Jurnal Konseling Religi Prodi BKI Jan-Jun 2012

advertisement
KONSELING RELIGI
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Jurusan Dakwah
Program Studi Bimbingan Penyuluhan Islam
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JAWA TENGAH
KONSELING RELIGI
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
ISSN: 1907-7238
Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Susunan Redaksi
Pelindung
Ketua STAIN Kudus
Penanggung Jawab
Mubasyaroh
Penyunting Ahli/Mitra Bestari
Ahmad Hakim
Jauharotul Farida
Redaktur
Ahmad Zaini
Farida
Yuliyatun
Alamat Redaksi
Kantor Jurusan Dakwah Program
Studi Bimbingan Konseling
Islam STAIN Kudus Jl. Conge
Ngembalrejo PO BOX 51 Telp.
(0291) 432677, Fax 441613
Kudus 59322 Jawa Tengah .
Email:[email protected]
Penyunting / Editor
Fatma Laili Khoirun Nida
Irzum Farihah
Mas’udi
Desain Grafis dan Fotografer
Nur Ahmad
Ahmad Anif
Sekretariat
Istikomatul Khassanah
PENGANTAR REDAKSI
Bismillahirrahmanirrahim
Teriring puji dan syukur ke hadirat Ilahi kemudian
shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad Saw., lentera
bumi, penerbitan Jurnal Konseling Religi edisi Januari - Juni
2012, Volume 3, Nomor 1 ini terlaksana. Keterlaksanaan
penerbitan jurnal ini secara niscaya melibatkan berbagai pihak
yang telah berkecimpung dengan intens untuk penerbitannya.
Jurnal Konseling Religi sebagai jurnal yang bergerak
dalam publikasi wacana-wacana bimbingan, penyuluhan, dan
konseling Islam merupakan media utama segenap akademisi
dan praktisi untuk mempublikasikan hasil karya ilmiah temuan
masing-masing. Beberapa muatan jurnal (content analysis) dalam
edisi ini secara eksplisit mengupas berbagai segmen yang menjadi
cakupan bimbingan, penyuluhan, dan konseling Islam. Secara
menyeluruh, cakupan pembahasan pada konsentrasi Jurnal
Konseling Religi diarahkan untuk mengupas berbagai wacana
atau hasil penelitian yang berhubungan dengan beberapa term
tersebut.
Untuk mengukuhkan pembidangan dan verifikasi
jurnal bertaraf nasional dan internasional, Jurnal Konseling
Religi secara intensif mendahulukan berbagai rumusan
pembahasan yang (de facto) dan (de jure) pembidangannya
memiliki fokus yang dapat dipertanggungjawabkan. Masingmasing pembahasan dalam cakupan jurnal edisi ini secara
progresif menampilkan satu wadah penyajian yang mengarah
-v-
pada konsentrasi utama Jurnal Konseling Religi, bimbingan,
penyuluhan, dan konseling Islam. Tanpa mengabaikan titik saji
atas komparasi wacana dengan prinsip sekuler, Jurnal Konseling
Religi bergerak untuk membumikan prinsip pokok syariah
Islam terhadap nilai-nilai yang berkembang di Barat. Prinsipprinsip integrasi keilmuan sebagai mata rantai pengetahuan
kontemporer secara niscaya dikedepankan demi mewujudkan
interkoneksi dalam rangkaian pengetahuan yang sinergis.
Akhirnya, sebagai wujud pengabdian dan pengukuhan
atas eksistensi Tri Dharma Perguruan Tinggi, segenap redaktur
ber-i’tikad bahwa publikasi Jurnal Konseling Religi edisi ini
menjadi tahapan berarti bagi pertumbuhan khazanah keilmuan
kontemporer. Tanpa menepis adanya kealpaan sebagai manusia,
perbaikan ke depan guna membumikan kajian-kajian keislaman
lebih progresif, segenap redaktur mengharap saran dan kritik
dari segenap pembaca. Berikutnya, dengan senantiasa membuka
saran dan kritik dimaksud, redaktur mengajak kepada segenap
pembaca untuk menyumbangkan karya ilmiah dalam bidangbidang kajian jurnal ini agar dikirimkan ke alamat email;
[email protected] atau Jurusan Dakwah STAIN
Kudus Gedung Barat Lt. 2. Jl. Conge, Ngembalrejo, PO. Box 51,
Kudus, Jawa Tengah, Kode Pos 59322.
Semoga bermanfaat!
Redaksi
- vi -
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi v
Daftar Isi vii
PENGENALAN
SEJAK
DINI
PENDERITA
MENTAL
KECERDASAN SPIRITUAL
MENANGANI PERILAKU MENYIMPANG
DALAM
DISORDER
Oleh: Mubasyaroh  1 - 20
 PENTINGNYA
Oleh: Ani Agustiyani Maslahah  21 - 34
 TRANSFORMASI
SOSIAL
KEAGAMAAN
PADA
MASYARAKAT SAMIN (Hasil Penelitian pada Masyarakat
Desa Kemantren Kec. Kedungtuban Kab. Blora)
Oleh: Abdul Wahib  35 - 50
 MEMBUMIKAN PERAN DA’I DALAM PEMBINAAN
KEAGAMAAN PADA MASYARAKAT
Oleh: Ahmad Zaini  51 - 66
 PERANAN PARTAI POLITIK DALAM PERSPEKTIF
DAKWAH
Oleh: Rustam Aji  67 - 86
- vii -
 STRATEGI KULTURAL ISLAM BERPIJAK DARI DAKWAH
SUNAN KUDUS
Oleh: Syaiful Arif  87 - 110
 PEMIKIRAN DAN GERAKAN DAKWAH IKHWANUL
MUSLIMIN
Oleh: Abdurrahman Kasdi  111 - 124
 PERSPEKTIF PSIKOTERAPIS MAKNA TAUBAT DALAM
PROSES PENYEMBUHAN PENYAKIT JANTUNG KORONER
(Melalui Penggunaan Media Surat Al Fatihah [01]: 1 – 7)
Oleh: Ubaidillah  125 - 148
 PERAN KECERDASAN SPIRITUAL DALAM PENCAPAIAN
KEBERMAKNAAN HIDUP
Oleh: Fatma laili Khoirun Nida  149 - 165
Pedoman Penulisan
- viii -
PENGENALAN SEJAK DINI
PENDERITA MENTAL DISORDER
Oleh: Mubasyaroh
Dosen STAIN Kudus
Abstrak
Mental disorder merupakan bentuk gangguan dan kekacauan
fungsi mental yang disebabkan oleh kegagalan mereaksinya
mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan terhadap stimuli
eksternal dan ketegangan-ketegangan sehingga muncul gangguan
pada struktur kejiwaan. Gangguan mental merupakan totalitas
kesatuan dari ekspresi mental yang patologis terhadap stimulus
sosial, yang dikombinasikan dengan faktor-faktor sekunder
lainnya. Seperti halnya rasa pusing, sesak nafas, demam panas
dan nyeri-nyeri pada lambung sebagai pertanda permulaan dari
penyakit jasmani, maka mental disorder itu mempunyai pertanda
awal antara lain: kecemasan, ketakutan, pahit hati, dengki, apatis,
cemburu, iri, marah-marah secara eksplosif, asosial, ketegangan
kronis, dan lain-lain. Maka kesehatan mental yang baik itu,
berarti mempunyai perasaan positif tentang diri sendiri, mampu
menyelesaikan masalah dan tekanan hidup sehari-hari, dan bisa
membentuk dan menjaga hubungan baik dengan orang lain.
Selama ini kita sudah memahami pentingnya menjaga kesehatan
fisik. Tapi menjaga kesehatan mental juga sama pentingnya dengan
kesehatan fisik. Kenyataannya, kesehatan mental yang buruk akan
mengakibatkan kesehatan fisik yang buruk pula.
Keywords: Mental Disorder, Gangguan Jiwa, Kekalutan Mental,
Solusi.
A.Pendahuluan
Kalau kita perhatikan orang-orang dalam kehidupannya
sehari-hari akan tampak bermacam-macam gejala yang terlihat.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
1
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Ada yang selalu kelihatan gembira dan bahagia meski apapun
yang menimpa padanya. Pada sisi lain, ada pula orang yang
sering mengeluh dan bersedih hati, tidak cocok dengan orang
lain dalam pekerjaan, dan tidak bersemangat serta tidak dapat
memikul tanggung jawab.
Sebagaimana diketahui, perilaku atau aktivitas yang
ada pada individu atau organisme itu tidak timbul dengan
sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima
oleh organisme yang bersangkutan baik stimulus internal
maupun stimulus eksternal. Namun demikian sebagian besar
dari perilaku organisme itu sebagai respon terhadap stimulus
eksternal.
Skinner dalam Walgito membedakan perilaku menjadi
dua: perilaku yang alami (innate behavior) dan perilaku operan
(operan behavior). Perilaku alami yaitu perilaku yang dibawa sejak
organisme dilahirkan, yaitu berupa refleks-refleks dan instinkinstink, sedangkan perilaku operan yaitu perilaku yang dibentuk
melalui proses belajar. Perilaku yang refleksif merupakan perilaku
yang terjadi sebagai reaksi secara spontan terhadap stimulus yang
mengenai organisme yang bersangkutan. Misal reaksi kedipan
mata bila kena sinar yang kuat (Walgito, 2003: 15).
Pada perilaku non-refleksif atau operan lain keadaannya,
perilaku ini dikendalikan atau diatur oleh pusat kesadaran atau
otak. Dalam kaitan ini stimulus setelah diterima oleh reseptor,
kemudian diteruskan ke otak sebagai pusat susunan syaraf,
sebagai pusat kesadaran, kemudian baru terjadi respons melalui
afektor (Branca, 1964).
Di samping itu perilaku individu juga dapat dipengaruhi
oleh kondisi psikologis (kejiwaan) individu yang bersangkutan.
Di antara faktor kejiwaan yang mempengaruhi perilaku individu
adalah kondisi mental disorder atau kekalutan mental yaitu bentuk
gangguan dan kekacauan fungsi mental (kesehatan mental) yang
disebabkan oleh kegagalan mereaksinya mekanisme adaptasi
dari fungsi-fungsi kejiwaan/mental terhadap stimuli, sehingga
muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur pada satu
bagian, satu organ, atau sistem kejiwaan.
2
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Pengenalan Sejak Dini Penderita Mental Disorder (Mubasyaroh)
Gangguan mental ini merupakan totalitas kesatuan
dari ekspresi mental yang patologis terhadap stimuli sosial,
dikombinasikan dengan faktor-faktor penyebab sekunder lainlainnya. Individu-individu yang tidak mampu melakukan
adjustment itu selalu tidak conform tindakannya dengan normanorma dan kebiasaan sosial. Mereka selalu mengalami banyak
ketegangan dan tekanan batin, disebabkan oleh sanksi batin
sendiri, ataupun oleh sanksi-sanksi sosial. Tuntutan sosial dari
lingkungan sosial dan proses modernisasi menjadi semakin
banyak dan berat. Jika gangguan-gangguan emosional dan
ketegangan batin itu berlangsung terus menerus, menjadi kronis
terjadi dalam waktu panjang, maka muncullah macam-macam
kekalutan mental.
Seperti halnya rasa-rasa pusing, sesak nafas, demam
panas dan nyeri-nyeri pada lambung sebagai pertanda
permulaan dari penyakit jasmani, maka mental disorder atau
gangguan jiwa juga mempunyai tanda-tanda antara lain: cemascemas, ketakutan, pahit hati, dengki, apatis, cemburu, iri,
marah-marah secara eksplosif, a-sosial, ketegangan kronis, dan
lain-lain. Intinya mental disorder merupakan bentuk gangguan
pada ketenangan batin dan harmoni dari struktur kepribadian
(Kartono, 2001: 229).
Jasmani yang sehat antara lain ditandai dengan ciri-ciri;
memiliki energi, stamina atau daya tahan, kuat bekerja, dan
badan selalu merasa sehat nyaman. Adapun orang yang memiliki
mental sehat mempunyai tanda-tanda sebagai berikut:
1. Ada koordinasi dari segenap energi, potensi dan
aktivitasnya
2. Memiliki integrasi dan regulasi terhadap struktur
kepribadian
3. Efisien dalam setiap tindakannya
4. Memiliki tujuan hidup
5. Memiliki gairah dan tenang serta harmonis hidupnya
(Kartono, 2001: 230).
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
3
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Orang yang sehat mentalnya akan mudah menyesuaikan
diri terhadap tuntutan lingkungannya, juga mampu berpartisipasi aktif, dan lancar mengatasi semua masalah yang
timbul pada perubahan-perubahan sosial.
B.Beberapa Teori mengenai Mental Disorder
Ada beberapa yang dapat digunakan untuk mengetahui
tentang mental disorder di antaranya adalah:
1. Teori Demonoligis vs Teori Naturalistik
Teori demonologis menyebutkan sebab-sebab mental
disorder ialah unsur-unsur gaib dan setan-setan/roh jahat atau
sebagai hasil perbuatan dukun-dukun jahat. Kitab Injil misalnya
mengemukakan beberapa bentuk “gangguan kepribadian” atau
kekalutan mental. Akan tetapi pada zaman dahulu fenomena itu
disebut sebagai tanda-tanda mistik, takhayul, kekuatan setan,
guna-guna dan sihir.
Teori demonologis membedakan tipe kekalutan mental
yang jahat dan tipe kekalutan mental baik, yang memberikan
kebajikan. Tipe yang jahat ialah mereka yang dianggap
berbahaya, bisa merugikan dan membunuh orang lain. Tingkah
laku abnormal itu dianggap sebagai “perbuatan setan”, jahat
dan berdosa. Sedang tipe yang baik, yang secara mistik dianggap
“penyalit suci” ialah gejala epilepsi atau ayan. Beberapa di antara
bekas penderita ayan ini diperkenankan memberikan pengobatan
kepada pasien-pasien lain melalui doa-doa, sembahyang dan
penebusan dosa (Kartono, 2001: 237).
Sebaliknya, teori naturalis menyatakan sebagai berikut:
tingkah laku menyimpang dan kekalutan mental ditimbulkan
oleh proses fisik/jasmaniah. Tingkah laku menyimpang dan
kacau-kalut itu selalu berhubungan dengan fungsi-fungsi jasmani
yang kalut dan abnormal; dan bukan disebabkan oleh gejala
spiritual. Dengan demikian teori naturalis memberikan antitesis
langsung terhadap doktrin demonologis, dan menyatakan ajaran
demonologis sebagai tidak logis, dan jelas penuh unsur takhayul.
4
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Pengenalan Sejak Dini Penderita Mental Disorder (Mubasyaroh)
Aliran naturalis menganjurkan, agar perlakuan terhadap
orang-orang yang terganggu atau kalut jiwanya itu lebih
humanistis dan lebih lunak, dengan menghapus semua bentuk
pasungan, perantaian dan siksaan. Selanjutnya para penderita
gangguan tersebut hendaknya diobati serta dihargai sesuai
dengan martabat kemanusiaannya.
2. Teori Organis vs Teori Psikologis
Teori ini berbeda pendapat dengan teori sebelumnya
mengenai sebab-sebab mental disorder. Menurut teori organis,
sebab utama mental disorder adalah kerusakan pada jaringanjaringan otot atau gangguan biokhemis pada otak; masingmasing disebabkan oleh efek genetis, disfungsi pada endokrin,
infeksi atau luka-luka. Mereka berkeyakinan, bahwa apabila
pada suatu saat bisa ditemukan campuran kimia yang tepat, dan
bisa menemukan teknik pembedahan yang lebih akuran/cermat,
pastilah para sarjana akan mampu menemukan penyebabpenyebab fisik dari penyakit jiwa dan semua gangguan mental.
Sebaliknya, para penganut teori psikologi berpendirian,
bahwa sebab-sebab mental disorder adalah kebiasaan-kebiasaan
belajar yang patologis dan keliru sehingga direfleksikan dengan
ketidakmampuan memenuhi tuntutan hidup menurut pola umum
(pola yang wajar).
Sigmund Freud sebagai tokoh psikoanalisa berpendapat
bahwa penyebab mental disorder bukan karena fisik, tetapi
disebabkan oleh proses belajar yang keliru dari individu yang
bersangkutan.
3. Teori Intrapsikis dan Teori Behavioristis
Menurut teori intrapsikis tempat dari psikopatologi atau
gangguan jiwa itu ada dalam kepribadian seseorang, sebagai
bentuk kesalahan karakter yang serius atau sebagai konflik yang
menyusup tajam dan dalam pada kehidupan kejiwaan. Tingkah
laku abnormal dan menyimpang itu selalu berkaitan dengan
gangguan-gangguan internal yaitu berupa kekuatan-kekuatan
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
5
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
yang saling berkonflik, dan beroperasi mengganggu dalam
kepribadian seseorang.
Pada sisi lain penganut teori behavioristis mengembangkan teori refleks terkondisi pada manusia dan binatang, yang
menyatakan: prinsip-prinsip belajar pada tingkah laku abnormal/
menyimpang itu menjadi sumber penyebab dari tingkah laku
abnormal. Menurut teori ini tingkah laku abnormal, menyimpang,
kalut, anarkis, kacau, sakit, psikopatologis adalah bentuk
kebiasaan-kebiasaan yang maladaptife; salah dalam penyesuaian
dirinya. Maka tingkah laku abnormal adalah bentuk tingkah laku
lahiriah/eksternal.
4. Teori Psikoanalisa: Konflik dan Fiksasi dan Behaviorisme:
Stimulus-Respon, Belajar dan Psikopatologi
Menurut toeri psikoanalisa sumber dari semua ganguan
mental itu terletak dalam individu sendiri, yaitu berupa
pertempuran batin, antara dorongan-dorongan infantil melawan
pertimbangan yang matang dan rasional. Berkaitan dengan ini,
simptom-simptom lahiriah dalam bentuk tingkah laku abnormal
dan menyimpang (gangguan mental) itu merupakan bentuk
permukaan dari gangguan-gangguan intrapsikis yang serius.
Teori yang dipelopori oleh Sigmund Freud ini berpendapat
bahwa faktor-faktor kultural dan intrapersonallah yang menjadi
sumber penyakit dari tingkah laku abnormal dan mental
disorder.
Teori behavioristis yang dipelopori Ivan Pavlov
berpendapat lain, semua tingkah laku abnormal dan mental
disorder itu timbul dari proses pengkondisian, dan tidak
menjelaskannya dari pengertian fiksasi atau motif-motif tidak
sadar.
C.Sebab-sebab Mental Disorder
Penderitaan batin dalam ilmu psikologi dikenal sebagai
mental disorder. Secara lebih sederhana mental disorder
atau
kekalutan mental adalah gangguan kejiwaan akibat
ketidakmampuan seseorang menghadapi persoalan yang harus
6
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Pengenalan Sejak Dini Penderita Mental Disorder (Mubasyaroh)
diatasi sehingga yang bersangkutan bertingkah laku secara kurang
wajar. Gejala permulaan bagi seseorang yang mengalami mental
disorder atau kekalutan mental adalah:
1. Nampak pada jasmani yang sering merasakan pusing, sesak
napas, demam, dan nyeri pada lambung.
2. Nampak pada kejiwaannya dengan rasa cemas, ketakutan,
patah hati, apatis, cemburu, mudah marah.
Tahap-tahap gangguan kejiwaan adalah :
1. Gangguan kejiwaan nampak pada gejala-gejala kehidupan si
penderita baik jasmani maupun rohani.
2. Usaha mempertahankan diri dengan cara negatif.
3. Kekalutan mental merupakan titik patah (mental breakdown)
dan yang bersangkutan mengalami gangguan.
Sebab-sebab timbulnya mental disorder:
1. Kepribadian yang lemah akibat kondisi jasmani atau mental
yang kurang sempurna.
2. Terjadinya konflik sosial budaya.
3. Cara pematangan batin yang salah dengan memberikan reaksi
yang berlebihan terhadap kehidupan sosial.
Proses mental disorder yang dialami seseorang
mendorongnya ke arah positif dan negatif. Positif; trauma jiwa yang
dialami dijawab dengan baik sebagai usaha agar tetap survive dalam
hidup, misalnya melakukan salat tahajud, ataupun melakukan
kegiatan yang positif setelah kejatuhan dalam hidupnya. Negatif;
trauma yang dialami diperlarutkan sehingga yang bersangkutan
mengalami fustasi, yaitu tekanan batin akibat tidak tercapainya apa
yang diinginkan. Bentuk frustasi antara lain:
1. Agresi berupa kamarahan yang meluap-luap akibat emosi
yang tak terkendali dan secara fisik berakibat mudah terjadi
hipertensi atau tindakan sadis yang dapat membahayakan
orang sekitarnya.
2. Regresi adalah kembali pada pola perilaku yang primitif atau
kekanak-kanakan.
3. Fiksasi adalah peletakan pembatasan pada satu pola yang sama
(tetap) misalnya dengan membisu.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
7
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
4. Proyeksi merupakan usaha melemparkan atau memproyeksikan
kelemahan dan sikap-sikap sendiri yang negatif kepada orang
lain.
5. Identifikasi adalah menyamakan diri dengan seseorang yang
sukses dalam imaginasinya.
6. Narsisme adalah self love yang berlebihan sehingga yang
bersangkutan merasa dirinya lebih superior dari pada orang lain.
7. Autisme ialah menutup diri secara total dari dunia ril, tidak mau
berkomunikasi dengan orang lain, ia puas dengan fantasinya
sendiri yang dapat menjurus ke sifat yang sinting.
Penderitaan kekalutan mental banyak terdapat dalam
lingkungan seperti:
1. Kota-kota besar.
2. Anak-anak usia muda.
3. Wanita.
4. Orang yang tidak beragama.
5. Orang yang terlalu mengejar materi.
Apabila kita kelompokkan secara sederhana berdasarkan
sebab-sebab timbulnya penderitaan, maka penderitaan manusia
dapat diperinci sebagai berikut:
1. Penderitaan yang timbul karena perbuatan buruk manusia.
2. Penderitaan yang timbul karena penyakit, siksaan/azab Tuhan.
Orang yang mengalami penderitaan mungkin akan
memperoleh pengaruh bermacam-macam dan sikap dalam
dirinya. Sikap yang timbul, penyesalan karena tidak bahagia,
sikap kecewa, putus asa, atau ingin bunuh diri. Kelanjutan dari
sikap negatif ini dapat timbul sikap anti, misalnya anti kawin
atau tidak mau kawin, tidak punya gairah hidup, dan sebagainya.
Sikap positif yaitu sikap optimis mengatasi penderitaan, bahwa
hidup bukan rangkaian penderitaan, melainkan perjuangan
membebaskan diri dari penderitaan dan penderitaan itu adalah
hanya bagian dari kehidupan. Sikap positif biasanya kreatif, tidak
mudah menyerah, bahkan mungkin timbul sikap keras atau sikap
anti. Misalnya sifat anti kawin paksa, ia berjuang menentang
kawin paksa, dan lain-lain.
8
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Pengenalan Sejak Dini Penderita Mental Disorder (Mubasyaroh)
Di samping itu, munculnya mental disorder pada seseorang
bisa terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan. Sebagaimana
diketahui bahwa setiap manusia memiliki bermacam-macam
kebutuhan untuk mempetahankan eksistensinya. Sehingga
timbullah dorongan, usaha dan dinamisme untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Adapun kebutuhan tersebut dapat
dikategorikan sebagai berikut:
1. Kebutuhan fisis biologis, organis dan kebutuhan vital.
Misalnya makan, minum, tidur, udara segar, pakaian dan
istirahat. Jika hal ini tidak terpenuhi akan mengakibatkan
ancaman bagi eksistensi hidupnya.
2. Kebutuhan sosial, bersifat human/kemanusiaan atau sosio budaya.
Kebutuhan ini banyak macamnya di antaranya adalah;
kebutuhan seksual, bekerja, mencari teman atau partner,
berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, studi, hidup
berkelompok, menciptakan budaya dan sebagainya.
3. Kebutuhan metafisis, religius atau transendental.
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu mencari Aku lain/
Dikau. Dia tidak mau secara psikis terisolir dari jenisnya. Dia
membutuhkan kontak dan komunikasi dengan orang lain. Dia
ingin dicintai dan mencintai orang lain. Dia ingin mendapatkan
posisi dan status sosial.
Dengan demikian, melalui komunikasi dengan orang lain
manusia bisa merealisasikan diri dan memanusiakan manusia.
Jika kebutuhan manusia untuk berkomunikasi dengan orang lain
tidak terpenuhi atau terganggu, dan selalu memikirkan dirinya
sendiri, dia akan mengalami atropi dan dekadensi sehingga
tidak akan berkembang normal. Hal ini akan mengakibatkan
seseorang menderita macam-macam konflik intern dan mengalami
kekecauan mental.
D.Bentuk-bentuk Mental Disorder
Ada beberapa bentuk perilaku yang dapat dikenali sebagai
perilaku penderita mental disorder di antaranya adalah:
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
9
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
1. Psikopat
Psikopat adalah bentuk kekalutan mental yang ditandai
dengan tidak adanya pengorganisasian dan pengintegrasian
pribadi. Penderita psikopat tidak pernah bisa bertanggung
jawab secara moral; dan selalu berkonflik dengan norma-norma
sosial dan hukum, karena sepanjang hayatnya orang yang
bersangkutan hidup dalam lingkungan sosial yang abnormal
dan immoral yang diciptakan oleh angan-angannya sendiri.
Orang-orang psikopat pada umumnya ketika masih
muda mendapatkan kasih sayang yang minim sekali, bahkan
mungkin sama sekali tidak mendapatkan kasih sayang dari
lingkungannya.
Adapun simtom-simtom atau gejalanya berupa:
- Tingkah laku dan relasi sosialnya selalu a-sosial, eksentrik
(kegila-gilaan) dan kronis patologis. Tidak memiliki kesadaran
sosial dan intelegensi sosial.
- Sikapnya aneh-aneh, sering berbuat kasar, bertingkah laku
kegila-gilaan, kurang ajar dan ganas, buas terhadap siapapaun,
tanpa suatu sebab serta sering sadistis.
- Suka ngeloyor atau mengembara ke mana-mana tanpa tujuan
- Pribadinya labil
- Ada disorientasi terhadap lingkungannya
- Tidak pernah loyal terhadap seseorang, kelompok atau kodekode etik tertentu
- Emosinya tidak matang, sering tanpa perasaan
- Sering melakukan penyimpangan seksualitas dalam bentuk;
homoseksual, tranvestitisme yaitu nafsu yang patologis untuk
memakai pakaian lawan jenisnya, pedofilia, fetishisme serta
sadisme.
2. Psikoneurosa
Ialah sekelompok reaksi psikis yang ditandai secara khas
dengan unsur kecemasan,dan secara tidak sadar ditampilkan
dengan penggunaan mekanisme pertahanan diri (defence
mechanism).
Psikoneurosa adalah bentuk gangguan/kekacauan
fungsional pada sistem pensyarafan, termasuk disintegrasi dari
10
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Pengenalan Sejak Dini Penderita Mental Disorder (Mubasyaroh)
sebagian kepribadiannya. Tidak ada kontak dengan lingkungan
sekitarnya dan relasi dengan dunia luar sedikit sekali.
Adapun sebab-sebab neurosa adalah:
a. Tekanan-tekanan sosial dan tekanan kultural sangat kuat, yang
menyebabkan ketakutan-kecemasan dan ketegangan batin
yang kronis sifatnya.
b. Individu mengalami banyak frustasi, dan konflik-konflik
emosional yang sudah dimulai sejak kanak-kanak.
c. Individu sering tidak rasional sebab sering memakai defence
mechanism yang negatif dan lemahlah pertahanan diri baik
secara fisik maupun mental
d. Pribadinya sangat labil dan tidak imbang dan kemauannya
sangat lemah.
3. Psiko fungsional
Psikofungsional merupakan disorder mental secara
fungsional kepribadian dan maladjustment social yang berat.
Penderita tidak mampu mengadakan relasi sosial dengan dunia
luar, sering terputus samasekali dengan realitas hidup, lalu
menjadi inkompeten secara sosial, terdapat pula gangguan pada
karakter dan fungsi intelektual.
Seringkali pasien menderita kekalutan hebat; dihinggapi
depresi, delusi, halusinasi dan ilusi optis. Tidak mempunyai
insight sama sekali, mengalami regresi psikis; dia menderita
stupor yaitu tidak bisa merasakan sesuatupun, keadaannya
seperti terbius. Ciri gejala lainnya adalah: sering mengamuk
disertai kekerasan dan serangan-serangan yang maniak kegilagilaan, sehingga membahayakan dan mengancam orang lain. Di
samping itu penderia ini juga membahayakan diri sendiri, maka
secara hukum paisen dinyatakan gila.
Simptom umum dari psikosa fungsional adalah:
a. Ada kepecahan/disintegrasi pribadi, dan kekalutan mental
yang progresif. Juga terdapat disorientasi terhadap lingkungan,
sehingga reaksinya terhadap stimulus eksternal dan konflik
batin sendiri selalu salah, dan berbentuk; gangguan efektif
yang parah, gangguan perasaan/emosional yang serius.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
11
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
b. Hubungan dengan dunia realitas jadi terputus. Tidak ada
insight. Biasanya pasien tidak menyadari simptom-simptom
dan penyakitnya. Responsnya terhadap sekitarnya selalu tidak
tepat dan keliru, kegila-gilaan atau maniacal dan eksentrik.
Suka tertawa-tawa mengikik-ngikik terus-menerus.
c. Ada maladjustment; disertai disorganisasi dari fungsi-fungsi
kejiwaan, inteligensi, perasaan dan kemauan.
d. Seringkali dibayangi oleh macam-macam halusinasi. Ilusi
dan delusi. Selalu merasa takut dan bingung, khususnya ada
kekacauan emosional yang kronis.
e. Sering mengalami stupor. Jika pasien menjadi agresif, sifatnya
kasar, keras kepala dan kurang ajar. Bahkan menjadi eksplosif
meledak-ledak, ribut, berlari-lari dan amat berbahaya. Ia
mungkin menyerang dan membunuh orang lain, atau berusaha
membunuh dirinya sendiri.
Adapun sebab-sebab dari psikosa fungsional:
a. Konstitusi pembawaan mental dan jasmaniah yang herediter,
diwarisi dari orang tua atau generasi sebelumnya yang psikotis.
Jumlahnya kurang lebih 50% dari semua penderita.
b. Kebiasaan-kebiasaan mental buruk dan pola-pola kebiasaan
yang salah sejak masa kanak-kanak. Juga dengan adanya
malajutsment parah, dan menggunakan escape mechanism dan
defence mechanism yang negatif, sehingga semakin banyak
muncul ketegangan dan konflik internal yang serius. Hal ini
menyebabkan disintegrasi kepribadian.
Termasuk dalam kelompok psikosa fungsional adalah:
a. Schizofrenia
1. Schizofrenia yang hebephrenic
2. Schizifrenia yang catatonic
3. Schizofrenia yang paranoid
b. Manis depresif
c. Paranoia
a. Schizofrenia
Schizofrenia adalah bentuk kegilaan dengan disintrgrasi
pribadi, tigkah laku emosional dan intelektual yang ambigious
12
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Pengenalan Sejak Dini Penderita Mental Disorder (Mubasyaroh)
(majemuk) dan terganggu secara serius, mengalami regresi atau
dementia total. Pasien banyak melarikan diri dari kenyataan
hidup, dan berdiam dalam dunia fantasi.
Adapun macam-macam schizophrenia adalah:
1. Schizofrenia yang hebephrenic yaitu mental/jiwanya menjadi
tumpul, dengan ciri-cirinya:
- Ada reaksi sikap dan tingkah laku yang kegila-gilaan,
suka tertawa-tawa kemudian menangis. Sangat irritable
atau mudah tersinggung. Sering dihinggapi sarkasme
(sindiran tajam) dan menjadi meledak-ledak penuh
kemarahan. Atau menjadi eksplosif sekali tanpa sebab.
- Pikirannya selalu melantur. Banyak tersenyum-senyum,
mukanya selalu perat-perot tanpa ada satu stimulus
pun.
- Terjadi regresi/degenerasi psikis secara total, menjadi
kekanak-kanakan dan “tumpul” ketolol-tololan.
2. Schizofrenia yang catatonic (kaku)
Adapun ciri-cirinya adalah:
- Urat-uratnya jadi kaku. Mengalami chorea-flexibility
(waxflexibility), yaitu badan jadi kaku beku seperti
malam.
- Sering menderita catalepsy, yaitu dalam keadaan tidak
sadar seperti kondisi trance. Seluruh badannya jadi kaku
dan tidak bisa dibengkokkan. Jika dia mengambil satu
posisi tertentu, misalnya berdiri miring, berlutut, jongkok,
kepala di bawah dan lain-lain.
- Ada tingkah laku yang stereotypis atau gerak-gerak yang
otomatis, dan tingkah yabg aneh-aneh tidak terkendalikan
oleh kemauan.
- Ada gejala stupor, yaitu tidak bisa merasa, seperti terbius.
Bersikap negativistis dan pasif; disertai delusi-delusi
kematian, ingin mati saja. Si penderita terus saja membius
dalam waktu yang sangat lama.
- Kadang-kadang disertai catatonic excitement, yaitu
menjadi meledak-ledak dan rebut hiruk pikuk, tanpa
sebab dan tanpa tujuan.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
13
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
3. Schizofrenia yang paranoid
Adapun ciri-cirinya adalah:
- Penderita diliputi macam-macam delusi dan halusinasi
yang terus menerus berganti ciraknya, dan tidak teratur
sifatnya(misalnya delusion of grandeur dan delusion of
persecution). Sering merasa iri hati, cemburu, curiga dan
dendam.
- Emosinya pada umumnya beku dan sangat apatis.
- Paisen tampak lebih “waras” dan tidak seganjil-aneh,
jika dibandingkan dengan penderita schizophrenia
jenis lainnya. Akan tetapi biasanya bersikap sangat
bermusuhan terhadap siapapun juga.
- Merasa dirinya penting, besar, grandieus. Sering sangat
fanatic relogius, berlebih-lebihan sekali. Kadang-kadang
bersikap hipokondris.
Prognosa dan terapi terhadap szhizofrenia:
a. Schizofrenia
ini
pada
umumnya
sdikit
sekali
kemungkinannya bisa sembuh, terutama jika kondisinya
sudah parah.
b. Yang penting ialah usaha preventif, berupa;
- Hindari frustasi-frustasi dan macam-macam kesulitan
psikis; menciptakan kontak sosial yang sehat dan baik.
- Biasakan agar pasien memiliki sikap hidup/attitude yang
positif, dan melihat hari depan dengan rasa keberanian
- Usahakan agar pasien bisa menjadi ekstrovert.
b. Psikosa Manis - Depresif
Adalah kekalutan mental serius berupa gangguan
emosional yang ekstrem, terus-menerus bergerak antara
gembira, tertawa-tawa/elation sampai dengan rasa depresif
sedih putus asa. Pasien dihinggapi ketegangan-ketegangan
afektif dan agresi yang terhambat-hambat, dengan impulsimpuls kuat akan tetapi pendek-pendek, dan tidak bisa
dikontrol atau dikendalikan.
Kepribadiannya menjadi kacau, dan ingatannya
menjadi sangat mundur. Pasien menjadi sangat egosentris
14
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Pengenalan Sejak Dini Penderita Mental Disorder (Mubasyaroh)
dan tingkah lakunya menjadi kekanak-kanakan. Selalu
merasa gelisah dan tidak pernah merasa puas. 75% dari
jumlah penderitanya adalah wanita.
Adapun gejala-gejala dari manis adalah:
◦ Pasien menjadi sangat aktif, amat rebut, lari kesana kemari
dan banyak gerakan
◦ Sangat tidak sabaran dan tidak toleran
◦ Kesadarannya kabur, ide-idenya campur aduk dan kacau
balau serta tidak mengenal larangan dan pantanganpantangan.
◦ Emosinya pendek-pendek dan meledak-ledak
◦ Dikejar oleh ilusi-ilusi dan halusinasi-halusinasi visual dan
aural
◦ Ada disorientasi total terhadap ruang, tempat dan waktu
◦ Pada stadium berat ketika mengalami saat manis, pasien
bisa melakukan serangan-serangan, kekerasan da usahausaha membunuh orang atau usaha bunuh diri.
Disamping itu dari depresif juga mengalami gejalagejala sebagai berikut:
- Menjadi melankolis, depresif sangat sedih. Banyak
menangis dan dihinggapi ketakutan serta kegelisahan
- Perasaannya selalu tidak puas, merasa tidak berguna, dan
disia-siakan hidupnya; merasa sebatang kara di dunia.
menjadi pasif, acuh tak acuh dan apatis.
- Dihinggapi halusinasi-halusinasi dan delusi-delusi yang
menakutkan dan menimbulkan kepedihan hati. Serta
dihinggapi penyesal-penesalan atas kesalahan dan dosadosa di masa lampau.
- Merasa jemu hidup dan putus asa. Ingin mati dan mau
melakukan usaha bunuh diri.
- Kesadarannya menjadi kabur. Biasanya disertai retardasi
motorik dan retardasi mental yang semakin parah.
Adapun sebab-sebab timbulnya psikosa mania-depresif
adalah:
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
15
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
a. Sebab organis dan herediter:
- Tipe-tipe pycnis ( gemuk-pendek-bulat, kokoh-bergairah)
mempunyai kecenderungan mendapat gangguan
penyakit ini. Juga tipe-tipe kepribadian yang cyclothym
atau esktrovert, mempunyai korelasi dengan gangguan
mania-depresif.
- Mempunyai sanak keluarga yang sakit jiwa atau
mempunyai gangguan jiwa yang serius.
b. Sebab-sebab nonherediter:
- Ada mania-mania kompensasi, untuk meredusir pikiran
dan ide-ide yang tidak menyenangkan, yang dijadikan
mekanisme-kompensatoris untuk melupakan kesedihan
dan kekecewaan –kekecewaan hidup, dalam bentuk
aktivitas-aktivitas yang ekstrim dan sibuk. Sedang
unsure depresinya merupakan kanalisasi pelepasan
untuk melupakan kegagalan-kegagalan. Pada umumnya
ada rasa-rasa penyesalan.
- Tidak ada kontrol terhadap emosi-emosianya. Tidak
ada integrasi diantara perasaan-perasaan tunduk-patuh
dengan tendens-tendens harga diri ekstrim.
Usaha penyembuhan yang dapat dilakukan, dapat
dimulai dengan prognosa dan treatment yaitu melalui usahausaha preventif, dengan cara mengajar anak-anak/pemuda
untuk mengekspresikan emosinya terhadap hal-hal yang
positif, dan menghindari penekanan-penekanannya yang
ekstrem terhadap luapan emosinya (Kartono, 2001: 308).
c. Psikosa Paranoia
Psikosa paranoia adalah gangguan mental yang amat
serius, di antaranya memiliki ciri-ciri timbulnya banyak delusi
yang disistematisasi dan ide fixed yang kaku serta salah.
75% dari penderitanya adalah pria. Mereka selalu
diliputi delusi-delusi, khususnya delusion of grandeur dan
delusion of persecution, rasa iri hati, cemburu dan curiga. Pada
umumnya mereka tidak diganggu oleh halusinasi-halusinasi.
16
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Pengenalan Sejak Dini Penderita Mental Disorder (Mubasyaroh)
Adapun sebab-sebab psikosa paranoia adalah:
1. Kecenderungan-kecenderungan
homoseksual
dan
dorongan- dorongan seksual yang tertekan, yang kemudian
diproyeksikan keluar
2. Ide-ide yang sarat diamati oleh efek-efek yang luar biasa
kuatnya
3. Kebiasaan-kebiasaan yang salah, disebabkan oleh perasaan
iri hati, selffish, dam egosentrisme. Terlampau sensitif dan
sering dihinggapi perasaan curiga
4. Merupakan bentuk kompensasi terhadap kegagalankegagalannya
dan
terhadap
kompleks-kompleks
inferiornya. Atau ada defence mechanism terhadap rasa-rasa
berdosa dan bersalah.
E. Solusi Pemecahannya
1. Tetap aktif Olah raga teratur dan menjaga kebersihan serta
penampilan diri dapat membantu mempunyai perasaan
positif.
2. Melibatkan diri dalam kelompok.
Ikut dalam kegiatan atau klub, bertemu teman
secara teratur dalam suasana menyenangkan serta suportif,
mempunyai sahabat tempat saling bercerita, ikut kursuskursus, atau mempelajari hal baru.
3. Menerima diri sendiri.
Kita semua unik dan berbeda satu sama lain, tidak ada
manusia sempurna. Semua orang mempunyai kelemahan
seperti halnya kelebihan. Terimalah serta cintai diri sendiri
secara wajar.
4. Relaksasi
Terlalu banyak kegiatan akan membuat tertekan.
Luangkan waktu untuk bersantai dan istirahat. Penting juga
untuk bisa tidur malam dengan baik, yang akan membantu
meredakan stres. Tidur yang baik dan teratur merupakan
penyegaran pikiran.
5. Menghindari alkohol dan narkoba.
Karena dengan alkohol dan narkoba ini malah akan
memperburuk kondisi seseorang.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
17
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
6. Makan secara sehat dan teratur.
7. Mendekatkan diri pada Tuhan.
8. Kenali gejala kesehatan mental yang terganggu.
Mempunyai kesehatan mental yang baik berarti mampu
mengatasi tekanan hidup sehari-hari. Bila anda merasa tidak
mampu mengatasi, atau malah mengatasi dengan alkohol
dan narkoba (napza), anda mungkin mempunyai masalah
yang memerlukan bantuan orang lain.
9. Mencari bantuan
Bila seseorang sakit secara fisik, maka akan
berkonsultasi pada dokter. Begitu pula dengan kesehatan
mental anda. Jangan merasa malu atau ragu untuk mencari
pemecahan masalah kekalutan mental pada ahli.
F. Simpulan
Penderitaan batin dalam ilmu psikologi dikenal sebagai
mental disorder. Secara lebih sederhana mental disorder
atau kekalutan mental adalah gangguan kejiwaan akibat
ketidakmampuan seseorang menghadapi persoalan yang harus
diatasi sehingga yang bersangkutan bertingkah laku secara
kurang wajar. Gejala permulaan bagi seseorang yang mengalami
mental disorder atau kekalutan mental adalah :nampak pada
jasmani yang sering merasakan pusing, sesak napas, demam, dan
nyeri pada lambung serta nampak pada kejiwaannya dengan rasa
cemas, ketakutan, patah hati, apatis, cemburu, mudah marah.
Adapun bentuk-bentuk mental disorder adalah psikopat,
schizophrenia dan psikosa fungsional.
Di samping mental disorder, maka jasmani yang sehat
antara lain ditandai dengan ciri-ciri; memiliki energi, stamina
atau daya tahan, kuat bekerja, dan badan selalu merasa sehat
nyaman.
Solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi mental
disorder di antaranya adalah: tetap aktif olah raga teratur dan
menjaga kebersihan serta penampilan diri dapat membantu
mempunyai perasaan positif, melibatkan diri dalam kelompok,
ikut dalam kegiatan atau klub, bertemu teman secara teratur
18
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Pengenalan Sejak Dini Penderita Mental Disorder (Mubasyaroh)
dalam suasana menyenangkan serta suportif, mempunyai
sahabat tempat saling bercerita, ikut kursus-kursus, atau
mempelajari hal baru, menerima diri sendiri, relaksasi,
menghindari alkohol dan narkoba, makan secara sehat dan
teratur, mendekatkan diri pada Tuhan, kenali gejala kesehatan
mental yang terganggu, mencari bantuan disamping itu dapat
dilakukan dengan terapi agama. Bila seseorang sakit secara fisik,
maka akan berkonsultasi pada dokter.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
19
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
DAFTAR PUSTAKA
Branca, A. A, Psychology The Scienceof Behavior. Allyn and Bacon,
Inc. Belmont, California
Walgito, Bimo, 2009, Psikologi Sosial; Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Andi
_______, 1982, Kesehatan Mental, Yayasan Pernebitan Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada
Kartono, Kartini, 2001, Patologi Sosial, Jilid I Edisi Terbaru, Jakarta:
Raja Grafindo Persada
http://openstorage.gunadarma.ac.id/handouts/S1_Sistem%20
Informasi.1/IBD/bhn-IBD-4.doc.
Fromm, Erich, 1995, Masyarakat yang Sehat (The Sane Society)
terjemah, Thomas Bambang Murtianto, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia
Hawari, Dadang, 1995, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan
Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: Bina Bhakti Prima Yasa
Moeljono Notosoedirdjo, Latipun, 1999, Kesehatan Mental, Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang
Burhanuddin, Yusak, 1999, Kesehatan Mental, Bandung:
Pustaka Setia
20
CV
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
PENTINGNYA KECERDASAN SPIRITUAL
DALAM MENANGANI PERILAKU
MENYIMPANG
Oleh: Ani Agustiyani Maslahah
Guru MA Roudlotusysyubban Tawangrejo Winong, Pati
Abstrak
Setiap sekolah atau madrasah memiliki siswa dengan berbagai
karakter dan persoalan masing-masing, semisal perilaku yang
menyimpang. Setiap ada persoalan yang terjadi pada siswa,
guru BK (Bimbingan dan Konseling) sebagai tempat pelarian
akhir. Persoalan tersebut tidak hanya tanggung jawab guru BK
melainkan tanggung jawab guru akidah akhlak juga sebagai
orang yang terlibat dalam pembentukan perilaku siswa di sekolah/
madrasah. Salah satu cara menangani perilaku menyimpang
adalah dengan pendekatan agama yang berdasarkan Al-Quràn
dan sunah. Selanjutnya, dalam melakukan bimbingan seorang
konselor harus memiliki kecerdasan spiritual yang didasari oleh
motivasi spiritual.
Keywords: Kecerdasan Spiritual, Perilaku Menyimpang.
A.Pendahuluan
Sebagian pendidikan saat ini ada yang hanya bertahta
pada otak manusia, yang kurang menghiraukan keadilan dan
nilai-nilai Ilahiyah, sehingga hasilnya hanya dinikmati sebagian
manusia saja. Oleh karena itu dibutuhkan suatu pendidikan yang
balance (seimbang), dalam arti adanya keseimbangan antara akal
dan batin yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan.
