PENDAHULUAN Peningkatan produksi pertanian di Indonesia tidak lepas kaitannya dengan penggunaan pestisida. Pestisida telah lama digunakan sebagai pengendali hama, penyakit tumbuhan, serta gulma. Seiring dengan peningkatan kebutuhan akan produk pertanian, penggunaan pestisida semakin meningkat. Peningkatan tersebut disebabkan oleh sistem pertanian yang terlalu bergantung pada penggunaan pestisida sintetik (Sudarmo 1991). Gusfi (2002) melaporkan, sebanyak 95.5% petani sayuran di Jawa Barat bergantung pada pestisida sintetik dalam pengendalian hama dan penyakit. Kebergantungan ini dinilai karena pestisida sintetik memiliki keunggulan seperti lebih praktis dalam aplikasi, hasil pengendalian lebih cepat diketahui, dan lebih efisien dari segi waktu dan ekonomi, serta karena kurangnya ketersediaan teknik/strategi pengendalian lain (Dadang & Prijono 2005). Pemakaian pestisida sintetik dengan frekuensi yang tinggi dan aplikasi yang tidak bijaksana dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, pengguna, serta konsumen. Dampak tersebut antara lain residu yang berbahaya terhadap organisme bukan sasaran, ledakan hama, serta timbulnya resistensi terhadap pestisida tersebut. Salah satu upaya memecahkan masalah ini, khususnya penggunaan insektisida sintetik, adalah dengan meningkatkan kualitas biopestisida (insektisida) melalui pengembangan formulasi insektisida nabati (Dadang & Prijono 2005). Insektisida nabati memiliki kelebihan seperti mudah terurai di lingkungan (biodegradabel), aman terhadap makhluk bukan sasaran, tidak menimbulkan resistensi, serta dapat dipadukan dengan cara pengendalian hama lain (Prijono 2005a). Lima famili tanaman yang banyak menghasilkan insektisida nabati dan telah dikomersialkan adalah Solanaceae, Compositae, Leguminosae, Labiatae, dan Chenopodiceae (Feinstein 1952). Famili Meliaceae, Rutaceae, Asteraceae, Annonaceae, Labiatae, dan Cannellaceae juga mempunyai prospek yang cukup menjanjikan untuk pengembangan pestisida nabati. Bahan nabati lain yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama serangga adalah tanaman penghasil minyak atsiri. Minyak atsiri dilaporkan tidak hanya sebagai penolak serangga, tetapi memiliki efek kontak dan fumigan terhadap serangga tertentu serta memiliki aktivitas fungisida (Isman 2000). Beberapa penelitian menyebutkan minyak atsiri famili Lauraceae, khususnya kayu manis (Cinnamomum spp.), memiliki potensi sebagai insektisida nabati (Kim et al. 2003; Jantan et al. 2005). Jantan et al. (2005) melaporkan adanya aktivitas insektisida minyak atsiri dari 8 jenis daun Cinnamomum spp. terhadap nyamuk Aedes aegypti dan A. Albopictus. Efek yang kuat ditunjukkan terhadap larva dewasa setelah pemaparan selama 3 jam. Kandungan benzil benzoat dan benzil salisilat yang tinggi dari C. rhynchophyllum diduga menjadi sumber utama aktivitas insektisida tersebut. Pada C. osmopholeum kandungan sinamaldehida dapat menghambat pertumbuhan larva A. albopictus. Kandungan α-metil sinamaldehida, benzaldehida, dan transsinamaldehida menunjukkan aktivitas larvasida yang kuat (Cheng et al. 2003). Aktivitas insektisida nabati dari Cinnamomum spp. terhadap serangga pemakan daun belum pernah dilaporkan sebelumnya. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui potensi minyak atsiri kayu manis sebagai sumber pestisida nabati untuk mengendalikan serangga pemakan daun. Kerugian produksi pertanian akibat serangan hama, termasuk produksi tanaman sayuran, sangat besar. Salah satu hama perusak adalah Crocidolomia pavonana, yang lazim menyerang tanaman kubis-kubisan dan serangannya bersamaan dengan Plutella xylostella dapat menurunkan produksi hingga 100% (Rukmana 2001). Penelitian ini bertujuan mengetahui komponen minyak atsiri kulit kayu manis C. burmanii, minyak atsiri C. cassia komersial dan daun kayu manis (Cinnamomum spp.) dari 13 spesies dengan