View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah perkembangan manusia dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi menimbulkan banyak masalah sosial dan memerlukan penyesuaian
terhadap perubahan sosial. Di satu pihak perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi memperlihatkan hasil yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia,
sedangkan di pihak lain akan melahirkan penyakit sosial seperti timbulnya
pengangguran, kesenjangan sosial yang berdampak pada timbulnya suatu
kejahatan.
Kejahatan adalah suatu perbuatan secara turun temurun dilakukan oleh
manusia dari dahulu sampai dewasa ini. Manusia melakukan perbuatan jahat, baik
terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Tingkah laku jahat itu bisa
dilakukan oleh siapapun juga, baik wanita maupun pria, dapat pula pada usia
anak, dewasa, ataupun lanjut usia.
Kejahatan bisa dilakukan secara sadar yaitu dipikirkan dan diarahkan pada
suatu maksud tertentu secara benar, namun juga bisa dilakukan secara tidak sadar.
Untuk mempertahankan hidupnya, seseorang terpaksa melakukan suatu kejahatan.
Kenyataan dewasa ini, di zaman modern ini, orang melakukan kejahatan dengan
berbagai macam cara yang serba modern, baik alat yang digunakan maupun
modus operandinya.
1
Perkembangan masyarakat dewasa ini telah disadari bahwa berbagai usaha
manusia untuk mempertahankan hidupnya dan kadang-kadang ada orang yang
memilih kejahatan dalam menyongsong era Millennium ke III Indonesia
menghadapi persoalan yang berat sebagai konsekuensi dari semakin hebatnya
pengaruh globalisasi dalam segala bidang, bukan saja dalam masalah politik,
ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, dan keamanan yang akan menghadapi
tantangan berat, akan tetapi juga dalam masalah khusus seperti penyalahgunaan
psikotropika.
Penyalahgunaan psikotropika telah menjadi issu yang telah mengglobal di
mana hal ini telah tercatat dalam sidang umum ICPO (International Criminal
Police Organization) yang ke 66 pada Tahun 1997 di India yang diikuti seluruh
anggota yang berjumlah 177 negara dari benua Amerika, Asia, Eropa, Afrika, dan
Australia, bahwa peredaran ecstacy mencapai 400 milyar dollar AS. Di samping
itu peredaran psikotropika jenis lain pun semakin besar dan dilengkapi teknologi
canggih serta melibatkan orang-orang yang justru harusnya menjadi aparat
pemberantas tindak pidana psikotropika ini selain itu dengan modus yang
beragam dan saat ini Indonesia telah termasuk dalam daftar tertinggi sebagai
Negara yang menjadi sasaran peredaran yang bisa di sejajarkan dengan negaranegara seperti Jepang, Thailand, Malaysia, Philiphina, dan Hongkong.
Kemudian seiring dengan perkembangannya memasuki tahun 2000
Indonesia tidak lagi menjadi sekedar wilayah transit atau wilayah pemasaran
barang-barang tersebut tetapi telah menjadi produsen dan eksportir obat-obatan
terlarang tersebut. Hal ini terungkap dari penggerebekan pabrik shabu-shabu
2
terbesar di dunia tepatnya di Bogor pada Tahun 2004, kemudian pada Tahun 2005
di Surabaya dan yang pada bulan April 2007 juga di Surabaya serta di daerahdaerah lain yang telah di grebek.
Dengan kenyataan yang demikian peredaran narkoba di Indonesia semakin
mudah dan murah untuk mendapatkannya oleh setiap kalangan masyarakat mulai
dari anak-anak, pejabat, artis, mahasiswa bahkan oleh aparat penegak hukum, hal
ini di sebabkan oleh keuntungan besar yang di janjikan dalam waktu yang singkat
di balik bisnis haram ini. Walaupun melanggar hukum dengan resiko sanksi yang
berat seperti pidana mati, akan tetapi masih banyak orang yang bersedia menerima
resiko ini demi keuntungan dari bisnis ini, sehingga pasokan barang-barang ini
tidak hanya pada kota-kota besar di Indonesia, namun peredarannya juga sudah
sampai ke kota-kota kecil bahkan sudah sampai di kecamatan dan desa-desa
terpencil yang pendistribusiannya melalui jalur-jalur baik darat, laut maupun
udara yang terorganisasi sangat rapi dan rahasia, yang tanpa memperhatikan
kepentingan moral, agama dan nasional.
Karena kebutuhan akan kepentingan manusia semakin bertambah. Hal ini
tentu membawa dampak negatif. Semua manusia mempunyai keinginan yang
sama yaitu keinginan untuk hidup secara layak dan mampu memberikan
kehidupan untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya.
Perilaku sebagian masyarakat yang secara nyata telah jauh mengabaikan
nilai-nilai kaidah dan norma serta hukum yang berlaku di tengah kehidupan
masyarakat, seperti nilai-nilai moral, hukum adat, hukum negara, maupun agama,
3
hal tersebut memberikan suatu gambaran bahwa kehidupan masyarakat saat ini
berada dalam kondisi memprihatinkan.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut maka penulis tertarik untuk
mengkaji masalah penyalahgunaan psikotropika ini yang pelakunya adalah dari
masyarakat dengan judul “Tinjauan Sosiologis Kejahatan Psikotropika (Kasus
Kecamatan Tamalanrea Kota Makassar)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah
di atas, maka penulis mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah yang menjadi faktor penyebab seseorang melakukan kejahatan
psikotropika?
2. Bagaimanakah upaya penanggulangan penyalahgunaan psikotropika yang di
lakukan oleh masyarakat?
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Mengacu pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini
yang bisa penulis gambarkan adalah:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab seseorang melakukan
kejahatan psikotropika.
2. Untuk mengetahui upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan psikotropika
yang di lakukan oleh masyarakat.
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kegunaan penelitian ini
adalah:
4
1.
Bagi aparat penegak hukum, khususnya kepolisian akan menjadi bahan
masukan dalam rangka menjadikan kepolisian sebagai penegak hukum di
garis yang terdepan sehingga kepolisian bisa menuju pada keprofesionalan
guna menanggulangi peredaran psikotropika.
2.
Memberi sumbangsih bagi pengembangan ilmu pengetahuan Hukum Pidana
pada umumnya dan pengembangan sosiologi pada khususnya.
3.
Dapat menjadi sumbangan pemikiran penelitian dalam bidang yang sama
pada masa yang akan datang.
D. KERANGKA KONSEPTUAL
Sosiologi adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari individu,
kelompok dan lembaga sosial yang membentuk masyarakat secara umum.
Sosiologi ini pertamakalinya dipublikasikan dalam buku yang berjudul "Cours
De Philosophie Positive" karangan August Comte (1798-1857). Walaupun banyak
defenisi tentang sosiologi namun pada umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu
pengetahuan tentang masyarakat.
Emile Durkheim mengartikan sosiologi adalah suatu ilmu yang
mempelajari fakta-fakta sosial, yakni fakta yang mengandung cara bertindak,
berpikir, berperasaan yang berada di luar individu di mana fakta-fakta tersebut
memiliki kekuatan untuk mengendalikan individu.
Teori sosiologi atau teori belajar memandang penyimpangan muncul dari
konflik normatif di mana individu dan kelompok belajar norma-norma yang
membolehkan penyimpangan dalam keadaan tertentu. Pembelajaran itu mungkin
5
tidak kentara, misalnya saat orang belajar bahwa penyimpangan tidak mendapat
hukuman. Tetapi pembelajaran itu bisa juga termasuk mangadopsi norma-norma
dan nilai-nilai yang menetapkan penyimpangan diinginkan atau dibolehkan dalam
keadaan tertentu misalnya dalam penyimpangan dalam penyalahgunaan
psikotropika. Teori Differential Association oleh Sutherland adalah teori belajar
tentang penyimpangan yang paling terkenal. Walaupun teori ini dimaksudkan
memberikan penjelasan umum tentang kejahatan, dapat juga diaplikasikan dalam
bentuk-bentuk penyimpangan lainnya. Sebenarnya setiap teori sosiologis tentang
penyimpangan mempunyai asumsi bahwa individu disosialisasikan untuk menjadi
anggota kelompok atau masyarakat secara umum. Sebagian teori lebih
menekankan proses belajar ini dari pada teori lainnya.
Sementara itu Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi mengungkapkan
Sosiologi sebagai ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan
proses-proses sosial termasuk perubahan sosial dan Soerjono Soekanto
mendefenisikannya sebagai ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi
kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola
umum kehidupan masyarakat.
Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai
perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian maka si
pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai,
maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia
yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang
belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun
6
misalnya semua golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi
berat ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat.
Tentang definisi dari kejahatan itu sendiri tidak terdapat kesatuan pendapat
diantara para sarjana. R. Soesilo mengemukakan, kejahatan adalah perbuatan atau
tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan
masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.
Sedangkan psikotropika adalah zat-zat yang dibuat dalam bentuk pil dan
obat yang mempengaruhi kesadaran karena sasaran obat tersebut adalah sistem
saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang). Sedangkan menurut UndangUndang Nomor 5 Tahun 1997, psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah
maupun sintetis bukan narkotika,yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan prilaku.
Masalah penyalahgunaan psikotropika di Indonesia membawa perubahanperubahan kultural sebagai konsekuensi medernisasi yang kita serap dari Negaranegara maju, yang umumnya mempengaruhi kehidupan manusia sebagai individu,
keluarga, masyarakat dan bangsa. Dengan bentuknya yang bercorak sekuler,
terdapat ketidakpastian fundamental di bidang hukum dan etika kehidupan
terhadap perubahan sosial ini dengan serba ketidakpastiannya. Tidak semua orang
mampu (terutama remaja) untuk menyesuaikan diri (adaptasi) yang pada
gilirannya memberi suatu konsekuensi logis dalam realitas dengan salah satu
bentuknya adalah penyalahgunaan psikotropika.
7
Penyalahgunaan psikotropika adalah kondisi yang dapat dikatakan sebagai
suatu
gangguan
jiwa,
sehingga
pengguna/penderita
tidak
lagi
mampu
memfungsikan diri secara wajar dalam masyarakat bahkan akan mengarah pada
prilaku maladaptif (kecemasan/ketakutan berlebihan). Kondisi ini memerlukan
perhatian secara serius yang tanggung jawabnya tidak hanya pada pelaksanaan
hukum semata, tetapi juga menuntut tanggung jawab moral masyarakat sebagai
cikal bakal pertumbuhan seseorang (mulai kanak-kanak hingga dewasa) agar
nilai-nilai moral etika kehidupan sebagai barometer terhadap apa yang layak atau
apa yang wajar maupun tidak wajar tetap terjaga.
Kejahatan psikotropika salah satu prilaku menyimpang yang banyak
terjadi dalam masyarakat saat ini. Bentuk-bentuk penyalahgunaan psikotropika,
seperti mengkonsumsi dengan dosis yang berlebihan, memperjual-belikan tanpa
izin serta melanggar aturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1997, tentang psikotropika. Aparat penegak hukum mengalami kesulitan
dalam mengatasai masalah penyalahgunaan psikotropika ini. Disisi lain masalah
peredaran dan penyalahgunaan ini merupakan perbuatan terlarang dan sangat
membahayakan bagi yang mengkonsumsinya. Disisi lain masih kurangnya aturan
yang memadai untuk menjaring para pelaku (baik pengedar maupun pengguna)
dan diharapkan dengan dikeluarkannya aturan baru yaitu mengenai Undangundang Narkotika Nomor 22 Tahun 1997 dan UU Psikotropika Nomor 5 Tahun
1997, masalah penggunaan Psikotropika yang dapat merugikan kehidupan
manusia dan kehidupan bangsa ini dapat diberantas.
8
Penyalahgunaan Psikotropika dapat dikategorikan sebagai kejahatan tanpa
korban (crime without victim). Pengertian kejahatan tanpa korban berarti
kejahatan ini tidak menimbulkan korban sama sekali, akan tetapi si pelaku sebagai
korban. Kejahatan yang secara kriminologi diartikan sebagai crime without victim
ini sangat sulit diketahui keberadaannya, karena mereka dapat melakukan aksinya
dengan sangat tertutup dan hanya diketahui orang-orang tertentu, oleh karena itu
sangat sulit memberantas kejahatan itu.
Penamaan ini sebenarnya merujuk kepada sifat kejahatan tersebut, yaitu
adanya dua pihak yang melakukan transaksi atau hubungan (yang dilarang)
namun pihak yang melakukan transaksi merasa tidak menderita kerugian atas
pihak lain (Moh. Taufik Makaro, Suhasril, Moh. Zakky, 2005:5). Kejahatan tanpa
korban biasanya hubungan antara pelaku dan korban tidak kelihatan akibatnya.
Dalam kejahatan ini tidak ada sasaran korban sebab semua pihak terlibat dan
termasuk dalam kejahatan tersebut. Peningkatan jumlah tindak pidana
psikotropika ini disebabkan karena dua hal, yaitu: pertama, bagi pengedar
menjanjikan keuntungan yang besar, sedangkan bagi para pemakai menjanjikan
ketenangan dan ketentraman hidup. Kedua, janji yang diberikan psikotropika itu
menyebabkan rasa takut terhadap resiko tertangkap menjadi berkurang, bahkan
sebaliknya akan menimbulkan rasa keberanian. Kedua hal di atas memberikan
kemungkinan terciptanya peredaran narkotika yang semakin meluas dan sulit
untuk diberantas.
9
Penegakan hukum terhadap tindak pidana psikotropika, telah banyak
dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapat putusan hakim.
Dengan demikian, penegakan hukum ini diharapkan mampu menjadi faktor
penangkal terhadap merebaknya perdagangan gelap serta peredaran narkotika dan
psikotropika, tapi dalam kenyataannya justru semakin intensif dilakukan
penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran serta perdagangan gelap
narkotika dan psikotropika tersebut. Ketentuan perundang-undangan yang
mengatur masalah psikotropika telah disusun dan diberlakukan, namun demikian
kejahatan yang menyangkut psikotropika ini belum dapat diredakan. Dalam
kasus-kasus terakhir telah banyak bandar-bandar dan pengedar narkoba tertangkap
dan mendapat sanksi berat, namun pelaku yang lain seperti tidak mengacuhkan
bahkan lebih cenderung untuk memperluas daerah operasinya.
Dalam kenyataannya, baik dirasakan atau tidak tetapi sangat jelas bahwa
banyak permasalahan yang ditimbulkan dari penyalahgunaan psikotropika yang
tidak sesuai dengan aturan serta prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah
baik melalui peraturan perundang-undangan serta peraturan pemerintah sudah
sangat parah karena sudah masuk menggerogoti institusi penegak hukum yaitu
kepolisian, hal ini terjadi di karenakan beberapa faktor yang senantiasa selalu
menjadi penunjang dalam penyalahgunaan psikotropika tersebut. Meskipun
demikian penyalahgunaannyapun masih terus dilakukan, bahkan terkesan adanya
kecenderungan peningkatan sampai dengan saat ini.
10
Ada beberapa faktor internal dan eksternal yang menjadi penyebab
individu menyalahgunakan dan menjadi ketergantungan terhadap narkotika dan
psikotropika. Menurut hasil penelitian Dadang Hawari, bahwa di antara faktorfaktor yang berperan dalam penggunaan narkotika dan psikotropika adalah faktor
kepribadian anti sosial dan psikopatik, kondisi kejiwaan yang mudah merasa
kecewa atau depresi, kondisi keluarga yang meliputi keutuhan keluarga,
kesibukan orang tua, hubungan orang tua dengan anak, kelompok teman sebaya,
dan narkotika dan psikotropika itu sendiri mudah diperoleh dan tersedianya
pasaran yang resmi maupun tidak resmi.
Upaya pencegahan dilakukan secara integral dan dinamis antara unsurunsur aparat dan potensi masyarakat, merupakan upaya yang terus menerus dan
berkesinambungan, untuk merubah sikap perilaku, cara berfikir dari kelompok
masyarakat yang sudah mempunyai kecenderungan menyalahgunakan serta
melakukan tindak pidana perdagangan dan peredaran gelap narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif. Upaya pencegahan yang dimaksudkan adalah untuk
menciptakan kesadaran, kewaspadaan dan daya tangkal terhadap bahaya-bahaya
dan memiliki kemampuan untuk menolak zat-zat berbahaya tersebut, untuk
selanjutnya dapat menentukan rencana masa depannya dengan hidup sehat,
produktif, kreatif dan bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya.
Kebijaksanaan internasional dalam menanggulangi penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya tetap mengacu
pada piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional yang ada. Indonesia
11
dalam menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap, psikotropika, dan zat
adiktif lain.
Upaya pencegahan penanggulangan dan peredaran zat-zat berbahaya
tersebut dapat dilakukan melalui berbagai jalur mulai dari jalur keluarga, jalur
pendidikan (formal dan informal), jalur lembaga-lembaga sosial swadaya
masyarakat, jalur lembaga-lembaga keagamaan, jalur kelompok-kelompok teman
bermain remaja/pemuda (seni, olahraga, keterampilan-keterampilan lain), jalur
organisasi kewilayahan, dipimpin oleh aparat RT, RW, LKMD, dan melalui
media massa, cetak, elektronik, film, maupun seni pentas tradisional.
Skema penanggulangan kejahatan dan pencegahan peredaran psikotropika:
Internal
Eksternal
Faktor
Penyebab
Keluarga
Teman
Tinjauan
Sosiologis
Kejahatan
Psikotropika
Lingkungan
Upaya
Preventive
Upaya
Pencegahan
Upaya
Represif
Upaya Preemptif
12
Harus disadari bahwa masalah penyalahgunaan psikotropika adalah suatu
problema yang sangat kompleks, oleh karena itu diperlukan upaya dan dukungan
dari semua pihak agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Terciptanya
kehidupan yang bebas dari narkotika dan psikotropika semuanya sangat
tergantung pada partisipasi semua pihak baik pemerintah, aparat keamanan,
keluarga, lingkungan maupun guru di sekolah, sebab hal tersebut tidak dapat
hilang dengan sendirinya meskipun telah dikeluarkan undang-undang yang
disertai dengan sanksi yang keras.
E. METODE PENELITIAN
1. Dasar dan tipe penelitian
Dasar penelitian yang akan digunakan adalah studi kasus yaitu penelitian
yang digunakan dan dilakukan secara intensif dan menjelaskan fakta secara
terinci, faktual, dan akurat.
Tipe penelitian yang digunakan bersifat deskriptif yaitu penelitian yang
bertujuan untuk memberikan gambaran umum dan penjelasan dengan berdasarkan
data-data dan informasi serta fakta – fakta yang terjadi di lokasi penelitian.
2. Waktu dan Lokasi penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan selama kurang lebih 1 (satu) bulan yakni
pada bulan Juni sampai Juli tahun 2011. Penelitian ini dilakukan
Makassar, khususnya di Kecamatan Tamalanrea.
13
di kota
3. Penentuan Informan
Informan ditetapkan dengan cara purposive sampling yaitu sampel yang
ditetapkan secara sengaja oleh peneliti dan dianggap mampu memberikan
informasi atau data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Adapun informan dalam
penelitian ini adalah dari masyarakat yang berkaitan dengan kejahatan
psikotropika dengan kriteria utama :

Pihak yang berkaitan langsung dengan permasalahan yaitu
pemakai dan pengedar psikotropika.

