BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah perkembangan manusia dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi menimbulkan banyak masalah sosial dan memerlukan penyesuaian terhadap perubahan sosial. Di satu pihak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memperlihatkan hasil yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, sedangkan di pihak lain akan melahirkan penyakit sosial seperti timbulnya pengangguran, kesenjangan sosial yang berdampak pada timbulnya suatu kejahatan. Kejahatan adalah suatu perbuatan secara turun temurun dilakukan oleh manusia dari dahulu sampai dewasa ini. Manusia melakukan perbuatan jahat, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Tingkah laku jahat itu bisa dilakukan oleh siapapun juga, baik wanita maupun pria, dapat pula pada usia anak, dewasa, ataupun lanjut usia. Kejahatan bisa dilakukan secara sadar yaitu dipikirkan dan diarahkan pada suatu maksud tertentu secara benar, namun juga bisa dilakukan secara tidak sadar. Untuk mempertahankan hidupnya, seseorang terpaksa melakukan suatu kejahatan. Kenyataan dewasa ini, di zaman modern ini, orang melakukan kejahatan dengan berbagai macam cara yang serba modern, baik alat yang digunakan maupun modus operandinya. 1 Perkembangan masyarakat dewasa ini telah disadari bahwa berbagai usaha manusia untuk mempertahankan hidupnya dan kadang-kadang ada orang yang memilih kejahatan dalam menyongsong era Millennium ke III Indonesia menghadapi persoalan yang berat sebagai konsekuensi dari semakin hebatnya pengaruh globalisasi dalam segala bidang, bukan saja dalam masalah politik, ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, dan keamanan yang akan menghadapi tantangan berat, akan tetapi juga dalam masalah khusus seperti penyalahgunaan psikotropika. Penyalahgunaan psikotropika telah menjadi issu yang telah mengglobal di mana hal ini telah tercatat dalam sidang umum ICPO (International Criminal Police Organization) yang ke 66 pada Tahun 1997 di India yang diikuti seluruh anggota yang berjumlah 177 negara dari benua Amerika, Asia, Eropa, Afrika, dan Australia, bahwa peredaran ecstacy mencapai 400 milyar dollar AS. Di samping itu peredaran psikotropika jenis lain pun semakin besar dan dilengkapi teknologi canggih serta melibatkan orang-orang yang justru harusnya menjadi aparat pemberantas tindak pidana psikotropika ini selain itu dengan modus yang beragam dan saat ini Indonesia telah termasuk dalam daftar tertinggi sebagai Negara yang menjadi sasaran peredaran yang bisa di sejajarkan dengan negaranegara seperti Jepang, Thailand, Malaysia, Philiphina, dan Hongkong. Kemudian seiring dengan perkembangannya memasuki tahun 2000 Indonesia tidak lagi menjadi sekedar wilayah transit atau wilayah pemasaran barang-barang tersebut tetapi telah menjadi produsen dan eksportir obat-obatan terlarang tersebut. Hal ini terungkap dari penggerebekan pabrik shabu-shabu 2 terbesar di dunia tepatnya di Bogor pada Tahun 2004, kemudian pada Tahun 2005 di Surabaya dan yang pada bulan April 2007 juga di Surabaya serta di daerahdaerah lain yang telah di grebek. Dengan kenyataan yang demikian peredaran narkoba di Indonesia semakin mudah dan murah untuk mendapatkannya oleh setiap kalangan masyarakat mulai dari anak-anak, pejabat, artis, mahasiswa bahkan oleh aparat penegak hukum, hal ini di sebabkan oleh keuntungan besar yang di janjikan dalam waktu yang singkat di balik bisnis haram ini. Walaupun melanggar hukum dengan resiko sanksi yang berat seperti pidana mati, akan tetapi masih banyak orang yang bersedia menerima resiko ini demi keuntungan dari bisnis ini, sehingga pasokan barang-barang ini tidak hanya pada kota-kota besar di Indonesia, namun peredarannya juga sudah sampai ke kota-kota kecil bahkan sudah sampai di kecamatan dan desa-desa terpencil yang pendistribusiannya melalui jalur-jalur baik darat, laut maupun udara yang terorganisasi sangat rapi dan rahasia, yang tanpa memperhatikan kepentingan moral, agama dan nasional. Karena kebutuhan akan kepentingan manusia semakin bertambah. Hal ini tentu membawa dampak negatif. Semua manusia mempunyai keinginan yang sama yaitu keinginan untuk hidup secara layak dan mampu memberikan kehidupan untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya. Perilaku sebagian masyarakat yang secara nyata telah jauh mengabaikan nilai-nilai kaidah dan norma serta hukum yang berlaku di tengah kehidupan masyarakat, seperti nilai-nilai moral, hukum adat, hukum negara, maupun agama, 3 hal tersebut memberikan suatu gambaran bahwa kehidupan masyarakat saat ini berada dalam kondisi memprihatinkan. Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut maka penulis tertarik untuk mengkaji masalah penyalahgunaan psikotropika ini yang pelakunya adalah dari masyarakat dengan judul “Tinjauan Sosiologis Kejahatan Psikotropika (Kasus Kecamatan Tamalanrea Kota Makassar)” B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah di atas, maka penulis mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah yang menjadi faktor penyebab seseorang melakukan kejahatan psikotropika? 2. Bagaimanakah upaya penanggulangan penyalahgunaan psikotropika yang di lakukan oleh masyarakat? C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian Mengacu pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini yang bisa penulis gambarkan adalah: 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab seseorang melakukan kejahatan psikotropika. 2. Untuk mengetahui upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan psikotropika yang di lakukan oleh masyarakat. Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kegunaan penelitian ini adalah: 4 1. Bagi aparat penegak hukum, khususnya kepolisian akan menjadi bahan masukan dalam rangka menjadikan kepolisian sebagai penegak hukum di garis yang terdepan sehingga kepolisian bisa menuju pada keprofesionalan guna menanggulangi peredaran psikotropika. 2. Memberi sumbangsih bagi pengembangan ilmu pengetahuan Hukum Pidana pada umumnya dan pengembangan sosiologi pada khususnya. 3. Dapat menjadi sumbangan pemikiran penelitian dalam bidang yang sama pada masa yang akan datang. D. KERANGKA KONSEPTUAL Sosiologi adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari individu, kelompok dan lembaga sosial yang membentuk masyarakat secara umum. Sosiologi ini pertamakalinya dipublikasikan dalam buku yang berjudul "Cours De Philosophie Positive" karangan August Comte (1798-1857). Walaupun banyak defenisi tentang sosiologi namun pada umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Emile Durkheim mengartikan sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial, yakni fakta yang mengandung cara bertindak, berpikir, berperasaan yang berada di luar individu di mana fakta-fakta tersebut memiliki kekuatan untuk mengendalikan individu. Teori sosiologi atau teori belajar memandang penyimpangan muncul dari konflik normatif di mana individu dan kelompok belajar norma-norma yang membolehkan penyimpangan dalam keadaan tertentu. Pembelajaran itu mungkin 5 tidak kentara, misalnya saat orang belajar bahwa penyimpangan tidak mendapat hukuman. Tetapi pembelajaran itu bisa juga termasuk mangadopsi norma-norma dan nilai-nilai yang menetapkan penyimpangan diinginkan atau dibolehkan dalam keadaan tertentu misalnya dalam penyimpangan dalam penyalahgunaan psikotropika. Teori Differential Association oleh Sutherland adalah teori belajar tentang penyimpangan yang paling terkenal. Walaupun teori ini dimaksudkan memberikan penjelasan umum tentang kejahatan, dapat juga diaplikasikan dalam bentuk-bentuk penyimpangan lainnya. Sebenarnya setiap teori sosiologis tentang penyimpangan mempunyai asumsi bahwa individu disosialisasikan untuk menjadi anggota kelompok atau masyarakat secara umum. Sebagian teori lebih menekankan proses belajar ini dari pada teori lainnya. Sementara itu Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi mengungkapkan Sosiologi sebagai ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial dan Soerjono Soekanto mendefenisikannya sebagai ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat. Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun 6 misalnya semua golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat. Tentang definisi dari kejahatan itu sendiri tidak terdapat kesatuan pendapat diantara para sarjana. R. Soesilo mengemukakan, kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban. Sedangkan psikotropika adalah zat-zat yang dibuat dalam bentuk pil dan obat yang mempengaruhi kesadaran karena sasaran obat tersebut adalah sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang). Sedangkan menurut UndangUndang Nomor 5 Tahun 1997, psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan prilaku. Masalah penyalahgunaan psikotropika di Indonesia membawa perubahanperubahan kultural sebagai konsekuensi medernisasi yang kita serap dari Negaranegara maju, yang umumnya mempengaruhi kehidupan manusia sebagai individu, keluarga, masyarakat dan bangsa. Dengan bentuknya yang bercorak sekuler, terdapat ketidakpastian fundamental di bidang hukum dan etika kehidupan terhadap perubahan sosial ini dengan serba ketidakpastiannya. Tidak semua orang mampu (terutama remaja) untuk menyesuaikan diri (adaptasi) yang pada gilirannya memberi suatu konsekuensi logis dalam realitas dengan salah satu bentuknya adalah penyalahgunaan psikotropika. 7 Penyalahgunaan psikotropika adalah kondisi yang dapat dikatakan sebagai suatu gangguan jiwa, sehingga pengguna/penderita tidak lagi mampu memfungsikan diri secara wajar dalam masyarakat bahkan akan mengarah pada prilaku maladaptif (kecemasan/ketakutan berlebihan). Kondisi ini memerlukan perhatian secara serius yang tanggung jawabnya tidak hanya pada pelaksanaan hukum semata, tetapi juga menuntut tanggung jawab moral masyarakat sebagai cikal bakal pertumbuhan seseorang (mulai kanak-kanak hingga dewasa) agar nilai-nilai moral etika kehidupan sebagai barometer terhadap apa yang layak atau apa yang wajar maupun tidak wajar tetap terjaga. Kejahatan psikotropika salah satu prilaku menyimpang yang banyak terjadi dalam masyarakat saat ini. Bentuk-bentuk penyalahgunaan psikotropika, seperti mengkonsumsi dengan dosis yang berlebihan, memperjual-belikan tanpa izin serta melanggar aturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997, tentang psikotropika. Aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam mengatasai masalah penyalahgunaan psikotropika ini. Disisi lain masalah peredaran dan penyalahgunaan ini merupakan perbuatan terlarang dan sangat membahayakan bagi yang mengkonsumsinya. Disisi lain masih kurangnya aturan yang memadai untuk menjaring para pelaku (baik pengedar maupun pengguna) dan diharapkan dengan dikeluarkannya aturan baru yaitu mengenai Undangundang Narkotika Nomor 22 Tahun 1997 dan UU Psikotropika Nomor 5 Tahun 1997, masalah penggunaan Psikotropika yang dapat merugikan kehidupan manusia dan kehidupan bangsa ini dapat diberantas. 8 Penyalahgunaan Psikotropika dapat dikategorikan sebagai kejahatan tanpa korban (crime without victim). Pengertian kejahatan tanpa korban berarti kejahatan ini tidak menimbulkan korban sama sekali, akan tetapi si pelaku sebagai korban. Kejahatan yang secara kriminologi diartikan sebagai crime without victim ini sangat sulit diketahui keberadaannya, karena mereka dapat melakukan aksinya dengan sangat tertutup dan hanya diketahui orang-orang tertentu, oleh karena itu sangat sulit memberantas kejahatan itu. Penamaan ini sebenarnya merujuk kepada sifat kejahatan tersebut, yaitu adanya dua pihak yang melakukan transaksi atau hubungan (yang dilarang) namun pihak yang melakukan transaksi merasa tidak menderita kerugian atas pihak lain (Moh. Taufik Makaro, Suhasril, Moh. Zakky, 2005:5). Kejahatan tanpa korban biasanya hubungan antara pelaku dan korban tidak kelihatan akibatnya. Dalam kejahatan ini tidak ada sasaran korban sebab semua pihak terlibat dan termasuk dalam kejahatan tersebut. Peningkatan jumlah tindak pidana psikotropika ini disebabkan karena dua hal, yaitu: pertama, bagi pengedar menjanjikan keuntungan yang besar, sedangkan bagi para pemakai menjanjikan ketenangan dan ketentraman hidup. Kedua, janji yang diberikan psikotropika itu menyebabkan rasa takut terhadap resiko tertangkap menjadi berkurang, bahkan sebaliknya akan menimbulkan rasa keberanian. Kedua hal di atas memberikan kemungkinan terciptanya peredaran narkotika yang semakin meluas dan sulit untuk diberantas. 9 Penegakan hukum terhadap tindak pidana psikotropika, telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapat putusan hakim. Dengan demikian, penegakan hukum ini diharapkan mampu menjadi faktor penangkal terhadap merebaknya perdagangan gelap serta peredaran narkotika dan psikotropika, tapi dalam kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran serta perdagangan gelap narkotika dan psikotropika tersebut. Ketentuan perundang-undangan yang mengatur masalah psikotropika telah disusun dan diberlakukan, namun demikian kejahatan yang menyangkut psikotropika ini belum dapat diredakan. Dalam kasus-kasus terakhir telah banyak bandar-bandar dan pengedar narkoba tertangkap dan mendapat sanksi berat, namun pelaku yang lain seperti tidak mengacuhkan bahkan lebih cenderung untuk memperluas daerah operasinya. Dalam kenyataannya, baik dirasakan atau tidak tetapi sangat jelas bahwa banyak permasalahan yang ditimbulkan dari penyalahgunaan psikotropika yang tidak sesuai dengan aturan serta prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah baik melalui peraturan perundang-undangan serta peraturan pemerintah sudah sangat parah karena sudah masuk menggerogoti institusi penegak hukum yaitu kepolisian, hal ini terjadi di karenakan beberapa faktor yang senantiasa selalu menjadi penunjang dalam penyalahgunaan psikotropika tersebut. Meskipun demikian penyalahgunaannyapun masih terus dilakukan, bahkan terkesan adanya kecenderungan peningkatan sampai dengan saat ini. 10 Ada beberapa faktor internal dan eksternal yang menjadi penyebab individu menyalahgunakan dan menjadi ketergantungan terhadap narkotika dan psikotropika. Menurut hasil penelitian Dadang Hawari, bahwa di antara faktorfaktor yang berperan dalam penggunaan narkotika dan psikotropika adalah faktor kepribadian anti sosial dan psikopatik, kondisi kejiwaan yang mudah merasa kecewa atau depresi, kondisi keluarga yang meliputi keutuhan keluarga, kesibukan orang tua, hubungan orang tua dengan anak, kelompok teman sebaya, dan narkotika dan psikotropika itu sendiri mudah diperoleh dan tersedianya pasaran yang resmi maupun tidak resmi. Upaya pencegahan dilakukan secara integral dan dinamis antara unsurunsur aparat dan potensi masyarakat, merupakan upaya yang terus menerus dan berkesinambungan, untuk merubah sikap perilaku, cara berfikir dari kelompok masyarakat yang sudah mempunyai kecenderungan menyalahgunakan serta melakukan tindak pidana perdagangan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Upaya pencegahan yang dimaksudkan adalah untuk menciptakan kesadaran, kewaspadaan dan daya tangkal terhadap bahaya-bahaya dan memiliki kemampuan untuk menolak zat-zat berbahaya tersebut, untuk selanjutnya dapat menentukan rencana masa depannya dengan hidup sehat, produktif, kreatif dan bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya. Kebijaksanaan internasional dalam menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya tetap mengacu pada piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional yang ada. Indonesia 11 dalam menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap, psikotropika, dan zat adiktif lain. Upaya pencegahan penanggulangan dan peredaran zat-zat berbahaya tersebut dapat dilakukan melalui berbagai jalur mulai dari jalur keluarga, jalur pendidikan (formal dan informal), jalur lembaga-lembaga sosial swadaya masyarakat, jalur lembaga-lembaga keagamaan, jalur kelompok-kelompok teman bermain remaja/pemuda (seni, olahraga, keterampilan-keterampilan lain), jalur organisasi kewilayahan, dipimpin oleh aparat RT, RW, LKMD, dan melalui media massa, cetak, elektronik, film, maupun seni pentas tradisional. Skema penanggulangan kejahatan dan pencegahan peredaran psikotropika: Internal Eksternal Faktor Penyebab Keluarga Teman Tinjauan Sosiologis Kejahatan Psikotropika Lingkungan Upaya Preventive Upaya Pencegahan Upaya Represif Upaya Preemptif 12 Harus disadari bahwa masalah penyalahgunaan psikotropika adalah suatu problema yang sangat kompleks, oleh karena itu diperlukan upaya dan dukungan dari semua pihak agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Terciptanya kehidupan yang bebas dari narkotika dan psikotropika semuanya sangat tergantung pada partisipasi semua pihak baik pemerintah, aparat keamanan, keluarga, lingkungan maupun guru di sekolah, sebab hal tersebut tidak dapat hilang dengan sendirinya meskipun telah dikeluarkan undang-undang yang disertai dengan sanksi yang keras. E. METODE PENELITIAN 1. Dasar dan tipe penelitian Dasar penelitian yang akan digunakan adalah studi kasus yaitu penelitian yang digunakan dan dilakukan secara intensif dan menjelaskan fakta secara terinci, faktual, dan akurat. Tipe penelitian yang digunakan bersifat deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran umum dan penjelasan dengan berdasarkan data-data dan informasi serta fakta – fakta yang terjadi di lokasi penelitian. 