Pemberdayaan Perempuan dan Kesehatan Reproduksi Dalam

advertisement
PAPER JURNAL ONLINE
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KESEHATAN REPRODUKSI
DALAM MEDIA
(Studi Analisis Wacana Pemberdayaan Perempuan dan Kesehatan
Reproduksi dalam Film “Perempuan Punya Cerita” pada Sub Judul “Cerita
Pulau” dan “Cerita Yogyakarta” dari Karya Kolektif Nia Dinata, Upi
Avianto, Lasja F. Susatyo, dan Fatimah T. Rony)
Disusun Oleh :
Edy Yulianto
D1211026
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi
Pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVESITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KESEHATAN REPRODUKSI
DALAM MEDIA
(Studi Analisis Wacana Pemberdayaan Perempuan dan Kesehatan
Reproduksi dalam Film “Perempuan Punya Cerita” pada Sub Judul “Cerita
Pulau” dan “Cerita Yogyakarta” dari Karya Kolektif Nia Dinata, Upi
Avianto, Lasja F. Susatyo, dan Fatimah T. Rony)
Edy Yulianto
Prahastiwi Utari
Hamid Arifin
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
Perempuan Punya Cerita movie is a collection of four short films about
women. This film also categories as feminist films that is film made by women and
featuring the image of women. There are some important issues which were
raised in this film. Among reproduction health, human trafficking and HIV/AIDS
which was after become problem depend on the women.
This research was specialized of see how the reproductive health problem
depends on the women was discourse into film “Perempuan Punya Cerita” on
subtitle “Cerita Pulau” and “Cerita Yogyakarta” which saw how the access,
control, participation and the advantages as the indication of gender equality.
The method used in this research is descriptive qualitative with discourse
analysis approach, with the technique collecting the data by choose some scenes
from the film “Perempun Punya Cerita” which is the content touched the problem
about reproductive health towards women
The technique of analysis the data which done by the writer used analysis
model of Sarah Mill, this analysis observing how was the subject and object be
placed into a case and how the position of the writer and reader is showed into a
text.
From the research analysis which have done, it can be conclude that,
there is still low access, control, women participation toward reproductive health
to becoming advantages for reproductive health itself less to fulfill maximally. It
can be seen found in those scenes.
Keywords: Discourse Analysis, Sara Mills, Women's Empowerment, Reproductive
Health.
1
Pendahuluan
Kesehatan adalah anugrah yang amat berharga nilainya melebihi apapun,
termasuk limpahan materi atau harta benda. Semua orang ingin sehat, namun tidak
banyak yang peduli dengan kesehatan, karena sebagian besar sering abai dalam
menjaga kesehatan. Menurut Undang-Undang tahun No. 23/1992, kesehatan
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
Kesehatan adalah kebutuhan dasar dan utama untuk hidup, itulah sebabnya
mengapa kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia disamping sandang
pangan, papan dan pendidikan.
Penyebab kematian ibu sejak dahulu tidak banyak berubah, yaitu
perdarahan, eklampsia, komplikasi aborsi, partus macet, dan sepsis, Perdarahan
yang bertanggung jawab atas sekitar 28% kematian ibu, sering tidak dapat
diperkirakan dan terjadi tiba-tiba. Sebagian perdarah terjadi pascapersalinan, baik
karena atonia uteri, maupun sisa plasenta. Hal ini menunjukkan penanganan kala
III yang kurang optimal dan kegagalan sistem pelayanan kesehatan menangani
kedaruratan obstetrik dan neonatal secara cepat dan tepat. Eklampsia merupakan
penyebab nomor 2, yaitu sebanyak 13% kematian ibu. Sesungguhnya kematian
karena eklampsia dapat dicegah dengan pemantauan dan asuhan antenatal yang
baik serta dengan teknologi sederhana.1
Selain AKI, persoalan lain yang terkait dengan kesehatan reproduksi
adalah kasus aborsi yang meningkat setiap tahun. Setiap tahun diperkirakan ada
2,5 juta nyawa tak bedosa melayang sia-sia akibat aborsi. Angka ini terhitung
besar sebab jumlahnya separuh dari jumlah kelahiran di Indonesia yaitu 5 juta
kelahiran per tahun. Diantara sekian juta pelaku aborsi, sebagaian besar justru
berasal dari kalangan remaja berusia 15-24 tahun. Di duga, hal ini disebabkan
karena kurangnya pendidikan seks dan sulitnya akses remaja mendapat alat
kontrasepsi.
1
Abdul Bari Saifuddin, (2008), Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, hlm. 61.
