BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Studi

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Studi Terdahulu
Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang masalah, penelitian
mengenai sinonimi dalam bahasa Indonesia sudah pernah dilakukan. Akan tetapi,
penelitian-penelitian yang telah dilakukan masih terbatas pada jenis verba tertentu
dan nomina. Beberapa studi terdahulu yang relevan dengan penelitian ini akan
diuraikan pada bagian ini. Berkaitan dengan itu, istilah-istilah yang digunakan di
dalamnya adalah istilah asli dari sumbernya.
Sutiman dan Ririen Ekoyanantiasih (2007) telah meneliti nomina
noninsani yang bersinonim di dalam bahasa Indonesia. Penelitian tersebut
membahas permasalahan pada pendefinian leksem nomina noninsani di dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tujuannya untuk mengecek kelayakan
definisi leksem nomina dalam KBBI dan memberikan saran perbaikan
pendefinisian leksem yang bersinonim dalam KBBI, khususnya leksem nomina
noninsani. Hasil dari penelitiannya adalah pendefinisian leksem di dalam KBBI
belum layak dan jika leksem yang tidak dapat disubstitusi itu bukan merupakan
leksem sinonim, jika dapat disubstitusi itu merupakan leksem sinonim.
Utami (2010) telah mengkaji sinonim nomina dalam bahasa Indonesia
dalam tesisnya. Penelitian tersebut membahas permasalahan pada sinonim nomina
dalam bahasa Indonesia yang bertujuan untuk mengidentifikasi ciri pembeda
seperangkat nomina bahasa Indonesia yang bersinonim dan ruang lingkup
pemakaiannya. Hasil penelitiannya adalah kebanyakan nomina dalam bahasa
16
17
Indonesia bersinonim dekat disebabkan oleh beberapa ciri pembeda dan beberapa
kata yang selama ini dikelompokkan ke dalam sinonim, tetapi sebenarnya
merupakan anggota dari kehiponiman. Penggunaan kata-kata yang bersinonim
dalam komunikasi memerlukan kecermatan dari pengguna bahasa itu sendiri,
yang disebabkan oleh adanya ciri pembeda dalam setiap kata yang bersinonim
tersebut. Dengan demikian, penggunaannya tidak akan menimbulkan kejanggalan
dan kesalahan dalam penerimaan informasi.
Heriwaluyo (2010) telah melakukan penelitian tentang sinonimi verba,
tetapi hanya terbatas pada verba yang bermakna mengalahkan dalam berita
olahraga di media cetak. Penelitian tersebut membahas dua permasalahan.
Pertama,
identifikasi
kata,
frasa,
dan
klausa
yang
memenuhi
makna
„mengalahkan‟ dalam wacana jurnalistik berita olahraga di media cetak. Kedua,
hubungan kata dengan kata dan kata dengan frasa yang menunjukkan gejala
sinonimi makna „mengalahkan‟ dalam berita olahraga di media cetak.
Penelitiannya menghasilkan dua simpulan. Pertama, identifikasi kata, frasa, dan
klausa menghasilkan sebuah klasifikasi berdasarkan afiksasi dan berdasarkan
bentuk yang lugas, serta metaforis. Kedua, bentuk substitusi dari kata-kata atau
frasa yang memenuhi makna „mengalahkan‟ dapat menimbulkan hubungan kata
dengan kata yang dapat dipertukarkan, tanpa mengubah struktur kalimat dan dapat
menimbulkan tambahan makna yakni makna metaforis, sedangkan hubungan kata
dengan frasa tidak dapat diperlakukan secara langsung.
18
B. Landasan Teori
1. Sinonimi
Suatu kata memiliki relasi atau hubungan dengan kata lain. Relasi makna
yang paling sentral adalah relasi sinonimi. Beberapa ahli mencoba untuk
mendeskripsikan relasi sinonimi antarleksem.
Nida (1975: 16–17) mendefinisikan sinonimi sebagai “the words in each
pair, normally called synonyms, are almost never substitutable one for the other
in any and all contexts” „kata-kata dalam masing-masing pasangan biasanya
disebut sinonim yang hampir tidak pernah dapat digantikan satu dengan yang
lainnya dalam beberapa dan semua konteks‟. Bertolak dari pandangan tersebut,
dapat diketahui bahwa sinonimi merupakan kata-kata yang tidak dapat
dipertukarkan untuk saling mengganti dalam semua konteks kalimat. Kata-kata
tidak dapat berterima di dalam konteks kalimat lain, meskipun dalam suatu
konteks kalimat, kata-kata tersebut berterima.
Kata-kata yang bersinonim itu tidak dapat dinyatakan memiliki makna
yang identik, tetapi memiliki makna yang bertumpang tindih saat mereka dapat
disubstitusikan antara satu dan lainnya dalam konteks tertentu tanpa perubahan
yang signifikan dalam isi konsep suatu ucapan (Nida, 1975: 17). Oleh Nida, relasi
makna tumpang tindih dapat ditunjukkan pada diagram berikut:
19
Gambar 1
Relasi Makna Tumpang Tindih
Sumber: Nida, 1975: 17
Gambar di atas menunjukkan bahwa satu kata memiliki hubungan yang
tumpang tindih dengan kata lain. Kata satu mengandung unsur kata lain dan
sebaliknya. Relasi itu tidak terbatas hanya pasangan yang terdiri dari dua kata,
tetapi bisa tiga kata atau lebih, yang bersinonim berdekatan. Contoh: kata duga,
sangka, terka, dan tebak. Relasi sinonim kata tersebut adalah 4 kata, yang
maknanya tumpang tindih. Semua kata dapat dipertukarkan dalam satu konteks
kalimat, hanya ada sedikit perbedaan di antaranya, namun maknanya sama yaitu
„menentukan hal yang belum pasti‟.
Menurut Cruse (1997: 88), sinonimi merupakan relasi leksikal yang
beridentitas paralel dalam keanggotaan dua kelas tertentu. Ia menyatakan bahwa
“… there are different degrees of synonymyty; the relation defined in terms of
truth-conditional relations will be distinguished as propositional synonymy”
(Cruse, 1997: 88) „… ada perbedaan tingkatan kesinoniman, leksem yang dapat
digantikan dalam berbagai kalimat dengan ciri-ciri kebenaran kondisional yang
disebut sebagai sinonim proposisional‟. Sebagai contoh, kata fiddle „rebab‟ dan
violin „biola‟: keduanya mampu menghasilkan kalimat dengan kebenaran
kondisional yang berbeda, contoh “He plays the violin very well” „Dia (laki-laki)
bermain biola dengan sangat bagus‟ diikuti dengan “He plays the fiddle very
20
well” „Dia (laki-laki) bermain rebab dengan sangat bagus‟. Artinya, sinonimi
proposisional merupakan pasangan sinonimi yang salah satunya lebih spesifik
daripada yang lain. Penggunaan satu kata lebih tepat daripada kata yang lain
dalam kondisi tertentu.
Ada dua intuisi semantik yang kuat menurut Cruse (1997: 265). Pertama,
bahwa pasangan atau kelompok yang pasti dari soal leksikal menanggung
semacam khusus kemiripan semantik antara satu dengan yang lain. Itu biasa
dilakukan untuk menyebut hal yang memiliki semacam kemiripan khusus.
Namun, kelas intuitif sinonimi tidak bermakna habis oleh gagasan sinonimi
kognitif, seperti sekilas akan dikonfirmasikan pada beberapa kamus sinonim.
Kedua, bahwa beberapa pasangan sinonim lebih identik daripada pasangan lain:
settee „sofa kecil‟ dan sofa „sofa‟, die „mati‟ dan kick the bucket „meninggal
dunia‟, yang pada gilirannya lebih identik daripada boundary „batas‟ dan frontier
„perbatasan‟, breaker „pemecah‟ dan roller „penggilas‟, atau brainy „cerdas‟ dan
shrewd „cerdas‟.
Menurut pandangan di atas, sinonimi memiliki tingkatan tertentu. Tidak
setiap kata memiliki makna yang tingkatannya sama, misalnya tingkat
perasaannya, seperti mohon dan minta, yang lebih emotif mohon daripada minta.
Jadi, kata-kata tersebut tidak dapat dipertukarkan dalam suatu konteks kalimat
yang menuntut verbanya untuk memenuhi kedalaman perasaan penggunanya
ketika menggunakannya.
Menurut Cruse (1997: 266–267), sayangnya, tidak ada cara yang rapi
untuk karakterisasi sinonimi. Pemecahan masalahnya dengan dua jalan. Pertama,
dalam istilah kemiripan penting dan perbedaan yang diperbolehkan. Kedua,
21
kontekstual dengan cara bentuk diagnostik. Salah satunya, jelas bahwa sinonimi
harus memiliki derajat signifikan pada ciri-ciri semantik, seperti dibuktikan
dengan sifat semantik umum. Kemudian, sinonimi merupakan soal leksikal yang
dirasakan identik dalam mematuhi pusat ciri-ciri semantik, tetapi berbeda jika
pada semuanya hanya mematuhi apa yang dapat secara sementara kita
deskripsikan sebagai ciri-ciri minor atau periferal. Sebuah usaha akan dilakukan
untuk karakterisasi perbedaan yang diperbolehkan antara sinonimi.
Hal di atas menunjukkan bahwa untuk membedakan antara kata-kata yang
memiliki kemiripan makna adalah dengan memasukkannya ke dalam kalimat
diagnostik. Kalimat diagnostik dibuat untuk membedakan makna kata yang sangat
mirip, yang dibuat sendiri atau dapat pula diambil dari suatu sumber. Kalimat
diagnostik dapat berterima semua, dapat pula ada beberapa yang tidak berterima.
