440 Variasi Urutan nukleotida Daerah D-Loop DNA

advertisement
Variasi Urutan nukleotida Daerah D-Loop DNA Mitokondria Manusia
pada Dua Populasi Asli Indonesia Tenggara
Heli Siti HM, M.Si., Gun Gun Gumilar, M.Si. 1)
Dessy Natalia, Ph.D., Achmad Saifuddin Noer, Ph.D., 2)
1)
Program Studi Kimia FPMIPA UPI
2)
Program Studi FMIPA ITB
Abstrak
DNA mitokondria (mtDNA) manusia mudah mengalami mutasi sehingga memiliki laju
polimorfisme yang tinggi. Daerah genom mtDNA yang memiliki laju polimorfisme
tertinggi adalah D-Loop, yaitu daerah non penyandi. Penelitian ini merupakan bagian
dari upaya untuk mendapatkan database varian normal mtDNA manusia Indonesia.
Pada penelitian ini dilaporkan urutan nukleotida daerah D-Loop menggunakan metode
direct sequencing untuk populasi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Beberapa tahapan yang dilakukan meliputi amplifikasi fragmen mtDNA dengan teknik
Polymerase Chain Reaction (PCR) dilanjutkan dengan sekuensing menggunakan
metode dideoksi Sanger. Deteksi hasil PCR menggunakan elektroforesis untuk 9 sampel
yang diamati memperlihatkan satu pita pada daerah 0,9 kb, dan hasil sekuensing seluruh
sampel menghasilkan kurang lebih 7141 pb. Urutan nukleotida hasil sekuensing
kemudian dibandingkan dengan urutan nukleotida daerah D-loop Cambridge (rCRS)
sebagai standar. Hasil sekuensing menunjukkan adanya 53 variasi nukleotida pada
daerah non penyandi dari 9 manusia Indonesia dengan jumlah mutasi yang terjadi
berkisar antara 5 sampai 11 mutasi, namun tidak ditemukan mutasi spesifik untuk
populasi tertentu. Meskipun demikian, hasil analisis homologi menunjukkan dua mutasi
yang memiliki frekuensi tertinggi pada dua populasi manusia Indonesia, yakni mutasi
insersi 310.1C dan mutasi transisi A263G. Munculnya kedua jenis mutasi tersebut pada
kedua populasi mengindikasikan bahwa mutasi yang terjadi tidak bersifat spesifik
terhadap populasi tertentu.
Kata kunci : DNA mitokondria, direct sequencing, D-Loop, mutasi
1. Pendahuluan
Salah satu organel yang ditemukan dalam
sitoplasma dari setiap sel organisme
eukariotik adalah mitokondria. Jumlah
mitokondria dalam setiap sel berbeda
tergantung pada sel dan fungsinya.
Mitokondria mempunyai beberapa DNA
tersendiri yang dikenal juga dengan DNA
mitokondria (mtDNA) dan dapat
membuat sejumlah proteinnya. mtDNA
ini berbentuk sirkular dan berada dalam
matriks, yang bisa mengandung 4-5 kopi
DNA mitokondria. Berbeda dengan DNA
inti, mtDNA tidak mengalami perubahan
pada tiap generasi sehingga perubahan
terjadi pada laju yang sangat lambat.
Kenyataan ini kemudian digunakan untuk
mempelajari evolusi manusia.
Urutan lengkap genom mtDNA manusia
mengandung 16.569 pb yang terdiri dari gen
penyandi 12S dan 16S, 22 tRNA dan 13
protein sub unit kompleks enzim rantai
respirasi
[Anderson,
1981].
Dalam
perkembangan studi genetika molekul
selanjutnya, urutan nukleotida mtDNA yang
ditemukan oleh Anderson ini dijadikan
sebagai standar yang kemudian dikenal juga
dengan urutan nukleotida Cambridge.
440
Penelitian terhadap mtDNA semakin
berkembang karena beberapa kelebihan
yang dimilikinya diantaranya : jumlah
kopi sel yang banyak sehingga terdapat
ratusan bahkan ribuan mtDNA dalam tiap
sel manusia dan pola pewarisan yang
bersifat maternal. DNA mitokondria
hanya diturunkan dari garis keturunan ibu
dan antara saudara kandung yang
dihubungkan dengan garis keturunan ibu
tanpa mengalami rekombinasi dengan
mtDNA ayah [Holland, et al., 1993].
Berdasarkan kelebihan ini maka mtDNA
juga dapat dijadikan sebagai referensi
dengan menggunakan sampel dari garis
keturunan ibu yang bersangkutan dalam
kasus orang hilang atau korban musibah
massal.
Daerah
yang mempunyai tingkat
polimorfisme yang tinggi dalam mtDNA
dikenal juga dengan daerah kontrol atau
D-loop. Pada D-loop terdapat dua daerah
hipervariabel yaitu daerah hipervariabel 1
(HV1) pada posisi 15.971 – 16.414 dan
daerah hipervariabel 2 (HV2) pada posisi
15 – 389. Penelitian tentang kedua daerah
ini terus berkembang, namun informasi
tentang daerah HV2 yang tersedia masih
sedikit sehingga diperlukan informasi
yang lebih banyak tentang daerah ini.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan
pada daerah D-Loop adalah analisis
urutan nukleotida manusia Indonesia
yang memiliki hubungan keluarga
menurut garis keturunan ibu pada tiga
dan tujuh generasi serta analisis daerah
HV2 mtDNA manusia dari tiga dan tujuh
generasi seketurunan ibu serta empat
individu korban musibah Bali 1 Oktober
2002 [Ngili, 2004].
Pada penelitian ini dilakukan penentuan
urutan nukleotida daerah D-Loop untuk
populasi
Indonesia Tenggara yang
meliputi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan
Nusa Tenggara Timur (NTT) serta
mutasinya. Sampel berupa sel rambut
yang di lisis dan kemudian diamplifikasi
secara in vitro dengan teknik PCR
menggunakan primer M1 dan HV2R.
Fragmen hasil PCR kemudian disekuensing
dengan
metode
Dideoksi
Sanger
menggunakan Automatic DNA Sequencer.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi tentang jenis-posisi
dan jumlah mutasi daerah D-Loop, sekaligus
memberi kontribusi terhadap penyusunan
database mtDNA populasi Indonesia yang
berdasarkan pada pola keteraturan genetik.
2. Bahan dan Metode Penelitian
Dalam penelitian ini strategi yang
dikembangkan meliputi dua metode utama
yakni PCR, dan sekuensing.
2.1. PCR
2.1. 1. Penyiapan Templat
Templat mtDNA yang akan diamplifikasi
diperoleh langsung dari hasil lisis sel rambut
menggunakan 20 L bufer lisis 10X (500
mM Tris – HCl pH 8,5 (Pharmacia Biotech),
10mM EDTA pH 8 (J.T. Baker), dan 5%
Tween–20 (Merck)), 10 L enzim proteinase
K 10 mg/mL (USB Corporation) dan
ditambahkan ddH2O steril hingga volume
200 l. Campuran reaksi selanjutnya
diinkubasi pada suhu 55 
C selama 1 jam
dalam
inkubator
(Waterbath-Grant
Instrument Ltd) dan dilanjutkan dengan
inaktifasi enzim proteinase K pada suhu
95
C selama 5 menit. Setelah inkubasi
campuran
reaksi
disentrifugasi
menggunakan alat mikrosentrifuga tipe
5417C (Eppendorf) pada 14.000g selama 3
menit kemudian diambil supernatannya yang
selanjutnya digunakan sebagai templat untuk
reaksi PCR.
2.1.2. Amplifikasi in vitro mtDNA
Manusia
Proses amplifikasi fragmen D-Loop mtDNA
manusia menggunakan primer M1 dan
HV2R. Campuran reaksi PCR dilakukan di
dalam tabung 0,15 mL (Eppendorf), yang
terdiri atas 5 L templat mt DNA hasil lisis,
0,5 L primer M 1 (20 pmol/L), 0,5 L
primer HV2R (20 pmol/L), 2,5 L bufer
PCR 10 x (Amersham life science: 500 mM
KCl, 100 mM Tris-HCl pH 9,0 pada suhu 25

C, 1,0 % Triton X-100, 15 mM MgCl2),
441
0,15 L enzim Taq DNA Polymerase (5
unit/L, Amersham life science), 0,5 L
campuran dNTP (Amersham life science)
dan ditambah ddH2O steril sehingga
volumenya mencapai 25 L. Proses PCR
dilakukan dengan mesin Automatic
thermal cycler (Perkin Elmer) sebanyak
30 siklus. Tahap awal dari proses PCR
adalah tahap denaturasi awal yang
dilakukan pada suhu 94 
C selama 4
menit, kemudian masuk ke program
siklus PCR dengan masing-masing siklus
terdiri 3 tahap yaitu tahap denaturasi
yang dilakukan pada suhu 94 
C selama 1
menit, tahap annealing yang dilakukan
pada suhu 50
C selama 1 menit dan tahap
extention atau polimerisasi pada suhu 72

C selama 1,5 menit. Akhir dari semua
siklus dilakukan tambahan proses
polimerisasi pada suhu 72 
C selama 4
menit. DNA hasil PCR disimpan pada
suhu –20 
C.
2.1.3. Analisis Hasil PCR
Hasil amplifikasi dari proses PCR
dianalisis dengan elektroforesis gel
agarosa 1 % (b/v) menggunakan alat
Mini sub TM DNA electrophoresis cell
(Biorad). Komposisi gel agarosa dapat
dibuat dengan melarutkan agarosa
(Boehringer-Manheim) dalam bufer TAE
1 x (Merck : tris-asetat 0,04 M, EDTA
0,001 M pH 8,0). Larutan tersebut
dipanaskan hingga agarosanya larut
semua, lalu didinginkan hingga suhu
larutan mencapai 50 – 60 
C. Sebelum
dituangkan ke dalam cetakan gel yang
memiliki sisir sebagai pembentuk sumur
gel, ditambahkan 3 L larutan EtBr 10
g/mL (Merck). Pada masing-masing
sumur gel dimasukkan 25 L sampel
hasil PCR yang telah dicampur dengan 3
L loading bufer (Merck : sukrosa 50 %,
EDTA 0,1 M pH 8,0, bromfenol biru 0,1
% pH 8,0 ) [Sambrook et al., 1989].
Proses elektroforesis ini dilakukan dalam
bufer TAE 1 x sebagai media penghantar
arus pada tegangan 75 volt selama 25
menit. Marker atau penanda kontrol yang
digunakan
adalah
pUC19/HinfI
(Amersham Life Science) yang memiliki 5
pita (masing-masing berukuran 1419 pb, 517
pb, 396 pb, 214 pb, dan 75 pb). Hasil
elektroforesis divisualisasi dengan lampu
UV seri 9814-312 nm (Cole Parmer).
Prediksi konsentrasi DNA dapat dilakukan
dengan membandingkan ketebalan pita yang
dianalisis terhadap pita-pita dari marker
yang konsentrasinya telah ditentukan
sebelumnya.
2.2. Sekuensing
Sekuensing DNA merupakan tahapan akhir
dalam menentukan urutan nukleotida
fragmen hasil amplifikasi dengan PCR.
Sekuensing dilakukan dengan metode
Dideoksi Sanger menggunakan Automatic
DNA Sequencer yang berdasarkan pada
metode dye terminator labeling. Tahapan
sekuensing DNA yang dilakukan pada
penelitian ini meliputi : (1) penyiapan DNA
templat, (2) proses amplifikasi melalui PCR
dengan menggunakan primer universal, (3)
pemurnian DNA, (4) elektroforesis, dan (5)
pembacaan
elektroforegram
hasil
sekuensing.
2.3. Pembacaan Elektroforegram
Pembacaan hasil sekuensing dapat dilihat
dari data elektroforegram yang menunjukkan
masing-masing basa memperlihatkan warna
dan tinggi puncak yang berbeda. Untuk basa
A berwarna hijau, basa G berwarna hitam,
basa C berwarna biru, dan basa T berwarna
merah [Perkin Elmer, 1995].
2.4. Analisis Urutan Nukleotida
mtDNA Hasil Sekuensing
Analisis data urutan fragmen D-Loop
mtDNA manusia hasil sekuensing dilakukan
dengan menggunakan program komputer
DNAstar-versi 4. Setiap sampel mutasi
dianalisis
homologi terhadap urutan
nukleotida yang sudah ada yaitu urutan
Cambridge yang telah direvisi Andrew et al
(rCRS) dan data mitomap. Hasil analisis ini
diharapkan dapat melengkapi urutan mtDNA
dan memberikan kontribusi tambahan
terhadap data base mtDNA manusia.
442
3. Hasil dan Pembahasan
3.1.Penyiapan Templat
Penyiapan templat DNA untuk PCR
diawali dengan pengambilan sampel
berupa sel rambut untuk sampel NTT dan
NTB yang selanjutnya dilakukan lisis sel
untuk mendapatkan DNA mitokondria.
Penyiapan templat mtDNA dari sel
rambut diperoleh langsung dari hasil lisis
sel menggunakan prosedur standar
(Sambrook, et al., 1989) tanpa melalui
pemurnian terlebih dahulu. Supernatan
hasil lisis pertama-tama di amplifikasi
dengan teknik Polymerase Chain
Reaction (PCR) dengan menggunakan
sepasang primer, M1 dan HV2R yang
dapat mengamplifikasi fragmen dengan
ukuran 0,9 kb.
Tabel 3.1 Urutan nukleotida primer M 1 dan
HV2R.
3.2. Hasil Amplifikasi Fragmen 0,9 kb
mtDNA manusia dengan Teknik
PCR
Hasil
PCR
dilihat
menggunakan
elektroforesis gel agarosa 1% (b/v)
dengan
menggunakan
pUC19/HinfI
sebagai marker. Gambar elektroforesis
sampel seperti terlihat pada gambar 3.1.
Gambar tersebut memperlihatkan adanya
fragmen DNA pada posisi 0,9 kb untuk 2
sampel yang menunjukan bahwa
amplifikasi terjadi pada templat mtDNA
dengan primer M1 dan HV2R. Begitu
juga dengan 7 sampel lainnya yang juga
menunjukan hasil yang sama. Fungsi
kontrol positif dalam proses PCR ini
adalah untuk mengetahui jalannya proses
PCR. Munculnya pita pada kontrol positif
membuktikan bahwa proses PCR berjalan
dengan benar serta pita yang muncul
pada sampel adalah pita dari fragmen
D-loop. Hal ini diperkuat dengan
diikutsertakannya kontrol negatif dalam
proses PCR. Kontrol negatif dalam
proses PCR bertujuan untuk mengetahui
kemungkinan adanya kontaminan dalam
campuran reaksi PCR. Tidak munculnya
pita pada kontrol negatif membuktikan
bahwa dalam campuran reaksi tidak terdapat
kontaminan yang dapat mengganggu proses
PCR.
1419 pb
517 pb
Gambar 3.1. Fragmen hasil PCR. Lajur 3 dan 4
menunjukkan fragmen 0,9 kb sampel NT20 dan
NB21. Lajur 1, marker DNA pUC19/HinfI. Kontrol
negatif dan positif masing-masing ditunjukkan pada
lajur 4 dan 5.
Munculnya pita DNA pada sampel NT 20
dan NB 21 menunjukkan bahwa sel rambut
dapat digunakan sebagai sumber mtDNA.
Untuk sel rambut diambil bagian akar karena
pada bagian akar ini terjadi pertumbuhan
setiap saat sehingga diperkirakan pada
bagian ini akan terdapat mtDNA yang lebih
banyak dibanding pada bagian pangkal
rambut. Deteksi yang sama untuk tujuh
sampel yang lain menghasilkan hasil yang
serupa yakni terdapat satu pita fragmen
berukuran 0,9 kb standar pUC19/HinfI
(gambar tidak ditampilkan).
3.2 Hasil Direct Sequencing
DNA hasil PCR yang sudah dimurnikan dan
ditentukan konsentrasinya di sekuensing
menggunakan primer yang sama untuk
proses PCR yaitu M1 dan HV2R. Gambar
3.2 memperlihatkan salah satu bentuk
elektroforegram
dari
sampel
yang
disekuensing yang berasal dari sampel
NT 20, sedangkan hasil sekuensing lengkap
dari 8 sampel lainnya tidak ditampilkan.
Jumlah nukleotida hasil sekuensing yang
diperoleh bervariasi untuk tiap sampel mulai
dari 800 pb sampai 876 pb.
443
Analisis terhadap daerah 0.9 D-Loop
mtDNA dilakukan pada daerah 16024372 dan sebagai standar digunakan
urutan nukleotida CRS (Cambridge
Reference Sequence) Anderson yang
telah di revisi oleh Andrew [Mitomap,
2005].
Untuk
mengetahui urutan
nukleotida yang mengalami mutasi
dilakukan analisis menggunakan program
seqman DNA star dengan menempatkan
posisi nukleotida sampel sejajar dengan
urutan nukleotida CRS. Pada program ini
juga dapat dilihat bentuk tampilan
elektroforegram
urutan
nukleotida
sampel. Gambar elektroforegram yang
diberi
kotak
menunjukan
urutan
nukleotida sampel yang berbeda dengan
urutan nukleotida Cambridge (Gambar
3.2).
Berdasarkan
gambar
3.2
ditunjukkan bahwa pada posisi 73 terjadi
mutasi transisi basa A menjadi sedangkan
pada posisi 150 terjadi mutasi basa C
menjadi T.
keseluruhan adalah 53 jenis yang tersebar di
daerah 16024-372. Secara lengkap mutasi
pada setiap sampel ditunjukkan pada tabel
3.1.
Analisis homologi sampel menunjukkan
adanya mutasi insersi pada urutan basa
nukleotida posisi 303-315 pada daerah
D-loop yang menyebabkan ketidakstabilan
poli-C. Jumlah rangkaian poli-C berbeda
karena bervariasinya jumlah insersi yang
terjadi sebelum dan setelah nukleotida T.
Adanya rangkaian ini menyebabkan
kesulitan pada saat pembacaan urutan
nukleotida secara direct sequencing. Hal ini
didasarkan pada prinsip kerja sekuensing
yang hanya dapat membaca fragmen
dominan saja (Gambar 3.3). Pada gambar
tersebut diperlihatkan insersi pada urutan
basa 303 dengan jumlah yang berbeda posisi
menyebabkan perbedaan rangkaian C
sebelum basa timin. Beberapa penelitian
yang telah dilakukan berkaitan dengan
fenomena ketidakterbacaan sampel yang
mengadung poli-C di antaranya dilakukan
oleh
Levin.
Melalui
penelitiannya
disimpulkan bahwa ketidakterbacaan sampel
tersebut
dengan
direct
sequencing
disebabkan karena terdapatnya campuran
heteroplasmi rangkaian poli-C dalam satu
individu.
