TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Antibiotika Antibiotika adalah senyawa berat dengan molekul rendah yang membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Sebagian besar antibiotika dihasilkan oleh mikroorganisme, khususnya Streptomyces spp. dan jamur (Mutschler, 1999; Salyers dan Whitt, 2005). Penggunaan antibiotika untuk terapi infeksi pada manusia dan hewan harus memenuhi sejumlah kriteria. Antibiotika dapat dikelompokkan berdasarkan struktur dari antibiotika tersebut ataupun berdasarkan target kerjanya pada sel yaitu, broad spektrum, mempunyai kemampuan membunuh mikroorganisme dari berbagai spesies dan narrow spectrum hanya mampu membunuh mikroorganisme secara spesifik (Bezoen et al., 2000) Terhadap sebagian besar penggunaan, antibiotika harus mempunyai aktivitas spektrum yang luas (Martin, 1992; Tjay dan Raharja, 2005). Bahwa antibiotika harus membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri dari tipe yang berbeda. Antibiotika broad spektrum berguna karena adanya gejala (simptom) yang sama yang disebabkan oleh bakteri dari spesies yang berbeda dan dari gejala yang muncul tidak mungkin menunggu isolasi, identifikasi organisme penyebab sebelum terapi dimulai (Nhiem, 2005; Salyers dan Whitt, 2005). Antibiotika broad spektrum mempunyai kekurangan, tidak hanya menyerang bakteri patogen tetapi juga mengurangi jumlah mikroflora usus (Focosi, 2005). Setiap antibiotika harus mampu mencapai bagian tubuh dimana terjadinya infeksi. Beberapa antibiotika tidak diabsorpsi oleh saluran pencernaan, sementara masuk ke aliran darah tetapi tidak melintasi barrier darah otak dalam cairan spinal dan tidak masuk dalam sel fagosit (Phillips et al., 2004; Focosi, 2005). Munculnya fenomena resistensi antibiotika pada bakteri patogen sangat berbahaya. Hal ini diduga dapat mengakibatkan terjadinya perpindahan sifat resistensi antibiotika bakteri dari ayam dan telur ke manusia dan lingkungan (Kusumaningsih, 2007). Adanya resistensi antibiotika bakteri pada ternak dan manusia dapat mengakibatkan kegagalan pengobatan penyakit yang disebabkan oleh bakteri (Phillips et al., 2004; Bahri et al., 2005) 2.2. Mekanisme kerja Menurut Prescott dan Baggot (1997) dan Mutschler (1999), mekanisme kerja antibitotika dibagi dalam empat kategori, yaitu: menghambat sintesa dinding sel (antibiotika golongan beta-laktam, basitrasin dan vankomisin), menghambat sintesa protein (aminoglikosida, linkosamida, makrolida, pleuromutilin dan tetrasiklin), merusak fungsi membran sel (polimiksin dan polyenes) dan menghambat fungsi asam nukleat (nitroimidazol, nitrofuran, quinolon dan rifampin). 2.2.1. Antibiotika Beta- laktam Menurut Salyers dan Whitt (2005), antibiotika beta-laktam diberi nama berdasarkan 4 anggota cincin beta-laktam. Kelompok ini terdiri dari empat tipe utama yaitu, penisilin, sefalosporin, karbapenem dan monobaktam. Antibiotika ini tergolong yang paling besar digunakan. Masalah toksikologi utama golongan beta-laktam ini yaitu reaksi alergi yang terjadi akibat terbentuknya beta-laktam/ serum protein konyugasi yang mendapatkan peradangan respon immun. Seseorang yang alergi terhadap penisilin juga alergi terhadap sefalosporin dan karbapenem (Adam, 2002). Mekanisme kerja antibiotika beta-laktam menghambat tahap akhir sintesa peptidoglikan, reaksi transpeptidase yang melintasi rantai tepi peptida sumber kekuatan peptidoglikan polisakarida (Prescott dan Baggot, 1997). Antibiotika ini juga mengikat dan menghambat aksi membran protein sitoplasmik lain yang merupakan tugas dalam sintesa peptidoglikan. Enzim transpeptidase dan protein lainnya dinamakan penisilin binding protein. Hasil dari beta-laktam terikat pada protein adalah menstimulasi enzim endogen yang didegradasi peptidoglikan (autolisin) (Focosi, 2005). Secara normal katalisis enzim ini terjadi pada pergantian peptidoglikan dilakukan bakteri pada saat tumbuh dan membelah. Antibiotika beta-laktam melepaskan kontrol pada saat menyimpan enzim ini dan merangsang serangan lain dari peptidoglikan. Penghancuran peptidoglikan dari dinding sel menyebabkan bakteri lisis. Beta-laktam secara normal mempunyai sifat bakterisid (Salyers dan Whitt, 2005). 6 Adakalanya, jika bakteri pada tekanan osmosis yang tinggi dalam tubuh (ginjal) atau jika pH lingkungan mencegah aktifitas enzim autolitik, bakteri terhindar dari pengaruh antibiotika bheta-laktam. Antibiotika ini berpengaruh terhadap bakteri gram positif dan gram negatif (Adam, 2002). Pemberian secara oral hanya 5-30% dari dosis yang diserap, tergantung pada stabilitas asam dan ikatan pada makanan. Setelah penyerapan, penisillin tersebar luas dalam jaringan dan cairan tubuh. 