Menurut Cruse (1997: 267), sinonimi juga khas terjadi dalam tipe pasti
dalam ekspresi. Misalnya, sinonimi kadang digunakan sebagai penjelasan atau
klarifikasi makna kata lain. Hubungan antara dua kata sering menandakan sesuatu,
seperti that is to say „artinya‟ atau variasi tertentu pada or „atau‟:
(20) He was cashiered, that is to say, dismissed.
„Dia dipecat. Artinya, diberhentikan.‟
(21) This is an ounce, or snow leopard.
„Ini seekor macan tutul, atau macan tutul salju.‟
Ketika sinonimi digunakan dengan kontras seperti di atas, kadang-kadang
hal itu normal untuk menandakan kenyataan bahwa itu perbedaan yang harus
diperhatikan dengan beberapa ekspresi seperti more exactly „lebih tepatnya‟ atau
or rather „atau lebih tepatnya‟:
22
(22) He was murdered, or rather executed.
„Dia dibunuh atau lebih tepatnya dieksekusi.‟
(23) On the table there were a few grains or, more exactly, granules of the
substance.
„Di atas meja ada beberapa padi-padian atau lebih tepatnya butiran zat.‟
Sinonimi menurut pandangan di atas dapat digunakan untuk memperjelas
kata yang bersinonim. Jadi, kata tersebut benar-benar mirip antara satu dan yang
lain, contoh: kata basmi dan berantas. Contoh dalam kalimat berikut:
(24) Petugas kesehatan membasmi, atau lebih tepatnya memberantas
nyamuk penyebab malaria.
Cruse (1997: 270–272) menyatakan ada pula jenis sinonimi proposisional
dan plesionim. Sinonimi proposisional merupakan pasangan bentuk leksikal yang
harus memiliki properti semantik tertentu pada umumnya. Contoh:
(25) Arthur has lost the key. „Arthur kehilangan kunci.‟
(26) Arthur has lost the blasted key. „Arthur kehilangan kunci utama.‟
Akan tetapi, jika blasted „utama‟ hanya mengandung makna ekspresif
yang dapat diganti oleh spare „cadangan‟ yang mengandung makna proposisional,
kalimat dengan konteks yang berbeda diperoleh:
(27) Arthur has lost the spare key. „Arthur kehilangan kunci cadangan.‟
Dari contoh tersebut, sinonimi proposisional merupakan sinonimi yang
harus memiliki properti semantis sebagai penjelasnya, yang dapat dipertukarkan
dengan pasangannya dalam konteks kalimat yang sama. Kata key „kunci‟ di atas
dapat diekspresikan atau dijelaskan ke dalam hal yang spesifik seperti blasted key
„kunci utama‟ dan spare key „kunci cadangan‟.
23
Plesionimi menurut Cruse (1997: 285) dibedakan dari sinonim kognitif
dengan fakta bahwa kalimat hasil dengan konteks yang berbeda: dua kalimat yang
berbeda hanya dalam hal plesionimi dalam posisi sintaktik paralel tidak saling
melibatkan, meskipun jika bentuk leksikal merupakan relasi hiponim mungkin ada
entailment unilateral „perikutan secara satu pihak‟.
Plesionimi merupakan sinonimi yang sebenarnya adalah hiponimi. Dari
contoh di atas, kunci sebagai hipernimnya, kunci cadangan dan kunci utama
sebagai hiponimnya. Oleh karena itu, hiponimi berfungsi untuk menyampaikan
suatu hal supaya lebih ekspresif.
Kreidler (1998: 97) menyatakan “…synonymy is an instance of mutual
entailment, and synonyms are instances of mutual hyponymy” „sinonimi
merupakan contoh hubungan saling berikutan dan sinonim merupakan contoh
saling berhiponim‟. Contoh:
(28) Jack is a seaman. „Jack seorang pelaut.‟
(29) Jack is a sailor. „Jack seorang pelaut.‟
Contoh di atas merupakan contoh sinonimi karena kata seaman dan sailor
dapat dipertukarkan satu sama lain dan benar dalam kalimat yang sama.
Hubungan antara keduanya saling berikutan, sailor melibatkan seaman dan
sebaliknya.
Menurut Kreidler (1998: 96), “synonyms can be nouns, … or adjectives,
adverbs, or verbs” „sinonim dapat berupa nomina, … atau adjektiva, adverbia,
atau verba‟.
(30) The rock is large. „Batu itu besar.‟ (adjektiva)
(31) The rock is big. „Batu itu besar.‟ (adjektiva)
24
(32) The train traveled fast. „Kereta itu berjalan cepat.‟ (adverbia)
(33) The train traveled rapidly. „Kereta itu berjalan dengan cepat.‟
(adverbia)
(34) The bus left promptly at 10. „Bus itu segera meninggalkan pukul 10.‟
(verba)
(35) The bus departed promptly at 10. „Bus itu segera meninggalkan pukul
10.‟ (verba)
Akan tetapi, pasangan sinonimi dapat pula merupakan hiponimi dari suatu
hipernimi jika pasangan tersebut tidak saling berikutan. Jika satu kata dapat
dicakupi kata yang lain disebut hubungan hiponimi. Contoh: big merupakan
hiponimi dari large.
Menurut Lyons, sinonimi didefinisikan sebagai berikut:
Ekspresi-ekspresi dengan makna yang sama. Keduanya harus dicatat
definisinya. Pertama, sinonimi tidak membentuk relasi sinonimi pada
kata: sinonimi membuat kemungkinan bahwa ekspresi-ekspresi
sederhana leksikal mungkin memiliki makna yang sama seperti
ekspresi kompleks leksikal. Kedua, sinonimi membuat identitas, tidak
sama persis dengan makna kriteria sinonimi (Lyons, 1996: 60).
Hal di atas berarti sinonimi harus memiliki identitas makna yang sama.
Kata-kata harus memiliki makna yang sama persis. Akan tetapi, sinonimi dapat
pula hanya sama identitasnya sebagai pasangan sinonimi, tetapi perbedaannya
terletak pada makna yang tidak sama persis. Contoh: leksem mohon dan minta
memiliki identitas yang sama sebagai sinonimi, yaitu keduanya memiliki makna
meminta, tetapi berbeda keemotifannya. Perbedaannya, leksem mohon lebih
emotif daripada kata minta sehingga tanggapan dari lawan tutur akan berbeda
pula.
25
Parera (2004: 63) menerangkan bahwa kesinoniman dalam sebuah bahasa
lebih banyak terjadi akibat serapan antarbahasa, antardialek, dan antarragam
bahasa. Ini berarti bahasa yang tidak pernah berkontak dengan bahasa atau dialek
yang lain tidak akan mempunyai banyak sinonimi. Dengan kata lain, sinonimi
banyak berupa kata yang bersifat kedaerahan atau dialek daripada yang lain dan
lebih bersifat umum daripada yang lain. Oleh karena itu, akan sulit untuk
menemukan sinonimi yang tidak berasal dari serapan bahasa, dialek, dan ragam
bahasa. Contoh: kata pirsa bersinonim dengan kata tahu.
Riemer (2010: 151) menguraikan bahwa sinonimi merupakan bagian dari
investasi metalinguistik yang oleh penutur biasa bahasa Inggris dikatakan:
pengguna bahasa sering menyebut kata satu dengan kata yang lain, seperti
memiliki kesamaan makna. Contoh:
(36) It‟s likely/probable that he‟ll be late. „Ini sepertinya/mungkin bahwa
dia akan terlambat‟
(37) He is likely/probable to be late. „Dia sepertinya/mungkin akan
terlambat.‟
Kedua kata di atas bersinonim karena memiliki kesamaan makna. Akan
tetapi, jika keduanya menunjukkan perbedaan aturan gramatikal, kemungkinan
peristiwanya akan seperti di atas.
Collinson
(dalam
Ullman,
2012:
177)
pernah
berusaha
untuk
mentabulasikan perbedaan antara pasangan sinonimi. Ia membedakan sembilan
kemungkinan berikut ini.
a. Satu kata lebih umum daripada yang lain: refuse – reject (bandingkan:
binatang – hewan)
26
b. Satu kata lebih intens dari yang lain: repudiate – refuse (bandingkan:
mengamati – memandang)
c. Satu kata lebih emotif daripada yang lain: reject – decline (bandingkan:
memohon – meminta)
d. Satu kata dapat mencakup penerimaan atau penolakan moral sedangkan
yang lain netral: thirfty – economical (bandingkan: sedekah – pemberian)
e. Satu kata lebih profesional daripada yang lain: desease –death
(bandingkan: riset – penelitian)
f. Satu kata lebih literer daripada yang lain: passing – death (bandingkan:
mafhum – memahami; puspa – bunga; ibunda – ibu)
g. Satu kata lebih kolokial (bersifat keseharian) daripada yang lain: turn
down – refuse (bandingkan: aku –saya)
h. Satu kata lebih bersifat lokal atau dialek daripada yang lain: bahasa Inggris
Scots flesher – butcher (bandingkan: lu : gua [Jakarta] – kamu : saya)
i. Salah satu dari sinonim termasuk bahasa kanak-kanak: daddy – father
(bandingkan: mama – ibu; mimik – minum)
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa tidak ada sinonimi yang mutlak.
Setiap sinonimi ada unsur pembedanya, seperti lebih umum, lebih intens, lebih
emotif, lebih dapat diterima atau ditolak, lebih profesional, lebih literer, lebih
bersifat keseharian, lebih bersifat dialek, dan lebih kanak-kanak daripada yang
lain.
Sinonimi didefinisikan sebagai “dua leksem atau dua satuan lingual lain itu
dapat saling menggantikan dengan isi/informasi yang sama” (Subroto, 2011: 62).
