Pemilihan Jenis Tanaman Restorasi Berdasarkan

advertisement
31
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Kandungan Karbohidrat, Kandungan Klorofil Total, Kemampuan Tanaman
Menyerap CO2, dan Kadar Air Daun
Kandungan karbohidrat, kandungan klorofil total, kemampuan tanaman
menyerap CO2, dan kadar air daun pada setiap jenis tanaman disajikan pada Tabel
3.
Tabel 3 Hasil pengukuran kandungan karbohidrat, kandungan klorofil total,
kemampuan tanaman menyerap CO2, dan kadar air daun pada 8 jenis
tanaman
Karbohidrat
Klorofil total
CO2
Kadar air
(%)
(mg/g)
(mg/cm2)
(%)
S. sigun
15.27 abc
2.94 d
6.78
58.17 abc
D. imbricatus
22.11 d
1.34 a
11.99
54.43 ab
S. lineatum
19.33 cd
2.14 bc
6.29
53.88 a
A. scholaris
10.35 a
2.56 cd
5.90
65.29 cd
M. glauca
17.20 bc
2.39 cd
7.06
69.06 d
S. wallichii
13.65 ab
1.65 ab
5.23
64.40 cd
A. excelsa
13.55 ab
1.78 ab
7.87
69.51 d
C. argentea
12.74 ab
2.35 c
5.27
61.50 bc
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
Spesies
Daun D. imbricatus memiliki kandungan karbohidrat tertinggi, yaitu
22.11%. Persentase karbohidrat terbanyak kedua dimiliki S. lineatum (19.33%),
tetapi tidak berbeda nyata dengan kandungan karbohidrat D. imbricatus.
Kandungan karbohidrat terendah dimiliki oleh A. scholaris (10.35%) dan tidak
berbeda nyata dengan C. argentea, A. excelsa, S. wallichii, dan S. sigun.
Rata-rata kandungan klorofil total tertinggi dimiliki oleh S. sigun. Nilai ini
tidak berbeda nyata dengan nilai rata-rata pada A. scholaris dan M. glauca,
sedangkan kandungan klorofil total A. sholaris dan M. glauca tidak berbeda nyata
dengan C. argentea. Kandungan klorofil total terendah dimiliki oleh D.
imbricatus.
Tanaman M. glauca mampu menyerap CO2 sebesar 0.71 kg pada usia tanam
2 tahun (tertinggi di antara jenis lainnya), namun tidak berbeda nyata dengan A.
32
excelsa, S. lineatum, dan S. sigun. Kemampuan tanaman dalam menyerap CO2 per
satuan luas (mg/cm2) tidak berbeda nyata pada semua jenis tanaman.
A. excelsa memiliki kadar air tertinggi (69.51%), tetapi tidak berbeda nyata
dengan M. glauca. Kadar air terendah dimiliki S. lineatum (53.88%), walaupun
tidak berbeda nyata dengan D. imbricatus dan S. sigun.
Hasil pengukuran kandungan karbohidrat dan serapan CO2 per pohon
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Kandungan karbohidrat dan dugaan CO2 yang diserap (per pohon)
Spesies
KH per pohon (kg)
CO2 per pohon (kg)
0.25 abc
S. sigun
0.04 a
D. imbricatus
0.33 abc
S. lineatum
0.08 a
A. scholaris
0.48 c
M. glauca
0.04 a
S. wallichii
0.45 bc
A. excelsa
0.18 ab
C. argentea
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam
tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
0.37 abc
0.06 a
0.49 abc
0.12 a
0.71 c
0.07 a
0.65 bc
0.27 ab
kolom yang sama
Dilihat dari kandungan karbohidrat per pohon, M. glauca memiliki nilai
terbesar (0.48 kg), tetapi tidak berbeda nyata dengan A. excelsa, S. lineatum, dan
S. sigun.
Tanaman M. glauca mampu menyerap CO2 sebesar 0.71 kg pada usia tanam
2 tahun (tertinggi di antara jenis lainnya), namun tidak berbeda nyata dengan A.
excelsa, S. lineatum, dan S. sigun. Kemampuan tanaman dalam menyerap CO2 per
satuan luas (mg/cm2) tidak berbeda nyata pada semua jenis tanaman.