2.2.2. Antibiotika Glikopeptida Kelompok lain yang menghambat sintesa peptidoglikan adalah glikopeptida, ditunjukkan oleh vankomisin dan teikhoplanin. Antibiotika glikopeptida menghambat dua tahap akhir sintesa peptidoglikan yaitu, transglikosilasi dan transpeptidasi. Vankomisin terutama digunakan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif dan vankomisin sangat tidak efektif untuk bakteri gram negatif karena tidak mampu menembus bagian luar membran bakteri gram negatif (Adam, 2002 dan Focosi, 2005). Menurut Salyers dan Whitt (2005), meskipun vankomisin mempunyai spektrum yang sempit, antibiotika ini diperlukan di klinik. Vankomisin penting untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh strain Staphylococcus aureus yang resisten dengan antibiotika lain. 2.2.3. Antibiotika Tetrasiklin Klortetrasiklin, oksitetrasiklin, tetrasiklin, doksisiklin, minosiklin, adalah senyawa kristal yang sedikit larut dalam air pada PH 7. Tetrasiklin seperti aminoglikosida, target pada ribosom bakteri dan terikat pada 30S subunit. Meskipun sebagian besar tetrasiklin tidak diragukan lagi kerjanya mengganggu sintesa protein, beberapa kelompok baru yang ditemukan (selokardin) bekerja dengan cara mengganggu membran bakteri bukan dengan menghentikan sintesa protein. Tetrasiklin yang digunakan sebagai feed aditif untuk pemacu pertumbuhan pada ternak telah menyebabkan terjadinya resistensi antibiotika sehinggga penggunaan kelompok tetrasiklin dikurangi (Focosi, 2005). 7 2.2.4. Antibiotika Aminoglikosida Menurut Jawetz (1996), aminoglikosida merupakan kelompok antibiotika dengan sifat kimia, antimikrobial, farmakologi dan toksisitas yang sama serta mempunyai polar basa organik. Kelompok ini terdiri dari streptomisin, kanamisin, gentamisin, tobramisin, apramisin, amikasin, dihidrosterptomisin dan neomisin. Target antibiotika ini pada ribosom bakteri, aksi aminoglikosida dengan mengikat 30S subunit dari ribosom bakteri. Aminoglikosida bersifat bakterisid menyebabkan akumulasi 30S subunit toksik pada sel, efektif untuk sejumlah bakteri patogen. Penggunaan antibiotika ini dapat menghilangkan pendengaran dan merusak fungsi ginjal (Salyers dan Whitt, 2005). Menurut Adam (2002) Aminoglikosida sedikit sekali diserap di saluran pencernaan, berikatan sangat rendah sampai ke protein plasma <25% dan mempunyai batas kapasitas masuk ke dalam sel dan menembus barrir sel. 2.2.5. Antibiotika Makrolida dan Linkosamida Kelompok makrolida ini memiliki sedikit efek samping dan menghambat sintesa protein bakteri dengan mengikat sub unit 50S ribosom. Pengikatan ini menghambat pemanjangan protein oleh peptidiltransferase dan atau mencegah translokasi (Adam, 2002). Makrolida bersifat bakteriostatik bagi kebanyakan bakteri tetapi bersifat bakterisid bagi beberapa bakteri gram positif. Antibiotika ini seperti tetrasiklin juga banyak digunakan pada hewan ternak. Penggunaan non klinik dari antibiotika ini berperan dalam penyebaran resistensi bakteri (Salyers and Whitt, 2005). Sedangkan antibiotika linkosamida berbeda tipe struktur dengan makrolida tetapi memiliki mekanisme kerja yang sama dengan makrolida dan kemungkinan mengikat ribosom pada atau dekat dengan tepi yang sama dengan makrolida. 2.2.6. Antibiotika Quinolon Menurut Salyers dan Whitt (2005), quinolon menghambat replikasi DNA bakteri. Asam naliksik quinolon telah telah lama digunakan sebagai reagen laboratorium untuk menghambat replikasi DNA bakteri, tetapi tidak dianjurkan untuk keperluan klinik. Anggota dari quinolon yang baru (fluoroquinolon) ini 8 menarik pada penggunaan klinik karena aktifitas antibakterinya dan sifat farmakologinya yang baik. Quinolon bersifat bakterisid yang mengikat bheta sub unit DNA gyrase, ini adalah enzim yang penting bagi replikasi DNA. Pengikatan antibiotika menghambat aktifitas DNA gyrase. Antibiotika ini memiliki sedikit aktifitas terhadap streptococci yang sebagian besar merupakan mikroflora pada mulut, kolon dan traktus vaginalis. Kelompok ini sedikit mempengaruhi keberadaan mikroflora dibanding antibiotika lain (Phillips et al., 2004). 2.3. Penggunaan Antibiotika di Peternakan Antibiotika digunakan untuk hewan sebagaimana digunakan pada manusia yaitu untuk mencegah dan mengobati infeksi. Manfaat pengobatan dengan antibiotika antara lain membasmi agen penyakit (Butaye et al., 2003), menyelamatkan hewan dari kematian, mengembalikan kondisi hewan untuk berproduksi kembali dalam waktu yang relatif singkat, mengurangi/ menghilangkan penderitaan hewan dan mencegah penyebaran mikroorganisme ke alam sekitarnya yang dapat mengancam kesehatan hewan dan manusia (Adam, 2002). Penemuan antibiotika membawa dampak besar bagi kesehatan manusia dan ternak. Seiring dengan berhasilnya pengobatan dengan menggunakan antibiotika, maka produksinya semakin meningkat (Phillips et al., 2004). Pada industri peternakan pemberian antibiotika selain untuk pencegahan dan pengobatan penyakit, juga digunakan sebagai imbuhan pakan (feed additive) untuk memacu pertumbuhan (growth promoter), meningkatkan produksi, dan meningkatkan efisiensi penggunaan pakan (Bahri et al., 2005). Di Eropa ada beberapa antibiotika yang diperbolehkan digunakan sebagai imbuhan pakan seperti olaquinodik, basitrasin, flavomisin, monensin, salinomisin, tilosin, virginiamisin, avoprasin, dan avilamisin. Sejak tahun 1999, antibiotika olaquinodik, basitrasin, tilosin, dan virginiamisin sudah dilarang digunakan sebagai imbuhan pakan (Butaye et al., 2003). Berdasarkan Feed Additive Compendium, ada beberapa antibiotika yang direkomendasikan digunakan sebagai imbuhan pakan pada pakan unggas dan 9 hewan lain, seperti