Dalam lingkup semantik leksikal, kesinoniman dapat terdapat dalam lingkup:
27
nomina, verba, adjektiva, pronomina persona, numeralia, adverbia, dan preposisi
(Subroto, 2002: 120). Pandangannya tentang sinonimi mengacu pada pandangan
Nida (1975), yang keduanya menyatakan bahwa sinonimi merupakan relasi yang
dapat disubstitusikan pada konteks kalimat yang berbeda dengan makna yang
sama.
Menurut Fromkin, Victoria, Robert Rodman, Nina Hyams (2011: 156),
“synonyms are words or expressions that have the same meaning in some or all
contexts” „sinonim merupakan kata atau ekspresi yang memiliki kesamaan makna
dalam beberapa atau semua konteks‟. Oleh karena itu, kata-kata yang memiliki
makna yang sama di dalam beberapa atau semua konteks kalimat dapat disebut
sinonimi.
Di sisi lain, dikemukakan oleh Hurford, James R., Brendan Heasly, dan
Michael B. Smith bahwa sinonimi itu merupakan relasi antara predicates dan
bukan di antara kata-kata. Dengan kata lain, kata dapat memiliki banyak makna
yang berbeda-beda, beberapa perbedaan makna kata disebut predicates (2007:
107). Artinya, sinonimi bukan relasi antara dua kata yang memiliki makna yang
sama, melainkan dua makna yang sama.
Selain hal di atas, untuk membedakan pasangan sinonim yang berdekatan
dapat digunakan skala intensitas. Hal tersebut dikemukakan oleh Karlsson (2014:
3) bahwa “near synonyms in a lexical set may also be distinguished from each
other by intensity” „sinonim yang berdekatan dalam seperangkat leksikal dapat
pula dibedakan satu dengan yang lain dengan intensitas‟. Jadi, di dalam
seperangkat pasangan sinonim yang berdekatan dapat dibedakan satu kata dengan
yang lain melalui skala intensitasnya, misalnya kata surprise „terkejut‟ yang jelas
28
menambah intensitasnya dari surprise „mengejutkan‟, astonish „mencengangkan‟,
amaze „menakjubkan‟, astound „mengherankan‟, dan flabbergast „sangat
menakjubkan‟.
Berdasarkan beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa
sinonimi berarti relasi antara dua leksem atau lebih yang memiliki kesamaan
makna dan dapat menggantikan satu sama lain di dalam kalimat yang sama.
Kesinoniman dapat berupa nomina, adjektiva, adverbia, dan verba. Akan tetapi,
penelitian ini lebih berfokus pada teori Cruse tentang relasi sinonimi karena ia
merupakan ahli yang berfokus pada sinonimi. Selain itu, sinonimi olehnya,
dibedakan lagi ke hal yang lebih kecil, serta pasangan sinonim tidak selalu
bersinonim mutlak. Oleh karena itu, teori yang dikemukakan oleh ahli lain
diperlukan sebagai pelengkap teori ini. Sinonimi dapat diidentifikasikan sebagai
berikut.
a. pasangan dua kata atau lebih.
b. memiliki makna yang sama atau sangat mirip.
c. dapat dipertukarkan satu sama lain dalam kalimat yang sama.
d. pasangan yang salah satunya lebih umum, lebih intens, lebih emotif, lebih
dapat diterima atau ditolak, lebih profesional, lebih literer, lebih bersifat
keseharian, lebih bersifat dialek, dan lebih kanak-kanak daripada yang lain.
2. Leksem
Matthews (1997: 26) menyatakan bahwa leksem merupakan “…a lexical
unit and is entered in dictionaries as the fundamental element in the lexicon of a
language” „leksem merupakan satuan leksikal yang terdapat di dalam kamus
29
sebagai bagian paling dasar dalam leksikon suatu bahasa‟. Jadi, leksem mengacu
pada satuan leksikal terkecil dari leksikon, misalnya dies „mati‟, died „meninggal‟,
dying „akan mati‟, dan die „mati‟ merupakan bentuk kata dari leksem DIE.
Menurut Cruse (1997: 76), leksem didefinisikan sebagai “a dictionary
contains (among other things) an alphabetical list of the lexemes of language. We
shall characteristic a lexeme as a family of lexical unit” „leksem merupakan entri
kamus (di antara hal lain) yang disusun secara alfabetis pada leksem suatu bahasa.
Kita dapat mengkarakteristikkan leksem sebagai keluarga dari satuan leksikal‟.
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat ditentukan bahwa leksem merupakan salah
satu satuan leksikal bahasa yang terdapat di dalam kamus, misalnya obey „taat‟,
obeys „mentaati‟, dan obeyed „mentaati (lampau)‟ merupakan bentuk kata dari
leksem obey „taat‟.
Kreidler (1998: 50-51) menyatakan bahwa “a lexeme is a minimal unit that
can take part in referring or predicating. All the lexemes of a language constitute
the lexicon of the language, and all the lexemes that you know make up your
personal lexicon” „suatu leksem merupakan satuan terkecil yang dapat menempati
acuan atau predikat. Semua leksem dalam bahasa merupakan leksikon bahasa dan
semua leksem yang kamu ketahui membentuk leksikon pribadi‟. Jadi, dapat
dikatakan bahwa leksem merupakan satuan terkecil dari leksikon bahasa yang
dapat menempati acuan atau predikat, misalnya go „pergi‟, going „akan pergi‟,
went „pergi (lampau)‟, gone „telah pergi‟ merupakan bentuk dari leksem go
„pergi‟.
Riemer (2010: 17) mengatakan “the lexeme is the name of the abstract unit
which unites all the morphological variants of a single word. Thus, we can say
30
that go, goes,went, have gone and to go all are instantiations of the lexeme to
go…” „leksem merupakan nama satuan abstraksi yang menyatukan semua jenis
morfologis kata tunggal. Jadi, kita dapat mengatakan bahwa go „pergi‟, goes
„pergi‟, went „pergi (lampau)‟, have gone (telah), dan to go „pergi (akan)‟.
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa leksem merupakan
abstraksi yang melingkupi bentuk morfologis suatu kata. Leksem dapat
menyatukan bentuk-bentuk morfologis kata. Artinya, setiap bentuk morfologis,
yakni kata dapat disatukan ke dalam suatu leksem.
Subroto (2011: 42) menyatakan bahwa “leksem adalah satuan abstrak
(hasil abstraksi) dari sebuah paradigma (infleksional atau paradigma yang tidak
mengubah identitas kata) yang paling kecil, baik simpel maupun kompleks.” Jadi,
leksem merupakan bentuk abstraksi dari kata-kata secara infleksional, misalnya
leksem MINTA merupakan bentuk abstraksi dari minta, meminta, memintai,
memintakan, diminta, dimintai, dimintakan, permintaan, peminta, dan pemintaminta.
Leksem merupakan satuan terkecil dari leksikon yang digunakan sebagai
bahan mentah dalam proses morfologis. Dengan kata lain, leksem merupakan
input dan kata merupakan output dari proses tersebut. Hal tersebut dinyatakan
oleh Kridalaksana bahwa leksem adalah sebagai berikut.
Satuan terkecil dari leksikon, (2) satuan yang berperan sebagai input
dalam proses morfologis, (3) bahan baku dalam proses morfologis, (4)
unsur yang diketahui adanya dari bentuk yang setelah
disegmentasikan dari bentuk kompleks merupakan bentuk dasar yang
lepas dari morfem afiks, (5) bentuk yang tidak tergolong proleksem
atau partikel (Kridalaksana, 1988: 52).
Pandangan di atas menunjukkan bahwa leksem merupakan satuan terkecil
dari leksikon yang merupakan bahan baku dalam proses morfologis. Oleh karena
31
itu, leksem yang mengalami proses morfologis akan membentuk kata. Selain itu,
leksem tidak disemati afiks berbeda dengan kata. Untuk penulisan leksem dalam
penelitian ini menggunakan huruf kecil miring, sesuai dengan pandangan Cruse,
Kreidler, dan Riemer di atas.
3. Verba
Suatu kata memiliki identitas sebagai suatu kelas kata. Salah satu kelas
kata adalah kelas kata kerja atau disebut verba. Beberapa ahli mencoba untuk
mendeskripsikan kelas kata verba.
Pandangan mengenai verba berdasarkan afiks yang menyematinya
diuraikan Beard sebagai berikut.
Verb class, too, is always marked by a suffix or thematic segment and
never by a free-standing morpheme. Verba classes determine stems
and are always the first affix before or after the root. Recall the
Russian examples “bel-ej-“ „be(come) white‟ and “bel-i-“ „whiten‟.
The ej-Class defines this set of stems as members of the First
Conjugation. While these markers may precede them. The results of
the Free Analog and Peripheral Affix Criterion offer a solid case for
Verb Class and Transitivity as the only lexical verb categories (Beard,
1995: 129).
„Verba selalu ditandai dengan sebuah sufiks atau segmen tematik dan
tidak pernah dengan morfem bebas. Verba selalu menentukan batang
afiks pertama sebelum atau setelah kata dasar. Contoh dalam bahasa
Rusia “be-ej-“ „memutih‟ dan “bel-i-“ „memutihkan‟. Kelas “ej-“
mendefinisikan seperangkat batang sebagai anggota dari konjugasi
pertama. Ketika pemarkahnya dapat mendahului mereka,
menghasilkan analogi pertama dan kriteria afiks periferal memberikan
bentuk padat untuk verba dan ketransitifan sebagai kategori verba
leksikal.‟
Pandangan di atas menunjukkan bahwa verba tidak selalu didampingi
morfem bebas. Verba juga dapat ditandai dengan adanya afiks baik berupa prefiks
maupun sufiks. Kelas kata verba dapat hanya berupa kata dasar, dapat pula berupa
32
kata berafiks. Contoh: minta termasuk verba dasar dan meminta, memintakan, dan
memintai termasuk verba berafiks.