2. Waktu dan Lokasi penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan selama kurang lebih 1 (satu) bulan yakni pada bulan Juni sampai Juli tahun 2011. Penelitian ini dilakukan Makassar, khususnya di Kecamatan Tamalanrea. 13 di kota 3. Penentuan Informan Informan ditetapkan dengan cara purposive sampling yaitu sampel yang ditetapkan secara sengaja oleh peneliti dan dianggap mampu memberikan informasi atau data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Adapun informan dalam penelitian ini adalah dari masyarakat yang berkaitan dengan kejahatan psikotropika dengan kriteria utama : Pihak yang berkaitan langsung dengan permasalahan yaitu pemakai dan pengedar psikotropika. Aparat kepolisian sebagai stakeholder yang menjadi garda terdepan dalam pemberantasan suatu tindak pidana utamanya tindak pidana psikotropika. 4. Teknik Pengumpulan Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dibedakan atas data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini merujuk pada data yang langsung dari informan sedangkan data sekunder adalah data yang mendukung data primer yaitu data yang didapatkan melalui dokumen-dokumennya yang relevan dengan tujuan penelitian oleh karena itu, guna memperoleh data yang akurat dan relevan maka pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut: a) Indepth Interview Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan secara lisan dan langsung (bertatap muka) dengan anggota 14 kepolisian itu yang ditunjang oleh pedoman wawancara berdasarkan pada daftar pertanyaan yang sudah disusun oleh peneliti sebelumnya. b) Archivel Methode Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara penulis mengambil data-data dari dokumen-dokumen atau arsip-arsip yang diberikan oleh pihak-pihak yang relevan dengan permasalahan yang dibahas. c) Studi kepustakaan Data yang secara langsung diperoleh dari sumbernya berupa buku- buku, internet, dan catatan tertulis. 5. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh atau yang dikumpulkan dalam penelitian ini, baik data primer maupun data sekunder merupakan data yang sifatnya kualitatif, maka teknik analisis data yang digunakan pun analisis kualitatif, dimana proses pengolahan datanya yakni setelah data tersebut terkumpul dan dianggap telah cukup, kemudian data tersebut diolah dan dianalisis secara deduktif yaitu dengan berlandaskan kepada dasar-dasar pengetahuan umum meneliti persoalan yang bersifat khusus, dari adanya analisis inilah kemudian ditarik suatu kesimpulan. 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi A.1 Pengertian Sosiologi August comte, adalah bapak sosiologi dunia (the founding father of sociology). Lahir di Mountpelier, prancis 19 januari 1798, ia merupakan orang pertama yang menggunakan istilah sosiologi. August comte memikirkan bagaimana kaidah ilmu pengetahuan alam (fisika) dapat diterapkan dalam ilmu sosial. Menurut comte, jika pegetahuan alam yang ilmiah dapat menghasilkan kemajuan di bidang sosial. Melalui pemikirannya itu, lahirlah fisika sosial, atau yang lebih dikenal sebagai sosiologi. Comte mengembangkan sosiologi untuk merespon kekacauan yang timbul akibat revolusi yang terjadi di Eropa saat itu. Melalui sosiologi, perubahan sosial diharapkan terjadi lebih damai karena sosiologi merupakan ilmu yang sangat penting untuk mengatur kehidupan sosial. August comte juga dikenal memiliki daya ingat yang luar biasa. Ia mampu menceritakan kembali kata-kata yang tertulis hanya dengan sekali membaca. Namun, di akhir hidupnya comte mengalami gangguan mental besar dan berkhayal sebagai pendeta agama baru kemanusiaan. (sumber : Ritzer, 2004: 19) Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini dipublikasikan diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours De Philosophie Positive" karangan August Comte (1798-1857). Walaupun banyak definisi tentang 16 sosiologi namun umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Sosiologi hendak mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum. Berikut, beberapa defenisi sosiologi yang dikemukakan oleh beberapa sosiolog dunia. Pitrim Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari : i. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejalagejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan moral; hukum dengan ekonomi; gerak masyarakat dengan politik; dan lain sebagainya); ii. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala non-sosial (misalnya gejala geografis, biologis, dan sebagainya); iii. Ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial. Roucek dan Warren mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antar manusia dan kelompok-kelompok. 17 William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff berpendapat bahwa sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya adalah organisasi sosial. J. A.A van Doorn dan C.J. Lammers berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil. Selo Sumardjan dan Soelaeman soemardi meyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan prosesproses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. A.2 Objek Kajian Sosiologi Kajian Sosiologi sebagai disiplin ilmu baru muncul sejak pengkajian masyarakat lepas dari pengaruh filsafat, yaitu sejak Emile Durkheim merintis kajian mengenai realitas sosial dengan menggunakan penelitian ilmiah. Sebagai suatu ilmu, sosiologi tidak lagi mendasarkan pembicaraannya pada dugaandugaan, firasat, dan coba-coba. Hasil pemikiran ilmiah terbukti sebaliknya, sebab keluarga yang memiliki banyak anak beban hidupnya semakin besar dan sulit untuk mencukupi kebutuhannya. Emile Durkheim menjelaskan, bahwa objek studi sosiologi adalah fakta atau realitas sosial. Fakta sosial menurut Durkheim, harus dipelajari melalui kegiatan penelitian. Salah satu realitas sosial adalah kelompok-kelompok dalam masyarakat. Sosiologi mempelajari masyarakat dan perilaku sosial manusia 18 dengan meneliti kelompok yang dibangunnya. Kelompok yang dibangun manusia dalam kehidupannya di masyarakat dapat berupa keluarga, suku bangsa, komunitas dan pemerintahan, organisasi sosial, organisasi keagamaan, organisasi politik, organisasi bisnis, dan lain-lain. Tindakan dalam interaksi antar kelompok, asal-usul pertumbuhan kelompok, dan pengaruh kegiatan kelompok terhadap anggotanya juga tidak lepas dari kajian sosiologi. Max Weber berpendapat, bahwa pokok pembicaraan sosiologi adalah tindakan sosial. Tidak semua tindakan manusia tergolong tindakan sosial. Tindakan yang berorientasi kepada orang lainlah yang termasuk tindakan sosial. Ini berarti, bahwa sosiologi mempelajari interaksi manusia yang satu dengan manusia yang lain (interaksi sosial). Interaksi sosial dapat menyebabkan terjadinya perubahan sosial, sehingga kajian Sosiologi juga merupakan kajian mengenai proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Weber berpendirian bahwa hanya individu-individu yang nyata secara obyektif, dan masyarakat hanyalah satu nama yang menunjuk pada sekumpulan individu-individu. Weber juga menambahkan, bahwa seorang individu dan tindakannya sebagai satuan dasar. Pemikiran seperti ini juga tampak jelas pada konsep yang diajukan Karl Marx (1818-1883) yang menganggap bahwa sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Marx berpendapat bahwa akibat kapitalisme, masyarakat Eropa terbagi ke dalam dua kelas, yaitu kelas kaum borjuis yang menguasai semua aset produksi, dan kelas kaum proletar yang miskin dan tertindas. Oleh karena itu, Marx menyarankan agar kaum proletar 19 berjuang untuk mendobrak ketidakadilan melalui sebuah perjuangan untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas. Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, Alex Inkeles (1965) memadukan berbagai konsep tersebut, sehingga Kajian Sosiologi dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan sosial, institusi sosial, dan masyarakat. Semakin lama objek yang dikaji sosiologi semakin meluas, sehingga Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa sosiologi mempelajari tiga aspek sebagai berikut. a. Sosiologi mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial, misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik, dan sebagainya. b. Sosiologi mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala nonsosial, misalnya gejala geografis, gejala biologis, dan sebagainya. c. Sosiologi juga mempelajari ciri-ciri umum dari semua jenis gejala sosial. Dua orang sosiolog Indonesia, yaitu Selo Sumardjan dan Soelaeman soemardi menjelaskan lebih rinci pemahaman mengenai sosiologi. Menurut mereka, sebagai ilmu kemasyarakatan, sosiologi mempelajari struktur dan proses sosial, termasuk perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur pokok dalam masyarakat. Unsur-unsur pokok dalam masyarakat itu meliputi kaidah-kaidah (norma-norma kemasyarakatan), Lembaga-lembaga, kelompok-kelompok, serta lapisan-lapisan 20 dalam masyarakat. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh timbal balik antara kehidupan ekonomi dengan kehidupan politik, antara hukum dengan kehidupan beragama, antara aspek kehidupan beragama dengan masalah ekonomi, dan sebagainya. Sebuah konsep pemikiran lain yang lebih rinci, sehingga membuat kajian sosiologi bersinggungan dengan berbagai cabang ilmu lain disampaikan oleh Hassan Shadily dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Masyarakat Indonesia. Di dalam bukunya, Shadily menjelaskan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antarmanusia yang menguasai kehidupan; dengan mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh; serta berubahnya perserikatan-perserikatan, kepercayaan dan keyakinan. Untuk menganalisis cara hidup dan bergaul manusia perlu dipelajari sifat-sifat biologi manusia, seperti perasaan lapar, sakit, takut, dan kebutuhan seks yang lebih banyak diatur oleh peradaban masyarakat. Analisis seperti ini, akhirnya melahirkan cabang-cabang sosiologi sebagai berikut: a. Kriminologi, mengkaji tindak kriminal dan penyebabnya serta usaha-usaha pengembangan berbagai metode pencegahan kejahatan; b. Demografi, mempelajari bentuk, komposisi dan persebaran populasi manusia; c. Ekologi manusia, mempelajari struktur lingkungan perkotaan dan polapola penempatan dan pertumbuhan penduduknya; 21 d. Ekologi politik, mempelajari cara-cara seseorang mendapatkan dan menggunakan kekuasaan dalam suatu sistem politik, termasuk munculnya berbagai gerakan politik; e. Psikologi sosial, mempelajari tingkah laku sosial yang dilakukan oleh individu dan hubungannya dengan individu lain dalam suatu masyarakat; f. Sosiolinguistik, mempelajari cara manusia menggunakan bahasa dalam berbagai situasi masyarakat. B. Kejahatan Sosiolog berpendapat bahwa kejahatan disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Analisis terhadap kondisi dan proses-proses tersebut menghasilkan dua kesimpulan, yaitu pertama terdapat hubungan antara variasi angka kejahatan dengan variasi organisasi-organisasi sosial dimana kejahatan tersebut terjadi. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan bentuk-bentuk dan organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi. Maka, angkaangka kejahatan masyarakat, golongan-golongan masyarakat dan kelompokkelompok sosial mempunyai hubungan dengan kondisi-kondisi dan proses-proses. Misalnya, gerakan sosial, persaingan serta pertentangan kebudayaan, ideologi politik, agama, ekonomi dan seterusnya. Kedua, para sosiolog berusaha untuk menentukan proses-proses yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat. Analisis ini bersifat sosial psikologis. Beberapa orang ahli menekankan pada beberapa bentuk proses seperti imitasi, 22 pelaksana peranan sosial, asosiasi diferensial, kompensasi, identifikasi, konsepsi diri pribadi (selfconception) dan kekecewaan yang agresif sebagai proses-proses yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat. Sehubungan dengan pendekatan sosiologis tersebut diatas, dapat dikemukakan teori-teori sosiologis tentang prilaku jahat. Salah satu diantara sekian teori-teori tersebut adalah dari E.H. Sutherland yang mengatakan bahwa seseorang berperilaku jahat dengan cara yang sama dengan perilaku yang tidak jahat. Artinya, perilaku jahat dipelajari dalam interaksi dengan orang-orang lain, dan orang tersebut mendapatkan perilaku jahat sebagai hasil interaksi yang dilakukannya dengan orang-orang berperilaku dengan kecenderungan melawan norma-norma hukum yang ada. Sutherland menyebunya sebagai proses proses asosiasi yang diferensial (differential association), karena apa yang dipelajari dalam proses tersebut sebagai akibat interaksi dengan polapola perilaku yang jahat, berbeda dengan apa yang dipelajari dalam proses interaksi dengan pola-pola perilaku yang tidak suka pada kejahatan. Apabila seseorang menjadi jahat, maka hal itu disebabkan orang tadi mengadakan kontak dengan pola-pola perilaku jahat dan juga karena dia mengasingkan diri terhadap pola-pola perilaku yang tidak menyukai kejahatan tersebut. Selanjutnya diakatakan bahwa bagian pokok dari pola-pola perilaku jahat tadi dipelajari dalam kelompok-kelompok kecil yang bersifat intim. Alat-alat komuniksai seperti buku, surat kabar, film, televisi, radio memberikan pengaruhpengaruh tertentu yaitu dalam memberikan sugesti kepada orang perorangan untuk menerima atau menolak pola-pola perilaku jahat. 23 Sutherland (Principles of Criminology. 1960), berpendapat bahwa kelakuan yang bersifat jahat (Criminal behavior) adalah kelakuan yang melanggar Undang-Undang/hukum pidana. Bagaimanapun im-moril nya atau tidak patutnya suatu perbuatan, ia bukan kejahatan kecuali bila dilarang oleh UndangUndang/hukum pidana. Sutherland (1960) mencoba pula untuk memberikan defenisi dalam istilah/arti sosial (dan bukan dalam arti hukum) mengenai kejahatan. Kejahatan dalam arti ini mengandung 3 unsur : 1. Adanya suatu nilai (value) yang diterima oleh suatu kelompok atau sebagian dari kelompok yang secara politis penting. 2. Adanya isolasi atau adanya culture conflict pada bagian lain dari kelompok ini, sehingga anggota-anggotanyatidak atau kurang menerima nilai (value) tersebut sehingga dapat membahayakannya. 3. Adanya suatu paksaan dari golongan yang menerima nilai tersebut terhadap golongan yang tidak menerima nilai tersebut. Sutherland menekankan bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah prilaku yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan yang merugikan negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman sebagai upaya pamungkas. Dalam pengertian yuridis membatasi kejahatan sebagai perbuatan yang telah ditetapkan oleh negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan diancam dengan suatu sanksi. 24 Dari sudut pandang masyarakat (a crime from the social point of view). Batasan kejahatan dari sudut pandang ini memandang kejahatan sebagai setiap perbuatan yang melanggar norma-norma yang masih hidup di dalam masyarakat. Secara sosiologis kejahatan merupakan suatu prilaku manusia yang diciptakan oleh masyarakat. Walaupun masyarakat memiliki berbagai macam perilaku yang berbeda-beda, akan tetapi ada di dalamnya bagian-bagian tertentu yang memiliki pola yang sama. Keadaan ini dimungkinkan oleh karena adanya sistem kaedah dalam masyarakat. Gejala yang dinamakan kejahatan pada dasarnya terjadi di dalam proses dimana ada interaksi sosial antara bagian-bagian dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perumusan tentang kejahatan dengan pihak-pihak mana yang memang melakukan kejahatan. Adapun unsur-unsur pokok untuk menyebut sesuatu perbuatan kejahatan, yaitu: 1. Ada perbuatan yang menimbulkan kerugian (harm) 2. Kerugian yang ada tersebut telah diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). 3. Harus ada perbuatan (Criminal act) 4. Harus ada maksud jahat (Criminal intent = mens rea) 5. Ada peleburan antara maksud jahat dan perbuatan jahat. 6. Harus ada perbauran antara kerugian yang telah diatur di dalam KUHP dengan perbuatan. 7. Harus ada sanksi pidana yang mengancam perbuatan tersebut. 