beberapa aspek hukum interiusional dalam masalah pembajakan

advertisement
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERIUSIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
S K R IP S L
OLEH
HERU PRASETYO
PAKULTA3 HUKUM U l-ilV E R S IT A S AIRLAMCjGA
S U R A B A Y A
19 8 3
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM HASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
SKRIPSI
DIAJUKAN UNTUK
MELENGKAPI TUGAS
DAN MEMENUHI SYARAT-SYARAT UNTUK
MENCAPAI GELAR. SARJANA HUKUM
OLEH
HERU PRASETYO
NO. POKOK 037710344
tfAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA
S U R A B A Y A
1 9 8 3.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
KATA PEfoGANTAR
Dengan mengucap puji dan syukur yang tak terhingga
ke hadirat Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, serta
berkat petunjukNya, maka selesailah saya menyusun skripsi
ini dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi salah satu
syarat untuk mencapai gelar sarjana di lingkungan Pakultas Hukum Universitas Airlangga.
Saya menyadari bahwa skripsi ini memang jauh dari
sempurna. Karenanya ada harapan pada diri saya bahwa pe­
nulisan ini bukan merupakan suatu karya yang terakhir,
akan tetapi kiranya dapat dijadikan dasar dalam mengemban
segala tugas kehidupan yang dinamis untuk menyongsong hari esok yang lebih cemerlang.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga kepada yang terhormat :
\
1. bapak Dr. J.E. Sahetapy, S.H. Dekan Fakultas Hukum
Universitas Airlangga beserta staf;
2. bapak J. Hendy Tedjonagoro, S.H. sebagai perabimbing
pertama dan bapak Kermawan PS. Notodipoero, S.H. seba­
gai pembimbing kedua yang telah sudi meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan hingga selesainya skrip­
si ini;
3. para Dosen dan Asisten di lingkungan Fakultas Kukum
Universitas Airlangga yang telah membekali saya dengan
ilmu pengetahuan yang berguna;
Skripsi
iii
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
4 * ayah dan ibu tercinta yang telah membiayai, mendorong,
dan member! doa restu selaraa belajar di Fakultas Hukum
Universitas Airlangga;
5 . serta segenap handai taulan dan teman-teman yang tidak
sedikit memberikan bantuan balk materiil maupun moril
aehingga saya dapat menyelesaikan kuliah.
Akhir kata, dengan segala kekurangan yang ada semoga skripsi ini dapat berraanfaat bagi siapa; saja; .
Surabaya, 22 Agustus 1983
Penulis
iv
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFIAR ISI
Hal am an
KATA P E N G A N T A R ................................. ‘
iii
DAPTAR ISI
PENDAHULUAN
BAB
v
. . • .
..........................
1
I IINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBAJAKAN PESAWAI UDARA'
...
. . . . . .
1. Rumusan Yuridis Pembajakan Pesawat
Udara
11
.
* ...........................
11
2. Perbedaaa Aspek Hukum Antara Pembajakan Pesawat Udara dan Pembajakan Kapal
Laut
BAB
. . ..........................
19
II YURISDIKSI DALAM MENGADILI PELAKU PEMBA­
JAKAN PESAWAT U D A R A ............ ..
22
1. Yurisdiksi Mengadili Pembajak Menurut
Hukum Internasional.................
22
2. Yurisdiksi Mengadili Pembajak Pesawat
U d a r a ...............................
24
a. Wewenang Negara Di Mana Pesawat
Didaftarkan
. . . ...............
27
b. Wewengan Negara Yang Didarati Pesa­
wat Yang Dibajak Beserta Pembajak
Di D a l a m n y a .....................
31
c. Wewenang Negara Di Mana Perusahaan
yang Menyewa Pesawat Mempunyai
T
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tempat Uaaha Utama Atau Tempat Tinggal T e t a p .........................
32
d. Wewenang Negara Di Mana Pembajak Di- .~
k e t e m u k a n .........................
BAB
33
III EKSTRADISI PELAKU PEMBAJAKAN PESAWAT
U D A R A ......................... ..
37
1. Daaar-Dasar Ekstradisi Dalam Masalah
Pembajakan Pesawat Udara
.........
37
2. Penolakan Ekstradisi Berdasarkan
Alasan Politik
BAB
...................
46
IV LANGKAH-LANGKAH PENCEGAHAN DAN PENANGGU1ANGAN PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA . . .
50
1. Usaha Negara-Negara Mencegah Terjadinya Pembajakan Pesawat Udara • . . .
51
2. Eewajiban. Negara-Negara Dalam Menanggulangi Pembajakan Pesawat Udara Ber­
dasarkan. Konvensi ...................
KESIKPULAN DAN .................................
54
63
DAPTAR BACAAii
Skripsi
vi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
PEKDAHULUAN
Sampai saat ini, penerbangan sipil internasional
merupakan sarana angkutan yang amat. penting di dunia disebabkan kecepatan dan efisiensinya. Mengingat fungsi pe­
nerbangan ini, .maka perlu adanya jaminan keselamatan ter­
hadap pesawat, penumpang, dan awak pesawatnya demi kelancaran penerbangan tersebut* Memang, hingga saat ini
bahaya-bahaya operasional dan gangguan alam atas kesela­
matan penerbangan relatif sudah dapat diatasi dengan kemajuan tehnologi dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi adalah
eangat ironis apabila bahaya-bahaya yang datang dari
manusialah yang sangat sukar untuk diatasi.^
Bahaya-bahaya itu timbul karena penguasaan pesawat
secara melawan hukum oleh pembajak-pembajak atau tindakan
lain yang mengganggu keselamatan penerbangan dan sarana
penerbangan, misalnya dengan menempatkan bom di pesawat
udara, pen^rusakan atau penghancuran sarana penerbangan
dengan jalan sabotase.
Meskipun dalam beberapa kasus .pembajakan, data yang
menunjukkan jumlah penumpang yang terkena akibat langsung
adalah relatif kecil, namun dapat diperkirakan bahwa yang
Agrawala, Aircraft Hijacking and Internatio­
nal Law. Bombay : N.M. Tripathy Private Ltd., 1973, h. 13
1
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
menjadi korban pembajakan itu telah. mewakili hampir semua
negara di dunia, seningga dapat ditarik kesimpulan bahwa
pembajakan pesawat udara merupakan masalah dunia dan hu­
kum internasional.
1. Permasalahan
Penerbangan sipil internasional merupakan sarana
penghubung antar negara, maka akibat pembajakan itu tidak
hanya dirasakan oleh satu negara saja, akan tetapi akibat
tersebut dapat dirasakan oleh banyak negara di dunia, dan
sebagai dinyatakan dalam Penjelasan Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963,
Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971 pada
Alinea II, baiiwa kejahatan penerbangan wajib dinyatakan
sebagai suatu perbuatan pidana yang menimbulkan keprihatinan bagi seluruh umat manusia, sehingga pencegahan ser­
ta pemberantasannya perlu diusahakan oleh setiap negara
dengan mengancam hukuman yang berat bagi si pelaku di ma-.
napun ia berada.
2
Jadi di sini pembajakan pesawat udara
dianalogikan seperti pembajakan kapal di laut, yaitu me­
rupakan "delict jure gentium", yang pada dasarnya pelaku
pembajakan dapat ditangkap, diadili, dan dihukum oleh.
^Chiair Ali, Himpunan Lengkap Undang-Undang dan
Peraturan tentang Ekstradisi, Ke.ianatan Penerbangan, Kejanatan Narkotika, Interpol, Persetu.juan Ker.jasama di Biaang Peractilan, Bina Uipta, Bandung, flesember 1980r h.177
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
3
semua negara atas dasar "bahwa pembajakan adalah "hostis
humani generis" atau musuh seluruh umat manusia. Akan
tetapi melihat tempat dilakukan, motif pembajakan, dan
korbannya, maka masyarakat dunia memandang pembajakan pe­
sawat udara secara yuridis berbeda dengan pembajakan ka­
pal di laut, meskipun dalam beberapa hal ada sedikit persamaan. Oleh karenanya perlu ditelaah, apakan yang dimaksud dengan pembajakan pesawat udara itu, dan aspek-aspek
hukum apa yang membedakan pembajakan pesawat udara dengan
pembajakan kapal.'di laut ?.
Dibandingkan dengan pembajakan kapal di laut, maka
pembajakan pesawat udara merupakan masalah yang baru,
sebab kwantitas dan kwalitas pembajakan pesawat udara
mulai berkembang dengan pesat sejak sekitar tahun i960
di mana sebagian besar mempunyai motif politik. Hanya sebagian kecil saja yang mempunyai motif kriminal seperti
perampasan harta benda dan permintaan uang tebusan,
*
Berhubung hampir semua korban pembajakan ini ada­
lah pesawat-pesawat udara dari penerbangan sipil milik
negara, maka negara-negara dalam masyarakat internasional
sepakat untuk menentukan yurisdiksi dalam mengadili pem­
bajak yang tertangkap. Dasar pemikiran untuk menentukan
yurisdiksi ini adalah pandangan masyarakat dunia yang
tidak lagi memandang pembajakan pesawat udara sebagai
'S.K. Agrawala, loc. cit.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
4
suatu "delict jure gentium", tetapi merupakan perbuatan
pidana biasa yang diancam dengan hukuman yang berat.^
Sehingga dalam menangani masalah ini dipakai asas "aut
punire, aut dedere", yaitu penjahat harus dihukum oleh
negara teritorial atau diserahkan kepada negara yang ber­
wenang untuk menjalankan yurisdiksi terhadap pelaku keja­
hatan tessebut. Namun karena sebagian besar pembajakan
pesawat udara mempunyai motif politik, pesawat yang men­
jadi korban pembajakan, dan negara-negara yang berkepentingan dengan pembajakan tersebut sering bertentangan
satu dengan lainnya, maka pertanyaan mengenai negara mana
yang berwenang mengadili pembajak, masih merupakan dilema,
Baru pada tahun 1970 masalah ini dapat dipecahkan, yaitu
setelah adanya "Convention for the Suppression on Unlaw­
ful Seizure of Aircraft", atau lebih dikenal dengan Kon­
vensi The Hague 1970, di mana dalam pasal 4 Konvensi Ini
ditentuican mengenai negara-negara mana yang berwenang un­
tuk mengadili pembajak yang tertangkap. Wewenang yang diberikan oleh Konvensi The Hague 1970 untuk menetapkan yu­
risdiksi adalah merupakan suatu perkembangan yang berbeda
dengan wewenang menetapkan yurisdiksi yang ada pada pemba­
jakan kapal laut.
^Pasal 7 konvensi The Hague 1970 menyatakan ; "...
for the purpose of prosecution, those authorities shall
take, their aecision.in the .same manner as in the case of
any ordinary offence of serious nature ...".
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Dengan adanya Konvensi The Hague 1970, maka ada
suatu dasar hukum untuic menetapkan yurisdiksi. Namun kon­
vensi ini belum merupakan suatu alat yang "applicable",
karenanya masih memerlukan penafsiran mengenai wewenangwewenang yang bagaimana yang timbul pada negara-negara
anggota yang meratifikasi konvensi The Hague dengan adanya
hak untuk menetapkan yurisdiksi seperti yang terdantum
dalam pasal 4 Konvensi The Hague tersebut ?.
Karena hampir semua pembajakan pesawat udara dila­
kukan dengan motif politik, maka kemungkinan terbesar
adalah pelaku pembajakan itu melarikan diri ke negara
yang dapat memberikan suaka politik pada dirinya. Dalam
hal demikian, maka timbul suatu kontradilcai antara -.pembajakan sebagai suatu tindak pidana biasa dan pembajakan
sebagai suatu kejahatan politik, sebab sudah menjadi aSa's
yang umum bahwa tanpa suatu perjanjian ekstradisi dan
terhadap pelaku kejahatan politik tertentu, ekstradisi
tidak dapat dilaksanakan. Karenanya perlu kiranya ditelaah pelaku pemoajakan yang b^gaimanakah yang dapat diekstradisikan dan apa dasar pelaKsanaan ekstradisi tersebut?
Lebih lanjut, apabila ada negara yang menolak mengekstradisi pelaku pembajaican dengan alasan politik, langkah apa
yang perlu diambil untuk menyelesaikan masalah pembajakan
pesawat udara yang sangat merugikan kepentingan interna­
sional itu ?.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Pembajakan pesawat udara selain raengancam keselamatan jiwa maupun harta, juga raerupakan tindakan yang sangat mengganggu dan menghambat perkembangan lalu-lintas
udara internasional, serta menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap keamanan penerbangan sipil menjadi berkurang, Oleh. karenanya perlu diusahakan pencegahan dan penanggulangannya, hal ini diperlukan suatu tindakan yang
konkrit dari setiap negara. Masalahnya sekarang adalah,
langkah-langkah apa yang perlu diambil oleh. setiap negara
guna raencegah terjadinya pembajakan pesawat udara tersebut ?. Dan apabila dengan pencegahan masih terjadi juga
pembajakan terhadap pesawat udara, raaka perlu kiranya di­
ambil langkah-langkah penanggulangan. Dalam iangkah penanggulangan inilah kiranya diperlukan suatu kerjasama
antar negara dengan suatu kesepakatan bertindak yang tertuang dalam konvensi-konvensi mengenai pemberantasan kejahatan penerbangan. Karena itu perlu ditinjau kewajiban
apa yang harus dilaksanakan setiap negara dalam menanggulangi masalah pembajakan berdasarkan konvensi-konvensi
yang ada ?
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka penulisan
ini akan mencoba untuk membaiiaa mengenai penentuan yurisdiksi, wewenang yangtimbul pada negara yang menetapkan
yurisdiksi, ekstradisi, dan langKah-langkah pehanggulangan masalah pembajakan pesawat udara sebagai suatu aspek
hukum internasional dengan mengambil dasar-dasar
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
7
ketentuan yang ada dalam Konvensi ‘
lokyo 1963 , Konvensi
The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971, ^ang oleh. Peraerintah Indonesia telah diratifikasi menjaai UndangUndang RI Nomor 2 Tahun 1976 (LNRI Ho, 18 - 1976).
