efektivitas pelaksanaan perjanjian terapeutik

advertisement
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PERJANJIAN TERAPEUTIK
KAITANNYA DENGAN PERSETUJUAN DAN PENOLAKAN TINDAKAN
KEDOKTERAN
THERAPEUTIC EFFECTIVENESS OF PERFORMANCE OF THE
AGREEMENT ANDTHE TERMS OF THE AGREEMENT REJECTION
MEASURES MEDICINE
Syarifuddin¹, Musakkir², Marthen Arie³
¹Program Magister Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
²Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum,Universitas Hasanuddin
³Ketua Program Studi S2 Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi :
Syarifuddin
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 90222
Rumah Sakit Umum Daerah Kab. Wajo.
HP : 085233557421
Email : [email protected]
Abstrak
Hubungan hukum dokter atau dokter gigi dengan pasien disebut transaksi terapeutik. Penelitian ini bertujuan
mengetahui sejauh mana aspek hukum transaksi terapeutik dalam melindungi pasien ditinjau dari segi
administrasi,perdata,pidana dan faktor apa yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan transaksi terapeutik
antara dokter dan pasien.Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Wajo. Data yang
dikumpulkan melalui wawancara dan penyebaran kuesioner. Data dianalisis dengan analisa hukum empiris,
selanjutnya dianalisis secara kualitatif yakni berupaya untuk menggambarkan dan menguraikan secara jelas
tentang permasalahan yang penulis angkat. Penelitian kuantitatif dilakukan terhadap responden dengan
menggunakan teknik uji distribusi frekuensi dengan rumus P= f/n x 100 %. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Perlindungan hukum dalam transaksi terapeutik antara dokter dan pasien sudah terlaksana dengan baik,
dimana dokter di Rumah Sakit Umum Kabupaten Wajo telah mengerti dan paham dalam mencegah terjadinya
kesalahan, kesengajaan, dan kelalaian dalam perjanjian terapeutik agar tidak terjadi kasus hukum baik sanksi
hukum administrasi berupa pencabutan surat izin praktek, hukum perdata berupa pemberian ganti rugi dan
hukum pidana apabila tindakan medis ada unsur kesengajaan. Pelaksanaan transaksi terapeutik di masyarakat
belum berjalan efektif. Hal ini dipengaruhi karena : Kaidah atau norma hukum yang kabur , kurangnya
kepercayaan terhadap penegak hukum, ,kesadaran dan ketaatan hukum belum terlaksana serta fasilitas dan
budaya hukum yang belum berfungsi dengan baik.
Kata Kunci : Transaksi Terapeutik, Dokter, Tindakan Kedokteran
Abstrac
Legal relationship with a doctor or dentist referred the patient traupetik transaction. This study aims to
determine the extent of the legal aspects of the transaction to protect the patient's therapeutic in terms of
administrative, civil, criminal and what factors influence the effectiveness of the therapeutic transaction between
doctor and patient. The research was conducted at the General Hospital Kabupaten Wajo. Data were collected
through interviews, questionnaires. Data were analyzed with empirical laws analisia, then analyzed qualitatively
that seeks to describe and outline clearly about the issues that the author adopted. Quantitative research
conducted on the respondent by using frequency distribution test with the formula P = fin x 100 %. The results
showed that the legal protection in the therapeutic transaction between doctor and patient has done well, where
doctors at General Hospital Wajo have understood and understood in preventing the occurrence of errors,
intentional misconduct, and negligence in the therapeutic agreement in order to avoid either legal case legal
sanctions administrative revocation of a license to practice, the provision of civil law and criminal law damages
when medical treatment is no element of intent. Execution of transactions in the therapeutic community has not
been effective. This is affected because: Rule or vague legal norms, lack of confidence in law enforcement,
awareness and observance of law has not been implemented as well as legal and cultural facilities that have not
been functioning properly.