kromatografi gas spektroskopi massa (GC-MS) serta membandingkan aktivitas insektisidanya terhadap hama ulat kubis (C. pavonana) dan fitotoksisitasnya terhadap bibit brokoli. Aktivitas insektisida minyak mimba digunakan sebagai pembanding. TINJAUAN PUSTAKA Kayu Manis (Cinnamomum spp.) Kayu manis merupakan tanaman tahunan yang termasuk famili Lauraceae. Kayu manis dibudidayakan secara vegetatif dengan stek, cangkok, cabang air, maupun pemeliharaan tunas yang tumbuh pada tunggul bekas tebangan pohon. Pembiakan secara generatif dapat dilakukan dengan penanaman biji yang 1 diperoleh dari pohon induk berumur minimum 10 tahun dan telah masak sempurna (Towaha & Indriarti 2008). Kendala budi daya tanaman ini adalah serangan penyakit bengkak dan bercak daun yang disebabkan oleh Aecidium cinnamon, Pestalotia cinnamon, dan Cephaleuros virescens yang menyebabkan daun membusuk dan gugur. Penanaman kayu manis menghendaki tanah yang subur, gembur dengan pengairan yang baik, serta kaya bahan organik. Ketinggian daerah tanam berpengaruh pada produk kulit kayu manis yang dihasilkan. Semakin tinggi tempat tumbuh, warna kulit akan berubah mendekati cokelat sampai kecokelatan. Ketinggian terbaik adalah 500–900 m dpl. Jenis kayu manis yang dikenal di dunia sebanyak 300 spesies dan beberapa spesies kayu manis di Indonesia antara lain C. burmanii, C. camphora, C. cassia, C. celebicum, C. grandiflorum, C. iners, C. javanicum, C. kinabaluense, C. sintoc, C. multiflorum, C. verum, C. subavenium, dan C. porrectum. Hasil utama tanaman kayu manis adalah kulit (Gambar 1), batang, dan dahan, sedangkan hasil sampingannya adalah ranting dan daun. Beberapa produk yang dihasilkan tanaman kayu manis adalah kulit utuh (stik), kayu manis, minyak atsiri, oleoresin, dan pestisida botani (Towaha & Indriarti 2008). Gambar 1 Daun dan kulit kayu manis. Kulit batang, dahan, dan ranting dapat digunakan untuk bahan minyak dan obat, serta dapat dihasilkan minyak atsiri yang banyak digunakan dalam industri kosmetika, farmasi, dan makanan. Maxwell & Tran (2007) menyatakan bahwa kayu manis tidak hanya digunakan sebagai pemberi aroma, tetapi juga dapat dimanfaatkan dalam bidang farmakologi seperti antimikrob, antiradang, antioksidan, dan antijamur. Minyak Atsiri Minyak atsiri merupakan zat yang memberikan aroma dan memiliki komponen atsiri yang khas pada beberapa tumbuhan. Minyak tersebut hanya dihasilkan oleh tumbuhan yang memiliki sel kelenjar, yang terbentuk di dalam protoplasma sel serta tersimpan dalam bentuk mikrodroplet dalam sel kelenjar (Agusta 2000) Famili tumbuhan yang umumnya dapat menghasilkan minyak atsiri antara lain: Lauraceae, Myrtaceae, Rutaceae, Astereaceae, Apocynaceae, Umbeliferae, Pinaceae, Rosaceae, dan Labiatae (Ketaren 1985). Tumbuhan dari famili Lauraceae seperti kayu manis menghasilkan minyak atsiri dengan komponen kimia bergantung pada spesiesnya. Perbedaan komponen minyak atsiri pada spesies Cinnamomum yang sama dapat disebabkan oleh faktor genotipe, ontogeni, pencahayaan, air, suhu, dan hara tanaman tersebut (Lin et al. 2007). Aroma yang dimiliki oleh minyak atsiri umumnya spesifik sesuai kandungan kimianya. Komposisi kimia tersebut mendasari penentuan aroma, kegunaan, ataupun mutu dari suatu minyak atsiri. Agusta (2000) melaporkan bahwa minyak atsiri dari jenis C. burmanii memiliki komponen utama sinamaldehida (Gambar 2), sedangkan spesies lain seperti C. zeylanicum memiliki kadar sinamaldehida lebih rendah dengan kadar eugenol lebih besar (Hidayat & Ma’mun 1996). Minyak atsiri tanaman kayu manis dapat diperoleh dari daun, ranting, kulit, dan serbuk kayu dengan cara melakukan proses distilasi uap, distilasi air, maupun proses ekstraksi. Rendemen minyak kulit kayu dahan berkisar 0.16%−1.26% dan kulit ranting 0.15%−1.18% berdasarkan bobot kering (Towaha & Indriarti 2008), sedangkan pada daun kayu manis