BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Studi Terdahulu Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang masalah, penelitian mengenai sinonimi dalam bahasa Indonesia sudah pernah dilakukan. Akan tetapi, penelitian-penelitian yang telah dilakukan masih terbatas pada jenis verba tertentu dan nomina. Beberapa studi terdahulu yang relevan dengan penelitian ini akan diuraikan pada bagian ini. Berkaitan dengan itu, istilah-istilah yang digunakan di dalamnya adalah istilah asli dari sumbernya. Sutiman dan Ririen Ekoyanantiasih (2007) telah meneliti nomina noninsani yang bersinonim di dalam bahasa Indonesia. Penelitian tersebut membahas permasalahan pada pendefinian leksem nomina noninsani di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tujuannya untuk mengecek kelayakan definisi leksem nomina dalam KBBI dan memberikan saran perbaikan pendefinisian leksem yang bersinonim dalam KBBI, khususnya leksem nomina noninsani. Hasil dari penelitiannya adalah pendefinisian leksem di dalam KBBI belum layak dan jika leksem yang tidak dapat disubstitusi itu bukan merupakan leksem sinonim, jika dapat disubstitusi itu merupakan leksem sinonim. Utami (2010) telah mengkaji sinonim nomina dalam bahasa Indonesia dalam tesisnya. Penelitian tersebut membahas permasalahan pada sinonim nomina dalam bahasa Indonesia yang bertujuan untuk mengidentifikasi ciri pembeda seperangkat nomina bahasa Indonesia yang bersinonim dan ruang lingkup pemakaiannya. Hasil penelitiannya adalah kebanyakan nomina dalam bahasa 16 17 Indonesia bersinonim dekat disebabkan oleh beberapa ciri pembeda dan beberapa kata yang selama ini dikelompokkan ke dalam sinonim, tetapi sebenarnya merupakan anggota dari kehiponiman. Penggunaan kata-kata yang bersinonim dalam komunikasi memerlukan kecermatan dari pengguna bahasa itu sendiri, yang disebabkan oleh adanya ciri pembeda dalam setiap kata yang bersinonim tersebut. Dengan demikian, penggunaannya tidak akan menimbulkan kejanggalan dan kesalahan dalam penerimaan informasi. Heriwaluyo (2010) telah melakukan penelitian tentang sinonimi verba, tetapi hanya terbatas pada verba yang bermakna mengalahkan dalam berita olahraga di media cetak. Penelitian tersebut membahas dua permasalahan. Pertama, identifikasi kata, frasa, dan klausa yang memenuhi makna „mengalahkan‟ dalam wacana jurnalistik berita olahraga di media cetak. Kedua, hubungan kata dengan kata dan kata dengan frasa yang menunjukkan gejala sinonimi makna „mengalahkan‟ dalam berita olahraga di media cetak. Penelitiannya menghasilkan dua simpulan. Pertama, identifikasi kata, frasa, dan klausa menghasilkan sebuah klasifikasi berdasarkan afiksasi dan berdasarkan bentuk yang lugas, serta metaforis. Kedua, bentuk substitusi dari kata-kata atau frasa yang memenuhi makna „mengalahkan‟ dapat menimbulkan hubungan kata dengan kata yang dapat dipertukarkan, tanpa mengubah struktur kalimat dan dapat menimbulkan tambahan makna yakni makna metaforis, sedangkan hubungan kata dengan frasa tidak dapat diperlakukan secara langsung. 18 B. Landasan Teori 1. Sinonimi Suatu kata memiliki relasi atau hubungan dengan kata lain. Relasi makna yang paling sentral adalah relasi sinonimi. Beberapa ahli mencoba untuk mendeskripsikan relasi sinonimi antarleksem. Nida (1975: 16–17) mendefinisikan sinonimi sebagai “the words in each pair, normally called synonyms, are almost never substitutable one for the other in any and all contexts” „kata-kata dalam masing-masing pasangan biasanya disebut sinonim yang hampir tidak pernah dapat digantikan satu dengan yang lainnya dalam beberapa dan semua konteks‟. Bertolak dari pandangan tersebut, dapat diketahui bahwa sinonimi merupakan kata-kata yang tidak dapat dipertukarkan untuk saling mengganti dalam semua konteks kalimat. Kata-kata tidak dapat berterima di dalam konteks kalimat lain, meskipun dalam suatu konteks kalimat, kata-kata tersebut berterima. Kata-kata yang bersinonim itu tidak dapat dinyatakan memiliki makna yang identik, tetapi memiliki makna yang bertumpang tindih saat mereka dapat disubstitusikan antara satu dan lainnya dalam konteks tertentu tanpa perubahan yang signifikan dalam isi konsep suatu ucapan (Nida, 1975: 17). Oleh Nida, relasi makna tumpang tindih dapat ditunjukkan pada diagram berikut: 19 Gambar 1 Relasi Makna Tumpang Tindih Sumber: Nida, 1975: 17 Gambar di atas menunjukkan bahwa satu kata memiliki hubungan yang tumpang tindih dengan kata lain. Kata satu mengandung unsur kata lain dan sebaliknya. Relasi itu tidak terbatas hanya pasangan yang terdiri dari dua kata, tetapi bisa tiga kata atau lebih, yang bersinonim berdekatan. Contoh: kata duga, sangka, terka, dan tebak. Relasi sinonim kata tersebut adalah 4 kata, yang maknanya tumpang tindih. Semua kata dapat dipertukarkan dalam satu konteks kalimat, hanya ada sedikit perbedaan di antaranya, namun maknanya sama yaitu „menentukan hal yang belum pasti‟. Menurut Cruse (1997: 88), sinonimi merupakan relasi leksikal yang beridentitas paralel dalam keanggotaan dua kelas tertentu. Ia menyatakan bahwa “… there are different degrees of synonymyty; the relation defined in terms of truth-conditional relations will be distinguished as propositional synonymy” (Cruse, 1997: 88) „… ada perbedaan tingkatan kesinoniman, leksem yang dapat digantikan dalam berbagai kalimat dengan ciri-ciri kebenaran kondisional yang disebut sebagai sinonim proposisional‟. Sebagai contoh, kata fiddle „rebab‟ dan violin „biola‟: keduanya mampu menghasilkan kalimat dengan kebenaran kondisional yang berbeda, contoh “He plays the violin very well” „Dia (laki-laki) bermain biola dengan sangat bagus‟ diikuti dengan “He plays the fiddle very 20 well” „Dia (laki-laki) bermain rebab dengan sangat bagus‟. Artinya, sinonimi proposisional merupakan pasangan sinonimi yang salah satunya lebih spesifik daripada yang lain. Penggunaan satu kata lebih tepat daripada kata yang lain dalam kondisi tertentu. Ada dua intuisi semantik yang kuat menurut Cruse (1997: 265). Pertama, bahwa pasangan atau kelompok yang pasti dari soal leksikal menanggung semacam khusus kemiripan semantik antara satu dengan yang lain. Itu biasa dilakukan untuk menyebut hal yang memiliki semacam kemiripan khusus. Namun, kelas intuitif sinonimi tidak bermakna habis oleh gagasan sinonimi kognitif, seperti sekilas akan dikonfirmasikan pada beberapa kamus sinonim. Kedua, bahwa beberapa pasangan sinonim lebih identik daripada pasangan lain: settee „sofa kecil‟ dan sofa „sofa‟, die „mati‟ dan kick the bucket „meninggal dunia‟, yang pada gilirannya lebih identik daripada boundary „batas‟ dan frontier „perbatasan‟, breaker „pemecah‟ dan roller „penggilas‟, atau brainy „cerdas‟ dan shrewd „cerdas‟. Menurut pandangan di atas, sinonimi memiliki tingkatan tertentu. Tidak setiap kata memiliki makna yang tingkatannya sama, misalnya tingkat perasaannya, seperti mohon dan minta, yang lebih emotif mohon daripada minta. Jadi, kata-kata tersebut tidak dapat dipertukarkan dalam suatu konteks kalimat yang menuntut verbanya untuk memenuhi kedalaman perasaan penggunanya ketika menggunakannya. Menurut Cruse (1997: 266–267), sayangnya, tidak ada cara yang rapi untuk karakterisasi sinonimi. Pemecahan masalahnya dengan dua jalan. Pertama, dalam istilah kemiripan penting dan perbedaan yang diperbolehkan. Kedua, 21 kontekstual dengan cara bentuk diagnostik. Salah satunya, jelas bahwa sinonimi harus memiliki derajat signifikan pada ciri-ciri semantik, seperti dibuktikan dengan sifat semantik umum. Kemudian, sinonimi merupakan soal leksikal yang dirasakan identik dalam mematuhi pusat ciri-ciri semantik, tetapi berbeda jika pada semuanya hanya mematuhi apa yang dapat secara sementara kita deskripsikan sebagai ciri-ciri minor atau periferal. Sebuah usaha akan dilakukan untuk karakterisasi perbedaan yang diperbolehkan antara sinonimi. Hal di atas menunjukkan bahwa untuk membedakan antara kata-kata yang memiliki kemiripan makna adalah dengan memasukkannya ke dalam kalimat diagnostik. Kalimat diagnostik dibuat untuk membedakan makna kata yang sangat mirip, yang dibuat sendiri atau dapat pula diambil dari suatu sumber. Kalimat diagnostik dapat berterima semua, dapat pula ada beberapa yang tidak berterima. Menurut Cruse (1997: 267), sinonimi juga khas terjadi dalam tipe pasti dalam ekspresi. Misalnya, sinonimi kadang digunakan sebagai penjelasan atau klarifikasi makna kata lain. Hubungan antara dua kata sering menandakan sesuatu, seperti that is to say „artinya‟ atau variasi tertentu pada or „atau‟: (20) He was cashiered, that is to say, dismissed. „Dia dipecat. Artinya, diberhentikan.