KONSELING RELIGI Jurnal Bimbingan Konseling Islam Jurusan Dakwah Program Studi Bimbingan Penyuluhan Islam SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS JAWA TENGAH KONSELING RELIGI Jurnal Bimbingan Konseling Islam ISSN: 1907-7238 Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Susunan Redaksi Pelindung Ketua STAIN Kudus Penanggung Jawab Mubasyaroh Penyunting Ahli/Mitra Bestari Ahmad Hakim Jauharotul Farida Redaktur Ahmad Zaini Farida Yuliyatun Alamat Redaksi Kantor Jurusan Dakwah Program Studi Bimbingan Konseling Islam STAIN Kudus Jl. Conge Ngembalrejo PO BOX 51 Telp. (0291) 432677, Fax 441613 Kudus 59322 Jawa Tengah . Email:[email protected] Penyunting / Editor Fatma Laili Khoirun Nida Irzum Farihah Mas’udi Desain Grafis dan Fotografer Nur Ahmad Ahmad Anif Sekretariat Istikomatul Khassanah PENGANTAR REDAKSI Bismillahirrahmanirrahim Teriring puji dan syukur ke hadirat Ilahi kemudian shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad Saw., lentera bumi, penerbitan Jurnal Konseling Religi edisi Januari - Juni 2012, Volume 3, Nomor 1 ini terlaksana. Keterlaksanaan penerbitan jurnal ini secara niscaya melibatkan berbagai pihak yang telah berkecimpung dengan intens untuk penerbitannya. Jurnal Konseling Religi sebagai jurnal yang bergerak dalam publikasi wacana-wacana bimbingan, penyuluhan, dan konseling Islam merupakan media utama segenap akademisi dan praktisi untuk mempublikasikan hasil karya ilmiah temuan masing-masing. Beberapa muatan jurnal (content analysis) dalam edisi ini secara eksplisit mengupas berbagai segmen yang menjadi cakupan bimbingan, penyuluhan, dan konseling Islam. Secara menyeluruh, cakupan pembahasan pada konsentrasi Jurnal Konseling Religi diarahkan untuk mengupas berbagai wacana atau hasil penelitian yang berhubungan dengan beberapa term tersebut. Untuk mengukuhkan pembidangan dan verifikasi jurnal bertaraf nasional dan internasional, Jurnal Konseling Religi secara intensif mendahulukan berbagai rumusan pembahasan yang (de facto) dan (de jure) pembidangannya memiliki fokus yang dapat dipertanggungjawabkan. Masingmasing pembahasan dalam cakupan jurnal edisi ini secara progresif menampilkan satu wadah penyajian yang mengarah -v- pada konsentrasi utama Jurnal Konseling Religi, bimbingan, penyuluhan, dan konseling Islam. Tanpa mengabaikan titik saji atas komparasi wacana dengan prinsip sekuler, Jurnal Konseling Religi bergerak untuk membumikan prinsip pokok syariah Islam terhadap nilai-nilai yang berkembang di Barat. Prinsipprinsip integrasi keilmuan sebagai mata rantai pengetahuan kontemporer secara niscaya dikedepankan demi mewujudkan interkoneksi dalam rangkaian pengetahuan yang sinergis. Akhirnya, sebagai wujud pengabdian dan pengukuhan atas eksistensi Tri Dharma Perguruan Tinggi, segenap redaktur ber-i’tikad bahwa publikasi Jurnal Konseling Religi edisi ini menjadi tahapan berarti bagi pertumbuhan khazanah keilmuan kontemporer. Tanpa menepis adanya kealpaan sebagai manusia, perbaikan ke depan guna membumikan kajian-kajian keislaman lebih progresif, segenap redaktur mengharap saran dan kritik dari segenap pembaca. Berikutnya, dengan senantiasa membuka saran dan kritik dimaksud, redaktur mengajak kepada segenap pembaca untuk menyumbangkan karya ilmiah dalam bidangbidang kajian jurnal ini agar dikirimkan ke alamat email; [email protected] atau Jurusan Dakwah STAIN Kudus Gedung Barat Lt. 2. Jl. Conge, Ngembalrejo, PO. Box 51, Kudus, Jawa Tengah, Kode Pos 59322. Semoga bermanfaat! Redaksi - vi - DAFTAR ISI Pengantar Redaksi v Daftar Isi vii PENGENALAN SEJAK DINI PENDERITA MENTAL KECERDASAN SPIRITUAL MENANGANI PERILAKU MENYIMPANG DALAM DISORDER Oleh: Mubasyaroh 1 - 20 PENTINGNYA Oleh: Ani Agustiyani Maslahah 21 - 34 TRANSFORMASI SOSIAL KEAGAMAAN PADA MASYARAKAT SAMIN (Hasil Penelitian pada Masyarakat Desa Kemantren Kec. Kedungtuban Kab. Blora) Oleh: Abdul Wahib 35 - 50 MEMBUMIKAN PERAN DA’I DALAM PEMBINAAN KEAGAMAAN PADA MASYARAKAT Oleh: Ahmad Zaini 51 - 66 PERANAN PARTAI POLITIK DALAM PERSPEKTIF DAKWAH Oleh: Rustam Aji 67 - 86 - vii - STRATEGI KULTURAL ISLAM BERPIJAK DARI DAKWAH SUNAN KUDUS Oleh: Syaiful Arif 87 - 110 PEMIKIRAN DAN GERAKAN DAKWAH IKHWANUL MUSLIMIN Oleh: Abdurrahman Kasdi 111 - 124 PERSPEKTIF PSIKOTERAPIS MAKNA TAUBAT DALAM PROSES PENYEMBUHAN PENYAKIT JANTUNG KORONER (Melalui Penggunaan Media Surat Al Fatihah [01]: 1 – 7) Oleh: Ubaidillah 125 - 148 PERAN KECERDASAN SPIRITUAL DALAM PENCAPAIAN KEBERMAKNAAN HIDUP Oleh: Fatma laili Khoirun Nida 149 - 165 Pedoman Penulisan - viii - PENGENALAN SEJAK DINI PENDERITA MENTAL DISORDER Oleh: Mubasyaroh Dosen STAIN Kudus Abstrak Mental disorder merupakan bentuk gangguan dan kekacauan fungsi mental yang disebabkan oleh kegagalan mereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan terhadap stimuli eksternal dan ketegangan-ketegangan sehingga muncul gangguan pada struktur kejiwaan. Gangguan mental merupakan totalitas kesatuan dari ekspresi mental yang patologis terhadap stimulus sosial, yang dikombinasikan dengan faktor-faktor sekunder lainnya. Seperti halnya rasa pusing, sesak nafas, demam panas dan nyeri-nyeri pada lambung sebagai pertanda permulaan dari penyakit jasmani, maka mental disorder itu mempunyai pertanda awal antara lain: kecemasan, ketakutan, pahit hati, dengki, apatis, cemburu, iri, marah-marah secara eksplosif, asosial, ketegangan kronis, dan lain-lain. Maka kesehatan mental yang baik itu, berarti mempunyai perasaan positif tentang diri sendiri, mampu menyelesaikan masalah dan tekanan hidup sehari-hari, dan bisa membentuk dan menjaga hubungan baik dengan orang lain. Selama ini kita sudah memahami pentingnya menjaga kesehatan fisik. Tapi menjaga kesehatan mental juga sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Kenyataannya, kesehatan mental yang buruk akan mengakibatkan kesehatan fisik yang buruk pula. Keywords: Mental Disorder, Gangguan Jiwa, Kekalutan Mental, Solusi. A.Pendahuluan Kalau kita perhatikan orang-orang dalam kehidupannya sehari-hari akan tampak bermacam-macam gejala yang terlihat. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 1 Jurnal Bimbingan Konseling Islam Ada yang selalu kelihatan gembira dan bahagia meski apapun yang menimpa padanya. Pada sisi lain, ada pula orang yang sering mengeluh dan bersedih hati, tidak cocok dengan orang lain dalam pekerjaan, dan tidak bersemangat serta tidak dapat memikul tanggung jawab. Sebagaimana diketahui, perilaku atau aktivitas yang ada pada individu atau organisme itu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh organisme yang bersangkutan baik stimulus internal maupun stimulus eksternal. Namun demikian sebagian besar dari perilaku organisme itu sebagai respon terhadap stimulus eksternal. Skinner dalam Walgito membedakan perilaku menjadi dua: perilaku yang alami (innate behavior) dan perilaku operan (operan behavior). Perilaku alami yaitu perilaku yang dibawa sejak organisme dilahirkan, yaitu berupa refleks-refleks dan instinkinstink, sedangkan perilaku operan yaitu perilaku yang dibentuk melalui proses belajar. Perilaku yang refleksif merupakan perilaku yang terjadi sebagai reaksi secara spontan terhadap stimulus yang mengenai organisme yang bersangkutan. Misal reaksi kedipan mata bila kena sinar yang kuat (Walgito, 2003: 15). Pada perilaku non-refleksif atau operan lain keadaannya, perilaku ini dikendalikan atau diatur oleh pusat kesadaran atau otak. Dalam kaitan ini stimulus setelah diterima oleh reseptor, kemudian diteruskan ke otak sebagai pusat susunan syaraf, sebagai pusat kesadaran, kemudian baru terjadi respons melalui afektor (Branca, 1964). Di samping itu perilaku individu juga dapat dipengaruhi oleh kondisi psikologis (kejiwaan) individu yang bersangkutan. Di antara faktor kejiwaan yang mempengaruhi perilaku individu adalah kondisi mental disorder atau kekalutan mental yaitu bentuk gangguan dan kekacauan fungsi mental (kesehatan mental) yang disebabkan oleh kegagalan mereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan/mental terhadap stimuli, sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur pada satu bagian, satu organ, atau sistem kejiwaan. 2 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Pengenalan Sejak Dini Penderita Mental Disorder (Mubasyaroh) Gangguan mental ini merupakan totalitas kesatuan dari ekspresi mental yang patologis terhadap stimuli sosial, dikombinasikan dengan faktor-faktor penyebab sekunder lainlainnya. Individu-individu yang tidak mampu melakukan adjustment itu selalu tidak conform tindakannya dengan normanorma dan kebiasaan sosial. Mereka selalu mengalami banyak ketegangan dan tekanan batin, disebabkan oleh sanksi batin sendiri, ataupun oleh sanksi-sanksi sosial. Tuntutan sosial dari lingkungan sosial dan proses modernisasi menjadi semakin banyak dan berat. Jika gangguan-gangguan emosional dan ketegangan batin itu berlangsung terus menerus, menjadi kronis terjadi dalam waktu panjang, maka muncullah macam-macam kekalutan mental. Seperti halnya rasa-rasa pusing, sesak nafas, demam panas dan nyeri-nyeri pada lambung sebagai pertanda permulaan dari penyakit jasmani, maka mental disorder atau gangguan jiwa juga mempunyai tanda-tanda antara lain: cemascemas, ketakutan, pahit hati, dengki, apatis, cemburu, iri, marah-marah secara eksplosif, a-sosial, ketegangan kronis, dan lain-lain. Intinya mental disorder merupakan bentuk gangguan pada ketenangan batin dan harmoni dari struktur kepribadian (Kartono, 2001: 229). Jasmani yang sehat antara lain ditandai dengan ciri-ciri; memiliki energi, stamina atau daya tahan, kuat bekerja, dan badan selalu merasa sehat nyaman. Adapun orang yang memiliki mental sehat mempunyai tanda-tanda sebagai berikut: 1. Ada koordinasi dari segenap energi, potensi dan aktivitasnya 2. Memiliki integrasi dan regulasi terhadap struktur kepribadian 3. Efisien dalam setiap tindakannya 4. Memiliki tujuan hidup 5. Memiliki gairah dan tenang serta harmonis hidupnya (Kartono, 2001: 230). Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 3 Jurnal Bimbingan Konseling Islam Orang yang sehat mentalnya akan mudah menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungannya, juga mampu berpartisipasi aktif, dan lancar mengatasi semua masalah yang timbul pada perubahan-perubahan sosial. B.Beberapa Teori mengenai Mental Disorder Ada beberapa yang dapat digunakan untuk mengetahui tentang mental disorder di antaranya adalah: 1. Teori Demonoligis vs Teori Naturalistik Teori demonologis menyebutkan sebab-sebab mental disorder ialah unsur-unsur gaib dan setan-setan/roh jahat atau sebagai hasil perbuatan dukun-dukun jahat. Kitab Injil misalnya mengemukakan beberapa bentuk “gangguan kepribadian” atau kekalutan mental. Akan tetapi pada zaman dahulu fenomena itu disebut sebagai tanda-tanda mistik, takhayul, kekuatan setan, guna-guna dan sihir. Teori demonologis membedakan tipe kekalutan mental yang jahat dan tipe kekalutan mental baik, yang memberikan kebajikan. Tipe yang jahat ialah mereka yang dianggap berbahaya, bisa merugikan dan membunuh orang lain. Tingkah laku abnormal itu dianggap sebagai “perbuatan setan”, jahat dan berdosa. Sedang tipe yang baik, yang secara mistik dianggap “penyalit suci” ialah gejala epilepsi atau ayan. Beberapa di antara bekas penderita ayan ini diperkenankan memberikan pengobatan kepada pasien-pasien lain melalui doa-doa, sembahyang dan penebusan dosa (Kartono, 2001: 237). Sebaliknya, teori naturalis menyatakan sebagai berikut: tingkah laku menyimpang dan kekalutan mental ditimbulkan oleh proses fisik/jasmaniah. Tingkah laku menyimpang dan kacau-kalut itu selalu berhubungan dengan fungsi-fungsi jasmani yang kalut dan abnormal; dan bukan disebabkan oleh gejala spiritual. Dengan demikian teori naturalis memberikan antitesis langsung terhadap doktrin demonologis, dan menyatakan ajaran demonologis sebagai tidak logis, dan jelas penuh unsur takhayul. 4 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Pengenalan Sejak Dini Penderita Mental Disorder (Mubasyaroh) Aliran naturalis menganjurkan, agar perlakuan terhadap orang-orang yang terganggu atau kalut jiwanya itu lebih humanistis dan lebih lunak, dengan menghapus semua bentuk pasungan, perantaian dan siksaan. Selanjutnya para penderita gangguan tersebut hendaknya diobati serta dihargai sesuai dengan martabat kemanusiaannya. 2. Teori Organis vs Teori Psikologis Teori ini berbeda pendapat dengan teori sebelumnya mengenai sebab-sebab mental disorder. Menurut teori organis, sebab utama mental disorder adalah kerusakan pada jaringanjaringan otot atau gangguan biokhemis pada otak; masingmasing disebabkan oleh efek genetis, disfungsi pada endokrin, infeksi atau luka-luka. Mereka berkeyakinan, bahwa apabila pada suatu saat bisa ditemukan campuran kimia yang tepat, dan bisa menemukan teknik pembedahan yang lebih akuran/cermat, pastilah para sarjana akan mampu menemukan penyebabpenyebab fisik dari penyakit jiwa dan semua gangguan mental. Sebaliknya, para penganut teori psikologi berpendirian, bahwa sebab-sebab mental disorder adalah kebiasaan-kebiasaan belajar yang patologis dan keliru sehingga direfleksikan dengan ketidakmampuan memenuhi tuntutan hidup menurut pola umum (pola yang wajar). Sigmund Freud sebagai tokoh psikoanalisa berpendapat bahwa penyebab mental disorder bukan karena fisik, tetapi disebabkan oleh proses belajar yang keliru dari individu yang bersangkutan. 3. Teori Intrapsikis dan Teori Behavioristis Menurut teori intrapsikis tempat dari psikopatologi atau gangguan jiwa itu ada dalam kepribadian seseorang, sebagai bentuk kesalahan karakter yang serius atau sebagai konflik yang menyusup tajam dan dalam pada kehidupan kejiwaan. Tingkah laku abnormal dan menyimpang itu selalu berkaitan dengan gangguan-gangguan internal yaitu berupa kekuatan-kekuatan Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 5 Jurnal Bimbingan Konseling Islam yang saling berkonflik, dan beroperasi mengganggu dalam kepribadian seseorang. Pada sisi lain penganut teori behavioristis mengembangkan teori refleks terkondisi pada manusia dan binatang, yang menyatakan: prinsip-prinsip belajar pada tingkah laku abnormal/ menyimpang itu menjadi sumber penyebab dari tingkah laku abnormal. Menurut teori ini tingkah laku abnormal, menyimpang, kalut, anarkis, kacau, sakit, psikopatologis adalah bentuk kebiasaan-kebiasaan yang maladaptife; salah dalam penyesuaian dirinya. Maka tingkah laku abnormal adalah bentuk tingkah laku lahiriah/eksternal. 4. Teori Psikoanalisa: Konflik dan Fiksasi dan Behaviorisme: Stimulus-Respon, Belajar dan Psikopatologi Menurut toeri psikoanalisa sumber dari semua ganguan mental itu terletak dalam individu sendiri, yaitu berupa pertempuran batin, antara dorongan-dorongan infantil melawan pertimbangan yang matang dan rasional. Berkaitan dengan ini, simptom-simptom lahiriah dalam bentuk tingkah laku abnormal dan menyimpang (gangguan mental) itu merupakan bentuk permukaan dari gangguan-gangguan intrapsikis yang serius. Teori yang dipelopori oleh Sigmund Freud ini berpendapat bahwa faktor-faktor kultural dan intrapersonallah yang menjadi sumber penyakit dari tingkah laku abnormal dan mental disorder. Teori behavioristis yang dipelopori Ivan Pavlov berpendapat lain, semua tingkah laku abnormal dan mental disorder itu timbul dari proses pengkondisian, dan tidak menjelaskannya dari pengertian fiksasi atau motif-motif tidak sadar. C.Sebab-sebab Mental Disorder Penderitaan batin dalam ilmu psikologi dikenal sebagai mental disorder. Secara lebih sederhana mental disorder atau kekalutan mental adalah gangguan kejiwaan akibat ketidakmampuan seseorang menghadapi persoalan yang harus 6 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Pengenalan Sejak Dini Penderita Mental Disorder (Mubasyaroh) diatasi sehingga yang bersangkutan bertingkah laku secara kurang wajar. Gejala permulaan bagi seseorang yang mengalami mental disorder atau kekalutan mental adalah: 1. Nampak pada jasmani yang sering merasakan pusing, sesak napas, demam, dan nyeri pada lambung. 2. Nampak pada kejiwaannya dengan rasa cemas, ketakutan, patah hati, apatis, cemburu, mudah marah. Tahap-tahap gangguan kejiwaan adalah : 1. Gangguan kejiwaan nampak pada gejala-gejala kehidupan si penderita baik jasmani maupun rohani. 2. Usaha mempertahankan diri dengan cara negatif. 3. Kekalutan mental merupakan titik patah (mental breakdown) dan yang bersangkutan mengalami gangguan. Sebab-sebab timbulnya mental disorder: 1. Kepribadian yang lemah akibat kondisi jasmani atau mental yang kurang sempurna. 2. Terjadinya konflik sosial budaya. 3. Cara pematangan batin yang salah dengan memberikan reaksi yang berlebihan terhadap kehidupan sosial. Proses mental disorder yang dialami seseorang mendorongnya ke arah positif dan negatif. Positif; trauma jiwa yang dialami dijawab dengan baik sebagai usaha agar tetap survive dalam hidup, misalnya melakukan salat tahajud, ataupun melakukan kegiatan yang positif setelah kejatuhan dalam hidupnya. Negatif; trauma yang dialami diperlarutkan sehingga yang bersangkutan mengalami fustasi, yaitu tekanan batin akibat tidak tercapainya apa yang diinginkan. Bentuk frustasi antara lain: 1. Agresi berupa kamarahan yang meluap-luap akibat emosi yang tak terkendali dan secara fisik berakibat mudah terjadi hipertensi atau tindakan sadis yang dapat membahayakan orang sekitarnya. 2. Regresi adalah kembali pada pola perilaku yang primitif atau kekanak-kanakan. 3. Fiksasi adalah peletakan pembatasan pada satu pola yang sama (tetap) misalnya dengan membisu. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 7 Jurnal Bimbingan Konseling Islam 4. Proyeksi merupakan usaha melemparkan atau memproyeksikan kelemahan dan sikap-sikap sendiri yang negatif kepada orang lain. 5. Identifikasi adalah menyamakan diri dengan seseorang yang sukses dalam imaginasinya. 6. Narsisme adalah self love yang berlebihan sehingga yang bersangkutan merasa dirinya lebih superior dari pada orang lain. 7. Autisme ialah menutup diri secara total dari dunia ril, tidak mau berkomunikasi dengan orang lain, ia puas dengan fantasinya sendiri yang dapat menjurus ke sifat yang sinting. Penderitaan kekalutan mental banyak terdapat dalam lingkungan seperti: 1. Kota-kota besar. 2. Anak-anak usia muda. 3. Wanita. 4. Orang yang tidak beragama. 5. Orang yang terlalu mengejar materi. Apabila kita kelompokkan secara sederhana berdasarkan sebab-sebab timbulnya penderitaan, maka penderitaan manusia dapat diperinci sebagai berikut: 1. Penderitaan yang timbul karena perbuatan buruk manusia. 2. Penderitaan yang timbul karena penyakit, siksaan/azab Tuhan. Orang yang mengalami penderitaan mungkin akan memperoleh pengaruh bermacam-macam dan sikap dalam dirinya. Sikap yang timbul, penyesalan karena tidak bahagia, sikap kecewa, putus asa, atau ingin bunuh diri. Kelanjutan dari sikap negatif ini dapat timbul sikap anti, misalnya anti kawin atau tidak mau kawin, tidak punya gairah hidup, dan sebagainya. Sikap positif yaitu sikap optimis mengatasi penderitaan, bahwa hidup bukan rangkaian penderitaan, melainkan perjuangan membebaskan diri dari penderitaan dan penderitaan itu adalah hanya bagian dari kehidupan. Sikap positif biasanya kreatif, tidak mudah menyerah, bahkan mungkin timbul sikap keras atau sikap anti. Misalnya sifat anti kawin paksa, ia berjuang menentang kawin paksa, dan lain-lain. 8 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Pengenalan Sejak Dini Penderita Mental Disorder (Mubasyaroh) Di samping itu, munculnya mental disorder pada seseorang bisa terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan. Sebagaimana diketahui bahwa setiap manusia memiliki bermacam-macam kebutuhan untuk mempetahankan eksistensinya. Sehingga timbullah dorongan, usaha dan dinamisme untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Adapun kebutuhan tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Kebutuhan fisis biologis, organis dan kebutuhan vital. Misalnya makan, minum, tidur, udara segar, pakaian dan istirahat. Jika hal ini tidak terpenuhi akan mengakibatkan ancaman bagi eksistensi hidupnya. 2. Kebutuhan sosial, bersifat human/kemanusiaan atau sosio budaya. Kebutuhan ini banyak macamnya di antaranya adalah; kebutuhan seksual, bekerja, mencari teman atau partner, berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, studi, hidup berkelompok, menciptakan budaya dan sebagainya. 3. Kebutuhan metafisis, religius atau transendental. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu mencari Aku lain/ Dikau. Dia tidak mau secara psikis terisolir dari jenisnya. Dia membutuhkan kontak dan komunikasi dengan orang lain. Dia ingin dicintai dan mencintai orang lain. Dia ingin mendapatkan posisi dan status sosial. Dengan demikian, melalui komunikasi dengan orang lain manusia bisa merealisasikan diri dan memanusiakan manusia. Jika kebutuhan manusia untuk berkomunikasi dengan orang lain tidak terpenuhi atau terganggu, dan selalu memikirkan dirinya sendiri, dia akan mengalami atropi dan dekadensi sehingga tidak akan berkembang normal. Hal ini akan mengakibatkan seseorang menderita macam-macam konflik intern dan mengalami kekecauan mental. D.Bentuk-bentuk Mental Disorder Ada beberapa bentuk perilaku yang dapat dikenali sebagai perilaku penderita mental disorder di antaranya adalah: Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 9 Jurnal Bimbingan Konseling Islam 1. Psikopat Psikopat adalah bentuk kekalutan mental yang ditandai dengan tidak adanya pengorganisasian dan pengintegrasian pribadi. Penderita psikopat tidak pernah bisa bertanggung jawab secara moral; dan selalu berkonflik dengan norma-norma sosial dan hukum, karena sepanjang hayatnya orang yang bersangkutan hidup dalam lingkungan sosial yang abnormal dan immoral yang diciptakan oleh angan-angannya sendiri. Orang-orang psikopat pada umumnya ketika masih muda mendapatkan kasih sayang yang minim sekali, bahkan mungkin sama sekali tidak mendapatkan kasih sayang dari lingkungannya. Adapun simtom-simtom atau gejalanya berupa: - Tingkah laku dan relasi sosialnya selalu a-sosial, eksentrik (kegila-gilaan) dan kronis patologis. Tidak memiliki kesadaran sosial dan intelegensi sosial. - Sikapnya aneh-aneh, sering berbuat kasar, bertingkah laku kegila-gilaan, kurang ajar dan ganas, buas terhadap siapapaun, tanpa suatu sebab serta sering sadistis. - Suka ngeloyor atau mengembara ke mana-mana tanpa tujuan - Pribadinya labil - Ada disorientasi terhadap lingkungannya - Tidak pernah loyal terhadap seseorang, kelompok atau kodekode etik tertentu - Emosinya tidak matang, sering tanpa perasaan - Sering melakukan penyimpangan seksualitas dalam bentuk; homoseksual, tranvestitisme yaitu nafsu yang patologis untuk memakai pakaian lawan jenisnya, pedofilia, fetishisme serta sadisme. 2. Psikoneurosa Ialah sekelompok reaksi psikis yang ditandai secara khas dengan unsur kecemasan,dan secara tidak sadar ditampilkan dengan penggunaan mekanisme pertahanan diri (defence mechanism). Psikoneurosa adalah bentuk gangguan/kekacauan fungsional pada sistem pensyarafan, termasuk disintegrasi dari 10 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Pengenalan Sejak Dini Penderita Mental Disorder (Mubasyaroh) sebagian kepribadiannya. Tidak ada kontak dengan lingkungan sekitarnya dan relasi dengan dunia luar sedikit sekali. Adapun sebab-sebab neurosa adalah: a. Tekanan-tekanan sosial dan tekanan kultural sangat kuat, yang menyebabkan ketakutan-kecemasan dan ketegangan batin yang kronis sifatnya. b. Individu mengalami banyak frustasi, dan konflik-konflik emosional yang sudah dimulai sejak kanak-kanak. c. Individu sering tidak rasional sebab sering memakai defence mechanism yang negatif dan lemahlah pertahanan diri baik secara fisik maupun mental d. Pribadinya sangat labil dan tidak imbang dan kemauannya sangat lemah. 3. Psiko fungsional Psikofungsional merupakan disorder mental secara fungsional kepribadian dan maladjustment social yang berat. Penderita tidak mampu mengadakan relasi sosial dengan dunia luar, sering terputus samasekali dengan realitas hidup, lalu menjadi inkompeten secara sosial, terdapat pula gangguan pada karakter dan fungsi intelektual. Seringkali pasien menderita kekalutan hebat; dihinggapi depresi, delusi, halusinasi dan ilusi optis. Tidak mempunyai insight sama sekali, mengalami regresi psikis; dia menderita stupor yaitu tidak bisa merasakan sesuatupun, keadaannya seperti terbius. Ciri gejala lainnya adalah: sering mengamuk disertai kekerasan dan serangan-serangan yang maniak kegilagilaan, sehingga membahayakan dan mengancam orang lain. Di samping itu penderia ini juga membahayakan diri sendiri, maka secara hukum paisen dinyatakan gila. Simptom umum dari psikosa fungsional adalah: a. Ada kepecahan/disintegrasi pribadi, dan kekalutan mental yang progresif. Juga terdapat disorientasi terhadap lingkungan, sehingga reaksinya terhadap stimulus eksternal dan konflik batin sendiri selalu salah, dan berbentuk; gangguan efektif yang parah, gangguan perasaan/emosional yang serius. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 11 Jurnal Bimbingan Konseling Islam b. Hubungan dengan dunia realitas jadi terputus. Tidak ada insight. Biasanya pasien tidak menyadari simptom-simptom dan penyakitnya. Responsnya terhadap sekitarnya selalu tidak tepat dan keliru, kegila-gilaan atau maniacal dan eksentrik. Suka tertawa-tawa mengikik-ngikik terus-menerus. c. Ada maladjustment; disertai disorganisasi dari fungsi-fungsi kejiwaan, inteligensi, perasaan dan kemauan. d. Seringkali dibayangi oleh macam-macam halusinasi. Ilusi dan delusi. Selalu merasa takut dan bingung, khususnya ada kekacauan emosional yang kronis. e. Sering mengalami stupor. Jika pasien menjadi agresif, sifatnya kasar, keras kepala dan kurang ajar. Bahkan menjadi eksplosif meledak-ledak, ribut, berlari-lari dan amat berbahaya. Ia mungkin menyerang dan membunuh orang lain, atau berusaha membunuh dirinya sendiri. Adapun sebab-sebab dari psikosa fungsional: a. Konstitusi pembawaan mental dan jasmaniah yang herediter, diwarisi dari orang tua atau generasi sebelumnya yang psikotis. Jumlahnya kurang lebih 50% dari semua penderita. b. Kebiasaan-kebiasaan mental buruk dan pola-pola kebiasaan yang salah sejak masa kanak-kanak. Juga dengan adanya malajutsment parah, dan menggunakan escape mechanism dan defence mechanism yang negatif, sehingga semakin banyak muncul ketegangan dan konflik internal yang serius. Hal ini menyebabkan disintegrasi kepribadian. Termasuk dalam kelompok psikosa fungsional adalah: a. Schizofrenia 1. Schizofrenia yang hebephrenic 2. Schizifrenia yang catatonic 3. Schizofrenia yang paranoid b. Manis depresif c. Paranoia a. Schizofrenia Schizofrenia adalah bentuk kegilaan dengan disintrgrasi pribadi, tigkah laku emosional dan intelektual yang ambigious 12 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Pengenalan Sejak Dini Penderita Mental Disorder (Mubasyaroh) (majemuk) dan terganggu secara serius, mengalami regresi atau dementia total. Pasien banyak melarikan diri dari kenyataan hidup, dan berdiam dalam dunia fantasi. Adapun macam-macam schizophrenia adalah: 1. Schizofrenia yang hebephrenic yaitu mental/jiwanya menjadi tumpul, dengan ciri-cirinya: - Ada reaksi sikap dan tingkah laku yang kegila-gilaan, suka tertawa-tawa kemudian menangis. Sangat irritable atau mudah tersinggung. Sering dihinggapi sarkasme (sindiran tajam) dan menjadi meledak-ledak penuh kemarahan. Atau menjadi eksplosif sekali tanpa sebab. - Pikirannya selalu melantur. Banyak tersenyum-senyum, mukanya selalu perat-perot tanpa ada satu stimulus pun. - Terjadi regresi/degenerasi psikis secara total, menjadi kekanak-kanakan dan “tumpul” ketolol-tololan. 2. Schizofrenia yang catatonic (kaku) Adapun ciri-cirinya adalah: - Urat-uratnya jadi kaku. Mengalami chorea-flexibility (waxflexibility), yaitu badan jadi kaku beku seperti malam. - Sering menderita catalepsy, yaitu dalam keadaan tidak sadar seperti kondisi trance. Seluruh badannya jadi kaku dan tidak bisa dibengkokkan. Jika dia mengambil satu posisi tertentu, misalnya berdiri miring, berlutut, jongkok, kepala di bawah dan lain-lain. - Ada tingkah laku yang stereotypis atau gerak-gerak yang otomatis, dan tingkah yabg aneh-aneh tidak terkendalikan oleh kemauan. - Ada gejala stupor, yaitu tidak bisa merasa, seperti terbius. Bersikap negativistis dan pasif; disertai delusi-delusi kematian, ingin mati saja. Si penderita terus saja membius dalam waktu yang sangat lama. - Kadang-kadang disertai catatonic excitement, yaitu menjadi meledak-ledak dan rebut hiruk pikuk, tanpa sebab dan tanpa tujuan. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 13 Jurnal Bimbingan Konseling Islam 3. Schizofrenia yang paranoid Adapun ciri-cirinya adalah: - Penderita diliputi macam-macam delusi dan halusinasi yang terus menerus berganti ciraknya, dan tidak teratur sifatnya(misalnya delusion of grandeur dan delusion of persecution). Sering merasa iri hati, cemburu, curiga dan dendam. - Emosinya pada umumnya beku dan sangat apatis. - Paisen tampak lebih “waras” dan tidak seganjil-aneh, jika dibandingkan dengan penderita schizophrenia jenis lainnya. Akan tetapi biasanya bersikap sangat bermusuhan terhadap siapapun juga. - Merasa dirinya penting, besar, grandieus. Sering sangat fanatic relogius, berlebih-lebihan sekali. Kadang-kadang bersikap hipokondris. Prognosa dan terapi terhadap szhizofrenia: a. Schizofrenia ini pada umumnya sdikit sekali kemungkinannya bisa sembuh, terutama jika kondisinya sudah parah. b. Yang penting ialah usaha preventif, berupa; - Hindari frustasi-frustasi dan macam-macam kesulitan psikis; menciptakan kontak sosial yang sehat dan baik. - Biasakan agar pasien memiliki sikap hidup/attitude yang positif, dan melihat hari depan dengan rasa keberanian - Usahakan agar pasien bisa menjadi ekstrovert. b. Psikosa Manis - Depresif Adalah kekalutan mental serius berupa gangguan emosional yang ekstrem, terus-menerus bergerak antara gembira, tertawa-tawa/elation sampai dengan rasa depresif sedih putus asa. Pasien dihinggapi ketegangan-ketegangan afektif dan agresi yang terhambat-hambat, dengan impulsimpuls kuat akan tetapi pendek-pendek, dan tidak bisa dikontrol atau dikendalikan. Kepribadiannya menjadi kacau, dan ingatannya menjadi sangat mundur. Pasien menjadi sangat egosentris 14 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Pengenalan Sejak Dini Penderita Mental Disorder (Mubasyaroh) dan tingkah lakunya menjadi kekanak-kanakan. Selalu merasa gelisah dan tidak pernah merasa puas. 75% dari jumlah penderitanya adalah wanita. Adapun gejala-gejala dari manis adalah: ◦ Pasien menjadi sangat aktif, amat rebut, lari kesana kemari dan banyak gerakan ◦ Sangat tidak sabaran dan tidak toleran ◦ Kesadarannya kabur, ide-idenya campur aduk dan kacau balau serta tidak mengenal larangan dan pantanganpantangan. ◦ Emosinya pendek-pendek dan meledak-ledak ◦ Dikejar oleh ilusi-ilusi dan halusinasi-halusinasi visual dan aural ◦ Ada disorientasi total terhadap ruang, tempat dan waktu ◦ Pada stadium berat ketika mengalami saat manis, pasien bisa melakukan serangan-serangan, kekerasan da usahausaha membunuh orang atau usaha bunuh diri. Disamping itu dari depresif juga mengalami gejalagejala sebagai berikut: - Menjadi melankolis, depresif sangat sedih. Banyak menangis dan dihinggapi ketakutan serta kegelisahan - Perasaannya selalu tidak puas, merasa tidak berguna, dan disia-siakan hidupnya; merasa sebatang kara di dunia. menjadi pasif, acuh tak acuh dan apatis. - Dihinggapi halusinasi-halusinasi dan delusi-delusi yang menakutkan dan menimbulkan kepedihan hati. Serta dihinggapi penyesal-penesalan atas kesalahan dan dosadosa di masa lampau. - Merasa jemu hidup dan putus asa. Ingin mati dan mau melakukan usaha bunuh diri. - Kesadarannya menjadi kabur. Biasanya disertai retardasi motorik dan retardasi mental yang semakin parah. Adapun sebab-sebab timbulnya psikosa mania-depresif adalah: Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 15 Jurnal Bimbingan Konseling Islam a. Sebab organis dan herediter: - Tipe-tipe pycnis ( gemuk-pendek-bulat, kokoh-bergairah) mempunyai kecenderungan mendapat gangguan penyakit ini. Juga tipe-tipe kepribadian yang cyclothym atau esktrovert, mempunyai korelasi dengan gangguan mania-depresif. - Mempunyai sanak keluarga yang sakit jiwa atau mempunyai gangguan jiwa yang serius. b. Sebab-sebab nonherediter: - Ada mania-mania kompensasi, untuk meredusir pikiran dan ide-ide yang tidak menyenangkan, yang dijadikan mekanisme-kompensatoris untuk melupakan kesedihan dan kekecewaan –kekecewaan hidup, dalam bentuk aktivitas-aktivitas yang ekstrim dan sibuk. Sedang unsure depresinya merupakan kanalisasi pelepasan untuk melupakan kegagalan-kegagalan. Pada umumnya ada rasa-rasa penyesalan. - Tidak ada kontrol terhadap emosi-emosianya. Tidak ada integrasi diantara perasaan-perasaan tunduk-patuh dengan tendens-tendens harga diri ekstrim. Usaha penyembuhan yang dapat dilakukan, dapat dimulai dengan prognosa dan treatment yaitu melalui usahausaha preventif, dengan cara mengajar anak-anak/pemuda untuk mengekspresikan emosinya terhadap hal-hal yang positif, dan menghindari penekanan-penekanannya yang ekstrem terhadap luapan emosinya (Kartono, 2001: 308). c. Psikosa Paranoia Psikosa paranoia adalah gangguan mental yang amat serius, di antaranya memiliki ciri-ciri timbulnya banyak delusi yang disistematisasi dan ide fixed yang kaku serta salah. 75% dari penderitanya adalah pria. Mereka selalu diliputi delusi-delusi, khususnya delusion of grandeur dan delusion of persecution, rasa iri hati, cemburu dan curiga. Pada umumnya mereka tidak diganggu oleh halusinasi-halusinasi. 16 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Pengenalan Sejak Dini Penderita Mental Disorder (Mubasyaroh) Adapun sebab-sebab psikosa paranoia adalah: 1. Kecenderungan-kecenderungan homoseksual dan dorongan- dorongan seksual yang tertekan, yang kemudian diproyeksikan keluar 2. Ide-ide yang sarat diamati oleh efek-efek yang luar biasa kuatnya 3. Kebiasaan-kebiasaan yang salah, disebabkan oleh perasaan iri hati, selffish, dam egosentrisme. Terlampau sensitif dan sering dihinggapi perasaan curiga 4. Merupakan bentuk kompensasi terhadap kegagalankegagalannya dan terhadap kompleks-kompleks inferiornya. Atau ada defence mechanism terhadap rasa-rasa berdosa dan bersalah. E. Solusi Pemecahannya 1. Tetap aktif Olah raga teratur dan menjaga kebersihan serta penampilan diri dapat membantu mempunyai perasaan positif. 2. Melibatkan diri dalam kelompok. Ikut dalam kegiatan atau klub, bertemu teman secara teratur dalam suasana menyenangkan serta suportif, mempunyai sahabat tempat saling bercerita, ikut kursuskursus, atau mempelajari hal baru. 3. Menerima diri sendiri. Kita semua unik dan berbeda satu sama lain, tidak ada manusia sempurna. Semua orang mempunyai kelemahan seperti halnya kelebihan. Terimalah serta cintai diri sendiri secara wajar. 4. Relaksasi Terlalu banyak kegiatan akan membuat tertekan. Luangkan waktu untuk bersantai dan istirahat. Penting juga untuk bisa tidur malam dengan baik, yang akan membantu meredakan stres. Tidur yang baik dan teratur merupakan penyegaran pikiran. 5. Menghindari alkohol dan narkoba. Karena dengan alkohol dan narkoba ini malah akan memperburuk kondisi seseorang. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 17 Jurnal Bimbingan Konseling Islam 6. Makan secara sehat dan teratur. 7. Mendekatkan diri pada Tuhan. 8. Kenali gejala kesehatan mental yang terganggu. Mempunyai kesehatan mental yang baik berarti mampu mengatasi tekanan hidup sehari-hari. Bila anda merasa tidak mampu mengatasi, atau malah mengatasi dengan alkohol dan narkoba (napza), anda mungkin mempunyai masalah yang memerlukan bantuan orang lain. 9. Mencari bantuan Bila seseorang sakit secara fisik, maka akan berkonsultasi pada dokter. Begitu pula dengan kesehatan mental anda. Jangan merasa malu atau ragu untuk mencari pemecahan masalah kekalutan mental pada ahli. F. Simpulan Penderitaan batin dalam ilmu psikologi dikenal sebagai mental disorder. Secara lebih sederhana mental disorder atau kekalutan mental adalah gangguan kejiwaan akibat ketidakmampuan seseorang menghadapi persoalan yang harus diatasi sehingga yang bersangkutan bertingkah laku secara kurang wajar. Gejala permulaan bagi seseorang yang mengalami mental disorder atau kekalutan mental adalah :nampak pada jasmani yang sering merasakan pusing, sesak napas, demam, dan nyeri pada lambung serta nampak pada kejiwaannya dengan rasa cemas, ketakutan, patah hati, apatis, cemburu, mudah marah. Adapun bentuk-bentuk mental disorder adalah psikopat, schizophrenia dan psikosa fungsional. Di samping mental disorder, maka jasmani yang sehat antara lain ditandai dengan ciri-ciri; memiliki energi, stamina atau daya tahan, kuat bekerja, dan badan selalu merasa sehat nyaman. Solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi mental disorder di antaranya adalah: tetap aktif olah raga teratur dan menjaga kebersihan serta penampilan diri dapat membantu mempunyai perasaan positif, melibatkan diri dalam kelompok, ikut dalam kegiatan atau klub, bertemu teman secara teratur 18 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Pengenalan Sejak Dini Penderita Mental Disorder (Mubasyaroh) dalam suasana menyenangkan serta suportif, mempunyai sahabat tempat saling bercerita, ikut kursus-kursus, atau mempelajari hal baru, menerima diri sendiri, relaksasi, menghindari alkohol dan narkoba, makan secara sehat dan teratur, mendekatkan diri pada Tuhan, kenali gejala kesehatan mental yang terganggu, mencari bantuan disamping itu dapat dilakukan dengan terapi agama. Bila seseorang sakit secara fisik, maka akan berkonsultasi pada dokter. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 19 Jurnal Bimbingan Konseling Islam DAFTAR PUSTAKA Branca, A. A, Psychology The Scienceof Behavior. Allyn and Bacon, Inc. Belmont, California Walgito, Bimo, 2009, Psikologi Sosial; Suatu Pengantar, Yogyakarta: Andi _______, 1982, Kesehatan Mental, Yayasan Pernebitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Kartono, Kartini, 2001, Patologi Sosial, Jilid I Edisi Terbaru, Jakarta: Raja Grafindo Persada http://openstorage.gunadarma.ac.id/handouts/S1_Sistem%20 Informasi.1/IBD/bhn-IBD-4.doc. Fromm, Erich, 1995, Masyarakat yang Sehat (The Sane Society) terjemah, Thomas Bambang Murtianto, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Hawari, Dadang, 1995, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: Bina Bhakti Prima Yasa Moeljono Notosoedirdjo, Latipun, 1999, Kesehatan Mental, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Burhanuddin, Yusak, 1999, Kesehatan Mental, Bandung: Pustaka Setia 20 CV Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 PENTINGNYA KECERDASAN SPIRITUAL DALAM MENANGANI PERILAKU MENYIMPANG Oleh: Ani Agustiyani Maslahah Guru MA Roudlotusysyubban Tawangrejo Winong, Pati Abstrak Setiap sekolah atau madrasah memiliki siswa dengan berbagai karakter dan persoalan masing-masing, semisal perilaku yang menyimpang. Setiap ada persoalan yang terjadi pada siswa, guru BK (Bimbingan dan Konseling) sebagai tempat pelarian akhir. Persoalan tersebut tidak hanya tanggung jawab guru BK melainkan tanggung jawab guru akidah akhlak juga sebagai orang yang terlibat dalam pembentukan perilaku siswa di sekolah/ madrasah. Salah satu cara menangani perilaku menyimpang adalah dengan pendekatan agama yang berdasarkan Al-Quràn dan sunah. Selanjutnya, dalam melakukan bimbingan seorang konselor harus memiliki kecerdasan spiritual yang didasari oleh motivasi spiritual. Keywords: Kecerdasan Spiritual, Perilaku Menyimpang. A.Pendahuluan Sebagian pendidikan saat ini ada yang hanya bertahta pada otak manusia, yang kurang menghiraukan keadilan dan nilai-nilai Ilahiyah, sehingga hasilnya hanya dinikmati sebagian manusia saja. Oleh karena itu dibutuhkan suatu pendidikan yang balance (seimbang), dalam arti adanya keseimbangan antara akal dan batin yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan. Dekadensi moral bangsa yang terjadi sebagai bukti tidak adanya keseimbangan antara kecerdasan intelektual, kecerdasan Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 21 Jurnal Bimbingan Konseling Islam emosional, dan kecerdasan spiritual. Salah satu upaya menghindari fenomena tersebut adalah mengintegrasikan antara ketiganya. Setiap sekolah atau madrasah memiliki siswa dengan berbagai karakter dan persoalan masing-masing. Adapun setiap ada persoalan yang terjadi pada siswa, guru BK (Bimbingan dan Konseling) sebagai tempat pelarian akhir, namun persoalan tersebut tidak hanya tanggung jawab guru BK melainkan tanggung jawab guru akidah akhlak juga sebagai orang yang terlibat dalam pembentukan perilaku siswa di sekolah/madrasah. Menyelesaikan persoalan yang dialami siswa, seorang guru memperlukan teknik dan metode yang baik agar siswa yang memiliki persoalan merasa nyaman dan tidak tertekan. Untuk melakukan pekerjaan tersebut diperlukan kecerdasan spiritual baik guru BK maupun guru Akidah Akhlak. Kegiatan memberikan bimbingan dan konseling kepada klien, konselor harus memberikan nasihat dan jalan keluar yang baik. Hal ini ditujukan agar dapat menghasilkan bimbingan dan konseling yang baik. Salah satu caranya konselor harus memiliki spiritual quotient (kecerdasan spiritual). B.Kecerdasan Spiritual Kecerdasan yang dimiliki manusia sebetulnya tidak hanya kecerdasan intelektual (IQ) atau rasional, tetapi masih ada kecerdasan yang lainnya yaitu kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Dalam makna lain SQ merupakan kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi manusia (Danah, 2002: 4). Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan. 22 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Pentingnya Kecerdasan Spiritual dalam Menangani Perilaku....(Ani Agustiyani M) Kenyataannya diwujudkan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia seutuhnya (hanif), dan memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik), serta berprinsip “hanya karena Allah” (Ary, 2001: 57). Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa. SQ beroperasi dari pusat otak, yaitu fungsi-fungsi penyatu otak. SQ mengintegrasikan semua kecerdasan manusia. SQ menjadikan kmanusia sebagai makhluk yang benar-benar utuh secara intelektual, emosional dan spiritual. Inti dari pengertian tentang SQ tersebut adalah ada dua hal, yaitu ibadah dan hidup yang bermakna. 1. Komponen-komponen SQ SQ tidak dapat dipisahkan dengan manusia itu sendiri. SQ ibarat seorang manusia di mana eksistensinya merupakan sebuah sistem yang terdiri dari komponen-komponen yang saling mendukung. Begitu juga dengan SQ yang memiliki beberapa komponen yang merupakan satu kesatuan utuh dan tak terpisahkan untuk mencapai tujuan. Adapun komponen-komponen SQ antara lain: a. Niat ibadah dalam segala hal (positif). b. Berfikir dan bertindak sesuai dengan fitrah manusia. c. Keikhlasan hati. 2. Indikator Kecerdasan Spiritual a. Kejernihan hati. b. Amanat dan bijaksana. c. Adaptif terhadap situasi dan kondisi/perubahan zaman. d. Kepercayaan diri (confidence). e. Sumber motivasi. f. Integritas dan loyalitas. g. Internalisasi dan aktualisasi al-asmaul husna. 3. Manfaat kecerdasan spiritual Untuk mencapai keseimbangan hidup kecerdasan spiritual mutlak diperlukan. Dengan SQ diharapkan manusia dapat mengoptimalkan kecerdasan dan potensi yang dimilikinya. Beberapa manfaat SQ bagi seseorang adalah: Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 23 Jurnal Bimbingan Konseling Islam a. Menumbuhkan perkembangan otak manusia b. Membangkitkan kreativitas. c. Memberi kemampuan bersifat fleksibel d. Menjadikan cerdas secara spiritual dalam beragama. e. Menyatukan interpersonal dan intrapersonal. f. Mencapai perkembangan diri. g. Membedakan antara benar dan salah. C.Perilaku Menyimpang Perilaku menyimpang terutama di kalangan remaja selalu hangat dibicarakan melalui media masa baik media elektronik maupun media cetak. Banyak perilaku menyimpang yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Perbuatan menyimpang tersebut menjadi patologi social (penyakit masyarakat) yang dapat mengganggu kestabilan kehidupan dan keharmonisan lingkungan sosial. Untuk mencapai kehidupan yang harmonis, damai dan tenteram, maka perilaku-perilaku menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat harus diminimalisir serta harus dihindari. Perilaku menyimpang adalah tingkah laku atau perbuatan yang melawan hukum yang berlaku baik hukum negara, masyarakat maupun hukum agama (Samsul, 2008: 368). Berbeda dengan pandangan di atas pandangan lain menganggap penyimpangan sebagai sesuatu yang bersifat patologis; artinya ada suatu penyakit. Pandangan ini dilandaskan berdasar analogi ilmu kedokteran. Organisme manusia di sebut berfungsi apabila bekerja secara efisien dan tidak mengalami hal-hal yang kurang mengenakkan (Soerjono, 1988: 5). Sebagaian pertanyaan mendasar untuk memahami bentuk perilaku mengapa seorang pelajar melakukan penyimpangan, sedangkan ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan, adalah pernyataan Becker (dalam Soerjono Soekanto,1988 : 26), bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat penyimpangan-penyimpangan. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk 24 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Pentingnya Kecerdasan Spiritual dalam Menangani Perilaku....(Ani Agustiyani M) melanggar pada situasi dan adanya kesempatan tertentu, tetapi terkadang pada kebanyakan orang tidak menjadi berwujud penyimpangan. Dasar pengkategorian penyimpangan didasari oleh perbedaan perilaku, kondisi dan individu. Penyimpangan dapat didefinisikan secara statistik, absolut, reaktifis, dan normatif. Perbedaan yang menonjol dari keempat sudut pandang pendefinisian itu adalah pendefinisian oleh para reaktifis, dan normatif yang membedakannya dari kedua sudut pandang lainnya. Penyimpangan secara normatif didefinisikan sebagai penyimpangan terhadap norma, di mana penyimpangan itu adalah terlarang bila diketahui dan mendapat sanksi. Jumlah dan macam penyimpangan dalam masyarakat adalah relatif tergantung dari besarnya perbedaan penyimpangan terhadap norma suatu kelompok atau masyarakat. Karena norma berubah maka penyimpangan berubah. Penyimpangan biasanya dilihat dari perspektif orang yang bukan penyimpang. Pengertian yang penuh terhadap penyimpangan membutuhkan pengertian tentang penyimpangan bagi penyimpang. Untuk menghargai penyimpangan adalah dengan cara memahami, bukan menyetujui apa yang dipahami oleh penyimpang. Cara-cara para penyimpang menghadapi penolakan atau stigma dari orang non penyimpang disebut dengan teknik pengaturan. Tidak satu teknik pun yang menjamin bahwa penyimpang dapat hidup di dunia yang menolaknya. Teknikteknik yang digunakan oleh penyimpang adalah kerahasiaan, manipulasi aspek lingkungan fisik, rasionalisasi, partisipasi dalam subkebudayaan menyimpang dan berubah menjadi tidak menyimpang. Proses sosialisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui interaksi sosial dengan menggunakan media atau lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu, kondisi kehidupan lingkungan tersebut akan sangat mewarnai dan mempengaruhi input dan pengetahuan yang diserap oleh setiap pelajar. Karena itulah dalam membahas perilaku penyimpangan pelajar, penulis Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 25 Jurnal Bimbingan Konseling Islam menitikberatkan pada pendekatan sistem, yaitu perilaku individu sebagai masalah sosial yang bersumber dari sistem sosial terutama dalam pandangan disorganisasi sosial sebagai sumber masalah. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada umumnya para pelajar yang mengalami gejala disorganisasi sosial dalam keluarga misalnya, maka norma dan nilai sosial menjadi kehilangan kekuatan mengikat. Dengan demikian kontrol sosial menjadi lemah, sehingga memungkinkan terjadinya berbagai bentuk penyimpangan perilakunya. 1. Kategorisasi perilaku menyimpang: a. Keterbelakangan mental. Penyimpangan perilaku berkaitan erat dengan permasalahan kehidupan. Goncangan jiwa dan juga segala penyakit berkaitan dengan fisik ataupun kejiwaan (Musfir, 2005: 50). b. Psikoneurosis. c. Kelainan seksual. 2. Faktor-faktor penyebab perilaku menyimpang Pada dasarnya perilaku menyimpang atau kenakalan pelajar adalah hal-hal yang dilakukan oleh pelajar sebagai individu dan yang tidak sesuai dengan norma-norma hidup yang belaku di dalam masyarakatnya. Kartini Kartono (1988: 93) mengatakan pelajar yang nakal itu disebut pula sebagai anak cacat sosial. Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada di tengah masyarakat, sehingga perilaku mereka dinilai oleh masyarakat sebagai suatu kelainan dan dianggap terjadi hal yang menyimpang atau “kenakalan”. Emile Durkheim (dalam Soerjono Soekanto, 1985: 73) pernah membahas tentang normal tidaknya perilaku menyimpang atau perilaku kenakalan, dijelaskan bahwa dalam pemikiran perilaku menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai fakta sosial yang normal, dengan demikian perilaku dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan melihat pada suatu perbuatan yang tidak 26 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Pentingnya Kecerdasan Spiritual dalam Menangani Perilaku....(Ani Agustiyani M) disengaja. Dari sini kenakalan pelajar dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor, seperti: a. Kawan Sepermainan Di kalangan pelajar, memiliki banyak kawan adalah merupakan satu bentuk prestasi tersendiri. Makin banyak kawan, makin tinggi nilai mereka di mata teman-temannya. Apalagi mereka dapat memiliki teman dari kalangan terbatas. Di zaman sekarang, pengaruh kawan bermain ini bukan hanya membanggakan si pelajar saja tetapi juga pada orang tuanya. Orang tua juga senang dan bangga kalau anaknya mempunyai teman bergaul dari kalangan tertentu. Namun, jika si anak akan mengikuti tetapi tidak mempunyai modal ataupun orang tua tidak mampu memenuhinya maka anak akan menjadi frustrasi. Apabila timbul frustrasi, maka pelajar kemudian akan melarikan rasa kekecewaannya itu pada narkotik, obat terlarang, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, orang tua para pelajar hendaknya berhati-hati dan bijaksana dalam memberikan kesempatan anaknya bergaul. Jangan biarkan anak bergaul dengan kawankawan yang tidak benar. Memiliki teman bergaul yang tidak sesuai, anak di kemudian hari akan banyak menimbulkan masalah bagi orang tuanya. b. Pendidikan Memberikan pendidikan yang sesuai adalah merupakan salah satu tugas orang tua kepada anak. Ketika anak memasuki usia sekolah terutama perguruan tinggi, orang tua hendaknya membantu memberikan pengarahan agar masa depan si anak berbahagia. Masih sering terjadi dalam masyarakat, orang tua yang memaksakan kehendaknya agar di masa depan anaknya memilih profesi tertentu yang sesuai dengan keinginan orang tua. Pemaksaan ini tidak jarang justru akan berakhir dengan kekecewaan. Sebab meski memang ada sebagian anak yang berhasil mengikuti kehendak orang tuanya tersebut, tetapi tidak sedikit pula yang kurang berhasil dan kemudian menjadi kecewa, frustrasi dan akhirnya tidak ingin sekolah sama Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 27 Jurnal Bimbingan Konseling Islam sekali. Mereka malah pergi bersama dengan kawan-kawannya, bersenang-senang tanpa mengenal waktu bahkan mungkin kemudian menjadi salah satu pengguna obat-obat terlarang. c. Penggunaan Waktu Luang Kegiatan di masa pelajar sering hanya berkisar pada kegiatan sekolah dan seputar usaha menyelesaikan urusan di rumah, selain itu mereka bebas, tidak ada kegiatan. Apabila waktu luang tanpa kegiatan ini terlalu banyak, pada si pelajar akan timbul gagasan untuk mengisi waktu luangnya dengan berbagai bentuk kegiatan. Apabila si pelajar melakukan kegiatan yang positif, hal ini tidak akan menimbulkan masalah. Namun, jika ia melakukan kegiatan yang negatif maka lingkungan dapat terganggu. Seringkali perbuatan negatif ini hanya terdorong rasa iseng saja. Tindakan iseng ini selain untuk mengisi waktu juga tidak jarang dipergunakan para pelajar untuk menarik perhatian lingkungannya. Sebab dalam masyarakat, pada umunya apabila seseorang tidak mengikuti gaya hidup anggota kelompoknya maka ia akan dijauhi oleh lingkungannya. Tindakan pengasingan ini jelas tidak mengenakkan hati si pelajar, akhirnya mereka terpaksa mengikuti tindakan kawankawannya, akhirnya ia terjerumus. Mengisi waktu luang selain diserahkan kepada kebijaksanaan pelajar, ada baiknya pula orang tua ikut memikirkannya pula. Oleh karena itu, waktu luang yang dimiliki pelajar dapat diisi dengan kegiatan keluarga sekaligus sebagai sarana rekreasi. Kegiatan keluarga dapat pula berupa tukar pikiran dan berbicara dari hati ke hati. d. Uang Saku Orang tua hendaknya memberikan teladan untuk menanamkan pengertian bahwa uang hanya dapat diperoleh dengan kerja dan keringat. Pelajar atau anak hendaknya dididik agar dapat menghargai nilai uang. Pemberian uang saku kepada pelajar memang tidak dapat dihindarkan. Namun, sebaiknya 28 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Pentingnya Kecerdasan Spiritual dalam Menangani Perilaku....(Ani Agustiyani M) uang saku diberikan dengan dasar kebijaksanaan dan jangan berlebihan. Uang saku yang diberikan dengan tidak bijaksana akan dapat menimbulkan masalah, yaitu: 1) Anak menjadi boros. 2) Anak tidak menghargai uang. 3) Anak malas belajar, sebab mereka pikir tanpa kepandaian pun uang gampang didapat. e. Perilaku Seksual Pada saat ini, kebebasan bergaul sudah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Para pelajar dengan bebas dapat bergaul antar jenis. Tidak jarang dijumpai pemandangan di tempat-tempat umum, para pelajar saling berangkulan mesra tanpa memperdulikan masyarakat sekitarnya. Mereka sudah mengenal istilah pacaran sejak awal masa pelajar. Pacar, bagi mereka, merupakan salah satu bentuk gengsi yang membanggakan. Akibatnya, di kalangan pelajar kemudian terjadi persaingan untuk mendapatkan pacar. Pengertian pacaran dalam era globalisasi informasi ini sudah sangat berbeda dengan pengertian pacaran 15 tahun yang lalu. Akibatnya, di zaman ini banyak pelajar yang putus sekolah karena hamil. Oleh karena itu, dalam masa pacaran, anak hendaknya diberi pengarahan tentang idealisme dan kenyataan. Anak hendaknya ditumbuhkan kesadaran bahwa kenyataan sering tidak seperti harapan kita, sebaliknya harapan tidak selalu menjadi kenyataan. Apabila usia makin meningkat, orang tua dapat memberi lebih banyak kebebasan kepada anak. Namun, tetap harus dijaga agar mereka tidak salah jalan. Menyesali kesalahan yang telah dilakukan sesungguhnya kurang bermanfaat. Orang tua hendaknya memberikan teladan dalam menekankan bimbingan serta pelaksanaan latihan kemoralan yang sesuai dengan agama dan aturan yang berlaku. 3. Sebab-sebab Terjadinya Perilaku Menyimpang Perilaku menyimpang yang terjadi di kalangan pelajar, sebagai contoh adanya kenakalan remaja. Kenakalan remaja dapat Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 29 Jurnal Bimbingan Konseling Islam disebabkan oleh berbagai hal, sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudarsono dalam bukunya Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja (1995: 19-24) menyatakan sebagai berikut: a. Keadaan Keluarga b. Keadaan Sekolah c. Keadaan Masyarakat Faktor makro, faktor lingkungan: - Keadaan ekonomi masyarakat. - Masa atau daerah peralihan. - Broken home. Faktor kepribadian: - Faktor syaraf. - Faktor penyakit jiwa. Faktor mikro, faktor lingkungan: - Kesalahan pengasuhan. - Pengaruh teman sebaya. - Pengaruh pelaksanaan hukum. Faktor intern: - Dorongan nafsu yang berlebihan - Kesalahan menilai diri. - Negative thinking terhadap diri. Faktor-faktor lainnya yang perlu diperhitungkan adalah bahwa kadang-kadang suatu perbuatan dianggap menyimpang karena kualitas pelakunya dan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan tersebut (Soerjono, 1988: 12). D.Pentingnya Kecerdasan Spiritual sebagai Dasar Penyelesaian Perilaku Menyimpang Salah satu cara menangani perilaku menyimpang adalah dengan pendekatan agama, dengan berdasarkan Al-Quràn dan sunah. Seorang konselor dalam melakukan bimbingan harus memiliki kecerdasan spiritual dengan konseling terapi. Konseling terapi mempunyai keterkaitan yang kuat dengan ilmu jiwa, di dalamnya dipelajari tentang perilaku yang normal 30 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Pentingnya Kecerdasan Spiritual dalam Menangani Perilaku....(Ani Agustiyani M) ataupun perilaku menyimpang. Konseling terapi merupakan salah satu kewajiban seorang muslim kepada sesamanya (Musfir, 2005: 7). Penyelesaian masalah seperti perilaku menyimpang, perlu adanya kecerdasan spiritual yang didasari oleh motivasi spiritual. Motivasi spiritual berkaitan dengan kebutuhan manusia secara kejiwaan maupun spiritual, ia tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan manusia secara biologis. Motivasi spiritual sebagai dasar orang memiliki kecerdasan spiritual adalah berkaitan erat dengan aspek spiritualitas pada diri manusia, seperti halnya motivasi untuk tetap konsisten dalam melaksanakan ajaran agama, motivasi untuk takwa kepada Allah, mencintai kebaikan, kebenaran, keadilan, membenci kejahatan dan kezaliman. Kepribadian seorang muslim tampak pada kekuatan iman dan takwanya serta amal salih yang dikerjakannya secara konsisten di dunia sebagai bekalnya untuk kehidupan di akhirat. Sesungguhnya yang membedakan manusia atas manusia lainnya adalah takwa. Diantara motivasi kejiwaan atau spiritual adalah: 1. Motivasi memiliki. 2. Motivasi konsisten menjalankan ibadah kepada Allah. 3. Motivasi bersaing. 4. Motivasi bermusuhan (Musfir, 2005: 133). Melalui kecerdasan spiritual, manusia diharapkan memiliki landasan kokoh untuk memiliki sebuah kecerdasan hati yang terbentuk dalam diri manusia. Barangkali cara menangani perilaku menyimpang dengan kecerdasan spiritual adalah cara yang paling menonjol. Karena kenakalan sebagai contoh penyimpangan lebih banyak disebabkan oleh kondisi mental. Melalui pendekatan agama dengan semangat motivasi terapi rohani. Agama sangat menolong dan dapat mengembalikan kepercayaan kepada diri dan masyarakat, terutama dengan keyakinan akan Pengasih Penyayang dan Pengampunan-Nya Tuhan (Zakiyah, 1977: 103). Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 31 Jurnal Bimbingan Konseling Islam Manusia sebagai makhluk rohani sering kehilangan arti, makna, tujuan atau peran dalam kehidupan. Kehilangan makna hidup akan mengganggu jiwa dan dapat menimbulkan keputusasaan, merasa diri tidak berguna dan tindakan negatif lainnya. Kasus seperti ini tepat sekali jika dibimbing, dibina, dan diberi terapi dengan pendekatan dari segi agama. Pendekatan agama melalui usaha langsung untuk mempengaruhi pandangan hidup (Samsul, 2010: 107). Pentingnya kecerdasan spiritual (jiwa) dalam penyembuhan penyakit seperti perilaku menyimpang, sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Yunus ayat 57 yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”. Membimbing dan membantu menyelesaikan masalah dibutuhkan kecerdasan spiritual. Di mana seorang konselor harus memiliki motivasi spiritual dengan tetap konsisten beribadah kepada Allah dan takwa. Membimbing memerlukan kecerdasan spiritual agar dapat menjadi pendidik sekaligus orang tua bagi klien, sehingga konselor mampu membimbing, membina, mendidik sesuai kaidah-kaidah spiritual religius. Seorang konselor merupakan mitra dan uswah (teladan) bagi anak didik dalam membangun sebuah karakter sehari-hari (caracter building). Dengan kecerdasan spiritual diharapkan seseorang memiliki integritas tinggi, etos kerja, totalitas dalam bekerja dan ibadah, sepenuh hati dengan semangat berapi-api serta memiliki sikap tanggung jawab dan jiwa loyalitas yang tinggi. E. Simpulan Setelah penulis memaparkan uraian di atas dapat disimpulkan bawah salah satu cara menangani perilaku menyimpang adalah dengan pendekatan agama yang berdasarkan Al-Quràn dan sunah. Selanjutnya, dalam melakukan bimbingan seorang konselor harus memiliki kecerdasan spiritual yang 32 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Pentingnya Kecerdasan Spiritual dalam Menangani Perilaku....(Ani Agustiyani M) didasari oleh motivasi spiritual. Motivasi spiritual berkaitan dengan kebutuhan manusia secara kejiwaan maupun spiritual, ia tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan manusia secara biologis. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 33 Jurnal Bimbingan Konseling Islam DAFTAR PUSTAKA Agustian, Ary Ginanjar, 2001, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ) Berdasarkan Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Jakarta, Arga Amin, Samsul Munir, 2010, Bimbingan dan Konseling Islam, Jakarta, Amzah Azzahrani, Musfir, 2005, Konseling Terapi, Jakarta, Gema Insani Daradjat, Zakiah, 1977, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, Jakarta, Bulan Bintang Sudarsono, 1995, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, Jakarta, Rineka Cipta Soerjono Soekanto, Rajawali 1988, Sosiologi Penyimpangan, Jakarta, Tim Penterjemah al-Qur’an, 1999, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, Yayasan Penterjemah al-Qur’an Zahar, Danah, 2002, SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dam berfikir Integralistik dan Holoistik untuk Memaknai Kehidupan, Bandung, Mizan 34 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 TRANSFORMASI SOSIAL KEAGAMAAN PADA MASYARAKAT SAMIN (Hasil Penelitian pada Masyarakat Desa Kemantren Kec. Kedungtuban Kab. Blora) Oleh: Abdul Wahib Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Abstrak Masyarakat Samin merupakan masyarakat dengan gerakan perlawanan terhadap ajaran pemerintah kolonilal Belanda yang mengkristal yang kemudian dikeramatkan sebagai sebuah agama baru yakni Agama Adam. Agama Adam mengajarkan keyakinan dan cara hidup yang sangat berbeda atau bahkan berlawanan dengan keyakinan dan cara hidup mayoritas masyarakat umumnya. Namun, ketika Jepang datang dan menyatakan diri sebagai saudara tua, maka sikap mereka terhadap orang asing mulai berubah. Perkembangan politik di Indonesia dari terjajah menjadi merdeka berdampak pada banyaknya perubahan yang terjadi pada masyarakat Samin hingga saat ini. Diantara perubahan tersebut adalah bergesernya nilai sosial keagamaan yang meliputi diterimanya Islam sebagai agama formal, diterimanya pendidikan agama Islam bagi para anak-anak, dan penerimaan mereka terhadap keberadaan tempat ibadah (masjid). Salah satu faktor pemicu perubahan tersebut adalah adanya kevakuman ajaran atau tradisi dari kalangan Agama Adam yang beRdampak pada ketidakpuasan bagi pemeluknya, serta gesekan budaya antara mereka dengan kaum santri disekelilingnya. Keywords: Transformasi Sosial, Keagamaan, Masyarakat Samin. A.Pendahuluan Perlawanan bersenjata maupun tanpa senjata sebagai bentuk reaksi terhadap kolonialisme Belanda banyak terjadi di Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 35 Jurnal Bimbingan Konseling Islam daerah-daerah di Indonesia, terutama dalam abad 18 dan 19. Dari data historis nampak bahwa perlawanan tersebut dipimpin oleh orang-orang dari golongan tertentu dalam masyarakat. Di antara mereka yang melakukan perlawanan itu adalah Ki Samin Surontiko atau Samin Surosentiko (Hutomo, 1996: 14). Samin, Saminisme, dan masyarakat Samin adalah fenomena yang unik. Nilai uniknya terletak pada beberapa hal, antara lain: Saminisme pertama kali muncul sebagai aksi moral yang dilakukan oleh Ki Samin Surontiko melawan penjajahan Belanda tapi pada tahap perkembangan berikutnya aksi moral Ki Samin menjadi gerakan moral. Dari gerakan moral kemudian berkembang menjadi gerakan kultrual dan bahkan tak dapat dipungkiri Samin telah berhasil menggulirkan ideologi baru yang khas Samin yakni Saminisme atau bahkan “agama” baru yang mereka namakan Agama Adam (Afia, 1999: 33). Keunikannya yang lain adalah bahwa Samin selalu diidentikkan dengan keluguan yang bodoh, tapi juga kebodohan yang sangat cerdik. Disebut lugu yang bodoh karena mereka berkomunikasi secara lugas, mereka seolah-oleh tidak mengenal bahasa politik. Tapi juga kebodohan yang cerdik karena dengan bahasa lugas itu mereka mampu memperdaya pemerintah penjajah Belanda. Ciri utama gerakan Samin adalah perlawanan tanpa kekerasan dan penggunaan logika serta bahasa khas Samin (bahasa sangkak). Sebagai perlawanan individual cara ini memang umum, tapi tidak demikian secara kemasyarakatan, apalagi secara politik. Dunia belum pernah menyaksikan praktek ini, dan inilah jasa Samin Surosentiko kepada dunia (Widiyanto, 1983: 65). Sebagai contoh, jika mereka disuruh kerja bakti atau kerja paksa maka mereka tentu mau mengikutinya tapi yang mereka kerjakan hanya sekedar mengangkat atau memindah satu atau dua butir batu saja, dengan logika bahwa mereka telah melaksanakan perintah. Apabila mereka diminta untuk membayar pajak maka mereka mengatakan bahwa pajak bumi telah mereka bayar dengan cara memasukkan beberapa koin mata uang ke dalam sawah. 36 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Tranformasi Sosial Keagamaan pada Masyarakat Samin....(Abdul Wahib) Dalam kondisi represif karena kolonialisme Belanda, cara hidup dan perlawanan tanpa kekerasan yang dilakukan oleh Ki Samin tentu sangat menarik perhatian masyarakat sekitarnya dan sekaligus Ki Samin menjadi simbol bagi perlawanan terhadap penjajahan. Gerakan perlawanan tanpa kekerasan bahkan menjadi model bagi gerakan massal menentang penjajahan Belanda (Hutomo, 1996: 16). Tak dapat dipungkiri bahwa bertahun-tahun sesudah itu (diawali tahun 1908) Gandhi mempraktekkan cara yang sama dalam perjuangannya melawan kolonialisme. Gerakan yang kemudian dirumuskannya dengan nama Satyagraha yang secara harfiah sat artinya kebenaran dan graha artinya tekad, tekad mempertahankan kebenaran dengan tanpa kekerasan. Gerakan Gandhi ini menjadi mendunia karena faktor efektifitas organisasi dan akses yang lebih mudah untuk diketahui dunia. Barangkali yang lebih dari itu adalah, bahwa para pengikut Samin bukanlah orang-orang yang berpendidikan (well educated) semacam Gandhi dan para pengikutnya, para pengikut Samin adalah orang-orang desa yang tidak terdidik secara baik dan juga tidak memiliki pengalaman untuk mengorganisasikan diri secara efektif. Gerakan Ki Samin berlangsung secara alamiah dan oleh karena itu, sebagaimana gerakan protes atau perlawanan di daerah-daerah lain, gerakan Samin dapat dipatahkan dengan begitu mudah dan berakhir dengan kegagalan dan penumpasan oleh pihak kolonial (Kartodirdjo, 1986: 14). Meskipun setelah itu gerakan kultural tetap diteruskan oleh para pengikutnya. Karena gerakan Samin adalah gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial terutama Belanda, maka ketika Indonesia telah merdeka gerakan ini telah kehilangan konteksnya, yang berarti lain, alasan untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah sudah kehilangan relevansinya. Meskipun demikian, tidak mudah bagi mereka untuk segera dapat membuka diri dengan dunia luar setelah kurang lebih setengah abad mereka hidup dalam suasana tertutup dan terisolir. Ketidak percayaan pada orang-orang di luar kelompok mereka juga tidak dengan mudah dapat dihilangkan. Yang menjadi masalah berikutnya adalah sikap dan tanggapan mereka terhadap agama di luar agama Adam yang Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 37 Jurnal Bimbingan Konseling Islam selama ini mereka yakini. Agama Adam mengajarkan keyakinan dan cara hidup yang sangat berbeda atau bahkan berlawanan dengan keyakinan dan cara hidup mayoritas masyarakat di luar mereka, sebagai contoh keyakinan tentang kehidupan akhirat dan tata cara pernikahan. Datangnya kemerdekaan, keterbukaan, kemajuan sains teknologi dan globalisasi informasi tak dapat ditolak oleh siapapun tak terkecuali oleh masyarakat Samin. Tuntutan menuju kemajuan tersebut juga datang dari Pemerintah Daerah Blora yang merasa berkepentingan untuk memajukan masyarakat di wilayahnya. Masyarakat Samin dalam situasi dilematis antara mempertahankan adat dengan cara menutup diri dari pengaruh luar atau mengikuti “kemajuan” dengan cara membuka diri. Bagi sebagian besar dari mereka, tetap terus mempertahankan adat lebih mudah dari pada membuka diri tapi bagi sebagian lain membuka diri dari keterisoliran merupakan pilihan yang lebih baik. Hasil studi kelayakan menunjukkan bahwa pada komunitas Samin di Desa Kemantren Kecamatan Kedungtuban sudah terdapat beberapa tempat ibadah (masjid dan mushala yang jumlahnya lebih dari 10 dan terdapat juga kelompok majlis tal̀im dengan anggota tak kurang dari 1000 orang. Data di atas menunjukkan bahwa telah terjadi transformasi sosial keagamaan yang cukup dramatis pada masyarakat Samin Desa Kemantren. B.Pergeseran Nilai Sosial Keagamaan Masyarakat Samin Meskipun masyarakat Samin pada mulanya bersifat eksklusif sehingga menutup diri dari infiltrasi dunia luar, namun kodrat untuk berubah tidak dapat mereka tolak sejalan dengan berlalunya waktu. Uraian singkat berikut ini berisi uraian tentang beberapa perubahan sosisal keagamaan dalam Masyarakat Samin dan faktor-faktor pendorongnya. 1. Nilai-nilai sosial Keagamaan a. Islam diterima sebagai agama formal Pendekatan formal seseorang memeluk agama apa untuk membedakan yang bersangkutan dengan orang PKI pasca kegagalan pemberontakannya pada tahun 1965, memaksa orang Samin yang sosialismenya dekat sekali dengan 38 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Tranformasi Sosial Keagamaan pada Masyarakat Samin....(Abdul Wahib) ajaran komunisme untuk memilih satu agama tertentu yang keberadaannya diakui oleh pemerintah. Dalam hal ini, untuk tidak memperjelas status agamanya dan juga atas dorongan aparat pemerintah mereka menerima Islam sebagi agamanya. Pengakuan ini, apapun motivasinya tentu punya dampak tersendiri bagi kehidupannya. Setidaknya dia tidak bisa dengan semaunya sendiri melecehkan Agama Islam atau terang-terangan memusuhi orang-orang kalangan santri. Pada saat ini, sementara sebagian orang Samin berpendapat bahwa mengaku beragama Islam itu hanya sekedar formalitas, tapi sebagian yang lain benar-benar meyakini bahwa agama yang dipeluknya adalah agama Islam hanya laku sehariharinya memang masih laku Samin. b. Pendidikan Agama Islam Tidak Dipermasalahkan Semula pendidikan agama tambahan pada sore hari (ngaji) memang dipermasalahkan oleh sebagian dari mereka karena khawatir akan lunturnya nilai-nilai sosial kesaminan yang selama ini telah mereka tanamkan, tapi sebagian yang lain sudah berpendapat bahwa, yang tua biarlah sebagaimana adat yang dijalaninya tapi bagi anak-anak biarlah mereka tumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya orang banyak. Konsekwensi mengijinkan anak untuk mengaji tentu tidak sekedar mengijinkan mereka belajar agama Islam secara lebih baik tapi lebih dari itu secara tidak mereka sadari bahwa mereka sesungguhnya sudah merelakan anaknya tidak akan meneruskan tradisi Samin mereka. Pada sisi lain, mereka juga dapat mengambil manfaat dari adanya pengajian itu, karena dengan mengikuti pengajian, mereka menjadi lebih rajin belajar, lebih hormat pada orang tua dan orang lain yang lebih tua juga mereka menjadi lebih bersih dan tertib di rumah. c. Mendirikan Tempat Ibadah Masyarakat Samin merupakan masyarakat yang sangat teguh dalam menjaga suatu kerukunan. Hidupnya tidak lepas dari saling menolong. Jadi pada dasarnya mereka senang Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 39 Jurnal Bimbingan Konseling Islam bantu membantu, rasa gotong-royong dalam berbagai hal sangat tebal pada mereka. Itulah sebabnya ketika kepala desa mengajak mereka ikut berpartisipasi dalam pembangunan masjid, mereka langsung melaksanakannya. Dengan perjuangan yang tidak mengenal lelah, kepala desa yang pada saat itu dijabat oleh Ali Mashadi bersama para tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama dan warga desa akhirnya berhasil mendirikan masjid di dukuh Tanduran, yaitu masjid Al-Ikhlas, diresmikan tanggal 12 Rabi’ul Awal 1412 Hijriyah atau bertepatan dengan 21 September 1991 Masehi. Masjid ini diresmikan oleh kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Tengah waktu itu Drs. H. Muh. Ali Muachor. 2. Norma-norma Sosial Keagamaan Setiap masyarakat tentu memiliki tata aturan sendiri yang disepakati dan dijadikan sebagai ukuran bersama untuk menentukan benar dan tidaknya suatu tindakan anggota masyarakat. Salah satu norma sosial masyarakat Samin ialah tertutup terhadap masyarakat di luar kelompok mereka sendiri agar budaya leluhur tetap bisa terjaga kelestariannya. Tentu saja karena adanya kontak atau gesekan dengan budaya lain dan adanya kesempatan untuk menimbang-nimbang menjadikan mereka mempertimbangkan adanya budaya baru. Karena perubahan tidak mungkin dielakkan, maka katakata yang sering mereka ungkapkan ketika ajakan akan adanya perubahan adalah, “Yen anak-anakku yo ben koyo wong-wong akeh kuwi. Tapi yen aku yo tetep cecekelan gaman soko wong tuwo” yang berarti, “Anak-anakku biarlah seperti orang-orang pada umunya, sementara saya sendiri tetap berpegang pada ajaran orang tua”. Kata-kata itu dapat diasumsikan atau bahkan suatu bukti bahwa pada dasarnya masyarakat Samin terbuka terhadap perubahan, pembaharuan dan kemajuan. Secara individu mereka memang tetap bersiteguh akan ajaran agama Adam yang selama ini telah mereka warisi dari nenek moyangnya, tapi secara sosial mereka bisa menerima jika anak-anaknya berubah sebagaimana lazimnya anak-anak orang lain (Islam) yang tidak mengikuti ajaran Samin. 40 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Tranformasi Sosial Keagamaan pada Masyarakat Samin....(Abdul Wahib) 3. Pola-pola Perikelakuan Keagamaan a. Perkawinan Tradisi perkawinan dalam masyarakat Samin yang memperbolehkan atau bahkan mengharuskan calon pengantin untuk hidup serumah lebih dulu dan melakukan hubungan sex sebagai bukti bahwa mereka saling mencintai dan menerima sebagai calon pasangan suami istri jelas-jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam. Lebih dari itu mereka menganggap bahwa ritus pernikahan adalah semata-mata urusan adat. Jika adat sudah mengesahkan maka semuanya dianggap sudah selesai. Tapi dengan kegigihan para modin dan juga dukungan pihak kepala desa tata cara pernikahan mereka sedikit demi sedikit bisa dirubah. Pertama dengan melakukan pernikahan masal secara periodik. Kedua mereka boleh melakukan pernikahan dengan cara mereka sendiri tapi jika persaksian telah mereka lakukan maka mereka harus melaporkan pernikahan itu ke Kementerian Agama untuk mendapatkan surat nikah. Pada kurun waktu lima tahun terakhir ini, pernikahan model Samin murni dapat dikatakan hampir tidak ada lagi. Yang termasuk salah satu pendorongnya ialah kebanyanyakan remaja yang ada sekarang ini adalah mereka yang cukup mendapatkan pendidikan formal dan sebagian mereka telah berinteraksi dengan masyarakat luas di sekitarnya yang tentu saja tidak mentolelir adanya pernikahan yang dimulai dengan kumpul kebo lebih dulu. b. Kematian Meskipun konsep masyarakat Samin tentang kematian sangat sederhana, yakni kematian sekedar salin sandangan dan untuk itu segala ritus di sekitar kematian dipandang tidak perlu, namun kasus sebagaimana yang terjadi di Mojokuto dalam hal upacara kematian untuk anak keluarga seorang tokoh Permias yang dekat dengan PKI juga terjadi. Seorang tokoh Samin yang anaknya meninggal, dan dia tidak bisa menolak untuk melakukan ritus yang berhubungan dengan kematian. Dia datangi modin Ngusman untuk Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 41 Jurnal Bimbingan Konseling Islam memimpin upacara kematian anaknya. Modin Ngusman yang selama ini berseteru dengannya menolak tapi dia menunjuk guru agama untuk memenuhi permintaannya dan sang guru dengan sukarela memenuhi permintaan itu. Dari sini jelas munculnya pergeseran tradisi mereka terkait dengan adanya kematian. Fenomena saat ini yang muncul menjadi lebih jauh dari itu, selain perlakuan terhadap si mayat sesuai dengan syariàt Islam, tradisi acara selametan satu malam sampai tujuh malam, empat puluh hari, seratus hari dan seribu hari juga mereka terima dengan suka rela. Kenapa perubahan itu bisa terjadi? Salah satu faktornya adalah adanya kevakuman ajaran atau tradisi dari kalangan Agama Adam dan ini menimbulkan ketidakpuasan pagi para pemeluknya, di samping juga karena adanya gesekan budaya antara mereka dengan kaum santri di sekelilingnya. Kevakuman itu menuntut untuk diisi sementara budaya terdekat yang telah ada adalah dari kalangan kaum santri, oleh karena itu mereka akhirnya menerima budaya santri yang sesuai dengan syariàt Islam. c. Puputan Acara puputan atau ketika orang tua harus memberi nama pada anaknya saat ini juga ada yang diisi dengan pembacaan sejarah hidup nabi baik itu berupa pembacaan kitab al-Barzanji atau Dibaàn, yang pada satu dekade sebelumnya tidak pernah terjadi. Penerimaan ini juga berdampak bagi tumbuh dan berkembangnya organisasi Ikatan Remaja Masjid (Irmas) dan kelompok-kelompok musik rebana. Alasan untuk ini sebagaimana dalam kasus ritus kematian adalah adanya ketidakpuasan atas kevakuman tradisi dan adanya pertemuan dengan budaya lain yang ada dan itu dianggap tidak mengancam eksistensi mereka. 4. Organisasi sosial Keagamaan a. Takmir Masjid Adanya organisasi takmir masjid memang hal yang biasa saja tapi tidak demikian halnya jika itu berada di dukuh 42 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Tranformasi Sosial Keagamaan pada Masyarakat Samin....(Abdul Wahib) Tanduran Desa Kemantren karena dukuh itu merupakan basis dari pengikut Saminisme yang selama ini menolak adanya simbol-simbol formal Islam. Pengurus takmir tidak terdiri semata-mata dari kaum santri, tapi beberapa di antaranya adalah orang-orang Samin yang tentu saja dari kelompok yang moderat. Hal ini penulis catat juga sebagai suatu transformasi dalam hal organisasi sosial keagamaan. b. Irmas Jika takmir masjid adalah organisasi bagi mereka yang telah dewasa atau orang tua, maka Ikatan Remaja Masjid (Irmas) merupakan organiasi bagi para remaja Islam atau remaja masjidnya. Keberadaan Irmas juga sangat penting karena memiliki nilai strategis dalam rangka pembianaan bagi para remaja di kalangan orang-orang Samin. Secara kultural Irmas efektif untuk mengurangi atau bahkan menghapus budaya kawin yang didahului dengan kumpul kebo yang selama ini melembaga di kalangan orang-orang Samin. 