K ESEHATAN RABU, 26 JANUARI 2011 | MEDIA INDONESIA Solusi Konservatif juga Menjanjikan Penanganan penyakit jantung tidak selalu identik dengan pemasangan stent (cincin/ring) atau operasi by pass. Langkah konservatif juga ampuh mencegah kefatalan. ENI KARTINAH H INGGA saat ini, jantung koroner (PJK) masih menjadi penyakit penyebab kematian terbanyak di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Salah satu jenisnya, serangan jantung, kerap menyebabkan kematian mendadak. Meski datangnya serangan jantung terkesan tiba-tiba, sejatinya perjalanan penyakit itu cukup panjang. Semua bermula dari aterosklerosis pada pembuluh darah jantung yang bisa terjadi puluhan tahun sebelum serangan jantung datang. ‘’Aterosklerosis merupakan pengapuran pembuluh darah koroner akibat timbunan kolesterol di dinding pembuluh darah,’’ ujar spesialis jantung dari Jakarta Vaskular Center, dr Frans Santosa SpJP, di Jakarta, baru-baru ini. Aterosklerosis menyebabkan diameter pembuluh darah menyempit. Pembuluh darah yang semula elastis menjadi kaku sehingga mudah robek. Ketika permukaan pembuluh darah bagian dalam robek, sel-sel trombosit darah akan menggumpal untuk menutup robekan. Meski penggumpalan trombosit itu adalah bagian dari mekanisme tubuh normal, adakalanya gumpalan itu justru menutup diameter pembuluh darah yang sudah menyempit. Peristiwa itu disebut aterotrombosis. Akibat aterotrombosis, suplai darah ke jantung pun terhenti. Kondisi itu memunculkan gejala-gejala yang dikenal masyarakat sebagai serangan jantung. Pada serangan akut semacam itu, balonisasi atau pemasangan stent kerap perlu dilakukan. Tujuannya agar sumbatan terbuka dan aliran darah ke jantung lancar kembali. Operasi itu menjadi bagian dari prosedur penanganan. Masalahnya, menurut Frans, kerap dijumpai pemasangan stent dilakukan untuk kondisi yang tidak perlu. Yaitu pada pasien yang kondisi pembuluh darah jantungnya stabil meski sudah terjadi aterosklerosis. Memang, hingga sepuluh tahun lalu, dunia kedokteran masih meyakini bahwa aterosklerosis akan menyumbat pembuluh darah pemicu serangan jantung. Tetapi, studi pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an di berbagai sekolah kedokteran di Eropa dan Amerika telah membuktikan bahwa aterosklerosis bukan penyebab utama serangan jantung. Melalui serangkaian autopsi terhadap jenazah korban-korban serangan jantung diketahui bahwa penyebab utama kematian bukanlah aterosklerosis, melainkan aterotrombosis. Jadi, jelaslah bahwa yang perlu dicegah adalah aterotrombosis. Pencegahan itu sama sekali tidak memerlukan pemasangan stent maupun operasi lainnya. ‘’Cara mencegah aterotrombosis dilakukan dengan langkah konservatif, meliputi konsumsi obat-obatan yang diperlukan dan penerapan gaya hidup sehat,’’ ujar Frans. Lebih murah Penelitian medis menunjukkan tidak ada keuntungan pemasangan stent pada pasien yang kondisi pembuluh darah jantungnya stabil meski sudah mengalami aterosklerosis. Bahkan pada kondisi pembuluh darah yang menyempit hingga lebih dari 70%, asal kondisinya stabil, pemasangan stent tidak diperlukan. Dalam terapi konservatif, obat-obatan yang digunakan biasanya obat oral/minum. Pemilihan obat disesuaikan dengan kondisi pasien. Namun secara umum obatobatan yang diberikan berfungsi sebagai penurun kolesterol, mencegah penggumpalan trombosit, perlindungan terhadap pembuluh darah, pengatur irama jantung, dan antiiskemik. ‘’Pengobatan