Kandungan klorofil a dan b, serta nisbah klorofil a/b pada setiap jenis
tanaman dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai klorofil a pada setiap jenis pohon lebih
tinggi daripada nilai klorofil b. Nisbah klorofil a/b pada setiap jenis pohon tidak
berbeda nyata, hanya saja nisbah klorofil a/b berbeda nyata untuk S. lineatum dan
M. glauca.
33
Tabel 5 Kandungan klorofil a, b, dan nisbah klorofil a/b pada 8 jenis tanaman
Spesies
Klorofil a (mg/g)
Nisbah klorofil
a/b
1.07 ab
1.06 ab
1.09 b
1.06 ab
0.94 a
1.00 ab
1.05 ab
1.05 ab
dalam kolom yang sama
Klorofil b (mg/g)
S. sigun
1.47 d
1.36 d
D. imbricatus
0.66 a
0.62 a
S. lineatum
1.09 bc
0.99 bc
A. scholaris
1.27 cd
1.21 cd
M. glauca
1.15 bc
1.12 c
S. wallichii
0.80 a
0.80 ab
A. excelsa
0.87 ab
0.84 ab
C. argentea
1.21 cd
1.14 cd
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama
tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
Nilai kisaran kandungan klorofil total dapat dilihat pada Tabel 6. A.
scholaris memiliki nilai kisaran yg berdekatan dengan M. glauca. Rentang kisaran
nilai S. sigun paling besar dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya.
Tabel 6 Nilai kisaran kandungan klorofil total 8 jenis tanaman
Spesies
S. sigun
D. imbricatus
S. lineatum
A. scholaris
M. glauca
S. wallichii
A. excelsa
C. argentea
Nilai kisaran klorofil total (mg/g)
1.51-4.27
0.73-1.85
1.47-2.98
1.86-3.73
1.84-3.12
1.23-2.17
1.33-2.19
1.83-2.90
Berat, Jumlah, dan Luas Daun
Rata-rata berat, jumlah, dan luas daun untuk masing-masing jenis tanaman
disajikan dalam Tabel 7. Daun yang bobot per helainya paling perat adalah A.
scholaris (1.78 g), tetapi tidak berbeda nyata dengan daun jenis tanaman lainnya,
kecuali D. imbricatus. D. imbricatus memiliki ukuran daun teringan, yaitu 0.11 g.
Tanaman yang memiliki jumlah daun terbanyak adalah S. lineatum (4057 lembar).
M. glauca memiliki daun terluas, yaitu 65.07 cm2, walau tidak berbeda nyata
dengan C. argentea dan S. sigun. Ukuran daun D. imbricatus adalah yang paling
kecil (3.67 cm2). A. excelsa memiliki kadar air tertinggi (69.51%), tidak berbeda
34
nyata dengan M. glauca. Kadar air terendah dimiliki S. lineatum (53.88%), walau
tidak berbeda nyata dengan D. imbricatus dan S. sigun.
Tabel 7 Berat, jumlah, dan luas daun 8 jenis tanaman
Spesies
Berat daun (g)
Jumlah daun
Luas daun (cm2)
1.62 b
891 ab
53.01 de
S. sigun
D. imbricatus
0.11 a
1612 c
3.67 a
0.45 ab
4057 e
20.01 b
S. lineatum
1.78 b
404 a
42.78 cd
A. scholaris
M. glauca
1.75 b
1743 c
65.07 e
0.92 ab
376 a
37.83 c
S. wallichii
1.23 ab
2671 d
34.02 c
A. excelsa
C. argentea
1.42 ab
1041 b
54.32 de
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
Analisis Komponen Utama
Hasil analisis komponen utama terhadap parameter-parameter fotosintesis
yang diteliti menunjukkan bahwa dua komponen utama dapat menerangkan
keragaman total data parameter internal fotosintesis sebesar 83.7%. Keragaman
yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor pada komponen utama I (KU I)
sebesar 67.5%, sedangkan keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor
pada komponen utama II (KU II) sebesar 16.2% (Tabel 8).
Tabel 8 Matriks nilai ciri korelasi beberapa parameter fotosintesis
Komponen Utama
Nilai ciri
Keragaman
1
2
4.051
0.971
0.675
0.162
Akumulasi
keragaman
0.675
0.837
Hasil analisis komponen utama untuk menjelaskan interaksi parameter
internal fotosintesis menggunakan biplot menunjukkan bahwa dari beberapa
parameter internal fotosintesis yang dianalisis, CO2 merupakan parameter yang
paling menentukan pembentukan karbohidrat karena memiliki sudut terkecil dan
merupakan sudut lancip (Gambar 6), atau dengan kata lain terdapat korelasi
positif antara parameter karbohidrat dengan CO2. Parameter-parameter lainnya,
35
yaitu kandungan klorofil total, berat dan luas daun, serta kadar air, memiliki
korelasi negatif dengan karbohidrat.
