Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia Pemanfaatan Potensi Iklim Makro Daerah Pantai untuk Perbaikan Iklim Mikro pada Lingkungan Binaan di Kota Makassar Juhana Said 1(1), Iwan Sudradjat 2(2) (1) (2) Program Doktor Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung. Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung. Abstrak Kota Makassar secara makro berada pada wilayah iklim tropis panas-lembab dengan karakter khusus dipengaruhi oleh laut. Kota ini memiliki bentuk wilayah yang unik karena panjang garis pantainya mencapai 7 kali lipat dari lebarnya, sehingga iklim makro daerah pantai masih sangat kuat berpengaruh sampai di daratan. Iklim makro daerah pantai memiliki karakter tersendiri yang perlu dipelajari potensi pemanfaatan dan pengendaliannya untuk perbaikan iklim mikro di lingkungan binaan. Lingkungan binaan yang dijadikan kasus studi adalah lingkungan kampus Unhas (mewakili jarak terjauh dari pantai), kampus UNM (mewakili jarak paling dekat dari pantai), dan kampus UMI (berada ditengah kota). Untuk mendukung penelitian telah dikumpulkan data iklim makro dari Stasiun Meteorologi dan Geofisika Maritim Potere Makassar selama lima tahun berturut-turut (2006-2010). Sebanyak 960 kali pengukuran yang dilakukan pada dua bulan ekstrim di musim hujan dan kemarau pada 24 lingkungan pengamatan di tiga kampus untuk dikaji kondisi iklim mikronya. Analisis dilakukan berdasarkan metode kuantitatif menggunakan formula dari Edward Ng (2006). Hasil analisis menunjukkan bahwa iklim makro daerah pantai Makassar masih sangat poternsil di manfaatkan terutama angin lautnya, namun kondisi temperatur dan kelembapan udaranya cukup tinggi, sehingga merupakan kendala yang perlu dipertimbangkan dan dikendalikan secara khusus dalam perencanaan lingkungan binaan. Kata-kunci : Daerah pantai, iklim makro, iklim mikro, lingkungan binaan, Makassar Pendahuluan Di bumi ini terdapat tiga wilayah iklim secara makro, yaitu iklim tropis, iklim sub tropis, dan iklim dingin. Secara makro iklim memiliki variabel-variabel atmosfer yang sama, yang disebut unsur-unsur iklim. Unsur-unsur iklim terdiri dari radiasi matahari, temperatur udara, kelembapan udara, curah hujan, tekanan udara dan angin (Tjasyono, 2004). Unsur-unsur iklim tersebut perlu diperhatikan dengan baik, karena dapat menjadi potensi untuk menunjang kenikmatan dan kenyamanan manusia, namun dapat juga menjadi hambatan atau gangguan yang harus dikendalikan (lippsmeier, 1997). Daerah pantai menurut Lechner 2007 merupakan ruang terbuka yang terbentuk secara alamiah dan memiliki karakteristik fisik yang sangat berbeda dengan daratan. Di daerah pantai, angin laut bertiup ke darat pada siang hari sekitar pukul 14.00 - 18.00 dengan kekuatan rata-rata 2,5 – 3,5 m/det dan jangkauan areanya sampai sejauh 50 km. Angin darat bertiup menuju ke laut pada malam hari sekitar pukul 24.00-07.00 (Mangunwijaya, 1997). Kecepatan angin laut maupun angin darat tersebut sangat tergantung pada bentuk topografi, vegetasi dan bangunan yang menghambat gerakan udara (Boutet, 1987). Pemanfaatan bidang air (laut, sungai, danau Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013 | 14 Pemanfaatan Potensi Iklim Makro Daerah Pantai untuk Perbaikan Iklim Mikro pada Lingkungan Binaan di Kota Makassar dan sejenisnya) sebagai lahan terbuka menurut Lippsmeier (1997) memberi kemungkinan terhadap penurunan suhu kota. Bidang daratan menjadi panas dua kali lebih cepat daripada bidang air dengan luas yang sama. Daerah pantai yang didominasi oleh bidang air menyerap banyak panas dari tanah dan udara sekelilingnya. Semakin dalam airnya, semakin banyak pula panas yang diserap oleh air, sehingga daerah pantai dapat membantu menciptakan kesejukan (Manguwijaya, 1997). Hal ini diperkuat oleh Lechner (2007) bahwa wilayah air yang luas dan berangin memiliki efek kenyamanan suhu yang signifikan, sehingga dapat menjadi tempat tinggal pilihan. Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa iklim makro daerah pantai memiliki karakteristik spesifik yang dapat dimanfaatkan untuk optimasi kenyamanan termal di lingkungan binaan. Sayangnya, perencanaan lingkungan binaan seringkali mengabaikan potensi iklim makro daerah pantai ini. Kekuatan elemen lanskap alami seperti daerah pantai, tidak banyak diantisipasi dan dipertimbangkan oleh perencana maupun perancang kota. Daerah iklim tropika basah seperti Indonesia memiliki curah hujan sangat tinggi, kelembapan relatif dapat mencapai 90% (Givoni, 1998) dan bahkan di daerah pantai kelembapan dapat mencapai 80 % - 98 % (Mangunwijaya, 1997). Di Makassar menurut data dari Stasiun Meteorologi dan Geofisika Maritim Potere 2006-2010, kelembapan ratarata 79.4 % dengan curah hujan rata-rata 257 mm, temperatur rata-rata 27,8°C, kecepatan angin rata-rata 2.29 m/s dan penyinaran matahari 64,4%. Diketahui pula bahwa Makassar merupakan salah satu kota yang memiliki garis pantai cukup panjang, yaitu sekitar 36.1 km, dengan luas wilayah 175, 77 km2 (BPS Makassar, 2007). Kota Makassar juga memiliki sungai (sungai Tallo dan Sungai Jenneberang) dan kanal yang menghubungkan bagian dalam kota dengan laut. Kawasan sungai Tello dengan delta dan cabang-cabang sungainya merupakan daerah rawa, mangrove 15 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013 dan tambak yang masih sangat luas (1.456 Ha), sehingga kondisi ini sangat potensial dimanfaatkan untuk perbaikan iklim mikro di lingkungan binaan. Metode Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif berdasarkan formula dari Edward Ng (2006) untuk mengungkap iklim makro daerah pantai yang dapat di manfaatkan untuk perbaikan iklim mikro di lingkungan binaan. Data empiris dikumpulkan melalui observasi lapangan dengan teknik perekaman dan pengukuran langsung. Data iklim makro (temperatur udara, curah hujan, kelembapan relatif, penyinaran matahari, tekanan udara, kecepatan dan arah angin) dikumpulkan dari Stasiun Meteorologi dan Geofisika Maritim Potere Makassar selama lima tahun berturutturut (2006-2010). Data iklim mikro khususnya kecepatan angin diperoleh melalui pengukuran langsung yang dilakukan pada dua bulan ekstrim di musim hujan dan kemarau pada 24 lingkungan pengamatan di tiga lingkungan binaan. Lingkungan binaan yang dijadikan kasus studi adalah lingkungan kampus Unhas, UMI dan UNM yang ditentukan dengan pertimbangan: 1) berada pada bentang alam yang beragam (dekat pantai, tengah kota, jauh dari pantai dan berada pada ketinggian yang beragam, 2) wilayah kampus masuk dalam zona jangkauan angin laut, 3) memiliki sarana dan prasarana kampus yang kompleks. Lingkungan kampus yang menjadi lokasi pengamatan adalah ruang luar yang ditentukan berdasarkan kriteria sebagai berikut: 1) ruang luar yang digunakan secara rutin untuk melakukan kegiatan informal, 2) terletak di lantai dasar dan dilengkapi dengan bangku-bangku permanen, 3) memiliki jarak radius 10-50 m dari bangunan dan membentuk ruang mikro, 4) mewakili orientasi U-S dan T-B dengan pertimbangan penerimaan radiasi matahari, 5) mewakil ruang luar dengan atap (seperti Juhana Said gasebo, selasar atau koridor) dan tidak memiliki atap (seperti taman dan plaza). Waktu pengukuran ditentukan berdasarkan peredaran matahari dan jam-jam aktifitas kampus, yaitu pada pukul 8.00, 10.00, 12.00, 14.00, dan 16.00. Pengukuran dilakukan pada saat cuaca cerah sebanyak 960 kali dengan mengikuti prosedur/ketentuan sebagai berikut: 1) pengukuran dilakukan pada ketinggian 2 m di atas tanah untuk sampel taman dan plaza, 1.5 m di atas lantai untuk sampel gasebo dan selasar, 2) alat-alat pengukuran (instrument) tidak terpapar sinar matahari langsung dan tetap menerima aliran udara bebas, 3) pembacaan data disetiap titik ukur untuk semua alat ukur dilakukan dengan masa penyesuaian lima menit, 4) semua alat ukur telah dikalibrasi agar mempunyai sensitivitas skala yang sama, 5) semua alat ukur digital mengunakan baterai baru. Karakteristik spesifik iklim makro daerah pantai Makassar yang dapat dimanfaatkan dan dikendalikan untuk perbaikan iklim mikro di lingkungan kampus dianalisis melalui dua langkah. Langkah pertama, masing-masing unsur iklim makro berupa temperatur udara, kelembapan udara, curah hujan dan kecepatan angin dipetakan kondisi dan pola perilakunya setiap bulan sepanjang periode lima tahun dalam bentuk grafik, agar dapat dilihat keterkaitan antara satu unsur iklim dengan unsur iklim lainnya, sehingga potensi ketermanfaatan dan kendala-kendalanya untuk perbaikan iklim mikro dapat diketahui. Langkah kedua, tingkat kecepatan angin makro yang berhembus ke dalam kawasan kampus dapat diketahui ketermanfaatannya dengan menghitung besarnya pengaruh bangunan dan tanaman yang dapat mengarahkan angin dengan menggunakan rumus rasio kecepatan angin dari Edward Ng et al (2006) sebagai indikator (gambar 1), dengan rumus sebagai VRw V∞ Vp =rasio kecepatan angin yang diindikasikan