‟ (21) This is an ounce, or snow leopard. „Ini seekor macan tutul, atau macan tutul salju.‟ Ketika sinonimi digunakan dengan kontras seperti di atas, kadang-kadang hal itu normal untuk menandakan kenyataan bahwa itu perbedaan yang harus diperhatikan dengan beberapa ekspresi seperti more exactly „lebih tepatnya‟ atau or rather „atau lebih tepatnya‟: 22 (22) He was murdered, or rather executed. „Dia dibunuh atau lebih tepatnya dieksekusi.‟ (23) On the table there were a few grains or, more exactly, granules of the substance. „Di atas meja ada beberapa padi-padian atau lebih tepatnya butiran zat.‟ Sinonimi menurut pandangan di atas dapat digunakan untuk memperjelas kata yang bersinonim. Jadi, kata tersebut benar-benar mirip antara satu dan yang lain, contoh: kata basmi dan berantas. Contoh dalam kalimat berikut: (24) Petugas kesehatan membasmi, atau lebih tepatnya memberantas nyamuk penyebab malaria. Cruse (1997: 270–272) menyatakan ada pula jenis sinonimi proposisional dan plesionim. Sinonimi proposisional merupakan pasangan bentuk leksikal yang harus memiliki properti semantik tertentu pada umumnya. Contoh: (25) Arthur has lost the key. „Arthur kehilangan kunci.‟ (26) Arthur has lost the blasted key. „Arthur kehilangan kunci utama.‟ Akan tetapi, jika blasted „utama‟ hanya mengandung makna ekspresif yang dapat diganti oleh spare „cadangan‟ yang mengandung makna proposisional, kalimat dengan konteks yang berbeda diperoleh: (27) Arthur has lost the spare key. „Arthur kehilangan kunci cadangan.‟ Dari contoh tersebut, sinonimi proposisional merupakan sinonimi yang harus memiliki properti semantis sebagai penjelasnya, yang dapat dipertukarkan dengan pasangannya dalam konteks kalimat yang sama. Kata key „kunci‟ di atas dapat diekspresikan atau dijelaskan ke dalam hal yang spesifik seperti blasted key „kunci utama‟ dan spare key „kunci cadangan‟. 23 Plesionimi menurut Cruse (1997: 285) dibedakan dari sinonim kognitif dengan fakta bahwa kalimat hasil dengan konteks yang berbeda: dua kalimat yang berbeda hanya dalam hal plesionimi dalam posisi sintaktik paralel tidak saling melibatkan, meskipun jika bentuk leksikal merupakan relasi hiponim mungkin ada entailment unilateral „perikutan secara satu pihak‟. Plesionimi merupakan sinonimi yang sebenarnya adalah hiponimi. Dari contoh di atas, kunci sebagai hipernimnya, kunci cadangan dan kunci utama sebagai hiponimnya. Oleh karena itu, hiponimi berfungsi untuk menyampaikan suatu hal supaya lebih ekspresif. Kreidler (1998: 97) menyatakan “…synonymy is an instance of mutual entailment, and synonyms are instances of mutual hyponymy” „sinonimi merupakan contoh hubungan saling berikutan dan sinonim merupakan contoh saling berhiponim‟. Contoh: (28) Jack is a seaman. „Jack seorang pelaut.‟ (29) Jack is a sailor. „Jack seorang pelaut.‟ Contoh di atas merupakan contoh sinonimi karena kata seaman dan sailor dapat dipertukarkan satu sama lain dan benar dalam kalimat yang sama. Hubungan antara keduanya saling berikutan, sailor melibatkan seaman dan sebaliknya. Menurut Kreidler (1998: 96), “synonyms can be nouns, … or adjectives, adverbs, or verbs” „sinonim dapat berupa nomina, … atau adjektiva, adverbia, atau verba‟. (30) The rock is large. „Batu itu besar.‟ (adjektiva) (31) The rock is big. „Batu itu besar.‟ (adjektiva) 24 (32) The train traveled fast. „Kereta itu berjalan cepat.‟ (adverbia) (33) The train traveled rapidly. „Kereta itu berjalan dengan cepat.‟ (adverbia) (34) The bus left promptly at 10. „Bus itu segera meninggalkan pukul 10.‟ (verba) (35) The bus departed promptly at 10. „Bus itu segera meninggalkan pukul 10.‟ (verba) Akan tetapi, pasangan sinonimi dapat pula merupakan hiponimi dari suatu hipernimi jika pasangan tersebut tidak saling berikutan. Jika satu kata dapat dicakupi kata yang lain disebut hubungan hiponimi. Contoh: big merupakan hiponimi dari large. Menurut Lyons, sinonimi didefinisikan sebagai berikut: Ekspresi-ekspresi dengan makna yang sama. Keduanya harus dicatat definisinya. Pertama, sinonimi tidak membentuk relasi sinonimi pada kata: sinonimi membuat kemungkinan bahwa ekspresi-ekspresi sederhana leksikal mungkin memiliki makna yang sama seperti ekspresi kompleks leksikal. Kedua, sinonimi membuat identitas, tidak sama persis dengan makna kriteria sinonimi (Lyons, 1996: 60). Hal di atas berarti sinonimi harus memiliki identitas makna yang sama. Kata-kata harus memiliki makna yang sama persis. Akan tetapi, sinonimi dapat pula hanya sama identitasnya sebagai pasangan sinonimi, tetapi perbedaannya terletak pada makna yang tidak sama persis. Contoh: leksem mohon dan minta memiliki identitas yang sama sebagai sinonimi, yaitu keduanya memiliki makna meminta, tetapi berbeda keemotifannya. Perbedaannya, leksem mohon lebih emotif daripada kata minta sehingga tanggapan dari lawan tutur akan berbeda pula. 25 Parera (2004: 63) menerangkan bahwa kesinoniman dalam sebuah bahasa lebih banyak terjadi akibat serapan antarbahasa, antardialek, dan antarragam bahasa. Ini berarti bahasa yang tidak pernah berkontak dengan bahasa atau dialek yang lain tidak akan mempunyai banyak sinonimi. Dengan kata lain, sinonimi banyak berupa kata yang bersifat kedaerahan atau dialek daripada yang lain dan lebih bersifat umum daripada yang lain. Oleh karena itu, akan sulit untuk menemukan sinonimi yang tidak berasal dari serapan bahasa, dialek, dan ragam bahasa. Contoh: kata pirsa bersinonim dengan kata tahu. Riemer (2010: 151) menguraikan bahwa sinonimi merupakan bagian dari investasi metalinguistik yang oleh penutur biasa bahasa Inggris dikatakan: pengguna bahasa sering menyebut kata satu dengan kata yang lain, seperti memiliki kesamaan makna. Contoh: (36) It‟s likely/probable that he‟ll be late. „Ini sepertinya/mungkin bahwa dia akan terlambat‟ (37) He is likely/probable to be late. „Dia sepertinya/mungkin akan terlambat.‟ Kedua kata di atas bersinonim karena memiliki kesamaan makna. Akan tetapi, jika keduanya menunjukkan perbedaan aturan gramatikal, kemungkinan peristiwanya akan seperti di atas. Collinson (dalam Ullman, 2012: 177) pernah berusaha untuk mentabulasikan perbedaan antara pasangan sinonimi. Ia membedakan sembilan kemungkinan berikut ini. a. Satu kata lebih umum daripada yang lain: refuse – reject (bandingkan: binatang – hewan) 26 b. Satu kata lebih intens dari yang lain: repudiate – refuse (bandingkan: mengamati – memandang) c. Satu kata lebih emotif daripada yang lain: reject – decline (bandingkan: memohon – meminta) d. Satu kata dapat mencakup penerimaan atau penolakan moral sedangkan yang lain netral: thirfty – economical (bandingkan: sedekah – pemberian) e. Satu kata lebih profesional daripada yang lain: desease –death (bandingkan: riset – penelitian) f. Satu kata lebih literer daripada yang lain: passing – death (bandingkan: mafhum – memahami; puspa – bunga; ibunda – ibu) g. Satu kata lebih kolokial (bersifat keseharian) daripada yang lain: turn down – refuse (bandingkan: aku –saya) h. Satu kata lebih bersifat lokal atau dialek daripada yang lain: bahasa Inggris Scots flesher – butcher (bandingkan: lu : gua [Jakarta] – kamu : saya) i. Salah satu dari sinonim termasuk bahasa kanak-kanak: daddy – father (bandingkan: mama – ibu; mimik – minum) Pernyataan di atas menunjukkan bahwa tidak ada sinonimi yang mutlak. Setiap sinonimi ada unsur pembedanya, seperti lebih umum, lebih intens, lebih emotif, lebih dapat diterima atau ditolak, lebih profesional, lebih literer, lebih bersifat keseharian, lebih bersifat dialek, dan lebih kanak-kanak daripada yang lain. Sinonimi didefinisikan sebagai “dua leksem atau dua satuan lingual lain itu dapat saling menggantikan dengan isi/informasi yang sama” (Subroto, 2011: 62). Dalam lingkup semantik leksikal, kesinoniman dapat terdapat dalam lingkup: 27 nomina, verba, adjektiva, pronomina persona, numeralia, adverbia, dan preposisi (Subroto, 2002: 120). Pandangannya tentang sinonimi mengacu pada pandangan Nida (1975), yang keduanya menyatakan bahwa sinonimi merupakan relasi yang dapat disubstitusikan pada konteks kalimat yang berbeda dengan makna yang sama. Menurut Fromkin, Victoria, Robert