Dekadensi moral bangsa yang terjadi sebagai bukti tidak
adanya keseimbangan antara kecerdasan intelektual, kecerdasan
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
21
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
emosional, dan kecerdasan spiritual. Salah satu upaya menghindari
fenomena tersebut adalah mengintegrasikan antara ketiganya.
Setiap sekolah atau madrasah memiliki siswa dengan
berbagai karakter dan persoalan masing-masing. Adapun setiap
ada persoalan yang terjadi pada siswa, guru BK (Bimbingan
dan Konseling) sebagai tempat pelarian akhir, namun persoalan
tersebut tidak hanya tanggung jawab guru BK melainkan tanggung
jawab guru akidah akhlak juga sebagai orang yang terlibat dalam
pembentukan perilaku siswa di sekolah/madrasah.
Menyelesaikan persoalan yang dialami siswa, seorang
guru memperlukan teknik dan metode yang baik agar siswa yang
memiliki persoalan merasa nyaman dan tidak tertekan. Untuk
melakukan pekerjaan tersebut diperlukan kecerdasan spiritual
baik guru BK maupun guru Akidah Akhlak.
Kegiatan memberikan bimbingan dan konseling kepada
klien, konselor harus memberikan nasihat dan jalan keluar yang
baik. Hal ini ditujukan agar dapat menghasilkan bimbingan dan
konseling yang baik. Salah satu caranya konselor harus memiliki
spiritual quotient (kecerdasan spiritual).
B.Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan yang dimiliki manusia sebetulnya tidak
hanya kecerdasan intelektual (IQ) atau rasional, tetapi masih ada
kecerdasan yang lainnya yaitu kecerdasan emosional (EQ) dan
kecerdasan spiritual (SQ).
Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu
kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup manusia
dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Dalam makna lain
SQ merupakan kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau
jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang
lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ
dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi
manusia (Danah, 2002: 4).
Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah kemampuan untuk
memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan.
22
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Pentingnya Kecerdasan Spiritual dalam Menangani Perilaku....(Ani Agustiyani M)
Kenyataannya diwujudkan melalui langkah-langkah dan
pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia seutuhnya (hanif),
dan memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik), serta berprinsip
“hanya karena Allah” (Ary, 2001: 57).
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa. SQ
beroperasi dari pusat otak, yaitu fungsi-fungsi penyatu otak. SQ
mengintegrasikan semua kecerdasan manusia. SQ menjadikan
kmanusia sebagai makhluk yang benar-benar utuh secara
intelektual, emosional dan spiritual.
Inti dari pengertian tentang SQ tersebut adalah ada dua
hal, yaitu ibadah dan hidup yang bermakna.
1. Komponen-komponen SQ
SQ tidak dapat dipisahkan dengan manusia itu sendiri.
SQ ibarat seorang manusia di mana eksistensinya merupakan
sebuah sistem yang terdiri dari komponen-komponen yang
saling mendukung. Begitu juga dengan SQ yang memiliki
beberapa komponen yang merupakan satu kesatuan utuh dan tak
terpisahkan untuk mencapai tujuan.
Adapun komponen-komponen SQ antara lain:
a. Niat ibadah dalam segala hal (positif).
b. Berfikir dan bertindak sesuai dengan fitrah manusia.
c. Keikhlasan hati.
2. Indikator Kecerdasan Spiritual
a. Kejernihan hati.
b. Amanat dan bijaksana.
c. Adaptif terhadap situasi dan kondisi/perubahan zaman.
d. Kepercayaan diri (confidence).
e. Sumber motivasi.
f. Integritas dan loyalitas.
g. Internalisasi dan aktualisasi al-asmaul husna.
3. Manfaat kecerdasan spiritual
Untuk mencapai keseimbangan hidup kecerdasan spiritual
mutlak diperlukan. Dengan SQ diharapkan manusia dapat
mengoptimalkan kecerdasan dan potensi yang dimilikinya. Beberapa
manfaat SQ bagi seseorang adalah:
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
23
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
a. Menumbuhkan perkembangan otak manusia
b. Membangkitkan kreativitas.
c. Memberi kemampuan bersifat fleksibel
d. Menjadikan cerdas secara spiritual dalam beragama.
e. Menyatukan interpersonal dan intrapersonal.
f. Mencapai perkembangan diri.
g. Membedakan antara benar dan salah.
C.Perilaku Menyimpang
Perilaku menyimpang terutama di kalangan remaja selalu
hangat dibicarakan melalui media masa baik media elektronik
maupun media cetak. Banyak perilaku menyimpang yang terjadi
dalam kehidupan bermasyarakat. Perbuatan menyimpang
tersebut menjadi patologi social (penyakit masyarakat) yang
dapat mengganggu kestabilan kehidupan dan keharmonisan
lingkungan sosial. Untuk mencapai kehidupan yang harmonis,
damai dan tenteram, maka perilaku-perilaku menyimpang
dalam kehidupan bermasyarakat harus diminimalisir serta harus
dihindari.
Perilaku menyimpang adalah tingkah laku atau perbuatan
yang melawan hukum yang berlaku baik hukum negara,
masyarakat maupun hukum agama (Samsul, 2008: 368).
Berbeda dengan pandangan di atas pandangan lain
menganggap penyimpangan sebagai sesuatu yang bersifat
patologis; artinya ada suatu penyakit. Pandangan ini dilandaskan
berdasar analogi ilmu kedokteran. Organisme manusia di sebut
berfungsi apabila bekerja secara efisien dan tidak mengalami
hal-hal yang kurang mengenakkan (Soerjono, 1988: 5).
Sebagaian pertanyaan mendasar untuk memahami bentuk
perilaku mengapa seorang pelajar melakukan penyimpangan,
sedangkan ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan,
adalah pernyataan Becker (dalam Soerjono Soekanto,1988 : 26),
bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya mereka
yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat
penyimpangan-penyimpangan. Hal ini disebabkan karena pada
dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk
24
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Pentingnya Kecerdasan Spiritual dalam Menangani Perilaku....(Ani Agustiyani M)
melanggar pada situasi dan adanya kesempatan tertentu, tetapi
terkadang pada kebanyakan orang tidak menjadi berwujud
penyimpangan.
Dasar pengkategorian penyimpangan didasari oleh
perbedaan perilaku, kondisi dan individu. Penyimpangan dapat
didefinisikan secara statistik, absolut, reaktifis, dan normatif.
Perbedaan yang menonjol dari keempat sudut pandang
pendefinisian itu adalah pendefinisian oleh para reaktifis, dan
normatif yang membedakannya dari kedua sudut pandang
lainnya.
Penyimpangan secara normatif didefinisikan sebagai
penyimpangan terhadap norma, di mana penyimpangan itu
adalah terlarang bila diketahui dan mendapat sanksi. Jumlah
dan macam penyimpangan dalam masyarakat adalah relatif
tergantung dari besarnya perbedaan penyimpangan terhadap
norma suatu kelompok atau masyarakat. Karena norma berubah
maka penyimpangan berubah.
Penyimpangan biasanya dilihat dari perspektif orang
yang bukan penyimpang. Pengertian yang penuh terhadap
penyimpangan membutuhkan pengertian tentang penyimpangan
bagi penyimpang. Untuk menghargai penyimpangan adalah
dengan cara memahami, bukan menyetujui apa yang dipahami
oleh penyimpang. Cara-cara para penyimpang menghadapi
penolakan atau stigma dari orang non penyimpang disebut dengan
teknik pengaturan. Tidak satu teknik pun yang menjamin bahwa
penyimpang dapat hidup di dunia yang menolaknya. Teknikteknik yang digunakan oleh penyimpang adalah kerahasiaan,
manipulasi aspek lingkungan fisik, rasionalisasi, partisipasi
dalam subkebudayaan menyimpang dan berubah menjadi tidak
menyimpang.
Proses sosialisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari
melalui interaksi sosial dengan menggunakan media atau
lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu, kondisi kehidupan
lingkungan tersebut akan sangat mewarnai dan mempengaruhi
input dan pengetahuan yang diserap oleh setiap pelajar. Karena
itulah dalam membahas perilaku penyimpangan pelajar, penulis
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
25
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
menitikberatkan pada pendekatan sistem, yaitu perilaku individu
sebagai masalah sosial yang bersumber dari sistem sosial terutama
dalam pandangan disorganisasi sosial sebagai sumber masalah.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada umumnya para pelajar
yang mengalami gejala disorganisasi sosial dalam keluarga
misalnya, maka norma dan nilai sosial menjadi kehilangan
kekuatan mengikat. Dengan demikian kontrol sosial menjadi
lemah, sehingga memungkinkan terjadinya berbagai bentuk
penyimpangan perilakunya.
1. Kategorisasi perilaku menyimpang:
a. Keterbelakangan mental. Penyimpangan perilaku
berkaitan erat dengan permasalahan kehidupan.
Goncangan jiwa dan juga segala penyakit berkaitan
dengan fisik ataupun kejiwaan (Musfir, 2005: 50).
b. Psikoneurosis.
c. Kelainan seksual.
2. Faktor-faktor penyebab perilaku menyimpang
Pada dasarnya perilaku menyimpang atau kenakalan
pelajar adalah hal-hal yang dilakukan oleh pelajar sebagai individu
dan yang tidak sesuai dengan norma-norma hidup yang belaku
di dalam masyarakatnya. Kartini Kartono (1988: 93) mengatakan
pelajar yang nakal itu disebut pula sebagai anak cacat sosial.
Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial
yang ada di tengah masyarakat, sehingga perilaku mereka dinilai
oleh masyarakat sebagai suatu kelainan dan dianggap terjadi hal
yang menyimpang atau “kenakalan”.
Emile Durkheim (dalam Soerjono Soekanto, 1985: 73) pernah
membahas tentang normal tidaknya perilaku menyimpang atau
perilaku kenakalan, dijelaskan bahwa dalam pemikiran perilaku
menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap
sebagai fakta sosial yang normal, dengan demikian perilaku
dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan
keresahan dalam masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam
batas-batas tertentu dan melihat pada suatu perbuatan yang tidak
26
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Pentingnya Kecerdasan Spiritual dalam Menangani Perilaku....(Ani Agustiyani M)
disengaja. Dari sini kenakalan pelajar dapat ditimbulkan oleh
beberapa faktor, seperti:
a. Kawan Sepermainan
Di kalangan pelajar, memiliki banyak kawan adalah
merupakan satu bentuk prestasi tersendiri. Makin banyak
kawan, makin tinggi nilai mereka di mata teman-temannya.
Apalagi mereka dapat memiliki teman dari kalangan terbatas.
Di zaman sekarang, pengaruh kawan bermain ini bukan hanya
membanggakan si pelajar saja tetapi juga pada orang tuanya.
Orang tua juga senang dan bangga kalau anaknya mempunyai
teman bergaul dari kalangan tertentu. Namun, jika si anak
akan mengikuti tetapi tidak mempunyai modal ataupun orang
tua tidak mampu memenuhinya maka anak akan menjadi
frustrasi. Apabila timbul frustrasi, maka pelajar kemudian
akan melarikan rasa kekecewaannya itu pada narkotik, obat
terlarang, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, orang tua para pelajar hendaknya
berhati-hati dan bijaksana dalam memberikan kesempatan
anaknya bergaul. Jangan biarkan anak bergaul dengan kawankawan yang tidak benar. Memiliki teman bergaul yang tidak
sesuai, anak di kemudian hari akan banyak menimbulkan
masalah bagi orang tuanya.
b. Pendidikan
Memberikan pendidikan yang sesuai adalah merupakan
salah satu tugas orang tua kepada anak. Ketika anak memasuki
usia sekolah terutama perguruan tinggi, orang tua hendaknya
membantu memberikan pengarahan agar masa depan si anak
berbahagia. Masih sering terjadi dalam masyarakat, orang tua
yang memaksakan kehendaknya agar di masa depan anaknya
memilih profesi tertentu yang sesuai dengan keinginan orang
tua. Pemaksaan ini tidak jarang justru akan berakhir dengan
kekecewaan. Sebab meski memang ada sebagian anak yang
berhasil mengikuti kehendak orang tuanya tersebut, tetapi
tidak sedikit pula yang kurang berhasil dan kemudian menjadi
kecewa, frustrasi dan akhirnya tidak ingin sekolah sama
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
27
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
sekali. Mereka malah pergi bersama dengan kawan-kawannya,
bersenang-senang tanpa mengenal waktu bahkan mungkin
kemudian menjadi salah satu pengguna obat-obat terlarang.
c. Penggunaan Waktu Luang
Kegiatan di masa pelajar sering hanya berkisar pada
kegiatan sekolah dan seputar usaha menyelesaikan urusan di
rumah, selain itu mereka bebas, tidak ada kegiatan. Apabila
waktu luang tanpa kegiatan ini terlalu banyak, pada si pelajar
akan timbul gagasan untuk mengisi waktu luangnya dengan
berbagai bentuk kegiatan. Apabila si pelajar melakukan kegiatan
yang positif, hal ini tidak akan menimbulkan masalah. Namun,
jika ia melakukan kegiatan yang negatif maka lingkungan
dapat terganggu.
Seringkali perbuatan negatif ini hanya terdorong rasa
iseng saja. Tindakan iseng ini selain untuk mengisi waktu
juga tidak jarang dipergunakan para pelajar untuk menarik
perhatian lingkungannya. Sebab dalam masyarakat, pada
umunya apabila seseorang tidak mengikuti gaya hidup anggota
kelompoknya maka ia akan dijauhi oleh lingkungannya.
Tindakan pengasingan ini jelas tidak mengenakkan hati si
pelajar, akhirnya mereka terpaksa mengikuti tindakan kawankawannya, akhirnya ia terjerumus.
Mengisi waktu luang selain diserahkan kepada
kebijaksanaan pelajar, ada baiknya pula orang tua ikut
memikirkannya pula. Oleh karena itu, waktu luang yang
dimiliki pelajar dapat diisi dengan kegiatan keluarga sekaligus
sebagai sarana rekreasi. Kegiatan keluarga dapat pula berupa
tukar pikiran dan berbicara dari hati ke hati.
d. Uang Saku
Orang tua hendaknya memberikan teladan untuk
menanamkan pengertian bahwa uang hanya dapat diperoleh
dengan kerja dan keringat. Pelajar atau anak hendaknya dididik
agar dapat menghargai nilai uang. Pemberian uang saku kepada
pelajar memang tidak dapat dihindarkan. Namun, sebaiknya
28
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Pentingnya Kecerdasan Spiritual dalam Menangani Perilaku....(Ani Agustiyani M)
uang saku diberikan dengan dasar kebijaksanaan dan jangan
berlebihan. Uang saku yang diberikan dengan tidak bijaksana
akan dapat menimbulkan masalah, yaitu:
1) Anak menjadi boros.
2) Anak tidak menghargai uang.
3) Anak malas belajar, sebab mereka pikir tanpa kepandaian
pun uang gampang didapat.
e. Perilaku Seksual
Pada saat ini, kebebasan bergaul sudah sampai pada
tingkat yang mengkhawatirkan. Para pelajar dengan bebas
dapat bergaul antar jenis. Tidak jarang dijumpai pemandangan
di tempat-tempat umum, para pelajar saling berangkulan
mesra tanpa memperdulikan masyarakat sekitarnya. Mereka
sudah mengenal istilah pacaran sejak awal masa pelajar.
Pacar, bagi mereka, merupakan salah satu bentuk gengsi yang
membanggakan. Akibatnya, di kalangan pelajar kemudian
terjadi persaingan untuk mendapatkan pacar.
Pengertian pacaran dalam era globalisasi informasi ini
sudah sangat berbeda dengan pengertian pacaran 15 tahun
yang lalu. Akibatnya, di zaman ini banyak pelajar yang putus
sekolah karena hamil. Oleh karena itu, dalam masa pacaran,
anak hendaknya diberi pengarahan tentang idealisme dan
kenyataan. Anak hendaknya ditumbuhkan kesadaran bahwa
kenyataan sering tidak seperti harapan kita, sebaliknya harapan
tidak selalu menjadi kenyataan. Apabila usia makin meningkat,
orang tua dapat memberi lebih banyak kebebasan kepada
anak. Namun, tetap harus dijaga agar mereka tidak salah jalan.
Menyesali kesalahan yang telah dilakukan sesungguhnya
kurang bermanfaat. Orang tua hendaknya memberikan
teladan dalam menekankan bimbingan serta pelaksanaan
latihan kemoralan yang sesuai dengan agama dan aturan yang
berlaku.
3. Sebab-sebab Terjadinya Perilaku Menyimpang
Perilaku menyimpang yang terjadi di kalangan pelajar,
sebagai contoh adanya kenakalan remaja. Kenakalan remaja dapat
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
29
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
disebabkan oleh berbagai hal, sebagaimana yang dikemukakan
oleh Sudarsono dalam bukunya Etika Islam Tentang Kenakalan
Remaja (1995: 19-24) menyatakan sebagai berikut:
a. Keadaan Keluarga
b. Keadaan Sekolah
c. Keadaan Masyarakat
Faktor makro, faktor lingkungan:
- Keadaan ekonomi masyarakat.
- Masa atau daerah peralihan.
- Broken home.
Faktor kepribadian:
- Faktor syaraf.
- Faktor penyakit jiwa.
Faktor mikro, faktor lingkungan:
- Kesalahan pengasuhan.
- Pengaruh teman sebaya.
- Pengaruh pelaksanaan hukum.
Faktor intern:
- Dorongan nafsu yang berlebihan
- Kesalahan menilai diri.
- Negative thinking terhadap diri.
Faktor-faktor lainnya yang perlu diperhitungkan adalah
bahwa kadang-kadang suatu perbuatan dianggap menyimpang
karena kualitas pelakunya dan pihak-pihak yang merasa dirugikan
oleh tindakan tersebut (Soerjono, 1988: 12).
D.Pentingnya Kecerdasan Spiritual sebagai Dasar Penyelesaian
Perilaku Menyimpang
Salah satu cara menangani perilaku menyimpang adalah
dengan pendekatan agama, dengan berdasarkan Al-Quràn dan
sunah. Seorang konselor dalam melakukan bimbingan harus
memiliki kecerdasan spiritual dengan konseling terapi.
Konseling terapi mempunyai keterkaitan yang kuat dengan
ilmu jiwa, di dalamnya dipelajari tentang perilaku yang normal
30
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Pentingnya Kecerdasan Spiritual dalam Menangani Perilaku....(Ani Agustiyani M)
ataupun perilaku menyimpang. Konseling terapi merupakan
salah satu kewajiban seorang muslim kepada sesamanya (Musfir,
2005: 7).
Penyelesaian masalah seperti perilaku menyimpang, perlu
adanya kecerdasan spiritual yang didasari oleh motivasi spiritual.
Motivasi spiritual berkaitan dengan kebutuhan manusia secara
kejiwaan maupun spiritual, ia tidak berhubungan langsung
dengan kebutuhan manusia secara biologis.
Motivasi spiritual sebagai dasar orang memiliki kecerdasan
spiritual adalah berkaitan erat dengan aspek spiritualitas pada
diri manusia, seperti halnya motivasi untuk tetap konsisten dalam
melaksanakan ajaran agama, motivasi untuk takwa kepada Allah,
mencintai kebaikan, kebenaran, keadilan, membenci kejahatan
dan kezaliman.
Kepribadian seorang muslim tampak pada kekuatan
iman dan takwanya serta amal salih yang dikerjakannya secara
konsisten di dunia sebagai bekalnya untuk kehidupan di akhirat.
Sesungguhnya yang membedakan manusia atas manusia lainnya
adalah takwa.
Diantara motivasi kejiwaan atau spiritual adalah:
1. Motivasi memiliki.
2. Motivasi konsisten menjalankan ibadah kepada Allah.
3. Motivasi bersaing.
4. Motivasi bermusuhan (Musfir, 2005: 133).
Melalui kecerdasan spiritual, manusia diharapkan
memiliki landasan kokoh untuk memiliki sebuah kecerdasan hati
yang terbentuk dalam diri manusia. Barangkali cara menangani
perilaku menyimpang dengan kecerdasan spiritual adalah
cara yang paling menonjol. Karena kenakalan sebagai contoh
penyimpangan lebih banyak disebabkan oleh kondisi mental.
Melalui pendekatan agama dengan semangat motivasi terapi
rohani. Agama sangat menolong dan dapat mengembalikan
kepercayaan kepada diri dan masyarakat, terutama dengan
keyakinan akan Pengasih Penyayang dan Pengampunan-Nya
Tuhan (Zakiyah, 1977: 103).
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
31
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Manusia sebagai makhluk rohani sering kehilangan
arti, makna, tujuan atau peran dalam kehidupan. Kehilangan
makna hidup akan mengganggu jiwa dan dapat menimbulkan
keputusasaan, merasa diri tidak berguna dan tindakan negatif
lainnya. Kasus seperti ini tepat sekali jika dibimbing, dibina, dan
diberi terapi dengan pendekatan dari segi agama. Pendekatan
agama melalui usaha langsung untuk mempengaruhi pandangan
hidup (Samsul, 2010: 107).
Pentingnya kecerdasan spiritual (jiwa) dalam penyembuhan
penyakit seperti perilaku menyimpang, sesuai dengan firman
Allah SWT dalam surat Yunus ayat 57 yang artinya: “Hai manusia,
sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”.
Membimbing dan membantu menyelesaikan masalah
dibutuhkan kecerdasan spiritual. Di mana seorang konselor harus
memiliki motivasi spiritual dengan tetap konsisten beribadah
kepada Allah dan takwa.
Membimbing memerlukan kecerdasan spiritual agar
dapat menjadi pendidik sekaligus orang tua bagi klien, sehingga
konselor mampu membimbing, membina, mendidik sesuai
kaidah-kaidah spiritual religius. Seorang konselor merupakan
mitra dan uswah (teladan) bagi anak didik dalam membangun
sebuah karakter sehari-hari (caracter building).
Dengan kecerdasan spiritual diharapkan seseorang
memiliki integritas tinggi, etos kerja, totalitas dalam bekerja dan
ibadah, sepenuh hati dengan semangat berapi-api serta memiliki
sikap tanggung jawab dan jiwa loyalitas yang tinggi.
E. Simpulan
Setelah penulis memaparkan uraian di atas dapat
disimpulkan bawah salah satu cara menangani perilaku
menyimpang adalah dengan pendekatan agama yang berdasarkan
Al-Quràn dan sunah. Selanjutnya, dalam melakukan bimbingan
seorang konselor harus memiliki kecerdasan spiritual yang
32
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Pentingnya Kecerdasan Spiritual dalam Menangani Perilaku....(Ani Agustiyani M)
didasari oleh motivasi spiritual. Motivasi spiritual berkaitan
dengan kebutuhan manusia secara kejiwaan maupun spiritual, ia
tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan manusia secara
biologis.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
33
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar, 2001, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan
Emosi dan Spiritual (ESQ) Berdasarkan Rukun Iman dan 5
Rukun Islam, Jakarta, Arga
Amin, Samsul Munir, 2010, Bimbingan dan Konseling Islam, Jakarta,
Amzah
Azzahrani, Musfir, 2005, Konseling Terapi, Jakarta, Gema Insani
Daradjat, Zakiah, 1977, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia,
Jakarta, Bulan Bintang
Sudarsono, 1995, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, Jakarta,
Rineka Cipta
Soerjono Soekanto,
Rajawali
1988,
Sosiologi Penyimpangan, Jakarta,
Tim Penterjemah al-Qur’an, 1999, al-Qur’an dan Terjemahnya,
Jakarta, Yayasan Penterjemah al-Qur’an
Zahar, Danah, 2002, SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dam
berfikir Integralistik dan Holoistik untuk Memaknai Kehidupan,
Bandung, Mizan
34
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
TRANSFORMASI SOSIAL KEAGAMAAN
PADA MASYARAKAT SAMIN
(Hasil Penelitian pada Masyarakat Desa Kemantren
Kec. Kedungtuban Kab. Blora)
Oleh: Abdul Wahib
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
Abstrak
Masyarakat Samin merupakan masyarakat dengan gerakan
perlawanan terhadap ajaran pemerintah kolonilal Belanda yang
mengkristal yang kemudian dikeramatkan sebagai sebuah agama
baru yakni Agama Adam. Agama Adam mengajarkan keyakinan
dan cara hidup yang sangat berbeda atau bahkan berlawanan
dengan keyakinan dan cara hidup mayoritas masyarakat
umumnya. Namun, ketika Jepang datang dan menyatakan diri
sebagai saudara tua, maka sikap mereka terhadap orang asing mulai
berubah. Perkembangan politik di Indonesia dari terjajah menjadi
merdeka berdampak pada banyaknya perubahan yang terjadi
pada masyarakat Samin hingga saat ini. Diantara perubahan
tersebut adalah bergesernya nilai sosial keagamaan yang meliputi
diterimanya Islam sebagai agama formal, diterimanya pendidikan
agama Islam bagi para anak-anak, dan penerimaan mereka
terhadap keberadaan tempat ibadah (masjid). Salah satu faktor
pemicu perubahan tersebut adalah adanya kevakuman ajaran
atau tradisi dari kalangan Agama Adam yang beRdampak pada
ketidakpuasan bagi pemeluknya, serta gesekan budaya antara
mereka dengan kaum santri disekelilingnya.
Keywords: Transformasi Sosial, Keagamaan, Masyarakat Samin.
A.Pendahuluan
Perlawanan bersenjata maupun tanpa senjata sebagai
bentuk reaksi terhadap kolonialisme Belanda banyak terjadi di
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
35
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
daerah-daerah di Indonesia, terutama dalam abad 18 dan 19. Dari
data historis nampak bahwa perlawanan tersebut dipimpin oleh
orang-orang dari golongan tertentu dalam masyarakat. Di antara
mereka yang melakukan perlawanan itu adalah Ki Samin Surontiko
atau Samin Surosentiko (Hutomo, 1996: 14).
Samin, Saminisme, dan masyarakat Samin adalah
fenomena yang unik. Nilai uniknya terletak pada beberapa hal,
antara lain: Saminisme pertama kali muncul sebagai aksi moral
yang dilakukan oleh Ki Samin Surontiko melawan penjajahan
Belanda tapi pada tahap perkembangan berikutnya aksi moral
Ki Samin menjadi gerakan moral. Dari gerakan moral kemudian
berkembang menjadi gerakan kultrual dan bahkan tak dapat
dipungkiri Samin telah berhasil menggulirkan ideologi baru
yang khas Samin yakni Saminisme atau bahkan “agama” baru
yang mereka namakan Agama Adam (Afia, 1999: 33).
Keunikannya yang lain adalah bahwa Samin selalu
diidentikkan dengan keluguan yang bodoh, tapi juga kebodohan
yang sangat cerdik. Disebut lugu yang bodoh karena mereka
berkomunikasi secara lugas, mereka seolah-oleh tidak mengenal
bahasa politik. Tapi juga kebodohan yang cerdik karena dengan
bahasa lugas itu mereka mampu memperdaya pemerintah penjajah
Belanda.
Ciri utama gerakan Samin adalah perlawanan tanpa
kekerasan dan penggunaan logika serta bahasa khas Samin (bahasa
sangkak). Sebagai perlawanan individual cara ini memang umum,
tapi tidak demikian secara kemasyarakatan, apalagi secara politik.
Dunia belum pernah menyaksikan praktek ini, dan inilah jasa
Samin Surosentiko kepada dunia (Widiyanto, 1983: 65).
Sebagai contoh, jika mereka disuruh kerja bakti atau kerja
paksa maka mereka tentu mau mengikutinya tapi yang mereka
kerjakan hanya sekedar mengangkat atau memindah satu atau dua
butir batu saja, dengan logika bahwa mereka telah melaksanakan
perintah. Apabila mereka diminta untuk membayar pajak maka
mereka mengatakan bahwa pajak bumi telah mereka bayar dengan
cara memasukkan beberapa koin mata uang ke dalam sawah.
36
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Tranformasi Sosial Keagamaan pada Masyarakat Samin....(Abdul Wahib)
Dalam kondisi represif karena kolonialisme Belanda, cara
hidup dan perlawanan tanpa kekerasan yang dilakukan oleh Ki
Samin tentu sangat menarik perhatian masyarakat sekitarnya dan
sekaligus Ki Samin menjadi simbol bagi perlawanan terhadap
penjajahan. Gerakan perlawanan tanpa kekerasan bahkan menjadi
model bagi gerakan massal menentang penjajahan Belanda
(Hutomo, 1996: 16).
Tak dapat dipungkiri bahwa bertahun-tahun sesudah itu
(diawali tahun 1908) Gandhi mempraktekkan cara yang sama dalam
perjuangannya melawan kolonialisme. Gerakan yang kemudian
dirumuskannya dengan nama Satyagraha yang secara harfiah sat
artinya kebenaran dan graha artinya tekad, tekad mempertahankan
kebenaran dengan tanpa kekerasan. Gerakan Gandhi ini menjadi
mendunia karena faktor efektifitas organisasi dan akses yang lebih
mudah untuk diketahui dunia.
Barangkali yang lebih dari itu adalah, bahwa para pengikut
Samin bukanlah orang-orang yang berpendidikan (well educated)
semacam Gandhi dan para pengikutnya, para pengikut Samin
adalah orang-orang desa yang tidak terdidik secara baik dan
juga tidak memiliki pengalaman untuk mengorganisasikan diri
secara efektif. Gerakan Ki Samin berlangsung secara alamiah dan
oleh karena itu, sebagaimana gerakan protes atau perlawanan
di daerah-daerah lain, gerakan Samin dapat dipatahkan dengan
begitu mudah dan berakhir dengan kegagalan dan penumpasan
oleh pihak kolonial (Kartodirdjo, 1986: 14). Meskipun setelah itu
gerakan kultural tetap diteruskan oleh para pengikutnya.
Karena gerakan Samin adalah gerakan perlawanan terhadap
pemerintah kolonial terutama Belanda, maka ketika Indonesia telah
merdeka gerakan ini telah kehilangan konteksnya, yang berarti
lain, alasan untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah
sudah kehilangan relevansinya. Meskipun demikian, tidak mudah
bagi mereka untuk segera dapat membuka diri dengan dunia luar
setelah kurang lebih setengah abad mereka hidup dalam suasana
tertutup dan terisolir. Ketidak percayaan pada orang-orang di luar
kelompok mereka juga tidak dengan mudah dapat dihilangkan.
Yang menjadi masalah berikutnya adalah sikap dan
tanggapan mereka terhadap agama di luar agama Adam yang
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
37
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
selama ini mereka yakini. Agama Adam mengajarkan keyakinan
dan cara hidup yang sangat berbeda atau bahkan berlawanan
dengan keyakinan dan cara hidup mayoritas masyarakat di luar
mereka, sebagai contoh keyakinan tentang kehidupan akhirat dan
tata cara pernikahan.
Datangnya kemerdekaan, keterbukaan, kemajuan sains
teknologi dan globalisasi informasi tak dapat ditolak oleh siapapun
tak terkecuali oleh masyarakat Samin. Tuntutan menuju kemajuan
tersebut juga datang dari Pemerintah Daerah Blora yang merasa
berkepentingan untuk memajukan masyarakat di wilayahnya.
Masyarakat Samin dalam situasi dilematis antara
mempertahankan adat dengan cara menutup diri dari pengaruh
luar atau mengikuti “kemajuan” dengan cara membuka diri. Bagi
sebagian besar dari mereka, tetap terus mempertahankan adat lebih
mudah dari pada membuka diri tapi bagi sebagian lain membuka
diri dari keterisoliran merupakan pilihan yang lebih baik.
Hasil studi kelayakan menunjukkan bahwa pada
komunitas Samin di Desa Kemantren Kecamatan Kedungtuban
sudah terdapat beberapa tempat ibadah (masjid dan mushala
yang jumlahnya lebih dari 10 dan terdapat juga kelompok majlis
tal̀im dengan anggota tak kurang dari 1000 orang. Data di atas
menunjukkan bahwa telah terjadi transformasi sosial keagamaan
yang cukup dramatis pada masyarakat Samin Desa Kemantren.
B.Pergeseran Nilai Sosial Keagamaan Masyarakat Samin
Meskipun masyarakat Samin pada mulanya bersifat
eksklusif sehingga menutup diri dari infiltrasi dunia luar, namun
kodrat untuk berubah tidak dapat mereka tolak sejalan dengan
berlalunya waktu. Uraian singkat berikut ini berisi uraian tentang
beberapa perubahan sosisal keagamaan dalam Masyarakat Samin
dan faktor-faktor pendorongnya.
1. Nilai-nilai sosial Keagamaan
a. Islam diterima sebagai agama formal
Pendekatan formal seseorang memeluk agama apa
untuk membedakan yang bersangkutan dengan orang
PKI pasca kegagalan pemberontakannya pada tahun 1965,
memaksa orang Samin yang sosialismenya dekat sekali dengan
38
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Tranformasi Sosial Keagamaan pada Masyarakat Samin....(Abdul Wahib)
ajaran komunisme untuk memilih satu agama tertentu yang
keberadaannya diakui oleh pemerintah.
Dalam hal ini, untuk tidak memperjelas status agamanya
dan juga atas dorongan aparat pemerintah mereka menerima
Islam sebagi agamanya. Pengakuan ini, apapun motivasinya
tentu punya dampak tersendiri bagi kehidupannya. Setidaknya
dia tidak bisa dengan semaunya sendiri melecehkan Agama Islam
atau terang-terangan memusuhi orang-orang kalangan santri.
Pada saat ini, sementara sebagian orang Samin
berpendapat bahwa mengaku beragama Islam itu hanya sekedar
formalitas, tapi sebagian yang lain benar-benar meyakini bahwa
agama yang dipeluknya adalah agama Islam hanya laku sehariharinya memang masih laku Samin.
b. Pendidikan Agama Islam Tidak Dipermasalahkan
Semula pendidikan agama tambahan pada sore hari
(ngaji) memang dipermasalahkan oleh sebagian dari mereka
karena khawatir akan lunturnya nilai-nilai sosial kesaminan
yang selama ini telah mereka tanamkan, tapi sebagian yang lain
sudah berpendapat bahwa, yang tua biarlah sebagaimana adat
yang dijalaninya tapi bagi anak-anak biarlah mereka tumbuh
dan berkembang sebagaimana layaknya orang banyak.
Konsekwensi mengijinkan anak untuk mengaji tentu
tidak sekedar mengijinkan mereka belajar agama Islam secara
lebih baik tapi lebih dari itu secara tidak mereka sadari bahwa
mereka sesungguhnya sudah merelakan anaknya tidak akan
meneruskan tradisi Samin mereka.
Pada sisi lain, mereka juga dapat mengambil manfaat
dari adanya pengajian itu, karena dengan mengikuti pengajian,
mereka menjadi lebih rajin belajar, lebih hormat pada orang tua
dan orang lain yang lebih tua juga mereka menjadi lebih bersih
dan tertib di rumah.
c. Mendirikan Tempat Ibadah
Masyarakat Samin merupakan masyarakat yang sangat
teguh dalam menjaga suatu kerukunan. Hidupnya tidak lepas
dari saling menolong. Jadi pada dasarnya mereka senang
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
39
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
bantu membantu, rasa gotong-royong dalam berbagai hal
sangat tebal pada mereka. Itulah sebabnya ketika kepala desa
mengajak mereka ikut berpartisipasi dalam pembangunan
masjid, mereka langsung melaksanakannya.
Dengan perjuangan yang tidak mengenal lelah, kepala
desa yang pada saat itu dijabat oleh Ali Mashadi bersama para
tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama dan warga desa akhirnya
berhasil mendirikan masjid di dukuh Tanduran, yaitu masjid
Al-Ikhlas, diresmikan tanggal 12 Rabi’ul Awal 1412 Hijriyah
atau bertepatan dengan 21 September 1991 Masehi. Masjid ini
diresmikan oleh kepala Kantor Wilayah Departemen Agama
Propinsi Jawa Tengah waktu itu Drs. H. Muh. Ali Muachor.
2. Norma-norma Sosial Keagamaan
Setiap masyarakat tentu memiliki tata aturan sendiri
yang disepakati dan dijadikan sebagai ukuran bersama untuk
menentukan benar dan tidaknya suatu tindakan anggota
masyarakat. Salah satu norma sosial masyarakat Samin ialah
tertutup terhadap masyarakat di luar kelompok mereka sendiri
agar budaya leluhur tetap bisa terjaga kelestariannya.
Tentu saja karena adanya kontak atau gesekan dengan
budaya lain dan adanya kesempatan untuk menimbang-nimbang
menjadikan mereka mempertimbangkan adanya budaya baru.
Karena perubahan tidak mungkin dielakkan, maka katakata yang sering mereka ungkapkan ketika ajakan akan adanya
perubahan adalah, “Yen anak-anakku yo ben koyo wong-wong akeh
kuwi. Tapi yen aku yo tetep cecekelan gaman soko wong tuwo” yang
berarti, “Anak-anakku biarlah seperti orang-orang pada umunya,
sementara saya sendiri tetap berpegang pada ajaran orang tua”.
Kata-kata itu dapat diasumsikan atau bahkan suatu bukti
bahwa pada dasarnya masyarakat Samin terbuka terhadap
perubahan, pembaharuan dan kemajuan. Secara individu mereka
memang tetap bersiteguh akan ajaran agama Adam yang selama
ini telah mereka warisi dari nenek moyangnya, tapi secara sosial
mereka bisa menerima jika anak-anaknya berubah sebagaimana
lazimnya anak-anak orang lain (Islam) yang tidak mengikuti
ajaran Samin.
40
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Tranformasi Sosial Keagamaan pada Masyarakat Samin....(Abdul Wahib)
3. Pola-pola Perikelakuan Keagamaan
a. Perkawinan
Tradisi perkawinan dalam masyarakat Samin yang
memperbolehkan atau bahkan mengharuskan calon pengantin
untuk hidup serumah lebih dulu dan melakukan hubungan sex
sebagai bukti bahwa mereka saling mencintai dan menerima
sebagai calon pasangan suami istri jelas-jelas bertentangan dengan
ajaran agama Islam. Lebih dari itu mereka menganggap bahwa
ritus pernikahan adalah semata-mata urusan adat. Jika adat sudah
mengesahkan maka semuanya dianggap sudah selesai.
Tapi dengan kegigihan para modin dan juga dukungan
pihak kepala desa tata cara pernikahan mereka sedikit demi sedikit
bisa dirubah. Pertama dengan melakukan pernikahan masal secara
periodik. Kedua mereka boleh melakukan pernikahan dengan
cara mereka sendiri tapi jika persaksian telah mereka lakukan
maka mereka harus melaporkan pernikahan itu ke Kementerian
Agama untuk mendapatkan surat nikah.
Pada kurun waktu lima tahun terakhir ini, pernikahan
model Samin murni dapat dikatakan hampir tidak ada lagi. Yang
termasuk salah satu pendorongnya ialah kebanyanyakan remaja
yang ada sekarang ini adalah mereka yang cukup mendapatkan
pendidikan formal dan sebagian mereka telah berinteraksi dengan
masyarakat luas di sekitarnya yang tentu saja tidak mentolelir
adanya pernikahan yang dimulai dengan kumpul kebo lebih
dulu.
b. Kematian
Meskipun konsep masyarakat Samin tentang kematian
sangat sederhana, yakni kematian sekedar salin sandangan dan
untuk itu segala ritus di sekitar kematian dipandang tidak perlu,
namun kasus sebagaimana yang terjadi di Mojokuto dalam hal
upacara kematian untuk anak keluarga seorang tokoh Permias
yang dekat dengan PKI juga terjadi.
Seorang tokoh Samin yang anaknya meninggal, dan dia
tidak bisa menolak untuk melakukan ritus yang berhubungan
dengan kematian. Dia datangi modin Ngusman untuk
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
41
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
memimpin upacara kematian anaknya. Modin Ngusman yang
selama ini berseteru dengannya menolak tapi dia menunjuk
guru agama untuk memenuhi permintaannya dan sang guru
dengan sukarela memenuhi permintaan itu.
Dari sini jelas munculnya pergeseran tradisi mereka
terkait dengan adanya kematian. Fenomena saat ini yang
muncul menjadi lebih jauh dari itu, selain perlakuan terhadap
si mayat sesuai dengan syariàt Islam, tradisi acara selametan
satu malam sampai tujuh malam, empat puluh hari, seratus
hari dan seribu hari juga mereka terima dengan suka rela.
Kenapa perubahan itu bisa terjadi? Salah satu faktornya
adalah adanya kevakuman ajaran atau tradisi dari kalangan
Agama Adam dan ini menimbulkan ketidakpuasan pagi para
pemeluknya, di samping juga karena adanya gesekan budaya
antara mereka dengan kaum santri di sekelilingnya. Kevakuman
itu menuntut untuk diisi sementara budaya terdekat yang telah
ada adalah dari kalangan kaum santri, oleh karena itu mereka
akhirnya menerima budaya santri yang sesuai dengan syariàt
Islam.
c. Puputan
Acara puputan atau ketika orang tua harus memberi
nama pada anaknya saat ini juga ada yang diisi dengan
pembacaan sejarah hidup nabi baik itu berupa pembacaan kitab
al-Barzanji atau Dibaàn, yang pada satu dekade sebelumnya
tidak pernah terjadi. Penerimaan ini juga berdampak bagi
tumbuh dan berkembangnya organisasi Ikatan Remaja Masjid
(Irmas) dan kelompok-kelompok musik rebana.
Alasan untuk ini sebagaimana dalam kasus ritus
kematian adalah adanya ketidakpuasan atas kevakuman tradisi
dan adanya pertemuan dengan budaya lain yang ada dan itu
dianggap tidak mengancam eksistensi mereka.
4. Organisasi sosial Keagamaan
a. Takmir Masjid
Adanya organisasi takmir masjid memang hal yang
biasa saja tapi tidak demikian halnya jika itu berada di dukuh
42
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Tranformasi Sosial Keagamaan pada Masyarakat Samin....(Abdul Wahib)
Tanduran Desa Kemantren karena dukuh itu merupakan basis
dari pengikut Saminisme yang selama ini menolak adanya
simbol-simbol formal Islam.
Pengurus takmir tidak terdiri semata-mata dari kaum
santri, tapi beberapa di antaranya adalah orang-orang Samin
yang tentu saja dari kelompok yang moderat. Hal ini penulis
catat juga sebagai suatu transformasi dalam hal organisasi
sosial keagamaan.
b. Irmas
Jika takmir masjid adalah organisasi bagi mereka yang
telah dewasa atau orang tua, maka Ikatan Remaja Masjid
(Irmas) merupakan organiasi bagi para remaja Islam atau
remaja masjidnya.
Keberadaan Irmas juga sangat penting karena memiliki
nilai strategis dalam rangka pembianaan bagi para remaja di
kalangan orang-orang Samin. Secara kultural Irmas efektif
untuk mengurangi atau bahkan menghapus budaya kawin yang
didahului dengan kumpul kebo yang selama ini melembaga di
kalangan orang-orang Samin.
5. Strata sosial Keagamaan
Strata sosial keagamaan yang ada di Desa Kemantren bisa
dikategorikan menjadi tiga kategori. Yakni; Santri, abangan dan
orang-orang Samin. Yang masuk dalam kategori santri adalah
orang Islam yang dengan konsisten mengamalkan ajaran agama
Islam, seperti menunaikan salat lima waktu, berpuasa dan
mengeluarkan zakat, tanpa memandang apakah dia dari keluarga
kyai atau pernah tinggal di pesantren atau tidak. Sedangkan
yang dikategorikan sebagai orang abangan adalah mereka yang
dalam KTP-nya dinyatakan beragama Islam tapi jarang sekali
melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam seperti salat lima waktu
berpuasa dan sebagainya.
Sedangkan yang dikategorikan sebagai orang Samin adalah
mereka yang secara genealogis keturunan Ki Samin Surosentiko
atau para pengikut ajaran Samin. Pada saat ini orang-orang Samin
oleh peneliti di kategorikan menjadi tiga kategori, yakni:
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
43
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
a. Samin Statis
Samin statis adalah para pengikut Samin yang tetap teguh
memeluk ajaran Samin dan berperilaku khas sebagai orang
Samin. Mereka adalah keturunan Samin atau para pengikut
saminisme generasi ketiga dan keempat yang pada saat ini
berusia 50 - 60 tahunan ke atas. Dapat dikatakan mereka adalah
generasi tua dari kalangan orang-orang Samin.
Mereka bertahan pada tradisi itu karena mereka cukup
puas dengan tradisi itu sehingga mereka tidak merasa butuh
akan perubahan yang mereka khawatirkan justru malah
mendatangkan malapetaka. Gesekan dengan budaya lain dalam
hal ini Islam memang intensif ada tapi itu tidak membuat mereka
merubah pendirian.
b. Samin Moderat
Samin moderat adalah para pengikut Samin dan
berperilaku khas sebagai orang Samin tapi mereka toleran,
dapat menerima perubahan dan mau beradaptasi dengan
orang dan budaya lain termasuk terhadap agama dan simbolsimbol formal Islam. Mereka adalah keturunan Samin atau para
pengikut saminisme generasi keempat dan kelima yang pada
saat ini berusia 40 - 50 tahunan ke atas. Dapat dikatakan mereka
adalah generasi tengah usia dari kalangan orang-orang Samin.
Mereka tidak selalu berbusana khas Samin yakni celana
kolor kombor dan baju kokok yang semuanya berwarna
hitam, mereka bisa berbusana apa saja. Mereka konsisten pada
Saminisme tapi mereka moderat dan terbuka kepada anak cucu
mereka. Mereka mengijinkan anak-anak mereka mengikuti
pendidikan agama Islam baik di sekolah maupun untuk mengaji
di musholla atau masjid.
Mereka tidak memaksakan diri bahwa Saminisme harus
diwarisi oleh anak cucu mereka. Prinsipnya adalah, “Yen anakanakku yo ben koyo wong-wong akeh kuwi. Tapi yen aku yo tetep
cecekelan gaman soko wong tuwo” yang berarti, “Anak-anakku
biarlah seperti orang-orang pada umunya, sementara saya
sendiri tetap berpegang pada ajaran orang tua”.