2. Alasan pemilihan ,judul
Dalam hal terjadi pembajakan pesawat udara, maka
akan timbul berbagai macam aspek, yaitu aspek yuridis,
ekonomis, dan sosial. Diantara aspek yuxidis yang timbul
misalnya tentang penentuan yurisdiksi, ekstradiai pelaku
kejahatan, dan penghukuman terhadap pembajak yang tertangkap* Keseluruhan aspek ini dibahas untuk raencari jalan
dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kejahatan penerbangan pada waktu-waktu yang akan datang.
Karena usaha pencegaiian dan penanggulangan pembajakan pesawat udara harus dilakukan secara internasional,
maka penulisan ini mengambil judul !I3K33RAPA ASPEK HUKUM
Mitfii'USl'ji'iAl DAlAfr MASALAH PiiH^AJAKAN PSSAWAT UDARA"Di sini dipakai kata "beberapa" dalam pemberian
judul, sebab tidak keseluruhan aspek hukiun internasional
akan dibahas dalam penulisan ini, mengingat akibat dari
pembajaacan itu sendiri yang sangat luas, sedangkan penulisan ini hanya membahas mengenai masalah yurisdiksi,
e^cstradisi, dan efektifitas hukum internasional dalam
mencegah dan raenanggulangi pembajakan pesawat udara.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
8
3. Tu.juan penulisan
Sesuai dengan judul skripsi, maka penulisan ini
akan membahas mengenai aspek-aspek hukum yang timbul apabila terjadi kasus pembajakan pesawat udara, dan pembahasan ini akan difokuskan pada hukum internasional.
Secara umum, saya mengharap agar penulisan ini dapat membantu mengembangkan hukum internasional dan hukum
nasional, terutama hukum penerbangan. Dilain pihak, penu­
lisan ini bermaksud menganalisa dan mengevaluasi ketetapanketetapan yang ada dalam konvensi Tokyo 1963* Konvensi
The hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971 dalam bentuk
yang obyektif sehingga dapat diketahui sampai sejauh mana
pemecahan masalah pembajakan pesawat udara tersebut.
4 , ftletode pendekatan
Sesuai dengan maksud dan tujuan penulisan yaitu
mengevaluasi dan menganalisa ketentuan-ketentuan yang ada
dalam konvensi, maka penulisan ini tidak hanya mengetengahkan gajnbaran umum dan penafsiran dari konvensikonvensi yang ada, akan tetapi juga berusaha untuk meng­
analisa dan menilai ketentuan-ketentuan tersebut (metode
deskriptif-analitis), dengan menitik-beratkan pada studi
kepustakaan, disamping mengajukan beberapa kasus (case
study) sebagai suatu bahan perbandingan.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
5. Sistematika dan pertan^gungjawaban
Agar mudah untuk diikuti, maica penulisan ini akan
saya ba&i dalam beberapa tahap pembahasan. Sebagai bab
Pendahuluan, saya kemukakan mengenai permasalahan, tujuan
penulisan, metode penulisan, sistematika dan pertanggungjawaban penulisan.
Masyarakat memandang pembajakan pesawat udara merupakan suatu bentuk kejahatan yang berbeda dengan pembajakan kapal laut. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa latar belakang, cara dilakukan, korban kejahatan, dan kepentingan dari pihak-pihak yang dirugikan yang berbeda
antara keduanya, sehingga perlu kiranya secara umum di­
tin jau kembali mengenai masalah ini dalam arti perumusan
secara yuridis, dan faktor-faktor yang membedakan pemba­
jakan ini dengan pembajakan kapal di laut (Bab I).
Dalam hubungan ini, karena negara-negara sepakat
memakai asas "aut punire, aut dedere" dalam menyelesaikan
masalah ini, maka perlu ditentukan yurisdiksi dalam mengadili pembajak yang tertangkap dengan dasar-dasar ketentuan internasional yang terdapat dalam konvensi-konvensi
mengenai pemberantasan pembajakan pesawat udara, dengan
perincian seperti yang tercantum dalam pasal 4- Konvensi
The Hague 1970, yang memberikan wewenang untuk menetapkan
yurisdiksi (to establish its jurisdiction) kepada negara
di mana pesawat didaftarlcan, negara yang didarati pesawat
beserta pembajak, negara di mana penyewa pesawat mempunyai
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
10
tempat usaha utama atau tempat tinggal tetap, dan negara
di mana pembajak diketemukan (Bab IIJ.
iiengan dasar ketentuan yurisdiksi tersebut, berarti tidak semua negara berwenang mengadili dan menghukum
pelaku pembajakan, sehingga dda kemungkinan suatu negara
menuntut ekstradisi pelaku kejahatan untuk diadili di negaranya, Karenanya perlu ditinjau dasar-dasar ketentuan
ekstradisi yang oerhubungan dengan kejahatan tersebut. J)i
lain pihak, sebagian besar pembajakan dilakukan dengan
alasan politik, maka tujuan dari pelaku adalah melarikan
diri dari tuntutan pengadilan ke negara yang dapat memberikan suaka politik, dan negara ke mana pembajak melarikan
diri adakalanya menolak permintaan ekstradisi tersebut.
Oleh sebab itu perlu ditinjau tanggungjawab negara yang
menolak ekstradisi dengan alasan politik dalam usaha mencegah dan menanggulangi pembajakan pesawat udara (Bab III).
Akhirnya sebagai suatu langkah konkrit dari negaranegara yang sepakat untuk meraberantas pembajakan pesawat
udara, maka penulisan ini akan membahas ipengenai usaha
untuk mencegah terjadinya pembajakan pesawat udara, dan
kewajiban negara-negara dalam usaha menanggulangi masalah
ini berdasarkan ketentuan yang ada dalam konvensi sebagai
suatu kesepakatan untuk bertindak (Bab IV).
Penulisan ini aican saya akr,iri dengan kesimpulan
dan saran sebagai usaha untuk menanggulangi pembajakan
pesawat udara.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB I
TINJAUAN UMUM MENGENAI
PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
Pembajakan pesawat udara hingga saat ini dapat dianggap sebagai salah satu sarana paling efektif untuk raemaksakan kehendak. Dengan pengorbanan uang, tenaga, dan
jiwa yang relatif kecil, aerta dengan cara yang non-militer, dapat dicapai suatu tujuan, baik tujuan pribadi maupun tujuan perjuangan kelompok tertentu.
• Persoalan politik masih merupakan motif yang umum
dalam kasus pembajakan pesawat udara, meskipun tidak dapat
dipungkiri adanya motif-motif kriminal, misalnya pelarian
penjahat dari tuntutan hukuman atau permintaan uang tebusan dengan menyandera pesawat.^
£1 . Rumusan yuridis pemba;jaitan pesawat udara,
Istilah "pembajakan pesawat udara", secara analogis
diambil dari istilah pembajakan kapal di laut yang ada di
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), atau terjemahan langsung dari bahasa Inggris, yang menggunakan
istilah "aircraft hijacking", 11sky-jacking”, ''aircraft
5
^Alona E. Evans, “Aircraft Hijacking : What is to
be Done ?H,American Journal of International Law, Vol. 66
October 1972, h. 819.
11
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
12
piracy", dan "aerial piracy" di mana istilah ini bukanlah
merupakan istilah formal yuridis, tetapi hanya sebagai
"cap" sehari-hari yang ditujukan untuk suatu perbuatan
kekerasan yang dilakukan di. dalam pesawat udara yang se~
dang dalam penerbangan (in flight). Sebagai suatu gambaran mengenai apa yang dimaksud dengan pembajakan pesawat
udara , maka sebaiknya kita melihat beberapa kasus yang
pernah terjadi yang oleh umum dianggap sebagai "pembajak­
an pesawat udara1*.
Pada tanggal 1 Mei 1961, sebuah pesawat terbang
Amerika dibajak menuju Kuba. Pada saat itu orang beranggapan bahwa pembajakan itu sebagai kelanjutan dari perang dingin antara Amerika dengan Kuba, Pembajakan ini di­
anggap sebagai pembalasan Pemerintah Kuba terhadap Ameri­
ka, dengan menolak mengembaiikan pesawat beserta pembajak
ke Amerika. Bahkan Kuba mengabaikan penghukuman terhadap
pembajak yang tertangkap. ,
Lama-kelamaan, pembajakan pesawat ini tidak hanya
terjadi karena alasan politis, tetapi para penjahatpun
mempergunakan kesempatan ini untuk tujuan pemerasan dan
melarikan diri rari tuntutan hukum, seningga hal ini merepotkan Pemerintah Kuba sendiri. Akhirnya, sepuluh tahun
kemudian pendirian Kuba berubah, yaitu ketika tiga orang
h. 12 .
Skripsi
^"Laporan Internasional1' , Tempo, 29 Desember 1973,
.
.
.
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
13
narapidana w&rga negara Amerika membajak sebuah pesawat
"Southern Air Lines", dan melarikannya Ice Kuba dengan meminta uang tebusan sebesar 10 juta dollar. Akan tetapi
begitu pesawat mendarat, telah disongsong oleh pasukan
keamanan Kuba ,yang dipirapin oleh Fidel Castro sendiri,
7
dan akhirnya pembajak dapat dilumpunkan dan ditawan. *
Sementara itu di bagian dunia lain, yakni di kawasan Timur Tengah, khususnya setelah terjadinya konflik
senjata bulan Juni 1967 antara negara-negara Arab dan Is­
rael, pembajakan pesawat udara berkembang1 dengan sangat
mengerikan dan seolah-olah merupakan satu-satunya alat
untuk mencapai tujuan politik. Pembajakan pesawat udara
di kawasan ini banyak dilakukan oleh orang-orang Palestina yang menamakan dirinya sebagai Pront Populer Pembebasan Palestina (P.P.L.P.) terhadap pesawat-pesawat Israel
dan sekutu-sekutunya* Beberapakali usaha mereka berhasil,
diantaranya pembajakan yang dilakukan oleh seorang wanita
yang bernama Laila Khaled terhadap pesawat "El Al" pada
tanggal 6 September 1970 di kawasan udara kota London.
Pesawat tersebut tinggal landas dari lapangan udara Schiphol, Amsterdam, dengan tujuan New York. Namun pembajakan
terseDut dapat digagalkan dengan tewasnya seorang pembajak dan seorang luka-luka.
7
"Laporan Internasional", Tempo , 2 Desember 1972,
h. 10 .
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
14
Pada waktu yang bersamaan dengan pembajakan yang
gagal tersebut, telaJi dibajak pula empat buah pesawat udara dari berbagai maskapai penerbangan sipil (BOAC, P M
AM, TWA, dan SWISS AIR), dengan tujuan New York. Keempat
pesawat tersebut berhasil dibajak dan diubah arah penerbangannya. Tiga pesawat dipaksa mendarat di padang pasir
Yordania, dan setelah para penumpang dibebaskan, para
pembajak meledakkan pesawat-pesawat tersebut, sedangkan
aebuah pesawat lainnya (PANAH), dilarikan ke Kairo dan
Q
aknirnya diledakkan di sana.
Pembajakan pesawat udara tidak hanya terjadi ter­
hadap pesawat-terbang di luar negeri saja, bahkan pesawat
‘ Indonesia pun pernah menjadi korban pembajakan, yaitu
terhadap pesawat MHA “Merauke", pada sekitar bulan April
1972, di mana tujuan pesawat yang semula ke Surabaya, de­
ngan menggunakan kekerasan diubah menuju ke Jogyakarta.
Akan tetapi pembajakan ini dapat digagalkan oleh awak
9
pesawatnya. J
Peraoajaican lain terjadi terhadap pesawat G-IA "Woyla", yang dilakukan oleh "Jama*ah Imron" pada tanggal 28
Maret 1981. Pembajakan terhadap pesawat DC-9 dengan jalur
penerbangan Jakarta-Palembang-Medan ini secara paksa
Q
Tempo, 29 Desember 1973» loc. cit.
9»uu Itu Belum Dipakai”, Tempo, 11 April 1981,
h. 57.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
diterbangkan ke Bangkok. Akan tetapi beberapa saat sete­
lah mendarat di Don Muang Airport, Bangkok, Pembajak dapat dilumpuhkan. Namun s'eorang anggota ABRI dan seorang
kapten pesawat gugur dalam penyerangan.'1'^
Melihat kejadian-kejadian tersebut, ternyata pemba­
jakan pesawat udara sebagai suatu sarana untuk meraaksakan
kehendak masih belum berakhir. Ini terbukti dengan pemberitaan beberapa suratkabar, seperti pembajakan terhadap
pesawat "Kuwaiti Airways" pada tanggal 24 Pebruari 1982,
di mana pesawat yang berangkat dari Tunisia menuju Kuwait
diserbu dan dibajak tak lama setelah mendarat di lapangan
udara Beirut. Pembajakan yang dilakukan oleh sembilan
orang bersenjata yang mengaku dirinya sebagai gerilyawan
Ammal Malitia, organisasi politik militer Islam Syiah Libanon itu, menuntut penyelidikan atas hilangnya pemimpin
mereka ketika berkunjung ke Libya,^
Bain pula di Jepang, pada tanggal 7 Januari 1983
sebuah pesawat Boeing 747 milik maskapai penerbangan KAL,
mengad&kan pendaratan darurat di lapangan udara Narita,
'Tokyo, setelan ada surat ancaman yang menyatakan terdapat
sebuah bom di dalam pesawat. 12 Pesawat itu sedang dalam
1QIbid.. h, 10.
^"Berakhir, Drama Pembajakan Pesawat Kuwait", Kompas, 26 Pebruafi 1982, h. VII.
12"Terancam Bom", Surabaya Post, 8 Januari 1983,h
h. 1 .