25 Dari ketujuh unsur pokok tersebut, ada 3 unsur terpenting, yakni kerugian, maksud jahat, dan perbuatan. B.1 Penyebab Timbulnya Kejahatan Masyarakat modern yang sangat kompleks dapat menumbuhkan aspirasiaspirasi materiil yang tinggi dan sering disertai ambisi-ambisi sosial yang tidak sehat. Kebutuhan akan pemenuhan materiil tanpa mempunyai kemampuan untuk mencapainya dengan wajar mendorong terjadinya tindakan, dengan kata lain apabila harapan tidak sesuai dengan kenyataan akan menimbulkan masalah. Defenisi kejahatan dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama dari sudut pandang hukum yang memandang kejahatan sebagai tingkah laku yang melanggar hukum pidana. Kedua dari sudut pandang sosiologis yang berpendapat bahwa kejahatan adalah setiap perbuatan yang melanggar norma-norma yang masih hidup di dalam masyarakat. (A.S Alam & Hasbi, 2005:2). Secara sosiologis kejahatan disebabkan karena adanya disorganisasi sosial. Artinya, dengan adanya disorganisasi sosial ini dapat mengakibatkan runtuhnya fungsi para pengontrol dari lembaga/institusi sosial dan memberikan kemungkinan pada individu-individu untuk bertingkah laku sesuai dengan keinginannya tanpa ada kendali, kontrol, dan tanpa penggunaan pola susila tertentu. Dengan hilangnya fungsi kontrol tadi mengakibatkan disorganisasi dalam masyarakat, dimana norma-norma institusional kehilangan efektifnya. Ditinjau dari sudut pandang sosiologi, terdapat beberapa pendekatan yang menjelaskan sebab-sebab terjadinya kejahatan. Pendekatan pertama menjelaskan bahwa individu yang disosialisir secara kurang tepat tidak dapat menyerap norma- 26 norma kultural ke dalam kepribadiannya Karena tidak mampu membedakan perilaku yang pantas dan kurang pantas menurut peradaban. Pendektan kedua menjelaskan kejahatan adalah akibat dari ketegangan yang terjadi antara kebudayaan dan struktur sosial suatu masyarakat. Sedangkan pendekatan ketiga menjelaskan individu melakukan kegiatan kejahatan karena belajar dari perbuatan kejahatan sebelumnya. Pada umumnya faktor penyebab kejahatan terdapat tiga kelompok pendapat (Gosita, 2004:143) yaitu: a) Pendapat bahwa kriminlitas itu disebabkan karena pengaruh yang terdapat di luar diri pelaku. b) Pendapat bahwa krimnalitas merupakan akibat dari bakat jahat yang terdapat di dalam diri pelaku sendiri. c) Pendapat yang menggabungkan, bahwa kriminalitas itu disebabkan baik karena pengaruh di luar pelaku maupun karena sifat atau bakat si pelaku. Klasifikasi kejahatan yang dilakukan oleh ahli-ahli sosiologi, terbagi atas: a) Violent personel crime (kejahatan kekerasan terhadap orang). Contoh: pembunuhan (murder), penganiayaan (assault), pemerkosaan (rape). b) Occasional property crime (kejahatan harta benda karena kesempatan). Contoh: pencurian kendaraan bermotor, pencurian di toko-toko besar. c) Occupational crime (kejahatan karena kedudukan/jabatan). Contoh: white collar crime, seperti korupsi. 27 B.2 Teori-teori tentang Kejahatan dari Perspektif Sosiologis Teori-teori sosiologis mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan sosial. Teori-teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori umum, yaitu: strain, cultural deviance (penyimpangan budaya), dan sosial control (kontrol sosial). (Topo Santoso, Eva Achjani S 2001:55). Perspektif strain dan penyimpangan budaya, terbentuk antara 1925 dan 1940. Teori-teori strain dan penyimpangan budaya memusatkan perhatian pada kekuatan-kekuatan sosial (sosial forces) yangmenyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Sebaliknya, teori kontrol sosial mempunyai pendekatan berbeda: teori ini berdasarkan satu asumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai konsekuensinya, teori kontrol sosial mencoba menemukan jawaban mengapa orang tidak melakukan kejahatan. Teori-teori kontrol sosial mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sosial membuat aturan-aturannya efektif. a) Teori Strain Menurut Durkheim satu cara dalam mempelajari masyarakat adalah melihat pada bagian-bagian komponennya dalam usaha mengetahui bagaimana masing-masing berhubungan satu sama lain. Dengan kata lain, jika masyarakat itu stabil, bagian-bagiannya beroperasi secara lancar susunan-susunan sosial berfungsi. Maka masyarakat seperti itu ditandai oleh keterpaduan, kerjasama, dan kesepakatan. Namun, jika bagian-bagian komponennya tertata dalam keadaan yang membahayakan keteraturan/ketertiban sosial, susunan masyarakat itu 28 dysfunctional (tidak berfungsi). Dalam konteks inilah Durkheim memperkenalkan istilah anomie (hancurnya keteraturan sosial sebagai akibat hilangnya patokanpatokan dan nilai-nilai). (Topo S & Eva A. S, 2001:56-57) b) Teori Penyimpangan Budaya (cultural deviance theories) Teori ini memandang kejahatan sebagai seperangkat nilai-nilai yang khas pada lower class (kelas bawah). Tiga teori utama dari cultural deviance theories adalah sebagai berikut: 1. Theory Sosial Disorganization Teori ini memfokuskan diri pada perkembangan area-area yang angka kejahatannya tinggi yang berkaitan dengan disintegrasi nilai-nilai konvensional yang disebabkan oleh industrialisasi yang cepat, peningkatan imigrasi, dan urbanisasi. (Topo S & Eva A. S, 2001:65). 2. Theory Differential Association Teori ini berpendapat bahwa orang belajar melakukan kejahatan sebagai akibat hubungan dengan nilai-nilai dan sikap-sikap anti sosial, serta pola-pola tingkah laku . (Topo S & Eva A. S, 2001:66) 3. Theory Culture Conflict Teori ini menegaskan bahwa kelompok-kelompok yang berlainan belajar conduct norms (aturan-aturan yang mengatur tingklah laku) yang berbeda, dan bahwa conduct norms dari suatu kelompok mungkin berbenturan dengan aturanaturan konvensional kelas menengah. (Topo Santoso, Eva Achjani S, 2001:66) 29 Ketiga teori diatas sepakat bahwa penjahat dan delinquent pada kenyataannya menyesuaikan diri bukan pada nilai konvensional melainkan pada norma-norma yang menyimpang dari nilai-nilai kelompok dominan. c) Teori Kontrol Sosial Menurut teori ini penyimpangan merupakan hasil dari kekosongan kontrol atau pengendalian sosial. Teori ini dibangun atas dasar pandangan bahwa setiap manusia cenderung untuk tidak patuh pada hukum. Oleh karena itu, para ahli teori ini menilai perilaku menyimpang adalah konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk mentaati hukum. B.3 Teori-teori tentang Kejahatan dari Perspektif lainnya Teori-teori dari perspektif lainnya ini merupakan suatu alternatif penjelasan terhadap kejahatan. Para penganut teori menjelaskan kejahatan dengan melihat kepada sifat-sifat pelaku atau kepada sosial. Mereka justru berusaha menunjukkan bahwa orang menjadi bukan karena cacat/kekurangan internal tetapaiu karena apa yang dilakukan oleh orang-orangyang berada dalam kekuasaan, khususnya mereka yang berada dalam sistem peradilan pidana. Berikut beberapa teori dari perspektif lain tentang kejahatan: 1. Teori Sosialis Teori ini mengatakan bahwa penyimpangan sebagai hasil dari proses belajar. Menurut Sutherland penyimpangan adalah konsekuensi dari kemahiran dan penguasaan atas sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang menyimpang, terutama dari subkultural atau berada di lingkungan yang menyimpang. 30 Dan teori Asosiasi diferensial dapat diterapkan untuk menganalisis: Organisasi sosial atau subkultur Penyimpangan perilaku di tingakat individual Perbedaan norma-norma yang menyimpang ataupun yang tidak, terutama pada kelompok atau asosiasi berbeda. 2. Teori Labelling Teori Labelling menjelaskan penyimpangan terjadi ketika itu sudah samapai pada tahap penyimpangan sekunder. Dalam penjelasannya teori ini menggunakan pendekatan interaksionalisme yang tertarik pada konsekuensikonsekuensi dari interaksi antara si penyimpang dan masyarakat biasa. Teori ini menekankan pada pentingnya defenisi-defenisi sosial dan sanksi-sanksi sosial negative yang dihubungkan dengan tekanan-tekanan individu untuk masuk dalam tindakan yang lebih menyimpang. (Topo Santoso, Eva Achjani S, 2001:96). B.4 Upaya Penanggulangan Kejahatan Kejahatan merupakan gejala sosial yang senantiasa dihadapi oleh setiap masyarakat di dunia ini. Kejahatan dalam keberadaannya dirasakan sangat meresahkan, disamping itu juga mengganggu ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat berupaya semaksimal mungkin untuk menanggulangi kejahatan tersebut. Upaya penanggulangan kejahatan telah dan terus dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Berbagai program dan kegiatan telah dilakukan sambil terus menerus mecari cara paling tepat dan efektif untuk mengatasi masalah tersebut. 31 Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial yang terdiri dari kebijakan/ upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat. (Barda Nawawi Arief (2007:77) Kebijakan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan menggunakan sarana ”penal” (hukum pidana), maka kebijakan hukum pidana khususnya pada tahap kebijakan yudikatif harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan social itu berupa ”social welfare” dan “social defence”. (Barda Nawawi Arief (2007:77) Lain halnya menurut Baharuddin Lopa (2001:16) bahwa “upaya dalam menanggulangi kejahatan dapat diambil beberapa langkah-langkah terpadu, meliputi langkah penindakan (represif) disamping langkah pencegahan (preventif).” Langkah-langkah preventif menurut Baharuddin Lopa, (2001:16-17) itu meliputi : a) Peningkatan kesejahteraan rakyat untuk mengurangi pengangguran, yang dengan sendirinya akan mengurangi kejahatan. b) Memperbaiki sistem administrasi dan pengawasan untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan. c) Peningkatan penyuluhan hukum untuk memeratakan kesadaran hukum rakyat. 32 d) Menambah personil kepolisian dan personil penegak hukum lainnya untuk lebih meningkatkan tindakan represif maupun preventif. e) Meningkatan ketangguhan moral serta profesionalisme bagi para pelaksana penegak hukum. Solusi preventif adalah berupa cara-cara yang cenderung mencegah kejahatan. Solusi supresif adalah cara-cara yang cenderung menghentikan kejahatan sudah mulai, kejahatan sedang berlangsung tetapi belum sepenuhnya sehingga kejahatan dapat dicegah. Solusi yang memuaskan terdiri dari pemulihan atau pemberian ganti kerugian bagi mereka yang menderita akibat kejahatan. Sedangkan solusi pidana atau hukuman juga berguna, sebab setelah kejahatan dihentikan pihak yang dirugikan sudah mendapat ganti rugi, kejahatan serupa masih perlu dicegah entah dipihak pelaku yang sama atau pelaku lainnya. Menghilangkan kecendrungan untuk mengulangi tindakan adalah suatu reformasi. Solusi yang berlangsung kerena rasa takut disebut hukuman. Entah mengakibatkan ketidakmampuan fisik atau tidak, itu tergantung pada bentuk hukumannya. Hal tersebut terkait dengan pandangan Jeremy Bentham (2006:307) bahwa yang mengemukakan bahwa “Tujuan hukuman adalah mencegah terjadinya kejahatan serupa, dalam hal ini dapat memberi efek jera kepada pelaku dan individu lain pun untuk berbuat kejahatan”. Kejahatan adalah suatu persoalan yang selalu melekat dimana masyarakat itu ada. Kejahatan selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun. 33 Segala daya upaya dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan atau menguranagi meningkatnya jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agar dapat kembali sebagai warga masyarakat yang baik. Masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan, tidaklah sekedar mengatasi kejahatan yang sedang terjadi dalam lingkungan masyarakat, tapi harus diperhatikan pula, atau harus dimulai dari kondisi yang menguntungkan bagi kehidupan manusia. Perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk menanggulangi kejahatan. Hal itu menjadi tugas dari setiap kita, karena kita adaIah bagian dari masyarakat. C. Pengertian Psikotropika dan Jenis-jenisnya C.1 Pengertian Psikotropika Psikotropika adalah obat yang bekerja pada atau mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman (WHO,1966). Obat psikotropika memiliki efek yang sangat luas. Istilah psikotropika mulai banyak di pergunakan pada Tahun 1971. Menurut Hidayat sastrowardoyo (Hari Sasangka 2003:34) didalam farmakologi, obat-obat psikotropika digolongkan: a. Obat-obat yang menekan fungsi-fungsi psikis tertentu disusunan syaraf pusat (SSP). 1. Obat golongan neuroleptika Disebut juga obat antipsikotika adalah obat-obat yang menekan fungsifungsi psikis tertentu,tanpa menekan fungsi- fungsi umum seperti berfikir dan berkelakuan normal. Obat-obat ini dapat meredakan emosi dan agresi, dapat pula 34 menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa seperti tipuan-tipuan dan pikiranpikiran khayal (halusinasi) serta menormalisasi kelakuan-kelakuan yang tidak normal. 2. Obat yang tergolong transquilizer Adalah obat-obat penenang yang berkhasiat selektif terhadap terutama bagian otak yang menguasai emosi-emosi kita, yakni sistim limbis. b. Obat-obat yang menstimulir (merangsang) fungsi-fungsi tertentu disusunan syaraf pusat (SSP). 1. Obat golongan anti depresiva Adalah obat-obat yang dapat memperbaiki suasana jiwa (“mood”) dan dapat menghilangkan atau meringankan gejala-gejala murung,yang disebabkan oleh kesulitan-kesulitan sosial,ekonomi,obat atau penyakit. 2. Obat golongan psikostimulansia Obat-obat ini berkhasiat mempertinggi inisiatif, kewaspadaan serta prestasi fisik dan mental,rasa letih dan kantuk ditangguhkan.suasana jiwa dipengaruhi silih berganti, sering kali terjadi euhporia (rasa nyaman),tak jarang disforia (rasa tak nyaman) bahkan depresi tak layak digunakan sebagai anti depresivum.Termasuk kelompok ini adalah amfetamin-amfetamin,metilvanidad,fenkamin dan juga kofein (lemah). Menurut Sardjono. O. Santoso dan Metta Sinta Sari Wiria, (Hari Sasangka 2003:68), pembagian psikotropika yang lain adalah: c. Obat anti psikosis (minor transquilizer, neuroleptik); d. Obat anti antiensietas / anti kecemasan (minor transquilizer, antineurosis); 35 e. Obat anti depresi; f. Obat psikotogenik, yaitu obat yang dapat menimbulkan kelainan tingkah laku, disertai halusinasi, ilusi, gangguan cara berfikir dan perubahan alam perasaan. Obat ini kadang-kadang disebut obat halusinogen. Pasal 3 UU No.5 Tahun 1997, disebutkan lebih lanjut, bahwa tujuan pengaturan Psikotropika adalah: 1. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan; 2. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika; 3. Memberantas peredaran gelap psikotropika. Pasal 1 angka 1 UU No.5 tahun 1997 pengertian psokotropika terdapat dalam Bab 1 Ketentuan Umum ,bahwa : Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. C.2 Jenis-jenis Psikotropika 1. STIMULAN Dalam Farmakologi menurut M. Ridha Ma’roef (1976:45) bahwa “Golongan stimulansia adalah obat-obat yang mengandung zat-zat yang merangsang terhadap otak dan syaraf, obat-obat tersebut digunakan untuk daya konsentrasi dan aktivitas mental dan fisik”. 36 Adapun obat-obatan yang termasuk stimulan antara lain sebagai berikut : a. Amphetamine (Amfetamin) Menurut M. Ridha Ma’roef (1976 : 46) Bahwa “Amfetamin ditemukan oleh OGATO dari jepang pada tahun 1919. Amfetamin pertama kali di gunakan sebagai obat asma, yang pada waktu iu untuk menggantikan Ephedrine”. Lanjut menurut M. Ridha Ma’roef (1976: 46) bahwa Kegunaan amfetamin dalam medis adalah : 1. Untuk gangguan pemusatan perhatian / hipersensitivitas pada anak. 2. Untuk gangguan depresi 3. Untuk menghilangkan rasa lelah 4. Untuk mencegah serta menghilangkan rasa shock pembedahan 5. Untuk mengurangi nafsu makan. Karena amfetamin mempunyai efek samping yang tidak menguntungkan seperti: memperbanyak suasana jiwa bahkan depresi setelah pemakaian dan bersifat adiktif (membuat ketergangtungan), maka penggunaan sebagai anti depresi tidak di anjurkan. b. Ecstacy Ecstacy merupakan salah satu jenis psikotropika yang bekerja sebagai perangsang. Zat tersebut banyak disalah gunakan di Indonesia terutama oleh kelompok remaja dan kalangan eksekutif. Menurut M. Ridha Ma’roef (1976 : 49) bahwa : Ecstacy berbentuk tablet, kapsul atau serbuk. Dalam penggunaannya bisa diminum dengan air atau dihirup 37 lewat hidung. Setelah 40 menit setelah ditelan, obat ini langsung menyerang susunan syaraf pusat (SSP), yang menyebabkan perubahan pada aktivitas mental dan perilaku. Ecstacy membuat pemakai merasa percaya diri, riang, dan merasa gembira. Karena ecstacy dibuat dengan bahan dasar amfetamin, maka efek dan akibat yang ditimbulkan juga mirip dengan amfetamin. c. Shabu Nama shabu adalah nama julukan terhadap zat Metamfetamin, yang mempunyai sifat stimulansia (peransang) SPP yang lebih kuat dibanding turunan. Nama shabu adalah nama julukan terhadap zat Metamfetamin, yang mempunyai sifat stimulansia (peransang) SPP yang lebih kuat dibanding turunan Amfetamin yang lain. Penyebaran shabu yang marak Karena obat ini bisa dibuat dengan mudah di laboratorium-laboratorium illegal dari bahan-bahan yang relative murah. Cara penggunaan shabu adalah: Karena shabu mudah hancur pada suhu tertentu, sehingga cara pemakaiannya sering diuapkan atau dihisap. Pemakaian yang unik, yakni dibakar di atas kertas timah dan dihisap melalui alat yang disebut “Bong”. Cara lain dengan dirokok sebagai campuran tembakau, suntikan atau dihirup melalui hidung. Dengan cara ini, zat akan diserap di paru-paru dan efek yang ingin dicapai (high) akan bertahan lebih lama. Di samping efek yang menyenangkan menurut M. Ridha Ma’roef (1976 : 52) bahwa pemakaian shabu sering menyebabkan pemakai : a. Bertindak agresif, kasar dan menyerang; b. Cemas, depresi, bingung dan sulit tidur; c. Lama tidurnya, kerap jungkir balik, semalaman tidak tidur, siang baru tidur; 38 d. Paranoid atau kecurigaan yang tidak berdasar. Lanjut menurut M. Ridha Ma’roef (1976 : 52) Dalam jangka panjang penggunaan shabu akan menimbulkan : a. Gangguan serius pada kejiwaan dan mental; b. Jantung (denyut jantung tidak teratur); c. Pembuluh darah rusak. 