Microfinance untuk Penanggulangan Kemiskinan

advertisement
Is it the magic bullet?
Microfinance untuk Penanggulangan Kemiskinan
Bagus Aryo, PhD
Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial
FISIP UI
I. Pendahuluan
Microfinance merupakan sebuah kata yang tidak asing lagi bagi sebagian besar akademisi
dan praktisi yang bergerak di ranah penanggulangan kemiskinan. Bahkan terdapat pula claim
bahwa ini adalah ‘magic bullet’ atau ‘panacea’ terhadap permasalahan kemiskinan yang telah
berurat dan berakar di berbagai belahan bumi ini. Perkembangan dalam 30 tahun terakhir juga
turut mendukung pertumbuhan microfinance, yaitu adanya pergeseran pendulum praktek
pembangunan dari pendekatan state-led ke market-led . Microfinance diposisikan sebagai sebuah
sarana penanggulangan kemiskinan yang kental dengan nuansa ‘sosial-ekonomi’ dan market
friendly. Microfinance diharapkan mampu meningkatkan pendapatan dan pada sisi yang lain
terdapat lonjakan pengetahuan, ketrampilan dan modal sosial dari para anggota nya.
Pada tahun 1990an, Gonzalez-Vega dan Chavez (1996) menyatakan bahwa Indonesia
adalah laboratorium dunia untuk keuangan mikro. Namun lebih dari sekedar laboratorium,
menurut Klaas Kuiper (2003) dan L. Schmit (1994) ‘revolusi’ microfinance telah terjadi di
Indonesia lebih dari 100 tahun yang lalu pada tahun 1895 ketika Raden Wiriamadya membentuk
sebuah lembaga keuangan mikro untuk membantu para pegawai bumiputera yang terlilit hutang.
Cikal bakal inilah yang terus berkembang pada era kolonial sampai kemerdekaan Indonesia
dengan wujudnya yang sekarang adalah Bank Rakyat Indonesia.
Pada saat ini tantangan bagi microfinance khusus nya di Indonesia adalah mampukah
microfinance menjadi garda terdepan dalam penanggulangan kemiskinan? Paparan dibawah ini
akan menjawab tantangan yang diberikan terhadap microfinance.
II. Kemiskinan sebuah tinjauan singkat.
Teori-teori tentang kemiskinan telah berkembang demikian pesatnya dewasa ini tetapi
ada satu hal yang tidak berubah kemiskinan muncul ketika individu mengalami deprivasi yang
sangat buruk (Hulme & Aron 2009). Pendekatan materialis memandang kemiskinan sebagai
ketidakmampuan untuk memenuhi pendapatan minimum atau kebutuhan dasar (makanan, tempat
tinggal, air bersih, pakaian). Sehingga kebijakan maupun program penanggulangan kemiskinan
yang berpijak pada pendekatan materialis menekankan pada pentingnya kemampuan rumah
tangga miskin (RTM) untuk memenuhi kebutuhan minimum atau physiological needs.
Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar ini dikarenakan oleh dua faktor utama: (a)
mempunyai stable income di bawah garis kemiskinan atau (b) adanya sudden shock yang
mendorong pendapatan rumah tangga jatuh dibawah garis kemiskinan (Matin & Hulme 2009).
Pendekatan materialis telah mendominasi wacana, kebijakan dan program aksi dalam
penanggulangan kemiskinan selama ini.
Pandangan lain menantang pendekatan diatas dengan menyatakan bahwa kemiskinan
merupakan masalah multidimensional. Menurut Sen (2001) dalam bukunya “Development as
Freedom” mengatakan pembangunan sebagai suatu proses memperkuat kemampuan (capability)
dari individu untuk mengakses bukan hanya sumberdaya produktif/ekonomi tetapi juga akses
terhadap modal sosial. Mengacu pada kerangka ini, insiden kemiskinan multidimensional tidak
hanya mencakup aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya dan lingkungan (Myrdal 1968;
Sen 2001). Kemiskinan diyakini tidak hanya disebabkan oleh deprivasi terhadap akses pada
kegiatan ekonomi tetapi juga keterasingan dalam reproduksi modal sosial, seperti jejaring sosial,
keluarga, dan business (social, familial and business networks). Misalnya, rendahnya tingkat
pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan menyebabkan masyarakat miskin tidak cukup percaya
diri untuk terlibat dalam berbagai organisasi sosial dan bisnis. Maka masalah akses terhadap
kapital (kredit) harus dibarengi pula dengan pemberdayaan dan pendampingan sosial RTM agar
dapat terlepas dari jerat kemiskinan.
Penulis berpendapat bahwa kemiskinan haruslah dilihat sebagai masalah
multidimensional sehingga pendekatan kemiskinan yang komprehensif lah yang lebih sesuai.