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
16
penerbangan dari Anchorage, Alaska, menuju Seoul. Drama
pembajakan
ixii beraKhir setelah tertangkapnya seorang pe-
muda warga negara Kanada kelahiran Hongkong oleh. polisi
Jepang, Motif pembajakan ini tidak diketahui, akan tetapi
diduga pemuda tersebut mengidap sakit ingatan.^
Kasus-kasus tersebut adalah beberapa contoh saja
mengenai "pembajakan pesawat udara" yang hanya merupakan
istilah umum, yakni suatu sebutan dengan fuang lingkup
yang mempunyai jangkauan secara internasional, atau de­
ngan kata lain merupakan suatu “international public opi­
nion". Oleh karenanya perlu disadari bahwa kasus-kasus
tersebut belum meraberikan suatu gambaran yang tepat me­
ngenai "pembajakan pesawat udara11. Betapa tidak, karena
dalam kasus-kasus yang telah diketengahkan tidak disajikan unsur-unsur yang memberikan syarat suatu'"pembajakan
pesawat udara", tetapi lebih merupakan suatu produksi bahan baku. yang informatif belaka, Memang, dalam kasuskasus tersebut sering disebut^an mengenai "pembajakan pe­
sawat udara", tetapi kriterianya belum cukup ditonjolkan
sehingga belum raarapu menjamin kokohnya konstruksi yuridis
untuk mengkwalifikasikan perbuatan pidana dengan predikat
"psmbajaican pesawat udara".
Karenanya dalam meninjau masalah pembajakan ini
^"Qrang yang Mengaku Memasang Bora di Pesawat KAL
Ditarigkap", Surabaya Post, 10 Januari 1983. h. 7.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
17
dadi segi hukum, yang menjadi persoalan pertama adalah
mengenai dasar hukumnya. Untuk keperluan ini maka sebaiknya kita melihat konvensi-konvensi internasional yang
mengatur mengenai kejahatan penerbangan.
Sampai sejauh ini, perbuatan "pembajakan pesawat
udara" diatur secara mandiri dalam konvensi-konvensi in­
ternasional, yakni Konvensi Tokyo 1963 tentang "Offences
and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft"
(Pelanggaran-pelanggaran dan tindakan-tindakan Tertentu
Lainnya yang Dilaxukan Dalam Pesawat Udara), Konvensi The
Hague 1970 tentang "The Suppression of Unlawful Seizure
of Aircraft" (Pemberantasan Penguasaan Pesawat Udara Se­
cara Melawan Hukum), dan Konvensi Montreal 1971 tentang
"The Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of
Civil Aviation" (Pemberantasan Tindakan-tindakan Melawan
Hukum yang Mengancam Keselamatan Penerbangan Sipil).
Pengaturan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Dalam Konvensi Tokyo 1963 :
Pemoajaitan pesawat udara dirumuskan dalam pasal 11
ayat 1 seoa^ai berikut :
When a person on board has unlawfully committed by
force or tnreat tnereof an act of interference sei­
zure or otner wrongfull exercise of control of an
aircraft in flight or when such an act is about to be
committed, ...
i
b. Dalam Konvensi The Hague 1970 :
Konvensi ini merumuskan "pembajakan pesawat udara11
seperti tertulis dalam pasal 1 sebagai berikut :
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
18
Any person who on board an aircraft in flight :
(a). Unlawfully bjr force or threat thereof or by any
other form of intimidation, seizes, or exercise
control of that aircraft, or attempt to perform
any such act or;
(b). is an accomplice of a person who performs or at­
tempts to perform any such act.
Commits an offence (hereinafter referred it as
"the offence").
c. Dalam Konvensi Montreal 1971 :
Sesuai dengan judul konvensi tersebut, maka dalam
pasal 1 disebutican bahwa yang dimaksua dengan perbuatan
yang membanayakan penerbangan sipil adalah :
Any person commits an offence if he unlawfully and
intentionally :
(a), perform an act of violence against a person on
board an aircraft in flight, if that act is like­
ly endanger the safety of that aircraft, or;
(b). destroy an aircraft in secvice or causes damage
to such an aircraft in which renders it incapable
of flight or which is likely to endanger its sa­
fety in flight, or ;
(c). places or caused to be placed on aircraft in ser­
vice by any mean whatsoever, a device or sub­
stance which likely to destroy that aircraft or
causes damage to it renders it capable of their
flight, or causes damage to it which likely to
endanger it safety in flight, or ;
(d). destroy or damage air navigation facilities or
interferes with their operation, if any such act
is likely endanger the safety of aircraft in
flight, or ;
(e). communicates information which he knows to be
false, thereby endangering the safety of an air­
craft in flight.
Any person also commits an offence if he :
(aj. attempts to commits of offences mentioned in
paragraph 1 of this Article ;
(b). is an accomplice of a person who commits or at­
tempts to commit any such offence.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
19
Dengan demikian secara yuridis dapat dikatakan
bahwa "pembajaKan pesawat udara" adalah suatu perbuatan
dengan ciri-ciri sebagai berikut :
(1 ). setiap orang yang melakukan, atau membantu melakukan
(an accomplice of a person), atau o£ang yang ikut
campur-tangan melakukan perbuatan dengan menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan, atau ancaman dalam
bentuk lain;
(2 ), untuk merampas, atau raenguasai kendali pesawat udara;
(3 ). dilakukan dengan kesengajaan dan secara melawan hu­
kum;
(4J. perbuatan tersebut dapat pembafrayakan keselamatan
penumpang, awak pesawat, dan pesawat udara yang ada
dalam penerbangan,
Jadi gambaran maksimal yang bisa dikemukakan dalam
mendalaini masalah ini adalah dengan meneliti kasus-ka3us
yang pernah terjadi.
2. Perbedaan aspek hukum antara pemba.iakan pesawat udara
dan pembajakan kapal laut
Pada mulanya pemba jaacan pesawat udara dianalogikan
seperti pembajakan kapal laut, yang merupakan suatu kejahatan yang menimbulkan bencana bagi umat Tnanusia atau
"nostis humani generis’1, dan kejahatan ini merupakan “de­
lict jure gentium". Pendapat ini didasarkan pada ketentuan
pasal 15 Konvensi Jenewa 1958 mengenai lautan Bebas, yang
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
20
mendefiuisikan pembajakan sebagai suatu “delict jure gen­
tium" sebagai berikut :
Any illegal acts violence, detention, or any act
of depredation, committed for private ends by crew or
passenger of private ship or private aircraft and di­
rected :
(a), on High Seas against another ship or aircraft or
against person or property on board such ship or
aircraft;
(b). against ship, aircraft, person, or property in
place outside the jurisdiction of any State ...
Kalau ditinjau kasus-kasus pembajakan pesawat uda­
ra yang sering terjadi, maka ada suatu perbedaan antara
pembajakan pesawat udara menurut pengertian Konvensi Jenewa 1958 dengan praktek pembajakan dalam pengertian sehari-hari. Hal ini akan raenimbulkan pula perbedaan aspek
hukum dalam menangani kasus pembajaican yang terjadi,
Menurut pasal tersebut, pembajakan dilakukan "in a
place outside the jurisdiction of any State",atau Mon the
High Seas" sedangkan pembajakan pesawat udara dalam prak­
tek dapat terjadi di mana saja di dalam wilayah suatu
negara, bahkan dapat dilakukan dengan menyerang pesawat
yang ada di lapangan terbang dalam wilayah suatu negara
atau dengan jalan sabotase. Selain itu menurut pasal 15
Konvensi Jenewa 1958 tersebut dinyatakan bahwa pelaku pem­
bajakan adalah "by the crew or passenger against another
aircraft", sedangkan dalam prakteknya pembajakan pesawat
udara selalu dilaKukan di dalam pesawat yang sama dengan
melakukan penguasaan kendali pesawat dengan sengaja dan
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
21
secara melawan hukum.
14
Sebagai duatu perbandingan, Priyatna Abdurrasyid
menyatakan banwa pembajakan pesawat udara adalah perbuatan mengubah tujuan pesawat udara secara melawan hukum da­
ri tujuan asal dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasaxi (illegal difertion on aircraft in flight).^
Meskipun pembajakan pesawat udara tidak dapat dimasukkan ke dalam "delict jure gentium" secara keseluruhan
namun apabila kita teliti kasus-kasus yang pernah terjadi
maka tidaklah mungkin suatu negara menanggulangi sendiri
masalah tersebut, karena pada umumnya selalu melibatkan
lebih dari satu negara sehingga timbul masalah hukum yaitu
menentukan yurisdiksi dalam mengadili pembajak yang tertangkap dan masalah ekstradisi pembajak ke negara yang
berwenang mengadilinya.
^Konvensi Tokyo 1963, pasal 11; Konvensi The Ha­
gue 1970 , pasal 1 sub a, supra, h. 17 - 18.
■^Priyatna Abdurrasyid, "Tinjauan tentang Masalah
Pemuajaican Udara, Suatu Kejahatan Internasional", Sinar
Harapan, 22 Nopember 1976
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB II
IUHISDIKSI DALAM MEIflrADILI PELAX.U
PEM3AJAKAK PESAwa T UDARfU
1 . Xurisdiksi mengadili pemba.jak menurut hukum internasi­
onal
Hukum internasional memberikan hak dan kewajiban
kepada negara-negara untuk melindungi dan menjalankan yu­
risdiksi atas orang, benda, dan perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh warga negaranya.
Dalam masalah pembajakan,'maka.semua negara mempunyai hak untuk menjalankan yurisdiksinya, karena seperti
telah disinggung dalam bab terdahulu bahwa pembajakan
merupakan "hostis humani generis", sehingga pelaku penbajakan dapat ditangkap, diadili, dan dihukum oleh semua
negara. Di sini diterapkan asas yurisdiksi dengan asas
universal.1^ Pembajak biasanya dikenal sebagai orang yang
mexakukan kejahatan yang bertentangan dengan hukum inter­
nasional di mana semua negara berusaha untuk menghukumnya,
Dalam kasus United States v. Smith (1820) Hakim Story
menyatakan bahwa secara hukum icebiasaan internasional
pengakuan dan penghukuman terhadap pembajakan sebagai su­
atu kejahatan tidak hanya bertentangan dengan hukum suatu
Starke, An Introduction to International Law,
di3adur oleh P. Isjwara, Alumni, Bandung, 1972, h. 144.
Skripsi
22
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
■ 23
daerah, tetapi lebih merupakan kejahatan yang bertentangan dengan hukum bangsa-bangsa yang merupakan bagian dari
hukum kebiasaan internasional. Kejahatan itu bertentangan
dengan hukum masyarakat yang universal, dan merupakan
bencana bagi seluruh umat manusia.^
Senubungan dengan asas yurisdiksi universal terha­
dap pembajakan, Hakim Hackworth menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pembajakan adalah orang atau kapal-kapal
yang terlibat dalam operasi bajak laut di laut lepas yang
tidak mendapat perlindungan dari negara manapun, dan da­
pat, dihukum oleh negara yang menangkap dan menahannya.
Sedang Sub-Committee of League Nation Committee of Expert
for the Progressive Codification of International Law,
menyatakan bahwa senubungan dengan hukum internasional
maka yang dimaksud dengan pembajakan adalah mereka yang
melakukan pelayaran di laut dengan tujuan pribadi tanpa
suatu perintah dari Pemerintah suatu negara dan bermaksud
mengadakan perampasan barang atau tindakan kekerasan ter. 18
hadap orang lain.
Dalam praktek, penerapan asas yurisdiksi universal
ini mempunyai batasan yaitu pembajakan harus dilakukan
^William W. Bishop, Jr., International Law, Cases
and Materials, Third Edition, Little Brown Company, Bos­
ton and Toronto, h. 461i
18 Ibld., h. 555 - 556
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
24
di laut bebas (High Seas), hal ini senubungan dengan pertimbangan bahwa kejahatan tersebut membahayakan keamanan
perdagangan melalui laut bebas. Perbuatan yang sama yang
dilakukan di wilayah teritorial suatu negara bukan meru­
pakan wewenang hukum internasional, tetapi termasuk wewenang dari keKuasaan atau kedaulatan negara di mana kejaiq
hatan dilakukan, ^
Pembajakan pesawat udara seperti telah diutarakan
dapat dilakuican di setiap tempat di wilayah suatu negara,
sehingga dalam mengadili pembajak dipakai asas "aut punire aut dedere". Hal ini menimbulkan hak dan kewajiban
bagi semua negara untuk mencegah dan menanggulanginya
terutama negara-negara yang telah ikut menandatangani dan
meratifikasi konvensi-konvensi mengenai penanggulangan
pembajakan pesawat udara. Dengan demikian dasar untuk melaskan yurisdiksi atas perbuatan pembajakan pesawat udara
berbeda dengan dasar penerapan yurisdiksi atas perbuatan
pembajakan kapal laut.
2 . Yurisdiksi mengadili pemba.jak pesawat udara
Dasar pertama dalam menjalankan yurisdiksi atas
perbuatan pembajakan pesawat udara adalah yang tercantum
dalam Konvensi Tokyo 1963, yakni dalam pasal 3 ayat 1
~^lbid., h, 461
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
25
yang menyatakan "the State of registration of the air­
craft is competent to exercise over offences and act3
committed on 'board'1. Jadi pasal ini memberi wewenang kepada negara di mana pesawat didaft^rkan untuk melaksanakan yurisdiksinya, dan selanjutnya tertulis dalam pasal 3
ayat 3 bahwa tidak ditutup kemungkinan untuk menjalankan
yurisdiksi kriminal apabila terdapat kasus-Ocasus yang memang mempunyai motif kriminal. Selain itu dapat juga dilaksanakan yurisdiksi atas dasar asas-asas teritorial,
nasional aktif, nasional pasif, kaamanan negara, dan pelanggaran terhadap peraturan penerbangan setempat. Ini
dapat dilihat dalam pasal 4. Di sini dimungkinkan juga
pelaksanaan yurisdiksi guna memnuhi kewajiban perjanjian
multilateral.
