Implikasi Kebijakan Subsidi Perikanan Pada

advertisement
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar BeJakang
Sektor perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memberi
kontribusi dalam pembangunan nasional. Pendapat ini tidak lepas dari hasil
pendugaan stok ikan yang terda,pat pada perairan pantai, perairan nusantara, serta
perairan Zona Ekonomi EkskJusif Indonesia (ZEEI) yang dilakukan sejak tahun
1970.
Berkaitan dengan potensi diatas Dwiponggo (1987), Nurhakim, et al
(1998) mencatat berbagai informasi tentang potensi ikan dalam perairan
Indonesia. Infonnasi resmi yang dikeJuarkan oleh Direktorat lenderal Perikanan
pada tabun 1994, menunjukkan potensi ikan dalam perairan pantai dan nusantara
adalah 6,2 juta ton per tahun, sementara itu pada perairan ZEEI adalah sekitar 2,3
juta ton per tabun. Informasi yang terakhir ini menjadi acuan berbagai pihak
untuk merumuskan kebijakan pembangunan pada berbagai wilayah perikanan
tangkap di Indonesia. Hal ini, menunjukkan potensi ikan tersebut telah
dipertimbangkan
sebagai
aset
yang
dapat
dimanfaatkan
untuk
tujuan
pembangunan nasional.
Sejak Pembangunan Lima Tahun (pelita) I, upaya untuk
pemanfaatan potensi ikan terus dilakukan pemerintah melalui dua
mendorong
kebijaka~
pertama kebijakan moneter (melalui kredit dengan suku bunga rendah) dan kedua
kebijakan fiskal (terutama melalui subsidi dan pajak). Dengan demikian, pasang
surut kebijakan pemanfaatan sumberdaya perikanan bukan hanya dipengaruhi
kebijakan sektoral, tetapi terkait juga dengan berbagai kebijakan makro ekonomi
Indonesia dalam berbagai periode. Periode penting perkembangan perekonomian
yang terkait dengan pembangunan perikanan adalah sebagai berikut.
Periode 1973-1981, dikenal sebagai periode 'oil boom' . Selama periode
tersebut kebijakan makro ekonomi Indonesia bertumpu pada ekspor minyak
mentah. Penerimaan dari '-oil boom' merupakan pendapatan besar dari negara,
namun pendapatan ini ternyata menimbulkan beberapa persoaian, seperti
mendorong timbulnya inflasi (demand pull inflation), dan mendorong terjadinya
dualisme dalam perekonomian (Ranis, 1988), karena muncul sektor produktif
yang padat modal, serta selctor kurang produktif dan padat karya (didalamnya
termasuk sektor perikanan).
Disamping itu, fluktuasi harga minyak mentah di pasar intemasional temyata
menentukan total subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang hams dialokasikan
pemenntah dalam Anggaran Pendapatan dan BeJanja Negara (APBN), karen a
sekitar 20 ~ 25% kebutuhan BBM dalam negeri tersebut diimpor oleh pemerintah.
Perlu dicatat selama ini harga BBM dalam negeri lebih rendah dari harga di pasar
dunia, karena harga tersebut dikendalikan oleh pemerintah. Dengan demikian,
selisih harga BBM yang diimpor (harga pasar dunia dengan harga domestik)
merupakan subsidi yang dikeJuarkan pemerintah untuk konsumen tennasuk
nelayan.
Seiring dengan hal tersebut,
tambahan pendapatan yang diperoleh
pemerintah dari ekspor minyak mentah digunakan sebagai investasi uotuk
membangun industri subtitusi impor di dalarn negen, karena pennintaan barang
industri tersebut di dalam negen sangat tinggi, sementara kemampuan industri
domestik untuk menghasilkan barang yang dimaksud sangat terbatas. Tujuan dari
investasi ini disamping untuk mengurangi ketergantungan pada impor, juga untuk
membuka lapangan kerja di dalam negeri, harapannya akan mendorong
permintaan domestik. Pada perjode tersebut tercatat, ekonomi Indonesia tumbuh
aotara 7 - 8% per tabun (pangestu, 1996 dan World /Jf1nk, 1998). Investasi yang
dikeluarkan untuk berbagai industri tersebut diperkirakan turut memacu
pertumbuhan selctor perikanan. Nilai Produk Domestik Brute (PDB) sektor
perikanan atas dasar harga konstan 1993 meningkat dari Rp. 1,524 milyar pada
tahun 1974 (petita II) menjadi Rp. 1,924 milyarpada tahun 1979 (pelita III),
namun kontribusi sektor perikanan dalam PDB nasional cenderung menurun dari
1,8% pada tabun 1969 (Petita I) menjadi 1,5% pada tahun 1974 (Pelita II) dan
1,4% pada tahun 1979 (pelita III).
Kentribusi sektor perikanan dalam PDB nasional tidak dapat dipisahkan
dari pasang surutnya peran perusabaan perikanan. Pada tabun 1961 di berbagai
daerah terdapat perusahaan peri'kanan negara, yang dikelola eleh Badan Pimpinan
Umum Perusahaan Perikanan Negara (BPU Perikani). Tabun 1966 BPU Perikani
2
ini dibubarkan dengan PP No. / tahun /966, selanjutnya pembentukan BUMN
Perikanan didorong oleh berlakunya
UV No. 9 tainm /969 yang mengatur
tentang bentuk badan usaha negara. Pada tahun 1972 dilakukan revitalisasi
BUMN perikanan dengan tujuan menjadikan BUMN ini menjadi peJopor industri
perikanan, karena itu otoritas pengelolaannya diserahkan pada masing-masing
BUMN perikanan tersebut (Soewito, et ai, 2000). BUMN perikanan ini tetap
dipertahankan oleh pemerintah, walaupun muneul berbagai perusahaan perikanan
swasta dengan teknologi lebih maju. Hal ini berarti masa kepeloporan BUMN
perikanan telah berlalu, karena itu untuk mempertahankan BUMN perikanan
tersebut pemerintah memberi suntikan dana untuk merawat, memperbaharui
berbagai sarana dan prasarana penangkapan ikan yang telah menjadi aset BUMN
perikanan tersebut. Oleh sebab itu, keberadaan BUMN perikanan saat ini
diarahkan sebagai mitra perikanan rakyat dalam menangkap ikan.
Periode kedua, 1982 - 1985 dikenal dengan periode first external shock
dalam perekonomian Indonesia, karena tuninnya harga minyak mentah di pasar
dunia. Harga minyak mentah Indonesia merosot antara 0,20 point sampai 1,95
point. Harga minyak terendah adalah US $ 24 per barrel (Duri 21) dan tertinggi
US $ 27,80 (Handit 34). Fenomena ini diikuti dengan turunnya harga ekspor
komoditas primer karena tesunya perekonomian dunia, sehingga pemasaran bahan
mentah seperti: karet, kopi, minyak sawit, dan lada mengalami hambatan,
sementara impor Indonesia tidak dapat dikurangi (Anonim, 1985).