Berdasarkan analisis mutasi daerah
D-Loop mtDNA terhadap 9 sampel yang
dianalisis, ditemukan beberapa jenis,
posisi dan jumlah mutasi pada daerah ini.
Jumlah mutasi terbanyak dari empat
populasi sampel yang dianalisis adalah
11 mutasi sedangkan jumlah terkecil
adalah 5 dengan jenis mutasi secara
A73G
Mutasi transisi
C150T
Mutasi transisi
Gambar 3.2. Contoh tampilan elektroforegam mutasi daerah D-Loop mtDNA manusia dengan
menggunakan Program Seqman
444
Tabel 3.1 menunjukkan bahwa mutasi
yang terjadi pada sampel populasi
Indonesia Tenggara bervariasi baik jenis
maupun jumlahnya. Jenis mutasi yang
terjadi diantaranya mutasi transversi,
insersi dan delesi.
Hasil analisis homologi menunjukkan
dua mutasi yang memiliki frekuensi
tertinggi pada dua populasi manusia
Indonesia, yakni mutasi insersi 310.1C
dan mutasi transisi A263G.
Tabel 3.1. Jumlah Dan Jenis Mutasi Pada Empat Populasi
Populasi
Kode
No
Jenis Mutasi
Sampel
Sampel
1
NT10
T16314C; T16237C; A73G; A266G; 312.1C
2
NT16
T16102C; T16298C; T16314C; T16321C; T16369C;
T16305C; 304.1C; 312.1C
3
NT20
T16086C; G16129A; T16239C; C16278T; C16294T;
NTT
A73G; C150T; A263G; 310.1C
4
NT21
T16249C; T16288C; T16035C; G16390A; A73G; T153C;
A263G; 310.1C; G239A
5
NT22
T16086C; G16129A; C16192T; C16223T; T16239C,
T16297C; A73G; C150T; T199C; A263G, 310.1C
6
NB18
C16186T; C16276T; C16301T; C16302T; T16367C;
304.2C; 312.1C
7
NB19
T16140C; 16183.D; T16189C; T16223C; A213G; A266G;
311.1C; 312.1C
NTB
8
NB20
G16139A; T16154C; C16158T; T16182C; C16223T;
T16321C; A16353G; 304.2C; 312.1C
9
NB21
C16223T; C16305T; T146C; T199C; A263G; 309.1C;
310.1C
Jumlah
Mutasi
5
8
9
9
11
7
8
9
7
Mutasi insersi
Mutasi insersi
Gambar 3.3. Perbedaan rangkaian poli-C yang disebabkan adanya mutasi insersi basa sitosin yang
berbeda.
445
4. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan
diperoleh
urutan
nukleotida
DNA
mitokondria
manusia daerah
D-Loop
melalui direct sequencing untuk
sampel-sampel
dua
populasi
Indonesia
Tenggara.
Analisis
polimorfisme urutan nukleotida
sampel
memberikan
informasi
variasi mutasi dengan jenis dan
posisi mutasi yang beragam dengan
jumlah mutasi secara keseluruhan
sebanyak 53 mutasi. Mutasi yang
ada
meliputi
mutasi
insersi,
transversi dan delesi. Berdasarkan
informasi muutasi-mutasi yang
diperoleh tersebut diharapkan dapat
melengkapi database varian normal
mtDNA manusia Indonesia.
Ucapan Terima Kasih
Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Depdiknas yang telah
mendanai penelitian pekerti ini.
Giles, R.E., Blane, H., Cann, H.M., and
Wallace, D.C., (1980). Maternal
inherintance of human mitochondrial
DNA.
Proc.Nat.Acad.Sci.USA.
77:6715-6719
Fengzhu Sun, (1997). Biological and
Statistical
studies
for
diseases
involving
mtDNA
mutation.
Department of Genetics, Emory
University School of Medicine.
Kirches, et.al., (2001). Heterogenous
tissue distribution of a mitochondrial
DNA polimorphism in heteroplasmic
subject without mitochodrial disorders.
jmed. Genet. 38: 312-317
Wallace, D.C., (1981). Mitochondrial
DNA Mutations and Neuromuscular
Disease, Hum.Genet.Disease, 5:9-13.
Daftar Pustaka
Anderson, S. Bankier, A.T. Barrrel,
B.G. de Bruijn, M.H. Coulson,
A.R. Drouin,J. Eperon, I.C.
Nierlich, D.P. Roe, B.A.
Sanger,F. Schreier, P.H. Smith,
A.J. Staden, R andYoung, I.G.
(1981).
Sequence
and
organization of the Human
Mithocondrial Genome, Nature.
290. (5806).
446
Pembuatan dan Pemanfaatan Membran Chitosan
Dari Limbah Cangkang Kepiting
Untuk Pemisahan Deterjen
Nita Kusumawati
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kemampuan membran chitosan
untuk memisahkan deterjen. Membran chitosan ini dibuat dengan memanfaatkan limbah
industri pengepakan kepiting, yaitu berupa kulit dan cangkangnya yang diekstrak terlebih
dahulu menjadi chitin. Chitin selanjutnya mengalami transformasi menjadi chitosan.
Setelah menjadi chitosan, untuk membuat membran harus dicampurkan dengan asam
asetat terlebih dahulu dan diaduk menggunakan magnetic stirrer. Membran chitosan diuji
untuk pemisahan limbah deterjen menggunakan reaktor “dead-end”. Kualitas membran
chitosan adalah nilai fluks dan efisiensi rejeksi yang diperoleh melalui variasi terhadap
tekanan operasi, dan komposisi penyusun membran. Dari penelitian ini diketahui bahwa
membran mempunyai ketebalan 0,044 – 0,064 mm dengan komposisi optimum untuk
pemisahan deterjen sebesar 3 gram. Pada tekanan operasi sebesar 3 atm, didapatkan
penyisihan deterjen optimum. Untuk deterjen anionik yang digunakan sebagai umpan
2
dihasilkan nilai fluks sebesar 30,91 L/m .hr dan rejeksi sebesar 98,50%.
Kata kunci : Membran chitosan, deterjen, fluks, rejeksi
nutrient dari bahan aditif deterjen
terutama fosfat organik. Peristiwa itu
dapat mengurangi kandungan oksigen
dalam air, akibatnya dapat membunuh
hewan air dengan kebutuhan oksigen
yang tinggi. Matinya hewan air dapat
menimbulkan
bau
busuk
dan
mengganggu keseimbangan alam. Selain
itu limbah deterjen juga menimbulkan
gangguan kesehatan pada manusia yaitu
iritasi kulit dan mata, kerusakan pada
ginjal dan empedu (Sugai dkk, 1990)
dan pada hewan (Ritz dkk, 1993).
Pengolahan limbah deterjen
secara konvensional yang selama ini
dilakukan antara lain dengan cara (a)
aerasi yaitu memompa limbah deterjen
yang menghasilkan gelembung udara,
sehingga deterjen terkonsentrasi di
Pendahuluan
Meningkatnya
kepadatan
penduduk dan kegiatan industri pada
suatu daerah, terutama daerah yang
maju,
mengakibatkan
penggunaan
deterjen sebagai bahan pencuci atau
pembersih semakin meningkat. Hal
tersebut dapat menyebabkan masalah
pencemaran lingkungan yang serius
karena
limbah
deterjen
dapat
menyebabkan turunnya kualitas perairan
yang ditandai dengan timbulnya buih
dan peristiwa eutrofikasi.
Peristiwa eutrofikasi adalah
tumbuhnya tumbuhan air (misalnya
enceng gondok dan algae) dengan cepat
karena pertumbuhannya dirangsang oleh
447
permukaan bersama gelembung udara
yang dipompakan tersebut. Tetapi
hasilnya kurang memuaskan, karena
daya reduksinya kecil dan membutuhkan
bahan bakar yang cukup besar untuk
energi pemompaan; (b) adsorpsi oleh
arang atau bentonit atau campuran
keduanya. Walaupun hasilnya cukup
efektif, namun arang aktif relatif mahal;
(c) koagulasi dengan garam-garam
karbonat atau sulfat, sehingga sebagian
dapat terendapkan. Meskipun daya
reduksi mencapai 75 %, namun
diperlukan koagulan dalam jumlah yang
banyak, sehingga biaya operasionalnya
relatif mahal; (d) metode lumpur aktif
yaitu
digunakan
mikroorganisme
pemakaian
deterjen.
Metode
ini
memerlukan
upaya
pengkayaan
mikroorganisme yang tidak mudah dan
kontrol pertumbuhan serta pengendalian
mikroorganisme (Prasetyo, 2002).
Usaha mengurangi pencemaran
limbah deterjen ini perlu diupayakan,
karena meskipun secara alamiah limbah
tersebut di perairan dapat mengalami
proses dekomposisi senyawa organik
secara mikrobiologis, yang dikenal
dengan istilah biodegradasi, namun tidak
semua
bahan
deterjen
dapat
terbiodegradasi oleh bakteri pengurai
sehingga prosesnya sangat lambat atau
bahkan tidak terjadi sama sekali.
Di sisi lain di Indonesia masakan
laut dan pengolahan hasil laut dari
Crustaceae belum dapat dioptimalkan,
sebab pada umumnya baru digunakan
sebagai bahan campuran pembuatan
kerupuk, terasi atau makanan ternak,
dimana harga ketiga bahan hasil olahan
tersebut tidak setinggi harga chitosan.
Salah satu iklan di internet menyebutkan
bahwa harga 50 gram chitosan ± $ 23
US. Belum dimanfaatkannya limbah
pengolahan udang, cumi, dan kepiting
sebagai sumber chitosan boleh jadi
dikarenakan belum dikenalnya industri
chitosan secara umum atau karena tidak
ada publikasi yang memuat proses yang
dikerjakan
secara
sederhana
di
Indonesia.
Chitin pertama kali ditemukan
lebih dari 180 tahun yang lalu, tetapi
manfaatnya baru diperhatikan 20 tahun
belakangan ini. Chitin dapat dibuat
bahan lain yang disebut chitosan. Chitin
tersebut merupakan polisakarida utama
dari cangkang udang-udangan dan
kepiting, selain itu juga terdapat pada
fungi, kulit spora, lumut, dan kerangka
luar serangga. Sumber utama chitin yang
dapat digunakan untuk diperoleh
chitosannya adalah chitin dari jenis
udang-udangan (Crustaceae) seperti
kepiting, lobster, dan udang. Hal tersebut
disebabkan jenis udang-udangan itu
dipanen secara komersial, sehingga
menghasilkan limbah yang tidak sedikit
jumlahnya. Oleh karena itu salah satu
keunggulan dari membran chitosan
terletak pada bahan dasarnya yang
ramah lingkungan karena dibuat dari
limbah udang-udangan.
Teknologi membran merupakan
teknologi pemisahan yang berkembang
dengan pesat dan relatif baru bila
dibandingkan
dengan
teknologi
pemisahan yang sudah berkembang
sebelumnya seperti absorbsi, ekstraksi,
dan destilasi. Teknologi membran
mempunyai beberapa keunggulan, yaitu
proses pemisahan berlangsung pada suhu
kamar dan sebagian besar membran
yang diproduksi dapat digunakan
kembali, membran yang telah rusak
dapat didaur ulang sehingga relatif tidak
menghasilkan
limbah,
sifatnya
bervariasi, dan dapat diatur sesuai
kebutuhan (Mulder, 1991).
TINJAUAN PUSTAKA
448
Kata membran berasal dari
bahasa latin “membrana” yang berarti
potongan kain. Membran didefinisikan
sebagai lapisan tipis (film) yang
fleksibel yang merupakan pembatas
antara
dua
fasa
yang
bersifat
semipermeabel. Membran berfungsi
sebagai media pemisahan yang selektif
berdasarkan perbedaan koefisien difusi,
muatan listrik, atau perbedaan kelarutan.
Membran dapat berupa cairan maupun
padatan.
Untuk pengolahan limbah cair,
umumnya
digunakan
membran
mikrofiltrasi.
Membran
tersebut
digunakan untuk memisahkan partikel,
termasuk bakteri dan ragi, dari larutan.
Tekanan yang diperlukan selama operasi
tidak terlalu besar yaitu kurang dari 2
bar. Aplikasi proses ini juga dapat
diterapkan pada sterilisasi minuman,
penjernihan jus, ataupun pemisahan
emulsi minyak-air. Struktur membran
mikrofiltrasi umumnya
simetrik
(Wenten, 1995).
sebagai indikator warna. Kloroform
untuk mengikat kandungan deterjen.
Alat
Alat-alat yang perlu disiapkan
dalam penelitian ini adalah : alat uji
“dead-end” dan alat laboratorium yang
menunjang penelitian ini, seperti
peralatan kaca laboratorium, neraca
analitik,
magnetic
stirrer,
spektrofotometer Beckman, cetakan
membran acrylic berukuran 10 x 10 cm
dan kompresor.
Prosedur Kerja
Pembuatan Cangkang Kepiting
Menjadi Serbuk Chitin dan
Chitosan
Tahap ini diawali dengan
pencucian cangkang kepiting dicuci
sampai bersih dari kotoran yang
menempel kemudian direbus dalam air
mendidih ( 80
C) selama 15 menit.
Setelah itu dikeringkan dibawah sinar
matahari dan diblender. Untuk menjadi
serbuk chitin, cangkang kepiting akan
mengalami proses isolasi chitin meliputi
tiga tahap yaitu tahap deproteinasi
didapat crude chitin, demineralisasi dan
depigmentasi didapatkan serbuk chitin.
Setelah itu chitin melalui suatu proses
dan mengalami transformasi menjadi
chitosan.Serbuk chitosan inilah yang
merupakan bahan dasar pembuat
membran chitosan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan untuk
mencari alternatif baru dalam proses
pengolahan limbah deterjen dengan
memanfaatkan
limbah
industri
pengepakan udang kepiting sebagai
membrannya.
Bahan
Persiapan
bahan
disini
kebanyakan diperlukan untuk persiapan
pembuatan larutan sampel, antara lain
H 2SO4, NaH 2PO4, serbuk methylene
blue dan aquades untuk membuat larutan
methylene blue. Untuk membuat larutan
pencuci diperlukan H2SO4, Aquades dan
NaH2PO4. Bubuk NALS (Natrium Lauril
Sulfat) dan Aquades untuk membuat
larutan induk NALS. PP (Phenolftalein)
Pembuatan Membran Chitosan
Setelah menjadi serbuk chitosan
dapat langsung dibuat membran dengan
melarutkannya dalam Asam Asetat
sebagai pelarut. Sebelumnya harus
dipastikan bahwa cetakan yang akan
449
digunakan harus dibersihkan dahulu
dengan menggunakan aceton. Setelah
terbentuk suatu lapisan film basah
cetakan dioven sampai film menjadi
kering dimana diperlukan larutan NaOH
4% untuk merendam membran kering
agar
terlepas
dari
cetakannya.
Selanjutnya agar membran bersih dari
alkali diperlukan aquabidestilata untuk
pembilas.
Penentuan Fluks dan Rejeksi
Setelah
diperoleh
panjang
gelombang
maksimum,
maka
selanjutnya adalah membuat kurva
kalibrasi yang nantinya digunakan untuk
menemukan persamaan regresi.
Dari data yang diperoleh, dapat
dibuat kurva kalibrasi sebagai berikut
(Gambar 1).
Absorbansi
Kurva Kalibrasi
Volume
permeat yang
dihasilkan ditimbang dengan neraca
analitik untuk mengetahui
berat.
Selanjutnya
untuk
mengetahui
konsentrasi deterjen setelah dilewatkan
membran dilakukan penentuan kadar
deterjen melalui proses ekstraksi. Setelah
itu baru diukur nilai absorbansi dengan
spektrofotometer
dan
hasil
yang
diperoleh dimasukkan pada persamaan
regeresi pada kurva kalibrasi, untuk
selanjutnya bisa dihitung nilai fluks dan
rejeksinya.
HASIL
PENELITIAN
PEMBAHASAN
0.4
0.3
0.2
0.1
0
y = 0.1749x + 0.005
2
R = 0.9992
0
0.5
1
1.5
2
2.5
Konsentrasi NALS (ppm)
Gambar 1. Kurva kalibrasi
Dari
gambar 1 didapat
persamaan regresi adalah y = 0,1749 x +
0,005 dengan nilai R2 = 0,9992.
Pembuatan Membran
Penelitian ini dimulai dengan
kegiatan membuat larutan chitosan
terlebih dahulu. Bubuk
chitosan
ditimbang dengan menggunakan neraca
analitik sesuai dengan berat yang
diinginkan untuk selanjutnya ditambah
dengan larutan asam asetat 0,75%.
Setelah dilakukan penimbangan
dilanjutkan dengan pengadukan awal
yaitu dengan spatula kaca agar bubuk
chitosan benar-benar terendam dalam
larutan asam asetat, kemudian dilakukan
pengadukan menggunakan magnetic
stirrer untuk memastikan serbuk
chitosan larut sempurna sehingga
didapatkan larutan yang homogen.
Pengadukan dilakukan selama 24 jam
untuk mempercepat proses pelarutan.
Sebelum dicetak di atas pelat kaca,
larutan harus didiamkan selama 24 jam
DAN
Penentuan
λmaks
Kompleks
Methylen Blue Dengan NALS
Tujuan dari tahap ini adalah
menentukan panjang gelombang yang
memberikan nilai absorbansi yang
maksimal.
Dimana
pengukuran
dilakukan dalam rentang panjang
gelombang 600 –700 nm (Metode
Standard). Dari data yang tersaji pada
Tabel 4.1 didapatkan bahwa yang
memberikan nilai absorbansi maksimal
adalah panjang gelombang 650 nm.
Pembuatan Kurva Kalibrasi
450
untuk
menghilangkan
gelembunggelembung udara yang ada di dalamnya.
Proses
pencetakan
membran
diawali dengan pembersihan sisi-sisi
cetakan menggunakan aseton. Larutan
selanjutnya dicetak diatas pelat kaca
dengan berat yang sama yaitu sebanyak
20 gram. Kemudian cetakan yang telah
terisi larutan chitosan diangin-anginkan
selama 24 jam (sampai setengah kering),
selanjutnya cetakan dimasukkan ke
dalam oven pada suhu 60C̊ selama ± 5
jam. Untuk memastikan membran kering
sempurna cetakan didiamkan selama 24
jam di udara terbuka, karena apabila
langsung direndam membran akan rusak
dengan menjadi menggelembung dan
berkerut. Membran disimpan bersama
dengan cetakannya, baru akan dilepas
apabila akan diaplikasikan pada reaktor
“dead-end”.
panjang,
sehingga
kemungkinan
terjadinya fouling makin besar.