oleh dampak kehadiran bangunan atau tanaman pada lingkungan =kecepatan angin makro rata-rata bulanan (m/dtk) =kecepatan angin mikro di titik-titik pengukuran (m/dtk) Gambar 1. Rasio kecepatan angin di kawasan perkotaan sebagai dampak dari bangunan atau tanaman Karakteristik Iklim Makro Daerah Pantai Makassar: Manfaat dan Kendalanya untuk Perbaikan Iklim Mikro di Lingkungan Binaan Karakteristik iklim makro daerah pantai Makassar dan potensi pemanfaatannya dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Curah Hujan dan Kelembapan Udara Kondisi curah hujan selama periode 2006–2010 di Makassar terlihat pada gambar 1. Curah hujan mengalami kodisi puncak pada bulan Desember dan Januari di musim hujan, sedangkan kondisi terendah terjadi di bulan Juli dan Agustus di musim kemarau. Kondisi curah hujan rata-rata di Makassar dari tahun 2006– 2008 cenderung mengalami peningkatan sekitar 55.9%, tahun 2009 menurun sekitar 20.2% dan meningkat kembali tahun 2010 sekitar 38.3% (gambar 3). berikut : ………………………………................(1) Di mana : Gambar 2. Grafik curah hujan rata-rata bulanan dari tahun 2006-2010 di Makassar Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013 | 16 Pemanfaatan Potensi Iklim Makro Daerah Pantai untuk Perbaikan Iklim Mikro pada Lingkungan Binaan di Kota Makassar 2. Temperatur Udara Gambar 3. Grafik curah hujan rata-rata dari tahun 2006-2010 di Makassar Tingginya curah hujan dan posisi wilayah yang berbatasan dengan laut berdampak pada meningkatnya kelembapan relatif di kota Makassar. Pada gambar 4 terlihat bahwa kelembapan relatif tertinggi terjadi di musim hujan yaitu di bulan Januari. Kelembapan mulai menurun seiring dengan masuknya musim kemarau di bulan Juli, Agustus, dan September. Kelembapan meningkat kembali seiring dengan masuknya musim hujan di bulan Desember. Fenomena ini menunjukkan keterkaitan khusus antara kelembapan udara dengan siklus musim di kota Makassar. Kondisi kelembapan rata-rata di Makassar dari tahun 2006–2008 cenderung mengalami peningkatan sekitar 4.7%, pada tahun 2009 menurun sekitar 5.5% dan meningkat kembali pada tahun 2010 sekitar 6.7% (gambar 5). Kondisi temperatur udara rata-rata tahunan di Makassar terlihat pada gambar 6. Pola siklus tahunan temperatur menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir telah terjadi penurunan temperatur di musim hujan dan perilaku sebaliknya terjadi di musim kemarau. Temperatur cenderung meningkat pada musim transisi atau pancaroba. Temperatur udara rata-rata cukup tinggi, yaitu berkisar pada 27.8°C. Kondisi temperatur udara di Makassar dari tahun 2006 – 2008 perlahan turun sekitar 0.96% dan naik kembali pada tahun 2009– 2010 sekitar 1.18% (gambar 7). Gambar 6. Grafik temperatur udara rata-rata bulanan dari tahun 2006-2010 di Makassar Gambar 7. Grafik kelembapan udara rata-rata dari tahun 2006-2010 di Makassar Gambar 4. Grafik kelembapan udara bulanan dari tahun 2006-2010 di Makassar rata-rata Gambar 5. Grafik kelembapan udara rata-rata dari tahun 2006-2010 di Makassar 17 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013 3. Kecepatan dan Arah Angin Gambar 8 menunjukkan kondisi kecepatan angin rata-rata di Makassar. Kecepatan angin cenderung mengikuti pola yang berbalikan dengan temperatur udara. Kecepatan angin cukup tinggi, yaitu berkisar 3 m/detik pada bulan Januari dan Februari di musim hujan, perlahan turun menjadi 2 m/detik setelah masuk musim kemarau di bulan Maret s/d Nopember, kemudian kembali naik pada bulan Desember di musim hujan. Kecepatan angin rata-rata tahun 2006 – 2007 cenderung meningkat sekitar 77.2 %, namun pada tahun 2007- 2010 cenderung menurun sekitar 12.2% (gambar 9). Juhana Said Gambar 8. Grafik kecepatan angin rata-rata bulanan dari tahun 2006-2010 di Makassar Gambar 9. Grafik kecepatan angin rata-rata dari tahun 2006-2010 di Makassar Menurut data dari BMG Maritim Potere Makassar, arah angin terbanyak dan kecepatan terbesar berasal dari arah Barat (B) dan Barat Laut (BL). Kondisi ini cenderung mengikuti terjadinya pola angin laut, mengingat selat Makassar berada pada sisi B dan BL kota Makassar (gambar 10). Pada musim hujan arah angin umumnya datang dari arah BL, sedangkan pada musim kemarau umumnya datang dari arah B. angin, menyerap polusi udara, begitu pula dengan rumput sebagai penutup lahan yang baik. Namun di sisi lain tingginya curah hujan berbanding lurus dengan tingginya kelembapan. Berdasarkan data iklim dalam lima