KAWASAN BUDIDAYA TAMBAK UDANG DI KABUPATEN

advertisement
DAYA DUKUNG LINGKUNGAN (CARRYING CAPACITY) KAWASAN
BUDIDAYA TAMBAK UDANG DI KABUPATEN SUMBAWA
Dedi Syafikri1, Neri Kautsari1
1
Dosen pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Pertanian dan PerikananUniversitas Samawa (UNSA)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya dukung (carrying capacity) beberapa
kawasan tambak udang di Kabupaten Sumbawa. Penelitian ini dilaksanakan dan dilakukan
di wilayah kecamatan pesisir Kabupaten Sumbawa yaitu kawasan pertambakan Kecamatan
Moyo Utara, Kecamatan Lape dan Kecamatan Maronge. Parameter yang dikaji adalah
parameter fisika kimia perairan dan tanah serta jarak dengan sumber air. Parameter perairan
yang dikaji diantaranya adalah suhu, warna, kecerahan, lapisan minyak permukaan,
salinitas, pH dan DO, Amoniak, Nitrat, Nitrit dan Fosfat, sedangkan sifat fisik dan kimia
tanah tambak meliputi tekstur tanah, pH dan bahan organik (BO). Analisis kelayakan
lingkungan dilakukan dengan menggunakan Metode Scoring dengan 3 nilai interval kelas
kelayakan yaitu; sangat layak, layak bersyarat dan tidak layak. Hasil dari 9 titik stasiun
yang mewakili ke-3 wilayah kajian menunjukkan nila DO berkisar antara 3 – 8 ppm, Suhu
berkisar antara 30,6 – 36,00 0C, salinitas berkisar antara 34 – 40 ppt, Kecerahan di atas 10%
dari penetrasi cahaya sampai dasar perairan, pH air berkisar antara 7,20 – 7,58, pH tanah
basah berkisar antara 7,14 – 7,69 dan pH tanah kering berkisar antara 7,06 – 7,65, Amoniak
berada pada rentang 0,009 – 0,015 ppm, Nitrit berada pada rentang 0,01 – 0,03 ppm
sementara itu Nitrat berkisar antara 1 – 2,3 ppm, Fosfat berada pada rentang 0,2 – 0,17 ppm,
BO tanah berkisar antara 0,56% - 1,65%. Untuk tekstur tanah, di 9 titik sampel secara
umum serupa dan didominasi oleh campuran antara lempung/liat, pasir dan debu, dengan
porsentase rata-rata di Kecamatan Moyo Utara; pasir 25,31%, debu 49,1% dan lempung
25,68%, di Kecamatan Lape; pasir 45,25%, debu 39,40% dan lempung 19,84% dan di
Kecamatan Maronge; pasir 37,23%, debu 31,08% dan lempung 31,69%. daya dukung
lingkungan terhadap komparasi dari beberapa parameter lingkungan yang ada baik
parameter kualitas air maupun tanah tambak, dari 9 titik stasiun mewakili ke-3 wilayah
kajian menunjukkan bahwa ke-3 kawasan pertambakan yang berada di Kecamatan Moyo
Utara, Lape dan Kecamatan Maronge Kabupaten Sumbawa sangat layak (S1) dan
memenuhi daya dukung serta kualitas lingkungan untuk kegiatan budidaya pertambakan.
Kata kunci : Carrying capacity, Budidaya Tambak, Sumbawa.
39
pesisir dan kelautan, baik hayati ataupun
PNDAHULUAN
Perikanan
budidaya
khususnya
non-hayati yang cukup besar dan sangat
budidaya pertambakan menjadi salah satu
menjanjikan untuk di kelola salah satunya
barometer
menopang
potensi perikanan budidaya khususnya
pembangunan perikanan nasional. Saat ini
tambak. Kabupaten Sumbawa memiliki
udang merupakan produk perikanan yang
potensi lahan tambak seluas 10.375 Ha
memiliki nilai ekonomis tinggi, memiliki
dengan
pangsa pasar yang luas serta merupakan
tradisional sebanyak 113 dengan sistem
salah satu komoditas eksport unggulan
pengelolaan semi intensif, 137 RTP
Indonesia.
dengan sistem tradisional plus dan 146
utama
dalam
Atase Perdagangan di Kedutaan
RTP
jumlah
dengan
RTP
sistem
pembudidaya
intensif
serta
Besar RI di Washington DC pada tahun
dilakukan oleh 95 perusahaan dengan luas
2015 lalu menjelaskan bahwa saat ini
areal tambak udang sebesar 556,69 Ha
Indonesia
dan potensi lahan tambak lebih dari 4.000
mencetak
rekor
sebagai
"penguasa" ekspor udang ke Amerika
Ha.