Kalau kita lihat pasal tersebut, maka Konvensi To­
kyo 1963 tidak menetapkan satu ketentuan mengenai yuris­
diksi, tetapi memberikan beberapa pilihan penentuan yu­
risdiksi (mixed jurisdiction) sebagai suatu jalan keluar
yang terbaik yang ditempuh untuk menanggulangi pembajakan
pesawat udara. Konvensi ini tidak menetapkan suatu kewajiban bagi negara-negara anggota, kecuali kepada negara
di mana pesawat didaftarkan untuk melaksanakan yurisdik­
si, karena paaal 4 semata-mata hanya bersifat memperkenankan sehing^a tidak menimbulkan tanggungjawab bagi
negara-negara penandatangan konvenai tersebut.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
26
Dalam Konvensi The Hague 1970, yurisdiksi diatur
dalam pasal 4* dan Konvensi Montreal 1971 mengaturnya da­
lam pasa 5 sebagai berikut ;
1. Each Contracting State shall take measures as may
be necessary to establish its jurisdiction over
the offences and any other acts of violence against
passenger and crew committed by alleged offender
in connection with the following cases :
(a), when the offence is committed on board an air­
craft registered in that State;
(b). wnen aircraft on board which the offence is
committed lands in its territory with the al­
leged offender still on board;
(c).. when the offence is committed on board an
aircraft leased without crew to alessee who
has his principal place of bussines: or if he
has no such place of bussines, his permanent
recidence in that State.
2. Each Contracting State shall likewise take such
measures as may be nessecary to establish its ju­
risdiction over the offence in the case where the
alleged offender is present in its territory and
it does not extradite him pursuant to Article 8 to
any of the State.
3. This Convention does not exclude any criminal ju­
risdiction exercised in accordance with national
law.
Ketentuan yang ada dalam pasal ini kelihatan lebih
maju bila dibandingkan dengan penetapan yurisdiksi yang
terdapat dalam Konvensi Tokyo 1963, karena di sini ada
suatu tanggungjawab yang dibebankan oleh Konvensi kepada
negara-negara Anggota agar sedapat mungkin mengambil tindakan (shall take such measures) untuk menetapkan (to es­
tablish) yurisdiksi terhadap pembajak.
Dalam hukum internasional yurisdiksi merupakan
salah satu aspek dari kompetensi hukum suatu negara yang
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
27
memiliki kedaulatan (sovereignty), karenanya penetapan
yurisdiksi mempunyai hubungan dengan kompetentsi administratif, legeslatif, dan yudikatif.
20
Jadi apabila suatu
negara menetapkan yurisdiksinya atas suatu perbuatan, ma­
ka negara tersebut berwenang mengatur, mengadili, dan melaksanakan atau menjatuhkan hukuman atas perbuatan yang
telah ditetapkan yurisdiksinya tersebut.
Demikian pula yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1
Konvensi The hague 1970, dan pasal 5 ayat 1 dan 2 Konven­
si Montreal 1971, apabila suatu negara menetapkan (to es­
tablish) yurisdiksinya maka negara tersebut mempunyai ke­
wajiban untuk melaksanakan kompetensinya yakni menahan,
mengadili, dan menghukum pelaku pembajakan pesawat udara.
a* Wewenang negara di mana pesawat aldaftarkan
Pasal 4 ayat 1 (a) Konvensi The Hague dan pasal 5
ayat 1 (b) Konvensi Montreal menyatakan bahwa negara di
mana pesawat didaftarkan mempunyai wewenang untuk menetapakan yurisdiksi atas perbuatan pembajakan yang terjadi
di dalam pesawatnya. Jadi negara tersebut berwenang untuk
menetapakan peraturan yang diperlakukan bagi pembajak yaitu menahan, mengadili dan menghukumnya.
Dasar yang' digunakan dalam ayat ini adalah asas
20
Ian Brownlie, Principles of Public International
Law, Clorendo Press, Oxford, 19b6, h. 250.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
28
yurisdiksi teritorial yang memberikan wewenang kepada semua negara untuk menjalankan yurisdiksinya atas orang dan
benda serta perbuatan-perbuatan yang terjadi di dalam vilayahnya, juga perbuatan tang terjadi di atas lingkungan
maritim (maritime belt), kapal-kapal, dan pelabuhan“
pelabuhan,
21
Asas yurisdiksi teritoriaj ini diakui secara
universal, di mana asas ini menimbulkan hak penting bagi
negara untuk melaksanakan kedaulatan atas wilayahnya, ya22
itu wewenang hukum yang dipunyai suatu negara.
'
Dalam praktek asas yurisdiksi teritorial ini meng-
alaini perluasan karena kemajuan komunikasi dan transportasi yang amat pesat sehingga memungkinkan dilakukannya ke­
jahatan didalam wilayah suatu negara yang direncanakan di
23
wilayah negara lain. ' Perluasan tersebut adalah :
(a), pen^gunaan yurisdiksi teritorial subyektif, yaitu
yurisdiksi suatu negara untuk mengadili dan menghukum kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah negaranya tetapi diselesaikan di wilayah negara lain,
atau akibat perbuatan tersebut dirasakan di luar wi­
layah negaranya. Gontoh, kasus Tennyson (1917).
^Starke, op. cit., h. 114.
^Brownlie, op. cit., h. 263.
23starke, op. cit., h. 118
Skripsi
.
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
29
M ahkamah Agung Brasilia menjatuhkan hukuman kepada .
becerapa orang yang berdomisili di Brasil karena mereka meledakkan sebuah. kapal Inggris di laut lepas
dengan memasaiig alat peledak di kapal tersebut ketika ia singgah di Brasil*
24
(b). penggunaan yurisdiksi teritorial obyektif, yaitu yu­
risdiksi suatu negara untuk mengadili dan menghukum
kejahatan yang dilakukan di luar wilayah negaranya
tetapi menimbulkan akibat yang merugikan ketertiban
tunum di wilayah negara tersebut.
25
Contoh, kasus Lo­
tus *(1927). Dalam kasus ini Mahkamah Internasional
Permanen memutuskan kasus tabrakan antara kapal Perancis "Lotus" dengan sebuah kapal Turki di luar wi­
layah kedua negara karena kelalaian perwira piket di
atas kapal "Lotus". Tabrakan ini menyebabkan tenggelamnya kapal Turki dan hilangnya delapan warganegara
Turki. Pemerintah Turki menuntut perwira piket itu
karena tabrakan tersebut mengakibatkan tenggelam kapalnya yang dianggap sebagai wilayah Turki berdasarkan asas teritorial atas kapal menurut kebiasaan hukum internasional. Mahkamah Internasional memutuskan
bahwa tindakan penguasa Turki itu tidak bertentangan
^Brownlie, op. cit., h. 484 - 487.
25
Skripsi
Starke, loc. cit.
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
51
mula-mula pesawat didaftarkan, dengan. melihat ciri-ciri
dan atribut pesawat yang dibajak itu.
b. Wewenang negara yang didarati pesawat yang dibajak
beserta pembajak di dalamnya
Dengan melalui pasal 4 ayat 1 (b) Konvensi The Ha­
gue atau pasal 5 ayat 1 (c) Konvensi Montreal, negaranegara yang didarati pesawat dengan pembajak masih berada
di dalamnya* berwenang melaksanakan yurisdiksinya tanpa
memandang apakah pembajakan itu telah terjadi di dalan
wilayahnya atau tidak.
Sebenarnya tidak ada suatu keistimewaan dengan
pemberian yurisdiksi tersebut apabila pembajakan itu ter­
jadi di wilayah negaranya karena suatu negara berdasarkan
prinsip yurisdiksi teritorial mempunyai wewenang untuk
melaksanakan yurisdiksinya secara mandiri dan menyeluruh.
(comlpete and exclusive).^®
Masalah akan timbul apabila pembajakan terjadi di
luar wilayah negara tempat pesawat mendarat karena di sini
tidak ada hubungan yang jelas antara kompetensi terhadap
pembajakan dengan perbuatan kecuali hanya merupakan tempat pendaratan pesawat.
^ Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 menyatakan : "The
Contracting State recognize that every State has complete
and exclusive sovereignty in the space above its territo­
ry ...
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
32
Pasal ini juga tidak menjelaskan apakah pada saat
pesawat mendarat pembajak masih menguasai kemudi pesawat
ataukah pembajak sudah;dilumpuhkan oleh kapten pesawat
(aircraft commander). Sebab masalah lain akan timbul apa­
bila kapten pesawat sudah dapat melmmpuhkan pemba jak dan
memutuskan untuk membawa pemba jak ke negara tempat pesawat didaftarkan, atau apabila pesawat beserta pembajak
hanya singgah untuk mengisi bahan bakar guna melanjutkan
perjalanan ke suatu tempat yang dituju oleh pembajak.^1
Namun pasal tersebut dapat dianggap sebagai suatu
alat untuk memberantas pembajakan pesawat udara yang me­
rupakan dasar bagi negara-negara untuk menghukum pemba jak
di manapun ia berada, karena tanpa pasal ini maka akan
terjadi kekosongan hukum dengan tidak adanya hubungan antara pembajakan pesawat dengan negara yang didarati.
c. Wewenang negara di mana perusahaan yang menyewa pesa­
wat meurpgnyal tempat usaha utama atau mempunyai tempat
tinggal tetap
Pasal 4 ayat 1 (c) Konvensi The Hague, dan pasal 5
ayat 1 (d) Konvensi Montreal menyatakan bahwa negara di
mana perusahaan yang menyewa pesawat mempunyai tempat usa­
ha utama atau tempat tinggal tetap berwenang untuk melaksanakan yurisdiksinya atas pembajakan yang terjadi
^Agrawala,
Skripsi
op.
cit., h. 41.
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
33
di dalam pesawat yang disewa oleh perusahaan yang ada di
negara itu. Pengertiannya adalah apabila sebuah pesawat
disewakan tanpa awak (dry leased) oleh negara tempat pe­
sawat didaftarkan kepada penyewa yang berada di negara
lain, maka negara di mana pesawat didaXtarkan tidak raempunyai wewenang untuk menjalankan yurisdiksinya karena
negara tersebut tidak mempunyai kepentingan langsung de­
ngan pembajakan yang terjadi.
Alasan dikeluarkannya ketentuan yurisdiksi ini ada­
lah karena pesawat tersebut telah disewa secara "dry lea­
sed", maka awak pesawat yang menjadi saksi dalam persi- .
dangan harus memberikan kesaksian di negara tempat peru­
sahaan penyewa pesawat berada dan bukan ke negara di mana
pesawat didaftarkan.^2 Maksud pasal ini adalah agar tidak
terjadi kekosongan hukum apabila terjadi kasusu yurisdik­
si terhadap pesawat yang dioperasikan dengan perjanjian
sewa menyewa*
d. Wewenang negara di mana pemba.iak diketemukan
Pasal 4 ayat 2 Konvensi The Hague dan pasal 5 ayat
2 Konvensi Montreal memberikan wewenang kepada negara
anggota untuk melaksanakan yurisdiksinya apabila di dalam
wilayah negaranya diketemukan pembajak.
32Ibid
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
34
Pasal-pasal ini tidak mempersoalkan dengan cara
bagaimana pembajak masuk ke dalam wilayahnya. Misalnya
seseorang melakukan pembajakan sebuah pesawat yang kemudian mendarat di negara A, tetapi setelah mendarat pembajak
melarikan diri ke negara
maka negara B berwenang untuk
melaksanakan yurisdiksinya karena pembajak diketemukan di
dalam wilayah negaranya.
Pelaksanaan yurisdiksi ini menpunyai dua syarat
yaitu :
(a), pembajak harus berada di dalam wilayah negaranya;
(b). negara tersebut menolak untuk mengekstradisi pelaku
pembajakan ke negara lain,
Prinsip penetapan yurisdiksi ini merupakan suatu
prinsip yang baru dalam hukum internasional sebab meskipun di sini diterapkan penetapan yurisdiksi ekstra-teritorial, yaitu pemberian yurisdiksi terhadap perbuatan yang
dilakukan di luar wilayah negaraaya dan perbuatan itu tidak dilakukan oleh warganegaranya,
namun di sini seolah-
olah tidak ada hubungan antara perbuatan pembajakan, pela­
ku, dan pesawat yang dibajak dengan negara yang berwenang
untuk melaksanakan yurisdiksinya. Satu-satunya faktor
yang jelas adalah diketemukannya pembajak di wilayah ne­
garanya. Dimasukkannya prinsip ini adalah agar pembajak
^Brownlie, op. cit., h« 301.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
35
tetap dikenai hukuman di raanapun ia berada dan memenuhi
kewajiban konvensi yaitu menanggulangi masalah pembajakan
pesawat udara dengan menetapkan hukuman yang tepat bagi
pelaku pembajakan.
Apabila dibandingkan keseluruhan penetapan yuris­
diksi tersebut, maka pasal 4 Konvensi The Hague dan pasal
5 Konvensi Montreal mensejajarkan kedudukan negara-negara
yang mendapat wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan
yurisdiksinya sehingga timbul kekaburan dalam menerapkan
pasal-pasal tersebut, Kemungkinan terjadi perselisihan
dalam melaksanakan yurisdiksi tersebut dapat menjadi sua­
tu apidemi.
Agrawala, menyarankan bahwa untuk melaksanakan yu­
risdiksi tersebut sebaiknya diadakan prioritas, yaitu we­
wenang untuk melaksanakan yurisdiksi diberikan secara
bertahap sebagai berikut :
(a), negara tempat pesawat didaftarkan, kecuali jika pe­
sawat itu telah disewa tanpa awak. Dalam hal demikian
maka wewenang diprioritaskan kepada negara tempat
perusahaan yang menyewa pesawat berada;
(b). negara yang didarati pesawat yang dibajak;
(c). negara di mana pembajak diketemukan, apabila negara
tersebut menolak untuk mengekstradisi pembajak ke
negara lain;
(d). negara awal pembajakan terjadi;
(ej* negara lain yang berkepentingan, yaitu negara tempat
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
36
mula-mula pesawat diberangkatkan (the originated
flight) atau negara tujuan sesungguhnya dari pesawat
7J
(original destination).
Untuk pembajakan dengan motif kriminal* maka kon­
vensi tidak menutup kemungkinan diterapkannya yurisdiksi
kriminal terhadap pembajak. Hal ini dapat dilihat pada
pasal 4 ayat 3 Konvensi The Hague dan pasal 5 ayat 3 Kon­
vensi Monteral. Penafsiran mengenai motif kriminal ini
diserahkan pada hukum nasional negara-negara anggota* Mo­
tif kriminal yang dimaksud adalah penculikan, membuat
kerusuhan di dalam pesawat, perampokan, atau pembajakan
terhadap pesawat milik kebangsaannya sendiri.