Pengaruh Variabel Terhadap Fluks
dan Rejeksi
Pengaruh Tekanan
Tekanan
operasi
sangat
mempengaruhi fluks dan rejeksi
membran. Pada percobaan ini tekanan
dioperasikan pada 1 atm, 2 atm dan 3
atm.
Pada membran chitosan dengan
komposisi 2 gr yang digunakan untuk
menyisihkan larutan deterjen anionik
tampak bahwa fluks semakin meningkat
dengan meningkatnya tekanan. Pada 5
menit pertama, fluks meningkat dari
2
2
86,12 L/m .hr menjadi 94,95 L/m .hr
2
dan 99,69 L/m .hr, ketika tekanan
ditingkatkan dari 1 atm menjadi 2 atm
dan 3 atm. Nilai selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 1, sedangkan untuk
mengetahui seberapa besar peningkatan
fluks pada penyisihan deterjen anionik
dapat dilihat pada Gambar 2.
Pengukuran Ketebalan Membran
Ketebalan membran diukur dengan
mikrometer sekrup buatan Austria.
Ketelitian alat tersebut adalah 0,01 mm
dengan kapasitas 0 – 25 mm. Ketebalan
membran dikontrol dengan potongan
kaca yang ditempelkan di sekeliling plat
kaca dengan ketebalan 0,5 cm. Dari
pengukuran didapatkan hasil bahwa pada
komposisi chitosan 2 gram diperoleh
ketebalan sebesar 0,044 mm, selanjutnya
pada komposisi 2,5 diperoleh ketebalan
0,054 mm dan 0,064 mm pada
komposisi chitosan 3 gr.
Membran yang sudah jadi
sebelum diaplikasikan pada alat “deadend” dilakukan pengukuran, dimana
membran yang digunakan adalah
membran yang mempunyai ketebalan
sama untuk tiap komposisi. Membran
yang baik adalah membran yang tipis
tapi kuat. Semakin tebal membran, jarak
yang harus ditempuh permeat semakin
Tabel 1. Fluks Membran Chitosan
(Komposisi 2 gram)
2
Waktu
(menit)
5
10
15
20
25
30
35
Tekanan
1 atm
Fluks (L/m .hr)
ANIONIK
Tekanan
2 atm
Tekanan
3 atm
86.12
94.95
99.69
77.28
81.70
94.95
64.03
72.87
86.12
59.62
64.03
77.28
50.79
55.20
61.83
35.33
44.16
55.20
22.08
35.33
35.33
Dari data penelitian dan analisa
statistik terlihat jelas bahwa tekanan
sangat mempengaruhi nilai fluks,
dimana
peningkatan
tekanan
memberikan peningkatan nilai fluks.
451
Hanya yang perlu diperhatikan adalah
terjadinya peristiwa fouling yang
ditandai adanya polarisasi konsentrasi
yang mengakibatkan penurunan nilai
fluks seiring dengan pertambahan waktu
operasi.
atm, 2 atm dan 3 atm menyebabkan
partikel-partikel deterjen menjadi pecah
sehingga teradsorpsi oleh permukaan
membran dan akhirnya menyumbat poripori membran. Sebagaimana yang
diketahui bahwa sifat deterjen juga
sebagai pembersih, dapat mengurangi
terjadinya fouling hanya pemberian
tekanan operasi yang dilakukan tidak
boleh sampai memecah partikel deterjen.
De te rje n ANIO NIK (C hi tosan 2 gr)
120. 00
80.00
60.00
De te rje n ANIO NIK
(Te kan an 1 atm;C hi tos an 2 gr)
40.00
20.00
20
30
40
T ekanan 1 atWak
m tu (menit
T ekanan
2 at m
)
T ekanan 3 at m
Gambar 2. Peningkatan Fluks Pada Membran
Chitosan (Komposisi 2 gr) Akibat Peningkatan
Tekanan
12 0.00
10 0.00
80 .00
60 .00
40 .00
20 .00
0.0 0
99.00
98.50
98.00
%Rejeksi
10
97.50
5
10 15 20 25 30 35
Wakt u (menit )
Fluks
Peristiwa turunnya fluks seiring
dengan pertambahan waktu operasi
disebabkan karena semakin lama poripori yang terbuka akibat adanya tekanan
operasi akan terisi molekul-molekul
larutan membentuk suatu lapisan
dipermukaan membran dan mungkin
sampai masuk kedalam pori-pori
membran. Adanya deposisi partikel pada
membran yang menyebabkan penurunan
fluks yang merupakan fungsi dari waktu
dan akan memperbesar resistensi total
membran,
yaitu
resistensi
yang
disebabkan oleh membran dan resistensi
oleh lapisan gel karena deposisi.
Nilai fluks larutan naik ketika
tekanan naik dan stabil pada tekanan
tertentu.
Kenaikan
tekanan
mengakibatkan kenaikan fluks pada
permukaan membran. Kenaikan tekanan
juga menyebabkan proses fouling
menjadi lebih cepat. Peristiwa ini dapat
dilihat pada Gambar 3 – 11, ketika yang
digunakan sebagai larutan umpan adalah
deterjen anionik.
Peristiwa fouling oleh larutan
deterjen ini dikarenakan pada tekanan 1
"Rejek si"
Gambar 3. Fluks dan Rejeksi
(Tekanan 1 atm, Chitosan 2 gr, Deterjen anionik)
Fluks(L/m2.hr)
De te rje n ANIO NIK
(Te kan an 2 atm ;C h itos an 2g r)
12 0.0 0
10 0.0 0
80 .00
60 .00
40 .00
20 .00
0.0 0
98 .20
98 .00
97 .80
97 .60
97 .40
%Rejeksi
0
Fluks(L/m2.hr)
0. 00
97 .20
5
10
15
20
25
30
35
Wak t u (menit )
Fluks
Rejeksi
Gambar 4. Fluks dan Rejeksi
(Tekanan 2 atm, Chitosan 2 gr, Deterjen anionik)
Fluks (L/m2.hr)
De te rje n ANIO NIK
(Te kan an 3 atm ;C hitosa n 2 gr)
12 0.0 0
10 0.0 0
80 .00
60 .00
40 .00
20 .00
0.0 0
10 0.0 0
99 .00
98 .00
97 .00
96 .00
95 .00
5
10 15
20
25 30
35
Wak t u (menit )
Fluks
Rejeksi
Gambar 5. Fluks dan Rejeksi
452
%Rejeksi
Fluks(L/m2.hr)
100. 00
(Tekanan 3 atm, Chitosan 2 gr, Deterjen anionik)
5
10
15 20 25
30
120.0 0
100.0 0
80 .00
60 .00
40 .00
20 .00
0.0 0
99 .20
99 .00
98 .80
98 .60
98 .40
98 .20
5
35
10 15 20 25 30 35
Wakt u (menit )
Wak t u (menit )
Fluks
% Rejeksi
99 .20
99 .00
98 .80
98 .60
98 .40
98 .20
98 .00
Fluks (L/m2.hr)
12 0.0 0
10 0.0 0
80 .00
60 .00
40 .00
20 .00
0.0 0
De te rje n ANIO NIK
(Te k an an 1 atm;C hi tosan 3 gr)
% Rejeksi
Fluks (L/m2.hr)
De te rje n ANIO NIK
(Te k an an 1 atm ;C hi tosa n 2,5 gr)
Fluks
Rejeksi
Gambar 6. Fluks dan Rejeksi
(Tekanan 1 atm, Chitosan 2,5 gr, Deterjen
anionik)
Rejeksi
Gambar 9. Fluks dan Rejeksi
(Tekanan 1 atm, Chitosan 3 gr, Deterjen anionik)
De te rje n ANIO NIK
(Te k an an 2 atm;C hitosan 3 gr)
10
15
20
25
30
99 .00
98 .50
98 .00
97 .50
5
10 15 20
Fluks
Fluks
98 .20
98 .00
97 .80
97 .60
97 .40
97 .20
97 .00
15
20 25
30
12 0.0 0
10 0.0 0
80.00
60.00
40.00
20.00
0.0 0
99.00
98.50
98.00
97.50
97.00
5
10 15 20 25 30 35
Wakt u (menit )
Fluks
35
Rejeksi
Gambar 11. Fluks dan Rejeksi
(Tekanan 3 atm, Chitosan 3 gr, Deterjen anionik)
Wak tu (menit )
Fluks
(L/m2.hr )
De te rje n ANIO NIK
(Te kan an 3 atm;C hitosan 3 gr)
% Rejeksi
Fluks (L/m2.hr)
12 0.00
10 0.00
80 .00
60 .00
40 .00
20 .00
0.00
Rejeksi
Gambar 10. Fluks dan Rejeksi
(Tekanan 2 atm, Chitosan 3 gr, Deterjen anionik)
Rejeksi
De te rje n ANIO NIK
(Te kan an 3 atm ;C hi tos an 2,5 gr)
10
35
Wak tu (menit )
Gambar 7. Fluks dan Rejeksi
(Tekanan 2 atm, Chitosan 2,5 gr, Deterjen
anionik)
5
25 30
35
Wakt u (menit )
Fluks
% Rejeksi
12 0.0 0
10 0.0 0
80 .00
60 .00
40 .00
20 .00
0.0 0
%Rejeksi
5
Fluks
98.80
98.60
98.40
98.20
98.00
97.80
97.60
97.40
(L/m2.hr)
120.0 0
100.0 0
80.00
60.00
40.00
20.00
0.0 0
%Rejeksi
Fluks (L/m 2.hr)
De te rje n ANIO NIK
(Te kan an 2 atm;C hi tosan 2,5 gr)
Rejeksi
Gambar 8. Fluks dan Rejeksi
(Tekanan 3 atm, Chitosan 2,5 gr, Deterjen
anionik)
Terjadinya fouling ini diawali
adanya peningkatan lokal konsentrasi
solute pada permukaan membran,
sehingga akhirnya fluks menjadi
tergantung pada transfer massanya.
Kenaikan tekanan melebihi kondisi ini
453
akan membawa kenaikan fluks lebih
cepat dan segera terjadi keseimbangan
antara laju transport solute ke dan dari
permukaan membran sehingga fluks
berubah menjadi stabil. Kondisi
kemudian berubah ketika terbentuk
lapisan
fouling
dan
mulai
terkompresinya pada tekanan tinggi dan
menyebabkan peningkatan tekanan di
atas titik kritis yang akan menghasilkan
fluks lebih kecil.
Dalam pengukuran efisiensi
rejeksi maka yang diukur adalah kadar
deterjen sebelum dilewatkan membran
dan sesudah dilewatkan membran.
Membran dikatakan baik apabila
efisiensi rejeksinya adalah 100%. Dalam
pengukuran kadar deterjen digunakan
spektro UV-VIS dengan λ= 650 nm,
karena pada panjang gelombang inilah
deterjen memberikan nilai absorbansi
maksimum.
Selanjutnya
dilakukan
prosedur ekstraksi untuk menentukan
penurunan konsentrasi yang dihasilkan
setelah dilewatkan membran dengan
memasukkan nilai absorbansi yang
dihasilkan pada persamaan kurva
kalibrasi. Dengan memasukkan nilai
absorbansi untuk tiap-tiap larutan
deterjen ke dalam persamaan sebelum
dan sesudah dilewatkan membran maka
dapat dilihat perubahan nilai efisiensi
rejeksi untuk tiap membran.
35
98.92
98.03
98.92
Sumber : Penelitian (2007)
Pada Tabel 2 dapat dilihat juga
peristiwa turunnya rejeksi karena
kenaikan tekanan pada deterjen anionik,
dimana tekanan pada 1 atm turun dari
98,05% menjadi 97,49% pada tekanan 2
atm dan pada 3 atm diperoleh rejeksi
96,96% pada 5 menit waktu operasi.
Pertambahan nilai rejeksi dari setiap
waktu operasi sampai terjadi fouling dan
penurunan nilai rejeksi dari setiap
peningkatan tekanan dapat dilihat pada
Gambar 12 dan 13 untuk tekanan
operasi 1 dan 2 atm.
%Re je ksi
Deterjen ANIONIK dengan Tekanan 1 atm
99.20
99.00
98.80
98.60
98.40
98.20
98.00
97.80
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Waktu (menit)
T ekanan 1 atm;Chitosan 2 gr
T ekanan 1 at m;Chitosan 2,5 gr
T ekanan 1 atm;Chitosan 3 gr
Gambar 12. Persentase rejeksi
(Deterjen anionik;Tekanan 1 atm)
Deterjen ANIONIK dengan Tekanan 2 atm
Tabel 2.
Penurunan Rejeksi pada
Pemberian Tekanan Berbeda (Komposisi
2 gr)
Waktu
(menit)
5
10
15
20
25
30
98.8
98.6
% Rejeksi 98.4
98.2
98
97.8
97.6
97.4
% Rejeksi ANIONIK
Tekanan Tekanan Tekanan
1 atm
2 atm
3 atm
98.05
97.49
96.96
98.18
97.61
97.11
98.35
97.68
97.27
98.43
97.70
97.36
98.58
97.80
97.46
98.75
97.87
97.70
0
5
10
15
20
25
30
35
Waktu (menit)
Tekanan 2 atm;Chitosan 2 gr
Tekanan 2 atm;Chitosan 2,5 gr
Gambar 13. Persentase rejeksi
(Deterjen anionik;Tekanan 2 atm)
454
Tekanan 2 atm;Chitosan 3 gr
Sedangkan untuk tekanan operasi
3 atm, diperoleh nilai % rejeksi seperti
yang tampak pada Gambar 14 di bawah
ini.
terisi penuh maka molekul-molekul
tersebut membuat lapisan diatas
permukaan membran. Lapisan diatas
permukaan membran ini seolah-oleh
berfungsi sebagai membran lapisan
kedua yang turut berperan menyaring
molekul. Lapisan ini semakin lama
mampu menahan molekul semakin
banyak menahan molekul.
Deterjen ANIONIK dengan Tekanan 3 atm
99.00
%Rejeksi
98.50
98.00
97.50
97.00
96.50
0
5
10
15
20
25
30
35
KESIMPULAN
Dari data yang telah diperoleh
dan dibahas pada bab sebelumnya, maka
dari penelitian ini dapat ditarik beberapa
kesimpulan, yaitu : Membran chitosan
yang dihasilkan termasuk membran
ultrafiltrasi dengan ukuran pori 0,05 µm0,1 µm dan ketebalan 0,044 mm-0,064
mm. Peningkatan tekanan operasi
menyebabkan peningkatan fluks dan
penurunan
rejeksi
sedangkan
peningkatan
komposisi
chitosan
menyebabkan peningkatan rejeksi dan
penurunan fluks. Komposisi dan kondisi
optimum untuk menyisihkan deterjen
anionik dihasilkan nilai fluks sebesar
30,91 L/m2.hr dan rejeksi sebesar
98,50%.
40
Waktu (menit)
T ekanan 3 atm;Chitosan 2 gr
T ekanan 3 at m;Chitosan 2,5 gr
T ekanan 3 atm;Chitosan 3 gr
Gambar 14. Persentase rejeksi
(Deterjen anionik;Tekanan 3 atm)
Tekanan
yang
rendah
mengakibatkan rejeksi naik, seperti yang
tampak pada Gambar 12 – 14, dimana
nilai rejeksi terbesar didapat pada
tekanan 1 atm. Fenomena ini terjadi
karena tekanan dalam tangki rendah,
kemungkinan terbentuknya polarisasi
konsentrasi atau fouling di permukaan
membran kecil sekali. Hal ini
disebabkan lemahnya tekanan yang
diberikan terhadap partikel untuk
melewati membran. Akibatnya partikel
yang menempel di permukaan membran
akan tersapu mudah oleh larutan umpan.
Sebaliknya pada tekanan lebih tinggi
efisiensi rejeksi akan menurun. Karena
kuatnya tekanan yang diberikan pada
partikel sehingga interaksi antara
partikel dan membran akan meningkat.
Kondisi
ini
akan
berpeluang
meningkatkan terbentuknya fouling atau
polarisasi konsentrasi.
Pada tekanan yang sama semakin
lama seiring dengan waktu operasi
mengakibatkan rejeksi naik, hal ini
disebabkan karena ukuran partikel solute
teradsorbsi atau terdeposisi partikelpartikel dari sekeliling bagian dalam pori
membran. Setelah pori-pori membran
DAFTAR PUSTAKA
Aamodt, B and Michael, D. (1995).
Solubilization of uncharged
molecules in ionic surfactant
aggregate
micellar
phase.
Journal of Physical Chemical,
vol. 96 (2) Januari 2002, pp. 945949.
Abuin, S and Lissi, C. (1992). Affinity
membranes : Their chemistry and
performance
in
adsorptive
separation process. John Wiley
& Sons, Inc. New York.
Acosta, J.E. (1991). Extraction and
characterization of chitin from
455
crustaceans.
Biomass
and
bioenergy. Vol 5 no.2 : 145-153.
Chemistry Research, vol. 32 (3)
Maret 2003, pp. 386-390.
Acosta, M.J. (1991). Membrane process.
John Wiley & Sons, England.
Costa,
Adiarto, T. (1996). Pengolahan limbah
industri electroplating dengan
membran
komposit.
Tesis.
Program Pasca Sarjana Magister
Kimia.
Institut
Teknologi
Bandung.
Duranceau, A. (1992). Surfactant
agregation. Glasgow Blackie.
London.
Amin, F and Jayson, C.P. (1996). A
Conventional
experimental
methode for determining cationic
surfactant concentration. Journal
of Chemical Engineering of
Japan, vol. 25 (4) Agustus 2002,
pp. 455-457.
Hill,
Anselme, C., Ford T., Hurley, D and
Martin, G. (1993). Ultrafiltration
water
treatment
membrane
process. Mc-Graw Hill. New
York.
B. (1995). Reaction between
chitosan
and
cellusa
on
biodegradable composite film
formation.
Industrial
&
Engineering Chemistry Research,
vol. 30 (4) April 2001, pp. 788792.
Jacangelo, J., Thomas, J., Cooper, P.,
Graff, B., and Atkinson, B.
(1995). Membrane filtration for
microbial removal. An overview,
AWWA Journal.
Beckers, T. (2000). Catagories of
membrane operations in water
treatment membrane process.
Mc-Graw Hill. New York.
Blair,
G.T. (1982). Pervaporation
performance of hollow-fiber
chitosan-polyacrylonitrile
composite
membrane
in
dehydration of ethanol. Journal
of Chemical Enggineering of
Japan, vol. 25 (1), Pebruari 1999,
pp. 17-21.
Kirk, D. (1983). Effect of syntesized
surfactant in the separation of
rare earth metals by liquid
surfactant membrane. Industrial
&
Chemistry
Engineering
Research, vol. 32 (8) Agustus
1993, pp. 1681-1685.