5. Strata sosial Keagamaan Strata sosial keagamaan yang ada di Desa Kemantren bisa dikategorikan menjadi tiga kategori. Yakni; Santri, abangan dan orang-orang Samin. Yang masuk dalam kategori santri adalah orang Islam yang dengan konsisten mengamalkan ajaran agama Islam, seperti menunaikan salat lima waktu, berpuasa dan mengeluarkan zakat, tanpa memandang apakah dia dari keluarga kyai atau pernah tinggal di pesantren atau tidak. Sedangkan yang dikategorikan sebagai orang abangan adalah mereka yang dalam KTP-nya dinyatakan beragama Islam tapi jarang sekali melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam seperti salat lima waktu berpuasa dan sebagainya. Sedangkan yang dikategorikan sebagai orang Samin adalah mereka yang secara genealogis keturunan Ki Samin Surosentiko atau para pengikut ajaran Samin. Pada saat ini orang-orang Samin oleh peneliti di kategorikan menjadi tiga kategori, yakni: Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 43 Jurnal Bimbingan Konseling Islam a. Samin Statis Samin statis adalah para pengikut Samin yang tetap teguh memeluk ajaran Samin dan berperilaku khas sebagai orang Samin. Mereka adalah keturunan Samin atau para pengikut saminisme generasi ketiga dan keempat yang pada saat ini berusia 50 - 60 tahunan ke atas. Dapat dikatakan mereka adalah generasi tua dari kalangan orang-orang Samin. Mereka bertahan pada tradisi itu karena mereka cukup puas dengan tradisi itu sehingga mereka tidak merasa butuh akan perubahan yang mereka khawatirkan justru malah mendatangkan malapetaka. Gesekan dengan budaya lain dalam hal ini Islam memang intensif ada tapi itu tidak membuat mereka merubah pendirian. b. Samin Moderat Samin moderat adalah para pengikut Samin dan berperilaku khas sebagai orang Samin tapi mereka toleran, dapat menerima perubahan dan mau beradaptasi dengan orang dan budaya lain termasuk terhadap agama dan simbolsimbol formal Islam. Mereka adalah keturunan Samin atau para pengikut saminisme generasi keempat dan kelima yang pada saat ini berusia 40 - 50 tahunan ke atas. Dapat dikatakan mereka adalah generasi tengah usia dari kalangan orang-orang Samin. Mereka tidak selalu berbusana khas Samin yakni celana kolor kombor dan baju kokok yang semuanya berwarna hitam, mereka bisa berbusana apa saja. Mereka konsisten pada Saminisme tapi mereka moderat dan terbuka kepada anak cucu mereka. Mereka mengijinkan anak-anak mereka mengikuti pendidikan agama Islam baik di sekolah maupun untuk mengaji di musholla atau masjid. Mereka tidak memaksakan diri bahwa Saminisme harus diwarisi oleh anak cucu mereka. Prinsipnya adalah, “Yen anakanakku yo ben koyo wong-wong akeh kuwi. Tapi yen aku yo tetep cecekelan gaman soko wong tuwo” yang berarti, “Anak-anakku biarlah seperti orang-orang pada umunya, sementara saya sendiri tetap berpegang pada ajaran orang tua”. Mereka tidak teguh bertahan pada tradisi Samin karena mereka merasa bahwa kemajuan tidak mungkin bisa dibendung 44 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Tranformasi Sosial Keagamaan pada Masyarakat Samin....(Abdul Wahib) dan jika mereka tetap bertahan pada sikap eksklusif maka mareka akan rugi sendiri, khususnya anak cucu mereka yang akan menanggung resikonya. Mereka merasa butuh akan perubahan dan mereka tidak khawatir perubahan itu akan mendatangkan malapetaka. Gesekan dengan budaya lain dalam hal ini Islam memang intensif dan itu cukup berpengaruh bagi mereka untuk merubah pendirian. c. Samin Genealogis Samin genealogis adalah mereka yang secara genealogis atau keturunan adalah keturunan Ki Samin atau keturunan orangorang yang taat pada saminisme. Mereka adalah keturunan Samin atau para pengikut saminisme generasi kelima dan keenam yang pada saat ini berusia 0 - 40 tahun. Dapat dikatakan mereka adalah generasi muda dari kalangan orang-orang Samin. Mereka tidak menunjukkan identitas spesifik sebagai orang Samin bahkan mereka tidak mengerti apa itu saminisme dan apa pula kepentingannya. Mereka tidak lebih dan tidak kurang dari anak-anak atau remaja-remaja seusianya selain bahwa mereka adalah keturuanan Ki Samin atau keturunan orang Samin. Tak ada identitas spesifik dan mereka merasa tidak memiliki kewajiban moral untuk meneruskan atau mewariskan saminisme. Mereka hanyalah “keturunan Samin”. 6. Kekuasaan dan Wewenang Masyarakat Samin bisa dianggap sebagai kelompok yang eksklusif. Dalam hal demikian, kepatuhan terhadap pimpinan kelompok (lazimnya informal) adalah besar atau dalam berbagai kasus mutlak. Sementara terhadap pimpinan formal rasa kepatuhan atau hormat mereka tidak sebanding dengan kepatuhan mereka terhadap pimpinan informal mereka. Meskipun demikian mereka rupanya tidak menolak kekuasaan orang di luar Samin selama orang tersebut bisa bertindak arif terhadap mereka, sebagai contoh kasus kepemimpinan kepala desa Bapak Ali Mashadi, hanya saja dalam ritus sedekah bumi kepala desa tidak bisa diterima atau diberi wewenang selaku tetua adat meskipun kepemimpinannya mereka akui. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 45 Jurnal Bimbingan Konseling Islam Pergeseran konsep ini bisa terjadi karena mereka tidak mungkin menolak kebijakan global yang mengkondisikan semua rakyat harus patuh atau taat pada pemerintah sampai pada tingkat terendah di desa dengan catatan pimpinan tersebut memang bisa ditoleransi (tolerable) di kalangan mereka. Dan kebetulan mereka memang bisa menerima pimpinan desa tersebut. Penerimaan itu juga mengindikasikan adanya toleransi yang bisa berkembang terhadap adanya kemajuan yang bisa dicapai oleh orang lain. Ketika ada pemilihan kepala desa, calon ada tiga orang, dua orang dari kalangan abangan (yang lebih didukung oleh orang Samin) sementara yang satu dari kalangan santri. Dan dalam kondisi seperti ini tentu saja yang menang adalah calon dari kalangan santri (Pak Ali Mashadi). Kekalahan ini mereka terima dengan lapang dada, karena memang itulah adanya. Mereka bisa menerima prestasi orang lain dengan pikiran dan hati terbuka. Pada sisi lain, mereka tidak punyaa alasan yang kuat atau reasonable menolak kenyataan apalagi setelah terbukti kepala desa bisa memimpin dengan arif dan bijaksana dan membawa berbagai kemajuan untuk desanya. 7. Interaksi sosial Salah satu ciri masyarakat pedesaan terutama masyarakat yang eksklusif adalah dipertahankannya pola paguyuban dan bukannya patembayan dalam pola interaksi sosialnya. Pola interaksi paguyuban memang memiliki kelebihan tertentu, tapi tentu saja dalam batas-batas “wilayahnya”. Sementara wilayah paguyuban adalah medan pekerjaan yang harus diselesaikan secara massal dan tidak membutuhkan keahlian yang spesifik. Tapi jika medan pekerjaan itu membutuhkan keahlian yang spesifik di mana seorang yang ahli harus dihargai keahliannya apalagi itu kelebihan utamanya dan sumber nafkah hidupnyanya maka konsep paguyuban tentu tak dapat diterima terutama dari kalangan para ahlinya. Sebagai contoh dalam mendirikan rumah; model paguyuban dapat diterapkan untuk pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan secara masal seperti memindahkan genteng atau balok-balok kayu untuk tiang rumah, tapi dalam hal rancang 46 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Tranformasi Sosial Keagamaan pada Masyarakat Samin....(Abdul Wahib) bangun (arsitektur bangunan), pengerjaan bagian-bagian yang sulit dari pengerjaan rumah seperti pemasangan keramik atau pembuatan ukiran rumah tentu itu semua tidak dapat dilakukan secara massal dan menggunakan konsep paguyuban. Yang jadi masalah berikutnya ialah semakin menciutnya jumlah “wilayah” yang dapat dikerjakan dengan pendekatan paguyuban. Semakin lama setiap orang makin menuntut keahlian dan ini juga terjadi di kalangan masyarakat Samin. Tuntutan bahwa suatu pekerjaan harus dikerjakan oleh ahlinya juga tidak dapat dielakkan. Oleh karena itu pola hidup paguyuban makin lama makin terkikis dan pola patembayan mulai dilakukan. Hidup guyub dan rukun terutama untuk kalangan mereka sendiri memang tetap dijaga, tapi dalam wilayah-wilayah di mana keahlian dituntut model interaksi patembayan tak dapat dihindarkan dan perlahan tapi pasti diterima dengan terbuka. C.Simpulan Setelah peneliti bergelut di lapangan untuk mengumpulkan data tentang transformasi sosial keagamaan pada masyarakat Samin Desa Kemantren Kecamatan Kedungtuban maka berbagai temuan yang merupakan rangkungan dari penelitian ini dapat peneliti simpulkan sebagai berikut: Samin Surontiko atau Samin Surosentiko, nama sesungguhnya adalah Raden Kohar, dia anak seorang bangsawan yaitu Raden Surowijoyo yang tidak puas terhadap penjajah Belanda. Dia melakukan perlawanan dengan tanpa kekerasan dan menyamar sebagai rakyat jelata dengan sebutan Samin. Dalam perlawanannya itu dia mengajarkan berbagai cara baru dan menyebarkan pemikiran-pemikirannya dengan cara membungkusnya dengan nama agama Adam. Ajaran pokok dari Ki Samin adalah “sing sopo nandur bakal ngunduh” yang berarti siapa yang menanam maka akan menuai. Ajaran ini mengajarkan kepada semua pengikutnya untuk berbuat secara jujur, adil, baik kepada sesama dan tidak boleh menciderai sesama manusia. Dia -mestinya- juga ingin mengatakan itu kepada Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 47 Jurnal Bimbingan Konseling Islam kolonial, bahwa mereka kaum penjajah mestinya tak bisa berbuat begitu kepada bangsa Indonesia atau kepada sesama ummat manusia. Karen manusia adalah sama. Semakin lama nama Samin semakin dikenal dan ajaranajarannya yang menentang Belanda semakin mengkristal apalagi ajaran itu kemudian dikeramatkan sebagai sebuah agama baru yakni Agama Adam. Gerakan Samin dan Saminisme berkembang dalam konteks perlawanan terhadap kolonial Belanda. Oleh karena itu ketika Jepang datang dan menyatakan diri sebagai saudara tua maka sikap mereka terhadap orang asing mulai berubah. Dan perubahan itu menjadi lebih besar lagi ketika bangsa Indonesia merdeka. Mestinya mereka sudah kehilangan konteks dalam melakukan perlawanan dan relevansi perjuangannya sudah tidak lagi up to date. Perkembangan politik di Indonesia dari terjajah menjadi merdeka dan dari suasana Orde lama ke Orde baru mau tidak mau juga berpengaruh terhadap eksistensi orang-orang Samin. Perubahan itu nampak sekali dalam sikapnya yang berbalik dari membenci pemerintah (kolonial) ke mendukung program pemerintah. Sebagai contoh sikap mereka yang menentang adanya pengajaran agama di sekolahan akhirnya melunak ketika guru agama menyampaikan kepada mereka bahwa apa yang dilakukan oleh guru agama itu hanya sekedar melaksanakan tugas pemerintah. Secara politis memang Orde baru berkepentingan untuk meng-agama-kan atau bahkan meng-Islam-kan orang-orang Samin agar mereka tidak berpaling ke Komunisme. Ini dilakukan dengan mengadakan kawin massal bagi orang-orang Samin yang tentu saja dengan cara Islam. Perubahan dalam perilaku perkawinan adalah starting point bagi mereka untuk kemudian melakukan transformasi sosial secara lebih luas dan berkelanjutan. Apa yang terjadi dan berkembang pada masyarakat Samin saat ini ialah bahwa ada transformasi sosial keagamaan di sana tapi di samping itu ada juga yang tetap bertahan (continuity and change). Baik yang tetap dipertahankan maupun yang berubah masingmasing ada alasan atau latar belakangnya. 48 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Tranformasi Sosial Keagamaan pada Masyarakat Samin....(Abdul Wahib) Di antara yang dipertahankan ialah; Acara sedekah bumi, mata pencaharian masyarakat, kejujuran sosial, keguyuban dan pemelukan terhadap agama Adam. Di antara alasan utama dari dipertahankannya hal-hal di atas antara lain ialah karena mereka merasa nilai-nilai itu sangat mereka butuhkan dan itu mencukupi kebutuhan hidupnya. Sementara di antara yang berubah ialah; Nilai-nilai sosial keagamaan yang meliputi, diterimanya Islam sebagai agama formal, diterimanya pendidikan Agama Islam bagi para anak-anaknya, dan penerimaan mereka terhadap didirikannya tempat ibadah (masjid). Selain itu adalah mulai terbukanya isolasi diri yang sebelumnya menyebabkan sulitnya pihak luar melakukan kontak dengan mereka, dengan adanya perubahan itu maka kontak menjadi lebih mudah dan perubahan juga bisa berlangsung. Pola-pola perilaku sosial juga sudah berubah terutama dalam hal upacara puputan, pernikahan dan kematian. Desa Kemantren terdiri atas dua dukuh, yakni dukuh Kemantren dan dukuh Tanduran. Sedangkan masyarakat desa Kemantren dapat dikategorikan menjadi tiga kategori, yakni; Santri, abangan dan orang Samin. Sementara orang Samin sebagian besar menghuni dukuh Tanduran karena di sini adalah keturunan langsung Ki Samin Surontiko generarasi ke-3 (cucu) dan ke-4 (cicit). Perubahan demi perubahan yang terjadi menjadikan orangorang Samin dapat dikategorikan menjadi tiga kategori yakni; Samin statis, Samin moderat dan Samin genealogis. Perubahan sosial keagamaan bisa terjadi karena adanya berbagai faktor. Di antaranya ialah; Pertemuan mereka dengan orang-orang Islam dan gencarnya usaha-usaah dakwah maupun pengajian di sana, adanya kekurangpuasan mereka sendiri akan budaya mereka yang sudah tidak lagi sesuai dengan kemajuan zaman, pendidikan formal yang lebih tinggi, pengalaman mereka merantau ke luar daerah karena daya dukung ekonomi pedesaan yang kurang memadai dan juga karena adanya intervensi pemerintah yang inging menghapus Saminisme karena dianggap dekat dengan Komunisme. Wallahu al̀am bissawab. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 49 Jurnal Bimbingan Konseling Islam DAFTAR PUSTAKA Sugihen, Bahrien T., 1996, Sosiologi Pedesaan (Suatu Pengantar), Jakarta: RajaGrafindo Persada Benda, Harry J., dan Lance Castles, 1972, The Samin Movement, dalam Harry J. Benda, Continuity and Change in Southeast Asia, Yale University, Conncticut Djokosoewardi, Hary Poerwanto, 1969, Saminisme, Skripsi Universitas Indonesia (tidak diterbitkan), Jakarta Veeger, Karel J., 1993, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Gramedia, Moh. Nazir, 1998, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia Mulder, Neils, 1984, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, Jakarta: Gramedia Susanto, Phil. Astrid S., 1985, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Jakarta: Binacipta Raharjo, 1999, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Kartodirdjo, Sartono, 1984, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta: Pustaka Jaya Taneko, Soleman B., 1993, Struktur dan Proses Sosial, Jakarta: RajaGrafindo Persada Hutomo,Suripan Sadi, 1996, Tradisi dari Blora, Semarang: Citra Almamater King, Victor T., 1973, Some Observation on the Samin Movement of North-Central Java, BKI, Martinus Nijhoff Frederick, Wiiliam H. dan Soeri Soeroso (Ed.), 1982, Pemahaman Sejarah Indonesia, Sebelum dan Sesudah Revolusi, Jakarta: LP3ES 50 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 MEMBUMIKAN PERAN DA’I DALAM PEMBINAAN KEAGAMAAN PADA MASYARAKAT Oleh: Ahmad Zaini Dosen STAIN Kudus Abstrak Pada hakikatnya dakwah adalah menyeru kepada umat manusia kepada jalan kebaikan dan mencegah dari yang munkar dalam rangka memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Diantara peran dan fungsi da’i adalah meluruskan akidah, memotivasi umat untuk beribadah dengan baik dan benar, amar ma’ruf nahi munkar, dan menolak kebudayaan yang merusak. Da’i mempunyai peran yang sentral dalam menjalankan kegiatan pembinaan keagamaan. Ia harus berbaur dengan masyarakat yang didakwahinya. Dan yang terpenting lagi para da’i harus mempunyai kepribadian yang dapat mendukung kegiatan dakwahnya, baik itu yang bersifat rohani maupun jasmani. Adapun kegiatan dakwah dan pembinaan yang dapat dilakukan di antaranya, kegiatan pengajian rutin, pengajian gabungan antar majelis ta’lim dengan mendengarkan ceramah agama dari da’i yang di datangkan dari luar, kegiatan yang bersifat insidentil, seperti Peringatan Hari-Hari Besar Islam dan juga kegiatan-kegiatan sosial. Key words: peran, da’i, bimbingan keagamaan, masyarakat A.Pendahuluan Allah SWT telah memerintahkan Rasul-Nya dan para pengikutnya untuk mengajak manusia menuju Allah semata, bukan kepada yang lainnya. Inilah pernyataan salah satu tujuan dakwah. Allah SWT berfirman: Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 51 Jurnal Bimbingan Konseling Islam ِ َّ َو َداعِ ًيا ِإلَى ه،اك َشاهِ ًدا َو ُم َب ِّش ًرا َو َنذِ ًيرا َ الن ِب ُّي ِإ َّنا َأ ْر َس ْل َن الل ِب ِإ ْذ ِن ِه َّ َيا َأ ُّي َها ِيرا ً َو ِس َر ً اجا ُمن “Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi” (QS. al-Ahzab: 45-46). Salah satu misi kerasulan sebagaimana informasi ayat di atas adalah da’iyan ilallah sebagai da’i yang menyeru ke jalan Allah. (Takariawan, 2005: 18) Selanjutnya, sepeninggal Rasulullah kewajiban dakwah berada di pundak para sahabat, tabi’in dan dilanjutkan oleh para da’i. Pada hakikatnya dakwah adalah menyeru kepada umat manusia kepada jalan kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dalam rangka memperoleh kebahagiaan di dunia dan kesejahteraan di akhirat. Hal tersebut seperti yang tersurat dalam surat Ali Imran ayat 104, ِ ون ِبال َْم ْع ُر وف َو َي ْن َه ْو َن َع ِن َ ون ِإلَى ال َْخ ْي ِر َو َي ْأ ُم ُر َ َو ْل َتكُ ْن ِم ْنكُ ْم ُأ َّم ٌة َي ْد ُع ون َ ال ُْم ْنكَ ِر َو ُأو َلئ َ ِك ُه ُم ال ُْم ْفل ُِح “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. Secara tersurat ayat ini menjelaskan bahwa sebaiknya ada sebagian orang ataupun kelompok yang membimbing dan mengarahkan kepada yang ma’ruf dan kebaikan disamping juga mengingatkan terhadap orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi. B.Pengertian Da’i Pengertian dai seperti yang termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang kerjanya berdakwah (KBBI: 231). Sedang dalam ilmu komunikasi da’i disebut sebagai komunikator yaitu orang yang menyampaikan pesan komunikasi (message) kepada orang lain. Karena dakwah bisa melalui tulisan, 52 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Membumikan Peran Da’i dalam Pembinaan Keagamaan...(Ahmad Zaini) lisan, perbuatan, maka penulis keislaman, penceramah Islam, mubaligh, guru mengaji, pengelola panti pasuhan Islam dan sejenisnya termasuk da’i. Da’i dapat bersifat individu ketika dakwah dilakukan secara perorangan dan dapat juga bersifat kelompok atau kelembagaan ketika kegiatan dakwah digerakkan oleh sebuah kelompok atau organisasi (Aziz, 2009: 216). C.Landasan Bimbingan Keagamaan Dakwah merupakan aktivitas yang sangat penting dalam Islam. Dengan dakwah, Islam dapat bersinar dan diterima oleh manusia. Sebaliknya tanpa dakwah Islam akan semakin jauh dari masyarakat dan selanjutnya akan lenyap dari permukaan bumi. Dalam kehidupan masyarakat, dakwah berfungsi menata kehidupan yang agamis menuju terwujudnya masyarakat yang harmonis dan bahagia. Karena pentingnya dakwah, maka dakwah bukanlah pekerjaan yang dipikirkan dan dikerjakan sambil lalu saja, melainkan suatu pekerjaan yang telah diwajibkan bagi setiap pengikutnya. Berikut dasar hukum kewajiban dakwah seperti yang termaktub dalam al-Quràn dan hadis. Dalam Al-Quràn terdapat banyak ayat yang secara implisit menunjukkan suatu kewajiban melaksanakan dakwah, antara lain dalam surat an-Nahl ayat 125, يل َر ِّب َك ِبال ِْحكْ َم ِة َوال َْم ْوعِ ظَ ِة ال َْح َس َن ِة َو َجا ِدل ُْه ْم ِبا َّلتِي هِ َي ِ ْاد ُع ِإلَى َس ِب ين َ َِأ ْح َس ُن ِإ َّن َر َّب َك ُه َو َأ ْعل َُم ِب َم ْن َض َّل َع ْن َس ِبي ِل ِه َو ُه َو َأ ْعل َُم ِبال ُْم ْه َتد “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orangorang yang mendapat petunjuk”. Lalu dalam surat Ali Imran ayat 110, ِ ون ِبال َْم ْع ُر وف َو َت ْن َه ْو َن َع ِن ال ُْم ْنكَ ِر َ اس َت ْأ ُم ُر ِ ِلن َّ ُك ْن ُت ْم َخ ْي َر ُأ َّم ٍة ُأ ْخ ِر َج ْت ل ِ َّون ِب ه ون َ ان َخ ْي ًرا ل َُه ْم ِم ْن ُه ُم ال ُْم ْؤ ِم ُن َ َاب لَك َ َو ُت ْؤ ِم ُن ِ الل َول َْو َآ َم َن َأ ْه ُل الْكِ َت ِ َو َأ ْك َث ُر ُه ُم ا ْل َف ون َ اس ُق Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 53 Jurnal Bimbingan Konseling Islam “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. Selanjutnya dasar kewajiban dakwah dalam hadis dapat ditemukan dalam kandungan hadis-hadis berikut ini: ِ َّ َسمِ ْع ُت َر ُسولَ ه:َع ْن َأ ِبي َسعِ يدٍ ال ُْخ ْدرِ ِّي قال الل َعل َْي ِه َو َسل ََّم ُ َّالل َصلَّى ه َي ُقولُ َم ْن َر َأى ِم ْنكُ ْم ُم ْنكَ ًرا َفل ُْي َغ ِّي ْر ُه ِب َيدِ ِه َف ِإ ْن ل َْم َي ْس َتطِ ْع َف ِبل َِسا ِن ِه َف ِإ ْن ِيمان َ ل َْم َي ْس َتطِ ْع َف ِب َق ْل ِب ِه َو َذل ُ ِك َأ ْض َع ِ ْف إ َ ال Dari Abi Sa’id al-Khudri berkata: Aku telah mendengar Rasulullah SAW berkata: Barang siapa di antara kamu melihat kemunkaran, maka hendaklah dia mencegah dengan tangannya, jika ia tidak sanggup dengan demikian, maka dengan lidahnya, dan jika tidak sanggup, maka cegahlah dengan hatinya, dan dengan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim) الل َعل َْي ِه َو َسل ََّم َقالَ َوا َّلذِ ي ُ َّالن ِب ِّي َصلَّى ه َّ َع ْن ُحذَ ْي َف َة ْب ِن ال َْي َمانِ َع ْن ِ وف َو َل َت ْن َه ُو َّن َع ْن ال ُْم ْنكَ ِر َأ ْو ل َُي ِ َن ْفسِ ي ِب َيدِ ِه َل َت ْأ ُم ُر َّن ِبال َْم ْع ُر الل َأ ْن ُ َّوشكَ َّن ه اب لَكُ ْم ُ َي ْب َع َث َعل َْيكُ ْم عِ َق ًابا ِم ْن ُه ُث َّم َت ْد ُعو َن ُه َف اَل ُي ْس َت َج Dari Hudzaifah bin Yaman dari Nabi SAW bersabda: “Demi Zat yang menguasai diriku, haruslah kamu mengajak kepada kebaikan dan haruslah kamu mencegah perbuatan yang munkar, atau Allah menurunkan siksa-Nya kepadamu kemudian kamu berdoa kepadaNya di mana Allah tidak akan mengabulkan permohonanmu” (HR. Tirmidzi). Berdasarkan ayat-ayat Al-Quràn dan hadis yang telah disebutkan di atas seluruh ulama sepakat bahwa hukum dakwah adalah wajib. Yang masih menjadi perdebatan adalah apakah kewajiban itu hanya dibebankan kepada setiap individu Muslim (fardu ‘ain) atau kewajiban itu hanya dibebankan pada sekelompok orang saja dari umat Islam secara keseluruhan (fardu kifayah). Menurut Abdul Basit perdebatan di kalangan ulama tentang kewajiban dakwah Islam bertitik tolak dari perdebatan interpretasi terhadap ayat Al-Quràn surat Ali Imran ayat 104 yaitu: 54 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Membumikan Peran Da’i dalam Pembinaan Keagamaan...(Ahmad Zaini) ِ ون ِبال َْم ْع ُر وف َو َي ْن َه ْو َن َع ِن َ ون ِإلَى ال َْخ ْي ِر َو َي ْأ ُم ُر َ َو ْل َتكُ ْن ِم ْنكُ ْم ُأ َّم ٌة َي ْد ُع ون َ ال ُْم ْنكَ ِر َو ُأو َلئ َ ِك ُه ُم ال ُْم ْفل ُِح “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. Berdasarkan ayat di atas, menurut Ibnu Kasir, ada dua pendapat yang berbeda. Perbedaan dimunculkan dari penafsiran terhadap kata min. Golongan pertama yang banyak diikuti oleh ulama menyatakan bahwa kata min dalam ayat tersebut berarti littab’idh, artinya sebagian. Jadi, dakwah merupakan kewajiban yang bersifat kolektif (kifayah). Alasannya karena kegiatan dakwah memerlukan ilmu dan tidak setiap individu mampu melaksanakannya. Pendapat ini diperkuat dengan ayat AlQuràn surat at-Taubah ayat 122: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiaptiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. Golongan kedua menafsirkan kata min berarti lilbayan, yakni sebagai penjelas. Dengan demikian, dakwah menjadi kewajiban setiap individu (‘ain). Hal ini diperkuat Al-Quràn ( ) ِ ون ِبال َْم ْع ُر surat Ali Imran ayat 110 وف َ اس َت ْأ ُم ُر ِ ِلن َّ ُك ْن ُت ْم َخ ْي َر ُأ َّم ٍة ُأ ْخ ِر َج ْت ل dimana kata kuntum menunjuk pada setiap individu. Demikian juga di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim َم ْن َر َأى ِم ْنكُ ْم ُم ْنكَ ًرا َفل ُْي َغ ِّي ْر ُه ِب َيدِ ِه َف ِإ ْن ل َْم َي ْس َتطِ ْع َف ِبل َِسا ِن ِهdi mana kata man berarti setiap individu Muslim (Basit, 2005: 36). Selanjutnya untuk mengkompromikan perbedaan di atas menurut Cahyadi Takariawan (2005, 4-6) mengutip pendapatnya al-Bayanuni dalam kitabnya al-Madkhal ila Ilmid Da’wah menyebutkan adanya empat titik yang mempertemukan dua pandangan kewajiban dakwah tersebut. Pertama, kedua kelompok ulama telah bersepakat atas wajibnya dakwah. Mereka tidak berselisih pendapat dalam hal ini. Kedua, ulama yang ) Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 ( 55 Jurnal Bimbingan Konseling Islam berpendapat dakwah sebagai fardhu ‘ain, membatasi kewajiban kepada mereka yang memiliki ilmu dan kemampuan. Bagi kaum muslimin yang tidak memiliki ilmu maka mereka dianggap tidak mampu sehingga terlepas dari kewajiban dakwah. Ketiga, para ulama yang berpendapat dakwah sebagai fardhu kifayah memahami bahwa kewajiban tertunaikan apabila tersedia jumlah yang cukup untuk menyelesaikan beban-beban dakwah. Jika belum tersedia jumlah yang mencukupi (kifaìyah) beban kewajiban masih terpikulkan kepada semua kaum muslimin dan muslimat. Keempat, seandainya pun tersedia jumlah yang mencukupi untuk menyelesaikan dakwah, nilai dakwah sebagai sebaik-baik perkataan tetap berlaku, seperti termaktub dalam firman-Nya: ِ ََّو َم ْن َأ ْح َس ُن َق ْو اًل م َِّم ْن َد َعا ِإلَى ه الل َو َعمِ َل َصال ًِحا َو َقالَ ِإ َّننِي م َِن ين َ ِال ُْم ْسلِم Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Qs. Fushilat: 33). Dengan empat titik temu di atas sesungguhnya jika pun dipahami sebagai fardhu ‘ain atau fardhu kifayah, dakwah tetap menghajatkan keterlibatan seluruh potensi kaum muslimin. Tidak boleh ada bagian kaum muslimin yang merasa terbebaskan dari kewajiban dakwah karena telah ada sekelompok orang yang melakukannya. Bahkan, Allah SWT menyebutkan amar ma’ruf dan nahi mungkar sebagai karakter pokok laki-laki dan perempuan yang beriman: ِ ون ِبال َْم ْع ُر وف َ ض َي ْأ ُم ُر َ َوال ُْم ْؤ ِم ُن ٍ ات َب ْع ُض ُه ْم َأ ْول َِي ُاء َب ْع ُ ون َوال ُْم ْؤ ِم َن الل َ يع َ الص اَل َة َو ُي ْؤ ُت َ ِيم َ َّون ه َّ ون َّ ون ُ ِالز َكا َة َو ُيط ُ َو َي ْن َه ْو َن َع ِن ال ُْم ْنكَ ِر َو ُيق يم َ َو َر ُسول َُه ُأو َلئ َ َّالل ِإ َّن ه ُ َِّك َس َي ْر َح ُم ُه ُم ه ٌ ِالل َع ِزي ٌز َحك “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, 56 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Membumikan Peran Da’i dalam Pembinaan Keagamaan...(Ahmad Zaini) mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Qs. Taubah: 71). D.Peran dan Fungsi Da’i Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendirian. Dalam mengarungi kehidupannya ia membutuhkan orang untuk berbagi cerita dalam menghadapi masalahnya serta membutuhkan orang yang dapat mengarahkan ke jalan yang lurus agar tidak terjerumus ke dalam jurang kenistaan. Ada orang yang secara mandiri dapat menghadapi masalah yang sedang dihadapinya, namun ada juga orang yang membutuhkan seorang pembimbing. Disinilah da’i dapat mengambil peran untuk membimbing dan membina masyarakat yang sedang mengalami suatu permasalahan. Adapun peran dan fungsi da’i diantaranya adalah: 1. Meluruskan akidah; sudah menjadi naluri bahwa manusia selalu tidak lepas dari kesalahan dan kekeliruan dan tidak terkecuali terhadap keyakinan dan akidahnya. Manusia memiliki naluri untuk bertuhan, namun terkadang dalam menjalankannya menempuh jalan yang salah, sehingga memiliki Tuhan yang keliru, dalam hal ini da’i menunjukkan siapa Tuhan yang hakiki dengan petunjuk al-Quràn dan sunah, sehingga menganut tauhidullah (mengakui dan memurnikan keesaan Allah, sebagai Tuhan yang berhak untuk disembah). 2. Memotivasi umat untuk beribadah dengan baik dan benar. Seorang da’i memberikan pencerahan dan penyadaran akan keberadaan manusia sebagai hamba Allah yang memiliki tugas untuk mengabdi atau beribadah kepada Allah dengan aturanNya. 3. Amar ma’ruf nahi munkar. Sebagai wujud nyata dari fungsi da’i selalu memiliki perhatian pada sesama untuk bersama-sama menegakkan yang ma’ruf dan meninggalkan yang munkar untuk menciptakan kedamaian bersama. 4. Menolak kebudayaan yang merusak. Seorang da’i dalam melaksanakan kegiatan dakwahnya, tentu tidak boleh larut Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 57 Jurnal Bimbingan Konseling Islam dalam berbagai tradisi dan adat kebiasaan mitra dakwah yang bertentangan dengan syariat Islam, dan mesti kuat mempertahankan kaidah-kaidah, hukum-hukum dan tata pergaulan muslim. Para da’i mesti tangguh dalam mempertahankan syariat dan terus berupaya untuk mengubah norma yang menyimpang dan terus berusaha untuk menegakkan sistem Islam (Enjang dan Aliyudin, 2009: 74-75). E. Kepribadian Da’i Kepribadian seseorang adalah gambaran budi pekerti dan amal baktinya, atau dengan kata lain budi dan amal bakti seseorang itulah gambaran kepribadiannya (Husein, 2004: 8). Sebagai umat muslim, Nabi Muhammad SAW adalah panutan yang harus diteladani, terlebih bagi para da’i. Seperti termaktub dalam surat al-Ahzab ayat 21, ِ َّان لَكُ ْم فِي َر ُسولِ ه الل َوال َْي ْو َم َ الل ُأ ْس َو ٌة َح َس َن ٌة ل َِم ْن َك َ َل َق ْد َك َ َّان َي ْر ُجو ه َ ْآ ِيرا َ َّال ِخ َر َو َذ َك َر ه ً الل َكث “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. Kepribadian seseorang dapat bersifat rohani maupun jasmani. Kepribadian yang bersifat rohani tercermin dalam sifatsifatnya, sedang kepribadian yang bersifat jasmani nampak pada fisiknya. 1. Kepribadian yang bersifat rohani. Diantara kepribadian yang bersifat rohani adalah: a. Berani mengemukakan kebenaran Dai hendaknya berani mengemukakan kebenaran dihadapan siapapun, karena kebenaran itu dari Allah, karena kebenaran bagian yang terpenting dari risalah Muhammad, bahkan keseluruhan Risalah Muhammad itu adalah kebenaran mutlak. Hal ini seperti termaktub dalam surat al-Kahfi ayat 29 dan al-Baqarah ayat 147. 58 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Membumikan Peran Da’i dalam Pembinaan Keagamaan...(Ahmad Zaini) b. Pemaaf Hendaknya da’i memiliki sifat pemaaf. Nabi Muhammad setelah penaklukkan Mekah, beliau memberi maaf kepada orang-orang Quraisy yang tadinya memusuhi beliau, bahkan telah mengusirnya dari tanah tumpah darah. Dalam al-Quràn banyak ayat yang menjelaskan tentang pemberian maaf, semisal dalam surat al-Maidah ayat 13 dan al-A’raf ayat 199. c. Tabah Da’i seyogyanya tidak cepat putus ketika menghadapi cobaan dan ujian sebesar apapun. Karena dia menyadari bahwa untuk mencapai suatu tujuan muliah haruslah terlebih dahulu melalui rintangan dan tantangan maupun mengalami penderitaan. Seperti diajarkan oleh al-Quràn dalam surat alBaqarah ayat 214. d. Sopan santun Sifat sopan santun harus dimiliki oleh da’i, karena sifat ini akan menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang. Seperti halnya Nabi Muhammad yang diperintahkan Allah agar bersifat sopan santun. “Dan berilah peringatan kepada kerabatkerabatmu yang terdekat, Dan rendahkanlah dirimu terhadap orangorang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman”. e. Lemah lembut Kelemah lembutan da’i akan menawan hati orangorang yang didakwahinya bahkan hati musuh sekalipun. Nabi Muhammad sebagai penyeru kebaikan untuk membawa rahmat kepada alam semesta diperintahkan untuk bersikap lemah lembut terhadap para pengikutnya, dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir yang membangkang. “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 59 Jurnal Bimbingan Konseling Islam lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” (Qs. al-Fath: 29). (Hasjmy, 1974: 210-220) 2. Kepribadian yang bersifat jasmani. Adapun kepribadian yang bersifat jasmani diantaranya: a. Sehat jasmani Dakwah memerlukan akal yang sehat, sedang akal yang sehat terdapat pada badan yang sehat. Seorang da’i yang profesional yang berdakwah dengan jumlah mitra dakwah yang banyak maka kesehatan jasmani mutlak diperlukan sebab kondisi badan yang tidak memungkinkan, sedikit banyak mengurangi semangat da’i dalam melalukan aktivitas dakwah. b. Berpakaian sopan dan rapi Pakaian yang sopan, praktis, dan pantas mendorong rasa simpati seseorang pada orang lain bahkan pakaian pun berdampak pada kewibawaan seseorang. Bagi seorang da’i masalah pakaian harus mendapat perhatian serius, karena pakaian yang digunakan menunjukkan kepribadiannya. Yang dimaksud dengan pakaian yang sopan dan rapi adalah pakaian yang sesuai dengan tempat, suasana, dan keadaan fisik bukan berarti pakaian yang serba baru dan mahal (Faizah dan Effendi, 2006: 100). F. Materi Pembinaan Keagamaan Materi pembinaan keagamaan sumber utamanya adalah Al-Quràn dan sunah Rasulullah SAW. Secara garis besar materi pembinaan ini berkisar dalam masalah akidah, syariah, mu’amalah, dan akhlak. 1. Masalah Akidah Masalah pokok yang menjadi materi pembinaan keagamaan (baca: Islam) adalah akidah Islamiyah. Aspek akidah ini yang akan membentuk moral (akhlaq) manusia. Oleh karena itu, yang pertama 60 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Membumikan Peran Da’i dalam Pembinaan Keagamaan...(Ahmad Zaini) kali dijadikan materi dalam dakwah Islam adalah masalah akidah atau keimanan. Iman merupakan esensi dalam ajaran Islam. Iman juga erat kaitannya antara akal dan wahyu. Dalam al-Quràn istilah iman tampil dalam berbagai variasnya sebanyak kurang lebih 244 kali. Yang paling sering adalah ungkapan “wahai orang-orang yang beriman”, yaitu sebanyak 55 kali. 2. Masalah Syariah Materi pembinaan keagamaan yang bersifat syariah ini sangat luas dan mengikat seluruh umat Islam. Ia merupakan jantung yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam di berbagai penjuru dunia, dan sekaligus merupakan hal yang patut dibanggakan. Kelebihan dari materi syariah Islam antara lain, adalah bahwa ia tidak dimiliki oleh umat-umat yang lain. Syariah ini bersifat universal yang menjelaskan hak-hak umat muslim dan nonmuslim, bahkan hak seluruh umat manusia. Dengan adanya materi syariah ini, maka tatanan sistem dunia akan teratur dan sempurna. 3. Masalah Mu’amalah Islam merupakan agama yang menekankan urusan mu’amalah lebih besar porsinya daripada urusan ibadah. Islam lebih banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial daripada aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi ini masjid, tempat mengabdi kepada Allah. Ibadah dalam mu’amalah di sini, diartikan sebagai ibadah yang mencakup hubungan dengan Allah dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT. 4. Masalah Akhlak Pembahasan akhlak berkaitan dengan masalah tabiat atau kondisi temperatur batin yang memengaruhi perilaku manusia. Materi akhlak dalam Islam adalah mengenai sifat dan kriteria perbuatanmanusiasertaberbagaikewajibanyangharusdipenuhinya. Karena semua manusia harus mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya, maka Islam mengajarkan kriteria perbuatan dan kewajiban yang mendatangkan kebahagiaan, bukan siksaan. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 61 Jurnal Bimbingan Konseling Islam Bertolak dari prinsip perbuatan manusia ini, maka materi akhlak membahas tentang norma luhur yang harus menjadi jiwa dari perbuatan manusia, serta tentang etika atau tata cara yang harus dipraktikkan dalam perbuatan manusia sesuai dengan jenis sasarannya. (Munir dan Ilaihi, 2006: 24-30). G.Metode dan Teknik Da’i dalam Pembinaan Bimbingan Keagamaan Ada sebuah pepatah yang berbunyi al-thariqah ahammu minal maddah (metode lebih penting daripada materi). Terkadang metode yang satu tidak sesuai bagi suatu golongan, tapi disisi lain sesuai bagi golongan yang lain. Karena itu, para da’i harus dapat menggunakan metode yang tepat dalam membimbing masyarakat. Da’i harus mengetahui kondisi psikologis masyarakat yang dibina dan dibimbingnya. Jangan sampai seorang da’i buta ataupun tidak tahu terhadap situasi dan kondisi masyarakat binaannya. Adapun metode-metode yang dapat dilakukan oleh para da’i diantaranya: 1. Metode Ceramah Metode ceramah atau pidato ini telah dipraktikkan oleh semua Rasul Allah dalam menyampaikan ajaran Allah. Hingga saat ini pun masih merupakan metode yang paling sering digunakan oleh para da’i sekalipun alat komunikasi modern telah tersedia. Umumnya, pesan-pesan dakwah yang disampaikan dengan ceramah bersifat ringan, informatif, dan tidak mengundang perdebatan. Dialog yang dilakukan juga terbatas pada pertanyaan, bukan sanggahan. 2. Metode Diskusi Maksud metode ini adalah adanya pertukaran pikiran antara da’i dan mitra dakwah dalam suatu masalah keagamaan sebagai pesan dakwah dalam tempat tertentu. Dalam berdiskusi seorang da’i sebagai pembawa misi Islam haruslah dapat menjaga keagungan namanya dengan menampilkan jiwa yang tenang, berhati-hati, cermat, dan teliti dalam memberikan materi dan memberikan jawaban atas sanggahan peserta. 62 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Membumikan Peran Da’i dalam Pembinaan Keagamaan...(Ahmad Zaini) 3. Metode Konseling Metode konseling merupakan wawancara secara individual dan tatap muka antara konselor sebagai da’i dan klien sebagai mitra dakwah untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Seseorang yang merasa kurang percaya diri, merasa kurang bermakna, merasa dikucilkan lingkungan, sedang ada konflik dengan teman dekat, ataupun ada masalah yang lain, ia dapat datang ke konselor. Konselor sebagai da’i akan membantu mencari pemecahan masalahnya. 4. Metode Karya Tulis Metode ini termasuk dalam kategori dakwah bi al-qalam (dakwah dengan karya tulis). Ada hal-hal yang mempengaruhi efektivitas tulisan, antara lain: bahasa, jenis huruf, format, media, dan tentu saja penulis serta isinya. Tulisan yang terpublikasi bermacam-macam bentuknya, antara lain: tulisan ilmiah, tulisan lepas, tulisan stiker, tulisan spanduk, tulisan sastra, tulisan terjemah, tulisan cerita, tulisan berita. Masing-masing bentuk tulisan memiliki kelebihan dan kekurangan yang terkait dengan penggunaannya. 5. Metode Pemberdayaan Masyarakat Salah satu metode dalam dakwah bi al-hal (dakwah dengan aksi nyata) adalah metode pemberdayaan masyarakat, yaitu dakwah dengan upaya untuk membangun daya, dengan cara mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya dengan dilandasi proses kemandirian. Yang termasuk dakwah dengan aksi nyata diantaranya adalah membangun sekolahsekolah, rumah sakit, pondok pesantren, dan juga lainnya. 6. Metode Kelembagaan Metode lainnya dalam dakwah bi al-hal adalah kelembagaan yaitu pembentukan dan pelestarian norma dalam wadah organisasi sebagai instrumen dakwah. Untuk mengubah perilaku anggota institusi umpamanya, da’i harus melewati proses fungsifungsi manajemen yaitu perencanaan (takhtith), pengorganisasian Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 63 Jurnal Bimbingan Konseling Islam (tandzim), penggerakan (taujih) dan pengendalian (Riqabah). Metode kelembagaan lebih bersifat sentralistik dan kebijakannya bersifat dari atas ke bawah (top-down) (Aziz, 2009: 359-381). H.Macam-macam Kegiatan Pembinaan Keagamaan Kegiatan pembinaan keagamaan (baik pengajian, majelis taklim, dan sejenisnya) merupakan kegiatan pendidikan agama Islam yang paling fleksibel dan tidak terikat oleh waktu. Ia terbuka untuk segala usia, lapisan atau strata sosial, dan jenis kelamin. Waktu penyelenggaraannya pun tidak terikat waktu. Dapat dilaksanakan di waktu pagi, siang, sore, ataupun malam hari. Begitu juga dengan tempat pengajarannya, dapat dilakukan di rumah, masjid, mushala, gedung, aula, halaman (lapangan) dan sebagainya. Selain itu, kegiatan keagamaan ini memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai lembaga dakwah dan lembaga pendidikan non-formal. Fleksibilitas inilah yang menjadi kekuatan sehingga mampu bertahan dan merupakan lembaga pendidikan Islam yang paling dekat dengan umat (masyarakat). Ia juga merupakan wahana untuk saling berinteraksi dan komunikasi serta silaturrahmi yang kuat antara masyarakat awam dengan para muàlim, dan antara sesama anggota jamaah tanpa dibatasi oleh tempat dan waktu (moektiaza.wordpress.com). Disinilah da’i mempunyai peran yang penting dalam menjalankan kegiatan pembinaan keagamaan tersebut. Ia tidak boleh hanya berada di atas awang-awang saja, namun ia harus berbaur dengan masyarakat yang didakwahinya, demi menyukseskan kegiatan dakwahnya. Adapun macam-macam pembinaan yang dapat dilakukan di antaranya : 1. Kegiatan pengajian rutin dengan materi keislaman secara menyeluruh yang dibagi ke dalam sub-sub tema kajian, seperti masalah syariah, akidah, dan akhlak. 2. Kegiatan pengajian gabungan antar majelis ta’lim yang biasanya dilakukan satu bulan sekali, dengan mendengarkan ceramah agama dari da’i yang di datangkan dari luar. 3. Kegiatan yang bersifat insidentil, seperti Peringatan Hari-Hari Besar Islam (Maulid Nabi, Isra`Mir̀aj, Nuzul al-Quràn, dan Tahun 64 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Membumikan Peran Da’i dalam Pembinaan Keagamaan...(Ahmad Zaini) Baru Islam), pekan Muharam, pelatihan mengurus jenazah, pelatihan da’i/da’iyah, belajar irama al-Quràn, doa-doa yang relevan dengan situasi dan kondisi, pelaksanaan salat shalat duha, it̀ikaf (sepertiga akhir bulan Ramadan) dan melaksanakan pesantren kilat pada bulan Ramadan. 4. Kegiatan-kegiatan sosial, seperti mengunjungi orang sakit, taz̀iyah ke keluarga dan anggota pengajian yang meninggal dunia, kunjungan ke panti-panti asuhan muslim. 