Serikat dengan nilai USD 93,5 juta atau
mendominasi
dan
menguasai
pangsa
Untuk dapat mewujudkan usaha
perikanan
budidaya
pertambakan
di
pasar sebesar 22,7%. Keterangan ini
Kabupaten Sumbawa sebagai salah satu
diperkuat
ujung
oleh
Perdagangan
penjelasan
Rahmat
Menteri
Gobel
tombak
dalam
menggerakan
yang
perekonomian daerah dan nasional serta
menyebutkan bahwa Selama 5 tahun
mewujudkan ketahanan pangan nasional,
terakhir eksport udang beku meningkat
maka diperlukan sebuah kajian dan juga
dengan tren sebesar 14,26 persen.
kebijakan strategis yang terimplementasi
Bahkan pemerintahan sebelumnya
melalui
Perikanan
Kementerian
(KKP)
Kelautan
telah
secara nyata melalui kerja sama dan
dan
sinergitas dari seluruh stake holders, salah
menjalankan
satunya melalui kajian kualitas atau
program revitalisasi tambak di seluruh
dayadukung
Indonesia pada tahun 2013 lalu dimana
(carrying capacity). Hal ini disebabkan
peresmiannya di pusatkan di Kabupaten
karena
Sumbawa.
merupakan
Kabupaten Sumbawa adalah salah
lingkungan
nilai
menjamin
dayadukung
faktor
siklus
budidaya
lingkungan
penting
produksi
dalam
budidaya
satu kabupaten di wilayah Propinsi NTB
khususnya budidaya pertambakan udang
yang menyimpan potensi sumberdaya
dalam jangka waktu yang lama.
40
MATERI DAN METODOLOGI
pengaruh parameter pada lingkungan
PENELITIAN
perairan dan aktifitas budidaya.
yang
berhubungan dengan aktivitas perikanan
No
tambak dan lingkungannya diantaranya
Parameter
Kisaran
sampel air, tanah tambak serta faktor
penunjang lain seperti; jarak dengan air
Skor Min
data
Tabel 1. Skoring dan Pembobotan
Parameter
Lingkungan
Pertambakan
A
b
Skor Max
seluruh
untuk
Bobot
pengumpulan
dilaksanakan
Angka
Penilaian
Survei
3
3
9
3
3
9
3
3
9
2
2
6
2
2
6
2
2
6
2
2
6
2
2
6
2
2
6
2
2
6
2
6
Parameter Primer
≧5
sumber, pasang surut serta curah hujan di
3 - 5,0
2
ke-3 wilayah kajian yatu masing-masing
1
<3
1
di Kecamatan Moyo Utara, Kecamatan
20 – 30
3
10 – 20 atau 30
– 40
2
< 10 atau > 40
1
2
Lape dan Kecamatan Maronge.
DO (mg/l)
Salinitas (ppt)
Untuk kualitas air unsur-unsur yang
dikaji meliputi; Bau, Warna, Kecerahan,
3
o
Suhu ( C)
Temperatur, pH, DO, Salinitas, Amoniak,
Nitrat, Nitrit, dan Posfat. Sementara itu,
untuk kualitas tanah parameter yang
dikaji
meliputi;
Tekstur
tanah,
3
2
< 18 & > 35
1
Parameter Sekunder
4
Kecerahan
(cm)**
pH,
Kesadahan, Lengas dan bahan organik
25 -32
18 -24 atau 3235
> 10%
3
5 % - 10%
2
<5%
1
7,5 - 8,5
3
6 – 7,5
2
(BO). Setiap kecamatan diambil sebanyak
< 6 atau > 8,5
1
masing-masing 3 sampel air dan tanah
6,5 - 8,5
3
5 - 6,4
2
<5
1
5
6
pH Air
pH Tanah
untuk selanjutnya dilakukan pengukuran
dan analisis baik secara insitu maupun
7
eksitu.
Amoniak (NH3)
(mg/l)
Data dan informasi yang telah
diperoleh baik dari sampel air dan tanah
8
Posfat (mg/l)
akan dibandingkan dengan baku mutu
yang telah ditentukan sebagai standart.
Lebih
lanjut
pengkategorian
lagi
dapat
kelas
9
Nitrat (mg/l)
dilakukan
kelayakan
lingkungan dengan menggunakan Metode
10
Nitrit (NO2)
(mg/l)
Pembobotan / Scoring. Pemberian bobot
skoring
didasarkan
pada
besaran
11
< 0,3
3
0,3 – 0,5
2
> 0,5
1
0,2 – 0,5
3
0,6 – 0,8
2
<0,2 ; >0,8
1
0.01 – 10
3
0,001 - 0.01
atau 10 - 20
< 0,001 atau >
20
2
1
0,06 – 0,5
3
0,001- 0,06 atau
0,5 – 1
2
< 0,001 atau > 1
1
1 - 4,
3
5 - 9,
2
BO Subtrat (%)
2
41
b
>9
1
Halus
3
Sedang
2
Kasar
1
Skor Max
Bobot
A
Skor Min
Kisaran
Angka
Penilaian
No
Parameter
1
1
3
1
1
3
1
1
3
1
1
3
2
9
8
7
Tabel 2. Interval Kelas Kelayakan
Lingkungan Pertambakan
Interval Kategori
67-87
Sangat
Sesuai
Parameter Penunjang
12
13
14
15
Tekstur Tanah
(cm)
Warna
Lapisan Minyak
Jarak dengan
Air Sumber
(km)
Alami
3
Berwarna
2
Keruh
1
Tidak ada
3
Sedikit
2
Banyak
1
0–1
3
1, - 2
2
>2
1
Rentang Nilai Maksimal dan Minimal
Sumber
:
Kep.Dirjen
PB
No.
