masa depan teknokrat kita.

advertisement
Masa Depan Teknokrat Kita
KOMPAS, Selasa, 9 Maret 2010 | 02:39 WIB
Makmur Keliat
Kasus Bank Century hampir tidak mungkin terbayangkan dalam masa rezim Orde
Baru. Kecuali menjelang keruntuhannya pada tahun 1998, seluruh tindakan kebijakan
ekonomi yang diluncurkan pada masa rezim itu berkuasa hampir tidak memiliki
gaung politik.
Kebijakan anggaran berimbang yang menggantikan kebijakan anggaran defisit,
beberapa tindakan devaluasi mata uang rupiah, penanganan kasus Pertamina dan juga
kebijakan pengetatan ikat pinggang pada pertengahan 1980-an adalah beberapa
contoh peluncuran kebijakan ekonomi yang berjalan mulus tanpa guncangan politik
berarti. Situasi seperti ini tampaknya telah menjadi suatu ”kemewahan” dalam satu
dasawarsa terakhir.
Teknokrasi vs demokrasi
Dalam salah satu tulisannya, Indonesia Since The 1960s: Crises and Reforms (1994),
Iwan J Azis telah mengidentifikasikan salah satu sebab mengapa Orde Baru memiliki
kapasitas untuk meluncurkan kebijakan ekonomi tanpa gejolak politik itu. Ekonom
Indonesia yang kini bermukim di Amerika Serikat itu secara gamblang menyebutkan
tidak adanya faktor checks and balances sebagai sebab fundamental mengapa seluruh
kebijakan ini dapat berjalan lancar.
Dengan tidak adanya pertarungan di antara kekuatan politik dan kompetisi di antara
lembaga-lembaga negara, Soeharto pada masa itu telah menjadi the sole checker dan
sekaligus the balancer. Di bawah format politik seperti ini pulalah seluruh teknokrat,
yang umumnya dari kelompok Widjojo Nitisastro, yang diistilahkan dengan sinis
sebagai ”Mafia Berkley” itu, bekerja dan mendapatkan suatu ”jalan bebas hambatan”
untuk melakukan kebijakan pembaruan ekonomi.
Analisis yang mirip dengan itu juga dikemukakan oleh Boediono dalam tulisannya di
Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES), Vol 41 No 3, 2005. Boediono, yang
kini Wakil Presiden, menyebutkan dengan terus terang bahwa kredibilitas dan
kekuatan strategi Orde Baru dalam meluncurkan kebijakan ekonominya tidak berasal
dari petunjuk-petunjuk umum tentang apa yang akan dilakukan pemerintah seperti
yang termuat dalam tumpukan tebal dokumen Repelita.
Menurut Boediono, kredibilitas dan kekuatan strategi Orba justru terletak dari
tindakan nyata yang dilakukan rezim sesuai yang disarankan dan dimonitor teknokrat.
Ringkasnya, teknokrat bekerja sepenuhnya di bawah payung protektif Presiden.
Yang lalu menarik dipertanyakan adalah apakah demokrasi yang tengah kita bangun
satu dasawarsa terakhir ini telah menutup jalan bagi para teknokrat untuk berperan
dalam pembaruan kebijakan ekonomi? Bukankah dengan berubahnya format politik
negeri ini, teknokrat tidak lagi leluasa untuk melakukan pembaruan ekonomi? Bagi
sekelompok orang, jawaban terhadap pertanyaan ini hampir dapat dipastikan.
Kelompok ini akan menyatakan bahwa ”kemewahan” untuk mendapatkan ”jalan
bebas hambatan” telah tertutup. Argumennya adalah dengan mempertentangkan
watak teknokrat dan politisi. Secara filosofis, watak teknokrat disebutkan bekerja atas
dasar asas kemampuan spesialisasi teknis, sedangkan politisi bekerja atas dasar
kemampuan memuaskan para pendukung politiknya. Jika teknokrat sangat nyaman
bekerja dalam teknokrasi, politisi sangat bergembira bekerja dalam alam demokrasi.
Jika teknokrasi cenderung membatasi akses jumlah aktor yang terlibat dalam
pembuatan keputusan, demokrasi cenderung memperluas sebanyak mungkin
pelibatan aktor-aktor politik.
