1. PENDAHULUAN 1.1. Latar BeJakang Sektor perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memberi kontribusi dalam pembangunan nasional. Pendapat ini tidak lepas dari hasil pendugaan stok ikan yang terda,pat pada perairan pantai, perairan nusantara, serta perairan Zona Ekonomi EkskJusif Indonesia (ZEEI) yang dilakukan sejak tahun 1970. Berkaitan dengan potensi diatas Dwiponggo (1987), Nurhakim, et al (1998) mencatat berbagai informasi tentang potensi ikan dalam perairan Indonesia. Infonnasi resmi yang dikeJuarkan oleh Direktorat lenderal Perikanan pada tabun 1994, menunjukkan potensi ikan dalam perairan pantai dan nusantara adalah 6,2 juta ton per tahun, sementara itu pada perairan ZEEI adalah sekitar 2,3 juta ton per tabun. Informasi yang terakhir ini menjadi acuan berbagai pihak untuk merumuskan kebijakan pembangunan pada berbagai wilayah perikanan tangkap di Indonesia. Hal ini, menunjukkan potensi ikan tersebut telah dipertimbangkan sebagai aset yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan pembangunan nasional. Sejak Pembangunan Lima Tahun (pelita) I, upaya untuk pemanfaatan potensi ikan terus dilakukan pemerintah melalui dua mendorong kebijaka~ pertama kebijakan moneter (melalui kredit dengan suku bunga rendah) dan kedua kebijakan fiskal (terutama melalui subsidi dan pajak). Dengan demikian, pasang surut kebijakan pemanfaatan sumberdaya perikanan bukan hanya dipengaruhi kebijakan sektoral, tetapi terkait juga dengan berbagai kebijakan makro ekonomi Indonesia dalam berbagai periode. Periode penting perkembangan perekonomian yang terkait dengan pembangunan perikanan adalah sebagai berikut. Periode 1973-1981, dikenal sebagai periode 'oil boom' . Selama periode tersebut kebijakan makro ekonomi Indonesia bertumpu pada ekspor minyak mentah. Penerimaan dari '-oil boom' merupakan pendapatan besar dari negara, namun pendapatan ini ternyata menimbulkan beberapa persoaian, seperti mendorong timbulnya inflasi (demand pull inflation), dan mendorong terjadinya dualisme dalam perekonomian (Ranis, 1988), karena muncul sektor produktif yang padat modal, serta selctor kurang produktif dan padat karya (didalamnya termasuk sektor perikanan). Disamping itu, fluktuasi harga minyak mentah di pasar intemasional temyata menentukan total subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang hams dialokasikan pemenntah dalam Anggaran Pendapatan dan BeJanja Negara (APBN), karen a sekitar 20 ~ 25% kebutuhan BBM dalam negeri tersebut diimpor oleh pemerintah. Perlu dicatat selama ini harga BBM dalam negeri lebih rendah dari harga di pasar dunia, karena harga tersebut dikendalikan oleh pemerintah. Dengan demikian, selisih harga BBM yang diimpor (harga pasar dunia dengan harga domestik) merupakan subsidi yang dikeJuarkan pemerintah untuk konsumen tennasuk nelayan. Seiring dengan hal tersebut, tambahan pendapatan yang diperoleh pemerintah dari ekspor minyak mentah digunakan sebagai investasi uotuk membangun industri subtitusi impor di dalarn negen, karena pennintaan barang industri tersebut di dalam negen sangat tinggi, sementara kemampuan industri domestik untuk menghasilkan barang yang dimaksud sangat terbatas. Tujuan dari investasi ini disamping untuk mengurangi ketergantungan pada impor, juga untuk membuka lapangan kerja di dalam negeri, harapannya akan mendorong permintaan domestik. Pada perjode tersebut tercatat, ekonomi Indonesia tumbuh aotara 7 - 8% per tabun (pangestu, 1996 dan World /Jf1nk, 1998). Investasi yang dikeluarkan untuk berbagai industri tersebut diperkirakan turut memacu pertumbuhan selctor perikanan. Nilai Produk Domestik Brute (PDB) sektor perikanan atas dasar harga konstan 1993 meningkat dari Rp. 1,524 milyar pada tahun 1974 (petita II) menjadi Rp. 1,924 milyarpada tahun 1979 (pelita III), namun kontribusi sektor perikanan dalam PDB nasional cenderung menurun dari 1,8% pada tabun 1969 (Petita I) menjadi 1,5% pada tahun 1974 (Pelita II) dan 1,4% pada tahun 1979 (pelita III). Kentribusi sektor perikanan dalam PDB nasional tidak dapat dipisahkan dari pasang surutnya peran perusabaan perikanan. Pada tabun 1961 di berbagai daerah terdapat perusahaan peri'kanan negara, yang dikelola eleh Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perikanan Negara (BPU Perikani). Tabun 1966 BPU Perikani 2 ini dibubarkan dengan PP No. / tahun /966, selanjutnya pembentukan BUMN Perikanan didorong oleh berlakunya UV No. 9 tainm /969 yang mengatur tentang bentuk badan usaha negara. Pada tahun 1972 dilakukan revitalisasi BUMN perikanan dengan tujuan menjadikan BUMN ini menjadi peJopor industri perikanan, karena itu otoritas pengelolaannya diserahkan pada masing-masing BUMN perikanan tersebut (Soewito, et ai, 2000). BUMN perikanan ini tetap dipertahankan oleh pemerintah, walaupun muneul berbagai perusahaan perikanan swasta dengan teknologi lebih maju. Hal ini berarti masa kepeloporan BUMN perikanan telah berlalu, karena itu untuk mempertahankan BUMN perikanan tersebut pemerintah memberi suntikan dana untuk merawat, memperbaharui berbagai sarana dan prasarana penangkapan ikan yang telah menjadi aset BUMN perikanan tersebut. Oleh sebab itu, keberadaan BUMN perikanan saat ini diarahkan sebagai mitra perikanan rakyat dalam menangkap ikan. Periode kedua, 1982 - 1985 dikenal dengan periode first external shock dalam perekonomian Indonesia, karena tuninnya harga minyak mentah di pasar dunia. Harga minyak mentah Indonesia merosot antara 0,20 point sampai 1,95 point. Harga minyak terendah adalah US $ 24 per barrel (Duri 21) dan tertinggi