1106/DPB.0/HK.150/XII/2006;
Environmental Protection Administration
(EPA) (2013); NTAC, (1986); Syafikri
(2010); Udi Putra (2008); Adhikari, (2003),
Ghufran dkk (2007); Arifin dkk (2007);
BBPAP Jepara (2007); Adiwijaya (2003),
Purnomo (1988), Buwono (1993), Suyanto
dkk (2001) Kisworo (2007); PPRI No. 82,
2001; Pescod, (1973); Swingle, 1968.; DKP
(2002);, Yulius (1997), dan Afrianto dan
Liviawaty
(1991)
dengan
beberapa
modifikasi.
Selanjutnya dilakukan pembagian
intelval kelas kelayakan menjadi 3 kelas
kelayakan yaitu; sangat layak (S1), layak
bersyarat (S2) dan tidak layak (S3)
berdasarkan rumus metode Equal Interval
(Irianto, 2007 dan Prahasta, 2002). Berikut
rumus Equal Interval Irianto (2007) dan
Prahasta (2002).
= (96 – 32) / 3 = 19,3 ≈ 19
48-67
Sesuai
Bersyarat
29-48
Tidak
Sesuai
Keterangan
Daerah ini tidak mempunyai
pembatasan yang serius untuk
menerapkan perlakuan yang
diberikan
atau
hanya
mempunyai pembatasan yang
tidak berarti atau tidak
berpengaruh secara nyata
terhadap penggunannya dan
tidak akan menaikan masukan
atau tingkat perlakuan
yang diberikan.
Daerah
ini
mempunyai
pembatas-pembatas yang agak
serius untuk mempertahankan
tingkat
perlakuan
yang
diterapkan, pembatas ini akan
meningkatkan masukan atau
tingkat perlakuan/penggunaan
yang diberikan.
Daerah ini mempunyai
pembatas permanen, sehingga
mencegah segala kemungkinan
perlakuan/penggunaan pada
daerah tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengukuran Parameter Lingkungan
Parameter Primer
DO
Kandungan oksigen terlarut (DO)
merupakan salah satu faktor yang sangat
dibutuhkan dalam jumlah tertentu
(limitting faktors) sekaligus berperan
dalam
mengarahkan
reaksi-reaksi
biokimia air dalam ekosistem perairan
(directive faktors), sehingga merupakan
faktor pembatas bagi kehidupan dan
pertumbuhan organisme perairan. Hasil
pengukuran
lapangan
menunjukkan
bahwa tingkat kelarutan oksigen di 9 titik
stasiun
di
ke-3
wilayah kajian
menunjukkan bahwa kadar oksigen
terlarut cukup baik dan berada pada
kondisi ideal untuk kegiatan budidaya
yaitu berkisar antara 3 – 8 ppm atau ratarata sebesar 5,19 ± 1,55 ppm. Van Wyk &
Scarpa (1999), Udi Putra (2008)
menyebutkan bahwa kadar oksigen
42
terlarut dalam suatu perairan dipengaruhi
beberapa faktor diantaranya, suhu,
salinitas, respirasi serta fotosintesis
organisme yang ada di perairan tersebut.
Semakin tinggi suhu, salinitas dan
respirasi maka kadar oksigen terlarut akan
semakin menurun, sebaliknya semakin
tinggi aktifitas fotosintesis dalam suatu
badan air maka cenderung akan
meningkatkan kadar oksigen terlarut
dalam badan air tersebut.
Suhu
Hasil
analisis
menunjukkan
parameter suhu perairan di ketiga
kecamatan lokasi kajian menunjukkan
nilai yang relatif tinggi terutama di
Kecamatan Lape dan Maronge. Hasil
pengukuran
suhu
dilapangan
menunjukkan nilai suhu perairan di 9
stasiun di 3 kecamatan berkisar antara
30,6 – 36,00 0C atau rata-rata sebesar
33,30 ± 1,78 0C. Konsentrasi ini sedikit di
atas batas optimum suhu perairan
budidaya. Jika kondisi suhu air terusmenerus tinggi dapat menyebabkan
deplesi oksigen dan pertumbuhan udang
tidak normal yang pada akhirnya dapat
menyebabkan kematian pada udang
peliharaan. Namun demikian, menurut
Adiwijaya 2003, Purnomo (1988), Ibnu
Dwi Buwono (1993), Suyanto dan
Mudjiman (2001) bahwa nilai rata-rata
suhu demikian masih dalam batas
toleransi
(26–32oC)
dan
tidak
menyebabkan mortalitas udang yang
dipelihara sementara itu, Svobodove
(1993) mengungkapkan bahwa untuk
jenis ikan dan udang dapat hidup normal
pada rentang suhu 28 – 32 0C, dengan
fluktuasi 4 0C.
Salinitas
Salinitas mampu memodifikasi
perubahan-perubahan fisika dan kimia air
menjadi satu kesatuan pengaruh yang
berdampak osmotic bagi kehidupan
organisme air (masking faktors) (Gerking,
1978 dan Anggoro, 1992). Selain itu,
Adiwijaya (2003), Purnomo (1988),
Buwono (1993), Suyanto dan Mudjiman
(2001) dan Kisworo 2007 juga
mengkatagorikan
salinitas
sebagai
directive faktors yang berperan dalam
mengarahkan reaksi-reaksi biokimia air
dalam ekosistem perairan.