Rodman, Nina Hyams (2011: 156), “synonyms are words or expressions that have the same meaning in some or all contexts” „sinonim merupakan kata atau ekspresi yang memiliki kesamaan makna dalam beberapa atau semua konteks‟. Oleh karena itu, kata-kata yang memiliki makna yang sama di dalam beberapa atau semua konteks kalimat dapat disebut sinonimi. Di sisi lain, dikemukakan oleh Hurford, James R., Brendan Heasly, dan Michael B. Smith bahwa sinonimi itu merupakan relasi antara predicates dan bukan di antara kata-kata. Dengan kata lain, kata dapat memiliki banyak makna yang berbeda-beda, beberapa perbedaan makna kata disebut predicates (2007: 107). Artinya, sinonimi bukan relasi antara dua kata yang memiliki makna yang sama, melainkan dua makna yang sama. Selain hal di atas, untuk membedakan pasangan sinonim yang berdekatan dapat digunakan skala intensitas. Hal tersebut dikemukakan oleh Karlsson (2014: 3) bahwa “near synonyms in a lexical set may also be distinguished from each other by intensity” „sinonim yang berdekatan dalam seperangkat leksikal dapat pula dibedakan satu dengan yang lain dengan intensitas‟. Jadi, di dalam seperangkat pasangan sinonim yang berdekatan dapat dibedakan satu kata dengan yang lain melalui skala intensitasnya, misalnya kata surprise „terkejut‟ yang jelas 28 menambah intensitasnya dari surprise „mengejutkan‟, astonish „mencengangkan‟, amaze „menakjubkan‟, astound „mengherankan‟, dan flabbergast „sangat menakjubkan‟. Berdasarkan beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa sinonimi berarti relasi antara dua leksem atau lebih yang memiliki kesamaan makna dan dapat menggantikan satu sama lain di dalam kalimat yang sama. Kesinoniman dapat berupa nomina, adjektiva, adverbia, dan verba. Akan tetapi, penelitian ini lebih berfokus pada teori Cruse tentang relasi sinonimi karena ia merupakan ahli yang berfokus pada sinonimi. Selain itu, sinonimi olehnya, dibedakan lagi ke hal yang lebih kecil, serta pasangan sinonim tidak selalu bersinonim mutlak. Oleh karena itu, teori yang dikemukakan oleh ahli lain diperlukan sebagai pelengkap teori ini. Sinonimi dapat diidentifikasikan sebagai berikut. a. pasangan dua kata atau lebih. b. memiliki makna yang sama atau sangat mirip. c. dapat dipertukarkan satu sama lain dalam kalimat yang sama. d. pasangan yang salah satunya lebih umum, lebih intens, lebih emotif, lebih dapat diterima atau ditolak, lebih profesional, lebih literer, lebih bersifat keseharian, lebih bersifat dialek, dan lebih kanak-kanak daripada yang lain. 2. Leksem Matthews (1997: 26) menyatakan bahwa leksem merupakan “…a lexical unit and is entered in dictionaries as the fundamental element in the lexicon of a language” „leksem merupakan satuan leksikal yang terdapat di dalam kamus 29 sebagai bagian paling dasar dalam leksikon suatu bahasa‟. Jadi, leksem mengacu pada satuan leksikal terkecil dari leksikon, misalnya dies „mati‟, died „meninggal‟, dying „akan mati‟, dan die „mati‟ merupakan bentuk kata dari leksem DIE. Menurut Cruse (1997: 76), leksem didefinisikan sebagai “a dictionary contains (among other things) an alphabetical list of the lexemes of language. We shall characteristic a lexeme as a family of lexical unit” „leksem merupakan entri kamus (di antara hal lain) yang disusun secara alfabetis pada leksem suatu bahasa. Kita dapat mengkarakteristikkan leksem sebagai keluarga dari satuan leksikal‟. Berdasarkan pandangan tersebut, dapat ditentukan bahwa leksem merupakan salah satu satuan leksikal bahasa yang terdapat di dalam kamus, misalnya obey „taat‟, obeys „mentaati‟, dan obeyed „mentaati (lampau)‟ merupakan bentuk kata dari leksem obey „taat‟. Kreidler (1998: 50-51) menyatakan bahwa “a lexeme is a minimal unit that can take part in referring or predicating. All the lexemes of a language constitute the lexicon of the language, and all the lexemes that you know make up your personal lexicon” „suatu leksem merupakan satuan terkecil yang dapat menempati acuan atau predikat. Semua leksem dalam bahasa merupakan leksikon bahasa dan semua leksem yang kamu ketahui membentuk leksikon pribadi‟. Jadi, dapat dikatakan bahwa leksem merupakan satuan terkecil dari leksikon bahasa yang dapat menempati acuan atau predikat, misalnya go „pergi‟, going „akan pergi‟, went „pergi (lampau)‟, gone „telah pergi‟ merupakan bentuk dari leksem go „pergi‟. Riemer (2010: 17) mengatakan “the lexeme is the name of the abstract unit which unites all the morphological variants of a single word. Thus, we can say 30 that go, goes,went, have gone and to go all are instantiations of the lexeme to go…” „leksem merupakan nama satuan abstraksi yang menyatukan semua jenis morfologis kata tunggal. Jadi, kita dapat mengatakan bahwa go „pergi‟, goes „pergi‟, went „pergi (lampau)‟, have gone (telah), dan to go „pergi (akan)‟. Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa leksem merupakan abstraksi yang melingkupi bentuk morfologis suatu kata. Leksem dapat menyatukan bentuk-bentuk morfologis kata. Artinya, setiap bentuk morfologis, yakni kata dapat disatukan ke dalam suatu leksem. Subroto (2011: 42) menyatakan bahwa “leksem adalah satuan abstrak (hasil abstraksi) dari sebuah paradigma (infleksional atau paradigma yang tidak mengubah identitas kata) yang paling kecil, baik simpel maupun kompleks.” Jadi, leksem merupakan bentuk abstraksi dari kata-kata secara infleksional, misalnya leksem MINTA merupakan bentuk abstraksi dari minta, meminta, memintai, memintakan, diminta, dimintai, dimintakan, permintaan, peminta, dan pemintaminta. Leksem merupakan satuan terkecil dari leksikon yang digunakan sebagai bahan mentah dalam proses morfologis. Dengan kata lain, leksem merupakan input dan kata merupakan output dari proses tersebut. Hal tersebut dinyatakan oleh Kridalaksana bahwa leksem adalah sebagai berikut. Satuan terkecil dari leksikon, (2) satuan yang berperan sebagai input dalam proses morfologis, (3) bahan baku dalam proses morfologis, (4) unsur yang diketahui adanya dari bentuk yang setelah disegmentasikan dari bentuk kompleks merupakan bentuk dasar yang lepas dari morfem afiks, (5) bentuk yang tidak tergolong proleksem atau partikel (Kridalaksana, 1988: 52). Pandangan di atas menunjukkan bahwa leksem merupakan satuan terkecil dari leksikon yang merupakan bahan baku dalam proses morfologis. Oleh karena 31 itu, leksem yang mengalami proses morfologis akan membentuk kata. Selain itu, leksem tidak disemati afiks berbeda dengan kata. Untuk penulisan leksem dalam penelitian ini menggunakan huruf kecil miring, sesuai dengan pandangan Cruse, Kreidler, dan Riemer di atas. 3. Verba Suatu kata memiliki identitas sebagai suatu kelas kata. Salah satu kelas kata adalah kelas kata kerja atau disebut verba. Beberapa ahli mencoba untuk mendeskripsikan kelas kata verba. Pandangan mengenai verba berdasarkan afiks yang menyematinya diuraikan Beard sebagai berikut. Verb class, too, is always marked by a suffix or thematic segment and never by a free-standing morpheme. Verba classes determine stems and are always the first affix before or after the root. Recall the Russian examples “bel-ej-“ „be(come) white‟ and “bel-i-“ „whiten‟. The ej-Class defines this set of stems as members of the First Conjugation. While these markers may precede them. The results of the Free Analog and Peripheral Affix Criterion offer a solid case for Verb Class and Transitivity as the only lexical verb categories (Beard, 1995: 129). „Verba selalu ditandai dengan sebuah sufiks atau segmen tematik dan tidak pernah dengan morfem bebas. Verba selalu menentukan batang afiks pertama sebelum atau setelah kata dasar. Contoh dalam bahasa Rusia “be-ej-“ „memutih‟ dan “bel-i-“ „memutihkan‟. Kelas “ej-“ mendefinisikan seperangkat batang sebagai anggota dari konjugasi pertama. Ketika pemarkahnya dapat mendahului mereka, menghasilkan analogi pertama dan kriteria afiks periferal memberikan bentuk padat untuk verba dan ketransitifan sebagai kategori verba leksikal.