US $ 27,80 (Handit 34). Fenomena ini diikuti dengan turunnya harga ekspor komoditas primer karena tesunya perekonomian dunia, sehingga pemasaran bahan mentah seperti: karet, kopi, minyak sawit, dan lada mengalami hambatan, sementara impor Indonesia tidak dapat dikurangi (Anonim, 1985). Perkembangan perekonomian Indonesia saat itu kurang menguntungkan, namun pemerintah tetap memperhatikan perkembangan berbagai BUMN dengan melakukan regulasi pasar. Kebijakan ekonomi tetap mengaeu pada industri subsitusi impor, untuk melindungi industri kapa! dalam negen pemerintah menetapkan berbagai kebijakan non tarif seperti larangan Impor kapal ikan. Larangan impor kapal ikan tersebut· ternyata kurang berpengaruh pada pengembangan industri kapaJ peri kanan, padahal pada saat itu harga ekspor tuna, udang dan beberapa komoditas perikanan eenderung meningkat. PDB sektor perikanan berdasarkan harga konstan 1993 meningkat dari Rp. 2 miiyar pada tahun 1982 menjadi lebih dari Rp. 3 milyar pada tahun 1985. Selama periode 3 tersebut harns diakui, kontribusi PDB perikanan terhadap PDB nasional tidak banyak berubah yaitu sekitar 1,6%. Pada periode ini terJihat sistem manajemen dim organisasi BUMN perikanan mulai dibenahi serta innovasi teknologi baru mulai diadopsi. Periode ketiga 1986 - 1988, sering disebut sebagai periode second extemal shock dalam perekonomian Indonesia, karena harga minyak mentah Indonesia semakin anjlok dan berlanjut dengan merosotnya harga ekspor komoditas primer. Fenomena ini diikuti oleh appresiasi mata uang Yen. sehingga rnenekan perekonomian Indonesia. Perkembangan ini mendorong pemerintah mengubah kebijakan investasi industri dari industri subtitusi impor ke industri prornosi ekspor, yang diikuti dengan deregulasi kepabeanan dan impor, serta mernberi kemudahan investasi padaPenanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal DaJam Negeri (PMDN). Melalui langkah ini pemerintah berharap teIjadi perubahan dalam perekonomian dalam negeri, sehingga pemerintah dapat mengurangi dukungan finansia~ pada BUMN. Pengurangan dukungan finansial ini mendorong BUMN Perikanan (sebagai salah satu BUMN penerima subsidi) mulai mengembangkan social engineering melalui inovasi Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Perubahan kebijakan pernbangunari tersebut ternyata belurn rnampu rnendorong peningkatan kontribusi PDB sektor perikanan dalam PDB nasional. Kontribusi sektor perikanan dalam PDB nasional tetap 1,6% per tahun. Peri ode keempat 1988 - 1992, merupakan periode pengembangan komoditas non rninyak dan gas (non rnigas), tujuannya adalah untuk rnendorong pernulihan ekonomi Indonesia. Pada periode ini harga rninyak mentah cenderung stabil, namun harga komoditas primer tetap rendah. Industri dipacu kearah prornosi ekspor yang diikuti dengan memperluas deregulasi investasi pada berbagai bidang termasuk deregulasi sektor keuangan. Pada periode ini BUMN perikanan mulai mernperhatikan pengernbangan kualitas sumberdaya manusia dengan rnembentuk gugus kendali mutu dalam rangka pengembangan ekspor, dan pasar produk hasil perikanan dikembangkan dalam bentukfillet dan loin. 4 Periode kelima 1993 - 1996 tetap merupakan periode pengembangan komoditas non migas. Harga minyak mentah berkisar antara US $ 19 sampai US $ 21 per barrel dan harga komoditas primer relatif stabil, pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar antara 6,5% sampai 7,9% antara tabun 1993 sampai 1996. Kebijakan pengembangan komoditas perikanan diarahkan ke pasar bebas. Pada tanggal 4 luli 1996 pemerintah mengeluarkan deregulasi sektor perikanan untuk mendorong ekspor komoditas perikanan. Deregulasi 1m mencakup penyederhanaan izin kapal pen~gkap ikan, dan izin untuk mengimpor kapat ikan termasuk kapal ikan bekas. Sasarannya adalah untuk memuluskan penambahan 240 kapal ikan agar produksi perikanan dapat tumbuh 5% per tabun atau setara dengan 160.000 ton per tabun (Yulius et ai, 1996). Kebijakan itu, ikut meningkatkan nilai nominal PDB sektor perikanan dari Rp. 2.813.5 milyar pada tabun 1993 menjadi Rp. 6.248 milyar pada tabun 1996. Peningkatan ini ternyata tidak diikuti dengan peningkatan kontribusi sektor ini terhadap PDB nasiona1. PDB sektor perikanan berdasarkan harga konstan 1993 adalah 1,4% dan 1.5% pada tahun 1996. Periode 1997 - sampai sekarang, merupakan peri ode krisis perekonomian Indonesia, perekonomian mengalami kontraksi karena berbagai kebijakan. Hal ini disebabkan oleh lemahnya daya' saing ekspor, laju konsumsi berlebihan, serta over borrowing terhadap pinjaman luar negeri (Ikhsan dan Tuwoi, 1997). Penurunan tingkat inflasi pada awal tahun 1997 sebagian besar disebabkan oleh subsidi pangan yang dilakukan melalui operasi pasar dan keberhasilan mengendaJikan gejolak pasar uang. Pada akhir tahun 1997 nitai rupiah terdepresiasi terhadap mata uang asing (terutama US $) sampai 5 kali dan cenderung tidak stabi!. Harga ekspor komoditas primer cukup baik. Selama periode itu, daJam perekonomian Indonesia terjadi pelarian modal yang diikuti dengan langkanya investasi baru. Investasi yang bertahan adalah investasi pada sektor pertanian yang berbasls ekspor seperti kelapa sawit, tuna., cakalang dan udang. Keragaan ketiga industri perikanan tersebut terancam oleh kebijakan non-tarif di pasar ekspor terutama embargo udang hasil tangkapan di pasar Amerika Serikat dan udang hasil tambak di pasar Eropah, bahkan perdagangan tuna hasil tangkapan Indonesia juga 5 terancam. jika Indonesia tidak aktif berperan dalam organlsasl pengelolaan potensi tuna dunia (Constance and Bonanno, 1999). Berkaitan dengan perkernbangan tersebut, maka PDB sektor perikanan berdasarkan harga konstan 1993 tercatat Rp. 6.610 milyar sedangkan pada tahun 1999 adalah Rp. 7.460 milyar. Hal ini menunjukkan kontribusi PDB sektor perikanan dalam PDB nasional adalah 1,5% pada tahun 1997 dan 1,9% pada tabun 1999. Pemanfaatan potensi surnberdaya perikanan yang didorong oJeh dukungan finansial dari pemerintah diduga ikut memberi andil dalarn 'peningkatan nilai nominal PDD sektor perikanan. Berdasarkan uraian diatas, kontribusi PDB sektor perikanan daJam perekonomian nasional walaupun menunjukkan perubahan tetapi perubahan itu tidak pemah lebih dari 1,9% per tabun (Gambar 1). ................................... 