Bertumpu pada argumen teknokrasi versus demokrasi seperti ini suatu hipotesis
kemudian dibangun untuk menjelaskan kesulitan politik yang kini dihadapi Boediono
dan Sri Mulyani. Hipotesis itu intinya adalah bahwa kedua tokoh ini, yang
merepresentasikan peran teknokrat, merupakan ”korban” dari demokrasi. Atas dasar
hipotesis ini pula dibuat suatu proyeksi bahwa teknokrat, jika berada dalam kabinet,
akan tetap menjadi titik lemah (soft belly) dari pertarungan politik yang ada sekarang
dan pada masa depan. Alasannya adalah teknokrat tidak memiliki basis politik yang
kuat di partai dan lembaga legislatif sehingga jika berada dalam kabinet akan tetap
menjadi sasaran empuk atau merupakan tindakan ”bunuh diri” dari kompetisi politik
yang ada.
Kepemimpinan politik
Apakah demikian halnya? Penulis tidak sepakat sepenuhnya menganut pandangan
seperti ini. Ada dua keberatan utama yang penulis ajukan. Alasan pertama adalah
alasan normatif. Hipotesis seperti ini dapat membujuk sekaligus menjebak kita untuk
menyimpulkan bahwa pembaruan ekonomi hanya dapat dijalankan oleh teknokrat
jika demokrasi ”dimatikan” dan kita kembali pada format politik Orba. Alasan kedua
terkait dengan alasan empiris. Hipotesis teknokrasi versus demokrasi ini memiliki
keterbatasan untuk menjelaskan pembaruan ekonomi India (yang juga bekerja di
bawah format politik demokrasi) dalam dua dasawarsa terakhir melalui kehadiran
tokoh, seperti Manmohan Singh.
Dengan latar belakang seperti ekonom lainnya di Indonesia, Manmohan Singh,
alumnus Oxford dan Cambridge itu, ditunjuk sebagai menteri keuangan di bawah
kepemimpinan Narasimha Rao pada awal 1990-an. Kini, tokoh itu bahkan sudah
sekitar satu dasawarsa jadi Perdana Menteri India. Tanpa perlu mematikan
demokrasi, India telah melanjutkan reformasi ekonomi yang telah diluncurkan sejak
1990-an dan yang jadi salah satu faktor untuk menjelaskan mengapa pertumbuhan
ekonomi India cukup mengesankan.
Kasus Manmohan ini menyampaikan pesan bahwa para teknokrat dapat bekerja
secara efektif dalam format politik demokrasi. Karena itu, masalahnya barangkali
bukan di demokrasi, tetapi mungkin terletak pada dua faktor. Pertama, kepemimpinan
politik. Ketika sebagai menkeu, Manmohan Singh meluncurkan reformasi
ekonominya, kritikan luar biasa juga terjadi. Namun, Narasimha Rao sebagai PM
ketika itu secara tegas memberikan proteksi bagi Manmohan Singh.
Dukungan tak sekadar melalui wacana dan pernyataan pidato, tetapi juga tindakan
nyata para pemimpin partai Kongres lain. Dengan kata lain, Manmohan tak
ditinggalkan sendiri saat menghadapi tekanan dari kelompok oposisi, apalagi
dijadikan ”korban” pertarungan politik.
Faktor kedua, terkait cara pandang teknokrat itu sendiri terhadap politik. Manmohan
tidak antipolitik. Ia menyadari benar, setiap kebijakan pembaruan ekonomi dalam
format politik demokrasi harus mendapatkan dukungan politik. Karena itu, walaupun
memiliki latar belakang sebagai teknokrat, ia punya dukungan politik kuat dari partai
Kongres. Di samping sebagai teknokrat, Manmohan sesungguhnya juga adalah
seorang politisi.
Dua faktor ini barangkali perlu disorot untuk melihat kesulitan politik yang kini
dihadapi Boediono dan Sri Mulyani. Tentang faktor kepemimpinan, misalnya,
Boediono dalam tulisan di jurnal BIES itu menyatakan betapa pentingnya sikap
ketegasan seorang Presiden dalam melindungi tim pembuat kebijakan ekonomi di
pemerintahan. Namun, sayang sekali ia tidak menyebutkan tentang perlunya juga
seorang ekonom untuk tidak hanya menjadi teknokrat, tetapi juga sebagai seorang
politisi seperti yang telah dan sedang dilakukan oleh Manmohan Singh di India.
MAKMUR KELIAT Pengajar Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI
SUMBER: KOMPAS
Download