‟ Pandangan di atas menunjukkan bahwa verba tidak selalu didampingi morfem bebas. Verba juga dapat ditandai dengan adanya afiks baik berupa prefiks maupun sufiks. Kelas kata verba dapat hanya berupa kata dasar, dapat pula berupa 32 kata berafiks. Contoh: minta termasuk verba dasar dan meminta, memintakan, dan memintai termasuk verba berafiks. Menurut Cann (1994: 32), “verbs, which combine with noun phrases to form sentences, are naturally associated with the general semantic category of predicate” „verba yang berkombinasi dengan frasa nomina dalam bentuk kalimat itu terkait secara alami dengan kategori semantik umum pada predikat‟. Pandangan itu menunjukkan bahwa verba yang berkombinasi dengan frasa nomina akan menjadi predikat dalam suatu kalimat. Jadi, jika verba didampingi frasa nomina atau nomina maka verba berfungsi sebagai predikat. Verba memiliki aksionalitas, makna aspektualitas inheren verba, dan situasi. Tadjuddin (1993a: 36) menguraikan bahwa “istilah aksionalitas di kalangan pakar Slavia mengacu pada gejala aspektualitas yang diungkapkan melalui proses morfologi derivasional. Sementara itu, di kalangan pakar Inggris, istilah itu digunakan dalam artian aspektualitas yang diungkapkan secara inheren melalui verba” (dalam Sumarlam, 2004: 32). Dari kajian aspektualitas dan unsurunsur yang berhubungan dapat diketahui berbagai situasi sebagai hasil pemahaman terhadap makna aspektualitas inheren verba, misalnya dalam pengkajiannya terhadap makna aspektualitas inheren verba bahasa Inggris, membagi situasi menjadi lima: keadaan (state), ketercapaian (achievement), aktivitas (activity), keselesaian (accomplishment), dan serial (series). Brinton mengatakan bahwa serial/habitual merupakan perbuatan berulang-ulang yang terjadi pada kesempatan yang berbeda (Brinton, 1988: 54 dalam Sumarlam, 2004: 33). Jadi, berdasarkan pandangan tersebut, dapat ditentukan bahwa verba dapat dilihat dari aspek-aspek yang terkandung di dalamnya. Aspek-aspek tersebut 33 meliputi: keadaan seperti sakit, ketercapaian seperti menang, aktivitas seperti lari, keselesaian seperti sembuh, dan serial seperti mandi. Berkenaan dengan situasi dan makna aspektualitas inheren verba, situasi dinamis memandang situasi dari segi ada tidaknya perubahan atau gerakan atau keberlangsungan situasi dinamis harus didukung oleh usaha atau tenaga secara berkesinambungan. Sifat dinamis ini menandai situasi verba pungtual (peristiwa) dan verba aktivitas (proses) (Sumarlam, 2004: 34–35). Olehnya, situasi pungtual diuraikan sebagai berikut. a. situasi pungtual oleh Lyons (1978) disebut „peristiwa momental‟, oleh Tadjuddin (1993a) disebut „situasi lintas batas‟, sedangkan verbanya oleh Quirk et al. (1972: 95) dan Djajasudarma (1997: 69) disebut „verba peristiwa tradisional‟, contoh: tiba, jatuh, menendang. b. aktivitas, merupakan situasi dinamis yang berlangsung pada poros waktu yang berkembang atau oleh Lyons (1978) dan Comrie (1981) disebut „proses‟. contoh: membaca, menulis. c. situasi statif atau keadaan, yang bersifat homogen, keberlangsungannya tetap, tanpa disertai perubahan atau gerakan (nondinamis), dan keberlangsungannya tidak memerlukan usaha atau tenaga, kecuali jika terjadi sesuatu yang menyebabkan terputusnya keadaan itu. contoh: tahu, percaya. d. situasi statis keberlangsungannya tidak homogen, terbatas waktunya. contoh: berdiri, tidur, bersandar. Menurut pandangan di atas, verba dapat dilihat dari aspek situasinya. Aspek tersebut meliputi situasi pungtual atau peristiwa momental, aktivitas, keadaan, dan situasi statis. 34 Vendler (dalam Sumarlam, 2004: 40–41) membagi verba/kalimat berdasarkan “skema waktu” menjadi empat subkelas sebagai berikut. a. keadaan (state): berakhir selama periode waktu, tetapi tidak berkelanjutan dan tidak menggambarkan proses waktu, contoh: mencintai. b. aktivitas (activity): aktivitas berkelanjutan, dalam fase waktu berurutan, dan sebagian proses merupakan sifat yang sama dari sifat keseluruhan, contoh: berlari. c. keselesaian (accomplishment): situasi berkelanjutan dan berlangsung menuju terminus, contoh: menggambar. d. ketercapaian (achievement): situasi tidak berkelanjutan dan terjadi pada momen tunggal, contoh: menang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa verba mengandung aspek-aspek di dalamnya. Aspek tersebut meliputi keadaan, aktivitas, keselesaian, dan ketercapaian untuk mengelompokkan verba tersebut. Eva Eckert (1984 dalam Sumarlam, 2004: 41–42) membagi verba menjadi tujuh subkelas verba sebagai berikut. a. keadaan: situasi yang homogen sepanjang eksistensinya, contoh: tahu, melihat. b. aktivitas: keadaan dinamis yang memerlukan input energi, contoh: menulis. c. proses: situasi dinamis yang mengarah ke tujuan, contoh: tumbuh. d. aksi iteratif: situasi yang mengimplikasikan pengulangan perbuatan, contoh: berteriak-teriak. e. keselesaian: hasil dari keadaan atau aktivitas, contoh: menulis (lengkap). f. ketercapaian: tujuan akhir dari proses, contoh: menjadi dewasa. 35 g. peristiwa: salah satu aksi yang menciptakan perbuatan berulang, contoh: berteriak. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa verba dapat dikelompokkan berdasarkan tujuh aspek. Aspek tersebut meliputi keadaan, aktivitas, proses, aksi iteratif, keselesaian, ketercapaian, dan peristiwa. Menurut Tarigan (1985: 64) segala kata yang dipakai sebagai perintah, baik dapat maupun tidak dapat digabung dengan imbuhan atau afiks disebut kata kerja. Kata dasar yang berupa kata kerja digolongkan ke dalam empat tipe sebagai berikut. a. tipe “duduk” adalah kata kerja intransitif yang tidak dapat digabung dengan afiks men- atau afiks ber- untuk menurunkan kata kerja, contoh: duduk, pergi b. tipe lari adalah kata kerja intransitif yang dapat digabung dengan afiks ber(tetapi tidak dapat digabung dengan afiks men- untuk menurunkan kata kerja, contoh: lari, cerai c. tipe “ambil” adalah kata kerja transitif yang dapat digabung dengan afiks mentetapi tidak dapat digabung dengan afiks ber- untuk menurunkan kata kerja, contoh: ambil, angkut d. tipe “tanam” adalah kata kerja yang dapat digabung baik dengan afiks menmaupun dengan afiks ber- untuk menurunkan kata kerja, contoh: tanam, ajar. Menurut Verhaar (2004: 183), ada penggolongan verba menurut “valensi”. Valensi mengacu pada hubungan sintaksis antara verba dan unsur di sekitarnya, mencakupi ketransitifan dan penguasaan verba atas argumen di sekitarnya. Penggolongan verba menurut valensinya, yaitu verba bervalensi satu (verba intransitif) atau verba bervalensi lebih dari satu, yakni dua atau tiga (verba 36 transitif). Dengan kata lain, verba intransitif merupakan verba yang berargumen satu, contoh: tidur hanya memerlukan satu argumen yaitu Subjek dan verba transitif berargumen lebih dari satu, contoh: memukul memerlukan dua argumen yaitu Subjek dan Objek. Argumen merupakan unsur selain verba yang mendampingi verba di dalam kalimat. Verba intransitif dapat dibedakan menurut sifat semantisnya (Verhaar: 2004: 183–184). Ada verba yang mengandung makna “pengalam” atau “verba pengalam”, ada verba yang mengandung makna “tindakan” atau “verba penindak”. Akan tetapi, verba penindak bukanlah melakukan kegiatan seperti dalam verba transitif, melainkan tidak menghasilkan sesuatu atau tidak mempengaruhi objek. Contoh verba pengalam: jatuh dan verba penindak: tidur. Verba secara fonologis menurut Alwi et al. (2003: 109-117) berdasarkan kaidah morfofonemiknya sebagai berikut. a. Morfofonemik prefiks meng1) Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /a/, /i/, /u/, /e/, /o/, /ǝ/, /k/, /g/, /h/, atau /x/, bentuk meng- tetap menjadi meng-/ mǝŋ-/. Contoh: meng- + ambil mengambil 2) Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /l/, /m/, /n/, /ñ/, /ŋ/, /r/, /y/, atau /w/, bentuk meng- berubah menjadi me-. Contoh: meng- + latih melatih 3) Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /d/ atau /t/, bentuk meng- berubah menjadi men- /mǝn-/. Contoh: meng- + duga menduga 37 4) Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /b/, /p/, atau /f/, bentuk meng- berubah menjadi mem- /mǝm-/. Contoh: meng- + babat membabat 5) Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /c/, /j/, /s/, dan /š/, bentuk meng- berubah menjadi meny- /mǝñ/. Di dalam ejaan yang dibakukan, bentuk meny- yang bergabung dengan huruf <c>, <j>, dan <sy> pada awal dasar disederhanakan menjadi men-. Contoh: meng- + syaratkan mensyaratkan 6) Jika ditambahkan pada dasar yang bersuku satu, bentuk meng- berubah menjadi menge- /mǝŋǝ/. Di samping itu, ada bentuk yang tidak baku, yaitu yang mengikuti pola 1-5 di atas tanpa ada peluluhan. Contoh: meng- + tik mengetik 7) Kata-kata yang berasal dari bahasa asing diperlakukan berbeda-beda, bergantung pada frekuensi dan lamanya kata tersebut telah kita pakai. Jika dirasakan masih relatif baru, proses peluluhan di atas tidak berlaku. Hanya kecocokan artikulasi saja yang diperhatikan dengan catatan bahwa mengdi depan dasar asing yang dimulai dengan /s/ menjadi men-. Jika dasar itu dirasakan tidak asing lagi, perubahan morfofonemiknya mengikuti kaidah yang umum. Contoh: meng- + proses memproses atau memroses. 