1,5
Rs
1,0
Ps
KU II (16.2% )
Kair
0,5
..
Mg
Jm
CO2
Lm
Lm
Berat per daun
0,0
Rata2 luas per daun
KH
Sn
-0,5
Klo Tot
-1,0
Ks
Bl
-1,5
-5
-4
-3
-2
-1
KU I (67.5 % )
0
1
2
Gambar 6 Biplot interaksi 8 spesies tanaman dengan beberapa parameter
fotosintesis (Bl=beleketebe, Jm=jamuju, Ks=ki sireum, Lm=lame,
Mg=manglid, Ps=puspa, Rs=rasamala, Sn=saninten)
Data koefisien korelasi karbohidrat, klorofil total, CO2, dan kadar air daun
disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Koefisien korelasi karbohidrat, klorofil total, CO2, dan kadar air daun
Parameter
Klorofil Total
CO2
Kadar Air
Karbohidrat
-0.432
0.723
-0.629
Klorofil Total
-0.548
0.101
CO2
-0.334
Hasil analisis komponen utama dengan biplot juga dapat menjelaskan
bahwa setiap parameter yang dianalisis memberikan pengaruh yang berbeda pada
setiap jenis tanaman (Tabel 10).
Tabel 10 Karakteristis beberapa parameter fotosintesis pada setiap jenis tanaman
Parameter fotosintesis
Kandungan karbohidrat
Kandungan klorofil total
CO2
Kadar air
Spesies
D. imbricatus, S. lineatum
S. sigun, A. scholaris, M. glauca, C. Argentea
D. imbricatus, S. lineatum
A. excelsa, M. glauca, A. scholaris, S. wallichii
36
Kandungan C, N, C/N, dan Mg
Kandungan C dan N, C/N rasio, serta kandungan Mg daun dapat dilihat
pada Tabel 11.
Tabel 11 Kandungan C dan N, C/N rasio, serta kandungan Mg daun 8 jenis
tanaman
Spesies
S. sigun
D. imbricatus
S. lineatum
A. scholaris
M. glauca
S. wallichii
A. excelsa
C. argentea
C (%)
N (%)
C/N
Kandungan Mg
(%)
43.31 ab
45.06 bc
47.83 d
46.21 cd
44.11 abc
45.99 cd
42.14 a
46.53 cd
2.41 b
1.46 a
1.96 ab
1.92 ab
2.93 c
1.74 a
1.56 a
1.87 a
18.17 a
31.20 c
24.46 b
24.32 b
15.05 a
26.46 bc
27.28 bc
24.91 b
0.26
0.34
0.16
0.77
0.70
0.44
0.53
0.60
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama
tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
S. lineatum memiliki kandungan C tertinggi (47.83%), namun tidak berbeda
nyata dengan C. argentea, A. scholaris, dan S. wallichii, sedangkan kandungan C
terendah dimiliki oleh A. excelsa (42.14%), namun tidak berbeda nyata dengan S.
sigun dan M. glauca. Daun yang memiliki kandungan N tertinggi adalah M.
glauca, yakni sebesar 2.93%. Tanaman yang memiliki rasio C/N daun tertinggi
adalah D. imbricatus, sedangkan nilai terendah dimiliki oleh M. glauca (15.05%)
dan S. sigun (18.17%).
Kandungan Mg tertinggi dimiliki oleh A. scholaris (0.77%) disusul oleh M.
glauca (0.70%), sedangkan kadar Mg terendah dimiliki oleh S. lineatum (0.16%).