Mereka tidak teguh bertahan pada tradisi Samin karena
mereka merasa bahwa kemajuan tidak mungkin bisa dibendung
44
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Tranformasi Sosial Keagamaan pada Masyarakat Samin....(Abdul Wahib)
dan jika mereka tetap bertahan pada sikap eksklusif maka mareka
akan rugi sendiri, khususnya anak cucu mereka yang akan
menanggung resikonya. Mereka merasa butuh akan perubahan
dan mereka tidak khawatir perubahan itu akan mendatangkan
malapetaka. Gesekan dengan budaya lain dalam hal ini Islam
memang intensif dan itu cukup berpengaruh bagi mereka untuk
merubah pendirian.
c. Samin Genealogis
Samin genealogis adalah mereka yang secara genealogis
atau keturunan adalah keturunan Ki Samin atau keturunan orangorang yang taat pada saminisme. Mereka adalah keturunan Samin
atau para pengikut saminisme generasi kelima dan keenam yang
pada saat ini berusia 0 - 40 tahun. Dapat dikatakan mereka adalah
generasi muda dari kalangan orang-orang Samin.
Mereka tidak menunjukkan identitas spesifik sebagai
orang Samin bahkan mereka tidak mengerti apa itu saminisme
dan apa pula kepentingannya. Mereka tidak lebih dan tidak
kurang dari anak-anak atau remaja-remaja seusianya selain
bahwa mereka adalah keturuanan Ki Samin atau keturunan
orang Samin. Tak ada identitas spesifik dan mereka merasa tidak
memiliki kewajiban moral untuk meneruskan atau mewariskan
saminisme. Mereka hanyalah “keturunan Samin”.
6. Kekuasaan dan Wewenang
Masyarakat Samin bisa dianggap sebagai kelompok yang
eksklusif. Dalam hal demikian, kepatuhan terhadap pimpinan
kelompok (lazimnya informal) adalah besar atau dalam berbagai
kasus mutlak. Sementara terhadap pimpinan formal rasa kepatuhan
atau hormat mereka tidak sebanding dengan kepatuhan mereka
terhadap pimpinan informal mereka.
Meskipun demikian mereka rupanya tidak menolak
kekuasaan orang di luar Samin selama orang tersebut bisa bertindak
arif terhadap mereka, sebagai contoh kasus kepemimpinan kepala
desa Bapak Ali Mashadi, hanya saja dalam ritus sedekah bumi
kepala desa tidak bisa diterima atau diberi wewenang selaku tetua
adat meskipun kepemimpinannya mereka akui.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
45
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Pergeseran konsep ini bisa terjadi karena mereka tidak
mungkin menolak kebijakan global yang mengkondisikan semua
rakyat harus patuh atau taat pada pemerintah sampai pada tingkat
terendah di desa dengan catatan pimpinan tersebut memang bisa
ditoleransi (tolerable) di kalangan mereka. Dan kebetulan mereka
memang bisa menerima pimpinan desa tersebut.
Penerimaan itu juga mengindikasikan adanya toleransi
yang bisa berkembang terhadap adanya kemajuan yang bisa
dicapai oleh orang lain. Ketika ada pemilihan kepala desa, calon
ada tiga orang, dua orang dari kalangan abangan (yang lebih
didukung oleh orang Samin) sementara yang satu dari kalangan
santri. Dan dalam kondisi seperti ini tentu saja yang menang
adalah calon dari kalangan santri (Pak Ali Mashadi).
Kekalahan ini mereka terima dengan lapang dada, karena
memang itulah adanya. Mereka bisa menerima prestasi orang
lain dengan pikiran dan hati terbuka. Pada sisi lain, mereka tidak
punyaa alasan yang kuat atau reasonable menolak kenyataan
apalagi setelah terbukti kepala desa bisa memimpin dengan arif
dan bijaksana dan membawa berbagai kemajuan untuk desanya.
7. Interaksi sosial
Salah satu ciri masyarakat pedesaan terutama masyarakat
yang eksklusif adalah dipertahankannya pola paguyuban dan
bukannya patembayan dalam pola interaksi sosialnya.
Pola interaksi paguyuban memang memiliki kelebihan
tertentu, tapi tentu saja dalam batas-batas “wilayahnya”.
Sementara wilayah paguyuban adalah medan pekerjaan yang
harus diselesaikan secara massal dan tidak membutuhkan keahlian
yang spesifik. Tapi jika medan pekerjaan itu membutuhkan
keahlian yang spesifik di mana seorang yang ahli harus dihargai
keahliannya apalagi itu kelebihan utamanya dan sumber nafkah
hidupnyanya maka konsep paguyuban tentu tak dapat diterima
terutama dari kalangan para ahlinya.
Sebagai contoh dalam mendirikan rumah; model
paguyuban dapat diterapkan untuk pekerjaan yang mudah dan
dapat dilakukan secara masal seperti memindahkan genteng atau
balok-balok kayu untuk tiang rumah, tapi dalam hal rancang
46
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Tranformasi Sosial Keagamaan pada Masyarakat Samin....(Abdul Wahib)
bangun (arsitektur bangunan), pengerjaan bagian-bagian yang
sulit dari pengerjaan rumah seperti pemasangan keramik atau
pembuatan ukiran rumah tentu itu semua tidak dapat dilakukan
secara massal dan menggunakan konsep paguyuban.
Yang jadi masalah berikutnya ialah semakin menciutnya
jumlah “wilayah” yang dapat dikerjakan dengan pendekatan
paguyuban. Semakin lama setiap orang makin menuntut keahlian
dan ini juga terjadi di kalangan masyarakat Samin. Tuntutan
bahwa suatu pekerjaan harus dikerjakan oleh ahlinya juga tidak
dapat dielakkan.
Oleh karena itu pola hidup paguyuban makin lama makin
terkikis dan pola patembayan mulai dilakukan. Hidup guyub dan
rukun terutama untuk kalangan mereka sendiri memang tetap
dijaga, tapi dalam wilayah-wilayah di mana keahlian dituntut
model interaksi patembayan tak dapat dihindarkan dan perlahan
tapi pasti diterima dengan terbuka.
C.Simpulan
Setelah peneliti bergelut di lapangan untuk mengumpulkan
data tentang transformasi sosial keagamaan pada masyarakat
Samin Desa Kemantren Kecamatan Kedungtuban maka berbagai
temuan yang merupakan rangkungan dari penelitian ini dapat
peneliti simpulkan sebagai berikut:
Samin Surontiko atau Samin Surosentiko, nama
sesungguhnya adalah Raden Kohar, dia anak seorang bangsawan
yaitu Raden Surowijoyo yang tidak puas terhadap penjajah
Belanda. Dia melakukan perlawanan dengan tanpa kekerasan
dan menyamar sebagai rakyat jelata dengan sebutan Samin.
Dalam perlawanannya itu dia mengajarkan berbagai cara
baru dan menyebarkan pemikiran-pemikirannya dengan cara
membungkusnya dengan nama agama Adam.
Ajaran pokok dari Ki Samin adalah “sing sopo nandur bakal
ngunduh” yang berarti siapa yang menanam maka akan menuai.
Ajaran ini mengajarkan kepada semua pengikutnya untuk berbuat
secara jujur, adil, baik kepada sesama dan tidak boleh menciderai
sesama manusia. Dia -mestinya- juga ingin mengatakan itu kepada
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
47
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
kolonial, bahwa mereka kaum penjajah mestinya tak bisa berbuat
begitu kepada bangsa Indonesia atau kepada sesama ummat
manusia. Karen manusia adalah sama.
Semakin lama nama Samin semakin dikenal dan ajaranajarannya yang menentang Belanda semakin mengkristal apalagi
ajaran itu kemudian dikeramatkan sebagai sebuah agama baru
yakni Agama Adam.
Gerakan Samin dan Saminisme berkembang dalam konteks
perlawanan terhadap kolonial Belanda. Oleh karena itu ketika
Jepang datang dan menyatakan diri sebagai saudara tua maka sikap
mereka terhadap orang asing mulai berubah. Dan perubahan itu
menjadi lebih besar lagi ketika bangsa Indonesia merdeka. Mestinya
mereka sudah kehilangan konteks dalam melakukan perlawanan
dan relevansi perjuangannya sudah tidak lagi up to date.
Perkembangan politik di Indonesia dari terjajah menjadi
merdeka dan dari suasana Orde lama ke Orde baru mau tidak
mau juga berpengaruh terhadap eksistensi orang-orang Samin.
Perubahan itu nampak sekali dalam sikapnya yang berbalik
dari membenci pemerintah (kolonial) ke mendukung program
pemerintah.
Sebagai contoh sikap mereka yang menentang adanya
pengajaran agama di sekolahan akhirnya melunak ketika guru agama
menyampaikan kepada mereka bahwa apa yang dilakukan oleh guru
agama itu hanya sekedar melaksanakan tugas pemerintah.
Secara politis memang Orde baru berkepentingan untuk
meng-agama-kan atau bahkan meng-Islam-kan orang-orang Samin
agar mereka tidak berpaling ke Komunisme. Ini dilakukan dengan
mengadakan kawin massal bagi orang-orang Samin yang tentu saja
dengan cara Islam. Perubahan dalam perilaku perkawinan adalah
starting point bagi mereka untuk kemudian melakukan transformasi
sosial secara lebih luas dan berkelanjutan.
Apa yang terjadi dan berkembang pada masyarakat Samin
saat ini ialah bahwa ada transformasi sosial keagamaan di sana tapi
di samping itu ada juga yang tetap bertahan (continuity and change).
Baik yang tetap dipertahankan maupun yang berubah masingmasing ada alasan atau latar belakangnya.
48
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Tranformasi Sosial Keagamaan pada Masyarakat Samin....(Abdul Wahib)
Di antara yang dipertahankan ialah; Acara sedekah bumi,
mata pencaharian masyarakat, kejujuran sosial, keguyuban dan
pemelukan terhadap agama Adam. Di antara alasan utama dari
dipertahankannya hal-hal di atas antara lain ialah karena mereka
merasa nilai-nilai itu sangat mereka butuhkan dan itu mencukupi
kebutuhan hidupnya.
Sementara di antara yang berubah ialah; Nilai-nilai sosial
keagamaan yang meliputi, diterimanya Islam sebagai agama formal,
diterimanya pendidikan Agama Islam bagi para anak-anaknya, dan
penerimaan mereka terhadap didirikannya tempat ibadah (masjid).
Selain itu adalah mulai terbukanya isolasi diri yang sebelumnya
menyebabkan sulitnya pihak luar melakukan kontak dengan
mereka, dengan adanya perubahan itu maka kontak menjadi lebih
mudah dan perubahan juga bisa berlangsung. Pola-pola perilaku
sosial juga sudah berubah terutama dalam hal upacara puputan,
pernikahan dan kematian.
Desa Kemantren terdiri atas dua dukuh, yakni dukuh
Kemantren dan dukuh Tanduran. Sedangkan masyarakat desa
Kemantren dapat dikategorikan menjadi tiga kategori, yakni;
Santri, abangan dan orang Samin. Sementara orang Samin
sebagian besar menghuni dukuh Tanduran karena di sini adalah
keturunan langsung Ki Samin Surontiko generarasi ke-3 (cucu)
dan ke-4 (cicit).
Perubahan demi perubahan yang terjadi menjadikan orangorang Samin dapat dikategorikan menjadi tiga kategori yakni;
Samin statis, Samin moderat dan Samin genealogis.
Perubahan sosial keagamaan bisa terjadi karena adanya
berbagai faktor. Di antaranya ialah; Pertemuan mereka dengan
orang-orang Islam dan gencarnya usaha-usaah dakwah maupun
pengajian di sana, adanya kekurangpuasan mereka sendiri akan
budaya mereka yang sudah tidak lagi sesuai dengan kemajuan
zaman, pendidikan formal yang lebih tinggi, pengalaman mereka
merantau ke luar daerah karena daya dukung ekonomi pedesaan
yang kurang memadai dan juga karena adanya intervensi
pemerintah yang inging menghapus Saminisme karena dianggap
dekat dengan Komunisme. Wallahu al̀am bissawab.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
49
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
DAFTAR PUSTAKA
Sugihen, Bahrien T., 1996, Sosiologi Pedesaan (Suatu Pengantar),
Jakarta: RajaGrafindo Persada
Benda, Harry J., dan Lance Castles, 1972, The Samin Movement,
dalam Harry J. Benda, Continuity and Change in Southeast
Asia, Yale University, Conncticut
Djokosoewardi, Hary Poerwanto, 1969, Saminisme, Skripsi
Universitas Indonesia (tidak diterbitkan), Jakarta
Veeger, Karel J., 1993, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Gramedia,
Moh. Nazir, 1998, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia
Mulder, Neils, 1984, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa,
Jakarta: Gramedia
Susanto, Phil. Astrid S., 1985, Pengantar Sosiologi dan Perubahan
Sosial, Jakarta: Binacipta
Raharjo, 1999, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Kartodirdjo, Sartono, 1984, Pemberontakan Petani Banten 1888,
Jakarta: Pustaka Jaya
Taneko, Soleman B., 1993, Struktur dan Proses Sosial, Jakarta:
RajaGrafindo Persada
Hutomo,Suripan Sadi, 1996, Tradisi dari Blora, Semarang: Citra
Almamater
King, Victor T., 1973, Some Observation on the Samin Movement of
North-Central Java, BKI, Martinus Nijhoff
Frederick, Wiiliam H. dan Soeri Soeroso (Ed.), 1982, Pemahaman
Sejarah Indonesia, Sebelum dan Sesudah Revolusi, Jakarta:
LP3ES
50
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
MEMBUMIKAN PERAN DA’I DALAM PEMBINAAN KEAGAMAAN
PADA MASYARAKAT
Oleh: Ahmad Zaini
Dosen STAIN Kudus
Abstrak
Pada hakikatnya dakwah adalah menyeru kepada umat manusia
kepada jalan kebaikan dan mencegah dari yang munkar dalam
rangka memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Diantara
peran dan fungsi da’i adalah meluruskan akidah, memotivasi umat
untuk beribadah dengan baik dan benar, amar ma’ruf nahi munkar,
dan menolak kebudayaan yang merusak. Da’i mempunyai peran
yang sentral dalam menjalankan kegiatan pembinaan keagamaan.
Ia harus berbaur dengan masyarakat yang didakwahinya. Dan
yang terpenting lagi para da’i harus mempunyai kepribadian yang
dapat mendukung kegiatan dakwahnya, baik itu yang bersifat
rohani maupun jasmani. Adapun kegiatan dakwah dan pembinaan
yang dapat dilakukan di antaranya, kegiatan pengajian rutin,
pengajian gabungan antar majelis ta’lim dengan mendengarkan
ceramah agama dari da’i yang di datangkan dari luar, kegiatan
yang bersifat insidentil, seperti Peringatan Hari-Hari Besar Islam
dan juga kegiatan-kegiatan sosial.
Key words: peran, da’i, bimbingan keagamaan, masyarakat
A.Pendahuluan
Allah SWT telah memerintahkan Rasul-Nya dan para
pengikutnya untuk mengajak manusia menuju Allah semata,
bukan kepada yang lainnya. Inilah pernyataan salah satu tujuan
dakwah. Allah SWT berfirman:
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
51
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
ِ َّ‫ َو َداعِ ًيا ِإلَى ه‬،‫اك َشاهِ ًدا َو ُم َب ِّش ًرا َو َنذِ ًيرا‬
َ ‫الن ِب ُّي ِإ َّنا َأ ْر َس ْل َن‬
‫الل ِب ِإ ْذ ِن ِه‬
َّ ‫َيا َأ ُّي َها‬
‫ِيرا‬
ً ‫َو ِس َر‬
ً ‫اجا ُمن‬
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan
pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi
penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya
yang menerangi” (QS. al-Ahzab: 45-46).
Salah satu misi kerasulan sebagaimana informasi ayat di
atas adalah da’iyan ilallah sebagai da’i yang menyeru ke jalan
Allah. (Takariawan, 2005: 18) Selanjutnya, sepeninggal Rasulullah
kewajiban dakwah berada di pundak para sahabat, tabi’in dan
dilanjutkan oleh para da’i.
Pada hakikatnya dakwah adalah menyeru kepada umat
manusia kepada jalan kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf
dan mencegah dari yang munkar dalam rangka memperoleh
kebahagiaan di dunia dan kesejahteraan di akhirat. Hal tersebut
seperti yang tersurat dalam surat Ali Imran ayat 104,
ِ ‫ون ِبال َْم ْع ُر‬
‫وف َو َي ْن َه ْو َن َع ِن‬
َ ‫ون ِإلَى ال َْخ ْي ِر َو َي ْأ ُم ُر‬
َ ‫َو ْل َتكُ ْن ِم ْنكُ ْم ُأ َّم ٌة َي ْد ُع‬
‫ون‬
َ ‫ال ُْم ْنكَ ِر َو ُأو َلئ‬
َ ‫ِك ُه ُم ال ُْم ْفل ُِح‬
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.
Secara tersurat ayat ini menjelaskan bahwa sebaiknya
ada sebagian orang ataupun kelompok yang membimbing dan
mengarahkan kepada yang ma’ruf dan kebaikan disamping juga
mengingatkan terhadap orang-orang yang berbuat kerusakan di
muka bumi.
B.Pengertian Da’i
Pengertian dai seperti yang termaktub dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang kerjanya berdakwah
(KBBI: 231). Sedang dalam ilmu komunikasi da’i disebut sebagai
komunikator yaitu orang yang menyampaikan pesan komunikasi
(message) kepada orang lain. Karena dakwah bisa melalui tulisan,
52
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Membumikan Peran Da’i dalam Pembinaan Keagamaan...(Ahmad Zaini)
lisan, perbuatan, maka penulis keislaman, penceramah Islam,
mubaligh, guru mengaji, pengelola panti pasuhan Islam dan
sejenisnya termasuk da’i. Da’i dapat bersifat individu ketika
dakwah dilakukan secara perorangan dan dapat juga bersifat
kelompok atau kelembagaan ketika kegiatan dakwah digerakkan
oleh sebuah kelompok atau organisasi (Aziz, 2009: 216).
C.Landasan Bimbingan Keagamaan
Dakwah merupakan aktivitas yang sangat penting dalam
Islam. Dengan dakwah, Islam dapat bersinar dan diterima oleh
manusia. Sebaliknya tanpa dakwah Islam akan semakin jauh
dari masyarakat dan selanjutnya akan lenyap dari permukaan
bumi. Dalam kehidupan masyarakat, dakwah berfungsi menata
kehidupan yang agamis menuju terwujudnya masyarakat yang
harmonis dan bahagia. Karena pentingnya dakwah, maka dakwah
bukanlah pekerjaan yang dipikirkan dan dikerjakan sambil lalu
saja, melainkan suatu pekerjaan yang telah diwajibkan bagi setiap
pengikutnya. Berikut dasar hukum kewajiban dakwah seperti
yang termaktub dalam al-Quràn dan hadis.
Dalam Al-Quràn terdapat banyak ayat yang secara implisit
menunjukkan suatu kewajiban melaksanakan dakwah, antara lain
dalam surat an-Nahl ayat 125,
‫يل َر ِّب َك ِبال ِْحكْ َم ِة َوال َْم ْوعِ ظَ ِة ال َْح َس َن ِة َو َجا ِدل ُْه ْم ِبا َّلتِي هِ َي‬
ِ ‫ْاد ُع ِإلَى َس ِب‬
‫ين‬
َ ِ‫َأ ْح َس ُن ِإ َّن َر َّب َك ُه َو َأ ْعل َُم ِب َم ْن َض َّل َع ْن َس ِبي ِل ِه َو ُه َو َأ ْعل َُم ِبال ُْم ْه َتد‬
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orangorang yang mendapat petunjuk”.
Lalu dalam surat Ali Imran ayat 110,
ِ ‫ون ِبال َْم ْع ُر‬
‫وف َو َت ْن َه ْو َن َع ِن ال ُْم ْنكَ ِر‬
َ ‫اس َت ْأ ُم ُر‬
ِ ‫ِلن‬
َّ ‫ُك ْن ُت ْم َخ ْي َر ُأ َّم ٍة ُأ ْخ ِر َج ْت ل‬
ِ َّ‫ون ِب ه‬
‫ون‬
َ ‫ان َخ ْي ًرا ل َُه ْم ِم ْن ُه ُم ال ُْم ْؤ ِم ُن‬
َ َ‫اب لَك‬
َ ‫َو ُت ْؤ ِم ُن‬
ِ ‫الل َول َْو َآ َم َن َأ ْه ُل الْكِ َت‬
ِ ‫َو َأ ْك َث ُر ُه ُم ا ْل َف‬
‫ون‬
َ ‫اس ُق‬
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
53
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih
baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik”.
Selanjutnya dasar kewajiban dakwah dalam hadis dapat
ditemukan dalam kandungan hadis-hadis berikut ini:
ِ َّ‫ َسمِ ْع ُت َر ُسولَ ه‬:‫َع ْن َأ ِبي َسعِ يدٍ ال ُْخ ْدرِ ِّي قال‬
‫الل َعل َْي ِه َو َسل ََّم‬
ُ َّ‫الل َصلَّى ه‬
‫َي ُقولُ َم ْن َر َأى ِم ْنكُ ْم ُم ْنكَ ًرا َفل ُْي َغ ِّي ْر ُه ِب َيدِ ِه َف ِإ ْن ل َْم َي ْس َتطِ ْع َف ِبل َِسا ِن ِه َف ِإ ْن‬
ِ‫يمان‬
َ ‫ل َْم َي ْس َتطِ ْع َف ِب َق ْل ِب ِه َو َذل‬
ُ ‫ِك َأ ْض َع‬
ِ ْ‫ف إ‬
َ ‫ال‬
Dari Abi Sa’id al-Khudri berkata: Aku telah mendengar Rasulullah
SAW berkata: Barang siapa di antara kamu melihat kemunkaran, maka
hendaklah dia mencegah dengan tangannya, jika ia tidak sanggup
dengan demikian, maka dengan lidahnya, dan jika tidak sanggup,
maka cegahlah dengan hatinya, dan dengan yang demikian itu adalah
selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim)
‫الل َعل َْي ِه َو َسل ََّم َقالَ َوا َّلذِ ي‬
ُ َّ‫الن ِب ِّي َصلَّى ه‬
َّ ‫َع ْن ُحذَ ْي َف َة ْب ِن ال َْي َمانِ َع ْن‬
ِ ‫وف َو َل َت ْن َه ُو َّن َع ْن ال ُْم ْنكَ ِر َأ ْو ل َُي‬
ِ ‫َن ْفسِ ي ِب َيدِ ِه َل َت ْأ ُم ُر َّن ِبال َْم ْع ُر‬
‫الل َأ ْن‬
ُ َّ‫وشكَ َّن ه‬
‫اب لَكُ ْم‬
ُ ‫َي ْب َع َث َعل َْيكُ ْم عِ َق ًابا ِم ْن ُه ُث َّم َت ْد ُعو َن ُه َف اَل ُي ْس َت َج‬
Dari Hudzaifah bin Yaman dari Nabi SAW bersabda: “Demi Zat
yang menguasai diriku, haruslah kamu mengajak kepada kebaikan
dan haruslah kamu mencegah perbuatan yang munkar, atau Allah
menurunkan siksa-Nya kepadamu kemudian kamu berdoa kepadaNya di mana Allah tidak akan mengabulkan permohonanmu” (HR.
Tirmidzi).
Berdasarkan ayat-ayat Al-Quràn dan hadis yang telah
disebutkan di atas seluruh ulama sepakat bahwa hukum dakwah
adalah wajib. Yang masih menjadi perdebatan adalah apakah
kewajiban itu hanya dibebankan kepada setiap individu Muslim
(fardu ‘ain) atau kewajiban itu hanya dibebankan pada sekelompok
orang saja dari umat Islam secara keseluruhan (fardu kifayah).
Menurut Abdul Basit perdebatan di kalangan ulama
tentang kewajiban dakwah Islam bertitik tolak dari perdebatan
interpretasi terhadap ayat Al-Quràn surat Ali Imran ayat 104
yaitu:
54
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Membumikan Peran Da’i dalam Pembinaan Keagamaan...(Ahmad Zaini)
ِ ‫ون ِبال َْم ْع ُر‬
‫وف َو َي ْن َه ْو َن َع ِن‬
َ ‫ون ِإلَى ال َْخ ْي ِر َو َي ْأ ُم ُر‬
َ ‫َو ْل َتكُ ْن ِم ْنكُ ْم ُأ َّم ٌة َي ْد ُع‬
‫ون‬
َ ‫ال ُْم ْنكَ ِر َو ُأو َلئ‬
َ ‫ِك ُه ُم ال ُْم ْفل ُِح‬
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.
Berdasarkan ayat di atas, menurut Ibnu Kasir, ada dua
pendapat yang berbeda. Perbedaan dimunculkan dari penafsiran
terhadap kata min. Golongan pertama yang banyak diikuti oleh
ulama menyatakan bahwa kata min dalam ayat tersebut berarti
littab’idh, artinya sebagian. Jadi, dakwah merupakan kewajiban
yang bersifat kolektif (kifayah). Alasannya karena kegiatan
dakwah memerlukan ilmu dan tidak setiap individu mampu
melaksanakannya. Pendapat ini diperkuat dengan ayat AlQuràn surat at-Taubah ayat 122: “Tidak sepatutnya bagi mukminin
itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiaptiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya”.
Golongan kedua menafsirkan kata min berarti lilbayan,
yakni sebagai penjelas. Dengan demikian, dakwah menjadi
kewajiban setiap individu (‘ain). Hal ini diperkuat Al-Quràn
(
)
ِ ‫ون ِبال َْم ْع ُر‬
surat Ali Imran ayat 110 ‫وف‬
َ ‫اس َت ْأ ُم ُر‬
ِ ‫ِلن‬
َّ ‫ُك ْن ُت ْم َخ ْي َر ُأ َّم ٍة ُأ ْخ ِر َج ْت ل‬
dimana kata kuntum menunjuk pada setiap individu. Demikian
juga di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim ‫َم ْن َر َأى ِم ْنكُ ْم‬
‫ ُم ْنكَ ًرا َفل ُْي َغ ِّي ْر ُه ِب َيدِ ِه َف ِإ ْن ل َْم َي ْس َتطِ ْع َف ِبل َِسا ِن ِه‬di mana kata man berarti setiap
individu Muslim (Basit, 2005: 36).
Selanjutnya
untuk
mengkompromikan
perbedaan
di atas menurut Cahyadi Takariawan (2005, 4-6) mengutip
pendapatnya al-Bayanuni dalam kitabnya al-Madkhal ila Ilmid
Da’wah menyebutkan adanya empat titik yang mempertemukan
dua pandangan kewajiban dakwah tersebut. Pertama, kedua
kelompok ulama telah bersepakat atas wajibnya dakwah. Mereka
tidak berselisih pendapat dalam hal ini. Kedua, ulama yang
)
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
(
55
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
berpendapat dakwah sebagai fardhu ‘ain, membatasi kewajiban
kepada mereka yang memiliki ilmu dan kemampuan. Bagi kaum
muslimin yang tidak memiliki ilmu maka mereka dianggap tidak
mampu sehingga terlepas dari kewajiban dakwah.
Ketiga, para ulama yang berpendapat dakwah sebagai
fardhu kifayah memahami bahwa kewajiban tertunaikan apabila
tersedia jumlah yang cukup untuk menyelesaikan beban-beban
dakwah. Jika belum tersedia jumlah yang mencukupi (kifaìyah)
beban kewajiban masih terpikulkan kepada semua kaum muslimin
dan muslimat. Keempat, seandainya pun tersedia jumlah yang
mencukupi untuk menyelesaikan dakwah, nilai dakwah sebagai
sebaik-baik perkataan tetap berlaku, seperti termaktub dalam
firman-Nya:
ِ َّ‫َو َم ْن َأ ْح َس ُن َق ْو اًل م َِّم ْن َد َعا ِإلَى ه‬
‫الل َو َعمِ َل َصال ًِحا َو َقالَ ِإ َّننِي م َِن‬
‫ين‬
َ ِ‫ال ُْم ْسلِم‬
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang
menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:
“Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?”
(Qs. Fushilat: 33).
Dengan empat titik temu di atas sesungguhnya jika pun
dipahami sebagai fardhu ‘ain atau fardhu kifayah, dakwah tetap
menghajatkan keterlibatan seluruh potensi kaum muslimin.
Tidak boleh ada bagian kaum muslimin yang merasa terbebaskan
dari kewajiban dakwah karena telah ada sekelompok orang yang
melakukannya. Bahkan, Allah SWT menyebutkan amar ma’ruf dan
nahi mungkar sebagai karakter pokok laki-laki dan perempuan
yang beriman:
ِ ‫ون ِبال َْم ْع ُر‬
‫وف‬
َ ‫ض َي ْأ ُم ُر‬
َ ‫َوال ُْم ْؤ ِم ُن‬
ٍ ‫ات َب ْع ُض ُه ْم َأ ْول َِي ُاء َب ْع‬
ُ ‫ون َوال ُْم ْؤ ِم َن‬
‫الل‬
َ ‫يع‬
َ ‫الص اَل َة َو ُي ْؤ ُت‬
َ ‫ِيم‬
َ َّ‫ون ه‬
َّ ‫ون‬
َّ ‫ون‬
ُ ِ‫الز َكا َة َو ُيط‬
ُ ‫َو َي ْن َه ْو َن َع ِن ال ُْم ْنكَ ِر َو ُيق‬
‫يم‬
َ ‫َو َر ُسول َُه ُأو َلئ‬
َ َّ‫الل ِإ َّن ه‬
ُ َّ‫ِك َس َي ْر َح ُم ُه ُم ه‬
ٌ ِ‫الل َع ِزي ٌز َحك‬
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar,
56
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Membumikan Peran Da’i dalam Pembinaan Keagamaan...(Ahmad Zaini)
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Qs. Taubah: 71).
D.Peran dan Fungsi Da’i
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup
sendirian. Dalam mengarungi kehidupannya ia membutuhkan
orang untuk berbagi cerita dalam menghadapi masalahnya serta
membutuhkan orang yang dapat mengarahkan ke jalan yang
lurus agar tidak terjerumus ke dalam jurang kenistaan. Ada orang
yang secara mandiri dapat menghadapi masalah yang sedang
dihadapinya, namun ada juga orang yang membutuhkan seorang
pembimbing. Disinilah da’i dapat mengambil peran untuk
membimbing dan membina masyarakat yang sedang mengalami
suatu permasalahan.
Adapun peran dan fungsi da’i diantaranya adalah:
1. Meluruskan akidah; sudah menjadi naluri bahwa manusia selalu
tidak lepas dari kesalahan dan kekeliruan dan tidak terkecuali
terhadap keyakinan dan akidahnya. Manusia memiliki naluri
untuk bertuhan, namun terkadang dalam menjalankannya
menempuh jalan yang salah, sehingga memiliki Tuhan yang
keliru, dalam hal ini da’i menunjukkan siapa Tuhan yang hakiki
dengan petunjuk al-Quràn dan sunah, sehingga menganut
tauhidullah (mengakui dan memurnikan keesaan Allah, sebagai
Tuhan yang berhak untuk disembah).
2. Memotivasi umat untuk beribadah dengan baik dan benar.
Seorang da’i memberikan pencerahan dan penyadaran akan
keberadaan manusia sebagai hamba Allah yang memiliki tugas
untuk mengabdi atau beribadah kepada Allah dengan aturanNya.
3. Amar ma’ruf nahi munkar. Sebagai wujud nyata dari fungsi da’i
selalu memiliki perhatian pada sesama untuk bersama-sama
menegakkan yang ma’ruf dan meninggalkan yang munkar
untuk menciptakan kedamaian bersama.
4. Menolak kebudayaan yang merusak. Seorang da’i dalam
melaksanakan kegiatan dakwahnya, tentu tidak boleh larut
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
57
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
dalam berbagai tradisi dan adat kebiasaan mitra dakwah
yang bertentangan dengan syariat Islam, dan mesti kuat
mempertahankan
kaidah-kaidah,
hukum-hukum
dan
tata pergaulan muslim. Para da’i mesti tangguh dalam
mempertahankan syariat dan terus berupaya untuk mengubah
norma yang menyimpang dan terus berusaha untuk
menegakkan sistem Islam (Enjang dan Aliyudin, 2009: 74-75).
E. Kepribadian Da’i
Kepribadian seseorang adalah gambaran budi pekerti
dan amal baktinya, atau dengan kata lain budi dan amal bakti
seseorang itulah gambaran kepribadiannya (Husein, 2004: 8).
Sebagai umat muslim, Nabi Muhammad SAW adalah panutan
yang harus diteladani, terlebih bagi para da’i. Seperti termaktub
dalam surat al-Ahzab ayat 21,
ِ َّ‫ان لَكُ ْم فِي َر ُسولِ ه‬
‫الل َوال َْي ْو َم‬
َ ‫الل ُأ ْس َو ٌة َح َس َن ٌة ل َِم ْن َك‬
َ ‫َل َق ْد َك‬
َ َّ‫ان َي ْر ُجو ه‬
َ ْ‫آ‬
‫ِيرا‬
َ َّ‫ال ِخ َر َو َذ َك َر ه‬
ً ‫الل َكث‬
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
Kepribadian seseorang dapat bersifat rohani maupun
jasmani. Kepribadian yang bersifat rohani tercermin dalam sifatsifatnya, sedang kepribadian yang bersifat jasmani nampak pada
fisiknya.
1. Kepribadian yang bersifat rohani.
Diantara kepribadian yang bersifat rohani adalah:
a. Berani mengemukakan kebenaran
Dai hendaknya berani mengemukakan kebenaran
dihadapan siapapun, karena kebenaran itu dari Allah, karena
kebenaran bagian yang terpenting dari risalah Muhammad,
bahkan keseluruhan Risalah Muhammad itu adalah kebenaran
mutlak. Hal ini seperti termaktub dalam surat al-Kahfi ayat 29
dan al-Baqarah ayat 147.
58
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Membumikan Peran Da’i dalam Pembinaan Keagamaan...(Ahmad Zaini)
b. Pemaaf
Hendaknya da’i memiliki sifat pemaaf. Nabi Muhammad
setelah penaklukkan Mekah, beliau memberi maaf kepada
orang-orang Quraisy yang tadinya memusuhi beliau, bahkan
telah mengusirnya dari tanah tumpah darah. Dalam al-Quràn
banyak ayat yang menjelaskan tentang pemberian maaf, semisal
dalam surat al-Maidah ayat 13 dan al-A’raf ayat 199.
c. Tabah
Da’i seyogyanya tidak cepat putus ketika menghadapi
cobaan dan ujian sebesar apapun. Karena dia menyadari
bahwa untuk mencapai suatu tujuan muliah haruslah terlebih
dahulu melalui rintangan dan tantangan maupun mengalami
penderitaan. Seperti diajarkan oleh al-Quràn dalam surat alBaqarah ayat 214.
d. Sopan santun
Sifat sopan santun harus dimiliki oleh da’i, karena sifat
ini akan menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang. Seperti
halnya Nabi Muhammad yang diperintahkan Allah agar
bersifat sopan santun. “Dan berilah peringatan kepada kerabatkerabatmu yang terdekat, Dan rendahkanlah dirimu terhadap orangorang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman”.
e. Lemah lembut
Kelemah lembutan da’i akan menawan hati orangorang yang didakwahinya bahkan hati musuh sekalipun.
Nabi Muhammad sebagai penyeru kebaikan untuk membawa
rahmat kepada alam semesta diperintahkan untuk bersikap
lemah lembut terhadap para pengikutnya, dan bersikap tegas
terhadap orang-orang kafir yang membangkang. “Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan
Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang
sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia
Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka
mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam
Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
59
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman
itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang
mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala
yang besar” (Qs. al-Fath: 29). (Hasjmy, 1974: 210-220)
2. Kepribadian yang bersifat jasmani.
Adapun kepribadian yang bersifat jasmani diantaranya:
a. Sehat jasmani
Dakwah memerlukan akal yang sehat, sedang akal
yang sehat terdapat pada badan yang sehat. Seorang da’i yang
profesional yang berdakwah dengan jumlah mitra dakwah yang
banyak maka kesehatan jasmani mutlak diperlukan sebab kondisi
badan yang tidak memungkinkan, sedikit banyak mengurangi
semangat da’i dalam melalukan aktivitas dakwah.
b. Berpakaian sopan dan rapi
Pakaian yang sopan, praktis, dan pantas mendorong
rasa simpati seseorang pada orang lain bahkan pakaian pun
berdampak pada kewibawaan seseorang. Bagi seorang da’i
masalah pakaian harus mendapat perhatian serius, karena
pakaian yang digunakan menunjukkan kepribadiannya. Yang
dimaksud dengan pakaian yang sopan dan rapi adalah pakaian
yang sesuai dengan tempat, suasana, dan keadaan fisik bukan
berarti pakaian yang serba baru dan mahal (Faizah dan Effendi,
2006: 100).
F. Materi Pembinaan Keagamaan
Materi pembinaan keagamaan sumber utamanya adalah
Al-Quràn dan sunah Rasulullah SAW. Secara garis besar materi
pembinaan ini berkisar dalam masalah akidah, syariah, mu’amalah,
dan akhlak.
1. Masalah Akidah
Masalah pokok yang menjadi materi pembinaan keagamaan
(baca: Islam) adalah akidah Islamiyah. Aspek akidah ini yang akan
membentuk moral (akhlaq) manusia. Oleh karena itu, yang pertama
60
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Membumikan Peran Da’i dalam Pembinaan Keagamaan...(Ahmad Zaini)
kali dijadikan materi dalam dakwah Islam adalah masalah akidah
atau keimanan. Iman merupakan esensi dalam ajaran Islam. Iman
juga erat kaitannya antara akal dan wahyu. Dalam al-Quràn istilah
iman tampil dalam berbagai variasnya sebanyak kurang lebih 244
kali. Yang paling sering adalah ungkapan “wahai orang-orang yang
beriman”, yaitu sebanyak 55 kali.
2. Masalah Syariah
Materi pembinaan keagamaan yang bersifat syariah ini
sangat luas dan mengikat seluruh umat Islam. Ia merupakan
jantung yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam di
berbagai penjuru dunia, dan sekaligus merupakan hal yang patut
dibanggakan. Kelebihan dari materi syariah Islam antara lain,
adalah bahwa ia tidak dimiliki oleh umat-umat yang lain. Syariah
ini bersifat universal yang menjelaskan hak-hak umat muslim dan
nonmuslim, bahkan hak seluruh umat manusia. Dengan adanya
materi syariah ini, maka tatanan sistem dunia akan teratur dan
sempurna.
3. Masalah Mu’amalah
Islam merupakan agama yang menekankan urusan
mu’amalah lebih besar porsinya daripada urusan ibadah. Islam
lebih banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial daripada
aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang menjadikan
seluruh bumi ini masjid, tempat mengabdi kepada Allah. Ibadah
dalam mu’amalah di sini, diartikan sebagai ibadah yang mencakup
hubungan dengan Allah dalam rangka mengabdi kepada Allah
SWT.
4. Masalah Akhlak
Pembahasan akhlak berkaitan dengan masalah tabiat atau
kondisi temperatur batin yang memengaruhi perilaku manusia.
Materi akhlak dalam Islam adalah mengenai sifat dan kriteria
perbuatanmanusiasertaberbagaikewajibanyangharusdipenuhinya.
Karena semua manusia harus mempertanggungjawabkan setiap
perbuatannya, maka Islam mengajarkan kriteria perbuatan dan
kewajiban yang mendatangkan kebahagiaan, bukan siksaan.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
61
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Bertolak dari prinsip perbuatan manusia ini, maka materi akhlak
membahas tentang norma luhur yang harus menjadi jiwa dari
perbuatan manusia, serta tentang etika atau tata cara yang harus
dipraktikkan dalam perbuatan manusia sesuai dengan jenis
sasarannya. (Munir dan Ilaihi, 2006: 24-30).
G.Metode dan Teknik Da’i dalam Pembinaan Bimbingan
Keagamaan
Ada sebuah pepatah yang berbunyi al-thariqah ahammu
minal maddah (metode lebih penting daripada materi). Terkadang
metode yang satu tidak sesuai bagi suatu golongan, tapi disisi lain
sesuai bagi golongan yang lain. Karena itu, para da’i harus dapat
menggunakan metode yang tepat dalam membimbing masyarakat.
Da’i harus mengetahui kondisi psikologis masyarakat yang dibina
dan dibimbingnya. Jangan sampai seorang da’i buta ataupun tidak
tahu terhadap situasi dan kondisi masyarakat binaannya. Adapun
metode-metode yang dapat dilakukan oleh para da’i diantaranya:
1. Metode Ceramah
Metode ceramah atau pidato ini telah dipraktikkan oleh
semua Rasul Allah dalam menyampaikan ajaran Allah. Hingga saat
ini pun masih merupakan metode yang paling sering digunakan
oleh para da’i sekalipun alat komunikasi modern telah tersedia.
Umumnya, pesan-pesan dakwah yang disampaikan dengan
ceramah bersifat ringan, informatif, dan tidak mengundang
perdebatan. Dialog yang dilakukan juga terbatas pada pertanyaan,
bukan sanggahan.
2. Metode Diskusi
Maksud metode ini adalah adanya pertukaran pikiran
antara da’i dan mitra dakwah dalam suatu masalah keagamaan
sebagai pesan dakwah dalam tempat tertentu. Dalam berdiskusi
seorang da’i sebagai pembawa misi Islam haruslah dapat menjaga
keagungan namanya dengan menampilkan jiwa yang tenang,
berhati-hati, cermat, dan teliti dalam memberikan materi dan
memberikan jawaban atas sanggahan peserta.
62
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Membumikan Peran Da’i dalam Pembinaan Keagamaan...(Ahmad Zaini)
3. Metode Konseling
Metode konseling merupakan wawancara secara individual
dan tatap muka antara konselor sebagai da’i dan klien sebagai
mitra dakwah untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
Seseorang yang merasa kurang percaya diri, merasa kurang
bermakna, merasa dikucilkan lingkungan, sedang ada konflik
dengan teman dekat, ataupun ada masalah yang lain, ia dapat
datang ke konselor. Konselor sebagai da’i akan membantu mencari
pemecahan masalahnya.
4. Metode Karya Tulis
Metode ini termasuk dalam kategori dakwah bi al-qalam
(dakwah dengan karya tulis). Ada hal-hal yang mempengaruhi
efektivitas tulisan, antara lain: bahasa, jenis huruf, format, media,
dan tentu saja penulis serta isinya. Tulisan yang terpublikasi
bermacam-macam bentuknya, antara lain: tulisan ilmiah, tulisan
lepas, tulisan stiker, tulisan spanduk, tulisan sastra, tulisan
terjemah, tulisan cerita, tulisan berita. Masing-masing bentuk
tulisan memiliki kelebihan dan kekurangan yang terkait dengan
penggunaannya.
5. Metode Pemberdayaan Masyarakat
Salah satu metode dalam dakwah bi al-hal (dakwah dengan
aksi nyata) adalah metode pemberdayaan masyarakat, yaitu
dakwah dengan upaya untuk membangun daya, dengan cara
mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan
potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya
dengan dilandasi proses kemandirian. Yang termasuk dakwah
dengan aksi nyata diantaranya adalah membangun sekolahsekolah, rumah sakit, pondok pesantren, dan juga lainnya.
6. Metode Kelembagaan
Metode lainnya dalam dakwah bi al-hal adalah kelembagaan
yaitu pembentukan dan pelestarian norma dalam wadah
organisasi sebagai instrumen dakwah. Untuk mengubah perilaku
anggota institusi umpamanya, da’i harus melewati proses fungsifungsi manajemen yaitu perencanaan (takhtith), pengorganisasian
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
63
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
(tandzim), penggerakan (taujih) dan pengendalian (Riqabah).
Metode kelembagaan lebih bersifat sentralistik dan kebijakannya
bersifat dari atas ke bawah (top-down) (Aziz, 2009: 359-381).
H.Macam-macam Kegiatan Pembinaan Keagamaan
Kegiatan pembinaan keagamaan (baik pengajian, majelis
taklim, dan sejenisnya) merupakan kegiatan pendidikan agama
Islam yang paling fleksibel dan tidak terikat oleh waktu. Ia
terbuka untuk segala usia, lapisan atau strata sosial, dan jenis
kelamin. Waktu penyelenggaraannya pun tidak terikat waktu.
Dapat dilaksanakan di waktu pagi, siang, sore, ataupun malam
hari. Begitu juga dengan tempat pengajarannya, dapat dilakukan
di rumah, masjid, mushala, gedung, aula, halaman (lapangan)
dan sebagainya. Selain itu, kegiatan keagamaan ini memiliki dua
fungsi sekaligus, yaitu sebagai lembaga dakwah dan lembaga
pendidikan non-formal. Fleksibilitas inilah yang menjadi kekuatan
sehingga mampu bertahan dan merupakan lembaga pendidikan
Islam yang paling dekat dengan umat (masyarakat). Ia juga
merupakan wahana untuk saling berinteraksi dan komunikasi
serta silaturrahmi yang kuat antara masyarakat awam dengan
para muàlim, dan antara sesama anggota jamaah tanpa dibatasi
oleh tempat dan waktu (moektiaza.wordpress.com).
Disinilah da’i mempunyai peran yang penting dalam
menjalankan kegiatan pembinaan keagamaan tersebut. Ia
tidak boleh hanya berada di atas awang-awang saja, namun ia
harus berbaur dengan masyarakat yang didakwahinya, demi
menyukseskan kegiatan dakwahnya. Adapun macam-macam
pembinaan yang dapat dilakukan di antaranya :
1. Kegiatan pengajian rutin dengan materi keislaman secara
menyeluruh yang dibagi ke dalam sub-sub tema kajian, seperti
masalah syariah, akidah, dan akhlak.
2. Kegiatan pengajian gabungan antar majelis ta’lim yang biasanya
dilakukan satu bulan sekali, dengan mendengarkan ceramah
agama dari da’i yang di datangkan dari luar.
3. Kegiatan yang bersifat insidentil, seperti Peringatan Hari-Hari
Besar Islam (Maulid Nabi, Isra`Mir̀aj, Nuzul al-Quràn, dan Tahun
64
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Membumikan Peran Da’i dalam Pembinaan Keagamaan...(Ahmad Zaini)
Baru Islam), pekan Muharam, pelatihan mengurus jenazah,
pelatihan da’i/da’iyah, belajar irama al-Quràn, doa-doa yang
relevan dengan situasi dan kondisi, pelaksanaan salat shalat
duha, it̀ikaf (sepertiga akhir bulan Ramadan) dan melaksanakan
pesantren kilat pada bulan Ramadan.