Aparat kepolisian sebagai stakeholder yang menjadi garda
terdepan dalam pemberantasan suatu tindak pidana utamanya
tindak pidana psikotropika.
4. Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dibedakan atas data primer
dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini merujuk pada data yang
langsung dari informan sedangkan data sekunder adalah data yang mendukung
data primer yaitu data yang didapatkan melalui dokumen-dokumennya yang
relevan dengan tujuan penelitian oleh karena itu, guna memperoleh data yang
akurat dan relevan maka
pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai
berikut:
a) Indepth Interview
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mengajukan
pertanyaan secara lisan dan langsung (bertatap muka) dengan anggota
14
kepolisian itu yang ditunjang oleh pedoman wawancara berdasarkan pada
daftar pertanyaan yang sudah disusun oleh peneliti sebelumnya.
b) Archivel Methode
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara penulis
mengambil data-data dari dokumen-dokumen atau arsip-arsip yang
diberikan oleh pihak-pihak yang relevan dengan permasalahan yang
dibahas.
c) Studi kepustakaan
Data yang secara langsung diperoleh dari sumbernya berupa
buku-
buku, internet, dan catatan tertulis.
5. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh atau yang dikumpulkan dalam penelitian ini, baik data
primer maupun data sekunder merupakan data yang sifatnya kualitatif, maka
teknik analisis data yang digunakan pun analisis kualitatif, dimana proses
pengolahan datanya yakni setelah data tersebut terkumpul dan dianggap telah
cukup, kemudian data tersebut diolah dan dianalisis secara deduktif yaitu dengan
berlandaskan kepada dasar-dasar pengetahuan umum meneliti persoalan yang
bersifat khusus, dari adanya analisis inilah kemudian ditarik suatu kesimpulan.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi
A.1 Pengertian Sosiologi
August comte, adalah bapak sosiologi dunia (the founding father of
sociology). Lahir di Mountpelier, prancis 19 januari 1798, ia merupakan orang
pertama yang menggunakan istilah sosiologi. August comte memikirkan
bagaimana kaidah ilmu pengetahuan alam (fisika) dapat diterapkan dalam ilmu
sosial. Menurut comte, jika pegetahuan alam yang ilmiah dapat menghasilkan
kemajuan di bidang sosial. Melalui pemikirannya itu, lahirlah fisika sosial, atau
yang lebih dikenal sebagai sosiologi. Comte mengembangkan sosiologi untuk
merespon kekacauan yang timbul akibat revolusi yang terjadi di Eropa saat itu.
Melalui sosiologi, perubahan sosial diharapkan terjadi lebih damai karena
sosiologi merupakan ilmu yang sangat penting untuk mengatur kehidupan sosial.
August comte juga dikenal memiliki daya ingat yang luar biasa. Ia mampu
menceritakan kembali kata-kata yang tertulis hanya dengan sekali membaca.
Namun, di akhir hidupnya comte mengalami gangguan mental besar dan
berkhayal sebagai pendeta agama baru kemanusiaan. (sumber : Ritzer, 2004: 19)
Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman
sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini dipublikasikan
diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours De Philosophie
Positive" karangan August Comte (1798-1857). Walaupun banyak definisi tentang
16
sosiologi namun umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang
masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan,
memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Sosiologi hendak
mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia
dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Sebagai sebuah ilmu,
sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil
pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.
Berikut, beberapa defenisi sosiologi yang dikemukakan oleh beberapa
sosiolog dunia.

Pitrim Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang
mempelajari :
i.
Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejalagejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama;
keluarga dengan moral; hukum dengan ekonomi; gerak masyarakat
dengan politik; dan lain sebagainya);
ii.
Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan
gejala-gejala non-sosial (misalnya gejala geografis, biologis, dan
sebagainya);
iii.

Ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial.
Roucek dan Warren mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari hubungan antar manusia dan kelompok-kelompok.
17

William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff berpendapat bahwa sosiologi
adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya adalah
organisasi sosial.

J. A.A van Doorn dan C.J. Lammers berpendapat bahwa sosiologi adalah
ilmu
pengetahuan
tentang
struktur-struktur
dan
proses-proses
kemasyarakatan yang bersifat stabil.