penisilin, basitrasin, streptomisin, eritromisin, tilosin, neomisin, tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin, linkomisin, spiramisin, dan virginiamisin (Anonimus, 2002). Pemanfaatan antibiotika sebagai imbuhan pakan ternak juga banyak digunakan di Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor menunjukkan bahwa 71,43% (5/7) pabrik pakan di Kabupaten Bogor, Cianjur, Tangerang, Bekasi dan Sukabumi memberikan tambahan antibiotika golongan tetrasiklin dan sulfonamida pada produk pakan ayam (Bahri et al., 2005). Berdasarkan pengamatan di lapang, antibiotika yang lazim digunakan untuk pencegahan dan pengobatan penyakit antara lain streptomisin, kloramfenikol, doksisiklin, tetrasiklin, eritromisin, neomisin, tilosin, siprofloksasin, enrofloksasin, dan golongan sulfonamida. Antibiotika ini diberikan dalam air minum pada ayam-ayam yang menunjukkan gejala sakit atau setelah vaksinasi (Kusumaningsih, 2007). Beberapa peneliti melaporkan bahwa dibutuhkan antibiotika dalam jumlah banyak untuk pengobatan, pencegahan, dan sebagai pemacu pertumbuhan pada ternak penghasil daging. Pada tahun 2001 dilaporkan bahwa, di Amerika Serikat setiap tahun membutuhkan sebanyak 900 ton antibiotika untuk pengobatan dan sebanyak 11.200 ton antibiotika untuk non pengobatan pada hewan, sedangkan antibiotika yang digunakan untuk pengobatan pada manusia hanya digunakan 1.300 ton (Phillips et al., 2004). Kebutuhan antibiotika untuk pakan dan pengobatan tahun 2001 sebesar 502,27 ton, kemudian meningkat menjadi 5.574,16 ton pada tahun 2005 (Ditjenak, 2006). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penggunaan antibiotika dalam dunia peternakan berkisar antara lain 80% digunakan untuk unggas, 75% pada peternakan babi, 60% pada peternakan sapi potong dan 75% antibiotika digunakan dalam peternakan sapi perah masyarakat (Crawford and Franco, 1994). Dari kenyataan di lapang, dipastikan bahwa pemakaian antibiotika pada peternakan ayam cenderung berlebihan dan kurang tepat. Beberapa peneliti mengkhawatirkan bahwa penggunaan antibiotika secara terus-menerus dan dalam waktu lama melalui air minum atau pakan dalam konsentrasi rendah akan memicu 10 terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotika pada ternak (Butaye et al., 2003). Menurut Barber et al. (2003) berdasarkan laporan World Health Organization menunjukkan bahwa munculnya fenomena resistensi antimikroba pada bakteri patogen disebabkan oleh pemakaian antimikroba yang salah pada ternak dan pada saat ini resistensi antimikroba pada ternak dan hasil produksinya (susu, daging dan telur) telah menjadi masalah global di seluruh dunia. 2.4. Penggunaan Antibiotika dalam Pakan Amerika Serikat pada tahun 1940 melakukan penelitian, dimana pakan ayam diberikan produk fermentasi tetrasiklin yang menghasilkan pertumbuhan sangat cepat pada tubuh ayam dibandingkan dengan yang tidak diberikan produk fermentasi tersebut, hal ini kemudian diikuti negara lainnya (Phillips et al., 2004 dan PIC, 2006). Berbagai penelitian mengenai penggunaan antibiotika dalam pakan dengan dosis subterapeutika yang berpengaruh terhadap penurunan biaya produksi daging, telur dan susu. Anthony (1997) menyebutkan penggunaan antibiotika pada dosis subterapeutika melalui pakan atau air minum berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan, mempengaruhi metabolisme seperti tetrasiklin mempengaruhi ekskresi nitrogen dan air, effisiensi nutrisi dengan menekan bakteri intestin yang bersaing dengan host menggunakan nutrisi dan mencegah penyakit. Hewan yang diberikan antibiotika secara rutin, struktur dinding usus lebih tipis dan lebih besar daya absorpsinya, ini yang mengakibatkan antibiotika dapat memperbaiki dan meningkatkan produksi daging sapi, domba, unggas dan babi. Antibiotika yang digunakan dalam campuran pakan perlu dicermati karena pakan memberikan kontribusi yang besar sekitar 60% dalam usaha pemeliharaan ternak, pemberian dalam jumlah besar dan diberikan secara terus menerus akan menyebabkan akumulasi dalam tubuh ternak tersebut (Teuber, 2001). Jenis antibiotika, penggunaan dan tujuannya yang direkomendasikan oleh pemerintah seperti tabel dibawah ini : 11 Tabel 1. Antibiotika sebagai Imbuhan Pakan Ayam Pedaging No Jenis antibiotika /Ton Pakan Tujuan 1 Avilamisina 2,5g - 15g Perangsang pertumbuhan 2 Avoparsina 7,5g - 15g Perangsang pertumbuhan 3 Bacitrasin zink 50g Perangsang pertumbuhan 4 Enramisina 5g - 10g Perangsang pertumbuhan 5 Flavomycin (Bambermisin) 2,5g Perangsang pertumbuhan 6 Kitasamisin 5g - 15g Perangsang pertumbuhan 7 Kolistin sulfate 2g - 20g Perangsang pertumbuhan 8 Lasalosid 2g Koksidiostat 9 Maduramisina 5g Koksidiostat 10 Lincomisin HCl 2,2g - 4,4g Perangsang pertumbuhan 11 Monensin natrium 70g - 90g Koksidiostat 12 Narasina 60g - 80g Koksidiostat 13 Salinomisin (Na) 60g Koksidiostat 14 Spiramisin (embonate) 5g - 20g Perangsang pertumbuhan 15 Virginiamisin 5g - 15g Perangsang pertumbuhan Sumber : SK Mentan, 1994. 