ini bersifat pen cegahan dan perawatan se hingga dilakukan seumur hidup dan harus dibarengi dengan perbaikan gaya hidup,’’ lanjut Frans yang juga menulis buku berjudul Therapy of Coronary Heart Disease. Gaya hidup yang dimaksud mencakup manajemen stres. Karena stres yang tidak terkendali menjadi salah satu pemicu aterotrombosis. Pasien juga harus menghindari konsumsi makanan berlemak dan memperbanyak asupan sayur dan buah, serta olahraga teratur. Jika dibandingkan dengan operasi, terapi konservatif lebih menguntungkan pasien terutama dari sisi biaya. Terapi ini lebih murah daripada pemasangan stent yang biayanya puluhan juta rupiah. Sebagai catatan, kata Frans, data asuransi kesehatan di Amerika menunjukkan, penghematan biaya kesehatan apabila tidak dilakukan pemasangan stent mencapai sekitar US$5 miliar per tahun. Selain diperlukan pasien aterosklerosis untuk mencegah serangan jantung, terapi konservatif juga perlu dijalankan oleh pasien-pasien serangan jantung pascaoperasi. ‘’Operasi pada pasien serangan jantung hanyalah langkah awal yang dilakukan pada kondisi akut. Sesudahnya, tetap harus diikuti dengan pengobatan agresif secara optimal,’’ kata Frans. Diagnosis penyakit jantung koroner memang kerap membuat panik. Namun, di tengah kepanikan itu, pikiran jernih perlu selalu dijaga agar tetap bisa menilai dan menentukan terapi yang tepat. (*/S-2) 13 INFO ASI Eksklusif Tetap 6 Bulan BEBERAPA waktu lalu, masyarakat, terutama kaum ibu, dibuat bingung dengan artikel yang dikeluarkan British Medicine Journal (Fewrell), yang menyimpulkan pemberian ASI eksklusif tidak harus sampai enam bulan. Menurut penelitian itu, pemberian makanan pendamping ASI justru harus dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah obesitas, jantung koroner, kanker, kolik, dan alergi. Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) melalui siaran pers mereka baru-baru ini menyanggah kesimpulan tersebut. Sebab menurut WHO, artikel tersebut tidaklah berdasarkan ulasan yang sistematik. UNICEF juga berpendapat artikel itu tidak berdasarkan ilmu-ilmu baru, tetapi menganalisis ulang penelitian sebelumnya. Ditambah lagi, menurut UNICEF, tiga dari empat penulis jurnal itu sudah memiliki kontrak dengan perusahaan susu formula. Ketua AIMI Mia Sutanto menegaskan, ‘‘ASI eksklusif enam bulan tetap yang terbaik bagi bayi.’’ (*/S-3) Vaksin Pneumokokus GSK DATA WHO menunjukkan hampir 1 juta anak di bawah lima tahun meninggal akibat penyakit infeksi pneumokokus setiap tahunnya di dunia. Diperkirakan, lebih dari 90% kematian anak akibat pneumokokus terjadi di negara berkembang. Perusahaan farmasi Glaxosmith Kline (GSK) turut andil dalam pencegahan penyakit itu dengan meluncurkan vaksin pneumokokus. Vaksin ini diindikasikan untuk anak antara usia dua bulan dan dua tahun. Meski diklaim sebagai generasi terbaru, vaksin itu dipasarkan dengan harga lebih terjangkau, berkisar Rp550 ribu. “Pneumonia masih merupakan masalah besar di Indonesia. Semoga vaksin ini dapat membantu menurunkan angka kematian balita akibat pneumonia,” ujar Ketua Satuan Tugas Imunisasi Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia Sri Rezeki S Hadinegoro di Jakarta, baru-baru ini. (*/S-3) Pasien Cangkok Hati Pulih PADA 14 Desember silam, RS Puri Indah, Jakarta, untuk pertama kalinya berhasil melakukan cangkok hati pada dua pasien dewasa, Soebagijo, 60, dan Nidjat Ibrahim, 40. Keduanya terlihat