Selo Sumardjan dan Soelaeman soemardi meyatakan bahwa sosiologi atau
ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan prosesproses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.
A.2 Objek Kajian Sosiologi
Kajian Sosiologi sebagai disiplin ilmu baru muncul sejak pengkajian
masyarakat lepas dari pengaruh filsafat, yaitu sejak Emile Durkheim merintis
kajian mengenai realitas sosial dengan menggunakan penelitian ilmiah. Sebagai
suatu ilmu, sosiologi tidak lagi mendasarkan pembicaraannya pada dugaandugaan, firasat, dan coba-coba.
Hasil pemikiran ilmiah terbukti sebaliknya, sebab keluarga yang memiliki
banyak anak beban hidupnya semakin besar dan sulit untuk mencukupi
kebutuhannya. Emile Durkheim menjelaskan, bahwa objek studi sosiologi adalah
fakta atau realitas sosial. Fakta sosial menurut Durkheim, harus dipelajari melalui
kegiatan penelitian. Salah satu realitas sosial adalah kelompok-kelompok dalam
masyarakat. Sosiologi mempelajari masyarakat dan perilaku sosial manusia
18
dengan meneliti kelompok yang dibangunnya. Kelompok yang dibangun manusia
dalam kehidupannya di masyarakat dapat berupa keluarga, suku bangsa,
komunitas dan pemerintahan, organisasi sosial, organisasi keagamaan, organisasi
politik, organisasi bisnis, dan lain-lain. Tindakan dalam interaksi antar kelompok,
asal-usul pertumbuhan kelompok, dan pengaruh kegiatan kelompok terhadap
anggotanya juga tidak lepas dari kajian sosiologi.
Max Weber berpendapat, bahwa pokok pembicaraan sosiologi adalah
tindakan sosial. Tidak semua tindakan manusia tergolong tindakan sosial.
Tindakan yang berorientasi kepada orang lainlah yang termasuk tindakan sosial.
Ini berarti, bahwa sosiologi mempelajari interaksi manusia yang satu dengan
manusia yang lain (interaksi sosial). Interaksi sosial dapat menyebabkan
terjadinya perubahan sosial, sehingga kajian Sosiologi juga merupakan kajian
mengenai proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Weber berpendirian bahwa hanya individu-individu yang nyata secara
obyektif, dan masyarakat hanyalah satu nama yang menunjuk pada sekumpulan
individu-individu. Weber juga menambahkan, bahwa seorang individu dan
tindakannya sebagai satuan dasar. Pemikiran seperti ini juga tampak jelas pada
konsep yang diajukan Karl Marx (1818-1883) yang menganggap bahwa sejarah
manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Marx berpendapat bahwa akibat
kapitalisme, masyarakat Eropa terbagi ke dalam dua kelas, yaitu kelas kaum
borjuis yang menguasai semua aset produksi, dan kelas kaum proletar yang
miskin dan tertindas. Oleh karena itu, Marx menyarankan agar kaum proletar
19
berjuang untuk mendobrak ketidakadilan melalui sebuah perjuangan untuk
menciptakan masyarakat tanpa kelas.
Berdasarkan pandangan-pandangan
di
atas,
Alex
Inkeles
(1965)
memadukan berbagai konsep tersebut, sehingga Kajian Sosiologi dikatakan
sebagai ilmu yang mempelajari hubungan sosial, institusi sosial, dan masyarakat.
Semakin lama objek yang dikaji sosiologi semakin meluas, sehingga Pitirim A.
Sorokin menyatakan bahwa sosiologi mempelajari tiga aspek sebagai berikut.
a. Sosiologi mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka
macam gejala-gejala sosial, misalnya antara gejala ekonomi dengan
agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat
dengan politik, dan sebagainya.
b. Sosiologi mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala
sosial dengan gejala nonsosial, misalnya gejala geografis, gejala biologis,
dan sebagainya.
c. Sosiologi juga mempelajari ciri-ciri umum dari semua jenis gejala sosial.
Dua orang sosiolog Indonesia, yaitu Selo Sumardjan dan Soelaeman
soemardi menjelaskan lebih rinci pemahaman mengenai sosiologi.
Menurut mereka, sebagai ilmu kemasyarakatan, sosiologi mempelajari
struktur dan proses sosial, termasuk perubahan sosial. Struktur sosial adalah
keseluruhan jalinan antara unsur-unsur pokok dalam masyarakat. Unsur-unsur
pokok
dalam
masyarakat
itu
meliputi
kaidah-kaidah
(norma-norma
kemasyarakatan), Lembaga-lembaga, kelompok-kelompok, serta lapisan-lapisan
20
dalam masyarakat. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi
kehidupan bersama, misalnya pengaruh timbal balik antara kehidupan ekonomi
dengan kehidupan politik, antara hukum dengan kehidupan beragama, antara
aspek kehidupan beragama dengan masalah ekonomi, dan sebagainya.
Sebuah konsep pemikiran lain yang lebih rinci, sehingga membuat kajian
sosiologi bersinggungan dengan berbagai cabang ilmu lain disampaikan oleh
Hassan Shadily dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Masyarakat Indonesia. Di
dalam bukunya, Shadily menjelaskan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang
mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan
antarmanusia yang menguasai kehidupan; dengan mencoba mengerti sifat dan
maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh; serta berubahnya
perserikatan-perserikatan, kepercayaan dan keyakinan. Untuk menganalisis cara
hidup dan bergaul manusia perlu dipelajari sifat-sifat biologi manusia, seperti
perasaan lapar, sakit, takut, dan kebutuhan seks yang lebih banyak diatur oleh
peradaban masyarakat. Analisis seperti ini, akhirnya melahirkan cabang-cabang
sosiologi sebagai berikut:
a. Kriminologi, mengkaji tindak kriminal dan penyebabnya serta usaha-usaha
pengembangan berbagai metode pencegahan kejahatan;
b. Demografi, mempelajari bentuk, komposisi dan persebaran populasi
manusia;
c. Ekologi manusia, mempelajari struktur lingkungan perkotaan dan polapola penempatan dan pertumbuhan penduduknya;
21
d. Ekologi politik, mempelajari cara-cara seseorang mendapatkan dan
menggunakan kekuasaan dalam suatu sistem politik, termasuk munculnya
berbagai gerakan politik;
e. Psikologi sosial, mempelajari tingkah laku sosial yang dilakukan oleh
individu dan hubungannya dengan individu lain dalam suatu masyarakat;
f. Sosiolinguistik, mempelajari cara manusia menggunakan bahasa dalam
berbagai situasi masyarakat.
B. Kejahatan
Sosiolog berpendapat bahwa kejahatan disebabkan karena kondisi-kondisi
dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial
lainnya. Analisis terhadap kondisi dan proses-proses tersebut menghasilkan dua
kesimpulan, yaitu pertama terdapat hubungan antara variasi angka kejahatan
dengan variasi organisasi-organisasi sosial dimana kejahatan tersebut terjadi.
Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan bentuk-bentuk dan
organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi. Maka, angkaangka kejahatan masyarakat, golongan-golongan masyarakat dan kelompokkelompok sosial mempunyai hubungan dengan kondisi-kondisi dan proses-proses.
Misalnya, gerakan sosial, persaingan serta pertentangan kebudayaan, ideologi
politik, agama, ekonomi dan seterusnya.
Kedua, para sosiolog berusaha untuk menentukan proses-proses yang
menyebabkan seseorang menjadi penjahat. Analisis ini bersifat sosial psikologis.
Beberapa orang ahli menekankan pada beberapa bentuk proses seperti imitasi,
22
pelaksana peranan sosial, asosiasi diferensial, kompensasi, identifikasi, konsepsi
diri pribadi (selfconception) dan kekecewaan yang agresif sebagai proses-proses
yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat. Sehubungan dengan pendekatan
sosiologis tersebut diatas, dapat dikemukakan teori-teori sosiologis tentang
prilaku jahat. Salah satu diantara sekian teori-teori tersebut adalah dari E.H.
Sutherland yang mengatakan bahwa seseorang berperilaku jahat dengan cara yang
sama dengan perilaku yang tidak jahat. Artinya, perilaku jahat dipelajari dalam
interaksi dengan orang-orang lain, dan orang tersebut mendapatkan perilaku jahat
sebagai hasil interaksi yang dilakukannya dengan orang-orang berperilaku dengan
kecenderungan melawan norma-norma hukum yang ada. Sutherland menyebunya
sebagai proses proses asosiasi yang diferensial (differential association), karena
apa yang dipelajari dalam proses tersebut sebagai akibat interaksi dengan polapola perilaku yang jahat, berbeda dengan apa yang dipelajari dalam proses
interaksi dengan pola-pola perilaku yang tidak suka pada kejahatan. Apabila
seseorang menjadi jahat, maka hal itu disebabkan orang tadi mengadakan kontak
dengan pola-pola perilaku jahat dan juga karena dia mengasingkan diri terhadap
pola-pola perilaku yang tidak menyukai kejahatan tersebut.
Selanjutnya diakatakan bahwa bagian pokok dari pola-pola perilaku jahat
tadi dipelajari dalam kelompok-kelompok kecil yang bersifat intim. Alat-alat
komuniksai seperti buku, surat kabar, film, televisi, radio memberikan pengaruhpengaruh tertentu yaitu dalam memberikan sugesti kepada orang perorangan
untuk menerima atau menolak pola-pola perilaku jahat.
23
Sutherland (Principles of Criminology. 1960), berpendapat bahwa
kelakuan yang bersifat jahat (Criminal behavior) adalah kelakuan yang melanggar
Undang-Undang/hukum pidana. Bagaimanapun im-moril nya atau tidak patutnya
suatu perbuatan, ia bukan kejahatan kecuali bila dilarang oleh UndangUndang/hukum pidana.
Sutherland (1960) mencoba pula untuk memberikan defenisi dalam
istilah/arti sosial (dan bukan dalam arti hukum) mengenai kejahatan. Kejahatan
dalam arti ini mengandung 3 unsur :
1. Adanya suatu nilai (value) yang diterima oleh suatu kelompok atau
sebagian dari kelompok yang secara politis penting.
2. Adanya isolasi atau adanya culture conflict pada bagian lain dari
kelompok ini, sehingga anggota-anggotanyatidak atau kurang
menerima nilai (value) tersebut sehingga dapat membahayakannya.
3. Adanya suatu paksaan dari golongan yang menerima nilai tersebut
terhadap golongan yang tidak menerima nilai tersebut.
Sutherland menekankan bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah prilaku
yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan yang merugikan negara
dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman sebagai upaya
pamungkas. Dalam pengertian yuridis membatasi kejahatan sebagai perbuatan
yang telah ditetapkan oleh negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan
diancam dengan suatu sanksi.
24
Dari sudut pandang masyarakat (a crime from the social point of view).
Batasan kejahatan dari sudut pandang ini memandang kejahatan sebagai setiap
perbuatan yang melanggar norma-norma yang masih hidup di dalam masyarakat.
Secara sosiologis kejahatan merupakan suatu prilaku manusia yang
diciptakan oleh masyarakat. Walaupun masyarakat memiliki berbagai macam
perilaku yang berbeda-beda, akan tetapi ada di dalamnya bagian-bagian tertentu
yang memiliki pola yang sama. Keadaan ini dimungkinkan oleh karena adanya
sistem kaedah dalam masyarakat.
Gejala yang dinamakan kejahatan pada dasarnya terjadi di dalam proses
dimana ada interaksi sosial antara bagian-bagian dalam masyarakat yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perumusan tentang kejahatan dengan
pihak-pihak mana yang memang melakukan kejahatan.
Adapun unsur-unsur pokok untuk menyebut sesuatu perbuatan kejahatan,
yaitu:
1. Ada perbuatan yang menimbulkan kerugian (harm)
2. Kerugian yang ada tersebut telah diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP).
3. Harus ada perbuatan (Criminal act)
4. Harus ada maksud jahat (Criminal intent = mens rea)
5. Ada peleburan antara maksud jahat dan perbuatan jahat.
6. Harus ada perbauran antara kerugian yang telah diatur di dalam
KUHP dengan perbuatan.
7. Harus ada sanksi pidana yang mengancam perbuatan tersebut.
25
Dari ketujuh unsur pokok tersebut, ada 3 unsur terpenting, yakni kerugian,
maksud jahat, dan perbuatan.
B.1 Penyebab Timbulnya Kejahatan
Masyarakat modern yang sangat kompleks dapat menumbuhkan aspirasiaspirasi materiil yang tinggi dan sering disertai ambisi-ambisi sosial yang tidak
sehat. Kebutuhan akan pemenuhan materiil tanpa mempunyai kemampuan untuk
mencapainya dengan wajar mendorong terjadinya tindakan, dengan kata lain
apabila harapan tidak sesuai dengan kenyataan akan menimbulkan masalah.
Defenisi kejahatan dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama dari
sudut pandang hukum yang memandang kejahatan sebagai tingkah laku yang
melanggar hukum pidana. Kedua dari sudut pandang sosiologis yang berpendapat
bahwa kejahatan adalah setiap perbuatan yang melanggar norma-norma yang
masih hidup di dalam masyarakat. (A.S Alam & Hasbi, 2005:2).
Secara sosiologis kejahatan disebabkan karena adanya disorganisasi sosial.
Artinya, dengan adanya disorganisasi sosial ini dapat mengakibatkan runtuhnya
fungsi
para
pengontrol
dari
lembaga/institusi
sosial
dan
memberikan
kemungkinan pada individu-individu untuk bertingkah laku sesuai dengan
keinginannya tanpa ada kendali, kontrol, dan tanpa penggunaan pola susila
tertentu. Dengan hilangnya fungsi kontrol tadi mengakibatkan disorganisasi dalam
masyarakat, dimana norma-norma institusional kehilangan efektifnya.
Ditinjau dari sudut pandang sosiologi, terdapat beberapa pendekatan yang
menjelaskan sebab-sebab terjadinya kejahatan. Pendekatan pertama menjelaskan
bahwa individu yang disosialisir secara kurang tepat tidak dapat menyerap norma-
26
norma kultural ke dalam kepribadiannya Karena tidak mampu membedakan
perilaku yang pantas dan kurang pantas menurut peradaban. Pendektan kedua
menjelaskan kejahatan adalah akibat dari ketegangan yang terjadi antara
kebudayaan dan struktur sosial suatu masyarakat. Sedangkan pendekatan ketiga
menjelaskan individu melakukan kegiatan kejahatan karena belajar dari perbuatan
kejahatan sebelumnya.
Pada umumnya faktor penyebab kejahatan terdapat tiga kelompok
pendapat (Gosita, 2004:143) yaitu:
a) Pendapat bahwa kriminlitas itu disebabkan karena pengaruh yang terdapat
di luar diri pelaku.
b) Pendapat bahwa krimnalitas merupakan akibat dari bakat jahat yang
terdapat di dalam diri pelaku sendiri.
c) Pendapat yang menggabungkan, bahwa kriminalitas itu disebabkan baik
karena pengaruh di luar pelaku maupun karena sifat atau bakat si pelaku.
Klasifikasi kejahatan yang dilakukan oleh ahli-ahli sosiologi, terbagi atas:
a) Violent personel crime (kejahatan kekerasan terhadap orang). Contoh:
pembunuhan (murder), penganiayaan (assault), pemerkosaan (rape).
b) Occasional property crime (kejahatan harta benda karena kesempatan).
Contoh: pencurian kendaraan bermotor, pencurian di toko-toko besar.
c) Occupational crime (kejahatan karena kedudukan/jabatan). Contoh: white
collar crime, seperti korupsi.
27
B.2 Teori-teori tentang Kejahatan dari Perspektif Sosiologis
Teori-teori sosiologis mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka
kejahatan di dalam lingkungan sosial. Teori-teori ini dapat dikelompokkan
menjadi tiga kategori umum, yaitu: strain, cultural deviance (penyimpangan
budaya), dan sosial control (kontrol sosial). (Topo Santoso, Eva Achjani S
2001:55).
Perspektif strain dan penyimpangan budaya, terbentuk antara 1925 dan
1940. Teori-teori strain dan penyimpangan budaya memusatkan perhatian pada
kekuatan-kekuatan sosial (sosial forces) yangmenyebabkan orang melakukan
aktivitas kriminal. Sebaliknya, teori kontrol sosial mempunyai pendekatan
berbeda: teori ini berdasarkan satu asumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan
merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai konsekuensinya, teori kontrol
sosial mencoba menemukan jawaban mengapa orang tidak melakukan kejahatan.
Teori-teori kontrol sosial mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan
lembaga-lembaga sosial membuat aturan-aturannya efektif.
a) Teori Strain
Menurut Durkheim satu cara dalam mempelajari masyarakat adalah
melihat pada bagian-bagian komponennya dalam usaha mengetahui bagaimana
masing-masing berhubungan satu sama lain. Dengan kata lain, jika masyarakat itu
stabil, bagian-bagiannya beroperasi secara lancar susunan-susunan sosial
berfungsi. Maka masyarakat seperti itu ditandai oleh keterpaduan, kerjasama, dan
kesepakatan. Namun, jika bagian-bagian komponennya tertata dalam keadaan
yang membahayakan keteraturan/ketertiban sosial, susunan masyarakat itu
28
dysfunctional (tidak berfungsi). Dalam konteks inilah Durkheim memperkenalkan
istilah anomie (hancurnya keteraturan sosial sebagai akibat hilangnya patokanpatokan dan nilai-nilai). (Topo S & Eva A. S, 2001:56-57)
b) Teori Penyimpangan Budaya (cultural deviance theories)
Teori ini memandang kejahatan sebagai seperangkat nilai-nilai yang khas
pada lower class (kelas bawah). Tiga teori utama dari cultural deviance theories
adalah sebagai berikut:
1. Theory Sosial Disorganization
Teori ini memfokuskan diri pada perkembangan area-area yang angka
kejahatannya tinggi yang berkaitan dengan disintegrasi nilai-nilai konvensional
yang disebabkan oleh industrialisasi yang cepat, peningkatan imigrasi, dan
urbanisasi. (Topo S & Eva A. S, 2001:65).
2. Theory Differential Association
Teori ini berpendapat bahwa orang belajar melakukan kejahatan sebagai
akibat hubungan dengan nilai-nilai dan sikap-sikap anti sosial, serta pola-pola
tingkah laku . (Topo S & Eva A. S, 2001:66)
3. Theory Culture Conflict
Teori ini menegaskan bahwa kelompok-kelompok yang berlainan belajar
conduct norms (aturan-aturan yang mengatur tingklah laku) yang berbeda, dan
bahwa conduct norms dari suatu kelompok mungkin berbenturan dengan aturanaturan konvensional kelas menengah. (Topo Santoso, Eva Achjani S, 2001:66)
29
Ketiga teori diatas sepakat bahwa penjahat dan delinquent pada
kenyataannya menyesuaikan diri bukan pada nilai konvensional melainkan pada
norma-norma yang menyimpang dari nilai-nilai kelompok dominan.
c) Teori Kontrol Sosial
Menurut teori ini penyimpangan merupakan hasil dari kekosongan kontrol
atau pengendalian sosial. Teori ini dibangun atas dasar pandangan bahwa setiap
manusia cenderung untuk tidak patuh pada hukum. Oleh karena itu, para ahli
teori ini menilai perilaku menyimpang adalah konsekuensi logis dari kegagalan
seseorang untuk mentaati hukum.
B.3 Teori-teori tentang Kejahatan dari Perspektif lainnya
Teori-teori dari perspektif lainnya ini merupakan suatu alternatif
penjelasan terhadap kejahatan. Para penganut teori menjelaskan kejahatan dengan
melihat kepada sifat-sifat pelaku atau kepada sosial. Mereka justru berusaha
menunjukkan bahwa orang menjadi
bukan karena cacat/kekurangan internal
tetapaiu karena apa yang dilakukan oleh orang-orangyang berada dalam
kekuasaan, khususnya mereka yang berada dalam sistem peradilan pidana. Berikut
beberapa teori dari perspektif lain tentang kejahatan:
1. Teori Sosialis
Teori ini mengatakan bahwa
penyimpangan sebagai hasil dari proses
belajar. Menurut Sutherland penyimpangan adalah konsekuensi dari kemahiran
dan penguasaan atas sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang
menyimpang, terutama dari subkultural atau berada di lingkungan yang
menyimpang.
30
Dan teori Asosiasi diferensial dapat diterapkan untuk menganalisis:
 Organisasi sosial atau subkultur
 Penyimpangan perilaku di tingakat individual
 Perbedaan norma-norma yang menyimpang ataupun yang tidak,
terutama pada kelompok atau asosiasi berbeda.
2. Teori Labelling
Teori Labelling menjelaskan penyimpangan terjadi ketika itu sudah
samapai pada tahap penyimpangan sekunder. Dalam penjelasannya teori ini
menggunakan pendekatan interaksionalisme yang tertarik pada konsekuensikonsekuensi dari interaksi antara si penyimpang dan masyarakat biasa. Teori ini
menekankan pada pentingnya defenisi-defenisi sosial dan sanksi-sanksi sosial
negative yang dihubungkan dengan tekanan-tekanan individu untuk masuk dalam
tindakan yang lebih menyimpang. (Topo Santoso, Eva Achjani S, 2001:96).
B.4 Upaya Penanggulangan Kejahatan
Kejahatan merupakan gejala sosial yang senantiasa dihadapi oleh setiap
masyarakat di dunia ini. Kejahatan dalam keberadaannya dirasakan sangat
meresahkan, disamping itu juga mengganggu ketertiban dan ketentraman dalam
masyarakat berupaya semaksimal mungkin untuk menanggulangi kejahatan
tersebut.
Upaya penanggulangan kejahatan telah dan terus dilakukan oleh
pemerintah maupun masyarakat. Berbagai program dan kegiatan telah dilakukan
sambil terus menerus mecari cara paling tepat dan efektif untuk mengatasi
masalah tersebut.
31
Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal ini pun tidak
terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial yang terdiri dari
kebijakan/ upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan/upaya-upaya
untuk perlindungan masyarakat. (Barda Nawawi Arief (2007:77)
Kebijakan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan menggunakan
sarana ”penal” (hukum pidana), maka kebijakan hukum pidana khususnya pada
tahap kebijakan yudikatif harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya
tujuan dari kebijakan social itu berupa ”social welfare” dan “social defence”.
(Barda Nawawi Arief (2007:77)
Lain halnya menurut Baharuddin Lopa (2001:16) bahwa “upaya dalam
menanggulangi kejahatan dapat diambil beberapa langkah-langkah terpadu,
meliputi
langkah
penindakan
(represif)
disamping
langkah
pencegahan
(preventif).”
Langkah-langkah preventif menurut Baharuddin Lopa, (2001:16-17) itu
meliputi :
a) Peningkatan kesejahteraan rakyat untuk mengurangi pengangguran, yang
dengan sendirinya akan mengurangi kejahatan.
b) Memperbaiki sistem administrasi dan pengawasan untuk mencegah
terjadinya penyimpangan-penyimpangan.
c) Peningkatan penyuluhan hukum untuk memeratakan kesadaran hukum
rakyat.
32
d) Menambah personil kepolisian dan personil penegak hukum lainnya untuk
lebih meningkatkan tindakan represif maupun preventif.
e) Meningkatan ketangguhan moral serta profesionalisme bagi para
pelaksana penegak hukum.
Solusi preventif adalah berupa cara-cara yang cenderung mencegah
kejahatan. Solusi supresif adalah cara-cara yang cenderung menghentikan
kejahatan sudah mulai, kejahatan sedang berlangsung tetapi belum sepenuhnya
sehingga kejahatan dapat dicegah. Solusi yang memuaskan terdiri dari pemulihan
atau pemberian ganti kerugian bagi mereka yang menderita akibat kejahatan.
Sedangkan solusi pidana atau hukuman juga berguna, sebab setelah kejahatan
dihentikan pihak yang dirugikan sudah mendapat ganti rugi, kejahatan serupa
masih perlu dicegah entah dipihak pelaku yang sama atau pelaku lainnya.
Menghilangkan kecendrungan untuk mengulangi tindakan adalah suatu reformasi.
Solusi
yang
berlangsung
kerena
rasa
takut
disebut
hukuman.
Entah
mengakibatkan ketidakmampuan fisik atau tidak, itu tergantung pada bentuk
hukumannya.
Hal tersebut terkait dengan pandangan Jeremy Bentham (2006:307) bahwa
yang mengemukakan bahwa “Tujuan hukuman adalah mencegah terjadinya
kejahatan serupa, dalam hal ini dapat memberi efek jera kepada pelaku dan
individu lain pun untuk berbuat kejahatan”.
Kejahatan adalah suatu persoalan yang selalu melekat dimana masyarakat
itu ada. Kejahatan selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu
berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun.
33
Segala daya upaya dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan atau
menguranagi meningkatnya jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agar
dapat kembali sebagai warga masyarakat yang baik. Masalah pencegahan dan
penanggulangan kejahatan, tidaklah sekedar mengatasi kejahatan yang sedang
terjadi dalam lingkungan masyarakat, tapi harus diperhatikan pula, atau harus
dimulai dari kondisi yang menguntungkan bagi kehidupan manusia. Perlu digali,
dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi
masyarakat dalam upaya untuk menanggulangi kejahatan. Hal itu menjadi tugas
dari setiap kita, karena kita adaIah bagian dari masyarakat.
C. Pengertian Psikotropika dan Jenis-jenisnya
C.1 Pengertian Psikotropika
Psikotropika adalah obat yang bekerja pada atau mempengaruhi fungsi
psikis, kelakuan atau pengalaman (WHO,1966). Obat psikotropika memiliki efek
yang sangat luas. Istilah psikotropika mulai banyak di pergunakan pada Tahun
1971.
Menurut Hidayat sastrowardoyo (Hari Sasangka 2003:34) didalam
farmakologi, obat-obat psikotropika digolongkan:
a. Obat-obat yang menekan fungsi-fungsi psikis tertentu disusunan syaraf pusat
(SSP).
1. Obat golongan neuroleptika
Disebut juga obat antipsikotika adalah obat-obat yang menekan fungsifungsi psikis tertentu,tanpa menekan fungsi- fungsi umum seperti berfikir dan
berkelakuan normal. Obat-obat ini dapat meredakan emosi dan agresi, dapat pula