Keywords: Transactions in the therapeutic , Doctor, In Action Doctor Guide
PENDAHULUAN
Masyarakat memerlukan sebuah aturan untuk menciptakan suatu suasana yang
harmonis didalam kehidupannya. Aturan tersebut berupa hukum, yang ada dapat merupakan
hukum tertulis atau tak tertulis. Hukum yang ada dalam masyarakat ini hendaknya memiliki
sebuah dasar hukum yang menjiwai dari keadaan seluruh masyarakat, memiliki fungsi yang
ideal, memiliki unsur keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi masyarakat (Alfath , 2013)
Hukum yang dibuat dan nantinya akan berlaku di masyarakat hendaknya mampu berlaku
secara efektif. Sehingga tidak terjadi suatu pemborosan atau yang nantinya menimbulkan
ketidakpastian hukum didalam masyarakat. Maka hendaknya ketika hukum didalam suatu
masyarakat itu dibuat maka harus memperhatikan berbagai aspek-aspek yang ada di
masyarakat (Miru, 2008).
Dokter atau tenaga kesehatan lainnya adalah manusia biasa yang penuh dengan
kekurangan (merupakan kodrat manusia) dalam melaksanakan tugas kedokterannya yang
penuh dengan risiko ini tidak dapat menghindarkan diri dari kekuasaan kodrat Allah,
kemungkinan pasien cacat bahkan meninggal dunia setelah ditangani dokter dapat saja terjadi,
walaupun dokter telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi atau Standart
Operating Procedure (SOP) dan/atau standar pelayanan medik yang baik (Chandrawila ,
2004)
Dalam pandangan masyarakat, dokter dan pasien adalah dua subjek hukum yang
terkait dalam hukum kedokteran. Keduanya membentuk hubungan medik maupun hubungan
hukum. Hubungan medik dan hubungan hukum antara dokter dan pasien adalah hubungan
yang objeknya
pemeliharaan kesehatan pada umumnya dan pelayanan kesehatan pada
khususnya. Dalam hubungan dokter dan pasien ini dapat terjadi sengketa medik yang timbul
karena adanya kesenjangan antara harapan pasien/keluarga pasien dengan kenyataan yang ada
setelah dilakukan upaya medik, ditambah lagi kurangnya pemahaman tentang masalah teknis
medis dari pihak pasien serta informasi dari pihak dokter yang tidak memuaskan
pasien/keluarga pasien (Yunanto, 2010).
Hubungan hukum ini tidak menjanjikan sesuatu (sembuh atau tidak sembuh) yang
pasti, karena objek dari hubungan hukum itu adalah upaya maksimal yang dilakukan
secara cermat dan hati-hati oleh dokter
pengalamannya
dalam
berdasarkan
ilmu
pengetahuan
dan
menangani penyakit untuk menyembuhkan pasien, dan bukan
menjanjikan sesuatu hasil pasti (Koeswadji, 2006).
Persetujuan yang terjadi antara dokter dan pasien bukan di bidang pengobatan saja,
tetapi lebih luas, mencakup bidang diagnostik,preventif, rehabilitatif,maupun promotif
sehingga persetujuan ini di sebut persetujuan terapeutik atau transaksi terapeutik ( Hanafiah ,
2009 )
Berkaitan dengan profesi dokter ini, belakangan marak diberitakan
nasional, baik
melalui
dalam
media
media elektronika maupun media cetak, bahwa banyak ditemui
kasus malpraktek yang dilakukan kalangan dokter Indonesia. Fenomena pemberitaan
semacam ini telah menimbulkan keresahan atau paling tidak kekhawatiran kalangan dokter,
karena profesi ini bagaikan makan buah simalakama, dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu
mati. Tidak menolong dinyatakan salah menurut hukum, ditolong berisiko dituntut pasien
atau keluarganya jika tidak sesuai dengan harapannya (Machmud, 2012)
Seiring dengan berkembangnya pelayanan kesehatan dan medik serta penelitian
sebelumnya hampir semua tidak membahas aspek hukumnya apabila seorang dokter
melakukan berbuat
tindakan tanpa melalui perjanjian terapeutik atau transaksi terapeutik
( Bastian , (2011)
Perjanjian tindakan medis dalam dunia kedokteran lebih dikenal dengan sebutan
Persetujuan Tindakan Medis (PTM) perjanjian ini dilakukan antara tenaga medis dengan
pasien atau keluarganya. Istilah persetujuan tindakan medis untuk saat kini diganti dengan
Persetujuan Tindakan Kedokteran, sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No.290/MENKES/PER/II/2008 (Iskandarsyah , 2011)
Berdasarkan data dari tahun 2008 – 2012, Jumlah kasus yang terjadi akibat perjanjian
terapeutik antara dokter dan pasien hampir tidak ada. Namun ada satu kasus yang berlanjut ke
Polres Wajo. Kompleksnya fenomena yang terkait dengan perlindungan pasien dalam
kaitannya sebagai konsumen jasa dalam perjanjian terapeutik, dan Keawaman dan minimnya
tingkat pengetahuan hukum yang dimiliki oleh sebagian dari pasien menjadi tuntutan
perlindungan hak-hak pasien. Isu dalam pengungkapan kasus malpraktik seringkali terkendala
sulitnya memperoleh saksi ahli untuk berbicara di pengadilan karena para dokter satu suara
dalam melindungi korpsnya (Azwar, 2004).