Menurut Cann (1994: 32), “verbs, which combine with noun phrases to
form sentences, are naturally associated with the general semantic category of
predicate” „verba yang berkombinasi dengan frasa nomina dalam bentuk kalimat
itu terkait secara alami dengan kategori semantik umum pada predikat‟.
Pandangan itu menunjukkan bahwa verba yang berkombinasi dengan frasa
nomina akan menjadi predikat dalam suatu kalimat. Jadi, jika verba didampingi
frasa nomina atau nomina maka verba berfungsi sebagai predikat.
Verba memiliki aksionalitas, makna aspektualitas inheren verba, dan
situasi. Tadjuddin (1993a: 36) menguraikan bahwa “istilah aksionalitas di
kalangan pakar Slavia mengacu pada gejala aspektualitas yang diungkapkan
melalui proses morfologi derivasional. Sementara itu, di kalangan pakar Inggris,
istilah itu digunakan dalam artian aspektualitas yang diungkapkan secara inheren
melalui verba” (dalam Sumarlam, 2004: 32). Dari kajian aspektualitas dan unsurunsur yang berhubungan dapat diketahui berbagai situasi sebagai hasil
pemahaman terhadap makna aspektualitas inheren verba, misalnya dalam
pengkajiannya terhadap makna aspektualitas inheren verba bahasa Inggris,
membagi situasi menjadi lima: keadaan (state), ketercapaian (achievement),
aktivitas (activity), keselesaian (accomplishment), dan serial (series). Brinton
mengatakan bahwa serial/habitual merupakan perbuatan berulang-ulang yang
terjadi pada kesempatan yang berbeda (Brinton, 1988: 54 dalam Sumarlam, 2004:
33). Jadi, berdasarkan pandangan tersebut, dapat ditentukan bahwa verba dapat
dilihat dari aspek-aspek yang terkandung di dalamnya. Aspek-aspek tersebut
33
meliputi: keadaan seperti sakit, ketercapaian seperti menang, aktivitas seperti lari,
keselesaian seperti sembuh, dan serial seperti mandi.
Berkenaan dengan situasi dan makna aspektualitas inheren verba, situasi
dinamis memandang situasi dari segi ada tidaknya perubahan atau gerakan atau
keberlangsungan situasi dinamis harus didukung oleh usaha atau tenaga secara
berkesinambungan. Sifat dinamis ini menandai situasi verba pungtual (peristiwa)
dan verba aktivitas (proses) (Sumarlam, 2004: 34–35). Olehnya, situasi pungtual
diuraikan sebagai berikut.
a. situasi pungtual oleh Lyons (1978) disebut „peristiwa momental‟, oleh
Tadjuddin (1993a) disebut „situasi lintas batas‟, sedangkan verbanya oleh
Quirk et al. (1972: 95) dan Djajasudarma (1997: 69) disebut „verba peristiwa
tradisional‟, contoh: tiba, jatuh, menendang.
b. aktivitas, merupakan situasi dinamis yang berlangsung pada poros waktu yang
berkembang atau oleh Lyons (1978) dan Comrie (1981) disebut „proses‟.
contoh: membaca, menulis.
c. situasi statif atau keadaan, yang bersifat homogen, keberlangsungannya tetap,
tanpa disertai perubahan atau gerakan (nondinamis), dan keberlangsungannya
tidak memerlukan usaha atau tenaga, kecuali jika terjadi sesuatu yang
menyebabkan terputusnya keadaan itu. contoh: tahu, percaya.
d. situasi statis keberlangsungannya tidak homogen, terbatas waktunya. contoh:
berdiri, tidur, bersandar.
Menurut pandangan di atas, verba dapat dilihat dari aspek situasinya.
Aspek tersebut meliputi situasi pungtual atau peristiwa momental, aktivitas,
keadaan, dan situasi statis.
34
Vendler (dalam Sumarlam, 2004: 40–41) membagi verba/kalimat
berdasarkan “skema waktu” menjadi empat subkelas sebagai berikut.
a. keadaan (state): berakhir selama periode waktu, tetapi tidak berkelanjutan dan
tidak menggambarkan proses waktu, contoh: mencintai.
b. aktivitas (activity): aktivitas berkelanjutan, dalam fase waktu berurutan, dan
sebagian proses merupakan sifat yang sama dari sifat keseluruhan, contoh:
berlari.
c. keselesaian (accomplishment): situasi berkelanjutan dan berlangsung menuju
terminus, contoh: menggambar.
d. ketercapaian (achievement): situasi tidak berkelanjutan dan terjadi pada momen
tunggal, contoh: menang.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa verba mengandung aspek-aspek di
dalamnya. Aspek tersebut meliputi keadaan, aktivitas, keselesaian, dan
ketercapaian untuk mengelompokkan verba tersebut.
Eva Eckert (1984 dalam Sumarlam, 2004: 41–42) membagi verba menjadi
tujuh subkelas verba sebagai berikut.
a. keadaan: situasi yang homogen sepanjang eksistensinya, contoh: tahu, melihat.
b. aktivitas: keadaan dinamis yang memerlukan input energi, contoh: menulis.
c. proses: situasi dinamis yang mengarah ke tujuan, contoh: tumbuh.
d. aksi iteratif: situasi yang mengimplikasikan pengulangan perbuatan, contoh:
berteriak-teriak.
e. keselesaian: hasil dari keadaan atau aktivitas, contoh: menulis (lengkap).
f. ketercapaian: tujuan akhir dari proses, contoh: menjadi dewasa.
35
g. peristiwa: salah satu aksi yang menciptakan perbuatan berulang, contoh:
berteriak.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa verba dapat dikelompokkan
berdasarkan tujuh aspek. Aspek tersebut meliputi keadaan, aktivitas, proses, aksi
iteratif, keselesaian, ketercapaian, dan peristiwa.
Menurut Tarigan (1985: 64) segala kata yang dipakai sebagai perintah,
baik dapat maupun tidak dapat digabung dengan imbuhan atau afiks disebut kata
kerja. Kata dasar yang berupa kata kerja digolongkan ke dalam empat tipe sebagai
berikut.
a. tipe “duduk” adalah kata kerja intransitif yang tidak dapat digabung dengan
afiks men- atau afiks ber- untuk menurunkan kata kerja, contoh: duduk, pergi
b. tipe lari adalah kata kerja intransitif yang dapat digabung dengan afiks ber(tetapi tidak dapat digabung dengan afiks men- untuk menurunkan kata kerja,
contoh: lari, cerai
c. tipe “ambil” adalah kata kerja transitif yang dapat digabung dengan afiks mentetapi tidak dapat digabung dengan afiks ber- untuk menurunkan kata kerja,
contoh: ambil, angkut
d. tipe “tanam” adalah kata kerja yang dapat digabung baik dengan afiks menmaupun dengan afiks ber- untuk menurunkan kata kerja, contoh: tanam, ajar.
Menurut Verhaar (2004: 183), ada penggolongan verba menurut “valensi”.
Valensi mengacu pada hubungan sintaksis antara verba dan unsur di sekitarnya,
mencakupi ketransitifan dan penguasaan verba atas argumen di sekitarnya.
Penggolongan verba menurut valensinya, yaitu verba bervalensi satu (verba
intransitif) atau verba bervalensi lebih dari satu, yakni dua atau tiga (verba
36
transitif). Dengan kata lain, verba intransitif merupakan verba yang berargumen
satu, contoh: tidur hanya memerlukan satu argumen yaitu Subjek dan verba
transitif berargumen lebih dari satu, contoh: memukul memerlukan dua argumen
yaitu Subjek dan Objek. Argumen merupakan unsur selain verba yang
mendampingi verba di dalam kalimat.
Verba intransitif dapat dibedakan menurut sifat semantisnya (Verhaar:
2004: 183–184). Ada verba yang mengandung makna “pengalam” atau “verba
pengalam”, ada verba yang mengandung makna “tindakan” atau “verba
penindak”. Akan tetapi, verba penindak bukanlah melakukan kegiatan seperti
dalam verba transitif, melainkan tidak menghasilkan sesuatu atau tidak
mempengaruhi objek. Contoh verba pengalam: jatuh dan verba penindak: tidur.
Verba secara fonologis menurut Alwi et al. (2003: 109-117) berdasarkan
kaidah morfofonemiknya sebagai berikut.
a. Morfofonemik prefiks meng1) Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /a/, /i/, /u/, /e/,
/o/, /ǝ/, /k/, /g/, /h/, atau /x/, bentuk meng- tetap menjadi meng-/ mǝŋ-/.
Contoh: meng- + ambil  mengambil
2) Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /l/, /m/, /n/, /ñ/,
/ŋ/, /r/, /y/, atau /w/, bentuk meng- berubah menjadi me-. Contoh: meng- +
latih  melatih
3) Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /d/ atau /t/,
bentuk meng- berubah menjadi men- /mǝn-/. Contoh: meng- + duga 
menduga
37
4) Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /b/, /p/, atau /f/,
bentuk meng- berubah menjadi mem- /mǝm-/. Contoh: meng- + babat 
membabat
5) Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /c/, /j/, /s/, dan
/š/, bentuk meng- berubah menjadi meny- /mǝñ/. Di dalam ejaan yang
dibakukan, bentuk meny- yang bergabung dengan huruf <c>, <j>, dan
<sy> pada awal dasar disederhanakan menjadi men-. Contoh: meng- +
syaratkan  mensyaratkan
6) Jika ditambahkan pada dasar yang bersuku satu, bentuk meng- berubah
menjadi menge- /mǝŋǝ/. Di samping itu, ada bentuk yang tidak baku, yaitu
yang mengikuti pola 1-5 di atas tanpa ada peluluhan. Contoh: meng- + tik
 mengetik
7) Kata-kata yang berasal dari bahasa asing diperlakukan berbeda-beda,
bergantung pada frekuensi dan lamanya kata tersebut telah kita pakai. Jika
dirasakan masih relatif baru, proses peluluhan di atas tidak berlaku. Hanya
kecocokan artikulasi saja yang diperhatikan dengan catatan bahwa mengdi depan dasar asing yang dimulai dengan /s/ menjadi men-. Jika dasar itu
dirasakan tidak asing lagi, perubahan morfofonemiknya mengikuti kaidah
yang umum. Contoh: meng- + proses  memproses atau memroses.
