimal. Dimana pengukuran dilakukan dalam rentang panjang gelombang 600 –700 nm (Metode Standard). Dari data yang tersaji pada Tabel 4.1 didapatkan bahwa yang memberikan nilai absorbansi maksimal adalah panjang gelombang 650 nm. Pembuatan Kurva Kalibrasi 450 untuk menghilangkan gelembunggelembung udara yang ada di dalamnya. Proses pencetakan membran diawali dengan pembersihan sisi-sisi cetakan menggunakan aseton. Larutan selanjutnya dicetak diatas pelat kaca dengan berat yang sama yaitu sebanyak 20 gram. Kemudian cetakan yang telah terisi larutan chitosan diangin-anginkan selama 24 jam (sampai setengah kering), selanjutnya cetakan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 60C̊ selama ± 5 jam. Untuk memastikan membran kering sempurna cetakan didiamkan selama 24 jam di udara terbuka, karena apabila langsung direndam membran akan rusak dengan menjadi menggelembung dan berkerut. Membran disimpan bersama dengan cetakannya, baru akan dilepas apabila akan diaplikasikan pada reaktor “dead-end”. panjang, sehingga kemungkinan terjadinya fouling makin besar. Pengaruh Variabel Terhadap Fluks dan Rejeksi Pengaruh Tekanan Tekanan operasi sangat mempengaruhi fluks dan rejeksi membran. Pada percobaan ini tekanan dioperasikan pada 1 atm, 2 atm dan 3 atm. Pada membran chitosan dengan komposisi 2 gr yang digunakan untuk menyisihkan larutan deterjen anionik tampak bahwa fluks semakin meningkat dengan meningkatnya tekanan. Pada 5 menit pertama, fluks meningkat dari 2 2 86,12 L/m .hr menjadi 94,95 L/m .hr 2 dan 99,69 L/m .hr, ketika tekanan ditingkatkan dari 1 atm menjadi 2 atm dan 3 atm. Nilai selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan untuk mengetahui seberapa besar peningkatan fluks pada penyisihan deterjen anionik dapat dilihat pada Gambar 2. Pengukuran Ketebalan Membran Ketebalan membran diukur dengan mikrometer sekrup buatan Austria. Ketelitian alat tersebut adalah 0,01 mm dengan kapasitas 0 – 25 mm. Ketebalan membran dikontrol dengan potongan kaca yang ditempelkan di sekeliling plat kaca dengan ketebalan 0,5 cm. Dari pengukuran didapatkan hasil bahwa pada komposisi chitosan 2 gram diperoleh ketebalan sebesar 0,044 mm, selanjutnya pada komposisi 2,5 diperoleh ketebalan 0,054 mm dan 0,064 mm pada komposisi chitosan 3 gr. Membran yang sudah jadi sebelum diaplikasikan pada alat “deadend” dilakukan pengukuran, dimana membran yang digunakan adalah membran yang mempunyai ketebalan sama untuk tiap komposisi. Membran yang baik adalah membran yang tipis tapi kuat. Semakin tebal membran, jarak yang harus ditempuh permeat semakin Tabel 1. Fluks Membran Chitosan (Komposisi 2 gram) 2 Waktu (menit) 5 10 15 20 25 30 35 Tekanan 1 atm Fluks (L/m .hr) ANIONIK Tekanan 2 atm Tekanan 3 atm 86.12 94.95 99.69 77.28 81.70 94.95 64.03 72.87 86.12 59.62 64.03 77.28 50.79 55.20 61.83 35.33 44.16 55.20 22.08 35.33 35.33 Dari data penelitian dan analisa statistik terlihat jelas bahwa tekanan sangat mempengaruhi nilai fluks, dimana peningkatan tekanan memberikan peningkatan nilai fluks. 451 Hanya yang perlu diperhatikan adalah terjadinya peristiwa fouling yang ditandai adanya polarisasi konsentrasi yang mengakibatkan penurunan nilai fluks seiring dengan pertambahan waktu operasi. atm, 2 atm dan 3 atm menyebabkan partikel-partikel deterjen menjadi pecah sehingga teradsorpsi oleh permukaan membran dan akhirnya menyumbat poripori membran. Sebagaimana yang diketahui bahwa sifat deterjen juga sebagai pembersih, dapat mengurangi terjadinya fouling hanya pemberian tekanan operasi yang dilakukan tidak boleh sampai memecah partikel deterjen. De te rje n ANIO NIK (C hi tosan 2 gr) 120. 00 80.00 60.00 De te rje n ANIO NIK (Te kan an 1 atm;C hi tos an 2 gr) 40.00 20.00 20 30 40 T ekanan 1 atWak m tu (menit T ekanan 2 at m ) T ekanan 3 at m Gambar 2. Peningkatan Fluks Pada Membran Chitosan (Komposisi 2 gr) Akibat Peningkatan Tekanan 12 0.00 10 0.00 80 .00 60 .00 40 .00 20 .00 0.0 0 99.00 98.50 98.00 %Rejeksi 10 97.50 5 10 15 20 25 30 35 Wakt u (menit ) Fluks Peristiwa turunnya fluks seiring dengan pertambahan waktu operasi disebabkan karena semakin lama poripori yang terbuka akibat adanya tekanan operasi akan terisi molekul-molekul larutan membentuk suatu lapisan dipermukaan membran dan mungkin sampai masuk kedalam pori-pori membran. Adanya deposisi partikel pada membran yang menyebabkan penurunan fluks yang merupakan fungsi dari waktu dan akan memperbesar resistensi total membran, yaitu resistensi yang disebabkan oleh membran dan resistensi oleh lapisan gel karena deposisi. Nilai fluks larutan naik ketika tekanan naik dan stabil pada tekanan tertentu. Kenaikan tekanan mengakibatkan kenaikan fluks pada permukaan membran. Kenaikan tekanan juga menyebabkan proses fouling menjadi lebih cepat. Peristiwa ini dapat dilihat pada Gambar 3 – 11, ketika yang digunakan sebagai larutan umpan adalah deterjen anionik. Peristiwa fouling oleh larutan deterjen ini dikarenakan pada tekanan 1 "Rejek si" Gambar 3. Fluks dan Rejeksi (Tekanan 1 atm, Chitosan 2 gr, Deterjen anionik) Fluks(L/m2.hr) De te rje n ANIO NIK (Te kan an 2 atm ;C h itos an 2g r) 12 0.0 0 10 0.0 0 80 .00 60 .00 40 .00 20 .00 0.0 0 98 .20 98 .00 97 .80 97 .60 97 .40 %Rejeksi 0 Fluks(L/m2.hr) 0. 00 97 .20 5 10 15 20 25 30 35 Wak t u (menit ) Fluks Rejeksi Gambar 4. Fluks dan Rejeksi (Tekanan 2 atm, Chitosan 2 gr, Deterjen anionik) Fluks (L/m2.hr) De te rje n ANIO NIK (Te kan an 3 atm ;C hitosa n 2 gr) 12 0.0 0 10 0.0 0 80 .00 60 .00 40 .00 20 .00 0.0 0 10 0.0 0 99 .00 98 .00 97 .00 96 .00 95 .00 5 10 15 20 25 30 35 Wak t u (menit ) Fluks Rejeksi Gambar 5. Fluks dan Rejeksi 452 %Rejeksi Fluks(L/m2.hr) 100. 00 (Tekanan 3 atm, Chitosan 2 gr, Deterjen anionik) 5 10 15 20 25 30 120.0 0 100.0 0 80 .00 60 .00 40 .00 20 .00 0.0 0 99 .20 99 .00 98 .80 98 .60 98 .40 98 .20 5 35 10 15 20 25 30 35 Wakt u (menit ) Wak t u (menit ) Fluks % Rejeksi 99 .20 99 .00 98 .80 98 .60 98 .40 98 .20 98 .00 Fluks (L/m2.hr) 12 0.0 0 10 0.0 0 80 .00 60 .00 40 .00 20 .00 0.0 0 De te rje n ANIO NIK (Te k an an 1 atm;C hi tosan 3 gr) % Rejeksi Fluks (L/m2.hr) De te rje n ANIO NIK (Te k an an 1 atm ;C hi tosa n 2,5 gr) Fluks Rejeksi Gambar 6. Fluks dan Rejeksi (Tekanan 1 atm, Chitosan 2,5 gr, Deterjen anionik) Rejeksi Gambar 9. Fluks dan Rejeksi (Tekanan 1 atm, Chitosan 3 gr, Deterjen anionik) De te rje n ANIO NIK (Te k an an 2 atm;C hitosan 3 gr) 10 15 20 25 30 99 .00 98 .50 98 .00 97 .50 5 10 15 20 Fluks Fluks 98 .20 98 .00 97 .80 97 .60 97 .40 97 .20 97 .00 15 20 25 30 12 0.0 0 10 0.0 0 80.00 60.00 40.00 20.00 0.0 0 99.00 98.50 98.00 97.50 97.00 5 10 15 20 25 30 35 Wakt u (menit ) Fluks 35 Rejeksi Gambar 11. Fluks dan Rejeksi (Tekanan 3 atm, Chitosan 3 gr, Deterjen anionik) Wak tu (menit ) Fluks (L/m2.hr ) De te rje n ANIO NIK (Te kan an 3 atm;C hitosan 3 gr) % Rejeksi Fluks (L/m2.hr) 12 0.00 10 0.00 80 .00 60 .00 40 .00 20 .00 0.00 Rejeksi Gambar 10. Fluks dan Rejeksi (Tekanan 2 atm, Chitosan 3 gr, Deterjen anionik) Rejeksi De te rje n ANIO NIK (Te kan an 3 atm ;C hi tos an 2,5 gr) 10 35 Wak tu (menit ) Gambar 7. Fluks dan Rejeksi (Tekanan 2 atm, Chitosan 2,5 gr, Deterjen anionik) 5 25 30 35 Wakt u (menit ) Fluks % Rejeksi 12 0.0 0 10 0.0 0 80 .00 60 .00 40 .00 20 .00 0.0 0 %Rejeksi 5 Fluks 98.80 98.60 98.40 98.20 98.00 97.80 97.60 97.40 (L/m2.hr) 120.0 0 100.0 0 80.00 60.00 40.00 20.00 0.0 0 %Rejeksi Fluks (L/m 2.hr) De te rje n ANIO NIK (Te kan an 2 atm;C hi tosan 2,5 gr) Rejeksi Gambar 8. Fluks dan Rejeksi (Tekanan 3 atm, Chitosan 2,5 gr, Deterjen anionik) Terjadinya fouling ini diawali adanya peningkatan lokal konsentrasi solute pada permukaan membran, sehingga akhirnya fluks menjadi tergantung pada transfer massanya. Kenaikan tekanan melebihi kondisi ini 453 akan membawa kenaikan fluks lebih cepat dan segera terjadi keseimbangan antara laju transport solute ke dan dari permukaan membran sehingga fluks berubah menjadi stabil. Kondisi kemudian berubah ketika terbentuk lapisan fouling dan mulai terkompresinya pada tekanan tinggi dan menyebabkan peningkatan tekanan di atas titik kritis yang akan menghasilkan fluks lebih kecil. Dalam pengukuran efisiensi rejeksi maka yang diukur adalah kadar deterjen sebelum dilewatkan membran dan sesudah dilewatkan membran. Membran dikatakan baik apabila efisiensi rejeksinya adalah 100%. Dalam pengukuran kadar deterjen digunakan spektro UV-VIS dengan λ= 650 nm, karena pada panjang gelombang inilah deterjen memberikan nilai absorbansi maksimum. Selanjutnya dilakukan prosedur ekstraksi untuk menentukan penurunan konsentrasi yang dihasilkan setelah dilewatkan membran dengan memasukkan nilai absorbansi yang dihasilkan pada persamaan kurva kalibrasi. Dengan memasukkan nilai absorbansi untuk tiap-tiap larutan deterjen ke dalam persamaan sebelum dan sesudah dilewatkan membran maka dapat dilihat perubahan nilai efisiensi rejeksi untuk tiap membran. 35 98.92 98.03 98.92 Sumber : Penelitian (2007) Pada Tabel 2 dapat dilihat juga peristiwa turunnya rejeksi karena kenaikan tekanan pada deterjen anionik, dimana tekanan pada 1 atm turun dari 98,05% menjadi 97,49% pada tekanan 2 atm dan pada 3 atm diperoleh rejeksi 96,96% pada 5 menit waktu operasi. Pertambahan nilai rejeksi dari setiap waktu operasi sampai terjadi fouling dan penurunan nilai rejeksi dari setiap peningkatan tekanan dapat dilihat pada Gambar 12 dan 13 untuk tekanan operasi 1 dan 2 atm. %Re je ksi Deterjen ANIONIK dengan Tekanan 1 atm 99.20 99.00 98.80 98.60 98.40 98.20 98.00 97.80 0 5 10 15 20 25 30 35 40 Waktu (menit) T ekanan 1 atm;Chitosan 2 gr T ekanan 1 at m;Chitosan 2,5 gr T ekanan 1 atm;Chitosan 3 gr Gambar 12. Persentase rejeksi (Deterjen anionik;Tekanan 1 atm) Deterjen ANIONIK dengan Tekanan 2 atm Tabel 2. Penurunan Rejeksi pada Pemberian Tekanan Berbeda (Komposisi 2 gr) Waktu (menit) 5 10 15 20 25 30 98.8 98.6 % Rejeksi 98.4 98.2 98 97.8 97.6 97.4 % Rejeksi ANIONIK Tekanan Tekanan Tekanan 1 atm 2 atm 3 atm 98.05 97.49 96.96 98.18 97.61 97.11 98.35 97.68 97.27 98.43 97.70 97.36 98.58 97.80 97.46 98.75 97.87 97.70 0 5 10 15 20 25 30 35 Waktu (menit) Tekanan 2 atm;Chitosan 2 gr Tekanan 2 atm;Chitosan 2,5 gr Gambar 13. Persentase rejeksi (Deterjen anionik;Tekanan 2 atm) 454 Tekanan 2 atm;Chitosan 3 gr Sedangkan untuk tekanan operasi 3 atm, diperoleh nilai % rejeksi seperti yang tampak pada Gambar 14 di bawah ini. terisi penuh maka molekul-molekul tersebut membuat lapisan diatas permukaan membran. Lapisan diatas permukaan membran ini seolah-oleh berfungsi sebagai membran lapisan kedua yang turut berperan menyaring molekul. Lapisan ini semakin lama mampu menahan molekul semakin banyak menahan molekul. Deterjen ANIONIK dengan Tekanan 3 atm 99.00 %Rejeksi 98.50 98.00 97.50 97.00 96.50 0 5 10 15 20 25 30 35 KESIMPULAN Dari data yang telah diperoleh dan dibahas pada bab sebelumnya, maka dari penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu : Membran chitosan yang dihasilkan termasuk membran ultrafiltrasi dengan ukuran pori 0,05 µm0,1 µm dan ketebalan 0,044 mm-0,064 mm. Peningkatan tekanan operasi menyebabkan peningkatan fluks dan penurunan rejeksi sedangkan peningkatan komposisi chitosan menyebabkan peningkatan rejeksi dan penurunan fluks. Komposisi dan kondisi optimum untuk menyisihkan deterjen anionik dihasilkan nilai fluks sebesar 30,91 L/m2.hr dan rejeksi sebesar 98,50%. 