2
WHO memperkirakan ada 42 juta aborsi dilakukan per tahun, 750.000 –
1,5 juta dilakukan di Indonesia, 2.500 orang diantaranya berakhir dengan
kematian. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 : Aborsi
berkontribusi 11,1% terhadap angka kematian Ibu (AKI), Sedangkan menurut
Rosenfield dan Fathala (1990) sebesar 10%.2
Tidak sedikit masyarakat yang menentang aborsi beranggapan bahwa
aborsi sering dilakukan oleh perempuan yang tidak menikah karena alasan hamil
diluar nikah atau alasan-alasan lain yang berhubungan dengan norma khususnya
norma agama. Namun kenyataannya, sebuah studi di Bali menemukan bahwa
71% perempuan yang melakukan aborsi adalah perempuan menikah3 juga studi
yang dilakukan oleh Population Council, 98,8 % perempuan yang melakukan
aborsi disebuah klinik swasta di Jakarta, telah menikah dan rata-rata sudah
memiliki anak,4 alasan yang umum adalah karena sudah tdak ingin memiliki anak
lagi, seperti hasil survey yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS), 75% wanita
usia reproduksi berstatus kawin tidak menginginkan tambahan anak.5
Aborsi mungkin sudah menjadi kebutuhan karena alasan diatas, namun
karena adanya larangan baik hukum maupun atas nama agama, menimbulkan
praktek aborsi yang tidak aman meluas. Penelitian pada 10 kota besar dan 6
kabupaten memperlihatkan 53 % aborsi terjadi di kota, padahal penduduk kota
1,36 kali lebih kecil dari pedesaan, dan pelayanan aborsi dilakukan oleh tenaga
yang tidak terlatih terdapat di 16% titik pelayanan aborsi di kota oleh dukun bayi
dan 57 % di kabupaten. Kasus aborsi yang ditangani oleh dukun bayi sebesar 11%
di kota dan 70 % di Kabupaten dan dari semua titik pelayanan 54 % di kota dan
85 % di kabupaten dilakukan oleh swasta/pribadi (PPKLP-UI, 2001).
kesehatan reproduksi khususnya bagi kaum perempuan masih terabaikan
di negara Indonesia ini. Peran media dalam memberi informasi kepada masyarakat
tentang pemahaman kesehatan reproduksi juga dirasa penting. Bahkan saat ini
media internet pun semakin memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk
2
Abdul Bari Saifuddin, Op.cit., hlm. 61.
Dewi, “Aborsi Di Indonesia”, http://www.kesrepro.info 04/04 2013/18.30.
4
Herdayati, 1998.
5
Data BPS dan Departemen Kesehatan tahun 1988.
3
3
memberikan ataupun meneriama berbagai macam informasi. termasuk tentang
pemahaman kesehatan reproduksi dan seksual yang baik. Namun patut diwaspadai
media massa pun tidak luput dari kecenderungan ketimpangan gender. Seks
perempuan di media dijadikan komoditas untuk meningkatkan oplag, antara lain,
dengan pemuatan gosip-gosip perselingkuahan, foto-foto dan informasi vulgar
yang menguras libido laki-laki yang hasilnya menindas perempuan. begitu pula
dengan media internet yang tidak sedikit memuat berbagai konten yang tidak
bertanggungjawab, sebagai contoh banyaknya situs porno yang dapat dengan
mudah diakses.6
Tidak banyak media yang memberikan informasi secara efektif terkait
kompleksitas permasalahan reproduksi. Salah satu media selain internet yang
cukup efektif untuk menyampaikan informasi sekaligus dapat dijadikan sebagai
media komunikasi adalah film.7
Salah satu judul film yang mengusung wacana tentang perempuan,
kesehatan reproduksi sekaligus pendidikan seks adalah film Perempuan Punya
Cerita. Yang menarik dari film ini adalah merupakan proyek kolektif yang
digarap oleh empat sutradara perempuan yaitu: Nia Dinata, Upi, Fatimah Tobing,
dan Lasja F. Susatyo. Film yang dirilis pada awal tahun 2007 ini merupakan
antologi terdiri empat cerita film pendek dengan gaya cerita beragam, seperti:
masalah kesehatan, perdagangan anak, hingga aborsi dan HIV/AIDS. Nia Dinata,
salah seorang sutradara, mengatakan bahwa film Perempuan Punya Cerita ini
berdasarkan kisah nyata bagaimana seorang perempuan dapat menghadapi
kenyataan pahit yang dialami dalam kehidupannya.
Yang menarik dari film ini adalah bagaimana isu-isu pemberdayaan
perempuan dan kesetaraan gender terkait akses, kontrol, partisipasi dan manfaat
tentang kesehatan reproduksi disampaikan melalui sebuah media film. Konteks
“pemberdayaan” didalam konteks kesetaraan gender pada prinsipnya, untuk
membangun kesetaraan relasi antara laki-laki dan perempuan. Diperlukan pertama
6
Burhan Bungin, (2003), .Pornomedia: Sosiologi Media, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika,
& Perayaan Seks Di Media Massa.Jakarta. Prenada Media, ed.1, Hlm.55
7
Rusdi Syahra, (2006) Informasi Sosial: Peluang dan Tantangan (Jakarta, Jurnal Komunika:
Warta Ilmiah Komunikasi dalam pembangunan, vol.9, No.1.
4
kali pemberdayaan bagi kaum perempuan. Tim Perumus Strategi Pembangunan
Nasional yang difasilitasi oleh Kagama dan Lemhanas, mengemukakan ada empat
indikator pemberdayaan perempuan:
1. Akses, dalam arti kesamaan hak dalam mengakses sumber daya - sumber daya
produktif di dalam lingkungan.
2. Partisipasi, yaitu keikutsertaan dalam mendayagunakan aset atau sumber daya
yang terbatas tersebut.
3. Kontrol, yaitu bahwa lelaki dan perempuan mempunyai kesempatan yang
sama untuk melakukan kontrol atas pemanfaatan sumber daya – sumber daya
tersebut.