Karakteristik dan metode apa yang ditawarkan oleh microfinace untuk mengatasi masalah
kemiskinan? Pada sub bagian dibawah akan di telaah lebih jauh lagi mengenai kapasitas
microfinance.
III. Apa yang dapat dilakukan oleh microfinance untuk menanggulangi kemiskinan?
Berikut ini merupakan pemaparan mengenai kapasitas microfinance untuk menanggulangi
kemiskinan. Ada beberapa hal yang akan dijabarkan mengenai microfinance mulai dari definisi,
clients, teknologi yang digunakan, filosofi dan bentuk kelembagaannya.
Definisi
Selama beberapa dekade telah tumbuh minat yang tinggi terhadap microfinance. Sehingga
muncul pula beragam definisi namun bila ditelaah lebih jauh terdapat persamaan yang mendasar
yaitu jasa finansial intermediasi yang dibarengi dengan pelayanan sosial bagi kaum miskin atau
keluarga yang berpenghasilan rendah yang tidak mempunyai akses terhadap institusi keuangan
komersil seperti bank (Aryo 2011). Definisi yang berkembang selama ini seperti yang
dinyatakan oleh Ledgerwood; Armendariz dan Morduch adalah:
‘provision of financial services to low-income clients, including the self-employed’
(1999, p. 1). Disamping financial intermediasi, microfinance juga menyediakan
‘social intermediation services such as group formation, development of self
confidence, and training in financial literacy and management capabilities among
members of a group’ (Ledgerwood 1999, p.1).
…expanding access to small-scale loans, savings accounts, insurance and broader
financial services in poor and low-income communities (Armendariz and Morduch
2010, p.1).
Microfinance juga berkembang menjadi payung bagi konsep-konsep seperti microcredit,
microbanking, microinsurance, microenterprise. Bila di lihat maka tujuan dan semangat nya
sama yaitu menyediakan akses terhadap pelayanan finansial bagi individu-individu atau RTM
yang mengalami kesulitan untuk mengakses mainstream perbankan dan institusi keuangan
lainnya (Burkett 2002).
Clients
Robinson (2001) dalam bukunya The Microfinance Revolution, Volume 1: Sustainable
Finance for the Poor, menyatakan bahwa kredit dapat menjadi sarana yang powerful untuk
penanggulangan kemiskinan bila digunakan secara efektif kepada economically active poor dan
creditworthy (lihat gambar 1). Hal yang senada juga diungkapkan oleh Sebstad dan Cohen
(2000) bahwa penerima kredit mikro berada di sekitar garis kemiskinan. Sedangkan untuk
extreme poor, program-program kemiskinan yang bersifat subsidi lebih tepat untuk mengangkat
mereka ke atas garis kemiskinanan. Bila dipaksakan mengikuti program microfinance
kemungkinan besar tidak akan banyak membantu clients dan providers credit.
Gambar 1. Financial services dan penanggulangan kemiskinan
Financial services
in the poverty
alleviation toolbox
Microfinance Clients:
Income
level Lower middle Economically active poor
Commercial financial services Standard commercial bank loans & full range of savings services Subsidized poverty alleviation programs
Commercial microloans Poverty line Extreme poor Source: Robinson (2001, p.21)
Interestā€
bearing savings accounts for small savers Poverty programs for such purposes as food and water, medicine & nutrition, employment generation, skills training, & relocation Pada perkembangan selanjutnya, pintu bagi terlibat nya extreme poor di dalam program
microfinance semakin terbuka, akan tetapi hal ini membutuhkan usaha yang sunguh-sungguh
dari microfinance institutions (MFIs) untuk mengembangkan ataupun memodifikasi
microfinance program sesuai dengan karakteristik yang unik dari extreme poor. Remenyi (2000)
menawarkan solusi untuk melibatkan extreme poor dalam program microfinance bahwa MFIs
harus menjamin beberapa kebutuhan dasar seperti bantuan bahan pangan, cash grants, pekerjaan,
pelatihan ketrampilan dllnya. Hal ini dikarenakan kurangnya opportunity bagi kaum miskin
mendapatkan pekerjaan yang layak, ketrampilan, pengetahuan, pengalaman, material dan
informasi. Perlu juga disadari bahwa bagi sebagian orang kredit dapat meningkatkan risiko yang
lebih tinggi untuk terjebak ke dalam hutang.