Tujuan dari penelitian ini adalah : Untuk mengetahui perlindungan hukum dalam
transaksi terapeutik antara dokter dan pasien ditinjau dari segi hukum administrasi, hukum
perdata, dan hukum pidana , Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum
pelaksanaan transaksi terapeutik antara dokter dan pasien.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Jenis Penelitian
Lokasi penelitian data empirisnya dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah
kabupaten Wajo, sedangkan tipe penelitian adalah pendekatan sosiologis atau empiris.
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ada dua kelompok yaitu para dokter yang bertugas dan pasien
yang menjalani rawat rawat inap dan rawat jalan yang ada di Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Wajo.
Teknik penarikan sampel menggunakan teknik Purposive yaitu penarikan sampel
dengan memilih subyek berdasarkan kriteria yang telah ditentukan peneliti yakni : Para
dokter yang berpraktik di poli rawat jalan dan poli rawat inap sebanyak 20 orang dan Para
pasien yang berobat di poli rawat jalan dan rawat inap sebanyak 30 orang.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumber
pertama (responden) pada tempat penelitian dengan wawancara atau kuesioner. Sedangkan
data sekundernya diperoleh dari berbagai sumber yang bersifat dokumen atau bahan bacaan
yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis adalah penelitian hukum empiris. Data
yang diperoleh ini selanjutnya dianalisis secara kualitatif yakni berupaya untuk
menggambarkan dan menguraikan secara jelas tentang permasalahan yang penulis angkat,
sedang penelitian kuantitatif dilakukan terhadap responden dengan menggunakan teknik uji
distribusi frekuensi.
HASIL
Kelengkapan Surat Izin Praktik (SIP) dokter.
Hasil Penelitian : yang tidak lengkap dan dalam pengurusan SIP tidak ada, lengkap
SIP tapi praktek swasta 1 orang (5,0 %), lengkap Surat Izin Praktik dokter (SIP) 19 orang
(95,0 %).
Pengetahuan tentang perjanjian terapeutik kaitannya dengan informed consent.
Hasil Penelitian : bahwa pengetahuan dokter tentang perjanjian terapeutik, 1 dokter
(5,0 %) tidak tahu, 2 dokter
(10,0 %) yang kurang tahu, 3 dokter (15 %) tahu dan
sebanyak 14 dokter (70 %) sangat tahu.
Pemberian informasi tentang diagnosis dan tata cara tindakan medik.
Hasil Penelitian : didapatkan bahwa 2 dokter (10,0 %) tidak memberikan informasi
diagnosis, 1 dokter
(5,0 % ) kurang memberikan informasi, 2
dokter (10,0 %) yang
memberikan informasi secara singkat dan 15 dokter (75,0 %) yang memberikan informasi
secara lengkap.
Pemberian informasi tentang tujuan tindakan medis, risiko, dan prognosisnya.