4. Manfaat, yaitu bahwa lelaki dan perempuan harus sama-sama menikmati
hasil-hasil pemanfaatan sumber daya –atau pembangunan – secara sama dan
setara.8
Perempuan dengan segala dinamikanya memang seakan menjadi sumber
inspirasi yang tak akan pernah habis. Merebaknya bentuk kajian-kajian yang
membahas tentang isu-isu perempuan merupakan suatu kelaziman dibanding
mencuatnya permasalahan yang membahas tentang isu laki-laki. Kecenderungan
itu muncul karena tak dapat dipungkiri bahwa fenomena kesetaraan gender masih
banyak ditemukan dalam keseharian kita. Salah satu yang paling menonjol adalah
beban reproduksi dan kelangsungan generasi yang hampir seluruhnya dibebankan
pada pundak perempuan.9
Film Perempuan Punya Cerita layak untuk diteliti karena beberapa
keunikannya. Film yang menceritakan berbagai masalah perempuan mulai dari
aborsi, seksualitas (kesadaran akan tubuh dan kesehatan reproduksi), human
trafficking dan HIV/AIDS. Sutradara dari film ini pun keseluruhannya adalah
perempuan, yakni: Nia Dinata, Upi, Lastja F. Susatyo dan Fatimah T. Rony. Jadi
dapat disimpulkan bahwa film Perempuan Punya Cerita dibuat berdasarkan sudut
pandang perempuan itu sendiri sebagai sutradara film tersebut.
8
Riant Nugroho, (2008), Gender Dan Strategi Pengarus-Utamaanya Di Indonesia, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, Ed.1, hlm. xxi.
9
Kamla Bhasin, (1996), Menggugat Patriarki, Yogyakarta. Yayasan Bentang Budaya, hal. 8
5
Penelitian ini ingin melihat lebih jauh isu-isu pemberdayaan perempuan
dan kesehatan reproduksi yang diwacanakan dalam film Perempuan Punya
Cerita. Jadi dari aspek pesan, penelitian ini ingin mengetahui bagaimana posisi
penulis – pembaca ditempatkan. Bagaimana penulis menyampaikan pesan atau
gambaran-gambaran terkait isu kesehatan reproduksi melalui tiap-tiap scene yang
ditampilkan dalam film dan bagaimana pembaca atau penonton (peneliti)
memaknai pesan yang tersirat dari setiap penggambaran scene dalam film tersebut
dan mengaitkanya dengan faktor-faktor terkait isu kesehatan reproduksi dan
gender sesuai realitas atau fenomena yang sebenarnya terjadi.
Model dasar untuk memahami proses komunikasi yang dikemukakan oleh
Harold Lasswel (1948) tentang siapa, mengatakan apa, melalui saluran yang
mana, kepada siapa, dengan efek apa, (sumber, pesan, saluran, penerima, efek).
”Mengatakan apa” adalah pesannya. Sebuah pesan adalah suatu pilihan simbolsimbol teratur yang dimaksudkan untuk mengkomunikasikan informasi. Secara
teratur, dimaksudkan adalah terciptanya pemisahan atas sejumlah rangkaian
pilihan (alternatif) yang lebih besar.10 Oleh karena itu pesan dalam sebuah film
dirasa penting untuk diteliti dan dikaji lebih mendalam.
Dalam setiap pesan komunikasi tidak hanya terdapat isi, tetapi sekaligus
didalamnya adalah makna. Makna yang dimiliki oleh film bukan hanya berasal
dari film itu sendiri melainkan hubungan antara pembuat film dengan penikmat
atau penonton dari film itu sendiri.11 Keempat sutradara yang kesemuanya adalah
perempuan pastilah memiliki maksud tesendiri dari setiap karya film buatannya.
Oleh karena itu analisis wacana berperan penting dalam pengungkapan maknamakna yang tekandung dalam sebuah pesan pada film.
Analisis wacana melihat pada ’bagaimana’ dari suatu pesan atau teks
komunikasi. Melalui analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana isi
teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Selain itu, analisis
10
Reed H. Blake, Edwin O. Haroldsen, (2003), Taksonomi Konsep Komunikasi, terj. Hasan
Bahanan, Surabaya: Papyrus, edisi 1, hlm.11.
11
Larry Gross, “Sold Worth And The Study of Visual Communication, Chapter One: The
Development Of A Semiotic Of Film” http://astro.tample.edu/-ruby/wava/worth/sintro.html
09/04/2013/20.00.
6
wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari sebuah teks melalui
struktur kebahasaannya.12
Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini menggunakan model
analisis Sara Mills. Model analisis Sara Mills digunakan karena Sara Mills lebih
menitik beratkan perhatian pada wacana mengenai feminisme: Bagaimana wanita
ditampilkan dalam teks, baik dalam novel, gambar, foto ataupun dalam berita.
Lebih khusus lagi, Sara Mills digunakan untuk melihat bagaimana posisi subyek –
obyek dalam sebuah peristiwa, bagaimana perempuan diposisikan sebagai aktor
subyek dan bagaimana perempuan diposisikan sebagai aktor obyek. Bagaimana
peristiwa dilihat, dari kacamata siapa peristiwa itu dilihat, siapa yang diposisikan
sebagai pencerita (subyek) dan siapa yang menjadi obyek yang diceritakan. Dan
sekaligus melihat bagaimana posisi penulis – pembaca ditampilkan dalam teks.
Bagaimana penulis menyampaikan sebuah pesan dan bagaimana pembaca
diposisikan dan memaknai pesan tersebut.13
Pesan yang ingin disampaikan oleh sang sutradara dalam film Perempuan
Punya Cerita merupakan bentuk kepedulian terhadap permasalahan yang
melingkupi perempuan, gender dan anak-anak dan kelompok-kelompok marginal
lainnya di Indonesia. seperti permasalahan kesehatan reproduksi, human
trafficking,
dan HIV/AIDS yang kerap dialami perempuan untuk dibawa ke
permukaan sebagai gambaran jujur mengenai kehidupan perempuan yang juga
dilihat dari sudut pandang perempuan (sutradara) agar terbentuk pemahaman
publik yang benar tentang kondisi mereka demi terciptanya kualitas hidup yang
baik.