Teknologi dalam microfinance
Dalam prakteknya banyak MFIs tidak hanya menawarkan jasa finansial intermediasi atau
banking with the poor tapi juga memberikan pelayanan sosial intermediasi 1 , seperti
pembentukan kelompok dengan menggunakan joint liability risk (tanggung renteng) untuk
menggantikan collateral (jaminan), mendorong terbentuknya keperayaan diri di dalam
kelompok, pelatihan financial literacy, peningkatan kapabilitas dalam manajemen, marketing
dan sebagainya (Bhatt & Tang, 2001; Bennett, 1996; Ledgerwood, 1999; Copestake 2005; de
Aghion & Morduch, 2010). Alasan utama nya diadakan sosial intermediasi adalah kaum miskin
menghadapi banyak kendala ketika berhadapan dengan commercial financial services, seperti
buta huruf, stigma, diskriminasi gender dsb nya. Maka dilakukan lah usaha-usaha untuk
meningkatkan kapabilitas dan kepercayaan diri kaum miskin disamping memberikan kemudahan
akses terhadap kredit.
Berdasarkan paparan diatas maka teknologi dalam financial services terbagi menjadi dua
(Bhatt & Tang, 2001; Ledgerwood, 1999). Yang pertama adalah pendekatan minimalist service
delivery, dimana MFIs hanya memfokuskan diri pada penyaluran kredit. Walaupun training dan
technical assistance akan memberikan keuntungan bagi clients nya tapi hal ini tidak menjadi
kewajiban maupun prioritas karena menimbulkan biaya tambahan yang cukup tinggi. Ada
beberapa contoh sukses institusi yang menerapkan model credit only seperti Bank Rakyat
Indonesia (BRI) and Banco Sol in Bolivia. Pendekatan yang kedua adalah integrated service
delivery atau credit plus, MFIs menyediakan financial intermediasi (credit, tabungan, asuransi,
dsb nya) tapi juga sosial intermediasi seperti training (pada bidang marketing, bisnis, produksi,
analisa pasar dsb nya), pendampingan sosial, kegiatan peningkatan kepercayaan dan kesadaran
diri, pelayanan kesehatan, nutrisi dsb nya (Bhatt & Tang, 2001; Ledgerwood, 1999). Cerita
sukses pendekatan ini pada tingkat internasional adalah Grameen Bank, the Self-Employed
Women’s Association Bank (SEWA) in India, Building Resources Across Communities (BRAC)
in Bangladesh and the Foundation for International Community Assistance (FINCA) in Africa.
Di Indonesia pada umum nya, LSM-LSM bergerak di bidang lembaga keuangan mikro maupun
program microfinance yang di sponsori oleh Kementrian menggunakan pendekatan credit plus
karena menyadari ada banyak hambatan yang di hadapi oleh kaum miskin.
Filosofi microfinance
Fundamental filosofi dari microfinance adalah merubah lingkaran ‘setan’ kemiskinan
‘low income, no savings, no investment, lower income’, menjadi spiral kesejahteraan yaitu ‘an
expanding system of low income, access to credit, investment, higher income, small savings, and
still more credit lending to even higher income’ (Mohiuddin, 2005; Kasim, 2005; Yunus 1998)
1
Sosial intermediasi adalah proses yang menciptakan modal sosial sebagai support terhadap finansial intermediasi
yang berkelanjutan bagi kaum miskin ataupun kelompok marjinal (Bennett, 1997).
(lihat gambar 2.). Untuk menuju spiral kesejahteraan dan keluar dari jerat kemiskinan dibutuhkan
kredit mikro agar dapat membentuk micro-bussiness atau memasuki ranah ekonomi produktif
yang berskala mikro dan informal atau sejenisnya. Aktifitas ekonomi ini diharapkan mampu
mengangkat pendapatan rumah tangga dan memungkinkan untuk mengakumulasi asset. Dengan
meningkatnya pendapatan rumah tangga dapat diterjemahkan meningkat pula konsumsi personal
dan keluarga yang berimbas pada pembelian barang dan jasa termasuk didalamnya pengeluaran
tambahan untuk kesehatan dan pendidikan. Dampak positif lainnya adalah bertambahnya
lapangan kerja sebagai employment multiplier effects. Adanya kemungkinan pajak setempat juga
meningkat dan berkurangnya pengeluaran untuk pelayanan sosial sehingga dapat di investasikan
pada tempat atau bidang yang lain (Morduch, 2000; Remenyi & Quinones, 2000; Rhyne &
Otero, 1994).
Gambar 2. Perubahan dari lingkaran ‘setan’ kemiskinan menjadi spiral kesejahteraan
Access to
credit
Investment
Low
income
Higher
income
Small
savings
Increase
income
Still more
credit to
lend
Menurut Muhammad Yunus (1998, p.57-63), ada tiga buah asumsi dasar hubungan antara
kaum miskin dengan microfinance: (1) kaum miskin tidak mempunyai control maupun akses
terhadap capital; (2) seorang micro-entrepreneur dapat di identifikasi ketika ‘the poor use their
own survival skills’ dan mempunyai potensi untuk mendapatkan income agar keluar dari
lingkaran kemiskinan disamping mampu menghindar dari eksploitasi lintah darat/rentenir.