tahun terakhir kelembapan udara cukup tinggi, sekitar 79.4%, begitu pula dengan temperatur udara rata-rata sekitar pada 27.8°C. Temperatur dan kelembapan udara yang tinggi merupakan kendala yang perlu dipertimbangkan secara khusus dalam perencanaan lingkungan binaan. Karena kecepatan angin cukup tinggi yaitu rata-rata berkisar pada 2.3 m/dtk, maka kondisi ini masih sangat mungkin dimanfaatkan untuk perbaikan iklim mikro lingkungan binaan. Tingkat kecepatan angin yang berhembus ke dalam kota dapat mempengaruhi kadar temperatur udara, temperatur radiasi dan kelembapan udara, sehingga dapat memperbaiki iklim mikro di lingkungan tersebut. Kecepatan angin yang cukup tinggi di kota Makassar sepanjang lima tahun terakhir terbanyak datang dari arah B dan BL (dari arah laut selat Makassar) seperti terlihat pada gambar 10. Kota Makassar memiliki panjang garis pantai sekitar 36.1 km dengan ketinggian yang bervariasi antara 0 - 25 meter dari permukaan laut. Kondisi tersebut, dapat mengakibatkan terjadinya pola pergerakan angin seperti ditunjukkan pada gambar 11a dan 11b. Kota Makassar Gambar 10. Arah angin terbanyak dengan kecepatan terbesar di Makassar Berdasarkan data iklim tahun 2006 – 2010 diketahui bahwa curah hujan di Makassar cukup tinggi berkisar 245 mm. Kondisi ini sangat bermanfaat untuk menyuburkan tanaman dan vegetasi. Tanaman dan vegetasi sangat dibutuhkan untuk penaungan, pengarah a). Kawasan pesisir sebagai ventilasi udara untuk penghawaan kota b). Bentuk topografi, bangunan dan tanaman menghambat aliran udara Gambar 11. Pola pergerakan angin di kawasan pesisir Kecepatan Angin di Lingkungan Kampus Kecepatan angin makro yang berhembus pada lingkungan kampus dapat diketahui dengan Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013 | 18 Pemanfaatan Potensi Iklim Makro Daerah Pantai untuk Perbaikan Iklim Mikro pada Lingkungan Binaan di Kota Makassar menghitung rasio kecepatan angin menggunakan formula dari Edward Ng (2006), dengan menghitung berapa besar pengaruh bangunan maupun tanaman mampu mengarahkan angin ke lingkungan kampus dengan menggunakan indikator rasio kecepatan angin (VRw), kecepatan angin di boundary layer yang tidak dipengaruhi oleh kekasaran permukaan (V∞), dan kecepatan angin di level jalan (ketinggian titik ukur 1.5m–2m) sebagai dampak dari kekasaran permukaan (Vp). Hasil perhitungan akan memberikan gambaran bahwa semakin tinggi nilai VRw, semakin rendah hambatan gerakan angin yang diakibatkan oleh bangunan atau tanaman. Tinggi atau rendahnya rasio kecepatan angin dipengaruhi oleh kelancaran atau penghambatan gerakan angin yang diakibatkan oleh bangunan atau tanaman. Artinya kecepatan angin lingkungan kampus yang diamati ditentukan oleh kekasaran permukaan lingkungan tersebut. paling rendah terjadi pada pukul 08.00 yaitu, sekitar 0.1 m/dtk. Lingkungan pengamatan gasebo 2 mampu memanfaatkan kecepatan angin makro sekitar 35.43 % dengan rasio kecepatan angin sekitar 0.35. Kecepatan angin yang sampai pada lingkungan pengamatan taman 1 rata-rata sekitar 0.60 m/dt, dengan kecepatan paling tinggi terjadi pada pukul 10.00 yaitu sekitar 1.0 m/dtk dan paling rendah terjadi pada pukul 08.00 yaitu, sekitar 0.1 m/dtk. Lingkungan pengamatan taman 1 mampu memanfaatkan kecepatan angin makro sekitar 22.11% dengan dengan rasio kecepatan angin sekitar 0.22. Sedangkan kecepatan angin yang sampai pada lingkungan pengamatan gasebo 1, selasar 1, taman 2, plaza 1 dan plaza 2 relatif kecil, rata-rata hanya sekitar 0.33 m/dtk sampai 0.40 m/dtk. Ke lima lingkungan tersebut hanya mampu memanfaatkan kecepatan angin makro sekitar 11.98 % sampai 14.56% dan rasio kecepatan angin hanya sekitar 0.12 sampai 0.15. Kecepatan Angin di Lingkungan Kampus Unhas Tabel 1 Kecepatan angin di lingkungan kampus Unhas pada musim hujan Hasil pengukuran di lingkungan kampus Unhas pada musim hujan (tabel 1 dan gambar 12) menunjukkan bahwa tingkat kecepatan angin makro yang sampai pada setiap lingkungan pengamatan cenderung berubah-ubah, kecepatan angin lebih tinggi umumnya terjadi pada pukul 10.00 pagi sampai 12.00 siang. Pada delapan lingkungan pengamatan di musim hujan, lingkungan pengamatan selasar 2 adalah yang paling tinggi kecepatan anginnya, yaitu rata-rata sekitar 1.2 m/det. Kecepatan angin paling tinggi terjadi pada pukul 10.00 dan 12.00, yaitu sekitar 1.9 m/dtk dan paling rendah terjadi pada pukul 08.00, yaitu sekitar 0.2 m/dtk. Lingkungan pengamatan selasar 2 