37
Analisis Sifat Kimia Tanah
Data nilai sifat kimia tanah dan kualitasnya disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Nilai sifat kimia tanah
Unsur yang dinilai
Nilai
Kriteria
C (%)
1.50
Rendah
N (%)
0.12
Rendah
C/N
13.00
Sedang
pH (H2O)
5.10
Rendah
pH (KCl)
4.53
Sedang
K
0.17
Rendah sekali
Na
0.36
Sedang
Ca
3.02
Rendah
Mg
1.43
Sedang
Keterangan: Kriteria mengacu ke Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999)
Pembahasan
Hasil analisis komponen utama untuk menjelaskan interaksi parameter
internal fotosintesis menunjukkan bahwa korelasi positif hanya terdapat antara
karbohidrat dan CO2. Parameter lain, yaitu kandungan klorofil total dan kadar air,
memiliki korelasi negatif dengan karbohidrat. Korelasi positif mengandung
pengertian bahwa apabila CO2 meningkat, maka karbohidrat akan meningkat.
Setiap tanaman memiliki karakteristik berbeda. Pemilihan jenis tanaman
restorasi dapat mempertimbangkan parameter yang lebih diutamakan. Hasil
analisis komponen utama menunjukkan bahwa, jika parameter CO2 menjadi
pertimbangan utama, maka D. imbricatus dan S. lineatum merupakan jenis yang
paling sesuai dibandingkan dengan 6 jenis tanaman lainnya. Tanaman yang lebih
besar kemampuan menyerap CO2 akan sangat berguna dalam usaha mitigasi
iklim. Tanaman yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi diharapkan akan
lebih cepat pertumbuhannya. Karakteristik kandungan klorofil tinggi dimiliki oleh
S. sigun. A. scholaris, M. glauca, dan C. argentea. Kandungan klorofil yang tinggi
pada daun menandakan tanaman tersebut akan efektif dalam menyerap sinar
matahari. Jenis-jenis ini akan baik digunakan untuk usaha restorasi di daerah yang
intensitas cahaya mataharinya beragam. A. excelsa, M. glauca, A. scholaris, dan
38
S. wallichii memiliki karakteristik dalam kadar air, sehingga tanaman ini diduga
dapat digunakan dalam usaha konservasi air dan baik jika ditanam di daerah yang
curah hujannya tinggi.
D. imbricatus memiliki kandungan karbohidrat tertinggi. Diduga karena
tanaman ini merupakan kelompok tanaman berdaun jarum (conifer), yang
memiliki ukuran daun terkecil dibanding dengan 7 jenis tanaman lainnya (luas
3.67 cm2), sehingga proses evapotranspirasinya kecil dan akumulasi fotosintatnya
besar. Dengan kata lain, CO2 yang diserap per pohon paling kecil nilainya, tetapi
CO2 yang diserap per satuan luas, paling tinggi. Karakterstik tersebut juga berlaku
untuk S. lineatum yang juga memiliki daun yang berukuran kecil (luas rata-rata
20.01 cm2).
Besaran nilai produk fotosintesis bersih (NPP) dapat didekati dengan cara
mengukur karbohidrat, biomassa, dan serasah (Landsberg & Gower 1997).
Setelah CO2 diserap oleh daun, maka akan diubah menjadi karbohidrat yang
kemudian akan diikuti oleh beberapa proses, seperti respirasi gelap, pembangunan
dan pemeliharaan sel, sebelum akhirnya terakumulasi menjadi biomassa hidup
dari tumbuhan (Kramer & Kozlowski 1979).
Tinggi rendahnya karbohidrat pada sampel disebabkan oleh distribusi hasil
fotosintesis. Nilai karbohidrat yang rendah menandakan bahwa karbohidrat lebih
banyak disimpan di dalam organ lain daripada di daun. Jumlah daun per tanaman
yang sedikit, memberikan kesempatan pada daun yang ada untuk menjadi source,
karena daun berkesempatan menerima cahaya dan menghasilkan fotosintat yang
digunakan oleh organ lain. Tanaman dengan jumlah daun banyak, kebanyakan
daun ternaungi, sehingga lebih banyak daun yang menjadi sink. Akibatnya, di
dalam populasi terlihat korelasi negatif antara hasil dengan jumlah daun.
Penelitian Rostini et al. (2003) menunjukkan bahwa hasil asimilasi yang tinggi
pada tanaman kedelai akan didistribusikan lebih banyak ke organ reproduksi
dibandingkan organ vegetatif.