Sebagai tambahan bukan lah ‘free enterprise’ yang menjadi esensi kapitalisme tapi kekebasan
berfikir dan beraksi. (3) Microfinance dapat dilihat sebagai ‘social consciousness driven
capitalism’, pada satu sisi mempertahankan profit maximization dan di sisi yang lain
melestarikan dan meningkatkan kesadaran sosial. Dengan kata lain microfinance berusaha
memaksimalkan social return tanpa mengkompromikan financial sustainability.
Asumsi Muhammad Yunus mengenai microfinance dan kaum miskin selaras dengan apa
yang didengungkan oleh Milton Friedman’s dalam Capitalism and Freedom, bahwa
pembangunan dapat dicapai dengan jalan memanusiakan kapitalisme (humanizing capitalism)
(Fernando, 2006, p.17). Microfinance mendorong dan menajamkan kapasitas dari kaum miskin
agar mampu berpartisipasi secara aktif di dalam market (Fernando, 2006). Kaum miskin harus
mentransformasikan diri nya menjadi micro-entrepreneurs. Pada perspektif Muhammad Yunus
terlihat nyata bahwa kaum miskin mempunyai kapabilitas untuk memanjat naik tangga sosioekonomi atau melakukan mobilitas vertikal dengan bantuan microfinance. Hambatan untuk
melakukan mobilitas vertikal tidak hanya kurangnya akses terhadap kredit/capital tapi juga
opportunity, lingkungan yang mendukung dan tidak dilupakan adalah capability dari kaum
miskin itu sendiri yang belum terasah dengan baik untuk berpartisipasi secara aktif di dalam
market economy. Dalam rangka menutup gap microfinance menawarkan dua fungsi nya bagi
kaum miskin dan RTM yaitu financial intermediasi dan sosial intermediasi.
Bentuk kelembagaan microfinance di Indonesia
Gambar 3. Kelembagaan Microfinance di Indonesia
Formal microfinance institutions:
• Commercial Banks: BRI Unit
Desa and Bank Dagang Bali
•
Rural
Banks:
BPR
(People’s Credit Bank)
Semiformal microfinance institutions:
• Government projects: Ministries and
Government
Institutions
microfinance project : cooperatives,
savings and credit cooperatives
(Koperasi Simpan Pinjam) and
village unit cooperatives (Koperasi
Unit Desa).
• NGO projects: Project Linking Banks
with Self Help Groups (PHBK) or
non PHBK
• Groups or individuals sponsored
MFIs
Informal microfinance institutions:
• Rotating savings and credit
associations (ROSCA) or arisan in
• Uncollateralized personal loans
• Shopkeepers credit
• Pledged property (or gadai)
• Informal moneylenders
Sumber: Aryo (2011)
Sejak dahulu microfinance di Indonesia telah menjadi bagian dari strategi pembangunan
dengan asumsi bahwa kredit sangat vital untuk mengatasi masalah pembangunan dan kemiskinan
(Vogel & Adams, 1997). Tidaklah mengherankan bila banyak Kementrian dan institusi
pemerintah lainnya menjalankan program yang di dalamnya terdapat komponen microfinance.
Namun hal tersebut bukanlah tanpa masalah, kurangnya sinergi dan koordinasi antar program
kementrian menyebabkan program penanggulangan kemiskinan dengan microfinance menjadi
kurang maksimal. Tidak dapat dipungkiri bahwa koordinasi merupakan ‘barang mahal’ di
Negara ini.
Dari ketiga tipe diatas BRI dan BPR adalah contoh formal microfinance institution.
Kedua nya memenuhi criteria dalam UU no 7 tahun 1992 tentang Perbankan atau sebagaimana
diubah dengan UU no 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Sedangkan semiformal microfinance
institutions sangat bervariasi ukuran/besarnya, secara kelembagaan tipe ini tidak sesuai dengan
UU perbankan karena tidak berbentuk bank ataupun BPR. Maka untuk menghindari label
sebagai ‘illegal banks’, MFIs tersebut melakukan registrasi atau mendapat lisensi dari otoritas
Negara atau Kementrian. Banyak MFIs yang memilih untuk menggunakan baju koperasi untuk
menjalankan opersional nya sehari-hari. Khusus untuk program microfinance dari Kementrian
banyak pula yang menggunakan subsidi sehingga bunga dari pinjaman dapat ditekan serendah
mungkin. Program microfinance bersubsidi yang di sponsori oleh Kementrian sebagian besar
mengembangkan sosial intermediasi. Ini merupakan refleksi dari political concerns terhadap
kaum miskin. Kejelasan badan hukum MFIs khusus nya pada tipe semiformal sampai saat ini
masih menunggu pengesahan RUU LKM yang telah dibahas di DPR sejak tahun 2004.