8) Jika verba yang berdasar tunggal direduplikasi, dasarnya diulangi dengan mempertahankan peluluhan konsonan pertamanya. Dasar yang bersuku satu mempertahankan unsur nge- di depan dasar yang direduplikasi. Sufiks (jika ada) tidak ikut direduplikasi. Contoh: tulis menulis menuliskan 38 b. Morfofonemik prefiks per1) Prefiks per- berubah menjadi pe- apabila ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /r/ atau dasar yang suku pertamanya berakhir dengan /ǝr/. Contoh: per- + rendah perendah 2) Prefiks per- berubah menjadi pel- apabila ditambahkan pada bentuk dasar ajar. Contoh: per- + ajar pelajari 3) Prefiks per- tidak mengalami perubahan bentuk bila bergabung dengan dasar lain di luar kaidah 1 dan 2 di atas. Contoh: per + lebar perlebar c. Morfofonemik prefiks ber1) Prefiks ber- berubah menjadi be- jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /r/. Contoh: ber- + ranting beranting 2) Prefiks ber- berubah menjadi be- jika ditambahkan pada dasar yang suku pertamanya berakhir dengan /ǝr/. Contoh: ber- + kerja bekerja 3) Prefiks ber- berubah menjadi bel- jika ditambahkan pada dasar tertentu. Contoh: ber- + ajar belajar 4) Prefiks ber- tidak berubah bila digabungkan dengan dasar di luar kaidah 13 di atas. Contoh: ber- + layar berlayar d. Morfofonemik prefiks ter1) Prefiks ter- berubah menjadi te- jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /r/. Contoh: ter- + rebut terebut 2) Jika suku pertama kata dasar berakhir dengan bunyi /ǝr/, fonem /r/ pada prefiks ter- ada yang muncul dan ada pula yang tidak. Contoh: ter- + percaya terpercaya 39 3) Di luar kedua kaidah di atas, ter- tidak berubah bentuknya. Contoh: ter- + pilih terpilih e. Morfofonemik prefiks diDigabung dengan dasar pun, prefiks di- tidak mengalami perubahan bentuk. Contoh: di- + beli dibeli f. Morfofonemik sufiks –kan Sufiks –kan tidak mengalami perubahan apabila ditambahkan pada dasar kata apa pun. Contoh: tarik + -kan tarikkan g. Morfofonemik sufiks –i Sufiks i- tidak mengalami perubahan jika ditambahkan pada dasar kata apapun kecuali dasar yang berakhir dengan fonem i- tidak dapat diikuti sufiks -i. h. Morfofonemik sufiks –an Sufiks –an tidak mengalami perubahan bentuk jika digabungkan dengan dasar kata apa pun. Jika fonem terakhir suatu dasar adalah /a/, dalam tulisan fonem itu dijejerkan dengan sufiks –an. Contoh: dua berduaan. Berdasarkan pandangan tersebut, ada beberapa kaidah morfofonemik verba. Hal itu dilihat dari afiks yang menyemati verba yang menyebabkan perubahan fonem pada verba tersebut. Alwi et al. (2003: 87) menyatakan bahwa ciri-ciri verba dapat diketahui dengan mengamati (1) perilaku semantis, (2) perilaku sintaktis, dan (3) bentuk morfologisnya. Namun, secara umum verba dapat diidentifikasi dan dibedakan dari kelas kata yang lain, terutama dari adjektiva, karena ciri-ciri berikut. 40 a. verba memiliki fungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat dalam kalimat walaupun dapat juga mempunyai fungsi lain, contoh: pencuri itu lari, lari merupakan predikat. b. verba mengandung makna inheren perbuatan (aksi), proses, atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas. c. verba, khususnya yang bermakna keadaan, tidak dapat diberi prefiks ter- yang berarti „paling‟, verba seperti mati atau suka, misalnya, tidak dapat diubah menjadi *termati atau *tersuka. d. pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang menyatakan makna kesangatan. tidak ada bentuk seperti *agak belajar, *sangat pergi, dan *bekerja sekali meskipun ada bentuk seperti sangat berbahaya, agak mengecewakan, dan mengharapkan sekali. Berdasarkan ciri tersebut, dapat dibedakan antara verba dan kelas kata lain. Verba tidak akan sama dengan kelas kata lain, meskipun penggunaannya sama dengan adjektiva sebagai predikat dalam suatu kalimat. Alwi et al. (2003: 88) menyatakan bahwa verba dapat dilihat dari segi perilaku semantisnya. Verba secara semantis dapat didefinisikan sebagai kata yang mengandung makna inheren perbuatan, proses, atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas. Jadi, kata-kata seperti curi, beli, dan pukul adalah verba. Secara semantis, verba dapat digolongkan menjadi beberapa macam seperti yang dilakukan oleh Alwi et al. (2003: 88–90), yaitu: a. verba perbuatan, contoh: mandi, beli b. verba proses, contoh: mati, jatuh c. verba keadaan, contoh: suka, mati 41 d. verba pengalaman, contoh: mendengarkan Penggolongan verba di atas dapat bertumpang tindih, artinya satu verba dapat masuk ke dalam dua kelompok, seperti pada verba suka di atas yang dapat masuk kelompok verba proses dan verba pengalaman. Oleh karena itu, diperlukan kecermatan untuk mengelompokkan suatu verba ke dalam kelompok di atas. Kridalaksana menguraikan verba berdasarkan perilakunya dalam frasa sebagai berikut: Secara sintaktis sebuah satuan gramatikal dapat diketahui berkategori verba dari perilakunya dalam satuan yang lebih besar; jadi sebuah kata dapat dikatakan berkategori verba hanya dari perilakunya dalam frase, yakni dalam hal kemungkinannya satuan itu didampingi partikel tidak dalam konstruksi dan dalam hal tidak dapat didampinginya satuan itu dengan partikel di, ke, dari, atau dengan partikel seperti sangat, lebih, atau agak (Kridalaksana, 2005: 51). Pandangan Kridalaksana di atas berarti kata dapat dikategorikan sebagai verba jika dapat didahului partikel tidak. Selain itu, verba juga tidak dapat didahului partikel di, ke, dari atau sangat, lebih, agak. Jadi, pendamping untuk kelas kata lain tidak dapat mendampingi verba. Kridalaksana (2005: 51-52) menyatakan bahwa dari bentuknya, verba dapat dibedakan: a. Verba dasar bebas, yaitu verba yang berupa morfem dasar bebas. Contoh: duduk, makan. b. Verba turunan yaitu verba yang telah mengalami afiksasi, reduplikasi, gabungan proses atau berupa paduan leksem. Sebagai bentuk turunan dapat kita jumpai: 1) verba berafiks, contoh: ajari, bernyanyi 2) verba bereduplikasi, contoh: bangun-bangun, ingat-ingat 42 3) verba berproses gabung, contoh: bernyanyi-nyanyi 4) verba majemuk: cuci mata, campur tangan Untuk menentukan sinonim dalam penelitian ini akan dibatasi pada verba dasar. Verba dasar dapat digunakan dalam kalimat tanpa memerlukan afiks, reduplikasi, berproses gabung, dan verba majemuk. Unsur-unsur verba menurut Djajasudarma (2010: 43) salah satunya adalah verba dengan klasifikasi semantik yang terdiri dari: a. dinamis/statif b. dubidatif/interogatif: ragu-ragu (bahwa akan) c. desideratif: lebih suka, bermaksud, ingin tahu (…) d. kognitif: mengetahui, menyatakan, mengira, membayangkan e. imperatif (mandatif): mendesak, menuntut, memohon, mengusulkan f. dan seterusnya. Berdasarkan berbagai pandangan di atas mengenai verba, dapat disimpulkan bahwa verba merupakan kelas kata kerja yang dapat menduduki fungsi predikat di dalam klausa dan mengandung aspektualitas tertentu. Verba dapat diidentifikasikan sebagai berikut. a. dapat didahului kata tidak. b. tidak dapat didahului partikel di, ke, dan dari atau sangat, lebih, dan agak. c. dapat diberi afiks, direduplikasi, gabungan proses, dan perpaduan leksem. d. memiliki fungsi utama sebagai predikat dalam klausa. e. mengandung aspektualitas tertentu, seperti keadaan, proses, aktivitas, dan lainlain. f. dapat dilihat berdasarkan penanda aspek situasinya. 43 4. Verba Insani Verba insani merupakan suatu kesiapan pengelompokan verba berdasarkan perilaku semantisnya. Verba insani mengacu pada verba yang pelaku atau pengalamnya adalah insan. Leech (2003: 123) menyatakan bahwa berdasarkan komponen makna terbesarnya, verba dapat dibedakan menjadi +HUMAN „MANUSIA/INSAN‟ dan -HUMAN „MANUSIA/INSAN‟. Artinya, komponen makna INSAN dapat menjadi dasar untuk mengelompokkan verba. Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dinyatakan bahwa verba insani merupakan verba yang berciri (+INSAN). Dengan kata lain, verba insani adalah verba yang memiliki komponen makna bersama +INSAN. 