Hasil Penelitian : diketahui bahwa 1 dokter (5,0 %) tidak memberikan informasi , 4
dokter ( 20,0 %) kurang memberikan informasi, 2 dokter ( 10,0 %), memberikan informasi
secara singkat dan 13 dokter (65,0 %) yang memberikan informasi secara lengkap tentang
tujuan tindakan medis, risiko dan prognosisnya.
Pemahaman tentang perlindungan hukum ditinjau dari segi hukum perdata.
Hasil Penelitian : diketahui bahwa 1 dokter (5,0 %) tidak paham, 1 dokter (5,0 %)
kurang paham , 3 dokter (15,0 %) paham dan 15 dokter (75 %) sangat paham tentang
pentingnya perlindungan hukum terhadap pasien ditinjau dari segi hukum
perdata.
Pengetahuan tentang persetujuan dan penolakan tindakan kedokteran.
Hasil Penelitian : disimpulkan bahwa 1 dokter (5,0 %) tidak tahu, 2 dokter ( 10 %)
kurang tahu, 4 dokter (20,0 %) menyatakan merasa tahu dan 13 dokter (65,0 %) menyatakan
merasa sangat tahu tentang persetujuan dan penolakan tindakan kedokteran.
Pengetahuan tentang standar profesi, standar pelayanan medis dan standar prosedur
operasional.
Hasil Penelitian : disimpulkan bahwa 1 dokter (5,0 %) yang tidak tahu, 2 dokter
(10,0 %) kurang tahu, 3 dokter ( 15,0 %) yang tahu dan 14 dokter (70,0 %) menyatakan
merasa sangat tahu tentang standar profesi, standar pelayanan medis dan standar prosedur
operasional.
Pengetahuan tentang gugatan wanprestasi didasarkan adanya ingkar janji atau tidak
terpenuhinya isi perikatan.
Hasil Penelitian : disimpulkan bahwa 2 dokter (10,0 %) tidak tahu, 2 dokter (10,0
%) kurang tahu, 4 dokter (20,0 %) tahu, 12 dokter (60,0 %) menyatakan merasa sangat tahu
tentang gugatan wanprestasi didasarkan adanya ingkar janji atau tidak terpenuhinya isi
perikatan.
Pengetahuan tentang perlindungan hukum ditinjau dari segi hukum pidana.
Hasil Penelitian : menunjukkan bahwa 1 dokter ( 5,0 %) tidak mengerti tentang
perlindungan hukum ditinjau dari segi hukum pidana, 1 dokter (5,0 %) kurang mengerti ,
1 dokter (5,0 %) mengerti dan 17 dokter (85,0 % ) sangat mengerti.
Pemahaman tentang sanksi pidana apabila membiarkan seseorang yang seharusnya
ditolong.
Hasil penelitian : didapat 1 orang dokter (5,0 %) tidak paham tentang sanksi pidana
apabila membiarkan seseorang yang seharusnya ditolong, 1 dokter (5,0 %) kurang paham, 2
dokter (10,0 %) paham dan 16 dokter (80,0 % ) sangat paham.
Pemahaman tentang sanksi pidana terhadap pelanggaran rahasia dokter.
Hasil penelitian didapatkan 2 dokter ( 10,0 %) menjawab tidak paham tentang
sanksi pidana terhadap pelanggaran rahasia dokter, 1 dokter (5,0 %) kurang paham, 2 dokter
(10,0 %) paham dan 15 dokter (75,0 % ) yang sangat paham.
Pemahaman tentang sanksi pidana terhadap pemberian dengan sengaja surat keterangan
palsu.
Hasil penelitian 1 dokter (5,0 %) tidak paham, 2 dokter ( 10,0 %) kurang paham, 1
dokter (5,0 %) paham dan 16 dokter (80,0) sangat paham, tentang sanksi pidana terhadap
pemberian dengan sengaja surat keterangan palsu.
Pemahaman tentang berlakunya kaidah hukum perjanjian terapeutik.