Tingginya suhu perairan secara
langsung berimplikasi pada meningkatnya
kadar garam atau salinitas di perairan
tersebut. Hal ini sangat dimungkinkan
karena suhu perairan berbanding lurus
dengan kadar garam perairan tersebut.
Semakin tinggi suhu suatu perairan maka
kadar garam perairan itupun akan
semakin tinggi.
Hasil pengukuran lapangan dimana
salinitas di ke-3 stasiun pengamatan di
masing-masing kecamatan memiliki
kadar salinitas yang cukup tinggi yaitu
berkisar antara 34 – 40 ppt atau rata-rata
sebesar 37,17 ± 2,14 ppt. Namun
demikian udang Vannamei memiliki
rentang toleransi yang cukup lebar
terhadap salinitas. Suyanto dan Mujiman,
(2001) menyebutkan bahwa P. Monodon
dan P. Vannamei memiliki toleransi
salinitas yang lebar, yaitu dari 2 – 40 ppt,
tapi akan tumbuh cepat pada salinitas
yang lebih rendah.
Parameter Sekunder
Kecerahan
Kecerahan merupakan indikator
batas wilayah yang dapat menjalankan
proses fotosintesis di perairan dan
dipengaruhi oleh aspek lain diantaranya
kekeruhan. Padatan terlarut dan padatan
tersuspensi mempengaruhi kecerahan dan
kekeruhan suatu perairan. Seperti
43
diketahui bahwa tingkat kecerahan suatu
perairan berbanding terbalik dengan
tingkat kekeruhannya. Semakin tinggi
tingkat kecerahan suatu perairan makan
semikin rendah tingkat kekeruhannya dan
sebaliknya.
Kecerahan
akan
mempengaruhi proses fotosintesis disuatu
perairan serta proses respirasi udang dan
ikan.
Dari hasil pengukuran lapangan
terhadap tingkat kecerahan perairan
khususnya air sumber untuk mendukung
aktifitas budidaya pertambakan di 9
lokasi stasiun di ke-3 lokasi kajian
didapatkan nilai kecerahan yang sangat
baik yaitu di atas 10% dari penetrasi
cahaya sampai dasar perairan.
pH Air dan Tanah
pH (asam-basa) merupakan faktor
yang berperan dalam mengarahkan
reaksi-reaksi biokimia air (directive
faktors) dalam ekosistem perairan
(Gerking, 1978 dalam Syafikri, 2010).
Berikutnya PKSPL, (2002) menerangkan
bahwa konsentrasi pH air juga sangat
penting artinya untuk proses metabolisme
di dalam tubuh udang.
Hasil pengukuran pH dilapangan
menunjukkan bahwa kisaran pH air di 9
stasiun pengamatan di ke-3 kecamatan
berada pada kisaran optimal untuk
kegiatan budidaya yaitu antara 7,20 –
7,58 atau rata-ratanya sebesar 7,42 ± 0,18.
Nilai pH yang ideal bagi kehidupan
organisme air pada umumnya terdapat
antara 7 - 8,5. Van Wyk & Scarpa (1999)
menerangkan bahwa udang memiliki
tingkat toleransi pH antara 7 – 9. Nilai pH
asam kurang dari 6,5 dan pH basa lebih
dari 10 sangat berbahaya bagi insang
udang dan akan menghambat laju
pertumbuhan udang.
Sedangkan untuk pH tanah dari 9
titik stasiun sampel mewakili 3 wilayah
kajian menunjukkan bahwa rentang pH
tanah basah / segar berkisar antara 7,14 –
7,69 atau rata – rata 7,41 ± 0,17 dan pH
tanah kering berkisar antara 7,06 – 7,65
dengan rata-rata 7,35 ± 0,17. Berdasarkan
pada pendapat Adhikari (2003) dan
Karthik et al. (2005), bahwa kondisi pH
tanah tambak di ke-3 wilayah kajian
masih dalam kondisi baik dan ideal untuk
mendukung
kegiatan
budidaya
pertambakan.
Senyawa Organik (Amoniak, Nitrat
dan Nitrit)
Amoniak berasal dari kandungan
nitrogen yang bersumber dari limbah
rumah tangga ataupun industry. Dilain
pihak amoniak dapat berasal dari sisa
pakan dan feses ikan atau udang dan
bahan organic lainnya. Hampir 85%
nitrogen pakan untuk udang dikonversi
menjadi amoniak (Svobodova, at al,
1993). Konsentrasi nitrogen organik di
perairan berkisar 0,1 sampai 5 mg/l,
sedangkan di perairan tercemar berat
kadar nitrogen bisa mencapai 100 mg/l
(Dojlido dan Best, 1993).
Nitrat dan nitrit yang ada di alam
merupakan hasil oksidasi. Keduanya
selalu dalam konsentrasi yang rendah
karena posisinya yang tidak stabil dan
sangat tergantung pada keberadaan bahan
yang dioksidasi bakteri (Malone &
Burden 1988).
Van Wyk & Scarpa, (1999)
menyebutkan bahwa nitrit akan lebih
beracun pada kondisi pH dan salinitas
yang rendah. Untuk amannya kondisi
nitrit diupayakan untuk dipertahankan
pada level 1 mg/l (ppm). Lebih lanjut Van
Wyk & Scarpa, (1999) menambahkan
bahwa daya racun nitrit terhadap kepiting
lebih sensitif dibandingkan jenis udang
44
terutama
jenis
Vannamei.