12
13
Eriyanto, (2000), Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta, Lkis, hlm.5.
Ibid
7
Rumusan Masalah
1. Bagaimana akses, kontrol, dan partisipasi perempuan terhadap kesehatan
reproduksi dalam film Perempuan Punya Cerita pada sub judul Cerita Pulau
dan Cerita Yogyakarta dari karya kolektif Nia Dinata, Upi Avianto, Lasja F.
Susatyo, dan Fatimah T. Rony?
2. Bagaimana manfaat yang diperoleh perempuan dari kesehatan reproduksi
dalam film Perempuan Punya Cerita pada sub judul Cerita Pulau dan Cerita
Yogyakarta dari karya kolektif Nia Dinata, Upi Avianto, Lasja F. Susatyo, dan
Fatimah T. Rony?
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui gambaran akses, kontrol dan partisipasi perempuan
terhadap kesehatan reproduksi serta manfaat yang diperoleh perempuan dari
kesehatan reproduksi tersebut dalam film Perempuan Punya Cerita pada subjudul
Cerita Pulau dan Cerita Yogyakarta.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran terkait permasalahan
pemberdayaan perempuan dan kesehatan reproduksi yang sering dialami
perempuan dan juga diharapkan dapat menjadi masukan ataupun inspirasi kepada
para peneliti lainnya dalam membongkar wacana terkait pemberdayaan
perempuan
dan
kesehatan
reproduksi,
berupa
bentuk
pencitraan
yang
digambarkan melalui adegan serta dialog-dialog yang muncul dalam film untuk
selanjutnya guna penelitian yang lebih komprehensif dan mendalam.
Tinjauan Pustaka
a) Komunikasi Sebagai Proses Pertukaran Pesan
Model dasar untuk memahami proses komunikasi adalah paradigma
Lasswell (1948) tentang siapa, mengatakan apa, melalui saluran yang mana,
kepada siapa, dengan efek apa, (sumber; pesan; saluran; penerima; efek).
“Mengatakan apa” merupakan pesan yang ingin disampaikan dari komunikator
8
ke komunikan. Pesan yang dikomunikasikan tentu mengharapkan respon.
Feedback yang positif menunjukkan komunikasi itu berjalan efektif.14
Dari keenam unsur komunikasi (komunikator, encoder, pesan, media,
decoder, dan komunikan), “Pesan” mempunyai kedudukan yang sentral dan
tidak boleh diabaikan dalam mencapai efektivitas komunikasi. Abdullah Hanafi
menjelaskan bahwa pesan adalah produk fisik yang nyata, yang dihasilkan oleh
sumber encoder. Sewaktu kita berbicara, “pembicaraan” itulah pesan. Ketika
kita menulis surat, “tulisan surat” itulah pesan. Ketika seorang melukis
“lukisan” itulah pesan. Ketika seorang bisu berisyarat, maka “isyarat gerakan
tangan, mimik, ekspresi wajah, dll” itulah pesan. Yang jelas pesan dimengerti
dalam tiga unsur, yaitu: kode, isi dan wujud pesan.15
Kode pesan adalah serentetan symbol yang dapat disusun sedemikian
rupa sehingga bermakna bagi orang lain. Contoh: Bahasa Indonesia adalah
kode, yang mencakup unsur, suara, bunyi, huruf, kata, falsafah, dan lain-lain
yang disusun sedemikian rupa sehingga punya arti. Jadi kode itu adalah bentuk
yang mengandung arti, dan arti itu dapat dimengerti orang lain. Disamping
bahasa, musik, tarian, lukisan/sketsa itu juga kode.16
Isi pesan adalah bahan atau materi yang dipilih dan ditentukan
komunikator untuk mengkomunikasikan maksudnya. Isi pesan itu biasanya
dibalut dengan formulasi yang melicinkan penerimaan pesan tersebut.
Formulasi itu bisa berupa teknik berkomunikasi.17
Wujud pesan adalah sesuatu yang membungkus inti pesan itu sendiri.
Komunikator memberi wujud yang khas agar komunikan langsung tertarik
akan isi pesan didalamnya. Wujud ini sama seperti kover pembuka yang
menarik perhatian orang. Wujud pesan itu dapat memakai bahasa isyarat
maupun bahasa tindakan, juga dengan bahasa obyek, kepribadian dan
14
Siahaan, (2000), Komunikasi: Pemahaman dan penerapannya, Jakarta, Gunung Mulia, Hlm. 62.
Ibid.
16
Ibid. hlm. 63
17
Ibid. hlm. 64
15
9
karakteristik komunikator. Dengan demikian jelas bahwa wujud pesan dan
tidak terlepas dari seluruh aktivitas organ tubuh secara keseluruhan.18
c) Film Feminis
Film feminis tidak selalu berarti tuntutan untuk membuat film yang
menampilkan perempuan ’perempuan yang luar biasa mandiri’, tetapi lebih
sebagai film yang menurut Aquarini Priyatna Prabasmoro menampilkan citra
perempuan yang berangkat sebagai korban dari struktur masyarakatnya sendiri
tetapi kemudian bangkit dan memperoleh kekuasan dan kendali atas dirinya.