5. Medan Leksikal Leksem-leksem yang memiliki komponen makna yang sama akan bersatu dalam suatu kelompok. Sebagai contoh: bayam, kangkung, dan wortel termasuk dalam suatu kelompok sayuran. Beberapa ahli linguistik menyebut kelompok tersebut dengan beberapa istilah, antara lain Nida menyebut dengan semantic domain dan Lyons menyebut dengan istilah lexical field. Medan makna atau semantic domain satuan lingual diuraikan oleh Nida sebagai berikut: A semantic domain consist essentially of a group of meanings (by no means restricted to those reflected in single words) which share certain semantic components. Though some domains, e.g. entities, animate objects, masses, artifacts, events, processes, states, etc, may appear to be logical categories, based on systematic classification of extralinguistic phenomena, they are really not dependent upon any a priori system of nomenclature or taxonomy (Nida, 1975: 174). 44 „Medan makna terdiri atas kelompok makna dasar (tidak berarti terbatas yang dicerminkan kata tunggal) yang membagi komponen makna tertentu. Meskipun beberapa medan, seperti benda, benda bernyawa, massa, artefak, peristiwa, proses, negara, dan lain-lain, mungkin muncul menjadi kategori logis, berdasarkan klasifikasi sistematis pada fenomena luar bahasa, mereka sangat tidak tergantung pada beberapa sistem prioritas nomenklatur dan taksonomi.‟ Ranah semantik terdiri dari suatu kelompok makna, yang di dalamnya terdapat berbagai makna untuk membentuk satu kesatuan makna yang utuh. Namun, makna tersebut bukan hanya yang dimiliki oleh satu kata, melainkan banyak kata yang termasuk ke dalam kelompok tertentu. Setiap kata menyumbangkan komponen makna tertentu supaya dapat digunakan untuk membedakan makna antarkata. Selanjutnya Nida (1975:175) menambahkan bahwa ranah makna (semantic field) pokok atau utama dapat dipisahkan atas empat kelas: (1) benda atau maujud (thing atau entity); (2) peristiwa atau kejadian (event); (3) abstrak; (4) relasional. Maksudnya, setiap kata dapat dimasukkan ke dalam ranah benda, peristiwa, abstrak, dan relasional. Dengan kata lain, kelas tersebut berfungsi sebagai kepala atau hiperonimnya. Wedhawati (2000: 260) menyatakan bahwa dalam bahasa Indonesia, misalnya satuan leksikal burung, ayam, itik membentuk sebuah medan leksikal. Ketiganya memiliki komponen makna bersama BERBULU, BERSAYAP, BERPARUH yang terealisasi sebagai satuan leksikal unggas yang berfungsi sebagai superordinat atau hiperonim burung, ayam, itik. Ketiganya berfungsi sebagai hiponim. Struktur hierarkinya dapat digambarkan sebagai berikut. 45 Gambar 2 Struktur Hierarki Medan Leksikal Sumber: Wedhawati, 2000: 261 Setiap satuan leksikal seperti leksem atau kata yang memiliki komponen makna yang sama dapat disatukan ke dalam suatu medan leksikal. Medan leksikal dibentuk dengan struktur suatu satuan leksikal sebagai hiperonimi dan satuan leksikal lain sebagai hiponimi. Dengan kata lain, suatu satuan leksikal membawahi satuan leksikal lain yang menjadi bagian darinya. Seperangkat satuan leksikal yang membentuk medan leksikal itu membentuk relasi vertikal dan horisontal (Wedhawati, 2000: 261). Jika bentuk medan leksikal tersebut ke samping atau horisontal berarti setiap satuan leksikal memiliki kesamaan komponen makna atau disebut sinonimi, perbedaan komponen makna atau disebut antonimi, dan hal yang tidak sesuai atau inkompabilitas. Di sisi lain, jika bentuk medan leksikal tersebut ke bawah atau vertikal berarti setiap satuan leksikal memiliki hubungan satu sebagai kepala atau hiperonimnya dan yang lain sebagai bawahan atau hiponimnya. Subroto (2011: 105) menguraikan bahwa ranah makna (semantic field) dan ranah leksikal (lexical field) pada dasarnya mengacu pada hal yang sama. Ranah makna (semantic field) mengacu pada satuan makna, sedangkan ranah leksikal 46 (lexical field) mengacu pada satuan-satuan leksem. Satuan leksem juga mengandungi satuan arti leksikal. Maksud pernyataan di atas bahwa medan leksikal dan medan makna adalah hal yang sama. Perbedaannya hanyalah pada penyebutan oleh beberapa ahli linguistik yang berasal dari berbagai negara dan berbagai bahasa pula. Akan tetapi, maksudnya sama. Medan makna mengacu pada satua-satuan makna, sedangkan medan leksikal mengacu pada satuan-satuan leksikal. Medan makna didefinisikan oleh Parera sebagai satu jaringan asosiasi yang rumit berdasarkan pada similaritas/kesamaan, kontak/hubungan, dan hubungan-hubungan asosiatif dengan penyebutan satu kata (2004: 138). Pendefinisian medan makna dalam Kamus Linguistik adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian bidang kehidupan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang realisasinya oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan (Kridalaksana, 2011: 151). Dari berbagai pandangan terhadap medan leksikal atau medan makna di atas, untuk menganalisis data, penelitian ini lebih berfokus pada teori medan makna oleh Nida. Komponen makna bersama yang dimiliki oleh leksem verba dalam penelitian ini adalah [+INSAN]. Medan makna dapat diidentifikasikan sebagai berikut. a. seperangkat leksem yang memiliki komponen makna bersama. b. memiliki komponen makna pembeda antarleksem. c. memiliki relasi secara vertikal atau hiponimi dan horisontal atau sinonimi antarleksem. 47 6. Analisis Komponen Makna Untuk menganalisis data yang berupa leksem dengan tujuan menentukan medan leksikalnya maka perlu mengetahui komponen maknanya. Hal ini dapat diketahui melalui analisis komponen makna. Menurut Nida (1975: 32–67), komponen makna dibedakan menjadi tiga, yaitu komponen bersama, komponen diagnostik, dan komponen pelengkap atau suplemen. Komponen makna bersama adalah komponen makna yang secara bersama dimiliki oleh leksem-leksem yang termasuk dalam medan leksikal atau ranah leksikal tertentu. Komponen makna diagnostik merupakan komponen makna yang berperan atau berfungsi membedakan makna antar leksem yang termasuk dalam medan tersebut. Komponen suplemen, yaitu komponen makna yang keberadaannya disebabkan oleh perluasan makna leksem. Maksud dari pandangan Nida di atas adalah bahwa komponen makna bersama itu dimiliki oleh setiap leksem yang termasuk ke dalam medan leksikal tertentu, misalnya komponen makna bersama dalam penelitian ini, yaitu +INSAN. Komponen makna diagnostik, yaitu komponen makna yang digunakan untuk membedakan makna antarleksem dalam satu medan leksikal, misalnya untuk membedakan makna leksem mohon dan minta adalah EMOTIF. Nida (1975: 54–61) menjelaskan prosedur analisis komponen makna. Pertama, pada beberapa analisis meliputi penemuan tentatif pada makna yang muncul untuk hubungan dekat dalam arti bahwa mereka merupakan relativitas terdefinisi ranah semantis dengan keutamaan pada membagi nomor komponen bersama. Tahap kedua, mendaftar semua jenis spesifik pada acuan beberapa makna yang termasuk ranah pertanyaan. Tahap ketiga, terdiri dari menentukan 48 komponen yang mungkin benar dari makna bentuk yang satu dan yang lainnya, tetapi tidak semua bentuk pada pertanyaan. Tahap keempat, terdiri dari menentukan komponen diagnostik yang diaplikasikan pada beberapa makna, jadi makna father „ayah‟ mungkin ditunjukkan memiliki komponen: male „laki-laki‟. Tahap kelima, terdiri dari menentukan pemeriksaan silang dengan data yang diperoleh pada tahap pertama. Tahap keenam, terdiri dari pendeskripsian sistematik pada fitur diagnostik. Contoh analisis komponen pada relasi makna leksem whisper „bisik‟, babble „oceh‟, murmur „komat-kamit‟, sing „nyanyi‟, dan hum „dengung‟. Tahap pertama, ada yang tidak termasuk, seperti yodel „nyanyi yodel‟ dan whistle „siul‟ karena bentuk itu juga mengidentifikasikan suara yang dihasilkan mulut. Meskipun benar, kedua bentuk itu memiliki masalah tertentu. Tahap kedua, misalnya whisper „bisik‟ itu dapat sangat pelan, bisikan hampir tidak terdengar, dikontraskan denga bisikan sangat keras tetapi semua variasi derajat kekerasan digolongkan penunjukan whisper „bisik‟. Tahap ketiga, penting untuk mengetes lawan tertentu baik dengan bentuk positif-negatif atau bentuk sebab. Contoh: he was not singing „dia tidak bernyanyi‟; he was humming „dia tidak berdengung‟. Tahap keempat seperti berikut: a. whisper : verbal „lisan‟, nonmusical pitch „bernada bukan musik‟, voiceless „tak bersuara‟ b. babble : pseudoverbal „semi lisan‟, nonmusical pitch „bernada bukan musik‟, voicing alternating with voicelessness „bergantian bersuara