1 JURNAL ILMIAH TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK DALAM PRAPERADILAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI DisusunOleh : AHMAD ARDY EFFENDY NIM : 02111032 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA 2015 2 DAFTAR ISI BAB I :PENDAHULUAN 1.1. Permasalahan : Latar Belakang dan Rumusan …………...….………...1 1.2. Penjelasan Judul…………………..…………………………...……... 6 1.3. Alasan Pemilihan Judul……………………..……….…………...…… 7 1.4. Tujuan Penulisan……………..……………...………….…...…...……7 1.5. Manfaat Penulisan………..………………….………………………... 7 1.6. Metode Penelitian…………………...………………………………… 7 1.7. Teknik Pengumpulan Data…………………...……………………… 10 1.8. Teknik Analisa Data……………………...………………………….. 10 1.9. Pertanggungjawaban sistematika……………...…………………….. 10 BAB II : PRAPERADILAN DAN AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL 2.1. Akibat Hukum Putusan Praperadilan ……...………………...……... 24 2.2. Praperadilan Terhadap Penetapan Tersangka Yang Tidak Sah ...…… 32 BAB III : PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI 3.1. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi ……………………………… 51 BAB IV : PENUTUP 4.1. Kesimpulan ……………………………………………………….... 67 4.2. Saran ……………………………………………………………….. 69 DAFTAR PUSTAKA 3 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Permasalahan: Latar belakang dan Rumusan Praperadilan adalah suatu hal yang wajar dan tidak perlu ditakuti sepanjang proses penyidikan dan upaya paksa yang dilakukan didasarkan pada aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tenatang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut ( KUHAP ). Tidak semua putusan Praperadilan dimenangkan oleh tersangka atau pihak yang mengajukan. Didalam proses sidang Praperadilan tentunyaakan mempertimbangkan fakta baik secara yuridis maupun fakta materiil. Praperadilan sendiri merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum.Praperadilan bukan lembaga yang berdiri sendiri. Pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang merupakan suatu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan. Tahapan dalam proses peradilan pidana tersebut merupakan suatu rangkaian, dimana tahap yang satu mempengaruhi tahapan yang lain. Rangkaian dalam proses peradilan pidana di Indonesia meliputi tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Praperadilan merupakan wewenang pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus cara yang di atur dalam undang-undang hukum acara pidana, tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. Hal ini dapat dilihat dengan adanya peraturan yang mengatur Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP. Praperadilan hanya merupakan suatu tambahan wewenang yang dimiliki oleh pengadilan negeri, yang berfungsi untuk memeriksa keabsahan dari suatu proses penanganan perkara, artinya adalah yang diperiksa dalam praperadilan bukanlah mengenai pokok dari suatu perkara. Sebagaimana diatur dalam KUHAP khususnya Pasal 77 tentang Praperadilan, dimana dinyatakan bahwa : “ Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini tentang : a) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b) Ganti rugi dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.” Kehadiran lembaga Praperadilan memberi peringatan agar penegak hukum harus hati-hati dalam melakukan tindakan-tindakan hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku 4 dalam artiia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang.1 Dengan demikian jelas bahwa penyelenggara Praperdilan bukanlah tugas yang ringan mengingat, kegiatan alat Negara penegak hukum yang satu untuk menilai dan menguji pola pekerjaan alat penegak hukum yang lain pasti merupakan pekerjaan yang harus dilakukan dengan cermat dan menguasai seluruh mekanisme penegak hukum. Akan tetapi dalam Praperadilan hakim harus mempunyai kriteria dalam memutuskan sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan: penangkapan dan/atau penahanan harus didasarkan pada tujuan yang telah ditentukan dalam KUHAP. Pasal 16 KUHAP menentukan bahwa penangkapan hanya dapat dilakukan “ untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan. Sedangkan dalam Pasal 20 KUHAP menentukan bahwa penahanan hanya dapat dilakukan” untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 berhak melakukan penahanan. penangkapanharusmemiliki dasar hukum dalam undang-undang yang berlaku, terutama dasar hukum kewenangan pejabat yang melakukan penangkapan tersebut. Dalam penyidikan, pada dasarnya penahanan merupakan kewenangan Polisi Republik Indonesia( pasal 6 ayat (1) huruf a jo pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP). Sementara itu, penyidik pegawai negeri sipil lainnya (pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP) umumnya tidak diberikan kewenangan penahanan. Namun demikian, dengan ketentuan yang bersifat khusus ( lex specialis ), ketentuan umum ini disampingi, sehingga penyidik kejaksaan yang terakhir berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan penyidik Komisi Pemberantasa Korupsi berdasarkan Undangundang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, mempunyai kewenangan melakukan penahanan. Khusus berkenaan dengan penahanan oleh penyidik KPK dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kewenangan melakukan penahanan secara langsung (Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002) dan kewenangan penahanan secara tidak langsung, yaitu melalui bantuan kepolisian dan institusi terkait (pasal 12 huruf I Undang-Undang No. 30 Tahun 2002). Melihat Pasal 77 huruf a, jelas bahwa dalam pemeriksaan Praperadilan, pengadilan negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan serta sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.Kondisi ini menyebabkan hakim Praperadilan hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus hal-hal tersebut 1 S. Tanusubroto, Peranan Praperdailan Dalam Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, 1983, hal.2. 