W. (1987). Introduction to
surfactant snalysis. First Edition.
Chapman & Hall. London.
Chan, L and Lyn, D. (1983). Apparent
chitin digestibility in penaeid
shrimp. Aquaculture, vol. 109
(1), Januari 1999, pp. 51-57.
Knorr,
D. (1991). Recovery and
utilization of chitin and chitosan
and food processing waste
management. Food Tecnology,
Januari 1991 : 114-120.
Lygre, P. (1991). Synthetic detergents.
Sixth Edition. John Wiley &
Sons. New York.
Clint, B. (1992). Adsorption of metal
ions polyaminated highly porous
chitosan
chelating
resin.
Industrial
&
Engineering
456
Stephenson, T., Judd, S., Jefferson, B.,
and
Brindle,
K.
(2000).
Membrane
bioreactors
for
wastewater treatment. IWA
Publishing. London.
Mulder, M. (1991). Basic priciples of
membrane technology. Khewer
Academic
Publisher.
Netherlands.
Mulder, M. (1996). The use of
membrane process in water
purification.
Proceeding.
Bandung.
Sugai, D. (1990). Synthetis of basic and
overbasic sulfonate detergent
additives.
Industrial
&
Engineering Chemistry Research,
vol. 32 (12) Desember 2001, pp.
3170-3173.
Nemeh, A. (1993). Membrane recycling
in
the
liquid
surfactant
membarane process. Industrial &
Engineering
Chemistry
Research,vol. 32 (7) Juli 1993,
pp. 1431-1437.
Taylor, S. (1997). The effect of dietary
chitin on the growth, survival
and chitinase levels of the
digestive cland of juvenile
penaeus momoon. Aquaculture,
vol. 109 (1), Januari 1999, pp.
39-49.
Nilson, R.J. (1990). Azeotropic and
critical phenomenone in a water,
ionic surfactant, alcohol system.
Journal
of
Psysical
and
Chemical, vol. 95 (3) Pebruari
2001, pp. 1425-1429.
Tan,
Prasetyo, B.A. (2002). Rekayasa
pembuatan membran sellulosa
asetat untuk pemisahan detergen.
Tesis. Program Pasca Sarjana
Teknik
Lingkungan
ITS.
Surabaya.
C.S
and
Sudak,
M.E.
(1992).Environmental chemistry
: Essential of chemistry for
engineering
practice.
Departement of Environmental
Engineering
&
Civil
Engineering,
University
of
Sothtern California. Prentice
Hall, Inc.
Tahid.
(1995).Detergen dalam air
limbah dan analysis. Makalah
pada Seminar HKI, Yogyakarta.
Wenten,
I.G.
(1995).
Teknologi
membran industrial. Institut
Teknologi Bandung. Bandung.
Ritz, C. (1993). Membrane technology.
Encyclopedia
of
chemical
technology. Volume 15. Third
Edition. John Wiley & Sons.
New York. Hal. 92-131.
Schirg, N and Winder, L. (1992).
Synthesis of porous magnetic
chitosan beads for removal of
cadmium ions from wastewater.
Industrial
&
Engineering
Chemistry Research, vol. 32 (9)
September 2003, pp. 2170-2178.
Widarta, R.A. (2004). Pembuatan
membran chitosan untuk proses
pengolahan limbah detergen.
Skripsi. Universitas Airlangga.
Surabaya.
457
PENENTUAN KADAR BIOLOGICAL OXYGEN DEMAND (BOD), CHEMICAL
OXYGEN DEMAND (COD), DAN LOGAM BERAT TIMBAL (PB) PADA AIR SUMUR
DI SEKITAR PT. LAPINDO BRANTAS SIDOARJO
Agung P., Nur Fitriyah, Nailir R., Muthmainnah, Nur H. R., Rusmini
Jurusan Kimia FMIPA UNESA
ABSTRAK
Pengeboran ekplorasi gas oleh PT. Lapindo Brantas mengakibatkan semburan
lumpur panas yang berasal dari sumur BJP-1 di Desa Renokenongo, Kecamatan
Porong, Kabupaten Sidoarjo. Lumpur tersebut ternyata mengandung gas H2S yang
cukup pekat, serta logam berat seperti Pb, Cd, As, dan Hg yang relatif tinggi, sehingga
mencemari lingkungan dan berpotensi mencemari air tanah permukaan yang
merupakan sumber air sumur warga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kandungan BOD, COD, dan logam berat Pb dalam air sumur di sekitar semburan
lumpur Lapindo. Sampel penelitian diambil dari 15 air sumur warga dari 5 desa di
sekitar tanggul PT. Lapindo Brantas yang masih digunakan. Metode untuk penentuan
kadar BOD menggunakan titrasi Winkler, penentuan kadar COD menggunakan
pendekatan metode spektrofotometer, dan penentuan kadar logam berat Pb
menggunakan pendekatan metode SSA. Dari hasil penelitian yang dilakukan
didapatkan kadar BOD rata-rata dari 15 sampel air sumur adalah 3,46 mg/L,
menunjukkan bahwa rata-rata air sumur telah melewati kriteria baku mutu air kualitas I
dan II (PP No 82. Tahun 2001). Range kadar BOD sampel 1,68-8,91 mg/L. Sedangkan
kadar COD rata-rata dari 15 sampel air sumur 7,4317 mg/L, menunjukkan bahwa ratarata air sumur masih memenuhi kriteria baku mutu air kualitas I. Range kadar COD
sampel 3,0594-20,896 mg/L yang menunjukkan ada sampel yang telah melewati
kriteria baku mutu air kualitas I. Kadar Pb rata-rata air sumur adalah 0,58 mg/L,
menunjukkan bahwa rata-rata air sumur telah melewati kriteria baku mutu air kualitas I,
II, dan III. Range kadar Pb adalah 0,45-0,86 mg/L.
Kata kunci: BOD, COD, Pb, air sumur, lumpur Lapindo
PENDAHULUAN
Lebih dari satu tahun sejak terjadinya kebocoran gas di areal eksplorasi gas PT.
Lapindo Brantas (Lapindo), tepatnya disekitar Sumur Banjar Panji di Desa
Ronokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Volume semburan yang keluar
awalnya masih pada tingkat 5.000 m 3/hari, diperkirakan telah mengalami peningkatan
menjadi 50.000 m3/hari, kemudian 125.000 m3/hari dan akhirnya 156.000 m3/hari (1).
Dari sumur BJP Lapindo Brantas, selain lumpur yang keluar juga terkandung gas H2S,
serta terkandung logam berat seperti Pb, Cd, Cr, As, dan Hg yang kadarnya tinggi
(2).Dugaan lain menyebutkan adanya tren kenaikan logam berat yang lebih tinggi dari
sebelumnya.
Pada penelitian yang dilakukan pada bulan Desember 2006 dengan lumpur Lapindo
yang diambil pada titik di sekitar 200 meter dari pusat semburan menunjukkan adanya
logam berat berbahaya jauh di atas ambang batas yang dipersyaratkan dengan analisa
458
total logam berat. Misalnya Cd 10,45 ppm, Cr 105,44 ppm, As 0,99 ppm, Hg 1,96 ppm
dan pH lumpur sekitar 3-4 (3). Lumpur lapindo telah mengakibatkan hilangnya
vegetasi (flora dan fauna), berpotensi mencemari air permukaan, sumber air, dan air
tanah karena logam berat. Jika logam berat terserap ke dalam tanah, kemudian
memasuki ekosistem, melarut ke dalam air dan kemudian terserap dan terakumulasi
pada tanaman yang dikonsumsi oleh manusia, bisa berdampak pada penyakit-penyakit
seperti kesalahan sekuen ekspresi otak, yang disebut autisme (4).
Informasi dari Lab Kimia Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
menunjukkan kandungan logam-logam berat pada lumpur yang amat besar, termasuk
kandungan timbal (Plumbum, Pb). Kadar timbal maksimal yang diizinkan standar EPA
(Environment Protection Agency) hanya sebesar 0,5 ppm (mg/liter). Namun, laporan
hasil analisa Lab Kimia Tanah Fakultas Pertanian UNIBRAW mencapai 5 ppm. Ini
jumlah yang teramat besar (5). Sungai pemukiman Jatianom menunjukkan, parameter
timbal (Pb) 0,0734 (standar maksimal 0,003), sedang sumur milik Sukir, warga RT 12
RW 3 Desa Jatianom menunjukkan parameter timbal (Pb) 0,1048 (standar maksimal
0,05) (5).
Pb meracuni sistem pembentukan darah merah. Pada anak-anak, timbal dapat
menurunkan kemampuan otak. Sedangkan pada orang dewasa timbal dapat
menimbulkan tekanan darah tinggi, kemandulan (infertilitas), serta keracunan jaringan
lainnya. Setiap kenaikan 1 µg/m3 Pb dalam darah akan menurunkan 0,975 skor IQ
(intelligent Quotient) pada seorang anak. Prof. Moch. Saeni, FMIPA IPB, mengatakan
bahwa keracunan timbal selain mempengaruhi sistem saraf, intelegensia dan
pertumbuhan anak-anak, juga dapat menyebabkan kelumpuhan. Gejala keracunan
timbal ini biasanya mual, anemia, dan sakit di perut (6).
Hasil dari laboratorium ITS menyimpulkan bahwa nilai BOD dan COD serta
kandungan minyak dan lemak dalam lumpur dan cairan di lokasi cukup tinggi (7). Hasil
laboratorium dari selokan Desa Kedungbendo menunjukkan, Bological Oxigen
Demand (BOD) sebanyak 68,3 mg/L (standar maksimum 12 mg/L) serta Chemical
Oxigen Demand (COD) 138,8 mg/L (standar maksimum 100 mg/L). Sehingga air
sungai sekitar lokasi luapan lumpur tidak memenuhi kriteria baku mutu air kualitas III,
PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengolahan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air. Sumber air tak lagi dapat dikonsumsi karena telah tercemar, warnanya berubah
kekuningan (seperti mengandung minyak tanah).
Sementara itu, sumur-sumur warga yang berada di enam desa seputar kolam lumpur
sudah keruh, kehitaman dan berbau. Air sumur sudah terasa agak licin di tangan,
rasanya sedikit asin dan getir. Jika dipakai mandi, badan terasa gatal (8). Ikut
tercemarnya air sumur menimbulkan kekhawatiran terhadap kesehatan penduduk sebab
sumber utama air bersih mereka adalah air sumur.
Selama inii penelitian tentang kandungan BOD, COD dan logam berat Pb masih
pada lumpur yang keluar dari sumur BJP-1, dan belum dilakukan pada air sumur warga
di sekitar tanggul penampungan lumpur Lapindo. Maka dilakukan pengujian terhadap
kadar BOD, COD, dan kadar logam berat (Pb) pada 15 air sumur warga dari 5 desa
yang terletak disekitar tanggul penampungan lumpur Lapindo yaitu pada desa
Renokenongo, Besuki Kulon, Mindi, Siring Timur, dan Gempol Sari.
459
METODE PENDEKATAN
Penentuan kadar BOD, COD, dan logam berat timbal (Pb) pada penelitian ini
dilaksanakan di laboratorium kimia UNESA pada bulan Mei 2007 – Juni 2007 secara
garis besar pelaksanaan penelitian ini melalui beberapa tahap yaitu:
1. pencarian sampel,
2. penentuan kadar BOD,
3. penentuan kadar COD,
4. penentuan kadar Pb
5. analisis data
Pencarian Sampel
Pencarian sampel dilakukan dengan cara menentukan 5 desa yang berada di dekat
semburan lumpur panas Lapindo dan mengelilingi tanggul yang dibuat PT. Lapindo
Brantas untuk menampung lumpur yang keluar ke daratan. Dari masing-masing desa
diambil rata-rata tiga
sampel air sumur. Lima desa yang dimaksud adalah
Renokenongo, Besuki Kulon, Mindi, Siring Barat, dan Gempol Sari. Pengambilan
sampel dilakukan pada sumur-sumur warga yang belum tergenang oleh lumpur dan
airnya masih digunakan untuk kebutuhan sehari-hari oleh warga.
Metode Penentuan Kadar BOD
Kadar BOD ditentukan dengan menggunakan pendekatan metode titrasi Winkler
dengan prinsip kadar oksigen dalam air (sampel) akan mengoksidasi MnSO 4 yang
ditambahkan ke dalam larutan pada alkalis, sehingga terjadi endapan MnO 2. Dengan
penambahan asam sulfat dan kalium iodida maka akan dibebaskan iodin yang
ekuivalen dengan oksigen terlarut. Iodin yang dibebaskan tersebut kemudian dianalisa
dengan metode titrasi iodometri yaitu dengan larutan standart tiosulfat dengan indikator
kanji (9). Peralatan yang digunakan dalam penentuan kadar BOD ini adalah botol-botol
inkubasi Winkler, inkubator, Erlenmeyer, buret. Sedangkan bahan-bahan yang
digunakan adalah MnSO 4. 4H2O, KI, indikator kanji, dan Na2S2O3. Karena reaksi BOD
dilakukan di dalam botol yang tertutup, maka jumlah oksigen yang telah dipakai adalah
perbedaan antara kadar oksigen di dalam larutan pada saat t = 0 hari dan kadar oksigen
pada t = 5 hari.
Metode Penentuan Kadar COD
Kadar COD ditentukan dengan menggunakan pendekatan metode spektrofotometer
(9). Prinsip dari metode ini yaitu zat organik dalam sampel dioksidasi dengan larutan
potassium dikromat dan asam sulfat pada kondisi mendidih dengan katalis perak nitrat.
Warna hijau yang terbentuk dari Cr 3+ sebanding dengan oksigen yang digunakan untuk
mengoksidasi bahan organik dan digunakan sebagai pengukuran pada spektrofotometer
dengan panjang gelombang 600 nm. Peralatan yang digunakan dalam penentuan kadar
ini adalah spektrofotometer, tabung COD, dan termoreaktor. Termoreaktor tersebut
digunakan untuk mendidihkan sampel saat proses oksidasi. Absorbansi yang dihasilkan
dari pembacaan sampel pada spektrofotometer akan dikalibrasikan dengan
menggunakan blanko. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah K2Cr2O7,
H2SO4, HgSO4, dan Ag2SO 4.
Metode Penentuan Kadar Pb
Penentuan kadar logam berat timbal (Pb) dengan menggunakan pendekatan metode
spektrofotometri serapan atom SSA dengan prinsip interaksi antara tenaga radiasi
dengan atom yang dianalisis (10). Peralatan SSA yang digunakan adalah
spektrofotometer SSA Perklin Elmer 100 AA dan standart yang digunakan adalah
460
PbNO3. Absorbansi sampel yang diperoleh dari pembacaan spektrofotometri SSA
dikalibrasikan dengan absorbansi larutan standart yaitu Pb 0,5; 1,0; 1,5; dan
5,0
mg/L.
Metode Analisis Data
Data-data yang diperoleh dari ketiga penentuan di atas dianalisis secara deskriptif,
kemudian dibuat analisis korelasi regresi BOD dan COD-nya, serta dibuat peta
pencemarannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari penelitian yang telah dilakukan pada 15 sampel air sumur dari 5 desa
(Renokenongo, Besuki Kulon, Mindi, Siring Barat, dan Gempol Sari) di sekitar
semburan lumpur panas Lapindo didapatkan data sebagai berikut:
Tabel 1. Data Konsentrasi BOD, COD, dan Pb
Pada 15 Sampel Air Sumur Dari 5 Desa di Dekat Semburan Lumpur Panas Lapindo
Nama Desa
Sampel
Sumur 1 (1)
Sumur 2 (2)
Renokenongo
Sumur 3 (3)
Rata-rata
Sumur 1 (4)
Sumur 2 (5)
Besuki Kulon
Sumur 3 (6)
Rata-rata
Sumur 1 (7)
Sumur 2 (8)
Mindi
Sumur 3 (9)
Rata-rata
Sumur 1 (10)
Siring Barat
Sumur 2 (11)
Rata-rata
Sumur 1 (12)
Sumur 2 (13)
Gempol Sari Sumur 3 (14)
Sumur 4 (15)
Rata-rata
Rata-rata
Range
BOD
(mg/L)
COD (mg/L)
Pb
(mg/L)
2,84
3,96
3,38
3,39
4,4965
6,2937
5,4551
5,4151
0,59
0,45
0,45
0,50
1,68
2,64
6,20
3,0594
6,3092
15,853
0,59
0,59
0,45
3,51
8,91
2,46
1,84
8,4072
20,896
4,0594
4,1145
0,54
0,45
0,45
0,59
4,40
2,88
2,36
9,6900
5,1839
6,0741
0,50
0,86
0,73
2,62
2,08
4,44
5,6290
5,1783
10,542
0,80
0,45
0,73
4,04
3,02
3,40
3,46
9,2311
7,1180
8,0174
7,4317
0,73
0,45
0,59
0,58
1,68-8,91
3,0594-20,896
0,45-0,86
Analisis Jarak
Berdasarkan perhitungan jarak melalui skala peta diketahui bahwa ke-15 sampel
diambil dari jarak sekitar 1-2 km dari pusat semburan. Jarak lokasi pengambilan sampel
dari pusat semburan secara berurut menurut nomer sampel adalah: 1000; 1100; 850;
1700; 1750; 1550; 1737,5; 1700; 1675; 1200; 1150; 1750; 1700; 1725; dan 1800 m.
Sedangkan jika dihitung dari tanggul yang dibuat PT. Lapindo Brantas, ke-15 sampel
diambil dari jarak kurang dari 0,5 km. Oleh karena itu, jarak sampel terhadap pusat
461
semburan diasumsikan sama karena relatif dekat dengan tanggul (batas penampungan
lumpur).
PETA
15
PENGAMBILAN
14
Gempol Sari
13
SAMPEL
12
11
Siring
Barat 10
1
2
3
Renokenongo
9
6
8
Mindi
5
7
Besuki Kulon
4
Gambar 1. Peta Lokasi Pengambilan 15 Sampel Air Sumur
dari Pusat Semburan
Analisis BOD
Berdasarkan penelitian kadar BOD dengan metode titrasi Winkler yang telah
dilakukan pada ke-15 sampel didapatkan data kadar BOD dengan range 1,68-8,91
mg/L. Angka ini menunjukkan bahwa air sumur pada kelima desa tersebut masuk
dalam golongan clean, moderated polluted, polluted, dan very polluted (11). Sedangkan
rata-rata BOD dari kelima desa adalah 3,46 mg/L yang menunjukkan air sumur dari
desa tersebut rata-rata telah terpolusi (polluted). Pada desa Mindi rata-rata air sumurnya
mempunyai kandungan BOD 4,40 mg/L, hal ini menunjukkan bahwa rata-rata air
sumur di desa ini masuk dalam kategori sangat terpolusi (very polluted).