Perkembangan perekonomian Indonesia saat itu kurang menguntungkan,
namun pemerintah tetap memperhatikan perkembangan berbagai BUMN dengan
melakukan regulasi pasar. Kebijakan ekonomi tetap mengaeu pada industri
subsitusi impor, untuk melindungi industri kapa! dalam negen pemerintah
menetapkan berbagai kebijakan non tarif seperti larangan Impor kapal ikan.
Larangan impor kapal ikan tersebut· ternyata kurang berpengaruh pada
pengembangan industri kapaJ peri kanan, padahal pada saat itu harga ekspor tuna,
udang dan beberapa komoditas perikanan eenderung meningkat. PDB sektor
perikanan berdasarkan harga konstan 1993 meningkat dari Rp. 2 miiyar pada
tahun 1982 menjadi lebih dari Rp. 3 milyar pada tahun 1985. Selama periode
3
tersebut harns diakui, kontribusi PDB perikanan terhadap PDB nasional tidak
banyak berubah yaitu sekitar 1,6%. Pada periode ini terJihat sistem manajemen
dim organisasi BUMN perikanan mulai dibenahi serta innovasi teknologi baru
mulai diadopsi.
Periode ketiga 1986 - 1988, sering disebut sebagai periode second extemal
shock dalam perekonomian Indonesia, karena harga minyak mentah Indonesia
semakin anjlok dan berlanjut dengan merosotnya harga ekspor komoditas primer.
Fenomena ini diikuti oleh appresiasi mata uang Yen. sehingga rnenekan
perekonomian Indonesia. Perkembangan ini mendorong pemerintah mengubah
kebijakan investasi industri dari industri subtitusi impor ke industri prornosi
ekspor, yang diikuti dengan deregulasi kepabeanan dan impor, serta mernberi
kemudahan investasi padaPenanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman
Modal DaJam Negeri (PMDN). Melalui langkah ini pemerintah berharap teIjadi
perubahan dalam perekonomian dalam negeri, sehingga pemerintah dapat
mengurangi dukungan finansia~ pada BUMN.
Pengurangan dukungan finansial ini mendorong BUMN Perikanan (sebagai
salah satu BUMN penerima subsidi) mulai mengembangkan social engineering
melalui
inovasi
Perusahaan
Inti
Rakyat (PIR).
Perubahan
kebijakan
pernbangunari tersebut ternyata belurn rnampu rnendorong peningkatan kontribusi
PDB sektor perikanan dalam PDB nasional. Kontribusi sektor perikanan dalam
PDB nasional tetap 1,6% per tahun.
Peri ode keempat 1988 - 1992, merupakan periode pengembangan komoditas
non rninyak dan gas (non rnigas), tujuannya adalah untuk rnendorong pernulihan
ekonomi Indonesia. Pada periode ini harga rninyak mentah cenderung stabil,
namun harga komoditas primer tetap rendah. Industri dipacu kearah prornosi
ekspor yang diikuti dengan memperluas deregulasi investasi pada berbagai bidang
termasuk deregulasi sektor keuangan. Pada periode ini BUMN perikanan mulai
mernperhatikan pengernbangan kualitas sumberdaya manusia dengan rnembentuk
gugus kendali mutu dalam rangka pengembangan ekspor, dan pasar produk hasil
perikanan dikembangkan dalam bentukfillet dan loin.
4
Periode kelima 1993 -
1996 tetap merupakan periode pengembangan
komoditas non migas. Harga minyak mentah berkisar antara US $ 19 sampai US $
21 per barrel dan harga komoditas primer relatif stabil, pertumbuhan ekonomi
Indonesia berkisar antara 6,5% sampai 7,9% antara tabun 1993 sampai 1996.
Kebijakan pengembangan komoditas perikanan diarahkan ke pasar bebas. Pada
tanggal 4 luli 1996 pemerintah mengeluarkan deregulasi sektor perikanan untuk
mendorong
ekspor
komoditas
perikanan.
Deregulasi
1m
mencakup
penyederhanaan izin kapal pen~gkap ikan, dan izin untuk mengimpor kapat ikan
termasuk kapal ikan bekas. Sasarannya adalah untuk memuluskan penambahan
240 kapal ikan agar produksi perikanan dapat tumbuh 5% per tabun atau setara
dengan 160.000 ton per tabun (Yulius et ai, 1996). Kebijakan itu, ikut
meningkatkan nilai nominal PDB sektor perikanan dari Rp. 2.813.5 milyar pada
tabun 1993 menjadi Rp. 6.248 milyar pada tabun 1996. Peningkatan ini ternyata
tidak diikuti dengan peningkatan kontribusi sektor ini terhadap PDB nasiona1.
PDB sektor perikanan berdasarkan harga konstan 1993 adalah 1,4% dan 1.5%
pada tahun 1996.
Periode 1997 - sampai sekarang, merupakan peri ode krisis perekonomian
Indonesia, perekonomian mengalami kontraksi karena berbagai kebijakan. Hal ini
disebabkan oleh lemahnya daya' saing ekspor, laju konsumsi berlebihan, serta over
borrowing terhadap pinjaman luar negeri (Ikhsan dan Tuwoi, 1997). Penurunan
tingkat inflasi pada awal tahun 1997 sebagian besar disebabkan oleh subsidi
pangan yang dilakukan melalui operasi pasar dan keberhasilan mengendaJikan
gejolak pasar uang. Pada akhir tahun 1997 nitai rupiah terdepresiasi terhadap
mata uang asing (terutama US $) sampai 5 kali dan cenderung tidak stabi!. Harga
ekspor komoditas primer cukup baik. Selama periode itu, daJam perekonomian
Indonesia terjadi pelarian modal yang diikuti dengan langkanya investasi baru.
Investasi yang bertahan adalah investasi pada sektor pertanian yang berbasls
ekspor seperti kelapa sawit, tuna., cakalang dan udang. Keragaan ketiga industri
perikanan tersebut terancam oleh kebijakan non-tarif di pasar ekspor terutama
embargo udang hasil tangkapan di pasar Amerika Serikat dan udang hasil tambak
di pasar Eropah, bahkan perdagangan tuna hasil tangkapan Indonesia juga
5
terancam. jika Indonesia tidak aktif berperan dalam organlsasl pengelolaan
potensi tuna dunia (Constance and Bonanno, 1999).
