jurnal ilmiah tinjauan yuridis mengenai penetapan tersangka

advertisement
1
JURNAL ILMIAH
TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENETAPAN
TERSANGKA SEBAGAI OBJEK DALAM PRAPERADILAN
OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI
DisusunOleh :
AHMAD ARDY EFFENDY
NIM : 02111032
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NAROTAMA
SURABAYA
2015
2
DAFTAR ISI
BAB I :PENDAHULUAN
1.1. Permasalahan : Latar Belakang dan Rumusan …………...….………...1
1.2. Penjelasan Judul…………………..…………………………...……... 6
1.3. Alasan Pemilihan Judul……………………..……….…………...…… 7
1.4. Tujuan Penulisan……………..……………...………….…...…...……7
1.5. Manfaat Penulisan………..………………….………………………... 7
1.6. Metode Penelitian…………………...………………………………… 7
1.7. Teknik Pengumpulan Data…………………...……………………… 10
1.8. Teknik Analisa Data……………………...………………………….. 10
1.9. Pertanggungjawaban sistematika……………...…………………….. 10
BAB II : PRAPERADILAN DAN AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL
2.1. Akibat Hukum Putusan Praperadilan ……...………………...……... 24
2.2. Praperadilan Terhadap Penetapan Tersangka Yang Tidak Sah ...…… 32
BAB III : PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN
OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI
3.1. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi ……………………………… 51
BAB IV : PENUTUP
4.1. Kesimpulan ……………………………………………………….... 67
4.2. Saran ……………………………………………………………….. 69
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Permasalahan: Latar belakang dan Rumusan
Praperadilan adalah suatu hal yang wajar dan tidak perlu ditakuti sepanjang
proses penyidikan dan upaya paksa yang dilakukan didasarkan pada aturan yang
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tenatang Hukum Acara
Pidana yang selanjutnya disebut ( KUHAP ). Tidak semua putusan Praperadilan
dimenangkan oleh tersangka atau pihak yang mengajukan. Didalam proses sidang
Praperadilan tentunyaakan mempertimbangkan fakta baik secara yuridis maupun
fakta materiil.
Praperadilan sendiri merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di
Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum.Praperadilan bukan lembaga yang
berdiri sendiri. Pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan
dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang
merupakan suatu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan. Tahapan dalam
proses peradilan pidana tersebut merupakan suatu rangkaian, dimana tahap yang
satu mempengaruhi tahapan yang lain. Rangkaian dalam proses peradilan pidana
di Indonesia meliputi tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Praperadilan merupakan wewenang pengadilan Negeri untuk memeriksa
dan memutus cara yang di atur dalam undang-undang hukum acara pidana,
tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. Hal ini dapat
dilihat dengan adanya peraturan yang mengatur Praperadilan sebagaimana diatur
dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP. Praperadilan hanya merupakan
suatu tambahan wewenang yang dimiliki oleh pengadilan negeri, yang berfungsi
untuk memeriksa keabsahan dari suatu proses penanganan perkara, artinya adalah
yang diperiksa dalam praperadilan bukanlah mengenai pokok dari suatu perkara.
Sebagaimana diatur dalam KUHAP khususnya Pasal 77 tentang Praperadilan,
dimana dinyatakan bahwa :
“ Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini tentang :
a) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
b) Ganti rugi dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
Kehadiran lembaga Praperadilan memberi peringatan agar penegak hukum
harus hati-hati dalam melakukan tindakan-tindakan hukumnya dan setiap
tindakan hukum harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku
4
dalam artiia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan
sewenang-wenang.1
Dengan demikian jelas bahwa penyelenggara Praperdilan bukanlah tugas
yang ringan mengingat, kegiatan alat Negara penegak hukum yang satu untuk
menilai dan menguji pola pekerjaan alat penegak hukum yang lain pasti
merupakan pekerjaan yang harus dilakukan dengan cermat dan menguasai seluruh
mekanisme penegak hukum.
Akan tetapi dalam Praperadilan hakim harus mempunyai kriteria dalam
memutuskan sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan:
penangkapan dan/atau penahanan harus didasarkan pada tujuan yang telah
ditentukan dalam KUHAP. Pasal 16 KUHAP menentukan bahwa penangkapan
hanya dapat dilakukan “ untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah
penyidik berwenang melakukan penangkapan. Sedangkan dalam Pasal 20
KUHAP menentukan bahwa penahanan hanya dapat dilakukan” untuk
kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik
sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 berhak melakukan penahanan.
penangkapanharusmemiliki dasar hukum dalam undang-undang yang
berlaku, terutama dasar hukum kewenangan pejabat yang melakukan
penangkapan tersebut. Dalam penyidikan, pada dasarnya penahanan merupakan
kewenangan Polisi Republik Indonesia( pasal 6 ayat (1) huruf a jo pasal 7 ayat (1)
huruf d KUHAP). Sementara itu, penyidik pegawai negeri sipil lainnya (pasal 6
ayat (1) huruf b KUHAP) umumnya tidak diberikan kewenangan penahanan.
Namun demikian, dengan ketentuan yang bersifat khusus ( lex specialis ),
ketentuan umum ini disampingi, sehingga penyidik kejaksaan yang terakhir
berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia dan penyidik Komisi Pemberantasa Korupsi berdasarkan Undangundang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, mempunyai
kewenangan melakukan penahanan. Khusus berkenaan dengan penahanan oleh
penyidik KPK dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kewenangan
melakukan penahanan secara langsung (Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang No. 30
Tahun 2002) dan kewenangan penahanan secara tidak langsung, yaitu melalui
bantuan kepolisian dan institusi terkait (pasal 12 huruf I Undang-Undang No. 30
Tahun 2002).
Melihat Pasal 77 huruf a, jelas bahwa dalam pemeriksaan Praperadilan,
pengadilan negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus sah atau
tidaknya penangkapan atau penahanan serta sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan.Kondisi ini menyebabkan hakim
Praperadilan hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus hal-hal tersebut
1
S. Tanusubroto, Peranan Praperdailan Dalam Hukum Acara Pidana,
Alumni, Bandung, 1983, hal.2.
5
saja.Akan tetapi dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang sealnjutnya
di sebut MK, dalam putusannya MK menyebutkan bahwa penetapan tersangka
termasuk sebagai objek Pradilan karena penetapan tersangka merupakan sebab
dari penyidikan dan penyelidikan.
Dalam hal ini putusan MK di anggap kontroversial dan memberatkan pihak
penyidik dan hal ini lebih menguntukan para tersangka, karena kuhap sendiri
tidak mengatur bahwa kasus pidana apa saja yang bisa di ajukan untuk
praperadilan, hal ini menyebabkan penyidik harus berhati-hati dalam menetapkan
seseorang sebagai tersangka.