mampu memanfaatkan kecepatan angin makro sekitar 44.22 % dengan rasio kecepatan angin sekitar 0.44, disusul oleh lingkungan pengamatan gasebo 2 dan taman 1. Kecepatan angin yang sampai pada lingkungan pengamatan gasebo 2 rata-rata sekitar 0.96 m/dtk dengan kecepatan paling tinggi terjadi pada pukul 12.00 yaitu sekitar 1.9 m/dtk dan 19 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013 UKUR Gasebo 1 Gasebo 2 VP UNHAS V∞ VRW VMt 0.40 0.96 2.71 0.15 2.71 0.35 14.56 35.43 Keterangan: V∞ : Kecepatan angin di boundary layer (m/dtk) Selasar 1 0.34 2.71 0.13 12.53 Vp Selasar 2 Taman 1 1.20 0.60 2.71 0.44 2.71 0.22 44.22 22.11 jalan (m/dtk) VRw : Rasio kecepatan angin Taman 2 0.33 2.71 0.12 11.98 Plaza 1 0.37 2.71 0.13 13.45 VMt : Kecepatan Angin makro yang termanfaatkan (%) Plaza 2 Rata-rata 0.37 0.57 2.71 0.14 2.71 0.21 13.63 20.99 TITIK : Kecepatan angin di level Gambar 12. Kecepatan angin di lingkungan kampus Unhas pada musim hujan Hasil pengukuran di lingkungan kampus Unhas pada musim kemarau (tabel 2 dan gambar 13) menunjukkan bahwa tingkat kecepatan angin makro yang sampai pada lokasi hampir sama dengan musim hujan, di mana terjadi Juhana Said perbedaan kecepatan angin di setiap lingkungan pengamatan. Namun kecepatan angin di musim kemarau baru mulai meningkat pada siang sampai sore hari yaitu dari pukul 12.00 sampai 16.00. Pada delapan lingkungan pengamatan di musim kemarau, lingkungan pengamatan selasar 2 dan gasebo 2 yang paling tinggi kecepatan anginnya. Tingkat kecepatan angin pada lingkungan pengamatan selasar 2 rata-rata sekitar 0.92 m/det. Kecepatan angin paling tinggi terjadi pada pukul 14.00 sekitar 1.3 m/dtk dan paling rendah terjadi pada pukul 08.00 yaitu, sekitar 0.3 m/dtk. Lingkungan pengamatan selasar 2 mampu memanfaatkan kecepatan angin makro sekitar 52.99% dengan dengan rasio kecepatan angin sekitar 0.53. Kecepatan angin yang sampai pada lingkungan pengamatan gasebo 2 rata-rata sekitar 0.79 m/dtk dengan kecepatan paling tinggi terjadi pada pukul 14.00 yaitu sekitar 1.2 m/dtk dan paling rendah terjadi pada pukul 08.00 yaitu, sekitar 0.2 m/dtk. Lingkungan pengamatan gasebo 2 mampu memanfaatkan kecepatan angin makro sekitar 45.50 % dengan dengan rasio kecepatan angin sekitar 0.46, disusul oleh lingkungan pengamatan taman 1. Kecepatan angin yang sampai pada lingkungan pengamatan taman 1 rata-rata sekitar 0.50 m/dtk dengan kecepatan paling tinggi terjadi pada pukul 12.00 dan 14.00 yaitu sekitar 0.8 m/dtk dan paling rendah terjadi pada pukul 08.00 yaitu, sekitar 0.1 m/dtk. Lingkungan pengamatan taman 1 mampu memanfaatkan kecepatan angin makro sekitar 28.51 % dengan rasio kecepatan angin sekitar 0.29. Sedangkan kecepatan angin yang sampai pada lingkungan pengamatan gasebo 1, selasar 1, taman 2, plaza 1 dan plaza 2 relatif kecil, rata-rata hanya sekitar 0.17 m/dtk sampai 0.25 m/dtk. Ke lima lingkungan pengamatan tersebut hanya mampu memanfaatkan kecepatan angin makro sekitar 9.50 % sampai 14.40 % dan rasio kecepatan angin hanya sekitar 0.10 sampai 0.14. Perilaku angin di lingkungan hampir sama baik di musim kemarau (gambar 14). Hanya angin pada musim hujan lebih musim kemarau. kampus Unhas hujan maupun saja kecepatan tinggi dari pada Tabel 2 Kecepatan angin di lingkungan kampus Unhas pada musim kemarau TITIK UKUR Gasebo 1 Gasebo 2 VP 0.18 0.79 UNHAS V∞ VRW 1.74 0.10 1.74 0.46 Selasar 1 0.17 Selasar 2 Taman 1 Taman 2 Plaza 1 Plaza 2 Rata-rata 0.92 0.50 0.21 0.25 0.25 0.41 VMt 10.37 45.50 Keterangan: V∞ : Kecepatan angin di boundary layer (m/dtk) 1.74 0.10 9.50 Vp 1.74 1.74 1.74 1.74 1.74 1.74 52.99 28.51 12.10 14.40 14.40 23.47 jalan (m/dtk) VRw : Rasio kecepatan angin VMt : Kecepatan Angin makro yang termanfaatkan (%) 0.53 0.29 0.12 0.14 0.14 0.23 : Kecepatan angin di level Gambar 13. Kecepatan angin di lingkungan kampus Unhas pada musim kemarau Gambar 14. Perbandingan kecepatan angin di lingkungan kampus Unhas pada musim hujan dan musim kemarau Rasio kecepatan angin di lingkungan kampus Unhas pada musim hujan maupun kemarau (gambar 15) menunjukkan bahwa selasar 2 adalah yang paling baik merespon kecepatan angin makro, karena di sekitar lingkungan pengamatan terdapat danau buatan yang cukup luas sehingga dapat membentuk efek wind scoop. Selanjutnya menyusul lingkungan pengamatan gasebo 2 yang karakter fisik lingkungannya didukung oleh beberapa pohon sebagai canopy sekaligus sebagai pengarah angin, sehingga dapat membangkitkan efek