40 Waktu (menit) T ekanan 3 atm;Chitosan 2 gr T ekanan 3 at m;Chitosan 2,5 gr T ekanan 3 atm;Chitosan 3 gr Gambar 14. Persentase rejeksi (Deterjen anionik;Tekanan 3 atm) Tekanan yang rendah mengakibatkan rejeksi naik, seperti yang tampak pada Gambar 12 – 14, dimana nilai rejeksi terbesar didapat pada tekanan 1 atm. Fenomena ini terjadi karena tekanan dalam tangki rendah, kemungkinan terbentuknya polarisasi konsentrasi atau fouling di permukaan membran kecil sekali. Hal ini disebabkan lemahnya tekanan yang diberikan terhadap partikel untuk melewati membran. Akibatnya partikel yang menempel di permukaan membran akan tersapu mudah oleh larutan umpan. Sebaliknya pada tekanan lebih tinggi efisiensi rejeksi akan menurun. Karena kuatnya tekanan yang diberikan pada partikel sehingga interaksi antara partikel dan membran akan meningkat. Kondisi ini akan berpeluang meningkatkan terbentuknya fouling atau polarisasi konsentrasi. Pada tekanan yang sama semakin lama seiring dengan waktu operasi mengakibatkan rejeksi naik, hal ini disebabkan karena ukuran partikel solute teradsorbsi atau terdeposisi partikelpartikel dari sekeliling bagian dalam pori membran. Setelah pori-pori membran DAFTAR PUSTAKA Aamodt, B and Michael, D. (1995). Solubilization of uncharged molecules in ionic surfactant aggregate micellar phase. Journal of Physical Chemical, vol. 96 (2) Januari 2002, pp. 945949. Abuin, S and Lissi, C. (1992). Affinity membranes : Their chemistry and performance in adsorptive separation process. John Wiley & Sons, Inc. New York. Acosta, J.E. (1991). Extraction and characterization of chitin from 455 crustaceans. Biomass and bioenergy. Vol 5 no.2 : 145-153. Chemistry Research, vol. 32 (3) Maret 2003, pp. 386-390. Acosta, M.J. (1991). Membrane process. John Wiley & Sons, England. Costa, Adiarto, T. (1996). Pengolahan limbah industri electroplating dengan membran komposit. Tesis. Program Pasca Sarjana Magister Kimia. Institut Teknologi Bandung. Duranceau, A. (1992). Surfactant agregation. Glasgow Blackie. London. Amin, F and Jayson, C.P. (1996). A Conventional experimental methode for determining cationic surfactant concentration. Journal of Chemical Engineering of Japan, vol. 25 (4) Agustus 2002, pp. 455-457. Hill, Anselme, C., Ford T., Hurley, D and Martin, G. (1993). Ultrafiltration water treatment membrane process. Mc-Graw Hill. New York. B. (1995). Reaction between chitosan and cellusa on biodegradable composite film formation. Industrial & Engineering Chemistry Research, vol. 30 (4) April 2001, pp. 788792. Jacangelo, J., Thomas, J., Cooper, P., Graff, B., and Atkinson, B. (1995). Membrane filtration for microbial removal. An overview, AWWA Journal. Beckers, T. (2000). Catagories of membrane operations in water treatment membrane process. Mc-Graw Hill. New York. Blair, G.T. (1982). Pervaporation performance of hollow-fiber chitosan-polyacrylonitrile composite membrane in dehydration of ethanol. Journal of Chemical Enggineering of Japan, vol. 25 (1), Pebruari 1999, pp. 17-21. Kirk, D. (1983). Effect of syntesized surfactant in the separation of rare earth metals by liquid surfactant membrane. Industrial & Chemistry Engineering Research, vol. 32 (8) Agustus 1993, pp. 1681-1685. W. (1987). Introduction to surfactant snalysis. First Edition. Chapman & Hall. London. Chan, L and Lyn, D. (1983). Apparent chitin digestibility in penaeid shrimp. Aquaculture, vol. 109 (1), Januari 1999, pp. 51-57. Knorr, D. (1991). Recovery and utilization of chitin and chitosan and food processing waste management. Food Tecnology, Januari 1991 : 114-120. Lygre, P. (1991). Synthetic detergents. Sixth Edition. John Wiley & Sons. New York. Clint, B. (1992). Adsorption of metal ions polyaminated highly porous chitosan chelating resin. Industrial & Engineering 456 Stephenson, T., Judd, S., Jefferson, B., and Brindle, K. (2000). Membrane bioreactors for wastewater treatment. IWA Publishing. London. Mulder, M. (1991). Basic priciples of membrane technology. Khewer Academic Publisher. Netherlands. Mulder, M. (1996). The use of membrane process in water purification. Proceeding. Bandung. Sugai, D. (1990). Synthetis of basic and overbasic sulfonate detergent additives. Industrial & Engineering Chemistry Research, vol. 32 (12) Desember 2001, pp. 3170-3173. Nemeh, A. (1993). Membrane recycling in the liquid surfactant membarane process. Industrial & Engineering Chemistry Research,vol. 32 (7) Juli 1993, pp. 1431-1437. Taylor, S. (1997). The effect of dietary chitin on the growth, survival and chitinase levels of the digestive cland of juvenile penaeus momoon. Aquaculture, vol. 109 (1), Januari 1999, pp. 39-49. Nilson, R.J. (1990). Azeotropic and critical phenomenone in a water, ionic surfactant, alcohol system. Journal of Psysical and Chemical, vol. 95 (3) Pebruari 2001, pp. 1425-1429. Tan, Prasetyo, B.A. (2002). Rekayasa pembuatan membran sellulosa asetat untuk pemisahan detergen. Tesis. Program Pasca Sarjana Teknik Lingkungan ITS. Surabaya. C.S and Sudak, M.E. (1992).Environmental chemistry : Essential of chemistry for engineering practice. Departement of Environmental Engineering & Civil Engineering, University of Sothtern California. Prentice Hall, Inc. Tahid. (1995).Detergen dalam air limbah dan analysis. Makalah pada Seminar HKI, Yogyakarta. Wenten, I.G. (1995). Teknologi membran industrial. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Ritz, C. (1993). Membrane technology. Encyclopedia of chemical technology. Volume 15. Third Edition. John Wiley & Sons. New York. Hal. 92-131. Schirg, N and Winder, L. (1992). Synthesis of porous magnetic chitosan beads for removal of cadmium ions from wastewater. Industrial & Engineering Chemistry Research, vol. 32 (9) September 2003, pp. 2170-2178. Widarta, R.A. (2004). Pembuatan membran chitosan untuk proses pengolahan limbah detergen. Skripsi. Universitas Airlangga. Surabaya. 457 PENENTUAN KADAR BIOLOGICAL OXYGEN DEMAND (BOD), CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD), DAN LOGAM BERAT TIMBAL (PB) PADA AIR SUMUR DI SEKITAR PT. LAPINDO BRANTAS SIDOARJO Agung P., Nur Fitriyah, Nailir R., Muthmainnah, Nur H. R., Rusmini Jurusan Kimia FMIPA UNESA ABSTRAK Pengeboran ekplorasi gas oleh PT. Lapindo Brantas mengakibatkan semburan lumpur panas yang berasal dari sumur BJP-1 di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Lumpur tersebut ternyata mengandung gas H2S yang cukup pekat, serta logam berat seperti Pb, Cd, As, dan Hg yang relatif tinggi, sehingga mencemari lingkungan dan berpotensi mencemari air tanah permukaan yang merupakan sumber air sumur warga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan BOD, COD, dan logam berat Pb dalam air sumur di sekitar semburan lumpur Lapindo. Sampel penelitian diambil dari 15 air sumur warga dari 5 desa di sekitar tanggul PT. Lapindo Brantas yang masih digunakan. Metode untuk penentuan kadar BOD menggunakan titrasi Winkler, penentuan kadar COD menggunakan pendekatan metode spektrofotometer, dan penentuan kadar logam berat Pb menggunakan pendekatan metode SSA. Dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan kadar BOD rata-rata dari 15 sampel air sumur adalah 3,46 mg/L, menunjukkan bahwa rata-rata air sumur telah melewati kriteria baku mutu air kualitas I dan II (PP No 82. Tahun 2001). Range kadar BOD sampel 1,68-8,91 mg/L. Sedangkan kadar COD rata-rata dari 15 sampel air sumur 7,4317 mg/L, menunjukkan bahwa ratarata air sumur masih memenuhi kriteria baku mutu air kualitas I. Range kadar COD sampel 3,0594-20,896 mg/L yang menunjukkan ada sampel yang telah melewati kriteria baku mutu air kualitas I. Kadar Pb rata-rata air sumur adalah 0,58 mg/L, menunjukkan bahwa rata-rata air sumur telah melewati kriteria baku mutu air kualitas I, II, dan III. Range kadar Pb adalah 0,45-0,86 mg/L. Kata kunci: BOD, COD, Pb, air sumur, lumpur Lapindo PENDAHULUAN Lebih dari satu tahun sejak terjadinya kebocoran gas di areal eksplorasi gas PT. Lapindo Brantas (Lapindo), tepatnya disekitar Sumur Banjar Panji di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Volume semburan yang keluar awalnya masih pada tingkat 5.000 m 3/hari, diperkirakan telah mengalami peningkatan menjadi 50.000 m3/hari, kemudian 125.000 m3/hari dan akhirnya 156.000 m3/hari (1). Dari sumur BJP Lapindo Brantas, selain lumpur yang keluar juga terkandung gas H2S, serta terkandung logam berat seperti Pb, Cd, Cr, As, dan Hg yang kadarnya tinggi (2).Dugaan lain menyebutkan adanya tren kenaikan logam berat yang lebih tinggi dari sebelumnya. Pada penelitian yang dilakukan pada bulan Desember 2006 dengan lumpur Lapindo yang diambil pada titik di sekitar 200 meter dari pusat semburan menunjukkan adanya logam berat berbahaya jauh di atas ambang batas yang dipersyaratkan dengan analisa 458 total logam berat. Misalnya Cd 10,45 ppm, Cr 105,44 ppm, As 0,99 ppm, Hg 1,96 ppm dan pH lumpur sekitar 3-4 (3). Lumpur lapindo telah mengakibatkan hilangnya vegetasi (flora dan fauna), berpotensi mencemari air permukaan, sumber air, dan air tanah karena logam berat. Jika logam berat terserap ke dalam tanah, kemudian memasuki ekosistem, melarut ke dalam air dan kemudian terserap dan terakumulasi pada tanaman yang dikonsumsi oleh manusia, bisa berdampak pada penyakit-penyakit seperti kesalahan sekuen ekspresi otak, yang disebut autisme (4). Informasi dari Lab Kimia Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya menunjukkan kandungan logam-logam berat pada lumpur yang amat besar, termasuk kandungan timbal (Plumbum, Pb). Kadar timbal maksimal yang diizinkan standar EPA (Environment Protection Agency) hanya sebesar 0,5 ppm (mg/liter). Namun, laporan hasil analisa Lab Kimia Tanah Fakultas Pertanian UNIBRAW mencapai 5 ppm. Ini jumlah yang teramat besar (5). Sungai pemukiman Jatianom menunjukkan, parameter timbal (Pb) 0,0734 (standar maksimal 0,003), sedang sumur milik Sukir, warga RT 12 RW 3 Desa Jatianom menunjukkan parameter timbal (Pb) 0,1048 (standar maksimal 0,05) (5). Pb meracuni sistem pembentukan darah merah. Pada anak-anak, timbal dapat menurunkan kemampuan otak. Sedangkan pada orang dewasa timbal dapat menimbulkan tekanan darah tinggi, kemandulan (infertilitas), serta keracunan jaringan lainnya. Setiap kenaikan 1 µg/m3 Pb dalam darah akan menurunkan 0,975 skor IQ (intelligent Quotient) pada seorang anak. Prof. Moch. Saeni, FMIPA IPB, mengatakan