2 1.8 1.6 1.4 c 1.2 e 1 ~ GI n. 0.8 0.6 --;.._........................] - 0 .4 0.2 0 c$>Q) " ~~ "OJ ~Q) "OJ ,Jl.. ,,~ ..g.,OJ ~ ..D\<-:' ~ J ,,"'" "C!i ,,"'" ,,0/ -Dt, '\ ,,'-Y -Dt,fb ,,~~ ..D\CiJ "",0 ""," ,,~~ 'l,.\T 'l,.\T Tahun [--+-persentase terhadap PDB Nasional [ Sumber: Statistik Indonesia (BPS Berbagai Terbitan) Gambar 1. Kontribusi PDB sektor Perikanan Terhadap PDB Nasional Berdasarkan Harga Konstan 1993 Jika fenomena ini kita cermati seiring dengan dinamika produksi perikanan Indonesia, maka timbul pertanyaan, apakah dalam penangkapan ikan di taut terjadi bias alokasi faktor produksi untuk memanfaatkan potensi perikanan 6 tersebut, karena berbagai kebijakan pada sektor itu? lika bias alokasi faktor produksi itu benar tetjadi, hal itu menunjukkan upaya pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan selama ini tidak beIjalan dengan baik. Indikasi bias alokasi faktor produksi itu, ~apat juga dicermati dari produktivitas hasil tangkapan nelayan seperti yang ditunjukkan pada tampilan Gambar 2. Tampilan tersebut menunjukkan adanya stagnasi produktivitas hasil tangkapan, yang diduga karena faktor internal dan eksternal dalam perikanan tangkap tersebut, sehingga mendorong tetjadinya ekstemalitas negatif dalam kegiatan penangkapan ikan .. 10 -- 9 8 7 i.c ~ 6 --- ..... ------ ~ ....... ! : !1 3 2 1 o ~ ....Q, .Sl ....C8' ,b ..b .,fb -DJO .... ....C8' ....0J> ....C!1' ~- ....cfJ n. !!l ..> b ,.$) ~ "ciJ ,,~ ,,~~ ....~ ~ "ciJ I--+- Produktivitas rib "qJ" ~ 4Ji .... I Surnber: StaListik Perikanan Indonesia (diolah) Gambar 2. Produktivitas Nelayan Indonesia (kwhari) Stagnasi produktivitas pada sektor perikanan ini, diatasi pemerintah dengan memberi bantuan finansial melalui berbagai program dan proyek. Dukungan finansial tersebut sebagian dapat dikatagorikan sebagai subsidi. 7 1.2. Identifikasi Masalah Fenomena meningkatnya nilai nominal PDB sektor perikanan yang diikuti dengan keterbatasan kontribusi sektor tersebut dalam PDB nasional merupakan gambaran bahwa subsidi yang disalurkan pada sektor ini tidak berfungsi seperti yang diharapkan. Indikasinya produktivitas sektor ini jauh dibawah sektor lain yang ada dalam perekonomian. Hal ini sekaligus merupakan, buleti pada sektor perikanan tersebut telah terjadi bias alokasi faktor produksi. Indikasi bias alokasi faktor produksi pada perikanan tangkap ini sangat jelas terlihat pada perikanan tangkap di perairan Pantai Utara Jawa (pantura), dan menurut Sukirdjo, (2003) fenomena ini terjadi juga pada perikanan udang di laut Arafura dan perairan Papua. Fenomena tersebut berarti juga antara lain: (1). menunjukkan dugaan awal produktivitas armada penangkapan ikan di laut relatif rendah. Produktivitas yang rendah ini disebabkan oleh keragaman alat tangkap yang beroperasi pada perairan yang akses pemanfaatannya agak bebas (quasi open access). Sementara penguasaan potensi ikan dalam perairan itu tetap dalam bentuk common property, sehingga aktivitas diperairan itu mendorong terjadinya ekstemalitas negatif (Johnston, 1992 dan Pauly, 1987). Modernisasi perikanan rakyat yang dimulai pada awal Pelita I dan semakin deras setelah keluarnya Keppres No. 39 tahun 1980 tentang penghapusan trawl, merupakan rangkaian kebijakan yang mendorong peningkatan kapital pada berbagai wilayah perairan di Indonesia. Mod erni sasi perikanan rakyat ini dilakukan oleh pemerintah dengan dukungan dana yang cukup besar. (2). Investasi pada beberapa wilayah penangkapan ikan diperkirakan telah over caJKl.city, karen a tidak mempertimbangkan carrying capacity potensi ikan pada perairan tersebut. Hal ini terjadi, karen a kurang dimanfaatkan hasil penelitian sebagai acuan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. Pada perikanan udang di 8 laut Arafuru dan perairan sekitar Papua misalnya, hasil peneiitian merekomendasikan jumlah kapal yang boleh beroperasi antara 183 sampai 280 unit. Namun sampai dengan tahun 2001, jumlah kapaJ yang beroperasi pada - perairan tersebut mencapai 513 unit (Sukirdjo, 2003). dan jumlah tersebut belum tennasuk kapa} ikan illegal. Fenomena yang sarna diperkirakan telah lebih dahulu terjadi di perairan Pantura dan Seiat Malaka (Naamin, 1987). Keadaan ini sernakin rumit, karena law enforcement pada perairan itu relatif tidak berfungsi dan ikan yang terdapat dalam perairan selalu bennigrasi, sehingga naluri nelayan untuk rnenangkap lebih tidak dapat dihindari, fenomena yang demikian telah diungkapkan Hardin pada tahun 1968. Dibandingkan dengan sub sektor lain dalam sektor pertanian, maka investasi PMDN dan PMA dalam sektor perikanan cukup besar. lumlah kumulatif realisasi PMDN dan PMA dalam sektor perikanan dan tabun 1969 sampai tahun 1995 tercatat Rp. 1.774,66 milyar. lumlah tersebut 47,75% merupakan investasi PMA dan 52,25% merupakan investasi PMDN (Simatupang et a/. 