5 saja.Akan tetapi dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang sealnjutnya di sebut MK, dalam putusannya MK menyebutkan bahwa penetapan tersangka termasuk sebagai objek Pradilan karena penetapan tersangka merupakan sebab dari penyidikan dan penyelidikan. Dalam hal ini putusan MK di anggap kontroversial dan memberatkan pihak penyidik dan hal ini lebih menguntukan para tersangka, karena kuhap sendiri tidak mengatur bahwa kasus pidana apa saja yang bisa di ajukan untuk praperadilan, hal ini menyebabkan penyidik harus berhati-hati dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Dalam proses peradilan pidana di Indonesia asas “praduga tidak bersalah” merupakan salah satu asas yang sangat penting. Hakikat asas ini fundamental sifatnya dalam hukum acara pidana. Ketentuana asas “praduga tidak bersalah” eksistensinya tampak pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jis Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, dan penjelasan umum angka 3 huruf c KUHAP yang menentukan bahwa: “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” Dalam praktik peradilan pengejawantahan asas ini terlihat bahwa selama proses peradilan masih berjalan (pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan mahkamah agung republikIndonesia ) dan belum memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), terdakwa belumlah dapat diklasifikasikan bersalah dan pelaku dari tindak pidana.2 Atas dasar uraian tersebut diatas bisa kita ambil kesimpulan bahwa putusan MK yang memasukan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan merupakan temuan baru dalam bidang praperadilan.Oleh sebab itu penulisan ini dipilih judul “ TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK DALAM PRAPERADILAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI” Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas maka dapat diambil 2 (dua) rumusan masalah yaitu : 1. Apa akibat hukum yang timbul dari putusan Praperadilan? 2 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,2007,hal. 8-9. 6 2. Apa pertimbangan Mahkamah Konstitusi memasukan penetapan tersangka sebagai objek Praperadilan ? 1.2 Penjelasan Judul Penulisan ini diberi judul “ TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK DALAM PRAPERADILAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI.” Secara etimologi Praperadilan merupakan gabungan dari dua susunan kata, yaitu “pra” dan “peradilan” Menurut W.J.S. Poerwadarminta dalam bukunya kamus besar bahasa Indonesia tertulis. “Pra” berarti pendahuluan atau sebelum, sedangkan “peradilan” berarti segala sesuatu mengenai perkara peradilan.3 Menurut Prof. Subekti dan R. Tjitrosoedibio : Yang dimaksud dengan “pengadilan” adalah badan yang melakukan peradilan, yaitu memeriksa dan memutus sengketa hukum dan pelanggaran hukum atau undang-undang.4 Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa secara etimologi praperadilan berarti tindakan memeriksa dan memutus sengketa dan atau pelanggaran hukum atau undang-undang dari badan peradilan tentang peradilan pokok perkara. Definisi tersangka menurut Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tersangka adalah seseorang yang disangka sebagai pelaku dari suatu tindak pidana.J.C.T. Simorangkir, cs dalam bukunya Kamus Hukum mengemukakan bahwa : “tersangka adalah seorang yang disangka telah melakukan suatu tindak pidana dan ia masih dalam taraf pemeriksaan pendahuluan untuk dipertimbangkan, apakah tersangka ini mempunyai cukup dasar untuk diperiksa dipersidangan”. Sedangkan dalam Pasal 1 angka (4) KUHAP menyatakan bahwa :“tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana” 1.3 Alasan Pemilihan Judul Karena status tersangka seseorang yang telah ditetapkan dan telah disidangkan di Praperadilan masih belum jelas, dan hal tersebut mengakibatkan ketidak pastian hokum, dan praperadilan mempunyai tugas menjaga ketertiban pemeriksaan pendahuluan dan untuk melindungi tersangka dan terdakwa terhadap tindakan penyidik atau penuntut umum. Jadi pada hakekatnya lembaga 3 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal. 16-17 4 Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, cetakan V, Pradya Paramita, Jakarta,1979, hal. 91 7 praperadilan yang diatur dalam pasal 77 sampai dengan pasal 83 KUHAP adalah untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak tersangka atau terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan. 1.4 Tujuan penulisan Dalam merumuskan tujuan penulisan saya berpegang pada rumusan masalah yang ada. Adapun tujuan dari penulisan ini ialah: 1. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari putusan praperadilan. 2. Untuk mengetahui pertimbangan Mahkamah Konstitusi memasukan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. 1.5 Manfaat Penulisan 1. Secara teoritis hasil penulisan ini merupakan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang peradilan pidana. Dengan adanya penulisan dapat membantu kita untuk lebih memperhatikan dan berusaha untuk memberikan sumbangan pemikiran sesuai dengan kebenaran dan fakta yang terjadi. 2. Secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi masyrakat dan juga penulis mendapatkan pemahaman yang lebih mengenai praperadilan di Indonesia. 1.6 Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil beberapa metode penelitian, diantaranya sebagai berikut : a. Jenis Penelitian Dalam menyusun skripsi ini jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian normative. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, menyatakan bahwa “penelitian hukum normative adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka”.5 Rony Hanitijo Soemitro, menyatakan bahwa penelitian normative merupakan “penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder”.6 Penelitian normatif adalah penelitian yang mengkaji hukum dengan norma. Dengan kata lain penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder lainnya yang berkaitan dengan obyek penelitian.7 b. Pendekatan Penelitian 5 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 13 6 Rony Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990 hlm. 11 7 Ibrahim Johny, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia publishing, Malang, 2005, hlm. 33 8 Dalam Penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan (statue approach) yaitu pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi. Karena yang diteliti adalah berbagai peraturan yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian, dalam hal ini adalah sebagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan obyek penelitian.8 Pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide dengan memberikan pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan.9 c. Bahan Hukum Tipe penelitian ini merupakan studi kepustakaan yaitu