Film yang berkarakter dapat memberikan inspirasi bagi siapapun yang
menontonnya. Mulvey, 1989. Dengan keras mengatakan bahwa film feminis
adalah
cara
untuk
menghancurkan
bentuk-bentuk
kenikmatan
yang
dikonstruksi oleh masyarakat patriarkal.19
Lebih
jauh
lagi
film
dapat
digunakan
sebagai
media
untuk
memperjuangkan kesetaraan hak antara kaum perempuan dan laki-laki. Hal ini
membuat film dapat berfungsi sebagai media penentang hegemoni yang
mampu menawarkan perspektif baru dalam memahami persoalan dan nilai-nilai
dominasi kaum laki-laki. Saat ini mulai bermunculan film bertemakan
perempuan. namun ada kecenderuangan bahwa film yang dibuat selama ini
lebih memperlihatkan sudut pandang pria. Oleh karena itu dibutuhkan
representasi alternatif dalam memahami persoalan perempuan dari sudut
pandang perempuan.
Representasi
alternatif
tersebut
dapat
dihadirkan oleh sutradara
perempuan. film tentang perjuangan kaum perempuan akan menjadi lebih baik
apabila sebuah konstruksi itu datang dari kelompok yang merasakan proses
marjinalisasi oleh kelas yang berkuasa.20 Robert Starm menjelaskan bahwa
hasrat dari kreator (sutradara) mampu dimanifestasikan dalam karyanya. Hal
tersebut dijelaskan Stamp dalam konsep enunciation dalam teori film
18
Webster.Op.Cit, hlm. 522
Prahastiwi Utari. “Film Feminis: Inspirasi Pemberdayaan Perempuan Indonesia Terhadap
Keamanan Kesehatan Reproduksi”. Jurnal Semai Komunikasi, Nomor.2, vol.1 Juni 2011, Hlm.96.
20
Ulfa Mubarika, Wacana Poligami Dalam Film (Surakarta, Fisip UNS, 2009) Skripsi Program
Studi Komunikasi, Hlm.21.
19
10
psikoanalisis yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara human psyche
dan representasi sinematik. Lebih lanjut, Stamp memaparkan21:
It is possible that the concept og enunciation can offer a means of
theorizing feminism subjectivity, in fact, by allowing the categories of
authors, spectator, and text to be rethought from the stand point of
female desire. As made of analysis dor the systematic organization of
patterns of looking, enunciation, can enable, the understanding of how
women film-maker might negotiated the disparate visions of the text.
(Sangat dimungkin bagi konsep enunciation untuk melihat subjektifitas
feminine sebagai alat analisis, dengan melihat pengarang, penonton, dan
teks dari sudut pandang dan keinginan perempuan. sebagai model analisi
yang melihat sistem organisasi pola-pola dalam menonton enunciation
dapat melihat dan memahami bagaimana pembuat film perempuan
melakukan negosiasi untuk menampilkan visi yang berbeda dari visi
yang ditawarkan oleh ideologi patriarkhi didalam sebuah teks)
Dari Pemaparan Stam tersebut, semakin jelas bahwa perempuan menjadi
sutradara bukanlah menjadi persoalan yang sulit. Perempuan dapat membuat
gambaran dirinya melalui ‘kacamata’ perempuan dan sekaligus dapat
menyampaikan bagaimana keinginan-keinginan mereka untuk ditampilkan
dalam sebuah teks.
e) Gender
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan
kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang
melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki
adalah manusia yang memiliki dan bersifat seperti daftar berikut ini: Laki-laki
adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan
memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti
rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan
mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada
manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alatalat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada
21
Robert Stamp, (1996), New Vocabularies in Film Semiotics, Structurlism, Post-Stricturlism,
And Beyond, London, Routledge, Hlm 179-182.
11
manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak dapat berubah dan
merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan
atau kodrat.
Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yakni suatu sifat yang
melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara
sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut,
cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional,
jantan, perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat
dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah-lembut, keibuan,
sementara, juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa.22
f) Konsep Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah suatu keadaan fisik, mental
dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam
segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta
perosesnya. Atau keadaan dimana manusia dapat menikmati kehidupan
seksualnya serta mampu menjalankan fungsi dan proses produksinya secara
sehat dan aman.23
Berdasarkan
hasil
Konferensi
Internasional
Kependudukan
dan
Pembangunan (1994), kesehatan reproduksi didefinisikan sebagai suatu kondisi
sehat secara fisik, mental dan sosial dalam segala hal yang berkaitan dengan
fungsi dan proses reproduksi. Masyarakat, khususnya remaja perlu mengetahui
kesehatan reproduksi agar memiliki informasi yang benar mengenai proses
reproduksi serta berbagai faktor yang ada disekitarnya. Dengan informasi yang
benar, diharapkan remaja memiliki sikap dan tingkah laku yang bertanggung
jawab mengenai pergaulan dikehidupan bersosial dan bermasyarakat.
22
Mansour Fakih. 2012. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Hal.8
23
Sri Rejeki, “Kesehatan Reproduksi Remaja”
http://www.kesehatanreproduksi.com/forum/index.php/topic,5991.msg6529.html#msg6529 2011.
20/01/2013/ 13.30
12
Pengetahuan dasar yang perlu diberikan kepada remaja agar mempunyai
kesehatan reproduksi yang sehat diantaranya sebagai berikut:24
a) Pengenalan mengenai sistem, proses, dan fungsi alat reproduksi.
b) Perlunya mendewasakan usia perkawinan serta mengadakan perencanaan
dan pengaturan kehamilan.
c) Pengenalan bahaya narkoba dan minuman keras pada organ reproduksi.
d) Pengenalan pengaruh sosial dan media terhadap perilaku seksual dan
kekerasan seksual serta cara menghindarinya.
e) Meningkatkan pemahaman agama serta terbuka dalam berkomunikasi
mengenai masalah kesehatan reproduksi.
f) Pengenalan berbagai penyakit menular seksual (PMS) dan HIV/AIDS serta
dampaknya terhadap kondisi kesehatan reproduksi.
g) Akses,
kontrol,
partisipasi
dan
manfaat
merupakan
indikator
pemberdayaan perempuan.