1997). Dengan demikian dalam proses pembangunan masyarakat nelayan di wilayah pesisir ada indikasi yang menunjukkan kebijakan ekonomi mempunyai pengaruh pada kesi nambungan. sum b erdaya peri kanan. Berkaitan dengan hal itu, kebijakan subsidi pada sektor ini tujuan awalnya adalah untuk meningkatkan standar hidup nelayan dan menJaga kua1itas sumberdaya, namun dalam kenyataannya, seperti yang dilaporkan ADB (1990) kebijakan tersebut cenderung merusak sumberdaya, yang ditunjukkan oleh kerusakan ekosistem pesisir dan lautan yang diikuti oleh deplesi beberapa jenis ikan. Implikasi sepert! ini telah banyak dikemukan para pakar {Dahuri et al. (1996) tentang dampak pembangunan terhadap sumberdaya pada wilayah pesisir dan lautan} . Berdasarkan data Series yang ada, kebijakan subsidi diperkirakan ikut menentukan fluktuasi produktivitas nelayan dan dinamika jumlah perahul kapa1 motor penangkap ikan pada berbagai perairan di Indonesia. Kebijakan yang 9 terakhir ini dilaksanakan pemerintah terkait dengan upaya mengurangi jumlah perahu tanpa motor dan mendorong peningkatan jumlah perahu motor tempel dan kapal motor, sehingga armada perikanan ini diharapkan dapat beroperasi sampai ke perairan ZEEl. Kebijakan ·tersebut dimaksudkan juga untuk kemiskinan, meningkatkan produksi perikanan dalam mengurangi rangka memenuhi kebutuhan pangan dan bahan baku industri dalam negeri serta meningkatkan ekspor hasil perikanan. Transformasi armada penangkapan ikan untuk mencapal tujuan yang disebutkan diatas dilakukan pemerintah dengan dukungan finansial melalui berbagai program/proyek, sebagian dukungan finansial tersebut merupakan subsidi. Program ini mendapat dukungan dana dari pemerintah melalui APBN, serta bantuan dalam bentuk loan dan grant. Loan dan grant tersebut diperoleh pemerintah dari berbagai sumber seperti: ADB, UNDP, FAG, IDRC, CIDA, Gn, JICA dan USA/D. Bentuk bantu an itu sangat bervariasi mulai dari subsidi bunga kredit, subsidi BBM (yang bersifat symphatetic support), maupun dalam bentuk bantuan spesifik yang bersifat cluster support. Laporan evaluasi program pembangunan perikanan selama Pel ita V menunjukkan pemerintah telah mendistribusikan 2.333 unit paket bantuan berupa kapal dengan alat tangkap serta biaya operasional tahap awat untuk nelayan . .Alokasi anggaran pembangunan . sektor perikanan yang bersifat cluster support selama Pelita V yang dapat dikatagorikan sebagai subsidi langsung adalah sekitar 13,1% (tidak termasuk subsidi BBM, karena telah dialokasikan daJam sektor lain) dan subsidi tidak langsung sekitar 39%. Pada sisi lain dalam seluruh sektor pembangunan pada tahun anggaran 199912000 reaJisasi subsidi yang harns dikeluarkan pemerintah yang termasuk .\ymphatetic support mencapai Rp. 60,8 triliun (5,3% dari PDB) yang terdiri dari Rp . 40,9 triliun subsidi BBM dan Rp. 19,9 triliun subsidi non BBM, padahal awalnya anggaran yang dialokasikan untuk subsidi tersebut hanya Rp. 28 triliun. Pada revisi anggaran belanja negara tahun anggaran 2003 (September 2003) jumlah subsidi itu sekitar Rp . 38,3 triliun. lumlah tersebut terdiri dari Rp. 26 10 triliun untuk subsidi BBM dan Rp. 12,3 triliun untuk subsidi non BBM. Subsidi ini masing-masing sebesar 1.5% dan 0,8% dari PDB . Selanjutnya dalam rangka memanfaatkan potensi ikan yang ada dalam perairan pada tahun 1985 pemerintah mengizinkan perusahaan swasta nasional bekerja sarna dengan kapaJ ikan asing melakukan penangkapan ikan pada perairan ZEEI dengan sistem lisensi. Dalam waktu singkat jumlah kapal ikan asing yang beroperasi pada perairan ZEEI meningkat. Sementara itu beberapa kalangan menilai beroperasinya kapal ikan asing dalam perairan Indonesia itu memberi manfaat yang sangat keeil untuk masyarakat. Oleh sebab itu, sejak 1 Nopember 1990 izin penangkapan ikan dengan sistem tisensi diganti dengan sistim sewa sesuai dengan SK Mentan No. 8151KptslIKlJ 201///9 0 dan SK Mentan No. 816IKptsllK.J201nl90. Kebijakan ini temyata tidak mendorong kapa! ikan asing tersebut seluruhnya beroperasi di ZEEI, tetapi sebagian kapal asing itu melakukan kegiatan illegal fishing pada perairan nusantara dan perairan pantai. Kegiatan ini semakin sering terjadi, karena lemahnya law enforcement, murahnya harga BBM dan tingginya harga ikan di pasar dunia. Akibat dari perkembangan ini, mendorong pemerintah melalui menteri pertanian mengeluarkan Keputusan Menter; Pertanian No. l0871KptslPL.8101J011999 tentang pengadaan kapal perikanan dan penghapusan sistem sewa kapal perikanan berbendera· asing (Monintja dan Yusfiand~ni) 2001). Kebijakan sektoral diatas, telah mendorong hilangnya pendapatan pemerintah karena kemudahan yang diberikan pada kapal ikan asing. Kebijakan tersebut merupakan kebijakan subsidi, karena secara tidak langsung pemerintah memberi bantuan pada kapal ikan asing (MRAG,2000). Transformasi armada penangkapan ikan nelayan lokal dan kemudahan yang diberikan pada armada perikanan asing telah mendorong terjadinya distorsi pemanfaatan sumberdaya perikanan pada perairan tertentu. Dampak dari kebijakan yang mempengaruhi sumberdaya itu dapat dilihat pada Tabel 1. Permasalahan pengaruh subsidi seperti ini sebenamya. :telah dibahas Rayner, Ingersen and Hine (1993), dan telah menjadi perdebatan sejak tahun 1947 melalui GA1Tsampai dengan dibentuknya WTO. 11 Berkaitan dengan subsidi pada sektor perikanan tersebut, FAO (1988) melihat negara pantai terbagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok negara yang menganggap subsidi mendorong terjadinya peningkatan kapasitas tangkap. Dan