Pada hasil analisis kadar BOD pada air sumur warga sekitar semburan lumpur
panas Lapindo didapatkan hasil bahwa kadar BOD tertinggi sebesar 8,91 mg/L terdapat
pada sampel dari desa Mindi. Rata-rata kadar BOD tertinggi juga terdapat pada desa
Mindi sebesar 4,40 mg/L, diikuti desa Besuki Kulon sebesar 3,51 mg/L, dan desa
Gempol Sari sebesar 3,40 mg/L. Tingginya kadar BOD menandakan bahwa
mikroorganisme yang menguraikan zat-zat organik ada dalam jumlah yang tinggi,
sehingga jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan organik
tersebut juga tinggi (12). Mikroorganisme ini kemungkinan besar berasal dari
mikroorganisme lumpur yang terserap melalui tanah dan masuk ke air tanah yang
merupakan sumber air sumur warga. Hal ini sesuai dengan pernyataan warga yang
menyatakan bahwa air sumur mereka berubah bau, warna, dan rasanya setelah terjadi
semburan lumpur. Sedangkan sebelum semburan lumpur terjadi, air sumur warga tidak
462
bermasalah dan dapat digunakan untuk kepentingan minum, memasak, dan keperluan
ruman tangga lainnya. Sehingga perubahan fisik air sumur warga kemungkinan berasal
dari lumpur panas yang keluar dari sumur Lapindo.
Tingginya kadar BOD pada desa Mindi dan Besuki Kulon kemungkinan
dikarenakan letak dari kedua wilayah ini lebih rendah dari ketiga desa yang lain.
Rendahnya wilayah kedua desa ini dipengaruhi oleh letaknya yang paling dekat dengan
badan Sungai Porong yang terletak pada sisi Selatan area semburan. Hal ini
menyebabkan kondisi topografi kedua daerah pada sisi Selatan ini lebih rendah jika
dibandingkan dengan sisi Utara. Fenomena ini menyebabkan aliran alir lumpur cair
terkonsentrasi pada sisi Selatan sedangkan material lumpur pekat berada di Utara
karena lempung ini mengendap dan tertinggal (13). Terkonsentrasinya aliran alir
lumpur cair pada sisi Selatan memungkinkan resapan material lumpur ke dalam air
tanah paling besar karena resapan yang terjadi pada lumpur cair lebih besar dari
material padatannya, sehingga menyebabkan tingginya kadar BOD.
Sedangkan pada desa Gempol Sari yang wilayahnya relatif tinggi dari daerah
Selatan (Mindi dan Besuki Kulon), tingginya kadar BOD disebabkan oleh terserapnya
mikroorganisme lumpur yang berasal dari material padatannya yang terserap melalui
tanah dan masuk ke air tanah yang merupakan sumber air sumur warga, bukan dari
lumpur cair. Penyerapan ini terjadi relatif lebih kecil dari penyerapan tanah oleh lumpur
cair, sehingga walaupun kadar BOD desa Gempol Sari cukup tinggi tapi tidak sebesar
pada desa Mindi. Sedangkan pada desa Renokenongo dan Siring Barat, walaupun air
sumurnya juga tercemar tetapi pencemaran yang terjadi tidak sebesar daerah Utara dan
Selatan semburan dikarenakan posisinya yang berada di tengah sehingga hanya dilewati
aliran dari lumpur saja, tanpa terjadi pengkonsentrasian lumpur cair ataupun lumpur
padat.
Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengolahan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air dari 15 sampel air sumur yang diambil dari 5 desa di
dekat semburan lumpur panas Lapindo hanya 2 sampel yang memenuhi kriteria baku
mutu BOD air kualitas I. Tiga belas sampel melewati kriteria baku mutu BOD air
kualitas I, 7 sampel melewati kriteria baku mutu BOD air kualitas II, dan 2 sampel
melewati kriteria baku mutu air kualitas III. Sehingga, sebagian besar air sumur tidak
dapat digunakan sebagai sumber air minum warga. Padahal, meskipun tidak lagi
digunakan sebagai air minum ataupun untuk keperluan memasak, air sumur warga yang
diteliti semuanya masih digunakan untuk keperluan mandi dan mencuci. Sehingga
perlu diwaspadai bahayanya.
BOD
8.00
7.00
7
6
kad ar BOD (mg/ L)
6.00
III
5.00
13
4.00
14
2
3
3.00
1
2.00
15
10
5
8
11
9
4
12
II
I
1.00
0.00
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Nom or Sampe l
Gambar 2. Kadar BOD dari 15 Sampel Air Sumur
463
I. Baku mutu untuk air minum (PP No. 82 Tahun 2001).
II. Baku mutu air untuk sarana / prasarana rekreasi air, budidaya air tawar, peternakan dan
pengairan tanaman.
III. Baku mutu air untuk budidaya air tawar, peternakan dan pengairan tanaman.
IV. Baku mutu air untuk pengairan tanaman. (batas baku mutu lebih dari air kriteria III)
Analisis COD
Pada hasil analisis kadar COD pada air sumur warga sekitar semburan lumpur
panas Lapindo didapatkan hasil bahwa kadar COD tertinggi sebesar 20,896 mg/L
terdapat pada sampel dari desa Mindi. Rata-rata kadar COD tertinggi juga terdapat pada
desa Mindi sebesar 9,69 mg/L, diikuti desa Besuki Kulon sebesar 8,4072 mg/L, dan
desa Gempol Sari sebesar 8,0174 mg/L. Tingginya kadar COD menandakan bahwa
jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang melalui
proses kimiawi dan biologi dalam jumlah yang tinggi. Zat organik ini kemungkinan
besar berasal dari lumpur yang terserap melalui tanah dan masuk ke air tanah yang
merupakan sumber air sumur warga.
Tingginya kadar COD pada desa Mindi dan Besuki Kulon kemungkinan
dikarenakan letak dari kedua wilayah ini lebih rendah dari ketiga desa yang lain.
Rendahnya wilayah kedua desa ini dipengaruhi oleh letaknya yang paling dekat dengan
badan Sungai Porong yang terletak pada sisi Selatan area semburan. Hal ini
menyebabkan kondisi topografi kedua daerah pada sisi Selatan ini lebih rendah jika
dibandingkan dengan sisi Utara. Fenomena ini menyebabkan aliran alir lumpur cair
terkonsentrasi pada sisi Selatan sedangkan material lumpur pekat berada di Utara
karena lempung ini mengendap dan tertinggal (13). Terkonsentrasinya aliran alir
lumpur cair pada sisi Selatan memungkingkan resapan material lumpur ke dalam air
tanah paling besar karena resapan yang terjadi pada lumpur cair lebih besar dari
material padatannya, sehingga menyebabkan tingginya kadar COD.
Sedangkan pada desa Gempol Sari yang wilayahnya relatif tinggi dari daerah
Selatan (Mindi dan Besuki Kulon), tingginya kadar COD disebabkan oleh terserapnya
mikroorganisme lumpur yang berasal dari material padatannya yang terserap melalui
tanah dan masuk ke air tanah yang merupakan sumber air sumur warga, bukan dari
lumpur cair. Penyerapan ini terjadi relatif lebih kecil dari penyerapan tanah oleh lumpur
cair, sehingga walaupun kadar COD desa Gempol Sari cukup tinggi tapi tidak sebesar
pada desa Mindi. Sedangkan pada desa Renokenongo dan Siring Barat, walaupun air
sumurnya juga tercemar tetapi pencemaran yang terjadi tidak sebesar daerah Utara dan
Selatan semburan karena kedua desa ini karena posisinya hanya dilewati aliran dari
lumpur saja, tanpa terjadi pengkonsentrasian lumpur cair ataupun lumpur padat.
Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengolahan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air dari 15 sampel air sumur yang diambil dari 5 desa di
dekat semburan lumpur panas Lapindo terdapat 12 sampel yang memenuhi kriteria
baku mutu COD air kualitas I dan 3 sampel yang melebihi kriteria baku mutu BOD air
kualitas I tapi masih memenuhi baku mutu air kualitas II yaitu sampel dari desa Mindi
dan desa Gempol Sari.
464
COD
I.
Kadar COD (m g/l)
25.00
7
20.00
6
15.00
13
10.00
2
5.00
1
5
3
8
4
10
9
11
14
15
12
0.00
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Nomor sampel
Gambar 3. Kadar COD dari 15 Sampel
Air Sumur
Baku mutu untuk air minum (PP
No. 82 Tahun 2001).
II. Baku mutu air untuk sarana /
prasarana rekreasi air, budidaya air
tawar, peternakan dan pengairan
tanaman.
III. Baku mutu air untuk budidaya air
tawar, peternakan dan pengairan
tanaman. (batas baku mutu lebih
dari batas baku mutu air kriteria II)
IV. Baku mutu air untuk pengairan
tanaman. (batas baku mutu lebih
dari batas baku mutu air kriteria
III)
Analisis Logam Berat Timbal (Pb)
Pada hasil analisis kadar logam berat Pb pada air sumur warga sekitar semburan
lumpur panas Lapindo didapatkan hasil bahwa kadar logam berat Pb tertinggi sebesar
0,86 mg/L terdapat pada sampel dari desa Siring Barat. Rata-rata kadar Pb tertinggi
juga terdapat pada desa Siring Barat yaitu sebesar 0,80 mg/L, diikuti desa Gempol Sari
sebesar 0,59 mg/L, dan desa Besuki Kulon sebesar 0,54 mg/L. Tingginya kadar
logam berat Pb menandakan bahwa air sumur pada daerah sekitar semburan lumpur
Lapindo sudah tercemar yang kemungkinan besar berasal dari lumpur yang terserap
melalui tanah dan masuk ke air tanah yang merupakan sumber air sumur warga.
Tingginya kadar logam berat Pb pada desa Siring tidak hanya diakibatkan oleh
posisinya yang dekat dengan semburan lumpur Lapindo tetapi juga berada di sekitar
lokasi perindustrian dan jalan raya yang sangat ramai lalu lintasnya. Pabrik yang
melakukan aktivitas produksi di daerah, telah melakukan aktivitasnya sebelum
semburan lumpur panas terjadi, bahkan setelah semburan lumpur panas terjadi sebagian
di antara pabrik ini masih beroperasi sampai sekarang. Sedangkan desa Gempol Sari
terletak di Utara kemungkinan logam berat seperti Pb ikut terendapkan bersama
material padat lumpur. Setelah terendapkan kemudian terserap masuk dalam pori-pori
tanah yang kemudian mencemari air tanah yang merupakan sumber air sumur warga.
Sedangkan desa Besuki Kulon berada di daerah Selatan dimana kebanyakan lumpur
cair terkonsentrasi di daerah Selatan yang akan dialirkan melalui Sungai Porong. Hal
ini menunjukkan penyerapan logam berat Pb pada air tanah lebih besar terjadi melalui
material padat lumpur dibanding lumpur cair.
Kadar Pb pada air sumur sekitar semburan lumpur panas Lapindo relatif tinggi
(tidak memenuhi kriteria baku mutu air kualitas I, II, dan III). Kemungkinan masuknya
Pb dalam air sumur warga adalah melalui penyerapan dari tanah terlebih dahulu.
Sehingga dikhawatirkan kandungan Pb pada tanah di sekitar semburan lumpur panas
Lapindo lebih tinggi dibanding pada air sumur. Padahal Pb dapat berakumulasi dalam
tanaman, sehingga jika tanaman hasil produksi daerah sekitar semburan ini dikonsumsi
oleh manusia dapat membahayakan kesehatan, karena juga dapat terakumulasikan
dalam tubuh manusia. Keberadaan logam berat dalam tanah dapat menjadi zat toksin
(racun) bagi tanaman, dan melalui rantai makanan akan masuk ke dalam tubuh
manusia, sehingga akan mengganggu kesehatan manusia. Kadar logam berat Pb yang
tinggi dapat meracuni sistem pembentukan darah merah. Pada anak-anak dapat
465
menurunkan kemampuan otak, sedangkan pada orang dewasa logam berat Pb dapat
menimbulkan tekanan darah tinggi, kemandulan (infertilitas), serta keracunan jaringan
lainnya. Setiap kenaikan 1 g/m3 Pb dalam darah akan menurunkan 0,975 skor IQ
(Intelligent Quotient) pada seorang anak. Logam berat Pb dapat terakumulasi dalam
ginjal, hati, kuku, jaringan lemak dan rambut. (6)
Menurut PP No. 82 Tahun 2001 untuk syarat air minum kadar Pb maksimum adalah
0,03 mg/liter. Berdasarkan penelitian rata-rata air sumur dari kelima desa sudah
melebihi ambang batas baku mutu air kriteria I, II, dan III, angka ini menunjukkan
bahwa rata-rata air sumur dari kelima desa tidak layak digunakan sebagai air minum,
air bersih, dan air dan pembudidayaan ikan karena kadar Pb melebihi batas maksimum
yang dijinkan.
Pb
1
0.9
10
Kadar Pb (mg/l)
0.8
11
0.7
0.6
1
4
0.5
2
0.4
5
13 14
9
3
6
7
8
12
15
0.3
0.2
0.1
0
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Nom or Sam pe l
Gambar 3. Kadar Pb dari 15 Sampel Air Sumur
Analisis Korelasi Regresi BOD dan COD
Dari korelasi data BOD dan COD didapat nilai R sebesar 0,969**. Nilai R tersebut
menunjukkan bahwa antara BOD dan COD mempunyai pengaruh yang positif, artinya
kenaikkan BOD dalam air disertai dengan kenaikkan COD. Hal ini disebabkan BOD
dan COD sama-sama menunjukkan kadar oksigen terlarut, bedanya BOD merupakan
oksigen yang diperlukan untuk perombakan bahan organik secara biologi oleh
mikroorganisme dalam air sedangkan COD merupakan oksigen yang diperlukan suatu
bahan oksidan untuk mengoksidasi dan menguraikan bahan organik dalam air.
BOD dan COD
25.0000
C OD (m g/L)
20.0000
y = 3.0497x - 2.7232
R2 = 0.903
15.0000
10.0000
5.0000
0.0000
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
BOD (mg/L)
Gambar 4. Grafik Korelasi Regresi BOD dan COD
Berdasarkan analisis kadar BOD, COD, dan Pb maka dapat dibuat peta pencemaran
BOD, COD, dan logam berat Pb tertinggi seperti yang ditunjukkan pada gambar 6.
466
PETA
Daerah dengan
COD dan BOD
tinggi
PENCEMAR
AN
Daerah
dengan Pb
Derah dengan COD dan BOD
tinggi
Gambar 6. Peta Pencemaran BOD, COD, Dan Pb Tertinggi
KESIMPULAN
Kadar BOD rata-rata dari 15 sampel air sumur adalah 3,46 mg/L, menunjukkan
bahwa rata-rata air sumur telah melewati kriiteria baku mutu air kualitas I, dan II
(PP No 82. Tahun 2001). Range kadar BOD sampel 1,68-8,91 mg/L. Sedangkan
kadar COD rata-rata dari 15 sampel air sumur 7,4317 mg/L, menunjukkan bahwa ratarata air sumur masih memenuhi kriteria baku mutu air kualitas I. Range kadar COD
sampel 3,0594-20,896 mg/L yang menunjukkan ada sampel yang telah melewati
kriteria baku mutu air kualitas I. Kadar Pb rata-rata air sumur adalah 0,58 mg/L,
menunjukkan bahwa rata-rata air sumur telah melewati kriteria baku mutu air kualitas I,
II, dan III. Range kadar Pb adalah 0,45-0,86 mg/L.
DAFTAR PUSTAKA
(1) Yurino, Ari. Demi Profit, PT Lapndo Berantas Mengorbankan Rakyat. 2006:
http://www.prakarsarakyat.org/download/Buletin%20SADAR/SADAR%2023%20tahun%20II%2020
06.html. Diakses 10 Juni 2007
(2) Santoso, Dwi Andreas. Logam Berat dalam Lumpur Lapindo Brantas Diabang
Batas.
[Serial
Online]
2007:
http://www.ilibrary.org/index.php?option=comcontent&task=view&id=5061&Itemid=26Diak
ses 10 Juni 2007
(3) Santoso, Dwi Andreas. Logam Berat dalam Lumpur Lapindo Brantas
Diabang Batas. [Serial Online] 2007: http://www.beritabumi.or.id/berita3.php?id
berita=652. Diakses 17 Juni 2007
(4) Pribadi, dody Wisnu. Memandang Lumpur Bukan Masalah. Tak Bisa Untuk
Cocok Tanam. 2007: http://kmit.faperta.ugm.ac.id/Artikel%20-%20Lumpur.html.
Diakses 3 Juni 2007
(5) Anonim. -. -: http://www.d-infokom-jatim.go.id/media_view.php?id=121.
Diakses 3 Juni 2007
(6) Saeni, Moch. Pencemaran Lingkungan Dalam Pandangan Islam: Interpretasi
467
Untuk Aksi Pencegahan Pencemaran Timbel. 2006: http://www.indonesialic.org/adv_pendidikanmasy_resensi.php. Diakses 3 Juni 2007
(7) Achmadi, Umar Fahmi. Peranan Air dalam Peningkatan derajat Kesehatan
Masyarakat.
[serial
Online]
2001;
(6):[7
Halaman].
http://www1.bpkpenabur.or.id/kps-jkt/berita/200104/lap-perananair.pdf. Diakses
pada 17 Juni 2007
(8) Hadi, Sofyan. Sekitar Lumpur Lapindo: Permukaan Sehari Turun Dua Senti,
Sumur Tercemar. 2006: http://www.walhi.or.id/. Diakses 17 Juni 2007
(9) Alaerts, G. dan Sri Sumestri Santita. Metoda Penelitian Air. Surabaya: Usaha
Nasional; 1987.
(10) Radojevic, Miroslav dan Vladimir N. Bashkin. Practical Environmental Analysis.
Cambridge; Royal Society of Chemistry; 1999.
(11) Sugiharto. Dasar-Dasar Pengolahan Air Limbah. Jakarta;UI-Press; 1987. h.8
(12) Soetikno. Kajian Geografis Dalam Menyikapi Bencana Lumpur Panas Lapindo
Brantas, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timar. Seminar Nasional. Surabaya;
Universitas Negeri Surabaya (UNESA); 2006. h. 6-7.