35
^Agrawala, op. cit., h. 42.
35 Ibid., h. 43.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB III
EKSTRADISI PEIAKU PEMBAJAKAN
'"PESAWAT UDARA
'
1 , Dasar-dasar ekstradisi dalam masalah pembajakan pesawat
udara
Sehubungan dengan pelaksanaan yurisdiksi oleh
negara-negara dalam masyarakat internasional, maka adakalanya sebuah negara diminta untuk menyerahkan seseorang
yang melakukan kejahatan, Penyerahan ini secara umum dikenal dengan sebutan -ekstradisi, di mana penyerahan itu
sendiri dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada
negara lain yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili
orang yang dimintakan ekstradisinya itu,
Maksud dan tujuan ekstradisi adalah untuk menjamin
agar pelaku kejahatan berat tidak dapatjmenghindarkan di­
ri dari penuntutan dan pemidanaan serta raerapermudah pembuktian kejahatan, sebab bah an bukti lebih mudah didapatkan di negara tempat kejahatan dilakukan, dan negara ter­
sebut adalah yang paling berkepentingan serta paling mu-
57
dah mendapatkan kebenaran. '
^ M . Budiarto, Ekstradisi dalam Hukum Nasional,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, h, 7*
^J*G* Starke, An Introduction to International Law
Seventh Edition, Butterworths, London,- 1972, h. 349#
37
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
38
Dalam usaha mencegah dan menanggulangi pembajakan
pesawat udara, maka ekstradisi merupakan salah satu hal
yang sangat menentukan dalam pemidanaan pelaku kejahatan
penerbangan ini. Hal ini dapat disadari karena ekstradisi
menyangkut hak dan kewajiban suatu negara untuk menyerahkan seseorang yang ada dalam wilayahnya kepada negara
lain untuk diadili, dan ekstradisi hanya dapat dilakukan
terhadap kejahatan-kejahatan yang telah diperjanjikan se­
cara bilateral atau multilateral.
Konvensi Tokyo tidak memberikan batasan mengenai
kewajiban suatu negara untuk mengekstradisi pelaku pembajakan pesawat udara, hal ini tertulis dalam pasal 16 ayat
2 yang menyatakan "... not&ing in this Convention shall
be deemed to create an obligation to grant extradition'1.
Akan tetapi konvensi ini memberi wewenang sukarela kepada
negara tempat pesawat menurunkan penumpang (disembark)
untuk mengembalikan pembajak ke negara di mana pembajak
mempunyai kewarganegaraan (rendition), yakni jika pemba­
jak atas kemauannya sendiri tidak menghendaki kelanjutan
perjalanannya atau tidak mungkin berbuat demikian, dan
negara yang didarati menolak untuk menerima pembajak. Ne­
gara tersebut juga dapat mengembalikan pembajak ke negara
dari mana ia memulai perjalanannya jika pembajak bukan
warga negara atau tidak mempunyai tempat tinggal tetap di
negaranya (pasal 14 ayat 1 Kinvensi Tokyo 1963).
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
39
Di dalam Konvensi The Hague dan Konvensi Montreal
ketentuan-ketentuan mengenai ekstradisi mengambil peranan
penting untuk memerangi perbuatan melawan hukum yang di­
lakukan terhadap pesawat udara atau sarana penerbangan
lainnya. Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 8 pada kedua konvensi tersebut yang menyatakan sebagai berikut :
t h e o f f e n c e shall be deemed to be included as an
extraditable offence in any extradition treaty exis~
ting between Contracting States. Contracting States
undertake to include the pfxence as an extraditable
offence in every extradition treaty to be .concluded
between them.
Jadildi sini semua negara anggota wajib menganggap pembajakan pesawat udara sebagailiuatu perbuatan yang pelaku*
nya dapat diekstradisikan (extraditable offence). Namun
dalam praktek ada beberapa kt£us pembajakan yang ditolak
permintaan ekstradisinya karena alasan politik, misalnya
pembajakan yang dilakukan oleh dua orang Front Pembebasan
Kashmir atas pesawat Indian Airlines yang dilarikan ke
Pakistan pada tanggal 30 Januari 1971. Pemerintah Pakis­
tan menolak mengekstradisi pembajak dengan dasar politik
bahwa pembajak adalah orang Kashmir dan bukan varganegara
India . 38
Ketentuan bahw* pembajakan pesawat udara harus
diusahakan oleh negara-negara anggota sebagai keftahatan
yang dapat diekstradisikan, aebagian besax masih
^Agrawala, op* cit., h. 103.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
40
tergantung dari penafsiran negara-negara dalam masyarakat
internasional dan tergantung pada dimasukkan atau tidak
t
kejahatan ini ke dalam perjanjian ekstradisi bilateral
atau multilateral.
39
Negara-negara dapat saja menganggap suatu perbuat­
an pembajakan sebagai alat untuk melarikan diri dari kekuasaan politik, kemudian negara ke mana pembajak melari­
kan diri memberikan suaka politik (assylum) kepadanya eesuai dengan ketentuan hukum national negara tersebut.
Dalam hal demikian, maka kemungkinan pembajak akan loloa
dari hukuman.
Dengan kalimat "The offence shall be deemed to be
included as an extraditable offence ... %
terdapat suatu
anggapan bahwa konvensi akan memperoleh hasil yang maksimal dalam usaha memberantas pembajakan kalau semua negara
anggauta mengakui suatu prinsip ekstradisi tanpa terkecu- ,
ali (mandatory extradition) terhadap semua orang yang di40
tuduh melakukan pembajakan pesawat udara.
^Nicholas M. Poulanzas, "The Hague Convention for
the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft. (Decem­
ber 16, 1970)", Netherlands Tl.jdschrift voor Internatio­
nal Recht, Jrg, XVllI, Afl. 1 - l971f A.W. Sijthoff, Leiden^ h* 62 .
.
^Oliver J. Disaitzyn, "International Control of
Aerial Hijacking : T h e role of Values and Interests",
American Journal of International Daw. Sept. 1971, Vol.
No. 4, h." 81.
:
:
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
M IL IK
PERPUSTAKAAN
•ONIVERSITAS AIRLANOQA-
41
I ' R A B A Y A__
Pengakuan adanya ^mandatory extradition" ini mendapat dukungan dari para pihak yang langsung berhubungan
dengan penerbangan komersial, misalnya para pengelola
perusahaan penerbangan komersial, bu'ruh, perusahaan aauransi, para pejabat penerbangan yang bertugas mengadakan
promosi atau membuat peraturan penerbangan, dan dari
pemerintah-pemerintah yang mempunyai pandangan politik
yang berbeda, misalnya Amerika Serikat dan Uni Sovyet.^
Amerika menghendaki penetapan “mandatory extradi­
tion" bagi pembajak karena sam'pai sejauh ini sebagian besar pesawat yang dibajak mempunyai registraai negaranya.
Sedangkan Uni Sovyet menyetujui prinsip ini karena meski
hanya sedikit pesawat yang beregistrasi negaranya yang dibajak, namun karena sistim pemerintahan yang totaliter
merasa dirugikan apabila ada warganegaranya yang melari­
kan diri dengan jalan membajak pesawat*
Di lain piliak ada juga yang menentang prinsip ini
dengan alasan hak-hak asasi manusia, alasan politik tertentu, dan hubungan baik antar negara.
42
Mereka yang me-
nentang prinsip ini menyatakan bahwa berhubung dengan adanya hak-hak asasi manusia yang telah lama dirintis
oleh umat manusia, maka hak-hak inipun akan mempengaruhi
pelaksanaan ekstradisi atas diri seorang penjahat.
41I b id .
* 2 Ibld., h . 82.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
42
Karena itu pelaksanaan ekstradisi tidak dapat dilakuican
aecara langsung tetapi haras memenuhi syarat atau asasasaa yang telah ditentukan, khususnya yang menyangkut menegenai perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia*
43
Dalam hubungan ini, pembajakan pesawat udara perlu
dibedakan menjadi dua golongan yaitu :
(a), pembajakan yang dilakukan sebagai alat untuk meraculik, melukai, menahan orang lain, dan merusaJfc barangbarang miliknya dengan menghancurkan pesawat. Pemba­
jakan semacam ini merupakan alat untuk mencapai tu­
juan tertentu dengan pemerasan;
(b). pembajakan sebagai alat pengangkut semata (travel
hijacking) tanpa adanya maksud untuk melukai penumpang atau merusak harta benda milik orang lain. Pem­
bajakan ini biasanya di&unakan untuk melarikan diri
dari negara-negara yang dianggap melanggar hak-hak
asasi manusia*^ misalnya pembajakan milik maskapai
penerbangan Cina (CAAG) yang dilarikan menuju Korea
Selatan pada tanggal 5 Mei 1983.^
Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jamlnan Per­
lindungan Atas aak-haE Asasi Manuaia, tihaiia Indonesia,JbJcarta»'_i98b7* h. 16
^liasitzyn, loc, cit.
^"JSnaa Pembajak Pesawat Cina Menyerah di Chunchon
(Korsel)'?i Surabaya Post, 6Mei.l983, h. 1.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Para pendukung "mandatory extradition" memberikan
argumentasi, demi perlindungan terhadap kelangsungan
transportasi udara secara internasional, dan dipandang
dari segi biaya, kerugian material, serta gangguan yang
timbul terhadap jadwal penerbangan maka jumlah kerugian
yang timbul sebagai akibat pembajakan jauh lebih besar dibandingkan dengan hak individu yang menggunakan pembajakan
itu sebagai alat untuk roelepaskan diri dari rejim politik
tirani. Oleh karenanya pembajakan pesawat udara harus dicegah dan ditanggulangi demi kelangsungan operasi pener­
bangan sipil internasional sebagai salah aatu sarana perhubungan antar negara yang cepat dan efisien,
Menurut pasal 8 ayat 2, apabila suatu negara anggota menghendaki adanya suatu perjanjian ekstradisi de­
ngan negara lainnya yang tidak mempunyai perjanjian eks­
tradisi dengannya, maka konvensi ini dapat dijadikan dasar hukum untuk mengatur kepentingan-kepentingan ekstra­
disi antara kedua negara sehubungan dengan pembajakan pe­
sawat udara* Misalnya, negara A penandatangan Konvensi
menerima permintaan ekstradisi atas pembajak yang berada
dalam wilayahnya dari negara B yang juga penandatangan
konvensi, sedangkan antara keduanya tidak ada perjanjian
ekstradisi, maka kedua negara tersebut dapat menggunakan
konvensi sebagai dasar perjanjian ekstradisi.
Dalam pembahasan pasal ini, delegasi jBelanda mengusulkan menetapkan suatu keharusan (mandatory) untuk
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
44
menggunakan ketentuan pasal tersebut sebagai dasar per­
janjian ekstradisi dan sebagai dasar hukum. Akantetapi
usul ini ditolak sebab hal ini akan menjadikan konvensi
46
sama dengan perjanjian ekstradisi,
Dengan demikian negara yang menerima permintaan
ekstradisi masih dapat mempertimbangkan apakah ia akan
menggunakan ketentuan-ketentuan ekstradisi yang ada dalam
konvensi atau tidak, di mana hal ini disebutkan secara
jelas dengan kalimat
it may at its option consider
this Convention as legal basis for extradition ..*M. Hal
ini didasarkan pada pertimbangan bahwa ekstradisi juga
tunduk pada hukum nasional dari negara penerima perminta­
an ekstradisi. Hal ini ditekankan dengan kalimat M... Ex­
tradition shall be subyect to other conditions provided
by the law of the requested State”.
Pasal 8 ayat 3 f mengatur mengenai negara-negara
anggota yang tidak menentukan syarat-syarat ekstradisi
bagi pembajakan pesawat udara atau kejahatan penerbangan
dalam perjanjian ekstradisinya, maka negara-negara anggo­
ta tersebut hendaknya mengakui perbuatan pembajakan pesa­
wat udara sebagai perbuatan pidana yang pelakunya dapat
diekstradisikan dan tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum
nasional dari negara yang menerima permintaan ekstradisi.
^Agrawala, on. cit.. h. 47.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Kalau ditelaah, dengan adanya ketentuan pasal ini
maka asas yang membuat perbuatan pembajakan sebagai suatu
perbuatan yang dapat diekstradisikan dengan suatu prinsip
“mandatory extradition!' menjadi tidak berlaku jika hukum
nasional memnentukan sebaliknya, Kamun dalam hal demikian
konvensi memberikan jalan keluar yaitu seperti tercantum
dalam pasal 7 yang menyatakan bahwa apabila di dalam wi­
layah negara anggota diketeraukan pembajak dan negara ter­
sebut menolak untuk mengekstradisinya, maka ia berkewajiban - tanpa perkecualian - menyerahkan pembajak kepada pejabat yang berwenang untuk mengadili (to submit the case
to its competent authorities for the purpose of prosecu­
tion), dan pejabat yang berwenang tersebut berdasaskan
hukum nasionalnya harus memperlakukan perbuatan itu sebagai perbuatan pidana biasa yang diancam dengan hukuman
yang ber^t (an ordinary offence of aserious nature). Jadi
meskipun di sini tidak ada jaminan bahwa pembajak akan dihukum atas perbuatan. yang dilakukannya, akan tetapi setidaknya terdapat suatu kemungkinan pelaksanaan proses hukum
yang seharusnya diperlakukan terhadap pembajak,
Selanjutnya pasal 8 ayat 4- menyatakan bahwa setiap
pembajak hendaknya dapat diekstradisikan tidak saja ke
negara di tempat perbuatan dilakukan, tetapi juga ke
negara-negara yang berwenang untuk melaksanakan yurisdiksi
yaitu ke negara tempat pesawat didaftarkan, ke negara yang
didarati pesawat beserta pembajak, negara tempat penyewa
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
46
pesawat mempunyai tempat udaha utama atau tempat tinggal
tetap. Jadi sal ah satu negara tersebut dapat meminta ekstradisi dari negara di mana pembajak diketemukan. Dengan
demikian ada kemungkinan satu negara menerima permintaan
ekstradisi dari beberapa negara sekaligus,
Dalam hal demikian, maka negara di mana pembajak
diketemukan dapat menggunakan ketentuan yang tercantum da^
lam pasal 7 Konvensi The Hague apabila ia tidak bersedia
menyerahkan pembajak atau mempertimbangkan penyerahan
pembajak berdasarkan prioritas untuk menerapkan yurisdiksi atas perbuatan pidana pembajakan kepada negara-negara
yang berkepentingan seperti telah diuraikan dalam bab
terdahulu.^
2. Penolakan ekstradisi berdasarkan alasan politik
Sudah menjadi asas umum dalam ekstradisi, jika su­
atu kejahatan oleh negara yang diminta penyerahan dianggap
sebagai kejahatan politik, maka permintaan ekstradisi akan
ditolak kecuali terhadap beberapa jenis kejahatan politik
tertentu pelakunya dapat diserahkan sepenjang diperjanjikan antara negara yang meminta dan negara yang diminta
ekstradisinya.^ 8
Sehubungan dengan pembajakan pesawat udara, maka
^ Supra,, h. 35 - 3 6 ,
Budiarto, op, cit., h, 8 ,
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
47
yang dimaksud dengan "kejahatan politik" perlu mendapatkan penjelasan. Memang tidak mudah untuk raerumeskan suatu
kejahatan menjadi kejahatan politik, sebab harus dilihat
dari kriteria kejahatan tersebut, misalnya motif kejahat­
an, keadaan ketika dilakukan, dan hanya meliputi beberapa
kejahatan tertentu.