Tingginya karbohidrat yang dihasilkan oleh suatu tumbuhan menentukan
kemampuan tumbuhan dalam menyerap CO2 yang digunakan oleh tumbuhan
tersebut untuk melakukan proses fotosintesis. Karbohidrat didapat dengan
mengubah CO2 menjadi (CH2O)n. Karbohidrat diperoleh dengan cara memfiksasi
39
CO2 bebas yang terdapat di udara. CO2 yang didapat akan dibawa ke dalam siklus
Calvin-Benson. Siklus Calvin-Benson atau reaksi gelap, adalah suatu siklus yang
tidak memerlukan cahaya matahari, seperti pada reaksi terang, dalam prosesnya.
Di dalam siklus Calvin-Benson karbondioksida akan diikat oleh enzim rubisco
dan selanjutnya akan membentuk sukrosa. Sukrosa-sukrosa yang terbentuk ini
akan diikat menjadi satu sehingga akan diperoleh pati yang nantinya digunakan
dalam proses respirasi untuk menghasilkan energi ataupun disimpan sebagai
cadangan makanan.
Semakin banyak tumbuhan menghasilkan pati, karbondioksida yang
difiksasi juga semakin banyak. Dengan banyaknya CO2 yang diserap maka emisi
CO2 akan makin berkurang, peningkatan suhu akibat efek gas rumah kaca dapat
diatasi sehingga pemanasan global dapat dikurangi. Dengan demikian,
kelangsungan hidup seluruh makhluk hidup dapat terjaga dengan baik.
Hasil analisis komponen utama menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat
daun dan kemampuan tanaman menyerap CO2 memiliki korelasi negatif dengan
kandungan klorofil total. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan mengenai
korelasi negatif ini. Tanaman C-3 cenderung mencapai puncak laju fotosintesis
pada intensitas cahaya dan suhu moderat, dan akan terganggu oleh suhu tinggi dan
intensitas cahaya penuh. Setiap proses fisiologis tumbuhan akan bekerja pada
besaran toleransi tertentu. Untuk suhu, sedikitnya ada batas minimum untuk
memulai kegiatan dan kegiatan akan berjalan cepat pada suhu optimum dan akan
berhenti pada titik maksimum. Ketiga titik tersebut dikenal sebagai Suhu Kardinal
(Odum 1996). Semua jenis tanaman yang diteliti merupakan tanaman C-3.
Diduga korelasi negatif berkaitan dengan konsep kejenuhan. Sinar matahari yang
ditangkap klorofil sebagai pusat reaksi sudah melebihi titik jenuh, sehingga
walaupun kandungan klorofil total daun tinggi, foton yang ditangkap tidak dapat
menghasilkan energi NADPH dan ATP yang berguna untuk mereduksi CO2 pada
reaksi gelap.
Tanaman, dalam proses fotosintesis, tidak dapat memanfaatkan semua
pancaran radiasi matahari yang sampai pada permukaan bumi, tetapi hanya radiasi
yang terletak pada batas panjang gelombang 400 - 700 nm. Bagian radiasi inilah
yang disebut radiasi nampak (visible radiation) atau cahaya yang juga dikenal
40
dengan istilah Radiasi Aktif Fotosintesis (PAR = photosynthetically active
radiation). Cahaya yang paling efektif dimanfaatkan oleh tanaman hijau adalah
biru dan merah. Diduga pada saat dilakukan pengukuran, tanaman tidak mendapat
cahaya yang efektif untuk fotosintesis. Dari segi ekologi, bagi kehidupan
organisme yang penting radiasi adalah kualitas sinar (panjang gelombang dan
warna) dan intensitas cahaya (lama penyinaran), karena laju fotosintesa akan
bervariasi sesuai dengan perbedaan panjang gelombang yang ada.
Luas daun berpengaruh terhadap kandungan klorofil total. Menurut Gardner
et al. (1985) permukaan daun yang luas dan datar memungkinkan daun
menangkap cahaya secara maksimal per satuan volume dan meminimalkan jarak
yang harus ditempuh oleh CO2 dari permukaan daun ke kloroplas. Semakin besar
luas daun dan semakin tinggi intensitas cahaya matahari, maka cahaya yang
mampu diserap oleh daun tinggi dan laju fotosintesis akan terjadi secara
maksimum.