Berkaitan dengan perkernbangan tersebut, maka PDB sektor perikanan
berdasarkan harga konstan 1993 tercatat Rp. 6.610 milyar sedangkan pada tahun
1999 adalah Rp. 7.460 milyar. Hal ini menunjukkan kontribusi PDB sektor
perikanan dalam PDB nasional adalah 1,5% pada tahun 1997 dan 1,9% pada
tabun 1999.
Pemanfaatan potensi surnberdaya perikanan yang didorong oJeh dukungan
finansial dari pemerintah diduga ikut memberi andil dalarn 'peningkatan nilai
nominal PDD sektor perikanan. Berdasarkan uraian diatas, kontribusi PDB sektor
perikanan daJam perekonomian nasional walaupun menunjukkan perubahan tetapi
perubahan itu tidak pemah lebih dari 1,9% per tabun (Gambar 1).
...................................
2
1.8
1.6
1.4
c 1.2
e
1
~
GI
n. 0.8
0.6
--;.._........................]
-
0 .4
0.2
0
c$>Q)
"
~~
"OJ
~Q)
"OJ
,Jl..
,,~
..g.,OJ ~
..D\<-:' ~
J
,,"'" "C!i ,,"'" ,,0/
-Dt,
'\
,,'-Y
-Dt,fb
,,~~
..D\CiJ "",0 "","
,,~~ 'l,.\T 'l,.\T
Tahun
[--+-persentase terhadap PDB Nasional [
Sumber: Statistik Indonesia (BPS Berbagai Terbitan)
Gambar 1. Kontribusi PDB sektor Perikanan Terhadap PDB Nasional
Berdasarkan Harga Konstan 1993
Jika fenomena ini kita cermati seiring dengan dinamika produksi perikanan
Indonesia, maka timbul pertanyaan, apakah dalam penangkapan ikan di taut
terjadi bias alokasi faktor produksi untuk memanfaatkan potensi perikanan
6
tersebut, karena berbagai kebijakan pada sektor itu?
lika bias alokasi faktor
produksi itu benar tetjadi, hal itu menunjukkan upaya pengelolaan sumberdaya
perikanan yang dilakukan selama ini tidak beIjalan dengan baik. Indikasi bias
alokasi faktor produksi itu, ~apat juga dicermati dari produktivitas
hasil
tangkapan nelayan seperti yang ditunjukkan pada tampilan Gambar 2. Tampilan
tersebut menunjukkan adanya stagnasi produktivitas hasil tangkapan, yang diduga
karena faktor internal dan eksternal dalam perikanan tangkap tersebut, sehingga
mendorong tetjadinya ekstemalitas negatif dalam kegiatan penangkapan ikan ..
10
--
9
8
7
i.c
~
6
---
.....
------
~
.......
! :
!1
3
2
1
o
~
....Q,
.Sl
....C8'
,b ..b .,fb -DJO
....
....C8' ....0J> ....C!1' ~- ....cfJ
n.
!!l
..>
b
,.$)
~
"ciJ ,,~ ,,~~ ....~ ~ "ciJ
I--+-
Produktivitas
rib
"qJ"
~
4Ji
....
I
Surnber: StaListik Perikanan Indonesia (diolah)
Gambar 2. Produktivitas Nelayan Indonesia (kwhari)
Stagnasi produktivitas pada sektor perikanan ini, diatasi pemerintah dengan
memberi bantuan finansial melalui berbagai program dan proyek. Dukungan
finansial tersebut sebagian dapat dikatagorikan sebagai subsidi.
7
1.2. Identifikasi Masalah
Fenomena meningkatnya nilai nominal PDB sektor perikanan yang diikuti
dengan keterbatasan kontribusi sektor tersebut dalam PDB nasional merupakan
gambaran bahwa subsidi yang disalurkan pada sektor ini tidak berfungsi seperti
yang diharapkan. Indikasinya produktivitas sektor ini jauh dibawah sektor lain
yang ada dalam perekonomian.
Hal ini sekaligus merupakan, buleti pada sektor perikanan tersebut telah
terjadi bias alokasi faktor produksi. Indikasi bias alokasi faktor produksi pada
perikanan tangkap ini sangat jelas terlihat pada perikanan tangkap di perairan
Pantai Utara Jawa (pantura), dan menurut Sukirdjo, (2003) fenomena ini terjadi
juga pada perikanan udang di laut Arafura dan perairan Papua. Fenomena tersebut
berarti juga antara lain:
(1).
menunjukkan dugaan awal produktivitas armada penangkapan
ikan di laut relatif rendah. Produktivitas yang rendah ini
disebabkan oleh keragaman alat tangkap yang beroperasi pada
perairan yang akses pemanfaatannya agak bebas (quasi open
access). Sementara penguasaan potensi ikan dalam perairan itu
tetap dalam bentuk common property, sehingga aktivitas diperairan
itu mendorong terjadinya ekstemalitas negatif (Johnston, 1992 dan
Pauly, 1987).
Modernisasi perikanan rakyat yang dimulai pada
awal Pelita I dan semakin deras setelah keluarnya Keppres No. 39
tahun 1980 tentang penghapusan trawl, merupakan rangkaian
kebijakan yang mendorong peningkatan kapital pada berbagai
wilayah perairan di Indonesia. Mod erni sasi perikanan rakyat ini
dilakukan oleh pemerintah dengan dukungan dana yang cukup
besar.
(2).
Investasi pada beberapa wilayah penangkapan ikan diperkirakan
telah over caJKl.city, karen a tidak mempertimbangkan carrying
capacity potensi ikan pada perairan tersebut. Hal ini terjadi, karen a
kurang dimanfaatkan hasil penelitian sebagai acuan pemanfaatan
dan pengelolaan sumberdaya perikanan. Pada perikanan udang di
8
laut Arafuru dan perairan sekitar Papua misalnya, hasil peneiitian
merekomendasikan jumlah kapal yang boleh beroperasi antara 183
sampai 280 unit. Namun sampai dengan tahun 2001, jumlah kapaJ
yang beroperasi pada - perairan tersebut mencapai 513 unit
(Sukirdjo, 2003). dan jumlah tersebut belum tennasuk kapa} ikan
illegal. Fenomena yang sarna diperkirakan telah lebih dahulu
terjadi di perairan Pantura dan Seiat Malaka (Naamin, 1987).
Keadaan ini sernakin rumit, karena law enforcement pada perairan
itu relatif tidak berfungsi dan ikan yang terdapat dalam perairan
selalu bennigrasi, sehingga naluri nelayan untuk rnenangkap lebih
tidak dapat dihindari, fenomena yang demikian telah diungkapkan
Hardin pada tahun 1968. Dibandingkan dengan sub sektor lain
dalam sektor pertanian, maka investasi PMDN dan PMA dalam
sektor perikanan cukup besar. lumlah kumulatif realisasi PMDN
dan PMA dalam sektor perikanan dan tabun 1969 sampai tahun
1995 tercatat Rp. 1.774,66 milyar.
lumlah tersebut 47,75%
merupakan investasi PMA dan 52,25% merupakan investasi
PMDN (Simatupang et a/. 1997).