8) Jika verba yang berdasar tunggal direduplikasi, dasarnya diulangi dengan
mempertahankan peluluhan konsonan pertamanya. Dasar yang bersuku
satu mempertahankan unsur nge- di depan dasar yang direduplikasi. Sufiks
(jika ada) tidak ikut direduplikasi. Contoh: tulis  menulis  menuliskan
38
b. Morfofonemik prefiks per1) Prefiks per- berubah menjadi pe- apabila ditambahkan pada dasar yang
dimulai dengan fonem /r/ atau dasar yang suku pertamanya berakhir
dengan /ǝr/. Contoh: per- + rendah  perendah
2) Prefiks per- berubah menjadi pel- apabila ditambahkan pada bentuk dasar
ajar. Contoh: per- + ajar  pelajari
3) Prefiks per- tidak mengalami perubahan bentuk bila bergabung dengan
dasar lain di luar kaidah 1 dan 2 di atas. Contoh: per + lebar  perlebar
c. Morfofonemik prefiks ber1) Prefiks ber- berubah menjadi be- jika ditambahkan pada dasar yang
dimulai dengan fonem /r/. Contoh: ber- + ranting  beranting
2) Prefiks ber- berubah menjadi be- jika ditambahkan pada dasar yang suku
pertamanya berakhir dengan /ǝr/. Contoh: ber- + kerja  bekerja
3) Prefiks ber- berubah menjadi bel- jika ditambahkan pada dasar tertentu.
Contoh: ber- + ajar  belajar
4) Prefiks ber- tidak berubah bila digabungkan dengan dasar di luar kaidah 13 di atas. Contoh: ber- + layar  berlayar
d. Morfofonemik prefiks ter1) Prefiks ter- berubah menjadi te- jika ditambahkan pada dasar yang dimulai
dengan fonem /r/. Contoh: ter- + rebut  terebut
2) Jika suku pertama kata dasar berakhir dengan bunyi /ǝr/, fonem /r/ pada
prefiks ter- ada yang muncul dan ada pula yang tidak. Contoh: ter- +
percaya  terpercaya
39
3) Di luar kedua kaidah di atas, ter- tidak berubah bentuknya. Contoh: ter- +
pilih  terpilih
e. Morfofonemik prefiks diDigabung dengan dasar pun, prefiks di- tidak mengalami perubahan bentuk.
Contoh: di- + beli  dibeli
f. Morfofonemik sufiks –kan
Sufiks –kan tidak mengalami perubahan apabila ditambahkan pada dasar kata
apa pun. Contoh: tarik + -kan  tarikkan
g. Morfofonemik sufiks –i
Sufiks i- tidak mengalami perubahan jika ditambahkan pada dasar kata apapun
kecuali dasar yang berakhir dengan fonem i- tidak dapat diikuti sufiks -i.
h. Morfofonemik sufiks –an
Sufiks –an tidak mengalami perubahan bentuk jika digabungkan dengan dasar
kata apa pun. Jika fonem terakhir suatu dasar adalah /a/, dalam tulisan fonem
itu dijejerkan dengan sufiks –an. Contoh: dua  berduaan.
Berdasarkan pandangan tersebut, ada beberapa kaidah morfofonemik
verba. Hal itu dilihat dari afiks yang menyemati verba yang menyebabkan
perubahan fonem pada verba tersebut.
Alwi et al. (2003: 87) menyatakan bahwa ciri-ciri verba dapat diketahui
dengan mengamati (1) perilaku semantis, (2) perilaku sintaktis, dan (3) bentuk
morfologisnya. Namun, secara umum verba dapat diidentifikasi dan dibedakan
dari kelas kata yang lain, terutama dari adjektiva, karena ciri-ciri berikut.
40
a. verba memiliki fungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat dalam
kalimat walaupun dapat juga mempunyai fungsi lain, contoh: pencuri itu lari,
lari merupakan predikat.
b. verba mengandung makna inheren perbuatan (aksi), proses, atau keadaan yang
bukan sifat atau kualitas.
c. verba, khususnya yang bermakna keadaan, tidak dapat diberi prefiks ter- yang
berarti „paling‟, verba seperti mati atau suka, misalnya, tidak dapat diubah
menjadi *termati atau *tersuka.
d. pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang
menyatakan makna kesangatan. tidak ada bentuk seperti *agak belajar,
*sangat pergi, dan *bekerja sekali meskipun ada bentuk seperti sangat
berbahaya, agak mengecewakan, dan mengharapkan sekali.
Berdasarkan ciri tersebut, dapat dibedakan antara verba dan kelas kata lain.
Verba tidak akan sama dengan kelas kata lain, meskipun penggunaannya sama
dengan adjektiva sebagai predikat dalam suatu kalimat.
Alwi et al. (2003: 88) menyatakan bahwa verba dapat dilihat dari segi
perilaku semantisnya. Verba secara semantis dapat didefinisikan sebagai kata
yang mengandung makna inheren perbuatan, proses, atau keadaan yang bukan
sifat atau kualitas. Jadi, kata-kata seperti curi, beli, dan pukul adalah verba. Secara
semantis, verba dapat digolongkan menjadi beberapa macam seperti yang
dilakukan oleh Alwi et al. (2003: 88–90), yaitu:
a. verba perbuatan, contoh: mandi, beli
b. verba proses, contoh: mati, jatuh
c. verba keadaan, contoh: suka, mati
41
d. verba pengalaman, contoh: mendengarkan
Penggolongan verba di atas dapat bertumpang tindih, artinya satu verba
dapat masuk ke dalam dua kelompok, seperti pada verba suka di atas yang dapat
masuk kelompok verba proses dan verba pengalaman. Oleh karena itu, diperlukan
kecermatan untuk mengelompokkan suatu verba ke dalam kelompok di atas.
Kridalaksana menguraikan verba berdasarkan perilakunya dalam frasa
sebagai berikut:
Secara sintaktis sebuah satuan gramatikal dapat diketahui berkategori
verba dari perilakunya dalam satuan yang lebih besar; jadi sebuah kata
dapat dikatakan berkategori verba hanya dari perilakunya dalam frase,
yakni dalam hal kemungkinannya satuan itu didampingi partikel tidak
dalam konstruksi dan dalam hal tidak dapat didampinginya satuan itu
dengan partikel di, ke, dari, atau dengan partikel seperti sangat, lebih,
atau agak (Kridalaksana, 2005: 51).
Pandangan Kridalaksana di atas berarti kata dapat dikategorikan sebagai
verba jika dapat didahului partikel tidak. Selain itu, verba juga tidak dapat
didahului partikel di, ke, dari atau sangat, lebih, agak. Jadi, pendamping untuk
kelas kata lain tidak dapat mendampingi verba.
Kridalaksana (2005: 51-52) menyatakan bahwa dari bentuknya, verba
dapat dibedakan:
a. Verba dasar bebas, yaitu verba yang berupa morfem dasar bebas. Contoh:
duduk, makan.
b. Verba turunan yaitu verba yang telah mengalami afiksasi, reduplikasi,
gabungan proses atau berupa paduan leksem. Sebagai bentuk turunan dapat
kita jumpai:
1) verba berafiks, contoh: ajari, bernyanyi
2) verba bereduplikasi, contoh: bangun-bangun, ingat-ingat
42
3) verba berproses gabung, contoh: bernyanyi-nyanyi
4) verba majemuk: cuci mata, campur tangan
Untuk menentukan sinonim dalam penelitian ini akan dibatasi pada verba
dasar. Verba dasar dapat digunakan dalam kalimat tanpa memerlukan afiks,
reduplikasi, berproses gabung, dan verba majemuk.
Unsur-unsur verba menurut Djajasudarma (2010: 43) salah satunya adalah
verba dengan klasifikasi semantik yang terdiri dari:
a. dinamis/statif
b. dubidatif/interogatif: ragu-ragu (bahwa akan)
c. desideratif: lebih suka, bermaksud, ingin tahu (…)
d. kognitif: mengetahui, menyatakan, mengira, membayangkan
e. imperatif (mandatif): mendesak, menuntut, memohon, mengusulkan
f. dan seterusnya.
Berdasarkan berbagai pandangan di atas mengenai verba, dapat
disimpulkan bahwa verba merupakan kelas kata kerja yang dapat menduduki
fungsi predikat di dalam klausa dan mengandung aspektualitas tertentu. Verba
dapat diidentifikasikan sebagai berikut.
a. dapat didahului kata tidak.
b. tidak dapat didahului partikel di, ke, dan dari atau sangat, lebih, dan agak.
c. dapat diberi afiks, direduplikasi, gabungan proses, dan perpaduan leksem.
d. memiliki fungsi utama sebagai predikat dalam klausa.
e. mengandung aspektualitas tertentu, seperti keadaan, proses, aktivitas, dan lainlain.
f. dapat dilihat berdasarkan penanda aspek situasinya.
43
4. Verba Insani
Verba insani merupakan suatu kesiapan pengelompokan verba berdasarkan
perilaku semantisnya. Verba insani mengacu pada verba yang pelaku atau
pengalamnya adalah insan.
Leech (2003: 123) menyatakan bahwa berdasarkan komponen makna
terbesarnya, verba dapat dibedakan menjadi +HUMAN „MANUSIA/INSAN‟ dan
-HUMAN „MANUSIA/INSAN‟. Artinya, komponen makna INSAN dapat
menjadi dasar untuk mengelompokkan verba.