suatu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan berbagai macam literatur yang ada di perpustakaan, buku-buku khusus pidana serta hukum acara pidana maupun teoriteori bantuan hukum yang secara spesifik dapat menjadi sumber masukan dalam menyelsaikan masalah sebagai dasar teori untuk menunjang bobot dari isi penulisan ini. Bahan hukum yang digunakan dalam pembahasan dan penulisan ini adalah data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum yang masih berlaku serta masih berhubungan dengan topik yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan ini meliputi: 1. Bahan hukum primer yaitu berupa peraturan yang sifatnyamengikat seperti : - Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 - Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, - Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi - Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia - Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 - Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. 2. Bahan hukum sekunder yaitu data yang diperoleh dari buku, artikel, karya tulis, serta dokumen-dokumen resmi yang ada. 8 Ibid, hlm. 300-322 9 Ibid., hlm. 306 9 3. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan bahan-bahan dari internet yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 1.7 Teknik Pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan peraturan perundang-undangan, dokumen, data-data, dan literatur lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. 1.8 Teknik Analisa Data Langkah pembahasan dengan menggunakan metode penalaran yang bersifat deduktif dalam arti berawal dari pengetahuan hukum yang bersifat umum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan literatur.Dari bahan hukum yang diperoleh dari studi pustaka tersebut dikoreksikan dan untuk kemudian dianalisa. 1.9 Pertanggung Jawaban Sistematika Untuk mempermudah pembahasan proses analisis serta penjabaran isi dari penulisan ini, maka diperlukan sistematika penulisan dengan membagi ke dalam beberapa bab, antara lain sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Dalam Bab pertama ini merupakan awal penulisan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, penjelasan judul, tujuan penulisan, manfaat penulisan, teknik pengumpulan dan pengolahan data, teknik analisis data dan yang terakhir uraian pertanggung jawaban sistematika. BAB II : PRAPERADILAN DAN AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL Dalam BAB II ini penulis menjelaskan apa saja akibat yang akan timbul nantinya setelah putusan praperadilan, baik akibat bagi termohon ataupun pemohon dan juga akibat hukum bagi masyarakat Indonesia yang mana putusan tersebut dianggap kontroversial oleh sebagaian masyarakat Indonesia. Disamping itu juga dalam pembahasan bab ini di jadikan sebagai dasar untuk melanjutkan penulisan di bab yang selanjutnya BAB III :PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI Dalam BAB III ini penulisan menjelaskan apa saja yang menjadi pertimbangan mahkamah konstitusi memasukan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. BAB VI : PENUTUP Pada bab ke empat ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas. 10 BAB II PRAPERADILAN DAN AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL 2.1 Akibat Hukum Putusan Praperadilan a) b) c) d) Menurut pasal 20 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman,yang berbunyi : segala Putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasalpasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Demikian juga halnya dengan isi putusan praperadilan, yang tercantum dalam pasal 82 ayat 2 dan ayat 3 KUHAP.Dalam ayat 2 disebutkan bahwa putusan hakim adalah acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagai mana dimaksud dalam pasal 79, pasal 80 dan pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya. Selanjutnya ayat 3 menyebutkan bahwa isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 juga memuat hal-hal sebagai berikut: dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masingmasing harus membebaskan tersangka; dalam hal putusan menetapkan bahwa suatau penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan; dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalm hal suatu penghentian penyidikan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasi. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita Melihat ketentuan mengenai isi putusan praperadilan sebagaimana tersebut dalam pasal 82 ayat 2 dan ayat 3 nampaklah bahwa putusan praperadilan merupakan putusan yang bersifat declaratoir, yang pada dasarnya merupakan suatu putusan yang menegaskan bahwa seorang mempunyai hak.10 Wirjono prodjodikoro menyebutkan bahwa putusan yang bersifat declaratoir yaitu apabila putusan yang diminta itu, mempunyai akibat hukum. Misalnya dua orang suami istri mohon, supaya hakim menetapkan seorang anak sebagai anak yang sah, bahwa surat hibah wasiat ( testament ) dari yang meninggal adalah sah. Meskipun putusan hakim seperti ini juga bersifat declaratoir artinya menentukan sifat suatu keadaan dengan tidak mengandung perintah kepada suatu pihak untuk 10 Ratna Nurul Afiah, Praperadilan Dan Ruang Lingkupnya, Akademika Presindo, Jakarta, 1986, hal. 94 11 berbuat ini atau itu, tetapi pemohon terang mempunyai kepentingan atas adanya putusan ini, oleh karena ada akibat hukum yang nyata dan penting dari putusan ini.11 Permohonan praperadilan adalah hak dari pihak-pihak yang merasa dirugikan. Oleh karena hak, maka untuk itu harus ada permohonan dari pihak yang berkepentingan, sekalipun ada penangkapan, penahanan atau penetapan tersangka yang nyata-nyata tidak sah misalnya, pemeriksaan praperadilan tidak secara langsung akan diadakan tanpa ada permintaan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan karena tindakan itu. Suatu hal yang penting yang perlu diperhatikan adalah bagaimana permohonan praperadilan itu diajukan atau dengan kata lain bagaimana cara mengajukan permohonan praperadilan. Sebab mungkin-mungkin saja seseorang mengetahui atau bahkan merasa mempunyai hak untuk mengajukan permohonan praperadilan, tetapi karena tidak mengerti tata cara pengajuan permohonan praperadilan, seseorang tidak jarang hanya diam tidak menggunakan haknya ataupun bila menggunakan tersebut terpaksa harus tidak diterima permohonannya karena tidak memenuhi ketentuan formil, ataupun permohonannya gugur