Dengan demikian dalam proses pembangunan masyarakat nelayan
di
wilayah pesisir ada indikasi yang menunjukkan kebijakan ekonomi mempunyai
pengaruh pada kesi nambungan. sum b erdaya peri kanan. Berkaitan dengan hal itu,
kebijakan subsidi pada sektor ini tujuan awalnya adalah untuk meningkatkan
standar hidup nelayan dan
menJaga
kua1itas sumberdaya, namun dalam
kenyataannya, seperti yang dilaporkan ADB (1990) kebijakan tersebut cenderung
merusak sumberdaya, yang ditunjukkan oleh kerusakan ekosistem pesisir dan
lautan yang diikuti oleh deplesi beberapa jenis ikan. Implikasi sepert! ini telah
banyak dikemukan para pakar {Dahuri et al. (1996) tentang dampak
pembangunan terhadap sumberdaya pada wilayah pesisir dan lautan} .
Berdasarkan data Series yang ada, kebijakan subsidi diperkirakan ikut
menentukan fluktuasi produktivitas nelayan dan dinamika jumlah perahul kapa1
motor penangkap ikan pada berbagai perairan di Indonesia.
Kebijakan yang
9
terakhir ini dilaksanakan pemerintah terkait dengan upaya mengurangi jumlah
perahu tanpa motor dan mendorong peningkatan jumlah perahu motor tempel dan
kapal motor, sehingga armada perikanan ini diharapkan dapat beroperasi sampai
ke perairan ZEEl. Kebijakan ·tersebut dimaksudkan juga untuk
kemiskinan,
meningkatkan produksi
perikanan
dalam
mengurangi
rangka memenuhi
kebutuhan pangan dan bahan baku industri dalam negeri serta meningkatkan
ekspor hasil perikanan.
Transformasi armada penangkapan ikan untuk mencapal tujuan yang
disebutkan diatas dilakukan pemerintah dengan dukungan finansial melalui
berbagai program/proyek, sebagian dukungan finansial tersebut merupakan
subsidi. Program ini mendapat dukungan dana dari pemerintah melalui APBN,
serta bantuan dalam bentuk loan dan grant. Loan dan grant tersebut diperoleh
pemerintah dari berbagai sumber seperti: ADB, UNDP, FAG, IDRC, CIDA, Gn,
JICA dan USA/D. Bentuk bantu an itu sangat bervariasi mulai dari subsidi bunga
kredit, subsidi BBM (yang bersifat symphatetic support), maupun dalam bentuk
bantuan spesifik yang bersifat cluster support.
Laporan evaluasi program pembangunan perikanan selama Pel ita V
menunjukkan pemerintah telah mendistribusikan 2.333 unit paket bantuan berupa
kapal dengan alat tangkap serta biaya operasional tahap awat untuk nelayan .
.Alokasi anggaran pembangunan . sektor perikanan yang bersifat cluster support
selama Pelita V yang dapat dikatagorikan sebagai subsidi langsung adalah sekitar
13,1% (tidak termasuk subsidi BBM, karena telah dialokasikan daJam sektor lain)
dan subsidi tidak langsung sekitar 39%.
Pada sisi lain dalam seluruh sektor pembangunan pada tahun anggaran
199912000 reaJisasi subsidi yang harns dikeluarkan pemerintah yang termasuk
.\ymphatetic support mencapai Rp. 60,8 triliun (5,3% dari PDB) yang terdiri dari
Rp . 40,9 triliun subsidi BBM dan Rp. 19,9 triliun subsidi non BBM, padahal
awalnya anggaran yang dialokasikan untuk subsidi tersebut hanya Rp. 28 triliun.
Pada revisi anggaran belanja negara tahun anggaran 2003 (September 2003)
jumlah subsidi itu sekitar Rp . 38,3 triliun. lumlah tersebut terdiri dari Rp. 26
10
triliun untuk subsidi BBM dan Rp. 12,3 triliun untuk subsidi non BBM. Subsidi
ini masing-masing sebesar 1.5% dan 0,8% dari PDB .
Selanjutnya dalam rangka memanfaatkan potensi ikan yang ada dalam
perairan pada tahun 1985 pemerintah mengizinkan perusahaan swasta nasional
bekerja sarna dengan kapaJ ikan asing melakukan penangkapan ikan pada perairan
ZEEI dengan sistem lisensi. Dalam waktu singkat jumlah kapal ikan asing yang
beroperasi pada perairan ZEEI meningkat. Sementara itu beberapa kalangan
menilai beroperasinya kapal ikan asing dalam perairan Indonesia itu memberi
manfaat yang sangat keeil untuk masyarakat. Oleh sebab itu, sejak 1 Nopember
1990 izin penangkapan ikan dengan sistem tisensi diganti dengan sistim sewa
sesuai dengan SK Mentan No. 8151KptslIKlJ 201///9 0 dan SK Mentan No.
816IKptsllK.J201nl90. Kebijakan ini temyata tidak mendorong kapa! ikan asing
tersebut seluruhnya beroperasi di ZEEI, tetapi sebagian kapal asing itu melakukan
kegiatan illegal fishing pada perairan nusantara dan perairan pantai. Kegiatan ini
semakin sering terjadi, karena lemahnya law enforcement, murahnya harga BBM
dan tingginya harga ikan di pasar dunia. Akibat dari perkembangan ini,
mendorong pemerintah melalui menteri pertanian mengeluarkan Keputusan
Menter; Pertanian No. l0871KptslPL.8101J011999 tentang pengadaan kapal
perikanan dan penghapusan sistem sewa kapal perikanan berbendera· asing
(Monintja dan Yusfiand~ni) 2001).
Kebijakan sektoral diatas, telah mendorong hilangnya pendapatan
pemerintah karena kemudahan yang diberikan pada kapal ikan asing. Kebijakan
tersebut merupakan kebijakan subsidi, karena secara tidak langsung pemerintah
memberi bantuan pada kapal ikan asing (MRAG,2000).
Transformasi armada penangkapan ikan nelayan lokal
dan kemudahan
yang diberikan pada armada perikanan asing telah mendorong terjadinya distorsi
pemanfaatan sumberdaya perikanan pada perairan tertentu. Dampak dari
kebijakan yang mempengaruhi sumberdaya itu dapat dilihat pada Tabel 1.
Permasalahan pengaruh subsidi seperti ini sebenamya. :telah dibahas
Rayner, Ingersen and Hine (1993), dan telah menjadi perdebatan sejak tahun
1947 melalui GA1Tsampai dengan dibentuknya WTO.