Udang
Vannamei masih optimal pada kisaran
hingga 1 ppm. Sementara itu, Clifford
(1992) menyebutkan bahwa level
optimum amoniak dan nitrit untuk
kegiatan budidaya udang Vannamei
adalah < 1 ppm. Sedangkan untuk nitrat
sebesar 0,4 – 0,8 ppm.
Hasil pengamatan dan pengukuran
lapangan (insitu) menunjukkan bahwa
nilai amoniak di 9 titik stasiun di ke-3
lokasi kajian berada pada rentang 0,009 –
0,015 ppm atau rata-ratanya sebesar 0,02
± 0,02 ppm. Sementara itu, nitrit berada
pada rentang 0,01 – 0,03 ppm atau rataratanya sebesar 0,01 ± 0,01 ppm.
Berdasarkan pendapat Dojlido dan Best,
(1993); Van Wyk & Scarpa, (1999) serta
Clifford (1992), kisaran dan rata-rata nilai
amoniak dan nitrit ini masih dalam
kondisi optimum untuk menunjang
kegiatan budidaya khususnya budidaya
pertambakan udang.
Sedangkan nitrat berada pada
rentang 1 – 2,3 ppm atau rata-ratanya
sebesar 1,29 ± 0,62 ppm. Nilai ini dapat
dikategorikan kurang sesuai untuk
budidaya jika didasarkan pada pendapat
Clifford (1992). Namun Peraturan
Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 tentang
Pengelolaan
Kualitas
Air
dan
Pengendalian
Pencemaran
Air
membolehkan kadar Nitrat dalam perairan
tidak melebihi 20 ppm.
Fosfat
Keberadaan fosfor di perairan
adalah sangat penting terutama berfungsi
dalam
pembentukan
protein
dan
metabolisme bagi organisme. Fosfor juga
berperan dalam transfer energi di dalam
sel misalnya adenosine triphosfate (ATP)
dan adenosine diphosphate (ADP).
Ortofosfat yang merupakan produk
ionisasi dari asam ortofosfat adalah
bentuk yang paling sederhana di perairan.
Untuk keperluan budidaya ikan, kadar
fosfat perairan yang baik dan aman adalah
0,2 mg/l - 0,5 mg/l (Boyd, 1982).
Hasil pengamatan dan pengukuran
lapangan (insitu) menunjukkan bahwa
nilai posfor di 9 titik stasiun di ke-3 lokasi
kajian berada pada rentang 0,2 – 0,17
ppm atau rata-ratanya sebesar 0,54 ± 0,5
ppm. Kisaran nilai ini jika didasarkan
pada kisaran nilai berdasarkan pendapat
Boyd (1982) dapat dikategorikan pada
kondisi yang baik dan aman untuk
kegiatan budidaya.
Bahan Organik (BO) Tanah
Keberadaan bahan organik dalam
ekosistem laut memiliki peranan yang
sangat
penting
sebagai
kontrol
kelimpahan, metabolisme dan distribusi
mikroorganisme di laut dan pantai
(Nybakken, 1992). Hardjowigeno (1993)
dalam Wibowo dkk. (2004) menjelaskan
bahwa fungsi bahan organik antara lain
sebagai
sumber
energi
bagi
mikroorganisme yang menyuburkan
tanah.
Berdasarkan
hasil
analisis
laboratorium terhadap kandungan bahan
organic (BO) tanah tambak di ke-3
wilayah kajian menunjukkan bahwa nilai
bahan organic berada pada rentang 0,56%
- 1,65% atau rata – rata 1,16±0,33%.
Kondisi ini menunjukkan bahwa tanah
dasar dari ke-3 lokasi tersebut masih
cukup baik untuk menunjang aktifitas
pertambakan. Sesuai dengan pendapat
Adhikari (2003) yang menyebutkan
bahwa tanah dengan kandungan BO < 0,5
kurang
cocok
untuk
budidaya
pertambakan ikan/udang dikarenakan
kandungan BO sangat kurang dan
tergolong tanah tidak produktif.
45
Parameter Penunjang
Tekstur Tanah
Tekstur tanah tambak sangat
berpengaruh terhadap porositas dan
pertumbuhan kelekap yang dapat menjadi
salah satu sumber makanan bagi ikan dan
udang.
Berdasarkan
hasil
analisis
laboratorium terhadap tekstur tanah di 9
titik sampel yang mewakili 3 wilayah
kajian dalam hal ini Kecamatan Moyo
Utara, Lape dan Kecamatan Maronge
secara umum serupa dan didominasi oleh
campuran antara lempung/liat, pasir dan
debu, dengan porsentase rata-rata di
Kecamatan Moyo Utara; pasir 25,31%,
debu 49,1% dan lempung 25,68%, di
Kecamatan Lape; pasir 45,25%, debu
39,40% dan lempung 19,84% dan di
Kecamatan Maronge; pasir 37,23%, debu
31,08%
dan
lempung
31,69%.
Berdasarkan data tersebut, maka kondisi
tekstur tanah tambak di ke-3 lokasi kajian
berdasarkan pada kriteria tekstur tanah
dapat dikategorikan bertekstur halus.