demi hukum. Selanjutnya untuk mengetahui tata cara pengajuan permohonan praperadilan, beberapa ketentuan dalam undang-undang yang perlu diperhatikan adalah : a. Permohonan ditujukan ke ketua Pengadilan Negeri. Semua permohonan yang hendak diajukan untuk diperiksa oleh Praperadilan ditujukan kepada ketua pengadilan negeri yang meliputi daerah hukum tempat dimana penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan itu lakukan.Atau diajukan kepada ketua pengadilan negeri dimana penyidik atau penuntut umum yang menghentikan penyidikan dan penuntutan berkedudukan. b. Pihak-pihak yang berhak mengajukan permohonan praperadilan, Seperti yang sudah penulis bahas diatas bahwa sebelum mengajukan Praperadilan harus dipahami terlebih dahulu siapa saja pihak yang berhak mengajukan permohonan praperadilan. c. Harus diperhatikan tahap-tahap atau tingkat pemeriksaan, Pemeriksaan dalam praperadilan diperiksa oleh hakim tunggal.Semua permohonan yang diajukan kepada praperadilan, diperiksa dan diputus oleh seorang hakim tunggal. Hal ini ditegaskan dal pasal 78 ayat (2) yang 11 R. Wirjono Prodjodikoro, hukum Acara Perdata di Indonesia , Sumur Bandung, Bandung, 1982, hal. 126 12 berbunyi : “Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang panitera”. d. Harus diperhatikan tenggang waktu, Tenggang waktu disini ialah mulai dari pemeriksaan sampai dijatuhkannya putusan, hal tersebut diatur dalam pasal 82 ayat (1) yang berbunyi : (1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk sebagaiman dimaksud dalam pasal 79, pasal 80, dan pasal 81 ditentukan sebagai berikut: a. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan , hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang; b. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang; c. pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambatlambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya; d. dalam hal suatu perkara sudah mulai. diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur; e. putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan, praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru. e. Harus memuat dasar-dasar dan alasan hukum yang kuat. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 82 ayat (2) yang menyatakan bahwa Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya. Jelas bahwa semua putusan hakim harus mempunyai dasar hukum agar mempunyai kekuatan hukum tetap. 2.2 Praperadilan Terhadap Penetapan Tersangka Yang Tidak Sah Pada dasarnya setiap upaya paksa ( enforcement ) dalam penegakan hukum mengandung nilai HAM yang sangat asasi. Oleh karena itu harus dilindungi 13 dengan seksama dan hati-hati, sehingga perampasan atasnya harus sesuai dengan acara yang berlaku. Yang harus kita pahami terlebih dahulu disini ialah apa yang dimaksud dengan tersangka dan juga penetapan tersangka itu sendiri, apakah keduanya ini sama atau berbeda, untuk menjawab pertanyaan tersebut mari kita lihat dalam KUHAP pasal 1 angka 14 yang menyebutkan bahwa tersangka adalah yang karena perbuatannya atau keadaanya berdasarka bukti permulaan yang cukum patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Dari bunyi pasal tersebut bisa kita lihat bahwa tersangka merupakan seorang yang diduga melakukan tindak pidana yang mana belum tentu tersangka tersebut melakukan tindak pidana, karena untuk mengetahui apakah perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana harus melalui proses penyelidikan dan penyidikan. Penetapan tersangka merupakan suatu bentuk wewenang yang dimiliki penegak hukum untuk memberikan titel kepada orang yang disangkakan dengan nama tersangka, terhadap suatu penetapan tersangka belum ada perampasan hak terhadap seseorang sebagaimana dimaksud dalam pasal 77, selama KUHAP belum diubah maka ketentuan didalamnya tetap berlaku. Ada keberatan terhadap suatu penetapan tersangka yang diajukan ke lembaga Praperdilan dengan alasan keputusan dilakukan oleh pejabat yang tidak sah, maka tidak dapat diajukan Praperadilan. Demikian pula dengan kurangnya bukti atas suatu penetapan tersangka bukan merupakan kompetensi Praperadilan, melainkan harus melalui proses peradilan perkara pokok dan dalam pembuktian materiil, yang berwenang menentukan cukup atau tidaknya bukti permulaan adalah penyelidiknya, dan penetapan tersangka juga didasarkan pada alat bukti permulaan. Penetapan tersangka yang diajukan ke lembaga praperadilan dengan alasan adanya upaya paksa berupa pencegahan, tidak dapat menjadi objek praperadilan karena pencegahan bukanlah termasuk upaya paksa sebagaiman dimaksud pada pasal 77 KUHAP.Jika ada yang mengatakan bahwa penetapan tersangka dapat menjadi objek kewenangan praperadilan karena telah dilakukan upaya paksa, maka yang dinyatakan tidak sah adalah upaya paksanya. Kendati praperadilan berdasarkan pasal 77 KUHAP adalah pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang. Praperadilan sama sekali tidak berkenaan dengan sah tidaknya penetapan tersangka yang dilakukan oleh penyidik, sementara penyidik itu sendiri berkenaan dengan hak asasi manusia agar dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka tidak sewenang-wenang. Perlindungan hak asasi manusia merupakan istilah yang sangat luas maknanya.Undang-undang hak asasi manusia tidak memberikan penafsiran lengkap terhadap istilah perlindungan tersebut.Penjelasan undang-undang tentang hak asasi manusia, khususnya penjelasan pasal 8 hanya menyatakan “yang dimaksud dengan perlindungan” adalah termasuk pembelaan hak asasi manusia. 