Hasil penelitian didapatkan 7 responden (4,0 %) menjawab bahwa berlakunya kaidah
hukum tidak diterima oleh warga masyarakat, 9 responden (30,0 %), menjawab dipaksakan
berlakunya oleh penguasa, 11 responden (36,7 %) menjawab berdasarkan pada kaidah yang
lebih tinggi tingkatannya dan 3 responden (10,0 %) menjawab kaidah hukum perjanjian
terapeutik sesuai dengan cita-cita hukum positif tertinggi.
Pemahaman
tentang pelaksanaan peraturan dan penegak hukum dari perjanjian
terapeutik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan peraturan dan penegak hukum dari
perjanjian terapeutik, 8 responden (26,7 %) menjawab kurang baik, 8 responden (26,7 %)
menjawab peraturan kurang baik dan kualitas petugas penegak hukum baik, 12 responden
(40,0 % ) menjawab peraturan baik dan kualitas petugas kurang baik dan 2 responden (6,6 %),
peraturan dan kualitas petugas sudah baik.
Tingkat Pendidikan Responden
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden, SMP dan SD 23
responden (76,6 %), SMA Sederajat 2 responden (6,7 %), Diploma DIII-DIV 3 responden
(10,0 %) dan Sarjana (S1-S2) 2 responden (6,7 %).
Kondisi Sosial Ekonomi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat mata pencaharian : 16 responden (53,3
%) Tidak menentu (Penarik Bentor ), 5 responden (16,6 %) Buruh , 4 responden (13,3 %)
Pengusaha dan 5 responden (16,6 %) Pegawai Negeri.
Pengaruh tempat wilayah domisili terhadap pelaksanaan perjanjian terapeutik.
Hasil penelitian menunjukkan 7 responden (14 %) menjawab tidak berpengaruh
wilayah domisili terhadap perjanjian terapeutik, 12
responden
(40,0 %)
kurang
berpengaruh, 8 responden (26,7 %) berpengaruh dan 3 responden (10 %) mengatakan sangat
berpengaruh.
Pemahaman hukum terhadap isi dari perjanjian terapeutik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 5 responden (16,7 %) tidak paham terhadap
hokum mengenai isi perjanjian terapeutik 17 responden (56,6 %) kurang paham, 5 responden
(10 %) paham dan 3 responden (10,0 %) sangat paham.
Ketaatan hukum terhadap pelaksanaan perjanjian terapeutik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketaatan hukum terhadap perjanjian terapeutik,
4 responden (13,3 %) Menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan, 18 responden (60,0 %)
Menjaga hubungan baik dengan penguasa, 5 responden (16,7 %) takut karena sanksi negatif
dan 3 responden (10,0 %) sudah sesuai dengan nilai-nilai yang dianut di masyarakat.
Derajat kepatuhan hukum terhadap perjanjian terapeutik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat kepatuhan hukum terhadap perjanjian
terapeutik, 7 responden (23,3 %) tidak patuh hukum, 16 responden ( 53,3 %) kurang patuh
pada hukum, 5 responden (16,7 %) patuh pada hukum dan 2 responden (6,7 %) yang
sangat patuh pada hukum.
Tingkat kesadaran hukum terhadap perjanjian terapeutik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat kesadaran hukum terhadap perjanjian
terapeutik, 1 responden (3,3 %) tidak patuh pada hukum. 20 responden (66,7 %) kurang
patuh pada hukum, 7 responden (23,3 %) patuh pada hukum, 2 responden (6,7 %) yang
sangat patuh hukum.
Pengaruh sarana kelengkapan kantor terhadap perjanjian terapeutik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, 4 responden (13,3 %) tidak tersedia, 19
responden (63,4 %) kadang tidak tersedia, 4 responden (13,3 %) tersedia dan 3 responden
(10,0 %) menilai kelengkapan kantor tersedia dan lengkap terhadap pelaksanaan perjanjian
terapeutik.
Pengaruh fasilitas kantor terhadap perjanjian terapeutik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 4 responden (13,3 %) tidak mempengaruhi
fasilitas kantor terhadap perjanjian terapeutik, 17 responden (56,7 %) kurang mempengaruhi,
6 responden (20,0 %) mempengaruhi dan 3 responden (10,0 %) menjawab fasilitas kantor
sangat mempengaruhi terhadap perjanjian terapeutik.