468
1)
MODEL FOTOKIMIA OZON PERMUKAAN *)
( SIKLUS O3, NOX, DAN CO )
Rukmi Hidayati, 1)Afif Budiyono, 1) Sarwito Agung Nugraha, 1) Mulyono
Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN
Jl. Dr. Djundjunan No. 133 , Telp. (022) 6037445,
Fax : (022) 6037443 Bandung 40173
Email : [email protected]; [email protected]
Abstrak
Peningkatan gas telusur yang sangat reaktif seperti ozon (O 3), nitrogen dioksida
(NO 2), Nitrik Oxida (NO)
peroksiasetil nitrat (PAN) dan hidrokarbon, mengakibatkan
pengaruh buruk pada biosfir kita, maka perlu meneliti gas telusur tersebut. Untuk
mensimulasikan ozon permukaan diperlukan suatu model matematika untuk penaksiran respon
dari gas telusur ini. Dasar dari model yang akan digunakan adalah keseimbangan massa zat
dengan mempertimbangkan proses kimia dan fisika yang dapat dipecahkan dengan teknik
bilangan Euler dengan asumsi ”quasi steady state approximation (QSSA). Sebagai input model
digunakan data O 3 (ozon), NO (nitrogen monoksida), NO2 (nitrogen dioksida) dan CO
(karbondioksida) permukaan dalam (µg/m3) , serta T (temperatur udara permukaan) dalam
(0 C), berupa rata – rata per setengah jam tahun 2001 dari BPLHD Surabaya. Evaluasi model
dilakukan dengan membandingkan hasil simulasi dengan hasil pengukuran in situ, dan hasilnya
menunjukkan penyimpangan sekitar 20,5% , 16,9% dan 38,5% masing-masing untuk Taman
Prestasi, Perak Timur dan Gayungan di Surabaya. Keakuratan model sangat tergantung pada
kualitas data yang digunakan sebagai input, terutama NO dan NO2, yang mempunyai potensi
pembentukan ozon yang sangat tinggi
Kata kunci : Fotokimia, keseimbangan masa, teknik bilangan Euler, quasi steady state
approximation.
*)
Dibawakan pada Seminar Nasionan Kimia , Rabu,5 Desember 2007
Jurusan Kimia FMIPA UNESA, Kampus UNESA , Jl. Ketintang Surabaya.
1)
Peneliti Bidang Pengkajian Ozon dan Polusi Udara, Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan
Iklim, LAPAN - Bandung
1. PENDAHULUAN
469
Latar Belakang
Peningkatan gas telusur yang sangat reaktif seperti ozon (O3 ), nitrogen dioksida
(NO 2), Nitrik Oxida (NO) peroksiasetil nitrat (PAN) dan hidrokarbon, mempunyai peran
yang mengakibatkan pengaruh buruk pada biosfir kita, sehingga kita perlu meneliti gas
telusur tersebut. Namun selain data yang tersedia sangatlah terbatas karena sukar untuk
diukur, juga memerlukan peralatan yang mahal. Oleh karena itu untuk meneliti gas telusur
tersebut dapat digunakan suatu model matematika yang memberikan cara penaksiran
respon dari bermacam- macam gas telusur yang sangat reaktif ini. Pada penelitian ini,
model
dirancang untuk mensimulasikan variasi harian ozon permukaan dengan
mempertimbangkan proses kimia dan fisika yang ada. Dasar dari model yang akan
digunakan adalah keseimbangan massa zat yang dapat dipecahkan menggunakan teknik
bilangan Euler dengan asumsi ”quasi steady state approximation (QSSA)”. Sebagai input
model digunakan data O 3 (ozon), NO (nitrogen monoksida), NO 2 (nitrogen dioksida) dan
CO (karbondioksida) permukaan dalam (µg/m3) , serta T (temperatur udara permukaan)
dalam ( 0C), berupa rata – rata per setengah jam. Keakuratan model dapat dievaluasi dengan
membandingkan hasil simulasi terhadap hasil pengukuran konsentrasi ozon in situ pada
kondisi langit cerah.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Sebagai tinjauan pustaka digunakan referensi dari hasil penelitian (Rukmi Hidayati,
dkk, tahun 2006) yang membahas tentang Model Fotokimia Ozon Permukaan ( Siklus O3 dan
NOx ) untuk kota Bandung, dan diperoleh,variasi harian ozon permukaan pada bulan Juni 2003
di ketiga lokasi, Batnunggal, Cisaranten dan Aria Graha sekitar 40 ppb pada siang hari dan
kurang dari 10 ppb pada pagi hari sebelum jam 7.00. Sedangkan pada bulan Januari 2003 di
tiga lokasi kurang dari 40 ppb pada siang hari (kecuali di Cisaranten) dan kurang dari 5 ppb
pada pagi hari sebelum jam 7.00.
Perbandingan hasil simulasi dan observasi pada bulan Juni 2003 untuk ketiga lokasi
Batnunggal, Cisaranten dan Aria Graha masing-masing menunjukkan penyimpangan sekitar
33,5%, 32,8%,37,5%.
Hasil simulasi ozon permukaan pada musim hujan ( bulan Januari dan Februari) di tiga lokasi
Batununggal, Cisaranten, Aria Graha dan Tirtalega menunjukkan penyimpangan sekitar 20%
lebih besar dibandingkan pada musim kemarau (bulan Juni).
Keakuratan model sangat tergantung pada kualitas data yang digunakan sebagai input, terutama
NO dan NO2 , yang mempunyai potensi pembentukan ozon yang sangat tinggi.
3. DATA DAN METODE
470
3.1. Data
Data yang digunakan adalah O 3 (ozon), NO (nitrogen monoksida), NO2 (nitrogen
dioksida) dan CO (karbondioksida) permukaan dalam (µg/m3) , serta T (temperatur udara
permukaan) dalam (0 C), berupa rata – rata per setengah jam pada tahun 2001 untuk Surabaya
di tiga lokasi
Taman Prestasi, Perak timar dan Gayungan yang diperoleh dari BPLHD
Surabaya. Data radiasi matahari akan dipilih hari-hari tertentu yang mendekati langit cerah
pada bulan Juni 2001 untuk menghindari pengaruh awan, dan pemilihan data polusi udara serta
data temperatur disesuaikan.
3.2. Metode
Dasar dari model yang akan digunakan adalah keseimbangan massa zat yang sedang
ditelaah (pada kasus ini, ozon) yang dapat dipecahkan menggunakan teknik bilangan Euler
dengan asumsi ”quasi steady state approximation (QSSA)” (S.B. Debaje dan D.B. Jadhav,
1999).
ci / t = Ri ({Pk }t,T) ..............(1)
dengan ci = konsentrasi zat yang ditelaah (ozon)
R i adalah net ozon (keseimbangan pembentukan dan perusakan) merupakan fungsi ruang dan
waktu dengan memasukkan semua mekanisme kimia yang terkait dalam pembentukan dan
perusakan ozon permukaan (Pk ), fungsi ruang, waktu (t), temperatur (T) dan sudut zenit
matahari (z).
Persamaan (1) diintegrasi menggunakan teknik bilangan Euler .
Dalam persamaan (1) mekanisme fotokimia semua zat yang terkait dalam pembentukan dan
perusakan ozon ( Siklus O3 , NOx dan CO) adalah reaksi cepat dan lambat
Mekanisme reaksi kimia dalam persamaan (1) dibuat sesederhana mungkin dengan asumsi
”quasi steady state approximation (QSSA)”, sehingga jumlah persamaan reaksi kimia menjadi
minimum, karena proses transformasi kimia diketahui sangat sulit untuk diselesaikan secara
numerik.
Dari referensi:”Atmospheric Chemistry and Physics”,( Seinfeld, John H., 1986, diperoleh
mekanisme fotokimia semua zat yang terkait dalam pembentukan dan perusakan ozon yang
merupakan dasar siklus O3 , NOx , dan CO, sebagai berikut :
a) Mekanisme kimia
1. NO2 + h√
→ NO + O
R1 = J [NO2]
2. O + O2 + M
→ O3 + M
R 2 = k2 [O][O2 ][M]
3. O3 + NO
→ NO2 + O2
R3 = k3 [O3 ][NO]
471
4. O3 + h√
→ O (’
D) + O2
R 4 = k4 [O3 ]
5. O (’D) + M
→ O + M
R5 = k 5 [O (’D)][M]
6. O (’D) + H 2O → 2 OH∙
7. CO +
R6 = k 6 [O (’D)][H2 O]
OH∙ → CO2 + HO2∙
R 7 = k7 [CO][ OH∙
]
8. HO2∙+ NO
→ NO2 + OH∙
R 8 = k8 [HO 2 ∙
][NO]
9. OH∙+ NO2
→ HNO3
R 9 = k9 [OH∙
][NO2]
Untuk penyelesaian persamaan reaksi tersebut dipisahkan dalam 3 group:
Group 1 :
Terdiri dari species kimia yang konsentrasinya di atmosfer melimpah, mempunyai livetime
beberapa hari , mempunyai reaktivitas kimia yang rendah, yaitu (CO 2, H2 O,O2 dan gas –gas
inert) dan konsentrasi species ini sepanjang simulasi dianggap konstan.
Group 2 :
Terdiri dari species kimia yang konsentrasi variasi hariannya dimonitor secara rutin dan
mempunyai livetime beberapa jam yaitu (NO2 , NO, O3, dan CO) dan senyawa stabil lainnya.
Perubahan konsentrasinya dinyatakan dengan dCi/dt.
Group 3
Terdiri dari species yang konsentrasinya sangat rendah dan reaktivitas kimianya tinggi,
livetimenya sangat pendek, hanya beberapa menit, yaitu radikal (OH, HO 2, NO3 dan RCO3),
maka perubahan konsentrasinya dinyatakan dengan dCi/dt = 0.(steady state)
(Dana A. Brewer, et all)
Dengan asumsi ”quasi steady state approximation (QSSA)”, maka diperoleh :
[O]ss :
R1 – R2 + R5 = 0
J [NO2 ] - k2 [O][O2 ][M] + k5 [O (’D)][M] = 0
[O (’D)ss :
R4 – R5 – R6 = 0
k 4 [O3 ] - k5 [O (’D)][M] - k6 [O (’D)][H2 O] = 0
[ OH∙
]ss :
2R6 – R7 + R8 – R9 = 0
[H 2O]ss :
R7 - R8 = 0
2k6 [O (’D)][H2O] - k9 [OH∙
][NO2] = 0
[O 3]ss :
R2 – R3 – R4 = 0
k 2 [O][O2 ][M] - k 3 [O 3][NO] - k 4 [O 3] = 0
Dari 4 persamaan steady state diatas ,4 yang tidak diketahui, maka [H2 O]ss dapat dieliminir
dengan menggunakan R 7 - R 8 = 0 , dalam persamaan [ OH∙
]ss , sehingga menjadi;
J [NO2 ] + k5 [O (’D)][M]
472
[O]ss = -------------------------------------k2 [O 2][M]
k4 [O3 ]
[O (’D)ss =-------------- x a
k 6 [H2 O]
k 6 [H 2O]
1
Dengan a = ----------------------------- = -----------------------k6 [H 2O] + k5 [M]
k5 [M]
1 + --------------k 6 [H 2O]
2k6 [O (’D)][H2 O]
2 a k4 [O 3 ]
[ OH∙
]ss = --------------------------- = ---------------k 9 [NO 2]
k9 [NO 2]
b) Penentuan d[O3 ]/dt , d[NO2]/dt , d[NO]/dt dan d[CO]/dt
d[O3 ]/dt
= R2 – R3 – R 4
d[NO2 ]/dt = - R1 + R3 + R8 – R9
d[NO]/dt = R 1 – R3 – R 8
d[CO]/dt = - R7
d[O3 ]/dt
= k1 [NO2 ] - k3 [NO][O3] – k4 [O3 ]
d[O3 ]/dt = k1[NO 2] – [O 3] ( k3 [NO] – k4 ])
d[NO2 ]/dt = - k1 ([NO2 ] + [O3](k3[NO] + 2ak4 k7 / k 9 [CO] / [NO2] – 2ak4)
d[NO]/dt = k1 [NO2 ] – [O 3](k3 [NO] + 2ak4 k7 / k9[CO] /[NO2 ]
d[CO]/dt = - 2ak4 k7 / k9 [O 3][CO] / [NO 2]
c) Perhitungan laju fotolisa. J[NO2] dan Konstanta kecepatan reaksi.
J = adalah laju fotolisa NO2, fungsi sudut zenit matahari (secz)
secz adalah fungsi lintang tempat, deklinasi dan sudut jam matahari, sedangkan deklinasi
fungsi hari dalam tahun.
J[NO2 ] = 0,0133 x exp (- 0,254 sec( z ))
Sec( z) = 1/ cos( z)
Cos( z) = sinфsinδ+ cosw cosфcosδ
Ф= lintang tempat
δ= deklinasi
284 + n
δ=23,45 sin (360 ---------------)
473
365
W = sudut jam matahari , w= 0, pada local noon
selang 150 untuk setiap jam dari noon
pagi hari = positif
sore hari = negatif
W < 750
Contoh perhitungan laju fotolisa NO 2 (J), untuk jam 12 siang:
J = 0,0133 x exp (- 0,254 sec( z)) → diperoleh J = 0,0104
Perhitungan Konstanta Kecepatan Reaksi.
Nilai k1 = J[NO2 ]
k 3 = 2,0 x 10-12 exp (-1370/T) (cm3 molekul-1det -1) ----- T = 0 K
1 ppb = 2,5 x 1010 molekul / cm3
molekul / cm3
= ppb / 2,5 x 1010
k 3 = 2,0 x 10-12 exp (-1370/T) x 2,5 x 1010 /ppb det
= 5 x 10-2 exp (-1370/T) ppb-1 det-1
untuk T = 250 C = 298 0K
k 3 = 0, 5 x 10-3 ppb-1det -1
k4 = 0.0028 k1
k5 = 2,9 10-11 cm3 molekul -1 sec -1
k6 = 2,2 10-10 cm3 molekul -1 sec -1
k5 / k6 = 0,132
k7 = 2,2 10-13 cm3 molekul -1 sec -1
k9 = 1,1 10-11 cm3 molekul -1 sec -1
k7 / k9 = 0,02
Nilai a = 0.09 untuk N2 atau a = 0.27 untuk O 2 , dalam kasus ini diambil a = 0,09
M = adalah N2 atau O2
d) Cheking, pemilihan dan pengolahan data :
Cheking kelengkapan data terutama untuk polutan O3 , NO2 , NO dan CO dari jam 00.30 ––
24.00, dicari yang lengkap atau tidak banyak kosongnya.Untuk data radiasi matahari dipilih
hari – hari yang mendekati clear sky dengan tujuan untuk menghindari pengaruh awan pada
proses fotolisa, sedangkan untuk data polutannya disesuaikan.
e) Running model
Untuk penyelesaian persamaan diferensial d[O3 ]/dt, diintegrasi dengan metode Euler.
474
MU LAI
n = 1
[O 3](n )
[N O](n ) , [N O 2 ](0 ) ,[C O](n ) T(n )
J(n ) , k3 (n ),k 1 (n ),k 4 (n ),(k 7 (n ) /k9 (n ) )
m = 0
d [0 3]/d t= k1 ( n)[ N O2 ](m - 1 ) – [O 3 ](m - 1 ) ( k 3 (n )[N O ](m - 1 ) + k 4 (n)])
[O 3 ]( m ) = [O 3 ]( m -1 ) + d[ 0 3]/d t
[N O 2](m ) = [N O 2]( m -1)+ ( - k 1 (n)[N O 2]( m -1) + [ O 3]( m )(k 3 (n)[N O ](m -1) + 2a k4(n )k 7(n) / k 9(n ) [C O ](m - 1) / [N O 2]( m -1) – 2a k4(n)))
[N O ]( m ) = [N O ]( m -1)+( k 1 (n)[N O 2}( m ) – [O 3](m )( k 3(n ))[N O ](m - 1) + 2a k4(n) k 7(n) / k 9(n)[ C O ](n-1 ) /[N O 2](m ))
t=t+1
F alse
t= 3 6
m = m +1
F alse
d[0 3]/ d t = 0.0 1 3
T rue
T ru e
[O 3 ] SIM U L AS I
[O3 ] Aktual
e r ro r
n=n+1
[C O ](n) = [ C O ](n- 1) + ( - 2a k4 k7 / k 9[O 3](n ) [C O ](n- 1) / [N O 2]( n))
t= 0
n = 48
F alse
T ru e
T AB E L EX C E L
D A N G R A F IK
SE L E S A I
*
*
*
*
*
J( n ) = 0 ,0 1331 * E X P ( - 0 ,254 .sec z ) s
k1 (n ) = J[ N O2 ] (n )
k3 (n ) = 0 .0 5 * E X P ( - 1370/ T ) ppb -1 s-1
k4 (n ) = 0 .00 28 k 1 (n )
k 7( n )/k9 ( n) = 0 ,02
-1
* a = 0 ,09
Gambar.3.2.1. Diagram alir proses integrasi Euler Model Fotokimia Ozon Permukaan
METODE EULER
PDB orde satu,
y’ = dy/dx = f(x,y) dan nilai awal y(x 0) = (y 0)
Integrasi kedua ruas dalam selang (xr - x r +1),
xr 
1
xr 
1
xr
xr
f ( x, y , ( x)) dx
y( x)dx  
Ruas kanan diintegrasi,
y(xr +1) – y(xr) = hf (x r , y(xr))
atau y(xr +1 ) = y (xr ) + hf(xr , yr), ini (Merupakan metode Euler).
Perhirtungan penyimpangan antara hasil simulasi dan hasil pengukuran.
RMSE
= [ 1/N ∑|Xobs - Xsim|^2]^0.5
error (%) =( RMSE / ∑Xobs/N )*100
error (%) = [ [ 1/N ∑|Xobs - Xsim|^2]^0.5 / ∑Xobs/N]*100
475
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Hasil yang diperoleh ditunjukkan dalam Gambar seperti berikut:
a)
b)
35
gradrt_2425s1
800
O3rt_2425s1
30
gradrt_2425s2
O3rt_2425s2
O3rt_2425s4
700
gradrt_2425s4
25
600
[O3] (ppb)
Intensitas radiasi matahari ( W/m2)
900
500
400
20
15
300
10
200
100
5
0
0
Waktu (jam)
Waktu (jam )
c)
d)
6.0
[NO]/[NO2]_2425s2
5.0
[CO] (ppm)
[NO]/[NO2]_2425s1
[NO]/[NO2]_2425s4
COs1_2425j01
COs2_2425j0 1
COs4_2425j0 1
4.0
3.0
2.0
1.0
Waktu (jam)
22:30
20:30
18:30
16:30
14:30
12:30
10:30
08:30
06:30
04:30
02:30
00:30
22:30
20:30
18:30
16:30
14:30
12:30
10:30
08:30
06:30
04:30
02:30
0.0
00:30
[NO] / [ NO 2]
7.0
5.0
4.5
4.0
3.5
3.0
2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
Wak tu (jam )
Gambar.4.1.1. a) Intensitas radiasi matahari pada lokasi SUF1, SUF2, dan SUF4 di Surabaya
pada periode 24 - 25 Juni 2001.
b) Konsentrasi Ozon permukaan pada lokasi SUF1, SUF2, dan SUF4 di
Surabaya
pada periode 24 - 25 Juni 2001.
c) Ratio [NO]/[NO2 ] pada lokasi SUF1, SUF2, dan SUF4 di Surabaya
pada periode 24 - 25 Juni 2001.
d) Konsentrasi CO permukaan pada lokasi SUF1, SUF2, dan SUF4 di Surabaya
pada periode 24 - 25 Juni 2001.