5. Mengadakan kegiatan arisan, sebagai rasa keadilan dan solidaritas yang tinggi serta terjalinnya silaturrahmi yang kuat antar sesama anggota pengajian (moektiaza.wordpress.com). I. Simpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa diantara peran dan fungsi da’i adalah meluruskan akidah, memotivasi umat untuk beribadah dengan baik dan benar, amar ma’ruf nahi munkar, dan menolak kebudayaan yang merusak. Selanjutnya dalam penyampaian dakwahnya para da’i dapat menggunakan berbagai metode yang cocok dan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang didakwahinya. Da’i mempunyai peran yang sentral dalam menjalankan kegiatan pembinaan keagamaan. Ia harus ikut berperan aktif dalam kegiataan keagamaan, tidak hanya duduk-duk saja, namun ia harus berbaur dengan masyarakat yang didakwahinya, dengan harapan kegiatan keagamaan tersebut dapat berjalan dengan lancar. Dan yang terpenting lagi para da’i harus mempunyai kepribadian yang dapat mendukung kegiatan dakwahnya, baik itu yang bersifat rohani maupun jasmani. Adapun kegiatan dakwah dan pembinaan yang dapat dilakukan di antaranya, kegiatan pengajian rutin, pengajian gabungan antar majelis ta’lim yang biasanya dilakukan satu bulan sekali, dengan mendengarkan ceramah agama dari da’i yang di datangkan dari luar, kegiatan yang bersifat insidentil, seperti Peringatan Hari-Hari Besar Islam (Maulid Nabi, Isra`Mir̀aj, Nuzul al-Quràn, dan Tahun Baru Islam), dan juga kegiatan-kegiatan sosial, seperti mengunjungi orang sakit, taz̀iyah ke keluarga dan anggota pengajian yang meninggal dunia, kunjungan ke panti-panti asuhan muslim. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 65 Jurnal Bimbingan Konseling Islam DAFTAR PUSTAKA Faizah dan Lalu Muchsin Effendi, 2006, Psikologi Dakwah, Jakarta: Kencana Aziz, Moh. Ali, 2009, Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana Hasjmy, 1984, Dustur Dakwah menurut al-Quràn, Jakarta: Bulan Bintang Enjang dan Aliyudin, 2009, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, Bandung: Widya Padjadjaran Munir dan Wahyu Ilaihi, 2006, Manajemen Dakwah, Jakarka: Kencana Takariawan, Cahyadi, 2005, Prinsip-prinsip Dakwah yang Tegar di Jalan Allah, Yogyakarta: Izzan Pustaka Rafi’udin dan Maman Abdul Jalil, 1997, Prinsip dan Strategi Dakwah, Bandung: Pustaka Setia Husein, Ibnu, 2004, Pribadi Muslim Ideal, Semarang: Pustaka Nuun http://moektiaza.wordpress.com/2011/02/25/%E2%80%9Cpenge rtian-dan-peran-penyuluh-agama-islam-dan-pembinaankeagamaan%E2%80%9D/ 66 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 PERANAN PARTAI POLITIK DALAM PERSPEKTIF DAKWAH Oleh: Rustam Aji Jurnalis dan Sekjen Lembaga Studi Keterbukaan Media dan Informasi Publik (LeSKMIP) Kudus Abstrak Politik yang perlu dijalankan oleh seorang muslim sekaligus yang berfungsi sebagai alat dakwah sudah tentu bukanlah jenis “politik machiavellas”, tetapi politik jenis pertama yang penuh komitmen kepada Allah. Tujuan yang diletakkan politik ini bukanlah kekuasaan demi kekuasaan, atau pencapaian suatu kepentingan demi kepentingan tertentu. Dengan lain kata, posisi politik bukanlah tujuan, tetapi hanya merupakan sarana atau alat untuk mencapai tujuan, yakni pengabdian kepada Allah. Politik demikian, jelas selaras dengan tujuan dakwah. Disini kita bisa menyimak dengan jelas bahwa misi dakwah seorang nabi adalah missi kemanusiaan, misi sejarah dengan dimensi yang sangat luas. Dalam perspektif telaah kita, maka dapat dikatakan politik hanyalah satu dimensi dari kegiatan dakwah. Oleh sebab itu, sekarang tidak ada alasan lagi bagi umat Islam untuk “mengharamkan” politik. Justru umat Islam bisa menggunakan politik sebagai alat dakwah dalam rangka menciptakan masyarakat yang baldatun toyyibatun wa rabbun ghafar. Key words: peran, partai politik, dakwah A.Pendahuluan Ingar bingar reformasi pasca Soeharto lengser dari kursi kepresidenan, 21 Mei 1998, setelah berkuasa selama 32 tahun, masyarakat tampak menganggap peristiwa itu sebagai kesempatan untuk berdemokrasi sepuas-puasnya. Hal ini, paling tidak terlihat Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 67 Jurnal Bimbingan Konseling Islam saat kebijakan multi partai dicanangkan dalam menyambut Pemilu 1999, maka menjamurlah partai politik di Indonesia. Fenomena menariknya, masih bermunculannya partai politik aliran dengan membawa label ”agama” untuk komoditas politiknya dalam menarik simpati masyarakat. Islam sebagai agama mayoritas, kemudian menjadi salah satu komoditas dalam mendirikan partai. Lahirnya Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), dan Partai Umat Islam (PUI), misalnya, menjadi bukti dari simbolisasi agama dalam berpartisipasi. Tampaknya mereka belum bisa melupakan Partai Masyumi di era zaman Bung Karno, yang telah menjadi representasi wadah umat Islam “dihanguskan.” Namun sayangnya, dalam perkembangannya, partai politik yang berbau politik aliran, kurang laku. Partai politik yang mengusung nasionalisme, justru lebih laku ketimbang partai yang berbau agama. Sedikit demi sedikit, partai yang mengusung agama rontok. Hanya Partai Keadilan yang kemudian “berevolusi” menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang masih mendapatkan simpatik hingga Pemilu 2009. Sedangkan PBB yang mengklaim sebagai “jelmaan” Masyumi, di tahun 2009 gagal mempertahankan eksistensi, sehingga tak bisa masuk ke parlemen. Apakah itu menjadi bukti bahwa partai politik Islam sudah tak laku lagi? Bisa jadi, ini karena masih banyaknya masyarakat yang berpandangan bahwa kegiatan politik adalah kegiatan yang berdiri sendiri, terpisah sama sekali dari kegiatan dakwah. Bahkan, masyarakat kita ada kesan kurang positif terhadap kegiatan politik, seolah-olah politik selalu mengandung kelicikan, hipokrisi, ambisi buta, pengkhianatan, dan berbagai konotasi buruk lainnya (Rais, 1997: 2). Bagi seorang Muslim, persepsi politik itu tentu sangat berbahaya, di samping tidak etis. Sebab, bila ditinjau dari kacamata dakwah, pandangan politik seperti itu sangat merugikan. Mestinya, seorang muslim harus mempunyai pandangan bahwa kegiatan politik harus menjadi kegiatan integral dari kehidupan yang utuh. Kehidupan dunia harus bisa dikuasai dan dikendalikan agar ajaran-ajaran Islam mampu tersosialisasikan 68 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Peranan Partai Politik dalam Perspektif Dakwah (Rustam Aji) serta terimplementasi ke seluruh dimensi kehidupan masyarakat yang luas. Pertanyaan lebih mendasar lagi, apakah hasil pemilu itu merupakan sinyal yang jelas bahwa mayoritas muslim sudah tak lagi menganggap penting simbol-simbol Islam dalam politik dan lebih pada substansi? Jika memang benar demikian, menurut Hamid Basyaib dan Hamid Abidin (Noer, et.al., 1999: V), itu bisa dilihat dari dua arah yang saling terkait. Pertama, kaum muslim lebih peduli untuk menjadikan Islam sebagai etika social, lebih mementingkan agar segala urusan kemasyarakatan —termasuk politik— dipengaruhi dan disemangati oleh nilai-nilai agama, seperti kejujuran, keadilan, dan sebagainya. Kedua, umat Islam makin percaya bahwa adalah mungkin kepentingan umat Islam diperjuangkan perwujudannya oleh politisi dari luar lingkungan “Islam politik”, atau bahkan kalangan non-muslim. B.Hakikat Dakwah Pada dasarnya, dakwah Islam adalah seruan kepada seluruh strata sosial dalam masyarakat (Majalah Ishlah, 1996: 27). Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an (Depag RI, 1992: 688) disebutkan: “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui” (QS. As Saba: 28). Karena itulah, dakwah disini harus dipahami sebagai gerakan ‘amal jama’i (kerja kolektif) yang menekankan pada prinsip seruan kebenaran, yakni amar ma’ruf dan nahi munkar. Gerakan dakwah, meskipun sebagai wadah ‘amal jama’i, tetap saja berputar dan bergerak melalui individu merupakan ujung tombak pergerakan. Dimana nantinya mereka diharapkan mampu memenuhi sasaran dan tujuan yang ingin dicapai. Sebab, dalam perspektif historis, menurutAmrullahAchmad (Achmad, 1984: 2), pergumulan dakwah Islam dengan realitas sosio-kultural menjumpai dua kemungkinan. Pertama, dakwah Islam mampu memberikan output (hasil, pengaruh) terhadap lingkungan dalam arti memberi dasar filosofi, arah, dorongan dan Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 69 Jurnal Bimbingan Konseling Islam pedoman perubahan masyarakat sampai terbentuknya realitas sosial baru. Kedua, dakwah Islam dipengaruhi oleh perubahan masyarakat dalam arti eksistensi, corak dan arahnya. Ini berarti bahwa aktualitas dakwah ditentukan oleh sistem sosio-kultural. Dalam kemungkinan kedua ini, sistem dakwah dapat bersifat statis atau ada dinamika dengan kadar yang hampir tidak berarti bagi perubahan sosio-kultural. Sehubungan dengan kenyataan tersebut, maka pada hakikatnya, dakwah Islam merupakan aktualisasi imani (teologis) yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berfikir, bersikap dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosiokultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam kedalam semua aspek kehidupan dengan menggunakan cara tertentu (Achmad, 1984: 2). Sementara itu, tidak bisa dipungkiri, kita menyaksikan sebagian besar masyarakat penganut Islam masih belum memahami hakikat dakwah tersebut. Sehingga nilai-nilai ajaran Islam yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW belum bisa terimplimentasi dengan baik ke dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal, menurut Mohammad Natsir (Natsir, 1996: 109), dakwah merupakan kewajiban yang harus dipikul oleh tiap-tiap muslim dan muslimah. Karenanya, dakwah bukan monopoli golongan yang disebut “Ulama” atau “Cerdik-Cendikiawan”. Pengertian dakwah seperti itu mempunyai pemahaman yang mendalam, yaitu bahwa menyampaikan dakwah amar ma’ruf nahi munkar itu tidak sekedar asal menyampaikan saja, melainkan memerlukan beberapa syarat. Adapun syarat tersebut adalah berkaitan dengan mencari materi yang cocok, mengetahui keadaan subyek dakwah secara tepat, memilih metode yang representatif, dan menggunakan bahasa yang bijaksana. Tidak kalah pentingnya dari semua itu, yakni bagaimana memupuk atau menyambung tali silaturahmi untuk menyebarluaskan dakwah tersebut agar dapat menjangkau dan berdaya guna bagi masyarakat serta mendapat hasil sebagaimana yang diharapkan (Luth, 1999: 67). 70 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Peranan Partai Politik dalam Perspektif Dakwah (Rustam Aji) Oleh karena itu dapat dipahami, hal yang disampaikan di atas itu pada dasarnya masih bersifat umum. Artinya, mungkin saja ada orang-orang generalis, menguasai ragam bidang. Namun prinsipnya, setiap orang memiliki ruang kekhususan sendiri. Kurangnya pemberdayaan dan optimalisasi hal-hal diatas, akhirnya akan berdampak negatif terhadap hasil yang dicapai, baik secara kualitas maupun kuantitas. Sementara masalah yang besar yang dialami gerakan dakwah, sebagaimana disinggung Fathy Yakan, adalah terjadinya penumpulan atau pengangguran potensi, baik dalam lingkup kehidupan dakwah secara umum, ataupun dalam kehidupan para da’i. Menurut Fathy Yakan, masih banyak potensi tanpa batas yang belum diberdayakan. Banyak waktu yang dibuang siasia tanpa hasil. Banyak pula kesempatan lewat begitu saja tanpa manfaat. Ada banyak ilmu pengetahuan, penemuan modern, yang belum mendapat tempat dalam lingkup tanzhim (organisasi dakwah), planning, manajemen, dan informasi dakwah (Majalah Ishlah, 1996: 25; Yakan, 1995: 84). Kalau memang demikian halnya, maka dakwah Islam harus mampu memerankan fungsinya –yang akan memberi arah dan corak— secara ideal terhadap tatanan masyarakat yang akan datang. Oleh karena itu, diperlukan sebuah aktualisasi dakwah kepada masyarakat. Aktualisasi dakwah (Achmad, 1984, 17) disini berarti upaya penataan masyarakat secara terusmenerus di tengah-tengah dinamika perubahan sosial, sehingga tidak ada satu sudut kehidupan pun yang lepas dari perhatian dan penggarapan. Dengan begitu dakwah Islam senantiasa harus bergumul dengan kenyataan baru yang pemunculannya kadangkala sulit diperhitungkan sebelumnya. Dalam masalah ini, dakwah Islam sungguh menghadapi masalah yang berat. Disatu pihak, dakwah Islam sebagai pengetahuan belum memiliki metodologi ilmiah. Sementara di lain pihak, dakwah Islam sebagai sistem dipanggil untuk ikut memikirkan pengkajian-pengkajian ulang metafisik, epistemologi, dan model penataan keilmuan yang sekiranya berorientasi pada Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 71 Jurnal Bimbingan Konseling Islam kepentingan rakyat kecil dan bertujuan melahirkan keadilan sosial yang diridhai oleh Allah SWT dalam arti hakiki. Bila demikian, maka barometer keberhasilan dakwah ada pada kemampuan seorang da’i dalam mempengaruhi dan menggerakkan massa sehingga sikap massa benar-benar merupakan implementasi dari sikap gerakan dakwah. Dukungan massa mutlak dibutuhkan dalam berdakwah. Kenyataan saat ini, minimnya juru dakwah (da’i) di masyarakat, mengakibatkan aktivitas dakwah tidak berjalan dinamis bila tidak mau dikatakan stagnan. Sebab dukungan massa masih kurang. Kegagalan itu tentu saja semuanya tidak bisa dilimpahkan kepada para da’i semata, tetapi merupakan tanggungjawab seluruh komponen umat Islam. Kesungguhan dan keikhlasan pada da’i dalam menyiarkan agama Allah (Islam), perlu dihargai. Apapun yang telah mereka lakukan adalah tindakan demi kemaslahatan umat. Kegagalan para da’i untuk mendapatkan dukungan itu, menurut Jalaluddin Rahmat (Rahmat, 1999: 57) lebih disebabkan pada kekeliruan umat Islam dalam mengartikan ibadah. Betapa masih banyak umat Islam yang disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah, tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, dan kesengsaraan. Betapa banyak muslim yang kaya yang dengan khusyuk meratakan dahinya di atas sajadah, sementara di sekitar mereka tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit dan kekurangan gizi. Menurut Al-Quràn, jin dan manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah. “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariat: 56) (Depag RI, 862). Islam memandang seluruh hidup kita haruslah merupakan ibadah kepada Allah SWT. Dalam pengertian ini, sebagaimana dikutip Jalaluddin Rahmat dari Ibnu Taimiyah (Rahmat, 1999: 46), ibadah didefinisikan sebagai sebuah kata yang menyeluruh, meliputi segala yang dicintai dan diridhai Allah, menyangkut segala ucapan dan perbuatan yang tidak tampak maupun yang tampak. Jadi, ibadah bukan saja berzikir, salat, dan puasa, tetapi 72 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Peranan Partai Politik dalam Perspektif Dakwah (Rustam Aji) juga menolong yang teraniaya, melepaskan dahaga yang kehausan, atau memberikan pakaian kepada yang telanjang. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa urusan ibadah adalah urusan antara seorang hamba dan Ma’bud-nya (hablum minallah). Sedangkan urusan muamalah adalah urusan antara hamba dan hamba Allah yang lain (hablum minan nas). Yang pertama adalah urusan ritual, sedang yang kedua adalah urusan sosial. Untuk mencapai itu, sebenarnya ada bentuk-bentuk dakwah yang membimbing ke arah tersebut. Dalam hal ini, Jalaluddin Rahmat (Rahmat, 1999: 117-119) membagi bentuk dakwah menjadi empat bagian. Pertama, bentuk dakwah tilawah (membacakan ayatayat Allah). Dimana hal ini bisa dilakukan dengan cara tafakur dan zikir. Umpamanya dengan membentuk kelompok ilmiah bimbingan ahli, kompetisi ilmiah dengan landasan akhlak Islam, dan bisa berupa kegiatan-kegiatan ilmiah seperti penelitian, diskusi, dan seminar. Adapun tujuan dari dakwah semacam ini agar kita mempunyai keyakinan bahwa fenomena alam sebagai ayat Allah, semua ciptaan Allah mempunyai keteraturan yang bersumber pada Rabbul ‘Alamin, dan memandang bahwa segala yang ada tidak diciptakan-Nya sia-sia. Kedua, bentuk dakwah tazkiyah (menyucikan diri mereka). Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk penyucian diri secara fisik dan rohani, dan atau penyucian lingkungan fisik dan sosial. Tujuannya adalah untuk memelihara kebersihan diri dan lingkungannya, mengembangkan akhlak yang baik, menolak dan menjauhi akhlak tercela, berperan serta dalam memelihara kesucian lingkungannya dengan amar ma’ruf nahi munkar. Dan, dakwah tazkiyah ini bisa diimplementasikan dalam bentuk gerakan kebersihan, kelompok-kelompok usrah, riyadhah keagamaan, ceramah, tabligh, pemeliharaan syi’ar Islam, dan pengembangan kontrol sosial. Ketiga, bentuk dakwah ta’lim (mengajarkan al-Kitab dan al-Hikmah). Dimana dakwah seperti bisa dilakukan dengan cara mengajarkan membaca Al-Quràn, diskusi tentang Al Quràn dibawah bimbingan ahli Al-Quràn, membentuk kelompok diskusi, Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 73 Jurnal Bimbingan Konseling Islam menggiatkan pembacaan literatur Islam, dan mengadakan lomba kreativitas. Sedangkan tujuan dari dakwah ta’lim ini adalah untuk memahami dan merenungkan Al-Quràn, memahami snnah sebagai keterangan atas Al-Quràn, menguak dibalik fakta indrawi sehingga dapat menafsirkan informasi secara kreatif dan produktif. Keempat, bentuk dakwah ishlah (melepaskan beban dan belenggu-belenggu). Ini bisa direalisasikan dengan kunjungan ke kelompok-kelompok dhu’afa, kampanye amal shaleh, membiasakan bersedekah, dan berupa bakti sosial. Kegiatan dakwah semacam ini bertujuan agar masyarakat memiliki kepekaan terhadap penderitaan orang lain, sanggup menganalisis kepincangan sosial sekitarnya, merasa terpanggil untuk membantu kelompok yang lemah, memiliki komitmen untuk senantiasa memihak si tertindas melawan penindas, berupaya selalu untuk menjebatani perbedaan paham, dan memelihara ukhuwah Islamiyah. Karena itu, dapatlah dikatakan bahwa dakwah bukan saja menjadi kewajiban umat Islam, baik secara individual maupun secara kelompok, tetapi juga merupakan keperluan umat Islam (Media Dakwah, 1987: 16). Dalam pengertian ini, dakwah pada tingkat pertama kelihatan sebagai keperluan rohani, tetapi pada hakikatnya ia juga merupakan kebutuhan jasmani. Dimana rohani yang sehat akan membawa pengaruh yang sehat pula pada jasmani. Dakwah juga bukan saja merupakan keperluan untuk hidup ukhrawi, melainkan juga untuk keperluan hidup duniawi. Agar tidak terjadi kesalah-pahaman dalam menafsiri kata “dakwah”, maka disini perlu dijelaskan arti dan maksud kata tersebut, baik secara bahasa maupun istilah. Menurut Jamaluddin Kafie (Kafie, 1993: 29), dakwah dalam arti bahasanya adalah menyeru, mengajak, memanggil, mengundang, mendo’akan yang terkandung didalamnya arti menyampaikan sesuatu kepada orang lain untuk mencapai tujuan tertentu. Maksud yang hendak dikatakan Jamaluddin Kafie itu dapat dijumpai dalam Al- Quràn surat Ali Imron ayat 104 (Depag, 93): “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan …” 74 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Peranan Partai Politik dalam Perspektif Dakwah (Rustam Aji) Sedangkan bila menurut istilah, kata “dakwah” memiliki banyak penafsiran, tergantung pada tujuan yang hendak dicapainya dan cara menyampaikannya. Dalam hal ini, Jamaluddin Kafie (Kafie, 1993: 29), memberi pengertian kata “dakwah” secara istilah adalah sebagai suatu strategi penyampaian nilai-nilai Islam kepada umat manusia demi terwujudnya tatanan kehidupan yang imani dan realitas hidup islami. Juga bisa dikatakan sebagai agen mengubah manusia ke arah kehidupan yang lebih baik. Dalam pengertian yang lebih luas, Jamaludin mengartikan “dakwah” sebagai suatu sistem kegiatan dari seseorang, sekelompok, segolongan umat Islam sebagai aktualisasi imaniah yang dimanifestasikan dalam bentuk seruan, ajakan, panggilan, undangan, do’a, sistem dan teknik tertentu agar mampu menyentuh kalbu dan fitrah seseorang, keluarga, kelompok, massa dan masyarakat manusia, supaya dapat mempengaruhi tingkah lakunya untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Kafie, 1993: 29). Sementara itu, menurut Endang Syaifuddin Anshari (Anshari, 1985: 190), “dakwah” adalah penjabaran, penerjemahan dan pelaksanaan Islam dalam perikehidupan dan penghidupan manusia termasuk didalamnya bidang pendidikan, politik, kekeluargaan dan bidang kemasyarakatan. Sedangkan Rosyad Saleh, sebagaimana dikutip Yusup Muslim (Muslim, 1998: 11-12), menyimpulkan pengertian dakwah sebagai berikut; a. Bahwa dakwah itu adalah merupakan proses penyelenggaraan suatu usaha atau aktivitas yang dilakukan dengan sadar dan sengaja. b. Usaha yang diselenggarakan berupa; - Mengajak orang untuk mentaati Allah atau memeluk Islam. - Amar ma’ruf, perbaikan dan pengembangan masyarakat. - Nahi munkar. Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa dakwah merupakan proses transformasi nilai-nilai Islam yang bertumpu pada amar ma’ruf nahi munkar. Transformasi dalam pengertian di atas adalah sebuah paradigma, yaitu paradigma Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 75 Jurnal Bimbingan Konseling Islam yang membawa dimensi konsepsi dan aksiologis-praktis, karena hakikat dakwah bukan hanya pemahaman nilai, keyakinan dan doktrin, namun juga mengubah kondisi. Bila semua umat Islam mampu memahami dakwah sebagaimana yang di atas itu, maka tak mustahil kehidupan Islami akan terbangun dengan sendirinya. Sebab, Allah SWT menjamin kemurnian dan keutuhan Adz-Dzikr (Al-Quràn). Dia mengetahui bahwa dakwah ini akan tetap berjalan kontinyu sekalipun Rasulullah SAW sudah tidak ada bila manusia tetap berpegang teguh pada dua hal, yakni Al-Quràn dan hadits. Oleh karena itu, mendesak bagi kita saat ini untuk kembali kepada sumber yang orisinil dan murni agar kita mampu memahami hakikat dakwah sebagaimana yang dimaksud di atas. Dalam hal ini, mengutip pendapatnya Thohir Luth, sebenarnya substansi dakwah Islam itu terletak pada pemahaman arti dakwah Islam secara lafdziah atau harfiah. Artinya, dakwah Islam itu tidak sekedar diartikan menyampaikan ajaran Islam, tetapi lebih diartikan sebagai “mengundang” obyek dakwah untuk menerima informasi keislaman. Dengan demikian, para da’i selaku pengundang harus menempatkan obyek dakwah sebagai tamu yang mesti dihormati. Konsekuensinya adalah para da’i diminta menyuguhkan bahasa, sikap yang baik, dengan penuh kesopanan kepada para tamunya, atau dengan pengertian lain bahwa tamu yang diundang atau yang diajak itu harus dihormati. Karenanya, segala sikap, ucapan, maupun perbuatan para da’i yang dinilai merusak harga diri dan merendahkan martabat para tamu sebagai obyek dakwah, seharusnya dihindari (Luth, 1999: 80). D.Unsur-unsur Dakwah Pengamat agama dan sosial-budaya Indonesia, Mohammad Sobari mengakui bahwa dakwah adalah pekerjaan yang sukar sehingga perlu keseriusan dalam menjalankannya. Dakwah memang pekerjaan sukar bagi mereka yang merasa perlu menekankan kualitas hubungan yang mendalam dan dialogis. Orang perlu memainkan seni agar disatu pihak pembicaraan yang sarat muatan keilmuan mudah ditangkap tanpa membuang efek 76 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Peranan Partai Politik dalam Perspektif Dakwah (Rustam Aji) “menjauhkan”. Artinya, upaya menyampaikan segenap gagasan normatif itu tidak membosankan, melainkan sebaliknya, dinamis, dan dialogis sehingga ruang perenungan terbuka lebar. Dan orang pun pulang dari suatu pengajian bisa selalu membawa oleh-oleh dalam dua corak; perenungan iman yang lebih mendalam dan melebarnya wawasan keilmuan (Sobari, 1998: 67-68). Namun demikian, dakwah jangan hanya dipahami sebagai usaha untuk mencari kekuatan pendukung semata-mata. Karena itu, dakwah haruslah dilakukan secara bijaksana dengan pendekatan kultural, mengetuk pintu hati orang lain agar mereka bersedia memenuhi panggilan kebenaran Tuhan. Dakwah dengan begini harus dipandang sebagai tugas kultural, dan sama sekali bukan politik, dengan sikap dasar dan kesadaran bahwa ajakan ini buat kepentingan mereka yang diajak, dan bukan kepentingan kita atau Tuhan. Dakwah sebagai amal ikhlas harus bebas dari kepentingan pribadi untuk meraih keuntungan politis maupun sosial-ekonomi tertentu. Oleh karena itu, agar apa yang dimaksudkan dari tujuan dakwah itu tidak melenceng, maka bagi seorang da’i bila menginginkan sebuah keberhasilan dalam menyampaikan risalah Islam kepada masyarakat—unsur-unsur dakwah mutlak diketahui. Dalam aktivitas dakwah, unsur-unsur dakwah merupakan bagian terpenting dari sebuah kegiatan dakwah. Sebab, semuanya itu saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Tidak perlu dipertentangkan dan diperselisihkan, sebab hakikat dakwah Islamiyah itu pada dasarnya mengajak masyarakat untuk berbuat amar ma’ruf dan nahi munkar. Dan politik, adalah salah satu bagian dari implementasi amar ma’ruf dan nahi munkar. 1. Ulama dan Politik Satu hal yang perlu kita garisbawahi dibalik realitas sosial politik sekarang adalah bahwa di era keterbukaan ini, ternyata banyak para ulama yang terjun ke dunia politik praktis (atau hanya sekedar sebagai partisipan partai politik). Hal ini mengindikasikan langkah yang ditempuh oleh ulama ini, cepat atau lambat, bisa mengakibatkan perubahan cara pandang masyarakat terhadap Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 77 Jurnal Bimbingan Konseling Islam ulama yang tidak lagi menjadi “center of power”. Semua ini bisa mengakibatkan posisi ulama kian dijauhkan dari masyarakat. Sehingga, keberadaannya tidak lagi dianggap penting, kecuali hanya bila diperlukan. Kalau demikian halnya, bila dikaitkan dengan hadits yang mengatakan ulama adalah pewaris nabi, maka ada dua hal yang perlu dicermati. Pertama, pengetahuannya harus lebih luas, tidak hanya masalah agama saja, tetapi masalah politik juga harus benar-benar diselami, jadi tidak asal sekedar tahu politik. Kedua, moralnya pun perlu dijaga, dia harus bisa jadi figur (uswah) bagi “politikus” lainnya. Dengan kedua syarat tersebut, ia dapat melakukan peranan sosialnya. Akan tetapi, kalau kita sudah berbicara peranan, maka bagaimana peran itu bisa diwujudkan. Biasanya, kalau dalam konteks ulama, semua bermula dari performance, perwujudan peranan. Setelah peranan itu diwujudkan, barulah masyarakat bisa menyaksikan secara riil kesungguhan dari ulama tersebut untuk membuktikan peran keulamaannya. Dan bila dia (ulama) sudah bisa memenuhi harapan sosialnya itu, maka jadilah ia “ulama politikus”. Dimana dengan pengetahuannya politik yang didukung dengan keluasan ilmu agamanya, maka dia akan menjadi sosok yang selalu disegani proses pembuatan keputusan politik, ikut berkampanye dan menjadi calon legislatgif, dan semacamnya. Yang menarik, jika memperhatikan aktivitas politik ulama belakangan ini, tampak adanya pergeseran peran politik ulama, baik dalam konteks hubungan antara Islam dan negara maupun dalam pengertian bentuk dan cara mengartikulasikan kepentingan-kepentingannya. Di negara kita, agama sudah menjadi varian pokok dalam mengikat identifikasi kelompok ummat Islam. Idealnya, kepolitikan ulama yang membersihkan keterikatannya yang intens kepada moralitas politik yang melebihi politisi lainnya, karena keterlibatan mereka dalam politik juga semata-mata “pengabdian” kepada Allah yang bertumpu pada ajaran agama yang diyakini, bukan semata-mata demi kekuasaan. Meskipun di 78 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Peranan Partai Politik dalam Perspektif Dakwah (Rustam Aji) lain pihak juga tidak bisa dipungkiri banyak ulama yang terjun ke dunia politik hanya demi ambisi kekuasaan. Sebagai pemimpin kharismatik, maka seorang ulama yang terjun ke dunia politik harus tetap tegar menyuarakan kebenaran dan menggelorakan semangat “membangun” umat sebagai bentuk realisasi dari tanggungjawab agama untuk mewujudkan makna ibadah dalam segala aspek kehidupan. Untuk itu, ia harus mampu berdialog sebanyak mungkin dengan umat melalui bahasa agama yang komunikatif dan merakyat. Tolok ukurnya adalah penguasaan yang dalam terhadap pengetahuan agama maupun persoalan konkrit umatnya yang membutuhkan solusi darinya (Aji, 1999, 14). Menurut Rusli Karim, keberhasilan ulama dalam memimpin umatnya ini tidak bisa dilepaskan dari tiga hal pokok yang melekat pada diri ulama (Karim, 1991: 88). Pertama, ulama merupakan pemimpin spiritual yang memiliki pengetahuan keagamaan yang luas. Kedua, ulama sebagai tokoh panutan. Dimana ulama dipandang mengetahui segala-galanya dan dianggap mampu memberikan jalan keluar terhadap segala masalah yang dihadapi. Dan ketiga, ulama selain sebagai kyai juga merangkap sebagai politisi. Oleh sebab itu, dengan peran ganda yang dimiliki oleh ulama sebagai pemimpin spiritual sekaligus juga politisi maka dia tetap dibutuhkan. Dengan begitu, politik jangan disterilkan dari aspirasi dan kepentingan agama, karena ulama memiliki “kekuatan” untuk menarik masyarakat dengan kharismanya. Dengan kharismanya itu, ulama akan tetap dipercaya sebagai alat kepentingan dakwah Islam dan sekaligus penyalur aspirasi ummat Islam di parlemen. Untuk yang terakhir ini, tugas ulama adalah berjuang sekuat tenaga agar agama menjadi salah satu sumber inspirasi dan parameter pokok dalam setiap pengambilan keputusan politik. 2.Ulama dan Dakwah Secara sosial kemasyarakatan Islam, posisi ulama khususnya dikalangan santri memiliki peranan yang sangat penting. Ulama Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 79 Jurnal Bimbingan Konseling Islam menjadi pusat dalam hubungan Islam dengan umat Islam (Amin, 1996: 24). Hal ini disebabkan dari perspektif keagamaan, secara ideal ulama telah dianggap sebagai waratsatul anbiya (pengganti Nabi) untuk meneruskan tugas dan fungsinya didalam risalah kenabiannya di hadapan umat manusia. Sehingga ulama ditempatkan pada hirarki sosial yang tinggi dalam masyarakat Muslim (Aji, 1999, 14). Sementara itu, secara etimologi, sebagaimana dikutip Muhammad Asfar dari Ibnu Qoyim (Asfar, 1996: 5; Qoyim, 1993), kata “ulama” merupakan bentuk jama’ (plural) dari kata ‘alim, yang berarti orang yang mengetahui, orang pandai. Kata itu berasal dari bentuk madhi (past) ‘alima, yang berarti mengetahui dan harus dibaca dari sumber kata yang dalam bentuk semantik bahasa arab disebut masdar –‘ ilman, yang berarti pengetahuan atau ilmu. Tetapi apakah ilmu itu? Sebagaimana didefinisikan Azyumardi Azra (Azra, 1990: 5), ‘ilmu adalah masdar taukid dari kata kerja ‘alima yang berarti pengetahuan (knowledge). Ilmu itu berbeda dengan ma’rifah yang berarti “pengetahuan”. Di dalam pengertian asli, istilah pertama mengacu kepada pengetahuan dengan kualitas tertinggi yang kadang-kadang bisa diperoleh hanya secara intuitif. Sementara istilah kedua menunjuk kepada pengetahuan secara umum. Dalam pemakaian klasik, ilmu tidak mempunyai bentuk jamak sesuai dengan ketunggalan konsep ‘ilm itu sendiri di masa paling awal Islam. Tetapi, dalam bahasa Arab pasca klasik, bentuk pluralnya diperkenalkan, yakni ‘ulum, yang menunjuk kepada berbagai ‘ilm dari beberapa jenis pengetahuan. Dalam konteks pengertian yang terakhir inilah maka tidak setiap orang yang memiliki ilmu (pengetahuan) dapat disebut ulama. Istilah ulama ini, hanya pantas bagi mereka yang mumpuni (ekspert) dalam ilmu-ilmu agama (‘ulum al-diniyah). Dalam asumsi yang demikian, maka tugas utama ulama adalah menyiarkan agama Islam (dakwah). Kalau dilihat dalam sejarah kita, dikenal beberapa tipe ulama. Pertama, ulama yang mempunyai madrasah atau pesantren, dan kedua, ulama mubaligh. 80 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Peranan Partai Politik dalam Perspektif Dakwah (Rustam Aji) Kalau dilihat, ternyata gaya mereka berbeda-beda. Ulama mubaligh mempunyai pengaruh yang luas karena mereka berkeliling berdakwah. Sedangkan ulama yang mempunyai pesantren, pengaruhnya tidak terlalu luas tetapi mendalam. Karena mendalamnya pengaruh itu, makin luas pulalah sasarannya. Makin dalam ilmunya, maka makin luas pengaruhnya sehingga banyak orang yang tertarik untuk belajar kepadanya. Ketiga, ulama sebagai politisi. Banyak tokoh ulama yang terjun ke dunia politik karena melihat ketimpangan sosial ataupun agama yang terjadi dalam masyarakat. Dimana persoalan itu tidak bisa diselesaikan lewat kedua jalur tersebut, sehingga terpaksa ulama kelompok ini harus turun ke gelanggang politik dalam upayanya menegakkan agama Islam. Untuk ulama tipe ketiga ini agar bisa mendekati sasaran strategis (mad’u) maka mereka harus mampu membedakan secara esensial antara kegiatan dakwah dengan kegiatan (kepentingan) politik praktis. Hal ini menjadi penting, manakala seorang ulama menjadi jurkam partai politik dimana tidak mustahil batas nilai-nilai moral semakin menjadi kabur karena ia membawa misi politik. Oleh karenanya beragamnya tipe ulama dan juga kepluralan masyarakat yang dihadapi, maka para ulama apapun tipenya perlu lebih bekerja keras lagi untuk dapat merumuskan suatu strategi dakwah berdasarkan data sosiologis yang memadai dan akurat. Hal itu perlu, sebab akibat tekanan politik yang begitu lama dan represif terhadap umat Islam di masa orde baru, diperlukan sebuah “terapi” yang dapat mengobatinya. Karenanya, pada kondisi yang seperti itu, ulama harus mampu menjadi penyejuk bagi umat dengan suatu “cultural break through” untuk membangun kesadaran dan harga diri mereka kembali. E. Politik Sebagai Media Dakwah Politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. Menyitir pendapat Jeje Abdul Rojak, kata politik, pertama kali dikenal dari buku Plato yang berjudul Politieia, yang dikenal juga dengan Republik (Rojak, 1999: 40). Karya Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 81 Jurnal Bimbingan Konseling Islam tersebut kemudian dipandang sebagai pangkal pemikiran politik yang berkembang kemudian. Dari karya tersebut dapat diketahui bahwa istilah politik merupakan kata yang dipergunakan untuk konsep pengaturan masyarakat. Sedangkan menurut Deliar Noer, sebagaimana dikutip Jeje Abdul Rojak pula, politik merupakan segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat (Rojak, 1999: 42). Dari kecenderungan konsep di atas, maka dapat disimpulkan tentang tiga pengertian politik sebagaimana yang dimaksud. Pertama, pandangan yang mengkaitkan politik dengan negara, yakni dengan urusan pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah. Kedua, pandangan yang mengkaitkannya dengan masalah kekuasaan, otoritas dan atau dengan konflik. Ketiga, pandangan yang mengkaitkan politik dengan perilaku manusia, baik berupa aktivitas atau sikap, yang bertujuan mempengaruhi atau mempertahankan tatanan sebuah masyarakat dengan menggunakan kekuasaan. Ini berarti bahwa kekuasaan bukanlah hakikat politik. Tetapi, pada hakikatnya politik adalah kegiatan yang terdapat pada sekitar institusi politik yang dimanifestasikan oleh faktor-faktor politik, seperti tokoh-tokoh pemerintah dan wakil-wakil rakyat (Rojak, 1999: 41). Sedangkan menurut tinjauan Islam, seperti ditulis Amien Rais, ada dua jenis politik, yaitu politik kualitas tinggi (high politics) dan politik kualitas rendah (low politics) (Rais, 1997: 30) Politik tingkat tinggi ini, sangat kondusif bagi pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi munkar, sebab politik kualitas tinggi memiliki ciri-ciri. 1. Setiap jabatan politik dimaknai sebagai amanah dari masyarakat, yang harus dipelihara sebaik-baiknya. Amanah ini tidak boleh disalahgunakan, misalnya untuk memperkaya diri atau untuk kepentingan pribadi dan menelantarkan masyarakat umum. Kekuasaan, betapapun kecilnya, harus dimanfaatkan untuk membangun kesejahteraan bersama, sesuai dengan amanah yang telah diberikan oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, kekuasaan harus dipandang sebagai nikmat yang dikaruniakan 82 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Peranan Partai Politik dalam Perspektif Dakwah (Rustam Aji) oleh Allah untuk mengayomi masyarakat, menegakkan keadilan dan memelihara orde atau tertib sosial yang egalitarian. 2. Setiap jabatan politik memiliki pertanggungjawaban (accountability). Kesadaran akan tanggung jawab ini sangat menentukan penyelenggaraan politik kualitas tinggi. Tetapi, tanggung jawab ini harus pula dimaknai bahwa tanggung jawab tersebut bukan hanya terbatas dihadapan institusi atau kelembagaan yang bersangkutan, melainkan juga dihadapan Allah tanggung jawab inilah justru yang lebih penting. Sebab, sebagaimana diajarkan oleh Nabi, bahwa setiap orang pada dasarnya pemimpin yang harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya atau tugas-tugasnya. 3. Kegiatan politik selalu terkait erat dengan prinsip ukhuwwah (brotherhood), yakni persamaan diantara umat manusia. Saling pengertian dan membangun kerja sama keduniaan seoptimal mungkin dalam menunaikan tugas-tugas kekhalifaan. Dalam arti luas, ukhuwwah melampaui batas-batas etnik, rasial, agama, latar belakang sosial, keturunan dan sebagainya. Sementara itu, politik kualitas rendah, menurut Amien Rais seperti tergambarkan dalam “Politik Machiavellas” yang terdapat di buku The Princes (Rais, 1997: 32-33). Politik jenis ini, bila ditinjau dari kacamata dakwah jelas destruktif, setidak-tidaknya counterproductive, sebab memiliki ciri–ciri: 1. Mengajarkan bahwa kekerasan (violence), brutalitas dan kekejaman merupakan cara–cara yang seringkali perlu di ambil oleh penguasa. Baginya, kekerasan dan sejenisnya itu, dapat digunakan kapan saja asalkan tujuan yang dikejar bisa dicapai. Terkenal dengan “menghalalkan segala cara”. 2. Penaklukan total atas musuh-musuh politik dinilai segala kebijakan puncak (summon bonum). Dimana pihak yang berkuasa harus melakukan penindasan dan penekanan serta penaklukan terhadap lawan politiknya. Musuh tidak boleh diberi kesempatan untuk bangkit. Inti dari tipe politik ini adalah perjuangan untuk merebutkan kekuasaan (struggle for power) dan menguasai pemerintahan. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 83 Jurnal Bimbingan Konseling Islam 3. Seorang penguasa harus bersikap buas. Dalam arti lain, dalam menjalankan kehidupan politik, seorang penguasa harus dapat bermain seperti binatang buas, terutama seperti singa dan sekaligus sebagai anjing pemburu. Seorang penguasa harus dapat menjadi anjing pemburu untuk mengenali berbagai perangkat, dan harus bisa menjadi singa untuk menggertak manusia-manusia srigala. Politik yang perlu dijalankan oleh seorang muslim sekaligus yang berfungsi sebagai alat dakwah sudah tentu bukanlah jenis “politik machiavellas”, tetapi politik jenis pertama yang penuh komitmen kepada Allah. Tujuan yang diletakkan politik ini bukanlah kekuasaan demi kekuasaan, atau pencapaian suatu kepentingan demi kepentingan tertentu. Dengan lain kata, posisi politik bukanlah tujuan, tetapi hanya merupakan sarana atau alat untuk mencapai tujuan, yakni pengabdian kepada Allah. Politik demikian, jelas selaras dengan tujuan dakwah. Disini kita bisa menyimak dengan jelas bahwa misi dakwah seorang nabi adalah missi kemanusiaan, missi sejarah dengan dimensi yang sangat luas. Dalam perspektif telaah kita, maka dapat dikatakan politik hanyalah satu dimensi dari kegiatan dakwah. Oleh sebab itu, sekarang tidak ada alasan lagi bagi umat Islam untuk “mengharamkan” politik. Justru umat Islam bisa menggunakan politik sebagai alat dakwah rangka menciptakan masyarakat yang baldatun toyyibatun wa rabbun ghafar. 