Dalam proses peradilan pidana di Indonesia asas “praduga tidak bersalah”
merupakan salah satu asas yang sangat penting. Hakikat asas ini fundamental
sifatnya dalam hukum acara pidana. Ketentuana asas “praduga tidak bersalah”
eksistensinya tampak pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jis
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004,
dan penjelasan umum angka 3 huruf c KUHAP yang menentukan bahwa:
“setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap.”
Dalam praktik peradilan pengejawantahan asas ini terlihat bahwa selama
proses peradilan masih berjalan (pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan
mahkamah agung republikIndonesia ) dan belum memperoleh kekuatan hukum
tetap (inkracht van gewijsde), terdakwa belumlah dapat diklasifikasikan bersalah
dan pelaku dari tindak pidana.2
Atas dasar uraian tersebut diatas bisa kita ambil kesimpulan bahwa putusan
MK yang memasukan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan merupakan
temuan baru dalam bidang praperadilan.Oleh sebab itu penulisan ini dipilih judul
“ TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI
OBJEK DALAM PRAPERADILAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI”
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas maka dapat diambil 2
(dua) rumusan masalah yaitu :
1. Apa akibat hukum yang timbul dari putusan Praperadilan?
2
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Acara Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung,2007,hal. 8-9.
6
2. Apa pertimbangan Mahkamah Konstitusi memasukan penetapan tersangka
sebagai objek Praperadilan ?
1.2 Penjelasan Judul
Penulisan ini diberi judul “ TINJAUAN YURIDIS MENGENAI
PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK DALAM PRAPERADILAN
OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI.”
Secara etimologi Praperadilan merupakan gabungan dari dua susunan kata,
yaitu “pra” dan “peradilan”
Menurut W.J.S. Poerwadarminta dalam bukunya kamus besar bahasa
Indonesia tertulis.
“Pra” berarti pendahuluan atau sebelum, sedangkan “peradilan” berarti
segala sesuatu mengenai perkara peradilan.3
Menurut Prof. Subekti dan R. Tjitrosoedibio :
Yang dimaksud dengan “pengadilan” adalah badan yang melakukan
peradilan, yaitu memeriksa dan memutus sengketa hukum dan pelanggaran
hukum atau undang-undang.4
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa secara etimologi praperadilan
berarti tindakan memeriksa dan memutus sengketa dan atau pelanggaran hukum
atau undang-undang dari badan peradilan tentang peradilan pokok perkara.
Definisi tersangka menurut Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Tersangka adalah seseorang yang disangka sebagai pelaku dari suatu tindak
pidana.J.C.T. Simorangkir, cs dalam bukunya Kamus Hukum mengemukakan
bahwa :
“tersangka adalah seorang yang disangka telah melakukan suatu tindak pidana dan
ia masih dalam taraf pemeriksaan pendahuluan untuk dipertimbangkan, apakah
tersangka ini mempunyai cukup dasar untuk diperiksa dipersidangan”.
Sedangkan dalam Pasal 1 angka (4) KUHAP menyatakan bahwa :“tersangka
adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti
permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”
1.3 Alasan Pemilihan Judul
Karena status tersangka seseorang yang telah ditetapkan dan telah
disidangkan di Praperadilan masih belum jelas, dan hal tersebut mengakibatkan
ketidak pastian hokum, dan praperadilan mempunyai tugas menjaga ketertiban
pemeriksaan pendahuluan dan untuk melindungi tersangka dan terdakwa terhadap
tindakan penyidik atau penuntut umum. Jadi pada hakekatnya lembaga
3
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1976, hal. 16-17
4
Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, cetakan V, Pradya
Paramita, Jakarta,1979, hal. 91
7
praperadilan yang diatur dalam pasal 77 sampai dengan pasal 83 KUHAP adalah
untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak tersangka atau
terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan.
1.4 Tujuan penulisan
Dalam merumuskan tujuan penulisan saya berpegang pada rumusan masalah
yang ada. Adapun tujuan dari penulisan ini ialah:
1. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari putusan praperadilan.
2. Untuk mengetahui pertimbangan Mahkamah Konstitusi memasukan penetapan
tersangka sebagai objek praperadilan.
1.5 Manfaat Penulisan
1. Secara teoritis hasil penulisan ini merupakan sumbangan bagi perkembangan ilmu
pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang peradilan pidana. Dengan adanya
penulisan dapat membantu kita untuk lebih memperhatikan dan berusaha untuk
memberikan sumbangan pemikiran sesuai dengan kebenaran dan fakta yang
terjadi.
2. Secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi masyrakat dan
juga penulis mendapatkan pemahaman yang lebih mengenai praperadilan di
Indonesia.
1.6 Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil beberapa metode penelitian,
diantaranya sebagai berikut :
a. Jenis Penelitian
Dalam menyusun skripsi ini jenis penelitian yang digunakan adalah jenis
penelitian normative. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, menyatakan
bahwa “penelitian hukum normative adalah penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka”.5 Rony Hanitijo
Soemitro, menyatakan bahwa penelitian normative merupakan “penelitian hukum
kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder”.6 Penelitian normatif adalah
penelitian yang mengkaji hukum dengan norma. Dengan kata lain penelitian yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder lainnya yang
berkaitan dengan obyek penelitian.7
b. Pendekatan Penelitian
5
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 13
6
Rony Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990 hlm. 11
7
Ibrahim Johny, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif,
Bayumedia publishing, Malang, 2005, hlm. 33
8
Dalam Penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual
approach).
Pendekatan perundang-undangan (statue approach) yaitu pendekatan
dengan menggunakan legislasi dan regulasi. Karena yang diteliti adalah berbagai
peraturan yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian, dalam hal
ini adalah sebagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan obyek
penelitian.8
Pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu pendekatan yang
beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di
dalam ilmu hukum. Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide dengan
memberikan pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas hukum
yang relevan dengan permasalahan.9
c. Bahan Hukum
Tipe penelitian ini merupakan studi kepustakaan yaitu suatu metode
pengumpulan data yang dilakukan dengan berbagai macam literatur yang ada di
perpustakaan, buku-buku khusus pidana serta hukum acara pidana maupun teoriteori bantuan hukum yang secara spesifik dapat menjadi sumber masukan dalam
menyelsaikan masalah sebagai dasar teori untuk menunjang bobot dari isi
penulisan ini.
Bahan hukum yang digunakan dalam pembahasan dan penulisan ini adalah
data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum yang masih berlaku serta masih
berhubungan dengan topik yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. Adapun data
sekunder yang digunakan dalam penulisan ini meliputi:
1. Bahan hukum primer yaitu berupa peraturan yang sifatnyamengikat seperti :
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana,
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
- Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014
- Putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.