Tanah dengan tekstur halus sangat
sesuai untuk dikembangkan menjadi areal
pengembangan
kegiatan
budidaya
pertambakan hal ini disebabkan tanah
dengan tekstur halus tidak hanya mampu
menahan air karena porositasnya yang
kecil namun juga mengandung nutrien
dan bahan organik yang relatif lebih baik
dibandingkan tanah bertekstur kasar. Hal
ini sesuai dengan pendapat Buwono
(1993) menyebutkan bahwa tanah yang
baik tidak hanya mampu menahan air,
tetapi tanah tersebut harus mampu
menyediakan berbagai unsur hara bagi
makanan alami untuk udang dan ikan
yang dipelihara. Sementara itu, Ilyas,
(1987) meyatakan bahwa tambak dengan
tanah bertekstur kasar, sebagai akibatnya
tambak tidak bisa menahan air.
Lapisan Minyak dan Warna Air
Hasil pengamatan di 9 titik stasiun
dike-3 wilayah kajian menunjukkan
bahwa secara visual tidak ditemukan
lapisan minyak dipermukaan perairan
sekitar kawasan pertambakan. Begitu pula
dengan warna perairan yang secara umum
masih memiliki warna alami sebagaimana
wilayah perairan laut umumnya. Hal ini
sangat dimungkinkan mengingat di
sekitar wilayah kajian khususnya dan
umumnya di pesisir utara Kabupaten
Sumbawa aktifitas industri yang biasa
menjadi sumber utama pencemaran
diperairan
masih
sangat
jarang
ditemukan.
Jarak dengan Sumber Air
Secara topografi wilayah, kompleks
atau kawasan pertambakan baik di
Kecamatan Moyo Utara, Kecamatan Lape
maupun Kecamatan Maronge berada di
bagian pesisir utara Kabupaten Sumbawa,
lokasinya sangat berdekatan dengan
perairan laut maupun dengan muara
sungai, selain itu pemerintah daerah juga
telah
berupaya
meningkatkan
pemanfaatan tambak di ke-3 kawasan
tersebut dengan membangun sarana dan
prasarana penunjang diantaranya saluran
irigasi tambak dan juga jalan produksi.
Sehingga dengan demikian kawasan –
kawasan pertambakan tersebut cukup
dekat dengan sumber air untuk menopang
kegiatan pertambakan.
Skoring
dan
Kelas
Kelayakan
Lingkungan
Berdasarkan hasil skoring serta
pembagian berdasarkan kelas / interval
kelayakan (S1; S2 dan S3) diketahui
bahwa di ke-9 titik stasiun yang mewakili
ke-3 wilayah kajian memiliki rentang
nilai total kelas kelayakan terendah
46
No.
sebesar 69 di stasiun 2 Kecamatan Lape
dan total skor tertinggi sebesar 75 di
stasiun 2 Kecamatan Moyo Utara dengan
rerata skoring dari ke-9 stasiun sebesar
71,55±1,66. Dengan demikian ke-9
stasiun pengamatan yang mewakili ke-3
wilayah kajian memiliki kategori kelas
kelayakan yang sangat sesuai (S1) untuk
mendukung
aktifitas
budidaya
pertambakan (Tabel 3, 4 dan tabel 5).
No.
St. Moyo Utara
1
2
3
3.51
4.71
3.01
a
b
1
2
3
3
6
9
6
Parameter Primer
3
1
DO
(mg/l)
2
1
Salinitas
(ppt)
40
35
34
2
3
6
6
6
31.3
30.6
33.9
2
Warna
alami
alami
alami
Lapisan
Minyak
tdk
ada
tdk
ada
50
2
3
9
9
15
Jarak
dengan
Air
Sumber
(km)
2
<1
2
<1
7.23
7.34
7.58
2
7.56
7.35
7.46
2
Amoniak
(NH3)
(mg/l)
0.06
0.02
2
2
6
6
Posfat
(mg/l)
0.9
0.7
2
2
6
6
6
1.2
1.4
0.1
2
10
2
6
6
11
BO
Subtrat
(%)
0.03
0.01
2
Total Skor
72 75
71
S1 S1
S1
Angka
Bobot
Penilaian
(b)
(a)
St.Kec. Lape
Parameter
1
2
3
DO
(mg/l)
5,35
6.2
5.5
Salinitas
(ppt)
35
39
39.5
Suhu
(oC)
34
35.5
36
a
0.56
2
Tekstur
2
6
6
50
60
40
pH
Air
7.57
7.48
7.2
halus
3
2
3
2
3
9
9
9
2
3
6
6
6
2
3
6
3
3
2
2
6
6
6
2
2
6
6
6
2
6
6
6
2
6
6
6
2
2
2
4
2
6
6
6
2
4
4
4
3
6
2
2
2
6
6
7.67
7.34 7.34
2
1
7
2
pH
Tanah
4
6
Amoniak
(NH3)
(mg/l)
3
0.009 0.007 0.007
2
1
3
8
2
4
4
Posfat
(mg/l)
0.3
0.3
0.3
2
1
4
3
9 Nitrat (mg/l) 2.3
2
6
6
1
3
3
1.4
1,8
3
2
1
6
10
halus
1
1
6
1
halus
b
3
3
1.09
Total Skor
(axb)
1
5
Parameter Pendukung
12
Kecerahan
(cm)
1
1.12
3
Kelas Kelayakan
6
3
0.01
3
3
1
Nitrit
(NO2)
(mg/l)
3
Parameter Sekunder
4
3
9
1
1
1
Nitrat
(mg/l)
3
3
3
1
1.7
3
1
6
3
8
3
1
3
0.05
1
Parameter Primer
1
7
3
3
3
pH
Tanah
3
Tabel 4. Skoring dan Kelas Kelayakan
Lingkungan Pertambakan Kecamatan
Lape
1
6
3
1
3
pH
Air
1
3
<1
6
1
5
3
1
2
80
2
tdk
ada
3
60
2
3
Parameter Sekunder
Kecerahan
(cm)
1
3
14
1
4
b
1
1
3
Suhu
(oC)
a
3
13
1
3
3
2
3
2
2
1
No.