Peringkat kandungan klorofil total berturut-turut adalah S. sigun, A.
scholaris, M. glauca, C. argentea, S. lineatum, A. excelsa, S. wallichii, dan D.
imbricatus. Jika dilihat dari hasil analisis statistiknya, nilai kandungan klorofil
kedelapan jenis tersebut tidak berbeda nyata antara satu spesies dengan spesies
tertentu lainnya. Kandungan klorofil S. sigun tidak berbeda nyata dengan A.
scholaris dan M. glauca. Kandungan klorofil A. scholaris dan M. glauca juga
tidak berbeda nyata dengan C. argentea, sedangkan kandungan klorofil A.
argentea tidak berbeda nyata dengan S. lineatum. S. lineatum memiliki nilai
kandungan klorofil yang tidak berbeda nyata dengan A. excelsa dan S. wallichi. A.
excelsa dan S. wallichi memiliki total klorofil yang tidak berbeda nyata dengan
D. imbricatus.
Adanya perbedaan hasil pengukuran dapat disebabkan karena kandungan
klorofil total yang dikandung dalam daun mengalami degadrasi. Walaupun
penanganan sampel dari lapangan ke laboratorium telah diusahakan sebaik
mungkin, terkadang ditemukan perubahan pada warna daun. Jika klorofil terkena
asam, maka Mg akan tergeser oleh 2H dan kemudian merupakan suatu per
senyawaan yang disebut feofitin, berwarna coklat (Dwidjoseputro 1986). Daun S.
lineatum cepat berubah menjadi kecoklatan jika kadar airnya berkurang. Klorofil
41
juga sensitif terhadap paparan cahaya. Hasil lebih baik diperoleh bila
mengekstraksi jaringan segar dan pengukuran klorofil segera dilakukan, walaupun
ekstrak dapat disimpan dalam aseton pada suhu -20 sampai -30 oC tanpa
kehilangan nilai yang berarti (Harborne 1987).
Perbedaan kandungan klorofil pada jenis tanaman yang berbeda, yang
tumbuh pada lingkungan sama, menunjukkan adanya perbedaan respon fisiologi
yang berbeda. Hasil penelitian Suharja & Sutarno (2009) pada dua varietas cabai
yang diberi kandungan pupuk berbeda adalah tidak sama. Rendahnya kandungan
nutrien serperti N dan Mg akan mempengaruhi pembentukan klorofil. Nitrogen
berkaitan erat dengan sintesis klorofil, juga protein dan enzim. Enzim Rubisco
berperan sebagai katalis dalam fiksasi CO2 (Salisbury & Ross 1995).
Daun dengan kandungan klorofil tinggi tidak selalu menghasilkan serapan
CO2 tinggi karena masih banyak faktor lain yang menentukan laju serapan CO2.
Banyak faktor yang harus diperhatikan dalam pengukuran laju serapan CO2
tanaman agar dicapai interpretasi nilai laju fotosintesis yang benar. Faktor yang
perlu diperhatikan antara lain adalah metode yang digunakan, kondisi lingkungan
tumbuh dan mikroklimat pada saat pengukuran, ukuran atau umur tanaman yang
diukur, umur daun (daun muda/daun tua), serta akurasi alat yang digunakan.
Tanaman yang tumbuh atau diukur pada kondisi alam in situ biasanya memiliki
laju serapan CO2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh
pada kondisi lingkungan terkontrol seperti rumah kaca. Untuk itu, dalam
penelitian harus disertakan spesifikasi kondisi pertumbuhan tanaman dan
lingkungan pada saat pengukuran serta metode dan instumen yang digunakan
(Hidayati et al. 2011).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa klorofil a memiliki hubungan
positif dengan klorofil b dan total klorofil, dan secara positif berhubungan dengan
berat segar daun. Hasil ini sama dengan hasil penelitian Suharja & Sutarno
(2009). Hal ini dapat dipahami karena klorofil a merupakan prekursor klorofil b,
sementara klorofil a dan b merupakan komposisi total klorofil daun dan juga
bagian dari berat segar tanaman.
Nisbah klorofil a/b pada semua jenis tanaman tidak berbeda nyata. Hal ini
menunjukkan bahwa kondisi lingkungan, seperti cahaya matahari yang diperoleh
42
daun sampel relatif sama. Peningkatan klorofil b dapat terjadi karena daun bagian
bawah menerima cahaya yang lebih sedikit dan adanya konversi klorofil a
menjadi klorofil b (Folly & Engel 1999).
Hasil analisa C-organik daun menunjukkan persentase karbon tertinggi
dimiliki oleh S. lineatum, walau tidak berbeda nyata dengan C. argentea, A.
scholaris, dan S. wallichii, tetapi cukup menggambarkan adanya kesamaan
dengan dengan hasil analisa karbohidrat. S. lineatum memiliki nilai tertinggi
kedua setelah D. imbricatus. Nilai ini juga tidak berbeda nyata.