11
Berkaitan dengan subsidi pada sektor perikanan tersebut, FAO (1988)
melihat negara pantai terbagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok negara
yang menganggap subsidi mendorong terjadinya peningkatan kapasitas tangkap.
Dan kedua, kelompok negara yang melihat subsidi itu secara sistimatis tidak
berhubungan dengan kelebihan kapasitas tangkap.
Tabel 1. Dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Sumberdaya
Pesisir dan Lautan
1.
Kebijakan Ekonomi
Investasi
Tax holiday
Pembebasan
Pajak dan Bea
Masuk
Aktivitas Ekonomi
Dampak Pada Sumberdaya
Memperbaharui, membangun
dan rnemodemisasi kapaJ
penangkap ikan.
Meningkatnya tekanan pada
sumberdaya perikanan
Pembelian mesin. kapal bam,
serta
perbaikan
armada
perikanan. Dan peningkatan
berbagai kegiatan di daerah
pesisir.
Meningkatkan tekanan pada
sumberdaya perikanan dan
mendorong konversi laban
diwilayah pesisir.
Meningkatkan
kegiatan
penangkapan
ikan
pada
perairan pantai, dan )epas
pantai.
Meningkatkan tekanan pada
ekosistern pantai dan lepas
pantai.
Barang
Modal
2.
Subsidi suku bunga kredit
3. Subsidi faktor produksi
Bukti bahwa subsidi itu berhubungan dengan kelebihan kapasitas tangkap
telah ditunjukkan oleh Ruseski (1998) dalam kasus perikanan di Grand Banks off
Newfoundland. Pemberian subsidi pada armada penangkapan ikan Kanada,
Spanyol, Portugal, Uni Soviet dan Polandia dilaporkan juga telah mendorong
kelebihan upaya tangkap di perairan itu. Peningkatan upaya tangkap ini
mendorong dilakukan moratorium dalam penangkapan ikan di perairan tersebut,
agar industri perikanan pada negara-negara dimaksud tidak bangkrut.
Pada sisi lain Milazzo (1998) memberi
contoh mengenai armada
perikanan Uni Soviet yang merupakan armada perikanan yang disubsidi oleh
pemerintah. Ketika Uni Soviet bubar maka annada perikaiian ini menjadi milik
Rusia, namun karena ekonomi Rusia belum pulih maka subsidi untuk armada
12
perikanan tersebut dihentikan oleh pemerintah Rusia. Akibatnya jumlah kapal
penangkap ikan yamg beroperasi berkurang, sehingga mendorong pemulihan
beberapa stok ikan di perairan Rusia. Berdasarkan kasus perikanan di perairan
Grand Banks off Newfoundland dan perikanan di Rusia tersebut diperoleh
gambaran bahwa terdapat hubungan yang negatif antara subsidi dengan stok ikan
di perairan.
Di Cina dan Thailand subsidi perikanan dimanfaatkan sebagai kebijakan
untuk mendorong armada perikanan negara tersebut menangkap ikan diluar
perairan mereka. Pacta tahun 1992 Departemen Pertanian Cina mengeluarkan
kebijakan yang membatasi armada penangkapan ikan Cina beroperasi di perairan
Cina. Kebijakan ini dikeluarkan, karena hasil evaluasi pemerintah Cina
menunjukkan pada perairan Cina telah terjadi eksploitasi ikan yang berlebihan.
Kebijakan ini dapat dilaksanakan karena sebagian besar armada perikanan Cina
merupakan milik pemerintah yang diusahakan secara kolektif (Milazzo, 1998).
Disamping itu pemerintah Thailand membatasi menangkap ikan perairan teluk
Thailand, karena perikanan pada perairan itu telah menunjukkan economic
overjishing.
Kasus armada perikanan Cina dan Thailand ini, menunjukkan
hubungan yang positif antara subsidi dengan pemulihan stok ikan.
Di Indonesia pemerintah memandang subsidi (bantuan) kepada pelaku
pada sektor ini tidak ada hubungannya dengan kelebiha.n kapasitas tangkap. Hal
ini dapat dilihat dari peran aktif pemerintah dalam memberikan bantuan finansial
kepada nelayan dalam berbagai bentuk. Padahal pada beberapa wilayah
penangkapan telah terjadi kelebihan kapasitas tangkap (Naamin, et aJ. 1990 ;
Dwiponggo dan I1yas, 1990; Uktolseja., 1990). Sayangnya sarnpai saat ini, teori
subsidi yang menjelaskan tetjadinya
kelebihan
kapasitas tangkap belum
diimplementasikan dengan baik di Indonesia.
Pemberian kredit lunak dengan suku bunga rendah, ketika Indonesia
menjadikan udang sebagai primadona ekspor, merupakan fakta bahwa teori
subsidi berlaku di Indonesia. Kebijakan subsidi itu telah tnendorong konversi
hutan bakau menjadi tambak, konversi itu dilakukan tanpa menghitung daya
dukung lingkungan. Keadaan ini bukan hanya merusak ekosistem hutan
13
mangrove, namun ikut merusak habitat hidup udang dan beberapa komoditas
perairan lainnya. Di Ecuador kebijakan subsidi seperti ini telah menyebabkan
hasil tangkapan udang di perairan ikut meDurun (Southgate and Whitaker, 1992)
Oleh sebab itu pemberian kredit sebesar
Rp. 3,1 triliun dengan suku
bunga rendah pada nelayan di Pantura pada tahun 2003 harns dilakukan dengan
sangat hati-hati, karena kredit bersubsidi itu dapat memperbesar kapasitas nelayan
untuk menangkap ikan.
Pengalaman beberapa negara Eropah yang menjalankan kebijakan
Common Agricultural Policy (CAP) melalui kebijakan kredit bersubsidi kepada
armada perikanan telah mendo{ong stagnasi hasil tangkapan, hal ini terjadi pada
armada perikanan tangkap Perancis (Meuriot, 1986).
Di Negeri Belanda
pemberian kredit bersubsidi pada annada trawl yang beroperasi di Lautan Atlantik
justru
menghancurkan industri perikanan negeri itu. Oleh sebab itu, beberapa
negara Eropah menurut Hatcher (2000) meJaksanakan kebijakan subsidi dalam
bentuk kebijakan fisheries buy back program untuk memulihkan potensi
sumberdaya
dan menjaga keberlanjutan industri perikanan mereka. Jenis
kebijakan yang sarna juga dicoba pada perikanan northern prawn fisheries di
Australia, tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah alat tangkap yang
beroperasi pada perairan tersebut, sehingga dapat memulihkan stok sumberdaya di
perairan itu (Champell, 1989; Staniford, 1988).