Dibarapkan pada tahun ini dapat disahkan.
Tipe terakhir adalah informal microfinance institutions yang beroperasi diluar struktur
peraturan dan supervisi pemerintah. Minimal terdapat lima tipe informal microfinance namun
tidak selalu dalam bentuk yang siap dinyatakan sebagai institusi finansial. Kelima tipe tersebut
adalah arisan; pinjaman personal tanpa jaminan dari keluarga, tetangga, rekan kerja dllnya; kredit
yag diberikan oleh warung-warung kelontong, grosir, ritel dllnya; gadai; moneylenders
(rentenir).
IV. Penerapan finansial intermediasi dan sosial intermediasi untuk penanggulangan
kemiskinan
Berikut ini merupakan sebuah contoh LKM Kube Sejahtera di Sleman, Jogjakarta yang
menerapkan financial dan sosial intermediasi. Paparan lebih difokuskan pada sosial intermediasi
dimana finansial intermediasi dilaksanakan bersamaan dengan proses sosial intermediasinya.
LKM ini di sponsori pembentukannya oleh Kementrian Sosial pada tahun 2005, konsepnya
adalah membentuk LKM yang berasal dari komunitas, oleh komunitas dan untuk komunitas.
Dengan dua tujuan utama nya adalah 1) bekerja keras untuk meningkatkan pendapatan dengan
ketrampilan, pengetahuan dan kredit dan 2) selalu mengingat dan menjalankan perintah Tuhan
YME. Program ini di disain untuk menanggulangi kemiskinan. Salah satu ide dasar yang inovatif
adalah melibatkan anggota masyarakat yang mampu bersama-sama membangun LKM untuk
menanggulangi kemiskinan di desa/wilayah mereka. Kontribusi tidak hanya materi (dana
penyertaan yang mendapatkan bagi hasil) tapi juga menjadi pengurus di LKM tersebut. Sasaran
LKM adalah memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan rumah tangga miskin dan
pengusaha mikro di wilayah nya. Khusus untuk kaum miskin atau anggota dari RTM di dalam
microfinance akan di transformasi menjadi micro-entrepreneurs. Selain itu LKM ini bersifat
inklusif, tidak membatasi anggota nya pada kelompok tertentu tapi membuka seluas-luasnya
keanggotaan khususnya dari RTM dan pengusaha mikro dengan latar belakang yang berbedabeda.
Gambar 4. Proses transformasi dari kaum miskin menjadi micro-entrepreneurs:
I
Build a set of ‘new’ characters
Pre mandatory group training (LWK)
II
Financial and social intermediaries’
Technical assistance, credit, social activities etc.
Empowering process: nurturing saving habits, training, household
economic management, care for others, infaq kesejahteraan sosial.
III
Independent, responsible, care for others and
spiritualistic individuals
Karakter yang ingin di bentuk pada proses tranformasi ini adalah menjadikan kaum
miskin sebagai seseorang yang ber positive thinking, dapat dipercaya, disiplin, independen dan
meningkatkan kapasitas dan kapabilitas mereka sebagai micro-entrepreneur. Sebelum di mulai
proses transformasi calon anggota membentuk kelompok yang terdiri dari 5-10 orang yang
nantinya kelompok ini akan menjadi joint liability risk. Transformasi terjadi di dalam pra Latihan
Wajib Kelompok (pra LWK), LWK dan rumpun (aktifitas/diskusi di dalam kelompok). Sebagai
contoh di dalam rumpun (kelompok) terdapat Balam atau berbagi pengalaman
positif/keberhasilan mengenai usaha produktif atau kehidupan sosial dan rumah tangga, kegiatan
ini sangat mendukung perubahan perilaku. Proses sharing mempengaruhi anggota yang lain
untuk mencontoh keberhasilan. Selain itu kegiatan Balam menjadi mekanisme control terhadap
kegiatan sosial dan bisnis mereka di komunitas. Pada saat LWK selama lima hari, ditumbuhkan
rasa disiplin pada setiap anggota karena bila ada salah satu anggota kelompok tidak hadir pada
saat pelatihan maka kegiatan akan diulang kembali dari awal.