2.4.1. Avilamisin Avilamisin termasuk antibiotika kelompok oligosakarida dan hanya digunakan untuk pemacu pertumbuhan. Avilamisin diproduksi oleh Streptomyces viridochromogenes, antibitika ini merupakan campuran beberapa senyawa mayor dan minor, aktif terutama terhadap bakteri gram positif (Adam, 2002). Pemberian avilamisin secara oral 60 ppm diekskresikan hampir seluruhnya pada feses, hanya sedikit residu ditemukan pada babi dan tikus. Jumlah organisme Clostridium perfringens pada intestin ayam menurun dengan penambahan 10 ppm avilamisin pada pakan. Avilamisin juga mencegah enteritis nekrotik yang disebabkan Clostridium perfringens pada ayam broiler (Elwinger et al., 1998). 12 2.4.2. Basitrasin Merupakan antibiotika polipeptida yang diproduksi oleh Bacillus licheniformis, lebih stabil sebagai garam zink dan digunakan sebagai pemacu pertumbuhan dan beberapa preparat topikal pada pengobatan manusia dan hewan. Basitrasin terutama aktif terhadap gram positif. Spektrum antibiotika ini mirip dengan kelompok penisilin (Cain et al., 1993 dan Adam, 2002). Semua basitrasin menimbulkan nefrotoksik jika diberikan secara parenteral, antibiotika ini diabsorpsi sangat sedikit atau tidak sama sekali dari intestin seperti, yang diperlihatkan pada tikus, babi dan ayam, sehingga tidak ditemukan residu pada daging jika antibiotuika ini diberikan secara oral (Phillips et al., 2004). Penelitian menunjukkan penurunan jumlah enterococci jika basitrasin ditambahkan pada pakan hewan, penurunan ini terutama disebabkan menurunnya jumlah organisme Enterococci fecalis. Jumlah organisme Enterococci faecium meningkat dibandingkan kelompok kontrol selama pemberian antibiotika yang diperpanjang. Enteritis nekrotik yang disebabkan Clostridium perfringens pada ayam dicegah dengan pemberian basitrasin dengan dosis 55-110 ppm dalam pakan. Selain itu jumlah organisme Clostridium perfringens menurun dengan penggunaan basitrasin (Chalker et al., 2000). Pada uji lapang basitrasin terlihat menurunkan lesio intestinal adenomatosis yang disebabkan oleh Lawsionia intracellularis porsin pada babi. Basitrasin meningkatkan kolonisasi Salmonella enterica serotipe enteritidis pada caecum ayam (Chia et al., 1995). 2.4.3. Bambermisin Menurut Butaye et al. (2003) bambermisin (flavofosfolipol dan flavomisin) merupakan antibiotika glikolipid yang diproduksi oleh speies streptomyces termasuk Streptomyces bambergiensis, Streptomyces ghanaensis, Streptomyces geysirensis dan Streptomyces ederensis. Bambermisin hanya digunakan sebagai antibiotika pemacu pertumbuhan pada pakan hewan. Mekanisme kerja, bambermisin menghambat sintesa peptidoglikan dengan cara menghambat polimerase peptidoglikan merusak aktifitas transglikolase dari protein pengikat penisilin (PBPs). Hambatan ini menghasilkan pada blok spesifik 13 pembentukan rantai muren polisakarida (Butaye et al., 2000). Aktifitas spektrum bambermisin terutama aktif terhadap bakteri gram positif, juga menghambat beberapa bakteri gram negatif seperti, pasteurella dan brucella. Aktifitas spektrum terhadap streptococci dan stafilococci mirip dengan penisilin G dan makrolida dan anggota enterobactericiae sedikit peka. Prevalensi resistensi, beberapa publikasi membahas tentang uji kepekaan bakteri untuk bambermisin, data yang ada hanya mengenai konsentrasi hambat minimum untuk spesies enterococci, lactobacilli, staphylococcus dan clostridia. Kasus resistensi belum dilaporkan dengan pasti walupun sebagian besar strain Enterococci faecium sudah resisten menurut hasil penelitian di Denmark dan Belanda (Focosi, 2003). Bambermisin sangat sedikit diabsorpsi setelah pemberian oral pada beberapa spesies. Absorpsi yang jelas dideteksi hanya ketika pemberian antibiotika ini dengan dosis tinggi. Pemberian secara parenteral, bambermisin tetap tidak berubah, dengan perlahan diekskresikan melalui urin. Pada ayam dosis oral 20 ppm tidak menghasilkan residu pada jaringan atau organ. Residu bambermisin tidak dapat dideteksi pada saat pemberian feed aditive dosis tinggi. 2.4.4. Streptogramin Streptogramin terdiri dari senyawa A dan senyawa B yang bekerja secara sinergis. Antibiotika ini tergolong kelompok makrolida, linkosamida- streptogramin. Sampai sekarang hanya tiga streptogramin yang dijual baik sebagai terapi maupun pemacu pertumbuhan yaitu, virginiamisin, pristinamisin dan quinupristin/dalfopristin (Salyers dan Whitt, 2005). Virginiamisin telah digunakan baik pada preparat topikal untuk manusia dan obat hewan juga sebagai pemacu pertumbuhan pada pakan hewan. Virginiamisin diproduksi oleh Streptomyces virginiae sebagai campuran alami dua senyawa yang berbeda secara kimiawi, virginiamisin M (senyawa streptogramin A) dan virginiamisin S (senyawa streptogramin B) yang bekerja secara sinergis (Youssef et al, 1983). Antibiotika streptogramin memiliki aktifitas spektrum yang luas termasuk bakteri gram positif (terutama staphylococci, streptococci dan enterococci) dan 14 beberapa cocci gram negatif. Kebanyakan bakteri gram negatif secara alami resisten karena dinding selnya tidak permeabel (Chinali et al., 1988). Pemberian virginiamisin secara oral tidak diabsorpsi di usus hewan, tidak ada residu virginiamisin ditemukan pada ginjal, hati, daging ayam yang diberi virginiamisin. Jumlah organisme Clostridium prefringens pada intestin ayam menurun dengan penambahan 55 ppm virginiamisin pada pakan. Virginiamisin mengurangi angka kematian dan keparahan enteritis nekrotik yang disebabkan Clostridium perfringens. Tidak ada efek shedding salmonella pada ayam (Revolledo et al., 2006). 