2. DEPRESIVA Menurut M. Ridha Ma’roef (1976: 56) bahwa “depresiva adalah obat- obatan yang bekerja mempengaruhi otak dan SPP yang didalam pemakaiannya dapat menyebabkan timbulnya depresi pada si pemakai”. Efek yang dicari dalam penggunaan depresiva adalah rasa susah hilang, ada rasa tenang dan nyaman yang kemudian mungkin membuat seseorang tidur. Di dalam medis menurut M. Ridha Ma’roef (1976: 56) biasanya obat-obat depresiva dipergunakan untuk: 1. Membuat tenang pasien, karena mengurangi rasa cemas (gelisah) dan meredakan ketegangan emosi dan jiwa; 2. Membantu pasien untuk memudahkan tidur; 3. Membantu dalam proses penyembuhan darah tinggi; 4. Pengobatan pasien dalam kasus epilepsy (ayan). Adapun obat-obatan yang biasa dilihat dan termasuk jenis depresiva adalah sebagai berikut: 39 a. Barbitura Menurut M. Ridha Ma’roef (1976 : 56) bahwa Barbitura Berfungsi menekan/depresi terhadap SSP, semua tingkat depresi dapat dicapai, mulai dari sedasi (meredakan), hypnosis (menidurkan), berbagai tingkat anaestesi (membuat tidak sadar), koma (pingsan) sampai kematian. Lebih lanjut Menurut M. Ridha Ma’roef (1976 : 57) Penggunaan barbitura dalam medis untuk : 1) Sebagai obat tidur; 2) Untuk menenangkan; 3) Untuk pengobatan penyakit epylepsi (ayan). b. Benzodiazepin Menurut Widayat Sastrowardoyo, (Hari Sasangka 2003 :86) mengemukakan bahwa sebagian besar Benzodiazepin yang ada dipasaran dimanfaatkan khasiatnya, sehubungan dengan kemampuan mendepresi SSP. Secara umum benzodiasepin di dalam medis (Hari Sasangka 2003: 86) dipergunakan untuk: 1) Pelemas otot 2) Mengobati insomnia (sulit tidur) 3) Mencegah kecemasa, yakni pengurangan terhadap rangsangan emosi. 3. HALUSINOGEN Menurut Widayat Sastrowardoyo, (Hari Sasangka 2003: 86) bahwa: Halusinogen adalah obat-obatan yang dapat menimbulkan daya khayal (halusinasi) yang kuat, yang menyebabkan salah persepsi tentang lingkungan dan 40 dirinya baik yang berkaitan dengan pendengaran, penglihatan maupun perasaan”. Dengan kata lain obat-obat jenis halusinogen memutarbalikan daya tangkap kenyataan obyektif. Menurut Widayat Sastrowardoyo, (Hari Sasangka 2003 :87) efek-efek setelah pemakaian halusinogen adalah : 1) Rasa khwatir yang kuat 2) Gelisah dan tidak bisa tidur 3) Biji mata yang membesar 4) Suhu badan yang meningkat 5) Tekanan darah yang meningkat 6) Gangguan jiwa berat Setelah pemakaian, seseorang akan merasa tenang dan damai dalam dalam sesaat sesudah itu menjadi murung, ketakutan atau gembira berlebihan. Psikotropika termasuk zat adiktif dalam arti zat tersebut dapat menimbulkan adikasi yaitu ketagihan atau ketergantungan yang semakin lama tanpa disadari akan selalu meningkat takaran atau dosisnya mungkin sampai pada tingkat dosis keracunan, yang dapat menyebabkan kematian. Zat ini memiliki empat sifat utama, yaitu: 1. keinginan yang tak tertahankan terhadap zat yang dimaksud dan kalau perlu dengan jalan apapun untuk memperolehnya 2. ketergantungan untuk menambah takaran sesuai dengan toleransi tubuh 41 3. apabila pemakaian zat tersebut dihentikan akan menimbulkan kecemasan, kegelisahan, depresi, dan gejala psikis negatif lain pada pemakai 4. apabila pemakaian zat ini dihentikan, akan menimbulkan gejala fisik yang dinamakan gejala putus zat. (Sulchan, 1999:39) Karena dampak seperti di atas maka penggunaan psikotropika harus di bawah pengawasan dokter secara ketat. Akibat yang ditimbulkan bagi para penyalahguna psikotropika yang sudah ketagihan antara lain: a. Secara fisik Rusaknya organ-organ tubuh seperti sel-sel saraf otak, jantung, ginjal, lever, menyebabkan stroke, mudah tertular virus HIV, pendarahan otak, sex bebas, dan bahkan mengarah pada kematian. b. Secara psikis dan tingkah laku Daya ingat dan daya pikir menurun, emosi tidak stabil, malas, sukar tidur, suka bohong, suka mencuri, lamban, masa bodoh, konsentrasi menurun. c. Terhadap masa depan Drop out, keluar dari pekerjaan, dia akan bersifat apatis, yakni sudah tidak ada perhatian terhadap diri, lingkungan, apalagi masa depannya. d. Secara materiil Pecandu psikotropika harus mengeluarkan uang minimal Rp. 60.000/ hari untuk membeli barang haram tersebut, menjual habis barang- barangnya dan untuk memenuhi tuntutan jasmani maupun kebutuhan akhirnya terlibat ke dalam jaringan peredarannya. (Sulchan, 1999:23) 42 Kesimpulannya efek samping yang ditimbulkan oleh para penyalahguna psikotropika secara fisik akan membahayakan jiwa. Sedangkan efek lainnya adalah selain penghancuran secara fisik, tetapi juga menimbulkan penghancuran ekonomi, budaya, bahkan kelangsungan masa depan sebuah bangsa. Sebagai contoh akibat penyalahgunaan psikotropika, seperti penggunaan ecstasy dapat menyebabkan terjadi kelelahan, mimpi buruk pada malam hari, makan berlebihan, mudah sedih, putus asa, sampai akhirnya bunuh diri. Atas dasar itulah peredaran dan penyalahgunaan psikotropika menjadi kian marak, ditambah lagi dengan banyaknya kelompok dan orang- orang yang ingin memperoleh keuntungan dengan cepat dan menjadikan peredaran serta perdagangan secara gelap psikotropika, dengan segala bentuknya sebagai jalan pintas memperoleh kekayan secara instant. Perdagangan gelap ini dilakukan oleh organisasi kejahatan yang bersifat internasional, yang sangat rapi, cepat, dinamis, bersifat rahasia, dengan modus operandi dan teknologi canggih dengan melibatkan perputaran dana yang besar termasuk pengamanan hasil-hasilnya. Bahkan diantaranya sampai memiliki pasukan pengawal bersenjata yang terlatih, profesional, dan mampu bertahan menghadapi kekuatan hukum pemerintahan yang resmi dari suatu Negara. 43 BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran kota Makassar Kota Makassar merupakan kota terbesar keempat di Indonesia dan terbesar di Kawasan Timur Indonesia memiliki luas areal 175,79 km2. Dengan kecamatan terluas yaitu biringkanaya (48,22 km2) dan tersempit yaitu kecamatan Mariso (1,82 km2 )Sebagai pusat pelayanan di Kawasan Timur Indonesia (KTI), Kota Makassar berperan sebagai pusat perdagangan dan jasa, pusat kegiatan industri, pusat kegiatan pemerintahan, simpul jasa angkutan barang dan penumpang baik darat, laut maupun udara. Kota ini berada pada ketinggian antara 0-25 m dari permukaan laut. Masyarakat Kota Makassar terdiri dari beberapa etnis yang seperti etnis Bugis, etnis Makassar, etnis Cina, etnis Toraja, dan etnis Mandar. Tabel 2. Luas Wilayah Tiap Kecamatan di kota Makassar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Kecamatan Tamalanrea Biringkanaya Manggala Panakkukang Tallo Ujung Tanah Bontoala Wajo Ujung Pandang Makassar Rappocini Tamalate Mamajang Mariso Luas (km²) 31,84 48,22 24,14 17.05 5,83 5,94 2,10 1,99 2, 63 2.52 9,23 20,21 2,25 1,82 Sumber: Badan Pusat Statistik Makassar 2010 44 Secara geografis Kota Metropolitan Makassar terletak di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan pada koordinat 119°18'27,97" 119°32'31,03" BT dan 5°00'30,18" – 5°14'6,49" LS dengan luas wilayah 175.77 km2 dengan batas: Batas Utara : Kabupaten Pangkajene Kepulauan Batas Selatan : Kabupaten Gowa Batas Timur : Kabupaten Maros Batas Barat : Selat Makasar Peta Kota Makassar Sumber: Badan Pusat Statistik Makassar 2010 a) Pemerintahan Secara administrasi kota ini terdiri dari 14 kecamatan dan 143 kelurahan. Jumlah anggota DPRD kota Makassar tahun 2009 sebanyak 50 orang merupakan wakil dari 7 fraksi, 7 orang adalah perempuan, hal ini menunjukkan bahwa kaum 45 perempuan telah diperhitungkan untuk menduduki jabatan legislatif sekalipun porsinya masih relatif kecil sebesar 14 %. Tabel 3 : Distribusi Desa/Kelurahan Menurut Kecamatan di Kota Makassar 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Kecamatan MARISO MAMAJANG TAMALATE RAPPOCINI MAKASSAR UJUNG PANDANG WAJO BONTOALA UJUNG TANAH TALLO PANAKKUKANG MANGGALA BIRINGKANAYA TAMALANREA MAKASSAR Kelurahan 9 13 10 10 14 RW 50 57 71 37 45 RT 230 292 308 140 159 10 58 262 8 12 12 15 11 6 7 6 143 82 51 91 101 91 66 89 82 971 504 201 445 553 420 368 480 427 4.789 Sumber: Badan Pusat Statistik Makassar 2010 b) Penduduk Penduduk kota Makassar tahun 2009 tercatat sebanyak 1.272.349 jiwa yang terdiri dari 610. 270 laki-laki dan 662.079 perempuan. Komposisi penduduk menurut jenis kelamin dapat ditunjukkan dengan rasio jenis kelamin penduduk kota Makassar yaitu sekitar 92,17 persen, yang berarti setiap 100 penduduk wanita terdapat 92 penduduk laki-laki. Penyebaran penduduk kota Makassar dirinci menurut kecamatan, menunjukkan bahwa penduduk masih terkonsentrasi di wilayah Tamalate, yaitu sebanyak 154.464 (12,14 %) dari total jumlah penduduk, disusul kecamatan 46 Rappocini sebanyak 145.090 jiwa (11,4 %). Dan kecamatan yang terendah adalah kecamatan Ujung Pandang sebanyak 29.064 jiwa (2,28 %). Tabel 4: Distribusi Penduduk Menurut Kecamatan, Jenis Kelamin dan Sex Rasio di Kota Makassar Laki-laki Perempuan Jumlah 26.719 29.075 74.745 69.137 39.832 28.712 31.589 79.719 75.953 44.311 55.431 61.294 154.464 145.090 84.143 Rasio Jenis kelamin 93,06 94,04 93,76 91,03 89,89 13.795 15.269 29.064 90,35 17.147 29.460 24.185 67.101 64.365 48.219 62.660 43.200 610.270 18.386 33.271 24.918 70.232 72.190 52.265 67.991 47.273 662.079 35.533 62.731 49.103 137.335 136.555 100.484 130.651 90.473 1.272.349 93,26 88,55 97,06 95,54 89,16 92,26 92,16 91,38 92,38 Penduduk No Kecamatan 1 2 3 4 5 MARISO MAMAJANG TAMALATE RAPPOCINI MAKASSAR UJUNG PANDANG WAJO BONTOALA UJUNG TANAH TALLO PANAKKUKANG MANGGALA BIRINGKANAYA TAMALANREA MAKASSAR 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Sumber: Badan Pusat Statistik Makassar 2010 c) Pendidikan Pada tahun 2009/2010 di kota Makassar, jumlah Sekolah Dasar sebanyak 459 unit dengan jumlah guru sebanyak 6.542 orang dan jumlah murid sebanyak 145.749 orang. Jumlah SLTP sebanyak 171 unit dengan jumlah guru sebanyak 4.630 orang dan jumlah murid sebanyak 59.101 orang. Jumlah SLTA 112 unit dengan jumlah guru sebanyak 4.817 orang, jumlah murid sebanyak 65.277 orang. 47 d) Kesehatan Pada tahun 2009 di kota Makassar terdapat 16 Rumah Sakit, yang terdiri dari 7 Rumah Sakit Pemerintah/ABRI, 8 Rumah sakit Swasta serta Rumah Sakit khusus lainnya. Jumlah Puskesmas pada tahun 2009, dari 121 unit puskesmas dapat dikategorikan menjadi 37 puskesmas, 47 puskesmas pembantu dan puskesmas keliling 37 buah. e) Agama Tempat peribadatan umat Islam berupa masjid dan mushalla pada tahun 2009 masing-masing berjumlah 923 buah dan 48 buah. Tempat peribadatan Kristen berupa gereja masing-masing 137 buah gereja protestan dan 8 buah gereja katolik. Tempat peribadatan untuk agama Budha dan Hindu masing-masing 26 buah dan 3 buah. Tabel 4: Distribusi Peristiwa Kejahatan/ Pelanggaran Yang Dilaporkan, Diselesaikan Dirinci Menurut Jenisnya di Kota Makassar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Jenis Kejahatan/ pelanggaran Kebakaran Perzinahan Perjudian Pembunuhan Penganiayaan berat Penganiayaan ringan Pencurian berat Pencurian ringan Pencurian dengan kekerasan Penggelapan Penipuan Pengrusakan Penadahan 2007 2008 2009 Dilapor Selesai Dilapor Selesai Dilapor Selesai 36 8 31 6 27 11 23 17 14 6 15 16 83 70 85 70 137 186 23 31 22 22 21 18 643 476 405 285 266 249 317 296 194 164 354 310 715 705 321 336 468 481 252 250 411 612 228 300 368 104 335 86 389 83 352 705 171 14 184 356 108 16 214 371 76 4 140 201 44 9 270 423 101 1 192 268 65 45 48 14 Lain-lain kejahatan 1.806 1.366 1.318 Pencurian 15 kendaraan 372 37 382 bermotor Pelanggran lalu 16 33.125 31.343 20.974 lintas 17 Kecelakaan 704 528 680 Jumlah 40.162 35.597 26.054 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Makassar 2010 1.133 1.369 1.202 43 685 65 19.771 31.479 27.852 486 22.968 717 37.277 541 31.631 B. Gambaran Kecamatan Tamalanrea Secara geografis Kecamatan Tamalanrea berbatasan dengan Kecamatan Manggala dan Kecamatan Panakukang di sebelah selatan, sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Biringkanaya, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Maros dan sebelah barat dengan selat Makassar dan Kecamatan Ujung tanah. a) Pemerintahan Kecamatan Tamalanrea mempunyai luas wilayah 31,84 km², secara administrasi terbagi atas 6 kelurahan yaitu Kelurahan Tamalanrea, Kelurahan Tamalanrea Jaya, Kelurahan Tamalanrea Indah, Kelurahan Kapasa, Kelurahan Bira dan Kelurahan Parangloe, dan terbagi 82 RW dan 427 RT. b) Penduduk Penduduk Kecamatan Tamalanrea tahun 2010 tercatat sebesar 90.473 jiwa yang terdiri dari 43.200 laki-laki dan 47.273 perempuan. Komposisi penduduk menurut jenis kelamin dapat ditunjukkan dengan rasio jenis kelamin. Rasio jenis 49 kelamin penduduk kecamatan Tamalanrea yaitu sekitar 91 yang berarti setiap 100 penduduk wanita terdapat 91 penduduk laki-laki. Ditinjau dari kepadatan penduduk per km persegi, kecamatan Tamalanrea mempunyai kepadatan 2.606 jiwa per km persegi. Kecamatan Tamalanrea yang kepadatan penduduknya masih rendah masih memungkinkan untuk pengembangan daerah pemukiman terutama di beberapa kelurahan. c) Pendidikan Pada tahun 2009/2010 di Kecamatan Tamalanrea, jumlah Sekolah Dasar sebanyak 29 unit dengan. Jumlah SLTP sebanyak 5 unit. Jumlah SLTA 7 unit, Jumlah Perguruan Tinggi 13 unit dan lembaga pendidikan Agama sebanyak 20 unit. d) Kesehatan Tahun 2009/2010 di Kecamatan Tamalanrea terdapat 11 unit Rumah Sakit Umum. Dari 7 unit puskesmas dapat dikategorikan menjadi 3 puskesmas, 4 puskesmas pembantu dan 3 poliklinik. Selain itu terdapat 18 apotik, 53 posyandu, 21 toko obat dan 11 tempat dokter praktek. e) Mata Pencaharian Pada tahun 2009/2010 mata pencaharian penduduk di Kecamatan Tamalanrea yang terbesar pertama adalah buruh dengan 9013 orang, yang kedua pegawai negeri/pegawai swasta 4219 orang, TNI/POLRI 2054 orang, tukang batu/tukang kayu 1941 orang, dan selebihnya adalah pengusaha, pedagang, 50 penjahit, pengrajin, nelayan, peternak, montir, dokter, sopir, tukang becak, dan lain-lain. f) Agama Pembangunan agama disamping ditujukan untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa juga dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan beragama dan terpeliharanya kerukunan antar umat beragama, serta meningkatkan kesadaran dalam melaksanakan pembangunan. Penduduk kecamatan Tamalanrea mayoritas beragama Islam 89.5% selebihnya Kristen (Katolik & Protestan) 8,6%. Hindu dan Budha masing 0,4% dan 1,4%. Sedangkan prasarana peribadatan umat Islam berupa mesjid 71 unit dan mushollah 4 unit, gereja Kristen 6 unit, gereja Katolik 1 unit dan pura 1 unit. 51 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Informan Bab ini menyajikan temuan data di lapangan, dimana dalam bab ini diketengahkan dalam bentuk penjelasan tentang profil masing-masing informan. Dengan mendeskripsikan profil ini diharapkan akan pemahaman secara mendalam terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang menyalahgunakan psikotropika serta upaya-upaya negara dan masyarakat dalam memberantas penyalahgunaan psikotropika tersebut. Dalam penelitian ini peneliti menentukan informan dengan cara purposive sampling yaitu penarikan informan yang dilakukan secara sengaja oleh peneliti dengan kriteria tertentu yang ada pada informan. Jumlah informan sebanyak 7 orang yang terdiri dari 5 orang penyalahguna psikotropika, 1 orang dari pihak kepolisian, dan 1 orang dari pihak dinas sosial dimana informan tersebut dianggap memahami tentang penyalahgunaan psikotropika. Penggambaran profil dari keenam informan tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Informan AF Informan pertama adalah seorang pria berinisial AF lahir di kota Rappang, 10 Desember 1987. AF adalah seorang bujang dan bekerja sebagai karyawan di salah satu hotel di Kota Makassar. Dia memiliki tinggi rata-rata, bertubuh gemuk, berkulit putih. Sehari-harinya ia adalah orang yang disukai di lingkungan tempat 52 tinggalnya maupun di tempat kerjanya. AF yang berumur 24 tahun dan merupakan anak tunggal. Saat berumur 9 tahun dia ikut pamannya untuk dan bersekolah di salah satu sekolah dasar di kabupaten Maros tapi setahun kemudian dia kembali ke Kota Rappang untuk tinggal bersama orangtuanya dan melanjutkan sekolahnya hingga tamat SMA. Keluarga AF tergolong keluarga yang mampu dalam memenuhi kebutuhan Ekonominya. Saat ini AF mengontrak rumah di Kelurahan Tamalanrea, ia tinggal sendiri. Rumah ini ditinggalinya sejak ia menamatkan sekolahnya di SMA 1 Rappang, kemudian melanjutkan pendidikannya ke sebuah yayasan pendidikan dan mengambil jurusan Ekonomi. 