Pengaruh budaya hukum dalam perjanjian terapeutik.
Hasil penelitian menunjukkan 7 responden (23,3 %) menjawab tidak berpengaruh
budaya hukum terhadap pelaksanaan perjanjian terapeutik, 19 responden (63,3 %) menjawab
kurang berpengaruh , 2 responden (6,7 %) menjawab berpengaruh dan 2 responden (6,7 %)
menyatakan sangat berpengaruh budaya hukum.
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa Hal ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 36
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran, bahwa : Setiap dokter
dan dokter gigi yang melakukan
praktik kedokteran di Indonesia
wajib memiliki Surat
Izin Praktek (SIP)
Dalam ketentuan Pasal 45 No.29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran. Ketentuan
mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan
Menteri. Beberapa alasan sehingga persetujuan tindakan kedokteran sangat penting dilakukan
karena : Sebagai alat bukti ketika terjadi kasus, Sebagai bentuk persetujuan pasien terhadap
tindakan dokter, Sebagai bukti pasien tahu akan tindakan medik yang telah diambil dan risiko
dari tindakan tersebut, Sebagai alat legalitas dari tindakan dokter, Bukti otentik dan
adminstrasi sehingga mudah untuk dicari, Mempermudah kinerja dokter, Sebagai bukti dari
pelaksanaan kewajiban dokter, Sebagai bukti hitam di atas putih atas risiko dan tindakan, dan
Sebagai surat keterangan mengenai penyakit pasien.
Hal ini berhubungan dengan Pasal 45 ayat (2), Undang-Undang No.29 Tahun 2004
tentang praktik kedokteran yaitu : Persetujuan yang diberikan oleh pasien setelah
mendapatkan penjelasan secara lengkap dan diatur juga dengan Pasal 45 ayat (3) Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dimana pengertiannya bahwa persetujuan (untuk
perawatan) tanpa ada informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan
penyakitnya tidaklah sah menurut hukum.
Sesuai dengan pasal 58 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
yaitu ayat (1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang tenaga kesehatan
dan/atau penyelenggaraan kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau
kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. (2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan
penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.(3).
Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara dan pengajuan tuntutan sebagaimana disebut dalam
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Banyak dokter telah mengetahui akan adanya persetujuan pengambilan tindakan
kedokteran, sehingga dapat disimpulkan bahwa persetujuan dan penolakan pengambilan
tindakan kedokteran merupakan perwujudan dari hak dari pasien dalam mendapatkan
pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis.
Profesionalisme seorang dokter atau dokter gigi terkait dengan pendidikan dasar
kedokterannya dan pendidikan lanjutan, juga terkait dengan peralatan-peralatan kedokteran
serta keberhasilan dokter dalam meminimalisir efek samping dari upaya pengobatan atau
pelayanan kesehatan yang dilakukannya.
Perikatan atau perjanjian terapeutik antara dokter atau dokter gigi dengan pasien,
maka prestasi yang harus dipenuhi oleh dokter adalah kesungguhan, kecermatan, kehatihatian
dengan
didasarkan
pada
keilmuan
kedokterannya
dan
keterampilan
serta
pengalamannya sebagai dokter dalam melakukan tindakan medis. Hal ini sesuai dengan
Pasal
190 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 yang berisi (1). Pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada
fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama
terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat dengan ancaman pidana penjara paling
lama dua tahun.(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
kesehatan tersebut dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
Hal ini diatur dalam Pasal 304 KUHPidana berbunyi sebagai berikut : Barangsiapa
dengan sengaja menempatkan atau membiarkan orang dalam keadaan sengsara, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun 8 (delapan) bulan atau pidana paling banyak Rp. 4.500 (empat ribu lima ratus
rupiah). Untuk perbuatan pidana yang tidak ada unsur kesengajaan, dapat dikategorikan
perbuatan pidana karena kelalaian, yang dapat dikenakan Pasal 359 KUHPidana.