1
Angka
Bobot Total Skor
Penilaian
(b)
(axb)
(a)
Parameter
(cm)
Tabel 3. Skoring dan Kelas Kelayakan
Lingkungan Pertambakan Kecamatan
Moyo Utara
Parameter
Angka
Bobot Total Skor
Penilaian
(b)
(axb)
(a)
St. Moyo Utara
Nitrit
(NO2)
(mg/l)
3
0.02
0.01 0.01
2
1
47
BO
Subtrat
(%)
2
3
a
b
Total Skor
(axb)
1
2
No.
No.
Parameter
1
11
Angka
Bobot
Penilaian
(b)
(a)
St.Kec. Lape
1
1.04 1.35
2
2
6
6
10
halus halus halus
1
2
3
3
alami alami alami
11
1
2
3
3
14
tdk
ada
tdk
ada
15
0.01
0.01
<1
<1
1
2
3
3
3
BO
Subtrat
(%)
1.56
0.99
1.65
Tekstur
(cm)
halus
halus halus
2
1
3
3
3
69
71
Kelas Kelayakan
S1
S1
S1
No.
St. Kec. Maronge
2
3
Angka
Bobot Total Skor
Penilaian
(b)
(axb)
(a)
a
b
1
2
5.4
8
5.2
2
3
9
9
9
37
37.5
37.5
2
3
6
6
6
3
6
6
6
2
6
6
6
3
32.4
33
33
2
1
Parameter Sekunder
3
40
45
65
2
1
3
pH
Air
7.18
7.58
7.63
2
2
6
6
6
2
6
6
6
2
6
6
6
2
2
2
4
2
6
6
6
1
3
6
pH
Tanah
7.19
7.36
7.2
2
1
7
Amoniak
(NH3)
(mg/l)
4
2
1
3
3
3
Warna
alami
alami alami
2
1
3
3
3
3
0.007 0.009 0.009
2
Lapisan
Minyak
tdk
ada
Tdk
sedikit
ada
2
1
3
3
3
Jarak
dengan
Air
<1
Sumber
(km)
Total Skor
1
3
3
3
3
<1
<1
2
1
70
72 72
S1
S1 S1
DAFTAR PUSTAKA
1
5
6
3
3
Kecerahan
(cm)
4
Kelas Kelayakan
1
4
2
1
15
3
Suhu
(oC)
2
3
Parameter Primer
3
4
1
72
Salinitas
(ppt)
4
3
13
1
1
2
4
1
Total Skor
DO
(mg/l)
2
3
12
Tabel 5. Skoring dan Kelas Kelayakan
Lingkungan Pertambakan Kecamatan
Maronge
1
2
1
14
Parameter
3
1
3
<1
2
3
0.01
1
Jarak
dengan
Air
Sumber
(km)
1
Parameter Pendukung
3
tdk
ada
Nitrit
(NO2)
(mg/l)
3
1
Lapisan
Minyak
b
3
3
Warna
a
2
3
1
13
Angka
Bobot Total Skor
Penilaian
(b)
(axb)
(a)
1
3
Tekstur
(cm)
3
6
1
Parameter Pendukung
12
2
(mg/l)
3
1.12
Parameter
3
St. Kec. Maronge
1
Adhikari, S. 2003. Fertilization, Soil and
Water Quality Management in
Small
Scale
Ponds
:
Fertilization Requiremant and
Soil Properties. Central Institute
of Freshwater Aquaqulture,
Kausalyagangga, Bulaneswar
India. Jurnal Aquaqulture Asia,
Oktober-Desember 2003 (Vol,
VIII No.4).
Adiwijaya. D, I.K. Ariawan, A.
Maswardi,
Sutikno
E,
Sulistinarto.
D,
2003.
Produktifitas Tambak Sistem
Tertutup pada Budidaya Udang
Windu.
Balai
Besar
Pengembangan Budidaya Air
Payau.
Dirjen Perikanan
Budidaya. DKP. Jepara.
3
8
Posfat
(mg/l)
0.2
0.2
0.3
2
1
9
Nitrat
1.2
1
1.7
3
48
Afrianto, E. dan Liviawaty, E. 1991.
Teknik Pembuatan Tambak
Udang. Kanisius. Yogyakarta.