14 Pada prinsipnya tujuan utama kelembagaan praperadilan dalam KUHAP, untuk melaksanakan “pengawasan horizontal” atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selam ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan ini tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undan-undang. sehubungan dengan tindakan upaya paksa yang dilakukanpejabat penyidik baik penyidik POLRI maupun penyidik KPK atau penuntut umum terhadap tersangka. KUHAP sudah dengan jelas mengatur, bersumber dari pasal-pasal dimaksudkan kewenangan praperadilan. Akan tetapi, ada lagi kewenangan lain yakni memeriksa dan memutus tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 95 dan 97 KUHAP. Wewenang pertama yang diberikan undang-undang kepada praperadilan memeriksa dan memutus sah atau tidaknya : Seorang tersangka yang dikenakan tindakan penangkapan, penahanan,penggeledahan atau penyitaan, dapat meminta kepada praperadilan untuk memriksa sah atau tidaknya tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya. Tersangka dapat mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan, bahwa tindakan penahan yang dikenakan pejabat penyidik bertentangan dengan ketentuan pasal 21 KUHAP, atau penahanan yang dikeankan sudah melampaui bats waktu yang ditentukan dalam pasal 24 mengenai syarat penahanan. Ruang lingkup kewenangan praperadilan ialah memriksa dan memutus dan memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan pejabat penyidik maupun tentang sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan penuntut umum. Asas mendasar yang ada pada Hukum Acara Pidana adalah asas praduga tak bersalah.Asas praduga tak bersalah diwujudkan dalam bentuk adanya sejumlah hak bagi tersangka/terdakwa. Proses dan prosedur dalam penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dimuka sidang pengadilan diantaranya diabdikan untuk melindungi, memenuhi, dan mewujudkan hak-hak tersangka/terdakwa tersebut. Dengan cara demikian itulah perlakuan terhadap tersangka/terdakwa tentang dugaan kebersalahannya atas suatu tindak pidana berada dalam tataran yang wajar. Asas praduga tak bersalah bukan berarti menganggap seseorang tidak bersalah, sampai dengan pengadilan menyatakan yang bersangkutan bersalah karena suatau tindak pidana, tetapi sebenarnya merupakan mekanisme yang digunakan sebelum seseorang dinyatakan bersalah oleh pengadilan, yakni yang bersangkutan mempunyai hak-hak untuk berlaku seperti orang pada umumnya.Dengan adanya hak-hak tersebut maka pada dasarnya terdapat larangan bagi aparatur sistem peradilan pidana untuk berpraduga bersalah terhadap tersangka/terdakwa. 15 Pada sisi lain peluang menggunakan hak-hak dimaksud semakin menurun menyesuaikan dengan tingkat-tingkat pemerisaan perkara dan berakhir ketika yang bersangkutan dijatuhi vonis bersalah melakukan tindakan pidana. Penetapan seorang sebagai tersangka mengacu pada bukti permulaan yang cukup yang mana bukti permulaan yang cukup ialah minimal 2 alat bukti. Selain itu terkait dengan definisi penyidikan dan tersangka, secara teoritik ada perbedaan antara menetapkan tersangka dan menemukan tersangka. Dalam hal ini proses penetapan seorang sebagai tersangka adalah suatu penilaian yuridis, terhadap bukti yang telah ditemukan dan dihimpun oleh penyidik. Sedangkan menemukan tersangka lebih pada didapatinya secara fisik seorang yang melakukan tindak pidana itu.Hal ini patut dipertanyakan, apakah menemukan tersangka itu adalah definisi kewenangan penyidik, yang boleh dilakukan dan boleh juga tidak dilakukan. Persoalan lain adanya kalimat “dan menemukan tersangkanya” dalam pasal 1 angka 2 KUHAP, juga mengandung bahaya, yaitu seolah-olah penyidikan harus sampai dengan adanya penetapan seorang sebagai tersangka. Dengan kata lain, setelah adanya surat perintah penyidikan (sprindik), penyidik harus dapat menemukan tersangka. Apabila hak-hak seorang dilanggar yang mana hal tersebut dilakukan oleh penyidik dengan menetapakan orang tersebut sebagai tersangka dari suatu tindak pidana, dan orang tersebut merasa keberatan oleh penetapan yang dilakukan oleh penyidik maka orang tersebut bisa meminta agar di adakan praperadilan, karena penetapan tersangka adalah bagian dari penyidikan, yang oleh pasal 1 angka 2 KUHAP diberi pengertian sebagai,”… serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi serta guna menemukan tersangkanya”. Dengan demikian, penetapan tersangka adalah ujung dari tindakan penyidik sebelumnya, yaitu setelah penyidik berdasarkan bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan memperoleh kejelasan akan tindka pidana yang terjadi. Status tersangka sendiri pada dasarnya merupakan hal yang tidak diinginkan oleh setiap orang. Karena ini adalah awal dari stigma negative yang mungkin muncul dari suatu proses peradilan pidana. Oleh Karena itu maka penentutan status seseorang sebagai tersangka menjadi hal yang penting untuk dilakukan secara hati-hati dan juga harus diawasi dengan seksama. 16 BAB III PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI 3.1. a) b) c) d) e) 1) 2) 3) Hak-Hak Tersangka Menurut Undang-Undang Hak adalah kepentingan yang dilindungi hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan dipenuhi.Kepentingan pada hakikatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya.12Secara normatife sebenarnya KUHAP telah mengakomodasi hak-hak tersangka dan terdakwa.Jika dalam praktek dikeluhkan sering dilanggar hak-hak tersangka dan terdakwa, persoalanya lebih terletak pada masalah penegakan hak-hak tersangka/terdakwa dan selebihnya bergantung pada apartur pelaksana KUHAP.13 Ketika seorang individu ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa dalam suatu perkara tindak pidana, maka individu tersebut pada hakikatnya berhadapan dengan Negara.Jika individu itu adalah warga Negara dari Negara yang bersangkutan, maka pada hakikatnya dia berhadapan dengan negaranya sendiri.Akan tetapi Negara hanya boleh melakukan tindakan terhadap individu yang diduga melakukan suatu tindak pidana berdasarkan batas-batas yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam KUHAP pasal 1 ayat 14 di jelaskan bahwa tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, seperti yang sudah penulis bahas di atas, bahwa bukti permulaan yang cukup ialah minimal adanya dua alat bukti, dalam pasal 184 yang berbunyi “ alat bukti yang sah ialah : Keterangan saksi Keterangan ahli Surat Petunjuk Ketrangan terdakwa. Selanjutnya pasal 185 berbunyi keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di siding pengadilan. keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktika bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatannya yang didakwakan kepadanya. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. 12 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007, hal 43. 13 Ai Wisnubroto, G. Widiartana, op cit,hal 51. 17 4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya bsatu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. 5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. 6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan : a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu; d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterngan itu dipercaya. 