bahwa keracunan timbal selain mempengaruhi sistem saraf, intelegensia dan pertumbuhan anak-anak, juga dapat menyebabkan kelumpuhan. Gejala keracunan timbal ini biasanya mual, anemia, dan sakit di perut (6). Hasil dari laboratorium ITS menyimpulkan bahwa nilai BOD dan COD serta kandungan minyak dan lemak dalam lumpur dan cairan di lokasi cukup tinggi (7). Hasil laboratorium dari selokan Desa Kedungbendo menunjukkan, Bological Oxigen Demand (BOD) sebanyak 68,3 mg/L (standar maksimum 12 mg/L) serta Chemical Oxigen Demand (COD) 138,8 mg/L (standar maksimum 100 mg/L). Sehingga air sungai sekitar lokasi luapan lumpur tidak memenuhi kriteria baku mutu air kualitas III, PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengolahan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Sumber air tak lagi dapat dikonsumsi karena telah tercemar, warnanya berubah kekuningan (seperti mengandung minyak tanah). Sementara itu, sumur-sumur warga yang berada di enam desa seputar kolam lumpur sudah keruh, kehitaman dan berbau. Air sumur sudah terasa agak licin di tangan, rasanya sedikit asin dan getir. Jika dipakai mandi, badan terasa gatal (8). Ikut tercemarnya air sumur menimbulkan kekhawatiran terhadap kesehatan penduduk sebab sumber utama air bersih mereka adalah air sumur. Selama inii penelitian tentang kandungan BOD, COD dan logam berat Pb masih pada lumpur yang keluar dari sumur BJP-1, dan belum dilakukan pada air sumur warga di sekitar tanggul penampungan lumpur Lapindo. Maka dilakukan pengujian terhadap kadar BOD, COD, dan kadar logam berat (Pb) pada 15 air sumur warga dari 5 desa yang terletak disekitar tanggul penampungan lumpur Lapindo yaitu pada desa Renokenongo, Besuki Kulon, Mindi, Siring Timur, dan Gempol Sari. 459 METODE PENDEKATAN Penentuan kadar BOD, COD, dan logam berat timbal (Pb) pada penelitian ini dilaksanakan di laboratorium kimia UNESA pada bulan Mei 2007 – Juni 2007 secara garis besar pelaksanaan penelitian ini melalui beberapa tahap yaitu: 1. pencarian sampel, 2. penentuan kadar BOD, 3. penentuan kadar COD, 4. penentuan kadar Pb 5. analisis data Pencarian Sampel Pencarian sampel dilakukan dengan cara menentukan 5 desa yang berada di dekat semburan lumpur panas Lapindo dan mengelilingi tanggul yang dibuat PT. Lapindo Brantas untuk menampung lumpur yang keluar ke daratan. Dari masing-masing desa diambil rata-rata tiga sampel air sumur. Lima desa yang dimaksud adalah Renokenongo, Besuki Kulon, Mindi, Siring Barat, dan Gempol Sari. Pengambilan sampel dilakukan pada sumur-sumur warga yang belum tergenang oleh lumpur dan airnya masih digunakan untuk kebutuhan sehari-hari oleh warga. Metode Penentuan Kadar BOD Kadar BOD ditentukan dengan menggunakan pendekatan metode titrasi Winkler dengan prinsip kadar oksigen dalam air (sampel) akan mengoksidasi MnSO 4 yang ditambahkan ke dalam larutan pada alkalis, sehingga terjadi endapan MnO 2. Dengan penambahan asam sulfat dan kalium iodida maka akan dibebaskan iodin yang ekuivalen dengan oksigen terlarut. Iodin yang dibebaskan tersebut kemudian dianalisa dengan metode titrasi iodometri yaitu dengan larutan standart tiosulfat dengan indikator kanji (9). Peralatan yang digunakan dalam penentuan kadar BOD ini adalah botol-botol inkubasi Winkler, inkubator, Erlenmeyer, buret. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah MnSO 4. 4H2O, KI, indikator kanji, dan Na2S2O3. Karena reaksi BOD dilakukan di dalam botol yang tertutup, maka jumlah oksigen yang telah dipakai adalah perbedaan antara kadar oksigen di dalam larutan pada saat t = 0 hari dan kadar oksigen pada t = 5 hari. Metode Penentuan Kadar COD Kadar COD ditentukan dengan menggunakan pendekatan metode spektrofotometer (9). Prinsip dari metode ini yaitu zat organik dalam sampel dioksidasi dengan larutan potassium dikromat dan asam sulfat pada kondisi mendidih dengan katalis perak nitrat. Warna hijau yang terbentuk dari Cr 3+ sebanding dengan oksigen yang digunakan untuk mengoksidasi bahan organik dan digunakan sebagai pengukuran pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 600 nm. Peralatan yang digunakan dalam penentuan kadar ini adalah spektrofotometer, tabung COD, dan termoreaktor. Termoreaktor tersebut digunakan untuk mendidihkan sampel saat proses oksidasi. Absorbansi yang dihasilkan dari pembacaan sampel pada spektrofotometer akan dikalibrasikan dengan menggunakan blanko. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah K2Cr2O7, H2SO4, HgSO4, dan Ag2SO 4. Metode Penentuan Kadar Pb Penentuan kadar logam berat timbal (Pb) dengan menggunakan pendekatan metode spektrofotometri serapan atom SSA dengan prinsip interaksi antara tenaga radiasi dengan atom yang dianalisis (10). Peralatan SSA yang digunakan adalah spektrofotometer SSA Perklin Elmer 100 AA dan standart yang digunakan adalah 460 PbNO3. Absorbansi sampel yang diperoleh dari pembacaan spektrofotometri SSA dikalibrasikan dengan absorbansi larutan standart yaitu Pb 0,5; 1,0; 1,5; dan 5,0 mg/L. Metode Analisis Data Data-data yang diperoleh dari ketiga penentuan di atas dianalisis secara deskriptif, kemudian dibuat analisis korelasi regresi BOD dan COD-nya, serta dibuat peta pencemarannya. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari penelitian yang telah dilakukan pada 15 sampel air sumur dari 5 desa (Renokenongo, Besuki Kulon, Mindi, Siring Barat, dan Gempol Sari) di sekitar semburan lumpur panas Lapindo didapatkan data sebagai berikut: Tabel 1. Data Konsentrasi BOD, COD, dan Pb Pada 15 Sampel Air Sumur Dari 5 Desa di Dekat Semburan Lumpur Panas Lapindo Nama Desa Sampel Sumur 1 (1) Sumur 2 (2) Renokenongo Sumur 3 (3) Rata-rata Sumur 1 (4) Sumur 2 (5) Besuki Kulon Sumur 3 (6) Rata-rata Sumur 1 (7) Sumur 2 (8) Mindi Sumur 3 (9) Rata-rata Sumur 1 (10) Siring Barat Sumur 2 (11) Rata-rata Sumur 1 (12) Sumur 2 (13) Gempol Sari Sumur 3 (14) Sumur 4 (15) Rata-rata Rata-rata Range BOD (mg/L) COD (mg/L) Pb (mg/L) 2,84 3,96 3,38 3,39 4,4965 6,2937 5,4551 5,4151 0,59 0,45 0,45 0,50 1,68 2,64 6,20 3,0594 6,3092 15,853 0,59 0,59 0,45 3,51 8,91 2,46 1,84 8,4072 20,896 4,0594 4,1145 0,54 0,45 0,45 0,59 4,40 2,88 2,36 9,6900 5,1839 6,0741 0,50 0,86 0,73 2,62 2,08 4,44 5,6290 5,1783 10,542 0,80 0,45 0,73 4,04 3,02 3,40 3,46 9,2311 7,1180 8,0174 7,4317 0,73 0,45 0,59 0,58 1,68-8,91 3,0594-20,896 0,45-0,86 Analisis Jarak Berdasarkan perhitungan jarak melalui skala peta diketahui bahwa ke-15 sampel diambil dari jarak sekitar 1-2 km dari pusat semburan. Jarak lokasi pengambilan sampel dari pusat semburan secara berurut menurut nomer sampel adalah: 1000; 1100; 850; 1700; 1750; 1550; 1737,5; 1700; 1675; 1200; 1150; 1750; 1700; 1725; dan 1800 m. Sedangkan jika dihitung dari tanggul yang dibuat PT. Lapindo Brantas, ke-15 sampel diambil dari jarak kurang dari 0,5 km. Oleh karena itu, jarak sampel terhadap pusat 461 semburan diasumsikan sama karena relatif dekat dengan tanggul (batas penampungan lumpur). PETA 15 PENGAMBILAN 14 Gempol Sari 13 SAMPEL 12 11 Siring Barat 10 1 2 3 Renokenongo 9 6 8 Mindi 5 7 Besuki Kulon 4 Gambar 1. Peta Lokasi Pengambilan 15 Sampel Air Sumur dari Pusat Semburan Analisis BOD Berdasarkan penelitian kadar BOD dengan metode titrasi Winkler yang telah dilakukan pada ke-15 sampel didapatkan data kadar BOD dengan range 1,68-8,91 mg/L. Angka ini menunjukkan bahwa air sumur pada kelima desa tersebut masuk dalam golongan clean, moderated polluted, polluted, dan very polluted (11). Sedangkan rata-rata BOD dari kelima desa adalah 3,46 mg/L yang menunjukkan air sumur dari desa tersebut rata-rata telah terpolusi (polluted). Pada desa Mindi rata-rata air sumurnya mempunyai kandungan BOD 4,40 mg/L, hal ini menunjukkan bahwa rata-rata air sumur di desa ini masuk dalam kategori sangat terpolusi (very polluted). Pada hasil analisis kadar BOD pada air sumur warga sekitar semburan lumpur panas Lapindo didapatkan hasil bahwa kadar BOD tertinggi sebesar 8,91 mg/L terdapat pada sampel dari desa Mindi. Rata-rata kadar BOD tertinggi juga terdapat pada desa Mindi sebesar 4,40 mg/L, diikuti desa Besuki Kulon sebesar 3,51 mg/L, dan desa Gempol Sari sebesar 3,40 mg/L. Tingginya kadar BOD menandakan bahwa mikroorganisme yang menguraikan zat-zat organik ada dalam jumlah yang tinggi, sehingga jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan organik tersebut juga tinggi (12). Mikroorganisme ini kemungkinan besar berasal dari mikroorganisme lumpur yang terserap melalui tanah dan masuk ke air tanah yang merupakan sumber air sumur warga. Hal ini sesuai dengan pernyataan warga yang menyatakan bahwa air sumur mereka berubah bau, warna, dan rasanya setelah terjadi semburan lumpur. Sedangkan sebelum semburan lumpur terjadi, air sumur warga tidak 462 bermasalah dan dapat digunakan untuk kepentingan minum, memasak, dan keperluan ruman tangga lainnya. Sehingga perubahan fisik air sumur warga kemungkinan berasal dari lumpur panas yang keluar dari sumur Lapindo. Tingginya kadar BOD pada desa Mindi dan Besuki Kulon kemungkinan dikarenakan letak dari kedua wilayah ini lebih rendah dari ketiga desa yang lain. Rendahnya wilayah kedua desa ini dipengaruhi oleh letaknya yang paling dekat dengan badan Sungai Porong yang terletak pada sisi Selatan area semburan. Hal ini menyebabkan kondisi topografi kedua daerah pada sisi Selatan ini lebih rendah jika dibandingkan dengan sisi Utara. Fenomena ini menyebabkan aliran alir lumpur cair terkonsentrasi pada sisi Selatan sedangkan material lumpur pekat berada di Utara karena lempung ini mengendap dan tertinggal (13). Terkonsentrasinya aliran alir lumpur cair pada sisi Selatan memungkinkan resapan material lumpur ke dalam air tanah paling besar karena resapan yang terjadi pada lumpur cair lebih besar dari material padatannya, sehingga menyebabkan tingginya kadar BOD. Sedangkan pada desa Gempol Sari yang wilayahnya relatif tinggi dari daerah Selatan (Mindi dan Besuki Kulon), tingginya kadar BOD disebabkan oleh terserapnya mikroorganisme lumpur yang berasal dari material padatannya yang terserap melalui tanah dan masuk ke air tanah yang merupakan sumber air sumur warga, bukan dari lumpur cair. Penyerapan ini terjadi relatif lebih kecil dari penyerapan tanah oleh lumpur cair, sehingga walaupun kadar BOD desa Gempol Sari cukup tinggi tapi tidak sebesar pada desa Mindi. Sedangkan pada desa Renokenongo dan Siring Barat, walaupun air sumurnya juga tercemar tetapi pencemaran yang terjadi tidak sebesar daerah Utara dan Selatan semburan dikarenakan posisinya yang berada di tengah sehingga hanya dilewati aliran dari lumpur saja, tanpa terjadi pengkonsentrasian lumpur cair ataupun lumpur padat. Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengolahan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dari 15 sampel air sumur yang diambil dari 5 desa di dekat semburan lumpur panas Lapindo hanya 2 sampel yang memenuhi kriteria baku mutu BOD air kualitas I. Tiga belas sampel melewati kriteria baku mutu BOD air kualitas I, 7 sampel melewati kriteria baku mutu BOD air kualitas II, dan 2 sampel melewati kriteria baku mutu air kualitas III. Sehingga, sebagian besar air sumur tidak dapat digunakan sebagai sumber air minum warga. Padahal, meskipun tidak lagi digunakan sebagai air minum ataupun untuk keperluan memasak, air sumur warga yang diteliti semuanya masih digunakan untuk keperluan mandi dan mencuci. Sehingga perlu diwaspadai bahayanya. BOD 8.00 7.00 7 6 kad ar BOD (mg/ L) 6.00 III 5.00 13 4.00 14 2 3 3.00 1 2.00 15 10 5 8 11 9 4 12 II I 1.00 0.00 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Nom or Sampe l Gambar 2. Kadar BOD dari 15 Sampel Air Sumur 463 I. Baku mutu untuk air minum (PP No. 82 Tahun 2001). II. Baku mutu air untuk sarana / prasarana rekreasi air, budidaya air tawar, peternakan dan pengairan tanaman. III. Baku mutu air untuk budidaya air tawar, peternakan dan pengairan tanaman. IV. Baku mutu air untuk pengairan tanaman. (batas baku mutu lebih dari air kriteria III) Analisis COD Pada hasil analisis kadar COD pada air sumur warga sekitar semburan lumpur panas Lapindo didapatkan hasil bahwa kadar COD tertinggi sebesar 20,896 mg/L terdapat pada sampel dari desa Mindi. Rata-rata kadar COD tertinggi juga terdapat pada desa Mindi sebesar 9,69 mg/L, diikuti desa Besuki Kulon sebesar 8,4072 mg/L, dan desa Gempol Sari sebesar 8,0174 mg/L. Tingginya kadar COD menandakan bahwa jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang melalui proses kimiawi dan biologi dalam jumlah yang tinggi. Zat organik ini kemungkinan besar berasal dari lumpur yang terserap melalui tanah dan masuk ke air tanah yang merupakan sumber air sumur warga. Tingginya kadar COD pada desa Mindi dan Besuki Kulon kemungkinan dikarenakan letak dari kedua wilayah ini lebih rendah dari ketiga desa yang lain. Rendahnya wilayah kedua desa ini dipengaruhi oleh letaknya yang paling dekat dengan badan Sungai Porong yang terletak pada sisi Selatan area semburan. Hal ini menyebabkan kondisi topografi kedua daerah pada sisi Selatan ini lebih rendah jika dibandingkan dengan sisi Utara. Fenomena ini menyebabkan aliran alir lumpur cair terkonsentrasi pada sisi Selatan sedangkan material lumpur pekat berada di Utara karena lempung ini mengendap dan tertinggal (13). Terkonsentrasinya aliran alir lumpur cair pada sisi Selatan memungkingkan resapan material lumpur ke dalam air tanah paling besar karena resapan yang terjadi pada lumpur cair lebih besar dari material padatannya, sehingga menyebabkan tingginya kadar COD. Sedangkan pada desa Gempol Sari yang wilayahnya relatif tinggi dari daerah Selatan (Mindi dan Besuki Kulon), tingginya kadar COD disebabkan oleh terserapnya mikroorganisme lumpur yang berasal dari material padatannya yang terserap melalui tanah dan masuk ke air tanah yang merupakan sumber air sumur warga, bukan dari lumpur cair. Penyerapan ini terjadi relatif lebih kecil dari penyerapan tanah oleh lumpur cair, sehingga walaupun kadar COD desa Gempol Sari cukup tinggi tapi tidak sebesar pada desa Mindi. Sedangkan pada desa Renokenongo dan Siring Barat, walaupun air sumurnya juga tercemar tetapi pencemaran yang terjadi tidak sebesar daerah Utara dan Selatan semburan karena kedua desa ini karena posisinya hanya dilewati aliran dari lumpur saja, tanpa terjadi pengkonsentrasian lumpur cair ataupun lumpur padat. Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengolahan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dari 15 sampel air sumur yang diambil dari 5 desa di dekat semburan lumpur panas Lapindo terdapat 12 sampel yang memenuhi kriteria baku mutu COD air kualitas I dan 3 sampel yang melebihi kriteria baku mutu BOD air kualitas I tapi masih memenuhi baku mutu air kualitas II yaitu sampel dari desa Mindi dan desa Gempol Sari. 464 COD I. Kadar COD (m g/l) 25.00 7 20.00 6 15.00 13 10.00 2 5.00 1 5 3 8 4 10 9 11 14 15 12 0.00 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Nomor sampel Gambar 3. Kadar COD dari 15 Sampel Air Sumur Baku mutu untuk air minum (PP No. 82 Tahun 2001). II. Baku mutu air untuk sarana / prasarana rekreasi air, budidaya air tawar, peternakan dan pengairan tanaman. III. Baku mutu air untuk budidaya air tawar, peternakan dan pengairan tanaman. (batas baku mutu lebih dari batas baku mutu air kriteria II) IV. Baku mutu air untuk pengairan tanaman. (batas baku mutu lebih dari batas baku mutu air kriteria III) Analisis Logam Berat Timbal (Pb) Pada hasil analisis kadar logam berat Pb pada air sumur warga sekitar semburan lumpur panas Lapindo didapatkan hasil bahwa kadar logam berat Pb tertinggi sebesar 0,86 mg/L terdapat pada sampel dari desa Siring Barat. Rata-rata kadar Pb tertinggi juga terdapat pada desa Siring Barat yaitu sebesar 0,80 mg/L, diikuti desa Gempol Sari sebesar 0,59 mg/L, dan desa Besuki Kulon sebesar 0,54 mg/L. Tingginya kadar logam berat Pb menandakan bahwa air sumur pada daerah sekitar semburan lumpur Lapindo sudah tercemar yang kemungkinan besar berasal dari lumpur yang terserap melalui tanah dan masuk ke air tanah yang merupakan sumber air sumur warga. Tingginya kadar logam berat Pb pada desa Siring tidak hanya diakibatkan oleh posisinya yang dekat dengan semburan lumpur Lapindo tetapi juga berada di sekitar lokasi perindustrian dan jalan raya yang sangat ramai lalu lintasnya. Pabrik yang melakukan aktivitas produksi di daerah, telah melakukan aktivitasnya sebelum semburan lumpur panas terjadi, bahkan setelah semburan lumpur panas terjadi sebagian di antara pabrik ini masih beroperasi sampai sekarang. Sedangkan desa Gempol Sari terletak di Utara kemungkinan logam berat seperti Pb ikut terendapkan bersama material padat lumpur. Setelah terendapkan kemudian terserap masuk dalam pori-pori tanah yang kemudian mencemari air tanah yang merupakan sumber air sumur warga. Sedangkan desa Besuki Kulon berada di daerah Selatan dimana kebanyakan lumpur cair terkonsentrasi di daerah Selatan yang akan dialirkan melalui Sungai Porong. Hal ini menunjukkan penyerapan logam berat Pb pada air tanah lebih besar terjadi melalui material padat lumpur dibanding lumpur cair. Kadar Pb pada air sumur sekitar semburan lumpur panas Lapindo relatif tinggi (tidak memenuhi kriteria baku mutu air kualitas I, II, dan III). Kemungkinan masuknya Pb dalam air sumur warga adalah melalui penyerapan dari tanah terlebih dahulu. Sehingga dikhawatirkan kandungan Pb pada tanah di sekitar semburan lumpur panas Lapindo lebih tinggi dibanding pada air sumur. Padahal Pb dapat berakumulasi dalam tanaman, sehingga jika tanaman hasil produksi daerah sekitar semburan ini dikonsumsi oleh manusia dapat membahayakan kesehatan, karena juga dapat terakumulasikan dalam tubuh manusia. Keberadaan logam berat dalam tanah dapat menjadi zat toksin (racun) bagi tanaman, dan melalui rantai makanan akan masuk ke dalam tubuh manusia, sehingga akan mengganggu kesehatan manusia. Kadar logam berat Pb yang tinggi dapat meracuni sistem pembentukan darah merah. Pada anak-anak dapat 465 menurunkan kemampuan otak, sedangkan pada orang dewasa logam berat Pb dapat menimbulkan tekanan darah tinggi, kemandulan (infertilitas), serta keracunan jaringan lainnya. Setiap kenaikan 1 g/m3 Pb dalam darah akan menurunkan 0,975 skor IQ (Intelligent Quotient) pada seorang anak. Logam berat Pb dapat terakumulasi dalam ginjal, hati, kuku, jaringan lemak dan rambut. (6) Menurut PP No. 82 Tahun 2001 untuk syarat air minum kadar Pb maksimum adalah 0,03 mg/liter. Berdasarkan penelitian rata-rata air sumur dari kelima desa sudah melebihi ambang batas baku mutu air kriteria I, II, dan III, angka ini menunjukkan bahwa rata-rata air sumur dari kelima desa tidak layak digunakan sebagai air minum, air bersih, dan air dan pembudidayaan ikan karena kadar Pb melebihi batas maksimum yang dijinkan. Pb 1 0.9 10 Kadar Pb (mg/l) 0.8 11 0.7 0.6 1 4 0.5 2 0.4 5 13 14 9 3 6 7 8 12 15 0.3 0.2 0.1 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Nom or Sam pe l Gambar 3. Kadar Pb dari 15 Sampel Air Sumur Analisis Korelasi Regresi BOD dan COD Dari korelasi data BOD dan COD didapat nilai R sebesar 0,969**. Nilai R tersebut menunjukkan bahwa antara BOD dan COD mempunyai pengaruh yang positif, artinya kenaikkan BOD dalam air disertai dengan kenaikkan COD. Hal ini disebabkan BOD dan COD sama-sama menunjukkan kadar oksigen terlarut, bedanya BOD merupakan oksigen yang diperlukan untuk perombakan bahan organik secara biologi oleh mikroorganisme dalam air sedangkan COD merupakan oksigen yang diperlukan suatu bahan oksidan untuk mengoksidasi dan menguraikan bahan organik dalam air. BOD dan COD 25.0000 C OD (m g/L) 20.0000 y = 3.0497x - 2.7232 R2 = 0.903 15.0000 10.0000 5.0000 0.0000 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 BOD (mg/L) Gambar 4. Grafik Korelasi Regresi BOD dan COD Berdasarkan analisis kadar BOD, COD, dan Pb maka dapat dibuat peta pencemaran BOD, COD, dan logam berat Pb tertinggi seperti yang ditunjukkan pada gambar 6. 466 PETA Daerah dengan COD dan BOD tinggi PENCEMAR AN Daerah dengan Pb Derah dengan COD dan BOD tinggi Gambar 6. Peta Pencemaran BOD, COD, Dan Pb Tertinggi KESIMPULAN Kadar BOD rata-rata dari 15 sampel air sumur adalah 3,46 mg/L, menunjukkan bahwa rata-rata air sumur telah melewati kriiteria baku mutu air kualitas I, dan II (PP No 82. Tahun 2001). Range kadar BOD sampel 1,68-8,91 mg/L. Sedangkan kadar COD rata-rata dari 15 sampel air sumur 7,4317 mg/L, menunjukkan bahwa ratarata air sumur masih memenuhi kriteria baku mutu air kualitas I. Range kadar COD sampel 3,0594-20,896 mg/L yang menunjukkan ada sampel yang telah melewati kriteria baku mutu air kualitas I. Kadar Pb rata-rata air sumur adalah 0,58 mg/L, menunjukkan bahwa rata-rata air sumur telah melewati kriteria baku mutu air kualitas I, II, dan III. Range kadar Pb adalah 0,45-0,86 mg/L. DAFTAR PUSTAKA (1) Yurino, Ari. Demi Profit, PT Lapndo Berantas Mengorbankan Rakyat. 2006: http://www.prakarsarakyat.org/download/Buletin%20SADAR/SADAR%2023%20tahun%20II%2020 06.html. Diakses 10 Juni 2007 (2) Santoso, Dwi Andreas. Logam Berat dalam Lumpur Lapindo Brantas Diabang Batas. [Serial Online] 2007: http://www.ilibrary.org/index.php?option=comcontent&task=view&id=5061&Itemid=26Diak ses 10 Juni 2007 (3) Santoso, Dwi Andreas. Logam Berat dalam Lumpur Lapindo Brantas Diabang Batas. [Serial Online] 2007: http://www.beritabumi.or.id/berita3.php?id berita=652. Diakses 17 Juni 2007 (4) Pribadi, dody Wisnu. Memandang Lumpur Bukan Masalah. Tak Bisa Untuk Cocok Tanam. 2007: http://kmit.faperta.ugm.ac.id/Artikel%20-%20Lumpur.html. Diakses 3 Juni 2007 (5) Anonim. -. -: http://www.d-infokom-jatim.go.id/media_view.php?id=121. Diakses 3 Juni 2007 (6) Saeni, Moch. Pencemaran Lingkungan Dalam Pandangan Islam: Interpretasi 467 Untuk Aksi Pencegahan Pencemaran Timbel. 