bugar saat dihadirkan dalam acara temu pasien, pekan lalu. Kedua pendonor juga dinyatakan sehat. “Prinsip kami keselamatan pasien dan pendonor adalah yang utama,” ujar salah satu dokter tim cangkok hati, dr Hermansyur Kartowisastro SpB (KBD). Di Indonesia, cangkok hati belum sepopuler cangkok ginjal. RS Puri Indah dalam pencangkokan hati itu bekerja sama dengan The First Affiliated Hospital Zhejiang University, China, serta Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (*/S-3) ANTARA/ LUCKY R [email protected] BERVARIASI: Agar tidak mengalami kekurangan gizi mikro, balita perlu diberi asupan makanan yang bervariasi setiap harinya, mencakup sayur dan buah. Upaya Tepat sebelum Terlambat KANKER payudara dan kanker leher rahim (serviks) adalah dua jenis kanker yang paling kerap diderita kaum perempuan. Keduanya kerap jadi momok, karena selain mengancam nyawa, kankerkanker itu kerap menurunkan kepercayaan diri kaum hawa. Meski demikian, ada sisi yang menggembirakan. Yaitu kanker payudara dan serviks bisa dideteksi dini. Dengan begitu, risiko kefatalannya pun dapat diminimalisasi. Hal itu sesuai dengan prinsip umum penanganan kanker, semakin dini ditemukan, semakin mudah dan murah pengobatannya. Untuk kanker payudara, cara deteksi dini yang paling sederhana adalah dengan pemeriksaan payudara sendiri (sadari). Caranya, dengan meraba payudara sendiri. Jika ditemukan benjolan mencurigakan, pemeriksaan lebih lanjut perlu segera dilakukan. Selain sadari, ada pemeriksaan-pemeriksaan dengan teknik mutakhir yang bisa memberi hasil lebih akurat. Yaitu pemeriksaan mamografi dan USG payudara. “Mamografi sangat baik untuk mendeteksi dini kanker payudara,” ujar spesialis radiologi RS Premier Bintaro (RSPB), Tangerang, dr Riris Himawati SpRad, baru-baru ini. Riris ialah salah satu anggota tim dokter yang menangani deteksi dini kanker pada wanita di RSPB. Tim itu terdiri dari dok- ter spesialis radiologi, patologi anatomi, dan ginekologi yang kesemuanya perempuan. Lebih lanjut Riris menjelaskan, pada pemeriksaan mamografi, payudara akan ditekan dengan alat khusus dan disorot sinar-X sehingga diperoleh foto citra jaringan payudara. Foto itu kemudian dianalisis untuk menemukan sel-sel abnormal yang dicurigai sebagai bibit kanker. Meski prosesnya sedikit menyakitkan, ketepatan mamografi cukup tinggi, berkisar 85%-90%, lebih tinggi daripada berbagai pencitraan payudara lainnya. Prosesnya pun singkat, hanya 15 menit. “Untuk mengurangi rasa nyeri, sebaiknya mamografi dilakukan setelah menstruasi,” imbuh Riris. Mamografi dianjurkan untuk perempuan berusia 35 tahun ke atas atau sudah pernah menyusui. Perempuan berusia 40-50 tahun dianjurkan mamografi dua tahun sekali. Di atas usia 50 tahun, setahun sekali. Namun, jika ada riwayat keluarga ibu pengidap kanker, dianjurkan mamografi setahun sekali. Sementara itu, teknik pemeriksaan dengan USG payudara sangat peka untuk melihat tumor jinak berukuran 3 mm-5 mm. Pemeriksaan itu cocok untuk perempuan berusia muda yang jaringan payudaranya masih padat. Papsmear & USG trans-vaginal Sementara itu, untuk mendeteksi dini kanker serviks, ada beberapa teknik. Yang paling populer adalah papsmear. Papsmear dilakukan dengan mengambil sampel sel-sel di mulut rahim untuk kemudian dianalisis. “Kanker serviks diawali dengan perubahan sel-sel normal menjadi abnormal. Pada DOK. RSPB MAMOGRAFI: Pasien mendapat penjelasan tim dokter RS Premier