Berdasarkan uraian diatas, subsidi pada perikanan tangkap dapat berfungsi
ganda, pertama subsidi perikanan itu dapat mendorong pengurasan sumberdaya
(yang disebut Milazzo, 1998 sebagai bad subsidies), dan kedua, subsidi itu dapat
mendorong kelestarian sumberdaya yang disebut juga sebagai good subsidies.
Oi Indonesia kebijakan subsidi lebih dekat pada fungsi yang pertama,
karena pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyediakan \apangan kerja,
meningkatkan pendapatan nelayan dan mendorong perolehan devisa.
Fungsi
subsidi dalam kasus kedua sulit diterima karena akses terhadap potensi
sumberdaya cenderung open access dan status pemilikannya adalah common
property. disamping itu pasar tenaga kerja di daerah pesisir sangat rigid, sehingga
14
tidak mudah bagi kelompok masyarakat pesisir beralih profesi ke kegiatan lain
diluar sektor perikanan.
Dengan demikian peranan kebijakan subsidi pada masyarakat pesisir di
Indonesia menjadi tanda tanya, karena subsidi itu belum tentu mendorong mereka
menjadi «better off', apalagi selama ini indikator pembangunan ekonomi (tingkat
pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan kesempatan kerja) pada wilayah pesisir
tetap 'pada posisi marjinal. Angka statistik produksi dan investasi menunjukkan
kecenderungan yang positif. Paradok inl memperkuat dugaan bahwa pada sektor
perikanan di Indonesia terjadi bias investasi, yang didorong oleh
kebijakan
subsidi, bukan oleh kebijakan suku bunga seperti yang diduga Soepanto (1999).
Jika paradok ini tidak tepat mungkin pada perikanan tangkap Indonesia terjadi
anomali ekonomi, tentu fenomena ini harns diketahui penyebabnya.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka subsidi pada perikanan tangkap
perlu dipelajari karena:
(I).
pengaruhnya terkait dengan peningkatan kapital dan pengurasan
sumberdaya.
(2)
terkait dengan besar anggaran pembangunan yang disediakan
pemerintah untuk sektor perikanan.
Berdasarkan pemikiran diatas diharapkan akan diperoleh jawaban mengenai
dampak dari subsidi perikanan terhadap perikanan tangkap.
Dengan demikian
langkah-Iangkah terobosan pembangunan perikanan tangkap dapat diidentifikasi
dengan baik.
1.3. Perumusan Masalah
Arah pembangunan perikanan yang dilaksanakan sejak masa pemerintahan
orde bam tujuannya adalah untuk mencapai empat sasaran, yaitu:
(I),. Peningkatan produksi.
(2) . Memperluas kesempatan kerja.
(3). Peningkatan pendapatan dan devisa negara.
(4). Pengembangan pasar produk perikanan.
15
Berkaitan dengan sasaran diatas pemerintah merancang berbagai program
pembangunan jangka pendek dan jangka panjang me~aJui berbagai proyek
pemb angu nan. Proyek itu antara lain: Second Irian Jaya Fisheries Development
Project, Fisheries Support Service Project, Fisheries Infrastructure Sector
Project dan proyek pembangunan pelabuhan perikanan. Semua proyek tersebut
diarahkan untuk menunjang upaya peningkatan output
Kebijakan ja~gka panjang sektor perikanan yang berorientasi output itu
dapat dikatakan mendorong peningkatan effort penangkapan yang berpotensi
mendorong eksploitasi sumberdaya secara tidak terkendali. Pengaruhnya dapat
merusak ekosistem laut dan pesisir, serta
distorsi perekonomian masyarakat
pesisir, selain itu ikut mempengaruhi pranata sosiaJ dalam masyarakat tersebut.
Pada setiap Pelita, pemerintah memberi subsidi kepada nelayan melalui
berbagai kegiatan, dan kemudahan pada investor. Kepada investor asing misalnya,
pemerintah memberikan keringan pajak atau lax holiday, kebijakan ini dapat
dikatakan sebagai subsidi tidak langsung kepada perusahaan asing tersebut.
Indikasi pengaruh subsidi pada perikanan tangkap yang sangat signifikan
dapat dilihat pada perairan Pantura Jawa. Pada jangka pendek, pengurangan
subsidi BBM pada wilayah ini menyebabkan gejolak sosial dan banyak nelayan
tidak melaut, keadaan ini terjadi pada pertengahan tahun 2002 dan awal 2003.
Secara teoritis kesulitan melaut ini disebabkan oleh peningkatan biaya per unit
hasil tangkapan lebih besar dari
peningkatan harga per unit hasil tangkapan.
Secara sederhana dapat dikatakan pendapatan yang diperoleh dari hasil eksploitasi
sumberdaya sarna dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengeksploitasi
sumberdaya tersebut, oleh Gordon (1954), dikatakan pada perairan ini telah
terjadi penurunan rente ekonomi sumberdaya.
Argumen diatas jika dikaitkan dengan hasil studi Milazzo (1998),
menunjukkan: pertama, pada perikanan open access seperti di perairan Laut Jawa
pemberian subsidi pada armada penangkapan ikan akan mendorong peningkatan
effort yang diikuti dengan penurunan pendapatan per unit effort sarnpai akhirnya
total pendapatan sarna dengan total pengeluaran, atau menurut Anderson (1977)
tambahan biaya untuk menangkap ikan sudah tidak sebanding dengan tambahan
16
pendapatan dari kegiatan penangkapan ikan tersebut. Kedua, pada BUMN
perikanan menyebabkan perusahan ini tidak mampu mengembalikan kredit yang
diperoleh sejak awal usahanya. karena cash flaw yang diperoleh dari kegiatan
penangkapan ikan tidak eukup unruk membayar cieilan. Kekurangan ini akhirnya
ditutup dengan anggaran pemerintah.
Oengan demikian, dapatlah dipahami bahwa annada perikanan itu akan
memperoleh keuntunngan jika disubsidi oleh pemerintah. Jika demikian halnya
maka kebijakan tersebut dapat dianggap sebagai kebijakan "pemborosan". Di
Indonesia kebijakan subsidi yang terkait dengan effort penangkapan merupakan
kebijakan yang kerap dilakukan. Kebijakan seperti ini menumt Milazzo (1998)
jika tidak selektif dapat menimhulkan berbagai permasalahan yang lebih mmit
lagi.
Kebijakan subsidi seperti yang diuraikan diatas dapat dikatakan tidak
mendorong kelestarian sumberdaya perikanan. Bahkan Park and Ryu (1999)
mensinyalir kebijakan subsidi perikanan tangkap itu merupakan kebijakan yang
kontra produktif, karena mendorong tingkat pemanfaatan potensi ikan melebihi
batas yang diperkenankan. Hal ini teljadi karen a berbagai pihak seakan
memperoleh lampu hijau dari pemerintah unruk mengeksploitasi sumberdaya
perikanan dan tidak. responsifuntuk menjaga kelestarian sumberdaya itu.