segar dan kering berturut-turut 0.295 ± 0.015% dan 0.435 ± 0.027%. Cara pengeringan berpengaruh terhadap rendemen dan mutu minyak atsiri yang diperoleh (Windono et al. 1996). Kandungan minyak atsiri ditentukan pula oleh umur tanaman. Kandungan minyak atsiri pada tanaman yang berumur 6−12 tahun masih rendah, sedangkan kandungan tertinggi (3.5%−4.5%) ada pada tanaman dengan umur >15 tahun. Komponen Kimia Minyak Atsiri Komponen kimia minyak atsiri sangat kompleks, komponen yang berjumlah besar ialah terpena dan fenilpropena. Biosintesis turunan terpena berawal dari asam asetat melalui jalur biosintesis asam mevalonat, sedangkan senyawa fenilpropena (senyawa aromatik) terbentuk dari asam sikimat melalui jalur fenilpropenoid. 2 Terpena. Senyawa yang termasuk dalam golongan terpena antara lain mirsena, pinena, terpinena, limonena, p-simena, serta α dan β feladrena. Senyawa terpenoid merupakan golongan terpena yang mengandung oksigen seperti kelompok monoterpena alkohol (geraniol, linalool, borneol, mentol), aldehida alifatik (sitral, sitronelal), keton monosiklik, dan keton monoterpena bisiklik (verbenona, fenchona) Fenilpropena. Senyawa yang termasuk dalam fenilpropena antara lain golongan fenol aromatik seperti sinamaldehida, eugenol, anetol, safrol, dan metil salisilat. Kelompok asam dalam minyak atsiri antara lain asam sinamat dan asam sitronelat. Seskuiterpena. Senyawa ini memiliki rantai karbon C15 seperti nerolidol, seskuifeladrena, farnesol, dan zingiberena. Monoterpena dan seskuiterpena merupakan komponen minyak atsiri yang dibentuk oleh kondensasi dari unit isopentenil pirofosfat. Golongan senyawa diterpena jarang ditemukan dalam minyak atsiri, namun Mirsena Linalool α–Terpinena Geraniol Eugenol β–Zingiberena terkadang dijumpai sebagai produk samping(Koul et al.2008). Beberapa struktur kimia komponen minyak atsiri disajikan pada Gambar 2. Minyak atsiri sering dimanfaatkan karena bioaktivitas komponennya, seperti mentol sebagai antiradang, eugenol sebagai germisida dan fungisida. Beberapa jenis minyak atsiri lain juga dikenal psikoaktif (psikotropika), antara lain karena kandungan safrol. Sinamaldehida pada kayu manis bersifat fungisida dan insektisida terhadap hama Blattella germanica L (Towaha & Indriarti 2008). Senyawa sinamaldehida juga memberikan efek antifeedant untuk melawan hama pengganggu saat proses penyimpanan gandum seperti Tribolium castaneum dan S. zeamais (Ravidran et al. 2004). Eugenol dalam minyak kayu manis juga memiliki aktivitas fitotoksik, yaitu bersifat racun bagi daun, karena merusak lapisan lilin pada bagian epikutikula, yang diujikan pada tanaman brokoli (Isman et al. 2007). β–Feladrena Nerol Isoeugenol ar-d-Kurkumena Limonena Sitronelol p-Simena 4-Terpineol Safrol β–Seskuifeladrena Gambar 2 Struktur kimia komponen minyak atsiri (Koul et al. 2008). 3 Insektisida Nabati Insektisida nabati merupakan salah satu pestisida yang diperuntukan membasmi hama khususnya serangga. Pestisida dapat diartikan secara luas sebagai zat yang dapat bersifat racun, menghambat pertumbuhan dan perkembangan, memengaruhi tingkah laku, perkembangbiakan, dan kesehatan, memengaruhi hormon, menghambat bertelur, menghambat makan, membuat mandul, memikat, menolak, atau memiliki aktivitas lainnya yang memengaruhi organisme pengganggu tanaman (OPT) (Kardinan 1998). Pestisida digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu pestisida sintetik dan alami. Aplikasi pestisida sintetik umum digunakan dalam pengendalian hama karena dianggap paling praktis, mudah diperoleh, hasilnya cepat terlihat, dan mudah dikerjakan. Namun, aplikasi pestisida sintetik yang berlebihan menimbulkan dampak negatif karena sifatnya yang non-spesifik sehingga memiliki spektrum daya bunuh yang luas terhadap organisme lain. Di samping itu, terdapat kemungkinan dampak pencemaran lingkungan, keracunan terhadap manusia dan hewan, serta resistensi dan resurgensi pada hama serangga (Dadang & Prijono 2005). Pestisida nabati relatif lebih aman dibandingkan dengan pestisida sintetik. Kurang stabilnya bahan aktif pestisida nabati di lingkungan merupakan suatu kelebihan untuk mengatasi masalah residu (Soetopo 1996). Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman baik dari daun, buah, biji, atau akar yang memiliki senyawa atau metabolit sekunder bersifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu (Sitepu 1999). Insektisida nabati dapat mengakibatkan satu atau lebih pengaruh berikut: mematikan langsung serangga dan bekerja sebagai racun saraf, sebagai repelen, antifeedant, mencegah proses penetasan telur, mengacaukan sistem hormon, atau sebagai atraktan, serta memenuhi syarat untuk digunakan dalam pengendalian hama. Syarat insektisida nabati yang baik antara lain efektif pada konsentrasi cukup rendah, tidak meracuni tanaman, aman terhadap musuh alami dan hewan bukan sasaran, serta sumber tanaman mudah ditemukan dan dibudidayakan (Prijono 2005a). Ravidran et al. (2004) melaporkan hasil uji laboratorium terhadap minyak kayu manis untuk pengendalian hama. Penelitian tersebut menunjukkan adanya efek toksisitas, menolak, menghambat pertumbuhan, pada hama kacang Callosobruchus chinensis. Ekstrak petroleum eter dari kulit kayu manis dan minyaknya ditemukan bersifat racun bagi hama kacang tersebut dengan LD50 kurang dari 200 mg/mL. Senyawa sinamaldehida juga memberikan efek antifeedant untuk melawan hama pengganggu saat proses penyimpanan gandum seperti Tribolium castaneum dan S. zeamais (Ravidran et al. 2004). Eugenol dalam minyak kayu manis juga memiliki aktivitas fitotoksik, yaitu bersifat racun bagi daun, karena merusak lapisan lilin pada bagian epikutikula, yang diujikan pada tanaman brokoli (Isman et al. 2007). Kim et al. (2003) melaporkan adanya aktivitas insektisida pada ekstrak minyak atsiri akar C. siboldii hingga mencapai kematian 100% pada S. oryzae setelah 2 jam perlakuan. C. cassia juga dilaporkan memberikan efek fumigan yang kuat terhadap hama tersebut (Lee et al. 2008). Ekstraksi Komponen Ekstraksi merupakan proses pengambilan senyawa tunggal atau majemuk dari suatu bahan dengan menggunakan pelarut tertentu berdasarkan distribusinya pada fase yang tidak bercampur. Metode ekstraksi yang tepat secara alamiah bergantung pada tekstur dan kandungan air serta jaringan tumbuhan yang akan diisolasi. Pengambilan minyak atsiri dapat dilakukan dengan metode distilasi, ekstraksi dengan pelarut, dan metode pengempaan. Metode distilasi paling umum digunakan. Pada distilasi air, bahan yang akan disuling mengalami kontak langsung dengan air mendidih. Distilasi ini disebut distilasi langsung, sedangkan distilasi uap disebut distilasi tidak langsung. Perbedaannya, air penghasil uap ditempatkan secara terpisah kemudian uap dialirkan ke bagian bawah bahan tanaman yang akan didistilasi (Lutony & Rahmawati 1994). Untuk mempermudah proses pengambilan minyak, ukuran bahan harus diperkecil namun tidak terlampau halus. Ukuran bahan yang terlampau kecil (halus) akan mempersempit ruang antarpartikel yang menyebabkan proses distilasi berlangsung lama dan tidak efektif. Sebaliknya, jika bahan tidak diperkecil, minyak akan tetap tinggal di dalam jaringan tanaman. Menurut Ketaren (1985), bahan berupa bunga dan daun yang tidak berserat dapat disuling tanpa dirajang terlebih dahulu karena jumlah total minyak dapat berkurang akibat penguapan selama proses perajangan. Minyak 4 akan berubah dan memengaruhi aroma yang dihasilkan. Kromatografi Gas Spektroskopi Massa (GCMS) Kromatografi gas spektroskopi massa (GCMS) mengombinasikan peralatan kromatografi gas-cair dengan spektroskopi massa. Instrumen ini digunakan untuk mengidentifikasi dan menentukan komponen organik atsiri dan semiatsiri dalam campuran yang