Tanaman yang memiliki N-organik tertinggi adalah M. glauca, diikuti S.
sigun, kemudian A. scholaris. Nilai ini sejalan dengan kandungan klorofil total
ketiga tanaman tersebut. Penelitian kandungan nitrogen pernah dilakukan oleh
Suharno et al. (2007) terhadap tanaman A. excelsa. A. excelsa memiliki persentase
nitrogen daun sebesar 1.33%. Tipe emergen pada saat daun masih muda memiliki
nilai nitrogen yang lebih rendah dibandingkan tipe underlayer (di bawah naungan).
Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian, bahwa A. excelsa memiliki
kandungan nitrogen yang lebih rendah dibandingkan tanaman S. wallichii atau S.
sigun, yang termasuk tipe kanopi.
Hasil analisis Mg menunjukkan, bahwa tanaman yang memiliki kandungan
klorofil tinggi, pada umumnya memiliki kandungan Mg yang juga tinggi.
Magnesium dan nitrogen merupakan unsur pembentuk molekul klorofil, dapat
dilihat dari rumus kimianya, yaitu C55H72O5N4Mg untuk klorofil a dan
C55H70O6N4Mg untuk klorofil b (Harborne 1987).
Kandungan klorofil dan karbohidrat yang berkorelasi negatif, tidak berarti
menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya jumlah klorofil, karbohidrat
yang terbentuk akan menurun. Hal ini bisa disebabkan karena tumbuhantumbuhan tertentu tidak menyimpan banyak pati di dalam daunnya, tetapi
menyimpannya dalam organ lain, seperti buah, batang, atau akar. Klorofil dan
karbohidrat memiliki hubungan erat dalam proses fotosintesis, klorofil yang
berperan dalam fotolisis air akan menyediakan energi bagi tumbuhan untuk
melakukan proses fotosintesis, sehingga tanpa adanya klorofil tidak mungkin bagi
tumbuhan dapat membuat makanannya sendiri.
43
Pohon dengan laju pertumbuhan cepat memiliki asimilasi CO2 relatif lebih
tinggi pada tanaman beriklim tropis (Hidayati et al. 2009). Hasil monitoring Tim
KRC menunjukkan bahwa di antara kedelapan jenis tanaman restorasi, D.
imbricatus dan S. lineatum memiliki keragaan terbaik. D. imbricatus memiliki
laju pertumbuhan tertinggi dan S. lineatum memiliki tingkat ketahanan hidup yang
paling tinggi (Rahman et al. 2011). Hal ini sesuai dengan hasil dalam penelitian
ini, bahwa D. imbricatus memiliki kemampuan menyerap CO2 tertinggi diikuti
oleh S. lineatum, walaupun tidak berbeda nyata dengan jenis lainnya. Kedua jenis
tanaman ini juga memiliki kandungan karbohidrat daun tertinggi. Tumbuhan yang
sedang tumbuh memiliki laju fotosintesis dan laju translokasi fotosintat yang
tinggi (Lakitan 2010).
Proses fotosintesis juga membutuhkan air. Jika tumbuhan kekurangan air,
maka translokasi air dari akar ke daun berkurang. Untuk mengurangi kehilangan
air, terlebih pada kondisi kelembaban udara sangat rendah, maka bukaan stomata
akan mengecil bahkan menutup. Dengan demikian masuknya gas CO2 ke dalam
daun lewat stomata akan berkurang. Kemampuan fotosintesis akan meningkat
dengan bertambahnya umur dan luasan daun (Salisbury & Ross 1995; Taiz &
Zeiger 2003; Lakitan 2010).
Karena komponen utama tanaman hijau adalah air, maka berat basah, berat
kering dan kandungan air akan mempunyai asosiasi yang kuat. Banyak faktor
yang mempengaruhi asosiasi tersebut seperti jenis spesies, umur, dan kondisi
pertumbuhan tanaman. Dengan demikian kandungan air dalam kanopi daun
merupakan faktor penting dalam deteksi potensi kebakaran hutan (Chuvieco et al.