2006: http://www.indonesialic.org/adv_pendidikanmasy_resensi.php. Diakses 3 Juni 2007 (7) Achmadi, Umar Fahmi. Peranan Air dalam Peningkatan derajat Kesehatan Masyarakat. [serial Online] 2001; (6):[7 Halaman]. http://www1.bpkpenabur.or.id/kps-jkt/berita/200104/lap-perananair.pdf. Diakses pada 17 Juni 2007 (8) Hadi, Sofyan. Sekitar Lumpur Lapindo: Permukaan Sehari Turun Dua Senti, Sumur Tercemar. 2006: http://www.walhi.or.id/. Diakses 17 Juni 2007 (9) Alaerts, G. dan Sri Sumestri Santita. Metoda Penelitian Air. Surabaya: Usaha Nasional; 1987. (10) Radojevic, Miroslav dan Vladimir N. Bashkin. Practical Environmental Analysis. Cambridge; Royal Society of Chemistry; 1999. (11) Sugiharto. Dasar-Dasar Pengolahan Air Limbah. Jakarta;UI-Press; 1987. h.8 (12) Soetikno. Kajian Geografis Dalam Menyikapi Bencana Lumpur Panas Lapindo Brantas, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timar. Seminar Nasional. Surabaya; Universitas Negeri Surabaya (UNESA); 2006. h. 6-7. 468 1) MODEL FOTOKIMIA OZON PERMUKAAN *) ( SIKLUS O3, NOX, DAN CO ) Rukmi Hidayati, 1)Afif Budiyono, 1) Sarwito Agung Nugraha, 1) Mulyono Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN Jl. Dr. Djundjunan No. 133 , Telp. (022) 6037445, Fax : (022) 6037443 Bandung 40173 Email : [email protected]; [email protected] Abstrak Peningkatan gas telusur yang sangat reaktif seperti ozon (O 3), nitrogen dioksida (NO 2), Nitrik Oxida (NO) peroksiasetil nitrat (PAN) dan hidrokarbon, mengakibatkan pengaruh buruk pada biosfir kita, maka perlu meneliti gas telusur tersebut. Untuk mensimulasikan ozon permukaan diperlukan suatu model matematika untuk penaksiran respon dari gas telusur ini. Dasar dari model yang akan digunakan adalah keseimbangan massa zat dengan mempertimbangkan proses kimia dan fisika yang dapat dipecahkan dengan teknik bilangan Euler dengan asumsi ”quasi steady state approximation (QSSA). Sebagai input model digunakan data O 3 (ozon), NO (nitrogen monoksida), NO2 (nitrogen dioksida) dan CO (karbondioksida) permukaan dalam (µg/m3) , serta T (temperatur udara permukaan) dalam (0 C), berupa rata – rata per setengah jam tahun 2001 dari BPLHD Surabaya. Evaluasi model dilakukan dengan membandingkan hasil simulasi dengan hasil pengukuran in situ, dan hasilnya menunjukkan penyimpangan sekitar 20,5% , 16,9% dan 38,5% masing-masing untuk Taman Prestasi, Perak Timur dan Gayungan di Surabaya. Keakuratan model sangat tergantung pada kualitas data yang digunakan sebagai input, terutama NO dan NO2, yang mempunyai potensi pembentukan ozon yang sangat tinggi Kata kunci : Fotokimia, keseimbangan masa, teknik bilangan Euler, quasi steady state approximation. *) Dibawakan pada Seminar Nasionan Kimia , Rabu,5 Desember 2007 Jurusan Kimia FMIPA UNESA, Kampus UNESA , Jl. Ketintang Surabaya. 1) Peneliti Bidang Pengkajian Ozon dan Polusi Udara, Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN - Bandung 1. PENDAHULUAN 469 Latar Belakang Peningkatan gas telusur yang sangat reaktif seperti ozon (O3 ), nitrogen dioksida (NO 2), Nitrik Oxida (NO) peroksiasetil nitrat (PAN) dan hidrokarbon, mempunyai peran yang mengakibatkan pengaruh buruk pada biosfir kita, sehingga kita perlu meneliti gas telusur tersebut. Namun selain data yang tersedia sangatlah terbatas karena sukar untuk diukur, juga memerlukan peralatan yang mahal. Oleh karena itu untuk meneliti gas telusur tersebut dapat digunakan suatu model matematika yang memberikan cara penaksiran respon dari bermacam- macam gas telusur yang sangat reaktif ini. Pada penelitian ini, model dirancang untuk mensimulasikan variasi harian ozon permukaan dengan mempertimbangkan proses kimia dan fisika yang ada. Dasar dari model yang akan digunakan adalah keseimbangan massa zat yang dapat dipecahkan menggunakan teknik bilangan Euler dengan asumsi ”quasi steady state approximation (QSSA)”. Sebagai input model digunakan data O 3 (ozon), NO (nitrogen monoksida), NO 2 (nitrogen dioksida) dan CO (karbondioksida) permukaan dalam (µg/m3) , serta T (temperatur udara permukaan) dalam ( 0C), berupa rata – rata per setengah jam. Keakuratan model dapat dievaluasi dengan membandingkan hasil simulasi terhadap hasil pengukuran konsentrasi ozon in situ pada kondisi langit cerah. 2. TINJAUAN PUSTAKA Sebagai tinjauan pustaka digunakan referensi dari hasil penelitian (Rukmi Hidayati, dkk, tahun 2006) yang membahas tentang Model Fotokimia Ozon Permukaan ( Siklus O3 dan NOx ) untuk kota Bandung, dan diperoleh,variasi harian ozon permukaan pada bulan Juni 2003 di ketiga lokasi, Batnunggal, Cisaranten dan Aria Graha sekitar 40 ppb pada siang hari dan kurang dari 10 ppb pada pagi hari sebelum jam 7.00. Sedangkan pada bulan Januari 2003 di tiga lokasi kurang dari 40 ppb pada siang hari (kecuali di Cisaranten) dan kurang dari 5 ppb pada pagi hari sebelum jam 7.00. Perbandingan hasil simulasi dan observasi pada bulan Juni 2003 untuk ketiga lokasi Batnunggal, Cisaranten dan Aria Graha masing-masing menunjukkan penyimpangan sekitar 33,5%, 32,8%,37,5%. Hasil simulasi ozon permukaan pada musim hujan ( bulan Januari dan Februari) di tiga lokasi Batununggal, Cisaranten, Aria Graha dan Tirtalega menunjukkan penyimpangan sekitar 20% lebih besar dibandingkan pada musim kemarau (bulan Juni). Keakuratan model sangat tergantung pada kualitas data yang digunakan sebagai input, terutama NO dan NO2 , yang mempunyai potensi pembentukan ozon yang sangat tinggi. 3. DATA DAN METODE 470 3.1. Data Data yang digunakan adalah O 3 (ozon), NO (nitrogen monoksida), NO2 (nitrogen dioksida) dan CO (karbondioksida) permukaan dalam (µg/m3) , serta T (temperatur udara permukaan) dalam (0 C), berupa rata – rata per setengah jam pada tahun 2001 untuk Surabaya di tiga lokasi Taman Prestasi, Perak timar dan Gayungan yang diperoleh dari BPLHD Surabaya. Data radiasi matahari akan dipilih hari-hari tertentu yang mendekati langit cerah pada bulan Juni 2001 untuk menghindari pengaruh awan, dan pemilihan data polusi udara serta data temperatur disesuaikan. 3.2. Metode Dasar dari model yang akan digunakan adalah keseimbangan massa zat yang sedang ditelaah (pada kasus ini, ozon) yang dapat dipecahkan menggunakan teknik bilangan Euler dengan asumsi ”quasi steady state approximation (QSSA)” (S.B. Debaje dan D.B. Jadhav, 1999). ci / t = Ri ({Pk }t,T) ..............(1) dengan ci = konsentrasi zat yang ditelaah (ozon) R i adalah net ozon (keseimbangan pembentukan dan perusakan) merupakan fungsi ruang dan waktu dengan memasukkan semua mekanisme kimia yang terkait dalam pembentukan dan perusakan ozon permukaan (Pk ), fungsi ruang, waktu (t), temperatur (T) dan sudut zenit matahari (z). Persamaan (1) diintegrasi menggunakan teknik bilangan Euler . Dalam persamaan (1) mekanisme fotokimia semua zat yang terkait dalam pembentukan dan perusakan ozon ( Siklus O3 , NOx dan CO) adalah reaksi cepat dan lambat Mekanisme reaksi kimia dalam persamaan (1) dibuat sesederhana mungkin dengan asumsi ”quasi steady state approximation (QSSA)”, sehingga jumlah persamaan reaksi kimia menjadi minimum, karena proses transformasi kimia diketahui sangat sulit untuk diselesaikan secara numerik. Dari referensi:”Atmospheric Chemistry and Physics”,( Seinfeld, John H., 1986, diperoleh mekanisme fotokimia semua zat yang terkait dalam pembentukan dan perusakan ozon yang merupakan dasar siklus O3 , NOx , dan CO, sebagai berikut : a) Mekanisme kimia 1. NO2 + h√ → NO + O R1 = J [NO2] 2. O + O2 + M → O3 + M R 2 = k2 [O][O2 ][M] 3. O3 + NO → NO2 + O2 R3 = k3 [O3 ][NO] 471 4. O3 + h√ → O (’ D) + O2 R 4 = k4 [O3 ] 5. O (’D) + M → O + M R5 = k 5 [O (’D)][M] 6. O (’D) + H 2O → 2 OH∙ 7. CO + R6 = k 6 [O (’D)][H2 O] OH∙ → CO2 + HO2∙ R 7 = k7 [CO][ OH∙ ] 8. HO2∙+ NO → NO2 + OH∙ R 8 = k8 [HO 2 ∙ ][NO] 9. OH∙+ NO2 → HNO3 R 9 = k9 [OH∙ ][NO2] Untuk penyelesaian persamaan reaksi tersebut dipisahkan dalam 3 group: Group 1 : Terdiri dari species kimia yang konsentrasinya di atmosfer melimpah, mempunyai livetime beberapa hari , mempunyai reaktivitas kimia yang rendah, yaitu (CO 2, H2 O,O2 dan gas –gas inert) dan konsentrasi species ini sepanjang simulasi dianggap konstan. Group 2 : Terdiri dari species kimia yang konsentrasi variasi hariannya dimonitor secara rutin dan mempunyai livetime beberapa jam yaitu (NO2 , NO, O3, dan CO) dan senyawa stabil lainnya. Perubahan konsentrasinya dinyatakan dengan dCi/dt. Group 3 Terdiri dari species yang konsentrasinya sangat rendah dan reaktivitas kimianya tinggi, livetimenya sangat pendek, hanya beberapa menit, yaitu radikal (OH, HO 2, NO3 dan RCO3), maka perubahan konsentrasinya dinyatakan dengan dCi/dt = 0.(steady state) (Dana A. Brewer, et all) Dengan asumsi ”quasi steady state approximation (QSSA)”, maka diperoleh : [O]ss : R1 – R2 + R5 = 0 J [NO2 ] - k2 [O][O2 ][M] + k5 [O (’D)][M] = 0 [O (’D)ss : R4 – R5 – R6 = 0 k 4 [O3 ] - k5 [O (’D)][M] - k6 [O (’D)][H2 O] = 0 [ OH∙ ]ss : 2R6 – R7 + R8 – R9 = 0 [H 2O]ss : R7 - R8 = 0 2k6 [O (’D)][H2O] - k9 [OH∙ ][NO2] = 0 [O 3]ss : R2 – R3 – R4 = 0 k 2 [O][O2 ][M] - k 3 [O 3][NO] - k 4 [O 3] = 0 Dari 4 persamaan steady state diatas ,4 yang tidak diketahui, maka [H2 O]ss dapat dieliminir dengan menggunakan R 7 - R 8 = 0 , dalam persamaan [ OH∙ ]ss , sehingga menjadi; J [NO2 ] + k5 [O (’D)][M] 472 [O]ss = -------------------------------------k2 [O 2][M] k4 [O3 ] [O (’D)ss =-------------- x a k 6 [H2 O] k 6 [H 2O] 1 Dengan a = ----------------------------- = -----------------------k6 [H 2O] + k5 [M] k5 [M] 1 + --------------k 6 [H 2O] 2k6 [O (’D)][H2 O] 2 a k4 [O 3 ] [ OH∙ ]ss = --------------------------- = ---------------k 9 [NO 2] k9 [NO 2] b) Penentuan d[O3 ]/dt , d[NO2]/dt , d[NO]/dt dan d[CO]/dt d[O3 ]/dt = R2 – R3 – R 4 d[NO2 ]/dt = - R1 + R3 + R8 – R9 d[NO]/dt = R 1 – R3 – R 8 d[CO]/dt = - R7 d[O3 ]/dt = k1 [NO2 ] - k3 [NO][O3] – k4 [O3 ] d[O3 ]/dt = k1[NO 2] – [O 3] ( k3 [NO] – k4 ]) d[NO2 ]/dt = - k1 ([NO2 ] + [O3](k3[NO] + 2ak4 k7 / k 9 [CO] / [NO2] – 2ak4) d[NO]/dt = k1 [NO2 ] – [O 3](k3 [NO] + 2ak4 k7 / k9[CO] /[NO2 ] d[CO]/dt = - 2ak4 k7 / k9 [O 3][CO] / [NO 2] c) Perhitungan laju fotolisa. J[NO2] dan Konstanta kecepatan reaksi. J = adalah laju fotolisa NO2, fungsi sudut zenit matahari (secz) secz adalah fungsi lintang tempat, deklinasi dan sudut jam matahari, sedangkan deklinasi fungsi hari dalam tahun. J[NO2 ] = 0,0133 x exp (- 0,254 sec( z )) Sec( z) = 1/ cos( z) Cos( z) = sinфsinδ+ cosw cosфcosδ Ф= lintang tempat δ= deklinasi 284 + n δ=23,45 sin (360 ---------------) 473 365 W = sudut jam matahari , w= 0, pada local noon selang 150 untuk setiap jam dari noon pagi hari = positif sore hari = negatif W < 750 Contoh perhitungan laju fotolisa NO 2 (J), untuk jam 12 siang: J = 0,0133 x exp (- 0,254 sec( z)) → diperoleh J = 0,0104 Perhitungan Konstanta Kecepatan Reaksi. Nilai k1 = J[NO2 ] k 3 = 2,0 x 10-12 exp (-1370/T) (cm3 molekul-1det -1) ----- T = 0 K 1 ppb = 2,5 x 1010 molekul / cm3 molekul / cm3 = ppb / 2,5 x 1010 k 3 = 2,0 x 10-12 exp (-1370/T) x 2,5 x 1010 /ppb det = 5 x 10-2 exp (-1370/T) ppb-1 det-1 untuk T = 250 C = 298 0K k 3 = 0, 5 x 10-3 ppb-1det -1 k4 = 0.0028 k1 k5 = 2,9 10-11 cm3 molekul -1 sec -1 k6 = 2,2 10-10 cm3 molekul -1 sec -1 k5 / k6 = 0,132 k7 = 2,2 10-13 cm3 molekul -1 sec -1 k9 = 1,1 10-11 cm3 molekul -1 sec -1 k7 / k9 = 0,02 Nilai a = 0.09 untuk N2 atau a = 0.27 untuk O 2 , dalam kasus ini diambil a = 0,09 M = adalah N2 atau O2 d) Cheking, pemilihan dan pengolahan data : Cheking kelengkapan data terutama untuk polutan O3 , NO2 , NO dan CO dari jam 00.30 –– 24.00, dicari yang lengkap atau tidak banyak kosongnya.Untuk data radiasi matahari dipilih hari – hari yang mendekati clear sky dengan tujuan untuk menghindari pengaruh awan pada proses fotolisa, sedangkan untuk data polutannya disesuaikan. e) Running model Untuk penyelesaian persamaan diferensial d[O3 ]/dt, diintegrasi dengan metode Euler. 