2. Bahan hukum sekunder yaitu data yang diperoleh dari buku, artikel, karya tulis,
serta dokumen-dokumen resmi yang ada.
8
Ibid, hlm. 300-322
9
Ibid., hlm. 306
9
3. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu kamus hukum,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan bahan-bahan dari internet yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti.
1.7 Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan, yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan
peraturan perundang-undangan, dokumen, data-data, dan literatur lainnya yang
ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.
1.8 Teknik Analisa Data
Langkah pembahasan dengan menggunakan metode penalaran yang bersifat
deduktif dalam arti berawal dari pengetahuan hukum yang bersifat umum yang
diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan literatur.Dari bahan hukum
yang diperoleh dari studi pustaka tersebut dikoreksikan dan untuk kemudian
dianalisa.
1.9 Pertanggung Jawaban Sistematika
Untuk mempermudah pembahasan proses analisis serta penjabaran isi dari
penulisan ini, maka diperlukan sistematika penulisan dengan membagi ke dalam
beberapa bab, antara lain sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam Bab pertama ini merupakan awal penulisan yang meliputi latar
belakang, rumusan masalah, penjelasan judul, tujuan penulisan, manfaat
penulisan, teknik pengumpulan dan pengolahan data, teknik analisis data dan
yang terakhir uraian pertanggung jawaban sistematika.
BAB II : PRAPERADILAN DAN AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL
Dalam BAB II ini penulis menjelaskan apa saja akibat yang akan timbul
nantinya setelah putusan praperadilan, baik akibat bagi termohon ataupun
pemohon dan juga akibat hukum bagi masyarakat Indonesia yang mana putusan
tersebut dianggap kontroversial oleh sebagaian masyarakat Indonesia. Disamping
itu juga dalam pembahasan bab ini di jadikan sebagai dasar untuk melanjutkan
penulisan di bab yang selanjutnya
BAB
III
:PENETAPAN
TERSANGKA
SEBAGAI
OBJEK
PRAPERADILAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI
Dalam BAB III ini penulisan menjelaskan apa saja yang menjadi
pertimbangan mahkamah konstitusi memasukan penetapan tersangka sebagai
objek praperadilan.
BAB VI : PENUTUP
Pada bab ke empat ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup
yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.
10
BAB II
PRAPERADILAN DAN AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL
2.1 Akibat Hukum Putusan Praperadilan
a)
b)
c)
d)
Menurut pasal 20 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman,yang berbunyi : segala Putusan pengadilan selain harus
memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasalpasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Demikian juga halnya dengan isi
putusan praperadilan, yang tercantum dalam pasal 82 ayat 2 dan ayat 3
KUHAP.Dalam ayat 2 disebutkan bahwa putusan hakim adalah acara
pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagai mana dimaksud dalam pasal 79,
pasal 80 dan pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya.
Selanjutnya ayat 3 menyebutkan bahwa isi putusan selain memuat ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 juga memuat hal-hal sebagai berikut:
dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak
sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masingmasing harus membebaskan tersangka;
dalam hal putusan menetapkan bahwa suatau penghentian penyidikan atau
penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib
dilanjutkan;
dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak
sah maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan
rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalm hal suatu penghentian penyidikan
adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan
rehabilitasi.
Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk
alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus
segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita
Melihat ketentuan mengenai isi putusan praperadilan sebagaimana tersebut dalam
pasal 82 ayat 2 dan ayat 3 nampaklah bahwa putusan praperadilan merupakan
putusan yang bersifat declaratoir, yang pada dasarnya merupakan suatu putusan
yang menegaskan bahwa seorang mempunyai hak.10
Wirjono prodjodikoro menyebutkan bahwa putusan yang bersifat declaratoir
yaitu apabila putusan yang diminta itu, mempunyai akibat hukum. Misalnya dua
orang suami istri mohon, supaya hakim menetapkan seorang anak sebagai anak
yang sah, bahwa surat hibah wasiat ( testament ) dari yang meninggal adalah sah.
Meskipun putusan hakim seperti ini juga bersifat declaratoir artinya menentukan
sifat suatu keadaan dengan tidak mengandung perintah kepada suatu pihak untuk
10
Ratna Nurul Afiah, Praperadilan Dan Ruang Lingkupnya, Akademika
Presindo, Jakarta, 1986, hal. 94
11
berbuat ini atau itu, tetapi pemohon terang mempunyai kepentingan atas adanya
putusan ini, oleh karena ada akibat hukum yang nyata dan penting dari putusan
ini.11
Permohonan praperadilan adalah hak dari pihak-pihak yang merasa
dirugikan. Oleh karena hak, maka untuk itu harus ada permohonan dari pihak
yang berkepentingan, sekalipun ada penangkapan, penahanan atau penetapan
tersangka yang nyata-nyata tidak sah misalnya, pemeriksaan praperadilan tidak
secara langsung akan diadakan tanpa ada permintaan dari pihak-pihak yang
merasa dirugikan karena tindakan itu.
Suatu hal yang penting yang perlu diperhatikan adalah bagaimana
permohonan praperadilan itu diajukan atau dengan kata lain bagaimana cara
mengajukan permohonan praperadilan. Sebab mungkin-mungkin saja seseorang
mengetahui atau bahkan merasa mempunyai hak untuk mengajukan permohonan
praperadilan, tetapi karena tidak mengerti tata cara pengajuan permohonan
praperadilan, seseorang tidak jarang hanya diam tidak menggunakan haknya
ataupun bila menggunakan tersebut terpaksa harus tidak diterima permohonannya
karena tidak memenuhi ketentuan formil, ataupun permohonannya gugur demi
hukum.
Selanjutnya untuk mengetahui tata cara pengajuan permohonan
praperadilan, beberapa ketentuan dalam undang-undang yang perlu diperhatikan
adalah :
a. Permohonan ditujukan ke ketua Pengadilan Negeri.