Apakah yang dimaksud dengan kesetaraan gender? Kesetaraan gender
adalah suatu kondisi dimana semua manusia (baik laki-laki maupun
perempuan) bebas mengembangkan kemampuan personal mereka dan
membuat pilihan-pilihan tanpa dibatasi oleh stereotype, peran gender yang
kaku. Hal ini bukan berarti bahwa perempuan dan laki-laki harus selalu sama,
tatapi hak dan tanggung jawab, dan kesempatannya tidak dipengaruhi oleh
apakah mereka dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan.25
Nursahbani Katjasungkana, dalam sebuah diskusi di Tim Perumasan
Strategi Pembangunan Nasional yang difasilitasi oleh Kagama dan Lemhannas,
mengemukakan ada empat indikator pemberdayaan :
1. Akses, dalam arti kesamaan hak dalam mengakses sumber daya-sumber
daya produktif di dalam lingkungan.
2. Partisipasi, yaitu keikutsertaan dalam mendayagunakan asaet atau sumber
daya yang terbatas tersebut.
24
Purnomo, (2009), Biologi: Untuk SMA Kelas XI, Jakarta, Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional, Hlm. 342-343
25
Unesco, 2002
13
3. Kontrol, yaitu bahwa lelaki dan perempuan mempunyai kesempatan yang
sama untuk melakukan kontrol atas pemanfaatan sumber daya-sumber daya
tersebut.
4. Manfaat, yaitu bahwa lelaki dan perempuan harus sama-sama menikmati
hasil-hasil pemanfaatan sumber daya-atau pembangunan secara sama dan
setara.26
Metodologi Penelitian
a) Jenis Penelitian
Jenis metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini merupakan
metode penelitian kualitatif. Dalam bukunya, Pawito mengungkapkan bahwa
penelitian komunikasi kulitatif biasanya tidak dimaksudkan untuk memberikan
penjelasan-penjelasan (explanations), mengontrol gejala-gejala komunikasi tetapi
lebih dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran dan/atau pemahaman
(understanding) mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas
komunikasi terjadi.27
Pada penelitian ini, peneliti bertindak sebagai passionate participant, yaitu
fasilitator yang menjembatani keragaman subyektifitas pelaku sosial. Atau dalam
hal ini dapat juga diartikan. Dalam penelitian ini peneliti terlibat langsung dengan
obyek penelitian yaitu menjadi penonton (pembaca) langsung dari film
Perempuan Punya Cerita.
b) Obyek Penelitian
Obyek penelitian dalam penelitian ini adalah scene-scene (adegan)dalam fim
Perempuan Punya Cerita, yang memberi gambaran tentang pendidikan seks dan
kesehatan reproduksi. Dan meneliti lebih mendalam lagi pada shot-shot dalam
setiap scene tersebut.
26
Riant Nugroho, (2008), Gender Dan Strategi Pengarus utamaannya Di Indonesia,Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, Hlm.xxi
27
Pawito, (2007), Penelitian Komunikasi Kulaitatif, Yogyakarta, Lkis, Hlm.35
14
c) Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber data utama dalam penelitian ini adalah film ”Perempuan Punya
Cerita” pada sub judul ”Cerita Pulau” dan ”Cerita Yogyakarta” yang merupakan
hasil karya kolektif dari empat sutradara perempuan yakni Nia Dinata, Upi, Lasja
F. Susatyo, dan Fatimah T. Rony. Sedangkan teknik pengumpulan data yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan scene-scene atau
adegan yang secara dominan menggambarkan atau menyinggung faktor-faktor
yang berkaitan dengan isu kesehatan reproduksi untuk setiap kasus. Yaitu kasus
Cerita Pulau dan Cerita Yogyakarta.
d) Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini peneliti menganalisis data dan mengaitkan faktor-faktor
yang berkaitan dengan isu kesehatan reproduksi dengan analisis Sara Mills.
Analisis data dengan metode analisis Sara Mills yaitu dengan melihat bagaimana
posisi subyek – obyek dari setiap aktor pada tiap film (Cerita Pulau dan Cerita
Yogyakarta). Selanjutnya, analisis Sara Mills digunakan untuk melihat bagaimana
posisi penulis – pembaca pada tiap film (Cerita Pulau dan Cerita Yogyakarta).
Bagaimana penulis teks (sutradara film) menyampaikan pesannya melalui
penggambaran pada tiap-tiap scenenya. Dan bagaimana pembaca teks (peneliti)
menerima dan memaknai pesan yang tersirat pada film tersebut dan
mengaitkannya dengan faktor-faktor atau realitas fenomena yang sebenarnya
terjadi.
Sajian dan Analisis Data
a) Akses Perempuan Terhadap Kesehatan Reproduksi
Dari beberapa temuan yang dapat di lihat yang terkait akses perempuan
terhadap kesehatan reproduksi, bahwa faktor penyebab perempuan belum
mendapat akses kesehatan reproduksi diantaranya dipengaruhi dari faktor internal
dan eksternal. Untuk faktor internal yaitu :
15
1. Kemiskinan, kondisi kemiskinan dari seorang perempuan menjadikannya
tidak memilik kemampuan untuk mencukupi kebutuhan dasarnya baik pangan
maupun nonpangan khususnya pendidikan dasar dan kesehatan dasar.