4. Kegiatan-kegiatan sosial, seperti mengunjungi orang sakit, taz̀iyah
ke keluarga dan anggota pengajian yang meninggal dunia,
kunjungan ke panti-panti asuhan muslim.
5. Mengadakan kegiatan arisan, sebagai rasa keadilan dan solidaritas
yang tinggi serta terjalinnya silaturrahmi yang kuat antar sesama
anggota pengajian (moektiaza.wordpress.com).
I. Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa diantara
peran dan fungsi da’i adalah meluruskan akidah, memotivasi
umat untuk beribadah dengan baik dan benar, amar ma’ruf nahi
munkar, dan menolak kebudayaan yang merusak. Selanjutnya
dalam penyampaian dakwahnya para da’i dapat menggunakan
berbagai metode yang cocok dan sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat yang didakwahinya. Da’i mempunyai peran yang sentral
dalam menjalankan kegiatan pembinaan keagamaan. Ia harus ikut
berperan aktif dalam kegiataan keagamaan, tidak hanya duduk-duk
saja, namun ia harus berbaur dengan masyarakat yang didakwahinya,
dengan harapan kegiatan keagamaan tersebut dapat berjalan
dengan lancar. Dan yang terpenting lagi para da’i harus mempunyai
kepribadian yang dapat mendukung kegiatan dakwahnya, baik itu
yang bersifat rohani maupun jasmani.
Adapun kegiatan dakwah dan pembinaan yang dapat
dilakukan di antaranya, kegiatan pengajian rutin, pengajian gabungan
antar majelis ta’lim yang biasanya dilakukan satu bulan sekali, dengan
mendengarkan ceramah agama dari da’i yang di datangkan dari
luar, kegiatan yang bersifat insidentil, seperti Peringatan Hari-Hari
Besar Islam (Maulid Nabi, Isra`Mir̀aj, Nuzul al-Quràn, dan Tahun
Baru Islam), dan juga kegiatan-kegiatan sosial, seperti mengunjungi
orang sakit, taz̀iyah ke keluarga dan anggota pengajian yang
meninggal dunia, kunjungan ke panti-panti asuhan muslim.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
65
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
DAFTAR PUSTAKA
Faizah dan Lalu Muchsin Effendi, 2006, Psikologi Dakwah, Jakarta:
Kencana
Aziz, Moh. Ali, 2009, Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana
Hasjmy, 1984, Dustur Dakwah menurut al-Quràn, Jakarta: Bulan
Bintang
Enjang dan Aliyudin, 2009, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, Bandung:
Widya Padjadjaran
Munir dan Wahyu Ilaihi, 2006, Manajemen Dakwah, Jakarka:
Kencana
Takariawan, Cahyadi, 2005, Prinsip-prinsip Dakwah yang Tegar di
Jalan Allah, Yogyakarta: Izzan Pustaka
Rafi’udin dan Maman Abdul Jalil, 1997, Prinsip dan Strategi Dakwah,
Bandung: Pustaka Setia
Husein, Ibnu, 2004, Pribadi Muslim Ideal, Semarang: Pustaka
Nuun
http://moektiaza.wordpress.com/2011/02/25/%E2%80%9Cpenge
rtian-dan-peran-penyuluh-agama-islam-dan-pembinaankeagamaan%E2%80%9D/
66
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
PERANAN PARTAI POLITIK
DALAM PERSPEKTIF DAKWAH
Oleh: Rustam Aji
Jurnalis dan Sekjen Lembaga Studi Keterbukaan Media
dan Informasi Publik (LeSKMIP) Kudus
Abstrak
Politik yang perlu dijalankan oleh seorang muslim sekaligus
yang berfungsi sebagai alat dakwah sudah tentu bukanlah jenis
“politik machiavellas”, tetapi politik jenis pertama yang penuh
komitmen kepada Allah. Tujuan yang diletakkan politik ini
bukanlah kekuasaan demi kekuasaan, atau pencapaian suatu
kepentingan demi kepentingan tertentu. Dengan lain kata, posisi
politik bukanlah tujuan, tetapi hanya merupakan sarana atau alat
untuk mencapai tujuan, yakni pengabdian kepada Allah. Politik
demikian, jelas selaras dengan tujuan dakwah. Disini kita bisa
menyimak dengan jelas bahwa misi dakwah seorang nabi adalah
missi kemanusiaan, misi sejarah dengan dimensi yang sangat luas.
Dalam perspektif telaah kita, maka dapat dikatakan politik hanyalah
satu dimensi dari kegiatan dakwah. Oleh sebab itu, sekarang tidak
ada alasan lagi bagi umat Islam untuk “mengharamkan” politik.
Justru umat Islam bisa menggunakan politik sebagai alat dakwah
dalam rangka menciptakan masyarakat yang baldatun toyyibatun
wa rabbun ghafar.
Key words: peran, partai politik, dakwah
A.Pendahuluan
Ingar bingar reformasi pasca Soeharto lengser dari kursi
kepresidenan, 21 Mei 1998, setelah berkuasa selama 32 tahun,
masyarakat tampak menganggap peristiwa itu sebagai kesempatan
untuk berdemokrasi sepuas-puasnya. Hal ini, paling tidak terlihat
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
67
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
saat kebijakan multi partai dicanangkan dalam menyambut Pemilu
1999, maka menjamurlah partai politik di Indonesia.
Fenomena menariknya, masih bermunculannya partai
politik aliran dengan membawa label ”agama” untuk komoditas
politiknya dalam menarik simpati masyarakat. Islam sebagai
agama mayoritas, kemudian menjadi salah satu komoditas dalam
mendirikan partai. Lahirnya Partai Bulan Bintang (PBB), Partai
Keadilan (PK), dan Partai Umat Islam (PUI), misalnya, menjadi
bukti dari simbolisasi agama dalam berpartisipasi.
Tampaknya mereka belum bisa melupakan Partai Masyumi
di era zaman Bung Karno, yang telah menjadi representasi
wadah umat Islam “dihanguskan.” Namun sayangnya, dalam
perkembangannya, partai politik yang berbau politik aliran, kurang
laku. Partai politik yang mengusung nasionalisme, justru lebih
laku ketimbang partai yang berbau agama. Sedikit demi sedikit,
partai yang mengusung agama rontok. Hanya Partai Keadilan
yang kemudian “berevolusi” menjadi Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) yang masih mendapatkan simpatik hingga Pemilu 2009.
Sedangkan PBB yang mengklaim sebagai “jelmaan” Masyumi, di
tahun 2009 gagal mempertahankan eksistensi, sehingga tak bisa
masuk ke parlemen.
Apakah itu menjadi bukti bahwa partai politik Islam sudah
tak laku lagi? Bisa jadi, ini karena masih banyaknya masyarakat
yang berpandangan bahwa kegiatan politik adalah kegiatan
yang berdiri sendiri, terpisah sama sekali dari kegiatan dakwah.
Bahkan, masyarakat kita ada kesan kurang positif terhadap
kegiatan politik, seolah-olah politik selalu mengandung kelicikan,
hipokrisi, ambisi buta, pengkhianatan, dan berbagai konotasi
buruk lainnya (Rais, 1997: 2).
Bagi seorang Muslim, persepsi politik itu tentu sangat
berbahaya, di samping tidak etis. Sebab, bila ditinjau dari kacamata
dakwah, pandangan politik seperti itu sangat merugikan.
Mestinya, seorang muslim harus mempunyai pandangan
bahwa kegiatan politik harus menjadi kegiatan integral dari
kehidupan yang utuh. Kehidupan dunia harus bisa dikuasai dan
dikendalikan agar ajaran-ajaran Islam mampu tersosialisasikan
68
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Peranan Partai Politik dalam Perspektif Dakwah (Rustam Aji)
serta terimplementasi ke seluruh dimensi kehidupan masyarakat
yang luas.
Pertanyaan lebih mendasar lagi, apakah hasil pemilu itu
merupakan sinyal yang jelas bahwa mayoritas muslim sudah tak
lagi menganggap penting simbol-simbol Islam dalam politik dan
lebih pada substansi? Jika memang benar demikian, menurut
Hamid Basyaib dan Hamid Abidin (Noer, et.al., 1999: V), itu bisa
dilihat dari dua arah yang saling terkait. Pertama, kaum muslim
lebih peduli untuk menjadikan Islam sebagai etika social, lebih
mementingkan agar segala urusan kemasyarakatan —termasuk
politik— dipengaruhi dan disemangati oleh nilai-nilai agama,
seperti kejujuran, keadilan, dan sebagainya. Kedua, umat Islam
makin percaya bahwa adalah mungkin kepentingan umat Islam
diperjuangkan perwujudannya oleh politisi dari luar lingkungan
“Islam politik”, atau bahkan kalangan non-muslim.
B.Hakikat Dakwah
Pada dasarnya, dakwah Islam adalah seruan kepada
seluruh strata sosial dalam masyarakat (Majalah Ishlah, 1996:
27). Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an (Depag RI, 1992:
688) disebutkan: “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada
umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai
pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui” (QS.
As Saba: 28).
Karena itulah, dakwah disini harus dipahami sebagai
gerakan ‘amal jama’i (kerja kolektif) yang menekankan pada
prinsip seruan kebenaran, yakni amar ma’ruf dan nahi munkar.
Gerakan dakwah, meskipun sebagai wadah ‘amal jama’i, tetap
saja berputar dan bergerak melalui individu merupakan ujung
tombak pergerakan. Dimana nantinya mereka diharapkan mampu
memenuhi sasaran dan tujuan yang ingin dicapai.
Sebab, dalam perspektif historis, menurutAmrullahAchmad
(Achmad, 1984: 2), pergumulan dakwah Islam dengan realitas
sosio-kultural menjumpai dua kemungkinan. Pertama, dakwah
Islam mampu memberikan output (hasil, pengaruh) terhadap
lingkungan dalam arti memberi dasar filosofi, arah, dorongan dan
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
69
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
pedoman perubahan masyarakat sampai terbentuknya realitas
sosial baru. Kedua, dakwah Islam dipengaruhi oleh perubahan
masyarakat dalam arti eksistensi, corak dan arahnya. Ini berarti
bahwa aktualitas dakwah ditentukan oleh sistem sosio-kultural.
Dalam kemungkinan kedua ini, sistem dakwah dapat bersifat
statis atau ada dinamika dengan kadar yang hampir tidak berarti
bagi perubahan sosio-kultural.
Sehubungan dengan kenyataan tersebut, maka pada
hakikatnya, dakwah Islam merupakan aktualisasi imani (teologis)
yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia
beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara
teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berfikir, bersikap dan
bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosiokultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam
kedalam semua aspek kehidupan dengan menggunakan cara
tertentu (Achmad, 1984: 2).
Sementara itu, tidak bisa dipungkiri, kita menyaksikan
sebagian besar masyarakat penganut Islam masih belum memahami
hakikat dakwah tersebut. Sehingga nilai-nilai ajaran Islam yang
telah disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW belum bisa
terimplimentasi dengan baik ke dalam kehidupan bermasyarakat.
Padahal, menurut Mohammad Natsir (Natsir, 1996: 109), dakwah
merupakan kewajiban yang harus dipikul oleh tiap-tiap muslim
dan muslimah. Karenanya, dakwah bukan monopoli golongan
yang disebut “Ulama” atau “Cerdik-Cendikiawan”.
Pengertian dakwah seperti itu mempunyai pemahaman
yang mendalam, yaitu bahwa menyampaikan dakwah amar ma’ruf
nahi munkar itu tidak sekedar asal menyampaikan saja, melainkan
memerlukan beberapa syarat. Adapun syarat tersebut adalah
berkaitan dengan mencari materi yang cocok, mengetahui keadaan
subyek dakwah secara tepat, memilih metode yang representatif,
dan menggunakan bahasa yang bijaksana. Tidak kalah pentingnya
dari semua itu, yakni bagaimana memupuk atau menyambung tali
silaturahmi untuk menyebarluaskan dakwah tersebut agar dapat
menjangkau dan berdaya guna bagi masyarakat serta mendapat
hasil sebagaimana yang diharapkan (Luth, 1999: 67).
70
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Peranan Partai Politik dalam Perspektif Dakwah (Rustam Aji)
Oleh karena itu dapat dipahami, hal yang disampaikan di
atas itu pada dasarnya masih bersifat umum. Artinya, mungkin
saja ada orang-orang generalis, menguasai ragam bidang. Namun
prinsipnya, setiap orang memiliki ruang kekhususan sendiri.
Kurangnya pemberdayaan dan optimalisasi hal-hal diatas,
akhirnya akan berdampak negatif terhadap hasil yang dicapai,
baik secara kualitas maupun kuantitas.
Sementara masalah yang besar yang dialami gerakan
dakwah, sebagaimana disinggung Fathy Yakan, adalah terjadinya
penumpulan atau pengangguran potensi, baik dalam lingkup
kehidupan dakwah secara umum, ataupun dalam kehidupan
para da’i. Menurut Fathy Yakan, masih banyak potensi tanpa
batas yang belum diberdayakan. Banyak waktu yang dibuang siasia tanpa hasil. Banyak pula kesempatan lewat begitu saja tanpa
manfaat. Ada banyak ilmu pengetahuan, penemuan modern,
yang belum mendapat tempat dalam lingkup tanzhim (organisasi
dakwah), planning, manajemen, dan informasi dakwah (Majalah
Ishlah, 1996: 25; Yakan, 1995: 84).
Kalau memang demikian halnya, maka dakwah Islam
harus mampu memerankan fungsinya –yang akan memberi
arah dan corak— secara ideal terhadap tatanan masyarakat yang
akan datang. Oleh karena itu, diperlukan sebuah aktualisasi
dakwah kepada masyarakat. Aktualisasi dakwah (Achmad,
1984, 17) disini berarti upaya penataan masyarakat secara terusmenerus di tengah-tengah dinamika perubahan sosial, sehingga
tidak ada satu sudut kehidupan pun yang lepas dari perhatian
dan penggarapan. Dengan begitu dakwah Islam senantiasa
harus bergumul dengan kenyataan baru yang pemunculannya
kadangkala sulit diperhitungkan sebelumnya.
Dalam masalah ini, dakwah Islam sungguh menghadapi
masalah yang berat. Disatu pihak, dakwah Islam sebagai
pengetahuan belum memiliki metodologi ilmiah. Sementara di
lain pihak, dakwah Islam sebagai sistem dipanggil untuk ikut
memikirkan pengkajian-pengkajian ulang metafisik, epistemologi,
dan model penataan keilmuan yang sekiranya berorientasi pada
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
71
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
kepentingan rakyat kecil dan bertujuan melahirkan keadilan sosial
yang diridhai oleh Allah SWT dalam arti hakiki.
Bila demikian, maka barometer keberhasilan dakwah
ada pada kemampuan seorang da’i dalam mempengaruhi
dan menggerakkan massa sehingga sikap massa benar-benar
merupakan implementasi dari sikap gerakan dakwah. Dukungan
massa mutlak dibutuhkan dalam berdakwah. Kenyataan saat
ini, minimnya juru dakwah (da’i) di masyarakat, mengakibatkan
aktivitas dakwah tidak berjalan dinamis bila tidak mau dikatakan
stagnan. Sebab dukungan massa masih kurang.
Kegagalan itu tentu saja semuanya tidak bisa dilimpahkan
kepada para da’i semata, tetapi merupakan tanggungjawab seluruh
komponen umat Islam. Kesungguhan dan keikhlasan pada da’i
dalam menyiarkan agama Allah (Islam), perlu dihargai. Apapun
yang telah mereka lakukan adalah tindakan demi kemaslahatan
umat. Kegagalan para da’i untuk mendapatkan dukungan itu,
menurut Jalaluddin Rahmat (Rahmat, 1999: 57) lebih disebabkan
pada kekeliruan umat Islam dalam mengartikan ibadah.
Betapa masih banyak umat Islam yang disibukkan
dengan urusan ibadah mahdhah, tetapi mengabaikan kemiskinan,
kebodohan, penyakit, kelaparan, dan kesengsaraan. Betapa
banyak muslim yang kaya yang dengan khusyuk meratakan
dahinya di atas sajadah, sementara di sekitar mereka tubuh-tubuh
layu digerogoti penyakit dan kekurangan gizi.
Menurut Al-Quràn, jin dan manusia diciptakan untuk
beribadah kepada Allah.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariat: 56) (Depag RI,
862).
Islam memandang seluruh hidup kita haruslah merupakan
ibadah kepada Allah SWT. Dalam pengertian ini, sebagaimana
dikutip Jalaluddin Rahmat dari Ibnu Taimiyah (Rahmat, 1999:
46), ibadah didefinisikan sebagai sebuah kata yang menyeluruh,
meliputi segala yang dicintai dan diridhai Allah, menyangkut
segala ucapan dan perbuatan yang tidak tampak maupun yang
tampak. Jadi, ibadah bukan saja berzikir, salat, dan puasa, tetapi
72
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Peranan Partai Politik dalam Perspektif Dakwah (Rustam Aji)
juga menolong yang teraniaya, melepaskan dahaga yang kehausan,
atau memberikan pakaian kepada yang telanjang.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa urusan ibadah
adalah urusan antara seorang hamba dan Ma’bud-nya (hablum
minallah). Sedangkan urusan muamalah adalah urusan antara
hamba dan hamba Allah yang lain (hablum minan nas). Yang
pertama adalah urusan ritual, sedang yang kedua adalah urusan
sosial.
Untuk mencapai itu, sebenarnya ada bentuk-bentuk dakwah
yang membimbing ke arah tersebut. Dalam hal ini, Jalaluddin
Rahmat (Rahmat, 1999: 117-119) membagi bentuk dakwah menjadi
empat bagian. Pertama, bentuk dakwah tilawah (membacakan ayatayat Allah). Dimana hal ini bisa dilakukan dengan cara tafakur
dan zikir. Umpamanya dengan membentuk kelompok ilmiah
bimbingan ahli, kompetisi ilmiah dengan landasan akhlak Islam,
dan bisa berupa kegiatan-kegiatan ilmiah seperti penelitian,
diskusi, dan seminar. Adapun tujuan dari dakwah semacam ini
agar kita mempunyai keyakinan bahwa fenomena alam sebagai
ayat Allah, semua ciptaan Allah mempunyai keteraturan yang
bersumber pada Rabbul ‘Alamin, dan memandang bahwa segala
yang ada tidak diciptakan-Nya sia-sia.
Kedua, bentuk dakwah tazkiyah (menyucikan diri mereka).
Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk penyucian diri secara fisik
dan rohani, dan atau penyucian lingkungan fisik dan sosial.
Tujuannya adalah untuk memelihara kebersihan diri dan
lingkungannya, mengembangkan akhlak yang baik, menolak
dan menjauhi akhlak tercela, berperan serta dalam memelihara
kesucian lingkungannya dengan amar ma’ruf nahi munkar. Dan,
dakwah tazkiyah ini bisa diimplementasikan dalam bentuk gerakan
kebersihan, kelompok-kelompok usrah, riyadhah keagamaan,
ceramah, tabligh, pemeliharaan syi’ar Islam, dan pengembangan
kontrol sosial.
Ketiga, bentuk dakwah ta’lim (mengajarkan al-Kitab dan
al-Hikmah). Dimana dakwah seperti bisa dilakukan dengan
cara mengajarkan membaca Al-Quràn, diskusi tentang Al Quràn
dibawah bimbingan ahli Al-Quràn, membentuk kelompok diskusi,
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
73
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
menggiatkan pembacaan literatur Islam, dan mengadakan lomba
kreativitas. Sedangkan tujuan dari dakwah ta’lim ini adalah
untuk memahami dan merenungkan Al-Quràn, memahami
snnah sebagai keterangan atas Al-Quràn, menguak dibalik fakta
indrawi sehingga dapat menafsirkan informasi secara kreatif dan
produktif.
Keempat, bentuk dakwah ishlah (melepaskan beban dan
belenggu-belenggu). Ini bisa direalisasikan dengan kunjungan ke
kelompok-kelompok dhu’afa, kampanye amal shaleh, membiasakan
bersedekah, dan berupa bakti sosial. Kegiatan dakwah semacam
ini bertujuan agar masyarakat memiliki kepekaan terhadap
penderitaan orang lain, sanggup menganalisis kepincangan sosial
sekitarnya, merasa terpanggil untuk membantu kelompok yang
lemah, memiliki komitmen untuk senantiasa memihak si tertindas
melawan penindas, berupaya selalu untuk menjebatani perbedaan
paham, dan memelihara ukhuwah Islamiyah.
Karena itu, dapatlah dikatakan bahwa dakwah bukan saja
menjadi kewajiban umat Islam, baik secara individual maupun
secara kelompok, tetapi juga merupakan keperluan umat Islam
(Media Dakwah, 1987: 16). Dalam pengertian ini, dakwah pada
tingkat pertama kelihatan sebagai keperluan rohani, tetapi pada
hakikatnya ia juga merupakan kebutuhan jasmani. Dimana
rohani yang sehat akan membawa pengaruh yang sehat pula pada
jasmani. Dakwah juga bukan saja merupakan keperluan untuk
hidup ukhrawi, melainkan juga untuk keperluan hidup duniawi.
Agar tidak terjadi kesalah-pahaman dalam menafsiri kata
“dakwah”, maka disini perlu dijelaskan arti dan maksud kata
tersebut, baik secara bahasa maupun istilah. Menurut Jamaluddin
Kafie (Kafie, 1993: 29), dakwah dalam arti bahasanya adalah
menyeru, mengajak, memanggil, mengundang, mendo’akan yang
terkandung didalamnya arti menyampaikan sesuatu kepada
orang lain untuk mencapai tujuan tertentu.
Maksud yang hendak dikatakan Jamaluddin Kafie itu dapat
dijumpai dalam Al- Quràn surat Ali Imron ayat 104 (Depag, 93):
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan …”
74
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Peranan Partai Politik dalam Perspektif Dakwah (Rustam Aji)
Sedangkan bila menurut istilah, kata “dakwah” memiliki
banyak penafsiran, tergantung pada tujuan yang hendak
dicapainya dan cara menyampaikannya. Dalam hal ini, Jamaluddin
Kafie (Kafie, 1993: 29), memberi pengertian kata “dakwah” secara
istilah adalah sebagai suatu strategi penyampaian nilai-nilai Islam
kepada umat manusia demi terwujudnya tatanan kehidupan yang
imani dan realitas hidup islami. Juga bisa dikatakan sebagai agen
mengubah manusia ke arah kehidupan yang lebih baik.
Dalam pengertian yang lebih luas, Jamaludin mengartikan
“dakwah” sebagai suatu sistem kegiatan dari seseorang,
sekelompok, segolongan umat Islam sebagai aktualisasi imaniah
yang dimanifestasikan dalam bentuk seruan, ajakan, panggilan,
undangan, do’a, sistem dan teknik tertentu agar mampu
menyentuh kalbu dan fitrah seseorang, keluarga, kelompok, massa
dan masyarakat manusia, supaya dapat mempengaruhi tingkah
lakunya untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Kafie, 1993: 29).
Sementara itu, menurut Endang Syaifuddin Anshari
(Anshari, 1985: 190), “dakwah” adalah penjabaran, penerjemahan
dan pelaksanaan Islam dalam perikehidupan dan penghidupan
manusia termasuk didalamnya bidang pendidikan, politik,
kekeluargaan dan bidang kemasyarakatan.
Sedangkan Rosyad Saleh, sebagaimana dikutip Yusup
Muslim (Muslim, 1998: 11-12), menyimpulkan pengertian dakwah
sebagai berikut;
a. Bahwa dakwah itu adalah merupakan proses penyelenggaraan
suatu usaha atau aktivitas yang dilakukan dengan sadar dan
sengaja.
b. Usaha yang diselenggarakan berupa;
- Mengajak orang untuk mentaati Allah atau memeluk Islam.
- Amar ma’ruf, perbaikan dan pengembangan masyarakat.
- Nahi munkar.
Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
dakwah merupakan proses transformasi nilai-nilai Islam yang
bertumpu pada amar ma’ruf nahi munkar. Transformasi dalam
pengertian di atas adalah sebuah paradigma, yaitu paradigma
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
75
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
yang membawa dimensi konsepsi dan aksiologis-praktis, karena
hakikat dakwah bukan hanya pemahaman nilai, keyakinan dan
doktrin, namun juga mengubah kondisi.
Bila semua umat Islam mampu memahami dakwah
sebagaimana yang di atas itu, maka tak mustahil kehidupan Islami
akan terbangun dengan sendirinya. Sebab, Allah SWT menjamin
kemurnian dan keutuhan Adz-Dzikr (Al-Quràn). Dia mengetahui
bahwa dakwah ini akan tetap berjalan kontinyu sekalipun
Rasulullah SAW sudah tidak ada bila manusia tetap berpegang
teguh pada dua hal, yakni Al-Quràn dan hadits. Oleh karena itu,
mendesak bagi kita saat ini untuk kembali kepada sumber yang
orisinil dan murni agar kita mampu memahami hakikat dakwah
sebagaimana yang dimaksud di atas.
Dalam hal ini, mengutip pendapatnya Thohir Luth,
sebenarnya substansi dakwah Islam itu terletak pada pemahaman
arti dakwah Islam secara lafdziah atau harfiah. Artinya, dakwah
Islam itu tidak sekedar diartikan menyampaikan ajaran Islam,
tetapi lebih diartikan sebagai “mengundang” obyek dakwah untuk
menerima informasi keislaman. Dengan demikian, para da’i selaku
pengundang harus menempatkan obyek dakwah sebagai tamu
yang mesti dihormati. Konsekuensinya adalah para da’i diminta
menyuguhkan bahasa, sikap yang baik, dengan penuh kesopanan
kepada para tamunya, atau dengan pengertian lain bahwa tamu
yang diundang atau yang diajak itu harus dihormati. Karenanya,
segala sikap, ucapan, maupun perbuatan para da’i yang dinilai
merusak harga diri dan merendahkan martabat para tamu sebagai
obyek dakwah, seharusnya dihindari (Luth, 1999: 80).
D.Unsur-unsur Dakwah
Pengamat agama dan sosial-budaya Indonesia, Mohammad
Sobari mengakui bahwa dakwah adalah pekerjaan yang sukar
sehingga perlu keseriusan dalam menjalankannya. Dakwah
memang pekerjaan sukar bagi mereka yang merasa perlu
menekankan kualitas hubungan yang mendalam dan dialogis.
Orang perlu memainkan seni agar disatu pihak pembicaraan yang
sarat muatan keilmuan mudah ditangkap tanpa membuang efek
76
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Peranan Partai Politik dalam Perspektif Dakwah (Rustam Aji)
“menjauhkan”. Artinya, upaya menyampaikan segenap gagasan
normatif itu tidak membosankan, melainkan sebaliknya, dinamis,
dan dialogis sehingga ruang perenungan terbuka lebar. Dan orang
pun pulang dari suatu pengajian bisa selalu membawa oleh-oleh
dalam dua corak; perenungan iman yang lebih mendalam dan
melebarnya wawasan keilmuan (Sobari, 1998: 67-68).
Namun demikian, dakwah jangan hanya dipahami
sebagai usaha untuk mencari kekuatan pendukung semata-mata.
Karena itu, dakwah haruslah dilakukan secara bijaksana dengan
pendekatan kultural, mengetuk pintu hati orang lain agar mereka
bersedia memenuhi panggilan kebenaran Tuhan. Dakwah dengan
begini harus dipandang sebagai tugas kultural, dan sama sekali
bukan politik, dengan sikap dasar dan kesadaran bahwa ajakan
ini buat kepentingan mereka yang diajak, dan bukan kepentingan
kita atau Tuhan. Dakwah sebagai amal ikhlas harus bebas dari
kepentingan pribadi untuk meraih keuntungan politis maupun
sosial-ekonomi tertentu.
Oleh karena itu, agar apa yang dimaksudkan dari tujuan
dakwah itu tidak melenceng, maka bagi seorang da’i bila
menginginkan sebuah keberhasilan dalam menyampaikan risalah
Islam kepada masyarakat—unsur-unsur dakwah mutlak diketahui.
Dalam aktivitas dakwah, unsur-unsur dakwah merupakan bagian
terpenting dari sebuah kegiatan dakwah. Sebab, semuanya itu
saling terkait antara satu dengan yang lainnya.
Tidak perlu dipertentangkan dan diperselisihkan, sebab
hakikat dakwah Islamiyah itu pada dasarnya mengajak masyarakat
untuk berbuat amar ma’ruf dan nahi munkar. Dan politik, adalah
salah satu bagian dari implementasi amar ma’ruf dan nahi munkar. 1. Ulama dan Politik
Satu hal yang perlu kita garisbawahi dibalik realitas sosial
politik sekarang adalah bahwa di era keterbukaan ini, ternyata
banyak para ulama yang terjun ke dunia politik praktis (atau hanya
sekedar sebagai partisipan partai politik). Hal ini mengindikasikan
langkah yang ditempuh oleh ulama ini, cepat atau lambat, bisa
mengakibatkan perubahan cara pandang masyarakat terhadap
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
77
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
ulama yang tidak lagi menjadi “center of power”. Semua ini bisa
mengakibatkan posisi ulama kian dijauhkan dari masyarakat.
Sehingga, keberadaannya tidak lagi dianggap penting, kecuali
hanya bila diperlukan.
Kalau demikian halnya, bila dikaitkan dengan hadits yang
mengatakan ulama adalah pewaris nabi, maka ada dua hal yang
perlu dicermati. Pertama, pengetahuannya harus lebih luas, tidak
hanya masalah agama saja, tetapi masalah politik juga harus
benar-benar diselami, jadi tidak asal sekedar tahu politik. Kedua,
moralnya pun perlu dijaga, dia harus bisa jadi figur (uswah) bagi
“politikus” lainnya. Dengan kedua syarat tersebut, ia dapat
melakukan peranan sosialnya. Akan tetapi, kalau kita sudah
berbicara peranan, maka bagaimana peran itu bisa diwujudkan.
Biasanya, kalau dalam konteks ulama, semua bermula dari
performance, perwujudan peranan.
Setelah peranan itu diwujudkan, barulah masyarakat
bisa menyaksikan secara riil kesungguhan dari ulama tersebut
untuk membuktikan peran keulamaannya. Dan bila dia (ulama)
sudah bisa memenuhi harapan sosialnya itu, maka jadilah ia
“ulama politikus”. Dimana dengan pengetahuannya politik
yang didukung dengan keluasan ilmu agamanya, maka dia akan
menjadi sosok yang selalu disegani proses pembuatan keputusan
politik, ikut berkampanye dan menjadi calon legislatgif, dan
semacamnya. Yang menarik, jika memperhatikan aktivitas politik
ulama belakangan ini, tampak adanya pergeseran peran politik
ulama, baik dalam konteks hubungan antara Islam dan negara
maupun dalam pengertian bentuk dan cara mengartikulasikan
kepentingan-kepentingannya.
Di negara kita, agama sudah menjadi varian pokok
dalam mengikat identifikasi kelompok ummat Islam. Idealnya,
kepolitikan ulama yang membersihkan keterikatannya yang
intens kepada moralitas politik yang melebihi politisi lainnya,
karena keterlibatan mereka dalam politik juga semata-mata
“pengabdian” kepada Allah yang bertumpu pada ajaran agama
yang diyakini, bukan semata-mata demi kekuasaan. Meskipun di
78
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Peranan Partai Politik dalam Perspektif Dakwah (Rustam Aji)
lain pihak juga tidak bisa dipungkiri banyak ulama yang terjun ke
dunia politik hanya demi ambisi kekuasaan.
Sebagai pemimpin kharismatik, maka seorang ulama yang
terjun ke dunia politik harus tetap tegar menyuarakan kebenaran
dan menggelorakan semangat “membangun” umat sebagai
bentuk realisasi dari tanggungjawab agama untuk mewujudkan
makna ibadah dalam segala aspek kehidupan. Untuk itu, ia harus
mampu berdialog sebanyak mungkin dengan umat melalui
bahasa agama yang komunikatif dan merakyat. Tolok ukurnya
adalah penguasaan yang dalam terhadap pengetahuan agama
maupun persoalan konkrit umatnya yang membutuhkan solusi
darinya (Aji, 1999, 14).
Menurut Rusli Karim, keberhasilan ulama dalam memimpin
umatnya ini tidak bisa dilepaskan dari tiga hal pokok yang melekat
pada diri ulama (Karim, 1991: 88). Pertama, ulama merupakan
pemimpin spiritual yang memiliki pengetahuan keagamaan
yang luas. Kedua, ulama sebagai tokoh panutan. Dimana ulama
dipandang mengetahui segala-galanya dan dianggap mampu
memberikan jalan keluar terhadap segala masalah yang dihadapi.
Dan ketiga, ulama selain sebagai kyai juga merangkap sebagai
politisi.
Oleh sebab itu, dengan peran ganda yang dimiliki oleh
ulama sebagai pemimpin spiritual sekaligus juga politisi maka
dia tetap dibutuhkan. Dengan begitu, politik jangan disterilkan
dari aspirasi dan kepentingan agama, karena ulama memiliki
“kekuatan” untuk menarik masyarakat dengan kharismanya.
Dengan kharismanya itu, ulama akan tetap dipercaya
sebagai alat kepentingan dakwah Islam dan sekaligus penyalur
aspirasi ummat Islam di parlemen. Untuk yang terakhir ini,
tugas ulama adalah berjuang sekuat tenaga agar agama menjadi
salah satu sumber inspirasi dan parameter pokok dalam setiap
pengambilan keputusan politik.
2.Ulama dan Dakwah
Secara sosial kemasyarakatan Islam, posisi ulama khususnya
dikalangan santri memiliki peranan yang sangat penting. Ulama
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
79
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
menjadi pusat dalam hubungan Islam dengan umat Islam (Amin,
1996: 24). Hal ini disebabkan dari perspektif keagamaan, secara
ideal ulama telah dianggap sebagai waratsatul anbiya (pengganti
Nabi) untuk meneruskan tugas dan fungsinya didalam risalah
kenabiannya di hadapan umat manusia. Sehingga ulama
ditempatkan pada hirarki sosial yang tinggi dalam masyarakat
Muslim (Aji, 1999, 14).
Sementara itu, secara etimologi, sebagaimana dikutip
Muhammad Asfar dari Ibnu Qoyim (Asfar, 1996: 5; Qoyim, 1993),
kata “ulama” merupakan bentuk jama’ (plural) dari kata ‘alim,
yang berarti orang yang mengetahui, orang pandai. Kata itu
berasal dari bentuk madhi (past) ‘alima, yang berarti mengetahui
dan harus dibaca dari sumber kata yang dalam bentuk semantik
bahasa arab disebut masdar –‘ ilman, yang berarti pengetahuan
atau ilmu.
Tetapi apakah ilmu itu? Sebagaimana didefinisikan
Azyumardi Azra (Azra, 1990: 5), ‘ilmu adalah masdar taukid dari
kata kerja ‘alima yang berarti pengetahuan (knowledge). Ilmu itu
berbeda dengan ma’rifah yang berarti “pengetahuan”. Di dalam
pengertian asli, istilah pertama mengacu kepada pengetahuan
dengan kualitas tertinggi yang kadang-kadang bisa diperoleh
hanya secara intuitif. Sementara istilah kedua menunjuk kepada
pengetahuan secara umum. Dalam pemakaian klasik, ilmu tidak
mempunyai bentuk jamak sesuai dengan ketunggalan konsep ‘ilm
itu sendiri di masa paling awal Islam. Tetapi, dalam bahasa Arab
pasca klasik, bentuk pluralnya diperkenalkan, yakni ‘ulum, yang
menunjuk kepada berbagai ‘ilm dari beberapa jenis pengetahuan.
Dalam konteks pengertian yang terakhir inilah maka tidak setiap
orang yang memiliki ilmu (pengetahuan) dapat disebut ulama.
Istilah ulama ini, hanya pantas bagi mereka yang mumpuni
(ekspert) dalam ilmu-ilmu agama (‘ulum al-diniyah).
Dalam asumsi yang demikian, maka tugas utama ulama
adalah menyiarkan agama Islam (dakwah). Kalau dilihat dalam
sejarah kita, dikenal beberapa tipe ulama. Pertama, ulama
yang mempunyai madrasah atau pesantren, dan kedua, ulama
mubaligh.
80
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Peranan Partai Politik dalam Perspektif Dakwah (Rustam Aji)
Kalau dilihat, ternyata gaya mereka berbeda-beda. Ulama
mubaligh mempunyai pengaruh yang luas karena mereka
berkeliling berdakwah. Sedangkan ulama yang mempunyai
pesantren, pengaruhnya tidak terlalu luas tetapi mendalam. Karena
mendalamnya pengaruh itu, makin luas pulalah sasarannya.
Makin dalam ilmunya, maka makin luas pengaruhnya sehingga
banyak orang yang tertarik untuk belajar kepadanya.
Ketiga, ulama sebagai politisi. Banyak tokoh ulama yang
terjun ke dunia politik karena melihat ketimpangan sosial ataupun
agama yang terjadi dalam masyarakat. Dimana persoalan itu tidak
bisa diselesaikan lewat kedua jalur tersebut, sehingga terpaksa
ulama kelompok ini harus turun ke gelanggang politik dalam
upayanya menegakkan agama Islam. Untuk ulama tipe ketiga ini
agar bisa mendekati sasaran strategis (mad’u) maka mereka harus
mampu membedakan secara esensial antara kegiatan dakwah
dengan kegiatan (kepentingan) politik praktis.
Hal ini menjadi penting, manakala seorang ulama menjadi
jurkam partai politik dimana tidak mustahil batas nilai-nilai
moral semakin menjadi kabur karena ia membawa misi politik.
Oleh karenanya beragamnya tipe ulama dan juga kepluralan
masyarakat yang dihadapi, maka para ulama apapun tipenya
perlu lebih bekerja keras lagi untuk dapat merumuskan suatu
strategi dakwah berdasarkan data sosiologis yang memadai dan
akurat.
Hal itu perlu, sebab akibat tekanan politik yang begitu lama
dan represif terhadap umat Islam di masa orde baru, diperlukan
sebuah “terapi” yang dapat mengobatinya. Karenanya, pada
kondisi yang seperti itu, ulama harus mampu menjadi penyejuk
bagi umat dengan suatu “cultural break through” untuk membangun
kesadaran dan harga diri mereka kembali.
E. Politik Sebagai Media Dakwah
Politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan
sifat pribadi atau perbuatan. Menyitir pendapat Jeje Abdul Rojak,
kata politik, pertama kali dikenal dari buku Plato yang berjudul
Politieia, yang dikenal juga dengan Republik (Rojak, 1999: 40). Karya
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
81
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
tersebut kemudian dipandang sebagai pangkal pemikiran politik
yang berkembang kemudian. Dari karya tersebut dapat diketahui
bahwa istilah politik merupakan kata yang dipergunakan untuk
konsep pengaturan masyarakat.
Sedangkan menurut Deliar Noer, sebagaimana dikutip Jeje
Abdul Rojak pula, politik merupakan segala aktivitas atau sikap
yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk
mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan,
suatu macam bentuk susunan masyarakat (Rojak, 1999: 42).
Dari kecenderungan konsep di atas, maka dapat disimpulkan
tentang tiga pengertian politik sebagaimana yang dimaksud.
Pertama, pandangan yang mengkaitkan politik dengan negara,
yakni dengan urusan pemerintahan pusat atau pemerintahan
daerah. Kedua, pandangan yang mengkaitkannya dengan
masalah kekuasaan, otoritas dan atau dengan konflik. Ketiga,
pandangan yang mengkaitkan politik dengan perilaku manusia,
baik berupa aktivitas atau sikap, yang bertujuan mempengaruhi
atau mempertahankan tatanan sebuah masyarakat dengan
menggunakan kekuasaan. Ini berarti bahwa kekuasaan bukanlah
hakikat politik. Tetapi, pada hakikatnya politik adalah kegiatan
yang terdapat pada sekitar institusi politik yang dimanifestasikan
oleh faktor-faktor politik, seperti tokoh-tokoh pemerintah dan
wakil-wakil rakyat (Rojak, 1999: 41).
Sedangkan menurut tinjauan Islam, seperti ditulis Amien
Rais, ada dua jenis politik, yaitu politik kualitas tinggi (high politics)
dan politik kualitas rendah (low politics) (Rais, 1997: 30) Politik
tingkat tinggi ini, sangat kondusif bagi pelaksanaan amar ma’ruf
dan nahi munkar, sebab politik kualitas tinggi memiliki ciri-ciri.
1. Setiap jabatan politik dimaknai sebagai amanah dari masyarakat,
yang harus dipelihara sebaik-baiknya. Amanah ini tidak boleh
disalahgunakan, misalnya untuk memperkaya diri atau untuk
kepentingan pribadi dan menelantarkan masyarakat umum.
Kekuasaan, betapapun kecilnya, harus dimanfaatkan untuk
membangun kesejahteraan bersama, sesuai dengan amanah
yang telah diberikan oleh masyarakat luas. Oleh karena itu,
kekuasaan harus dipandang sebagai nikmat yang dikaruniakan
82
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Peranan Partai Politik dalam Perspektif Dakwah (Rustam Aji)
oleh Allah untuk mengayomi masyarakat, menegakkan keadilan
dan memelihara orde atau tertib sosial yang egalitarian.
2. Setiap jabatan politik memiliki pertanggungjawaban
(accountability). Kesadaran akan tanggung jawab ini sangat
menentukan penyelenggaraan politik kualitas tinggi. Tetapi,
tanggung jawab ini harus pula dimaknai bahwa tanggung
jawab tersebut bukan hanya terbatas dihadapan institusi atau
kelembagaan yang bersangkutan, melainkan juga dihadapan
Allah tanggung jawab inilah justru yang lebih penting. Sebab,
sebagaimana diajarkan oleh Nabi, bahwa setiap orang pada
dasarnya pemimpin yang harus mempertanggungjawabkan
kepemimpinannya atau tugas-tugasnya.
3. Kegiatan politik selalu terkait erat dengan prinsip ukhuwwah
(brotherhood), yakni persamaan diantara umat manusia. Saling
pengertian dan membangun kerja sama keduniaan seoptimal
mungkin dalam menunaikan tugas-tugas kekhalifaan. Dalam
arti luas, ukhuwwah melampaui batas-batas etnik, rasial, agama,
latar belakang sosial, keturunan dan sebagainya.
Sementara itu, politik kualitas rendah, menurut Amien Rais
seperti tergambarkan dalam “Politik Machiavellas” yang terdapat
di buku The Princes (Rais, 1997: 32-33). Politik jenis ini, bila ditinjau
dari kacamata dakwah jelas destruktif, setidak-tidaknya counterproductive, sebab memiliki ciri–ciri:
1. Mengajarkan bahwa kekerasan (violence), brutalitas dan
kekejaman merupakan cara–cara yang seringkali perlu di ambil
oleh penguasa. Baginya, kekerasan dan sejenisnya itu, dapat
digunakan kapan saja asalkan tujuan yang dikejar bisa dicapai.
Terkenal dengan “menghalalkan segala cara”.
2. Penaklukan total atas musuh-musuh politik dinilai segala
kebijakan puncak (summon bonum). Dimana pihak yang
berkuasa harus melakukan penindasan dan penekanan serta
penaklukan terhadap lawan politiknya. Musuh tidak boleh
diberi kesempatan untuk bangkit. Inti dari tipe politik ini
adalah perjuangan untuk merebutkan kekuasaan (struggle for
power) dan menguasai pemerintahan.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
83
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
3. Seorang penguasa harus bersikap buas. Dalam arti lain, dalam
menjalankan kehidupan politik, seorang penguasa harus dapat
bermain seperti binatang buas, terutama seperti singa dan
sekaligus sebagai anjing pemburu. Seorang penguasa harus
dapat menjadi anjing pemburu untuk mengenali berbagai
perangkat, dan harus bisa menjadi singa untuk menggertak
manusia-manusia srigala.
Politik yang perlu dijalankan oleh seorang muslim sekaligus
yang berfungsi sebagai alat dakwah sudah tentu bukanlah jenis
“politik machiavellas”, tetapi politik jenis pertama yang penuh
komitmen kepada Allah. Tujuan yang diletakkan politik ini
bukanlah kekuasaan demi kekuasaan, atau pencapaian suatu
kepentingan demi kepentingan tertentu. Dengan lain kata, posisi
politik bukanlah tujuan, tetapi hanya merupakan sarana atau alat
untuk mencapai tujuan, yakni pengabdian kepada Allah.
Politik demikian, jelas selaras dengan tujuan dakwah. Disini
kita bisa menyimak dengan jelas bahwa misi dakwah seorang nabi
adalah missi kemanusiaan, missi sejarah dengan dimensi yang
sangat luas. Dalam perspektif telaah kita, maka dapat dikatakan
politik hanyalah satu dimensi dari kegiatan dakwah. Oleh
sebab itu, sekarang tidak ada alasan lagi bagi umat Islam untuk
“mengharamkan” politik. Justru umat Islam bisa menggunakan
politik sebagai alat dakwah rangka menciptakan masyarakat yang
baldatun toyyibatun wa rabbun ghafar.
84
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Peranan Partai Politik dalam Perspektif Dakwah (Rustam Aji)
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Amrullah, 1984, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial,
YAFY
Aji, Rustam, 1999, “Ulama: Antara Kepentingan dan Dakwah”,
SKM Amanat, Edisi LXXVII
Amin, M. Masyhur, 1996, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, AlAmin Press
Anshari, Endang Saefuddin, 1985, Wawasan Islam, Bandung:
Remaja Karya
Asfar, Muhammad, 1996, “Ulama dan Politik: Perspektif Masa
Depan”, Ulumul Quran, No.5, Vol. VI
Azra, Azyumardi, 1990, “Ulama, Politik dan Modernisasi”, Jurnal
Ulumul Quran, Vol. II.