2002), atau peningkatan kandungan air tanah (Yilmaz et al. 2008). Pengaruh
kekurangan air pada tanaman padi akan menyebabkan pertumbuhan tanaman
menjadi lebih pendek, jumlah anakan berkurang, luas daun lebih kecil, pengisian
bulir padi berkurang, dan akhirnya akan mengurangi produksi padi (Yoshida
1981).
Hasil pengukuran kadar air pada penelitian ini menunjukkan bahwa A.
excelsa dan M. glauca memiliki kadar air yang paling tinggi. Dapat diasumsikan
bahwa kedua jenis tanaman ini memiliki kemampuan lebih tinggi dalam kapasitas
menyerap air dan menyimpan air di daun dibandingkan dengan kelima jenis
44
tanaman lainnya. Air masuk ke dalam tumbuhan melalui akar pada pembuluh
angkut xilem menuju daun. Elektron dihasilkan dari pemecahan molekul air
dengan produksi oksigen berkesinambungan ditranspor melalui rantai transpor
elektron yang tertanam dalam membran tilakoid. NADPH dan ATP yang
dihasilkan dari proses ini digunakan dalam reaksi gelap fotosintesis untuk
menghasilkan karbohidrat (Lambers et al. 2008). Kadar air S. lineatum dan D.
imbricatus adalah yang paling rendah. Dapat dijelaskan bahwa dalam kondisi
lingkungan yang sama, kapasitas transpor air juga sama, sehingga air yang
tersimpan di daun lebih sedikit (Lambers et al. 2008).
Kondisi lingkungan tumbuh yang dapat berakibat pada penurunan
fotosintesis atau serapan CO2 termasuk intensitas cahaya yang kurang, suhu dan
ketersediaan hara yang rendah
(Cleumans & Saugier 1991), sehingga akan
mempengaruhi produktivitas tamanan. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa
nilai-nilai tersebut tergolong sedang sampai sangat rendah. Menurut sejarahnya
lahan tersebut merupakan eks-lahan milik Perum Perhutani Unit III yang ditanami
tiga spesies kayu utama yang ditanam monokultur di wilayah ini. Ketiga jenis
pohon yang ditanam
adalah Altingia excelsa, Agathis damara, dan Pinus
merkusii. Setelah penebangan pada tahun 2003, wilayah yang terbuka
dimanfaatkan oleh petani lokal sampai sekarang. Para petani menanam tanaman
tahunan seperti jagung, singkong, cabai, kacang panjang, dan lain-lainnya.
Sementara, lahan yang ditinggalkan didominasi oleh tanaman liar. Rendahnya
nilai hara organik diduga karena unsur hara telah banyak terserap oleh tanaman
sebelumnya. Proses perputaran hara juga akan rendah karena tumbuhan di lahan
ini masih merupakan tumbuhan muda dan sebagian merupakan tanaman budidaya
semusim. Kemiringan dan terbukanya kondisi lahan juga mempengaruhi
rendahnya kandungan unsur hara organik. Erosi tanah lebih mudah terjadi pada
lahan miring dan terbuka.
Pada kondisi lingkungan yang baik bagi tanaman, penyaluran energi dalam
bentuk reaksi fotokimia relatif besar, sehingga proses fotosintesis akan berjalan
dengan laju yang tinggi, sejalan dengan tingginya laju transpor elektron dalam
reaksi terang fotosintesis. Namun dalam keadaan lingkungan yang kurang
menguntungkan, seperti cekaman kekeringan, keasaman tinggi, dan suhu
45
rendah/tinggi, penyaluran energi ke arah fotokimia akan mengalami hambatan
(Taiz & Zeiger 2003).
Area restorasi merupakan daerah yang terbuka. Pohon yang ditanam dalam
usaha restorasi harus memiliki beberapa kriteria yang sesuai, yaitu semai dapat
beradaptasi dengan mudah di tempat terbuka, merupakan spesies yang dapat
tumbuh dengan cepat, serta spesies yang dapat berkompetisi dengan rumput liar
dan jenis-jenis gulma lainnya (Hidayati et al. 2009). Merujuk pada kriteria
tersebut dan tingginya emisi CO2 saat ini, tanaman yang sesuai ditanam pada
lahan restorasi adalah D. imbricatus dan S. lineatum.
Terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhi penelitian, diperlukan
penelitian lanjutan untuk skala sampel yang besar dan rentang penelitian yang
lebih lama, sehingga dapat diperoleh data yang lebih baik.
Download