Tahapan selanjutnya adalah penyaluran kredit mikro dan proses pemberdayaan melalui
sosial intermediasi. Didalam kelompok selain disalurkan kredit dan membayar cicilan kegiatan
pendampingan dan pemberdayaan sosial menjadi menu utama. Sebagai contoh melatih anggota
kelompok mengenai pembukuan sederhana, baca-tulis bagi yang buta huruf, household economic
management, marketing, cara memproduksi yang baik dan sebagainya. Pendamping sosial dalam
hal ini community development worker (CD Worker) bisa berfungsi sebagai trainer bila ia
mempunyai ketrampilan pada bidang tertentu tapi bisa juga sebagai fasilitator dan broker dengan
mencarikan petugas atau individu yang ahli dibidangnya untuk membantu anggota kelompok.
Contoh permintaan dari kelompok untuk membudidayakan cabe merah, maka pendamping
menghubungan kelompok dengan penyuluh pertanian yang mempunyai pengetahuan tentang
budidaya cabe merah. Disamping proses peningkatan pengetahuan dan ketrampilan,
pembentukan karakter individu yang percaya diri juga dilakukan. Pada setiap pertemuan
mingguan salah satu anggota kelompok harus berbicara di depan anggota lain dengan topik yang
berhubungan dengan kegiatan mereka dalam rentang waktu seminggu. Selain peningkatan
kemampuan public speaking akan terbentuk pula self confidence. Budaya menabung juga
digalakkan dengan diwajibkan setiap anggota menyisihkan sedikit keuntungannya. Hal lain yang
juga menarik adalah pembentukan karakter yang peduli akan sesamanya. Pembentukan karakter
ini dilakukan dengan membuat infaq kesejahteraan sosial, hasil yang terkumpul ditabung untuk
digunakan bila ada anggota maupun keluarga anggota yang mengalami musibah, seperti sakit,
meninggal dunia atau yang lainnya. Terakhir yang tidak kalah menariknya adalah ceramah
ataupun nasehat rutin dari CD worker ataupun pengurus LKM untuk berbisnis dan berhubungan
sosial dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dan spiritualitas.
Penguatan jejaring sosial (networking) menjadi salah satu point penting dalam kelompok,
tidak hanya sesama anggota kelompok tapi juga dengan kelompok lain. Selain itu pengurus LKM
yang berasal dari golongan yang mampu ikut membantu penguatan jejaring sosial baik itu berupa
informasi-informasi bisnis, kerjasama usaha maupun berbagi pengalaman. Sehingga kelompok
menjadi ‘kawah candradimuka’ bagi kaum miskin untuk menyiapkan diri dan meningkatkan
kapabilitas sebagai micro-entrepreneurs yang siap berpartisipasi aktif pada market economy.
Karakter mereka pun terbentuk menjadi individu yang independen, bertanggung jawab dan
menjunjung tinggi nilai-nilai spiritualitas.
V.
Penutup
Mengacu pada kemiskinan multidimensional yang tidak hanya mencakup aspek ekonomi,
tetapi juga aspek sosial, budaya dan lingkungan (Myrdal 1968; Sen 2001). Kemiskinan juga
diyakini tidak hanya disebabkan oleh deprivasi terhadap akses pada kegiatan ekonomi tetapi juga
keterasingan dalam reproduksi modal sosial, seperti jejaring sosial, keluarga, dan business
(social, familial and business networks). Microfinance sebagai salah satu tools dalam
penanggulangan kemiskinan memberikan jawaban yang tegas bahwa ia dapat diandalkan untuk
memerangi kemiskinan dimensional dengan menunjukkan kemampuannya yang komprehensif
tidak hanya pada sisi finansial tapi juga dalam pemberdayaan sosial.
Daftar Pustaka
Armendariz de Aghion, B., & Morduch, J. (2010). The economics of microfinance, 2nd edition.
Cambridge: MIT Press.
Aryo, B. (2011). Governmentality and Microfinance: Study of relationship between
microfinance, the poor and neoliberalism. Jakarta: Kepik Ungu
Aryo, B. (2008). The Multitask BMT (Syaria Microfinance): Poverty Reduction and Financial
Sustainability. In R. Suwarso & M. Fahmi, The Voice of Indonesian Future Leaders.
Yogyakarta: PPIA
Bennett, L. (1996). Social intermediation: Building systems and skills for sustainable financial
intermediation with the poor. Paper presented at the The World's Bank Sustainable
Banking with the Poor project, Rural Finance Seminar, May 1, Washington, D.C.
Bhatt, N., & Tang, S.-Y. (2001). Delivering microfinance in developing countries: Controversies
and policy perspectives. Policy Studies Journal, 29(2), 319.
Chaves, R. A., & Gonzales-Vega, C. (1996). The Design of Successful Rural Financial
Intermediaries: Evidence from Indonesia. World Development, 24(1), 65-78.