474 MU LAI n = 1 [O 3](n ) [N O](n ) , [N O 2 ](0 ) ,[C O](n ) T(n ) J(n ) , k3 (n ),k 1 (n ),k 4 (n ),(k 7 (n ) /k9 (n ) ) m = 0 d [0 3]/d t= k1 ( n)[ N O2 ](m - 1 ) – [O 3 ](m - 1 ) ( k 3 (n )[N O ](m - 1 ) + k 4 (n)]) [O 3 ]( m ) = [O 3 ]( m -1 ) + d[ 0 3]/d t [N O 2](m ) = [N O 2]( m -1)+ ( - k 1 (n)[N O 2]( m -1) + [ O 3]( m )(k 3 (n)[N O ](m -1) + 2a k4(n )k 7(n) / k 9(n ) [C O ](m - 1) / [N O 2]( m -1) – 2a k4(n))) [N O ]( m ) = [N O ]( m -1)+( k 1 (n)[N O 2}( m ) – [O 3](m )( k 3(n ))[N O ](m - 1) + 2a k4(n) k 7(n) / k 9(n)[ C O ](n-1 ) /[N O 2](m )) t=t+1 F alse t= 3 6 m = m +1 F alse d[0 3]/ d t = 0.0 1 3 T rue T ru e [O 3 ] SIM U L AS I [O3 ] Aktual e r ro r n=n+1 [C O ](n) = [ C O ](n- 1) + ( - 2a k4 k7 / k 9[O 3](n ) [C O ](n- 1) / [N O 2]( n)) t= 0 n = 48 F alse T ru e T AB E L EX C E L D A N G R A F IK SE L E S A I * * * * * J( n ) = 0 ,0 1331 * E X P ( - 0 ,254 .sec z ) s k1 (n ) = J[ N O2 ] (n ) k3 (n ) = 0 .0 5 * E X P ( - 1370/ T ) ppb -1 s-1 k4 (n ) = 0 .00 28 k 1 (n ) k 7( n )/k9 ( n) = 0 ,02 -1 * a = 0 ,09 Gambar.3.2.1. Diagram alir proses integrasi Euler Model Fotokimia Ozon Permukaan METODE EULER PDB orde satu, y’ = dy/dx = f(x,y) dan nilai awal y(x 0) = (y 0) Integrasi kedua ruas dalam selang (xr - x r +1), xr 1 xr 1 xr xr f ( x, y , ( x)) dx y( x)dx Ruas kanan diintegrasi, y(xr +1) – y(xr) = hf (x r , y(xr)) atau y(xr +1 ) = y (xr ) + hf(xr , yr), ini (Merupakan metode Euler). Perhirtungan penyimpangan antara hasil simulasi dan hasil pengukuran. RMSE = [ 1/N ∑|Xobs - Xsim|^2]^0.5 error (%) =( RMSE / ∑Xobs/N )*100 error (%) = [ [ 1/N ∑|Xobs - Xsim|^2]^0.5 / ∑Xobs/N]*100 475 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Hasil yang diperoleh ditunjukkan dalam Gambar seperti berikut: a) b) 35 gradrt_2425s1 800 O3rt_2425s1 30 gradrt_2425s2 O3rt_2425s2 O3rt_2425s4 700 gradrt_2425s4 25 600 [O3] (ppb) Intensitas radiasi matahari ( W/m2) 900 500 400 20 15 300 10 200 100 5 0 0 Waktu (jam) Waktu (jam ) c) d) 6.0 [NO]/[NO2]_2425s2 5.0 [CO] (ppm) [NO]/[NO2]_2425s1 [NO]/[NO2]_2425s4 COs1_2425j01 COs2_2425j0 1 COs4_2425j0 1 4.0 3.0 2.0 1.0 Waktu (jam) 22:30 20:30 18:30 16:30 14:30 12:30 10:30 08:30 06:30 04:30 02:30 00:30 22:30 20:30 18:30 16:30 14:30 12:30 10:30 08:30 06:30 04:30 02:30 0.0 00:30 [NO] / [ NO 2] 7.0 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 Wak tu (jam ) Gambar.4.1.1. a) Intensitas radiasi matahari pada lokasi SUF1, SUF2, dan SUF4 di Surabaya pada periode 24 - 25 Juni 2001. b) Konsentrasi Ozon permukaan pada lokasi SUF1, SUF2, dan SUF4 di Surabaya pada periode 24 - 25 Juni 2001. c) Ratio [NO]/[NO2 ] pada lokasi SUF1, SUF2, dan SUF4 di Surabaya pada periode 24 - 25 Juni 2001. d) Konsentrasi CO permukaan pada lokasi SUF1, SUF2, dan SUF4 di Surabaya pada periode 24 - 25 Juni 2001. 476 a) b) 30 30 [ O3] (o bs)_ s2 [ O3 ] (ob s)_s1 25 Waktu (jam ) Wak tu (jam ) c) 35 [ O3] (obs)_s4 30 [ O3] Sim_s4 [O3 ] (ppb) 25 20 15 10 5 22:30 20:30 18:30 16:30 14:30 12:30 10:30 08:30 06:30 04:30 02:30 00:30 0 Waktu (jam ) Gambar.4.1.2. a) Perbandingan hasil simulasi dan hasil pengukuran ozon permukaan dengan Siklus O3_NO x _CO, pada lokasi SUF1 di Surabaya periode 24 - 25 Juni 2001, dengan penyimpangan 20,46%. b) Perbandingan hasil simulasi dan hasil pengukuran ozon permukaan dengan siklus O3_NOx _CO, pada lokasi SUF2 di Surabaya periode 24 - 25 Juni 2001, dengan penyimpangan 16,88%. c) Perbandingan hasil simulasi dan hasil pengukuran ozon permukaan dengan siklus O3_NOx _CO, pada lokasi SUF4 di Surabaya periode 24 - 25 Juni 2001, dengan penyimpangan 37,98%. 4.2. Pembahasan Gambar.4.1.1. a) menunjukkan Intensitas radiasi matahari pada lokasi SUF1, SUF2, dan SUF4 di Surabaya pada periode 24 - 25 Juni 2001, b) Konsentrasi Ozon permukaan pada lokasi SUF1, SUF2, dan SUF4 , c) Ratio [NO]/[NO 2 ] pada lokasi SUF1, SUF2, dan SUF4 , dan d) Konsentrasi CO permukaan pada lokasi SUF1, SUF2, dan SUF4 pada periode yang sama. Pola dan besaran radiasi matahari dan ozon permukaan pada ketiga lokasi mirip dan hampir berimpit, sedangkan nilai ratio [NO]/[NO 2] dan [CO] di lokasi SUF4 lebih tinggi dari pada 477 22 :3 0 20 :3 0 18 :3 0 16 :3 0 14 :30 12 :30 00 :30 22:30 20:30 18:30 16:30 14:30 12:30 10:30 08:30 0 06:30 0 04:30 5 02:30 5 10 :3 0 10 08 :3 0 10 15 06 :3 0 15 20 04 :3 0 [O3 ] (ppb ) 20 [ O3 ] Sim_ s1 02 :30 [ O3] Sim_s2 00:30 [O3] (ppb) 25 kedua lokasi yang lain. Ini menunjukkan tingkat polusi di SUF4 lebih tinggi dari pada kedua lokasi yang lain. Sedangkan dari Gambar.4.1.2. a) Perbandingan hasil simulasi dan hasil pengukuran ozon permukaan dengan siklus O3 _ NOx _ CO, pada lokasi SUF1 di Surabaya periode 24 - 25 Juni 2001, b) Perbandingan hasil simulasi dan hasil pengukuran ozon permukaan pada lokasi SUF2, dan c) Perbandingan hasil simulasi dan hasil pengukuran ozon permukaan pada lokasi SUF4 pada periode yang sama, tampak pada SUF1 dan SUF2, hasil simulasi lebih mendekati hasil pengukuran dibandingkan dengan di SUF4, dengan penyimpangan masingmasing, SUF1= 20,46 %, SUF2 = 16,88 %, dan SUF4 = 37,98 %. Penyimpangan yang terjadi di SUF4 lebih besar dari dua lokasi yang lain, karena di SUF4tingkat polusi lebih tinggi dari pada di dua lokasi yang lain. KESIMPULAN Dengan pemilihan kualitas data yang cukup baik sebagai input model,akan diperoleh hasil simulasi yang cukup mendekati hasil pengukuran.. Pada Siklus O3 _NOx _CO penyimpangan yang terjadi antara hasil simulasi dan hasil pengukuran di Surabaya, 20,46 %, 16,88 %, dan 37,98 %, masing-masing untuk SUF1 (Taman Prestasi), SUF2 (Perak Timar) dan SUF4 (Gayungan). Keakuratan model ini sangat tergantung pada kualitas data yang digunakan sebagai input, terutama NO dan NO2 , yang mempunyai potensi pembentukan ozon yang sangat tinggi . Kualitas data ini sangat tergantung pada kondisi dan situasi lokasi setempat. DAFTAR PUSTAKA Buchari, I Wayan Arka, K.G. Dharma Putra, I.G.A. Kunti SriPanca Dewi, 2001; ”Kimia lingkungan” Universitas Indonesia Dana A. Brewer, Ellis E, Remsber, and Gerard E Woodbury, 1981: “A Diagnostic Model for Studying Daytime Urban Air-Quality Trends” NASA, Scientific and Technical Information Branch, 1981 Debaje S.B and Jadhav D.B, 1999 : “An Eulerian Photochemical Model for tropospheric ozone over the tropic”, Current Science, vol.77, No. 11, 10, December1999. Seinfeld, John H., 1986 :”Atmospheric Chemistry and Physics”, John Wiley & Sons, INC. Seinfeld, John H. and Pandis Spyros N, 1998 ”Atmospheric Chemistry and Physics”, John 478 OPTIMASI KANDUNGAN SULFAT TERHADAP PLASTISITAS BAHAN BAKU GENTENG LUMPUR LAPINDO DAN KEMUDAHRETAKAN GENTENG Susianah dan Suyono Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui optimasi kandungan sulfat terhadap plastisitas bahan baku genteng lumpur Lapindo dan kemudahretakan genteng. Metode yang digunakan untuk mengukur plastisitas bahan baku genteng adalah uji atterberg, kemudahretakan genteng diamati dari banyaknya titik retak setelah dibakar. Analisis kandungan sulfat menggunakan metode spektrofotometri dengan perbedaan komposisi tawas pada bahan baku genteng yaitu 0%, 3%, 5%, 10%, 15%, dan 20%. Hasil analisis variasi komposisi lumpur: pasir: tawas terhadap kandungan sulfat yaitu 0,38%; 0,88%; 1,03%; 1,43%; 1,68%; dan 1,98%. Berdasarkan data kadar sulfat pada bahan baku genteng maka dilakukan optimasi kandungan sulfat terhadap plastisitas bahan baku genteng lumpur Lapindo. Hasil analisis plastisitas menggunakan metode atterberg yaitu 25,79%; 32,71%; 28,03%; 17,44%; 10,13%; 9,11%. Pada hasil analisis data dengan uji anava satu arah menunjukkan ada pengaruh signifikan antara kandungan sulfat dengan plastisitas bahan baku genteng lumpur Lapindo. Hasil analisis menemukan kandungan sulfat 0,88% menghasilkan plastisitas terbaik dengan nilai Indeks Plastisitas (IP) 32,71%. Berdasarkan nilai IP bahan baku genteng maka dilakukan analisis terhadap titik keretakan pada genteng yang dihasilkan. Hasil analisis menemukan titik keretakan pada genteng yaitu 3 dan 4, 1 dan 3, 2 dan 4, 4 dan 7, 5 dan 7, 8 dan 10. Pada hasil analisis data menggunakan uji korelasi menunjukkan ada hubungan signifikan antara plastisitas bahan baku dengan kemudahretakan genteng. Bahan baku genteng dengan nilai IP 32,71% menghasilkan genteng lumpur Lapindo dengan rata-rata tingkat keretakan terkecil yaitu 1 dan 3 titik retak. Kata Kunci: Lumpur Lapindo, Plastisitas, Atterberg, Kemudahretakan PENDAHULUAN Peristiwa banjir lumpur Lapindo Brantas di Porong Sidoarjo Jawa Timur memberikan dampak lingkungan yang sampai sekarang belum dapat diatasi. Lumpur Lapindo mengandung silika cukup tinggi, logam berat, gas H2S, metana yang berlebihan, klorida, sulfat dan senyawa karbon yang tinggi. Penanganan masalah lumpur Lapindo Brantas dilakukan dengan mengendapkan terlebih dahulu genangan lumpur agar lumpur dan air terpisah kemudian dilakukan proses koagulasi atau penggumpalan dengan menambahkan kapur dan tawas dengan dosis tertentu. Kedua bahan itu mengandung kalsium yang dapat mengikat senyawa-senyawa dalam lumpur sehingga cepat menggumpal. Setelah menggumpal, genangan lumpur tadi akan menjadi tiga lapisan yakni minyak, air, dan endapan lumpur (Hidayat, 2006). Sebagian masyarakat telah memanfaatkan lumpur Lapindo Brantas sebagai bahan baku pembuatan genteng dan batako. Menurut Kadram bahwa batako yang dibuat dari lumpur Lapindo hasilnya lebih halus, rata, dan tidak mudah retak. Hal ini berbeda jika menggunakan tanah liat biasa. Menurut Sani (Asisten Deputi Menteri 479 Lingkungan Hidup), bahwa hasil pengendapan lumpur Lapindo mengandung unsur silika cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai bahan bangunan seperti bahan baku bata, genteng, keramik hingga beton. Lumpur Lapindo sebelum dibuat genteng terlebih dahulu dikeringkan agar kadar airnya berkurang (Hidayat, 2006). Genteng yang baik adalah genteng dengan karakter tidak mudah pecah, diperoleh warna merah yang baik, kuat tekan yang tinggi, dan tahan panas. Karakter tersebut disebabkan karena adanya sulfat yang membuat genteng tidak mudah pecah. Kuat tekan dengan adanya Si. Si berperan dalam kekuatan tekan karena Si merupakan unsur utama dalam mineral tanah yang mampu membentuk struktur yang kokoh dengan mengikat ion-ion dalam tanah. Sifat tahan panas karena adanya lapisan oksida Al2O3. Unsur aluminium bersifat sebagai konduktor panas dan mempunyai daya gabung sangat kuat dengan oksigen sehingga apabila dibakar aluminium dengan oksida logam menghasilkan kalor yang sangat tinggi. Sehubungan dengan adanya kandungan tersebut dalam lumpur Lapindo, maka ada alternatif memanfaatkan lumpur Lapindo sebagai ganti lempung untuk bahan baku genteng keramik. Ketika lumpur Lapindo dipilih sebagai bahan baku pembuatan genteng keramik, maka terdapat suatu hal yang harus diperhatikan terkait dengan adanya sulfat yaitu dengan ditetapkan kandungan sulfat dalam lumpur Lapindo agar diperoleh bahan baku genteng yang baik. Bahan baku genteng keramik yang baik adalah yang memiliki indeks plastisitas Atterberg 25-55% dan dapat menghasilkan genteng yang tidak mudah retak. Indeks plastisitas merupakan interval kadar air dimana tanah masih bersifat plastis, karena itu indeks plastisitas menunjukkan sifat keplastisan tanah. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab dua kepentingan yaitu berapa kandungan optimum sulfat yang menghasilkan plastisitas baik dan tingkat kemudahretakannya kecil. Temuan dari penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi para pengguna lumpur Lapindo untuk pembuatan genteng keramik. Genteng yang baik adalah genteng dengan karakteristik tidak mudah pecah, diperoleh warna merah yang baik, kuat tekan yang tinggi, dan tahan panas. Karakter tidak mudah retak disebabkan adanya kadar sulfat 3,11% yang menunjukkan sifat plastisitas yang baik sehingga genteng yang dihasilkan tidak mudah retak. Genteng dengan warna merah yang baik disebabkan adanya kadar Fe 6-9% setelah dibakar memberikan warna merah. Kuat tekan yang tinggi disebabkan adanya kadar Si 69,9% dan sifat tahan panas genteng diperoleh dari adanya reaksi Al dengan Fe2O3 menghasilkan lapisan pelindung oksidanya (Al 2O3). Prapenelitian dalam lumpur Lapindo didapatkan kandungan sulfat (1484,9358 ppm), Si (409657,8576 ppm), Fe (4636,0667 ppm), dan Al (179,5977 ppm). Sehubungan dengan adanya kandungan tersebut dalam lumpur Lapindo, maka ada alternatif untuk memanfaatkan tanah lumpur Lapindo sebagai ganti lempung untuk bahan baku genteng keramik. Dengan memusatkan perhatian pada kemudahretakan produk genteng maka perlu dilakukan pengaturan plastisitas bahan baku lumpur Lapindo. Plastisitas bahan baku genteng lumpur Lapindo diupayakan dengan optimasi kandungan sulfat. Optimasi kandungan sulfat terhadap plastisitas bahan baku genteng lumpur Lapindo dapat dihipotesiskan dengan adanya pengaruh kandungan sulfat terhadap plastisitas bahan baku genteng lumpur Lapindo. Dari analisis data tersebut akan dicari data kandungan sulfat yang optimum menghasilkan plastisitas terbaik. Variasi kandungan sulfat terhadap plastisitas bahan baku genteng dan kemudahretakan genteng lumpur Lapindo dapat dianalisis berdasarkan hubungan plastisitas dengan 480 kemudahretakan genteng dengan hipotesis ada hubungan antara plastisitas bahan baku terhadap kemudahretakan genteng lumpur Lapindo. METODE PENELITIAN 1. Analisis Fe Metode Kimia: SSA. Pembuatan larutan pengencer dengan caraair suling ditambahkan asam nitrat pekat sampai pH 2. Pembuatan larutan induk logam Besi (Fe) 1000 mg/L 3,220 g Fe(NO 3)2 dilarutkan dalam 50 ml (1+1) HNO3 kemudian diencerkan hingga 1 L dengan air demineralisasi. Pembuatan larutan baku logam besi (Fe) 100 mg/L dengan cara dipipet 10 ml larutan induk logam besi (Fe) 1000 mg/L ke dalam labu ukur 100 ml, diencerkan dengan larutan pengencer sampai tanda batas. Pembuatan larutan kerja logam Besi (Fe) dengan cara dipipet 0 ml; 2 ml; 4 ml; 6 ml; 8 ml dan 10 ml larutan baku besi, Fe 100 mg/L masing-masing ke dalam labu ukur 100 ml. Kemudian ditambahkan larutan pengencer sampai tepat tanda batas. Persiapan contoh uji dengan 1 gram sampel dilarutkan dalam 100 ml air kemudian dikocok, lalu didestruksi. Filtrat kemudian ditambah dengan 5 ml HNO 3 1: 1 lalu diencerkan dengan air demineralisasi dalam labu ukur 100 ml. Masing-masing larutan kerja yang telah dibuat diukur absorbansi pada panjang gelombang 248,3 nm. 2. Analisis SO42Metode Kimia: turbidimetri. Pembuatan Larutan Induk Sulfat (1 ml = 0,100 mg SO4 ) dengan cara 0,1479 g natrium sulfat anhidrat (Na2SO 4) dilarutkan dengan 100 ml air destilasi ke dalam labu ukur 1000 ml dan diencerkan sampai tanda batas. Pembuatan reagent dengan cara membuat larutan conditioning dengan mencampurkan 50 ml gliserin dengan 30 ml HCl, 300 ml air distilasi, 100 ml 95% ethyl atau isopropil alcohol dan 75 gram NaCl. Kristal barium klorida dengan tingkat kehalusan 20-30 mesh. 7 buah labu ukur 250 ml disiapkan. Masing-masing diisi dengan 0 ml; 12,5; 25,0 ml; 37,5 ml; 50,0 ml; 62,5 ml; 75,0 ml larutan baku kerja sulfat 100 ppm dan diencerkan dengan air destilasi dalam labu ukur 250 ml dan diencerkan dengan air suling sampai tanda batas. 7 buah larutan standar tadi dipindahkan ke dalam kuvet spektrofotometer, diukur, dibaca, dan dicatat absorbansinya pada panjang gelombang 420 nm. Persiapan contoh dengan 1,479 gram lumpur dilarutkan dalam air kemudian didestruksi. 100 ml filtrat yang dihasilkan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, ditambah 5 ml larutan conditioning dan diaduk dengan stirer. Selama distirer ke dalam larutan tersebut ditambahkan kristal barium klorida 3 gram. Aduk selama 1 menit dengan kecepatan konstan, dipindahkan ke kuvet spektrofotometer, diukur serapan cahaya larutan suspensi pada panjang gelombang 420 nm. 3. Analisis Al Metode Kimia: SSA Pembuatan Larutan Induk Al dengan cara menimbang 9,28 g K2Al2(SO 4)4.24H2O dilarutkan dalam 1 L air, konsentrasinya Al 2O3 1000 ppm. Pembuatan larutan kerja (standar) Al dengan dibuat 0 ppm; 50 ppm; 100 ppm; 150 ppm; 200 ppm dari pengenceran larutan induk tadi. Larutan induk Al 1000 mg/L dipipet 0.0 ml; 12,5 ml; 25,0 ml; 37,5 ml; 50,0 ml masing-masing dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml. Diencerkan dengan air suling sampai tepat tanda batas. Persiapan contoh uji dengan menimbang 0,928 gram lumpur dilarutkan dalam air didestruksikan sehingga dihasilkan air sampel yang jernih. Filtrat yang jernih ditambahkan 5 ml HNO3 pekat 60 %. Cairan 481 ini kemudian dimasukkan ke dalam beker glass 50 ml. Alat spektro AAS diset bahan bakar on off listrik sehingga diperoleh nyala api sempurna. Dengan menggunakan pipa kapiler selang dimasukkan ke dalam larutan Al dan AAS. Melalui pipa kapiler, air yang mengandung Al mengalir dan terbakar dalam furnis AAS. Nyala yang terbentuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang ()= 309,3 nm. 4. Analisis Si Metode Kimia: spektofotometri secara molibdat silikat. Pembuatan larutan induk silika dengan menimbang 4,73 g reagent Na2SiO3.9H2O (sodium meta silikat nonahidrate) dilarutkan dalam 1 L air, konsentrasinya SiO2 1000 ppm. Pembuatan larutan baku silika dengan membuat 0 ppm; 10 ppm; 15 ppm; 20 ppm; 25 ppm; 30 ppm; 35 ppm; 40 ppm dari larutan induk silika tadi. Larutan induk silika, SiO2 100 mg/L dipipet 0 ml; 1,0 ml; 1,5 ml; 2,0 ml; 2,5 ml; 3,0 ml; 3,5 ml; 4,0 ml dimasukkan masing-masing ke dalam labu ukur 100 ml dengan air suling sampai tanda batas. 7 buah larutan standar tadi dipindahkan ke dalam kuvet spektrofotometer, diukur, dibaca, dan dicatat absorbansinya pada panjang gelombang () 410 nm. Pembuatan Reagent dengan membuat asam sulfat 20% dengan cara menambahkan 12,5 ml asam sulfat pekat (H2SO 4 98%) ke dalam beker glass yang telah berisi air destilat 50 ml, distirer lalu didinginkan. Pembuatan Potasium Iodate 0,5% dengan menimbang 0,2 gram potasium iodate (KIO 3) dilarutkan dengan air destilat sampai volume 100 ml. Ammonium Molibdat 10% dengan menimbang 5 gram ammonium heptamolibdat (NH 4)6Mo7O24.4H2O dilarutkan dengan destilat sampai volume 50 ml. Oxalid Acid 10% dengan menimbang 5 gram oxalid acid (C8H6O8) dilarutkan dengan air destilat hingga volume 50 ml. Ascorbic Acid 10% dengan menimbang 5 gram ascorbic acid (C8H6O8) dilarutkan dengan air destilat hingga 50 ml. Persiapan Contoh Uji dengan mengambil sampel sebanyak 50 ml dari lumpur yang sudah dilarutkan dalam air dan didestruksikan. Sampel dimasukkan ke dalam beker glass plastik, ditambahkan 1 ml asam sulfat 20%, ditambahkan 2 ml potasium iodate 0,5%, ditambahkan 2 ml ammonium molibdat 10%, diaduk dan didiamkan selama 5 menit, ditambahkan oxalid acid 10%, diaduk dan didiamkan selama 4 menit, ditambahkan 1 ml ascorbic acid 10%, diaduk, dan didiamkan selama 10 menit, dan diukur absorbansi dengan spektrofotometer dengan 410 nm, dikerjakan pula dengan blankonya. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kandungan Kimia Lumpur Lapindo Konsentrasi sulfat pada lumpur Lapindo (3 kali replikasi) diperoleh sebesar 1484,9358 mg/kg atau sekitar 0,15%. Genteng dengan plastisitas yang baik memiliki kandungan sulfat 3,11%. Dengan kandungan sulfat lumpur Lapindo 0,15% maka lumpur Lapindo dapat sebagai alternatif bahan baku genteng yang bersifat plastis. Sulfat juga diukur pada tawas yang akan dibuat campuran bahan baku genteng. Data pada Tabel 1 menunjukkan konsentrasi sulfat pada lumpur Lapindo. Tabel 1. Daftar Konsentrasi Sulfat Lumpur Lapindo Replikasi Sampel Absorbansi (A) Rata-rata (A) Konsentrasi (mg/kg) 482 Rata-rata konsentrasi (mg/kg) % Kadar Sulfat I II III 0,207 0,207 0,207 0,178 0,177 0,176 0,162 0,161 0,162 0,207 1656,8695 0,178 1454,7329 0,162 1343,2049 1484,9358 0,15 Tabel 2. Daftar Konsentrasi Sulfat pada Tawas Replikasi Sampel Absorbansi (A) I 0,702 0,071 0,072 0,059 0,058 0,058 0,091 0,090 0,089 II III Ratarata (A) Konsentrasi (mg/kg) 0,072 715862,1 0,058 618275,9 0,090 841332,0 Rata-rata konsentrasi (mg/kg) % Kadar Sulfat 725156,6667 72,52 Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa konsentrasi sulfat dalam tawas sangat tinggi sebesar 725156,6667 mg/kg atau sekitar 72,52%. Tawas ini digunakan sebagai campuran bahan baku genteng untuk mengatur kandungan sulfat pada adonan genteng. Tawas yang ditambahkan ke adonan genteng masing-masing 3%, 5%, 10%, 15%, dan 20%. Masing-masing tambahan tawas tersebut dipredisikan mengandung sulfat 2,2%; 3,6%; 7,3%; 10,9% dan 14,5%. Data pada Tabel 3 menunjukkan konsentrasi silika pada lumpur Lapindo. Tabel. 