2. Difabel, kondisi kekurangan atau cacat baik fisik maupun psikologis
menjadikan kaum difabel kesulitan dalam mencari maupun menerima akses
informasi terhadap kesehatan reproduksi.
Adapun yang termasuk faktor ekseternal yang mempengaruhi akses keehatan
reproduksi perempuan yaitu:
1. Bidan, akses perempuan terhadap kesehatan reproduksi umumnya diperoleh
dari orang-orang yang memiliki kompetensi dibidang kesehatan seperti bidan,
dokter ataupun perawat. Sehingga pelayanan yang kurang maksimal dari para
petugas kesehatan tersebut akan berdampak pada penerimaan akses kesehatan
kepada masyarakat. Khususnya akses kesehatan reproduksi perempuan.
2. Akses informasi yang tidak bertanggung jawab, mudahnya akses informasi
yang tidak bertanggung jawab seperti konten pornografi yang beredar luas di
media massa khususnya internet seringkali membuat para remaja bingung
terhadap prilaku seksual dan kesehatan reproduksi mereka.
3. Pendidikan sekolah, peran sekolah sebagai tempat belajar dan mengajar
sekaligus tempat bagi para remaja mempereoleh informasi, edukasi dan
konseling tentang kesehatan reproduksi bagi mereka.
4. Peran orang tua dalam keluarga, selain pendidikan sekolah peran orang tua
dalam lingkungan keluarga merupakan pondasi utama dalam memberi
bimbingan, informasi, edukasi serta konseling tentang kesehatan reproduksi
bagi anak sesuai fase pertumbuhan mereka.
b) Kontrol Perempuan Terhadap Kesehatan Reproduksi
Dari beberapa temuan yang dapat di lihat terkait kontrol perempuan
terhadap kesehatan reproduksi, bahwa perempuan belum memiliki kontrol atau
kuasa terhadap kesehatan reproduksi khususnya kontrol terhadap :
1. Kehamilan, Budaya patriarkal yang dominan dalam keluarga umumnya
membebankan kelahiran dan persalinan sepenuhnya kepada perempuan.
16
seringkali menjadikan mereka tidak memiliki kontrol atau kuasa untuk
memutuskan tindakan yang tepat terhadap kehamilan (fertilitas) mereka
ataupun dalam pemilihan alat kontrasepsi. Selain itu akses informasi yang
tidak bertanggung jawab yang diperoleh remaja khususnya remaja perempuan
yang menjadi korban perkosaan dan mengalami kehamilan yang tidak
diinginkan seringkali membingungkan mereka untuk memutuskan tindakan
yang tepat terhadap reproduksi mereka.
2. Tubuh Dan Seksualitas, kondisi disabilitas perempuan karena kecacatan fisik
ataupun psikis menyebabkan mereka kesulitan dalam penerimaan akses
informasi dan juga posisi perempuan difabel dalam sosial masyarakat yang
lemah dan terabaikan sangat rentan menjadi korban perlecahan seksual
ataupun perkosaan. Selain itu kurang maksimalnya akses informasi dan
edukasi kesehatan reproduksi yang diperoleh remaja perempuan dalam
pendidikan sekolah dan juga kurangnya keiuktsertaan pihak orang tua dalam
lingkungan keluarga untuk memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi
kesehatan reproduksi kepada anak sesuai fase pertembuhannya seringkali
menjadikan ramaja khususnya remaja perempuan menjadi korban pelecehan
seksual ataupun perkosaan yang tidak jarang berujung pada kehamilan yang
tidak dikehendaki.
c) Partisipasi Perempuan Terhadap Kesehatan Reproduksi
Dari beberapa temuan yang dapat di lihat terkait partisipasi perempuan
terhadap kesehatan reproduksi yaitu perempuan belum memiliki partisipasi penuh
terhadap kesehatan reproduksi khususnya partisipasi terhadap :
1. Partisipasi
perempuan
terhadap
penerapan
undang-undang kesehatan,
anggapan bahwa aborsi adalah perbuatan kriminal dan perempuan-perempuan
yang ketahuan telah melakukannya diganjar hukuman. Orang-orang yang anti
aborsi biasanya berpegang pada prinsip pro-kehidupan (pro-life), sebab aborsi
masih dianggap sebagai pembunuhan, perbuatan yang keji dan pantas di
hukum. Sebaliknya para pendukung aborsi dinamakan pro-pilihan (prochoice), dengan alasan mereka tidak mengindahkan kehidupan embrio dalam
17
kandungan sang ibu. Oleh karena kepercayaan ini telah ditanamkan pada
masyarakat, banyak perempuan yang melakukan aborsi merasa bersalah
seumur hidup karena cap “pembunuh”.
2. Partisipasi perempuan dalam perencanaan kehamilan, kaum perempuan tidak
punya kebebasan untuk memutuskan berapa anak yang mereka inginkan dan
kapan, apakah mereka bisa mnggunakan kontrasepsi, atau tidak hamil lagi,
dan sebagainya. Perjuangan terus menerus oleh perempuan untuk kebebasan
memilih kapan, bagaimana dan berapa banyak anak yang diinginkan, praktis
di semua negeri didunia, adalah indikasi dari betapa kuat dan betapa tidak
maunya laki-laki melepaskannya.