kedua, kelompok negara yang melihat subsidi itu secara sistimatis tidak berhubungan dengan kelebihan kapasitas tangkap. Tabel 1. Dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Sumberdaya Pesisir dan Lautan 1. Kebijakan Ekonomi Investasi Tax holiday Pembebasan Pajak dan Bea Masuk Aktivitas Ekonomi Dampak Pada Sumberdaya Memperbaharui, membangun dan rnemodemisasi kapaJ penangkap ikan. Meningkatnya tekanan pada sumberdaya perikanan Pembelian mesin. kapal bam, serta perbaikan armada perikanan. Dan peningkatan berbagai kegiatan di daerah pesisir. Meningkatkan tekanan pada sumberdaya perikanan dan mendorong konversi laban diwilayah pesisir. Meningkatkan kegiatan penangkapan ikan pada perairan pantai, dan )epas pantai. Meningkatkan tekanan pada ekosistern pantai dan lepas pantai. Barang Modal 2. Subsidi suku bunga kredit 3. Subsidi faktor produksi Bukti bahwa subsidi itu berhubungan dengan kelebihan kapasitas tangkap telah ditunjukkan oleh Ruseski (1998) dalam kasus perikanan di Grand Banks off Newfoundland. Pemberian subsidi pada armada penangkapan ikan Kanada, Spanyol, Portugal, Uni Soviet dan Polandia dilaporkan juga telah mendorong kelebihan upaya tangkap di perairan itu. Peningkatan upaya tangkap ini mendorong dilakukan moratorium dalam penangkapan ikan di perairan tersebut, agar industri perikanan pada negara-negara dimaksud tidak bangkrut. Pada sisi lain Milazzo (1998) memberi contoh mengenai armada perikanan Uni Soviet yang merupakan armada perikanan yang disubsidi oleh pemerintah. Ketika Uni Soviet bubar maka annada perikaiian ini menjadi milik Rusia, namun karena ekonomi Rusia belum pulih maka subsidi untuk armada 12 perikanan tersebut dihentikan oleh pemerintah Rusia. Akibatnya jumlah kapal penangkap ikan yamg beroperasi berkurang, sehingga mendorong pemulihan beberapa stok ikan di perairan Rusia. Berdasarkan kasus perikanan di perairan Grand Banks off Newfoundland dan perikanan di Rusia tersebut diperoleh gambaran bahwa terdapat hubungan yang negatif antara subsidi dengan stok ikan di perairan. Di Cina dan Thailand subsidi perikanan dimanfaatkan sebagai kebijakan untuk mendorong armada perikanan negara tersebut menangkap ikan diluar perairan mereka. Pacta tahun 1992 Departemen Pertanian Cina mengeluarkan kebijakan yang membatasi armada penangkapan ikan Cina beroperasi di perairan Cina. Kebijakan ini dikeluarkan, karena hasil evaluasi pemerintah Cina menunjukkan pada perairan Cina telah terjadi eksploitasi ikan yang berlebihan. Kebijakan ini dapat dilaksanakan karena sebagian besar armada perikanan Cina merupakan milik pemerintah yang diusahakan secara kolektif (Milazzo, 1998). Disamping itu pemerintah Thailand membatasi menangkap ikan perairan teluk Thailand, karena perikanan pada perairan itu telah menunjukkan economic overjishing. Kasus armada perikanan Cina dan Thailand ini, menunjukkan hubungan yang positif antara subsidi dengan pemulihan stok ikan. Di Indonesia pemerintah memandang subsidi (bantuan) kepada pelaku pada sektor ini tidak ada hubungannya dengan kelebiha.n kapasitas tangkap. Hal ini dapat dilihat dari peran aktif pemerintah dalam memberikan bantuan finansial kepada nelayan dalam berbagai bentuk. Padahal pada beberapa wilayah penangkapan telah terjadi kelebihan kapasitas tangkap (Naamin, et aJ. 1990 ; Dwiponggo dan I1yas, 1990; Uktolseja., 1990). Sayangnya sarnpai saat ini, teori subsidi yang menjelaskan tetjadinya kelebihan kapasitas tangkap belum diimplementasikan dengan baik di Indonesia. Pemberian kredit lunak dengan suku bunga rendah, ketika Indonesia menjadikan udang sebagai primadona ekspor, merupakan fakta bahwa teori subsidi berlaku di Indonesia. Kebijakan subsidi itu telah tnendorong konversi hutan bakau menjadi tambak, konversi itu dilakukan tanpa menghitung daya dukung lingkungan. Keadaan ini bukan hanya merusak ekosistem hutan 13 mangrove, namun ikut merusak habitat hidup udang dan beberapa komoditas perairan lainnya. Di Ecuador kebijakan subsidi seperti ini telah menyebabkan hasil tangkapan udang di perairan ikut meDurun (Southgate and Whitaker, 1992) Oleh sebab itu pemberian kredit sebesar Rp. 3,1 triliun dengan suku bunga rendah pada nelayan di Pantura pada tahun 2003 harns dilakukan dengan sangat hati-hati, karena kredit bersubsidi itu dapat memperbesar kapasitas nelayan untuk menangkap ikan. Pengalaman beberapa negara Eropah yang menjalankan kebijakan Common Agricultural Policy (CAP) melalui kebijakan kredit bersubsidi kepada armada perikanan telah mendo{ong stagnasi hasil tangkapan, hal ini terjadi pada armada perikanan tangkap Perancis (Meuriot, 1986). Di Negeri Belanda pemberian kredit bersubsidi pada annada trawl yang beroperasi di Lautan Atlantik justru menghancurkan industri perikanan negeri itu. Oleh sebab itu, beberapa negara Eropah menurut Hatcher (2000) meJaksanakan kebijakan subsidi dalam bentuk kebijakan fisheries buy back program untuk memulihkan potensi sumberdaya dan menjaga keberlanjutan industri perikanan mereka. Jenis kebijakan yang sarna juga dicoba pada perikanan northern prawn fisheries di Australia, tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah alat tangkap yang beroperasi pada perairan tersebut, sehingga dapat memulihkan stok sumberdaya di perairan itu (Champell, 1989; Staniford, 1988). Berdasarkan uraian diatas, subsidi pada perikanan tangkap dapat berfungsi ganda, pertama subsidi perikanan itu dapat mendorong pengurasan sumberdaya (yang disebut Milazzo, 1998 sebagai bad subsidies), dan kedua, subsidi itu dapat mendorong kelestarian sumberdaya yang