2.4.5. Ionophore Kebanyakan antibiotika ionophore diproduksi oleh Streptomyces spp., meskipun stroptopertisillium, nocardiopsis, nokardia dan actinomadura juga dikenal untuk memproduksi antibiotika tersebut. Ionophore aktif terhadap parasit termasuk coccidia (eimeria) dan plasmodium, juga terhadap organisme gram positif dan mikoplasma. Antibiotika ini tidak digunakan pada terapi manusia, pada hewan digunakan untuk pemacu pertumbuhan dan koksidiostat (Prescott dan Baggot, 1997). Monensin, lasalosid, salinomisin, narasin dan maduramisin digunakan di Eropa, hanya monensin (sapi) dan salinomisin (babi) efektif terdaftar sebagai pemacu pertumbuhan. Ionophore lain yang terdaftar dapat digunakan pada pakan unggas sebagai koksidiostat. Mekanisme kerja, antibiotika polieter menganggu sistem transpor ion natural pada sel prokariotik dan eukariotik (Phillips et al., 2004). Antibiotika ini diabsorpsi dengan baik pemberian secara oral, sehingga antibiotika ini cukup toksik bagi mammalia dan unggas. Beberapa kejadian dilaporkan mengenai overdosis ionophore pada mammalia kebanyak melibatkan intoksikasi akut, meskipun adanya laporan mengenai intoksikasi kronis. Kuda dan kelinci peka terhadap intoksikasi ionophore, kalkun, dan burung puyuh lebih peka terhadap intoksikasi monensin daripada jenis burung lain (Butaye et al., 2003). Beberapa penelitian menunjukkan efek antibiotika ionophore pada intestin. Tidak ditemukan kemampuan kolonisasi salmonella pada caecum dan tidak ada 15 seleksi resistensi coliform dan streptococci ditemukan pada ayam. Antibiotika ini menghambat Clostridium perfringens (tipe A dan C) pada ayam dan kalkun, sehingga diperkirakan antibiotika dapat digunakan untuk mencegah enteritis nekrotik. Narasin juga efektif dalam pengobatan dan pencegahan infeksi Clostridium perfringens pada ayam. Pada babi salinomisin mengurangi lesio dan keberadaan Lawsonia intracellularis yang menyebabkan proliferasi enteropati pada usus babi (Butaye et al., 2003). 2.4.6. Quinoksalin Karbadoks dan olakuidoks merupakan antibakteri sintetik yang bekerja dengan menghambat sintesa DNA, antibiotika ini terutama aktif terhadap bakteri gram negatif. Meskipun quinoksalin dianggap sebagai pemacu pertumbuhan, antibiotika ini juga terutama digunakan dalam pencegahan disentri pada babi yang disebabkan Brachyspira hyodysenteriae (Adam, 2002). 2.4.7. Efrotomisin Merupakan sebagai antibiotika eflamisin, digunakan hanya sebagai pemacu pertumbuhan, namun demikian penggunaannya sangat terbatas sampai sekarang. Dengan alasan yang tidak diketahui produk ini belum dijual secara luas di Eropa. Efrotomisin diproduksi oleh Nokardia laktamdurans, produk ini tidak aktif terhadap bakteri gram negatif karena tidak dapat menembus sel. Spesies streptococci relatif tidak sensitif. Efrotomisin tidak aktif terhadap staphylococci, beberapa spesies lactobacillus, spesies enterococci tertentu dan beberapa spesies bakteri tertentu (Prescott dan Baggot, 1997). Efrotomisin diabsorpsi secara cepat melalui oral, tidak ada pengaruh terhadap prevalensi tiphimurium serotipe Salmonella enteritica, sheding dan resistensi pada babi. Antibiotika ini menurunkan jumlah organisme Clostridium perfringens pada ileum ayam (Butaye et al., 2003). Pakan memegang peranan penting dalam keamanan pangan asal hewan karena mutu pakan akan tercermin dalam produk yang dihasilkan. Keamanan pangan hewani berkaitan erat dengan pengawasan pakan atau bahan pakan. Sehubungan dengan itu pemerintah menerbitkan berbagai kebijakan atau 16 peraturan yang berkaitan dengan pengawasan mutu pakan, seperti SK. Mentan No.241/Kpts/OT.210/4/2003 dan SNI tentang pakan nomor 01-3930-1995. Menurut Butaye et al. (2003), penggunaan antibiotika dalam pakan dapat meningkatkan konversi pakan, pertumbuhan hewan, menurunkan angka sakit dan kematian pada penyakit klinis dan subklinis. Rata-rata peningkatan pertumbuhan berkisar antara 4 – 8% dan manfaat di pakan meningkat 2 – 5%. Mekanisme bagaimana antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan belum secara pasti diketahui, penelitian menggunakan germ- free chicken terlihat bahwa aksi growth promoter dipengaruhi oleh antibiotika. Ada beberapa hipotesa yang dikemukakan untuk menjelaskan hal tersebut yaitu; antibiotika dapat mengamankan nutrisi, antibiotika secara selektif menghambat organisme yang menggunakan nutrisi, penyerapan nutrisi meningkat disebabkan menipisnya barrier usus kecil, antibiotika menurunkan produksi toksin oleh bakteri yang berada dalam usus dan antibiotika menurunkan kejadian infeksi usus subklinis. 