84 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Peranan Partai Politik dalam Perspektif Dakwah (Rustam Aji) DAFTAR PUSTAKA Achmad, Amrullah, 1984, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, YAFY Aji, Rustam, 1999, “Ulama: Antara Kepentingan dan Dakwah”, SKM Amanat, Edisi LXXVII Amin, M. Masyhur, 1996, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, AlAmin Press Anshari, Endang Saefuddin, 1985, Wawasan Islam, Bandung: Remaja Karya Asfar, Muhammad, 1996, “Ulama dan Politik: Perspektif Masa Depan”, Ulumul Quran, No.5, Vol. VI Azra, Azyumardi, 1990, “Ulama, Politik dan Modernisasi”, Jurnal Ulumul Quran, Vol. II. Dakwah dan Risalah Islamiyah Dalam Perbincangan, 1987, Jakarta: Media Dakwah Depag RI, 1992, Al- Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Bandung: Gema Risalah Press, Edisi Revisi Karim, M. Rusli, 1991, Pemilu Demokratis Kompetitif, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Konsilidasi Potensi Gerakan Islam, 1996, Majalah Ishlah Edisi Khusus Tahun III Luth, Thohir, 1999, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani Press Membentuk Qai’idah Sya’biyah dalam Da’wah, 1996, Majalah Ishlah Edisi Khusus Tahun III Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 85 Jurnal Bimbingan Konseling Islam Muslim, Yusup, 1998, Aspek-aspek Dakwah Dalam Pemikiran Politik Ahmad Syafi’i Ma’arif: Studi Analisis Terhadap Buku Membumikan Islam, Skripsi Natsir, Mohammad, 1996, Fiqhud Da’wah Jejak RIsalah Dasar-dasar Da’wah, Jakarta: Yayasan Capita Selecta Noer, Deliar, (et.al), 1990, Mengapa Partai Islam Kalah?, Alvabet, Cet. Ke 1 Qoyim, Ibnu, 1993, “Ulama di Indonesia pada Akhir Abad XIV dan awal abad XX, dalam Sejarah: Pemimpin, Rekonstruksi, Persepsi”, No.3 Rais, Amin, 1997, Cakrawala Islam, “Antara Cita dan Fakta”, Jakarta: Mizan, Jakarta Rojak, Jeje Abdul, 1999, Politik Kenegaraan:Pemikiran-Pemikiran AlGhazali dan Ibnu Taimiyah, PT Bina Ilmu Sobari, Mohammad, 1998, Diskursus Islam Sosial Memahami Zaman Mencari Solusi, Bandung: Zaman Wacana Mulia Yakan, Fathy, 1995, Al-Mutaghayyirat ad-Dauliyah wa ad-Daar alIslam al-Mathluh, Beirut: Muassasah ar-Risalah 86 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 STRATEGI KULTURAL ISLAM BERPIJAK DARI DAKWAH SUNAN KUDUS Oleh: Syaiful Arif Peneliti di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) Jakarta dan Penggerak budaya di Olah-Olah Padepokan Seni Kudus Abstrak Sebagai artefak budaya Islam Nusantara, Menara Kudus merupakan bukti tercantik dari suatu strategi dakwah yang bersifat kultural. Artinya, Sunan Kudus berdasarkan paradigma kebudayaan, telah menempatkan Islam secara substansial, sebagai kebudayaan. Dalam situasi ini, dakwah Islam akhirnya tidak bersifat ikonoklastik: penghancuran ikon lokal. Akan tetapi sebaliknya: mengaliri “nafas kebajikan” masyarakat lokal. Berpijak dari strategi kultural Sunan Kudus inilah, kita bisa menunjukkan kepada dunia Islam, bahwa Islam yang selaras, adalah Islam dalam bentuk budaya. Bukan Islam politik, yang mendakwahkan agama melalui penguasaan negara, konstitusi, polisi syari’ah, dan peraturan daerah. Maka tak ayal lagi, Menara Kudus dan strategi dakwah kultural Sunan Kudus bisa menjadi counter discourse atas radikalisme Islam, yang mendakwahkan agama melalui gerakan politik. Keywords: Menara Kudus, Islam Budaya, Perwujudan Kultural Islam, Islam politik. A.Pendahuluan Tulisan ini hendak menawarkan suatu strategi dakwah Islam yang bersifat kultural. Dakwah di sini diartikan secara luas, yakni sosialisasi nilai-nilai keislaman, demi tersemainya nilainilai Islam itu di muka bumi. Jadi dakwah dalam tulisan ini tidak bermakna formal, seperti para da’i yang berkhotbah di panggung Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 87 Jurnal Bimbingan Konseling Islam pengajian. Dakwah di sini diartikan sebagai persemaian nilainilai Islam dalam konteks publik, baik ranah kemanusiaan, kebangsaan, dan kebudayaan. Dalam konteks ini, saya akan memulainya dari pijakan lokal, yakni Kudus. Mengapa? Karena dalam lokalitas kita terdapat tipe ideal bagi strategi dakwah Islam kultural ini. Dan pasti kita tak asing lagi. Ialah Menara Kudus. Sebagai artefak Islam Nusantara, Menara Kudus adalah contoh tercantik dari keberhasilan dakwah kultural Islam. Dengan demikian, Menara Kudus bisa dijadikan counter discourse atas gerakan dakwah politik dari radikalisme Islam. Pengolahan Menara Kudus sebagai upaya deradikalisasi Islam inilah yang menjadi tujuan tulisan ini. Hal ini niscaya karena Sunan Kudus berhasil menemukan dua makna, antara makna Islam dan Hindu-Budha. Saya sebut Hindu-Budha karena di Menara juga terdapat “delapan jalan Budha” (Asta Sanghika Marga) yang simbolnya masih digunakan di “padasan” wudu. Saya kemudian sering bertanya, apakah ada pertemuan mistik antara Islam Kudus dengan HinduBudha? Tentu mistisisme di sini tidak diartikan sebagai klenik. Mistisisme adalah ruang esoterik agama, yang di dalam Islam disebut tasawuf. Pertanyaannya adalah, mengapa Sunan Kudus yang terkenal sebagai qadi faqih ini, mau mengakomodasi candi sebagai bentuk arsitektural Menara? Kita sebut bentuk dasar Menara adalah candi, sebab banyak kalangan yang melihat candi-Menara sebelum di-Menara-kan adalah Pure Agung. Yakni pure besar tempat penyimpanan abu jenazah para bangsawan Majapahit. Kemungkinan candi-Menara merupakan Pure Agung ini mungkin saja, mengingat di sekitar Menara terdapat candi-candi kecil, yang oleh mitos masyarakat disebut ”masjid bubar”. Menarik kiranya, karena ”masjid bubar” yang memang berupa reruntuhan candi itu, disebut Slamet Muljana sebagai candi-candi rakyat yang runtuh terbengkalai bersamaan dengan runtuhnya Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak (Muljana, 2005: 239-245). 88 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif) Jika Sunan Kudus adalah faqih, kenapa beliau mau mengakomodir corak peribadahan Hindu-Budha? Jawabnya bisa kita temukan dalam qawai’d al-fiqh, yakni al-’adah muhakkamah. Adat bisa menjadi landasan hukum dalam Islam. Artinya, pendaulatan candi sebagai Menara (tempat adzan) telah diwadahi oleh mekanisme perumusan hukum Islam itu sendiri. Akan tetapi apakah hanya sebatas perumusan fiqhiyyah yang telah melahirkan Menara? Apakah tidak mungkin terdapat motif mistik di dalam penyatuan Islam-Hindu-Budha dalam arsitektur peribadahan ini? Apakah Sunan Kudus merasakan “kenyamanan spiritual” di dalam tangga ruhani dari setiap anak tangga candiMenara itu? Apakah Sunan Kudus juga sepakat dengan “delapan jalan Budha” yang dijadikan “padasan” wudu? Segenap pertanyaan ini mungkin saja logis, mengingat “dua senjata” dari pribumisasi Islam adalah ushul fiqh dan tasawuf. Demikian konsep Gus Dur. Maka ada kemungkinan di dalam pembumian Menara ke dalam candi Hindu, Sunan Kudus menerapkan pendekatan fiqh dan sufistik sekaligus. Bukankah Islam bisa begitu membumi di Nusantara, karena kedua kebijaksanaan Islam ini? Ushul fiqh mengajarkan tentang kontekstualisasi hukum Islam. Sementara tasawuf menjadikan muslim empatik dengan tradisi spiritual masyarakat lokal. Akan tetapi persoalannya tidak sesederhana itu. Selain perspektif Islam akulturatif, ada juga cara pandang kolonialis dalam melihat Menara. Artinya, keberhasilan Sunan Kudus dalam memenarakan candi, adalah keberhasilan “kolonialisme Islam”. Tentu kolonialisme di sini tidak bermakna militer, melainkan suatu penaklukan budaya. Islam menaklukkan budaya HinduBudha. Hal ini terkait dengan gerbong mistik Jawa yang ada di Rahtawu, yang masih menyimpan kemasygulan atas keberhasilan Sunan Kudus dalam mengislamkan Kudus. Rahtawu sendiri juga menarik. Situs ruhani yang bermakna “sembilan pertapaan suci” ini memuat kearifan filosofis dari filsafat Jawa, yang secara diametral dihadapkan dengan Islam syar’i. Maka jika seperti ini, dakwah Sunan Kudus bisa dipandang sebagai keberhasilan penaklukan Islam atas masyarakat Hindu-Budha, yang kemudian mengungsi di Pegunungan Rahtawu tersebut. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 89 Jurnal Bimbingan Konseling Islam Namun, hal ini memang masih misteri. Belum ada studi yang mengungkap pergulatan Islam-Hindu di Kudus. Saya pun sendiri ketika bicara dalam konteks Islamic studies lebih sepakat dengan pendekatan Islam akulturatif (meskipun juga mendukung usaha penggalian pergulatan Islam-Hindu tersebut). Artinya, meskipun Islam hadir sembari membawa budaya baru, namun konversi Islam tidaklah bersifat ikonoklastik: menghancurkan ikon lokal. Menara Kudus adalah bukti terbesar. Artinya, ketika fungsi ke-menaraan telah mengonversi fungsi candi, justru ke-menaraan itu menjadi bukti bahwa Islam hadir, tidak memusnahkan ikon lokal. Sebaliknya, ia hadir menghargai dan memijakkan diri pada kearifan lokal itu. Ini yang disebut pribumisasi Islam. Yakni “peminjaman bentuk budaya”, sehingga Islam bisa membumi di “pangkalan kultural” masyarakat setempat. Ketika Pure Agung itu dijadikan Menara, maka masyarakat asli Kudus pastilah merasakan “kenyamanan spiritual” sebab pergantian agama ditopang oleh budaya, tempat mereka hidup menimba makna. Akhirnya tak ada yang berubah di dalam struktur masyarakat. Yang berubah hanyalah struktur makna. Struktur masyarakat Kudus ajeg, dalam kearifan lokalnya. Hanya saja, struktur maknanya telah berubah, dari makna Hindu-budha, kepada Islam. Inilah corak unik dari keberagamaan Jawa. Yakni sifatnya yang eklektis. Jawa dan Nusantara adalah bumi yang subur. Ia bisa menerima benih apa saja yang datang dari luar, menyerbukkan sarinya, dan menumbuhkannya sesuai corak tanahnya. Hal ini niscaya, sebab bentuk candi Hindu-Budha di Jawa tidak mengacu pada tradisi Hindu di tanah aslinya, yakni India. Bentuk candi di Jawa, murni lahir dari corak arsitekturruhani kebudayaan Jawa. Dalam budaya Jawa pra-Hindu-Budha, arsitektur-ruhani merujuk pada Gunung Meru. Artinya, Gunung memang menjadi simbol spiritual masyarakat Jawa kuno, sebab melaluinya, manusia yang berada di Dunia Tengah, bisa naik ke Dunia Atas (Langit), tempat para dewa. Dengan menaiki Gunung, manusia menaikkan derajatnya dari makhluk profan, menjadi makhluk sakral. Dari sini mafhum, kenapa pusat mistisisme Kudus 90 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif) ada di pegunungan: mistisisme Jawa di Rahtawu, mistisisme Islam di Gunung Muria (Sunan Muria). Dari bentuk Gunung Meru inilah, corak candi Hindu dan Budha menemu bentuknya. Hal ini yang kemudian ditangkap oleh Walisongo. Sunan Kalijaga menangkapnya, dan mengabadikannya dalam Masjid Demak beratap Meru, dengan tiga tahapan iman, Islam, ihsan. Sunan Kudus mengabadikannya dalam Menaraisasi Pure Agung Kudus. Keduanya sama. Berangkat dari kontinuitas tradisi arsitektur ruhaniah masyarakat Jawa, yang merujuk pada Gunung Meru (Ashadi, 2006: 63-74). Inilah yang saya sebut sebagai strategi kultural Islam itu. Yakni sebuah strategi dakwah Islam yang menggunakan jalur kultural, sehingga membuahkan keberislaman yang bersifat kultural. Gus Dur menyebut keberislaman ini sebagai perwujudan kultural Islam. Artinya, manifestasi Islam dalam bentuk sosialnya berwujud kultural. Bentuk ini bolehlah saya sebut sebagai bentuk antropologis. Yakni bentuk keberislaman yang membentuk dirinya dalam selaksa simbol yang menghiasi keseharian masyarakat. Dalam bentuk antropologis ini, keberislaman bersifat simbolik, yang menandakan suatu kesinambungan tradisional antara tradisi pra-Islam dengan tradisi Islam. Dalam perwujudan kultural Islam, Islam dihayati melalui tradisi di masyarakat, dan tradisi itu dijaga oleh simbol yang dirayakan maknanya oleh seluruh masyarakat. Dengan demikian, Islam telah menubuh ke dalam batin keseharian muslim, karena umat Islam bisa merasakan makna Islam dalam simbol yang begitu nampak dalam hidup sehari-hari. Sunan Kudus dengan Menaranya telah menunjukkan strategi kultural Islam ini. Dengan meminjam “bentuk budaya” candi, maka Islam akhirnya mewujudkan diri dalam bentuk kultural. Yakni dalam suatu karya budaya bernama Menara. Dengan demikian, ia hadir menawarkan isi baru tetapi tetap menjaga bentuk budaya yang ada di masyarakat. Sifat kultural dari keislaman Sunan Kudus ini terletak pada konversi Islam yang damai, karena ia menggunakan strategi kultural, bukan politik. Jika politik, maka segenap karya budaya lokal yang merepresentasikan agama pra-Islam, pastilah dibumihanguskan. Sebab strategi Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 91 Jurnal Bimbingan Konseling Islam politik bersifat menguasai, dan memuara pada kekuasaan yang tentunya meniadakan yang liyan. Sementara itu strategi kultural justru membumikan Islam ke dalam kultur masyarakat, karena Islam itu sendiri bersifat kultural. Artinya, ia mampu mengaliri nafas kebajikan masyarakat. Ia mampu menelusupkan makna baru, tanpa harus merubah sama sekali simbol di masyarakat. Strategi ini akhirnya tidak bersifat formalis, selayak dakwah Islam formalis saat ini. Karena Sunan Kudus mampu menarik benang merah esoteris antara Islam dengan kearifan lokal, maka ia akhirnya mampu mempertemukan makna Islam dengan makna kearifan lokal. Inilah yang menjadi syarat dari strategi kultural Islam. Yakni kewaskitaan dari da’i Islam untuk menemukan “garis dasar” serupa, antara kebajikan Islam dengan kebajikan kultur lokal. Dengan cara ini, Islam hadir mengaliri kebajikan lokal itu, bukan untuk mengganti, akan tetapi menyempurnakan. Penggantian adalah peniadaan. Sementara penyempurnaan adalah penambahan kualitas, dari belum sempurna kepada lebih sempurna. Tradisi Walisongo sering menggunakan perspektif kesempurnaan ini, sehingga Islam tidak meniadakan unsur lain, akan tetapi menjadi penyempurna bagi kebajikan yang sudah ada. B. Islam Budaya Sebelum menggunakan strategi dakwah kultural Sunan Kudus, untuk mengkritik strategi dakwah kita saat ini, perlulah dulu dijelaskan apa yang disebut strategi kultural, perwujudan kultural Islam, pribumisasi Islam, serta strategi politik Islam yang saya jadikan “lawan banding” dan strategi kultural Islam. Penjelasan ini dibutuhkan, agar masing definisi jelas dalam dirinya sendiri. Strategi kultural Islam adalah strategi dakwah Islam yang bersifat kultural. Strategi ini disebut kultural sebab ia menggunakan media budaya dan logika kebudayaan. Bukan logika politik dan media kekuasaan. Dalam logika kebudayaan, Islam adalah kebudayaan. Artinya, Islam selain sebagai korpus normatif resmi yang otonom dari manusia, ia adalah praksis budaya. Karena korpus normatif itu tentunya tidak hampa budaya, ketika ia lahir, 92 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif) dan ketika ia membumi di masyarakat. Segenap praktik Islam, atau usaha pengamalan korpus normatif ini akhirnya melahirkan kebudayaan. Pelahiran kebudayaan inilah yang telah membuahkan perwujudan Islam yang bersifat kultural itu. Pada titik ini, saya memiliki asumsi dasar bahwa strategi dakwah yang tepat bagi Islam adalah strategi kultural. Mengapa? Karena ranah kultur adalah ranah yang tepat bagi persemaian nilai-nilai normatif. Bukan ranah kekuasaan yang berisi muatan kepentingan. Sebagai ranah normatif, kultur bisa mewadahi nilai-nilai kebaikan sebab ia menjaga nilai-nilai itu ke dalam simbol, yang disepakati bersama oleh masyarakat. Maka, asma Allah yang satu adalah simbol yang menyimpan makna tauhid. Ia disepakati bersama oleh umat Islam, sebab dengan asma ini, Allah tidak sama dengan berhala politeistik. Jilbab menjadi simbol yang menyimpan makna aurat, sebab ia berbeda dengan fashion modern yang mengumbar aurat. Hal sama pada Menara. Menara adalah simbol yang menyimpan makna kebijaksanaan Islam yang tidak meniadakan agama lain. Simbol ini disepakati bersama oleh muslim Kudus, sebab mereka nyaman dalam makna tersebut. Kesemua itu dalam tataran antropologisnya adalah kebudayaan, sebab definisi kebudayaan adalah jaringan makna yang terdapat dalam simbol, yang disepakati oleh publik. Tentu ia menjadi kebudayaan, ketika berada pada ranah antropologis. Sementara pada ranah keagamaan, ia adalah unsur ketuhanan yang tak tersentuh oleh manusia. Dalam kaitan inilah kita bisa memahami bahwa Islam bukanlah kebudayaan, sebab ia pertama kali bukan ciptaan manusia. Ia murni bersifat ketuhanan yang transenden dari sentuhan manusia. Akan tetapi ketika ia telah ”turun ke bumi”, dipahami dan diamalkan umat dalam konteks kemasyarakatan, maka jadilah pemahaman dan pengamalan keagamaan ini, sebagai kebudayaan (Martin, 1982: 140-141). Sebuah pengolahan budi keagamaan dalam ranah kemanusiaan. Pada titik ini, kita akan lebih memahami strategi kultural Islam dengan memahami ide dasar pembentuknya, yakni perwujudan kultural Islam. Gagasan perwujudan kultural Islam sendiri merupakan tindak lanjut dari gagasan pribumisasi Islam. Jadi, terma ini secara eksplisit memang mengacu pada gagasan Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 93 Jurnal Bimbingan Konseling Islam Gus Dur (Wahid, 2001: 12). Di sini, perwujudan kultural Islam kemudian tertahbis sebagai “bentuk antropologis” dari Islam yang telah membumi di relung budaya Nusantara. Maka, perwujudan kultural Islam adalah artefak kebudayaan Islam di Indonesia, hasil “proses kimiawi” dari pribumisasi Islam. Perwujudan kultural Islam juga merupakan penyandingan antara Islam dengan diskursus kebudayaan. Di sini saya memang hendak menempatkan kajian keislaman sebagai kajian kebudayaan, seperti dititahkan oleh Gus Dur sendiri. Kajian ini tergerak dalam dua ranah. Ranah internal kebudayaan Islam, dan ranah eksternal Islam dan kebudayaan. Yang pertama mengacu pada pembincangan struktur internal peradaban Islam. Yang kedua merujuk pada dialektika, baik dalam bentuk ketegangan atau dialog, antara Islam sebagai agama, dengan kebudayaan sebagai realitas di masyarakat (Wahid, 1981: 3). Dalam kaitan ini, terma kebudayaan juga menempati dua ruang: ruang filosofis, di mana kebudayaan menjadi nilai ideal tempat manusia mengejar totalitas kesempurnaan (a pursuit of total perfection); (Backker, 1984; Jenks, 1993) juga ruang antropologis, di mana idealitas normatif tersebut dibumikan dalam “bentuk kehidupan”, baik berupa artefak, laku kinetis, maupun teks. Maka, yang pertama merujuk kepada kebudayaan sebagai sistem nilai yang melahirkan sistem pemikiran; yang kedua mengacu pada kebudayaan sebagai fakta antropologis di masyarakat. Asumsi dasar yang melandasi terma ini adalah bahwa Islam di Indonesia telah lama bersifat kultural. Hal ini kemudian menjelmakan counter-discourse atas usaha sebagian muslim yang hendak menjadikan Islam sebagai “yang politik”. Jadi di sini, penulis hendak melakukan pemilahan antara Islam budaya dan Islam politik, untuk meneguhkan satu fakta historis-kultural, bahwa Islam yang ideal di negeri ini adalah Islam yang telah mewujud dalam bentuk kultural. Dari sini terpahami bahwa segenap usaha politisasi dan ideologisasi Islam bukan hanya sia-sia, tetapi bahkan membahayakan bentuk ideal kultural tersebut, karena dalam bentuk ini muslim Indonesia telah mampu “mengalami Islam” secara hakiki, bukan artifisial-politis. 94 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif) Artinya, melalui Islam budaya, warga muslim beragama secara sukarela, sehingga mampu menelusup ke dalam relung substantif ajaran Islam. Ini terjadi karena ajaran tersebut telah hidup berdampingan dengan nilai-nilai luhur yang telah menjadi tradisi masyarakat kita. Berbeda dengan Islam politik yang melakukan rekayasa. Untuk membuat muslim bersyariat, maka gerakan Islam model ini harus menegakkan dulu sebagian korpus hukum Islam pada ranah pemerintahan. Hal ini sama saja mencipta determinasi politik atas agama. “Yang religius” akhirnya ditentukan oleh “yang politik”. Hal ini tentu kontradiktif dengan sifat religiusitas yang tidak membutuhkan institusi di luar diri agar dapat hidup dalam sanubari. Religiusitas adalah murni “kerinduan jiwa” yang haus kebenaran. Ia hidup bukan karena aturan negara, tetapi tergerak oleh dan di dalam kesadaran manusia. Pada titik kesadaran inilah, budaya menyediakan lambaran sosial, sehingga “aspek esoteris” manusia ini tersemai subur. Dalam kaitan ini, pemilahan antara Islam budaya dan Islam politik bisa kita lihat pada hal-hal berikut. Islam budaya adalah perwujudan kultural Islam itu, yakni Islam yang telah berhasil melakukan pribumisasi. Terma pribumisasi bersifat kultural, karena ia merupakan gerak turunnya ajaran agama dari langit korpus resmi ke bumi realitas di masyarakat. Dalam hal ini, pribumisasi diartikan sebagai kontekstualisasi teks agama kepada realitas. Dalam paradigma pribumisasi, Islam sebagai ajaran resmi butuh membumikan ajarannya pada konteks realitas masyarakat. Tentu, agama tidak bisa “hampa budaya”, karena sebagai teks, ia akan terbumikan dalam konteks. Hal ini terjadi karena teks agama sendiri lahir dari konteks masyarakatnya, seperti AlQuràn yang turun secara berbeda dalam konteks Mekkah dan Madinah. Dalam konteks Mekkah, ayat-ayat yang tergerak lebih mengacu pada penegasan monoteisme awal. Sementara dalam konteks Madinah, ayat suci tersebut lebih tergerak dalam usaha pembangunan peradaban Islam. Pribumisasi juga diartikan sebagai pelokalan Islam yang universal. Artinya, Islam yang lahir dari kultur awalnya di dunia Arab, berusaha mendialogkan diri dengan kultur masyarakat Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 95 Jurnal Bimbingan Konseling Islam non-Arab agar berhasil melakukan dakwah atau konversi agama. Di sini Islam butuh “meminggirkan ego kulturalnya”, agar bisa memahami logika, karakter, dan pola kebudayaan liyan, dan agar bisa diterima secara sukarela. Logika pribumisasi menyatakan, satu agama tidak akan diterima oleh satu masyarakat ketika ia hadir sebagai penjajah yang ingin memporakporandakan keyakinan awal masyarakat tersebut, untuk diganti sepenuhnya oleh tradisi agama itu. Inilah yang disebut ikonoklasme, penghancuran ikon lokal oleh budaya (agama) yang lebih global. Pada titik inilah Islam budaya menemukan ruang. Di sini terma Islam budaya memang terderivasi dari terma budaya Islam. Artinya, Islam budaya merupakan karakterisasi model keislaman yang diambil dari pola kebudayaan Islam. Hanya saja, jika budaya Islam merupakan produk dari satu pola keislaman, maka Islam budaya adalah pengangkatan budaya Islam ke tataran abstraktif sehingga menjelma suatu paradigma berpikir. Jadi, jika budaya Islam adalah Islam sebagai produk, maka Islam budaya adalah Islam sebagai pemikiran, di mana budaya Islam hanyalah salah satu unsur darinya. Meminjam terma diskursus fiqh, budaya Islam adalah Islam aqwal (produk perkataan), sementara Islam budaya adalah Islam manhaji (metode berpikir). Yang pertama, kita memahaminya sebagai produk dari keberislaman, sementara yang kedua lebih merupakan cara berpikir, perspektif, atau paradigma yang sarwa-budaya dari pemikiran Islam. Dengan memposisikan Islam budaya sebagai manhaj, kita akan memiliki asumsi dasar bahwa segenap eksistensi keislaman cenderung bersifat budaya, bukan politik. Dari sini terpahami bahwa apa yang saya sebut sebagai Islam budaya adalah Islam yang tergerak melalui dan di dalam budaya. Tentu, budaya di sini terartikan sebagai perwujudan aktivasi mental yang telah terjaga dalam simbol publik (tradisi). Hanya saja, Islam budaya tak sebatas artefak dari aktivasi mental; ia juga memuat proses diskursif yang kemudian membuahkan aktivasi tersebut. Maka, dalam Islam budaya terpetiklah beberapa syarat internal. Pertama, adanya makna. Makna ini merupakan pengalaman yang lahir dari keberartian atas nilai tertinggi dalam 96 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif) Islam. Islam memiliki nilai tertinggi, itu pasti. Namun apakah nilai tersebut mampu diresapi pemeluknya, adalah soal lain. Agar berarti, proses ini membutuhkan kebermaknaan, di mana seorang muslim menemukan nilai-nilai luhur yang dapat ia jadikan pegangan hidup. Inilah makna yang dimaksud: ia menjadi berarti, melalui dan di dalam dirinya sendiri. Maka, konsekuensi logisnya: jika seorang muslim tidak mampu menemukan makna dalam keberislamannya, kecil kemungkinan keislamannya mampu bersifat budaya. Mengapa? Karena makna terkait dengan cara kerja budi, yang merupakan syarat kedua. Seperti diketahui, cara kerja budi lebih menggunakan mekanisme internal di dalam dirinya, baik mekanisme logika maupun mekanisme etik. Yang dimaksud sebagai mekanisme logika adalah aturan benar-salah dalam logika, terkait dengan aturan proposisi, silogisme, pendefinisan, hingga pemilahan antara satu proposisi dengan proposisi lain. Sementara mekanisme etik, saya maksud sebagai aturan di dalam kebaikan itu sendiri. Misalnya, jika dalam Islam diyakini tidak ada Tuhan selain Allah (la ilaaha illallah), maka tidak logis jika meyakini Tuhan memiliki anak, karena hal itu akan melahirkan Tuhan baru, sehingga Tuhan tidak lagi satu (Ahad). Dari keyakinan logis ini, lahirlah komitmen etis yang meniscayakan tiadanya kemusyrikan dalam perilaku hidup. Di sini “yang etis” kemudian memiliki mekanisme untuk menyatakan bahwa seorang muslim telah keluar dari komitmen ke-Ahad-an tersebut. Ini terjadi karena etika, moral, atau budi memang memiliki mekanisme internal sendiri, seperti konsepsi Kant yang menahbiskan moral dalam noumena, bukan dalam fenomena. Dalam noumena, manusia tidak harus tunduk pada hukum alam, seperti ketundukan biologis dalam fenomena (realitas keseharian yang tampak). Hal ini terjadi sebab dalam noumena, manusia telah tunduk dalam rasionalitasnya sendiri. Ketundukan pada rasio inilah yang melahirkan kesadaran, yang membuat manusia berbudi. Dari sini moral kemudian tergerak dalam “imperatif kategoris”, yakni gerak kebaikan dalam dirinya sendiri, bukan gerak kebaikan karena faktor luar diri (Adian, 2006: 124). Artinya, Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 97 Jurnal Bimbingan Konseling Islam seorang dikatakan bermoral ketika baik sejak dalam nuraninya, bukan karena pamrih luar diri, semisal pamrih ekonomi atau pujian. Inilah yang penulis sebut sebagai “mekanisme etis” yang merupakan mekanisme internal dari budi. Maka, ketika seorang muslim tidak tunduk pada “mekanisme etis” ini, kecil kemungkinan ia mampu berislam secara budaya, karena budaya mensyaratkan daya dari budi. Hal ini terkait dengan rasionalitas pada domain kultural, yang penulis bedakan dengan rasionalitas kekuasaan. Pemahaman ini terkait dengan gagasan Habermas tentang pemilahan antara ranah alam-kehidupan (Lebenswelt) dan sistem kekuasaan. Seperti kita ketahui, Lebenswelt adalah dunia kehidupan sehari-hari yang menjadi ranah kebudayaan, sementara sistem adalah institusionalisasi struktur sosial modern yang sarwa-lembaga. Menurut Habermas, dalam Lebenswelt (ranah budaya), yang tergerak adalah rasionalitas komunikatif (communicative rationality), bukan rasionalitas strategis (strategic rationality). Dalam rasio komunikatif, manusia berpikir, memahami, dan berucap, berdasarkan pemahaman budi. “Baik” dan “benar” yang menentukan akal sehat, diputuskan melalui pembincangan yang setara antarkomunikator. Sementara dalam rasio strategis, pemahaman didapatkan melalui pemaksaan oleh pihak di luar diri (Robet, 2007:95). Jadi, bukan melalui penyaringan budi, melainkan melalui palu kekuasaan. Rasio strategis inilah yang penulis sebut sebagai pendekatan politik, yang dalam konteks kajian ini telah menjelma Islam politik. Pada titik ini, seorang muslim memahami religiusitasnya tidak melalui akal-budi, tetapi paksaan formalis dari otoritas di luar dirinya. Artinya, ranah Islam budaya adalah ranah rasio komunikatif, di mana seorang muslim memahami Islam tidak karena paksaan dari luar diri, melainkan murni dari kesadaran. Kesadaran inilah ruang akal budi. Ketiga, adanya tradisi yang menjaga makna. Proses kebermaknaan di atas adalah proses individual antara pemahaman pemeluk agama dengan realitas agama, dalam hal ini, teks suci. Kebermaknaan bisa terjadi karena makna telah dijaga oleh tradisi. Tradisi inilah yang menyediakan “penjagaan sosial” pada level kemasyarakatan, sehingga ia bisa menjadi “sebutan bersama” 98 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif) (common denominator), tempat segenap pemeluk agama menemukan makna obyektif secara kolektif. Di sini tradisi bukan semata pewarisan nilai itu sendiri, karena di dalam proses tersebut bukan hanya nilai yang diwariskan, tetapi juga segenap struktur simbolik yang akhirnya menjelma simbol-simbol religio-kultural. Inilah yang disebut sebagai budaya, di mana nilai yang diwariskan telah mewujudkan dirinya di dalam simbol, baik bahasa, perilaku kinetis (ritual), artefak material, dan lembaga. Inilah yang disebut Geertz sebagai “model mengenai realitas” (mode of reality), di mana nilai memiliki korespondensi dengan simbol obyektif yang diwakilinya. Dalam hal ini, proses pembumian nilai bersifat ganda: ia “diwujudkan” oleh realitas, sekaligus “mewujudkan” realitas. Artinya, nilai tersebut tentu terpengaruh oleh konteks kulturalnya, sehingga pembumian nilai dari aras abstrak-normatif ke aras lokalantropologis tentu mengalami semacam reduksi. Dalam konteks pribumisasi Islam, pelokalan Islam bukan merupakan kekalahan Islam, tetapi sebuah kebijaksanaan dari Islam yang menyediakan kaidah hukum al-‘adah muhakkamah (adat bisa menjadi sumber pengambilan hukum). Hanya saja, selain nilai dipengaruhi konteks kultural, ia juga sekaligus mempengaruhi konteks tersebut. Artinya, nilai kemudian melahirkan reproduksi makna, dari nilai lama ke nilai baru, sehingga melahirkan pembaruan realitas. Ini terjadi karena nilai juga merupakan “model untuk realitas” (mode for reality), di mana nilai tersebut menyediakan konsepsi koginif atas apa yang sebaiknya terjadi, atau menyediakan arah bagi realitas. Pada titik inilah, seorang pemeluk agama kemudian melakukan reproduksi realitas melalui pemaknaan baru, akibat nilai baru yang ia temukan. Semisal kehadiran Islam yang menawarkan nilai baru, yakni tauhid yang akhirnya mengganti nilai sebelumnya (berhala). Warga Mekkah akhirnya menemukan reproduksi keyakinan keagamaan yang melahirkan reproduksi realitas pada tataran sosio-kultural. Dalam domain inilah, tradisi menjadi penting, karena ia melakukan penjagaan sosial atas nilai tauhid yang diwariskan. Sebab, tauhid sebagai nilai tidak lahir dari “hampa sejarah”. Ia memiliki kesinambungan dengan tradisi monotestik kenabian sebelumnya. Tanpa tradisi ketauhidan, Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 99 Jurnal Bimbingan Konseling Islam Nabi Muhammad tidak akan mampu mencipta kesinambungan pewarisan nilai tersebut. Tentu tradisi ini tak semata perilaku kinetis (ritual), artefak (Ka’bah), atau teks (Al-Quràn yang mewadahi kitabkitab suci sebelumnya). Tradisi dalam konteks ini adalah sistem makna dari tauhid, yakni nilai keesaan Tuhan yang menyeluruh, personal maupun kosmik. Inilah yang menjadi common denominator bagi “umat tauhid”, sehingga Nabi Muhammad mampu mencipta kesinambungan nilai, dan dengan cara itu memiliki klaim atas sifat universal dari tauhid tersebut. Pada titik inilah kita bertemu dengan gagasan Geertz tentang agama sebagai sistem budaya (religion as a cultural system). Gagasan ini memang tidak mengacu pada studi tentang agama pada tataran korpus resmi, melainkan studi tentang agama sebagai proses, di mana korpus resmi tersebut telah menubuh dalam praktik di masyarakat. Jadi sederhananya, agama sebagai sistem budaya adalah studi tentang pengamalan ajaran agama sejak level individual hingga sosial. Di sini Geertz menahbiskan agama sebagai sistem budaya karena agama telah memberikan keyakinan yang membatin hingga level psikologis, melalui penggambaran tentang tatanan dunia yang ideal, di mana keyakinan dan tatanan dunia tersebut terbungkus dalam “aura faktualitas” (melalui simbol), sehingga si pemeluk dapat merasakannya sebagai sesuatu yang konkret dan realistik (Geertz, 1973: 30). Jadi terlihat bahwa posisi agama tidak terhenti pada domain kognitif (akal), tetapi telah membatin dalam keyakinan. Domain keyakinan inilah yang memberikan nuansa emosional yang mampu menggerakkan si pemeluk untuk bertindak berdasar keyakinan tersebut. Cantiknya, ia bahkan lahir dari rasionalisasi atas tatanan dunia. Artinya, keyakinan keagamaan lahir dari gambaran agama tentang apa yang baik dan apa yang buruk bagi dunia. Ini membuat agama bersifat emosional, tetapi pada saat yang sama, rasional. Rasio dan emosi agama ini terepresentasikan dalam simbol-simbol yang konkret, sehingga si pemeluk merasakan bahwa agama “memang ada” dalam hidup kesehariannya. Dari sini agama kemudian bersifat ganda. Satu sisi, ia menciptakan simbol yang menjaga dan menggambarkan struktur maknanya. Simbol inilah yang mengonkretkan makna agama menjadi sesuatu yang ada 100 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif) dalam realitas. Pada titik ini, terdapat apa yang disebut sebagai fakta agama, meminjam terma fakta sosial Durkheimian. Sisi lain, makna agama yang telah terjaga dalam simbol ini menjadi “kacamata” untuk membaca realitas. Pada titik inilah agama kemudian menjadi budaya, karena ia telah menyediakan simbol, tempat manusia memaknai realitas berdasarkan struktur makna yang terdapat di dalamnya. Konsepsi Islam budaya ini menjadi niscaya jika kita terapkan pada Islam. Seperti kita ketahui, Islam didefinisikan sebagai agama hukum (religion of law). Artinya, nilai tertinggi dalam Islam adalah hukum. Di sini hukum merupakan “penjaga normatif” atas kemutlakan Tuhan. Jadi dalam Islam, nilai absolut adalah Tuhan, dan hukum adalah aturan ketuhanan yang tentunya ikut absolut. Dalam Islam, hukum sering disebut sebagai syariat—mencakup segenap aturan ketuhanan atas segenap lini kehidupan. Dalam perkembangannya, terma hukum ini kemudian lebih disempitkan dalam terma fiqh, ilmu tentang hukum Islam. Jadi, syariat kemudian tertahbis sebagai aturan keseluruhan ketuhanan, sementara fiqh mengacu pada hukum Islam pada tataran hukum itu sendiri. Jika mengacu pada Geertz, maka syariat menancapkan suatu keyakinan emotif terhadap muslim. Keyakinan ini ganda: pada level psikis, memberikan tata aturan individual agar ia selamat “menuju Tuhan”; pada level sosial, menetapkan aturan duniawi agar perjalanan batin tersebut terkondisikan secara sosial. Penancapan keyakinan psikis melalui keyakinan terhadap tata aturan duniawi ini kemudian tersimbolkan secara faktual, berupa ritual, artefak material keagamaan, maupun pakaian keagamaan. Jilbab, misalnya, menjadi simbol yang merepresentasikan makna bahwa seorang muslimah sejati mestilah menutup auratnya. Jilbab sebagai penutup aurat, yang merupakan aturan syar’i, kemudian menancapkan keyakinan psikis melalui rasionalitas duniawi yang meniscayakan terbentuk “sistem sosial jilbab” agar kewajiban syar’i tersebut terlaksana. Pada titik ini Islam menjadi budaya, ketika jilbab tersebut menjelma simbol yang melaluinya seorang muslim memaknai realitas berdasarkan struktur makna yang terdapat dalam simbol jilbab tersebut. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 101 Jurnal Bimbingan Konseling Islam Sementara itu, Islam politik saya acukan pada tujuan geraknya yang membutuhkan kekuasaan. Artinya, keberislaman model ini adalah keberislaman yang membutuhkan kekuasaan untuk merealisasikan diri. Ada keyakinan, bahwa untuk mengislamkan masyarakat, negara harus diislamkan terlebih dahulu. Bisalah model ini disebut sebagai pendekatan struktural atas dakwah Islam, karena para aktivisnya perlu naik dulu ke tataran struktur politik, dan dengan struktur tersebut, mereka turun kembali untuk mengislamkan kultur. Tentu, kekuasaan bukanlah capaian tujuan (goal attainment) dari Islam politik. Hanya saja, kebutuhan akan kekuasaan untuk merealisasikan tujuan (Islamisasi), telah menjebak mereka dalam lingkaran setan kekuasaan itu sendiri. Sebab, kekuasaan yang pada awalnya menjadi alat, telah dijadikan tujuan itu sendiri, meskipun pada tataran strategis kekuasaan tersebut hanya ditempatkan sebagai alat. Namun siapa pun yang menapakkan kaki dalam tangga kekuasaan, tak akan bisa keluar darinya, sebab kekuasaan senantiasa meniscayakan pertarungan terus-menerus untuk merebut dan mempertahankannya. Jadi, dalam logika kekuasaan hanya ada dua hal: jika tak merebut, maka pasti mempertahankan. Yang berhasil merebut akan mempertahankan, yang direbut akan merebut kembali. Lalu, jika pun kaum Islam politik telah mampu merebut, apa mereka bisa menjamin mampu concern pada dakwah, ketika setiap saat dibayangi oleh mantan penguasa yang direbut kekuasaannya? Inilah lingkaran setan kekuasaan (Arif, 2010). Hanya memang, logika politik dalam Islam(isme) tak melulu berangkat dari kehendak menguasai negara, selayak logika partai-partai atau gerakan sosial non-Islam. Islam politik berangkat dari akar politik keagamaan, dari apa yang oleh Abu Zaid disebut sebagai “hakimiyyah”. Terma hakimiyyah mengacu pada keyakinan yuridis-teologis Khawarijian yang senantiasa berucap “la hukma illa lillaah” (Tiada hukum selain hukum Allah). Keyakinan ini berujung pada pengkafiran pihak yang tak menjadikan hukum Allah sebagai hukumnya: Wa man lam yahkum bima anzalallah faulaika humul kafirun (“Barangsiapa yang tidak menjadikan apa yang diturunkan Allah sebagai hukum, maka kafirlah mereka”). 102 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif) Dari kebutuhan yurisprudentik atas penegakan hukum Allah ini, maka kaum Islamis butuh menegakkannya pada tataran struktur politik. Muncullah hakimiyyah yang merupakan bentuk kenegaraan berbasis hukum Islam. Hal ini lahir dari konsepsi mereka tentang kedaulatan Tuhan. Pada titik ini, demokrasi yang berbasis pada kedaulatan rakyat ditolak, sebab tidak berangkat dari kedaulatan Tuhan. Kedaulatan Tuhan ini akhirnya terepresentasikan melalui kedaulatan hukum Tuhan, sebab “yang ilahi” hanya bisa dipahami dari hukum-hukum-Nya, yang tersurat dalam teks suci (Black, 2006: 179-197). C.Depolitisasi Islam Dengan merumuskan dakwah Sunan Kudus sebagai bagian dari strategi kultural Islam, maka tulisan ini hendak menempatkan dakwah Kanjeng Sunan tersebut dalam upaya depolitisasi Islam. Terma depolitisasi Islam ini bermakna spesifik. Yakni depolitisasi dalam kaitannya dengan kulturalisasi Islam. Jadi depolitisasi di sini tidak diartikan sebagai depolitisasi dalam arti politik praktis, seperti menghindarkan Islam dari politisasi orang-orang partai. Depolitisasi di sini lebih diartikan sebagai penghindaran Islam atas Islam politik. Yakni corak keberislaman yang bersifat politik, bukan kultural. Jadi di sini saya menghadapkan terma Islam politik dengan Islam kultural seperti di atas. Islam politik adalah keberislaman yang berlogika politik dan oleh karenanya memuara pada kekuasaan. Dalam corak ini, dakwah Islam akhirnya menggunakan sarana politik, seperti islamisasi negara, formalisasi syari’at Islam melalui peraturan daerah, serta penegakan khilafah secara global. Dalam Islam politik, dakwah dimaknai sebagai reislamisasi masyarakat yang keberislamannya belum kaffah, sebab struktur politiknya tidak bersifat Islamis. Dalam logika ini, islamisasi negara menjadi pra-syarat dari dakwah Islam pada tataran masyarakat. Kaum Islam politik tidak memercayai cara lain selain cara politik ini, sebab bagi mereka Islam adalah sistem sosial dan politik yang sempurna, karena Islam sendiri diyakini sebagai agama sempurna. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 103 Jurnal Bimbingan Konseling Islam Sementara itu Islam kultural adalah keberislaman secara kultural. Ia berangkat dari logika budaya, menggunakan sarana dan strategi budaya, serta memanifestasikan dirinya di dalam budaya. Dalam keberislaman ini, politik mungkin saja penting, tetapi bukan yang utama. Mengapa? Karena sebagai sistem nilai, Islam telah mampu merasuk ke dalam struktur masyarakat melalui struktur makna. Struktur makna ini yang dijaga oleh struktur simbolik berupa tradisi, artefak, ritual, karya seni, dan segenap karya budaya. Dengan demikian, tidak dibutuhkan suatu islamisasi negara demi islamisasi masyarakat. Penubuhan nilainilai esoterik Islam ke dalam budaya masyarakat saja lebih efektif. Hal ini niscaya sebab di dalam masyarakat, terdapat tradisi yang berperan sebagai penjaga nilai-nilai masyarakat. Karena sifat dasar semua nilai adalah kebijaksanaan, maka Islam sebagai nilai bisa masuk ke dalam tradisi masyarakat, meski tradisi itu berangkat dari tradisi pra-Islam. Dengan demikian, terjadilah pertemuan antar nilai. Terjadilah dialog makna, persetubuhan batin. Hal ini yang membuat kita mafhum, kenapa para Wali menggunakan jalur budaya di dalam dakwah Islam. Meskipun satu titik tetap menggunakan jalur politik, seperti dalam pendirian Masjid Demak. Jawabnya sederhana. Dengan jalur budaya, dakwah Islam bisa mengaliri “nafas kebijaksanaan” masyarakat yang sudah ada. Islam akhirnya bisa diterima tidak dengan paksaan, melainkan dengan kesadaran, dan peningkatan kualitas pemahaman, baik pemahaman akan hidup, Tuhan dan manusia itu sendiri, sebab Islam hadir untuk menyempurnakan ajaranajaran kehidupan agama terdahulu. Penerimaan tanpa paksaan ini secara ontologis memang menjadi sifat dasar dari agama itu sendiri. Agama bukanlah titah raja, panglima perang atau presiden yang harus digerakkan melalui aparat negara. Agama adalah ajaran hidup yang memuat selaksa kebijaksanaan. Ia tidak bisa didakwahkan melalui jalur politik, sebab jalur ini bersifat pemaksaan, bukan penyadaran. Dalam budayalah, penyadaran ini bisa terjadi, sebab segenap ajaran luhur yang normatif ini akan menemukan bentuknya yang kaya dalam karya budaya. 