Dakwah dan Risalah Islamiyah Dalam Perbincangan, 1987, Jakarta:
Media Dakwah
Depag RI, 1992, Al- Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Bandung: Gema
Risalah Press, Edisi Revisi
Karim, M. Rusli, 1991, Pemilu Demokratis Kompetitif, Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana
Konsilidasi Potensi Gerakan Islam, 1996, Majalah Ishlah Edisi Khusus
Tahun III
Luth, Thohir, 1999, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta:
Gema Insani Press
Membentuk Qai’idah Sya’biyah dalam Da’wah, 1996, Majalah Ishlah
Edisi Khusus Tahun III
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
85
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Muslim, Yusup, 1998, Aspek-aspek Dakwah Dalam Pemikiran
Politik Ahmad Syafi’i Ma’arif: Studi Analisis Terhadap Buku
Membumikan Islam, Skripsi
Natsir, Mohammad, 1996, Fiqhud Da’wah Jejak RIsalah Dasar-dasar
Da’wah, Jakarta: Yayasan Capita Selecta
Noer, Deliar, (et.al), 1990, Mengapa Partai Islam Kalah?, Alvabet,
Cet. Ke 1
Qoyim, Ibnu, 1993, “Ulama di Indonesia pada Akhir Abad XIV
dan awal abad XX, dalam Sejarah: Pemimpin, Rekonstruksi,
Persepsi”, No.3
Rais, Amin, 1997, Cakrawala Islam, “Antara Cita dan Fakta”, Jakarta:
Mizan, Jakarta
Rojak, Jeje Abdul, 1999, Politik Kenegaraan:Pemikiran-Pemikiran AlGhazali dan Ibnu Taimiyah, PT Bina Ilmu
Sobari, Mohammad, 1998, Diskursus Islam Sosial Memahami Zaman
Mencari Solusi, Bandung: Zaman Wacana Mulia
Yakan, Fathy, 1995, Al-Mutaghayyirat ad-Dauliyah wa ad-Daar alIslam al-Mathluh, Beirut: Muassasah ar-Risalah
86
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
STRATEGI KULTURAL ISLAM BERPIJAK
DARI DAKWAH SUNAN KUDUS
Oleh: Syaiful Arif
Peneliti di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) Jakarta
dan Penggerak budaya di Olah-Olah Padepokan Seni Kudus
Abstrak
Sebagai artefak budaya Islam Nusantara, Menara Kudus
merupakan bukti tercantik dari suatu strategi dakwah yang
bersifat kultural. Artinya, Sunan Kudus berdasarkan paradigma
kebudayaan, telah menempatkan Islam secara substansial,
sebagai kebudayaan. Dalam situasi ini, dakwah Islam akhirnya
tidak bersifat ikonoklastik: penghancuran ikon lokal. Akan tetapi
sebaliknya: mengaliri “nafas kebajikan” masyarakat lokal. Berpijak
dari strategi kultural Sunan Kudus inilah, kita bisa menunjukkan
kepada dunia Islam, bahwa Islam yang selaras, adalah Islam
dalam bentuk budaya. Bukan Islam politik, yang mendakwahkan
agama melalui penguasaan negara, konstitusi, polisi syari’ah, dan
peraturan daerah. Maka tak ayal lagi, Menara Kudus dan strategi
dakwah kultural Sunan Kudus bisa menjadi counter discourse
atas radikalisme Islam, yang mendakwahkan agama melalui
gerakan politik.
Keywords: Menara Kudus, Islam Budaya, Perwujudan Kultural
Islam, Islam politik.
A.Pendahuluan
Tulisan ini hendak menawarkan suatu strategi dakwah
Islam yang bersifat kultural. Dakwah di sini diartikan secara luas,
yakni sosialisasi nilai-nilai keislaman, demi tersemainya nilainilai Islam itu di muka bumi. Jadi dakwah dalam tulisan ini tidak
bermakna formal, seperti para da’i yang berkhotbah di panggung
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
87
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
pengajian. Dakwah di sini diartikan sebagai persemaian nilainilai Islam dalam konteks publik, baik ranah kemanusiaan,
kebangsaan, dan kebudayaan.
Dalam konteks ini, saya akan memulainya dari pijakan
lokal, yakni Kudus. Mengapa? Karena dalam lokalitas kita
terdapat tipe ideal bagi strategi dakwah Islam kultural ini. Dan
pasti kita tak asing lagi. Ialah Menara Kudus. Sebagai artefak
Islam Nusantara, Menara Kudus adalah contoh tercantik dari
keberhasilan dakwah kultural Islam. Dengan demikian, Menara
Kudus bisa dijadikan counter discourse atas gerakan dakwah
politik dari radikalisme Islam. Pengolahan Menara Kudus
sebagai upaya deradikalisasi Islam inilah yang menjadi tujuan
tulisan ini.
Hal ini niscaya karena Sunan Kudus berhasil menemukan
dua makna, antara makna Islam dan Hindu-Budha. Saya sebut
Hindu-Budha karena di Menara juga terdapat “delapan jalan
Budha” (Asta Sanghika Marga) yang simbolnya masih digunakan
di “padasan” wudu. Saya kemudian sering bertanya, apakah
ada pertemuan mistik antara Islam Kudus dengan HinduBudha? Tentu mistisisme di sini tidak diartikan sebagai klenik.
Mistisisme adalah ruang esoterik agama, yang di dalam Islam
disebut tasawuf.
Pertanyaannya adalah, mengapa Sunan Kudus yang
terkenal sebagai qadi faqih ini, mau mengakomodasi candi
sebagai bentuk arsitektural Menara? Kita sebut bentuk dasar
Menara adalah candi, sebab banyak kalangan yang melihat
candi-Menara sebelum di-Menara-kan adalah Pure Agung. Yakni
pure besar tempat penyimpanan abu jenazah para bangsawan
Majapahit. Kemungkinan candi-Menara merupakan Pure
Agung ini mungkin saja, mengingat di sekitar Menara terdapat
candi-candi kecil, yang oleh mitos masyarakat disebut ”masjid
bubar”. Menarik kiranya, karena ”masjid bubar” yang memang
berupa reruntuhan candi itu, disebut Slamet Muljana sebagai
candi-candi rakyat yang runtuh terbengkalai bersamaan dengan
runtuhnya Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak (Muljana,
2005: 239-245).
88
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif)
Jika Sunan Kudus adalah faqih, kenapa beliau mau
mengakomodir corak peribadahan Hindu-Budha? Jawabnya bisa kita
temukan dalam qawai’d al-fiqh, yakni al-’adah muhakkamah. Adat bisa
menjadi landasan hukum dalam Islam. Artinya, pendaulatan candi
sebagai Menara (tempat adzan) telah diwadahi oleh mekanisme
perumusan hukum Islam itu sendiri.
Akan tetapi apakah hanya sebatas perumusan fiqhiyyah yang
telah melahirkan Menara? Apakah tidak mungkin terdapat motif
mistik di dalam penyatuan Islam-Hindu-Budha dalam arsitektur
peribadahan ini? Apakah Sunan Kudus merasakan “kenyamanan
spiritual” di dalam tangga ruhani dari setiap anak tangga candiMenara itu? Apakah Sunan Kudus juga sepakat dengan “delapan
jalan Budha” yang dijadikan “padasan” wudu? Segenap pertanyaan
ini mungkin saja logis, mengingat “dua senjata” dari pribumisasi
Islam adalah ushul fiqh dan tasawuf. Demikian konsep Gus Dur.
Maka ada kemungkinan di dalam pembumian Menara ke dalam
candi Hindu, Sunan Kudus menerapkan pendekatan fiqh dan sufistik
sekaligus. Bukankah Islam bisa begitu membumi di Nusantara,
karena kedua kebijaksanaan Islam ini? Ushul fiqh mengajarkan tentang
kontekstualisasi hukum Islam. Sementara tasawuf menjadikan
muslim empatik dengan tradisi spiritual masyarakat lokal.
Akan tetapi persoalannya tidak sesederhana itu. Selain
perspektif Islam akulturatif, ada juga cara pandang kolonialis dalam
melihat Menara. Artinya, keberhasilan Sunan Kudus dalam
memenarakan candi, adalah keberhasilan “kolonialisme Islam”.
Tentu kolonialisme di sini tidak bermakna militer, melainkan
suatu penaklukan budaya. Islam menaklukkan budaya HinduBudha. Hal ini terkait dengan gerbong mistik Jawa yang ada di
Rahtawu, yang masih menyimpan kemasygulan atas keberhasilan
Sunan Kudus dalam mengislamkan Kudus. Rahtawu sendiri juga
menarik. Situs ruhani yang bermakna “sembilan pertapaan suci” ini
memuat kearifan filosofis dari filsafat Jawa, yang secara diametral
dihadapkan dengan Islam syar’i. Maka jika seperti ini, dakwah
Sunan Kudus bisa dipandang sebagai keberhasilan penaklukan
Islam atas masyarakat Hindu-Budha, yang kemudian mengungsi
di Pegunungan Rahtawu tersebut.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
89
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Namun, hal ini memang masih misteri. Belum ada studi
yang mengungkap pergulatan Islam-Hindu di Kudus. Saya pun
sendiri ketika bicara dalam konteks Islamic studies lebih sepakat
dengan pendekatan Islam akulturatif (meskipun juga mendukung
usaha penggalian pergulatan Islam-Hindu tersebut). Artinya,
meskipun Islam hadir sembari membawa budaya baru, namun
konversi Islam tidaklah bersifat ikonoklastik: menghancurkan ikon
lokal. Menara Kudus adalah bukti terbesar. Artinya, ketika fungsi
ke-menaraan telah mengonversi fungsi candi, justru ke-menaraan
itu menjadi bukti bahwa Islam hadir, tidak memusnahkan ikon
lokal. Sebaliknya, ia hadir menghargai dan memijakkan diri pada
kearifan lokal itu.
Ini yang disebut pribumisasi Islam. Yakni “peminjaman
bentuk budaya”, sehingga Islam bisa membumi di “pangkalan
kultural” masyarakat setempat. Ketika Pure Agung itu dijadikan
Menara, maka masyarakat asli Kudus pastilah merasakan
“kenyamanan spiritual” sebab pergantian agama ditopang oleh
budaya, tempat mereka hidup menimba makna. Akhirnya tak
ada yang berubah di dalam struktur masyarakat. Yang berubah
hanyalah struktur makna. Struktur masyarakat Kudus ajeg,
dalam kearifan lokalnya. Hanya saja, struktur maknanya telah
berubah, dari makna Hindu-budha, kepada Islam. Inilah corak
unik dari keberagamaan Jawa. Yakni sifatnya yang eklektis.
Jawa dan Nusantara adalah bumi yang subur. Ia bisa menerima
benih apa saja yang datang dari luar, menyerbukkan sarinya, dan
menumbuhkannya sesuai corak tanahnya.
Hal ini niscaya, sebab bentuk candi Hindu-Budha di
Jawa tidak mengacu pada tradisi Hindu di tanah aslinya, yakni
India. Bentuk candi di Jawa, murni lahir dari corak arsitekturruhani kebudayaan Jawa. Dalam budaya Jawa pra-Hindu-Budha,
arsitektur-ruhani merujuk pada Gunung Meru. Artinya, Gunung
memang menjadi simbol spiritual masyarakat Jawa kuno, sebab
melaluinya, manusia yang berada di Dunia Tengah, bisa naik ke
Dunia Atas (Langit), tempat para dewa. Dengan menaiki Gunung,
manusia menaikkan derajatnya dari makhluk profan, menjadi
makhluk sakral. Dari sini mafhum, kenapa pusat mistisisme Kudus
90
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif)
ada di pegunungan: mistisisme Jawa di Rahtawu, mistisisme
Islam di Gunung Muria (Sunan Muria). Dari bentuk Gunung Meru
inilah, corak candi Hindu dan Budha menemu bentuknya. Hal
ini yang kemudian ditangkap oleh Walisongo. Sunan Kalijaga
menangkapnya, dan mengabadikannya dalam Masjid Demak
beratap Meru, dengan tiga tahapan iman, Islam, ihsan. Sunan
Kudus mengabadikannya dalam Menaraisasi Pure Agung Kudus.
Keduanya sama. Berangkat dari kontinuitas tradisi arsitektur
ruhaniah masyarakat Jawa, yang merujuk pada Gunung Meru
(Ashadi, 2006: 63-74).
Inilah yang saya sebut sebagai strategi kultural Islam itu.
Yakni sebuah strategi dakwah Islam yang menggunakan jalur
kultural, sehingga membuahkan keberislaman yang bersifat
kultural. Gus Dur menyebut keberislaman ini sebagai perwujudan
kultural Islam. Artinya, manifestasi Islam dalam bentuk sosialnya
berwujud kultural. Bentuk ini bolehlah saya sebut sebagai bentuk
antropologis. Yakni bentuk keberislaman yang membentuk dirinya
dalam selaksa simbol yang menghiasi keseharian masyarakat.
Dalam bentuk antropologis ini, keberislaman bersifat simbolik,
yang menandakan suatu kesinambungan tradisional antara tradisi
pra-Islam dengan tradisi Islam. Dalam perwujudan kultural Islam,
Islam dihayati melalui tradisi di masyarakat, dan tradisi itu dijaga
oleh simbol yang dirayakan maknanya oleh seluruh masyarakat.
Dengan demikian, Islam telah menubuh ke dalam batin keseharian
muslim, karena umat Islam bisa merasakan makna Islam dalam
simbol yang begitu nampak dalam hidup sehari-hari.
Sunan Kudus dengan Menaranya telah menunjukkan
strategi kultural Islam ini. Dengan meminjam “bentuk budaya”
candi, maka Islam akhirnya mewujudkan diri dalam bentuk
kultural. Yakni dalam suatu karya budaya bernama Menara.
Dengan demikian, ia hadir menawarkan isi baru tetapi tetap
menjaga bentuk budaya yang ada di masyarakat. Sifat kultural
dari keislaman Sunan Kudus ini terletak pada konversi Islam yang
damai, karena ia menggunakan strategi kultural, bukan politik. Jika
politik, maka segenap karya budaya lokal yang merepresentasikan
agama pra-Islam, pastilah dibumihanguskan. Sebab strategi
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
91
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
politik bersifat menguasai, dan memuara pada kekuasaan yang
tentunya meniadakan yang liyan. Sementara itu strategi kultural
justru membumikan Islam ke dalam kultur masyarakat, karena
Islam itu sendiri bersifat kultural. Artinya, ia mampu mengaliri
nafas kebajikan masyarakat. Ia mampu menelusupkan makna
baru, tanpa harus merubah sama sekali simbol di masyarakat.
Strategi ini akhirnya tidak bersifat formalis, selayak dakwah Islam
formalis saat ini.
Karena Sunan Kudus mampu menarik benang merah
esoteris antara Islam dengan kearifan lokal, maka ia akhirnya
mampu mempertemukan makna Islam dengan makna kearifan
lokal. Inilah yang menjadi syarat dari strategi kultural Islam. Yakni
kewaskitaan dari da’i Islam untuk menemukan “garis dasar”
serupa, antara kebajikan Islam dengan kebajikan kultur lokal.
Dengan cara ini, Islam hadir mengaliri kebajikan lokal itu, bukan
untuk mengganti, akan tetapi menyempurnakan. Penggantian
adalah peniadaan. Sementara penyempurnaan adalah penambahan
kualitas, dari belum sempurna kepada lebih sempurna. Tradisi
Walisongo sering menggunakan perspektif kesempurnaan ini,
sehingga Islam tidak meniadakan unsur lain, akan tetapi menjadi
penyempurna bagi kebajikan yang sudah ada.
B. Islam Budaya
Sebelum menggunakan strategi dakwah kultural Sunan
Kudus, untuk mengkritik strategi dakwah kita saat ini, perlulah
dulu dijelaskan apa yang disebut strategi kultural, perwujudan
kultural Islam, pribumisasi Islam, serta strategi politik Islam
yang saya jadikan “lawan banding” dan strategi kultural Islam.
Penjelasan ini dibutuhkan, agar masing definisi jelas dalam dirinya
sendiri.
Strategi kultural Islam adalah strategi dakwah Islam yang
bersifat kultural. Strategi ini disebut kultural sebab ia menggunakan
media budaya dan logika kebudayaan. Bukan logika politik
dan media kekuasaan. Dalam logika kebudayaan, Islam adalah
kebudayaan. Artinya, Islam selain sebagai korpus normatif resmi
yang otonom dari manusia, ia adalah praksis budaya. Karena
korpus normatif itu tentunya tidak hampa budaya, ketika ia lahir,
92
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif)
dan ketika ia membumi di masyarakat. Segenap praktik Islam,
atau usaha pengamalan korpus normatif ini akhirnya melahirkan
kebudayaan. Pelahiran kebudayaan inilah yang telah membuahkan
perwujudan Islam yang bersifat kultural itu.
Pada titik ini, saya memiliki asumsi dasar bahwa strategi
dakwah yang tepat bagi Islam adalah strategi kultural. Mengapa?
Karena ranah kultur adalah ranah yang tepat bagi persemaian
nilai-nilai normatif. Bukan ranah kekuasaan yang berisi muatan
kepentingan. Sebagai ranah normatif, kultur bisa mewadahi
nilai-nilai kebaikan sebab ia menjaga nilai-nilai itu ke dalam
simbol, yang disepakati bersama oleh masyarakat. Maka, asma
Allah yang satu adalah simbol yang menyimpan makna tauhid.
Ia disepakati bersama oleh umat Islam, sebab dengan asma ini,
Allah tidak sama dengan berhala politeistik. Jilbab menjadi simbol
yang menyimpan makna aurat, sebab ia berbeda dengan fashion
modern yang mengumbar aurat. Hal sama pada Menara. Menara
adalah simbol yang menyimpan makna kebijaksanaan Islam yang
tidak meniadakan agama lain. Simbol ini disepakati bersama oleh
muslim Kudus, sebab mereka nyaman dalam makna tersebut.
Kesemua itu dalam tataran antropologisnya adalah
kebudayaan, sebab definisi kebudayaan adalah jaringan makna
yang terdapat dalam simbol, yang disepakati oleh publik. Tentu
ia menjadi kebudayaan, ketika berada pada ranah antropologis.
Sementara pada ranah keagamaan, ia adalah unsur ketuhanan
yang tak tersentuh oleh manusia. Dalam kaitan inilah kita bisa
memahami bahwa Islam bukanlah kebudayaan, sebab ia pertama
kali bukan ciptaan manusia. Ia murni bersifat ketuhanan yang
transenden dari sentuhan manusia. Akan tetapi ketika ia telah
”turun ke bumi”, dipahami dan diamalkan umat dalam konteks
kemasyarakatan, maka jadilah pemahaman dan pengamalan
keagamaan ini, sebagai kebudayaan (Martin, 1982: 140-141).
Sebuah pengolahan budi keagamaan dalam ranah kemanusiaan.
Pada titik ini, kita akan lebih memahami strategi kultural
Islam dengan memahami ide dasar pembentuknya, yakni
perwujudan kultural Islam. Gagasan perwujudan kultural Islam
sendiri merupakan tindak lanjut dari gagasan pribumisasi Islam.
Jadi, terma ini secara eksplisit memang mengacu pada gagasan
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
93
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Gus Dur (Wahid, 2001: 12). Di sini, perwujudan kultural Islam
kemudian tertahbis sebagai “bentuk antropologis” dari Islam yang
telah membumi di relung budaya Nusantara. Maka, perwujudan
kultural Islam adalah artefak kebudayaan Islam di Indonesia,
hasil “proses kimiawi” dari pribumisasi Islam.
Perwujudan kultural Islam juga merupakan penyandingan
antara Islam dengan diskursus kebudayaan. Di sini saya
memang hendak menempatkan kajian keislaman sebagai kajian
kebudayaan, seperti dititahkan oleh Gus Dur sendiri. Kajian ini
tergerak dalam dua ranah. Ranah internal kebudayaan Islam, dan
ranah eksternal Islam dan kebudayaan. Yang pertama mengacu
pada pembincangan struktur internal peradaban Islam. Yang
kedua merujuk pada dialektika, baik dalam bentuk ketegangan
atau dialog, antara Islam sebagai agama, dengan kebudayaan
sebagai realitas di masyarakat (Wahid, 1981: 3). Dalam kaitan ini,
terma kebudayaan juga menempati dua ruang: ruang filosofis, di
mana kebudayaan menjadi nilai ideal tempat manusia mengejar
totalitas kesempurnaan (a pursuit of total perfection); (Backker, 1984;
Jenks, 1993) juga ruang antropologis, di mana idealitas normatif
tersebut dibumikan dalam “bentuk kehidupan”, baik berupa
artefak, laku kinetis, maupun teks. Maka, yang pertama merujuk
kepada kebudayaan sebagai sistem nilai yang melahirkan sistem
pemikiran; yang kedua mengacu pada kebudayaan sebagai fakta
antropologis di masyarakat.
Asumsi dasar yang melandasi terma ini adalah bahwa
Islam di Indonesia telah lama bersifat kultural. Hal ini kemudian
menjelmakan counter-discourse atas usaha sebagian muslim yang
hendak menjadikan Islam sebagai “yang politik”. Jadi di sini,
penulis hendak melakukan pemilahan antara Islam budaya dan
Islam politik, untuk meneguhkan satu fakta historis-kultural, bahwa
Islam yang ideal di negeri ini adalah Islam yang telah mewujud
dalam bentuk kultural. Dari sini terpahami bahwa segenap usaha
politisasi dan ideologisasi Islam bukan hanya sia-sia, tetapi
bahkan membahayakan bentuk ideal kultural tersebut, karena
dalam bentuk ini muslim Indonesia telah mampu “mengalami
Islam” secara hakiki, bukan artifisial-politis.
94
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif)
Artinya, melalui Islam budaya, warga muslim beragama
secara sukarela, sehingga mampu menelusup ke dalam relung
substantif ajaran Islam. Ini terjadi karena ajaran tersebut telah hidup
berdampingan dengan nilai-nilai luhur yang telah menjadi tradisi
masyarakat kita. Berbeda dengan Islam politik yang melakukan
rekayasa. Untuk membuat muslim bersyariat, maka gerakan Islam
model ini harus menegakkan dulu sebagian korpus hukum Islam
pada ranah pemerintahan. Hal ini sama saja mencipta determinasi
politik atas agama. “Yang religius” akhirnya ditentukan oleh “yang
politik”. Hal ini tentu kontradiktif dengan sifat religiusitas yang
tidak membutuhkan institusi di luar diri agar dapat hidup dalam
sanubari. Religiusitas adalah murni “kerinduan jiwa” yang haus
kebenaran. Ia hidup bukan karena aturan negara, tetapi tergerak
oleh dan di dalam kesadaran manusia. Pada titik kesadaran inilah,
budaya menyediakan lambaran sosial, sehingga “aspek esoteris”
manusia ini tersemai subur.
Dalam kaitan ini, pemilahan antara Islam budaya dan Islam
politik bisa kita lihat pada hal-hal berikut. Islam budaya adalah
perwujudan kultural Islam itu, yakni Islam yang telah berhasil
melakukan pribumisasi. Terma pribumisasi bersifat kultural,
karena ia merupakan gerak turunnya ajaran agama dari langit
korpus resmi ke bumi realitas di masyarakat. Dalam hal ini,
pribumisasi diartikan sebagai kontekstualisasi teks agama kepada
realitas. Dalam paradigma pribumisasi, Islam sebagai ajaran resmi
butuh membumikan ajarannya pada konteks realitas masyarakat.
Tentu, agama tidak bisa “hampa budaya”, karena sebagai teks,
ia akan terbumikan dalam konteks. Hal ini terjadi karena teks
agama sendiri lahir dari konteks masyarakatnya, seperti AlQuràn yang turun secara berbeda dalam konteks Mekkah dan
Madinah. Dalam konteks Mekkah, ayat-ayat yang tergerak lebih
mengacu pada penegasan monoteisme awal. Sementara dalam
konteks Madinah, ayat suci tersebut lebih tergerak dalam usaha
pembangunan peradaban Islam.
Pribumisasi juga diartikan sebagai pelokalan Islam yang
universal. Artinya, Islam yang lahir dari kultur awalnya di dunia
Arab, berusaha mendialogkan diri dengan kultur masyarakat
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
95
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
non-Arab agar berhasil melakukan dakwah atau konversi agama.
Di sini Islam butuh “meminggirkan ego kulturalnya”, agar bisa
memahami logika, karakter, dan pola kebudayaan liyan, dan agar
bisa diterima secara sukarela. Logika pribumisasi menyatakan, satu
agama tidak akan diterima oleh satu masyarakat ketika ia hadir
sebagai penjajah yang ingin memporakporandakan keyakinan
awal masyarakat tersebut, untuk diganti sepenuhnya oleh tradisi
agama itu. Inilah yang disebut ikonoklasme, penghancuran ikon
lokal oleh budaya (agama) yang lebih global.
Pada titik inilah Islam budaya menemukan ruang. Di sini
terma Islam budaya memang terderivasi dari terma budaya Islam.
Artinya, Islam budaya merupakan karakterisasi model keislaman
yang diambil dari pola kebudayaan Islam. Hanya saja, jika budaya
Islam merupakan produk dari satu pola keislaman, maka Islam
budaya adalah pengangkatan budaya Islam ke tataran abstraktif
sehingga menjelma suatu paradigma berpikir. Jadi, jika budaya
Islam adalah Islam sebagai produk, maka Islam budaya adalah
Islam sebagai pemikiran, di mana budaya Islam hanyalah salah
satu unsur darinya. Meminjam terma diskursus fiqh, budaya
Islam adalah Islam aqwal (produk perkataan), sementara Islam
budaya adalah Islam manhaji (metode berpikir). Yang pertama, kita
memahaminya sebagai produk dari keberislaman, sementara yang
kedua lebih merupakan cara berpikir, perspektif, atau paradigma
yang sarwa-budaya dari pemikiran Islam. Dengan memposisikan
Islam budaya sebagai manhaj, kita akan memiliki asumsi dasar
bahwa segenap eksistensi keislaman cenderung bersifat budaya,
bukan politik.
Dari sini terpahami bahwa apa yang saya sebut sebagai
Islam budaya adalah Islam yang tergerak melalui dan di dalam
budaya. Tentu, budaya di sini terartikan sebagai perwujudan
aktivasi mental yang telah terjaga dalam simbol publik (tradisi).
Hanya saja, Islam budaya tak sebatas artefak dari aktivasi mental;
ia juga memuat proses diskursif yang kemudian membuahkan
aktivasi tersebut. Maka, dalam Islam budaya terpetiklah beberapa
syarat internal. Pertama, adanya makna. Makna ini merupakan
pengalaman yang lahir dari keberartian atas nilai tertinggi dalam
96
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif)
Islam. Islam memiliki nilai tertinggi, itu pasti. Namun apakah
nilai tersebut mampu diresapi pemeluknya, adalah soal lain. Agar
berarti, proses ini membutuhkan kebermaknaan, di mana seorang
muslim menemukan nilai-nilai luhur yang dapat ia jadikan
pegangan hidup. Inilah makna yang dimaksud: ia menjadi berarti,
melalui dan di dalam dirinya sendiri. Maka, konsekuensi logisnya:
jika seorang muslim tidak mampu menemukan makna dalam
keberislamannya, kecil kemungkinan keislamannya mampu
bersifat budaya.
Mengapa? Karena makna terkait dengan cara kerja budi,
yang merupakan syarat kedua. Seperti diketahui, cara kerja budi
lebih menggunakan mekanisme internal di dalam dirinya, baik
mekanisme logika maupun mekanisme etik. Yang dimaksud
sebagai mekanisme logika adalah aturan benar-salah dalam
logika, terkait dengan aturan proposisi, silogisme, pendefinisan,
hingga pemilahan antara satu proposisi dengan proposisi lain.
Sementara mekanisme etik, saya maksud sebagai aturan di dalam
kebaikan itu sendiri. Misalnya, jika dalam Islam diyakini tidak
ada Tuhan selain Allah (la ilaaha illallah), maka tidak logis jika
meyakini Tuhan memiliki anak, karena hal itu akan melahirkan
Tuhan baru, sehingga Tuhan tidak lagi satu (Ahad). Dari keyakinan
logis ini, lahirlah komitmen etis yang meniscayakan tiadanya
kemusyrikan dalam perilaku hidup. Di sini “yang etis” kemudian
memiliki mekanisme untuk menyatakan bahwa seorang muslim
telah keluar dari komitmen ke-Ahad-an tersebut.
Ini terjadi karena etika, moral, atau budi memang
memiliki mekanisme internal sendiri, seperti konsepsi Kant yang
menahbiskan moral dalam noumena, bukan dalam fenomena.
Dalam noumena, manusia tidak harus tunduk pada hukum alam,
seperti ketundukan biologis dalam fenomena (realitas keseharian
yang tampak). Hal ini terjadi sebab dalam noumena, manusia
telah tunduk dalam rasionalitasnya sendiri. Ketundukan pada
rasio inilah yang melahirkan kesadaran, yang membuat manusia
berbudi. Dari sini moral kemudian tergerak dalam “imperatif
kategoris”, yakni gerak kebaikan dalam dirinya sendiri, bukan
gerak kebaikan karena faktor luar diri (Adian, 2006: 124). Artinya,
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
97
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
seorang dikatakan bermoral ketika baik sejak dalam nuraninya,
bukan karena pamrih luar diri, semisal pamrih ekonomi atau
pujian. Inilah yang penulis sebut sebagai “mekanisme etis” yang
merupakan mekanisme internal dari budi. Maka, ketika seorang
muslim tidak tunduk pada “mekanisme etis” ini, kecil kemungkinan
ia mampu berislam secara budaya, karena budaya mensyaratkan
daya dari budi.
Hal ini terkait dengan rasionalitas pada domain kultural, yang
penulis bedakan dengan rasionalitas kekuasaan. Pemahaman ini
terkait dengan gagasan Habermas tentang pemilahan antara ranah
alam-kehidupan (Lebenswelt) dan sistem kekuasaan. Seperti kita
ketahui, Lebenswelt adalah dunia kehidupan sehari-hari yang menjadi
ranah kebudayaan, sementara sistem adalah institusionalisasi
struktur sosial modern yang sarwa-lembaga. Menurut Habermas,
dalam Lebenswelt (ranah budaya), yang tergerak adalah rasionalitas
komunikatif (communicative rationality), bukan rasionalitas strategis
(strategic rationality). Dalam rasio komunikatif, manusia berpikir,
memahami, dan berucap, berdasarkan pemahaman budi. “Baik”
dan “benar” yang menentukan akal sehat, diputuskan melalui
pembincangan yang setara antarkomunikator. Sementara dalam
rasio strategis, pemahaman didapatkan melalui pemaksaan oleh
pihak di luar diri (Robet, 2007:95). Jadi, bukan melalui penyaringan
budi, melainkan melalui palu kekuasaan. Rasio strategis inilah
yang penulis sebut sebagai pendekatan politik, yang dalam konteks
kajian ini telah menjelma Islam politik. Pada titik ini, seorang
muslim memahami religiusitasnya tidak melalui akal-budi, tetapi
paksaan formalis dari otoritas di luar dirinya. Artinya, ranah Islam
budaya adalah ranah rasio komunikatif, di mana seorang muslim
memahami Islam tidak karena paksaan dari luar diri, melainkan
murni dari kesadaran. Kesadaran inilah ruang akal budi.
Ketiga, adanya tradisi yang menjaga makna. Proses
kebermaknaan di atas adalah proses individual antara pemahaman
pemeluk agama dengan realitas agama, dalam hal ini, teks suci.
Kebermaknaan bisa terjadi karena makna telah dijaga oleh tradisi.
Tradisi inilah yang menyediakan “penjagaan sosial” pada level
kemasyarakatan, sehingga ia bisa menjadi “sebutan bersama”
98
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif)
(common denominator), tempat segenap pemeluk agama menemukan
makna obyektif secara kolektif. Di sini tradisi bukan semata
pewarisan nilai itu sendiri, karena di dalam proses tersebut bukan
hanya nilai yang diwariskan, tetapi juga segenap struktur simbolik
yang akhirnya menjelma simbol-simbol religio-kultural. Inilah
yang disebut sebagai budaya, di mana nilai yang diwariskan telah
mewujudkan dirinya di dalam simbol, baik bahasa, perilaku kinetis
(ritual), artefak material, dan lembaga. Inilah yang disebut Geertz
sebagai “model mengenai realitas” (mode of reality), di mana nilai
memiliki korespondensi dengan simbol obyektif yang diwakilinya.
Dalam hal ini, proses pembumian nilai bersifat ganda: ia
“diwujudkan” oleh realitas, sekaligus “mewujudkan” realitas.
Artinya, nilai tersebut tentu terpengaruh oleh konteks kulturalnya,
sehingga pembumian nilai dari aras abstrak-normatif ke aras lokalantropologis tentu mengalami semacam reduksi. Dalam konteks
pribumisasi Islam, pelokalan Islam bukan merupakan kekalahan
Islam, tetapi sebuah kebijaksanaan dari Islam yang menyediakan
kaidah hukum al-‘adah muhakkamah (adat bisa menjadi sumber
pengambilan hukum). Hanya saja, selain nilai dipengaruhi konteks
kultural, ia juga sekaligus mempengaruhi konteks tersebut. Artinya,
nilai kemudian melahirkan reproduksi makna, dari nilai lama ke
nilai baru, sehingga melahirkan pembaruan realitas. Ini terjadi
karena nilai juga merupakan “model untuk realitas” (mode for
reality), di mana nilai tersebut menyediakan konsepsi koginif atas
apa yang sebaiknya terjadi, atau menyediakan arah bagi realitas.
Pada titik inilah, seorang pemeluk agama kemudian
melakukan reproduksi realitas melalui pemaknaan baru, akibat
nilai baru yang ia temukan. Semisal kehadiran Islam yang
menawarkan nilai baru, yakni tauhid yang akhirnya mengganti
nilai sebelumnya (berhala). Warga Mekkah akhirnya menemukan
reproduksi keyakinan keagamaan yang melahirkan reproduksi
realitas pada tataran sosio-kultural. Dalam domain inilah, tradisi
menjadi penting, karena ia melakukan penjagaan sosial atas nilai
tauhid yang diwariskan. Sebab, tauhid sebagai nilai tidak lahir
dari “hampa sejarah”. Ia memiliki kesinambungan dengan tradisi
monotestik kenabian sebelumnya. Tanpa tradisi ketauhidan,
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
99
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Nabi Muhammad tidak akan mampu mencipta kesinambungan
pewarisan nilai tersebut. Tentu tradisi ini tak semata perilaku kinetis
(ritual), artefak (Ka’bah), atau teks (Al-Quràn yang mewadahi kitabkitab suci sebelumnya). Tradisi dalam konteks ini adalah sistem
makna dari tauhid, yakni nilai keesaan Tuhan yang menyeluruh,
personal maupun kosmik. Inilah yang menjadi common denominator
bagi “umat tauhid”, sehingga Nabi Muhammad mampu mencipta
kesinambungan nilai, dan dengan cara itu memiliki klaim atas sifat
universal dari tauhid tersebut.
Pada titik inilah kita bertemu dengan gagasan Geertz tentang
agama sebagai sistem budaya (religion as a cultural system). Gagasan
ini memang tidak mengacu pada studi tentang agama pada tataran
korpus resmi, melainkan studi tentang agama sebagai proses, di mana
korpus resmi tersebut telah menubuh dalam praktik di masyarakat.
Jadi sederhananya, agama sebagai sistem budaya adalah studi
tentang pengamalan ajaran agama sejak level individual hingga
sosial. Di sini Geertz menahbiskan agama sebagai sistem budaya
karena agama telah memberikan keyakinan yang membatin hingga
level psikologis, melalui penggambaran tentang tatanan dunia yang
ideal, di mana keyakinan dan tatanan dunia tersebut terbungkus
dalam “aura faktualitas” (melalui simbol), sehingga si pemeluk
dapat merasakannya sebagai sesuatu yang konkret dan realistik
(Geertz, 1973: 30).
Jadi terlihat bahwa posisi agama tidak terhenti pada domain
kognitif (akal), tetapi telah membatin dalam keyakinan. Domain
keyakinan inilah yang memberikan nuansa emosional yang mampu
menggerakkan si pemeluk untuk bertindak berdasar keyakinan
tersebut. Cantiknya, ia bahkan lahir dari rasionalisasi atas tatanan
dunia. Artinya, keyakinan keagamaan lahir dari gambaran agama
tentang apa yang baik dan apa yang buruk bagi dunia. Ini membuat
agama bersifat emosional, tetapi pada saat yang sama, rasional.
Rasio dan emosi agama ini terepresentasikan dalam simbol-simbol
yang konkret, sehingga si pemeluk merasakan bahwa agama
“memang ada” dalam hidup kesehariannya. Dari sini agama
kemudian bersifat ganda. Satu sisi, ia menciptakan simbol yang
menjaga dan menggambarkan struktur maknanya. Simbol inilah
yang mengonkretkan makna agama menjadi sesuatu yang ada
100
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif)
dalam realitas. Pada titik ini, terdapat apa yang disebut sebagai fakta
agama, meminjam terma fakta sosial Durkheimian. Sisi lain, makna
agama yang telah terjaga dalam simbol ini menjadi “kacamata”
untuk membaca realitas. Pada titik inilah agama kemudian menjadi
budaya, karena ia telah menyediakan simbol, tempat manusia
memaknai realitas berdasarkan struktur makna yang terdapat di
dalamnya.
Konsepsi Islam budaya ini menjadi niscaya jika kita terapkan
pada Islam. Seperti kita ketahui, Islam didefinisikan sebagai
agama hukum (religion of law). Artinya, nilai tertinggi dalam Islam
adalah hukum. Di sini hukum merupakan “penjaga normatif” atas
kemutlakan Tuhan. Jadi dalam Islam, nilai absolut adalah Tuhan,
dan hukum adalah aturan ketuhanan yang tentunya ikut absolut.
Dalam Islam, hukum sering disebut sebagai syariat—mencakup
segenap aturan ketuhanan atas segenap lini kehidupan. Dalam
perkembangannya, terma hukum ini kemudian lebih disempitkan
dalam terma fiqh, ilmu tentang hukum Islam. Jadi, syariat kemudian
tertahbis sebagai aturan keseluruhan ketuhanan, sementara fiqh
mengacu pada hukum Islam pada tataran hukum itu sendiri.
Jika mengacu pada Geertz, maka syariat menancapkan
suatu keyakinan emotif terhadap muslim. Keyakinan ini ganda:
pada level psikis, memberikan tata aturan individual agar ia
selamat “menuju Tuhan”; pada level sosial, menetapkan aturan
duniawi agar perjalanan batin tersebut terkondisikan secara sosial.
Penancapan keyakinan psikis melalui keyakinan terhadap tata
aturan duniawi ini kemudian tersimbolkan secara faktual, berupa
ritual, artefak material keagamaan, maupun pakaian keagamaan.
Jilbab, misalnya, menjadi simbol yang merepresentasikan makna
bahwa seorang muslimah sejati mestilah menutup auratnya.
Jilbab sebagai penutup aurat, yang merupakan aturan syar’i,
kemudian menancapkan keyakinan psikis melalui rasionalitas
duniawi yang meniscayakan terbentuk “sistem sosial jilbab” agar
kewajiban syar’i tersebut terlaksana. Pada titik ini Islam menjadi
budaya, ketika jilbab tersebut menjelma simbol yang melaluinya
seorang muslim memaknai realitas berdasarkan struktur makna
yang terdapat dalam simbol jilbab tersebut.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
101
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Sementara itu, Islam politik saya acukan pada tujuan
geraknya yang membutuhkan kekuasaan. Artinya, keberislaman
model ini adalah keberislaman yang membutuhkan kekuasaan
untuk merealisasikan diri. Ada keyakinan, bahwa untuk
mengislamkan masyarakat, negara harus diislamkan terlebih
dahulu. Bisalah model ini disebut sebagai pendekatan struktural
atas dakwah Islam, karena para aktivisnya perlu naik dulu ke
tataran struktur politik, dan dengan struktur tersebut, mereka
turun kembali untuk mengislamkan kultur.
Tentu, kekuasaan bukanlah capaian tujuan (goal attainment)
dari Islam politik. Hanya saja, kebutuhan akan kekuasaan untuk
merealisasikan tujuan (Islamisasi), telah menjebak mereka dalam
lingkaran setan kekuasaan itu sendiri. Sebab, kekuasaan yang pada
awalnya menjadi alat, telah dijadikan tujuan itu sendiri, meskipun
pada tataran strategis kekuasaan tersebut hanya ditempatkan
sebagai alat. Namun siapa pun yang menapakkan kaki dalam
tangga kekuasaan, tak akan bisa keluar darinya, sebab kekuasaan
senantiasa meniscayakan pertarungan terus-menerus untuk
merebut dan mempertahankannya. Jadi, dalam logika kekuasaan
hanya ada dua hal: jika tak merebut, maka pasti mempertahankan.
Yang berhasil merebut akan mempertahankan, yang direbut akan
merebut kembali. Lalu, jika pun kaum Islam politik telah mampu
merebut, apa mereka bisa menjamin mampu concern pada dakwah,
ketika setiap saat dibayangi oleh mantan penguasa yang direbut
kekuasaannya? Inilah lingkaran setan kekuasaan (Arif, 2010).
Hanya memang, logika politik dalam Islam(isme) tak
melulu berangkat dari kehendak menguasai negara, selayak logika
partai-partai atau gerakan sosial non-Islam. Islam politik berangkat
dari akar politik keagamaan, dari apa yang oleh Abu Zaid disebut
sebagai “hakimiyyah”. Terma hakimiyyah mengacu pada keyakinan
yuridis-teologis Khawarijian yang senantiasa berucap “la hukma
illa lillaah” (Tiada hukum selain hukum Allah). Keyakinan ini
berujung pada pengkafiran pihak yang tak menjadikan hukum
Allah sebagai hukumnya: Wa man lam yahkum bima anzalallah
faulaika humul kafirun (“Barangsiapa yang tidak menjadikan apa
yang diturunkan Allah sebagai hukum, maka kafirlah mereka”).
102
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif)
Dari kebutuhan yurisprudentik atas penegakan hukum Allah ini,
maka kaum Islamis butuh menegakkannya pada tataran struktur
politik. Muncullah hakimiyyah yang merupakan bentuk kenegaraan
berbasis hukum Islam. Hal ini lahir dari konsepsi mereka tentang
kedaulatan Tuhan. Pada titik ini, demokrasi yang berbasis pada
kedaulatan rakyat ditolak, sebab tidak berangkat dari kedaulatan
Tuhan. Kedaulatan Tuhan ini akhirnya terepresentasikan melalui
kedaulatan hukum Tuhan, sebab “yang ilahi” hanya bisa dipahami
dari hukum-hukum-Nya, yang tersurat dalam teks suci (Black,
2006: 179-197).
C.Depolitisasi Islam
Dengan merumuskan dakwah Sunan Kudus sebagai bagian
dari strategi kultural Islam, maka tulisan ini hendak menempatkan
dakwah Kanjeng Sunan tersebut dalam upaya depolitisasi Islam.
Terma depolitisasi Islam ini bermakna spesifik. Yakni depolitisasi
dalam kaitannya dengan kulturalisasi Islam. Jadi depolitisasi di
sini tidak diartikan sebagai depolitisasi dalam arti politik praktis,
seperti menghindarkan Islam dari politisasi orang-orang partai.
Depolitisasi di sini lebih diartikan sebagai penghindaran Islam
atas Islam politik. Yakni corak keberislaman yang bersifat politik,
bukan kultural.
Jadi di sini saya menghadapkan terma Islam politik dengan
Islam kultural seperti di atas. Islam politik adalah keberislaman
yang berlogika politik dan oleh karenanya memuara pada
kekuasaan. Dalam corak ini, dakwah Islam akhirnya menggunakan
sarana politik, seperti islamisasi negara, formalisasi syari’at Islam
melalui peraturan daerah, serta penegakan khilafah secara global.
Dalam Islam politik, dakwah dimaknai sebagai reislamisasi
masyarakat yang keberislamannya belum kaffah, sebab struktur
politiknya tidak bersifat Islamis. Dalam logika ini, islamisasi
negara menjadi pra-syarat dari dakwah Islam pada tataran
masyarakat. Kaum Islam politik tidak memercayai cara lain selain
cara politik ini, sebab bagi mereka Islam adalah sistem sosial dan
politik yang sempurna, karena Islam sendiri diyakini sebagai
agama sempurna.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
103
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Sementara itu Islam kultural adalah keberislaman secara
kultural. Ia berangkat dari logika budaya, menggunakan sarana
dan strategi budaya, serta memanifestasikan dirinya di dalam
budaya. Dalam keberislaman ini, politik mungkin saja penting,
tetapi bukan yang utama. Mengapa? Karena sebagai sistem
nilai, Islam telah mampu merasuk ke dalam struktur masyarakat
melalui struktur makna. Struktur makna ini yang dijaga oleh
struktur simbolik berupa tradisi, artefak, ritual, karya seni, dan
segenap karya budaya. Dengan demikian, tidak dibutuhkan suatu
islamisasi negara demi islamisasi masyarakat. Penubuhan nilainilai esoterik Islam ke dalam budaya masyarakat saja lebih efektif.
Hal ini niscaya sebab di dalam masyarakat, terdapat tradisi yang
berperan sebagai penjaga nilai-nilai masyarakat. Karena sifat dasar
semua nilai adalah kebijaksanaan, maka Islam sebagai nilai bisa
masuk ke dalam tradisi masyarakat, meski tradisi itu berangkat
dari tradisi pra-Islam. Dengan demikian, terjadilah pertemuan
antar nilai. Terjadilah dialog makna, persetubuhan batin.
Hal ini yang membuat kita mafhum, kenapa para Wali
menggunakan jalur budaya di dalam dakwah Islam. Meskipun
satu titik tetap menggunakan jalur politik, seperti dalam pendirian
Masjid Demak. Jawabnya sederhana. Dengan jalur budaya,
dakwah Islam bisa mengaliri “nafas kebijaksanaan” masyarakat
yang sudah ada. Islam akhirnya bisa diterima tidak dengan
paksaan, melainkan dengan kesadaran, dan peningkatan kualitas
pemahaman, baik pemahaman akan hidup, Tuhan dan manusia
itu sendiri, sebab Islam hadir untuk menyempurnakan ajaranajaran kehidupan agama terdahulu. Penerimaan tanpa paksaan
ini secara ontologis memang menjadi sifat dasar dari agama
itu sendiri. Agama bukanlah titah raja, panglima perang atau
presiden yang harus digerakkan melalui aparat negara. Agama
adalah ajaran hidup yang memuat selaksa kebijaksanaan. Ia tidak
bisa didakwahkan melalui jalur politik, sebab jalur ini bersifat
pemaksaan, bukan penyadaran. Dalam budayalah, penyadaran
ini bisa terjadi, sebab segenap ajaran luhur yang normatif ini akan
menemukan bentuknya yang kaya dalam karya budaya.