2.5. Penggunaan Antibiotika dalam Air Minum Meningkatnya permintaan akan komoditi hewan telah menyebabkan dilakukannya intensifikasi usaha peternakan yaitu dimana hewan dipelihara dalam skala besar. Adanya kecendrungan untuk memilih cara beternak secara intensif telah menyebabkan mudahnya penularan dari kelompok hewan yang satu ke hewan yang lain. Sehingga semakin intensif usaha peternakan maka semakin meningkat pula pemakaian antibiotika untuk mengatasi infeksi yang sering timbul. Pengobatan massal melalui air minum dalam peternakan unggas berskala besar merupakan cara terapi yang paling baik, diharapkan pengobatan (terapi) yang cepat dan efektif serta dapat diikuti dengan pemberian obat melalui pakan. Hal ini disebabkan karena pengobatan melalui cara parenteral (intramuskuler, sub kutan dan intra vena) tidak mungkin dilakukan untuk pengobatan massal dalam peternakan berskala besar (Purvis, 2003 dan PIC, 2006). Hasil pengamatan beberapa peneliti di lapangan menunjukkan bahwa setelah dilakukan vaksinasi, akan diikuti dengan pemberian antibiotik melalui air minum selama 3 - 4 hari. Apabila ayam-ayam tersebut menunjukkan tanda-tanda 17 sakit, pemberian antibiotika dilanjutkan sampai delapan hari, bahkan terkadang sampai sembuh (Bahri et al., 2005). Antibiotika yang digunakan untuk pengobatan sangat bervariasi, ada yang menggunakan satu jenis antibiotika, dua jenis antibiotika, konsentrasi dan keefektifannya berbeda dalam satu merek dagang. Jenis antibiotika yang beredar secara komersil dan mendapat sertifikasi dari Departemen Pertanian terlihat pada tabel dibawah ini : Tabel 2. Jenis Antibiotika yang Sudah Terdaftar untuk Pengobatan Dosis No. Jenis Antibiotika (air minum) Lamanya Pengobatan 1. Enrofloksasin 1 gr/2 liter 3 Hari 2. Ampisilin Trihidrat 1 gr/liter 3 - 5 Hari 3. Amoksilin Trihidrat 10 gr/10 liter 3 - 5 Hari 4. Amoksilin + Colistin 1 gr/2 liter 3 - 5 Hari 5. Eritromisin 2,5 gr/liter - 6. Norfloksasin 25-50 ml/100 liter 3 - 5 Hari 7. Norfloksasin + Colistin 1 gr/4 liter 3 - 5 Hari 8. Colistin Sulfat 0,5 ml/liter 3 - 4 Hari 9. Colistin Sulfat + Spriramisin 0,3-0,4 gr/liter 3 - 5 Hari 10. Ciprofloksasin 1 gr/2 liter 3 - 5 Hari 11. Sulfadiazin + Trimetorpim 1 ml/liter - 12. Eritromisin + Colistin Sulfat 1 gr/liter 3 - 5 Hari 13. Chlortetrasiklin 0,5 gr/liter 5 - 7 Hari 14. Ciprofloksasin 1 gr/2 liter 5 Hari 15. Doksisiklin + Colistin Sulfat 1 gr/liter 3 - 5 Hari 16. Neomisin S. + Oksitetrasiklin 10 gr/5 liter - 17. Sulfaquinoksalin 5 gr/liter 3 Hari 18. Spiramisin 1-2 gr/liter 3 Hari 19. Doksisiklin 1 gr/5 liter 3 - 5 Hari 20. Clindamisin 1 gr/2 liter 3 - 5 Hari Sumber : Indeks Obat Hewan Indonesia (2005) 18 Beberapa negara berbagai jenis antibiotika, termasuk golongan tetrasiklin, neomisin, basitrasin, dan preparat sulfa diizinkan untuk diberikan secara berkala pada peternakan ayam. Pemberian gentamisin dan spektinomisin melalui injeksi pada ayam bibit dapat mencegah infeksi Salmonella enteritidis dari induk ayam ke telur yang akan ditetaskan (Kusumaningsih, 2007). Menurut Lukman (1994) khlortetrasiklin, doksisiklin dan oksitetrasiklin merupakan antibiotika yang paling banyak digunakan untuk pengobatan dan golongan ini tidak diizinkan diberikan melalui pakan ternak di Indonesia. Derivat penisilin (antibiotika beta-laktam) secara luas digunakan pada sapi, babi dan unggas untuk mengobati infeksi dan ditambahkan ke dalam pakan atau air minum untuk mencegah beberapa penyakit. Penisilin biasanya cepat hilang dalam darah melalui ginjal dan keluar melalui urin (Nhiem, 2005). 2.6. Residu Antibiotika Residu adalah senyawa asal dan atau metabolitnya yang terdapat dalam jaringan produk hewani dan termasuk residu hasil uraian lainnya dari obat tersebut. Semua cara pemberian antibiotika dapat menyebabkan terjadinya residu dalam pangan asal hewan seperti, daging susu dan telur (Phillips et al., 2004). Perhatian besar telah diperlihatkan selama 40 tahun mengenai adanya residu antibiotika pada daging ayam di Amerika Serikat. Menurut Adam (2002) residu antibiotika terjadi akibat penggunaan antibiotika untuk kontrol atau mengobati penyakit infeksi tidak memperhatikan waktu henti obat, penggunaan antibiotika yang melebihi dosis yang dianjurkan, penggunaan antibiotika sebagai feed additive dalam pakan hewan. Pada pangan asal hewan residu meliputi senyawa asal yang tidak berubah (nonaltered parent drug), metabolit dan atau konyugat lain. Beberapa metabolit obat diketahui bersifat kurang atau tidak toksik dibandingkan senyawa asalnya, namun beberapa diketahui lebih toksik (Phillips, 2004 dan Bahri et al., 2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh (fase farmakokinetika) yaitu, perfusi darah melalui jaringan, kadar gradien, pH dan ikatan zat dengan makromolekul, partisi ke dalam lemak, transpor aktif, barier (sawar) dan ikatan obat dengan protein plasma atau jaringan (Anief, 1990 dan 19 Adam 2002). Secara umum fase farmakokinetik obat dipengaruhi oleh: keragaman dalam satu spesies, perbedaan spesies, interaksi antar obat, faktorfaktor biofarmasetik, keberadaan kinetika non linear dan penyakit. Pakan yang mengandung antibiotika akan berinteraksi dengan jaringan (organ) dalam tubuh ternak, meskipun dalam jumlah yang kecil pengaruh yang ditimbulkan tidak secara langsung tetapi akan berefek kronis dan tetap berada dalam tubuh ternak (Adam, 2002). Senyawa induk dan metabolitnya sebagian akan dikeluarkan dari tubuh melalui air seni dan feces, tetapi sebagian lagi akan tetap tersimpan di dalam jaringan (organ tubuh) yang disebut sebagai residu. Jika pakan yang dicampur antibiotika secara terus menerus, maka residu antibiotika tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan dengan konsentrasi yang bervariasi antara organ tubuh (Bahri et al, 2005). Antibiotika yang paling sering dideteksi dalam daging yaitu, penisilin (termasuk ampisilin), tetrasiklin (termasuk khlortetrasiklin dan oksitetrasiklin), sulfonamida (termasuk sulfadimethoksin, sulfamethazin dan sulfamethoksazol), neomisin, gentamisin dan streptomisin (Phillips et al., 2004). Residu dari semua jenis obat hewan paling tinggi terdapat dihati dan ginjal dibandingkan pada jaringan otot. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar residu beberapa antibiotika berbeda pada jaringan berbeda dalam tubuh ayam. Secara farmakokinetik dapat dijelaskan mengenai metabolisme dan distribusi jenis obat pada hewan yang berbeda, pada fase ini juga dapat diperkirakan waktu henti obat untuk menghilangkan kadar obat pada jaringan yang berbeda (Adam, 2002). Menurut Anthony (1997), dampak negatif keberadaan residu antibiotika yaitu, reaksi alergi, toksisitas, mempengaruhi flora usus, respon immun, resistensi terhadap mikroorganisme, pengaruh terhadap lingkungan dan ekonomi. 2.6.1. Reaksi Alergi Alergi atau intoleransi adalah reaksi abnormal yang berhubungan dengan substansi alami yang tidak membahayakan banyak individu. Reaksinya meliputi urtikaria pada membran mukosa dan kulit, bintik ruam dan pengelupasan kulit (Anthony, 1997). 20 Pada aspek alergi dengan melimpahnya antibiotika baik dikalangan medik maupun ditoko-toko sampai kakilima tidak diragukan lagi menyebabkan terjadinya perubahan respon terhadap suatu substansi tertentu. Perubahan tersebut dapat berupa peningkatan kepekaan yang disebut hipersensitivitas. Menurut Nhiem (2005) tidak ada bukti bahwa dengan terpapar residu penisilin dalam pangan menyebabkan peka terhadap penisilin, tetapi ada beberapa kasus pada manusia diketahui sensitif penisilin menderita reaksi alergi ketika terekspos pangan yang mengandung residu penisilin. Dosis 10 IU (0,6 μg) dapat menyebabkan reaksi alergi pada individu yang sensitive. Sedikit 0,01 IU/ml penisilin dalam susu menyebabkan reaksi alergi pada individu yang sangat sensitif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa residu penisilin dalam ginjal dan hati (uji HPLC) kira-kira 100 kali lebih tinggi dibandingkan dalam otot. Reaksi alergi menurut penelitian ini merupakan faktor yang menentukan untuk keamanan evaluasi residu. Secara keseluruhan prevalensi alergi penisilin pada populasi yang berbeda kira-kira 3 – 10% (Doyle, 2005). Bagaimanapun perbedaan individu dan tipe pangan (pengaruh absorbsi obat), beberapa reaksi dilaporkan akibat tercerna kurang dari 40 μg obat. Dua kasus reaksi anaphilatik shok diselidiki pada orang yang diketahui hipersensitif penisilin, setelah mengkonsumsi steak dan daging babi. Penelitian ini memperkirakan bahwa jika terdapat residu dalam daging (hati dan ginjal) pada batas maksimum residu (MRL) 0,05 ppm dan untuk susu 0,004 ppm, maksimum sehari boleh makan benzilpenisilin dari residu total 29 μg (15 μg dari daging, 5 μg hati, 3 μg ginjal dan 6 μg dari susu) (Doyle, 2005). 2.6.2. Toksisitas Antibiotika dapat mempengaruhi kesehatan manusia secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung antibiotika memiliki sifat toksik bagi manusia, sebagai contoh khloramphenikol memiliki efek samping yang cukup serius, yaitu penekanan aktivitas sumsum tulang yang berakibat gangguan pembentukan sel-sel darah merah. Kondisi ini dapat menyebabkan aplastik anemia yang secara potensial berakibat fatal (Naim, 2002). 21 Banyak antibitika yang digunakan sebagai agen terapeutik pada hewan domestik dalam kenyataannya juga digunakan di manusia. Bahaya toksikologik yang terjadi pada manusia akibat residu antibiotika terutama yang berasal dari bahan pangan sangat erat hubungannya dengan dosis dan durasi keterpaparan (Focosi, 2005). 2.6.3. Mempengaruhi Flora Usus Sebagai hasil penggunaan antibiotika yang panjang, perkembangan yang tidak menyenangkan bakteri dalam saluran pencernaan merupakan masalah pada manusia dan hewan. Pada banyak kasus penggunaan neomisin melalui oral meningkatkan pertumbuhan jamur dalam usus. Tetrasiklin menghasilkan iritasi gastrointestinal pada banyak individu dan menyebabkan perubahan dalam flora usus seperti, diare akibat infeksi (Anthony, 1997). Penggunaan antibiotika tidak hanya menyebabkan resistensi pada bakteri patogen yang sedang ditangani tetapi juga pada mikroorganisme lain yang ada dalam saluran pencernaan. Kemungkinan lain adalah adanya gangguan terhadap flora normal yang ada pada saluran pencernaan manusia karena adanya residu antibiotika pada makanan (Mazell dan Davies, 1999; Boothe dan Arnold, 2003). Semakin panjang waktu bakteri terpapar dengan antibiotika maka akan semakin tinggi kesempatan terjadinya mutasi, sehingga menimbulkan strain yang kurang sensitif terhadap antibiotika tersebut. 