Semua permohonan yang hendak diajukan untuk diperiksa oleh
Praperadilan ditujukan kepada ketua pengadilan negeri yang meliputi
daerah hukum tempat dimana penangkapan, penahanan, penggeledahan,
atau penyitaan itu lakukan.Atau diajukan kepada ketua pengadilan negeri
dimana penyidik atau penuntut umum yang menghentikan penyidikan dan
penuntutan berkedudukan.
b. Pihak-pihak yang berhak mengajukan permohonan praperadilan,
Seperti yang sudah penulis bahas diatas bahwa sebelum mengajukan
Praperadilan harus dipahami terlebih dahulu siapa saja pihak yang berhak
mengajukan permohonan praperadilan.
c. Harus diperhatikan tahap-tahap atau tingkat pemeriksaan,
Pemeriksaan dalam praperadilan diperiksa oleh hakim tunggal.Semua
permohonan yang diajukan kepada praperadilan, diperiksa dan diputus
oleh seorang hakim tunggal. Hal ini ditegaskan dal pasal 78 ayat (2) yang
11
R. Wirjono Prodjodikoro, hukum Acara Perdata di Indonesia , Sumur
Bandung, Bandung, 1982, hal. 126
12
berbunyi : “Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh
ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang panitera”.
d. Harus diperhatikan tenggang waktu,
Tenggang waktu disini ialah mulai dari pemeriksaan sampai
dijatuhkannya putusan, hal tersebut diatur dalam pasal 82 ayat (1) yang
berbunyi :
(1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk sebagaiman dimaksud
dalam pasal 79, pasal 80, dan pasal 81 ditentukan sebagai
berikut:
a. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan ,
hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang;
b. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya
penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya
penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan
ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita
yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar
keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun
dari pejabat yang berwenang;
c. pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan
selambatlambatnya tujuh hari hakim harus sudah
menjatuhkan putusannya;
d. dalam hal suatu perkara sudah mulai. diperiksa oleh
pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai
permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka
permintaan tersebut gugur;
e. putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak
menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan,
praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut
umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.
e. Harus memuat dasar-dasar dan alasan hukum yang kuat.
Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 82 ayat (2) yang menyatakan
bahwa Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai
hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus
memuat dengan jelas dasar dan alasannya. Jelas bahwa semua putusan
hakim harus mempunyai dasar hukum agar mempunyai kekuatan hukum
tetap.
2.2 Praperadilan Terhadap Penetapan Tersangka Yang Tidak Sah
Pada dasarnya setiap upaya paksa ( enforcement ) dalam penegakan hukum
mengandung nilai HAM yang sangat asasi. Oleh karena itu harus dilindungi
13
dengan seksama dan hati-hati, sehingga perampasan atasnya harus sesuai dengan
acara yang berlaku.
Yang harus kita pahami terlebih dahulu disini ialah apa yang dimaksud
dengan tersangka dan juga penetapan tersangka itu sendiri, apakah keduanya ini
sama atau berbeda, untuk menjawab pertanyaan tersebut mari kita lihat dalam
KUHAP pasal 1 angka 14 yang menyebutkan bahwa tersangka adalah yang
karena perbuatannya atau keadaanya berdasarka bukti permulaan yang cukum
patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Dari bunyi pasal tersebut bisa kita
lihat bahwa tersangka merupakan seorang yang diduga melakukan tindak pidana
yang mana belum tentu tersangka tersebut melakukan tindak pidana, karena untuk
mengetahui apakah perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana harus
melalui proses penyelidikan dan penyidikan.
Penetapan tersangka merupakan suatu bentuk wewenang yang dimiliki
penegak hukum untuk memberikan titel kepada orang yang disangkakan dengan
nama tersangka, terhadap suatu penetapan tersangka belum ada perampasan hak
terhadap seseorang sebagaimana dimaksud dalam pasal 77, selama KUHAP
belum diubah maka ketentuan didalamnya tetap berlaku. Ada keberatan terhadap
suatu penetapan tersangka yang diajukan ke lembaga Praperdilan dengan alasan
keputusan dilakukan oleh pejabat yang tidak sah, maka tidak dapat diajukan
Praperadilan.
Demikian pula dengan kurangnya bukti atas suatu penetapan tersangka
bukan merupakan kompetensi Praperadilan, melainkan harus melalui proses
peradilan perkara pokok dan dalam pembuktian materiil, yang berwenang
menentukan cukup atau tidaknya bukti permulaan adalah penyelidiknya, dan
penetapan tersangka juga didasarkan pada alat bukti permulaan. Penetapan
tersangka yang diajukan ke lembaga praperadilan dengan alasan adanya upaya
paksa berupa pencegahan, tidak dapat menjadi objek praperadilan karena
pencegahan bukanlah termasuk upaya paksa sebagaiman dimaksud pada pasal 77
KUHAP.Jika ada yang mengatakan bahwa penetapan tersangka dapat menjadi
objek kewenangan praperadilan karena telah dilakukan upaya paksa, maka yang
dinyatakan tidak sah adalah upaya paksanya.
Kendati praperadilan berdasarkan pasal 77 KUHAP adalah pengadilan
negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang. Praperadilan sama sekali tidak berkenaan dengan
sah tidaknya penetapan tersangka yang dilakukan oleh penyidik, sementara
penyidik itu sendiri berkenaan dengan hak asasi manusia agar dalam menetapkan
seseorang sebagai tersangka tidak sewenang-wenang.
Perlindungan hak asasi manusia merupakan istilah yang sangat luas
maknanya.Undang-undang hak asasi manusia tidak memberikan penafsiran
lengkap terhadap istilah perlindungan tersebut.Penjelasan undang-undang tentang
hak asasi manusia, khususnya penjelasan pasal 8 hanya menyatakan “yang
dimaksud dengan perlindungan” adalah termasuk pembelaan hak asasi manusia.
14
Pada prinsipnya tujuan utama kelembagaan praperadilan dalam KUHAP,
untuk melaksanakan “pengawasan horizontal” atas tindakan upaya paksa yang
dikenakan terhadap tersangka selam ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau
penuntutan, agar benar-benar tindakan ini tidak bertentangan dengan ketentuan
hukum dan undan-undang.
sehubungan dengan tindakan upaya paksa yang dilakukanpejabat penyidik
baik penyidik POLRI maupun penyidik KPK atau penuntut umum terhadap
tersangka. KUHAP sudah dengan jelas mengatur, bersumber dari pasal-pasal
dimaksudkan kewenangan praperadilan. Akan tetapi, ada lagi kewenangan lain
yakni memeriksa dan memutus tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi
sebagaimana yang diatur dalam pasal 95 dan 97 KUHAP. Wewenang pertama
yang diberikan undang-undang kepada praperadilan memeriksa dan memutus sah
atau tidaknya :
 Seorang tersangka yang dikenakan tindakan penangkapan,
penahanan,penggeledahan atau penyitaan, dapat meminta kepada
praperadilan untuk memriksa sah atau tidaknya tindakan yang
dilakukan penyidik kepadanya. Tersangka dapat mengajukan
pemeriksaan kepada praperadilan, bahwa tindakan penahan yang
dikenakan pejabat penyidik bertentangan dengan ketentuan pasal 21
KUHAP, atau penahanan yang dikeankan sudah melampaui bats
waktu yang ditentukan dalam pasal 24 mengenai syarat penahanan.