104
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif)
Maka para Wali pun menggubah tembang Jawa dengan
isi Islam. Sunan Kalijaga menggubah wayang, dan memasukkan
ajaran tauhid dalam epos Mahabarata. Sunan Bonang membuat
gamelan yang berisi ajaran tentang “kekosongan batin”. Serta
Sunan Kudus menjadikan artefak candi sebagai bagian dari
peribadahan masjid; bukan sekadar untuk mendekati umat Hindu,
akan tetapi hendak mengajarkan kesatuan spiritual dalam ruangruang sakral peribadahan. Para Wali ini menggunakan dakwah
kultural, bukan semata karena ingin mengaliri tradisi pra-Islam,
untuk menelusupkan nilai-nilai Islam ke dalamnya. Menurut
saya, para Wali memang memiliki asumsi dasar yang bersifat
kultural dalam pemahaman keislamanannya. Hal ini terjadi
karena terma Wali itu sendiri, hanya ada di telatah Jawa. Wali
adalah transformasi karakter dari resi era Hindu-Budha. Di dalam
kewalian dan keresian, kewaskitaan keagamaan, kesaktian, dan
kreativitas budaya menyatu di dalamnya. Hal ini yang membuat
para Wali dan resi begitu dekat dengan masyarakat, menjadi guru
yang menjaga kearifan hidup masyarakat. Dalam terang posisi
inilah Raden Sahid disebut Sunan Kalijaga. Yakni sunan yang
pandai menjaga ”arus sungai” tradisi masyarakat. Mengalirkan
Islam, tanpa mengeruhkan aliran sungai tersebut.
Berangkat dari uraian ini, maka kita bisa mengambil
beberapa hal penting dari strategi kultural Islam Sunan Kudus,
bagi usaha deradikalisasi Islam.
Pertama, dengan adanya Menara Kudus, maka Islam bisa
saja termanifestasikan dalam simbol non-Islam. Tentu dengan
syarat, simbol ini telah mengalami islamisasi. Hal ini terlihat
pada penggunaan candi sebagai Menara. Jika Islam tidak boleh
diwujudkan dalam simbol non-Islam, maka Sunan Kudus pun
tidak akan melahirkan Menara Kudus ini. Hanya saja, Menara
bukanlah candi, sebab fungsinya telah diganti, dari tempat
penyimpanan abu jenazah para raja serta penyembahan roh
leluhur, menjadi tempat adzan. Dengan demikian, telah terjadi
islamisasi fungsi candi, menjadi Menara adzan. Hal sama terjadi
pada ornamen yang tiada lagi memuat arca. Hal ini menunjukkan
Menara bukan lagi candi. Ia merupakan karya budaya Islam,
meskipun berbahan dasar candi.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
105
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Poin ini bisa menjadi kritik mendasar atas usaha simbolisasi
Islam yang bersifat simbolik. Yakni sebuah gerakan kaum Islamis
yang hendak mengislamkan semua hal, walaupun sebenarnya
yang dikehendaki bukan murni islamisasi, melainkan Arabisasi.
Hal ini terlihat misalnya dalam formalisasi “lautan jilbab”,
syari’atisasi perbankan, hingga islamisasi negara. Gerakan ini
tidak bisa menerima ”peminjaman simbolik” dari simbol nonIslam, demi tujuan mendasar dari nilai-nilai Islam itu sendiri.
Maka demokrasi ditolak karena ia bukan simbol Islam. Hukum
nasional ditolak karena dianggap sekuler. Bahkan jika kaum
radikalis itu melihat Menara, maka karya Sunan Kudus inipun
akan terkena fatwa bid’ah, khurafat, dan sinkretik.
Gerakan simbolisasi Islam ini saya sebut simbolik, sebab ia
tidak berangkat dari perjuangan substantif dari Islam. Artinya, yang
menjadi tujuan dakwah hanyalah penerapan simbol-simbol Islam.
Bukan substansi Islam. Jika dalam demokrasi, nilai dasar Islam
seperti keadilan (’adalah), persamaan (musawah) dan musyawarah
(syura) ada, mengapa ia harus diganti dengan khilafah yang tidak
demokratis? Jika dalam hukum modern, penghormatan manusia
dijamin, kenapa ia harus dibedakan dengan syari’at, padahal
tujuan utama syari’at (maqashid al-syari’at) adalah penghormatan
atas hak dasar manusia? Jika candi yang merupakan tempat
ibadah umat Hindu, bisa dijadikan tempat adzan, kenapa ia tidak
dijadikan Menara? Kenapa segenap pertemuan makna dan bentuk
dari tradisi Islam dengan tradisi lokal diharamkan, jika ia menjadi
tempat bagi bersemainya nilai-nilai Islam?
Kedua, kesadaran budaya. Ini berbeda dengan kesadaran
politik dari kaum Islamis. Kesadaran budaya ini terletak pada
kesadaran Sunan Kudus untuk berdakwah secara kultural. Hal
ini terlihat dari pengambilan bentuk candi sebagai Menara. Pada
titik ini candi tidak diposisikan oleh Sunan Kudus, semata sebagai
tempat ibadah. Pada satu titik, ia lebih ditempatkan sebagai karya
budaya. Artinya, meskipun Pure Agung itu adalah tempat ibadah,
namun ketika ia telah menjelma simbol yang merepresentasikan
makna, Pure Agung juga bermakna sebagai kebudayaan. Ia
secara otomatis tidak hanya menjadi milik umat Hindu. Ia juga
milik semua masyarakat Tajug (Kudus), karena Pure Agung itu
106
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif)
mewakili sebuah makna universal, yakni tempat pengagungan
“yang sakral”. Sebuah tempat di mana manusia menemukan
kebutuhan spiritualnya. Kesadaran akan Pure Agung sebagai
bagian dari local wisdom inilah yang disebut kesadaran budaya.
Yakni sebuah kesadaran atas usaha masyarakat untuk mengolah
budi, dalam hal ini budi keagamaan.
Dengan mengambil “bentuk budaya” –dan bukan fungsi
liturgis- dari Pure Agung sebagai Menara ini, Sunan Kudus
telah sampai pada kesadaran kebudayaan. Sebuah kesadaran
seorang da’i, bahwa Islam bisa didakwahkan melalui karya
budaya yang ada di masyarakat. Dengan demikian, kehadiran
Islam akhirnya tidak bersifat kolonialis: menghancurkan budaya
lokal dan menggantinya sama sekali dengan budaya baru Islam.
Kehadiran Islam akhirnya merawat kebajikan hidup yang ada
di masyarakat. Hal ini yang menandaskan kesempurnaan Islam,
dan kesempurnaan tradisi spiritual lainnya. Sebab dalam tradisi
spiritual, tidak ada logika menang-kalah, benar-salah. Yang ada
hanyalah proses saling menyempurnakan. Dengan kesadaran
kebudayaan inilah Sunan Kudus menciptakan kesinambungan
kebudayaan, sehingga Islam di Kudus menjadi mata rantai
kebudayaan Jawa dan Nusantara yang adi luhung. Dengan cara
ini, Sunan Kudus telah membangun sebuah peradaban Islam
Nusantara, dan sekaligus kenusantaraan itu sendiri. Ia tidak
melakukan “penjajahan budaya”, dengan menghadirkan simbol
asing dari Timur-Tengah untuk ditegakkan secara paksa di bumi
yang telah lama memiliki keagungan peradaban ini.
Kesadaran budaya yang telah melahirkan karya
budaya Islam ini akhirnya melahirkan poin ketiga, yakni
tidak diperlukannya kekuasaan politik Islam, seperti Negara
Islam. Hal ini terjadi sebab budaya saja telah mencukupi bagi
tersemainya nilai-nilai Islam. Memang Sunan Kudus adalah
panglima perang Demak, dan para Wali pun telah mendirikan
Kerajaan Demak. Akan tetapi, struktur politik Demak tidaklah
seperti yang diperjuangkan oleh Negara Islam Indonesia (NII).
Struktur politik Demak, Mataram Islam, dan Giri Kedaton, adalah
struktur politik Islam berbasis budaya. Artinya, dalam kerajaankerajaan Islam ini, pola politik Islam dibangun di atas landasan
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
107
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
budaya. Hal ini terlihat dalam pemilahan antara sultan dengan
para Wali. Sultan adalah pemimpin politik. Wilayahnya berada
dalam pemerintahan. Sementara para Wali adalah para ulama.
Wilayahnya dalam dakwah Islam.
Pola politik Islam ini mengingatkan kita pada pola politik
Sunni, yang melakukan pemilahan antara wilayah politik dengan
dakwah. Wilayah politik di tangan sultan. Sementara dakwah di
tangan ulama. Sultan tidak bisa serta-merta masuk dalam wilayah
dakwah. Sementara para ulama pun membatasi diri di wilayah
publik. Hal ini berdampak positif. Yakni tidak digunakannya alatalat kekuasaan untuk dakwah Islam. Dengan demikian, wilayah
dakwah menjadi otoritas para ulama. Sebuah otoritas yang berada
di ruang publik, bukan ruang politik. Dalam ruang publik inilah,
para Wali kemudian menggunakan strategi kultural di dalam
dakwahnya. Sebab wilayah politik, murni milik sultan.
Hal ini yang tidak dipahami oleh para pejuang Negara Islam.
Yakni sebuah fakta sejarah yang telah mewariskan struktur politik
Islam berbasis budaya. Apa yang diperjuangkan oleh para Islamis
itu adalah pendirian sistem politik Islam di dalam sistem politik
modern, yakni negara-bangsa. Hal ini yang menciptakan situasi
berbeda, sebab negara-bangsa memiliki sifat negatif, ketika ia
dijadikan media dakwah. Mengapa? Karena negara-bangsa adalah
sistem politik modern yang memiliki keabsahan untuk melakukan
kekerasan. Hal ini yang berbahaya, sebab ketika dakwah Islam
dilakukan oleh negara, maka Islam akan dipaksakan oleh aparat
negara, sejak hukum, polisi, hingga pemaksaan yang bersifat legalyuridis. Perjuangan Negara Islam pun bersifat a-kultural, sebab ia
mengabaikan fakta kultural, bahwa Islam pada level masyarakat
telah begitu membumi di dalam budaya, di dalam tradisi, dan di
dalam keseharian masyarakat. Sifat a-kultural dari perjuangan
Negara Islam ini bisa terjadi, karena para Islamis tidak memiliki
kesadaran budaya seperti Sunan Kudus. Mereka hanya memiliki
kesadaran politik, sehingga meyakini politiklah yang menjadi
media dakwah terbaik. Satu hal yang a-historis dan a-kultural
tentunya.
108
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Strategi Kultural Islam Berpijak dari Dakwah Sunan Kudus (Syaiful Arif)
E. Simpulan
Berpijak dari gelaran di atas, maka sudah saatnya kita
perlu menjadikan Menara Kudus dan strategi dakwah kultural
Sunan Kudus sebagai model ideal bagi bentuk kebudayaan Islam
di Indonesia. Artinya, kualitas Menara Kudus tidaklah lokal. Ia
bersifat nasional dan bahkan global. Dalam kaitan ini, Menara
akhirnya bukan hanya menjadi ruang diskursif bagi wacana Islam
toleran atau pluralisme Islam. Melampaui hal itu, ia adalah tipe ideal
suatu pribumisasi Islam. Menara Kudus akhirnya layak dinobatkan
sebagai ”serambi Islam Nusantara”, sebab ia adalah karya tercantik
akulturasi antara Islam dan Hindu-Budha. Dengan demikian,
Kudus sebagai sebuah kota layaklah disebut sebagai kota budaya,
mengingat ia memiliki warisan agung kebudayaan Islam Nusantara
ini. Kudus akhirnya bukan hanya kota kretek, di mana sebagian besar
warganya menjadi buruh. Kudus bisa menjadi kota kebudayaan
Islam Nusantara, tempat segenap warga dunia melongok keajaiban
Islam di dalam artefak Menara ini (Arif, 2010).
Dengan menjadikan Menara sebagai tipe ideal bagi
pribumisasi Islam, maka karya Sunan Kudus ini bisa dijadikan
sebagai counter balancing atas radikalisme Islam. Jika pada level
nasional, kita masih dipusingkan dengan Islam puritan yang sering
menggunakan kekerasan dalam berdakwah ini. Maka Menara Kudus
bisa menjadi lawan bandingnya. Menara Kudus dan strategi dakwah
kultural Sunan Kudus bisa ditampilkan di hadapan dunia Islam,
sebagai fakta historis Islam Nusantara, yang memuat kearifan hidup
yang begitu luhur. Di dalamnya terdapat kesadaran budaya Islam,
yang menempatkan Islam tidak semata sebagai cita-cita kenegaraan,
melainkan cita kebudayaan yang hidup secara selaras dengan nafas
kebajikan masyarakat. Dengan Menara Kudus, diharapkan terjadi
katarsis kebudayaan. Sebuah pencerahan budaya di kalangan
umat Islam, sehingga dakwah Islam tidak dilakukan melalui “jalan
pedang”, melainkan melalui karya budaya yang sarat dengan
kebajikan hidup. Tugas warga Kudus dan civitas akademika STAIN
Kudus, untuk merumuskan semua ini. Semoga!
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
109
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Syaiful, 2010, Deradikalisasi Islam, Paradigma dan Strategi Islam
Kultural, Depok: Koekoesan
__________, 25 Juni 2010, Menepis Citra Kudus Tuna Budaya, Wacana
Lokal, Suara Merdeka
Ashadi, 2006, Warisan Walisongo, Bogor: Lorong Semesta
Bakker SJ, J. W. M., 1984, Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar,
Yogyakarta: Kanisius
Black, Anthony, 2006, Pemikiran Politik Islam, dari Masa Nabi hingga
Masa Kini, Jakarta: Serambi
Frow, John, 1995, Cultural Studies & Cultural Value, Oxford:
Clarendon Press
Geertz, Clifford, 1973, The Interpretation of Cultures. New York:
Basic Books
Hall, John R., Neitz, Mary, 1993, Culture, Sociological Perspectives,
New Jersey: Prentice Hall
Jenks, Chris, 1993, Culture, London and New York: Routledge
Martin, Richard C, 1982, Islam A Cultural Perspective, New Jersey:
Prentince-Hall, Inc.
Muljana, Slamet Muljana, 2005, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa
dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta:
LKiS
Richardson, Michael, 2001, The Experience of Culture, London:
SAGE Publications
Wahid, Abdurrahman, 2001, Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta:
LKiS
110
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
PEMIKIRAN DAN GERAKAN DAKWAH
IKHWANUL MUSLIMIN
Oleh: Abdurrahman Kasdi
Dosen Tetap STAIN Kudus dan alumni Universitas al-Azhar
Abstrak
Ikhwanul Muslimin selalu menekankan bahwa dakwah merupakan
pilar utama dalam mengembangkan Islam. Bahkan mereka yakin
bahwa dengan dakwahlah Islam bisa cepat tersebar sejak zaman
Nabi Muhammad SAW dan tetap eksis sampai sekarang, sehingga
banyak gerakan mereka yang dilandasi oleh faktor dakwah dan
amar ma’ruf nahi munkar. Hasan al-Banna memberikan inspirasi
bagi Ikhwanul Muslimin untuk membawa bendera dakwah,
dan memberikan petunjuk kepada mereka untuk teguh dalam
meninggikan syiar Islam, meskipun harus menghadapi berbagai
cobaan, gangguan, rayuan dan peperangan yang membabi buta
dari musuh-musuh Islam. Sehingga, mereka dengan gagah
menghadapi para thaghut, baik di dalam negeri dan di luar negeri.
Mereka menentang kaum sekularis sebagaimana mereka memerangi
para penjajah yang merampas negara, mereka tidak menemukan
perbedaan mendasar antara orang yang berlaku zhalim terhadap
bumi Islam dan orang yang zhalim terhadap syari’at Islam.
Berbagai kekuatan, baik yang datang dari dalam negeri maupun
luar negeri telah berupaya untuk membeli Ikhwan dengan harta
dan berbagai jabatan penting, agar mereka dapat mengontrol dan
mengendalikan gerakan Ikhwan. Akan tetapi, rayuan itu tidak
diindahkan oleh Jamaah Ikhwan dan pemimpinnya.
Keywords: Pemikiran, Gerakan, Strategi Dakwah, Amar Ma’ruf
Nahi Munkar.
A.Pendahuluan
Bangkitnya gerakan Islam ditandai dengan berkembangnya
organisasi-organisasi Islam di seluruh dunia dengan mengusung
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
111
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
visi misi Islam, serta platform keislaman. Sebagian mereka tetap
konsisten dalam perjuangan melalui program-program sosial
kemasyarakatan, sebagian yang lain memperjuangkan konsep
dan gerakan dakwah, serta sebagian yang lain merambah dan
memasuki wilayah politik. Hal ini sangatlah wajar, bukan hanya
dulu, melainkan sekarang pun organisasi yang ditopang oleh
massa dan mempunyai anggota yang riil, sangat berpeluang
untuk memasuki wilayah publik.
Salah satu konsep dan gerakan dakwah yang menarik untuk
dibahas adalah tentang dinamika dakwah Islam dan organisasi
yang sesuai dengan karakter dakwah Islam adalah Ikhwanul
Muslimin. Sisi menarik dari Ikhwanul Muslimin bukan hanya
karena ia adalah organisasi Islam terbesar dan mempunyai cabang
di beberapa negara, melainkan karena peran yang telah dimainkan
dalam mengembangkan pemikiran dan gerakan dakwah Islam.
Bahkan eksistensinya menjadi daya tawar tersendiri bagi umat
Islam di Mesir terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Mesir;
mulai dari pra-revolusi, saat terjadi revolusi dan pasca revolusi.
Tak pelak lagi, pemerintahan Gamal Abdunnaser, Anwar Sadat
dan Husni Mubarak berusaha mengakomodir usulan-usulan dan
rekomendasi yang diajukan oleh Ikhwanul Muslimin.
B.Dakwah Pergerakan Ikhwanul Muslimin
Pemimpin dan anggota Ikhwanul Muslimin selalu
menekankan bahwa dakwah merupakan pilar utama dalam
mengembangkan Islam. Bahkan mereka yakin bahwa dengan
dakwahlah Islam bisa cepat tersebar sejak zaman Nabi Muhammad
Saw. dan tetap eksis sampai sekarang, sehingga banyak gerakan
mereka yang dilandasi oleh faktor dakwah dan amar ma’ruf nahi
munkar. Hasan al-Banna sendiri pernah mengatakan,
“Adapun perangkat umum kita adalah memberikan penjelasan
yang memuaskan dan menyebarkan dakwah dengan berbagai
sarananya. Setelah itu adalah perjuangan konstitusional hingga
suara dakwah ini terdengar di berbagai forum resmi, lalu
didukung dan ditegakkan oleh kekuatan eksekutif.”
112
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Pemikiran dan Gerakan Dakwah Ikhwanul Muslimin (Abdurrahman Kasdi)
Menurut Abu Hasan an-Nadwi, untuk mencapai
keberhasilan dakwah harus memperhatikan tiga hal: pertama,
tingkatan (marhalah) dakwah serta penanaman prinsip-prinsip
dan keimanan di dalam hati harus mendahului (aktivitas)
lainnya. Meskipun tingkatan ini sangat lama dan panjang, namun
keteguhan para aktivis dakwah padanya, dan kesungguhan
mereka dalam berjihad di jalannya, akan menyukseskan tingkatan
berikutnya. Kedua, mencetak kader yang akan memikul dakwah,
mengatur langkah-langkah perjalanannya, dan memenuhi setiap
kekosongan di dalamnya. Betapa pun kuatnya suatu pergerakan,
dakwah atau lembaga, bila ia tidak secara terus-menerus membina
kader, maka akan terancam kehancuran, sebentar lagi tokohtokohnya akan hilang dan pada suatu hari ia pun akan hilang juga.
Ketiga, meneguhkan hati nurani untuk mencapai tujuan dakwah
secara maksimal (Al-Khatib dan Hamid, 2001: 156).
C.Tabiat Jalan Dakwah dan Pentingnya Keteguhan Hati
Agar dakwah Islam dapat berkembang subur, tersebar
dan mencapai keemasannya, maka diperlukan kader-kader yang
dibina secara khusus; kader yang ikhlas, aktif, rela berkorban,
selalu istiqamah dalam berbagai keadaan, tegar dalam menghadapi
ujian, tribulasi, rayuan, dan intimidasi. Sabar dalam menghadapi
berbagai kesulitan, serta mampu menyelesaikan berbagai
tantangan. Itu semua dilakukan dengan tanpa henti, tanpa lelah,
dan tanpa jemu.
Karena itulah, Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal AlQuràn, menekankan bahwa para pemuda Muslim yang ingin
berdakwah harus menstabilkan semangat dan emosinya, sebab
orang yang hanya bicara tidak sama dengan orang yang beramal,
orang yang sekedar beramal tidak sama dengan orang yang
produktif dan bijaksana, yang dapat menghasilkan target paling
mulia (Quthb, 1998: 712). Di samping itu harus mempunyai
keteguhan hati (tsabat), sebagaimana ditegaskan oleh Muhammad
Abdullah Al-Khatib, ketika mencontohkan bagaimana Rasulullah
mempunyai keteguhan hati dalam berdakwah. Pernah kaum
musyrikin menawarkan harta, kedudukan dan berbagai
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
113
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
kenikmatan kepada Rasulullah asalkan beliau mau meninggalkan
dakwahnya. Akan tetapi mereka tidak berhasil membujuk
Rasulullah. Walaupun mereka menggunakan ancaman dan
intimidasi, namun cara inipun tidak berhasil menyurutkan
langkah Rasulullah. Bahkan Rasulullah mengucapkan kalimat
yang sangat terkenal kepada pamannya, agar seluruh dunia dapat
mendengar serta merenungkan, dan para da’i sepanjang masa di
seluruh penjuru dunia meneladaninya. Kalimat tersebut adalah:
“Demi Allah, wahai pamanku! Andai mereka bisa meletakkan matahari
di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan
urusan (dakwah) ini, maka aku tidak akan meninggalkannya, sehingga
Allah memenangkannya atau saya binasa karena (membela)-Nya”
(Hisyam, 20, Al-Khatib dan Hamid, 179).
Imam Hasan al-Banna juga sangat menekankan adanya
keteguhan ini, karena jalan dakwah dipenuhi berbagai gangguan
yang dapat membinasakan dan kendala yang dapat melemahkan
semangat. Tidak ada yang dapat meretas gangguan serta kendala
tersebut dan tidak ada pertahanan yang paling kuat darinya selain
keteguhan hati. Hal inilah yang membuat dakwah Ikhwanul
Muslimin cepat berkembang, tidak lembek karena bujukan atau
intimidasi. Mereka sangat sabar, sebagaimana sabarnya para
perwira mereka yang tetap tegar setegar para pahlawan. Bila ada
badai yang menghadang, mereka mengatakan, ”Kami tegar, setegar
orang-orang mukmin yang menepati janji yang telah diikrarkan kepada
Allah SWT” (Hisyam, 186).
Ketegaran para kader dalam beberapa tahun yang panjang
merupakan asas keberhasilan setiap dakwah dan perjuangan.
Oleh karena itu, Imam Hasan al-Banna menjadikan keteguhan ini
sebagai salah satu rukun bai’at. Al-Banna menetapkan hal tersebut
berdasarkan petunjuk Al-Quràn dan sejarah Nabi SAW. Allah
SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu,
kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga! Bertaqwalah kepada
Allah supaya kamu beruntung” (QS. Ali Imran: 200) ”Dan orangorang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan,
mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah
orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al-Baqarah: 177). ”Apakah kamu
114
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Pemikiran dan Gerakan Dakwah Ikhwanul Muslimin (Abdurrahman Kasdi)
mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu
(cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?
Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan
(dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan
orang-orang yang beriman bersamanya, ’Bilakah datangnya pertolongan
Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS.
Al-Baqarah: 214)
Dalam sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Abdillah,
Khabbab bin Art berkata: Kami mengadu kepada Rasulullah
SAW yang saat itu sedang berbantal dengan burdahnya di bawah
naungan Ka’bah. Kami berkata, “Tidakkah engkau meminta
pertolongan untuk kami, dan tidakkah engkau berdo’a untuk
(kebaikan) kami? Rasulullah SAW menjawab, “Sesungguhnya
orang-orang sebelum kalian ada yang dibuatkan galian di tanah, lalu
mereka diletakkan pada galian tersebut, kemudian dihadirkan gergaji,
lantas diletakkan di kepalanya, sehingga terbelah menjadi dua bagian,
dan di sisir dengan sisir besi, sehingga terpisah gading dan tulangnya.
Namun, hal itu tidak menghalangi mereka dari agamanya. Demi Allah,
Allah akan menyempurnakan urusan (agama) ini, sehingga pengendara
yang berjalan dari Sha’a ke Hadhramaut, tidak takut kecuali kepada
Allah dan takut harimau atas kambing-kambingnya. Akan tetapi kalian
adalah kaum yang tergesa-gesa” (HR. Ahmad)
Penegasan Imam Hasan al-Banna mengenai keteguhan
ini merupakan hal yang sangat penting, sebab di antara manusia
ada yang plin-plan, tidak tahan uji dan berdakwah jika kondisi
aman, tidak ada ujian dan gangguan. Sedangkan jika ada ujian
dan tantangan, orang-orang seperti itu akan berbalik 180 (seratus
delepan puluh) derajat. Sehingga, tabiat jalan dakwah sangat
membutuhkan sifat keteguhan. Hal ini sesuai dengan firman
Allah, “Maka bersabarlah kamu seperti bersabarnya orang-orang yang
mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul, dan janganlah kamu minta
disegerakan (adzab) bagi mereka” (QS. Al-Ahqaf: 35). “Dan di antara
manusia ada orang-orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi,
maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan
jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia
di dunia dan akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata”
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
115
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
(QS. Al-Hajj: 11) “Dan di antara manusia ada yang berkata, ”Kami
beriman kepada Allah”, maka apabila ia disakiti (karena beriman)
kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai adzab Allah”
(QS. Al-Ankabut: 10).
Imam Hasan al-Banna menjelaskan tabiat jalan dakwah
kepada Jamaah Ikhwanul Muslimin dan orang-orang yang
ingin berjuang untuk Islam, sehingga mendapatkan kejelasan
tentang urusan dakwah ini, dan agar mereka tidak hidup dalam
fatamorgana. Lalu bagaimanakah tabiat jalan dakwah itu? Imam
Hasan—rahimahullah—berkata, “Amat panjang jalannya, beragam
tahapannya, dan banyak tantangannya”
Pertama, setiap da’i, demikian juga Ikhwanul Muslimin
perlu mengenal risalah-risalah tentang dakwah, agar dapat
mengetahui luhurnya tujuan, besarnya tugas, sarana-sarana,
manhaj (metode) dan bekal yang dibutuhkan untuk mewujudkan
tujuan dan melaksanakan tugas dakwah. Sehingga dakwahnya
terarah, terutama sekali saat ini, di mana sejak lebih dari satu abad
umat Islam tengah berada dalam ketakutan dan keterpurukan.
Kedua, seorang da’i harus melewati tahapan-tahapan
dakwah yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu: marhalah (tahapan)
ta’rif (pengenalan), marhalah tanfidz (pelaksanaan), dan marhalah
takwin (pembentukan). Masing-masing tahapan memiliki
tuntutan dan kebutuhan tersendiri. Semua itu membutuhkan
pengorbanan, persiapan, kesabaran, ketahanan terhadap ujian,
kehati-hatian, kebiasaan berfikir sebelum berbuat, dan lain
sebagainya.
Ketiga, ada beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh
da’i saat menapaki jalan dakwah, di antaranya: para penguasa
yang totaliter dan tidak mau kompromi, kebodohan umat akan
hakikat ajaran Islam, dan para penindas yang akan berupaya
dengan segala macam cara untuk memberangus para da’i dan
memadamkan cahaya dakwah (al-Banna, 1979: 143).
Ide-ide Hasan al-Banna memberikan inspirasi bagi
Ikhwanul Muslimin untuk membawa bendera dakwah, dan
memberikan petunjuk kepada mereka untuk teguh dalam
meninggikan syiar Islam, meskipun harus menghadapi berbagai
116
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Pemikiran dan Gerakan Dakwah Ikhwanul Muslimin (Abdurrahman Kasdi)
cobaan, gangguan, rayuan dan peperangan yang membabi buta
dari musuh-musuh Islam.
Sehingga, mereka dengan gagah menghadapi para thaghut,
baik di dalam negeri dan di luar negeri. Mereka menentang
kaum sekularis sebagaimana mereka memerangi para penjajah
yang merampas negara, mereka tidak menemukan perbedaan
mendasar antara orang yang berlaku zhalim terhadap bumi Islam
dan orang yang zhalim terhadap syari’at Islam. Karena itu, untuk
merealisasikan dakwah ini, mereka tidak segan-segan menerjuni
medan perang untuk memerdekakan negara, sebagaimana
mereka memasuki kancah pertempuran untuk menegakkan
syari’at Allah.
Berbagai kekuatan, baik yang datang dari dalam negeri
maupun luar negeri telah berupaya untuk membeli Ikhwan dengan
harta dan berbagai jabatan penting, agar mereka dapat mengontrol
dan mengendalikan gerakan Ikhwan. Akan tetapi, rayuan itu
tidak diindahkan oleh Jamaah Ikhwan dan pemimpinnya. Yang
mereka lontarkan adalah penolakan tegas dan jawaban mantap,
“Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? Maka apa yang
diberikan oleh Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikanNya kepadamu, tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu” (QS. AlNaml: 36).
Dalam menyampaikan dakwahnya, jamaah Ikhwanul
Muslimin selalu hati-hati, karena kekuatan itu akan selalu
menghantui; setelah gagal dengan cara memberikan janji, mereka
menebar ancaman; setelah gagal dengan bujukan, mereka beralih
ke cara intimidasi. Akan tetapi, ancaman dan intimidasi tersebut
tidak lebih berhasil, sebagaimana juga cara memberikan janji dan
bujukan. Dakwah terus bergulir dan para aktivisnya tetap tegas
memegangnya, meskipun berbagai tantangan menghadang.
Keteguhan yang mulia dan sikap yang kokoh ini merupakan
inti kekuatan Islam dan kaum muslimin. Harakah Islam selalu
menolak segala upaya tawar-menawar terhadap dakwah atau
bujukan untuk meninggalkan dakwah.
Ini hanyalah sebagian kecil dari tabiat jalan dakwah, berupa
panjangnya jalan, beragamnya tahapan, serta banyaknya cara.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
117
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Sehingga tidak diragukan, bahwa untuk dapat melintasi semua
itu diperlukan keteguhan (tsabat).
D.Strategi Dakwah Ikhwanul Muslimin
Untuk merealisasikan target dakwah secara maksimal,
Ikhwanul Muslimin menerapkan strategi khusus. Mereka
menyebar ke kedai-kedai dan tempat yang dijadikan sebagai pusat
perkumpulan masyarakat. Mereka juga merambah ke wilayah
politik, dengan menempatkan kader-kadernya di parlemen.
Masjid, bagi mereka bukanlah tempat satu-satunya yang lebih
cocok untuk menyemaikan dakwah Islam kepada manusia pada
zaman sekarang. Kadangkala masjid menjadi tempat persaingan
antar kelompok dan aliran masyarakat, bahkan kadangkala seorang
da’i menemukan audiens suatu masjid yang tidak memperhatikan
dakwah karena kefanatikannya kepada partai atau madzhab yang
dipegangnya. Sehingga, dalam keadaan seperti ini hendaknya
seorang da’i tidak berbicara masalah-masalah yang sensitif dalam
masyarakat (al-Banna, 62).
Menurut jamaah Ikhwan, kadangkala masjid hanya diisi
orang-orang tua yang sudah tidak produktif, sedangkan seorang
da’i harus menyampaikan misi Islam kepada para pemuda
yang banyak terdapat di kedai-kedai minuman dan tempat
lainnya. Untuk menunjang keberhasilan dakwah ini, seorang
da’i hendaklah bukan hanya menguasai ilmu-ilmu syara’ dalam
kadar memadai sehingga ia mampu berfatwa, akan tetapi ia harus
memahami peradaban dan kondisi sosial yang ada di lingkungan
masyarakatnya. Materi dakwah yang disampaikan oleh da’i
pun harus bervariasi sesuai dengan keadaan orang-orang yang
dihadapi (Yakan, 2002: 180).
Dakwah Ikhwanul Muslimin mempunyai banyak
keutamaan, dengan ciri-ciri sebagai berikut: pertama, dakwah
pergerakan Ikhwanul Muslimin adalah dakwah yang mempunyai
sifat saling melengkapi (integral) dan mempunyai tujuan yang
komprehensif. Dakwah ini tidak mengecualikan satu pun sisi
Islam dengan meninggalkan sisi yang lain, atau membesarkan
satu sisi, demi sisi yang lain. Dakwah ini mempunyai tujuan-
118
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Pemikiran dan Gerakan Dakwah Ikhwanul Muslimin (Abdurrahman Kasdi)
tujuan yang tidak mengikat, dimulai dari pembinaan terhadap
individu, dan menuju pada pendirian pemerintahan Islami.
Dalam pandangan Ikhwanul Muslimin, Islam adalah sistem yang
menyeluruh, sempurna, dan meliputi seluruh bidang kehidupan.
Dakwah Ikhwanul Muslimin bersifat inklusif bagi segenap
masyarakat, menyeru akal fikiran untuk menggunakan kekuatan
argumentasi dan logika, juga menyeru hati manusia dengan
mencairkan gumpalan-gumpalan yang menutupi hati nurani
dengan mengingatkan mereka kepada Tuhan.
Kedua, Ikhwanul Muslimin menekankan dan memberikan
teladan pribadi Muslim yang sempurna, seperti pendiri Ikhwanul
Muslimin sendiri (Imam Hasan al-Banna) yang dikenal karena
ketegasan sikap, kesadaran pemikiran, dan pemahamannya
yang sempurna terhadap lingkungan serta jiwanya yang bersih
memancarkan cahaya di wajahnya. Taat beribadah, berinteraksi
dengan masyarakat, selalu memperhatikan kondisi mereka, dan
menyeru mereka dengan seruan hati yang menembus jauh ke
lubuk sanubari.
Ketiga, para pemimpin Ikhwanul Muslimin selalu
menguraikan dan menjelaskan kepada umat, bahwa Islam adalah
sistem yang sempurna mencakup semua aspek kehidupan. Islam
adalah negara dan bangsa, pemerintah dan rakyat, akhlak dan
kekuasaan, kasih sayang dan keadilan, kebudayaan dan hukum,
ilmu dan undang-undang, materi dan kekayaan, usaha dan
kemakmuran, jihad dan dakwah, serta akidah dan ibadah yang
benar (al-Banna, 94).
Keempat, Ikhwanul Muslimin mengutamakan sisi praktis,
karena mempunyai metode pemikiran yang bersifat tarbawi dan
jihadi, serta mendekatkan Islam kepada masyarakat dengan
cara memberikan teladan; menerjemahkan perkataan dengan
perbuatan dan tingkah laku. Di antara wasiat Imam Hasan alBanna untuk Ikhwanul Muslimin,
“Jadilah anda orang yang suka bekerja, bukan orang yang
suka berdebat dan bertengkar, sesungguhnya apabila Allah
memberikan petunjuk kepada suatu kaum, maka dia akan
mengilhami mereka untuk bekerja dan kaum itu tidak akan
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
119
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
tersesat setelah mendapatkan petunjuk, kecuali mereka suka
berdebat” (al-Hudaibi, 1977: 185-186, al-Banna, 1979: 62).
Kelima, Ikhwanul Muslimin adalah organisasi pertama
yang berdiri di dunia Islam, setelah runtuhnya Kekhalifahan Turki
Utsmani. Organisasi ini berusaha memahami Islam dan menyadari
akan gentingnya keadaan yang sedang dilalui umat. Karena itu
organisasi ini menghadapi aliran-aliran yang menyimpang dan
melawannya, serta mengembalikan kepercayaan umat kepada
agama mereka setelah dijauhkan oleh Barat dan peradabannya.
Keenam, organisasi ini telah mampu mentransfer pemikiran
Islam secara spektakuler, sehingga bisa memindahkan posisi
defensif (bertahan) ke posisi ofensif (menyerang). Sayyid Quthb
memberikan kesaksian menarik tentang hal ini,
“Sekali-kali kami tidak akan melakukan tipu daya dengan Islam
terhadap mereka, dan tidak akan memanjakan hawa nafsu dan
pandangan mereka yang menyimpang. Kami akan melakukan
tindakan yang setegas-tegasnya, bahwa kejahiliyahan tempat
mereka berada sekarang benar-benar kotor dan Allah ingin
membersihkannya. Kehidupan yang mereka cari-cari adalah
hina dan Allah ingin mengangkat derajat mereka, bahwa
kondisi mereka menyedihkan, tanpa harapan dan menyakitkan,
sementara Allah ingin meringankannya, mengasihi dan
membahagiakan mereka”
Ketujuh, Ikhwanul Muslimin merupakan organisasi yang
penuh pergolakan. Sejak awal perjalanannya, organisasi ini
banyak menghadapi cobaan dan rintangan dari pemerintah,
seperti upaya pengkerdilan, peleburan dan pembatasan gerak
langkah organisasi, tetapi mereka tetap tegar. Raja Faruq, misalnya,
berupaya membunuh sang pendiri organisasi, Imam Hasan
al-Banna di alun-alun terbesar di kota Kairo (Distrik Ramses).
Selain al-Banna, juga terdapat beberapa pemimpin Ikhwan yang
meninggal, di antaranya: Abdul Qadir Audah, Mahmud Farghalli,
Yusuf Thala’at, Ibrahim at-Thaeb, Sayyid Quthb, Muhammad
Yusuf Hawasy, dan Abdul Fattah Ismail.
Kedelapan, dilihat dari universalnya dakwah Ikhwanul
Muslimin dalam setiap aspek yang ada, organisasi ini berafiliasi
120
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Pemikiran dan Gerakan Dakwah Ikhwanul Muslimin (Abdurrahman Kasdi)
dengan semua golongan dan lapisan masyarakat Islam, bertemu
pada titik yang terpenting, yang diserukan oleh setiap golongan
tersebut. Dakwah ini memperhatikan individu dan pembinaannya,
hati dengan ibadah, membaca Al-Qur’an dan dzikir, akal dengan
penelitian dan berfikir, fisik dengan latihan dan olah raga (Yakan,
61-66).
Bagi Ikhwan, seorang da’i hendaknya memilih caracara ungkapan retorika yang mudah, menarik dan memukau,
serta kadangkala perlu ditambah dengan istilah-istilah budaya
setempat. Ia harus selalu berusaha dan memikirkan bagaimana
caranya menarik para jiwa audiensnya dengan membangkitkan
kemauan dan keinginan pada hal-hal yang disampaikannya
menuju tersiarnya syari’at Islam.
Selain memperjuangkan syari’at Islam dengan dakwah
melalui jalur kultural, Ikhwanul Muslimin juga menyebarkan
dakwah Islam dengan perjuangan konstitusional. Imam Hasan
al-Banna menegaskan pentingnya melakukan dakwah ini
dengan penuh hikmah dan mauizhah hasanah yang baik melalui
keikutsertaan dalam kehidupan politik. Beliau berkata,
“Adapun perangkat umum kita adalah memberikan penjelasan
yang memuaskan dan menyebarkan dakwah dengan berbagai
sarananya. Setelah itu adalah perjuangan konstitusional, hingga
suara dakwah ini terdengar di berbagai forum resmi, lalu
didukung dan ditegakkan oleh kekuatan eksekutif. Berdasarkan
prinsip ini, maka calon legislatif dari Ikhwanul Muslimin akan
maju pada saat yang tepat untuk mewakili rakyat di gedung
parlemen. Kami yakin akan memperoleh keberhasilan, selama
dalam semua kegiatan ini hanya mengharapkan ridla Allah
SWT, “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong
(agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi
Maha Kuasa” (QS. Al-Hajj: 40).
Inilah bingkai global dakwah Ikhwanul Muslimin dan
penjelasan ringkas tentang pemikiran dakwahnya yang didasari
oleh prinsip-prinsip yang matang. Imam Hasan al-Banna
menyimpulkan prinsip-prinsip tersebut dalam lima slogan:
- Allah Ghayatuna (Allah tujuan kami)
- Al-Rasulu Qudwatuna (Rasul teladan kami)
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
121
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
- Al-Qur’anu Syir‘atuna (Al-Qur’an syari’at kami)
- Al-Jihadu Sabiluna (jihad jalan kami)
- Asy-Syahidu Umniyyatuna (Mati syahid cita-cita tertinggi kami)
E. Penutup
Demikianlah organisasi Ikhwanul Muslimin telah
memberikan kontribusi yang banyak dalam hal konsep pemikiran
dan gerakan dakwah Islam. Ide-ide Hasan al-Banna memberikan
inspirasi bagi Ikhwanul Muslimin untuk membawa bendera
dakwah, dan memberikan petunjuk kepada mereka untuk teguh
dalam meninggikan syiar Islam, meskipun harus menghadapi
berbagai cobaan, gangguan, rayuan dan peperangan yang
membabi buta dari musuh-musuh Islam. Selain memperjuangkan
syari’at Islam dengan dakwah melalui jalur kultural, Ikhwanul
Muslimin juga menyebarkan dakwah Islam dengan perjuangan
konstitusional. Imam Hasan al-Banna menegaskan pentingnya
melakukan dakwah ini dengan penuh hikmah dan mauizhah hasanah
yang baik melalui keikutsertaan dalam kehidupan politik.
Menurut Ikhwanul Muslimin, seorang da’i hendaknya
memilih cara-cara ungkapan retorika yang mudah, menarik dan
memukau, serta kadangkala perlu ditambah dengan istilah-istilah
budaya setempat. Ia harus selalu berusaha dan memikirkan
bagaimana caranya menarik para jiwa audiensnya dengan
membangkitkan kemauan dan keinginan pada hal-hal yang
disampaikannya menuju tersiarnya syari’at Islam.
122
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Pemikiran dan Gerakan Dakwah Ikhwanul Muslimin (Abdurrahman Kasdi)
DAFTAR PUSTAKA
Agama, Departemen, 1990, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Saudi
Arabia: Percetakan Malik Fahd
Al-Banna, Imam Hasan, tt., Mudzakirat Al-Ikhwan Al-Muslimîn
ilâ Wazîr Al-Adl fî Wujûb Al-Amal bi Asy-Syariah AlIslâmiyah (Catatan Ikhwanul Muslimin kepada Menteri
Keadilan tentang Kewajiban Mengamalkan Syari’at Islam),
Dâr Asy-Syihab
­­_____________1979, Majmu’ah Rasâil Al-Imam Asy-Syahid Hasan
Al-Banna: Hal Nahnu Qaumun ’Amaliyyun, (Kumpulan
Tulisan Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna: Apakah
Kita Termasuk Kaum yang Gemar Beramal?), Kairo: AlMuassasah Al-Islamiyyah
Al-Hudaibi, Hasan, 1979, Du’at lâ Qudhât, Dâr Al-Tibâ’ahwa AlNasyr Al-Islâmiyah, cet. I, 1977
Al-Qaradhawi, Yusuf, 1999, 70 Tahun Al-Ikhwan Al-Muslimun,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Hamid, 2001, Muhammad Abdullah Al-Khatib dan Muhammad
Abdul Halim, Nadlarât fî Risâlah Al-Ta‘lîm, (Konsep
pemikiran dan gerakan Ikhwan (terj.)), Bandung: As-Syâmil
Press
Quthb, Sayyid, 1952, Aduwwunâ Al-Awwal: Ar-Rajul Al-Abyad”
(Musuh Utama Kita: Orang Kulit Putih), Ar-Risâlâh Vol. 2.
___________, 1998, Tafsir Fî Zhilâl Al-Qur’an, Kairo: Dâr AlSyurûq
Yakan, Fathi, 1993, Pergolakan Pergerakan Islam: Telaah Pasang
Surut Pergerakan Dunia Islam, Cet-2, terj. Salim Basyarahil,
Jakarta: Penerbit Firdaus
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
123
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
__________, 2002, Manhajiyyah Al-Imam Asy-Syahîd Hasan AlBanna wa Madâris Al-Ikhwân Al-Muslimîn (Revolusi Hassan
Al-Banna; Gerakan Ikhwanul Muslimin dari Sayyid Quthb
sampai Rasyid Al-Ghannusyi (terj)), Jakarta: Penerbit
Harakah
124
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
PERSPEKTIF PSIKOTERAPIS
MAKNA TAUBAT DALAM PROSES
PENYEMBUHAN PENYAKIT JANTUNG KORONER
(Melalui Penggunaan Media Surat
Al Fatihah [01]: 1 – 7)
Oleh: Ubaidillah
Dosen IAIN Walisongo
Abstrak
Tulisan ini dari hasil penelitian teks keagamaan berbasis pengkajian
Islam yang dikaitkan dengan upaya medis untuk penyembuhan
penyakit jantung koroner. Alasan melaporkan penelitian ini dalam
bentuk tulisan artikel ilmiah, karena bertujuan memudahkan
tersebarnya secara lebih luas konstribusi bagaimana proses
penyembuhan penyakit jantung koroner. Dengan demikian, tulisan
ini diharapkan dapat membantu memberikan solusi ‘ikhtiyari’
bagi praktisi bidang kedokteran maupun subjek penderita penyakit
jantung koroner. Temuan singkat dari penelitian ini, ternyata
psikoterapi Islam mampu menunjukkan solusi praktis-psikologis
untuk penderita jantung koroner. Dalam perspektif psikoterapi
Islam, pendekatan yang seharusnya dilakukan bagi penderita
penyakit jantung koroner, adalah dengan cara bertaubat dan
kembali sepenuhnya kepada Allah Swt.