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dinyatakan bahwa verba insani
merupakan verba yang berciri (+INSAN). Dengan kata lain, verba insani adalah
verba yang memiliki komponen makna bersama +INSAN.
5. Medan Leksikal
Leksem-leksem yang memiliki komponen makna yang sama akan bersatu
dalam suatu kelompok. Sebagai contoh: bayam, kangkung, dan wortel termasuk
dalam suatu kelompok sayuran. Beberapa ahli linguistik menyebut kelompok
tersebut dengan beberapa istilah, antara lain Nida menyebut dengan semantic
domain dan Lyons menyebut dengan istilah lexical field.
Medan makna atau semantic domain satuan lingual diuraikan oleh Nida
sebagai berikut:
A semantic domain consist essentially of a group of meanings (by no
means restricted to those reflected in single words) which share
certain semantic components. Though some domains, e.g. entities,
animate objects, masses, artifacts, events, processes, states, etc, may
appear to be logical categories, based on systematic classification of
extralinguistic phenomena, they are really not dependent upon any a
priori system of nomenclature or taxonomy (Nida, 1975: 174).
44
„Medan makna terdiri atas kelompok makna dasar (tidak berarti
terbatas yang dicerminkan kata tunggal) yang membagi komponen
makna tertentu. Meskipun beberapa medan, seperti benda, benda
bernyawa, massa, artefak, peristiwa, proses, negara, dan lain-lain,
mungkin muncul menjadi kategori logis, berdasarkan klasifikasi
sistematis pada fenomena luar bahasa, mereka sangat tidak tergantung
pada beberapa sistem prioritas nomenklatur dan taksonomi.‟
Ranah semantik terdiri dari suatu kelompok makna, yang di dalamnya
terdapat berbagai makna untuk membentuk satu kesatuan makna yang utuh.
Namun, makna tersebut bukan hanya yang dimiliki oleh satu kata, melainkan
banyak kata yang termasuk ke dalam kelompok tertentu. Setiap kata
menyumbangkan komponen makna tertentu supaya dapat digunakan untuk
membedakan makna antarkata.
Selanjutnya Nida (1975:175) menambahkan bahwa ranah makna (semantic
field) pokok atau utama dapat dipisahkan atas empat kelas: (1) benda atau maujud
(thing atau entity); (2) peristiwa atau kejadian (event); (3) abstrak; (4) relasional.
Maksudnya, setiap kata dapat dimasukkan ke dalam ranah benda, peristiwa,
abstrak, dan relasional. Dengan kata lain, kelas tersebut berfungsi sebagai kepala
atau hiperonimnya.
Wedhawati (2000: 260) menyatakan bahwa dalam bahasa Indonesia,
misalnya satuan leksikal burung, ayam, itik membentuk sebuah medan leksikal.
Ketiganya memiliki komponen makna bersama BERBULU, BERSAYAP,
BERPARUH yang terealisasi sebagai satuan leksikal unggas yang berfungsi
sebagai superordinat atau hiperonim burung, ayam, itik. Ketiganya berfungsi
sebagai hiponim. Struktur hierarkinya dapat digambarkan sebagai berikut.
45
Gambar 2
Struktur Hierarki Medan Leksikal
Sumber: Wedhawati, 2000: 261
Setiap satuan leksikal seperti leksem atau kata yang memiliki komponen
makna yang sama dapat disatukan ke dalam suatu medan leksikal. Medan leksikal
dibentuk dengan struktur suatu satuan leksikal sebagai hiperonimi dan satuan
leksikal lain sebagai hiponimi. Dengan kata lain, suatu satuan leksikal
membawahi satuan leksikal lain yang menjadi bagian darinya.
Seperangkat satuan leksikal yang membentuk medan leksikal itu
membentuk relasi vertikal dan horisontal (Wedhawati, 2000: 261). Jika bentuk
medan leksikal tersebut ke samping atau horisontal berarti setiap satuan leksikal
memiliki kesamaan komponen makna atau disebut sinonimi, perbedaan
komponen makna atau disebut antonimi, dan hal yang tidak sesuai atau
inkompabilitas. Di sisi lain, jika bentuk medan leksikal tersebut ke bawah atau
vertikal berarti setiap satuan leksikal memiliki hubungan satu sebagai kepala atau
hiperonimnya dan yang lain sebagai bawahan atau hiponimnya.
Subroto (2011: 105) menguraikan bahwa ranah makna (semantic field) dan
ranah leksikal (lexical field) pada dasarnya mengacu pada hal yang sama. Ranah
makna (semantic field) mengacu pada satuan makna, sedangkan ranah leksikal
46
(lexical field) mengacu pada satuan-satuan leksem. Satuan leksem juga
mengandungi satuan arti leksikal.
Maksud pernyataan di atas bahwa medan leksikal dan medan makna
adalah hal yang sama. Perbedaannya hanyalah pada penyebutan oleh beberapa
ahli linguistik yang berasal dari berbagai negara dan berbagai bahasa pula. Akan
tetapi, maksudnya sama. Medan makna mengacu pada satua-satuan makna,
sedangkan medan leksikal mengacu pada satuan-satuan leksikal.
Medan makna didefinisikan oleh Parera sebagai satu jaringan asosiasi
yang rumit berdasarkan pada similaritas/kesamaan, kontak/hubungan, dan
hubungan-hubungan asosiatif dengan penyebutan satu kata (2004: 138).
Pendefinisian medan makna dalam Kamus Linguistik adalah bagian dari sistem
semantik bahasa yang menggambarkan bagian bidang kehidupan atau realitas
dalam alam semesta tertentu dan yang realisasinya oleh seperangkat unsur leksikal
yang maknanya berhubungan (Kridalaksana, 2011: 151).
Dari berbagai pandangan terhadap medan leksikal atau medan makna di
atas, untuk menganalisis data, penelitian ini lebih berfokus pada teori medan
makna oleh Nida. Komponen makna bersama yang dimiliki oleh leksem verba
dalam penelitian ini adalah [+INSAN]. Medan makna dapat diidentifikasikan
sebagai berikut.
a. seperangkat leksem yang memiliki komponen makna bersama.
b. memiliki komponen makna pembeda antarleksem.
c. memiliki relasi secara vertikal atau hiponimi dan horisontal atau sinonimi
antarleksem.
47
6. Analisis Komponen Makna
Untuk menganalisis data yang berupa leksem dengan tujuan menentukan
medan leksikalnya maka perlu mengetahui komponen maknanya. Hal ini dapat
diketahui melalui analisis komponen makna.
Menurut Nida (1975: 32–67), komponen makna dibedakan menjadi tiga,
yaitu komponen bersama, komponen diagnostik, dan komponen pelengkap atau
suplemen. Komponen makna bersama adalah komponen makna yang secara
bersama dimiliki oleh leksem-leksem yang termasuk dalam medan leksikal atau
ranah leksikal tertentu. Komponen makna diagnostik merupakan komponen
makna yang berperan atau berfungsi membedakan makna antar leksem yang
termasuk dalam medan tersebut. Komponen suplemen, yaitu komponen makna
yang keberadaannya disebabkan oleh perluasan makna leksem.
Maksud dari pandangan Nida di atas adalah bahwa komponen makna
bersama itu dimiliki oleh setiap leksem yang termasuk ke dalam medan leksikal
tertentu, misalnya komponen makna bersama dalam penelitian ini, yaitu +INSAN.
Komponen makna diagnostik, yaitu komponen makna yang digunakan untuk
membedakan makna antarleksem dalam satu medan leksikal, misalnya untuk
membedakan makna leksem mohon dan minta adalah EMOTIF.
Nida (1975: 54–61) menjelaskan prosedur analisis komponen makna.
Pertama, pada beberapa analisis meliputi penemuan tentatif pada makna yang
muncul untuk hubungan dekat dalam arti bahwa mereka merupakan relativitas
terdefinisi ranah semantis dengan keutamaan pada membagi nomor komponen
bersama. Tahap kedua, mendaftar semua jenis spesifik pada acuan beberapa
makna yang termasuk ranah pertanyaan. Tahap ketiga, terdiri dari menentukan
48
komponen yang mungkin benar dari makna bentuk yang satu dan yang lainnya,
tetapi tidak semua bentuk pada pertanyaan. Tahap keempat, terdiri dari
menentukan komponen diagnostik yang diaplikasikan pada beberapa makna, jadi
makna father „ayah‟ mungkin ditunjukkan memiliki komponen: male „laki-laki‟.
Tahap kelima, terdiri dari menentukan pemeriksaan silang dengan data yang
diperoleh pada tahap pertama. Tahap keenam, terdiri dari pendeskripsian
sistematik pada fitur diagnostik.
Contoh analisis komponen pada relasi makna leksem whisper „bisik‟,
babble „oceh‟, murmur „komat-kamit‟, sing „nyanyi‟, dan hum „dengung‟. Tahap
pertama, ada yang tidak termasuk, seperti yodel „nyanyi yodel‟ dan whistle „siul‟
karena bentuk itu juga mengidentifikasikan suara yang dihasilkan mulut.
Meskipun benar, kedua bentuk itu memiliki masalah tertentu. Tahap kedua,
misalnya whisper „bisik‟ itu dapat sangat pelan, bisikan hampir tidak terdengar,
dikontraskan denga bisikan sangat keras tetapi semua variasi derajat kekerasan
digolongkan penunjukan whisper „bisik‟. Tahap ketiga, penting untuk mengetes
lawan tertentu baik dengan bentuk positif-negatif atau bentuk sebab. Contoh: he
was not singing „dia tidak bernyanyi‟; he was humming „dia tidak berdengung‟.