 Ruang lingkup kewenangan praperadilan ialah memriksa dan
memutus dan memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan
yang dilakukan pejabat penyidik maupun tentang sah atau tidaknya
penghentian penuntutan yang dilakukan penuntut umum.
Asas mendasar yang ada pada Hukum Acara Pidana adalah asas praduga tak
bersalah.Asas praduga tak bersalah diwujudkan dalam bentuk adanya sejumlah
hak bagi tersangka/terdakwa. Proses dan prosedur dalam penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan dimuka sidang pengadilan diantaranya diabdikan untuk
melindungi, memenuhi, dan mewujudkan hak-hak tersangka/terdakwa tersebut.
Dengan cara demikian itulah perlakuan terhadap tersangka/terdakwa tentang
dugaan kebersalahannya atas suatu tindak pidana berada dalam tataran yang
wajar.
Asas praduga tak bersalah bukan berarti menganggap seseorang tidak
bersalah, sampai dengan pengadilan menyatakan yang bersangkutan bersalah
karena suatau tindak pidana, tetapi sebenarnya merupakan mekanisme yang
digunakan sebelum seseorang dinyatakan bersalah oleh pengadilan, yakni yang
bersangkutan mempunyai hak-hak untuk berlaku seperti orang pada
umumnya.Dengan adanya hak-hak tersebut maka pada dasarnya terdapat larangan
bagi aparatur sistem peradilan pidana untuk berpraduga bersalah terhadap
tersangka/terdakwa.
15
Pada sisi lain peluang menggunakan hak-hak dimaksud semakin menurun
menyesuaikan dengan tingkat-tingkat pemerisaan perkara dan berakhir ketika
yang bersangkutan dijatuhi vonis bersalah melakukan tindakan pidana. Penetapan
seorang sebagai tersangka mengacu pada bukti permulaan yang cukup yang mana
bukti permulaan yang cukup ialah minimal 2 alat bukti.
Selain itu terkait dengan definisi penyidikan dan tersangka, secara teoritik
ada perbedaan antara menetapkan tersangka dan menemukan tersangka. Dalam
hal ini proses penetapan seorang sebagai tersangka adalah suatu penilaian yuridis,
terhadap bukti yang telah ditemukan dan dihimpun oleh penyidik. Sedangkan
menemukan tersangka lebih pada didapatinya secara fisik seorang yang
melakukan tindak pidana itu.Hal ini patut dipertanyakan, apakah menemukan
tersangka itu adalah definisi kewenangan penyidik, yang boleh dilakukan dan
boleh juga tidak dilakukan. Persoalan lain adanya kalimat “dan menemukan
tersangkanya” dalam pasal 1 angka 2 KUHAP, juga mengandung bahaya, yaitu
seolah-olah penyidikan harus sampai dengan adanya penetapan seorang sebagai
tersangka. Dengan kata lain, setelah adanya surat perintah penyidikan (sprindik),
penyidik harus dapat menemukan tersangka.
Apabila hak-hak seorang dilanggar yang mana hal tersebut dilakukan oleh
penyidik dengan menetapakan orang tersebut sebagai tersangka dari suatu tindak
pidana, dan orang tersebut merasa keberatan oleh penetapan yang dilakukan oleh
penyidik maka orang tersebut bisa meminta agar di adakan praperadilan, karena
penetapan tersangka adalah bagian dari penyidikan, yang oleh pasal 1 angka 2
KUHAP diberi pengertian sebagai,”… serangkaian tindakan penyidik dalam hal
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang
terjadi serta guna menemukan tersangkanya”. Dengan demikian, penetapan
tersangka adalah ujung dari tindakan penyidik sebelumnya, yaitu setelah penyidik
berdasarkan bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan memperoleh kejelasan akan
tindka pidana yang terjadi.
Status tersangka sendiri pada dasarnya merupakan hal yang tidak diinginkan
oleh setiap orang. Karena ini adalah awal dari stigma negative yang mungkin
muncul dari suatu proses peradilan pidana. Oleh Karena itu maka penentutan
status seseorang sebagai tersangka menjadi hal yang penting untuk dilakukan
secara hati-hati dan juga harus diawasi dengan seksama.
16
BAB III
PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK
PRAPERADILAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI
3.1.
a)
b)
c)
d)
e)
1)
2)
3)
Hak-Hak Tersangka Menurut Undang-Undang
Hak adalah kepentingan yang dilindungi hukum, sedangkan kepentingan
adalah
tuntutan
perorangan
atau
kelompok
yang
diharapkan
dipenuhi.Kepentingan pada hakikatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan
dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya.12Secara normatife sebenarnya
KUHAP telah mengakomodasi hak-hak tersangka dan terdakwa.Jika dalam
praktek dikeluhkan sering dilanggar hak-hak tersangka dan terdakwa, persoalanya
lebih terletak pada masalah penegakan hak-hak tersangka/terdakwa dan
selebihnya bergantung pada apartur pelaksana KUHAP.13
Ketika seorang individu ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa dalam
suatu perkara tindak pidana, maka individu tersebut pada hakikatnya berhadapan
dengan Negara.Jika individu itu adalah warga Negara dari Negara yang
bersangkutan, maka pada hakikatnya dia berhadapan dengan negaranya
sendiri.Akan tetapi Negara hanya boleh melakukan tindakan terhadap individu
yang diduga melakukan suatu tindak pidana berdasarkan batas-batas yang telah
ditentukan oleh undang-undang.
Dalam KUHAP pasal 1 ayat 14 di jelaskan bahwa tersangka adalah seorang
yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut
diduga sebagai pelaku tindak pidana, seperti yang sudah penulis bahas di atas,
bahwa bukti permulaan yang cukup ialah minimal adanya dua alat bukti, dalam
pasal 184 yang berbunyi “ alat bukti yang sah ialah :
Keterangan saksi
Keterangan ahli
Surat
Petunjuk
Ketrangan terdakwa.
Selanjutnya pasal 185 berbunyi
keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di siding
pengadilan.
keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktika bahwa terdakwa
bersalah terhadap perbuatannya yang didakwakan kepadanya.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai
dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
12
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, 2007, hal 43.
13
Ai Wisnubroto, G. Widiartana, op cit,hal 51.
17
4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau
keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan
saksi itu ada hubungannya bsatu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga
dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan
merupakan keterangan saksi.
6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan
sungguh-sungguh memperhatikan :
a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan
yang tertentu;
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterngan itu dipercaya.
7) Keterangan dari saksi yang tidak dapat disumpah meskipun sesuai satu dengan
yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesui dengan
keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat
bukti yang sah lain.