Key words: Psikoterapi, Taubat, Surat Al-Fatihah, Jantung Koroner
A.Pendahuluan
Pentingnya penelitian ini, karena dilatarbelakangi problem
paradoksal bagi pengidap penyakit jantung koroner. Di satu sisi,
bagi pengidap penyakit jantung koroner terpacu berupaya untuk
bisa sembuh, namun di sisi yang lain membiarkan kesedihan
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
125
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
atas yang dialaminya. Demikian ini dapat dipahami telah
banyak bukti menunjukkan peningkatan gangguan kejiwaan
yang dilatarbelakangi adanya kecemasan dan kesedihan. Alasan
terjadinya kasus ini, karena masih minimnya karya tentang
penyembuhan penyakit jantung koroner yang bersumber dari
psikoterapi yang berbasis pada agama. Upaya penyembuhan
secara psikis ini tidak sebanding dengan maraknya karya ilmiah
yang secara medis membahas tentang penyakit jantung koroner.
Dengan adanya tulisan ini, peneliti berharap, tulisan bisa menjadi
rujukan bagi para dokter dan pengindap penyakit jantung
koroner.
Alasan peneliti menulis hasil penelitian ini, karena telah
banyak yang mengidap penyakit jantung koroner, namun dalam
realitasnya baru diselesaikan sebatas dengan pendekatan medis
terkait pada: organ jantung sebagai alat vital manusia. Sudah
banyak yang memahami, bahwa aktivitas jantung memiliki
keterkaitan dengan fisik dan alam perasaan (mood, emosi) individu.
Karenanya, ketika individu sedang mengalami kecemasan, maka
salah satu gejalanya adalah jantung berdebar-debar atau dengan
kata lain denyut jantung bertambah cepat. Dengan kondisi
jantung sedang sakit, maka individu harus bekerja secara ekstra,
baik secara medis fisik maupun psikis. Secara medis telah banyak
dibahas oleh para pakar bidang penyakit jantung, namun belum
banyak yang membahas keterkaitan psikis dengan fisik. Salah
satu spesifikasi pembahasan peneliti dalam penelitian ini, adalah
hendak mengangkat kasus penyakit jantung koroner relasinya
dengan pola penyembuhan psikologi Islami. Dengan demikian
dapat menjadi konstribusi penting dalam pengembangan
psikoterapi Islam.
Sehubungan dengan latarbelakang pentingnya penelitian
ini, secara spesifik tulisan ini akan membahas tiga pertanyaan
berikut: apa itu psikoterapi? Bagaimana dengan nilai-nilai
psikoterapi makna taubat? Bagaimana kemungkinan psikoterapis
makna taubat dalam penyembuhan penyakit jantung koroner?
126
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah)
B.Relasi Makna Psikoterapi
Psikoterapi (psychotherapy) merupakan sistem pengobatan
tentang pola perawatan gangguan psikis melalui metode
psikologis. Tujuan dari pengobatan ini untuk pembentukan
keseimbangan kejiwaan individu (dimensi ruhani). Misalnya,
persoalan terkait dengan kondisi alam pikiran. Istilah ini memiliki
relasi dengan sejumlah teknik pendampingan dan pemberdayaan
terhadap alam pikiran individu: bagaimana membantu individu
mengatasi gangguan emosi, intelektual, spiritual dan attitude
(sikap) yang nampak dari gejala perilaku? Dalam praktek
psikoterapis inilah yang memungkinkan subjek pendamping
melakukan cara pendampingan melakukan modifikasi perilaku,
pikiran, dan emosi subjek dampingan, sehingga individu mampu
mengembangkan kepribadian dengan baik dan seimbang ketika
dihadapkan suatu masalah.
Sehubungan dengan relasi makna psikoterapi, psikoterapi
dapat diartikan sebagai instrumen pendampingan khusus pada
penyembuhan penyakit psikologis. Dalam konteks psikoterapi
Islam mencakup pola-pola penyembuhan lewat upaya
mengembalikan ingatan subjek dampingan. Jadi, psikoterapi
digunakan sebagai bentuk untuk proses penyembuhan
penyakit mental, juga dapat digunakan untuk membantu,
mempertahankan dan mengembangkan integritas jiwa: agar
tumbuh sehat dan berupaya memiliki kemampuan penyesuaian
diri lebih efektif terhadap lingkungannya. Karenanya, psikiater
yang dimaksudkan di sini adalah subjek pendamping, baik dari
kalangan guru maupun orang tua, subjek yang dapat dijadikan
sebagai instrumen atau tempat curahan hati, subjek yang mampu
memberi kritisisme yang berguna untuk merubah kehidupan
menjadi lebih yang baik.
Dengan demikian, jika dipahami dari arti makna dari
psikoterapi, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa relasi makna
psikoterapi tidak saja terkait dengan individu yang mengalami sakit
kejiwaan maupun medis, namun juga individu yang sehat atau
individu yang mempunyai hak kesehatan mental (Chaplin, 1987:
3). Jadi, kegunaan sistem psikoterapis dalam ilmu psikologis dapat
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
127
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
digunakan pada dua aspek: pertama, untuk upaya penyembuhan
(kuratif). Kedua, untuk upaya pencegahan (preventif) terhadap
setiap yang mengarahkan pada kemungkinan buruk bagi individu.
Psikoterapi merupakan bentuk konstruksi bidang ilmu psikologi
untuk memelihara dan mengembangkan psikis individu supaya
bekerja secara seimbang. Dengan demikian, setiap individu dapat
menikmati kehidupan lebih sehat dan merasakan kebahagiaan
dalam menjalani kehidupan yang memungkinkan setiap orang
mengalami kesedihan.
Sehubungan dengan kegunaan psikoterapi ini meniscayakan
kepada para pendamping dalam psikoterapi memahami secara
psikologis fisik individu maupun secara psikis, sehingga dapat
menempatkan kemungkinan terapis melakukan upaya kuratif
maupun preventif kepada individu. Meskipun demikian, para guru,
orang tua, maupun pendamping, sebaiknya tidak menggunakan
pendekatan psikoterapi ini dengan setelah individu mengalami
kesakitan. Karena itu, pendekatan psikoterapi menjadi lebih baik
digunakan dalam konteks pencegahan, sehingga individu selamat
dari kemumkinan kesakitan, baik secara fisik maupun psikis.
Persoalan pokok yang harus ditekankan dalam kerja terapis:
memahamkan kepada subjek dampingan memahami dirinya
sendiri, sehingga tidak akan mengalami kesulitan penyesuaian
diri terhadap masa depan yang lebih baik.
Secara psikologis, implementasi pelaksanaan psikoterapi
berbeda. Perbedaan ini terkait dengan kerangka teori psikologis
yang digunakan. Karenanya, para psikolog dari aliran arus utama
psikologi barat juga memberikan pandangan yang tidak dapat
disamakan. Demikian ini sebagaimana dikatakan Ubaidillah:
Dalam kajian psikologi modern, setiap individu berada
dalam eksistensinya sendiri dan berada sebagai bagian dari
keanggotaan masyarakat. Sebagai individu yang berada dalam
eksistensinya sendiri dapat dibaca dari perspektif epitimologi
psikologi modern terdiri dari dua unsur: unsur body dan Reason.
Body merupakan potensi fisik dan reason merupakan potensi
rasio. Keterhambatan dua unsur ini akan mempengaruhi
problem psikologis seperti kesadaran introspektif diri,
kesadaran evaluatif diri dan kesadaran pengembangan diri.
128
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah)
Individu berada sebagai bagian dari keanggotaan masyarakat
karena adanya kebutuhan berinteraksi dalam kehidupan sosial.
Karenanya, dalam kajian psikologi modern telah berkembang
psikologi sosial. .... Problem kemanusiaan yang secara spesifik
telah dikembangkan oleh aliran-aliran psikologi modern
(Mainstream Psychologist) terkait dengan kepribadian individu
masih menjadi problem tersulit hingga sekarang ini. Karenanya,
dunia keilmuan pada bidang psikologi masih terus melakukan
revisi dan eksperimen yang bertujuan untuk mengembangkan
bidang ilmu psikologi kepribadian.
Sehubungan dengan perkembangan ilmiah tentang bidang
ilmu psikologi, sebenarnya dalam ajaran keagamaan
juga telah dikembangkan filsafat tentang manusia dan
kejiwaannya. Pengembangan filsafat manusia dan kejiwaannya
yang bersumber dari ajaran agama ini benar-benar telah
menghasilkan: pertama, kerangka pengembangan kepribadian
individu relasinya dengan eksistensi dirinya sendiri. Kedua,
kerangka pengembangan kepribadian manusia relasinya
dengan proses interaksi sosial individu di tengah kehidupan
masyarakat.
Filosofi Cartesian dualisme (body and reason) ini memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan psikologi
modern. Misalnya, adanya unsur body berkembang menjadi
aliran
psikologi
biologis/neurobiologis,
behaviorisme,
psikoanalisis-Sigmund Freud, dan kognitif. Sedangkan, unsur
reason berkembang menjadi aliran psikologi humanistik. Aliran
humanistik ini dapat dikatagorikan memiliki kekhasan dalam
psikologi modern. Demikian ini didasarkan pada sikap para
pengikut humanistik yang menolak reduski pada makhluk
biologis semata. Aliran humanistik lebih mendasarkan pada
prinsip rasionalitas. Meskipun demikian, adanya perbedaan
corak aliran psikologi dalam memandang manusia, namun
tetap saja keberadaan corak aliran filsafat dan psikologi manusia
tidak dapat dilepaskan dari sumber dualisme: body and reason
(Ubaidillah, 2011: 39).
Berbeda dengan Mainstream Psychologist dari arus
psikologi barat yang mendasarkan pembacaan terhadap psikologi
individu didasarkan pada body and reason, psikologi Islami
mendasarkan pembacaannya terhadap psikologi individu dengan
lebih menekankan pada keseimbangan individu yang didasarkan
pada keseimbangan dimensi ruhaninya. Keberadaan dimensi
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
129
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
ruhani merupakan keberadaan yang unidentification dalam jasad
manusia, namun sangat nampak dari refleksi kepribadian individu.
Dimensi ruhani menjadi unsur jiwa yang akan merefleksikan
fitrahnya merespon fenomena keberadaan di alam semesta dan
keberadaan setiap yang bernafas. Masing-masing dari unsur
ruhani ini berbeda-beda: nafs merefleksikan kehendak (baik dan
buruk) dalam diri manusia. Aqal merefleksikan kemampuan
membedakan kemumkinan yang terjadi di alam semesta.
Sedangkan, qalb menyimpan kehendak dan tujuan kehidupan ini
dalam bentuk fitrah ilahiyah dan fitrah insaniyah.
Ruh menghubungkan individu dengan keberadaanNya. Keseluruhan potensi tersebut telah menggerakkan jasad.
Karena itu, dalam perspektif ruhani sangat menentukan kondisi
keseimbangan individu. Dengan kata lain, proses keseimbangan
ruhani sangat diperlukan dalam membentuk keseimbangan
individu. Secara filosofis, dapat dipahami dengan sebuah kaidah:
adanya keseimbangan individu di dasarkan pada keseimbangan
dimensi ruhaninya. Masing-masing dari istilah dimensi ruhani
individu ini sebenarnya sudah dikaji dalam disertasi Baharuddin,
namun belum dapat secara aplikatif digunakan untuk proses kerja
psikoterapi untuk pendampingan individu bermasalah atau tidak
bermasalah (Baharuddin, 2004). Demikian ini dikarenakan, kajian
dimensi ruhani Baharuddin masih sebatas kajian yang bersifat
normatif. Sementara itu, kerja psikoterapi modern sudah lebih
menekankan: menyembuhkan terhadap kegelisahan psikologi
individu, mengembalikan keseimbangan mental individu,
membentuk berfikir positif terhadap derita fisik yang dialami
oleh individu.
Pola psikoterapis yang sebenarnya dapat diambilkan dari
sumber psikologi barat sebagaimana tersebut di atas, sebenarnya
(juga) dapat diambilkan dari sumber psikologi sufistik. Psikologi
sufistik yang dimaksud dalam penelitian ini, adalah unsurunsur dalam dimensi ruhani. Psikologi sufistik ini yang dapat
dikembangkan sebagai metodologi dalam psikoterapi Islam.
Karenanya, dalam psikoterapi Islam, sebagaimana ditegaskan
130
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah)
Muhammad Zakaria Al-Razi (864-925), pengetahuan jiwa dapat
menjadi sumber dasar untuk pengobatan medis. Karenanya,
tugas seorang dokter selain memahami kesehatan jasmani (althibb al-jasmani) harus memahami kesehatan jiwa (al-thibb alruhani). Alasannya, keseimbangan individu dalam keadaan
apapun didasarkan pada keseimbangan dimensi ruhani. Menurut
Al Razi:
‫وقد اوصى األطباء يرفع الروح المعنويه لدى األعالج‬
‫وان يوهموا مرضا هم الصحة ويرجوهم بها وإن لم‬
‫يكونوا واثقين من ذالك فإن مزاج الجسد تابع ألحوال‬
‫النفس وإن النفس الشأن األول فى الجسد وكل ما‬
‫يحدث منها خواطر و مشا عر يبدو فى معا لم الجسم‬
Al-Razi,(
‫وعلى الطبيب أن يكون طبيبا الروح والجسد‬
.)1978: 20
Sehubungan dengan kutipan teks tersebut di atas dapat
dipahami telah menunjukkan adanya urgensitas dimensi
ruhani. Dengan kata lain, dimensi ruhani dapat berfungsi untuk
memahami kepribadian manusia dan pengobatan penyakit
jasmaniah. Penyakit yang secara langsung berpengaruh terhadap
dimensi ruhani yang dijadikan studi kasus penelitian ini, adalah
penyakit jantung koroner. Sebenarnya, selain penyakit jantung
(juga) sudah dapat dirasakan yang sumbernya berasal dari
dimensi ruhani. Sumber ruhani dapat berupa: Nafs, Aqal, dan
Ruh. Sumber yang berasal dari dimensi ruhani ini harus dijaga
kesehatannya sehingga tidak terkena virus: pertama, ’maghdlub’
(mereka yang dimurkai). Virus ghadlab ini memiliki karakter sikap
yang selalu mengedepankan kesewenangan (otoriter) terhadap
diri sendiri maupun terhadap orang lain (Al-Jailani, 2009: 38).
Sikap ghadlab individu ini yang akan memunculkan:
senang mencela (
), kesenangan hawa nafsu (‫)ىوهلا‬, menipu
(‫)ركملا‬, membanggakan diri sendiri (‫)بجع‬, menggunjing (‫)ةبغلا‬,
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
131
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
pamer (‫)ءايرلا‬, menganiaya (‫)ملظلا‬, bohong (‫)بذكلا‬, lupa akan Allah
(‫)ةلفغلا‬. Sedangkan virus manusia yang kedua, sebagaimana
dimaksudkan dalam surat Al-Fatihah, adalah al-dlal (mereka yang
sesat) (Al-Jailani, 2009: 38). Istilah al-Dlal ini lebih memungkinkan
akan dialami individu yang selalu mendapatkan dorongan dari
kenikmatan duniyawiyah (syahwat). Pengaruh kesakitan jasad
manusia yang disebabkan dua virus ini sangat besar, sehingga
untuk mencegah dari bahaya virus ini harus menjauhkan keduanya
dari dimensi ruhani individu.
Secara logis, dapat dipahami, kondisi kejiwaan individu
jika terkena dua virus ghadlab dan dlallin akan mengkondisikan
emosi individu menjadi labil dan tidak terkendali. Demikian ini
akan mempengaruhi susunan syaraf dan fungsi organik, sehingga
akan menjadikan penyempitan di dalam saluran pernapasan,
kelamin dan penyempitan usus perut yang akan berakibat pada
penyakit jasmani. Dalam penyakit psychosomatic disorders, (juga)
telah ditandai dengan keluhan pada alat tubuh yang menimbulkan
perubahan struktur anatomik tubuh. Jadi, dimensi ruhani yang
terkena virus ghadlab akan mengakibatkan ketidakseimbangan
fisik individu, seperti jantung dirasakan berdebar (palpitasi), tidak
teratur (arhythmia), pendek napas (shortnes of breath), kelesuhan
yang amat hebat (fatique), pingsan (faiting), sukar tidur (insomnia),
tidak bernafsu makan (anoxia nervosa), impotensi dan frigiditas
pada alat kelamin. Tentu saja, ketidakseimbangan dimensi ruhani
karena disebabkan kemasukan virus ghadlab yang menekan
dimensi ruhani individu.
Oleh karena itu, Ibn Maskawaih mengkategorikan etika
bukan hanya untuk memperbaiki sikap fisik, tetapi yang lebih
penting adalah memperbaiki sikap ruhani terhadap keutamaan
diri sendiri maupun terhadap keutamaan yang lain. Bahkan,
Ibn Maskawaih lebih menekankan pengertian akhlak sebagai
kedokteran jiwa individu. Sedangkan, jiwa itu sendiri merupakan
bentuk energi kekuatan yang mengalirkan pada kekuatan fisik
seseorang. Persamaan Ibn Maskawaih dengan Ar-Razi terletak
pada kuatnya pengaruh jiwa terhadap fisik seseorang. Kuatnya
132
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah)
pengaruh jiwa terhadap jasad ini dapat dipahami (Jum’ah, 1927:
304-305), karena jiwa sebagai dimensi ruhani memiliki hubungan
yang langsung dengan yang menciptakan jiwa.
Sementara jasad, pola aktivitasnya sepenuhnya tergantung
pada sistem pengelolaan dimensi ruhani. Jiwa memiliki
kemampuan merespon, baik yang indrawi maupun yang spiritual.
Jiwa memiliki kemampuan menjangkau lebih luas dibandingkan
dengan jasad. Karenanya, jasad akan tergantung pada jiwa. Jiwa
memiliki kemampuan pengenalan tentang akal (yang baik dan
yang benar) yang mampi mengetahui dirinya senidiri dan dirinya
yang lain. Ibnu Maskawaih mengkatagorikan jiwa dalam tiga ciri
karakteristik: pertama, Al nafs al bahimiyah (nafsu kebinatangan)
yang buruk. Kedua, Al nafs al sabu’iah (nafsu binatang buas).
Ketiga, Al nafs al nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik (Hitti, 1952:
566). Kategori yang ketiga menjadi karakteristik manusia. Namun
demikian, jika tidak ada pendidikan dan pendampingan yang
baik, karakteristik yang ketiga ini tidak akan terpotensikan dari
dalam diri individu (Mustofa, 1997: 178).
C.Makna Taubat dan Keutamaan Surat Al Fatihah
Sehubungan dengan keberadaan jiwa individu yang
memiliki kekuatan langsung bersumber dari-Nya sebenarnya
telah menunjukkan kekuatan manusia: menjalankan visi dan misi
kekhalifahan dalam lingkungan kosmik ini. Sebagai khalifah,
manusia memiliki kebebasan mengatur tentang urusan dunia
atau mengatur kehidupan kosmos ini. Dengan kata lain, dimensi
ruhani individu merupakan sumber kekuatan kekhalifahannya
mengatur dirinya sendiri, lingkungan masyarakat, kehidupan
makhluk yang lain yang berkembang di alam kosmik ini. Dengan
demikian, manusia sejak lahir telah mendapatkan kemerdekaan
untuk mengatur kehidupan ini. Namun demikian, kebanyakan
para pembaca teks mengasumsikan kelahiran kemerdekaan
manusia sebagai makna kehambaan dan kerendahan dosa asal
yang harus ditanggung setiap manusia yang terlahir di dunia.
Demikian ini, berbeda dengan penegasan Syaikh Abdul
Qadir Jailani, yang menegaskan, bahwa kemerdekaan kelahiran
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
133
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
manusia adalah kebebasannya mengatur seluruh isi alam ini
dengan penuh ketulusan menjaga keseimbangan dimensi ruhani
untuk beribadah kepada-Nya. Penegasan Syaikh Abdul Qadir
Jailani ini, dapat dibaca langsung pada teks berikut :
‫اذكر يا اكمل الرسل لمن تبعك من مناقب ال عمران وقت { إذ قالت‬
‫امرأت عمران } حين ناجت ربها فى سرها بلسان استعدادها وقت‬
‫ {ربى } يا من ربانى بحولك وقولك‬:‫ظهور حملها بإلقاء اهلل إياها‬
‫{إنى نذرت لك ما في بطنى محررا} معتقا عن أمور الدنيا كلها خا‬
)Al-Jailani, 267( ‫لصا لعبادتك وخدمة بيتك ال أشغله شيأ سواه‬
Jadi, dari interpretasi Syaikh Abdul Qadir Jailani tersebut
di atas, sebuah kata dari ‫ محرر‬berarti manusia merdeka yang tidak
terbelenggu urusan dunia ini dengan penuh ketulusan menjaga
keseimbangan dimensi ruhani untuk beribadah kepada-Nya.
Karena itu, kiranya kurang tepat memaknai kata ‫ محرر‬dengan
seorang hamba, tetapi yang tepat adalah seorang manusia yang
merdeka dalam kehidupan dunia dan tulus beribadah kepada
Allah Swt. Dengan demikian, kurang tepat para pembaca
teks ini dengan memaknai pentingnya bertaubatan seseorang
manusia didasarkan pada kedudukan kehambaannya di dunia
ini. Pentingnya pertaubatan seseorang karena dilatarbelakangi
tidak adanya komitmen menjaga keseimbangan dimensi ruhani
mengatur jasad, kehidupan dalam lingkungan masyarakat, dan
alam semesta.
Alasan yang mendasar perlunya melakukan taubat, karena
jika kesalahan tidak adanya komitmen tidak segera bertaubat
atau melakukan penyesalan atas perbuatan yang tercela karena
tidak menjaga keseimbangan dimensi ruhani, maka akan terjadi
pemakluman terhadap dosa yang dilakukannya. Dengan adanya
perpanjangan pemakluman melakukan perbuatan dosa, maka
akan berisiko atau berakibat pada kemungkinan terjadinya:
kecemasan (al-hammu), kesedihan (al-huznu), lemah fisik (al-ajzu),
kemalasan (al-kaslu), ketakutan (al-jubnu), bersikap bakhil (albukhlu), terbelit hutang (dlala’u al-dain), didominasi orang lain
134
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah)
(ghalaba al-daini). Dasar filosofi adanya keputusan perbuatan
dosa seseorang sebenarnya karena terjadinya resiko bebanbeban psikis ini. Karenanya, ditegaskan dalam salah satu Hadis,
bahwa adanya penyebutan dosa yang dialami seseorang karena
akan mengakibatkan kondisi selalu tidak nyaman di dalam hati
individu:
‫اإلثم ما حا ك فى صدرك‬
Sehubungan dengan tidak adanya keseimbangan dimensi
ruhani yang disebabkan ketidaktahuan yang akan mengakibatkan
kondisi terburuk individu, maka solusi terbaik dari tidak adanya
keseimbangan dimaksud adalah dengan melakukan taubat.
Adapun bagaimana tata cara bertaubat telah ditegaskan dalam
Tafsir Abdur Qadir Jailani (Al-Jailani, 376):
‫{إنما التوبة} أي ما التوبة المبرورة المقبولة إال التوبة النا شئة‬
‫من محض الندامة المتفرعة على تنبيه القلب عن قبيح المعصية‬
}‫وهي المصححة البا عثة {علي} قبول {اهلل} إيها النافعه {للذين‬
‫للمؤمنين اللذين {يعملون السوء} الفعلة الذميمة ال عن قصد‬
‫وروية بل {بجهآلة} عن قبحه وو خامة عاقبته {ثم} لما تأملوا‬
‫وأدركوا قبحها {يتوبون} يبادرون إلى التوبة والرجوع {من} زمان‬
‫{قريب} أي قبل االنتهاء إلى وقت اإللجاء {فأوآلئك} التائبون‬
‫المبادرون إلى التوبة قبل حلول األجل {يتوب اهلل عليهم} أي يقبل‬
‫توبتهم بعد ما وفقهم عليها ولقنهم بها {وكان اهلل} المطلع على‬
‫ضمائرهم {عليما} بمعاصيهم في سابق علمه {حكيما} في إلزام‬
.‫التوبة عليهم ليجبروا بها ما انكسروا على نفوسهم‬
Dengan didasarkan pada teks tersebut di atas, ditegaskan,
bahwa taubat yang diterima Allah Swt, adalah taubat yang
didasarkan pada rasa penyesalan atas perbuatan yang dilakukan.
Namun demikian, perbuatan taubat individu juga dapat
mengingatkan individu adanya perbuatan maksiat yang sangat
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
135
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
menjijikkan. Dengan kata lain, adanya keterbatasan kemampuan
atau ketidaktahuan membaca keseimbangan dimensi ruhani
telah dianjurkan setiap individu melakukan taubat, dengan
memohon ampunan kepada-Nya yang memberikan anugrah
yang besar di satu sisi, namun di sisi yang lain kebanyakan
individu mengabaikan proses terjadinya keseimbangan
dimensi ruhaninya, sehingga berakibat munculnya kerusakan
jasad individu, masyarakat dan lingkungan hidup. Dengan
demikian, dengan sulitnya menjaga keseimbangan individu,
maka setiap individu akan melakukan kesalahan. Karena itu,
setiap individu selalu diperintahkan untuk selalu bertaubat
(QS. An-Nur [24]: 31; QS. Hud: 3; QS. at-Tahrim: 8), baik yang
berdosa maupun orang-orang mukmin yang menginginkan
kemenangan dunia dan akhirat (Abdillah, 2000: 1).
Secara filosofis, taubat seseorang dapat membentuk tekad,
kehendak hati yang kuat, dan dapat menjadi instrumen melakukan
pengobatan jiwa. Demikian ini sesuai dengan makna taubat
itu sendiri, yaitu meninggalkan perbuatan yang dosa dengan
komitmen menuju kebaikan (ar-rujū’ an adz-dzanbi) (Ar-Rāzi, 55).
Dalam perspektif sufistik, dalam kitab Kifayat Al-Atqiya’ karya
Sayyid Sarif Syaikh Bakri, dalam bertaubat harus memperhatikan
tiga perkara: meninggalkan maksiat dan perbuatan yang dilarang
Allah Swt., menyesali perbuatan yang telah melanggar prinsip
fitrah, baik ilahiyah maupun insaniyah, menetapkan tekad tidak
mengulangi perbuatan dosa atau perbuatan yang telah menjadi
larangan-Nya (Sayyaid Bakri). Jadi, bertaubat merupakan bentuk
totalitas aktualisasi diri seseorang tunduk dan menyerahkan
sepenuh hati hakikat kehidupan ini kepada-Nya.
Namun demikian, hakikat taubat tidak akan dapat dirasakan
oleh seseorang tanpa adanya dorongan dari diri sendiri. Karenanya,
kualitas pertaubatan individu sangat ditentukan oleh kesadaran
terhadap diri sendiri: betapa lemah dan tidak berdayanya manusia,
sehingga tidak pantas melakukan perbuatan yang mengganggu
keseimbangan dimensi ruhani dan hubungannya dengan pemilik
ruh kekhalifahan individu selama di dunia. Untuk itu, sebaiknya
sebelum, pada saat, dan setelah bertaubat seseorang harus melakukan
136
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah)
perenungan yang mendalam terhadap realitas keberadaan dan
kehidupan ini relasinya dengan keberadaan Dzat yang mengatur
keberlangsungan alam semesta ini. Pemahaman dan penghayatan
terhadap realitas keberadaan diri dan alam semesta ini dapat
dilakukan dengan cara meditasi.
Dalam melakukan meditasi ini, individu dapat
merenungkan tentang: realitas keberadaan, memberikan
perhatian tentang sesuatu fenomena, mengosongkan beban
psikis yang diakibatkan tidak adanya keseimbangan dimensi
ruhani dan sekaligus merenungkan bagaimana mengembalikan
keseimbangan ruhani, merenungkan tujuan agama bagi kehidupan
umat manusia, menenangkan pikiran dan bersikap tenang. Jadi,
dalam meditasi individu bisa bersikap sungguh-sungguh belajar
memproduksi sikap positif dan keseimbangan dimensi ruhani.
Bagi masyarakat Yunani kuno mengenal meditasi dengan nama
“Gnothi se auton” = “mengenal diri sendiri”. Konteks pentingnya
pengenalan terhadap diri sendiri diperkenalkan dalam tradisi
sufistik, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Abu Hamid bin
Muhamad bin Muhammad Al Ghazali dengan istilah mukhasabah
(instropeksi) dan muraqabah (menangkap sinyal kekuasaan Allah
Swt) (Al-Ghazali, 2004: 1426):
‫فعرف ارباب البصا ئر من جملة العباد أن اهلل تعالى لهم بالمرصاد‬
‫وأنهم سيناقشون فالحساب ويطالبون بمثاقيل الذر من الخطرات‬
‫واللحظات وتحققوا أنه ال ينجيهم من هذه األخطار إال لزوم‬
‫المحاسبة وصدق المراقبة ومطالبة النفس فى األنفاس والحركا‬
‫ت ومحاسبتها فى الخطرات والحظات فمن حاسب نفسه قبل أن‬
‫يحاسب خف فىى القيا مة حسابه وحضر عند السؤال جوابه وحسن‬
‫منقلبه ومآبه ومن لم يحا سب نفسه دامت حسراته وطالت فى‬
‫عرصات القيا مة وقفاته وقادته الى الخزي والمقت سيئاته فلما‬
‫انكشف لهم ذالك علموا أنه ال ينجيهم منه إال طا عة اهلل وقد أمرهم‬
‫ {يأيها الذين ءامنوا‬:‫با الصبر والمرابطة فقال عز وجل من قائل‬
]200 :‫اصبروا وصا بروا ورابطوا} [آل عمران‬
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
137
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Istilah muhasabah terkait dengan instropeksi diri sebagai
khalifah Allah Swt membangun keseimbangan dimensi ruhani
dan kelangsungan menempatkan hak individu berelasi dengan
kemampuannya sendiri, berelasi dengan pihak lain, dan berelasi
dengan lingkungan hidup. Bersamaan dengan upaya pelaksanaan
muhasabah meniscayakan pentingnya individu melakukan
muraqabah. Efesiensi muraqabah bisa dilakukan ketika pada saat
individu menghirup udara bebas berusaha menangkap: unsuunsur gaib yang bersatu dengan zat asam (oksigen). Unsur-unsur
gaib ini menyimpan zat yang sangat halus sebagai inti dari segala
zat yang menjadi roh dari alam. Dzat yang sangat halus ini tidak
dapat ditangkap oleh panca indera dan alat-alat apapun. Dzat ini
telah memiliki predikat tunggal yang mengausai kehidupan dan
alam semesta (Al-Afaq wa Al-Anfas). Karenanya, Dzat berkuasa
dalam keterlibatannya untuk merespon taubat individu dan
proses penyembuhan berbagai penyakit.
Dzat yang sangat halus ini hanya dapat ditangkap oleh
individu yang telah mencapai keseimbangan dimensi ruhaninya.
Dalam dimensi ruhani inilah individu dapat merasakan cahaya
Ilahiyah dan cahaya Nubuwat, sehingga menjadikan dirinya
dipenuhi dua cahaya ini yang terbentuk dalam refleksi sikap
positif. Dalam keseimbangan dimensi ruhani akan memudahkan
individu menseimbangkan gerak diri dan pernafasannya searah
dengan gerak irama kekuatan alam semesta untuk beribadah dan
munajat kepada: Dzat Pembimbing kehidupan Al-Afaq wa AlAnfas yang memberikan daya ruhani-Nya kepada seluruh umat
manusia. Energi ilahiyah yang dapat digunakan untuk membantu
membangun kekuatan daya mengalir menuju Dzatnya, adalah
energi samudera lautan surat al Fatihah. Dalam interpretasi
Syaikh Abdul Qadir Jailani yang ditegaskan dalam surat al-Fatihah
tentang Dzat al-Ilahiyah ini, dapat dibaca dalam tafsirnya, sebagai
berikut (Al-Jailani, 25 - 26):
‫ال يخفى على من أيقظه اهلل تعالى سبحنانه من منام الغفله ونعاس‬
‫النسيان أن العوالم وما فيها إنما هي من آثار األوصاف المترتبة‬
138
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah)
‫على األسماء الذاتيه اإللهية إذ للذات فى كلى مرتبة من مراتب‬
‫الوجود اسم خاص وصفة مخصوصة لها أثر مخصوص هكذا‬
‫با لنسبة إلى جميع مراتب الوجود ولو حبة وذرة وطرفة وخطرة‬
‫والمرتبة المعبرة عنها با ألحدية الغير العددية والعماء الذي ال حظ‬
‫ألولى البصائر والنهى منها إال الحسرة والحيرة والوله والهيمان‬
‫هي غاية عروج معارج األنبياء ونهاية مراتب سلوك األولياء وبعد‬
‫ذالك يسيرونفيه البدو إليه إلى أن يستغرقوا فىتحيروا والى أن يفنوا‬
‫ ثم لما أراد سبحانه إرشاد‬.‫ال إله إال هو كل شيء هالك إال وجهه‬
‫عباده إلى تلك المرتبة ليتقربوا إليها ويتوجهوا نحواها حتى ينتهي‬
‫توجههم وتقربهم إلى العشق والمحبة الحقيقية الحقيه المؤدية إلى‬
‫إسقا ط اإلضافة المشعرة للكثرة واإلثنينية وبعد ذالك خلص نيتهم‬
‫وصح طلبهم للفنإ فيه نبه سبحا نه إلى طريقه إرشادا لهم وتعليما‬
‫في ضمن الدعاء له والمناجاة معه مندرجات من نها ية الكثرة إلي‬
.‫كمال الوحدة المفنيه لها متيمنا‬
Dalam energi samudera lautan surat al-Fatihah ini, penulis
telah menangkap sebuah pemahaman, bahwa setiap individu
dapat mengalirkan kehidupannya dalam nafas ruhani-Nya.
Demikian ini dapat dimulai dengan kesadaran bertaubat karena
telah melupakan-Nya. Dengan kesadaran ini, setiap individu dapat
memulai dengan berkeyakinan (beri’tiqad), adanya keterdekatan
keberadaan-Nya dengan diri individu. Nama Allah adalah
penyebutan nama yang memiliki keberadaan terdekat yang lebih
dekat dengan urat nadi manusia, Dzat yang terpuji dihadapan para
kekasih-Nya, yang menjadi sumber seluruh puncak keberadaan
dan tujuan keta’atan: di hadapan Dzat Allah Swt terkumpul semua
nama dan sifat keagungan pembimbingan-Nya kepada seluruh
kehidupan di alam semesta. Dzat Allah Swt memiliki kasih sayang
yang sangat tinggi kepada seluruh umat manusia.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
139
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Jika dikaitkan dengan keberadaan manusia, sebelum memulai
mengatur membangun keseimbangan dimensi ruhaninya, manusia
seharusnya membangun puncak kesadaran keberadaannya kembali
sepenuhnya dan berjalan sesuai dengan darmanya dihadapan-Nya.
Sebagai sebuah surat pembuka untuk al-Qur’an, al-Fatihah (juga)
menjadi pembuka kehidupan manusia (Nasr & Aminrazavi, 2008:
16 - 17). Sebelum manusia memulai membangun keseimbangan
dimensi ruhani dan keseimbangan fisiknya, manusia dapat
meletakkan bangunan keseimbangan tersebut di atas pondasi
filosofi Surat Al-Fatihah [01]: 1 – 7. Secara filosofis, dalam surat
Al Fatihah telah dimulai dengan penyebutan keagungan NamaNya yang memiliki Rahman dan Rahim, serta bersyukur seluruh
karunia-Nya yang telah mengantarkan kepebimbingan menuju
(wushul) kepada-Nya. Sedangkan, kata ar-Rahman dalam ayat
yang ketiga, adalah Dzat yang menghembuskan nafas rahmaninya
bersamaan dengan keluar dan masuknya nafas insani individu.
Karenanya, dalam nafas insani ini berlangsung bersamaan nafas
rahmani-Nya.
Istilah Rahman ini diperuntukkan untuk seluruh umat
manusia di dunia, namun untuk bertajalli dengan-Nya, setiap
individu harus masuk ke dalam rahimnya berintim dengan-Nya
selama di dunia dan di akhirat. Ketika individu sudah bersatu
dalam keintiman dengan-Nya, setiap individu harus meyakini
keagungan-Nya sebagai penguasa pada hari pembalasan: ‫مالك يوم‬
‫الدين‬. Karena itulah, individu harus meneguhkan sikap ketulusan,
bahwa hanya kepada-Nya upaya iktiyar manusia dan (juga)
hanya kepada-Nya setiap manusia memohon pertolongan dan
perlindungan: ‫ إياك نعبد وإياك نستعين‬. Dari ayat ini terbaca, bahwa
antara kata ‫ إياك نعبد‬dan kata ‫ إياك نستعين‬tergabung dengan huruf
‫و‬. Artinya, kedua kata ini tidak boleh terpisah, karenanya harus
dikerjakan pada saat yang bersamaan. Setelah menempuh jalan
Al-Fatihah yang ke 5 ini, setiap individu harus meneguhkan sikap
membutuhkan petunjuk-Nya untuk bisa sampai pada maqam
puncak tauhid, yang secara alamat ditunjukkan melalui jalan AlFatihah yang ke 6: ‫اهدنا الصراط المستقيم‬.
140
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah)
Pada ayat yang ke 6 ini, Syaikh Abdul Qadir Jailani
menafsirkan: {‫}اهدنا} بلطفك {الصراط المستقيم} الذي يوصلنا إلى ذروة توحيدك‬
(Al-Jailani, 37). Kelanjutan dari jalan al-Fatihah yang ke 6, adalah
jalan yang ke 7. Jalan yang ke tujuh ini menggambarkan kepribadian
yang sudah mencapai jalan puncak tauhid, sebagaimana jalannya
orang-orang yang telah mendapatkan nikmat dari Allah SWT:
Minannabiyyin, Syiddiqiin, Syuhada’, Shalihiin, Wa Khasuna ’Ulaika
Rafiqa. Meskipun dengan melalui jalan-jalan dalam ayat AlFatihah akan membantu memudahkan individu membangun
keseimbangan dimensi ruhani dan fisik, namun penting (juga)
bagi individu untuk memohon kepada Allah Swt supaya dalam
jiwa individu tidak dalam kekuasaan nafs al-amarah, sehingga
tidak akan mendapatkan murka dari-Nya (maghdlub). selain
sifat nafs al-amarah, sifat tercela yang sangat berbahaya terhadap
keseimbangan individu, adalah sifat Al-Dlalliin (jalannya orangorang yang tersesat). Ketersesatan ini dikarenakan adanya
klaimisme kebenaran yang selalu menonjol dalam diri individu.
Karenanya, dari sikap amarah dan klaim kebenaran ini
akan lahir karakter kepribadian yang tidak seimbang dikarenakan
virus hati berikut (Ubaidillah, 2010: 1-38):
Nafsu yang buruk (nafs al-amarah) memiliki karakter naluriah
yang sejalan dengan nafsu yang cenderung kepada keburukan
(QS.Yusuf [12]: 53). Karakteristik nafs al-amarah: kikir (‫)البحل‬,
terlalu senang akan dunia/lubo (‫)الحرص‬, iri dengki/hasud (‫)الحسد‬,
bodoh (‫)الجهل‬, sombong (‫)الكبر‬, menuruti hawa nafsu (‫)الشهوة‬,
marah-marah (‫)الغضب‬. Karakteristik nafs al-amarah ini akan
berakibat buruk terhadap individu (QS. Shaad [38]: 26) dan
kehancuran langit dan bumi (QS. Al-Mu’minun [23]: 71). Secara
implementatif, nafs al-amarah ini selalu menganggap musuh
terhadap semua yang bertentangan dengan keinginannya.
Nafsu yang insyaf (nafs al-lawwamah) memiliki karakter yang
cenderung pada penyesalan setelah melakukan pelanggaran
(QS.Al-Qiyamah [75]: 1-2), namun secara khusus nafsu ini
mencerminkan: senang mencela (‫)اِللومه‬, kesenangan hawa
nafsu (‫)الهوى‬, menipu (‫)المكر‬, membanggakan diri sendiri (‫)عجب‬,
menggunjing (‫)الغبة‬, pamer (‫)الرياء‬, menganiaya (‫)الظلم‬, bohong
(‫)الكذب‬, lupa akan Allah (‫)الغفلة‬. Karakteristik nafsu yang seperti
ini sebenarnya karena adanya pertimbangan akan munculnya
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
141
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
suatu akibat perbuatannya. Karenanya, pola nafsu yang
seperti ini selalu ”menunggu kesempatan dalam kesempitan”,
sehingga belum mampu mengekang nafsunya sendiri terhadap
apa pun yang berakibat buruk.
Jadi, terkait dengan makna taubat kiranya dapat dipahami,
tidak hanya pengakuan dosa individu dihadapan-Nya, tetapi
fungsi penguatan kesehatan mental individu kembali kepadaNya. Dalam konteks penguatan upaya kembali dengan sepenuh
hati kepada-Nya, Allah Swt telah memberikan jalan pembuka
Teks Al Qur’an dan (juga) pembuka perjalanan manusia di muka
bumi, yaitu surat al-Fatihah [1]: 1 -7. Bermula dari setiap jalan
alamat yang ditegaskan Allah SWT dalam surat al-Fatihah ini,
setiap individu dapat memulai membangun relasi makna surat
al-Fatihah dalam diri individu, sehingga akan membantunya
memperkuat keseimbangan kepribadian yang didasarkan pada
keseimbangan dimensi ruhani individu. Keseimbangan dimensi
ruhani ini sangat membantu pola keseimbangan fisik individu.
D.Psikoterapis Makna Taubat Untuk Penyakit Jantung Koroner
Keterkaitan makna taubat dengan dimensi ruhani terletak
pada refleksi taubat, berupa ketundukan dan kepasrahan kembali
pada fitrah ilahiyah. Dalam konteks ini, bagaimana fitrah ilahiyah
benar-benar menggerakkan fungsi fitrah insaniyah mengatur
keseimbangan dimensi ruhani menuju keteraturan keseimbangan
fisik? Jamak dipahami, bahwa banyak penyakit fisik yang dapat
diseimbangkan kembali melalui dimensi ruhani individu. Dimensi
ruhani merupakan dimensi yang belakangan ini memperoleh
perhatian khusus dalam upaya terapi terhadap berbagai macam
penyakit, terutama penyakit yang dianggap penyebab kematian
di dunia. Upaya terapi dimaksud, sebagaimana yang tercantum
dalam paradigma baru WHO tentang empat dimensi sehat: fisik,
psikis, sosial, dan spiritual. Dunia sudah mengakui pentingnya
dimensi ruhani dalam mempengaruhi kesehatan jiwa individu
yang berdampak pada kesehatan fisik. Misalnya, penyakit jantung
koroner (Hawari, 2004), yang disebabkan pola makan yang tidak
142
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah)
sehat, tekanan psikososial, maupun ketidaksiapan individu dalam
menerima realitas hidup.
Jantung dalam susunan saraf fisik menjadi organ tubuh
yang vital, berfungsi untuk mengalirkan darah ke seluruh organ
tubuh melalui pembuluh darah arteri dan jantung akan menerima
darah kembali. Organ jantung itu sendiri memperoleh zat asam
(oksigen) dan makanan (nutrisi) melalui pembuluh darah koroner.
Jika pasokan oksigen dan nutrisi ke otot jantung berkurang (defisit)
yang disebabkan karena pembuluh darah koroner mengalami
penyempitan dengan akibat pasokan darah ke organ jantung
melalui pembuluh darah koroner tadi berkurang, maka individu
akan mengalami gangguan penyakit jantung koroner (Hawari,
2004). Jantung dapat dikatagorikan normal apabila berjalan
seimbang antara kebutuhan (demand) dan pasokan (supply).
Kondisi yang membahayakan terhadap kondisi jantung, adalah
kondisi pembuluh darah arteri koroner mengalami penyempitan
(stenosis) atau penciutan (spasme). Pengaruh yang sangat besar
terhadap kondisi kesehatan jantung adalah adanya: gangguan
psikis, sedang stress atau aktivitas fisik meningkat.
Dengan didasarkan adanya pengaruh psikis terhadap
keseimbangan kerja jantung, maka dalam psikosufistik
mengajarkan pentingnya dimensi ruhani dalam kehidupan
individu. Para penganjur psikosufistik (juga) mengajarkan kepada
individu yang sudah mengalami menderita jantung koroner. Tentu
saja, bagi yang belum mengalami sakit menjaga keseimbangan
dimensi ruhani akan meningkatkan kebahagiaan hidup dan
puncak kesadaran Tauhid. Sementara itu, bagi yang sudah
mengalaminya sakit jantung koroner ditekankan untuk berupaya
mengembalikan keseimbangan dimensi ruhani, sehingga tidak
akan menambah stress dan tekanan kejiwaan. Sebab terjadinya
tekanan kejiwaan akan menambah pengaruh besar terhadap
penyakit jantung koroner. Bahkan, jika tekanan kejiwaan itu
membuat keterkejutan psikis individu, akan mengakibatkan
kematian secara mendadak.
Dari hasil penelitian ini telah ditemukan terapi penyakit
jantung koroner. Kesesuaian terapi ini didasarkan pada fungsi
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
143
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
surat Al-Fatihah, yaitu selain berfungsi membentuk keseimbangan
individu, juga menegaskan kepada individu untuk melangsungkan
totalitas pengembalian seluruh potensi manusia kepada-Nya
dengan menyederhanakan dua sifat terburuk manusia yang secara
langsung termuat dalam surat ke-7, yang termuat dalam kata:
‫غير المغضوب عليهم ولضآلين‬. Dua kata ini telah dijelaskan dalam sub
sebelumnya, yaitu pengaruhnya terhadap pembentukan karakter
buruk manusia dan pengaruhnya sebagai penyebab penyakit fisik
yang akan dialami individu. Sebenarnya, selain surat Al-Fatihah,
banyak surat-surat yang lain dalam al Qur’an yang memberikan
terapi terhadap kesehatan individu, baik secara psikis maupun
secara fisik.