Copestake, J. G., Greeley, M., Johnson, S., Kabeer, N., & Simanowitz, A. (2005). Money with a
mission: Microfinance and poverty reduction. Bourton-on-Dunsmore, UK: ITDG
Publishing.
Fernando, J. L. (2006). Microcredit and empowerment of women: Blurring the boundary
between development and capitalism. In J. L. Fernando (Ed.), Microfinance: Perils’ and
prospects (pp. 1-42). London: Routledge.
Hulme, D & T. Arun. (2009). Microfinance: A reader. London: Routledge
Kuiper, K. (2003). Act or accident ? The birth of the Village Units. Retrieved December 26,
2005, from http://www.gdrc.org/icm/country/indonesia-act-accident.doc
Ledgerwood, J. (1999). Microfinance handbook: An institutional and financial perspective.
Washington DC: World Bank.
Matin, I & D. Hulme. (2009). Programs for the Poorest: Learning from the IGVGD program in
Bangladesh. In D. Hulme and T. Arun (Eds), Microfinance: A reader. London: Routledge
Morduch, J. (2000). The Microfinance Schism. World Development, 28(4), 617-629.
Myrdal, G. (1968). Asian Drama, An Inquiry into the Poverty of Nations, Vol. 3, Middlesex,
England: The Penguin Books.
Remennyi, J. & B. Quinones. (2000). Microfinance and Poverty Alleviation: Case Studies from
Asia and The Pacific. London: Pinter Press.
Rhyne, E., & Otero, M. (1994). The New world of microenterprise finance : building healthy
financial institutions for the poor. West Hartford, Conn.: Kumarian Press.
Schmit, L. (1994). A history of the "volkscre dietwezen" (popular credit system) (1895-1935).
The Hague, Netherlands: Development Cooperation Information Department of the
Ministry of Foreign Affairs.
Sen, A. (2001) Development as Freedom, Oxford: Oxford University Press.
Vogel, R. C., & Adams, D. W. (1997). Old and new paradigms in development finance. Savings
and Development, 22(4), 361-381.
Yunus, M. (1998). Poverty alleviation: Is economics any help? Lessons from the Grameen bank
experience. Journal of International Affairs, 52(1), 47-65.
Is it the magic bullet?
Microfinance untuk Penanggulangan
Kemiskinan
Bagus Aryo, PhD
Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial
FISIP UI
1
Outline
I. Pendahuluan
II. Kemiskinan sebuah tinjauan singkat
III. Apa yang dapat dilakukan oleh microfinance untuk
menanggulangi kemiskinan?
IV. Penerapan finansial intermediasi dan sosial
intermediasi untuk penanggulangan kemiskinan
V. Penutup
2
I. Pendahuluan
• Microfinance merupakan sebuah kata yang tidak asing
lagi
• Claim sebagai ‘magic bullet’ atau ‘panacea’ terhadap
permasalahan kemiskinan
• Perkembangan microfinance didukung oleh pergeseran
dari state-led ke market-led
• Microfinance market friendly.
• Indonesia adalah laboratorium dunia untuk keuangan
mikro (Gonzalez-Vega & Chavez 1996)
• ‘Revolusi’ microfinance di Indonesia terjadi sejak tahun
1895 oleh Raden Wiriamadya
3
II. Kemiskinan sebuah tinjauan singkat
• Kemiskinan muncul ketika individu mengalami deprivasi
yang sangat buruk (Hulme & Aron 2009)
• Pendekatan materialis memandang kemiskinan sebagai
ketidakmampuan untuk memenuhi pendapatan minimum
atau kebutuhan dasar (makanan, tempat tinggal, air
bersih, pakaian).
Kebijakan maupun program penanggulangan
kemiskinan menekankan pada pentingnya kemampuan
rumah tangga miskin (RTM) untuk memenuhi kebutuhan
minimum atau physiological needs.
4
• Pendekatan multidimensional, kemiskinan diyakini tidak
hanya disebabkan oleh deprivasi terhadap akses pada
kegiatan ekonomi tetapi juga keterasingan dalam
reproduksi modal sosial, seperti jejaring sosial, keluarga,
dan business (social, familial and business networks).
Akses terhadap kapital (kredit) harus dibarengi pula
dengan pemberdayaan dan pendampingan sosial
(peningkatan capabilities)
5
III. Apa yang dapat dilakukan oleh microfinance
untuk menanggulangi kemiskinan?
• Definisi
Microfinance adalah jasa finansial intermediasi yang
dibarengi dengan pelayanan sosial bagi kaum miskin
atau keluarga yang berpenghasilan rendah yang tidak
mempunyai akses terhadap institusi keuangan komersil
seperti bank (Aryo 2011).