2. Informan FS Informan kedua adalah seorang pria bujang berinisial FS kelahiran Maros, 18 februari 1987 dan sekarang berumur 23 tahun. FS merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara, dan ketiga kakaknya telah berkeluarga. Keluarga FS tergolong keluarga yang mampu dalam memenuhi kebutuhan ekonominya. FS menyelesaikan sekolahnya dari SD hingga tamat SMA kabupaten maros. Sekarang ini FS tinggal bersama keluarganya di salah satu perumahan dikawasan Kelurahan Tamalanrea Indah sejak tahun 2009. FS tinggal bersama sepupunya yang juga merupakan pemilik rumah. 3. Informan RR Informan ketiga adalah seorang laki- laki bujang berinisial RR kelahiran Bone 23 agustus 1986 dan sekarang berumur 25 tahun. RR memiliki tinggi ratarata, bertubuh gemuk, berkulit hitam. Dia merupakan anak tunggal. RR 53 menghabiskan masa sekolahnya dari SD hingga SMA di kota tersebut dan Saat ini RR bekerja sebagai karyawan musiman pabrik gula di kabupaten Takalar. Ayahnya adalah pensiunan karyawan dimana saat ini RR bekerja, dan ibunya sebagai ibu rumah tangga dan saat ini kedua orangtuanya tinggal di kota maros. Keluarga RR tergolong keluarga yang mampu dalam memenuhi kebutuhan ekonominya. Saat ini RR tinggal di Kelurahan Kapasa, ia tinggal sendiri. Rumah ini ditinggalinya sejak ia bekerja di pabrik gula di Takalar tahun 2008. 4. Informan AR Informan keempat adalah seorang pria bujang berinisial AR dan berusia 23 tahun. AR lahir di Makassar, tanggal 2 oktober 1987. Saat ini AR adalah seorang mahasiswa jurusan Ekonomi di salah satu Perguruan Tinggi Swasta. Di Makassar AF tinggal keluarganya di Kelurahan Tamalanrea Jaya, AR sendiri merupakan anak ke-3 dari 4 bersaudara. Saat berumur 7 tahun ia pindah ke Kota Maros dan tinggal bersama neneknya, disana ia menamatkan sekolahnya dari SD hingga SMP, kemudian saat lulus SMP ia kembali ke Makassar dan melanjutkan sekolahnya ke tingkat SMA. 5. Informan MD Informan kelima adalah seorang pria bujang kelahiran Sinjai, 27 september 1990, berinisial MD, berumur 21 tahun. Ia adalah seorang wirausaha. MD sejak kecil sudah pindah bersama kedua orang tuanya ke Kota Maros. Di kota inilah MD menamatkan sekolahnya dari SD hingga SMA. MD sendiri adalah anak ke-2 dari 3 bersaudara, ia memiliki seorang kakak perempuan yang kini telah bekerja disebuah perusahaan Telekomunikasi dan seorang adik laki-laki yang kini 54 masih duduk di bangku SMA. Setelah menyelesaikan pendidikannya, MD ke Makassar untuk membantu usaha ayahnya. Di Makassar, MD tinggal di rumah milik pribadi di Kelurahan Kapasa bersama ayah dan kedua saudaranya. Sedangkan ibunya sendiri tinggal di kota maros karena mempunyai usaha rumah makan yang harus dijalankannya. MD termasuk keluarga yang mampu bahkan bisa dikatakan kaya, itu terlihat dari properti yang dimilikinya. 6. Informan H. Achmad Tadju, SH. S.Sos Informan keenam adalah seorang polisi bernama H. Ahmad Tadju, SH. S.Sos, dan umurnya sekitar 48 tahun. H. Ahmad Tadju, SH. S.Sos berpangkat AKBP dan menjabat sebagai Kabag Bin Operasional di Direktorat Reserse Narkoba Polda Sulawesi Selatan. Dia bertubuh gemuk, memiliki tinggi rata-rata, sebagian rambutnya sudah memutih, dan mempunyai suara yang lantang. 7. Informan H. Muchtar, SH. M.Si Informan ketujuh adalah seorang pria bernama H. Muchtar, SH. M.Si, dan umurnya sekitar 45 tahun. H. Muchtar, SH. M.Si menjabat sebagai Kabid Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial di Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan. Dia bertubuh agak kurus, memiliki tinggi rata-rata, berkulit coklat dan rambutnya berwarna hitam. 55 B. Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan Psikotropika 1. Kasus AF AF yang biasa di panggil “A” telah mengenal narkotika dan psikotropika sejak duduk di bangku SMA di Kota Rappang Kabupaten Sidrap. Kemudian setelah ditanya tentang apa itu psikotropika, AF mengungkapkan: “Ya, jelas saya tahu, kalau psikotropika itu seperti obat-obatan dari bahan kimia, misalnya shabu-shabu, putaw, ecstacy beda dengan narkotika. Kalau narkotika masih alami, belum terolah contohnya ganja.” (Wawancara 12 Juni 2011) Dari pengakuan AF diatas, terlihat bahwa AF sudah tahu betul apa itu psikotropika. AF yang sudah cukup lama mengenal narkotika dan psikotropika dari teman-teman bergaul semasa SMA, mengungkapkan: “Saya pakai begituan (psikotropika) sejak SMA, sekitar tahun 2002 sampai sekarang, saya tahu psikotropika dari teman sekolahku. Dulu saya sering memakai topsi (ganja yang telah dilinting dan siap di hisap), sekali-kali saya memakai shabu-shabu karena di tempat saya dulu masih jarang ditemukan yang seperti itu”. (Wawancara 12 Juni 2011) AF yang sudah hampir 10 tahun ini telah sering kali mengkonsumsi barang haram tersebut dan mengaku mengenal psikotropika dari teman sekolahnya sewaktu SMA dan pertama kali mengkonsumsi ganja. AF menggunakan psikotropika jenis shabu-shabu karena tuntutan kerja yang harus dijalaninya setiap malam, AF mengungkapkan: “Saya pertama memakai karena memang enak, tapi belakang ini karena tuntutan kerja. Saya kan kerja malam hari, jadi kalau sudah pakai shabushabu perasaan saya tidak mengantuk, saya merasa lebih semangat bekerja. Tidak cepat capek dan lebih percaya diri berkomunikasi dengan orang lain”. (Wawancara 12 Juni 2011) 56 AF merasa dituntut untuk selalu tampil lebih prima dan dengan mengkonsumsi psikotropika jenis shabu-shabu, AF pun dapat tampil prima dan percaya diri karena merasa malu. Dalam lingkungan kejahatan psikotropika, AF tidak hanya sebagai pemakai, AF juga berperan sebagai pengedar sekaligus perantara. Apabila ada temannya yang ingin barang tersebut ia selalu menjadi perantara antar bandar dengan pemakai, seperti yang diungkapkannya: “Ambil di Bandar toh…!!. Kalau saya ingin memakai lagi, saya langsung beli ke bandarnya tidak pakai perantara karena saya sudah akrab dengan orang itu (bandar). Kecuali kalau teman saya yang ingin memakai, barulah saya yang pergi untuk mengambilkannya. Biasa juga kalau saya tidak punya uang, biasanya saya pergi ambil paket ke bandar baru saya jual. Kalau paket kecil biasanya saya jual harga 400 ribu, kemudian saya jual dengan harga 500 ribu jadi saya bisa untung 100 ribu, kemudian yang 400 ribunya saya kembalikan ke bos saya (sambil tersenyum)”. (Wawancara 12 Juni 2011) Dari pengakuan AF diatas, terlihat jelas bahwa selain mengkonsumsi psikotropika jenis shabu-shabu, AF juga berperan sebagai pengedar atau perantara apabila dia tidak mempunyai uang. AF menjual barang tersebut diatas harga normal yang bandar jual ke orang lain sehingga AF bisa mendapatkan keuntungan. AF yang awalnya mengenal narkotika jenis ganja kemudian beralih ke psikotropika jenis shabu-shabu mengaku tidak merasa ketagihan sejak menggunakan barang tersebut. AF hanya menggunakan barang tersebut agar bisa tampil prima tanpa mengetahui bahaya narkotika atau psikotropika jika dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama. Sebagaimana yang dituturkannya bahwa: “Jujur, tidak apa-apa, tidak ada perasaan ketergantungan atau ketagihan. Dulu waktu SMA, pertama saya mengkonsumsi masih ada perasaan ketergantungan, tapi sekarang sudah tidak lagi…mungkin karena sudah 57 biasa, jadi saya sudah tahu bagaimana rasanya shabu-shabu itu”. (Wawancara 12 Juni 2011) Pengakuan AF diatas menjelaskan bahwa AF tidak lagi merasa mengalami ketergantungan terhadap psikotropika karena dia telah tahu betul “nikmat” dari psikotropika jenis shau-shabu tersebut. Tidak lama kemudian peneliti menanyakan tentang bahaya menggunakan psikotropika, AF menerangkan: “Kalau bahayanya, jelas saya tahu…jadi, saya tidak mungkin untuk terus memakainya, pasti suatu hari saya berhenti. Shabu-shabu itu tidak seperti putaw yang langsung disuntikan masuk ke aliran darah…yang pakai putaw inilah yang banyak kena AIDS. Tetapi saya tidak pernah pakai yang seperti itu, saya tidak berani…karena dulu di komplek dekat rumahku, ada 12 orang berteman sejak dari SMA, mereka semua pakai putaw, Satu per satu meninggal karena overdosis, ihh…saya tidak mau seperti itu!!!”. (Wawancara 12 Juni 2011) Dari pengakuan AF dia atas ia masih saja mengkonsumsi shabu-shabu karena menurutnya shabu-shabu itu tidak begitu berbahaya seperti halnya putaw yang efeknya sangat keras dan mematikan seperti yang dialami oleh temantemannya dan AF mengetahui efek menggunakan suntik yang bisa berpenyakit HIV-AIDS. AF yang sudah hampir 10 tahun mengkonsumsi narkotika dan psikotropika mengaku belum pernah tertangkap oleh aparat kepolisian, walaupun sudah tahu hukumannya AF masih tetap saja melakukan kejahatan tersebut. Kemudian saat ditanya tentang hukuman yang didapatkan apabila tertangkap basah mengkonsumsi atau mengedarkan psikotropika, AF mengungkapkan: “Belum pernah, dan semoga tidak pernah…(sambil tersenyum)”. (Wawancara 12 Juni 2011) 58 Pengakuan AF diatas menerangkan bahwa dia tidak ingin tertangkap oleh aparat kepolisian. Kemudian saat AF ditanya tentang hukuman apabila kedapatan tertangkap basah menggunakan atau mengedarkan psikotropika, AF menjawab: “Jelas saya tahu, sekarang kan sudah ada aturan baru. Jika kedapatan membawa 1gram hukumannya adalah direhabilitasi tetapi jika kedapatan lagi baru dipenjarakan tapi saya tidak tahu berapa tahun?”. (Wawancara 12 Juni 2011) 2. Kasus FS FS yang biasa di panggil “P” telah mengenal narkotika dan psikotropika sejak duduk di bangku SMA, seperti yang di ungkapkannya saat ditanya tentang psikotropika: “Saya tidak tahu pasti, tapi yang jelasnya psikotropika itu semacam zat yang bisa membuat tenang pikiran”. (Wawancara 12 Juni 2011) Terlihat dari pengakuan FS diatas bahwa dia belum tahu betul apa itu psikotropika. Psikotropika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkannya ke dalam tubuh manusia. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat, halusinasi atau timbulnya khayalankhayalan yang menyebabkan efek ketergantungan bagi pemakainya. FS pertama kali mengenal dan mengkonsumsi psikotropika dari teman bergaul semasa SMA. Seperti yang diungkapkannya: “Waktu kelas 2 SMA saya mulai menghisap topsi (ganja), sejak disini (makassar) baru kemudian saya tahu itu shabu-shabu”. (Wawancara 12 Juni 2011) 59 FS sudah cukup lama mengkonsusmsi narkotika terlihat dari pengakuannya diatas. FS sejak kelas 2 SMA sudah mengenal narkotika jenis ganja. FS dalam kehidupan sehari-harinya sangat bergantung kepada psikotropika. Ia pertama kali mengkonsumsi narkotika dan psikotropika karena rasa kecewa karena merasa kurang mendapatkan perhatian dari orang tuanya. Karena itulah maka FS mengkonsumsi shabu-shabu seperti yang di ungkapkannya: “Dulu hanya untuk menghilangkan perasaan stress karena saya merasa kecewa dengan ayah saya. Setiap kali saya meminta sesuatu ke ayah saya, selalu tidak pernah ditanggapi, setelah marah-marah di rumah baru kemudian dikasih. Tidak seperti kakak saya…kalau meminta langsung dikasih. Suatu hari, saya pergi dari rumah…saya tinggal di rumah teman hampir 2 minggu, tidak lama kemudian saya dikasih hisap topsi (ganja) sama teman saya, lama kelamaan saya mulai merasa enak, jadi setiap saya punya uang biasanya saya suruh teman saya untuk membelikan paket 50 ribu, atau kalau teman saya juga ingin menghisap, biasa kami kumpul uang kemudian membeli paket yang 300 ribu kemudian dihisap sama-sama”. (Wawancara 12 Juni 2011) Berdasarkan penuturan FS, hubungan buruk yang disebabkan oleh kegagalan berkomunikasi antara FS dengan ayahnya menyebabkan FS merasa kesal. Hal ini menjadi faktor pemicu pemakaian narkotika dan psikotropika oleh FS. Saat ini FS dalam lingkungan kejahatan psikotropika berperan sebagai pengedar dan pengguna. FS menjadi seorang pengguna karena rasa frustasi yang pernah dialaminya semasa SMA dan saat ini FS mengaku juga telah menjadi pengedar : “Jangan bilang sama orang lain nah…saya mengedarkan belum lama ini, mungkin belum cukup setahun…karna saya juga butuh uang untuk kebutuhan sehari-hari saya. Saya merasa tidak enak lagi untuk minta uang ke ayah saya karena tidak lama sejak meninggalnya ibu saya, ayah 60 saya menikah lagi, sejak itulah saya sudah jarang berhubungan ,juga sudah jarang saling berbicara, mungkin karena sudah punya keluarga baru”. (Wawancara 12 Juni 2011) Disini terlihat bahwa, faktor keluarga juga turut berperan dalam maraknya penyalahgunaan narkoba. Saat ini, ibu FS yang telah meninggal dunia dan ayahnya telah berkeluarga lagi demikian juga dengan ketiga kakaknya. Karena kesibukannya, ayah FS terkadang tidak punya waktu untuk berkomunikasi dengan FS. Dampaknya FS merasa tidak diperhatikan sehingga FS mencari orang lain diluar rumah yang mau memperhatikan mereka, dan membentuk nilai – nilai sendiri dengan mengkaitkan dirinya dengan cara menggunakan narkotika dan psikotropika. Informan FS yang telah mengkonsumsi psikotropika kurang lebih 7 tahun, mengaku perasaannya biasa-biasa saja apabila tidak mengkonsumsi shabu-shabu. Perasaan lelah, lapar dan mengantuk FS rasakan setelah efek dari shabu-shabu itu sudah hilang, seperti yang diungkapkannya: “Biasa-biasa jih, kecuali kalau sudah pakai kemudian efek obat itu sudah tidak ada, perasaan saya biasanya lelah, lemas, mengantuk, dan lapar. Tapi kalau sudah makan dan tidur, biasanya sudah bisa normal lagi seperti biasa”. (wawancara 12 Juni 2011) Shabu-shabu sebagaimana diketahui umum dapat mengakibatkan efek yang sangat kuat pada sistem syaraf. Pemakai shabu-shabu secara mental akan bergantung pada zat ini dan penggunaan yang terus menerus dapat merusakan otot jantung dan bahkan menyebabkan kematian. FS yang belum tahu efek buruk dari mengkonsumsi psikotropika dalam jangka waktu yang panjang, mengaku masih juga sering mengkonsumsinya. 61 “Dampak buruknya (sambil berfikir)…Saya tidak tahu, paling seperti tadi yang saya bilang, seperti lemas, lapar, mengantuk. Selain itu, saya tidak tahu karena saya belum pernah rasakan”. (Wawancara 12 Juni 2011) Pengakuan FS di atas memperlihatkan bahwa FS hanya merasakan dampak kecil dari penggunaan psikotropika jenis shabu-shabu, AF belum tahu dampak buruk apabila mengkonsumsi shabu-shabu dalam jangka waktu yang lama. Terkait dengan penangkapan penyalahguna Narkotika dan psikotropika, FS yang saat pertama kali mengenal dan mengkonsumsi psikotropika semasa SMA karena rasa kecewa yang pernah dialaminya mengaku belum pernah tertangkap aparat kepolisian. Dikatakannya bahwa: “Alhamdulillah, belum pernah dan semoga saja tidak pernah”. (Wawancara 12 Juni 2011) FS yang belum pernah tertangkap aparat kepolisian mengaku belum tahu jelas hukuman apabila mengkonsumsi dan mengedarkan psikotropika, seperti yang diungkapkannya: “Tidak tahu, paling tidak masuk penjara atau rutan. Tapi siapa juga yang mau tertangkap? Makanya saya hati-hati kalau mau mengkonsumsi, jadi biasanya kalau saya sudah mengkonsumsi ditempat ini, besok saya pindah lagi di tempat lain, lusa saya pindah lagi ke tempat lain, yang jelas saya berpindah-pindah tempat. Apalagi menjual, saya cuma menjual ke orang-orang yang saya percaya, kalau orang baru saya tidak akan kasih”. (Wawancara 12 Juni 2011) Dari pengakuan FS diatas, terlihat bahwa FS sangatlah berhati-hati dalam melakukan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. FS tidak ingin tertangkap oleh aparat kepolisian sehingga FS bila ingin mengkonsumsi psikotropika jenis shabu-shabu FS selalu berpindah-pindah tempat. Selain pemakai FS juga berperan 62 sebagai pengedar tetapi FS tidak menjual barang tersebut kepada orang yang tidak dia percaya. 3. Kasus RR RR yang biasa di panggil “W” telah mengenal narkotika dan psikotropika sejak duduk di bangku SMA di Kota Bone, seperti yang di ungkapkannya saat ditanya tentang psikotropika: “Setahu saya, psikotropika itu semacam obat-obatan yang bisa membuat tenang pikiran”. (Wawancara 15 Juni 2011) Psikotropika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan pengaruhpengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkannya ke dalam tubuh manusia. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat, halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan yang menyebabkan efek ketergantungan bagi pemakainya RR pertama kali mengenal dan mengkonsumsi psikotropika dari teman bergaul semasa SMA. Seperti yang diungkapkannya: “pertama kali saya tahu psikotropika dari teman bergaul saya di Bone. waktu saya SMA, kalau tidak salah tahun 2003. Dulu pertama kali saya pakai shabu-shabu”. (sumber : wawancara 15 Juni 2011) RR sendiri dalam kehidupan sehari-harinya tidak begitu bergantung kepada psikotropika. Ia pertama kali mengkonsumsi psiktropika jenis shabushabu karena rasa keingintahuannya. Perasaan ingin tahu biasanya dimiliki oleh generasi muda pada umur setara siswa SD, SLTP, dan SLTA. Bila di hadapan sekelompok anak muda ada seseorang yang memperagakan, ”nikmatnya” mengkonsumsi narkotika dan psikotropika, maka didorong oleh naluri alami anak 63 muda, yaitu keingintahuan, maka salah seorang dari kelompok itu akan maju mencobanya. Selain didorong oleh keingintahuan, keberaniannya juga karena didesak oleh gejolak dalam jiwanya yang ingin dianggap hebat, pemberani, dan pahlawan di antara teman-teman sebayanya. Karena rasa keingintahuannya itulah maka RR mengkonsumsi shabu-shabu seperti yang di ungkapkannya: “Pertama memakai shabu-shabu karena hanya ingin coba-coba, saya ingin tahu bagaimana rasanya, dan ternyata asik. Saya merasa lebih percaya diri, pikiran juga tenang saya juga merasa kuat kerja walaupun tidak makan sehari. Saat pertama mengkonsumsi perasaan masih biasa saja, lama-kelamaan sudah terasa enak”. (Wawancara 15 juni 2011) RR dalam lingkungan penyalahguna psikotropika tidak terlibat sebagai pengedar tetapi hanya sebagai pengguna. RR menjadi seorang pengguna karena rasa keingintahuannya terhadap barang haram tersebut, RR mengaku tidak begitu bergantung terhadap barang tersebut, ia hanya mengkonsumsi psikotropika apabila ada teman yang mengajaknya. “Saya mengkonsumsi karena biasanya ada teman yang mengajak, tapi teman yang beli, bukan saya. Jadi saya hanya tunggu yang gratisan saja”. (Wawancara 15 Juni 2011) RR awal mulanya mengawali pemakaian narkotika dan psikotropika karena rasa keingintahuannya terhadap barang tersebut. Banyak pelajar atau mahasiswa mengawali kebiasaan memakai narkotika dan psikotropika yang awalnya karena mencoba kemudian karena ketagihan ia kemudian selalu mengkonsumsinya seperti halnya yang dialami RR. Ini berarti informan RR yang telah mengkonsumsi psikotropika kurang lebih 9 tahun, mengaku perasaannya biasa-biasa saja apabila tidak mengkonsumsi shabu-shabu, seperti yang diungkapkannya: 64 “Perasaan saya biasa-biasa saja, saya merasa tidak mengalami ketergantungan, kalau ada…yah, konsumsi lagi, kalo tidak ada…mau bagaimana lagi?”. (Wawancara 15 Juni 2011) RR yang belum tahu efek buruk dari mengkonsumsi psikotropika dalam jangka waktu yang panjang, mengaku masih juga sering mengkonsumsi barang tersebut apabila ada teman yang mengajaknya. “Kalau dampak buruknya, saya tidak tahu, konsumsi saja, urusan dibelakangan kalau memang ada apa-apanya (sambil tertawa)”. (Wawancara 15 Juni 2011) RR yang saat pertama kali mengenal dan mengkonsumsi psikotropika semasa SMA karena rasa keingintahuannya mengaku tidak tahu hukuman apabila mengkonsumsi psikotropika, menurutnya: “Paling masuk dipenjara, hanya itu…!! Kalau saya belum pernah tertangkap dan semoga tidak pernah”. (Wawancara 15 Juni 2011) Dari pengakuan RR, terlihat bahwa ia belum tahu jelas hukuman bila menyalahgunakan narkotika dan psikotropika, RR tidak tahu berapa denda yang harus dibayarnya apabila kedapatan mengkonsumsi narkotika dan psikotropika. 4. Kasus AR Setelah peneliti menanyakan profil dan riwayat informan, peneliti kemudian menanyakan tentang apa itu psikotropika. Dan dari pengakuan informan AR, ia jelas tidak tahu apa itu psikotropika, seperti yang diungkapkannya: “saya tidak tahu apa itu psikotropika? Yang saya tahu cuma memakai saja karena rasanya enak (sambil tersenyum)” (Wawancara 14 Juni 2011) 65 AR yang awal mulanya mengenal narkotika jenis ganja dari temannya sejak kelas 1 SMA, mengungkapkan: “Sejak saya kelas 1 SMA, saya kenal psikotropika dari teman bergaul dekat rumah saya”. (Wawancara 14 Juni 2011) Pada umumnya kebanyakan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dimulai atau terdapat pada masa remaja, sebab masa remaja yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik maupun sosial yang pesat merupakan individu yang rentan untuk menyalahgunakan narkotika maupun psikotropika tersebut. Anak atau remaja dengan ciri-ciri tertentu mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi penyalahgunanya dan salah satunya contohnya adalah AR, seperti yang diungkapkannya: “Awalnya karena saya diberi sama teman, tapi lama kelamaan keasikan. Rata-rata juga teman bergaul saya mengkonsumsi topsi (ganja) dan shabu-shabu, saya merasa tidak enak dengan teman kalau tidak juga mengkonsumsi, siapa tahu mereka berpikir saya tidak menghargainya” (Wawancara 14 Juni 2011) AR yang mengalami ketergantungan karena pengaruh dari teman, terjadi akibat lingkungan pergaulannya yang kurang sehat, dimana banyak teman sepergaulan yang mengkonsumsi narkotika dan psikotropika agar tidak diasingkan dari lingkungan pergaulannya, ia mulai terpengaruh untuk mengkonsumsi barang haram tersebut, misalnya : sesama teman sepermainan, teman sekolah, teman kuliah, teman bekerja ataupun teman bisnis, seperti halnya yang dialami AR. AR yang sudah cukup lama mengenal narkotika dan psikotropika, mengaku sudah banyak jenis yang telah dikonsumsinya, menurut pengakuan AR: “Saya mengkonsumsi psikotropika mungkin sudah hampir 9 tahun, karena saya mulai mengkonsumsi sejak SMA kelas 1 sampai sekarang. Dan sudah Banyak macam saya pakai, dulu hanya topsi (ganja), lama-kelamaan saya 66 mulai memakai shabu-shabu, ecstacy, dan ineks. (Wawancara 14 Juni 2011) Narkotika dan psikotropika dapat menyebabkan efek dan dampak negatif bagi pemakainya. Dampak yang negatif itu sudah pasti merugikan dan sangat buruk efeknya bagi kesehatan mental dan fisik. Meskipun demikian terkadang beberapa jenis obat masih dipakai dalam dunia kedokteran, namun hanya diberikan bagi pasien-pasien tertentu, bukan untuk dikonsumsi secara umum dan bebas oleh masyarakat. Oleh karena itu obat dan narkotik yang disalahgunakan dapat menimbulkan berbagai akibat yang beraneka ragam. AR yang saat pertama kali mengonsumsi psikotropika pernah mengalaminya, AR mengungkapkan: “Dulu itu kalau saya tidak mengkonsumsi perasaan saya bingung, tidak tahu arah, bimbang, banyak pikiran, pusing, yang pasti tidak enak. Jadi biasanya kalau perasaanku sudah seperti itu, saya pergi lagi beli di bandar, kalau saya tidak punya uang, saya pinjam dulu uang sama teman saya, yang jelas saya dapat barang itu (shabu-shabu). Tapi itu dulu, sekarang sudah tidak lagi karena saya sudah tahu bahayanya. Dan sekarang saya sudah berpikir untuk berhenti mengkonsumsi jadi saya sudah mulai mengurangi untuk mengkonsumsinya karna saya tidak mungkin bisa langsung berhenti mengkonsumsi. Dulu saya berpikiran hanya untuk senang-senang saja dengan teman…belum tahu arti dari masa depan”. (Wawancara 14 Juni 2011) Selain yang diungkapkan AR, efek eforia (Perasaan gembira berlebih) dan paranoia (suka berkhayal) yang menyertainya tidak jarang menyebabkan penggunanya celaka. Banyak yang tidak mampu lagi mengendalikan diri setelah mamakai shabu-shabu. Kerusakan otak yang menetap akibat pemakaian jangka panjang, terjadi akibat degenerasi system saraf pusat. Akibatnya banyak pecandu yang mengalami penyakit gangguan daya ingat, motorik dan bicara. 67 AR yang sudah lama mengenal narkotika dan psikotropika mengaku belum pernah tertangkap oleh aparat kepolisian, seperti yang diungkapkannya: “Kalau tertangkap polisi, saya belum pernah…hanya kakak saya yang pernah melihat saya mengkonsumsi, waktu itu saya mengkonsumsi topsi (ganja) di dalam kamar, deh…saya dimarah-marahi tapi untungnya saya tidak dilaporkan ke ibu saya”. (Wawancara 14 Juni 2011) Kemudian saat ditanya tentang hukuman yang didapatkan apabila kedapatan mengkonsumsi narkotika atau psikotropika, AR menjawab: “Kalau hukumannya, sudah jelas masuk penjara. Tapi, semoga saja saya tidak pernah tertangkap karena saya sudah berniat untuk berhenti memakai”. (Wawancara 14 Juni 2011) Disini AR mengetahui bahwa penjara adalah sanksi yang akan diterimanya apabila ditangkap basah oleh pihak kepolisian. Tapi, AR berharap tidak mengalami hal itu dan memang telah berniat berhenti menggunakannya secara bertahap. 5. Kasus MD MD yang biasa disapa “S” mengaku mengenal psikotropika sejak tinggal di Makassar dari tahun 2008 lalu, MD mengaku belum tahu apa itu psikotropika, seperti yang diungkapkannya: “Saya tidak tahu, tapi yang jelas psikotropika itu semacam obat-obatan terlarang untuk menenangkan pikiran”. (Wawancara 17 Juni 2011) MD yang mengaku mengenal psikotropika jenis shabu-shabu, dari temannya, seperti yang diungkapkannya: “Dari teman, pertama saya sering di kasih coba shabu-shabu oleh teman lama-kelamaan, saya sudah merasa keenakan, jadi biasanya saya menyuruh teman saya untuk membelikannya”. (Wawancara, 17 Juni 2011) 68 Dari pengakuan MD diatas, ia pertama kali mengkonsumsi psikotropika jenis shabu-shabu karena temannya yang sering memberikannya dan lama kelamaan MD mulai merasakan “nikmat” dari shabu-shabu tersebut. MD yang bisa dikatakan sudah cukup lama mengenal barang haram tersebut mengaku mengkonsumsi psikotropika jenis shabu-shabu karena alasan ingin bersenangsenang, seperti yang diungkapkannya: “Tidak ada, hanya untuk bersenang-senang saja. Enak juga kalau sudah pakai kemudian pergi joget di retro atau di liquid (diskotik). Masa minuman (minuman beralkhohol) terus saja di minum, sekali-skali shabushabu, kan lebih enak, dan juga tidak berbau”. (Wawancara 17 Juni 2011) Salah satunya adalah MD yang mengkonsumsi psikotropika jenis shabushabu karena hanya ingin menikmati kesenangan semata tanpa memikirkan dampak negatif menkonsumsi shabu-shabu bagi tubuhnya. Dalam lingkungan kejahatan psikotropika, MD tidak terlibat sebagai pengedar tetapi hanya sebagai pengguna. MD menjadi seorang pengguna karena ingin bersenang-senang. MD mengaku mendapatkan barang tersebut dari seorang bandar, seperti yang diungkapkannya: “Dulu teman saya yang sering pergi membelikannya, tapi sekarang teman saya itu sudah pindah ke Kalimantan. Jadi, sekarang saya sendiri yang pergi beli di bandarnya”. (Wawancara, 17 Juni 2011) Informan MD yang sering mengkonsumsi psikotropika jenis shabu-shabu ini mengaku: “Biasanya kalau satu minggu saya tidak pakai, perasaan saya biasanya tidak enak, cepat lelah, tidak semangat, terkadang saya sakit kepala. Jadi minimal setiap minggu saya pakai lagi. Yah…kalau tidak ada, saya ganti saja dengan minuman (minuman beralkhohol)”. (Wawancara 17 Juni 2011) 69 MD yang sudah terbilang mengalami ketergantungan mengaku menggantinya dengan minuman beralkhohol untuk menghilangkan perasaan ketidaknyamanannya apabila dia tidak mendapatkan shabu-shabu. Setelah beberapa saat kemudian, peneliti kemudian mengajukan pertanyaan tentang hukuman yang didapat apabila ditangkap basah mengkonsumsi psikotropika. MD pun mengungkapkan: “Kau bukan banpol (bantuan polisi)? Siapa tahu kau laporkan saya ke polisi (sambil tersenyum). Kalau hukumannya sudah jelas dipenjarakan, tapi kalau ada uang pasti bisa atur damai dengan polisi. karna polisi memang cari uang. Saya belum pernah tertangkap, dan mudah-mudahan saja tidak pernah”. (Wawancara 17 Juni 2011) Pada hasil wawancara di atas, informan MD agak sensitif menjawab pertanyaan tentang kemungkinan dirinya ditangkap polisi. Hal ini berarti MD mengetahui jelas hukumannya bila tertangkap oleh penegak hukum dalam hal ini adalah kepolisian. C. Upaya-Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Psikotropika Setelah mewawancarai kelima informan yang berperan sebagai penyalahguna psikotropika, maka sampailah pada suatu pertanyaan bagaimanakah upaya dalam menanggulangi terjadinya penyalahgunaan psikotropika yang dilakukan oleh pemerintah. 70 1. Kepolisian Dari pihak kepolisian sendiri, berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan H. Achmad Tadju, SH. S.Sos (Kabag Bin Operasional Direktorat Narkoba Polda Sulawesi Selatan), menjelaskan bahwa: “Pada umumnya, ada 3 upaya untuk menanggulangi kejahatan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika yaitu yang pertama upaya preventif, merupakan usaha yang ditujukan untuk mencegah dan menangkal timbulnya kejahatan yang pertama kali, dan usaha ini selalu diutamakan. Yang kedua, secara pre-emtif berupa pembinaan, pengembangan dan kegiatan-kegiatan edukatif dari institusi kepolisian sendiri. kemudian yang ketiga, Secara represif yaitu penindakan, upaya penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan atau penindakan terhadap pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya”. (Wawancara 24 Juni 2011) Dari pengakuan H. Achmad Tadju, SH. S.Sos (Kabag Bin Operasional Direktorat Narkoba Polda Sulawesi Selatan), ada 3 upaya yang dilakukan kepolisian dalam menanggulangi kejahatan psikotropika, yaitu upaya preventif, pre-emptif dan represif. Selama ini kita melihat bahwa para penegak hukum telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah terjadinya kejahatan penyalahgunaan psikotropika ini. Dari pihak kepolisian berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada H. Achmad Tadju, SH. S.Sos (Kabag Bin Operasional Direktorat Narkoba Polda Sulawesi Selatan) adalah: “Upaya kepolisian dalam hal menanggulangi tindak pidana termasuk Penyalahgunaan narkotika dan psikotropika biasa kita lakukan dengan melakukan operasi-operasi rutin di tempat-tempat maksiat misalnya tempat pergaulan bebas dan tempat hiburan malam kemudian mengadakan penyuluhan-penyuluhan bagi masyarakat tentang dampak buruk dari penyalahgunaan narkotika dan psikotropika”. (Wawancara 24 Juni 2011) Pendapat di atas lebih menggambarkan usaha penanggulangan yang sifatnya preventif, di mana pihak kepolisian mengadakan operasi rutin dan 71 memberikan peringatan kepada masyarakat untuk mencegah terjadinya kejahatan psikotropika ini. Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam upaya pencegahan secara preventif tersebut menurut H. Achmad Tadju, SH. S.Sos (Kabag Bin Operasional Direktorat Narkoba Polda Sulawesi Selatan) adalah: “Penyuluhan di seluruh jajaran, jadi penyuluhan ini adalah kegiatan yang harus kita keroyok, mulai dari teman-teman yang ada di jajaran maksud saya di polres, polsek mengadakan penyuluhan dari kita sendiri yaitu Polda. Karena tujuan dari penyuluhan ini, diharapkan masyarakat, yang pertama dapat memahami dampak buruk daripada penyalahgunaan psikotropika itu. Kemudian yang kedua, setelah dia memahami, dia (masyarakat) akan ikut berpartisipasi dengan mitra kepolisian untuk memerangi penyalahgunaan psikotropika, minimal masyarakat memberikan informasi atau paling tidak dia menangkal untuk dirinya, keluarganya atau dilingkungan sekitarnya”. (Wawancara 24 Juni 2011) Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika melalui pengendalian dan pengawasan jalur resmi serta pengawasan langsung terhadap jalur-jalur peredaran gelap dengan tujuan agar potensi kejahatan itu tidak berkembang menjadi ancaman faktual maka berdasarkan wawancara penulis, dengan H. Achmad Tadju, SH. S.Sos (Kabag Bin Operasional Direktorat Narkoba Polda Sulawesi Selatan) adalah: “Upaya pre-emptif itu kita dari jajaran yang diembang oleh fungsi-fungsi, katakanlah yang terdepan, melalui face to face atau door to door, menyampaikan dan membina anak-anak kearah yang positif. Misalnya, katakanalah di SD itu ada yang namannya polisi cilik, itu bagian dari pembinaan kemudian di SMP dan SMA, melakukan pembinaan positif misalnya menjadi inspektur upacara atau pembinaan melalui organisasi sekolah contohnya pramuka atau osis”. (Wawancara 24 Juni 2011) Kegiatan ini pada dasarnya berupa pembinaan dan pengembangan lingkungan pola hidup masyarakat dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat produklif, konstruktif dan kreatif, sedangkan kegiatan yang bersifat preventif edukatif dengan metode komunikasi, informasi dan edukasi yang dapat dilakukan 72 melalui berbagai jalur antara lain keluarga pendidikan dan lembaga keagamaan. Adapun cara-cara yang dilakukan oleh institusi kepolisian adalah dengan memberikan penyuluhan terhadap dampak yang ditimbulkan dalam penggunaan narkotika dan psikotropika ini bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarga dan lingkungannya. 