104 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif) Maka para Wali pun menggubah tembang Jawa dengan isi Islam. Sunan Kalijaga menggubah wayang, dan memasukkan ajaran tauhid dalam epos Mahabarata. Sunan Bonang membuat gamelan yang berisi ajaran tentang “kekosongan batin”. Serta Sunan Kudus menjadikan artefak candi sebagai bagian dari peribadahan masjid; bukan sekadar untuk mendekati umat Hindu, akan tetapi hendak mengajarkan kesatuan spiritual dalam ruangruang sakral peribadahan. Para Wali ini menggunakan dakwah kultural, bukan semata karena ingin mengaliri tradisi pra-Islam, untuk menelusupkan nilai-nilai Islam ke dalamnya. Menurut saya, para Wali memang memiliki asumsi dasar yang bersifat kultural dalam pemahaman keislamanannya. Hal ini terjadi karena terma Wali itu sendiri, hanya ada di telatah Jawa. Wali adalah transformasi karakter dari resi era Hindu-Budha. Di dalam kewalian dan keresian, kewaskitaan keagamaan, kesaktian, dan kreativitas budaya menyatu di dalamnya. Hal ini yang membuat para Wali dan resi begitu dekat dengan masyarakat, menjadi guru yang menjaga kearifan hidup masyarakat. Dalam terang posisi inilah Raden Sahid disebut Sunan Kalijaga. Yakni sunan yang pandai menjaga ”arus sungai” tradisi masyarakat. Mengalirkan Islam, tanpa mengeruhkan aliran sungai tersebut. Berangkat dari uraian ini, maka kita bisa mengambil beberapa hal penting dari strategi kultural Islam Sunan Kudus, bagi usaha deradikalisasi Islam. Pertama, dengan adanya Menara Kudus, maka Islam bisa saja termanifestasikan dalam simbol non-Islam. Tentu dengan syarat, simbol ini telah mengalami islamisasi. Hal ini terlihat pada penggunaan candi sebagai Menara. Jika Islam tidak boleh diwujudkan dalam simbol non-Islam, maka Sunan Kudus pun tidak akan melahirkan Menara Kudus ini. Hanya saja, Menara bukanlah candi, sebab fungsinya telah diganti, dari tempat penyimpanan abu jenazah para raja serta penyembahan roh leluhur, menjadi tempat adzan. Dengan demikian, telah terjadi islamisasi fungsi candi, menjadi Menara adzan. Hal sama terjadi pada ornamen yang tiada lagi memuat arca. Hal ini menunjukkan Menara bukan lagi candi. Ia merupakan karya budaya Islam, meskipun berbahan dasar candi. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 105 Jurnal Bimbingan Konseling Islam Poin ini bisa menjadi kritik mendasar atas usaha simbolisasi Islam yang bersifat simbolik. Yakni sebuah gerakan kaum Islamis yang hendak mengislamkan semua hal, walaupun sebenarnya yang dikehendaki bukan murni islamisasi, melainkan Arabisasi. Hal ini terlihat misalnya dalam formalisasi “lautan jilbab”, syari’atisasi perbankan, hingga islamisasi negara. Gerakan ini tidak bisa menerima ”peminjaman simbolik” dari simbol nonIslam, demi tujuan mendasar dari nilai-nilai Islam itu sendiri. Maka demokrasi ditolak karena ia bukan simbol Islam. Hukum nasional ditolak karena dianggap sekuler. Bahkan jika kaum radikalis itu melihat Menara, maka karya Sunan Kudus inipun akan terkena fatwa bid’ah, khurafat, dan sinkretik. Gerakan simbolisasi Islam ini saya sebut simbolik, sebab ia tidak berangkat dari perjuangan substantif dari Islam. Artinya, yang menjadi tujuan dakwah hanyalah penerapan simbol-simbol Islam. Bukan substansi Islam. Jika dalam demokrasi, nilai dasar Islam seperti keadilan (’adalah), persamaan (musawah) dan musyawarah (syura) ada, mengapa ia harus diganti dengan khilafah yang tidak demokratis? Jika dalam hukum modern, penghormatan manusia dijamin, kenapa ia harus dibedakan dengan syari’at, padahal tujuan utama syari’at (maqashid al-syari’at) adalah penghormatan atas hak dasar manusia? Jika candi yang merupakan tempat ibadah umat Hindu, bisa dijadikan tempat adzan, kenapa ia tidak dijadikan Menara? Kenapa segenap pertemuan makna dan bentuk dari tradisi Islam dengan tradisi lokal diharamkan, jika ia menjadi tempat bagi bersemainya nilai-nilai Islam? Kedua, kesadaran budaya. Ini berbeda dengan kesadaran politik dari kaum Islamis. Kesadaran budaya ini terletak pada kesadaran Sunan Kudus untuk berdakwah secara kultural. Hal ini terlihat dari pengambilan bentuk candi sebagai Menara. Pada titik ini candi tidak diposisikan oleh Sunan Kudus, semata sebagai tempat ibadah. Pada satu titik, ia lebih ditempatkan sebagai karya budaya. Artinya, meskipun Pure Agung itu adalah tempat ibadah, namun ketika ia telah menjelma simbol yang merepresentasikan makna, Pure Agung juga bermakna sebagai kebudayaan. Ia secara otomatis tidak hanya menjadi milik umat Hindu. Ia juga milik semua masyarakat Tajug (Kudus), karena Pure Agung itu 106 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif) mewakili sebuah makna universal, yakni tempat pengagungan “yang sakral”. Sebuah tempat di mana manusia menemukan kebutuhan spiritualnya. Kesadaran akan Pure Agung sebagai bagian dari local wisdom inilah yang disebut kesadaran budaya. Yakni sebuah kesadaran atas usaha masyarakat untuk mengolah budi, dalam hal ini budi keagamaan. Dengan mengambil “bentuk budaya” –dan bukan fungsi liturgis- dari Pure Agung sebagai Menara ini, Sunan Kudus telah sampai pada kesadaran kebudayaan. Sebuah kesadaran seorang da’i, bahwa Islam bisa didakwahkan melalui karya budaya yang ada di masyarakat. Dengan demikian, kehadiran Islam akhirnya tidak bersifat kolonialis: menghancurkan budaya lokal dan menggantinya sama sekali dengan budaya baru Islam. Kehadiran Islam akhirnya merawat kebajikan hidup yang ada di masyarakat. Hal ini yang menandaskan kesempurnaan Islam, dan kesempurnaan tradisi spiritual lainnya. Sebab dalam tradisi spiritual, tidak ada logika menang-kalah, benar-salah. Yang ada hanyalah proses saling menyempurnakan. Dengan kesadaran kebudayaan inilah Sunan Kudus menciptakan kesinambungan kebudayaan, sehingga Islam di Kudus menjadi mata rantai kebudayaan Jawa dan Nusantara yang adi luhung. Dengan cara ini, Sunan Kudus telah membangun sebuah peradaban Islam Nusantara, dan sekaligus kenusantaraan itu sendiri. Ia tidak melakukan “penjajahan budaya”, dengan menghadirkan simbol asing dari Timur-Tengah untuk ditegakkan secara paksa di bumi yang telah lama memiliki keagungan peradaban ini. Kesadaran budaya yang telah melahirkan karya budaya Islam ini akhirnya melahirkan poin ketiga, yakni tidak diperlukannya kekuasaan politik Islam, seperti Negara Islam. Hal ini terjadi sebab budaya saja telah mencukupi bagi tersemainya nilai-nilai Islam. Memang Sunan Kudus adalah panglima perang Demak, dan para Wali pun telah mendirikan Kerajaan Demak. Akan tetapi, struktur politik Demak tidaklah seperti yang diperjuangkan oleh Negara Islam Indonesia (NII). Struktur politik Demak, Mataram Islam, dan Giri Kedaton, adalah struktur politik Islam berbasis budaya. Artinya, dalam kerajaankerajaan Islam ini, pola politik Islam dibangun di atas landasan Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 107 Jurnal Bimbingan Konseling Islam budaya. Hal ini terlihat dalam pemilahan antara sultan dengan para Wali. Sultan adalah pemimpin politik. Wilayahnya berada dalam pemerintahan. Sementara para Wali adalah para ulama. Wilayahnya dalam dakwah Islam. Pola politik Islam ini mengingatkan kita pada pola politik Sunni, yang melakukan pemilahan antara wilayah politik dengan dakwah. Wilayah politik di tangan sultan. Sementara dakwah di tangan ulama. Sultan tidak bisa serta-merta masuk dalam wilayah dakwah. Sementara para ulama pun membatasi diri di wilayah publik. Hal ini berdampak positif. Yakni tidak digunakannya alatalat kekuasaan untuk dakwah Islam. Dengan demikian, wilayah dakwah menjadi otoritas para ulama. Sebuah otoritas yang berada di ruang publik, bukan ruang politik. Dalam ruang publik inilah, para Wali kemudian menggunakan strategi kultural di dalam dakwahnya. Sebab wilayah politik, murni milik sultan. Hal ini yang tidak dipahami oleh para pejuang Negara Islam. Yakni sebuah fakta sejarah yang telah mewariskan struktur politik Islam berbasis budaya. Apa yang diperjuangkan oleh para Islamis itu adalah pendirian sistem politik Islam di dalam sistem politik modern, yakni negara-bangsa. Hal ini yang menciptakan situasi berbeda, sebab negara-bangsa memiliki sifat negatif, ketika ia dijadikan media dakwah. Mengapa? Karena negara-bangsa adalah sistem politik modern yang memiliki keabsahan untuk melakukan kekerasan. Hal ini yang berbahaya, sebab ketika dakwah Islam dilakukan oleh negara, maka Islam akan dipaksakan oleh aparat negara, sejak hukum, polisi, hingga pemaksaan yang bersifat legalyuridis. Perjuangan Negara Islam pun bersifat a-kultural, sebab ia mengabaikan fakta kultural, bahwa Islam pada level masyarakat telah begitu membumi di dalam budaya, di dalam tradisi, dan di dalam keseharian masyarakat. Sifat a-kultural dari perjuangan Negara Islam ini bisa terjadi, karena para Islamis tidak memiliki kesadaran budaya seperti Sunan Kudus. Mereka hanya memiliki kesadaran politik, sehingga meyakini politiklah yang menjadi media dakwah terbaik. Satu hal yang a-historis dan a-kultural tentunya. 108 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif) E. Simpulan Berpijak dari gelaran di atas, maka sudah saatnya kita perlu menjadikan Menara Kudus dan strategi dakwah kultural Sunan Kudus sebagai model ideal bagi bentuk kebudayaan Islam di Indonesia. Artinya, kualitas Menara Kudus tidaklah lokal. Ia bersifat nasional dan bahkan global. Dalam kaitan ini, Menara akhirnya bukan hanya menjadi ruang diskursif bagi wacana Islam toleran atau pluralisme Islam. Melampaui hal itu, ia adalah tipe ideal suatu pribumisasi Islam. Menara Kudus akhirnya layak dinobatkan sebagai ”serambi Islam Nusantara”, sebab ia adalah karya tercantik akulturasi antara Islam dan Hindu-Budha. Dengan demikian, Kudus sebagai sebuah kota layaklah disebut sebagai kota budaya, mengingat ia memiliki warisan agung kebudayaan Islam Nusantara ini. Kudus akhirnya bukan hanya kota kretek, di mana sebagian besar warganya menjadi buruh. Kudus bisa menjadi kota kebudayaan Islam Nusantara, tempat segenap warga dunia melongok keajaiban Islam di dalam artefak Menara ini (Arif, 2010). Dengan menjadikan Menara sebagai tipe ideal bagi pribumisasi Islam, maka karya Sunan Kudus ini bisa dijadikan sebagai counter balancing atas radikalisme Islam. Jika pada level nasional, kita masih dipusingkan dengan Islam puritan yang sering menggunakan kekerasan dalam berdakwah ini. Maka Menara Kudus bisa menjadi lawan bandingnya. Menara Kudus dan strategi dakwah kultural Sunan Kudus bisa ditampilkan di hadapan dunia Islam, sebagai fakta historis Islam Nusantara, yang memuat kearifan hidup yang begitu luhur. Di dalamnya terdapat kesadaran budaya Islam, yang menempatkan Islam tidak semata sebagai cita-cita kenegaraan, melainkan cita kebudayaan yang hidup secara selaras dengan nafas kebajikan masyarakat. Dengan Menara Kudus, diharapkan terjadi katarsis kebudayaan. Sebuah pencerahan budaya di kalangan umat Islam, sehingga dakwah Islam tidak dilakukan melalui “jalan pedang”, melainkan melalui karya budaya yang sarat dengan kebajikan hidup. Tugas warga Kudus dan civitas akademika STAIN Kudus, untuk merumuskan semua ini. Semoga! Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 109 Jurnal Bimbingan Konseling Islam DAFTAR PUSTAKA Arif, Syaiful, 2010, Deradikalisasi Islam, Paradigma dan Strategi Islam Kultural, Depok: Koekoesan __________, 25 Juni 2010, Menepis Citra Kudus Tuna Budaya, Wacana Lokal, Suara Merdeka Ashadi, 2006, Warisan Walisongo, Bogor: Lorong Semesta Bakker SJ, J. W. M., 1984, Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Kanisius Black, Anthony, 2006, Pemikiran Politik Islam, dari Masa Nabi hingga Masa Kini, Jakarta: Serambi Frow, John, 1995, Cultural Studies & Cultural Value, Oxford: Clarendon Press Geertz, Clifford, 1973, The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books Hall, John R., Neitz, Mary, 1993, Culture, Sociological Perspectives, New Jersey: Prentice Hall Jenks, Chris, 1993, Culture, London and New York: Routledge Martin, Richard C, 1982, Islam A Cultural Perspective, New Jersey: Prentince-Hall, Inc. Muljana, Slamet Muljana, 2005, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LKiS Richardson, Michael, 2001, The Experience of Culture, London: SAGE Publications Wahid, Abdurrahman, 2001, Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta: LKiS 110 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 PEMIKIRAN DAN GERAKAN DAKWAH IKHWANUL MUSLIMIN Oleh: Abdurrahman Kasdi Dosen Tetap STAIN Kudus dan alumni Universitas al-Azhar Abstrak Ikhwanul Muslimin selalu menekankan bahwa dakwah merupakan pilar utama dalam mengembangkan Islam. Bahkan mereka yakin bahwa dengan dakwahlah Islam bisa cepat tersebar sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan tetap eksis sampai sekarang, sehingga banyak gerakan mereka yang dilandasi oleh faktor dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar. Hasan al-Banna memberikan inspirasi bagi Ikhwanul Muslimin untuk membawa bendera dakwah, dan memberikan petunjuk kepada mereka untuk teguh dalam meninggikan syiar Islam, meskipun harus menghadapi berbagai cobaan, gangguan, rayuan dan peperangan yang membabi buta dari musuh-musuh Islam. Sehingga, mereka dengan gagah menghadapi para thaghut, baik di dalam negeri dan di luar negeri. Mereka menentang kaum sekularis sebagaimana mereka memerangi para penjajah yang merampas negara, mereka tidak menemukan perbedaan mendasar antara orang yang berlaku zhalim terhadap bumi Islam dan orang yang zhalim terhadap syari’at Islam. Berbagai kekuatan, baik yang datang dari dalam negeri maupun luar negeri telah berupaya untuk membeli Ikhwan dengan harta dan berbagai jabatan penting, agar mereka dapat mengontrol dan mengendalikan gerakan Ikhwan. Akan tetapi, rayuan itu tidak diindahkan oleh Jamaah Ikhwan dan pemimpinnya. Keywords: Pemikiran, Gerakan, Strategi Dakwah, Amar Ma’ruf Nahi Munkar. A.Pendahuluan Bangkitnya gerakan Islam ditandai dengan berkembangnya organisasi-organisasi Islam di seluruh dunia dengan mengusung Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 111 Jurnal Bimbingan Konseling Islam visi misi Islam, serta platform keislaman. Sebagian mereka tetap konsisten dalam perjuangan melalui program-program sosial kemasyarakatan, sebagian yang lain memperjuangkan konsep dan gerakan dakwah, serta sebagian yang lain merambah dan memasuki wilayah politik. Hal ini sangatlah wajar, bukan hanya dulu, melainkan sekarang pun organisasi yang ditopang oleh massa dan mempunyai anggota yang riil, sangat berpeluang untuk memasuki wilayah publik. Salah satu konsep dan gerakan dakwah yang menarik untuk dibahas adalah tentang dinamika dakwah Islam dan organisasi yang sesuai dengan karakter dakwah Islam adalah Ikhwanul Muslimin. Sisi menarik dari Ikhwanul Muslimin bukan hanya karena ia adalah organisasi Islam terbesar dan mempunyai cabang di beberapa negara, melainkan karena peran yang telah dimainkan dalam mengembangkan pemikiran dan gerakan dakwah Islam. Bahkan eksistensinya menjadi daya tawar tersendiri bagi umat Islam di Mesir terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Mesir; mulai dari pra-revolusi, saat terjadi revolusi dan pasca revolusi. Tak pelak lagi, pemerintahan Gamal Abdunnaser, Anwar Sadat dan Husni Mubarak berusaha mengakomodir usulan-usulan dan rekomendasi yang diajukan oleh Ikhwanul Muslimin. B.Dakwah Pergerakan Ikhwanul Muslimin Pemimpin dan anggota Ikhwanul Muslimin selalu menekankan bahwa dakwah merupakan pilar utama dalam mengembangkan Islam. Bahkan mereka yakin bahwa dengan dakwahlah Islam bisa cepat tersebar sejak zaman Nabi Muhammad Saw. dan tetap eksis sampai sekarang, sehingga banyak gerakan mereka yang dilandasi oleh faktor dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar. Hasan al-Banna sendiri pernah mengatakan, “Adapun perangkat umum kita adalah memberikan penjelasan yang memuaskan dan menyebarkan dakwah dengan berbagai sarananya. Setelah itu adalah perjuangan konstitusional hingga suara dakwah ini terdengar di berbagai forum resmi, lalu didukung dan ditegakkan oleh kekuatan eksekutif.” 112 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Pemikiran dan Gerakan Dakwah Ikhwanul Muslimin (Abdurrahman Kasdi) Menurut Abu Hasan an-Nadwi, untuk mencapai keberhasilan dakwah harus memperhatikan tiga hal: pertama, tingkatan (marhalah) dakwah serta penanaman prinsip-prinsip dan keimanan di dalam hati harus mendahului (aktivitas) lainnya. Meskipun tingkatan ini sangat lama dan panjang, namun keteguhan para aktivis dakwah padanya, dan kesungguhan mereka dalam berjihad di jalannya, akan menyukseskan tingkatan berikutnya. Kedua, mencetak kader yang akan memikul dakwah, mengatur langkah-langkah perjalanannya, dan memenuhi setiap kekosongan di dalamnya. Betapa pun kuatnya suatu pergerakan, dakwah atau lembaga, bila ia tidak secara terus-menerus membina kader, maka akan terancam kehancuran, sebentar lagi tokohtokohnya akan hilang dan pada suatu hari ia pun akan hilang juga. Ketiga, meneguhkan hati nurani untuk mencapai tujuan dakwah secara maksimal (Al-Khatib dan Hamid, 2001: 156). C.Tabiat Jalan Dakwah dan Pentingnya Keteguhan Hati Agar dakwah Islam dapat berkembang subur, tersebar dan mencapai keemasannya, maka diperlukan kader-kader yang dibina secara khusus; kader yang ikhlas, aktif, rela berkorban, selalu istiqamah dalam berbagai keadaan, tegar dalam menghadapi ujian, tribulasi, rayuan, dan intimidasi. Sabar dalam menghadapi berbagai kesulitan, serta mampu menyelesaikan berbagai tantangan. Itu semua dilakukan dengan tanpa henti, tanpa lelah, dan tanpa jemu. Karena itulah, Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal AlQuràn, menekankan bahwa para pemuda Muslim yang ingin berdakwah harus menstabilkan semangat dan emosinya, sebab orang yang hanya bicara tidak sama dengan orang yang beramal, orang yang sekedar beramal tidak sama dengan orang yang produktif dan bijaksana, yang dapat menghasilkan target paling mulia (Quthb, 1998: 712). Di samping itu harus mempunyai keteguhan hati (tsabat), sebagaimana ditegaskan oleh Muhammad Abdullah Al-Khatib, ketika mencontohkan bagaimana Rasulullah mempunyai keteguhan hati dalam berdakwah. Pernah kaum musyrikin menawarkan harta, kedudukan dan berbagai Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 113 Jurnal Bimbingan Konseling Islam kenikmatan kepada Rasulullah asalkan beliau mau meninggalkan dakwahnya. Akan tetapi mereka tidak berhasil membujuk Rasulullah. Walaupun mereka menggunakan ancaman dan intimidasi, namun cara inipun tidak berhasil menyurutkan langkah Rasulullah. Bahkan Rasulullah mengucapkan kalimat yang sangat terkenal kepada pamannya, agar seluruh dunia dapat mendengar serta merenungkan, dan para da’i sepanjang masa di seluruh penjuru dunia meneladaninya. Kalimat tersebut adalah: “Demi Allah, wahai pamanku! Andai mereka bisa meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan urusan (dakwah) ini, maka aku tidak akan meninggalkannya, sehingga Allah memenangkannya atau saya binasa karena (membela)-Nya” (Hisyam, 20, Al-Khatib dan Hamid, 179). Imam Hasan al-Banna juga sangat menekankan adanya keteguhan ini, karena jalan dakwah dipenuhi berbagai gangguan yang dapat membinasakan dan kendala yang dapat melemahkan semangat. Tidak ada yang dapat meretas gangguan serta kendala tersebut dan tidak ada pertahanan yang paling kuat darinya selain keteguhan hati. Hal inilah yang membuat dakwah Ikhwanul Muslimin cepat berkembang, tidak lembek karena bujukan atau intimidasi. Mereka sangat sabar, sebagaimana sabarnya para perwira mereka yang tetap tegar setegar para pahlawan. Bila ada badai yang menghadang, mereka mengatakan, ”Kami tegar, setegar orang-orang mukmin yang menepati janji yang telah diikrarkan kepada Allah SWT” (Hisyam, 186). Ketegaran para kader dalam beberapa tahun yang panjang merupakan asas keberhasilan setiap dakwah dan perjuangan. Oleh karena itu, Imam Hasan al-Banna menjadikan keteguhan ini sebagai salah satu rukun bai’at. Al-Banna menetapkan hal tersebut berdasarkan petunjuk Al-Quràn dan sejarah Nabi SAW. Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu, kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga! Bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung” (QS. Ali Imran: 200) ”Dan orangorang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al-Baqarah: 177). ”Apakah kamu 114 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Pemikiran dan Gerakan Dakwah Ikhwanul Muslimin (Abdurrahman Kasdi) mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ’Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-Baqarah: 214) Dalam sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Abdillah, Khabbab bin Art berkata: Kami mengadu kepada Rasulullah SAW yang saat itu sedang berbantal dengan burdahnya di bawah naungan Ka’bah. Kami berkata, “Tidakkah engkau meminta pertolongan untuk kami, dan tidakkah engkau berdo’a untuk (kebaikan) kami? Rasulullah SAW menjawab, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian ada yang dibuatkan galian di tanah, lalu mereka diletakkan pada galian tersebut, kemudian dihadirkan gergaji, lantas diletakkan di kepalanya, sehingga terbelah menjadi dua bagian, dan di sisir dengan sisir besi, sehingga terpisah gading dan tulangnya. Namun, hal itu tidak menghalangi mereka dari agamanya. Demi Allah, Allah akan menyempurnakan urusan (agama) ini, sehingga pengendara yang berjalan dari Sha’a ke Hadhramaut, tidak takut kecuali kepada Allah dan takut harimau atas kambing-kambingnya. Akan tetapi kalian adalah kaum yang tergesa-gesa” (HR. Ahmad) Penegasan Imam Hasan al-Banna mengenai keteguhan ini merupakan hal yang sangat penting, sebab di antara manusia ada yang plin-plan, tidak tahan uji dan berdakwah jika kondisi aman, tidak ada ujian dan gangguan. Sedangkan jika ada ujian dan tantangan, orang-orang seperti itu akan berbalik 180 (seratus delepan puluh) derajat. Sehingga, tabiat jalan dakwah sangat membutuhkan sifat keteguhan. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Maka bersabarlah kamu seperti bersabarnya orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul, dan janganlah kamu minta disegerakan (adzab) bagi mereka” (QS. Al-Ahqaf: 35). “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi, maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata” Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 115 Jurnal Bimbingan Konseling Islam (QS. Al-Hajj: 11) “Dan di antara manusia ada yang berkata, ”Kami beriman kepada Allah”, maka apabila ia disakiti (karena beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai adzab Allah” (QS. Al-Ankabut: 10). Imam Hasan al-Banna menjelaskan tabiat jalan dakwah kepada Jamaah Ikhwanul Muslimin dan orang-orang yang ingin berjuang untuk Islam, sehingga mendapatkan kejelasan tentang urusan dakwah ini, dan agar mereka tidak hidup dalam fatamorgana. Lalu bagaimanakah tabiat jalan dakwah itu? Imam Hasan—rahimahullah—berkata, “Amat panjang jalannya, beragam tahapannya, dan banyak tantangannya” Pertama, setiap da’i, demikian juga Ikhwanul Muslimin perlu mengenal risalah-risalah tentang dakwah, agar dapat mengetahui luhurnya tujuan, besarnya tugas, sarana-sarana, manhaj (metode) dan bekal yang dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan dan melaksanakan tugas dakwah. Sehingga dakwahnya terarah, terutama sekali saat ini, di mana sejak lebih dari satu abad umat Islam tengah berada dalam ketakutan dan keterpurukan. Kedua, seorang da’i harus melewati tahapan-tahapan dakwah yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu: marhalah (tahapan) ta’rif (pengenalan), marhalah tanfidz (pelaksanaan), dan marhalah takwin (pembentukan). Masing-masing tahapan memiliki tuntutan dan kebutuhan tersendiri. Semua itu membutuhkan pengorbanan, persiapan, kesabaran, ketahanan terhadap ujian, kehati-hatian, kebiasaan berfikir sebelum berbuat, dan lain sebagainya. Ketiga, ada beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh da’i saat menapaki jalan dakwah, di antaranya: para penguasa yang totaliter dan tidak mau kompromi, kebodohan umat akan hakikat ajaran Islam, dan para penindas yang akan berupaya dengan segala macam cara untuk memberangus para da’i dan memadamkan cahaya dakwah (al-Banna, 1979: 143). Ide-ide Hasan al-Banna memberikan inspirasi bagi Ikhwanul Muslimin untuk membawa bendera dakwah, dan memberikan petunjuk kepada mereka untuk teguh dalam meninggikan syiar Islam, meskipun harus menghadapi berbagai 116 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Pemikiran dan Gerakan Dakwah Ikhwanul Muslimin (Abdurrahman Kasdi) cobaan, gangguan, rayuan dan peperangan yang membabi buta dari musuh-musuh Islam. Sehingga, mereka dengan gagah menghadapi para thaghut, baik di dalam negeri dan di luar negeri. Mereka menentang kaum sekularis sebagaimana mereka memerangi para penjajah yang merampas negara, mereka tidak menemukan perbedaan mendasar antara orang yang berlaku zhalim terhadap bumi Islam dan orang yang zhalim terhadap syari’at Islam. Karena itu, untuk merealisasikan dakwah ini, mereka tidak segan-segan menerjuni medan perang untuk memerdekakan negara, sebagaimana mereka memasuki kancah pertempuran untuk menegakkan syari’at Allah. Berbagai kekuatan, baik yang datang dari dalam negeri maupun luar negeri telah berupaya untuk membeli Ikhwan dengan harta dan berbagai jabatan penting, agar mereka dapat mengontrol dan mengendalikan gerakan Ikhwan. Akan tetapi, rayuan itu tidak diindahkan oleh Jamaah Ikhwan dan pemimpinnya. Yang mereka lontarkan adalah penolakan tegas dan jawaban mantap, “Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? Maka apa yang diberikan oleh Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikanNya kepadamu, tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu” (QS. AlNaml: 36). Dalam menyampaikan dakwahnya, jamaah Ikhwanul Muslimin selalu hati-hati, karena kekuatan itu akan selalu menghantui; setelah gagal dengan cara memberikan janji, mereka menebar ancaman; setelah gagal dengan bujukan, mereka beralih ke cara intimidasi. Akan tetapi, ancaman dan intimidasi tersebut tidak lebih berhasil, sebagaimana juga cara memberikan janji dan bujukan. Dakwah terus bergulir dan para aktivisnya tetap tegas memegangnya, meskipun berbagai tantangan menghadang. Keteguhan yang mulia dan sikap yang kokoh ini merupakan inti kekuatan Islam dan kaum muslimin. Harakah Islam selalu menolak segala upaya tawar-menawar terhadap dakwah atau bujukan untuk meninggalkan dakwah. Ini hanyalah sebagian kecil dari tabiat jalan dakwah, berupa panjangnya jalan, beragamnya tahapan, serta banyaknya cara. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 117 Jurnal Bimbingan Konseling Islam Sehingga tidak diragukan, bahwa untuk dapat melintasi semua itu diperlukan keteguhan (tsabat). D.Strategi Dakwah Ikhwanul Muslimin Untuk merealisasikan target dakwah secara maksimal, Ikhwanul Muslimin menerapkan strategi khusus. Mereka menyebar ke kedai-kedai dan tempat yang dijadikan sebagai pusat perkumpulan masyarakat. Mereka juga merambah ke wilayah politik, dengan menempatkan kader-kadernya di parlemen. Masjid, bagi mereka bukanlah tempat satu-satunya yang lebih cocok untuk menyemaikan dakwah Islam kepada manusia pada zaman sekarang. Kadangkala masjid menjadi tempat persaingan antar kelompok dan aliran masyarakat, bahkan kadangkala seorang da’i menemukan audiens suatu masjid yang tidak memperhatikan dakwah karena kefanatikannya kepada partai atau madzhab yang dipegangnya. Sehingga, dalam keadaan seperti ini hendaknya seorang da’i tidak berbicara masalah-masalah yang sensitif dalam masyarakat (al-Banna, 62). Menurut jamaah Ikhwan, kadangkala masjid hanya diisi orang-orang tua yang sudah tidak produktif, sedangkan seorang da’i harus menyampaikan misi Islam kepada para pemuda yang banyak terdapat di kedai-kedai minuman dan tempat lainnya. Untuk menunjang keberhasilan dakwah ini, seorang da’i hendaklah bukan hanya menguasai ilmu-ilmu syara’ dalam kadar memadai sehingga ia mampu berfatwa, akan tetapi ia harus memahami peradaban dan kondisi sosial yang ada di lingkungan masyarakatnya. Materi dakwah yang disampaikan oleh da’i pun harus bervariasi sesuai dengan keadaan orang-orang yang dihadapi (Yakan, 2002: 180). Dakwah Ikhwanul Muslimin mempunyai banyak keutamaan, dengan ciri-ciri sebagai berikut: pertama, dakwah pergerakan Ikhwanul Muslimin adalah dakwah yang mempunyai sifat saling melengkapi (integral) dan mempunyai tujuan yang komprehensif. Dakwah ini tidak mengecualikan satu pun sisi Islam dengan meninggalkan sisi yang lain, atau membesarkan satu sisi, demi sisi yang lain. Dakwah ini mempunyai tujuan- 118 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Pemikiran dan Gerakan Dakwah Ikhwanul Muslimin (Abdurrahman Kasdi) tujuan yang tidak mengikat, dimulai dari pembinaan terhadap individu, dan menuju pada pendirian pemerintahan Islami. Dalam pandangan Ikhwanul Muslimin, Islam adalah sistem yang menyeluruh, sempurna, dan meliputi seluruh bidang kehidupan. Dakwah Ikhwanul Muslimin bersifat inklusif bagi segenap masyarakat, menyeru akal fikiran untuk menggunakan kekuatan argumentasi dan logika, juga menyeru hati manusia dengan mencairkan gumpalan-gumpalan yang menutupi hati nurani dengan mengingatkan mereka kepada Tuhan. Kedua, Ikhwanul Muslimin menekankan dan memberikan teladan pribadi Muslim yang sempurna, seperti pendiri Ikhwanul Muslimin sendiri (Imam Hasan al-Banna) yang dikenal karena ketegasan sikap, kesadaran pemikiran, dan pemahamannya yang sempurna terhadap lingkungan serta jiwanya yang bersih memancarkan cahaya di wajahnya. Taat beribadah, berinteraksi dengan masyarakat, selalu memperhatikan kondisi mereka, dan menyeru mereka dengan seruan hati yang menembus jauh ke lubuk sanubari. Ketiga, para pemimpin Ikhwanul Muslimin selalu menguraikan dan menjelaskan kepada umat, bahwa Islam adalah sistem yang sempurna mencakup semua aspek kehidupan. Islam adalah negara dan bangsa, pemerintah dan rakyat, akhlak dan kekuasaan, kasih sayang dan keadilan, kebudayaan dan hukum, ilmu dan undang-undang, materi dan kekayaan, usaha dan kemakmuran, jihad dan dakwah, serta akidah dan ibadah yang benar (al-Banna, 94). Keempat, Ikhwanul Muslimin mengutamakan sisi praktis, karena mempunyai metode pemikiran yang bersifat tarbawi dan jihadi, serta mendekatkan Islam kepada masyarakat dengan cara memberikan teladan; menerjemahkan perkataan dengan perbuatan dan tingkah laku. Di antara wasiat Imam Hasan alBanna untuk Ikhwanul Muslimin, “Jadilah anda orang yang suka bekerja, bukan orang yang suka berdebat dan bertengkar, sesungguhnya apabila Allah memberikan petunjuk kepada suatu kaum, maka dia akan mengilhami mereka untuk bekerja dan kaum itu tidak akan Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 119 Jurnal Bimbingan Konseling Islam tersesat setelah mendapatkan petunjuk, kecuali mereka suka berdebat” (al-Hudaibi, 1977: 185-186, al-Banna, 1979: 62). Kelima, Ikhwanul Muslimin adalah organisasi pertama yang berdiri di dunia Islam, setelah runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmani. Organisasi ini berusaha memahami Islam dan menyadari akan gentingnya keadaan yang sedang dilalui umat. Karena itu organisasi ini menghadapi aliran-aliran yang menyimpang dan melawannya, serta mengembalikan kepercayaan umat kepada agama mereka setelah dijauhkan oleh Barat dan peradabannya. Keenam, organisasi ini telah mampu mentransfer pemikiran Islam secara spektakuler, sehingga bisa memindahkan posisi defensif (bertahan) ke posisi ofensif (menyerang). Sayyid Quthb memberikan kesaksian menarik tentang hal ini, “Sekali-kali kami tidak akan melakukan tipu daya dengan Islam terhadap mereka, dan tidak akan memanjakan hawa nafsu dan pandangan mereka yang menyimpang. Kami akan melakukan tindakan yang setegas-tegasnya, bahwa kejahiliyahan tempat mereka berada sekarang benar-benar kotor dan Allah ingin membersihkannya. Kehidupan yang mereka cari-cari adalah hina dan Allah ingin mengangkat derajat mereka, bahwa kondisi mereka menyedihkan, tanpa harapan dan menyakitkan, sementara Allah ingin meringankannya, mengasihi dan membahagiakan mereka” Ketujuh, Ikhwanul Muslimin merupakan organisasi yang penuh pergolakan. Sejak awal perjalanannya, organisasi ini banyak menghadapi cobaan dan rintangan dari pemerintah, seperti upaya pengkerdilan, peleburan dan pembatasan gerak langkah organisasi, tetapi mereka tetap tegar. Raja Faruq, misalnya, berupaya membunuh sang pendiri organisasi, Imam Hasan al-Banna di alun-alun terbesar di kota Kairo (Distrik Ramses). Selain al-Banna, juga terdapat beberapa pemimpin Ikhwan yang meninggal, di antaranya: Abdul Qadir Audah, Mahmud Farghalli, Yusuf Thala’at, Ibrahim at-Thaeb, Sayyid Quthb, Muhammad Yusuf Hawasy, dan Abdul Fattah Ismail. Kedelapan, dilihat dari universalnya dakwah Ikhwanul Muslimin dalam setiap aspek yang ada, organisasi ini berafiliasi 120 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Pemikiran dan Gerakan Dakwah Ikhwanul Muslimin (Abdurrahman Kasdi) dengan semua golongan dan lapisan masyarakat Islam, bertemu pada titik yang terpenting, yang diserukan oleh setiap golongan tersebut. Dakwah ini memperhatikan individu dan pembinaannya, hati dengan ibadah, membaca Al-Qur’an dan dzikir, akal dengan penelitian dan berfikir, fisik dengan latihan dan olah raga (Yakan, 61-66). Bagi Ikhwan, seorang da’i hendaknya memilih caracara ungkapan retorika yang mudah, menarik dan memukau, serta kadangkala perlu ditambah dengan istilah-istilah budaya setempat. Ia harus selalu berusaha dan memikirkan bagaimana caranya menarik para jiwa audiensnya dengan membangkitkan kemauan dan keinginan pada hal-hal yang disampaikannya menuju tersiarnya syari’at Islam. Selain memperjuangkan syari’at Islam dengan dakwah melalui jalur kultural, Ikhwanul Muslimin juga menyebarkan dakwah Islam dengan perjuangan konstitusional. Imam Hasan al-Banna menegaskan pentingnya melakukan dakwah ini dengan penuh hikmah dan mauizhah hasanah yang baik melalui keikutsertaan dalam kehidupan politik. Beliau berkata, “Adapun perangkat umum kita adalah memberikan penjelasan yang memuaskan dan menyebarkan dakwah dengan berbagai sarananya. Setelah itu adalah perjuangan konstitusional, hingga suara dakwah ini terdengar di berbagai forum resmi, lalu didukung dan ditegakkan oleh kekuatan eksekutif. Berdasarkan prinsip ini, maka calon legislatif dari Ikhwanul Muslimin akan maju pada saat yang tepat untuk mewakili rakyat di gedung parlemen. Kami yakin akan memperoleh keberhasilan, selama dalam semua kegiatan ini hanya mengharapkan ridla Allah SWT, “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Kuasa” (QS. Al-Hajj: 40). Inilah bingkai global dakwah Ikhwanul Muslimin dan penjelasan ringkas tentang pemikiran dakwahnya yang didasari oleh prinsip-prinsip yang matang. Imam Hasan al-Banna menyimpulkan prinsip-prinsip tersebut dalam lima slogan: - Allah Ghayatuna (Allah tujuan kami) - Al-Rasulu Qudwatuna (Rasul teladan kami) Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 121 Jurnal Bimbingan Konseling Islam - Al-Qur’anu Syir‘atuna (Al-Qur’an syari’at kami) - Al-Jihadu Sabiluna (jihad jalan kami) - Asy-Syahidu Umniyyatuna (Mati syahid cita-cita tertinggi kami) E. Penutup Demikianlah organisasi Ikhwanul Muslimin telah memberikan kontribusi yang banyak dalam hal konsep pemikiran dan gerakan dakwah Islam. Ide-ide Hasan al-Banna memberikan inspirasi bagi Ikhwanul Muslimin untuk membawa bendera dakwah, dan memberikan petunjuk kepada mereka untuk teguh dalam meninggikan syiar Islam, meskipun harus menghadapi berbagai cobaan, gangguan, rayuan dan peperangan yang membabi buta dari musuh-musuh Islam. Selain memperjuangkan syari’at Islam dengan dakwah melalui jalur kultural, Ikhwanul Muslimin juga menyebarkan dakwah Islam dengan perjuangan konstitusional. Imam Hasan al-Banna menegaskan pentingnya melakukan dakwah ini dengan penuh hikmah dan mauizhah hasanah yang baik melalui keikutsertaan dalam kehidupan politik. Menurut Ikhwanul Muslimin, seorang da’i hendaknya memilih cara-cara ungkapan retorika yang mudah, menarik dan memukau, serta kadangkala perlu ditambah dengan istilah-istilah budaya setempat. Ia harus selalu berusaha dan memikirkan bagaimana caranya menarik para jiwa audiensnya dengan membangkitkan kemauan dan keinginan pada hal-hal yang disampaikannya menuju tersiarnya syari’at Islam. 122 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Pemikiran dan Gerakan Dakwah Ikhwanul Muslimin (Abdurrahman Kasdi) DAFTAR PUSTAKA Agama, Departemen, 1990, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Saudi Arabia: Percetakan Malik Fahd Al-Banna, Imam Hasan, tt., Mudzakirat Al-Ikhwan Al-Muslimîn ilâ Wazîr Al-Adl fî Wujûb Al-Amal bi Asy-Syariah AlIslâmiyah (Catatan Ikhwanul Muslimin kepada Menteri Keadilan tentang Kewajiban Mengamalkan Syari’at Islam), Dâr Asy-Syihab ­­_____________1979, Majmu’ah Rasâil Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna: Hal Nahnu Qaumun ’Amaliyyun, (Kumpulan Tulisan Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna: Apakah Kita Termasuk Kaum yang Gemar Beramal?), Kairo: AlMuassasah Al-Islamiyyah Al-Hudaibi, Hasan, 1979, Du’at lâ Qudhât, Dâr Al-Tibâ’ahwa AlNasyr Al-Islâmiyah, cet. I, 1977 Al-Qaradhawi, Yusuf, 1999, 70 Tahun Al-Ikhwan Al-Muslimun, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar Hamid, 2001, Muhammad Abdullah Al-Khatib dan Muhammad Abdul Halim, Nadlarât fî Risâlah Al-Ta‘lîm, (Konsep pemikiran dan gerakan Ikhwan (terj.)), Bandung: As-Syâmil Press Quthb, Sayyid, 1952, Aduwwunâ Al-Awwal: Ar-Rajul Al-Abyad” (Musuh Utama Kita: Orang Kulit Putih), Ar-Risâlâh Vol. 2. ___________, 1998, Tafsir Fî Zhilâl Al-Qur’an, Kairo: Dâr AlSyurûq Yakan, Fathi, 1993, Pergolakan Pergerakan Islam: Telaah Pasang Surut Pergerakan Dunia Islam, Cet-2, terj. Salim Basyarahil, Jakarta: Penerbit Firdaus Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 123 Jurnal Bimbingan Konseling Islam __________, 2002, Manhajiyyah Al-Imam Asy-Syahîd Hasan AlBanna wa Madâris Al-Ikhwân Al-Muslimîn (Revolusi Hassan Al-Banna; Gerakan Ikhwanul Muslimin dari Sayyid Quthb sampai Rasyid Al-Ghannusyi (terj)), Jakarta: Penerbit Harakah 124 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 PERSPEKTIF PSIKOTERAPIS MAKNA TAUBAT DALAM PROSES PENYEMBUHAN PENYAKIT JANTUNG KORONER (Melalui Penggunaan Media Surat Al Fatihah [01]: 1 – 7) Oleh: Ubaidillah Dosen IAIN Walisongo Abstrak Tulisan ini dari hasil penelitian teks keagamaan berbasis pengkajian Islam yang dikaitkan dengan upaya medis untuk penyembuhan penyakit jantung koroner. Alasan melaporkan penelitian ini dalam bentuk tulisan artikel ilmiah, karena bertujuan memudahkan tersebarnya secara lebih luas konstribusi bagaimana proses penyembuhan penyakit jantung koroner. Dengan demikian, tulisan ini diharapkan dapat membantu memberikan solusi ‘ikhtiyari’ bagi praktisi bidang kedokteran maupun subjek penderita penyakit jantung koroner. Temuan singkat dari penelitian ini, ternyata psikoterapi Islam mampu menunjukkan solusi praktis-psikologis untuk penderita jantung koroner. Dalam perspektif psikoterapi Islam, pendekatan yang seharusnya dilakukan bagi penderita penyakit jantung koroner, adalah dengan cara bertaubat dan kembali sepenuhnya kepada Allah Swt. Key words: Psikoterapi, Taubat, Surat Al-Fatihah, Jantung Koroner A.Pendahuluan Pentingnya penelitian ini, karena dilatarbelakangi problem paradoksal bagi pengidap penyakit jantung koroner. Di satu sisi, bagi pengidap penyakit jantung koroner terpacu berupaya untuk bisa sembuh, namun di sisi yang lain membiarkan kesedihan Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 125 Jurnal Bimbingan Konseling Islam atas yang dialaminya. Demikian ini dapat dipahami telah banyak bukti menunjukkan peningkatan gangguan kejiwaan yang dilatarbelakangi adanya kecemasan dan kesedihan. Alasan terjadinya kasus ini, karena masih minimnya karya tentang penyembuhan penyakit jantung koroner yang bersumber dari psikoterapi yang berbasis pada agama. Upaya penyembuhan secara psikis ini tidak sebanding dengan maraknya karya ilmiah yang secara medis membahas tentang penyakit jantung koroner. Dengan adanya tulisan ini, peneliti berharap, tulisan bisa menjadi rujukan bagi para dokter dan pengindap penyakit jantung koroner. Alasan peneliti menulis hasil penelitian ini, karena telah banyak yang mengidap penyakit jantung koroner, namun dalam realitasnya baru diselesaikan sebatas dengan pendekatan medis terkait pada: organ jantung sebagai alat vital manusia. Sudah banyak yang memahami, bahwa aktivitas jantung memiliki keterkaitan dengan fisik dan alam perasaan (mood, emosi) individu. Karenanya, ketika individu sedang mengalami kecemasan, maka salah satu gejalanya adalah jantung berdebar-debar atau dengan kata lain denyut jantung bertambah cepat. Dengan kondisi jantung sedang sakit, maka individu harus bekerja secara ekstra, baik secara medis fisik maupun psikis. Secara medis telah banyak dibahas oleh para pakar bidang penyakit jantung, namun belum banyak yang membahas keterkaitan psikis dengan fisik. Salah satu spesifikasi pembahasan peneliti dalam penelitian ini, adalah hendak mengangkat kasus penyakit jantung koroner relasinya dengan pola penyembuhan psikologi Islami. Dengan demikian dapat menjadi konstribusi penting dalam pengembangan psikoterapi Islam. Sehubungan dengan latarbelakang pentingnya penelitian ini, secara spesifik tulisan ini akan membahas tiga pertanyaan berikut: apa itu psikoterapi? Bagaimana dengan nilai-nilai psikoterapi makna taubat? Bagaimana kemungkinan psikoterapis makna taubat dalam penyembuhan penyakit jantung koroner? 