Tersangka dan terdakwa pada dasarnya mempunyai hak yang sama di mata
hukum, akan tetapi tersangka dan terdakwa mempunyai hak-hak lain yang mana
hak-hak tersebut telah diatur dlam Undang-Undang, hak yang pertama ialah hak
untuk mengajukan banding. Dasar hukum bagi hak pengajuan banding secara
umum diatur dalam pasal 67 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :
“ Tersangka atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap
putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap ptutusan bebas,lepas dari
segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan
hukum dan putusan pengadilan dalam acara tepat”.
Jadi pada prinsipnya, asalkan putusan itu tidak mengandung pembebasan
atau lepas dari segala tuntutan hukum dan tidak dalam rangka pemeriksaan acar
cepat, dapat dimintakan banding.14 Hak lain yang diperoleh tersangkah ialah hak
untuk menuntuk ganti kerugian, istilah ganti kerugian merupakan istilah hukum
perdata yang timbul sebagai akibat “ wanprestasi” dalam perikatan, baik karena
perjanjian maupun karena undnag-undang.15 Sedangkan dalam KUHAP,
pengertian ganti kerugian ialah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas
tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan,
dituntut ataupun diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena
14
Mangasa Sidabutar, Hak Terdakwa Terpidana Penuntut Umum
Menenmpuh Upaya Hukum , Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 33.
15
Leden Marpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian Dan Rehabilitasi
Dalam Hukum Pidana , Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1997, hal 3.
18
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini. Hal ini sesuai dengan pasal 68 jo pasal 95 ayat
(1) jo pasal 97 ayat (1) yang berbunyi “ Tersangka, terdakwa atau terpidana
berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili
atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdaasrkan undnag-undang atau
karena kekeliruan yang berdasarkan undang-undang atau mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan.”
Hak untuk mendapatkan bantuan hukum juga merupakan salah satu hak
yang diteriam oleh tersangka atau terdakwa, dalam KUHAP pasal 69 sampai
dengan pasal 74 diatur bantuan hukum, dimana tersangka/terdakwa mendapat
kebebasan yang sangat luas.16Ini berarti bahwa, oleh karena hanya merupakan
hak, mendapatkan bantuan hukum masih tergantung kepada kemauan tersangka
atau terdakwa.Dia dapat mempergunakan hak tersebut, tapi bisa juga tidak
mempergunakan hak itu.Konsekuensinya, tanpa didampingi oleh penasihat
hukum, tidak menghalangi jalanya pemeriksaan tersangka atau terdakwa.17
Hak tersangka lainnya adalah hak keberatan atas perpanjangan penahanan
ketentuan ini berdasarkan pasal 29 ayat 7 KUHAP yang berbunyai :
“ terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat 2 tersangka atau terdakwa
dapat mengajukan keberatan dalam tingkat :
a. penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi;
b. pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada ketua
mhkamah agung.”
Hak untuk mengajukan keberatan atau eksepsi terhadap surat dakwaan jaksa
penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukumnya dapat mengajukan keberatan
atau eksepsi. Keberatan atau eksepsi dari terdakwa atau penasehat hukumnya
dapat menyangkut kewenangan mengadili atau mengenai sah tidaknya surat
dakwaan dengan tujuan agar pengadilan memutus dengan putusan sela. Jika
keberatan terdakwa diterima maka pemeriksaan terhadap terdakwa tidak
dilanjutkan, sebaliknya jika ditolak, pemeriksaan dilanjutkan dengan proses
pembuktian.
Hak tersangka/terdakwa yang selanjutnya ialah Hak untuk melakukan
pembelaan. Untuk kepentingan mempersiapkan pembelaan tersangka atau
terdakwa, undang-undang menentukan beberapa pasal (Pasal 51 sampai dengan
Pasal 57), yang dapat dirinci:
a. Berhak diberitahukan dengan jelas dan dengan bahasa yang dimengerti
olehnya tentang apa yang disangkakan padanya.
16
Mohammad Taufik Makarao, Suharsil, Hukum Acara Pidana Dalam
Teori Dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 8
17
Ibid, hlm. 13-14
19
b. Hak yang demikian dilakukan pada waktu pemeriksaan mulai dilakukan
tehadap tersangka.
c. Terdakwa juga berhak diberitahukan dengan jelas dan dengan bahasa yang
dapat dimengerti tentang apa yang didakwakan kepadanya..
d. Berhak memberi keterangan dengan bebas dalam segala tingkat pemeriksaan,
mulai dari tingkat pemeriksan penyidik dan pemeriksaan sidang pengadilan.
e. Berhak mendapat juru bahasa
f. Berhak mendapat bantuan hukum.
g. Berhak secara bebas memilih penasihat hukum.18
Hak-hak yang diberikan oleh KUHAP tersebut diatas bukan kepada
tersangka/terdakwa sebagai pelanggar hukum tetapi sebagai “manusia” yang
mempunyai hak dan kewajiban, manusia sebagai obyek dan subyek anggota
masyarakat. Jika seorang tersangka/terdakwa yang diperiksa karena kebenaran
material sungguh-sungguh adalah pelaku suatu delik, maka merupakan suatu
resiko perbuatannya sendiri yang melanggar hukum itu.Tetapi tersangka/terdakwa
belum tentu sungguh-sungguh bersalah seperti yang dilaporkan, diadukan atau
didakwakan. Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan hakim
yang tetap bahwa ia bersalah (presumption of innocence).19
3.2.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memasukan penetapan
tersangka sebagai objek praperadilan sebagai berikut :
1. Menimbang bahwa permasalahan utama pemohon adalah pengujian
konstitusionalitas pasal 1 angka 2, pasal 1 angka 14, pasal 21 ayat (1), pasal
77 huruf a, dan pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981, Nomor 76, Tambahan Lembarang Negara Republik Indonesia Nomor
3209, selanjutnya disebut KUHAP) yang menyatakan:
Pasal 1 angka 2 KUHAP:
“penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut cara
yang diatur dalam undnag-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya”
Pasal 1 angka 14 KUHAP:
“tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaanya
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”
18
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhap
Penyidikan dan Penuntutan, edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 332334.
19
Andi Hamzah. Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.Binacipta. Bandung. 1986. Hal. 32
20
Pasal 17 KUAP:
“perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”
Pasal 21 ayat (1) KUHAP:
“perintah penahan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang
tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan
kekhawatiran bahwa tersagnka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak
atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”
Pasal 77 KUHAP:
“pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: (a) sah atau tidakn ya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan”
Pasal 156 ayat (2):
“jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak
diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim
berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka
sidang dilanjutkan”
Terhadap undang-undnag dasar negara republik indonesia tahun 1945
selanjutnya disebut UUD 1945, yaitu:
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945:
“Negara Indonesia adalah negara hukum”
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945:
“setiap warga negara berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum”
Pasal 28I ayat (5) UUD 1945:
“Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai denga prinsip
negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin,
diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pemabatasan yang ditetapkan denga undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
perimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis”.