7) Keterangan dari saksi yang tidak dapat disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesui dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah lain. Tersangka dan terdakwa pada dasarnya mempunyai hak yang sama di mata hukum, akan tetapi tersangka dan terdakwa mempunyai hak-hak lain yang mana hak-hak tersebut telah diatur dlam Undang-Undang, hak yang pertama ialah hak untuk mengajukan banding. Dasar hukum bagi hak pengajuan banding secara umum diatur dalam pasal 67 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut : “ Tersangka atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap ptutusan bebas,lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara tepat”. Jadi pada prinsipnya, asalkan putusan itu tidak mengandung pembebasan atau lepas dari segala tuntutan hukum dan tidak dalam rangka pemeriksaan acar cepat, dapat dimintakan banding.14 Hak lain yang diperoleh tersangkah ialah hak untuk menuntuk ganti kerugian, istilah ganti kerugian merupakan istilah hukum perdata yang timbul sebagai akibat “ wanprestasi” dalam perikatan, baik karena perjanjian maupun karena undnag-undang.15 Sedangkan dalam KUHAP, pengertian ganti kerugian ialah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena 14 Mangasa Sidabutar, Hak Terdakwa Terpidana Penuntut Umum Menenmpuh Upaya Hukum , Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 33. 15 Leden Marpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian Dan Rehabilitasi Dalam Hukum Pidana , Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1997, hal 3. 18 kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Hal ini sesuai dengan pasal 68 jo pasal 95 ayat (1) jo pasal 97 ayat (1) yang berbunyi “ Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdaasrkan undnag-undang atau karena kekeliruan yang berdasarkan undang-undang atau mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.” Hak untuk mendapatkan bantuan hukum juga merupakan salah satu hak yang diteriam oleh tersangka atau terdakwa, dalam KUHAP pasal 69 sampai dengan pasal 74 diatur bantuan hukum, dimana tersangka/terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas.16Ini berarti bahwa, oleh karena hanya merupakan hak, mendapatkan bantuan hukum masih tergantung kepada kemauan tersangka atau terdakwa.Dia dapat mempergunakan hak tersebut, tapi bisa juga tidak mempergunakan hak itu.Konsekuensinya, tanpa didampingi oleh penasihat hukum, tidak menghalangi jalanya pemeriksaan tersangka atau terdakwa.17 Hak tersangka lainnya adalah hak keberatan atas perpanjangan penahanan ketentuan ini berdasarkan pasal 29 ayat 7 KUHAP yang berbunyai : “ terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat 2 tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat : a. penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi; b. pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada ketua mhkamah agung.” Hak untuk mengajukan keberatan atau eksepsi terhadap surat dakwaan jaksa penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukumnya dapat mengajukan keberatan atau eksepsi. Keberatan atau eksepsi dari terdakwa atau penasehat hukumnya dapat menyangkut kewenangan mengadili atau mengenai sah tidaknya surat dakwaan dengan tujuan agar pengadilan memutus dengan putusan sela. Jika keberatan terdakwa diterima maka pemeriksaan terhadap terdakwa tidak dilanjutkan, sebaliknya jika ditolak, pemeriksaan dilanjutkan dengan proses pembuktian. Hak tersangka/terdakwa yang selanjutnya ialah Hak untuk melakukan pembelaan. Untuk kepentingan mempersiapkan pembelaan tersangka atau terdakwa, undang-undang menentukan beberapa pasal (Pasal 51 sampai dengan Pasal 57), yang dapat dirinci: a. Berhak diberitahukan dengan jelas dan dengan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan padanya. 16 Mohammad Taufik Makarao, Suharsil, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 8 17 Ibid, hlm. 13-14 19 b. Hak yang demikian dilakukan pada waktu pemeriksaan mulai dilakukan tehadap tersangka. c. Terdakwa juga berhak diberitahukan dengan jelas dan dengan bahasa yang dapat dimengerti tentang apa yang didakwakan kepadanya.. d. Berhak memberi keterangan dengan bebas dalam segala tingkat pemeriksaan, mulai dari tingkat pemeriksan penyidik dan pemeriksaan sidang pengadilan. e. Berhak mendapat juru bahasa f. Berhak mendapat bantuan hukum. g. Berhak secara bebas memilih penasihat hukum.18 Hak-hak yang diberikan oleh KUHAP tersebut diatas bukan kepada tersangka/terdakwa sebagai pelanggar hukum tetapi sebagai “manusia” yang mempunyai hak dan kewajiban, manusia sebagai obyek dan subyek anggota masyarakat. Jika seorang tersangka/terdakwa yang diperiksa karena kebenaran material sungguh-sungguh adalah pelaku suatu delik, maka merupakan suatu resiko perbuatannya sendiri yang melanggar hukum itu.Tetapi tersangka/terdakwa belum tentu sungguh-sungguh bersalah seperti yang dilaporkan, diadukan atau didakwakan. Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan hakim yang tetap bahwa ia bersalah (presumption of innocence).19 3.2. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memasukan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan sebagai berikut : 1. Menimbang bahwa permasalahan utama pemohon adalah pengujian konstitusionalitas pasal 1 angka 2, pasal 1 angka 14, pasal 21 ayat (1), pasal 77 huruf a, dan pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembarang Negara Republik Indonesia Nomor 3209, selanjutnya disebut KUHAP) yang menyatakan: Pasal 1 angka 2 KUHAP: “penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam undnag-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya” Pasal 1 angka 14 KUHAP: “tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaanya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana” 18 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhap Penyidikan dan Penuntutan, edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 332334. 19 Andi Hamzah. Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.Binacipta. Bandung. 