2.6.4. Respon Immun Berbagai penelitian dilaporkan bahwa antibiotika tidak hanya bekerja sebagai bakterisid tetapi juga mengatur fungsi dari sel immun. Pengaruh antibiotika pada respon immun terjadi secara langsung pada sel imuno kompeten atau secara tidak langsung dengan merubah struktur atau metabolit dari organisme menyebabkan terjadinya konsentrasi hambat sub minimal terhadap bakteri (subMIC) (Anthony, 1997). 22 2.6.5. Resistensi Terhadap Mikroorganisme Menurut Naim (2002) masalah resistensi bakteri terhadap antibiotika telah dapat dipecahkan dengan penemuan antibiotika golongan baru seperti, aminoglikosida, makrolida dan glikopeptida, juga dengan modifikasi kimiawi dari antibiotika yang sudah ada tetapi tidak ada jaminan pengembangan antibiotika baru dapat mencegah kemampuan bakteri patogen untuk menjadi resisten. Masalah resistensi mikroba terhadap antibiotika bukanlah masalah yang baru, sejak tahun 1963, WHO telah mengadakan pertemuan tentang aspek kesehatan masyarakat dari penggunaan antibiotika dalam makanan dan bahan makanan. Penggunaan antibiotika pada pakan hewan sebagai pemacu pertumbuhan telah mengakibatkan pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap antibiotika yang umum digunakan untuk terapi. Sebelum tahun 1984 di Eropa Salmonella dublin masih peka terhadap antibiotika khloramfenikol. Resistensi kolonisasi merupakan istilah yang menggambarkan imunitas alami yang diperoleh manusia melalui keberadaan flora normal dalam saluran pencernaan sehingga manusia akan terlindungi dari kolonisasi/infeksi oleh mikroorganisme dari luar tubuh. Ini merupakan konsep penting bagi kesehatan manusia karena pencegahan kolonisasi oleh mikroba patogen seperti salmonella atau oleh mikroba resisten adalah kunci untuk meminimalkan resiko hidup dalam lingkungan yang terkontaminasi oleh mikroorganisme patogen (Naim, 2002; Boothe dan Arnold, 2003). Menurut Charles et al. (2001), antibiotika tidak digunakan pada seluruh peternakan dan resistensi antibiotika terjadi di peternakan yang tidak menggunakan antibiotika. Bahan baku protein yang berasal dari hewan yang terkandung dalam pakan unggas berpotensi sebagai penyimpan sumber resistensi bakteri terhadap antibiotika. Dari 165 sampel bahan baku protein berasal dari sapi, ikan dan unggas yang diperoleh dari perusahaan pakan unggas, 55% sampel tepung unggas dideteksi kadar bakteri gram negatif antara 40-10.440 CFU/g sampel. Resistensi diakibatkan oleh mikroba mensintesis enzim yaitu resistensi mikroba terhadap penisilin. Dimana mikroba tersebut menghasilkan enzim penisilinase yang mampu memecah cincin beta-laktam penisilin menjadi 23 penicilloic acid yang tidak aktif. Demikian pula pada sefalosporin yang didegradasi oleh beta laktamase (Salyers dan Whitt, 2003). Banyak bakteri mampu memproduksi beta-laktamase, seperti bakteri gram positif dan negatif, dimana enzim ini mempunyai peranan yang besar dalam menyebabkan resistensi bakteri gram positif terhadap penisilin dan sefalosporin. Gambar 1. Tahap resistensi STEPS FOR RESISTANCE TRANSFER Antibiotic use in animals Hurdles for transfer Survival through food processing/handling Survival through food preparation Resistance transfer to human Colonization in human Disease Hurdles for transfer Development of resistant animal bacterial strain Treatment failure ? Sumber : Focosi (2005). Menurut Doyle (2005) penelitian tentang resistensi bakteri akibat penggunaan antibiotika yang diisolasi dari daging dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2005, dari laporan tersebut dilakukan percobaan untuk mengetahui jenis antibiotika yang paling sering menimbulkan resistensi bakteri dari berbagai jenis daging yaitu : 1. Daging sapi: tetrasiklin > streptomisin = sulfametoksazol > ampisillin > klorampenikol > sephalotin 2. Daging babi: tetrasiklin > streptomisin = sulfametoksazol > ampisillin > klorampenikol > gentamisin 3. Daging ayam : tetrasiklin > sulfa > streptomisin = sephalotin > ampisillin > klorampenikol > gentamisin 4. Daging kalkun: sulfametoksazol > tetrasklin > streptomisin > ampisillin >sephalotin > gentamisin 24 2.6.6. Pengaruh Terhadap Lingkungan Pemberian antibiotika secara oral seperti, tetrasiklin yang tingkat absorpsinya tidak sempurna dan sebagian besar diekskresi secara utuh. Pengaruh resistensi terhadap organisme yang terdapat di lingkungan termasuk Escheria coli sebagian besar tidak diketahui 2.6.7. Ekonomi Adanya laporan mengenai residu antibiotika dalam susu menimbulkan masalah di industri perusahaan susu. Residu antibiotika menghambat dan tidak sempurnanya produksi asam oleh bakteri starter kultur yang digunakan untuk menghasilkan produk seperti keju. Hal ini mengakibatkan kehilangan ekonomi karena meningkatnya biaya penjualan susu dan masalah kesehatan bagi konsumen. (Anthony, 1997). Pada tahun 2001 terjadi penolakan udang yang berasal dari Asia karena terdapat residu khloramfenikol. Residu antibiotika ini menyebabkan terjadinya penekanan pada sumsum tulang sehingga mengganggu pembentukan sel darah merah, hal ini menimbulkan aplastik anemi. Adanya residu antibiotika pada produk pangan asal hewan sudah tentu menjadi masalah Internasional, oleh karena dapat menimbulkan gangguan bagi kesehatan konsumen yang mengkonsumsi produk hewan yang mengandung atau tercemar residu (Naim, 2002). 25