2. Menimbang bahwa terhadap pengujian frasa “dan guna menemukan
tersangkanya” dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP bertentangan dengan dengan
pasal 1 ayat (3) dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Koonstitusi
mempertimbangkan sebagai berikut:
21
Bahwa pasal 1 ayat (2) KUHAP termasuk dalam Bab I pasal 1 ketentuan
umum yang mengatur tentang pengertian penyidikan yang menyatakan,
“penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undnag-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Adapun frasa “dan guna
menemukan tersangknya” harus ditafsirkan bersyarat seperti yang didalilkan
oleh pemohon, menurut mahkamah , sebernarnya sudah dipenuhi oleh pasal
tersebut, yaitu penyidik dalam rangkaian tindakan penyidikan melakukan
suatu proses pengumpulan bukti yang dengan bukti tersebut kemudian
penyidik menemukan tersangka dalm satu tindak pidana sehingga tidak serta
merta penyidik menemukanj tersangka sebelum melakukan pengumpulan
bukti sebagaimana ditentukan dalam pasal a quo. Pasal 1 angka 2 KUHAP
mengatur bagaimana penyidik menemukan tersangka sehinggga pasal
tersebut sudah jelas dan tidak perlu ditafsirkan.
3. Menimbang terhadap dalil pemohon bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP
bertentangan dengan pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan pasal 28I ayat
(5) UUD 1945 apabila tidak dimaknai mencakup sah atau tidak sahnya
penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat,
Mahkamah Konstitusi berpendapat:
a. Mengenai penetapan tersangka, Mahkamah mempertimbangkan sebagai
berikut:
- Dalam negara hukum, asas due process of law sebagai salah satu
perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses peradilan
pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak
terutama bagi lembaga penegak hukum. Perwujudan penghargaan
hak asasi tersebut terlaksana dengan memberikan posisi yang
seimbang berdasarkan kaidah hukum yang berlaku, termasuk dalam
proses peradilan pidana, khususnya bagi tersangka, terdakwa
maupun terpidana dalam mempertahankan haknya secara seimbang.
Oleh karena itu, negara terutama pemerintah berkewajiban umtuk
memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
terhadap HAM. KUHAP sebagaim hukum formil dalam proses
peradilan pidana di indonesia telah merumuskan sejumlah hak
tersangka/terdakwa seabagai pelindunmg terhadap kemungkinan
pelanggaran hakasasi manusia.
- Penegakan hukum harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku juga
berdasarkan pancasila dan udnag-undang dasar negara republik
indonesia tahun 1945. Hukum tersebut harus ditegaskan demi
terciptanya tujuan dan cita-cita bangsa indonesia sebagaimana yang
dirumuskan pada alinea keempat, yaitu, membentuk suatu
pemerintahan negara indonesia yang melindungi segenap bangsa
22
indonesia dan seluruh tumpah darah indonesai dan untuk memajukan
kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdsarkan kemerdekaan
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Rakyat indonesia harus
merasa aman dari berbagai ancaman dan bahaya yang datang, rasa
aman yang diberikan oleh negara kepada rakyat tidak hanya
ditunjukan bagi mereka yang benar saja, akan tetapi bagi mereka
yang diduga melakukan kesalahan juga berhak memperoleh jaminan
rasa aman terhadap diri mereka.
- Bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan
tersangka belum menjadi isu yang krusial dan problematik dalm
kehidupan msayrakat indonesia. Upaya paksa pada masa itu secara
konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan,
penyidikan, dan penuntutan, namun pada masa sekarang bentuk
upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau
modifikasi yang salah satu bentuknya adalah “penetapan tersangka
oleh penyidik” yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian
label atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu
yang jelas, sehingga seseorang tersebut dipaksa oleh negara untuk
menerima status tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya
untuk melakukan upaya hukum untuk menguji legalitas dan
kemurnian tujuan dari penetapan tersangka tersebut.
Dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi diatas maka diputuskan sebagai
berikut:
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian;
1.1. Frasa “bukti permulaaan”,”bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang
cukup” sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 angka 14, pasal 17, dan
pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)
bertentangan dengan undang-undang dasar Negara republic Indonesia
tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti
permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat
bukti yang termuat dalam pasal 184 undang-undang nomor 8 tahun 1981
tentang hukum acara pidana;
1.2. Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang
cukup” sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 angka 14, pasal 17, dan
pasal 21 ayat (1) undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum
acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor
23
76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa
“bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang
cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184
undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana;
1.3. Pasal 77 huruf a undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum
acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)
bertentangan dengan undang-undang dasar Negara republik Indonesia
tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka,
penggeledahan, dan penyitaan;
1.4. Pasal 77 huruf a undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum
acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
2. Menolak pemohonan pemohon untuk selain dan selebihnya;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh
Sembilan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva selaku ketua merangkap
anggota, Arief Hidayat, Anwar Usman, Muhammad Alim, Wahiduddin
Adams, Ahmad fadil Sumadi, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, dan
Aswanto, masing-masing sebagai anggota, pada hari selasa, tanggal dua puluh
delapan, bulan oktober, tahun dua ribu empat belas dan Sembilan hakim
konstitusi yaitu arief hidayat selaku ketua merangkap anggota, anwar usman,
Muhammad alim, wahiduddin adams, maria farida indrati, patrialis akbar,
aswanto, I dewa gede palguna, dan suhartoyo, masing-masing sebagai
anggota, pada hari senin, tanggal enam belas, bulan maret, tahun dua ribu lima
belas, serta diucapkan sidang pleno mahkamah konstitusi terbuka untuk
umum pada hari selasa, tanggal dua puluh delapan, bulan april, tahun dua ribu
lima belas, selesai di ucapkan pukul 10.57 WIB, oleh tujuh hakim konstitusi
yaitu arief hidayat, selaku ketua merangkap anggota, anwar usman,
wahiduddin adams, suhartoyo, maria farida indrati, patrialis akbar, dan I dewa
gede palguna, masing-masing sebagai anggota, denga didampingi oleh chalid
nasir sebagi panitera pengganti, dihadiri oleh pemohon/kuasanya, presiden
atau yang mewakili, dan dewan perwakilan rakyat atau yang mewakili.