126 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah) B.Relasi Makna Psikoterapi Psikoterapi (psychotherapy) merupakan sistem pengobatan tentang pola perawatan gangguan psikis melalui metode psikologis. Tujuan dari pengobatan ini untuk pembentukan keseimbangan kejiwaan individu (dimensi ruhani). Misalnya, persoalan terkait dengan kondisi alam pikiran. Istilah ini memiliki relasi dengan sejumlah teknik pendampingan dan pemberdayaan terhadap alam pikiran individu: bagaimana membantu individu mengatasi gangguan emosi, intelektual, spiritual dan attitude (sikap) yang nampak dari gejala perilaku? Dalam praktek psikoterapis inilah yang memungkinkan subjek pendamping melakukan cara pendampingan melakukan modifikasi perilaku, pikiran, dan emosi subjek dampingan, sehingga individu mampu mengembangkan kepribadian dengan baik dan seimbang ketika dihadapkan suatu masalah. Sehubungan dengan relasi makna psikoterapi, psikoterapi dapat diartikan sebagai instrumen pendampingan khusus pada penyembuhan penyakit psikologis. Dalam konteks psikoterapi Islam mencakup pola-pola penyembuhan lewat upaya mengembalikan ingatan subjek dampingan. Jadi, psikoterapi digunakan sebagai bentuk untuk proses penyembuhan penyakit mental, juga dapat digunakan untuk membantu, mempertahankan dan mengembangkan integritas jiwa: agar tumbuh sehat dan berupaya memiliki kemampuan penyesuaian diri lebih efektif terhadap lingkungannya. Karenanya, psikiater yang dimaksudkan di sini adalah subjek pendamping, baik dari kalangan guru maupun orang tua, subjek yang dapat dijadikan sebagai instrumen atau tempat curahan hati, subjek yang mampu memberi kritisisme yang berguna untuk merubah kehidupan menjadi lebih yang baik. Dengan demikian, jika dipahami dari arti makna dari psikoterapi, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa relasi makna psikoterapi tidak saja terkait dengan individu yang mengalami sakit kejiwaan maupun medis, namun juga individu yang sehat atau individu yang mempunyai hak kesehatan mental (Chaplin, 1987: 3). Jadi, kegunaan sistem psikoterapis dalam ilmu psikologis dapat Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 127 Jurnal Bimbingan Konseling Islam digunakan pada dua aspek: pertama, untuk upaya penyembuhan (kuratif). Kedua, untuk upaya pencegahan (preventif) terhadap setiap yang mengarahkan pada kemungkinan buruk bagi individu. Psikoterapi merupakan bentuk konstruksi bidang ilmu psikologi untuk memelihara dan mengembangkan psikis individu supaya bekerja secara seimbang. Dengan demikian, setiap individu dapat menikmati kehidupan lebih sehat dan merasakan kebahagiaan dalam menjalani kehidupan yang memungkinkan setiap orang mengalami kesedihan. Sehubungan dengan kegunaan psikoterapi ini meniscayakan kepada para pendamping dalam psikoterapi memahami secara psikologis fisik individu maupun secara psikis, sehingga dapat menempatkan kemungkinan terapis melakukan upaya kuratif maupun preventif kepada individu. Meskipun demikian, para guru, orang tua, maupun pendamping, sebaiknya tidak menggunakan pendekatan psikoterapi ini dengan setelah individu mengalami kesakitan. Karena itu, pendekatan psikoterapi menjadi lebih baik digunakan dalam konteks pencegahan, sehingga individu selamat dari kemumkinan kesakitan, baik secara fisik maupun psikis. Persoalan pokok yang harus ditekankan dalam kerja terapis: memahamkan kepada subjek dampingan memahami dirinya sendiri, sehingga tidak akan mengalami kesulitan penyesuaian diri terhadap masa depan yang lebih baik. Secara psikologis, implementasi pelaksanaan psikoterapi berbeda. Perbedaan ini terkait dengan kerangka teori psikologis yang digunakan. Karenanya, para psikolog dari aliran arus utama psikologi barat juga memberikan pandangan yang tidak dapat disamakan. Demikian ini sebagaimana dikatakan Ubaidillah: Dalam kajian psikologi modern, setiap individu berada dalam eksistensinya sendiri dan berada sebagai bagian dari keanggotaan masyarakat. Sebagai individu yang berada dalam eksistensinya sendiri dapat dibaca dari perspektif epitimologi psikologi modern terdiri dari dua unsur: unsur body dan Reason. Body merupakan potensi fisik dan reason merupakan potensi rasio. Keterhambatan dua unsur ini akan mempengaruhi problem psikologis seperti kesadaran introspektif diri, kesadaran evaluatif diri dan kesadaran pengembangan diri. 128 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah) Individu berada sebagai bagian dari keanggotaan masyarakat karena adanya kebutuhan berinteraksi dalam kehidupan sosial. Karenanya, dalam kajian psikologi modern telah berkembang psikologi sosial. .... Problem kemanusiaan yang secara spesifik telah dikembangkan oleh aliran-aliran psikologi modern (Mainstream Psychologist) terkait dengan kepribadian individu masih menjadi problem tersulit hingga sekarang ini. Karenanya, dunia keilmuan pada bidang psikologi masih terus melakukan revisi dan eksperimen yang bertujuan untuk mengembangkan bidang ilmu psikologi kepribadian. Sehubungan dengan perkembangan ilmiah tentang bidang ilmu psikologi, sebenarnya dalam ajaran keagamaan juga telah dikembangkan filsafat tentang manusia dan kejiwaannya. Pengembangan filsafat manusia dan kejiwaannya yang bersumber dari ajaran agama ini benar-benar telah menghasilkan: pertama, kerangka pengembangan kepribadian individu relasinya dengan eksistensi dirinya sendiri. Kedua, kerangka pengembangan kepribadian manusia relasinya dengan proses interaksi sosial individu di tengah kehidupan masyarakat. Filosofi Cartesian dualisme (body and reason) ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan psikologi modern. Misalnya, adanya unsur body berkembang menjadi aliran psikologi biologis/neurobiologis, behaviorisme, psikoanalisis-Sigmund Freud, dan kognitif. Sedangkan, unsur reason berkembang menjadi aliran psikologi humanistik. Aliran humanistik ini dapat dikatagorikan memiliki kekhasan dalam psikologi modern. Demikian ini didasarkan pada sikap para pengikut humanistik yang menolak reduski pada makhluk biologis semata. Aliran humanistik lebih mendasarkan pada prinsip rasionalitas. Meskipun demikian, adanya perbedaan corak aliran psikologi dalam memandang manusia, namun tetap saja keberadaan corak aliran filsafat dan psikologi manusia tidak dapat dilepaskan dari sumber dualisme: body and reason (Ubaidillah, 2011: 39). Berbeda dengan Mainstream Psychologist dari arus psikologi barat yang mendasarkan pembacaan terhadap psikologi individu didasarkan pada body and reason, psikologi Islami mendasarkan pembacaannya terhadap psikologi individu dengan lebih menekankan pada keseimbangan individu yang didasarkan pada keseimbangan dimensi ruhaninya. Keberadaan dimensi Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 129 Jurnal Bimbingan Konseling Islam ruhani merupakan keberadaan yang unidentification dalam jasad manusia, namun sangat nampak dari refleksi kepribadian individu. Dimensi ruhani menjadi unsur jiwa yang akan merefleksikan fitrahnya merespon fenomena keberadaan di alam semesta dan keberadaan setiap yang bernafas. Masing-masing dari unsur ruhani ini berbeda-beda: nafs merefleksikan kehendak (baik dan buruk) dalam diri manusia. Aqal merefleksikan kemampuan membedakan kemumkinan yang terjadi di alam semesta. Sedangkan, qalb menyimpan kehendak dan tujuan kehidupan ini dalam bentuk fitrah ilahiyah dan fitrah insaniyah. Ruh menghubungkan individu dengan keberadaanNya. Keseluruhan potensi tersebut telah menggerakkan jasad. Karena itu, dalam perspektif ruhani sangat menentukan kondisi keseimbangan individu. Dengan kata lain, proses keseimbangan ruhani sangat diperlukan dalam membentuk keseimbangan individu. Secara filosofis, dapat dipahami dengan sebuah kaidah: adanya keseimbangan individu di dasarkan pada keseimbangan dimensi ruhaninya. Masing-masing dari istilah dimensi ruhani individu ini sebenarnya sudah dikaji dalam disertasi Baharuddin, namun belum dapat secara aplikatif digunakan untuk proses kerja psikoterapi untuk pendampingan individu bermasalah atau tidak bermasalah (Baharuddin, 2004). Demikian ini dikarenakan, kajian dimensi ruhani Baharuddin masih sebatas kajian yang bersifat normatif. Sementara itu, kerja psikoterapi modern sudah lebih menekankan: menyembuhkan terhadap kegelisahan psikologi individu, mengembalikan keseimbangan mental individu, membentuk berfikir positif terhadap derita fisik yang dialami oleh individu. Pola psikoterapis yang sebenarnya dapat diambilkan dari sumber psikologi barat sebagaimana tersebut di atas, sebenarnya (juga) dapat diambilkan dari sumber psikologi sufistik. Psikologi sufistik yang dimaksud dalam penelitian ini, adalah unsurunsur dalam dimensi ruhani. Psikologi sufistik ini yang dapat dikembangkan sebagai metodologi dalam psikoterapi Islam. Karenanya, dalam psikoterapi Islam, sebagaimana ditegaskan 130 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah) Muhammad Zakaria Al-Razi (864-925), pengetahuan jiwa dapat menjadi sumber dasar untuk pengobatan medis. Karenanya, tugas seorang dokter selain memahami kesehatan jasmani (althibb al-jasmani) harus memahami kesehatan jiwa (al-thibb alruhani). Alasannya, keseimbangan individu dalam keadaan apapun didasarkan pada keseimbangan dimensi ruhani. Menurut Al Razi: وقد اوصى األطباء يرفع الروح المعنويه لدى األعالج وان يوهموا مرضا هم الصحة ويرجوهم بها وإن لم يكونوا واثقين من ذالك فإن مزاج الجسد تابع ألحوال النفس وإن النفس الشأن األول فى الجسد وكل ما يحدث منها خواطر و مشا عر يبدو فى معا لم الجسم Al-Razi,( وعلى الطبيب أن يكون طبيبا الروح والجسد .)1978: 20 Sehubungan dengan kutipan teks tersebut di atas dapat dipahami telah menunjukkan adanya urgensitas dimensi ruhani. Dengan kata lain, dimensi ruhani dapat berfungsi untuk memahami kepribadian manusia dan pengobatan penyakit jasmaniah. Penyakit yang secara langsung berpengaruh terhadap dimensi ruhani yang dijadikan studi kasus penelitian ini, adalah penyakit jantung koroner. Sebenarnya, selain penyakit jantung (juga) sudah dapat dirasakan yang sumbernya berasal dari dimensi ruhani. Sumber ruhani dapat berupa: Nafs, Aqal, dan Ruh. Sumber yang berasal dari dimensi ruhani ini harus dijaga kesehatannya sehingga tidak terkena virus: pertama, ’maghdlub’ (mereka yang dimurkai). Virus ghadlab ini memiliki karakter sikap yang selalu mengedepankan kesewenangan (otoriter) terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain (Al-Jailani, 2009: 38). Sikap ghadlab individu ini yang akan memunculkan: senang mencela ( ), kesenangan hawa nafsu ()ىوهلا, menipu ()ركملا, membanggakan diri sendiri ()بجع, menggunjing ()ةبغلا, Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 131 Jurnal Bimbingan Konseling Islam pamer ()ءايرلا, menganiaya ()ملظلا, bohong ()بذكلا, lupa akan Allah ()ةلفغلا. Sedangkan virus manusia yang kedua, sebagaimana dimaksudkan dalam surat Al-Fatihah, adalah al-dlal (mereka yang sesat) (Al-Jailani, 2009: 38). Istilah al-Dlal ini lebih memungkinkan akan dialami individu yang selalu mendapatkan dorongan dari kenikmatan duniyawiyah (syahwat). Pengaruh kesakitan jasad manusia yang disebabkan dua virus ini sangat besar, sehingga untuk mencegah dari bahaya virus ini harus menjauhkan keduanya dari dimensi ruhani individu. Secara logis, dapat dipahami, kondisi kejiwaan individu jika terkena dua virus ghadlab dan dlallin akan mengkondisikan emosi individu menjadi labil dan tidak terkendali. Demikian ini akan mempengaruhi susunan syaraf dan fungsi organik, sehingga akan menjadikan penyempitan di dalam saluran pernapasan, kelamin dan penyempitan usus perut yang akan berakibat pada penyakit jasmani. Dalam penyakit psychosomatic disorders, (juga) telah ditandai dengan keluhan pada alat tubuh yang menimbulkan perubahan struktur anatomik tubuh. Jadi, dimensi ruhani yang terkena virus ghadlab akan mengakibatkan ketidakseimbangan fisik individu, seperti jantung dirasakan berdebar (palpitasi), tidak teratur (arhythmia), pendek napas (shortnes of breath), kelesuhan yang amat hebat (fatique), pingsan (faiting), sukar tidur (insomnia), tidak bernafsu makan (anoxia nervosa), impotensi dan frigiditas pada alat kelamin. Tentu saja, ketidakseimbangan dimensi ruhani karena disebabkan kemasukan virus ghadlab yang menekan dimensi ruhani individu. Oleh karena itu, Ibn Maskawaih mengkategorikan etika bukan hanya untuk memperbaiki sikap fisik, tetapi yang lebih penting adalah memperbaiki sikap ruhani terhadap keutamaan diri sendiri maupun terhadap keutamaan yang lain. Bahkan, Ibn Maskawaih lebih menekankan pengertian akhlak sebagai kedokteran jiwa individu. Sedangkan, jiwa itu sendiri merupakan bentuk energi kekuatan yang mengalirkan pada kekuatan fisik seseorang. Persamaan Ibn Maskawaih dengan Ar-Razi terletak pada kuatnya pengaruh jiwa terhadap fisik seseorang. Kuatnya 132 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah) pengaruh jiwa terhadap jasad ini dapat dipahami (Jum’ah, 1927: 304-305), karena jiwa sebagai dimensi ruhani memiliki hubungan yang langsung dengan yang menciptakan jiwa. Sementara jasad, pola aktivitasnya sepenuhnya tergantung pada sistem pengelolaan dimensi ruhani. Jiwa memiliki kemampuan merespon, baik yang indrawi maupun yang spiritual. Jiwa memiliki kemampuan menjangkau lebih luas dibandingkan dengan jasad. Karenanya, jasad akan tergantung pada jiwa. Jiwa memiliki kemampuan pengenalan tentang akal (yang baik dan yang benar) yang mampi mengetahui dirinya senidiri dan dirinya yang lain. Ibnu Maskawaih mengkatagorikan jiwa dalam tiga ciri karakteristik: pertama, Al nafs al bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk. Kedua, Al nafs al sabu’iah (nafsu binatang buas). Ketiga, Al nafs al nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik (Hitti, 1952: 566). Kategori yang ketiga menjadi karakteristik manusia. Namun demikian, jika tidak ada pendidikan dan pendampingan yang baik, karakteristik yang ketiga ini tidak akan terpotensikan dari dalam diri individu (Mustofa, 1997: 178). C.Makna Taubat dan Keutamaan Surat Al Fatihah Sehubungan dengan keberadaan jiwa individu yang memiliki kekuatan langsung bersumber dari-Nya sebenarnya telah menunjukkan kekuatan manusia: menjalankan visi dan misi kekhalifahan dalam lingkungan kosmik ini. Sebagai khalifah, manusia memiliki kebebasan mengatur tentang urusan dunia atau mengatur kehidupan kosmos ini. Dengan kata lain, dimensi ruhani individu merupakan sumber kekuatan kekhalifahannya mengatur dirinya sendiri, lingkungan masyarakat, kehidupan makhluk yang lain yang berkembang di alam kosmik ini. Dengan demikian, manusia sejak lahir telah mendapatkan kemerdekaan untuk mengatur kehidupan ini. Namun demikian, kebanyakan para pembaca teks mengasumsikan kelahiran kemerdekaan manusia sebagai makna kehambaan dan kerendahan dosa asal yang harus ditanggung setiap manusia yang terlahir di dunia. Demikian ini, berbeda dengan penegasan Syaikh Abdul Qadir Jailani, yang menegaskan, bahwa kemerdekaan kelahiran Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 133 Jurnal Bimbingan Konseling Islam manusia adalah kebebasannya mengatur seluruh isi alam ini dengan penuh ketulusan menjaga keseimbangan dimensi ruhani untuk beribadah kepada-Nya. Penegasan Syaikh Abdul Qadir Jailani ini, dapat dibaca langsung pada teks berikut : اذكر يا اكمل الرسل لمن تبعك من مناقب ال عمران وقت { إذ قالت امرأت عمران } حين ناجت ربها فى سرها بلسان استعدادها وقت {ربى } يا من ربانى بحولك وقولك:ظهور حملها بإلقاء اهلل إياها {إنى نذرت لك ما في بطنى محررا} معتقا عن أمور الدنيا كلها خا )Al-Jailani, 267( لصا لعبادتك وخدمة بيتك ال أشغله شيأ سواه Jadi, dari interpretasi Syaikh Abdul Qadir Jailani tersebut di atas, sebuah kata dari محررberarti manusia merdeka yang tidak terbelenggu urusan dunia ini dengan penuh ketulusan menjaga keseimbangan dimensi ruhani untuk beribadah kepada-Nya. Karena itu, kiranya kurang tepat memaknai kata محررdengan seorang hamba, tetapi yang tepat adalah seorang manusia yang merdeka dalam kehidupan dunia dan tulus beribadah kepada Allah Swt. Dengan demikian, kurang tepat para pembaca teks ini dengan memaknai pentingnya bertaubatan seseorang manusia didasarkan pada kedudukan kehambaannya di dunia ini. Pentingnya pertaubatan seseorang karena dilatarbelakangi tidak adanya komitmen menjaga keseimbangan dimensi ruhani mengatur jasad, kehidupan dalam lingkungan masyarakat, dan alam semesta. Alasan yang mendasar perlunya melakukan taubat, karena jika kesalahan tidak adanya komitmen tidak segera bertaubat atau melakukan penyesalan atas perbuatan yang tercela karena tidak menjaga keseimbangan dimensi ruhani, maka akan terjadi pemakluman terhadap dosa yang dilakukannya. Dengan adanya perpanjangan pemakluman melakukan perbuatan dosa, maka akan berisiko atau berakibat pada kemungkinan terjadinya: kecemasan (al-hammu), kesedihan (al-huznu), lemah fisik (al-ajzu), kemalasan (al-kaslu), ketakutan (al-jubnu), bersikap bakhil (albukhlu), terbelit hutang (dlala’u al-dain), didominasi orang lain 134 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah) (ghalaba al-daini). Dasar filosofi adanya keputusan perbuatan dosa seseorang sebenarnya karena terjadinya resiko bebanbeban psikis ini. Karenanya, ditegaskan dalam salah satu Hadis, bahwa adanya penyebutan dosa yang dialami seseorang karena akan mengakibatkan kondisi selalu tidak nyaman di dalam hati individu: اإلثم ما حا ك فى صدرك Sehubungan dengan tidak adanya keseimbangan dimensi ruhani yang disebabkan ketidaktahuan yang akan mengakibatkan kondisi terburuk individu, maka solusi terbaik dari tidak adanya keseimbangan dimaksud adalah dengan melakukan taubat. Adapun bagaimana tata cara bertaubat telah ditegaskan dalam Tafsir Abdur Qadir Jailani (Al-Jailani, 376): {إنما التوبة} أي ما التوبة المبرورة المقبولة إال التوبة النا شئة من محض الندامة المتفرعة على تنبيه القلب عن قبيح المعصية }وهي المصححة البا عثة {علي} قبول {اهلل} إيها النافعه {للذين للمؤمنين اللذين {يعملون السوء} الفعلة الذميمة ال عن قصد وروية بل {بجهآلة} عن قبحه وو خامة عاقبته {ثم} لما تأملوا وأدركوا قبحها {يتوبون} يبادرون إلى التوبة والرجوع {من} زمان {قريب} أي قبل االنتهاء إلى وقت اإللجاء {فأوآلئك} التائبون المبادرون إلى التوبة قبل حلول األجل {يتوب اهلل عليهم} أي يقبل توبتهم بعد ما وفقهم عليها ولقنهم بها {وكان اهلل} المطلع على ضمائرهم {عليما} بمعاصيهم في سابق علمه {حكيما} في إلزام .التوبة عليهم ليجبروا بها ما انكسروا على نفوسهم Dengan didasarkan pada teks tersebut di atas, ditegaskan, bahwa taubat yang diterima Allah Swt, adalah taubat yang didasarkan pada rasa penyesalan atas perbuatan yang dilakukan. Namun demikian, perbuatan taubat individu juga dapat mengingatkan individu adanya perbuatan maksiat yang sangat Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 135 Jurnal Bimbingan Konseling Islam menjijikkan. Dengan kata lain, adanya keterbatasan kemampuan atau ketidaktahuan membaca keseimbangan dimensi ruhani telah dianjurkan setiap individu melakukan taubat, dengan memohon ampunan kepada-Nya yang memberikan anugrah yang besar di satu sisi, namun di sisi yang lain kebanyakan individu mengabaikan proses terjadinya keseimbangan dimensi ruhaninya, sehingga berakibat munculnya kerusakan jasad individu, masyarakat dan lingkungan hidup. Dengan demikian, dengan sulitnya menjaga keseimbangan individu, maka setiap individu akan melakukan kesalahan. Karena itu, setiap individu selalu diperintahkan untuk selalu bertaubat (QS. An-Nur [24]: 31; QS. Hud: 3; QS. at-Tahrim: 8), baik yang berdosa maupun orang-orang mukmin yang menginginkan kemenangan dunia dan akhirat (Abdillah, 2000: 1). Secara filosofis, taubat seseorang dapat membentuk tekad, kehendak hati yang kuat, dan dapat menjadi instrumen melakukan pengobatan jiwa. Demikian ini sesuai dengan makna taubat itu sendiri, yaitu meninggalkan perbuatan yang dosa dengan komitmen menuju kebaikan (ar-rujū’ an adz-dzanbi) (Ar-Rāzi, 55). Dalam perspektif sufistik, dalam kitab Kifayat Al-Atqiya’ karya Sayyid Sarif Syaikh Bakri, dalam bertaubat harus memperhatikan tiga perkara: meninggalkan maksiat dan perbuatan yang dilarang Allah Swt., menyesali perbuatan yang telah melanggar prinsip fitrah, baik ilahiyah maupun insaniyah, menetapkan tekad tidak mengulangi perbuatan dosa atau perbuatan yang telah menjadi larangan-Nya (Sayyaid Bakri). Jadi, bertaubat merupakan bentuk totalitas aktualisasi diri seseorang tunduk dan menyerahkan sepenuh hati hakikat kehidupan ini kepada-Nya. Namun demikian, hakikat taubat tidak akan dapat dirasakan oleh seseorang tanpa adanya dorongan dari diri sendiri. Karenanya, kualitas pertaubatan individu sangat ditentukan oleh kesadaran terhadap diri sendiri: betapa lemah dan tidak berdayanya manusia, sehingga tidak pantas melakukan perbuatan yang mengganggu keseimbangan dimensi ruhani dan hubungannya dengan pemilik ruh kekhalifahan individu selama di dunia. Untuk itu, sebaiknya sebelum, pada saat, dan setelah bertaubat seseorang harus melakukan 136 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah) perenungan yang mendalam terhadap realitas keberadaan dan kehidupan ini relasinya dengan keberadaan Dzat yang mengatur keberlangsungan alam semesta ini. Pemahaman dan penghayatan terhadap realitas keberadaan diri dan alam semesta ini dapat dilakukan dengan cara meditasi. Dalam melakukan meditasi ini, individu dapat merenungkan tentang: realitas keberadaan, memberikan perhatian tentang sesuatu fenomena, mengosongkan beban psikis yang diakibatkan tidak adanya keseimbangan dimensi ruhani dan sekaligus merenungkan bagaimana mengembalikan keseimbangan ruhani, merenungkan tujuan agama bagi kehidupan umat manusia, menenangkan pikiran dan bersikap tenang. Jadi, dalam meditasi individu bisa bersikap sungguh-sungguh belajar memproduksi sikap positif dan keseimbangan dimensi ruhani. Bagi masyarakat Yunani kuno mengenal meditasi dengan nama “Gnothi se auton” = “mengenal diri sendiri”. Konteks pentingnya pengenalan terhadap diri sendiri diperkenalkan dalam tradisi sufistik, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Abu Hamid bin Muhamad bin Muhammad Al Ghazali dengan istilah mukhasabah (instropeksi) dan muraqabah (menangkap sinyal kekuasaan Allah Swt) (Al-Ghazali, 2004: 1426): فعرف ارباب البصا ئر من جملة العباد أن اهلل تعالى لهم بالمرصاد وأنهم سيناقشون فالحساب ويطالبون بمثاقيل الذر من الخطرات واللحظات وتحققوا أنه ال ينجيهم من هذه األخطار إال لزوم المحاسبة وصدق المراقبة ومطالبة النفس فى األنفاس والحركا ت ومحاسبتها فى الخطرات والحظات فمن حاسب نفسه قبل أن يحاسب خف فىى القيا مة حسابه وحضر عند السؤال جوابه وحسن منقلبه ومآبه ومن لم يحا سب نفسه دامت حسراته وطالت فى عرصات القيا مة وقفاته وقادته الى الخزي والمقت سيئاته فلما انكشف لهم ذالك علموا أنه ال ينجيهم منه إال طا عة اهلل وقد أمرهم {يأيها الذين ءامنوا:با الصبر والمرابطة فقال عز وجل من قائل ]200 :اصبروا وصا بروا ورابطوا} [آل عمران Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 137 Jurnal Bimbingan Konseling Islam Istilah muhasabah terkait dengan instropeksi diri sebagai khalifah Allah Swt membangun keseimbangan dimensi ruhani dan kelangsungan menempatkan hak individu berelasi dengan kemampuannya sendiri, berelasi dengan pihak lain, dan berelasi dengan lingkungan hidup. Bersamaan dengan upaya pelaksanaan muhasabah meniscayakan pentingnya individu melakukan muraqabah. Efesiensi muraqabah bisa dilakukan ketika pada saat individu menghirup udara bebas berusaha menangkap: unsuunsur gaib yang bersatu dengan zat asam (oksigen). Unsur-unsur gaib ini menyimpan zat yang sangat halus sebagai inti dari segala zat yang menjadi roh dari alam. Dzat yang sangat halus ini tidak dapat ditangkap oleh panca indera dan alat-alat apapun. Dzat ini telah memiliki predikat tunggal yang mengausai kehidupan dan alam semesta (Al-Afaq wa Al-Anfas). Karenanya, Dzat berkuasa dalam keterlibatannya untuk merespon taubat individu dan proses penyembuhan berbagai penyakit. Dzat yang sangat halus ini hanya dapat ditangkap oleh individu yang telah mencapai keseimbangan dimensi ruhaninya. Dalam dimensi ruhani inilah individu dapat merasakan cahaya Ilahiyah dan cahaya Nubuwat, sehingga menjadikan dirinya dipenuhi dua cahaya ini yang terbentuk dalam refleksi sikap positif. Dalam keseimbangan dimensi ruhani akan memudahkan individu menseimbangkan gerak diri dan pernafasannya searah dengan gerak irama kekuatan alam semesta untuk beribadah dan munajat kepada: Dzat Pembimbing kehidupan Al-Afaq wa AlAnfas yang memberikan daya ruhani-Nya kepada seluruh umat manusia. Energi ilahiyah yang dapat digunakan untuk membantu membangun kekuatan daya mengalir menuju Dzatnya, adalah energi samudera lautan surat al Fatihah. Dalam interpretasi Syaikh Abdul Qadir Jailani yang ditegaskan dalam surat al-Fatihah tentang Dzat al-Ilahiyah ini, dapat dibaca dalam tafsirnya, sebagai berikut (Al-Jailani, 25 - 26): ال يخفى على من أيقظه اهلل تعالى سبحنانه من منام الغفله ونعاس النسيان أن العوالم وما فيها إنما هي من آثار األوصاف المترتبة 138 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah) على األسماء الذاتيه اإللهية إذ للذات فى كلى مرتبة من مراتب الوجود اسم خاص وصفة مخصوصة لها أثر مخصوص هكذا با لنسبة إلى جميع مراتب الوجود ولو حبة وذرة وطرفة وخطرة والمرتبة المعبرة عنها با ألحدية الغير العددية والعماء الذي ال حظ ألولى البصائر والنهى منها إال الحسرة والحيرة والوله والهيمان هي غاية عروج معارج األنبياء ونهاية مراتب سلوك األولياء وبعد ذالك يسيرونفيه البدو إليه إلى أن يستغرقوا فىتحيروا والى أن يفنوا ثم لما أراد سبحانه إرشاد.ال إله إال هو كل شيء هالك إال وجهه عباده إلى تلك المرتبة ليتقربوا إليها ويتوجهوا نحواها حتى ينتهي توجههم وتقربهم إلى العشق والمحبة الحقيقية الحقيه المؤدية إلى إسقا ط اإلضافة المشعرة للكثرة واإلثنينية وبعد ذالك خلص نيتهم وصح طلبهم للفنإ فيه نبه سبحا نه إلى طريقه إرشادا لهم وتعليما في ضمن الدعاء له والمناجاة معه مندرجات من نها ية الكثرة إلي .كمال الوحدة المفنيه لها متيمنا Dalam energi samudera lautan surat al-Fatihah ini, penulis telah menangkap sebuah pemahaman, bahwa setiap individu dapat mengalirkan kehidupannya dalam nafas ruhani-Nya. Demikian ini dapat dimulai dengan kesadaran bertaubat karena telah melupakan-Nya. Dengan kesadaran ini, setiap individu dapat memulai dengan berkeyakinan (beri’tiqad), adanya keterdekatan keberadaan-Nya dengan diri individu. Nama Allah adalah penyebutan nama yang memiliki keberadaan terdekat yang lebih dekat dengan urat nadi manusia, Dzat yang terpuji dihadapan para kekasih-Nya, yang menjadi sumber seluruh puncak keberadaan dan tujuan keta’atan: di hadapan Dzat Allah Swt terkumpul semua nama dan sifat keagungan pembimbingan-Nya kepada seluruh kehidupan di alam semesta. Dzat Allah Swt memiliki kasih sayang yang sangat tinggi kepada seluruh umat manusia. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 139 Jurnal Bimbingan Konseling Islam Jika dikaitkan dengan keberadaan manusia, sebelum memulai mengatur membangun keseimbangan dimensi ruhaninya, manusia seharusnya membangun puncak kesadaran keberadaannya kembali sepenuhnya dan berjalan sesuai dengan darmanya dihadapan-Nya. Sebagai sebuah surat pembuka untuk al-Qur’an, al-Fatihah (juga) menjadi pembuka kehidupan manusia (Nasr & Aminrazavi, 2008: 16 - 17). Sebelum manusia memulai membangun keseimbangan dimensi ruhani dan keseimbangan fisiknya, manusia dapat meletakkan bangunan keseimbangan tersebut di atas pondasi filosofi Surat Al-Fatihah [01]: 1 – 7. Secara filosofis, dalam surat Al Fatihah telah dimulai dengan penyebutan keagungan NamaNya yang memiliki Rahman dan Rahim, serta bersyukur seluruh karunia-Nya yang telah mengantarkan kepebimbingan menuju (wushul) kepada-Nya. Sedangkan, kata ar-Rahman dalam ayat yang ketiga, adalah Dzat yang menghembuskan nafas rahmaninya bersamaan dengan keluar dan masuknya nafas insani individu. Karenanya, dalam nafas insani ini berlangsung bersamaan nafas rahmani-Nya. Istilah Rahman ini diperuntukkan untuk seluruh umat manusia di dunia, namun untuk bertajalli dengan-Nya, setiap individu harus masuk ke dalam rahimnya berintim dengan-Nya selama di dunia dan di akhirat. Ketika individu sudah bersatu dalam keintiman dengan-Nya, setiap individu harus meyakini keagungan-Nya sebagai penguasa pada hari pembalasan: مالك يوم الدين. Karena itulah, individu harus meneguhkan sikap ketulusan, bahwa hanya kepada-Nya upaya iktiyar manusia dan (juga) hanya kepada-Nya setiap manusia memohon pertolongan dan perlindungan: إياك نعبد وإياك نستعين. Dari ayat ini terbaca, bahwa antara kata إياك نعبدdan kata إياك نستعينtergabung dengan huruf و. Artinya, kedua kata ini tidak boleh terpisah, karenanya harus dikerjakan pada saat yang bersamaan. Setelah menempuh jalan Al-Fatihah yang ke 5 ini, setiap individu harus meneguhkan sikap membutuhkan petunjuk-Nya untuk bisa sampai pada maqam puncak tauhid, yang secara alamat ditunjukkan melalui jalan AlFatihah yang ke 6: اهدنا الصراط المستقيم. 140 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah) Pada ayat yang ke 6 ini, Syaikh Abdul Qadir Jailani menafsirkan: {}اهدنا} بلطفك {الصراط المستقيم} الذي يوصلنا إلى ذروة توحيدك (Al-Jailani, 37). Kelanjutan dari jalan al-Fatihah yang ke 6, adalah jalan yang ke 7. Jalan yang ke tujuh ini menggambarkan kepribadian yang sudah mencapai jalan puncak tauhid, sebagaimana jalannya orang-orang yang telah mendapatkan nikmat dari Allah SWT: Minannabiyyin, Syiddiqiin, Syuhada’, Shalihiin, Wa Khasuna ’Ulaika Rafiqa. Meskipun dengan melalui jalan-jalan dalam ayat AlFatihah akan membantu memudahkan individu membangun keseimbangan dimensi ruhani dan fisik, namun penting (juga) bagi individu untuk memohon kepada Allah Swt supaya dalam jiwa individu tidak dalam kekuasaan nafs al-amarah, sehingga tidak akan mendapatkan murka dari-Nya (maghdlub). selain sifat nafs al-amarah, sifat tercela yang sangat berbahaya terhadap keseimbangan individu, adalah sifat Al-Dlalliin (jalannya orangorang yang tersesat). Ketersesatan ini dikarenakan adanya klaimisme kebenaran yang selalu menonjol dalam diri individu. Karenanya, dari sikap amarah dan klaim kebenaran ini akan lahir karakter kepribadian yang tidak seimbang dikarenakan virus hati berikut (Ubaidillah, 2010: 1-38): Nafsu yang buruk (nafs al-amarah) memiliki karakter naluriah yang sejalan dengan nafsu yang cenderung kepada keburukan (QS.Yusuf [12]: 53). Karakteristik nafs al-amarah: kikir ()البحل, terlalu senang akan dunia/lubo ()الحرص, iri dengki/hasud ()الحسد, bodoh ()الجهل, sombong ()الكبر, menuruti hawa nafsu ()الشهوة, marah-marah ()الغضب. Karakteristik nafs al-amarah ini akan berakibat buruk terhadap individu (QS. Shaad [38]: 26) dan kehancuran langit dan bumi (QS. Al-Mu’minun [23]: 71). Secara implementatif, nafs al-amarah ini selalu menganggap musuh terhadap semua yang bertentangan dengan keinginannya. Nafsu yang insyaf (nafs al-lawwamah) memiliki karakter yang cenderung pada penyesalan setelah melakukan pelanggaran (QS.Al-Qiyamah [75]: 1-2), namun secara khusus nafsu ini mencerminkan: senang mencela ()اِللومه, kesenangan hawa nafsu ()الهوى, menipu ()المكر, membanggakan diri sendiri ()عجب, menggunjing ()الغبة, pamer ()الرياء, menganiaya ()الظلم, bohong ()الكذب, lupa akan Allah ()الغفلة. Karakteristik nafsu yang seperti ini sebenarnya karena adanya pertimbangan akan munculnya Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 141 Jurnal Bimbingan Konseling Islam suatu akibat perbuatannya. Karenanya, pola nafsu yang seperti ini selalu ”menunggu kesempatan dalam kesempitan”, sehingga belum mampu mengekang nafsunya sendiri terhadap apa pun yang berakibat buruk. Jadi, terkait dengan makna taubat kiranya dapat dipahami, tidak hanya pengakuan dosa individu dihadapan-Nya, tetapi fungsi penguatan kesehatan mental individu kembali kepadaNya. Dalam konteks penguatan upaya kembali dengan sepenuh hati kepada-Nya, Allah Swt telah memberikan jalan pembuka Teks Al Qur’an dan (juga) pembuka perjalanan manusia di muka bumi, yaitu surat al-Fatihah [1]: 1 -7. Bermula dari setiap jalan alamat yang ditegaskan Allah SWT dalam surat al-Fatihah ini, setiap individu dapat memulai membangun relasi makna surat al-Fatihah dalam diri individu, sehingga akan membantunya memperkuat keseimbangan kepribadian yang didasarkan pada keseimbangan dimensi ruhani individu. Keseimbangan dimensi ruhani ini sangat membantu pola keseimbangan fisik individu. D.Psikoterapis Makna Taubat Untuk Penyakit Jantung Koroner Keterkaitan makna taubat dengan dimensi ruhani terletak pada refleksi taubat, berupa ketundukan dan kepasrahan kembali pada fitrah ilahiyah. Dalam konteks ini, bagaimana fitrah ilahiyah benar-benar menggerakkan fungsi fitrah insaniyah mengatur keseimbangan dimensi ruhani menuju keteraturan keseimbangan fisik? Jamak dipahami, bahwa banyak penyakit fisik yang dapat diseimbangkan kembali melalui dimensi ruhani individu. Dimensi ruhani merupakan dimensi yang belakangan ini memperoleh perhatian khusus dalam upaya terapi terhadap berbagai macam penyakit, terutama penyakit yang dianggap penyebab kematian di dunia. Upaya terapi dimaksud, sebagaimana yang tercantum dalam paradigma baru WHO tentang empat dimensi sehat: fisik, psikis, sosial, dan spiritual. Dunia sudah mengakui pentingnya dimensi ruhani dalam mempengaruhi kesehatan jiwa individu yang berdampak pada kesehatan fisik. Misalnya, penyakit jantung koroner (Hawari, 2004), yang disebabkan pola makan yang tidak 142 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah) sehat, tekanan psikososial, maupun ketidaksiapan individu dalam menerima realitas hidup. Jantung dalam susunan saraf fisik menjadi organ tubuh yang vital, berfungsi untuk mengalirkan darah ke seluruh organ tubuh melalui pembuluh darah arteri dan jantung akan menerima darah kembali. Organ jantung itu sendiri memperoleh zat asam (oksigen) dan makanan (nutrisi) melalui pembuluh darah koroner. Jika pasokan oksigen dan nutrisi ke otot jantung berkurang (defisit) yang disebabkan karena pembuluh darah koroner mengalami penyempitan dengan akibat pasokan darah ke organ jantung melalui pembuluh darah koroner tadi berkurang, maka individu akan mengalami gangguan penyakit jantung koroner (Hawari, 2004). Jantung dapat dikatagorikan normal apabila berjalan seimbang antara kebutuhan (demand) dan pasokan (supply). Kondisi yang membahayakan terhadap kondisi jantung, adalah kondisi pembuluh darah arteri koroner mengalami penyempitan (stenosis) atau penciutan (spasme). Pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi kesehatan jantung adalah adanya: gangguan psikis, sedang stress atau aktivitas fisik meningkat. Dengan didasarkan adanya pengaruh psikis terhadap keseimbangan kerja jantung, maka dalam psikosufistik mengajarkan pentingnya dimensi ruhani dalam kehidupan individu. Para penganjur psikosufistik (juga) mengajarkan kepada individu yang sudah mengalami menderita jantung koroner. Tentu saja, bagi yang belum mengalami sakit menjaga keseimbangan dimensi ruhani akan meningkatkan kebahagiaan hidup dan puncak kesadaran Tauhid. Sementara itu, bagi yang sudah mengalaminya sakit jantung koroner ditekankan untuk berupaya mengembalikan keseimbangan dimensi ruhani, sehingga tidak akan menambah stress dan tekanan kejiwaan. Sebab terjadinya tekanan kejiwaan akan menambah pengaruh besar terhadap penyakit jantung koroner. Bahkan, jika tekanan kejiwaan itu membuat keterkejutan psikis individu, akan mengakibatkan kematian secara mendadak. Dari hasil penelitian ini telah ditemukan terapi penyakit jantung koroner. Kesesuaian terapi ini didasarkan pada fungsi Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 143 Jurnal Bimbingan Konseling Islam surat Al-Fatihah, yaitu selain berfungsi membentuk keseimbangan individu, juga menegaskan kepada individu untuk melangsungkan totalitas pengembalian seluruh potensi manusia kepada-Nya dengan menyederhanakan dua sifat terburuk manusia yang secara langsung termuat dalam surat ke-7, yang termuat dalam kata: غير المغضوب عليهم ولضآلين. Dua kata ini telah dijelaskan dalam sub sebelumnya, yaitu pengaruhnya terhadap pembentukan karakter buruk manusia dan pengaruhnya sebagai penyebab penyakit fisik yang akan dialami individu. Sebenarnya, selain surat Al-Fatihah, banyak surat-surat yang lain dalam al Qur’an yang memberikan terapi terhadap kesehatan individu, baik secara psikis maupun secara fisik. Demikian ini sesuai dengan pandangan Dadang Hawari. Menurut Hawari, meskipun berbagai terapi medis telah dilakukan, misalnya berupa pemberian obat-obatan (medikamentosa: terapi somatic dan psikofarmaka), ballon angioplasty atau Percutaneous Coronary Angioplasty, Operasi “by pass” (Coronary artery Bypass Surgery), dan rehabilitasi fisik, tetapi bila kondisi mental spiritualnya lemah, maka akan menghambat proses penyembuhannya (Hawari, 2004). Karena menurut hasil penelitian, bahwa ada hubungan dua arah; yaitu hubungan kondisi psikologis dengan susunan saraf pusat (otak) dan hubungan kondisi psikologis seseorang berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh (baik dalam arti positif maupun negatif), yang pada gilirannya merupakan faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan seseorang dalam proses penyembuhan suatu penyakit (Psiko-neuro-imunologi) (Hawari, 2002: 116). Dengan demikian perlu adanya integrasi antara terapi medis dengan terapi psikorelijius. Dalam pandangan Prof. Daniel X. Freedman, President the American Psychiatric Association (19920, Guru Besar di Ucla, sangat diperlukan kerja sama secara integratif dan konstruktif antara profesi kedokteran jiwa (psikiatri) dengan lembaga keagamaan (Hawari, 2-3). Pentingnya kerjasama ini berfungsi untuk meningkatkan taraf kesehatan jiwa individu dan kelompok masyarakat. Namun demikian, meskipun 144 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah) telah terlaksana relasi makna surat Al Fatihah dalam membentuk keseimbangan ruhani dan fisik, setiap individu perlu memulai hidupnya dengan: pertama, prinsip tauhid yang mendalam, yaitu keyakinan adanya Dzat yang lembut yang hanya bisa dirasakan bagi mereka yang sudah menangkap sinyal: نور اإللهية و النور النبوة. Karena masih dalam keterbatasan menangkap sinyal tauhid, maka setiap individu dapat beribadah seakan-akan dalam ibadahnya menyaksikan-Nya, sedangkan apabila individu belum benar-benar menyaksikan-Nya, maka setiap individu diharuskan menghadirkan seluruh energi kepercayaannya, bahwa Allah Swt telah menyaksikannya: أن تعبد اهلل كأنك تراه فإلم تكن تراه فإنه يراك. Dengan dasar tauhid ini, akan memudahkan individu menyerahkan dirinya kepada-Nya. Jadi, bagi pasien penyakit jantung koroner yang memiliki kesungguhan membangun keseimbangan dimensi ruhani dan keseimbangan pertumbuhan fisik dengan konsumsi makanan yang diperlukan fisik, maka akan dapat meminimalisir kesakitan atau bahkan menyembuhkannya. Keseimbangan dimensi ruhani dan jasad ini, (juga) akan memudahkan individu memasukkan energi surat al Fatihah dalam praktek kehidupan individu. Dengan demikian, selain individu berjalan dengan fisik yang normal dan sehat, (juga) akan mengantarkan keseimbangannya wushul atau berintegrasi kuat dengan Dzat Al Mutajalli Bidzatihi Ma’a Dzatihi (Chishti, 1985: 11). Dengan demikian individu akan memiliki kekuatan tiga serangkai: kekuatan ma’rifah, keseimbangan dimensi ruhani, dan keseimbangan pertumbuhan fisik. Jika sudah demikian, maka sikap-sikap positif akan muncul dari dalam diri individu, sehingga dengan mudah sampai pada maqam: Insan kamil. Meskipun demikian, tidak semua kesakitan fisik dapat disembuhkan dengan rahasia surat Al-Fatihah dan membangun keseimbangan ruhani individu. Demikian ini karena disebabkan kondisi sakit yang sudah masuk dalam stadium akhir. Selain itu, kondisi pertumbuhan fisik individu yang sudah seimbang pun akan mengalami kesakitan. Kesakitan fisik individu selain karena tidak adanya keseimbangan dimensi ruhani dan tidak adanya Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 145 Jurnal Bimbingan Konseling Islam keseimbangan pertumbuhan fisik, (juga) bisa disebabkan kondisi fisik yang sudah tua. Oleh karena itu, dengan kehati-hatian individu dan upaya yang tinggi menjaga keseimbangan, tetap akan membuka peluang untuk mengalami sakit. Alasan lain yang membuka peluang setiap individu akan mengalami kesakitan, karena keadaan sakit merupakan bagaian dari sunatullah dan kehendak-Nya pada saat hendak menguji hamba-Nya. Karena itu, kondisi sakit seseorang harus menerima dengan sabar dan menerima dengan syukur atas karunia-Nya.Selanjutnya Moinuddin Chisti, penulis buku The Book of Sufi Healing, menjelaskan bahwa kita tidak perlu menganggap sakit sebagai musuh kita, kita harus melihatnya sebagai sebuah mekanisme tubuh yang membantu membersihkan dan menyeimbangkan antara fisik, emosional, mental, dan spiritual kita (Chishti, 11). Dengan demikian, penderita sakit jantung koroner tidak perlu berlama-lama mengalami kecemasan, stress, depresi, atau tekanan jiwa lainnya. Jadi, pengobatan penyakit jantung koroner mencakup dua dimensi, dimensi fisik dan dan dimensi psikis. Dimensi fisik dapat dilakukan oleh pihak kedokteran dengan menggunakan obat-obatan. Namun demikian perlu atau tidaknya obat, sebaiknya memohon keterangan dokter (Al-Jauziyah, 2004: 10). Terlepas dari pengobatan medis, sebaiknya pasien penderita jantung koroner mengkonsumsi kebutuhan tubuh yang sesuai dengan kondisi fisik. 