3 Daftar Konsentrasi Silika Lumpur Lapindo Replikasi Absorbansi RataKonsentrasi Rata-rata % Sampel (A) rata (mg/kg) konsentrasi Kadar (A) (mg/kg) Silika I 0,121 0,120 0,121 412721,9873 0,121 483 II III 0,120 0,120 0,120 0,120 0,121 0,120 0,120 408125,7928 0,120 408125,7928 409657,8576 40,97 Data pada Tabel 3 menunjukkan konsentrasi silika pada lumpur Lapindo sebesar 409657,8576 mg/kg atau sekitar 40,97%. Kuat tekan genteng yang tinggi disebabkan adanya kadar Si 69,9%. Dengan kandungan Si 40,97 % lumpur Lapindo sebagai bahan baku genteng belum memenuhi syarat sebagai genteng dengan kuat tekan tinggi. Data pada Tabel 4 menunjukkan konsentrasi besi pada lumpur Lapindo. Tabel 4. Daftar Konsentrasi Besi Lumpur Lapindo Replikasi Absorbansi Rata-rata Konsentrasi Rata-rata % Sampel (A) (A) (mg/kg) konsentrasi Kadar (mg/kg) Besi I 0,057 0,057 0,057 4651,4 0,056 II 0,058 4636,0667 0,46 0,057 0,058 4697,2 0,058 III 0,055 0,056 0,055 4559,6 0,055 Data pada Tabel 4. menunjukkan konsentrasi Fe sebesar 4636,0667 mg/kg atau sekitar 0,46 %. Bahan baku genteng yang memberikan warna merah yang baik adalah yang memiliki kandungan Fe 6-9%. Lumpur Lapindo memiliki kandungan Fe 0,46% sehingga genteng yang dihasilkan dari bahan lumpur Lapindo dipredisikan memiliki warna coklat merah yang kurang atau merah pucat. Data pada Tabel 5. menunjukkan konsentrasi aluminium pada lumpur Lapindo. Tabel 5. Daftar Konsentrasi Aluminium Lumpur Lapindo Replikasi Absorbansi Rata-rata Konsentrasi Rata-rata % Sampel (A) (A) (mg/kg) konsentrasi Kadar (mg/kg) Al I 0,012 0,011 0,012 215,5172 0,012 II 0,009 0,008 0,009 134,6983 179,5977 0,018 0,009 III 0,011 0,010 0,011 188,5776 0,011 484 Data pada Tabel 5. menunjukkan kadar aluminium pada lumpur Lapindo sebesar 179,5977 mg/kg atau sekitar 0,018%. Sifat tahan panas pada genteng disebabkan adanya reaksi Al dengan Fe2O3 menghasilkan lapisan pelindung oksidanya (Al2O3) sehingga apabila dibakar genteng tidak cepat berubah warna atau hangus. Karena kandungan Fe nya yang kecil, reaksi dengan aluminium tidak maksimal sehingga genteng yang dihasilkan dipredisikan tidak tahan panas, warna menjadi coklat tua. 2. Hasil Optimasi Kandungan Sulfat terhadap Plastisitas Bahan Baku Genteng Lumpur Lapindo dan Kemudahretakan Genteng Penentuan plastisitas bahan baku genteng lumpur Lapindo dilakukan dengan optimasi kandungan sulfat pada bahan baku genteng. Hasil optimasi kandungan sulfat terhadap plastisitas bahan baku genteng lumpur Lapindo disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil Plastisitas dengan Variasi Kandungan Sulfat pada Bahan Baku Genteng Lumpur Lapindo Jenis Perlakuan % Kadar Sulfat Rata-rata Kadar Sulfat Indeks Plastisitas (IP) RataPlastisitas rata IP Batas Cair Batas (LL) Plastis (PL) 0,38 51,75 25,87 25,87 K 0,36 0,38 52,25 26,61 25,64 25,79 0,40 52,50 26,24 25,86 0,78 61,50 33,19 28,31 P1 0,95 0,88 64,25 34,70 29,55 32,71 0,90 69,10 28,82 40,28 1,02 61,25 33,01 28,84 P2 1,01 1,03 61,50 32,92 28,58 28,03 1,05 60,75 33,47 27,28 1,43 51,00 34,88 16,12 P3 1,45 1,43 50,75 33,69 18,31 17,44 1,40 50,75 34,10 17,90 1,58 45,75 34,19 11,56 P4 1,68 1,68 43,50 34,89 8,61 10,13 1,77 44,75 34,54 10,21 1,96 49,75 38,45 10,71 P5 1,87 1,91 42,75 37,25 5,50 9,11 1,91 39,50 28,96 10,54 Dengan menentukan Indeks Plastisitas (Plasticity Indeks) dari tanah lumpur Lapindo sebagai bahan baku genteng dengan variasi kandungan sulfat, maka dapat diidentifikasikan apakah bahan tersebut memiliki potensi kembang susut atau tidak, dan juga dapat diketahui tingkatan potensi pengembangan dari bahan baku genteng tersebut. Indeks Plastisitas (Plasticity Indeks) adalah selisih batas cair (Liquid Limit) dan batas plastis (Plastic Limit) suatu tanah, atau indeks plastis adalah harga batas cair485 batas plastis (LL – PL = IP). Dengan diketahui nilai indeks plastisitas maka dapat diperkirakan sifat-sifat fisik genteng yang dihasilkan setelah proses pembakaran. Setelah diketahui plastisitasnya, maka adonan dibuat genteng dan diamati jumlah titik keretakannya. Tabel 7 menunjukkan variasi kandungan sulfat terhadap plastisitas bahan baku dan jumlah titik keretakan genteng. Tabel. 7. Variasi Kandungan Sulfat terhadap Plastisitas Bahan Baku dan Jumlah Titik Keretakan Genteng Lumpur Lapindo Jenis Kandungan Indeks Plastisitas Jumlah Titik Perlakuan SO4 (IP) Keretakan K 0,38 25,79 3 0,38 25,79 4 P1 0,88 32,71 1 0,88 32,71 3 P2 1,03 28,03 2 1,03 28,03 4 P3 1,43 17,44 4 1,43 17,44 7 P4 1,68 10,13 5 1,68 10,13 7 P5 1,91 9,11 8 1,91 9,11 10 Tabel 6 menunjukkan bahwa harga IP pada adonan bahan baku genteng lumpur Lapindo dengan kandungan sulfat 0,38% adalah sebesar 25,79% yang mengindikasikan sebagai bahan baku genteng dengan klasifikasi sweelling tinggi karena berada di rentang IP 25-55% (Das, 1985), pada kandungan sulfat 0,88% harga IP naik menjadi 32,71%, sedangkan pada kandungan sulfat 1,03%; 1,43%; 1,68%; 1,91% harga IP menjadi menurun masing-masing 28,03%; 17,44%; 10,13%, dan 9,11%. Adapun harga IP pada lumpur Lapindo asli sebesar 23,59%. Tanah yang mempunyai indeks plastisitas (IP) tinggi, maka tanah banyak mengandung butiran lempung. Bahan baku dengan nilai IP tinggi (IP 25,79%-32,71%) mempunyai kemampuan kembang susut yang tinggi sehingga diperkirakan genteng yang dihasilkan tingkat keretakannya kecil. Terjadinya peningkatan kemudian penurunan nilai Indeks Plastisitas (IP) dapat diberikan pembahasan sebagai berikut: Menurut Braja M. Das (1985), proses terjadinya plastisitas secara kimia yaitu muatan negatif yang besar seperti SO42- berada pada partikel-partikel lempung yang mempunyai permukaan spesifik yang lebih besar sehingga mampu meningkatkan kapasitas pertukaran kation. Kation-kation akan terikat pada partikel oleh adanya gaya tarik-menarik elektrostatik sehingga mampu menetralkan anion-anion. Molekul-molekul air (H2O) mempunyai kutub-kutub polar membentuk kutub dua (dipol). Molekul air yang berkutub dua tersebut tertarik oleh permukaan partikel lempung yang bermuatan negatif karena adanya lapisan ganda (double layer) dan ikatan hidrogen (hydrogen bonding), dimana setiap hidrogenhidrogen atom pada molekul air dipakai bersama oleh atom oksigen pada permukaan partikel lempung. Sebagian dari kation-kation yang terhidrasi (di dalam air pori) juga tertarik untuk melekat pada permukaan partikel lempung. Kation-kation ini kemudian juga menarik molekul-molekul air berkutub dua yang lain. Semua air yang terikat pada 486 permukaan partikel-partikel tanah lempung akibat gaya tarik-menarik dikenal sebagai air lapisan ganda (double-layer water). Bagian yang paling dalam dari air lapisan ganda tersebut, yang terikat sangat kuat pada permukaan partikel disebut sebagai air terserap (adsorbed water). Adanya air yang terserap di sekeliling permukaan partikel lempung (adsorbed water) inilah yang menyebabkan sifat plastis dari suatu tanah. Harga Indeks Plastisitas yang rendah disebabkan karena anion-anion sulfat dan yang lain yang ada di permukaan tanah belum ternetralkan sepenuhnya oleh kation-kation sehingga kapasitas pertukaran kationnya tidak seimbang mengakibatkan kemampuan mengembang dan mengerut tanah berkurang. Pada Tabel 7. terlihat bahwa tingkat keretakan genteng terkecil adalah pada bahan baku genteng dengan kandungan sulfat 0,88% dan nilai IP 32,71%. Proses terjadinya keretakan genteng akan dapat diberikan pembahasan sebagai berikut: rata-rata genteng yang dihasilkan dengan bahan baku lumpur Lapindo mempunyai warna merah tua. Hal ini disebabkan karena kandungan Fe kecil, reaksi dengan aluminium tidak maksimal sehingga genteng yang dihasilkan tidak tahan panas dan warna genteng menjadi coklat tua. Pada permukaan genteng juga terdapat goresan putih karena tingginya kandungan sulfat, sifat higroskopisnya bertambah sehingga genteng pada saat dibakar belum benar-benar kering yang menyebabkan genteng mengalami susut bakar. Sifat retak bisa terjadi karena kandungan sulfat tertentu memberikan pengaruh kenaikan susut udara maupun susut kering matahari. Susut kering matahari yang besar mengakibatkan bentuk genteng mengalami lengkung setelah kering dan dapat retak pada saat dibakar. Hasil uji korelasi antara plastisitas dengan kemudahretakan genteng menyimpulkan bahwa ada hubungan antara plastisitas dengan kemudahretakan genteng yang menyatakan jika nilai plastisitas naik maka kemudahretakannya kecil. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, didapatkan simpulan sebagai berikut: Nilai Indeks Plastisitas (IP) rata-rata dalam adonan genteng dengan kandungan sulfat 0,38%; 0,88%; 1,03%; 1,43%; 1,68%; 1,91% berturut-turut adalah 25,79%; 32,71%; 28,03%; 17,44%; 10,13%; 9,11%. Kandungan sulfat 0,88% merupakan kandungan sulfat optimum yang menghasilkan Indeks Plastisitas (IP) terbesar setelah itu terjadi penurunan nilai Indeks Plastisitas (IP). Hal ini berarti ada pengaruh yang signifikan antara kandungan sulfat dengan nilai Indeks Plastisitas (IP) dalam bahan baku genteng lumpur Lapindo. Titik keretakan rata-rata genteng lumpur Lapindo dengan nilai Indeks Plastisitas (IP) 25,79%; 32,71%; 28,03%; 17,44%; 10,13%; 9,11% berturut-turut adalah 3 dan 4, 1 dan 3, 2 dan 4, 4 dan 7, 5 dan 7, 8 dan 10. Kandungan sulfat bahan baku genteng lumpur Lapindo 0,88% menyebabkan plastisitas yang baik dengan nilai Indeks Plastisitas (IP) 32,71%. Nilai tersebut menghasilkan genteng dengan rata-rata titik keretakan paling kecil. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan sulfat merupakan penyebab plastisitas yang baik untuk menghasilkan genteng yang tidak mudah retak. Saran Pada penelitian ini dikaji tentang optimasi kandungan sulfat terhadap plastisitas bahan baku genteng lumpur Lapindo dan kemudahretakan genteng. Keretakan genteng 487 dipengaruhi oleh tingkat plastisitas suatu bahan baku. Plastisitas bahan baku dipengaruhi oleh kandungan sulfat. Sulfat bersifat higroskopis sehingga proses pengeringan sangat berpengaruh pada pembuatan genteng. Oleh karena itu, pada penelitian selanjutnya perlu dikaji tentang pengaruh lama pengeringan genteng sebelum dibakar untuk memperoleh genteng dengan susut bakar minimum. DAFTAR PUSTAKA APHA/AWWA/WPCF. 1998. Standar Methods for The Examination of Water and Waste Water Including Bottom Sediment and Sludges Elevent Edition. Washington DC: American Publik Healt Association. Djajadiningrat, Aziz. 2006. Penggumpalan Solusi Permanen. Malang: Kompas. Das, M. Braja; Noor Endah; Indrasurya B. Mochtar. 1985. Mekanika Tanah Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Hidayat, Nur; Rach A. B; Arif S. 2006. Batas Urat Sabar Lapindo. GATRA, Juli: hal 86-87. SNI 06-2477-1991. Metode Pengujian Kadar Silika dalam Air dengan Alat Spektrofotometer Secara Molibdat Silikat. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Permukiman dan Prasarana Wilayah. SNI 06-6989. 4-2004. Air dan Air Limbah – Bagian 4: Cara Uji Besi (Fe) dengan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) – Nyala. Surabaya: BPPI. Sudjarno; Suprap; Suradi. 1994. Penelitian Pengaruh Tawas terhadap Plastisitas dan Ketahanan Panas Pada Lempung Bahan Baku Genteng Keramik. Surabaya: BPPI. 488