Berdasarkan Pasal 322 KUHP
sebagai berikut
: Barangsiapa dengan sengaja
membuka rahasia yang wajib disimpan karena jabatan atau pencahariannya,baik yang
sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan)
bulan atau pidana denda paling banyak Rp.9.000.- (sembilan ribu rupiah ) dan Pasal 267
KUHP berbunyi sebagai berikut : Seorang dokter yang dengan sengaja memberi surat
keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Pasien belum menerapkan kaidah hukum yang seharusnya dalam mencapai cita-cita
bangsa dan negara. Berfungsinya hukum dalam masyarakat biasanya diarahkan pada
kenyataan apakah perjanjian terapeutik benar-benar berlaku atau tidak dan berfungsinya
hukum, mentalitas atau kualitas petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau
peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah
satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah peraturan baik dan kualitas petugas
harus baik.
Tingkat
pendidikan
masyarakat
yang
rendah,
sangat
berpengaruh
pada
kemampuannya untuk memahami suatu hukum yang mengatur hak dan kewajiban mereka
sebagai anggota masyarakat, termasuk dalam hal perjanjian terapeutik. Selain itu kualitas
pendidikan yang diberikan di sekolah dan perguruan tinggi juga lemah. Pada akhirnya hal ini
berpengaruh pada pemahamannya mengenai perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien.
Faktor sosial ekonomi mempunyai hubungan erat dengan status pekerjaan. Dengan
pekerjaan seseorang yang tidak menentu, rasanya agak susah untuk membiayai kebutuhannya
sehari-hari, apalagi jika seseorang itu sudah berkeluarga atau berumah tangga.
Pengaruh wilayah domisili dengan pelaksanaan perjanjian terapeutik erat kaitannya.
Masyarakat yang berdomisili diperkotaan secara umum telah mengetahui aturan tentang
perjanjian terapeutik, sedangkan masyarakat yang berdomisili di pedesaan tidak terlalu
mengetahui tentang perjanjian terapeutik.
Faktor utama sehingga masyarakat kurang paham terhadap perjanjian terapeutik
karena kurangnya sosialisasi tentang penting pengisian informed consent, dikemudian hari
kalau sudah bersentuhan dengan hukum. Masyarakat kurang paham tentang perjanjian
tersebut karena cuma berfikir bagaimana secepatnya keluarganya dapat ditolong dan tidak
pernah terlintas dalam fikirannya bahwa dokter bisa saja berbuat kesalahan atau kehilafan.
Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa sikap hukum masyarakat lebih banyak
yang menjaga hubungan baik dengan masyarakat, hal ini bertentangan dengan aturan hukum
di masyarakat. Jika ingin berperilaku yang taat dengan peraturan hukum, haruslah sesuai
dengan nilai-nilai yang dianut dan sedangkan indikator yang lain, penerapan hukumnya
senantiasa diawasi oleh petugas-petugas tertentu.
Derajat kepatuhan masyarakat dalam perjanjian terapeutik masih rendah. Seseorang
dikatakan sangat patuh terhadap perjanjian terapeutik apabila mengisi formulir informed
consent dengan tepat waktu dan melaksanakan segala aturan yang telah ditetapkan oleh dokter
sedangkan dikatakan patuh apabila melaksanakan aturannya tapi tidak tepat waktu dalam
pengembalian formulirnya, kurang patuh apabila tidak melaksanakan aturan yang telah
ditetapkan dan tidak patuh apabila tidak memberikan persetujuan atau tanda tangan dalam
formulir persetujuan maupun dalam formulir penolakan tindakan kedokteran.
Kesadaran hukum pada masyarakat dalam perjanjian terapeutik masih rendah.
Kesadaran hukum masyarakat tinggi mengakibatkan para warga masyarakat akan sangat
patuh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya apabila kesadaran warga
masyarakat terhadap hukum rendah, derajat kepatuhannya juga rendah.