Terhadap putusan mahkamah mengenai “penetapan tersangka”, terdapat satu
orang hakim konstitusi yang memiliki alasan berbeda ( concurring opinion )
dan tiga orang hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda ( dissenting
opinion ).
24
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Seperti yang sudah tertulis dalam pasal 82 ayat 3 bahwa putusan praperadilan.
dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan
tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan
masing-masing harus membebaskan tersangka;dalam hal putusan menetapkan
bahwa suatau penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan
atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;dalam hal putusan
menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka dalam
putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang
diberikan, sedangkan dalm hal suatu penghentian penyidikan adalah sah dan
tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan
rehabilitasi.Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang
tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa
benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa
benda itu disita.
2. Seperti kita ketahui bersama bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan
lembaga baru dalam dunia peradilan di inodnesia, yang mana salah satu
tugasnya adalah menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar yang
sering kita sebut judicial review. Judicial review ini dilakukan untuk
melindungi hak warga Negara yang merasa dirugikan oleh berlakunya suatu
undang-undang. Dalam kasus ini yang menjadi perhatian penulis adalah
judicial review terhadap pasal 77 KUHAP yang mana dalam pasal tersebut
dirasa merugikan seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik,
karena pasal tersebut tidak mengatur penetapan tersangka sebagai objek
praperadilan. Sedangkan dalam pasal 28D ayat (1) UUD mengatakansetiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dari bunyi pasal tersebut
pasal 77 KUHAP dianggap bertentangan denga pasal 28D ayat (1) tersebut,
oleh karena itu demi tercapainya keadilan dan tidak melanggar Hak Asasi
Manusia maka apa yang dilakukan Mahkamah Konstitusi dalam memasukan
penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dirasa cukup benar.
25
4.2 Saran
1. Sebagai saran atas kesimpulan diatas maka penyidik sebagai aparat
penegak hukum tidak boleh bertindak semena-mena dengan
menetapkan orang sebagai tersangka, karena hukum pidana Indonesia
mengenal asas praduga tak bersalah, yang mana asas tersebut berarti
bahwa setiap orang tidak boleh dinyatakan bersalah sebelum ada
putusan hakim yang bersifat tetap. Untuk melindungi hak-hak tersangka
pemerintah harus segera membuat undang-undang hukum acara pidana
yang baru, karena hukum acara pidana yang sekarang dirasa sudah tidak
cocok dengan masyarakat Indonesia.
2. Pemerintah harus secepatnya merevisi KUHAP karena memang
KUHAP ini sudah tidak relevan lagi, banyak pasal yang harus direvisi
karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Supaya dikemudian
hari tidak ada lagi masyarakat yang merasa dirugikan dengan
berlakunya Undang-Undang ini.
26
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ai. Wisnubroto, G. Widiartana, PembaharuanHukumAcaraPidana, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2005.
AndiHamzah.
PerlindunganHak-HakAsasiManusiadalamKitabUndangUndangHukumAcaraPidana. Binacipta. Bandung. 1986
Fatkhurohman.
Dian
Aminudin.
Sirajuddin,
MemahamiKeberadaanMahkamahKonstitusi Di Indonesia , Bandung, Citra
Aditya Bakti, 2004
HariSasangka,
“
Penyidikan,
Penahanan,Penuntutan,
danPraperadilanDalamTeori Dan Praktek,MandarMaju, Bandung,
2007Jimly
Asshiddiqie, HukumAcaraPengujianUndang-Undang,
Konstitusi Press, Jakarta, 2006.
Johnny
Ibrahim,
TeoridanMetodePenelitianHukumNormatif,
publishing, Malang, 2005.
Bayumedia
LedenMarpaung,
Proses
TuntutanGantiKerugian
Dan
RehabilitasiDalamHukumPidana,RajagrafindoPersada, Jakarta, 1997.
LilikMulyadi, Putusan Hakim DalamAcaraPidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung,2007
MangasaSidabutar,
HakTerdakwaTerpidanaPenuntutUmumMenenmpuhUpayaHukum,Rajagraf
indoPersada, Jakarta, 2001.
Moh.
Mahfud
MD,MembangunPolitikHukumMenegakkanKonstitusi,
Jakarta,RajawaliPers, 2010
Mohammad TaufikMakarao, Suharsil, HukumAcaraPidanaDalamTeori Dan
Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004.
M.
YahyaHarahap, PembahasanPermasalahan Dan Penerapan KUHAP
PemeriksaanSidangPengadilan, Banding, Kasasi, danPeninjauanKembali,
SinarGrafika, Jakarta, 2000.
-------------------,
PembahasanPermasalahan
PenerapanKuhapPenyidikandanPenuntutan, edisikedua,
Jakarta, 2009
Dan
SinarGrafika,
Patra M. Zen et al, PanduanBantuanHukum Di Indonesia, Edisi II, YayasanObor
Indonesia, Jakarta, 2009.
27
R. WirjonoProdjodikoro, hukumAcaraPerdata di Indonesia ,Sumur Bandung,
Bandung, 1982.
-------------------, HukumAcaraPidana Di Indonesia ,Sumur Bandung, Bandung,
1983.
RatnaNurulAfiah, Praperadilan Dan RuangLingkupnya, AkademikaPresindo,
Jakarta, 1986
RonyHanitijoSoemitro,
MetodologiPenelitianHukumdanJurimetri,Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1990.
S.
Tanusubroto, PerananPraperdailanDalamHukumAcaraPidana,
Bandung, 1983.
Alumni,
SoerjonoSoekantodan
Sri
Mamudji,
PenelitianHukumNormatif,
SuatuTinjauanSingkat, Raja GrafindoPersada, Jakarta, 1994.
Subektidan R. Tjitrosoedibio, KamusHukum, PradyaParamita, Jakarta,1979.
SudiknoMertokusumo, MengenalHukumSuatuPengantar, UniversitasAtma Jaya
Yogyakarta, Yogyakarta, 2010
W.J.S. Poerwadarminta, KamusUmumBahasa Indonesia, BalaiPustaka, Jakarta,
1976.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undnag-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
KitabUndang-UndangHukumPidana
Undang-UndangNomor 8 Tahun 1981 TentangHukumAcaraPidana
Undang-UndangNomor 16 Tahun 2004 TentangKekuasaanKehakiman
Undang-UndangNomor 8 Tahun 2011 TentangMahkamahKonstitusi
Undang-UndangNomor 39 Tahun 1999 TentangHakAsasiManusia
Undang-UndangNomor
30
TentangKomisiPemberantasanTindakPidanaKorupsi
Tahun
PP Nomor 27 Tahun 1983 TentangPelaksanaanHukumAcaraPidana
2002
Download