146 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah) DAFTAR PUSTAKA Al Qur’an Al-Jailani, Syaikh Abdul Qadir, 2009, Tafsir Abdul Qadir Jailani, Juz I, Turky: Makaz Jailani Lil Buhus Al ’ilmiyah Al-Razi, M Zakaria, 1978, Al-Thibb Al-Ruhani, Mesir: Maktabah As Syaksyiyah Al Misriyah Achmad, Ubaidillah, 2011, “Psikologi Sufistik Metaanalisis Psikologi Modern,” dalam Jurnal Konseling Relegi: Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Fakultas Dakwah STAIN Kudus, Vol. I, No. 1 Ubaidillah Achmad, 2010, “Fitrah dan Potensi Insani dalam Ilmu Tasawuf (Perspektif Terapi Psikologis dan Bimbingan Konseling)”, dalam Jurnal Konseling Relegi: Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Fakultas Dakwah STAIN Kudus, Vol. I, No. 1 Abdillah, Ibrahim bin, 2000, Hakikat Taubat, (terj.) Abd. Bashid Abd. Aziz, Jakarta: Pustaka Azzam Ar-Rāzi, Abdul Qādir, Mukhtār as-Shahhāh, Qāhirah, t.t: Dār alHadīts Al-Ghazali, Al Imam Al-A’dzam Ala Sadat Al-Syufiyah, Hujjatul Islam Syaikh Abi Hamid bin Muhammad bin Muhammad, 2004, Ihya Al Ulum Al Din, Beirut: Dar Al-Kutub AlIlmiyah Al Jauziyah, Ibnu Qayyim, 2004, Metode Pengobatan Nabi SAW, Jakarta: Griya Ilmu Baharuddin, 2004, Paradigma Psikologi Islami; Studi Tentang Element Psikologi Dari Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka pelajar Bakri, Sayyid, Kifayat Al Atqiya’ Fi Wushul Al Auliya’, Semarang, Thoha Putra, tt Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 147 Jurnal Bimbingan Konseling Islam Chaplin, J. P., 1987, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono, Jakarta: Raja Wali Press Chishti, Shaykh Hakim Moinuddin, 1985, The Book of Sufi Healing, New York: Inner Traditions International Hitti, Philip K., 1952, History of The Arabs, terj. Arab oleh Edward Jurji et.al., Beirut: t.p. Hawari, Dadang, 2004, Penyakit Jantung Koroner (Dimensi Psikoreligi), Jakarta: FKUI Hawari, Dadang, 2002, Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi, Jakarta: FKUI Jum’ah, Luthfi, 1927, Tarikh Falsafah al Islam, Mesir: t.p. Mustofa, A., 1997, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia Nasr, Seyyed Hossein with Aminrazavi, Mehdi, 2008, An Anthology of Philosophy in Persia, volume 2, London: The Institute of Ismaili Studies 148 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 PERAN KECERDASAN SPIRITUAL DALAM PENCAPAIAN KEBERMAKNAAN HIDUP Oleh: Fatma Laili Khoirun Nida Dosen STAIN Kudus Abstract The will to meaning of life is the fundamental motivation present in every individual. The fulfillment of these needs stem from the three values which include: the creativ values, experiental values, and attitudinal values. The source of the meaning of life values that will be actualized with the help of the role of spiritual qualities that are potentially present in every individual as a shaper of spiritual quetion. By adopting the theoretical basis logoanalisis developed by Victor E. Frankl in therapeutic methods meaningfulness of life, where Frankl believes that all aspects of the meaning of life saving. Meaning of life to be achieved will be realized with the help of spiritual quetion inherent in each individual. Thus, spiritual quetion is contributing to the achievement of the meaningfulness of life, in which role he was able to become the media, control and guidance for individuals in dynamics of life, so that individual under any circumstances while maintaining the quality of human existence as intellectually, emotionally and spiritually so that he able to achieve the meaning of life. Key words: spiritual quetion, meaning of life A.Pendahuluan Dampak dari modernisasi peradaban yang kian tidak terbendung adalah munculnya fenomena psikososial baik berupa kriminalitas, bunuh diri dan abnormalitas perkembangan kejiwaan Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 149 Jurnal Bimbingan Konseling Islam yang dialami sebagian masyarakat di mana mereka seharusnya berperan penting sebagai elemen penggerak pembangunan. Fenomena tersebut tidak dapat dipungkiri mengingat tuntutan segala aspek kehidupan tidak dapat dihindari. Ketimpangan antara tuntutan kehidupan baik yang berupa kebutuhan atau sekedar keinginan yang tidak sejalan dengan kemampuan baik secara financial maupun emosional memicu sebagian lapisan masyarakat untuk mengambil keputusan yang tidak kondusif bagi idealnya sebuah masyarakat yang seharusnya bermoral, berkarakter dan produktif dalam pembangunan. Banyak faktor yang memicu munculnya fenomena psikososial. Prof. Dr. Jalaluddin Rahmat mencontohkan salah satunya adalah bunuh diri. Menurutnya, saat ini kasus bunuh diri banyak disebabkan oleh tekanan ekonomi, yang banyak dilakukan pada masyarakat golongan ekonomi rendah/bawah. Akan tetapi untuk kalangan ekonomi atas, bunuh diri dilakukan karena faktor kesepian dan kehilangan makna hidup (http://www. surabayaehealth.org/). Bahkan, dua di antara sepuluh penyebab kematian di Barat dikarenakan bunuh diri dan alkoholisme yang sering dikaitkan dengan krisis makna hidup (Zohar & Marshal, 2001:18). Maka dari fenomena tersebut mampu memberi gambaran bahwa pada dasarnya, salah satu pemicu munculnya beragam gejala psikososial pada masyarakat kita saat ini adalah hilangnya kebermaknaan hidup atau disebut sebagai krisis makna. Pencarian makna tampak nyata dalam segala aspek kehidupan manusia. Banyak pertanyaan yang kerap muncul dalam diri individu tentang apa arti hidup, apa makna pekerjaan, apa makna suatu hubungan, apa arti diri sendiri, untuk apa suatu tujuan harus dicapai, dan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang sering melatar belakangi dinamika kehidupan. Ketika pertanyaan mendasar tersebut tidak mampu terjawab, maka kerap memunculkan kebimbangan, kebingungan, kegalauan pada diri individu yang hal tersebut merupakan gejala krisis makna yang menimpa pada diri individu dan berdampak pada kesehatan mental . 150 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Peran Kecerdasan Spiritual dalam Pencapaian Kebermaknaan Hidup (Fatma Lalili KN) Viktor E. Frankl, salah satu terapis kebermaknaan hidup mengatakan, bahwa kebutuhan manusia akan makna hidup merupakan konskuensi dari eksistensi manusia sebagai makhluk spiritual. Ketika kebutuhan akan makna hidup tidak dapat terpenuhi, maka hidup akan berbalik menjadi dangkal dan hampa. Fenomena inilah yang melanda sebagian masyarakat modern di mana banyak masyrakat saat ini yang kehilangan kebermaknaan hidup dan mengalami krisis pada dmensi yang paling mendasar yang ada pada diri manusia yang disebut krisis spiritual. B.Kebermaknaan Hidup 1. Motivasi Hidup Bermakna Elizabeth Lukas, seorang logoterapis menyatakan bahwa kebebasan hidup yang berkembang pada manusia di era modern ini menunjukkan bahwa ketika kebebasan tersebut dijalani dengan tanpa tanggung jawab dan kematangan sikap, maka kebebasan tersebut tidak mendatangkan ketentraman dan rasa aman yang berujung pada kehidupan yang tidak bermakna (Bastaman,1996: 193). Manusia dan keinginan untuk hidup bermakna merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Makna hidup adalah sesuatu yang oleh seseorang dirasakan penting, berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat menjadi tujuan hidupnya. Makna hidup dapat berupa cita-cita untuk kelak menjadi orang yang sukes dan adanya keinginan untuk membuat seseorang dapat bertahan hidup. Kebermaknaan hidup akan dimiliki seseorang jika dia dapat mengetahui apa makna dan tujuan hidupnya. Zohar & Marshal (2001: 18-19) menjelaskan bahwa dalam kehidupan modern, manusia dihadapkan pada permasalahan hilangnya filosofi “hidup yang benar dan penuh kepastian”. Kita dihadapkan dengan permasalahan eksistensial dan spiritual. Tidaklah cukup manusia menjalani hidup dengan pijakan argumen-argumen yang bersifat rasional dan emosional. Bahkan tidaklah cukup bagi orang untuk menemukan kebahagiaan dengan Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 151 Jurnal Bimbingan Konseling Islam kerangka menurut mereka sendiri. Mereka ingin mempertanyakan kerangka itu sendiri, nilai-nilai kehidupan dan berusaha menemukan nilai-nilai yang baru yang lebih sulit ditangkap dan hanya dapat diperoleh melalui kecerdasan spiritual yang dimiliki masing-masing individu. Kondisi inilah yang memicu munculnya pertanyaan, pentingkah peran kecerdasan spiritual dalam suatu proses pencarian makna hidup? mengapa kita memerlukan kecerdasan spiritual?, dan mengapa kita memerlukan SQ dalam mencapai kebermaknaan hidup?serta mengapa makna merupakan kebutuhan yang mendasar saat ini? Memiliki kehidupan yang bermakna merupakan dambaan semua manusia. Kehidupan yang bermakna tidak dapat digantikan oleh apapun. Menurut Bastaman, keinginan manusia untuk hidup bermakna memang benar-benar merupakan motivasi utama pada manusia. Hasrat inilah yang mendasari kegiatan manusia, misalnya bekerja dan berkarya agar kehidupannya dirasakan berarti dan berharga. Pemenuhan dari hasrat untuk hidup bermakna ini akan menimbulkan perasaan bahagia pada diri individu. Sebaliknya bila hasrat ini tak terpenuhi akan mengakibatkan terjadinya kekecewaan hidup dan penghayatan diri hampa yang bila dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan berbagai gangguan perasaan dan penyesuaian diri yang menghambat pengembangan pribadi dan harga diri. Motivasi yang sangat kuat dalam diri manusia untuk mampu memperoleh hidup yang bermakna berlaku pada seluruh manusia tanpa mengenal lapisan budaya maupun aspek-aspek kemanusiaan yang lain. Mutlaknya kebutuhan akan makna hidup ini ditunjukkan oleh beberapa penelitian tentang kebutuhan individu akan makna hidupnya. Suatu hasil pengumpulan pendapat umum di Prancis, misalnya, menunjukkan 89% responden percaya bahwa manusia membutuhkan “sesuatu” demi hidupnya, sedangkan 61% di antaranya merasa bahwa ada sesuatu yang untuknya mereka rela mati (Koeswara, 1992). Dari penelitian diatas mampu menggambarkan bahwa eksistensi kebermaknaan hidup menjadi kebutuhan yang mutlak khususnya pada masyarakat yang telah mengalami kompleksitas 152 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Peran Kecerdasan Spiritual dalam Pencapaian Kebermaknaan Hidup (Fatma Lalili KN) permasalahan hidup yang berindikasi adanya stressor yang kerap berdampak pada ketidak stabilan emosi, melemahnya kepercayaan diri, hilangnya motivasi untuk berkarya, merosotnya nilai-nilai kehidupan dan dorongan untuk berperilaku amoral yang mengarah pada psikososial. 2. Logoterapi; Solusi untuk Mencapai hidup bermakna Aliran Psikologi yang banyak memberi kajian tentang fenomena makna hidup (the meaning of life), kehendak untuk hidup bermakna (the will to meaning) dan pengembangan hidup bermakna adalah Logoterapi yang ditemukan oleh Viktor E. Frankl, seorang neuro psikiater berkebangsaan Austria. Frankl mengembangkan teori tentang kebermaknaan hidup dari pengalamannya sebagai survivor dari empat kamp konsentrasi maut di era pemerintahan Hitler. Menurut Frankl, ada beberapa hal yang menjadi landasan munculnya Logoterapi ini yakni; a. Dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun, kehidupan ini selalu mempunyai makna. b. Kehendak untuk hidup bermakna merupakan motivasi semua manusia. c. Dalam batas-batas tertentu, manusia memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi untuk memilih dan menentukan makna dan tujuan hidupnya. d. Hidup bermakna dapat diperoleh dengan merealisasikan nilainilai kreatif, nilai-nilai penghayatan serta dilai-nilai dalam bersikap (Bastaman, 1995: 193). Dari keempat dasar inilah Frankl mengembangkan Logoterapi, sebuah metode yang membantu individu dalam pencarian kebermaknaan hidup. Dalam perannya, logoterapi berusaha memasuki dimensi spiritual dari eksistensi manusia dengan mengoptimalkan kesadarannya secara penuh akan sesuatu. Dalam usahanya mewujudkan kesadaran penuh pada individu, logoterapi berusaha menjaga eksistensi spiritual sebagai potensi memaknai eksistensinya yang harus diisi. Logoterapi mencoba membuat pasiennya sadar akan apa yang ia butuhkan di kedalaman eksistensinya. Untuk itu, logoterapi memperhatikan Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 153 Jurnal Bimbingan Konseling Islam manusia sebagai sebuah keberadaan yang perhatian utamanya adalah untuk mengisi makna dan aktualisasi nilai-nilai kehidupan (Frankl, 2003: 114-117). Esensi yang dapat diadopsi dari logoterapi ini adalah bentuk pijakan atau landasan yang digunakan Frankl dalam membantu individu untuk mencapai kebermaknaan hidup. Empat hal yang menjadi dasar dalam menganalisis dan membatu proses individu dalam pencarian hidup yang bermakna, efektif dalam aktualisasinya. Untuk itulah, maka banyak proses terapi kebermaknaan hidup berpijak dari dasar-dasar yang menjadi acuan bagi Frankl dalam mengembangkan metode logoterapi dan terbukti efektif, dimana pada kenyataannnya, manusia memiliki motivasi untuk hidup bermakna yang bersifat sangat unik dan pribadi, dan dapat diperoleh dengan merealisasikan nilai-nilai kreatif, penghayatan dan bersikap dalam kehidupan manusia. 3. Sumber-Sumber Kebermaknaan Hidup Makna hidup sebagai suatu kebutuhan psikologis yang eksistensinya mutlak diperlukan bagi semua lapisan individu untuk menopang dirinya agar mampu memperoleh kepuasan batiniah sehingga upaya untuk menjalani kehidupan berlangsung secara sehat. Frankl (dalam Bastaman, 1995) mengatakan bahwa ada tiga faktor yang berpengaruh pada diri manusia sehinnga ia dengan mudah dapat mencapai tingkat kehidupan yang bermakna; 1. Creative values (nilai-nilai kreatif): bekerja dan berkarya serta melaksanakan tugas dengan keterlibatan dan tanggung jawab pada pekerjaan. Dalam realisasinya, manusia menjalani dinamika hidupnya dengan bekerja adalah untuk menjadi sarana baginya dalam menemukan dan mengembangkan makna hidup. 2. Experiental values (nilai-nilai penghayatan): meyakini dan menghayati kebenaran, kebajikan, keindahan, keadilan, keimanan, dan nilai-nilai lain yang dianggap berharga. 3. Attitudinal values (nilai-nilai bersikap), menerima dengan tabah dan mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan yang 154 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Peran Kecerdasan Spiritual dalam Pencapaian Kebermaknaan Hidup (Fatma Lalili KN) tak dapat dihindari lagi setelah berbagai upaya dilakukan secara optimal tetapi tak berhasil mengatasinya. Ketiga hal tersebut di atas merupakan modal yang mutlak harus dimiliki oleh tiap individu agar pencapaian kebermaknaan hidup terpenuhi. Kemampuan manusia untuk mengupayakan penanaman nilai-nilai di atas sangat berdampak pada bagaimana ia menjalani dinamika kehidupannya dalam kondisi apapun. Manusia kerap mengalami perasaan tak berarti, kecewa, putus asa dan ketidak berdayaan ketika apa yang menjadi harapannya tidak terpenuhi. Puncak dari kekecewaan sering diikuti dengan perasaan menderita. Akan tetapi, hal ini tidak akan berlaku bagi individu yang mampu menanamkan nilai-nilai yang menjadi sumber kebermaknaan hidup tersebut dalam mensikapi stimulus kehidupan yang tidak diharapkan. Justru, kehadiran penderitaan akan memberikan makna bagi setiap individu yang mengalaminya ketika ia mampu mengatasinya dengan baik. Setidaknya, ada upaya bagi individu untuk mengubah persepsi mereka dengan memberdayakan kreatifitas yang mereka miliki untuk melahirkan perubahan persepsi dan penghayatan yang positif tentang kondisi yang tidak menguntungkan menjadi sebaliknya. Dampak lain ketika seorang individu mampu memiliki nilai- nilai yang menjadi sumber kebermaknaan hidup adalah lahirnya kekuatan yang muncul pada diri individu dalam kondisi menderita sekalipun disebabkan adanya kemampuan individu untuk menhayati segala keadaan yang menimpanya dengan tetap berfikir positif serta optimis dalam menjalani hidup. Kemampuan untuk menghadapi hidup dengan penuh rasa optimis, serta menciptakan kemampuan berfikir yang selalu positif dan produktif akan menjadi dampak dari proses internalisasi nilainilai sikap dan penghayatan dalam hidup yang sudah dialami individu. Tidak akan ada lagi rasa putus asa, serta perasaan yang tidak kondusif bagi perkembangan jiwa seseorang. Hal inilah yang menjadi pijakan utama untuk mewujudkan keinginan hidup bermakna pada tiap manusia, dalam kondisi apapun. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 155 Jurnal Bimbingan Konseling Islam C.Kecerdasan Spiritual 1. Definisi Kecerdasan Spiritual Kecerdasan spiritual merupakan bentuk kecerdasan yang dimiliki individu yang akan tampak dalam bentuk kemampuan individu dalam memecahkan persoalan makna dan nilai. Kecerdasan ini terealisasi pada perilaku hidup individu yang mampu untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas, serta diikuti oleh kemampuan mereka dalam menilai dan membandingkan tindakan atau jalan hidupnya lebih bermakna dari yang lain (Zohar dan Marshall, 2000: 4). Di sisi lain, kecerdasan spiritual adalah kemampuan individu utuk memaknai setiap perilaku dan kegiatan sebagai ibadah melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju tauhid (integralistik) serta berprinsip hanya karena Allah (Agustian, 2001: 57). Menurut Ahmad Taufik (2005: 57), kecerdasan spiritual adalah sebuah semangat untuk memaknai hidup dengan nilai-nilai normatif Islam yang terkandung di dalam wahyu Al-Qur’an dan As-Sunnah yang kemudian menjadi acuan dalam aktifitas kehidupan. Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan yang dimiliki oleh individu yang berbentuk kemampuan untuk memaknai setiap dinamika kehidupan mereka sebagai bentuk pengabdian kepada Allah dan segala konskwensi perilaku yang mereka miliki senantiasa berpijak pada norma-norma yang telah diatur ajaran agama yang terdapat pada Al-Qur’an dan Hadits, sehingga segala aspek kehidupan yang mereka lalui bermakna ibadah. Kemampuan yang dihasikan oleh SQ akan berperan sebagai kontrol bagi mereka dalam memposisikan setiap pola kehidupan sehingga penuh makna. Dimensi spiritualitas dari paham dan penghayatan keberagamaan pada dasarnya merupakan sebuah perjalanan ke dalam diri manusia sendiri. Dalam pandangan para mistikus, kualitas manusia dan kemanusiaan yang paling primodial adalah bahwa ia merupakan makhluk spiritual puncak yang diciptakan 156 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Peran Kecerdasan Spiritual dalam Pencapaian Kebermaknaan Hidup (Fatma Lalili KN) Tuhan, dan oleh karenanya watak dasar manusia adalah bersifat baik. Ia senantiasa merindukan kedamaian, kebahagiaan, hubungan cinta kasih dan selalu ingin berdampingan dengan yang Maha Kasih. Karena sifat tersebut merupakan sifat dasar manusia, maka hanya dengan terpenuhi kebutuhan tersebut maka manusia akan merasakan kebahagiaan (Hidayat, 2006: 40). Memahami eksistensi dimensi spiritual yang ada pada diri manusia, maka memberi gambaran bahwa secara potensial kecerdasan spiritual merupakan bagian dari diri manusia itu sendiri sebagai bekal dari Allah. Dengan bekal yang telah di anugerahkan oleh Allah terhadap diri manusia yang berupa sifat-sifat spiritual tersebut, maka tugas manusia adalah menjaga eksistensi dari dimensi spiritual yang sudah ada serta mengembangkan sifatsifat tersebut ke ranah yang lebih puncak untuk mencapai kualitas kemanusiaannya. Bila selama ini manusia modern berpandangan bahwa pusat kebahagiaan hanya ada pada dataran hedonistik yang cenderung materialistis dan semu belaka, maka yang terjadi sebenarnya adalah ancaman bahwa mereka akan kehilangan arah dan tujuan hidup itu sendiri. Kebahagiaan yang diukur dengan materi dan hal-hal yang bersifat hedonis tersebut akan menjerumuskan manusia itu sendiri dikarenakan pada dasarnya letak sumber kebahagiaan tersebut tidak pada apa yang ada menurut persepsi duniawi mereka. Sebaliknya, individu yang mengembangkan potensi spiritual tersebut menjadi pedoman bagi hidup mereka, akan memperoleh kebahagiaan yang mereka butuhkan. Hal ini terjadi karena, tujuan hidup yang ingin mereka capai telah mereka tempuh sesuai dengan pedoman spiritual yang sudah mereka miliki. Tidak akan ada konflik yang merisaukan terkait antara motivasi hidup dan suara hati nurani yang lahir dari dimensi spiritual itu sendiri. Maka kebahagian akan mudah mereka wujudkan sesuai dengan eksistensi kemanusiaan itu sendiri. 2. Karakteristik SQ Potensi SQ yang terdapat pada diri manusia dapat terbaca dari beberapa hal. Untuk mengidentifikasi optimal tidaknya peran Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 157 Jurnal Bimbingan Konseling Islam SQ pada tiap individu, maka beberapa hal dibawah ini dapat dijadikan sebagai indikator tinggi rendahnya SQ yang terdapat dalam diri individu, yakni: a. Memiliki prinsip dan pegangan hidup yang jelas dan kuat yang berpijak pada kebenaran universal baik berupa cinta, kasih sayang,keadilan, kejujuran, toleransi dan integritas yang kesemuanya merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia. b. Memiliki kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan dan memiliki kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit (tranced pain). Hal ini akan ditampakkan dengan berbagai penderitaan, halangan, dan tantangan yang hadir dalam kehidupan dihadapi dengan senyum dan keteguhan hati, karena itu semua adalah bagian dari proses menuju kematangan kepribadian secara umum, baik kematangan intelektual, mental, moral-sosial ataupun spiritual. c. Memiliki kemampuan untuk memaknai semua pekerjaan dan aktivitasnya dalam kerangka dan bingkai yang lebih luas dan bermakna. d. Memiliki kesadaran diri (self-awarenness) yang tinggi dalam segala aktifitasnya sehingga ia mampu mengenal dirinya lebih baik dan lebih dalam sekaligus mampu mengenal tujuan dan misi hidupnya lebih jelas (Hasan,2006; 69-74). 3. Agama dan Spiritualitas Pada Manusia Eksistensi spiritualitas pada manusia tidak dapat dipisahkan dari peran keberagamaan pada manusia itu sendiri. Walaupun disisi lain, sebagian pendapat mengugkapkan bahwa tidak ada hubungan antara SQ dengan agama. Menurut Zohar & Marshal menegaskan bahwa tidak ada kaitan antara dimensi spiritualitas dengan keberagamaan seseorang, dengan bukti banyaknya orang yang humanis dan ateis yang memiliki SQ yang sangat tinggi, sebaliknya banyak orang yang aktif beragama memiliki SQ yang rendah. Menurutnya, agama hanya sebatas seperangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan secara 158 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Peran Kecerdasan Spiritual dalam Pencapaian Kebermaknaan Hidup (Fatma Lalili KN) eksternal, sedangkan SQ adalah kemampuan internal bawaan otak dan jiwa manusia yang bersumber dalam inti alam semesta itu sendiri (Zohar & Marshal, 2001: 8-9). Pendapat mereka sering sejalan dengan beberapa komunitas yang memandang agama hanya sebagai sesuatu yang telah mengalami degradasi karena begitu banyak mitos dan ‘institutionalized’ yang pada gilirannya tampil sebagai gerakan ideologi yang bersifat tertutup. Ketika nilai-nilai agama terlambangkan sedemikian rupa, maka yang muncul adalah pembekuan agama itu sendiri. Kondisi tersebut menjadi landasan bagi sebagian komunitas untuk mengadakan penolakan terhadap agama dan memisahkan antara agama dengan dimensi spiritualitas. Mereka yang memandang agama sebagaimana gambaran tersebut di atas kerap melahirkan kekuatan disintegratif dalam suatu masyarakat yang berujung pada konflik dan permusuhan yang sama sekali berseberangan dengan esensi yang terdapat dalam nilai-nilai agama itu sendiri yang identik dengan perdamaian dan penuh kasih sayang (Hidayat, 2011: 39). Pemahaman yang salah oleh sebagian komunitas tentang esensi nilai-nilai yang terkandung dalam suatu agama inilah yang menjadi landasan bagi mereka untuk menolak agama dan memisahkan dimensi spiritualitas dari eksistensi agama yang seharusnya merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Hasilnya, banyak masyarakat yang telah mampu menguasai dunia dengan segala fasilitas yang canggih sebagai produk keberhasilan suatu peradaban yang serba modern, atau banyak juga kita jumpai sebagian ilmuwan yang telah menghasilkan begitu banyak karya ilmiah yang mampu merubah wajah dunia menjadi berperadaban serba maju, akan tetapi mereka sendiri mengalami kekosongan pada dimensi penghayatan keberagamaannya. Semua teori yang telah mereka kembangkan hanya berada pada dataran kognitifrasional belaka. Mereka masih mengalami kemiskinan dalam upaya pengenalan dimensi bantinnya sebagai makhluk spiritual. Dadang Hawari (1997) mengatakan bahwa masalah utama dalam suatu masyarakat yang modern adalah terjadinya pergeseran kebenaran-kebenaran abadi sebagaimana yang terkandung dalam Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 159 Jurnal Bimbingan Konseling Islam ajaran agama yang dengan sengaja disisihkan karena dianggap kuno, sebaliknya masyarakat hanya berpegang pada kebutuhan materi dan tujuan yang bersifat duniawi semata. Kekosongan peran agama pada sebagian masyarakat menimbulkan ketidakpastian fundamental di bidang hukum, moral, norma, nilai, dan etika kehidupan. Kondisi tersebut berujung pada munculnya stress kehidupan yang oleh Ivan Illich dikatakan sebagai problem utama masyarakat modern dewasa dengan bentuk ketidakpuasan, ketidakbahagiaan, keserakahan, niat jahat, kecemasan terhadap nilai-nilai, berbagai penyimpangan dan kelainan serta hilangnya kontrol diri pada masyarakat. Bila kita menyadari sepenuhnya, bahwa yang terjadi sebenarnya adalah kebanyakan diantara kita menjadi berkembang pesat saat kita menganut suatu keyakinan dasar yang sangat mendalam dan kebanyakan manusia menjadi tersesat tanpa itu. Bahkan adanya keyakinan keberadaan “titik Tuhan” dalam susunan syaraf otak manusia menunjukkan bahwa kemampuan untuk menjalani semacam pengalaman keagamaan atau keyakinan memberikan suatu keuntungan evolusioner pada manusia (Zohar & Marshal, 2001: 258). Kesatuan peran antara SQ dan agama bagaikan keping mata uang. Agama di sini dapat dipandang sebagai aturan yang menjadi pedoman bagi manusia dalam menemukan tujuan dari hidupnya. Dalam realisasinya, manusia menjalankan aturan tersebut dibantu oleh dimensi spiritual yang sekaligus menjadi modal dasar baginya dalam menjalani hidup yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan itu sendiri. Tanpa adanya agama, manusia akan mengalami kehampaan dan kebodohan dalam mengaktualisasikan potensi spiritualnya. D.Kecerdasan Spiritual dan Kebermaknaan Hidup Sebagaimana yang dikatakan oleh Viktor Frankl, bahwa pencarian makna hidup merupakan motivasi penting dalam hidup manusia. Pencarian inilah yang pada akhirnya memposisikan manusia sebagai makhluk spiritual. 160 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Peran Kecerdasan Spiritual dalam Pencapaian Kebermaknaan Hidup (Fatma Lalili KN) Modal sifat-sifat spiritual yang telah dianugerahkan Allah pada hambaNya tidak mungkin tersia-siakan begitu saja. Sebagaimana eksistensi aspek intelektual dan emosional yang membentuk kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan Emosional (EQ), dan teraktualisasi dalam sikap dan perilaku yang sangat berperan dalam kehidupan manusia, kecerdasan spiritualpun juga memiliki kebutuhan untuk direalisasikan peranya. SQ merupakan aspek yang sangat fundamental dalam memenuhi kebutuhan manusia yang sangat mendasar yakni kebermaknaan hidup. Bila memahami karakteristik dari peran SQ itu sendiri, tampak bahwa fungsi-fungsi yang diperankan oleh SQ mampu membantu individu untuk mencapai kebermaknaan hidupnya. Dengan kontribusi SQ, individu akan memperoleh arahan tentang bagaimana ia mensikapi hidupnya serta di mana ia harus berpijak pada kebenaran yang universal. Dalam menjalani kehidupannya, individu dengan SQ yang tinggi tetap merasa tegar walaupun dalam keadaan yang sulit sekalipun. Penderitaan mampu mereka hayati sebagai suatu proses yang mampu memotivasi dan memberi kontribusi bagi pencapaian hidup yang lebih bermakna. Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa pengalaman penderitaan (suffering) sering dikaitkan dengan perkembangan spiritual manusia itu sendiri. Disebutkan dalam kisah Sidarta Gautama, di mana ia mengalami krisis eksistensi yang berdampak pada penderitan yang panjang ia rasakan. Demikian juga dengan pengalaman Isra’ Mi’raj Rosulullah Muhammad Saw yang terjadi setelah kematian istri dan paman beliau, yang pada akhirnya semakin memperkuat eksistensi kerasulan beliau serta semakin mendongkrak kematangan dimensi spiritual beliau (Subandi, 2009: 204). Maka dapat dipahami bahwa selain SQ yang tinggi akan mampu memberi kekuatan bagi individu untuk tetap tegar dalam kehidupannya, disisi lain hal itu juga akan berimbas pada semakin mematangkan dimensi spiritual itu sendiri sehingga tujuan untuk mencapai hidup lebih bermakna akan terealisir. Eksistensi SQ juga akan menjadi modal bagi individu untuk mencapai kebermaknaan hidup saat berkolaborasi dengan Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 161 Jurnal Bimbingan Konseling Islam nilai-nilai yang menjadi sumber kebermaknaan hidup. Dalam memahami suatu pekerjaan, eksistensi SQ akan memotivasi individu untuk melewati segala beban kerja dengan etos kerja yang tinggi. Semua pekerjaan dan aktivtas yang diemban tiap individu dengan bermodal SQ akan berdampak pada sikap yang positif dalam memaknai semua pekerjaannya. Bekerja bagi mereka merupakan sarana untuk merealisasikan eksistensi mereka sebagai khalifah dan abdillah (hamba Allah) sehingga muatan pekerjaan yang mereka jalani adalah bernilai positif dan produktif. Salah satu karakteristik SQ yang mampu membantu proses pencapaian kebermaknaan hidup adalah kesadaran diri yang kuat. Kesadaran diri akan membantu individu tersebut untuk mengenali identitas dan eksistensi dirinya sendiri serta membantu untuk mengidentifikasi tujuan dalam setiap aktifitas yang dilakukan. Dalam peran manusia sebagai makhluk yang beragama, tentunya kesadaran diri ini akan berdampak pada kemampuan dia dalam menjalani tugas-tugas kehidupan secara efektif, menghayati perannya sebagai hamba Allah, memantapkan setiap aktifitas sebagai unsur pengabdian pada Sang Kholik serta mampu menghayati segala tantangan, permasalahan hidup, penderitaan adalah bagian dari ibadah dan proses pencapaian kebermaknaan hidup. Serangkaian proses tersebut akan mampu membawa individu pada pola perkembangan kepribadian yang lebih matang, kondusif, produktif serta berindikasi pada kesehatan mental. Craumbagh (dalam Bastaman, 2005) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi manusia dalam mencapai kebermaknaan dalam hidupnya adalah dengan menjalankan ibadah. Karena dengan ibadah secara khusyu’ manusia secara hakiki mampu menemukan makna hidupnya dengan mendekatkan diri pada agama serta mendapakan ketenangan menghadapi persoalan-persoalan hidup dengan lebih bijaksana.. Peranan agama sebagai dasar terpenting dalam menopang kehidupan seseorang untuk lebih bermakna sehingga dalam kondisi apapun ia tetap berpegang teguh pada fungsi-fungsi 162 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Peran Kecerdasan Spiritual dalam Pencapaian Kebermaknaan Hidup (Fatma Lalili KN) dan hakekat kemanusiaannya sebagai abdi dan khalifah di muka bumi. Jika manusia dalam posisi sadar penuh akan eksistensinya sebagai makhluq yang mengemban tugas untuk membangun kehidupan dimuka bumi, maka saat mereka dalam posisi yang labil tentu akan tetap berpegang teguh pada tujuan eksistensi kemanusiaannya. Konsistensi manusia dalam memegang fungsi dari perannya tersebut akan menciptakan stabilitas emosional yang akan berdampak pada perilaku sosial yang kondusif, adaptif dan produktif. Keberhasilan manusia untuk memerankan fungsi kemanusiaannya yang ideal akan menentukan kebahagiaan hidup yang berimbas pada mereka sendiri sehinga keinginan untuk mencapai kebermaknaan hidup akan terwujud. Maka, peranan agama sebagai sarana aktualisasi dimensi spiritual berkontribusi dalam mengaktualisasikan potensi sifatsifat spiritual yang sangat membantu dalam proses pencapaian kebutuhan akan kebermaknaan hidup. Dengan agama maka potensi spiritual memperoleh media untuk mengaplikasikannya dalam setiap pola kehidupan individu sehingga langkah yang ditempuh menjadi terarah. Di sini disebabkan eksistensi agama itu sendiri merupakan seperangkat aturan yang berperan sebagai petunjuk bagi manusia. Tanpa agama, maka potensi spiritual yang telah ada tidak akan terfungsikan secara optimal, terlebih dalam sebuah proses pencapaian kebermaknaan hidup pada setiap individu. E. Simpulan. Kebutuhan akan hidup bermakna merupakan kebutuhan yang mutlak dimiliki oleh setiap individu. Motivasi untuk pencapaian kehidupan bermakna banyak disebabkan oleh eksistensi individu itu sendiri sebagai makhluk yang secara potensial telah memiliki sifat-sifat spiritual. Konsekuensi sifat spiritual yang dimiliki tiap individu mengarahkan pada suatu proses pencarian makna hidup dimana peran sifat-sifat spiritual tersebut adalah sebagai media, kontrol sekaligus motivator bagi setiap individu untuk mencapai hidup penuh makna. Sehingga dapat difahami bahwa peran SQ akan Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 163 Jurnal Bimbingan Konseling Islam berdampak pada proses pencarian kebermaknan hidup pada setiap individu. Seperangkat nilai-nilai yang menjadi sumber kebermaknaan hidup yang berupa nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan dan nilai-nilai bersikap, akan mudah dicapai dengan kontribusi peran SQ. Kolaborasi antara ketiga nilai kebermaknaan hidup dengan SQ akan menjadi serangkaian proses dalam pencapaian kebermaknaan hidup yang akan berjalan secara berkesinambungan. Hasil yang akan dicapai dari peran keduanya adalah pola adaptasi individu yang efektif, kondusif dan produktif dalam setiap keadaan yang diharapkan akan berdampak pada tercapainya kebermaknaan hidup sebagai indikator kesehatan mental. 164 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 Peran Kecerdasan Spiritual dalam Pencapaian Kebermaknaan Hidup (Fatma Lalili KN) DAFTAR PUSTAKA Agustian, Ari Ginanjar, 2001, ESQ Emotional Spiritual Question, Jakarta: Arga Bastaman, Hanna Djumhana, 1995, Integrasi Psikologi Dengan Islam Menuju Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Frankl, Victor, 2003, Logoterapi: Terapi Psikologi Melalui Pemaknaan Eksistensi (terj), Yogyakarta: Kreasi Wacana Hasan, Abdul Wahid, 2006, SQ Nabi: Aplkasi Strategi & Model Kecerdasan Spiritual (SQ) Rosulullah di Masa Kini, Yogyakarta: IRCiSoD Hawari, Dadang, 1997, Al Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. Hidayat, Komarudin, 2011, Psikologi Kematian; Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme, Bandung: Mizan. Koeswara, E, 1987, Psikologi Eksistensial, Suatu Pengantar, Bandung: PT Eresco Nasution, Ahmad Taufiq, 2005, Metode Menjernihkan Hati, Bandung: Al-Bayan Subandi, 2009, Psikologi Dzikir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Zohar dan Marshal, 2001, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Bandung: Mizan http://www.surabayaehealth.org/ Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012 165 Jurnal Bimbingan Konseling Islam PEDOMAN PENULISAN NASKAH JURNAL Jurnal Konseling Religi menerima tulisan dalam bentuk artikel, resensi hasil penelitian, analisis teori, yang berkaitan dengan tema konseling religi. Tulisan yang masuk akan diseleksi oleh redaksi. Tulisan harus memenuhi persyaratan berikut: 1. Tulisan mengacu pada pengembangan teori dan aplikasi ilmu bimbingan, penyuluhan, dan konseling Islam 2. Banyaknya tulisan antara 15-25 halaman dengan ukuran kertas A4 (kuarto), spasi 1,5, dan bentuk font Times New Roman 3. Kerangka tulisan meliputi: Judul, nama penulis (tanpa gelar), instansi penulis, abstrak (100-150 kata), kata kunci (key words), pendahuluan, pembahasan, penutup, dan daftar pustaka. Contoh penulisan Daftar Pustaka: Buku: Yunus, Muhammad, 1983, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Jakarta: P3A Depag RI Artikel: Adlin, A. dan I. Suryolaksono, 2000, “Reduksi Konsepsi Manusia: Tinjauan Umum Pada Era Pramodernisme, Modernisme, dan Postmodernisme”, Journal of Psyché, Vol. 1 4. Abstrak dalam bahasa Inggris kalau naskahnya bahasa Indonesia. Kalau naskah berbahasa asing, abstrak berbahasa Indonesia. 5. Kutipan ditulis dalam middle note (nama belakang penulis, koma, tahun, titik dua, halaman). Contoh: (Muthahhari, 2001: 195) 6. Tulisan diserahkan ke redaksi dalam bentuk print out, atau kirim lewat email: [email protected] 166 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012