• Clients
9 Economically active poor dan creditworthy atau
9 Penerima kredit mikro berada di sekitar garis kemiskinan
6
Financial services in the poverty alleviation toolbox
Financial services in the
poverty alleviation toolbox
Microfinance Clients:
Income
level
Lower
middle
income
Economically
active poor
Subsidized
poverty
alleviation
programs
Commercial
financial
services
Standard
commercial
bank loans
& full range
of savings
services
Poverty line
Extreme
poor
Source: Robinson (2001, p.21)
Commercial
microloans
Interestbearing
savings
accounts
for small
savers
Poverty programs
for such purposes
as food and water,
medicine &
nutrition,
employment
generation, skills
training, &
relocation
7
9 Remenyi (2000) menawarkan solusi untuk
melibatkan extreme poor dalam program
microfinance bahwa MFIs harus menjamin beberapa
kebutuhan dasar seperti bantuan bahan pangan,
cash grants, pekerjaan, pelatihan ketrampilan dllnya.
9 Perlu juga disadari kredit = hutang
8
• Teknologi dalam microfinance
Microfinance dalam keseharian:
9 Jasa finansial intermediasi atau banking with the poor
9 Pelayanan sosial intermediasi, seperti pembentukan
kelompok dengan menggunakan joint liability risk
(tanggung renteng) untuk menggantikan collateral
(jaminan), mendorong terbentuknya keperayaan diri di
dalam kelompok, pelatihan financial literacy,
peningkatan kapabilitas dalam manajemen, marketing
dan sebagainya
9
Teknologi
9 Minimalist service delivery, dimana MFIs hanya
memfokuskan diri pada penyaluran kredit. Walaupun
training dan technical assistance akan memberikan
keuntungan bagi clients nya tidak menjadi kewajiban
maupun prioritas karena cost yang tinggi.
9 Integrated service delivery atau credit plus, MFIs
menyediakan financial intermediasi tapi juga sosial
intermediasi seperti training, pendampingan sosial,
kegiatan peningkatan kepercayaan dan kesadaran diri,
pelayanan kesehatan, nutrisi dsb nya
10
• Filosofi microfinance
Spiral kesejahteraan
Lingkaran ‘setan’ kemiskinan
Access
to
credit
Investment
Low
income
Higher
income
Small
savings
Increase
income
Still more
credit to
lend
11
Menurut Muhammad Yunus, ada 3 asumsi dasar
hubungan antara kaum miskin dengan microfinance:
9 kaum miskin tidak mempunyai control maupun akses
terhadap capital;
9 seorang micro-entrepreneur dapat di identifikasi ketika
‘the poor use their own survival skills’ dan mempunyai
potensi untuk mendapatkan income agar keluar dari
lingkaran kemiskinan disamping mampu menghindar
dari eksploitasi lintah darat/rentenir.
9 microfinance dapat dilihat sebagai ‘social consciousness
driven capitalism’.
12
• Bentuk kelembagaan microfinance
Formal
microfinance Semiformal microfinance
institutions:
institutions:
projects:
• Commercial Banks: BRI • Government
Ministries
and
Unit Desa and Bank
Government Institutions
Dagang Bali
microfinance project :
• Rural
Banks:
BPR
cooperatives, savings
(People’s Credit Bank)
and credit cooperatives
(Koperasi
Simpan
Pinjam) and village unit
cooperatives (Koperasi
Unit Desa).
• NGO projects: Project
Linking Banks with Self
Help Groups (PHBK).
• Individuals or groups
sponsored MFIs
Informal
microfinance
institutions:
• Rotating savings and
credit
associations
(ROSCA) or arisan in
• Uncollateralized
personal loans
• Shopkeepers credit
• Pledged property (or
gadai)
• Informal moneylenders
13
IV. Penerapan finansial intermediasi dan sosial
intermediasi untuk penanggulangan kemiskinan
I
Build a set of ‘new’ characters
Pre mandatory group training (LWK)
& Group activities/discussion (Rumpun)
II
Financial and social intermediaries’ services
Technical assistance, credit, social activities
etc.
Empowering process: nurturing saving habits, training, household
economic management, care for others, infaq kesejahteraan sosial.
III
Independent, responsible, care for others
and spiritualistic individuals
14
V. Penutup
Microfinance sebagai salah satu tools dalam
penanggulangan kemiskinan memberikan jawaban yang
tegas bahwa ia dapat diandalkan untuk memerangi
kemiskinan dimensional dengan menunjukkan
kemampuannya yang komprehensif tidak hanya pada
sisi finansial tapi juga dalam pemberdayaan sosial.
15
TERIMA KASIH
16
Download