Tahap keempat seperti berikut:
a. whisper : verbal „lisan‟, nonmusical pitch „bernada bukan musik‟, voiceless
„tak bersuara‟
b. babble : pseudoverbal „semi lisan‟, nonmusical pitch „bernada bukan musik‟,
voicing alternating with voicelessness „bergantian bersuara dan tidak bersuara
c. murmur : verbal „lisan‟, nonmusical pitch „bernada bukan musik‟, voicing
alternating with voicelessness „bergantian bersuara dan tidak bersuara‟
49
d. sing : verbal „lisan‟, musical pitch „bernada musik‟, voicing alternating with
voicelessness „bergantian bersuara dan tidak bersuara‟
e. hum : nonverbal „tidak lisan‟, musical pitch „bernada musik‟, and normally
voicing alternating with voicelessness „bergantian normal bersuara dan tidak
bersuara‟
Tahap kelima, contohnya babble „oceh‟, murmur „bisik‟, sing „nyanyi‟, and sum
„dengung‟ semua terdengar sebagai suara alternatif terlibat dengan fitur suara
tetapi giliran tidak sama dalam semua contoh. Tahap keenam, contohnya sebagai
berikut:
Tabel 2
Contoh Analisis Komponen Makna
1. verbal/nonverbal/p
Whisper
Babble
Murmur
Sing
Hum
v.
s.v.
v.
v.
n.v.
-
-
-
+
+
-
+
+
+
+
seudiverbal
2. musical
pitch
sequence
3. voiced-voiceless
alternation/voicele
ss
Sumber: Nida, 1975: 61
Wedhawati menyatakan notasi semantik untuk menandai komponen
makna di dalam penelitiannya sebagai berikut:
Digunakan lima macam reaksi semantis untuk menentukan nilai
semantis komponen temuan dalam hubungannya dengan butir leksikal
pembentuk medan leksikal verbal yang berkomponen makna
(+SUARA +INSAN). Pertama, reaksi semantis positif (+) untuk
50
menandai komponen makna yang relevan atau berfungsi membentuk
satuan makna butir leksikal. Misalnya, komponen (+MUSIKAL)
dalam “senandung”. Kedua, reaksi semantis negatif (-) untuk
menandai penegasian komponen di dalam definisi satuan makna butir
leksikal, sebagai lawan reaksi semantis (+). Misalnya, komponen
(-SUARA) di dalam bungkam. Ketiga, reaksi semantis netral (o) untuk
menandai komponen yang tidak relevan atau tidak berfungsi pada
tataran sistem, tetapi berfungsi pada tataran ujaran. Misalnya,
komponen (o LIRIH) dalam nyanyi (Dia menyannyi dengan lirih).
Keempat, reaksi semantis positif/negatif (+/-) untuk menandai
kemungkinan kehadiran komponen tertentu atau kemungkinan
penegasian kehadiran komponen tertentu. Misalnya, (+/- TUTUR)
dalam nyanyi karena definisi satuan makna nyanyi adalah
„mengeluarkan suara bernada, berlagu (dengan lirik atau tidak)‟.
Kelima, reaksi tak bernilai (*) untuk menandai penolakan kehadiran
komponen tertentu baik pada tataran sistem maupun pada tataran
ujaran, dalam arti komponen itu tidak berfungsi baik pada tataran
sistem maupun tataran ujaran. Misalnya, komponen (*TUTUR) dalam
kaitannya dengan tawa (Wedhawati, 2002: 43-44).
Maksud pernyataan di atas adalah untuk menandai komponen makna yang
netral atau bisa hadir bisa tidak dengan tanda (o), untuk menandai komponen
makna yang hadir dengan tanda (+), sebagai tanda komponen makna yang tidak
hadir digunakan tanda (-). Tanda (-) sebagai lawan dari tanda (+) untuk menandai
komponen maknanya. Tanda (+/-) sebagai tanda kemungkinan komponen hadir
atau dapat juga tidak. Terakhir, tanda (*) digunakan untuk memarkahi komponen
yang ditolak kehadirannya baik pada sistem maupun ujaran.
Untuk menganalisis komponen makna diperlukan pengkategorian atau
pengelompokkan kata tertentu ke dalam suatu kelompok atau kategori. Kategori
semantik relasi adalah kategori yang menghubungkan maujud dengan maujud atau
maujud dengan aktivitas atau dengan abstrak. Kategori semantik maujud pada
umumnya berpadanan dengan nomina; kategori semantik peristiwa atau kejadian
berpadanan dengan verba; kategori semantik abstrak berpadanan dengan
adjektiva; dan kategori relasi berpadanan dengan kata tugas (Subroto, 2011: 108).
51
Untuk penelitian ini menggunakan kategori semantik peristiwa atau kejadian
karena penelitian ini berfokus pada verba. Oleh karena itu, penelitian akan
menganalisis komponen makna berdasarkan peristiwa atau kejadian yang diwakili
oleh suatu verba.
Wedhawati menguraikan bahwa sistem dan struktur medan leksikal dapat
ditemukan dengan menganalisis komponen makna butir-butir leksikal pembentuk
medan leksikal (2005: 102). Sebelum menentukan komponen makna suatu
leksem, diperlukan kalimat diagnostik untuk mempermudah dalam menentukan
komponen maknanya. Hal ini didasarkan atas pandangan Lyons (1991: 268) yang
menyatakan bahwa medan leksikal terbentuk oleh seperangkat butir leksikal yang
berelasi secara paradigmatis dan sintagmatis.
Wedhawati (2000: 262) menyatakan untuk mengecek reaksi semantis (o),
(+), dan reaksi (*), digunakan kalimat diagnostik dengan tetapi (but-test, Cruse,
1986: 16-17), sedangkan reaksi semantis (-) dicek dengan kalimat perikutan
(entailment, Cruse, 1986: 16–17). Cruse menyatakan sebagai berikut:
An extremely useful model of the meaning of a word, which can be
extracted from contextual relations, is which it is viewed as being
made up, at least in part, of the meanings of other words. A particular
word-meaning which participates in this way in the meaning of
another word will be termed a semantic trait of the second word. To
render this picture more informative, it is necessary to distinguish
degrees and modes of participation. We shall do this initially by
defining a number of statuses (degrees of necessity) of semantic traits:
criterial, expected, possible, unexpected and excluded (Cruse, 1997:
16).
„Suatu model yang sangat berguna dalam memaknai kata yang dapat
ditarik dari relasi kontekstual, yang dipandang sebagai terdiri dari
setidaknya sebagian dari makna kata-kata yang lain. Makna kata
tertentu yang ikut serta melalui cara ini dalam makna kata yang lain
membentuk ciri semantik pada kata kedua. Untuk memberikan
gambaran yang lebih informatif, penting untuk membedakan tingkatan
dan mode partisipasi. Kita sebaiknya mengerjakan intinya dengan
52
mendefinisikan tingkat status (tingkat kepentingan) dari ciri semantik:
sesuai kriteria, diharapkan, mungkin, tidak diharapkan, dan tidak
termasuk.‟
Pandangan di atas berarti untuk menentukan komponen makna suatu kata,
digunakan ciri semantik tertentu. Ciri semantik tersebut dapat diketahui melalui
hubungan kontekstual atau dimasukkan ke dalam kalimat yang berbeda. Ciri
semantik terdiri dari sesuai kriteria, diharapkan, mungkin, tidak diharapkan, dan
tidak termasuk.
Cruse (1997: 16–17) menyatakan bahwa “criterial and excluded traits can
be diagnosed by means of entailment relations between sentences: for instances,
“animal” is criterial trait of dog because It‟s an animal; “fish” is an excluded
trait of dog because It‟s not a fish” „ciri kriteria yang sesuai dan tidak termasuk
dapat didiagnosis dengan makna dari hubungan perikutan antarkalimat: contoh,
“binatang” merupakan ciri kriteria yang sesuai pada anjing karena Itu binatang;
“ikan” merupakan ciri yang tidak termasuk pada anjing karena Itu bukan ikan‟.
Jadi, untuk menentukan kriteria itu tidak termasuk atau bereaksi (-) digunakan
kalimat perikutan (entailment).
Untuk menentukan komponen makna suatu satuan lingual digunakan
kalimat diagnostik dengan but-test seperti yang diuraikan Cruse sebagai berikut.
For the diagnosis of expected, possible and unexpected traits, the buttest is extremely useful. This utilises the normality or abnormality of
sentences of the form P, but Q. consider the status of “can bark” as a
trait of dog. First of all, It‟s a dog does not entail It can bark (since a
dog may have a congenital malformation of the larynx, or some such);
hence, “can bark” is not a criterial trait. However, the following two
sentences show it to be an expected trait:
a. It‟s a dog, but it can bark. (odd)
b. It‟s a dog, but it can‟t bark. (normal) (Cruse, 1997: 17).
„Untuk mendiagnosis ciri diharapkan, mungkin, dan tidak diharapkan,
but-test atau tes dengan tetapi sangat berguna. Ini menggunakan
53
keadaan yang biasa atau keadaan yang luar biasa dalam kalimat
bentuk P tetapi Q. berdasarkan status dari “bisa menggonggong”
sebagai ciri dari anjing. Pertama, Itu anjing tidak diikuti Itu dapat
menggonggong (sejak anjing mungkin memiliki kelainan konginetal
laring atau yang lainnya); karenanya “bisa menggonggong” bukan ciri
kriteria yang sesuai. Akan tetapi, dua contoh berikut menunjukkan itu
ciri diharapkan:
“Itu anjing tetapi itu bisa menggonggong.” (aneh)
“Itu anjing tetapi itu tidak bisa menggonggong.” (wajar).‟
Pandangan di atas menunjukkan untuk mengetes reaksi semantis (+), (o),
dan (*) digunakan kalimat diagnostik dengan tetapi. Jika kalimat itu aneh maka
komponen maknanya tidak bereaksi semantis karena tidak menunjukkan
hubungan perlawanan antarklausa, jika kalimat itu wajar maka komponen
maknanya
bereaksi
semantis
karena
menyatakan
hubungan
perlawanan
antarklausa.