disebut juga sebagai good subsidies. Oi Indonesia kebijakan subsidi lebih dekat pada fungsi yang pertama, karena pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyediakan \apangan kerja, meningkatkan pendapatan nelayan dan mendorong perolehan devisa. Fungsi subsidi dalam kasus kedua sulit diterima karena akses terhadap potensi sumberdaya cenderung open access dan status pemilikannya adalah common property. disamping itu pasar tenaga kerja di daerah pesisir sangat rigid, sehingga 14 tidak mudah bagi kelompok masyarakat pesisir beralih profesi ke kegiatan lain diluar sektor perikanan. Dengan demikian peranan kebijakan subsidi pada masyarakat pesisir di Indonesia menjadi tanda tanya, karena subsidi itu belum tentu mendorong mereka menjadi «better off', apalagi selama ini indikator pembangunan ekonomi (tingkat pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan kesempatan kerja) pada wilayah pesisir tetap 'pada posisi marjinal. Angka statistik produksi dan investasi menunjukkan kecenderungan yang positif. Paradok inl memperkuat dugaan bahwa pada sektor perikanan di Indonesia terjadi bias investasi, yang didorong oleh kebijakan subsidi, bukan oleh kebijakan suku bunga seperti yang diduga Soepanto (1999). Jika paradok ini tidak tepat mungkin pada perikanan tangkap Indonesia terjadi anomali ekonomi, tentu fenomena ini harns diketahui penyebabnya. Berdasarkan permasalahan diatas, maka subsidi pada perikanan tangkap perlu dipelajari karena: (I). pengaruhnya terkait dengan peningkatan kapital dan pengurasan sumberdaya. (2) terkait dengan besar anggaran pembangunan yang disediakan pemerintah untuk sektor perikanan. Berdasarkan pemikiran diatas diharapkan akan diperoleh jawaban mengenai dampak dari subsidi perikanan terhadap perikanan tangkap. Dengan demikian langkah-Iangkah terobosan pembangunan perikanan tangkap dapat diidentifikasi dengan baik. 1.3. Perumusan Masalah Arah pembangunan perikanan yang dilaksanakan sejak masa pemerintahan orde bam tujuannya adalah untuk mencapai empat sasaran, yaitu: (I),. Peningkatan produksi. (2) . Memperluas kesempatan kerja. (3). Peningkatan pendapatan dan devisa negara. (4). Pengembangan pasar produk perikanan. 15 Berkaitan dengan sasaran diatas pemerintah merancang berbagai program pembangunan jangka pendek dan jangka panjang me~aJui berbagai proyek pemb angu nan. Proyek itu antara lain: Second Irian Jaya Fisheries Development Project, Fisheries Support Service Project, Fisheries Infrastructure Sector Project dan proyek pembangunan pelabuhan perikanan. Semua proyek tersebut diarahkan untuk menunjang upaya peningkatan output Kebijakan ja~gka panjang sektor perikanan yang berorientasi output itu dapat dikatakan mendorong peningkatan effort penangkapan yang berpotensi mendorong eksploitasi sumberdaya secara tidak terkendali. Pengaruhnya dapat merusak ekosistem laut dan pesisir, serta distorsi perekonomian masyarakat pesisir, selain itu ikut mempengaruhi pranata sosiaJ dalam masyarakat tersebut. Pada setiap Pelita, pemerintah memberi subsidi kepada nelayan melalui berbagai kegiatan, dan kemudahan pada investor. Kepada investor asing misalnya, pemerintah memberikan keringan pajak atau lax holiday, kebijakan ini dapat dikatakan sebagai subsidi tidak langsung kepada perusahaan asing tersebut. Indikasi pengaruh subsidi pada perikanan tangkap yang sangat signifikan dapat dilihat pada perairan Pantura Jawa. Pada jangka pendek, pengurangan subsidi BBM pada wilayah ini menyebabkan gejolak sosial dan banyak nelayan tidak melaut, keadaan ini terjadi pada pertengahan tahun 2002 dan awal 2003. Secara teoritis kesulitan melaut ini disebabkan oleh peningkatan biaya per unit hasil tangkapan lebih besar dari peningkatan harga per unit hasil tangkapan. Secara sederhana dapat dikatakan pendapatan yang diperoleh dari hasil eksploitasi sumberdaya sarna dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengeksploitasi sumberdaya tersebut, oleh Gordon (1954), dikatakan pada perairan ini telah terjadi penurunan rente ekonomi sumberdaya. Argumen diatas jika dikaitkan dengan hasil studi Milazzo (1998), menunjukkan: pertama, pada perikanan open access seperti di perairan Laut Jawa pemberian subsidi pada armada penangkapan ikan akan mendorong peningkatan effort yang diikuti dengan penurunan pendapatan per unit effort sarnpai akhirnya total pendapatan sarna dengan total pengeluaran, atau menurut Anderson (1977) tambahan biaya untuk menangkap ikan sudah tidak sebanding dengan tambahan 16 pendapatan dari kegiatan penangkapan ikan tersebut. Kedua, pada BUMN perikanan menyebabkan perusahan ini tidak mampu mengembalikan kredit yang diperoleh sejak awal usahanya. karena cash flaw yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan tidak eukup unruk membayar cieilan. Kekurangan ini akhirnya ditutup dengan anggaran pemerintah. Oengan demikian, dapatlah dipahami bahwa annada perikanan itu akan memperoleh keuntunngan jika disubsidi oleh pemerintah. Jika demikian halnya maka kebijakan tersebut dapat dianggap sebagai kebijakan "pemborosan". Di Indonesia kebijakan subsidi yang terkait dengan effort penangkapan merupakan kebijakan yang kerap dilakukan. Kebijakan seperti ini menumt Milazzo (1998) jika tidak selektif dapat menimhulkan berbagai permasalahan yang lebih mmit lagi. Kebijakan subsidi seperti yang diuraikan diatas dapat dikatakan tidak mendorong kelestarian sumberdaya perikanan. Bahkan Park and Ryu (1999) mensinyalir kebijakan subsidi perikanan tangkap itu merupakan kebijakan yang kontra produktif, karena mendorong