476
a)
b)
30
30
[ O3] (o bs)_ s2
[ O3 ] (ob s)_s1
25
Waktu (jam )
Wak tu (jam )
c)
35
[ O3] (obs)_s4
30
[ O3] Sim_s4
[O3 ] (ppb)
25
20
15
10
5
22:30
20:30
18:30
16:30
14:30
12:30
10:30
08:30
06:30
04:30
02:30
00:30
0
Waktu (jam )
Gambar.4.1.2. a) Perbandingan hasil simulasi dan hasil pengukuran ozon permukaan dengan
Siklus O3_NO x _CO, pada lokasi SUF1 di Surabaya periode 24 - 25 Juni
2001,
dengan penyimpangan 20,46%.
b) Perbandingan hasil simulasi dan hasil pengukuran ozon permukaan dengan
siklus O3_NOx _CO, pada lokasi SUF2 di Surabaya periode 24 - 25 Juni
2001,
dengan penyimpangan 16,88%.
c) Perbandingan hasil simulasi dan hasil pengukuran ozon permukaan dengan
siklus O3_NOx _CO, pada lokasi SUF4 di Surabaya periode 24 - 25 Juni
2001,
dengan penyimpangan 37,98%.
4.2. Pembahasan
Gambar.4.1.1. a) menunjukkan Intensitas radiasi matahari pada lokasi SUF1, SUF2,
dan SUF4 di Surabaya pada periode 24 - 25 Juni 2001, b) Konsentrasi Ozon permukaan pada
lokasi SUF1, SUF2, dan SUF4 , c) Ratio [NO]/[NO 2 ] pada lokasi SUF1, SUF2, dan SUF4 , dan
d) Konsentrasi CO permukaan pada lokasi SUF1, SUF2, dan SUF4 pada periode yang sama.
Pola dan besaran radiasi matahari dan ozon permukaan pada ketiga lokasi mirip dan hampir
berimpit, sedangkan nilai ratio [NO]/[NO 2] dan [CO] di lokasi SUF4 lebih tinggi dari pada
477
22 :3 0
20 :3 0
18 :3 0
16 :3 0
14 :30
12 :30
00 :30
22:30
20:30
18:30
16:30
14:30
12:30
10:30
08:30
0
06:30
0
04:30
5
02:30
5
10 :3 0
10
08 :3 0
10
15
06 :3 0
15
20
04 :3 0
[O3 ] (ppb )
20
[ O3 ] Sim_ s1
02 :30
[ O3] Sim_s2
00:30
[O3] (ppb)
25
kedua lokasi yang lain. Ini menunjukkan tingkat polusi di SUF4 lebih tinggi dari pada kedua
lokasi yang lain.
Sedangkan dari Gambar.4.1.2. a) Perbandingan hasil simulasi dan hasil pengukuran ozon
permukaan dengan siklus O3 _ NOx _ CO, pada lokasi SUF1 di Surabaya periode 24 - 25 Juni
2001,
b) Perbandingan hasil simulasi dan hasil pengukuran ozon permukaan pada
lokasi SUF2, dan c) Perbandingan hasil simulasi dan hasil pengukuran ozon permukaan pada
lokasi SUF4 pada periode yang sama, tampak pada SUF1 dan SUF2, hasil simulasi lebih
mendekati hasil pengukuran dibandingkan dengan di SUF4, dengan penyimpangan masingmasing, SUF1= 20,46 %, SUF2 = 16,88 %, dan SUF4 = 37,98 %. Penyimpangan yang terjadi
di SUF4 lebih besar dari dua lokasi yang lain, karena di SUF4tingkat polusi lebih tinggi dari
pada di dua lokasi yang lain.
KESIMPULAN
Dengan pemilihan kualitas data yang cukup baik sebagai input model,akan diperoleh hasil simulasi yang
cukup mendekati hasil pengukuran.. Pada Siklus O3 _NOx _CO penyimpangan yang terjadi antara hasil
simulasi dan hasil pengukuran di Surabaya, 20,46 %, 16,88 %, dan 37,98 %, masing-masing untuk
SUF1 (Taman Prestasi), SUF2 (Perak Timar) dan SUF4 (Gayungan).
Keakuratan model ini sangat tergantung pada kualitas data yang digunakan sebagai input, terutama
NO dan NO2 , yang mempunyai potensi pembentukan ozon yang sangat tinggi . Kualitas data ini sangat
tergantung pada kondisi dan situasi lokasi setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Buchari, I Wayan Arka, K.G. Dharma Putra, I.G.A. Kunti SriPanca Dewi, 2001; ”Kimia
lingkungan” Universitas Indonesia
Dana A. Brewer, Ellis E, Remsber, and Gerard E Woodbury, 1981:
“A Diagnostic Model for Studying Daytime Urban Air-Quality Trends”
NASA, Scientific and Technical Information Branch, 1981
Debaje S.B and Jadhav D.B, 1999 : “An Eulerian Photochemical Model for tropospheric ozone
over the tropic”, Current Science, vol.77, No. 11, 10, December1999.
Seinfeld, John H., 1986 :”Atmospheric Chemistry and Physics”, John Wiley & Sons, INC.
Seinfeld, John H. and Pandis Spyros N, 1998 ”Atmospheric Chemistry and Physics”, John
478
OPTIMASI KANDUNGAN SULFAT TERHADAP PLASTISITAS BAHAN
BAKU GENTENG LUMPUR LAPINDO DAN KEMUDAHRETAKAN
GENTENG
Susianah dan Suyono
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui optimasi kandungan sulfat
terhadap plastisitas bahan baku genteng lumpur Lapindo dan kemudahretakan genteng.
Metode yang digunakan untuk mengukur plastisitas bahan baku genteng adalah uji
atterberg, kemudahretakan genteng diamati dari banyaknya titik retak setelah dibakar.
Analisis kandungan sulfat menggunakan metode spektrofotometri dengan perbedaan
komposisi tawas pada bahan baku genteng yaitu 0%, 3%, 5%, 10%, 15%, dan 20%.
Hasil analisis variasi komposisi lumpur: pasir: tawas terhadap kandungan sulfat yaitu
0,38%; 0,88%; 1,03%; 1,43%; 1,68%; dan 1,98%. Berdasarkan data kadar sulfat pada
bahan baku genteng maka dilakukan optimasi kandungan sulfat terhadap plastisitas
bahan baku genteng lumpur Lapindo. Hasil analisis plastisitas menggunakan metode
atterberg yaitu 25,79%; 32,71%; 28,03%; 17,44%; 10,13%; 9,11%. Pada hasil analisis
data dengan uji anava satu arah menunjukkan ada pengaruh signifikan antara
kandungan sulfat dengan plastisitas bahan baku genteng lumpur Lapindo. Hasil analisis
menemukan kandungan sulfat 0,88% menghasilkan plastisitas terbaik dengan nilai
Indeks Plastisitas (IP) 32,71%. Berdasarkan nilai IP bahan baku genteng maka
dilakukan analisis terhadap titik keretakan pada genteng yang dihasilkan. Hasil analisis
menemukan titik keretakan pada genteng yaitu 3 dan 4, 1 dan 3, 2 dan 4, 4 dan 7, 5 dan
7, 8 dan 10. Pada hasil analisis data menggunakan uji korelasi menunjukkan ada
hubungan signifikan antara plastisitas bahan baku dengan kemudahretakan genteng.
Bahan baku genteng dengan nilai IP 32,71% menghasilkan genteng lumpur Lapindo
dengan rata-rata tingkat keretakan terkecil yaitu 1 dan 3 titik retak.
Kata Kunci: Lumpur Lapindo, Plastisitas, Atterberg, Kemudahretakan
PENDAHULUAN
Peristiwa banjir lumpur Lapindo Brantas di Porong Sidoarjo Jawa Timur
memberikan dampak lingkungan yang sampai sekarang belum dapat diatasi. Lumpur
Lapindo mengandung silika cukup tinggi, logam berat, gas H2S, metana yang
berlebihan, klorida, sulfat dan senyawa karbon yang tinggi. Penanganan masalah
lumpur Lapindo Brantas dilakukan dengan mengendapkan terlebih dahulu genangan
lumpur agar lumpur dan air terpisah kemudian dilakukan proses koagulasi atau
penggumpalan dengan menambahkan kapur dan tawas dengan dosis tertentu. Kedua
bahan itu mengandung kalsium yang dapat mengikat senyawa-senyawa dalam lumpur
sehingga cepat menggumpal. Setelah menggumpal, genangan lumpur tadi akan menjadi
tiga lapisan yakni minyak, air, dan endapan lumpur (Hidayat, 2006).
Sebagian masyarakat telah memanfaatkan lumpur Lapindo Brantas sebagai
bahan baku pembuatan genteng dan batako. Menurut Kadram bahwa batako yang
dibuat dari lumpur Lapindo hasilnya lebih halus, rata, dan tidak mudah retak. Hal ini
berbeda jika menggunakan tanah liat biasa. Menurut Sani (Asisten Deputi Menteri
479
Lingkungan Hidup), bahwa hasil pengendapan lumpur Lapindo mengandung unsur
silika cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai bahan bangunan
seperti bahan baku bata, genteng, keramik hingga beton. Lumpur Lapindo sebelum
dibuat genteng terlebih dahulu dikeringkan agar kadar airnya berkurang (Hidayat,
2006).
Genteng yang baik adalah genteng dengan karakter tidak mudah pecah,
diperoleh warna merah yang baik, kuat tekan yang tinggi, dan tahan panas. Karakter
tersebut disebabkan karena adanya sulfat yang membuat genteng tidak mudah pecah.
Kuat tekan dengan adanya Si. Si berperan dalam kekuatan tekan karena Si merupakan
unsur utama dalam mineral tanah yang mampu membentuk struktur yang kokoh dengan
mengikat ion-ion dalam tanah. Sifat tahan panas karena adanya lapisan oksida Al2O3.
Unsur aluminium bersifat sebagai konduktor panas dan mempunyai daya gabung sangat
kuat dengan oksigen sehingga apabila dibakar aluminium dengan oksida logam
menghasilkan kalor yang sangat tinggi. Sehubungan dengan adanya kandungan tersebut
dalam lumpur Lapindo, maka ada alternatif memanfaatkan lumpur Lapindo sebagai
ganti lempung untuk bahan baku genteng keramik.
Ketika lumpur Lapindo dipilih sebagai bahan baku pembuatan genteng keramik,
maka terdapat suatu hal yang harus diperhatikan terkait dengan adanya sulfat yaitu
dengan ditetapkan kandungan sulfat dalam lumpur Lapindo agar diperoleh bahan baku
genteng yang baik. Bahan baku genteng keramik yang baik adalah yang memiliki
indeks plastisitas Atterberg 25-55% dan dapat menghasilkan genteng yang tidak mudah
retak. Indeks plastisitas merupakan interval kadar air dimana tanah masih bersifat
plastis, karena itu indeks plastisitas menunjukkan sifat keplastisan tanah.
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab dua kepentingan yaitu berapa
kandungan optimum sulfat yang menghasilkan plastisitas baik dan tingkat
kemudahretakannya kecil. Temuan dari penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi para
pengguna lumpur Lapindo untuk pembuatan genteng keramik.
Genteng yang baik adalah genteng dengan karakteristik tidak mudah pecah,
diperoleh warna merah yang baik, kuat tekan yang tinggi, dan tahan panas. Karakter
tidak mudah retak disebabkan adanya kadar sulfat 3,11% yang menunjukkan sifat
plastisitas yang baik sehingga genteng yang dihasilkan tidak mudah retak. Genteng
dengan warna merah yang baik disebabkan adanya kadar Fe 6-9% setelah dibakar
memberikan warna merah. Kuat tekan yang tinggi disebabkan adanya kadar Si 69,9%
dan sifat tahan panas genteng diperoleh dari adanya reaksi Al dengan Fe2O3
menghasilkan lapisan pelindung oksidanya (Al 2O3). Prapenelitian dalam lumpur
Lapindo didapatkan kandungan sulfat (1484,9358 ppm), Si (409657,8576 ppm), Fe
(4636,0667 ppm), dan Al (179,5977 ppm). Sehubungan dengan adanya kandungan
tersebut dalam lumpur Lapindo, maka ada alternatif untuk memanfaatkan tanah lumpur
Lapindo sebagai ganti lempung untuk bahan baku genteng keramik. Dengan
memusatkan perhatian pada kemudahretakan produk genteng maka perlu dilakukan
pengaturan plastisitas bahan baku lumpur Lapindo. Plastisitas bahan baku genteng
lumpur Lapindo diupayakan dengan optimasi kandungan sulfat.
Optimasi kandungan sulfat terhadap plastisitas bahan baku genteng lumpur
Lapindo dapat dihipotesiskan dengan adanya pengaruh kandungan sulfat terhadap
plastisitas bahan baku genteng lumpur Lapindo. Dari analisis data tersebut akan dicari
data kandungan sulfat yang optimum menghasilkan plastisitas terbaik. Variasi
kandungan sulfat terhadap plastisitas bahan baku genteng dan kemudahretakan genteng
lumpur Lapindo dapat dianalisis berdasarkan hubungan plastisitas dengan
480
kemudahretakan genteng dengan hipotesis ada hubungan antara plastisitas bahan baku
terhadap kemudahretakan genteng lumpur Lapindo.
METODE PENELITIAN
1. Analisis Fe
Metode Kimia: SSA.
Pembuatan larutan pengencer dengan caraair suling ditambahkan asam nitrat
pekat sampai pH 2. Pembuatan larutan induk logam Besi (Fe) 1000 mg/L 3,220 g
Fe(NO 3)2 dilarutkan dalam 50 ml (1+1) HNO3 kemudian diencerkan hingga 1 L dengan
air demineralisasi. Pembuatan larutan baku logam besi (Fe) 100 mg/L dengan cara
dipipet 10 ml larutan induk logam besi (Fe) 1000 mg/L ke dalam labu ukur 100 ml,
diencerkan dengan larutan pengencer sampai tanda batas. Pembuatan larutan kerja
logam Besi (Fe) dengan cara dipipet 0 ml; 2 ml; 4 ml; 6 ml; 8 ml dan 10 ml larutan
baku besi, Fe 100 mg/L masing-masing ke dalam labu ukur 100 ml. Kemudian
ditambahkan larutan pengencer sampai tepat tanda batas. Persiapan contoh uji dengan 1
gram sampel dilarutkan dalam 100 ml air kemudian dikocok, lalu didestruksi. Filtrat
kemudian ditambah dengan 5 ml HNO 3 1: 1 lalu diencerkan dengan air demineralisasi
dalam labu ukur 100 ml. Masing-masing larutan kerja yang telah dibuat diukur
absorbansi pada panjang gelombang 248,3 nm.
2. Analisis SO42Metode Kimia: turbidimetri.
Pembuatan Larutan Induk Sulfat (1 ml = 0,100 mg SO4 ) dengan cara 0,1479 g
natrium sulfat anhidrat (Na2SO 4) dilarutkan dengan 100 ml air destilasi ke dalam labu
ukur 1000 ml dan diencerkan sampai tanda batas. Pembuatan reagent dengan cara
membuat larutan conditioning dengan mencampurkan 50 ml gliserin dengan 30 ml
HCl, 300 ml air distilasi, 100 ml 95% ethyl atau isopropil alcohol dan 75 gram NaCl.
Kristal barium klorida dengan tingkat kehalusan 20-30 mesh. 7 buah labu ukur 250 ml
disiapkan. Masing-masing diisi dengan 0 ml; 12,5; 25,0 ml; 37,5 ml; 50,0 ml; 62,5 ml;
75,0 ml larutan baku kerja sulfat 100 ppm dan diencerkan dengan air destilasi dalam
labu ukur 250 ml dan diencerkan dengan air suling sampai tanda batas. 7 buah larutan
standar tadi dipindahkan ke dalam kuvet spektrofotometer, diukur, dibaca, dan dicatat
absorbansinya pada panjang gelombang 420 nm. Persiapan contoh dengan 1,479 gram
lumpur dilarutkan dalam air kemudian didestruksi. 100 ml filtrat yang dihasilkan
dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, ditambah 5 ml larutan conditioning dan
diaduk dengan stirer. Selama distirer ke dalam larutan tersebut ditambahkan kristal
barium klorida 3 gram. Aduk selama 1 menit dengan kecepatan konstan, dipindahkan
ke kuvet spektrofotometer, diukur serapan cahaya larutan suspensi pada panjang
gelombang 420 nm.
3. Analisis Al
Metode Kimia: SSA
Pembuatan Larutan Induk Al dengan cara menimbang 9,28 g K2Al2(SO 4)4.24H2O
dilarutkan dalam 1 L air, konsentrasinya Al 2O3 1000 ppm. Pembuatan larutan kerja
(standar) Al dengan dibuat 0 ppm; 50 ppm; 100 ppm; 150 ppm; 200 ppm dari
pengenceran larutan induk tadi. Larutan induk Al 1000 mg/L dipipet 0.0 ml; 12,5 ml;
25,0 ml; 37,5 ml; 50,0 ml masing-masing dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml.
Diencerkan dengan air suling sampai tepat tanda batas. Persiapan contoh uji dengan
menimbang 0,928 gram lumpur dilarutkan dalam air didestruksikan sehingga dihasilkan
air sampel yang jernih. Filtrat yang jernih ditambahkan 5 ml HNO3 pekat 60 %. Cairan
481
ini kemudian dimasukkan ke dalam beker glass 50 ml. Alat spektro AAS diset bahan
bakar on off listrik sehingga diperoleh nyala api sempurna. Dengan menggunakan pipa
kapiler selang dimasukkan ke dalam larutan Al dan AAS. Melalui pipa kapiler, air yang
mengandung Al mengalir dan terbakar dalam furnis AAS. Nyala yang terbentuk diukur
absorbansinya pada panjang gelombang ()= 309,3 nm.
4. Analisis Si
Metode Kimia: spektofotometri secara molibdat silikat.