4.9
Suatu kejahatan dapat dikatakan sebagai kejahatan
politik apabila kejahatan itu secara langsung bertentangan
dengan konstitusi atau lembafea-lembaga pemerintah yang sah
dalam suatu negara. Kejahatan ini harus mempunyai hubungan dengan pemberontakan, gangguan keamanan dan ketertiban
umum, dan perjuangan untuk merebut kekuasaan dari pemerintah yang sah.
50
Ada beberapa kasus yang menurut praktek hukum in­
ternasional dicontohkan sebagai suatu kejahatan politik,
misalnya praktek Pemerintah Xnggris yang menyatakan kasua
Castioni (1891) dan Re Meunier (1894) sebagai kejahatan
politik. Di dalam kasus-kasus ini, Pemerintah Inggris me­
nyatakan bahwa kriteria kejahatan politik adalah adanya
dua pihak yang berjuang untuk memperoleh kekuasaan politik
dalam negara tempat kejahatan itu dilakukan dengan
^Starke, op. cit., h. 351 - 352.
^°Peter J. van Krieken, "Hijacking and Asylum", Ne­
therlands International Law Review. Vol. XXIX, Issue 1,
-i-975, A.W..Si jthoff, Leiden, .h. 11.
.....
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
48
perkecualian kaum anarkhis dan teroris. Selain itu keja­
hatan politik mempunyai esensi bahwa perbuatan itu dilaku­
kan bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi harua merupa­
kan tujuan uaaha dari suatu kelompok politik, aeperti ker*
putusan pengadilan Inggria terhadap kaaua Giovanni Gatti
( 1947) . 51
Dalam kasus Kolozynski (1955), seorang awak kapal
penangkap ikan Polandia yang memberontak dan minta suaka
politik di Inggria, Pemerintah Inggria menolak perminta­
an ekstradiai Pemerintah Polandia dengan alaaan bahwa
nsetiap peradilan di Polandia didasarkan pada kekuaaaan
politik", aehingga sejak aaat itu Inggria memperluaa pe­
ngertian kejahatan politik dengan memaaukkan "alaaan kemanusiaan", yaitu bahwa dilakukannya kejahatan itu meru­
pakan 8uatu tujuan untuk mengelakkan diri dari kekuaaaan
politik,^
Pengadilan negara Swiss juga memasukkan "alasan
kemanuaiaan" dalam pengertian kejahatan politik hagi
individu-individu yang melakukan suatu kejahatan sebagai
upaya untuk melarikan diri dari rejim pemerintah yang menindas. Hal ini dapat dilihat pada kaaua Kavic, Bjelanovic, dan Arsenejenic (1952), yakni tiga orang awak
51
J Agrawalat op* cit., h. 51
52Ibid.. h. 52.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
4-9
pesawat perusahaan penerbangan Yugoslavia yang telah mengubah tujuan penerbangan peaawatnya ke Swiss dan meminta
suaka politik di Swiss. 'Pemerintah Yugoslavia menuntut penyerahan ketiga awak pesawat tersebut dengan dasar perjanjian ekstradisi antara kedua negara* menbahayakan angkutan
umum, dan penyalahgunaan barang-harang milik negara. Te­
tapi Pemerintah Swiss menolak dengan alasan bahwa "semua
kejahatan yang dituduhkan itu merupakan satu-satunya jalan
untuk melepaekan diri dari kekuasaan politik yang menindas.53
Jadi penolakan ekstradisi dengan alasan politik
- juga terhadap pelaku kejahatan penerbangan - mempunyai
eifat yang masih sangat subyektif dan tergantung pada keadaan serta penafsiran tiap-tiap negara sebagai tujuan p
penjahat untuk melarikan diri, dan sampai saat ini pemberian suaka politik masih merupakan motif yang umum yang
mendorong seseorang untuk melakukan pembajakan pesawat
udara, seperti pembajakan terhadap pesawat Libia ke Pulau
Malta (Yunani) pada tanggal 20 Pebruari 1983. Di sini Pe­
merintah Yunani memberiican auaka politik kepada para pem­
bajak, tetapi tetap menyerahkannya ke pengadilan.^4
53I*>id.. h. 54.
54.
■^"Pembajak Pesawat iibia Menyerah", Sinar Hara^an.
24 Pebruari 1983, h. IV. .
...
. “
:
----—
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BA3
17
LANGKAH-jjANGKAH PENCEGAHAN LAN PENANGGUIiANGAN
PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
Penerbangan sipil internasional merupakan alat
transportasi yang vital bagi bangsa-bangsa di dunia ini,
karena efisiensi dan kecepatannya. Penerbangan ini juga
berfungsi sebagai jembatan promosi dan hubungan baik antar negara seoagai penghubung bangsa-bangsa yang berbeda
dalam pandangan politik, tata ekonomi, dan kehidupan soaialnya. Oleh karenanya adalah kewajib^n semua negara un­
tuk menjaga agar £ungsi penerbangan ini dapat berjalan
dengan layak dan lancar.
Dalam usaha menjaga keselamatan penerbangan terse­
but maka peranan penting dipegang oleh International Ci­
vil Aviation Organisation (ICAO) seoagai suatu organisasi
antar negara dan merupakan badan khusus PBB sebagai sumber
inisiatiX dalam mengatur keselamatan dan perkembangan pe­
nerbangan sipil.
Pada tanggal 11 Desember 1969, ICAO Council mengeluarkan suatu peraturan untuk mengarabil tindakan dalam
usaha mencegah dan menanggulangi pembajakan pesawat udara
yang pada garis besarnya terbagi raenjadi :
(a), pence&ahan secara umum (General Prevention);
(b). pencegahan secara khusus (Specific Prevention), yang
terdiri dari :
50
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
51
(1 ) tindakan di darat (on the ground);
(2 ) tindakan di udara (in flight);
(c). tindakan-tindaican penanggulangan lainnya (Other Mea­
sures) •
1 * Ueaha negara-negara mencegah terjadlnya pembajakan pe-
aawat udara
Sesuai dengan pasal 44 (h) Konvensi Chicago 1944
yang menekankan bahwa tugas ICAO adaxah menjamin keselamatan penerbangan di dalam laluiintas penerbangan inter­
nasional, maka pasal ini mendorong seraua negara untuk
mengambil tindakan yang memungkinkan untuk mencegah terjadinya kejahatan penerbangan (unlawful interference)*^
Dengan demiKian, maka tiap-tiap negara diberi tanggungjawab untuk mencegah terjadinya pembajakan pesawat udara
yaitu dalam bentuk pengamanan di darat dan di udara.
Di darat, cara pencegahan tersebut antara lain berupa larangan bagi para penumpang untuk membawa senjata
di dalam pesawat, melakuican pemeriksaan yang ketat terha­
dap penumpang dan barang-barangnya sebelum mereka naik
•^Agrawala op. cit., h. 92.
Menurut pasal b Resolusi ICAO tanggal 10 April
1 9 6 9 , definisi "unlawful interference" terdiri dari ;
(a), unlawful seizure of aircraft, and (b). sabotage 02?
armed attack directed against aircraft or ground facili­
ties used by international air transport.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
52
ke
p esa w a t,
pen gaw asan d i
te m p a t
p em b era n g k a ta n ,
jagaan keamanan yang ketat di pelabuhan udara.
a ta u
56
pen-
Sedang di
udara, cara pencegahan dapat dilakukan dengan jalan melarang penunpang memasuki "cock pit", melindungi dan melengkapi pesawat dengan alarm tanda bahaya, dan penggunaan pengawal keamanan dalam penerbangan (sky marshall)*
D a la m u s a h a i n i
p eru sah aan
b e r ik a n
p en erban gan
in fo r m a s i
akan d ila k u k a n ,
m engenai
d a ta
b erd asark an
p eru sah aan
d a ra yang
d ir i
jik a
d ip e r lu k a n
dengan
oran g yang
p en erban gan
d it u ju
o le h
IN T E R P O L ,
d e n g a n s a lin g
d id u g a
cegah an
p ih a k ,
IN T E R P O L .
nc a lo n
s a la h
in i
"c a lo a
p e m b a ja k ”
dapat
b e r ita
p eru sah aan -
p e la b u h a n u m e m p e r s ia p k a n
d ip e r lu k a n *
n e g a r a -n e g a r a
dapat
m e la k u k a n p e n ­
k o n v e n s i-k o n v e n s i
in te r n a s io ­
p en erban gan ,
p e m b a ja k a n p e s a w a t u d a r a *
M o c h t a r K u s u m a a t m a ^ ja m e n e k a n k a n m u t l a k
kannya pen gesah an
mem­
p e m b a j a k 11
D en ga n d e m ik ia n
n a l m en gen a i p e m b e ra n ta sa n k e ja h a t a n
p em b era n ta sa n
s a lin g
b ah w a p e m b a ja k a n
dan p e n g u a s a -p e n g u a s a
dengan m e r a t ifik a s i
ma d a la m
dengan
a n ta ra
m e n g ir im k a n
sebagai
u n tu k m e n g a m b il t in d a k a n y a n g
Di la in
k e r ja s a m a
tim b u l k e c u r ig a a n
M is a ln y a
in fo r m a s i
ju g a
k o n v e n s i-k o n v e n s i in t e r n a s io n a l
teru ta D a la m m a­
d ip e r lu sebagai
^ IC a O AasemDly - 17th Session (extraordinary) Reso­
lution fto. A17 - 10t about Minimum Specifications and
Practices for normal Application - Security Measures for
tne Protection ox Aircraft on the Ground and In the Pro­
cessing of Passenger, Crew, Bagage, Mail, and Freight,
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
53
s u a tu u n d a n g -u n d a n g
s e b e lu m n y a
tid a k
d ik w a lifik a a ik a n
dana,
n a s io n a l
d ir u m u s k a n
sebagai
agar
s e tia p
sebagai
tin d a k
B e r t a u n t u k m e m p e r lu a s
p erb u a ta n
tin d a k
k e ja h a t a n
ru a n g
k e ja h a t a n
dan
X in g k u p
teru ta m a y a n g m enyangkut h ak w a rg a n eg a ra
yang
dapat
dapat
d ip i-
hukum n a s i o n a l
sebagai peroran g-
an.-^
D en g a n d e m ik ia n m aka t i a p - t i a p
m em punyai p e r s i a p a n
h uk u m p e l a k u
d ir i
la h
ke
s a la h
p e m b a ja k a n
sa tu
m e r a tifik a s i
n g e n a i k e ja h a t a n
s io n a l,
58
dan
u n t u k m e m e r ik s a ,
a p a b ila
n egara
yang
h uk u m y a n g
bang an.
a n g g o ta
m e n g a d ili,
p e la k u
a n g g ota .
terseb u t
M is a ln y a
IC A O
dan m engm e la r ik a n
I n d o n e s ia
te­
d a n m e n g u n d a n g k a n k o n v e n s i - k o n v e n s i m e­
p e n e r b a n g a n d a la m
te la h
s e b e lu m n y a
d ila k u k a n
p e ru n d a n g -u n d a n g a n
na-
m e la k u k a n p e r l u a s a n hukum p id a n a n y a
d e n g a n m enam bah b e b e r a p a p a s a l
bangan,
n egara
tid a k
te rh a d a p
ten ta n g
k e ja h a t a n
m en ca k u p p e r b u a t a n
saran a
p en er­
m e la w a n
dan p ra sa ra n a p e n e r -
59
^Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku I, Bagian Umum, Bina CiptaV Bandung,. h. 88
58 Iiliatf DU HI S o . 2 TaHun 1976; UJ RI N o . 18 - 1976
tentang Pengesahan Konvensi.Tokyo 1963, Konvensi The Hague
1970, dan Konvensi Montreal 1971.
•^Lihat, UU RI No. 4 lahun 1976 tentang Perubahan
dan PenambahaiL Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan
Berlaicunya Perundang-undangan Pidana Kejahatan Penerbang­
an dan Kejahatan terhadap Sarana/Praearana Penerbangan.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
54
2 . Kewa.jiban negara-negara dalam menanggulangi pembajakan
berdasaxican konvensi
Dalam usaha menanggulangi pembajakan pesawat udara
maka sebagaian besaz negara sepakat untuk memandang per­
buatan tersebut sebagai suatu kejahatan yang diancam de­
ngan hukuman yang berat* Bahkan menurut resolusi yang dihasilkan dalam "Congress of the International Association
of Penal Daw XI" di Budapest, Hongaria pada tahun 1974,
pembajakan peaawat udara dinyatakan sebagai suatu bentuk
terorisme.^ Demikian pula halnya dalam "Joint Statement
on International Terorism" yang dicetuskan dalam suatu
Konferensi Puncak Bidang Ekonomi di Bonn, Jerman Barat
pada tanggal 18 Juli 1978, dinyatakan oleh' negara-negara
Kanada, Republik Pederasi Jerman, Perancis, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika bahwa negara-negara tersebut
akan mengadakan kerjasama dalam menanggulangi masalah pem­
bajakan pesawat udara apabila pembajakan itu dipandang se61
bagai suatu bentuk terorisme.