tingkat pemanfaatan potensi ikan melebihi batas yang diperkenankan. Hal ini teljadi karen a berbagai pihak seakan memperoleh lampu hijau dari pemerintah unruk mengeksploitasi sumberdaya perikanan dan tidak. responsifuntuk menjaga kelestarian sumberdaya itu. Akumulasi suhsidi pada sektor ini secara tidak. langsung dapat dikatakan akan mempengarnhi ekosistem, atau dengan kata lain subsidi itu punya peranan mengganggu keseimbangan sumberdaya. lika demikian haJnya maka subsidi perikanan cenderung mengganggu kelestarian stok ikan, dan ada yang mengatakan belum sampai me!llsak tatanan perdagangan (trade injury) seperti pada komoditas pertanian lain. Di Indonesia pengaruh suhsidi perikanan belumlah mendapat koreksi yang memadai, seperti suhsidi ·faktor produksi dan hasil produksi pada tanaman pangan. Hal ini diduga terkait dengan tingginya persentase penduduk miskin di wilayah pesisir, tidak kompetitifnya industri perikanan dan terdapat sejumlah target pembangunan yang harns dicapai pemerintah. 17 Selama ini yang .dipahami pemberian subsidi perikanan dapat mendorong peningkatan pendapatan, dan memperluas kesempatan kerja agar rumah tangga nelayan mampu mencukupi kebutuhan pangannya. Oleh sebab itu berkaitan dengan uraian diatas maka subsidi pada perikanan tangkap perlu dipelajari karen a implikasi cukup luas, terutama terhadap: (1). Rente ekonomi sumberdaya dan disparitas pendapatan. (2). Kesempatan ketja. (3). Kelestarian sumberdaya. (4). Kemandirian sektor ini dalam perekonomian. Pengaruh subsidi terhadap 4 hal yang disebutkan diatas dapat dipelajari melalui Gambar3. Gambar tersebut menjelaskan, perencanaan pembangunan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan dibagi dalam periode jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka panjang sasaran pemerintah adalah untuk membangun armada penangkapan ikan dan industri perikanan serta pembangunan masyarakat nelayan. Sasaran jangka panjang itu akan dicapai melalui pentahapan pembangunan dalam jangka pendek. Pentahapan jangka pendek dikemas melalui berbagai kegiatan pembangunan yang didukung oleh anggaran pembangunan yang berasal dan APBN, loan dan grant. Sebagian dari anggaran pembangunan yang disebutkat diatas merupakan subsidi. Subsidi yang diterima masyarakat nelayan itu dapat dalam bentuk tunai atau tidak tunai . Subsidi tunai adalah bentuk transfer pendapatan yang dibenkan pemerintah kepada nelayan yang telah dikonversi dalam berbagai bentuk kebutuhan nelayan. Sedangkan subsidi non tunai, merupakan bentuk transfer pendapatan kepada nelayan atau armada penangkapan ikan dalam bentuk infrastruktur atau pembangunan fasilitas lainnya. Berkembangnya armada penangkapan ikan dan industri peri kanan, serta perekonomian masyarakat pesisir akan mendorong dinamika dan sumberdaya ikan, sehingga akan mempengaruhi pendapatan masyarakat nelayan. kesempatan kerja, hasil tangkapan dan kelestarian sumberdaya, dan daya saing sektor penkanan dalam perekonomian. 18 -----_ ..... --------_ .. _---- I I I I I Program Pemb. ~ APBN I I Pembangunan Annada dan Industri Perikanan t Program Pemb. Loan • --------, masyarakat '---+--- Pendapatan ~ Kesempatan Kerja ~ Produksi & Kelestarian Sumberdaya I SDI Pembangunan Program Pemb. Grant ·1 Pesisir I . t .... ~ SUBSIDr --------------- ----------------- Jangka Peodek Jangka Panjang Kemandirian Sektor dim Perekonomian Gambar 3. Diagram Hubungan Program Pembangunan Perikanan . Bersubsidi dengan Tujuan Pembangunan Perikanan Tangkap 1.4. Tuj uan Penelitian Penelitian ini meneoba mempeiajari dampak kebijakan subsidi perikanan terhadap potensi ikan dan dinamika perekonomian di wilayah pesisir. Tujuan spesifik yang akan diamati adalah: (1). Mempelajari dinamika rente ekonomi sumberdaya karena pengaruh subsidi pada perikanan tangkap . (2). Mempelajari efek subsidi secara langsung terhadap fishing effort, stok ikan. kesejahteraan produsen dan seeara tidak langsung terhadap pengembangan perekonomian pesisir. 19 (3). Melakukan simulasi pada subsidi perikanan dan melihat dampaknya terhadap effort penangkapan ikan, kesempatan ketja, dan pendapatan serta hubungannya' dengan pengelolaan sumberdaya perikanan. (4). Merumuskan altematif kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang terkait dengan kebijakan subsidi. 1.5. Kegunaan Penelitian Uraian diatas menunjukkan subsidi perikanan merupakan kebijakan fiskal yang dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan sektor perikanan. Sejauh ini, efektifitas kebijakan subsidi pada sektor perikanan yang terkait dengan tujuan pembangunan perikanan dan kelestarian sumberdaya perikanan belum pemah dievaluasi. Evaluasi ini sangat diperlukan, karena informasinya dapat digunakan untuk menentukan arab pengembangan perikanan tangkap Indonesia, sehingga dapat memperjelas konsep pengelolaan sumberdaya peri kanan, serta dapat menjadi acuan untuk mempertegas posisi pemerintah tentang subsidi perikanan. Disamping itu, pemberian subsidi dapat disempumakan dan disesuaikan dengan keperluan pengelolaan sumberdaya, sehingga dapat mengurangi bias alokasi faktor produksi, sekaligus dapat mengendalikan distorsi eksploitasi sumberdaya perikanan. Pada SISI lain, pendekatan yang digunakan diharapkan dapat dikembangkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, sehingga membantu menjawab pengaruh subsidi dalam eksploitasi sumberdaya peri kanan, dan pengembangan perekonomian d'i wilayah pesisir secara konperhensif. 1.6. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Kebijakan transfer finansial tersebut pada dasarnya dilaksanakan pemerintah dalam rangka mencapai target pembangunan perikanan. Jika peran pemerintah dalam pembangunan perikanan di Indonesia sangat dominan, maka kebijakan pemerintah tersebut mempunyai potensi mendorong terjadinya kelebihan kapasitas penangkapan ikan pada wiJayah perairan di Indonesia. 20 Besaran peran pemerintah pada sektor perikanan ini diukur dari alokasi anggaran pembangunan pada sektor tersebut, karena alokasi anggaran tersebut merupakan wewenang pemerintah dan dapat dimanfaatkan sebagai stimulus untuk memacu aktivitas pada sektor perikanan. Sebagai gambaran, pada tahun anggaran 198911990 pemerintah mengalokasikan anggaran pembangunan untuk sektor perikanan ini sebesar Rp. 48.433,2 juta, kemudian meningkat menjadi Rp. 102.715,0 juta pada tahun 1993/1994. Selama periode itu, akumulasi anggaran untuk subsidi pada perikanan tangkap mencapai Rp. 48.828,9 juta. Kebijakan transfer finansial melalui alokasi anggaran pembangunan pada kegiatan penangkapan ikan telah banyak diteliti seperti dilaporkan oleh Arnarson (1999), Wiium (1999) serta Munro and Sumaila (2001). Laporan peneJitian tenaga ahli FAG juga melaporkan hal yang sarna, bahkan rumusan FAG ini menjadi landasan berbagai pihak seperti: World Bank, UNDP, WWF dalam mempeJajari dan menyikapi permasalahan subsidi pada perikanan tangkap tersebut. Sementara itu, pada forum WTG subsidi p~rikanan tangkap ini menjadi topik diskusi reguler dalam pertemuan Commision on Trade and Environment (CTE). Dalam anggaran pembangunan sektor perikanan, dana subsidi dapat saja berasal dari Rupiah Mumi (RM) atau Rupiah Khusus (RK). RK tersebut sumbemya dapat dari loan atau grant. Oleh sebab itu untuk mempelajari subsidi . pada perikanan tangkap Indonesia dilakukan melalui tiga langkah, yaitu: Pertama: cakupan makro, mencoba melakukan pemahaman tentang anggaran pembangunan sektor perikanan yang terkait dengan subsidi. Melalui langkah ini akan dapat diverifikasi besamya subsidi pada perikanan tangkap setiap tahun anggaran. Disamping itu karena sektor perikanan itu merupakan sektor ekonomi maka kegiatan pada sektor ini terkait juga dengan sektor lain, seperti sektor perhubungan dan transportasi. prasarana wilayah, sektor Verifikasi subsidi perikanan yang terkait dengan sektor lain tidak dilakukan dalam penelitian ini, walaupun disadari sektor-sektor tersebut mempunyai "spillover effect' terhadap sektor perikanan. 21 Penelitian ini juga tidak menghitung besamya subsidi karena kebijakan pemerintah yang tidak diaJokasikan dalam anggaran sektor perikanan. karena perhitungannya memerlukan pendekatan yang berbeda. Kedua: cakupan mikro yang mencoba melihat pengaruh subsidi perikanan pada tingkat operasional . Fenomena subsidi dalarn cakupan mikro 1m hanya didasarkan pada kegiatan penangkapan ikan. Pengaruhnya diperkirakan sangat Iuas, terutama terJWt dengan kapasitas penangkapan ikan. hasil tangkapan, dan kelestarian sumberdaya perikanan serta perkembangan perekonomian pesisir. Ketiga: Analisis didasarkan pada asumSJ. perikanan tersebut merupakan unregulated fisheries. Asumsi ini berkaitan dengan lemahnya law enforcement pada perikanan kita. Pada perikanan yang demikian akses terhadap sumberdaya mengarah ke open access dan sifat kepemilikan sumberdaya tetap common property. Berkaitan dengan cakupan mikro tersebut., maka kebijakan subsidi pada perairan Pantura Jawa tersebut telah mendorong berkembangnya MT pada berbagai tokasi pendaratan ikan. Sementara armada KM cendernng terkonsentrasi pada lokasi tertentu saja, sedangkan armada PTM semakin 5ulit ditemukan. Konsentarsi KM pada lokasi tertentu terjadi karena didukung oteh berbagai fasilitas, termasuk dermaga tempat bongkar muat berbagai keperluan kapat ikan. Konsentrasi pendaratan ikan ini diperkirakan ada hubungannya dengan dengan SK Mentan No. 607IKptsiUm/9/1976;jo No. 608IKptsiUm/9/ J976 dan No. 3 OOIKpts/Uml 511978. Sel anj utn ya dengan perkem b angan teknologi penangkapan ikan mendorong SK Mentan yang disebutkan sebelumnya harns disempurnakan. Akhirnya keluarlah SK Mentan No. 392/KptsIIK.12014199 tentang jalur-jalur penangkapan ikan terbaru. Pada SK Mentan yang terakhir, jaJur penangkapan ikan itu terdiri dari 3 jalur, yaitu: jalur penangkapan ikan I, jalur penangkapan ikan II dan jalur penangkapan ikan Ill. 22 mempunyai arti bahwa kapal yang beroperasi pada jalur I boleh saja beroperasi pada jalur penangkapan ikan II dan Ill, namun karena spesifikasi teknoiogi maka beroperasi diluar jalur yang ditetapkan sulit dilakukan. Sebaiiknya kapat penangkapan ikan yang beroperasi di jalur m tidak dibenarkan beroperasi di jalur II dan I. Demikian juga dengan kapal yang beroperasi di jaJur II tidak dibenarkan beroperasi di ja1ur I. Dengan memperhatikan sebaran lokasi pendaratkan ikan di peralran Pantura Jawa, maka fenomena kepatuhan armada menangkap ikan pada jalur yang disebutkan diatas dapat dipeJajari. Fenomena ini dapatjuga mengambarkan situasi stok ikan, jangkauan operasi penangkapan ikan, effort penangkapan, dan hasil tangkapan akibat berbagai kebijakan pemerintah. Hal ini berarti annada yang mendaratkan ikan di pelabuhan Kota Pekalongan dan Kota Tegal misalnya akan memberi gambaran tentang kondisi perikanan pada jalur penangkapan ikan III. Sedangkan annada yang mendaratkan ikan' di Kabupaten Pekalongan atau Kabupaten Pemalang dapat- mengambarkan situasi perikanan pada jalur penangkapan ikan II. Sementara itu pada jalur penangkapan I akan digambarkan oteh fenomena dari annada tangkap yang mendaratkan ikan pada tokasi lainnya. 23