breeze way. Sedangkan lingkungan pengamatan gasebo 1 dan selasar 1 merupakan lingkungan yang paling kecil penangkapan anginnya, karena perletakan massa bangunannya cenderung membelakangi arah datang angin sehingga terjadi pembelokan arah angin. Lingkungan pengamatan taman 1, Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013 | 20 Pemanfaatan Potensi Iklim Makro Daerah Pantai untuk Perbaikan Iklim Mikro pada Lingkungan Binaan di Kota Makassar plaza 1, plaza 2, dan taman 2 yang posisinya berada dalam lingkup massa bangunan dengan perletakan yang kurang mengantisipasi arah datang angin, sehingga pergerakan angin tidak maksimal. BL Gasebo 1 Arah datang angin maksimal Perletakan massa bangunan cenderung membelakangi arah datang angin sehingga terjadi pembelokan arah angin B pembelokan arah angin oleh dinding bangunan Gambar 15. Perbandingan rasio kecepatan angin di lingkungan kampus Unhas pada musim hujan dan musim kemarau Dengan karakter fisik lingkungan yang berbeda, tingkat pemanfaatan angin makro pada delapan lingkungan pengamatan di musim hujan dan kemarau juga bervariasi. Gambar 15 menunjukkan bahwa pemanfaatan angin pada lingkungan pengamatan gasebo 2, selasar 2, taman 1, dan plaza 1 lebih tinggi pada musim kemarau dibanding musim hujan. Pada musim hujan angin umumnya datang dari arah BL, sedangkan pada musim kemarau umumnya datang dari arah B. Karakter fisik lingkungan pengamatan gasebo 2, selasar 2, taman 1, dan plaza 1 lebih baik merespon angin dari arah B dibandingkan arah BL, sementara sebaliknya lingkungan pengamatan gasebo 1, selasar 1, taman 2 dan plaza 2 sedikit lebih baik dalam merespon angin dari arah BL dibandingkan arah B (gambar 16) Selasar 1 Perletakan massa bangunan cenderung membelakangi arah datang angin sehingga terjadi pembelokan arah angin Selasar 2 BL Danau buatan dapat membentuk efek wind scoop B Kolam renang Taman 1 Lahan kosong memungkinkan angin untuk bersirkulasi Pemblokiran angin oleh massa bangunan 2. Gasebo 2 3. Selasar 1 6. Taman 2 Lap sepak bola & lahan terbuka memungkinkan angin untuk bersirkulasi 1. Gasebo 1 5. Taman 1 B pembelokan arah angin oleh dinding bangunan Keterangan: 4. Selasar 2 BL BL B Arah datang angin maksimal BL Taman 2 7. Plaza 1 8. Plaza 2 pembelokan arah angin oleh dinding bangunan B Arah datang angin maksimal 21 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013 Juhana Said BL Plaza 1 Pemblokiran angin oleh massa bangunan Plaza 2 pembelokan arah angin oleh dinding bangunan B BL pembelokan arah angin oleh dinding bangunan Gambar 17. Kecepatan angin rata-rata di lingkungan kampus Unhas, UMI dan UNM pada musim hujan Pemblokiran B angin oleh massa bangunan Gambar 16. Analisis kecepatan angin makro pada delapan lokasi pengamatan kampus Unhas Kecepatan Angin di Lingkungan Kampus UMI dan UNM Kecepatan angin di lingkungan kampus UMI dan UNM di analisis dengan cara yang sama dengan kampus Unhas. Hasil analisis dapat dirangkum dalam bentuk perbandingan kecepatan angin pada tiga kampus sekaligus. Hasil perhitungan kecepatan angin di musim hujan pada tiga kampus (gambar 17 dan 18) menunjukkan bahwa lingkungan kampus Unhas dan UNM memiliki kecepatan angin yang jauh lebih tinggi dari pada lingkungan kampus UMI. Kecepatan angin yang sampai di lingkungan kampus Unhas sekitar 0.57 m/dtk, kampus UNM sekitar 0.59 m/dtk, sedangkan kampus UMI hanya sekitar 0.22 m/dtk. Tingkat kecepatan angin makro yang termanfaatkan pada kampus Unhas dan UNM hampir sama: kampus Unhas rata-rata sekitar 20.99 % dengan rasio kecepatan angin sekitar 0.21, kampus UNM rata-rata sekitar 21.76% dengan rasio kecepatan angin sekitar 0.22. Sedangkan kampus UMI yang berada di tengah kota yang padat dengan bangunan, hanya mampu memanfaatkan kecepatan angin makro sekitar 8.20 %, dengan rasio kecepatan angin sekitar 0.08. Gambar 18. Rasio kecepatan angin rata-rata di lingkungan kampus Unhas, UMI dan UNM pada musim hujan Dari hasil perhitungan kecepatan angin pada musim kemarau di tiga kampus (gambar 19 dan 20) menunjukkan bahwa lingkungan kampus UNM memiliki kecepatan angin ratarata paling tinggi yaitu, sekitar 0.45 m/dtk. Tingkat kecepatan angin makro yang termanfaatkan rata-rata sekitar 25.70% dengan rasio kecepatan angin sekitar 0.26. Kemudian menyusul lingkungan kampus Unhas yaitu sekitar 0.41 m/dtk. Tingkat kecepatan angin makro yang termanfaatkan rata-rata sekitar 23.47%, dengan rasio kecepatan angin sekitar 0.23. Sedangkan lingkungan