Akumulasi suhsidi pada sektor ini secara tidak. langsung dapat dikatakan
akan mempengarnhi ekosistem, atau dengan kata lain subsidi itu punya peranan
mengganggu keseimbangan sumberdaya. lika demikian haJnya maka subsidi
perikanan cenderung mengganggu kelestarian stok ikan,
dan
ada yang
mengatakan belum sampai me!llsak tatanan perdagangan (trade injury) seperti
pada komoditas pertanian lain.
Di Indonesia pengaruh suhsidi perikanan belumlah mendapat koreksi yang
memadai, seperti suhsidi ·faktor produksi dan hasil produksi pada tanaman
pangan. Hal ini diduga terkait dengan tingginya persentase penduduk miskin di
wilayah pesisir, tidak kompetitifnya industri perikanan dan terdapat sejumlah
target pembangunan yang harns dicapai pemerintah.
17
Selama ini yang .dipahami pemberian subsidi perikanan dapat mendorong
peningkatan pendapatan, dan memperluas kesempatan kerja agar rumah tangga
nelayan mampu mencukupi kebutuhan pangannya.
Oleh sebab itu berkaitan
dengan uraian diatas maka subsidi pada perikanan tangkap perlu dipelajari karen a
implikasi cukup luas, terutama terhadap:
(1). Rente ekonomi sumberdaya dan disparitas pendapatan.
(2). Kesempatan ketja.
(3). Kelestarian sumberdaya.
(4). Kemandirian sektor ini dalam perekonomian.
Pengaruh subsidi terhadap 4 hal yang disebutkan diatas dapat dipelajari melalui
Gambar3.
Gambar
tersebut
menjelaskan,
perencanaan
pembangunan
untuk
memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan dibagi dalam periode jangka
pendek dan jangka panjang. Dalam jangka panjang sasaran pemerintah adalah
untuk membangun armada penangkapan ikan dan industri perikanan serta
pembangunan masyarakat nelayan. Sasaran jangka panjang itu akan dicapai
melalui pentahapan pembangunan dalam jangka pendek. Pentahapan jangka
pendek dikemas melalui berbagai kegiatan pembangunan yang didukung oleh
anggaran pembangunan yang berasal dan APBN, loan dan grant.
Sebagian dari anggaran pembangunan yang disebutkat diatas merupakan
subsidi. Subsidi yang diterima masyarakat nelayan itu dapat dalam bentuk tunai
atau tidak tunai . Subsidi tunai adalah bentuk transfer pendapatan yang dibenkan
pemerintah kepada nelayan yang telah dikonversi dalam berbagai bentuk
kebutuhan nelayan. Sedangkan subsidi non tunai, merupakan bentuk transfer
pendapatan kepada nelayan atau armada penangkapan ikan dalam bentuk
infrastruktur atau pembangunan fasilitas lainnya.
Berkembangnya armada penangkapan ikan dan industri peri kanan, serta
perekonomian masyarakat pesisir akan mendorong dinamika dan sumberdaya
ikan, sehingga akan mempengaruhi pendapatan masyarakat nelayan. kesempatan
kerja, hasil tangkapan dan kelestarian sumberdaya, dan daya saing sektor
penkanan dalam perekonomian.
18
-----_ .....
--------_ .. _----
I
I
I
I
I
Program
Pemb.
~
APBN
I
I
Pembangunan
Annada dan
Industri
Perikanan
t
Program
Pemb.
Loan
•
--------,
masyarakat
'---+---
Pendapatan
~
Kesempatan
Kerja
~
Produksi &
Kelestarian
Sumberdaya
I
SDI
Pembangunan
Program
Pemb.
Grant
·1
Pesisir
I
.
t
....
~
SUBSIDr
---------------
-----------------
Jangka Peodek
Jangka Panjang
Kemandirian
Sektor dim
Perekonomian
Gambar 3. Diagram Hubungan Program Pembangunan Perikanan
. Bersubsidi dengan Tujuan Pembangunan Perikanan Tangkap
1.4. Tuj uan Penelitian
Penelitian ini meneoba mempeiajari dampak kebijakan subsidi perikanan
terhadap potensi ikan dan dinamika perekonomian di wilayah pesisir.
Tujuan spesifik yang akan diamati adalah:
(1). Mempelajari dinamika rente ekonomi sumberdaya karena pengaruh
subsidi pada perikanan tangkap .
(2). Mempelajari efek subsidi secara langsung terhadap fishing effort, stok
ikan. kesejahteraan produsen dan seeara tidak langsung terhadap
pengembangan perekonomian pesisir.
19
(3). Melakukan simulasi pada subsidi perikanan dan melihat dampaknya
terhadap effort penangkapan ikan, kesempatan ketja, dan pendapatan
serta hubungannya' dengan pengelolaan sumberdaya perikanan.
(4). Merumuskan altematif kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan
yang terkait dengan kebijakan subsidi.
1.5. Kegunaan Penelitian
Uraian diatas menunjukkan subsidi perikanan merupakan kebijakan fiskal
yang dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan sektor perikanan. Sejauh ini,
efektifitas kebijakan subsidi pada sektor perikanan yang terkait dengan tujuan
pembangunan perikanan dan kelestarian sumberdaya perikanan belum pemah
dievaluasi. Evaluasi ini sangat diperlukan, karena informasinya dapat digunakan
untuk menentukan arab pengembangan perikanan tangkap Indonesia, sehingga
dapat memperjelas konsep
pengelolaan sumberdaya peri kanan, serta dapat
menjadi acuan untuk mempertegas posisi pemerintah tentang subsidi perikanan.
Disamping itu, pemberian subsidi dapat disempumakan dan disesuaikan
dengan keperluan pengelolaan sumberdaya, sehingga dapat mengurangi bias
alokasi faktor produksi, sekaligus dapat mengendalikan distorsi eksploitasi
sumberdaya perikanan.
Pada
SISI
lain,
pendekatan
yang
digunakan
diharapkan
dapat
dikembangkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, sehingga membantu
menjawab pengaruh subsidi dalam eksploitasi sumberdaya peri kanan, dan
pengembangan perekonomian d'i wilayah pesisir secara konperhensif.
1.6. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Kebijakan transfer finansial
tersebut pada dasarnya dilaksanakan
pemerintah dalam rangka mencapai target pembangunan perikanan. Jika peran
pemerintah dalam pembangunan perikanan di Indonesia sangat dominan, maka
kebijakan pemerintah tersebut mempunyai potensi mendorong terjadinya
kelebihan kapasitas penangkapan ikan pada wiJayah perairan di Indonesia.