34
menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa seperti tipuan-tipuan dan pikiranpikiran khayal (halusinasi) serta menormalisasi kelakuan-kelakuan yang tidak
normal.
2. Obat yang tergolong transquilizer
Adalah obat-obat penenang yang berkhasiat selektif terhadap terutama
bagian otak yang menguasai emosi-emosi kita, yakni sistim limbis.
b. Obat-obat yang menstimulir (merangsang) fungsi-fungsi tertentu disusunan
syaraf pusat (SSP).
1. Obat golongan anti depresiva
Adalah obat-obat yang dapat memperbaiki suasana jiwa (“mood”) dan
dapat menghilangkan atau meringankan gejala-gejala murung,yang disebabkan
oleh kesulitan-kesulitan sosial,ekonomi,obat atau penyakit.
2. Obat golongan psikostimulansia
Obat-obat ini berkhasiat mempertinggi inisiatif, kewaspadaan serta prestasi
fisik dan mental,rasa letih dan kantuk ditangguhkan.suasana jiwa dipengaruhi silih
berganti, sering kali terjadi euhporia (rasa nyaman),tak jarang disforia (rasa tak
nyaman) bahkan depresi tak layak digunakan sebagai anti depresivum.Termasuk
kelompok ini adalah amfetamin-amfetamin,metilvanidad,fenkamin dan juga
kofein (lemah).
Menurut Sardjono. O. Santoso dan Metta Sinta Sari Wiria, (Hari Sasangka
2003:68), pembagian psikotropika yang lain adalah:
c. Obat anti psikosis (minor transquilizer, neuroleptik);
d. Obat anti antiensietas / anti kecemasan (minor transquilizer, antineurosis);
35
e. Obat anti depresi;
f. Obat psikotogenik, yaitu obat yang dapat menimbulkan kelainan tingkah laku,
disertai halusinasi, ilusi, gangguan cara berfikir dan perubahan alam perasaan.
Obat ini kadang-kadang disebut obat halusinogen.
Pasal 3 UU No.5 Tahun 1997, disebutkan lebih lanjut, bahwa tujuan
pengaturan Psikotropika adalah:
1. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan
ilmu pengetahuan;
2. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
3. Memberantas peredaran gelap psikotropika.
Pasal 1 angka 1 UU No.5 tahun 1997 pengertian psokotropika terdapat
dalam Bab 1 Ketentuan Umum ,bahwa : Psikotropika adalah zat atau obat, baik
alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas
pada aktivitas mental dan perilaku.
C.2 Jenis-jenis Psikotropika
1. STIMULAN
Dalam Farmakologi menurut M. Ridha Ma’roef (1976:45) bahwa
“Golongan stimulansia adalah obat-obat yang mengandung zat-zat yang
merangsang terhadap otak dan syaraf, obat-obat tersebut digunakan untuk daya
konsentrasi dan aktivitas mental dan fisik”.
36
Adapun obat-obatan yang termasuk stimulan antara lain sebagai berikut :
a. Amphetamine (Amfetamin)
Menurut M. Ridha Ma’roef (1976 : 46) Bahwa “Amfetamin ditemukan
oleh OGATO dari jepang pada tahun 1919. Amfetamin pertama kali di gunakan
sebagai obat asma, yang pada waktu iu untuk menggantikan Ephedrine”.
Lanjut menurut M. Ridha Ma’roef (1976: 46) bahwa Kegunaan amfetamin
dalam medis adalah :
1. Untuk gangguan pemusatan perhatian / hipersensitivitas pada anak.
2. Untuk gangguan depresi
3. Untuk menghilangkan rasa lelah
4. Untuk mencegah serta menghilangkan rasa shock pembedahan
5. Untuk mengurangi nafsu makan.
Karena amfetamin mempunyai efek samping yang tidak menguntungkan
seperti: memperbanyak suasana jiwa bahkan depresi setelah pemakaian dan
bersifat adiktif (membuat ketergangtungan), maka penggunaan sebagai anti
depresi tidak di anjurkan.
b. Ecstacy
Ecstacy merupakan salah satu jenis psikotropika yang bekerja sebagai
perangsang. Zat tersebut banyak disalah gunakan di Indonesia terutama oleh
kelompok remaja dan kalangan eksekutif.
Menurut M. Ridha Ma’roef (1976 : 49) bahwa : Ecstacy berbentuk tablet,
kapsul atau serbuk. Dalam penggunaannya bisa diminum dengan air atau dihirup
37
lewat hidung. Setelah 40 menit setelah ditelan, obat ini langsung menyerang
susunan syaraf pusat (SSP), yang menyebabkan perubahan pada aktivitas mental
dan perilaku. Ecstacy membuat pemakai merasa percaya diri, riang, dan merasa
gembira. Karena ecstacy dibuat dengan bahan dasar amfetamin, maka efek dan
akibat yang ditimbulkan juga mirip dengan amfetamin.
c. Shabu
Nama shabu adalah nama julukan terhadap zat Metamfetamin, yang
mempunyai sifat stimulansia (peransang) SPP yang lebih kuat dibanding turunan.
Nama shabu adalah nama julukan terhadap zat Metamfetamin, yang mempunyai
sifat stimulansia (peransang) SPP yang lebih kuat dibanding turunan Amfetamin
yang lain. Penyebaran shabu yang marak Karena obat ini bisa dibuat dengan
mudah di laboratorium-laboratorium illegal dari bahan-bahan yang relative murah.
Cara penggunaan shabu adalah: Karena shabu mudah hancur pada suhu
tertentu, sehingga cara pemakaiannya sering diuapkan atau dihisap. Pemakaian
yang unik, yakni dibakar di atas kertas timah dan dihisap melalui alat yang disebut
“Bong”. Cara lain dengan dirokok sebagai campuran tembakau, suntikan atau
dihirup melalui hidung. Dengan cara ini, zat akan diserap di paru-paru dan efek
yang ingin dicapai (high) akan bertahan lebih lama.
Di samping efek yang menyenangkan menurut M. Ridha Ma’roef (1976 :
52) bahwa pemakaian shabu sering menyebabkan pemakai :
a. Bertindak agresif, kasar dan menyerang;
b. Cemas, depresi, bingung dan sulit tidur;
c. Lama tidurnya, kerap jungkir balik, semalaman tidak tidur, siang baru tidur;
38
d. Paranoid atau kecurigaan yang tidak berdasar.
Lanjut menurut M. Ridha Ma’roef (1976 : 52) Dalam jangka panjang
penggunaan shabu akan menimbulkan :
a. Gangguan serius pada kejiwaan dan mental;
b. Jantung (denyut jantung tidak teratur);
c. Pembuluh darah rusak.
2.
DEPRESIVA
Menurut M. Ridha Ma’roef (1976: 56) bahwa “depresiva adalah obat-
obatan yang bekerja mempengaruhi otak dan SPP yang didalam pemakaiannya
dapat menyebabkan timbulnya depresi pada si pemakai”.
Efek yang dicari dalam penggunaan depresiva adalah rasa susah hilang,
ada rasa tenang dan nyaman yang kemudian mungkin membuat seseorang tidur.
Di dalam medis menurut M. Ridha Ma’roef (1976: 56) biasanya obat-obat
depresiva dipergunakan untuk:
1.
Membuat tenang pasien, karena mengurangi rasa cemas (gelisah) dan
meredakan ketegangan emosi dan jiwa;
2.
Membantu pasien untuk memudahkan tidur;
3.
Membantu dalam proses penyembuhan darah tinggi;
4.
Pengobatan pasien dalam kasus epilepsy (ayan).
Adapun obat-obatan yang biasa dilihat dan termasuk jenis depresiva
adalah sebagai berikut:
39
a. Barbitura
Menurut M. Ridha Ma’roef (1976 : 56) bahwa
Barbitura Berfungsi menekan/depresi terhadap SSP, semua tingkat depresi dapat
dicapai, mulai dari sedasi (meredakan), hypnosis (menidurkan), berbagai tingkat
anaestesi (membuat tidak sadar), koma (pingsan) sampai kematian.
Lebih lanjut Menurut M. Ridha Ma’roef (1976 : 57) Penggunaan barbitura
dalam medis untuk :
1) Sebagai obat tidur;
2) Untuk menenangkan;
3) Untuk pengobatan penyakit epylepsi (ayan).
b. Benzodiazepin
Menurut
Widayat
Sastrowardoyo,
(Hari
Sasangka
2003
:86)
mengemukakan bahwa sebagian besar Benzodiazepin yang ada dipasaran
dimanfaatkan khasiatnya, sehubungan dengan kemampuan mendepresi SSP.
Secara umum benzodiasepin di dalam medis (Hari Sasangka 2003: 86)
dipergunakan untuk:
1) Pelemas otot
2) Mengobati insomnia (sulit tidur)
3) Mencegah kecemasa, yakni pengurangan terhadap rangsangan emosi.
3. HALUSINOGEN
Menurut Widayat Sastrowardoyo, (Hari Sasangka 2003: 86) bahwa:
Halusinogen adalah obat-obatan yang dapat menimbulkan daya khayal
(halusinasi) yang kuat, yang menyebabkan salah persepsi tentang lingkungan dan
40
dirinya baik yang berkaitan dengan pendengaran, penglihatan maupun perasaan”.
Dengan kata lain obat-obat jenis halusinogen memutarbalikan daya tangkap
kenyataan obyektif.
Menurut Widayat Sastrowardoyo, (Hari Sasangka 2003 :87) efek-efek
setelah pemakaian halusinogen adalah :
1) Rasa khwatir yang kuat
2) Gelisah dan tidak bisa tidur
3) Biji mata yang membesar
4) Suhu badan yang meningkat
5) Tekanan darah yang meningkat
6) Gangguan jiwa berat
Setelah pemakaian, seseorang akan merasa tenang dan damai dalam dalam
sesaat sesudah itu menjadi murung, ketakutan atau gembira berlebihan.
Psikotropika termasuk zat adiktif dalam arti zat tersebut dapat
menimbulkan adikasi yaitu ketagihan atau ketergantungan yang semakin lama
tanpa disadari akan selalu meningkat takaran atau dosisnya mungkin sampai pada
tingkat dosis keracunan, yang dapat menyebabkan kematian. Zat ini memiliki
empat sifat utama, yaitu:
1. keinginan yang tak tertahankan terhadap zat yang dimaksud dan kalau
perlu dengan jalan apapun untuk memperolehnya
2. ketergantungan untuk menambah takaran sesuai dengan toleransi tubuh
41
3. apabila pemakaian zat tersebut dihentikan akan menimbulkan
kecemasan, kegelisahan, depresi, dan gejala psikis negatif lain pada
pemakai
4. apabila pemakaian zat ini dihentikan, akan menimbulkan gejala fisik
yang dinamakan gejala putus zat. (Sulchan, 1999:39)
Karena dampak seperti di atas maka penggunaan psikotropika harus di
bawah pengawasan dokter secara ketat. Akibat yang ditimbulkan bagi para
penyalahguna psikotropika yang sudah ketagihan antara lain:
a. Secara fisik
Rusaknya organ-organ tubuh seperti sel-sel saraf otak, jantung, ginjal,
lever, menyebabkan stroke, mudah tertular virus HIV, pendarahan otak, sex bebas,
dan bahkan mengarah pada kematian.
b. Secara psikis dan tingkah laku
Daya ingat dan daya pikir menurun, emosi tidak stabil, malas, sukar tidur,
suka bohong, suka mencuri, lamban, masa bodoh, konsentrasi menurun.
c. Terhadap masa depan
Drop out, keluar dari pekerjaan, dia akan bersifat apatis, yakni sudah tidak
ada perhatian terhadap diri, lingkungan, apalagi masa depannya.
d. Secara materiil
Pecandu psikotropika harus mengeluarkan uang minimal Rp. 60.000/ hari
untuk membeli barang haram tersebut, menjual habis barang- barangnya dan
untuk memenuhi tuntutan jasmani maupun kebutuhan akhirnya terlibat ke dalam
jaringan peredarannya. (Sulchan, 1999:23)
42
Kesimpulannya efek samping yang ditimbulkan oleh para penyalahguna
psikotropika secara fisik akan membahayakan jiwa. Sedangkan efek lainnya
adalah selain penghancuran secara fisik, tetapi juga menimbulkan penghancuran
ekonomi, budaya, bahkan kelangsungan masa depan sebuah bangsa. Sebagai
contoh akibat penyalahgunaan psikotropika, seperti penggunaan ecstasy dapat
menyebabkan terjadi kelelahan, mimpi buruk pada malam hari, makan berlebihan,
mudah sedih, putus asa, sampai akhirnya bunuh diri.
Atas dasar itulah peredaran dan penyalahgunaan psikotropika menjadi kian
marak, ditambah lagi dengan banyaknya kelompok dan orang- orang yang ingin
memperoleh keuntungan dengan cepat dan menjadikan peredaran serta
perdagangan secara gelap psikotropika, dengan segala bentuknya sebagai jalan
pintas memperoleh kekayan secara instant.
Perdagangan gelap ini dilakukan oleh organisasi kejahatan yang bersifat
internasional, yang sangat rapi, cepat, dinamis, bersifat rahasia, dengan modus
operandi dan teknologi canggih dengan melibatkan perputaran dana yang besar
termasuk pengamanan hasil-hasilnya. Bahkan diantaranya sampai memiliki
pasukan pengawal bersenjata yang terlatih, profesional, dan mampu bertahan
menghadapi kekuatan hukum pemerintahan yang resmi dari suatu Negara.
43
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran kota Makassar
Kota Makassar merupakan kota terbesar keempat di Indonesia dan terbesar
di Kawasan Timur Indonesia memiliki luas areal 175,79 km2. Dengan kecamatan
terluas yaitu biringkanaya (48,22 km2) dan tersempit yaitu kecamatan Mariso
(1,82 km2 )Sebagai pusat pelayanan di Kawasan Timur Indonesia (KTI), Kota
Makassar berperan sebagai pusat perdagangan dan jasa, pusat kegiatan industri,
pusat kegiatan pemerintahan, simpul jasa angkutan barang dan penumpang baik
darat, laut maupun udara. Kota ini berada pada ketinggian antara 0-25 m dari
permukaan laut. Masyarakat Kota Makassar terdiri dari beberapa etnis yang
seperti etnis Bugis, etnis Makassar, etnis Cina, etnis Toraja, dan etnis Mandar.
Tabel 2. Luas Wilayah Tiap Kecamatan di kota Makassar
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Kecamatan
Tamalanrea
Biringkanaya
Manggala
Panakkukang
Tallo
Ujung Tanah
Bontoala
Wajo
Ujung Pandang
Makassar
Rappocini
Tamalate
Mamajang
Mariso
Luas (km²)
31,84
48,22
24,14
17.05
5,83
5,94
2,10
1,99
2, 63
2.52
9,23
20,21
2,25
1,82
Sumber: Badan Pusat Statistik Makassar 2010
44
Secara geografis Kota Metropolitan Makassar terletak di pesisir pantai
barat Sulawesi Selatan pada koordinat 119°18'27,97" 119°32'31,03" BT dan
5°00'30,18" – 5°14'6,49" LS dengan luas wilayah 175.77 km2 dengan batas:
 Batas Utara
: Kabupaten Pangkajene Kepulauan
 Batas Selatan : Kabupaten Gowa
 Batas Timur : Kabupaten Maros
 Batas Barat
: Selat Makasar
Peta Kota Makassar
Sumber: Badan Pusat Statistik Makassar 2010
a) Pemerintahan
Secara administrasi kota ini terdiri dari 14 kecamatan dan 143 kelurahan.
Jumlah anggota DPRD kota Makassar tahun 2009 sebanyak 50 orang merupakan
wakil dari 7 fraksi, 7 orang adalah perempuan, hal ini menunjukkan bahwa kaum
45
perempuan telah diperhitungkan untuk menduduki jabatan legislatif sekalipun
porsinya masih relatif kecil sebesar 14 %.
Tabel 3 : Distribusi Desa/Kelurahan Menurut Kecamatan di Kota Makassar 2009
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Kecamatan
MARISO
MAMAJANG
TAMALATE
RAPPOCINI
MAKASSAR
UJUNG
PANDANG
WAJO
BONTOALA
UJUNG TANAH
TALLO
PANAKKUKANG
MANGGALA
BIRINGKANAYA
TAMALANREA
MAKASSAR
Kelurahan
9
13
10
10
14
RW
50
57
71
37
45
RT
230
292
308
140
159
10
58
262
8
12
12
15
11
6
7
6
143
82
51
91
101
91
66
89
82
971
504
201
445
553
420
368
480
427
4.789
Sumber: Badan Pusat Statistik Makassar 2010
b) Penduduk
Penduduk kota Makassar tahun 2009 tercatat sebanyak 1.272.349 jiwa
yang terdiri dari 610. 270 laki-laki dan 662.079 perempuan. Komposisi penduduk
menurut jenis kelamin dapat ditunjukkan dengan rasio jenis kelamin penduduk
kota Makassar yaitu sekitar 92,17 persen, yang berarti setiap 100 penduduk wanita
terdapat 92 penduduk laki-laki.
Penyebaran penduduk kota Makassar dirinci menurut kecamatan,
menunjukkan bahwa penduduk masih terkonsentrasi di wilayah Tamalate, yaitu
sebanyak 154.464 (12,14 %) dari total jumlah penduduk, disusul kecamatan
46
Rappocini sebanyak 145.090 jiwa (11,4 %). Dan kecamatan yang terendah adalah
kecamatan Ujung Pandang sebanyak 29.064 jiwa (2,28 %).
Tabel 4: Distribusi Penduduk Menurut Kecamatan, Jenis Kelamin dan Sex Rasio
di Kota Makassar
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
26.719
29.075
74.745
69.137
39.832
28.712
31.589
79.719
75.953
44.311
55.431
61.294
154.464
145.090
84.143
Rasio
Jenis
kelamin
93,06
94,04
93,76
91,03
89,89
13.795
15.269
29.064
90,35
17.147
29.460
24.185
67.101
64.365
48.219
62.660
43.200
610.270
18.386
33.271
24.918
70.232
72.190
52.265
67.991
47.273
662.079
35.533
62.731
49.103
137.335
136.555
100.484
130.651
90.473
1.272.349
93,26
88,55
97,06
95,54
89,16
92,26
92,16
91,38
92,38
Penduduk
No
Kecamatan
1
2
3
4
5
MARISO
MAMAJANG
TAMALATE
RAPPOCINI
MAKASSAR
UJUNG
PANDANG
WAJO
BONTOALA
UJUNG TANAH
TALLO
PANAKKUKANG
MANGGALA
BIRINGKANAYA
TAMALANREA
MAKASSAR
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Sumber: Badan Pusat Statistik Makassar 2010
c) Pendidikan
Pada tahun 2009/2010 di kota Makassar, jumlah Sekolah Dasar sebanyak
459 unit dengan jumlah guru sebanyak 6.542 orang dan jumlah murid sebanyak
145.749 orang. Jumlah SLTP sebanyak 171 unit dengan jumlah guru sebanyak
4.630 orang dan jumlah murid sebanyak 59.101 orang. Jumlah SLTA 112 unit
dengan jumlah guru sebanyak 4.817 orang, jumlah murid sebanyak 65.277 orang.
47
d) Kesehatan
Pada tahun 2009 di kota Makassar terdapat 16 Rumah Sakit, yang terdiri
dari 7 Rumah Sakit Pemerintah/ABRI, 8 Rumah sakit Swasta serta Rumah Sakit
khusus lainnya. Jumlah Puskesmas pada tahun 2009, dari 121 unit puskesmas
dapat dikategorikan menjadi 37 puskesmas, 47 puskesmas pembantu dan
puskesmas keliling 37 buah.
e) Agama
Tempat peribadatan umat Islam berupa masjid dan mushalla pada tahun
2009 masing-masing berjumlah 923 buah dan 48 buah. Tempat peribadatan
Kristen berupa gereja masing-masing 137 buah gereja protestan dan 8 buah gereja
katolik. Tempat peribadatan untuk agama Budha dan Hindu masing-masing 26
buah dan 3 buah.
Tabel 4: Distribusi Peristiwa Kejahatan/ Pelanggaran Yang Dilaporkan,
Diselesaikan Dirinci Menurut Jenisnya di Kota Makassar
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Jenis Kejahatan/
pelanggaran
Kebakaran
Perzinahan
Perjudian
Pembunuhan
Penganiayaan
berat
Penganiayaan
ringan
Pencurian berat
Pencurian ringan
Pencurian dengan
kekerasan
Penggelapan
Penipuan
Pengrusakan
Penadahan
2007
2008
2009
Dilapor Selesai Dilapor Selesai Dilapor Selesai
36
8
31
6
27
11
23
17
14
6
15
16
83
70
85
70
137
186
23
31
22
22
21
18
643
476
405
285
266
249
317
296
194
164
354
310
715
705
321
336
468
481
252
250
411
612
228
300
368
104
335
86
389
83
352
705
171
14
184
356
108
16
214
371
76
4
140
201
44
9
270
423
101
1
192
268
65
45
48
14
Lain-lain kejahatan 1.806
1.366
1.318
Pencurian
15 kendaraan
372
37
382
bermotor
Pelanggran lalu
16
33.125 31.343 20.974
lintas
17 Kecelakaan
704
528
680
Jumlah
40.162 35.597 26.054
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Makassar 2010
1.133
1.369
1.202
43
685
65
19.771
31.479
27.852
486
22.968
717
37.277
541
31.631
B. Gambaran Kecamatan Tamalanrea
Secara geografis Kecamatan Tamalanrea berbatasan dengan Kecamatan
Manggala dan Kecamatan Panakukang di sebelah selatan, sebelah utara
berbatasan dengan Kecamatan Biringkanaya, sebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Maros dan sebelah barat dengan selat Makassar dan Kecamatan Ujung
tanah.
a) Pemerintahan
Kecamatan Tamalanrea mempunyai luas wilayah 31,84 km², secara
administrasi terbagi atas 6 kelurahan yaitu Kelurahan Tamalanrea, Kelurahan
Tamalanrea Jaya, Kelurahan Tamalanrea Indah, Kelurahan Kapasa, Kelurahan
Bira dan Kelurahan Parangloe, dan terbagi 82 RW dan 427 RT.
b) Penduduk
Penduduk Kecamatan Tamalanrea tahun 2010 tercatat sebesar 90.473 jiwa
yang terdiri dari 43.200 laki-laki dan 47.273 perempuan. Komposisi penduduk
menurut jenis kelamin dapat ditunjukkan dengan rasio jenis kelamin. Rasio jenis
49
kelamin penduduk kecamatan Tamalanrea yaitu sekitar 91 yang berarti setiap 100
penduduk wanita terdapat 91 penduduk laki-laki.
Ditinjau dari kepadatan penduduk per km persegi, kecamatan Tamalanrea
mempunyai kepadatan 2.606 jiwa per km persegi. Kecamatan Tamalanrea yang
kepadatan
penduduknya
masih
rendah
masih
memungkinkan
untuk
pengembangan daerah pemukiman terutama di beberapa kelurahan.
c) Pendidikan
Pada tahun 2009/2010 di Kecamatan Tamalanrea, jumlah Sekolah Dasar
sebanyak 29 unit dengan. Jumlah SLTP sebanyak 5 unit. Jumlah SLTA 7 unit,
Jumlah Perguruan Tinggi 13 unit dan lembaga pendidikan Agama sebanyak 20
unit.
d) Kesehatan
Tahun 2009/2010 di Kecamatan Tamalanrea terdapat 11 unit Rumah Sakit
Umum. Dari 7 unit puskesmas dapat dikategorikan menjadi 3 puskesmas, 4
puskesmas pembantu dan 3 poliklinik. Selain itu terdapat 18 apotik, 53 posyandu,
21 toko obat dan 11 tempat dokter praktek.
e) Mata Pencaharian
Pada tahun 2009/2010 mata pencaharian penduduk di Kecamatan
Tamalanrea yang terbesar pertama adalah buruh dengan 9013 orang, yang kedua
pegawai negeri/pegawai swasta 4219 orang, TNI/POLRI 2054 orang, tukang
batu/tukang kayu 1941 orang, dan selebihnya adalah pengusaha, pedagang,
50
penjahit, pengrajin, nelayan, peternak, montir, dokter, sopir, tukang becak, dan
lain-lain.
f) Agama
Pembangunan agama disamping ditujukan untuk lebih meningkatkan
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa juga dimaksudkan untuk
meningkatkan kualitas kehidupan beragama dan terpeliharanya kerukunan antar
umat
beragama,
serta
meningkatkan
kesadaran
dalam
melaksanakan
pembangunan.
Penduduk kecamatan Tamalanrea mayoritas beragama Islam 89.5%
selebihnya Kristen (Katolik & Protestan) 8,6%. Hindu dan Budha masing 0,4%
dan 1,4%. Sedangkan prasarana peribadatan umat Islam berupa mesjid 71 unit dan
mushollah 4 unit, gereja Kristen 6 unit, gereja Katolik 1 unit dan pura 1 unit.
51
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Profil Informan
Bab ini menyajikan temuan data di lapangan, dimana dalam bab ini
diketengahkan dalam bentuk penjelasan tentang profil masing-masing informan.
Dengan mendeskripsikan profil ini diharapkan akan pemahaman secara mendalam
terhadap
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
seseorang
menyalahgunakan
psikotropika serta upaya-upaya negara dan masyarakat dalam memberantas
penyalahgunaan psikotropika tersebut.
Dalam penelitian ini peneliti menentukan informan dengan cara purposive
sampling yaitu penarikan informan yang dilakukan secara sengaja oleh peneliti
dengan kriteria tertentu yang ada pada informan. Jumlah informan sebanyak 7
orang yang terdiri dari 5 orang penyalahguna psikotropika, 1 orang dari pihak
kepolisian, dan 1 orang dari pihak dinas sosial dimana informan tersebut dianggap
memahami tentang penyalahgunaan psikotropika.
Penggambaran profil dari keenam informan tersebut di atas dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Informan AF
Informan pertama adalah seorang pria berinisial AF lahir di kota Rappang,
10 Desember 1987. AF adalah seorang bujang dan bekerja sebagai karyawan di
salah satu hotel di Kota Makassar. Dia memiliki tinggi rata-rata, bertubuh gemuk,
berkulit putih. Sehari-harinya ia adalah orang yang disukai di lingkungan tempat
52
tinggalnya maupun di tempat kerjanya. AF yang berumur 24 tahun dan
merupakan anak tunggal. Saat berumur 9 tahun dia ikut pamannya untuk dan
bersekolah di salah satu sekolah dasar di kabupaten Maros tapi setahun kemudian
dia kembali ke Kota Rappang untuk tinggal bersama orangtuanya dan
melanjutkan sekolahnya hingga tamat SMA. Keluarga AF tergolong keluarga
yang mampu dalam memenuhi kebutuhan Ekonominya.
Saat ini AF mengontrak rumah di Kelurahan Tamalanrea, ia tinggal
sendiri. Rumah ini ditinggalinya sejak ia menamatkan sekolahnya di SMA 1
Rappang, kemudian melanjutkan pendidikannya ke sebuah yayasan pendidikan
dan mengambil jurusan Ekonomi.
2. Informan FS
Informan kedua adalah seorang pria bujang berinisial FS kelahiran Maros,
18 februari 1987 dan sekarang berumur 23 tahun. FS merupakan anak bungsu dari
4 bersaudara, dan ketiga kakaknya telah berkeluarga. Keluarga FS tergolong
keluarga
yang
mampu
dalam
memenuhi
kebutuhan
ekonominya.
FS
menyelesaikan sekolahnya dari SD hingga tamat SMA kabupaten maros.
Sekarang ini FS tinggal bersama keluarganya di salah satu perumahan dikawasan
Kelurahan Tamalanrea Indah sejak tahun 2009. FS tinggal bersama sepupunya
yang juga merupakan pemilik rumah.
3. Informan RR
Informan ketiga adalah seorang laki- laki bujang berinisial RR kelahiran
Bone 23 agustus 1986 dan sekarang berumur 25 tahun. RR memiliki tinggi ratarata, bertubuh gemuk, berkulit hitam. Dia merupakan anak tunggal. RR
53
menghabiskan masa sekolahnya dari SD hingga SMA di kota tersebut dan Saat ini
RR bekerja sebagai karyawan musiman pabrik gula di kabupaten Takalar.
Ayahnya adalah pensiunan karyawan dimana saat ini RR bekerja, dan ibunya
sebagai ibu rumah tangga dan saat ini kedua orangtuanya tinggal di kota maros.
Keluarga RR tergolong keluarga yang mampu dalam memenuhi kebutuhan
ekonominya. Saat ini RR tinggal di Kelurahan Kapasa, ia tinggal sendiri. Rumah
ini ditinggalinya sejak ia bekerja di pabrik gula di Takalar tahun 2008.
4. Informan AR
Informan keempat adalah seorang pria bujang berinisial AR dan berusia 23
tahun. AR lahir di Makassar, tanggal 2 oktober 1987. Saat ini AR adalah seorang
mahasiswa jurusan Ekonomi di salah satu Perguruan Tinggi Swasta. Di Makassar
AF tinggal keluarganya di Kelurahan Tamalanrea Jaya, AR sendiri merupakan
anak ke-3 dari 4 bersaudara. Saat berumur 7 tahun ia pindah ke Kota Maros dan
tinggal bersama neneknya, disana ia menamatkan sekolahnya dari SD hingga
SMP, kemudian saat lulus SMP ia kembali ke Makassar dan melanjutkan
sekolahnya ke tingkat SMA.
5. Informan MD
Informan kelima adalah seorang pria bujang kelahiran Sinjai, 27
september 1990, berinisial MD, berumur 21 tahun. Ia adalah seorang wirausaha.
MD sejak kecil sudah pindah bersama kedua orang tuanya ke Kota Maros. Di
kota inilah MD menamatkan sekolahnya dari SD hingga SMA. MD sendiri adalah