Bintaro, sebelum menjalani pemeriksaan mamografi. saat itu, perempuan belum merasakan gejala. Di sinilah peran penting papsmear, untuk mendeteksi sel-sel abnormal prakanker jauh-jauh hari sebelum berkembang jadi kanker,” jelas spesialis patologi anatomi RSPB, dr Suga Trisakti Anggawidjaja SpPA. Kasus kanker serviks biasanya muncul pada usia reproduksi antara 20-45 tahun. Perempuan yang aktif melakukan hubungan seksual disarankan melakukan papsmear setahun sekali. Kanker lain yang juga mengintai perempuan adalah kanker indung telur. Kanker ini kerap terjadi pada perempuan berusia 45 tahun ke atas atau mereka yang sudah memasuki masa menopause. “Pemindaian kanker indung telur dilakukan melalui pemeriksaan USG trans-vaginal,” ujar spesialis ginekologi RSPB dr Rudiyanti, SpOG. USG, mamografi, papsmear, dan USG trans-vaginal adalah teknik-teknik termutakhir yang dapat dimanfaatkan kaum perempuan untuk mencegah kefatalan akibat kanker. Di RSPB, seluruh teknik pemeriksaan itu, ditambah dengan konsultasi dokter, tergabung dalam paket female check-up. Pun dalam rangka Hari Ibu 2010, hingga 28 Februari 2011 mendatang, paket tersebut dapat diperoleh dengan biaya lebih terjangkau, yakni Rp599.000. (*/S-3) Dampak Buruk Kenyang Semu HASIL Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan terjadi penurunan angka kurang gizi pada balita. Dari yang semula 18,4% pada 2007 menjadi 17,9%. Namun, sekadar menurunkan angka kurang gizi belum cukup. Sebab ada ancaman lain yang berpotensi mengganggu tumbuh kembang balita, yakni fenomena hidden hunger. ‘’Hidden hunger adalah kondisi kekurangan zat gizi mikro, yaitu vitamin dan mineral,’’ ujar Koordinator Gizi Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU) Yulia Rimawati pada acara jelang peringatan Hari Gizi Nasional yang diselenggarakan Sari Husada dan PKPU di Jakarta, Minggu (23/1). Permasalahan gizi mikro yang banyak ditemui di Indonesia adalah kekurangan zat besi, yodium, dan vitamin A. Hal itu bisa dilihat pada data-data hasil riset. Misalnya, soal kekurangan zat besi, ditunjukkan dengan prevalensi anak usia 1-4 tahun yang mengalami anemia besarnya mencapai 27,7 %. Riskesdas 2007 juga menunjukkan bahwa rumah tangga yang memiliki garam cukup yodium baru mencapai 62,3 %. Untuk vitamin A, pemerintah memang sudah menjalankan program pembagian vitamin A di posyandu. Namun, Riskesdas 2010 menunjukkan persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan berturut-turut baru mencapai 69,8 %. Dampak dari kekurangan gizi mikro bisa fatal. Karena setiap vitamin dan mineral punya peran penting dalam sistem metabolisme tubuh. Kekurangan zat besi misalnya, bisa menyebabkan anemia. Kekurangan yodium menyebabkan penyakit gondok. Sementara itu, kekurangan Vitamin A bisa menurunkan daya tahan tubuh. ‘’Sebenarnya kebutuhan tubuh akan gizi mikro hanya sedikit. Zat gizi mikro pun mudah didapat dengan mengonsumsi sayur dan buah serta beberapa pangan hewani,’’ujar Yulia. Masalahnya, tidak semua orang tua melek gizi. Banyak orang tua tidak memahami bahwa masalah gizi bukan hanya disebabkan kurangnya konsumsi makanan, melainkan juga karena tidak beragamnya jenis makanan yang dikonsumsi. Masih banyak ditemui pola makan yang hanya mengutamakan sumber pemenuhan zat gizi dari karbohidrat. Dengan pola makan demikian, anak mungkin kenyang, tapi kenyang itu semu sebab kebutuhan vitamin dan mineralnya belum tercukupi. (*/S-3)