2. Dinas Sosial Yang kedua yaitu dari pihak Dinas Sosial berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan H. Muchtar, SH. M.Si (Kabid Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan), mengungkapkan bahwa: “Saat ini penyebaran narkoba sudah hampir tak bisa dicegah. Mengingat hampir seluruh penduduk dunia dapat dengan mudah mendapat narkoba dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Misalnya saja dari bandar narkoba yang senang mencari mangsa didaerah sekolah, diskotik, tempat pelacuran, dan tempat-tempat perkumpulan genk. Berbagai upaya telah banyak dilakukan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat untuk mencegah dan mengatasi masalah tersebut. Namun, upaya–upaya tersebut belum bisa dikatakan berhasil. (Wawancara 19 Agustus 2011) Dari pengakuan H. Muchtar, SH. M.Si (Kabid Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan), saat ini penyebaran narkotika dan psikotropika sudah hampir tidak bisa dicegah karena hampir setiap orang sudah dapat dengan mudah mendapatkan barang tersebut. Selain itu, sudah banyak upaya yang dilakukan dengan pihak-pihak lain untuk mencegah penyalahgunaan narkotika dan psikotropika namun belum bisa dikatakan berhasil. Kemudian upaya yang dilakukan dari pihak Dinas Sosial itu sendiri, berdasarkan hasil wawancara dengan H. Muchtar, SH. M.Si (Kabid Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan), adalah: 73 “Perlindungan dan advokasi sosial dalam penanggulangan korban penyalahgunaan narkotika dan psikotropika merupakan suatu kebutuhan yang perlu segera diimplementasikan, hal ini terkait dengan pemenuhan hak dasar terutama korban sebagai bagian dari warga negara yang perlu dipenuhi agar dapat melangsungkan kehidupannya dengan baik. Kemudian upaya-upaya yang dilakukan itu misalnya pendekatan terpadu, kampanye sosial, pelayanan rehabilitasi sosial, resosialisasi, mengadakan pelatihan kerja, melakukan pencegahan yang melibatkan masyarakat” (Wawancara 19 Agustus 2011) Dari wawancara yang dilakukan dengan H. Muchtar, SH. M.Si (Kabid Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan), upaya-upaya yang dilakukan adalah kampanye-kampanye sosial, pelayanan rehabilitasi sosial, mengadakan pelatihan kerja serta melakukan pencegahan yang melibatkan masyarakat. Selain itu, perlindungan sosial terhadap korban penyalahgunaan narkotika dan psikotropika perlu dilakukan, berdasarkan wawancara dengan H. Muchtar, SH. M.Si (Kabid Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan), mengatakan bahwa: “Salah satu trik untuk mengkampanyekan tentang hak-hak penyalahgunaan Napza bukan sebagai pelaku kriminalitas, memang diperlukan sebuah keberanian untuk mengatasi permasalahan dan hambatan tersebut. Kita perlu secara konsisten memberikan informasi untuk mendorong, membangkitkan komitmen dan partisipasi aktif semua potensi masyarakat, sehingga diharapkan pada saatnya nanti program pencegahan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika dapat ditetapkan sebagai kebijakan publik” (Wawancara 19 Agustus 2011) Korban penyalahguna narkotika dan psikotropika merupakan kebutuhan yang harus diimplementasikan karena hal ini terkait dengan kebutuhan hak untuk hidup yang lebih baik yang ingin dimiliki oleh setiap warga negara di Indonesia. Menurut H. Muchtar, SH. M.Si (Kabid Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Dinas 74 Sosial Provinsi Sulawesi Selatan), seorang penyalahguna narkotika dan psikotropika dalam hal ini pemakai, harus betul-betul diperhatikan kasus yang dialaminya sebelum memberikan sanksi kepada yang bersangkutan. H. Muchtar, SH. M.Si (Kabid Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan), mengatakan bahwa: “Melihat sebuah kasus, tentu tidak serta merta bisa melakukan penilaian tertentu harus dilakukan suatu assesment terlebih dahulu yang tujuannya untuk mempelajari rekam gejala sebuah kasus yang dihadapi seseorang, setelah itu dari assesment baru dilakukan case confrence, dalam case confrence (konferensi kasus) inilah Organisasi sosial, LSM para Pekerja sosial berperan sebagai case manager (manager kasus), yang akan melakukan tindakan referall (rujukan) terhadap kasus tersebut akan ditangani, apakah oleh seorang psikologi atau psikiater, karena tingkat penanganan penyalahgunaan Napza cukup berat”. (Wawancara 19 Agustus 2011) Dari pengakuan H. Muchtar, SH. M.Si (Kabid Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan), dapat dilihat bahwa seseorang yang menjadi penyalahguna narkotika dan psikotropika, harus terlebih dahulu mempelajari kasus yang dialami oleh korban tersebut sebelum diberikan rujukan. Tempat rehabilitasi dan sekaligus pengobatan terhadap korban penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif lainnya telah tersedia di berbagai tempat. Namun begitu yang lebih penting adalah bagaimana si korban dapat bertahan dari kesembuhan, tidak kambuh lagi sepulang dari panti pengobatan dan rehabilitasi tersebut. D. Pembahasan Kasus penyalahgunaan narkotika dan psikotropika beberapa tahun ini meningkat pesat. Kota-kota besar di Indonesia termasuk Makassar sudah 75 merupakan pasar peredaran narkotika dan psikotropika. Badan Narkotika Nasional (BNN) merilis, Sulawesi selatan berada di peringkat ke-8 pengguna narkoba terbanyak dan paling aktif di Indonesia. Kebanyakan pemakainya adalah anak sekolah dan putus sekolah. Fatalnya, sebagian besar dari mereka terjangkit HIV/AIDS. Data Badan Narkotika Nasional (BNN), Sulawesi selatan menyebutkan, pengguna narkoba di provinsi ini mencapai 103 ribu orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 10 persen atau 10.300 orang di antaranya berada di Makassar. Rata-rata pengguna narkoba antara usia 10-59 tahun. Keadaan ini sungguh sangat memprihatinkan dan mengkhawatirkan, apalagi para pelakunya sebagian besar adalah generasi muda yang diharapkan menjadi pewaris dan penerus perjuangan bangsa di masa depan. Secara yuridis, instrumen hukum yang mengaturnya baik berupa peraturan perundang-undangan maupun konvensi yang sudah diratifikasi, sebenarnya sudah jauh dari cukup sebagai dasar pemberantasan dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Tetapi dalam praktek penegakan hukumnya masih terkesan tidak sungguh-sungguh, karena seringkali pelaku hanya dihukum ringan atau malah dibebaskan begitu saja. Mengingat peredaran narkotika dan psikotropika sekarang ini sudah begitu merebak, maka upaya penanggulangannya tidak dapat semata-mata dibebankan kepada pemerintah dan aparat penegak hukum saja, tetapi merupakan tugas dan tanggung jawab kita bersama. 76 D.1 Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan Psikotropika Tindakan kriminal merupakan suatu bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok terhadap nilai dan norma atau peraturan perundangundangan yang berlaku di masyarakat. Kita mengenal dua jenis kejahatan seperti yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kita tahu bahwa perilaku menyimpang merupakan tindakan yang tidak dikehendaki oleh masyarakat karena telah melanggar norma atau aturan-aturan yang berlaku. Namun tetap saja perilaku menyimpang itu ada dalam masyarakat. Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu tindakan dikatakan sebagai perilaku menyimpang. Teori ini dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland. Menurut teori ini, penyimpangan bersumber dari pergaulan dengan sekelompok orang yang telah menyimpang. Penyimpangan diperoleh melalui proses alih budaya (cultural transmission). Melalui proses ini seseorang mempelajari suatu subkebudayaan menyimpang (deviant subculture). Dalam teori penyimpangan sosial, kejahatan psikotropika termasuk dalam tipe Kejahatan Tanpa Korban (Crime Without Victim). Kejahatan tidak menimbulkan penderitaan pada korban secara langsung akibat tindak pidana yang dilakukan. Penyimpangan sosial yang salah satunya yaitu penyalahgunaan psikotropika ini banyak terjadi pada kaum remaja karena perkembangan emosi mereka yang belum stabil dan cenderung ingin mencoba serta adanya rasa keingintahuan yang besar terhadap suatu hal. Menurut Dr. Graham Baliane 77 (Kartini Kartono, 1992) kaum muda atau remaja lebih mudah terjerumus pada penggunaan narkotika karena faktor-faktor sebagai berikut. 1. Ingin membuktikan keberaniannya dalam melakukan tindakan berbahaya. 2. Ingin menunjukkan tindakan menentang terhadap orang tua yang otoriter. 3. Ingin melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman emosional. 4. Ingin mencari dan menemukan arti hidup. 5. Ingin mengisi kekosongan dan kebosanan. 6. Ingin menghilangkan kegelisahan. 7. Solidaritas di antara kawan. 8. Ingin tahu. Penggunaan narkotika dan psikotropika secara berlebih dilarang oleh hukum karena dapat mendorong terjadinya tindak kriminal yang lain. Selain dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Bahaya terhadap diri sendiri, antara lain dapat merusak organ-organ tubuh, sehingga tidak berfungsi sempurna, bahkan susunan syaraf yang berfungsi sebagai pengendali daya pikir turut pula dirusak. Akibatnya tidak dapat berpikir secara rasional dan cenderung untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. 78 Berdasarkan pada wawancara mendalam terhadap ketujuh informan terlihat bahwa penyimpangan sosial yaitu penyalahgunaan psikotropika yang sudah menjadi sesuatu yang sangat memprihatinkan karena peredarannya sudah merebak ke mana-mana tanpa memandang bulu, baik kalangan atas hingga kalangan bawah, anak-anak, tua, maupun muda bahkan sudah tidak mengenal profesi apapun itu semua sudah masuk pada sebuah lingkaran setan hal ini sangat meresahkan masyarakat karena merupakan ancaman yang sangat berbahaya bukan hanya untuk terhadap masyarakat akan tetapi juga menjadi ancaman yang sangat serius bagi sebuah negara karena berpotensi merusak tatanan bernegara selain itu juga bisa merusak generasi bangsa. Dalam kenyataannya, baik dirasakan atau tidak tetapi sangat jelas bahwa banyak permasalahan yang ditimbulkan dari penyalahgunaan psikotropika yang tidak sesuai dengan aturan serta prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah baik melalui peraturan perundang-undangan serta peraturan pemerintah sudah sangat parah, hal ini terjadi di karenakan karena beberapa faktor yang senantiasa selalu menjadi penunjang dalam penyalahgunaan psikotropika tersebut. Meskipun demikian penyalahgunaannyapun masih terus dilakukan, bahkan terkesan adanya kecenderungan peningkatan sampai dengan saat ini. Kasus penyalahgunaan psikotropika yang terjadi di lingkungan masyarakat mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Adapun faktor-faktor tersebut berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan adalah: 79 1. Faktor Individu Rasa ingin tahu adalah kebutuhan setiap individu yang berasal dari dalam dirinya, terutama bagi generasi muda dimana salah satu sifatnya adalah ingin mencoba hal-hal yang baru. Demikian juga dengan faktor penyebab penyalahgunaan narkoba sebagian besar diawali dengan rasa ingin tahu terhadap narkotika dan psikotropika yang oleh mereka dianggap sebagai sesuatu yang baru dan kemudian mencobanya, akibat ingin tahu itulah akhirnya menjadi pemakai tetap yang kemudian pemakai yang tergantung. Hal tersebut dialami oleh RR . Perasaan ingin tahu biasanya dimiliki oleh generasi muda pada umur setara siswa SD, SLTP, dan SLTA. Bila di hadapan sekelompok anak muda ada seseorang yang memperagakan ”nikmatnya” mengkonsumsi narkotika dan psikotropika, maka didorong oleh naluri alami anak muda, yaitu keingintahuan, maka salah seorang dari kelompok itu akan maju mencobanya. Selain didorong oleh keingintahuan, keberaniannya juga karena didesak oleh gejolak dalam jiwanya yang ingin dianggap hebat, pemberani, dan pahlawan di antara temanteman sebayanya. 2. Faktor Keluarga Banyak pengguna narkotika dan psikotropika yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Keluarga seharusnya menjadi wadah untuk menikmati kebahagiaan dan curahan kasih sayang, wahana silih asih, silih asah, dan silih asuh. Namun pada kenyataannya, keluarga sering sekali justru menjadi pemicu sang anak menjadi pemakai, hal tersebut disebabkan karena keluarga tersebut 80 kacau balau. Hubungan antara anggota keluarga dingin, bahkan tegang atau bermusuhan. Komunikasi antara ayah, ibu, dan anak-anak sering sekali menciptakan suasana konflik yang tidak berkesudahan, dimana bahwa penyebab konflik tersebut sangat beragam. Solusi semua konflik adalah komunikasi yang baik, penuh pengertian, saling menghargai dan menyayangi, serta ingin selalu membahagiakan. Interaksi antara orang tua dengan anak tidak cukup hanya berdasarkan niat baik. Cara berkomunikasi juga harus baik. Masing-masing pihak harus memiliki kesabaran untuk menjelaskan isi hatinya dengan cara yang tepat. Banyak sekali konflik di dalam rumah tangga yang terjadi hanya karena salah paham atau kekeliruan berkomunikasi. Kekeliruan kecil itu, dapat berakibat fatal, yaitu masuknya narkotika dan psikotropika ke dalam keluarga. Konflik di dalam keluarga dapat mendorong anggota keluarga merasa frustasi, sehingga terjebak memilih narkotika dan psikotropika sebagai solusinya. Biasanya yang paling rentan terhadap stres adalah anak, kemudian suami, dan istri sebagai benteng terakhir. Beberapa faktor yang bersumber dari lingkungan keluarga yang dapat mempengaruhi seseorang atau individu tertentu terjun ke dalam lingkungan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika tersebut. Contoh pada kasus yang dialami oleh FS. 3. Faktor Ekonomi Dari hasil penelitian penulis faktor eksternal yang berupa faktor ekonomi menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya penyalahgunaan kejahatan 81 psikotropika ini yang dilakukan oleh individu, hal ini disebabkan karena tuntutan hidup yang semakin sulit. Sebagian masyarakat pada umumnya mempunyai kecenderungan untuk hidup yang layak dan berkecukupan padahal kesejahteraan yang dimiliki cenderung dianggap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Salah satu contohnya adalah kasus AF dan FS, dimana mereka tidak lagi sebagai pengkonsumsi saja tetapi juga sebagai pengedar. 4. Faktor Sosial Budaya Selain faktor ekonomi, maka faktor sosial budaya juga dapat menyebabkan timbulnya penyalahgunaan psikotropika di lingkungan masyarakat, dimana pengaruh budaya luar yang begitu deras dan cepat mengalir, menyebabkan sebagian orang cenderung meninggalkan pola hidup (budaya) lama dan beralih ke pola budaya yang baru karena dianggap lebih modern. Hal ini lebih banyak dialami oleh remaja yang karena keinginan mereka untuk mengekspresikan jiwa muda yang mengalir dalam dirinya dalam menyonsong kebudayaan luar tersebut yang dianggapnya sebagai sesuatu yang modern sampai-sampai dia tidak tersadar akan posisinya sebagai generasi penerus bangsa. Faktor lain yang juga menjadi penyebab banyaknya penyalahguna narkotika dan psikotropika adalah akibat pengaruh negatif budaya barat seperti minum minuman beralkhohol, mengisap ganja serta trend kehidupan yang cenderung individualis mengakibatkan banyak masyarakat di negara ini yang mengikutinya. 82 Berdasarkan wawancara, nampak ada beberapa faktor sehingga sosial budaya dapat menyebabkan penyalahgunaan psikotropika di lingkungan masyarakat, Pergaulan di lingkungan masyarakat semakin bebas dan tidak terikat lagi budaya-budaya timur yang menuntut kesopanan. Lemahnya penegakan hukum serta keadaan politik, sosial dan budaya yang kurang mendukung sehingga menyebabkan banyak anggota masyarakat yang terjerumus ke dalam dunia kriminalitas yang pada akhirnya karena kebutuhannya tidak terpenuhi bertindak tidak sesuai hukum dan melakukan hal-hal yang menyimpang seperti penyalahgunaan psikotropika. Salah satu contohnya adalah pada kasus yang dialami oleh MD. 5. Faktor Lingkungan Selain itu faktor lingkungan sering pula menyebabkan terjadinya penyalahgunaan psikotropika. Salah satu bentuk faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya psikotropika adalah lingkungan tempat bergaul dengan teman yang selalu memberikan kesempatan pada mereka untuk mengenal psikotropika ini sehingga motif coba-coba sampai pada taraf ketagihan membuat mereka senanatiasa untuk menyalahgunakan psikotropika. Perasaan setia kawan sangat kuat dimiliki oleh generasi muda. Jika tidak mendapatkan penyaluran yang positif, sifat positif tersebut dapat berbahaya dan menjadi negatif. Bila temannya memakai narkotika dan psikotropika, maka individu tersebut ikut juga memakai. Bila temannya dimarahi orang tuanya atau dimusuhi masyarakat, maka pemakai membela dan ikut bersimpatik. 