Anggoro, S. 1992. Efek Osmotik
Berbagai Tingkat Salinitas
Media terhadap Daya Tetas
Telur dan Vitalitas Larva
Udang
Windu,
Panaeus
monodon Fabricus. Disertasi
Program Pacasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air
Payau
(BBPBAP).
2007.
Penerapan Best Management
ctices (BMP) pada budidaya
udang windu (penaeus monodon
fabricius) intensif. Departemen
elautan
Dan
Perikanan
Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya
Balai
Besar
Pengembangan udidaya Air
Payau Jepara. Jepara
Boyd, C.E. 1982. Water Quality in
Warmwater Fish Ponds. Auburn
University
Agriculture
Experiment Station. Auburn.
Alabama.
Buwono, I.D. 1993. Tambak Udang
Windu Sistem Pengelolaan
Berpola Intensif.
Kanisius,
Anggota IKAPI, Yogyakarta.
Clifford, H.C. 1992. Marine Shrimp Pond
Management a Review. In ASA
Technical Bulletin. US Wheat
Association.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Sumbawa.
2014.
Laporan
Tahunan tahun 2014 Dinas
Perikanan
dan
Kelautan
Kabupaten Sumbawa Tahun
2014.
Dirjen Perikanan Budidaya. 2006.
Kepetusan Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya Nomor.
1106/DPB.0/HK.150/XII/2006.
Dojlido, J., and G. A. Best. 1993.
Chemistry of Water and Water
Pollution. West Sussex: Ellis
Horwood Limited.
Environmental Protection Administration
(EPA) 2013. According to the
resolution of “River pollution
index (RPI) standard and
calculation revision” meeting on
May 30, 2013, RPI classification
standard is adjusted with
reference to monitoring report
decimal rules published by
Environmental
Analysis
Laboratory, starting from 2013.
Gerking. 1978. Ecology of Fresh Water
Fish Production. Halsted Press,
New York.
Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi
Tanah
dan
Pedogenesis.
Akademik Pressindo. Jakarta.
Ilyas,
S. 1987. Petunjuk Teknis
Pengoperasian
Pembesaran
Udang Windu. Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Perikanan.
Irianto, A. 2007. Statistik Konsep Dasar
dan
Aplikasinya.
Penerbit
Kencana. Jakarta. 312 hlm.
Malone Ronald F and Daniel G Burden.
1988. Design of Sirculating
Blue Crab Shedding System.
Louisiana Sea Grand Collage
Program. Center for Watland
Recources
Louisiana
State
University.
NTAC. 1986. Water Quality Criteria.
FWPCA. Washington DC, 234
p.
49
Nybakken, J.W. 1992 Biologi Laut, Suatu
Pendektan
Ekologis.
PT
Gramedia Pustaka, Jakarta 458
hlm. (diterjemahkan oleh M.
Eidmann, et al).
PPRI No. 82, 2001. Tentang tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air.
Purnomo, A., 1988. Faktor Lingkungan
Dominan
Pada
Budidaya
tambak Intensif.
Makalah
Seminar Aerasi.
Dirjen
Perikanan
Departemen
Pertanian. Jakarta.
Prahasta E. 2002. Konsep Konsep Dasar
Informasi
Geografis.
Informatika. Bandung.
Suyanto, S.R. dan A. Mujiman. 2001.
Budidaya
Udang
Windu.
Cetakan
XVIII,
Penebar
Swadaya, Anggota IKAPI,
Jakarta.
Svobodová, Z., R. L., J. Máchová, and B.
Vykusová. 1993. Water Quality
and Fish Health. EIFAC
Technical Paper no. 54. Rome:
FAO.
dan
Perikanan
Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya
Balai Budidaya Air Payau
Takalar-Sulawesi Selatan.
Van Wyk P and John Scarpa. 1999. Water
Quality
Requirements
and
Management.
Chapter
8.
Farming Marine Shirimp in
Recirculating
Freshwater
System. Prepared by Van Wyk,
Megan Davis, Hodgkins, Roland
Laramore, Kevan L. Main, Joe
Mountain, Jhon Scarpa. Florida
Departemen of Agriculture and
Consumers Services. Harbor
Branch
Oceanographic
Institution.
Wibowo, E., Ervia, Suryono dan T.
Retnowati. 2004. Kandungan
Klorofil-a Pada Diatom Epipelik
di
Sedimen
Ekosistem
Mangrove.
Majalah
Ilmu
Kelautan, 9(4): 225-229.
Yulius, A.K.P. 1997. Dasar-dasar Ilmu
Tanah. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi,
Badan Kerjasama Perguruan
Tinggi Negeri Indonesia Timur,
Ujung Pandang. 241 hlm.
Swingle, H. S. 1968. Standarization of
Chemical Analysis for Water
and Pond Muds. FAO Fish rep.,
Vol 3.
Syafikri. D. 2010. Kajian Potensi dan
Pengelolaan Kekerangan di
Perairan
Pulau
Saringi
Kabupaten Sumbawa. Thesis.
Program Magister Manajemen
Sumberdaya Pantai Universitas
Diponegoro Semarang. 247 hal.
Udi Putra, Nana S.S, 2008. Manajemen
Kualitas Tanah dan Air dalam
Kegiatan Perikanan Budidaya.
Makalah Departemen Kelautan
50
Download