Negara-negara tersebut
akan menghentikan semua penerbangan yang menuju atau datang dari negara-negara yang menolak untuk mengembalikan
pesawat yang dibajak, atau melalaikan penghukuman dan
^ P e t e r J. van Kreiken, op. cit., h. 5.
^■Ruben Kraiem, "International Terorism : Hijacking"
Harvard International Law Journal, Pall 1978, Vol. 9 f No.,
h. 1 0 3 8 .
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
pengekstradisian pembajak yang tertangkap*
Seperti telah diuraikan dalam bab terdahulu, bahwa
penolakan ekstradisi tidak membebaskan suatu negara dari
kewajiban untuk menghukum pembajak yang melarikan diri ke
dalam wilayahnya. Hal ini diatur dalam pasal 7 Konvensi
The Hague yang berbunyi sebagai berikut :
The contracting State in the territory of which
the.alleged offender is found shall, if it does not
extradite him, to be obliged, without exeption what­
soever and whether or not the offence was committed
in its territory to submit the casa ot its competent
authorities for purpose of prosecution.
Those authorities shall take their decission in
the same manner as in the case of any ordinary offen­
ce of a serious nature under the law of the State.
Dengan pasal ini maka timbul suatu kewajiban bagi
negara-negara anggota yang menolak permintaan ekstradisi
dari negara anggota lainnya untuk mengadili pembajak yang
berada dalam wilayahnya. Jadi tidak ada suatu alasan un­
tuk meloloskan pembajak dari pemidanaan yang seharusnya
ia terima, dan ini merupakan suatu usaha dari negaranegara anggota untuk menanggulangi masalah pembajakan
pesawat udara atau kejahatan penerbangan lainnya sehingga
pasal ini dapat dikatakan sebagai alat yang tepat untuk
menanggulangi pembajakan pesawat udara secara internasio-i 6 2
nal.
Dalam setiap kasus pembajakan pesawat udara,
62Poulantzas, op, cit., h. 56*
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
56
meakipun motif pembajakan itu aemata-mata beraifat poli­
tic, namun sexalu dapatditemui perbuatan pidana yang menyertai pembajakan tersebut, misalnya penculikan terhadap
penumpang dan awak pesawat, tindakan-tindakan yang memba­
hayakan keselamatan penerbangan, penahanan secara tidak
sah harta benda milik orang lain, dan sebagainya.
Seperti telah diuraikan dalam Bab I, rumusan pem­
bajakan pesawat udara mempunyai unsur-unsur :
a. perbuatan dalam arti kekerasan atau ancaman kekerasan
atau ancaman dalam bentuk lain;
b. menguasai pengendalian pesawat udara;
c. secara melawan hukum;
d. membahayakan keselamatan pesawat yang ada dalam pener­
bangan.
Sedangkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh pembajakan
pesawat udara sangat merugikan manusia, seperti :
a. membahayakan keselamatan seluruh isi pesawat baik jiwa
maupun harta benda penumpang dan awak pesawat;
b. dengan kerusakan pesawat, dapat menimbulkan kerugian
yang besar bagi maskapai penerbangan maupun perusahaan asuransi;
c. melanggar peraturan imigrasi dan karantina;
d. mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap penerbangan
siplil, baik domestik maupun internasional.
Sehubungan dengan masalah ini, yang dimaksud de­
ngan tindak pidana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
57
a* harus ada perbuatan;
b. perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang ditetapkan
dalam ketentuan hukum;
c. harus terbukti adanya "dosa" pada orang tersebut, dan
ia harus dapat dipertanggungjawabkan;
d. perbuatan itu harus melawan hukum;
e. terhadap perouatan itu harus tersedia ancaman hukuman
oleh undang-undang dan akibat perbuatan tersebut harus
membahayakan kepentingan umum atau masyarakat.^
Jadi jika perumusan serta akibat yang ditimbulkan
oleh pembajakan pesawat udara dibandingkan dengan peru­
musan tindak pidana, serta ditetapkannya perundang-undangan mengenai pembajakan pesawat udara di pelbagai negara
yang mengatur tentang perumusan dan ancaman htucumannya,
maka perbuatan membajak pesawat udara adalah perbuatan
pidanakarena semua unsur perbuatan tersebut telah memenuhi
unsur-unsur perbuatan pidana. Pembajakan pesawat udara
merupakan perbuatan pidana biasa karena apapun motifnya
selalu ditemui unsur-unsur pidana yang raenyertai perbuatan
tersebut, seningga tidak ada alasan bagi pelaku untuk mempertahankan perbuatannya bahwa ia tidak melakukan perouatan pidana tetapi hanya melakukan pelarian politik dan
bebas sama seicali dari tuntutan pidana.
R. Tresna, Azas-aaas Hukum Pidana. Disertai Pemhahasan BeDerapa Perbuatan Pidana lang Penting, liara, Ja­
karta, 1 ^ 5 9 ,~h7 2 S I
'
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
58
Mungkin tindakan-tindakan seperti terjadi dalam
kasus-kasus permulaan pembajakan pesawat udara masih da­
pat dibenarkan. Tetapi akhir-akhir ini pesawat-pesawat
yang dibajak pada umumnya bukanlah milik negara kepada
siapa tindakan pembajakan ditujukan ataupun bukan railik
negara di mana pembajakan dilakukan, sehingga hubungan
antara alat dan tujuan politik pembajak tidak selaraa ka­
rena tidak memenuJii syarat-syarat sebagai kejahatan poli­
tik,
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka pemba­
jakan pesawat udara yang kini sering terjadi tidak dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana politik. Disamping
itu biasanya peradilan di beberapa negara menerapkan dua
macam standardhukuman, yaitu sehubungan dengan kejahatan
politik dan kejahatan biasa. Pada umumnya kejahatan poli­
tik mendapat hukuman yang lebih berat dibanding dengan
kejahatan biasa*
64-
Dalam masalah hukuman, konvensi tidak memberikan
standard hukuman minimal bagi pelaku pembajakan pesawat
udara. Pasal 2 Konvensi The Hague dan Pasal 3 Konvensi
Montreal hanya menyatakan bahwa "each Contracting State
undertakes to make the offence punishable by severe pe~
nalties". Akibatnya adalah, tiap-tiap negara mempunyai
standard hukuman yang berbeda-beda, misalnya Pemerintah
^Poulantzas, op. cit., h. 57
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
59
65
menjatuhkan pidana penjara maicsimmn 15 talma, ^ sedangkan
Belanda menjatuhkan pidana penjara maksimum 12 tahun , 66
dan Perancis menjatuhkan pidana penjara antara lima sampai
67
sepuluh tahun.
Dalam praktek, pemidanaan terhadap pelaku pemba­
jakan mempunyai variasi sesnai dengan hukum nasional tiap
negara. Misalnya Raffael Minichiello yang membajak pesawat
TWA ke Roma pada tanggal 31 Gktober 1969 dipidana dengan
peajara tujuh setengah tahun oleh pengadilan Italia; Zbigniev Iwanicki, pembajak pesawat Polandia pada bulan Juni
1970 dijatuhi hukuman enam tahun penjara oleh pengadilan
Denmark; A Rybak dan Roman Jasniski yang membajak pesawat
Polandia pada tanggal 10 Juni 1970 dihukum lima dan empat
tahun penjara oleh pengadilan Warsawa; Layachi Allona,
Rabah Boutif, dan Mohamed Saleh Touti, pembajak pesawat
Aljazair tanggal 31 Agustus 1970 dipidana antara enam sam­
pai duabelas tahun penjara oleh pengadilan Alja 2 air; Ma­
riano Rentura Radriguez, pembajak pesawat “Iberia Airli­
nes'* pada bulan Januari 1970 dengan memakai piBtol air,
dijatuhi hukuman 12 tahun penjara oleh Pengadilan Sarragosa, Spanyol; Rudolf Cihac pembajak pesawat Chekoslovakia
6 ^Iiihat, UU RI Ho. 4- Tahun 1976, pasal 479 1.
66Nederlandsch Strafrecht, Art. 335 bis.
^French Code Penal, Art, 462.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
60
pada tanggal 9 Juni 1970 dijatuhi hukuman 18 bulan penjaia
oleh pengadilan Jerman Barat; Pavel verner pembajak pesa­
wat Checoslovakia pada bulan Mei 1970 dijatuhi penjara aa68
tu tahun oleh pengadilan. Austria,
Pengadilan-pengadilan di Amseika Serikat mempunyai
standard hukuman yang lebih keras dibandingkan dengan
negara-negara lainnya, misalnya Pengadilan Banding Amerika
Serikat pada tanggal 14 Juni 1962 menjatuhkan pidana pen­
jara 20 tahun kepada Leon Barden yang membajak pesawat TWA
Lorenzo Edward Ervin pada tanggal 5 Juni 1970 dijatuhi
hukuman penjara seumur hidup, Sedang di Uni Sovyet hukum­
an mati terhadap pembajak pesawat udara merupakan hukuman
maksimum, misalnya terhadap Vistaustas Simokaistis dan istrinya yang membajak pesawat terbang Aeroflot pada tanggal
9 November 1970 ketika pesawat tersebut terbang antara
Vilnius dan Palanga di laut Baltik dan raemaksa komandan
pesawat untuk terbang ke Swiss,
69
Pengadilan Srilanka men­
jatuhkan hukum am penjara 23 tahun kepada Sepala Ekanayake
seorang warganegara Italia kelahiran Srilanka, dalam ka­
sus pembajakan terhadap pesawat "Alitalia11 pada tanggal
1 Juli 1982 di New Delhi . 70
Poulantzas, op. cit,, h. 60,
69 Ibid., h. 62.
70"Sepala Dihukum 23 Tauiun Penjara", Surabaya Post.
30 Juni 1983, h. 1.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Pasal 9 Konvensi The Hague atau pasal 10 Konvensi
Montreal memberikan kewajiban kepada negara-negara untuk
mengembalikan kendali pesawat yang dibajak kepadakomandan
pesawat yang sah atau menjaga kendali pesawat tersebut.
Maksud dari pasal ini adalah, apabila terjadi atau gkan
terjadi pembajakan pesawat udara, maka negara yang pertamakali mendengar peringatan radio dari pesawat yang diba­
jak atau akan dibajak tersebut untuk berusaha sedapat
mungkin agar keselamatan penerbangan tetap terjaga, dan
apabila kendali telah dikuasai oleh pembajak maka pejabat
yang berwenang di pelabuhan udara wajib berusaha untuk
mengembalikan kendali pesawat kepada komandan pesawat
yang sa$*
Konvensi ini juga memberikan kewajiban kepada
negara-negara anggota untuk segera meneruskan perjalanan
pesawat, penumpang, dan pengiriman barang-harang yang ada
dalam pesawat yang dibajak ke tujuan semula, Tanggungjawab ini dibebankan kepada negara di mana para penumpang
dan barang-barang berada, sebab dalam kasus pembajakan aering terjadi, para penumpang dan aw^k pesawat dijadikan
sandera dan mereka dibebaskan di tempat yang berbeda-beda
atau ada kemungkinan pembajak meledakkan pesawat yang dibajaknya, Ketentutan ini dapat dilihat dalam pasal 11 Kon­
vensi Tokyo, Pasal 9 Konvensi The Hague, dan pasal 10
Konvensi Montreal,
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
62
Kewajiban lain yang harus dilakukan oleh negaranegara dalam menanggulangi pembajakan pesawat udara ada­
lah melakukan penahanan terhadap pelaku pembajakan yang
berada dalam wilayahnya* Penahanan ini dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan pengadilan atau proses ekstradisi,
Dan negara di mana pembajak berada harus memberikan laporan kepada negara tempat pesawat didaftarkan, negara yang
menyewa pesawat (kalau pesawat itu disewa oleh suatu neg a s a ) 9 dan negara-negara yang berkepentingan*
71
Pasal 11 Konvensi The Hague memberi kewajiban ke­
pada negara-negara anggota untuk melaporkan mengenai pem­
bajakan pesawat udara yang terjadi di dalam wilayahnya
kepada ICAO, Kewajiban ini harus dilakukan mengingat tugas umum ICAO adalah meminta, mengumpulkan, menelaah, dan
raenyebarkan informasi mengenai perkembangan lalulintas
udara dan pelaksanaan pelayanan penerbangan internasio­
nal (pasal 54 sub i Konvensi Chicago 1944).
ICAO merupakan badan dunia yang bergerak dalam pengelolaan penerbangan sipil internasional, karenanya da­
lam konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh ICAO selalu ditegaskan bahwa "Convention shall not apply to aircraft
used xn military, customs, or police services". Penegasan
^Edward ric.Whinney, "Aerial Piracy and The Problem
Solving Approach to International Law", Essay on Interna­
tional Law In Honour of Khrishna Rao, -M.K. .Nawaz (ed.)~,
A.W. srjthoff, Leiden, X97b, h. 1507
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
63
ini didasarkan pada ketentuan pasal 3 Konvensi Chicago
1944 yang mengklasifikasikan status pesawat udara menjadi
pesawat udara sdipil dan pesawat udara milik negara* Isi
pasal tersebut adalah ;
Civil and State aircraft ;
(a) Ihis Convention shall be applicable only to
civil aircraft, and shall not be applicable to State
aircraft;
(b) Aircraft used in military, customs, and police
services shall be deemed to be State aircraft,
Sehubungan dengan klasifikasi ini, maka Priyatna
Abdurrasyid menyatakan bahwa sebenarnya penggolongan ini
perlu ditinjau kembali karena pembagian tersebut hanya
merupakan pembagian penggunaan, dan bukan status pesawat
itu sendiri,
kinan
72
Hal ini perlu ditekankan sebab ada kemung—
pesawat terbang sipil dicarter atau digunakan oleh
penguasa militer atau sebaliknya pada masa damai pesawat
militer digunakan untuk kepentingan komersial seperti ter­
jadi seusai Perang Bunia II, di mana banyak pesawat mili­
ter diubah penggunaannya menjadi pesawat komersial. Namun
i
hal ini bukan merupakan hambatan serius untuk menanggu­
langi pembajakan pesawat udara, sebab apapun status dari
sarana atau prasarana penerbangan perlu mendapat perlindungan dari segala bentuk kejahatan.