3. Partisipasi perempuan dalam penggunaan alat kontrasepsi. Pada usia remaja
mulai berkembang rasa ingin tahu yang sangat besar. Mereka tertarik untuk
berprilaku seksual tertentu. Memang prilaku ini muncul karena ada keputusan
yang sudah diambil. Akan tetapi, pengambilan keputusan tersebut tidak lepas
dari aspek pengetahuan dan pengalaman remaja itu sendiri. Yang sering terjadi
adalah pengetahuan dan pengalaman remaja itu belum cukup untuk
mengambil keputusan tentang prilaku seksual tertentu dan kurangnya
pemahaman mengenai fungsi dan manfaat alat kontrasepsi membuat mereka
tidak memiliki partisipasi/keikutsertaan dalam memilih dan menggunakan alat
kontrasepsi.
d) Manfaat Kesehatan Reproduksi Terhadap Perempuan
Dari beberapa temuan yang dapat di lihat terkait manfaat kesehatan
reproduksi terhadap perempuan, bahwa banyak manfaat yang belum dicapai dari
kesehatan reproduksi. yaitu :
1. Perempuan Difabel Belum Memperoleh Manfaat Yang Maksimal Dari
Kesehatan Reproduksi
Beberpa faktor yang mempengaruhi belum tercapainya manfaat dari
kesehatan reproduksi bagi perempuan difabel diantaranya karena penyandang
difable sering memperoleh hambatan untuk mendapatkan berbagai akses dan
kontrol terhadap pembangunan, sumber daya, keluarga maupun masyarkat.
18
Hambatan terhadap orang cacat tersebut dilakukan keluarga, masyarakat,
bahkan negara yang membuahkan ketidakadilan terhadap difable akibat
diskriminasi.
2. Perempuan Belum Memperoleh Manfaat Yang Maksimal Dari Program
Keluarga Berencana
Rendahnya akses informasi, pelayanan yang belum proporsional bagi
perempuan khususnya ibu dan akseptor KB. Sebagai contoh, ketersedian
pelayanan kehamilan dan persalinan, dan juga masih kuatnya budaya
patriarkhi dalam keluarga menjadi faktor ketidakberhasilan dari program KB.
3. Remaja Perempuan Belum Memperoleh Manfaat Yang Maksimal Dari
Pendidikan Seks Di Sekolah Dan Di Lingkungan Keluarga
Belum maksimalnya materi pelajaran kesehatan reproduksi yang
diajarkan disekolah dan masih adanya anggapan tabu dalam membicarakan
urusan
seks
dilingkungan
keluarga
merupakan
faktor
terhambatnya
komunikasi orang tua – anak untuk membahas kesehatan reproduksi. Sehingga
berdampak kurangnya informasi dan pemahaman bagi remaja terhadap
kesehatan reproduksi.
Kesimpulan
Setelah mengamati dan menganalisis film Perempuan Punya Cerita
khususnya pada sub judul Cerita Pulau dan Cerita Yogyakarta penulis
menyimpulkan bahwa:
Setelah melihat dari kedua kasus, Cerita Pulaudan Cerita Yogyakarta.
Maka dapat ditarik benang merah dari kedua kasus tersebut melalui pendekatan
analisis Sara Mills yaitu masih rendahnya akses, kontrol, dan partisipasi
perempuan terhadap kesehatan reproduksi menjadikan manfaat yang diperoleh
perempuan dari kesehatan reproduksi itu sendiri kurang maksimal. Adapun
dengan melihat posisi perempuan sebagai subyek yang mampu memberikan akses
informasi dan asuhan kesehatan reproduksi kepada para ibu, hal tersebut sudah
bisa dikatakan cukup berperan dalam pemberdayaan perempuan.
19
Saran
1. Untuk Perempuan
Bagi para perempuan diharapkan mampu berada pada posisi subyek yang
memiliki power atau peran serta untuk menciptakan kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan.
2. Untuk Sineas Film
Berdasarkan pengamatan dan analisa yang telah penulis lakukan, dalam film
Perempuan Punya Cerita, penulis menyarankan agar memperbaiki kualitas
teknis dari film tersebut. Dalam film ini kualitas gambar dan suara yang
disajikan masih kurang maksimal sehingga hal tersebut dapat mengganggu
bagi penonton yang menyaksikan. Untuk itu diharapkan kepada para sineas
untuk bisa meningkatkan lagi kualitas sinematografi dari setiap karya film
yang dibuat dan lebih mampu menggali lebih dalam isu-isu pemberdayaan
perempuan yang terkait akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat sebagai
indikator pemberdayaan perempuan khususnya untuk permasalahan kesehatan
reproduksi.
Daftar Pustaka
Abdul Bari Saifuddin. (2008). Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Jakarta.
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Alex Sobur. (2012). Analisis Teks Media. Bandung, Remaja Rosdakarya Offset.
Burhan Bungin. (2003). Pornomedia: Sosiologi Media, Konstruksi Sosial
Teknologi Telematika, & Perayaan Seks Di Media Massa. Jakarta. Prenada
Media
Eriyanto. (2000), Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media.Yogyakarta.
Lkis.
Kamla Bhasin. (1996). Menggugat Patriarki, Yogyakarta. Yayasan Bentang
Budaya.
Mansour Fakih. (2012). Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar.
Pawito, (2007). Penelitian Komunikasi Kulaitatif, Yogyakarta, Lkis
Prahastiwi Utari. (2011). Jurnal Komunikasi. Film Feminis: Inspirasi
Pemberdayaan Perempuan Indonesia Terhadap Keamanan Kesehatan
Reproduksi. Nomor 2.
Riant Nugroho. (2008). Gender Dan Strategi Pengarus-Utamaanya Di
Indonesia.Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Siahaan. (2000). Komunikasi: Pemahaman dan penerapannya, Jakarta, Gunung
Muli
20
Download