1986. Hal. 32 20 Pasal 17 KUAP: “perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup” Pasal 21 ayat (1) KUHAP: “perintah penahan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersagnka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana” Pasal 77 KUHAP: “pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: (a) sah atau tidakn ya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan” Pasal 156 ayat (2): “jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan” Terhadap undang-undnag dasar negara republik indonesia tahun 1945 selanjutnya disebut UUD 1945, yaitu: Pasal 1 ayat (3) UUD 1945: “Negara Indonesia adalah negara hukum” Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: “setiap warga negara berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum” Pasal 28I ayat (5) UUD 1945: “Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai denga prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan” Pasal 28J ayat (2) UUD 1945: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pemabatasan yang ditetapkan denga undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan perimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. 2. Menimbang bahwa terhadap pengujian frasa “dan guna menemukan tersangkanya” dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP bertentangan dengan dengan pasal 1 ayat (3) dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Koonstitusi mempertimbangkan sebagai berikut: 21 Bahwa pasal 1 ayat (2) KUHAP termasuk dalam Bab I pasal 1 ketentuan umum yang mengatur tentang pengertian penyidikan yang menyatakan, “penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undnag-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Adapun frasa “dan guna menemukan tersangknya” harus ditafsirkan bersyarat seperti yang didalilkan oleh pemohon, menurut mahkamah , sebernarnya sudah dipenuhi oleh pasal tersebut, yaitu penyidik dalam rangkaian tindakan penyidikan melakukan suatu proses pengumpulan bukti yang dengan bukti tersebut kemudian penyidik menemukan tersangka dalm satu tindak pidana sehingga tidak serta merta penyidik menemukanj tersangka sebelum melakukan pengumpulan bukti sebagaimana ditentukan dalam pasal a quo. Pasal 1 angka 2 KUHAP mengatur bagaimana penyidik menemukan tersangka sehinggga pasal tersebut sudah jelas dan tidak perlu ditafsirkan. 3. Menimbang terhadap dalil pemohon bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan pasal 28I ayat (5) UUD 1945 apabila tidak dimaknai mencakup sah atau tidak sahnya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat, Mahkamah Konstitusi berpendapat: a. Mengenai penetapan tersangka, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: - Dalam negara hukum, asas due process of law sebagai salah satu perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi lembaga penegak hukum. Perwujudan penghargaan hak asasi tersebut terlaksana dengan memberikan posisi yang seimbang berdasarkan kaidah hukum yang berlaku, termasuk dalam proses peradilan pidana, khususnya bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam mempertahankan haknya secara seimbang. Oleh karena itu, negara terutama pemerintah berkewajiban umtuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan terhadap HAM. KUHAP sebagaim hukum formil dalam proses peradilan pidana di indonesia telah merumuskan sejumlah hak tersangka/terdakwa seabagai pelindunmg terhadap kemungkinan pelanggaran hakasasi manusia. - Penegakan hukum harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku juga berdasarkan pancasila dan udnag-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945. Hukum tersebut harus ditegaskan demi terciptanya tujuan dan cita-cita bangsa indonesia sebagaimana yang dirumuskan pada alinea keempat, yaitu, membentuk suatu pemerintahan negara indonesia yang melindungi segenap bangsa 22 indonesia dan seluruh tumpah darah indonesai dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdsarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Rakyat indonesia harus merasa aman dari berbagai ancaman dan bahaya yang datang, rasa aman yang diberikan oleh negara kepada rakyat tidak hanya ditunjukan bagi mereka yang benar saja, akan tetapi bagi mereka yang diduga melakukan kesalahan juga berhak memperoleh jaminan rasa aman terhadap diri mereka. - Bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu yang krusial dan problematik dalm kehidupan msayrakat indonesia. Upaya paksa pada masa itu secara konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan, namun pada masa sekarang bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah “penetapan tersangka oleh penyidik” yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas, sehingga seseorang tersebut dipaksa oleh negara untuk menerima status tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan upaya hukum untuk menguji legalitas dan kemurnian tujuan dari penetapan tersangka tersebut. Dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi diatas maka diputuskan sebagai berikut: AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan: 1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian; 1.1. Frasa “bukti permulaaan”,”bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 angka 14, pasal 17, dan pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan undang-undang dasar Negara republic Indonesia tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184 undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana; 1.2. Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 angka 14, pasal 17, dan pasal 21 ayat (1) undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 23 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184 undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana; 1.3. Pasal 77 huruf a undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan undang-undang dasar Negara republik Indonesia tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan; 1.4. Pasal 77 huruf a undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan; 2. Menolak pemohonan pemohon untuk selain dan selebihnya; 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara republik Indonesia sebagaimana mestinya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh Sembilan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva selaku ketua merangkap anggota, Arief Hidayat, Anwar Usman, Muhammad Alim, Wahiduddin Adams, Ahmad fadil Sumadi, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, dan Aswanto, masing-masing sebagai anggota, pada hari selasa, tanggal dua puluh delapan, bulan oktober, tahun dua ribu empat belas dan Sembilan hakim konstitusi yaitu arief hidayat selaku ketua merangkap anggota, anwar usman, Muhammad alim, wahiduddin adams, maria farida indrati, patrialis