Pembuatan larutan induk silika dengan menimbang 4,73 g reagent Na2SiO3.9H2O
(sodium meta silikat nonahidrate) dilarutkan dalam 1 L air, konsentrasinya SiO2 1000
ppm. Pembuatan larutan baku silika dengan membuat 0 ppm; 10 ppm; 15 ppm; 20 ppm;
25 ppm; 30 ppm; 35 ppm; 40 ppm dari larutan induk silika tadi. Larutan induk silika,
SiO2 100 mg/L dipipet 0 ml; 1,0 ml; 1,5 ml; 2,0 ml; 2,5 ml; 3,0 ml; 3,5 ml; 4,0 ml
dimasukkan masing-masing ke dalam labu ukur 100 ml dengan air suling sampai tanda
batas. 7 buah larutan standar tadi dipindahkan ke dalam kuvet spektrofotometer, diukur,
dibaca, dan dicatat absorbansinya pada panjang gelombang () 410 nm. Pembuatan
Reagent dengan membuat asam sulfat 20% dengan cara menambahkan 12,5 ml asam
sulfat pekat (H2SO 4 98%) ke dalam beker glass yang telah berisi air destilat 50 ml,
distirer lalu didinginkan. Pembuatan Potasium Iodate 0,5% dengan menimbang 0,2
gram potasium iodate (KIO 3) dilarutkan dengan air destilat sampai volume 100 ml.
Ammonium Molibdat 10% dengan menimbang 5 gram ammonium heptamolibdat
(NH 4)6Mo7O24.4H2O dilarutkan dengan destilat sampai volume 50 ml. Oxalid Acid
10% dengan menimbang 5 gram oxalid acid (C8H6O8) dilarutkan dengan air destilat
hingga volume 50 ml. Ascorbic Acid 10% dengan menimbang 5 gram ascorbic acid
(C8H6O8) dilarutkan dengan air destilat hingga 50 ml. Persiapan Contoh Uji dengan
mengambil sampel sebanyak 50 ml dari lumpur yang sudah dilarutkan dalam air dan
didestruksikan. Sampel dimasukkan ke dalam beker glass plastik, ditambahkan 1 ml
asam sulfat 20%, ditambahkan 2 ml potasium iodate 0,5%, ditambahkan 2 ml
ammonium molibdat 10%, diaduk dan didiamkan selama 5 menit, ditambahkan oxalid
acid 10%, diaduk dan didiamkan selama 4 menit, ditambahkan 1 ml ascorbic acid
10%, diaduk, dan didiamkan selama 10 menit, dan diukur absorbansi dengan
spektrofotometer dengan 410 nm, dikerjakan pula dengan blankonya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kandungan Kimia Lumpur Lapindo
Konsentrasi sulfat pada lumpur Lapindo (3 kali replikasi) diperoleh sebesar
1484,9358 mg/kg atau sekitar 0,15%. Genteng dengan plastisitas yang baik memiliki
kandungan sulfat 3,11%. Dengan kandungan sulfat lumpur Lapindo 0,15% maka
lumpur Lapindo dapat sebagai alternatif bahan baku genteng yang bersifat plastis.
Sulfat juga diukur pada tawas yang akan dibuat campuran bahan baku genteng. Data
pada Tabel 1 menunjukkan konsentrasi sulfat pada lumpur Lapindo.
Tabel 1. Daftar Konsentrasi Sulfat Lumpur Lapindo
Replikasi
Sampel
Absorbansi
(A)
Rata-rata
(A)
Konsentrasi
(mg/kg)
482
Rata-rata
konsentrasi
(mg/kg)
%
Kadar
Sulfat
I
II
III
0,207
0,207
0,207
0,178
0,177
0,176
0,162
0,161
0,162
0,207
1656,8695
0,178
1454,7329
0,162
1343,2049
1484,9358
0,15
Tabel 2. Daftar Konsentrasi Sulfat pada Tawas
Replikasi
Sampel
Absorbansi
(A)
I
0,702
0,071
0,072
0,059
0,058
0,058
0,091
0,090
0,089
II
III
Ratarata
(A)
Konsentrasi
(mg/kg)
0,072
715862,1
0,058
618275,9
0,090
841332,0
Rata-rata
konsentrasi
(mg/kg)
%
Kadar
Sulfat
725156,6667
72,52
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa konsentrasi sulfat dalam tawas sangat tinggi
sebesar 725156,6667 mg/kg atau sekitar 72,52%. Tawas ini digunakan sebagai
campuran bahan baku genteng untuk mengatur kandungan sulfat pada adonan genteng.
Tawas yang ditambahkan ke adonan genteng masing-masing 3%, 5%, 10%, 15%, dan
20%. Masing-masing tambahan tawas tersebut dipredisikan mengandung sulfat 2,2%;
3,6%; 7,3%; 10,9% dan 14,5%.
Data pada Tabel 3 menunjukkan konsentrasi silika pada lumpur Lapindo.
Tabel. 3 Daftar Konsentrasi Silika Lumpur Lapindo
Replikasi Absorbansi RataKonsentrasi
Rata-rata
%
Sampel
(A)
rata
(mg/kg)
konsentrasi Kadar
(A)
(mg/kg)
Silika
I
0,121
0,120
0,121 412721,9873
0,121
483
II
III
0,120
0,120
0,120
0,120
0,121
0,120
0,120
408125,7928
0,120
408125,7928
409657,8576
40,97
Data pada Tabel 3 menunjukkan konsentrasi silika pada lumpur Lapindo sebesar
409657,8576 mg/kg atau sekitar 40,97%. Kuat tekan genteng yang tinggi disebabkan
adanya kadar Si 69,9%. Dengan kandungan Si 40,97 % lumpur Lapindo sebagai bahan
baku genteng belum memenuhi syarat sebagai genteng dengan kuat tekan tinggi.
Data pada Tabel 4 menunjukkan konsentrasi besi pada lumpur Lapindo.
Tabel 4. Daftar Konsentrasi Besi Lumpur Lapindo
Replikasi Absorbansi Rata-rata Konsentrasi Rata-rata
%
Sampel
(A)
(A)
(mg/kg)
konsentrasi Kadar
(mg/kg)
Besi
I
0,057
0,057
0,057
4651,4
0,056
II
0,058
4636,0667
0,46
0,057
0,058
4697,2
0,058
III
0,055
0,056
0,055
4559,6
0,055
Data pada Tabel 4. menunjukkan konsentrasi Fe sebesar 4636,0667 mg/kg atau sekitar
0,46 %. Bahan baku genteng yang memberikan warna merah yang baik adalah yang
memiliki kandungan Fe 6-9%. Lumpur Lapindo memiliki kandungan Fe 0,46%
sehingga genteng yang dihasilkan dari bahan lumpur Lapindo dipredisikan memiliki
warna coklat merah yang kurang atau merah pucat.
Data pada Tabel 5. menunjukkan konsentrasi aluminium pada lumpur Lapindo.
Tabel 5. Daftar Konsentrasi Aluminium Lumpur Lapindo
Replikasi Absorbansi Rata-rata Konsentrasi Rata-rata
%
Sampel
(A)
(A)
(mg/kg)
konsentrasi Kadar
(mg/kg)
Al
I
0,012
0,011
0,012
215,5172
0,012
II
0,009
0,008
0,009
134,6983
179,5977 0,018
0,009
III
0,011
0,010
0,011
188,5776
0,011
484
Data pada Tabel 5. menunjukkan kadar aluminium pada lumpur Lapindo sebesar
179,5977 mg/kg atau sekitar 0,018%. Sifat tahan panas pada genteng disebabkan
adanya reaksi Al dengan Fe2O3 menghasilkan lapisan pelindung oksidanya (Al2O3)
sehingga apabila dibakar genteng tidak cepat berubah warna atau hangus. Karena
kandungan Fe nya yang kecil, reaksi dengan aluminium tidak maksimal sehingga
genteng yang dihasilkan dipredisikan tidak tahan panas, warna menjadi coklat tua.
2. Hasil Optimasi Kandungan Sulfat terhadap Plastisitas Bahan Baku Genteng
Lumpur Lapindo dan Kemudahretakan Genteng
Penentuan plastisitas bahan baku genteng lumpur Lapindo dilakukan dengan
optimasi kandungan sulfat pada bahan baku genteng. Hasil optimasi kandungan sulfat
terhadap plastisitas bahan baku genteng lumpur Lapindo disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Plastisitas dengan Variasi Kandungan Sulfat pada Bahan Baku
Genteng Lumpur Lapindo
Jenis
Perlakuan
%
Kadar
Sulfat
Rata-rata
Kadar
Sulfat
Indeks
Plastisitas
(IP)
RataPlastisitas
rata IP
Batas
Cair
Batas
(LL)
Plastis (PL)
0,38
51,75
25,87
25,87
K
0,36
0,38
52,25
26,61
25,64
25,79
0,40
52,50
26,24
25,86
0,78
61,50
33,19
28,31
P1
0,95
0,88
64,25
34,70
29,55
32,71
0,90
69,10
28,82
40,28
1,02
61,25
33,01
28,84
P2
1,01
1,03
61,50
32,92
28,58
28,03
1,05
60,75
33,47
27,28
1,43
51,00
34,88
16,12
P3
1,45
1,43
50,75
33,69
18,31
17,44
1,40
50,75
34,10
17,90
1,58
45,75
34,19
11,56
P4
1,68
1,68
43,50
34,89
8,61
10,13
1,77
44,75
34,54
10,21
1,96
49,75
38,45
10,71
P5
1,87
1,91
42,75
37,25
5,50
9,11
1,91
39,50
28,96
10,54
Dengan menentukan Indeks Plastisitas (Plasticity Indeks) dari tanah lumpur
Lapindo sebagai bahan baku genteng dengan variasi kandungan sulfat, maka dapat
diidentifikasikan apakah bahan tersebut memiliki potensi kembang susut atau tidak, dan
juga dapat diketahui tingkatan potensi pengembangan dari bahan baku genteng
tersebut. Indeks Plastisitas (Plasticity Indeks) adalah selisih batas cair (Liquid Limit)
dan batas plastis (Plastic Limit) suatu tanah, atau indeks plastis adalah harga batas cair485
batas plastis (LL – PL = IP). Dengan diketahui nilai indeks plastisitas maka dapat
diperkirakan sifat-sifat fisik genteng yang dihasilkan setelah proses pembakaran.
Setelah diketahui plastisitasnya, maka adonan dibuat genteng dan diamati jumlah
titik keretakannya. Tabel 7 menunjukkan variasi kandungan sulfat terhadap plastisitas
bahan baku dan jumlah titik keretakan genteng.
Tabel. 7. Variasi Kandungan Sulfat terhadap Plastisitas Bahan Baku dan
Jumlah Titik Keretakan Genteng Lumpur Lapindo
Jenis
Kandungan Indeks Plastisitas
Jumlah Titik
Perlakuan
SO4
(IP)
Keretakan
K
0,38
25,79
3
0,38
25,79
4
P1
0,88
32,71
1
0,88
32,71
3
P2
1,03
28,03
2
1,03
28,03
4
P3
1,43
17,44
4
1,43
17,44
7
P4
1,68
10,13
5
1,68
10,13
7
P5
1,91
9,11
8
1,91
9,11
10
Tabel 6 menunjukkan bahwa harga IP pada adonan bahan baku genteng lumpur
Lapindo dengan kandungan sulfat 0,38% adalah sebesar 25,79% yang mengindikasikan
sebagai bahan baku genteng dengan klasifikasi sweelling tinggi karena berada di
rentang IP 25-55% (Das, 1985), pada kandungan sulfat 0,88% harga IP naik menjadi
32,71%, sedangkan pada kandungan sulfat 1,03%; 1,43%; 1,68%; 1,91% harga IP
menjadi menurun masing-masing 28,03%; 17,44%; 10,13%, dan 9,11%. Adapun harga
IP pada lumpur Lapindo asli sebesar 23,59%. Tanah yang mempunyai indeks plastisitas
(IP) tinggi, maka tanah banyak mengandung butiran lempung. Bahan baku dengan nilai
IP tinggi (IP 25,79%-32,71%) mempunyai kemampuan kembang susut yang tinggi
sehingga diperkirakan genteng yang dihasilkan tingkat keretakannya kecil.
Terjadinya peningkatan kemudian penurunan nilai Indeks Plastisitas (IP) dapat
diberikan pembahasan sebagai berikut: Menurut Braja M. Das (1985), proses terjadinya
plastisitas secara kimia yaitu muatan negatif yang besar seperti SO42- berada pada
partikel-partikel lempung yang mempunyai permukaan spesifik yang lebih besar
sehingga mampu meningkatkan kapasitas pertukaran kation. Kation-kation akan terikat
pada partikel oleh adanya gaya tarik-menarik elektrostatik sehingga mampu
menetralkan anion-anion. Molekul-molekul air (H2O) mempunyai kutub-kutub polar
membentuk kutub dua (dipol). Molekul air yang berkutub dua tersebut tertarik oleh
permukaan partikel lempung yang bermuatan negatif karena adanya lapisan ganda
(double layer) dan ikatan hidrogen (hydrogen bonding), dimana setiap hidrogenhidrogen atom pada molekul air dipakai bersama oleh atom oksigen pada permukaan
partikel lempung. Sebagian dari kation-kation yang terhidrasi (di dalam air pori) juga
tertarik untuk melekat pada permukaan partikel lempung. Kation-kation ini kemudian
juga menarik molekul-molekul air berkutub dua yang lain. Semua air yang terikat pada
486
permukaan partikel-partikel tanah lempung akibat gaya tarik-menarik dikenal sebagai
air lapisan ganda (double-layer water). Bagian yang paling dalam dari air lapisan ganda
tersebut, yang terikat sangat kuat pada permukaan partikel disebut sebagai air terserap
(adsorbed water). Adanya air yang terserap di sekeliling permukaan partikel lempung
(adsorbed water) inilah yang menyebabkan sifat plastis dari suatu tanah. Harga Indeks
Plastisitas yang rendah disebabkan karena anion-anion sulfat dan yang lain yang ada di
permukaan tanah belum ternetralkan sepenuhnya oleh kation-kation sehingga kapasitas
pertukaran kationnya tidak seimbang mengakibatkan kemampuan mengembang dan
mengerut tanah berkurang.
Pada Tabel 7. terlihat bahwa tingkat keretakan genteng terkecil adalah pada bahan
baku genteng dengan kandungan sulfat 0,88% dan nilai IP 32,71%. Proses terjadinya
keretakan genteng akan dapat diberikan pembahasan sebagai berikut: rata-rata genteng
yang dihasilkan dengan bahan baku lumpur Lapindo mempunyai warna merah tua. Hal
ini disebabkan karena kandungan Fe kecil, reaksi dengan aluminium tidak maksimal
sehingga genteng yang dihasilkan tidak tahan panas dan warna genteng menjadi coklat
tua. Pada permukaan genteng juga terdapat goresan putih karena tingginya kandungan
sulfat, sifat higroskopisnya bertambah sehingga genteng pada saat dibakar belum
benar-benar kering yang menyebabkan genteng mengalami susut bakar. Sifat retak bisa
terjadi karena kandungan sulfat tertentu memberikan pengaruh kenaikan susut udara
maupun susut kering matahari. Susut kering matahari yang besar mengakibatkan
bentuk genteng mengalami lengkung setelah kering dan dapat retak pada saat dibakar.
Hasil uji korelasi antara plastisitas dengan kemudahretakan genteng menyimpulkan
bahwa ada hubungan antara plastisitas dengan kemudahretakan genteng yang
menyatakan jika nilai plastisitas naik maka kemudahretakannya kecil.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, didapatkan simpulan sebagai
berikut:
Nilai Indeks Plastisitas (IP) rata-rata dalam adonan genteng dengan kandungan
sulfat 0,38%; 0,88%; 1,03%; 1,43%; 1,68%; 1,91% berturut-turut adalah 25,79%;
32,71%; 28,03%; 17,44%; 10,13%; 9,11%. Kandungan sulfat 0,88% merupakan
kandungan sulfat optimum yang menghasilkan Indeks Plastisitas (IP) terbesar setelah
itu terjadi penurunan nilai Indeks Plastisitas (IP). Hal ini berarti ada pengaruh yang
signifikan antara kandungan sulfat dengan nilai Indeks Plastisitas (IP) dalam bahan
baku genteng lumpur Lapindo.
Titik keretakan rata-rata genteng lumpur Lapindo dengan nilai Indeks Plastisitas
(IP) 25,79%; 32,71%; 28,03%; 17,44%; 10,13%; 9,11% berturut-turut adalah 3 dan 4, 1
dan 3, 2 dan 4, 4 dan 7, 5 dan 7, 8 dan 10. Kandungan sulfat bahan baku genteng
lumpur Lapindo 0,88% menyebabkan plastisitas yang baik dengan nilai Indeks
Plastisitas (IP) 32,71%. Nilai tersebut menghasilkan genteng dengan rata-rata titik
keretakan paling kecil. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan sulfat merupakan
penyebab plastisitas yang baik untuk menghasilkan genteng yang tidak mudah retak.
Saran
Pada penelitian ini dikaji tentang optimasi kandungan sulfat terhadap plastisitas
bahan baku genteng lumpur Lapindo dan kemudahretakan genteng. Keretakan genteng
487
dipengaruhi oleh tingkat plastisitas suatu bahan baku. Plastisitas bahan baku
dipengaruhi oleh kandungan sulfat. Sulfat bersifat higroskopis sehingga proses
pengeringan sangat berpengaruh pada pembuatan genteng. Oleh karena itu, pada
penelitian selanjutnya perlu dikaji tentang pengaruh lama pengeringan genteng sebelum
dibakar untuk memperoleh genteng dengan susut bakar minimum.
DAFTAR PUSTAKA
APHA/AWWA/WPCF. 1998. Standar Methods for The Examination of Water and
Waste Water Including Bottom Sediment and Sludges Elevent Edition.
Washington DC: American Publik Healt Association.
Djajadiningrat, Aziz. 2006. Penggumpalan Solusi Permanen. Malang: Kompas.
Das, M. Braja; Noor Endah; Indrasurya B. Mochtar. 1985. Mekanika Tanah Jilid 1.
Jakarta: Erlangga.
Hidayat, Nur; Rach A. B; Arif S. 2006. Batas Urat Sabar Lapindo. GATRA, Juli: hal
86-87.
SNI 06-2477-1991. Metode Pengujian Kadar Silika dalam Air dengan Alat
Spektrofotometer Secara Molibdat Silikat. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Permukiman dan Prasarana Wilayah.
SNI 06-6989. 4-2004. Air dan Air Limbah – Bagian 4: Cara Uji Besi (Fe) dengan
Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) – Nyala. Surabaya: BPPI.
Sudjarno; Suprap; Suradi. 1994. Penelitian Pengaruh Tawas terhadap Plastisitas dan
Ketahanan Panas Pada Lempung Bahan Baku Genteng Keramik. Surabaya:
BPPI.
488
Download