dan tidak bersuara c. murmur : verbal „lisan‟, nonmusical pitch „bernada bukan musik‟, voicing alternating with voicelessness „bergantian bersuara dan tidak bersuara‟ 49 d. sing : verbal „lisan‟, musical pitch „bernada musik‟, voicing alternating with voicelessness „bergantian bersuara dan tidak bersuara‟ e. hum : nonverbal „tidak lisan‟, musical pitch „bernada musik‟, and normally voicing alternating with voicelessness „bergantian normal bersuara dan tidak bersuara‟ Tahap kelima, contohnya babble „oceh‟, murmur „bisik‟, sing „nyanyi‟, and sum „dengung‟ semua terdengar sebagai suara alternatif terlibat dengan fitur suara tetapi giliran tidak sama dalam semua contoh. Tahap keenam, contohnya sebagai berikut: Tabel 2 Contoh Analisis Komponen Makna 1. verbal/nonverbal/p Whisper Babble Murmur Sing Hum v. s.v. v. v. n.v. - - - + + - + + + + seudiverbal 2. musical pitch sequence 3. voiced-voiceless alternation/voicele ss Sumber: Nida, 1975: 61 Wedhawati menyatakan notasi semantik untuk menandai komponen makna di dalam penelitiannya sebagai berikut: Digunakan lima macam reaksi semantis untuk menentukan nilai semantis komponen temuan dalam hubungannya dengan butir leksikal pembentuk medan leksikal verbal yang berkomponen makna (+SUARA +INSAN). Pertama, reaksi semantis positif (+) untuk 50 menandai komponen makna yang relevan atau berfungsi membentuk satuan makna butir leksikal. Misalnya, komponen (+MUSIKAL) dalam “senandung”. Kedua, reaksi semantis negatif (-) untuk menandai penegasian komponen di dalam definisi satuan makna butir leksikal, sebagai lawan reaksi semantis (+). Misalnya, komponen (-SUARA) di dalam bungkam. Ketiga, reaksi semantis netral (o) untuk menandai komponen yang tidak relevan atau tidak berfungsi pada tataran sistem, tetapi berfungsi pada tataran ujaran. Misalnya, komponen (o LIRIH) dalam nyanyi (Dia menyannyi dengan lirih). Keempat, reaksi semantis positif/negatif (+/-) untuk menandai kemungkinan kehadiran komponen tertentu atau kemungkinan penegasian kehadiran komponen tertentu. Misalnya, (+/- TUTUR) dalam nyanyi karena definisi satuan makna nyanyi adalah „mengeluarkan suara bernada, berlagu (dengan lirik atau tidak)‟. Kelima, reaksi tak bernilai (*) untuk menandai penolakan kehadiran komponen tertentu baik pada tataran sistem maupun pada tataran ujaran, dalam arti komponen itu tidak berfungsi baik pada tataran sistem maupun tataran ujaran. Misalnya, komponen (*TUTUR) dalam kaitannya dengan tawa (Wedhawati, 2002: 43-44). Maksud pernyataan di atas adalah untuk menandai komponen makna yang netral atau bisa hadir bisa tidak dengan tanda (o), untuk menandai komponen makna yang hadir dengan tanda (+), sebagai tanda komponen makna yang tidak hadir digunakan tanda (-). Tanda (-) sebagai lawan dari tanda (+) untuk menandai komponen maknanya. Tanda (+/-) sebagai tanda kemungkinan komponen hadir atau dapat juga tidak. Terakhir, tanda (*) digunakan untuk memarkahi komponen yang ditolak kehadirannya baik pada sistem maupun ujaran. Untuk menganalisis komponen makna diperlukan pengkategorian atau pengelompokkan kata tertentu ke dalam suatu kelompok atau kategori. Kategori semantik relasi adalah kategori yang menghubungkan maujud dengan maujud atau maujud dengan aktivitas atau dengan abstrak. Kategori semantik maujud pada umumnya berpadanan dengan nomina; kategori semantik peristiwa atau kejadian berpadanan dengan verba; kategori semantik abstrak berpadanan dengan adjektiva; dan kategori relasi berpadanan dengan kata tugas (Subroto, 2011: 108). 51 Untuk penelitian ini menggunakan kategori semantik peristiwa atau kejadian karena penelitian ini berfokus pada verba. Oleh karena itu, penelitian akan menganalisis komponen makna berdasarkan peristiwa atau kejadian yang diwakili oleh suatu verba. Wedhawati menguraikan bahwa sistem dan struktur medan leksikal dapat ditemukan dengan menganalisis komponen makna butir-butir leksikal pembentuk medan leksikal (2005: 102). Sebelum menentukan komponen makna suatu leksem, diperlukan kalimat diagnostik untuk mempermudah dalam menentukan komponen maknanya. Hal ini didasarkan atas pandangan Lyons (1991: 268) yang menyatakan bahwa medan leksikal terbentuk oleh seperangkat butir leksikal yang berelasi secara paradigmatis dan sintagmatis. Wedhawati (2000: 262) menyatakan untuk mengecek reaksi semantis (o), (+), dan reaksi (*), digunakan kalimat diagnostik dengan tetapi (but-test, Cruse, 1986: 16-17), sedangkan reaksi semantis (-) dicek dengan kalimat perikutan (entailment, Cruse, 1986: 16–17). Cruse menyatakan sebagai berikut: An extremely useful model of the meaning of a word, which can be extracted from contextual relations, is which it is viewed as being made up, at least in part, of the meanings of other words. A particular word-meaning which participates in this way in the meaning of another word will be termed a semantic trait of the second word. To render this picture more informative, it is necessary to distinguish degrees and modes of participation. We shall do this initially by defining a number of statuses (degrees of necessity) of semantic traits: criterial, expected, possible, unexpected and excluded (Cruse, 1997: 16). „Suatu model yang sangat berguna dalam memaknai kata yang dapat ditarik dari relasi kontekstual, yang dipandang sebagai terdiri dari setidaknya sebagian dari makna kata-kata yang lain. Makna kata tertentu yang ikut serta melalui cara ini dalam makna kata yang lain membentuk ciri semantik pada kata kedua. Untuk memberikan gambaran yang lebih informatif, penting untuk membedakan tingkatan dan mode partisipasi. Kita sebaiknya mengerjakan intinya dengan 52 mendefinisikan tingkat status (tingkat kepentingan) dari ciri semantik: sesuai kriteria, diharapkan, mungkin, tidak diharapkan, dan tidak termasuk.‟ Pandangan di atas berarti untuk menentukan komponen makna suatu kata, digunakan ciri semantik tertentu. Ciri semantik tersebut dapat diketahui melalui hubungan kontekstual atau dimasukkan ke dalam kalimat yang berbeda. Ciri semantik terdiri dari sesuai kriteria, diharapkan, mungkin, tidak diharapkan, dan tidak termasuk. Cruse (1997: 16–17) menyatakan bahwa “criterial and excluded traits can be diagnosed by means of entailment relations between sentences: for instances, “animal” is criterial trait of dog because It‟s an animal; “fish” is an excluded trait of dog because It‟s not a fish” „ciri kriteria yang sesuai dan tidak termasuk dapat didiagnosis dengan makna dari hubungan perikutan antarkalimat: contoh, “binatang” merupakan ciri kriteria yang sesuai pada anjing karena Itu binatang; “ikan” merupakan ciri yang tidak termasuk pada anjing karena Itu bukan ikan‟. Jadi, untuk menentukan kriteria itu tidak termasuk atau bereaksi (-) digunakan kalimat perikutan (entailment). Untuk menentukan komponen makna suatu satuan lingual digunakan kalimat diagnostik dengan but-test seperti yang diuraikan Cruse sebagai berikut. For the diagnosis of expected, possible and unexpected traits, the buttest is extremely useful. This utilises the normality or abnormality of sentences of the form P, but Q. consider the status of “can bark” as a trait of dog. First of all, It‟s a dog does not entail It can bark (since a dog may have a congenital malformation of the larynx, or some such); hence, “can bark” is not a criterial trait. However, the following two sentences show it to be an expected trait: a. It‟s a dog, but it can bark. (odd) b. It‟s a dog, but it can‟t bark. (normal) (Cruse, 1997: 17). „Untuk mendiagnosis ciri diharapkan, mungkin, dan tidak diharapkan, but-test atau tes dengan tetapi sangat berguna. Ini menggunakan 53 keadaan yang biasa atau keadaan yang luar biasa dalam kalimat bentuk P tetapi Q. berdasarkan status dari “bisa menggonggong” sebagai ciri dari anjing. Pertama, Itu anjing tidak diikuti Itu dapat menggonggong (sejak anjing mungkin memiliki kelainan konginetal laring atau yang lainnya); karenanya “bisa menggonggong” bukan ciri kriteria yang sesuai. Akan tetapi, dua contoh berikut menunjukkan itu ciri diharapkan: “Itu anjing tetapi itu bisa menggonggong.” (aneh) “Itu anjing tetapi itu tidak bisa menggonggong.” (wajar).