Masih perlu pembenahan masalah kelengkapan kantor, mengingat bahwa sarana
berupa formulir persetujuan dan penolakan tindakan kedokteran harus selalu berada didalam
kartu status pasien. Kelengkapan lainnya berupa pulpen atau bantalan stempel kalau
pasiennya tidak tahu tanda tangan. Semua hal tersebut harus selalu dikontrol dan didata ulang
kalau persediannya sudah mulai habis.
Hal yang dapat mempengaruhi efektivitas pelaksanaan perjanjian terapeutik karena
fasilitas tidak cukup. Misalnya : Tidak adanya komputer, mesin tik atau yang lainnya maka
hal ini dapat menghambat pelaksanaan pekerjaan. Dengan demikian fasilitas pun menjadi
amat penting dan ini diperoleh karena ada dana untuk membeli fasilitas. Itu berarti
keberadaan fasilitas tergantung dari keberadaan dana dari suatu organisasi atau rumah sakit.
Dengan adanya sikap masyarakat yang optimal kepada pelayanan kesehatan tentunya
akan sangat mendukung dokter dalam menjalankan prestasinya. Sikap masyarakat merupakan
persepsi dan tindakan tertentu dari masyarakat mengenai pelayanan kesehatan yang tentunya
akan berakses pada pemenuhan hak-hak pasien.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian dari hasil penelitian, maka pada akhir tulisan ini dikemukakan
kesimpulan sebagai berikut : Perlindungan hukum dalam transaksi terapeutik antara dokter
dan pasien sudah terlaksana dengan baik, dimana dokter di Rumah Sakit Umum Kabupaten
Wajo telah mengerti dan paham dalam mencegah terjadinya kesalahan, kesengajaan, dan
kelalaian dalam perjanjian terapeutik agar tidak terjadi kasus hukum baik berupa sanksi
hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana. Pelaksanaan transaksi terapeutik di
masyarakat belum berjalan efektif. Hal ini dipengaruhi karena : Kaidah atau norma hukum
yang kabur atau tidak jelas, kurangnya kepercayaan terhadap penegak hukum, tingkat
pendidikan masih rendah, status pekerjaan masih dibawah standar,kesadaran dan ketaatan
hukum belum berfungsi dimasyarakat, fasilitas yang tersedia untuk mendukung pelaksanaan
hukum sangat minim serta kebudayaan hukumnya belum berlaku dimasyarakat.
Adapun saran yang direkomendasikan oleh penulis, yaitu Bagi sarana pelayanan
kesehatan harus segera menentukan standar pelayanan medik dan standar operasional
prosedur untuk melindungi para dokter atau dokter gigi dari tuntutan hukum atas tuduhan
medikal malpraktek. Perlunya diadakan penyuluhan hukum kepada masyarakat agar
masyarakat dapat mentaati dan memahami hukum sehingga menjadi salah satu pedoman bagi
pergaulan hidup yang damai.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar. A, (2000), Menjaga Mutu Pelayanan Rawat Jalan ,Fakultas Kesehatan
Masyarakat,UI,Jakarta.
Alfath
Tahegga
(2013)
Efektivitas
Hukum
Dalam
Masyarakat
http://taheggaalfath.blogspot.com/2011/09/.
Bastian Indra, (2011), Penyelesaian Sengketa Kesehatan, Salemba Medika, Jakarta.
Chandrawila Wila, (2004), Hukum Kedokteran,Cetakan I,Penerbit Mandar Maju, Bandung.
Hanafiah M.Yusuf, (2009), Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Penerbit Buku kedokteran
(EGC), Jakarta.
Iskandarsyah Mudakir , (2011) , Tuntutan Pidana dan Perdata Malpraktik, Permata
Aksara, Jakarta.
Koeswadji Hadiati ,( 2006), Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung.
Miru Ahmadi (2008), Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai Pasal 1456
BW, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Machmud Syahrul, (2012), Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum, Bagi Dokter Yang
Diduga Melakukan Malpraktek,Karya Putra Darwati, Bandung.
Yunanto Ari, (2010), Hukum Pidana Malpraktek Medik, Offset, Yokyakarta.
Download