72
Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Huang
Udara, Pusat Penelitian Hukum Angicasa, Jakarta, 1972,
H7T35.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
K2SIMPU1AN DAN SARAtf
Dari hal-hal yang telah saya uraikan dalam bab-bab
terdahulu, dapat diambil kesimpulan bahwa hingga saat ini
penerbangan sipil internasional merupakan sarana yang vi­
tal dalam hubungan antar bangsa, dan penerbangan ini berkembang dengan pesatnya, Hal ini disebabkan kebutuhaa masyarakat internasional terhadap sarana ini semakin hari
juga semakin meningkat karena efisiensi dan kecepatan pe­
nerbangan internasional tersebut* Oleh karenanya adalah
kewajiban bagi semua negara di dunia untuk menjaga keselamatan penerbangan ini.
Sampai saat ini gangguan-gangguan alam ternadap
keaelamatan penerbangan relatif sudah dapat diatasi de­
ngan icema^uan tehnologi. Hanya gangguan yang datang dari
manusia itu sendiri yang belum dapat diatasi secara menyeluruh*.Gangguan-gangguan terseout adalah berupa keja­
hatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan yaitu
pemDajakan pesawat udara atau tindakan aabotase yang dilaicukan terhadap prasarana penerbangan,
Seoagai telah diuraikan, pembajaican pesawat udara
adalah suatu Kejanatan yang baru berkembang pada awal ta­
hun enampulunan sehingga aspek hukum yang timbulpun boleh
diKatakan merupakan suatu masalan hukum yang baru terutama dalam menentukan yurisdiksi dan ekstradisi terhadap
pelaxu kejanatan terseout.
64
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
65
Pengertian baru di sini dimaksudkan bahwa meskipun
pembajakan pesawat udara merupakan kejahatan yang menjadi
muauh aeiuruh umat manusia (delict jure gentium), namun
karena tempat dan waktu dilakukannya kejahatan tersebut,
maka dengan kesepakatan internasionalyang tertuang dalam
konvensi-konvensi, usaha untuk mengadili pelaku kejahatan
terseout diserahican kepada negara-negara yang berwenang
untuk mengadilinya (aut punire, aut dedere). Karena alasan inilah maka pembajakan pesawat udara tidak dapat dianalogikan seperti pembajakan kapal laut,
Hal lain yang dapat dikatakan baru adalah latar belakang dilakukannya kejahatan tersebut, Pada mulanya pem­
bajakan pesawat udara dilakukan dengan alasan untuk mela­
rikan diri dari kekuasaan politik yang menindas sehingga
menghambat jalannya proses ekstradisi, dan baru pada akhir
tahun tujuhpuluhan, yaitu setelah dikeluarkannya beberapa
resolusi oleh negara-negara, seperti "Joint Statement on
International Terorism11 tahun 1978, maka pembajakan pesa­
wat udara sebagian besar dinyatakan sebagai suatu bentuk
terorisme.
DemiKian pula dalam menghukum pelaku pembajakan,
maka ekaistensi hukum nasional tidak dapat diabaikan de­
ngan begitu saja, sehingga dalam praktek masih terdapat
perbedaan patokan hukuman antara negara yang satu dengan
lainnya meskipun secara internasional telah ditekankan
bahwa pelaicu pembajakan harus mendapat hukuman yang berat.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
6o
le la h
nya tid a k
ra n ta s
ti
d ia k u i
ada
secara
su a tu
ca ra
p e r is tiw a
p e m b a ja ic a n
b erk u ra n g
jik a
a ta u
a w a l ta h u n
pada
ja k a n
pesaw at
h a r u s la n
m e s k ip u n
B ebut
tid a k
bangan
a k n ir
di
s e tid a k -tid a k n y a
p id a n a
di
In i
terb u k -
p e r is tiw a te la h
ta h u n
ja u h .
e n a m p u lu h a n
m ana p e r i s t i w a
pem ba­
N am un d e m i k i a n
le b ih
sa ra a s e k a l i
e fe k tif,
k e ja h a t a n
d a p a t m enekan a ta u
te r-
m engu-
terseb u t.
p en cegah an
o le h
d a la m
b en tu k
tin d a k a n
penga*
p e r u s a h a a n -p e r u a a h a a n p e n e r ­
d a r a t m aupun d i
u d a ra m em punyai
b a ta s-
kem am puan.
an i n i
saya
k aren a
in g in
te rse b u t
m e n g a ju k a n
d ia ta s ,
m aka p a d a k e s e m p a t -
s a r a n -s a r a n
sebagai
ca ra
pen cegah an
m em egan g p e r a n a n
m em b era n ta s
p e m b a ja k a n
pesaw at u d a ra ,
IC AO
sebagai
n erban gan
su a tu
s ip il
b a d a n PBB y a n g
in te r n a s io n a l,
m engadakan pen yem pu rn aan
yang
te la h
d ih a s ilk a n
d ite ta p k a n
o le h
di
secara
p e n tin g
:
d a la m
m aka h e n d a k n y a
teru s
m en eru s
pen cegah an
terseb u t
sem ua p e r a t u r a n - p e r a t u r a n
IC A O d e n g a n
s e lu r u h
b e r ik u t
m en g u ru s m a s a la h p e ­
ca r a -c a r a
dan m en g h a ru sk a n p e la k s a n a a n
Skripsi
t e r ja d i
p em eca h a n y a n g
d a p a t m e m b e ra n ta s
K aren a h a l-h a l
1.
dengan
t u ju h p u lu h a n
d ija ia n k a n
b a ik
teru s
d a p a t m em be-
tu n ta s*
p e s a w a t u d a r a m e s k ip u n
c a r a -c a r a
C a r a -c a r a
m an a n y a n g
m a s ih
secara
bahw a s e s u n g g u h yang
u d a ra m en capai p u n cak n ya .
d ic a r i
teta p i
in i
u d ara
d ib a n d in g k a n
ra n g i p erb u a ta n
b a ta s
p e n a n g g u la n g a n
p e m b a ja k a n p e s a w a t
b a iiw a s a m p a i s a a t
in te r n a s io n a l
s ta n d a r d u k u ran
p e la b u h a n
yang
u dara
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
I
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
in te r n a s io n a l;
h in g g a
yang
saat
sudah
K on ven si
p e la k u
in i
p e n a n g g u la n g a n
d ija la n k a n
a d a la h
o le h
n e g a r a -n e g a r a
te rta n g k a p ,
ada k e te n tu a n -k e te n tu a n
b era t.
sem ua n e g a r a
M ak su dn ya a g a r
k e w a jib a n n y a
U n tu k
in i
berd asark an
h a r u s la h
d ia d a k a n
dap n eg a ra yan g
tid a k
d ite n tu k a n
k o n v e n s i,
o le h
tid a k
s is te n s i
d e n g a n k e w a jib a n
huk um n a s i o n a l
hal
in i
la h
b e r ia k u
n y e s u a ia n
e fe ic tif
jik a
dapat
dari
p e ru n d a n g -u n d a n g a n
serta
pengnukum an m en g en a i p e r o u a t a n
pesaw at yang
n ega ra yang
te n tu
s a ja
d ia b a ik a n .
ek-
D a la m
baru -
huicum n a s i o n a l m e l a k u k a n
d a la m
c a r a -c a r a
te la h
hukum i n t e r n a s i o n a l
u d a ra
m e n g a 'c u r
yang
terh a ­
d e n g a n m e n g h e n tik a n
te rseb u t,
den gan m engaxur p e rb u a ta n
s y a r a t-s y a r a t
m eng-
terseb u t;
y a itu
m en g a tu r
in i
in te r n a s i­
s a n k s i-a a n k s i
u n tu k m e la k s a n a k a n k e w a jib a n
n g a n m e m b e r ik a n d e f i n i s i
tid a k
p e r ja n jia n
d a ta n g
tid a k
k e te n tu a n -k e te n tu a n
hal
b e r s ifa t
a n g g ota
m is a ln y a
m au m e m e n u h i k e w a j i b a n
seh u bu u gan
dengan
hukum an y a n g
m em enuhi k e w a jib a n
p e n e r b a n g a n y a n g m e n u ju d a n
Skripsi
IC A O y a n g
u n t u k m e n ja t u h k a n
o n a l*
sesu ai
nam un d a la m
m em aksa n e g a r a - n e g a r a
a -b a ik a n
p e s a w a t u d a ia
d e n g a n m e la k u k a n p e n g h u k u m a n t e r h a d a p
p e m b a ja k a n y a n g
h a r u s la h
p e m b a ja k a n
pe-
in te r n a s io n a l
p e m b a ja k a n
n a s io n a l.
pesaw at
M is a ln y a
de­
k e te n tu a n -k e te n tu a n
p e m b a ja k a n
u n tu k m e la k s a n a k a n
terseb u t,
e k s tr a d is i,
penananan dan p en y era h a n
d i k u a s a i p e m b a ja k k e p a d a k a p t e n
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
k e m b a li
p esa w a t,
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
68
-dan mengusahakan agar pesawat dapat raelanjutkan perjalanannya dengan segera;
4* dalam kaitannya dengan masalah politik, maka pendapat
masyarakat dunia cenderung untuk memperlakukan pemba­
jakan pesawat udara sebagai suatu bentuk terorisme,
dan bukan sebagai tindak pidana politik, Alasan-alasan
yang dikemukaican oleh pembajak sebagai "motif politik11
dapat dipakai sebagai pertimbangan dalam menjatuhkan
pidana kepada pembajak, akan tetapi tidak sekali-kali
dipergunakan Bebagai alasan untuk membebaskannya dari
tuntutan hukum;
5 , demi terjaminnya keselamatan penerbangan sipil inter­
nasional dan perkemoangannya, di mana ear ana ini meru­
pakan bantuan yang sangat besar dalam menciptakan dan
memelihara persahabatan serta saling pengertian antar
negara dan bangsa di duniayang merupakan suatu dasar
(jus cogens) dari hukum internasional, maka kiranya
lebih efektif apabila diaktifkan p e r a n ^ organisasi
regional. Sebab tindakan bersama organisasi ini dapat
bergerak dengan lebih nyata karena adanya kepentingan
bersama daxam ikatan regional, misalnya soal-soal ke­
amanan dan pereiconomian yang menghasilkan solidaritas
yang icuat.
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAH BACAAK
Agrawala, S.K.t Aircraft Hijacking and International Lav,
N.M. Tripathy Private Ltd., Bomoay, }972.
Brownlie, Ian, Principles of Public International Law,
Oxford, Glarendo Press, 196
Bishop, Jr, William W.» International Law, Oases and Mate­
rials, Third Edition, jaifule Brown Company, Boston.
Budiarto, M . , Masalah Ekstradisi dan Jamlnan Perlindungan
Atas Hak-Hak Asasi Manusla, Ghalia Indonesia, 1980.
— — ™
Ekstradisi iflalam Hukum Nasional, Ghalia Indonesia
Cetakan Pertama, Agustus 1981.
Chidir Ali, Himpunan Lengkap Undang-Undang dan Peraturan
tentang Ekstradisi, Kejahatan Penerbangan, Kejahatan
Narkotika, Interpol, Persetujuan Kerjasama Li Bidang
Peradilan, Bina Cipta, Jakarta, Deaember 1981.
Evans, Alona E., "Aircraft Hijacking : What Is To Be Done"
American Journal of International Law, October 1972,
Vol. 6 6 , No. 5.
Kish John, The Law of International Spaces, A.W. Sijthoff
Leiden, 1973.
Kraiem, Ruben, "International Terorism : Hijacking", Har­
vard^ International Law Journal, Pall 1978, Vol. 19,
Ho. 3 .
Lissitzyn, Oliver J., "International Control of Aerial
Hijacking : The Role of Value and Interests" American
Journal of International Law, September 1971, Vol. 65
No. ‘
4.
McWhinney, Edward, "New Developments in the Law of Inter­
national Aviation ; The Control of Aerial Hijacking'1,
American Journal of International Law, Vol. 65, Sepxemoer 1971, No. 4-- —
- "Aerial Piracy and the Problem-Solving Approach
to International Law", Essay on International Law in
Honour of Lori anna Rao, ri.A. Nawaz, et. ai., Sijvhoff
^eiden, 197b.
^
Mochtar Kusumaatmadja, Psngantar Hukum Internasional, Buku I, Bagian Umum, Bina Cipxa, Jakarta.,- Mei 1978 •
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
-------"Tinjauan tantang Masalah. Pembajakan Udara, Suatu
Kejahatan Internasional", Sinar Harapan, 22 Nopember
1976.
Poulantzas, Nicholas M., "The Hague Convention for the
Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft* (Decem­
ber 16, 1970)", Netherlasche TijdschriXt voor Internationaal Recht, A.W." Sijthoff, Leiden, Jrg. XVIII,
Afl..l, 1971.
Starke, J.G., An Introduction to International Law,
Seventh Edition, Butterworths, London, 1972*
—
Pengantar Hukum Internasional, saduran P. Isjwara
Alumni, Bandung, 1972.
Tresna, R . , Asas-Asas Hukum Pidana, Diaertai Pembahasan
Beberapa Perbuatan Pidana Yang Penting, Tiara, Jakarta
195^.
:
van Krieken, Peter J., "Hijacking and Asylum", Nederland
International Law Review, Vol. XXII, Issue I, 19^5>
A.W. Sijthoff, Leiden.
Wassenbergh, H*A*f Aspect of Airlaw and Civil Air Policy
In The Seventies, A.W. Sijthoff, .Leiden, 1971*
Skripsi
BEBERAPA ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM MASALAH PEMBAJAKAN PESAWAT UDARA
HERU PRASETYO
Download