‟ Pandangan di atas menunjukkan untuk mengetes reaksi semantis (+), (o), dan (*) digunakan kalimat diagnostik dengan tetapi. Jika kalimat itu aneh maka komponen maknanya tidak bereaksi semantis karena tidak menunjukkan hubungan perlawanan antarklausa, jika kalimat itu wajar maka komponen maknanya bereaksi semantis karena menyatakan hubungan perlawanan antarklausa. Wedhawati (2000: 265) mencontohkan penentuan komponen makna dengan kalimat diagnostik, seperti berikut. Interaksi antara anggota medan leksikal dan komponen makna TUTUR menimbulkan reaksi semantis (+), seperti yang dapat dibaca pada kalimat diagnostik di bawah ini. (38) mencadai, mencadai, bercanda. bercanda. bergurau, bergurau, Yang dilakukan bersenda gurau, bersenda gurau, itu, berkelakar berkelakar, berseloroh berseloroh berolok-olok berolok-olok tetapi itu a. *bertutur b. tidak bertutur 54 Kalimat (38a) tidak berterima karena pemakaian tetapi di situ tidak mengungkapkan hubungan perlawanan antara makna klausa pertama dan makna klausa kedua. Kalimat (38b) berterima karena tetapi di situ mengungkapkan hubungan perlawanan antara makna klausa pertama dan makna klausa kedua. Dari pandangan di atas, dapat diketahui untuk menentukan komponen makna, digunakan kalimat diagnostik seperti contoh tersebut. Kalimat tersebut akan menentukan reaksi semantis terhadap komponen makna suatu leksem. Kempson (1995: 15) menyatakan bahwa menurut pandangan analisis komponensial, makna kata dianalisis tidak sebagai konsep yang utuh melainkan sebagai kumpulan yang dibentuk oleh komponen-komponen makna yang masingmasing merupakan asal semantiknya. Sehubungan dengan pandangan ini, kata spinster „perawan tua‟ boleh dianalisis sebagai kumpulan semantik yang dibentuk oleh fitur-fitur (boleh juga disebut komponen-komponen) atau penanda-penanda seperti [FEMALE] „perempuan‟, [NEVER MARRIED] „tidak menikah‟, [ADULT] „dewasa‟, [HUMAN] „manusia/insan‟. Pandangan di atas berarti kata terbentuk dari kumpulan dari komponen makna. Artinya, kata memiliki makna berdasarkan kumpulan komponen makna tersebut. Misalnya, kata didik memiliki komponen makna +INSAN, +TERUSMENERUS, +MENYALURKAN SESUATU, +ILMU, +ORANG LAIN, -BINATANG, +KUASA, +PENDIDIKAN. Jadi, makna kata didik adalah tindakan yang dilakukan oleh insan secara terus-menerus untuk menyalurkan ilmu kepada orang lain supaya kuasa dan digunakan dalam bidang pendidikan. Berkaitan dengan analisis komponen makna leksem, Lyons menyatakan bahwa: 55 It is probably true to say that the majority of structural semantics subscribe nowadays to some version or other of componential analysis. This approach to the description of the meaning of words and phrases rests upon the thesis that the sense of every lexeme can be analysed in terms of a set of more general sense-components (or semantic features), some or all of which will be common to several different lexemes in the vocabulay (Lyons, 1991: 317). „Mungkin benar untuk mengatakan bahwa sebagian besar semantik struktural saat ini mengacu pada beberapa jenis atau yang lain tentang analisis komponen. Pendekatan ini mengacu pada pendeksripsian makna kata dan frasa berdasar pada tesis bahwa makna setiap leksem dapat dianalisis dalam bentuk seperangkat atau lebih dari komponen makna bersama (atau fitur semantik), beberapa atau semuanya yang menjadi penting untuk membedakan beberapa leksem dalam kamus‟. Pandangan di atas berarti analisis komponen makna dilakukan dalam bentuk seperangkat leksem yang memiliki komponen makna bersama. Untuk membedakan antarleksem digunakan komponen makna yang lain berdasarkan fitur semantiknya. Leech (2003: 123) menyatakan bahwa analisis makna seringkali dilihat sebagai suatu proses memilah-milahkan pengertian suatu kata ke dalam ciri-ciri khusus minimalnya, yaitu ke dalam komponen yang kontras dengan komponen lain. Leech memberikan contoh analisis makna dalam kata-kata seperti man, woman, boy, girl, dan kata-kata yang berkaitan dengan itu di dalam bahasa Inggris. Kata-kata ini semua termasuk di dalam bidang semantik „ras manusia‟ dan dalam hubungan antara mereka itu dapat dilukiskan dengan „diagram bidang‟ dua dimensi sebagai berikut: 56 Gambar 3 Dimensi Komponen Makna „male‟ „female‟ „adult‟ „man‟ „woman‟ „young‟ „boy‟ „girl‟ Sumber: Leech, 2003: 123 Gambar tersebut menunjukkan makna dalam dua dimensi, yaitu dimensi „jenis kelamin‟ dan „kedewasaan‟; dimensi ketiga merupakan anggapan dengan mengisolasikan bidang tersebut secara keseluruhan, yaitu „manusia‟ dan „nonmanusia‟. Leech (2003: 123) menggunakan cara lain untuk menganalisis makna, yaitu dengan menuliskan rumus-rumus yang di dalamnya digambarkan dimensi makna itu dengan ciri lambang seperti HUMAN dan ADULT sebagai berikut: +HUMAN „manusia‟ +ADULT „dewasa‟ +MALE „jantan‟ -HUMAN „manusia‟ -ADULT „dewasa‟ -MALE „betina‟ Makna kata-kata tersebut secara individual adalah: Man : +HUMAN +ADULT +MALE Woman : +HUMAN +ADULT -MALE Boy : +HUMAN -ADULT +MALE Girl : +HUMAN -ADULT -MALE Rumus-rumus ini disebut sebagai definisi komponensial, dari kata-kata itu rumus tersebut sebenarnya dapat dianggap sebagai definisi kamus yang diformalkan. Dimensi makna itu sendiri akan diberi istilah oposisi semantik. 57 Dimensi komponensial dalam penelitian ini juga diambil dari definisi di dalam kamus dengan diformalkan. Selain itu, jika definisi di dalam kamus masih belum dapat memenuhi dimensi komponensialnya maka dicari komponen makna berdasarkan penggunaannya oleh penutur bahasa. Selanjutnya Leech (2003: 125) menyatakan bahwa analisis komponensial seringkali digunakan untuk metode analisis yang diuraikan di sini, yaitu mereduksi makna kata ke dalam unsur-unsur kontrastif yang paling kecil. Sebagai teknik yang menonjol, analisis komponensial pertama-tama muncul di dalam linguistik antropologis sebagai sarana untuk mempelajari hubungan antara istilah atau kata-kata yang berdekatan, tetapi terbukti ada gunanya di dalam banyak lingkungan makna. Pandangan di atas berarti bahwa setiap komponen makna yang terbesar akan dijadikan sebagai penyatu setiap komponen makna atau disebut komponen makna bersama. Komponen yang lebih kecil sampai yang paling kecil digunakan untuk membedakan makna antara leksem satu dan leksem yang lain yang berdekatan. Penelitian ini lebih berfokus pada teori yang dikemukakan oleh Nida untuk menganalisis komponen makna verba insani dalam bahasa Indonesia sebagai induk teori. Teori yang dikemukakan oleh ahli lain digunakan untuk melengkapi teori Nida. Akan tetapi, penulisan komponen maknanya menggunakan penulisan menurut Lyons dan Leech, yakni menggunakan huruf kapital. Untuk notasi semantiknya menggunakan lima notasi semantik menurut Wedhawati karena notasi menurutnya paling lengkap untuk memberikan notasi semantik pada 58 komponen makna. Dengan demikian, setiap komponen makna dapat terwakili oleh notasi semantik tersebut. Berdasarkan berbagai pandangan mengenai analisis komponen makna di atas, dapat ditentukan bahwa komponen makna merupakan komponen pembentuk makna suatu leksem. Komponen makna dapat diidentifikasikan sebagai berikut. a. komponen makna dapat berupa komponen bersama, komponen diagnostik, dan komponen suplemen. b. untuk menentukan komponen makna suatu leksem, digunakan kalimat diagnostik dengan but-test „tetapi‟ dan kalimat perikutan (entailment). c. digunakan lima notasi semantik untuk menganalisis komponen makna leksem, yaitu (+), (-), (+/-), (o), dan (*). C. Kerangka Pikir Satuan leksikal dengan satuan leksikal lain memiliki relasi makna. Relasi makna yang paling sentral di dalam suatu bahasa adalah sinonimi. Relasi sinonimi dapat ditemukan di dalam kelas kata utama setiap bahasa, yakni verba, nomina, dan adjektiva. Kelas kata yang sentral di dalam setiap bahasa adalah verba karena dapat menentukan jumlah argumen yang mendampinginya di dalam kalimat. Secara semantis, berdasarkan komponen maknanya, verba dibedakan menjadi verba insani dan verba noninsani. Verba insani adalah verba yang pelaku atau pengalamnya adalah manusia, sedangkan verba noninsani adalah verba yang pelaku atau pengalamnya bukan manusia. Verba insani dicurigai memiliki kesinoniman. Oleh karena itu, kesinoniman verba insani memiliki bentuk tertentu. Selain itu, untuk menentukan kesinoniman, dilakukan analisis komponen makna 59 pasangan sinonimi verba. Berdasarkan komponen maknanya, dapat ditentukan seberapa jauh verba insani bersinonim. Kerangka pikir tersebut dapat ditunjukkan dalam gambar di bawah ini. Gambar 4 Kerangka Pikir Relasi makna Sinonimi Verba Verba noninsani Verba insani Bentuk kesinoniman Komponen makna