Wedhawati (2000: 265) mencontohkan penentuan komponen makna
dengan kalimat diagnostik, seperti berikut. Interaksi antara anggota medan
leksikal dan komponen makna TUTUR menimbulkan reaksi semantis (+), seperti
yang dapat dibaca pada kalimat diagnostik di bawah ini.
(38)
mencadai,
mencadai,
bercanda.
bercanda.
bergurau,
bergurau,
Yang dilakukan
bersenda
gurau,
bersenda
gurau,
itu,
berkelakar
berkelakar,
berseloroh
berseloroh
berolok-olok
berolok-olok
tetapi
itu
a. *bertutur
b. tidak
bertutur
54
Kalimat (38a) tidak berterima karena pemakaian tetapi di situ tidak
mengungkapkan hubungan perlawanan antara makna klausa pertama dan makna
klausa kedua. Kalimat (38b) berterima karena tetapi di situ mengungkapkan
hubungan perlawanan antara makna klausa pertama dan makna klausa kedua. Dari
pandangan di atas, dapat diketahui untuk menentukan komponen makna,
digunakan kalimat diagnostik seperti contoh tersebut. Kalimat tersebut akan
menentukan reaksi semantis terhadap komponen makna suatu leksem.
Kempson (1995: 15) menyatakan bahwa menurut pandangan analisis
komponensial, makna kata dianalisis tidak sebagai konsep yang utuh melainkan
sebagai kumpulan yang dibentuk oleh komponen-komponen makna yang masingmasing merupakan asal semantiknya. Sehubungan dengan pandangan ini, kata
spinster „perawan tua‟ boleh dianalisis sebagai kumpulan semantik yang dibentuk
oleh fitur-fitur (boleh juga disebut komponen-komponen) atau penanda-penanda
seperti [FEMALE] „perempuan‟, [NEVER MARRIED] „tidak menikah‟,
[ADULT] „dewasa‟, [HUMAN] „manusia/insan‟.
Pandangan di atas berarti kata terbentuk dari kumpulan dari komponen
makna. Artinya, kata memiliki makna berdasarkan kumpulan komponen makna
tersebut. Misalnya, kata didik memiliki komponen makna +INSAN, +TERUSMENERUS, +MENYALURKAN SESUATU, +ILMU, +ORANG LAIN,
-BINATANG, +KUASA, +PENDIDIKAN. Jadi, makna kata didik adalah
tindakan yang dilakukan oleh insan secara terus-menerus untuk menyalurkan ilmu
kepada orang lain supaya kuasa dan digunakan dalam bidang pendidikan.
Berkaitan dengan analisis komponen makna leksem, Lyons menyatakan
bahwa:
55
It is probably true to say that the majority of structural semantics
subscribe nowadays to some version or other of componential
analysis. This approach to the description of the meaning of words
and phrases rests upon the thesis that the sense of every lexeme can be
analysed in terms of a set of more general sense-components (or
semantic features), some or all of which will be common to several
different lexemes in the vocabulay (Lyons, 1991: 317).
„Mungkin benar untuk mengatakan bahwa sebagian besar semantik
struktural saat ini mengacu pada beberapa jenis atau yang lain tentang
analisis komponen. Pendekatan ini mengacu pada pendeksripsian
makna kata dan frasa berdasar pada tesis bahwa makna setiap leksem
dapat dianalisis dalam bentuk seperangkat atau lebih dari komponen
makna bersama (atau fitur semantik), beberapa atau semuanya yang
menjadi penting untuk membedakan beberapa leksem dalam kamus‟.
Pandangan di atas berarti analisis komponen makna dilakukan dalam
bentuk seperangkat leksem yang memiliki komponen makna bersama. Untuk
membedakan antarleksem digunakan komponen makna yang lain berdasarkan
fitur semantiknya.
Leech (2003: 123) menyatakan bahwa analisis makna seringkali dilihat
sebagai suatu proses memilah-milahkan pengertian suatu kata ke dalam ciri-ciri
khusus minimalnya, yaitu ke dalam komponen yang kontras dengan komponen
lain. Leech memberikan contoh analisis makna dalam kata-kata seperti man,
woman, boy, girl, dan kata-kata yang berkaitan dengan itu di dalam bahasa
Inggris. Kata-kata ini semua termasuk di dalam bidang semantik „ras manusia‟
dan dalam hubungan antara mereka itu dapat dilukiskan dengan „diagram bidang‟
dua dimensi sebagai berikut:
56
Gambar 3
Dimensi Komponen Makna
„male‟
„female‟
„adult‟
„man‟
„woman‟
„young‟
„boy‟
„girl‟
Sumber: Leech, 2003: 123
Gambar tersebut menunjukkan makna dalam dua dimensi, yaitu dimensi
„jenis kelamin‟ dan „kedewasaan‟; dimensi ketiga merupakan anggapan dengan
mengisolasikan bidang tersebut secara keseluruhan, yaitu „manusia‟ dan
„nonmanusia‟.
Leech (2003: 123) menggunakan cara lain untuk menganalisis makna,
yaitu dengan menuliskan rumus-rumus yang di dalamnya digambarkan dimensi
makna itu dengan ciri lambang seperti HUMAN dan ADULT sebagai berikut:
+HUMAN „manusia‟ +ADULT „dewasa‟
+MALE „jantan‟
-HUMAN „manusia‟ -ADULT „dewasa‟
-MALE „betina‟
Makna kata-kata tersebut secara individual adalah:
Man
: +HUMAN +ADULT +MALE
Woman
: +HUMAN +ADULT -MALE
Boy
: +HUMAN -ADULT +MALE
Girl
: +HUMAN -ADULT -MALE
Rumus-rumus ini disebut sebagai definisi komponensial, dari kata-kata itu
rumus tersebut sebenarnya dapat dianggap sebagai definisi kamus yang
diformalkan. Dimensi makna itu sendiri akan diberi istilah oposisi semantik.
57
Dimensi komponensial dalam penelitian ini juga diambil dari definisi di
dalam kamus dengan diformalkan. Selain itu, jika definisi di dalam kamus masih
belum dapat memenuhi dimensi komponensialnya maka dicari komponen makna
berdasarkan penggunaannya oleh penutur bahasa.
Selanjutnya Leech (2003: 125) menyatakan bahwa analisis komponensial
seringkali digunakan untuk metode analisis yang diuraikan di sini, yaitu
mereduksi makna kata ke dalam unsur-unsur kontrastif yang paling kecil. Sebagai
teknik yang menonjol, analisis komponensial pertama-tama muncul di dalam
linguistik antropologis sebagai sarana untuk mempelajari hubungan antara istilah
atau kata-kata yang berdekatan, tetapi terbukti ada gunanya di dalam banyak
lingkungan makna.
Pandangan di atas berarti bahwa setiap komponen makna yang terbesar
akan dijadikan sebagai penyatu setiap komponen makna atau disebut komponen
makna bersama. Komponen yang lebih kecil sampai yang paling kecil digunakan
untuk membedakan makna antara leksem satu dan leksem yang lain yang
berdekatan.
Penelitian ini lebih berfokus pada teori yang dikemukakan oleh Nida untuk
menganalisis komponen makna verba insani dalam bahasa Indonesia sebagai
induk teori. Teori yang dikemukakan oleh ahli lain digunakan untuk melengkapi
teori Nida. Akan tetapi, penulisan komponen maknanya menggunakan penulisan
menurut Lyons dan Leech, yakni menggunakan huruf kapital. Untuk notasi
semantiknya menggunakan lima notasi semantik menurut Wedhawati karena
notasi menurutnya paling lengkap untuk memberikan notasi semantik pada
58
komponen makna. Dengan demikian, setiap komponen makna dapat terwakili
oleh notasi semantik tersebut.
Berdasarkan berbagai pandangan mengenai analisis komponen makna di
atas, dapat ditentukan bahwa komponen makna merupakan komponen pembentuk
makna suatu leksem. Komponen makna dapat diidentifikasikan sebagai berikut.
a. komponen makna dapat berupa komponen bersama, komponen diagnostik, dan
komponen suplemen.
b. untuk menentukan komponen makna suatu leksem, digunakan kalimat
diagnostik dengan but-test „tetapi‟ dan kalimat perikutan (entailment).
c. digunakan lima notasi semantik untuk menganalisis komponen makna leksem,
yaitu (+), (-), (+/-), (o), dan (*).
C. Kerangka Pikir
Satuan leksikal dengan satuan leksikal lain memiliki relasi makna. Relasi
makna yang paling sentral di dalam suatu bahasa adalah sinonimi. Relasi sinonimi
dapat ditemukan di dalam kelas kata utama setiap bahasa, yakni verba, nomina,
dan adjektiva. Kelas kata yang sentral di dalam setiap bahasa adalah verba karena
dapat menentukan jumlah argumen yang mendampinginya di dalam kalimat.
Secara semantis, berdasarkan komponen maknanya, verba dibedakan menjadi
verba insani dan verba noninsani. Verba insani adalah verba yang pelaku atau
pengalamnya adalah manusia, sedangkan verba noninsani adalah verba yang
pelaku atau pengalamnya bukan manusia. Verba insani dicurigai memiliki
kesinoniman. Oleh karena itu, kesinoniman verba insani memiliki bentuk tertentu.
Selain itu, untuk menentukan kesinoniman, dilakukan analisis komponen makna
59
pasangan sinonimi verba. Berdasarkan komponen maknanya, dapat ditentukan
seberapa jauh verba insani bersinonim. Kerangka pikir tersebut dapat ditunjukkan
dalam gambar di bawah ini.
Gambar 4
Kerangka Pikir
Relasi makna
Sinonimi
Verba
Verba noninsani
Verba insani
Bentuk kesinoniman
Komponen makna
Download