akbar, aswanto, I dewa gede palguna, dan suhartoyo, masing-masing sebagai anggota, pada hari senin, tanggal enam belas, bulan maret, tahun dua ribu lima belas, serta diucapkan sidang pleno mahkamah konstitusi terbuka untuk umum pada hari selasa, tanggal dua puluh delapan, bulan april, tahun dua ribu lima belas, selesai di ucapkan pukul 10.57 WIB, oleh tujuh hakim konstitusi yaitu arief hidayat, selaku ketua merangkap anggota, anwar usman, wahiduddin adams, suhartoyo, maria farida indrati, patrialis akbar, dan I dewa gede palguna, masing-masing sebagai anggota, denga didampingi oleh chalid nasir sebagi panitera pengganti, dihadiri oleh pemohon/kuasanya, presiden atau yang mewakili, dan dewan perwakilan rakyat atau yang mewakili. Terhadap putusan mahkamah mengenai “penetapan tersangka”, terdapat satu orang hakim konstitusi yang memiliki alasan berbeda ( concurring opinion ) dan tiga orang hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda ( dissenting opinion ). 24 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Seperti yang sudah tertulis dalam pasal 82 ayat 3 bahwa putusan praperadilan. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus membebaskan tersangka;dalam hal putusan menetapkan bahwa suatau penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalm hal suatu penghentian penyidikan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasi.Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita. 2. Seperti kita ketahui bersama bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di inodnesia, yang mana salah satu tugasnya adalah menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar yang sering kita sebut judicial review. Judicial review ini dilakukan untuk melindungi hak warga Negara yang merasa dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang. Dalam kasus ini yang menjadi perhatian penulis adalah judicial review terhadap pasal 77 KUHAP yang mana dalam pasal tersebut dirasa merugikan seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik, karena pasal tersebut tidak mengatur penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Sedangkan dalam pasal 28D ayat (1) UUD mengatakansetiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dari bunyi pasal tersebut pasal 77 KUHAP dianggap bertentangan denga pasal 28D ayat (1) tersebut, oleh karena itu demi tercapainya keadilan dan tidak melanggar Hak Asasi Manusia maka apa yang dilakukan Mahkamah Konstitusi dalam memasukan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dirasa cukup benar. 25 4.2 Saran 1. Sebagai saran atas kesimpulan diatas maka penyidik sebagai aparat penegak hukum tidak boleh bertindak semena-mena dengan menetapkan orang sebagai tersangka, karena hukum pidana Indonesia mengenal asas praduga tak bersalah, yang mana asas tersebut berarti bahwa setiap orang tidak boleh dinyatakan bersalah sebelum ada putusan hakim yang bersifat tetap. Untuk melindungi hak-hak tersangka pemerintah harus segera membuat undang-undang hukum acara pidana yang baru, karena hukum acara pidana yang sekarang dirasa sudah tidak cocok dengan masyarakat Indonesia. 2. Pemerintah harus secepatnya merevisi KUHAP karena memang KUHAP ini sudah tidak relevan lagi, banyak pasal yang harus direvisi karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Supaya dikemudian hari tidak ada lagi masyarakat yang merasa dirugikan dengan berlakunya Undang-Undang ini. 26 DAFTAR PUSTAKA BUKU Ai. Wisnubroto, G. Widiartana, PembaharuanHukumAcaraPidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. AndiHamzah. PerlindunganHak-HakAsasiManusiadalamKitabUndangUndangHukumAcaraPidana. Binacipta. Bandung. 1986 Fatkhurohman. Dian Aminudin. Sirajuddin, MemahamiKeberadaanMahkamahKonstitusi Di Indonesia , Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004 HariSasangka, “ Penyidikan, Penahanan,Penuntutan, danPraperadilanDalamTeori Dan Praktek,MandarMaju, Bandung, 2007Jimly Asshiddiqie, HukumAcaraPengujianUndang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006. Johnny Ibrahim, TeoridanMetodePenelitianHukumNormatif, publishing, Malang, 2005. Bayumedia LedenMarpaung, Proses TuntutanGantiKerugian Dan RehabilitasiDalamHukumPidana,RajagrafindoPersada, Jakarta, 1997. LilikMulyadi, Putusan Hakim DalamAcaraPidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,2007 MangasaSidabutar, HakTerdakwaTerpidanaPenuntutUmumMenenmpuhUpayaHukum,Rajagraf indoPersada, Jakarta, 2001. Moh. Mahfud MD,MembangunPolitikHukumMenegakkanKonstitusi, Jakarta,RajawaliPers, 2010 Mohammad TaufikMakarao, Suharsil, HukumAcaraPidanaDalamTeori Dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004. M. YahyaHarahap, PembahasanPermasalahan Dan Penerapan KUHAP PemeriksaanSidangPengadilan, Banding, Kasasi, danPeninjauanKembali, SinarGrafika, Jakarta, 2000. -------------------, PembahasanPermasalahan PenerapanKuhapPenyidikandanPenuntutan, edisikedua, Jakarta, 2009 Dan SinarGrafika, Patra M. Zen et al, PanduanBantuanHukum Di Indonesia, Edisi II, YayasanObor Indonesia, Jakarta, 2009. 27 R. WirjonoProdjodikoro, hukumAcaraPerdata di Indonesia ,Sumur Bandung, Bandung, 1982. -------------------, HukumAcaraPidana Di Indonesia ,Sumur Bandung, Bandung, 1983. RatnaNurulAfiah, Praperadilan Dan RuangLingkupnya, AkademikaPresindo, Jakarta, 1986 RonyHanitijoSoemitro, MetodologiPenelitianHukumdanJurimetri,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. S. Tanusubroto, PerananPraperdailanDalamHukumAcaraPidana, Bandung, 1983. Alumni, SoerjonoSoekantodan Sri Mamudji, PenelitianHukumNormatif, SuatuTinjauanSingkat, Raja GrafindoPersada, Jakarta, 1994. Subektidan R. Tjitrosoedibio, KamusHukum, PradyaParamita, Jakarta,1979. SudiknoMertokusumo, MengenalHukumSuatuPengantar, UniversitasAtma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010 W.J.S. Poerwadarminta, KamusUmumBahasa Indonesia, BalaiPustaka, Jakarta, 1976. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undnag-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 KitabUndang-UndangHukumPidana Undang-UndangNomor 8 Tahun 1981 TentangHukumAcaraPidana Undang-UndangNomor 16 Tahun 2004 TentangKekuasaanKehakiman Undang-UndangNomor 8 Tahun 2011 TentangMahkamahKonstitusi Undang-UndangNomor 39 Tahun 1999 TentangHakAsasiManusia Undang-UndangNomor 30 TentangKomisiPemberantasanTindakPidanaKorupsi Tahun PP Nomor 27 Tahun 1983 TentangPelaksanaanHukumAcaraPidana 2002