kampus UMI hanya mampu dijangkau angin dengan kecepatan rata-rata sekitar 0.17 m/dtk. Tingkat kecepatan angin makro yang termanfaatkan rata-rata hanya sekitar 9.62 %, dengan rasio kecepatan angin sekitar 0.10. Gambar 19. Kecepatan angin rata-rata di lingkungan kampus Unhas, UMI dan UNM pada musim kemarau Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013 | 22 Pemanfaatan Potensi Iklim Makro Daerah Pantai untuk Perbaikan Iklim Mikro pada Lingkungan Binaan di Kota Makassar lingkungan kampus dapat diuraikan sebagai berikut: Gambar 20. Rasio kecepatan angin rata-rata di lingkungan kampus Unhas, UMI dan UNM pada musim kemarau Gambar 21 menunjukkan bahwa kecepatan angin di lingkungan tiga kampus pada musim hujan rata-rata lebih tinggi dibanding musim kemarau. Gambar 21. Kecepatan angin rata-rata di lingkungan kampus Unhas, UMI, UNM pada musim hujan dan musim kemarau Pola perilaku angin pada delapan lingkungan pengamatan di kampus Unhas hampir sama baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau, begitu pula di kampus UMI dan UNM walaupun lokasinya berada pada bentang alam yang berbeda. Kampus Unhas berada pada daerah ketinggian, kampus UMI berada di daerah kota yang padat, dan kampus UNM berada pada daerah pantai. Kondisi ini membuktikan bahwa iklim makro tidak dapat diintervensi. Jika kondisi kecepatan angin makro tinggi, maka tinggi pula kecepatan angin yang dapat dimanfaatkan, namun besaran kecepatan angin yang bisa termanfaatkan sangat tergantung pada kondisi dan karakteristik fisik lingkungan binaan yang ada. Potensi Pengendalian Iklim Makro dan Kecepatan Angin di Lingkungan Kampus Potensi pengendalian iklim makro di daerah pantai Makassar dan kecepatan angin di 23 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013 1. Curah hujan yang cukup tinggi (245 mm) dapat meningkatkan kelembapan dengan cepat, sehingga harus dikendalikan dengan cara; menghindari tanaman semak/perdu yang terlalu rapat, menghindari penampungan air tanpa diimbangi sirkulasi udara, menggunakan material penutup lahan yang dapat meresapkan air hujan dengan cepat. 2. Kelembapan udara yang cukup tinggi (79.4%) berdampak pada ketidaknyamanan dan sangat sulit diturunkan dengan cepat, sehingga perlu dikendalikan dengan memperlancar aliran udara pada lantai dasar bangunan (perlu pengaturan jarak pohon dan bangunan) 3. Temperatur udara yang tinggi (27.8 ºC) berdampak pada ketidaknyamanan dan sangat sulit diturunkan dengan cepat, sehingga perlu dikendalikan dengan memperlancar aliran udara, menghindari penyerapan panas pada material bangunan dan lahan, menggunakan material yang bernilai albedo tinggi. 4. Kecepatan angin makro cukup tinggi (2.3 m/dtk) bermanfaat untuk menurunkan kelembapan dan temperatur udara di lingkungan binaan namun terkendala oleh kepadatan kota, sehingga terjadi kemacetan sirkulasi udara. Kondisi tersebut perlu dikendalikan dengan mempertimbangkan kelancaran pergerakan angin dengan penangaturan jarak pohon dan bangunan, menghindari pemblokiran angin dengan memperhatikan arah datang angin terbanyak/maksimal. 5. Kecepatan angin di tiga lingkungan kampus tidak maksimal, karena terkendala dengan adanya pembelokan arah angin oleh dinding bangunan dan pohon yang berjarak rapat dan tidak beraturan baik dari arah B pada musim kemarau maupun dari arah BL pada Juhana Said musim hujan. Kondisi tersebut perlu dikendalikan dengan pemberian lobang / ventilasi angin dari arah B dan BL, pengaturan dan penempatan pohon pada posisi yang menguntungkan, menambah jumlah pohon pengarah angin, dan menambah unsur air sebagai elemen penangkap angin. Kesimpulan Hasil analisis menunjukkan bahwa iklim makro daerah pantai Makassar masih sangat poternsil di manfaatkan terutama angin lautnya, namun kondisi temperatur dan kelembapan udaranya cukup tinggi, sehingga merupakan kendala yang perlu dipertimbangkan dan dikendalikan secara khusus dalam perencanaan lingkungan binaan. Hasil analisis membuktikan bahwa iklim makro tidak dapat diintervensi. Jika kondisi kecepatan angin makro tinggi, maka tinggi pula kecepatan angin yang dapat dimanfaatkan, namun besaran kecepatan angin yang bisa termanfaatkan sangat tergantung pada kondisi dan karakteristik fisik lingkungan binaan yang ada. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk penelitian lanjutan terkait peluang sinergi antara potensi iklim makro daerah pantai dengan karakteristik lingkungan fisik untuk memperoleh suatu lingkungan yang lebih nyaman dan studi pengoptimasian kenyamanan termal di lingkungan binaan. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi para perencana dan perancang kawasan pesisir agar senantiasa mengantisipasi dan mempertimbangkan potensi iklim makro daerah pantai. Ucapan Terima Kasih Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak/ibu dosen Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung, khususnya kepada Ir. Iwan Sudradjat, MSA., PhD, Ir. Fx. Nugroho Soelami, MBEnv, PhD, Dr. Ir. Sugeng Triyadi, MT, dan Dr. Hanson Endra Kusuma, ST., Meng., selaku pihak yang telah membantu secara substansi. Terima kasih atas dukungan finansial kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan atas Beasiswa Pendidikan Paskasarjana (BPPs), pemberian dana penelitian dari ITB, dan biaya-biaya tambahan dari Yayasan Wakaf UMI. Daftar Pustaka Badan Meteorologi Dan Geofisika Departemen Perhubungan, Stasiun Meteorologi Maritim Paotere Makassar (2006, 2007, 2008, 2009, 2010). Pemda Tk.I Makassar dan Kanwil Dephub. Prop. Sulawesi Selatan Badan Pusat Statistik Makassar. (2008), Makassar Dalam Angka No. 1403.7371 Bagian perencanaan kampus Unhas, (2005), Perencanaan Kampus Unhas edisi pengembangan , Makassar PT. Teknik Universitas Muslim Indonesia, (2005), Perencanaan Kampus UMI edisi pengembangan , Makassar Perencanaan kampus UNM, (2005), Perencanaan Kampus UNM edisi pengembangan , Makassar Bappeda Makassar, (2008), Perencanaan kota Makassar. Makassar Boutet S. Terry. (1987). Controlling Air movement, Mc. Graw Hill Book Co, New York. Brophy, O’Dowd, Bannon, Goulding dan Lewis. (2000). Sustainable Urban Design, Energy Research Group, University College Dublin, Ireland. Cooper Marcus, Clare, dan Carolyn Francis. (1998). People Places, Design Guidelines for Urban Open Space, Edisi kedua, Van Nostrand Reinhold. A Division of International Thomson Publishing, Inc. Etheridge, D and Sanberg, M (1996), Building Ventilation; theory and measurement, Chichester, John Willey and Sons, hal 701 Fry, Maxwell dan Jane Drew. (1964), Tropical Architecture in the Dry and Humid Zones, Robert E. Kriegar Publising Company Huntingtong, New York (171-183). Galony, S. Gideon. (1995). Ethic and Urban Design. John Willey and Sons. New York. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013 | 24 Pemanfaatan Potensi Iklim Makro Daerah Pantai untuk Perbaikan Iklim Mikro pada Lingkungan Binaan di Kota Makassar Givoni, Baruch. (1998) Climate Considerations in Building and Urban Design, Van Nostrand Reinhold, USA. Katzschner, Lutz, Edward Ng , (2006) Ventilation Investigations in a densely built up Area of Hong Kong to describe Thermal Comfort, PLEA - The 23rd Conference on Passive and Low Energy Architecture. Geneva, Switzerland. Koenigsberger, Ingersoll, Mayhew, Szokolay. (1980), Manual of Tropical Housing and Building, Longman group limited, London. Lechner, Norbert. (2007). Heating, Cooling, Lighting Metode Desain dalam Arsitektur. PT Raja Grafindo, Jakarta. Leng, Yuan, (2003), Improvement Measures of Urban Quality of Life Based on Climate Responsive Urban Planning and Design in Winter Cities, School of Architecture, Harbin Institute of Technology, Harbin China. Lippsmeier, G, (1997). Tropenbau Building in the Tropics: Bangunan Tropis, Penerbit Erlangga, Jakarta. Mangunwijaya, TB. (1997). Pasal-Pasal Pengantar Fisika Bangunan, Djambatan, Jakarta. Meloragno, Michele, (1982), Wind in Architectural and Environmental Design, Van Norstrand Reinhold Company. Melby, Pete, Cathcart, Tom. (2002). Regenerative Design Techniques: Practical Applications ini Landscape Design, Jonh Wiley and Sons, New York. NG, Edward, Givoni, Katzschner, Kwok, Murakami, Santamouris, Hien. (2005), Feasibility Study for Establishment of Air Ventilation Assessment System, Hong Kong Planning Standards and Guidelines (HKPSG), Executive Summary. Department of Architecture, CUHK. NG, Edward, (2006), Air Ventilation Assessment System for High Density Planning and Design, PLEA - The 23rd Conference on Passive and Low Energy Architecture. Geneva, Switzerland. NG, Edward, Hyuk-Hien Wong, Meiqi Han, (2006), Permeability, Porosity and Better 25 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.1 Januari 2013 Ventilated Design for High Density Cities, PLEA - The 23rd Conference on Passive and Low Energy Architecture. Geneva, Switzerland. Tjasyono, Bayong HK. (2004), Klimatologi, Penerbit ITB, Bandung.