anak ke-2 dari 3 bersaudara, ia memiliki seorang kakak perempuan yang kini telah
bekerja disebuah perusahaan Telekomunikasi dan seorang adik laki-laki yang kini
54
masih duduk di bangku SMA. Setelah menyelesaikan pendidikannya, MD ke
Makassar untuk membantu usaha ayahnya.
Di Makassar, MD tinggal di rumah milik pribadi di Kelurahan Kapasa
bersama ayah dan kedua saudaranya. Sedangkan ibunya sendiri tinggal di kota
maros karena mempunyai usaha rumah makan yang harus dijalankannya. MD
termasuk keluarga yang mampu bahkan bisa dikatakan kaya, itu terlihat dari
properti yang dimilikinya.
6. Informan H. Achmad Tadju, SH. S.Sos
Informan keenam adalah seorang polisi bernama H. Ahmad Tadju, SH.
S.Sos, dan umurnya sekitar 48 tahun. H. Ahmad Tadju, SH. S.Sos berpangkat
AKBP dan menjabat sebagai Kabag Bin Operasional di Direktorat Reserse
Narkoba Polda Sulawesi Selatan. Dia bertubuh gemuk, memiliki tinggi rata-rata,
sebagian rambutnya sudah memutih, dan mempunyai suara yang lantang.
7. Informan H. Muchtar, SH. M.Si
Informan ketujuh adalah seorang pria bernama H. Muchtar, SH. M.Si, dan
umurnya sekitar 45 tahun. H. Muchtar, SH. M.Si menjabat sebagai Kabid
Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial di Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan. Dia
bertubuh agak kurus, memiliki tinggi rata-rata, berkulit coklat dan rambutnya
berwarna hitam.
55
B. Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan Psikotropika
1. Kasus AF
AF yang biasa di panggil “A” telah mengenal narkotika dan psikotropika
sejak duduk di bangku SMA di Kota Rappang Kabupaten Sidrap. Kemudian
setelah ditanya tentang apa itu psikotropika, AF mengungkapkan:
“Ya, jelas saya tahu, kalau psikotropika itu seperti obat-obatan dari
bahan kimia, misalnya shabu-shabu, putaw, ecstacy beda dengan
narkotika. Kalau narkotika masih alami, belum terolah contohnya ganja.”
(Wawancara 12 Juni 2011)
Dari pengakuan AF diatas, terlihat bahwa AF sudah tahu betul apa itu
psikotropika. AF yang sudah cukup lama mengenal narkotika dan psikotropika
dari teman-teman bergaul semasa SMA, mengungkapkan:
“Saya pakai begituan (psikotropika) sejak SMA, sekitar tahun 2002
sampai sekarang, saya tahu psikotropika dari teman sekolahku. Dulu saya
sering memakai topsi (ganja yang telah dilinting dan siap di hisap),
sekali-kali saya memakai shabu-shabu karena di tempat saya dulu masih
jarang ditemukan yang seperti itu”. (Wawancara 12 Juni 2011)
AF yang sudah hampir 10 tahun ini telah sering kali mengkonsumsi
barang haram tersebut dan mengaku mengenal psikotropika dari teman
sekolahnya sewaktu SMA dan pertama kali mengkonsumsi ganja. AF
menggunakan psikotropika jenis shabu-shabu karena tuntutan kerja yang harus
dijalaninya setiap malam, AF mengungkapkan:
“Saya pertama memakai karena memang enak, tapi belakang ini karena
tuntutan kerja. Saya kan kerja malam hari, jadi kalau sudah pakai shabushabu perasaan saya tidak mengantuk, saya merasa lebih semangat
bekerja. Tidak cepat capek dan lebih percaya diri berkomunikasi dengan
orang lain”. (Wawancara 12 Juni 2011)
56
AF merasa dituntut untuk selalu tampil lebih prima dan dengan
mengkonsumsi psikotropika jenis shabu-shabu, AF pun dapat tampil prima dan
percaya diri karena merasa malu.
Dalam lingkungan kejahatan psikotropika, AF tidak hanya sebagai
pemakai, AF juga berperan sebagai pengedar sekaligus perantara. Apabila ada
temannya yang ingin barang tersebut ia selalu menjadi perantara antar bandar
dengan pemakai, seperti yang diungkapkannya:
“Ambil di Bandar toh…!!. Kalau saya ingin memakai lagi, saya langsung
beli ke bandarnya tidak pakai perantara karena saya sudah akrab dengan
orang itu (bandar). Kecuali kalau teman saya yang ingin memakai,
barulah saya yang pergi untuk mengambilkannya. Biasa juga kalau saya
tidak punya uang, biasanya saya pergi ambil paket ke bandar baru saya
jual. Kalau paket kecil biasanya saya jual harga 400 ribu, kemudian saya
jual dengan harga 500 ribu jadi saya bisa untung 100 ribu, kemudian
yang 400 ribunya saya kembalikan ke bos saya (sambil tersenyum)”.
(Wawancara 12 Juni 2011)
Dari pengakuan AF diatas, terlihat jelas bahwa selain mengkonsumsi
psikotropika jenis shabu-shabu, AF juga berperan sebagai pengedar atau perantara
apabila dia tidak mempunyai uang. AF menjual barang tersebut diatas harga
normal yang bandar jual ke orang lain sehingga AF bisa mendapatkan
keuntungan. AF yang awalnya mengenal narkotika jenis ganja kemudian beralih
ke psikotropika jenis shabu-shabu mengaku tidak merasa ketagihan sejak
menggunakan barang tersebut. AF hanya menggunakan barang tersebut agar bisa
tampil prima tanpa mengetahui bahaya narkotika atau psikotropika jika
dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama. Sebagaimana yang dituturkannya
bahwa:
“Jujur, tidak apa-apa, tidak ada perasaan ketergantungan atau ketagihan.
Dulu waktu SMA, pertama saya mengkonsumsi masih ada perasaan
ketergantungan, tapi sekarang sudah tidak lagi…mungkin karena sudah
57
biasa, jadi saya sudah tahu bagaimana rasanya shabu-shabu itu”.
(Wawancara 12 Juni 2011)
Pengakuan AF diatas menjelaskan bahwa AF tidak lagi merasa mengalami
ketergantungan terhadap psikotropika karena dia telah tahu betul “nikmat” dari
psikotropika jenis shau-shabu tersebut. Tidak lama kemudian peneliti
menanyakan tentang bahaya menggunakan psikotropika, AF menerangkan:
“Kalau bahayanya, jelas saya tahu…jadi, saya tidak mungkin untuk terus
memakainya, pasti suatu hari saya berhenti. Shabu-shabu itu tidak seperti
putaw yang langsung disuntikan masuk ke aliran darah…yang pakai
putaw inilah yang banyak kena AIDS. Tetapi saya tidak pernah pakai yang
seperti itu, saya tidak berani…karena dulu di komplek dekat rumahku, ada
12 orang berteman sejak dari SMA, mereka semua pakai putaw, Satu per
satu meninggal karena overdosis, ihh…saya tidak mau seperti itu!!!”.
(Wawancara 12 Juni 2011)
Dari pengakuan AF dia atas ia masih saja mengkonsumsi shabu-shabu
karena menurutnya shabu-shabu itu tidak begitu berbahaya seperti halnya putaw
yang efeknya sangat keras dan mematikan seperti yang dialami oleh temantemannya dan AF mengetahui efek menggunakan suntik yang bisa berpenyakit
HIV-AIDS.
AF yang sudah hampir 10 tahun mengkonsumsi narkotika dan
psikotropika mengaku belum pernah tertangkap oleh aparat kepolisian, walaupun
sudah tahu hukumannya AF masih tetap saja melakukan kejahatan tersebut.
Kemudian saat ditanya tentang hukuman yang didapatkan apabila tertangkap
basah mengkonsumsi atau mengedarkan psikotropika, AF mengungkapkan:
“Belum pernah, dan semoga tidak pernah…(sambil tersenyum)”.
(Wawancara 12 Juni 2011)
58
Pengakuan AF diatas menerangkan bahwa dia tidak ingin tertangkap oleh
aparat kepolisian. Kemudian saat AF ditanya tentang hukuman apabila kedapatan
tertangkap basah menggunakan atau mengedarkan psikotropika, AF menjawab:
“Jelas saya tahu, sekarang kan sudah ada aturan baru. Jika kedapatan
membawa 1gram hukumannya adalah direhabilitasi tetapi jika kedapatan
lagi baru dipenjarakan tapi saya tidak tahu berapa tahun?”. (Wawancara
12 Juni 2011)
2. Kasus FS
FS yang biasa di panggil “P” telah mengenal narkotika dan psikotropika
sejak duduk di bangku SMA, seperti yang di ungkapkannya saat ditanya tentang
psikotropika:
“Saya tidak tahu pasti, tapi yang jelasnya psikotropika itu semacam zat
yang bisa membuat tenang pikiran”. (Wawancara 12 Juni 2011)
Terlihat dari pengakuan FS diatas bahwa dia belum tahu betul apa itu
psikotropika. Psikotropika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan
pengaruh-pengaruh
tertentu
bagi
mereka
yang
menggunakan
dengan
memasukkannya ke dalam tubuh manusia. Pengaruh tersebut berupa pembiusan,
hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat, halusinasi atau timbulnya khayalankhayalan yang menyebabkan efek ketergantungan bagi pemakainya.
FS pertama kali mengenal dan mengkonsumsi psikotropika dari teman
bergaul semasa SMA. Seperti yang diungkapkannya:
“Waktu kelas 2 SMA saya mulai menghisap topsi (ganja), sejak disini
(makassar) baru kemudian saya tahu itu shabu-shabu”. (Wawancara 12
Juni 2011)
59
FS
sudah
cukup
lama
mengkonsusmsi
narkotika
terlihat
dari
pengakuannya diatas. FS sejak kelas 2 SMA sudah mengenal narkotika jenis
ganja.
FS
dalam
kehidupan
sehari-harinya
sangat
bergantung
kepada
psikotropika. Ia pertama kali mengkonsumsi narkotika dan psikotropika karena
rasa kecewa karena merasa kurang mendapatkan perhatian dari orang tuanya.
Karena
itulah
maka
FS
mengkonsumsi
shabu-shabu
seperti
yang di
ungkapkannya:
“Dulu hanya untuk menghilangkan perasaan stress karena saya merasa
kecewa dengan ayah saya. Setiap kali saya meminta sesuatu ke ayah
saya, selalu tidak pernah ditanggapi, setelah marah-marah di rumah
baru kemudian dikasih. Tidak seperti kakak saya…kalau meminta
langsung dikasih. Suatu hari, saya pergi dari rumah…saya tinggal di
rumah teman hampir 2 minggu, tidak lama kemudian saya dikasih hisap
topsi (ganja) sama teman saya, lama kelamaan saya mulai merasa enak,
jadi setiap saya punya uang biasanya saya suruh teman saya untuk
membelikan paket 50 ribu, atau kalau teman saya juga ingin menghisap,
biasa kami kumpul uang kemudian membeli paket yang 300 ribu
kemudian dihisap sama-sama”. (Wawancara 12 Juni 2011)
Berdasarkan penuturan FS, hubungan buruk yang disebabkan oleh
kegagalan berkomunikasi antara FS dengan ayahnya menyebabkan FS merasa
kesal. Hal ini menjadi faktor pemicu pemakaian narkotika dan psikotropika oleh
FS.
Saat ini FS dalam lingkungan kejahatan psikotropika berperan sebagai
pengedar dan pengguna. FS menjadi seorang pengguna karena rasa frustasi yang
pernah dialaminya semasa SMA dan saat ini FS mengaku juga telah menjadi
pengedar :
“Jangan bilang sama orang lain nah…saya mengedarkan belum lama
ini, mungkin belum cukup setahun…karna saya juga butuh uang untuk
kebutuhan sehari-hari saya. Saya merasa tidak enak lagi untuk minta
uang ke ayah saya karena tidak lama sejak meninggalnya ibu saya, ayah
60
saya menikah lagi, sejak itulah saya sudah jarang berhubungan ,juga
sudah jarang saling berbicara, mungkin karena sudah punya keluarga
baru”. (Wawancara 12 Juni 2011)
Disini terlihat bahwa, faktor keluarga juga turut berperan dalam maraknya
penyalahgunaan narkoba. Saat ini, ibu FS yang telah meninggal dunia dan
ayahnya telah berkeluarga lagi demikian juga dengan ketiga kakaknya. Karena
kesibukannya, ayah FS terkadang tidak punya waktu untuk berkomunikasi dengan
FS. Dampaknya FS merasa tidak diperhatikan sehingga FS mencari orang lain
diluar rumah yang mau memperhatikan mereka, dan membentuk nilai – nilai
sendiri dengan mengkaitkan dirinya dengan cara menggunakan narkotika dan
psikotropika.
Informan FS yang telah mengkonsumsi psikotropika kurang lebih 7 tahun,
mengaku perasaannya biasa-biasa saja apabila tidak mengkonsumsi shabu-shabu.
Perasaan lelah, lapar dan mengantuk FS rasakan setelah efek dari shabu-shabu itu
sudah hilang, seperti yang diungkapkannya:
“Biasa-biasa jih, kecuali kalau sudah pakai kemudian efek obat itu sudah
tidak ada, perasaan saya biasanya lelah, lemas, mengantuk, dan lapar.
Tapi kalau sudah makan dan tidur, biasanya sudah bisa normal lagi
seperti biasa”. (wawancara 12 Juni 2011)
Shabu-shabu sebagaimana diketahui umum dapat mengakibatkan efek
yang sangat kuat pada sistem syaraf. Pemakai shabu-shabu secara mental akan
bergantung pada zat ini dan penggunaan yang terus menerus dapat merusakan otot
jantung dan bahkan menyebabkan kematian. FS yang belum tahu efek buruk dari
mengkonsumsi psikotropika dalam jangka waktu yang panjang, mengaku masih
juga sering mengkonsumsinya.
61
“Dampak buruknya (sambil berfikir)…Saya tidak tahu, paling seperti
tadi yang saya bilang, seperti lemas, lapar, mengantuk. Selain itu, saya
tidak tahu karena saya belum pernah rasakan”. (Wawancara 12 Juni
2011)
Pengakuan FS di atas memperlihatkan bahwa FS hanya merasakan
dampak kecil dari penggunaan psikotropika jenis shabu-shabu, AF belum tahu
dampak buruk apabila mengkonsumsi shabu-shabu dalam jangka waktu yang
lama. Terkait dengan penangkapan penyalahguna Narkotika dan psikotropika, FS
yang saat pertama kali mengenal dan mengkonsumsi psikotropika semasa SMA
karena rasa kecewa yang pernah dialaminya mengaku belum pernah tertangkap
aparat kepolisian. Dikatakannya bahwa:
“Alhamdulillah, belum pernah dan semoga saja tidak pernah”.
(Wawancara 12 Juni 2011)
FS yang belum pernah tertangkap aparat kepolisian mengaku belum tahu
jelas hukuman apabila mengkonsumsi dan mengedarkan psikotropika, seperti
yang diungkapkannya:
“Tidak tahu, paling tidak masuk penjara atau rutan. Tapi siapa juga
yang mau tertangkap? Makanya saya hati-hati kalau mau mengkonsumsi,
jadi biasanya kalau saya sudah mengkonsumsi ditempat ini, besok saya
pindah lagi di tempat lain, lusa saya pindah lagi ke tempat lain, yang
jelas saya berpindah-pindah tempat. Apalagi menjual, saya cuma
menjual ke orang-orang yang saya percaya, kalau orang baru saya tidak
akan kasih”. (Wawancara 12 Juni 2011)
Dari pengakuan FS diatas, terlihat bahwa FS sangatlah berhati-hati dalam
melakukan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. FS tidak ingin tertangkap
oleh aparat kepolisian sehingga FS bila ingin mengkonsumsi psikotropika jenis
shabu-shabu FS selalu berpindah-pindah tempat. Selain pemakai FS juga berperan
62
sebagai pengedar tetapi FS tidak menjual barang tersebut kepada orang yang tidak
dia percaya.
3. Kasus RR
RR yang biasa di panggil “W” telah mengenal narkotika dan psikotropika
sejak duduk di bangku SMA di Kota Bone, seperti yang di ungkapkannya saat
ditanya tentang psikotropika:
“Setahu saya, psikotropika itu semacam obat-obatan yang bisa membuat
tenang pikiran”. (Wawancara 15 Juni 2011)
Psikotropika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan pengaruhpengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkannya ke
dalam tubuh manusia. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit,
rangsangan semangat, halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan yang
menyebabkan efek ketergantungan bagi pemakainya RR pertama kali mengenal
dan mengkonsumsi psikotropika dari teman bergaul semasa SMA. Seperti yang
diungkapkannya:
“pertama kali saya tahu psikotropika dari teman bergaul saya di Bone.
waktu saya SMA, kalau tidak salah tahun 2003. Dulu pertama kali saya
pakai shabu-shabu”. (sumber : wawancara 15 Juni 2011)
RR sendiri dalam kehidupan sehari-harinya tidak begitu bergantung
kepada psikotropika. Ia pertama kali mengkonsumsi psiktropika jenis shabushabu karena rasa keingintahuannya. Perasaan ingin tahu biasanya dimiliki oleh
generasi muda pada umur setara siswa SD, SLTP, dan SLTA. Bila di hadapan
sekelompok anak muda ada seseorang yang memperagakan, ”nikmatnya”
mengkonsumsi narkotika dan psikotropika, maka didorong oleh naluri alami anak
63
muda, yaitu keingintahuan, maka salah seorang dari kelompok itu akan maju
mencobanya. Selain didorong oleh keingintahuan, keberaniannya juga karena
didesak oleh gejolak dalam jiwanya yang ingin dianggap hebat, pemberani, dan
pahlawan di antara teman-teman sebayanya. Karena rasa keingintahuannya itulah
maka RR mengkonsumsi shabu-shabu seperti yang di ungkapkannya:
“Pertama memakai shabu-shabu karena hanya ingin coba-coba, saya
ingin tahu bagaimana rasanya, dan ternyata asik. Saya merasa lebih
percaya diri, pikiran juga tenang saya juga merasa kuat kerja walaupun
tidak makan sehari. Saat pertama mengkonsumsi perasaan masih biasa
saja, lama-kelamaan sudah terasa enak”. (Wawancara 15 juni 2011)
RR dalam lingkungan penyalahguna psikotropika tidak terlibat sebagai
pengedar tetapi hanya sebagai pengguna. RR menjadi seorang pengguna karena
rasa keingintahuannya terhadap barang haram tersebut, RR mengaku tidak begitu
bergantung terhadap barang tersebut, ia hanya mengkonsumsi psikotropika
apabila ada teman yang mengajaknya.
“Saya mengkonsumsi karena biasanya ada teman yang mengajak, tapi
teman yang beli, bukan saya. Jadi saya hanya tunggu yang gratisan saja”.
(Wawancara 15 Juni 2011)
RR awal mulanya mengawali pemakaian narkotika dan psikotropika
karena rasa keingintahuannya terhadap barang tersebut. Banyak pelajar atau
mahasiswa mengawali kebiasaan memakai narkotika dan psikotropika yang
awalnya karena mencoba kemudian karena ketagihan ia kemudian selalu
mengkonsumsinya seperti halnya yang dialami RR. Ini berarti informan RR yang
telah mengkonsumsi psikotropika kurang lebih 9 tahun, mengaku perasaannya
biasa-biasa saja apabila tidak mengkonsumsi shabu-shabu, seperti yang
diungkapkannya:
64
“Perasaan saya biasa-biasa saja, saya merasa tidak mengalami
ketergantungan, kalau ada…yah, konsumsi lagi, kalo tidak ada…mau
bagaimana lagi?”. (Wawancara 15 Juni 2011)
RR yang belum tahu efek buruk dari mengkonsumsi psikotropika dalam
jangka waktu yang panjang, mengaku masih juga sering mengkonsumsi barang
tersebut apabila ada teman yang mengajaknya.
“Kalau dampak buruknya, saya tidak tahu, konsumsi saja, urusan
dibelakangan kalau memang ada apa-apanya (sambil tertawa)”.
(Wawancara 15 Juni 2011)
RR yang saat pertama kali mengenal dan mengkonsumsi psikotropika
semasa SMA karena rasa keingintahuannya mengaku tidak tahu hukuman apabila
mengkonsumsi psikotropika, menurutnya:
“Paling masuk dipenjara, hanya itu…!! Kalau saya belum pernah
tertangkap dan semoga tidak pernah”. (Wawancara 15 Juni 2011)
Dari pengakuan RR, terlihat bahwa ia belum tahu jelas hukuman bila
menyalahgunakan narkotika dan psikotropika, RR tidak tahu berapa denda yang
harus dibayarnya apabila kedapatan mengkonsumsi narkotika dan psikotropika.
4. Kasus AR
Setelah peneliti menanyakan profil dan riwayat informan, peneliti
kemudian menanyakan tentang apa itu psikotropika. Dan dari pengakuan
informan AR, ia jelas tidak tahu apa itu psikotropika, seperti yang
diungkapkannya:
“saya tidak tahu apa itu psikotropika? Yang saya tahu cuma memakai
saja karena rasanya enak (sambil tersenyum)” (Wawancara 14 Juni 2011)
65
AR yang awal mulanya mengenal narkotika jenis ganja dari temannya
sejak kelas 1 SMA, mengungkapkan:
“Sejak saya kelas 1 SMA, saya kenal psikotropika dari teman bergaul
dekat rumah saya”. (Wawancara 14 Juni 2011)
Pada umumnya kebanyakan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika
dimulai atau terdapat pada masa remaja, sebab masa remaja yang sedang
mengalami perubahan biologik, psikologik maupun sosial yang pesat merupakan
individu yang rentan untuk menyalahgunakan narkotika maupun psikotropika
tersebut. Anak atau remaja dengan ciri-ciri tertentu mempunyai risiko lebih besar
untuk menjadi penyalahgunanya dan salah satunya contohnya adalah AR, seperti
yang diungkapkannya:
“Awalnya karena saya diberi sama teman, tapi lama kelamaan keasikan.
Rata-rata juga teman bergaul saya mengkonsumsi topsi (ganja) dan
shabu-shabu, saya merasa tidak enak dengan teman kalau tidak juga
mengkonsumsi, siapa tahu mereka berpikir saya tidak menghargainya”
(Wawancara 14 Juni 2011)
AR yang mengalami ketergantungan karena pengaruh dari teman, terjadi
akibat lingkungan pergaulannya yang kurang sehat, dimana banyak teman
sepergaulan yang mengkonsumsi narkotika dan psikotropika agar tidak diasingkan
dari lingkungan pergaulannya, ia mulai terpengaruh untuk mengkonsumsi barang
haram tersebut, misalnya : sesama teman sepermainan, teman sekolah, teman
kuliah, teman bekerja ataupun teman bisnis, seperti halnya yang dialami AR.
AR yang sudah cukup lama mengenal narkotika dan psikotropika,
mengaku sudah banyak jenis yang telah dikonsumsinya, menurut pengakuan AR:
“Saya mengkonsumsi psikotropika mungkin sudah hampir 9 tahun, karena
saya mulai mengkonsumsi sejak SMA kelas 1 sampai sekarang. Dan sudah
Banyak macam saya pakai, dulu hanya topsi (ganja), lama-kelamaan saya
66
mulai memakai shabu-shabu, ecstacy, dan ineks. (Wawancara 14 Juni
2011)
Narkotika dan psikotropika dapat menyebabkan efek dan dampak negatif
bagi pemakainya. Dampak yang negatif itu sudah pasti merugikan dan sangat
buruk efeknya bagi kesehatan mental dan fisik. Meskipun demikian terkadang
beberapa jenis obat masih dipakai dalam dunia kedokteran, namun hanya
diberikan bagi pasien-pasien tertentu, bukan untuk dikonsumsi secara umum dan
bebas oleh masyarakat. Oleh karena itu obat dan narkotik yang disalahgunakan
dapat menimbulkan berbagai akibat yang beraneka ragam. AR yang saat pertama
kali mengonsumsi psikotropika pernah mengalaminya, AR mengungkapkan:
“Dulu itu kalau saya tidak mengkonsumsi perasaan saya bingung, tidak
tahu arah, bimbang, banyak pikiran, pusing, yang pasti tidak enak. Jadi
biasanya kalau perasaanku sudah seperti itu, saya pergi lagi beli di
bandar, kalau saya tidak punya uang, saya pinjam dulu uang sama teman
saya, yang jelas saya dapat barang itu (shabu-shabu). Tapi itu dulu,
sekarang sudah tidak lagi karena saya sudah tahu bahayanya. Dan
sekarang saya sudah berpikir untuk berhenti mengkonsumsi jadi saya
sudah mulai mengurangi untuk mengkonsumsinya karna saya tidak
mungkin bisa langsung berhenti mengkonsumsi. Dulu saya berpikiran
hanya untuk senang-senang saja dengan teman…belum tahu arti dari
masa depan”. (Wawancara 14 Juni 2011)
Selain yang diungkapkan AR, efek eforia (Perasaan gembira berlebih) dan
paranoia (suka berkhayal) yang menyertainya tidak jarang menyebabkan
penggunanya celaka. Banyak yang tidak mampu lagi mengendalikan diri setelah
mamakai shabu-shabu. Kerusakan otak yang menetap akibat pemakaian jangka
panjang, terjadi akibat degenerasi system saraf pusat. Akibatnya banyak pecandu
yang mengalami penyakit gangguan daya ingat, motorik dan bicara.
67
AR yang sudah lama mengenal narkotika dan psikotropika mengaku
belum pernah tertangkap oleh aparat kepolisian, seperti yang diungkapkannya:
“Kalau tertangkap polisi, saya belum pernah…hanya kakak saya yang
pernah melihat saya mengkonsumsi, waktu itu saya mengkonsumsi topsi
(ganja) di dalam kamar, deh…saya dimarah-marahi tapi untungnya saya
tidak dilaporkan ke ibu saya”. (Wawancara 14 Juni 2011)
Kemudian saat ditanya tentang hukuman yang didapatkan apabila
kedapatan mengkonsumsi narkotika atau psikotropika, AR menjawab:
“Kalau hukumannya, sudah jelas masuk penjara. Tapi, semoga saja saya
tidak pernah tertangkap karena saya sudah berniat untuk berhenti
memakai”. (Wawancara 14 Juni 2011)
Disini AR mengetahui bahwa penjara adalah sanksi yang akan diterimanya
apabila ditangkap basah oleh pihak kepolisian. Tapi, AR berharap tidak
mengalami hal itu dan memang telah berniat berhenti menggunakannya secara
bertahap.
5. Kasus MD
MD yang biasa disapa “S” mengaku mengenal psikotropika sejak tinggal
di Makassar dari tahun 2008 lalu, MD mengaku belum tahu apa itu psikotropika,
seperti yang diungkapkannya:
“Saya tidak tahu, tapi yang jelas psikotropika itu semacam obat-obatan
terlarang untuk menenangkan pikiran”. (Wawancara 17 Juni 2011)
MD yang mengaku mengenal psikotropika jenis shabu-shabu, dari
temannya, seperti yang diungkapkannya:
“Dari teman, pertama saya sering di kasih coba shabu-shabu oleh teman
lama-kelamaan, saya sudah merasa keenakan, jadi biasanya saya
menyuruh teman saya untuk membelikannya”. (Wawancara, 17 Juni 2011)
68
Dari pengakuan MD diatas, ia pertama kali mengkonsumsi psikotropika
jenis shabu-shabu karena temannya yang sering memberikannya dan lama
kelamaan MD mulai merasakan “nikmat” dari shabu-shabu tersebut. MD yang
bisa dikatakan sudah cukup lama mengenal barang haram tersebut mengaku
mengkonsumsi psikotropika jenis shabu-shabu karena alasan ingin bersenangsenang, seperti yang diungkapkannya:
“Tidak ada, hanya untuk bersenang-senang saja. Enak juga kalau sudah
pakai kemudian pergi joget di retro atau di liquid (diskotik). Masa
minuman (minuman beralkhohol) terus saja di minum, sekali-skali shabushabu, kan lebih enak, dan juga tidak berbau”. (Wawancara 17 Juni 2011)
Salah satunya adalah MD yang mengkonsumsi psikotropika jenis shabushabu karena hanya ingin menikmati kesenangan semata tanpa memikirkan
dampak negatif menkonsumsi shabu-shabu bagi tubuhnya. Dalam lingkungan
kejahatan psikotropika, MD tidak terlibat sebagai pengedar tetapi hanya sebagai
pengguna. MD menjadi seorang pengguna karena ingin bersenang-senang. MD
mengaku mendapatkan barang tersebut dari seorang bandar, seperti yang
diungkapkannya:
“Dulu teman saya yang sering pergi membelikannya, tapi sekarang teman
saya itu sudah pindah ke Kalimantan. Jadi, sekarang saya sendiri yang
pergi beli di bandarnya”. (Wawancara, 17 Juni 2011)
Informan MD yang sering mengkonsumsi psikotropika jenis shabu-shabu
ini mengaku:
“Biasanya kalau satu minggu saya tidak pakai, perasaan saya biasanya
tidak enak, cepat lelah, tidak semangat, terkadang saya sakit kepala. Jadi
minimal setiap minggu saya pakai lagi. Yah…kalau tidak ada, saya ganti
saja dengan minuman (minuman beralkhohol)”. (Wawancara 17 Juni
2011)
69
MD
yang
sudah
terbilang
mengalami
ketergantungan
mengaku
menggantinya dengan minuman beralkhohol untuk menghilangkan perasaan
ketidaknyamanannya apabila dia tidak mendapatkan shabu-shabu. Setelah
beberapa saat kemudian, peneliti kemudian mengajukan pertanyaan tentang
hukuman yang didapat apabila ditangkap basah mengkonsumsi psikotropika. MD
pun mengungkapkan:
“Kau bukan banpol (bantuan polisi)? Siapa tahu kau laporkan saya ke
polisi (sambil tersenyum). Kalau hukumannya sudah jelas dipenjarakan,
tapi kalau ada uang pasti bisa atur damai dengan polisi. karna polisi
memang cari uang. Saya belum pernah tertangkap, dan mudah-mudahan
saja tidak pernah”. (Wawancara 17 Juni 2011)
Pada hasil wawancara di atas, informan MD agak sensitif menjawab
pertanyaan tentang kemungkinan dirinya ditangkap polisi. Hal ini berarti MD
mengetahui jelas hukumannya bila tertangkap oleh penegak hukum dalam hal ini
adalah kepolisian.
C. Upaya-Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Psikotropika
Setelah
mewawancarai
kelima
informan
yang
berperan
sebagai
penyalahguna psikotropika, maka sampailah pada suatu pertanyaan bagaimanakah
upaya dalam menanggulangi terjadinya penyalahgunaan psikotropika yang
dilakukan oleh pemerintah.
70
1. Kepolisian
Dari pihak kepolisian sendiri, berdasarkan wawancara yang dilakukan
dengan H. Achmad Tadju, SH. S.Sos (Kabag Bin Operasional Direktorat Narkoba
Polda Sulawesi Selatan), menjelaskan bahwa:
“Pada umumnya, ada 3 upaya untuk menanggulangi kejahatan
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika yaitu yang pertama upaya
preventif, merupakan usaha yang ditujukan untuk mencegah dan
menangkal timbulnya kejahatan yang pertama kali, dan usaha ini selalu
diutamakan. Yang kedua, secara pre-emtif berupa pembinaan,
pengembangan dan kegiatan-kegiatan edukatif dari institusi kepolisian
sendiri. kemudian yang ketiga, Secara represif yaitu penindakan, upaya
penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang ditempuh setelah
terjadinya kejahatan atau penindakan terhadap pelaku kejahatan sesuai
dengan perbuatannya”. (Wawancara 24 Juni 2011)
Dari pengakuan H. Achmad Tadju, SH. S.Sos (Kabag Bin Operasional
Direktorat Narkoba Polda Sulawesi Selatan), ada 3 upaya yang dilakukan
kepolisian dalam menanggulangi kejahatan psikotropika, yaitu upaya preventif,
pre-emptif dan represif.
Selama ini kita melihat bahwa para penegak hukum telah berusaha
semaksimal mungkin untuk mencegah terjadinya kejahatan penyalahgunaan
psikotropika ini. Dari pihak kepolisian berdasarkan wawancara yang dilakukan
kepada H. Achmad Tadju, SH. S.Sos (Kabag Bin Operasional Direktorat Narkoba
Polda Sulawesi Selatan) adalah:
“Upaya kepolisian dalam hal menanggulangi tindak pidana termasuk
Penyalahgunaan narkotika dan psikotropika biasa kita lakukan dengan
melakukan operasi-operasi rutin di tempat-tempat maksiat misalnya
tempat pergaulan bebas dan tempat hiburan malam kemudian
mengadakan penyuluhan-penyuluhan bagi masyarakat tentang dampak
buruk dari penyalahgunaan narkotika dan psikotropika”. (Wawancara 24
Juni 2011)
Pendapat di atas lebih menggambarkan usaha penanggulangan yang
sifatnya preventif, di mana pihak kepolisian mengadakan operasi rutin dan
71
memberikan peringatan kepada masyarakat untuk mencegah terjadinya kejahatan
psikotropika ini.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam upaya pencegahan secara
preventif tersebut menurut H. Achmad Tadju, SH. S.Sos (Kabag Bin Operasional
Direktorat Narkoba Polda Sulawesi Selatan) adalah:
“Penyuluhan di seluruh jajaran, jadi penyuluhan ini adalah kegiatan
yang harus kita keroyok, mulai dari teman-teman yang ada di jajaran
maksud saya di polres, polsek mengadakan penyuluhan dari kita sendiri
yaitu Polda. Karena tujuan dari penyuluhan ini, diharapkan masyarakat,
yang pertama dapat memahami dampak buruk daripada penyalahgunaan
psikotropika itu. Kemudian yang kedua, setelah dia memahami, dia
(masyarakat) akan ikut berpartisipasi dengan mitra kepolisian untuk
memerangi penyalahgunaan psikotropika, minimal masyarakat
memberikan informasi atau paling tidak dia menangkal untuk dirinya,
keluarganya atau dilingkungan sekitarnya”. (Wawancara 24 Juni 2011)
Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
narkotika dan psikotropika melalui pengendalian dan pengawasan jalur resmi serta
pengawasan langsung terhadap jalur-jalur peredaran gelap dengan tujuan agar
potensi kejahatan itu tidak berkembang menjadi ancaman faktual maka
berdasarkan wawancara penulis, dengan H. Achmad Tadju, SH. S.Sos (Kabag Bin
Operasional Direktorat Narkoba Polda Sulawesi Selatan) adalah:
“Upaya pre-emptif itu kita dari jajaran yang diembang oleh fungsi-fungsi,
katakanlah yang terdepan, melalui face to face atau door to door,
menyampaikan dan membina anak-anak kearah yang positif. Misalnya,
katakanalah di SD itu ada yang namannya polisi cilik, itu bagian dari
pembinaan kemudian di SMP dan SMA, melakukan pembinaan positif
misalnya menjadi inspektur upacara atau pembinaan melalui organisasi
sekolah contohnya pramuka atau osis”. (Wawancara 24 Juni 2011)
Kegiatan ini pada dasarnya berupa pembinaan dan pengembangan
lingkungan pola hidup masyarakat dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat
produklif, konstruktif dan kreatif, sedangkan kegiatan yang bersifat preventif
edukatif dengan metode komunikasi, informasi dan edukasi yang dapat dilakukan
72
melalui berbagai jalur antara lain keluarga pendidikan dan lembaga keagamaan.
Adapun cara-cara yang dilakukan oleh institusi kepolisian adalah dengan
memberikan penyuluhan terhadap dampak yang ditimbulkan dalam penggunaan
narkotika dan psikotropika ini bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarga dan
lingkungannya.
2. Dinas Sosial
Yang kedua yaitu dari pihak Dinas Sosial berdasarkan wawancara yang
dilakukan dengan H. Muchtar, SH. M.Si (Kabid Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial, Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan), mengungkapkan bahwa:
“Saat ini penyebaran narkoba sudah hampir tak bisa dicegah. Mengingat
hampir seluruh penduduk dunia dapat dengan mudah mendapat narkoba
dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Misalnya saja dari
bandar narkoba yang senang mencari mangsa didaerah sekolah, diskotik,
tempat pelacuran, dan tempat-tempat perkumpulan genk. Berbagai upaya
telah banyak dilakukan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat untuk
mencegah dan mengatasi masalah tersebut. Namun, upaya–upaya tersebut
belum bisa dikatakan berhasil. (Wawancara 19 Agustus 2011)
Dari pengakuan H. Muchtar, SH. M.Si (Kabid Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial, Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan), saat ini penyebaran narkotika dan
psikotropika sudah hampir tidak bisa dicegah karena hampir setiap orang sudah
dapat dengan mudah mendapatkan barang tersebut. Selain itu, sudah banyak
upaya yang dilakukan dengan pihak-pihak lain untuk mencegah penyalahgunaan
narkotika dan psikotropika namun belum bisa dikatakan berhasil.
Kemudian upaya yang dilakukan dari pihak Dinas Sosial itu sendiri,
berdasarkan hasil wawancara dengan H. Muchtar, SH. M.Si (Kabid Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan), adalah:
73
“Perlindungan dan advokasi sosial dalam penanggulangan korban
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika merupakan suatu kebutuhan
yang perlu segera diimplementasikan, hal ini terkait dengan pemenuhan
hak dasar terutama korban sebagai bagian dari warga negara yang perlu
dipenuhi agar dapat melangsungkan kehidupannya dengan baik.
Kemudian upaya-upaya yang dilakukan itu misalnya pendekatan terpadu,
kampanye sosial, pelayanan rehabilitasi sosial, resosialisasi, mengadakan
pelatihan kerja, melakukan pencegahan yang melibatkan masyarakat”
(Wawancara 19 Agustus 2011)
Dari wawancara yang dilakukan dengan H. Muchtar, SH. M.Si (Kabid
Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan),
upaya-upaya yang dilakukan adalah kampanye-kampanye sosial, pelayanan
rehabilitasi sosial, mengadakan pelatihan kerja serta melakukan pencegahan yang
melibatkan masyarakat.
Selain itu, perlindungan sosial terhadap korban penyalahgunaan narkotika
dan psikotropika perlu dilakukan, berdasarkan wawancara dengan H. Muchtar,
SH. M.Si (Kabid Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Provinsi
Sulawesi Selatan), mengatakan bahwa:
“Salah satu trik untuk mengkampanyekan tentang hak-hak
penyalahgunaan Napza bukan sebagai pelaku kriminalitas, memang
diperlukan sebuah keberanian untuk mengatasi permasalahan dan
hambatan tersebut. Kita perlu secara konsisten memberikan informasi
untuk mendorong, membangkitkan komitmen dan partisipasi aktif semua
potensi masyarakat, sehingga diharapkan pada saatnya nanti program
pencegahan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika dan psikotropika dapat ditetapkan sebagai kebijakan publik”
(Wawancara 19 Agustus 2011)
Korban penyalahguna narkotika dan psikotropika merupakan kebutuhan
yang harus diimplementasikan karena hal ini terkait dengan kebutuhan hak untuk
hidup yang lebih baik yang ingin dimiliki oleh setiap warga negara di Indonesia.
Menurut H. Muchtar, SH. M.Si (Kabid Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Dinas
74
Sosial Provinsi Sulawesi Selatan), seorang penyalahguna narkotika dan
psikotropika dalam hal ini pemakai, harus betul-betul diperhatikan kasus yang
dialaminya sebelum memberikan sanksi kepada yang bersangkutan. H. Muchtar,
SH. M.Si (Kabid Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Provinsi
Sulawesi Selatan), mengatakan bahwa:
“Melihat sebuah kasus, tentu tidak serta merta bisa melakukan penilaian
tertentu harus dilakukan suatu assesment terlebih dahulu yang tujuannya
untuk mempelajari rekam gejala sebuah kasus yang dihadapi seseorang,
setelah itu dari assesment baru dilakukan case confrence, dalam case
confrence (konferensi kasus) inilah Organisasi sosial, LSM para Pekerja
sosial berperan sebagai case manager (manager kasus), yang akan
melakukan tindakan referall (rujukan) terhadap kasus tersebut akan
ditangani, apakah oleh seorang psikologi atau psikiater, karena tingkat
penanganan penyalahgunaan Napza cukup berat”. (Wawancara 19
Agustus 2011)
Dari pengakuan H. Muchtar, SH. M.Si (Kabid Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial, Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan), dapat dilihat bahwa seseorang
yang menjadi penyalahguna narkotika dan psikotropika, harus terlebih dahulu
mempelajari kasus yang dialami oleh korban tersebut sebelum diberikan rujukan.
Tempat
rehabilitasi
dan
sekaligus
pengobatan
terhadap
korban
penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif lainnya telah tersedia di berbagai
tempat. Namun begitu yang lebih penting adalah bagaimana si korban dapat
bertahan dari kesembuhan, tidak kambuh lagi sepulang dari panti pengobatan dan
rehabilitasi tersebut.
D. Pembahasan
Kasus penyalahgunaan narkotika dan psikotropika beberapa tahun ini
meningkat pesat. Kota-kota besar di Indonesia termasuk Makassar sudah
75
merupakan pasar peredaran narkotika dan psikotropika. Badan Narkotika Nasional
(BNN) merilis, Sulawesi selatan berada di peringkat ke-8 pengguna narkoba
terbanyak dan paling aktif di Indonesia. Kebanyakan pemakainya adalah anak
sekolah dan putus sekolah. Fatalnya, sebagian besar dari mereka terjangkit
HIV/AIDS.
Data
Badan Narkotika Nasional
(BNN), Sulawesi
selatan
menyebutkan, pengguna narkoba di provinsi ini mencapai 103 ribu orang. Dari
jumlah tersebut, sekitar 10 persen atau 10.300 orang di antaranya berada di
Makassar. Rata-rata pengguna narkoba antara usia 10-59 tahun. Keadaan ini
sungguh sangat memprihatinkan dan mengkhawatirkan, apalagi para pelakunya
sebagian besar adalah generasi muda yang diharapkan menjadi pewaris dan
penerus perjuangan bangsa di masa depan.
Secara yuridis, instrumen hukum yang mengaturnya baik berupa peraturan
perundang-undangan maupun konvensi yang sudah diratifikasi, sebenarnya sudah
jauh
dari
cukup
sebagai
dasar
pemberantasan
dan
penanggulangan
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Tetapi dalam praktek penegakan
hukumnya masih terkesan tidak sungguh-sungguh, karena seringkali pelaku hanya
dihukum ringan atau malah dibebaskan begitu saja. Mengingat peredaran
narkotika dan psikotropika sekarang ini sudah begitu merebak, maka upaya
penanggulangannya tidak dapat semata-mata dibebankan kepada pemerintah dan
aparat penegak hukum saja, tetapi merupakan tugas dan tanggung jawab kita
bersama.
76
D.1 Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan Psikotropika
Tindakan kriminal merupakan suatu bentuk penyimpangan yang dilakukan
oleh seseorang atau kelompok terhadap nilai dan norma atau peraturan perundangundangan yang berlaku di masyarakat. Kita mengenal dua jenis kejahatan seperti
yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kita tahu bahwa perilaku menyimpang merupakan tindakan yang tidak
dikehendaki oleh masyarakat karena telah melanggar norma atau aturan-aturan
yang berlaku. Namun tetap saja perilaku menyimpang itu ada dalam masyarakat.
Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu
tindakan dikatakan sebagai perilaku menyimpang. Teori ini dikemukakan oleh
Edwin H. Sutherland. Menurut teori ini, penyimpangan bersumber dari pergaulan
dengan sekelompok orang yang telah menyimpang. Penyimpangan diperoleh
melalui proses alih budaya (cultural transmission). Melalui proses ini seseorang
mempelajari suatu subkebudayaan menyimpang (deviant subculture). Dalam teori
penyimpangan sosial, kejahatan psikotropika termasuk dalam tipe Kejahatan
Tanpa Korban (Crime Without Victim). Kejahatan tidak menimbulkan penderitaan
pada korban secara langsung akibat tindak pidana yang dilakukan.
Penyimpangan
sosial
yang
salah
satunya
yaitu
penyalahgunaan
psikotropika ini banyak terjadi pada kaum remaja karena perkembangan emosi
mereka yang belum stabil dan cenderung ingin mencoba serta adanya rasa
keingintahuan yang besar terhadap suatu hal. Menurut Dr. Graham Baliane
77
(Kartini Kartono, 1992) kaum muda atau remaja lebih mudah terjerumus pada
penggunaan narkotika karena faktor-faktor sebagai berikut.
1. Ingin membuktikan keberaniannya dalam melakukan tindakan
berbahaya.
2. Ingin menunjukkan tindakan menentang terhadap orang tua yang
otoriter.
3. Ingin melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman
emosional.
4. Ingin mencari dan menemukan arti hidup.
5. Ingin mengisi kekosongan dan kebosanan.
6. Ingin menghilangkan kegelisahan.
7. Solidaritas di antara kawan.
8. Ingin tahu.
Penggunaan narkotika dan psikotropika secara berlebih dilarang oleh
hukum karena dapat mendorong terjadinya tindak kriminal yang lain. Selain dapat
membahayakan diri sendiri dan orang lain. Bahaya terhadap diri sendiri, antara
lain dapat merusak organ-organ tubuh, sehingga tidak berfungsi sempurna, bahkan
susunan syaraf yang berfungsi sebagai pengendali daya pikir turut pula dirusak.
Akibatnya tidak dapat berpikir secara rasional dan cenderung untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku dalam
masyarakat.
78
Berdasarkan pada wawancara mendalam terhadap ketujuh informan
terlihat bahwa penyimpangan sosial yaitu penyalahgunaan psikotropika yang
sudah menjadi sesuatu yang sangat memprihatinkan karena peredarannya sudah
merebak ke mana-mana tanpa memandang bulu, baik kalangan atas hingga
kalangan bawah, anak-anak, tua, maupun muda bahkan sudah tidak mengenal
profesi apapun itu semua sudah masuk pada sebuah lingkaran setan hal ini sangat
meresahkan masyarakat karena merupakan ancaman yang sangat berbahaya bukan
hanya untuk terhadap masyarakat akan tetapi juga menjadi ancaman yang sangat
serius bagi sebuah negara karena berpotensi merusak tatanan bernegara selain itu
juga bisa merusak generasi bangsa.
Dalam kenyataannya, baik dirasakan atau tidak tetapi sangat jelas bahwa
banyak permasalahan yang ditimbulkan dari penyalahgunaan psikotropika yang
tidak sesuai dengan aturan serta prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah
baik melalui peraturan perundang-undangan serta peraturan pemerintah sudah
sangat parah, hal ini terjadi di karenakan karena beberapa faktor yang senantiasa
selalu menjadi penunjang dalam penyalahgunaan psikotropika tersebut. Meskipun
demikian penyalahgunaannyapun masih terus dilakukan, bahkan terkesan adanya
kecenderungan peningkatan sampai dengan saat ini. Kasus penyalahgunaan
psikotropika yang terjadi di lingkungan masyarakat mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun. Adapun faktor-faktor tersebut berdasarkan hasil penelitian yang
penulis lakukan adalah:
79
1. Faktor Individu
Rasa ingin tahu adalah kebutuhan setiap individu yang berasal dari dalam
dirinya, terutama bagi generasi muda dimana salah satu sifatnya adalah ingin
mencoba hal-hal
yang baru. Demikian juga dengan faktor penyebab
penyalahgunaan narkoba sebagian besar diawali dengan rasa ingin tahu terhadap
narkotika dan psikotropika yang oleh mereka dianggap sebagai sesuatu yang baru
dan kemudian mencobanya, akibat ingin tahu itulah akhirnya menjadi pemakai
tetap yang kemudian pemakai yang tergantung. Hal tersebut dialami oleh RR .
Perasaan ingin tahu biasanya dimiliki oleh generasi muda pada umur
setara siswa SD, SLTP, dan SLTA. Bila di hadapan sekelompok anak muda ada
seseorang yang memperagakan ”nikmatnya” mengkonsumsi narkotika dan
psikotropika, maka didorong oleh naluri alami anak muda, yaitu keingintahuan,
maka salah seorang dari kelompok itu akan maju mencobanya. Selain didorong
oleh keingintahuan, keberaniannya juga karena didesak oleh gejolak dalam
jiwanya yang ingin dianggap hebat, pemberani, dan pahlawan di antara temanteman sebayanya.
2. Faktor Keluarga
Banyak pengguna narkotika dan psikotropika yang berasal dari keluarga
yang tidak harmonis. Keluarga seharusnya menjadi wadah untuk menikmati
kebahagiaan dan curahan kasih sayang, wahana silih asih, silih asah, dan silih
asuh. Namun pada kenyataannya, keluarga sering sekali justru menjadi pemicu
sang anak menjadi pemakai, hal tersebut disebabkan karena keluarga tersebut
80
kacau balau. Hubungan antara anggota keluarga dingin, bahkan tegang atau
bermusuhan.
Komunikasi antara ayah, ibu, dan anak-anak sering sekali menciptakan
suasana konflik yang tidak berkesudahan, dimana bahwa penyebab konflik
tersebut sangat beragam. Solusi semua konflik adalah komunikasi yang baik,
penuh pengertian, saling menghargai dan menyayangi, serta ingin selalu
membahagiakan.
Interaksi antara orang tua dengan anak tidak cukup hanya berdasarkan niat
baik. Cara berkomunikasi juga harus baik. Masing-masing pihak harus memiliki
kesabaran untuk menjelaskan isi hatinya dengan cara yang tepat. Banyak sekali
konflik di dalam rumah tangga yang terjadi hanya karena salah paham atau
kekeliruan berkomunikasi. Kekeliruan kecil itu, dapat berakibat fatal, yaitu
masuknya narkotika dan psikotropika ke dalam keluarga.
Konflik di dalam keluarga dapat mendorong anggota keluarga merasa
frustasi, sehingga terjebak memilih narkotika dan psikotropika sebagai solusinya.
Biasanya yang paling rentan terhadap stres adalah anak, kemudian suami, dan istri
sebagai benteng terakhir. Beberapa faktor yang bersumber dari lingkungan
keluarga yang dapat mempengaruhi seseorang atau individu tertentu terjun ke
dalam lingkungan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika tersebut. Contoh
pada kasus yang dialami oleh FS.
3. Faktor Ekonomi
Dari hasil penelitian penulis faktor eksternal yang berupa faktor ekonomi
menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya penyalahgunaan kejahatan
81
psikotropika ini yang dilakukan oleh individu, hal ini disebabkan karena tuntutan
hidup yang semakin sulit. Sebagian masyarakat pada umumnya mempunyai
kecenderungan untuk hidup yang layak dan berkecukupan padahal kesejahteraan
yang dimiliki cenderung dianggap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya
sehari-hari. Salah satu contohnya adalah kasus AF dan FS, dimana mereka tidak
lagi sebagai pengkonsumsi saja tetapi juga sebagai pengedar.
4. Faktor Sosial Budaya
Selain faktor ekonomi, maka faktor sosial budaya juga dapat menyebabkan
timbulnya penyalahgunaan psikotropika di lingkungan masyarakat, dimana
pengaruh budaya luar yang begitu deras dan cepat mengalir, menyebabkan
sebagian orang cenderung meninggalkan pola hidup (budaya) lama dan beralih ke
pola budaya yang baru karena dianggap lebih modern. Hal ini lebih banyak
dialami oleh remaja yang karena keinginan mereka untuk mengekspresikan jiwa
muda yang mengalir dalam dirinya dalam menyonsong kebudayaan luar tersebut
yang dianggapnya sebagai sesuatu yang modern sampai-sampai dia tidak tersadar
akan posisinya sebagai generasi penerus bangsa.
Faktor lain yang juga menjadi penyebab banyaknya penyalahguna
narkotika dan psikotropika adalah akibat pengaruh negatif budaya barat seperti
minum minuman beralkhohol, mengisap ganja serta trend kehidupan yang
cenderung individualis mengakibatkan banyak masyarakat di negara ini yang
mengikutinya.
82
Berdasarkan wawancara, nampak ada beberapa faktor sehingga sosial
budaya dapat menyebabkan penyalahgunaan psikotropika di lingkungan
masyarakat, Pergaulan di lingkungan masyarakat semakin bebas dan tidak terikat
lagi budaya-budaya timur yang menuntut kesopanan. Lemahnya penegakan
hukum serta keadaan politik, sosial dan budaya yang kurang mendukung
sehingga menyebabkan banyak anggota masyarakat yang terjerumus ke dalam
dunia kriminalitas yang pada akhirnya karena kebutuhannya tidak terpenuhi
bertindak tidak sesuai hukum dan melakukan hal-hal yang menyimpang seperti
penyalahgunaan
psikotropika. Salah satu contohnya adalah pada kasus yang
dialami oleh MD.
5. Faktor Lingkungan
Selain itu faktor lingkungan sering pula menyebabkan terjadinya
penyalahgunaan psikotropika. Salah satu bentuk faktor lingkungan yang
menyebabkan terjadinya psikotropika adalah lingkungan tempat bergaul dengan
teman yang selalu memberikan kesempatan pada mereka untuk mengenal
psikotropika ini sehingga motif coba-coba sampai pada taraf ketagihan membuat
mereka senanatiasa untuk menyalahgunakan psikotropika.
Perasaan setia kawan sangat kuat dimiliki oleh generasi muda. Jika tidak
mendapatkan penyaluran yang positif, sifat positif tersebut dapat berbahaya dan
menjadi negatif. Bila temannya memakai narkotika dan psikotropika, maka
individu tersebut ikut juga memakai. Bila temannya dimarahi orang tuanya atau
dimusuhi masyarakat, maka pemakai membela dan ikut bersimpatik.
83
Sikap seperti itulah yang menyebabkan anak ikut-ikutan. Awalnya hanya
satu orang yang merokok, kemudian semuanya menjadi perokok. Setelah
semuanya merokok, satu orang mulai memakai ganja, lalu yang lainnya ikut
sehingga menjadi sekawanan pemakai ganja. Setelah semua memakai ganja, satu
orang memakai ecstacy, kemudian semuanya ikut, demikian seterusnya meningkat
menjadi shabu-shabu dan pada akhirnya menjadi pemakai putaw. Salah satu
contoh kasus adalah kasus AR.
D.2 Upaya-upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Psikotropika
1. Kepolisian
Satuan Narkoba adalah unsur pelaksana pada tingkat ma polrestabes yang
bertugas memberikan bimbingan teknis atas pelaksana fungsi penyidikan tindak
pidana narkoba di lingkungan polrestabes Makassar serta menyelenggarakan
fungsi tersebut yang bersifat terpusat pada tingkat wilayah antar resort kota dalam
rangka mendukung pelaksana tugas operasi pada tingkat polresta. Tugas Satuan
Narkoba antara lain:
a. Memberikan bimbingan teknis atas pelaksana fungsi reserse
narkoba tingkat polresta
b. Penyelenggaraan dan pelaksanaan fungsi reserse narkoba yang
meliputi:

Kegiatan represif kepolisian melalui upaya penyidikan
dan penyelidikan tindak pidana narkotika/obat-obat keras
psikotropika dan bahan-bahan berbahaya
84

Melakukan kegiatan pembinaan penyuluhan narkoba
c. Melaksankan fungsi satuan narkoba di lapangan dalam rangka
pembuktian secara ilmiah kasus-kasus yang ditangani
d. Menyelenggarakan dan melaksanakan operasi khusus kepolisian
atas perintah pimpinan
e. Memberikan bantuan operasi kepada satuan bawahan dan
melakukakan koordinasi dengan laboratorium forensik
f. Membantu penyelenggaraan dan pelaksana operasi khusus atas
perintah pimpinan
g. Melaksanakan
kegiatan
administrasi
operasional
termasuk
pengumpulan/penyajian data/informasi yang berkenaan dengan
aspek pembinaan dan pelaksana fungsi. (Sumber: Polrestabes
Makassar)
Upaya pencegahan dilakukan secara integral dan dinamis antara unsurunsur
aparat
kepolisian,
merupakan
upaya
yang
terus
menerus
dan
berkesinambungan, untuk merubah sikap perilaku, cara berfikir dari kelompok
masyarakat yang sudah mempunyai kecenderungan menyalahgunakan serta
melakukan tindak pidana perdagangan/peredara gelap narkotika, psikotropika, dan
zat adiktif. Upaya pencegahan yang dimaksudkan adalah untuk menciptakan
kesadaran kewaspadaan dan daya tangkal terhadap bahaya-bahaya dan memiliki
kemampuan untuk menolak zat-zat berbahaya tersebut, untuk selanjutnya dapat
85
menentukan rencana masa depannya dengan hidup sehat, produktif, kreatif dan
bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya.
Adapun
upaya-upaya
yang
dilakukakn
oleh
kepolisian
dalam
menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya adalah sebagai berikut:
1) Upaya Preventif
Upaya penanggulangan secara preventif dilakukan adalah dengan
mengupayakan untuk mencegah terjadinya kejahatan tersebut. Untuk itu, kegiatan
yang dilakukan adalah dengan mengupayakan optimalisasi kegiatan intern pada
institusi kepolisian khususnya personil dan sarananya.
a. Mengadakan pengawasan di tempat-tempat yang dianggap rawan
terjadinya penyalahgunaan narkoba, misalnya: di tempat-tempat
hiburan malam (sekitar jalan Nusantara, Makassar), hotel yang ada
kafenya (hotel clarion, retro, liquid) dan tempat untuk berkaraoke,
panti-panti pijat, terminal, pasar dan tidak menutup kemungkinan
di
pemukiman
yang
dianggap
aman
untuk
melakukan
penyalahgunaan narkoba. (Sumber : Polrestabes Makassar)
b. Melakukan operasi-operasi kepolisian dengan cara berpatroli, razia
di tempat-tempat yang dianggap rawan terjadinya penyalahgunaan
Narkoba. Polrestabes Makassar mengadakan operasi-operasi baik
yang bersifat rutin maupun yang bersifat operasi mendadak.
Operasi rutin dilaksanakan setiap hari yaitu melalui pengawasan
atau
pengamatan
di
tempat-tempat
86
yang
rawan
terjadiya
penyalahgunaan Narkoba. Adapun operasi-operasi yang dilakukan
oleh Satuan Narkoba Polrestabes Kota Makassar antara lain:

Operasi Rutin

Operasi Aman Nusa

Operasi Pekat

Operasi Ketupat Lipu 2010

Operasi Lilin Lipu 2010

Operasi Mantap Brata
(Sumber: Polrestabes Makassar)
2) Upaya Pre-emtif
Upaya pre-emtif yang dilakukan oleh beberapa kegiatan-kegiatan edukatif
dengan sasaran menghilangkan faktor-faktor penyebab yang menjadi pendorong
dan faktor peluang yang biasa disebut faktor korelatif kriminogen dari kejahatan
tersebut. Sasaran yang hendak dicapai adalah terciptanya suatu kesadaran,
kewaspadaan dan daya tangkal serta terbinanya dan terciptanya suatu kondisi
perilaku dan norma hidup bebas dari psikotropika.
Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
narkotika dan psikotropika melalui pengendalian dan pengawasan jalur resmi serta
pengawasan langsung terhadap jalur-jalur peredaran gelap dengan tujuan agar
potensi kejahatan itu tidak berkembang menjadi ancaman faktual.
87
Kegiatan ini pada dasarnya berupa pembinaan dan pengembangan
lingkungan pola hidup masyarakat dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat
produklif, konstruktif dan kreatif, sedangkan kegiatan yang bersifat preventif
edukatif dengan metode komunikasi, informasi dan edukasi yang dapat dilakukan
melalui berbagai jalur antara lain keluarga pendidikan dan lembaga keagamaan.
Adapun cara-cara yang dilakukan oleh institusi kepolisian adalah dengan
memberikan penyuluhan akan dampak yang ditimbulkan dalam penggunaan
psikotropika ini bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarga dan lingkungannya.
3) Upaya Represif
Penanggulangan secara represif dilakukan adalah dengan memberikan
tindakan kepada pelaku tindak pidana psikoropika ini sesuai hukum yang berlaku.
Upaya ini terlihat sudah dilakukan dengan baik, sejak perkara ditangani pihak
kepolisian sendiri, kemudian berkasnya dilimpahkan Pengadilan Negeri untuk
proses lebih lanjut.
Upaya pemberantasan jalur gelap dan penyalahgunaan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya diperlukan upaya terpadu baik lingkungan
nasional regional, maupun internasional. Bagi
Indonesia
yang kondisi
geografisnya terdiri dari ribuan pulau dengan garis pantai yang terbuka lebar
disadari sebagai wilayah yang amat rawan bagi lalu lintas gelap narkotika.
Pemberantasan jalur perdagangan gelap dan produksi narkotika di wilayah
sumatera, jawa dan daerah lain selama ini telah lebih intensif dilakukan oleh
aparat. Walaupun demikian, diperlukan pemberantasan yang berkelanjutan.
88
Secara konseptional pola penanggulangan penyalahgunaan psikotropika
adalah dengan melibatkan seluruh golongan dan lapisan masyarakat untuk turut
serta berperan aktif. Untuk itu dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan
narkotika dan psikotropika dilakukan melalui pola pre-emtif, preventif, refresif.
Pemberian sanksi terhadap pelaku kejahatan psikotropika hakekatnya
merupakan pengenaan penderitaan atau nestapa yang tidak menyenangkan kepada
seseorang yang telah melakukan kejahatan menurut undang-undang. Pemberian
sanksi bukan hanya ditujukan untuk memberikan penderitaan bagi pelaku, tetapi
juga untuk mewujudkan ketertiban hukum dalam suatu Negara.
2. Dinas Sosial
Permasalahan narkotika dan psikotropika saat ini telah membahayakan
kelompok remaja, antara lain: terlihat dari tingginya angka kematian; komplikasi
penyakit yang ditimbulkannya, seperti overdosis, penularan virus HIV, Hepatitis
C dan lain-lainnya; meningkatnya angka kriminalitas, serta rusaknya generasi
muda dan kehancuran keluarga. Indonesia saat ini tidak hanya menjadi daerah
pemasaran gelap narkotika dan psikotropika tapi juga sebagai daerah produsen
narkotika dan psikotropika. Sebagian besar korban penyalahgunaan narkotika dan
psikotropika berusia 15 sampai dengan 25 tahun.
89
Jumlah kasus penyalahguna narkotika dan psikotropika yang terlaporkan terus
meningkat. Fakta yang paling memprihatinkan adalah semakin banyaknya remaja
yang memulai perkenalannya dengan narkotika dan psikotropika pada usia yang
sangat muda, yaitu: menghisap rokok pada usia 6 tahun dan menggunakan obat
obat-obatan/ heroin/ narkotika dan psikotropika jenis lain pada usia 10 tahun. Hal
lain yang juga perlu mendapat perhatian yang serius adalah semakin
meningkatnya populasi penderita HIV/AIDS di kalangan pecandu narkotika dan
psikotropika dengan cara suntikan (IDU).
Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat
(Orsos/LSM) dalam penanganan korban narkotika dan psikotropika mulai dari
pendekatan medis, sosial, religi, alternatif dan lain-lain. Departemen Sosial cq
Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA
mulai tahun 2001 mengembangkan penanganan bagi korban NAPZA melalui
pendekatan terpadu (One Stop Centre) dimana dalam proses penanganan
dilakukan secara komprehensif mulai dari tahap detoksifikasi, rehabilitasi sosial,
resosialisasi dan pembinaan lanjut, dan diharapkan kepada semua Dinas Sosial
Provinsi dapat menerapkan pendekatan tersebut.
Tujuan pelayanan dari Dinas Sosial Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial adalah:
a) Memulihkan fungsi sosial korban penyalahgunaan, kecanduan, ketergantungan, pemakai narkotika dan psikotropika, obat-obat terlarang dan zat
90
adiktif,
termasuk
obat-obatan
psikoaktif
(stimulans,
depresants,
hallucinogens dan marijuana).
b) Meningkatkan ketahanan dan daya tangkal masyarakat terhadap perdagangan dan penyalahgunaan narkotika, obat-obat terlarang dan zat adiktif.
(Sumber : Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan)
Sasaran
kegiatan
penanggulangan
penyalahgunaan
narkotika
dan
psikotropika adalah seluruh remaja, keluarga dan masyarakat terutama melalui
mekanisme karang taruna dan lembaga sosial lainnya. Sedangkan strategi untuk
mencapai tujuan yaitu melalui pemberdayaan eks korban, kelompok, keluarga dan
masyarakat, optimalisasi sumber-sumber lokal, kemitraan dan kerjasama dengan
organisasi sosial kemasyarakatan dan LSM, dunia usaha, kepolisian dan perangkat
hukum dan perundang-undangan, peningkatan kapasitas pelayanan, standardisasi
pelayanan dan pengembangan kelembagaan pelayanan, desentralisasi pelaksanaan
program serta integrasi pelayanan dalam pelayanan rehabilitasi sosial. Adapun
upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika yang
dilakukan oleh Dinas Sosial Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, antara
lain:
a) Pengembangan pelayanan rehabilitasi sosial terpadu melalui ‘therapeutic
communities dan halway house’ bekerjasama dengan sektor terkait.
b) Pelayanan ‘out patient treatment’ dengan pendekatan pekerjaan sosial
medis, pelatihan dan penempatan kerja.
91
c) Pelayanan sistem pemeliharaan fungsi sosial melalui klinik ‘methadone’
bagi penyalahguna narkotika dan obat-obatan terlarang dan pelayanan
melalui sistem ‘alcoholik anonymous’ untuk alkoholik, serta bimbingan
mental keagamaan.
d) Pelayanan pemberian “antagonist drugs”.
e) Pengembangan sistem peraturan dan perundang-undangan yang ditujukan
untuk pengawasan distribusi, lisensi dan pengawasan terhadap usia
pengguna dan sistem promosi.
f) Pengembangan sistem rujukan, resosialisasi dan bimbingan lanjut.
g) Standardisasi
pelayanan
dan
rehabilitasi
sosial
bagi
korban
penyalahgunaan narkotika, obat-obatan terlarang dan zat adiktif lainnya.
h) Pengembangan
kegiatan
pencegahan
berbasis
masyarakat
dengan
melibatkan berbagai komponen masyarakat (Tokoh masyarakat, Toko
Agama, Organisasi sosial, dll).
i) Pengembangan penanggulangan penyalahgunaan Napza melalui Website/
Jaringan Internet.
j) Kampanye sosial dalam rangka pencegahan penyalahgunaan Napza
melalui kerjasama dengan dunia usaha.
k) Pembentukan
berbagai
Kelompok
Dampingan,
seperti
Kelompok
Penjangkauan (Outreachs), Tenaga Mediator, Kelompok Narcotics
Anynomous, dll. (Sumber: Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan)
Sedangkan indikator pelayanan dari Dinas Sosial Bidang Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial, antara lain:
92
a) Meningkatnya jumlah LSM/Orsos/masyarakat yang menangani permasalahan dibidang penanggulangan penyalahgunaan napza.
b) Meningkatnya jumlah korban penyalahgunaan napza yang telah mendapat
pelayanan. (Sumber : Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan)
3. Masyarakat
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika saat ini
menjadi masalah yang sangat memprihatinkan dan semakin meningkat serta
merupakan masalah bersama antara yang melibatkan pemerintah dan masyarakat
sehingga memerlukan suatu strategi yang melibatkan seluruh bangsa dalam suatu
gerakan bersama untuk melaksanakan strategi dalam menanggulangi narkotika
dan psikotropika di negara kita ini.
Dalam usaha pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba,
tokoh-tokoh masyarakat diharapkan untuk tampil sebagai aktor utama dalam
menggerakkan masyarakat, terutama para orang tua, para remaja, sekolah,
kelompok masyarakat, dan organisasi-organisasi sosial di sekitar lingkungan
untuk mencegah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba secara terpadu.
Potensi
masyarakat,
khususnya
tokoh
masyarakat
sesungguhnya
mempunyai kekuatan strategis apabila digerakkan dalam upaya pencegahan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika karena
pencegahan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika di kalangan masyarakat
adalah upaya untuk memberi kekuatan masyarakat melalui peningkatan
pengetahuan
dan
keterampilan
mereka
93
dalam
mengidentifikasi
dan
memprioritaskan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan melakukan upaya-upaya
untuk mencapai kebutuhan tersebut.
Upaya pencegahan penanggulangan dan peredaran zat-zat berbahaya
tersebut dapat dilakukan melalui berbagai jalur:

jalur keluarga

jalur pendidikan, formal dan informal

jalur lembaga-lembaga sosial swadaya masyarakat

jalur lembaga-lembaga keagamaan

jalur kelompok-kelompok teman bermain remaja/pemuda: club, seni,
olahraga, keterampilan-keterampilan lain

jalur organisasi kewilayahan, dipimpin oleh aparat RT, RW, LKMD

melalui media massa, cetak, elektronik, film, maupun seni pentas
tradisional
Upaya pencegahan dilakukan secara integral dan dinamis antara unsurunsur aparat kepolisian, dinas sosial dan masyarakat, merupakan upaya yang terus
menerus dan berkesinambungan, untuk merubah sikap perilaku, cara berfikir dari
kelompok masyarakat yang sudah mempunyai kecenderungan menyalahgunakan
serta melakukan tindak pidana perdagangan/peredaran gelap narkotika dan
psikotropika.
Upaya
penanggulangan
yang
dimaksudkan
adalah
untuk
menciptakan kesadaran kewaspadaan dan daya tangkal terhadap bahaya-bahaya
dan memiliki kemampuan untuk menolak zat-zat berbahaya tersebut, untuk
94
selanjutnya dapat menentukan rencana masa depannya dengan hidup sehat,
produktif, kreatif dan bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya.
Upaya penanggulangan bahaya narkotika dan psikotropika tidak sematamata tugas aparat kepolisian, tetapi merupakan tugas dan tanggung jawab kita
bersama. Untuk itu harus ada upaya terpadu (integrated) dari semua pihak, seperti
keluarga, sekolah, masyarakat, tokoh agama, LSM dan pemerintah untuk bersatu
padu mencegah dan memberantas bahaya narkotika dan psikotropika. Masingmasing dapat berperan sesuai bidangnya, proporsional dan tidak melanggar
rambu-rambu hukum.
95
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Hasil penelitian menunjukkan sebab sehingga terjadi penyalahgunaan
psikotropika disebabkan karena empat faktor, yaitu faktor individu,
keluarga, ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Dari kelima faktor
tersebut yang terlihat paling berpengaruh terhadap meningkatnya tindak
pidana kejahatan psikotropika adalah faktor individu. Rasa ingin tahu
setiap individu, terutama bagi generasi muda dimana salah satu sifatnya
adalah ingin mencoba hal-hal yang baru dan kemudian menjadi faktor
penyebab penyalahgunaan narkotia dan psikotropika. Rasa ingin tahu
terhadap narkotika dan psikotropika yang oleh mereka anggap sebagai
sesuatu yang baru dan kemudian mencobanya, akibat ingin tahu itulah
akhirnya menjadi penyalahguna narkotika dan psikotropika.
2. Upaya penanggulangan bagi penyalahgunaan Narkotika dan psikotropika
yang ditempuh melalui:
a. Pre-emtif berupa pembinaan pengembangan dan kegiatan-kegiatan
edukatif baik oleh keluarga, masyarakat, maupun institusi kepolisian
itu sendiri.
b. Preventif
berupa
pengawasan
penyalahgunaan psikotropika.
96
dan
pencegahan
terjadinya
c. Refresif berupa pencekalan dan penangkapan dan pemberian sanksi
yang
tegas
terhadap
oknum
masyarakat
yang
melakukan
penyalahgunaan psikotropika ini
d. Pendekatan terpadu (One Stop Centre)
Penanganan bagi korban narkotika dan psikotropika, dimana dalam
proses penanganan dilakukan secara komprehensif mulai dari tahap
detoksifikasi, rehabilitasi sosial, resosialisasi dan pembinaan lanjut.
Namun upaya-upaya diatas belum optimal karena kurangnya kesadaran
masyarakat akan bahaya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika serta
mudahnya narkotika dan psikotropika didapatkan oleh masyarakat.
B. Saran
Dengan melihat kondisi obyektif masyarakat itu sendiri yang ada hari
ini, maka penulis menyarankan sebagai berikut:
1. Masyarakat hendaknya melakukan kegiatan yang positif dan yang berguna
agar tidak terlibat dalam kasus penyalahgunaan narkotika dan psikotropika
serta memperdalam iman dan taqwa guna ketahanan diri dalam
menghadapi dan memecahkan permasalahan hidup
2. Penanggulangan kejahatan psikotropika ini bukan hanya menjadi tugas
kepolisian untuk mengawasi tapi seluruh masyarakat diharapkan mampu
berpartisipasi dalam mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan
psikotropika di dalam masyarakat itu sendiri, serta meningkatkan
kerjasama antara masyarakat dan pemerintah dalam menanggulangi
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika di Kota Makassar.
97
Download