Demikian ini sesuai dengan pandangan Dadang Hawari.
Menurut Hawari, meskipun berbagai terapi medis telah dilakukan,
misalnya berupa pemberian obat-obatan (medikamentosa: terapi
somatic dan psikofarmaka), ballon angioplasty atau Percutaneous
Coronary Angioplasty, Operasi “by pass” (Coronary artery Bypass
Surgery), dan rehabilitasi fisik, tetapi bila kondisi mental spiritualnya
lemah, maka akan menghambat proses penyembuhannya (Hawari,
2004). Karena menurut hasil penelitian, bahwa ada hubungan
dua arah; yaitu hubungan kondisi psikologis dengan susunan
saraf pusat (otak) dan hubungan kondisi psikologis seseorang
berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh (baik dalam arti
positif maupun negatif), yang pada gilirannya merupakan faktor
yang mempengaruhi derajat kesehatan seseorang dalam proses
penyembuhan suatu penyakit (Psiko-neuro-imunologi) (Hawari,
2002: 116).
Dengan demikian perlu adanya integrasi antara terapi
medis dengan terapi psikorelijius. Dalam pandangan Prof. Daniel
X. Freedman, President the American Psychiatric Association
(19920, Guru Besar di Ucla, sangat diperlukan kerja sama
secara integratif dan konstruktif antara profesi kedokteran jiwa
(psikiatri) dengan lembaga keagamaan (Hawari, 2-3). Pentingnya
kerjasama ini berfungsi untuk meningkatkan taraf kesehatan jiwa
individu dan kelompok masyarakat. Namun demikian, meskipun
144
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah)
telah terlaksana relasi makna surat Al Fatihah dalam membentuk
keseimbangan ruhani dan fisik, setiap individu perlu memulai
hidupnya dengan: pertama, prinsip tauhid yang mendalam, yaitu
keyakinan adanya Dzat yang lembut yang hanya bisa dirasakan
bagi mereka yang sudah menangkap sinyal: ‫نور اإللهية و النور النبوة‬.
Karena masih dalam keterbatasan menangkap sinyal tauhid,
maka setiap individu dapat beribadah seakan-akan dalam
ibadahnya menyaksikan-Nya, sedangkan apabila individu belum
benar-benar menyaksikan-Nya, maka setiap individu diharuskan
menghadirkan seluruh energi kepercayaannya, bahwa Allah Swt
telah menyaksikannya: ‫ أن تعبد اهلل كأنك تراه فإلم تكن تراه فإنه يراك‬. Dengan
dasar tauhid ini, akan memudahkan individu menyerahkan
dirinya kepada-Nya.
Jadi, bagi pasien penyakit jantung koroner yang memiliki
kesungguhan membangun keseimbangan dimensi ruhani dan
keseimbangan pertumbuhan fisik dengan konsumsi makanan
yang diperlukan fisik, maka akan dapat meminimalisir kesakitan
atau bahkan menyembuhkannya. Keseimbangan dimensi ruhani
dan jasad ini, (juga) akan memudahkan individu memasukkan
energi surat al Fatihah dalam praktek kehidupan individu. Dengan
demikian, selain individu berjalan dengan fisik yang normal dan
sehat, (juga) akan mengantarkan keseimbangannya wushul atau
berintegrasi kuat dengan Dzat Al Mutajalli Bidzatihi Ma’a Dzatihi
(Chishti, 1985: 11). Dengan demikian individu akan memiliki
kekuatan tiga serangkai: kekuatan ma’rifah, keseimbangan
dimensi ruhani, dan keseimbangan pertumbuhan fisik. Jika sudah
demikian, maka sikap-sikap positif akan muncul dari dalam diri
individu, sehingga dengan mudah sampai pada maqam: Insan
kamil.
Meskipun demikian, tidak semua kesakitan fisik dapat
disembuhkan dengan rahasia surat Al-Fatihah dan membangun
keseimbangan ruhani individu. Demikian ini karena disebabkan
kondisi sakit yang sudah masuk dalam stadium akhir. Selain itu,
kondisi pertumbuhan fisik individu yang sudah seimbang pun
akan mengalami kesakitan. Kesakitan fisik individu selain karena
tidak adanya keseimbangan dimensi ruhani dan tidak adanya
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
145
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
keseimbangan pertumbuhan fisik, (juga) bisa disebabkan kondisi
fisik yang sudah tua. Oleh karena itu, dengan kehati-hatian
individu dan upaya yang tinggi menjaga keseimbangan, tetap
akan membuka peluang untuk mengalami sakit. Alasan lain yang
membuka peluang setiap individu akan mengalami kesakitan,
karena keadaan sakit merupakan bagaian dari sunatullah dan
kehendak-Nya pada saat hendak menguji hamba-Nya. Karena
itu, kondisi sakit seseorang harus menerima dengan sabar dan
menerima dengan syukur atas karunia-Nya.Selanjutnya Moinuddin
Chisti, penulis buku The Book of Sufi Healing, menjelaskan bahwa
kita tidak perlu menganggap sakit sebagai musuh kita, kita harus
melihatnya sebagai sebuah mekanisme tubuh yang membantu
membersihkan dan menyeimbangkan antara fisik, emosional,
mental, dan spiritual kita (Chishti, 11).
Dengan demikian, penderita sakit jantung koroner tidak
perlu berlama-lama mengalami kecemasan, stress, depresi, atau
tekanan jiwa lainnya. Jadi, pengobatan penyakit jantung koroner
mencakup dua dimensi, dimensi fisik dan dan dimensi psikis.
Dimensi fisik dapat dilakukan oleh pihak kedokteran dengan
menggunakan obat-obatan. Namun demikian perlu atau tidaknya
obat, sebaiknya memohon keterangan dokter (Al-Jauziyah, 2004:
10). Terlepas dari pengobatan medis, sebaiknya pasien penderita
jantung koroner mengkonsumsi kebutuhan tubuh yang sesuai
dengan kondisi fisik.
146
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Perspektif Psikoterapis Makna Taubat dalam .... (Ubaidillah)
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an
Al-Jailani, Syaikh Abdul Qadir, 2009, Tafsir Abdul Qadir Jailani, Juz
I, Turky: Makaz Jailani Lil Buhus Al ’ilmiyah
Al-Razi, M Zakaria, 1978, Al-Thibb Al-Ruhani, Mesir: Maktabah As
Syaksyiyah Al Misriyah
Achmad, Ubaidillah, 2011, “Psikologi Sufistik Metaanalisis
Psikologi Modern,” dalam Jurnal Konseling Relegi: Jurnal
Bimbingan Konseling Islam, Fakultas Dakwah STAIN
Kudus, Vol. I, No. 1
Ubaidillah Achmad, 2010, “Fitrah dan Potensi Insani dalam Ilmu
Tasawuf (Perspektif Terapi Psikologis dan Bimbingan
Konseling)”, dalam Jurnal Konseling Relegi: Jurnal
Bimbingan Konseling Islam, Fakultas Dakwah STAIN
Kudus, Vol. I, No. 1
Abdillah, Ibrahim bin, 2000, Hakikat Taubat, (terj.) Abd. Bashid
Abd. Aziz, Jakarta: Pustaka Azzam
Ar-Rāzi, Abdul Qādir, Mukhtār as-Shahhāh, Qāhirah, t.t: Dār alHadīts
Al-Ghazali, Al Imam Al-A’dzam Ala Sadat Al-Syufiyah, Hujjatul
Islam Syaikh Abi Hamid bin Muhammad bin Muhammad,
2004, Ihya Al Ulum Al Din, Beirut: Dar Al-Kutub AlIlmiyah
Al Jauziyah, Ibnu Qayyim, 2004, Metode Pengobatan Nabi SAW,
Jakarta: Griya Ilmu
Baharuddin, 2004, Paradigma Psikologi Islami; Studi Tentang Element
Psikologi Dari Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka pelajar
Bakri, Sayyid, Kifayat Al Atqiya’ Fi Wushul Al Auliya’, Semarang,
Thoha Putra, tt
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
147
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Chaplin, J. P., 1987, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono,
Jakarta: Raja Wali Press
Chishti, Shaykh Hakim Moinuddin, 1985, The Book of Sufi Healing,
New York: Inner Traditions International
Hitti, Philip K., 1952, History of The Arabs, terj. Arab oleh Edward
Jurji et.al., Beirut: t.p.
Hawari, Dadang, 2004, Penyakit Jantung Koroner (Dimensi
Psikoreligi), Jakarta: FKUI
Hawari, Dadang, 2002, Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan
Psikologi, Jakarta: FKUI
Jum’ah, Luthfi, 1927, Tarikh Falsafah al Islam, Mesir: t.p.
Mustofa, A., 1997, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia
Nasr, Seyyed Hossein with Aminrazavi, Mehdi, 2008, An Anthology
of Philosophy in Persia, volume 2, London: The Institute of
Ismaili Studies
148
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
PERAN KECERDASAN SPIRITUAL
DALAM PENCAPAIAN
KEBERMAKNAAN HIDUP
Oleh: Fatma Laili Khoirun Nida
Dosen STAIN Kudus
Abstract
The will to meaning of life is the fundamental motivation present
in every individual. The fulfillment of these needs stem from the
three values ​​which include: the creativ values, experiental values,
and attitudinal values. The source of the meaning of life values ​​that
will be actualized with the help of the role of spiritual qualities that
are potentially present in every individual as a shaper of spiritual
quetion. By adopting the theoretical basis logoanalisis developed
by Victor E. Frankl in therapeutic methods meaningfulness of
life, where Frankl believes that all aspects of the meaning of life
saving. Meaning of life to be achieved will be realized with the help
of spiritual quetion inherent in each individual. Thus, spiritual
quetion is contributing to the achievement of the meaningfulness
of life, in which role he was able to become the media, control and
guidance for individuals in dynamics of life, so that individual
under any circumstances while maintaining the quality of human
existence as intellectually, emotionally and spiritually so that he
able to achieve the meaning of life.
Key words: spiritual quetion, meaning of life
A.Pendahuluan
Dampak dari modernisasi peradaban yang kian tidak
terbendung adalah munculnya fenomena psikososial baik berupa
kriminalitas, bunuh diri dan abnormalitas perkembangan kejiwaan
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
149
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
yang dialami sebagian masyarakat di mana mereka seharusnya
berperan penting sebagai elemen penggerak pembangunan.
Fenomena tersebut tidak dapat dipungkiri mengingat tuntutan
segala aspek kehidupan tidak dapat dihindari. Ketimpangan
antara tuntutan kehidupan baik yang berupa kebutuhan atau
sekedar keinginan yang tidak sejalan dengan kemampuan baik
secara financial maupun emosional memicu sebagian lapisan
masyarakat untuk mengambil keputusan yang tidak kondusif
bagi idealnya sebuah masyarakat yang seharusnya bermoral,
berkarakter dan produktif dalam pembangunan.
Banyak faktor yang memicu munculnya fenomena
psikososial. Prof. Dr. Jalaluddin Rahmat mencontohkan salah
satunya adalah bunuh diri. Menurutnya, saat ini kasus bunuh
diri banyak disebabkan oleh tekanan ekonomi, yang banyak
dilakukan pada masyarakat golongan ekonomi rendah/bawah.
Akan tetapi untuk kalangan ekonomi atas, bunuh diri dilakukan
karena faktor kesepian dan kehilangan makna hidup (http://www.
surabayaehealth.org/). Bahkan, dua di antara sepuluh penyebab
kematian di Barat dikarenakan bunuh diri dan alkoholisme yang
sering dikaitkan dengan krisis makna hidup (Zohar & Marshal,
2001:18). Maka dari fenomena tersebut mampu memberi gambaran
bahwa pada dasarnya, salah satu pemicu munculnya beragam
gejala psikososial pada masyarakat kita saat ini adalah hilangnya
kebermaknaan hidup atau disebut sebagai krisis makna.
Pencarian makna tampak nyata dalam segala aspek
kehidupan manusia. Banyak pertanyaan yang kerap muncul
dalam diri individu tentang apa arti hidup, apa makna pekerjaan,
apa makna suatu hubungan, apa arti diri sendiri, untuk apa suatu
tujuan harus dicapai, dan pertanyaan-pertanyaan mendasar
yang sering melatar belakangi dinamika kehidupan. Ketika
pertanyaan mendasar tersebut tidak mampu terjawab, maka kerap
memunculkan kebimbangan, kebingungan, kegalauan pada diri
individu yang hal tersebut merupakan gejala krisis makna yang
menimpa pada diri individu dan berdampak pada kesehatan
mental .
150
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Peran Kecerdasan Spiritual dalam Pencapaian Kebermaknaan Hidup (Fatma Lalili KN)
Viktor E. Frankl, salah satu terapis kebermaknaan hidup
mengatakan, bahwa kebutuhan manusia akan makna hidup
merupakan konskuensi dari eksistensi manusia sebagai makhluk
spiritual. Ketika kebutuhan akan makna hidup tidak dapat
terpenuhi, maka hidup akan berbalik menjadi dangkal dan hampa.
Fenomena inilah yang melanda sebagian masyarakat modern di
mana banyak masyrakat saat ini yang kehilangan kebermaknaan
hidup dan mengalami krisis pada dmensi yang paling mendasar
yang ada pada diri manusia yang disebut krisis spiritual.
B.Kebermaknaan Hidup
1. Motivasi Hidup Bermakna
Elizabeth Lukas, seorang logoterapis menyatakan bahwa
kebebasan hidup yang berkembang pada manusia di era modern
ini menunjukkan bahwa ketika kebebasan tersebut dijalani dengan
tanpa tanggung jawab dan kematangan sikap, maka kebebasan
tersebut tidak mendatangkan ketentraman dan rasa aman yang
berujung pada kehidupan yang tidak bermakna (Bastaman,1996:
193).
Manusia dan keinginan untuk hidup bermakna merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Makna hidup adalah
sesuatu yang oleh seseorang dirasakan penting, berharga dan
diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat menjadi tujuan
hidupnya. Makna hidup dapat berupa cita-cita untuk kelak
menjadi orang yang sukes dan adanya keinginan untuk membuat
seseorang dapat bertahan hidup. Kebermaknaan hidup akan
dimiliki seseorang jika dia dapat mengetahui apa makna dan
tujuan hidupnya.
Zohar & Marshal (2001: 18-19) menjelaskan bahwa dalam
kehidupan modern, manusia dihadapkan pada permasalahan
hilangnya filosofi “hidup yang benar dan penuh kepastian”. Kita
dihadapkan dengan permasalahan eksistensial dan spiritual.
Tidaklah cukup manusia menjalani hidup dengan pijakan
argumen-argumen yang bersifat rasional dan emosional. Bahkan
tidaklah cukup bagi orang untuk menemukan kebahagiaan dengan
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
151
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
kerangka menurut mereka sendiri. Mereka ingin mempertanyakan
kerangka itu sendiri, nilai-nilai kehidupan dan berusaha
menemukan nilai-nilai yang baru yang lebih sulit ditangkap dan
hanya dapat diperoleh melalui kecerdasan spiritual yang dimiliki
masing-masing individu. Kondisi inilah yang memicu munculnya
pertanyaan, pentingkah peran kecerdasan spiritual dalam suatu
proses pencarian makna hidup? mengapa kita memerlukan
kecerdasan spiritual?, dan mengapa kita memerlukan SQ dalam
mencapai kebermaknaan hidup?serta mengapa makna merupakan
kebutuhan yang mendasar saat ini?
Memiliki kehidupan yang bermakna merupakan dambaan
semua manusia. Kehidupan yang bermakna tidak dapat digantikan
oleh apapun. Menurut Bastaman, keinginan manusia untuk hidup
bermakna memang benar-benar merupakan motivasi utama pada
manusia. Hasrat inilah yang mendasari kegiatan manusia, misalnya
bekerja dan berkarya agar kehidupannya dirasakan berarti dan
berharga. Pemenuhan dari hasrat untuk hidup bermakna ini akan
menimbulkan perasaan bahagia pada diri individu. Sebaliknya
bila hasrat ini tak terpenuhi akan mengakibatkan terjadinya
kekecewaan hidup dan penghayatan diri hampa yang bila
dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan berbagai gangguan
perasaan dan penyesuaian diri yang menghambat pengembangan
pribadi dan harga diri.
Motivasi yang sangat kuat dalam diri manusia untuk
mampu memperoleh hidup yang bermakna berlaku pada seluruh
manusia tanpa mengenal lapisan budaya maupun aspek-aspek
kemanusiaan yang lain. Mutlaknya kebutuhan akan makna hidup
ini ditunjukkan oleh beberapa penelitian tentang kebutuhan
individu akan makna hidupnya. Suatu hasil pengumpulan
pendapat umum di Prancis, misalnya, menunjukkan 89%
responden percaya bahwa manusia membutuhkan “sesuatu”
demi hidupnya, sedangkan 61% di antaranya merasa bahwa ada
sesuatu yang untuknya mereka rela mati (Koeswara, 1992).
Dari penelitian diatas mampu menggambarkan bahwa
eksistensi kebermaknaan hidup menjadi kebutuhan yang mutlak
khususnya pada masyarakat yang telah mengalami kompleksitas
152
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Peran Kecerdasan Spiritual dalam Pencapaian Kebermaknaan Hidup (Fatma Lalili KN)
permasalahan hidup yang berindikasi adanya stressor yang
kerap berdampak pada ketidak stabilan emosi, melemahnya
kepercayaan diri, hilangnya motivasi untuk berkarya, merosotnya
nilai-nilai kehidupan dan dorongan untuk berperilaku amoral
yang mengarah pada psikososial.
2. Logoterapi; Solusi untuk Mencapai hidup bermakna
Aliran Psikologi yang banyak memberi kajian tentang
fenomena makna hidup (the meaning of life), kehendak untuk hidup
bermakna (the will to meaning) dan pengembangan hidup bermakna
adalah Logoterapi yang ditemukan oleh Viktor E. Frankl, seorang
neuro psikiater berkebangsaan Austria. Frankl mengembangkan
teori tentang kebermaknaan hidup dari pengalamannya sebagai
survivor dari empat kamp konsentrasi maut di era pemerintahan
Hitler. Menurut Frankl, ada beberapa hal yang menjadi landasan
munculnya Logoterapi ini yakni;
a. Dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun,
kehidupan ini selalu mempunyai makna.
b. Kehendak untuk hidup bermakna merupakan motivasi semua
manusia.
c. Dalam batas-batas tertentu, manusia memiliki kebebasan
dan tanggung jawab pribadi untuk memilih dan menentukan
makna dan tujuan hidupnya.
d. Hidup bermakna dapat diperoleh dengan merealisasikan nilainilai kreatif, nilai-nilai penghayatan serta dilai-nilai dalam
bersikap (Bastaman, 1995: 193).
Dari keempat dasar inilah Frankl mengembangkan
Logoterapi, sebuah metode yang membantu individu dalam
pencarian kebermaknaan hidup. Dalam perannya, logoterapi
berusaha memasuki dimensi spiritual dari eksistensi manusia
dengan mengoptimalkan kesadarannya secara penuh akan
sesuatu. Dalam usahanya mewujudkan kesadaran penuh pada
individu, logoterapi berusaha menjaga eksistensi spiritual sebagai
potensi memaknai eksistensinya yang harus diisi. Logoterapi
mencoba membuat pasiennya sadar akan apa yang ia butuhkan di
kedalaman eksistensinya. Untuk itu, logoterapi memperhatikan
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
153
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
manusia sebagai sebuah keberadaan yang perhatian utamanya
adalah untuk mengisi makna dan aktualisasi nilai-nilai kehidupan
(Frankl, 2003: 114-117).
Esensi yang dapat diadopsi dari logoterapi ini adalah
bentuk pijakan atau landasan yang digunakan Frankl dalam
membantu individu untuk mencapai kebermaknaan hidup.
Empat hal yang menjadi dasar dalam menganalisis dan membatu
proses individu dalam pencarian hidup yang bermakna, efektif
dalam aktualisasinya. Untuk itulah, maka banyak proses terapi
kebermaknaan hidup berpijak dari dasar-dasar yang menjadi
acuan bagi Frankl dalam mengembangkan metode logoterapi dan
terbukti efektif, dimana pada kenyataannnya, manusia memiliki
motivasi untuk hidup bermakna yang bersifat sangat unik dan
pribadi, dan dapat diperoleh dengan merealisasikan nilai-nilai
kreatif, penghayatan dan bersikap dalam kehidupan manusia.
3. Sumber-Sumber Kebermaknaan Hidup
Makna hidup sebagai suatu kebutuhan psikologis yang
eksistensinya mutlak diperlukan bagi semua lapisan individu
untuk menopang dirinya agar mampu memperoleh kepuasan
batiniah sehingga upaya untuk menjalani kehidupan berlangsung
secara sehat. Frankl (dalam Bastaman, 1995) mengatakan bahwa
ada tiga faktor yang berpengaruh pada diri manusia sehinnga
ia dengan mudah dapat mencapai tingkat kehidupan yang
bermakna;
1. Creative values (nilai-nilai kreatif): bekerja dan berkarya serta
melaksanakan tugas dengan keterlibatan dan tanggung jawab
pada pekerjaan. Dalam realisasinya, manusia menjalani
dinamika hidupnya dengan bekerja adalah untuk menjadi
sarana baginya dalam menemukan dan mengembangkan
makna hidup.
2. Experiental values (nilai-nilai penghayatan): meyakini dan
menghayati kebenaran, kebajikan, keindahan, keadilan,
keimanan, dan nilai-nilai lain yang dianggap berharga.
3. Attitudinal values (nilai-nilai bersikap), menerima dengan tabah
dan mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan yang
154
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Peran Kecerdasan Spiritual dalam Pencapaian Kebermaknaan Hidup (Fatma Lalili KN)
tak dapat dihindari lagi setelah berbagai upaya dilakukan
secara optimal tetapi tak berhasil mengatasinya.
Ketiga hal tersebut di atas merupakan modal yang mutlak
harus dimiliki oleh tiap individu agar pencapaian kebermaknaan
hidup terpenuhi. Kemampuan manusia untuk mengupayakan
penanaman nilai-nilai di atas sangat berdampak pada bagaimana
ia menjalani dinamika kehidupannya dalam kondisi apapun.
Manusia kerap mengalami perasaan tak berarti, kecewa,
putus asa dan ketidak berdayaan ketika apa yang menjadi
harapannya tidak terpenuhi. Puncak dari kekecewaan sering
diikuti dengan perasaan menderita. Akan tetapi, hal ini tidak akan
berlaku bagi individu yang mampu menanamkan nilai-nilai yang
menjadi sumber kebermaknaan hidup tersebut dalam mensikapi
stimulus kehidupan yang tidak diharapkan. Justru, kehadiran
penderitaan akan memberikan makna bagi setiap individu yang
mengalaminya ketika ia mampu mengatasinya dengan baik.
Setidaknya, ada upaya bagi individu untuk mengubah persepsi
mereka dengan memberdayakan kreatifitas yang mereka miliki
untuk melahirkan perubahan persepsi dan penghayatan yang
positif tentang kondisi yang tidak menguntungkan menjadi
sebaliknya.
Dampak lain ketika seorang individu mampu memiliki
nilai- nilai yang menjadi sumber kebermaknaan hidup adalah
lahirnya kekuatan yang muncul pada diri individu dalam kondisi
menderita sekalipun disebabkan adanya kemampuan individu
untuk menhayati segala keadaan yang menimpanya dengan tetap
berfikir positif serta optimis dalam menjalani hidup.
Kemampuan untuk menghadapi hidup dengan penuh rasa
optimis, serta menciptakan kemampuan berfikir yang selalu positif
dan produktif akan menjadi dampak dari proses internalisasi nilainilai sikap dan penghayatan dalam hidup yang sudah dialami
individu. Tidak akan ada lagi rasa putus asa, serta perasaan yang
tidak kondusif bagi perkembangan jiwa seseorang. Hal inilah
yang menjadi pijakan utama untuk mewujudkan keinginan hidup
bermakna pada tiap manusia, dalam kondisi apapun.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
155
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
C.Kecerdasan Spiritual
1. Definisi Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual merupakan bentuk kecerdasan yang
dimiliki individu yang akan tampak dalam bentuk kemampuan
individu dalam memecahkan persoalan makna dan nilai.
Kecerdasan ini terealisasi pada perilaku hidup individu yang
mampu untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks
makna yang lebih luas, serta diikuti oleh kemampuan mereka
dalam menilai dan membandingkan tindakan atau jalan hidupnya
lebih bermakna dari yang lain (Zohar dan Marshall, 2000: 4).
Di sisi lain, kecerdasan spiritual adalah kemampuan
individu utuk memaknai setiap perilaku dan kegiatan sebagai
ibadah melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat
fitrah menuju tauhid (integralistik) serta berprinsip hanya karena
Allah (Agustian, 2001: 57). Menurut Ahmad Taufik (2005: 57),
kecerdasan spiritual adalah sebuah semangat untuk memaknai
hidup dengan nilai-nilai normatif Islam yang terkandung di
dalam wahyu Al-Qur’an dan As-Sunnah yang kemudian menjadi
acuan dalam aktifitas kehidupan.
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan yang dimiliki
oleh individu yang berbentuk kemampuan untuk memaknai
setiap dinamika kehidupan mereka sebagai bentuk pengabdian
kepada Allah dan segala konskwensi perilaku yang mereka
miliki senantiasa berpijak pada norma-norma yang telah diatur
ajaran agama yang terdapat pada Al-Qur’an dan Hadits, sehingga
segala aspek kehidupan yang mereka lalui bermakna ibadah.
Kemampuan yang dihasikan oleh SQ akan berperan sebagai
kontrol bagi mereka dalam memposisikan setiap pola kehidupan
sehingga penuh makna.
Dimensi spiritualitas dari paham dan penghayatan
keberagamaan pada dasarnya merupakan sebuah perjalanan ke
dalam diri manusia sendiri. Dalam pandangan para mistikus,
kualitas manusia dan kemanusiaan yang paling primodial adalah
bahwa ia merupakan makhluk spiritual puncak yang diciptakan
156
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Peran Kecerdasan Spiritual dalam Pencapaian Kebermaknaan Hidup (Fatma Lalili KN)
Tuhan, dan oleh karenanya watak dasar manusia adalah bersifat
baik. Ia senantiasa merindukan kedamaian, kebahagiaan,
hubungan cinta kasih dan selalu ingin berdampingan dengan
yang Maha Kasih. Karena sifat tersebut merupakan sifat dasar
manusia, maka hanya dengan terpenuhi kebutuhan tersebut maka
manusia akan merasakan kebahagiaan (Hidayat, 2006: 40).
Memahami eksistensi dimensi spiritual yang ada pada
diri manusia, maka memberi gambaran bahwa secara potensial
kecerdasan spiritual merupakan bagian dari diri manusia itu sendiri
sebagai bekal dari Allah. Dengan bekal yang telah di anugerahkan
oleh Allah terhadap diri manusia yang berupa sifat-sifat spiritual
tersebut, maka tugas manusia adalah menjaga eksistensi dari
dimensi spiritual yang sudah ada serta mengembangkan sifatsifat tersebut ke ranah yang lebih puncak untuk mencapai kualitas
kemanusiaannya.
Bila selama ini manusia modern berpandangan bahwa pusat
kebahagiaan hanya ada pada dataran hedonistik yang cenderung
materialistis dan semu belaka, maka yang terjadi sebenarnya adalah
ancaman bahwa mereka akan kehilangan arah dan tujuan hidup itu
sendiri. Kebahagiaan yang diukur dengan materi dan hal-hal yang
bersifat hedonis tersebut akan menjerumuskan manusia itu sendiri
dikarenakan pada dasarnya letak sumber kebahagiaan tersebut tidak
pada apa yang ada menurut persepsi duniawi mereka. Sebaliknya,
individu yang mengembangkan potensi spiritual tersebut menjadi
pedoman bagi hidup mereka, akan memperoleh kebahagiaan
yang mereka butuhkan. Hal ini terjadi karena, tujuan hidup yang
ingin mereka capai telah mereka tempuh sesuai dengan pedoman
spiritual yang sudah mereka miliki. Tidak akan ada konflik yang
merisaukan terkait antara motivasi hidup dan suara hati nurani
yang lahir dari dimensi spiritual itu sendiri. Maka kebahagian akan
mudah mereka wujudkan sesuai dengan eksistensi kemanusiaan
itu sendiri.
2. Karakteristik SQ
Potensi SQ yang terdapat pada diri manusia dapat terbaca
dari beberapa hal. Untuk mengidentifikasi optimal tidaknya peran
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
157
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
SQ pada tiap individu, maka beberapa hal dibawah ini dapat
dijadikan sebagai indikator tinggi rendahnya SQ yang terdapat
dalam diri individu, yakni:
a. Memiliki prinsip dan pegangan hidup yang jelas dan kuat
yang berpijak pada kebenaran universal baik berupa cinta,
kasih sayang,keadilan, kejujuran, toleransi dan integritas yang
kesemuanya merupakan bagian terpenting dalam kehidupan
manusia.
b. Memiliki kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan
penderitaan dan memiliki kemampuan untuk menghadapi
dan melampaui rasa sakit (tranced pain). Hal ini akan
ditampakkan dengan berbagai penderitaan, halangan, dan
tantangan yang hadir dalam kehidupan dihadapi dengan
senyum dan keteguhan hati, karena itu semua adalah bagian
dari proses menuju kematangan kepribadian secara umum,
baik kematangan intelektual, mental, moral-sosial ataupun
spiritual.
c. Memiliki kemampuan untuk memaknai semua pekerjaan dan
aktivitasnya dalam kerangka dan bingkai yang lebih luas dan
bermakna.
d. Memiliki kesadaran diri (self-awarenness) yang tinggi dalam
segala aktifitasnya sehingga ia mampu mengenal dirinya lebih
baik dan lebih dalam sekaligus mampu mengenal tujuan dan
misi hidupnya lebih jelas (Hasan,2006; 69-74).
3. Agama dan Spiritualitas Pada Manusia
Eksistensi spiritualitas pada manusia tidak dapat
dipisahkan dari peran keberagamaan pada manusia itu sendiri.
Walaupun disisi lain, sebagian pendapat mengugkapkan bahwa
tidak ada hubungan antara SQ dengan agama. Menurut Zohar
& Marshal menegaskan bahwa tidak ada kaitan antara dimensi
spiritualitas dengan keberagamaan seseorang, dengan bukti
banyaknya orang yang humanis dan ateis yang memiliki SQ
yang sangat tinggi, sebaliknya banyak orang yang aktif beragama
memiliki SQ yang rendah. Menurutnya, agama hanya sebatas
seperangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan secara
158
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Peran Kecerdasan Spiritual dalam Pencapaian Kebermaknaan Hidup (Fatma Lalili KN)
eksternal, sedangkan SQ adalah kemampuan internal bawaan
otak dan jiwa manusia yang bersumber dalam inti alam semesta
itu sendiri (Zohar & Marshal, 2001: 8-9).
Pendapat mereka sering sejalan dengan beberapa
komunitas yang memandang agama hanya sebagai sesuatu
yang telah mengalami degradasi karena begitu banyak mitos
dan ‘institutionalized’ yang pada gilirannya tampil sebagai
gerakan ideologi yang bersifat tertutup. Ketika nilai-nilai agama
terlambangkan sedemikian rupa, maka yang muncul adalah
pembekuan agama itu sendiri. Kondisi tersebut menjadi landasan
bagi sebagian komunitas untuk mengadakan penolakan terhadap
agama dan memisahkan antara agama dengan dimensi spiritualitas.
Mereka yang memandang agama sebagaimana gambaran tersebut
di atas kerap melahirkan kekuatan disintegratif dalam suatu
masyarakat yang berujung pada konflik dan permusuhan yang
sama sekali berseberangan dengan esensi yang terdapat dalam
nilai-nilai agama itu sendiri yang identik dengan perdamaian dan
penuh kasih sayang (Hidayat, 2011: 39).
Pemahaman yang salah oleh sebagian komunitas tentang
esensi nilai-nilai yang terkandung dalam suatu agama inilah
yang menjadi landasan bagi mereka untuk menolak agama dan
memisahkan dimensi spiritualitas dari eksistensi agama yang
seharusnya merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Hasilnya, banyak masyarakat yang telah mampu menguasai dunia
dengan segala fasilitas yang canggih sebagai produk keberhasilan
suatu peradaban yang serba modern, atau banyak juga kita jumpai
sebagian ilmuwan yang telah menghasilkan begitu banyak karya
ilmiah yang mampu merubah wajah dunia menjadi berperadaban
serba maju, akan tetapi mereka sendiri mengalami kekosongan
pada dimensi penghayatan keberagamaannya. Semua teori yang
telah mereka kembangkan hanya berada pada dataran kognitifrasional belaka. Mereka masih mengalami kemiskinan dalam
upaya pengenalan dimensi bantinnya sebagai makhluk spiritual.
Dadang Hawari (1997) mengatakan bahwa masalah utama dalam
suatu masyarakat yang modern adalah terjadinya pergeseran
kebenaran-kebenaran abadi sebagaimana yang terkandung dalam
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
159
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
ajaran agama yang dengan sengaja disisihkan karena dianggap
kuno, sebaliknya masyarakat hanya berpegang pada kebutuhan
materi dan tujuan yang bersifat duniawi semata. Kekosongan peran
agama pada sebagian masyarakat menimbulkan ketidakpastian
fundamental di bidang hukum, moral, norma, nilai, dan etika
kehidupan. Kondisi tersebut berujung pada munculnya stress
kehidupan yang oleh Ivan Illich dikatakan sebagai problem utama
masyarakat modern dewasa dengan bentuk ketidakpuasan,
ketidakbahagiaan, keserakahan, niat jahat, kecemasan terhadap
nilai-nilai, berbagai penyimpangan dan kelainan serta hilangnya
kontrol diri pada masyarakat.
Bila kita menyadari sepenuhnya, bahwa yang terjadi
sebenarnya adalah kebanyakan diantara kita menjadi berkembang
pesat saat kita menganut suatu keyakinan dasar yang sangat
mendalam dan kebanyakan manusia menjadi tersesat tanpa
itu. Bahkan adanya keyakinan keberadaan “titik Tuhan” dalam
susunan syaraf otak manusia menunjukkan bahwa kemampuan
untuk menjalani semacam pengalaman keagamaan atau keyakinan
memberikan suatu keuntungan evolusioner pada manusia (Zohar
& Marshal, 2001: 258).
Kesatuan peran antara SQ dan agama bagaikan keping
mata uang. Agama di sini dapat dipandang sebagai aturan yang
menjadi pedoman bagi manusia dalam menemukan tujuan dari
hidupnya. Dalam realisasinya, manusia menjalankan aturan
tersebut dibantu oleh dimensi spiritual yang sekaligus menjadi
modal dasar baginya dalam menjalani hidup yang sesuai
dengan fitrah kemanusiaan itu sendiri. Tanpa adanya agama,
manusia akan mengalami kehampaan dan kebodohan dalam
mengaktualisasikan potensi spiritualnya.
D.Kecerdasan Spiritual dan Kebermaknaan Hidup
Sebagaimana yang dikatakan oleh Viktor Frankl, bahwa
pencarian makna hidup merupakan motivasi penting dalam hidup
manusia. Pencarian inilah yang pada akhirnya memposisikan
manusia sebagai makhluk spiritual.
160
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Peran Kecerdasan Spiritual dalam Pencapaian Kebermaknaan Hidup (Fatma Lalili KN)
Modal sifat-sifat spiritual yang telah dianugerahkan
Allah pada hambaNya tidak mungkin tersia-siakan begitu saja.
Sebagaimana eksistensi aspek intelektual dan emosional yang
membentuk kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan Emosional
(EQ), dan teraktualisasi dalam sikap dan perilaku yang sangat
berperan dalam kehidupan manusia, kecerdasan spiritualpun
juga memiliki kebutuhan untuk direalisasikan peranya. SQ
merupakan aspek yang sangat fundamental dalam memenuhi
kebutuhan manusia yang sangat mendasar yakni kebermaknaan
hidup.
Bila memahami karakteristik dari peran SQ itu sendiri,
tampak bahwa fungsi-fungsi yang diperankan oleh SQ mampu
membantu individu untuk mencapai kebermaknaan hidupnya.
Dengan kontribusi SQ, individu akan memperoleh arahan tentang
bagaimana ia mensikapi hidupnya serta di mana ia harus berpijak
pada kebenaran yang universal. Dalam menjalani kehidupannya,
individu dengan SQ yang tinggi tetap merasa tegar walaupun
dalam keadaan yang sulit sekalipun. Penderitaan mampu mereka
hayati sebagai suatu proses yang mampu memotivasi dan memberi
kontribusi bagi pencapaian hidup yang lebih bermakna.
Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa pengalaman
penderitaan (suffering) sering dikaitkan dengan perkembangan
spiritual manusia itu sendiri. Disebutkan dalam kisah Sidarta
Gautama, di mana ia mengalami krisis eksistensi yang berdampak
pada penderitan yang panjang ia rasakan. Demikian juga dengan
pengalaman Isra’ Mi’raj Rosulullah Muhammad Saw yang terjadi
setelah kematian istri dan paman beliau, yang pada akhirnya
semakin memperkuat eksistensi kerasulan beliau serta semakin
mendongkrak kematangan dimensi spiritual beliau (Subandi,
2009: 204). Maka dapat dipahami bahwa selain SQ yang tinggi
akan mampu memberi kekuatan bagi individu untuk tetap tegar
dalam kehidupannya, disisi lain hal itu juga akan berimbas pada
semakin mematangkan dimensi spiritual itu sendiri sehingga
tujuan untuk mencapai hidup lebih bermakna akan terealisir.
Eksistensi SQ juga akan menjadi modal bagi individu
untuk mencapai kebermaknaan hidup saat berkolaborasi dengan
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
161
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
nilai-nilai yang menjadi sumber kebermaknaan hidup. Dalam
memahami suatu pekerjaan, eksistensi SQ akan memotivasi
individu untuk melewati segala beban kerja dengan etos kerja
yang tinggi. Semua pekerjaan dan aktivtas yang diemban tiap
individu dengan bermodal SQ akan berdampak pada sikap yang
positif dalam memaknai semua pekerjaannya. Bekerja bagi mereka
merupakan sarana untuk merealisasikan eksistensi mereka sebagai
khalifah dan abdillah (hamba Allah) sehingga muatan pekerjaan
yang mereka jalani adalah bernilai positif dan produktif.
Salah satu karakteristik SQ yang mampu membantu
proses pencapaian kebermaknaan hidup adalah kesadaran diri
yang kuat. Kesadaran diri akan membantu individu tersebut
untuk mengenali identitas dan eksistensi dirinya sendiri serta
membantu untuk mengidentifikasi tujuan dalam setiap aktifitas
yang dilakukan. Dalam peran manusia sebagai makhluk yang
beragama, tentunya kesadaran diri ini akan berdampak pada
kemampuan dia dalam menjalani tugas-tugas kehidupan secara
efektif, menghayati perannya sebagai hamba Allah, memantapkan
setiap aktifitas sebagai unsur pengabdian pada Sang Kholik serta
mampu menghayati segala tantangan, permasalahan hidup,
penderitaan adalah bagian dari ibadah dan proses pencapaian
kebermaknaan hidup. Serangkaian proses tersebut akan mampu
membawa individu pada pola perkembangan kepribadian
yang lebih matang, kondusif, produktif serta berindikasi pada
kesehatan mental.
Craumbagh (dalam Bastaman, 2005) menyatakan bahwa
salah satu faktor yang mempengaruhi manusia dalam mencapai
kebermaknaan dalam hidupnya adalah dengan menjalankan
ibadah. Karena dengan ibadah secara khusyu’ manusia
secara hakiki mampu menemukan makna hidupnya dengan
mendekatkan diri pada agama serta mendapakan ketenangan
menghadapi persoalan-persoalan hidup dengan lebih bijaksana..
Peranan agama sebagai dasar terpenting dalam menopang
kehidupan seseorang untuk lebih bermakna sehingga dalam
kondisi apapun ia tetap berpegang teguh pada fungsi-fungsi
162
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Peran Kecerdasan Spiritual dalam Pencapaian Kebermaknaan Hidup (Fatma Lalili KN)
dan hakekat kemanusiaannya sebagai abdi dan khalifah di muka
bumi. Jika manusia dalam posisi sadar penuh akan eksistensinya
sebagai makhluq yang mengemban tugas untuk membangun
kehidupan dimuka bumi, maka saat mereka dalam posisi yang
labil tentu akan tetap berpegang teguh pada tujuan eksistensi
kemanusiaannya. Konsistensi manusia dalam memegang fungsi
dari perannya tersebut akan menciptakan stabilitas emosional
yang akan berdampak pada perilaku sosial yang kondusif, adaptif
dan produktif. Keberhasilan manusia untuk memerankan fungsi
kemanusiaannya yang ideal akan menentukan kebahagiaan hidup
yang berimbas pada mereka sendiri sehinga keinginan untuk
mencapai kebermaknaan hidup akan terwujud.
Maka, peranan agama sebagai sarana aktualisasi dimensi
spiritual berkontribusi dalam mengaktualisasikan potensi sifatsifat spiritual yang sangat membantu dalam proses pencapaian
kebutuhan akan kebermaknaan hidup. Dengan agama maka
potensi spiritual memperoleh media untuk mengaplikasikannya
dalam setiap pola kehidupan individu sehingga langkah yang
ditempuh menjadi terarah. Di sini disebabkan eksistensi agama
itu sendiri merupakan seperangkat aturan yang berperan sebagai
petunjuk bagi manusia. Tanpa agama, maka potensi spiritual yang
telah ada tidak akan terfungsikan secara optimal, terlebih dalam
sebuah proses pencapaian kebermaknaan hidup pada setiap
individu.
E. Simpulan.
Kebutuhan akan hidup bermakna merupakan kebutuhan
yang mutlak dimiliki oleh setiap individu. Motivasi untuk
pencapaian kehidupan bermakna banyak disebabkan oleh
eksistensi individu itu sendiri sebagai makhluk yang secara
potensial telah memiliki sifat-sifat spiritual.
Konsekuensi sifat spiritual yang dimiliki tiap individu
mengarahkan pada suatu proses pencarian makna hidup dimana
peran sifat-sifat spiritual tersebut adalah sebagai media, kontrol
sekaligus motivator bagi setiap individu untuk mencapai hidup
penuh makna. Sehingga dapat difahami bahwa peran SQ akan
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
163
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
berdampak pada proses pencarian kebermaknan hidup pada
setiap individu. Seperangkat nilai-nilai yang menjadi sumber
kebermaknaan hidup yang berupa nilai-nilai kreatif, nilai-nilai
penghayatan dan nilai-nilai bersikap, akan mudah dicapai dengan
kontribusi peran SQ. Kolaborasi antara ketiga nilai kebermaknaan
hidup dengan SQ akan menjadi serangkaian proses dalam
pencapaian kebermaknaan hidup yang akan berjalan secara
berkesinambungan. Hasil yang akan dicapai dari peran keduanya
adalah pola adaptasi individu yang efektif, kondusif dan produktif
dalam setiap keadaan yang diharapkan akan berdampak pada
tercapainya kebermaknaan hidup sebagai indikator kesehatan
mental.
164
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Peran Kecerdasan Spiritual dalam Pencapaian Kebermaknaan Hidup (Fatma Lalili KN)
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ari Ginanjar, 2001, ESQ Emotional Spiritual Question,
Jakarta: Arga
Bastaman, Hanna Djumhana, 1995, Integrasi Psikologi Dengan
Islam Menuju Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Frankl, Victor, 2003, Logoterapi: Terapi Psikologi Melalui
Pemaknaan Eksistensi (terj), Yogyakarta: Kreasi Wacana
Hasan, Abdul Wahid, 2006, SQ Nabi: Aplkasi Strategi & Model
Kecerdasan Spiritual (SQ) Rosulullah di Masa Kini,
Yogyakarta: IRCiSoD
Hawari, Dadang, 1997, Al Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan
Kesehatan Jiwa, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
Hidayat, Komarudin, 2011, Psikologi Kematian; Mengubah
Ketakutan Menjadi Optimisme, Bandung: Mizan.
Koeswara, E, 1987, Psikologi Eksistensial, Suatu Pengantar,
Bandung: PT Eresco
Nasution, Ahmad Taufiq, 2005, Metode Menjernihkan Hati,
Bandung: Al-Bayan
Subandi, 2009, Psikologi Dzikir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Zohar dan Marshal, 2001, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual
dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai
Kehidupan, Bandung: Mizan
http://www.surabayaehealth.org/
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
165
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
PEDOMAN PENULISAN NASKAH JURNAL
Jurnal Konseling Religi menerima tulisan dalam bentuk
artikel, resensi hasil penelitian, analisis teori, yang berkaitan
dengan tema konseling religi. Tulisan yang masuk akan diseleksi
oleh redaksi. Tulisan harus memenuhi persyaratan berikut:
1. Tulisan mengacu pada pengembangan teori dan aplikasi ilmu
bimbingan, penyuluhan, dan konseling Islam
2. Banyaknya tulisan antara 15-25 halaman dengan ukuran kertas
A4 (kuarto), spasi 1,5, dan bentuk font Times New Roman
3. Kerangka tulisan meliputi: Judul, nama penulis (tanpa gelar),
instansi penulis, abstrak (100-150 kata), kata kunci (key words),
pendahuluan, pembahasan, penutup, dan daftar pustaka.
Contoh penulisan Daftar Pustaka:
Buku: Yunus, Muhammad, 1983, Kamus Bahasa Arab-Indonesia,
Jakarta: P3A Depag RI
Artikel: Adlin, A. dan I. Suryolaksono, 2000, “Reduksi
Konsepsi Manusia: Tinjauan Umum Pada Era Pramodernisme,
Modernisme, dan Postmodernisme”, Journal of Psyché, Vol. 1
4. Abstrak dalam bahasa Inggris kalau naskahnya bahasa
Indonesia. Kalau naskah berbahasa asing, abstrak berbahasa
Indonesia.
5. Kutipan ditulis dalam middle note (nama belakang penulis,
koma, tahun, titik dua, halaman). Contoh: (Muthahhari, 2001:
195)
6. Tulisan diserahkan ke redaksi dalam bentuk print out, atau
kirim lewat email: [email protected]
166
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 1, Januari - Juni 2012
Download