20
Besaran peran pemerintah pada sektor perikanan ini diukur dari alokasi
anggaran pembangunan pada sektor tersebut, karena alokasi anggaran tersebut
merupakan wewenang pemerintah dan dapat dimanfaatkan sebagai
stimulus
untuk memacu aktivitas pada sektor perikanan. Sebagai gambaran, pada tahun
anggaran 198911990 pemerintah mengalokasikan anggaran pembangunan untuk
sektor perikanan ini sebesar Rp. 48.433,2 juta, kemudian meningkat menjadi Rp.
102.715,0 juta pada tahun 1993/1994. Selama periode itu, akumulasi anggaran
untuk subsidi pada perikanan tangkap mencapai Rp. 48.828,9 juta.
Kebijakan transfer finansial melalui alokasi anggaran pembangunan pada
kegiatan penangkapan ikan telah banyak diteliti seperti dilaporkan oleh Arnarson
(1999), Wiium (1999) serta Munro and Sumaila (2001). Laporan peneJitian tenaga
ahli FAG juga melaporkan hal yang sarna, bahkan rumusan FAG ini menjadi
landasan berbagai pihak seperti: World Bank, UNDP, WWF dalam mempeJajari
dan menyikapi permasalahan subsidi pada perikanan tangkap tersebut. Sementara
itu, pada forum WTG subsidi p~rikanan tangkap ini menjadi topik diskusi reguler
dalam pertemuan Commision on Trade and Environment (CTE).
Dalam anggaran pembangunan sektor perikanan, dana subsidi dapat saja
berasal
dari Rupiah Mumi (RM) atau Rupiah Khusus (RK).
RK tersebut
sumbemya dapat dari loan atau grant. Oleh sebab itu untuk mempelajari subsidi
. pada perikanan tangkap Indonesia dilakukan melalui tiga langkah, yaitu:
Pertama: cakupan makro, mencoba melakukan pemahaman tentang
anggaran pembangunan sektor perikanan yang terkait dengan
subsidi. Melalui langkah ini akan dapat diverifikasi besamya
subsidi pada perikanan tangkap setiap tahun anggaran.
Disamping itu karena sektor perikanan itu merupakan sektor
ekonomi maka kegiatan pada sektor ini terkait juga dengan
sektor
lain,
seperti
sektor
perhubungan dan transportasi.
prasarana
wilayah,
sektor
Verifikasi subsidi perikanan
yang terkait dengan sektor lain tidak dilakukan dalam
penelitian
ini,
walaupun disadari
sektor-sektor tersebut
mempunyai "spillover effect' terhadap sektor perikanan.
21
Penelitian ini juga tidak menghitung besamya subsidi karena
kebijakan pemerintah yang tidak diaJokasikan dalam anggaran
sektor
perikanan.
karena
perhitungannya
memerlukan
pendekatan yang berbeda.
Kedua:
cakupan mikro yang mencoba melihat pengaruh subsidi
perikanan pada tingkat operasional . Fenomena subsidi dalarn
cakupan
mikro
1m
hanya
didasarkan
pada
kegiatan
penangkapan ikan. Pengaruhnya diperkirakan sangat Iuas,
terutama terJWt dengan kapasitas penangkapan ikan. hasil
tangkapan,
dan
kelestarian
sumberdaya perikanan
serta
perkembangan perekonomian pesisir.
Ketiga:
Analisis
didasarkan
pada
asumSJ.
perikanan
tersebut
merupakan unregulated fisheries. Asumsi ini berkaitan dengan
lemahnya law enforcement pada perikanan kita. Pada perikanan
yang demikian akses terhadap sumberdaya mengarah ke open
access
dan sifat kepemilikan sumberdaya tetap common
property.
Berkaitan dengan cakupan mikro tersebut., maka kebijakan subsidi pada
perairan Pantura Jawa tersebut telah mendorong berkembangnya MT pada
berbagai tokasi pendaratan ikan. Sementara armada KM cendernng terkonsentrasi
pada lokasi tertentu saja, sedangkan armada PTM semakin 5ulit ditemukan.
Konsentarsi
KM pada lokasi tertentu terjadi karena
didukung oteh berbagai
fasilitas, termasuk dermaga tempat bongkar muat berbagai keperluan kapat ikan.
Konsentrasi pendaratan ikan ini diperkirakan ada hubungannya dengan
dengan SK Mentan No. 607IKptsiUm/9/1976;jo No. 608IKptsiUm/9/ J976 dan No.
3 OOIKpts/Uml 511978. Sel anj utn ya dengan perkem b angan teknologi penangkapan
ikan mendorong SK Mentan yang disebutkan sebelumnya harns disempurnakan.
Akhirnya keluarlah SK Mentan No. 392/KptsIIK.12014199 tentang jalur-jalur
penangkapan ikan terbaru. Pada SK Mentan yang terakhir, jaJur penangkapan
ikan itu terdiri dari 3 jalur, yaitu: jalur penangkapan ikan I, jalur penangkapan
ikan II dan jalur penangkapan ikan Ill.
22
mempunyai arti bahwa kapal yang beroperasi pada jalur I boleh saja beroperasi
pada jalur penangkapan ikan II dan Ill, namun karena spesifikasi teknoiogi maka
beroperasi diluar jalur yang ditetapkan sulit dilakukan. Sebaiiknya kapat
penangkapan ikan yang beroperasi di jalur m tidak dibenarkan beroperasi di jalur
II dan I. Demikian juga dengan kapal yang beroperasi di jaJur II tidak dibenarkan
beroperasi di ja1ur I.
Dengan memperhatikan sebaran
lokasi pendaratkan ikan di peralran
Pantura Jawa, maka fenomena kepatuhan armada menangkap ikan pada jalur yang
disebutkan diatas dapat dipeJajari. Fenomena ini dapatjuga mengambarkan situasi
stok ikan, jangkauan operasi penangkapan ikan, effort penangkapan, dan hasil
tangkapan akibat berbagai kebijakan pemerintah. Hal ini berarti annada yang
mendaratkan ikan di pelabuhan Kota Pekalongan dan Kota Tegal misalnya akan
memberi gambaran tentang kondisi perikanan pada jalur penangkapan ikan III.
Sedangkan annada yang mendaratkan ikan' di Kabupaten Pekalongan atau
Kabupaten Pemalang dapat- mengambarkan
situasi perikanan pada jalur
penangkapan ikan II. Sementara itu pada jalur penangkapan I akan digambarkan
oteh fenomena dari annada tangkap yang mendaratkan ikan pada tokasi lainnya.
23
Download