83 Sikap seperti itulah yang menyebabkan anak ikut-ikutan. Awalnya hanya satu orang yang merokok, kemudian semuanya menjadi perokok. Setelah semuanya merokok, satu orang mulai memakai ganja, lalu yang lainnya ikut sehingga menjadi sekawanan pemakai ganja. Setelah semua memakai ganja, satu orang memakai ecstacy, kemudian semuanya ikut, demikian seterusnya meningkat menjadi shabu-shabu dan pada akhirnya menjadi pemakai putaw. Salah satu contoh kasus adalah kasus AR. D.2 Upaya-upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Psikotropika 1. Kepolisian Satuan Narkoba adalah unsur pelaksana pada tingkat ma polrestabes yang bertugas memberikan bimbingan teknis atas pelaksana fungsi penyidikan tindak pidana narkoba di lingkungan polrestabes Makassar serta menyelenggarakan fungsi tersebut yang bersifat terpusat pada tingkat wilayah antar resort kota dalam rangka mendukung pelaksana tugas operasi pada tingkat polresta. Tugas Satuan Narkoba antara lain: a. Memberikan bimbingan teknis atas pelaksana fungsi reserse narkoba tingkat polresta b. Penyelenggaraan dan pelaksanaan fungsi reserse narkoba yang meliputi: Kegiatan represif kepolisian melalui upaya penyidikan dan penyelidikan tindak pidana narkotika/obat-obat keras psikotropika dan bahan-bahan berbahaya 84 Melakukan kegiatan pembinaan penyuluhan narkoba c. Melaksankan fungsi satuan narkoba di lapangan dalam rangka pembuktian secara ilmiah kasus-kasus yang ditangani d. Menyelenggarakan dan melaksanakan operasi khusus kepolisian atas perintah pimpinan e. Memberikan bantuan operasi kepada satuan bawahan dan melakukakan koordinasi dengan laboratorium forensik f. Membantu penyelenggaraan dan pelaksana operasi khusus atas perintah pimpinan g. Melaksanakan kegiatan administrasi operasional termasuk pengumpulan/penyajian data/informasi yang berkenaan dengan aspek pembinaan dan pelaksana fungsi. (Sumber: Polrestabes Makassar) Upaya pencegahan dilakukan secara integral dan dinamis antara unsurunsur aparat kepolisian, merupakan upaya yang terus menerus dan berkesinambungan, untuk merubah sikap perilaku, cara berfikir dari kelompok masyarakat yang sudah mempunyai kecenderungan menyalahgunakan serta melakukan tindak pidana perdagangan/peredara gelap narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Upaya pencegahan yang dimaksudkan adalah untuk menciptakan kesadaran kewaspadaan dan daya tangkal terhadap bahaya-bahaya dan memiliki kemampuan untuk menolak zat-zat berbahaya tersebut, untuk selanjutnya dapat 85 menentukan rencana masa depannya dengan hidup sehat, produktif, kreatif dan bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya. Adapun upaya-upaya yang dilakukakn oleh kepolisian dalam menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya adalah sebagai berikut: 1) Upaya Preventif Upaya penanggulangan secara preventif dilakukan adalah dengan mengupayakan untuk mencegah terjadinya kejahatan tersebut. Untuk itu, kegiatan yang dilakukan adalah dengan mengupayakan optimalisasi kegiatan intern pada institusi kepolisian khususnya personil dan sarananya. a. Mengadakan pengawasan di tempat-tempat yang dianggap rawan terjadinya penyalahgunaan narkoba, misalnya: di tempat-tempat hiburan malam (sekitar jalan Nusantara, Makassar), hotel yang ada kafenya (hotel clarion, retro, liquid) dan tempat untuk berkaraoke, panti-panti pijat, terminal, pasar dan tidak menutup kemungkinan di pemukiman yang dianggap aman untuk melakukan penyalahgunaan narkoba. (Sumber : Polrestabes Makassar) b. Melakukan operasi-operasi kepolisian dengan cara berpatroli, razia di tempat-tempat yang dianggap rawan terjadinya penyalahgunaan Narkoba. Polrestabes Makassar mengadakan operasi-operasi baik yang bersifat rutin maupun yang bersifat operasi mendadak. Operasi rutin dilaksanakan setiap hari yaitu melalui pengawasan atau pengamatan di tempat-tempat 86 yang rawan terjadiya penyalahgunaan Narkoba. Adapun operasi-operasi yang dilakukan oleh Satuan Narkoba Polrestabes Kota Makassar antara lain: Operasi Rutin Operasi Aman Nusa Operasi Pekat Operasi Ketupat Lipu 2010 Operasi Lilin Lipu 2010 Operasi Mantap Brata (Sumber: Polrestabes Makassar) 2) Upaya Pre-emtif Upaya pre-emtif yang dilakukan oleh beberapa kegiatan-kegiatan edukatif dengan sasaran menghilangkan faktor-faktor penyebab yang menjadi pendorong dan faktor peluang yang biasa disebut faktor korelatif kriminogen dari kejahatan tersebut. Sasaran yang hendak dicapai adalah terciptanya suatu kesadaran, kewaspadaan dan daya tangkal serta terbinanya dan terciptanya suatu kondisi perilaku dan norma hidup bebas dari psikotropika. Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika melalui pengendalian dan pengawasan jalur resmi serta pengawasan langsung terhadap jalur-jalur peredaran gelap dengan tujuan agar potensi kejahatan itu tidak berkembang menjadi ancaman faktual. 87 Kegiatan ini pada dasarnya berupa pembinaan dan pengembangan lingkungan pola hidup masyarakat dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat produklif, konstruktif dan kreatif, sedangkan kegiatan yang bersifat preventif edukatif dengan metode komunikasi, informasi dan edukasi yang dapat dilakukan melalui berbagai jalur antara lain keluarga pendidikan dan lembaga keagamaan. Adapun cara-cara yang dilakukan oleh institusi kepolisian adalah dengan memberikan penyuluhan akan dampak yang ditimbulkan dalam penggunaan psikotropika ini bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarga dan lingkungannya. 3) Upaya Represif Penanggulangan secara represif dilakukan adalah dengan memberikan tindakan kepada pelaku tindak pidana psikoropika ini sesuai hukum yang berlaku. Upaya ini terlihat sudah dilakukan dengan baik, sejak perkara ditangani pihak kepolisian sendiri, kemudian berkasnya dilimpahkan Pengadilan Negeri untuk proses lebih lanjut. Upaya pemberantasan jalur gelap dan penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya diperlukan upaya terpadu baik lingkungan nasional regional, maupun internasional. Bagi Indonesia yang kondisi geografisnya terdiri dari ribuan pulau dengan garis pantai yang terbuka lebar disadari sebagai wilayah yang amat rawan bagi lalu lintas gelap narkotika. Pemberantasan jalur perdagangan gelap dan produksi narkotika di wilayah sumatera, jawa dan daerah lain selama ini telah lebih intensif dilakukan oleh aparat. Walaupun demikian, diperlukan pemberantasan yang berkelanjutan. 88 Secara konseptional pola penanggulangan penyalahgunaan psikotropika adalah dengan melibatkan seluruh golongan dan lapisan masyarakat untuk turut serta berperan aktif. Untuk itu dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dilakukan melalui pola pre-emtif, preventif, refresif. Pemberian sanksi terhadap pelaku kejahatan psikotropika hakekatnya merupakan pengenaan penderitaan atau nestapa yang tidak menyenangkan kepada seseorang yang telah melakukan kejahatan menurut undang-undang. Pemberian sanksi bukan hanya ditujukan untuk memberikan penderitaan bagi pelaku, tetapi juga untuk mewujudkan ketertiban hukum dalam suatu Negara. 2. Dinas Sosial Permasalahan narkotika dan psikotropika saat ini telah membahayakan kelompok remaja, antara lain: terlihat dari tingginya angka kematian; komplikasi penyakit yang ditimbulkannya, seperti overdosis, penularan virus HIV, Hepatitis C dan lain-lainnya; meningkatnya angka kriminalitas, serta rusaknya generasi muda dan kehancuran keluarga. Indonesia saat ini tidak hanya menjadi daerah pemasaran gelap narkotika dan psikotropika tapi juga sebagai daerah produsen narkotika dan psikotropika. Sebagian besar korban penyalahgunaan narkotika dan psikotropika berusia 15 sampai dengan 25 tahun. 89 Jumlah kasus penyalahguna narkotika dan psikotropika yang terlaporkan terus meningkat. Fakta yang paling memprihatinkan adalah semakin banyaknya remaja yang memulai perkenalannya dengan narkotika dan psikotropika pada usia yang sangat muda, yaitu: menghisap rokok pada usia 6 tahun dan menggunakan obat obat-obatan/ heroin/ narkotika dan psikotropika jenis lain pada usia 10 tahun. Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian yang serius adalah semakin meningkatnya populasi penderita HIV/AIDS di kalangan pecandu narkotika dan psikotropika dengan cara suntikan (IDU). Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat (Orsos/LSM) dalam penanganan korban narkotika dan psikotropika mulai dari pendekatan medis, sosial, religi, alternatif dan lain-lain. Departemen Sosial cq Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA mulai tahun 2001 mengembangkan penanganan bagi korban NAPZA melalui pendekatan terpadu (One Stop Centre) dimana dalam proses penanganan dilakukan secara komprehensif mulai dari tahap detoksifikasi, rehabilitasi sosial, resosialisasi dan pembinaan lanjut, dan diharapkan kepada semua Dinas Sosial Provinsi dapat menerapkan pendekatan tersebut. Tujuan pelayanan dari Dinas Sosial Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial adalah: a) Memulihkan fungsi sosial korban penyalahgunaan, kecanduan, ketergantungan, pemakai narkotika dan psikotropika, obat-obat terlarang dan zat 90 adiktif, termasuk obat-obatan psikoaktif (stimulans, depresants, hallucinogens dan marijuana). b) Meningkatkan ketahanan dan daya tangkal masyarakat terhadap perdagangan dan penyalahgunaan narkotika, obat-obat terlarang dan zat adiktif. (Sumber : Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan) Sasaran kegiatan penanggulangan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika adalah seluruh remaja, keluarga dan masyarakat terutama melalui mekanisme karang taruna dan lembaga sosial lainnya. Sedangkan strategi untuk mencapai tujuan yaitu melalui pemberdayaan eks korban, kelompok, keluarga dan masyarakat, optimalisasi sumber-sumber lokal, kemitraan dan kerjasama dengan organisasi sosial kemasyarakatan dan LSM, dunia usaha, kepolisian dan perangkat hukum dan perundang-undangan, peningkatan kapasitas pelayanan, standardisasi pelayanan dan pengembangan kelembagaan pelayanan, desentralisasi pelaksanaan program serta integrasi pelayanan dalam pelayanan rehabilitasi sosial. Adapun upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika yang dilakukan oleh Dinas Sosial Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, antara lain: a) Pengembangan pelayanan rehabilitasi sosial terpadu melalui ‘therapeutic communities dan halway house’ bekerjasama dengan sektor terkait. b) Pelayanan ‘out patient treatment’ dengan pendekatan pekerjaan sosial medis, pelatihan dan penempatan kerja. 91 c) Pelayanan sistem pemeliharaan fungsi sosial melalui klinik ‘methadone’ bagi penyalahguna narkotika dan obat-obatan terlarang dan pelayanan melalui sistem ‘alcoholik anonymous’ untuk alkoholik, serta bimbingan mental keagamaan. d) Pelayanan pemberian “antagonist drugs”. e) Pengembangan sistem peraturan dan perundang-undangan yang ditujukan untuk pengawasan distribusi, lisensi dan pengawasan terhadap usia pengguna dan sistem promosi. f) Pengembangan sistem rujukan, resosialisasi dan bimbingan lanjut. g) Standardisasi pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan narkotika, obat-obatan terlarang dan zat adiktif lainnya. h) Pengembangan kegiatan pencegahan berbasis masyarakat dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat (Tokoh masyarakat, Toko Agama, Organisasi sosial, dll). i) Pengembangan penanggulangan penyalahgunaan Napza melalui Website/ Jaringan Internet. j) Kampanye sosial dalam rangka pencegahan penyalahgunaan Napza melalui kerjasama dengan dunia usaha. k) Pembentukan berbagai Kelompok Dampingan, seperti Kelompok Penjangkauan (Outreachs), Tenaga Mediator, Kelompok Narcotics Anynomous, dll. (Sumber: Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan) Sedangkan indikator pelayanan dari Dinas Sosial Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, antara lain: 92 a) Meningkatnya jumlah LSM/Orsos/masyarakat yang menangani permasalahan dibidang penanggulangan penyalahgunaan napza. b) Meningkatnya jumlah korban penyalahgunaan napza yang telah mendapat pelayanan. (Sumber : Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan) 3. Masyarakat Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika saat ini menjadi masalah yang sangat memprihatinkan dan semakin meningkat serta merupakan masalah bersama antara yang melibatkan pemerintah dan masyarakat sehingga memerlukan suatu strategi yang melibatkan seluruh bangsa dalam suatu gerakan bersama untuk melaksanakan strategi dalam menanggulangi narkotika dan psikotropika di negara kita ini. Dalam usaha pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, tokoh-tokoh masyarakat diharapkan untuk tampil sebagai aktor utama dalam menggerakkan masyarakat, terutama para orang tua, para remaja, sekolah, kelompok masyarakat, dan organisasi-organisasi sosial di sekitar lingkungan untuk mencegah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba secara terpadu. Potensi masyarakat, khususnya tokoh masyarakat sesungguhnya mempunyai kekuatan strategis apabila digerakkan dalam upaya pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika karena pencegahan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika di kalangan masyarakat adalah upaya untuk memberi kekuatan masyarakat melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan mereka 93 dalam mengidentifikasi dan memprioritaskan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan melakukan upaya-upaya untuk mencapai kebutuhan tersebut. Upaya pencegahan penanggulangan dan peredaran zat-zat berbahaya tersebut dapat dilakukan melalui berbagai jalur: jalur keluarga jalur pendidikan, formal dan informal jalur lembaga-lembaga sosial swadaya masyarakat jalur lembaga-lembaga keagamaan jalur kelompok-kelompok teman bermain remaja/pemuda: club, seni, olahraga, keterampilan-keterampilan lain jalur organisasi kewilayahan, dipimpin oleh aparat RT, RW, LKMD melalui media massa, cetak, elektronik, film, maupun seni pentas tradisional Upaya pencegahan dilakukan secara integral dan dinamis antara unsurunsur aparat kepolisian, dinas sosial dan masyarakat, merupakan upaya yang terus menerus dan berkesinambungan, untuk merubah sikap perilaku, cara berfikir dari kelompok masyarakat yang sudah mempunyai kecenderungan menyalahgunakan serta melakukan tindak pidana perdagangan/peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Upaya penanggulangan yang dimaksudkan adalah untuk menciptakan kesadaran kewaspadaan dan daya tangkal terhadap bahaya-bahaya dan memiliki kemampuan untuk menolak zat-zat berbahaya tersebut, untuk 94 selanjutnya dapat menentukan rencana masa depannya dengan hidup sehat, produktif, kreatif dan bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya. Upaya penanggulangan bahaya narkotika dan psikotropika tidak sematamata tugas aparat kepolisian, tetapi merupakan tugas dan tanggung jawab kita bersama. Untuk itu harus ada upaya terpadu (integrated) dari semua pihak, seperti keluarga, sekolah, masyarakat, tokoh agama, LSM dan pemerintah untuk bersatu padu mencegah dan memberantas bahaya narkotika dan psikotropika. Masingmasing dapat berperan sesuai bidangnya, proporsional dan tidak melanggar rambu-rambu hukum. 95 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil penelitian menunjukkan sebab sehingga terjadi penyalahgunaan psikotropika disebabkan karena empat faktor, yaitu faktor individu, keluarga, ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Dari kelima faktor tersebut yang terlihat paling berpengaruh terhadap meningkatnya tindak pidana kejahatan psikotropika adalah faktor individu. Rasa ingin tahu setiap individu, terutama bagi generasi muda dimana salah satu sifatnya adalah ingin mencoba hal-hal yang baru dan kemudian menjadi faktor penyebab penyalahgunaan narkotia dan psikotropika. Rasa ingin tahu terhadap narkotika dan psikotropika yang oleh mereka anggap sebagai sesuatu yang baru dan kemudian mencobanya, akibat ingin tahu itulah akhirnya menjadi penyalahguna narkotika dan psikotropika. 2. Upaya penanggulangan bagi penyalahgunaan Narkotika dan psikotropika yang ditempuh melalui: a. Pre-emtif berupa pembinaan pengembangan dan kegiatan-kegiatan edukatif baik oleh keluarga, masyarakat, maupun institusi kepolisian itu sendiri. b. Preventif berupa pengawasan penyalahgunaan psikotropika. 96 dan pencegahan terjadinya c. Refresif berupa pencekalan dan penangkapan dan pemberian sanksi yang tegas terhadap oknum masyarakat yang melakukan penyalahgunaan psikotropika ini d. Pendekatan terpadu (One Stop Centre) Penanganan bagi korban narkotika dan psikotropika, dimana dalam proses penanganan dilakukan secara komprehensif mulai dari tahap detoksifikasi, rehabilitasi sosial, resosialisasi dan pembinaan lanjut. Namun upaya-upaya diatas belum optimal karena kurangnya kesadaran masyarakat akan bahaya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika serta mudahnya narkotika dan psikotropika didapatkan oleh masyarakat. B. Saran Dengan melihat kondisi obyektif masyarakat itu sendiri yang ada hari ini, maka penulis menyarankan sebagai berikut: 1. Masyarakat hendaknya melakukan kegiatan yang positif dan yang berguna agar tidak terlibat dalam kasus penyalahgunaan narkotika dan psikotropika serta memperdalam iman dan taqwa guna ketahanan diri dalam menghadapi dan memecahkan permasalahan hidup 2. Penanggulangan kejahatan psikotropika ini bukan hanya menjadi tugas kepolisian untuk mengawasi tapi seluruh masyarakat diharapkan mampu berpartisipasi dalam mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan psikotropika di dalam masyarakat itu sendiri, serta meningkatkan kerjasama antara masyarakat dan pemerintah dalam menanggulangi penyalahgunaan narkotika dan psikotropika di Kota Makassar. 97