kompleks. Selain itu, metode ini dapat menentukan bobot molekul dan komposisi dasar, serta struktur komponen organik yang tidak diketahui dengan mencocokkan spektrum dengan spektrum rujukan dan menginterpretasinya. Metode ini telah lama digunakan untuk analisis minyak atsiri. Komponen minyak atsiri juga dapat diidentifikasi dengan kombinasi GC dengan detektor ionisasi nyala (FID) dan penentuan indeks bias, atau GC dengan deteksi unsur selektif. Identifikasi komponen minyak atsiri dengan GCMS didasarkan pada data spektrum massa dan waktu retensi, menggunakan screener library (David et al. 2002). Spektroskopi massa menyediakan informasi struktur lengkap untuk hampir semua komponen yang dapat diidentifikasi secara tepat, namun tidak dapat memisahkannya. Pada aplikasinya, spektrum komponen diterima oleh MS setelah keluar dari kolom GC, dan kemudian terfragmentasi menjadi bentuk ionnya (Skoog et al. 1998). Kombinasi 2 teknik ini berkembang setelah perkembangan GC pada pertengahan 1950. GCMS digunakan untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif. Analisis kualitatif dapat dilakukan dengan menganalisis kromatogram GC dan spektrum massa dari masing-masing puncak kromatogram tersebut. Analisis kuantitatif dapat dilakukan berdasarkan area puncak atau dari pemantauan ion selektif. Namun, dengan cara kedua ini MS tidak dapat menganalisis massa keseluruhan. Instrumen akan berpindah dari massa terpilih ke massa yang lain. Keuntungan pendekatan ini adalah efisiensi waktu, nisbah sinyal dan derau dapat dikurangi, dan meningkatnya kepekaan (Skoog et al. 1998). Crocidolomia pavonana C. pavonana merupakan salah satu hama umum tanaman famili Brassicaceae (kubis- kubisan) yang dikenal dengan nama ulat krop kubis. Hama ini bersifat oligofag, tersebar di Afrika Selatan, Asia Tenggara, Australia dan Kepulauan di Pasifik, serta menyerang tanaman pada fase vegetatif dan generatif (Kalshoven 1981). Serangan hama ini bersama P. xylostella dapat menurunkan produksi hingga 100% pada musim kemarau (Rukmana 2001). Metamorfosis ulat ini sampai mencapai pupa membutuhkan waktu ±27 hari, dengan siklus hidup ±4 minggu. Telur ulat yang berwarna kehijauan tersusun secara tumpang tindih pada permukaan bawah daun. Larva terdiri dari 5 instar, dengan instar awal hidup berkelompok di sekitar tempat telur diletakkan. Pada tahap selanjutnya instar masuk ke dalam krop dan memakan bagian dalamnya, namun apabila tanaman kubis belum membentuk krop, larva lebih suka makan bagian pucuk. Pupa terbentuk dalam tanah dalam kokon yang terbuat dari benang sutera dan butiran tanah, sedangkan imago berwarna putih kelabu dengan sepasang bercak cokelat pada sayap depan, dan bersifat nokturnal. Pengendalian hama ulat kubis ini umumnya menggunakan pestisida sintetik. Namun, penggunaan pestisida dalam menekan populasi hama dengan cepat dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Pengendalian secara biologi dapat dilakukan dengan introduksi musuh alami (parasitoid) seperti Inareolata argentopilosa dan Stnermia incospianoides (Sastrosiswojo & Setiawati 1992). Namun, pengendalian ini belum dapat menekan populasi hama secara efektif. Insektisida nabati merupakan salah satu alternatif pengendalian yang cukup aman dan sesuai konsep pengendalian hama terpadu (PHT). Beberapa penelitian telah melaporkan adanya aktivitas insektisida terhadap hama C. pavonana, antara lain dari ekstrak biji Aglaia harmsiana (Meliaceae), ranting Dysoxylum acutangulum (Meliaceae), biji D. mollissimum (Meliaceae), serta daun Tephrosia vogelii (Leguminosae) (Abizar & Prijono 2010, Prijono 2005b, Wiyantono et al. 2001). BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan ialah daun kayu manis 13 spesies (C. burmanii, C. camphora, C. iners, C. multiflorum, C. cassia, C. celebicum, C. rhyncophyllum, C. porrectum, C. javanicum, C. grandiflorum, C. 5